input
stringlengths 912
558k
| output
stringlengths 234
2.18k
|
---|---|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 14 /POJK.05/2016
TENTANG
PENGESAHAN PENDIRIAN DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN
DAN PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN
DARI DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menunjang penyelenggaraan
program pensiun dana pensiun lembaga keuangan,
memerlukan adanya pengaturan mengenai
pengesahan pendirian dana pensiun lembaga
keuangan dan perubahan peraturan dana pensiun
dari dana pensiun lembaga keuangan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Pengesahan Pendirian
Dana Pensiun Lembaga Keuangan dan Perubahan
Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun Lembaga
Keuangan;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 37,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3477);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
- 2 -
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang
Dana Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 127,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3508);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENGESAHAN PENDIRIAN DANA PENSIUN LEMBAGA
KEUANGAN DAN PERUBAHAN PERATURAN DANA
PENSIUN DARI DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang
dimaksud dengan:
1. Dana Pensiun Lembaga Keuangan adalah dana
pensiun yang dibentuk oleh bank atau perusahaan
asuransi jiwa untuk menyelenggarakan program
pensiun iuran pasti bagi perorangan, baik karyawan
maupun pekerja mandiri yang terpisah dari dana
pensiun pemberi kerja bagi karyawan bank atau
perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan.
2. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998.
3. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan yang
menyelenggarakan usaha asuransi jiwa sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2014 tentang Perasuransian.
4. Pendiri adalah Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa
yang membentuk Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
- 3 -
5. Pelaksana Tugas Pengurus adalah pejabat dari Pendiri
Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang ditugaskan
untuk melaksanakan kegiatan operasional Dana
Pensiun Lembaga Keuangan.
6. Peraturan Dana Pensiun adalah peraturan yang berisi
ketentuan yang menjadi dasar penyelenggaraan
program pensiun.
7. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
BAB II
PENGESAHAN PENDIRIAN
DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN
Pasal 2
Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang akan
mendirikan Dana Pensiun Lembaga Keuangan harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berbentuk badan hukum Indonesia dan berkantor
pusat di Indonesia;
b. paling singkat dalam 1 (satu) tahun terakhir sebelum
mengajukan permohonan, dinyatakan sehat oleh OJK;
dan
c. memiliki kesiapan untuk menyelenggarakan Dana
Pensiun Lembaga Keuangan.
Pasal 3
(1) Untuk mendapatkan pengesahan pendirian Dana
Pensiun Lembaga Keuangan, Pendiri harus
mengajukan permohonan tertulis kepada Kepala
Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan
Lainnya u.p. Kepala Departemen Pengawasan IKNB
1A, dengan menggunakan contoh formulir A
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
- 4 -
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini.
(2) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilampiri dengan:
a. fotokopi anggaran dasar Pendiri;
b. rekomendasi
tertulis
dari OJK yang
menunjukkan bahwa Pendiri dinyatakan sehat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b;
dan
c. bukti kesiapan untuk menyelenggarakan Dana
Pensiun Lembaga Keuangan, meliputi:
1. Peraturan Dana Pensiun asli yang ditetapkan
Pendiri, dibuat dalam rangkap 2 (dua);
2. program kerja Dana Pensiun Lembaga
Keuangan;
3. struktur organisasi Dana Pensiun Lembaga
Keuangan yang dilengkapi dengan uraian
tugas;
4. manual sistem administrasi dan pengolahan
data Dana Pensiun Lembaga Keuangan;
5. pedoman pelaksanaan penerapan prinsip
mengenal nasabah bagi Dana Pensiun
Lembaga Keuangan;
6. formulir atau dokumen yang akan digunakan
dalam rangka kepesertaan Dana Pensiun
Lembaga Keuangan; dan
7. fotokopi
keputusan Pendiri mengenai
penunjukan Pelaksana Tugas Pengurus.
(3) Program kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c angka 2 paling singkat disusun untuk periode
jangka waktu 2 (dua) tahun, 5 (lima) tahun, dan 10
(sepuluh) tahun serta memuat:
a. calon peserta Dana Pensiun Lembaga Keuangan
baik perseorangan maupun kelompok atau
pemberi kerja yang akan ikut serta dalam
program pensiun, dan langkah-langkah yang
dilakukan untuk mewujudkannya; dan
- 5 -
b. proyeksi biaya yang diperlukan oleh Dana
Pensiun Lembaga Keuangan dan besarnya
imbalan jasa yang akan diterima oleh Pendiri atas
penyelenggaraan Dana Pensiun Lembaga
Keuangan.
(4) Fotokopi keputusan Pendiri sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c angka 7 harus disertai dengan:
a. fotokopi Kartu Tanda Penduduk dari Pelaksana
Tugas Pengurus yang ditunjuk;
b. pernyataan tertulis dari Pelaksana Tugas
Pengurus untuk mengelola Dana Pensiun
Lembaga Keuangan sesuai Peraturan Dana
Pensiun dan peraturan perundangan di bidang
dana pensiun;
c.
fotokopi tanda lulus ujian pengetahuan dasar di
bidang dana pensiun bagi Pelaksana Tugas
Pengurus; dan
d. fotokopi tanda bukti kelulusan penilaian
kemampuan dan kepatutan dari OJK bagi
Pelaksana Tugas Pengurus.
BAB III
PENGESAHAN ATAS PERUBAHAN
PERATURAN DANA PENSIUN
Pasal 4
(1) Untuk mendapatkan pengesahan atas perubahan
Peraturan Dana Pensiun, Pendiri harus mengajukan
permohonan tertulis kepada Kepala Eksekutif
Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya
u.p. Kepala Departemen Pengawasan IKNB 1A, dengan
menggunakan contoh formulir B sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
- 6 -
(2) Pengajuan permohonan pengesahan atas perubahan
Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilampiri dengan:
a. Peraturan Dana Pensiun asli yang ditetapkan
Pendiri, dibuat dalam rangkap 2 (dua); dan
b. pokok-pokok perubahan dan uraian tentang latar
belakang dan tujuan setiap pokok perubahan
Peraturan Dana Pensiun.
(3) Dalam hal latar belakang perubahan Peraturan Dana
Pensiun didasarkan atas perubahan nama Pendiri,
pengajuan permohonan pengesahan atas perubahan
Peraturan Dana Pensiun selain harus menyampaikan
Peraturan Dana Pensiun dan pokok-pokok perubahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), juga
melampirkan:
a. fotokopi anggaran dasar Pendiri yang memuat
perubahan nama Pendiri; dan
b. fotokopi izin usaha Pendiri.
Pasal 5
Permohonan dan kelengkapan dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 harus disusun dalam
Bahasa Indonesia.
Pasal 6
(1) Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c angka 1 dan Pasal 4
ayat (2) huruf a, setelah disahkan oleh OJK, satu
diantaranya dikembalikan kepada Pendiri dan yang
lainnya disimpan di OJK.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan di antara kedua
Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), maka yang dianggap benar adalah Peraturan
Dana Pensiun yang disimpan di OJK.
- 7 -
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 7
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan
mengenai pengesahan pendirian Dana Pensiun Lembaga
Keuangan dan perubahan Peraturan Dana Pensiun dari Dana
Pensiun Lembaga Keuangan tunduk pada Peraturan OJK ini.
Pasal 8
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Februari 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Maret 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 39
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 14/POJK.05/2016 </reg_id>
<reg_title> PENGESAHAN PENDIRIAN DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN DAN PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN DARI DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN </reg_title>
<set_date> 23 Februari 2016 </set_date>
<effective_date> 1 Maret 2016 </effective_date>
<issued_date> 1 Maret 2016 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '77/PP/1992', '11/UU/1992' </related_reg>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 25 /POJK.03/2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 27/POJK.03/2015 TENTANG KEGIATAN USAHA BANK BERUPA
PENITIPAN DENGAN PENGELOLAAN (TRUST)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa telah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak maka
diperlukan kebijakan untuk mendukung masuknya
dana repatriasi melalui industri jasa keuangan;
b. bahwa dalam rangka mendukung masuknya dana
repatriasi ke sektor perbankan maka perlu landasan
hukum bagi Bank untuk dapat menerima nasabah
Settlor baik dalam bentuk korporasi maupun
perorangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perubahan
atas
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 27/POJK.03/2015 tentang Kegiatan Usaha
Bank Berupa Penitipan Dengan Pengelolaan (Trust);
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang
Pengampunan Pajak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 131, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5899);
5. Peraturan
Otoritas
Jasa
Keuangan
Nomor 27/POJK.03/2015 tentang Kegiatan Usaha
Bank Berupa Penitipan dengan Pengelolaan (Trust)
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 293, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5775);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA
KEUANGAN NOMOR 27/POJK.03/2015 TENTANG
KEGIATAN USAHA BANK BERUPA PENITIPAN DENGAN
PENGELOLAAN (TRUST).
- 3 -
Pasal I
Ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf a dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27/POJK.03/2015 tentang
Kegiatan Usaha Bank Berupa Penitipan Dengan
Pengelolaan (Trust) (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 293, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5775) diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 20
(1) Settlor wajib memenuhi kriteria:
a. nasabah korporasi atau nasabah perorangan; dan
b. bukan merupakan pihak terafiliasi dengan Bank.
(2) Settlor dapat bertindak sebagai Beneficiary.
Pasal II
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 4 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Juli 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Juli 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 139
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 25 /POJK.03/2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 27/POJK.03/2015 TENTANG KEGIATAN USAHA BANK BERUPA
PENITIPAN DENGAN PENGELOLAAN (TRUST)
I. UMUM
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak
yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dan
mendorong pertumbuhan perekonomian serta meningkatkan
kesadaran dan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan
masyarakat Indonesia maka diperlukan kebijakan pendukung untuk
pelaksanaan Undang-Undang dimaksud.
Salah satu bentuk kebijakan pendukung di industri jasa keuangan
untuk mendorong masuknya dana repatriasi dan menempatkannya di
perbankan antara lain melalui kegiatan penitipan dengan pengelolaan
(trust).
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dalam rangka
memberikan landasan hukum bagi industri perbankan untuk dapat
menerima nasabah Settlor baik dalam bentuk korporasi maupun
perorangan maka diperlukan penyempurnaan atas Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 27/POJK.03/2015 tentang Kegiatan Usaha
Bank Berupa Penitipan Dengan Pengelolaan (Trust).
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pihak terafiliasi” adalah
pihak terafiliasi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Perbankan dan Undang-
Undang tentang Perbankan Syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5902
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 25/POJK.03/2016 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 27/POJK.03/2015 TENTANG KEGIATAN USAHA BANK BERUPA PENITIPAN DENGAN PENGELOLAAN (TRUST) </reg_title>
<set_date> 14 Juli 2016 </set_date>
<effective_date> 15 Juli 2016 </effective_date>
<issued_date> 15 Juli 2016 </issued_date>
<changed_reg> '27/POJK.03/2015' </changed_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '27/POJK.03/2015', '11/UU/2016', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 56 /POJK.04/2015
TENTANG
PEMBENTUKAN DAN PEDOMAN PENYUSUNAN
PIAGAM UNIT AUDIT INTERNAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor Pasar Modal termasuk terkait dengan pengaturan
mengenai pembentukan dan pedoman penyusunan
piagam Unit Audit Internal beralih dari Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai pengaturan terhadap pembentukan dan
pedoman penyusunan piagam Unit Audit Internal, maka
peraturan mengenai Pembentukan dan Pedoman
Penyusunan Piagam Unit Audit Internal yang diterbitkan
sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu
diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan huruf b, maka perlu diterbitkan
peraturan mengenai Pembentukan dan
- 2 -
Pedoman Penyusunan Piagam Unit Audit Internal dengan
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEMBENTUKAN DAN PEDOMAN PENYUSUNAN
PIAGAM UNIT AUDIT INTERNAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Audit Internal adalah suatu kegiatan pemberian
keyakinan dan konsultasi yang bersifat independen dan
objektif, dengan tujuan untuk meningkatkan nilai dan
memperbaiki operasional perusahaan, melalui pendekatan
yang sistematis, dengan cara mengevaluasi dan
meningkatkan efektivitas manajemen risiko,
pengendalian, dan proses tata kelola perusahaan.
2. Unit Audit Internal adalah unit kerja dalam Emiten atau
Perusahaan Publik yang menjalankan fungsi Audit
Internal.
- 3 -
Pasal 2
Penggunaan nama atau istilah untuk Unit Audit Internal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 dapat
ditetapkan oleh masing-masing Emiten atau Perusahaan
Publik.
BAB II
UNIT AUDIT INTERNAL
Bagian Kesatu
Pembentukan
Pasal 3
Emiten atau Perusahaan Publik wajib memiliki Unit Audit
Internal.
Bagian Kedua
Struktur Dan Kedudukan
Pasal 4
(1) Unit Audit Internal terdiri dari 1 (satu) orang auditor
internal atau lebih.
(2) Unit Audit Internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipimpin oleh seorang kepala Unit Audit Internal.
(3) Dalam hal Unit Audit Internal terdiri dari 1 (satu) orang
auditor internal, auditor internal dimaksud juga bertindak
sebagai kepala Unit Audit Internal.
(4) Jumlah auditor internal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disesuaikan dengan besaran dan tingkat kompleksitas
kegiatan usaha Emiten atau Perusahaan Publik.
Pasal 5
(1) Kepala Unit Audit Internal diangkat dan diberhentikan
oleh direktur utama atas persetujuan Dewan Komisaris.
(2) Kepala Unit Audit Internal bertanggung jawab kepada
direktur utama.
(3) Dalam hal kepala Unit Audit Internal tidak memenuhi
persyaratan sebagai auditor internal dalam Unit Audit
- 4 -
Internal sebagaimana diatur dalam peraturan ini
dan/atau gagal atau tidak cakap dalam menjalankan
tugas, Direktur utama dapat memberhentikan kepala Unit
Audit Internal dimaksud, setelah mendapat persetujuan
Dewan Komisaris.
(4) Auditor internal dalam Unit Audit Internal bertanggung
jawab secara langsung kepada kepala Unit Audit Internal.
Bagian Ketiga
Persyaratan Auditor Internal
Pasal 6
Auditor internal dalam Unit Audit Internal wajib memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki integritas dan perilaku yang profesional,
independen, jujur, dan objektif dalam pelaksanaan
tugasnya;
b. memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai teknis
audit dan disiplin ilmu lain yang relevan dengan bidang
tugasnya;
c. memiliki pengetahuan tentang peraturan perundang-
undangan di bidang Pasar Modal dan peraturan
perundang-undangan terkait lainnya;
d. memiliki kecakapan untuk berinteraksi dan
berkomunikasi baik lisan maupun tertulis secara efektif;
e. mematuhi standar profesi yang dikeluarkan oleh asosiasi
Audit Internal;
f. mematuhi kode etik Audit Internal;
g. menjaga kerahasiaan informasi dan/atau data
perusahaan terkait dengan pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab Audit Internal kecuali diwajibkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan atau
penetapan atau putusan pengadilan;
h. memahami prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan
manajemen risiko; dan
i.
bersedia meningkatkan pengetahuan, keahlian, dan
kemampuan profesionalismenya secara terus-menerus.
- 5 -
Bagian Keempat
Tugas, Tanggung Jawab, dan Wewenang
Pasal 7
Unit Audit Internal mempunyai tugas dan tanggung jawab
paling sedikit:
a. menyusun dan melaksanakan rencana Audit Internal
tahunan;
b. menguji dan mengevaluasi pelaksanaan pengendalian
internal dan sistem manajemen risiko sesuai dengan
kebijakan perusahaan;
c. melakukan pemeriksaan dan penilaian atas efisiensi dan
efektivitas di bidang keuangan, akuntansi, operasional,
sumber daya manusia, pemasaran, teknologi informasi,
dan kegiatan lainnya;
d. memberikan saran perbaikan dan informasi yang objektif
tentang kegiatan yang diperiksa pada semua tingkat
manajemen;
e. membuat laporan hasil audit dan menyampaikan laporan
tersebut kepada direktur utama dan Dewan Komisaris;
f. memantau, menganalisis dan melaporkan pelaksanaan
tindak lanjut perbaikan yang telah disarankan;
g. bekerja sama dengan Komite Audit;
h. menyusun program untuk mengevaluasi mutu kegiatan
audit internal yang dilakukannya; dan
i. melakukan pemeriksaan khusus apabila diperlukan.
Pasal 8
Unit Audit Internal mempunyai wewenang paling sedikit:
a. mengakses seluruh informasi yang relevan tentang
perusahaan terkait dengan tugas dan fungsinya;
b. melakukan komunikasi secara langsung dengan Direksi,
Dewan Komisaris, dan/atau Komite Audit serta anggota
dari Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Komite Audit;
c. mengadakan rapat secara berkala dan insidentil dengan
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Komite Audit; dan
- 6 -
d. melakukan koordinasi kegiatannya dengan kegiatan
auditor eksternal.
BAB III
PIAGAM AUDIT INTERNAL
Pasal 9
Emiten atau Perusahaan Publik wajib memiliki piagam Audit
Internal yang paling sedikit memuat:
a. struktur dan kedudukan Unit Audit Internal;
b. tugas dan tanggung jawab Unit Audit Internal;
c. wewenang Unit Audit Internal;
d. kode etik Unit Audit Internal yang mengacu pada kode etik
yang ditetapkan oleh asosiasi Audit Internal yang ada di
Indonesia atau kode etik Audit Internal yang lazim berlaku
secara internasional;
e. persyaratan auditor internal dalam Unit Audit Internal;
f. pertanggungjawaban Unit Audit Internal; dan
g. larangan perangkapan tugas dan jabatan auditor internal
dan pelaksana dalam Unit Audit Internal dari pelaksanaan
kegiatan operasional perusahaan baik di Emiten atau
Perusahaan Publik maupun anak perusahaannya.
Pasal 10
Piagam Unit Audit Internal ditetapkan oleh Direksi setelah
mendapat persetujuan Dewan Komisaris.
BAB IV
PELAPORAN
Pasal 11
Setiap pengangkatan, penggantian, atau pemberhentian kepala
Unit Audit Internal segera diberitahukan kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
BAB V
KETENTUAN SANKSI
- 7 -
Pasal 12
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g
dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan
sanksi administratif berupa peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 13
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan
tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
- 8 -
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor: KEP-496/BL/2008 tanggal 28 November
2008 tentang Pembentukan dan Pedoman Penyusunan Piagam
Unit Audit Internal beserta Peraturan Nomor IX.I.7 yang
merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 15
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya,
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H.LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 407
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
memerintahkan
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 56 /POJK.04/2015
TENTANG
PEMBENTUKAN DAN PEDOMAN PENYUSUNAN
PIAGAM UNIT AUDIT INTERNAL
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal,
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar
Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK terkait
sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan
dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
untuk melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK yaitu Peraturan
Nomor IX.I.7, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor: KEP-496/BL/2008 tentang Pembentukan dan Pedoman
Penyusunan Piagam Unit Audit Internal tanggal 28 November 2008.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5825
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 56/POJK.04/2015 </reg_id>
<reg_title> PEMBENTUKAN DAN PEDOMAN PENYUSUNAN PIAGAM UNIT AUDIT INTERNAL </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 29 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date>
<replaced_reg> 'KEP-496/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008', 'KEP-496/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 | Lampiran Peraturan Nomor IX.I.7' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 26 /POJK.04/2017
TENTANG
KETERBUKAAN INFORMASI BAGI EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK
YANG DIMOHONKAN PERNYATAAN PAILIT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai
keterbukaan informasi bagi emiten atau perusahaan
publik yang dimohonkan pernyataan pailit beralih dari
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke
Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai pengaturan terhadap keterbukaan informasi
bagi emiten atau perusahaan publik yang dimohonkan
pernyataan pailit, ketentuan peraturan perundang-
undangan di sektor pasar modal mengenai keterbukaan
informasi bagi emiten atau perusahaan publik yang
dimohonkan pernyataan pailit yang diterbitkan sebelum
terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
- 2 -
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Keterbukaan
Informasi bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang
Dimohonkan Pernyataan Pailit;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
KETERBUKAAN INFORMASI BAGI EMITEN ATAU
PERUSAHAAN PUBLIK YANG DIMOHONKAN PERNYATAAN
PAILIT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Emiten adalah pihak yang melakukan Penawaran Umum.
2. Perusahaan Publik adalah perseroan yang sahamnya
telah dimiliki paling sedikit oleh 300 (tiga ratus)
pemegang saham dan memiliki modal disetor paling
sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau
suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
3. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan
utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda
bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif,
- 3 -
kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari
Efek.
4. Bursa Efek adalah pihak yang menyelenggarakan dan
menyediakan sistem dan/atau sarana untuk
mempertemukan penawaran jual dan beli Efek pihak lain
dengan tujuan memperdagangkan Efek di antara mereka.
5. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang
dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada
masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal serta peraturan pelaksanaannya.
Pasal 2
Emiten atau Perusahaan Publik yang gagal atau tidak mampu
menghindari kegagalan untuk membayar kewajibannya
terhadap pemberi pinjaman yang tidak terafiliasi wajib
menyampaikan laporan mengenai hal tersebut kepada
Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek dimana Efek Emiten
atau Perusahaan Publik tercatat, sesegera mungkin paling
lambat 2 (dua) hari kerja sejak Emiten atau Perusahaan
Publik mengalami kegagalan atau mengetahui
ketidakmampuan menghindari kegagalan dimaksud.
Pasal 3
Dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik diajukan ke
pengadilan untuk dimohonkan pernyataan pailit, Emiten atau
Perusahaan Publik wajib menyampaikan laporan mengenai
hal tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek
dimana Efek Emiten atau Perusahaan Publik tercatat,
sesegera mungkin paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak
Emiten atau Perusahaan Publik mengetahui adanya
permohonan pernyataan pailit.
Pasal 4
Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang
mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan
- 4 -
terhadap Emiten atau Perusahaan Publik wajib
menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan
Bursa Efek dimana Efek Emiten atau Perusahaan Publik
tercatat mengenai hal tersebut, sesegera mungkin paling
lambat 2 (dua) hari kerja sejak pengajuan permohonan
pernyataan pailit.
Pasal 5
Bursa Efek wajib mengumumkan informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 yang diterima
oleh Bursa Efek, di Bursa Efek pada hari yang sama dengan
diterimanya informasi tersebut.
BAB II
KETENTUAN SANKSI
Pasal 6
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f.
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
pembatalan persetujuan; dan/atau
- 5 -
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 7
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 8
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 kepada masyarakat.
BAB III
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 9
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor Kep-46/PM/1998 tentang Keterbukaan Informasi bagi
Emiten atau Perusahaan Publik yang Dimohonkan Pernyataan
Pailit, beserta Peraturan Nomor X.K.5 yang merupakan
lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 10
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 6 -
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 126
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 26 /POJK.04/2017
TENTANG
KETERBUKAAN INFORMASI BAGI EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK
YANG DIMOHONKAN PERNYATAAN PAILIT
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan
lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar
modal yang mengatur mengenai keterbukaan informasi bagi Emiten atau
Perusahaan Publik yang dimohonkan pernyataan pailit yaitu Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-46/PM/1998 tentang
Keterbukaan Informasi bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang
Dimohonkan Pernyataan Pailit, beserta Peraturan Nomor X.K.5 yang
merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
- 2 -
tentang Keterbukaan Informasi bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang
Dimohonkan Pernyataan Pailit.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Yang dimaksud dengan “pemberi pinjaman” adalah kreditur
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.
Informasi yang dimuat dalam laporan yang disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek memuat antara lain rincian
mengenai pinjaman termasuk:
a. jumlah pokok dan bunga;
b. jangka waktu pinjaman;
c. nama pemberi pinjaman;
d. penggunaan pinjaman; dan
e. alasan kegagalan atau ketidakmampuan menghindari kegagalan.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan “mengetahui” antara lain diterimanya
panggilan sidang dari pengadilan kepada Emiten atau Perusahaan
Publik.
Informasi yang dimuat dalam laporan yang disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek memuat antara lain:
a. nama pemberi pinjaman yang mengajukan pailit;
b. ringkasan permohonan pernyataan pailit; dan
c. jumlah pinjaman lainnya.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa
penundaan pemberian pernyataan efektif untuk pernyataan
pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6073
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 6/POJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> PERLAKUAN AKUNTANSI ATAS TRANSAKSI BERDASARKAN PERJANJIAN JUAL BELI TENAGA LISTRIK </reg_title>
<set_date> 1 Maret 2017 </set_date>
<effective_date> 2 Maret 2017 </effective_date>
<issued_date> 2 Maret 2017 </issued_date>
<related_reg> '4/PERPRES/2016', '21/UU/2011', '8/UU/1995', '14/PERPRES/2017' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 11 /POJK.03/2016
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem perbankan
yang sehat dan mampu berkembang serta bersaing
secara nasional maupun internasional, bank perlu
meningkatkan kemampuan untuk menyerap risiko
yang disebabkan oleh kondisi krisis dan/atau
pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan;
b. bahwa dalam rangka meningkatkan kemampuan bank
untuk menyerap risiko, diperlukan peningkatan
kualitas dan kuantitas permodalan bank sesuai
standar internasional;
c. bahwa peningkatan kualitas modal dilakukan melalui
penyesuaian persyaratan komponen dan instrumen
modal bank serta penyesuaian rasio-rasio permodalan;
d. bahwa dalam rangka meningkatkan kuantitas modal,
bank perlu membentuk tambahan modal di atas
persyaratan penyediaan modal minimum sesuai profil
risiko yang berfungsi sebagai penyangga (buffer)
apabila terjadi krisis keuangan dan ekonomi yang
dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan;
- 2 -
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d,
perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank
Umum;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK
UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri,
yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
- 3 -
2. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015;
2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada
Bank yang belum berubah bentuk menjadi
Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah sesuai Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015;
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi
adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
d. bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri
adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat satu
tingkat di bawah pemimpin kantor cabang.
3. Dewan Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan
pengawas sebagaimana dimaksud dalam
- 4 -
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015;
2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah
komisaris sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015;
3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada
Bank yang belum berubah bentuk menjadi
Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah sesuai Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015;
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi
adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
d. bagi bank yang berstatus sebagai kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri
adalah pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan
fungsi pengawasan.
4. Perusahaan Anak adalah badan hukum atau
perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh
Bank secara langsung maupun tidak langsung, baik di
dalam maupun di luar negeri, yang melakukan
kegiatan usaha di bidang keuangan, yang terdiri atas:
a. perusahaan subsidiari (subsidiary company) yaitu
Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank lebih
dari 50% (lima puluh persen);
b. perusahaan partisipasi (participation company)
adalah Perusahaan Anak dengan kepemilikan
Bank sebesar 50% (lima puluh persen) atau
- 5 -
kurang, namun Bank memiliki pengendalian
terhadap perusahaan;
c. perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih dari
20% (dua puluh persen) sampai dengan 50% (lima
puluh persen) yang memenuhi persyaratan:
1) kepemilikan Bank dan para pihak lainnya
pada Perusahaan Anak masing-masing sama
besar; dan
2) masing-masing pemilik melakukan
pengendalian secara bersama terhadap
Perusahaan Anak;
d. entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi
keuangan harus dikonsolidasikan,
namun tidak termasuk perusahaan asuransi dan
perusahaan yang dimiliki dalam rangka
restrukturisasi kredit.
5. Pengendalian adalah pengendalian sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai
penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi
konglomerasi keuangan.
6. Capital Equivalency Maintained Assets, yang
selanjutnya disingkat CEMA, adalah alokasi dana
usaha kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri yang wajib ditempatkan pada aset
keuangan dalam jumlah dan persyaratan tertentu.
7.
Internal Capital Adequacy Assessment Process, yang
selanjutnya disingkat ICAAP, adalah proses yang
dilakukan Bank untuk menetapkan kecukupan modal
sesuai profil risiko Bank dan penetapan strategi untuk
memelihara tingkat permodalan.
8. Supervisory Review and Evaluation Process, yang
selanjutnya disingkat SREP, adalah proses kaji ulang
yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan atas hasil
ICAAP Bank.
9. Capital Conservation Buffer adalah tambahan modal
yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) apabila
terjadi kerugian pada periode krisis.
- 6 -
10. Countercyclical Buffer adalah tambahan modal yang
berfungsi sebagai penyangga (buffer) untuk
mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan
kredit perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi
mengganggu stabilitas sistem keuangan.
11. Capital Surcharge untuk Domestic Systemically
Important Bank, yang selanjutnya disebut Capital
Surcharge untuk D-SIB, adalah tambahan modal yang
berfungsi untuk mengurangi dampak negatif terhadap
stabilitas sistem keuangan dan perekonomian apabila
terjadi kegagalan Bank yang berdampak sistemik
melalui peningkatan kemampuan Bank dalam
menyerap kerugian.
12. Risiko Kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur
dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban
kepada Bank.
13. Risiko Pasar adalah risiko pada posisi neraca dan
rekening administratif termasuk transaksi derivatif,
akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi
pasar, termasuk risiko perubahan harga option.
14. Risiko Operasional adalah risiko akibat
ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses
internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem,
dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang
mempengaruhi operasional Bank.
15. Trading Book adalah seluruh posisi instrumen
keuangan dalam neraca dan rekening administratif
termasuk transaksi derivatif yang dimiliki Bank
dengan tujuan untuk:
a. diperdagangkan dan dapat dipindahtangankan
dengan bebas atau dapat dilindung nilai secara
keseluruhan, baik dari transaksi untuk
kepentingan sendiri (proprietary positions), atas
permintaan nasabah maupun kegiatan
perantaraan (brokering), dan dalam rangka
pembentukan pasar (market making), yang
meliputi:
- 7 -
1)
2)
posisi yang dimiliki untuk dijual kembali
dalam jangka pendek;
posisi yang dimiliki untuk tujuan
memperoleh keuntungan jangka pendek
secara aktual dan/atau potensi dari
pergerakan harga (price movement); atau
3)
posisi yang dimiliki untuk tujuan
mempertahankan keuntungan arbitrase
(locking in arbitrage profits);
b. lindung nilai atas posisi lainnya dalam Trading
Book.
16. Banking Book adalah semua posisi lainnya yang tidak
termasuk dalam Trading Book.
Pasal 2
(1) Bank wajib menyediakan modal minimum sesuai profil
risiko.
(2) Penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan rasio
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM).
(3) Penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan paling rendah:
a. 8% (delapan persen) dari Aset Tertimbang
Menurut Risiko (ATMR) bagi Bank dengan profil
risiko Peringkat 1;
b. 9% (sembilan persen) sampai dengan kurang dari
10% (sepuluh persen) dari ATMR bagi Bank
dengan profil risiko Peringkat 2;
c. 10% (sepuluh persen) sampai dengan kurang dari
11% (sebelas persen) dari ATMR bagi Bank
dengan profil risiko Peringkat 3; atau
d. 11% (sebelas persen) sampai dengan 14% (empat
belas persen) dari ATMR bagi Bank dengan profil
risiko Peringkat 4 atau Peringkat 5.
(4) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan
modal minimum lebih besar dari modal minimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam hal
- 8 -
Otoritas Jasa Keuangan menilai Bank menghadapi
potensi kerugian yang membutuhkan modal lebih
besar.
(5) Kewajiban pemenuhan modal mínimum sesuai profil
risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan:
a. pemenuhan modal mínimum posisi bulan Maret
sampai dengan bulan Agustus didasarkan pada
peringkat profil risiko posisi bulan Desember
tahun sebelumnya;
b. pemenuhan modal mínimum posisi bulan
September sampai dengan bulan Februari tahun
berikutnya didasarkan pada peringkat profil risiko
posisi bulan Juni;
c. dalam hal terjadi perubahan peringkat profil
risiko di antara periode penilaian profil risiko,
pemenuhan modal minimum didasarkan pada
peringkat profil risiko terakhir.
Pasal 3
(1) Selain kewajiban penyediaan modal minimum sesuai
profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Bank wajib membentuk tambahan modal sebagai
penyangga (buffer) sesuai kriteria yang diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa:
a. Capital Conservation Buffer;
b. Countercyclical Buffer; dan/atau
c. Capital Surcharge untuk D-SIB.
(3) Besarnya tambahan modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur:
a. Capital Conservation Buffer ditetapkan sebesar
2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR;
b. Countercyclical Buffer ditetapkan dalam kisaran
sebesar 0% (nol persen) sampai dengan 2,5% (dua
koma lima persen) dari ATMR;
- 9 -
c. Capital Surcharge untuk D-SIB ditetapkan dalam
kisaran sebesar 1% (satu persen) sampai dengan
2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR.
(4) Besarnya persentase
Countercyclical Buffer
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b
berdasarkan penetapan otoritas yang berwenang.
(5) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan besarnya
persentase Capital Surcharge
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c.
(6) Dalam menetapkan besar Capital Surcharge untuk
D-SIB sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Otoritas
Jasa Keuangan berkoordinasi dengan otoritas yang
berwenang.
(7) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan persentase
Capital Surcharge untuk D-SIB yang lebih besar dari
kisaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c.
(8) Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dipenuhi dengan komponen modal inti
utama (Common Equity Tier 1).
(9) Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (8) diperhitungkan setelah komponen modal
inti utama (Common Equity Tier 1) dialokasikan untuk
memenuhi kewajiban penyediaan:
a. modal inti utama minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3);
b. modal inti minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2); dan
c. modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3).
Pasal 4
(1) Bank yang tergolong sebagai Bank Umum Kegiatan
Usaha (BUKU) 3 dan BUKU 4 wajib membentuk
Capital Conservation Buffer sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a.
untuk D-SIB
- 10 -
(2) Kewajiban pembentukan Countercyclical Buffer
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b
berlaku bagi seluruh Bank.
(3) Bank yang ditetapkan berdampak sistemik wajib
membentuk Capital Surcharge untuk D-SIB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c.
Pasal 5
(1) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Bank yang
berdampak sistemik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3).
(2) Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan otoritas
yang berwenang dalam menetapkan Bank yang
berdampak sistemik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Pasal 6
(1) Kewajiban Bank untuk membentuk tambahan modal
berupa Capital Conservation Buffer sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a berlaku
secara bertahap mulai tanggal 1 Januari 2016.
(2) Pembentukan Capital Conservation Buffer sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi secara
bertahap:
a. sebesar 0,625% (nol koma enam ratus
dua puluh lima persen) dari ATMR mulai tanggal
1 Januari 2016;
b. sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima persen)
dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2017;
c. sebesar 1,875% (satu koma delapan ratus tujuh
puluh lima persen) dari ATMR mulai tanggal
1 Januari 2018; dan
d. sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR
mulai tanggal 1 Januari 2019.
(3) Kewajiban Bank untuk membentuk tambahan modal
berupa Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud
- 11 -
dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 2016.
(4) Kewajiban Bank untuk membentuk Capital Surcharge
untuk D-SIB bagi Bank yang ditetapkan berdampak
sistemik
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3) huruf c mulai berlaku pada tanggal
1 Januari 2016.
(5) Metode perhitungan dan tata cara pembentukan
Capital Surcharge untuk D-SIB diatur lebih lanjut
dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan.
(6) Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan otoritas
yang berwenang dalam menetapkan metode
perhitungan dan tata cara pembentukan Capital
Surcharge untuk D-SIB sebagaimana dimaksud
pada ayat (5).
Pasal 7
Dalam hal Bank memiliki dan/atau melakukan
Pengendalian terhadap Perusahaan Anak, kewajiban
penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dan kewajiban pembentukan tambahan modal
sebagai penyangga (buffer) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 berlaku bagi Bank baik secara individu maupun
secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak.
Pasal 8
(1) Bank dilarang melakukan distribusi laba jika
distribusi laba dimaksud mengakibatkan kondisi
permodalan Bank tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 baik secara
individu maupun secara
konsolidasi dengan
Perusahaan Anak.
(2) Bank dikenakan pembatasan distribusi laba jika
distribusi laba mengakibatkan kondisi permodalan
Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 baik secara individu maupun
secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak.
- 12 -
(3) Bank wajib melaksanakan pembatasan distribusi laba
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan pembatasan
distribusi laba sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
BAB II
MODAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 9
(1) Modal bagi Bank yang berkantor pusat di Indonesia
terdiri atas:
a. modal inti (Tier 1) yang meliputi:
1. modal inti utama (Common Equity Tier 1);
2. modal inti tambahan (Additional Tier 1); dan
b. modal pelengkap (Tier 2).
(2) Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memperhitungkan
pengurang modal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 dan Pasal 22.
(3) Dalam perhitungan modal secara konsolidasi,
komponen modal Perusahaan Anak yang dapat
diperhitungkan sebagai modal inti utama, modal inti
tambahan, dan modal pelengkap harus memenuhi
persyaratan yang berlaku untuk masing-masing
komponen modal sebagaimana diterapkan bagi Bank
secara individu.
(4) Dalam perhitungan modal secara konsolidasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) untuk modal
inti tambahan dan modal pelengkap yang diterbitkan
oleh Perusahaan Anak bukan Bank harus:
a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3); dan
b. memiliki fitur untuk dikonversi menjadi saham
biasa atau mekanisme write down, dalam hal
faktor-faktor yang menjadi
- 13 -
Bank secara konsolidasi berpotensi terganggu
kelangsungan usahanya (point of non-viability).
(5) Fitur untuk dikonversi menjadi saham biasa atau
mekanisme write down sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) huruf b dinyatakan secara jelas dalam
dokumentasi penerbitan.
Pasal 10
(1) Modal bagi kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri terdiri atas:
a. dana usaha;
b. laba ditahan dan laba tahun lalu setelah
dikeluarkan pengaruh faktor-faktor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2);
c. laba tahun berjalan setelah dikeluarkan pengaruh
faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (2);
d. cadangan umum;
e. saldo surplus revaluasi aset tetap;
f. pendapatan komprehensif lainnya berupa potensi
keuntungan yang berasal dari peningkatan nilai
wajar aset keuangan yang diklasifikasikan dalam
kelompok tersedia untuk dijual;
g. cadangan tujuan; dan
h. cadangan umum Penyisihan Penghapusan Aset
(PPA) atas aset produktif dengan perhitungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1)
huruf c.
(2) Modal bagi kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib memperhitungkan faktor-faktor
yang menjadi pengurang modal sebagaimana diatur
dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b, Pasal 17, dan
Pasal 22.
(3) Perhitungan dana usaha sebagai komponen modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilakukan dalam hal:
- 14 -
a.
posisi dana usaha yang sebenarnya (actual dana
usaha) lebih besar dari dana usaha yang
dinyatakan (declared dana usaha), yang
diperhitungkan adalah dana usaha yang
dinyatakan;
b.
posisi dana usaha yang sebenarnya (actual dana
usaha) lebih kecil dari dana usaha yang
dinyatakan (declared dana usaha), yang
diperhitungkan adalah dana usaha yang
sebenarnya;
c.
posisi dana usaha yang sebenarnya negatif,
menjadi faktor pengurang komponen modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Kedua
Modal Inti
Pasal 11
(1) Modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. modal inti utama (Common Equity Tier 1) yang
mencakup:
1. modal disetor;
2. cadangan tambahan modal (disclosed
reserve); dan
b. modal inti tambahan (Additional Tier 1).
(2) Bank wajib menyediakan modal inti paling rendah
sebesar 6% (enam persen) dari ATMR baik secara
individu maupun secara konsolidasi dengan
Perusahaan Anak.
(3) Bank wajib menyediakan modal inti utama paling
rendah sebesar 4,5% (empat koma lima persen) dari
ATMR baik secara individu maupun secara konsolidasi
dengan Perusahaan Anak.
- 15 -
Pasal 12
Instrumen modal disetor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) huruf a angka 1 wajib memenuhi
persyaratan:
a. diterbitkan dan telah dibayar penuh;
b. bersifat subordinasi terhadap komponen modal lain;
c. bersifat permanen;
d. tersedia untuk menyerap kerugian yang terjadi
sebelum likuidasi maupun pada saat likuidasi;
e. perolehan imbal hasil tidak dapat dipastikan dan tidak
dapat diakumulasikan antar periode;
f.
tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau
Perusahaan Anak;
g. memiliki karakteristik pembayaran dividen atau imbal
hasil:
1. berasal dari saldo laba dan/atau laba tahun
berjalan;
2. tidak memiliki nilai yang pasti dan tidak terkait
dengan nilai yang dibayarkan atas instrumen
modal;
3. tidak memiliki fitur preferensi; dan
h. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank penerbit
baik secara langsung atau tidak langsung.
Pasal 13
Pembelian kembali saham (treasury stock) yang telah diakui
sebagai komponen modal disetor, wajib memenuhi
persyaratan:
a. setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penerbitan;
b. untuk tujuan tertentu;
c. dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan;
d. telah memperoleh persetujuan
Keuangan; dan
Otoritas Jasa
e.
tidak menyebabkan penurunan modal di bawah
persyaratan minimum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7.
- 16 -
Pasal 14
(1) Cadangan tambahan modal (disclosed reserve)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
huruf a angka 2 terdiri atas:
a. faktor penambah, yaitu:
1. agio yang berasal dari penerbitan instrumen
yang tergolong sebagai modal inti utama
(Common Equity Tier 1);
2. modal sumbangan;
3. cadangan umum;
4. laba tahun-tahun lalu;
5. laba tahun berjalan;
6. selisih lebih penjabaran laporan keuangan;
7. dana setoran modal, yang memenuhi
persyaratan:
a)
telah disetor penuh untuk tujuan
penambahan modal namun belum
didukung dengan kelengkapan
persyaratan untuk dapat digolongkan
sebagai modal disetor seperti
pelaksanaan rapat umum pemegang
saham maupun pengesahan anggaran
dasar dari instansi yang berwenang;
b) ditempatkan pada rekening khusus
(escrow account) yang tidak diberikan
imbal hasil;
c)
tidak boleh ditarik kembali oleh
pemegang saham atau calon pemegang
saham dan tersedia untuk menyerap
kerugian; dan
d) penggunaan dana harus dengan
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan;
8. waran yang diterbitkan sebagai insentif
kepada pemegang saham Bank yang diakui
sebesar 50% (lima puluh persen) dari nilai
wajar dan harus memenuhi persyaratan:
- 17 -
a) instrumen yang mendasari adalah
saham biasa;
b) tidak dapat dikonversi ke dalam bentuk
selain saham; dan
c)
nilai yang diperhitungkan adalah nilai
wajar dari waran pada tanggal
penerbitannya;
9. opsi saham (stock option) yang diterbitkan
melalui program kompensasi pegawai atau
manajemen berbasis saham (employee atau
management stock option) yang diakui
sebesar 50% (lima puluh persen), dengan
memenuhi persyaratan:
a) instrumen yang mendasari adalah
saham biasa;
b) tidak dapat dikonversi ke dalam bentuk
selain saham; dan
c)
nilai yang diperhitungkan adalah nilai
wajar dari stock option pada tanggal
pemberian kompensasi;
10. pendapatan komprehensif lainnya berupa
potensi keuntungan yang berasal dari
peningkatan nilai wajar aset keuangan yang
dikategorikan sebagai kelompok tersedia
untuk dijual; dan
11. saldo surplus revaluasi aset tetap;
b. faktor pengurang, yaitu:
1. disagio yang berasal dari penerbitan
instrumen yang tergolong sebagai modal inti
utama (Common Equity Tier 1);
2. rugi tahun-tahun lalu;
3. rugi tahun berjalan;
4. selisih kurang penjabaran laporan keuangan;
5. pendapatan komprehensif lainnya berupa:
a) potensi kerugian yang berasal dari
penurunan nilai wajar aset keuangan
- 18 -
yang dikategorikan sebagai kelompok
tersedia untuk dijual; dan
b) kerugian atas pengukuran kembali atas
program pensiun manfaat pasti;
6.
selisih kurang antara PPA atas aset produktif
dan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai
(CKPN) atas aset produktif;
7.
selisih kurang antara jumlah penyesuaian
terhadap hasil valuasi dari instrumen
keuangan dalam Trading Book dan jumlah
penyesuaian berdasarkan standar akuntansi
keuangan; dan
8. PPA non-produktif.
(2) Dalam perhitungan laba rugi tahun-tahun lalu
dan/atau tahun berjalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a angka 4 dan angka 5 harus
dikeluarkan dari pengaruh faktor:
a. peningkatan atau penurunan nilai wajar atas
kewajiban keuangan; dan/atau
b. keuntungan atas penjualan aset dalam transaksi
sekuritisasi (gain on sale).
Pasal 15
(1) Instrumen modal inti tambahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b wajib
memenuhi persyaratan:
a. diterbitkan dan telah dibayar penuh;
b. tidak memiliki jangka waktu dan tidak terdapat
persyaratan yang mewajibkan pelunasan oleh
Bank di masa mendatang;
c. pembelian kembali atau pembayaran pokok
instrumen harus mendapat persetujuan
pengawas;
d. tidak memiliki fitur step-up;
e. memiliki fitur untuk dikonversi menjadi saham
biasa atau mekanisme write down dalam hal
Bank berpotensi terganggu
kelangsungan
- 19 -
usahanya (point of non-viability) yang dinyatakan
secara jelas dalam dokumentasi penerbitan atau
perjanjian;
f.
bersifat subordinasi pada saat likuidasi, yang
secara jelas dinyatakan dalam dokumentasi
penerbitan atau perjanjian;
g. perolehan imbal hasil tidak dapat dipastikan baik
jumlah maupun waktu dan tidak dapat
diakumulasikan antar periode;
h. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau
Perusahaan Anak;
i.
tidak memiliki fitur pembayaran dividen atau
imbal hasil yang sensitif terhadap Risiko Kredit;
j. dalam hal disertai dengan fitur opsi beli (call
option), harus memenuhi persyaratan:
1. hanya dapat dieksekusi paling cepat 5 (lima)
tahun setelah instrumen modal diterbitkan;
dan
2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan
bahwa opsi hanya dapat dieksekusi atas
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan;
k. tidak dapat dibeli oleh Bank penerbit dan/atau
Perusahaan Anak;
l. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank
penerbit baik secara langsung maupun tidak
langsung;
m. tidak memiliki fitur yang menghambat proses
penambahan modal pada masa mendatang; dan
n. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan untuk diperhitungkan sebagai
komponen modal.
(2) Eksekusi opsi beli (call option) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf j angka 1 dan angka 2 hanya dapat
dilakukan oleh Bank sepanjang:
a.
telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan;
- 20 -
b. tidak menyebabkan penurunan modal dibawah
persyaratan minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7; dan
c. digantikan dengan instrumen modal yang
mempunyai kualitas sama atau lebih baik.
Pasal 16
(1) Dalam perhitungan rasio KPMM secara konsolidasi,
kepentingan non-pengendali (non-controlling interest)
wajib diperhitungkan sebagai modal inti utama kecuali
terdapat bagian dari kepentingan non-pengendali yang
tidak sesuai dengan persyaratan komponen modal inti
utama.
(2) Kepentingan non-pengendali sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diperhitungkan dalam modal inti
utama secara konsolidasi apabila kepemilikan Bank
pada Perusahaan Anak lebih dari 50% (lima puluh
persen) dan memenuhi persyaratan:
a. Perusahaan Anak berupa Bank;
b. terdapat keterkaitan atau afiliasi antara
pemegang saham
non-pengendali pada
Perusahaan Anak dengan Bank; dan
c. terdapat komitmen dari pemegang saham
non-pengendali pada Perusahaan Anak untuk
mendukung modal kelompok usaha Bank yang
dinyatakan dalam surat pernyataan atau
keputusan rapat umum pemegang saham
Perusahaan Anak.
Pasal 17
(1) Modal inti utama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 1 diperhitungkan
dengan faktor pengurang berupa:
a. perhitungan pajak tangguhan (deferred tax);
b. goodwill;
c. aset tidak berwujud;
d. seluruh penyertaan Bank yang meliputi:
- 21 -
1. penyertaan Bank kepada Perusahaan Anak
kecuali penyertaan modal sementara Bank
kepada Perusahaan Anak dalam rangka
restrukturisasi kredit;
2. penyertaan kepada perusahaan atau badan
hukum dengan kepemilikan Bank lebih dari
20% (dua puluh persen) sampai dengan 50%
(lima puluh persen) namun Bank tidak
memiliki Pengendalian; dan
3. penyertaan kepada perusahaan asuransi;
e. kekurangan modal (shortfall) dari pemenuhan
tingkat rasio solvabilitas minimum (Risk Based
Capital atau RBC minimum) pada perusahaan
asuransi yang dimiliki dan dikendalikan oleh
Bank;
f.
g.
eksposur sekuritisasi;
faktor pengurang modal inti utama lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
(2) Faktor pengurang modal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d dan huruf e tidak diperhitungkan lagi
dalam ATMR untuk Risiko Kredit.
Bagian Ketiga
Modal Pelengkap
Pasal 18
Modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf b hanya dapat diperhitungkan paling tinggi
sebesar 100% (seratus persen) dari modal inti sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a.
Pasal 19
(1) Instrumen modal pelengkap sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b wajib memenuhi
persyaratan:
a. diterbitkan dan telah dibayar penuh;
- 22 -
b. memiliki jangka waktu 5 (lima) tahun atau lebih
dan hanya dapat dilunasi setelah memperoleh
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan;
c. memiliki fitur untuk dikonversi menjadi saham
biasa atau mekanisme write down dalam hal
Bank berpotensi terganggu
kelangsungan
usahanya (point of non-viability), yang dinyatakan
secara jelas dalam dokumentasi penerbitan atau
perjanjian;
d.
bersifat subordinasi yang dinyatakan dalam
dokumentasi penerbitan atau perjanjian;
e. pembayaran pokok dan/atau imbal hasil
ditangguhkan dan diakumulasikan antar periode
(cummulative) apabila pembayaran dapat
menyebabkan rasio KPMM secara individu atau
secara konsolidasi tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3,
dan Pasal 7;
f.
g.
tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau
Perusahaan Anak;
tidak memiliki fitur pembayaran dividen atau
imbal hasil yang sensitif terhadap Risiko Kredit;
h. tidak memiliki fitur step-up;
i.
apabila disertai dengan fitur opsi beli (call option),
harus memenuhi persyaratan:
1. hanya dapat dieksekusi paling cepat 5 (lima)
tahun setelah instrumen modal diterbitkan;
dan
2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan
bahwa opsi hanya dapat dieksekusi atas
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan;
j.
tidak memiliki persyaratan percepatan
pembayaran bunga atau pokok yang dinyatakan
dalam dokumentasi penerbitan atau perjanjian;
k. tidak dapat dibeli oleh Bank penerbit dan/atau
Perusahaan Anak;
- 23 -
l. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank
penerbit baik secara langsung maupun tidak
langsung; dan
m. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan untuk diperhitungkan sebagai
komponen modal.
(2) Eksekusi opsi beli (call option) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf i angka 1 dan angka 2 hanya dapat
dilakukan oleh Bank sepanjang:
a.
telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan; dan
b. tidak menyebabkan penurunan modal di bawah
persyaratan minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7 atau
digantikan dengan instrumen modal yang
mempunyai:
1. kualitas sama atau lebih baik; dan
2. dalam jumlah yang sama atau jumlah yang
berbeda sepanjang tidak melebihi batasan
modal pelengkap sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18.
(3) Jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai modal
pelengkap adalah jumlah modal pelengkap dikurangi
amortisasi yang dihitung dengan menggunakan
metode garis lurus.
(4) Amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan untuk sisa jangka waktu instrumen 5 (lima)
tahun terakhir.
(5) Dalam hal terdapat opsi beli (call option), jangka waktu
sampai Bank dapat mengeksekusi opsi beli (call option)
merupakan sisa jangka waktu instrumen.
Pasal 20
(1) Modal pelengkap meliputi:
a. instrumen modal dalam bentuk saham atau
dalam bentuk lainnya yang memenuhi
- 24 -
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19;
b. agio atau disagio yang berasal dari penerbitan
instrumen modal yang tergolong sebagai modal
pelengkap;
c. cadangan umum PPA atas aset produktif yang
wajib dihitung dengan jumlah paling tinggi
sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima persen)
dari ATMR untuk Risiko Kredit; dan
d. cadangan tujuan.
(2) Selisih lebih cadangan umum yang wajib dihitung dari
batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dapat diperhitungkan sebagai faktor pengurang
perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit.
Pasal 21
Bagian dari modal pelengkap yang telah dibentuk cadangan
pelunasan (sinking fund) tidak diperhitungkan sebagai
komponen modal pelengkap, dalam hal Bank:
a. telah menetapkan untuk menyisihkan dan mengelola
dana cadangan pelunasan (sinking fund) secara
khusus; dan
b. telah mempublikasikan pembentukan cadangan
pelunasan (sinking fund), termasuk dalam Rapat
Umum Pemegang Obligasi (RUPO).
Pasal 22
(1) Faktor-faktor yang menjadi pengurang modal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan
Pasal 10 ayat (2) mencakup:
a. pembelian kembali instrumen modal yang telah
diakui sebagai komponen permodalan Bank; dan
b. penempatan dana pada instrumen utang Bank
lain yang diakui sebagai komponen modal oleh
Bank lain (Bank penerbit).
- 25 -
(2) Seluruh faktor pengurang modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak diperhitungkan
lagi dalam ATMR untuk Risiko Kredit.
Pasal 23
Dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), Bank wajib
menyampaikan data pendukung untuk komponen modal
inti tambahan dan modal pelengkap, yang menunjukkan
bahwa komponen modal Perusahaan Anak yang
diperhitungkan telah memenuhi seluruh persyaratan
sebagai komponen modal.
Bagian Keempat
Capital Equivalency Maintained Assets (CEMA)
Pasal 24
(1) Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri wajib memenuhi CEMA minimum.
(2) CEMA minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan sebesar 8% (delapan persen) dari total
kewajiban
kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri pada setiap bulan dan
paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu
triliun rupiah).
(3) Pemenuhan CEMA minimum sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan dengan tahapan:
a. sampai dengan posisi bulan November 2017,
CEMA minimum ditetapkan sebesar 8% (delapan
persen) dari total kewajiban kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri pada
setiap bulan;
b. mulai posisi bulan Desember 2017, CEMA
minimum ditetapkan 8% (delapan persen) dari
total kewajiban kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri pada setiap bulan
- 26 -
dan
paling
sedikit
sebesar
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah).
Pasal 25
(1) CEMA minimum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 ayat (2) wajib dipenuhi dari dana usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
huruf a.
(2) Dana usaha yang dimiliki kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri harus memenuhi
KPMM sesuai profil risiko dan CEMA minimum.
(3) CEMA minimum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 ayat (2) dihitung setiap bulan.
(4) CEMA minimum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 ayat (2) wajib dipenuhi dan ditempatkan
paling lambat tanggal 6 bulan berikutnya.
Pasal 26
(1) Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri wajib menetapkan aset keuangan yang
digunakan untuk memenuhi CEMA minimum.
(2) Aset keuangan yang telah ditetapkan untuk memenuhi
CEMA minimum dilarang dipertukarkan dan diubah
dalam periode pemenuhan CEMA minimum.
(3) Aset keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang memenuhi syarat dan dapat diperhitungkan
sebagai CEMA adalah:
a. surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia dan dimaksudkan untuk
dimiliki hingga jatuh tempo;
b. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank lain
yang berbadan hukum Indonesia dan memenuhi
kriteria:
1. tidak bersifat ekuitas;
2. memiliki peringkat investasi; dan
3. tidak dimaksudkan untuk tujuan
diperdagangkan (trading); dan/atau
- 27 -
c. surat berharga yang diterbitkan oleh korporasi
berbadan hukum Indonesia dan memenuhi
kriteria:
1. tidak bersifat ekuitas;
2. memiliki peringkat surat berharga paling
kurang A+ atau yang setara;
3. tidak dimaksudkan untuk tujuan
diperdagangkan (trading); dan
4. porsi surat berharga korporasi paling banyak
sebesar 20% (dua puluh persen) dari total
CEMA minimum.
(4) Aset keuangan yang digunakan sebagai CEMA harus
bebas dari klaim pihak manapun.
(5) Perhitungan aset keuangan yang digunakan untuk
memenuhi CEMA minimum:
a. untuk aset keuangan yang telah dimiliki oleh
Bank, dihitung berdasarkan nilai tercatat aset
keuangan pada posisi akhir bulan laporan;
b. untuk aset keuangan yang dibeli setelah posisi
akhir bulan laporan, dihitung berdasarkan nilai
tercatat aset keuangan pada posisi pembelian
aset keuangan.
BAB III
ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO (ATMR)
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 27
ATMR yang digunakan dalam perhitungan modal minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan
perhitungan pembentukan tambahan modal sebagai
penyangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)
terdiri atas:
- 28 -
a. ATMR untuk Risiko Kredit;
b. ATMR untuk Risiko Operasional; dan
c. ATMR untuk Risiko Pasar.
Pasal 28
(1) Setiap Bank wajib memperhitungkan ATMR untuk
Risiko Kredit dan ATMR untuk Risiko Operasional.
(2) Selain memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank yang memenuhi kriteria tertentu
wajib memperhitungkan ATMR untuk Risiko Pasar.
Pasal 29
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (2) adalah:
a. Bank yang secara individu memenuhi salah satu
kriteria:
1. Bank dengan total
aset
sebesar
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah)
atau lebih;
2. Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam
valuta asing dengan posisi instrumen keuangan
berupa surat berharga dan/atau transaksi
derivatif dalam Trading Book
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah)
atau lebih; atau
3. Bank yang tidak melakukan kegiatan usaha
dalam valuta asing dengan posisi instrumen
keuangan berupa surat berharga dan/atau
transaksi derivatif suku bunga dalam Trading
Book sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh
lima miliar rupiah) atau lebih,
dan/atau
b. Bank yang secara konsolidasi dengan Perusahaan
Anak memenuhi salah satu kriteria:
1. Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam
valuta asing yang secara konsolidasi dengan
Perusahaan Anak memiliki posisi instrumen
sebesar
- 29 -
keuangan berupa surat berharga termasuk
instrumen keuangan yang terekspos risiko
ekuitas dan/atau transaksi derivatif dalam
Trading Book dan/atau instrumen keuangan yang
terekspos risiko komoditas dalam Trading Book
dan Banking Book sebesar Rp20.000.000.000,00
(dua puluh miliar rupiah) atau lebih;
2. Bank yang tidak melakukan kegiatan usaha
dalam valuta asing namun secara konsolidasi
dengan Perusahaan Anak memiliki posisi
instrumen keuangan berupa surat berharga
termasuk instrumen keuangan yang terekspos
risiko ekuitas dan/atau transaksi derivatif dalam
Trading Book dan/atau instrumen keuangan yang
terekspos risiko komoditas dalam Trading Book
dan Banking Book sebesar Rp25.000.000.000,00
(dua puluh lima miliar rupiah) atau lebih;
c. Bank yang memiliki jaringan kantor dan/atau
Perusahaan Anak di negara lain maupun kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri.
Pasal 30
Aset keuangan yang pada saat pengakuan awal ditetapkan
sebagai aset keuangan yang diukur pada nilai wajar
melalui laporan laba rugi dan kredit yang diklasifikasikan
dalam kelompok diperdagangkan dikecualikan dari
cakupan Trading Book.
Pasal 31
Surat berharga dalam Trading Book hanya mencakup surat
berharga yang diklasifikasikan dalam kelompok
diperdagangkan.
Pasal 32
Bank yang setelah melakukan merger, konsolidasi atau
akuisisi memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 paling sedikit pada 3 (tiga) periode
- 30 -
pelaporan bulanan dalam 6 (enam) bulan pertama setelah
merger, konsolidasi atau akuisisi dinyatakan efektif, wajib
memperhitungkan Risiko Pasar dalam perhitungan rasio
KPMM sejak bulan ke-7 (tujuh) setelah merger, konsolidasi
atau akuisisi dinyatakan efektif.
Pasal 33
Bank yang telah memenuhi kriteria tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 dan Bank yang setelah
melakukan merger, konsolidasi atau akuisisi memenuhi
kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
wajib tetap memperhitungkan Risiko Pasar dalam
kewajiban penyediaan modal minimum walaupun
selanjutnya Bank tidak lagi memenuhi kriteria tertentu.
Bagian Kedua
Risiko Kredit
Pasal 34
(1) Dalam perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit,
terdapat 2 (dua) pendekatan yang dapat digunakan,
yaitu:
a. Pendekatan Standar (Standardized Approach);
dan/atau
b. Pendekatan berdasarkan Internal Rating (Internal
Rating based Approach).
(2) Untuk penerapan tahap awal, perhitungan
ATMR untuk Risiko Kredit wajib dilakukan dengan
menggunakan Pendekatan Standar (Standardized
Approach).
(3) Bank wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu
dari Otoritas Jasa Keuangan untuk dapat
menggunakan pendekatan berdasarkan Internal Rating
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
- 31 -
Bagian Ketiga
Risiko Operasional
Pasal 35
(1) Dalam perhitungan ATMR untuk Risiko Operasional,
terdapat 3 (tiga) pendekatan yang dapat digunakan,
yaitu:
a. Pendekatan Indikator Dasar (Basic Indicator
Approach);
b. Pendekatan Standar (Standardized Approach);
dan/atau
c. Pendekatan yang lebih kompleks (Advanced
Measurement Approach).
(2) Untuk penerapan tahap awal, perhitungan ATMR
untuk Risiko Operasional wajib dilakukan dengan
menggunakan Pendekatan Indikator Dasar (Basic
Indicator Approach).
(3) Bank wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu
dari Otoritas Jasa Keuangan untuk dapat
menggunakan pendekatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dan huruf c.
Bagian Keempat
Risiko Pasar
Pasal 36
(1) Risiko Pasar yang wajib diperhitungkan oleh Bank
secara individu dan secara konsolidasi dengan
Perusahaan Anak adalah:
a. risiko suku bunga; dan/atau
b. risiko nilai tukar.
(2) Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak
wajib memperhitungkan risiko ekuitas dan/atau risiko
komoditas selain Risiko Pasar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dalam hal memenuhi kriteria:
a. memiliki Perusahaan Anak yang terekspos risiko
ekuitas dan/atau risiko komoditas; dan
- 32 -
b. secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak
memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 huruf b.
Pasal 37
(1) Bank wajib melakukan valuasi secara harian terhadap
posisi yang diukur dengan nilai wajar dalam Trading
Book dan Banking Book secara akurat.
(2) Dalam melakukan valuasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank wajib memiliki kebijakan dan
prosedur valuasi, termasuk memiliki sistem informasi
manajemen dan pengendalian proses valuasi yang
memadai dan terintegrasi dengan sistem manajemen
risiko.
(3) Kebijakan dan prosedur valuasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib berlandaskan pada
prinsip kehati-hatian.
Pasal 38
(1) Proses valuasi wajib dilakukan berdasarkan nilai
wajar.
(2) Terhadap instrumen keuangan yang diperdagangkan
secara aktif, proses valuasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan harga
transaksi yang terjadi (close-out prices) atau kuotasi
harga pasar dari sumber yang independen.
(3) Valuasi terhadap instrumen keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) menggunakan:
a. bid price untuk aset yang dimiliki atau kewajiban
yang akan diterbitkan; dan/atau
b. ask price untuk aset yang akan diperoleh atau
kewajiban yang dimiliki.
(4) Dalam hal harga pasar sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak tersedia, Bank dapat menetapkan nilai
wajar dengan menggunakan suatu model atau teknik
penilaian berlandaskan prinsip kehati-hatian.
- 33 -
Pasal 39
(1) Bank wajib melakukan verifikasi terhadap proses dan
hasil valuasi.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
bulan oleh pihak yang tidak ikut dalam pelaksanaan
valuasi.
(3) Bank wajib menyesuaikan hasil valuasi berdasarkan
hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 40
Bank wajib segera melakukan penyesuaian terhadap hasil
valuasi yang belum mencerminkan nilai wajar dalam hal:
a. terjadi perubahan kondisi ekonomi yang signifikan;
b. harga instrumen keuangan yang dijadikan acuan
adalah harga yang terjadi dari transaksi yang
dipaksakan, likuidasi yang dipaksakan atau penjualan
akibat kesulitan keuangan;
c. instrumen keuangan sudah mendekati jatuh tempo;
dan/atau
d. harga yang dijadikan acuan tidak wajar karena kondisi
lainnya.
Pasal 41
(1) Selain penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40, Bank wajib melakukan penyesuaian
terhadap valuasi atas posisi yang kurang likuid
dengan mempertimbangkan faktor-faktor tertentu.
(2) Dalam hal dilakukan penyesuaian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank wajib memperhitungkan
dampak penyesuaian sebagai faktor pengurang modal
inti utama dalam perhitungan rasio KPMM.
Pasal 42
(1) Dalam perhitungan ATMR untuk Risiko Pasar,
terdapat 2 (dua) pendekatan yang dapat digunakan,
yaitu:
- 34 -
a. Metode Standar (Standard Method); dan/atau
b. Model Internal (Internal Model).
(2) Untuk penerapan tahap awal, bagi Bank yang
memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29, perhitungan ATMR untuk Risiko
Pasar wajib dilakukan dengan menggunakan Metode
Standar (Standard Method).
(3) Bank wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu
dari Otoritas Jasa Keuangan untuk dapat
menggunakan pendekatan Model Internal (Internal
Model) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
BAB IV
Internal Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP)
dan Supervisory Review and Evaluation Process (SREP)
Bagian Kesatu
Internal Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP)
Pasal 43
(1) Dalam memenuhi kewajiban penyediaan modal
minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 baik secara individu maupun
konsolidasi dengan Perusahaan Anak, Bank wajib
memiliki ICAAP yang disesuaikan dengan ukuran,
karakteristik, dan kompleksitas usaha Bank.
(2) ICAAP sebagaimana ayat (1) mencakup paling sedikit:
a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris;
b. penilaian kecukupan modal;
c. pemantauan dan pelaporan; dan
d. pengendalian internal.
(3) Bank wajib mendokumentasikan ICAAP.
- 35 -
Bagian Kedua
Supervisory Review and Evaluation Process (SREP)
Pasal 44
(1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan SREP.
(2) Berdasarkan hasil SREP, Otoritas Jasa Keuangan
dapat meminta Bank untuk memperbaiki ICAAP.
Pasal 45
(1) Dalam hal terdapat perbedaan hasil perhitungan
modal sesuai profil risiko antara hasil self-assessment
Bank dengan hasil SREP, perhitungan modal yang
berlaku adalah hasil SREP.
(2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai modal yang
dimiliki Bank tidak memenuhi modal minimum sesuai
profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
baik secara individu maupun konsolidasi dengan
Perusahaan Anak, Otoritas Jasa Keuangan dapat
meminta Bank untuk:
a. menambah modal agar memenuhi KPMM sesuai
profil risiko;
b. memperbaiki kualitas proses manajemen risiko;
dan/atau
c. menurunkan eksposur risiko.
Pasal 46
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai terdapat
kecenderungan penurunan modal Bank yang berpotensi
menyebabkan modal Bank berada di bawah KPMM sesuai
profil risiko, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Bank
untuk melakukan antara lain:
a. pembatasan kegiatan usaha tertentu;
b. pembatasan pembukaan jaringan kantor; dan/atau
c. pembatasan distribusi modal.
- 36 -
BAB V
PELAPORAN
Pasal 47
(1) Bank yang memenuhi kewajiban untuk melakukan
perhitungan KPMM secara konsolidasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 wajib menyampaikan laporan
perhitungan KPMM secara konsolidasi.
(2) Bank yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 wajib menyampaikan
laporan perhitungan KPMM dengan memperhitungkan
Risiko Pasar.
(3) Penyusunan dan penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib mengacu
kepada ketentuan yang mengatur mengenai laporan
berkala bank umum.
Pasal 48
(1) Bank wajib menyampaikan laporan perhitungan
KPMM sesuai profil risiko kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan bersamaan dengan penyampaian hasil
self-assessment tingkat kesehatan bank.
Pasal 49
(1) Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri wajib menyampaikan laporan pemenuhan
CEMA.
(2) Laporan pemenuhan CEMA sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi
mengenai:
a. rata-rata total kewajiban secara mingguan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2);
b. jumlah alokasi dana usaha dalam bentuk CEMA;
c.
jenis aset dan pemenuhan kriteria aset keuangan
CEMA;
- 37 -
d.
nilai tercatat masing-masing aset keuangan
CEMA; dan
e. maturity date aset keuangan CEMA.
Pasal 50
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49
ayat (1) disusun setiap bulan dan wajib disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat
tanggal 8 pada bulan berikutnya.
(2) Apabila batas akhir penyampaian
laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada
hari Sabtu, hari Minggu, dan/atau hari libur, laporan
pemenuhan CEMA disampaikan pada hari kerja
berikutnya.
Pasal 51
(1) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dan
Pasal 49 ayat (1) apabila laporan diterima oleh Otoritas
Jasa Keuangan setelah batas waktu penyampaian
laporan sampai dengan paling lambat 5 (lima) hari
setelah batas waktu penyampaian laporan.
(2) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dan
Pasal 49 ayat (1) apabila laporan belum diterima oleh
Otoritas Jasa Keuangan sampai dengan batas waktu
keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap wajib
menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (1).
Pasal 52
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1)
dan Pasal 49 ayat (1) disampaikan kepada:
a. Departemen Pengawasan Bank terkait atau Kantor
Regional 1 Jabodetabek, Banten, Lampung, dan
- 38 -
Kalimantan, bagi Bank yang berkantor pusat atau
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri yang berada di wilayah Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), serta Provinsi
Banten; atau
b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor
Otoritas Jasa Keuangan setempat bagi Bank yang
berkantor pusat di luar wilayah Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), serta
Provinsi Banten.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 53
Bank dilarang melakukan perdagangan atas aset keuangan
dalam kategori tersedia untuk dijual, yang dilakukan
dengan pola menyerupai perdagangan atas aset keuangan
dalam kategori diperdagangkan:
a. dalam jumlah yang signifikan; dan/atau
b. dalam frekuensi yang tinggi.
Pasal 54
Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan pertimbangan kondisi
perekonomian dan stabilitas sistem keuangan, dengan
tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian, berwenang
menetapkan:
a. bobot risiko atas ATMR yang berbeda dengan bobot
risiko yang diatur dalam peraturan pelaksanaan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan
b. besaran tambahan modal sebagai penyangga (buffer)
yang berbeda dengan besaran tambahan modal yang
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
- 39 -
BAB VII
SANKSI
Pasal 55
Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 6 ayat (1),
Pasal 6 ayat (2), Pasal 6 ayat (3), Pasal 6 ayat (4), Pasal 7,
Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat (3), Pasal 9 ayat (2), Pasal 10
ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (3), Pasal 12,
Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20
ayat (2), Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24 ayat (1), Pasal 25,
Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31,
Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 ayat (2), Pasal 34 ayat (3),
Pasal 35 ayat (2), Pasal 35 ayat (3), Pasal 36, Pasal 37,
Pasal 38 ayat (1), Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42
ayat (2), Pasal 42 ayat (3), Pasal 43 ayat (1), Pasal 43
ayat (3), Pasal 47, Pasal 48 ayat (1), Pasal 49 ayat (1),
Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 51 ayat (3) dikenakan sanksi
administratif, antara lain berupa:
a. teguran tertulis;
b. larangan transfer laba bagi kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri;
c. larangan melakukan ekspansi kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
e. larangan pembukaan jaringan kantor;
f. penurunan tingkat kesehatan Bank; dan/atau
g. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham
Bank dalam daftar orang yang dilarang menjadi
pemegang saham dan pengurus Bank.
Pasal 56
Bank yang melanggar ketentuan pelaporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 dikenakan juga sanksi
sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur
mengenai laporan berkala bank umum.
- 40 -
Pasal 57
(1) Selain sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55,
Bank yang dinyatakan:
a. terlambat menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), dikenakan
sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja
keterlambatan;
b. tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2), dikenakan
sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Dalam hal Bank dikenakan sanksi administratif
berupa denda karena dinyatakan tidak menyampaikan
laporan, sanksi administratif berupa denda karena
terlambat menyampaikan laporan tidak diberlakukan.
Pasal 58
Selain dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55, Bank yang tidak memenuhi
KPMM sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 baik secara individu maupun secara konsolidasi
dengan Perusahaan Anak diwajibkan melakukan langkah-
langkah atau tindakan pengawasan sebagaimana diatur
dalam ketentuan mengenai tindak lanjut pengawasan dan
penetapan status Bank.
Pasal 59
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 dikenakan sanksi berupa
tidak diperkenankan untuk mencatat pembelian aset
keuangan berikutnya dalam kategori tersedia untuk
dijual selama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal
dikeluarkan surat pembinaan oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 untuk kedua kalinya,
- 41 -
dikenakan sanksi berupa tidak diperkenankan untuk
mencatat pembelian aset keuangan berikutnya dalam
kategori tersedia untuk dijual selama 1 (satu) tahun
terhitung sejak tanggal dikeluarkan surat pembinaan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 lebih dari 2 (dua) kali,
dikenakan sanksi berupa tidak diperkenankan untuk
mencatat pembelian aset keuangan berikutnya dalam
kategori tersedia untuk dijual selama 2 (dua) tahun
terhitung sejak tanggal dikeluarkan surat pembinaan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 60
Instrumen modal yang tidak memiliki jangka waktu yang
telah diakui dalam perhitungan Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum pada posisi 31 Desember 2013, namun
tidak lagi memenuhi kriteria komponen modal sesuai
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dapat tetap diakui
sebagai komponen modal sampai dengan tanggal
31 Desember 2018.
Pasal 61
Instrumen modal yang memiliki jangka waktu telah diakui
dalam perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
pada posisi 31 Desember 2013, namun tidak lagi
memenuhi kriteria komponen modal sesuai Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini dapat tetap diakui sebagai
komponen modal sampai dengan jatuh tempo dan tidak
dapat diperpanjang jangka waktunya.
- 42 -
Pasal 62
Instrumen modal yang diterbitkan sejak tanggal
1 Januari 2014 harus sudah memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 63
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 64
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013
tanggal 12 Desember 2013 tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 223,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5469); dan
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/31/DPNP
tanggal 12 Desember 2007 perihal Pedoman
Penggunaan Model Internal dalam Perhitungan
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
dengan Memperhitungkan Risiko Pasar;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 65
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku:
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/33/DPNP
tanggal 18 Desember 2007 perihal Pedoman
Penggunaan Metode Standar dalam Perhitungan
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
dengan Memperhitungkan Risiko Pasar;
- 43 -
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/3/DPNP
tanggal 27 Januari 2009 perihal Perhitungan Aset
Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk Risiko
Operasional dengan Menggunakan Pendekatan
Indikator Dasar (PID);
c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/6/DPNP
tanggal 18 Februari 2011 perihal Pedoman
Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko untuk
Risiko Kredit dengan Menggunakan Pendekatan
Standar;
d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/21/DPNP
tanggal 18 Juli 2012 perihal Perubahan atas Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 9/33/DPNP tanggal
18 Desember 2007 perihal Pedoman Penggunaan
Metode Standar dalam Perhitungan Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan
Memperhitungkan Risiko Pasar; dan
e. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/37/DPNP
tanggal 27 Desember 2012 perihal Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum sesuai Profil Risiko dan
Pemenuhan Capital Equivalency Maintained Assets
(CEMA),
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 66
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, peraturan pelaksanaan dari:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/18/PBI/2012
tanggal 28 November 2012 tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 261,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5369); dan
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013
tanggal 12 Desember 2013 tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 223,
- 44 -
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5469),
selain yang disebutkan dalam Pasal 65, dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 67
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Januari 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 2 Februari 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 25
25
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 11 /POJK.03/2016
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM
I.
UMUM
Pengalaman krisis keuangan dan ekonomi yang terjadi di berbagai
negara pada beberapa tahun belakangan menunjukkan bahwa
kejatuhan Bank antara lain disebabkan oleh tidak memadainya
kualitas dan kuantitas permodalan Bank untuk mengantisipasi risiko
yang dihadapi. Dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas
modal Bank sehingga Bank lebih mampu menyerap potensi kerugian
baik akibat krisis keuangan dan ekonomi maupun karena
pertumbuhan kredit yang berlebihan, persyaratan komponen dan
instrumen modal serta perhitungan kecukupan modal Bank perlu
disesuaikan dengan standar internasional. Standar Internasional yang
menjadi acuan adalah “Global Regulatory Framework for More Resilient
Banks and Banking System” yang lebih dikenal dengan Basel III.
Untuk meningkatkan kualitas permodalan Bank, komponen dan
persyaratan instrumen modal disesuaikan mengacu pada standar
internasional. Komponen modal inti (Tier 1) Bank terutama harus
didominasi oleh instrumen modal berkualitas tinggi, yaitu saham biasa
(common stocks) dan saldo laba yang merupakan bagian dari modal inti
utama atau Common Equity Tier 1.
Komponen modal inti lainnya yaitu modal inti tambahan
(Additional Tier 1) ditingkatkan kualitasnya menjadi hanya dapat
berupa instrumen keuangan yang bersifat subordinasi dengan
pembayaran dividen atau imbal hasil bersifat non-kumulatif serta
- 2 -
memenuhi kriteria tertentu. Komponen modal inti tambahan
merupakan penyempurnaan dari komponen modal inovatif yang
sebelumnya merupakan bagian dari modal inti Bank.
Sejalan dengan peningkatan kualitas modal inti, komponen dan
persyaratan instrumen modal pelengkap (Tier 2) juga ikut disesuaikan,
antara lain dengan menghapuskan kategori Upper Tier 2 dan Lower
Tier 2. Komponen modal pelengkap tambahan (Tier 3) yang sebelumnya
dapat diterbitkan hanya untuk perhitungan modal untuk Risiko Pasar,
dengan berlakunya Basel III menjadi dihapuskan. Untuk memastikan
kualitas atau tingkat permodalan Bank memadai, dilakukan
penyempurnaan rasio-rasio permodalan yang meliputi rasio modal inti
dan rasio modal inti utama.
Bank diwajibkan untuk membentuk tambahan modal berupa
Capital Conservation Buffer dan Countercyclical Buffer, dan Bank yang
dianggap berpotensi sistemik wajib membentuk tambahan modal
berupa Capital Surcharge. Tujuan pembentukan tambahan modal
tersebut adalah sebagai penyangga (buffer) untuk menyerap risiko yang
disebabkan oleh kondisi krisis dan/atau pertumbuhan kredit
perbankan yang berlebihan. Kewajiban pembentukan tambahan modal
diterapkan secara bertahap sejak tahun 2016 untuk memberikan
waktu yang cukup kepada Bank dalam membentuk tambahan modal
tersebut.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, perlu menetapkan
ketentuan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank
Umum dalam suatu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
II.
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “profil risiko” adalah profil risiko
Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai
penilaian tingkat kesehatan Bank.
PASAL DEMI PASAL
- 3 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “rasio KPMM” adalah perbandingan
antara modal Bank dengan ATMR.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Pembentukan tambahan modal selain modal minimum
sebagaimana dimaksud dalam ayat ini berfungsi sebagai
penyangga (buffer) apabila terjadi krisis keuangan dan
ekonomi yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah
Bank Indonesia.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah
Bank Indonesia.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) untuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan
di luar negeri dipenuhi dari bagian dana usaha yang
ditempatkan dalam CEMA.
Ayat (9)
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal 4
Ayat (1)
Pengelompokan BUKU mengacu pada ketentuan yang
mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor
berdasarkan modal inti Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah
Bank Indonesia.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah
Bank Indonesia.
Pasal 7
Cukup jelas.
- 5 -
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan distribusi laba antara lain berupa
pembayaran dividen dan pembayaran bonus kepada
pengurus.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penentuan batasan distribusi laba antara lain
mempertimbangkan faktor-faktor berupa besarnya
kekurangan pemenuhan tambahan modal, kondisi keuangan
Bank, proyeksi kemampuan Bank untuk meningkatkan
modal, dan tren ekspansi bisnis Bank.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dana usaha” adalah
penempatan yang berasal dari kantor pusat bank pada
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri setelah dikurangi dengan penempatan yang
berasal dari kantor cabang bank yang berkedudukan di
luar negeri pada:
1. kantor pusat;
2. kantor-kantor bank yang bersangkutan di luar
negeri; dan
3. kantor lainnya seperti sister company dari bank
yang berkedudukan di luar negeri,
yang telah dinyatakan sebagai dana usaha (declared
dana usaha) dan harus selalu tercatat setiap waktu di
Indonesia selama kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri beroperasi di Indonesia.
- 6 -
Dana usaha tidak termasuk komponen dalam rekening
antar kantor yang bukan merupakan dana bersih seperti
kewajiban bunga dan kewajiban lainnya serta tagihan
bunga dan tagihan lainnya.
Yang dimaksud dengan penempatan mencakup
penempatan pada seluruh aset keuangan sesuai standar
akuntansi keuangan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “laba ditahan” adalah saldo laba
bersih setelah dikurangi pajak yang oleh kantor
pusatnya diputuskan untuk ditahan di kantor
cabangnya di Indonesia.
Yang dimaksud dengan “laba tahun lalu” adalah seluruh
laba bersih tahun-tahun yang lalu setelah dikurangi
pajak dan belum ditetapkan penggunaannya oleh kantor
pusat.
Dalam hal bank mempunyai saldo rugi tahun-tahun lalu
seluruh kerugian tersebut menjadi faktor pengurang
modal.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “laba tahun berjalan” adalah
laba yang diperoleh dalam tahun buku berjalan setelah
dikurangi taksiran pajak.
Dalam hal pada tahun buku berjalan bank mengalami
kerugian, seluruh kerugian menjadi faktor pengurang
modal.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “cadangan umum” adalah
cadangan yang dibentuk dari penyisihan saldo laba
setelah dikurangi pajak dan mendapat persetujuan
kantor pusatnya sebagai cadangan umum.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “saldo surplus revaluasi aset
tetap” adalah selisih penilaian kembali aset tetap milik
bank.
Pengakuan surplus revaluasi aset tetap mengacu pada
standar akuntansi keuangan mengenai aset tetap.
- 7 -
Huruf f
Pengertian aset keuangan yang diklasifikasikan dalam
kelompok tersedia untuk dijual mengacu pada standar
akuntansi keuangan mengenai instrumen keuangan.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “cadangan tujuan” adalah
cadangan yang dibentuk dari penyisihan saldo laba
setelah dikurangi pajak untuk tujuan tertentu dan telah
mendapat persetujuan kantor pusatnya.
Penggunaan cadangan tujuan diprioritaskan untuk
menutup kerugian bank dalam hal cadangan umum
tidak mencukupi untuk menutup kerugian bank.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penetapan jumlah dana usaha yang dinyatakan mengacu
kepada ketentuan mengenai pinjaman luar negeri.
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Yang termasuk modal disetor adalah saham biasa
(common stocks) sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan dan standar akuntansi
keuangan.
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf b
Yang termasuk komponen modal inti tambahan antara
lain meliputi:
1. instrumen utang yang memiliki karakteristik modal,
bersifat subordinasi, tidak memiliki jangka waktu,
dan pembayaran imbal hasil tidak dapat
- 8 -
diakumulasikan
subordinated debt);
2. saham preferen non-kumulatif (perpetual
non-cumulative preference shares) baik dengan atau
tanpa fitur opsi beli (call option);
3. instrumen hybrid yang tidak memiliki jangka waktu
dan pembayaran imbal hasil tidak dapat
diakumulasikan (perpetual dan non-cumulative); dan
4. agio atau disagio yang berasal dari penerbitan
instrumen yang tergolong sebagai modal inti
tambahan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Instrumen modal inti utama bersifat subordinasi terhadap
antara lain pemegang instrumen yang memenuhi kriteria
modal inti tambahan, modal pelengkap, deposan, dan
kreditur.
Huruf c
Termasuk dalam pengertian fitur bersifat permanen antara
lain tidak terdapat ekspektasi bahwa penerbit akan membeli
kembali, atau aktivitas lain yang dapat memberikan
ekspektasi tersebut.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh
Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan
yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank
(perpetual non-cumulative
- 9 -
atau Perusahaan Anak, misalnya premi atau fee dalam
rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan
Anak.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 13
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Tujuan tertentu untuk melakukan pembelian kembali saham
yang telah diakui sebagai komponen modal disetor yaitu
sebagai persediaan saham dalam rangka program employee
stock option atau management stock option atau menghindari
upaya take over.
Huruf c
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku antara lain Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas dan peraturan perundang-
undangan lainnya di bidang pasar modal.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Yang dimaksud dengan “agio” adalah selisih lebih
setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat
penerbitan saham karena harga pasar saham lebih
tinggi dari nilai nominal.
- 10 -
Angka 2
Yang dimaksud dengan “modal sumbangan” adalah
modal yang diperoleh kembali dari sumbangan
saham Bank tersebut termasuk selisih antara nilai
yang tercatat dengan harga jual apabila saham
tersebut dijual.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “cadangan umum” adalah
cadangan yang dibentuk dari penyisihan saldo laba
setelah dikurangi pajak, dan mendapat persetujuan
rapat umum pemegang saham atau rapat anggota
sebagai cadangan umum.
Angka 4
Laba tahun-tahun lalu setelah diperhitungkan pajak
mencakup:
a) laba tahun lalu yaitu seluruh laba bersih
tahun-tahun yang lalu setelah dikurangi pajak,
dan belum ditetapkan penggunaannya oleh
rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota; dan
b) laba ditahan (retained earnings) yaitu saldo
laba bersih setelah dikurangi pajak yang oleh
rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota diputuskan untuk tidak dibagikan.
Angka 5
Yang dimaksud dengan “laba tahun berjalan” adalah
laba yang diperoleh dalam tahun buku berjalan
setelah dikurangi taksiran pajak.
Angka 6
Yang dimaksud dengan “selisih lebih penjabaran
laporan keuangan” adalah selisih kurs yang timbul
dari penjabaran laporan keuangan kantor cabang
Bank dan/atau Perusahaan Anak di luar negeri
sebagaimana diatur dalam standar akuntansi
keuangan.
- 11 -
Angka 7
Dalam hal berdasarkan penelitian Otoritas Jasa
Keuangan, calon pemegang saham Bank atau dana
setoran modal diketahui tidak memenuhi syarat
sebagai pemegang saham atau sebagai modal, dana
tersebut tidak dapat diakui sebagai komponen
modal.
Angka 8
Yang dimaksud dengan “waran” adalah efek yang
diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memberi
hak kepada pemegang efek untuk memesan saham
dari perusahaan tersebut pada harga dan jangka
waktu tertentu.
Angka 9
Cukup jelas.
Angka 10
Pengertian aset keuangan yang dikategorikan
sebagai kelompok tersedia untuk dijual mengacu
pada standar akuntansi keuangan mengenai
instrumen keuangan.
Angka 11
Yang dimaksud dengan “saldo surplus revaluasi aset
tetap” adalah selisih penilaian kembali aset tetap
milik Bank.
Pengakuan saldo surplus revaluasi aset tetap
mengikuti standar akuntansi keuangan mengenai
aset tetap.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan “disagio” adalah selisih
kurang setoran modal yang diterima oleh Bank pada
saat penerbitan saham karena harga pasar saham
lebih rendah dari nilai nominal.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “rugi tahun-tahun lalu”
adalah seluruh rugi yang dibukukan Bank pada
tahun-tahun yang lalu.
- 12 -
Angka 3
Yang dimaksud dengan “rugi tahun berjalan” adalah
seluruh rugi yang dibukukan Bank dalam tahun
buku berjalan.
Angka 4
Yang dimaksud dengan “selisih kurang penjabaran
laporan keuangan” adalah selisih kurs yang timbul
dari penjabaran laporan keuangan kantor cabang
Bank dan/atau Perusahaan Anak di luar negeri
sebagaimana diatur dalam standar akuntansi
keuangan mengenai penjabaran laporan keuangan
dalam mata uang asing.
Angka 5
Huruf a)
Pengertian aset keuangan yang dikategorikan
sebagai kelompok tersedia untuk dijual
mengacu pada standar akuntansi keuangan
mengenai instrumen keuangan.
Huruf b)
Pengertian kerugian atas pengukuran kembali
atas program pensiun manfaat pasti mengacu
pada standar akuntansi keuangan mengenai
imbalan kerja.
Angka 6
Yang dimaksud dengan “selisih kurang antara PPA
atas aset produktif dan cadangan kerugian
penurunan nilai aset keuangan atas aset produktif”
adalah selisih kurang antara total PPA (cadangan
umum dan cadangan khusus atas seluruh aset
produktif) yang wajib dibentuk sesuai ketentuan
mengenai penilaian kualitas aset Bank dengan total
cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan
(impairment) atas seluruh aset produktif (secara
individu dan secara kolektif) sesuai standar
akuntansi keuangan.
- 13 -
Angka 7
Selisih kurang ini timbul karena jumlah
penyesuaian terhadap hasil valuasi (mark to market)
dari instrumen keuangan dalam Trading Book yang
mempertimbangkan berbagai faktor tertentu antara
lain karena posisi yang kurang likuid melebihi
jumlah penyesuaian yang dipersyaratkan sesuai
standar akuntansi keuangan mengenai pengukuran
instrumen keuangan, khususnya instrumen
keuangan yang diukur berdasarkan nilai wajar.
Sesuai Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia,
penyesuaian terhadap hasil valuasi instrumen
keuangan akan langsung mengurangi atau
menambah nilai tercatat instrumen keuangan.
Angka 8
Yang dimaksud dengan “PPA non-produktif” adalah
cadangan yang wajib dibentuk untuk aset
non-produktif sesuai ketentuan yang mengatur
mengenai penilaian kualitas aset Bank.
Ayat (2)
Huruf a
Hal ini terjadi apabila Bank menetapkan untuk
mengukur kewajiban keuangan pada nilai wajar melalui
laba rugi (fair value option) sesuai standar akuntansi
keuangan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “keuntungan atas penjualan aset
dalam transaksi sekuritisasi (gain on sale)” adalah
keuntungan yang diperoleh Bank sebagai kreditur asal
(originator) atas penjualan aset dalam transaksi
sekuritisasi yang bersumber dari kapitalisasi pendapatan
masa mendatang (expected future margin) atau
kapitalisasi pendapatan dari penyediaan jasa (servicing
income).
- 14 -
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam rangka memperoleh persetujuan pengawas, Bank
tidak dapat mengasumsikan atau menciptakan
ekspektasi pasar bahwa persetujuan pengawas akan
diberikan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “fitur step-up” adalah fitur yang
menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga atau imbal
hasil apabila opsi beli tidak dieksekusi pada jangka
waktu yang telah ditetapkan.
Huruf e
Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk menetapkan
kondisi dimana Bank berpotensi terganggu kelangsungan
usahanya (point of non-viability) dan memerintahkan
Bank untuk mengkonversi instrumen modal inti
tambahan ke saham biasa atau melakukan write down.
Termasuk dalam mekanisme write down antara lain
pengurangan nilai kewajiban, pengurangan nilai
kewajiban pada saat opsi beli dieksekusi atau
pengurangan sebagian atau seluruh pembayaran imbal
hasil.
Dalam dokumentasi penerbitan wajib terdapat klausul
yang menyatakan bahwa instrumen modal inti tambahan
dapat dikonversi menjadi saham biasa atau dilakukan
write down apabila terdapat perintah dari Otoritas Jasa
Keuangan.
Huruf f
Instrumen modal inti tambahan bersifat subordinasi
terhadap antara lain deposan, kreditur, dan pemegang
instrumen yang memenuhi kriteria modal pelengkap.
- 15 -
Huruf g
Dalam hal imbal hasil tidak dibayarkan, maka tidak
menyebabkan adanya pembatasan pembayaran dividen
atau kupon, untuk instrumen lain, kecuali untuk saham
biasa (common stock).
Huruf h
Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin
oleh Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun
jaminan yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan
melalui Bank atau Perusahaan Anak, misalnya premi
atau fee dalam rangka penjaminan dibayar oleh Bank
atau Perusahaan Anak.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “dividen atau imbal hasil yang
sensitif terhadap Risiko Kredit” adalah tingkat dividen
atau imbal hasil yang ditetapkan berdasarkan peringkat
atau tingkat Risiko Kredit Bank penerbit.
Huruf j
Meskipun terdapat opsi beli, Bank tidak diperkenankan
mempersiapkan kriteria atau kondisi tertentu yang
memungkinkan eksekusi opsi beli (call option).
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Fitur yang menghambat proses penambahan modal di
masa mendatang yaitu antara lain persyaratan yang
mewajibkan Bank untuk memberikan kompensasi
kepada investor apabila Bank menerbitkan instrumen
modal baru dengan harga yang lebih rendah.
Huruf n
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
- 16 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kualitas sama atau lebih baik”
adalah instrumen modal yang paling sedikit memenuhi
persyaratan sebagai komponen modal inti tambahan.
Pasal 16
Yang dimaksud dengan “kepentingan non-pengendali” adalah
kepentingan bukan pengendali sebagaimana dimaksud dalam
standar akuntansi keuangan.
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Pajak tangguhan dikurangkan sebesar 100% (seratus
persen) baik atas perhitungan pajak tangguhan pada
tahun-tahun lalu maupun pada tahun berjalan.
Pajak tangguhan merupakan transaksi yang timbul
sebagai akibat penerapan standar akuntansi keuangan
mengenai akuntansi pajak penghasilan.
Dalam perhitungan KPMM secara individu, pajak
tangguhan yang dikeluarkan sebesar selisih lebih dari
aset pajak tangguhan dikurangi kewajiban pajak
tangguhan.
Dalam hal terjadi selisih kurang, perhitungan pajak
tangguhan yang akan dikeluarkan adalah nihil.
Dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi, aset pajak
tangguhan satu perusahaan tidak boleh saling hapus
dengan kewajiban pajak tangguhan perusahaan lain
dalam kelompok usaha Bank.
Oleh karena itu, pengaruh pajak tangguhan dalam
perhitungan KPMM secara konsolidasi harus dihitung
dan dikeluarkan secara terpisah untuk masing-masing
entitas.
- 17 -
Dengan dikeluarkannya dampak pajak tangguhan dari
perhitungan modal inti utama, aset pajak tangguhan
tidak diperhitungkan dalam perhitungan ATMR.
Huruf b
Pengertian goodwill mengacu pada standar akuntansi
keuangan mengenai kombinasi bisnis.
Goodwill diperhitungkan sebagai faktor pengurang baik
dalam perhitungan modal minimum Bank secara
individu maupun secara konsolidasi.
Huruf c
Pengertian aset tidak berwujud mengacu kepada standar
akuntansi keuangan mengenai aset tidak berwujud.
Seluruh aset tidak berwujud diperhitungkan sebagai
faktor pengurang modal inti utama.
Contoh aset tidak berwujud antara lain copyright, hak
paten, dan hak milik intelektual (intellectual property
right) lainnya termasuk aplikasi piranti lunak (software)
yang dikembangkan oleh Bank.
Huruf d
Nilai penyertaan yang diperhitungkan adalah nilai buku
yang tercatat pada laporan posisi keuangan (neraca).
Huruf e
Kekurangan modal (shortfall) diperhitungkan sebagai
faktor pengurang hanya dalam perhitungan rasio KPMM
secara konsolidasi.
Kekurangan modal (shortfall) perusahaan asuransi dari
RBC minimum diperhitungkan apabila perusahaan
dimaksud tidak dapat memenuhi RBC minimum sampai
dengan jangka waktu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
Huruf f
Perlakuan terhadap eksposur sekuritisasi sebagai
pengurang modal atau diperhitungkan sebagai ATMR
mengacu pada ketentuan mengenai sekuritisasi aset.
Yang dimaksud dengan “eksposur sekuritisasi” adalah
kredit pendukung (credit enhancement), fasilitas
- 18 -
likuiditas (liquidity support), dan efek beragun aset (asset
backed securities).
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk menetapkan
kondisi dimana Bank berpotensi terganggu kelangsungan
usahanya (point of non-viability) dan memerintahkan
Bank untuk mengkonversi instrumen modal pelengkap
pada saham biasa atau melakukan write down.
Termasuk dalam mekanisme write down antara lain
pengurangan nilai kewajiban, pengurangan nilai
kewajiban pada saat opsi beli dieksekusi atau
pengurangan sebagian atau seluruh pembayaran imbal
hasil.
Dalam dokumentasi penerbitan wajib terdapat klausul
yang menyatakan bahwa instrumen modal pelengkap
dapat dikonversi menjadi saham biasa atau dilakukan
write down apabila terdapat perintah dari Otoritas Jasa
Keuangan.
Huruf d
Instrumen modal pelengkap bersifat subordinasi
terhadap antara lain deposan dan kreditur.
Huruf e
Cukup jelas.
- 19 -
Huruf f
Termasuk dalam pengertian diproteksi maupun dijamin
oleh Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun
jaminan yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan
melalui Bank atau Perusahaan Anak, misalnya premi
atau fee dalam rangka penjaminan dibayar oleh Bank
atau Perusahaan Anak.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “dividen atau imbal hasil yang
sensitif terhadap Risiko Kredit” adalah tingkat dividen
atau imbal hasil yang ditetapkan berdasarkan peringkat
atau tingkat Risiko Kredit Bank penerbit.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “fitur step-up” adalah fitur yang
menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga atau imbal
hasil apabila opsi beli tidak dieksekusi pada jangka
waktu yang telah ditetapkan.
Huruf i
Meskipun terdapat opsi beli, Bank tidak diperkenankan
mempersiapkan kriteria atau kondisi tertentu yang
memungkinkan eksekusi opsi beli (call option).
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan “kualitas sama atau lebih
baik” adalah instrumen modal yang paling sedikit
- 20 -
memenuhi persyaratan sebagai komponen modal
pelengkap.
Angka 2
Batasan modal pelengkap diperhitungkan dengan
memperhatikan seluruh instrumen modal pelengkap
yang tersedia.
Contoh “jumlah yang berbeda”:
Modal pelengkap yang dieksekusi adalah Rp500 juta
namun pada saat penggantian, modal inti Bank
mengalami perubahan sehingga batasan modal
pelengkap menjadi paling tinggi sebesar Rp400 juta.
Dengan kondisi ini, Bank dapat menggantikan
modal pelengkap sebesar Rp400 juta.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “metode garis lurus” adalah
perhitungan amortisasi secara prorata.
Ayat (4)
Amortisasi dihitung berdasarkan nilai instrumen modal yang
telah memperhitungkan pengurangan dari cadangan
pelunasan (sinking fund).
Ayat (5)
Contoh ilustrasi pelaksanaan amortisasi:
a. Bank menerbitkan obligasi subordinasi yang memiliki
jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan memiliki opsi beli
pada akhir tahun kelima. Dalam kondisi ini, Bank wajib
mulai menghitung amortisasi sejak tahun pertama.
Apabila pada akhir tahun kelima, Bank tidak
mengeksekusi opsi beli (call option), mulai awal tahun
keenam obligasi subordinasi tersebut dapat
diperhitungkan kembali dalam perhitungan KPMM
dengan memperhatikan batasan yang dipersyaratkan,
termasuk kewajiban untuk memperhitungkan
amortisasi.
b. Bank menerbitkan obligasi subordinasi yang memiliki
jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan memiliki opsi beli
(call option) setelah lewat tahun kelima. Dalam kondisi
ini, sisa jangka waktu instrumen tersebut pada awal
- 21 -
penerbitan adalah 5 (lima) tahun. Amortisasi wajib mulai
diperhitungkan oleh Bank sejak tahun pertama.
Setelah lewat tahun kelima sampai dengan jatuh tempo,
Bank tidak dapat memperhitungkan kembali obligasi
subordinasi sebagai modal pelengkap meskipun Bank
belum mengeksekusi opsi beli (call option).
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Contoh instrumen modal dalam bentuk saham atau
dalam bentuk lainnya yang memenuhi persyaratan
adalah:
1. saham preferen (yang memberikan hak kepada
pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu
dari pemegang saham klasifikasi lain) secara
kumulatif (cumulative preference share);
2. instrumen utang yang memiliki karakteristik modal,
bersifat subordinasi, bersifat kumulatif dan
memenuhi seluruh persyaratan untuk dapat
diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap
(cumulative subordinated debt); dan
3. instrumen utang yang memiliki karakteristik seperti
modal yang secara otomatis tanpa persyaratan
dapat dikonversi menjadi saham setelah
memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan
(mandatory convertible bond). Kondisi dan nilai
konversi harus ditetapkan pada saat penerbitan
yang besarnya sejalan dengan kondisi pasar.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “agio” adalah selisih lebih
setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat
penerbitan instrumen modal pelengkap karena harga
pasar instrumen modal lebih tinggi dari nilai nominal.
Yang dimaksud dengan “disagio” adalah selisih kurang
setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat
- 22 -
penerbitan instrumen modal pelengkap karena harga
pasar instrumen modal lebih rendah dari nilai nominal.
Huruf c
Pembentukan cadangan umum PPA atas aset produktif
yang wajib dibentuk mengacu pada ketentuan yang
mengatur mengenai penilaian kualitas aset Bank.
Contoh:
Cadangan umum PPA atas aset produktif yang wajib
dibentuk sebesar Rp15 juta dan ATMR Bank untuk
Risiko Kredit sebesar Rp1 miliar.
Cadangan umum PPA atas aset produktif yang dapat
diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap
paling tinggi 1,25% dari Rp1 miliar yaitu sebesar
Rp12,5 juta.
Dalam hal ini terdapat kelebihan cadangan umum
sebesar Rp2,5 juta yang tidak dapat diperhitungkan
sebagai komponen modal pelengkap.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “cadangan tujuan” adalah
cadangan yang dibentuk dari penyisihan saldo laba
setelah dikurangi pajak untuk tujuan tertentu dan telah
mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham
atau rapat anggota.
Penggunaan cadangan tujuan diprioritaskan untuk
menutup kerugian Bank dalam hal cadangan umum
tidak mencukupi untuk menutup kerugian Bank.
Ayat (2)
Kelebihan cadangan umum PPA atas aset produktif sesuai
contoh pada penjelasan ayat (1) huruf c yaitu sebesar
Rp2,5 juta menjadi faktor pengurang perhitungan ATMR
untuk Risiko Kredit.
Pasal 21
Cukup jelas.
- 23 -
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Pembelian kembali instrumen modal inti utama, modal
inti tambahan atau modal pelengkap yang telah diakui
sebagai komponen permodalan Bank menjadi faktor
pengurang masing-masing komponen modal yang
bersangkutan.
Contoh 1:
Termasuk dalam pembelian kembali instrumen modal
yang harus dikurangkan dari modal inti utama adalah
antara lain pembelian kembali instrumen modal yang
telah diterbitkan Bank, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Contoh 2:
Termasuk dalam pembelian kembali instrumen modal
yang harus dikurangkan dari modal inti tambahan
antara lain eksekusi opsi beli (call option).
Huruf b
Penempatan dana pada instrumen utang yang telah
diakui sebagai komponen modal Bank lain menjadi
faktor pengurang modal bagi Bank yang melakukan
penempatan dana pada komponen modal yang memiliki
kualitas sama dan/atau lebih baik.
Contoh 1:
Bank A memiliki komponen modal pelengkap sebesar
Rp100 miliar.
Bank A membeli obligasi subordinasi yang diterbitkan
Bank B yang merupakan komponen modal pelengkap
Bank B sebesar Rp20 miliar.
Dalam kondisi ini, modal pelengkap Bank A akan
dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli Bank A
dari Bank B yaitu:
Rp100 miliar - Rp20 miliar = Rp80 miliar
Rp80 miliar tersebut di atas selanjutnya diakui sebagai
modal pelengkap dengan memperhatikan batasan modal
pelengkap yang diperkenankan.
- 24 -
Contoh 2:
Bank A memiliki komponen modal pelengkap sebesar
Rp10 miliar dan modal inti utama sebesar Rp100 miliar.
Bank A membeli obligasi subordinasi yang diterbitkan
Bank B yang merupakan komponen modal pelengkap
Bank B sebesar Rp20 miliar.
Dalam kondisi ini, modal pelengkap Bank A akan
dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli Bank A
dari Bank B yaitu:
Rp10 miliar - Rp20 miliar = (Rp10 miliar)
Rp10 miliar tersebut di atas selanjutnya akan
dikurangkan terhadap modal inti utama Bank A.
Contoh 3:
Bank A hanya memiliki komponen modal inti utama
sebesar Rp100 miliar dan tidak memiliki komponen
modal lainnya.
Bank A membeli obligasi subordinasi yang diterbitkan
Bank B yang merupakan komponen modal pelengkap
Bank B sebesar Rp20 miliar.
Dalam kondisi ini, modal inti utama Bank A akan
dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli Bank A
dari Bank B yaitu:
Rp100 miliar - Rp20 miliar = Rp80 miliar.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “total kewajiban bank” adalah total
kewajiban dikurangi dengan seluruh kewajiban antar kantor
(kantor pusat dan kantor cabang lainnya di luar negeri).
- 25 -
Total kewajiban bank yang dijadikan dasar penetapan CEMA
minimum dihitung berdasarkan rata-rata kewajiban bank
secara mingguan dalam bulan yang bersangkutan.
Contoh:
Rata-rata total kewajiban posisi akhir minggu I, minggu II,
minggu III, dan minggu IV masing-masing sebesar
Rp10 triliun, Rp15 triliun, Rp10 triliun, dan Rp20 triliun.
Oleh karena itu, rata-rata total kewajiban = (Rp10 triliun+
Rp15 triliun + Rp10 triliun + Rp20 triliun) ÷ 4 = Rp13,75
triliun.
Perhitungan CEMA berdasarkan rata-rata total kewajiban
adalah sebesar 8% x Rp13,75 triliun = Rp1,1 triliun.
Dengan demikian, minimum CEMA yang wajib dipelihara
adalah yang terbesar antara Rp1 triliun dengan Rp1,1 triliun,
yaitu Rp1,1 triliun.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh:
CEMA minimum untuk posisi bulan Maret 20xx sebesar
Rp1,1 triliun wajib ditempatkan pada instrumen keuangan
yang memenuhi persyaratan paling lambat pada tanggal
6 April 20xx.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 26 -
Ayat (3)
Huruf a
Contoh surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia antara lain meliputi:
1. Surat Utang Negara (SUN) sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan mengenai
Surat Utang Negara; dan
2. Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
mengenai Surat Berharga Syariah Negara.
Surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia dan yang dimaksudkan untuk
dimiliki hingga jatuh tempo yaitu:
1. surat berharga yang dikategorikan sebagai
kelompok dimiliki hingga jatuh tempo; atau
2. surat berharga yang dikategorikan sebagai
kelompok tersedia untuk dijual yang didukung
komitmen dari Bank untuk:
a) memiliki surat berharga tersebut hingga jatuh
tempo; dan
b) menggunakan surat berharga tersebut hanya
untuk mengantisipasi dampak permasalahan
pada perekonomian dan sistem keuangan
global yang mengganggu kantor cabang di
Indonesia, dan/atau stabilitas sistem keuangan
dan sistem perbankan di Indonesia,
yang dituangkan dalam surat pernyataan.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan “tidak bersifat ekuitas”
adalah surat berharga yang tidak diperhitungkan
sebagai komponen modal oleh Bank penerbit.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “peringkat investasi” adalah
sebagaimana diatur dalam ketentuan yang
mengatur mengenai lembaga pemeringkat dan
peringkat yang diakui Otoritas Jasa Keuangan.
- 27 -
Angka 3
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan bebas dari klaim antara lain bebas
dari gugatan, tuntutan, pengakuan, dan penguasaan, serta
tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain atau disita oleh
pihak yang berwenang.
Contoh:
Aset keuangan yang digunakan sebagai CEMA tidak dapat
dilakukan repurchase agreement (repo) kepada pihak lain.
Bebas dari klaim dibuktikan antara lain dengan surat
pernyataan dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan
di luar negeri.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “nilai tercatat aset keuangan” adalah
nilai aset keuangan pada laporan posisi keuangan (neraca)
setelah dikurangi dengan cadangan kerugian penurunan
nilai.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Perlakuan pengakuan dan pengukuran mengacu pada standar
akuntansi keuangan mengenai instrumen keuangan.
Pasal 31
Cukup jelas.
- 28 -
Pasal 32
Contoh 1:
Sebelum melakukan merger atau konsolidasi, Bank A dan Bank B
tidak memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar.
Selama 6 (enam) bulan setelah merger atau konsolidasi dinyatakan
efektif, pada bulan pertama, bulan ketiga, dan bulan keempat,
Bank hasil merger atau konsolidasi tersebut memenuhi kriteria
untuk memperhitungkan Risiko Pasar.
Dengan demikian, Bank hasil merger atau konsolidasi tersebut
wajib memperhitungkan Risiko Pasar sejak bulan ke-7 (tujuh).
Contoh 2:
Bank A tidak memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko
Pasar. Selanjutnya, Bank A mengakuisisi Perusahaan Keuangan X
sehingga Bank A melakukan konsolidasi terhadap Perusahaan X.
Selama 6 (enam) bulan setelah melakukan akuisisi perusahaan X
dinyatakan efektif, pada bulan kedua, bulan keempat, dan
bulan keenam, Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan X
tersebut memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar.
Dengan demikian, Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan
Anak X tersebut wajib memperhitungkan Risiko Pasar sejak bulan
ke-7 (tujuh).
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “risiko suku bunga” adalah risiko
kerugian akibat perubahan harga instrumen keuangan
- 29 -
dari posisi Trading Book yang disebabkan oleh
perubahan suku bunga.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “risiko nilai tukar” adalah risiko
kerugian akibat perubahan nilai posisi Trading Book dan
Banking Book yang disebabkan oleh perubahan nilai
tukar valuta asing termasuk perubahan harga emas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “risiko ekuitas” adalah risiko kerugian
akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi
Trading Book yang disebabkan oleh perubahan harga saham.
Yang dimaksud dengan “risiko komoditas” adalah risiko
kerugian akibat perubahan harga instrumen keuangan dari
posisi Trading Book dan Banking Book yang disebabkan oleh
perubahan harga komoditas.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kebijakan dan prosedur valuasi tersebut meliputi antara lain
penetapan tanggung jawab yang jelas dari berbagai pihak
yang terlibat dalam penetapan valuasi, sumber informasi
pasar, proses kaji ulang terhadap kelayakan valuasi,
pedoman penggunaan data apabila data harga pasar aktual
tidak tersedia (unobservable) yang mencerminkan asumsi
bank bahwa data tersebut merupakan data yang akan
digunakan oleh pasar dalam proses valuasi, frekuensi valuasi
(secara harian), penetapan waktu untuk valuasi akhir hari
(closing price), prosedur pelaksanaan, dan penyampaian hasil
verifikasi baik secara berkala maupun insidental serta
prosedur penyesuaian valuasi.
Sistem informasi manajemen dan pengendalian proses valuasi
paling sedikit mencakup pendokumentasian kebijakan dan
prosedur valuasi yang telah ditetapkan serta alur pelaporan
(reporting lines) yang jelas bagi satuan kerja yang bertanggung
jawab terhadap proses valuasi dan verifikasi.
- 30 -
Ayat (3)
Kebijakan dan prosedur valuasi yang berlandaskan pada
prinsip kehati-hatian antara lain melakukan valuasi dengan
memperhatikan penerapan aspek-aspek manajemen risiko
dan prosedur valuasi yang wajar.
Pasal 38
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “nilai wajar” adalah nilai wajar
sebagaimana dimaksud dalam standar akuntansi keuangan
mengenai pengukuran nilai wajar.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “instrumen keuangan yang
diperdagangkan secara aktif” adalah apabila harga instrumen
keuangan tersedia sewaktu-waktu dan dapat diperoleh secara
rutin di bursa, pedagang efek (dealer), perantara efek (broker)
atau agen lainnya serta harga tersebut merupakan harga
yang terjadi dari transaksi aktual yang dilakukan secara
wajar (arm's length basis).
Harga transaksi yang terjadi atau kuotasi harga pasar dari
sumber yang independen antara lain meliputi harga di bursa
(exchange prices), harga pada layar dealer (screen prices) atau
kuotasi yang paling konservatif yang diberikan oleh paling
sedikit 2 (dua) broker dan/atau market maker yang memiliki
reputasi baik, yang minimal salah satunya adalah pihak
independen.
Penggunaan sumber yang independen dilakukan secara
konsisten kecuali harga yang diperoleh tidak mencerminkan
nilai wajar.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “bid price” adalah harga beli yang
dikuotasikan oleh sumber yang independen.
Huruf b
Yang dimaksud “ask price (offer price)” adalah harga jual
yang dikuotasikan oleh sumber yang independen.
- 31 -
Ayat (4)
Dalam melakukan valuasi nilai wajar, bank harus
memaksimalkan penggunaan data harga pasar aktual
(observable input) dan meminimalkan penggunaan data yang
bukan merupakan data harga pasar aktual atau yang
ditetapkan dengan menggunakan suatu model/teknik
penilaian (unobservable).
Termasuk model atau teknik penilaian antara lain:
a. penggunaan harga yang timbul dari transaksi yang
terjadi dalam 10 (sepuluh) hari kerja terakhir;
b. penggunaan harga pasar dari instrumen lain yang
memiliki karakteristik (paling sedikit jangka waktu,
tingkat bunga atau kupon, peringkat, dan golongan
penerbit) yang serupa;
c. analisis arus kas yang didiskonto (discounted cash flow);
d. model penetapan harga opsi (option pricing models); atau
e. model atau teknik penilaian yang secara umum telah
digunakan oleh pelaku pasar dalam menetapkan harga
instrumen.
Penerapan prinsip kehati-hatian dalam penggunaan model
atau teknik penilaian antara lain memperhatikan:
a. pemisahan tugas dan kompetensi pihak-pihak yang
terlibat dalam pengembangan dan penggunaan model;
b. memastikan dilakukan kaji ulang akurasi model atau
teknik penilaian oleh fungsi yang independen;
c. prosedur dan dokumentasi pengembangan dan
perubahan model atau teknik penilaian;
d. Direksi Bank harus memahami valuasi posisi Trading
Book maupun posisi nilai wajar lainnya yang dihitung
dengan menggunakan model dan memahami
ketidakpastian;
e. data yang digunakan dalam perhitungan nilai wajar
adalah data pasar aktual dan harus dilakukan kaji ulang
secara berkala;
f.
metodologi penilaian yang berlaku umum untuk produk
tertentu sedapat mungkin untuk digunakan;
- 32 -
g. model yang dikembangkan harus menggunakan asumsi
yang tepat, dan Bank harus memiliki salinan model yang
akan digunakan untuk memeriksa hasil valuasi secara
berkala; dan
h. satuan kerja manajemen risiko harus mengetahui
kelemahan model yang digunakan dalam valuasi nilai
wajar.
Pasal 39
Ayat (1)
Verifikasi dilakukan untuk memastikan keakuratan
penyusunan laporan laba rugi.
Verifikasi terhadap proses dan hasil valuasi paling sedikit
dilakukan terhadap kewajaran harga pasar maupun informasi
yang digunakan sebagai input dalam model atau teknik
penilaian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyesuaian dilaksanakan terhadap nilai instrumen
keuangan dalam laporan posisi keuangan (neraca) dan
laporan laba rugi.
Pasal 40
Penyesuaian hasil valuasi dilakukan berdasarkan pemantauan
harian maupun hasil verifikasi oleh pihak yang tidak ikut dalam
pelaksanaan valuasi.
Sebagai contoh, valuasi yang belum mencerminkan nilai wajar
dapat terjadi pada valuasi dengan menggunakan model atau
teknik penilaian.
Huruf a
Yang dimaksud dengan perubahan kondisi ekonomi yang
signifikan antara lain perubahan kurva imbal hasil (yield
curve) secara signifikan di luar ekspektasi pasar.
Huruf b
Cukup jelas.
- 33 -
Huruf c
Faktor sisa jangka waktu sampai dengan jatuh tempo
diperhitungkan mengingat semakin mendekati jatuh tempo,
nilai instrumen keuangan semakin mendekati nilai nominal.
Huruf d
Kondisi lainnya antara lain mencakup:
1. kemungkinan kerugian potensial yang timbul karena
pihak lawan tidak dapat memenuhi kewajibannya
(unearned credit spreads);
2. kemungkinan perhitungan biaya atau penalti yang
timbul karena pelunasan lebih awal sebelum jatuh tempo
(early termination);
3. terjadinya mismatch arus kas yang menyebabkan harga
dapat dipengaruhi oleh perhitungan biaya untuk
meminjam dan menginvestasikan dana (investing and
funding costs); dan
terjadi
4.
ketidakpastian dalam model valuasi,
kondisi tertentu yang mengakibatkan
misalnya
ketidakmampuan menangkap perubahan dalam kondisi
tidak normal.
Pasal 41
Ayat (1)
Faktor-faktor tertentu mencakup antara lain rata-rata dan
volatilitas volume perdagangan, rata-rata volatilitas dari
rentang kuotasi penawaran dan permintaan (bid atau ask
spreads), serta ketersediaan kuotasi pasar.
Ayat (2)
Penyesuaian tidak akan mengurangi nilai instrumen
keuangan pada laporan posisi keuangan (neraca) dan tidak
mempengaruhi laporan laba rugi.
Pasal 42
Cukup jelas.
- 34 -
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris meliputi
antara lain memahami sifat dan tingkat risiko yang
dihadapi Bank, menilai kecukupan kualitas manajemen
risiko, dan mengaitkan tingkat risiko dengan kecukupan
modal yang dimiliki Bank.
Huruf b
Penilaian kecukupan modal meliputi antara lain proses
yang mengkaitkan tingkat risiko dengan tingkat
kecukupan modal Bank dengan mempertimbangkan
strategi dan rencana bisnis Bank.
Huruf c
Pemantauan dan pelaporan meliputi antara lain sistem
pemantauan dan pelaporan eksposur risiko serta
dampak perubahan profil risiko terhadap kebutuhan
modal Bank.
Huruf d
Pengendalian internal meliputi antara lain kecukupan
pengendalian internal dan kaji ulang.
Kaji ulang dilakukan oleh pihak internal Bank yang
memiliki kompetensi memadai dan independen terhadap
proses penetapan kecukupan modal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
- 35 -
Pasal 46
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan pembatasan distribusi modal antara
lain berupa pembatasan atau penundaan pembayaran bonus
dan/atau dividen.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan KPMM dengan memperhitungkan Risiko Pasar
antara lain mencakup laporan posisi yang diperhitungkan
dalam Risiko Pasar dan laporan perhitungan rasio KPMM.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Profil risiko didasarkan pada hasil self-assessment Bank.
Laporan perhitungan KPMM sesuai profil risiko mencakup
antara lain:
a. strategi pengelolaan modal;
b. identifikasi dan pengukuran risiko material; dan
c. penilaian kecukupan modal.
Ayat (2)
Penyampaian dan batas waktu penyampaian hasil self-
assessment tingkat kesehatan Bank mengacu pada ketentuan
yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan Bank.
- 36 -
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “nilai tercatat” adalah nilai aset
keuangan pada laporan posisi keuangan (neraca) setelah
dikurangi dengan cadangan kerugian penurunan nilai.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “hari libur” adalah hari libur nasional
yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan/atau hari libur
lokal yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Yang dimaksud dengan “jumlah yang signifikan” adalah signifikan
terhadap total aset keuangan dalam kategori tersedia untuk dijual.
Pasal 54
Cukup jelas.
- 37 -
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
- 38 -
Pasal 67
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5848
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 11/POJK.03/2016 </reg_id>
<reg_title> KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 29 Januari 2016 </set_date>
<effective_date> 2 Februari 2016 </effective_date>
<issued_date> 2 Februari 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '9/31/DPNP|SE-BI/2007', '15/12/PBI/2013' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '10/UU/1998', '7/UU/1992' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 38 /POJK.03/2016
TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO DALAM
PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa perkembangan teknologi informasi dapat
dimanfaatkan oleh bank untuk meningkatkan efisiensi
kegiatan operasional dan mutu pelayanan bank
kepada nasabah;
b. bahwa penggunaan teknologi informasi dalam kegiatan
operasional bank juga dapat meningkatkan risiko yang
dihadapi bank;
c. bahwa dengan semakin meningkatnya risiko yang
dihadapi, bank perlu menerapkan manajemen risiko
secara efektif;
d. bahwa teknologi informasi merupakan aset yang
berharga bagi bank sehingga pengelolaannya bukan
hanya merupakan tanggung jawab unit kerja
penyelenggara teknologi informasi namun juga seluruh
pihak yang menggunakan;
e. bahwa dalam rangka implementasi kerangka Basel
(Basel framework) diperlukan infrastruktur teknologi
informasi yang memadai;
- 2 -
f. bahwa sejalan dengan dinamika pengaturan yang
terkait dengan penggunaan teknologi informasi serta
perkembangan standar nasional dan internasional,
perlu dilakukan penyempurnaan ketentuan mengenai
penerapan manajemen risiko dalam penggunaan
teknologi informasi oleh bank;
g. bahwa sehubungan dengan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Penerapan Manajemen Risiko dalam
Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998
Nomor 182,
Nomor 3790);
Tambahan Lembaran Negara
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO DALAM PENGGUNAAN
TEKNOLOGI INFORMASI OLEH BANK UMUM.
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri,
dan Bank Umum Syariah serta Unit Usaha Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk
mengumpulkan,
menyiapkan,
menyimpan,
memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau
menyebarkan informasi.
3. Layanan Perbankan Elektronik (Electronic Banking)
adalah layanan bagi nasabah Bank untuk memperoleh
informasi, melakukan komunikasi, dan melakukan
transaksi perbankan melalui media elektronik.
4. Rencana Strategis Teknologi Informasi (Information
Technology Strategic Plan) adalah dokumen yang
menggambarkan visi dan misi Teknologi Informasi
Bank, strategi yang mendukung visi dan misi
Teknologi Informasi Bank, dan prinsip-prinsip utama
yang menjadi acuan dalam penggunaan Teknologi
Informasi untuk memenuhi kebutuhan bisnis serta
mendukung rencana strategis jangka panjang.
5. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan
prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan,
mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan,
menampilkan, mengumumkan, mengirimkan,
dan/atau menyebarkan informasi elektronik.
6. Pusat Data (Data Center) adalah suatu fasilitas yang
digunakan untuk menempatkan Sistem Elektronik
- 4 -
dan komponen terkaitnya untuk keperluan
penempatan, penyimpanan, dan pengolahan data.
7. Pusat Pemulihan Bencana (Disaster Recovery Center)
adalah suatu fasilitas yang digunakan untuk
memulihkan kembali data atau informasi serta fungsi-
fungsi penting Sistem Elektronik yang terganggu atau
rusak akibat terjadinya bencana yang disebabkan oleh
alam atau manusia.
8. Pangkalan Data (Database) adalah sekumpulan data
komprehensif dan disusun secara sistematis, dapat
diakses oleh pengguna sesuai wewenang masing-
masing, dan dikelola oleh administrator Pangkalan
Data (Database administrator).
9. Rencana Pemulihan Bencana (Disaster Recovery Plan)
adalah dokumen yang berisikan rencana dan langkah-
langkah untuk menggantikan dan/atau memulihkan
kembali akses data, perangkat keras dan perangkat
lunak yang diperlukan, agar Bank dapat menjalankan
kegiatan operasional bisnis yang kritikal setelah
adanya gangguan dan/atau bencana.
10. Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi Informasi
adalah kegiatan berupa penambahan, perubahan,
penghapusan, dan/atau otorisasi data yang dilakukan
pada sistem aplikasi yang digunakan untuk
memproses transaksi.
11. Direksi:
a) bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
b) bagi Bank berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
- 5 -
diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015;
2) Perusahaan Daerah adalah direksi bagi Bank
yang belum berubah bentuk menjadi
Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015;
c)
bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi
adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
d) bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri
adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat satu
tingkat di bawah pemimpin kantor cabang.
12. Dewan Komisaris:
a) bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b) bagi Bank berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan
pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015;
2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah
komisaris sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015;
- 6 -
3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada
Bank yang belum berubah bentuk menjadi
Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015;
c)
bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi
adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
d) bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri
adalah pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan
fungsi pengawasan.
BAB II
RUANG LINGKUP MANAJEMEN RISIKO
TEKNOLOGI INFORMASI
Pasal 2
(1) Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara
efektif dalam penggunaan Teknologi Informasi.
(2) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit mencakup:
a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris;
b. kecukupan kebijakan, standar, dan prosedur
penggunaan Teknologi Informasi;
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan dan pengendalian risiko penggunaan
Teknologi Informasi; dan
d. sistem pengendalian intern atas penggunaan
Teknologi Informasi.
(3) Penerapan manajemen risiko harus dilakukan secara
terintegrasi dalam setiap tahapan penggunaan
Teknologi Informasi sejak proses perencanaan,
- 7 -
pengadaan, pengembangan, operasional, pemeliharaan
hingga penghentian dan penghapusan sumber daya
Teknologi Informasi.
Pasal 3
Penerapan manajemen risiko dalam penggunaan Teknologi
Informasi oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
wajib disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran
dan kompleksitas usaha Bank.
BAB III
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO
TEKNOLOGI INFORMASI
Bagian Kesatu
Pengawasan Aktif Direksi dan Dewan Komisaris
Pasal 4
Bank wajib menetapkan wewenang dan tanggung jawab
yang jelas dari Direksi, Dewan Komisaris, dan pejabat pada
setiap jenjang jabatan yang terkait dengan penggunaan
Teknologi Informasi.
Pasal 5
Wewenang dan tanggung jawab Direksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 paling sedikit mencakup:
a. menetapkan Rencana Strategis Teknologi Informasi
dan kebijakan Bank terkait penggunaan Teknologi
Informasi;
b. menetapkan kebijakan, standar, dan prosedur terkait
penyelenggaraan Teknologi Informasi yang memadai
dan mengomunikasikannya secara efektif, baik pada
satuan kerja penyelenggara maupun pengguna
Teknologi Informasi;
c. memastikan:
1. Teknologi Informasi yang digunakan Bank dapat
mendukung perkembangan
usaha Bank,
- 8 -
pencapaian tujuan bisnis Bank dan kelangsungan
pelayanan terhadap nasabah Bank;
2. terdapat kegiatan peningkatan kompetensi
sumber daya manusia yang terkait dengan
penyelenggaraan dan penggunaan Teknologi
Informasi;
3. ketersediaan sistem pengelolaan pengamanan
informasi (information security management
system) yang efektif dan dikomunikasikan kepada
satuan kerja pengguna dan penyelenggara
Teknologi Informasi;
4. penerapan proses manajemen risiko dalam
penggunaan Teknologi Informasi dilaksanakan
secara memadai dan efektif;
5. kebijakan, standar, dan prosedur Teknologi
Informasi diterapkan secara efektif pada satuan
kerja pengguna dan penyelenggara Teknologi
Informasi;
6. terdapat sistem pengukuran kinerja proses
penyelenggaraan Teknologi Informasi yang paling
sedikit dapat:
a) mendukung proses pemantauan terhadap
implementasi strategi;
b) mendukung
penyelesaian
pengembangan Teknologi Informasi;
c) mengoptimalkan pendayagunaan sumber
daya manusia dan investasi pada
infrastruktur; dan
d) meningkatkan
kinerja
proses
penyelenggaraan Teknologi Informasi dan
kualitas layanan penyampaian hasil proses
kepada pengguna Teknologi Informasi.
Pasal 6
Wewenang dan tanggung jawab Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 paling sedikit
mencakup:
proyek
- 9 -
a. mengevaluasi, mengarahkan, dan memantau Rencana
Strategis Teknologi Informasi dan kebijakan Bank
terkait penggunaan Teknologi Informasi; dan
b. mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi atas
penerapan manajemen risiko dalam penggunaan
Teknologi Informasi.
Pasal 7
(1) Bank wajib memiliki komite pengarah Teknologi
Informasi (Information Technology steering committe).
(2) Komite pengarah Teknologi Informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab
memberikan rekomendasi kepada Direksi paling
sedikit terkait dengan:
a. Rencana Strategis Teknologi Informasi yang
sejalan dengan rencana strategis kegiatan usaha
Bank;
b. perumusan kebijakan, standar, dan prosedur
Teknologi Informasi yang utama;
c. kesesuaian antara proyek Teknologi Informasi
yang disetujui dengan Rencana Strategis
Teknologi Informasi;
d. kesesuaian antara pelaksanaan proyek Teknologi
Informasi dengan rencana proyek yang disepakati
(project charter);
e. kesesuaian antara Teknologi Informasi dengan
kebutuhan sistem informasi manajemen serta
kebutuhan kegiatan usaha Bank;
f.
efektivitas langkah-langkah dalam meminimalkan
risiko atas investasi Bank pada sektor Teknologi
Informasi agar investasi Bank pada sektor
Teknologi Informasi memberikan kontribusi
terhadap pencapaian tujuan bisnis Bank;
g. pemantauan atas kinerja Teknologi Informasi dan
upaya peningkatan kinerja Teknologi Informasi;
h. upaya penyelesaian berbagai masalah terkait
Teknologi Informasi yang tidak dapat diselesaikan
oleh satuan kerja pengguna dan penyelenggara
- 10 -
Teknologi Informasi secara efektif, efisien, dan
tepat waktu; dan
i. kecukupan dan alokasi sumber daya yang dimiliki
Bank.
(3) Komite pengarah Teknologi Informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit beranggotakan:
a. direktur yang membawahkan satuan kerja
Teknologi Informasi;
b. direktur yang membawahkan satuan kerja
manajemen risiko;
c. pejabat tertinggi yang memimpin satuan kerja
Teknologi Informasi; dan
d. pejabat tertinggi yang memimpin satuan kerja
pengguna Teknologi Informasi.
(4) Komite pengarah Teknologi Informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diketuai oleh salah satu
direktur Bank merangkap sebagai anggota.
Bagian Kedua
Kecukupan Kebijakan, Standar, dan Prosedur Penggunaan
Teknologi Informasi di Bank
Pasal 8
(1) Bank wajib memiliki kebijakan, standar, dan prosedur
penggunaan Teknologi Informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b dan wajib
menerapkan kebijakan, standar, dan prosedur
penggunaan Teknologi Informasi secara konsisten dan
berkesinambungan.
(2) Kebijakan, standar, dan prosedur penggunaan
Teknologi Informasi paling sedikit meliputi aspek:
a. manajemen;
b. pengembangan dan pengadaan;
c. operasional Teknologi Informasi;
d.
jaringan komunikasi;
e. pengamanan informasi;
f. Rencana Pemulihan Bencana;
g. Layanan Perbankan Elektronik;
- 11 -
h. penggunaan pihak penyedia jasa Teknologi
Informasi; dan
i. penyediaan jasa Teknologi Informasi oleh Bank.
(3) Bank wajib menetapkan limit risiko yang dapat
ditoleransi untuk memastikan aspek terkait Teknologi
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
berjalan dengan optimal.
(4) Bank wajib melakukan kaji ulang dan pengkinian
kebijakan, standar dan prosedur sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) secara berkala.
(5) Bank wajib menetapkan jangka waktu kaji ulang dan
pengkinian kebijakan, standar, dan prosedur
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam kebijakan
secara tertulis.
Pasal 9
(1) Bank wajib memiliki Rencana Strategis Teknologi
Informasi yang mendukung rencana strategis kegiatan
usaha Bank.
(2) Rencana Strategis Teknologi Informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam
rencana bisnis Bank.
Bagian Ketiga
Proses Manajemen Risiko Terkait Teknologi Informasi
Pasal 10
(1) Bank wajib memiliki kebijakan, standar, dan prosedur
atas proses manajemen risiko Teknologi Informasi.
(2) Bank wajib melakukan proses manajemen risiko
terkait penggunaan Teknologi Informasi.
(3) Proses manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan paling sedikit terhadap aspek
terkait Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2).
(4) Dalam hal Bank menggunakan pihak penyedia jasa
Teknologi Informasi, Bank wajib memastikan pihak
- 12 -
penyedia jasa Teknologi Informasi menerapkan
manajemen risiko sebagaimana diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 11
Dalam melakukan pengembangan dan pengadaan
Teknologi Informasi, Bank wajib melakukan langkah
pengendalian untuk menghasilkan sistem dan data yang
terjaga kerahasiaan dan integrasi serta mendukung
pencapaian tujuan Bank, antara lain mencakup:
a. menetapkan dan menerapkan prosedur dan
metodologi pengembangan dan pengadaan Teknologi
Informasi secara konsisten;
b. menerapkan manajemen proyek dalam pengembangan
sistem;
c. melakukan uji coba yang memadai pada saat
pengembangan dan pengadaan suatu sistem,
termasuk uji coba bersama satuan kerja pengguna,
untuk memastikan keakuratan dan berfungsinya
sistem sesuai kebutuhan pengguna serta kesesuaian
sistem yang satu dengan sistem yang lain;
d. melakukan dokumentasi atas pengembangan dan
pemeliharaan sistem;
e. memiliki manajemen perubahan sistem aplikasi;
f. memastikan sistem Teknologi Informasi Bank mampu
menampilkan kembali informasi secara utuh; dan
g. mengukur urgensi pembuatan perjanjian tertulis
(escrow agreement) atas perangkat lunak yang
dianggap penting untuk kelangsungan operasional
Bank dalam hal perangkat lunak dibuat oleh pihak
lain dan kode sumber tidak diberikan kepada Bank.
Pasal 12
Bank wajib memastikan kelangsungan dan kestabilan
operasional Teknologi Informasi serta memitigasi risiko
yang berpotensi dapat mengganggu kegiatan operasional
Bank.
- 13 -
Pasal 13
Bank wajib menyediakan jaringan komunikasi yang
memenuhi prinsip kerahasiaan (confidentiality), integritas
(integrity), dan ketersediaan (availability).
Pasal 14
Bagi bank umum konvensional yang memiliki unit usaha
syariah wajib memiliki sistem yang dapat menghasilkan
laporan terpisah bagi kegiatan unit usaha syariah.
Pasal 15
(1) Bank wajib memiliki Rencana Pemulihan Bencana.
(2) Bank wajib memastikan Rencana Pemulihan Bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilaksanakan secara efektif agar kelangsungan
operasional Bank tetap berjalan saat terjadi bencana
dan/atau gangguan pada sarana Teknologi Informasi
yang digunakan Bank.
(3) Bank wajib melakukan uji coba atas Rencana
Pemulihan Bencana terhadap seluruh aplikasi dan
infrastruktur yang kritikal sesuai hasil analisis
dampak bisnis (business impact analysis), paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun dengan
melibatkan pengguna Teknologi Informasi.
(4) Bank wajib melakukan kaji ulang Rencana Pemulihan
Bencana paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun.
Pasal 16
Bank wajib memastikan pengamanan informasi
dilaksanakan secara efektif dengan memperhatikan paling
sedikit:
a. pengamanan informasi yang ditujukan agar informasi
yang dikelola terjaga kerahasiaan (confidentiality),
integritas (integrity), dan ketersediaan (availability)
secara efektif dan efisien dengan memperhatikan
kepatuhan terhadap ketentuan;
- 14 -
b. pengamanan informasi yang dilakukan terhadap aspek
teknologi, sumber daya manusia, dan proses dalam
penggunaan Teknologi Informasi;
c. pengamanan informasi yang diterapkan berdasarkan
hasil penilaian terhadap risiko (risk assessment) pada
informasi yang dimiliki Bank; dan
d. ketersediaan manajemen penanganan insiden dalam
pengamanan informasi.
Bagian Keempat
Sistem Pengendalian dan Audit Intern atas
Penyelenggaraan Teknologi Informasi
Pasal 17
(1) Bank wajib melaksanakan sistem pengendalian intern
secara efektif terhadap seluruh aspek penggunaan
Teknologi Informasi.
(2) Sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. pengawasan oleh manajemen dan adanya budaya
pengendalian;
b. identifikasi dan penilaian risiko;
c. kegiatan pengendalian dan pemisahan fungsi;
d. sistem informasi, sistem akuntansi, dan sistem
komunikasi; dan
e.
kegiatan pemantauan dan koreksi penyimpangan,
yang dilakukan oleh satuan kerja operasional,
satuan kerja audit intern maupun pihak lain.
(3) Sistem informasi, sistem akuntansi, dan sistem
komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf d harus didukung oleh teknologi, sumber daya
manusia, dan struktur organisasi Bank yang
memadai.
(4) Kegiatan pemantauan dan tindakan koreksi
penyimpangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf e paling sedikit meliputi:
- 15 -
a. kegiatan pemantauan secara terus menerus;
b. pelaksanaan fungsi audit intern yang efektif dan
menyeluruh; dan
c. perbaikan terhadap penyimpangan yang
diidentifikasi oleh satuan kerja operasional,
satuan kerja audit intern, dan/atau pihak lain.
Pasal 18
(1) Pelaksanaan fungsi audit intern Teknologi Informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4)
huruf b memperhatikan kepatuhan terhadap
ketentuan mengenai standar pelaksanaan fungsi audit
intern.
(2) Dalam rangka memastikan pelaksanaan audit intern
Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (4) huruf b, Bank wajib memastikan
ketersediaan jejak audit (audit trail) atas seluruh
kegiatan penyelenggaraan Teknologi Informasi untuk
keperluan pengawasan, penegakan hukum,
penyelesaian sengketa, verifikasi, pengujian, dan
pemeriksaan lain.
(3) Dalam hal terdapat keterbatasan kemampuan satuan
kerja audit intern, pelaksanaan fungsi audit intern
Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan oleh auditor ekstern.
(4) Bank wajib melaksanakan audit intern terhadap
seluruh
aspek dalam penyelenggaraan dan
penggunaan Teknologi Informasi sesuai kebutuhan,
prioritas, dan hasil analisis risiko Teknologi Informasi
paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Pasal 19
(1) Bank wajib memiliki pedoman audit intern atas
penggunaan Teknologi Informasi yang diselenggarakan
oleh Bank sendiri dan/atau oleh pihak penyedia jasa
Teknologi Informasi.
- 16 -
(2) Bank wajib melakukan kaji ulang atas fungsi audit
intern atas penggunaan Teknologi Informasi paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun.
(3) Kaji ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
menggunakan jasa pihak ekstern yang independen.
(4) Bank wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan:
a. hasil kaji ulang sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) disertai saran perbaikan sebagai bagian
dari laporan kaji ulang; dan
b. hasil audit intern terhadap Teknologi Informasi
sebagai bagian dari laporan pelaksanaan dan
pokok-pokok hasil audit intern,
sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai
penerapan standar pelaksanaan fungsi audit intern.
BAB IV
PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI INFORMASI
OLEH BANK DAN/ATAU PIHAK PENYEDIA JASA
TEKNOLOGI INFORMASI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 20
(1) Bank menyelenggarakan Teknologi Informasi.
(2) Penyelenggaraan Teknologi Informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Bank
sendiri dan/atau pihak penyedia jasa Teknologi
Informasi.
(3) Dalam hal penyelenggaraan Teknologi Informasi Bank
dilakukan oleh pihak penyedia jasa Teknologi
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank
wajib:
a. bertanggung jawab atas penerapan manajemen
risiko;
b. memiliki satuan kerja Teknologi Informasi;
- 17 -
c. memiliki pejabat tertinggi yang memimpin satuan
kerja Teknologi Informasi;
d. mampu melakukan pengawasan atas
pelaksanaan kegiatan Bank yang diselenggarakan
oleh pihak penyedia jasa;
e. memilih pihak penyedia jasa Teknologi Informasi
berdasarkan analisa biaya dan manfaat (cost and
benefit analysis) dengan mengikutsertakan
satuan kerja Teknologi Informasi Bank;
f. memantau dan mengevaluasi keandalan pihak
penyedia jasa Teknologi Informasi secara berkala
yang menyangkut kinerja, reputasi penyedia jasa,
dan kelangsungan penyediaan layanan;
g. memberikan akses kepada auditor intern, auditor
ekstern, dan Otoritas Jasa Keuangan untuk
memperoleh data dan informasi setiap kali
dibutuhkan;
h. memberikan akses kepada Otoritas Jasa
Keuangan terhadap Pangkalan Data secara tepat
waktu, baik untuk data terkini maupun untuk
data yang telah lalu; dan
i. memastikan pihak penyedia jasa Teknologi
Informasi:
1. memiliki tenaga ahli yang memiliki
keandalan dengan didukung oleh sertifikat
keahlian secara akademis dan/atau secara
profesional sesuai dengan keperluan
penyelenggaraan Teknologi Informasi;
2. menerapkan prinsip pengendalian Teknologi
Informasi (Information Technology control)
secara memadai yang dibuktikan dengan
hasil audit yang dilakukan pihak
independen;
3. menyediakan akses bagi auditor intern Bank,
auditor ekstern yang ditunjuk oleh Bank,
Otoritas Jasa Keuangan, dan/atau pihak lain
yang sesuai dengan ketentuan peraturan
- 18 -
perundang-undangan berwenang untuk
melakukan pemeriksaan dalam rangka
memperoleh data dan informasi yang
diperlukan secara tepat waktu setiap kali
dibutuhkan;
4. menyatakan tidak berkeberatan dalam hal
Otoritas Jasa Keuangan dan/atau pihak lain
yang sesuai undang-undang berwenang
untuk melakukan pemeriksaan, akan
melakukan pemeriksaan terhadap kegiatan
penyediaan jasa yang diberikan;
5. sebagai pihak terafiliasi, menjaga keamanan
seluruh informasi termasuk rahasia Bank
dan data pribadi nasabah;
6. hanya dapat melakukan
pengalihan
sebagian kegiatan (subkontrak) berdasarkan
persetujuan Bank yang dibuktikan dengan
dokumen tertulis;
7. melaporkan kepada Bank setiap kejadian
kritis yang dapat mengakibatkan kerugian
keuangan yang signifikan dan/atau
mengganggu kelancaran operasional Bank;
8. menyampaikan hasil audit Teknologi
Informasi yang dilakukan auditor
independen
secara berkala
penyelenggaraan
Pusat Data,
terhadap
Pusat
Pemulihan Bencana, dan/atau Pemrosesan
Transaksi Berbasis Teknologi Informasi,
kepada Otoritas Jasa Keuangan melalui
Bank yang bersangkutan;
9. menyediakan Rencana Pemulihan Bencana
yang teruji dan memadai;
10. bersedia untuk kemungkinan penghentian
perjanjian sebelum jangka waktu perjanjian
berakhir (early termination); dan
- 19 -
11. memenuhi tingkat layanan sesuai dengan
service level agreement antara Bank dan
pihak penyedia jasa Teknologi Informasi.
(4) Penggunaan pihak penyedia jasa Teknologi Informasi
oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
didasarkan pada perjanjian tertulis yang paling sedikit
memuat kesediaan pihak penyedia jasa Teknologi
Informasi untuk menyelenggarakan
melakukan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf i.
(5) Bank wajib melakukan proses seleksi dalam memilih
pihak penyedia jasa Teknologi Informasi dengan
memperhatikan prinsip kehati-hatian, manajemen
risiko, dan didasarkan pada hubungan kerja sama
secara wajar (arm’s length principle), dalam hal pihak
penyedia jasa Teknologi Informasi merupakan pihak
terkait dengan Bank.
(6) Bank wajib melakukan tindakan tertentu dalam hal
terdapat kondisi berupa:
a. memburuknya kinerja penyelenggaraan Teknologi
Informasi oleh penyedia jasa Teknologi Informasi
yang dapat berdampak signifikan pada kegiatan
usaha Bank;
b. pihak penyedia jasa Teknologi Informasi menjadi
insolven, dalam proses menuju likuidasi, atau
dipailitkan oleh pengadilan;
c. terdapat pelanggaran oleh pihak penyedia jasa
Teknologi Informasi terhadap ketentuan rahasia
Bank dan kewajiban merahasiakan data pribadi
nasabah; dan/atau
d. terdapat kondisi yang menyebabkan Bank tidak
dapat menyediakan data yang diperlukan dalam
rangka pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(7) Tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (6), paling sedikit:
a. melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah kondisi
dan/atau
- 20 -
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diketahui
oleh Bank;
b. memutuskan tindak lanjut yang akan diambil
untuk mengatasi permasalahan termasuk
penghentian penggunaan jasa dalam hal
diperlukan; dan
c. melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan
segera setelah Bank menghentikan penggunaan
jasa sebelum berakhirnya jangka waktu
perjanjian.
(8) Dalam hal penggunaan penyedia jasa Teknologi
Informasi atau rencana penggunaan penyedia jasa
Teknologi Informasi menyebabkan atau diindikasikan
akan menyebabkan kesulitan pengawasan yang
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa
Keuangan dapat:
a. memerintahkan Bank untuk menghentikan
penggunaan jasa Teknologi Informasi sebelum
berakhirnya jangka waktu perjanjian; atau
b. menolak rencana penggunaan pihak penyedia
jasa Teknologi Informasi yang diajukan oleh
Bank.
Bagian Kedua
Penempatan Sistem Elektronik pada Pusat Data
dan/atau Pusat Pemulihan Bencana
Pasal 21
(1) Bank wajib menempatkan Sistem Elektronik pada
Pusat Data dan Pusat Pemulihan Bencana di wilayah
Indonesia.
(2) Bank hanya dapat menempatkan Sistem Elektronik
pada Pusat Data dan/atau Pusat Pemulihan Bencana
di luar wilayah Indonesia sepanjang mendapatkan
persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Sistem Elektronik yang dapat ditempatkan pada Pusat
Data dan/atau Pusat Pemulihan Bencana di luar
- 21 -
wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), adalah:
a. Sistem Elektronik yang digunakan untuk
mendukung analisis terintegrasi dalam rangka
memenuhi home regulatory yang bersifat global,
termasuk lintas negara, sepanjang tidak terkait
langsung dengan data individu nasabah dan data
transaksi masing-masing nasabah, kecuali diatur
lain oleh home regulatory.
b. Sistem Elektronik yang digunakan untuk
manajemen risiko secara terintegrasi dengan
kantor pusat atau kantor induk/kantor entitas
utama di luar wilayah Indonesia, sepanjang
menggunakan:
1. data agregat nasabah; dan/atau
2. data individu nasabah yang merupakan satu
grup dengan nasabah di bank atau grup
bank yang sama di luar wilayah Indonesia;
c. Sistem Elektronik yang digunakan dalam rangka
penerapan anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme secara terintegrasi dengan
kantor pusat bank atau kantor induk bank di
luar wilayah Indonesia, yang tidak terkait dengan
data transaksi nasabah;
d. Sistem Elektronik yang digunakan untuk
manajemen komunikasi antara kantor pusat
dengan kantor cabang atau antara anak
perusahaan dengan perusahaan induk; dan/atau
e. Sistem Elektronik yang digunakan untuk
manajemen intern.
(4) Persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam hal
Bank:
a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5);
b. menyampaikan hasil analisis country risk;
- 22 -
c. memastikan penyelenggaraan Sistem Elektronik
di luar wilayah Indonesia tidak mengurangi
efektifitas pengawasan Otoritas Jasa Keuangan
yang dibuktikan dengan surat pernyataan;
d. memastikan bahwa informasi mengenai rahasia
Bank hanya diungkapkan sepanjang memenuhi
peraturan perundang-undangan di Indonesia
yang dibuktikan dengan perjanjian kerja sama
antara Bank dan pihak penyedia jasa Teknologi
Informasi;
e. memastikan bahwa perjanjian tertulis dengan
penyedia jasa Teknologi Informasi juga memuat
klausula pilihan hukum (choice of law);
f. menyampaikan surat pernyataan tidak keberatan
dari otoritas pengawas penyedia jasa Teknologi
Informasi di luar wilayah Indonesia bahwa
Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
pemeriksaan terhadap pihak penyedia jasa
Teknologi Informasi;
g. menyampaikan surat pernyataan bahwa Bank
akan menyampaikan secara berkala hasil
penilaian yang dilakukan kantor bank di luar
wilayah Indonesia atas penerapan manajemen
risiko pada pihak penyedia jasa Teknologi
Informasi;
h. memastikan manfaat dari rencana penempatan
Sistem Elektronik di luar wilayah Indonesia bagi
Bank lebih besar daripada beban yang ditanggung
oleh Bank; dan
i. menyampaikan
rencana
Bank untuk
meningkatkan kemampuan sumber daya manusia
Bank baik yang berkaitan dengan
penyelenggaraan Teknologi Informasi maupun
transaksi bisnis atau produk yang ditawarkan.
- 23 -
Pasal 22
(1) Pusat Data dan Pusat Pemulihan Bencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 wajib
menjamin kelangsungan usaha Bank.
(2) Pengelolaan Pusat Data dan Pusat Pemulihan Bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Ketiga
Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi
Informasi oleh Pihak Penyedia Jasa
Pasal 23
(1) Bank wajib menyelenggarakan Pemrosesan Transaksi
Berbasis Teknologi Informasi di wilayah Indonesia.
(2) Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi Informasi
dapat dilakukan oleh pihak penyedia jasa di wilayah
Indonesia.
(3) Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Berbasis
Teknologi Informasi oleh pihak penyedia jasa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan
sepanjang:
a. memenuhi prinsip kehati-hatian;
b. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); dan
c. memperhatikan aspek perlindungan kepada
nasabah.
(4) Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi Informasi
oleh pihak penyedia jasa Teknologi Informasi dapat
dilakukan di luar wilayah Indonesia sepanjang:
a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3);
b. dokumen pendukung administrasi keuangan atas
transaksi yang dilakukan di kantor Bank di
Indonesia wajib ditatausahakan di kantor Bank di
Indonesia;
- 24 -
c. Rencana bisnis Bank menunjukkan adanya
upaya untuk meningkatkan peran Bank bagi
perkembangan perekonomian Indonesia; dan
d. mendapatkan persetujuan terlebih dahulu oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 24
(1) Bank wajib memuat rencana penggunaan pihak
penyedia jasa Teknologi Informasi dalam
penyelenggaraan Pusat Data, Pusat Pemulihan
Bencana, dan/atau Pemrosesan Transaksi Berbasis
Teknologi
Informasi dalam Rencana Strategis
Teknologi Informasi dan rencana bisnis Bank.
(2) Bank wajib melaporkan rencana penggunaan pihak
penyedia jasa Teknologi Informasi dalam
penyelenggaraan Pusat Data, Pusat Pemulihan
Bencana dan/atau Pemrosesan Transaksi Berbasis
Teknologi Informasi di wilayah Indonesia kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) bulan
sebelum penyelenggaraan kegiatan oleh pihak
penyedia jasa efektif dioperasikan.
(3) Dalam hal terdapat rencana menyelenggarakan Sistem
Elektronik di luar wilayah Indonesia, Bank wajib
menyampaikan permohonan persetujuan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 3 (tiga) bulan
sebelum penyelenggaraan kegiatan oleh pihak
penyedia jasa Teknologi Informasi efektif dioperasikan.
(4) Realisasi rencana penyelenggaraan Pusat Data, Pusat
Pemulihan Bencana, dan/atau Pemrosesan Berbasis
Teknologi Informasi oleh pihak penyedia jasa Teknologi
Informasi wajib dilaporkan paling lambat 1 (satu)
bulan sejak kegiatan efektif dioperasikan.
(5) Persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan oleh
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 3 (tiga) bulan
setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap
dan memadai.
- 25 -
(6) Tata cara penyampaian rencana dan realisasi rencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) dilaksanakan dengan menggunakan format
laporan penggunaan Teknologi Informasi yang diatur
lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan.
Bagian Keempat
Penyediaan Jasa Teknologi Informasi oleh Bank
Pasal 25
(1) Bank dapat memberikan penyediaan jasa Teknologi
Informasi kepada lembaga jasa keuangan lain:
a. yang diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan,
dan/atau
b. di luar wilayah Indonesia.
(2) Bank wajib mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa
Keuangan dalam penyediaan jasa Teknologi Informasi
kepada lembaga jasa keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan sepanjang
Bank:
a. memenuhi persyaratan penyediaan jasa Teknologi
Informasi tidak menjadi salah satu kegiatan
pokok Bank;
b. memenuhi prinsip kehati-hatian;
c. memperhatikan analisa biaya dan manfaat (cost
and benefit analysis);
d. memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
e. memenuhi prinsip hubungan kerja sama secara
wajar (arm’s length principle).
(4) Penyediaan jasa Teknologi Informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya terbatas pada
penyelenggaraan Pusat Data dan/atau Pusat
Pemulihan Bencana.
- 26 -
(5) Bank dapat memberikan penyediaan jasa Teknologi
Informasi berupa aplikasi dengan persetujuan Otoritas
Jasa Keuangan, sepanjang:
a. tetap memenuhi persyaratan pada ayat (3) dan
lembaga jasa keuangan pengguna jasa Teknologi
Informasi merupakan Bank; dan
b. penyediaan jasa Teknologi Informasi untuk
mendukung program inklusi Keuangan; dan/atau
c. pengguna jasa Teknologi Informasi berada dalam
konglomerasi yang sama.
Pasal 26
Penyediaan jasa Teknologi Informasi dalam rangka
pengembangan layanan produk dan/atau aktivitas Bank
dikecualikan dari pengaturan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25.
BAB V
LAYANAN PERBANKAN ELEKTRONIK
Pasal 27
(1) Bank yang menyelenggarakan Layanan Perbankan
Elektronik wajib memenuhi ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan dan/atau otoritas lain yang terkait.
(2) Bank yang menyelenggarakan produk lanjutan
Layanan Perbankan Elektronik yang dikategorikan
sebagai layanan perbankan digital (digital banking)
wajib memenuhi ketentuan Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai layanan perbankan
digital (digital banking) diatur dalam ketentuan
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 28
(1) Bank wajib memuat rencana penerbitan produk
Layanan Perbankan Elektronik dalam rencana bisnis
Bank.
- 27 -
(2) Bank yang akan menerbitkan produk Layanan
Perbankan Elektronik yang bersifat transaksional
wajib mengajukan permohonan persetujuan produk
Layanan Perbankan Elektronik dan memperoleh
persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Permohonan persetujuan produk Layanan Perbankan
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
dilengkapi dengan hal-hal sebagai berikut:
a. bukti kesiapan untuk menyelenggarakan Layanan
Perbankan Elektronik yang paling sedikit
memuat:
1. struktur organisasi yang mendukung
termasuk pengawasan dari pihak
manajemen;
2. kebijakan, sistem, prosedur dan kewenangan
dalam penerbitan produk
Perbankan Elektronik;
3. kesiapan infrastruktur Teknologi Informasi
untuk mendukung produk
Perbankan Elektronik;
4.
Layanan
Layanan
hasil analisa dan identifikasi risiko yang
melekat pada produk Layanan Perbankan
Elektronik;
5. kesiapan penerapan manajemen risiko
khususnya pengendalian pengamanan
(security control) untuk memastikan
terpenuhinya
prinsip
kerahasiaan
(confidentiality), integritas (integrity), keaslian
(authentication), tidak dapat diingkari (non
repudiation), dan ketersediaan (availability);
6. hasil analisa aspek hukum;
7. uraian sistem informasi akuntansi; dan
8. program perlindungan dan edukasi nasabah.
b. Hasil analisa bisnis mengenai proyeksi produk
baru 1 (satu) tahun yang akan datang; dan
c. dokumen pendukung lain dalam hal diperlukan.
- 28 -
(4) Penyampaian permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus dilengkapi dengan hasil
pemeriksaan dari pihak independen untuk
memberikan pendapat atas karakteristik produk dan
kecukupan pengamanan sistem Teknologi Informasi
terkait produk serta kepatuhan terhadap ketentuan
dan/atau praktik yang berlaku secara internasional.
(5) Penyelenggaraan Teknologi Informasi untuk kegiatan
Layanan Perbankan Elektronik yang dilakukan oleh
pihak penyedia jasa Teknologi Informasi, tunduk pada
ketentuan sebagaimana diatur dalam Bab IV mengenai
penyelenggaraan Teknologi Informasi oleh Bank
dan/atau pihak penyedia jasa Teknologi Informasi.
Pasal 29
Bank wajib menerapkan prinsip pengendalian pengamanan
data nasabah dan transaksi Layanan Perbankan Elektronik
pada setiap Sistem Elektronik yang digunakan oleh Bank.
BAB VI
PELAPORAN
Bagian Pertama
Laporan Teknologi Informasi
Pasal 30
(1) Bank wajib melaporkan kondisi terkini penggunaan
Teknologi Informasi paling lambat 1 (satu) bulan sejak
akhir tahun pelaporan.
(2) Bank wajib melaporkan rencana pengembangan
Teknologi Informasi yang akan diimplementasikan
1 (satu) tahun ke depan paling lambat tanggal 31
Oktober tahun sebelumnya.
(3) Rencana pengembangan Teknologi
Informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah
1 (satu) kali.
- 29 -
(4) Perubahan rencana pengembangan
Teknologi
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan paling lambat tanggal 30 Juni tahun
berjalan.
(5) Bank dapat mengajukan perubahan rencana
pengembangan Teknologi Informasi selain dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
sepanjang memenuhi pertimbangan tertentu dan
mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa
Keuangan.
(6) Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta Bank
untuk melakukan penyesuaian terhadap perubahan
rencana pengembangan Teknologi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Informasi
(7) Bank wajib melaporkan hasil audit Teknologi
Informasi paling lambat 2 (dua) bulan setelah audit
selesai dilakukan.
Bagian Kedua
Laporan Insidentil
Pasal 31
(1) Bank wajib melaporkan kejadian kritis,
penyalahgunaan, dan/atau kejahatan dalam
penyelenggaraaan Teknologi Informasi yang dapat
dan/atau telah mengakibatkan kerugian keuangan
yang signifikan dan/atau mengganggu kelancaran
operasional Bank.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan dengan segera kepada Otoritas Jasa
Keuangan melalui surat elektronik (electronic mail)
atau telepon yang diikuti dengan laporan tertulis
paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah kejadian kritis
dan/atau penyalahgunaan atau kejahatan diketahui.
(3) Laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan bagian dari laporan kondisi yang
berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan
- 30 -
terhadap kondisi keuangan Bank sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank
Umum.
Bagian Ketiga
Permohonan Persetujuan dan Laporan Realisasi
Pasal 32
(1) Bank yang memiliki rencana kegiatan sebagai
penyedia jasa Teknologi Informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 dan/atau menerbitkan
produk Layanan Perbankan Elektronik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28, harus mengajukan
permohonan persetujuan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum
implementasi.
(2) Bank wajib menyampaikan laporan realisasi kegiatan
sebagai penyedia jasa Teknologi Informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan/atau
menerbitkan produk Layanan Perbankan Elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 3 (tiga) bulan
setelah implementasi.
(3) Bank yang:
a. menyelenggarakan Sistem Elektronik yang
ditempatkan pada Pusat Data dan/atau Pusat
Pemulihan Bencana di luar wilayah Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; dan/atau
penyelenggaraan
b. menyerahkan
Pemrosesan
Transaksi Berbasis Teknologi Informasi kepada
pihak penyedia jasa di luar wilayah Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23,
harus mengajukan permohonan persetujuan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 3 (tiga) bulan
sebelum rencana implementasi.
- 31 -
(4) Bank yang:
a. menyelenggarakan Sistem Elektronik yang
ditempatkan pada Pusat Data dan/atau Pusat
Pemulihan Bencana di luar wilayah Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; dan/atau
b. menyerahkan penyelenggaraan
Pemrosesan
Transaksi Berbasis Teknologi Informasi kepada
pihak penyedia jasa di luar wilayah Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23,
wajib menyampaikan laporan realisasi kepada Otoritas
Jasa Keuangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah
implementasi.
(5) Bank harus melakukan implementasi rencana
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan/atau ayat (3) paling lama 6 (enam) bulan sejak
persetujuan diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(6) Dalam hal Bank tidak melakukan implementasi
rencana kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan/atau ayat (3) dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
sejak persetujuan diberikan oleh Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan menjadi tidak
berlaku.
(7) Dalam hal persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sudah
tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
dan Bank tetap akan melakukan implementasi
rencana kegiatan bank sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan/atau ayat (3), Bank harus menyampaikan
kembali permohonan persetujuan kepada Otoritas
Jasa Keuangan.
- 32 -
Bagian Keempat
Format dan Alamat Penyampaian Laporan
Pasal 33
Format dan petunjuk penyusunan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32 diatur
dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 34
Permohonan persetujuan penggunaan penyedia jasa
Teknologi Informasi di luar wilayah Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23, permohonan
persetujuan penerbitan produk Layanan Perbankan
Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, serta
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32 disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan dengan alamat:
a. Departemen Pengawasan Bank terkait, Departemen
Perbankan Syariah atau Kantor Regional Otoritas Jasa
Keuangan di Jakarta, bagi Bank yang berkantor pusat
atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri yang berada di wilayah Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta; atau
b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor
Otoritas Jasa Keuangan setempat, sesuai wilayah
tempat kedudukan kantor pusat Bank.
BAB VII
LAIN-LAIN
Pasal 35
(1) Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
pemeriksaan atau meminta Bank untuk melakukan
pemeriksaan terhadap
penggunaan Teknologi Informasi.
seluruh aspek terkait
- 33 -
(2) Bank wajib menyediakan akses kepada Otoritas Jasa
Keuangan untuk dapat melakukan pemeriksaan pada
seluruh aspek terkait penyelenggaraan Teknologi
Informasi yang diselenggarakan sendiri dan/atau yang
diselenggarakan oleh pihak lain.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 36
(1) Bank yang tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1),
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1),
Pasal 8 ayat (3), Pasal 8 ayat (4), Pasal 8 ayat (5),
Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 10
ayat (4), Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (2),
Pasal 18 ayat (4), Pasal 19, Pasal 20 ayat (3), Pasal 20
ayat (4), Pasal 20 ayat (5), Pasal 20 ayat (6), Pasal 21
ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (4), Pasal 24
ayat (1), Pasal 24 ayat (2), Pasal 24 ayat (3), Pasal 24
ayat (4), Pasal 25 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27
ayat (2), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28 ayat (2), Pasal 28
ayat (3), Pasal 29, dan/atau Pasal 35 ayat (2),
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dapat
dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan berupa penurunan
peringkat faktor tata kelola dalam penilaian
tingkat kesehatan Bank;
c. larangan untuk menerbitkan produk atau
melaksanakan aktivitas baru;
d. pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau
e. pencantuman anggota Direksi, Dewan Komisaris,
dan pejabat eksekutif dalam daftar tidak lulus
melalui mekanisme penilaian kemampuan dan
kepatutan.
- 34 -
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
huruf c, huruf d atau huruf e dapat dikenakan baik
dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi
teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a.
Pasal 37
(1) Bank yang tidak memenuhi ketentuan pelaporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1),
Pasal 30 ayat (2), Pasal 30 ayat (7), Pasal 31 ayat (1),
Pasal 31 ayat (2), Pasal 32 ayat (2), dan/atau
Pasal 32 ayat (4) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dikenakan sanksi administratif berupa:
a. denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)
per hari keterlambatan per laporan; atau
b. denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) per laporan, bagi Bank yang belum
menyampaikan laporan setelah 1 (satu) bulan
sejak batas akhir waktu penyampaian laporan.
(2) Pengenaan sanksi denda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban penyampaian
laporan.
Pasal 38
(1) Bank yang menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 30 ayat (2),
Pasal 30 ayat (7), Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (2),
Pasal 32 ayat (2), dan/atau Pasal 32 ayat (4), namun
tidak sesuai dengan kondisi Bank yang sebenarnya
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Bank dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) setelah:
a. Bank diberikan 2 (dua) kali surat teguran oleh
Otoritas Jasa Keuangan dengan tenggang waktu
7 (tujuh) hari kerja untuk setiap teguran; dan
- 35 -
b. Bank tidak memperbaiki laporan dalam jangka
waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah surat teguran
terakhir.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 39
Bank yang telah memiliki kebijakan, standar, dan prosedur
dalam penggunaan Teknologi Informasi dan pedoman
manajemen risiko penggunaan Teknologi Informasi harus
menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak
berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 40
Bank yang telah menggunakan pihak penyedia jasa
Teknologi Informasi sebelum berlakunya Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini, harus menyesuaikan perjanjian yang
telah dibuat sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 41
(1) Bank yang telah menempatkan Sistem Elektronik pada
Pusat Data dan/atau Pusat Pemulihan Bencana di
luar wilayah Indonesia sebelum berlakunya Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, harus memindahkan
Pusat Data, Pusat Pemulihan Bencana, dan/atau
Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi Informasi
yang menyelenggarakan Sistem Elektronik untuk
pelayanan publik ke Indonesia paling lambat tanggal
15 Oktober 2017.
(2) Dalam rangka pemindahan lokasi Pusat Data, Pusat
Pemulihan Bencana, dan/atau Pemrosesan Transaksi
Berbasis Teknologi Informasi dari luar wilayah
Indonesia ke Indonesia, Bank harus menyampaikan
laporan rencana tindak (action plan) kepada
- 36 -
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat tanggal
30 Desember 2016.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penerapan Manajemen
Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank
Umum diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 43
(1) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku,
Peraturan
Bank
Indonesia
Nomor 9/15/PBI/2007 tentang Penerapan Manajemen
Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh
Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4785) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
(2) Peraturan pelaksanaan dari peraturan Bank Indonesia
Nomor 9/15/PBI/2007 tentang Penerapan Manajemen
Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh
Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4785) dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini.
Pasal 44
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan dan ditetapkan.
- 37 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 267
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 38 /POJK.03/2016
TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO DALAM
PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH BANK UMUM
I. UMUM
Dalam rangka meningkatkan efisiensi kegiatan operasional dan
mutu pelayanan Bank kepada nasabahnya, Bank dituntut untuk
mengembangkan strategi bisnis Bank dengan lebih optimal dalam
memanfaatkan kemajuan Teknologi Informasi untuk meningkatkan
daya saing Bank.
Penerapan Teknologi Informasi membawa perubahan dalam
kegiatan operasional dan pengelolaan data Bank sehingga dapat
dilakukan secara lebih efisien dan efektif serta memberikan informasi
secara lebih akurat dan cepat. Perkembangan produk perbankan
berbasis teknologi diantaranya berupa Layanan Perbankan Elektronik
(Electronic Banking) dan layanan perbankan digital (digital banking),
lebih memudahkan nasabah untuk melakukan transaksi perbankan
secara non tunai setiap saat melalui jaringan elektronik. Selain itu
penggunaan jasa pihak ketiga dalam penyediaan sistem dan pelayanan
Bank semakin meningkat pula.
Di samping berbagai manfaat dan keunggulan yang diperoleh dari
penggunaan Teknologi Informasi dalam pelaksanaan kegiatan
operasional Bank, terdapat pula risiko yang dapat merugikan Bank dan
nasabah seperti risiko operasional, risiko hukum, dan risiko reputasi,
selain risiko perbankan lainnya seperti risiko likuiditas dan risiko
kredit.
- 2 -
Oleh karena itu, agar dapat melindungi kepentingan Bank dan
juga nasabah, Bank dituntut untuk menerapkan manajemen risiko
secara efektif sehingga Bank dapat melakukan pengendalian dari
kemungkinan penambahan risiko yang terjadi.
Mengingat bahwa Teknologi Informasi merupakan aset penting
dalam operasional yang dapat meningkatkan nilai tambah dan daya
saing Bank sementara dalam penyelenggaraannya mengandung
berbagai risiko maka Bank perlu menerapkan tata kelola teknologi
informasi (information technology governance). Keberhasilan penerapan
tata kelola teknologi informasi sangat tergantung pada komitmen
seluruh unit kerja di Bank, baik penyelenggara maupun pengguna
Teknologi Informasi. Penerapan tata kelola teknologi informasi
dilakukan melalui penyelarasan Rencana Strategis Teknologi Informasi
dengan strategi bisnis Bank, optimalisasi pengelolaan sumber daya,
pemanfaatan Teknologi Informasi (Information Technology value
delivery), pengukuran kinerja, dan penerapan manajemen risiko yang
efektif.
Untuk dapat menerapkan manajemen risiko yang efektif,
diperlukan keterlibatan dan pengawasan Direksi dan Dewan Komisaris,
penyusunan dan penerapan kebijakan, standar, dan prosedur terkait
Teknologi Informasi serta proses identifikasi, pengukuran, pemantauan
dan pengendalian risiko yang berkesinambungan.
Selain itu, pada masa yang akan datang Bank dituntut pula untuk
mengantisipasi kebutuhan infrastruktur Teknologi Informasi yang
memadai dalam rangka menghadapi implementasi kerangka Basel
(Basel framework).
Seiring dengan perkembangan yang ada baik dalam lingkup
nasional maupun internasional, sampai dengan saat ini telah
dikeluarkan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan Teknologi Informasi antara lain Undang-Undang
mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik dan peraturan
pelaksanaannya berupa Peraturan Pemerintah mengenai
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik serta Peraturan
Menteri terkait. Selain itu, standar acuan penilaian terkait Teknologi
Informasi seperti Standar Nasional Indonesia (SNI), International
Organization for Standarization (ISO), Control Objective for Information
and Related Technology (COBIT), dan International Electrotechnical
- 3 -
Commission (IEC) juga mengalami pengkinian sehingga menjadi lebih
komprehensif dalam mendukung perkembangan dan implementasi
Teknologi Informasi.
Dengan ketentuan ini, Bank diharapkan mampu mengelola risiko
yang dihadapi secara efektif dalam seluruh aktivitas operasional yang
didukung dengan pemanfaatan Teknologi Informasi.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Sumber daya Teknologi Informasi mencakup antara lain
perangkat keras, perangkat lunak, jaringan, sumber daya
manusia, data, dan informasi.
Perangkat keras adalah 1 (satu) atau serangkaian alat yang
terhubung dalam Sistem Elektronik.
Perangkat lunak adalah 1 (satu) atau sekumpulan program
komputer, prosedur, dan/atau dokumentasi yang terkait
dalam pengoperasian Sistem Elektronik.
Pasal 3
Kompleksitas usaha meliputi antara lain keragaman dalam jenis
transaksi, produk, jasa, jaringan kantor dan/atau teknologi
pendukung yang digunakan.
Pasal 4
Dalam menetapkan wewenang dan tanggung jawab, Bank perlu
memperhatikan antara lain prinsip pemisahan tugas dan tanggung
jawab (segregation of duties), misalnya pihak yang melakukan
input data berbeda dari pihak yang melakukan validasi data.
- 4 -
Pasal 5
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Peningkatan kompetensi sumber daya manusia antara
lain melalui program pendidikan dan pelatihan secara
berkesinambungan mengenai penyelenggaraan dan
penggunaan Teknologi Informasi.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Struktur komite pengarah Teknologi Informasi dapat
disesuaikan dengan ukuran dan kompleksitas kegiatan Bank
serta struktur kepemilikan atau legal entity Bank.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 5 -
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kedalaman kebijakan, standar, dan prosedur penggunaan
Teknologi Informasi disesuaikan dengan tujuan kebijakan
usaha, ukuran dan kompleksitas usaha Bank, dan
memperhatikan profil risiko Bank.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “manajemen” antara lain Direksi,
Dewan Komisaris, dan komite pengarah Teknologi
Informasi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “limit risiko” adalah tingkat kesalahan
yang masih dapat ditoleransi oleh sistem (risk tolerance) atau
standar pengamanan yang ditetapkan atau disetujui untuk
tidak dilampaui.
Standar pengamanan sebagaimana dimaksud di atas
disesuaikan dengan risk appetite yang dimiliki Bank.
- 6 -
Ayat (4)
Kaji ulang dan pengkinian dilakukan agar kebijakan, standar,
dan prosedur tetap sesuai dengan perkembangan operasional
Bank dan Teknologi Informasi.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “proses manajemen risiko” adalah
mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan
risiko.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Informasi yang ditampilkan kembali terkait dengan sistem
yang tidak lagi digunakan dalam operasional Bank,
proprietary system, maupun sistem yang masih digunakan
- 7 -
dalam operasional Bank namun mengalami gangguan.
Yang dimaksud dengan “secara utuh” adalah informasi yang
ditampilkan lengkap dan akurat.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “kode sumber” adalah suatu
rangkaian perintah, pernyataan, dan/atau deklarasi yang
ditulis dalam bahasa pemrograman komputer yang dapat
dibaca dan dipahami.
Kode sumber ditempatkan pada pihak independen
berdasarkan kesepakatan antara Bank dan pihak pembuat
kode sumber.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan “memiliki sistem yang dapat menghasilkan
laporan terpisah” adalah sistem yang dapat mengidentifikasikan
input, proses, dan output dari transaksi berdasarkan prinsip
syariah.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Rencana Pemulihan Bencana mencakup rencana pemulihan
pada berbagai tingkat bencana dan gangguan seperti:
a. minor disaster yang berdampak kecil dan tidak
memerlukan biaya besar serta dapat diselesaikan dalam
jangka waktu pendek;
b. major disaster yang berdampak besar dan dapat menjadi
lebih parah apabila tidak diatasi segera; dan/atau
c. catastrophic yang berdampak terjadi kerusakan yang
bersifat permanen sehingga memerlukan relokasi atau
penggantian dengan biaya yang besar.
- 8 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Dalam melaksanakan sistem pengendalian intern Teknologi
Informasi, Bank mengacu pada prinsip umum sebagaimana
diatur dalam ketentuan mengenai pedoman standar sistem
pengendalian intern.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan memadai antara lain teknologi yang
sesuai dengan kegiatan operasional Bank, sumber daya
manusia yang kompeten dan struktur organisasi yang tidak
memberikan peluang
menyembunyikan kesalahan atau penyimpangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penggunaan auditor ekstern untuk melaksanakan fungsi
audit intern atas Teknologi Informasi tidak mengurangi
tanggung jawab pimpinan satuan kerja audit intern. Selain
itu penggunaan auditor ekstern harus mempertimbangkan
ukuran dan kompleksitas usaha Bank serta memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan terkait auditor
ekstern.
untuk melakukan dan/atau
- 9 -
Dalam hal Bank menggunakan auditor ekstern untuk
melaksanakan fungsi audit intern atas Teknologi Informasi,
proses Entreprise Data Management tetap harus dijalankan
oleh satuan kerja audit intern.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Penyelenggaraan Teknologi Informasi antara lain penempatan
Sistem Elektronik pada Pusat Data dan Pusat Pemulihan
Bencana.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “menggunakan pihak penyedia jasa
Teknologi Informasi” adalah penggunaan jasa pihak lain
dalam penyelenggaraan Teknologi Informasi Bank secara
berkesinambungan dan/atau dalam periode tertentu.
Yang dimaksud dengan pihak lain bagi:
a. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri termasuk kantor pusat dan kantor bank lain di luar
negeri maupun kelompok usaha Bank; atau
b. bank yang dimiliki pihak asing termasuk kantor induk
dan kelompok usaha Bank.
Selain itu, meskipun Bank menyerahkan penyelenggaraan
Teknologi Informasi kepada pihak penyedia jasa maka Bank
tetap disebut sebagai penyelenggara Sistem Elektronik untuk
setiap Sistem Elektronik yang digunakan Bank dalam
menjalankan kegiatan usahanya.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud tanggung jawab Bank dalam
menerapkan manajemen risiko antara lain dengan
memastikan bahwa penyedia jasa Teknologi Informasi
menerapkan manajemen risiko secara memadai pada
- 10 -
kegiatan Bank yang diselenggarakan oleh pihak penyedia
jasa Teknologi Informasi sesuai dengan yang
dipersyaratkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “secara berkala” adalah
pemantauan dan evaluasi keandalan pihak penyedia jasa
Teknologi Informasi sesuai dengan risk appetite Bank
terhadap jasa yang diberikan oleh pihak penyedia jasa
Teknologi Informasi.
Huruf g
Akses untuk memperoleh data dan informasi
dimaksudkan agar pemeriksaan dapat dilaksanakan
secara efektif.
Huruf h
Akses terhadap Pangkalan Data meliputi namun tidak
terbatas pada penyediaan terminal, user id untuk
melakukan query, dan mengunduh data.
Huruf i
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Syarat ini dimaksudkan untuk meyakini bahwa
Pusat Data, Pusat Pemulihan Bencana, dan/atau
jasa Teknologi Informasi yang digunakan oleh Bank
memiliki pengendalian Teknologi Informasi yang
memadai paling sedikit mencakup pengamanan fisik
dan pengamanan logic.
- 11 -
Angka 3
Akses sebagaimana dimaksud pada angka ini
dibutuhkan untuk memperoleh data dan informasi
yang diperlukan secara tepat waktu setiap kali
dibutuhkan dalam rangka audit Teknologi
Informasi, audit dan/atau pemeriksaan lain.
Auditor Otoritas Jasa Keuangan termasuk auditor
ekstern yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Informasi termasuk sistem dan perangkat yang
digunakan untuk memproses, menyimpan, dan
mengirimkan informasi, merupakan aset yang harus
dijamin keamanannya oleh pihak penyedia jasa
dengan cara dilindungi dari musuh dan ancaman
bahaya yang dapat mengganggu prinsip kerahasiaan
(confidentiality), integritas (integrity),
ketersediaan (availability).
dan
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Yang dimaksud dengan “secara berkala” adalah
pelaksanaan audit sesuai dengan risk appetite Bank
terhadap jasa yang diberikan oleh pihak penyedia
jasa Teknologi Informasi.
Cakupan audit yang dilakukan oleh auditor
independen termasuk sistem aplikasi yang
digunakan untuk memproses data Bank.
Angka 9
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
- 12 -
Angka 11
Pemenuhan tingkat layanan dilakukan antara lain
dengan memastikan penyelenggaraan Teknologi
Informasi dapat mendukung Bank beroperasi
sebagaimana mestinya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “hubungan kerja sama secara
wajar (arm's length principle)” adalah kondisi dimana
transaksi antar pihak bersifat independen sebagaimana pihak
yang tidak terkait, antara lain memiliki kesetaraan dan
didasarkan pada harga pasar yang wajar sehingga
meminimalisasi terjadinya benturan kepentingan (conflict of
interest).
Yang dimaksud dengan “pihak terkait dengan Bank” adalah
pihak terkait sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai
batas maksimum pemberian kredit bank umum.
Ayat (6)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “insolven” adalah tidak memiliki
cukup dana untuk melunasi utang.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Indikasi kesulitan pengawasan antara lain:
a. kesulitan otoritas pengawas dalam melakukan akses
terhadap data dan informasi;
b. kesulitan dalam pelaksanaan pemeriksaan terhadap pihak
penyedia jasa Teknologi Informasi; dan/atau
- 13 -
c. pihak penyedia jasa Teknologi Informasi digunakan
sebagai media untuk melakukan rekayasa data Bank
dan/atau rekayasa keuangan Bank.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “home regulatory” adalah
ketentuan yang diterbitkan oleh otoritas negara asal
bank.
Dalam hal ini home regulatory untuk kantor cabang
adalah sesuai dengan kedudukan kantor pusat bank di
luar negeri, sedangkan untuk kantor subsidiari sesuai
dengan kedudukan kantor induk/kantor entitas utama,
berupa bank di luar negeri.
Yang dimaksud aturan lain dalam hal ini adalah
ketentuan dalam rangka untuk kepentingan publik atau
negara, penegakan hukum, atau penerapan prinsip
kehati-hatian.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “nasabah yang merupakan satu
grup” adalah nasabah lain yang mempunyai hubungan
pengendalian dengan nasabah, sesuai dengan ketentuan
mengenai batas maksimum pemberian kredit atau batas
maksimum penyaluran dana.
Yang dimaksud dengan “grup bank yang sama” adalah
kantor induk atau kantor entitas utama, anak
perusahaan, atau perusahaan terelasi, yang berupa
bank.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
- 14 -
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “tidak mengurangi efektifitas
pengawasan Otoritas Jasa Keuangan” adalah tidak
menimbulkan kesulitan pengawas dalam memperoleh
data dan informasi yang diperlukan seperti adanya akses
terhadap Pangkalan Data dan memiliki struktur
Pangkalan Data dari setiap aplikasi yang digunakan.
Huruf d
Ketentuan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia antara lain ketentuan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai persyaratan dan tata cara pemberian perintah
atau izin tertulis membuka rahasia Bank.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Surat pernyataan disampaikan apabila pihak penyedia
jasa Teknologi Informasi memiliki otoritas pengawasan.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “kantor bank di luar wilayah
Indonesia” adalah:
1. bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri yaitu kantor pusat atau kantor lainnya;
atau
2. bagi Bank yang dimiliki lembaga keuangan asing
yaitu kantor induk bank.
Surat pernyataan disampaikan termasuk apabila bank
memiliki kantor bank di wilayah yang sama dengan
wilayah kedudukan penyedia jasa Teknologi Informasi.
- 15 -
Huruf h
Manfaat yang diharapkan antara lain peningkatan
kualitas layanan kepada nasabah serta penerapan
program anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “menjamin kelangsungan usaha”
adalah memastikan bahwa kelangsungan usaha tetap dapat
berjalan sebagaimana mestinya ketika terjadi bencana atau
gangguan, termasuk menjamin kesiapan Sistem Elektronik
yang terdapat dalam Pusat Data dan Pusat Pemulihan
Bencana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian dalam ayat
ini antara lain mengenai pengelolaan risiko atas produk
dan aktivitas baru sebagaimana diatur dalam ketentuan
mengenai manajemen risiko.
Yang dimaksud dengan produk dan aktivitas baru antara
lain produk dan aktivitas yang menambah atau
meningkatkan risiko pada Bank termasuk
pengembangan pelayanan seperti pemasaran kredit.
Huruf b
Cukup jelas.
- 16 -
Huruf c
Hubungan Bank dengan nasabah didasarkan atas
perjanjian yang jelas dan memperhatikan ketentuan
mengenai transparansi informasi produk dan
penggunaan data pribadi nasabah serta ketentuan
mengenai penyelesaian pengaduan nasabah.
Bank tetap bertanggung jawab atas setiap transaksi yang
pemrosesannya diserahkan kepada pihak penyedia jasa.
Ayat (4)
Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi
Informasi di luar negeri dalam ayat ini termasuk yang
dilakukan pada kantor pusat atau kantor lain bagi kantor
cabang bank asing atau kantor induk bagi bank yang dimiliki
lembaga keuangan asing.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung
administrasi keuangan” adalah data yang merupakan
bukti adanya hak dan kewajiban serta kegiatan usaha
suatu perusahaan dan digunakan sebagai pendukung
penyusunan laporan keuangan. Contoh: akad kredit dan
dokumen pencairan kredit, deal slip, dan deal
confirmation transaksi treasury serta dokumen perintah
transfer data melalui Society for Worldwide Interbank
Financial Telecommunication (SWIFT).
Huruf c
Upaya untuk meningkatkan peran Bank bagi
perkembangan perekonomian Indonesia antara lain
tercermin pada rencana peningkatan pemberian kredit
dan peningkatan pembiayaan ekspor impor.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 17 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Laporan tersebut mencakup kajian pascaimplementasi
(postimplemention review).
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “dokumen permohonan diterima
secara lengkap” adalah diterimanya dokumen yang
dipersyaratkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
serta diterimanya data tambahan dalam hal diperlukan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Penyediaan jasa Teknologi Informasi oleh Bank adalah
pemberian jasa berupa pemanfaatan infrastruktur Teknologi
Informasi milik Bank kepada Lembaga Jasa Keuangan
didasari dengan perjanjian kerjasama dan/atau sewa-
menyewa di antara kedua belah pihak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pusat Data dan/atau Pusat Pemulihan Bencana termasuk
jaringan komunikasi yang digunakan bersama oleh penyedia
dan pengguna jasa Teknologi Informasi, namun tidak
termasuk penyediaan aplikasi khusus bagi pengguna jasa.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
- 18 -
Pasal 27
Ayat (1)
Contoh Layanan Perbankan Elektronik antara lain Automated
Teller Machine (ATM), Cash Deposit Machine (CDM), phone
banking, Short Message Services (SMS) banking, Electronic
Data Capture (EDC), Point Of Sales (POS), internet banking,
dan mobile banking.
Ketentuan Otoritas Jasa Keuangan antara lain Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai Kegiatan Usaha dan
Jaringan Kantor Bank Berdasarkan Modal Inti, ketentuan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan program anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi
Bank, dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
penerapan manajemen risiko serta ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai prinsip kehati-hatian dalam kegiatan
usaha Bank.
Ketentuan otoritas lain yang terkait antara lain ketentuan
mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran
menggunakan kartu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “produk Layanan Perbankan
Elektronik” adalah produk baru yang memiliki karakteristik
berbeda dengan produk yang telah ada di Bank dan/atau
menambah atau meningkatkan eksposur risiko tertentu pada
Bank.
- 19 -
Ayat (3)
Huruf a
Angka 1
Yang dimaksud dengan “manajemen” antara lain
Direksi, Dewan Komisaris, dan Komite Pengarah
Teknologi Informasi.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Contoh dokumen pendukung lain antara lain dokumen
yang dipersyaratkan oleh otoritas lain yang terkait,
seperti:
1. tanda terdaftar Sistem Elektronik; dan
2. bukti perolehan sertifikasi Sistem Elektronik,
yang telah diterbitkan oleh Kementerian Komunikasi dan
Informatika Republik Indonesia, dan sesuai dengan
ketentuan
peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai penyelenggaraan sistem dan
transaksi elektronik.
Ayat (4)
Hasil pemeriksaan dari pihak independen di luar Bank
diperlukan untuk produk Layanan Perbankan Elektronik
yang baru pertama kali diterbitkan oleh Bank seperti internet
- 20 -
banking yang bersifat transaksional dan SMS banking.
Untuk penambahan fitur layanan produk Layanan Perbankan
Elektronik yang telah ada dan dapat menambah atau
meningkatkan eksposur risiko, Bank dapat menyampaikan
hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak intern Bank
yang tidak ikut serta dalam perancangan dan pengembangan
sistem aplikasi serta pengambilan keputusan dalam
implementasi aktivitas Layanan Perbankan Elektronik.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 29
Prinsip pengendalian pengamanan data nasabah dan transaksi
Layanan Perbankan Elektronik pada setiap Sistem Elektronik
mencakup:
a. kerahasiaan (confidentiality);
b. integritas (integrity);
c. ketersediaan (availablity);
d. keaslian (authentication);
e. tidak dapat diingkari (non repudiation);
f. pengendalian otorisasi dalam sistem, Pangkalan Data, dan
aplikasi (authorization of control);
g. pemisahan tugas dan tanggung jawab (segregation of duties);
dan
h. pemeliharaan jejak audit (maintenance of audit trails).
Pasal 30
Ayat (1)
Laporan ini berisi perubahan yang telah dilakukan selama
1 (satu) tahun pelaporan atas data yang telah disampaikan
dalam laporan penggunaan Teknologi Informasi, selain
perubahan yang dilaporkan dalam tambahan rencana
pengembangan Teknologi Informasi. Hal-hal yang perlu
dilaporkan antara lain perubahan pejabat penentu dalam
struktur organisasi Teknologi Informasi dan perubahan
Rencana Strategis Teknologi Informasi.
- 21 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pertimbangan tertentu antara lain adalah untuk mendukung
implementasi kebijakan dan/atau regulasi di sektor jasa
keuangan dalam rangka mendorong perkembangan
perekonomian.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Audit Teknologi Informasi yang dimaksud antara lain audit
Teknologi Informasi terhadap Pusat Data, Pusat Pemulihan
Bencana, aplikasi, dan/atau Pemrosesan Transaksi Berbasis
Teknologi Informasi.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan melalui surat elektronik (electronic mail) dan/atau
telepon kepada satuan kerja pengawasan dari Bank
berdasarkan informasi awal yang tersedia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Bank dapat mengimplementasikan rencana kegiatan lebih
awal dari 2 (dua) bulan sepanjang Otoritas Jasa Keuangan
telah memberikan persetujuan atas permohonan persetujuan
rencana kegiatan yang diajukan oleh Bank.
- 22 -
Ayat (2)
Laporan realisasi kegiatan sebagai penyedia jasa Teknologi
Informasi dan penerbitan produk Layanan Perbankan
Elektronik
(postimplementation review).
Ayat (3)
Bank dapat mengimplementasikan rencana kegiatan lebih
awal dari 3 (tiga) bulan sepanjang Otoritas Jasa Keuangan
telah memberikan persetujuan atas permohonan persetujuan
rencana kegiatan yang diajukan oleh Bank.
Ayat (4)
Laporan realisasi penyelenggaraan Sistem Elektronik yang
ditempatkan pada Pusat Data dan/atau Pusat Pemulihan
Bencana di luar wilayah Indonesia mencakup kajian
pascaimplementasi (postimplementation review).
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyediaan akses kepada Otoritas Jasa Keuangan
dimaksudkan agar pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan
dapat dilaksanakan secara efektif antara lain memastikan
integritas, validitas, ketersediaan, dan keaslian data setiap
transaksi yang dilakukan oleh Bank.
mencakup kajian pascaimplementasi
- 23 -
Akses kepada Otoritas Jasa Keuangan termasuk:
a. akses terhadap Pangkalan Data baik untuk data terkini
maupun untuk data yang telah lalu; dan
b. akses terhadap infrastruktur pendukung seperti jaringan
komunikasi.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Rencana tindak (action plan) antara lain berisi rencana
pengembalian Pusat Data, Pusat Pemulihan Bencana,
dan/atau Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi Informasi
ke dalam wilayah Indonesia dan jangka waktu penyelesaian
rencana tindak (action plan).
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
- 24 -
Pasal 44
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5963
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 38/POJK.03/2016 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO DALAM PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 1 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> pada tanggal diundangkan dan ditetapkan. </effective_date>
<issued_date> 7 Desember 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '9/15/PBI/2007' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 16 /POJK.03/2014
TENTANG
PENILAIAN KUALITAS ASET BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa sejalan dengan perkembangan terkini standar
akuntansi keuangan, perbankan syariah dituntut untuk
menyajikan laporan keuangan yang akurat, komprehensif,
dan mencerminkan kinerja bank secara utuh;
b. bahwa dalam melaksanakan kegiatan usahanya, bank perlu
mengelola risiko kredit antara lain dengan menjaga kualitas
aset dan tetap melakukan penghitungan penyisihan
penghapusan aset;
. bahwa sehubungan dengan adanya perubahan kondisi
keuangan global dan beberapa ketentuan terkait, perlu
dilakukan harmonisasi ketentuan mengenai penilaian
kualitas aset;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penilaian
Kualitas Aset Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun ...
End of Page 1
- 2 -
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENILAIAN KUALITAS ASET BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT
USAHA SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan syariah.
2. Aset adalah aset produktif dan aset non produktif.
3. Aset Produktif adalah penanaman dana Bank baik dalam rupiah maupun
valuta asing untuk memperoleh penghasilan, dalam bentuk pembiayaan,
surat berharga syariah, penempatan pada Bank Indonesia dan pemerintah,
tagihan atas surat berharga syariah yang dibeli dengan janji dijual kembali
(reverse repurchase agreement), tagihan akseptasi, tagihan derivatif,
penyertaan, penempatan pada Bank lain, transaksi rekening administratif,
dan bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu.
4. Aset Non Produktif adalah aset Bank selain Aset Produktif yang memiliki
potensi kerugian, antara lain dalam bentuk agunan yang diambil alih,
properti terbengkalai, serta rekening antar kantor dan rekening tunda
(suspense account).
5. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan
dengan itu berupa transaksi bagi hasil, transaksi sewa-menyewa termasuk
sewa menyewa jasa, transaksi jual beli, dan transaksi pinjam meminjam
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk
mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan
ujrah, tanpa imbalan, margin, atau bagi hasil.
6. Pembiayaan …
- 3 -
6. Pembiayaan berdasarkan akad mudharabah, yang selanjutnya disebut
Pembiayaan Mudharabah, adalah pembiayaan dalam bentuk kerja sama
suatu usaha antara Bank yang menyediakan seluruh modal dengan nasabah
yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha
sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan
kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank kecuali jika nasabah melakukan
kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
7. Pembiayaan berdasarkan akad musyarakah, yang selanjutnya disebut
Pembiayaan Musyarakah, adalah pembiayaan dalam bentuk kerja sama
antara Bank dengan nasabah untuk suatu usaha tertentu yang masing-
masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan
akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung
sesuai dengan porsi dana masing-masing.
8. Pembiayaan berdasarkan akad murabahah, yang selanjutnya disebut
Pembiayaan Murabahah, adalah pembiayaan suatu barang dengan
menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan
harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.
9. Transaksi salam, yang selanjutnya disebut Salam, adalah transaksi yang
menggunakan akad jual beli barang pesanan dengan pengiriman barang di
kemudian hari oleh penjual dan pelunasannya dilakukan oleh pembeli pada
saat akad disepakati sesuai dengan syarat-syarat tertentu.
10. Pembiayaan berdasarkan akad istishna’, yang selanjutnya disebut
Pembiayaan Istishna’, adalah pembiayaan suatu barang dalam bentuk
pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan
tertentu yang disepakati antara nasabah dan penjual atau pembuat barang
dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan.
11. Pembiayaan berdasarkan akad ijarah, yang selanjutnya disebut Pembiayaan
Ijarah, adalah pembiayaan dalam rangka memindahkan hak guna atau
manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa
diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
12. Pembiayaan berdasarkan akad ijarah muntahiya bittamlik, yang selanjutnya
disebut Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik, adalah pembiayaan dalam
rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang berdasarkan
transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang.
13. Pembiayaan …
- 4 -
13. Pembiayaan berdasarkan akad qardh, yang selanjutnya disebut Pembiayaan
Qardh, adalah pembiayaan dalam bentuk pinjaman dana kepada nasabah
dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang
diterimanya pada waktu yang telah disepakati.
14. Surat Berharga Syariah adalah surat bukti berinvestasi berdasarkan Prinsip
Syariah yang lazim diperdagangkan di pasar uang dan/atau pasar modal
antara lain sukuk, reksadana syariah, dan surat berharga lainnya
berdasarkan Prinsip Syariah.
15. Sertifikat Bank Indonesia Syariah, yang selanjutnya disebut sebagai SBIS,
adalah surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek
dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
16. Prinsip Syariah adalah prinsip Hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
17. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada
bank syariah dan perusahaan di bidang keuangan lainnya yang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk penanaman dalam
bentuk surat utang konversi wajib (mandatory convertible bonds) atau jenis
transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham
pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan.
18. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal oleh Bank dalam
bentuk saham pada perusahaan nasabah untuk mengatasi akibat kegagalan
Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
19. Penempatan Pada Bank Lain adalah penanaman dana pada Bank dan/atau
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) antara lain dalam bentuk giro,
tabungan, deposito, Pembiayaan, dan/atau bentuk penempatan dana lainnya
berdasarkan Prinsip Syariah.
20. Tagihan Akseptasi adalah tagihan yang timbul sebagai akibat akseptasi yang
dilakukan terhadap wesel berjangka.
21. Tagihan Derivatif adalah tagihan karena potensi keuntungan dari suatu
perjanjian transaksi derivatif yang merupakan selisih positif antara nilai
perjanjian dengan nilai wajar transaksi derivatif pada tanggal laporan.
22. Transaksi …
- 5 -
22. Transaksi Rekening Administratif, yang selanjutnya disebut TRA, adalah
kewajiban komitmen dan kontinjensi berdasarkan Prinsip Syariah yang
antara lain meliputi penerbitan jaminan, letter of credit, standby letter of
credit, fasilitas Pembiayaan yang belum ditarik, dan/atau kewajiban
komitmen dan kontinjensi lain berdasarkan Prinsip Syariah.
23. Proyeksi Bagi Hasil, yang selanjutnya disebut PBH, adalah perkiraan
pendapatan yang akan diterima Bank dari nasabah atas Pembiayaan
Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah setelah memperhitungkan nisbah
bagi hasil, dengan jumlah dan tanggal jatuh tempo yang disepakati antara
Bank dengan nasabah.
24. Realisasi Bagi Hasil, yang selanjutnya disebut RBH, adalah pendapatan yang
diterima Bank dari nasabah atas Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan
Musyarakah setelah memperhitungkan nisbah bagi hasil.
25. Agunan Yang Diambil Alih, yang selanjutnya disebut AYDA, adalah aset yang
diperoleh Bank, baik melalui pelelangan maupun selain pelelangan
berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau
berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam
hal nasabah tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank.
26. Penyisihan Penghapusan Aset, yang selanjutnya disebut PPA, adalah
cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu berdasarkan
kualitas aset.
27. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yang selanjutnya disebut UMKM, adalah
UMKM sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai usaha
mikro, kecil, dan menengah.
28. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, yang selanjutnya disebut KPMM,
adalah Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum.
29. Properti Terbengkalai (Abandoned Property) adalah aset tetap dalam bentuk
properti yang dimiliki Bank tetapi tidak digunakan untuk kegiatan usaha
Bank yang lazim.
30. Rekening Antar Kantor adalah tagihan yang timbul dari transaksi antar
kantor yang belum diselesaikan dalam jangka waktu tertentu.
31. Rekening …
- 6 -
31. Rekening Tunda (Suspense Account) adalah akun yang tujuan pencatatannya
tidak teridentifikasi atau tidak didukung dengan dokumentasi pencatatan
yang memadai, sehingga tidak dapat direklasifikasi dalam akun yang
seharusnya.
32. Cadangan Kerugian Penurunan Nilai, yang selanjutnya disebut CKPN, adalah
penyisihan yang dibentuk apabila nilai tercatat aset keuangan setelah
penurunan nilai kurang dari nilai tercatat awal.
33. Pihak Terkait adalah pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
mengenai batas maksimum penyaluran dana.
34. Kelompok Peminjam adalah kelompok peminjam sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan mengenai batas maksimum penyaluran dana.
35. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai Perseroan Terbatas.
36. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang mengenai Perseroan Terbatas.
37. Restrukturisasi Pembiayaan adalah upaya yang dilakukan Bank dalam
rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya.
BAB II
KUALITAS ASET
Pasal 2
(1) Bank wajib melaksanakan penanaman dan/atau penyediaan dana
berdasarkan prinsip kehati-hatian dan Prinsip Syariah.
(2) Dalam rangka pelaksanaan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Direksi wajib menilai, memantau, dan mengambil langkah-
langkah yang diperlukan agar kualitas Aset tetap baik.
(3) Langkah-langkah yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) agar
kualitas Aset tetap baik antara lain dilakukan dengan cara menerapkan
manajemen risiko kredit secara efektif, termasuk melalui penyusunan
kebijakan dan pedoman sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang
berlaku.
Pasal …
- 7 -
Pasal 3
(1) Bank wajib melakukan penilaian kualitas Aset Produktif dan Aset Non
Produktif secara bulanan.
(2) Dalam hal terjadi perbedaan penilaian kualitas aset antara Bank dan
Otoritas Jasa Keuangan, kualitas aset yang diberlakukan adalah kualitas
aset yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Bank wajib menyesuaikan kualitas aset sesuai dengan penilaian kualitas
aset yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
(4) Bank wajib melaporkan penyesuaian kualitas aset sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam laporan-laporan
dan/atau laporan publikasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang
berlaku, paling lambat pada periode laporan berikutnya setelah
pemberitahuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
BAB III
ASET PRODUKTIF
Bagian Kesatu
Jenis
Pasal 4
(1) Bank wajib menetapkan kualitas terhadap beberapa rekening Aset Produktif
yang digunakan untuk membiayai 1 (satu) nasabah pada 1 (satu) Bank,
dengan kualitas yang sama.
(2) Penetapan kualitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula untuk
Aset Produktif berupa penyediaan dana atau tagihan yang diberikan oleh
lebih dari 1 (satu) Bank yang dilaksanakan berdasarkan perjanjian
Pembiayaan bersama dan/atau sindikasi.
(3) Dalam hal terdapat kualitas Aset Produktif yang berbeda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank wajib menetapkan kualitas yang
sama untuk masing-masing Aset Produktif mengikuti kualitas Aset Produktif
yang paling rendah.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikecualikan dalam
hal Aset Produktif ditetapkan berdasarkan faktor penilaian yang berbeda.
Pasal …
- 8 -
Pasal 5
(1) Bank dalam melakukan penanaman dana dalam bentuk Aset Produktif wajib
didukung dengan dokumen yang lengkap dan memberikan informasi yang
cukup.
(2) Dalam hal dokumen penanaman dana tidak memberikan informasi yang
cukup untuk mendukung penetapan kualitas, Otoritas Jasa Keuangan
berwenang menurunkan kualitas Aset Produktif yang oleh Bank ditetapkan
lancar dan dalam perhatian khusus menjadi paling tinggi kurang lancar.
Pasal 6
(1) Bank wajib memiliki ketentuan intern yang mengatur kriteria dan
persyaratan nasabah yang wajib menyampaikan laporan keuangan yang
telah diaudit akuntan publik kepada Bank, termasuk aturan mengenai batas
waktu penyampaian laporan keuangan.
(2) Bank wajib mencantumkan kewajiban nasabah untuk menyampaikan
laporan keuangan yang telah diaudit akuntan publik dalam perjanjian
antara Bank dengan nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Kualitas Aset Produktif dari nasabah yang tidak menyampaikan laporan
keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diturunkan satu tingkat dan
dinilai paling tinggi kurang lancar.
Bagian Kedua
Pembiayaan
Pasal 7
Penilaian atas kualitas Aset Produktif dalam bentuk Pembiayaan dilakukan
berdasarkan faktor-faktor sebagai berikut:
a. prospek usaha;
b. kinerja (performance) nasabah; dan
c. kemampuan membayar.
Pasal 8
(1) Penilaian terhadap prospek usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf a meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a._potensi …
- 9 -
a. potensi pertumbuhan usaha;
b. kondisi pasar dan posisi nasabah dalam persaingan;
c. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja;
d. dukungan dari grup atau afiliasi; dan
e. upaya yang dilakukan nasabah dalam rangka memelihara lingkungan
hidup.
(2) Penilaian terhadap kinerja nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf b meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a. perolehan laba;
b. struktur permodalan;
c. arus kas; dan
d. sensitivitas terhadap risiko pasar.
(3) Penilaian terhadap kemampuan membayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf c meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai
berikut:
a. ketepatan pembayaran pokok dan margin/bagi hasil/ujrah;
b. ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan nasabah;
c. kelengkapan dokumen Pembiayaan;
d. kepatuhan terhadap perjanjian Pembiayaan;
e. kesesuaian penggunaan dana; dan
f. kewajaran sumber pembayaran kewajiban.
Pasal 9
(1) Penilaian kualitas Aset Produktif dalam bentuk Pembiayaan dilakukan
dengan melakukan analisis terhadap faktor penilaian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 dengan mempertimbangkan komponen-komponen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
(2) Penilaian kualitas Aset Produktif dalam bentuk Pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. signifikansi dari setiap faktor penilaian dan komponen; dan
b. relevansi dari faktor penilaian dan komponen terhadap nasabah yang
bersangkutan.
(3) Berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
kualitas Aset Produktif dalam bentuk Pembiayaan ditetapkan menjadi:
a._Lancar …
- 10 -
a. Lancar;
b. Dalam Perhatian Khusus;
c. Kurang Lancar;
d. Diragukan; atau
e. Macet.
Pasal 10
(1) Penilaian kualitas Aset Produktif dalam bentuk Pembiayaan Mudharabah
dan Pembiayaan Musyarakah yang dilakukan berdasarkan kemampuan
membayar mengacu pada ketepatan pembayaran pokok dan/atau rasio RBH
terhadap PBH.
(2) Penghitungan rasio RBH terhadap PBH sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilakukan berdasarkan akumulasi selama periode Pembiayaan
Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah yang telah berjalan.
(3) PBH dihitung berdasarkan analisis kelayakan usaha dan arus kas masuk
(cash inflow) nasabah selama jangka waktu Pembiayaan Mudharabah dan
Pembiayaan Musyarakah.
(4) Bank dapat mengubah PBH berdasarkan kesepakatan dengan nasabah
apabila terdapat perubahan atas kondisi ekonomi makro, pasar, dan politik
yang mempengaruhi usaha nasabah.
(5) Bank wajib mencantumkan PBH dan perubahan PBH dalam perjanjian
Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah antara Bank dengan
nasabah.
Pasal 11
(1) Dalam Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah, pembayaran
angsuran pokok dapat dilakukan secara berkala maupun diakhir
Pembiayaan.
(2) Bank wajib melakukan langkah-langkah untuk mengurangi risiko tidak
terbayarnya pokok Pembiayaan pada saat jatuh tempo apabila dalam
Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah disepakati tidak ada
pembayaran angsuran pokok secara berkala.
(3)_Untuk …
- 11 -
(3) Untuk Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah dengan
jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun, Bank wajib menetapkan pembayaran
angsuran pokok secara berkala sesuai dengan proyeksi arus kas masuk
(cash inflow) usaha nasabah.
(4) Pembayaran angsuran atau pelunasan pokok Pembiayaan Mudharabah dan
Pembiayaan Musyarakah wajib dicantumkan dalam perjanjian Pembiayaan
antara Bank dengan nasabah.
Bagian Ketiga
Penempatan pada Bank Indonesia dan Pemerintah
Pasal 12
Kualitas Aset Produktif dalam bentuk penanaman dana pada Bank Indonesia dan
Pemerintah Indonesia berdasarkan Prinsip Syariah ditetapkan lancar.
Bagian Keempat
Surat Berharga Syariah
Pasal 13
(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Aset
Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah.
(2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Dewan
Komisaris.
(3) Prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Direksi.
(4) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap
pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko Bank
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang berlaku.
Pasal 14
(1) Kualitas Aset Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah yang diakui
berdasarkan nilai pasar ditetapkan lancar sepanjang memenuhi
persyaratan:
a. aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
b. terdapat informasi nilai pasar secara transparan;
c._telah …
- 12 -
c. telah diterima imbalan dalam jumlah dan waktu yang tepat sesuai
perjanjian; dan
d. belum jatuh tempo.
(2) Kualitas Surat Berharga Syariah yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau huruf b atau yang
diakui berdasarkan harga perolehan ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila:
1. memiliki peringkat investasi (investment grade) atau lebih tinggi;
2. telah diterima imbalan dalam jumlah dan waktu yang tepat sesuai
perjanjian; dan
3. belum jatuh tempo;
b. Kurang Lancar, apabila:
1. memiliki peringkat investasi (investment grade) atau lebih tinggi;
2. terdapat penundaan pembayaran margin/bagi hasil/ujrah berkala
atau kewajiban lain sejenis; dan
3. belum jatuh tempo;
atau
1. memiliki peringkat paling kurang 1 (satu) tingkat di bawah peringkat
investasi (investment grade);
2. tidak terdapat penundaan pembayaran margin/bagi hasil/ujrah
berkala atau kewajiban lain sejenis; dan
3. belum jatuh tempo;
c. Macet, apabila Surat Berharga Syariah tidak memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b.
(3) Kualitas Surat Berharga Syariah dalam bentuk sukuk yang berasal dari isi
akad dan/atau perubahan akad yang mengakibatkan tidak dipenuhinya
Prinsip Syariah ditetapkan berdasarkan ketentuan kualitas Pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Pasal 15
(1) Peringkat Surat Berharga Syariah didasarkan pada peringkat yang
diterbitkan oleh lembaga pemeringkat dalam satu tahun terakhir sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
(2)_Dalam …
- 13 -
(2) Dalam hal peringkat Surat Berharga Syariah yang diterbitkan oleh lembaga
pemeringkat dalam 1 (satu) tahun terakhir sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak tersedia, Surat Berharga Syariah dianggap tidak memiliki
peringkat.
Pasal 16
(1) Bank dilarang memiliki Aset Produktif dalam bentuk saham dan/atau Surat
Berharga Syariah yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang
mendasari (underlying reference asset) yang berbentuk saham.
(2) Kepemilikan Surat Berharga Syariah yang dihubungkan atau dijamin
dengan aset tertentu yang mendasari (underlying reference asset) yang
berbentuk saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan untuk tujuan Penyertaan Modal atau Penyertaan Modal
Sementara dan dilakukan dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 17
Bank hanya dapat memiliki Surat Berharga Syariah yang dihubungkan atau
dijamin dengan aset tertentu yang mendasari sepanjang:
a. aset yang mendasari dapat diyakini kebenarannya;
b. Bank memiliki hak atas aset yang mendasari atau hak atas nilai dari aset
yang mendasari;
c. Bank memiliki informasi yang jelas, tepat, dan akurat mengenai rincian aset
yang mendasari, yang mencakup penerbit dan nilai dari setiap aset dasar,
termasuk setiap perubahannya; dan
d. Bank menatausahakan rincian komposisi dan penerbit aset yang mendasari
serta menyesuaikan penatausahaan dalam hal terjadi perubahan komposisi
aset.
Pasal 18
(1) Kualitas Surat Berharga Syariah yang dihubungkan atau dijamin dengan
aset tertentu yang mendasari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk Surat Berharga Syariah yang pembayaran kewajibannya terkait
langsung dengan aset yang mendasari (pass through) dan tidak dapat
dibeli …
- 14 -
dibeli kembali (non redemption) oleh penerbit, penetapan kualitas
didasarkan pada:
1. kualitas Surat Berharga Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14; atau
2. kualitas aset yang mendasari Surat Berharga Syariah apabila Surat
Berharga Syariah tidak memiliki peringkat;
b. untuk Surat Berharga Syariah yang tidak memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud pada huruf a, penetapan kualitas didasarkan
pada kualitas Surat Berharga Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14.
(2) Kualitas aset yang mendasari Surat Berharga Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2 ditetapkan berdasarkan kualitas
setiap jenis aset yang mendasari.
(3) Untuk Surat Berharga Syariah dalam bentuk reksadana, penetapan kualitas
didasarkan pada:
a. kualitas Aset Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2); atau
b. kualitas aset yang mendasari reksadana dan kualitas penerbit
reksadana, apabila reksadana tidak memiliki peringkat.
Pasal 19
(1) Kualitas Surat Berharga Syariah yang diterbitkan oleh Bank atau
mendapatkan endorsemen bank diatur sebagai berikut:
a. untuk Surat Berharga Syariah yang memiliki peringkat dan/atau aktif
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, ditetapkan berdasarkan
kualitas yang paling rendah dari:
1. hasil penilaian berdasarkan ketentuan kualitas Surat Berharga
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, atau
2. hasil penilaian berdasarkan ketentuan kualitas Penempatan Pada
Bank Lain dari Bank penerbit atau bank pemberi endorsemen;
b. untuk Surat Berharga Syariah yang berdasarkan karakteristiknya tidak
diperdagangkan di bursa efek dan/atau tidak memiliki peringkat,
kualitasnya ditetapkan:
1. yang diterbitkan atau mendapatkan endorsemen bank di Indonesia,
berdasarkan ketentuan kualitas Penempatan Pada Bank Lain,
2. yang …
- 15 -
2. yang diterbitkan atau mendapatkan endorsemen bank di luar
Indonesia:
a) yang mempunyai jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun,
berdasarkan ketentuan kualitas Penempatan Pada Bank Lain,
b) yang mempunyai jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun,
berdasarkan ketentuan kualitas Surat Berharga Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2).
(2) Kualitas Surat Berharga Syariah yang diterbitkan oleh pihak bukan bank di
Indonesia yang berdasarkan karakteristiknya tidak diperdagangkan di bursa
efek dan tidak memiliki peringkat ditetapkan berdasarkan ketentuan
kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(3) Kualitas Surat Berharga Syariah yang diterbitkan oleh pihak bukan bank di
luar Indonesia yang berdasarkan karakteristiknya tidak diperdagangkan di
bursa efek ditetapkan berdasarkan ketentuan kualitas Surat Berharga
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2).
(4) Dalam hal Surat Berharga Syariah yang diterbitkan oleh Bank lain
berbentuk Surat Berharga Syariah yang dihubungkan atau dijamin dengan
aset tertentu yang mendasari, Bank tetap harus memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
Pasal 20
Kualitas wesel yang diambil alih tidak mendapatkan endorsemen bank lain
ditetapkan berdasarkan ketentuan kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7.
Bagian Kelima
Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara
Pasal 21
(1) Penilaian Penyertaan Modal dilakukan berdasarkan:
a. metode biaya (cost method);
b. metode ekuitas (equity method) ; atau
c. nilai wajar,
dengan mengacu pada ketentuan standar akuntansi keuangan yang
berlaku.
(2) Kualitas …
- 16 -
(2) Kualitas Penyertaan Modal yang dinilai berdasarkan metode biaya (cost
method) ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila investee memperoleh laba dan tidak mengalami kerugian
kumulatif berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang
telah diaudit;
b. Kurang lancar, apabila investee mengalami kerugian kumulatif sampai
dengan 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal investee
berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang telah diaudit;
c. Diragukan, apabila investee mengalami kerugian kumulatif lebih dari
25% (dua puluh lima perseratus) sampai dengan 50% (lima puluh
perseratus) dari modal investee berdasarkan laporan keuangan tahun
buku terakhir yang telah diaudit;
d. Macet, apabila investee mengalami kerugian kumulatif lebih dari 50%
(lima puluh perseratus) dari modal investee berdasarkan laporan
keuangan tahun buku terakhir yang telah diaudit.
(3) Kualitas Penyertaan Modal yang dinilai berdasarkan metode ekuitas (equity
method) atau berdasarkan nilai wajar ditetapkan lancar.
(4) Dalam rangka Penyertaan Modal, Bank wajib tunduk pada ketentuan yang
mengatur mengenai prinsip kehati-hatian dalam penyertaan modal dan
Prinsip Syariah.
Pasal 22
(1) Kualitas Penyertaan Modal Sementara ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila jangka waktu Penyertaan Modal Sementara belum
melampaui 1 (satu) tahun;
b. Kurang Lancar, apabila jangka waktu Penyertaan Modal Sementara telah
melampaui 1 (satu) tahun namun belum melampaui 4 (empat) tahun;
c. Diragukan, apabila jangka waktu Penyertaan Modal Sementara telah
melampaui 4 (empat) tahun namun belum melampaui 5 (lima) tahun;
d. Macet, apabila:
1. jangka waktu Penyertaan Modal Sementara telah melampaui 5 (lima)
tahun; atau
2. investee telah memiliki laba kumulatif namun Penyertaan Modal
Sementara belum ditarik kembali.
(2) Otoritas …
- 17 -
(2) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menurunkan kualitas Penyertaan Modal
Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila terdapat bukti yang
memadai bahwa:
a. penjualan Penyertaan Modal Sementara diperkirakan akan dilakukan
dengan harga yang lebih rendah dari nilai buku; dan/atau
b. penjualan Penyertaan Modal Sementara dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun diperkirakan sulit untuk dilakukan.
(3) Dalam rangka Penyertaan Modal Sementara, Bank wajib tunduk pada
ketentuan yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian dan Prinsip
Syariah.
Bagian Keenam
Penempatan Pada Bank Lain
Pasal 23
(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Aset
Produktif dalam bentuk Penempatan Pada Bank Lain.
(2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Dewan
Komisaris.
(3) Prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Direksi.
(4) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap
pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko Bank
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang berlaku.
Pasal 24
(1) Kualitas Aset Produktif dalam bentuk Penempatan Pada Bank Lain
ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila:
1. bank yang menerima penempatan memiliki rasio KPMM paling
rendah sama dengan rasio KPMM sesuai ketentuan yang berlaku;
dan
2. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau margin/bagi
hasil/ujrah/bonus.
b. Kurang …
- 18 -
b. Kurang Lancar, apabila:
1. bank yang menerima penempatan memiliki rasio KPMM paling
rendah sama dengan ketentuan yang berlaku; dan
2. terdapat tunggakan pembayaran pokok margin/bagi hasil/
ujrah/bonus sampai dengan 5 (lima) hari kerja.
c. Macet, apabila:
1. bank yang menerima penempatan memiliki rasio KPMM kurang dari
rasio KPMM sesuai ketentuan yang berlaku;
2. bank yang menerima penempatan telah ditetapkan dan diumumkan
sebagai bank dengan status dalam pengawasan khusus (special
surveillance) yang dibekukan kegiatan usaha tertentu;
3. bank yang menerima penempatan ditetapkan sebagai bank yang
dicabut izin usahanya; dan/atau
4. terdapat tunggakan pembayaran pokok margin/bagi hasil/
ujrah/bonus lebih dari 5 (lima) hari kerja.
(2) Kualitas Aset Produktif dalam bentuk Penempatan Pada Bank Lain berupa
Pembiayaan kepada BPRS dalam rangka linkage program dengan pola
executing digolongkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila:
1. BPRS yang menerima penempatan memiliki rasio KPMM paling
rendah sama dengan rasio KPMM sesuai ketentuan yang berlaku;
dan
2. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau margin/bagi
hasil/ujrah.
b. Kurang Lancar, apabila:
1. BPRS yang menerima penempatan memiliki rasio KPMM paling
rendah sama dengan rasio KPMM sesuai ketentuan yang berlaku;
dan
2. terdapat tunggakan pembayaran pokok margin/bagi hasil/ujrah
sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja.
c. Macet, apabila:
1. BPRS yang menerima penempatan memiliki rasio KPMM kurang dari
rasio KPMM sesuai ketentuan yang berlaku;
2. BPRS yang menerima penempatan telah ditetapkan dan diumumkan
sebagai BPRS dengan status dalam pengawasan khusus (special
surveillance) …
- 19 -
surveillance) atau BPRS telah dikenakan sanksi pembekuan seluruh
kegiatan usaha;
3. BPRS yang menerima penempatan ditetapkan sebagai BPRS yang
dicabut izin usahanya; dan/atau
4. terdapat tunggakan pembayaran pokok margin/bagi hasil/ujrah lebih
dari 30 (tiga puluh) hari kerja.
Bagian Ketujuh
Tagihan Akseptasi, Tagihan atas Surat Berharga Syariah yang dibeli dengan janji
dijual kembali (reverse repurchase agreement) serta Tagihan Derivatif
Pasal 25
Kualitas Tagihan Akseptasi ditetapkan berdasarkan:
a. ketentuan kualitas Penempatan Pada Bank Lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (1) apabila pihak yang wajib melunasi tagihan adalah
bank lain; atau
b. ketentuan kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 apabila
pihak yang wajib melunasi tagihan adalah nasabah.
Pasal 26
(1) Kualitas Tagihan atas Surat Berharga Syariah yang dibeli dengan janji dijual
kembali (reverse repurchase agreement) ditetapkan berdasarkan:
a. ketentuan kualitas Penempatan Pada Bank Lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (1) apabila pihak yang menjual Surat Berharga
Syariah adalah Bank lain; atau
b. ketentuan kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
apabila pihak yang menjual Surat Berharga Syariah adalah bukan Bank.
(2) Tagihan atas Surat Berharga Syariah yang dibeli dengan janji dijual kembali
(reverse repurchase agreement) dengan aset yang mendasari berupa Surat
Perbendaharaan Negara Syariah, Ijarah Fixed Rate dan/atau penempatan
lain pada Bank Indonesia dan pemerintah ditetapkan memiliki kualitas
lancar.
Pasal …
- 20 -
Pasal 27
Kualitas Tagihan Derivatif ditetapkan berdasarkan:
a. ketentuan penetapan kualitas Penempatan Pada Bank Lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) apabila pihak lawan transaksi
(counterparty) adalah bank lain; atau
b. ketentuan kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 apabila
pihak lawan transaksi (counterparty) adalah bukan bank.
Bagian Kedelapan
Transaksi Rekening Administratif (TRA)
Pasal 28
(1) Kualitas TRA ditetapkan berdasarkan:
a. ketentuan penetapan kualitas Penempatan Pada Bank Lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) apabila pihak lawan (counterparty) TRA
adalah bank; atau
b. ketentuan penetapan kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 apabila pihak lawan (counterparty) TRA adalah nasabah.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal
terdapat perjanjian antara Bank dengan nasabah yang memuat klausula
Bank dapat membatalkan penyediaan dana baik sebagian maupun
seluruhnya.
Bagian Kesembilan
Aset Produktif yang Dijamin dengan Agunan Tunai
Pasal 29
(1) Aset Produktif yang dijamin dengan agunan tunai ditetapkan memiliki
kualitas lancar sebesar jumlah yang dijamin dengan agunan tunai.
(2) Agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah agunan berupa:
a. giro, deposito, tabungan, setoran jaminan, dan/atau logam mulia;
b. SBIS, Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), dan/atau penempatan
dana lain pada Bank Indonesia dan Pemerintah Indonesia;
c. jaminan Pemerintah Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku; dan/atau
d. standby …
- 21 -
d. standby letter of credit dari prime bank, yang diterbitkan sesuai dengan
Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (UCP) atau
International Standby Practices (ISP) yang berlaku.
(3) Agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b
wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. agunan diblokir dan dilengkapi dengan surat kuasa pencairan dari
pemilik agunan untuk keuntungan Bank penerima agunan, termasuk
pencairan sebagian untuk membayar tunggakan angsuran pokok
dan/atau margin/bagi hasil/ujrah/bonus;
b. jangka waktu pemblokiran sebagaimana dimaksud pada huruf a paling
kurang sama dengan jangka waktu Aset Produktif;
c. memiliki pengikatan hukum yang kuat sebagai agunan, bebas dari
segala bentuk perikatan lain, bebas dari sengketa, tidak sedang
dijaminkan kepada pihak lain, termasuk tujuan penjaminan yang jelas;
dan
d. untuk agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib
disimpan pada Bank penyedia dana.
(4) Agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d
wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat dibatalkan
(irrevocable);
b. harus dapat dicairkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak
diajukannya klaim, termasuk pencairan sebagian untuk membayar
tunggakan angsuran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah;
c. mempunyai jangka waktu paling kurang sama dengan jangka waktu Aset
Produktif; dan
d. tidak dijamin kembali (counter guarantee) oleh Bank penyedia dana atau
bank yang bukan prime bank.
(5) Prime bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d wajib memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki peringkat investasi atas penilaian terhadap prospek usaha
jangka panjang (long term outlook) bank yang diberikan oleh lembaga
pemeringkat paling kurang:
1. AA- …
- 22 -
1. AA- berdasarkan penilaian Standard & Poors;
2. Aa3 berdasarkan penilaian Moody’s;
3. AA- berdasarkan penilaian Fitch; atau
4. Peringkat setara dengan angka 1, angka 2, dan/atau angka 3
berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat terkemuka lain yang
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan
b. memiliki total aset yang termasuk dalam 200 besar dunia berdasarkan
informasi yang tercantum dalam banker’s almanac.
(6) Dalam hal prime bank penerbit standby letter of credit memiliki lebih dari
satu peringkat yang diperoleh dari lembaga pemeringkat yang berbeda, yang
digunakan adalah peringkat yang terendah.
Pasal 30
(1) Nasabah dinyatakan wanprestasi (event of default) apabila:
a. terjadi tunggakan pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah dan/atau
tagihan lainnya selama 90 (sembilan puluh) hari walaupun Aset
Produktif belum jatuh tempo;
b. tidak diterimanya pembayaran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah
dan/atau tagihan lainnya pada saat Aset Produktif jatuh tempo; atau
c. tidak dipenuhinya persyaratan lainnya selain pembayaran pokok
dan/atau margin/bagi hasil/ujrah yang mengakibatkan nasabah tidak
dapat memenuhi kewajibannya.
(2) Bank wajib melakukan atau mengajukan klaim pencairan agunan tunai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja setelah nasabah dinyatakan wanprestasi (event of default).
Bagian Kesepuluh
Pembiayaan dan Penyediaan Dana dalam Jumlah Kecil serta Pembiayaan dan
Penyediaan Dana di Daerah Tertentu
Pasal 31
(1) Penilaian atas kualitas Aset Produktif dalam bentuk Pembiayaan dan
penyediaan dana lainnya dapat hanya didasarkan atas faktor penilaian
kemampuan membayar untuk:
a. Pembiayaan …
- 23 -
a. Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh setiap
Bank kepada 1 (satu) nasabah atau 1 (satu) proyek dengan jumlah paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
b. Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh setiap
Bank kepada nasabah UMKM dengan jumlah:
1. lebih besar dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai
dengan Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) bagi Bank
yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) memiliki predikat penilaian kecukupan Kualitas Penerapan
Manajemen Risiko (KPMR) untuk risiko kredit sangat memadai
(strong);
b) memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang
berlaku; dan
c) memiliki peringkat komposit tingkat kesehatan paling kurang
3 (tiga).
2. lebih besar dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai
dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) bagi Bank yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) memiliki predikat penilaian kecukupan KPMR untuk risiko kredit
memadai (satisfactory);
b) memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang
berlaku; dan
c) memiliki peringkat komposit tingkat kesehatan Bank paling
kurang 3 (PK-3);
c. Pembiayaan dan penyediaan dana lain kepada nasabah dengan lokasi
kegiatan usaha berada di daerah tertentu dengan jumlah kurang dari
atau sama dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Penilaian atas kualitas Aset Produktif dalam bentuk Pembiayaan dan
penyediaan dana lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bagi
Unit Usaha Syariah berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. predikat penilaian Kualitas Penerapan Manajemen Risiko (KPMR) untuk
risiko kredit mengacu pada predikat penilaian kecukupan Kualitas
Penerapan Manajemen Risiko (KPMR) Unit Usaha Syariah; dan
b. peringkat komposit tingkat kesehatan dan rasio KPMM mengacu pada
peringkat komposit tingkat kesehatan dan rasio KPMM bank induknya.
(3) Predikat …
- 24 -
(3) Predikat penilaian KPMR untuk risiko kredit, rasio KPMM, dan peringkat
komposit tingkat kesehatan Bank yang digunakan dalam penilaian kualitas
Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b didasarkan pada penilaian Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Hasil penilaian Otoritas Jasa Keuangan dapat diketahui oleh Bank melalui
prudential meeting antara Bank dengan Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Penggunaan predikat penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
ayat (4) adalah sebagai berikut:
a. predikat penilaian posisi bulan Desember tahun sebelumnya digunakan
untuk penilaian kualitas Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya
periode bulan Februari sampai dengan Juli; dan
b. predikat penilaian posisi bulan Juni digunakan untuk penilaian kualitas
Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya periode bulan Agustus sampai
dengan Januari.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak diberlakukan
untuk Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang diberikan kepada 1
(satu) nasabah UMKM dengan jumlah lebih besar dari Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) yang merupakan:
a. Pembiayaan yang direstrukturisasi; dan/atau
b. penyediaan dana kepada 50 (lima puluh) nasabah terbesar Bank.
(7) Penetapan kualitas Pembiayaan yang direstrukturisasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) huruf a tetap dilakukan dengan mengacu pada
ketentuan mengenai penetapan kualitas Pembiayaan yang direstrukturisasi.
(8) Dalam hal terdapat penyimpangan yang signifikan atas prinsip Pembiayaan
yang sehat, penilaian kualitas Aset Produktif dalam bentuk Pembiayaan dan
penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh Bank kepada nasabah UMKM
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan faktor
penilaian Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
BAB IV
ASET NON PRODUKTIF
Bagian Kesatu
Jenis
Pasal 32
Bank wajib menilai kualitas Aset Non Produktif meliputi AYDA, Properti
Terbengkalai, Rekening Antar Kantor, dan Rekening Tunda (Suspense Account).
Bagian …
- 25 -
Bagian Kedua
AYDA
Pasal 33
(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis terhadap AYDA.
(2) Bank wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap AYDA yang dimiliki.
(3) Bank wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian AYDA sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Pasal 34
(1) Bank dapat mengambil alih agunan dalam rangka penyelesaian Pembiayaan.
(2) Pengambilalihan agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan terhadap nasabah Pembiayaan yang memiliki kualitas macet.
Pasal 35
(1) Bank wajib menilai AYDA pada saat pengambilalihan agunan atas dasar net
realizable value.
(2) Maksimum net realizable value sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
sebesar nilai Aset Produktif yang diselesaikan dengan AYDA.
(3) Penetapan net realizable value sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan oleh penilai independen, untuk AYDA dengan nilai
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau lebih.
(4) Penetapan net realizable value sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan oleh penilai intern Bank, untuk nilai AYDA kurang dari
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(5) Bank wajib menggunakan nilai yang terendah apabila terdapat beberapa
nilai dari penilai independen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau
penilai intern sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Penilai independen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah kantor jasa
penilai publik yang:
a. tidak merupakan Pihak Terkait dengan Bank;
b. tidak merupakan Kelompok Peminjam dengan nasabah Bank;
c. melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode etik profesi dan
ketentuan yang ditetapkan oleh institusi yang berwenang;
d. menggunakan metode penilaian berdasarkan standar profesi penilaian
yang diterbitkan oleh institusi yang berwenang;
e. memiliki …
- 26 -
e. memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang untuk beroperasi
sebagai kantor jasa penilai publik; dan
f. tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui oleh institusi yang
berwenang.
(7) Tunggakan margin/bagi hasil/ujrah atas Pembiayaan yang diselesaikan
dengan AYDA tidak dapat diakui sebagai pendapatan sampai dengan adanya
realisasi.
Pasal 36
(1) Bank yang mengambil alih agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
wajib mencairkan AYDA paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal
pengambilalihan.
(2) Bank wajib mendokumentasikan upaya pencairan AYDA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 37
Kualitas Aset Non Produktif dalam bentuk AYDA digolongkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila AYDA dimiliki sampai dengan 1 (satu) tahun; atau
b. Macet, apabila AYDA dimiliki lebih dari 1 (satu) tahun.
Bagian Ketiga
Properti Terbengkalai
Pasal 38
(1) Bank wajib melakukan identifikasi dan penggolongan terhadap Properti
Terbengkalai yang dimiliki.
(2) Penetapan Properti Terbengkalai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disetujui oleh Direksi dan didokumentasikan.
(3) Bagian properti yang tidak digunakan Bank dari suatu properti yang
digunakan untuk kegiatan usaha Bank secara mayoritas, tidak digolongkan
sebagai Properti Terbengkalai.
(4) Dalam hal Bank tidak menggunakan bagian dari suatu properti secara
mayoritas, bagian properti yang tidak digunakan untuk kegiatan usaha
Bank digolongkan sebagai Properti Terbengkalai secara proporsional.
Pasal …
- 27 -
Pasal 39
(1) Bank wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap Properti Terbengkalai
yang dimiliki.
(2) Bank wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian Properti Terbengkalai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 40
(1) Kualitas Aset Non Produktif dalam bentuk Properti Terbengkalai digolongkan
sebagai berikut:
a. Lancar, apabila Properti Terbengkalai dimiliki sampai dengan 1 (satu)
tahun;
b. Kurang Lancar, apabila Properti Terbengkalai dimiliki lebih dari 1 (satu)
tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun;
c. Diragukan, apabila Properti Terbengkalai dimiliki lebih dari 3 (tiga) tahun
sampai dengan 5 (lima) tahun; atau
d. Macet, apabila Properti Terbengkalai dimiliki lebih dari 5 (lima) tahun.
(2) Properti Terbengkalai yang tidak dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39, ditetapkan memiliki kualitas satu tingkat di
bawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Keempat
Rekening Antar Kantor dan Rekening Tunda (Suspense Account)
Pasal 41
(1) Bank wajib melakukan upaya penyelesaian Rekening Antar Kantor dan
Rekening Tunda (Suspense Account).
(2) Kualitas Aset Produktif dalam bentuk Rekening Antar Kantor dan Rekening
Tunda (Suspense Account) digolongkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila Rekening Antar Kantor dan Rekening Tunda (Suspense
Account) tercatat dalam pembukuan Bank sampai dengan 180 (seratus
delapan puluh) hari; atau
b. Macet, apabila Rekening Antar Kantor dan Rekening Tunda (Suspense
Account) tercatat dalam pembukuan Bank lebih dari 180 (seratus
delapan puluh) hari.
BAB …
- 28 -
BAB V
PENYISIHAN PENGHAPUSAN ASET DAN
CADANGAN KERUGIAN PENURUNAN NILAI
Bagian Kesatu
Penyisihan Penghapusan Aset (PPA)
Paragraf 1
Jenis
Pasal 42
(1) Bank wajib menghitung dan membentuk PPA terhadap Aset Produktif dan
Aset Non Produktif.
(2) Penyisihan Penghapusan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. cadangan umum dan cadangan khusus untuk Aset Produktif; dan
b. cadangan khusus untuk Aset Non Produktif.
Pasal 43
(1) Cadangan umum PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf
a, ditetapkan paling rendah sebesar 1% (satu perseratus) dari seluruh Aset
Produktif yang digolongkan lancar.
(2) Cadangan umum PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
bagi Aset Produktif dalam bentuk:
a. fasilitas Pembiayaan yang belum ditarik yang merupakan bagian dari
TRA;
b. SBIS, SBSN, dan/atau penempatan dana lain pada Bank Indonesia
dan/atau Pemerintah Indonesia;
c. bagian Aset Produktif yang dijamin dengan jaminan Pemerintah
Indonesia atau agunan tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
dan/atau
d. Pembiayaan Ijarah dan Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik.
(3) Cadangan khusus PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2)
ditetapkan paling rendah sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari Aset Produktif yang digolongkan dalam
perhatian khusus setelah dikurangi nilai agunan;
b. 15% (lima belas perseratus) dari Aset Produktif dan Aset Non Produktif
yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi nilai agunan;
c. 50% (lima puluh perseratus) dari Aset Produktif dan Aset Non Produktif
yang digolongkan diragukan setelah dikurangi nilai agunan; atau
d. 100% …
- 29 -
d. 100% (seratus perseratus) dari Aset Produktif dan Aset Non Produktif
yang digolongkan macet setelah dikurangi nilai agunan.
(4) Kewajiban penghitungan PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku
bagi Aset Produktif dalam bentuk Pembiayaan Ijarah dan Pembiayaan Ijarah
Muntahiya Bittamlik.
(5) Bank wajib membentuk penyusutan atau amortisasi atas Aset Produktif
dalam bentuk:
a. Pembiayaan Ijarah sesuai dengan kebijakan penyusutan atau amortisasi
Bank bagi Aset yang sejenis; dan/atau
b. Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik sesuai dengan masa sewa.
(6) Penggunaan nilai agunan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan PPA
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dilakukan untuk Aset Produktif.
Pasal 44
Perhitungan PPA untuk Aset Produktif dalam bentuk Pembiayaan berdasarkan
akad:
a. Murabahah, Istishna’, Qardh, Mudharabah dan Musyarakah dihitung
berdasarkan saldo pokok Pembiayaan;
b. Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bittamlik dihitung berdasarkan tunggakan porsi
pokok sewa.
Paragraf 2
Agunan sebagai Pengurang PPA
Pasal 45
Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam perhitungan PPA
ditetapkan sebagai berikut:
a. Surat Berharga Syariah dan saham yang aktif diperdagangkan di bursa efek
di Indonesia atau memiliki peringkat investasi dan diikat secara gadai;
b. tanah, gedung, dan rumah tinggal yang diikat dengan hak tanggungan;
c. mesin yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang diikat dengan hak
tanggungan;
d. pesawat udara atau kapal laut dengan ukuran di atas 20 (dua puluh) meter
kubik yang diikat dengan hipotek;
e. kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara fidusia; dan/atau
f. resi gudang yang diikat dengan hak jaminan atas resi gudang.
Pasal …
- 30 -
Pasal 46
(1) Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 wajib:
a. dilengkapi dengan dokumen hukum yang sah;
b. diikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sehingga memberikan hak preferensi bagi Bank; dan
c. dilindungi asuransi dengan banker’s clause yang memiliki jangka waktu
paling sedikit sama dengan jangka waktu pengikatan agunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45.
(2) Perusahaan asuransi yang memberikan perlindungan asuransi terhadap
agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. memenuhi Prinsip Syariah;
b. memenuhi ketentuan permodalan sesuai dengan penetapan institusi
yang berwenang; dan
c. bukan merupakan Pihak Terkait dengan Bank atau Kelompok Peminjam
dengan nasabah Bank, kecuali direasuransikan kepada perusahaan
asuransi yang bukan merupakan Pihak Terkait dengan Bank atau
Kelompok Peminjam dengan nasabah Bank.
Pasal 47
(1) Agunan yang akan digunakan sebagai faktor pengurang PPA sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45, paling kurang harus dinilai oleh:
a. penilai independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (6)
untuk Aset Produktif yang berasal dari nasabah atau Kelompok
Peminjam dengan jumlah lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah); atau
b. penilai intern Bank untuk Aset Produktif yang berasal dari nasabah
atau Kelompok Peminjam dengan jumlah sampai dengan
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Bank wajib melakukan penilaian terhadap agunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sejak awal pemberian Aset Produktif.
Pasal 48
(1) Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam perhitungan
PPA ditetapkan sebagai berikut:
a._Surat …
- 31 -
a. Surat Berharga Syariah yang aktif diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia atau memiliki peringkat investasi, paling tinggi sebesar 50%
(lima puluh perseratus) dari nilai yang tercatat di bursa efek pada akhir
bulan;
b. Tanah dan/atau bangunan yang digunakan untuk tempat tinggal, paling
tinggi sebesar:
1. 70% (tujuh puluh perseratus) dari penilaian apabila:
a) penilaian oleh penilai independen dilakukan dalam 18 (delapan
belas) bulan terakhir; atau
b) penilaian oleh penilai intern dilakukan dalam 12 (dua belas)
bulan terakhir;
2. 50% (lima puluh perseratus) dari penilaian apabila:
a) penilaian yang dilakukan oleh penilai independen telah
melampaui 18 (delapan belas) bulan namun belum melampaui 24
(dua puluh empat) bulan terakhir; atau
b) penilaian yang dilakukan oleh penilai intern telah melampaui 12
(dua belas) bulan namun belum melampaui 18 (delapan belas)
bulan terakhir;
3. 30% (tiga puluh perseratus) dari penilaian apabila:
a) penilaian yang dilakukan oleh penilai independen telah
melampaui 24 (dua puluh empat) bulan namun belum melampaui
30 (tiga puluh) bulan terakhir; atau
b) penilaian yang dilakukan oleh penilai intern telah melampaui 18
(delapan belas) bulan namun belum melampaui 24 (dua puluh
empat) bulan terakhir;
4. 0% (nol perseratus) dari penilaian apabila:
a) penilaian yang dilakukan oleh penilai independen telah
melampaui 30 (tiga puluh) bulan terakhir; atau
b) penilaian yang dilakukan oleh penilai intern telah melampaui 24
(dua puluh empat) bulan terakhir.
c. Tanah dan/atau bangunan bukan untuk tempat tinggal, mesin yang
dianggap sebagai satu kesatuan dengan tanah, pesawat udara, kapal
laut, resi gudang, kendaraaan bermotor, dan persediaan paling tinggi
sebesar:
1._70% …
- 32 -
1. 70% (tujuh puluh perseratus) dari penilaian apabila penilaian
dilakukan dalam 12 (dua belas) bulan terakhir;
2. 50% (lima puluh perseratus) dari penilaian apabila penilaian
dilakukan telah melampaui 12 (dua belas) bulan namun belum
melampaui 18 (delapan belas) bulan terakhir;
3. 30% (tiga puluh perseratus) dari penilaian apabila penilaian
dilakukan telah melampaui 18 (delapan belas) bulan namun belum
melampaui 24 (dua puluh empat) bulan terakhir; atau
4. 0% (nol perseratus) dari penilaian apabila penilaian dilakukan telah
melampaui 24 (dua puluh empat) bulan terakhir.
(2) Bank wajib menggunakan nilai yang terendah dalam hal terdapat beberapa
penilaian terhadap suatu agunan untuk posisi yang sama baik yang
dilakukan oleh penilai independen maupun penilai intern.
(3) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan nilai agunan yang dapat
diperhitungkan sebagai pengurang PPA lebih rendah dari penetapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan pertimbangan
pengawasan.
Pasal 49
Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam perhitungan
PPA dilarang melebihi nilai pengikatan agunan.
Pasal 50
(1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan perhitungan kembali atas
nilai agunan yang telah dikurangkan dalam PPA, dalam hal Bank tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, Pasal 46,
Pasal 48, dan/atau Pasal 49.
(2) Bank wajib menyesuaikan perhitungan PPA sesuai dengan perhitungan yang
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dalam laporan perhitungan rasio KPMM yang disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan dan/atau laporan publikasi sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan yang berlaku paling lambat pada periode laporan
berikutnya setelah pemberitahuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian …
- 33 -
Bagian Kedua
Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN)
Pasal 51
Bank wajib menghitung dan membentuk CKPN sesuai standar akuntansi
keuangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Pengaruh Perhitungan PPA Terhadap Rasio KPMM
Pasal 52
(1) Dalam menghitung rasio KPMM, Bank wajib memperhitungkan PPA atas
Aset Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a dan
CKPN yang dibentuk.
(2) Dalam hal hasil perhitungan PPA wajib dibentuk atas Aset Produktif lebih
besar dari CKPN yang telah dibentuk, Bank wajib memperhitungkan selisih
perhitungan PPA dengan CKPN sebagai pengurang modal dalam perhitungan
rasio KPMM.
(3) Dalam hal hasil perhitungan PPA wajib dibentuk terhadap Aset Produktif
sama dengan atau lebih kecil dari CKPN yang telah dibentuk, Bank tidak
perlu memperhitungkan selisih lebih PPA dalam perhitungan rasio KPMM.
Pasal 53
Bank wajib memperhitungkan hasil perhitungan PPA atas Aset Non Produktif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b sebagai pengurang dalam
perhitungan rasio KPMM.
BAB VI
RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN
Bagian Kesatu
Jenis
Pasal 54
Restrukturisasi Pembiayaan wajib memenuhi prinsip kehati-hatian dan Prinsip
Syariah.
Pasal …
- 34 -
Pasal 55
(1) Restrukturisasi Pembiayaan hanya dapat dilakukan untuk nasabah yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. nasabah mengalami penurunan kemampuan membayar; dan
b. nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi
kewajiban setelah restrukturisasi.
(2) Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
antara lain melalui:
a. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran
kewajiban nasabah atau jangka waktunya;
b. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau
seluruh persyaratan Pembiayaan tanpa menambah sisa pokok kewajiban
nasabah yang harus dibayarkan kepada Bank, antara lain:
1. perubahan jadwal pembayaran;
2. perubahan jumlah angsuran;
3. perubahan jangka waktu;
4. perubahan nisbah dalam Pembiayaan Mudharabah atau Pembiayaan
Musyarakah;
5. perubahan PBH dalam Pembiayaan Mudharabah atau Pembiayaan
Musyarakah; dan/atau
6. pemberian potongan;
c. Penataan kembali
(restructuring), yaitu perubahan persyaratan
Pembiayaan yang antara lain:
1. penambahan dana fasilitas Pembiayaan Bank;
2. konversi akad Pembiayaan; dan/atau
3. konversi Pembiayaan menjadi Penyertaan Modal Sementara pada
perusahaan nasabah.
Pasal 56
Bank dilarang melakukan Restrukturisasi Pembiayaan dengan tujuan untuk:
a. memperbaiki kualitas Pembiayaan; atau
b. menghindari peningkatan pembentukan PPA,
tanpa memperhatikan kriteria nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55
ayat (1).
Bagian …
- 35 -
Bagian Kedua
Perlakuan Akuntansi Restrukturisasi Pembiayaan
Pasal 57
Bank wajib menerapkan perlakuan akuntansi Restrukturisasi Pembiayaan sesuai
dengan ketentuan standar akuntansi keuangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Kebijakan dan Prosedur Restrukturisasi Pembiayaan
Pasal 58
(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai
Restrukturisasi Pembiayaan.
(2) Kebijakan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disetujui oleh Dewan Komisaris.
(3) Prosedur Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disetujui oleh Direksi.
(4) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap
pelaksanaan kebijakan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(5) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko Bank
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang berlaku.
Pasal 59
(1) Keputusan Restrukturisasi Pembiayaan wajib dilakukan oleh pihak yang
lebih tinggi dari pihak yang memutuskan pemberian Pembiayaan.
(2) Dalam hal keputusan pemberian Pembiayaan dilakukan oleh pihak yang
memiliki kewenangan tertinggi sesuai anggaran dasar Bank, keputusan
Restrukturisasi Pembiayaan dilakukan oleh pihak yang setingkat dengan
pihak yang memutuskan pemberian Pembiayaan.
(3) Untuk menjaga obyektivitas, Restrukturisasi Pembiayaan wajib dilakukan
oleh pejabat atau pegawai yang tidak terlibat dalam pemberian Pembiayaan
yang direstrukturisasi.
(4) Dalam pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan, pembentukan satuan kerja
khusus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing Bank dengan tetap
mengikuti ketentuan yang berlaku.
Pasal …
- 36 -
Pasal 60
(1) Bank wajib menganalisis Pembiayaan yang akan direstrukturisasi
berdasarkan prospek usaha nasabah dan kemampuan membayar sesuai
proyeksi arus kas.
(2) Pembiayaan kepada Pihak Terkait yang akan direstrukturisasi wajib
dianalisis oleh konsultan keuangan independen yang memiliki izin usaha
dan reputasi yang baik.
(3) Setiap tahapan dalam pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan dan hasil
analisis yang dilakukan Bank dan konsultan keuangan independen terhadap
Pembiayaan yang direstrukturisasi wajib didokumentasikan secara lengkap
dan jelas.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tetap
berlaku untuk restrukturisasi ulang Pembiayaan.
Bagian Keempat
Penetapan Kualitas Pembiayaan yang Direstrukturisasi
Pasal 61
(1) Kualitas Pembiayaan setelah restrukturisasi ditetapkan sebagai berikut:
a. paling tinggi sama dengan kualitas Pembiayaan sebelum dilakukan
Restrukturisasi Pembiayaan, sepanjang nasabah belum memenuhi
kewajiban pembayaran angsuran pokok dan/atau margin/bagi
hasil/ujrah secara berturut turut selama 3 (tiga) periode sesuai waktu
yang diperjanjikan;
b. dapat meningkat paling tinggi 1 (satu) tingkat dari kualitas Pembiayaan
sebelum dilakukan Restrukturisasi, setelah nasabah memenuhi
kewajiban pembayaran angsuran pokok dan/atau margin/bagi
hasil/ujrah secara berturut turut selama 3 (tiga) periode sebagaimana
dimaksud pada huruf a; dan
c. berdasarkan faktor penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7:
1. setelah penetapan kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
huruf b; atau
2. dalam hal nasabah tidak memenuhi syarat-syarat dan/atau
kewajiban pembayaran dalam perjanjian Restrukturisasi
Pembiayaan, baik selama maupun setelah 3 (tiga) kali periode
kewajiban pembayaran sesuai waktu yang diperjanjikan.
(2) Penetapan …
- 37 -
(2) Penetapan kualitas Pembiayaan yang direstrukturisasi sampai dengan
jumlah Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dilakukan sebagai berikut:
a. paling tinggi kurang lancar untuk Pembiayaan yang sebelum dilakukan
Restrukturisasi Pembiayaan tergolong diragukan dan macet dan tetap
sama untuk Pembiayaan yang tergolong kurang lancar dan dalam
perhatian khusus, sampai dengan 3 (tiga) periode kewajiban
pembayaran;
b. selanjutnya ditetapkan berdasarkan faktor penilaian atas ketepatan
pembayaran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah.
(3) Kualitas Pembiayaan yang direstrukturisasi dapat ditetapkan berdasarkan
faktor penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dalam hal
pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan tidak didukung dengan analisis
dan dokumentasi yang memadai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60.
(4) Dalam hal periode pemenuhan kewajiban angsuran pokok dan/atau
margin/bagi hasil/ujrah kurang dari 1 (satu) bulan, peningkatan kualitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan paling cepat
dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak dilakukan Restrukturisasi Pembiayaan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) tetap berlaku untuk restrukturisasi ulang Pembiayaan.
(6) Kualitas tambahan Pembiayaan sebagai bagian dari paket Restrukturisasi
Pembiayaan ditetapkan sama dengan kualitas Pembiayaan yang
direstrukturisasi.
Pasal 62
(1) Pembiayaan yang direstrukturisasi dengan pemberian tenggang waktu
pembayaran (grace period) angsuran pokok atau margin/bagi hasil/ujrah
hanya berlaku untuk:
a. pembiayaan berdasarkan akad Murabahah, Istishna’, Ijarah, Ijarah
Muntahiya Bittamlik, Mudharabah, dan Musyarakah; dan
b. jenis penggunaan untuk modal kerja dan investasi.
(2) Pembiayaan yang direstrukturisasi dengan pemberian tenggang waktu
pembayaran (grace period) angsuran pokok atau margin/bagi hasil/ujrah
ditetapkan memiliki kualitas sebagai berikut:
a. selama …
- 38 -
a. selama tenggang waktu (grace period), kualitas mengikuti kualitas
Pembiayaan sebelum dilakukan restrukturisasi; dan
b. setelah tenggang waktu (grace period) berakhir, kualitas Pembiayaan
mengikuti penetapan kualitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61.
Pasal 63
Penetapan kualitas Aset Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 berlaku
bagi Pembiayaan yang direstrukturisasi.
Bagian Kelima
Penyisihan Penghapusan Aset Pembiayaan yang Direstrukturisasi
Pasal 64
Bank wajib menghitung dan membentuk PPA terhadap Pembiayaan yang telah
direstrukturisasi sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.
Bagian Keenam
Restrukturisasi Pembiayaan melalui Penyertaan Modal Sementara
Pasal 65
(1) Bank dapat melakukan Restrukturisasi Pembiayaan dalam bentuk
Penyertaan Modal Sementara.
(2) Penyertaan Modal Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan untuk Pembiayaan yang memiliki kualitas kurang lancar,
diragukan, atau macet.
Pasal 66
(1) Bank wajib menarik kembali Penyertaan Modal Sementara apabila:
a. telah melampaui jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun; atau
b. perusahaan nasabah tempat penyertaan telah memperoleh laba
kumulatif.
(2) Bank wajib menghapus-bukukan Penyertaan Modal Sementara dari neraca
Bank apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun.
Bagian …
- 39 -
Bagian Ketujuh
Laporan Restrukturisasi Pembiayaan
Pasal 67
Bank wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Kuangan seluruh Restrukturisasi
Pembiayaan yang telah dilakukan sesuai dengan ketentuan mengenai laporan
berkala bank umum syariah.
Bagian Kedelapan
Koreksi Dalam Rangka Restrukturisasi Pembiayaan
Pasal 68
Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan koreksi terhadap penetapan
kualitas Pembiayaan, apabila:
a. menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan, Restrukturisasi Pembiayaan
dilakukan dengan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56;
b. Restrukturisasi Pembiayaan tidak didukung dengan dokumen yang lengkap
dan analisis yang memadai mengenai kemampuan membayar dan prospek
usaha nasabah;
c. nasabah tidak melaksanakan perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan
(wanprestasi); dan/atau
d. Restrukturisasi Pembiayaan tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan.
BAB VII
HAPUS BUKU DAN HAPUS TAGIH
Pasal 69
(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai hapus buku
dan hapus tagih.
(2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Dewan
Komisaris.
(3) Prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Direksi.
(4) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap
pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko Bank
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang berlaku.
Pasal …
- 40 -
Pasal 70
(1) Hapus buku atau hapus tagih hanya dapat dilakukan terhadap Aset
Produktif yang telah didukung perhitungan CKPN sebesar 100% (seratus
perseratus) dan kualitasnya telah ditetapkan macet.
(2) Hapus buku tidak dapat dilakukan terhadap sebagian Aset Produktif
(partial write off).
(3) Hapus tagih dapat dilakukan baik untuk sebagian maupun seluruh Aset
Produktif.
(4) Hapus tagih terhadap sebagian Aset Produktif sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) hanya dapat dilakukan dalam rangka Restrukturisasi Pembiayaan
atau dalam rangka penyelesaian Pembiayaan.
Pasal 71
(1) Hapus buku atau hapus tagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 hanya
dapat dilakukan setelah Bank melakukan berbagai upaya untuk
memperoleh kembali Aset Produktif yang diberikan.
(2) Bank wajib menatausahakan dokumen mengenai upaya yang dilakukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dasar pertimbangan pelaksanaan
hapus buku atau hapus hak tagih.
(3) Bank wajib menatausahakan data dan informasi mengenai Aset Produktif
dalam bentuk Pembiayaan yang telah dihapus buku atau dihapus tagih.
BAB VIII
RENCANA TINDAK (ACTION PLAN)
Pasal 72
(1) Bank wajib menyusun rencana tindak (action plan) untuk mengatasi
permasalahan yang dihadapi, apabila diperkirakan mengalami penurunan
rasio KPMM:
a. secara signifikan; atau
b. mendekati atau kurang dari rasio KPMM sesuai ketentuan yang berlaku.
(2) Selain penyusunan rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank wajib menyusun rencana tindak (action plan) apabila
terdapat perintah dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Bank …
- 41 -
(3) Bank wajib menyampaikan rencana tindak (action plan) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6
(enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB IX
SANKSI
Pasal 73
(1) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), ayat (3), ayat (4), Pasal 4 ayat (1),
ayat (3), Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 10 ayat (5),
Pasal 11 ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 13 ayat (1), Pasal 16, Pasal 17,
Pasal 21 ayat (4), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 29 ayat (3), ayat
(4) dan ayat (5), Pasal 30 ayat (2), Pasal 32, Pasal 33, Pasal 35 ayat (1), ayat
(3), dan ayat (5), Pasal 36, Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 39, Pasal 41
ayat (1), Pasal 42 ayat (1), Pasal 43 ayat (5), Pasal 46, Pasal 47 ayat (2), Pasal
48 ayat (2), Pasal 49, Pasal 50 ayat (2), Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal
54, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3), Pasal
60 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 64, Pasal 66, Pasal 67, Pasal 69 ayat
(1), Pasal 71 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 72; Direksi yang melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2),
Pasal 13 ayat (3), Pasal 23 ayat (3), Pasal 38 ayat (2), Pasal 58 ayat (3), Pasal
69 ayat (3); dan Dewan Komisaris yang melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 23
ayat (2) dan ayat (4), Pasal 58 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 69 ayat (2) dan ayat
(4), dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan Bank;
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau
d. pencantuman pengurus dalam daftar pihak-pihak yang mendapatkan
predikat tidak lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan.
(2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank yang melanggar
ketentuan Pasal 16 dan Pasal 17 wajib menghitung dan membentuk PPA
sebesar 100% (seratus perseratus) terhadap Aset dimaksud.
BAB …
- 42 -
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 74
(1) Kualitas Pembiayaan yang direstrukturisasi sebelum Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini berlaku tidak perlu disesuaikan dengan Pasal 61 ayat (1)
huruf a dan b.
(2) Penetapan kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan faktor penilaian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 paling lambat 3 (tiga) bulan sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini berlaku.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 75
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dengan
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 76
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/13/PBI/2011 tentang Penilaian
Kualitas Aktiva bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5205);
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi
Pembiayaan bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4898) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 13/9/PBI/2011 tentang Perubahan Atas Penilaian
Kualitas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/18/PBI/2008 tentang
Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 19, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5198), kecuali ketentuan terkait
dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal …
Pasal 77
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
2015.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 November 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 19 November 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
Salinan sesuai dengan aslinya
Departemen Hukum,
OToTAS
Tini Kuistini
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 347
End of Page 43
PENJELASAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 16/POJK.03/2014
TENTANG
PENILAIAN KUALITAS ASET BANK UMUM SYARIAH
DAN UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM
Perbankan syariah sebagai lembaga keuangan yang menjalankan fungsi
intermediasi dituntut untuk menyajikan laporan keuangan yang akurat,
komprehensif, dan mencerminkan kinerja bank secara utuh. Salah satu syarat
dalam rangka penyajian laporan keuangan yang akurat dan komprehensif,
laporan keuangan dimaksud harus disajikan sesuai dengan ketentuan standar
akuntansi keuangan yang berlaku.
Untuk menghadapi persaingan usaha yang semakin ketat, bank harus
mampu melakukan penanaman dana yang dapat menghasilkan keuntungan
optimal dengan tetap berpegang pada prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah.
Pengembangan atas instrumen yang dipergunakan dalam penanaman dana
tersebut perlu didukung dengan perangkat kebijakan dan pengaturan yang
memberikan keleluasan kepada perbankan syariah untuk menawarkan produk
dan jasa yang sesuai dengan karakteristik kegiatan usaha nasabah yang dibiayai
serta memenuhi prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah.
Dalam rangka memelihara kelangsungan usahanya, bank perlu tetap
mengelola eksposur risiko kredit pada tingkat yang memadai antara lain dengan
menjaga kualitas aset dan tetap melakukan penghitungan penyisihan
penghapusan aset.
Sebagai tindak lanjut dari diberlakukannya Pedoman Akuntansi Perbankan
Syariah Indonesia Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, Laporan
Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Bank
Umum Syariah, serta Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah berdasarkan risiko, perlu dilakukan penyempurnaan ketentuan
kualitas aset agar ketentuan-ketentuan dimaksud dapat dilaksanakan dengan
baik dan sejalan dengan ketentuan lainnya.
Sehubungan …
- 2 -
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, perlu pengaturan tentang Penilaian
Kualitas Aset Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup Jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” dalam penanaman
dan/atau penyediaan dana adalah penanaman dan/atau penyediaan
dana yang dilakukan antara lain berdasarkan:
1. analisis kelayakan usaha dengan memperhatikan paling sedikit
faktor 5C (Character, Capital, Capacity, Condition of economy dan
Collateral); dan/atau
2. penilaian terhadap aspek prospek usaha, kinerja (performance),
dan kemampuan membayar.
Penerapan Prinsip Syariah dalam penanaman dan/atau penyediaan
dana antara lain penanaman dan/atau penyediaan dana yang
dilakukan tidak mengandung unsur riba, maisir, gharar, haram, dan
zalim.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “menilai” adalah mengevaluasi kondisi
nasabah dan/atau kelayakan usaha yang akan dibiayai.
Yang dimaksud dengan “memantau”
adalah mengawasi
perkembangan kinerja usaha nasabah dari waktu ke waktu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penilaian kualitas aset yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan
antara lain didasarkan pada pemeriksaan atau pengawasan Bank.
Ayat …
- 3 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Termasuk dalam pengertian “pemberitahuan” adalah pemberitahuan
yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank dalam
pertemuan akhir (exit meeting) pemeriksaan Bank.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh:
Bank A memberikan Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan
Murabahah kepada nasabah X. Hasil penilaian yang dilakukan Bank
A untuk masing-masing Aset Produktif adalah sebagai berikut:
a. Dalam perhatian khusus, untuk Pembiayaan Mudharabah; dan
b. Kurang lancar, untuk Pembiayaan Murabahah.
Karena Pembiayaan digunakan untuk membiayai 1 (satu) nasabah,
maka kualitas Aset Produktif yang ditetapkan oleh Bank A kepada
nasabah X mengikuti yang paling rendah yaitu kurang lancar.
Ayat (4)
Mengingat faktor penilaian untuk penetapan kualitas Aset Produktif
dalam bentuk Pembiayaan berbeda dengan faktor penilaian untuk
penetapan kualitas Aset Produktif dalam bentuk Surat Berharga
Syariah, kualitas untuk kedua jenis Aset Produktif tersebut dapat
ditetapkan secara berbeda meskipun untuk nasabah yang sama.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dokumen yang lengkap” adalah dokumen
penanaman dana yang paling sedikit meliputi aplikasi, analisa,
keputusan, dan pemantauan atas penanaman dana serta
perubahannya.
Ayat …
- 4 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Kewajiban audit laporan keuangan oleh akuntan publik
dimaksudkan agar laporan keuangan nasabah akurat dan dapat
dipercaya, mengingat kondisi keuangan nasabah merupakan salah
satu kriteria dalam penetapan kualitas Aset Produktif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan yang
berlaku” antara lain Peraturan Pemerintah mengenai informasi
keuangan tahunan perusahaan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “nasabah” adalah nasabah yang wajib
melakukan upaya pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat …
- 5 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “akumulasi selama periode Pembiayaan
Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah yang telah berjalan”
adalah penjumlahan RBH atau PBH sejak awal Pembiayaan sampai
dengan posisi bulan penilaian.
Contoh:
Pembiayaan Mudharabah diberikan pada September 2014, dengan
jangka waktu selama 1 (satu) tahun.
Penghitungan akumulasi RBH atau PBH yang dilakukan pada
Desember 2014 adalah RBH atau PBH September 2014 diakumulasi
sampai dengan RBH atau PBH Desember 2014.
Ayat (3)
PBH dapat ditetapkan dalam periode tahunan, semesteran,
triwulanan, atau bulanan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Penetapan perlu atau tidaknya pembayaran angsuran pokok secara
berkala disesuaikan dengan karakteristik usaha nasabah yang
dibiayai.
Ayat …
- 6 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “langkah-langkah untuk mengurangi risiko
tidak terbayarnya pokok Pembiayaan pada saat jatuh tempo” antara
lain melakukan evaluasi kinerja usaha nasabah paling sedikit 1
(satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Penempatan dana pada Bank Indonesia antara lain SBIS, Fasilitas
Simpanan pada Bank Indonesia (FASBIS), dan Penempatan Berjangka (term
deposit) Syariah dalam valuta asing.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Surat Berharga Syariah yang diakui
berdasarkan nilai pasar” adalah surat berharga yang tersedia untuk
dijual (available for sale) dan Surat Berharga Syariah dalam portofolio
untuk diperdagangkan (trading).
Huruf a
Yang dimaksud dengan “aktif diperdagangkan di bursa
efek di Indonesia” adalah terdapat volume transaksi yang
signifikan dan wajar (arms length transaction) di bursa
efek di Indonesia dalam 10 (sepuluh) hari kerja terakhir.
Huruf b
“Informasi nilai pasar secara transparan” dapat diperoleh
dari media publikasi yang lazim untuk transaksi bursa
efek.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat …
- 7 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Surat Berharga Syariah yang diakui
berdasarkan harga perolehan” adalah Surat Berharga Syariah yang
dimiliki hingga jatuh tempo (hold to maturity).
Yang dimaksud dengan “peringkat investasi (investment grade)” yaitu
peringkat yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku mengenai lembaga pemeringkat dan
peringkat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
“Surat Berharga Syariah yang dihubungkan atau dijamin dengan aset
tertentu yang mendasari” antara lain reksadana dan efek beragun aset.
Huruf a
Keberadaan aset dapat diyakini apabila aset dimaksud antara
lain disimpan di bank kustodian, Kustodian Sentral Efek
Indonesia (KSEI), atau Bank Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Pembayaran kewajiban Surat Berharga Syariah dikatakan
“terkait langsung dengan aset yang mendasari (pass through)”
apabila pembayaran pokok dan margin/bagi hasil/ujrah Surat
Berharga …
- 8 -
Berharga Syariah hanya bersumber dari pembayaran pokok
dan margin/bagi hasil/ujrah dari aset yang mendasari.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
“Kualitas aset yang mendasari” ditetapkan berdasarkan jenis aset
dan kualitas dari aset tersebut. Misalnya, aset dalam bentuk
Pembiayaan kepada nasabah dinilai berdasarkan ketentuan kualitas
Pembiayaan kepada nasabah, aset dalam bentuk Surat Berharga
Syariah dinilai berdasarkan kualitas Surat Berharga Syariah, dan
aset dalam bentuk deposito pada bank lain dinilai berdasarkan
kualitas Penempatan Pada Bank Lain. Dalam hal aset yang
mendasari memiliki kualitas yang berbeda-beda, maka kualitas Surat
Berharga Syariah ditetapkan berdasarkan kualitas dari setiap aset
yang mendasari dan dihitung secara proporsional.
Ayat (3)
Huruf a
Penggolongan “kualitas Aset Produktif dalam bentuk Surat
Berharga Syariah” berupa reksadana yang berdasarkan
ketentuan penilaian kualitas Aset Produktif dalam bentuk
Surat Berharga Syariah, dilakukan terhadap reksadana sebagai
satu produk dan bukan terhadap setiap jenis aset yang
mendasari reksadana dimaksud.
Huruf b
Penilaian atas “kualitas aset yang mendasari reksadana dan
kualitas penerbit reksadana” ditekankan pada:
1. kinerja, likuiditas, dan reputasi penerbit atau pihak terkait
lain seperti asuransi; dan
2. diversifikasi portofolio yang dimiliki penerbit yang
mempertimbangkan risiko dan prinsip kehati-hatian.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf …
- 9 -
Huruf b
“Surat Berharga Syariah yang berdasarkan karakteristiknya
tidak diperdagangkan di bursa efek dan/atau tidak memiliki
peringkat” antara lain wesel ekspor yang diambil alih.
Yang dimaksud dengan “jangka waktu sampai dengan atau
lebih dari 1 (satu) tahun” adalah jangka waktu perjanjian awal
dan tidak termasuk jangka waktu perpanjangan Surat
Berharga Syariah tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 20
Termasuk dalam “wesel yang diambil alih” antara lain wesel ekspor dan
Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN).
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “investee” adalah perusahaan tempat Bank
melakukan Penyertaan Modal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pemenuhan Prinsip Syariah mengacu pada fatwa yang dikeluarkan
oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia.
Pasal 22
Ayat (1)
Perhitungan jangka waktu Penyertaan Modal Sementara dihitung
sejak Bank melakukan Penyertaan Modal Sementara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat …
- 10 -
Ayat (3)
Pemenuhan Prinsip Syariah mengacu pada fatwa yang dikeluarkan
oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Yang dimaksud dengan “rasio KPMM sesuai ketentuan
yang berlaku” adalah rasio KPMM yang ditetapkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan untuk bank di dalam negeri
atau instansi yang berwenang untuk bank di luar negeri.
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “linkage program” adalah kerja sama antara
Bank dan BPRS, dalam menyalurkan Pembiayaan kepada Usaha
Mikro dan Usaha Kecil.
Yang dimaksud dengan “linkage program dengan pola executing”
adalah Pembiayaan yang diberikan Bank kepada BPRS untuk
diterus-pinjamkan kepada nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil
yang risikonya menjadi beban BPRS.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Surat Berharga yang dibeli dengan janji
dijual kembali (reverse repurchase agreement)” adalah pembelian
Surat Berharga Syariah dari pihak lain yang dilengkapi dengan
perjanjian …
- 11 -
perjanjian untuk menjual kembali kepada pihak lain tersebut pada
akhir periode dengan harga atau imbalan yang telah disepakati
sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 27
Tagihan Derivatif antara lain berupa forward termasuk potensi keuntungan
karena mark to market dari transaksi spot yang masih berjalan.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pembatalan dapat dilakukan karena kondisi atau alasan tertentu
yang dicantumkan dalam klausul perjanjian antara Bank dengan
nasabah.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam hal agunan tunai berupa logam mulia, nilai agunan
ditetapkan berdasarkan nilai pasar (market value).
Huruf b
Dalam hal agunan tunai berupa SBSN, nilai agunan ditetapkan
berdasarkan nilai pasar SBSN atau dalam hal tidak ada nilai
pasar ditetapkan berdasarkan nilai wajar (fair value).
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Pemerintah Indonesia” adalah
Pemerintah Pusat.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemblokiran dan pengikatan untuk SBIS dan SBSN serta
penempatan dana lain pada Bank Indonesia dan Pemerintah saat ini
diadministrasikan oleh Bank Indonesia.
Ayat …
- 12 -
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “tanpa syarat (unconditional)” adalah apabila:
a. manfaat yang diperoleh Bank penyedia dana dari jaminan tidak
berkurang secara substansi walaupun terjadi kerugian yang
disebabkan oleh faktor-faktor di luar kendali Bank; dan
b. tidak memuat persyaratan prosedur, seperti:
1. mempersyaratkan waktu pengajuan
wanprestasi (notification of default);
pemberitahuan
2. mempersyaratkan kewajiban pembuktian itikad baik (good
faith) oleh Bank penyedia dana; dan/atau
3. mempersyaratkan pencairan jaminan dengan cara
dilakukannya saling hapus (set-off) terlebih dahulu dengan
kewajiban Bank penyedia dana kepada pihak penjamin.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Batas jumlah (limit) diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas yang
diberikan (plafon) kepada setiap nasabah atau proyek, baik untuk
nasabah individu maupun Kelompok Peminjam dalam hal
Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya digunakan untuk
membiayai proyek yang sama.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penyediaan dana lainnya”
adalah penerbitan jaminan dan/atau pembukaan letter of
credit.
Termasuk sebagai “Pembiayaan dan penyediaan dana
lainnya” adalah semua jenis Pembiayaan atau penyediaan
dana lainnya yang diberikan kepada semua golongan
nasabah.
Huruf …
- 13 -
Huruf b
Angka 1
Huruf a)
Penilaian kecukupan KPMR meliputi:
1) tata kelola risiko;
2) kerangka manajemen risiko;
3) proses manajemen risiko, kecukupan
sumber daya manusia, dan kecukupan
sistem informasi manajemen; dan
4) kecukupan sistem pengendalian risiko,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
yang berlaku mengenai penilaian tingkat
kesehatan Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah.
Secara umum, predikat penilaian kecukupan
KPMR untuk risiko kredit yang sangat
memadai
(strong) dicerminkan melalui
penerapan seluruh komponen KPMR tersebut
di atas terhadap seluruh risiko kredit yang
efektif untuk memelihara kondisi internal
Bank yang sehat. Meskipun terdapat
kelemahan minor dalam penilaian kecukupan
KPMR, namun dapat diabaikan karena
kelemahan tersebut tidak signifikan.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Yang dimaksud dengan “peringkat komposit”
adalah peringkat komposit sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan mengenai
penilaian tingkat kesehatan Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah yang
berlaku.
Angka …
- 14 -
Angka 2
Huruf a)
Penilaian kecukupan KPMR meliputi:
1) tata kelola risiko;
2) kerangka manajemen risiko;
3) proses manajemen risiko, kecukupan
sumber daya manusia, dan kecukupan
sistem informasi manajemen; dan
4) kecukupan sistem pengendalian risiko,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
mengenai penilaian tingkat kesehatan Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang
berlaku.
Secara umum,
“predikat penilaian
kecukupan KPMR untuk risiko kredit
memadai (satisfactory)” dicerminkan melalui
penerapan seluruh komponen KPMR
terhadap seluruh risiko kredit yang cukup
efektif untuk memelihara kondisi internal
Bank yang sehat. Meskipun terdapat
beberapa kelemahan minor dalam penilaian
kecukupan KPMR, namun kelemahan
tersebut dapat diselesaikan pada aktivitas
bisnis normal.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Yang dimaksud dengan “peringkat komposit”
adalah peringkat komposit sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan mengenai
penilaian tingkat kesehatan Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah yang
berlaku.
Huruf …
- 15 -
Huruf c
Yang dimaksud dengan “penyediaan dana lain” adalah
penerbitan jaminan atau pembukaan letter of credit.
Batas pemberian fasilitas Pembiayaan dan penyediaan
dana lain diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas yang
diterima oleh setiap nasabah baik untuk nasabah
individu maupun Kelompok Peminjam yang diterima dari
1 (satu) Bank.
Yang dimaksud dengan “daerah tertentu” adalah daerah
yang menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan
memerlukan penanganan khusus untuk mendorong
pembangunan ekonomi di daerah yang ditetapkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bank dapat menggunakan hasil self assessment Tingkat Kesehatan
(TKS) bank sepanjang tidak ada permintaan untuk prudential meeting
terkait dengan hasil penilaian tingkat kesehatan bank.
Dalam hal terjadi penyesuaian penilaian posisi Desember atau Juni
oleh Otoritas Jasa Keuangan, yang dipergunakan oleh bank adalah
posisi penilaian terkini yang telah disesuaikan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Dalam hal terjadi penyesuaian penilaian posisi Desember atau Juni
oleh Otoritas Jasa Keuangan, yang dipergunakan adalah posisi
penilaian terkini yang telah disesuaikan.
Ayat (6)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “50 (lima puluh) nasabah terbesar
Bank Umum Syariah” adalah 50 (lima puluh) nasabah terbesar
BUS secara individu.
Yang …
- 16 -
Yang dimaksud dengan “50 (lima puluh) nasabah terbesar Unit
Usaha Syariah” adalah 50 (lima puluh) nasabah terbesar dari
Unit Usaha Syariah, tidak termasuk nasabah dari bank
induknya.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
“Kebijakan dan prosedur tertulis” termasuk mekanisme dan
persyaratan pengambilalihan AYDA.
Ayat (2)
Pengaturan ini dimaksudkan agar Bank melakukan kegiatan usaha
sesuai fungsinya sebagai penghimpun dan penyalur dana
masyarakat.
Upaya penyelesaian antara lain dapat dilakukan secara aktif dengan
memasarkan dan menjual AYDA.
Ayat (3)
Dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan informasi
mengenai upaya pemasaran dan penjualan AYDA.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “net realizable value” adalah nilai wajar
agunan dikurangi estimasi biaya pelepasan.
Ayat (2)
Pencatatan mengacu kepada standar akuntansi keuangan dan
pedoman akuntansi yang berlaku bagi Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat …
- 17 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Pengaturan ini dimaksudkan agar Bank segera menjual AYDA dalam
jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sesuai Undang-Undang
mengenai perbankan syariah dan bukan untuk memiliki agunan
lebih dari jangka waktu tersebut.
Ayat (2)
Dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan informasi
mengenai upaya pemasaran dan penjualan AYDA.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Yang termasuk dalam “Properti Terbengkalai” antara lain tanah
dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk kegiatan usaha
Bank seperti gedung dan/atau tanah yang disewakan.
Tidak termasuk dalam pengertian “Properti Terbengkalai” adalah
properti yang dikategorikan memiliki klasifikasi sebagai aset Bank
dalam Pembiayaan Ijarah dan Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik
sesuai fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia dan
ketentuan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat …
- 18 -
Ayat (3) dan Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “digunakan untuk kegiatan usaha Bank
secara mayoritas” adalah Bank menggunakan porsi terbesar, yaitu
lebih dari 50% (lima puluh perseratus).
Pengukuran bagian yang digunakan untuk kegiatan usaha Bank
dilakukan secara terpisah untuk masing-masing properti.
Contoh:
Properti A digunakan untuk kegiatan usaha Bank sebesar 75%.
Properti B digunakan untuk kegiatan usaha Bank sebesar 35%.
Properti C seluruhnya tidak digunakan untuk kegiatan usaha
Bank.
Dalam hal ini, properti A seluruhnya tidak digolongkan sebagai
Properti Terbengkalai, properti B digolongkan sebagai Properti
Terbengkalai sebesar 65% dan properti C seluruhnya digolongkan
sebagai Properti Terbengkalai.
Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “upaya penyelesaian” antara lain upaya
pemasaran dan penjualan Properti Terbengkalai.
Pengaturan ini dimaksudkan agar Bank melakukan kegiatan usaha
sesuai fungsinya sebagai penghimpun dan penyalur dana
masyarakat.
Ayat (2)
Dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan informasi
mengenai upaya pemasaran dan penjualan Properti Terbengkalai.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Upaya penyelesaian diperlukan agar seluruh transaksi Bank diakui
dan dicatat berdasarkan karakteristik dari transaksi tersebut dan
mengurangi kemungkinan terjadinya rekayasa transaksi yang dapat
mengakibatkan kerugian bagi Bank.
Ayat …
- 19 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Rekening Antar Kantor” adalah penilaian
akun Rekening Antar Kantor di sisi aset tanpa dilakukan set off
dengan Rekening Antar Kantor di sisi pasiva, mengingat pihak lawan
transaksi belum dapat dipastikan sebagai pihak atau kantor yang
sama.
Pasal 42
Ayat (1)
Bank diwajibkan menghitung dan membentuk PPA baik untuk Aset
Produktif maupun Aset Non Produktif dalam rangka memenuhi
prinsip kehati-hatian. Namun sesuai dengan standar akuntansi
keuangan yang berlaku, hasil perhitungan PPA tidak dicatat dan
dilaporkan dalam laporan keuangan Bank.
Perhitungan PPA terhadap Aset Non Produktif dimaksudkan pula
untuk mendorong Bank melakukan upaya penyelesaian, dan untuk
antisipasi terhadap potensi kerugian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pencatatan mengacu pada ketentuan standar akuntansi keuangan
dan pedoman akuntansi yang berlaku bagi Bank.
Ayat (5)
Penyusutan atau amortisasi untuk Pembiayaan Ijarah atau Ijarah
Muntahiya Bittamlik mengacu pada ketentuan standar akuntansi
keuangan dan pedoman akuntansi yang berlaku bagi Bank.
Kebijakan penyusutan atau amortisasi yang dipilih harus konsisten
dan mencerminkan pola konsumsi yang diharapkan dari manfaat
ekonomi di masa depan dari obyek Ijarah.
Ayat …
- 20 -
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Huruf a
Kriteria “aktif diperdagangkan di bursa efek” adalah terdapat volume
transaksi yang signifikan dan wajar (arms length transaction) di bursa
efek di Indonesia dalam 10 (sepuluh) hari kerja terakhir.
Peringkat investasi didasarkan pada peringkat yang diterbitkan oleh
lembaga pemeringkat dalam 1 (satu) tahun terakhir. Apabila
peringkat yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat dalam 1 (satu)
tahun terakhir tidak tersedia, Surat Berharga Syariah dianggap tidak
memiliki peringkat.
Huruf b
Pengikatan agunan secara hak tanggungan sesuai dengan prosedur
dan ketentuan yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada
masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak preferensi
terhadap agunan dimaksud.
Huruf c
Pengikatan agunan secara hak tanggungan sesuai dengan prosedur
dan ketentuan yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada
masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak preferensi
terhadap agunan dimaksud.
Pemasangan hak tanggungan atas tanah beserta mesin yang berada
diatasnya harus dicantumkan dengan jelas dalam Akta Pemberian
Hak Tanggungan.
Huruf d
Pengikatan agunan secara hipotek sesuai dengan prosedur dan
ketentuan yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada
masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak preferensi
terhadap agunan dimaksud.
Huruf e
Pengikatan agunan secara fidusia sesuai dengan prosedur dan
ketentuan yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada
masalah …
- 21 -
masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak preferensi
terhadap agunan dimaksud.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “resi gudang” adalah resi gudang
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai sistem resi
gudang.
Pasal 46
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “diikat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sehingga memberikan hak
preferensi” adalah pengikatan yang dilakukan dengan hak
tanggungan, hipotek, gadai, dan fidusia.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “banker’s clause” adalah klausula yang
memberikan hak kepada Bank untuk menerima uang
pertanggungan dalam hal terjadi pembayaran klaim.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Batasan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) diperhitungkan
terhadap seluruh fasilitas yang diberikan kepada nasabah atau
Kelompok Peminjam.
Penilaian agunan oleh penilai intern Bank mengacu kepada standar
penilaian yang digunakan oleh penilai independen.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “peringkat investasi” adalah peringkat
investasi …
- 22 -
investasi sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai
lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Otoritas Jasa
Keuangan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penilaian” adalah pernyataan tertulis
dari penilai independen atau penilai intern Bank mengenai
taksiran dan pendapat atas nilai ekonomis dari agunan
berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta obyektif dan relevan
menurut metode dan prinsip-prinsip yang berlaku umum yang
ditetapkan oleh asosiasi dan/atau institusi yang berwenang.
Huruf c
Termasuk tanah dan/atau bangunan bukan untuk tempat
tinggal antara lain rumah toko (ruko), tanah perkebunan, dan
tanah pertambangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Hal-hal yang dapat dijadikan pertimbangan antara lain berdasarkan
data historis nilai realisasi agunan, yang pada umumnya jauh lebih
rendah dari nilai agunan yang telah diperhitungkan sebagai
pengurang PPA dan/atau terdapat gap yang besar antara hasil
penilaian dengan perhitungan present value dari agunan.
Pasal 49
Nilai agunan dapat mengalami perubahan sesuai hasil penilaian terkini
antara lain karena terjadinya perubahan nilai pasar, Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP), dan perubahan fisik agunan.
Diperhitungkannya agunan sebagai pengurang PPA yang wajib dihitung
oleh Bank terkait dengan fungsi agunan sebagai alat mitigasi risiko kredit.
Sehubungan dengan itu, agunan yang dapat diperhitungkan sebagai
pengurang PPA adalah agunan yang dapat direalisasi oleh Bank pada saat
terjadi wanprestasi atas penyediaan dana yang diberikan.
Contoh:
Penilaian agunan dilakukan dalam 12 (dua belas) bulan terakhir dengan
hasil penilaian agunan sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar
rupiah) …
- 23 -
rupiah). Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam
perhitungan PPA:
70% x Rp200.000.000.000,00 = Rp140.000.000.000,00.
Apabila nilai pengikatan terhadap agunan dimaksud adalah
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), agunan yang dapat
diperhitungkan sebagai pengurang dalam perhitungan PPA adalah
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Termasuk dalam pemberitahuan adalah pemberitahuan yang
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank dalam
pertemuan akhir (exit meeting) dalam rangka pemeriksaan Bank
dan/atau prudential meeting dalam rangka penilaian tingkat
kesehatan Bank.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Pembentukan PPA Aset Produktif tercermin dalam laporan CKPN
yang disampaikan oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan melalui
Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan BUS dan
UUS.
Ayat (2)
Contoh:
Hasil perhitungan PPA wajib dibentuk atas Aset Produktif adalah
sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) dan Bank
telah membentuk CKPN sebesar Rp180.000.000.000,00 (seratus
delapan puluh miliar rupiah), selisih hasil perhitungan PPA dengan
CKPN sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah)
menjadi pengurang modal dalam perhitungan rasio KPMM.
Ayat …
- 24 -
Ayat (3)
Contoh:
1. Hasil perhitungan PPA wajib dibentuk atas Aset Produktif sebesar
Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) dan Bank telah
membentuk CKPN sebesar perhitungan PPA yaitu
Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah), maka hasil
perhitungan PPA tidak mempengaruhi perhitungan rasio KPMM.
2. Hasil perhitungan PPA atas Aset Produktif sebesar
Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar rupiah) dan
Bank telah membentuk CKPN sebesar Rp200.000.000.000,00
(dua ratus miliar rupiah), selisih lebih hasil perhitungan PPA
dengan CKPN yang telah dibentuk tidak mempengaruhi
perhitungan rasio KPMM.
Pasal 53
Contoh:
Hasil perhitungan PPA wajib dibentuk atas Aset Non Produktif adalah
sebesar Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah), Bank wajib
memperhitungkan seluruh hasil perhitungan PPA dimaksud atas Aset Non
Produktif sebagai pengurang dalam perhitungan rasio KPMM.
Apabila terdapat cadangan kerugian penurunan nilai yang telah dibentuk
Bank di neraca atas Aset Non Produktif sesuai standar akuntansi keuangan
yang berlaku, perhitungan PPA atas Aset Non Produktif dilakukan terhadap
nilai Aset Non Produktif setelah dikurangi kerugian penurunan nilai.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Restrukturisasi Pembiayaan untuk nasabah Pembiayaan non
produktif antara lain didasarkan pada ada tidaknya sumber
pembayaran angsuran yang jelas dari nasabah setelah dilakukan
restrukturisasi.
Huruf …
- 25 -
Huruf a
Yang dimaksud dengan “nasabah mengalami penurunan
kemampuan membayar” adalah nasabah yang tidak dapat
memenuhi kewajibannya secara penuh tidak termasuk
pemberian potongan tagihan Murabahah dalam rangka
apresiasi untuk nasabah yang membayar cicilan tepat waktu.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
“Perlakuan akuntansi Restrukturisasi Pembiayaan” antara lain diterapkan
untuk:
a. pengakuan kerugian yang timbul; dan
b. pengakuan pendapatan margin/bagi hasil/ujrah dan penerimaan lain.
Pasal 58
Ayat (1)
Kebijakan dan prosedur Restrukturisasi Pembiayaan merupakan
bagian dari kebijakan manajemen risiko Bank sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan yang berlaku.
Penyusunan Prosedur Restrukturisasi Pembiayaan yang terkait
dengan aspek pemenuhan Prinsip Syariah dilakukan dengan
mempertimbangkan opini Dewan Pengawas Syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal …
- 26 -
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Contoh:
Bank Z melakukan Restrukturisasi Pembiayaan kepada nasabah A
yang kualitasnya diragukan. Setelah direstrukturisasi penetapan
kualitas Pembiayaan nasabah A adalah sebagai berikut:
a. Sebelum nasabah dapat memenuhi kewajiban pembayaran
angsuran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah selama 3 (tiga)
kali berturut turut sesuai waktu yang diperjanjikan, penetapan
kualitas Pembiayaan paling tinggi diragukan.
b. Setelah nasabah dapat memenuhi kewajiban pembayaran
angsuran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah selama 3 (tiga)
kali berturut-turut sesuai waktu yang diperjanjikan, ditetapkan
kualitas Pembiayaan 1 (satu) tingkat lebih tinggi menjadi kurang
lancar.
c. Selanjutnya penetapan kualitas Pembiayaan dilakukan
berdasarkan 3 (tiga) faktor penilaian Pembiayaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal …
- 27 -
Pasal 62
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tenggang waktu pembayaran (grace period)”
adalah masa tenggang yang diberikan Bank kepada nasabah untuk
tidak melakukan pembayaran angsuran pokok atau margin/bagi
hasil/ujrah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud “laba kumulatif” adalah laba perusahaan
setelah diperhitungkan dengan kerugian tahun-tahun
sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Dalam “penetapan kualitas Pembiayaan” termasuk melakukan penyesuaian
perhitungan PPA.
Pasal …
- 28 -
Pasal 69
Ayat (1)
Kebijakan dan prosedur hapus buku dan hapus tagih antara lain
memuat kriteria, persyaratan, limit, kewenangan dan tanggung jawab
serta tata cara hapus buku dan hapus tagih.
Yang dimaksud dengan “hapus buku” adalah tindakan administratif
Bank untuk menghapus buku Pembiayaan yang memiliki kualitas
macet dari neraca sebesar kewajiban nasabah tanpa menghapus atau
menghilangkan hak tagih Bank kepada nasabah.
Yang dimaksud dengan “hapus tagih” adalah tindakan Bank
menghapus kewajiban nasabah yang tidak dapat diselesaikan untuk
selamanya (hak tagih menjadi hapus).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pelaksanaan hapus buku dilakukan terhadap seluruh penyediaan
dana yang diberikan dan diikat dalam satu perjanjian.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal …
- 29 -
Pasal 71
Ayat (1)
Upaya yang dapat dilakukan antara lain dalam bentuk penagihan
kepada nasabah, Restrukturisasi Pembiayaan, meminta pembayaran
dari pihak yang memberikan jaminan atas Aset Produktif, dan/atau
penyelesaian Pembiayaan melalui pengambilalihan agunan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5625
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 16/POJK.03/2014 </reg_id>
<reg_title> PENILAIAN KUALITAS ASET BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 18 November 2014 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2015 </effective_date>
<issued_date> 19 November 2014 </issued_date>
<replaced_reg> '10/18/PBI/2008 | kecuali ketentuan terkait dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah', '13/9/PBI/2011 | kecuali ketentuan terkait dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah', '13/13/PBI/2011' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
|
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 47 /POJK.03/2017
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN DANA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN UNTUK
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA BANK PERKREDITAN RAKYAT
DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang:
a. bahwa untuk meningkatkan kinerja dan mengembangkan
industri Bank Perkreditan Rakyat atau Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah yang sehat diperlukan sumber daya
manusia yang profesional;
b. bahwa untuk membentuk sumber daya manusia yang
profesional, Bank Perkreditan Rakyat atau Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah wajib meningkatkan
pengetahuan, kemampuan dan keterampilan sumber daya
manusia melalui pendidikan dan pelatihan yang
berkesinambungan;
c. bahwa untuk melaksanakan pendidikan dan pelatihan
sumber daya manusia Bank Perkreditan Rakyat dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah diperlukan biaya dan
persiapan yang baik dan terencana;
- 2 -
d. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas dan
wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di
sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa
Keuangan, diperlukan pengaturan kembali kewajiban
penyediaan dana pendidikan dan pelatihan untuk
pengembangan sumber daya manusia Bank Perkreditan
Rakyat atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah;
e. bahwa dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu untuk
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Kewajiban Penyediaan Dana Pendidikan Dan Pelatihan
Untuk Pengembangan Sumber Daya Manusia Bank
Perkreditan Rakyat atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN DANA PENDIDIKAN DAN
PELATIHAN UNTUK PENGEMBANGAN SUMBER DAYA
MANUSIA BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK
PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR
adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan
jasa dalam lalu lintas pembayaran.
2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya
disingkat BPRS adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.
3. Sumber Daya Manusia yang selanjutnya disingkat SDM
adalah:
a. anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR
atau BPRS;
b. anggota Dewan Pengawas Syariah BPRS; dan
c. pegawai BPR atau BPRS.
4. Direksi:
a. bagi BPR dan BPRS berbentuk badan hukum
Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23
- 4 -
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada BPR
yang belum berubah bentuk badan hukum
menjadi Perusahaan Umum Daerah atau
Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
5. Dewan Komisaris:
a. bagi BPR dan BPRS berbentuk badan hukum
Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan
pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
- 5 -
2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris
sebagaimana
dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada BPR
yang belum berubah bentuk badan hukum
menjadi Perusahaan Umum Daerah atau
Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
6. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS
adalah dewan yang bertugas memberikan nasihat dan
saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan BPRS agar
sesuai dengan Prinsip Syariah, sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
7. Dana Pendidikan dan Pelatihan adalah dana yang
disediakan oleh BPR atau BPRS untuk pengembangan
Sumber Daya Manusia melalui peningkatan pengetahuan
dan keterampilan di bidang perbankan meliputi
operasional, pemasaran, dan manajemen BPR atau BPRS.
- 6 -
8. Rencana Bisnis adalah dokumen tertulis yang
menggambarkan rencana pengembangan dan kegiatan
usaha BPR atau BPRS dalam jangka waktu tertentu serta
strategi untuk merealisasikan rencana tersebut sesuai
dengan target dan waktu yang ditetapkan.
BAB II
DANA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
Pasal 2
(1) BPR dan BPRS wajib menyediakan Dana Pendidikan dan
Pelatihan.
(2) Dana Pendidikan dan Pelatihan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditetapkan paling sedikit 5% (lima persen)
dari realisasi biaya SDM tahun sebelumnya.
Pasal 3
(1) BPR dan BPRS wajib memenuhi kewajiban penyediaan
Dana Pendidikan dan Pelatihan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) paling sedikit 5% (lima persen)
setiap tahun.
(2) Dalam hal BPR dan BPRS telah memenuhi kewajiban
penyediaan Dana Pendidikan dan Pelatihan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), namun belum mencukupi untuk
mengikutsertakan SDM dalam pendidikan dan pelatihan,
BPR dan BPRS wajib meningkatkan Dana Pendidikan dan
Pelatihan sehingga dapat mengikutsertakan paling sedikit
1 (satu) orang dalam pendidikan dan pelatihan.
Pasal 4
(1) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan yang dibiayai
dengan Dana Pendidikan dan Pelatihan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dapat dilakukan dengan cara:
a. dilaksanakan oleh BPR atau BPRS sendiri;
b. ikut serta pada pendidikan yang dilakukan oleh BPR
atau BPRS lain;
- 7 -
c. bersama-sama dengan BPR atau BPRS lain
menyelenggarakan pendidikan;
d. mengirim SDM untuk mengikuti pendidikan dan
pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga
pendidikan perbankan; dan/atau
e. mengikutsertakan SDM pada program sertifikasi
kompetensi kerja SDM BPR atau BPRS.
(2) Program sertifikasi kompetensi kerja bagi SDM BPR atau
BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e harus
diselenggarakan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai sertifikasi kompetensi kerja bagi
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR dan
BPRS.
(3) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib diselenggarakan oleh pihak
yang mempunyai kemampuan dan/atau pengetahuan di
bidang perbankan baik yang berasal dari intern maupun
ekstern BPR atau BPRS.
(4) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tenaga pengajar
yang telah berpengalaman di bidang perbankan dan/atau
bidang keuangan lainnya.
Pasal 5
(1) Direksi wajib menyusun rencana pendidikan dan
pelatihan tahunan dengan memperhatikan asas prioritas
dan pemerataan pengetahuan dan keterampilan SDM.
(2) Rencana pendidikan dan pelatihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh persetujuan
Dewan Komisaris BPR atau BPRS.
(3) Rencana pendidikan dan pelatihan tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan dalam Rencana Bisnis BPR atau BPRS
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai Rencana Bisnis BPR dan BPRS.
- 8 -
Pasal 6
BPR dan BPRS yang sampai dengan akhir tahun belum
merealisasikan seluruh Dana Pendidikan dan Pelatihan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib
menambahkan sisa Dana Pendidikan dan Pelatihan yang
belum direalisasikan tersebut ke dalam Dana Pendidikan dan
Pelatihan tahun berikutnya.
BAB III
LAPORAN
Pasal 7
Realisasi rencana pendidikan dan pelatihan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) disampaikan kepada Otoritas
Jasa Keuangan dalam laporan realisasi Rencana Bisnis dan
laporan pengawasan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Rencana
Bisnis BPR dan BPRS.
Pasal 8
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dan
Pasal 7 disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan
alamat sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai Rencana Bisnis BPR dan BPRS.
BAB IV
SANKSI
Pasal 9
BPR atau BPRS yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), Pasal
5 ayat (2), dan Pasal 6 dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis.
- 9 -
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 10
Realisasi rencana pendidikan dan pelatihan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 untuk periode tahun 2017 dilaporkan
kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam Laporan Pelaksanaan
Rencana Kerja oleh Dewan Komisaris BPR dan BPRS
sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 31/60/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang
Rencana Kerja dan Laporan Pelaksanaan Rencana Kerja Bank
Perkreditan Rakyat.
BAB VI
PENUTUP
Pasal 11
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/14/PBI/2003 tentang
Kewajiban Penyediaan Dana Pendidikan dan Pelatihan untuk
Pengembangan Sumber Daya Manusia Bank Perkreditan
Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 90 DPBR/ BPS, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4308 DPBR/DPS), dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
- 10 -
Pasal 12
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 153
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 47/POJK.03/2017 </reg_id>
<reg_title> KEWAJIBAN PENYEDIAAN DANA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN UNTUK PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH </reg_title>
<set_date> 12 Juli 2017 </set_date>
<effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date>
<issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date>
<replaced_reg> '5/14/PBI/2003' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 25/POJK.04/2014
TENTANG
PERIZINAN WAKIL MANAJER INVESTASI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas Wakil
Manajer Investasi dan mekanisme pengawasan
terhadap pemegang Izin Wakil Manajer Investasi, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Perizinan Wakil Manajer Investasi;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERIZINAN WAKIL MANAJER INVESTASI.
BAB I...
-2-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan
usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para
nasabah atau mengelola portofolio investasi
kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali
Perusahaan Asuransi, Dana Pensiun, dan Bank
yang melakukan sendiri kegiatan usahanya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Wakil Manajer Investasi
adalah orang
perseorangan yang bertindak mewakili kepentingan
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Manajer Investasi.
3. Izin orang perseorangan sebagai Wakil Manajer
Investasi, yang selanjutnya disebut Izin Wakil
Manajer Investasi, adalah izin yang diberikan oleh
Otoritas Jasa Keuangan
kepada orang
perseorangan untuk bertindak mewakili
kepentingan Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Manajer Investasi.
BAB II
PERSYARATAN DAN PERIZINAN WAKIL MANAJER INVESTASI
Pasal 2
Wakil Manajer Investasi wajib memiliki Izin Wakil
Manajer Investasi dari Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 3
Kewajiban untuk memiliki Izin Wakil Manajer Investasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak berlaku
bagi:
a. orang...
-3-
a. orang perseorangan yang bekerja pada Manajer
Investasi namun tidak dipersyaratkan untuk
memiliki Izin Wakil Manajer Investasi sebagaimana
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai pedoman pelaksanaan fungsi-fungsi
Manajer Investasi; dan/atau
b. pihak yang bekerja untuk kepentingan Manajer
Investasi terbatas dalam rangka mengiklankan
produk Manajer Investasi dan tidak mewakili
Manajer Investasi dalam menjual produk dan/atau
melakukan perikatan dengan nasabah dan/atau
calon nasabah meskipun iklan tersebut
ditayangkan di televisi atau surat kabar.
Pasal 4
Wakil Manajer Investasi wajib memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. Persyaratan integritas yang meliputi:
1. memiliki akhlak dan moral yang baik;
2. cakap melakukan perbuatan hukum;
3. tidak pernah melakukan perbuatan tercela
dan/atau dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana di bidang jasa keuangan;
4. tidak pernah dikenakan sanksi pencabutan
izin, pembatalan persetujuan, dan/atau
pembatalan pendaftaran oleh Otoritas Jasa
Keuangan selama 3 (tiga) tahun terakhir;
5. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi
pengurus yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan
pailit; dan
6. memiliki komitmen yang tinggi untuk
mematuhi peraturan perundang-undangan.
b. Persyaratan kompetensi yang meliputi:
1. berpendidikan...
-4-
1. berpendidikan paling rendah setingkat Diploma
Tiga (D3);
2. memiliki pengetahuan dan keahlian yang
memadai di bidang Pasar Modal, dibuktikan
dengan:
a) memiliki sertifikat keahlian sebagai Wakil
Manajer Investasi yang diakui Otoritas
Jasa Keuangan dari lembaga pendidikan
khusus
di bidang Pasar Modal
berdasarkan rekomendasi dari Komite
Standar Keahlian; atau
b) memiliki pengalaman kerja pada institusi
pengawas Pasar Modal dan/atau
organisasi yang diberi kewenangan oleh
Undang-Undang tentang Pasar Modal
untuk mengatur dan/atau mengawasi
industri Pasar Modal dengan ketentuan:
1) paling kurang 2 (dua) tahun pada
posisi manajerial; atau
2) paling kurang 5 (lima) tahun pada
posisi pelaksana,
dalam bidang tugas dan fungsi yang
terkait pengaturan dan/atau pengawasan
bidang pengelolaan investasi.
c. bekerja pada lembaga jasa keuangan di Indonesia,
bagi warga negara asing; dan
d. tidak bekerja pada lebih dari satu Perusahaan Efek
dan/atau lembaga jasa keuangan lainnya.
Pasal 5
Sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf b angka 2 huruf a) dapat digunakan
untuk pengajuan permohonan Izin Wakil Manajer
Investasi sepanjang berumur tidak lebih dari 2 (dua)
tahun terhitung sejak tanggal diterbitkan sampai
dengan saat pengajuan izin.
BAB III...
-5-
BAB III
TATA CARA PERMOHONAN IZIN WAKIL MANAJER INVESTASI
Pasal 6
(1) Permohonan untuk memperoleh Izin Wakil Manajer
Investasi diajukan oleh pemohon dalam bentuk
dokumen cetak kepada Otoritas Jasa Keuangan
sesuai dengan format surat permohonan Izin Wakil
Manajer Investasi sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
(2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah
menyediakan sistem elektronik permohonan Izin
Wakil Manajer Investasi, permohonan Izin Wakil
Manajer Investasi dapat diajukan melalui sistem
elektronik tersebut.
(3) Permohonan Izin Wakil Manajer Investasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2)
wajib disertai kelengkapan dokumen sebagai
berikut:
a. salinan ijazah pendidikan formal terakhir;
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor
yang masih berlaku;
c. daftar riwayat hidup terbaru yang
ditandatangani oleh pemohon sesuai dengan
format daftar riwayat hidup sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini;
d. bukti telah memiliki pengetahuan dan keahlian
di bidang Pasar Modal berupa:
1. fotokopi sertifikat keahlian sebagai Wakil
Manajer Investasi yang diakui Otoritas Jasa
Keuangan dari lembaga pendidikan khusus
di...
-6-
di bidang Pasar Modal berdasarkan
rekomendasi dari Komite Standar Keahlian;
atau
2. fotokopi surat keterangan pengalaman
kerja dari institusi pengawas Pasar Modal
dan/atau organisasi yang diberi
kewenangan oleh Undang-Undang tentang
Pasar Modal untuk mengatur dan/atau
mengawasi industri Pasar Modal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf b angka 2 huruf b).
e. surat keterangan kerja dari lembaga jasa
keuangan di Indonesia, bagi warga negara
asing;
f. pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm
dengan latar belakang berwarna merah
sebanyak 2 (dua) lembar;
g. surat pernyataan bahwa pemohon tidak akan
bekerja pada lebih dari satu Perusahaan Efek
dan/atau lembaga jasa keuangan lainnya
sesuai dengan format surat pernyataan tidak
akan bekerja pada lebih dari satu Perusahaan
Efek dan/atau lembaga jasa keuangan lainnya
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
h. surat pernyataan yang menyatakan bahwa
pemohon:
1. memiliki akhlak dan moral yang baik;
2. cakap melakukan perbuatan hukum;
3. tidak pernah melakukan perbuatan tercela
dan/atau dihukum karena terbukti
melakukan tindak pidana di bidang jasa
keuangan;
4. tidak...
-7-
4. tidak pernah dikenakan sanksi pencabutan
izin, pembatalan persetujuan, dan/atau
pembatalan pendaftaran oleh Otoritas Jasa
Keuangan selama 3 (tiga) tahun terakhir;
5. tidak pernah dinyatakan pailit atau
menjadi pengurus yang dinyatakan
bersalah menyebabkan suatu perusahaan
dinyatakan pailit; dan
6. memiliki komitmen yang tinggi untuk
mematuhi peraturan perundang-undangan;
sesuai dengan format surat pernyataan
integritas sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini;
i. surat referensi dan/atau rekomendasi dari
perusahaan tempat pemohon bekerja sesuai
dengan format surat referensi kerja
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini (jika
ada);
j. fotokopi izin mempekerjakan tenaga asing yang
diterbitkan oleh instansi berwenang, bagi
warga negara asing yang bekerja pada lembaga
jasa keuangan;
k. jawaban atas daftar pertanyaan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini;
l. bukti pembayaran biaya perizinan Wakil
Manajer Investasi;
m. surat keterangan perbedaan nama dari
Pejabat/instansi berwenang, jika terdapat
perbedaan nama pemohon dengan dokumen
yang...
-8-
yang dilampirkan; dan
n. surat keterangan domisili, jika terdapat
perbedaan alamat domisili dengan alamat
Kartu Tanda Penduduk.
(4) Izin Wakil Manajer Investasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan Otoritas Jasa
Keuangan apabila pemohon telah memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 7
Dalam rangka memproses permohonan Izin Wakil
Manajer Investasi, Otoritas Jasa Keuangan berwenang:
a. melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen
yang disampaikan oleh pemohon; dan/atau
b. meminta keterangan kepada pemohon,
untuk memastikan pemenuhan atas persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 8
(1) Izin Wakil Manajer Investasi diberikan Otoritas
Jasa Keuangan paling lambat 45 (empat puluh
lima) hari sejak diterimanya permohonan Izin
Wakil Manajer Investasi yang memenuhi syarat.
(2) Dalam hal permohonan Izin Wakil Manajer
Investasi pada saat diterima tidak memenuhi
syarat, paling lambat 45 (empat puluh lima) hari
sejak diterimanya permohonan, Otoritas Jasa
Keuangan memberikan surat pemberitahuan
kepada pemohon yang menyatakan bahwa:
a. permohonan belum memenuhi persyaratan;
atau
b. permohonan ditolak karena tidak memenuhi
persyaratan.
(3) Pemohon wajib melengkapi kekurangan yang
dipersyaratkan dalam surat pemberitahuan
sebagaimana...
-9-
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
paling lambat 45 (empat puluh lima) hari setelah
tanggal surat pemberitahuan.
(4) Penyampaian perubahan dokumen, tambahan
informasi, dan/atau kelengkapan kekurangan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
dianggap telah diterima oleh Otoritas Jasa
Keuangan pada tanggal diterimanya perubahan
dokumen, tambahan informasi, dan/atau
kelengkapan kekurangan persyaratan tersebut.
(5) Sejak diterimanya perubahan dokumen, tambahan
informasi, dan/atau kelengkapan kekurangan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
permohonan izin tersebut dianggap baru diterima
oleh Otoritas Jasa Keuangan dan diproses
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan yang
dipersyaratkan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), dianggap membatalkan
permohonan Izin Wakil Manajer Investasi yang
sudah diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
BAB IV
MASA BERLAKU DAN PERPANJANGAN IZIN WAKIL MANAJER INVESTASI
Pasal 9
(1) Izin Wakil Manajer Investasi mempunyai masa
berlaku selama 2 (dua) tahun dan dapat
diperpanjang.
(2) Izin Wakil Manajer Investasi tidak berlaku jika
terjadi kondisi:
a. masa berlakunya telah berakhir; atau
b. setelah masa berlakunya berakhir, persetujuan
perpanjangan izin belum diberikan Otoritas
Jasa Keuangan meskipun permohonan
perpanjangan Izin Wakil Manajer Investasi
telah...
...
-10-
telah disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan sebelum masa berlakunya berakhir.
Pasal 10
(1) Permohonan perpanjangan Izin Wakil Manajer
Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan
sebelum masa berlaku izin dimaksud berakhir
dengan ketentuan paling cepat 90 (sembilan
puluh) hari sebelum masa berlaku izin berakhir.
(2) Permohonan perpanjangan Izin Wakil Manajer
Investasi tidak dapat dilakukan setelah masa
berlaku izin dimaksud berakhir.
(3) Permohonan perpanjangan Izin Wakil Manajer
Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun sesuai dengan format surat permohonan
perpanjangan Izin Wakil Manajer Investasi
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
disertai kelengkapan dokumen sebagai berikut:
a. daftar riwayat hidup terbaru yang telah
ditandatangani sesuai dengan format daftar
riwayat hidup sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini, jika ada perubahan daftar
riwayat hidup pada saat permohonan izin;
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor
yang masih berlaku;
c. fotokopi izin mempekerjakan tenaga asing yang
diterbitkan oleh instansi berwenang, bagi
warga negara asing yang bekerja pada lembaga
jasa keuangan;
d. pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm
dengan latar belakang berwarna merah
sebanyak...
-11-
sebanyak 1 (satu) lembar;
e. salinan ijazah pendidikan formal terakhir
(dalam hal terjadi perubahan);
f. surat keterangan kerja dari perusahaan yang
melakukan kegiatan pengelolaan investasi
tempat Wakil Manajer Investasi bekerja (jika
ada);
g. fotokopi kartu anggota asosiasi yang mewadahi
Wakil Manajer Investasi yang telah
mendapatkan pengakuan dari Otoritas Jasa
Keuangan yang masih berlaku;
h. fotokopi dokumen pendidikan berkelanjutan
yang dilaksanakan antara tanggal berlaku
hingga tanggal berakhirnya Izin Wakil Manajer
Investasi; dan
i. surat keterangan domisili, jika terdapat
perbedaan alamat domisili dengan alamat
Kartu Tanda Penduduk.
(4) Kewajiban menyertakan fotokopi kartu anggota
asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf g mulai berlaku jika telah terdapat asosiasi
yang mewadahi Wakil Manajer Investasi yang telah
mendapatkan pengakuan dari Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 11
(1) Perpanjangan Izin Wakil Manajer Investasi
diberikan Otoritas Jasa Keuangan paling lambat
21 (dua puluh satu) hari kerja sejak diterimanya
permohonan perpanjangan Izin Wakil Manajer
Investasi yang memenuhi syarat.
(2) Dalam hal permohonan perpanjangan Izin Wakil
Manajer Investasi pada saat diterima tidak
memenuhi syarat, paling lambat 21 (dua puluh
satu) hari kerja sejak diterimanya permohonan,
Otoritas...
-12-
Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat
pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan
bahwa:
a. permohonan belum memenuhi persyaratan;
atau
b. permohonan ditolak karena tidak memenuhi
persyaratan.
(3) Penyampaian perubahan dokumen, tambahan
informasi, dan/atau kelengkapan kekurangan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a, dianggap telah diterima oleh Otoritas Jasa
Keuangan pada tanggal diterimanya perubahan
dokumen, tambahan informasi, dan/atau
kelengkapan kekurangan persyaratan tersebut.
(4) Pemohon perpanjangan Izin Wakil Manajer
Investasi yang tidak melengkapi kekurangan yang
dipersyaratkan sebelum masa berlaku Izin Wakil
Manajer Investasi berakhir, dianggap membatalkan
permohonan perpanjangan Izin Wakil Manajer
Investasi yang sudah diajukan kepada Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 12
Dalam hal masa berlaku Izin Wakil Manajer Investasi
telah berakhir namun permohonan perpanjangan telah
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum
masa berlaku izin berakhir, Izin Wakil Manajer
Investasi tidak berlaku hingga terdapat persetujuan
perpanjangan izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 13
Masa berlaku Izin Wakil Manajer Investasi yang
mendapatkan persetujuan perpanjangan adalah 2 (dua)
tahun terhitung sejak tanggal persetujuan diberikan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 14...
-13-
Pasal 14
Apabila pada saat permohonan perpanjangan Izin
Wakil Manajer Investasi, pemegang izin masih
mempunyai kewajiban
berdasarkan peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan
dan/atau keputusan Otoritas Jasa Keuangan yang
belum dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan berhak
menolak permohonan perpanjangan Izin Wakil Manajer
Investasi dimaksud.
BAB V
KEWAJIBAN DAN LARANGAN BAGI WAKIL MANAJER INVESTASI
Bagian Kesatu
Kewajiban
Pasal 15
Wakil Manajer Investasi wajib:
a. memahami dan mematuhi peraturan perundang-
undangan Pasar Modal Indonesia;
b. bertindak dan bersikap profesional serta
mempunyai wawasan yang luas di bidang Pasar
Modal; dan
c. menjadi anggota asosiasi yang mewadahi Wakil
Manajer Investasi yang telah mendapatkan
pengakuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 16
(1) Wakil Manajer Investasi wajib mengikuti
pendidikan berkelanjutan yang diselenggarakan
oleh asosiasi yang mewadahi Wakil Manajer
Investasi atau pihak lain yang diakui Otoritas Jasa
Keuangan paling kurang 2 (dua) tahun sekali.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan pemenuhan persyaratan melampirkan
dokumen telah mengikuti pendidikan
berkelanjutan dalam rangka permohonan
perpanjangan...
-14-
perpanjangan izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (3) huruf h mulai berlaku jika telah
terdapat:
a. asosiasi yang mewadahi Wakil Manajer
Investasi; atau
b. pihak lain,
yang telah mendapatkan pengakuan dari Otoritas
Jasa Keuangan
pendidikan khusus di bidang Pasar Modal.
Bagian Kedua
Larangan
Pasal 17
(1) Wakil Manajer Investasi dilarang bekerja rangkap
pada lebih dari satu Perusahaan Efek dan/atau
lembaga jasa keuangan lainnya.
(2) Larangan bekerja rangkap sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku bagi Wakil Manajer
Investasi yang berkedudukan sebagai anggota
direksi dari Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Manajer Investasi untuk
merangkap jabatan sebagai komisaris Bursa Efek,
Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
BAB VI
KOMITE STANDAR KEAHLIAN DAN ASOSIASI
Bagian Kesatu
Komite Standar Keahlian
Pasal 18
(1) Komite Standar Keahlian dibentuk oleh Otoritas
Jasa Keuangan.
(2) Komite Standar Keahlian bertugas memberikan
rekomendasi kepada Otoritas Jasa Keuangan
dalam rangka pemberian pengakuan atas sertifikat
keahlian...
untuk menyelenggarakan
-15-
keahlian yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan
khusus.
(3) Sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diterbitkan oleh lembaga pendidikan
khusus yang memenuhi persyaratan yang
ditetapkan untuk menyelenggarakan pendidikan
dan pelatihan keahlian Wakil Manajer Investasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Komite Standar
Keahlian, persyaratan dan tata cara pemberian
pengakuan sertifikat keahlian, serta lembaga
pendidikan khusus diatur dalam atau berdasarkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Kedua
Asosiasi
Pasal 19
(1) Asosiasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
huruf c mempunyai tugas antara lain:
a. menyusun kode etik anggota;
b. melaksanakan pendidikan berkelanjutan bagi
pemegang Izin Wakil Manajer Investasi; dan
c. melaksanakan pendidikan dan/atau pelatihan
lainnya dalam rangka peningkatan kompetensi
Wakil Manajer Investasi.
(2) Pelaksanaan kegiatan asosiasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaporkan setiap 6 (enam)
bulan sekali kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai asosiasi yang
mewadahi Wakil Manajer Investasi diatur dalam
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
BAB VII
PELAPORAN
Pasal 20
(1) Orang perseorangan yang memiliki izin sebagai
Wakil...
-16-
Wakil Manajer Investasi wajib menyampaikan
laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Laporan mulai bekerja, berhenti bekerja, atau
pindah bekerja, paling lambat 14 (empat belas)
hari terhitung sejak yang bersangkutan mulai
bekerja, berhenti bekerja, atau pindah bekerja;
dan/atau
b. Laporan keikutsertaan dalam pendidikan
berkelanjutan paling lambat 14 (empat belas)
hari terhitung sejak yang bersangkutan selesai
mengikuti program tersebut disertai bukti
pendukung.
(2) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada
hari libur, laporan mulai
bekerja, atau pindah bekerja dan laporan
keikutsertaan atas pendidikan berkelanjutan
disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari
kerja berikutnya.
Pasal 21
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (1) disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan dalam bentuk dokumen cetak.
(2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah
menyediakan sistem elektronik penyampaian
laporan Wakil Manajer Investasi, laporan Wakil
Manajer Investasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (1) dapat disampaikan melalui
sistem elektronik tersebut.
BAB VIII
PENGEMBALIAN IZIN WAKIL MANAJER INVESTASI
Pasal 22
(1) Pemegang Izin Wakil Manajer Investasi dapat
mengembalikan...
bekerja, berhenti
-17-
mengembalikan izin yang dimilikinya kepada
Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan
surat pengembalian Izin Wakil Manajer Investasi
sesuai dengan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
(2) Pengembalian Izin Wakil Manajer Investasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak serta
merta menghilangkan kewajiban dan tanggung
jawabnya atas peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan dan/atau keputusan
Otoritas Jasa Keuangan yang belum dipenuhi
yang timbul pada saat orang perseorangan
tersebut memegang Izin Wakil Manajer Investasi.
BAB IX
SANKSI
Pasal 23
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di
bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan
berwenang mengenakan sanksi administratif
terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut
berupa:
a. Peringatan tertulis;
b. Denda, yaitu kewajiban untuk membayar
sejumlah uang tertentu;
c. Pembatasan kegiatan usaha;
d. Pembekuan kegiatan usaha;
e. Pencabutan izin usaha;
f. Pembatalan persetujuan; dan
g. Pembatalan...
-18-
g. Pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f,
atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa
didahului pengenaan sanksi administratif berupa
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan
secara tersendiri atau secara bersama-sama
dengan pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 24
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat
melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 25
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (1) dan tindakan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 kepada
masyarakat.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 26
(1) Ketentuan mengenai sertifikat keahlian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3)
huruf d angka 1 mulai berlaku setelah Otoritas
Jasa Keuangan membentuk Komite Standar
Keahlian.
(2) Dalam hal Komite Standar Keahlian sebagaimana
dimaksud...
-19-
dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, sertifikat
keahlian di bidang Pasar Modal terkait Wakil
Manajer Investasi dalam rangka perizinan Wakil
Manajer Investasi tetap berpedoman pada
ketentuan angka 2 huruf a Peraturan Nomor
V.B.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Nomor KEP-547/BL/2010 tanggal 28 Desember
2010 tentang Perizinan Wakil Perusahaan Efek.
Pasal 27
Izin Wakil Manajer Investasi yang telah dikeluarkan
sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan 2 (dua)
tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Pasal 28
Sertifikat keahlian Wakil Manajer Investasi yang
diterbitkan pada tahun 2013, dapat digunakan sebagai
syarat pengajuan permohonan Izin Wakil Manajer
Investasi berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini paling lama 1 (satu) tahun sejak
berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 29
Permohonan izin orang perseorangan sebagai Wakil
Manajer Investasi yang telah diajukan kepada Otoritas
Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini, diselesaikan berdasarkan
Peraturan Nomor V.B.1, Lampiran Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Nomor KEP-547/BL/2010 tanggal 28 Desember 2010
tentang Perizinan Wakil Perusahaan Efek.
BAB XI...
-20-
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 30
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, ketentuan mengenai perizinan Wakil Manajer
Investasi tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Pasal 31
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan Nomor
KEP-547/BL/2010 tanggal 28 Desember 2010 tentang
Perizinan Wakil Perusahaan Efek, beserta Peraturan
Nomor V.B.1 yang merupakan lampirannya dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku untuk perizinan Wakil
Manajer Investasi, kecuali:
a. ketentuan mengenai sertifikat keahlian
sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf a,
dinyatakan tidak berlaku pada saat terbentuknya
Komite Standar Keahlian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (1); dan
b. untuk penyampaian permohonan Izin Wakil
Manajer Investasi yang telah diajukan kepada
Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 32
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar...
-21-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 19 November 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 19 November 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 360
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum I
Departemen Hukum,
Ttd.
Tini Kustini
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 25/POJK.04/2014 </reg_id>
<reg_title> PERIZINAN WAKIL MANAJER INVESTASI </reg_title>
<set_date> 19 November 2014 </set_date>
<effective_date> 19 November 2014 </effective_date>
<issued_date> 19 November 2014 </issued_date>
<replaced_reg> 'KEP-547/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010 | untuk perizinan Wakil Manajer Investasi, kecuali: a. ketentuan mengenai sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf a, dinyatakan tidak berlaku pada saat terbentuknya Komite Standar Keahlian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1); dan b. untuk penyampaian permohonan Izin Wakil Manajer Investasi yang telah diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.', 'KEP-547/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010 | Lampiran Peraturan Nomor V.B.1' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 27 /POJK.03/2016
TENTANG
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
BAGI PIHAK UTAMA LEMBAGA JASA KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang
:
a. bahwa dalam rangka menciptakan Lembaga Jasa
Keuangan yang sehat, melindungi pemangku
kepentingan dan meningkatkan kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan,
diperlukan pelaksanaan tata kelola di Lembaga
Jasa Keuangan;
b. bahwa untuk mewujudkan tata kelola tersebut,
Lembaga Jasa Keuangan harus dimiliki dan
dikelola oleh pihak yang senantiasa memenuhi
persyaratan kemampuan dan kepatutan;
c. bahwa untuk mendukung terwujudnya perizinan
prima diperlukan pelayanan perizinan yang lebih
cepat, tepat, mudah dan transparan;
d. bahwa dengan
beralihnya kewenangan
pengaturan dan pengawasan Lembaga Jasa
Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan
diperlukan penyelarasan ketentuan yang
mengatur mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan;
- 2 -
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c dan
huruf d, perlu menetapkan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan tentang Penilaian Kemampuan
dan Kepatutan bagi Lembaga Jasa Keuangan;
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang
Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3477);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3608);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4867);
5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5253);
- 3 -
6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 337; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5618);
7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 9; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5835);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK
UTAMA LEMBAGA JASA KEUANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
LJK adalah Lembaga Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang meliputi:
a. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, termasuk kantor cabang dan
kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan
di luar negeri;
- 4 -
b. Perusahaan Efek adalah pihak yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek,
Perantara Pedagang Efek, dan/atau Manajer
Investasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal;
c. Penasihat Investasi adalah perusahaan yang
memberi nasihat kepada pihak lain mengenai
penjualan atau pembelian Efek dengan
memperoleh imbalan jasa sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang
Pasar Modal;
d. Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan
asuransi, perusahaan asuransi syariah,
perusahaan reasuransi, perusahaan reasuransi
syariah,
perusahaan
asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan
perusahaan penilai kerugian asuransi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;
e. Dana Pensiun adalah badan hukum yang
mengelola dan menjalankan program yang
menjanjikan manfaat pensiun, sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, termasuk
yang menjalankan seluruh kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip syariah;
f. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha
yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk
pengadaan barang dan/atau jasa, termasuk yang
melakukan
seluruh
berdasarkan prinsip syariah
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
mengenai
perusahaan pembiayaan
perusahaan pembiayaan syariah;
pialang
kegiatan usahanya
sebagaimana
dan
- 5 -
g. Lembaga Penjamin adalah perusahaan
penjaminan, perusahaan penjaminan syariah,
perusahaan penjaminan ulang, dan perusahaan
penjaminan ulang syariah yang menjalankan
kegiatan penjaminan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016
tentang Penjaminan;
h. Perusahaan Modal Ventura yang selanjutnya
disingkat PMV adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura
termasuk yang melakukan seluruh kegiatan
usahanya berdasarkan prinsip syariah
sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai perusahaan
modal ventura dan perusahaan modal ventura
syariah;
i. Perusahaan Pergadaian adalah perusahaan
pergadaian swasta dan perusahaan pergadaian
pemerintah termasuk yang melakukan kegiatan
usahanya berdasarkan prinsip syariah
sebagaimana dimaksud dalam
perundang-undangan
pergadaian.
mengenai
peraturan
usaha
2. Pihak Utama adalah pihak yang memiliki, mengelola,
mengawasi, dan/atau mempunyai pengaruh yang
signifikan pada LJK.
3. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya
disingkat PSP adalah badan hukum, orang
perseorangan, dan/atau kelompok usaha yang
memiliki saham atau yang setara dengan saham LJK
dan mempunyai kemampuan untuk melakukan
pengendalian atas LJK.
4. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya
disingkat RUPS adalah rapat umum pemegang saham
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi LJK
yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau
- 6 -
yang setara dengan RUPS bagi LJK yang berbentuk
badan hukum koperasi, usaha bersama, dana pensiun,
perusahaan umum, perusahaan daerah, perusahaan
umum daerah, atau perusahaan perseroan daerah,
atau badan usaha perseroan komanditer.
5. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas bagi LJK yang berbentuk badan
hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan
Direksi bagi LJK yang berbentuk badan hukum
koperasi, usaha bersama, dana pensiun, perusahaan
umum, perusahaan daerah, perusahaan umum
daerah, perusahaan perseroan daerah, badan usaha
perseroan komanditer, atau kantor cabang/kantor
perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar
negeri.
6. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi LJK
yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau
yang setara dengan Dewan Komisaris bagi LJK yang
berbentuk badan hukum koperasi, usaha bersama,
dana pensiun, perusahaan umum, perusahaan daerah,
perusahaan umum daerah, perusahaan perseroan
daerah, badan usaha perseroan komanditer, atau
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri.
7. Dewan Pengawas Syariah adalah pengawas yang
direkomendasikan oleh Dewan Syariah Nasional,
Majelis Ulama Indonesia yang ditempatkan di LJK atau
unit syariah yang bertugas mengawasi kegiatan usaha
perusahaan agar sesuai dengan prinsip syariah.
8. Pengendali Perusahaan Perasuransian adalah pihak
yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai
kemampuan untuk menentukan Direksi dan Dewan
Komisaris, dan/atau mempengaruhi tindakan Direksi,
Dewan Komisaris pada Perusahaan Perasuransian.
- 7 -
9. Pengendalian adalah suatu tindakan yang bertujuan
untuk mempengaruhi pengelolaan dan/atau kebijakan
perusahaan, termasuk pada LJK, dengan cara apapun,
baik secara langsung maupun tidak langsung.
10. Auditor Internal adalah pejabat pada Perusahaan
Perasuransian yang bertanggung jawab untuk
mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas
pengelolaan risiko, pengendalian, dan proses tata
kelola perusahaan yang bekerja secara independen dan
sesuai dengan standar praktik yang berlaku.
11. Aktuaris Perusahaan adalah pejabat pada perusahaan
asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan
reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah yang
ditunjuk dan bertanggung jawab untuk mengelola
dampak keuangan dari risiko yang dihadapi
perusahaan yang bekerja secara independen dan
sesuai dengan standar praktik yang berlaku.
12. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 2
(1) Calon Pihak Utama wajib memperoleh persetujuan dari
OJK sebelum menjalankan tindakan, tugas dan
fungsinya sebagai Pihak Utama.
(2) Pihak Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. bagi Bank:
1) PSP;
2) anggota Direksi; dan
3) anggota Dewan Komisaris.
b. bagi Perusahaan Efek:
1) PSP;
2) anggota Direksi; dan
3) anggota Dewan Komisaris.
- 8 -
c. bagi Penasihat Investasi:
1) PSP;
2) anggota Direksi; dan
3) anggota Dewan Komisaris.
d. bagi Perusahaan Perasuransian:
1) Pengendali Perusahaan Perasuransian;
2) anggota Direksi;
3) anggota Dewan Komisaris;
4) anggota Dewan Pengawas Syariah;
5) Auditor Internal; dan
6) Aktuaris Perusahaan.
e. bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja:
1) anggota Direksi;
2) anggota Dewan Komisaris; dan
3) anggota Dewan Pengawas Syariah.
f. bagi Dana Pensiun Lembaga Keuangan:
1) pelaksana tugas pengurus; dan
2) anggota Dewan Pengawas Syariah.
g. bagi Perusahaan Pembiayaan, Lembaga Penjamin,
PMV, dan Perusahaan Pergadaian:
1) PSP;
2) anggota Direksi;
3) anggota Dewan Komisaris; dan
4) anggota Dewan Pengawas Syariah.
(3) Calon PSP atau calon Pengendali Perusahaan
Perasuransian yang merupakan pemegang saham yang
belum memperoleh persetujuan dari OJK, dilarang
melakukan tindakan sebagai PSP atau Pengendali
Perusahaan Perasuransian walaupun telah memiliki
saham LJK.
(4) Calon anggota Direksi, calon anggota Dewan Komisaris
dan/atau calon anggota Dewan Pengawas Syariah
yang belum memperoleh persetujuan OJK, dilarang
melakukan tindakan, tugas dan fungsi sebagai anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota
Dewan Pengawas Syariah LJK walaupun telah
mendapat persetujuan dan diangkat oleh RUPS.
- 9 -
Pasal 3
Dalam rangka memberikan persetujuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, OJK melakukan penilaian
kemampuan dan kepatutan kepada calon Pihak Utama.
BAB II
FAKTOR PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
Pasal 4
Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk
menilai bahwa calon Pihak Utama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 memenuhi persyaratan:
a.
integritas dan kelayakan keuangan bagi calon PSP atau
calon Pengendali Perusahaan Perasuransian yang
merupakan pemegang saham;
b.
integritas dan reputasi keuangan bagi calon Pengendali
Perusahaan Perasuransian yang bukan merupakan
pemegang saham;
c.
integritas, reputasi keuangan dan kompetensi bagi
selain calon PSP atau calon Pengendali Perusahaan
Perasuransian.
Pasal 5
Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 huruf a, huruf b, dan huruf c, meliputi:
a. cakap melakukan perbuatan hukum;
b. memiliki akhlak dan moral yang baik, paling sedikit
ditunjukkan dengan sikap mematuhi ketentuan yang
berlaku, termasuk tidak pernah dihukum karena
terbukti melakukan tindak pidana dalam jangka waktu
tertentu sebelum dicalonkan;
c. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan
perundang-undangan dan mendukung kebijakan OJK;
d. memiliki komitmen terhadap pengembangan LJK yang
sehat; dan
e.
tidak termasuk sebagai pihak yang dilarang untuk
menjadi Pihak Utama.
- 10 -
Pasal 6
Persyaratan reputasi keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf b dan huruf c, paling sedikit
dibuktikan dengan:
a. tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet; dan
b. tidak pernah dinyatakan pailit dan/atau tidak pernah
menjadi pemegang saham, Pengendali Perusahaan
Perasuransian yang bukan merupakan pemegang
saham, anggota Direksi, atau anggota Dewan
Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan
suatu perseroan dinyatakan pailit dalam waktu 5 (lima)
tahun terakhir sebelum dicalonkan.
Pasal 7
Persyaratan kelayakan keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf a, paling sedikit dibuktikan dengan:
a. memiliki reputasi keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6;
b. memiliki kemampuan keuangan yang dapat
mendukung perkembangan bisnis LJK; dan
c. memiliki komitmen untuk melakukan upaya-upaya
yang diperlukan apabila LJK menghadapi kesulitan
keuangan.
Pasal 8
Persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf c, paling sedikit meliputi pengetahuan
dan/atau pengalaman yang mendukung pengelolaan LJK.
BAB III
TATA CARA PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
Bagian Kesatu
Umum
- 11 -
Pasal 9
Calon Pihak Utama yang sedang menjalani:
a. proses hukum;
b. proses penilaian kemampuan dan kepatutan di OJK;
dan/atau
c. proses penilaian kembali karena terdapat indikasi
permasalahan integritas, kelayakan keuangan,
reputasi keuangan, dan/atau kompetensi pada suatu
LJK,
tidak dapat diajukan untuk mengikuti penilaian
kemampuan dan kepatutan untuk menjadi Pihak Utama.
Pasal 10
(1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan menjadi
Pihak Utama diajukan oleh:
a. calon pemilik, pendiri atau anggota Direksi LJK
dalam hal permohonan izin pendirian LJK; atau
b. anggota Direksi LJK, dalam hal LJK telah
memperoleh izin usaha;
dilengkapi dengan dokumen persyaratan administratif.
(2) LJK harus menyampaikan daftar pemenuhan
persyaratan
administratif kepada OJK yang
ditandatangani oleh:
a. calon pemilik, pendiri, atau pejabat LJK yang
berwenang dalam hal permohonan izin pendirian
LJK; atau
b. pejabat LJK yang berwenang, dalam hal LJK telah
memperoleh izin usaha.
(3) Penyampaian permohonan dan/atau dokumen
persyaratan administratif dapat dilakukan melalui
sarana elektronik dalam hal ketentuan yang mengatur
mengenai hal tersebut telah diberlakukan.
(4) OJK dapat mengembalikan permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) apabila dokumen persyaratan
administratif tidak lengkap.
- 12 -
(5) LJK dapat mengajukan calon Pihak Utama dalam
jumlah tertentu untuk setiap posisi jabatan yang
dituju.
Pasal 11
(1) Dalam hal seluruh atau mayoritas saham LJK dimiliki
oleh pemerintah pusat atau lembaga yang diberikan
tugas oleh Undang-Undang untuk menyelamatkan
LJK, permohonan untuk memperoleh persetujuan
menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan
Komisaris LJK dimaksud dapat diajukan oleh instansi
yang mewakili pemerintah pusat atau lembaga
tersebut.
(2) Dalam hal calon PSP akan melakukan pembelian
saham LJK dalam rangka penyertaan modal sementara
oleh lembaga yang diberikan tugas oleh Undang-
Undang untuk menyelamatkan LJK, permohonan
untuk memperoleh persetujuan menjadi PSP dimaksud
dapat diajukan oleh lembaga tersebut.
Pasal 12
Dalam hal anggota Direksi LJK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1) tidak dapat menjalankan fungsinya
atau mempunyai benturan kepentingan, permohonan
diajukan oleh:
a. anggota Direksi lainnya yang tidak mempunyai
benturan kepentingan;
b. anggota Dewan Komisaris apabila seluruh anggota
Direksi tidak dapat menjalankan fungsinya atau
mempunyai benturan kepentingan; atau
c. pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS apabila seluruh
anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris tidak
dapat menjalankan fungsinya atau mempunyai
benturan kepentingan.
- 13 -
Bagian Kedua
Tata Cara Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Calon
PSP dan Calon Pengendali Perusahaan Perasuransian
Pasal 13
(1) Penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon PSP
dan calon Pengendali Perusahaan Perasuransian
dilakukan melalui penilaian administratif.
(2) Dalam rangka penilaian administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), calon PSP, dan calon
Pengendali Perusahaan
Perasuransian
harus
melakukan presentasi atau pemaparan paling sedikit
mengenai:
a. rencana calon PSP, dan calon Pengendali
Perusahaan
Perasuransian
pengembangan LJK yang akan dimiliki dan/atau
yang akan dikendalikannya; dan
b.
strategi calon PSP, dan calon Pengendali
Perusahaan Perasuransian dalam hal LJK yang
akan dimiliki dan/atau yang akan
dikendalikannya mengalami kesulitan keuangan.
Pasal 14
Dalam hal calon PSP, atau calon Pengendali Perusahaan
Perasuransian adalah pemerintah pusat atau pemerintah
daerah,
presentasi atau pemaparan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 dilakukan apabila dianggap
perlu.
Pasal 15
(1) Dalam hal calon PSP, dan calon Pengendali
Perusahaan Perasuransian berbentuk badan hukum,
penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap badan
hukum tersebut dilakukan dengan menilai badan
hukum yang bersangkutan, anggota Direksi, dan
anggota Dewan Komisaris badan hukum yang
terhadap
- 14 -
bersangkutan, dan pihak-pihak yang berdasarkan
penilaian Otoritas Jasa Keuangan merupakan ultimate
shareholders.
(2) Dalam hal
ultimate shareholders merupakan
pemerintah negara lain, dan hukum di negara yang
bersangkutan tidak memperbolehkan
ultimate
shareholders tersebut memberikan data dan dokumen,
OJK menetapkan ultimate shareholders lain yang
secara langsung dikendalikan oleh pemerintah negara
lain tersebut berdasarkan dokumen pendukung yang
sah sebagai pengganti
pemerintah negara lain tersebut.
(3) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) harus menyampaikan dokumen persyaratan
administratif.
(4) Selain pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), OJK dapat menetapkan pihak lain yang
berdasarkan penilaian OJK melakukan Pengendalian,
untuk menyampaikan dokumen persyaratan
administratif.
(5) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap
pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2)
dan ayat (4) merupakan satu kesatuan hasil penilaian
kemampuan dan kepatutan terhadap badan hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Ketiga
Tata Cara Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak
Utama Selain Calon PSP dan Calon Pengendali Perusahaan
Perasuransian
Pasal 16
Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon Pihak
Utama selain calon PSP dan calon Pengendali Perusahaan
Perasuransian
administratif.
dilakukan OJK melalui
ultimate shareholders
penilaian
- 15 -
Pasal 17
(1) LJK harus terlebih dahulu melakukan penilaian sendiri
(self assessment) terhadap calon Pihak Utama selain
calon PSP dan calon Pengendali Perusahaan
Perasuransian sebelum diajukan kepada OJK, terkait
dengan:
a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf c; dan
b. pemenuhan persyaratan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
(2) Hasil self assessment sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan kepada OJK pada saat pengajuan
permohonan.
Pasal 18
(1) Dalam rangka penilaian administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16, OJK dapat melakukan
klarifikasi kepada calon Pihak Utama.
(2) Klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan apabila:
a. terdapat informasi negatif mengenai calon Pihak
Utama;
b. calon
Pihak Utama belum mempunyai
pengalaman pada LJK di Indonesia yang relevan
dengan jabatan yang dituju dan
mempertimbangkan posisi jabatan, ukuran,
kompleksitas, dan/atau permasalahan LJK
tempat yang bersangkutan akan dicalonkan;
dan/atau
c. calon Pihak Utama pernah ditetapkan tidak
disetujui dalam pencalonan sebelumnya.
- 16 -
Bagian Keempat
Penghentian Penilaian Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 19
(1) OJK menghentikan penilaian kemampuan dan
kepatutan calon Pihak Utama LJK apabila calon
tersebut menjalani:
a. proses hukum;
b. proses penilaian kemampuan dan kepatutan;
dan/atau
c. proses penilaian kembali karena terdapat indikasi
permasalahan integritas, kelayakan keuangan,
reputasi keuangan, dan/atau kompetensi pada
suatu LJK.
(2) Penghentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberitahukan secara tertulis kepada LJK.
Pasal 20
Calon Pihak Utama yang dihentikan penilaian kemampuan
dan kepatutannya oleh OJK, dapat dicalonkan kembali
kepada OJK untuk menjadi Pihak Utama apabila yang
bersangkutan telah selesai menjalani proses sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1).
BAB IV
HASIL PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
Pasal 21
(1) OJK menetapkan hasil penilaian kemampuan dan
kepatutan sebagai berikut:
a.
disetujui; atau
b. tidak disetujui.
(2) Jangka waktu penetapan hasil penilaian kemampuan
dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah seluruh
dokumen permohonan diterima secara lengkap.
- 17 -
(3) Dalam hal proses penilaian kemampuan dan
kepatutan calon Pihak Utama dilakukan pada saat
permohonan izin pendirian, penggabungan dan/atau
peleburan LJK, OJK memberikan penetapan hasil
penilaian kemampuan dan kepatutan dalam jangka
waktu sesuai dengan peraturan yang mengatur
mengenai pemberian izin pendirian, penggabungan,
dan/atau peleburan LJK.
(4) OJK memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan
kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara
tertulis kepada LJK.
(5) Selain memberitahukan kepada LJK sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), OJK dapat memberitahukan
hasil penilaian kemampuan dan kepatutan kepada
pihak lain yang berkepentingan dalam rangka
pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK atau
diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 22
(1) Bagi calon PSP yang tidak disetujui oleh OJK namun
telah memiliki saham LJK:
a. yang bersangkutan wajib mengalihkan
kepemilikan sahamnya pada LJK yang
bersangkutan dan tidak melakukan Pengendalian;
dan
b. dilakukan pembatasan atas hak pemegang saham
pada LJK yang bersangkutan.
(2) LJK wajib melaporkan pengalihan kepemilikan saham
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada
OJK dengan mengacu kepada peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai pelaporan
perubahan anggaran dasar terkait perubahan
kepemilikan yang berlaku pada masing-masing sektor
jasa keuangan.
(3) Dalam hal tidak terdapat peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai pelaporan
perubahan anggaran dasar terkait perubahan
- 18 -
kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LJK
wajib melaporkan pengalihan kepemilikan saham
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah RUPS
mengesahkan pengalihan kepemilikan saham.
Pasal 23
LJK wajib mencantumkan penjelasan mengenai status
pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
dalam:
a. daftar pemegang saham LJK; dan
b.
laporan yang dipublikasikan LJK.
Pasal 24
(1) OJK dapat menetapkan pihak yang tidak
diperbolehkan menerima pengalihan saham
sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 ayat (1).
(2) Dalam hal pengalihan kepemilikan saham dilakukan
kepada pihak yang tidak diperbolehkan menerima
pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat
(1):
a. pengalihan tersebut tidak dianggap sebagai
pengalihan kepemilikan sebagaimana dimaksud
pada Pasal 22 ayat (1);
b. LJK dilarang melakukan pencatatan atas pihak
yang menerima pengalihan tersebut dalam daftar
pemegang saham LJK; dan
c. pihak yang menerima pengalihan tidak
memperoleh hak-haknya sebagai pemegang
saham.
Pasal 25
(1) Persetujuan OJK terhadap calon Pihak Utama selain
calon PSP, dan calon Pengendali Perusahaan
Perasuransian menjadi tidak berlaku apabila dalam
jangka waktu tertentu tidak terdapat pengangkatan
terhadap calon Pihak Utama yang telah disetujui oleh
OJK.
- 19 -
(2) LJK wajib melaporkan pengangkatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan mengacu kepada
peraturan yang mengatur mengenai pelaporan
perubahan Pihak Utama yang berlaku pada masing-
masing sektor jasa keuangan.
(3) Dalam hal tidak terdapat peraturan yang mengatur
mengenai pelaporan perubahan Pihak Utama
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LJK wajib
melaporkan pengangkatan Pihak Utama paling lambat
7 (tujuh) hari kerja setelah pengangkatan.
Pasal 26
(1) Bagi calon anggota Direksi, calon anggota Dewan
Komisaris, dan/atau calon anggota Dewan Pengawas
Syariah yang tidak disetujui oleh OJK namun telah
diangkat sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan
Komisaris, LJK wajib menyelenggarakan RUPS untuk
membatalkan pengangkatan yang bersangkutan.
(2) LJK wajib melaporkan RUPS pembatalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada OJK dengan mengacu
kepada peraturan yang mengatur mengenai pelaporan
perubahan Pihak Utama yang berlaku pada masing-
masing sektor jasa keuangan.
(3) Dalam hal tidak terdapat peraturan yang mengatur
mengenai pelaporan perubahan Pihak Utama
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LJK wajib
melaporkan perubahan Pihak Utama paling lambat 7
(tujuh) hari kerja setelah RUPS pembatalan
pengangkatan anggota Direksi atau calon anggota
Dewan Komisaris.
Pasal 27
(1) Calon Pihak Utama selain calon PSP dan calon
Pengendali Perusahaan Perasuransian yang tidak
disetujui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(1) huruf b dapat dicalonkan kembali kepada OJK
- 20 -
paling cepat 6 (enam) bulan sejak tanggal penetapan
Tidak Disetujui dari OJK.
(2) Dalam hal calon Pihak Utama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak disetujui karena persyaratan
kompetensi maka calon dimaksud dapat diajukan
sebelum 6 (enam) bulan pada:
a. bidang jabatan yang berbeda pada jabatan yang
setingkat atau lebih rendah pada LJK yang sama;
b. jabatan di LJK sejenis yang mempunyai ukuran
dan kompleksitas yang lebih rendah; atau
c. jabatan di LJK yang berbeda.
(3) Pengajuan kembali calon Pihak Utama yang tidak
disetujui karena persyaratan kompetensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus disertai dokumen
pendukung yang membuktikan bahwa calon yang
diajukan kembali telah melakukan peningkatan
kompetensi.
Pasal 28
(1) OJK membatalkan persetujuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a, apabila setelah
persetujuan diberikan:
a. diketahui bahwa informasi atau dokumen yang
disampaikan dalam proses penilaian kemampuan
dan kepatutan tidak benar sehingga menjadi tidak
memenuhi persyaratan; dan/atau
b. terdapat informasi yang diperoleh dari otoritas
lain yang mengakibatkan pihak yang telah
disetujui menjadi tidak memenuhi persyaratan.
(2) PSP yang dibatalkan persetujuannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), terhadap yang bersangkutan
berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (3) dan Pasal 22.
(3) Anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau
anggota Dewan Pengawas Syariah yang dibatalkan
persetujuannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
- 21 -
terhadap yang bersangkutan berlaku ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan
Pasal 26.
BAB V
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK
UTAMA LEMBAGA JASA KEUANGAN DALAM
PENYELAMATAN/PENANGANAN DAN PIHAK UTAMA BANK
YANG DIGUNAKAN SEBAGAI SARANA RESOLUSI
Pasal 29
OJK menetapkan tata cara penilaian kemampuan dan
kepatutan yang berbeda bagi Pihak Utama pada:
a. LJK dalam penyelamatan/penanganan oleh lembaga
atau instansi yang mempunyai kewenangan untuk
melakukan penyelamatan/penanganan LJK; dan
b. Bank yang digunakan sebagai sarana resolusi
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan
Krisis Sistem Keuangan.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 30
(1) Bank wajib melaporkan rencana perubahan struktur
kelompok usaha yang terkait dengan Bank termasuk
badan hukum pemilik Bank sampai dengan ultimate
shareholders kepada OJK paling lambat 1 (satu) bulan
sebelum terjadinya perubahan.
(2) Dalam hal perubahan struktur kelompok usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menurut
penilaian OJK menyebabkan perubahan pengendali
Bank atau apabila menurut penilaian OJK terdapat
pengendali Bank, Bank wajib mengajukan calon PSP
untuk dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan
oleh OJK.
- 22 -
(3) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap
pengendali Bank yang disebabkan karena adanya
perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) merupakan satu kesatuan
penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap
kelompok usaha.
(4) OJK berwenang menolak perubahan pengendali Bank,
dalam hal berdasarkan penilaian OJK perubahan
pengendali Bank dapat menyebabkan atau
diindikasikan dapat menghambat pelaksanaan
pengawasan Bank.
BAB VII
SANKSI
Pasal 31
(1) LJK dan/atau Pihak Utama yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2
ayat (3), Pasal 2 ayat (4), Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24
ayat (2) huruf b, Pasal 25 ayat (2), Pasal 25 ayat (3),
Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (3), atau Pasal 30 ayat
(1), dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan;
c. pembatalan hasil penilaian kemampuan dan
kepatutan;
d. pembatasan kegiatan usaha;
e. perintah penggantian manajemen;
f. pencantuman manajemen dalam daftar pihak
yang dilarang untuk menjadi Pihak Utama;
g. pembatalan persetujuan, pendaftaran dan
pengesahan; dan/atau
h. pencabutan izin usaha.
(2) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), OJK dapat mengenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
- 23 -
undangan yang berlaku bagi LJK pada masing-masing
sektor jasa keuangan.
(3) Mekanisme pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) mengacu kepada ketentuan
yang berlaku bagi LJK pada masing-masing sektor jasa
keuangan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 32
Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan yang telah
ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 33
Terhadap penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon
Pihak Utama yang sedang dilakukan pada saat berlakunya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini:
a.
tata cara penilaian dan hasil penilaian tetap mengacu
kepada ketentuan penilaian kemampuan dan
kepatutan yang berlaku pada masing-masing sektor
jasa keuangan; dan
b. konsekuensi hasil penilaian kemampuan dan
kepatutan mengacu kepada ketentuan dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 34
(1) Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini:
a. Pihak Utama pada PMV atau Perusahaan
Pergadaian yang belum pernah mengikuti
penilaian kemampuan dan kepatutan tetap dapat
menjadi Pihak Utama;
b. anggota Dewan Pengawas Syariah pada Dana
Pensiun dan Auditor Internal pada Perusahaan
- 24 -
Perasuransian yang belum pernah mengikuti
penilaian kemampuan dan kepatutan tetap dapat
menjabat dan menjalankan tugas dan fungsinya.
(2) Pihak Utama selain PSP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), harus mengikuti penilaian kemampuan dan
kepatutan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini sebelum yang bersangkutan dilakukan
perpanjangan jabatan atau peralihan jabatan pada
perusahaan yang sama.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 36
Dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
Pasal 3 ayat (2) huruf a, Pasal 3 ayat (2) huruf b, dan Pasal
18 ayat (4) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
4/POJK.05/2013 tentang Penilaian Kemampuan dan
Kepatutan bagi Pihak Utama pada Perusahaan
Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan,
dan Perusahaan Penjaminan dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 37
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan yang
berlaku pada masing-masing sektor jasa keuangan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
- 25 -
Pasal 38
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku:
a. pada tanggal 1 Agustus 2016 bagi LJK selain
Perusahaan Pergadaian;
b. 2 (dua) tahun sejak tanggal diundangkan bagi
Perusahaan Pergadaian.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juli 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Juli 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 147
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 27/POJK.03/2016 </reg_id>
<reg_title> PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK UTAMA LEMBAGA JASA KEUANGAN </reg_title>
<set_date> 22 Juli 2016 </set_date>
<effective_date> 1 Agustus 2016 </effective_date>
<issued_date> 27 Juli 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '4/POJK.05/2013 | Pasal 3 ayat (2) huruf a, Pasal 3 ayat (2) huruf b, dan Pasal 18 ayat (4)' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '11/UU/1992', '8/UU/1995', '21/UU/2008', '21/UU/2011', '40/UU/2014', '1/UU/2016' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
SALINAN
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 10 /POJK.03/2015
TENTANG
PENERBITAN SERTIFIKAT DEPOSITO OLEH BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang
: a. bahwa dalam rangka meningkatkan peranan perbankan
dan perbankan syariah sebagai lembaga penghimpunan
dana masyarakat yang menyediakan berbagai produk
simpanan kepada masyarakat, perlu adanya peningkatan
transaksi produk sertifikat deposito;
b. bahwa penerbitan
sertifikat
deposito harus
memperhatikan aspek kehati-hatian dan penerapan
manajemen risiko bank, serta memperhatikan pula
prinsip syariah untuk penerbitan sertifikat deposito
berdasarkan prinsip syariah;
c. bahwa pengaturan mengenai sertifikat deposito pada saat
ini sudah tidak memadai lagi dan perlu disesuaikan
dengan perkembangan kebutuhan masyarakat serta
teknologi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Penerbitan Sertifikat Deposito Oleh Bank;
Mengingat ...
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENERBITAN SERTIFIKAT DEPOSITO OLEH BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998, serta Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah;
2. Lembaga ...
- 3 -
2. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang selanjutnya disingkat LPP
adalah pihak yang menyelenggarakan kegiatan kustodian sentral bagi bank
kustodian, perusahaan efek, dan pihak lain untuk kepentingan pencatatan
dan penatausahaan sertifikat deposito dalam bentuk tanpa warkat;
3. Sertifikat Deposito adalah simpanan dalam bentuk deposito termasuk yang
berdasarkan prinsip syariah yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat
dipindahtangankan.
BAB II
BENTUK DAN PENERBIT SERTIFIKAT DEPOSITO
Pasal 2
(1) Sertifikat Deposito dapat diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa warkat
(scripless).
(2) Sertifikat Deposito dalam bentuk warkat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib bersifat atas pengganti.
(3) Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib diidentifikasi kepemilikannya oleh Bank pada pencatatan di
LPP.
Pasal 3
(1) Bank dapat menerbitkan Sertifikat Deposito dalam bentuk warkat tanpa
terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Bank yang menerbitkan Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat wajib
mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diperlukan untuk Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat yang
pertama kali diterbitkan oleh Bank.
(4) Persyaratan dan tata cara persetujuan penerbitan Sertifikat Deposito dalam
bentuk tanpa warkat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang pertama kali
diterbitkan oleh Bank Umum mengacu pada ketentuan yang mengatur
mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti bank
dan ketentuan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi
Bank Umum.
(5). Persyaratan ...
- 4 -
(5) Persyaratan dan tata cara persetujuan penerbitan Sertifikat Deposito dalam
bentuk tanpa warkat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang pertama kali
diterbitkan oleh Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah mengacu pada
ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor
berdasarkan modal inti bank dan ketentuan yang mengatur mengenai produk
dan aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Pasal 4
(1) Sertifikat Deposito sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat
diterbitkan dalam rupiah atau valuta asing.
(2) Sertifikat Deposito dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat diterbitkan oleh Bank yang telah memperoleh persetujuan
melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing.
BAB III
KARAKTERISTIK SERTIFIKAT DEPOSITO
Pasal 5
(1) Nominal Sertifikat Deposito paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) atau ekuivalennya dalam valuta asing.
(2) Jangka waktu Sertifikat Deposito paling singkat 1 (satu) bulan dan paling
lama 36 (tiga puluh enam) bulan.
Pasal 6
(1) Bunga Sertifikat Deposito bagi Bank Umum bersifat tetap dan dibayarkan
secara diskonto.
(2) Imbal hasil dan mekanisme pembayaran imbal hasil Sertifikat Deposito
berdasarkan prinsip syariah diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 7
Bank dilarang menerbitkan Sertifikat Deposito yang bersifat derivatif dan/atau
dikaitkan dengan produk keuangan lainnya.
Pasal 8 ...
- 5 -
Pasal 8
(1) Sertifikat Deposito dalam bentuk warkat wajib memenuhi karakteristik yang
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk memenuhi prinsip
pengamanan dan transparansi produk.
(2) Karakteristik Sertifikat Deposito dalam bentuk warkat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan.
BAB IV
PENCATATAN DAN PEMANTAUAN SERTIFIKAT DEPOSITO
Pasal 9
(1) Bank wajib mencatat kepemilikan pertama Sertifikat Deposito dalam bentuk
warkat atau Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat.
(2) Pada saat pencairan Sertifikat Deposito dalam bentuk warkat, Bank wajib
memastikan endosemen yang pertama sesuai dengan pemilik Sertifikat
Deposito dalam bentuk warkat yang namanya tercatat pada Bank dan
meneliti endosemen berikutnya serta bukti diri pemilik terakhir.
(3) Penatausahaan pencatatan kepemilikan dan perubahan kepemilikan
Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat dilakukan oleh LPP untuk
dan atas nama Bank.
Pasal 10
(1) Bank yang menerbitkan Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat
wajib memantau pencatatan dan perubahan kepemilikan Sertifikat Deposito
dalam bentuk tanpa warkat yang dilakukan oleh LPP.
(2) Bank wajib memastikan bahwa informasi elektronik, dokumen elektronik
dan/atau hasil cetaknya yang terkait dengan pencatatan dan
penatausahaan Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat pada LPP
memenuhi keabsahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik.
BAB V ...
- 6 -
BAB V
MANAJEMEN RISIKO, ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN
TERORISME, DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pasal 11
(1) Bank yang menerbitkan Sertifikat Deposito wajib menerapkan manajemen
risiko.
(2) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berpedoman pada ketentuan yang mengatur mengenai penerapan
manajemen risiko bagi Bank Umum atau penerapan manajemen risiko bagi
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Pasal 12
Bank yang menerbitkan Sertifikat Deposito wajib menerapkan program anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme sebagaimana diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penerapan program anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi Bank.
Pasal 13
Bank yang menerbitkan Sertifikat Deposito wajib menerapkan prinsip
perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur
mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan.
BAB VI
PERMOHONAN PERSETUJUAN DAN
PELAPORAN PENERBITAN SERTIFIKAT DEPOSITO
Pasal 14
Permohonan persetujuan penerbitan Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa
warkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan dengan alamat sebagai berikut:
1. Departemen ...
- 7 -
1. Departemen Pengawasan Bank terkait, Kantor Regional 1 atau Departemen
Perbankan Syariah, Otoritas Jasa Keuangan, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta
10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah Jabodetabek; atau
2. Kantor Regional atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat, bagi Bank
yang berkantor pusat di luar wilayah Jabodetabek.
Pasal 15
(1) Bank wajib menyampaikan laporan secara berkala mengenai Sertifikat
Deposito yang diterbitkan, kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Laporan yang wajib disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi
Bank Umum mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai Laporan
Bulanan Bank Umum.
(3) Laporan yang wajib disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah mengacu pada ketentuan yang
mengatur mengenai Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan
Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
BAB VII
SANKSI
Pasal 16
(1) Bank yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2), Pasal 2 ayat (3), Pasal
3 ayat (2), Pasal 8 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), dan Pasal 10
ayat (1) dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan; dan/atau
c. pembatasan dan/atau pembekuan kegiatan usaha tertentu.
(2) Bank yang melanggar ketentuan Pasal 7 dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan; dan/atau
c. pembatasan dan/atau pembekuan kegiatan usaha tertentu.
(3) Bank yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 10 ayat (2) dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai
informasi dan transaksi elektronik.
(4) Bank ...
- 8 -
(4) Bank yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 11 ayat (1) dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko
bagi Bank Umum atau penerapan manajemen risiko bagi Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah.
(5) Bank yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 12 dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai
penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme.
(6) Bank yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 13 dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai perlindungan konsumen
sektor jasa keuangan.
(7) Bank Umum yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 15 dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai Laporan Bulanan Bank
Umum.
(8) Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang tidak memenuhi
ketentuan Pasal 15 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan
mengenai Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 17
(1) Sertifikat Deposito yang diterbitkan sebelum berlakunya ketentuan ini, tetap
berlaku sampai dengan jatuh tempo.
(2) Bank menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai
penerbitan Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat yang telah
dilakukan sebelum ketentuan ini berlaku.
(3) Penyampaian laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat tanggal 31 Desember
2015.
BAB IX...
- 9 -
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 18
Pemindahtanganan Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat yang
dilakukan melalui pasar uang, tunduk pada ketentuan yang diatur oleh otoritas
yang berwenang.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dalam
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 20
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, seluruh
ketentuan yang mengatur mengenai penerbitan Sertifikat Deposito dinyatakan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Pasal 21
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar ...
- 10 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 14 Juli 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 14 Juli 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 164
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 10 /POJK.03/2015
TENTANG
PENERBITAN SERTIFIKAT DEPOSITO OLEH BANK
I. UMUM
Perkembangan produk simpanan perbankan dalam rangka penghimpunan
dana masyarakat mengalami berbagai perubahan fitur seiring dengan perubahan
kebutuhan masyarakat. Konsekuensi terhadap hal dimaksud adalah risiko yang
melekat pada produk simpanan tersebut semakin tinggi sehingga ketentuan yang
ada dipandang tidak memadai dan perlu disesuaikan agar Bank dapat
meningkatkan kegiatan penghimpunan dana dengan tetap berlandaskan pada
prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko bank.
Beberapa perkembangan kebutuhan masyarakat antara lain jenis mata
uang, penyesuaian atas minimal nominal, pengamanan yang lebih baik dan
transparansi produk Bank. Selain itu, perkembangan teknologi informasi yang
sangat pesat dan dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat,
menunjang kecepatan transaksi pemindahtanganan Sertifikat Deposito,
meningkatkan keamanan, dan transparansi terhadap Sertifikat Deposito,
diperlukan Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat (scripless).
Pada praktik kegiatan usaha perbankan terdapat Sertifikat Deposito dalam
bentuk tanpa warkat meskipun pengaturan sertifikat deposito saat ini hanya
untuk Sertifikat Deposito dalam bentuk warkat, sehingga diperlukan pengaturan
mengenai Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat untuk mendukung
efektivitas transaksi penerbitan Sertifikat Deposito oleh Bank yang diharapkan
mampu mendorong pertumbuhan ekonomi khususnya di sektor perbankan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 ...
- 2 -
Pasal 2
Ayat (1)
Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dapat menerbitkan Sertifikat Deposito. Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah dapat menerbitkan Sertifikat
Deposito berdasarkan prinsip syariah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan atas pengganti (aan order) adalah
kemampuan pemegang Sertifikat Deposito dalam bentuk warkat
untuk memindahtangankan Sertifikat bukti penyimpanannya kepada
pihak lain dengan cara menandatangani pada lembar Sertifikat
Deposito (endorsement) sehingga pihak yang ditunjuk terakhir berhak
menerima pembayaran dari Bank yang menerbitkan pada saat
Sertifikat Deposito dalam bentuk warkat jatuh tempo.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan dapat diidentifikasi kepemilikannya pada
pencatatan di LPP adalah nama pemegang terakhir Sertifikat
Deposito dalam bentuk tanpa warkat yang dicatat pada LPP.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pada ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan
jaringan kantor berdasarkan modal inti bank, dan ketentuan yang
mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum
terdapat aturan mengenai produk atau aktivitas baru.
Persyaratan ...
- 3 -
Persyaratan dan tata cara persetujuan produk atau aktivitas baru
meliputi antara lain pencantuman rencana penerbitan produk baru
dalam rencana bisnis bank, surat permohonan persetujuan
penerbitan produk baru yang disertai dengan dokumen pendukung,
jangka waktu penyampaian surat permohonan, dan jangka waktu
berlakunya persetujuan penerbitan produk baru.
Ayat (5)
Persyaratan dan tata cara persetujuan produk atau aktivitas baru
meliputi antara lain pencantuman rencana penerbitan produk baru
dalam Rencana Bisnis Bank, pengajuan permohonan persetujuan
penerbitan produk baru yang disertai dengan dokumen pendukung,
jangka waktu penyampaian surat permohonan persetujuan
penerbitan produk baru, jangka waktu laporan pelaksanaan
penerbitan produk baru, dan jangka waktu berlakunya persetujuan
penerbitan produk baru.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Persyaratan bank yang dapat melakukan kegiatan usaha dalam
valuta asing (bank devisa) mengacu pada ketentuan yang mengatur
mengenai persyaratan Bank Umum untuk melakukan kegiatan
usaha dalam valuta asing.
Pasal 5
Ayat (1)
Nominal Sertifikat Deposito dalam valuta asing diterbitkan dalam
kelipatan ratusan.
Contoh : USD1.100, EUR900, SGD1.200
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6 ...
- 4 -
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan dibayar secara diskonto adalah pembayaran
bunga dimuka oleh Bank pada saat penerbitan Sertifikat Deposito
dengan cara memotong nominal yang seharusnya disetorkan oleh
nasabah kepada Bank yang menerbitkan.
Ayat (2)
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan mengatur Sertifikat Deposito
berdasarkan prinsip syariah antara lain imbal hasil dan mekanisme
pembayaran imbal hasil, akad yang sesuai fatwa, dan persyaratan
syariah terkait obyek yang akan dibiayai dari dana yang dihimpun
melalui penerbitan Sertifikat Deposito berdasarkan prinsip syariah.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Klausula bahwa pencatatan dilakukan oleh LPP untuk dan atas nama
Bank dicantumkan dalam perjanjian antara Bank yang menerbitkan
Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat dengan LPP.
Pasal 10
Ayat (1)
Pemantauan dilakukan melalui sistem yang disediakan oleh LPP yang
dapat diakses setiap saat oleh Bank yang menerbitkan Sertifikat
Deposito dalam bentuk tanpa warkat.
Ayat (2) ...
- 5 -
Ayat (2)
Ketentuan keabsahan informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik dan/atau hasil cetaknya yang diatur dalam undang-undang
mengenai informasi dan transaksi elektronik antara lain “informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang
informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan,
dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga
menerangkan suatu keadaan”.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penerapan manajemen risiko meliputi antara lain:
a. penerapan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi
informasi bagi Bank yang menerbitkan Sertifikat Deposito dalam
bentuk tanpa warkat;
b. manajemen risiko hukum atas kepatuhan Bank terhadap
ketentuan yang berlaku terkait pengaturan valuta asing bagi Bank
yang menerbitkan Sertifikat Deposito dalam valuta asing; dan
c. sistem pengendalian intern dan penerapan strategi anti fraud.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16 ...
- 6 -
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5718
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 10/POJK.03/2015 </reg_id>
<reg_title> PENERBITAN SERTIFIKAT DEPOSITO OLEH BANK </reg_title>
<set_date> 14 Juli 2015 </set_date>
<effective_date> 14 Juli 2015 </effective_date>
<issued_date> 14 Juli 2015 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '11/UU/2008', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 22/ POJK.04 / 2014
TENTANG
PRINSIP MENGENAL NASABAH OLEH PENYEDIA JASA KEUANGAN DI
SEKTOR PASAR MODAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka menciptakan industri Pasar Modal
yang sehat serta terlindung dari praktik pencucian
uang dan dijadikan sarana pendanaan terorisme, maka
diperlukan upaya secara terus menerus untuk
meningkatkan pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme oleh
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal;
b. bahwa ketentuan tentang Prinsip Mengenal Nasabah
oleh Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal
perlu disesuaikan dengan standar internasional
mengenai penerapan program anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu untuk
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Prinsip Mengenal Nasabah oleh
Keuangan di Bidang Pasar Modal;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian…
Penyedia Jasa
-2-
Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5164);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 50, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5406);
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PRINSIP MENGENAL NASABAH OLEH PENYEDIA JASA
KEUANGAN DI SEKTOR PASAR MODAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal adalah
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang
Efek, dan/atau Manajer Investasi, serta Bank Umum
yang menjalankan fungsi Kustodian.
2. Pencucian Uang adalah pencucian uang sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang yang mengatur
mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang.
3. Pendanaan Terorisme adalah pendanaan terorisme
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang
mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan
tindak…
-3-
tindak pidana pendanaan terorisme.
4. Nasabah adalah Pihak yang menggunakan jasa
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal dalam
rangka kegiatan investasi di Pasar Modal baik diikuti
dengan atau tanpa melalui pembukaan rekening Efek.
5.
Prinsip Mengenal Nasabah adalah prinsip yang
diterapkan Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar
Modal untuk:
a. a. mengetahui latar belakang dan identitas Nasabah;
b. memantau rekening Efek dan transaksi Nasabah;
dan
c. melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan
dan transaksi keuangan yang dilakukan secara
tunai,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan di
bidang Pasar Modal serta peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang
dan/atau pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pendanaan terorisme.
6.
Uji Tuntas Nasabah (Customer Due Diligence) yang
selanjutnya disingkat CDD adalah kegiatan berupa
identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang
dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan di Sektor
Pasar Modal untuk memastikan transaksi sesuai
dengan profil, karakteristik, dan/atau pola transaksi
Nasabah.
7.
Uji Tuntas Lanjut (Enhanced Due Diligence) yang
selanjutnya disingkat EDD adalah tindakan CDD lebih
mendalam yang dilakukan Penyedia Jasa Keuangan di
Sektor Pasar Modal terhadap calon Nasabah atau
Nasabah yang tergolong dalam area berisiko tinggi.
8. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi
keuangan mencurigakan sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang yang mengatur mengenai
pencegahan…
-4-
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang dan/atau undang-undang yang
mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pendanaan terorisme.
9. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
yang selanjutnya disingkat PPATK adalah PPATK
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang
mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana Pencucian Uang.
10. Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) adalah setiap pihak
baik secara langsung maupun tidak langsung melalui
perjanjian atau melalui cara apapun:
a. berhak atas dan/atau menerima manfaat tertentu
yang berkaitan dengan:
1. rekening Efek pada Penyedia Jasa Keuangan di
Sektor Pasar Modal; atau
2. hubungan usaha dengan Penyedia Jasa
Keuangan di Sektor Pasar Modal;
b. merupakan pemilik sebenarnya dari dana
dan/atau Efek pada Penyedia Jasa Keuangan di
Sektor Pasar Modal (ultimate account owner);
c. mengendalikan transaksi Nasabah;
d. memberikan kuasa untuk melakukan transaksi;
dan/atau
e. mengendalikan Nasabah non orang perseorangan.
11. Orang yang Populer Secara Politis (Politically Exposed
Person) yang selanjutnya disebut PEP adalah orang
yang memiliki atau pernah memiliki kewenangan
publik, diantaranya adalah Penyelenggara Negara
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang Penyelenggara
Negara, dan/atau orang yang tercatat atau pernah
tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki
pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai
politik, baik yang berkewarganegaraan Indonesia
maupun…
-5-
maupun yang berkewarganegaraan asing.
12. Nasabah yang Berisiko Tinggi (High Risk Customer)
adalah Nasabah yang berdasarkan latar belakang
identitas dan riwayatnya dianggap memiliki risiko
tinggi melakukan kegiatan terkait dengan Pencucian
Uang dan/atau Pendanaan Terorisme.
13. Negara yang Berisiko Tinggi (High Risk Countries)
adalah negara atau teritori yang potensial digunakan
sebagai:
a. tempat terjadinya atau sarana Pencucian Uang;
b. tempat dilakukannya tindak pidana asal (predicate
offense); dan/atau
c. tempat dilakukannya aktivitas Pendanaan
Terorisme.
14. Usaha yang Berisiko Tinggi (High Risk Business)
adalah bidang usaha yang potensial digunakan
sebagai sarana melakukan Pencucian Uang dan/atau
sarana Pendanaan Terorisme.
15. Lembaga Negara adalah lembaga yang memiliki
kewenangan di bidang eksekutif, yudikatif, dan
legislatif.
16. Instansi Pemerintah adalah sebutan kolektif dari unit
organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas dan
fungsinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
meliputi:
a. Kementerian Koordinator;
b. Kementerian Negara;
c. Kementerian;
d. Lembaga Pemerintahan Non Kementerian;
e. Pemerintah Propinsi;
f. Pemerintah Kota;
g. Pemerintah Kabupaten;
h. lembaga negara yang dibentuk berdasarkan
undang…
-6-
undang-undang; atau
i. lembaga-lembaga pemerintahan yang menjalankan
fungsi pemerintahan dengan menggunakan
Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Pasal 2
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah dan memiliki
pedoman penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
BAB II
PENGAWASAN AKTIF OLEH DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS
Bagian Pertama
Pengawasan Aktif Oleh Direksi
Pasal 3
(1) Direksi Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar
Modal wajib melakukan pengawasan aktif paling
kurang:
a. memastikan bahwa Penyedia Jasa Keuangan di
Sektor Pasar Modal memiliki pedoman penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah;
b. mengusulkan pedoman penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah kepada Dewan Komisaris;
c. memastikan bahwa penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah dilaksanakan sesuai dengan pedoman
penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang telah
ditetapkan;
d. memastikan bahwa pedoman penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah sejalan dengan perubahan dan
pengembangan produk, jasa, dan teknologi
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal
serta sesuai dengan perkembangan modus
Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme;
dan…
-7-
dan
e. memastikan bahwa seluruh pegawai yang terkait
dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
telah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan
penerapan Prinsip Mengenal Nasabah secara
berkala.
(2) Dalam hal Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar
Modal berupa Bank Kustodian yang merupakan
Kantor Cabang Bank Asing, pengawasan aktif
dilakukan oleh pimpinan Kantor Cabang Bank Asing
tersebut.
Bagian Kedua
Pengawasan Aktif Oleh Dewan Komisaris
Pasal 4
Dewan Komisaris Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar
Modal wajib melakukan pengawasan aktif paling kurang:
a. memberikan persetujuan pedoman penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah yang diusulkan oleh Direksi;
b. melakukan pengawasan atas pelaksanaan tanggung
jawab Direksi terhadap penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah; dan
c. memastikan adanya pembahasan terkait Pencucian
Uang dan Pendanaan Terorisme dalam rapat Direksi
dan Dewan Komisaris.
BAB III
PENANGGUNG JAWAB PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH PADA
PENYEDIA JASA KEUANGAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 5
(1) Dalam rangka pelaksanaan Prinsip Mengenal
Nasabah, Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar
Modal…
-8-
Modal wajib membentuk unit kerja khusus atau
menugaskan pejabat sebagai penanggung jawab
penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
(2) Penanggung jawab penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan sebagai bagian dari struktur organisasi
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal.
(3) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
memastikan bahwa penanggung jawab penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memiliki kemampuan yang memadai dan
kewenangan untuk mengakses seluruh data Nasabah
dan informasi lainnya yang terkait.
(4) Direktur utama Penyedia Jasa Keuangan di Sektor
Pasar Modal tidak dapat menjadi penanggung jawab
penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
(5) Dalam hal Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar
Modal merupakan Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek,
Perantara Pedagang Efek, dan/atau Manajer Investasi
dalam satu badan usaha, Penyedia Jasa Keuangan di
Sektor Pasar Modal dapat hanya memiliki satu
penanggung jawab penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah.
(6) Dalam hal Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar
Modal merupakan Bank Kustodian, penanggung jawab
penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dapat
ditugaskan kepada penanggung jawab Bank Kustodian
atau dirangkap oleh penanggung jawab penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah pada Bank Umum.
Bagian Kedua
Unit Kerja Khusus
Pasal 6
Dalam hal Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal
membentuk unit kerja khusus sebagai penanggung jawab
penerapan…
-9-
penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, berlaku ketentuan:
a.
unit kerja khusus paling kurang terdiri dari 1 (satu)
orang yang bertindak sebagai pimpinan dan 1 (satu)
orang yang bertindak sebagai pelaksana;
b. pimpinan dan pelaksana pada unit kerja khusus
dilarang merangkap untuk melaksanakan fungsi
lainnya;
c. pimpinan unit kerja khusus ditetapkan/diangkat oleh
direktur utama;
d.
unit kerja khusus berada di bawah koordinasi direktur
utama secara langsung dalam struktur organisasi
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal; dan
e.
unit kerja khusus bersifat independen dari fungsi
lainnya.
Bagian Ketiga
Penugasan Pejabat
Pasal 7
Dalam hal Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal
menugaskan pejabat sebagai penanggung jawab penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah, pejabat tersebut harus
ditetapkan atau diangkat oleh direktur utama dan hanya
dapat merangkap untuk melaksanakan fungsi manajemen
risiko, fungsi kepatuhan, dan/atau fungsi audit internal.
Bagian Keempat
Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab
Paragraf 1
Tugas
Pasal 8
Penanggung jawab penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) mempunyai
tugas paling kurang sebagai berikut:
a. menyusun dan memelihara pedoman penerapan
Prinsip…
-10-
Prinsip Mengenal Nasabah;
b. memastikan bahwa prosedur identifikasi, verifikasi,
dan pemantauan Nasabah masih memadai;
c. memastikan bahwa formulir yang berkaitan dengan
Nasabah telah mengakomodasi data yang diperlukan
dalam pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah;
d. memantau rekening Efek dan pelaksanaan transaksi
Nasabah;
e. melakukan evaluasi terhadap hasil pemantauan dan
analisis transaksi Nasabah untuk memastikan ada
atau tidak adanya Transaksi Keuangan Mencurigakan
dan/atau transaksi keuangan yang dilakukan secara
tunai sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan Pencucian Uang dan/atau
Pendanaan Terorisme;
f.
menatausahakan hasil pemantauan dan evaluasi;
g. memantau pengkinian data dan profil Nasabah;
h. melakukan pengawasan terkait penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah terhadap unit-unit kerja terkait;
i.
menerima dan melakukan analisis atas laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan dan/atau
transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai yang
dilaporkan oleh unit-unit kerja yang ditugaskan; dan
j. menyusun laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
dan/atau transaksi keuangan secara tunai sesuai
dengan peraturan perundang-undangan terkait
dengan Pencucian Uang dan/atau Pendanaan
Terorisme yang wajib dilaporkan kepada PPATK.
Paragraf 2
Wewenang
Pasal 9
Penanggung jawab penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) mempunyai
wewenang paling kurang sebagai berikut:
a. memperoleh …
-11-
a. memperoleh akses terhadap informasi yang
dibutuhkan yang ada di seluruh unit organisasi
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal;
b. melakukan koordinasi dan pemantauan terhadap
pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah oleh unit-unit
kerja terkait;
c. mengusulkan pejabat dan/atau pegawai unit kerja
terkait untuk membantu pelaksanaan Prinsip
Mengenal Nasabah; dan
d. melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang
dilakukan oleh Direksi, Dewan Komisaris, atau Pihak
terafiliasi dengan Direksi atau Dewan Komisaris,
secara langsung kepada PPATK.
Paragraf 3
Tanggung Jawab
Pasal 10
Penanggung jawab penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) mempunyai
uraian tanggung jawab paling kurang sebagai berikut:
a. memastikan seluruh kegiatan dalam rangka
penerapan Prinsip Mengenal Nasabah terlaksana;
b. memantau, menganalisis, dan merekomendasikan
kebutuhan pelatihan tentang penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah bagi pejabat dan/atau pegawai
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal; dan
c. menjaga kerahasiaan informasi terkait penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah.
BAB IV
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR
Pasal 11
(1) Pedoman penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 memuat
kebijakan…
-12-
kebijakan dan prosedur tertulis yang paling kurang
mencakup:
a. identifikasi dan verifikasi;
b. Pemilik Manfaat (Beneficial Owner);
c. CDD oleh pihak ketiga;
d. manajemen risiko;
e. area berisiko tinggi;
f. pemantauan rekening Efek, transaksi Nasabah,
dan pengkinian data Nasabah;
g. penatausahaan dokumen; dan
h. pelaporan.
(2) Pedoman penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang
dimiliki Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar
Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
peraturan perundang-undangan terkait pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang
dan/atau Pendanaan Terorisme.
Pasal 12
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
menerapkan pedoman penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 secara
konsisten dan berkesinambungan.
Pasal 13
Pedoman penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 wajib mendapat
persetujuan dari Dewan Komisaris.
Bagian Pertama
Identifikasi dan Verifikasi
Pasal 14
(1) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
melakukan prosedur CDD pada saat:
a. akan melakukan hubungan usaha dengan calon
Nasabah…
-13-
Nasabah;
b. melakukan hubungan usaha dengan Nasabah;
c. terdapat keraguan kebenaran data, informasi,
dan/atau dokumen pendukung yang diberikan
oleh Nasabah dan/atau Pemilik Manfaat (Beneficial
Owner); dan/atau
d. terdapat indikasi transaksi keuangan yang
mencurigakan yang terkait dengan Pencucian
Uang dan Pendanaan Terorisme.
(2) CDD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari
CDD sederhana, CDD standar, dan EDD.
Pasal 15
(1) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
meminta data dan informasi kepada calon Nasabah.
(2) Data dan informasi calon Nasabah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
a. Untuk calon Nasabah orang perseorangan:
1. data sesuai dengan dokumen identitas, yaitu:
a) nama;
b) nomor identitas;
c) alamat;
d) tempat dan tanggal lahir;
e) jenis kelamin; dan
f) kewarganegaraan;
2. alamat tempat tinggal terkini (jika berbeda
dengan dokumen identitas);
3. nomor telepon;
4. status perkawinan;
5. pekerjaan;
6. alamat dan nomor telepon tempat kerja (jika
ada);
7. rata-rata penghasilan per tahun;
8. sumber…
-14-
8. sumber dana;
9. maksud dan tujuan investasi;
10. identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner)
(jika ada); dan
11. nama bank dan nomor rekening.
b. Untuk calon Nasabah non orang perseorangan:
1. nama;
2. nomor izin atau nomor izin usaha dari instansi
berwenang;
3. bidang usaha/kegiatan;
4. alamat kedudukan;
5. nomor telepon;
6. tempat dan tanggal pendirian;
7. identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner)
(jika ada);
8. sumber dana;
9. maksud dan tujuan investasi; dan
10. nama bank dan nomor rekening.
(3) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) paling sedikit disertai dengan spesimen tanda
tangan dan dokumen pendukung sebagai berikut:
a. Untuk orang perseorangan
1. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP), bagi
Warga Negara Indonesia; atau
2. fotokopi Paspor, bagi Warga Negara Asing.
b. Untuk non orang perseorangan
1. Badan usaha
a) fotokopi anggaran dasar perusahaan;
b) fotokopi izin usaha dari instansi yang
berwenang;
c) spesimen tanda tangan penerima kuasa;
d) surat…
-15-
d) surat kuasa dari pejabat yang berwenang
kepada penerima kuasa, guna bertindak
untuk dan atas nama calon Nasabah atau
Nasabah dalam berinvestasi di Pasar Modal,
termasuk
memberikan
instruksi
sehubungan dengan rekening Efek calon
Nasabah;
e) fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
f) laporan keuangan atau deskripsi kegiatan
usaha;
g) fotokopi surat keterangan domisili;
h) struktur manajemen atau kepengurusan;
i) struktur kepemilikan atau struktur pendiri;
j) fotokopi
dokumen
identitas
pengurus/Direksi yang berwenang mewakili
calon Nasabah; dan
k) dokumen mengenai pengendali akhir.
2. Yayasan
a) fotokopi izin bidang kegiatan yayasan;
b) deskripsi kegiatan yayasan;
c) struktur dan nama pengurus yayasan; dan
d) fotokopi dokumen identitas anggota
pengurus yang berwenang mewakili yayasan
untuk melakukan hubungan usaha dengan
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar
Modal.
3. Badan hukum lainnya
a) fotokopi bukti pendaftaran pada pihak yang
berwenang;
b) nama penyelenggara; dan
c) fotokopi dokumen identitas pihak yang
berwenang mewakili badan hukum dalam
melakukan hubungan usaha dengan
Penyedia…
-16-
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar
Modal.
4. Kelompok terorganisasi, asosiasi, dan
perkumpulan lainnya yang bukan badan
hukum
a) fotokopi bukti pendaftaran pada pihak yang
berwenang;
b) nama penyelenggara;
c) fotokopi akta pendirian dan/atau anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga
(AD/ART); dan
d) fotokopi dokumen identitas pihak yang
berwenang mewakili kelompok terorganisasi,
asosiasi, dan perkumpulan yang bukan
badan hukum dalam melakukan hubungan
usaha dengan Penyedia Jasa Keuangan di
Sektor Pasar Modal.
(4) Dalam hal calon Nasabah berupa Lembaga Negara,
Instansi Pemerintah, atau lembaga internasional,
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
meminta data dan informasi paling kurang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 1
dan angka 4 dan dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 1 huruf c) dan
huruf d).
(5) Persetujuan pembukaan rekening Efek atau hubungan
usaha dapat diberikan oleh Penyedia Jasa Keuangan
di Sektor Pasar Modal setelah meyakini kebenaran
identitas dan kelengkapan dokumen calon Nasabah
serta mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat
memungkinkan calon Nasabah melakukan kegiatan
Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme.
(6) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal
dilarang membuka atau memelihara rekening Efek
apabila:
a. rekening Efek menggunakan nama fiktif;
b. calon…
-17-
b. calon Nasabah atau Nasabah menolak untuk
mematuhi Prinsip Mengenal Nasabah; atau
c. Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal
tidak dapat meyakini kebenaran identitas dan
kelengkapan dokumen calon Nasabah atau
Nasabah.
Pasal 16
(1) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
mengelompokkan calon Nasabah atau Nasabah
berdasarkan tingkat risiko terjadinya Pencucian Uang
atau Pendanaan Terorisme.
(2) Pengelompokan calon Nasabah atau Nasabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang
terdiri dari 3 (tiga) klasifikasi risiko, yaitu:
a. rendah;
b. menengah; dan
c. tinggi.
(3) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
menerapkan CDD berdasarkan tingkat risiko yang
dimiliki calon Nasabah atau Nasabah.
Pasal 17
(1) Calon Nasabah atau Nasabah masuk dalam kelompok
risiko rendah jika memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. mempunyai profil sebagai berikut:
1. merupakan penerima Efek dalam rangka
Employee Stock Ownership Program (ESOP)
dan/atau Management Stock Ownership
Program (MSOP) dari Emiten atau Perusahaan
Publik;
2. berupa Emiten atau Perusahaan Publik;
3. perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki
oleh Pemerintah;
4. berupa…
-18-
4. berupa Lembaga Negara atau Instansi
Pemerintah; atau
5. berupa lembaga internasional dimana
Pemerintah atau yang mewakili menjadi
anggota;
b. pihak yang melakukan pemesanan Efek di pasar
perdana paling banyak senilai Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah); atau
c. tidak mencapai kriteria tingkat risiko menengah.
(2) Terhadap calon Nasabah atau Nasabah yang
memenuhi kriteria tingkat risiko rendah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penyedia Jasa Keuangan di
Sektor Pasar Modal wajib:
a. meneliti kebenaran data dan informasi yang
disampaikan calon Nasabah atau Nasabah
berdasarkan dokumen pendukung; dan
b. memastikan data dan informasi tersebut adalah
data terkini.
(3) Dalam hal Nasabah tidak sesuai dengan kriteria
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyedia Jasa
Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib melakukan
prosedur CDD standar atau EDD.
Pasal 18
(1) Calon Nasabah atau Nasabah masuk dalam kelompok
risiko menengah jika memenuhi kriteria sebagai
berikut:
a. tidak termasuk dalam kriteria risiko rendah;
b. tidak termasuk dalam kriteria berisiko tinggi;
c. bagi calon Nasabah atau Nasabah Manajer
Investasi yang:
1. melakukan pembelian (subscription) Efek Reksa
Dana dan produk investasi lainnya;
2. memiliki Efek Reksa Dana dan produk investasi
lainnya pada akhir bulan; atau
3. memiliki…
-19-
3. memiliki akumulasi transaksi pembelian
(subscription) dan penjualan kembali
(redemption) Efek Reksa Dana dan produk
investasi lainnya dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan,
lebih dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
atau
d. bagi calon Nasabah atau Nasabah Perantara
Pedagang Efek yang:
1. melakukan penyetoran dana lebih dari
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dalam 1
(satu) hari;
2. memiliki dana dan/atau Efek dengan total lebih
dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
pada akhir bulan; atau
3. memiliki akumulasi transaksi Efek lebih dari
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dalam
jangka waktu 1 (satu) bulan.
(2) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
melakukan verifikasi data dan informasi calon
Nasabah atau Nasabah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dengan cara:
a. membandingkan data dan informasi calon
Nasabah atau Nasabah dengan dokumen
pendukung sebelum melakukan hubungan usaha
dengan calon Nasabah;
b. melakukan pertemuan langsung (face to face)
dengan calon Nasabah atau Nasabah dan
membandingkan data dan informasi calon
Nasabah atau Nasabah dengan dokumen asli
dengan ketentuan sebagai berikut:
1. dilaksanakan langsung oleh pegawai Penyedia
Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal, dengan
dibuktikan oleh surat pernyataan secara
tertulis dalam format bebas yang menyatakan
pegawai…
-20-
pegawai tersebut telah melaksanakan
pertemuan langsung (face to face) dengan calon
Nasabah atau Nasabah;
2. diwakili oleh pihak lain yang memiliki
perjanjian dengan Penyedia Jasa Keuangan di
Sektor Pasar Modal (outsourcing), dengan
ketentuan pihak lain yang dapat mewakili
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal
harus mengetahui prinsip dasar CDD; atau
3. digantikan dengan menggunakan media
elektronik, dengan ketentuan media elektronik
tersebut dapat memberikan
informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik
sebagai alat bukti yang sah berdasarkan
undang-undang yang berlaku dan dapat
dipertanggungjawabkan;
c. melakukan wawancara dengan calon Nasabah
atau Nasabah untuk meneliti dan meyakini
keabsahan dan kebenaran dokumen, dalam hal
terdapat keraguan atas data, informasi, dan/atau
dokumen pendukung yang diterima; dan
d. melakukan konfirmasi terkait kebenaran atas
kewenangan pihak yang mewakili atau bertindak
untuk dan atas nama Pemilik Manfaat (Beneficial
Owner), jika calon Nasabah atau Nasabah
bertindak sebagai kuasa dari atau mewakili
Pemilik Manfaat (Beneficial Owner).
(3) Bagi Nasabah yang sebelumnya masuk dalam
kelompok risiko rendah namun pada saat melakukan
CDD sederhana telah melakukan pertemuan langsung
(face to face) nasabah, Penyedia Jasa Keuangan di
Sektor Pasar Modal tidak perlu melakukan pertemuan
langsung (face to face) lagi saat Nasabah memenuhi
kriteria dalam kelompok risiko menengah.
(4) Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b wajib dilakukan dalam jangka waktu 1
(satu)…
-21-
(satu) tahun sejak Nasabah memenuhi kriteria dalam
kelompok Nasabah berisiko menengah.
Pasal 19
(1) Calon Nasabah atau Nasabah masuk dalam kelompok
risiko tinggi jika memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. calon Nasabah atau Nasabah dan/atau Pemilik
Manfaat (Beneficial Owner) termasuk dalam area
berisiko tinggi;
b. terdapat perubahan profil atau informasi penting
yang signifikan, sehingga Nasabah termasuk
dalam area berisiko tinggi;
c. perintah transaksi dilakukan oleh pemegang
rekening Efek tanpa adanya dasar hukum yang
sah; dan/atau
d. Nasabah yang melakukan transaksi tidak sesuai
dengan profil, karakteristik, dan kebiasaan pola
transaksi.
(2) Terhadap calon Nasabah atau Nasabah yang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar
Modal wajib melakukan EDD antara lain dengan cara
sebagai berikut:
a. membandingkan data dan informasi calon
Nasabah atau Nasabah dengan dokumen
pendukung sebelum melakukan hubungan usaha
dengan calon Nasabah;
b. melakukan verifikasi terhadap data dan informasi
calon Nasabah atau Pemilik Manfaat (Beneficial
Owner) yang didasarkan pada kebenaran
informasi, kebenaran sumber informasi, dan jenis
informasi yang terkait, jika calon Nasabah
bertindak untuk kepentingan Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner);
c. melakukan verifikasi hubungan bisnis yang
dilakukan…
-22-
dilakukan oleh calon Nasabah dengan pihak
ketiga, jika calon Nasabah bertindak untuk dan
atas nama Pemilik Manfaat (Beneficial Owner);
d. melakukan konfirmasi terkait kebenaran atas
kewenangan pihak yang mewakili atau bertindak
untuk dan atas nama Pemilik Manfaat (Beneficial
Owner), jika calon Nasabah atau Nasabah
bertindak sebagai kuasa dari atau mewakili
Pemilik Manfaat (Beneficial Owner);
e. melakukan pertemuan langsung (face to face)
sebelum melakukan hubungan usaha dan
membandingkan data dan informasi calon
Nasabah atau Nasabah dengan dokumen asli;
f. melakukan wawancara dengan calon Nasabah
untuk meneliti dan meyakini keabsahan dan
kebenaran dokumen, dalam hal terdapat keraguan
atas informasi dan/atau dokumen pendukung
yang diterima; dan
g. melakukan CDD secara berkala paling kurang
berupa analisis terhadap informasi mengenai
Nasabah, sumber dana, tujuan investasi, dan
hubungan bisnis dengan pihak terkait.
Pasal 20
Dalam menetapkan pengelompokan calon Nasabah atau
Nasabah berdasarkan tingkat risiko, Penyedia Jasa
Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib paling kurang sesuai
dengan pengelompokan dan kriteria sebagaimana
ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 21
(1) Dalam hal terjadi perubahan tingkat risiko Nasabah
dari tingkat risiko rendah menjadi tingkat risiko
menengah, Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar
Modal wajib melakukan proses verifikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf c dan huruf d
dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
Nasabah…
-23-
Nasabah memenuhi kriteria tingkat risiko menengah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1).
(2) Dalam hal terjadi perubahan tingkat risiko Nasabah
dari tingkat risiko rendah atau tingkat risiko
menengah menjadi tingkat risiko tinggi, Penyedia Jasa
Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib melakukan
proses verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan
huruf f sebelum melanjutkan hubungan usaha dengan
Nasabah.
Pasal 22
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal dapat
meminta data, informasi, dan/atau dokumen pendukung
lainnya untuk memastikan kebenaran profil calon Nasabah
atau Nasabah dalam rangka melakukan identifikasi dan
verifikasi dengan mempertimbangkan:
a.
tingkat kemungkinan terjadinya Pencucian Uang
dan/atau Pendanaan Terorisme; dan/atau
b. produk, jasa, dan/atau teknologi yang digunakan oleh
calon Nasabah atau Nasabah.
Pasal 23
(1) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal paling
kurang melakukan prosedur CDD sederhana terhadap
calon Nasabah atau Nasabah yang memiliki tingkat
risiko rendah.
(2) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal paling
kurang melakukan prosedur CDD standar terhadap
calon Nasabah atau Nasabah yang memiliki tingkat
risiko menengah.
(3) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
melakukan prosedur EDD terhadap calon Nasabah
atau Nasabah yang memiliki tingkat risiko tinggi.
(4) Apabila terdapat ketidaksesuaian antara transaksi
dan/atau profil Nasabah dengan kriteria pada tingkat
risiko…
-24-
risiko yang telah ditetapkan, Penyedia Jasa Keuangan
di Sektor Pasar Modal wajib menetapkan kembali
pengelompokan Nasabah tersebut pada tingkat risiko
yang sesuai dan menerapkan:
a. prosedur CDD standar bagi Nasabah yang semula
tergolong berisiko rendah berubah menjadi
berisiko menengah sesuai dengan penetapan
tingkat risiko yang baru; atau
b. prosedur EDD bagi Nasabah yang semula
tergolong berisiko rendah atau menengah berubah
menjadi berisiko tinggi.
Bagian Kedua
Pemilik Manfaat (Beneficial Owner)
Pasal 24
(1) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
memastikan bahwa calon Nasabah bertindak untuk
diri sendiri atau untuk kepentingan Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner).
(2) Dalam hal calon Nasabah bertindak untuk
kepentingan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner),
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
melakukan CDD terhadap Pemilik Manfaat (Beneficial
Owner).
(3) Dalam hal terdapat perbedaan tingkat risiko antara
calon Nasabah atau Nasabah dengan Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner), penerapan CDD dilakukan
mengikuti tingkat risiko yang lebih tinggi.
(4) Kewajiban melakukan CDD terhadap Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner) sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak berlaku bagi calon Nasabah atau
Nasabah yang memiliki tingkat risiko rendah.
Pasal 25
(1) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
memperoleh…
-25-
memperoleh bukti atas identitas dan/atau informasi
lainnya mengenai Pemilik Manfaat (Beneficial Owner).
(2) Bukti atas identitas dan/atau informasi lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain
berupa:
a. bagi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) orang
perseorangan:
1. data dan informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a;
2. dokumen identitas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (3) huruf a;
3. hubungan hukum antara calon Nasabah
dengan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) yang
ditunjukkan dengan surat perjanjian, surat
kuasa, atau bentuk lainnya;
4. pernyataan dari calon Nasabah mengenai
kebenaran identitas maupun sumber dana dari
Pemilik Manfaat (Beneficial Owner); dan
5. pernyataan dari Pemilik Manfaat (Beneficial
Owner) bahwa yang bersangkutan adalah
pemilik sebenarnya dari dana calon Nasabah
atau Nasabah.
b. bagi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) non orang
perseorangan:
1. data dan informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b;
2. dokumen identitas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (3) huruf b;
3. pernyataan dari calon Nasabah mengenai
kebenaran identitas maupun sumber dana dari
Pemilik Manfaat (Beneficial Owner); dan
4. pernyataan dari Pemilik Manfaat (Beneficial
Owner) bahwa yang bersangkutan adalah
pemilik sebenarnya dari dana calon Nasabah
atau…
-26-
atau Nasabah.
(3) Dalam hal calon Nasabah merupakan penyedia jasa
keuangan lain di sektor Pasar Modal di dalam negeri
yang bertindak untuk dan atas nama Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner), dokumen mengenai Pemilik
Manfaat (Beneficial Owner) dapat berupa pernyataan
tertulis dari calon Nasabah.
(4) Dalam hal calon Nasabah merupakan penyedia jasa
keuangan Pasar Modal di luar negeri yang bertindak
untuk dan atas nama Pemilik Manfaat (Beneficial
Owner) dan menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah
berdasarkan peraturan di negara Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner) yang paling kurang setara dengan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dokumen
mengenai Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dapat
berupa pernyataan tertulis dari calon Nasabah
tersebut.
(5) Dalam hal penerapan Prinsip Mengenal Nasabah oleh
penyedia jasa keuangan Pasar Modal di luar negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak setara
dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah berdasarkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(6) Dalam hal Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar
Modal meragukan atau tidak dapat meyakini identitas
Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), Penyedia Jasa
Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib menolak untuk
melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah.
Pasal 26
Kewajiban penyampaian data, informasi, dan/atau
dokumen identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner)
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf
b tidak berlaku bagi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner)
yang merupakan:
a. lembaga...
-27-
a.
lembaga negara atau instansi pemerintah;
b. perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh
Pemerintah; atau
c. Perusahaan Publik atau Emiten.
Bagian Ketiga
CDD oleh Pihak Ketiga
Pasal 27
(1) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal dapat
menunjuk pihak ketiga untuk melaksanakan
identifikasi dan verifikasi sebagai bagian dari
pelaksanaan CDD.
(2) Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah sebagai berikut:
a. penyedia jasa keuangan lain di dalam negeri;
b. penyedia jasa keuangan di sektor Pasar Modal di
luar negeri; atau
c. pihak lain di dalam negeri yang bukan merupakan
penyedia jasa keuangan,
yang melakukan kerja sama dengan Penyedia Jasa
Keuangan di Sektor Pasar Modal.
(3) Dalam hal Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar
Modal menunjuk pihak ketiga untuk melaksanakan
CDD, Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal
dapat menggunakan hasil CDD yang telah dilakukan
oleh pihak ketiga.
(4) Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki prosedur CDD sesuai dengan ketentuan
yang berlaku;
b. memiliki kontrak kerja sama dengan Penyedia
Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal dalam
bentuk perjanjian tertulis;
c. bersedia memenuhi permintaan data, informasi,
dan…
-28-
dan dokumen pendukung dengan segera apabila
dibutuhkan oleh Penyedia Jasa Keuangan di
Sektor Pasar Modal dalam rangka penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah; dan
d. tidak berkedudukan di Negara yang Berisiko Tinggi
(High Risk Countries).
(5) Dalam hal pihak ketiga berkedudukan di luar negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, wajib
memenuhi kriteria bahwa pihak ketiga tersebut telah
menjalankan Prinsip Mengenal Nasabah secara efektif
sesuai dengan rekomendasi The Financial Action Task
Force (FATF).
(6) Dalam hal pihak ketiga bukan merupakan penyedia
jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c, prosedur CDD ditetapkan oleh dan di bawah
koordinasi Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar
Modal.
(7) Dalam hal Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar
Modal menunjuk pihak ketiga, Penyedia Jasa
Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib:
a. memiliki dan melaksanakan prosedur uji
kelayakan dan pengawasan terhadap pihak ketiga
dalam penerapan CDD;
b. memastikan penerapan CDD yang dilakukan oleh
pihak ketiga telah sesuai dengan prosedur CDD
yang telah ditetapkan Penyedia Jasa Keuangan di
Sektor Pasar Modal;
c. melaksanakan penatausahaan dokumen hasil
CDD yang dilakukan oleh pihak ketiga; dan
d. bertanggung jawab atas hasil CDD yang dilakukan
oleh pihak ketiga.
Pasal 28
(1) Dalam hal Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar
Modal bertindak sebagai agen penjual produk
penyedia…
-29-
penyedia jasa keuangan lainnya, Penyedia Jasa
Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib memenuhi
permintaan informasi hasil CDD dan salinan dokumen
pendukung apabila sewaktu-waktu dibutuhkan oleh
penyedia jasa keuangan lainnya tersebut dalam
rangka pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah.
(2) Tata cara pemenuhan permintaan informasi hasil CDD
dan salinan dokumen pendukung dituangkan dalam
perjanjian kerja sama antara Penyedia Jasa Keuangan
di Sektor Pasar Modal dengan penyedia jasa keuangan
lainnya tersebut.
Bagian Keempat
Manajemen Risiko
Pasal 29
Kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan
dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan dan prosedur
manajemen risiko Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar
Modal secara keseluruhan.
Pasal 30
Kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan
dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 paling kurang mencakup:
a. pengawasan oleh Direksi dan Dewan Komisaris
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal;
b. pendelegasian wewenang;
c. pemisahan tugas; dan
d. sistem pengawasan internal termasuk audit internal.
Pasal 31
(1) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
melakukan pengujian terhadap keefektifan dari
pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah.
(2) Pengujian…
-30-
(2) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mengambil contoh secara acak
(random sampling).
(3) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
mendokumentasikan pengujian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Pasal 32
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
mendokumentasikan dan melakukan pemutakhiran jenis,
indikator, dan contoh dari transaksi keuangan yang
mencurigakan yang timbul di berbagai unit kerja terkait.
Bagian Kelima
Area Berisiko Tinggi
Pasal 33
Calon Nasabah atau Nasabah dianggap dan/atau
dikelompokkan dalam area berisiko tinggi apabila:
a.
latar belakang atau profil calon Nasabah atau Nasabah
dan pengendali calon Nasabah atau Nasabah termasuk
PEP atau Nasabah yang Berisiko Tinggi (High Risk
Customer);
b. bidang usaha calon Nasabah atau Nasabah termasuk
Usaha yang Berisiko Tinggi (High Risk Business);
c.
negara atau teritori asal, domisili, atau dilakukannya
transaksi calon Nasabah atau Nasabah termasuk
Negara yang Berisiko Tinggi (High Risk Countries);
d. tercantum dalam daftar nama-nama teroris; dan/atau
e.
transaksi yang dilakukan diduga terkait dengan tindak
pidana di Sektor Pasar Modal, tindak pidana Pencucian
Uang dan/atau tindak pidana Pendanaan Terorisme.
Pasal 34
Tindakan Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal
wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari anggota
Direksi, pejabat setingkat di bawah Direksi, atau manajer
senior dalam hal:
a. Penyedia…
-31-
a.
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal akan
melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah
yang dianggap dan/atau dikelompokkan mempunyai
risiko tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1); dan/atau
b. pengambilan keputusan untuk meneruskan atau
menghentikan hubungan usaha dengan Nasabah yang
dianggap dan/atau dikelompokkan mempunyai risiko
tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1).
Bagian Keenam
Pemantauan Rekening dan Pemutakhiran Data Nasabah
Pasal 35
(1) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
melakukan pemantauan data Nasabah secara
berkesinambungan untuk memastikan transaksi yang
dilakukan Nasabah sesuai dengan profil, karakteristik,
dan/atau kebiasaan pola transaksi Nasabah yang
bersangkutan.
(2) Dalam melaksanakan pemantauan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Penyedia Jasa Keuangan di
Sektor Pasar Modal wajib memiliki sistem pemantauan
yang dapat:
a. mengidentifikasi, menganalisa, memantau, dan
menyediakan laporan secara efektif mengenai profil,
karakteristik dan/atau kebiasaan pola transaksi
yang dilakukan oleh Nasabah; dan
b. menelusuri setiap transaksi, apabila diperlukan,
termasuk penelusuran atas identitas Nasabah,
bentuk transaksi, tanggal transaksi, jumlah dan
denominasi transaksi, serta sumber dana yang
digunakan untuk transaksi.
(3) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
melakukan pemantauan rekening Efek dan transaksi
Nasabah termasuk analisa terkait dengan
kemungkinan…
-32-
kemungkinan adanya tindak pidana asal (predicate
offense) dan Pendanaan Terorisme.
(4) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal dapat
meminta data dan/atau informasi lebih lanjut kepada
Nasabah terhadap transaksi yang tidak sesuai dengan
profil, karakteristik, dan/atau kebiasaan pola
transaksi.
(5) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
melakukan evaluasi terhadap hasil pemantauan
rekening Efek dan transaksi Nasabah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) untuk memastikan ada atau
tidak adanya transaksi keuangan yang mencurigakan.
(6) Dalam hal terdapat transaksi keuangan yang
mencurigakan, Penyedia Jasa Keuangan di Sektor
Pasar Modal wajib meminta data dan/atau informasi
lebih lanjut kepada Nasabah sebagaimana dimaksud
pada ayat (4).
(7) Dalam hal data dan/atau informasi yang disampaikan
Nasabah tidak memberikan penjelasan yang
meyakinkan, maka Penyedia Jasa Keuangan di Sektor
Pasar Modal wajib melaporkan Transaksi Keuangan
Mencurigakan tersebut kepada PPATK.
(8) Dalam hal terdapat kesamaan nama dan informasi lain
atas nasabah dengan nama dan informasi yang
tercantum dalam daftar nama teroris, Penyedia Jasa
Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib melaporkan
Nasabah tersebut dalam laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan.
Pasal 36
(1) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
melakukan upaya pengkinian data, informasi,
dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) dalam hal terdapat
perubahan yang diketahui dari pemantauan Penyedia
Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal terhadap
Nasabah atau informasi lain yang dapat
dipertanggungjawabkan…
-33-
dipertanggungjawabkan.
(2) Pemantauan secara berkala terkait profil Nasabah
untuk kepentingan pengkinian data dilaksanakan
paling kurang 1 (satu) kali dalam jangka waktu:
1. 3 (tiga) tahun untuk Nasabah yang tergolong dalam
tingkat risiko rendah;
2. 1 (satu) tahun untuk Nasabah yang tergolong
dalam tingkat risiko menengah; dan/atau
3. 6 (enam) bulan untuk Nasabah yang tergolong
dalam tingkat risiko tinggi.
(3) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
mendokumentasikan upaya pengkinian data
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Ketujuh
Penatausahaan Dokumen
Pasal 37
(1) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
membuat dan mendokumentasikan daftar Nasabah
sesuai dengan tingkat risiko Nasabah.
(2) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
menatausahakan dokumen-dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3).
(3) Penatausahaan dokumen sebagaimana dimaksud ayat
(1) dan ayat (2) dilaksanakan dalam jangka waktu
paling kurang 5 (lima) tahun sejak berakhirnya
hubungan usaha dengan Nasabah.
(4) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
menyimpan catatan dan dokumen mengenai seluruh
proses identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
memberikan data, informasi, dan/atau dokumen yang
ditatausahakan apabila diminta oleh Otoritas Jasa
Keuangan dan/atau otoritas lain yang berwenang
sebagaimana…
-34-
sebagaimana diatur oleh undang-undang.
Bagian Kedelapan
Pelaporan
Pasal 38
(1) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
menyampaikan laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan, laporan transaksi keuangan yang
dilakukan secara tunai, dan/atau laporan lain kepada
PPATK sebagaimana diatur dalam ketentuan dan
peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan yang
dikeluarkan oleh PPATK.
BAB V
SISTEM INFORMASI
Pasal 39
(1) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
memiliki sistem informasi yang dapat menyimpan data
dan informasi Nasabah serta data transaksi Nasabah
dimaksud.
(2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib digunakan sebagai salah satu parameter dalam
melakukan pemantauan transaksi Nasabah.
(3) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib menyediakan fasilitas indikator transaksi
keuangan yang berpotensi mencurigakan.
(4) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib mencantumkan rincian orang, bidang usaha, dan
negara yang memenuhi kriteria area berisiko tinggi dan
wajib dilakukan pengkinian secara reguler.
(5) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
memastikan…
-35-
memastikan pemantauan transaksi Nasabah dengan
menggunakan sistem informasi dapat terlaksana secara
efektif dan berkesinambungan.
BAB VI
SUMBER DAYA MANUSIA DAN PELATIHAN
Pasal 40
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
melakukan prosedur penyaringan (screening) dalam rangka
penerimaan pegawai.
Pasal 41
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
melaksanakan program pelatihan penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah kepada semua pegawai yang terkait
dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, yang
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. menyusun program pelatihan yang dilaksanakan paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 2 (dua) tahun;
b. melaksanakan program pelatihan sesuai dengan jadwal
program yang telah disusun; dan
c. melaporkan pelaksanaan program pelatihan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada tahun
berikutnya setelah tahun pelaksanaan program
pelatihan.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 42
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah
penyalahgunaan pengembangan teknologi dalam skema
Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme.
Pasal 43
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib bekerja
sama dengan penegak hukum dan otoritas yang berwenang
dalam…
-36-
dalam rangka memberantas Pencucian Uang dan/atau
Pendanaan Terorisme.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 44
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif denda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri
atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d,
huruf e, huruf f atau huruf g.
Pasal 45
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini.
Pasal 46…
-37-
Pasal 46
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 kepada masyarakat.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 47
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib
menyampaikan pedoman penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan sejak
berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 48
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku:
a. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-
476/BL/2009 tanggal 23 Desember 2009 tentang
Prinsip Mengenal Nasabah Oleh Penyedia Jasa
Keuangan di Bidang Pasar Modal beserta Peraturan
Nomor V.D.10 yang merupakan lampirannya, dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku; dan
b. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor
7/SEOJK.04/2014 tanggal 24 April 2014 tentang
Penerapan Pelaksanaan Pertemuan Langsung (Face To
Face) dalam Penerimaan Pemegang Efek Reksa Dana
Melalui Pembukaan Rekening Secara Elektronik serta
Tata Cara Penjualan (Subscription) dan Pembelian
Kembali (Redemption) Efek Reksa Dana Secara
Elektronik, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan belum diganti berdasarkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 49…
-38-
Pasal 49
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku sejak
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 November 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 19 November 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 353
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum I
Departemen Hukum,
Ttd.
td.Ttdd.
Tini Kustini
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 22/POJK.04/2014 </reg_id>
<reg_title> PRINSIP MENGENAL NASABAH OLEH PENYEDIA JASA KEUANGAN DI SEKTOR PASAR MODAL </reg_title>
<set_date> 18 November 2014 </set_date>
<effective_date> 19 November 2014 </effective_date>
<issued_date> 19 November 2014 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-476/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009', 'Kep-476/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor V.D.10' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '8/UU/2010', '21/UU/2011', '9/UU/2013' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 36 /POJK.05/2015
TENTANG
TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK
BAGI PERUSAHAAN MODAL VENTURA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa salah satu upaya untuk memperkuat industri
perusahaan modal
ventura adalah dengan
meningkatkan kualitas pelaksanaan tata kelola
perusahaan yang baik bagi perusahaan modal
ventura;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Modal
Ventura;
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA
KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN
MODAL VENTURA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Usaha Modal Ventura adalah usaha pembiayaan
melalui penyertaan modal dan/atau pembiayaan
untuk jangka waktu tertentu dalam rangka
pengembangan usaha pasangan usaha atau debitur.
2. Perusahaan Modal Ventura yang selanjutnya disingkat
PMV adalah badan usaha yang melakukan kegiatan
Usaha Modal Ventura, pengelolaan dana ventura,
kegiatan jasa berbasis fee, dan kegiatan usaha lain
dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
3. Usaha Modal Ventura Syariah adalah usaha
pembiayaan melalui kegiatan investasi dan/atau
pelayanan jasa yang dilakukan untuk jangka waktu
tertentu dalam rangka pengembangan usaha yang
dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah.
4. Perusahaan Modal Ventura Syariah yang selanjutnya
disingkat PMVS adalah badan usaha yang melakukan
kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah, pengelolaan
dana ventura, dan kegiatan usaha lain dengan
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan yang seluruhnya
dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah.
5. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam
berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian
syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia.
- 3 -
6.
Investor Dana Ventura adalah orang perseorangan
atau lembaga baik dari dalam negeri atau luar negeri
yang melakukan suatu investasi ke dalam dana
ventura.
7. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit kerja dari kantor pusat PMV yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor yang
melaksanakan kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah.
8. Pasangan Usaha adalah orang perseorangan atau
perusahaan termasuk usaha mikro, kecil, menengah,
dan koperasi yang menerima penyertaan modal
dan/atau investasi berdasarkan prinsip bagi hasil dari
PMV, PMVS, atau UUS.
9. Debitur adalah orang perseorangan atau perusahaan
termasuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi
yang menerima pembiayaan usaha produktif dari
PMV.
10. Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi PMV atau
PMVS yang selanjutnya disebut Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik adalah struktur dan proses
yang digunakan dan diterapkan organ PMV atau PMVS
untuk meningkatkan pencapaian sasaran hasil usaha
dan mengoptimalkan nilai PMV atau PMVS bagi
seluruh pemangku kepentingan secara akuntabel dan
berlandaskan peraturan perundang-undangan serta
nilai-nilai etika.
11. Organ PMV atau PMVS adalah rapat umum pemegang
saham, direksi, dewan komisaris, dan/atau dewan
pengawas syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas bagi PMV atau PMVS yang
berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang
setara bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan
hukum koperasi dan yang berbentuk badan usaha
perseroan komanditer.
- 4 -
12. Pemangku Kepentingan adalah pihak yang memiliki
kepentingan terhadap PMV atau PMVS, baik langsung
maupun tidak langsung, antara lain Pasangan Usaha,
Debitur, anggota/pemegang saham, karyawan,
Investor Dana Ventura, kreditur, pemberi dana,
penyedia barang dan jasa, dan/atau pemerintah.
13. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya
disingkat RUPS adalah rapat umum pemegang saham
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi PMV
atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas atau yang setara dengan RUPS bagi PMV atau
PMVS yang berbentuk badan hukum koperasi dan
yang berbentuk badan usaha perseroan komanditer.
14. Pemegang Saham adalah pemegang saham
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi PMV
atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas atau yang setara dengan Pemegang Saham
bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum
koperasi dan yang berbentuk badan usaha perseroan
komanditer.
15. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas bagi PMV atau PMVS yang
berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang
setara dengan Direksi bagi PMV atau PMVS yang
berbentuk badan hukum koperasi atau yang
berbentuk badan usaha perseroan komanditer.
16. Dewan Komisaris adalah
dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi PMV
atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas atau yang setara dengan Dewan Komisaris
bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum
koperasi atau yang berbentuk badan usaha perseroan
komanditer.
- 5 -
17. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris
yang tidak terafiliasi dengan Pemegang Saham, anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris lainnya, dan/atau
anggota dewan pengawas syariah, yaitu tidak memiliki
hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan
saham, dan/atau hubungan keluarga dengan
Pemegang Saham, anggota Direksi, Dewan Komisaris
lainnya dan/atau anggota dewan pengawas syariah
atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi
kemampuannya untuk bertindak independen.
18. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat
DPS adalah bagian dari Organ PMV atau PMVS yang
mempunyai tugas dan fungsi pengawasan terhadap
penyelenggaraan kegiatan usaha agar sesuai dengan
Prinsip Syariah.
19. Benturan Kepentingan adalah keadaan dimana terdapat
konflik antara kepentingan ekonomis PMV atau PMVS
dan kepentingan ekonomis pribadi Pemegang Saham,
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau
DPS serta pegawai PMV atau PMVS.
20. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
BAB II
PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK
Pasal 2
(1) PMV atau PMVS wajib melaksanakan prinsip Tata
Kelola Perusahaan Yang Baik dalam setiap kegiatan
usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang
organisasi.
(2) Prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. keterbukaan (transparency), yaitu keterbukaan
dalam proses pengambilan keputusan dan
- 6 -
keterbukaan
dalam
pengungkapan
dan
penyediaan informasi yang relevan mengenai
PMV atau PMVS, yang mudah diakses oleh
Pemangku Kepentingan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang modal
ventura serta standar, prinsip, dan praktik
penyelenggaraan usaha yang sehat;
b. akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan
fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban
Organ PMV atau PMVS sehingga kinerja PMV
atau PMVS dapat berjalan secara transparan,
wajar, efektif, dan efisien;
c. pertanggungjawaban
(responsibility),
yaitu
kesesuaian pengelolaan PMV atau PMVS dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang modal ventura dan nilai-nilai etika serta
standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan
usaha yang sehat;
d. kemandirian (independency), yaitu keadaan PMV
atau PMVS yang dikelola secara mandiri dan
profesional
serta
bebas
dari
Benturan
Kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari
pihak manapun yang tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang modal ventura dan nilai etika serta
standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan
usaha yang sehat; dan
e. kesetaraan dan kewajaran (fairness), yaitu
kesetaraan, keseimbangan, dan keadilan di
dalam memenuhi hak Pemangku Kepentingan
yang timbul berdasarkan perjanjian, ketentuan
peraturan perundang-undangan, dan nilai etika
serta
standar,
prinsip,
dan
penyelenggaraan usaha yang sehat.
praktik
- 7 -
(3) Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik
bertujuan untuk:
a. mengoptimalkan nilai PMV atau PMVS bagi
Pemangku Kepentingan, khususnya Pasangan
Usaha, Debitur, kreditur, pemberi dana,
dan/atau Investor Dana Ventura;
b. meningkatkan pengelolaan PMV atau PMVS
secara profesional, efektif, dan efisien;
c. meningkatkan kepatuhan Organ PMV atau PMVS
dan jajaran di bawahnya agar dalam membuat
keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi
pada etika yang tinggi, kepatuhan terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan, dan
kesadaran atas tanggung jawab sosial PMV atau
PMVS terhadap Pemangku Kepentingan maupun
kelestarian lingkungan;
d. mewujudkan PMV atau PMVS yang lebih sehat,
dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif; dan
e. meningkatkan kontribusi PMV atau PMVS dalam
perekonomian nasional.
(4) Pelaksanaan prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang
Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
dituangkan dalam suatu pedoman yang paling sedikit
memuat:
a.
b. kelengkapan dan tata cara pelaksanaan tugas
komite-komite dan satuan kerja yang
menjalankan fungsi pengendalian intern;
c. kebijakan dan prosedur penerapan fungsi
kepatuhan, audit intern, dan audit ekstern;
d. kebijakan dan prosedur penerapan manajemen
risiko, termasuk sistem pengendalian intern;
e. kebijakan remunerasi;
f.
kebijakan transparansi kondisi keuangan dan
non keuangan; dan
tata cara pelaksanaan tugas dan tanggung jawab
Dewan Komisaris dan Direksi;
- 8 -
g.
tata cara penyusunan rencana jangka panjang
serta rencana kerja dan anggaran tahunan.
BAB III
RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM
Pasal 3
(1) RUPS PMV atau PMVS wajib diselenggarakan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan dan
anggaran dasar PMV atau PMVS yang transparan dan
dapat dipertanggungjawabkan.
(2) Dalam mengambil keputusan, RUPS harus menjaga
kepentingan semua pihak, khususnya kepentingan
Pasangan Usaha, Debitur, kreditur, pemberi dana,
Investor Dana Ventura, dan/atau kepentingan
Pemegang Saham minoritas.
BAB IV
PEMEGANG SAHAM
Pasal 4
(1) Pemegang Saham PMV atau PMVS harus memenuhi
persyaratan:
a. setoran modal Pemegang Saham PMV atau PMVS
tidak berasal dari pinjaman;
b. setoran modal Pemegang Saham PMV atau PMVS
tidak berasal dari kegiatan pencucian uang
(money laundering) dan kejahatan keuangan;
c. tidak tercatat dalam daftar kredit macet;
d. tidak tercatat dalam daftar tidak lulus (DTL) di
sektor jasa keuangan;
e.
tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau
perekonomian dalam 5 (lima) tahun terakhir;
f.
tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana kejahatan berdasarkan keputusan
- 9 -
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir;
g.
tidak pernah dinyatakan pailit atau bersalah yang
menyebabkan suatu perseroan/perusahaan
dinyatakan pailit berdasarkan keputusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan
h. tidak pernah menjadi Pemegang Saham, Direksi,
Dewan Komisaris, atau DPS pada perusahaan
jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena
melakukan pelanggaran dalam 5 (lima) tahun
terakhir.
(2) Bagi PMV atau PMVS yang telah memperdagangkan
sahamnya di bursa efek, ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku bagi Pemegang
Saham pengendali PMV atau PMVS yang
bersangkutan.
Pasal 5
Pemegang Saham PMV atau PMVS melalui RUPS
memastikan PMV atau PMVS dijalankan berdasarkan
praktik usaha yang sehat.
Pasal 6
Pemegang Saham harus memiliki komitmen terhadap
pengembangan operasional PMV atau PMVS.
Pasal 7
(1) Pemegang Saham PMV atau PMVS dilarang
mencampuri kegiatan operasional PMV atau PMVS
yang menjadi tanggung jawab Direksi sesuai dengan
ketentuan anggaran dasar PMV atau PMVS dan
ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali
dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban
selaku RUPS.
(2) Pemegang Saham PMV atau PMVS yang menjabat
sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris,
- 10 -
atau anggota DPS pada PMV atau PMVS yang sama
harus mendahulukan kepentingan PMV atau PMVS.
BAB V
DIREKSI
Pasal 8
(1) PMV atau PMVS wajib memiliki paling sedikit 2 (dua)
orang anggota Direksi.
(2) Seluruh anggota Direksi dari PMV atau PMVS yang
seluruh Pemegang Sahamnya:
a. warga negara Indonesia; dan/atau
b. badan hukum Indonesia,
wajib berkewarganegaraan Indonesia.
(3) PMV atau PMVS yang di dalamnya terdapat
kepemilikan asing baik secara langsung maupun tidak
langsung wajib memiliki paling sedikit 1 (satu) orang
anggota Direksi yang berkewarganegaraan Indonesia.
(4) Anggota Direksi PMV atau PMVS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib berdomisili di wilayah
negara Republik Indonesia.
(5) Anggota Direksi PMV atau PMVS yang
berkewarganegaraan asing wajib memenuhi ketentuan
peraturan
perundang-undangan
ketenagakerjaan.
Pasal 9
(1) Anggota Direksi PMV atau PMVS wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. tidak tercatat dalam daftar kredit macet;
b. tidak tercatat dalam daftar tidak lulus (DTL) di
sektor jasa keuangan;
c.
tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau
perekonomian dalam 5 (lima) tahun terakhir;
d. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana
kejahatan
berdasarkan keputusan
dibidang
- 11 -
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir;
e.
tidak pernah dinyatakan pailit atau bersalah
yang menyebabkan suatu perseroan/perusahaan
dinyatakan
pailit
berdasarkan
keputusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir;
f.
tidak pernah menjadi Pemegang Saham, Direksi,
Dewan Komisaris, atau DPS pada perusahaan
jasa keuangan yang dicabut izin usahanya
karena melakukan pelanggaran dalam 5 (lima)
tahun terakhir; dan
g. salah satu anggota Direksi PMV atau PMVS
harus memiliki pengalaman operasional di
bidang modal ventura, perbankan, atau lembaga
jasa keuangan lainnya paling singkat 2 (dua)
tahun.
(2) Anggota Direksi PMV atau PMVS wajib memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a. mampu untuk bertindak dengan itikad baik,
jujur, dan profesional;
b. mampu bertindak untuk kepentingan PMV atau
PMVS dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya;
c. mendahulukan kepentingan PMV atau PMVS
dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya dari
pada kepentingan pribadi;
d. mampu mengambil keputusan berdasarkan
penilaian independen dan objektif untuk
kepentingan PMV atau PMVS dan Pemangku
Kepentingan lainnya; dan
e. mampu
kewenangannya
menghindarkan
untuk
penyalahgunaan
mendapatkan
keuntungan pribadi yang tidak semestinya atau
menyebabkan kerugian bagi PMV atau PMVS.
- 12 -
Pasal 10
Anggota Direksi PMV atau PMVS wajib:
a. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan,
anggaran dasar, dan peraturan internal lain dari PMV
atau PMVS dalam melaksanakan tugasnya;
b. mengelola PMV atau PMVS sesuai dengan kewenangan
dan tanggung jawabnya;
c. mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya
kepada RUPS;
d. memastikan agar PMV atau PMVS memperhatikan
kepentingan semua pihak, khususnya kepentingan
Pasangan Usaha, Debitur, kreditur, pemberi dana,
dan/atau Investor Dana Ventura;
e. memastikan agar informasi mengenai PMV atau PMVS
diberikan kepada Dewan Komisaris dan anggota DPS
secara tepat waktu dan lengkap; dan
f. membantu dan menyediakan fasilitas dan/atau
sumber daya untuk kelancaran pelaksanaan tugas
dan wewenang Organ PMV atau PMVS.
Pasal 11
Anggota Direksi PMV atau PMVS dilarang:
a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan
Kepentingan dengan kegiatan PMV atau PMVS tempat
anggota Direksi dimaksud menjabat;
b. memanfaatkan jabatannya pada PMV atau PMVS
tempat anggota Direksi dimaksud menjabat untuk
kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain
yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan
PMV atau PMVS tempat anggota Direksi dimaksud
menjabat;
c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi
dari PMV atau PMVS tempat anggota Direksi
dimaksud menjabat selain remunerasi dan fasilitas
yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS; dan
d. memenuhi permintaan Pemegang Saham yang terkait
dengan kegiatan operasional PMV atau PMVS tempat
- 13 -
anggota Direksi dimaksud menjabat selain yang telah
ditetapkan dalam RUPS.
Pasal 12
(1) Anggota Direksi PMV wajib menyelenggarakan rapat
Direksi secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) bulan.
(2) Anggota Direksi PMV wajib menghadiri rapat Direksi
paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah
rapat Direksi dalam periode 1 (satu) tahun.
(3) Hasil rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dituangkan dalam risalah rapat Direksi dan
didokumentasikan dengan baik.
(4) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi
dalam keputusan rapat Direksi wajib dicantumkan
secara jelas dalam risalah rapat Direksi disertai alasan
perbedaan pendapat (dissenting opinions) tersebut.
(5) Direksi PMV atau PMVS yang hadir maupun yang
tidak hadir dalam rapat Direksi berhak menerima
salinan risalah rapat Direksi.
(6) Jumlah rapat Direksi yang telah diselenggarakan dan
jumlah kehadiran masing-masing Direksi PMV atau
PMVS harus dimuat dalam laporan penerapan Tata
Kelola Perusahaan Yang Baik.
Pasal 13
Direksi PMV atau PMVS harus menjamin pengambilan
keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat
bertindak secara independen, tidak mempunyai
kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya
untuk melaksanakan tugas secara mandiri dan objektif.
BAB VI
DEWAN KOMISARIS
Pasal 14
(1) PMV atau PMVS yang memiliki aset lebih dari
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) wajib
- 14 -
memiliki paling sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan
Komisaris.
(2) PMV atau PMVS wajib mempunyai paling sedikit 1
(satu) orang anggota Dewan Komisaris yang
berdomisili di wilayah negara Republik Indonesia.
(3) Dewan Komisaris PMV atau PMVS yang
berkewarganegaraan asing wajib memenuhi ketentuan
peraturan
perundang-undangan
ketenagakerjaan.
Pasal 15
(1) Anggota Dewan Komisaris PMV atau PMVS wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. tidak tercatat dalam daftar kredit macet;
b. tidak tercatat dalam daftar tidak lulus (DTL) di
sektor jasa keuangan;
c.
tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau
perekonomian dalam 5 (lima) tahun terakhir;
d. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana kejahatan berdasarkan keputusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir;
e.
tidak pernah dinyatakan pailit atau bersalah yang
menyebabkan suatu perseroan/perusahaan
dinyatakan pailit berdasarkan keputusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan
f.
tidak pernah menjadi Pemegang Saham, Direksi,
Dewan Komisaris, atau DPS pada perusahaan
jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena
melakukan pelanggaran dalam 5 (lima) tahun
terakhir;
(2) Anggota Dewan Komisaris PMV atau PMVS wajib:
a. melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian
nasihat kepada Direksi;
dibidang
- 15 -
b. mengawasi Direksi dalam menjaga keseimbangan
kepentingan semua pihak;
c. menyusun laporan kegiatan Dewan Komisaris
yang merupakan bagian dari laporan penerapan
Tata Kelola Perusahaan Yang Baik;
d. memantau efektifitas penerapan Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik;
e. memberikan persetujuan dalam hal DPS
memerlukan bantuan anggota komite yang
struktur organisasinya berada di bawah Dewan
Komisaris;
f. memastikan bahwa Direksi telah menindaklanjuti
temuan audit dan rekomendasi dari satuan kerja
audit intern PMV atau PMVS, auditor eksternal,
hasil pengawasan OJK,
pengawasan otoritas lain; dan
dan/atau hasil
g. melaporkan kepada PMV atau PMVS mengenai
kepemilikan sahamnya dan/atau keluarganya
pada PMV atau PMVS tersebut dan/atau
perusahaan lain.
Pasal 16
Anggota Dewan Komisaris PMV atau PMVS dilarang:
a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan
Kepentingan dengan kegiatan PMV atau PMVS tempat
anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat;
b. memanfaatkan jabatannya pada PMV atau PMVS
tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat
untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak
lain yang dapat merugikan atau mengurangi
keuntungan PMV atau PMVS tempat anggota Dewan
Komisaris dimaksud menjabat;
c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi
dari PMV atau PMVS tempat anggota Dewan Komisaris
dimaksud menjabat, selain remunerasi dan fasilitas
yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS; dan
- 16 -
d. mencampuri kegiatan operasional PMV atau PMVS
yang menjadi tanggung jawab Direksi.
Pasal 17
Anggota Dewan Komisaris PMV atau PMVS berhak
memperoleh informasi dari Direksi mengenai PMV secara
lengkap dan tepat waktu.
Pasal 18
PMV atau PMVS wajib memiliki fungsi yang membantu
anggota Dewan Komisaris dalam memantau dan
memastikan efektifitas sistem pengendalian internal dan
pelaksanaan tugas auditor internal dan auditor eksternal
dengan melakukan pemantauan dan evaluasi atas
perencanaan dan pelaksanaan audit dalam rangka menilai
kecukupan pengendalian internal termasuk proses
pelaporan keuangan.
Pasal 19
(1) Anggota Dewan Komisaris PMV atau PMVS wajib
menyelenggarakan rapat Dewan Komisaris paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan.
(2) Anggota Dewan Komisaris PMV wajib menghadiri rapat
Dewan Komisaris paling sedikit 75% (tujuh puluh lima
persen) dari jumlah rapat Dewan Komisaris dalam
periode 1 (satu) tahun.
(3) Hasil rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat
Dewan Komisaris dan didokumentasikan dengan baik.
(4) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi
dalam keputusan rapat Dewan Komisaris wajib
dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat Dewan
Komisaris disertai alasan perbedaan pendapat
tersebut.
(5) Anggota Dewan Komisaris perusahaan yang hadir
maupun yang tidak hadir dalam rapat Dewan
- 17 -
Komisaris berhak menerima salinan risalah rapat
Dewan Komisaris.
(6) Jumlah rapat Dewan Komisaris yang telah
diselenggarakan dan jumlah kehadiran masing-masing
anggota Dewan Komisaris harus dimuat dalam laporan
penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik.
Pasal 20
Anggota Dewan Komisaris PMV atau PMVS wajib menjamin
pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta
dapat bertindak secara independen dalam melaksanakan
tugas.
Pasal 21
PMV atau PMVS yang memiliki aset lebih dari
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) wajib
memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Komisaris
Independen.
Pasal 22
Komisaris Independen PMV atau PMVS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, atau
Pemegang Saham PMV atau PMVS, dalam PMV atau
PMVS yang sama;
b. tidak pernah menjadi anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, anggota DPS atau menduduki jabatan 1
(satu) tingkat di bawah Direksi pada PMV atau PMVS
yang sama atau perusahaan lain yang memiliki
hubungan afiliasi dengan PMV atau PMVS tersebut
dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terakhir;
c. memahami peraturan ketentuan perundang-undangan
di bidang modal ventura dan ketentuan peraturan
perundang-undangan lain yang relevan;
- 18 -
d. memiliki pengetahuan yang baik mengenai kondisi
keuangan PMV atau PMVS tempat Komisaris
Independen dimaksud menjabat;
e. memiliki kewarganegaraan Indonesia; dan
f.
berdomisili di Indonesia.
Pasal 23
Komisaris Independen mempunyai tugas pokok melakukan
fungsi pengawasan untuk menyuarakan kepentingan
Pasangan Usaha, Debitur, kreditur, pemberi dana, Investor
Dana Ventura, dan Pemangku Kepentingan lainnya.
Pasal 24
(1) Komisaris Independen wajib melaporkan kepada OJK
paling lambat 10 (sepuluh) hari kalender sejak
ditemukannya:
a. pelanggaran ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang modal ventura; dan/atau
b. keadaan atau perkiraan keadaan yang dapat
membahayakan kelangsungan usaha PMV atau
PMVS.
(2) Apabila batas
akhir
penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari
libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari
kerja pertama berikutnya.
Pasal 25
PMV atau PMVS dilarang memberhentikan Komisaris
Independen karena tindakan Komisaris Independen dalam
melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 dan Pasal 24 ayat (1).
BAB VII
DEWAN PENGAWAS SYARIAH
Pasal 26
(1) PMV yang mempunyai UUS atau PMVS wajib memiliki
DPS.
- 19 -
(2) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
1 (satu) orang ahli syariah atau lebih yang diangkat
oleh RUPS atas rekomendasi Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia.
(3) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat
dalam RUPS dan dituangkan dalam akta notaris.
Pasal 27
(1) DPS paling sedikit mempunyai tugas dan wewenang
untuk memberikan nasihat dan saran kepada Direksi,
serta mengawasi aspek syariah dari kegiatan
operasional PMV atau PMVS yang menyelenggarakan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
(2) Tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dimuat dalam anggaran dasar PMV atau
PMVS yang menyelenggarakan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah.
Pasal 28
Anggota DPS dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai
anggota Direksi atau Dewan Komisaris pada PMV atau
PMVS yang sama.
Pasal 29
(1) Anggota DPS harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. tidak tercatat dalam daftar kredit macet;
b. tidak tercatat dalam daftar tidak lulus (DTL) di
sektor jasa keuangan;
c.
tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan
dan/atau perekonomian dalam 5 (lima) tahun
terakhir;
d. tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana kejahatan berdasarkan keputusan
- 20 -
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir;
e.
tidak pernah dinyatakan pailit atau bersalah
yang menyebabkan suatu perseroan/perusahaan
dinyatakan
pailit
berdasarkan
keputusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir;
dan
f.
tidak pernah menjadi Pemegang Saham,
Direksi, Dewan Komisaris, atau DPS pada
perusahaan jasa keuangan yang dicabut izin
usahanya karena melakukan pelanggaran dalam
5 (lima) tahun terakhir.
(2) Anggota DPS harus memenuhi kriteria sebagai
berikut:
a. mampu untuk bertindak dengan itikad baik,
jujur dan profesional;
b. mampu bertindak untuk kepentingan PMV atau
PMVS dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya;
c. mendahulukan kepentingan PMV atau PMVS
dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya dari
pada kepentingan pribadi;
d. mampu mengambil keputusan berdasarkan
penilaian independen dan objektif untuk
kepentingan PMV atau PMVS dan/atau
Pemangku Kepentingan lainnya; dan
menghindarkan
e. mampu
kewenanangannya
untuk
penyalahgunaan
mendapatkan
keuntungan pribadi yang tidak semestinya atau
menyebabkan kerugian bagi PMV atau PMVS.
Pasal 30
DPS wajib menjamin pengambilan keputusan yang
efektif, tepat, dan cepat serta dapat bertindak secara
independen, tidak mempunyai kepentingan yang dapat
mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan tugas
secara mandiri dan objektif.
- 21 -
Pasal 31
Anggota DPS berhak memperoleh informasi dari Direksi
mengenai PMV secara lengkap dan tepat waktu.
Pasal 32
(1) Anggota DPS wajib menyelenggarakan rapat DPS
secara berkala paling sedikit 6 (enam) kali dalam 1
(satu) tahun.
(2) Hasil rapat DPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dituangkan dalam risalah rapat DPS dan
didokumentasikan dengan baik.
(3) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang
terjadi dalam keputusan rapat DPS wajib
dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat DPS
disertai alasan perbedaan pendapat tersebut.
(4) Anggota DPS yang hadir maupun yang tidak hadir
dalam rapat DPS berhak menerima salinan risalah
rapat DPS.
(5) Jumlah rapat DPS yang telah diselenggarakan dan
jumlah kehadiran masing-masing anggota DPS
harus dimuat dalam laporan penerapan Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik.
Pasal 33
Anggota DPS dilarang:
a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan
Kepentingan dengan kegiatan PMV atau PMVS
tempat anggota DPS dimaksud menjabat;
b. memanfaatkan jabatannya pada PMV atau PMVS
tempat anggota DPS dimaksud menjabat untuk
kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain
yang
dapat
merugikan
atau
mengurangi
keuntungan PMV atau PMVS tempat anggota DPS
dimaksud menjabat; dan
- 22 -
c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi
dari PMV atau PMVS tempat anggota DPS
dimaksud menjabat, selain remunerasi dan fasilitas
lainnya yang ditetapkan berdasarkan keputusan
RUPS.
Pasal 34
(1) Dalam hal anggota DPS menilai terdapat kebijakan
atau tindakan anggota Direksi yang tidak sesuai
dengan Prinsip Syariah, DPS wajib meminta
penjelasan kepada anggota Direksi atas kebijakan
atau tindakan anggota Direksi yang tidak sesuai
dengan Prinsip Syariah.
(2) Dalam hal anggota Direksi menolak hasil penilaian
DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPS
wajib melaporkan secara lengkap dan komprehensif
kepada OJK dan ditembuskan kepada Direksi
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak penjelasan
anggota Direksi diterima oleh DPS.
(3) Dalam hal Direksi menerima hasil penilaian DPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPS
meminta Direksi untuk melakukan perbaikan
terhadap kebijakan atau tindakan anggota Direksi
tersebut agar sesuai dengan Prinsip Syariah.
(4) Dalam hal anggota Direksi tidak melakukan
perbaikan terhadap kebijakan atau tindakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), DPS wajib
segera
melaporkan
secara
lengkap
dan
komprehensif kepada OJK dan ditembuskan kepada
Direksi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
diketahui anggota Direksi tidak melakukan upaya
perbaikan dimaksud.
- 23 -
BAB VIII
AUDITOR EKSTERNAL
Pasal 35
(1) Auditor eksternal PMV atau PMVS wajib ditunjuk
oleh RUPS dari calon auditor eksternal yang
diajukan oleh Dewan Komisaris.
(2) Pencalonan
auditor
eksternal
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disertai:
a. alasan pencalonan dan besarnya honorarium
atau imbal jasa yang diusulkan untuk auditor
eksternal tersebut; dan
b. pernyataan kesanggupan yang ditandatangani
oleh auditor eksternal, untuk bebas dari
pengaruh Direksi, Dewan Komisaris, dan pihak
yang berkepentingan di PMV atau PMVS dan
kesediaan untuk memberikan informasi terkait
dengan hasil auditnya kepada OJK.
(3) PMV atau PMVS wajib menyediakan semua catatan
akuntansi dan data penunjang yang diperlukan
bagi auditor eksternal sehingga memungkinkan
auditor eksternal memberikan pendapatnya tentang
kewajaran dan kesesuaian laporan keuangan PMV
atau PMVS dengan standar audit yang berlaku.
BAB IX
RENCANA BISNIS TAHUNAN
Pasal 36
(1) PMV atau PMVS wajib menyusun rencana bisnis
tahunan.
(2) Rencana bisnis tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib:
a. ditetapkan oleh Direksi;
b. mendapatkan persetujuan Dewan Komisaris
dan/atau DPS; dan
- 24 -
c.
disosialisasikan
kepada
pegawai di unit kerja terkait.
(3) Rencana bisnis tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), paling sedikit meliputi:
a. kebijakan dan rencana kegiatan usaha;
b. kebijakan dan strategi manajemen;
c. penerapan manajemen risiko dan kepatuhan;
d. penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik;
e.
f.
manajemen
dan
kinerja keuangan PMV atau PMVS periode
sebelumnya;
proyeksi laporan keuangan beserta asumsi
yang digunakan;
g. proyeksi rasio-rasio dan tingkat kesehatan
keuangan;
h. rencana
i.
j.
pengembangan
kegiatan usaha;
rencana pengembangan dan/atau perubahan
jaringan kantor;
rencana permodalan;
k. rencana pendanaan;
l.
m. informasi lainnya.
(4) PMV atau PMVS wajib menyampaikan rencana
bisnis tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) untuk pertama kali paling lambat tanggal 30
Januari 2017.
(5) PMV atau PMVS wajib menyampaikan rencana
bisnis tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) kepada OJK paling lambat pada tanggal 30
Januari tahun berikutnya.
(6) Apabila tanggal 30 Januari sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dan ayat (5) jatuh pada hari libur,
maka PMV atau PMVS wajib menyampaikan
rencana bisnis tahunan pada hari kerja pertama
berikutnya.
rencana pengembangan organisasi dan sumber
daya manusia; dan
dan
pemasaran
- 25 -
BAB X
MANAJEMEN RISIKO DAN PENGENDALIAN INTERNAL
Pasal 37
(1) PMV atau PMVS wajib menerapkan manajemen risiko
dengan mengidentifikasi, menilai, dan memantau
risiko usaha secara efektif.
(2) Manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus disesuaikan dengan tujuan, kebijakan
usaha, ukuran, dan kompleksitas usaha serta
kemampuan PMV atau PMVS.
Pasal 38
(1) Direksi PMV atau PMVS wajib menetapkan
pengendalian internal yang efektif dan efisien untuk
memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan
usaha dijalankan sesuai dengan sasaran dan strategi
bisnis serta anggaran dasar dan aturan internal lain
PMV atau PMVS, dan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Pengendalian internal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit mencakup hal sebagai berikut:
a. lingkungan pengendalian internal dalam PMV
atau PMVS yang disiplin dan terstruktur;
b. pengkajian dan pengelolaan risiko usaha, yaitu
suatu proses untuk mengidentifikasi,
menganalisis, menilai, dan mengelola risiko
usaha;
c.
aktivitas pengendalian, yaitu tindakan yang
dilakukan dalam suatu proses pengendalian
terhadap kegiatan PMV atau PMVS pada setiap
tingkat dan unit dalam struktur organisasi PMV
atau PMVS, antara lain mengenai kewenangan,
otorisasi, verifikasi, rekonsiliasi, penilaian atas
prestasi kerja, pembagian tugas, dan keamanan
terhadap aset PMV atau PMVS;
- 26 -
d. sistem informasi dan komunikasi, yaitu suatu
proses penyajian laporan mengenai kegiatan
operasional, finansial, dan ketaatan atas
ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang modal ventura;
e.
tata cara monitoring, yaitu proses penilaian
terhadap kualitas sistem pengendalian internal
termasuk fungsi internal audit pada setiap
tingkat dan unit struktur organisasi PMV atau
PMVS, sehingga dapat dilaksanakan secara
optimal; dan
f. mekanisme pelaporan kepada Direksi, dalam hal
terjadi penyimpangan kualitas sistem
pengendalian internal termasuk fungsi internal
audit pada setiap tingkat dan unit struktur
organisasi PMV atau PMVS.
BAB XI
KETERBUKAAN INFORMASI
Pasal 39
(1) Kebijakan dan strategi komunikasi PMV atau PMVS
harus memungkinkan informasi yang dibutuhkan
diberikan kepada OJK secara lengkap, tepat waktu,
dan dengan cara yang efisien.
(2) PMV atau PMVS wajib memiliki sistem pelaporan
keuangan yang diandalkan untuk keperluan
pengawasan dan Pemangku Kepentingan lain.
Pasal 40
(1) PMV atau PMVS wajib mengungkapkan kepada OJK
mengenai hal-hal penting, paling sedikit meliputi:
a. pengunduran diri atau pemberhentian auditor
eksternal;
b. transaksi material dengan pihak terkait;
- 27 -
c. Benturan Kepentingan yang sedang berlangsung
dan/atau yang mungkin akan terjadi; dan
d. informasi material lain mengenai PMV atau
PMVS.
(2) Pengungkapan hal-hal penting sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dimuat dalam laporan penerapan Tata
Kelola Perusahaan Yang Baik.
BAB XII
PELAPORAN
Pasal 41
(1) PMV atau PMVS wajib melakukan penilaian sendiri
(self assesment) atas penerapan Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik secara berkala.
(2) Penilaian sendiri (self assesment) atas Penerapan Tata
Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pedoman
penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik.
Pasal 42
(1) PMV atau PMVS wajib menyusun laporan penerapan
Tata Kelola Perusahaan Yang Baik pada setiap akhir
tahun buku.
(2) Laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
memuat:
a. transparansi penerapan Tata Kelola Perusahaan
Yang Baik yang paling sedikit meliputi
pengungkapan seluruh aspek pelaksanaan
prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2);
b. penilaian sendiri (self assesment) atas penerapan
Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41; dan
c. rencana tindak (action plan) yang meliputi
tindakan korektif (corrective action) yang
- 28 -
diperlukan dan waktu penyelesaian serta
kendala/hambatan penyelesaiannya, apabila
masih terdapat kekurangan dalam penerapan
Tata Kelola Perusahaan Yang Baik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan susunan
laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik
diatur dalam Surat Edaran OJK.
(4) PMV atau PMVS wajib menyampaikan laporan Tata
Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) untuk pertama kali pada periode tahun
2017 yang disampaikan paling lambat 30 April 2018.
(5) Laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan paling lambat tanggal 30 April tahun
berikutnya.
(6) Apabila tanggal 30 April sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dan ayat (5) jatuh pada hari libur, maka batas
akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama
berikutnya.
BAB XIII
SANKSI
Pasal 43
(1) PMV atau PMVS yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan
ayat (4), Pasal 3 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12 ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16,
Pasal 18, Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24 ayat (1), Pasal 25,
Pasal 26 ayat (1), Pasal 28, Pasal 30, Pasal 32 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3), Pasal 33, Pasal 34 ayat (1), ayat
(2), dan ayat (4), Pasal 35, Pasal 36 ayat (1), ayat (2),
ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 37 ayat (1), Pasal
38 ayat (1), Pasal 39 ayat (2), Pasal 40 ayat (1), Pasal
41 ayat (1), dan Pasal 42 ayat (1), ayat (4), dan ayat (5)
- 29 -
Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif
secara bertahap berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan kegiatan usaha; atau
c. pencabutan izin usaha.
(2) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, diberikan secara tertulis oleh OJK kepada
PMV atau PMVS paling banyak 3 (tiga) kali berturut-
turut dengan masa berlaku masing-masing paling
lama 2 (dua) bulan.
(3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PMV
atau PMVS telah memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi
peringatan.
(4) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan
PMV atau PMVS tetap tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan secara
tertulis oleh OJK kepada PMV atau PMVS yang
bersangkutan dan pembekuan kegiatan usaha
tersebut berlaku selama 6 (enam) bulan sejak surat
sanksi pembekuan kegiatan usaha diterbitkan.
(6) Apabila masa berlaku sanksi peringatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan sanksi pembekuan
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan sanksi
pembekuan kegiatan usaha berlaku sampai dengan
hari kerja pertama berikutnya.
(7) PMV atau PMVS yang dikenakan sanksi pembekuan
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
(4), dilarang melakukan kegiatan usaha kecuali untuk
pemenuhan ketentuan nilai investasi, penyertaan,
dan/atau nilai piutang terhadap total aset (Investment
- 30 -
and Financing to Assets Ratio) minimum sebagaimana
diatur dalam Peraturan OJK mengenai
penyelenggaraan usaha perusahaan modal ventura.
(8) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), PMV atau PMVS telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(9) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) masih berlaku
dan PMV atau PMVS tetap melakukan kegiatan Usaha
Modal Ventura atau Usaha Modal Ventura Syariah,
OJK dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan
izin usaha.
(10) Dalam hal sampai dengan berakhirnya masa berlaku
sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), PMV atau PMVS tidak juga
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), OJK mencabut izin usaha PMV atau PMVS
yang bersangkutan.
(11) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
atau pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (9) dan ayat (10) kepada masyarakat.
Pasal 44
(1) PMV yang mempunyai UUS dan tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (1), Pasal 28, Pasal 30, Pasal 32 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3), Pasal 33, dan Pasal 34 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (4) Peraturan OJK ini dikenakan sanksi
administratif secara bertahap berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan kegiatan UUS; atau
c. pencabutan izin UUS.
(2) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, diberikan secara tertulis oleh OJK kepada
- 31 -
PMV yang mempunyai UUS paling banyak 3 (tiga) kali
berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing
paling lama 2 (dua) bulan.
(3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PMV
yang mempunyai UUS telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut
sanksi peringatan.
(4) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan
PMV yang mempunyai UUS tetap tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
mengenakan sanksi pembekuan kegiatan UUS.
(5) Sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan secara
tertulis oleh OJK kepada PMV yang mempunyai UUS
dan pembekuan kegiatan UUS tersebut berlaku
selama 6 (enam) bulan sejak surat sanksi pembekuan
kegiatan UUS diterbitkan.
(6) Apabila masa berlaku sanksi peringatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan sanksi pembekuan
kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan sanksi
pembekuan kegiatan UUS berlaku sampai dengan hari
kerja pertama berikutnya.
(7) PMV yang mempunyai UUS yang dikenakan sanksi
pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), dilarang melakukan kegiatan UUS
kecuali untuk pemenuhan ketentuan nilai investasi,
penyertaan, dan/atau nilai piutang terhadap total aset
(Investment and Financing to Assets Ratio) minimum
sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK mengenai
penyelenggaraan usaha perusahaan modal ventura.
(8) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi
pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), PMV yang mempunyai UUS telah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
- 32 -
ayat (1), OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan
UUS.
(9) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) masih berlaku
dan PMV yang mempunyai UUS tetap melakukan
kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah, OJK dapat
langsung mengenakan sanksi pencabutan izin UUS.
(10) Dalam hal sampai dengan berakhirnya masa berlaku
sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), PMV yang mempunyai UUS
tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut izin UUS yang
bersangkutan.
(11) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan
kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
atau sanksi pencabutan izin UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (9) dan ayat (10) kepada
masyarakat.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 45
Bagi PMV yang telah mendapatkan izin usaha sebelum
Peraturan OJK ini diundangkan, ketentuan dalam
Peraturan OJK dinyatakan berlaku 1 (satu) tahun setelah
Peraturan OJK ini diundangkan, kecuali terhadap
ketentuan Pasal 8 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 21, dan
Pasal 42 ayat (1) dinyatakan berlaku 2 (dua) tahun.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 46
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan
mengenai Tata Kelola Perusahaan Yang Baik tunduk pada
Peraturan OJK ini.
- 33 -
Pasal 47
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 318
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 36/POJK.05/2015 </reg_id>
<reg_title> TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN MODAL VENTURA </reg_title>
<set_date> 21 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 28 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2015 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XIII' </penalty_list>
|
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 42 /POJK.03/2017
TENTANG
KEWAJIBAN PENYUSUNAN DAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN PERKREDITAN
ATAU PEMBIAYAAN BANK BAGI BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa bank melakukan kegiatan usaha terutama dengan
menggunakan dana masyarakat yang dipercayakan
kepadanya sehingga kepentingan dan kepercayaan
masyarakat wajib dilindungi dan dipelihara;
b. bahwa pemberian kredit atau pembiayaan merupakan
kegiatan utama bank yang mengandung risiko yang
dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan
usaha bank, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus
berdasarkan asas perkreditan atau pembiayaan yang
sehat;
c. bahwa agar pemberian kredit atau pembiayaan dapat
dilaksanakan secara konsisten dan berdasarkan asas
perkreditan yang sehat, diperlukan suatu kebijakan
perkreditan atau pembiayaan bank yang tertulis;
d. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di
sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa
Keuangan, diperlukan pengaturan kembali kewajiban
penyusunan dan pelaksanaan kebijakan perkreditan atau
pembiayaan
bank bagi bank umum;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan
Perkreditan atau Pembiayaan Bank bagi Bank Umum;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
KEWAJIBAN PENYUSUNAN DAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN
PERKREDITAN ATAU PEMBIAYAAN BANK BAGI BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
- 3 -
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri, serta Bank Umum Syariah
dan Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
2. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
3. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan
musyarakah;
b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau
sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang
murabahah, salam, dan istishna’;
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang
qardh; dan
e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah
untuk transaksi multijasa,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank
Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah (UUS) dan pihak
lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau
diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah,
tanpa imbalan, atau bagi hasil sebagaimana dimaksud
- 4 -
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
BAB II
TATA CARA PENYUSUNAN DAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN
PERKREDITAN ATAU PEMBIAYAAN BANK
Pasal 2
(1) Bank wajib memiliki kebijakan perkreditan atau
pembiayaan Bank secara tertulis.
(2) Kebijakan
perkreditan atau pembiayaan Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
memuat semua aspek yang ditetapkan dalam Pedoman
Penyusunan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan
Bank sebagaimana dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
(3) Kebijakan perkreditan atau
pembiayaan Bank
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib disetujui
oleh dewan komisaris Bank.
Pasal 3
Kebijakan perkreditan atau pembiayaan Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 paling sedikit memuat dan mengatur
hal pokok sebagaimana ditetapkan dalam Pedoman
Penyusunan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank
sebagai berikut:
1. prinsip kehatian-hatian dalam perkreditan atau
pembiayaan;
2. organisasi dan manajemen perkreditan atau pembiayaan;
3. kebijakan persetujuan Kredit atau Pembiayaan;
4. dokumentasi dan administrasi Kredit atau Pembiayaan;
5. pengawasan Kredit atau Pembiayaan; dan
6. penyelesaian Kredit atau Pembiayaan bermasalah.
- 5 -
Pasal 4
Bank wajib mematuhi kebijakan perkreditan atau pembiayaan
Bank yang telah disusun sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 dalam pelaksanaan pemberian Kredit atau Pembiayaan dan
pengelolaan perkreditan atau pembiayaan secara konsekuen
dan konsisten.
Pasal 5
Bank yang baru memperoleh izin usaha setelah berlakunya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, wajib memiliki dan
menerapkan serta melaksanakan kebijakan perkreditan atau
pembiayaan Bank sejak mulai melakukan kegiatan usaha.
Pasal 6
Bank dalam melakukan penyusunan kebijakan perkreditan
atau pembiayaan Bank wajib memperhatikan penerapan
manajemen risiko sebagaimana diatur dalam ketentuan
Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan
manajemen risiko bagi bank umum dan ketentuan Otoritas
Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan
manajemen risiko bagi bank umum syariah dan unit usaha
syariah.
BAB III
SANKSI
Pasal 7
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (3), Pasal 4, Pasal 5,
dan/atau Pasal 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dikenakan sanksi administratif yang mempengaruhi penilaian
kesehatan Bank dan sanksi administratif lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
- 6 -
Pasal 8
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku:
1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
10/106/KEP/DIR/UPK tentang Perubahan Beberapa
Ketentuan Kredit Investasi Bank-Bank Pemerintah;
2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
13/23A/KEP/DIR/UPK tentang Perubahan atas Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
10/106/KEP/DIR/UPK tentang Perubahan Beberapa
Ketentuan Kredit Investasi Bank-Bank Pemerintah;
3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
27/121/KEP/DIR tentang Penyampaian Nomor Pokok
Wajib Pajak dan Laporan Keuangan dalam Permohonan
Kredit;
4. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
28/83/KEP/DIR tentang Perubahan Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 27/121/KEP/DIR tentang
Penyampaian Nomor Pokok Wajib Pajak dan Laporan
Keuangan dalam Permohonan Kredit;
5. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
27/162/KEP/DIR tentang Kewajiban Penyusunan dan
Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank bagi Bank
Umum;
6. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/3/UKU tentang
Penyampaian Nomor Pokok Wajib Pajak dan Laporan
Keuangan dalam Permohonan Kredit; dan
7. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/7/UPPB tentang
Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan
Perkreditan Bank bagi Bank Umum,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
- 7 -
Pasal 9
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 148
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 42 /POJK.03/2017
TENTANG
KEWAJIBAN PENYUSUNAN DAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN PERKREDITAN
ATAU PEMBIAYAAN BANK BAGI BANK UMUM
I. UMUM
Bank harus menjaga kepentingan dan kepercayaan masyarakat
mengingat sebagian besar dana yang digunakan Bank untuk menjalankan
kegiatan usahanya berasal dari simpanan masyarakat yang dipercayakan
kepada Bank. Sebagai salah satu kegiatan usaha utama yang dijalankan
oleh Bank, perkreditan atau pembiayaan mengandung risiko yang relatif
tinggi yang dapat merugikan keuangan Bank serta berpengaruh terhadap
kesehatan dan kelangsungan usaha Bank.
Untuk mengurangi potensi risiko yang dihadapi, Bank wajib
menerapkan prinsip kehati-hatian dan asas perkreditan atau pembiayaan
yang sehat dalam melaksanakan kegiatan usaha perkreditan atau
pembiayaan sejak dalam proses pemberian Kredit atau Pembiayaan,
pengawasan setelah Kredit atau Pembiayaan diberikan, maupun prosedur
penyelesaian dalam hal terdapat Kredit atau Pembiayaan yang
bermasalah. Termasuk juga di dalamnya penyusunan organisasi dan
manajemen perkreditan atau pembiayaan serta pengelolaan dokumentasi
dan administrasi dalam rangka menjalankan usaha perkreditan atau
pembiayaan Bank.
Untuk itu diperlukan suatu kebijakan perkreditan atau pembiayaan
Bank secara tertulis sebagai acuan standar dalam pelaksanaan pemberian
Kredit atau Pembiayaan Bank sehingga diharapkan dapat membantu
- 2 -
Bank dalam menghadapi berbagai potensi risiko yang ada dan terhindar
dari kerugian yang mungkin dialami.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6091
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 42/POJK.03/2017 </reg_id>
<reg_title> KEWAJIBAN PENYUSUNAN DAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN PERKREDITAN ATAU PEMBIAYAAN BANK BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 12 Juli 2017 </set_date>
<effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date>
<issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date>
<replaced_reg> '10/106/KEP/DIR/UPK|SKDIR-BI', '13/23A/KEP/DIR/UPK|SKDIR-BI', '27/121/KEP/DIR|SKDIR-BI', '28/83/KEP/DIR|SKDIR-BI', '27/162/KEP/DIR|SKDIR-BI', '27/3/UKU|SE-BI', '27/7/UPPB|SE-BI' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III Pasal 7' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 56 /POJK.05/2017
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 1/POJK.05/2016 TENTANG INVESTASI SURAT BERHARGA NEGARA
BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk memperluas pilihan instrumen investasi
kepada lembaga jasa keuangan non-bank tanpa
mengabaikan aspek keamanan, kesesuaian dengan
karakteristik liabilitas lembaga jasa keuangan non-
bank, dan imbal hasil yang diperoleh serta peranan
investor domestik dalam pembiayaan pembangunan
nasional, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap
Peraturan
Otoritas
Jasa
Keuangan
Nomor
1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga
Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 36/POJK.05/2016 tentang
Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat
Berharga Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-
Bank;
b. bahwa
dimaksud
berdasarkan
dalam
pertimbangan
sebagaimana
huruf a, perlu menetapkan
- 2 -
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga
Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3477);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5256);
4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618);
5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5835);
6. Peraturan
Otoritas
Jasa
Keuangan
Nomor
1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga
Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5834);
7. Peraturan
Otoritas
Jasa
Keuangan
Nomor
36/POJK.05/2016 tentang Perubahan atas Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.05/2016
- 3 -
tentang Investasi Surat Berharga Negara bagi
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara
Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 238,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5947);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN OTORITAS JASA
KEUANGAN
NOMOR
1/POJK.05/2016
TENTANG
INVESTASI SURAT BERHARGA NEGARA BAGI LEMBAGA
JASA KEUANGAN NON-BANK.
Pasal I
Ketentuan Pasal 4A dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat
Berharga Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5834) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 36/POJK.05/2016 tentang
Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara
bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 238,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5947), diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A
(1) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dapat memenuhi
ketentuan batas minimum penempatan investasi SBN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3
dengan melakukan penempatan investasi pada:
a.
obligasi dan/atau sukuk yang diterbitkan oleh
badan usaha milik negara, badan usaha milik
daerah, dan/atau anak perusahaan dari badan
- 4 -
usaha milik negara, yang penggunaan dananya
untuk pembiayaan infrastruktur;
b. efek beragun aset yang penggunaan dananya
untuk pembiayaan infrastruktur yang dilakukan
badan usaha milik negara, badan usaha milik
daerah, dan/atau anak perusahaan dari badan
usaha milik negara;
c.
reksa
dana
penggunaan
penyertaan
dananya
terbatas
untuk
yang
pembiayaan
infrastruktur yang dilakukan badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah, dan/atau
anak perusahaan dari badan usaha milik
negara; dan/atau
d. instrumen investasi selain instrumen investasi
sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai
dengan huruf c, yang penggunaan dananya
untuk
pembiayaan
pemerintah.
(2) Penempatan investasi Lembaga Jasa Keuangan Non-
Bank
pada
instrumen
dapat
investasi
dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan
huruf d yang
sebagaimana
diperhitungkan sebagai
pemenuhan ketentuan batas minimum penempatan
investasi SBN dilakukan dengan ketentuan paling
tinggi 50% (lima puluh persen) dari batas minimum
yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dan Pasal 3.
(3) Penempatan investasi pada obligasi dan/atau sukuk
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harus
dilakukan pada obligasi dan/atau sukuk yang
tercatat di bursa efek di Indonesia atau dalam
sistem electronic trading platform (ETP) di Indonesia
dan memiliki peringkat paling rendah investment
grade dari perusahaan pemeringkat efek yang diakui
oleh OJK.
proyek
infrastruktur
- 5 -
(4) Penempatan investasi pada efek beragun aset
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a.
telah mendapat pernyataan efektif dari OJK;
b. memiliki peringkat paling rendah investment
grade dari perusahaan pemeringkat efek yang
diakui oleh OJK; dan
melalui
c. dilakukan
penawaran
umum
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal.
(5) Penempatan investasi pada reksa dana penyertaan
terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c harus dilakukan pada reksa dana penyertaan
terbatas yang telah tercatat di OJK.
(6) Pemenuhan ketentuan memiliki peringkat investment
grade sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat
(4) dilakukan pada saat penempatan investasi.
(7) Penempatan investasi Lembaga Jasa Keuangan Non-
Bank pada
instrumen
investasi
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat melampaui batasan
investasi
sebagaimana diatur dalam ketentuan
mengenai investasi Lembaga Jasa Keuangan Non-
Bank.
(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak
berlaku
untuk BPJS Kesehatan
Ketenagakerjaan.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai instrumen investasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur
dalam Surat Edaran OJK.
Pasal II
Peraturan OJK ini
diundangkan.
mulai berlaku pada tanggal
dan BPJS
- 6 -
Agar
setiap
orang
mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Agustus 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
WIMBOH SANTOSO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Agustus 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 192
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 56/POJK.05/2017 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1/POJK.05/2016 TENTANG INVESTASI SURAT BERHARGA NEGARA BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK </reg_title>
<set_date> 28 Agustus 2017 </set_date>
<effective_date> 29 Agustus 2017 </effective_date>
<issued_date> 29 Agustus 2017 </issued_date>
<changed_reg> '1/POJK.05/2016' </changed_reg>
<extension_of> '36/POJK.05/2016' </extension_of>
<related_reg> '21/UU/2011', '40/UU/2014', '11/UU/1992', '36/POJK.05/2016', '1/POJK.05/2016', '24/UU/2011', '1/UU/2016' </related_reg>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 24 /POJK.04/2017
TENTANG
LAPORAN BANK UMUM SEBAGAI KUSTODIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai
laporan bank umum sebagai kustodian beralih dari
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke
Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai pengaturan terhadap laporan bank umum
sebagai kustodian, ketentuan peraturan perundang-
undangan di sektor pasar modal mengenai laporan bank
umum sebagai kustodian yang diterbitkan sebelum
terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Bank
Umum sebagai Kustodian;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
LAPORAN BANK UMUM SEBAGAI KUSTODIAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan
Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta
jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak
lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili
pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
2. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan
prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran.
3. Bank Kustodian adalah Bank Umum yang telah
memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk
melakukan kegiatan usaha sebagai Kustodian.
4. Akuntan Publik adalah seseorang yang telah memperoleh
izin untuk memberikan jasa sebagaimana diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
akuntan publik dan telah terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan.
- 3 -
5. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan
utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda
bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif,
kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari
Efek.
BAB II
LAPORAN
Pasal 2
Bank Kustodian wajib menyampaikan laporan kegiatan
kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk dokumen cetak
paling sedikit 2 (dua) rangkap disertai dengan salinan
dokumen elektronik yang meliputi:
a. laporan mengenai aktivitas bulanan yang memuat
rekapitulasi Efek yang tercatat selama periode tersebut;
dan
b. laporan tahunan yang merupakan hasil pemeriksaan
operasional Akuntan Publik.
Pasal 3
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a
meliputi jumlah, jenis Efek, frekuensi tercatat, dan
keterangan lain yang diperlukan, yang disusun dengan
menggunakan format Laporan Aktivitas Bank Kustodian
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 12 (dua belas) hari setelah periode laporan
bulanan berakhir.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b
wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 90 (sembilan puluh) hari setelah periode laporan
tahunan berakhir.
- 4 -
(4) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) jatuh
pada hari libur, penyampaian laporan wajib disampaikan
pada 1 (satu) hari kerja berikutnya.
Pasal 4
Dalam hal Akuntan Publik memberikan pendapat bahwa
program yang dijalankan tidak sesuai dengan prosedur yang
cukup aman, Otoritas Jasa Keuangan dapat memanggil
penanggung jawab Bank Kustodian atau melakukan
pemeriksaan untuk memperoleh keterangan lebih lanjut.
Pasal 5
Dalam hal Bank Kustodian akan membuka cabang jasa
Kustodian, Bank Kustodian wajib melaporkan pembukaan
cabang jasa Kustodian dimaksud kepada Otoritas Jasa
Keuangan sebelum cabang jasa Kustodian dimaksud
beroperasi.
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 6
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan/atau
g. pembatalan pendaftaran.
- 5 -
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau
huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 7
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 8
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 kepada masyarakat.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 9
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor Kep-73/PM/1996 tentang Laporan Bank Umum
sebagai Kustodian, beserta Peraturan Nomor X.G.1 yang
merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 10
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 6 -
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 124
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 24 /POJK.04/2017
TENTANG
LAPORAN BANK UMUM SEBAGAI KUSTODIAN
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan
lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar
modal yang mengatur mengenai laporan Bank Umum sebagai Kustodian
yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor
Kep-73/PM/1996 tentang Laporan Bank Umum sebagai Kustodian,
beserta Peraturan Nomor X.G.1 yang merupakan lampirannya, menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Bank Umum sebagai
Kustodian.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Dalam praktiknya “salinan dokumen elektronik” dikenal dengan
sebutan soft copy.
Salinan dokumen elektronik dapat disampaikan dengan
menggunakan antara lain media digital cakram padat (compact disc),
flashdisk, atau lainnya.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa
perintah untuk menyampaikan kembali laporan yang telah diperbaiki
sesuai dengan hasil pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 10
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6071
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 24 /POJK.04/2017
TENTANG
LAPORAN BANK UMUM SEBAGAI KUSTODIAN
- 2 -
LAPORAN AKTIVITAS BANK KUSTODIAN
1. PENYELESAIAN TRANSAKSI BANK KUSTODIAN
Nama Kustodian
Bulan & Tahun
:
:
No
Efek
Frekuensi
.........
.........
PENYELESAIAN TRANSAKSI BELI
Volume
(Juta
Unit)
Nilai
(Miliar
Rupiah)
Status
Investor
(%)
I
A
Konfirmasi
Investor Tepat
Waktu
Frekuensi
PENYELESAIAN TRANSAKSI JUAL
Volume
(Juta
Unit)
Nilai
(Miliar
Rupiah)
Status
Investor
(%)
I
A
Konfirmasi
Investor
Tepat Waktu
.......... , ................20.......
PT ...........
...................
(Nama Lengkap & Jabatan)
- 3 -
2. NILAI ASSET UNDER CUSTODY
Nama Kustodian
Bulan & Tahun
:
:
.........
.........
Dalam Rupiah
SAHAM
OBLIGASI
REKSA DANA
LAINNYA
TOTAL ASSET UNDER CUSTODY
.......... , ................20.......
PT ...........
...................
(Nama Lengkap & Jabatan)
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2017
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 24/POJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN BANK UMUM SEBAGAI KUSTODIAN </reg_title>
<set_date> 21 Juni 2017 </set_date>
<effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date>
<issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-73/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-73/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor X.G.1' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 43 /POJK.04/2015
TENTANG
PEDOMAN PERILAKU MANAJER INVESTASI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa kepercayaan masyarakat dan perlindungan
investor Pasar Modal khususnya yang terkait dengan
Pengelolaan Investasi perlu ditingkatkan melalui perilaku
Manajer Investasi yang beretika, kredibel, dan bertata
kelola yang baik;
b. bahwa pengaturan terkait perilaku Manajer Investasi
tersebar dalam beberapa peraturan di sektor Pasar
Modal;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a peraturan terkait perilaku
Manajer Investasi perlu disempurnakan dan disesuaikan
agar sesuai dengan perilaku Manajer Investasi yang
berlaku di masyarakat Pasar Modal dan prinsip
internasional;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Pedoman
Perilaku
Manajer
Investasi;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEDOMAN PERILAKU MANAJER INVESTASI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan usahanya
mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau
mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok
nasabah, kecuali Perusahaan Asuransi, Dana Pensiun,
dan Bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan
utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda
bukti utang, Unit Penyertaan kontrak investasi kolektif,
kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari
Efek.
3. Portofolio Efek adalah kumpulan Efek yang dimiliki oleh
Pihak.
4. Bank Kustodian adalah Bank Umum yang telah
memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan
sebagai Kustodian.
- 3 -
5. Kustodian adalah Pihak yang memberikan jasa penitipan
Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta
jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-
hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili
pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
6. Afiliasi adalah:
a. hubungan keluarga karena perkawinan dan
keturunan sampai derajat kedua, baik secara
horizontal maupun vertikal;
b. hubungan antara Pihak dengan pegawai, direktur,
atau komisaris dari Pihak tersebut;
c. hubungan antara 2 (dua) perusahaan dimana
terdapat satu atau lebih anggota direksi atau dewan
komisaris yang sama;
d. hubungan antara perusahaan dan Pihak, baik
langsung maupun tidak langsung, mengendalikan
atau dikendalikan oleh perusahaan tersebut;
e. hubungan antara 2 (dua) perusahaan yang
dikendalikan, baik langsung maupun tidak
langsung, oleh Pihak yang sama; atau
f. hubungan antara perusahaan dan pemegang saham
utama.
7. Komite Investasi adalah komite yang bertugas
mengarahkan dan mengawasi Tim Pengelola Investasi
dalam menjalankan kebijakan dan strategi investasi.
8. Tim Pengelola Investasi adalah tim yang bertugas
mengelola Portofolio Efek untuk para Nasabah atau
portofolio investasi kolektif untuk kepentingan
sekelompok Nasabah.
9. Koordinator Fungsi Kepatuhan adalah direksi atau
pegawai Manajer Investasi yang bertugas mengkoordinir
hal-hal yang terkait dengan kepatuhan Manajer Investasi.
10. Rabat adalah pengembalian dalam bentuk tunai dari
Pihak ketiga berkaitan dengan transaksi yang dilakukan
oleh Manajer Investasi untuk kepentingan Nasabah.
11. Komisi berbentuk barang dan/atau manfaat selanjutnya
disebut Komisi adalah pemberian dalam bentuk barang
dan/atau manfaat dari Pihak ketiga berkaitan dengan
- 4 -
transaksi yang dilakukan oleh Manajer Investasi untuk
kepentingan Nasabah.
12. Nasabah adalah:
a. Pihak yang menginvestasikan dana dan/atau Efek-
nya untuk dikelola oleh Manajer Investasi dalam
bentuk pengelolaan Portofolio Efek untuk
kepentingan yang bersangkutan secara individual;
atau
b. sekelompok Pihak yang menginvestasikan dananya
untuk dikelola oleh Manajer Investasi dalam bentuk
pengelolaan portofolio investasi kolektif untuk
sekelompok Pihak dimaksud sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar
Modal.
13. Pihak adalah orang perseorangan, perusahaan, usaha
bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi.
Pasal 2
Dalam menjalankan kegiatan usahanya, Manajer Investasi
wajib menerapkan prinsip yang meliputi:
a.
integritas;
b. profesionalisme;
c. mengutamakan kepentingan Nasabah;
d. pengawasan dan pengendalian;
e. kecukupan sumber daya;
f. perlindungan aset Nasabah;
g. keterbukaan informasi;
h. benturan kepentingan; dan
i.
kepatuhan.
Pasal 3
(1) Manajer Investasi wajib menjadi anggota asosiasi yang
mewadahi Manajer Investasi yang telah mendapatkan
pengakuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Asosiasi yang mewadahi Manajer Investasi wajib memiliki
kode etik.
- 5 -
(3) Kode etik yang dibuat dan ditetapkan oleh asosiasi yang
mewadahi Manajer Investasi dilarang bertentangan
dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal.
(4) Ketentuan mengenai asosiasi yang mewadahi Manajer
Investasi diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan.
BAB II
KETERBUKAAN KEPENTINGAN, HADIAH ATAU MANFAAT,
SERTA RABAT DAN KOMISI
Bagian Kesatu
Keterbukaan Kepentingan Manajer Investasi dan Afiliasinya
Pasal 4
Manajer Investasi yang melakukan pengelolaan Portofolio Efek
untuk kepentingan Nasabah secara individual dan memiliki
benturan kepentingan wajib mengungkapkan secara tertulis
kepada Nasabah adanya benturan kepentingan atas Efek yang
ditransaksikan tersebut dengan ketentuan:
a. Pengungkapan dilakukan pada saat melakukan
perjanjian tertulis (kontrak) pengelolaan investasi dalam
Portofolio Efek dengan Nasabah, jika Efek yang menjadi
Portofolio Efek sudah ditentukan oleh Nasabah dalam
perjanjian.
b. Pengungkapan dilakukan sebelum melakukan transaksi
Efek untuk kepentingan Nasabah, jika penentuan Efek
yang menjadi Portofolio Efek:
1. direkomendasikan
Manajer
keputusannya ditangan Nasabah; atau
2. diserahkan sepenuhnya kepada Manajer Investasi.
Pasal 5
(1) Anggota Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota
Komite Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi, dan
Investasi namun
- 6 -
pegawai Manajer Investasi wajib mengungkapkan kepada
Manajer Investasi:
a. ada atau tidak adanya kepentingan dan/atau
kepemilikan atas suatu Efek baik secara langsung
maupun tidak langsung termasuk melalui nomine
atau Pihak terafiliasinya sejak mulai menjabat atau
bekerja pada Manajer Investasi; dan
b. setiap terjadi perubahan kepentingan dan/atau
kepemilikan atas suatu Efek baik secara langsung
maupun tidak langsung termasuk melalui nomine
atau Pihak terafiliasinya sebagaimana dimaksud
pada huruf a termasuk kepentingan atau
kepemilikan atas suatu Efek yang dimiliki oleh Pihak
dimaksud selama menjabat atau bekerja pada
Manajer Investasi.
(2) Anggota Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota
Komite Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi, dan
pegawai Manajer Investasi wajib memberitahukan secara
tertulis paling lambat 2 (dua) hari kerja kepada Manajer
Investasi dimaksud sebelum dan sesudah melaksanakan
transaksi jual atau beli Efek yang dilakukan oleh:
a. yang bersangkutan untuk kepentingan pribadi,
nomine, dan/atau Pihak terafiliasinya yang
merupakan Pihak dimana yang bersangkutan
mempunyai kepemilikan atas suatu Efek baik secara
langsung maupun tidak langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1); dan
b. nomine atau Pihak terafiliasinya yang merupakan
Pihak dimana yang bersangkutan mempunyai
kepemilikan atas suatu Efek baik secara langsung
maupun tidak langsung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Anggota Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota
Komite Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi, dan
pegawai Manajer Investasi yang melakukan transaksi jual
atau beli Efek untuk kepentingan pribadi, nomine,
dan/atau Pihak terafiliasinya yang merupakan Pihak
- 7 -
dimana anggota Dewan Komisaris, anggota direksi,
anggota Komite Investasi, anggota Tim Pengelola
Investasi, dan pegawai Manajer Investasi mempunyai
kepemilikan atas suatu Efek baik secara langsung
maupun tidak langsung dilarang:
a. melakukan transaksi lebih dahulu atas suatu Efek
tertentu atas dasar adanya informasi Nasabah akan
melakukan transaksi dalam volume besar atas Efek
tersebut yang diperkirakan mempengaruhi harga
pasar dengan tujuan untuk meraih keuntungan atau
mengurangi kerugian;
b. melakukan transaksi silang dengan Nasabah
Manajer Investasi; dan/atau
c. menjual Efek yang dimiliki kurang dari 30 (tiga
puluh) hari.
(4) Pengungkapan kepentingan atau kepemilikan anggota
Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota Komite
Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi, dan pegawai
Manajer Investasi atas suatu Efek sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan pemberitahuan secara
tertulis kepada Manajer Investasi sebelum dan sesudah
melakukan transaksi jual atau beli Efek untuk
kepentingan pribadinya, nomine dan/atau Pihak
terafiliasinya yang merupakan Pihak dimana anggota
Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota Komite
Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi, dan pegawai
Manajer Investasi mempunyai kepemilikan atas suatu
Efek baik secara langsung maupun tidak langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan di bawah
koordinasi Fungsi Kepatuhan Manajer Investasi.
Pasal 6
Anggota Komite Investasi yang memiliki benturan kepentingan
terhadap keputusan yang akan diambil dalam rapat Komite
Investasi wajib abstain dalam rapat Komite tersebut.
- 8 -
Pasal 7
Manajer Investasi wajib mengutamakan kepentingan Nasabah
di atas kepentingan:
a. Manajer Investasi;
b. Pihak yang memiliki hubungan Afiliasi dengan Manajer
Investasi; dan/atau
c. Pihak yang memiliki hubungan Afiliasi dengan anggota
Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota Komite
Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi, dan pegawai
Manajer Investasi.
Pasal 8
(1) Manajer Investasi wajib membuat, mendokumentasikan,
dan memelihara dokumen dan/atau catatan atas
kepentingan atau kepemilikan Efek yang telah
diungkapkan oleh:
a. Manajer Investasi yang melakukan pengelolaan
Portofolio Efek untuk kepentingan Nasabah secara
individual kepada Nasabah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4; dan
b. Anggota Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota
Komite Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi,
dan pegawai Manajer Investasi kepada Manajer
Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1).
(2) Manajer Investasi wajib membuat, mendokumentasikan,
dan memelihara dokumen dan/atau catatan atas
pemberitahuan secara tertulis sebelum dan sesudah
melakukan transaksi jual atau beli Efek yang dilakukan
oleh anggota Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota
Komite Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi, dan
pegawai Manajer Investasi kepada Manajer Investasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).
- 9 -
(3) Kewajiban
untuk melakukan pembuatan,
pendokumentasian, dan pemeliharaan dokumen
dan/atau catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dilakukan oleh Koordinator Fungsi
Kepatuhan.
Pasal 9
Manajer Investasi wajib menyusun dan menerapkan kebijakan
dan prosedur tertulis terkait:
a. pengungkapan kepentingan atau kepemilikan atas
suatu Efek oleh Pihak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1); dan
b. larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (3).
Bagian Kedua
Penerimaan dan Pemberian Hadiah atau Manfaat
Pasal 10
Manajer Investasi, anggota Dewan Komisaris, anggota direksi,
anggota Komite Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi,
dan/atau pegawai Manajer Investasi dilarang menerima
hadiah atau manfaat yang mengandung benturan dengan
kepentingan Nasabah atau benturan dengan kewajibannya
terhadap Nasabah.
Pasal 11
(1) Manajer Investasi, anggota Dewan Komisaris, anggota
direksi, anggota Komite Investasi, anggota Tim Pengelola
Investasi, dan pegawai Manajer Investasi dapat
memberikan hadiah atau manfaat kepada Nasabah dan
Pihak lain sepanjang pemberian hadiah atau manfaat
tersebut tidak berasal dari kekayaan Portofolio Efek atau
portofolio investasi kolektif Nasabah yang dikelolanya
dan/atau tidak merugikan Nasabah.
- 10 -
(2) Pemberian hadiah atau manfaat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib didasarkan pada pertimbangan
rasional.
Pasal 12
(1) Manajer Investasi wajib membuat, mendokumentasikan,
dan memelihara dokumen dan/atau catatan terkait
dengan hadiah atau manfaat yang diterima dan/atau
yang diberikan oleh Manajer Investasi, anggota Dewan
Komisaris, anggota direksi, anggota Komite Investasi,
anggota Tim Pengelola Investasi, dan pegawai Manajer
Investasi.
(2) Kewajiban
untuk melakukan
pendokumentasian,
pembuatan,
dan pemeliharaan dokumen
dan/atau catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Koordinator Fungsi Kepatuhan.
Pasal 13
(1) Manajer Investasi wajib menyusun dan menerapkan
kebijakan dan prosedur tertulis mengenai:
a. penerimaan hadiah atau manfaat oleh Manajer
Investasi, anggota Dewan Komisaris, anggota direksi,
anggota Komite Investasi, anggota Tim Pengelola
Investasi, dan pegawai Manajer Investasi; dan
b. pemberian hadiah atau manfaat oleh Manajer
Investasi, anggota Dewan Komisaris, anggota direksi,
anggota Komite Investasi, anggota Tim Pengelola
Investasi, dan pegawai Manajer Investasi kepada
Nasabah dan/atau Pihak lain.
(2) Kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib memuat paling sedikit:
a. batasan nilai moneter yang dapat:
1. diterima oleh Manajer Investasi, anggota Dewan
Komisaris, anggota direksi, anggota Komite
Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi, dan
pegawai Manajer Investasi; dan
- 11 -
2. diberikan oleh Manajer Investasi, anggota
Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota
Komite Investasi, anggota Tim Pengelola
Investasi, dan pegawai Manajer Investasi;
b. ketentuan pelaporan penerimaan atau pemberian
hadiah atau manfaat oleh anggota Dewan Komisaris,
anggota direksi, anggota Komite Investasi, anggota
Tim Pengelola Investasi, dan pegawai Manajer
Investasi kepada Manajer Investasi; dan
c. ketentuan pembuatan, pendokumentasian, dan
pemeliharaan dokumen dan/atau catatan hadiah
atau manfaat yang diberikan atau diterima oleh
Manajer Investasi, anggota Dewan Komisaris,
anggota direksi, anggota Komite Investasi, anggota
Tim Pengelola Investasi, dan pegawai Manajer
Investasi.
Bagian Ketiga
Rabat dan Komisi
Pasal 14
(1) Manajer Investasi dilarang menerima Rabat kecuali
untuk kepentingan Nasabah.
(2) Rabat untuk kepentingan Nasabah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan langsung ke
rekening Nasabah yang bersangkutan
proporsional.
Pasal 15
Manajer Investasi dapat menerima Komisi, sepanjang Komisi
tersebut secara langsung bermanfaat bagi Manajer Investasi
dalam proses pengambilan keputusan investasi untuk
kepentingan Nasabah dan tidak mengakibatkan benturan
kepentingan dengan Nasabah dan/atau merugikan
kepentingan Nasabah.
secara
- 12 -
Pasal 16
(1) Manajer Investasi wajib membuat, mendokumentasikan,
dan memelihara dokumen dan/atau catatan atas setiap
Rabat dan/atau penerimaan Komisi.
(2) Kewajiban
untuk melakukan
pendokumentasian,
pembuatan,
dan pemeliharaan dokumen
dan/atau catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Koordinator Fungsi Kepatuhan.
(3) Koordinator Fungsi Kepatuhan wajib melakukan
verifikasi atas setiap Rabat dan/atau Komisi yang
diterima oleh Manajer Investasi sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 17
Manajer Investasi wajib menyusun dan menerapkan kebijakan
dan prosedur tertulis mengenai penerimaan Rabat dan Komisi
yang berasal dari transaksi atau pesanan untuk kepentingan
Nasabah.
BAB III
PENGELOLAAN INVESTASI NASABAH
Bagian Kesatu
Alasan yang Rasional dan Investasi Sesuai Mandat dalam
Pengelolaan Investasi
Pasal 18
Manajer Investasi wajib membuat dan melaksanakan setiap
kebijakan investasi, memberikan rekomendasi investasi, serta
melakukan transaksi untuk kepentingan Nasabah
berdasarkan alasan yang rasional.
Pasal 19
Manajer Investasi wajib memastikan:
a. kebijakan investasi, rekomendasi investasi dan/atau
transaksi untuk kepentingan Nasabah dilakukan sesuai
- 13 -
dengan tujuan, batasan, dan pedoman investasi yang
dimuat dalam perjanjian pengelolaan investasi serta
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang terkait dengan pengelolaan investasi; dan
b. pelaksanaan kebijakan investasi, pemberian rekomendasi
investasi, dan/atau transaksi dalam rangka investasi
untuk kepentingan Nasabah didokumentasikan secara
tertulis untuk setiap portofolio investasi yang dikelolanya.
Pasal 20
Manajer Investasi yang melakukan pengelolaan Portofolio Efek
untuk kepentingan Nasabah secara individual dilarang:
a. memberi rekomendasi kepada Nasabah dalam bentuk:
1. jasa pengelolaan investasi; dan/atau
2. jasa konsultasi pembelian, penjualan, atau
pertukaran dari Efek,
tanpa mempertimbangkan tujuan investasi, keadaan
keuangan, dan kebutuhan Nasabah serta informasi lain
Nasabah yang diketahui oleh Manajer Investasi;
b. melaksanakan pesanan jual dan/atau beli Efek untuk
rekening Nasabah atas dasar instruksi Pihak ketiga yang
tidak diberi kewenangan terlebih dahulu secara tertulis
oleh Nasabah; dan
c. melakukan pembelian dan/atau penjualan Efek untuk
kepentingan Nasabah yang tidak sesuai dengan:
1. kebijakan investasi sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar
Modal terkait dengan pengelolaan investasi;
dan/atau
2. kebijakan investasi yang dimuat dalam perjanjian
pengelolaan investasi kecuali terlebih dahulu telah
memperoleh persetujuan tertulis dari Nasabah.
- 14 -
Pasal 21
Dalam melaksanakan kebijakan investasi, Manajer Investasi
wajib membuat, mendokumentasikan, dan memelihara
catatan dan/atau kertas kerja terkait alasan setiap
pengambilan keputusan investasi untuk melakukan
pembelian atau penjualan Efek untuk kepentingan Nasabah.
Bagian Kedua
Riset Investasi
Pasal 22
(1) Manajer Investasi wajib menyusun dan menerapkan
kebijakan dan prosedur tertulis berkaitan dengan riset
agar riset yang dilakukan oleh analis Manajer Investasi
untuk mendukung pengambilan keputusan investasi
perusahaan, memberikan setiap informasi, nasihat, dan
rekomendasi kepada nasabah dan/atau disebarluaskan
kepada masyarakat, bersifat independen.
(2) Kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit mencakup alur pelaporan
analis Manajer Investasi dan dasar perhitungan
kompensasi bagi analis tersebut yang dapat
menghilangkan atau sangat membatasi benturan
kepentingan yang ada, yang lazim terjadi, atau yang
mungkin timbul.
Bagian Ketiga
Alokasi Pesanan
Pasal 23
(1) Manajer Investasi wajib membuat catatan atau dokumen
tertulis mengenai dasar rencana alokasi pembelian
dan/atau penjualan Portofolio Efek untuk kepentingan
setiap Nasabah dengan prinsip alokasi yang adil dan
wajar serta dilarang merugikan Nasabah tertentu.
- 15 -
(2) Manajer Investasi wajib membuat, mendokumentasikan,
dan memelihara
dokumen dan/atau
pengalokasian Efek hasil transaksi untuk setiap Nasabah
beserta alasannya sehingga pengalokasian sesuai dengan
prinsip alokasi yang adil dan wajar serta tidak merugikan
Nasabah tertentu.
Pasal 24
(1) Manajer Investasi yang melakukan transaksi Efek untuk
kepentingan lebih dari 1 (satu) Nasabah atau dalam
volume besar untuk kepentingan lebih dari 1 (satu)
Nasabah wajib mengalokasikan Efek yang berhasil
ditransaksikan secara pro-rata menggunakan harga rata-
rata.
(2) Dalam hal alokasi Efek sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak dapat dilakukan secara pro-rata dan
menggunakan harga rata-rata, Manajer Investasi wajib
membuat keputusan mengenai alokasi Efek tersebut
yang didasarkan pada alasan yang rasional.
(3) Manajer Investasi wajib membuat, mendokumentasikan,
dan memelihara catatan dan/atau kertas kerja terkait
dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 25
Manajer Investasi yang melakukan transaksi Efek untuk
kepentingan Nasabah dilarang mengarahkan transaksi Efek
tersebut untuk keuntungan Manajer Investasi, Pihak
terafililasi Manajer Investasi atau Nasabah tertentu.
Pasal 26
Manajer Investasi dilarang menjadikan biaya jasa pengelolaan
investasi atau biaya jasa atas transaksi tertentu yang diterima
dari Nasabah sebagai pertimbangan dalam menentukan
alokasi pembelian dan/atau penjualan Efek untuk setiap
Nasabah.
catatan
- 16 -
Pasal 27
Manajer Investasi wajib menyusun dan menerapkan kebijakan
dan prosedur tertulis terkait alokasi pembelian dan/atau
penjualan Efek untuk kepentingan setiap Nasabah agar
pengalokasian dimaksud terlaksana dengan adil dan wajar.
Bagian Keempat
Eksekusi Transaksi Efek
Pasal 28
Manajer Investasi wajib melakukan transaksi Efek untuk
kepentingan Nasabah pada kondisi terbaik yang tersedia pada
saat dilakukannya transaksi.
Pasal 29
(1) Manajer Investasi wajib melakukan uji tuntas sebelum
menunjuk Perantara Pedagang Efek yang digunakan
dalam rangka melakukan transaksi Efek untuk
kepentingan Nasabah.
(2) Manajer Investasi wajib melakukan reviu secara berkala
paling sedikit 1 (satu) tahun sekali terhadap Perantara
Pedagang Efek yang ditunjuk melakukan transaksi Efek
untuk kepentingan Nasabah.
(3) Manajer Investasi dilarang melakukan eksekusi transaksi
Efek melalui 1 (satu) Perantara Pedagang Efek melebihi
30% (tiga puluh persen) dari total nilai transaksi selama
1 (satu) tahun.
(4) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak
termasuk dalam hal Manajer Investasi melakukan:
a. transaksi pembelian Efek dalam Penawaran Umum;
b. transaksi atas Efek yang menjadi aset dasar
pembentukan Reksa Dana Yang Unit Penyertaannya
Diperdagangkan di Bursa dan Reksa Dana Indeks,
bagi Manajer Investasi yang mengelola Reksa Dana
Yang Unit Penyertaannya Diperdagangkan di Bursa
dan Reksa Dana Indeks;
- 17 -
c. transaksi atas Efek yang ditawarkan tidak melalui
Penawaran Umum;
d. transaksi atas Efek luar negeri;
e. transaksi Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu;
dan/atau
f.
transaksi lain atas Efek yang harus dilakukan
melalui Perantara Pedagang Efek tertentu
sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan di sektor Pasar Modal atau
ditentukan oleh Pihak yang melakukan pembelian
dan/atau penjualan Efek dimaksud.
Bagian Kelima
Pembelian Efek Dalam Penawaran Umum
Pasal 30
Manajer Investasi yang membeli Efek dalam Penawaran
Umum untuk kepentingan Nasabah wajib:
a. mengalokasikan pembagian atas Efek yang diterima
kepada Nasabah secara proporsional dan wajar sesuai
dengan kebijakan investasi; dan
b. membuat, mendokumentasikan, dan memelihara
dokumen dan/atau catatan dasar alokasi pembelian Efek
kepada Nasabah.
Bagian Keenam
Transaksi Efek Melalui Pihak Terafiliasi
Pasal 31
Manajer Investasi dilarang melakukan transaksi Efek untuk
kepentingan Nasabah melalui Pihak terafiliasi, kecuali:
a. Transaksi Efek tersebut dilakukan dengan kondisi arm’s
length;
b. komisi atau biaya transaksi Efek yang dikenakan Pihak
terafiliasi tidak lebih tinggi dari komisi atau biaya
transaksi Efek yang dikenakan Pihak yang tidak terafiliasi;
- 18 -
c. transaksi Efek tersebut tidak dilakukan secara berlebihan;
dan
d. konsisten dengan standar eksekusi terbaik.
Pasal 32
Manajer Investasi dapat melakukan penempatan dana untuk
kepentingan Nasabah pada Pihak terafiliasi dengan ketentuan
tingkat suku bunga yang diterima tidak lebih rendah dari
tingkat suku bunga yang diterima dari Pihak yang tidak
terafiliasi untuk nilai dan jangka waktu yang sama atau
setara.
Bagian Ketujuh
Transaksi Silang
Pasal 33
Manajer Investasi hanya dapat melakukan transaksi silang
antar rekening Nasabah dengan ketentuan sebagai berikut:
a. keputusan jual atau beli Efek wajib didasarkan atas
kepentingan kedua belah Pihak Nasabah;
b. transaksi dieksekusi melalui Perantara Pedagang Efek
dengan kondisi arm’s length pada harga pasar yang
berlaku; dan
c. alasan dilakukannya transaksi silang didokumentasikan
sebelum dilakukannya eksekusi transaksi.
Pasal 34
(1) Manajer Investasi dilarang melakukan transaksi Efek
silang antara:
a. rekening Manajer Investasi dengan rekening
Nasabah, kecuali transaksi silang dimaksud
dilakukan dalam rangka pembentukan portofolio
Reksa Dana Terproteksi; dan
b. rekening anggota Dewan Komisaris, anggota direksi,
anggota Komite Investasi, anggota Tim Pengelola
Investasi, dan pegawai Manajer Investasi dengan
rekening Nasabah.
- 19 -
(2) Dalam hal Manajer Investasi melakukan transaksi Efek
silang antara rekening Manajer Investasi dengan rekening
Nasabah dalam rangka pembentukan portofolio Reksa
Dana Terproteksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, transaksi Efek dimaksud wajib dieksekusi
melalui Perantara Pedagang Efek dengan kondisi arm’s
length pada harga pasar yang berlaku.
Bagian Kedelapan
Transaksi Efek Untuk Kepentingan Sendiri
Pasal 35
Manajer Investasi yang melakukan transaksi Efek yang sama
dan dalam waktu yang sama, untuk kepentingan sendiri dan
untuk kepentingan Nasabah, wajib mendahulukan transaksi
Efek dan alokasi pembagian Efek untuk kepentingan
Nasabah, termasuk dalam hal pesanan transaksi Efek untuk
Nasabah digabung dengan pesanan transaksi Efek untuk
kepentingan sendiri namun pesanan transaksi Efek tersebut
tidak dapat terpenuhi semua.
Pasal 36
(1) Manajer Investasi wajib membuat, mendokumentasikan,
dan memelihara dokumen dan/atau catatan yang
berkaitan dengan transaksi Efek yang sama dan dalam
waktu yang sama untuk kepentingan sendiri dan untuk
kepentingan Nasabah, termasuk transaksi Efek untuk
kepentingan sendiri yang digabung dengan transaksi
Efek untuk kepentingan Nasabah.
(2) Manajer Investasi wajib menyusun dan menerapkan
kebijakan dan prosedur tertulis yang berkaitan dengan
transaksi Efek untuk kepentingan sendiri termasuk
transaksi Efek untuk kepentingan sendiri yang digabung
dengan transaksi Efek untuk kepentingan Nasabah.
- 20 -
BAB IV
INTERAKSI DENGAN NASABAH
Bagian Kesatu
Penyediaan Informasi Perusahaan
Pasal 37
(1) Manajer Investasi wajib:
a. menyediakan informasi yang cukup mengenai
identitas Manajer Investasi, izin usaha, ruang
lingkup kegiatan usaha Manajer Investasi serta
identitas dan jabatan Pihak yang bertindak untuk
kepentingan Manajer Investasi pada saat Manajer
Investasi menawarkan jasa atau produk pengelolaan
investasi kepada Nasabah atau calon Nasabah; dan
b. menyampaikan Fakta Material mengenai Manajer
Investasi, jasa, dan/atau produk yang
ditawarkannya yang diperlukan Nasabah.
(2) Manajer Investasi dilarang:
a. memberikan gambaran yang salah kepada Nasabah
atau calon Nasabah mengenai kualifikasi Manajer
Investasi, jasa, dan/atau produk yang
ditawarkannya; dan/atau
b. tidak menyampaikan Fakta Material mengenai
kualifikasi Manajer Investasi, jasa dan/atau produk
yang ditawarkannya kepada Nasabah atau calon
Nasabah.
Bagian Kedua
Nomor Tunggal Identitas Pemodal
Pasal 38
(1) Manajer Investasi wajib membuatkan nomor tunggal
identitas pemodal untuk setiap Nasabahnya pada
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
(2) Dalam hal Manajer Investasi mendelegasikan
kewenangan pembuatan nomor tunggal identitas pemodal
- 21 -
tersebut kepada Agen Penjual Efek Reksa Dana, Manajer
Investasi wajib memastikan setiap Nasabah memiliki
nomor tunggal identitas pemodal.
Bagian Ketiga
Kerahasiaan
Pasal 39
(1) Manajer Investasi dilarang mengungkapkan data dan
informasi serta kegiatan Nasabah kepada Pihak yang
tidak berwenang, kecuali telah memperoleh persetujuan
tertulis dari Nasabah atau diwajibkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
(2) Manajer Investasi wajib menyusun dan menerapkan
kebijakan dan prosedur tertulis dalam rangka menjaga
kerahasiaan data dan informasi Nasabah.
Bagian Keempat
Penilaian Portofolio Investasi Nasabah
Pasal 40
Manajer Investasi wajib menghitung Nilai Pasar Wajar atas
Efek Nasabah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
di sektor Pasar Modal.
Bagian Kelima
Komisi dan Biaya
Pasal 41
Manajer Investasi wajib menetapkan komisi dan biaya yang
wajar serta beralasan atas jasa yang diberikan kepada
Nasabah.
- 22 -
Bagian Keenam
Pengaduan Nasabah
Pasal 42
Manajer Investasi wajib membuat, mendokumentasikan, dan
memelihara dokumen dan/atau catatan atas semua
pengaduan Nasabah yang diterima, langkah-langkah yang
telah diambil dan status penyelesaian atas masing-masing
pengaduan Nasabah tersebut.
Pasal 43
Manajer Investasi wajib menyusun dan menerapkan kebijakan
dan prosedur tertulis untuk memastikan setiap pengaduan
Nasabah ditangani dengan baik dan tepat waktu.
BAB V
KEGIATAN PEMASARAN, IKLAN, DAN MATERI PROMOSI
Pasal 44
(1) Manajer Investasi wajib memberikan informasi yang
benar, tidak menyesatkan, dan tidak bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
kepada Nasabah termasuk dalam hal Manajer Investasi
memberikan materi pemasaran, iklan, dan/atau promosi
baik dalam bentuk elektronik maupun non-elektronik.
(2) Informasi kepada Nasabah termasuk materi pemasaran,
iklan, dan/atau promosi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilarang memuat:
a. informasi yang tidak benar;
b. kata atau kalimat yang memberikan kesan Nasabah
tidak akan rugi atau keuntungan;
c. kesan mengenai Nasabah dapat memperoleh
keuntungan tanpa adanya risiko; dan/atau
d. informasi yang mencemarkan nama baik:
1. jasa atau produk yang ditawarkan Manajer
Investasi lain;
2. Manajer Investasi lain; dan/atau
- 23 -
3. industri pengelolaan investasi di sektor Pasar
Modal secara keseluruhan.
(3) Materi pemasaran, iklan, dan/atau promosi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memuat informasi
mengenai risiko investasi.
(4) Materi pemasaran, iklan, dan/atau promosi Reksa Dana
wajib mengikuti ketentuan peraturan perundang-
undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur
mengenai pedoman iklan Reksa Dana.
Pasal 45
(1) Dalam hal informasi termasuk materi pemasaran, iklan,
dan/atau promosi memuat pernyataan tentang kinerja
pengelolaan investasi Manajer Investasi, Manajer
Investasi wajib membuat pernyataan tentang kinerja
pengelolaan investasi Manajer Investasi tersebut secara
jelas dan tidak menyesatkan.
(2) Manajer Investasi wajib bertanggung jawab atas
pernyataan tentang kinerja pengelolaan investasi Manajer
Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB VI
PENGAMANAN ASET NASABAH
Pasal 46
(1) Manajer Investasi wajib menyimpan dana dan/atau Efek
Nasabah atas nama masing-masing Nasabah pada
Kustodian.
(2) Manajer Investasi wajib memastikan Kustodian
mengadministrasikan dan menyimpan dana dan/atau
Efek Nasabah atas nama masing-masing Nasabah.
Pasal 47
Manajer Investasi yang melakukan penunjukan Kustodian
dalam rangka pengadministrasian dan penyimpanan dana
dan/atau Efek Nasabah wajib melakukan uji tuntas atas
kemampuan Kustodian dalam menjalankan tugasnya.
- 24 -
Pasal 48
Manajer Investasi wajib membuat, mendokumentasikan, dan
memelihara dokumen dan/atau catatan yang berkaitan
dengan kegiatan pengelolaan investasi yang dilakukannya
paling cepat 5 (lima) tahun sejak penutupan rekening yang
meliputi:
a. catatan yang berkaitan dengan rekening Nasabah
termasuk informasi mengenai nomor tunggal identitas
pemodal; dan
b. catatan atas semua transaksi Efek baik untuk
kepentingan Nasabah maupun transaksi Efek untuk
kepentingan Manajer Investasi, termasuk jejak audit atas
seluruh transaksi Efek yang dilakukan oleh Manajer
Investasi.
BAB VII
KETENTUAN SANKSI
Pasal 49
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap Pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:
a. Peringatan tertulis;
b. Denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. Pembatasan kegiatan usaha;
d. Pembekuan kegiatan usaha;
e. Pencabutan izin usaha;
f. Pembatalan persetujuan; dan
g. Pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
- 25 -
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 50
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 49 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap Pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 51
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 kepada masyarakat.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 52
Manajer Investasi yang memperoleh izin usaha dari Otoritas
Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini wajib:
a. menyusun dan menerapkan kebijakan dan prosedur
tertulis berkaitan dengan riset agar riset yang dilakukan
oleh analis Manajer Investasi untuk mendukung
pengambilan keputusan investasi perusahaan,
memberikan setiap informasi, nasihat, dan rekomendasi
kepada nasabah dan/atau disebarluaskan kepada
masyarakat, bersifat independen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22; dan
- 26 -
b. menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis
sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada Otoritas
Jasa Keuangan,
paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 53
(1) Kewajiban Manajer Investasi untuk membuatkan nomor
tunggal identitas pemodal untuk setiap Nasabah-nya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1)
dilakukan paling lambat 6 (enam) bulan sejak
diundangkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Kewajiban Manajer Investasi menyusun kebijakan dan
prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,
Pasal 13, Pasal 17, Pasal 27, Pasal 36 ayat (2), Pasal 39
ayat (2), dan Pasal 43 dilakukan paling lambat 6 (enam)
bulan sejak diundangkannya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 54
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku:
a. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor
Kep-31/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang
Perilaku Yang Dilarang Bagi Manajer Investasi, beserta
Peraturan Nomor V.G.1 yang merupakan lampirannya;
dan
b. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor
Kep-32/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang
Pedoman Pencatatan Dalam Rangka Pengambilan
Keputusan Oleh Manajer Investasi, beserta Peraturan
Nomor V.G.3 yang merupakan lampirannya,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
- 27 -
Pasal 55
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 370
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 43/POJK.04/2015 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN PERILAKU MANAJER INVESTASI </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 28 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2015 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-31/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-32/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-31/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor V.G.1', 'Kep-32/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor V.G.3' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 59 /POJK.04/2015
TENTANG
PUBLIKASI OLEH PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor Pasar Modal termasuk Perusahaan Pemeringkat
Efek beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan
kepastian mengenai pengaturan terhadap publikasi oleh
Perusahaan Pemeringkat Efek, maka peraturan mengenai
Publikasi oleh Perusahaan Pemeringkat Efek yang
diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa
Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Publikasi Oleh
Perusahaan Pemeringkat Efek;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PUBLIKASI OLEH PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Perusahaan Pemeringkat Efek adalah Penasihat Investasi
berbentuk Perseroan Terbatas yang melakukan kegiatan
pemeringkatan dan memberikan peringkat.
2. Peringkat adalah opini tentang kemampuan untuk
memenuhi kewajiban pembayaran secara tepat waktu
oleh suatu Pihak:
a. sebagai entitas (company rating); dan/ atau
b. berkaitan dengan Efek yang diterbitkan oleh Pihak
yang diperingkat (instrument rating).
BAB II
PUBLIKASI
Pasal 2
Perusahaan Pemeringkat Efek yang mendapat izin usaha dari
Otoritas Jasa Keuangan wajib melakukan publikasi atas:
- 3 -
a.
hasil peringkat, pernyataan, atau pendapat lain yang
terkait dengan hasil peringkat melalui Situs Web
Perusahaan Pemeringkat Efek, kecuali ditentukan lain
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan/atau dalam perjanjian pemeringkatan; dan
b. metodologi yang digunakan dalam pemeringkatan dan
kegiatan operasionalnya secara umum serta setiap
perubahannya melalui
Pemeringkat Efek.
Situs Web
Pasal 3
Publikasi hasil Peringkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 huruf a paling sedikit meliputi:
a. setiap hasil Peringkat;
b. interpretasi dari setiap hasil Peringkat;
c. tanggal dikeluarkannya hasil Peringkat dan tanggal
perubahan hasil Peringkat;
d. elemen-elemen kunci yang menjadi dasar dikeluarkannya
hasil Peringkat, baik pada saat penerbitan pertama
maupun perubahan hasil Peringkat; dan
e.
ikhtisar keuangan termasuk rasio keuangan penting yang
menjadi dasar dikeluarkannya hasil Peringkat.
Pasal 4
Publikasi metodologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf b paling sedikit wajib mencakup:
a. kebijakan tentang pendistribusian, pelaporan, dan
pemutakhiran Peringkat;
b. informasi yang cukup mengenai prosedur dan asumsi
yang merupakan bagian dari metodologi, sehingga
masyarakat dapat mengerti bagaimana Peringkat dapat
dihasilkan;
c. riwayat rata-rata kegagalan penerbit Efek yang
diperingkat dalam memenuhi kewajibannya kepada
pemilik Efek yang diperingkat terhadap seluruh hasil
Perusahaan
- 4 -
Peringkat Efek dalam kategori yang sama yang
diterbitkan oleh Perusahaan Pemeringkat Efek (historical
default rates);
d. perubahan atas historical default rates untuk setiap
kategori hasil Peringkat yang telah diterbitkan dari waktu
ke waktu (jika ada);
e.
setiap kebijakan dan prosedur yang berkaitan dengan
Peringkat yang dikeluarkan bukan berdasarkan
permintaan Pihak tertentu (jika ada); dan
f.
setiap perubahan yang dilakukan atas prosedur dan
asumsi yang merupakan bagian dari metodologi secara
lengkap sebelum perubahan dimaksud diterapkan (jika
ada).
Pasal 5
(1) Kewajiban publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 huruf a, wajib dilaksanakan paling lama 2 (dua) hari
kerja setelah selesainya pemeringkatan, dan/atau kaji
ulang yang menghasilkan pernyataan atau pendapat lain
yang terkait dengan hasil peringkat.
(2) Kewajiban publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 huruf b, wajib dilaksanakan paling lama 2 (dua) hari
kerja setelah diterbitkannya izin Perusahaan Pemeringkat
Efek dan/atau 7 (tujuh) hari kerja setelah penyampaian
laporan perubahan struktur organisasi, prosedur dan
standar operasi, dan/atau prosedur dan metodologi
pemeringkatan.
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 6
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana dibidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
- 5 -
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 7
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 8
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 kepada masyarakat.
- 6 -
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 9
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor Kep-156/BL/2009 tanggal 22 Juni
2009 tentang Publikasi Oleh Perusahaan Pemeringkat Efek
beserta Peraturan Nomor X.F.6 yang merupakan lampirannya,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 10
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 410
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 59 /POJK.04/2015
TENTANG
PENERBITAN DAN PERSYARATAN REKSA DANA SYARIAH
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK
terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
untuk melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK yaitu Peraturan
Nomor X.F.6, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-
156/BL/2009 tentang Publikasi Oleh Perusahaan Pemeringkat Efek,
tanggal 22 Juni 2009;
- 2 -
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5828
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 59/POJK.04/2015 </reg_id>
<reg_title> PUBLIKASI OLEH PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 29 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-156/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009', 'Kep-156/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor X.F.6' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 41 /POJK.04/2016
TENTANG
PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM REKSA
DANA BERBENTUK PERSEROAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 pengaturan dan pengawasan
kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk
Reksa Dana Berbentuk Perseroan beralih dari Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke
Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan
kepastian mengenai pengaturan terhadap Pernyataan
Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Reksa
Dana Berbentuk Perseroan perlu mengganti peraturan
mengenai Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka
Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Perseroan
yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa
Keuangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
- 2 -
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pernyataan
Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa
Dana Berbentuk Perseroan;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN
UMUM REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan Reksa Dana Berbentuk Perseroan adalah Emiten yang
kegiatan usahanya menghimpun dana dengan menjual saham
dan selanjutnya dana dari penjualan saham tersebut
diinvestasikan pada berbagai jenis Efek yang diperdagangkan
di Pasar Modal dan pasar uang.
BAB II
PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN
UMUM REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN
Pasal 2
Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum
Reksa Dana Berbentuk Perseroan diajukan oleh direksi Reksa
Dana Berbentuk Perseroan dengan cara sebagai berikut:
- 3 -
a. menyampaikan Pernyataan Pendaftaran dengan mengisi
formulir Pernyataan Pendaftaran yang bentuk dan isinya
sesuai dengan format surat Pernyataan Pendaftaran
Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk
Perseroan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini; dan
b. Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam
huruf a diajukan dalam rangkap 4 (empat).
Pasal 3
Pernyataan Pendaftaran harus diajukan paling lambat
6 (enam) bulan sejak diperolehnya izin usaha.
Pasal 4
Dalam hal Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf a tidak memenuhi syarat atau memenuhi
syarat,
Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat
pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa:
a. Pernyataan Pendaftaran tidak lengkap; atau
b. Pernyataan Pendaftaran dinyatakan efektif oleh Otoritas
Jasa Keuangan.
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 5
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
- 4 -
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau
huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 6
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 7
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 kepada masyarakat.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 8
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor: Kep-52/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang
Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum
Reksa Dana Berbentuk Perseroan beserta Peraturan Nomor
- 5 -
IX.C.4 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 9
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN NOMOR 270
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 41 /POJK.04/2016
TENTANG
PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM REKSA
DANA BERBENTUK PERSEROAN
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
mengganti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran
Umum Reksa Dana Berbentuk Perseroan yaitu Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-52/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996
tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa
Dana Berbentuk Perseroan beserta Peraturan Nomor IV.A.5 yang
merupakan lampirannya menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
- 2 -
tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa
Dana Berbentuk Perseroan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5966
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 41 /POJK.04/2016
TENTANG
PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM REKSA
DANA BERBENTUK PERSEROAN
- 2 -
PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM
REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN
Nomor
:
Lampiran :
Perihal
: Pernyataan Pendaftaran
Dalam Rangka
Penawaran Umum
Reksa Dana
......................
.................................20....
Yth.
KEPADA
Kepala Eksekutif Pengawas
Pasar Modal
Otoritas Jasa Keuangan
di –
Jakarta
Bersama ini kami mengajukan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka
Penawaran Umum sejumlah .............. saham dengan nilai per saham
Rp..............
I. Emiten
1. Nama Reksa Dana
2.
Nomor Pokok Wajib
Pajak perusahaan
3.
4.
Alamat
Nomor : Telepon
Telex
Faksimili
5.
Anggota direksi
N a m a Kewarganegaraan Alamat
a.
b.
c.
d.
e.
6. a. Nomor dan tanggal
akta pendirian
: ...................................
: ...................................
: ...................................
: ...................................
: ...................................
: ...................................
: ...................................
- 3 -
b. Nomor dan tanggal
pengesahan
: ...................................
dan
persetujuan Menteri
Kehakiman
7. Reksa
terbuka/tertutup
8. Struktur permodalan
a. Modal dasar
b. Modal ditempatkan
dan disetor penuh
9. Jenis saham yang
diterbitkan
II. Manajer Investasi
1. Nama
2. Alamat
3. Nomor Pokok Wajib
Pajak perusahaan
4. Anggota
anggota dewan komisaris
N a m a
a.
b.
c.
d.
e.
III. Bank Kustodian
1. Nama
2. Alamat
3. Nomor Pokok Wajib
Pajak perusahaan
4. Anggota direksi dan
anggota dewan komisaris
: ...................................
: ...................................
: ...................................
Dana : ...................................
: ...................................
: ...................................
: ...................................
direksi dan : ...................................
Kewarganegaraan Alamat
: ...................................
: ...................................
: ...................................
: ...................................
- 4 -
N a m a
a.
b.
c.
d.
e.
IV. Akuntan
1. Nama
2. Alamat
3. Nomor Pokok Wajib
Pajak
4. Nomor pendaftaran di
Otoritas Jasa Keuangan
V. Konsultan Hukum
1. Nama
2. Alamat
3. Nomor Pokok Wajib
Pajak
4. Nomor pendaftaran di
Otoritas Jasa Keuangan
VI. Penjamin Emisi Efek
(jika ada)
1. Nama
2. Alamat
3. Nomor Pokok Wajib
Pajak perusahaan
4. Nomor dan tanggal izin
usaha dari Otoritas Jasa
Keuangan
Kewarganegaraan Alamat
: ...................................
: ...................................
: ...................................
: ...................................
: ...................................
: ...................................
: ...................................
: ...................................
: ...................................
: ...................................
: ...................................
: ...................................
VII. Jumlah halaman Pernyataan Pendaftaran ini adalah …. halaman.
VIII. Daftar dokumen yang dilampirkan:
1. Rencana jadwal waktu penerbitan.
2. Rancangan akhir Prospektus (diberi meterai dan ditanda
tangani para pihak).
3. Spesimen saham.
- 5 -
4. Contoh formulir:
a. Pemesanan pembelian Efek;
b. Registrasi Efek.
5. Fotokopi kontrak pencetakan efek.
6. Kontrak/perjanjian yang telah disahkan:
a. Perjanjian Penjaminan Emisi Efek antar:
1) Emiten dengan Penjamin Emisi Efek (jika ada);
2) Penjamin dengan Agen Penjual (jika ada);
b. Perjanjian Pendahuluan dengan Bursa Efek (jika ada); dan
c. Kontrak dengan Biro Administrasi Efek (jika ada).
7. Laporan pemeriksaan hukum (legal audit) dan pendapat hukum
(legal opinion) atas dokumen-dokumen yang relevan termasuk
kontrak-kontrak dan prospektus.
8. Laporan keuangan yang telah di audit Akuntan dan pendapat
Akuntan.
9.
Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak, Reksa Dana dan masing-
masing anggota direksi.
10. Fotokopi KTP dan kewarganegaraan dari masing-masing
anggota direksi, dan pemegang saham utama, (untuk orang
asing copy paspor dan izin kerja).
11. Riwayat hidup masing-masing anggota direksi.
12. Fotokopi tanda terdaftar profesi penunjang pasar modal:
a. Notaris;
b. Konsultan hukum;
c. Akuntan.
13. Surat Pernyataan masing-masing anggota direksi bahwa yang
bersangkutan tidak terlibat perkara (pernyataan di atas
meterai).
14. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada
Daftar Pertanyaan dan Daftar Afiliasi direksi dan setiap Pihak
yang melakukan pengendalian atas perusahaan (Daftar A) serta
penjelasan atas jawaban “ya” (Daftar B).
- 6 -
PERNYATAAN ATAU KETERANGAN YANG DIMUAT DALAM
PERNYATAAN PENDAFTARAN ADALAH BENAR DAN TIDAK ADA FAKTA
MATERIAL YANG TIDAK DIMUAT DALAM PERNYATAAN PENDAFTARAN
YANG DIPERLUKAN AGAR PERNYATAAN PENDAFTARAN TIDAK
MENYESATKAN.
PT. REKSA DANA .........................
Meterai
.............................................
Nama lengkap
- 7 -
DAFTAR PERTANYAAN
I. PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN:
1. Semua pertanyaan wajib dijawab oleh setiap anggota direksi dan
Pihak yang melakukan pengendalian atas perusahaan.
2. Berilah tanda √ dalam kotak di depan kata “ya”, jika jawaban
Saudara “Ya”, atau berilah tanda √ dalam kotak di depan kata
“Tidak” jika jawaban atas pertanyaan berikut adalah “tidak”.
Untuk setiap jawaban "ya" setiap anggota direksi dan Pihak yang
melakukan pengendalian atas perusahaan wajib memberikan
jawaban secara rinci dan jelas dalam Daftar B, antara lain memuat:
a. perusahaan dan pihak-pihak yang terkait;
b. kasus dan tanggal dari tindakan yang dilakukan;
c. pengadilan atau lembaga yang mengambil tindakan;
d. tindakan dan sanksi yang dikenakan.
II. INTEGRITAS SETIAP ANGGOTA DIREKSI DAN SETIAP PIHAK YANG
MELAKUKAN PENGENDALIAN ATAS PERUSAHAAN.
Definisi:
Investasi adalah kegiatan atas Efek, perbankan, asuransi, atau usaha
perumahan/real estat, termasuk kegiatan baik langsung atau tidak
langsung berhubungan dengan Perusahaan Efek, Penasihat Investasi,
dan perusahaan lain yang bergerak di bidang keuangan
Jawablah pertanyaan dibawah ini:
1. Dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir, apakah Saudara
pernah dihukum atau mengaku bersalah atau tidak membantah
atas tuduhan:
a. Tindak pidana atau kejahatan melibatkan Investasi atau usaha
berhubungan dengan investasi, penipuan, pernyataan palsu
atau penggelapan, penyuapan, pemalsuan, atau pemerasan?
ya
tidak
b. Atau kejahatan lain?
ya
tidak
2. Apakah pengadilan :
a. Pernah memutuskan Saudara bangkrut?
ya
tidak
b. Dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir ini melarang Saudara
dalam kegiatan yang berhubungan dengan Investasi?
ya
tidak
- 8 -
c. Pernah memutuskan bahwa Saudara menyebabkan suatu
usaha yang berhubungan dengan Investasi, izin usahanya atau
izin untuk menjalankan usahanya ditolak, dibekukan, dicabut
atau dibatasi?
ya
tidak
3. Apakah Otoritas Jasa Keuangan pernah:
a. Menemukan Saudara membuat pernyataan palsu atau
melakukan kelalaian?
ya
tidak
b. Menemukan Saudara terlibat dalam pelanggaran peraturan
perundang-undangan yang berlaku?
ya
tidak
c. Menemukan Saudara menyebabkan ditolaknya, dibekukannya,
dicabutnya atau dibatasinya izin usaha Saudara atau izin
menjalankan usaha Saudara yang berhubungan dengan
Investasi?
ya
tidak
d. Menolak, menghentikan untuk sementara atau mencabut izin
usaha Saudara, memberi sanksi dengan membatasi kegiatan
Saudara?
ya
tidak
4. Apakah lembaga/instansi lain yang berwenang di Indonesia atau
negara lain pernah:
a. Mendapatkan Saudara membuat pernyataan palsu atau tidak
menyatakan fakta yang benar atau tidak jujur, tidak adil atau
tidak etis?
ya
tidak
b. Menemukan Saudara terlibat dalam pelanggaran peraturan
Investasi, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku?
ya
tidak
5. Apakah suatu Bursa Efek pernah:
a. Menemukan Saudara membuat pernyataan palsu atau tidak
menyatakan fakta yang sebenarnya.
ya
tidak
b. Menemukan Saudara terlibat dalam pelanggaran peraturan
perundang-undangan yang berlaku?
ya
tidak
- 9 -
c. Menemukan Saudara menyebabkan Izin Usaha atau
persetujuan untuk menjalankan usaha suatu Reksa Dana yang
berhubungan dengan Investasi yang menyebabkan dibekukan,
dicabut atau dibatasi?
ya
tidak
d. Mengambil tindakan disipliner terhadap Saudara dengan
mengeluarkan atau membekukan dari keanggotaan, dengan
mencegah atau membekukan hubungannya dengan anggota
lain, atau dengan membatasi kegiatannya?
ya
tidak
6. Apakah pengadilan dari negara lain, badan peraturan, atau Bursa
Efek memerintahkan diambilnya tindakan terhadap Saudara
sehubungan dengan Investasi atau penipuan?
ya
tidak
7. Apakah Saudara sedang menghadapi perkara dalam sidang
pengadilan?
ya
tidak
8. Apakah suatu perusahaan asuransi pernah menolak membayar
kepada atau mencabut pertanggungan Saudara?
ya
tidak
9. Apakah Saudara mempunyai kewajiban atas dasar keputusan
pengadilan atau perikatan lain yang dibuatnya dengan pihak lain
yang tidak dapat dilaksanakan?
ya
tidak
10. Apakah Saudara pernah menjadi anggota direksi dan atau anggota
dewan komisaris Perusahaan Efek, Penasihat Investasi Perorangan
atau Pihak yang melakukan pengendalian atas Perusahaan Efek
yang dinyatakan bangkrut?
ya
tidak
................., ...........................
Yang membuat pernyataan
..........................................
(nama lengkap)
- 10 -
DAFTAR A
AFILIASI DIREKSI
Daftar ini memuat keterangan tentang Afiliasi dari semua anggota direksi
dengan:
1. Reksa Dana itu sendiri selain sebagai anggota direksi;
2. Perusahaan efek yang bertindak sebagai Manajer Investasinya;
3. Bank Kustodian;
4. Akuntan atau Konsultan Hukum yang akan atau memberikan jasa
profesional kepada Reksa Dana dan atau Afiliasi dari profesi dimaksud;
5. Perusahaan Efek lain; dan
6. Orang perseorangan yang mempunyai hubungan usaha penting dan
relevan atau hubungan profesi dengan Reksa Dana dimaksud, Manajer
Investasi Reksa Dana atau dengan Reksa Dana lain.
Beri tanda √ apabila ada afiliasi
Nama Lengkap
Anggota
direksi/Pihak yang
melakukan
pengendalian
1
Afiliasi sebagaimana dijelaskan di atas dengan angka
2
3
4
5
6
- 11 -
DAFTAR B
PENJELASAN ATAS JAWABAN "YA"
Daftar pertanyaan Nomor 1 sampai dengan 10.
Diisi dengan penjelasan rinci terhadap "ya" atas pertanyaan nomor 1 sampai
dengan 10.
No
Nomor Pertanyaan/Daftar
Penjelasan
..............., ......................... 20..
Yang membuat pernyataan
meterai
..............................................
(Nama Lengkap)
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
ttd
MULIAMAN D. HADAD
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 41/POJK.04/2016 </reg_id>
<reg_title> PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN </reg_title>
<set_date> 2 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 7 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 7 Desember 2016 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-52/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-52/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor IX.C.4' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 16 /POJK.04/2015
TENTANG
AHLI SYARIAH PASAR MODAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong perkembangan industri
Pasar Modal syariah Indonesia, perlu memberikan
landasan hukum dan mengatur pihak yang memberikan
nasihat dan melakukan pengawasan mengenai
penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar
Modal;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
sebagaimana
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG AHLI
SYARIAH PASAR MODAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Ahli Syariah Pasar Modal yang selanjutnya disingkat
ASPM adalah:
a. orang perseorangan yang memiliki pengetahuan dan
pengalaman di bidang syariah; atau
b. badan usaha yang pengurus dan pegawainya
memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang
syariah,
yang memberikan nasihat dan/atau mengawasi
pelaksanaan penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal
dalam kegiatan usaha perusahaan dan/atau memberikan
pernyataan kesesuaian syariah atas produk atau jasa
syariah di Pasar Modal.
2. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang
bertanggung jawab memberikan nasihat dan saran serta
mengawasi pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal
terhadap Pihak yang melakukan Kegiatan Syariah di
Pasar Modal.
3. Tim Ahli Syariah adalah tim yang bertanggung jawab
terhadap kesesuaian syariah atas produk atau jasa
syariah di Pasar Modal yang diterbitkan atau dikeluarkan
perusahaan.
- 3 -
BAB II
PERIZINAN DAN PERSYARATAN ASPM
Pasal 2
Orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan
nasihat dan/atau mengawasi pelaksanaan penerapan Prinsip
Syariah di Pasar Modal dalam kegiatan usaha perusahaan
dan/atau memberikan pernyataan kesesuaian syariah atas
produk atau jasa syariah di Pasar Modal wajib mempunyai
izin ASPM dari Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 3
(1) ASPM yang merupakan orang perseorangan wajib
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. integritas, mencakup:
1. cakap melakukan perbuatan hukum;
2. memiliki akhlak dan moral yang baik;
3. tidak pernah melakukan perbuatan tercela
dan/atau dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana di bidang keuangan;
4. tidak pernah dikenakan sanksi dalam
menjalankan Kegiatan Syariah di Pasar Modal
karena tidak sesuai dengan Prinsip Syariah di
Pasar Modal, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini, dan/atau peraturan perundang-undangan
lainnya yang terkait dengan syariah di bidang
Pasar Modal selama 3 (tiga) tahun terakhir;
5. tidak pernah dikenakan sanksi pencabutan izin,
pembatalan persetujuan, dan/atau pembatalan
pendaftaran oleh Otoritas Jasa Keuangan
selama 3 (tiga) tahun terakhir;
6. dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir tidak
pernah dinyatakan pailit atau menjadi
pengurus yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan
pailit;
- 4 -
7. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan
perundang-undangan;
8. memiliki komitmen terhadap pengembangan
Pasar Modal syariah; dan
9. memiliki sikap independen dalam melakukan
kegiatan di bidang Pasar Modal.
b. kompetensi, mencakup:
1. memiliki pendidikan paling rendah strata 1
(satu) atau sederajat;
2. memiliki pengetahuan memadai di bidang Pasar
Modal, dibuktikan dengan:
a) memiliki sertifikat yang diakui oleh
Otoritas Jasa Keuangan dan diterbitkan
oleh lembaga pendidikan khusus di bidang
Pasar Modal berdasarkan rekomendasi dari
Komite Standar Keahlian;
b) memiliki izin orang perseorangan dari
Otoritas Jasa Keuangan sebagai Wakil
Penjamin Emisi Efek, Wakil Perantara
Pedagang Efek, atau Wakil Manajer
Investasi atau terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan sebagai Profesi Penunjang Pasar
Modal; atau
c) memiliki pengalaman kerja pada institusi
pengawas Pasar Modal dan/atau
organisasi yang diberi kewenangan oleh
Undang-Undang tentang Pasar Modal
untuk mengatur dan/atau mengawasi
industri Pasar Modal dengan ketentuan:
1) paling sedikit 2 (dua) tahun pada
posisi manajerial; atau
2)
paling sedikit 5 (lima) tahun pada
posisi pelaksana,
dalam bidang tugas dan fungsi yang terkait
pengaturan dan/atau pengawasan Pasar
Modal.
- 5 -
3. memiliki pengetahuan memadai di bidang
syariah muamalah yang dibuktikan dengan
sertifikat yang diterbitkan oleh lembaga yang
diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan
4. memiliki rekomendasi yang dikeluarkan oleh
Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama
Indonesia.
(2) ASPM yang merupakan badan usaha wajib memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a.
integritas anggota pengurus badan usaha,
mencakup:
1. cakap melakukan perbuatan hukum;
2. memiliki akhlak dan moral yang baik;
3. tidak pernah melakukan perbuatan tercela
dan/atau dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana di bidang keuangan;
4. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan
perundang-undangan;
5. memiliki komitmen terhadap pengembangan
Pasar Modal syariah; dan
6. bersikap independen dalam melakukan
kegiatan di bidang Pasar Modal.
b. kompetensi, mencakup:
1. memiliki paling sedikit 1 (satu) orang pengurus
dan 1 (satu) orang pegawai lainnya yang
memiliki izin ASPM; dan
2. memiliki sarana yang menunjang kegiatan
pemberian nasihat dan pengawasan
pelaksanaan penerapan Prinsip Syariah di
Pasar Modal.
BAB III
TATA CARA PERMOHONAN IZIN ASPM
Pasal 4
(1) Permohonan untuk memperoleh izin ASPM diajukan oleh
pemohon dalam bentuk dokumen cetak kepada Otoritas
- 6 -
Jasa Keuangan dengan menggunakan format surat
permohonan izin ASPM sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan
sistem elektronik permohonan izin ASPM, permohonan
izin ASPM dapat diajukan melalui sistem elektronik
tersebut.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disertai kelengkapan dokumen sebagai berikut:
a. untuk izin ASPM yang diajukan oleh orang
perseorangan:
1. daftar riwayat hidup terbaru yang
ditandatangani oleh pemohon dengan
menggunakan format daftar riwayat hidup
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
2. surat pernyataan yang menyatakan bahwa
pemohon:
a) cakap melakukan perbuatan hukum;
b) memiliki akhlak dan moral yang baik;
c)
tidak pernah melakukan perbuatan tercela
dan/atau dihukum karena terbukti
melakukan tindak pidana di bidang
keuangan;
d) tidak pernah dikenakan sanksi dalam
menjalankan Kegiatan Syariah di Pasar
Modal karena tidak sesuai dengan Prinsip
Syariah di Pasar Modal, Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini, dan/atau peraturan
perundang-undangan lainnya yang terkait
dengan syariah di bidang Pasar Modal
selama 3 (tiga) tahun terakhir;
e)
tidak pernah dikenakan sanksi pencabutan
izin, pembatalan persetujuan, dan/atau
- 7 -
pembatalan pendaftaran oleh Otoritas Jasa
Keuangan selama 3 (tiga) tahun terakhir;
f) dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir tidak
pernah dinyatakan pailit atau menjadi
pengurus yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu
dinyatakan pailit;
perusahaan
g) memiliki komitmen untuk mematuhi
peraturan perundang-undangan;
h) memiliki
i)
komitmen
terhadap
pengembangan Pasar Modal syariah; dan
memiliki sikap independen
dalam
melakukan kegiatan di bidang Pasar
Modal.
3. fotokopi Kartu Tanda Penduduk yang masih
berlaku;
4. surat keterangan domisili apabila terdapat
perbedaan alamat domisili dengan alamat Kartu
Tanda Penduduk;
5. pasfoto terbaru ukuran 4x6 cm dengan latar
belakang warna merah sebanyak 2 (dua)
lembar;
6. surat keterangan perbedaan nama dari
pejabat/instansi berwenang, jika terdapat
perbedaan nama pemohon dengan dokumen
yang dilampirkan;
7. jawaban atas format daftar pertanyaan
integritas sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini;
8. salinan ijazah pendidikan formal paling rendah
strata 1 (satu) atau sederajat;
9. fotokopi sertifikat pengetahuan di bidang
syariah muamalah dari lembaga yang diakui
oleh Otoritas Jasa Keuangan;
- 8 -
10. surat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional
- Majelis Ulama Indonesia; dan
11. fotokopi:
a)
sertifikat pengetahuan di bidang Pasar
Modal yang diakui oleh Otoritas Jasa
Keuangan dan diterbitkan oleh lembaga
pendidikan khusus di bidang Pasar Modal
berdasarkan rekomendasi dari Komite
Standar Keahlian;
b)
izin orang perseorangan dari Otoritas Jasa
Keuangan sebagai Wakil Penjamin Emisi
Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek, atau
Wakil Manajer Investasi;
c) surat tanda terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan sebagai Profesi Penunjang Pasar
Modal; atau
d) bukti pengalaman kerja pada institusi
pengawas Pasar Modal dan/atau
organisasi yang diberi kewenangan oleh
Undang-Undang tentang Pasar Modal
untuk mengatur dan/atau mengawasi
industri Pasar Modal dalam bidang tugas
dan fungsi yang terkait pengaturan
dan/atau pengawasan Pasar Modal.
b. untuk izin ASPM yang diajukan oleh badan usaha:
1. identitas badan usaha, yang meliputi antara
lain nama, alamat, dan kegiatan usaha;
2. fotokopi akta pendirian badan usaha yang telah
disahkan oleh instansi yang berwenang, dan
anggaran dasar terakhir atau dokumen sejenis
yang telah memperoleh persetujuan dari
instansi yang berwenang;
3. struktur organisasi dan pengurus badan usaha
serta daftar pegawai yang memiliki pengetahuan
dan/atau pengalaman di bidang keuangan
syariah muamalah dan bidang keuangan
umum;
- 9 -
4. bukti kepemilikan izin ASPM paling sedikit oleh
1 (satu) orang pengurus dan 1 (satu) orang
pegawai lainnya;
5. standar prosedur operasi yang paling sedikit
meliputi:
a) prosedur pengawasan terkait dengan
Prinsip Syariah di Pasar Modal dalam
kegiatan dan jenis usaha, serta cara
pengelolaan perusahaan; dan
pemberian
b) prosedur
kesesuaian syariah atas produk atau jasa
syariah di Pasar Modal;
6. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak badan
usaha;
7. surat pernyataan integritas anggota pengurus
badan usaha yang menyatakan terpenuhinya
persyaratan:
a) cakap melakukan perbuatan hukum;
b) memiliki akhlak dan moral yang baik;
c)
tidak pernah melakukan perbuatan tercela
dan/atau dihukum karena terbukti
melakukan tindak pidana di bidang
keuangan;
d) tidak pernah dikenakan sanksi pencabutan
izin, pembatalan persetujuan, dan/atau
pembatalan pendaftaran oleh Otoritas Jasa
Keuangan selama 3 (tiga) tahun terakhir;
e) dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir tidak
pernah dinyatakan pailit atau menjadi
pengurus yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu
dinyatakan pailit;
f)
pernyataan
perusahaan
memiliki komitmen untuk mematuhi
peraturan perundang-undangan;
g) memiliki
komitmen
terhadap
pengembangan Pasar Modal syariah; dan
- 10 -
h) bersikap independen dalam melakukan
kegiatan di bidang Pasar Modal.
8. surat pernyataan dengan meterai cukup yang
ditandatangani oleh pimpinan badan usaha
yang menyatakan kegiatan sebagai ASPM akan
dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di sektor Pasar Modal
dan peraturan perundang-undangan lain
dengan menggunakan format surat pernyataan
pimpinan badan usaha sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini; dan
9. jawaban pengurus pemohon atas daftar
pertanyaan integritas sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
(4) Izin ASPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan Otoritas Jasa Keuangan apabila pemohon telah
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3).
Pasal 5
Dalam rangka memproses permohonan izin ASPM, Otoritas
Jasa Keuangan berwenang:
a. melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen yang
disampaikan oleh pemohon; dan/atau
b. meminta keterangan kepada pemohon,
untuk memastikan kebenaran dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan pemenuhan atas
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Pasal 6
(1) Izin ASPM diberikan Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya
permohonan izin ASPM yang memenuhi syarat.
- 11 -
(2) Dalam hal permohonan izin ASPM pada saat diterima
tidak memenuhi syarat, paling lambat 45 (empat puluh
lima) hari sejak diterimanya permohonan, Otoritas Jasa
Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada
pemohon yang menyatakan bahwa:
a. permohonan belum memenuhi persyaratan; atau
b. permohonan ditolak karena tidak memenuhi
persyaratan.
(3) Pemohon wajib melengkapi kekurangan yang
dipersyaratkan dalam surat pemberitahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a paling lambat 45 (empat
puluh lima) hari setelah tanggal surat pemberitahuan.
(4) Penyampaian perubahan dokumen, tambahan informasi,
dan/atau kelengkapan kekurangan persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dianggap telah
diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal
diterimanya perubahan dokumen, tambahan informasi,
dan/atau kelengkapan kekurangan persyaratan tersebut.
(5) Sejak diterimanya perubahan dokumen, tambahan
informasi, dan/atau kelengkapan kekurangan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
permohonan izin tersebut dianggap baru diterima oleh
Otoritas Jasa Keuangan dan diproses sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(6) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan yang
dipersyaratkan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), dianggap membatalkan
permohonan izin ASPM yang sudah diajukan kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
BAB IV
MASA BERLAKU DAN PERPANJANGAN IZIN ASPM
Pasal 7
Izin ASPM untuk orang perseorangan mempunyai masa
berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.
- 12 -
Pasal 8
Izin ASPM tidak berlaku jika terjadi kondisi:
a. masa berlakunya telah berakhir;
b. setelah masa berlakunya berakhir, persetujuan
perpanjangan izin belum diberikan Otoritas Jasa
Keuangan meskipun permohonan perpanjangan izin
ASPM telah disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan
sebelum masa berlakunya berakhir;
c. dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan; atau
d. bubarnya badan usaha.
Pasal 9
(1) Permohonan perpanjangan izin ASPM sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 diajukan kepada Otoritas Jasa
Keuangan sebelum masa berlaku izin dimaksud berakhir
dengan ketentuan paling cepat 90 (sembilan puluh) hari
sebelum masa berlaku izin berakhir.
(2) Permohonan perpanjangan izin ASPM sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan menggunakan
format surat permohonan perpanjangan izin ASPM
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini dengan disertai kelengkapan
persyaratan dokumen sebagai berikut:
a.
daftar riwayat hidup terbaru yang ditandatangani
oleh pemohon dengan menggunakan format daftar
riwayat hidup sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, jika ada
perubahan data dari daftar riwayat hidup pada saat
permohonan izin ASPM;
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku;
c.
pasfoto terbaru ukuran 4x6 cm dengan latar
belakang berwarna merah sebanyak 2 (dua) lembar;
d. salinan ijazah pendidikan formal terakhir (dalam hal
terjadi perubahan);
- 13 -
e.
fotokopi dokumen pendidikan berkelanjutan yang
dilaksanakan antara tanggal berlaku hingga tanggal
berakhirnya izin ASPM; dan
f.
surat keterangan domisili, jika terdapat perbedaan
alamat domisili dengan alamat Kartu Tanda
Penduduk.
Pasal 10
(1) Perpanjangan izin ASPM diberikan Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari kerja
sejak diterimanya permohonan perpanjangan izin ASPM
yang memenuhi syarat.
(2) Dalam hal permohonan perpanjangan izin ASPM pada
saat diterima tidak memenuhi syarat, paling lambat 21
(dua puluh satu) hari kerja sejak diterimanya
permohonan, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat
pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan
bahwa:
a. permohonan belum memenuhi persyaratan; atau
b. permohonan ditolak karena tidak memenuhi
persyaratan.
(3) Penyampaian perubahan dokumen, tambahan informasi,
dan/atau kelengkapan kekurangan persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dianggap
telah diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal
diterimanya perubahan dokumen, tambahan informasi,
dan/atau kelengkapan kekurangan persyaratan tersebut.
(4) Pemohon perpanjangan izin ASPM yang tidak melengkapi
kekurangan yang dipersyaratkan sebelum masa berlaku
izin ASPM berakhir, dianggap membatalkan permohonan
perpanjangan izin ASPM yang sudah diajukan kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 11
Dalam hal masa berlaku izin ASPM telah berakhir namun
permohonan perpanjangan telah disampaikan kepada Otoritas
Jasa Keuangan sebelum masa berlaku izin berakhir, izin
- 14 -
ASPM tidak berlaku hingga terdapat persetujuan
perpanjangan izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 12
Masa berlaku izin ASPM yang mendapatkan persetujuan
perpanjangan adalah 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal
persetujuan diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 13
Apabila pada saat permohonan perpanjangan izin ASPM,
pemegang izin masih mempunyai kewajiban berdasarkan
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan
dan/atau keputusan Otoritas Jasa Keuangan yang belum
dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan berhak menolak
permohonan perpanjangan izin ASPM dimaksud.
BAB V
TUGAS, TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG
Pasal 14
(1) ASPM dalam melakukan kegiatan dapat memberikan
nasihat dan/atau mengawasi pelaksanaan penerapan
Prinsip Syariah di Pasar Modal dan memberikan
pernyataan kesesuaian syariah dalam Kegiatan Syariah
di Pasar Modal.
(2) Dalam melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ASPM wajib mendasarkan pada Prinsip Syariah
di Pasar Modal.
Pasal 15
(1) ASPM dapat ditunjuk oleh perusahaan sebagai anggota
Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli
Syariah di bidang Pasar Modal.
(2) Dalam hal ASPM merupakan badan usaha, pihak yang
dapat menandatangani dan bertanggungjawab atas
pelaksanaan tugas Dewan Pengawas Syariah atau Tim
- 15 -
Ahli Syariah adalah pengurus yang mempunyai izin
ASPM.
Pasal 16
Dalam hal ASPM merupakan anggota Dewan Pengawas
Syariah, ASPM memiliki tugas, tanggung jawab, dan
wewenang sebagai berikut:
a. memberikan nasihat dan saran kepada Direksi dan
Dewan Komisaris perusahaan mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal;
b. mengawasi pemenuhan penerapan Prinsip Syariah di
Pasar Modal dalam kegiatan usaha perusahaan;
c. melakukan penelaahan secara berkala atas penerapan
Prinsip Syariah di Pasar Modal terhadap kegiatan usaha
perusahaan;
d. memberikan peringatan tertulis kepada Direksi
perusahaan paling lama 2 (dua) hari kerja setelah
ditemukannya penyimpangan dan meminta Direksi
untuk segera melakukan upaya perbaikan paling lambat
10 (sepuluh) hari kerja setelah diterimanya peringatan
tertulis tersebut, dengan tembusan kepada Otoritas Jasa
Keuangan dan Dewan Komisaris;
e. menjaga kerahasiaan dokumen, data, dan informasi
perusahaan yang diawasi dan diberi nasihat;
f. meminta data dan informasi kepada perusahaan dalam
rangka pengawasan pelaksanaan penerapan Prinsip
Syariah di Pasar Modal;
g. mendampingi perusahaan atau mewakili perusahaan
dalam berdiskusi dengan Dewan Syariah Nasional -
Majelis Ulama Indonesia; dan
h. memberikan pernyataan kesesuaian syariah terhadap
Prinsip Syariah di Pasar Modal atas produk atau jasa
syariah di Pasar Modal.
- 16 -
Pasal 17
Dalam hal ASPM merupakan anggota Tim Ahli Syariah, ASPM
memiliki tugas, tanggung jawab dan wewenang sebagai
berikut:
a. menelaah pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal
atas produk atau jasa syariah yang diterbitkan oleh
perusahaan;
b. memberikan pendapat dan memastikan Tim Ahli Syariah
memberikan pernyataan kesesuaian syariah terhadap
Prinsip Syariah di Pasar Modal atas produk atau jasa
syariah di Pasar Modal; dan
c. meminta data dan informasi kepada perusahaan dalam
rangka memberikan nasihat dan melakukan pengawasan
pelaksanaan penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal.
BAB VI
KEWAJIBAN
Pasal 18
(1) Orang perseorangan yang memiliki izin ASPM wajib
mengikuti program pendidikan lanjutan yang
diselenggarakan oleh pihak yang diakui Otoritas Jasa
Keuangan paling sedikit 2 (dua) tahun sekali.
(2) Dalam hal tidak terdapat program pendidikan lanjutan
yang diselenggarakan oleh pihak yang diakui Otoritas
Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan dapat
menetapkan ketentuan lain berkaitan dengan kewajiban
mengikuti program pendidikan lanjutan dan
penyelenggaraan program pendidikan lanjutan.
(3) Bukti keikutsertaan dalam program pendidikan lanjutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak ASPM selesai mengikuti
program pendidikan lanjutan tersebut.
(4) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
pemenuhan persyaratan melampirkan dokumen telah
mengikuti pendidikan berkelanjutan dalam rangka
- 17 -
permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (2) huruf e mulai berlaku jika telah
terdapat penyelenggaraan program pendidikan lanjutan
yang diselenggarakan oleh pihak yang mendapat
pengakuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 19
ASPM yang merupakan badan usaha wajib melakukan
pengawasan atas pegawainya dan bertanggung jawab atas
segala tindakan yang dilakukan oleh pegawainya terkait
dengan pelaksanaan pemberian nasihat dan/atau
pengawasan pelaksanaan penerapan Prinsip Syariah di Pasar
Modal.
BAB VII
KOMITE STANDAR KEAHLIAN
Pasal 20
(1) Komite Standar Keahlian dibentuk oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Komite Standar Keahlian bertugas memberikan
rekomendasi kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam
rangka pemberian pengakuan atas sertifikat keahlian
yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan khusus.
(3) Sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diterbitkan oleh lembaga pendidikan khusus yang
memenuhi persyaratan yang ditetapkan Otoritas Jasa
Keuangan untuk menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan keahlian ASPM.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Komite Standar
Keahlian, persyaratan dan tata cara pemberian
pengakuan sertifikat keahlian, serta lembaga pendidikan
khusus diatur dalam atau berdasarkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan.
- 18 -
BAB VIII
PELAPORAN
Pasal 21
(1) ASPM wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa
Keuangan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat
belas) hari terhitung sejak yang bersangkutan mulai atau
berhenti sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah
dan/atau anggota Tim Ahli Syariah, atau pindah alamat
dengan menggunakan format laporan perubahan data
ASPM sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari
libur, laporan mulai atau berhenti sebagai anggota
Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli
Syariah, atau pindah alamat wajib disampaikan paling
lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya.
Pasal 22
(1) ASPM wajib melaporkan kegiatannya selama 1 (satu)
tahun secara berkala kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lambat pada tanggal 15 (lima belas) Januari tahun
berikutnya.
(2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan
sistem elektronik, penyampaian laporan kegiatan ASPM
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan
melalui sistem elektronik tersebut.
(3) Dalam hal tanggal 15 (lima belas) Januari jatuh pada hari
libur, laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja
berikutnya.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disusun dengan menggunakan format laporan kegiatan
ASPM sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
- 19 -
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 23
(1) ASPM yang ditunjuk oleh perusahaan sebagai anggota
Dewan Pengawas Syariah wajib menyusun laporan hasil
pengawasan tahunan Dewan Pengawas Syariah atas
pemenuhan kepatuhan terhadap Prinsip Syariah di Pasar
Modal pada perusahaan yang diawasi.
(2) Dalam hal Dewan Pengawas Syariah memperoleh
penugasan setelah awal tahun buku, laporan hasil
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup periode mulai tanggal diperolehnya penugasan
dimaksud sampai dengan tanggal berakhirnya tahun
buku.
BAB IX
PENGEMBALIAN IZIN ASPM
Pasal 24
(1) Pemegang izin ASPM dapat mengembalikan izin yang
dimilikinya kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan
menggunakan format surat pengembalian izin ASPM
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Pengembalian izin ASPM sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak serta merta menghilangkan kewajiban dan
tanggung jawab ASPM atas peraturan perundang-
undangan di sektor jasa keuangan dan/atau keputusan
Otoritas Jasa Keuangan yang belum dipenuhi yang
timbul pada saat orang perseorangan atau badan usaha
memegang izin ASPM.
- 20 -
BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 25
(1) ASPM hanya dapat menjadi anggota Dewan Pengawas
Syariah paling banyak pada 4 (empat) perusahaan yang
melakukan Kegiatan Syariah di Pasar Modal.
(2) Dalam hal ASPM merupakan badan usaha, ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi ASPM
yang merupakan pengurus badan usaha pemegang izin
ASPM.
(3) ASPM yang menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah
hanya dapat merangkap jabatan sebagai:
a. anggota Direksi paling banyak pada 2 (dua)
perusahaan lain yang melakukan kegiatan di Pasar
Modal; dan/atau
b. anggota Dewan Komisaris paling banyak pada 2
(dua) perusahaan lain yang melakukan kegiatan di
Pasar Modal.
BAB XI
KETENTUAN SANKSI
Pasal 26
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan izin kegiatan;
d. pembekuan izin kegiatan;
e. pencabutan izin kegiatan;
f. pembatalan persetujuan; dan
- 21 -
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 27
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 28
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 kepada masyarakat.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 29
(1) Orang perseorangan yang dalam 2 (dua) tahun terakhir
sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini pernah atau sedang menjadi anggota Dewan Pengawas
Syariah di bidang Pasar Modal dan/atau anggota Tim
Ahli Syariah di bidang Pasar Modal atas rekomendasi
Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia, tetap
dapat melanjutkan menjadi anggota Dewan Pengawas
Syariah dan/atau anggota Tim Ahli Syariah tanpa
mempunyai izin ASPM sebagaimana dimaksud dalam
- 22 -
Pasal 2 paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
sepanjang yang bersangkutan melapor kepada Otoritas
Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan sejak
berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
menggunakan format laporan status sebagai anggota
Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli
Syariah di bidang Pasar Modal sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(3) Dalam hal orang perseorangan yang sedang menjadi
anggota Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim
Ahli Syariah di bidang Pasar Modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak menyampaikan laporan
kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam jangka waktu 6
(enam) bulan, yang bersangkutan tidak dapat
menjalankan kegiatan sebagai anggota Dewan Pengawas
Syariah dan/atau anggota Tim Ahli Syariah tanpa
memiliki izin ASPM.
(4) Orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib memiliki izin ASPM untuk tetap dapat
melakukan kegiatan sebagai anggota Dewan Pengawas
Syariah dan/atau anggota Tim Ahli Syariah setelah
berakhirnya masa 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(5) Orang perseorangan yang pernah diangkat atas
rekomendasi Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama
Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini, namun pada saat berlakunya Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini tidak sedang menjadi anggota
Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli
Syariah di bidang Pasar Modal, wajib memiliki izin ASPM
untuk dapat melakukan kegiatan sebagai anggota Dewan
Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli Syariah.
- 23 -
Pasal 30
(1) Dalam hal permohonan untuk memiliki izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (4) dilakukan dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, orang perseorangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) wajib
memenuhi persyaratan integritas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan persyaratan
kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) huruf b atau memiliki pengetahuan memadai di
bidang Pasar Modal yang dibuktikan dengan memiliki
pengalaman:
a. sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah di bidang
Pasar Modal atau pengalaman sebagai anggota
Dewan Pengawas Syariah di bidang keuangan lain
paling sedikit 1 (satu) tahun dalam kurun waktu 10
(sepuluh) tahun terakhir sebelum berlakunya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan/atau
b. sebagai anggota Tim Ahli Syariah di bidang Pasar
Modal paling sedikit 3 (tiga) kali penugasan dalam
kurun waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir sebelum
berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Dalam hal permohonan untuk memiliki izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (4) dilakukan setelah
berakhirnya jangka waktu selama 2 (dua) tahun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang
perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
ayat (2) dan ayat (3) wajib memenuhi persyaratan
integritas dan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1).
(3) Dalam hal permohonan izin ASPM sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menggunakan persyaratan
kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan/atau huruf b, permohonan izin ASPM wajib disertai
bukti pengalaman sebagai Dewan Pengawas Syariah
dan/atau Tim Ahli Syariah berupa surat
keterangan/penugasan/penunjukan sebagai anggota
- 24 -
Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli
Syariah.
Pasal 31
(1) Dalam hal Komite Standar Keahlian belum berfungsi
secara efektif, sertifikat pengetahuan di bidang Pasar
Modal dalam rangka perizinan ASPM sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b angka 2 huruf
a) dapat menggunakan:
a.
sertifikat yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan di bidang Pasar Modal diakui oleh
Otoritas Jasa Keuangan, kecuali sertifikat
kecakapan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana;
b.
c.
sertifikat lain yang disetujui Otoritas Jasa
Keuangan; atau
sertifikat yang akan diterbitkan oleh lembaga
pendidikan tertentu yang bekerja sama dengan
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf b yang diterbitkan sejak tahun 2014 sampai
dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini, dapat digunakan sebagai pemenuhan syarat memiliki
pengetahuan di bidang Pasar Modal yang memadai dalam
pengajuan permohonan izin ASPM berdasarkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini paling lama 2 (dua)
tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 32
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 25 -
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 November 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 November 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H.LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 267
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 16 /POJK.04/2015
TENTANG
AHLI SYARIAH PASAR MODAL
I. UMUM
Kepercayaan pasar merupakan hal yang sangat penting dalam
mengembangkan Pasar Modal syariah agar dapat tumbuh, stabil, dan
berkelanjutan. Salah satu hal yang mendasar dalam membangun
kepercayaan pasar tersebut adalah terdapatnya pihak yang mendapat izin
dari otoritas untuk dapat memberikan nasihat dan melakukan
pengawasan mengenai penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal sehingga
pada akhirnya dapat memberikan keyakinan kepada seluruh pelaku pasar
bahwa Prinsip Syariah di Pasar Modal telah dijalankan secara konsisten
dan berkelanjutan.
Saat ini belum terdapat pengaturan mengenai pihak yang dapat
memberikan nasihat dan melakukan pengawasan mengenai penerapan
Prinsip Syariah di Pasar Modal. Dalam praktik selama ini, pelaksanaan
pemberian nasihat dan pengawasan Prinsip Syariah Pasar Modal dalam
kegiatan usaha perusahaan serta pemberian opini mengenai kesesuaian
terhadap Prinsip Syariah di Pasar Modal atas produk atau jasa syariah di
Pasar Modal, dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah dan Tim Ahli
Syariah atas rekomendasi Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama
Indonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut, serta dalam upaya mendorong
percepatan perkembangan Pasar Modal syariah dan menetapkan
standarisasi persyaratan dan kompetensi pihak-pihak yang dapat
melakukan jasa kesyariahan, dipandang perlu adanya pengaturan
- 2 -
mengenai ASPM termasuk tata cara perizinan ASPM. Pihak-pihak yang
telah memperoleh izin ASPM tersebut selanjutnya dapat berperan sebagai
anggota Dewan Pengawas Syariah atau Tim Ahli Syariah.
Di sisi lain, pengaturan mengenai ASPM diperlukan pula dalam
rangka melakukan pengawasan atas pihak-pihak yang melakukan jasa
kesyariahan di Pasar Modal, antara lain melalui pengaturan mengenai
kewajiban penyampaian laporan oleh ASPM atas pelaksanaan tugasnya
dalam satu tahun.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
- 3 -
Angka 9
Persyaratan “sikap independen” bagi ASPM
dimaksudkan agar ASPM dalam memberikan nasihat
dan melakukan pengawasan penerapan Prinsip
Syariah di Pasar Modal dilakukan secara independen
yaitu secara profesional dan bebas dari pengaruh
Pihak yang memberikan tugas dan menggunakan jasa
ASPM tersebut dan/atau afiliasinya sehingga pendapat
atau penilaian yang diberikan objektif dan wajar.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Yang dimaksud dengan “Profesi Penunjang Pasar
Modal” dalam huruf ini adalah Profesi Penunjang
Pasar Modal sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Pasar Modal.
Huruf c)
Cukup jelas.
Angka 3
Contoh dari “lembaga yang diakui oleh Otoritas Jasa
Keuangan” adalah Dewan Syariah Nasional - Majelis
Ulama Indonesia.
Angka 4
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “sarana yang menunjang
kegiatan pemberian nasihat dan pengawasan
- 4 -
pelaksanaan penerapan Prinsip Syariah di Pasar
Modal” adalah fasilitas yang digunakan oleh ASPM
sebagai penunjang dalam rangka proses pemberian
nasihat dan pengawasan, seperti ruang kerja dan
sistem teknologi informasi.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a.
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Jawaban pengurus pemohon atas daftar pertanyaan
integritas berlaku untuk seluruh anggota pengurus
pemohon.
- 5 -
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Huruf a
Ketidakberlakuan izin ASPM karena kondisi masa berlakunya
berakhir hanya berlaku bagi izin ASPM untuk orang
perseorangan karena izin dimaksud mempunyai masa berlaku 5
(lima) tahun.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pengurus” antara lain:
a. bagi badan usaha yang berbentuk badan hukum
Perusahaan Umum adalah Direksi sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara;
b. bagi badan usaha yang berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas; dan
c. bagi badan usaha yang berbentuk badan hukum Koperasi
adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Perkoperasian.
Pasal 16
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
- 7 -
Huruf g
Untuk mewakili perusahaan dalam berdiskusi dengan Dewan
Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia, ASPM perlu
memperoleh kuasa dari perusahaan.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Contoh “pihak yang diakui Otoritas Jasa Keuangan” adalah
asosiasi atau lembaga lain yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Program pendidikan lanjutan tersebut dapat terdiri dari
pendidikan keuangan di sektor Pasar Modal syariah dan/atau
sektor Pasar Modal umum.
Yang dimaksud dengan “pengakuan dari Otoritas Jasa
Keuangan” meliputi:
a. persetujuan Otoritas Jasa Keuangan kepada pihak lain
yang mengajukan permohonan untuk menyelenggarakan
pendidikan di bidang Pasar Modal; dan/atau
b. penunjukan Otoritas Jasa Keuangan kepada pihak lain
untuk menyelenggarakan pendidikan di bidang Pasar
Modal.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
ASPM yang ditunjuk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada
Manajer Investasi yang mengelola lebih dari 1 (satu) Reksa Dana
Syariah diperhitungkan sebagai 1 (satu) jabatan di 1 (satu)
perusahaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa
penundaan pemberian perpanjangan izin ASPM.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tetap dapat melanjutkan menjadi
anggota Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli
- 9 -
Syariah” adalah orang perseorangan tersebut tetap dapat
menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota
Tim Ahli Syariah untuk melanjutkan tugasnya pada perusahaan
tersebut atau menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah
dan/atau anggota Tim Ahli Syariah pada perusahaan lain.
Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
anggota Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat ini mencakup anggota
Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli Syariah
dalam rangka penerbitan Sukuk, penerbitan Efek Syariah
berupa Saham, penerbitan Reksa Dana Syariah, dan penerbitan
Efek Beragun Aset Syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “berfungsi secara efektif” adalah Komite
Standar Keahlian telah memberikan rekomendasi atas sertifikat
keahlian yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan khusus di
bidang Pasar Modal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5756
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN
PERATURAN OTORITAS JASA
KEUANGAN NOMOR 16/POJK.04/2015
TENTANG
AHLI SYARIAH PASAR MODAL
- 2 -
PERMOHONAN IZIN AHLI SYARIAH PASAR MODAL
(bagi pemohon orang perseorangan)
Nomor
:
Lampiran :
Perihal
: Permohonan Izin ASPM
Kepada
Yth. Kepala Eksekutif
Pengawas Pasar Modal
Otoritas Jasa Keuangan
di Jakarta
Dengan ini saya mengajukan permohonan izin ASPM. Sebagai bahan
pertimbangan, bersama ini saya sampaikan data sebagai berikut:
1. Nama pemohon
2. Alamat pemohon
:
:
..................................................................
..................................................................
(nama
jalan
dan
.......................................... -
(kota dan kode pos)
3. Nomor telepon pemohon :
..................................................................
Untuk melengkapi permohonan ini, bersama ini kami lampirkan
dokumen sebagai berikut:
1. daftar riwayat hidup terbaru yang telah ditandatangani;
2. surat pernyataan pemenuhan persyaratan integritas dengan meterai
cukup dan telah ditandatangani;
3. fotokopi Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku;
4. surat keterangan domisili (apabila terdapat perbedaan alamat domisili
dengan alamat Kartu Tanda Penduduk);
5. 2 (dua) lembar pasfoto terbaru berlatar belakang warna merah dan ukuran
4x6 cm;
6. surat keterangan perbedaan nama dari pejabat/instansi berwenang, jika
terdapat perbedaan nama pemohon dengan dokumen yang dilampirkan.
7. salinan ijazah pendidikan formal terakhir;
8. jawaban atas daftar pertanyaan integritas pemohon sesuai dengan daftar
pertanyaan integritas yang telah ditandatangani;
nomor)
............... , ................................
- 3 -
9. fotokopi sertifikat pengetahuan di bidang syariah muamalah dari lembaga
yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan;
10. rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia; dan
11. fotokopi:
a.
sertifikat pengetahuan di bidang pasar modal yang diakui oleh
Otoritas Jasa Keuangan dan diterbitkan oleh lembaga pendidikan
khusus di bidang Pasar Modal berdasarkan rekomendasi dari Komite
Standar Keahlian;
b.
izin orang perseorangan dari Otoritas Jasa Keuangan sebagai Wakil
Penjamin Emisi Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek, atau Wakil
Manajer Investasi;
c. surat tanda terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan sebagai Profesi
Penunjang Pasar Modal; atau
d. bukti pengalaman kerja pada institusi pengawas Pasar Modal
dan/atau organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang
tentang Pasar Modal untuk mengatur dan/atau mengawasi industri
Pasar Modal dalam bidang tugas dan fungsi yang terkait pengaturan
dan/atau pengawasan Pasar Modal.
Demikian permohonan ini kami ajukan dan atas perhatiannya kami
ucapkan terima kasih.
Pemohon,
Meterai
..............................................
(nama jelas dan tanda tangan)
- 4 -
PERMOHONAN IZIN AHLI SYARIAH PASAR MODAL
(bagi pemohon berbentuk badan usaha)
Nomor
:
Lampiran :
Perihal
: Permohonan Izin ASPM
Kepada
Yth. Kepala Eksekutif
Pengawas Pasar Modal
Otoritas Jasa Keuangan
di Jakarta
Dengan ini kami mengajukan permohonan izin ASPM. Sebagai bahan
pertimbangan, bersama ini kami sampaikan data sebagai berikut:
1. Nama pimpinan badan
usaha
2. Nama badan usaha
3. Kegiatan usaha
4. Alamat lengkap badan
usaha
: .....................................................................
: .....................................................................
: .....................................................................
: ......................................................................
(nama jalan dan nomor)
................................................. -
(kota dan kode pos)
5. Nomor telepon badan
usaha
: ......................................................................
............... , ................................
Untuk melengkapi permohonan ini, bersama ini kami lampirkan dokumen
sebagai berikut:
1. fotokopi akta pendirian badan usaha yang telah disahkan oleh instansi
yang berwenang, dan anggaran dasar terakhir atau dokumen sejenisnya
yang telah memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang;
2. struktur organisasi dan pengurus badan usaha serta daftar pegawai yang
memiliki pengetahuan dan/atau pengalaman di bidang keuangan syariah
muamalah dan bidang keuangan umum;
3. bukti kepemilikan izin ASPM paling sedikit oleh 1 (satu) orang pengurus
dan 1 (satu) orang pegawai lainnya;
- 5 -
4. standar prosedur operasi badan usaha;
5. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak badan usaha;
6. surat pernyataan pemenuhan persyaratan integritas anggota pengurus
badan usaha dengan materai cukup yang telah ditandatangani;
7. surat pernyataan dengan meterai cukup yang ditandatangani oleh
pimpinan badan usaha yang menyatakan kegiatan sebagai ASPM akan
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor
Pasar Modal dan peraturan perundang-undangan lain;
8. jawaban pengurus atas daftar pertanyaan integritas yang telah
ditandatangani; dan
Demikian permohonan ini kami ajukan dan atas perhatiannya kami
ucapkan terima kasih.
Pemohon,
Meterai
..............................................
(nama jelas dan tanda tangan pimpinan
badan usaha)
- 6 -
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi
1. Nama
2. Tempat & tanggal
lahir
3. Jenis kelamin
4. Agama
5. Kewarganegaraan
6. Alamat
: .............................................................................
: .............................................................................
: .............................................................................
: .............................................................................
: .............................................................................
: ..............................................................................
(nama jalan dan nomor)
................................................. -
(kota dan kode pos)
7. Nomor telepon
: ..............................................................................
8. Nomor telepon seluler : .............................................................................
9. Email
10. Izin perseorangan
yang dimiliki
Riwayat Pendidikan
1. Formal
Tingkat
Pendidikan
Jurusan/Spesialisasi Nama/Tempat Tahun Lulus
: .............................................................................
: 1)
...................................................................
2)
...................................................................
2. Non Formal (bersertifikat)
Kursus/ Seminar
Penyelenggara
Tahun
3. Pendidikan Keahlian(Profesi)
Sertifikasi
Penyelenggara
Tahun Lulus
- 7 -
4. Riwayat Kerja
Nama
Perusahaan
Jabatan
Uraian
Tugas
Tanggal Mulai
Bekerja
Tanggal
Berhenti Kerja
Alasan
Keluar
..............., ...................................
(tempat dan tanggal)
....................................................
(nama jelas dan tanda tangan)
- 8 -
SURAT PERNYATAAN PERSYARATAN INTEGRITAS
(bagi pemohon orang perseorangan)
Saya yang bertandatangan di bawah ini :
1. Nama
2. Alamat
lengkap
: ........................................................................................
: .........................................................................................
(nama jalan dan nomor)
................................................. -
(kota dan kode pos)
3. Nomor telepon : .........................................................................................
dengan ini menyatakan bahwa saya:
a. cakap/tidak cakap*) melakukan perbuatan hukum;
b. memiliki akhlak dan moral yang baik;
c. pernah/tidak pernah*) melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum
karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang jasa keuangan;
d. pernah/tidak pernah*) dikenakan sanksi dalam menjalankan Kegiatan
Syariah di Pasar Modal karena tidak sesuai dengan Prinsip Syariah di
Pasar Modal, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dan/atau peraturan
perundang-undangan lainnya yang terkait dengan syariah di bidang Pasar
Modal selama 3 (tiga) tahun terakhir;
e. pernah/tidak pernah*) dikenakan sanksi pencabutan izin, pembatalan
persetujuan, dan/atau pembatalan pendaftaran oleh Otoritas Jasa
Keuangan selama 3 (tiga) tahun terakhir;
f.
pernah/tidak pernah*) dinyatakan pailit atau menjadi pengurus yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit
dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir;
g. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan;
h. memiliki komitmen terhadap pengembangan Pasar Modal syariah; dan
i.
memiliki sikap independen dalam melakukan kegiatan di bidang Pasar
Modal.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya agar dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya.
..............., ...............................
(tempat dan tanggal)
Pemohon
Meterai
..................................................
(nama jelas dan tanda tangan)
Keterangan:
*) coret yang tidak perlu
- 9 -
SURAT PERNYATAAN PERSYARATAN INTEGRITAS
(seluruh anggota pengurus bagi pemohon berbentuk badan usaha)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
1. Nama
2. Kedudukan
3. Nama badan
usaha
: ....................................................................................
: ........... (nama jabatan sebagai pengurus pemohon izin
ASPM berupa badan usaha)
: ....................................................................................
4. Alamat lengkap : .....................................................................................
(nama jalan dan nomor)
................................................. -
(kota dan kode pos)
5. Nomor telepon
: .....................................................................................
dengan ini menyatakan bahwa saya:
a. cakap/tidak cakap*) melakukan perbuatan hukum;
b. memiliki akhlak dan moral yang baik;
c. pernah/tidak pernah*) melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum
karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan;
d. pernah/tidak pernah*) dikenakan sanksi pencabutan izin, pembatalan
persetujuan, dan/atau pembatalan pendaftaran oleh Otoritas Jasa
Keuangan selama 3 (tiga) tahun terakhir;
e. pernah/tidak pernah*) dinyatakan pailit atau menjadi pengurus yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit
dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir;
f. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan;
g. memiliki komitmen terhadap pengembangan Pasar Modal syariah; dan
h. bersikap independen dalam melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya agar dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya.
..............., ...............................
(tempat dan tanggal)
Meterai
..................................................
(nama jelas dan tanda tangan)
Keterangan:
*) coret yang tidak perlu
- 10 -
DAFTAR PERTANYAAN INTEGRITAS
I. PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN
1. Semua pertanyaan wajib dijawab oleh pemohon/seluruh pengurus
pemohon untuk pemohon berbentuk badan usaha.
2. Berilah tanda dalam kotak di depan kata “ya”, jika jawaban
Saudara/pengurus “Ya”, atau berilah tanda dalam kotak di depan
kata “Tidak” jika jawaban Saudara/Pengurus atas pertanyaan berikut
adalah “tidak”.
3. Untuk setiap jawaban "Ya", pemohon/seluruh pengurus pemohon wajib
memberikan jawaban secara rinci dan jelas dalam lembaran terpisah
yang antara lain memuat:
a. Lembaga-lembaga yang bersangkutan;
b. Kasus dan tanggal dari tindakan yang dilakukan;
c. Pengadilan atau lembaga yang mengambil tindakan; dan
d. Tindakan dan sanksi yang dilakukan.
II. INTEGRITAS PEMOHON
Definisi
Investasi adalah kegiatan atas Efek, perbankan, asuransi, dana pensiun,
koperasi, lembaga keuangan lainnya, termasuk kegiatan, baik langsung
maupun tidak langsung, berhubungan dengan Perusahaan Efek, Penasihat
Investasi, Bank atau perusahaan lain yang bergerak di bidang keuangan,
dan/atau kegiatan investasi lainnya di sektor riil misalnya usaha
perumahan atau real estat.
Jawablah pertanyaan di bawah ini:
1. Dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir, apakah Saudara
pernah dihukum karena:
a. tindak pidana yang berhubungan dengan investasi?
ya tidak
b. atau kejahatan lain?
ya tidak
2. Apakah pengadilan pernah:
a. menyatakan Saudara pailit?
ya tidak
- 11 -
b. dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir melarang
Saudara dalam kegiatan yang berhubungan dengan investasi?
c. menyatakan Saudara telah terbukti bersalah karena terlibat dalam
pelanggaran hukum (tindak pidana) yang berhubungan dengan
investasi dan/atau terlibat dalam pelanggaran hukum peraturan
perundang-undangan di bidang jasa keuangan?
d. membekukan/menghentikan untuk sementara, membatasi, atau
mencabut izin (atau perizinan lainnya yang sejenis dengan izin)
yang Saudara miliki?
3. Apakah Otoritas Jasa Keuangan pernah:
a. menyatakan dan/atau mendapatkan Saudara membuat
pernyataan palsu, menyesatkan atau tidak jujur, tidak adil atau
tidak etis, atau lalai memberikan keterangan yang seharusnya
diberikan?
b. menyatakan dan/atau mendapatkan Saudara terlibat dalam
pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang Pasar
Modal?
c. menyatakan Saudara telah terbukti bersalah, karena terlibat
dalam kegiatan investasi sehingga izin usaha (atau izin lainnya
yang sejenis dengan izin usaha) yang dimiliki perusahaan lain
dibekukan, dibatasi atau dicabut/dibatalkan?
d. menolak permohonan Izin, Persetujuan, atau Pendaftaran/Surat
Tanda Terdaftar yang Saudara ajukan?
e. mengenakan sanksi berupa membekukan, membatasi kegiatan
atau mencabut/membatalkan Izin, Persetujuan, atau
Pendaftaran/Surat Tanda Terdaftar yang Saudara miliki, misalnya
Surat Tanda Terdaftar sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal
seperti Akuntan, Konsultan Hukum, Penilai, atau Notaris?
- 12 -
4. Apakah instansi berwenang lainnya pernah:
a. menyatakan dan/atau mendapatkan Saudara, membuat
pernyataan palsu, menyesatkan atau tidak jujur, tidak adil atau
tidak etis?
ya tidak
b. menyatakan dan/atau mendapatkan Saudara terlibat dalam
pelanggaran atas peraturan perundang-undangan sehubungan
dengan kegiatan investasi?
ya tidak
c. menyatakan dan/atau mendapatkan Saudara menyebabkan suatu
perusahaan berhubungan dengan Investasi yang permohonan izin
usahanya ditolak atau izin usahanya (atau izin lainnya yang
sejenis dengan izin usaha) dibekukan/dihentikan untuk
sementara, dibatasi, atau dicabut?
ya tidak
d. memerintahkan untuk melarang Saudara dalam hubungannya
dengan kegiatan investasi dalam jangka waktu 10 (sepuluh ) tahun
terakhir?
ya tidak
e. menolak permohonan izin (perizinan lainnya yang sejenis dengan
izin), atau membekukan/menghentikan untuk sementara,
membatasi, atau mencabut izin (perizinan lainnya yang sejenis
dengan izin) yang Saudara miliki untuk bergerak dalam kegiatan
investasi?
ya tidak
f. menolak permohonan izin (perizinan lainnya yang sejenis dengan
izin), atau membekukan/menghentikan untuk sementara,
membatasi, atau mencabut izin (perizinan lainnya yang sejenis
dengan izin) yang Saudara miliki untuk bergerak selain dalam
kegiatan investasi, misalnya Surat Tanda Terdaftar sebagai Profesi
Penunjang Pasar Modal seperti Akuntan, Konsultan Hukum,
Penilai, atau Notaris?
ya tidak
- 13 -
5. Apakah Bursa Efek pernah:
a. menyatakan dan/atau mendapatkan Saudara membuat
pernyataan palsu, menyesatkan atau tidak jujur, tidak adil atau
tidak etis, atau lalai memberikan keterangan yang seharusnya
diberikan?
ya tidak
b. menyatakan dan/atau mendapatkan Saudara terlibat dalam
pelanggaran terhadap Peraturan Bursa Efek?
ya tidak
c. menertibkan Saudara dengan mengeluarkan atau menghentikan
sementara Perusahaan Efek tempat Saudara bekerja dari
keanggotaan suatu Bursa Efek yang diakibatkan oleh kesalahan
Saudara, dengan cara membatasi atau menghentikan sementara
hubungan Perusahaan Efek dimaksud dengan anggota Bursa Efek
lainnya.
ya tidak
6. Apakah pengadilan negara lain pernah menyatakan bahwa Saudara
telah bersalah karena adanya tuntutan tindak pidana atau gugatan
perdata dalam hubungannya dengan investasi?
ya tidak
7. Apakah Saudara pada saat ini merupakan pihak yang sedang
berperkara di pengadilan?
ya tidak
8. Apakah Saudara mempunyai komitmen, ikatan tertentu, atau
kewajiban bersyarat terhadap Pihak ketiga yang perkaranya sedang
diproses atau telah memperoleh keputusan dari pengadilan?
ya tidak
.........., ...........................
(tempat dan tanggal)
Pemohon,
Meterai
..............................................
(nama jelas dan tanda tangan)
- 14 -
SURAT PERNYATAAN PIMPINAN BADAN USAHA
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
Kedudukan
:
:
Nama badan usaha :
Alamat lengkap
:
......................................................................................
........... (nama jabatan sebagai pimpinan pemohon izin
ASPM berupa badan usaha)
......................................................................................
.......................................................................................
(nama jalan dan nomor)
................................................. -
(kota dan kode pos)
Nomor telepon
Email
:
:
.......................................................................................
.......................................................................................
dengan ini menyatakan bahwa perusahaan akan melaksanakan kegiatan
sebagai ASPM sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar
Modal dan peraturan lain yang berlaku.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya agar
dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
..............., .................................
(tempat dan tanggal)
Meterai
..................................................
(nama dan tanda tangan)
- 15 -
SURAT PERMOHONAN PERPANJANGAN IZIN AHLI SYARIAH PASAR
MODAL
Nomor
:
Lampiran :
Perihal
............... , ................................
: Permohonan Perpanjangan Izin ASPM
Kepada
Yth. Kepala Eksekutif
Pengawas Pasar Modal
Otoritas Jasa Keuangan
di Jakarta
Dengan ini kami mengajukan permohonan perpanjangan izin ASPM sesuai
dengan Surat Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor
.................. tanggal ................... Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini
kami sampaikan data sebagai berikut:
1. Nama
pemohon
2. Alamat
lengkap
: .........................................................................................
(nama jalan dan nomor)
................................................. -
(kota dan kode pos)
3. Nomor telepon : .........................................................................................
Untuk melengkapi permohonan ini, bersama ini kami lampirkan dokumen
sebagai berikut:
a. daftar riwayat hidup terbaru yang telah ditandatangani (jika ada
perubahan data dari daftar riwayat hidup pada saat permohonan izin
ASPM);
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku;
c. 2 (dua) lembar pasfoto terbaru dengan latar belakang warna merah dan
ukuran 4x6 cm;
d. salinan ijazah pendidikan formal terakhir (dalam hal terjadi perubahan);
e.
fotokopi dokumen pendidikan berkelanjutan yang dilaksanakan antara
tanggal berlaku hingga tanggal berakhirnya izin ASPM; dan
: ........................................................................................
- 16 -
f.
surat keterangan domisili (jika terdapat perbedaan alamat domisili dengan
alamat Kartu Tanda Penduduk).
Demikian permohonan ini kami ajukan dan atas perhatiannya kami
ucapkan terima kasih.
Pemohon,
Meterai
.........................................
(nama jelas dan tanda tangan)
- 17 -
LAPORAN PERUBAHAN DATA AHLI SYARIAH PASAR MODAL
(bagi pemegang izin ASPM orang perseorangan)
Nomor
:
Lampiran :
Perihal
: Laporan Perubahan Data ASPM
Kepada
Yth. Kepala Eksekutif
Pengawas Pasar Modal
Otoritas Jasa Keuangan
di Jakarta
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
1. Nama
2. Alamat lengkap
: ................................................................................
: .................................................................................
(nama jalan dan nomor)
................................................. -
(kota dan kode pos)
3. Nomor telepon
4. Nomor SK izin
ASPM
5. Tanggal SK izin
ASPM
: .................................................................................
: .................................................................................
: .................................................................................
............... , ................................
sesuai dengan Pasal ... Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor .............
tentang Ahli Syariah Pasar Modal tanggal ……………., melapor bahwa saya
mulai bekerja pada…………./telah berhenti bekerja sebagai anggota Dewan
Pengawas Syariah pada ………………(nama perusahaan)/anggota Tim Ahli
Syariah........................*) dan/atau pindah alamat ke………………… (alamat
baru) sejak tanggal ...................
Sehubungan dengan hal tersebut, bersama ini terlampir kami sampaikan
dokumen pendukung berupa surat penunjukan sebagai anggota Dewan
Pengawas Syariah pada ………………(nama perusahaan)/anggota Tim Ahli
Syariah ........................*) dan/atau pindah alamat*).
- 18 -
Demikian disampaikan, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
..............................................
(nama jelas dan tanda tangan)
Keterangan:
*) diisi sesuai dengan perubahan data yang terjadi
- 19 -
LAPORAN PERUBAHAN DATA AHLI SYARIAH PASAR MODAL
(bagi pemegang izin ASPM berbentuk badan usaha)
Nomor
:
Lampiran :
Perihal
: Laporan Perubahan Data ASPM
Kepada
Yth. Kepala Eksekutif
Pengawas Pasar Modal
Otoritas Jasa Keuangan
di Jakarta
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
1. Nama
: ................................................................................
2. Nama badan usaha :
3. Alamat lengkap
: .................................................................................
(nama jalan dan nomor)
................................................. -
(kota dan kode pos)
4. Nomor telepon
5. Nomor SK izin
ASPM
6. Tanggal SK izin
ASPM
: .................................................................................
: .................................................................................
: .................................................................................
............... , ................................
sesuai dengan Pasal ... Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor .............
tentang Ahli Syariah Pasar Modal, untuk dan atas nama ............... (nama
badan usaha) pemegang izin ASPM tersebut di atas dengan ini melapor bahwa
............... (nama badan usaha) mulai bekerja pada…………./telah berhenti
bekerja sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah pada ………………(nama
perusahaan)/anggota Tim Ahli Syariah........................*) dan/atau pindah
alamat ke………………… (alamat baru) sejak tanggal ...................
Sehubungan dengan hal tersebut, bersama ini terlampir kami sampaikan
dokumen pendukung berupa surat penunjukan sebagai anggota Dewan
- 20 -
Pengawas Syariah pada ………………(nama perusahaan)/anggota Tim Ahli
Syariah ........................*) dan/atau pindah alamat*).
Demikian disampaikan, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih
...............................................
(nama jelas dan tanda tangan)
Keterangan:
*) diisi sesuai dengan perubahan data yang terjadi
- 21 -
LAPORAN KEGIATAN AHLI SYARIAH PASAR MODAL
Nomor
:
............... , ................................
Lampiran :
Perihal
: Penyampaian Laporan
Kegiatan ASPM Tahun..….....
Kepada
Yth. Kepala Eksekutif
Pengawas Pasar Modal
Otoritas Jasa Keuangan
di Jakarta
Dengan hormat,
Sehubungan dengan pelaksanaan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor ….....… tanggal ……… tentang Ahli Syariah Pasar Modal, bersama ini
terlampir kami sampaikan laporan kegiatan kami sebagai ASPM pada
tahun……..
Demikian kami sampaikan.
.................................................
(nama jelas dan tanda tangan)
- 22 -
LAPORAN KEGIATAN AHLI SYARIAH PASAR MODAL
Tahun ..........
1. Sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah*)
No.
Nama Perusahaan
(dimana yang
bersangkutan
menjadi anggota
Dewan Pengawas
Syariah)
1.
2.
3.
2. Sebagai anggota Tim Ahli Syariah*)
No.
Nama Perusahaan
(dimana yang
bersangkutan
menjadi anggota Tim
Ahli Syariah)
1.
2.
3.
3. Kegiatan selain sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah dan/atau
anggota Tim Ahli Syariah
Nama
No.
1.
2.
3.
Perusahaan/produk
/pihak yang
diberikan jasa
Waktu
Kegiatan
Keterangan
Periode
Nomor dan tanggal
Surat Keputusan/
Surat Penunjukan/
Pengangkatan **)
Periode
Nomor dan tanggal
Surat Keputusan/
Surat Penunjukan/
Keputusan Rapat
Umum Pemegang
Saham **)
Keterangan
Keterangan
- 23 -
4. Sebutkan karya ilmiah, buku, atau tulisan yang diterbitkan*) :
a. ............................................................................................................
b. ............................................................................................................
c. ............................................................................................................
Catatan:
*) Jika tidak ada, isi nihil.
**) Fotokopi bukti pendukung dilampirkan.
.............., ...................................
(tempat dan tanggal)
...................................................
(nama jelas dan tanda tangan)
- 24 -
SURAT PENGEMBALIAN IZIN AHLI SYARIAH PASAR MODAL
(bagi pemegang izin ASPM orang perseorangan)
Nomor
:
Lampiran :
Perihal
: Pengembalian Izin ASPM
Kepada
Yth. Kepala Eksekutif
Pengawas Pasar Modal
Otoritas Jasa Keuangan
di Jakarta
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
1. Nama
2. Alamat lengkap
: ................................................................................
: .................................................................................
(nama jalan dan nomor)
................................................. -
(kota dan kode pos)
3. Nomor telepon
: .................................................................................
dengan ini secara sukarela mengembalikan izin ASPM yang telah
diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada saya. Adapun alasan saya
mengembalikan izin dimaksud yaitu ...............................................................
Sehubungan dengan hal tersebut, bersama ini terlampir saya sampaikan
asli Surat Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor
........... tanggal ........ tentang Pemberian Izin Ahli Syariah Pasar Modal kepada
saya.
Demikian disampaikan, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
............... , ................................
..............................................
(nama jelas dan tanda tangan)
- 25 -
SURAT PENGEMBALIAN IZIN AHLI SYARIAH PASAR MODAL
(bagi pemegang izin ASPM berbentuk badan usaha)
Nomor
:
Lampiran :
Perihal
: Pengembalian Izin ASPM
Kepada
Yth. Kepala Eksekutif
Pengawas Pasar Modal
Otoritas Jasa Keuangan
di Jakarta
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
1. Nama
2.
: ....................................................................................
Kedudukan
3. Nama badan
usaha
4.
: ........... (nama jabatan sebagai pimpinan pemohon izin
ASPM berupa badan usaha)
: ....................................................................................
Alamat lengkap : .....................................................................................
(nama jalan dan nomor)
................................................. -
(kota dan kode pos)
5.
Nomor telepon : .....................................................................................
dengan ini secara sukarela mengembalikan izin ASPM yang telah diberikan
oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada .......................... (nama badan usaha).
Adapun alasan .......................... (nama badan usaha) mengembalikan izin
ASPM yaitu .......................................................................................................
Sehubungan dengan hal tersebut, bersama ini terlampir saya
sampaikan asli Surat Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan
Nomor ........... tanggal ............ tentang Pemberian Izin Ahli Syariah Pasar
Modal kepada ........... (nama badan usaha).
Demikian disampaikan, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
............... , ................................
..............................................
(nama jelas dan tanda tangan)
- 26 -
LAPORAN STATUS SEBAGAI ANGGOTA DEWAN PENGAWAS SYARIAH
DAN/ATAU ANGGOTA TIM AHLI SYARIAH
Nomor
:
Lampiran :
Perihal
............... , ................................
: Laporan Status Sebagai Anggota
Dewan Pengawas Syariah/Tim Ahli Syariah/
Dewan Pengawas Syariah dan Tim Ahli Syariah *)
Kepada
Yth. Kepala Eksekutif
Pengawas Pasar Modal
Otoritas Jasa Keuangan
di Jakarta
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor ........................ tentang Ahli Syariah Pasar Modal tanggal ....................,
dengan ini saya:
1. Nama
2. Alamat
lengkap
: ........................................................................................
: .........................................................................................
(nama jalan dan nomor)
................................................. -
(kota dan kode pos)
3. Nomor telepon : .........................................................................................
4. Email
: .........................................................................................
melaporkan bahwa dalam 2 (dua) tahun terakhir sebelum berlakunya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tersebut di atas, saya pernah atau sedang
menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah di bidang Pasar Modal dan/atau
anggota Tim Ahli Syariah di bidang Pasar Modal atas rekomendasi Dewan
Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia, dengan rincian sebagaimana
tercantum dalam daftar riwayat sebagai Dewan Pengawas Syariah/Tim Ahli
Syariah/Dewan Pengawas Syariah dan Tim Ahli Syariah.
Untuk melengkapi laporan ini, bersama ini saya lampirkan dokumen
sebagai berikut:
a. daftar riwayat hidup terbaru yang telah ditandatangani;
b. daftar riwayat sebagai Dewan Pengawas Syariah/Tim Ahli Syariah/Dewan
Pengawas Syariah dan Tim Ahli Syariah;
- 27 -
c. fotokopi Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku;
d. surat keterangan domisili;
e. 2 (dua) lembar pasfoto terbaru berlatar belakang warna merah dan
ukuran 4x6 cm;
f.
salinan ijazah pendidikan formal terakhir (jika ada);
g. surat rekomendasi Majelis Ulama Indonesia sebagai Dewan Pengawas
Syariah/Tim Ahli Syariah/Dewan Pengawas Syariah dan Tim Ahli Syariah
*); dan
h. bukti surat keterangan/penugasan/penunjukan sebagai anggota Dewan
Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli Syariah dari perusahaan.
Demikian permohonan ini saya ajukan dan atas perhatiannya saya
ucapkan terima kasih.
Pemohon,
Meterai
.........................................
(nama jelas dan tanda tangan)
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Nopember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
MULIAMAN D. HADAD
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 16/POJK.04/2015 </reg_id>
<reg_title> AHLI SYARIAH PASAR MODAL </reg_title>
<set_date> 3 November 2015 </set_date>
<effective_date> 10 November 2015 </effective_date>
<issued_date> 10 November 2015 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 11/POJK.05/2014
TENTANG
PEMERIKSAAN LANGSUNG LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang
: a. bahwa dalam rangka pengawasan lembaga jasa keuangan
non-bank diperlukan pemeriksaan langsung untuk
mengetahui kondisi faktual lembaga jasa keuangan non-
bank;
b. bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas
pengawasan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu
menyempurnakan ketentuan yang mengatur mengenai
pemeriksaan langsung lembaga jasa keuangan non-bank;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Pemeriksaan Langsung
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3467);
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3477);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik...
- 2 -
Republik Indonesia Nomor 5253);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4954);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 126, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3507);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3508);
7. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEMERIKSAAN LANGSUNG LEMBAGA JASA KEUANGAN
NON- BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud
dengan:
1. Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank adalah:
a. perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi,
termasuk yang menyelenggarakan seluruh atau
sebagian usahanya dengan prinsip syariah,
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan...
- 3 -
undangan di bidang usaha perasuransian;
b. perusahaan pembiayaan, termasuk yang
menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya
dengan prinsip syariah, sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan di bidang lembaga
pembiayaan;
c. dana pensiun, termasuk yang menyelenggarakan
seluruh atau sebagian usahanya dengan prinsip
syariah, sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan di bidang dana pensiun; dan
d. lembaga jasa penunjang industri keuangan non-bank
yang meliputi perusahaan pialang asuransi,
perusahaan pialang reasuransi, kantor jasa penilai
publik, perusahaan penilai kerugian asuransi,
perusahaan agen asuransi, perusahaan konsultan
aktuaria, kantor akuntan publik dan lembaga jasa
penunjang lainnya yang mendukung industri
keuangan non-bank.
2. Pemeriksaan Langsung adalah rangkaian kegiatan
mencari, mengumpulkan, mengolah, dan mengevaluasi
data dan/atau keterangan mengenai Lembaga Jasa
Keuangan Non-Bank yang dilakukan di kantor Lembaga
Jasa Keuangan Non-Bank dan di tempat lain yang terkait
langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank;
3. Pemeriksa adalah pihak yang ditunjuk Otoritas Jasa
Keuangan untuk melakukan Pemeriksaan Langsung;
4. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK,
adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur
tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan
penyidikan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan.
BAB...
- 4 -
BAB II
PIHAK-PIHAK YANG DIPERIKSA
Pasal 2
(1) OJK dapat melakukan Pemeriksaan Langsung terhadap
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank.
(2) Dalam melakukan Pemeriksaan Langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), OJK dapat melakukan
Pemeriksaan Langsung terhadap:
a. pemegang saham atau yang setara pada Lembaga Jasa
Keuangan Non-Nank;
b. perusahaan anak dari Lembaga Jasa Keuangan Non-
Bank; dan/atau
c. pihak lain yang melakukan transaksi dengan Lembaga
Jasa Keuangan Non-Bank.
(3) Pemeriksaan Langsung terhadap pihak-pihak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan apabila
pihak-pihak tersebut terindikasi mempengaruhi tingkat
risiko Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank atau
menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB III
TUJUAN PEMERIKSAAN LANGSUNG
Pasal 3
Pemeriksaan Langsung bertujuan untuk:
a. memperoleh gambaran mengenai kondisi Lembaga Jasa
Keuangan Non-Bank;
b. memperoleh keyakinan yang memadai mengenai tingkat
risiko Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank; dan/atau
c. menilai kepatuhan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank
terhadap peraturan perundang-undangan di bidang
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank.
BAB...
- 5 -
BAB IV
FREKUENSI DAN LINGKUP PEMERIKSAAN LANGSUNG
Pasal 4
(1) Frekuensi Pemeriksaan Langsung ditetapkan OJK sesuai
rencana pengawasan berbasis risiko.
(2) Frekuensi Pemeriksaan Langsung bagi lembaga penunjang
industri keuangan non-bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 1 huruf d, ditetapkan OJK dan
dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun.
(3) Lingkup Pemeriksaan Langsung adalah seluruh aspek
penyelenggaraan kegiatan usaha Lembaga Jasa Keuangan
Non-Bank atau terhadap aspek-aspek tertentu dari
kegiatan usaha Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank.
BAB V
KRITERIA PEMERIKSA
Pasal 5
(1) Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dilakukan oleh tim pemeriksa.
(2) Tim pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
dari paling sedikit 2 (dua) orang.
(3) Tim pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
terdiri dari:
a. pegawai OJK yang ditugaskan untuk melakukan
Pemeriksaan Langsung;
b. pihak lain yang ditunjuk oleh OJK; atau
c. gabungan antara pegawai OJK dan pihak lain yang
ditunjuk OJK.
(4) Tim pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi standar kualifikasi sebagai pemeriksa Lembaga
Jasa Keuangan Non-Bank.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar kualifikasi
Pemeriksa...
- 6 -
Pemeriksa diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner
OJK.
Pasal 6
(1) OJK dapat menunjuk akuntan publik, aktuaris, dan/atau
penilai independen sebagai Pemeriksa.
(2) Penunjukan pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dituangkan dalam surat perintah kerja.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penunjukan pihak-pihak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat
Edaran OJK.
BAB VI
KEWAJIBAN LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK
Pasal 7
(1) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dan pihak-pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib segera
memperlihatkan dan/atau memberikan kepada Pemeriksa:
a. buku-buku, berkas-berkas, catatan, disposisi,
memorandum;
b. dokumen, data elektronik, termasuk salinan-
salinannya;
c. segala keterangan dan penjelasan yang berkaitan
dengan kegiatan usaha baik lisan maupun tertulis;
d. kesempatan meneliti keberadaan dan penggunaan
sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usaha;
dan
e. hal-hal lain yang diperlukan dalam Pemeriksaan
Langsung.
(2) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dan pihak-pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib
memberikan bantuan dalam rangka memperoleh
kebenaran dari segala keterangan, dokumen, dan
penjelasan yang diperlukan Pemeriksa.
(3) Lembaga...
- 7 -
(3) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank, pihak-pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dan/atau
pihak-pihak lain dilarang untuk menghambat proses
Pemeriksaan Langsung serta mempengaruhi pendapat,
penilaian atau hasil kerja dari Pemeriksa.
BAB VII
TATA CARA PEMERIKSAAN LANGSUNG
Pasal 8
(1) Pemeriksaan Langsung dilakukan oleh Pemeriksa
berdasarkan surat perintah Pemeriksaan Langsung yang
diterbitkan oleh OJK.
(2) Pemeriksa wajib menyampaikan surat perintah
Pemeriksaan Langsung kepada Lembaga Jasa Keuangan
Non-Bank.
(3) Sebelum dilakukan Pemeriksaan Langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), OJK menyampaikan surat
pemberitahuan Pemeriksaan Langsung kepada Lembaga
Jasa Keuangan Non-Bank.
(4) Surat pemberitahuan Pemeriksaan Langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) memuat informasi sebagai berikut:
a. nomor dan tanggal surat perintah Pemeriksaan
Langsung;
b. nama Pemeriksa;
c. tujuan Pemeriksaan Langsung;
d. jangka waktu Pemeriksaan Langsung;
e. dokumen-dokumen yang diperlukan untuk
Pemeriksaan Langsung; dan
f. batas waktu penyampaian dokumen kepada Pemeriksa.
(5) OJK dapat menyampaikan surat pemberitahuan
Pemeriksaan Langsung kepada Lembaga Jasa Keuangan
Non-Bank pada hari yang sama dengan pelaksanaan
Pemeriksaan Langsung apabila pemberitahuan sebelum
pelaksanaan...
- 8 -
pelaksanaan Pemeriksaan Langsung diduga akan
mempersulit atau menghambat proses Pemeriksaan
Langsung, atau akan memungkinkan dilakukannya
tindakan untuk mengaburkan keadaan yang sebenarnya
atau menyembunyikan atau menghilangkan data,
keterangan, atau laporan yang diperlukan dalam rangka
Pemeriksaan Langsung.
Pasal 9
(1) Pemeriksa wajib menyampaikan laporan hasil Pemeriksaan
Langsung sementara kepada Lembaga Jasa Keuangan
Non-Bank paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah
Pemeriksaan Langsung berakhir.
(2) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dapat menyampaikan
tanggapan atas laporan hasil Pemeriksaan Langsung
sementara paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak
tanggal diterimanya surat penyampaian laporan hasil
Pemeriksaan Langsung sementara oleh Lembaga Jasa
Keuangan Non-Bank.
(3) Pemeriksa dan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dapat
mengadakan pertemuan untuk membahas laporan hasil
Pemeriksaan Langsung sementara.
(4) Pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
diselesaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
tanggal diterimanya surat penyampaian laporan hasil
Pemeriksaan Langsung sementara oleh Lembaga Jasa
Keuangan Non-Bank.
Pasal 10
(1) OJK menyampaikan laporan hasil Pemeriksaan Langsung
final kepada Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank paling
lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak berakhirnya batas
waktu penyampaian tanggapan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (2) atau sejak tanggal pertemuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3).
(2) Laporan hasil Pemeriksaan Langsung final sebagaimana
dimaksud...
- 9 -
dimaksud pada ayat (1) bersifat rahasia.
BAB VIII
TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN LANGSUNG
Pasal 11
(1) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank wajib melakukan
langkah-langkah tindak lanjut sesuai rekomendasi yang
terdapat dalam laporan hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).
(2) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank wajib melaporkan
pelaksanaan langkah-langkah tindak lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada OJK paling sedikit setiap
bulan atau sesuai laporan hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Kewajiban melaporkan pelaksanaan langkah-langkah
tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berakhir apabila OJK menilai bahwa Lembaga Jasa
Keuangan Non-Bank telah melaksanakan langkah-langkah
tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Penilaian OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan kepada Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank
melalui surat.
(5) OJK melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan tindak
lanjut Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sebagai bagian dari kegiatan
pengawasan terhadap Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank.
BAB IX
KEWAJIBAN BAGI PEMERIKSA
Pasal 12
(1) Pemeriksa melaksanakan Pemeriksaan Langsung sesuai
dengan Peraturan OJK ini dan tata cara Pemeriksaan
Langsung.
(2) Pemeriksa wajib merahasiakan data, dokumen, dan/atau
keterangan...
la
- 10 -
keterangan yang diperoleh dari Pemeriksaan Langsung,
dari pihak yang tidak berhak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan
Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Dewan Komisioner OJK.
BAB X
PEMERIKSAAN OLEH OTORITAS PENGAWAS SEKTOR JASA
KEUANGAN DARI NEGARA LAIN
Pasal 13
(1) Pemeriksaan Langsung terhadap Lembaga Jasa Keuangan
Non-Bank yang sebagian sahamnya dimiliki oleh lembaga
keuangan asing yang dilakukan oleh pemeriksa dari
otoritas pengawas sektor jasa keuangan dari negara lain
hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis
dari OJK.
(2) Permohonan izin tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus disampaikan kepada OJK paling lambat 14
(empat belas) hari kerja sebelum dilakukannya
Pemeriksaan Langsung.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak surat permohonan
diterima secara lengkap oleh OJK.
(4) OJK dapat meminta kepada pemeriksa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), agar dalam Pemeriksaan
Langsung sekaligus memeriksa hal-hal yang dibutuhkan
oleh OJK.
(5) OJK dapat memerintahkan pegawai OJK untuk
mendampingi pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) selama kegiatan Pemeriksaan Langsung berlangsung.
(6) Pemberian izin pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan menganut asas timbal balik
yang dituangkan secara tertulis.
(7) Pemeriksa...
- 11 -
(7) Pemeriksa dari otoritas pengawas sektor jasa keuangan
dari negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
melapor dan menyampaikan hasil pemeriksaan kepada
OJK.
BAB XI
SANKSI
Pasal 14
(1) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal
11 ayat (1) dan ayat (2) dapat dikenakan sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang
tertentu;
c. kewajiban bagi direksi atau yang setara pada Lembaga
Jasa Keuangan Non-Bank untuk menjalani penilaian
kemampuan dan kepatutan ulang;
d. pembatasan kegiatan usaha;
e. pembekuan kegiatan usaha; dan
f. pencabutan izin kegiatan usaha.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f dapat dikenakan
dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-
sama dengan pengenaaan sanksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f.
(4) Besaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan
berdasarkan ketentuan tentang sanksi administratif
berupa denda yang berlaku untuk setiap sektor jasa
keuangan.
(5) Otoritas...
- 12 -
(5) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada masyarakat.
Pasal 15
(1) Pemegang saham atau yang setara, perusahaan anak, dan
pihak lain yang melakukan transaksi dengan Lembaga
Jasa Keuangan Non-Bank sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 akan dikenakan
teguran tertulis dari OJK sebanyak 2 (dua) kali masing-
masing dengan tenggang waktu sebanyak 7 (tujuh) hari
kerja.
(2) Dalam hal pemegang saham atau yang setara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tetap tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 setelah teguran
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat
meminta pemegang saham atau yang setara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk melepas kepemilikannya
pada atau membubarkan Lembaga Jasa Keuangan Non-
Bank.
(3) Dalam hal perusahaan anak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 setelah teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat meminta
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank untuk melepas
kepemilikannya pada perusahaan anak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 setelah teguran tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), OJK dapat meminta Lembaga
Jasa Keuangan Non-Bank untuk memutuskan
hubungannya dengan pihak lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
BAB...
- 13 -
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai Pemeriksaan Langsung Lembaga Jasa Keuangan
Non-Bank, dinyatakan tetap berlaku selama tidak
bertentangan dengan Peraturan OJK ini.
Pasal 17
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Agustus 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Agustus 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
Ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 198
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum I
Departemen Hukum,
Ttd.
Tini Kustini
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 11/POJK.05/2014 </reg_id>
<reg_title> PEMERIKSAAN LANGSUNG LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK </reg_title>
<set_date> 27 Agustus 2014 </set_date>
<effective_date> 28 Agustus 2014 </effective_date>
<issued_date> 28 Agustus 2014 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '76/PP/1992', '73/PP/1992', '9/PERPRES/2009', '77/PP/1992', '81/PP/2008', '11/UU/1992', '2/UU/1992' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 17 /POJK.05/2016
TENTANG
LAPORAN TEKNIS DANA PENSIUN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 52
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun dan dalam rangka meningkatkan pembinaan
dan pengawasan agar lebih efektif dan efisien terhadap
industri dana pensiun, maka diperlukan laporan
teknis dana pensiun yang menyampaikan data dan
informasi teknis operasional dana pensiun yang
mutakhir dan akurat;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Teknis Dana
Pensiun;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 37,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3477);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
- 2 -
3. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang
Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Tahun
1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3507);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang
Dana Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3508);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
LAPORAN TEKNIS DANA PENSIUN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang
dimaksud dengan:
1. Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola
dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat
pensiun.
2. Pendiri adalah:
a. orang atau badan yang membentuk Dana Pensiun
Pemberi Kerja;
b. bank atau perusahaan asuransi jiwa yang
membentuk Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
3. Laporan Teknis adalah laporan yang disampaikan oleh
Dana Pensiun kepada Otoritas Jasa Keuangan, yang
menyajikan informasi mengenai kepesertaan dan
kegiatan operasional Dana Pensiun selama 1 (satu)
tahun.
4. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
- 3 -
BAB II
KEWAJIBAN PENYAMPAIAN
LAPORAN TEKNIS DANA PENSIUN
Pasal 2
Dana Pensiun wajib menyampaikan Laporan Teknis setiap
tahun kepada OJK c.q. Kepala Eksekutif Pengawas
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
BAB III
BENTUK DAN SUSUNAN LAPORAN
Pasal 3
(1) Laporan Teknis paling sedikit memuat informasi
mengenai:
a. Dana Pensiun dan Pendiri Dana Pensiun;
b. penyelenggaraan program pensiun;
c. kepesertaan program pensiun; dan
d. pensiunan dan pihak yang berhak.
(2) Penyampaian Laporan Teknis dilengkapi dengan
pernyataan mengenai kelengkapan dan kebenaran
data yang ditandatangani oleh pengurus Dana Pensiun
dan disertai dengan Laporan Teknis dalam format
digital.
Pasal 4
(1) Laporan Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
disusun sesuai dengan bentuk dan susunan Laporan
Teknis.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan susunan
Laporan Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Surat Edaran OJK.
- 4 -
BAB IV
PERIODE LAPORAN
Pasal 5
(1) Laporan Teknis mencakup periode kegiatan sejak
tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember
tahun yang bersangkutan.
(2) Dana Pensiun yang disahkan pendiriannya oleh OJK
setelah tanggal 1 Januari pada tahun Laporan Teknis
harus disampaikan, periode kegiatan Laporan Teknis
dihitung sejak tanggal pengesahan Dana Pensiun oleh
OJK sampai dengan tanggal 31 Desember pada tahun
yang bersangkutan.
Pasal 6
(1) Laporan Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
disampaikan paling lama 3 (tiga) bulan setelah
berakhirnya periode kegiatan Dana Pensiun.
(2) Penyampaian Laporan Teknis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
a. diserahkan langsung kepada Kepala Eksekutif
Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan
Lainnya u.p. Kepala Departemen Pengawasan
IKNB 1B;
b. dikirim melalui kantor pos secara tercatat; atau
c.
dikirim
melalui
pengiriman/titipan.
(3) Tanggal penyampaian Laporan Teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. tanggal penerimaan Laporan Teknis, apabila Laporan
Teknis diserahkan langsung kepada Kepala
Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga
Jasa Keuangan Lainnya u.p. Kepala Departemen
Pengawasan IKNB 1B; dan
perusahaan
jasa
- 5 -
b. tanggal pengiriman yang terdapat dalam tanda bukti
pengiriman, apabila Laporan Teknis dikirim melalui
kantor pos atau perusahaan jasa pengiriman/titipan.
(4) Apabila batas akhir penyampaian Laporan Teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari
libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari
kerja pertama berikutnya.
BAB V
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 7
(1) Dalam hal Dana Pensiun terlambat menyampaikan
Laporan Teknis, Pendiri Dana Pensiun dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan,
terhitung sejak hari pertama setelah batas akhir
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) sampai dengan tanggal penyampaian
Laporan Teknis.
(2) Surat pengenaan sanksi administratif berupa denda
ditetapkan oleh Kepala
Eksekutif
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya atas nama OJK.
(3) Dalam hal Pendiri Dana Pensiun belum membayar denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), denda tersebut
dinyatakan sebagai utang Pendiri Dana Pensiun kepada
Negara dan harus dicantumkan dalam laporan keuangan
Pendiri Dana Pensiun yang bersangkutan.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 8
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan
mengenai Laporan Teknis Dana Pensiun tunduk pada
Peraturan OJK ini.
Pengawas
- 6 -
Pasal 9
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Februari 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Maret 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 41
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 17/POJK.05/2016 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN TEKNIS DANA PENSIUN </reg_title>
<set_date> 23 Februari 2016 </set_date>
<effective_date> 1 Maret 2016 </effective_date>
<issued_date> 1 Maret 2016 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '76/PP/1992', '77/PP/1992', '11/UU/1992' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 15 /POJK.05/2016
TENTANG
PERSYARATAN PENGURUS DAN DEWAN PENGAWAS
DANA PENSIUN PEMBERI KERJA DAN PELAKSANA TUGAS PENGURUS
DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan
dan pengelolaan dana pensiun yang berhasil guna dan
berdaya guna, persyaratan orang yang dapat ditunjuk
sebagai pengurus dan dewan pengawas dana pensiun
pemberi kerja perlu diperjelas;
b. bahwa dalam rangka meningkatkan akuntabilitas
dana pensiun lembaga keuangan kepada publik perlu
menetapkan persyaratan bagi orang yang dapat
ditunjuk sebagai pelaksana tugas pengurus dana
pensiun lembaga keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Persyaratan Pengurus dan Dewan Pengawas
Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Pelaksana Tugas
Pengurus Dana Pensiun Lembaga Keuangan;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 37,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3477);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang
Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Tahun
1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3507);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang
Dana Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3508);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERSYARATAN PENGURUS DAN DEWAN PENGAWAS
DANA PENSIUN PEMBERI KERJA DAN PELAKSANA
TUGAS PENGURUS DANA PENSIUN LEMBAGA
KEUANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola
dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat
pensiun.
2. Dana Pensiun Pemberi Kerja adalah Dana Pensiun
yang dibentuk oleh orang atau badan yang
mempekerjakan karyawan, selaku pendiri, untuk
menyelenggarakan program pensiun manfaat pasti
- 3 -
atau program pensiun iuran pasti, bagi kepentingan
sebagian atau seluruh karyawannya sebagai peserta,
dan yang menimbulkan kewajiban terhadap pemberi
kerja.
3. Dana Pensiun Lembaga Keuangan adalah Dana
Pensiun yang dibentuk oleh bank atau perusahaan
asuransi jiwa untuk menyelenggarakan program
pensiun iuran pasti bagi perorangan, baik karyawan
maupun pekerja mandiri yang terpisah dari dana
pensiun pemberi kerja bagi karyawan bank atau
perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan.
4. Pengurus adalah pengurus Dana Pensiun Pemberi
Kerja.
5. Dewan Pengawas adalah dewan pengawas Dana
Pensiun Pemberi Kerja.
6. Pelaksana Tugas Pengurus adalah pejabat dari pendiri
Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang ditugaskan
untuk melaksanakan kegiatan operasional Dana
Pensiun Lembaga Keuangan.
7. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
BAB II
PENUNJUKAN DAN PERSYARATAN PENGURUS DAN
PELAKSANA TUGAS PENGURUS
Pasal 2
(1) Dalam rangka pengelolaan Dana Pensiun, pendiri
Dana Pensiun Lembaga Keuangan harus menunjuk
Pelaksana Tugas Pengurus.
(2) Penunjukan Pelaksana Tugas Pengurus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan penggantiannya harus
dilaporkan kepada OJK paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja sebelum berlakunya penunjukan atau
penggantian dimaksud.
- 4 -
Pasal 3
(1) Orang yang dapat ditunjuk sebagai Pengurus atau
Pelaksana Tugas Pengurus harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. memiliki akhlak dan moral yang baik;
c.
tidak pernah melakukan tindakan tercela di
industri Dana Pensiun atau jasa keuangan
lainnya;
d. tidak
pernah dihukum karena
terbukti
melakukan tindak pidana kejahatan yang
dijatuhi sanksi pidana penjara 5 (lima) tahun
atau lebih dan/atau tindak pidana di bidang
Dana Pensiun atau jasa keuangan lainnya;
e. memiliki pengetahuan di bidang Dana Pensiun.
(2) Persyaratan untuk memiliki pengetahuan di bidang
Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf e harus dipenuhi Pengurus Dana Pensiun
Pemberi Kerja paling lama 6 (enam) bulan sejak
tanggal pengesahan OJK atas pendirian Dana
Pensiun Pemberi Kerja.
(3) Ketentuan lebih
lanjut mengenai persyaratan
pengetahuan di bidang dana pensiun sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e serta tata cara
pemenuhannya bagi Pengurus dan Pelaksana Tugas
Pengurus diatur dengan Surat Edaran OJK.
Pasal 4
(1) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, orang yang ditunjuk sebagai Pengurus atau
Pelaksana Tugas Pengurus harus lulus penilaian
kemampuan dan kepatutan.
- 5 -
(2) Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengacu pada Peraturan
OJK mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan
bagi pihak utama perusahaan perasuransian, dana
pensiun, perusahaan pembiayaan, dan perusahaan
penjaminan.
Pasal 5
Pengurus dan Pelaksana Tugas Pengurus tidak dapat
merangkap jabatan sebagai Pengurus Dana Pensiun lain
atau anggota direksi atau jabatan eksekutif pada badan
usaha lain.
Pasal 6
Orang yang dapat ditunjuk sebagai Dewan Pengawas harus
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c.
BAB III
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 7
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan
mengenai persyaratan Pengurus dan Dewan Pengawas
Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Pelaksana Tugas
Pengurus Dana Pensiun Lembaga Keuangan tunduk pada
Peraturan OJK ini.
Pasal 8
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 6 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Februari 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Maret 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 40
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 15/POJK.05/2016 </reg_id>
<reg_title> PERSYARATAN PENGURUS DAN DEWAN PENGAWAS DANA PENSIUN PEMBERI KERJA DAN PELAKSANA TUGAS PENGURUS DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN </reg_title>
<set_date> 23 Februari 2016 </set_date>
<effective_date> 1 Maret 2016 </effective_date>
<issued_date> 1 Maret 2016 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '76/PP/1992', '77/PP/1992', '11/UU/1992' </related_reg>
|
-1-
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 19 /POJK.03/2017
TENTANG
PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN
BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa upaya penyehatan terhadap Bank Perkreditan
Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
merupakan kegiatan yang berkelanjutan untuk
mendorong tumbuhnya industri perbankan;
b. bahwa dalam upaya penyehatan bank, permasalahan
dalam Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah perlu dideteksi sejak dini, dengan
meningkatkan langkah-langkah pengawasan terhadap
Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah yang berada dalam pengawasan
normal yang mengalami penurunan kinerja sehingga
berpotensi untuk berada dalam pengawasan intensif;
c. bahwa Bank Perkeditan Rakyat dan Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah yang sebelumnya berada dalam
pengawasan normal atau pengawasan intensif
kemudian mengalami kesulitan keuangan yang
membahayakan kelangsungan usahanya perlu
-2-
ditetapkan dalam pengawasan khusus oleh Otoritas
Jasa Keuangan;
d. bahwa dalam upaya penyehatan Bank Perkreditan
Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah baik
dalam pengawasan intensif maupun pengawasan
khusus, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan
tindakan pengawasan yang harus didukung dan
dilaksanakan oleh anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, dan pemegang saham Bank Perkreditan
Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam
batas waktu tertentu;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d,
perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut
Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah;
Mengingat
: 1.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
-3-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN
BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN
RAKYAT SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat
BPR yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya
disingkat BPRS yaitu bank syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.
3. Lembaga Penjamin Simpanan adalah Lembaga
Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi
Undang-Undang.
4. Direksi:
a. bagi BPR atau BPRS berbentuk badan hukum
Perseroan Terbatas adalah Direksi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk badan hukum:
-4-
1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan
Daerah
adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada BPR
yang belum berubah bentuk badan hukum
menjadi Perusahaan Umum Daerah atau
Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah;
c.
bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi
adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
5. Dewan Komisaris:
a. bagi BPR atau BPRS berbentuk badan hukum
Perseroan Terbatas adalah Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Perseroan Daerah adalah
komisaris sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
-5-
telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
2) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada
BPR yang belum berubah bentuk badan
hukum menjadi Perusahaan Umum Daerah
atau Perusahaan Perseroan Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
c.
bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi
adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
6. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang
selanjutnya disingkat KPMM adalah rasio modal
terhadap aset tertimbang menurut risiko yang wajib
disediakan oleh BPR sebagaimana dimaksud dalam
peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai KPMM
dan pemenuhan modal inti minimum BPR serta
peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai KPMM
dan pemenuhan modal inti minimum BPRS.
7. Cash Ratio yang selanjutnya disingkat CR adalah
perbandingan antara alat likuid terhadap utang lancar
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai tata
cara penilaian tingkat kesehatan BPR dan sistem
penilaian tingkat kesehatan BPR berdasarkan prinsip
syariah.
-6-
Pasal 2
(1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan
status pengawasan BPR atau BPRS.
(2) Status pengawasan BPR atau BPRS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. pengawasan normal;
b. pengawasan intensif; atau
c. pengawasan khusus.
Pasal 3
(1) Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham
pengendali dari BPR atau BPRS dalam pengawasan
normal yang memiliki permasalahan signifikan wajib
menyampaikan rencana tindak (action plan) kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Tata cara penyampaian rencana tindak yang akan
dilaksanakan oleh BPR atau BPRS yang termuat
dalam rencana tindak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai tata
cara penilaian tingkat kesehatan BPR atau sistem
penilaian tingkat kesehatan BPR berdasarkan prinsip
syariah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana tindak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
BAB II
BPR DAN BPRS DALAM PENGAWASAN INTENSIF
Pasal 4
Otoritas Jasa Keuangan menetapkan BPR atau BPRS
dalam pengawasan intensif dalam hal BPR atau BPRS
dinilai memiliki potensi kesulitan yang membahayakan
kelangsungan usaha.
-7-
Pasal 5
(1) Dalam periode sejak Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31
Desember 2019, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan
BPR atau BPRS dalam pengawasan intensif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dalam hal BPR
atau BPRS memenuhi kriteria:
a.
rasio KPMM kurang dari 8% (delapan persen)
namun sama dengan atau lebih dari 4% (empat
persen);
b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir
kurang dari 4% (empat persen) namun sama
dengan atau lebih dari 3% (tiga persen); dan/atau
c. tingkat kesehatan dengan:
1. predikat kurang sehat selama 3 (tiga) periode
penilaian berturut-turut atau tidak sehat
bagi BPR; dan
2. peringkat komposit 4 (empat) selama 3 (tiga)
periode
penilaian
berturut-turut atau
peringkat komposit 5 (lima) bagi BPRS.
(2) Sejak tanggal 1 Januari 2020, Otoritas Jasa Keuangan
menetapkan BPR atau BPRS dalam pengawasan
intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dalam
hal BPR atau BPRS memenuhi kriteria:
a.
rasio KPMM kurang dari 12% (dua belas persen)
namun sama dengan atau lebih dari 8% (delapan
persen);
b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir
kurang dari 5% (lima persen) namun sama
dengan atau lebih dari 4% (empat persen);
dan/atau
c.
tingkat kesehatan BPR atau BPRS dengan
peringkat komposit 4 (empat) selama 3 (tiga)
periode penilaian berturut-turut atau peringkat
komposit 5 (lima).
-8-
Pasal 6
(1) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan BPR atau BPRS
dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 untuk jangka waktu paling lama 1
(satu) tahun terhitung
pemberitahuan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Otoritas Jasa Keuangan berwenang memperpanjang
jangka waktu pengawasan intensif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sebanyak 1 (satu) kali untuk
jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(3) Perpanjangan jangka waktu pengawasan intensif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan
dalam hal BPR atau BPRS memenuhi persyaratan:
a.
terakhir
sejak tanggal surat
rasio KPMM dan CR rata-rata selama 6 (enam)
bulan
menunjukkan perbaikan
berdasarkan realisasi rencana tindak yang telah
disampaikan; dan/atau
b.
tingkat kesehatan BPR atau BPRS masih belum
atau telah memenuhi kriteria pengawasan
normal.
(4) Perpanjangan jangka waktu BPR atau BPRS dalam
pengawasan intensif sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat disertai dengan peningkatan tindakan
pengawasan.
Pasal 7
Otoritas Jasa Keuangan memberitahukan secara tertulis
kepada BPR atau BPRS mengenai:
a. penetapan BPR atau BPRS dalam pengawasan
intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) huruf b dan Pasal 4; dan
b. penetapan perpanjangan jangka waktu BPR atau
BPRS dalam pengawasan intensif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2),
disertai dengan alasan penetapan dan tindakan
pengawasan yang wajib dilakukan oleh BPR atau BPRS.
-9-
Pasal 8
BPR atau BPRS dalam pengawasan intensif wajib
melakukan tindakan pengawasan yang diperintahkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan, yaitu:
a. memperkuat modal BPR atau BPRS termasuk melalui
setoran modal;
b. mengganti anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris BPR atau BPRS;
c. menghapusbukukan kredit atau pembiayaan yang
tergolong macet dan memperhitungkan kerugian BPR
atau BPRS dengan modal BPR atau BPRS;
d. melakukan penggabungan atau peleburan dengan
BPR atau BPRS lain;
e. menjual BPR atau BPRS kepada pembeli yang
bersedia mengambil alih seluruh kewajiban BPR atau
BPRS;
f.
menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau
kewajiban BPR atau BPRS kepada bank atau pihak
lain;
g. membatasi pembayaran remunerasi atau bentuk lain
yang dipersamakan dengan itu kepada anggota Direksi
dan/atau anggota Dewan Komisaris BPR atau BPRS,
atau imbalan kepada pihak terkait;
h. tidak melakukan penambahan jaringan kantor;
i. menghentikan kegiatan usaha tertentu dalam waktu
yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
dan/atau
j.
tindakan pengawasan lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 9
(1) BPR atau BPRS dalam pengawasan intensif wajib
menyampaikan:
a. rencana tindak sesuai dengan permasalahan
BPR atau BPRS;
b. laporan realisasi rencana tindak; dan
c. daftar pihak terkait secara lengkap.
-10-
(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), BPR atau BPRS dalam pengawasan intensif wajib
melakukan tindakan lain dan/atau melaporkan hal-
hal tertentu atas permintaan Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dan huruf c wajib disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh)
hari kerja sejak BPR atau BPRS ditetapkan dalam
pengawasan intensif.
(4) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a paling sedikit memuat rencana perbaikan
sesuai dengan permasalahan yang dihadapi BPR atau
BPRS disertai jangka waktu penyelesaiannya.
Pasal 10
(1) Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan persetujuan
atau penolakan terhadap rencana tindak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a paling
lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak rencana tindak
diterima secara lengkap.
(2) Dalam hal rencana tindak yang disampaikan BPR
atau BPRS disetujui Otoritas Jasa Keuangan, BPR
atau BPRS wajib merealisasi rencana tindak sejak
tanggal persetujuan disampaikan.
(3) Dalam hal rencana tindak yang disampaikan BPR
atau BPRS ditolak Otoritas Jasa Keuangan, BPR atau
BPRS wajib menyampaikan perbaikan rencana tindak
paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak tanggal
pemberitahuan.
Pasal 11
(1) Dalam hal BPR atau BPRS ditetapkan dalam
pengawasan
intensif
karena permasalahan
permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
-11-
ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a, BPR atau BPRS
dan/atau pemegang saham BPR atau BPRS wajib
menyampaikan rencana perbaikan permodalan guna
mengatasi permasalahan permodalan sebagai bagian
dari rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf a.
(2) Rencana perbaikan permodalan BPR atau BPRS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mencerminkan kemampuan BPR atau BPRS untuk
mencapai dan memelihara rasio KPMM yang
ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1).
(3) Tata cara penambahan modal disetor dalam rangka
perbaikan permodalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1):
a. bagi BPR mengacu pada ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai BPR dan peraturan Otoritas
Jasa Keuangan mengenai KPMM dan pemenuhan
modal inti minimum BPR; dan
b. bagi BPRS mengacu pada ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai BPRS dan peraturan Otoritas
Jasa Keuangan mengenai KPMM dan pemenuhan
modal inti minimum BPRS.
Pasal 12
(1) BPR atau BPRS wajib menyampaikan laporan realisasi
rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf b dan/atau realisasi pelaksanaan
perbaikan permodalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan
setiap akhir bulan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
bulan berikutnya.
(2) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) memuat paling sedikit:
-12-
a. permasalahan BPR atau BPRS;
b. tindakan perbaikan yang telah dilakukan oleh
BPR atau BPRS; dan
c. waktu pelaksanaan perbaikan.
Pasal 13
(1) Dalam periode sejak Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini mulai berlaku sampai dengan tanggal
31 Desember 2019, Otoritas Jasa Keuangan
menetapkan BPR atau BPRS keluar dari pengawasan
intensif dalam hal BPR atau BPRS memenuhi kriteria:
a. rasio KPMM paling sedikit 8% (delapan persen);
b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir
paling sedikit 4% (empat persen); dan
c.
tingkat kesehatan dengan predikat sehat atau
cukup sehat bagi BPR, atau tingkat kesehatan
dengan peringkat komposit 1 (satu), 2 (dua), atau
3 (tiga) bagi BPRS.
(2) Sejak tanggal 1 Januari 2020, Otoritas Jasa
Keuangan menetapkan BPR atau BPRS keluar dari
pengawasan intensif dalam hal BPR atau BPRS
memenuhi kriteria:
a.
rasio KPMM paling sedikit 12% (dua belas
persen);
b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir
paling sedikit 5% (lima persen); dan
c.
tingkat kesehatan BPR atau BPRS dengan
peringkat komposit 1 (satu), 2 (dua), atau 3 (tiga).
Pasal 14
Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan pemberitahuan
secara tertulis mengenai BPR atau BPRS yang dikeluarkan
dari pengawasan intensif kepada BPR atau BPRS yang
bersangkutan.
-13-
Pasal 15
(1) Dalam hal jangka waktu pengawasan intensif atau
perpanjangan jangka waktu pengawasan intensif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan
ayat (2) terlampaui dan tingkat kesehatan BPR atau
BPRS tidak memenuhi kriteria untuk dikeluarkan dari
pengawasan intensif, Otoritas Jasa Keuangan:
a. melanjutkan tindakan pengawasan terhadap BPR
atau BPRS yang telah dilakukan dalam masa
pengawasan intensif; dan/atau
b. menerapkan tindakan pengawasan yang belum
dilaksanakan terhadap BPR atau BPRS dalam
pengawasan intensif termasuk dalam rangka
penyelesaian kredit atau pembiayaan
bermasalah.
(2) Selain
menerapkan
tindakan
pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan dapat:
a. melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan
bagi pemegang saham pengendali, anggota
Direksi, dan/atau anggota Dewan Komisaris BPR
atau BPRS; dan/atau
b. meminta pemegang saham
pengendali
mengalihkan kepemilikan saham kepada pihak
lain sebesar:
1. seluruh kepemilikan saham pemegang
saham pengendali pada BPR; atau
2. paling sedikit 90% (sembilan puluh persen)
saham pemegang saham pengendali pada
BPRS.
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai BPR atau BPRS dalam
pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
sampai dengan Pasal 15 diatur dalam Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan.
-14-
BAB III
BPR DAN BPRS DALAM PENGAWASAN KHUSUS
Pasal 17
(1) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan BPR atau BPRS
dalam pengawasan khusus dalam hal BPR atau BPRS
dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan
kelangsungan usahanya.
(2) Penetapan BPR atau BPRS dalam pengawasan
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan tanpa didahului dengan penetapan BPR
atau BPRS dalam pengawasan intensif.
Pasal 18
(1) Dalam periode sejak Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31
Desember 2019, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan
BPR atau BPRS dalam pengawasan khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dalam hal
BPR atau BPRS memenuhi kriteria:
a.
rasio KPMM kurang dari 4% (empat persen)
namun lebih dari 0% (nol persen); dan/atau
b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir
kurang dari 3% (tiga persen) namun lebih dari 1%
(satu persen).
(2) Sejak tanggal 1 Januari 2020, Otoritas Jasa
Keuangan menetapkan BPR atau BPRS dalam
pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17, dalam hal BPR atau BPRS memenuhi
kriteria:
a.
rasio KPMM kurang dari 8% (delapan persen)
namun lebih dari 2% (dua persen); dan/atau
b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir
kurang dari 4% (empat persen) namun lebih dari
1% (satu persen).
-15-
(3) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan BPR atau BPRS
dalam pengawasan khusus apabila jangka waktu
pengawasan intensif atau perpanjangan jangka waktu
pengawasan intensif terlampaui dan tidak memenuhi
kriteria untuk dikeluarkan dari pengawasan intensif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf
a dan huruf b atau Pasal 13 ayat (2) huruf a dan
huruf b.
Pasal 19
Otoritas Jasa Keuangan menetapkan BPR atau BPRS
dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan
sejak tanggal surat pemberitahuan Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 20
Otoritas Jasa Keuangan memberitahukan secara tertulis
kepada BPR dan BPRS mengenai penetapan BPR atau
BPRS dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17, disertai dengan alasan penetapan dan
tindakan pengawasan yang wajib dilakukan oleh BPR atau
BPRS.
Pasal 21
(1) Dalam periode sejak Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31
Desember 2019, BPR dan BPRS dalam pengawasan
khusus wajib melakukan penambahan modal untuk
memenuhi rasio KPMM paling sedikit 8% (delapan
persen) dan CR rata-rata selama 6 (enam) bulan
terakhir paling sedikit 4% (empat persen).
(2) Sejak tanggal 1 Januari 2020, BPR atau BPRS dalam
pengawasan khusus wajib melakukan penambahan
modal untuk memenuhi rasio KPMM paling sedikit
12% (dua belas persen) dan CR rata-rata selama
-16-
6 (enam) bulan terakhir paling sedikit 5% (lima
persen).
(3) Penambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dilakukan dengan memperhitungkan
potensi kerugian dan kebutuhan likuiditas BPR atau
BPRS dalam pengawasan khusus untuk periode 6
(enam) bulan mendatang.
(4) Penambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) wajib dipenuhi dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
(5) Tata cara penambahan modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2):
a. bagi BPR mengacu pada ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai BPR dan peraturan Otoritas
Jasa Keuangan mengenai KPMM dan pemenuhan
modal inti minimum BPR; dan
b. bagi BPRS mengacu pada ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai BPRS dan peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai KPMM dan
pemenuhan modal inti minimum BPRS.
Pasal 22
BPR atau BPRS dalam pengawasan khusus dilarang
menjual atau menurunkan jumlah aset tanpa persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 23
(1) Selain tindakan pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 dan Pasal 22, BPR atau BPRS dalam
pengawasan khusus wajib melakukan tindakan
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
yang diperintahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Tindakan pengawasan yang telah ditetapkan pada
saat BPR atau BPRS dalam pengawasan intensif dan
-17-
belum selesai dilakukan oleh BPR atau BPRS, tetap
berlaku selama dalam masa pengawasan khusus.
Pasal 24
BPR atau BPRS dalam pengawasan khusus wajib:
a. menyampaikan rencana tindak sesuai dengan
permasalahan BPR atau BPRS paling lambat 5 (lima)
hari kerja sejak BPR atau BPRS ditetapkan dalam
pengawasan khusus yang ditandatangani oleh Direksi,
Dewan Komisaris dan pemegang saham pengendali
BPR atau BPRS;
b. merealisasi rencana tindak sebagaimana dimaksud
dalam huruf a;
c. menyampaikan laporan realisasi setiap pelaksanaan
dan/atau tingkat pencapaian rencana tindak paling
lambat 5 (lima) hari kerja sejak pelaksanaan
dan/atau pencapaian rencana tindak;
d. melakukan penyesuaian rencana tindak yang
disampaikan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
atas permintaan Otoritas Jasa Keuangan;
e. menyampaikan daftar pihak terkait secara lengkap
paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak BPR atau BPRS
ditetapkan dalam pengawasan khusus;
f. melaporkan hal-hal tertentu yang ditetapkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan, yaitu:
1. laporan keuangan terkini;
2. rincian aset produktif yang dikelompokkan
berdasarkan kualitasnya; dan
3. informasi dan dokumen terkini mengenai:
a) daftar simpanan nasabah;
b) daftar rincian tagihan dan kewajiban BPR
atau BPRS kepada pihak terkait; dan
g. melakukan tindakan lain sesuai dengan perintah
Otoritas Jasa Keuangan.
-18-
Pasal 25
(1) BPR atau BPRS dalam pengawasan normal atau
dalam pengawasan intensif namun mengalami
penurunan:
a.
rasio KPMM menjadi sama dengan atau kurang
dari 0% (nol persen) atau CR rata-rata selama 6
(enam) bulan terakhir menjadi sama dengan atau
kurang dari 1% (satu persen), yang terjadi dalam
periode sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31
Desember 2019; dan
b. rasio KPMM menjadi sama dengan atau kurang
dari 2% (dua persen) atau CR rata-rata selama 6
(enam) bulan terakhir menjadi sama dengan atau
kurang dari 1% (satu persen), yang terjadi sejak
tanggal 1 Januari 2020,
ditetapkan dalam pengawasan khusus untuk jangka
waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal
penetapan.
(2) BPR atau BPRS yang ditetapkan dalam pengawasan
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyelesaikan rencana tindak sesuai dengan
permasalahan BPR atau BPRS dalam jangka waktu
paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal penetapan.
Pasal 26
(1) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
atau Pasal 25 ayat (1) tidak membatasi waktu bagi
Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan penelitian
terhadap upaya-upaya perbaikan yang telah dilakukan
BPR atau BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 dan Pasal 23.
(2) Setelah penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) selesai dilakukan, Otoritas Jasa Keuangan
menetapkan BPR atau BPRS keluar atau tidak keluar
dari pengawasan khusus.
-19-
Pasal 27
(1) Otoritas Jasa Keuangan memberitahukan secara
tertulis kepada Lembaga Penjamin Simpanan
mengenai BPR atau BPRS yang ditetapkan dalam
pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 dan Pasal 25 ayat (1).
(2) Pemberitahuan kepada Lembaga Penjamin Simpanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan
informasi mengenai kondisi BPR atau BPRS yang
bersangkutan.
Pasal 28
(1) BPR atau BPRS yang ditetapkan dalam pengawasan
khusus untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1)
dilarang melakukan kegiatan penghimpunan dana dan
penyaluran dana.
(2) Larangan penghimpunan dana dan penyaluran dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak
ditetapkan dalam pengawasan khusus untuk jangka
waktu paling lama 2 (dua) bulan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) sampai dengan BPR
atau BPRS dikeluarkan dari pengawasan khusus.
Pasal 29
(1) Dalam periode sejak Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini mulai berlaku sampai dengan tanggal
31 Desember 2019, Otoritas Jasa Keuangan
menetapkan BPR atau BPRS keluar dari pengawasan
khusus dalam hal BPR atau BPRS memenuhi kriteria:
a.
rasio KPMM paling sedikit 8% (delapan persen);
dan
b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir
paling sedikit 4% (empat persen).
-20-
(2) Sejak tanggal 1 Januari 2020, Otoritas Jasa
Keuangan menetapkan BPR atau BPRS keluar dari
pengawasan khusus dalam hal BPR atau BPRS
memenuhi kriteria:
a.
rasio KPMM paling sedikit 12% (dua belas
persen); dan
b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir
paling sedikit 5% (lima persen).
(3) Pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) harus memperhitungkan potensi
kerugian dan kebutuhan likuiditas untuk periode 6
(enam) bulan mendatang.
Pasal 30
(1) Otoritas
Jasa
Keuangan
menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada BPR atau BPRS
bahwa:
a. BPR atau BPRS yang bersangkutan dikeluarkan
dari pengawasan khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29; dan
(2) Otoritas
b. larangan melakukan kegiatan penghimpunan
dana dan penyaluran dana bagi BPR atau BPRS
yang bersangkutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) dicabut.
Keuangan
Jasa
menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis mengenai BPR atau
BPRS yang dikeluarkan dari pengawasan khusus
kepada Lembaga Penjamin Simpanan.
Pasal 31
(1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menempatkan
pengawas untuk melakukan pemantauan secara
langsung terhadap kegiatan operasional BPR atau
BPRS yang ditetapkan dalam pengawasan khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).
-21-
(2) Penempatan pengawas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak mengurangi tanggung jawab anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau
pemegang saham BPR atau BPRS terhadap kegiatan
operasional dan kewajiban BPR atau BPRS.
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai BPR atau BPRS dalam
pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 sampai dengan Pasal 31 diatur dalam Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan.
BAB IV
BPR DAN BPRS YANG TIDAK DAPAT DISEHATKAN DAN
DISERAHKAN KEPADA LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN
Pasal 33
BPR atau BPRS ditetapkan sebagai BPR atau BPRS yang
tidak dapat disehatkan apabila BPR atau BPRS dalam
pengawasan khusus telah melampaui jangka waktu dalam
pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 atau Pasal 25 ayat (1) dan tidak memenuhi kriteria:
a.
rasio KPMM paling sedikit 8% (delapan persen) dan CR
rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling sedikit
4% (empat persen) dalam periode sejak Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku sampai
dengan tanggal 31 Desember 2019; dan
b. rasio KPMM paling sedikit 12% (dua belas persen) dan
CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling
sedikit 5% (lima persen) sejak tanggal 1 Januari 2020.
Pasal 34
BPR atau BPRS ditetapkan sebagai BPR atau BPRS yang
tidak dapat disehatkan apabila BPR atau BPRS masih
berada dalam jangka waktu dalam pengawasan khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 namun mengalami
penurunan:
-22-
a.
rasio KPMM menjadi sama dengan atau kurang dari
0% (nol persen) dan/atau CR rata-rata selama 6
(enam) bulan terakhir menjadi sama dengan atau
kurang dari 1% (satu persen), yang terjadi dalam
periode sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember
2019;
b. rasio KPMM menjadi sama dengan atau kurang dari
2% (dua persen) dan/atau CR rata-rata selama 6
(enam) bulan terakhir menjadi sama dengan atau
kurang dari 1% (satu persen), yang terjadi sejak
tanggal 1 Januari 2020.
Pasal 35
Selama jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 25 ayat (1) Otoritas
Jasa Keuangan sewaktu-waktu dapat menetapkan BPR
atau BPRS tidak dapat disehatkan, dalam hal berdasarkan
penilaian Otoritas Jasa Keuangan, BPR atau BPRS tidak
mampu meningkatkan:
a.
rasio KPMM menjadi paling sedikit 8% (delapan
persen) dan/atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan
terakhir paling sedikit 4% (empat persen) dalam
periode sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember
2019;
b. rasio KPMM menjadi paling sedikit 12% (dua belas
persen) dan/atau CR rata-rata selama 6 (enam)
bulan terakhir paling sedikit 5% (lima persen) sejak
tanggal 1 Januari 2020.
Pasal 36
Otoritas Jasa Keuangan memberitahukan secara tertulis
kepada BPR atau BPRS dalam pengawasan khusus yang
ditetapkan sebagai BPR atau BPRS yang tidak dapat
disehatkan.
-23-
Pasal 37
Otoritas Jasa Keuangan memberitahukan secara tertulis
kepada Lembaga Penjamin Simpanan dan meminta
Lembaga Penjamin Simpanan untuk memberikan
keputusan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan
BPR atau BPRS yang memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 sampai dengan Pasal 35.
Pasal 38
Dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan memutuskan
untuk tidak melakukan penyelamatan terhadap BPR atau
BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Otoritas
Jasa Keuangan mencabut izin usaha BPR atau BPRS yang
bersangkutan setelah memperoleh pemberitahuan dari
Lembaga Penjamin Simpanan.
Pasal 39
(1) Otoritas Jasa Keuangan memberitahukan keputusan
pencabutan izin usaha BPR atau BPRS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 kepada BPR atau BPRS
yang bersangkutan dan Lembaga Penjamin Simpanan.
(2) Penyelesaian lebih lanjut BPR atau BPRS yang telah
dicabut izin usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan
dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai BPR atau BPRS yang
tidak dapat disehatkan dan diserahkan kepada Lembaga
Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 sampai dengan Pasal 39 diatur dalam Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan.
-24-
BAB V
PENGUMUMAN
Pasal 41
(1) Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan BPR atau
BPRS yang ditetapkan:
a. dalam pengawasan khusus; atau
b. keluar dari pengawasan khusus,
pada hari yang sama dengan tanggal penetapan.
(2) Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan BPR atau
BPRS yang:
a. dilarang melakukan penghimpunan dana dan
penyaluran dana; atau
b. diperbolehkan melakukan penghimpunan dana
dan penyaluran dana kembali,
pada hari yang sama dengan tanggal surat
pemberitahuan.
(3) BPR atau BPRS wajib mengumumkan larangan
penghimpunan dana dan penyaluran dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a pada
hari yang sama dengan tanggal surat pemberitahuan.
Pasal 42
Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan keputusan
pencabutan izin usaha BPR atau BPRS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 kepada masyarakat.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42
diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
-25-
BAB VI
PELAPORAN
Pasal 44
(1) BPR atau BPRS dalam pengawasan khusus wajib
menyampaikan laporan neraca harian secara
mingguan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan pada hari kerja pertama minggu
berikutnya.
(3) Dalam hal hari kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) melampaui batas akhir dari jangka waktu
pengawasan khusus, laporan dimaksud wajib
disampaikan paling lambat 1 (satu) hari kerja sejak
berakhirnya jangka waktu pengawasan khusus.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan.
BAB VII
SANKSI
Pasal 45
(1) BPR atau BPRS yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal
8, Pasal 9 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), Pasal 9 ayat (3),
Pasal 10 ayat (2), Pasal 10 ayat (3), Pasal 11 ayat (1),
Pasal 12 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (2),
Pasal 21 ayat (4), Pasal 41 ayat (3), dan/atau Pasal 44
dikenakan sanksi administratif, berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan; dan/atau
-26-
c. pencantuman anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, dan/atau pemegang saham pengendali
dalam daftar pihak yang memperoleh predikat
tidak lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan
BPR atau BPRS sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai uji kemampuan dan
kepatutan BPR atau BPRS.
(2) BPR atau BPRS yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pasal 24,
Pasal 25 ayat (2), dan/atau Pasal 28 ayat (1)
dikenakan sanksi administratif, berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan;
c. penghentian sementara sebagian kegiatan usaha
BPR atau BPRS; dan/atau
d. pencantuman anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, dan/atau pemegang saham dalam
daftar pihak yang memperoleh predikat tidak
lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan BPR
atau BPRS sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai uji kemampuan dan
kepatutan BPR atau BPRS.
Pasal 46
Anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau
pegawai BPR atau BPRS yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dapat
dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49
ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan dan/atau Pasal 63 ayat (2) huruf b Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
-27-
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 47
(1) Tindak lanjut penanganan yang telah ditetapkan
terhadap BPR atau BPRS dalam pengawasan khusus
sebelum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan, tetap mengacu pada Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/20/PBI/2009 tentang Tindak
Lanjut Penanganan terhadap Bank Perkreditan Rakyat
dalam Status Pengawasan Khusus dan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 13/6/PBI/2011 tentang
Tindak
Lanjut
Penanganan
terhadap Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah dalam Status Pengawasan
Khusus.
(2) Tindak lanjut penanganan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) termasuk larangan penghimpunan dana
dan penyaluran dana terhadap BPR atau BPRS
tetap berlaku selama BPR atau BPRS dalam
pengawasan khusus.
Pasal 48
(1) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan sampai dengan tanggal 31 Oktober
2017, BPR atau BPRS ditetapkan dalam pengawasan
khusus untuk jangka waktu paling lama 180 (seratus
delapan puluh) hari terhitung sejak tanggal surat
pemberitahuan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Jangka waktu penetapan BPR atau BPRS dalam
pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak dapat diperpanjang.
Pasal 49
(1) Dalam periode sejak Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini diundangkan sampai dengan tanggal 31
Oktober 2017, BPR atau BPRS yang ditetapkan dalam
pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam
-28-
Pasal 48 harus memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6, Pasal 9 dan
Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/20/PBI/2009 tentang Tindak Lanjut Penanganan
terhadap Bank Perkreditan Rakyat dalam Status
Pengawasan Khusus dan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 7,
Pasal 9 dan Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia Nomor
13/6/PBI/2011 tentang Tindak Lanjut Penanganan
terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam
Status Pengawasan Khusus.
(2) Sejak tanggal 1 November 2017, BPR atau BPRS yang
ditetapkan dalam pengawasan khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 harus memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 50
Ketentuan yang mengatur mengenai perpanjangan jangka
waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam:
a. Pasal 10 Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/20/PBI/2009 tentang Tindak Lanjut Penanganan
terhadap Bank Perkreditan Rakyat dalam Status
Pengawasan Khusus (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 81, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5012); dan
b. Pasal 10 Peraturan Bank Indonesia Nomor
13/6/PBI/2011 tentang Tindak Lanjut Penanganan
terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam
Status Pengawasan Khusus (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5192),
dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini diundangkan.
-29-
Pasal 51
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/20/PBI/2009
tentang Tindak Lanjut Penanganan terhadap Bank
Perkreditan Rakyat dalam Status Pengawasan Khusus
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5012); dan
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/6/PBI/2011
tentang Tindak Lanjut Penanganan terhadap Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah dalam Status Pengawasan
Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5192),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 52
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal 1 November 2017, kecuali ketentuan Pasal 48,
Pasal 49 dan Pasal 50 mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
-30-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Mei 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 Mei 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 97
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 19/POJK.03/2017 </reg_id>
<reg_title> PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH </reg_title>
<set_date> 8 Mei 2017 </set_date>
<effective_date> 1 November 2017 </effective_date>
<issued_date> 10 Mei 2017 </issued_date>
<replaced_reg> '13/6/PBI/2011', '11/20/PBI/2009' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 29 /POJK.04/2015
TENTANG
EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK YANG DIKECUALIKAN DARI
KEWAJIBAN PELAPORAN DAN PENGUMUMAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan perlindungan kepada
pemodal serta efektivitas pengawasan Otoritas Jasa
Keuangan, peraturan perundang-undangan di sektor
Pasar Modal mewajibkan Emiten atau Perusahaan Publik
menyampaikan laporan secara berkala kepada Otoritas
Jasa Keuangan dan mengumumkan laporan tersebut
kepada masyarakat;
b. bahwa terdapat Emiten atau Perusahaan Publik dengan
kondisi tertentu tidak dapat menyampaikan laporan
kepada Otoritas Jasa Keuangan dan mengumumkan
laporan tersebut kepada masyarakat;
c. bahwa Pasal 86 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1995 tentang Pasar Modal memberikan kewenangan
kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mengecualikan
Emiten atau Perusahaan Publik dari kewajiban
menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan
- 2 -
dan mengumumkan laporan tersebut kepada
masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Emiten atau Perusahaan Publik Yang Dikecualikan Dari
Kewajiban Pelaporan dan Pengumuman;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG EMITEN
ATAU PERUSAHAAN PUBLIK YANG DIKECUALIKAN DARI
KEWAJIBAN PELAPORAN DAN PENGUMUMAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Pelaporan adalah penyampaian laporan keuangan tengah
tahunan, laporan keuangan tahunan, dan laporan
tahunan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka
memenuhi kewajiban sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai laporan keuangan tengah
tahunan, laporan keuangan tahunan, dan laporan
tahunan Emiten atau Perusahaan Publik.
- 3 -
2. Pengumuman adalah publikasi kepada masyarakat
melalui pengumuman surat kabar harian berperedaran
nasional dan/atau pemuatan dalam Situs Web Emiten
atau Perusahaan Publik atas laporan keuangan tengah
tahunan, laporan keuangan tahunan, dan laporan
tahunan dalam rangka memenuhi kewajiban
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur
mengenai pengumuman dalam surat kabar harian
dan/atau pemuatan dalam Situs Web atas laporan
keuangan tengah tahunan, laporan keuangan tahunan,
dan laporan tahunan Emiten atau Perusahaan Publik.
BAB II
KONDISI TERTENTU EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK
YANG DAPAT DIKECUALIKAN DARI KEWAJIBAN PELAPORAN
DAN PENGUMUMAN
Pasal 2
(1) Emiten atau Perusahaan Publik yang memenuhi kondisi
tertentu dapat dikecualikan dari kewajiban Pelaporan
dan Pengumuman.
(2) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah sebagai berikut:
a. tidak berlakunya seluruh izin usaha dari pihak yang
berwenang;
b. dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; atau
c. memenuhi paling sedikit 3 (tiga) dari 6 (enam)
kondisi sebagai berikut:
1. sudah tidak beroperasi secara penuh selama
paling singkat 3 (tiga) tahun terakhir;
2. mendapatkan pembatasan kegiatan usaha dari
pihak berwenang
yang menyebabkan
kelangsungan usaha terganggu selama paling
- 4 -
singkat 3 (tiga) tahun terakhir;
3. mendapatkan pembekuan seluruh kegiatan
usaha;
4. Otoritas Jasa Keuangan tidak dapat melakukan
korespondensi dengan Emiten atau Perusahaan
Publik selama paling singkat 3 (tiga) tahun
terakhir;
5. tidak terdapat anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, dan pemegang saham utama yang
dapat dihubungi selama paling singkat 3 (tiga)
tahun terakhir; dan
6. telah efektifnya penghapusan pencatatan Efek
Emiten atau Perusahaan Publik di Bursa Efek.
BAB III
PENETAPAN EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK YANG
DIKECUALIKAN DARI KEWAJIBAN PELAPORAN DAN
PENGUMUMAN
Pasal 3
(1) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Emiten atau
Perusahaan Publik yang dikecualikan dari kewajiban
Pelaporan dan Pengumuman.
(2) Pengecualian dari kewajiban Pelaporan dan Pengumuman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak
tanggal penetapan Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Emiten atau
Perusahaan Publik yang dikecualikan dari kewajiban
Pelaporan dan Pengumuman sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) pertama kali paling lambat 3 (tiga) bulan
sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
yang memuat:
a. pengecualian kewajiban
Pelaporan dan
Pengumuman yang akan timbul sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang berlaku sejak tanggal
- 5 -
penetapan Otoritas Jasa Keuangan; dan
b. kewajiban Pelaporan dan Pengumuman yang
dikecualikan sebelum penetapan Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 4
Emiten atau Perusahaan Publik yang dikecualikan dari
kewajiban Pelaporan dan Pengumuman dapat melakukan aksi
korporasi dengan memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan di sektor Pasar Modal yang berkaitan dengan aksi
korporasi tersebut.
Pasal 5
(1) Dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik yang
dikecualikan dari kewajiban Pelaporan dan Pengumuman
tidak lagi memenuhi kondisi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan
Emiten atau Perusahaan Publik tersebut tidak lagi
merupakan Emiten atau Perusahaan Publik yang
dikecualikan dari kewajiban Pelaporan
Pengumuman.
dan
(2) Emiten atau Perusahaan Publik wajib memenuhi
kewajiban Pelaporan dan Pengumuman sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan di sektor
Pasar Modal yang mengatur mengenai laporan keuangan
tengah tahunan, laporan keuangan tahunan, dan laporan
tahunan sejak memperoleh penetapan dari Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal jangka waktu antara penetapan Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
akhir periode:
a. laporan
keuangan
tengah tahunan yang
bersangkutan paling sedikit 120 (seratus dua puluh)
hari; atau
- 6 -
b. laporan keuangan tahunan dan laporan tahunan
yang bersangkutan paling sedikit 180 (seratus
delapan puluh) hari,
kewajiban Emiten atau Perusahaan Publik untuk
melakukan Pelaporan dan Pengumuman sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mulai berlaku untuk masing-
masing laporan periode yang bersangkutan.
(4) Dalam hal jangka waktu antara penetapan Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
akhir periode:
a. laporan
keuangan
tengah tahunan yang
bersangkutan kurang dari 120 (seratus dua puluh)
hari; atau
b. laporan keuangan tahunan dan laporan tahunan
yang bersangkutan kurang dari 180 (seratus delapan
puluh) hari,
kewajiban Emiten atau Perusahaan Publik untuk
melakukan Pelaporan dan Pengumuman sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mulai berlaku untuk masing-
masing laporan periode berikutnya.
Pasal 6
Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan Emiten atau
Perusahaan Publik yang ditetapkan untuk dikecualikan
dan/atau tidak lagi dikecualikan dari kewajiban Pelaporan
dan Pengumuman dalam Situs Web Otoritas Jasa Keuangan.
BAB IV
KETENTUAN SANKSI
Pasal 7
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
- 7 -
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f.
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 8
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 9
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 kepada masyarakat.
pembatalan persetujuan; dan
- 8 -
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 10
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal .16 Desember 2015.
............
...
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 304
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 9/POJK.04/2015 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN TRANSAKSI REPURCHASE AGREEMENT BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN </reg_title>
<set_date> 25 Juni 2015 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2016 </effective_date>
<issued_date> 26 Juni 2015 </issued_date>
<replaced_reg> 'KEP-132/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM-LK/2006' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995', '19/UU/2008', '24/UU/2002' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 36 /POJK.05/2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 1/POJK.05/2016 TENTANG INVESTASI SURAT BERHARGA NEGARA
BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk memperluas pilihan instrumen investasi
kepada lembaga jasa keuangan non-bank tanpa
mengabaikan aspek keamanan, kesesuaian dengan
karakteristik liabilitas lembaga jasa keuangan non-bank,
imbal hasil yang diperoleh, dan peranan investor
domestik dalam pembiayaan pembangunan nasional,
perlu dilakukan penyempurnaan terhadap Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.05/2016 tentang
Investasi Surat Berharga Negara bagi Lembaga Jasa
Keuangan Non-Bank;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Perubahan atas
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga
Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3477);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256);
4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618);
5. Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor
1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga
Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5834);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 1/POJK.05/2016 TENTANG INVESTASI SURAT
BERHARGA NEGARA BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN
NON-BANK.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan OJK Nomor
1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara
bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5834) diubah
sebagai berikut:
- 3 -
Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni
Pasal 4A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A
(1) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dapat memenuhi
ketentuan batas minimum penempatan investasi SBN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3
dengan melakukan penempatan investasi pada obligasi
dan/atau sukuk yang diterbitkan oleh badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah, dan/atau anak
perusahaan dari badan usaha milik negara, yang
penggunaannya untuk pembiayaan infrastruktur.
(2) Penempatan investasi pada obligasi dan/atau sukuk yang
diterbitkan oleh badan usaha milik negara, badan usaha
milik daerah, dan/atau anak perusahaan dari badan
usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang dapat diperhitungkan sebagai pemenuhan
ketentuan batas minimum penempatan investasi SBN
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. paling tinggi 40% (empat puluh persen) sampai
dengan 31 Desember 2016; dan
b. paling tinggi 50% (lima puluh persen) setelah 31
Desember 2016,
dari batas minimum yang dipersyaratkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
(3) Penempatan investasi pada obligasi dan/atau sukuk yang
diterbitkan oleh badan usaha milik negara, badan usaha
milik daerah, dan/atau anak perusahaan dari badan
usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), harus dilakukan pada obligasi dan/atau
sukuk yang tercatat di bursa efek di Indonesia atau
dalam sistem electronic trading platform (ETP) di
Indonesia dan memiliki peringkat paling rendah
investment grade dari perusahaan pemeringkat efek yang
diakui oleh OJK.
- 4 -
Pasal II
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 November 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 November 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 238
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 36/POJK.05/2016 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1/POJK.05/2016 TENTANG INVESTASI SURAT BERHARGA NEGARA BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK </reg_title>
<set_date> 10 November 2016 </set_date>
<effective_date> 14 November 2016 </effective_date>
<issued_date> 14 November 2016 </issued_date>
<changed_reg> '1/POJK.05/2016' </changed_reg>
<related_reg> '11/UU/1992', '21/UU/2011', '24/UU/2011', '40/UU/2014', '1/POJK.05/2016' </related_reg>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 47 /POJK.04/2016
TENTANG
TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA KLIRING DAN
PENJAMINAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal
31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor Pasar Modal termasuk terkait dengan pengaturan
mengenai tata cara pembuatan peraturan oleh Lembaga
Kliring Dan Penjaminan beralih dari Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai pengaturan terhadap tata cara pembuatan
peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan, peraturan
mengenai tata cara pembuatan peraturan oleh Lembaga
Kliring Dan Penjaminan yang diterbitkan sebelum
terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke
dalam
Peraturan
Otoritas
Jasa
Keuangan;
- 2 -
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Cara Pembuatan
Peraturan Oleh Lembaga Kliring Dan Penjaminan;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor
64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA
CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA KLIRING
DAN PENJAMINAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud
dengan:
1. Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah Pihak yang
menyelenggarakan jasa
penyelesaian Transaksi Bursa.
kliring dan penjaminan
2. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah Pihak
yang menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi
Bank Kustodian, Perusahaan Efek, dan Pihak lain.
3. Dewan Komisaris adalah organ Lembaga Kliring dan
Penjaminan yang bertugas melakukan pengawasan secara
umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar
serta memberi nasihat kepada Direksi.
- 3 -
BAB II
PEMBUATAN PERATURAN LEMBAGA KLIRING DAN
PENJAMINAN
Bagian Kesatu
Persyaratan Penyusunan Peraturan Lembaga Kliring dan
Penjaminan
Pasal 2
(1)
Peraturan atau perubahan peraturan Lembaga Kliring
dan Penjaminan dibuat dengan memperhatikan pendapat
dari pemakai jasa Lembaga Kliring dan Penjaminan,
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, serta Pihak
yang berkepentingan lainnya.
(2)
Peraturan atau perubahan peraturan Lembaga Kliring
dan Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan Dewan
Komisaris sebelum diajukan kepada Otoritas Jasa
Keuangan untuk memperoleh persetujuan.
Pasal 3
(1) Permohonan persetujuan peraturan atau perubahan
peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangkap 4 (empat)
dengan menggunakan format surat Permohonan
Persetujuan Peraturan atau Perubahan Peraturan
Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
disertai dengan dokumen sebagai berikut:
a. peraturan yang dimintakan persetujuan;
b. persetujuan Dewan Komisaris;
c. pendapat pemakai jasa Lembaga Kliring dan
Penjaminan; dan
d. pendapat pihak yang berkepentingan dengan
peraturan dimaksud.
- 4 -
(2) Dalam permohonan dijelaskan alasan permohonan yang
paling sedikit menyangkut latar belakang penyusunan
peraturan, masalah yang dihadapi, dan cara
pemecahannya.
Bagian Kedua
Penelaahan Permohonan Persetujuan Peraturan atau
Perubahan Peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan
Pasal 4
(1) Dalam rangka memproses permohonan persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Otoritas Jasa
Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas
peraturan atau permohonan perubahan peraturan
Lembaga Kliring dan Penjaminan paling lambat 60 (enam
puluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta untuk
mengubah materi perubahan peraturan Lembaga Kliring
dan Penjaminan dan/atau meminta tambahan informasi
yang berhubungan dengan peraturan dimaksud.
(3) Dalam hal perubahan dan/atau tambahan informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan, permohonan perubahan
peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan dihitung
sejak tanggal diterimanya perubahan atau tambahan
informasi tersebut oleh Otoritas Jasa Keuangan.
BAB III
PENAFSIRAN PERATURAN LEMBAGA KLIRING DAN
PENJAMINAN DAN KETENTUAN INTERNAL LEMBAGA
KLIRING DAN PENJAMINAN
Pasal 5
Penafsiran atas peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan
untuk memperjelas pengertiannya tetapi tidak mengubah atau
menambah pengertian dimaksud, dan ketentuan mengenai
- 5 -
pelaksanaan kegiatan internal Lembaga Kliring dan Penjaminan
yang menyangkut bidang kepegawaian Lembaga Kliring dan
Penjaminan, penggunaan tanda pengenal dan standar prosedur
operasi kegiatan Lembaga Kliring dan Penjaminan berlaku pada
saat diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 6
Pemberitahuan oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan kepada
Otoritas Jasa Keuangan mengenai penafsiran atas peraturan
Lembaga Kliring dan Penjaminan dan ketentuan mengenai
pelaksanaan kegiatan internal Lembaga Kliring dan Penjaminan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, disampaikan dengan
menggunakan format surat Pemberitahuan atas Penafsiran
Peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Peraturan
Kegiatan Internal Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, disertai
dengan penjelasan dan latar belakang penyusunannya.
Pasal 7
Otoritas Jasa Keuangan dapat membatalkan penafsiran atas
peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan dan ketentuan
mengenai kegiatan internal Lembaga Kliring dan Penjaminan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari sejak berlakunya peraturan dimaksud.
BAB IV
KETENTUAN SANKSI
Pasal 8
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi terhadap setiap pihak yang
melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan
terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
- 6 -
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g
dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan
sanksi
administratif berupa peringatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri
atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 9
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan
tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 10
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
kepada masyarakat.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 11
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-
08/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Tata Cara
Pembuatan Peraturan Oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan,
tertulis
- 7 -
beserta Peraturan Nomor III.B.2 yang merupakan lampirannya,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 12
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap
orang
mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 276
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 47 /POJK.04/2016
TENTANG
TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA KLIRING DAN
PENJAMINAN
I. UMUM
I.
II.
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
untuk mengganti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Lembaga
Kliring dan Penjaminan yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal Nomor Kep-08/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Laporan
Bursa Efek beserta Peraturan Nomor III.B.2 yang merupakan
lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata
Cara Pembuatan Peraturan Oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 12
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5972
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 47/POJK.04/2016 </reg_id>
<reg_title> TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN </reg_title>
<set_date> 2 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 7 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 7 Desember 2016 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-08/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-08/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor III.B.2' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 21/POJK.03/2014
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem perbankan
syariah yang sehat dan mampu berkembang serta bersaing
secara nasional maupun internasional, bank perlu
meningkatkan kemampuan untuk menyerap risiko
termasuk yang disebabkan oleh kondisi krisis dan/atau
pertumbuhan pembiayaan perbankan yang berlebihan;
b. bahwa sejalan dengan standar internasional yang berlaku,
perhitungan kecukupan modal yang berfungsi sebagai
penyangga untuk menyerap kerugian yang timbul dari
berbagai risiko, perlu disesuaikan dengan profil risiko yang
mencakup risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, dan
risiko lainnya yang bersifat signifikan;
c. bahwa sejalan dengan perkembangan kompleksitas usaha
dan risiko bank serta penerapan pengawasan berbasis
risiko, maka bank harus melakukan penilaian atas profil
risiko yang dimiliki dan tingkat kecukupan modal untuk
mengantisipasi potensi kerugian atas eksposur risiko
tersebut serta tetap memenuhi kewajiban penyediaan modal
yang berlaku;
d. bahwa dalam rangka meningkatkan kemampuan bank
untuk menyerap risiko, diperlukan peningkatan kualitas
dan kuantitas permodalan bank sesuai dengan standar
internasional;
e. bahwa ...
End of Page 1
- 2 -
e. bahwa peningkatan kualitas modal dilakukan melalui
penyesuaian persyaratan komponen dan instrumen modal
bank, serta penyesuaian rasio-rasio permodalan;
f. bahwa dalam rangka meningkatkan kuantitas modal, bank
perlu membentuk tambahan modal di atas persyaratan
penyediaan modal minimum sesuai profil risiko yang
berfungsi sebagai penyangga apabila terjadi krisis keuangan
dan ekonomi yang dapat mengganggu stabilitas sistem
keuangan;
g. bahwa dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/13/PBI/2005 tentang Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/7/PBI/2006 belum mengakomodasi
perkembangan pengaturan permodalan sesuai standar
internasional;
h. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f,
dan huruf g, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
Bank Umum Syariah;
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN ...
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM
SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disebut Bank adalah Bank Syariah
yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan syariah.
2. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai perseroan terbatas.
3. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang mengenai perseroan terbatas.
4. Perusahaan Anak adalah perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan
oleh Bank secara langsung maupun tidak langsung, baik di dalam negeri
maupun di luar negeri, yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan yang berlaku mengenai penerapan manajemen risiko secara
konsolidasi bagi bank yang melakukan pengendalian terhadap perusahaan
anak.
5. Pengendalian adalah pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
yang berlaku mengenai transparansi dan publikasi laporan keuangan bank.
6. Internal Capital Adequacy Assessment Process yang selanjutnya disingkat
ICAAP adalah proses yang dilakukan Bank untuk menetapkan kecukupan
modal sesuai dengan profil risiko Bank dan penetapan strategi untuk
memelihara tingkat permodalan.
7. Supervisory Review and Evaluation Process yang selanjutnya disingkat SREP
adalah proses kaji ulang yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan atas hasil
ICAAP Bank.
8. Capital Conservation Buffer adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai
penyangga apabila terjadi kerugian pada periode krisis.
9. Countercyclical ...
- 4 -
9. Countercyclical Buffer adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai
penyangga untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan
kredit dan/atau pembiayaan perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi
mengganggu stabilitas sistem keuangan.
10. Capital Surcharge untuk Domestic Systemically Important Bank (D-SIB) adalah
tambahan modal yang berfungsi untuk mengurangi dampak negatif terhadap
stabilitas sistem keuangan dan perekonomian apabila terjadi kegagalan Bank
yang berdampak sistemik melalui peningkatan kemampuan Bank dalam
menyerap kerugian.
11. Risiko Kredit adalah risiko akibat kegagalan nasabah atau pihak lain dalam
memenuhi kewajiban kepada Bank sesuai dengan perjanjian yang disepakati.
12. Risiko Pasar adalah risiko pada posisi neraca dan rekening administratif
akibat perubahan harga pasar, antara lain risiko berupa perubahan nilai dari
aset yang dapat diperdagangkan atau disewakan.
13. Risiko Operasional adalah risiko kerugian yang diakibatkan oleh proses
internal yang kurang memadai, kegagalan proses internal, kesalahan
manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian eksternal yang
mempengaruhi operasional Bank.
14. Trading Book adalah seluruh posisi instrumen keuangan dalam neraca dan
rekening administratif termasuk transaksi derivatif yang dimiliki Bank dengan
tujuan untuk:
a. diperdagangkan dan dapat dipindahtangankan dengan bebas atau dapat
dilindung-nilai secara keseluruhan, baik dari transaksi untuk
kepentingan sendiri (proprietary positions), atas permintaan nasabah
maupun kegiatan perantaraan (brokering), dan dalam rangka
pembentukan pasar (market making), yang meliputi:
1) posisi yang dimiliki untuk dijual kembali dalam jangka pendek;
2) posisi yang dimiliki untuk tujuan memperoleh keuntungan jangka
pendek secara aktual dan/atau potensi dari pergerakan harga (price
movement); atau
3) posisi yang dimiliki untuk tujuan mempertahankan keuntungan
arbitrase (locking in arbitrage profits);
b. lindung nilai atas posisi lainnya dalam Trading Book.
15. Banking Book adalah semua posisi lainnya yang tidak termasuk dalam
Trading Book.
Pasal ...
- 5 -
Pasal 2
(1) Bank wajib menyediakan modal minimum sesuai profil risiko.
(2) Penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
dengan menggunakan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM).
(3) Penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan paling rendah sebagai berikut:
a. 8% (delapan perseratus) dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR)
untuk Bank dengan profil risiko peringkat 1 (satu);
b. 9% (sembilan perseratus) sampai dengan kurang dari 10% (sepuluh
perseratus) dari ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat 2 (dua);
c. 10% (sepuluh perseratus) sampai dengan kurang dari 11% (sebelas
perseratus) dari ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat 3 (tiga);
atau
d. 11% (sebelas perseratus) sampai dengan 14% (empat belas perseratus)
dari ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat 4 (empat) atau
peringkat 5 (lima).
(4) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan modal minimum lebih besar
dari modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam hal
Otoritas Jasa Keuangan menilai Bank menghadapi potensi kerugian yang
membutuhkan modal lebih besar.
(5) Perhitungan penyediaan modal mínimum sesuai profil risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) untuk pertama kali menggunakan peringkat profil
risiko posisi Desember 2014.
(6) Kewajiban penyediaan modal mínimum sesuai profil risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. Penyediaan modal mínimum posisi bulan Maret sampai dengan bulan
Agustus didasarkan pada peringkat profil risiko posisi bulan Desember
tahun sebelumnya;
b. Penyediaan modal mínimum posisi bulan September sampai dengan
bulan Februari tahun berikutnya didasarkan pada peringkat profil risiko
posisi bulan Juni.
(7) Dalam hal terjadi perubahan peringkat profil risiko di antara periode
penilaian profil risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (6), penyediaan
modal minimum didasarkan pada peringkat profil risiko terakhir.
Pasal ...
- 6 -
Pasal 3
(1) Selain KPMM sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Bank wajib membentuk tambahan modal sebagai penyangga sesuai dengan
kriteria.
(2) Tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. Capital Conservation Buffer;
b. Countercyclical Buffer; dan/atau
c. Capital Surcharge untuk D-SIB.
(3) Besarnya tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
sebagai berikut:
a. Capital Conservation Buffer ditetapkan sebesar 2,5% (dua koma lima
perseratus) dari ATMR;
b. Countercyclical Buffer ditetapkan dalam kisaran sebesar 0% (nol
perseratus) sampai dengan 2,5% (dua koma lima perseratus) dari ATMR;
c. Capital Surcharge untuk D-SIB ditetapkan dalam kisaran sebesar 1%
(satu perseratus) sampai dengan 2,5% (dua koma lima perseratus) dari
ATMR.
(4) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan besarnya persentase Capital Surcharge
untuk D-SIB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c.
(5) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan persentase Capital Surcharge
untuk D-SIB yang lebih besar dari kisaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf c.
(6) Tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipenuhi dengan
komponen modal inti utama.
(7) Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
diperhitungkan setelah komponen modal inti utama dialokasikan untuk
memenuhi kewajiban penyediaan:
a. modal inti utama minimum;
b. modal inti minimum; dan
c. modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (3).
Pasal ...
- 7 -
Pasal 4
(1) Bank yang tergolong sebagai Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan
BUKU 4 wajib membentuk Capital Conservation Buffer sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a.
(2) Seluruh Bank wajib membentuk Countercyclical Buffer sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b.
(3) Bank yang ditetapkan berdampak sistemik wajib membentuk Capital
Surcharge untuk D-SIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)
huruf c.
Pasal 5
(1) Kewajiban Bank untuk membentuk tambahan modal berupa Capital
Conservation Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a
berlaku secara bertahap mulai tanggal 1 Januari 2016.
(2) Pembentukan Capital Conservation Buffer sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dipenuhi secara bertahap sebagai berikut:
a. sebesar 0,625% (nol koma enam ratus dua puluh lima perseratus) dari
ATMR mulai tanggal 1 Januari 2016;
b. sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima perseratus) dari ATMR mulai
tanggal 1 Januari 2017;
c. sebesar 1,875% (satu koma delapan ratus tujuh puluh lima perseratus)
dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2018; dan
d. sebesar 2,5% (dua koma lima perseratus) dari ATMR mulai tanggal 1
Januari 2019.
(3) Kewajiban Bank untuk membentuk tambahan modal berupa Countercyclical
Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b mulai berlaku
pada tanggal 1 Januari 2016.
(4) Otoritas Jasa Keuangan dapat memberlakukan Countercyclical Buffer lebih
cepat dari waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Kewajiban Bank untuk membentuk Capital Surcharge untuk D-SIB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c bagi Bank yang
ditetapkan berdampak sistemik mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016.
Pasal ...
- 8 -
Pasal 6
Dalam hal Bank memiliki dan/atau melakukan Pengendalian terhadap
Perusahaan Anak, KPMM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan kewajiban
pembentukan tambahan modal sebagai penyangga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 berlaku bagi Bank baik secara individu maupun secara konsolidasi
dengan Perusahaan Anak.
Pasal 7
(1) Bank dilarang melakukan distribusi laba apabila distribusi laba dimaksud
mengakibatkan kondisi permodalan Bank tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 baik secara individu maupun secara
konsolidasi dengan Perusahaan Anak.
(2) Bank dikenakan pembatasan distribusi laba apabila distribusi laba
mengakibatkan kondisi permodalan Bank tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 baik secara individu maupun secara
konsolidasi dengan Perusahaan Anak.
(3) Pembatasan disribusi laba sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
BAB II
PERMODALAN
Bagian Pertama
Modal
Pasal 8
(1) Modal terdiri atas:
a. modal inti (tier 1) yang meliputi:
1. modal inti utama (common equity tier 1);
2. modal inti tambahan (additional tier 1); dan
b. modal pelengkap (tier 2).
(2) Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhitungkan faktor-
faktor yang menjadi pengurang modal.
(3) Dalam perhitungan modal secara konsolidasi, komponen modal Perusahaan
Anak yang dapat diperhitungkan sebagai modal inti utama, modal inti
tambahan, dan modal pelengkap harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. memenuhi ...
- 9 -
a. memenuhi persyaratan yang berlaku untuk masing-masing komponen
modal sebagaimana diterapkan bagi Bank secara individu; dan
b. khusus untuk modal inti tambahan dan modal pelengkap, dalam hal
diterbitkan oleh Perusahaan Anak bukan Bank selain memenuhi
persyaratan pada huruf a, harus memiliki fitur untuk dikonversi menjadi
saham biasa atau mekanisme write down apabila Bank secara
konsolidasi berpotensi terganggu kelangsungan usahanya (point of non
viability) yang dinyatakan secara jelas dalam dokumentasi penerbitan.
Bagian Kedua
Modal Inti
Pasal 9
(1) Modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a terdiri
atas:
a. modal inti utama (common equity tier 1) yang mencakup:
1. modal disetor;
2. cadangan tambahan modal (disclosed reserve); dan
b. modal inti tambahan (additional tier 1).
(2) Bank wajib menyediakan modal inti paling rendah sebesar 6% (enam
perseratus) dari ATMR baik secara individu maupun secara konsolidasi
dengan Perusahaan Anak.
(3) Bank wajib menyediakan modal inti utama paling rendah sebesar 4,5%
(empat koma lima perseratus) dari ATMR baik secara individu maupun
secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak.
Pasal 10
Instrumen modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a
angka 1 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. diterbitkan dan telah dibayar penuh;
b. bersifat permanen;
c. tersedia untuk menyerap kerugian yang terjadi sebelum likuidasi maupun
pada saat likuidasi;
d. perolehan imbal hasil tidak dapat dipastikan dan tidak dapat diakumulasikan
antar periode;
e. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak;
f. memiliki ...
- 10 -
f. memiliki karakteristik pembayaran dividen atau imbal hasil:
1. berasal dari saldo laba dan/atau laba tahun berjalan;
2. tidak memiliki nilai yang pasti dan tidak terkait dengan nilai yang
dibayarkan atas instrumen modal;
3. tidak memiliki fitur preferensi; dan
g. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank penerbit baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Pasal 11
Pembelian kembali saham (treasury stock) yang telah diakui sebagai komponen
modal disetor hanya dapat dilakukan dengan memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penerbitan;
b. untuk tujuan tertentu;
c. dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; dan
e. tidak menyebabkan penurunan modal di bawah persyaratan minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 6.
Pasal 12
(1) Cadangan tambahan modal (disclosed reserve) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 2 memperhitungkan hal-hal sebagai
berikut:
a. faktor penambah adalah:
1. agio;
2. modal sumbangan;
3. cadangan umum;
4. laba tahun-tahun lalu;
5. laba tahun berjalan;
6. selisih lebih penjabaran laporan keuangan;
7. dana setoran modal yang memenuhi persyaratan:
a) telah disetor penuh untuk tujuan penambahan modal namun
belum didukung dengan kelengkapan persyaratan untuk dapat
digolongkan sebagai modal disetor seperti pelaksanaan Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS) maupun pengesahan anggaran
dasar dari instansi yang berwenang;
b) ditempatkan ...
- 11 -
b) ditempatkan pada rekening khusus (escrow account) yang tidak
diberikan imbal hasil;
c) tidak boleh ditarik kembali oleh pemegang saham/calon
pemegang saham dan tersedia untuk menyerap kerugian; dan
d) penggunaan dana harus dengan persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan;
8. waran yang diterbitkan sebagai insentif kepada pemegang saham
Bank yang diakui sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari nilai
wajar dengan memenuhi persyaratan:
a) instrumen yang mendasari adalah saham biasa;
b) tidak dapat dikonversi ke dalam bentuk selain saham; dan
c) nilai yang diperhitungkan adalah nilai wajar dari waran pada
tanggal penerbitannya;
9. opsi saham (stock option) yang diterbitkan melalui program
kompensasi pegawai/manajemen berbasis saham (employee/
management stock option) yang diakui sebesar 50% (lima puluh
perseratus) dengan memenuhi persyaratan:
a) instrumen yang mendasari adalah saham biasa;
b) tidak dapat dikonversi ke dalam bentuk selain saham; dan
c) nilai yang diperhitungkan adalah nilai wajar dari stock option
pada tanggal pemberian kompensasi;
10. pendapatan komprehensif lainnya berupa potensi keuntungan yang
berasal dari peningkatan nilai wajar aset keuangan yang
diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual;
11. saldo surplus revaluasi aset tetap.
b. faktor pengurang adalah:
1. disagio;
2. rugi tahun-tahun lalu;
3. rugi tahun berjalan;
4. selisih kurang penjabaran laporan keuangan;
5. pendapatan komprehensif lainnya berupa potensi kerugian yang
berasal dari penurunan nilai wajar aset keuangan yang
diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual;
6. selisih ...
- 12 -
6. selisih kurang antara perhitungan Penyisihan Penghapusan Aset
(PPA) atas aset produktif dan pembentukan Cadangan Kerugian
Penurunan Nilai (CKPN) atas aset produktif;
7. selisih kurang antara jumlah penyesuaian terhadap hasil valuasi dari
instrumen keuangan dalam Trading Book dan jumlah penyesuaian
berdasarkan ketentuan standar akuntansi keuangan yang berlaku;
8. Penyisihan Penghapusan Aset non produktif.
(2) Dalam perhitungan cadangan tambahan modal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), laba tahun-tahun lalu dan/atau tahun berjalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 4 dan angka 5 harus dikeluarkan dari
pengaruh faktor-faktor:
a. peningkatan atau penurunan nilai wajar atas kewajiban keuangan;
dan/atau
b. keuntungan atas penjualan aset dalam transaksi sekuritisasi (gain on
sale).
Pasal 13
(1)
Instrumen modal inti tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. diterbitkan dan telah dibayar penuh;
b. tidak memiliki jangka waktu dan tidak terdapat persyaratan yang
mewajibkan pelunasan oleh Bank di masa mendatang;
c. tidak memiliki fitur step-up;
d. memiliki fitur untuk dikonversi menjadi saham biasa atau mekanisme
write down apabila Bank berpotensi terganggu kelangsungan usahanya
(point of non viability) yang dinyatakan secara jelas dalam dokumentasi
penerbitan/perjanjian;
e. bersifat subordinasi pada saat likuidasi, yang secara jelas dinyatakan
dalam dokumentasi penerbitan/perjanjian;
f. perolehan imbal hasil/margin/ujrah tidak dapat dipastikan dan tidak
dapat diakumulasikan antar periode;
g. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak;
h. tidak memiliki fitur pembayaran dividen atau imbal hasil/margin/ujrah
yang sensitif terhadap risiko kredit;
i. apabila ...
- 13 -
i. apabila disertai dengan fitur opsi beli (call option), harus memenuhi
persyaratan:
1. hanya dapat dieksekusi paling cepat 5 (lima) tahun setelah instrumen
modal diterbitkan; dan
2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan bahwa opsi hanya dapat
dieksekusi atas persetujuan Otoritas Jasa Keuangan;
j. tidak dapat dibeli oleh Bank penerbit dan/atau Perusahaan Anak;
k. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank penerbit baik secara
langsung maupun tidak langsung;
l. tidak memiliki fitur yang menghambat proses penambahan modal di
masa mendatang; dan
m. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk
diperhitungkan sebagai komponen modal.
(2) Eksekusi opsi beli (call option) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i
hanya dapat dilakukan oleh Bank sepanjang:
a. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; dan
b. tidak menyebabkan penurunan modal di bawah persyaratan minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 6 atau
digantikan dengan instrumen modal yang mempunyai kualitas sama
atau lebih baik.
Pasal 14
(1) Dalam perhitungan rasio KPMM secara konsolidasi, kepentingan minoritas
(minority interest) diperhitungkan sebagai modal inti utama kecuali terdapat
bagian dari kepentingan minoritas yang tidak sesuai dengan persyaratan
komponen modal inti utama.
(2) Kepentingan minoritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperhitungkan dalam modal inti utama secara konsolidasi apabila
kepemilikan Bank pada Perusahaan Anak lebih dari 50% (lima puluh
perseratus) dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Perusahaan ...
- 14 -
a. Perusahaan Anak berupa Bank;
b. terdapat keterkaitan/afiliasi antara pemegang saham bukan pengendali
pada Perusahaan Anak dengan Bank; dan
c. terdapat komitmen dari pemegang saham bukan pengendali pada
Perusahaan Anak untuk mendukung modal kelompok usaha Bank yang
dinyatakan dalam surat pernyataan atau keputusan RUPS Perusahaan
Anak.
Pasal 15
(1) Modal inti utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a
angka 1 diperhitungkan dengan faktor pengurang berupa:
a. perhitungan pajak tangguhan (deferred tax);
b. goodwill;
c. aset tidak berwujud lainnya;
d. seluruh penyertaan Bank yang meliputi:
1. penyertaan Bank kepada Perusahaan Anak kecuali penyertaan modal
sementara Bank kepada Perusahaan Anak dalam rangka
restrukturisasi pembiayaan;
2. penyertaan kepada perusahaan atau badan hukum dengan
kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh perseratus) sampai
dengan 50% (lima puluh perseratus) namun Bank tidak memiliki
Pengendalian; dan
3. penyertaan kepada perusahaan asuransi;
e. kekurangan modal (shortfall) dari pemenuhan tingkat rasio solvabilitas
(Risk Based Capital) minimum pada perusahaan asuransi yang dimiliki
dan dikendalikan oleh Bank;
f. eksposur sekuritisasi; dan
g. faktor pengurang modal inti utama lainnya.
(2) faktor pengurang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan
huruf e tidak diperhitungkan lagi dalam ATMR untuk Risiko Kredit.
Bagian ...
- 15 -
Bagian Ketiga
Modal Pelengkap
Pasal 16
Modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b hanya
dapat diperhitungkan paling tinggi sebesar 100% (seratus perseratus) dari modal
inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a.
Pasal 17
(1)
Instrumen modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. diterbitkan dan telah dibayar penuh;
b. memiliki jangka waktu 5 (lima) tahun atau lebih dan hanya dapat
dilunasi setelah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan;
c. memiliki fitur untuk dikonversi menjadi saham biasa atau mekanisme
write down apabila Bank berpotensi terganggu kelangsungan usahanya
(point of non viability) yang dinyatakan secara jelas dalam dokumentasi
penerbitan/perjanjian;
d. bersifat
subordinasi yang dinyatakan dalam dokumentasi
penerbitan/perjanjian;
e. pembayaran pokok dan/atau imbal hasil/margin/ujrah ditangguhkan
dan diakumulasikan antar periode (cummulative) apabila pembayaran
dimaksud dapat menyebabkan rasio KPMM secara individu atau secara
konsolidasi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 6;
f. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak;
g. tidak memiliki fitur pembayaran dividen atau imbal hasil yang sensitif
terhadap risiko kredit;
h. tidak memiliki fitur step-up;
i. apabila disertai dengan fitur opsi beli (call option), harus memenuhi
persyaratan:
1. hanya dapat dieksekusi paling cepat 5 (lima) tahun setelah instrumen
modal diterbitkan, dan
2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan bahwa opsi hanya dapat
dieksekusi atas persetujuan Otoritas Jasa Keuangan;
j. tidak ...
- 16 -
j. tidak memiliki persyaratan
percepatan pembayaran imbal
hasil/margin/ujrah atau pokok yang dinyatakan dalam dokumentasi
penerbitan;
k. tidak dapat dibeli oleh Bank penerbit dan/atau Perusahaan Anak;
l. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank penerbit baik secara
langsung maupun tidak langsung; dan
m. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk
diperhitungkan sebagai komponen modal.
(2) Eksekusi opsi beli (call option) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i
hanya dapat dilakukan oleh Bank sepanjang:
a. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; dan
b. tidak menyebabkan penurunan modal dibawah persyaratan minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 6 atau
digantikan dengan instrumen modal yang mempunyai:
1. kualitas sama atau lebih baik; dan
2. dalam jumlah yang sama atau jumlah yang berbeda sepanjang tidak
melebihi batasan modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16.
(3) Jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai modal pelengkap adalah jumlah
modal pelengkap dikurangi amortisasi yang dihitung dengan menggunakan
metode garis lurus.
(4) Amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan untuk sisa
jangka waktu instrumen 5 (lima) tahun terakhir.
(5) Dalam hal terdapat opsi beli (call option), jangka waktu sampai Bank dapat
mengeksekusi opsi beli merupakan sisa jangka waktu instrumen.
Pasal 18
(1) Modal pelengkap meliputi:
a. instrumen modal dalam bentuk saham atau dalam bentuk lainnya yang
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17;
b. agio atau disagio yang berasal dari penerbitan instrumen modal yang
tergolong sebagai modal pelengkap;
c. cadangan umum PPA atas aset produktif dengan jumlah paling tinggi
sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima perseratus) dari ATMR untuk
Risiko Kredit; dan
d. cadangan tujuan.
(2) selisih ...
- 17 -
(2) Selisih lebih cadangan umum PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dapat diperhitungkan sebagai faktor pengurang perhitungan ATMR
untuk Risiko Kredit.
Pasal 19
Bagian dari modal pelengkap yang telah dibentuk cadangan pelunasan (sinking
fund) tidak diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap, apabila Bank:
a. telah menetapkan untuk menyisihkan dan mengelola dana cadangan
pelunasan (sinking fund) secara khusus; dan
b. telah melaksanakan publikasi pembentukan cadangan pelunasan (sinking
fund).
Pasal 20
(1) Faktor-faktor yang menjadi pengurang modal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2) mencakup:
a. pembelian kembali instrumen modal yang telah diakui sebagai
komponen permodalan Bank; dan
b. penempatan dana pada instrumen utang atau investasi Bank lain yang
diakui sebagai komponen modal oleh Bank lain atau Bank penerbit.
(2) Seluruh faktor pengurang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b tidak diperhitungkan dalam ATMR untuk Risiko Kredit.
Pasal 21
Dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (3), Bank harus menyampaikan data pendukung untuk komponen
modal inti tambahan dan modal pelengkap yang menunjukkan komponen modal
Perusahaan Anak yang diperhitungkan telah memenuhi seluruh persyaratan
sebagai komponen modal.
BAB ...
- 18 -
BAB III
ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO (ATMR)
Bagian Pertama
Jenis
Pasal 22
ATMR yang digunakan dalam perhitungan modal minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan perhitungan pembentukan tambahan modal
sebagai penyangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) terdiri atas:
a. ATMR untuk Risiko Kredit;
b. ATMR untuk Risiko Operasional; dan
c. ATMR untuk Risiko Pasar.
Pasal 23
(1) Bank wajib memperhitungkan ATMR untuk Risiko Kredit dan ATMR untuk
Risiko Operasional.
(2) Selain memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
yang memenuhi kriteria tertentu wajib memperhitungkan ATMR untuk
Risiko Pasar.
Pasal 24
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) adalah:
a. Bank yang secara individu memenuhi kriteria:
1. Bank dengan total aset sebesar Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun
rupiah) atau lebih; dan/atau
2. Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing dengan posisi
instrumen keuangan berupa surat berharga dan/atau transaksi derivatif
dalam Trading Book sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar
rupiah) atau lebih;
dan/atau;
b. Bank yang secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memenuhi salah
satu kriteria:
1. Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing yang secara
konsolidasi dengan Perusahaan Anak memiliki posisi instrumen keuangan
berupa surat berharga termasuk instrumen keuangan yang terekspos
risiko ekuitas dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book dan/atau
instrumen ...
- 19 -
instrumen keuangan yang terekspos risiko komoditas dalam Trading Book
dan Banking Book sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah)
atau lebih; atau
2. Bank yang tidak melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing namun
secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memiliki posisi instrumen
keuangan berupa surat berharga termasuk instrumen keuangan yang
terekspos risiko ekuitas dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book
dan/atau instrumen keuangan yang terekspos risiko komoditas dalam
Trading Book dan Banking Book sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh
lima miliar rupiah) atau lebih.
c. Bank yang memiliki jaringan kantor dan/atau Perusahaan Anak di negara
lain.
Pasal 25
Aset keuangan yang pada saat pengakuan awal ditetapkan sebagai aset
keuangan yang diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi dan
pembiayaan yang diklasifikasikan dalam kelompok diperdagangkan dikecualikan
dari cakupan Trading Book.
Pasal 26
Surat berharga dalam Trading Book hanya mencakup surat berharga yang
diklasifikasikan dalam kelompok diperdagangkan.
Pasal 27
Bank yang setelah melakukan merger, konsolidasi, atau akuisisi dan memenuhi
kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, paling sedikit pada 3
(tiga) periode pelaporan bulanan dalam 6 (enam) bulan pertama setelah merger,
konsolidasi, atau akuisisi dinyatakan efektif, wajib memperhitungkan Risiko
Pasar dalam perhitungan rasio KPMM sejak bulan ke-7 (tujuh) setelah merger,
konsolidasi, atau akuisisi dinyatakan efektif.
Pasal 28
Bank yang telah memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 dan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 wajib tetap
memperhitungkan Risiko Pasar dalam KPMM walaupun Bank tidak lagi
memenuhi kriteria tertentu.
Bagian ...
- 20 -
Bagian Kedua
Risiko Kredit
Pasal 29
(1) Dalam perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit, Bank menggunakan:
a. Pendekatan Standar (Standardized Approach); dan/atau
b. Pendekatan berdasarkan Internal Rating (Internal Rating based
Approach).
(2) Bank yang menggunakan pendekatan berdasarkan Internal Rating
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memperoleh persetujuan
terlebih dahulu dari Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Ketiga
Risiko Operasional
Pasal 30
(1) Dalam perhitungan ATMR untuk Risiko Operasional, Bank menggunakan:
a. Pendekatan Indikator Dasar (Basic Indicator Approach);
b. Pendekatan Standar (Standardized Approach); dan/atau
c. Pendekatan yang lebih kompleks (Advanced Measurement Approach).
(2) Bank yang mengggunakan pendekatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dan huruf c wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari
Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Keempat
Risiko Pasar
Pasal 31
(1) Risiko Pasar yang wajib diperhitungkan oleh Bank secara individu dan
secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak adalah:
a. risiko benchmark suku bunga; dan/atau
b. risiko nilai tukar.
(2) Bank secara konsolidasi, wajib memperhitungkan risiko ekuitas dan/atau
risiko komoditas selain Risiko Pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. memiliki ...
- 21 -
a. memiliki Perusahaan Anak yang terekspos risiko ekuitas dan/atau risiko
komoditas; dan
b. secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b.
Pasal 32
(1) Bank wajib melakukan valuasi secara harian terhadap posisi Trading Book
secara akurat.
(2) Dalam melakukan valuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib
memiliki kebijakan dan prosedur valuasi, termasuk memiliki sistem
informasi manajemen dan pengendalian proses valuasi yang memadai dan
terintegrasi dengan sistem manajemen risiko.
(3) Kebijakan dan prosedur valuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berdasarkan pada prinsip kehati-hatian.
Pasal 33
(1) Proses valuasi wajib dilakukan berdasarkan nilai wajar.
(2) Terhadap instrumen keuangan yang diperdagangkan secara aktif, proses
valuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
menggunakan harga transaksi yang terjadi (close out prices) atau kuotasi
harga pasar dari sumber yang independen.
(3) Valuasi terhadap instrumen keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menggunakan:
a. bid price untuk aset yang dimiliki atau kewajiban yang akan diterbitkan;
dan/atau
b. ask price untuk aset yang akan diperoleh atau kewajiban yang dimiliki.
(4) Dalam hal harga pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tersedia,
Bank dapat menetapkan nilai wajar dengan menggunakan suatu model atau
teknik penilaian berdasarkan prinsip kehati-hatian.
Pasal 34
(1) Bank wajib melakukan verifikasi terhadap proses dan hasil valuasi.
(2) Verifikasi terhadap proses dan hasil valuasi paling sedikit dilakukan
terhadap kewajaran harga pasar dan informasi yang digunakan sebagai
input dalam model atau teknik penilaian.
(3) Verifikasi ...
- 22 -
(3) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan oleh pihak yang tidak ikut dalam
pelaksanaan valuasi.
(4) Bank wajib menyesuaikan hasil valuasi berdasarkan hasil verifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 35
Bank wajib segera melakukan penyesuaian terhadap hasil valuasi yang belum
mencerminkan nilai wajar dalam hal:
a. terjadi perubahan kondisi ekonomi yang signifikan;
b. harga instrumen keuangan yang dijadikan acuan adalah harga yang terjadi
dari transaksi yang dipaksakan, likuidasi yang dipaksakan, atau penjualan
akibat kesulitan keuangan;
c. instrumen keuangan sudah mendekati jatuh tempo; dan/atau
d. harga yang dijadikan acuan tidak wajar karena kondisi lainnya.
Pasal 36
(1) Selain penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Bank wajib
melakukan penyesuaian terhadap valuasi atas posisi instrumen keuangan
dalam Trading Book yang kurang likuid dengan mempertimbangkan faktor-
faktor tertentu.
(2) Dalam hal dilakukan penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank wajib memperhitungkan dampak penyesuaian sebagai faktor
pengurang modal inti utama dalam perhitungan rasio KPMM.
Pasal 37
(1) Dalam perhitungan ATMR untuk Risiko Pasar, Bank menggunakan
pendekatan:
a. Metode Standar (Standard Method); dan/atau
b. Model Internal (Internal Model).
(2) Bank yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 wajib terlebih dahulu menggunakan Metode Standar dalam
memperhitungkan Risiko Pasar.
(3) Bank yang menggunakan pendekatan Model Internal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari
Otoritas Jasa Keuangan.
BAB ...
- 23 -
BAB IV
Internal Capital Adequacy Asessment Process (ICAAP) dan
Supervisory Review and Evaluation Process (SREP)
Bagian Pertama
Cakupan Internal Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP)
Pasal 38
(1) Dalam memenuhi KPMM sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 baik secara individu maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan
Anak, Bank wajib memiliki ICAAP yang disesuaikan dengan ukuran,
karakteristik, dan kompleksitas usaha Bank.
(2)
ICAAP mencakup paling sedikit:
a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris;
b. penilaian kecukupan modal;
c. pemantauan dan pelaporan; dan
d. pengendalian internal.
(3) Bank wajib mendokumentasikan ICAAP.
Bagian Kedua
Supervisory Review and Evaluation Process (SREP)
Pasal 39
(1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan SREP.
(2) Berdasarkan hasil SREP, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Bank
untuk memperbaiki ICAAP.
Pasal 40
(1) Dalam hal terdapat perbedaan hasil perhitungan modal sesuai profil risiko
antara hasil self assessment Bank dengan hasil SREP, perhitungan modal
yang berlaku adalah hasil SREP.
(2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai modal yang dimiliki Bank tidak
memenuhi modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 baik secara individu maupun secara konsolidasi dengan
Perusahaan Anak, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Bank untuk:
a. menambah modal agar memenuhi KPMM sesuai profil risiko;
b. memperbaiki kualitas proses manajemen risiko; dan/atau
c. menurunkan eksposur risiko.
Pasal ...
- 24 -
Pasal 41
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai terdapat kecenderungan penurunan
modal Bank yang berpotensi menyebabkan modal Bank berada di bawah KPMM
sesuai profil risiko, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Bank untuk
melakukan antara lain:
a. pembatasan kegiatan usaha tertentu;
b. pembatasan pembukaan jaringan kantor; dan/atau
c. pembatasan distribusi modal.
BAB V
PELAPORAN
Pasal 42
(1) Bank wajib menyampaikan laporan perhitungan KPMM baik secara individu
maupun secara konsolidasi.
(2) Bank yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 wajib menyampaikan laporan perhitungan KPMM dengan
memperhitungkan Risiko Pasar.
(3) Penyusunan dan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) wajib mengacu pada ketentuan mengenai laporan berkala Bank
Umum Syariah yang berlaku.
(4) Dalam hal ketentuan untuk penyusunan dan penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) belum diatur dalam
laporan berkala Bank Umum Syariah, Bank wajib melaporkan perhitungan
KPMM secara bulanan sesuai dengan format yang ditetapkan oleh Otoritas
Jasa Keuangan.
(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat tanggal 21 (dua puluh satu) bulan
berikutnya setelah bulan laporan yang bersangkutan.
(6) Bank yang terlambat menyampaikan laporan perhitungan KPMM
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), tetap wajib menyampaikan laporan.
Pasal ...
- 25 -
Pasal 43
(1) Bank wajib menyampaikan laporan penilaian kecukupan modal minimum
sesuai profil risiko kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan bersamaan dengan
penyampaian hasil self assessment Tingkat Kesehatan Bank.
(3) Batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mengacu pada ketentuan mengenai penilaian tingkat kesehatan Bank
Umum Syariah.
Pasal 44
(1) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43 ayat (1) apabila laporan diterima oleh Otoritas Jasa
Keuangan paling lama 5 (lima) hari setelah batas waktu penyampaian
laporan.
(2) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43 ayat (1) apabila laporan belum diterima oleh Otoritas Jasa
Keuangan setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan tetap wajib
menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1).
BAB VI
LAIN-LAIN
Pasal 45
Bank dilarang melakukan perdagangan atas aset keuangan dalam kelompok
tersedia untuk dijual, yang dilakukan dengan pola menyerupai perdagangan atas
aset keuangan dalam kelompok diperdagangkan:
a. dalam jumlah yang signifikan; dan/atau
b. dalam frekuensi yang tinggi.
BAB ...
- 26 -
BAB VII
SANKSI
Pasal 46
Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1),
Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5 ayat (2), Pasal 7, Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (2)
dan ayat (3), Pasal 23, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat (2),
Pasal 31, Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), ayat (3), dan ayat
(4), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 38 ayat (1) dan ayat
(3), Pasal 42 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (6), Pasal 43 ayat (1),
dan Pasal 44 ayat (3), dikenakan sanksi administratif, antara lain berupa:
a. teguran tertulis;
b. larangan melakukan ekspansi kegiatan usaha;
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
d. larangan pembukaan jaringan kantor;
e. penurunan tingkat kesehatan Bank; dan/atau
f. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham Bank dalam daftar orang yang
dilarang menjadi pemegang saham dan pengurus Bank.
Pasal 47
Bank yang tidak menyampaikan laporan perhitungan KPMM sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 ayat (5) dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar
sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan dengan
jumlah paling banyak sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
Pasal 48
(1) Selain sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Bank yang
dinyatakan:
a. terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
44 ayat (1), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan;
b. tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
ayat
(2), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Dalam ...
- 27 -
(2) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena dinyatakan
tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
sanksi kewajiban membayar karena terlambat menyampaikan laporan tidak
diberlakukan.
Pasal 49
Selain dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46,
Bank yang tidak memenuhi KPMM sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 baik secara individu maupun secara konsolidasi dengan
Perusahaan Anak wajib melakukan langkah-langkah atau tindakan perbaikan
dengan mengacu pada ketentuan mengenai tindak lanjut pengawasan dan
penetapan status bank.
Pasal 50
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
dikenakan sanksi berupa tidak diperkenankan untuk mengelompokkan
pembelian aset keuangan berikutnya dalam kelompok tersedia untuk dijual,
selama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkan surat pembinaan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
untuk kedua kalinya, dikenakan sanksi berupa tidak diperkenankan untuk
mengelompokkan pembelian aset keuangan berikutnya dalam kelompok
tersedia untuk dijual selama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal
dikeluarkan surat pembinaan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
lebih dari dua kali, dikenakan sanksi berupa tidak diperkenankan untuk
mengelompokkan pembelian aset keuangan berikutnya dalam kelompok
tersedia untuk dijual selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal
dikeluarkan surat pembinaan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
BAB ...
- 28 -
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 51
(1) Komponen dan persyaratan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
Pasal 4, dan Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/13/PBI/2005
tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Berdasarkan
Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 8/7/PBI/2006 dinyatakan tetap berlaku sampai dengan
31 Desember 2015.
(2) Komponen dan persyaratan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
sampai dengan Pasal 21, kecuali Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016.
Pasal 52
(1)
Instrumen modal, sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/13/PBI/2005 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/7/PBI/2006, yang tidak memiliki jangka
waktu dan diterbitkan sebelum tanggal 1 Januari 2015 namun tidak
memenuhi kriteria komponen modal sesuai ketentuan ini dapat tetap diakui
sebagai komponen modal sampai dengan tanggal 31 Desember 2018.
(2)
Instrumen modal sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/13/PBI/2005 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/7/PBI/2006 yang memiliki jangka
waktu dan diterbitkan sebelum tanggal 1 Januari 2015 namun tidak
memenuhi kriteria komponen modal sesuai ketentuan ini dapat tetap diakui
sebagai komponen modal sampai dengan jatuh tempo.
BAB ...
- 29 -
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 53
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dengan
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 54
(1) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan
Bank Indonesia Nomor 7/13/PBI/2005 tentang Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4501) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 8/7/PBI/2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4606) kecuali Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5,
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/13/PBI/2005 tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 47, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4501) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/7/PBI/2006 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4606) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku pada
tanggal 1 Januari 2016.
Pasal ...
30
Pasal 55
Peraturan Otoritas Jasa Ketiangan ini mulai berlaku pada tanggal
1 Januari 2015.
Agar sctiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 November 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MUUAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 19 November 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum I
Departemen Hukum,
KEGAN
KEUANGAN
Tini Kustini
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 352
End of Page 30
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 21/POJK.03/2014
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM SYARIAH
I. UMUM
Pengalaman krisis keuangan dan ekonomi yang terjadi di berbagai negara pada
beberapa tahun belakangan menunjukkan bahwa kegagalan Bank antara lain
disebabkan oleh tidak memadainya kualitas dan kuantitas permodalan Bank untuk
mengantisipasi risiko yang dihadapi. Dalam rangka meningkatkan kualitas dan
kuantitas modal Bank agar Bank lebih mampu menyerap potensi kerugian baik akibat
krisis keuangan dan ekonomi maupun karena pertumbuhan pembiayaan yang
berlebihan, maka persyaratan komponen dan instrumen modal serta perhitungan
kecukupan modal Bank perlu disesuaikan dengan standar internasional yang berlaku
yaitu kerangka permodalan yang diterbitkan oleh Basel Committee on Banking
Supervision (BCBS) dan Islamic Financial Services Board (IFSB).
Perhitungan kecukupan modal merupakan salah satu aspek yang mendasar
dalam pelaksanaan prinsip kehati-hatian. Modal berfungsi sebagai penyangga untuk
menyerap kerugian yang timbul dari berbagai risiko. Oleh karena itu, bank perlu
menyesuaikan kecukupan modal tersebut dengan profil risiko bank yang mencakup
risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, dan risiko lainnya yang bersifat signifikan
baik yang terukur secara kuantitatif maupun berdasarkan penilaian secara kualitatif.
Dalam standar Internasional, bank disyaratkan untuk mengembangkan
Internal Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP) yaitu proses untuk
menetapkan kecukupan modal yang sesuai dengan profil risiko bank sebagai bagian
dari peningkatan efektivitas praktik manajemen risiko di bank. Selanjutnya Otoritas
Jasa Keuangan melakukan Supervisory Review and Evaluation Process (SREP)
terhadap kecukupan ICAAP yang dilakukan bank untuk memastikan tingkat
permodalan bank memadai dan sesuai dengan profil risikonya.
Untuk meningkatkan kualitas permodalan bank, komponen dan persyaratan
instrumen modal disesuaikan mengacu pada standar internasional yang berlaku.
Komponen ...
- 2 -
Komponen modal inti (Tier 1) bank terutama harus didominasi oleh instrumen modal
berkualitas tinggi, yaitu saham biasa (common stocks) dan saldo laba yang
merupakan bagian dari modal inti utama atau Common Equity Tier 1.
Komponen modal inti lainnya yaitu modal inti tambahan (Additional Tier 1)
ditingkatkan kualitasnya menjadi hanya dapat berupa instrumen keuangan yang
bersifat subordinasi dengan pembayaran dividen atau imbal hasil bersifat non
kumulatif serta memenuhi kriteria tertentu.
Sejalan dengan peningkatan kualitas modal inti, komponen dan persyaratan
instrumen modal pelengkap (Tier 2) juga ikut disesuaikan. Komponen modal
pelengkap tambahan (Tier 3) yang sebelumnya dapat diterbitkan hanya untuk
perhitungan modal untuk risiko pasar, dengan berlakunya Basel III: A Global
Regulatory Framework for More Resilient Banks and Banking Systems (Basel III)
dan Standar IFSB Nomor 15 menjadi dihapuskan. Untuk memastikan kualitas
atau tingkat permodalan bank memadai, dilakukan penyempurnaan rasio-rasio
permodalan yang meliputi rasio modal inti dan rasio modal inti utama.
Bank diwajibkan untuk membentuk tambahan modal berupa Capital
Conservation Buffer dan Countercyclical Buffer, dan bank yang dianggap berpotensi
sistemik wajib membentuk tambahan modal berupa Capital Surcharge.
Tujuan pembentukan tambahan modal tersebut adalah sebagai penyangga
untuk menyerap risiko yang disebabkan oleh kondisi krisis dan/atau pertumbuhan
pembiayaan perbankan yang berlebihan. Kewajiban pembentukan tambahan modal
diterapkan secara bertahap sejak tahun 2016 untuk memberikan waktu yang
cukup bagi bank dalam membentuk tambahan modal tersebut.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, perlu pengaturan tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Syariah dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup Jelas.
Pasal ...
- 3 -
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “profil risiko” adalah profil risiko Bank
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai penilaian tingkat kesehatan Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “rasio KPMM” adalah perbandingan antara
modal Bank dengan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Pembentukan tambahan modal selain modal minimum berfungsi
sebagai penyangga apabila terjadi krisis keuangan dan ekonomi yang
dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Besarnya persentase Countercyclical Buffer ditetapkan sesuai
dengan perkembangan kondisi makro ekonomi Indonesia.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat ...
- 4 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Pengelompokan BUKU mengacu pada ketentuan yang mengatur
mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal
inti bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penetapan bank yang berdampak sistemik berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pemberlakuan Countercyclical Buffer lebih cepat dimaksud
didasarkan pada penilaian atas kondisi makro ekonomi Indonesia.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal ...
- 5 -
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “distribusi laba” antara lain berupa
pembayaran dividen dan pembayaran bonus atau tantiem kepada
Dewan Komisaris dan Direksi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Mekanisme write down antara lain pengurangan nilai kewajiban,
pengurangan nilai kewajiban pada saat opsi beli dieksekusi, atau
pengurangan sebagian atau seluruh pembayaran imbal hasil.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Yang termasuk “modal disetor” adalah saham biasa (common
stocks) sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
ketentuan standar akuntansi keuangan mengenai instrumen
keuangan.
Huruf b
Yang termasuk komponen “modal inti tambahan” antara lain:
a. instrumen utang/investasi yang memiliki karakteristik
modal, bersifat subordinasi, tidak memiliki jangka waktu,
dan pembayaran imbal hasil/margin/ujrah tidak dapat
diakumulasikan (perpetual non cummulative subordinated
debt);
b. saham ...
- 6 -
b. saham preferen non kumulatif (perpetual non cummulative
preference shares) baik dengan maupun tanpa fitur opsi beli
(call option);
c. instrumen hybrid yang tidak memiliki jangka waktu dan
pembayaran imbal hasil/margin/ujrah tidak dapat
diakumulasikan; dan
d. agio atau disagio yang berasal dari penerbitan instrumen
yang tergolong sebagai modal inti tambahan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Termasuk dalam kategori “diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau
Perusahaan Anak”, yaitu proteksi maupun jaminan yang diterima
dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank atau Perusahaan Anak,
misalnya premi atau fee dalam rangka penjaminan dibayar oleh Bank
atau Perusahaan Anak.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal ...
- 7 -
Pasal 11
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tujuan tertentu” antara lain persediaan
saham dalam rangka program employee/management stock option
atau menghindari upaya pengambilalihan.
Program employee/management stock option adalah pemberian hak
kepada pegawai untuk membeli saham bank pada harga tertentu.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan yang
berlaku” antara lain Undang-Undang mengenai perseroan terbatas
dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya di bidang pasar
modal.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Yang dimaksud dengan “agio” adalah selisih lebih setoran
modal yang diterima oleh Bank pada saat penerbitan
saham karena harga pasar saham lebih tinggi dari nilai
nominal.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “modal sumbangan” adalah
modal yang diperoleh kembali dari sumbangan saham
Bank termasuk selisih antara nilai yang tercatat dengan
harga jual apabila saham dijual.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “cadangan umum” adalah
cadangan yang dibentuk dari penyisihan saldo laba
setelah ...
- 8 -
setelah dikurangi pajak, dan mendapat persetujuan
RUPS sebagai cadangan umum.
Angka 4
Laba tahun-tahun lalu setelah diperhitungkan pajak
mencakup:
a. laba tahun lalu, yaitu seluruh laba bersih tahun-
tahun yang lalu setelah dikurangi pajak dan belum
ditetapkan penggunaannya oleh RUPS; dan
b. saldo laba, yaitu saldo laba bersih setelah dikurangi
pajak yang oleh RUPS diputuskan untuk tidak
dibagikan.
Angka 5
Yang dimaksud dengan “laba tahun berjalan” adalah laba
yang diperoleh dalam tahun buku berjalan setelah
dikurangi taksiran pajak.
Angka 6
Yang dimaksud dengan “selisih lebih penjabaran laporan
keuangan” adalah selisih kurs yang timbul dari
penjabaran laporan keuangan kantor cabang Bank di
luar negeri dan/atau Perusahaan Anak di luar negeri
sebagaimana diatur dalam standar akuntansi keuangan
yang berlaku mengenai penjabaran laporan keuangan
dalam mata uang asing.
Angka 7
Yang dimaksud dengan “calon pemegang saham” adalah
calon pemegang saham yang berdasarkan penelitian
Otoritas Jasa Keuangan telah memenuhi syarat sebagai
pemegang saham. Apabila berdasarkan penelitian
Otoritas Jasa Keuangan, calon pemegang saham atau
dana setoran modal diketahui tidak memenuhi syarat,
masing-masing sebagai pemegang saham atau sebagai
modal, dana tersebut tidak dapat diakui sebagai
komponen modal.
Angka ...
- 9 -
Angka 8
Yang dimaksud dengan “waran” adalah efek yang
diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memberi hak
kepada pemegang efek untuk memesan saham dari
perusahaan tersebut pada harga dan jangka waktu
tertentu.
Angka 9
Cukup jelas.
Angka 10
Pengertian “aset keuangan yang diklasifikasikan dalam
kelompok tersedia untuk dijual” mengacu pada standar
akuntansi keuangan yang berlaku mengenai instrumen
keuangan.
Angka 11
Yang dimaksud dengan “saldo surplus revaluasi aset
tetap” adalah selisih penilaian kembali aset tetap milik
Bank.
Pengakuan saldo surplus revaluasi aset tetap mengikuti
standar akuntansi yang berlaku mengenai aset tetap.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan “disagio” adalah selisih kurang
setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat
penerbitan saham karena harga pasar saham lebih
rendah dari nilai nominal.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “rugi tahun-tahun lalu” adalah
seluruh rugi yang dibukukan Bank pada tahun-tahun
yang lalu.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “rugi tahun berjalan” adalah
seluruh rugi yang dibukukan Bank dalam tahun buku
berjalan.
Angka ...
- 10 -
Angka 4
Yang dimaksud dengan “selisih kurang penjabaran
laporan keuangan” adalah selisih kurs yang timbul dari
penjabaran laporan keuangan kantor cabang Bank di
luar negeri dan/atau Perusahaan Anak di luar negeri
sebagaimana diatur dalam standar akuntansi keuangan
yang berlaku mengenai penjabaran laporan keuangan
dalam mata uang asing.
Angka 5
Pengertian “aset keuangan yang diklasifikasikan dalam
kelompok tersedia untuk dijual” mengacu pada standar
akuntansi keuangan yang berlaku mengenai instrumen
keuangan.
Angka 6
Yang dimaksud dengan “selisih kurang antara
perhitungan PPA atas aset produktif dan pembentukan
CKPN atas aset produktif” adalah selisih kurang antara
total PPA (cadangan umum dan cadangan khusus atas
seluruh aset produktif) yang wajib dibentuk sesuai
ketentuan yang berlaku mengenai kualitas aset bagi
Bank Umum Syariah dengan total CKPN aset keuangan
(impairment) atas seluruh aset produktif secara individu
dan secara kolektif sesuai ketentuan standar akuntansi
keuangan yang berlaku.
Angka 7
Selisih kurang timbul karena jumlah penyesuaian
terhadap hasil valuasi (mark to market) dari instrumen
keuangan dalam Trading Book yang mempertimbangkan
berbagai faktor tertentu, antara lain karena posisi yang
kurang likuid melebihi jumlah penyesuaian yang
dipersyaratkan sesuai standar akuntansi keuangan yang
berlaku mengenai pengukuran instrumen keuangan,
khususnya instrumen keuangan yang diukur
berdasarkan nilai wajar.
Sesuai ...
- 11 -
Sesuai Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia
(PAPSI) yang berlaku, penyesuaian terhadap hasil valuasi
instrumen keuangan akan langsung mengurangi atau
menambah nilai tercatat instrumen keuangan.
Angka 8
Yang dimaksud dengan “Penyisihan Penghapusan Aset
non produktif” adalah cadangan yang wajib dibentuk
untuk aset non produktif sesuai ketentuan yang berlaku
mengenai penilaian kualitas aset Bank Umum Syariah.
Ayat (2)
Huruf a
Peningkatan atau penurunan nilai wajar atas kewajiban
keuangan terjadi apabila Bank menetapkan untuk mengukur
kewajiban keuangan pada nilai wajar melalui laba rugi sesuai
ketentuan standar akuntansi keuangan yang berlaku.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “keuntungan atas penjualan aset dalam
transaksi sekuritisasi (gain on sale)” adalah keuntungan yang
diperoleh Bank sebagai kreditur asal (originator) atas penjualan
aset dalam transaksi sekuritisasi yang bersumber dari
kapitalisasi pendapatan masa mendatang (expected future
margin) atau kapitalisasi pendapatan dari penyediaan jasa
(servicing income).
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “fitur step-up” adalah fitur yang
menjanjikan kenaikan tingkat imbal hasil/margin/ujrah apabila
opsi beli tidak dieksekusi pada jangka waktu yang telah
ditetapkan.
Huruf ...
- 12 -
Huruf d
Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk menetapkan kondisi
dimana Bank dinyatakan terganggu kelangsungan usahanya
(point of non viability) dan memerintahkan Bank untuk
mengkonversi instrumen modal inti tambahan ke saham biasa
atau melakukan write down.
Mekanisme write down antara lain pengurangan nilai
kewajiban, pengurangan nilai kewajiban pada saat opsi beli
dieksekusi, atau pengurangan sebagian atau seluruh
pembayaran imbal hasil.
Cakupan dokumentasi penerbitan/perjanjian antara lain
klausul yang menyatakan bahwa instrumen modal inti
tambahan dapat dikonversi menjadi saham biasa atau
dilakukan write down apabila terdapat perintah dari Otoritas
Jasa Keuangan.
Huruf e
Instrumen modal inti tambahan bersifat subordinasi terhadap
antara lain deposan, kreditur, dan pemegang instrumen yang
memenuhi kriteria modal pelengkap.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Termasuk dalam kategori “diproteksi maupun dijamin oleh
Bank atau Perusahaan Anak”, yaitu proteksi maupun jaminan
yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank
atau Perusahaan Anak, misalnya premi atau fee dalam rangka
penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “dividen atau imbal hasil/margin/ujrah
yang sensitif terhadap risiko kredit” adalah tingkat dividen atau
imbal hasil yang ditetapkan berdasarkan peringkat atau tingkat
risiko kredit Bank penerbit.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf ...
- 13 -
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Yang dimaksud dengan “fitur yang menghambat proses
penambahan modal di masa mendatang” antara lain
persyaratan yang mewajibkan Bank untuk memberikan
kompensasi kepada investor apabila Bank menerbitkan
instrumen modal baru dengan harga yang lebih rendah.
Huruf m
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kualitas sama atau lebih baik” adalah
instrumen modal yang paling sedikit memenuhi persyaratan
sebagai komponen modal inti tambahan.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kepentingan minoritas” adalah kepentingan
pemegang saham bukan pengendali sesuai dengan ketentuan standar
akuntansi yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Pajak tangguhan dikurangkan sebesar 100% (seratus
perseratus) baik atas perhitungan pajak tangguhan pada
tahun-tahun lalu maupun pada tahun berjalan.
Pajak tangguhan merupakan transaksi yang timbul sebagai
akibat penerapan Pedoman Standar Akuntansi Keuangan
(PSAK) ...
- 14 -
(PSAK) mengenai akuntansi pajak penghasilan.
Dalam perhitungan KPMM secara individu, pajak tangguhan
yang dikeluarkan sebesar selisih lebih dari aset pajak
tangguhan dikurangi kewajiban pajak tangguhan. Apabila
terjadi selisih kurang, perhitungan pajak tangguhan yang akan
dikeluarkan adalah nihil.
Dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi, aset pajak
tangguhan satu perusahaan tidak boleh saling hapus dengan
kewajiban pajak tangguhan perusahaan lain dalam kelompok
usaha bank.
Oleh karena itu, pengaruh pajak tangguhan dalam perhitungan
KPMM secara konsolidasi harus dihitung dan dikeluarkan
secara terpisah untuk masing-masing entitas.
Dengan dikeluarkannya dampak pajak tangguhan dari
perhitungan modal inti utama, aset pajak tangguhan tidak
diperhitungkan dalam perhitungan ATMR.
Huruf b
Pengertian goodwill mengacu pada ketentuan standar
akuntansi keuangan yang berlaku.
Goodwill diperhitungkan sebagai faktor pengurang baik dalam
perhitungan modal minimum Bank secara individu maupun
secara konsolidasi.
Huruf c
Pengertian aset tidak berwujud mengacu pada ketentuan
standar akuntansi keuangan yang berlaku.
Termasuk sebagai “aset tidak berwujud lainnya” antara lain
copyright, hak paten, dan hak milik intelektual lainnya
termasuk aplikasi piranti lunak (software) yang dikembangkan
oleh Bank.
Huruf d
Nilai penyertaan yang diperhitungkan adalah nilai buku yang
tercatat di neraca.
Huruf e
Kekurangan modal (shortfall) diperhitungkan sebagai faktor
pengurang ...
- 15 -
pengurang hanya dalam perhitungan rasio KPMM secara
konsolidasi.
Kekurangan modal perusahaan asuransi dari Risk Based
Capital minimum diperhitungkan apabila perusahaan tidak
dapat memenuhi Risk Based Capital minimum sampai dengan
jangka waktu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf f
Perlakuan terhadap eksposur sekuritisasi sebagai pengurang
modal atau diperhitungkan sebagai ATMR mengacu pada
ketentuan mengenai sekuritisasi aset.
Yang dimaksud dengan “eksposur sekuritisasi” adalah kredit
pendukung (credit enhancement), fasilitas likuiditas (liquidity
support), dan efek beragun aset (asset backed securities).
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk menetapkan kondisi
dimana Bank dinyatakan terganggu kelangsungan usahanya
(point of non viability) dan memerintahkan Bank untuk
mengkonversi instrumen modal pelengkap ke saham biasa atau
melakukan write down.
Termasuk dalam mekanisme write down antara lain
pengurangan nilai kewajiban, pengurangan nilai kewajiban
pada ...
- 16 -
pada saat opsi beli dieksekusi, atau pengurangan sebagian
atau seluruh pembayaran imbal hasil.
Cakupan dokumentasi penerbitan/perjanjian antara lain
klausul yang menyatakan bahwa instrumen modal inti
tambahan dapat dikonversi menjadi saham biasa atau
dilakukan write down apabila terdapat perintah dari Otoritas
Jasa Keuangan.
Huruf d
Instrumen modal pelengkap bersifat subordinasi terhadap
antara lain deposan dan kreditur.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Termasuk dalam kategori “diproteksi maupun dijamin oleh
Bank atau Perusahaan Anak”, yaitu proteksi maupun jaminan
yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank
atau Perusahaan Anak, misalnya premi atau fee dalam rangka
penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “dividen atau imbal hasil yang sensitif
terhadap risiko kredit” adalah tingkat dividen atau imbal hasil
yang ditetapkan berdasarkan peringkat atau tingkat risiko
kredit Bank penerbit.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “fitur step-up” adalah fitur yang
menjanjikan kenaikan tingkat imbal hasil/margin/ujrah apabila
opsi beli tidak dieksekusi pada jangka waktu yang telah
ditetapkan.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf ...
- 17 -
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan “kualitas sama atau lebih baik”
adalah instrumen modal yang paling sedikit memenuhi
persyaratan sebagai komponen modal pelengkap.
Angka 2
Batasan modal pelengkap diperhitungkan dengan
memperhatikan seluruh instrumen modal pelengkap
yang tersedia.
Contoh “jumlah yang berbeda” adalah sebagai berikut:
modal pelengkap yang dieksekusi adalah
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) namun pada
saat penggantian, modal inti Bank mengalami perubahan
sehingga batasan modal pelengkap menjadi paling
banyak sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah). Dengan kondisi ini, maka Bank dapat
menggantikan modal
pelengkap
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “metode garis lurus” adalah perhitungan
amortisasi secara prorata.
Ayat (4)
Amortisasi dihitung berdasarkan nilai instrumen modal yang telah
memperhitungkan pengurangan dari cadangan pelunasan (sinking
fund).
sebesar
Ayat ...
- 18 -
Ayat (5)
Contoh pelaksanaan amortisasi:
a. Bank menerbitkan obligasi subordinasi yang memiliki jangka
waktu 10 (sepuluh) tahun dan memiliki opsi beli pada akhir
tahun kelima.
Dalam kondisi ini, Bank mulai menghitung amortisasi sejak
tahun pertama.
Apabila pada akhir tahun kelima, Bank tidak mengeksekusi opsi
beli, maka mulai awal tahun keenam obligasi subordinasi dapat
diperhitungkan kembali dalam perhitungan KPMM dengan
memperhatikan batasan yang dipersyaratkan, termasuk
kewajiban untuk memperhitungkan amortisasi.
b. Bank menerbitkan obligasi subordinasi yang memiliki jangka
waktu 10 (sepuluh) tahun dan memiliki opsi beli setelah lewat
tahun kelima.
Dalam kondisi ini, maka sisa jangka waktu instrumen pada awal
penerbitan adalah 5 (lima) tahun. Amortisasi mulai
diperhitungkan oleh Bank sejak tahun pertama.
Setelah lewat tahun kelima sampai dengan jatuh tempo, Bank
tidak dapat memperhitungkan kembali obligasi subordinasi
sebagai modal pelengkap, meskipun Bank belum mengeksekusi
opsi beli.
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Contoh “instrumen modal dalam bentuk saham atau dalam
bentuk lainnya yang memenuhi persyaratan” adalah:
1. saham preferen
(yang memberikan hak kepada
pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari
pemegang saham klasifikasi lain) secara kumulatif
(cummulative preference share);
2. instrumen utang /investasi yang memiliki karakteristik
modal, bersifat subordinasi, bersifat kumulatif, dan
memenuhi seluruh persyaratan
untuk dapat
diperhitungkan ...
- 19 -
diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap
(cummulative subordinated debt); dan
3. instrumen utang/investasi yang memiliki karakteristik
seperti modal yang secara otomatis tanpa persyaratan dapat
dikonversi menjadi saham setelah memperoleh persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan (mandatory convertible bond).
Kondisi dan nilai konversi harus ditetapkan pada saat
penerbitan yang besarnya sejalan dengan kondisi pasar.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cadangan umum PPA atas aset produktif yang dibentuk
mengacu pada ketentuan mengenai kualitas aset bank umum
syariah.
Contoh:
Cadangan umum PPA atas aset produktif yang telah dibentuk
sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) dari ATMR
Bank untuk Risiko Kredit sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah), perhitungannya adalah sebagai berikut:
Cadangan umum PPA atas aset produktif yang dapat
diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap paling
tinggi 1,25% (satu koma dua puluh lima perseratus) dari
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), yaitu sebesar
Rp12.500.000,00 (dua belas juta lima ratus ribu rupiah).
Dalam hal ini terdapat kelebihan cadangan umum sebesar
Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah), tidak dapat
diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “cadangan tujuan” adalah cadangan
yang dibentuk dari penyisihan saldo laba setelah dikurangi
pajak untuk tujuan tertentu dan telah mendapat persetujuan
RUPS.
Ayat (2)
Kelebihan cadangan umum PPA atas aset produktif sesuai contoh
pada ...
- 20 -
pada penjelasan ayat (1) huruf c yaitu sebesar Rp2.500.000,00 (dua
juta lima ratus ribu rupiah) menjadi faktor pengurang perhitungan
ATMR untuk Risiko Kredit.
Pasal 19
Termasuk dalam “publikasi pembentukan cadangan pelunasan (sinking
fund)” adalah penyampaian dalam Rapat Umum Pemegang Sukuk.
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
“Pembelian kembali instrumen modal yang telah diakui sebagai
komponen permodalan Bank” menjadi faktor pengurang
masing-masing komponen modal yang bersangkutan.
Contoh 1:
Termasuk dalam pembelian kembali instrumen modal yang
harus dikurangkan dari modal inti utama antara lain
pembelian kembali instrumen modal yang telah diterbitkan
Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Contoh 2:
Termasuk dalam pembelian kembali instrumen modal yang
harus dikurangkan dari modal inti tambahan antara lain
eksekusi opsi beli (call option).
Huruf b
“Penempatan dana pada instrumen utang atau investasi Bank
lain yang diakui sebagai komponen modal oleh Bank lain atau
Bank penerbit” menjadi faktor pengurang modal bagi Bank
yang melakukan penempatan dana pada komponen modal yang
memiliki kualitas sama dan/atau lebih baik.
Contoh 1:
Bank A memiliki komponen modal pelengkap sebesar
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Bank A membeli obligasi subordinasi yang diterbitkan Bank B
yang merupakan komponen modal pelengkap Bank B sebesar
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
Dalam ...
- 21 -
Dalam kondisi ini, maka modal pelengkap Bank A akan
dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli Bank A dari
Bank B yaitu:
Rp100.000.000.000,00 - Rp20.000.000.000,00 =
Rp80.000.000.000,00.
Nilai Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah) diakui
sebagai modal pelengkap sesuai dengan batasan modal
pelengkap yang diperkenankan.
Contoh 2:
Bank A memiliki komponen modal pelengkap sebesar
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan modal inti
utama sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Bank A membeli obligasi subordinasi yang diterbitkan Bank B
yang merupakan komponen modal pelengkap Bank B sebesar
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
Dalam kondisi ini, modal pelengkap Bank A akan dikurangi
dengan obligasi subordinasi yang dibeli Bank A dari Bank B
yaitu:
Rp10.000.000.000,00 - Rp20.000.000.000,00 =
(Rp10.000.000.000,00).
Nilai Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) akan
dikurangkan terhadap modal inti utama Bank A.
Contoh 3:
Bank A hanya memiliki komponen modal inti utama sebesar
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dan tidak
memiliki komponen modal lainnya.
Bank A membeli obligasi subordinasi yang diterbitkan Bank B
yang merupakan komponen modal pelengkap Bank B sebesar
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
Dalam kondisi ini, maka modal inti utama Bank A akan
dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli Bank A dari
Bank B yaitu:
Rp100.000.000.000,00 - Rp20.000.000.000,00 =
Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah).
Ayat ...
- 22 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Perlakuan pengakuan dan pengukuran mengacu pada standar akuntansi
keuangan yang berlaku mengenai instrumen keuangan.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Contoh 1:
Sebelum melakukan merger atau konsolidasi, Bank A dan Bank B tidak
memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar. Selama 6 (enam)
bulan setelah merger atau konsolidasi dinyatakan efektif, pada bulan
pertama, ketiga, dan keempat, Bank hasil merger atau konsolidasi tersebut
memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar.
Dengan demikian, Bank hasil merger atau konsolidasi tersebut
memperhitungkan Risiko Pasar sejak bulan ke-7 (tujuh).
Contoh 2:
Bank A tidak memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar.
Selanjutnya, Bank A mengakuisisi perusahaan keuangan X, sehingga Bank
A melakukan konsolidasi terhadap perusahaan X. Selama 6 (enam) bulan
setelah melakukan akuisisi perusahaan X dinyatakan efektif, pada bulan
kedua, keempat, dan keenam, Bank secara konsolidasi dengan perusahaan
X tersebut memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar.
Dengan demikian, Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak X
tersebut wajib memperhitungkan Risiko Pasar sejak bulan ke-7 (tujuh).
Pasal ...
- 23 -
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “risiko benchmark suku bunga” adalah
risiko kerugian akibat perubahan harga instrumen keuangan
antara lain sukuk dari posisi Trading Book yang disebabkan
oleh perubahan suku bunga.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “risiko nilai tukar” adalah risiko
kerugian akibat perubahan nilai posisi Trading Book dan
Banking Book yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar
valuta asing termasuk perubahan harga emas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “risiko ekuitas” adalah risiko kerugian akibat
perubahan harga instrumen keuangan dari posisi Trading Book yang
disebabkan oleh perubahan harga saham.
Yang dimaksud dengan “risiko komoditas” adalah risiko kerugian
akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi Trading
Book dan Banking Book yang disebabkan oleh perubahan harga
komoditas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
“Kebijakan dan prosedur valuasi” meliputi antara lain penetapan
tanggung jawab yang jelas dari berbagai pihak yang terlibat dalam
penetapan valuasi, sumber informasi pasar, dan proses kaji ulang
terhadap
kelayakan
valuasi,
frekuensi
valuasi
(secara ...
- 24 -
(secara harian), penetapan waktu untuk valuasi akhir hari (closing
price), prosedur pelaksanaan dan penyampaian hasil verifikasi baik
secara berkala maupun insidental, serta prosedur penyesuaian
valuasi.
“Sistem informasi manajemen dan pengendalian proses valuasi”
paling sedikit mencakup pendokumentasian kebijakan dan prosedur
valuasi yang telah ditetapkan serta alur pelaporan (reporting lines)
yang jelas bagi satuan kerja yang bertanggung jawab terhadap proses
valuasi dan verifikasi.
Ayat (3)
“Kebijakan dan prosedur valuasi yang berdasarkan pada prinsip
kehati-hatian” antara lain melakukan valuasi dengan memperhatikan
penerapan aspek-aspek manajemen risiko dan prosedur valuasi yang
wajar.
Pasal 33
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “nilai wajar” adalah sesuai dengan standar
akuntansi keuangan yang berlaku bagi Bank.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “instrumen keuangan yang diperdagangkan
secara aktif” adalah apabila harga instrumen keuangan tersedia
sewaktu-waktu dan dapat diperoleh secara rutin di bursa, pedagang
efek (dealer), perantara efek (broker), atau agen lainnya, serta harga
tersebut merupakan harga yang terjadi dari transaksi aktual yang
dilakukan secara wajar (arm's length basis).
“Harga transaksi yang terjadi (close out prices) atau kuotasi harga
pasar dari sumber yang independen” antara lain meliputi harga di
bursa (exchange prices), harga pada layar dealer (screen prices), atau
kuotasi yang paling konservatif yang diberikan oleh paling sedikit 2
(dua) broker dan/atau market maker yang memiliki reputasi baik,
yang minimal salah satunya adalah pihak independen.
Penggunaan “sumber yang independen” dilakukan secara konsisten
kecuali harga yang diperoleh tidak mencerminkan nilai wajar.
Ayat ...
- 25 -
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “bid price” adalah harga beli yang
dikuotasikan oleh sumber yang independen.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “ask price” adalah harga jual yang
dikuotasikan oleh sumber yang independen.
Ayat (4)
Termasuk “model atau teknik penilaian” antara lain:
a. penggunaan harga yang timbul dari transaksi yang terjadi dalam
10 (sepuluh) hari kerja terakhir;
b. penggunaan harga pasar dari instrumen lain yang memiliki
karakteristik (paling kurang jangka waktu, tingkat imbal hasil
(yield), peringkat, dan golongan penerbit) yang serupa; atau
c. model atau teknik penilaian yang secara umum telah digunakan
oleh pelaku pasar dalam menetapkan harga instrumen sepanjang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Penerapan prinsip kehati-hatian dalam penggunaan model atau
teknik penilaian antara lain memperhatikan pemisahan tugas dan
kompetensi pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan dan
penggunaan model, dan memastikan dilakukan kaji ulang akurasi
model atau teknik penilaian oleh fungsi yang independen, serta
prosedur dan dokumentasi pengembangan dan perubahan model
atau teknik penilaian.
Pasal 34
Ayat (1)
Verifikasi dilakukan untuk memastikan keakuratan penyusunan
laporan laba rugi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyesuaian dilaksanakan terhadap nilai instrumen keuangan dalam
neraca dan laporan laba rugi.
Pasal ...
- 26 -
Pasal 35
“Penyesuaian terhadap hasil valuasi” dilakukan berdasarkan pemantauan
harian maupun hasil verifikasi oleh pihak yang tidak ikut dalam
pelaksanaan valuasi.
Sebagai contoh, “valuasi yang belum mencerminkan nilai wajar” dapat
terjadi pada valuasi dengan menggunakan model atau teknik penilaian.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perubahan kondisi ekonomi yang
signifikan” antara lain perubahan kurva imbal hasil (yield
curve) secara signifikan di luar ekspektasi pasar.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Faktor sisa jangka waktu sampai dengan jatuh tempo
diperhitungkan mengingat semakin mendekati jatuh tempo,
nilai instrumen keuangan semakin mendekati nilai nominal.
Huruf d
Kondisi lainnya mencakup antara lain:
1. kemungkinan kerugian potensial yang timbul karena pihak
lawan tidak dapat memenuhi kewajibannya (unearned credit
spreads);
2. kemungkinan perhitungan biaya atau penalti yang timbul
karena pelunasan lebih awal sebelum jatuh tempo (early
termination);
3. terjadinya mismatch arus kas yang menyebabkan harga
dapat dipengaruhi oleh perhitungan biaya pendanaan dan
menginvestasikan dana (investing and funding costs);
4. terjadi kondisi tertentu yang mengakibatkan ketidakpastian
dalam model valuasi, misalnya ketidakmampuan
menangkap perubahan dalam kondisi tidak normal.
Pasal ...
- 27 -
Pasal 36
Ayat (1)
“Faktor-faktor tertentu” mencakup antara lain rata-rata dan
volatilitas volume perdagangan, rata-rata volatilitas dari rentang
kuotasi penawaran dan permintaan (bid/ask spreads), dan
ketersediaan kuotasi pasar.
Ayat (2)
Penyesuaian tidak akan mengurangi nilai instrumen keuangan dalam
neraca dan tidak mempengaruhi laporan laba rugi.
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
“Pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris” meliputi
antara lain memahami sifat dan tingkat risiko yang dihadapi
Bank, menilai kecukupan kualitas manajemen risiko, dan
mengaitkan tingkat risiko dengan kecukupan modal yang
dimiliki Bank.
Huruf b
“Penilaian kecukupan modal” meliputi antara lain proses yang
mengaitkan tingkat risiko dengan tingkat kecukupan modal
Bank dengan mempertimbangkan strategi dan rencana bisnis
Bank.
Huruf c
“Pemantauan dan pelaporan” meliputi antara lain sistem
pemantauan dan pelaporan eksposur risiko serta dampak
perubahan profil risiko terhadap kebutuhan modal Bank.
Huruf d
“Pengendalian internal” meliputi antara lain kecukupan
pengendalian internal dan kaji ulang.
Kaji ...
- 28 -
Kaji ulang dilakukan oleh pihak internal Bank yang memiliki
kompetensi memadai dan independen terhadap proses
penetapan kecukupan modal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pembatasan distribusi modal” antara lain
pembatasan atau penundaan pembayaran bonus dan/atau dividen.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
“Laporan perhitungan KPMM dengan memperhitungkan Risiko Pasar”
antara lain mencakup laporan posisi yang diperhitungkan dalam
Risiko Pasar, laporan perhitungan rasio KPMM, laporan perhitungan
value at risk dan beban modal, laporan back testing, dan laporan
stress testing.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Cukup Jelas.
Pasal ...
- 29 -
Pasal 43
Ayat (1)
Profil risiko didasarkan pada hasil self assessment Bank.
“Laporan penilaian kecukupan modal minimum sesuai profil risiko”
mencakup antara lain:
a. strategi pengelolaan modal;
b. identifikasi dan pengukuran risiko material; dan
c. penilaian kecukupan modal;
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Yang dimaksud dengan “jumlah yang signifikan” adalah signifikan terhadap
total aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk dijual.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal ...
- 30 -
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5630
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 21/POJK.03/2014 </reg_id>
<reg_title> KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM SYARIAH </reg_title>
<set_date> 18 November 2014 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2015 </effective_date>
<issued_date> 19 November 2014 </issued_date>
<replaced_reg> '7/13/PBI/2005', '8/7/PBI/2006' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '21/UU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR: 4/POJK.05/2013
TENTANG
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK UTAMA PADA
PERUSAHAAN PERASURANSIAN, DANA PENSIUN, PERUSAHAAN
PEMBIAYAAN, DAN PERUSAHAAN PENJAMINAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang
: a. bahwa dalam rangka menciptakan industri keuangan
non bank yang sehat dan mampu menyediakan
pelayanan terbaik kepada masyarakat, industri
keuangan non bank perlu dikelola oleh direksi, dewan
komisaris, dewan pengawas syariah, badan perwakilan
anggota, pemegang saham pengendali, tenaga ahli, dan
tenaga kerja asing yang memiliki integritas, kompetensi,
dan reputasi keuangan yang baik, yang diperoleh melalui
penilaian kemampuan dan kepatutan yang didukung
oleh regulasi yang harmonis dan terintegrasi;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Penilaian Kemampuan
dan Kepatutan Bagi Pihak Utama Pada Perusahaan
Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan,
dan Perusahaan Penjaminan;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun...
-2-
Tahun 1992 Nomor 13; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3467);
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 37; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3477);
4. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Lembaga Penjaminan;
5. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang
Lembaga Pembiayaan;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK
UTAMA PADA PERUSAHAAN PERASURANSIAN, DANA
PENSIUN, PERUSAHAAN PEMBIAYAAN,
PERUSAHAAN PENJAMINAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Perusahaan Perasuransian adalah badan usaha yang
bergerak di sektor usaha perasuransian sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
mengenai usaha perasuransian.
2. Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola
dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat
pensiun sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai dana pensiun.
3. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang
khusus didirikan untuk melakukan sewa guna usaha,
anjak piutang, pembiayaan konsumen, dan/atau
usaha kartu kredit sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan mengenai perusahaan
pembiayaan.
4. Perusahaan...
DAN
-3-
4. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang
bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha
pokok melakukan penjaminan sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan mengenai
perusahaan penjaminan.
5. Direksi:
a. bagi Perusahaan Perasuransian, Perusahaan
Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan
berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah
direksi sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai perseroan terbatas;
b. bagi Perusahaan Pembiayaan atau Perusahaan
Penjaminan berbentuk badan hukum koperasi
adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan
perkoperasian;
mengenai
c. bagi Dana Pensiun adalah pengurus dan/atau
pelaksana tugas pengurus sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan mengenai
dana pensiun;
d. bagi Perusahaan Perasuransian berbentuk badan
hukum usaha bersama adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan;
e. bagi Perusahaan Penjaminan berbentuk badan
hukum perusahaan umum adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai badan usaha milik
negara; dan
f. bagi Perusahaan Penjaminan berbentuk badan
hukum perusahaan daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai perusahaan daerah.
6. Dewan Komisaris:
a. bagi Perusahaan Perasuransian, Perusahaan
Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan
berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah
dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam
peraturan...
-4-
peraturan perundang-undangan
perseroan terbatas;
mengenai
b. bagi Perusahaan Pembiayaan atau Perusahaan
Penjaminan berbentuk badan hukum koperasi
adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan
perkoperasian;
mengenai
c. bagi Dana Pensiun adalah dewan pengawas
sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai dana pensiun;
d. bagi Perusahaan Perasuransian berbentuk badan
hukum usaha bersama adalah dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar
perusahaan;
e. bagi Perusahaan Penjaminan berbentuk badan
hukum perusahaan umum adalah dewan pengawas
sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai badan usaha milik
negara; dan
f. bagi Perusahaan Penjaminan berbentuk badan
hukum perusahaan daerah adalah dewan pengawas
sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai perusahaan daerah.
7. Dewan Pengawas Syariah adalah pengawas yang
direkomendasikan oleh Dewan Syariah Nasional,
Majelis Ulama Indonesia yang ditempatkan di
Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan
Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan atau unit
syariah yang bertugas mengawasi kegiatan usaha
perusahaan agar sesuai dengan prinsip syariah.
8. Badan Perwakilan Anggota adalah lembaga tertinggi di
badan hukum yang berbentuk usaha bersama yang
menentukan pokok-pokok kebijakan dalam badan
hukum yang berbentuk usaha bersama dimaksud.
9. Pemegang Saham Pengendali adalah orang
perseorangan, badan hukum, dan/atau kelompok
usaha yang:
a. memiliki...
-5-
a. memiliki saham atau modal pada Perusahaan
Perasuransian, Perusahaan Pembiayaan, atau
Perusahaan Penjaminan sebesar 25% (dua puluh
lima perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang
dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau
b. memiliki saham atau modal pada Perusahaan
Perasuransian, Perusahaan Pembiayaan, atau
Perusahaan Penjaminan kurang dari 25% (dua
puluh lima perseratus) dari jumlah saham yang
dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang
bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan
pengendalian pada Perusahaan Perasuransian,
Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan
Penjaminan, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
10. Tenaga Ahli adalah orang perseorangan yang memiliki
kualifikasi dan/atau keahlian tertentu dan ditunjuk
sebagai Tenaga Ahli pada Perusahaan Perasuransian,
Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, atau
Perusahaan Penjaminan tempatnya bekerja.
11. Tenaga Kerja Asing adalah warga negara asing
pemegang visa dengan maksud bekerja pada
Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan
Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan di Indonesia.
12. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya
disingkat dengan RUPS:
a. bagi Perusahaan Perasuransian, Perusahaan
Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan
berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah
RUPS sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai perseroan terbatas;
b. bagi Perusahaan Pembiayaan atau Perusahaan
Penjaminan berbentuk badan hukum koperasi
adalah rapat anggota sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan
perkoperasian;
mengenai
c. bagi Dana Pensiun adalah pendiri sebagaimana
dimaksud...
-6-
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
mengenai dana pensiun;
d. bagi Perusahaan Perasuransian berbentuk badan
hukum usaha bersama adalah rapat anggota
sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar
perusahaan;
e. bagi Perusahaan Penjaminan berbentuk badan
hukum perusahaan umum adalah RUPS
sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai badan usaha milik
negara; dan
f. bagi Perusahaan Penjaminan berbentuk badan
hukum perusahaan daerah adalah RUPS
sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai perusahaan daerah.
13. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari
campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan, sebagaimana dimaksud
dalam perundang-undangan mengenai otoritas jasa
keuangan.
BAB II
PIHAK-PIHAK YANG DIPERSYARATKAN UNTUK
MENGIKUTI PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
Pasal 2
(1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan oleh
OJK terhadap pihak-pihak yang mengelola, mengawasi,
dan/atau mempunyai pengaruh yang signifikan pada
Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan
Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan.
(2) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang
selanjutnya disebut Pihak Utama, meliputi:
a. anggota Direksi;
b. anggota Dewan Komisaris;
c. anggota Dewan Pengawas Syariah;
d. anggota...
-7-
d. anggota Badan Perwakilan Anggota;
e. Pemegang Saham Pengendali;
f. Tenaga Ahli; atau
g. Tenaga Kerja Asing.
Pasal 3
(1) Pihak Utama harus lulus penilaian kemampuan dan
kepatutan sebelum menjalankan tugas dan fungsinya.
(2) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pihak
Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
pada:
a. saat dicalonkan sebagai Pihak Utama;
b. saat berakhirnya jangka waktu berlakunya
penetapan kelulusan hasil penilaian kemampuan
dan kepatutan; atau
c. setiap waktu dalam rangka penilaian kembali
kemampuan dan kepatutan.
Pasal 4
(1) Penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan
terhadap pihak yang dicalonkan sebagai Pihak Utama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a
meliputi:
a. pihak yang akan menjadi anggota Direksi, anggota
Dewan Komisaris, anggota Dewan Pengawas
Syariah, atau anggota Badan Perwakilan Anggota;
b. pihak yang akan menjadi Pemegang Saham
Pengendali;
c. pihak yang akan menjadi Tenaga Ahli; dan
d. pihak yang akan menjadi Tenaga Kerja Asing.
(2) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pihak
Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
huruf a dikecualikan bagi:
a. direktur utama di Perusahaan Perasuransian, Dana
Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan
Penjaminan yang akan diangkat kembali menjadi
anggota Direksi di perusahaan yang sama;
b. anggota Direksi di Perusahaan Perasuransian, Dana
Pensiun...
-8-
Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan
Penjaminan yang akan diangkat menjadi anggota
Direksi di perusahaan yang sama;
c. komisaris utama di Perusahaan Perasuransian,
Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, atau
Perusahaan Penjaminan yang akan diangkat
kembali menjadi anggota Dewan Komisaris di
perusahaan yang sama; dan
d. anggota Dewan Komisaris di Perusahaan
Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan
Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan yang
akan diangkat kembali menjadi anggota Dewan
Komisaris di perusahaan yang sama.
Pasal 5
(1) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali berbentuk
badan hukum, penilaian kemampuan dan kepatutan
dilakukan dengan menilai badan hukum yang
bersangkutan yang diwakili oleh direktur utama atau
pejabat yang setingkat.
(2) Pihak yang mewakili Pemegang Saham Pengendali
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
menyampaikan persyaratan administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a.
BAB III
FAKTOR-FAKTOR PENILAIAN DALAM PENILAIAN
KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
Pasal 6
(1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk
menilai bahwa Pihak Utama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) memenuhi persyaratan dengan
faktor-faktor penilaian sebagai berikut:
a. bagi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris,
anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota Badan
Perwakilan Anggota, Tenaga Ahli, dan/atau Tenaga
Kerja Asing meliputi:
1. kompetensi...
-9-
1. kompetensi;
2. integritas; dan
3. reputasi keuangan.
b. bagi Pemegang Saham Pengendali meliputi:
1. integritas; dan
2. reputasi keuangan.
(2) Penilaian faktor kompetensi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a angka 1 meliputi kriteria:
a. pengetahuan yang memadai dan relevan dengan
jabatannya;
b. pemahaman tentang peraturan perundang-
undangan di bidang IKNB dan/atau peraturan
perundang-undangan terkait lainnya;
c. pengalaman dan keahlian di bidang IKNB dan/atau
bidang lain yang relevan dengan jabatannya; dan
d. kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis
dalam rangka pengembangan usaha IKNB yang
sehat.
(3) Penilaian faktor integritas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a angka 2 dan huruf b angka 1 meliputi
kriteria:
a. tidak pernah melakukan perbuatan tindak pidana di
bidang usaha jasa keuangan dan/atau
perekonomian;
b. tidak pernah dihukum karena tindak pidana
kejahatan berdasarkan putusan pengadilan dalam
jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sebelum
penilaian kemampuan dan kepatutan;
c. tidak pernah melanggar komitmen yang telah
disepakati dengan instansi pembina dan pengawas
usaha jasa keuangan;
d. tidak pernah melakukan perbuatan yang
memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada
pemegang saham, anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, anggota Badan Perwakilan Anggota,
pegawai dan/atau pihak lain yang dapat merugikan
atau mengurangi hak pemegang polis, konsumen
dan/atau...
-10-
dan/atau peserta;
e. tidak pernah melanggar prinsip kehati-hatian di
bidang usaha jasa keuangan;
f. tidak tercantum dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) di
sektor perbankan;
g. tidak pernah melakukan perbuatan yang tidak
sesuai dengan kewenangannya atau di luar
kewenangannya;
h. tidak pernah dinyatakan tidak mampu menjalankan
kewenangannya; dan
i. tidak pernah melanggar peraturan perundang-
undangan di bidang IKNB.
(4) Penilaian faktor reputasi keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3 meliputi
kriteria:
a. tidak memiliki kredit macet;
b. tidak pernah dinyatakan pailit dan tidak pernah
menjadi pemegang saham, anggota Direksi, anggota
Dewan Komisaris, atau anggota Badan Perwakilan
Anggota yang dinyatakan bersalah menyebabkan
suatu perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan
putusan pengadilan dalam waktu 5 (lima) tahun
terakhir sebelum penilaian kemampuan dan
kepatutan; dan
c. tidak pernah terlibat dalam tindak pidana
pencucian uang.
(5) Penilaian faktor reputasi keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2 meliputi
kriteria:
a. memiliki kemampuan keuangan yang dapat
mendukung perkembangan bisnis;
b. memiliki komitmen kesediaan untuk melakukan
upaya-upaya yang diperlukan apabila perusahaan
menghadapi kesulitan permodalan maupun
likuiditas;
c. tidak memiliki kredit macet;
d. tidak pernah dinyatakan pailit dan tidak pernah
menjadi...
-11-
menjadi pemegang saham, anggota Direksi, anggota
Dewan Komisaris, atau anggota Badan Perwakilan
Anggota yang dinyatakan bersalah menyebabkan
suatu perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan
putusan pengadilan dalam waktu 5 (lima) tahun
terakhir sebelum penilaian kemampuan dan
kepatutan; dan
e. tidak pernah terlibat dalam tindak pidana
pencucian uang.
BAB IV
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
BAGI PIHAK UTAMA
Bagian Kesatu
Permohonan Penilaian
Pasal 7
(1) Pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan
terhadap Pihak Utama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2) huruf a harus berdasarkan permohonan
tertulis dari Direksi kepada OJK.
(2) Pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan
terhadap Pihak Utama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2) huruf b harus berdasarkan
permohonan tertulis dari Direksi kepada OJK.
(3) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan
sebelum berakhirnya masa berlaku penetapan
kelulusan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan.
(4) Pelaksanaan penilaian kembali kemampuan dan
kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(2) huruf c dilakukan apabila berdasarkan hasil analisis
dan/atau hasil pemeriksaan OJK, Pihak Utama diduga
atau patut diduga tidak lagi memenuhi faktor-faktor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 8
Pengajuan permohonan tertulis penilaian kemampuan dan
kepatutan...
-12-
kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
dan ayat (2) harus mencantumkan jumlah Pihak Utama
sesuai dengan jabatan yang akan diisi.
Pasal 9
(1) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) harus menggunakan
format sesuai dengan Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(2) Bagi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris atau
anggota Badan Perwakilan Anggota, permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai
dokumen sebagai berikut:
a. daftar riwayat hidup sesuai dengan format dalam
Lampiran II.a yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri
dokumen:
1. fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) atau
paspor yang masih berlaku;
2. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP);
3. surat keterangan pengalaman bekerja; dan
4. 2 (dua) lembar pas foto berwarna terbaru
dengan ukuran 4x6 cm.
b. surat pernyataan dari anggota Direksi, anggota
Dewan Komisaris atau anggota Badan Perwakilan
Anggota sesuai dengan format dalam Lampiran III
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini.
(3) bagi anggota Dewan Pengawas Syariah, permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai
dokumen sebagai berikut:
a. daftar riwayat hidup sesuai dengan format dalam
Lampiran II.a yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri
dokumen:
1. fotokopi KTP atau paspor yang masih berlaku;
2. fotokopi NPWP;
3. fotokopi rekomendasi dari Dewan Syariah
Nasional...
-13-
Nasional Majelis Ulama Indonesia; dan
4. 2 (dua) lembar pas foto berwarna terbaru
dengan ukuran 4x6 cm.
b. surat pernyataan dari anggota Dewan Pengawas
Syariah sesuai dengan format dalam Lampiran III
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini.
(4) bagi Pemegang Saham Pengendali, permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai
dokumen sebagai berikut:
a. Pemegang Saham Pengendali perseorangan:
1. daftar riwayat hidup sesuai dengan format
dalam Lampiran II.a yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini
dilampiri dokumen:
a) fotokopi KTP atau paspor yang masih
berlaku;
b) fotokopi NPWP; dan
c) 2 (dua) lembar pas foto berwarna terbaru
dengan ukuran 4x6 cm.
2. surat pernyataan dari Pemegang Saham
Pengendali perseorangan sesuai dengan format
dalam Lampiran III yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
b. Pemegang Saham Pengendali badan hukum atau
kelompok usaha:
1. laporan keuangan tahunan terakhir yang telah
diaudit oleh akuntan publik;
2. daftar isian perusahaan sesuai format dalam
Lampiran II.b yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri
dokumen:
a) akta pendirian badan hukum, termasuk
perubahan anggaran dasar terakhir yang
disahkan instansi berwenang termasuk bagi
badan usaha asing sesuai dengan ketentuan
yang berlaku di negara asal; dan
b) fotokopi...
-14-
b) fotokopi NPWP badan hukum;
3. surat pernyataan Direksi dari badan hukum
Pemegang Saham Pengendali badan hukum
atau kelompok usaha sesuai dengan format
dalam Lampiran III yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(5) bagi Tenaga Ahli, permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus disertai dokumen sebagai berikut:
a. daftar riwayat hidup sesuai dengan format dalam
Lampiran II.a yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri
dokumen:
1. fotokopi KTP atau paspor yang masih berlaku;
2. fotokopi NPWP;
3. surat keterangan pengalaman bekerja; dan
4. 2 (dua)
dengan ukuran 4x6 cm.
b. surat pernyataan dari TA sesuai dengan format
dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(6) bagi Tenaga Kerja Asing, permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus disertai dokumen
sebagai berikut:
a. daftar riwayat hidup sesuai dengan format dalam
Lampiran II.a yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri
dokumen:
1. fotokopi paspor yang masih berlaku;
2. surat keterangan pengalaman bekerja; dan
3. 2 (dua) lembar pas foto berwarna terbaru
dengan ukuran 4x6 cm.
b. surat pernyataan dari Tenaga Kerja Asing sesuai
dengan format dalam Lampiran III yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
lembar pas foto berwarna terbaru
Bagian...
-15-
Bagian Kedua
Tata Cara Penilaian
Pasal 10
(1) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pihak
Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
huruf a dan huruf b dilaksanakan dengan cara:
a. penelaahan administratif; dan
b. wawancara.
(2) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pihak
Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
huruf c dilaksanakan dengan cara:
a. verifikasi data dan informasi; dan
b. wawancara.
Pasal 11
(1) Pihak Utama harus menghadiri pelaksanaan
wawancara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(1) huruf b atau ayat (2) huruf b melalui tatap muka
langsung di kantor OJK atau tempat lain yang
ditetapkan oleh OJK.
(2) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali adalah
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah,
pelaksanaan wawancara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1) huruf b dilakukan apabila dianggap
perlu oleh OJK.
Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penilaian
kemampuan dan kepatutan diatur dalam Surat Edaran
OJK.
Pasal 13
(1) Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 dilaksanakan oleh tim
penguji penilaian kemampuan dan kepatutan yang
dibentuk oleh OJK.
(2) Pembentukan tim penguji penilaian kemampuan dan
kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Dewan Komisioner OJK.
(3) Pedoman...
-16-
(3) Pedoman penilaian kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Dewan Komisioner OJK.
Pasal 14
Dalam rangka pelaksanaan penilaian kemampuan dan
kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, OJK
dapat meminta informasi dan/atau surat rekomendasi atas
Pihak Utama kepada pihak lain yang berwenang.
Pasal 15
(1) OJK memberitahukan jadwal pelaksanaan penilaian
kemampuan dan kepatutan kepada Pihak Utama,
paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), ayat (3),
ayat (4), ayat (5), atau ayat (6) diterima oleh OJK secara
lengkap dan benar.
(2) OJK memberitahukan jadwal pelaksanaan penilaian
kembali kemampuan dan kepatutan kepada Pihak
Utama, setelah hasil analisis dan/atau hasil
pemeriksaan OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (4) ditetapkan.
Pasal 16
(1) Wawancara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b dilakukan dalam
Bahasa Indonesia.
(2) Pihak Utama yang tidak dapat berbahasa Indonesia
harus menyediakan sendiri jasa penerjemah dalam
pelaksanaan wawancara.
Pasal 17
(1) Pihak Utama yang tidak dapat hadir pada wawancara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) harus
menyampaikan pemberitahuan tertulis disertai alasan
yang layak kepada OJK paling lambat 2 (dua) hari
sebelum pelaksanaan penilaian kemampuan dan
kepatutan.
(2) Berdasarkan...
-17-
(2) Berdasarkan pemberitahuan tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), OJK dapat memberikan 1
(satu) kali kesempatan wawancara dan menyampaikan
jadwal pelaksanaan wawancara yang baru kepada
Pihak Utama.
(3) Dalam hal berdasarkan pemberitahuan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) OJK tidak
memberi kesempatan wawancara kepada Pihak Utama
atau Pihak Utama tidak hadir dalam pelaksanaan
wawancara
sesuai
pemberitahuan, OJK membatalkan pelaksanaan
penilaian kemampuan dan kepatutan Pihak Utama.
(4) OJK menyampaikan pemberitahuan penolakan
terhadap permohonan Pihak Utama apabila alasan
ketidakhadiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak diterima atau Pihak Utama tidak menyampaikan
pemberitahuan atas ketidakhadirannya dalam
wawancara sebagaimana dimaksud dalam pasal 11
ayat (1).
(5) Dalam hal Pihak Utama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2) huruf b dan huruf c tidak hadir dalam
pelaksanaan wawancara tanpa disertai pemberitahuan
atau disertai pemberitahuan namun alasan
ketidakhadirannya tidak dapat diterima oleh OJK,
maka OJK menetapkan Pihak Utama tidak lulus
persyaratan kemampuan dan kepatutan.
(6) Pihak Utama yang
permohonannya ditolak
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat
dimohonkan kembali untuk dilakukan penilaian
kemampuan dan kepatutan paling cepat 1 (satu) tahun
setelah tanggal pemberitahuan penolakan oleh OJK.
Bagian Ketiga
Hasil Penilaian dan Pelaksanaan Hasil Penilaian
Pasal 18
(1) OJK menetapkan hasil penilaian kemampuan dan
kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
dengan...
jadwal yang baru tanpa
-18-
dengan 2 (dua) predikat, yaitu:
a. lulus; atau
b. tidak lulus.
(2) OJK menetapkan hasil penilaian kemampuan dan
kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
lama 60 (enam puluh) hari setelah dokumen
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6)
diterima secara lengkap dan benar.
(3) OJK memberitahukan hasil penilaian kemampuan
dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
kepada Direksi yang mengajukan permohonan uji
kemampuan dan kepatutan secara tertulis.
(4) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berlaku
selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal
ditetapkan oleh OJK.
(5) Jangka waktu pemberlakuan hasil penilaian
kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) tidak berlaku bagi Pemegang Saham
Pengendali.
(6) Direksi dari Pihak Utama yang memperoleh hasil
penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat mengajukan
permohonan kembali paling cepat 1 (satu) tahun
terhitung sejak tanggal ditetapkannya hasil penilaian
kemampuan dan kepatutan oleh OJK.
Pasal 19
(1) Anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota
Dewan Pengawas Syariah, anggota Badan Perwakilan
Anggota, Tenaga Ahli atau Tenaga Kerja Asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a,
yang lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan
wajib diangkat dalam jabatannya paling lambat 3 (tiga)
bulan sejak tanggal ditetapkannya hasil penilaian
kemampuan dan kepatutan.
(2) Dalam...
-19-
(2) Dalam hal setelah lewatnya jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pihak Utama yang lulus dalam
penilaian kemampuan dan kepatutan belum diangkat,
maka Direksi wajib memberitahukan kepada OJK
alasan belum diangkatnya Pihak Utama dimaksud.
(3) Berdasarkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), OJK dapat mempertimbangkan untuk
memperpanjang jangka waktu pengangkatan atau
menentukan tindakan lain.
(4) Dalam hal OJK memberikan perpanjangan jangka
waktu pengangkatan atau menentukan tindakan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), OJK
memberitahukan kepada Direksi.
(5) Anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota
Dewan Pengawas Syariah, anggota Badan Perwakilan
Anggota, Tenaga Ahli, atau Tenaga Kerja Asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b
dan huruf c, yang lulus dalam penilaian kemampuan
dan kepatutan dapat melanjutkan tugas dan fungsi
dalam jabatannya.
Pasal 20
(1) Anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota
Dewan Pengawas Syariah, anggota Badan Perwakilan
Anggota, Tenaga Ahli, atau Tenaga Kerja Asing
sebagaimana dimaksud pada dalam Pasal 3 ayat (2)
huruf a, yang tidak lulus dalam penilaian kemampuan
dan kepatutan dilarang diangkat dalam jabatannya.
(2) Anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota
Dewan Pengawas Syariah, anggota Badan Perwakilan
Anggota, Tenaga Ahli, atau Tenaga Kerja Asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b
dan huruf c, yang tidak lulus dalam penilaian
kemampuan dan kepatutan wajib diberhentikan dari
jabatannya.
(3) Pihak yang akan menjadi Pemegang Saham Pengendali
pada Perusahaan Perasuransian, Perusahaan
Pembiayaan, dan Perusahaan Penjaminan sebagaimana
dimaksud...
-20-
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a yang tidak
lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan tidak
dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali.
(4) Pemegang Saham Pengendali pada Perusahaan
Perasuransian, Perusahaan Pembiayaan, dan
Perusahaan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2) huruf a dan huruf c, yang tidak lulus
dalam penilaian kemampuan dan kepatutan berlaku
ketentuan:
a. dilarang melakukan tindakan sebagai Pemegang
Saham Pengendali
pada
Perusahaan
Perasuransian, Perusahaan Pembiayaan, dan/atau
Perusahaan Penjaminan;
b. mengalihkan sebagian sahamnya kepada pihak lain
sehingga tidak lagi memenuhi kriteria sebagai
Pemegang Saham Pengendali dalam jangka waktu
paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal
ditetapkannya hasil penilaian kemampuan dan
kepatutan.
BAB V
SYARAT KEBERLANJUTAN
Pasal 21
(1) Anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota
Dewan Pengawas Syariah, anggota Badan Perwakilan
Anggota, Tenaga Ahli atau Tenaga Kerja Asing pada
Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan
Pembiayaan, dan/atau Perusahaan Penjaminan yang
lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan
wajib memenuhi syarat keberlanjutan paling sedikit 1
(satu) kali dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.
(2) Pemenuhan syarat berkelanjutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), harus dilakukan dengan cara:
a. mengikuti seminar, workshop, atau kegiatan lain
yang sejenis;
b. mengikuti kursus, pelatihan, atau program
pendidikan sejenis;
c. menulis...
-21-
c. menulis makalah, artikel, atau karya tulis lain
yang dipublikasikan; atau
d. menjadi pembicara dalam kegiatan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, menjadi pengajar atau
menjadi instruktur dalam kegiatan sebagaimana
dimaksud pada huruf b.
(3) Materi kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus di bidang industri keuangan.
(4) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d, harus yang
diselenggarakan oleh:
a. lembaga pengawas jasa keuangan di dalam dan luar
negeri;
b. asosiasi lembaga jasa keuangan di dalam dan luar
negeri;
c. perguruan tinggi di dalam dan luar negeri; atau
d. lembaga pelatihan yang memperoleh izin dari
instansi berwenang.
(5) Bukti sertifikat atau bukti lain yang menunjukan
bahwa Pihak Utama telah memenuhi syarat
keberlanjutan wajib disampaikan kepada OJK paling
lambat 1 (satu) bulan setelah periode tahunan
berakhir.
(6) Dalam hal setelah periode tahunan berakhir syarat
keberlanjutan tidak dapat dipenuhi oleh Pihak Utama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemenuhan
ketentuan syarat keberlanjutan sebagaimana diatur
pada ayat (2) wajib dilakukan paling sedikit 2 (dua) kali
pada tahun berikutnya.
(7) Dalam hal Pihak Utama tidak memenuhi syarat
keberlanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (6) maka wajib mengikuti proses penilaian
kembali kemampuan dan kepatutan.
BAB VI...
-22-
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 22
(1) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan bersifat
rahasia dan ditatausahakan serta digunakan oleh OJK
dalam rangka pelaksanaan tugas pengaturan dan
pengawasan Perusahaan Perasuransian, Dana
Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan
Penjaminan.
(2) Dalam hal Pihak Utama memberitahukan hasil
penilaian kemampuan dan kepatutan kepada pihak
lain maka segala akibat hukum yang timbul
sepenuhnya menjadi tanggung jawab yang
bersangkutan.
Pasal 23
(1) Bagi Pihak Utama yang telah lulus penilaian
kemampuan dan kepatutan sebelum berlakunya
Peraturan OJK ini, dan masih menjabat atau bekerja
pada Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, atau
Perusahaan Pembiayaan pada saat mulai berlakunya
Peraturan OJK ini, hasil penilaian kemampuan dan
kepatutan Pihak Utama tersebut dinyatakan masih
berlaku.
(2) Pihak Utama yang meliputi:
a. anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota Badan
Perwakilan Anggota, Pemegang Saham Pengendali,
Tenaga Ahli, atau Tenaga Kerja Asing pada
Perusahaan Perasuransian;
b. anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris
pada Dana Pensiun;
c. anggota Dewan Pengawas Syariah, Pemegang
Saham Pengendali, atau Tenaga Kerja Asing pada
Perusahaan Pembiayaan; dan
d. anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris,
anggota Dewan Pengawas Syariah, atau Pemegang
Saham Pengendali pada Perusahaan Penjaminan;
yang...
-23-
yang masih menjabat atau bekerja pada Perusahaan
Perasuransian, Dana Pensiun,
Perusahaan
Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan dan belum
pernah mengikuti penilaian kemampuan dan
kepatutan pada saat mulai berlakunya Peraturan OJK
ini, dinyatakan telah lulus penilaian kemampuan dan
kepatutan terhitung sejak berlakunya Peraturan OJK
ini.
(3) Direksi Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun,
Perusahaan Pembiayaan,
atau
Perusahaan
Penjaminan harus menyampaikan surat permohonan
penetapan kelulusan disertai risalah RUPS dan/atau
surat pengangkatan sebagai Pihak Utama
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada OJK
paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya
Peraturan OJK ini.
(4) OJK harus mengeluarkan penetapan kelulusan
penilaian kemampuan dan kepatutan bagi Pihak
Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
lambat 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya surat
permohonan dari Direksi.
(5) Kelulusan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi
Pihak Utama kecuali Pemegang Saham Pengendali
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
berlaku selama 5 (lima) tahun terhitung sejak
berlakunya Peraturan OJK ini.
Pasal 24
Permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan yang
telah diajukan kepada OJK sebelum berlakunya Peraturan
OJK ini dan belum diproses, mengikuti ketentuan dalam
Peraturan OJK ini.
BAB VII
SANKSI
Pasal 25
(1) Perusahaan Perasuransian, Perusahaan Pembiayaan
atau Perusahaan Penjaminan yang melakukan
pelanggaran...
-24-
pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), Pasal 20,
dan/atau Pasal 21 ayat (5) dikenakan sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha; atau
c. pencabutan izin usaha.
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud ayat (1)
huruf a berlaku masing-masing untuk jangka waktu 60
(enam puluh) hari sejak surat peringatan tertulis
ditetapkan.
(3) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(2),
Perusahaan Perasuransian, Perusahaan
Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan telah
memenuhi ketentuan maka peringatan tertulis berakhir
dengan sendirinya.
(4) Dalam hal setelah diberikan peringatan tertulis
sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut Perusahaan
Perasuransian, Perusahaan Pembiayaan, atau
Perusahaan Penjaminan tetap tidak memenuhi
ketentuan maka OJK menetapkan sanksi pembekuan
kegiatan usaha.
(5) Pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b diberikan secara tertulis dan
berlaku untuk jangka waktu 6 (enam) bulan sejak surat
pembekuan kegiatan usaha ditetapkan.
(6) Selama masa pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), Perusahaan Perasuransian,
Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan:
a. dilarang mengeluarkan produk dan/atau layanan
baru; dan
b. bertanggung jawab untuk menyelesaikan segala
kewajiban yang telah dilakukan.
(7) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), Perusahaan Perasuransiaan, Perusahaan
Pembiayaan...
-25-
Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan telah
memenuhi ketentuan maka OJK mencabut sanksi
pembekuan kegiatan usaha.
(8) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat
(4),
Perusahaan Perasuransian,
Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan
tetap tidak memenuhi ketentuan maka OJK mencabut
izin usaha Perusahaan Perasuransian, Perusahaan
Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan.
Pasal 26
(1) Dana Pensiun yang melakukan pelanggaran ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat
(2), Pasal 20, dan/atau Pasal 21 ayat (5) dikenakan
dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis; atau
b. pemberian perintah tertulis kepada Pendiri untuk
mengganti Direksi.
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud ayat (1)
huruf a berlaku masing-masing untuk jangka waktu 60
(enam puluh) hari sejak surat peringatan tertulis
ditetapkan.
(3) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Dana Pensiun telah memenuhi ketentuan maka
peringatan tertulis berakhir dengan sendirinya.
(4) Dalam hal setelah diberikan peringatan tertulis
sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut Dana Pensiun tetap
tidak memenuhi ketentuan maka OJK memberikan
perintah tertulis kepada Pendiri untuk mengganti
Direksi.
Pasal 27
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan
mengenai Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak
Utama pada Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun,
Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan
tunduk pada Peraturan OJK ini.
Pasal...
-26-
Pasal 28
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 November 2013
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 231
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM
DIREKTORAT HUKUM,
Ttd.
MUFLI ASMAWIDJAJA
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 4/POJK.05/2013 </reg_id>
<reg_title> PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK UTAMA PADA PERUSAHAAN PERASURANSIAN, DANA PENSIUN, PERUSAHAAN PEMBIAYAAN, DAN PERUSAHAAN PENJAMINAN </reg_title>
<set_date> 21 November 2013 </set_date>
<effective_date> 23 Desember 2013 </effective_date>
<issued_date> 23 Desember 2013 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '2/UU/1992', '11/UU/1992', '2/PERPRES/2008', '9/PERPRES/2009' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 55 /POJK.03/2016
TENTANG
PENERAPAN TATA KELOLA BAGI BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan semakin kompleksnya risiko yang
dihadapi bank maka semakin meningkat pula kebutuhan
praktik tata kelola yang baik oleh perbankan;
b. bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja bank,
melindungi kepentingan para pemangku kepentingan,
dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan serta nilai-nilai etika yang berlaku
umum pada industri perbankan, diperlukan pelaksanaan
tata kelola yang baik;
c. bahwa peningkatan kualitas pelaksanaan tata kelola
merupakan salah satu upaya untuk memperkuat kondisi
internal perbankan nasional;
d. bahwa dalam pelaksanaan tata kelola bank terdapat
dinamika yang perlu direspon secara proporsional dalam
rangka mengoptimalkan penerapan tata kelola bank;
- 2 -
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Penerapan Tata Kelola bagi Bank Umum;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENERAPAN TATA KELOLA BAGI BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri, yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional.
- 3 -
2.
Direksi:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah;
2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada Bank
yang belum berubah bentuk menjadi
Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Pemerintahan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
d. bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri adalah
pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di
bawah pemimpin kantor cabang.
3. Dewan Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan
- 4 -
pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Pemerintahan Daerah;
2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah;
3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada
Bank yang belum berubah bentuk menjadi
Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Pemerintahan Daerah;
c.
bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
d. bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri adalah
pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi
pengawasan.
4. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris
yang tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan,
kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga dengan
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris lain dan/atau
pemegang saham pengendali, atau hubungan dengan
Bank yang dapat mempengaruhi kemampuan yang
bersangkutan untuk bertindak independen.
5. Komisaris Non Independen adalah anggota Dewan
Komisaris yang bukan merupakan Komisaris Independen.
6. Pihak Independen adalah pihak di luar Bank yang tidak
memiliki hubungan keuangan, kepengurusan,
kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga dengan
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau
- 5 -
pemegang saham pengendali, atau hubungan dengan
Bank yang dapat mempengaruhi kemampuan yang
bersangkutan untuk bertindak independen.
7. Tata Kelola yang baik adalah suatu tata cara pengelolaan
Bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan
(transparency),
akuntabilitas
(accountability),
pertanggungjawaban (responsibility), independensi
(independency), dan kewajaran (fairness).
8. Pemangku Kepentingan adalah seluruh pihak yang
memiliki kepentingan secara langsung atau tidak
langsung terhadap kegiatan usaha Bank.
9. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab
langsung kepada Direksi atau mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap kebijakan dan/atau operasional
Bank, antara lain kepala divisi, kepala kantor wilayah,
kepala kantor cabang, kepala kantor fungsional yang
kedudukannya paling kurang setara dengan kepala
kantor cabang, kepala satuan kerja manajemen risiko,
kepala satuan kerja kepatuhan, dan kepala satuan kerja
audit intern dan/atau pejabat lain yang setara.
Pasal 2
(1) Bank wajib menerapkan prinsip-prinsip Tata Kelola yang
baik dalam setiap kegiatan usaha Bank pada seluruh
tingkatan atau jenjang organisasi.
(2) Penerapan prinsip-prinsip Tata Kelola yang baik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
diwujudkan dalam:
a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi dan
Dewan Komisaris;
b. kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite dan
satuan kerja yang menjalankan fungsi pengendalian
intern;
c. penerapan fungsi kepatuhan, audit intern, dan audit
ekstern;
d. penerapan manajemen risiko;
- 6 -
e. penyediaan dana kepada pihak terkait dan
penyediaan dana besar;
rencana strategis; dan
f.
g. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan.
Pasal 3
Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian terhadap
penerapan Tata Kelola Bank.
BAB II
DIREKSI
Bagian Kesatu
Jumlah, Komposisi, Kriteria, dan Independensi Direksi
Pasal 4
(1) Bank wajib memiliki anggota Direksi dengan jumlah
paling sedikit 3 (tiga) orang.
(2) Seluruh anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib berdomisili di Indonesia.
(3) Direksi wajib dipimpin oleh presiden direktur atau
direktur utama.
Pasal 5
Presiden direktur atau direktur utama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) wajib berasal dari pihak yang
independen terhadap pemegang saham pengendali.
Pasal 6
(1) Setiap usulan penggantian dan/atau pengangkatan
anggota Direksi oleh Dewan Komisaris kepada Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS), harus memperhatikan
rekomendasi komite remunerasi dan nominasi.
(2) Mayoritas anggota Direksi wajib memiliki pengalaman
paling sedikit 5 (lima) tahun di bidang operasional dan
paling rendah sebagai Pejabat Eksekutif bank.
- 7 -
(3) Setiap anggota Direksi harus memenuhi persyaratan
penilaian kemampuan dan kepatutan sesuai Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penilaian Kemampuan
dan Kepatutan bagi Pihak Utama Lembaga Jasa
Keuangan.
Pasal 7
(1) Anggota Direksi dilarang merangkap jabatan sebagai
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris atau Pejabat
Eksekutif pada bank, perusahaan dan/atau lembaga
lain.
(2) Tidak termasuk rangkap jabatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dalam hal Direksi yang bertanggung jawab
terhadap pengawasan atas penyertaan Bank pada
perusahaan anak, menjalankan tugas fungsional menjadi
anggota Dewan Komisaris pada perusahaan anak bukan
bank yang dikendalikan oleh Bank, sepanjang tidak
mengakibatkan yang bersangkutan mengabaikan
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai anggota
Direksi Bank.
(3) Anggota Direksi baik secara sendiri-sendiri atau
bersama-sama dilarang memiliki saham lebih dari 25%
(dua puluh lima persen) dari modal disetor pada
perusahaan lain.
Pasal 8
Mayoritas anggota Direksi dilarang saling memiliki hubungan
keluarga sampai derajat kedua dengan sesama anggota
Direksi dan/atau dengan anggota Dewan Komisaris.
Pasal 9
Anggota Direksi dilarang memberikan kuasa umum kepada
pihak lain yang mengakibatkan pengalihan tugas dan fungsi
Direksi.
- 8 -
Bagian Kedua
Tugas dan Tanggung Jawab Direksi
Pasal 10
(1) Direksi bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan
kepengurusan Bank.
(2) Direksi wajib mengelola Bank sesuai dengan kewenangan
dan tanggung jawab Direksi sebagaimana diatur dalam
anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 11
Direksi wajib menerapkan prinsip-prinsip Tata Kelola yang
baik dalam setiap kegiatan usaha Bank pada seluruh
tingkatan atau jenjang organisasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2.
Pasal 12
Direksi wajib menindaklanjuti temuan audit dan rekomendasi
dari satuan kerja audit intern Bank, auditor ekstern, hasil
pengawasan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau hasil
pengawasan otoritas lain.
Pasal 13
Dalam rangka menerapkan prinsip Tata Kelola yang baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Direksi paling sedikit
wajib membentuk:
a. satuan kerja audit intern;
b. satuan kerja manajemen risiko dan komite manajemen
risiko; dan
c. satuan kerja kepatuhan.
Pasal 14
Direksi wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas
kepada pemegang saham melalui RUPS.
- 9 -
Pasal 15
Direksi wajib mengungkapkan kepada pegawai mengenai
kebijakan Bank yang bersifat strategis di bidang kepegawaian.
Pasal 16
(1) Direksi dilarang menggunakan penasihat perorangan
dan/atau jasa profesional sebagai konsultan.
(2) Penggunaan penasihat perorangan dan/atau jasa
profesional sebagai konsultan dapat dilakukan dalam hal
memenuhi persyaratan:
a. untuk proyek bersifat khusus;
b. didasarkan pada kontrak kerja yang jelas; dan
c. merupakan Pihak Independen dan memiliki
kualifikasi untuk mengerjakan proyek yang bersifat
khusus sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Pasal 17
Direksi wajib menyediakan data dan informasi yang akurat,
relevan, dan tepat waktu kepada Dewan Komisaris.
Pasal 18
(1) Direksi wajib memiliki pedoman dan tata tertib kerja yang
bersifat mengikat bagi setiap anggota Direksi.
(2) Pedoman dan tata tertib kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit wajib mencantumkan:
a. pengaturan etika kerja;
b. waktu kerja; dan
c. pengaturan rapat.
Pasal 19
Keputusan Direksi yang diambil sesuai dengan pedoman dan
tata tertib kerja mengikat dan menjadi tanggung jawab
seluruh anggota Direksi.
- 10 -
Bagian Ketiga
Rapat Direksi
Pasal 20
(1) Setiap kebijakan dan keputusan strategis wajib
diputuskan melalui rapat Direksi dengan memperhatikan
pengawasan sesuai tugas dan tanggung jawab Dewan
Komisaris.
(2) Pengambilan keputusan rapat Direksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu dilakukan
berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
(3) Dalam hal tidak terjadi musyawarah untuk mufakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengambilan
keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
(4) Direksi wajib membuat risalah rapat Direksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan didokumentasikan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang terjadi
dalam rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat
beserta alasan perbedaan pendapat.
Bagian Keempat
Aspek Transparansi Direksi
Pasal 21
Anggota Direksi wajib mengungkapkan:
a. kepemilikan saham yang mencapai 5% (lima persen) atau
lebih, baik pada Bank yang bersangkutan maupun pada
bank dan perusahaan lain, yang berkedudukan di dalam
dan di luar negeri; dan
b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan
anggota Direksi lain, anggota Dewan Komisaris dan/atau
pemegang saham pengendali Bank,
dalam laporan pelaksanaan tata kelola sebagaimana diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
- 11 -
Pasal 22
(1) Anggota Direksi dilarang memanfaatkan Bank untuk
kepentingan pribadi, keluarga dan/atau pihak lain yang
dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Bank.
(2) Anggota Direksi dilarang mengambil dan/atau menerima
keuntungan pribadi dari Bank, selain remunerasi dan
fasilitas lain yang ditetapkan berdasarkan keputusan
RUPS.
(3) Anggota Direksi wajib mengungkapkan remunerasi dan
fasilitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada
laporan pelaksanaan tata kelola dengan mengacu pada
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penerapan
Tata Kelola dalam Pemberian Remunerasi bagi Bank
Umum.
BAB III
DEWAN KOMISARIS
Bagian Kesatu
Jumlah, Komposisi, Kriteria, dan Independensi
Dewan Komisaris
Pasal 23
(1) Bank wajib memiliki anggota Dewan Komisaris dengan
jumlah paling sedikit 3 (tiga) orang dan paling banyak
sama dengan jumlah anggota Direksi.
(2) Anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit 1 (satu) orang wajib berdomisili di
Indonesia.
(3) Dewan Komisaris wajib dipimpin oleh presiden komisaris
atau komisaris utama.
- 12 -
Pasal 24
(1) Dewan Komisaris wajib terdiri dari Komisaris Independen
dan Komisaris Non Independen.
(2) Komisaris Independen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib paling sedikit berjumlah 50% (lima puluh
persen) dari jumlah anggota Dewan Komisaris.
(3) Mantan anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif Bank
atau pihak-pihak yang mempunyai hubungan dengan
Bank, yang dapat mempengaruhi kemampuan yang
bersangkutan untuk bertindak independen wajib
menjalani masa tunggu (cooling off) paling singkat 1
(satu) tahun sebelum menjadi Komisaris Independen
pada Bank yang bersangkutan.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak
berlaku bagi mantan anggota Direksi
yang
membawahkan fungsi pengawasan atau Pejabat
Eksekutif yang melakukan fungsi pengawasan pada Bank
tersebut.
Pasal 25
(1) Komisaris Non Independen dapat beralih menjadi
Komisaris Independen setelah memenuhi persyaratan
sebagai Komisaris Independen.
(2) Komisaris Non Independen yang akan beralih menjadi
Komisaris Independen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib menjalani masa tunggu (cooling off) paling
singkat 6 (enam) bulan.
(3) Peralihan dari Komisaris Non Independen menjadi
Komisaris Independen wajib memperoleh persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 26
(1) Komisaris Independen yang telah menjabat
selama 2 (dua) periode masa jabatan berturut-turut
dapat diangkat kembali pada periode selanjutnya sebagai
Komisaris Independen dalam hal:
- 13 -
a. rapat anggota Dewan Komisaris menilai bahwa
Komisaris Independen tetap dapat bertindak
independen; dan
(2) Pernyataan independensi
b. Komisaris Independen menyatakan dalam RUPS
mengenai independensi yang bersangkutan.
Komisaris
Independen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib
diungkapkan dalam laporan pelaksanaan tata kelola.
Pasal 27
(1) Setiap usulan pengangkatan dan/atau penggantian
anggota Dewan Komisaris kepada RUPS harus
memperhatikan rekomendasi komite remunerasi dan
nominasi.
(2) Anggota komite remunerasi dan nominasi yang memiliki
benturan kepentingan (conflict of interest) dengan usulan
yang direkomendasikan wajib mengungkapkan dalam
usulan yang direkomendasikan.
(3) Anggota Dewan Komisaris harus memenuhi persyaratan
penilaian kemampuan dan kepatutan sesuai Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penilaian Kemampuan
dan Kepatutan bagi Pihak Utama Lembaga Jasa
Keuangan.
Pasal 28
(1) Anggota Dewan Komisaris dilarang melakukan rangkap
jabatan sebagai anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris atau Pejabat Eksekutif:
a. pada lembaga keuangan atau perusahaan keuangan,
baik bank maupun bukan bank;
b. pada lebih dari 1 (satu) lembaga bukan keuangan
atau perusahaan bukan keuangan, baik yang
berkedudukan di dalam maupun di luar negeri.
(2) Tidak termasuk rangkap jabatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dalam hal:
- 14 -
a. anggota Dewan Komisaris menjabat sebagai anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris atau Pejabat
Eksekutif yang melaksanakan fungsi pengawasan
pada 1 (satu) perusahaan anak bukan bank yang
dikendalikan oleh Bank;
b. Komisaris Non Independen menjalankan tugas
fungsional dari pemegang saham Bank yang
berbentuk badan hukum pada kelompok usaha
Bank; dan/atau
c. anggota Dewan Komisaris menduduki jabatan pada
organisasi atau lembaga nirlaba.
(3) Tugas dalam jabatan dan fungsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat dilaksanakan sepanjang yang
bersangkutan tidak mengabaikan pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab sebagai anggota Dewan Komisaris Bank.
Pasal 29
Mayoritas anggota Dewan Komisaris dilarang saling memiliki
hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua dengan
sesama anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi.
Bagian Kedua
Tugas dan Tanggung Jawab Dewan Komisaris
Pasal 30
Dewan Komisaris wajib melaksanakan tugas dan tanggung
jawab secara independen.
Pasal 31
(1) Dewan Komisaris wajib memastikan penerapan Tata
Kelola yang baik terselenggara dalam setiap kegiatan
usaha Bank pada seluruh tingkatan atau jenjang
organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Dewan Komisaris wajib melaksanakan pengawasan
terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi
serta memberikan nasihat kepada Direksi.
- 15 -
(3) Dalam melaksanakan
pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Dewan Komisaris wajib
mengarahkan, memantau, dan mengevaluasi
pelaksanaan kebijakan strategis Bank.
(4) Dalam melaksanakan
pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Dewan Komisaris dilarang ikut
serta dalam pengambilan keputusan kegiatan operasional
Bank, kecuali:
a. penyediaan dana kepada pihak terkait sebagaimana
diatur dalam ketentuan mengenai batas maksimum
pemberian kredit bank umum; dan
b. hal-hal lain yang ditetapkan dalam anggaran dasar
Bank atau peraturan perundang-undangan.
(5) Pengambilan keputusan kegiatan operasional Bank oleh
Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
merupakan bagian dari tugas pengawasan oleh Dewan
Komisaris sehingga tidak meniadakan tanggung jawab
Direksi atas pelaksanaan kepengurusan Bank.
Pasal 32
Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa Direksi telah
menindaklanjuti temuan audit dan rekomendasi dari satuan
kerja audit intern Bank, auditor ekstern, hasil pengawasan
Otoritas Jasa Keuangan dan/atau hasil pengawasan otoritas
lain.
Pasal 33
Dewan Komisaris wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditemukan:
a. pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang
keuangan dan perbankan; dan/atau
b. keadaan atau perkiraan keadaan yang dapat
membahayakan kelangsungan usaha Bank.
- 16 -
Pasal 34
(1) Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas
dan tanggung jawab, Dewan Komisaris wajib membentuk
paling sedikit:
a. komite audit;
b. komite pemantau risiko; dan
c. komite remunerasi dan nominasi.
(2) Dewan Komisaris dapat membentuk komite remunerasi
dan komite nominasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c secara terpisah.
(3) Pengangkatan anggota komite sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dilakukan oleh Direksi berdasarkan
keputusan rapat Dewan Komisaris.
(4) Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa komite yang
telah dibentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) menjalankan tugas secara efektif.
(5) Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
wajib menyusun pedoman dan tata tertib kerja komite.
Pasal 35
(1) Dewan Komisaris wajib memiliki pedoman dan tata tertib
kerja yang bersifat mengikat bagi setiap anggota Dewan
Komisaris.
(2) Pedoman dan tata tertib kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit wajib mencantumkan:
a. pengaturan etika kerja;
b. waktu kerja; dan
c. pengaturan rapat.
Pasal 36
Dewan Komisaris wajib menyediakan waktu yang cukup
untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab secara
optimal.
- 17 -
Bagian Ketiga
Rapat Dewan Komisaris
Pasal 37
(1) Rapat Dewan Komisaris wajib diselenggarakan secara
berkala paling sedikit 4 (empat) kali dalam 1 (satu) tahun.
(2) Rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dihadiri oleh seluruh anggota Dewan
Komisaris secara fisik paling sedikit 2 (dua) kali
dalam 1 (satu) tahun.
(3) Dalam hal Komisaris Non Independen tidak dapat
menghadiri rapat Dewan Komisaris secara fisik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka dapat
menghadiri rapat Dewan Komisaris melalui sarana
teknologi telekonferensi.
Pasal 38
(1) Pengambilan keputusan rapat Dewan Komisaris wajib
terlebih dahulu dilakukan berdasarkan musyawarah
untuk mufakat.
(2) Dalam hal tidak terjadi musyawarah untuk mufakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengambilan
keputusan
rapat Dewan Komisaris
berdasarkan suara terbanyak.
(3) Segala keputusan Dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat mengikat
bagi seluruh anggota Dewan Komisaris.
(4) Dewan Komisaris wajib membuat risalah rapat Dewan
Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
didokumentasikan sesuai peraturan perundang-
undangan.
(5) Perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang terjadi
dalam rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dicantumkan secara jelas dalam
risalah rapat beserta alasan perbedaan pendapat.
dilakukan
- 18 -
Bagian Keempat
Aspek Transparansi Dewan Komisaris
Pasal 39
Anggota Dewan Komisaris wajib mengungkapkan:
a. kepemilikan saham yang mencapai 5% (lima persen) atau
lebih, baik pada Bank yang bersangkutan maupun pada
bank dan perusahaan lain, yang berkedudukan di dalam
dan di luar negeri; dan
b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan
anggota Dewan Komisaris lain, anggota Direksi dan/atau
pemegang saham pengendali Bank,
dalam laporan pelaksanaan tata kelola sebagaimana diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 40
(1) Anggota Dewan Komisaris dilarang memanfaatkan Bank
untuk kepentingan pribadi, keluarga dan/atau pihak lain
yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan
Bank.
(2) Anggota Dewan Komisaris dilarang mengambil dan/atau
menerima keuntungan pribadi dari Bank selain
remunerasi dan fasilitas lain yang ditetapkan RUPS.
(3) Anggota Dewan Komisaris wajib mengungkapkan
remunerasi dan fasilitas lain yang ditetapkan RUPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada laporan
pelaksanaan tata kelola sebagaimana diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
- 19 -
BAB IV
KOMITE-KOMITE
Bagian Kesatu
Struktur dan Keanggotaan Komite
Pasal 41
(1) Komite audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (1) huruf a beranggotakan paling sedikit:
a. 1 (satu) orang Komisaris Independen;
b. 1 (satu) orang dari Pihak Independen yang memiliki
keahlian di bidang keuangan atau akuntansi; dan
c. 1 (satu) orang dari Pihak Independen yang memiliki
keahlian di bidang hukum atau perbankan.
(2) Komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diketuai oleh Komisaris Independen merangkap sebagai
anggota.
(3) Anggota Direksi dilarang menjadi anggota komite audit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Komisaris Independen dan Pihak Independen yang
menjadi anggota komite audit sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit berjumlah 51% (lima puluh
satu persen) dari jumlah anggota komite audit.
(5) Anggota komite audit sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memiliki integritas, akhlak, dan moral yang
baik.
Pasal 42
(1) Komite pemantau risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (1) huruf b beranggotakan paling sedikit:
a. 1 (satu) orang Komisaris Independen;
b. 1 (satu) orang Pihak Independen yang memiliki
keahlian di bidang keuangan; dan
c. 1 (satu) orang Pihak Independen yang memiliki
keahlian di bidang manajemen risiko.
- 20 -
(2) Komite pemantau risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diketuai oleh Komisaris Independen merangkap
sebagai anggota.
(3) Anggota Direksi dilarang menjadi anggota komite
pemantau risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Komisaris Independen dan Pihak Independen yang
menjadi anggota komite pemantau risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berjumlah 51%
(lima puluh satu persen) dari jumlah anggota komite
pemantau risiko.
(5) Anggota komite pemantau risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib memiliki integritas, akhlak, dan moral
yang baik.
Pasal 43
(1) Mantan anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif Bank
atau pihak yang mempunyai hubungan dengan Bank
yang dapat mempengaruhi kemampuan yang
bersangkutan untuk bertindak independen dilarang
menjadi Pihak Independen dalam anggota komite
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf b
dan huruf c serta Pasal 42 ayat (1) huruf b dan huruf c
pada Bank yang bersangkutan sebelum menjalani masa
tunggu (cooling off) paling singkat 6 (enam) bulan.
(2) Masa tunggu (cooling off) paling singkat 6 (enam) bulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
mantan anggota Direksi yang membawahkan fungsi
pengawasan atau Pejabat Eksekutif yang melakukan
fungsi pengawasan pada Bank tersebut.
Pasal 44
(1) Komite remunerasi dan nominasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c beranggotakan paling
sedikit:
a. 1 (satu) orang Komisaris Independen;
b. 1 (satu) orang Komisaris; dan
- 21 -
c. 1 (satu) orang Pejabat Eksekutif yang membawahkan
fungsi sumber daya manusia atau 1 (satu) orang
perwakilan pegawai.
(2) Komite remunerasi dan nominasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diketuai oleh Komisaris Independen
merangkap sebagai anggota.
(3) Anggota Direksi dilarang menjadi anggota komite
remunerasi dan nominasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(4) Dalam hal anggota komite remunerasi dan nominasi
ditetapkan lebih dari 3 (tiga) orang maka anggota
Komisaris Independen paling sedikit berjumlah 2 (dua)
orang.
Pasal 45
Dalam hal Bank membentuk komite remunerasi dan nominasi
secara terpisah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (2) maka keanggotaan masing-masing komite wajib
mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44.
Bagian Kedua
Jabatan Rangkap Ketua Komite
Pasal 46
Ketua dari komite sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
dilarang merangkap jabatan sebagai ketua komite lebih
dari 1 (satu) pada komite lain.
Bagian Ketiga
Tugas dan Tanggung Jawab Komite
Pasal 47
(1) Komite audit wajib melakukan pemantauan dan evaluasi
atas perencanaan dan pelaksanaan audit serta
pemantauan atas tindak lanjut hasil audit dalam rangka
- 22 -
menilai kecukupan pengendalian intern, termasuk
kecukupan proses pelaporan keuangan.
(2) Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), komite audit wajib melakukan
pemantauan dan evaluasi paling sedikit terhadap:
a. pelaksanaan tugas satuan kerja audit intern;
b. kesesuaian pelaksanaan audit oleh kantor akuntan
publik dengan standar audit;
c. kesesuaian laporan keuangan dengan standar
akuntansi keuangan;
d. pelaksanaan tindak lanjut oleh Direksi atas hasil
temuan satuan kerja audit intern, akuntan publik,
dan hasil pengawasan Otoritas Jasa Keuangan,
guna memberikan rekomendasi kepada Dewan
Komisaris.
(3) Komite audit wajib memberikan rekomendasi mengenai
penunjukan akuntan publik dan kantor akuntan publik
kepada Dewan Komisaris untuk disampaikan kepada
RUPS.
Pasal 48
Komite pemantau risiko wajib melakukan paling sedikit:
a. evaluasi tentang kesesuaian antara kebijakan manajemen
risiko dengan pelaksanaan kebijakan Bank; dan
b. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan tugas komite
manajemen risiko dan satuan kerja manajemen risiko,
guna memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris.
Pasal 49
Komite remunerasi dan nominasi mempunyai tugas dan
tanggung jawab paling sedikit:
a. terkait dengan kebijakan remunerasi wajib:
1. melakukan evaluasi terhadap kebijakan remunerasi
yang didasarkan atas kinerja, risiko, kewajaran
dengan peer group, sasaran, dan strategi jangka
panjang Bank, pemenuhan cadangan sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan
- 23 -
dan potensi pendapatan Bank pada masa yang akan
datang;
2. menyampaikan hasil evaluasi dan rekomendasi
kepada Dewan Komisaris mengenai:
a) kebijakan remunerasi bagi Direksi dan Dewan
Komisaris untuk disampaikan kepada RUPS;
dan
b) kebijakan remunerasi bagi pegawai secara
keseluruhan untuk disampaikan kepada
Direksi;
3. memastikan bahwa kebijakan remunerasi telah
sesuai dengan ketentuan; dan
4. melakukan evaluasi secara berkala terhadap
penerapan kebijakan remunerasi;
b. terkait dengan kebijakan nominasi wajib:
1. menyusun dan memberikan rekomendasi mengenai
sistem serta prosedur pemilihan dan/atau
penggantian anggota Direksi dan anggota Dewan
Komisaris kepada Dewan Komisaris untuk
disampaikan kepada RUPS;
2. memberikan rekomendasi mengenai calon anggota
Direksi dan/atau calon anggota Dewan Komisaris
kepada Dewan Komisaris untuk disampaikan
kepada RUPS; dan
3. memberikan rekomendasi mengenai Pihak
Independen yang akan menjadi anggota komite audit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1)
huruf b dan huruf c serta anggota komite pemantau
risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ayat (1) huruf b dan huruf c kepada Dewan
Komisaris.
- 24 -
Bagian Kelima
Rapat Komite
Pasal 50
(1) Rapat komite diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan
Bank.
(2) Rapat komite audit dan komite pemantau risiko hanya
dapat dilaksanakan dalam hal dihadiri oleh paling sedikit
51% (lima puluh satu persen) dari jumlah anggota komite
termasuk 1 (satu) orang Komisaris Independen
dan 1 (satu) orang Pihak Independen.
(3) Rapat komite remunerasi dan nominasi hanya dapat
dilaksanakan dalam hal dihadiri oleh paling sedikit 51%
(lima puluh satu persen) dari jumlah anggota komite
termasuk 1 (satu) orang Komisaris Independen,
dan 1 (satu) orang Pejabat Eksekutif yang membawahkan
sumber daya manusia atau 1 (satu) orang perwakilan
pegawai.
Pasal 51
(1) Keputusan rapat komite wajib terlebih dahulu dilakukan
berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal tidak terjadi musyawarah untuk mufakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengambilan
keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
(3) Hasil rapat komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dituangkan dalam risalah rapat dan
didokumentasikan
undangan.
(4) Perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang terjadi
dalam rapat komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat
beserta alasan perbedaan pendapat.
sesuai peraturan perundang-
- 25 -
BAB V
FUNGSI KEPATUHAN, AUDIT INTERN, DAN AUDIT EKSTERN
Bagian Kesatu
Fungsi Kepatuhan Bank
Pasal 52
Bank wajib memastikan kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan Otoritas Jasa Keuangan dan peraturan
perundang-undangan lain.
Pasal 53
(1) Dalam rangka memastikan kepatuhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52, Bank wajib
menunjuk 1 (satu) orang direktur yang membawahkan
fungsi kepatuhan dengan berpedoman pada persyaratan
dan tata cara sebagaimana ketentuan yang mengatur
mengenai pelaksanaan fungsi kepatuhan bank umum.
(2) Dalam rangka membantu pelaksanaan tugas direktur
yang membawahkan fungsi kepatuhan secara efektif,
Bank wajib membentuk satuan kerja kepatuhan
(compliance unit) yang independen terhadap satuan kerja
operasional.
(3) Satuan kerja kepatuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib menyusun dan mengkinikan pedoman kerja
serta sistem dan prosedur.
Bagian Kedua
Fungsi Audit Intern
Pasal 54
(1) Bank wajib menerapkan fungsi audit intern secara efektif
dengan berpedoman pada persyaratan dan tata cara
sebagaimana ketentuan yang mengatur mengenai
penugasan direktur kepatuhan (compliance director) dan
- 26 -
penerapan standar pelaksanaan fungsi audit intern bank
umum.
(2) Dalam rangka pelaksanaan fungsi audit intern secara
efektif, Bank wajib membentuk satuan kerja audit intern
yang independen terhadap satuan kerja operasional.
(3) Satuan kerja audit intern sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib menyusun dan mengkinikan pedoman
kerja serta
sistem dan prosedur, sebagaimana
ketentuan yang mengatur mengenai penugasan direktur
kepatuhan (compliance director) dan penerapan standar
pelaksanaan fungsi audit intern bank umum.
Bagian Ketiga
Fungsi Audit Ekstern
Pasal 55
(1) Bank wajib menunjuk akuntan publik dan kantor
akuntan publik yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan
dalam pelaksanaan audit laporan keuangan Bank.
(2) Penunjukan akuntan publik dan kantor akuntan publik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih
dahulu memperoleh persetujuan RUPS berdasarkan
usulan yang diajukan oleh Dewan Komisaris sesuai
rekomendasi komite audit.
(3) Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
penunjukan akuntan publik dan kantor akuntan publik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
Transparansi dan Publikasi Laporan Bank dan ketentuan
yang mengatur mengenai penggunaan jasa akuntan
publik dan kantor akuntan publik.
- 27 -
BAB VI
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO
Pasal 56
Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif, yang
disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan
kompleksitas usaha serta kemampuan Bank dengan
berpedoman pada persyaratan dan tata cara sebagaimana
dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
penerapan manajemen risiko bagi bank umum.
BAB VII
PENYEDIAAN DANA KEPADA PIHAK TERKAIT DAN
PENYEDIAAN DANA BESAR
Pasal 57
Dalam rangka menghindari kegagalan usaha Bank sebagai
akibat konsentrasi penyediaan dana dan meningkatkan
independensi Direksi dan Dewan Komisaris Bank terhadap
potensi intervensi dari pihak terkait, Bank wajib menerapkan
prinsip kehati-hatian dalam penyediaan dana antara lain
dengan menerapkan penyebaran atau diversifikasi portofolio
penyediaan dana yang diberikan.
Pasal 58
Pelaksanaan penyediaan dana kepada pihak terkait dan/atau
penyediaan dana besar (large exposures) wajib berpedoman
pada ketentuan yang mengatur mengenai batas maksimum
pemberian kredit bank umum.
- 28 -
BAB VIII
RENCANA STRATEGIS BANK
Pasal 59
(1) Bank wajib menyusun rencana strategis dalam bentuk
rencana korporasi (corporate plan) dan rencana bisnis
(business plan).
(2) Penyampaian rencana korporasi (corporate plan)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan perubahan
rencana korporasi (corporate plan) kepada Otoritas Jasa
Keuangan berpedoman pada ketentuan yang mengatur
mengenai kelembagaan bank umum.
(3) Penyusunan dan penyampaian rencana bisnis (business
plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman
pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai rencana bisnis bank.
BAB IX
ASPEK TRANSPARANSI KONDISI BANK
Pasal 60
(1) Bank wajib melaksanakan transparansi kondisi
keuangan dan non keuangan kepada Pemangku
Kepentingan.
(2) Dalam rangka pelaksanaan transparansi kondisi
keuangan dan non keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank wajib menyusun dan menyajikan
laporan dengan tata cara, jenis, dan cakupan
sebagaimana dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan
yang mengatur mengenai transparansi dan publikasi
laporan bank.
Pasal 61
Bank wajib melaksanakan transparansi informasi mengenai
produk dan penggunaan data nasabah Bank dengan
berpedoman pada persyaratan dan tata cara sebagaimana
- 29 -
dalam ketentuan yang mengatur mengenai transparansi
informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah
dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan.
BAB X
PELAPORAN INTERNAL DAN BENTURAN KEPENTINGAN
Pasal 62
Dalam rangka meningkatkan kualitas proses pengambilan
keputusan oleh Direksi dan kualitas proses pengawasan oleh
Dewan Komisaris, Bank wajib memastikan ketersediaan dan
kecukupan pelaporan internal yang didukung oleh sistem
informasi manajemen yang memadai.
Pasal 63
Dalam hal terjadi benturan kepentingan, anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris, dan Pejabat Eksekutif dilarang
mengambil tindakan yang dapat merugikan Bank atau
mengurangi keuntungan Bank dan wajib mengungkapkan
benturan kepentingan dalam setiap keputusan.
BAB XI
LAPORAN PELAKSANAAN TATA KELOLA DAN
PENILAIAN PENERAPAN TATA KELOLA
Bagian Kesatu
Laporan Pelaksanaan Tata Kelola
Pasal 64
(1) Bank wajib menyusun laporan pelaksanaan tata kelola
pada setiap akhir tahun buku.
(2) Laporan pelaksanaan tata kelola sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
- 30 -
a. cakupan Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) dan hasil penilaian sendiri oleh Bank
(self-assesment) atas penerapan Tata Kelola Bank;
b. kepemilikan saham anggota Direksi serta hubungan
keuangan dan hubungan keluarga anggota Direksi
dengan anggota Direksi lain, anggota Dewan
Komisaris dan/atau pemegang saham pengendali
Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;
c. kepemilikan saham anggota Dewan Komisaris serta
hubungan keuangan dan hubungan keluarga
anggota Dewan Komisaris dengan anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris lain dan/atau pemegang
saham pengendali Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 39;
d. frekuensi rapat Dewan Komisaris;
e. jumlah penyimpangan (internal fraud) yang terjadi
dan upaya penyelesaian oleh Bank;
f.
jumlah permasalahan hukum dan upaya
penyelesaian oleh Bank;
g. transaksi yang mengandung benturan kepentingan;
h. pembelian kembali (buy back) saham dan/atau
obligasi Bank; dan
i.
pemberian dana untuk kegiatan sosial dan kegiatan
politik, baik nominal maupun penerima dana.
(3) Laporan pelaksanaan tata kelola sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang terkait dengan penerapan remunerasi
mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai Penerapan Tata Kelola dalam Pemberian
Remunerasi bagi Bank Umum.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan
laporan pelaksanaan tata kelola diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 65
(1) Bank wajib menyampaikan laporan pelaksanaan tata
kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 kepada
Otoritas Jasa Keuangan dan pemegang saham Bank
- 31 -
paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun buku
berakhir.
(2) Laporan pelaksanaan tata kelola sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dipublikasikan pada situs web Bank
paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun buku
berakhir.
(3) Bank dianggap terlambat menyampaikan laporan
pelaksanaan tata kelola dan/atau mempublikasikan
laporan pelaksanaan tata kelola pada situs web Bank
apabila Bank menyampaikan dan/atau mempublikasikan
laporan pelaksanaan tata kelola melampaui batas akhir
waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan/atau batas akhir waktu publikasi pada
situs web Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tetapi belum melampaui 1 (satu) bulan sejak batas akhir
waktu penyampaian laporan pelaksanaan tata kelola.
(4) Bank dianggap tidak menyampaikan laporan
pelaksanaan tata kelola dan/atau mempublikasikan
laporan pelaksanaan tata kelola pada situs web Bank
apabila Bank belum menyampaikan dan/atau
mempublikasikan laporan pelaksanaan tata kelola dalam
batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).
Pasal 66
Penyampaian laporan pelaksanaan tata kelola kepada Otoritas
Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65
ayat (1) huruf a ditujukan kepada:
a. Departemen Pengawasan Bank terkait bagi Bank yang
berkantor pusat atau kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri yang berada di wilayah
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau
b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor
Otoritas Jasa Keuangan setempat sesuai wilayah tempat
kedudukan kantor pusat Bank.
- 32 -
Bagian Kedua
Penilaian Sendiri oleh Bank atas Penerapan Tata Kelola
Pasal 67
(1) Bank wajib melakukan penilaian sendiri (self-assessment)
atas penerapan Tata Kelola Bank yang mencakup hal-hal
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) paling
sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun.
(2) Hasil penilaian sendiri oleh Bank (self-assessment) atas
penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
laporan pelaksanaan tata kelola.
Pasal 68
(1) Dalam rangka melakukan penilaian terhadap penerapan
Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan penilaian atau
evaluasi terhadap hasil penilaian sendiri oleh Bank (self-
assessment) atas penerapan Tata Kelola sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1).
(2) Berdasarkan hasil penilaian sendiri oleh Bank (self-
assessment) atau evaluasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Bank
untuk menyampaikan rencana tindak (action plan) yang
memuat langkah-langkah perbaikan yang wajib
dilaksanakan oleh Bank dengan target waktu tertentu.
(3) Dalam hal diperlukan Otoritas Jasa Keuangan dapat
meminta Bank untuk melakukan penyesuaian rencana
tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan/atau melakukan pemeriksaan khusus terhadap hasil
perbaikan penerapan Tata Kelola yang telah dilakukan
oleh Bank.
- 33 -
BAB XII
PENERAPAN TATA KELOLA
PADA KANTOR CABANG DARI BANK YANG BERKEDUDUKAN
DI LUAR NEGERI
Pasal 69
(1) Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri wajib memenuhi ketentuan tentang penerapan
Tata Kelola sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini.
(2) Pelaksanaan fungsi Dewan Komisaris dan pembentukan
komite disesuaikan dengan struktur organisasi yang
berlaku pada Bank.
(3) Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
memenuhi seluruh fungsi yang diperlukan dalam
penerapan Tata Kelola sebagaimana diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 70
Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta penyesuaian
struktur organisasi kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri untuk memastikan penerapan
Tata Kelola sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB XIII
SANKSI
Bagian Kesatu
Sanksi Penerapan Tata Kelola
Pasal 71
Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 ayat (2),
Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (3), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10
ayat (2), Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15,
Pasal 16 ayat (1), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1),
- 34 -
Pasal 20 ayat (2), Pasal 20 ayat (4), Pasal 20 ayat (5),
Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 ayat (1), Pasal 24
ayat (2), Pasal 24 ayat (3), Pasal 26 ayat (2), Pasal 27 ayat (2),
Pasal 28 ayat (1), Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31 ayat (1),
Pasal 31 ayat (2), Pasal 31 ayat (3), Pasal 31 ayat (4), Pasal 32,
Pasal 33, Pasal 34 ayat (1), Pasal 34 ayat (3), Pasal 34 ayat (4),
Pasal 34 ayat (5) Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37 ayat (1),
Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (1), Pasal 38 ayat (4), Pasal 38
ayat (5), Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41 ayat (3), Pasal 41
ayat (5), Pasal 42 ayat (3), Pasal 42 ayat (5), Pasal 43 ayat (1),
Pasal 44 ayat (3), Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48,
Pasal 49, Pasal 51 ayat (1), Pasal 51 ayat (3), Pasal 51 ayat (4),
Pasal 52, Pasal 53 ayat (2), Pasal 53 ayat (3), Pasal 55 ayat (2),
Pasal 62, Pasal 63, Pasal 67 ayat (1), Pasal 69 ayat (1)
dan/atau Pasal 69 ayat (3) dikenakan sanksi administratif,
antara lain berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan peringkat faktor Tata Kelola dalam penilaian
tingkat kesehatan;
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
d. pemberhentian anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris Bank serta penunjukan dan pengangkatan
pengganti anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris sementara sampai RUPS atau setara RUPS
mengangkat pengganti anggota Direksi dan/atau anggota
Dewan Komisaris yang tetap dengan persetujuan Otoritas
Jasa Keuangan; dan/atau
e. pencantuman anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris, pegawai, pemegang saham Bank dalam Daftar
Tidak Lulus melalui mekanisme penilaian kemampuan
dan kepatutan.
Pasal 72
(1) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 dan/atau Pasal 53 ayat (1)
dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
- 35 -
peraturan mengenai pelaksanaan fungsi kepatuhan bank
umum.
(2) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 dikenakan sanksi sebagaimana
dimaksud dalam peraturan mengenai penugasan direktur
kepatuhan (compliance director) dan penerapan standar
pelaksanaan fungsi audit intern bank.
(3) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (3)
dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
peraturan mengenai tata cara dalam menggunakan jasa
akuntan publik dan kantor akuntan publik bagi lembaga
yang diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 73
Bank yang tidak memenuhi ketentuan terkait penerapan
manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56
dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penerapan Manajemen
Risiko bagi Bank Umum.
Pasal 74
Bank yang tidak memenuhi ketentuan terkait penerapan
prinsip kehati-hatian dalam penyediaan dana kepada pihak
terkait dan/atau penyediaan dana besar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 57 dan Pasal 58 dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai batas
maksimum pemberian kredit bank umum.
Pasal 75
Bank yang tidak memenuhi ketentuan terkait penyusunan
rencana strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
ayat (1) dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam
ketentuan yang mengatur mengenai kelembagaan bank umum
dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Rencana
Bisnis Bank.
- 36 -
Pasal 76
(1) Bank yang tidak memenuhi ketentuan terkait
transparansi kondisi keuangan dan non keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai Transparansi dan Publikasi Laporan
Bank.
(2) Bank yang tidak memenuhi ketentuan terkait
transparansi informasi mengenai produk dan
penggunaan data nasabah Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 61 dikenakan sanksi sebagaimana diatur
dalam ketentuan mengenai transparansi informasi
produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah dan
ketentuan mengenai perlindungan konsumen sektor jasa
keuangan.
Bagian Kedua
Sanksi Pelaporan
Pasal 77
(1) Bank yang terlambat menyampaikan laporan
pelaksanaan tata kelola sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 65 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa
denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari
keterlambatan.
(2) Bank yang terlambat mempublikasikan laporan
pelaksanaan tata kelola sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 65 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa
denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari
keterlambatan.
(3) Bank yang tidak menyampaikan laporan pelaksanaan
tata kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat
(4) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan teguran
tertulis oleh Otoritas Jasa Keuangan.
- 37 -
(4) Bank yang tidak mempublikasikan pada situs web Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (4)
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan teguran
tertulis oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Bank yang menyampaikan laporan yang dinilai tidak
benar dan/atau tidak lengkap secara signifikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah) dan sanksi
administratif antara lain berupa:
a. penurunan tingkat kesehatan berupa penurunan
peringkat faktor manajemen dalam penilaian tingkat
kesehatan;
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
c. pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya
menunjuk dan mengangkat pengganti sementara
sampai RUPS atau Rapat Anggota Koperasi
mengangkat pengganti yang tetap dengan
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau
d. pencantuman anggota pengurus, pegawai, pemegang
saham Bank dalam Daftar Tidak Lulus melalui
mekanisme penilaian kemampuan dan kepatutan.
(6) Pengenaan sanksi administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan setelah
Bank diberikan 2 (dua) kali surat teguran oleh Otoritas
Jasa Keuangan dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari
kerja untuk setiap teguran dan Bank tidak memperbaiki
laporan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah
surat teguran terakhir.
- 38 -
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 78
Bagi Komisaris Independen yang telah menjabat
selama 2 (dua) periode berturut-turut atau lebih pada saat
berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26, dilakukan pada saat yang bersangkutan akan
diangkat kembali sebagai Komisaris Independen.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 79
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 80
Dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
maka:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006
tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan Good
Corporate Governance Bagi Bank Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 6,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4600); dan
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/14/PBI/2006 tanggal
5 Oktober 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan
Good Corporate Governance Bagi Bank Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 71,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4640),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
- 39 -
Pasal 81
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 286
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 55/POJK.03/2016 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN TATA KELOLA BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 7 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 9 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 9 Desember 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '8/4/PBI/2006', '8/14/PBI/2006' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '10/UU/1998', '7/UU/1992' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XIII' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 27/POJK.04/2014
TENTANG
PERIZINAN WAKIL PENJAMIN EMISI EFEK DAN WAKIL PERANTARA
PEDAGANG EFEK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas Wakil Penjamin
Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Perizinan Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara
Pedagang Efek;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERIZINAN WAKIL PENJAMIN EMISI EFEK DAN WAKIL
PERANTARA PEDAGANG EFEK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Penjamin...
-2-
1.
Penjamin Emisi Efek adalah Pihak yang membuat
kontrak dengan Emiten untuk melakukan Penawaran
Umum bagi kepentingan Emiten dengan atau tanpa
kewajiban untuk membeli sisa Efek yang tidak terjual.
2.
Perantara Pedagang Efek adalah Pihak yang
melakukan kegiatan usaha jual beli Efek untuk
kepentingan sendiri atau Pihak lain.
3.
Perusahaan Efek adalah Pihak yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek,
Perantara Pedagang Efek dan/atau Manajer Investasi.
4.
Wakil Penjamin Emisi Efek adalah orang perseorangan
yang bertindak mewakili kepentingan Perusahaan Efek
yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin
Emisi Efek.
5.
Wakil Perantara Pedagang Efek adalah orang
perseorangan yang bertindak mewakili kepentingan
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Perantara Pedagang Efek.
6.
Izin orang perseorangan sebagai Wakil Penjamin Emisi
Efek, yang selanjutnya disebut sebagai Izin Wakil
Penjamin Emisi Efek, adalah izin yang diberikan oleh
Otoritas Jasa Keuangan kepada orang perseorangan
untuk bertindak mewakili kepentingan Perusahaan
Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin
Emisi Efek.
7.
Izin orang perseorangan sebagai Wakil Perantara
Pedagang Efek, yang selanjutnya disebut Izin Wakil
Perantara Pedagang Efek, adalah izin yang diberikan
oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada orang
perseorangan untuk bertindak mewakili kepentingan
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Perantara Pedagang Efek.
BAB II...
-3-
BAB II
PERIZINAN DAN PERSYARATAN WAKIL PENJAMIN EMISI EFEK DAN WAKIL
PERANTARA PEDAGANG EFEK
Pasal 2
(1)
(2)
Wakil Penjamin Emisi Efek wajib memiliki Izin Wakil
Penjamin Emisi Efek dari Otoritas Jasa Keuangan.
Wakil Perantara Pedagang Efek wajib memiliki Izin
Wakil Perantara Pedagang Efek dari Otoritas Jasa
Keuangan.
(3) Orang perseorangan yang memiliki Izin Wakil Penjamin
Emisi Efek dapat bertindak sebagai Wakil Perantara
Pedagang Efek.
Pasal 3
(1) Kewajiban untuk memiliki Izin Wakil Penjamin Emisi
Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
berlaku bagi:
a. Direktur yang bertanggung jawab atas kegiatan
penjaminan emisi Efek;
b. Pegawai yang bertanggung jawab atas kegiatan
penjaminan emisi Efek; dan
c. Pegawai dengan posisi jabatan di bawah direktur,
yang membawahkan unit yang bertanggung jawab
atas kegiatan penjaminan emisi Efek,
dari Perusahaan Efek yang memiliki izin usaha untuk
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi
Efek.
(2) Kewajiban untuk memiliki Izin Wakil Perantara
Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) berlaku bagi:
a. Direktur yang bertanggung jawab atas kegiatan
keperantaraan perdagangan Efek;
b. Pegawai yang melakukan kegiatan pemasaran;
c. Pegawai yang melakukan kegiatan manajemen
risiko...
-4-
risiko;
d. Pegawai yang melakukan kegiatan sebagai pejabat
yang membawahkan fungsi kepatuhan; dan
e. Pegawai yang melakukan kegiatan sebagai pejabat
yang membawahkan fungsi analisis/riset
perdagangan Efek,
dari Perusahaan Efek yang memiliki izin usaha untuk
melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang
Efek.
(3) Dalam kondisi tertentu, Otoritas Jasa Keuangan dapat
menetapkan maupun mengecualikan pihak yang
bekerja pada Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara
Pedagang Efek dari kewajiban untuk memiliki Izin
Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara
Pedagang Efek.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kondisi tertentu dan
pengecualian pihak yang bekerja pada Perusahaan Efek
yang melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek
dan Perantara Pedagang Efek dari kewajiban untuk
memiliki Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan Izin Wakil
Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 4
Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang
Efek wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
Persyaratan integritas yang meliputi:
1. memiliki akhlak dan moral yang baik;
2. cakap melakukan perbuatan hukum;
3. tidak pernah melakukan perbuatan tercela
dan/atau dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana di bidang jasa keuangan;
4. tidak pernah dikenakan sanksi pencabutan izin,
pembatalan...
-5-
pembatalan persetujuan, dan/atau pembatalan
pendaftaran oleh Otoritas Jasa Keuangan selama 3
(tiga) tahun terakhir;
5. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi
pengurus yang dinyatakan bersalah menyebabkan
suatu perusahaan dinyatakan pailit; dan
6. memiliki komitmen yang tinggi untuk mematuhi
peraturan perundang-undangan;
b.
Persyaratan kompetensi yang meliputi:
1. berpendidikan paling rendah pendidikan
menengah;
2. memiliki pengetahuan dan keahlian yang memadai
di bidang Pasar Modal, dibuktikan dengan:
a) memiliki sertifikat keahlian:
1) sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek, bagi
Wakil Penjamin Emisi Efek; dan
2) sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek atau
Wakil Perantara Pedagang Efek, bagi Wakil
Perantara Pedagang Efek,
yang diakui Otoritas Jasa Keuangan dan
diterbitkan oleh lembaga pendidikan khusus di
bidang Pasar Modal berdasarkan rekomendasi
dari Komite Standar Keahlian; atau
b) memiliki pengalaman kerja pada institusi
pengawas Pasar Modal dan/atau organisasi
yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang
tentang Pasar Modal untuk mengatur dan/atau
mengawasi industri Pasar Modal dengan
ketentuan:
1) paling kurang 2 (dua) tahun pada posisi
manajerial; atau
2) paling kurang 5 (lima) tahun pada posisi
pelaksana,
dalam bidang tugas dan fungsi yang terkait
pengaturan...
-6-
pengaturan dan/atau pengawasan industri
Pasar Modal;
c.
d.
bekerja pada lembaga jasa keuangan di Indonesia, bagi
warga negara asing; dan
tidak bekerja pada lebih dari satu Perusahaan Efek
dan/atau lembaga jasa keuangan lainnya.
Pasal 5
Sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf b angka 2 huruf a) dapat digunakan untuk
pengajuan permohonan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau
Izin Wakil Perantara Pedagang Efek sepanjang berumur tidak
lebih dari 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diterbitkan
sampai dengan saat pengajuan izin.
BAB III
TATA CARA PERMOHONAN IZIN WAKIL PENJAMIN EMISI EFEK DAN WAKIL
PERANTARA PEDAGANG EFEK
Pasal 6
(1) Permohonan untuk memperoleh Izin Wakil Penjamin
Emisi Efek atau Wakil Perantara Pedagang Efek
diajukan oleh pemohon dalam bentuk dokumen cetak
kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format
surat permohonan Izin Wakil Penjamin Emisi
Efek/Wakil Perantara Pedagang Efek sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
(2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan
sistem elektronik permohonan Izin Wakil Penjamin
Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek,
permohonan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Wakil
Perantara Pedagang Efek dapat diajukan melalui sistem
elektronik tersebut.
(3) Permohonan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Wakil
Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)...
-7-
ayat (1) atau ayat (2) wajib disertai kelengkapan
dokumen sebagai berikut:
a. salinan ijazah pendidikan formal terakhir;
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor yang
masih berlaku;
c. daftar riwayat hidup terbaru yang ditandatangani
oleh pemohon sesuai dengan format daftar riwayat
hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
d. bukti telah memiliki pengetahuan dan keahlian di
bidang Pasar Modal berupa:
1. fotokopi sertifikat keahlian:
1) sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek, bagi
Wakil Penjamin Emisi Efek; dan
2) sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek atau
Wakil Perantara Pedagang Efek, bagi Wakil
Perantara Pedagang Efek,
yang diakui Otoritas Jasa Keuangan dari
lembaga pendidikan khusus di bidang Pasar
Modal berdasarkan rekomendasi dari Komite
Standar Keahlian; atau
2. fotokopi surat keterangan pengalaman kerja
dari institusi pengawas Pasar Modal dan/atau
organisasi yang diberi kewenangan oleh
Undang-Undang tentang Pasar Modal untuk
mengatur dan/atau mengawasi industri Pasar
Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf b angka 2 huruf b);
e. surat keterangan kerja dari lembaga jasa keuangan
di Indonesia bagi warga negara asing;
f. pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan
latar belakang berwarna merah sebanyak 2 (dua)
lembar;
g. surat...
-8-
g. surat pernyataan bahwa pemohon tidak akan
bekerja pada lebih dari satu Perusahaan Efek
dan/atau lembaga jasa keuangan lainnya sesuai
dengan format surat pernyataan tidak akan
bekerja pada lebih dari satu Perusahaan Efek
dan/atau lembaga jasa keuangan lainnya
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
h. surat pernyataan yang menyatakan bahwa
pemohon:
1. memiliki akhlak dan moral yang baik;
2. cakap melakukan perbuatan hukum;
3. tidak pernah melakukan perbuatan tercela
dan/atau dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana di bidang jasa keuangan;
4. tidak pernah dikenakan sanksi pencabutan
izin, pembatalan persetujuan, dan/atau
pembatalan pendaftaran oleh Otoritas Jasa
Keuangan selama 3 (tiga) tahun terakhir;
5. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi
pengurus yang dinyatakan
bersalah
menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan
pailit; dan
6. memiliki komitmen yang tinggi untuk
mematuhi peraturan perundang-undangan,
sesuai dengan format surat pernyataan integritas
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
i. surat referensi dan/atau rekomendasi dari
perusahaan tempat pemohon bekerja sesuai
dengan format surat referensi kerja sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas
Jasa...
-9-
Jasa Keuangan ini (jika ada);
j. fotokopi izin mempekerjakan tenaga asing yang
diterbitkan oleh instansi berwenang, bagi warga
negara asing yang bekerja pada lembaga jasa
keuangan;
k. jawaban atas daftar pertanyaan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini;
l. bukti pembayaran biaya perizinan Wakil Penjamin
Emisi Efek atau Wakil Perantara Pedagang Efek;
m. surat keterangan perbedaan nama dari
Pejabat/instansi berwenang, jika terdapat
perbedaan nama pemohon dengan dokumen yang
dilampirkan; dan
n. Surat keterangan domisili, jika terdapat perbedaan
alamat domisili dengan alamat Kartu Tanda
Penduduk.
(4)
Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Wakil Perantara
Pedagang Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan Otoritas Jasa Keuangan apabila pemohon
telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
Pasal 7
Dalam rangka memproses permohonan Izin Wakil Penjamin
Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek, Otoritas
Jasa Keuangan berwenang:
a.
melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen yang
disampaikan oleh pemohon sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (3); dan/atau
b.
meminta keterangan kepada pemohon,
untuk
memastikan pemenuhan atas persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 8...
-10-
Pasal 8
(1)
Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil
Perantara Pedagang Efek diberikan Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 45 (empat puluh lima) hari
sejak diterimanya permohonan Izin Wakil Penjamin
Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek
yang memenuhi syarat.
(2) Dalam hal permohonan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek
atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek pada saat
diterima tidak memenuhi syarat, paling lambat 45
(empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan,
Otoritas
Jasa Keuangan memberikan surat
pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan
bahwa:
a. permohonan belum memenuhi persyaratan; atau
b. permohonan ditolak karena tidak memenuhi
persyaratan.
(3) Pemohon wajib melengkapi kekurangan yang
dipersyaratkan
dalam surat pemberitahuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling
lambat 45 (empat puluh lima) hari setelah tanggal
surat pemberitahuan.
(4) Penyampaian perubahan dokumen, tambahan
informasi, dan/atau kelengkapan kekurangan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
dianggap telah diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan
pada tanggal diterimanya perubahan dokumen,
tambahan informasi, dan/atau kelengkapan
kekurangan persyaratan tersebut.
(5)
Sejak diterimanya perubahan dokumen, tambahan
informasi, dan/atau kelengkapan kekurangan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
permohonan izin tersebut dianggap baru diterima oleh
Otoritas Jasa Keuangan dan diproses sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(6) Pemohon...
-11-
(6) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan yang
dipersyaratkan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), dianggap membatalkan
permohonan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin
Wakil Perantara Pedagang Efek yang sudah diajukan
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
BAB IV
MASA BERLAKU DAN PERPANJANGAN IZIN WAKIL PENJAMIN EMISI EFEK
DAN IZIN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK
Pasal 9
(1)
Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan Izin Wakil
Perantara Pedagang Efek mempunyai masa berlaku
selama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang.
(2)
Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil
Perantara Pedagang Efek tidak berlaku jika terjadi
kondisi:
a. masa berlakunya telah berakhir; atau
b. setelah masa berlakunya berakhir, persetujuan
perpanjangan izin belum diberikan Otoritas Jasa
Keuangan meskipun permohonan perpanjangan
Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil
Perantara Pedagang Efek telah disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan sebelum masa berlakunya
berakhir.
Pasal 10
(1) Permohonan perpanjangan Izin Wakil Penjamin Emisi
Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) diajukan
kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum masa berlaku
izin dimaksud berakhir dengan ketentuan paling cepat
90 (sembilan puluh) hari sebelum masa berlaku izin
berakhir.
(2) Permohonan perpanjangan Izin Wakil Penjamin Emisi
Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek tidak
dapat...
-12-
dapat dilakukan setelah masa berlaku izin dimaksud
berakhir.
(3) Permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disusun sesuai dengan format surat
permohonan perpanjangan Izin Wakil Penjamin Emisi
Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini dengan disertai
kelengkapan dokumen sebagai berikut:
a. daftar riwayat hidup terbaru yang telah
ditandatangani sesuai dengan format daftar
riwayat hidup sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini, jika ada perubahan daftar riwayat hidup pada
saat permohonan izin;
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor yang
masih berlaku;
c. fotokopi izin mempekerjakan tenaga asing yang
diterbitkan oleh instansi berwenang, bagi warga
negara asing yang bekerja pada lembaga jasa
keuangan;
d. pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan
latar belakang berwarna merah sebanyak 1 (satu)
lembar;
e. salinan ijazah pendidikan formal terakhir (dalam
hal terjadi perubahan);
f. surat keterangan kerja dari perusahaan yang
melakukan kegiatan penjaminan emisi Efek
dan/atau keperantaraan pedagang Efek tempat
Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil
Perantara Pedagang Efek bekerja (jika ada);
g. fotokopi kartu anggota yang masih berlaku dari
asosiasi yang mewadahi Wakil Penjamin Emisi Efek
atau...
-13-
atau Wakil Perantara Pedagang Efek yang telah
mendapatkan pengakuan dari Otoritas Jasa
Keuangan;
h. fotokopi dokumen pendidikan berkelanjutan yang
dilaksanakan antara tanggal berlaku hingga tanggal
berakhirnya Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau
Izin Wakil Perantara Pedagang Efek; dan
i. surat keterangan domisili, jika terdapat perbedaan
alamat domisili dengan alamat Kartu Tanda
Penduduk.
(4) Kewajiban menyertakan fotokopi kartu anggota asosiasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf g mulai
berlaku jika telah terdapat asosiasi yang mewadahi
Wakil Penjamin Emisi Efek atau Wakil Perantara
Pedagang Efek yang telah mendapatkan pengakuan
dari Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 11
(1) Perpanjangan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin
Wakil Perantara Pedagang Efek diberikan Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari kerja
sejak diterimanya permohonan perpanjangan Izin Wakil
Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara
Pedagang Efek yang memenuhi syarat.
(2) Dalam hal permohonan perpanjangan Izin Wakil
Penjamin Emisi Efek atau Wakil Perantara Pedagang
Efek pada saat diterima tidak memenuhi syarat, paling
lambat 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak
diterimanya permohonan, Otoritas Jasa Keuangan
memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon
yang menyatakan bahwa:
a. Permohonan belum memenuhi persyaratan; atau
b. Permohonan ditolak karena tidak memenuhi
persyaratan.
(3) Penyampaian perubahan dokumen, tambahan
informasi, dan/atau kelengkapan kekurangan
persyaratan...
-14-
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a, dianggap telah diterima oleh Otoritas Jasa
Keuangan pada tanggal diterimanya perubahan
dokumen, tambahan informasi, dan/atau kelengkapan
kekurangan persyaratan tersebut.
(4) Pemohon perpanjangan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek
atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek yang tidak
melengkapi kekurangan yang dipersyaratkan sebelum
masa berlaku Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin
Wakil Perantara Pedagang Efek berakhir, dianggap
membatalkan permohonan perpanjangan Izin Wakil
Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara
Pedagang Efek yang sudah diajukan kepada Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 12
Dalam hal masa berlaku Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau
Izin Wakil Perantara Pedagang Efek telah berakhir namun
permohonan perpanjangan telah disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan sebelum masa berlaku izin berakhir,
Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara
Pedagang Efek tidak berlaku hingga terdapat persetujuan
perpanjangan izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 13
Masa berlaku Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin
Wakil Perantara Pedagang Efek yang mendapatkan
persetujuan perpanjangan adalah 2 (dua) tahun terhitung
sejak tanggal persetujuan diberikan oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 14
Apabila pada saat permohonan perpanjangan Izin Wakil
Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang
Efek, pemegang izin masih mempunyai kewajiban
berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan dan/atau keputusan Otoritas Jasa Keuangan yang
belum dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan berhak menolak
pengajuan permohonan perpanjangan izin dimaksud.
BAB V...
-15-
BAB V
KEWAJIBAN DAN LARANGAN BAGI WAKIL PENJAMIN EMISI EFEK DAN
WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK
Bagian Kesatu
Kewajiban
Pasal 15
Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang
Efek wajib:
a. memahami dan mematuhi peraturan perundang-
undangan Pasar Modal Indonesia;
b.
c.
bertindak dan bersikap profesional serta mempunyai
wawasan yang luas di bidang Pasar Modal; dan
menjadi anggota asosiasi yang mewadahi Wakil
Penjamin Emisi Efek atau Wakil Perantara Pedagang
Efek yang telah mendapatkan pengakuan dari Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 16
(1)
Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara
Pedagang Efek
wajib mengikuti pendidikan
berkelanjutan yang diselenggarakan oleh asosiasi yang
mewadahi Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil
Perantara Pedagang Efek, atau pihak lain, yang diakui
Otoritas Jasa Keuangan paling kurang 2 (dua) tahun
sekali.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
pemenuhan persyaratan melampirkan dokumen telah
mengikuti pendidikan berkelanjutan dalam rangka
permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (3) huruf h mulai berlaku jika
telah terdapat:
a. asosiasi yang mewadahi Wakil Penjamin Emisi Efek
dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek; atau
b. pihak lain,
yang...
-16-
yang telah mendapatkan pengakuan dari Otoritas Jasa
Keuangan untuk menyelenggarakan pendidikan
khusus di bidang Pasar Modal.
Bagian Kedua
Larangan
Pasal 17
(1)
Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara
Pedagang Efek dilarang bekerja rangkap pada lebih dari
satu Perusahaan Efek dan/atau lembaga jasa
keuangan lainnya.
(2) Larangan bekerja rangkap sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku bagi Wakil Penjamin Emisi
Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek yang
berkedudukan sebagai anggota direksi dari Penjamin
Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek untuk
merangkap jabatan sebagai komisaris Bursa Efek,
Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
BAB VI
KOMITE STANDAR KEAHLIAN DAN ASOSIASI
Bagian Kesatu
Komite Standar Keahlian
Pasal 18
(1) Komite Standar Keahlian dibentuk oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Komite Standar Keahlian bertugas memberikan
rekomendasi kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam
rangka pemberian pengakuan atas sertifikat keahlian
yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan khusus.
(3)
Sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diterbitkan oleh lembaga pendidikan khusus yang
memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan keahlian
Wakil...
-17-
Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara
Pedagang Efek.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Komite Standar
Keahlian, persyaratan dan tata cara pemberian
pengakuan sertifikat
keahlian, serta lembaga
pendidikan khusus diatur dalam atau berdasarkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Kedua
Asosiasi
Pasal 19
(1)
Asosiasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf
c mempunyai tugas antara lain:
a. menyusun kode etik anggota;
b. melaksanakan pendidikan berkelanjutan bagi
pemegang Izin; dan
c. melaksanakan pendidikan dan/atau pelatihan
lainnya.
(2) Pelaksanaan kegiatan asosiasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaporkan setiap 6 (enam) bulan sekali
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai asosiasi yang
mewadahi Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil
Perantara Pedagang Efek diatur dalam Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan.
BAB VII
PELAPORAN
Pasal 20
(1) Orang perseorangan yang memiliki Izin Wakil Penjamin
Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek
wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa
Keuangan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Laporan mulai bekerja, berhenti bekerja, atau
pindah bekerja, paling lambat 14 (empat belas) hari
terhitung...
-18-
terhitung sejak yang bersangkutan mulai bekerja,
berhenti bekerja, atau pindah bekerja; dan/atau
b. Laporan
keikutsertaan
dalam
pendidikan
berkelanjutan paling lambat 14 (empat belas) hari
terhitung sejak yang bersangkutan selesai
mengikuti program tersebut disertai bukti
pendukung.
(2) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari
libur, laporan mulai bekerja, berhenti bekerja, atau
pindah bekerja dan laporan keikutsertaan atas
pendidikan berkelanjutan disampaikan paling lambat
pada 1 (satu) hari kerja berikutnya.
Pasal 21
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat
(1) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam
bentuk dokumen cetak.
(2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan
sistem elektronik penyampaian laporan Wakil Penjamin
Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek, laporan
Wakil Penjamin Emisi Efek atau Wakil Perantara
Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (1) dapat disampaikan melalui sistem elektronik
tersebut.
BAB VIII
PENGEMBALIAN IZIN WAKIL PENJAMIN EMISI EFEK DAN IZIN WAKIL
PERANTARA PEDAGANG EFEK
Pasal 22
(1) Pemegang Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin
Wakil Perantara Pedagang Efek dapat mengembalikan
izin yang dimilikinya kepada Otoritas Jasa Keuangan
dengan menggunakan surat pengembalian Izin Wakil
Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara
Pedagang Efek sesuai dengan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak...
-19-
tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
(2) Pengembalian Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin
Wakil Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak serta merta menghilangkan
kewajiban dan tanggung jawabnya atas peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan
dan/atau keputusan Otoritas Jasa Keuangan yang
belum dipenuhi yang timbul pada saat orang
perseorangan tersebut memegang Izin Wakil Penjamin
Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek.
BAB IX
SANKSI
Pasal 23
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau
huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi...
-20-
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan
secara tersendiri atau bersama-sama dengan
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau
huruf g.
Pasal 24
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini.
Pasal 25
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 kepada masyarakat.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 26
(1)
Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan Izin Wakil
Perantara Pedagang Efek yang dibekukan melalui
Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan
Nomor KEP-51/D.04/2013 tanggal 4 Oktober 2013
tentang Pembekuan Izin Wakil Perantara Pedagang
Efek dan Wakil Penjamin Emisi Efek dapat diaktifkan
kembali dengan mengajukan permohonan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 1 (satu) tahun
sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini.
(2)
Pengaktifan kembali izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan mengikuti prosedur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3).
Pasal 27...
-21-
Pasal 27
(1) Ketentuan mengenai sertifikat keahlian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf d angka 1 mulai
berlaku setelah Otoritas Jasa Keuangan membentuk
Komite Standar Keahlian.
(2) Dalam hal Komite Standar Keahlian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, sertifikat
keahlian di bidang Pasar Modal terkait Wakil Penjamin
Emisi Efek atau Wakil Perantara Pedagang Efek dalam
rangka perizinan Wakil Penjamin Emisi Efek atau Wakil
Perantara Pedagang Efek tetap berpedoman pada
ketentuan angka 2 huruf a Peraturan Nomor V.B.1,
Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-
547/BL/2010 tanggal 28 Desember 2010 tentang
Perizinan Wakil Perusahaan Efek.
Pasal 28
Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan Izin Wakil Perantara
Pedagang Efek yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dinyatakan tetap
berlaku sampai dengan 2 (dua) tahun sejak berlakunya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 29
(1) Sertifikat keahlian Wakil Penjamin Emisi Efek yang
diterbitkan sejak tahun 2009 sampai dengan tahun
2013 dapat digunakan sebagai pemenuhan syarat
memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang Pasar
Modal yang memadai dalam pengajuan permohonan
Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil
Perantara Pedagang Efek berdasarkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini paling lama 1 (satu) tahun
sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini.
(2)
Sertifikat keahlian Wakil Penjamin Emisi Efek yang
diterbitkan sejak tahun 2014 sampai dengan
berlakunya...
-22-
berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
dapat digunakan sebagai pemenuhan syarat memiliki
pengetahuan dan keahlian di bidang Pasar Modal yang
memadai dalam pengajuan permohonan Izin Wakil
Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara
Pedagang Efek berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini paling lama 2 (dua) tahun sejak
berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(3) Sertifikat keahlian Wakil Perantara Pedagang Efek yang
diterbitkan sejak tahun 2009 sampai dengan tahun
2013 dapat digunakan sebagai pemenuhan syarat
memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang Pasar
Modal yang memadai dalam pengajuan permohonan
Izin Wakil Perantara Pedagang Efek berdasarkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini paling lama 1
(satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
(4) Sertifikat keahlian Wakil Perantara Pedagang Efek yang
diterbitkan sejak tahun 2014 sampai dengan
berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
dapat digunakan sebagai pemenuhan syarat memiliki
pengetahuan dan keahlian di bidang Pasar Modal yang
memadai dalam pengajuan permohonan Izin Wakil
Perantara Pedagang Efek berdasarkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini paling lama 2 (dua) tahun
sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini.
Pasal 30
Permohonan izin orang perseorangan sebagai Wakil Penjamin
Emisi Efek atau Wakil Perantara Pedagang Efek yang telah
diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum
berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
diselesaikan berdasarkan Peraturan Nomor V.B.1, Lampiran
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor KEP-547/BL/2010 tanggal 28
Desember 2010 tentang Perizinan Wakil Perusahaan Efek.
BAB XI...
-23-
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, ketentuan mengenai perizinan Wakil Penjamin Emisi
Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek tunduk pada
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 32
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor KEP-547/BL/2010 tanggal 28
Desember 2010 tentang Perizinan Wakil Perusahaan Efek,
beserta Peraturan Nomor V.B.1 yang merupakan
lampirannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali:
a. ketentuan mengenai sertifikat keahlian sebagaimana
dimaksud pada angka 2 huruf a dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku pada saat terbentuknya Komite Standar
Keahlian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
(1); dan
b. untuk penyampaian permohonan Izin Wakil Penjamin
Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek
yang telah diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan
sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini.
Pasal 33
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar...
-24-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 November 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 19 November 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 362
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum I
Departemen Hukum,
Ttd.
Tini Kustini
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 27/POJK.04/2014 </reg_id>
<reg_title> PERIZINAN WAKIL PENJAMIN EMISI EFEK DAN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK </reg_title>
<set_date> 19 November 2014 </set_date>
<effective_date> 19 November 2014 </effective_date>
<issued_date> 19 November 2014 </issued_date>
<replaced_reg> 'KEP-547/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010', 'KEP-547/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010 | Lampiran Peraturan Nomor V.B.1' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 19/POJK.03/2014
TENTANG
LAYANAN KEUANGAN TANPA KANTOR
DALAM RANGKA KEUANGAN INKLUSIF
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa diperlukan ketersediaan akses layanan
keuangan bagi masyarakat yang belum mengenal,
menggunakan, dan/atau mendapatkan layanan
dan/atau mendapatkan layanan
perbankan dan layanan keuangan lainnya;
b. bahwa dalam rangka memperluas akses layanan
perbankan, dan industri jasa keuangan lainnya
berkomitmen mendukung terwujudnya keuangan
inklusif yang juga sejalan dengan Strategi Nasional
Keuangan Inklusif yang tclah dicanangkan pemerintah;
c. bahwa salah satu wujud komitmen dari industri jasa
keuangan yang sudah dituangkan sebagai salah satu
program Strategi Nasional Keuangan Inklusif adalah
penyediaan layanan keuangan tanpa kantor
(branchless bankcing):
d. bahwa melalui layanan keuangan tanpa kantor
(branchless banking) tersedia produk-produk keuangan
yang dapat dijangkau, sederhana, mudah dipahami,
dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam
rangka mendukung keuangan inklusif,
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf ...
End of Page 1
- 2 -
huruf d perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor
Dalam Rangka Keuangan Inklusif;
Mengingat
:
1._.Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
LAYANAN KEUANGAN TANPA KANTOR DALAM RANGKA
KEUANGAN INKLUSIF.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Lembaga …
- 3 -
1. Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di
sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga
pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
2. Bank adalah Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, Bank Umum
Syariah, atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang mengenai Perbankan dan Undang-Undang
mengenai Perbankan Syariah.
3. Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif yang
selanjutnya disebut Laku Pandai adalah kegiatan menyediakan layanan
perbankan dan/atau layanan keuangan lainnya yang dilakukan tidak
melalui jaringan kantor, namun melalui kerjasama dengan pihak lain
dan perlu didukung dengan penggunaan sarana teknologi informasi.
4. Agen adalah pihak yang bekerjasama dengan Bank penyelenggara Laku
Pandai yang menjadi kepanjangan tangan Bank untuk menyediakan
layanan perbankan kepada masyarakat dalam rangka keuangan inklusif
sesuai yang diperjanjikan.
5. Keuangan Inklusif adalah suatu keadaan dimana seluruh masyarakat
dapat menjangkau akses layanan keuangan secara mudah dan memiliki
budaya untuk mengoptimalkan penggunaan jasa keuangan.
Pasal 2
(1) Setiap Lembaga Jasa Keuangan bertanggung jawab untuk mendukung
terwujudnya Keuangan Inklusif.
(2) Dalam rangka mendukung terwujudnya Keuangan Inklusif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Jasa Keuangan dapat
menjadi penyelenggara Laku Pandai.
Pasal 3
(1) Setiap Lembaga Jasa Keuangan yang menjadi penyelenggara Laku
Pandai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib
memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Lembaga Jasa Keuangan yang dapat mengajukan permohonan menjadi
penyelenggara Laku Pandai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah:
a. Bank …
- 4 -
a. Bank;
b. Perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah;
c. Lembaga Jasa Keuangan selain sebagaimana dimaksud pada huruf
a dan huruf b.
(3) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah disetujui untuk
menjadi penyelenggara Laku Pandai wajib menerapkan manajemen
risiko dan prinsip kehati-hatian dalam menyelenggarakan Laku Pandai.
BAB II
PRODUK LAKU PANDAI
Pasal 4
Produk yang dapat disediakan oleh Lembaga Jasa Keuangan yang
menyelenggarakan Laku Pandai antara lain:
a. Tabungan;
b. Kredit atau pembiayaan untuk nasabah mikro;
c. Asuransi mikro; dan/atau
d. Produk keuangan lainnya berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 5
(1) Tabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a adalah
tabungan yang memiliki karakteristik Basic Saving Account (BSA).
(2) Karakteristik BSA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah sebagai
berikut:
a. hanya dapat dimiliki oleh perorangan warga negara Indonesia;
b. dalam mata uang Rupiah;
c. tanpa batas minimum setoran;
d. tanpa batas minimum saldo rekening;
e. batas maksimum saldo rekening setiap saat ditetapkan paling
banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah);
f. batas maksimum transaksi debet rekening berupa penarikan tunai,
pemindahbukuan dan/atau transfer keluar dalam 1 (satu) bulan
secara kumulatif pada setiap rekening paling banyak
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah);
g. batas …
- 5 -
g. batas maksimum transaksi debet rekening sebagaimana dimaksud
pada huruf f dapat ditetapkan Bank lebih besar dari
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dalam 1 (satu) bulan, namun
tidak boleh lebih besar dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah) dalam 1 (satu) tahun secara kumulatif, dalam hal nasabah
juga merupakan debitur Bank;
h. dibebaskan dari pembebanan biaya untuk:
1. administrasi bulanan,
2. pembukaan rekening,
3. transaksi penyetoran tunai,
4. transaksi transfer masuk,
5. transaksi pemindahbukuan, dan
6. penutupan rekening;
i. biaya untuk transaksi tarik tunai, transfer keluar, pembayaran
melalui rekening tabungan dan biaya lainnya, ditetapkan oleh Bank
dan harus lebih sedikit dari biaya transaksi serupa untuk rekening
tabungan reguler;
j. mendapatkan bunga atau bagi hasil mulai dari saldo rekening
Rp1,00 (satu rupiah); dan
k. tidak diperkenankan untuk rekening bersama dengan status
“dan/atau”.
(3) Tabungan dengan karakteristik BSA hanya dapat diberikan Bank
kepada nasabah yang belum memiliki tabungan lainnya.
(4) Bank diberikan kebebasan untuk menetapkan:
a. nama produk tabungan dengan karakteristik BSA; dan
b. bentuk bukti kepemilikan rekening tabungan.
(5) Dalam hal jumlah transaksi nominal dalam 1 (satu) bulan melampaui
batas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f dan
huruf g dan/atau saldo melampaui batas maksimum saldo rekening
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, dan nasabah tetap ingin
melakukan transaksi dan/atau meningkatkan saldo rekening, Bank
dapat mengubah status tabungan dengan karakteristik BSA menjadi
tabungan reguler setelah:
a. Bank terlebih dahulu meminta konfirmasi persetujuan kepada
nasabah pemilik tabungan dengan karakteristik BSA; atau
b. Bank …
- 6 -
b. Bank memberikan persetujuan atas permintaan nasabah pemilik
tabungan dengan karakteristik BSA untuk mengubah status
tabungan dengan karakteristik BSA menjadi tabungan reguler.
(6) Dalam hal saldo BSA nihil dan/atau tidak ada transaksi selama 6
(enam) bulan berturut-turut, status tabungan dengan karakteristik BSA
dapat diubah menjadi rekening tidur (dormant account).
(7) Bank hanya dapat menerbitkan kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM)
atau kartu debet kepada nasabah tabungan dengan karakteristik BSA
berdasarkan permohonan dari nasabah.
(8) Dalam hal Bank memerlukan kerjasama dengan perusahaan
penyelenggara sistem pembayaran dalam menerbitkan kartu ATM atau
kartu debet sebagaimana dimaksud pada ayat (7), kerjasama harus
dilakukan dengan perusahaan yang berbadan hukum Indonesia dan
memiliki lokasi pemrosesan transaksi dan penempatan pusat data di
Indonesia.
(9) Bank yang telah disetujui menjadi penyelenggara Laku Pandai wajib
menyediakan tabungan dengan karakteristik BSA pada setiap jaringan
kantor Bank.
Pasal 6
(1) Kredit atau pembiayaan untuk nasabah mikro sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf b diberikan Bank kepada nasabah pemilik
tabungan dengan karakteristik BSA, dalam hal:
a. calon debitur telah menjadi nasabah paling singkat 6 (enam) bulan;
atau
b. calon debitur menjadi nasabah kurang dari 6 (enam) bulan, namun
Bank telah memiliki keyakinan tentang kelayakan calon debitur
dan/atau kemampuan keuangan yang bersangkutan; dan
c. kredit atau pembiayaan ditujukan untuk membiayai kegiatan usaha
yang bersifat produktif dan/atau kegiatan lain dalam rangka
mendukung terwujudnya Keuangan Inklusif.
(2) Kredit atau pembiayaan untuk nasabah mikro sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memiliki karakteristik paling sedikit:
a. jangka waktu kredit atau pembiayaan paling lama 1 (satu) tahun;
atau
b. jangka …
- 7 -
b. jangka waktu kredit atau pembiayaan dapat lebih lama dari 1 (satu)
tahun sepanjang sesuai dengan siklus usaha debitur; dan
c. batas maksimum nominal kredit atau pembiayaan ditetapkan paling
banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
Pasal 7
(1) Pengajuan permohonan kredit atau pembiayaan untuk nasabah mikro
dapat dilakukan melalui jaringan kantor Bank atau Agen.
(2) Analisis kelayakan dan persetujuan atas permohonan kredit atau
pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dilakukan oleh
Bank.
(3) Pencairan kredit atau pembiayaan untuk nasabah mikro dapat
dilakukan melalui:
a. rekening tabungan dengan karakteristik BSA milik debitur; atau
b. rekening milik pihak penyedia kebutuhan usaha debitur.
Pasal 8
Bank wajib menyalurkan kredit atau pembiayaan produktif kepada nasabah
mikro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) paling sedikit 70%
(tujuh puluh perseratus) dari total portofolio kredit atau pembiayaan untuk
nasabah mikro dalam rangka Laku Pandai.
Pasal 9
Asuransi mikro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c adalah
produk asuransi yang ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
BAB III
BANK PENYELENGGARA LAKU PANDAI
Pasal 10
(1) Bank yang akan mengajukan permohonan persetujuan menjadi
penyelenggara Laku Pandai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berbadan hukum Indonesia;
b. memiliki peringkat profil risiko, tingkat risiko operasional dan risiko
kepatuhan dengan peringkat 1, 2, atau peringkat 3;
c. memiliki …
- 8 -
c. memiliki jaringan kantor di Wilayah Indonesia Timur dan/atau
provinsi Nusa Tenggara Timur; dan
d. telah memiliki infrastruktur pendukung untuk menyediakan
layanan transaksi elektronik bagi nasabah Bank berupa:
1. Short Message Service (SMS) banking atau mobile banking, dan
2. internet banking atau host to host.
(2) Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan evaluasi secara berkala
terkait persyaratan wilayah jaringan kantor Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c.
Pasal 11
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c
dikecualikan bagi:
a. Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah; atau
b. Bank yang berkantor pusat di luar provinsi DKI Jakarta.
Pasal 12
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b bagi
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
(BPRS) menjadi sebagai berikut:
a. memiliki modal inti lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah);
b. memiliki tingkat kesehatan dengan peringkat sehat selama periode
penilaian dalam 1 (satu) tahun terakhir;
c. memiliki Non Performing Loan (NPL) atau Non Performing Financing (NPF)
paling tinggi 5% (lima perseratus) selama periode penilaian dalam 6
(enam) bulan terakhir;
d. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling
sedikit 12% (dua belas perseratus);
e. tidak dalam keadaan rugi dalam 1 (satu) tahun terakhir; dan
f. tidak terdapat pelanggaran ketentuan BPR atau BPRS tertentu.
Pasal …
- 9 -
Pasal 13
(1) Bank umum berdasarkan kegiatan usaha (BUKU) 1 dan BPR atau BPRS
yang telah memenuhi persyaratan untuk menjadi Bank penyelenggara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a, huruf b, dan
huruf c dapat mengajukan permohonan untuk menyelenggarakan
internet banking dalam rangka memperoleh persetujuan untuk menjadi
Bank penyelenggara Laku Pandai.
(2) Permohonan untuk menyelenggarakan internet banking sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat disetujui apabila Bank juga
disetujui menjadi Bank penyelenggara Laku Pandai.
Pasal 14
(1) Bank yang akan menyelenggarakan Laku Pandai harus mencantumkan
rencana penyelenggaraan Laku Pandai dalam Rencana Bisnis Bank
(RBB) tahun yang bersangkutan.
(2) Bank harus mengajukan permohonan persetujuan untuk
menyelenggarakan Laku Pandai paling cepat 60 (enam puluh) hari
sebelum target waktu penyelenggaraan Laku Pandai dengan disertai
dokumen pendukung.
(3) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atas permohonan
penyelenggaraan Laku Pandai sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
setelah mempertimbangkan kelengkapan dokumen dan analisis
terhadap kemampuan Bank, pemenuhan persyaratan, dan kesesuaian
dengan karakteristik penyelenggaraan Laku Pandai yang akan
dilakukan oleh Bank.
(4) Bank yang telah disetujui untuk menyelenggarakan Laku Pandai harus
mulai melakukan kegiatan paling lama 6 (enam) bulan sejak
persetujuan diberikan.
(5) Dalam hal Bank belum menyelenggarakan Laku Pandai dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), persetujuan yang telah
diberikan batal dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal …
- 10 -
Pasal 15
Bank yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 dan telah mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14, dapat ditolak oleh Otoritas Jasa Keuangan menjadi Bank penyelenggara
Laku Pandai berdasarkan pertimbangan tertentu.
BAB IV
KERJASAMA BANK PENYELENGGARA
LAKU PANDAI DENGAN AGEN
Bagian Pertama
Persyaratan Agen
Pasal 16
(1) Bank penyelenggara Laku Pandai bekerjasama dengan Agen untuk
menyediakan produk Bank bagi masyarakat yang belum terlayani
jaringan kantor Bank.
(2) Agen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. Agen perorangan; dan/atau
b. Agen berbadan hukum.
Pasal 17
Perorangan yang dapat menjadi Agen harus memenuhi persyaratan paling
sedikit sebagai berikut:
a. bertempat tinggal di lokasi tempat penyelenggaraan Laku Pandai;
b. memiliki kemampuan, reputasi, kredibilitas dan integritas yang baik;
c. memiliki sumber penghasilan utama yang berasal dari kegiatan usaha
dan/atau kegiatan tetap lainnya selama paling singkat 2 (dua) tahun;
d. belum menjadi Agen dari Bank penyelenggara Laku Pandai yang kegiatan
usahanya sejenis; dan
e. lulus proses uji tuntas (due diligence) oleh Bank penyelenggara Laku
Pandai.
Pasal 18
Badan hukum yang dapat menjadi Agen harus memenuhi persyaratan
paling sedikit sebagai berikut:
a. berbadan …
- 11 -
a. berbadan hukum Indonesia yang:
1. diawasi oleh otoritas pengatur dan pengawas dan diperkenankan
melakukan kegiatan di bidang keuangan; atau
2. merupakan perusahaan dagang yang memiliki jaringan retail outlet;
b. memiliki reputasi, kredibilitas, dan kinerja yang baik;
c. memiliki usaha yang menetap di satu lokasi dan masih berlangsung,
paling singkat 2 (dua) tahun;
d. mampu melakukan manajemen likuiditas sesuai yang dipersyaratkan
oleh Bank penyelenggara Laku Pandai;
e. mampu menyediakan sumber daya manusia yang mempunyai
kemampuan teknis untuk mendukung penyelenggaraan Laku Pandai;
f. memiliki teknologi informasi yang memadai untuk mendukung
penyelenggaraan Laku Pandai; dan
g. lulus proses uji tuntas (due diligence) oleh Bank penyelenggara Laku
Pandai.
Bagian Kedua
Kegiatan Layanan oleh Agen
Pasal 19
(1) Agen melayani nasabah dan/atau calon nasabah sesuai dengan
cakupan layanan yang dicantumkan dalam perjanjian kerjasama.
(2) Cakupan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. transaksi terkait tabungan dengan karakteristik BSA, meliputi
pembukaan rekening, penyetoran dan penarikan tunai,
pemindahbukuan, pembayaran tagihan, transfer dana, pengecekan
saldo, dan/atau penutupan rekening;
b. transaksi terkait kredit atau pembiayaan kepada nasabah mikro
meliputi penerimaan dokumen permohonan, penyaluran pencairan,
penagihan atau penerimaan pembayaran angsuran dan/atau
pelunasan pokok;
c. transaksi terkait tabungan selain tabungan dengan karakteristik
BSA meliputi penyetoran dan penarikan tunai, pemindahbukuan,
pembayaran, dan/atau transfer dana;
d. transaksi terkait layanan atau jasa keuangan lain sesuai ketentuan
yang berlaku.
(3) Agen …
- 12 -
(3) Agen tertentu dapat melakukan lebih dari satu layanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berdasarkan klasifikasi Agen.
(4) Klasifikasi Agen sesuai cakupan layanan ditetapkan sebagai berikut:
a. klasifikasi A adalah Agen yang dapat melayani nasabah untuk
transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a;
b. klasifikasi B adalah Agen yang dapat melayani nasabah untuk
transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b;
c. klasifikasi C adalah Agen yang dapat melayani nasabah untuk
transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf c;
d. klasifikasi D adalah Agen yang dapat melayani nasabah untuk
transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b,
dan huruf c;
e. klasifikasi E adalah Agen yang dapat melayani nasabah untuk
transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c,
dan huruf d;
f. klasifikasi F adalah Agen yang dapat melayani nasabah untuk
transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b,
dan huruf d;
g. klasifikasi G adalah Agen yang dapat melayani nasabah untuk
transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d.
(5) Agen yang baru pertama kali bekerjasama dengan Bank penyelenggara
Laku Pandai harus mulai dari klasifikasi A dan perpindahan pada
klasifikasi lainnya ditetapkan sesuai kebijakan Bank.
(6) Bank wajib memiliki kebijakan yang mengatur persyaratan dan
mekanisme bagi Agen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
penetapan klasifikasi Agen sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Bank wajib menetapkan batas nominal layanan kepada nasabah untuk
transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c per hari per
nasabah dengan mempertimbangkan kondisi tertentu dari Agen.
(8) Bank menetapkan batas nominal layanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) kepada Agen paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)
per hari per nasabah.
Pasal …
- 13 -
Pasal 20
(1) Agen hanya dapat melayani nasabah dan/atau calon nasabah di sekitar
wilayah tempat kedudukan Agen yang mencakup desa atau setara
dan/atau daerah lain di sekitarnya.
(2) Penetapan wilayah lain di sekitar desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disesuaikan dengan kewajaran jarak dan waktu tempuh, biaya
perjalanan menuju lokasi Agen, dan/atau kondisi topologi wilayah.
Pasal 21
(1) Agen Bank penyelenggara Laku Pandai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 dapat bertindak sebagai pemasar asuransi mikro berdasarkan
perjanjian kerjasama antara Agen dengan perusahaan asuransi
dan/atau perusahaan asuransi syariah yang menerbitkan produk
asuransi mikro, dengan melaporkan terlebih dahulu kepada Bank
penyelenggara Laku Pandai.
(2) Agen Bank penyelenggara Laku Pandai dapat memasarkan produk
dan/atau jasa keuangan lainnya sepanjang:
a. telah memenuhi ketentuan yang berlaku terkait produk dan jasa
keuangan yang dipasarkan;
b. memberitahukan kepada Bank penyelenggara Laku Pandai yang
telah bekerjasama dengan Agen tersebut; dan
c. tetap mampu memberikan layanan yang baik kepada nasabah dari
Bank penyelenggara Laku Pandai yang telah terlebih dahulu
bekerjasama dengan Agen.
Bagian Ketiga
Tata Cara Hubungan Kerjasama antara
Bank Penyelenggara Laku Pandai dengan Agen
Pasal 22
(1) Dalam melakukan kerjasama dengan Agen, Bank penyelenggara wajib:
a. meneliti pemenuhan persyaratan dan proses uji tuntas (due
diligence) terhadap Agen;
b. memiliki perjanjian kerjasama secara tertulis dengan Agen;
c. memerintahkan …
- 14 -
c. memerintahkan Agen menempatkan dan memelihara sejumlah
deposit yang besaran minimalnya ditetapkan Bank berdasarkan
pertimbangan tertentu;
d. memastikan dan meyakini bahwa sumber dana Agen dalam
pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak
berasal dari hasil pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme;
e. memastikan Agen memiliki unit khusus atau menunjuk pegawai
yang bertanggung jawab atas kegiatan Laku Pandai, dalam hal Agen
adalah badan hukum;
f. bertanggung jawab atas perbuatan dan tindakan Agen yang
termasuk dalam cakupan layanan Agen sesuai dengan yang
dicantumkan dalam perjanjian kerjasama;
g. memantau dan mengawasi kegiatan Agen secara langsung, baik
secara berkala maupun insidentil;
h. memberikan pembinaan dan/atau mengenakan sanksi atas
pelanggaran yang dilakukan oleh Agen;
i. melakukan edukasi dan pelatihan kepada Agen secara optimal;
j. melakukan edukasi dan literasi kepada masyarakat di sekitar lokasi
Agen terkait produk yang ditawarkan secara optimal; dan
k. memastikan tanggung jawab kelangsungan penyelenggaraan Laku
Pandai dalam hal terdapat kondisi tertentu yang mengakibatkan
Agen tidak dapat beroperasi.
(2) Perjanjian kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
memuat paling sedikit:
a. hak dan kewajiban Bank penyelenggara Laku Pandai dan Agen;
b. ruang lingkup layanan yang dapat disediakan Agen;
c. penetapan wilayah kerja operasional Agen;
d. penetapan klasifikasi Agen;
e. jangka waktu pelaksanaan kerjasama dan mekanisme
perpanjangannya;
f. mekanisme dan hubungan kerja antara Bank dan Agen;
g. syarat dan tata cara perubahan perjanjian kerjasama;
h. penetapan sanksi dan mekanisme pengenaan sanksi;
i. kondisi dan tata cara penghentian perjanjian kerjasama; dan
j. tata cara penyelesaian perselisihan.
Pasal …
- 15 -
Pasal 23
(1) Bank penyelenggara Laku Pandai hanya dapat bekerjasama dengan
Agen perorangan yang belum bekerjasama dengan Bank lain yang
kegiatan usahanya sejenis.
(2) Bank penyelenggara Laku Pandai dapat bekerjasama dengan Agen
berbadan hukum yang telah bekerjasama dengan Bank lain sepanjang
hasil analisis Bank penyelenggara menunjukkan Agen tersebut masih
dapat memberikan pelayanan dengan baik.
(3) Bank penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Bank lain yang telah
bekerjasama dengan Agen berbadan hukum dimaksud.
(4) Bank penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
melaporkan terlebih dahulu disertai dengan dokumen pendukung
kepada Otoritas Jasa Keuangan apabila Bank penyelenggara lain
kegiatan usahanya sejenis.
(5) Agen berbadan hukum yang bekerjasama dengan lebih dari 1 (satu)
Bank penyelenggara, hanya dapat menyediakan produk dari 1 (satu)
bank konvensional dan/atau 1 (satu) bank syariah pada setiap kantor
atau retail outlet yang dimilikinya.
Bagian Keempat
Kedudukan Agen
Pasal 24
(1) Agen Bank penyelenggara Laku Pandai dapat berkedudukan di seluruh
wilayah Indonesia sampai dengan 31 Desember 2016.
(2) Kerjasama yang dilakukan setelah 31 Desember 2016 antara Bank
Penyelenggara Laku Pandai dengan Agen yang berkedudukan di Ibukota
Negara, Ibukota Provinsi, Ibukota Kabupaten dan/atau Kota, wajib
diikuti kerjasama dengan Agen yang berkedudukan di luar Ibukota
Negara, Ibukota Provinsi, Ibukota Kabupaten dan/atau Kota dalam
jumlah tertentu.
(3) kewajiban …
- 16 -
(3) Kewajiban kerjasama Bank penyelenggara Laku Pandai dengan Agen
dalam jumlah tertentu di luar Ibukota Negara, Ibukota Provinsi, Ibukota
Kabupaten dan/atau Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 25
(1) Bank penyelenggara Laku Pandai hanya dapat melakukan kerjasama
dengan Agen yang berkedudukan di lokasi dalam kota atau kabupaten
yang sama dengan lokasi jaringan kantor Bank.
(2) Dalam hal jaringan kantor Bank penyelenggara Laku Pandai tidak
tersedia di kota atau kabupaten tempat kedudukan calon Agen, Bank
dapat bekerjasama dengan calon Agen tersebut sepanjang:
a. terdapat jaringan kantor Bank penyelenggara Laku Pandai di kota
atau kabupaten yang berbatasan dengan lokasi calon Agen; atau
b. terdapat jaringan kantor Bank penyelenggara Laku Pandai di kota
atau kabupaten lain yang berbeda dengan lokasi calon Agen dan
pegawai dari kantor Bank tersebut masih dapat melakukan
pelaksanaan pemantauan dan pengawasan secara langsung; dan
c. di lokasi tempat kedudukan calon Agen belum tersedia layanan
keuangan yang memadai.
(3) Jenis jaringan kantor Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) ditetapkan paling sedikit sebagai berikut:
a. kantor kas dalam hal Agen dapat melayani transaksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf a, huruf c, dan/atau huruf
d; dan/atau
b. kantor cabang pembantu dalam hal Agen dapat melayani seluruh
transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).
Bagian Kelima
Perangkat Penunjang Layanan
Pasal 26
(1) Dalam menyelenggarakan Laku Pandai, Bank dapat menetapkan
pemakaian electronic device yang berbeda antar Agen berdasarkan
pertimbangan tertentu.
(2) Sistem …
- 17 -
(2) Sistem aplikasi yang digunakan dalam electronic device di lokasi Agen
untuk penyelenggaraan Laku Pandai wajib berasal dari Bank
penyelenggara.
Pasal 27
(1) Transaksi yang dilakukan oleh nasabah Bank penyelenggara Laku
Pandai harus dibukukan pada rekening nasabah di core banking system
yang dimiliki oleh Bank pada saat yang bersamaan (real time).
(2) Pembukuan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai
dengan penyampaian bukti transaksi kepada nasabah Bank yang
bersangkutan.
Pasal 28
Dalam hal penyelenggaraan Laku Pandai memerlukan dukungan kerjasama
dengan pihak lain yang terkait dengan teknologi informasi dan komunikasi,
Bank wajib memiliki perjanjian kerjasama secara tertulis dengan pihak lain
tersebut.
Pasal 29
Sistem aplikasi yang digunakan untuk mendukung penyelenggaraan Laku
Pandai harus mengarah pada terwujudnya interoperability.
BAB V
PENERAPAN CUSTOMER DUE DILIGENCE (CDD)
Pasal 30
(1) Terhadap calon nasabah tabungan dengan karakteristik BSA, Bank
dengan bantuan Agen cukup menerapkan prosedur Customer Due
Dilligence (CDD) yang lebih sederhana.
(2) Prosedur CDD yang lebih sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak dapat diterapkan terhadap calon nasabah apabila, paling
sedikit:
a. terdapat ketidaksesuaian profil calon nasabah;
b. calon nasabah merupakan Politically Exposed Person (PEP);
dan/atau
c. terdapat …
- 18 -
c. terdapat dugaan terjadi transaksi pencucian uang dan/atau
pendanaan terorisme.
(3) Terhadap calon nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
dengan bantuan Agen wajib meminta informasi paling sedikit
mencakup:
a. nama lengkap;
b. alamat tempat tinggal sesuai dokumen identitas dan alamat domisili
apabila ada;
c. tempat dan tanggal lahir; dan
d. pekerjaan.
(4)
Informasi calon nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
didukung dengan dokumen identitas atau dokumen lainnya sebagai
pengganti dokumen identitas yang dapat memberikan keyakinan
kepada Bank tentang profil calon nasabah dan spesimen tanda tangan.
Pasal 31
(1) Nasabah tabungan dengan karakteristik BSA yang telah mengajukan
pembukaan rekening melalui Agen hanya dapat melakukan transaksi
penyetoran tunai selama proses verifikasi belum selesai dilakukan oleh
Bank.
(2) Bank wajib memiliki prosedur pengembalian setoran tunai yang telah
dilakukan nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila hasil
proses verifikasi Bank menolak permohonan pembukaan rekening.
Pasal 32
(1) Bank wajib membuat dan menyimpan daftar nasabah tabungan dengan
karakteristik BSA yang pembukaan rekeningnya dilakukan melalui
prosedur CDD yang lebih sederhana.
(2) Dalam hal tabungan nasabah tidak lagi memenuhi karakteristik BSA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), Bank dengan bantuan
Agen wajib melakukan CDD ulang melalui prosedur CDD sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan mengenai penerapan program anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi Bank.
BAB …
- 19 -
BAB VI
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO TEKNOLOGI INFORMASI
Pasal 33
(1) Bank wajib menerapkan prinsip-prinsip pengendalian pengamanan data
nasabah dan transaksi e-banking pada sistem elektronik untuk
penyelenggaraan Laku Pandai sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
mengenai penerapan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi
informasi bagi Bank.
(2) Dalam pelaksanaan prinsip keaslian
(authentication), Bank
penyelenggara Laku Pandai paling sedikit menetapkan dua faktor
keaslian (two factor authentication).
(3) Dalam pelaksanaan prinsip tidak dapat diingkari (non repudiation),
Bank penyelenggara Laku Pandai paling sedikit menerapkan messaging
security dan end to end encryption.
BAB VII
PERLINDUNGAN NASABAH
Pasal 34
(1) Bank penyelenggara Laku Pandai wajib menerapkan prinsip
perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan.
(2) Mekanisme dan tata cara penerapan prinsip perlindungan konsumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan yang
berlaku.
BAB VIII
PELAPORAN
Pasal 35
Bank yang telah memperoleh persetujuan menjadi penyelenggara Laku
Pandai wajib menyampaikan:
a. laporan realisasi penyelenggaraan Laku Pandai untuk pertama kali,
paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah Laku Pandai
dilaksanakan;
b. laporan …
- 20 -
b. laporan rencana kerjasama dengan Agen dalam rangka penyelenggaraan
Laku Pandai setiap tahun dicantumkan dalam RBB tahun yang
bersangkutan; dan
c. laporan realisasi kerjasama dengan Agen sebagaimana dimaksud pada
huruf b disampaikan bersamaan dengan laporan realisasi RBB
sebagaimana ketentuan yang berlaku.
Pasal 36
(1) Bank penyelenggara Laku Pandai wajib menyampaikan laporan
perkembangan penyelenggaraan Laku Pandai.
(2) Laporan perkembangan penyelenggaraan Laku Pandai sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara triwulanan untuk posisi
bulan Maret, Juni, September, dan Desember.
(3) Laporan perkembangan penyelenggaraan Laku Pandai sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat setiap tanggal 15
(lima belas) setelah akhir bulan laporan.
(4) Dalam hal tanggal 15 (lima belas) jatuh pada hari libur, laporan paling
lambat disampaikan pada hari kerja terakhir sebelumnya.
(5) Laporan perkembangan penyelenggaraan Laku Pandai sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara online.
(6) Selama penyampaian laporan secara online sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) belum dapat dilakukan, Bank menyampaikan hardcopy
dan softcopy laporan secara offline kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 37
Laporan rencana kerjasama pertama kali dengan Agen berbadan hukum
yang telah bekerjasama dengan Bank penyelenggara lain yang kegiatan
usahanya sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) wajib
disampaikan paling cepat 7 (tujuh) hari kerja sebelum kerjasama dilakukan.
Pasal 38
(1) Bank penyelenggara Laku Pandai dinyatakan terlambat menyampaikan
laporan realisasi penyelenggaraan Laku Pandai apabila laporan diterima
oleh Otoritas Jasa Keuangan setelah batas waktu penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a.
(2) Bank …
- 21 -
(2) Bank penyelenggara Laku Pandai dinyatakan terlambat menyampaikan
laporan perkembangan penyelenggaraan Laku Pandai apabila laporan
diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan setelah batas waktu
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
(3) Bank penyelenggara Laku Pandai dinyatakan terlambat menyampaikan
laporan rencana kerjasama apabila laporan diterima oleh Otoritas Jasa
Keuangan setelah batas waktu penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37.
Pasal 39
Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 huruf a, Pasal 36, dan Pasal 37 apabila laporan belum
diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan setelah 30 (tiga puluh) hari dari batas
waktu penyampaian laporan.
Pasal 40
Permohonan persetujuan untuk menyelenggarakan Laku Pandai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), laporan realisasi
penyelenggaraan, rencana kerjasama dengan Agen, dan realisasi kerjasama
dengan Agen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, dan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6) dan Pasal 37, disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 41
(1) Dalam hal diperlukan, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta laporan,
keterangan, dan/atau data, termasuk melakukan pemeriksaaan (on site
supervision) terhadap Agen.
(2) Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan pertimbangan tertentu dapat
memerintahkan Bank penyelenggara Laku Pandai untuk melakukan
penghentian kerjasama dengan Agen.
BAB …
- 22 -
BAB X
SANKSI
Pasal 42
(1) Bank penyelenggara Laku Pandai yang melanggar ketentuan dalam
Pasal 5 ayat (9), Pasal 8, Pasal 19 ayat (6) dan ayat (7), Pasal 22, Pasal
23 ayat (4), pasal 24 ayat (2), Pasal 26 ayat (2), Pasal 28, Pasal 30 ayat
(3) dan ayat (4), Pasal 31 ayat (2), Pasal 32, dan Lembaga Jasa
Keuangan yang melanggar ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1), dapat
dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan dan/atau pembekuan kegiatan usaha tertentu;
dan/atau
c. penurunan tingkat kesehatan.
(2) Bank penyelenggara Laku Pandai yang melanggar ketentuan dalam
Pasal 3 ayat (3) dikenakan sanksi administratif dengan mengacu pada
ketentuan mengenai manajemen risiko.
(3) Bank penyelenggara Laku Pandai yang melanggar ketentuan dalam
Pasal 33 ayat (1) dikenakan sanksi administratif dengan mengacu pada
ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko teknologi informasi
pada Bank.
(4) Bank penyelenggara Laku Pandai yang melanggar ketentuan dalam
Pasal 34 dikenakan sanksi administratif dengan mengacu pada
ketentuan mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan.
Pasal 43
(1) Bank yang dinyatakan terlambat menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 dikenakan sanksi berupa peringatan tertulis
dan kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah)
per hari keterlambatan dengan jumlah paling banyak sebesar
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
(2) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39, dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(3) Dalam …
- 23 -
(3) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena
dinyatakan tidak menyampaikan laporan, sanksi kewajiban membayar
karena terlambat menyampaikan laporan tidak diberlakukan.
(4) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak menghilangkan kewajiban penyampaian laporan.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 44
(1) Bagi Bank yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 dan akan mengajukan permohonan persetujuan untuk
menyelenggarakan Laku Pandai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
dalam tahun 2015 namun belum mencantumkan rencana
penyelenggaraan Laku Pandai dalam RBB, dapat mencantumkan
rencana penyelenggaraan dalam revisi RBB.
(2) Penyampaian revisi RBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diperhitungkan sebagai penyampaian perubahan RBB yang hanya
dapat dilakukan 1 (satu) kali sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
mengenai rencana bisnis bank.
Pasal 45
Bank yang akan menyelenggarakan Laku Pandai sebelum tanggal 1 Maret
2015 dapat menyampaikan permohonan penyelenggaraan Laku Pandai
kurang dari 60 (enam puluh) hari sebelum target waktu penyelenggaraan
Laku Pandai.
Pasal 46
Bank yang telah bekerjasama dengan Agen tertentu untuk menyediakan
layanan atau jasa keuangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (2) huruf d sebelum tanggal 1 Maret 2015 tidak wajib menetapkan Agen
mulai dari klasifikasi paling sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (4).
BAB …
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 47
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur
dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 48
Ketentuan pelaksanaan di sektor jasa keuangan yang terkait dengan
implementasi pelaksanaan Laku Pandai dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 49
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 November 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 19 November 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Salinan sesuai dengan aslinya
REPUBLIK INDONESIA, Direktur HukumI
Departemen Hukum,
Ttd.
JAS
KEUANGAN
YASONNA H. LAOLY TiniKustini
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 350
End of Page 24
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 19/POJK.03/2014
TENTANG
LAYANAN KEUANGAN TANPA KANTOR
DALAM RANGKA KEUANGAN INKLUSIF
I. UMUM
Peranan industri perbankan dan industri jasa keuangan lainnya
sangat penting dalam menunjang kegiatan dan pertumbuhan perekonomian
di Indonesia. Dalam perkembangan terkini, masing-masing industri dituntut
untuk meningkatkan dan memperluas akses layanan keuangannya, agar
dapat memberikan manfaat lebih kepada segenap lapisan masyarakat
Indonesia, khususnya kepada masyarakat yang belum mengenal,
menggunakan, dan/atau mendapatkan layanan perbankan dan layanan
keuangan lainnya.
Terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab terbatasnya
ketersediaan akses layanan perbankan dan layanan keuangan di Indonesia,
antara lain:
a. banyaknya wilayah Indonesia yang belum memiliki jaringan kantor
layanan keuangan karena lokasi yang terpencil;
b. biaya yang perlu dikeluarkan cukup besar dan/atau waktu yang lama
dibutuhkan oleh masyarakat di daerah terpencil untuk menjangkau
lokasi layanan keuangan;
c. kompleksitas proses layanan perbankan dan layanan keuangan lainnya;
d. rendahnya pengetahuan dan pemahaman mengenai produk dan layanan
jasa keuangan; dan/atau
e. masih rendahnya penghasilan sebagian masyarakat sehingga belum
mampu untuk menabung.
Perluasan akses layanan keuangan tentu sangat diperlukan bagi
segenap lapisan masyarakat baik yang tinggal di daerah terpencil maupun
yang berpenghasilan rendah. Dengan semakin inklusifnya layanan keuangan
tersebut …
- 2 -
tersebut, diharapkan akan berdampak pada semakin banyaknya pihak yang
terlibat selain pemerintah dan swasta juga masyarakat, yang dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi sehingga kesejahteraan semakin merata
di seluruh Indonesia, dan pada akhirnya dapat berperan dalam usaha
pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Peranan industri jasa keuangan khususnya perbankan dalam
mendorong perekonomian antara lain melalui fungsi intermediasi dengan
menyalurkan kredit yang bersifat produktif dan/atau kredit lainnya kepada
masyarakat secara menyeluruh.
Menyadari pentingnya Keuangan Inklusif, pemerintah bersama
pemangku kepentingan yang terkait termasuk dari industri keuangan telah
menyusun Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) yang diterbitkan pada
Juni 2012 dan disempurnakan pada Juni 2013.
Strategi Nasional Keuangan Inklusif memiliki 6 (enam) pilar, yaitu:
a. edukasi keuangan;
b. fasilitas keuangan publik;
c. pemetaan informasi keuangan;
d. kebijakan atau peraturan pendukung;
e. fasilitas intermediasi dan distribusi; dan
f. perlindungan konsumen.
Dalam mencapai tujuan akhir SNKI yaitu menciptakan sistem
keuangan yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat dalam
rangka mencapai kesejahteraan ekonomi, pemerintah tentunya harus
mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Sehubungan dengan hal
tersebut, Otoritas Jasa Keuangan bersama dengan Lembaga Jasa Keuangan
akan berpartisipasi aktif dalam pilar edukasi keuangan, kebijakan atau
peraturan pendukung, fasilitas intermediasi dan distribusi, serta
perlindungan konsumen.
Salah satu program dalam pilar SNKI tentang fasilitas intermediasi
dan distribusi adalah penyediaan layanan keuangan tanpa kantor
(branchless banking) yang antara lain dapat dilakukan melalui Layanan
Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai).
Melalui Laku Pandai, Lembaga Jasa Keuangan berperan penting untuk
mendukung SNKI dalam rangka mewujudkan keuangan inklusif.
Laku …
- 3 -
Laku Pandai yang memanfaatkan sarana teknologi informasi seperti
telepon seluler, Electronic Data Capture (EDC) dan/atau internet banking
yang mendukung layanan keuangan oleh Bank melalui Agen, diharapkan
dapat menjangkau masyarakat di daerah terpencil. Dengan pemanfaatan
sarana teknologi informasi tersebut, diharapkan juga dapat mengurangi
biaya terkait untuk melakukan transaksi keuangan, sehingga dapat
menjadi lebih murah bagi masyarakat.
Selanjutnya, Laku Pandai akan menyediakan produk keuangan yang
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat di daerah terpencil dan/atau
berpenghasilan rendah, dengan karakteristik yang sederhana sehingga lebih
mudah dipahami yang diiringi dengan kemudahan dalam pemrosesan
dokumen permohonan dari calon nasabah.
Dengan bertambahnya pengetahuan dan pemahaman mengenai
layanan keuangan diharapkan dapat membantu peningkatan kesadaran
masyarakat mengenai pentingnya pengelolaan keuangan. Pengelolaan
keuangan yang lebih baik dapat meningkatkan penghasilan dan
kesejahteraan masyarakat. Apabila kesadaran ini sudah semakin meluas
dan menguat pada setiap lapisan masyarakat, maka akan mendukung
terwujudnya Keuangan Inklusif di Indonesia.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut dan dalam rangka pelaksanaan
kegiatan Laku Pandai serta untuk memitigasi risiko yang mungkin timbul,
perlu pengaturan tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka
Keuangan Inklusif atau Laku Pandai dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat …
- 4 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penerapan manajemen risiko mengacu pada ketentuan
mengenai penerapan manajemen risiko bagi Bank.
Pasal 4
Huruf a
Termasuk produk tabungan berdasarkan prinsip syariah dengan
akad mudharabah dan/atau wadi’ah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Setoran mencakup setoran pada saat pembukaan rekening
dan/atau setoran tunai selanjutnya.
Huruf d
Tanpa batas minimum saldo rekening berlaku setiap saat.
Huruf e
Batas maksimum saldo rekening dapat disesuaikan oleh
Bank sesuai karakteristik kegiatan perekonomian dan
kemampuan masyarakat di lokasi tempat penyelenggaraan
Laku Pandai.
Huruf …
- 5 -
Huruf f
Pemindahbukuan adalah transaksi pemindahan dana ke
rekening lain pada Bank yang sama.
Transfer keluar adalah transaksi pemindahan dana dari
rekening nasabah di Bank penyelenggara ke rekening
nasabah di Bank lain.
Bank dapat menetapkan batas maksimum transaksi debet
rekening yang lebih sedikit dari Rp5.000.000,00 (lima juta
rupiah) dalam rangka menyesuaikan dengan antara lain
karakteristik
kegiatan perekonomian, kemampuan
masyarakat, di lokasi tempat penyelenggaraan Laku
Pandai.
Huruf g
Kelonggaran batas maksimum transaksi debet rekening
dilakukan untuk memungkinkan tabungan dengan
karakteristik BSA digunakan Bank untuk menyalurkan
kredit atau pembiayaan untuk nasabah mikro pemilik
tabungan tersebut.
Huruf h
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Transaksi transfer masuk adalah transaksi
pemindahan dana ke rekening nasabah di Bank
penyelenggara dari rekening nasabah di Bank lain.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Huruf …
- 6 -
Huruf i
Transfer keluar adalah transaksi pemindahan dana dari
rekening nasabah di Bank penyelenggara ke rekening
nasabah di Bank lain.
Contoh transaksi pembayaran melalui rekening tabungan
antara lain untuk pembayaran listrik, air, dan/atau
telepon.
Contoh biaya lainnya antara lain penggantian kartu rusak
atau hilang.
Huruf j
Bunga tabungan dengan karakteristik BSA dapat
diberikan secara bertingkat kepada nasabah, mulai dari
saldo rekening Rp1,00 (satu rupiah) dengan suku bunga
terendah paling sedikit sama dengan tingkat suku bunga
terendah untuk tabungan reguler pada Bank.
Bagi hasil tabungan di bank umum syariah berdasarkan
akad mudharabah dengan karakteristik BSA diberikan
berdasarkan nisbah bagi hasil yang merupakan
kesepakatan bersama antara bank umum syariah dengan
nasabah dan dituangkan dalam akad pembukaan
rekening.
Bonus tabungan di bank umum syariah berdasarkan akad
wadi’ah dengan karakteristik BSA merupakan kebijakan
internal Bank yang bersifat sukarela (tidak diperjanjikan di
awal).
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (3)
Setiap nasabah yang memiliki tabungan dengan karakteristik
BSA hanya dapat memiliki 1 (satu) rekening tabungan di Bank
yang sama. Dalam hal nasabah sudah memiliki tabungan lain
namun ingin memiliki tabungan dengan karakteristik BSA,
maka tabungan lain tersebut harus ditutup terlebih dahulu.
Ayat …
- 7 -
Ayat (4)
Huruf a
Penetapan nama produk merupakan kebijakan masing-
masing Bank.
Huruf b
Bentuk bukti kepemilikan antara lain dapat berupa buku,
hasil cetak, atau kartu penabung.
Ayat (5)
Huruf a
Dalam hal konfirmasi atau persetujuan belum diberikan
nasabah secara tertulis atau dilakukan melalui media
elektronik, maka perlu diikuti dengan konfirmasi atau
persetujuan secara tertulis.
Huruf b
Dalam hal persetujuan belum diberikan Bank secara
tertulis atau dilakukan melalui media elektronik, maka
perlu diikuti dengan konfirmasi atau persetujuan secara
tertulis.
Ayat (6)
Transaksi tidak termasuk pengkreditan tabungan dengan
karakteristik BSA karena bunga atau bagi hasil dari tabungan
itu sendiri.
Prosedur tindak lanjut untuk rekening tidur (dormant account)
ditetapkan oleh Bank.
Ayat (7)
Penyediaan kartu ATM atau kartu debet kepada nasabah
tabungan dengan karakteristik BSA dimaksudkan untuk
meningkatkan layanan Bank sesuai dengan kebutuhan nasabah.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal …
- 8 -
Pasal 6
Ayat (1)
Informasi tentang kelayakan dan kemampuan debitur dapat
diperoleh dari sumber-sumber informasi di luar aktivitas
rekening tabungan dengan karakteristik BSA.
Kegiatan usaha yang bersifat produktif seperti modal kerja,
investasi barang modal dan pendidikan.
Kegiatan lain antara lain biaya melahirkan, biaya pengobatan
dan/atau biaya pemakaman.
Ayat (2)
Jangka waktu kredit atau pembiayaan antara lain
mempertimbangkan analisis mengenai rencana pengembangan
kegiatan usaha yang diajukan calon debitur,
kondisi/karakteristik usaha calon debitur dan/atau informasi
dari pendamping, kelompok nasabah, dinas atau instansi
terkait. Contoh siklus usaha lebih dari 1 (satu) tahun antara lain
ternak sapi, tanaman kayu, dan tanaman kopi.
Nominal kredit atau pembiayaan ditetapkan Bank antara lain
dengan mempertimbangkan analisis permohonan calon debitur
terkait karakter, kewajaran pembiayaan yang dibutuhkan,
kemampuan pengembalian kredit atau pembiayaan, dan/atau
informasi lain dari pendamping, kelompok nasabah, dinas atau
instansi terkait, tanpa mengutamakan keberadaan agunan
sebagai jaminan tambahan.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf …
- 9 -
Huruf b
Contoh penyedia kebutuhan usaha debitur antara lain
penyedia pupuk dan/atau benih yang diperlukan debitur
untuk kegiatan tanam padi.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Penilaian peringkat profil risiko, tingkat risiko operasional
dan risiko kepatuhan mengacu pada antara lain ketentuan
mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum atau
penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah dan unit
usaha syariah.
Penilaian peringkat profil risiko, tingkat risiko operasional
dan risiko kepatuhan yang digunakan adalah hasil
penilaian oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf c
Wilayah Indonesia Timur dan/atau provinsi Nusa
Tenggara Timur adalah provinsi yang memerlukan Laku
Pandai berdasarkan perbandingan dengan provinsi lain
dengan menggunakan parameter kecukupan jaringan
kantor Bank, persentase daerah tertinggal dan penduduk
miskin, dan kondisi tertentu lainnya.
Wilayah Indonesia Timur mengacu kepada pembagian
wilayah Indonesia berdasarkan zona waktu, meliputi
provinsi Papua, Papua Barat, Maluku dan Maluku Utara.
Huruf …
- 10 -
Huruf d
Layanan mencakup layanan untuk memperoleh informasi,
melakukan komunikasi dan melaksanakan transaksi
perbankan melalui media elektronik.
Yang dimaksud dengan “SMS banking” adalah layanan
informasi atau transaksi perbankan yang dapat diakses
langsung melalui telepon seluler dengan menggunakan
media SMS, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor
berdasarkan modal inti bank umum.
Yang dimaksud dengan “mobile banking” adalah layanan
untuk melakukan transaksi perbankan melalui telepon
seluler,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor
berdasarkan modal inti.
Yang dimaksud dengan “internet banking” adalah layanan
untuk melakukan transaksi perbankan melalui jaringan
internet, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor
berdasarkan modal inti.
Yang dimaksud dengan “host to host” adalah sistem
elektronik terenkripsi yang terhubung secara dua arah dan
real time online diantara dua institusi yang melakukan
kerjasama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Pengaturan ini dimaksudkan untuk mendukung peran Bank yang
dimiliki oleh Pemerintah Daerah dan Bank yang berkantor pusat di
luar provinsi DKI Jakarta dalam meningkatkan layanan keuangan,
pengembangan pembangunan ekonomi, dan pengentasan kemiskinan
di daerahnya.
Huruf …
- 11 -
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Bank yang dimiliki oleh
Pemerintah Daerah” adalah Bank yang sahamnya
mayoritas dimiliki oleh Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten, dan/atau Pemerintah Kota.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 12
Huruf a
Yang dimaksud dengan “modal inti” adalah modal inti
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur
mengenai KPMM dan pemenuhan modal inti BPR atau KPMM
untuk BPRS.
Huruf b
Peringkat tingkat kesehatan mengacu kepada ketentuan yang
mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan BPR atau BPRS.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “NPL” adalah perbandingan kredit non
lancar sebelum dikurangi Penyisihan Pengurangan Aset
Produktif (PPAP) terhadap total kredit.
Yang dimaksud dengan “NPF” adalah perbandingan pembiayaan
non lancar sebelum dikurangi PPAP terhadap total pembiayaan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “Rasio KPMM” adalah rasio KPMM
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai KPMM dan
pemenuhan modal inti BPR atau KPMM untuk BPRS.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “pelanggaran ketentuan BPR atau BPRS
tertentu” antara lain pelanggaran:
1. kewajiban …
- 12 -
1. kewajiban persyaratan anggota Direksi dan anggota Dewan
Komisaris meliputi jumlah, rangkap jabatan, dan hubungan
keluarga;
2. kewajiban memiliki paling sedikit 1 (satu) pemegang saham
dengan persentase kepemilikan saham tertentu; dan/atau
3. kewajiban pemenuhan modal inti minimum.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “BUKU 1” adalah kelompok Bank BUKU
1 sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai kegiatan
usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti bank umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “RBB” adalah rencana bisnis bank
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai rencana
bisnis bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 15
Yang dimaksud dengan pertimbangan tertentu antara lain
ketidaksesuaian dengan karakteristik bisnis Bank, ketidaksiapan
kompetensi sumber daya manusia di Bank, ditengarai akan
menimbulkan persaingan yang tidak sehat, dapat membahayakan
atau menimbulkan risiko yang tinggi bagi Bank, dan/atau tidak
sejalan dengan kepentingan nasional.
Pasal …
- 13 -
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Termasuk sebagai Agen perorangan antara lain
pimpinan/orang di dalam:
1. perusahaan tidak berbadan hukum seperti CV atau
Firma;
2. organisasi informal seperti Gabungan Kelompok Tani;
dan
3. sekolah termasuk pondok pesantren.
Huruf b
Agen berbadan hukum antara lain Perseroan Terbatas,
Perusahaan Daerah, atau Koperasi.
Pasal 17
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Contoh kegiatan tetap lainnya antara lain guru atau pensiunan.
Huruf d
Contoh: Agen dari satu Bank konvensional penyelenggara Laku
Pandai tidak dapat menjadi Agen dari Bank konvensional
penyelenggara Laku Pandai yang lain.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 18
Huruf a
Angka 1
Contoh badan hukum antara lain PT POS Indonesia, PT
Pegadaian (Persero), koperasi, dan pegadaian.
Angka …
- 14 -
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pemindahbukuan” adalah
pemindahan dana dari satu rekening ke rekening lain pada
Bank yang sama.
Yang dimaksud dengan “transfer dana” adalah kegiatan
pemindahan dana dari dan/atau ke rekening nasabah di
Bank penyelenggara ke dan/atau dari rekening nasabah di
Bank lain.
Kegiatan pengecekan saldo dapat termasuk pengecekan
beberapa mutasi transaksi terakhir baik menggunakan
electronic device atau instrument dan/atau hasil printout.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf …
- 15 -
Huruf d
Ketentuan yang berlaku termasuk ketentuan mengenai
sistem pembayaran.
Contoh layanan atau jasa keuangan lain seperti asuransi
mikro dan layanan keuangan digital.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Contoh pengaturan dalam kebijakan Bank:
a. Pengklasifikasian Agen berdasarkan kemampuan antara lain:
1. perbedaan tingkat kemampuan memahami produk-
produk Bank;
2. perbedaan tingkat kemampuan keuangan, dan
menyediakan sejumlah deposit dan/atau jaminan yang
ditempatkan pada Bank untuk kegiatan pelayanan oleh
Agen.
b. Pengklasifikasian Agen berdasarkan jangka waktu kerjasama
yang telah dilakukan dengan Bank misalnya:
1. klasifikasi A apabila Agen baru akan memulai kerjasama
dengan Bank penyelenggara; dan
2. klasifikasi G apabila Agen telah melakukan kerjasama
dengan Bank penyelenggara paling singkat 2 (dua) tahun.
Ayat (7)
Kondisi tertentu antara lain jumlah deposit yang ditempatkan
Agen pada Bank, kemampuan keuangan dan kinerja Agen, serta
kondisi ekonomi masyarakat di sekitar lokasi Agen.
Ayat (8)
Penetapan oleh Bank dapat berbeda antara 1 (satu) Agen dengan
Agen lainnya.
Pasal …
- 16 -
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Dalam menjual produk asuransi mikro yang berdasarkan
perjanjian kerjasama antara Agen dengan perusahaan asuransi
dan/atau perusahaan asuransi syariah, Agen perorangan
dan/atau Agen berbadan hukum bertindak sebagai pemasar
asuransi mikro bukan sebagai Agen Laku Pandai.
Ayat (2)
Contoh produk keuangan lainnya adalah uang elektronik (e-
money) melalui layanan keuangan digital.
Contoh jasa keuangan lainnya adalah penyelenggaraan transfer
dana oleh Agen berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan mengenai transfer dana.
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pertimbangan tertentu antara lain:
1. kemampuan keuangan Agen;
2. perkiraan aktivitas transaksi sesuai karakteristik
masyarakat di sekitar lokasi Agen; dan
3. klasifikasi Agen.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf …
- 17 -
Huruf g
Bank dalam melakukan pemantauan termasuk melakukan
pengecekan ke lokasi Agen untuk memastikan kesesuaian
penyediaan layanan oleh Agen dengan klasifikasi Agen dan
cakupan layanan dalam perjanjian kerjasama.
Frekuensi pemantauan dan pengawasan secara langsung
ditetapkan oleh Bank dengan mempertimbangkan antara
lain faktor keamanan, keyakinan terhadap kredibilitas dan
integritas Agen, hasil analisis pemantauan transaksi Agen,
dan perkembangan kegiatan usaha Agen dan jumlah
deposit.
Huruf h
Pelanggaran antara lain:
1. tidak mematuhi perjanjian kerjasama,
2. melakukan layanan yang tidak termasuk dalam
perjanjian kerjasama, dan
3. melakukan penyimpangan.
Huruf i
Edukasi dan pelatihan mencakup antara lain:
1. manfaat, biaya, dan risiko terkait produk Laku Pandai;
2. prosedur operasi kerja termasuk tata cara penggunaan
electronic device; dan
3. prosedur Customer Due Diligence (CDD).
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Contoh kondisi tertentu antara lain terjadi bencana alam
di tempat kedudukan Agen, kegagalan sistem aplikasi
Bank pada electronic device Agen, atau Agen meninggal
dunia.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh hak dan kewajiban Bank antara lain menerima
laporan dari Agen, melakukan edukasi dan pelatihan
kepada Agen.
Contoh …
- 18 -
Contoh hak dan kewajiban Agen antara lain menerima
pembayaran fee dari Bank, menjaga kerahasiaan data
nasabah, dan menyampaikan laporan kepada Bank.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan jenis “kegiatan usaha” Bank adalah
bank konvensional atau bank syariah.
Ayat (2)
Analisis Bank penyelenggara mencakup antara lain kemampuan
keuangan dan kecukupan infrastruktur pendukung operasional
Agen berbadan hukum yang telah bekerjasama dengan Bank
lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat …
- 19 -
Ayat (4)
Dokumen pendukung antara lain hasil analisis Bank yang
menunjukkan bahwa Agen berbadan hukum masih dapat
memberikan pelayanan dengan baik dan bukti persetujuan dari
Bank lain yang telah bekerjasama sebelumnya dengan Agen
berbadan hukum tersebut.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Di seluruh wilayah Indonesia termasuk Ibukota Negara, Ibukota
Provinsi, Ibukota Kabupaten, dan/atau Kota.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketersediaan layanan keuangan yang belum memadai dalam
lokasi tempat kedudukan calon Agen dapat dilihat antara lain
dari perbandingan antara jumlah nasabah Bank dengan jumlah
penduduk dan tingkat kepadatan keberadaan jaringan kantor
Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Pertimbangan tertentu antara lain kondisi wilayah operasional,
kemampuan Agen, budaya dan tingkat pemahaman teknologi
masyarakat, serta electronic device atau instrument yang dimiliki
atau dapat digunakan oleh nasabah dalam bertransaksi.
Contoh …
- 20 -
Contoh electronic device antara lain komputer, laptop, telepon
selular (handphone), dan/atau Electronic Data Capture (EDC).
Contoh instrument antara lain kartu ATM.
Ayat (2)
Sistem aplikasi dalam penyelenggaraan Laku Pandai merupakan
sistem untuk kepentingan pelayanan nasabah dan pemantauan
Agen oleh Bank. Pelayanan nasabah termasuk proses
pembukaan dan penutupan rekening tabungan dengan
karakteristik BSA. Kepentingan pemantauan antara lain untuk
rekapitulasi transaksi pada akhir hari.
Pasal 27
Ayat (1)
Transaksi meliputi antara lain penyetoran dan penarikan tunai,
pemindahbukuan, pembayaran, transfer dana, pengecekan
saldo, dan/atau penyetoran hasil penagihan atau penerimaan
pembayaran angsuran atau pelunasan pokok.
Ayat (2)
Contoh bukti transaksi antara lain buku tabungan, lembar
statement, SMS notifikasi atau lembar print out bukti transaksi.
Pasal 28
Yang termasuk pihak lain yang terkait dengan teknologi informasi dan
komunikasi antara lain perusahaan penyedia jasa teknologi informasi
dan/atau perusahaan telekomunikasi.
Pasal 29
Interoperability adalah:
a. kemampuan perangkat lunak atau perangkat keras pada berbagai
jenis mesin dari banyak vendor untuk saling berkomunikasi;
b. kemampuan untuk saling bertukar dan menggunakan informasi
(biasanya dalam suatu jaringan besar yang terdiri beberapa
jaringan lokal yang bervariasi).
Pasal …
- 21 -
Pasal 30
Ayat (1)
Prosedur CDD perlu dilakukan dalam rangka mengendalikan
risiko terhadap potensi terjadinya pencucian uang dan/atau
pendanaan terorisme. Mengingat Laku Pandai merupakan salah
satu dari program SNKI dan hanya melayani transaksi dalam
jumlah kecil maka prosedur CDD dapat disederhanakan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “PEP” adalah orang yang memiliki
atau pernah memiliki kewenangan publik sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan mengenai penerapan program
Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme bagi Bank.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “dokumen identitas” adalah Kartu Tanda
Penduduk (KTP) atau Surat Izin Mengemudi (SIM).
Yang dimaksud dengan “dokumen lainnya sebagai pengganti
dokumen identitas” antara lain:
a. kartu pengenal yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti
kartu peserta program yang dikeluarkan oleh pemerintah;
b. dokumen identitas dan surat referensi dari nasabah lain
yang mengenal profil calon nasabah;
c. surat keterangan dari kelurahan atau kepala desa dimana
calon nasabah berdomisili; atau
d. kartu tanda pelajar bagi calon nasabah yang belum
memenuhi syarat untuk memiliki KTP disertai dengan
dokumen …
- 22 -
dokumen identitas dan surat persetujuan dari orang tua
atau pihak lain yang bertanggung jawab terhadap calon
nasabah tersebut.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Prosedur CDD dapat dilaksanakan di kantor Bank dan/atau
lokasi Agen.
Pasal 33
Ayat (1)
Prinsip-prinsip pengendalian pengamanan data nasabah dan
transaksi e-banking pada sistem elektronik mencakup:
a. kerahasiaan (confidentiality);
b. integritas (integrity);
c. ketersediaan (availability);
d. keaslian (authentication);
e. tidak dapat diingkari (non repudiation);
f. pengendalian otorisasi dalam sistem, database, dan aplikasi
(authorisation of control);
g. pemisahan tugas dan tanggung jawab (segregation of duties);
dan
h. pemeliharaan jejak audit (maintenance of audit trails).
Ayat (2)
Contoh faktor keaslian (factor authentication) yaitu what you
know (apa yang anda tahu), menunjukkan antara lain Personal
Identification Number (PIN) dan password, what you have (apa
yang anda punya), menunjukkan antara lain kartu magnetis,
kartu ber-chip, token, digital signature, dan something you are
(ciri khas anda) menunjukkan antara lain biometric, sidik jari,
dan retina.
Ayat …
- 23 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “messaging security” dan “end to end
encryption” adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
mengenai penerapan manajemen risiko dalam penggunaan
teknologi informasi bagi Bank.
Pasal 34
Ayat (1)
Prinsip perlindungan konsumen mencakup:
a. transparansi;
b. perlakuan yang adil;
c. keandalan;
d. kerahasiaan dan keamanan data/informasi konsumen;
e. penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa
konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.
Ayat (2)
Ketentuan yang berlaku antara lain ketentuan mengenai
perlindungan konsumen.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Laporan perkembangan penyelenggaraan Laku Pandai antara
lain memuat:
a. data kuantitatif terkait produk dan kegiatan;
b. data penolakan pembukaan rekening dan transaksi;
c. data Agen berdasarkan klasifikasi dan perkembangannya;
d. data pelanggaran yang dilakukan oleh Agen; dan
e. informasi kendala dan tindak lanjut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat …
- 24 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pertimbangan tertentu antara lain:
a. Agen berupa badan hukum dalam proses menuju likuidasi
atau dipailitkan oleh pengadilan, dan/atau
b. terdapat pelanggaran terhadap ketentuan rahasia Bank
dan/atau kewajiban merahasiakan data pribadi nasabah.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal …
- 25 -
Pasal 47
Hal-hal yang akan diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan
antara lain:
a. teknis pelaksanaan karakteristik tabungan dengan BSA;
b. dokumen pendukung untuk pengajuan permohonan
penyelenggaraan Laku Pandai;
c. prosedur dan mekanisme kerjasama Bank dengan Agen, serta
teknis penyelenggaraan Laku Pandai oleh Agen;
d. format laporan perkembangan pelaksanaan kegiatan Laku Pandai;
e. pemenuhan kewajiban Bank secara bertahap dalam penyaluran
kredit atau pembiayaan produktif kepada nasabah mikro.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5628
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 19/POJK.03/2014 </reg_id>
<reg_title> LAYANAN KEUANGAN TANPA KANTOR DALAM RANGKA KEUANGAN INKLUSIF </reg_title>
<set_date> 18 November 2014 </set_date>
<effective_date> 19 November 2014 </effective_date>
<issued_date> 19 November 2014 </issued_date>
<related_reg> '40/UU/2014', '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 32 /POJK.03/2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 6/POJK.03/2015 TENTANG TRANSPARANSI
DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan disiplin pasar
(market discipline) dan sejalan dengan perkembangan
standar internasional, perlu melakukan penyempurnaan
terhadap ketentuan mengenai transparansi dan publikasi
laporan Bank;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.03/2015 tentang
Transparansi dan Publikasi Laporan Bank;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
- 2 -
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
4. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
6/POJK.03/2015 tentang Transparansi dan Publikasi
Laporan Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5687);
5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
42/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio
Kecukupan Likuiditas (Liquidity Coverage Ratio) bagi Bank
Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 369, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5809);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 6/POJK.03/2015 TENTANG TRANSPARANSI DAN
PUBLIKASI LAPORAN BANK.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 6/POJK.03/2015 tentang Transparansi dan Publikasi
Laporan Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5687) diubah sebagai berikut:
- 3 -
1. Ketentuan ayat (2) Pasal 3 diubah sehingga Pasal 3
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Laporan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 terdiri atas:
a. Laporan Publikasi Bulanan;
b. Laporan Publikasi Triwulanan;
c. Laporan Publikasi Tahunan; dan
d. Laporan Publikasi Lain.
(2) Kelengkapan dan kebenaran isi Laporan Publikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris Bank.
2. Ketentuan ayat (3) Pasal 11 diubah sehingga Pasal 11
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Bank wajib menyampaikan Laporan Publikasi Bulanan
secara online melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Dalam hal penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum dapat dilakukan, Bank
wajib menyampaikan Laporan Publikasi Bulanan secara
online melalui sistem Laporan Kantor Pusat Bank
Umum (LKPBU).
(3) Penyampaian Laporan Publikasi Bulanan secara online
melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan atau
sistem LKPBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dilakukan sesuai tata cara, format, dan
jangka waktu dalam ketentuan mengenai sistem
pelaporan Otoritas Jasa Keuangan atau LKPBU.
- 4 -
3. Ketentuan ayat (1) dan ayat (3) Pasal 13 diubah sehingga
Pasal 13 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Laporan Publikasi Triwulanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) meliputi:
a.
b.
c.
laporan keuangan;
informasi kinerja keuangan;
informasi susunan dan komposisi Pemegang
Saham, susunan Direksi dan Dewan Komisaris
serta susunan Dewan Pengawas Syariah bagi
Bank Umum Syariah; dan
d.
informasi lain yang ditentukan oleh Otoritas
Jasa Keuangan.
(2) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a terdiri atas:
a. Laporan Posisi Keuangan (Neraca);
b. Laporan Laba Rugi dan Penghasilan
Komprehensif Lain; dan
c. Laporan Komitmen dan Kontinjensi.
(3) Informasi kinerja keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM);
b. jumlah dan kualitas aset produktif serta
Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN);
c. rasio keuangan Bank; dan
d. transaksi spot dan transaksi derivatif.
(4) Jumlah dan kualitas aset produktif serta CKPN
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b,
dikelompokkan berdasarkan informasi:
a. instrumen keuangan;
b. penyediaan dana kepada Pihak Terkait;
c. kredit atau pembiayaan kepada debitur atau
nasabah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UMKM);
- 5 -
d. kredit atau pembiayaan yang memerlukan
perhatian khusus; dan
e. Penyisihan Penghapusan Aset (PPA) yang wajib
dibentuk berdasarkan instrumen keuangan.
4. Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 13A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13A
Bank wajib menambahkan informasi kuantitatif eksposur
risiko yang dihadapi Bank pada Laporan Publikasi
Triwulanan posisi akhir bulan Juni.
5. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
(1) Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 3
dan BUKU 4, wajib menambahkan informasi
mengenai pengungkapan permodalan sesuai
kerangka Basel pada Laporan Publikasi Triwulanan.
(2) Pengungkapan permodalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), paling sedikit meliputi:
a. Perhitungan Permodalan;
b. Rekonsiliasi Permodalan; dan
c. Rincian Fitur Instrumen Permodalan.
6. Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 15A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15A
(1) Bank yang diwajibkan menyusun dan
mempublikasikan laporan rasio kecukupan likuiditas
(liquidity coverage ratio), yang selanjutnya disingkat
LCR, sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan mengenai kewajiban pemenuhan
rasio kecukupan likuiditas (liquidity coverage ratio)
- 6 -
bagi Bank Umum, wajib menambahkan informasi
mengenai pengungkapan LCR pada Laporan
Publikasi Triwulanan.
(2) Pengungkapan mengenai LCR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. informasi kuantitatif berupa perhitungan dan
nilai LCR; dan
b. informasi kualitatif yang menjelaskan
perhitungan dan nilai LCR sebagaimana
dimaksud dalam huruf a.
(3) Format pengungkapan mengenai LCR sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan mengenai
transparansi dan publikasi laporan bank umum
konvensional.
7. Ketentuan ayat (2) dan ayat (5) Pasal 18 diubah sehingga
Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Bank wajib mengumumkan Laporan Publikasi
Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
Pasal 14, dan Pasal 17 pada:
a. paling sedikit 1 (satu) surat kabar harian cetak
berbahasa Indonesia yang memiliki peredaran
luas di tempat kedudukan kantor pusat Bank
atau di tempat kedudukan kantor cabang dari
Bank yang berkedudukan di luar negeri; dan
b. Situs Web Bank.
(2) Bank wajib mengumumkan informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13A, Pasal 15, dan Pasal 15A
pada Situs Web Bank.
(3) Pengumuman Laporan Publikasi Triwulanan pada
surat kabar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a ditandatangani paling sedikit oleh Direktur
Utama dan 1 (satu) orang anggota Direksi Bank.
- 7 -
(4) Dalam hal Direktur Utama sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) berhalangan, anggota Direksi lain yang
menjalankan fungsi sebagai Direktur Utama
menandatangani Laporan Publikasi Triwulanan.
(5) Bank wajib memelihara pengumuman Laporan
Publikasi Triwulanan pada Situs Web Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan
ayat (2) paling sedikit untuk 5 (lima) Tahun Buku
terakhir.
(6) Bank wajib mencantumkan nama Kantor Akuntan
Publik yang melakukan audit laporan keuangan
tahunan berikut nama Akuntan Publik yang
bertanggung jawab dalam audit (partner in charge)
disertai dengan opini yang diberikan pada
pengumuman Laporan Publikasi Triwulanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk posisi
akhir bulan Desember.
8. Ketentuan ayat (3) Pasal 20 diubah sehingga Pasal 20
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
(1) Bank wajib menyampaikan Laporan Publikasi
Triwulanan secara online melalui sistem pelaporan
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam hal penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum dapat dilakukan, Bank
wajib menyampaikan Laporan Publikasi Triwulanan
secara online melalui sistem Laporan Kantor Pusat
Bank Umum (LKPBU).
(3) Penyampaian Laporan Publikasi Triwulanan secara
online melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa
Keuangan atau sistem LKPBU sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai
tata cara, format, dan jangka waktu dalam ketentuan
mengenai sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan
atau LKPBU.
- 8 -
9. Ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) Pasal 24 diubah
serta ditambahkan 2 (dua) ayat baru, yakni ayat (5) dan
ayat (6) sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24
(1) Laporan Publikasi Tahunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 paling sedikit meliputi:
a.
b.
c.
informasi umum;
laporan keuangan;
informasi kinerja keuangan;
d. pengungkapan permodalan dan praktik
manajemen risiko yang diterapkan Bank, paling
sedikit meliputi uraian jenis risiko, potensi
kerugian yang dihadapi Bank, dan mitigasi risiko
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang
mengatur mengenai permodalan dan manajemen
risiko;
e. pengungkapan lain sebagaimana diatur dalam
standar akuntansi keuangan; dan
f.
informasi lain yang ditentukan oleh Otoritas
Jasa Keuangan.
(2) Informasi umum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a paling sedikit terdiri atas:
a. susunan Direksi, Dewan Komisaris, dan Pejabat
Eksekutif Bank serta susunan Dewan Pengawas
Syariah bagi Bank Umum Syariah;
b. susunan dan komposisi Pemegang Saham;
c. perkembangan usaha Bank dan kelompok usaha
Bank termasuk apabila ada pengembangan
usaha Unit Usaha Syariah (UUS);
d. strategi dan kebijakan yang ditetapkan oleh
manajemen Bank, termasuk untuk UUS apabila
Bank memiliki UUS; dan
e.
laporan manajemen yang memuat informasi
mengenai pengelolaan Bank, termasuk untuk
UUS apabila Bank memiliki UUS.
- 9 -
(3) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b paling sedikit terdiri atas:
a. Laporan Posisi Keuangan (Neraca);
b. Laporan Laba Rugi dan Penghasilan
Komprehensif Lain;
c. Laporan Perubahan Ekuitas;
d. Laporan Arus Kas; dan
e. Catatan atas Laporan Keuangan, termasuk
informasi mengenai komitmen dan kontinjensi.
(4) Informasi kinerja keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c terdiri atas:
a. perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM);
b.
jumlah dan kualitas aset produktif serta
Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN),
yang paling sedikit memberikan informasi
pengelompokan:
1)
instrumen keuangan;
2) penyediaan dana kepada Pihak Terkait;
3) kredit atau pembiayaan kepada debitur
atau nasabah Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM);
4) kredit atau pembiayaan yang memerlukan
perhatian khusus; dan
5) Penyisihan Penghapusan Aset (PPA) yang
wajib dibentuk berdasarkan instrumen
keuangan.
c.
rasio keuangan Bank; dan
d. transaksi spot dan transaksi derivatif.
(5) Pengungkapan eksposur risiko dan hal terkait lainnya
yang diterapkan Bank sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d wajib diumumkan dalam Situs Web
Bank secara triwulanan, dalam hal terdapat
perubahan informasi yang cenderung bersifat cepat
(prone to rapid change).
- 10 -
(6) Tata cara pelaporan serta sanksi terhadap
pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) mengacu pada tata cara pelaporan serta
sanksi atas Laporan Publikasi Triwulanan.
10. Ketentuan huruf e Pasal 26 diubah dan ditambahkan
1 (satu) huruf baru, yakni huruf f sehingga Pasal 26
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26
Bank yang merupakan bagian dari suatu kelompok usaha
dan/atau memiliki Entitas Anak, wajib menambahkan
Laporan Publikasi Tahunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 dengan informasi yang paling sedikit meliputi:
a. Struktur kelompok usaha Bank;
b. Transaksi antara Bank dengan Pihak-Pihak Berelasi;
c. Transaksi dengan Pihak-Pihak Berelasi yang
dilakukan oleh setiap entitas dalam kelompok usaha
Bank yang bergerak di bidang keuangan;
d. Penyediaan dana, komitmen, dan fasilitas lain yang
dapat dipersamakan dengan itu dari setiap entitas
yang berada dalam satu kelompok usaha dengan
Bank kepada debitur dan/atau pihak-pihak yang
telah memperoleh penyediaan dana dari Bank;
e. Pengungkapan
secara konsolidasi mengenai
permodalan dan praktik manajemen risiko yang
diterapkan Bank, paling sedikit meliputi uraian jenis
risiko, potensi kerugian yang dihadapi Bank, dan
mitigasi risiko sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan yang mengatur mengenai permodalan dan
manajemen risiko; dan
f. Adanya larangan, batasan dan/atau hambatan
signifikan lainnya untuk melakukan transfer dana
atau dalam rangka pemenuhan modal yang
dipersyaratkan oleh Otoritas (regulatory capital)
antara Bank dengan entitas lain dalam satu kelompok
usaha.
- 11 -
11. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 33
(1) Laporan Publikasi Lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d meliputi:
a. Laporan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK);
b. Laporan Informasi dan/atau Fakta Material;
dan;
c. Laporan publikasi lainnya, apabila diperlukan
oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan industri
perbankan.
(2) Bank mengumumkan laporan publikasi lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c secara
berkala sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
12. Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 34A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 34A
(1) Bank wajib:
a. mengumumkan Laporan Informasi dan/atau
Fakta Material sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (1) huruf b paling sedikit pada
Situs Web Bank; dan
b. menyampaikan Laporan Informasi dan/atau
Fakta Material sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (1) huruf b kepada Otoritas Jasa
Keuangan,
dengan segera dalam jangka waktu paling lambat
2 (dua) hari kerja setelah adanya informasi dan/atau
fakta material, kecuali ditentukan lain dalam
peraturan perundang-undangan.
- 12 -
(2) Penyampaian Laporan Informasi dan/atau Fakta
Material sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b ditandatangani paling sedikit oleh
Direktur Utama dan 1 (satu) orang anggota Direksi
Bank.
(3) Dalam hal Direktur Utama sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) berhalangan, anggota Direksi lain yang
menjalankan fungsi sebagai Direktur Utama
menandatangani Laporan Informasi dan/atau Fakta
Material.
13. Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 1 (satu) pasal
yang berisi penjelasan atas Pasal 10 ayat (1) huruf d
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
42/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio
Kecukupan Likuiditas (Liquidity Coverage Ratio) bagi Bank
Umum, yakni Pasal 36A sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 36A
Surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat
dan Bank Indonesia dalam valuta asing yang dapat
diperhitungkan sebagai High Quality Liquid Asset (HQLA)
Level 1 paling tinggi sebesar kebutuhan arus kas keluar
bersih (net cash outflow) dalam valuta asing dimaksud.
14. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 44 diubah serta
ditambahkan 1 (satu) ayat baru, yakni ayat (3) sehingga
Pasal 44 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 44
(1) Bank yang terlambat mengumumkan Laporan SBDK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2),
dikenakan
sanksi
berupa denda
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari.
sebesar
- 13 -
(2) Bank yang tidak mengumumkan Laporan SBDK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3),
dikenakan sanksi
berupa denda sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Bank yang:
a. tidak mengumumkan informasi dan/atau fakta
material sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34A ayat (1) huruf a; dan/atau
b. tidak menyampaikan informasi dan/atau fakta
material sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34A ayat (1) huruf b dan ayat (2),
dikenakan sanksi berupa:
1) teguran tertulis;
2) penurunan tingkat kesehatan Bank;
3) pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau
4) pencantuman Pemegang Saham, anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau Pejabat
Eksekutif Bank dalam daftar pihak-pihak yang
dilarang menjadi:
a) Pemegang Saham Pengendali atau pemilik
Bank; dan/atau
b) anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris,
atau Pejabat Eksekutif Bank.
15. Di antara Pasal 48 dan Pasal 49 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 48A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 48A
(1) Kewajiban pengungkapan informasi kuantitatif
eksposur risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13A, pertama kali dilakukan untuk laporan posisi
akhir bulan Juni 2017.
(2) Kewajiban pengungkapan informasi kuantitatif dan
kualitatif LCR sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15A, pertama kali dilakukan untuk laporan posisi
akhir bulan September 2016.
- 14 -
16. Di antara Pasal 51 dan Pasal 52 disisipkan 2 (dua) pasal,
yakni Pasal 51A dan Pasal 51B sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 51A
Pasal 58 ayat (2) dan Lampiran III Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 42/POJK.03/2015 tentang Kewajiban
Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas (Liquidity
Coverage Ratio) bagi Bank Umum dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku sejak laporan posisi akhir bulan September
2016.
Pasal 51B
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, seluruh ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 42/POJK.03/2015 tentang Kewajiban
Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas (Liquidity
Coverage Ratio) bagi Bank Umum dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
- 15 -
Pasal II
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Agustus 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Agustus 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 170
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 32 /POJK.03/2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 6/POJK.03/2015 TENTANG TRANSPARANSI DAN
PUBLIKASI LAPORAN BANK
I. UMUM
Sejalan dengan perkembangan penerapan kerangka Basel, Bank
dituntut untuk mengungkapkan jenis risiko dan potensi kerugian
(risk exposures), praktik manajemen risiko yang diterapkan oleh Bank,
serta komponen permodalan yang lebih rinci secara tepat waktu dan
lengkap.
Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan penyempurnaan
terhadap ketentuan transparansi dan publikasi laporan Bank antara lain
penambahan cakupan laporan, frekuensi pengungkapan eksposur risiko
dan penerapan manajemen risiko serta penyesuaian komponen
permodalan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 3
Cukup jelas.
- 2 -
Angka 2
Pasal 11
Ayat (1)
Kewajiban penyampaian Laporan Publikasi Bulanan
secara online melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa
Keuangan dilaksanakan setelah sistem pelaporan Otoritas
Jasa Keuangan tersedia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 13
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 13A
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 15
Ayat (1)
Pengungkapan permodalan sesuai kerangka Basel
antara lain mengacu pada dokumen Composition of
Capital Disclosure Requirements yang diterbitkan oleh
Basel Committee on Banking Supervision.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 15A
Ayat (1)
Pengungkapan LCR mengacu pada dokumen Liquidity
Coverage Ratio Disclosure Standards yang diterbitkan
oleh Basel Committee on Banking Supervision.
- 3 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Pengumuman pada surat kabar harian cetak
berbahasa Indonesia yang memiliki peredaran luas
dimaksudkan agar informasi dalam Laporan
Publikasi Triwulanan dapat diketahui oleh
masyarakat.
Yang dimaksud dengan “surat kabar harian cetak
berbahasa Indonesia yang memiliki peredaran
luas” adalah:
1. paling sedikit surat kabar yang memiliki
peredaran secara nasional bagi Bank yang:
a) berkantor pusat di Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang atau Bekasi;
b) berkantor pusat di luar Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang atau Bekasi, namun
memiliki cabang di luar wilayah kantor
pusatnya; atau
c)
telah melakukan penawaran umum Efek
Bersifat Utang dan/atau Efek Bersifat
Ekuitas;
2. paling sedikit surat kabar lokal yang memiliki
peredaran luas di suatu daerah, khususnya
bagi Bank yang berkantor pusat di luar
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang atau
Bekasi, dan tidak memiliki cabang di luar
wilayah kantor pusatnya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”Situs Web Bank” adalah
Situs Web berdomain Indonesia yang bukan
- 4 -
merupakan bagian dari Situs Web Entitas Induk
atau kelompok usaha Bank.
Pengumuman laporan pada Situs Web Bank
ditempatkan pada halaman yang mudah diakses,
misalnya dengan memberikan tautan khusus
untuk laporan publikasi pada halaman depan Situs
Web Bank.
Format laporan publikasi dalam bentuk yang
memungkinkan bagi pengguna untuk diolah lebih
lanjut, dengan tetap memperhatikan aspek
keamanan data.
Ayat (2)
Pengumuman informasi pada Situs Web Bank
ditempatkan dalam tautan khusus, misalnya dengan
judul:
1.
“Informasi kuantitatif eksposur risiko” untuk
pengungkapan informasi kuantitatif eksposur
risiko yang dihadapi Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13A.
2. “Pengungkapan Permodalan sesuai kerangka
Basel”
untuk pengungkapan permodalan
3.
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
“Liquidity Coverage Ratio
(LCR)”
untuk
pengungkapan LCR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15A.
Ayat (3)
Penandatanganan oleh anggota Direksi Bank dilakukan
dengan mencantumkan nama secara jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “fungsi sebagai Direktur Utama”
adalah fungsi yang dijalankan oleh anggota Direksi, baik
karena fungsi tersebut sudah tercantum dalam
Anggaran Dasar Bank, surat kuasa khusus untuk
menjalankan fungsi tersebut, atau dokumen lain yang
sesuai peraturan perundang-undangan.
- 5 -
Ayat (5)
Contoh:
Pada tanggal 31 Maret 2020, di Situs Web Bank wajib
dipelihara Laporan Publikasi Triwulanan paling sedikit
sejak periode akhir bulan Maret 2015.
Ketentuan ini tidak berlaku bagi Bank yang baru
beroperasi atau Bank baru yang merupakan hasil
penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi),
pemisahan (spin off), atau konversi kurang dari 5 (lima)
tahun.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 20
Ayat (1)
Kewajiban penyampaian Laporan Publikasi Triwulanan
secara online melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa
Keuangan dilaksanakan setelah sistem pelaporan
Otoritas Jasa Keuangan tersedia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 6 -
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “hal terkait lainnya” antara lain
ringkasan umum dari kebijakan dan sasaran penerapan
manajemen risiko, serta sistem pelaporan manajemen
risiko yang digunakan.
Perubahan informasi yang cenderung bersifat cepat
(prone to rapid change) antara lain terkait perubahan
kondisi ekonomi, teknologi, regulasi, dan kebijakan
intern Bank/kelompok usaha.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 26
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Transaksi dengan Pihak-Pihak Berelasi adalah
sebagaimana dimaksud dalam standar akuntansi
keuangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 33
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Laporan Suku Bunga
Dasar Kredit (SBDK)” adalah laporan yang
menyajikan perhitungan suku bunga dasar kredit
yang antara lain mencakup harga pokok dana
- 7 -
untuk kredit (HPDK), biaya overhead, dan marjin
keuntungan (profit margin) yang ditetapkan Bank
dalam kegiatan perkreditan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Laporan Informasi
dan/atau Fakta Material” adalah laporan yang
memuat informasi dan/atau fakta penting dan
relevan mengenai peristiwa, kejadian, atau fakta
yang dapat mempengaruhi keputusan pihak-pihak
yang berkepentingan atas informasi dan/atau fakta
dimaksud.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 34A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penandatanganan oleh anggota Direksi Bank dilakukan
dengan mencantumkan nama secara jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “fungsi sebagai Direktur Utama”
adalah fungsi yang dijalankan oleh anggota Direksi, baik
karena fungsi tersebut sudah tercantum dalam
Anggaran Dasar Bank, surat kuasa khusus untuk
menjalankan fungsi tersebut, atau dokumen lain yang
sesuai peraturan perundang-undangan.
Angka 13
Pasal 36A
Cukup jelas.
- 8 -
Angka 14
Pasal 44
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 48A
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 51A
Cukup jelas.
Pasal 51B
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5917
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 32/POJK.03/2016 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 6/POJK.03/2015 TENTANG TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK </reg_title>
<set_date> 8 Agustus 2016 </set_date>
<effective_date> 12 Agustus 2016 </effective_date>
<issued_date> 12 Agustus 2016 </issued_date>
<changed_reg> '6/POJK.03/2015' </changed_reg>
<replaced_reg> '42/POJK.03/2015 | Pasal 58 ayat (2) dan Lampiran III' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2008', '21/UU/2011', '6/POJK.03/2015', '42/POJK.03/2015' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 14 Pasal 44' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 42 /POJK.04/2016
TENTANG
LAPORAN BURSA EFEK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor Pasar Modal termasuk terkait dengan pengaturan
mengenai Laporan Bursa Efek beralih dari Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke
Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan
kepastian mengenai pengaturan terhadap laporan Bursa
Efek, peraturan mengenai laporan Bursa Efek yang
diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa
Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan
Bursa Efek;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
LAPORAN BURSA EFEK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud
dengan:
1. Bursa Efek adalah Pihak yang menyelenggarakan dan
menyediakan sistem dan/atau sarana untuk
mempertemukan penawaran jual dan beli Efek Pihak-
Pihak lain dengan tujuan memperdagangkan Efek di
antara mereka.
2. Transaksi Bursa adalah kontrak yang dibuat oleh
Anggota Bursa Efek sesuai dengan persyaratan yang
ditentukan oleh Bursa Efek mengenai jual beli Efek,
pinjam meminjam Efek, atau kontrak lain mengenai Efek
atau harga Efek.
BAB II
JENIS LAPORAN
Pasal 2
Bursa Efek wajib menyampaikan laporan kegiatan kepada
Otoritas Jasa Keuangan yang meliputi:
a. laporan harian mengenai Transaksi Bursa;
- 3 -
b. laporan bulanan yang memuat:
1)
rekapitulasi kegiatan selama periode tersebut
dilengkapi dengan statistik perkembangan kurs dan
volume perdagangan;
2) laporan mengenai Emiten yang Efek-nya tercatat di
Bursa Efek; dan
3) kegiatan Anggota Bursa Efek;
c. laporan mengenai pembekuan atau pembatalan
pencatatan Efek termasuk pencatatannya kembali, Efek
yang dibekukan perdagangannya, dan pencabutan
pembekuan perdagangannya;
d. laporan keuangan tengah tahunan dan laporan keuangan
tahunan yang telah diaudit oleh Akuntan yang terdaftar
di Otoritas Jasa Keuangan disertai pendapat dari
Akuntan tersebut;
e. laporan realisasi anggaran dan penggunaan laba;
f.
laporan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham;
g. laporan mengenai perubahan status Anggota Bursa Efek
dan Wakil Perusahaan Efek;
h. laporan mengenai pengenaan sanksi oleh Bursa Efek
terhadap Anggota Bursa Efek dan/atau Wakil
Perusahaan Efek di Bursa Efek; dan
i.
laporan mengenai peristiwa khusus seperti kesulitan
keuangan Anggota Bursa Efek.
BAB III
PENYAMPAIAN LAPORAN BURSA EFEK
Bagian Kesatu
Dokumen Elektronik
Pasal 3
Penyampaian laporan kegiatan oleh Bursa Efek kepada
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 dapat dilakukan secara elektronik.
- 4 -
Pasal 4
Penerimaan Otoritas Jasa Keuangan terhadap laporan
kegiatan yang disampaikan oleh Bursa Efek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 dihitung berdasarkan
waktu diterimanya laporan tersebut oleh Otoritas Jasa
Keuangan dalam bentuk dokumen cetak atau dalam bentuk
dokumen elektronik.
Bagian Kedua
Jangka Waktu Penyampaian dan Pengumuman Laporan
Pasal 5
Laporan harian Transaksi Bursa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf a wajib disampaikan kepada Otoritas
Jasa Keuangan paling lambat pada hari kerja berikutnya.
Pasal 6
(1) Laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf b meliputi jumlah dan jenis Efek yang tercatat,
jumlah Emiten yang tercatat, pencatatan Efek baru,
keterangan lain yang diminta oleh Otoritas Jasa
Keuangan yang berkaitan dengan fungsinya sebagai
Bursa Efek.
(2) Laporan bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat pada hari ke-12 (dua belas) bulan berikutnya.
Pasal 7
Laporan mengenai pembekuan atau pembatalan pencatatan
Efek termasuk pencatatannya kembali dan laporan mengenai
Efek yang dibekukan perdagangannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf c wajib disampaikan kepada Otoritas
Jasa Keuangan paling lambat pada hari kerja berikutnya.
Pasal 8
(1) Laporan keuangan tengah tahunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf d wajib disampaikan
- 5 -
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 60 (enam
puluh) hari sejak tanggal akhir periode.
(2) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf d wajib disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 90 (sembilan
puluh) hari sejak tanggal akhir tahun buku.
(3) Laporan keuangan tengah tahunan dan laporan
keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) wajib diumumkan paling sedikit dalam 2
(dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang 1
(satu) diantaranya berperedaran nasional, paling lambat
30 (tiga puluh) hari sejak tanggal laporan Akuntan yang
bersangkutan.
(4) Dalam hal Akuntan memberikan pendapat selain Wajar
Tanpa Pengecualian terhadap laporan keuangan tengah
tahunan dan laporan keuangan tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Otoritas Jasa
Keuangan dapat memanggil anggota direksi dan/atau
melakukan pemeriksaan untuk memperoleh keterangan
lebih lanjut.
Pasal 9
Laporan realisasi anggaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf e wajib disusun secara triwulanan dan
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan melalui dewan
komisaris, dengan ketentuan bahwa laporan tersebut
disampaikan secara kumulatif triwulanan dan diterima oleh
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada hari ke-12 (dua
belas) setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan.
Pasal 10
Laporan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2
(dua) hari kerja setelah tanggal penyelenggaraan Rapat Umum
Pemegang Saham Bursa Efek.
- 6 -
Pasal 11
Laporan mengenai perubahan status anggota Bursa Efek dan
Wakil Perusahaan Efek di Bursa Efek sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf g wajib disampaikan kepada Otoritas
Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari setelah adanya
perubahan tersebut.
Pasal 12
Laporan mengenai pengenaan sanksi oleh Bursa Efek
terhadap Anggota Bursa Efek dan/atau Wakil Perusahaan
Efek di Bursa Efek dan laporan mengenai peristiwa khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf h dan huruf i
wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat pada hari berikutnya.
Pasal 13
Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9,
Pasal 11, dan Pasal 12 jatuh pada hari libur, laporan tersebut
wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya.
BAB IV
KETENTUAN SANKSI
Pasal 14
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
- 7 -
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 15
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 16
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 kepada masyarakat.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor Kep-64/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang
Laporan Bursa Efek, beserta Peraturan Nomor X.A.1 yang
merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
- 8 -
Pasal 18
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 5967
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 42 /POJK.04/2016
TENTANG
LAPORAN BURSA EFEK
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
untuk mengganti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai Laporan Bursa Efek yaitu Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-64/PM/1996 tanggal
17 Januari 1996 tentang Laporan Bursa Efek beserta Peraturan Nomor
X.A.1 yang merupakan lampirannya menjadi Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Laporan Bursa Efek.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5967
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 42/POJK.04/2016 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN BURSA EFEK </reg_title>
<set_date> 2 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 7 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 7 Desember 2016 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-64/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-64/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor X.A.1' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 28 /POJK.04/2016
TENTANG
SISTEM PENGELOLAAN INVESTASI TERPADU
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka efisiensi kegiatan pengelolaan
investasi di Pasar Modal Indonesia, diperlukan suatu
sistem yang efisien yang didukung dengan terintegrasinya
data transaksi produk investasi dan data transaksi aset
dasar industri pengelolaan investasi serta terciptanya
sentralisasi data investor di industri pengelolaan
investasi dalam suatu sistem pengelolaan investasi yang
terpadu;
b. bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Sistem Pengelolaan
Investasi Terpadu;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
- 2 -
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG SISTEM
PENGELOLAAN INVESTASI TERPADU.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Sistem Pengelolaan Investasi Terpadu yang selanjutnya
disebut S-INVEST adalah sistem atau sarana elektronik
terpadu yang mengintegrasikan seluruh proses Transaksi
Produk Investasi, Transaksi Aset Dasar, dan pelaporan di
industri pengelolaan investasi.
2. Transaksi Produk Investasi adalah kegiatan yang
berkaitan
dengan
kembali/pelunasan,
penjualan,
pengalihan
investasi
pembelian
Produk
Investasi, dan/atau pembagian manfaat ekonomis
Produk Investasi.
3. Transaksi Aset Dasar adalah kegiatan yang berkaitan
dengan investasi dan divestasi aset yang menjadi dasar
Produk Investasi.
4. Produk Investasi adalah Reksa Dana, Dana Investasi Real
Estat, Pengelolaan Portofolio Efek Nasabah Secara
Individual, dan produk investasi lain yang ditetapkan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
5. Penyedia S-INVEST adalah Pihak yang menyediakan dan
mengelola S-INVEST.
6. Pengguna S-INVEST adalah Manajer Investasi, Perantara
Pedagang Efek yang melakukan Transaksi Aset Dasar,
Agen Penjual Efek Reksa Dana, Bank Kustodian, Bank
- 3 -
sebagai dealer, dan pihak lain yang ditetapkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan yang terdaftar di Penyedia
S-INVEST.
7. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah Pihak
yang menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi
Bank Kustodian, Perusahaan Efek, dan Pihak lain.
Pasal 2
S-INVEST diselenggarakan dalam rangka meningkatkan
efisiensi Transaksi Produk Investasi dan Transaksi Aset Dasar
di industri pengelolaan investasi termasuk penyediaan
sentralisasi data investor dan pelaporan.
BAB II
PENYEDIA DAN PENGGUNA S-INVEST
Bagian Kesatu
Penyedia S-INVEST
Pasal 3
Kegiatan sebagai penyedia S-INVEST hanya dapat dilakukan
oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
Pasal 4
Penyedia S-INVEST paling sedikit wajib:
a. menyediakan layanan penggunaan S-INVEST yang paling
sedikit meliputi:
1. layanan pendaftaran Produk Investasi; dan
2. cakupan layanan S-INVEST sebagaimana diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
b. menyediakan nomor identitas tunggal pemodal setiap
investor Produk Investasi;
c. memiliki dan menetapkan mekanisme atau prosedur
operasional standar penyelenggaraan S-INVEST;
kelangsungan bisnis
d. memiliki
rencana
penyelenggaraan S-INVEST;
terkait
- 4 -
e. memiliki dan menempatkan fasilitas pengganti pusat
data dan pusat pemulihan bencana terkait
penyelenggaraan S-INVEST di wilayah Indonesia pada
tempat yang aman dan terpisah dari pusat data utama;
terselenggaranya
f. memastikan
keberlangsungan kegiatan S-INVEST;
g. memastikan keamanan dan keandalan S-INVEST;
h. memiliki mekanisme dan prosedur operasional standar
penanganan pengaduan Pengguna S-INVEST;
i.
bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan
karena kesalahan atau kelalaiannya dalam penyediaan
dan pengelolaan S-INVEST;
j. menyediakan rekam jejak audit terhadap seluruh
kegiatan pemrosesan data investor, data transaksi
Produk Investasi, dan Transaksi Aset Dasar di S-INVEST
untuk keperluan pengawasan, penegakan hukum,
penyelesaian sengketa, verifikasi, pengujian, dan
pemeriksaan lainnya; dan
k. menyampaikan kepada Pengguna S-INVEST dalam hal
terdapat perubahan atau pengembangan sistem
termasuk penambahan layanan dan fitur sistem yang
memerlukan penyesuaian sistem Pengguna S-INVEST.
Pasal 5
(1) Penyedia S-INVEST wajib menetapkan peraturan
mengenai prosedur dan tata cara penyelenggaraan
S-INVEST.
(2) Peraturan mengenai prosedur dan tata cara
penyelenggaraan S-INVEST sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku efektif setelah memperoleh persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Peraturan mengenai prosedur dan tata cara
penyelenggaraan S-INVEST sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit mencakup:
a. persyaratan dan tata cara pendaftaran Pengguna
S-INVEST, termasuk pembatalan pendaftaran
Pengguna S-INVEST;
kegiatan
dan
- 5 -
b. persyaratan dan tata cara pendaftaran Produk
Investasi, termasuk pembatalan pendaftaran Produk
Investasi;
c. biaya pendaftaran dan/atau penggunaan S-INVEST;
d. tata cara penggunaan S-INVEST;
e. hak dan kewajiban Pengguna S-INVEST;
f. batasan akses penggunaan S-INVEST;
g. pengelolaan data investor, data Transaksi Produk
Investasi, dan data Transaksi Aset Dasar di
S-INVEST;
h. mekanisme pelaporan dan pengambilan data dalam
rangka pemenuhan kewajiban pelaporan Pengguna
S-INVEST;
i. mekanisme dan prosedur operasional standar
penanganan pengaduan Pengguna S-INVEST;
j. mekanisme untuk memastikan kelangsungan bisnis
terkait penyelenggaraan S-INVEST; dan
k. penghentian sementara waktu pemberian layanan
kepada Pengguna S-INVEST.
Pasal 6
Penyedia S-INVEST dilarang mengungkapkan data investor,
data Transaksi Produk Investasi, dan/atau data Transaksi
Aset Dasar kepada pihak ketiga, kecuali sebelumnya telah
memperoleh persetujuan investor dari Pengguna S-INVEST
atau diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 7
Penyedia S-INVEST wajib melakukan penghentian sementara
waktu pemberian layanan kepada Pengguna S-INVEST,
apabila diperintahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
- 6 -
Bagian Kedua
Pengguna S-INVEST
Pasal 8
(1) Pengguna S-INVEST wajib:
a. mematuhi peraturan yang ditetapkan Penyedia
S-INVEST;
b. menandatangani perjanjian penggunaan S-INVEST
dengan Penyedia S-INVEST, yang paling sedikit
memuat:
1. hak dan kewajiban Penyedia S-INVEST dan
Pengguna S-INVEST; dan
2. batasan akses penggunaan S-INVEST;
c. menjaga kerahasiaan dan keamanan akses
penggunaan S-INVEST;
d. menyediakan sistem yang terkoneksi dengan
S-INVEST;
e. memastikan keamanan dan keandalan sistem yang
terkoneksi dengan S-INVEST;
f.
memiliki mekanisme atau prosedur operasional
standar berkaitan dengan penggunaan S-INVEST;
g. memiliki rencana kelangsungan bisnis terkait
penggunaan S-INVEST;
h. memiliki dan menempatkan fasilitas pengganti pusat
data dan pusat pemulihan bencana terkait sistem
yang terkoneksi dengan S-INVEST di wilayah
Indonesia, pada tempat yang aman dan terpisah dari
pusat data utama; dan
i.
bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan
karena kesalahan atau kelalaiannya dalam
penggunaan S-INVEST.
(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
setiap Pengguna S-INVEST yang bertindak sebagai agen
penjual Produk Investasi atau Manajer Investasi yang
melakukan penjualan Produk Investasi wajib:
a. membuka rekening terpisah dalam S-INVEST untuk
kepentingan setiap investor;
- 7 -
b. memastikan kepemilikan nomor identitas tunggal
pemodal dari setiap investor Produk Investasi;
c. menyampaikan nomor identitas tunggal pemodal
kepada investor;
d. memastikan setiap investor menyampaikan data
investor yang akurat, lengkap, dan terkini dalam
rangka pembukaan rekening di S-INVEST
sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan
e. memasukkan data investor dan data Transaksi
Produk Investasi yang akurat, lengkap, dan terkini
ke S-INVEST.
(3) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
setiap Pengguna S-INVEST yang bertindak sebagai
Perantara Pedagang Efek yang melakukan Transaksi Aset
Dasar, Bank sebagai dealer atau Manajer Investasi yang
melakukan Transaksi Aset Dasar untuk kepentingan
Produk Investasi wajib memasukkan data Transaksi Aset
Dasar yang akurat dan lengkap ke S-INVEST.
(4) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
setiap Pengguna S-INVEST yang bertindak sebagai Bank
Kustodian paling sedikit wajib melakukan pendaftaran
dan pengkinian data Produk Investasi.
BAB III
SUMBER DATA, PRODUK INVESTASI, CAKUPAN LAYANAN,
DAN BATASAN AKSES PENGGUNAAN S-INVEST
Bagian Kesatu
Sumber Data S-INVEST
Pasal 9
(1) Data investor, data Transaksi Produk Investasi, dan data
Transaksi Aset Dasar yang ada dalam S-INVEST berasal
dari data yang disampaikan oleh Pengguna S-INVEST.
(2) Pengguna S-INVEST wajib memastikan data sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan data yang benar,
terkini, dan akurat.
- 8 -
Pasal 10
Data dan/atau informasi yang terdapat dalam S-INVEST
dapat diakses dan/atau digunakan oleh Penyedia S-INVEST
dan Pengguna S-INVEST meliputi:
a. data investor;
b. data Pengguna S-INVEST;
c. Transaksi Produk Investasi; dan
d. Transaksi Aset Dasar.
Bagian Kedua
Produk Investasi
Pasal 11
(1) Setiap Produk Investasi wajib terdaftar di S-INVEST.
(2) Kewajiban pendaftaran Produk Investasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pengguna
S-INVEST yang bertindak sebagai Bank Kustodian.
(3) Pendaftaran Produk Investasi dalam S-INVEST
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan
paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah efektifnya
Pernyataan Pendaftaran Penawaran Umum Produk
Investasi atau tercatatnya Produk Investasi di Otoritas
Jasa Keuangan.
Bagian Ketiga
Cakupan Layanan S-INVEST
Pasal 12
(1) Cakupan layanan S-INVEST terdiri atas kegiatan:
a. Transaksi Produk Investasi;
b. Transaksi Aset Dasar;
c.
sentralisasi data;
d. pelaporan; dan
e. layanan lain yang telah memperoleh persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Cakupan layanan S-INVEST terkait kegiatan Transaksi
Produk Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
- 9 -
huruf a meliputi paling sedikit pemrosesan pesanan
dalam rangka penjualan, pembelian kembali/pelunasan,
pengalihan investasi, dan/atau pemrosesan pembagian
manfaat ekonomis dari Produk Investasi.
(3) Cakupan layanan S-INVEST terkait kegiatan Transaksi
Aset Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
paling sedikit:
a.
b.
investasi dan divestasi aset yang menjadi dasar
Produk Investasi;
alokasi;
c. proses pemasangan/pencocokan instruksi
penyelesaian Transaksi Efek;
d. konfirmasi transaksi; dan
e. instruksi penyelesaian.
(4) Cakupan layanan S-INVEST terkait kegiatan pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling
sedikit:
a. pelaporan yang terkait dengan pemenuhan
kewajiban pelaporan Produk Investasi dalam rangka
pemenuhan peraturan perundang-undangan;
b. penyediaan fitur pelaporan yang terkait dengan
laporan Transaksi Produk Investasi kepada investor
melalui sistem yang disediakan oleh Penyedia
S-INVEST; dan
c. penyediaan fitur pelaporan yang terkait dengan
laporan berkala atas Produk Investasi kepada
investor melalui sistem yang disediakan oleh
Penyedia S-INVEST.
Bagian Keempat
Batasan Akses Penggunaan S-INVEST
Pasal 13
Penyedia S-INVEST wajib menetapkan batasan akses
S-INVEST bagi setiap Pengguna S-INVEST.
- 10 -
BAB IV
PELAPORAN
Pasal 14
(1) Penyedia S-INVEST wajib menyampaikan laporan kepada
Otoritas Jasa Keuangan apabila terdapat hal sebagai
berikut:
a. rencana perubahan atau pengembangan sistem
termasuk penambahan layanan dan fitur sistem
yang memerlukan penyesuaian sistem Pengguna
S-INVEST;
b. kegagalan S-INVEST yang menyebabkan S-INVEST
tidak dapat digunakan; dan/atau
c. penghentian sementara waktu pemberian layanan
kepada Pengguna S-INVEST.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum
implementasi perubahan atau pengembangan sistem
dilaksanakan.
(3) Kegagalan S-INVEST sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b wajib diinformasikan secara elektronik
kepada Otoritas Jasa Keuangan dan disampaikan kepada
Pengguna S-INVEST paling lambat 2 (dua) jam sejak
terjadinya kegagalan S-INVEST.
(4) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
diikuti dengan penyampaian laporan dalam bentuk
dokumen cetak kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 2 (dua) hari kerja sejak terjadinya kegagalan
S-INVEST.
(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
disampaikan paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak
penghentian sementara waktu pemberian layanan kepada
Pengguna S-INVEST.
Pasal 15
Pengguna S-INVEST yang bertindak sebagai Bank Kustodian
Reksa Dana wajib menyampaikan:
- 11 -
a. laporan yang memperlihatkan posisi keuangan dari
masing-masing Reksa Dana kepada Otoritas Jasa
Keuangan;
b. informasi keuangan Reksa Dana kepada Manajer
Investasi pada setiap awal hari kerja;
c. surat atau bukti konfirmasi atas pelaksanaan perintah
penjualan, pembelian kembali/pelunasan, dan/atau
pengalihan saham atau Unit Penyertaan Reksa Dana
kepada pemegang saham Reksa Dana berbentuk
Perseroan atau pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana;
dan
d. laporan berkala kepada setiap pemegang saham Reksa
Dana berbentuk Perseroan atau pemegang Unit
Penyertaan Reksa Dana terkait mutasi kepemilikan
saham atau Unit Penyertaan Reksa Dana serta posisi
kepemilikan saham atau Unit Penyertaan Reksa Dana,
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai
Laporan Reksa Dana, melalui S-INVEST.
Pasal 16
Pengguna S-INVEST yang bertindak sebagai Bank Kustodian
Reksa Dana Penyertaan Terbatas wajib menyampaikan
laporan Reksa Dana Penyertaan Terbatas sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan
Terbatas, melalui S-INVEST.
BAB V
KETENTUAN SANKSI
Pasal 17
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
- 12 -
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 18
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 19
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 kepada masyarakat.
- 13 -
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 20
(1) Kewajiban untuk menggunakan S-INVEST dan
menyampaikan laporan Reksa Dana melalui S-INVEST
sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini secara penuh mulai berlaku pada tanggal
31 Agustus 2016.
(2) Ketentuan mengenai kewajiban menyampaikan laporan
Produk Investasi selain Reksa Dana melalui S-INVEST
diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Kewajiban penyediaan dan penggunaan layanan
S-INVEST terkait kegiatan Transaksi Aset Dasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) secara
penuh mulai berlaku pada tanggal 31 Agustus 2017.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban penyediaan
fitur pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (4) huruf b dan huruf c dan kewajiban Pengguna
S-INVEST yang bertindak sebagai Bank Kustodian Reksa
Dana untuk menyampaikan surat atau bukti konfirmasi
dan laporan berkala melalui S-INVEST sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 huruf c dan huruf d, diatur
dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku sampai dengan kewajiban untuk menggunakan
dan menyampaikan laporan melalui S-INVEST
berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
berlaku secara penuh sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pengguna S-INVEST harus melakukan uji coba
penggunaan sistem melalui sistem yang ditetapkan oleh
Penyedia S-INVEST.
- 14 -
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juli 2016
016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juli 2016
2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H.LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 149
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 28 /POJK.04/2016
TENTANG
SISTEM PENGELOLAAN INVESTASI TERPADU
I. UMUM
Pengaturan pengelolaan investasi di bidang Pasar Modal tidak hanya
meliputi produk pengelolaan investasi seperti Reksa Dana, Efek Beragun
Aset, Dana Investasi Real Estat, Kontrak Pengelolaan Dana Nasabah
Individual, dan produk investasi lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan melainkan juga meliputi pengaturan mengenai pihak-pihak
yang melakukan kegiatan pengelolaan investasi seperti Manajer Investasi,
Bank Kustodian, Agen Penjual Efek Reksa Dana, atau pun Bank sebagai
dealer.
Bahwa dalam rangka meningkatkan efisiensi kegiatan pengelolaan
investasi, perlu adanya Sistem Pengelolaan Investasi Terpadu yang
didukung dengan infrastruktur peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang
memadai. Dimana pengaturan tersebut dimaksudkan untuk memberikan
landasan hukum bagi penyediaan dan penggunaan Sistem Pengelolaan
Investasi Terpadu di Indonesia.
Sistem Pengelolaan Investasi Terpadu merupakan sarana elektronik
terpadu yang mengintegrasikan seluruh proses Transaksi Produk
Investasi, Transaksi Aset Dasar, dan pelaporan di industri pengelolaan
investasi.
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, diatur mengenai
Penyedia dan Pengguna Sistem Pengelolaan Investasi Terpadu termasuk
kewajiban dan larangannya, sumber data, batasan akses informasi, dan
pelaporan.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Contoh mekanisme atau prosedur operasional standar
penyelenggaraan S-INVEST dalam ketentuan ini antara lain
mekanisme penatalaksanaan Transaksi Aset Dasar dan
Transaksi Produk Investasi.
Huruf d
Pada praktiknya “rencana kelangsungan bisnis” biasa disebut
dengan business continuity plan.
Huruf e
Penyediaan fasilitas pengganti pusat data dan pusat pemulihan
bencana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini
memperhatikan peraturan perundang-undangan di bidang
penyelenggaraan sistem elektronik untuk pelayanan publik.
Huruf f
Kewajiban Penyedia S-INVEST untuk memastikan
keberlangsungan S-INVEST, antara lain dengan memastikan
bahwa pusat data pengganti berjalan dengan baik dalam hal
pusat data utama mengalami kegagalan sistem.
Huruf g
Cukup jelas.
- 3 -
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh pembatalan produk investasi dalam ketentuan ini
antara lain apabila Reksa Dana telah memperoleh efektif
dan didaftarkan ke S-INVEST, namun setelah 90 (sembilan
puluh) hari bursa atau 120 (seratus dua puluh) hari bursa
Reksa Dana tersebut harus dibubarkan karena tidak
memenuhi ketentuan minimum dana kelolaan, maka
pendaftaran Produk Investasi pada S-INVEST dibatalkan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
- 4 -
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “sistem yang terkoneksi” adalah
sistem yang dapat memasukkan dan mengambil data oleh
Pengguna S-INVEST dari S-INVEST.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “memastikan keamanan dan
keandalan sistem yang terkoneksi dengan S-INVEST” antara
lain dengan memiliki prosedur operasional standar
penggunaan sistem termasuk keamanan penggunaan
sistem yang terkoneksi dengan S-INVEST, menyediakan
perangkat keamanan sistem termasuk firewall dari sistem,
dan batasan akses bagi pegawai Pengguna S-INVEST.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
- 5 -
Huruf h
Penyediaan fasilitas pengganti pusat data dan pusat
pemulihan bencana sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan ini memperhatikan peraturan perundang-
undangan di bidang penyelenggaraan sistem elektronik
untuk pelayanan publik.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Pembukaan rekening terpisah oleh agen penjual Produk
Investasi atau Manajer Investasi dilakukan melalui tata
cara pembukaan rekening sebagaimana diatur dalam
peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan
selanjutnya didaftarkan untuk mendapatkan nomor
identitas tunggal pemodal agar dapat melakukan transaksi
melalui S-INVEST.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “nomor identitas tunggal pemodal”
yang pada praktiknya sering disebut dengan single investor
identification (SID) adalah nomor identitas tunggal pemodal
pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Sentralisasi data dalam ketentuan ini mencakup
sentralisasi data investor, data Transaksi Produk Investasi,
data Produk Investasi, dan data Transaksi Aset Dasar.
Data yang tersentralisasi dimaksud dapat dipergunakan
Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka pengawasan
kegiatan pengelolaan investasi.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “investasi” adalah perolehan aset
yang menjadi dasar Produk Investasi, sedangkan yang
dimaksud dengan “divestasi” adalah pelepasan aset yang
menjadi dasar Produk Investasi.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
“alokasi”
adalah
penjatahan/penentuan jumlah atau proporsi suatu Efek
sebagai aset yang menjadi dasar yang dibeli oleh Manajer
Investasi untuk kepentingan Produk Investasi.
- 7 -
Huruf c
Pada praktiknya “proses pemasangan/pencocokan instruksi
penyelesaian Transaksi Efek” dimaksud biasa disebut
dengan pairing and matching.
Huruf d
Pada praktiknya “konfirmasi transaksi” dimaksud biasa
disebut dengan trade confirmation.
Yang dimaksud dengan “konfirmasi transaksi” adalah
konfirmasi transaksi Efek dari Perantara Pedagang Efek
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangan di
Bidang Pasar Modal.
Huruf e
Pada praktiknya “instruksi penyelesaian” dimaksud biasa
disebut dengan settlement instruction.
Yang dimaksud dengan “instruksi penyelesaian” adalah
instruksi atas penyelesaian transaksi Efek yang diberikan
oleh Manajer Investasi melalui S-INVEST kepada Perantara
Pedagang Efek dan Bank Kustodian terkait.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “laporan Transaksi Produk Investasi
kepada investor” adalah konfirmasi dan laporan kepada
investor atas penjualan, pembelian kembali/pelunasan,
dan/atau pengalihan investasi Produk Investasi
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam hal fitur pelaporan yang berkaitan dengan laporan
Transaksi Produk Investasi kepada investor telah tersedia,
maka laporan dimaksud dapat diakses oleh investor pada
sistem yang ditetapkan oleh Penyedia S-INVEST.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “laporan berkala atas Produk
Investasi kepada investor” adalah laporan berkala kepada
investor yang berkaitan dengan jumlah kepemilikan Produk
- 8 -
Investasi investor sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Dalam hal fitur pelaporan yang berkaitan dengan laporan
berkala atas Produk Investasi kepada investor telah
tersedia, maka laporan dimaksud dapat diakses oleh
investor pada sistem yang ditetapkan oleh Penyedia
S-INVEST.
Pasal 13
Batasan akses S-INVEST yang dimaksud dalam ketentuan ini
misalnya data investor Reksa Dana ABC hanya dapat diakses oleh
Manajer Investasi dan Bank Kustodian Reksa Dana ABC, Agen
Penjual Efek Reksa Dana ABC hanya dapat mengakses data investor
Reksa Dana ABC yang dipasarkannya.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kegagalan S-INVEST yang
menyebabkan S-INVEST tidak dapat digunakan” antara
lain:
1. kegagalan keamanan S-INVEST yang disebabkan
karena peretasan; dan/atau
2. kegagalan S-INVEST yang disebabkan oleh kondisi
kahar seperti bencana alam.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pelaporan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat
ini antara lain dapat disampaikan melalui surat elektronik
(e-mail) ke alamat pelaporansinvest@ojk.go.id.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 9 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 15
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Laporan Reksa Dana yang berlaku adalah
Peraturan Nomor X.D.1, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-06/PM/2004
tanggal 9 Februari 2004 tentang Laporan Reksa Dana.
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Produk Investasi selain Reksa Dana”
adalah Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif, Efek Beragun Aset, dan Pengelolaan Portofolio Efek
Nasabah Secara Individual.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
- 10 -
Pasal 21
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5910
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 28/POJK.04/2016 </reg_id>
<reg_title> SISTEM PENGELOLAAN INVESTASI TERPADU </reg_title>
<set_date> 29 Juli 2016 </set_date>
<effective_date> 29 Juli 2016 </effective_date>
<issued_date> 29 Juli 2016 </issued_date>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 41 /POJK.03/2017
TENTANG
PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMERIKSAAN BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa bank sebagai badan usaha yang menghimpun
dan menyalurkan dana masyarakat harus mampu
melindungi kepentingan masyarakat pengguna jasa
bank, serta memelihara prinsip dan sistem perbankan
yang sehat;
b. bahwa guna mengetahui dan memastikan bank telah
melindungi kepentingan masyarakat serta memelihara
prinsip dan sistem perbankan yang sehat, diperlukan
gambaran mengenai kebijakan dan kegiatan usaha
bank yang bersifat strategis dan yang mengandung
risiko;
c. bahwa guna memperoleh gambaran yang jelas,
lengkap, dan akurat perlu dilakukan pemeriksaan
terhadap kebijakan dan kegiatan usaha bank yang
bersifat strategis dan mengandung risiko;
d. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas,
dan wewenang pengaturan dan pengawasan jasa
keuangan di sektor perbankan dari Bank Indonesia ke
Otoritas Jasa Keuangan, diperlukan pengaturan
kembali persyaratan dan tata cara pemeriksaan bank;
- 2 -
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d,
perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemeriksaan Bank;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMERIKSAAN BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan
Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
- 3 -
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, termasuk
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri serta Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Kantor Cabang dari Bank yang Berkedudukan di Luar
Negeri adalah kantor yang secara langsung atau tidak
langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat
bank yang bersangkutan, dan mempunyai alamat
serta tempat kedudukan di Indonesia.
3. Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di
Luar Negeri adalah kantor dari bank yang
berkedudukan di luar negeri yang bertindak semata-
mata sebagai penghubung antara bank yang
berkedudukan di luar negeri dengan nasabahnya.
4. Pihak Terkait adalah pihak yang mempunyai
keterkaitan dengan Bank sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai batas maksimum pemberian kredit bank
umum, ketentuan peraturan perundangan-undangan
mengenai batas maksimum pemberian kredit bank
perkreditan rakyat, dan ketentuan peraturan
perundangan-undangan mengenai batas maksimum
penyaluran dana bank pembiayaan rakyat syariah.
5. Pihak Terafiliasi adalah pihak terafiliasi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah;
6. Pihak Lain adalah pihak yang ditugaskan untuk dan
atas nama Otoritas Jasa Keuangan serta dinilai
- 4 -
memiliki kemampuan untuk melaksanakan
pemeriksaan.
BAB II
PIHAK-PIHAK YANG DIPERIKSA
Pasal 2
Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan
terhadap:
a. Bank; dan/atau
b. Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di
Luar Negeri.
Pasal 3
(1) Dalam melakukan pemeriksaan terhadap Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a,
Otoritas Jasa Keuangan
pemeriksaan terhadap:
a. perusahaan induk dari Bank;
b. perusahaan anak dari Bank;
c. Pihak Terkait dengan Bank;
d. Pihak Terafiliasi dengan Bank; dan
e. debitur Bank.
(2) Pemeriksaan terhadap pihak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dalam hal terdapat indikasi
bahwa pihak tersebut:
a. memperoleh penyediaan dana dari Bank;
b. mempunyai peran dalam kegiatan operasional
Bank;
c. melakukan tindakan yang menimbulkan kerugian
terhadap Bank;
d. memperoleh keuntungan yang tidak wajar dari
Bank;
e. mengalami kesulitan keuangan yang dapat
mempengaruhi kinerja Bank; dan/atau
f.
indikasi lain.
dapat melakukan
- 5 -
Pasal 4
(1) Pemeriksaan terhadap Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf a terdiri dari pemeriksaan secara
berkala dan pemeriksaan sewaktu-waktu.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi pemeriksaan terhadap aspek kegiatan usaha
Bank, termasuk sarana pendukung dan hal-hal lain
yang berkaitan dengan keuangan Bank.
Pasal 5
(1) Pemeriksaan terhadap Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf a dapat dilakukan untuk:
a. memperoleh gambaran menyeluruh tentang
perkembangan usaha dan keadaan keuangan
Bank, termasuk mendeteksi hal-hal yang dapat
mempengaruhi tingkat kesehatan maupun
kelangsungan usaha Bank;
b. mendapatkan keyakinan atas kebenaran laporan
yang disampaikan oleh Bank kepada Otoritas
Jasa Keuangan, laporan yang dipublikasikan
kepada masyarakat, dan informasi lain;
c. memastikan kepatuhan Bank terhadap Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan, ketentuan peraturan
perundang-undangan lain, dan pedoman
ketentuan serta prosedur kerja yang ditetapkan
Bank; dan/atau
d. meneliti kebenaran atas dugaan adanya transaksi
yang merupakan tindak pidana di bidang
perbankan.
(2) Pemeriksaan terhadap Kantor Perwakilan dari Bank
yang Berkedudukan di Luar Negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf b ditujukan untuk
memastikan kepatuhan Kantor Perwakilan dari Bank
yang Berkedudukan di Luar Negeri terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan.
- 6 -
Pasal 6
(1) Bank, Kantor Perwakilan
dari Bank yang
Berkedudukan di Luar Negeri, dan pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib segera
memperlihatkan dan/atau memberikan kepada
pemeriksa:
a. buku, berkas, warkat, catatan, disposisi,
memorandum, dokumen, data elektronik,
termasuk salinannya;
b. segala keterangan dan penjelasan yang berkaitan
dengan kegiatan usaha baik lisan maupun
tertulis;
c. kesempatan penelitian keberadaan dan
penggunaan sarana fisik yang berkaitan dengan
kegiatan usaha; dan
d. hal-hal lain yang diperlukan dalam pemeriksaan.
(2) Bank, Kantor Perwakilan
dari Bank yang
Berkedudukan di Luar Negeri, dan pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib memberikan
bantuan untuk memperoleh kebenaran dari segala
keterangan, dokumen, dan penjelasan yang diperoleh
pemeriksa.
(3) Bank, Kantor Perwakilan
dari Bank yang
Berkedudukan di Luar Negeri, dan pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan/atau pihak lain
dilarang untuk menghambat proses pemeriksaan serta
mempengaruhi pendapat, penilaian, atau hasil dari
tim pemeriksa.
BAB III
PERSYARATAN BAGI PIHAK-PIHAK YANG MELAKUKAN
PEMERIKSAAN
Pasal 7
(1) Pihak Lain yang dapat melakukan pemeriksaan harus
berbentuk badan.
- 7 -
(2) Pemeriksaan dilakukan oleh tim pemeriksa yang
paling sedikit terdiri dari 2 (dua) orang.
(3) Tim pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat terdiri atas:
a. pegawai Otoritas Jasa Keuangan yang ditunjuk
untuk melakukan pemeriksaan;
b. Pihak Lain yang ditugaskan oleh Otoritas Jasa
Keuangan; atau
c. gabungan antara pegawai Otoritas Jasa Keuangan
dan Pihak Lain.
Pasal 8
(1) Tim pemeriksa dari Pihak Lain wajib memenuhi
syarat:
a. tidak termasuk dalam Daftar Tidak Lulus
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai uji
kemampuan dan kepatutan (fit and proper test);
b. bukan Pihak Terafiliasi terhadap objek yang
diperiksa;
c. memiliki sikap mental yang baik dan etika serta
tanggung jawab profesi yang tinggi;
d. bersikap independen, jujur, dan objektif;
e. kompeten di bidangnya dan memahami ketentuan
peraturan perundang-undangan perbankan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan lain;
dan
f.
secara terus-menerus mengikuti program
pendidikan profesi dalam bidangnya masing-
masing.
(2) Penanggung jawab dari Pihak Lain harus memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 9
(1) Dalam hal Pihak Lain merupakan kantor akuntan
publik, kantor akuntan publik wajib terdaftar di
Otoritas Jasa Keuangan, sebagaimana dimaksud
- 8 -
dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang
mengatur mengenai penggunaan jasa akuntan publik
dan kantor akuntan publik dalam kegiatan jasa
keuangan.
(2) Selain kantor akuntan publik yang wajib terdaftar di
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), akuntan publik yang melakukan pemeriksaan
wajib terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan yang mengatur mengenai penggunaan jasa
akuntan publik dan kantor akuntan publik dalam
kegiatan jasa keuangan.
(3) Ketua dan mayoritas anggota tim pemeriksa dari
kantor akuntan publik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) selain memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) wajib:
a. memiliki pengetahuan yang memadai tentang
industri perbankan; dan
b. memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan.
(4) Penanggung jawab kantor akuntan publik harus
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan dalam Pasal 8 ayat (1).
Pasal 10
(1) Dalam memberikan penugasan kepada Pihak Lain
untuk melakukan pemeriksaan, Otoritas Jasa
Keuangan menerbitkan surat perintah kerja.
(2) Pelaksanaan pemeriksaan oleh Pihak Lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilaksanakan sesuai dengan surat perintah kerja dan
kerangka acuan kerja (terms of reference) yang
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari surat
perintah kerja.
- 9 -
Pasal 11
(1) Tim pemeriksa menyerahkan surat introduksi
pemeriksaan dari Otoritas Jasa Keuangan kepada
pihak yang diperiksa.
(2) Bank, Kantor Perwakilan
dari Bank yang
Berkedudukan di Luar Negeri atau pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib menolak tim
pemeriksa yang akan melakukan pemeriksaan tanpa
menyerahkan surat introduksi pemeriksaan dari
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 12
(1) Sebelum akhir pemeriksaan, tim pemeriksa
melakukan konfirmasi dengan pimpinan Bank,
pemimpin Kantor Perwakilan dari Bank yang
Berkedudukan di Luar Negeri atau pimpinan dari
pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
atas hasil pemeriksaan.
(2) Apabila setelah proses konfirmasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) masih terdapat perbedaan
pendapat, pimpinan Bank, pemimpin Kantor
Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar
Negeri atau pimpinan pihak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) dapat memberikan penjelasan
secara tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lama 3 (tiga) hari kerja setelah berakhirnya proses
pemeriksaan.
Pasal 13
(1) Setelah proses pemeriksaan berakhir, tim pemeriksa
menyusun laporan hasil pemeriksaan.
(2) Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan laporan hasil
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada Bank atau Kantor Perwakilan dari Bank yang
Berkedudukan di Luar Negeri.
(3) Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bersifat rahasia.
- 10 -
(4) Penggunaan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) oleh pihak di luar Bank harus
dikonsultasikan dan memperoleh persetujuan terlebih
dahulu dari Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 14
(1) Bank dan Kantor Perwakilan dari Bank yang
Berkedudukan di Luar Negeri wajib melakukan
langkah perbaikan dan/atau penyempurnaan atas
hal-hal yang ditemukan dalam pemeriksaan serta
melaporkan perbaikan yang dilakukan kepada Otoritas
Jasa Keuangan.
(2) Apabila diperlukan, Otoritas Jasa Keuangan dapat
melakukan pemeriksaan untuk memastikan
kebenaran laporan hasil perbaikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
BAB IV
PEMERIKSAAN OLEH PIHAK ASING
Pasal 15
(1) Pemeriksaan terhadap Kantor Cabang dari Bank yang
Berkedudukan di Luar Negeri oleh otoritas pengawas
bank di negara asal atau yang mewakili otoritas
pengawas bank di negara asal kantor pusat Bank yang
bersangkutan, hanya dapat dilakukan setelah
memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Permohonan izin kepada Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan secara tertulis paling lama 14 (empat
belas) hari sebelum pemeriksaan.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling
lama 7 (tujuh) hari sejak surat permohonan diterima
secara lengkap.
(4) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta kepada
otoritas pengawas bank di negara asal atau yang
- 11 -
mewakili otoritas pengawas bank di negara asal kantor
pusat Bank yang bersangkutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), agar dalam pemeriksaan
sekaligus memeriksa hal-hal yang diperlukan oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Pemberian izin pemeriksaan terhadap Kantor Cabang
dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan menganut asas timbal balik.
Pasal 16
(1) Pemeriksaan terhadap Kantor Cabang dari Bank yang
Berkedudukan di Luar Negeri di Indonesia yang
dilakukan oleh pemeriksa intern atau kantor akuntan
publik yang ditugaskan kantor pusat Bank yang
bersangkutan wajib diberitahukan terlebih dahulu
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Pemeriksaan terhadap Bank yang sebagian sahamnya
dimiliki bank yang berkedudukan di luar negeri yang
dilakukan oleh pemeriksa yang ditugaskan oleh bank
yang berkedudukan di luar negeri yang menjadi
pemegang saham Bank wajib diberitahukan terlebih
dahulu kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 17
(1) Pemeriksaan terhadap Bank yang sebagian sahamnya
dimiliki bank yang berkedudukan di luar negeri yang
dilakukan oleh otoritas pengawas bank atau yang
mewakili otoritas pengawas bank di negara asal bank
yang berkedudukan di luar negeri hanya dapat
dilakukan setelah memperoleh izin dari Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Permohonan izin kepada Otoritas Jasa Keuangan wajib
disampaikan secara tertulis oleh pihak yang
melakukan pemeriksaan terhadap Bank yang sebagian
sahamnya dimiliki bank yang berkedudukan di luar
- 12 -
negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling
lama 14 (empat belas) hari sebelum pemeriksaan.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling
lama 7 (tujuh) hari sejak surat permohonan diterima
secara lengkap.
(4) Pemberian izin pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan menganut asas timbal
balik.
Pasal 18
(1) Tim pemeriksa yang melakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, dan
Pasal 17 wajib melaporkan dan menyampaikan hasil
pemeriksaan kepada Otoritas Jasa Keuangan segera
setelah pemeriksaan berakhir.
(2) Kantor Cabang dari Bank yang Berkedudukan di Luar
Negeri dan/atau Bank yang sebagian sahamnya
dimiliki bank yang berkedudukan di luar negeri yang
diperiksa oleh tim pemeriksa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib menyampaikan hasil pemeriksaan
oleh pihak asing kepada Otoritas Jasa Keuangan
segera setelah hasil pemeriksaan diperoleh.
BAB V
RAHASIA BANK
Pasal 19
(1) Pihak Lain, pihak yang melakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, dan
Pasal 17 serta pihak yang mengetahui hasil
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
wajib merahasiakan keterangan dan data yang
diperoleh dalam pemeriksaan.
(2) Kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku pula bagi petugas yang ditugaskan
- 13 -
Pihak Lain atau pihak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17.
BAB VI
ALAMAT PENYAMPAIAN LAPORAN, PEMBERITAHUAN,
DAN IZIN PEMERIKSAAN
Pasal 20
Laporan,
pemberitahuan,
dan
permohonan izin
pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan dengan alamat:
a. Departemen Pengawasan Bank terkait atau
Departemen Perbankan Syariah, bagi Bank yang
berkantor pusat atau Kantor Cabang dari Bank yang
Berkedudukan di Luar Negeri yang berada di wilayah
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau
b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor
Otoritas Jasa Keuangan setempat sesuai dengan
wilayah tempat kedudukan kantor pusat Bank.
BAB VII
SANKSI
Pasal 21
(1) Perusahaan induk sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf a yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis
paling banyak 2 (dua) kali masing-masing dengan
tenggang waktu 7 (tujuh) hari oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Dalam hal setelah dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), perusahaan induk tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Otoritas Jasa
- 14 -
Keuangan memerintahkan pengalihan kepemilikan
perusahaan induk kepada pihak lain.
Pasal 22
(1) Perusahaan anak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf b yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis
paling banyak 2 (dua) kali masing-masing dengan
tenggang waktu 7 (tujuh) hari oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Dalam hal setelah dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), perusahaan anak tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Otoritas Jasa
Keuangan memerintahkan kepada Bank untuk
melepaskan kepemilikan pada perusahaan anak paling
lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak tanggal
peringatan terakhir.
Pasal 23
(1) Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf e yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis paling banyak
2 (dua) kali masing-masing dengan tenggang waktu
7 (tujuh) hari oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam hal setelah dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), debitur tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Otoritas Jasa
Keuangan memerintahkan kepada Bank untuk:
a. tidak melanjutkan pemberian fasilitas dalam
bentuk apapun
bersangkutan;
kepada debitur yang
b. tidak memberikan fasilitas dalam bentuk apapun
kepada debitur yang bersangkutan; dan/atau
- 15 -
c. mengkaji kembali penggolongan kualitas dari
fasilitas debitur yang bersangkutan.
Pasal 24
(1) Anggota direksi, anggota dewan komisaris, pimpinan
Kantor Cabang dari Bank yang Berkedudukan di Luar
Negeri, pemimpin Kantor Perwakilan dari Bank yang
Berkedudukan di Luar Negeri, dan/atau pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis paling banyak 2 (dua) kali masing-
masing dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam hal setelah dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), anggota direksi, anggota dewan komisaris,
pimpinan Kantor Cabang dari Bank yang
Berkedudukan di Luar Negeri, pemimpin Kantor
Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar
Negeri, dan/atau pihak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Otoritas Jasa
Keuangan dapat mengenakan sanksi administratif
berupa:
a. pemberhentian anggota direksi dan/atau anggota
dewan komisaris, dan selanjutnya menunjuk dan
mengangkat pengganti sementara sampai Rapat
Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota
Koperasi mengangkat pengganti tetap dengan
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan;
b. peninjauan kembali persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan atas pengangkatan sebagai pimpinan
Kantor Cabang dari Bank yang Berkedudukan di
Luar Negeri dan/atau pemimpin Kantor
Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar
Negeri;
- 16 -
c. pencantuman dalam Daftar Tidak Lulus
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai uji
kemampuan dan kepatutan (fit and proper test);
dan/atau
d. merekomendasikan pencabutan atau pembatalan
izin usaha kepada instansi yang berwenang.
Pasal 25
(1) Pihak Lain yang oleh Otoritas Jasa Keuangan dinilai
tidak melaksanakan tugasnya sesuai dengan surat
perintah kerja dan kerangka acuan kerja (terms of
reference) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10,
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam hal setelah dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis paling banyak 2 (dua) kali
dalam tenggang waktu 3 (tiga) hari, Pihak Lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10,
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengenakan sanksi
administratif berupa:
a. pemutusan hubungan kerja secara sepihak tanpa
ganti rugi;
b. denda sebesar biaya yang dikeluarkan untuk
penyelesaian tugas oleh Pihak Lain;
c. merekomendasikan pencabutan atau pembatalan
izin usaha kepada instansi yang berwenang;
dan/atau
d. bagi akuntan publik dan/atau kantor akuntan
publik, dikeluarkan dari daftar akuntan publik
dan kantor akuntan publik yang terdaftar di
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 26
Bank yang tidak menyampaikan laporan perbaikan
dan/atau penyempurnaan atas hal-hal yang ditemukan
- 17 -
dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan Bank;
c. pemberhentian anggota direksi, dan/atau anggota
dewan komisaris, dan selanjutnya menunjuk dan
mengangkat pengganti sementara sampai rapat umum
pemegang saham atau rapat anggota koperasi
mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau
d. sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 27
Kantor Cabang dari Bank yang Berkedudukan di Luar
Negeri dan/atau Bank yang sebagian sahamnya dimiliki
oleh bank yang berkedudukan di luar negeri yang tidak
menyampaikan laporan hasil pemeriksaan oleh pihak asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) setelah
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis
paling banyak 2 (dua) kali dalam tenggang waktu 7 (tujuh)
hari dapat dikenakan sanksi administratif berupa:
a. pemberhentian anggota direksi dan/atau anggota
dewan komisaris, dan selanjutnya menunjuk dan
mengangkat pengganti sementara sampai rapat umum
pemegang saham atau rapat anggota koperasi
mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan;
b. peninjauan kembali persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan atas pengangkatan sebagai pimpinan
Kantor Cabang dari Bank yang Berkedudukan di Luar
Negeri;
c. pencantuman dalam Daftar Tidak Lulus sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai uji kemampuan dan kepatutan
(fit and proper test); dan/atau
- 18 -
d. sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 28
Pihak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 dikenakan sanksi administratif
berupa:
a. direkomendasikan untuk
pencabutan atau
pembatalan izin usaha kepada instansi yang
berwenang;
b. bagi akuntan publik dan kantor akuntan publik
dikeluarkan dari daftar akuntan publik dan kantor
akuntan publik yang terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan; dan/atau
c. sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/6/PBI/2000
tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemeriksaan Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3933), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 30
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 19 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 147
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 41 /POJK.03/2017
TENTANG
PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMERIKSAAN BANK
I. UMUM
Dalam melindungi kepentingan masyarakat dan memelihara
prinsip-prinsip dan sistem perbankan yang sehat diperlukan gambaran
mengenai kebijakan dan kegiatan usaha Bank yang bersifat strategis
dan mengandung risiko. Untuk memperoleh gambaran tersebut perlu
dilakukan pemeriksaan terhadap Bank baik yang bersifat umum
maupun khusus. Agar gambaran tersebut dapat diperoleh secara
menyeluruh dan komprehensif, pemeriksaan dapat dilakukan terhadap
pihak tertentu yang mempunyai andil baik secara langsung maupun
tidak langsung terhadap risiko yang dihadapi Bank dalam melakukan
kegiatan usaha. Pihak lain tersebut meliputi perusahaan induk,
perusahaan anak, Pihak Terkait, Pihak Terafiliasi dan/atau debitur
Bank.
Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemeriksaan,
Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan baik dengan
menggunakan tenaga Otoritas Jasa Keuangan maupun dengan
menggunakan jasa Pihak Lain seperti akuntan publik.
Untuk mencapai hal tersebut diperlukan adanya ketentuan yang
mengatur mengenai persyaratan dan tata cara pemeriksaan Bank.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Pemeriksaan oleh Otoritas Jasa Keuangan dapat dilakukan di
luar jam kerja.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perusahaan induk” adalah
perusahaan yang secara langsung atau tidak langsung
memiliki saham di Bank.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “perusahaan anak” adalah
perusahaan yang seluruh atau sebagian sahamnya
dimiliki Bank.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “debitur Bank” adalah pihak
yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah atau bentuk lain yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian Bank
dengan nasabah.
Ayat (2)
Pemeriksaan terhadap perusahaan induk dari Bank,
perusahaan anak dari Bank, Pihak Terkait dengan Bank,
Pihak Terafiliasi dengan Bank, dan debitur Bank
dimaksudkan agar diperoleh gambaran yang menyeluruh
mengenai kondisi Bank, termasuk risiko yang mungkin akan
- 3 -
mempengaruhi Bank. Pemeriksaaan tersebut merupakan
bagian dari pemeriksaan terhadap Bank.
Pasal 4
Ayat (1)
Pada dasarnya pemeriksaan yang dilakukan oleh Otoritas
Jasa Keuangan dilaksanakan secara berkala paling sedikit
1 (satu) tahun sekali untuk setiap Bank. Di samping itu,
pemeriksaan dapat dilakukan setiap waktu untuk
meyakinkan hasil pengawasan tidak langsung dan apabila
terdapat indikasi adanya penyimpangan dari praktik
perbankan yang sehat.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “sarana pendukung” antara lain
mencakup jaringan komunikasi dan komputer beserta
perangkat lunak.
Pasal 5
Ayat (1)
Selain mencakup aspek keuangan, pemeriksaan juga dapat
mencakup penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap
pemegang saham pengendali, anggota direksi, anggota dewan
komisaris, dan pejabat eksekutif Bank.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “informasi lain” adalah informasi
yang diperoleh dari sumber lain.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Dalam hal ini, Bank dapat digunakan sebagai sasaran
dan/atau sarana tindak pidana.
Bank sebagai sasaran tindak pidana, misalnya Bank
sebagai korban pembobolan bank, transfer fiktif, dan
lain-lain, yang pada akhirnya dapat merugikan Bank.
- 4 -
Bank sebagai sarana tindak pidana, misalnya
penghimpunan dana masyarakat yang tidak dicatat
dalam pembukuan Bank.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-
undangan” antara lain ketentuan yang mengatur mengenai
persyaratan dan tata cara pembukaan kantor cabang, kantor
cabang pembantu, dan kantor perwakilan dari bank yang
berkedudukan di luar negeri serta ketentuan yang mengatur
mengenai pelaporan dan permintaan informasi debitur
melalui sistem layanan informasi keuangan.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Bank, Kantor Perwakilan dari Bank
yang Berkedudukan di Luar Negeri, dan pihak-pihak lain”
adalah termasuk direksi, dewan komisaris, pimpinan Kantor
Cabang dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri,
pimpinan Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan
di Luar Negeri, dan pegawai yang langsung bertanggung
jawab.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
- 5 -
Huruf c
Dalam hal tim gabungan terdiri dari pegawai Otoritas
Jasa Keuangan dan Pihak Lain yang ditugaskan oleh
Otoritas Jasa Keuangan, ketua tim pemeriksa adalah
pegawai Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Terms of reference memuat antara lain:
a. tujuan dan ruang lingkup pemeriksaan;
b. jangka waktu pelaksanaan;
c. penyusunan laporan hasil pemeriksaan;
d. teknik dan etika pemeriksaan;
e. jumlah dan kualifikasi tenaga pemeriksa yang digunakan;
f. kerahasiaan pemeriksaan; dan
g. kertas kerja pemeriksaan.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Konfirmasi dilakukan dalam pertemuan antara tim pemeriksa
dengan pimpinan pihak yang diperiksa dan hasilnya
dituangkan dalam risalah pertemuan yang ditandatangani
oleh kedua belah pihak.
- 6 -
Ayat (2)
Pemberian penjelasan disampaikan secara tertulis oleh pihak-
pihak yang diperiksa kepada Otoritas Jasa Keuangan c.q.
Departemen Pengawasan Bank terkait, Departemen
Perbankan Syariah, Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan
atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat yang dilampiri
dengan bukti dan dokumen pendukung.
Pasal 13
Ayat (1)
Laporan hasil pemeriksaan akan digunakan oleh Otoritas
Jasa Keuangan sebagai bahan pengawasan Bank yang
diperiksa antara lain melalui pembahasan intensif dengan
direksi dan dewan komisaris Bank dalam pertemuan
wawancara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Laporan hasil pemeriksaan dimaksudkan sebagai alat
pembinaan untuk peningkatan kinerja Bank. Oleh karena itu
direksi, dewan komisaris, dan pegawai Bank tidak
diperkenankan untuk menyebarluaskan data dan/atau
informasi yang terdapat dalam laporan hasil pemeriksaan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 7 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “menganut asas timbal balik” adalah
dalam hal Otoritas Jasa Keuangan diperkenankan untuk
melakukan pemeriksaan di suatu negara, terhadap negara
tersebut akan diterapkan perlakuan yang sama, demikian
pula sebaliknya.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “menganut asas timbal balik” adalah
dalam hal Otoritas Jasa Keuangan diperkenankan untuk
melakukan pemeriksaan di suatu negara, terhadap negara
tersebut akan diterapkan perlakuan yang sama, demikian
pula sebaliknya.
Pasal 18
Ayat (1)
Hasil pemeriksaan disampaikan dalam bahasa Indonesia
dan/atau bahasa Inggris. Laporan hasil pemeriksaan
disampaikan dan dibahas dalam pertemuan dengan
Departemen Pengawasan Bank terkait.
Ayat (2)
Hasil pemeriksaan disampaikan dalam bahasa Indonesia
dan/atau bahasa Inggris.
- 8 -
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Besarnya pengenaan denda dicantumkan dalam
perjanjian kerja antara Otoritas Jasa Keuangan dengan
Pihak Lain tersebut.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Otoritas Jasa Keuangan mempublikasikan akuntan yang
terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan dalam situs web
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 26
Cukup jelas.
- 9 -
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6090
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 41/POJK.03/2017 </reg_id>
<reg_title> PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMERIKSAAN BANK </reg_title>
<set_date> 12 Juli 2017 </set_date>
<effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date>
<issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date>
<replaced_reg> '2/6/PBI/2000' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 15/POJK.04/2014
TENTANG
LAPORAN BULANAN KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF EFEK BERAGUN ASET
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang
: a. bahwa dalam rangka meningkatkan pengawasan dan
keterbukaan informasi atas Kontrak Investasi Kolektif
Efek Beragun Aset diperlukan laporan bulanan
Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu untuk menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan
Bulanan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun
Aset;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN...
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
LAPORAN BULANAN KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF
EFEK BERAGUN ASET.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan
usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para
nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif
untuk sekelompok nasabah, kecuali Perusahaan
Asuransi, Dana Pensiun, dan Bank yang melakukan
sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset yang
selanjutnya disingkat KIK EBA adalah kontrak antara
Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat
pemegang Efek Beragun Aset dimana Manajer
Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio
investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi
wewenang untuk melaksanakan Penitipan Kolektif.
BAB II
KEWAJIBAN LAPORAN BULANAN KIK EBA
Pasal 2
(1) Manajer Investasi KIK EBA wajib menyampaikan
laporan bulanan KIK EBA sesuai dengan ketentuan
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Semua anggota Direksi dan Dewan Komisaris Manajer
Investasi KIK EBA bertanggung jawab atas kebenaran
isi laporan bulanan KIK EBA.
(3) Laporan...
- 3 -
(3) Laporan bulanan KIK EBA sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:
a. informasi umum terkait KIK EBA, meliputi:
1. pihak-pihak terkait pengelolaan aset;
2. aset awal; dan
3. aset terkait periode pelaporan;
b. informasi terkait tagihan, meliputi:
1. koleksi tagihan aktual; dan
2. informasi keterlambatan debitur;
c. informasi terkait distribusi/pembayaran; dan
d. informasi lainnya sebagaimana tercantum dalam
lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
(4) Bentuk dan susunan laporan bulanan KIK EBA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibuat
sesuai dengan lampiran yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
BAB III
PENYAMPAIAN DAN PENYIMPANAN LAPORAN BULANAN KIK EBA
Bagian Kesatu
Penyampaian Laporan Bulanan KIK EBA
Pasal 3
(1) Kewajiban penyampaian laporan bulanan KIK EBA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat pada tanggal 12 bulan berikutnya.
(2) Dalam...
- 4 -
(2) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan
bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh
pada hari libur, laporan bulanan KIK EBA wajib
disampaikan pada 1 (satu) hari kerja berikutnya.
Pasal 4
(1) Penyampaian laporan bulanan KIK EBA sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilakukan secara
elektronik melalui sistem pelaporan elektronik yang
disediakan Otoritas Jasa Keuangan dengan alamat
https://aria.ojk.go.id/.
(2) Penyampaian laporan bulanan KIK EBA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Manajer
Investasi KIK EBA dengan menggunakan hak akses
berupa identitas pengguna (user id) dan kata sandi
(password) yang diberikan Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Dalam penyampaian laporan bulanan KIK EBA secara
elektronik, Manajer Investasi KIK EBA wajib membaca
dan mematuhi prosedur dan tata cara penggunaan
sistem pelaporan elektronik Otoritas Jasa Keuangan
yang dapat diunduh di laman Otoritas Jasa Keuangan
dengan alamat https://aria.ojk.go.id/.
Pasal 5
(1) Laporan bulanan KIK EBA sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) dianggap diterima oleh Otoritas
Jasa Keuangan pada saat Manajer Investasi KIK EBA
menerima tanda terima elektronik yang diterbitkan
sistem pelaporan elektronik Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Tanda terima elektronik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan
apabila laporan bulanan KIK EBA sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) telah diterima secara
lengkap.
Pasal 6...
- 5 -
Pasal 6
(1) Sistem pelaporan elektronik Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
menampilkan laporan KIK EBA yang disampaikan
Manajer Investasi KIK EBA kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Laporan KIK EBA yang ditampilkan oleh sistem
pelaporan elektronik Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disimpan
sebagai dokumen elektronik sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Bagian Kedua
Penyimpanan Laporan KIK EBA
Pasal 7
Manajer Investasi KIK EBA wajib menyimpan:
a. tanda terima elektronik atas penyampaian laporan
bulanan KIK EBA yang diperoleh dari sistem
pelaporan elektronik Otoritas Jasa Keuangan; dan
b. dokumen elektronik laporan bulanan KIK EBA yang
ditampilkan sistem pelaporan elektronik Otoritas Jasa
Keuangan,
paling kurang 5 (lima) tahun sejak KIK EBA bubar.
Pasal 8
(1) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menyatakan dan
mengumumkan sistem pelaporan elektronik Otoritas
Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) mengalami gangguan, laporan bulanan KIK
EBA disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan
melalui surat elektronik (e-mail) dengan alamat
pelaporankikeba@ojk.go.id.
(2) Laporan...
- 6 -
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dianggap telah diterima Otoritas Jasa Keuangan pada
saat Manajer Investasi KIK EBA telah menerima
notifikasi dari Otoritas Jasa Keuangan yang
dikirimkan melalui surat elektronik (e-mail).
Pasal 9
Laporan bulanan KIK EBA yang disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) hanya dapat diakses oleh Otoritas Jasa
Keuangan dalam rangka pelaksanaan tugas.
BAB IV
SANKSI
Pasal 10
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap
pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk
pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya
pelanggaran tersebut berupa:
a. Peringatan tertulis;
b. Denda, yaitu kewajiban untuk membayar
sejumlah uang tertentu;
c. Pembatasan kegiatan usaha;
d. Pembekuan kegiatan usaha;
e. Pencabutan izin usaha;
f. Pembatalan persetujuan; dan
g. Pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f,
atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa
didahului pengenaan sanksi administratif berupa
peringatan...
- 7 -
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan
secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan
pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e,
huruf f, atau huruf g.
Pasal 11
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat
melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang
melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini.
Pasal 12
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 kepada masyarakat.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 13
(1) Kewajiban Manajer Investasi KIK EBA menyampaikan
laporan bulanan KIK EBA melalui sistem pelaporan
elektronik Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
secara penuh, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
2015.
(2) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
mulai berlaku sampai dengan kewajiban laporan
bulanan KIK EBA melalui sistem pelaporan elektronik
Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku secara penuh
sebagaimana...
- 8 -
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Manajer
Investasi KIK-EBA harus melakukan uji coba
penyampaian laporan bulanan KIK-EBA melalui
sistem pelaporan elektronik dengan alamat
https://aria.ojk.go.id.
Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dalam Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 15
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku
sejak diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 7 November 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER,
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 11 November 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 345
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum,
Ttd.
T
Tini Kustini
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 15/POJK.04/2014 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN BULANAN KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF EFEK BERAGUN ASET </reg_title>
<set_date> 7 November 2014 </set_date>
<effective_date> 11 November 2014 </effective_date>
<issued_date> 11 November 2014 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 69 /POJK.05/2016
TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN ASURANSI,
PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI,
DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (3),
Pasal 18 ayat (4), Pasal 26 ayat (2), Pasal 28 ayat (6), Pasal
29 ayat (5), Pasal 31 ayat (5), dan Pasal 39 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian,
perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan
Perusahaan Reasuransi Syariah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618);
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN ASURANSI,
PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN
REASURANSI, DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Perusahaan adalah perusahaan asuransi, perusahaan
asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan
perusahaan reasuransi syariah.
2. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi
umum dan perusahaan asuransi jiwa sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2014 tentang Perasuransian.
3. Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan
asuransi umum syariah dan perusahaan asuransi jiwa
syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
4. Usaha Asuransi Umum adalah usaha jasa
pertanggungan risiko yang memberikan penggantian
kepada tertanggung atau pemegang polis karena
kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan
keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada
pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau
pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang
tidak pasti sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
5. Usaha Asuransi Jiwa adalah usaha yang
menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko yang
memberikan pembayaran kepada pemegang polis,
tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal
tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau
- 3 -
pembayaran lain kepada pemegang polis, tertanggung,
atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang
diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah
ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil
pengelolaan dana sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
6. Usaha Reasuransi adalah usaha jasa pertanggungan
ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan
asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan
reasuransi lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
7. Usaha Asuransi Umum Syariah adalah usaha
pengelolaan risiko berdasarkan prinsip syariah guna
saling menolong dan melindungi dengan memberikan
penggantian kepada peserta atau pemegang polis
karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul,
kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta
atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa
yang tidak pasti sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
8. Usaha Asuransi Jiwa Syariah adalah usaha
pengelolaan risiko berdasarkan prinsip syariah guna
saling menolong dan melindungi dengan memberikan
pembayaran yang didasarkan pada meninggal atau
hidupnya peserta, atau pembayaran lain kepada
peserta atau pihak lain yang berhak pada waktu
tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya
telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil
pengelolaan dana sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
9. Usaha Reasuransi Syariah adalah usaha pengelolaan
risiko berdasarkan prinsip syariah atas risiko yang
- 4 -
dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan penjaminan syariah, atau perusahaan
reasuransi syariah lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
10. Perusahaan Asuransi Umum adalah perusahaan yang
menyelenggarakan Usaha Asuransi Umum.
11. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan yang
menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa.
12. Perusahaan Asuransi Umum Syariah adalah
perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Asuransi
Umum Syariah.
13. Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah adalah perusahaan
yang menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa Syariah.
14. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang
menyelenggarakan Usaha Reasuransi.
15. Perusahaan Reasuransi Syariah adalah perusahaan
yang menyelenggarakan Usaha Reasuransi Syariah.
16. Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan yang
menyelenggarakan usaha jasa konsultasi dan/atau
keperantaraan dalam penutupan asuransi atau
asuransi syariah serta penanganan penyelesaian
klaimnya dengan bertindak untuk dan atas nama
pemegang polis, tertanggung, atau peserta.
17. Perusahaan Pialang Reasuransi adalah perusahaan
yang menyelenggarakan usaha jasa konsultasi
dan/atau keperantaraan dalam penempatan
reasuransi atau penempatan reasuransi syariah serta
penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak
untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi
penjaminan, perusahaan
Syariah, perusahaan
penjaminan syariah,
Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi
Syariah yang melakukan penempatan reasuransi atau
reasuransi syariah.
- 5 -
18. Perusahaan Ceding adalah:
a. Perusahaan Asuransi Umum yang mengalihkan
sebagian risikonya kepada Perusahaan
Reasuransi atau Perusahaan Asuransi Umum
lain;
b. Perusahaan Asuransi Umum Syariah yang
mengalihkan sebagian risikonya kepada
Perusahaan Reasuransi Syariah, unit syariah
pada Perusahaan Reasuransi, Perusahaan
Asuransi Umum Syariah lain atau unit syariah
pada Perusahaan Asuransi Umum;
c.
unit syariah pada Perusahaan Asuransi Umum
yang mengalihkan sebagian risikonya kepada
Perusahaan Reasuransi Syariah, unit syariah
pada Perusahaan Reasuransi, Perusahaan
Asuransi Umum Syariah atau unit syariah pada
Perusahaan Asuransi Umum lain;
d. Perusahaan Asuransi Jiwa yang mengalihkan
sebagian risikonya kepada Perusahaan
Reasuransi;
e. Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah yang
mengalihkan sebagian risikonya kepada
Perusahaan Reasuransi Syariah atau unit syariah
pada Perusahaan Reasuransi;
f.
unit syariah pada Perusahaan Asuransi Jiwa
yang mengalihkan sebagian risikonya kepada
Perusahaan Reasuransi Syariah atau unit syariah
pada Perusahaan Reasuransi;
g. perusahaan penjaminan yang mengalihkan
sebagian risikonya kepada Perusahaan
Reasuransi; atau
h. perusahaan penjaminan syariah atau unit syariah
pada perusahaan penjaminan yang mengalihkan
sebagian risikonya kepada Perusahaan
Reasuransi Syariah atau unit syariah pada
Perusahaan Reasuransi.
- 6 -
19. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam
kegiatan perasuransian berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2014 tentang Perasuransian.
20. Unit Syariah adalah unit kerja di kantor pusat
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor di
luar kantor pusat yang menjalankan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah.
21. Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi
yang selanjutnya disebut PAYDI adalah produk
asuransi yang paling sedikit memberikan
perlindungan terhadap risiko kematian, dan
memberikan manfaat yang mengacu pada hasil
investasi dari kumpulan dana yang khusus dibentuk
untuk produk asuransi baik yang dinyatakan dalam
bentuk unit maupun bukan unit.
22. Asuransi Kredit adalah lini Usaha Asuransi Umum
yang memberikan jaminan pemenuhan kewajiban
finansial penerima kredit apabila penerima kredit
tidak mampu memenuhi kewajibannya sesuai dengan
perjanjian kredit.
23. Suretyship adalah lini Usaha Asuransi Umum yang
memberikan jaminan atas kemampuan principal
dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian
pokok antara principal dan obligee.
24. Premi adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
dan disetujui oleh pemegang polis untuk dibayarkan
berdasarkan perjanjian asuransi atau perjanjian
reasuransi, atau sejumlah uang yang ditetapkan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mendasari program asuransi wajib
untuk memperoleh manfaat sebagaimana dimaksud
- 7 -
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
25. Agen Asuransi adalah orang yang bekerja sendiri atau
bekerja pada badan usaha, yang bertindak untuk dan
atas nama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Asuransi Syariah dan memenuhi persyaratan untuk
mewakili Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Asuransi Syariah memasarkan produk asuransi atau
produk asuransi syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
26. Dana Tabarru’ adalah kumpulan dana yang berasal
dari kontribusi para peserta, yang mekanisme
penggunaannya sesuai dengan perjanjian asuransi
syariah atau perjanjian reasuransi syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
27. Dana Tanahud adalah kumpulan dana yang berasal
dari kontribusi tanahud, hasil investasi dana tanahud,
qardh dari Perusahaan kepada dana tanahud,
dan/atau dana tanahud dari reasuradur, yang
penggunaannya sesuai dengan perjanjian anuitas
syariah untuk program pensiun atau perjanjian
reasuransi syariah atas anuitas syariah untuk
program pensiun.
28. Akad Hibah Tanahud adalah akad hibah sejumlah
dana dari peserta secara individu kepada peserta
secara kolektif untuk membentuk Dana Tanahud pada
produk anuitas syariah untuk program pensiun.
29. Dana Investasi Peserta adalah dana investasi yang
berasal dari kontribusi peserta pada PAYDI, yang
dikelola Perusahaan Asuransi Syariah atau Unit
Syariah pada Perusahaan Asuransi sesuai dengan
akad yang telah disepakati.
30. Akad adalah perjanjian tertulis yang memuat
kesepakatan tertentu, beserta hak dan kewajiban para
pihak sesuai Prinsip Syariah.
- 8 -
31. Akad Tabarru’ adalah Akad hibah dalam bentuk
pemberian dana dari satu peserta kepada Dana
Tabarru’ untuk tujuan tolong menolong di antara para
peserta, yang tidak bersifat dan bukan untuk tujuan
komersial.
32. Akad Tijarah adalah Akad antara peserta secara
kolektif atau secara individu dan Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit
Syariah dengan tujuan komersial.
33. Akad Wakalah bil Ujrah adalah Akad Tijarah yang
memberikan kuasa kepada Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit
Syariah sebagai wakil peserta untuk mengelola Dana
Tabarru’ dan/atau Dana Investasi Peserta, sesuai
kuasa atau wewenang yang diberikan, dengan imbalan
berupa ujrah (fee).
34. Akad Mudharabah adalah Akad Tijarah yang
memberikan kuasa kepada Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit
Syariah sebagai mudharib (pengelola dana) untuk
mengelola investasi Dana Tabarru’ dan/atau Dana
Investasi Peserta, sesuai kuasa atau wewenang yang
diberikan, dengan imbalan berupa bagi hasil (nisbah)
yang besarnya telah disepakati sebelumnya.
35. Akad Mudharabah Musytarakah adalah Akad Tijarah
yang memberikan kuasa kepada Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit
Syariah sebagai mudharib (pengelola dana) untuk
mengelola investasi Dana Tabarru’ dan/atau Dana
Investasi Peserta, yang digabungkan dengan kekayaan
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi
Syariah, atau Unit Syariah, sesuai kuasa atau
wewenang yang diberikan, dengan imbalan berupa
bagi hasil (nisbah) yang besarnya ditentukan
berdasarkan komposisi kekayaan yang digabungkan
dan telah disepakati sebelumnya.
- 9 -
36. Program Asuransi Wajib adalah program yang
diwajibkan peraturan perundang-undangan bagi
seluruh atau kelompok tertentu dalam masyarakat
guna mendapatkan perlindungan dari risiko tertentu,
tidak termasuk program yang diwajibkan undang-
undang untuk memberikan perlindungan dasar bagi
masyarakat dengan mekanisme subsidi silang dalam
penetapan manfaat dan Premi atau kontribusinya
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
37. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah lembaga yang independen, yang
mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
BAB II
RUANG LINGKUP USAHA
Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Usaha Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi,
dan Perusahaan Reasuransi Syariah
Pasal 2
(1) Perusahaan
Asuransi Umum hanya dapat
menyelenggarakan:
a. Usaha Asuransi Umum, termasuk lini usaha
asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi
kecelakaan diri; dan
b. Usaha Reasuransi untuk risiko Perusahaan
Asuransi Umum lain.
(2) Perusahaan
Asuransi Jiwa hanya dapat
menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa termasuk lini
usaha anuitas, lini usaha asuransi kesehatan, dan lini
usaha asuransi kecelakaan diri.
- 10 -
(3) Perusahaan
Reasuransi
hanya
menyelenggarakan Usaha Reasuransi.
Pasal 3
(1) Perusahaan Asuransi Umum Syariah dan Unit Syariah
pada Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat
menyelenggarakan:
a. Usaha Asuransi Umum Syariah, termasuk lini
usaha asuransi kesehatan berdasarkan Prinsip
Syariah dan lini usaha asuransi kecelakaan diri
berdasarkan Prinsip Syariah; dan
b. Usaha Reasuransi Syariah untuk risiko
Perusahaan Asuransi Umum Syariah atau Unit
Syariah pada Perusahaan Asuransi Umum lain.
(2) Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah dan Unit Syariah
pada Perusahaan Asuransi Jiwa hanya dapat
menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa Syariah
termasuk lini usaha anuitas berdasarkan Prinsip
Syariah, lini usaha asuransi kesehatan berdasarkan
Prinsip Syariah, dan lini usaha asuransi kecelakaan
diri berdasarkan Prinsip Syariah.
(3) Perusahaan Reasuransi Syariah dan Unit Syariah
pada Perusahaan Reasuransi
menyelenggarakan Usaha Reasuransi Syariah.
Bagian Kedua
Perluasan Ruang Lingkup Usaha Asuransi Umum,
Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah,
dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah
Pasal 4
Ruang lingkup usaha Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Asuransi Syariah dapat diperluas sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat melakukan
perluasan ruang lingkup usaha pada:
hanya dapat
dapat
- 11 -
1. kegiatan usaha PAYDI;
2. kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based);
3. kegiatan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship;
dan/atau
4. kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari
pemerintah;
b. Perusahaan Asuransi Umum Syariah dan Unit Syariah
pada Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat
melakukan perluasan ruang lingkup usaha pada:
1. kegiatan usaha PAYDI;
2. kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based);
dan/atau
3. kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari
pemerintah;
c. Perusahaan Asuransi Jiwa, Perusahaan Asuransi Jiwa
Syariah, dan Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
Jiwa hanya dapat melakukan perluasan ruang lingkup
usaha pada kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee
based);
d. kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based)
sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 2, huruf b
angka 2, dan huruf c hanya dapat dilakukan pada:
1. administrative service only (ASO) dalam rangka
employee benefit; dan
2. pemasaran produk dari lembaga jasa keuangan
yang telah mendapat izin dari OJK dan bukan
merupakan produk asuransi atau reasuransi; dan
e. ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf d angka
2 dikecualikan bagi Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi yang melakukan pemasaran
produk asuransi syariah dari produk Perusahaan
Asuransi Syariah hasil spin-off paling lama 2 (dua)
tahun sejak dilakukannya spin-off.
Pasal 5
(1) Rencana perluasan ruang lingkup usaha yang akan
dilakukan oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan
- 12 -
Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi wajib dicantumkan dalam rencana bisnis
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi
Syariah.
(2) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang
akan melakukan perluasan ruang lingkup usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, wajib terlebih
dahulu mendapatkan persetujuan dari OJK.
Pasal 6
Untuk memperoleh persetujuan perluasan ruang lingkup
usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah
pada Perusahaan Asuransi harus memenuhi ketentuan:
a.
tingkat solvabilitas minimum Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Asuransi;
b. tidak sedang dikenai sanksi pembatasan kegiatan
usaha untuk Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi; dan
c. berdasarkan hasil penilaian risiko yang dilakukan oleh
OJK memiliki tingkat risiko rendah atau sedang-
rendah.
Pasal 7
(1) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, Perusahaan Asuransi Umum,
Perusahaan Asuransi Umum Syariah, atau Unit
Syariah pada Perusahaan Asuransi Umum yang
melakukan perluasan ruang lingkup usaha pada
PAYDI harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. memiliki modal sendiri paling sedikit sebesar
Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh
miliar rupiah) untuk Perusahaan Asuransi
Umum;
- 13 -
b. memiliki modal sendiri paling sedikit sebesar
Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar
rupiah) untuk Perusahaan Asuransi Umum
Syariah atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi Umum;
c. memiliki aktuaris;
d. memiliki pengelola investasi;
e. memiliki sistem informasi yang memadai; dan
f. memiliki sumber daya pendukung yang memadai.
(2) Perusahaan Asuransi Umum, Perusahaan Asuransi
Umum Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi Umum hanya dapat melakukan perluasan
ruang lingkup usaha pada PAYDI yang memiliki
kriteria paling sedikit sebagai berikut:
a. menanggung risiko kematian akibat kecelakaan
diri; dan
b. jangka waktu polis paling singkat 5 (lima) tahun.
(3) Perusahaan Asuransi Umum, Perusahaan Asuransi
Umum Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi Umum yang sudah memperoleh persetujuan
perluasan ruang lingkup usaha pada kegiatan usaha
PAYDI dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau dalam Pasal 6 wajib
menghentikan pemasaran PAYDI.
(4) Persetujuan dari OJK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) bagi Perusahaan Asuransi Umum,
Perusahaan Asuransi Umum Syariah, dan Unit
Syariah pada Perusahaan Asuransi Umum diberikan
dalam bentuk surat persetujuan PAYDI.
(5) Selain memenuhi ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal
6, untuk memperoleh persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) harus juga memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan OJK
mengenai produk asuransi dan pemasaran produk
asuransi dan peraturan pelaksanaannya.
- 14 -
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai PAYDI sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur
dalam Surat Edaran OJK mengenai PAYDI.
Pasal 8
(1) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi yang melakukan perluasan ruang lingkup
usaha pada kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee
based) wajib memenuhi ketentuan:
a. memiliki pegawai yang ditugaskan untuk
melaksanakan kegiatan usaha berbasis imbalan
jasa (fee based) yang telah mengikuti pendidikan
dan pelatihan khusus di bidang produk yang
akan dipasarkan pada kantor pusat, kantor di
luar kantor pusat, dan/atau lokasi lain yang
melakukan kegiatan usaha berbasis imbalan jasa
(fee based);
b. memiliki pejabat penanggung jawab kegiatan
usaha yang berbasis imbalan jasa (fee based)
pada kantor pusat, kantor di luar kantor pusat,
dan/atau lokasi lain yang melakukan kegiatan
usaha berbasis imbalan jasa (fee based); dan
c. memiliki perjanjian kerja sama secara tertulis.
(2) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang
melakukan perluasan ruang lingkup usaha pada
kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based) dan
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan/atau dalam Pasal 6 wajib
menghentikan kegiatan usaha berbasis imbalan jasa
(fee based).
(3) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, dan Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
dikenai sanksi
administratif berupa sanksi
pembatasan kegiatan usaha, Perusahaan Asuransi,
- 15 -
Perusahaan Asuransi Syariah, dan Unit Syariah pada
Perusahaan Asuransi wajib menghentikan kegiatan
usaha berbasis imbalan jasa (fee based) sampai
dicabutnya sanksi pembatasan kegiatan usaha.
(4) Sanksi pembatasan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak membatalkan kewajiban
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi terhadap
kontrak yang telah disepakati sampai berakhirnya
kontrak tersebut dan tidak dapat diperpanjang.
Pasal 9
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang melakukan
kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based) wajib
memiliki sistem pengendalian internal secara tertulis
terhadap produk berbasis imbalan jasa (fee based) yang
akan dipasarkan, paling sedikit memuat:
a. pemberian wewenang dan tanggung jawab yang dapat
menghindari timbulnya benturan kepentingan (conflict
of interest);
b. prosedur operasi standar pelaksanaan kegiatan
produk berbasis imbalan jasa (fee based); dan
c. upaya dan tindakan yang dilakukan untuk
memperbaiki penyimpangan yang terjadi.
Pasal 10
(1) Untuk mendapatkan persetujuan perluasan ruang
lingkup usaha berbasis imbalan jasa (fee based)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d,
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi harus
menyampaikan surat permohonan kepada OJK
dengan melampirkan spesimen perjanjian kerja sama.
(2) OJK memberikan persetujuan, penolakan, atau
permintaan kelengkapan dokumen
terhadap
permohonan perluasan ruang lingkup usaha berbasis
- 16 -
jasa (fee based) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja
setelah permohonan diterima secara lengkap.
Pasal 11
(1) Apabila dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari kerja
sejak tanggal pemberitahuan dari OJK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit
Syariah pada Perusahaan Asuransi tidak melengkapi
dokumen, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
dianggap membatalkan permohonan perluasan ruang
lingkup usaha berbasis imbalan jasa (fee based).
(2) Apabila Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
tetap bermaksud melakukan perluasan ruang lingkup
usaha berbasis imbalan jasa (fee based) setelah
melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
harus menyampaikan kembali permohonannya kepada
OJK.
Pasal 12
(1) Total pendapatan jasa yang diperoleh Perusahaan
Asuransi dari seluruh kegiatan usaha berbasis
imbalan jasa (fee based) dilarang melebihi 25% (dua
puluh lima persen) total pendapatan Premi bruto yang
diperoleh Perusahaan Asuransi dalam satu periode
tahun buku berdasarkan laporan keuangan tahunan
yang telah diaudit.
(2) Total pendapatan jasa yang diperoleh Perusahaan
Asuransi Syariah dari seluruh kegiatan usaha berbasis
imbalan jasa (fee based) dilarang melebihi 50% (lima
puluh persen) total ujrah (fee) Perusahaan Asuransi
Syariah yang diterima dari kegiatan Usaha Asuransi
Umum Syariah atau Usaha Asuransi Jiwa Syariah
- 17 -
dalam satu periode tahun buku berdasarkan laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit.
(3) Total pendapatan jasa yang diperoleh Unit Syariah
pada Perusahaan Asuransi dari seluruh kegiatan
usaha berbasis imbalan jasa (fee based) dilarang
melebihi 50% (lima puluh persen) total ujrah (fee)
dalam satu periode tahun buku berdasarkan laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit.
Pasal 13
Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, Perusahaan Asuransi Umum yang melakukan
perluasan ruang lingkup usaha pada kegiatan usaha
Asuransi Kredit dan Suretyship wajib memenuhi peraturan
perundang-undangan di bidang penyelenggaraan usaha
Asuransi Kredit dan Suretyship serta memperhatikan
peraturan perundang-undangan di bidang penjaminan.
BAB III
STANDAR PERILAKU USAHA
Bagian Kesatu
Pra Penjualan, Keagenan, dan Pialang
Pasal 14
Perusahaan atau Unit Syariah wajib menyediakan
dan/atau menyampaikan informasi mengenai produk
dan/atau layanan yang akurat, jelas, dan tidak
menyesatkan kepada pemegang polis, tertanggung, peserta,
atau Perusahaan Ceding terkait produk asuransi atau
produk asuransi syariah yang dipasarkan.
Pasal 15
(1) Dalam melakukan promosi atau iklan, Perusahaan
atau Unit Syariah wajib melakukan upaya terbaik
untuk memastikan bahwa informasi yang diberikan
- 18 -
dalam promosi atau iklan tersebut disampaikan secara
akurat, jelas, dan tidak menyesatkan.
(2) Perusahaan atau Unit Syariah wajib menarik materi
iklan yang tidak akurat, tidak jelas, dan/atau dapat
menyesatkan pemegang polis, tertanggung, peserta, atau
Perusahaan Ceding.
(3) Dalam hal OJK menilai materi iklan yang disampaikan
tidak akurat, tidak jelas, dan/atau dapat menyesatkan
pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan
Ceding, OJK dapat meminta Perusahaan atau Unit
Syariah untuk menarik materi iklan dimaksud dalam
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak
tanggal permintaan OJK.
(4)
Informasi yang diberikan untuk promosi atau iklan
dalam bentuk brosur atau leaflet wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. mudah dimengerti;
b. memuat manfaat yang akan diperoleh pemegang
polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan
Ceding dari produk yang ditawarkan;
c. memuat proses pembayaran pengajuan klaim;
d. memuat pengecualian yang berpengaruh terhadap
proses persetujuan dan pembayaran klaim;
e.
tidak menyembunyikan, mengurangi, atau
menghilangkan pernyataan penting; dan
f. memuat pernyataan mengenai syarat dan ketentuan
yang berlaku.
(5)
Informasi yang diberikan untuk promosi atau iklan selain
brosur atau leaflet wajib memenuhi ketentuan paling
sedikit sebagaimana diatur pada ayat (4) huruf a, huruf b,
dan huruf f.
Pasal 16
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang
menggunakan Agen Asuransi wajib memastikan
bahwa Agen Asuransi:
- 19 -
a. memiliki sertifikat keagenan sesuai dengan
bidang usahanya; dan
b.
terdaftar di OJK.
(2) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang
menggunakan Agen Asuransi paling sedikit wajib:
a. melaporkan Agen Asuransinya kepada asosiasi
yang sesuai dengan bidang usahanya; dan
b. membuat perjanjian secara tertulis dengan Agen
Asuransi yang memasarkan produk asuransinya
yang paling sedikit mencantumkan:
1. kode etik yang ditetapkan oleh asosiasi
sesuai dengan bidang usahanya dalam
perjanjian keagenan;
2. kewajiban Agen Asuransi untuk mematuhi
kode etik atau sejenisnya yang ditetapkan
oleh asosiasi Perusahaan Asuransi sesuai
dengan bidang usahanya berikut sanksi yang
dikenakan pada setiap pelanggaran yang
dilakukan Agen Asuransi; dan
3. jangka waktu penyerahan Premi atau
kontribusi kepada Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit
Syariah pada Perusahaan Asuransi, dalam
hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan
Asuransi memberikan
kewenangan kepada Agen Asuransi untuk
menerima Premi atau kontribusi.
(3) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
menggunakan Agen Asuransi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi tersebut bertanggung jawab penuh terhadap
konsekuensi yang timbul dari penutupan asuransi
yang dilakukan oleh Agen Asuransi bersangkutan.
- 20 -
Pasal 17
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dilarang
mengikat perjanjian dengan Agen Asuransi yang masih
terikat perjanjian keagenan dengan Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit
Syariah pada Perusahaan Asuransi lain yang sejenis.
(2) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
mengikat perjanjian dengan Agen Asuransi yang
merupakan Agen Asuransi yang masih bekerja sama
dengan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
lain yang tidak sejenis, Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Asuransi wajib memastikan bahwa agen
dimaksud telah mendapatkan persetujuan dari
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi tempat
agen dimaksud bekerja sebelumnya.
(3) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
mengikat perjanjian dengan Agen Asuransi yang
merupakan Agen Asuransi yang berpindah dari
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi lain yang
sejenis, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
wajib memastikan bahwa Agen Asuransi dimaksud
menyampaikan surat pernyataan yang menyatakan:
a.
telah menyelesaikan seluruh kewajibannya pada
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi sebelumnya; dan
b. tidak melakukan twisting yaitu tindakan yang
membujuk dan/atau mempengaruhi pemegang
polis, tertanggung, atau peserta untuk merubah
- 21 -
spesifikasi polis yang ada atau mengganti polis
yang ada dengan polis yang baru pada
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi lainnya, dan/atau membeli polis baru
dengan menggunakan dana yang berasal dari
polis yang masih aktif pada suatu Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi lainnya.
Pasal 18
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang mengunakan
Agen Asuransi dalam memasarkan produknya wajib
memastikan bahwa dalam kegiatan pemasarannya, Agen
Asuransi paling sedikit telah melakukan tindakan sebagai
berikut:
a. menyampaikan identitas sebagai wakil sah dari
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dengan
menunjukkan lisensi keagenan yang berlaku untuk
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang
diwakilinya;
b. menyampaikan informasi mengenai produk asuransi
yang ditawarkan dan informasi penting yang terkait
dengan syarat dan ketentuan polis dengan
memperhatikan ketentuan peraturan OJK mengenai
perlindungan konsumen sektor jasa keuangan;
c. menyampaikan kepada pemegang polis, tertanggung,
atau peserta atas penerimaan atau penolakan surat
penutupan asuransi dari Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Asuransi kepada pemegang polis,
tertanggung, atau peserta paling lama 5 (lima) hari
kerja sejak ada keputusan penerimaan atau penolakan
pertanggungan;
- 22 -
d. menginformasikan dokumen yang diperlukan untuk
pengajuan formulir permohonan penutupan asuransi;
e. meminta dokumen yang diperlukan untuk pengajuan
formulir permohonan dan dokumen lainnya yang
dimintakan oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi untuk penutupan asuransi; dan
f. memastikan pemegang polis, tertanggung, atau
peserta mengisi seluruh formulir surat permohonan
pertanggungan asuransi secara lengkap sesuai dengan
dokumen yang disampaikan.
Pasal 19
Dalam hal Agen Asuransi tidak lagi menjadi Agen Asuransi
dari sebuah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dimaksud wajib:
a. memberitahukan kepada pemegang polis, tertanggung,
atau peserta yang penutupan asuransinya dilakukan
melalui Agen Asuransi tersebut; dan
b. memberikan informasi Agen Asuransi pengganti atau
petugas pelayanan pelanggan (customer service officer).
Pasal 20
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib memberikan
pengetahuan secara berkelanjutan paling sedikit 2 (dua)
kali dalam 1 (satu) tahun mengenai produk asuransi atau
produk asuransi syariah yang dipasarkan termasuk tata
cara pemasaran, dan prosedur pengajuan klaim kepada
Agen Asuransi.
Pasal 21
(1) Penyelesaian sengketa
Perusahaan
Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Asuransi sebagai akibat dari penggunaan
- 23 -
Agen Asuransi dalam rangka kegiatan pemasaran
produk asuransi, diselesaikan secara musyawarah dan
mufakat antara para pihak yang bersengketa.
(2) Dalam hal tidak ditemukan kesepakatan antara para
pihak yang bersengketa, penyelesaian sengketa
diselesaikan melalui asosiasi yang sesuai dengan
kegiatan usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi.
Pasal 22
(1) Perusahaan atau Unit Syariah dapat menerima
penutupan pertanggungan dari Perusahaan Pialang
Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi.
(2) Dalam hal Perusahaan atau Unit Syariah menerima
bisnis dari Perusahaan Pialang Asuransi atau
Perusahaan Pialang Reasuransi di luar negeri,
Perusahaan atau Unit Syariah wajib memastikan
bahwa Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan
Pialang Reasuransi dimaksud telah memiliki izin
usaha dari otoritas perasuransian di luar negeri.
(3) Dalam hal Perusahaan atau Unit Syariah menutup
risiko atas objek asuransi di dalam negeri dari
Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang
Asuransi, Perusahaan atau Unit Syariah wajib
memastikan bahwa Perusahaan Pialang Asuransi atau
Perusahaan Pialang Asuransi dimaksud telah memiliki
izin usaha dari OJK.
Bagian Kedua
Polis, Premi, atau Kontribusi
Pasal 23
Dalam hal penutupan asuransi atau asuransi syariah
dilakukan melalui Agen Asuransi, pertanggungan atau
asuransi syariah dinyatakan mulai berlaku dan mengikat
para pihak terhitung sejak Premi atau kontribusi diterima
- 24 -
oleh Agen Asuransi dan/atau Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Asuransi.
Pasal 24
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib
memastikan bahwa pemegang polis, tertanggung, atau
peserta telah menerima polis dalam jangka waktu
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah
pembayaran Premi atau kontribusi dan pertanggungan
dinyatakan diterima.
(2) Dalam hal produk asuransi atau produk asuransi
syariah memiliki jangka waktu pertanggungan lebih
dari 1 (satu) tahun atau bukan merupakan produk
asuransi mikro, Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi wajib memberikan kesempatan kepada
pemegang polis, tertanggung, atau peserta untuk
mempelajari polis dalam jangka waktu paling singkat
14 (empat belas) hari sejak pemegang polis,
tertanggung, atau peserta menerima polis.
(3) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
dilarang melakukan investasi terhadap Premi yang
diterima dari pembayaran polis yang dikaitkan dengan
investasi, kecuali telah mendapatkan persetujuan
tertulis dari pemegang polis, tertanggung, atau peserta
yang menyatakan bahwa pemegang polis, tertanggung,
atau peserta telah memahami risiko investasinya.
(4) Dalam hal pemegang polis, tertanggung, atau peserta
membatalkan pertanggungan atau asuransi syariah
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
wajib mengembalikan paling sedikit sejumlah Premi
- 25 -
atau kontribusi yang telah dibayarkan dikurangi
biaya, ditambah dengan hasil investasi atau dikurangi
kerugian investasi yang telah mendapatkan
persetujuan tertulis dari pemegang polis, tertanggung,
atau peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib
mengembalikan bagian Premi atau kontribusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 15
(lima belas) hari kerja sejak permohonan pembatalan
dari pemegang polis, tertanggung, atau peserta
diterima secara lengkap oleh Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Asuransi.
Pasal 25
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib
menginformasikan mengenai rincian biaya polis
kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta.
(2) Dalam hal tertanggung atau peserta sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan tertanggung atau
peserta dari produk asuransi atau produk asuransi
syariah yang dikaitkan dengan penyaluran kredit atau
pembiayaan syariah rincian biaya polis dapat
diinformasikan hanya kepada pemegang polis kecuali
atas permintaan tertanggung atau peserta.
Pasal 26
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
wajib
menyampaikan rincian mengenai bagian dari Premi atau
kontribusi yang dibayarkan kepada Perusahaan Pialang
Asuransi di dalam polis atau dokumen yang merupakan
kesatuan dengannya.
- 26 -
Pasal 27
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dapat
memberikan persetujuan kepada Agen Asuransi melalui
perjanjian keagenan atau peraturan internal lainnya untuk
menerima pembayaran Premi atau kontribusi dari
pemegang polis, tertanggung, atau peserta.
(2) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib
memastikan bahwa Agen Asuransi telah memberikan
bukti penerimaan pembayaran Premi atau kontribusi
kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta,
dalam hal Agen Asuransi menerima pembayaran Premi
atau kontribusi.
Pasal 28
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib bertanggung
jawab atas pembayaran klaim atau manfaat yang timbul
apabila Agen Asuransi telah menerima Premi atau
kontribusi, tetapi belum menyerahkannya kepada
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi tersebut.
Pasal 29
(1) Perusahaan atau Unit Syariah dapat membuka
kesempatan kepada pemegang polis, tertanggung,
peserta, atau Perusahaan Ceding untuk melakukan
pembayaran
Premi
atau
kontribusi
melalui
Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan
Pialang Reasuransi.
(2) Dalam hal pembayaran Premi atau kontribusi yang
diterima oleh Perusahaan Pialang Asuransi atau
Perusahaan Pialang Reasuransi telah diserahkan
kepada Perusahaan atau Unit Syariah, pembayaran
klaim atau manfaat yang timbul merupakan
tanggung jawab Perusahaan atau Unit Syariah.
- 27 -
(3) Pembayaran klaim atau manfaat yang timbul
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku
apabila:
a. pemegang polis, tertanggung, peserta, atau
Perusahaan Ceding membayar Premi atau
kontribusi dalam jangka waktu pembayaran
Premi atau kontribusi yang ditentukan di dalam
polis atau perjanjian reasuransi; dan
b.
risiko yang terjadi dijamin di dalam polis atau
perjanjian reasuransi.
(4) Dalam hal Perusahaan atau Unit Syariah belum
menerima pembayaran Premi atau kontribusi dari
Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan
Pialang Reasuransi dalam jangka waktu paling lama
1 (satu) hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu
yang ditentukan dalam polis, Perusahaan atau Unit
Syariah dapat menerbitkan surat pembatalan polis
atau perjanjian reasuransi kepada pialang asuransi
untuk disampaikan kepada pemegang polis,
tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding dan
Perusahaan atau Unit Syariah tidak bertanggung
jawab atas pembayaran klaim atau manfaat yang
timbul.
(5) Dalam hal Perusahaan atau Unit Syariah tidak
melakukan pembatalan polis atau perjanjian
reasuransi dan menerima pembayaran Premi atau
kontribusi melalui Perusahaan Pialang Asuransi atau
Perusahaan Pialang Reasuransi setelah berakhirnya
jangka waktu yang ditentukan di dalam polis atau
perjanjian reasuransi, Perusahaan atau Unit Syariah
wajib bertanggung jawab atas pembayaran klaim
atau manfaat yang timbul sejak Premi atau
kontribusi diterima.
(6) Dalam hal Perusahaan atau Unit Syariah menerima
pembayaran
Premi
Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang
Reasuransi setelah berakhirnya jangka waktu yang
atau kontribusi melalui
- 28 -
ditentukan di dalam polis atau perjanjian reasuransi
dan tidak melakukan pembatalan polis atau perjanjian
reasuransi dalam jangka waktu 3 (tiga) hari sejak
Premi dan kontribusi diterima, Perusahaan atau Unit
Syariah wajib bertanggung jawab atas pembayaran
klaim atau manfaat yang timbul sejak Premi atau
kontribusi diterima.
(7) Dalam hal terjadi klaim sebelum Perusahaan atau
Unit Syariah menerima pembayaran Premi atau
kontribusi dari Perusahaan Pialang Asuransi atau
Perusahaan Pialang Reasuransi, Perusahaan atau
Unit Syariah wajib membantu pemegang polis,
tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding dalam
penyelesaian klaim kepada Perusahaan Pialang
Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi.
(8) Dalam hal penyelesaian
klaim sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) menggunakan perusahaan
penilai kerugian asuransi, biaya yang timbul dapat
dibebankan kepada Perusahaan Pialang Asuransi
atau Perusahaan Pialang Reasuransi.
(9) Dalam hal penutupan asuransi melalui Perusahaan
Pialang Asuransi, Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Unit
Syariah pada
Perusahaan Asuransi dilarang melakukan off-set
antara Premi atau kontribusi dengan klaim.
Pasal 30
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib
memberikan konfirmasi kepada Perusahaan Pialang
Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi
terhadap rincian pembayaran masing-masing polis
atau perjanjian reasuransi yang disampaikan
Perusahaan Pialang Asuransi dalam jangka waktu
paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah rincian
pembayaran Premi atau kontribusi masing-masing
polis atau perjanjian reasuransi diterima.
- 29 -
(2) Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Reasuransi wajib memberikan konfirmasi atau
verifikasi kepada Perusahaan Pialang Reasuransi
terhadap rincian pembayaran yang disampaikan
Perusahaan Pialang Reasuransi dalam jangka waktu
paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah rincian
pembayaran Premi atau kontribusi diterima.
Pasal 31
(1) Perusahaan atau Unit Syariah wajib membayar
imbalan jasa keperantaraan atau komisi yang
menjadi hak Perusahaan Pialang Asuransi atau
Perusahaan Pialang Reasuransi paling lama 7 (tujuh)
hari
kerja
setelah konfirmasi
atas
rincian
pembayaran diterima oleh Perusahaan atau Unit
Syariah, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian
kerja sama.
(2) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah
pada
yang
Perusahaan Asuransi
hanya dapat memberikan bagian dari Premi atau
kontribusi
merupakan
imbalan
keperantaraan atau komisi kepada pihak
jasa
yang
terlibat dalam proses pemasaran produk asuransi
atau asuransi syariah.
Bagian Ketiga
Perjanjian Reasuransi atau Perjanjian Reasuransi Syariah
Pasal 32
Setiap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
wajib memiliki dukungan reasuransi dalam bentuk
perjanjian reasuransi atau perjanjian reasuransi syariah
otomatis.
- 30 -
Pasal 33
(1) Perjanjian reasuransi atau perjanjian reasuransi
syariah wajib dibuat secara tertulis dan tidak
merupakan perjanjian yang menjanjikan keuntungan
pasti bagi penanggung ulang atau reasuradur.
(2) Perjanjian reasuransi atau perjanjian reasuransi
syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memuat pernyataan bahwa dalam hal Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Unit
Syariah pada Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau
Unit
Syariah
pada
Perusahaan
dilikuidasi, hak dan kewajiban
Reasuransi
Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Unit
Syariah pada Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Reasuransi
timbul dalam transaksi reasuransi tetap mengikat
sampai dengan saat salah satu atau kedua
Perusahaan tersebut dilikuidasi.
Bagian Keempat
Underwriting
Pasal 34
Perusahaan atau Unit Syariah wajib memiliki pedoman
underwriting untuk produk yang dipasarkan, yang
mencerminkan bahwa pelaksanaan proses seleksi risiko
dilakukan secara hati-hati dan sesuai dengan praktik
perasuransian yang berlaku umum.
Pasal 35
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi sebelum
melakukan penutupan asuransi wajib memastikan bahwa
seluruh risiko yang ditanggung sudah ter-cover oleh
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
yang
- 31 -
Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
bersangkutan dan/atau penanggung ulang/reasuradur.
Bagian Kelima
Penyelesaian Klaim
Pasal 36
Perusahaan atau Unit Syariah wajib memiliki pedoman
penyelesaian klaim untuk produk yang dipasarkan, yang
mencerminkan bahwa penanganan klaim telah dilakukan
melalui proses yang cepat, sederhana, mudah diakses, dan
adil serta sesuai dengan praktik perasuransian yang
berlaku umum.
Pasal 37
(1) Perusahaan atau Unit Syariah dilarang melakukan
tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau
pembayaran klaim, atau tidak melakukan tindakan yang
seharusnya dilakukan sehingga mengakibatkan
keterlambatan penyelesaian atau pembayaran klaim.
(2) Perusahaan atau Unit Syariah dapat menunjuk
perusahaan penilai kerugian asuransi untuk
melakukan penilaian terhadap klaim yang diajukan.
(3) Dalam hal Perusahaan atau Unit Syariah
menggunakan perusahaan penilai kerugian asuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan
atau Unit Syariah dilarang mengabaikan hasil
penilaian kerugian tanpa didasari argumen yang kuat.
Pasal 38
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi hanya
dapat meminta dokumen sebagai persyaratan
pengajuan klaim sesuai dengan yang tertera dalam
polis.
yang
- 32 -
(2) Dalam hal polis mencantumkan dokumen dan/atau
syarat lain sebagai persyaratan pengajuan klaim,
dokumen dan/atau syarat lain tersebut harus:
a. relevan dengan pertanggungan; dan
b. wajar dalam proses penyelesaian klaim.
(3) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dilarang
melakukan pembayaran klaim asuransi melalui pihak
ketiga, kecuali Perusahaan Pialang Asuransi, pihak
penyedia layanan klaim, atau pihak yang telah
mendapatkan persetujuan dari penerima manfaat.
Pasal 39
(1) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
menunjuk perusahaan penilai kerugian asuransi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2),
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib
menunjuk perusahaan penilai kerugian asuransi yang
telah mendapat izin usaha dari OJK.
(2) Penunjukan perusahaan penilai kerugian asuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan
dalam bentuk perjanjian kerja sama antara
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dengan
perusahaan penilai kerugian asuransi.
(3) Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib paling sedikit memuat:
a. hak dan kewajiban perusahaan penilai kerugian
asuransi dan Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Asuransi;
b.
jangka waktu pembayaran imbalan jasa penilaian
kerugian dan/atau imbalan jasa konsultasi
terkait dengan kerugian yang terjadi atas objek
asuransi; dan
- 33 -
c. ketentuan yang menyatakan bahwa setiap
pelaksanaan penilaian kerugian atas objek
asuransi oleh perusahaan penilai kerugian
asuransi harus didasari penugasan tertulis atau
surat perintah kerja dari Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah
pada Perusahaan Asuransi.
(4) Penugasan tertulis atau surat perintah kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c
mengatur kinerja, atau tahapan penyelesaian penilai
kerugian.
Pasal 40
(1) Perusahaan atau Unit Syariah wajib menyelesaikan
pembayaran klaim sesuai jangka waktu pembayaran
klaim atau manfaat yang ditetapkan dalam polis
asuransi atau paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
adanya kesepakatan antara pemegang polis,
tertanggung, atau peserta dengan Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit
Syariah pada Perusahaan Asuransi, atau kepastian
mengenai jumlah klaim yang harus dibayar, mana
yang lebih singkat.
(2) Dalam hal Perusahaan atau Unit Syariah diwajibkan
membayar klaim berdasarkan putusan lembaga
alternatif penyelesaian sengketa terkait, Perusahaan
atau Unit Syariah pada Perusahaan wajib membayar
klaim tersebut paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
putusan ditetapkan atau ditetapkan lain dalam
putusan lembaga alternatif penyelesaian sengketa
terkait.
(3) Dalam hal proses penyelesaian klaim telah
dilimpahkan kepada pengadilan, Perusahaan atau
Unit Syariah wajib membayar klaim paling lama 30
(tiga puluh) hari setelah adanya putusan pembayaran
klaim yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) atau
ditetapkan lain dalam putusan pengadilan.
- 34 -
(4) Perusahaan atau Unit Syariah dilarang melakukan
pembayaran klaim melalui Perusahaan Pialang
Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi kecuali
atas persetujuan tertulis dari pemegang polis,
tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding.
Bagian Keenam
Keahlian di Bidang Perasuransian
Pasal 41
(1) Perusahaan atau Unit Syariah wajib menerapkan segenap
keahlian, perhatian, dan kecermatan dalam melayani
atau bertransaksi dengan pemegang polis, tertanggung,
peserta, atau Perusahaan Ceding.
(2) Perusahaan atau Unit Syariah dalam melaksanakan
kegiatan usahanya wajib memiliki tenaga ahli dan
aktuaris yang sesuai dengan bidang usahanya.
Pasal 42
(1) Tenaga ahli Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai
berikut:
a. melakukan evaluasi penerapan manajemen
underwriting asuransi di Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah
pada Perusahaan Asuransi;
b. melakukan evaluasi atas aspek teknis dalam
proses reasuransi di Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah
pada Perusahaan Asuransi;
c. melakukan evaluasi atas aspek teknis dalam
proses penyelesaian klaim di Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi;
d. turut serta dalam penerapan manajemen risiko di
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
- 35 -
Syariah atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi; dan
e. tugas dan tanggung jawab lain yang ditetapkan
oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi.
(2) Tenaga ahli Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi memiliki wewenang sebagai berikut:
a. menerima atau menolak penutupan asuransi
dalam jumlah tertentu yang ditetapkan oleh
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi; dan
b. wewenang lain yang ditetapkan oleh Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi.
Pasal 43
(1) Tenaga ahli Perusahaan Reasuransi, Perusahaan
Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Reasuransi memiliki tugas dan tanggung
jawab sebagai berikut:
a. melakukan evaluasi penerapan manajemen
underwriting
reasuransi di Perusahaan
Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Reasuransi;
b. melakukan evaluasi atas aspek teknis dalam
proses retrosesi di Perusahaan Reasuransi,
Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit
Syariah pada Perusahaan Reasuransi;
c. melakukan evaluasi atas aspek teknis dalam
proses penyelesaian klaim di Perusahaan
Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Reasuransi;
d. turut serta dalam penerapan manajemen risiko di
Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi
- 36 -
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Reasuransi; dan
e. tugas dan tanggung jawab lain yang ditetapkan
oleh Perusahaan Reasuransi, Perusahaan
Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Reasuransi.
(2) Tenaga ahli Perusahaan Reasuransi, Perusahaan
Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Reasuransi memiliki wewenang sebagai
berikut:
a. menerima atau menolak pengajuan bisnis
reasuransi dalam jumlah tertentu yang
ditetapkan oleh
Perusahaan Reasuransi,
Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit
Syariah pada Perusahaan Reasuransi; dan
b. wewenang lain yang ditetapkan oleh Perusahaan
Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau
Unit Syariah pada Perusahaan Reasuransi.
Pasal 44
(1) Aktuaris Perusahaan atau Unit Syariah memiliki tugas
dan tanggung jawab sebagai berikut:
a. memastikan kualitas data statistik Perusahaan
atau Unit Syariah;
b. melakukan evaluasi atas tingkat kesehatan
keuangan dan kecukupan modal Perusahaan
atau Unit Syariah;
c. merancang produk asuransi termasuk
menentukan tarif Premi dan profitabilitas atas
produk asuransi dimaksud;
d. melakukan perhitungan cadangan teknis
Perusahaan atau Unit Syariah;
e. turut serta dalam penerapan manajemen risiko di
Perusahaan atau Unit Syariah;
f. melakukan evaluasi atas aspek aktuaria dalam
proses reasuransi di Perusahaan atau Unit
Syariah;
- 37 -
g. menyusun perkiraan kemampuan Perusahaan
atau Unit Syariah untuk memenuhi kewajiban di
masa depan; dan
h. tugas dan tanggung jawab lain yang ditetapkan
oleh Perusahaan atau Unit Syariah.
(2) Aktuaris Perusahaan atau Unit Syariah memiliki
wewenang sebagai berikut:
a. menandatangani laporan aktuaris Perusahaan
atau Unit Syariah;
b. menandatangani laporan operasional Perusahaan
atau Unit Syariah;
c. menandatangani pengajuan pelaporan produk
asuransi; dan
d. wewenang lain yang ditetapkan oleh Perusahaan
atau Unit Syariah.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya, aktuaris Perusahaan
atau Unit Syariah wajib berpedoman pada kode etik
dan standar perilaku yang disusun oleh asosiasi
profesi di Indonesia.
Bagian Ketujuh
Penanganan Keluhan atau Pengaduan
Pasal 45
(1) Perusahaan atau Unit Syariah wajib menyelesaikan
setiap keluhan atau pengaduan terkait produk
asuransi yang diajukan oleh pemegang polis,
tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding.
(2) Perusahaan atau Unit Syariah wajib memiliki dan
melaksanakan mekanisme penanganan keluhan atau
pengaduan dari pemegang polis, tertanggung,
peserta, atau Perusahaan Ceding.
(3) Mekanisme pelayanan dan penyelesaian keluhan
atau pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib diberitahukan kepada pemegang polis,
tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding.
- 38 -
(4) Mekanisme penanganan keluhan atau pengaduan
diadministrasikan
dan/atau
didokumentasikan
secara elektronik, dan dimuat ke dalam situs web
Perusahaan.
Pasal 46
(1) Perusahaan atau Unit Syariah wajib memiliki unit
kerja dan/atau fungsi untuk menangani dan
menyelesaikan keluhan atau pengaduan yang
diajukan pemegang polis, tertanggung, peserta, atau
Perusahaan Ceding.
(2) Perusahaan atau Unit Syariah dilarang mengenakan
biaya apapun kepada pemegang polis, tertanggung,
peserta,
atau
pengajuan keluhan atau pengaduan.
(3) Tata cara penyelesaian keluhan atau pengaduan
sesuai dengan ketentuan yang
peraturan OJK mengenai perlindungan konsumen
sektor jasa keuangan dan peraturan OJK mengenai
lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor
jasa keuangan.
Bagian Kedelapan
Sarana Komunikasi dan Teknologi Informasi
Pasal 47
Perusahaan atau Unit Syariah wajib menyediakan
berbagai sarana komunikasi dan informasi yang mudah
untuk diakses oleh pemegang polis, tertanggung, peserta,
atau Perusahaan Ceding, yang paling sedikit meliputi
alamat surat, surat elektronik, telepon, faksimile, dan
situs web.
Pasal 48
(1) Situs web Perusahaan
atau
Unit
Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 wajib
memuat informasi paling sedikit:
diatur dalam
Perusahaan Ceding terhadap
- 39 -
a.
profil Perusahaan atau Unit Syariah yang
secara lengkap antara lain mencantumkan:
1)
izin usaha dari OJK atau otoritas lain
sebelum terbentuknya OJK;
2) struktur organisasi dan nama pejabat
Perusahaan atau Unit Syariah paling
sedikit memuat direksi, dewan komisaris
atau yang setara, dewan pengawas syariah,
dan pejabat satu tingkat di bawah direksi;
dan
3) jaringan, alamat, nomor telepon kantor di
luar kantor pusat, dan nama pejabat
kantor di luar kantor pusat;
b. ringkasan informasi produk dari seluruh produk
yang dipasarkan;
c. prosedur dan cara bertransaksi;
d. informasi tata cara pelayanan dan penyelesaian
pengaduan;
e.
daftar Agen Asuransi yang masih aktif
memasarkan produk Perusahaan atau Unit
Syariah;
f. penerapan tata kelola Perusahaan atau Unit
Syariah yang termuat dalam laporan tahunan;
g. informasi lainnya baik yang telah diwajibkan
oleh peraturan lainnya maupun kebutuhan dari
Perusahaan atau Unit Syariah; dan
h. kinerja masing-masing sub dana investasi
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi dalam hal Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit
Syariah pada Perusahaan Asuransi memasarkan
PAYDI.
(2) Perusahaan atau Unit Syariah wajib melakukan
pengkinian informasi yang disajikan dalam situs web
Perusahaan atau Unit Syariah paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja setelah terjadi perubahan informasi
- 40 -
sebagaimana pada ayat (1) huruf a sampai dengan
huruf h.
(3) Dalam hal
Perusahaan atau
merupakan emiten
Unit
Syariah
atau perusahaan publik,
informasi yang dimuat dalam situs web Perusahaan
atau Unit Syariah sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam peraturan OJK mengenai situs web
emiten atau perusahaan publik.
Pasal 49
(1) Kegiatan usaha Perusahaan atau Unit Syariah wajib
didukung dengan sistem pengelolaan data yang
dapat menghasilkan informasi yang akurat dan
dapat dipertanggungjawabkan dalam pengambilan
keputusan.
(2) Perusahaan atau Unit Syariah wajib menerapkan
manajemen risiko secara efektif dan terintegrasi
dalam menggunakan sistem pengelolaan data.
kepentingan
(3) Untuk
penegakan
hukum,
perlindungan, dan penegakan kedaulatan negara
terhadap data warga negaranya, Perusahaan atau
Unit Syariah wajib menempatkan data pada pusat
data (data center) dan pusat pemulihan bencana
(disaster recovery center) di wilayah Indonesia.
Pasal 50
Data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3)
wajib paling sedikit terdiri dari:
a. data dan informasi terkait data pribadi pemegang
polis, tertanggung, atau peserta;
b. data dan informasi yang berkaitan dengan transaksi
pembayaran Premi atau klaim;
c. data dan informasi kependudukan; dan
d. data dan informasi di bidang administrasi badan
hukum.
- 41 -
Pasal 51
(1) Perusahaan
atau
menyelenggarakan
Unit
teknologi
Syariah
informasi
dapat
sendiri
dan/atau menggunakan pihak penyedia jasa
teknologi informasi.
(2) Dalam hal
Perusahaan atau
menggunakan pihak penyedia
Unit
jasa
Syariah
teknologi
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Perusahaan atau Unit Syariah wajib:
a. bertanggung
jawab
manajemen risiko;
b. melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap
kinerja penyedia jasa teknologi informasi; dan
c. memberikan akses terhadap data, informasi dan
database kepada OJK serta auditor internal dan
eksternal Perusahaan atau Unit Syariah
sewaktu-waktu apabila dibutuhkan.
Pasal 52
Perusahaan atau Unit Syariah dapat menyelenggarakan
kegiatan usahanya secara digital atau elektronik.
BAB IV
PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DALAM
PENYELENGGARAAN USAHA ASURANSI UMUM
SYARIAH, USAHA ASURANSI JIWA SYARIAH,
DAN USAHA REASURANSI SYARIAH
Pasal 53
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi
Syariah, atau Unit Syariah dalam menyelenggarakan
kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip dasar sebagai
berikut:
a. dipenuhinya prinsip keadilan ('adl), dapat dipercaya
(amanah), keseimbangan (tawazun), kemaslahatan
(maslahah), dan keuniversalan (syumul); dan
dalam
penerapan
- 42 -
b. tidak mengandung hal-hal yang diharamkan, seperti
ketidakpastian atau ketidakjelasan (gharar), perjudian
(maysir), bunga (riba), penganiayaan (zhulm), suap
(risywah), maksiat, dan objek haram.
Pasal 54
(1) Polis asuransi syariah dan perjanjian reasuransi
syariah wajib mengandung Akad Tabarru’ dan Akad
Tijarah.
(2) Polis anuitas syariah untuk program pensiun wajib
mengandung Akad Hibah Tanahud dan Akad Tijarah.
(3) Akad Tijarah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) dapat berupa Akad Wakalah bil Ujrah,
Akad Mudharabah, dan/atau Akad Mudharabah
Musytarakah.
(4) Penggunaan salah satu Akad Tijarah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan secara
konsisten sampai berakhirnya polis asuransi syariah.
(5) Dalam hal disepakati perubahan Akad Tijarah,
penggunaan Akad Tijarah yang baru hanya dapat
diterapkan pada polis asuransi syariah yang baru.
(6) Dalam hal perubahan Akad Tijarah sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) terjadi untuk pengelolaan
investasi Dana Tabarru’ atau Dana Tanahud,
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi
Syariah, atau Unit Syariah wajib memisahkan Dana
Tabarru’ atau Dana Tanahud yang dikelola
berdasarkan Akad Tijarah yang lama dari Dana
Tabarru’ atau Dana Tanahud yang dikelola
berdasarkan Akad Tijarah yang baru.
(7) Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi
Syariah, atau Unit Syariah dapat menggunakan Akad
Tijarah dalam rangka pengelolaan investasi dari Dana
Tabarru’ atau Dana Tanahud yang berbeda dengan
Akad Tijarah dalam rangka kegiatan lain.
(8) Berdasarkan Akad Wakalah bil Ujrah, Akad
Mudharabah, dan Akad Mudharabah Musytarakah,
- 43 -
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi
Syariah, atau Unit Syariah wajib menanggung seluruh
kerugian yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan
risiko dan/atau kegiatan pengelolaan investasi yang
diakibatkan oleh kesalahan yang disengaja, kelalaian,
atau wanprestasi yang dilakukan Perusahaan
Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah,
atau Unit Syariah.
Pasal 55
(1) Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi
Syariah, atau Unit Syariah dapat menggunakan Akad
selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1)
dan ayat (2) dalam penyelenggaraan Usaha Asuransi
Syariah atau Usaha Reasuransi Syariah.
(2) Penggunaan Akad sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilakukan berdasarkan fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia dan terlebih dahulu
memperoleh persetujuan dari OJK.
Pasal 56
(1) Akad Tabarru’ atau Akad Hibah Tanahud yang
digunakan dalam polis asuransi syariah atau anuitas
syariah untuk program pensiun tidak dapat diubah
menjadi Akad Tijarah.
(2) Akad Tabarru’ yang digunakan dalam polis asuransi
syariah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
wajib memuat paling sedikit sebagai berikut:
a. kesepakatan para pemegang polis atau peserta
untuk saling tolong menolong (ta’awuni);
b. hak dan kewajiban masing-masing pemegang
polis atau peserta secara individu;
c. hak dan kewajiban pemegang polis atau peserta
secara kolektif dalam kelompok;
d. cara dan waktu pembayaran kontribusi;
e. cara dan waktu pembayaran santunan/klaim;
- 44 -
f.
ketentuan mengenai boleh atau tidaknya
kontribusi ditarik kembali oleh pemegang polis
atau peserta dalam hal terjadi pembatalan oleh
pemegang polis atau peserta;
g. ketentuan mengenai alternatif dan persentase
pembagian surplus underwriting; dan
h. ketentuan lain yang disepakati.
(3) Dalam Akad Tabarru’ harus dibentuk Dana Tabarru’
dari kontribusi pemegang polis atau peserta sejak awal
perjanjian asuransi syariah atau perjanjian reasuransi
syariah.
(4) Akad Hibah Tanahud sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memuat paling sedikit sebagai berikut:
a. hak dan kewajiban masing-masing pemegang
polis atau peserta secara individu;
b. hak dan kewajiban pemegang polis atau peserta
secara kolektif;
c. hak dan kewajiban perusahaan sebagai pengelola
anuitas syariah untuk program pensiun;
d. cara dan waktu pembayaran kontribusi tanahud;
e. cara dan waktu pembayaran manfaat anuitas
syariah untuk program pensiun; dan
f.
ketentuan lain yang disepakati.
Pasal 57
(1) Akad Wakalah bil Ujrah digunakan dalam kegiatan
meliputi:
a. kegiatan administrasi;
b. pengelolaan dana;
c. pembayaran klaim;
d. underwriting;
e. pengelolaan portofolio risiko;
f.
pemasaran;
g.
Investasi Dana Tabarru, Dana Tanahud, dan/atau
Dana Investasi Peserta; dan/atau
h. kegiatan lain sesuai dengan kesepakatan dalam
polis.
- 45 -
(2) Akad Wakalah bil Ujrah wajib memuat paling sedikit
sebagai berikut:
a. objek/kegiatan yang dikuasakan pengelolaannya;
b. hak dan kewajiban pemegang polis atau peserta
secara kolektif dan/atau pemegang polis atau
peserta secara individu sebagai muwakkil
(pemberi kuasa);
c. hak dan kewajiban Perusahaan Asuransi Syariah,
Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit
Syariah sebagai wakil (penerima kuasa);
d. batasan kuasa atau wewenang yang diberikan
pemegang polis atau peserta kepada Perusahaan
Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi
Syariah, atau Unit Syariah;
e. besaran, cara, dan waktu pemotongan ujrah (fee);
dan
f.
ketentuan lain yang disepakati.
(3) Dalam hal pengelolaan investasi Dana Tabarru’, Dana
Tanahud, atau Dana Investasi Peserta didasarkan
Akad Wakalah bil Ujrah, Perusahaan Asuransi Syariah,
Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah
tidak berhak memperoleh bagian dari hasil investasi.
Pasal 58
(1) Akad Mudharabah digunakan dalam pengelolaan
investasi Dana Tabarru’, Dana Tanahud, dan/atau
pengelolaan investasi Dana Investasi Peserta.
(2) Akad Mudharabah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib memuat paling sedikit sebagai berikut:
a. hak dan kewajiban pemegang polis atau peserta
secara kolektif dan/atau pemegang polis atau
peserta secara individu sebagai shahibul maal
(pemilik dana);
b. hak dan kewajiban
Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau
Unit Syariah sebagai mudharib (pengelola dana);
- 46 -
c. batasan wewenang yang diberikan pemegang
polis atau peserta kepada Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau
Unit Syariah;
d. bagi hasil (nisbah), cara, dan waktu pembagian
hasil investasi; dan
e. ketentuan lain yang disepakati.
Pasal 59
(1) Akad Mudharabah Musytarakah digunakan dalam
pengelolan investasi Dana Tabarru’, Dana Tanahud,
dan/atau pengelolaan investasi Dana Investasi
Peserta.
(2) Akad Mudharabah Musytarakah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memuat paling
sedikit sebagai berikut:
a. hak dan kewajiban pemegang polis atau
peserta secara kolektif dan/atau pemegang
polis atau peserta secara individu sebagai
shahibul maal (pemilik dana);
b. hak dan kewajiban
Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau
Unit Syariah sebagai mudharib (pengelola
dana);
c. batasan wewenang yang diberikan pemegang
polis atau peserta kepada Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau
Unit Syariah;
d. cara dan waktu penentuan besar kekayaan
pemegang polis atau peserta dan kekayaan
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah;
e. bagi hasil (nisbah), cara, dan waktu pembagian
hasil investasi; dan
f.
ketentuan lain yang disepakati.
- 47 -
BAB V
PENGALIHAN SEBAGIAN PORTOFOLIO PERTANGGUNGAN
Pasal 60
(1) Pengalihan sebagian portofolio pertanggungan oleh
Perusahaan atau Unit Syariah hanya dapat dilakukan
setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan OJK.
(2) Pengalihan portofolio pertanggungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan
bahwa pengalihan dimaksud:
a. tidak mengurangi hak pemegang polis,
tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding;
b. dilakukan kepada Perusahaan atau Unit Syariah
yang memiliki bidang usaha yang sama;
c. dilakukan kepada Perusahaan atau Unit Syariah
yang telah memiliki produk sejenis atau jenis
perjanjian reasuransi yang sejenis; dan
d. tidak menyebabkan Perusahaan atau Unit
Syariah yang menerima pengalihan dimaksud
melanggar ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perasuransian.
(3) OJK memberikan surat persetujuan atau penolakan
atas pengalihan portofolio sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
setelah surat permohonan persetujuan pengalihan
portofolio diterima OJK, dalam hal OJK tidak
memerlukan pemeriksaan langsung.
(4) Dalam hal OJK menganggap perlu melakukan
pemeriksaan langsung terkait dengan pengalihan
portofolio dimaksud, OJK akan menyampaikan
pemberitahuan pemeriksaan langsung paling lama 14
(empat belas) hari kerja setelah surat permohonan
persetujuan pengalihan portofolio diterima OJK.
(5) Dalam hal OJK melakukan pemeriksaan langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) OJK
memberikan surat persetujuan atau penolakan atas
pengalihan portofolio paling lama 14 (empat belas) hari
- 48 -
kerja sejak laporan hasil pemeriksaan langsung final
ditetapkan.
(6) Setelah mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), Perusahaan atau Unit Syariah yang
akan mengalihkan portofolio pertanggungan wajib
terlebih dahulu:
a. memberitahukan secara tertulis kepada setiap
pemegang polis, tertanggung, peserta, atau
Perusahaan Ceding paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja sejak tanggal surat persetujuan pengalihan
portofolio; dan
b. mengumumkan pengalihan tersebut pada situs
web Perusahaan atau Unit Syariah dan surat
kabar harian Indonesia yang berperedaran
nasional paling singkat selama 3 (tiga) hari
berturut-turut, paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja sejak tanggal surat persetujuan pengalihan
portofolio.
(7) Pemberitahuan dan pengumuman sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) wajib paling sedikit memuat:
a. jangka waktu penolakan pengalihan portofolio;
b. akibat yang timbul dari penolakan pengalihan
portofolio; dan
c. mekanisme penyelesaian hak pemegang polis,
tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding
yang menolak pengalihan portofolio.
Pasal 61
(1) Perusahaan atau Unit Syariah wajib memberikan
kesempatan kepada pemegang polis, tertanggung,
peserta,
atau
menyampaikan
Perusahaan
penolakan
Ceding
pengalihan
pertanggungannya kepada Perusahaan atau Unit
Syariah lain dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak
pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60
ayat (6) huruf b.
untuk
- 49 -
(2) Dalam hal pemegang polis, tertanggung, peserta, atau
Perusahaan Ceding menolak pertanggungannya
dialihkan kepada Perusahaan atau Unit Syariah lain,
pertanggungan menjadi berakhir dan Perusahaan atau
Unit Syariah wajib mengembalikan hak pemegang
polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding.
Pasal 62
(1) Pengembalian hak pemegang polis, tertanggung,
peserta, atau Perusahaan Ceding sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dilakukan sebagai
berikut:
a. untuk polis asuransi atau asuransi syariah yang
tidak memiliki unsur tabungan adalah sebesar
jumlah yang dihitung secara proporsional
berdasarkan sisa jangka waktu pertanggungan
pada tanggal pemegang polis,
tertanggung,
peserta, atau Perusahaan Ceding menyampaikan
penolakan atas pengalihan pertanggungannya
(unearned premium), setelah dikurangi bagian
Premi atau kontribusi yang telah dibayarkan
kepada Perusahaan Pialang Asuransi dan/atau
komisi agen;
b. untuk reasuransi atau reasuransi syariah sebesar
jumlah yang dihitung sesuai perjanjian
reasuransi atau perjanjian reasuransi syariah
pada tanggal Perusahaan Ceding menyampaikan
penolakan atas pengalihan pertanggungannya
(unearned premium), setelah dikurangi bagian
Premi atau kontribusi yang telah dibayarkan
kepada Perusahaan Pialang Reasuransi dan/atau
komisi lainnya;
c. untuk polis asuransi atau polis asuransi syariah
yang memiliki unsur tabungan adalah sebesar
nilai tunai pada tanggal pemegang polis,
tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding
- 50 -
menyampaikan penolakan atas pengalihan
pertanggungannya; atau
d. untuk polis asuransi PAYDI:
1) untuk Premi risiko atau kontribusi risiko
berlaku ketentuan sebagaimana diatur pada
huruf a; dan
2) untuk dana investasi adalah sebesar nilai
tunai neto pada tanggal diterimanya
penolakan pengalihan pertanggungan yang
disampaikan oleh
pemegang polis,
tertanggung, atau peserta.
(2) Pengembalian hak pemegang polis, tertanggung,
peserta, atau Perusahaan Ceding sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dibebankan
dengan
biaya administrasi termasuk biaya
pengakhiran polis atau surrender charge.
Pasal 63
(1) Perusahaan atau Unit Syariah wajib menyelesaikan
pengalihan portofolio pertanggungannya dan/atau
pengembalian hak pemegang polis, tertanggung,
peserta, atau Perusahaan Ceding paling lama 3 (tiga)
bulan sejak tanggal surat persetujuan dari OJK.
(2) Perusahaan atau Unit Syariah wajib melaporkan hasil
pelaksanaan pengalihan portofolio pertanggungan
kepada OJK paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak pengalihan portofolio selesai dilakukan.
BAB VI
KERJA SAMA PERUSAHAAN DALAM RANGKA PEROLEHAN
BISNIS DAN KERJA SAMA DALAM MELAKSANAKAN
SEBAGIAN FUNGSI DALAM PENYELENGGARAAN
USAHANYA
Pasal 64
Perusahaan atau Unit Syariah dapat melakukan kerja
sama dengan pihak lain dalam rangka memperoleh bisnis
- 51 -
atau melaksanakan sebagian fungsi dalam
penyelenggaraan usahanya.
Pasal 65
(1) Kerja sama dalam rangka memperoleh bisnis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat
dilakukan oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Unit
Syariah pada
Perusahaan Asuransi dengan Agen Asuransi, bank,
badan usaha selain bank, atau badan usaha yang
mempekerjakan Agen Asuransi.
(2) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi melakukan kerja sama dengan badan usaha
yang mempekerjakan Agen Asuransi sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1), Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Asuransi wajib:
a. memastikan badan usaha dimaksud tidak sedang
terikat dalam perjanjian kerja sama dengan
Perusahaan Asuransi yang sejenis, Perusahaan
Asuransi Syariah yang sejenis, atau Unit Syariah
yang sejenis pada Perusahaan Asuransi dengan
Perusahaan Asuransi,
Perusahaan
Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi dimaksud;
b. memastikan bahwa Agen Asuransi telah bekerja
sama dengan Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Asuransi yang telah bekerja sama
dengan badan usaha yang mempekerjakan Agen
Asuransi dimaksud;
c. memastikan Agen Asuransi yang dipekerjakan oleh
badan usaha dimaksud telah memenuhi ketentuan
mengenai Agen Asuransi sebagaimana diatur
dalam Pasal 17 ayat (1); dan
- 52 -
d. melaporkan perjanjian kerja sama dengan
badan usaha dimaksud kepada OJK.
Pasal 66
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang
melakukan kerja sama dengan bank atau badan usaha
selain bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65
ayat (1), wajib memastikan bahwa pegawai bank atau
badan usaha selain bank yang secara aktif
memberikan penjelasan mengenai produk asuransi,
memiliki sertifikasi Agen Asuransi yang diterbitkan
oleh asosiasi industri asuransi terkait.
(2) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi melakukan kerja sama dalam rangka
memperoleh bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
64, keputusan menerima atau menolak pertanggungan
tetap menjadi kewenangan Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Asuransi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan dalam hal produk yang dipasarkan adalah
produk asuransi mikro dan terhadap produk asuransi
yang dipasarkan melalui bancassurance dengan model
bisnis referensi.
(4) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dilarang
memberikan imbalan jasa keperantaraan selain
kepada Agen Asuransi atau pihak lain yang memiliki
perjanjian secara tertulis mengenai kerja sama
pemasaran dalam memperoleh bisnis.
(5) Kerja sama dalam rangka memperoleh bisnis wajib
dilakukan dengan perseorangan dan/atau institusi
yang memiliki izin usaha dari instansi yang berwenang
dan tidak memiliki benturan kepentingan dengan
pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau
- 53 -
Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang
Reasuransi.
Pasal 67
(1) Kerja sama dalam rangka melaksanakan sebagian
fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64
dilakukan kepada penyedia jasa dengan perjanjian
alih daya.
(2) Bentuk perjanjian alih daya dilakukan Perusahaan
atau Unit Syariah melalui perjanjian:
a. pemborongan pekerjaan; dan/atau
b. penyediaan jasa tenaga kerja.
(3) Perusahaan atau Unit Syariah hanya dapat
melakukan perjanjian alih daya dengan perusahaan
penyedia jasa yang memenuhi persyaratan paling
sedikit:
a. berbentuk badan hukum Indonesia;
b. memiliki izin usaha yang masih berlaku dari
instansi berwenang sesuai bidang usahanya;
c. memiliki kinerja keuangan dan reputasi yang
baik serta pengalaman yang cukup;
d. memiliki sumber daya manusia yang mendukung
pelaksanaan pekerjaan yang dialihdayakan;
e. memiliki sarana dan prasarana yang dibutuhkan
dalam alih daya;
f.
g.
memiliki standar kompetensi sesuai dengan
standar bisnisnya; dan
tidak memiliki benturan kepentingan.
(4) Perusahaan atau Unit Syariah dapat melakukan
perjanjian alih daya dengan perusahaan penyedia
jasa berbentuk badan hukum asing pada kegiatan:
a.
penelitian dan pengembangan produk;
b. sistem informasi; dan/atau
c. bidang lain yang belum dapat dipenuhi oleh
perusahaan penyedia jasa di Indonesia.
(5) Dalam hal Perusahaan atau Unit Syariah melakukan
perjanjian alih daya dengan perusahaan penyedia
- 54 -
jasa berbadan hukum asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) wajib dilaporkan kepada OJK paling
lambat 14 (empat belas) hari sebelum perjanjian
kerja sama ditanda tangani.
(6) Perjanjian alih daya sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib memuat ketentuan yang mengatur
paling sedikit mengenai jenis, nilai, dan jangka
waktu pengalihan fungsi penyelenggaraan usaha.
(7) Perusahaan atau Unit Syariah wajib melakukan
pengendalian atas sebagian fungsi penyelenggaraan
usaha yang dialihkan kepada pihak lain yang
levelnya sama dengan pengendalian yang dilakukan
di internal Perusahaan atau Unit Syariah.
(8) Perusahaan atau Unit Syariah tetap bertanggung
jawab terhadap fungsi yang dialihkan kepada
perusahaan penyedia jasa.
Pasal 68
(1) Kerja sama dalam rangka melaksanakan sebagian
fungsi penyelenggaraan usahanya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64, wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. dilakukan dengan perintah langsung dari
Perusahaan atau Unit Syariah;
b. tidak menghambat kegiatan Perusahaan atau
Unit Syariah; dan
c. dituangkan dalam perjanjian tertulis.
(2) Dalam pelaksanaan kerja sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Perusahaan atau Unit
Syariah wajib memiliki dan menerapkan standar
seleksi dan akuntabilitas.
(3) Perusahaan atau Unit Syariah wajib memastikan
bahwa kerja sama dalam rangka melaksanakan
sebagian fungsi dilakukan sesuai dengan perjanjian
yang dibuat dan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
- 55 -
Pasal 69
Perusahaan atau Unit Syariah dilarang melakukan kerja
sama dalam rangka melaksanakan sebagian fungsi pada
kegiatan:
a. persetujuan underwriting;
b. aktuaria; dan
c. persetujuan klaim.
BAB VII
PENUTUPAN ASURANSI SECARA
BERSAMA-SAMA (KO-ASURANSI)
Pasal 70
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dapat
melakukan penutupan pertanggungan
melalui
mekanisme penutupan asuransi secara bersama-sama
(ko-asuransi).
(2) Mekanisme penutupan asuransi secara bersama-sama
(ko-asuransi) dapat dilakukan terhadap produk
asuransi yang dirancang untuk dipasarkan dan risiko
dikelola secara bersama-sama atau produk asuransi
lainnya dalam rangka penyebaran risiko untuk satu
objek pertanggungan yang dilakukan kasus per kasus.
(3) Penutupan asuransi secara bersama-sama (ko-
asuransi) dalam rangka penyebaran risiko untuk satu
objek pertanggungan yang dilakukan kasus perkasus
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan
oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
yang sebelumnya telah memasarkan produk asuransi
pada lini usaha yang sama dengan yang akan
dilakukan penutupan asuransi secara bersama-sama
(ko-asuransi).
(4) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
telah memiliki lini usaha yang sama namun belum
- 56 -
memiliki produk yang sama, penutupan asuransi
secara bersama-sama (ko-asuransi) dapat dilakukan
sepanjang Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
memiliki retensi sendiri yang cukup.
Pasal 71
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang
melakukan penutupan asuransi secara bersama-sama
(ko-asuransi) dalam rangka penyebaran risiko untuk
satu objek pertanggungan yang dilakukan kasus per
kasus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2),
wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. ketua (leader) penutupan asuransi secara
bersama-sama (ko-asuransi) menanggung porsi
risiko terbesar;
b. proses pembayaran klaim dilakukan oleh ketua
(leader) atau anggota (member) lain dengan
persetujuan ketua (leader); dan
c. dituangkan di dalam perjanjian tertulis dan/atau
dokumen lainnya.
(2) Perjanjian tertulis dan/atau dokumen lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib
memuat paling sedikit sebagai berikut:
a. susunan keanggotaan yang terdiri dari ketua
(leader) dan anggota (member);
b. ketua (leader) memiliki kewenangan dalam
pengambilan keputusan underwriting dan
persetujuan klaim;
c. cara pembayaran Premi dan/atau kontribusi oleh
pemegang polis, tertanggung, atau peserta; dan
d. prosedur penerimaan dan penerusan Premi
dan/atau kontribusi antara ketua (leader) dan
anggota (member).
(3) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib
- 57 -
mencantumkan nama Perusahaan
Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada
Perusahaan Asuransi dan porsi pertanggungan dari
setiap anggota penutupan asuransi secara bersama-
sama (ko-asuransi) dalam polis.
(4) Penerbitan polis asuransi dilakukan oleh ketua
(leader).
(5) Ketua (leader) wajib menjelaskan kepada pemegang
polis,
tertanggung,
(ko-asuransi)
atau
peserta
sebelum
penutupan
mengenai
keanggotaan penutupan asuransi secara bersama-
sama
pertanggungan.
(6) Pembayaran klaim terhadap pertanggungan yang
dilakukan penutupan asuransi secara bersama-sama
(ko-asuransi) wajib dibayarkan secara keseluruhan
sesuai dengan jumlah klaim yang telah disepakati
tanpa
pertanggungan
harus menunggu pembayaran
dari
masing-masing
porsi
anggota
penutupan asuransi secara bersama-sama (ko-
asuransi).
(7) Dalam hal pembayaran klaim terhadap pertanggungan
yang dilakukan penutupan asuransi secara bersama-
sama (ko-asuransi) sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) telah dibayar oleh ketua (leader) atau salah satu
anggota (member), anggota (member) lainnya wajib
membayar kewajiban sesuai porsinya paling lama 15
(lima belas) hari kerja sejak seluruh klaim dibayarkan.
BAB VIII
FRAUD
Bagian Kesatu
Anti Fraud
Pasal 72
(1) Dalam rangka mengendalikan risiko terjadinya fraud,
Perusahaan atau Unit Syariah wajib melaksanakan
- 58 -
fungsi pengendalian fraud dan menerapkan strategi
anti fraud.
(2) Fungsi pengendalian fraud sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi aspek sebagai berikut:
a. pengawasan aktif manajemen;
b. organisasi dan pertanggungjawaban;
c. pengendalian dan pemantauan; dan
d. edukasi dan pelatihan.
(3) Dalam rangka melaksanakan aspek pengendalian
dan pemantauan fraud sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c, Perusahaan atau Unit Syariah
wajib menerapkan strategi anti fraud yang meliputi:
a. pencegahan;
b.
c.
deteksi;
investigasi, pelaporan dan sanksi; dan
d. pemantauan, evaluasi, dan tindak lanjut.
(4) Perusahaan atau Unit Syariah wajib menyampaikan
laporan strategi anti fraud kepada OJK sebagai
berikut:
a. laporan penerapan strategi anti fraud setiap
semester untuk posisi akhir bulan Juni dan
Desember, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
setelah akhir bulan;
setiap
b. laporan
fraud yang diperkirakan
berdampak negatif secara signifikan terhadap
Perusahaan atau Unit Syariah, pemegang polis,
tertanggung, peserta dan/atau Perusahaan
Ceding termasuk yang berpotensi menjadi
perhatian publik, paling lama 3 (tiga) hari kerja
sejak manajemen perusahaan menandatangani
dokumen pelaporan fraud; dan
c. laporan sebagaimana dimaksud pada huruf b
paling sedikit memuat:
1) nama pelaku;
2) bentuk atau jenis penyimpangan;
3) tempat kejadian;
4) informasi singkat mengenai modus; dan
- 59 -
5) indikasi kerugian.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian fraud
dan penerapan strategi anti fraud bagi Perusahaan
atau Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan laporan strategi anti fraud sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran OJK.
Bagian Kedua
Anti Pencucian Uang dan
Pencegahan Pendanaan Terorisme
Pasal 73
(1) Perusahaan atau Unit Syariah wajib menerapkan
program anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme.
(2) Dalam menerapkan program anti pencucian uang
dan pencegahan pendanaan terorisme sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Perusahaan atau Unit
Syariah wajib mengacu pada peraturan OJK
mengenai penerapan program anti pencucian uang
dan pencegahan pendanaan terorisme.
BAB IX
PROGRAM ASURANSI WAJIB
Pasal 74
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dapat
menyelenggarakan Program Asuransi Wajib.
(2) Program Asuransi Wajib sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditujukan untuk melayani seluruh
masyarakat atau golongan masyarakat tertentu.
(3) Program Asuransi Wajib yang diselenggarakan oleh
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi
dilaksanakan secara kompetitif.
- 60 -
Pasal 75
(1) Program
Asuransi
Wajib
dapat
dilakukan
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi sesuai
dengan ruang lingkup usahanya dan wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. memiliki kantor di luar kantor pusat
Program
Asuransi
Wajib
yang
dapat mendukung Program Asuransi Wajib
kecuali
diselenggarakan oleh pemerintah daerah;
b. memiliki tingkat solvabilitas (risk based capital)
200% (dua ratus persen);
c. memiliki tingkat likuiditas 150% (seratus lima
puluh persen); dan
d. memiliki pegawai yang telah memperoleh
pelatihan terkait pengelolaan risiko Program
Asuransi Wajib.
(2) Program Asuransi Wajib sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 74 ayat (1) dapat diselenggarakan
secara individual maupun secara konsorsium.
Pasal 76
(1) Setiap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan
Asuransi secara individual maupun konsorsium yang
menyelenggarakan
Program
Asuransi
Wajib
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2)
wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari
OJK.
(2) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengacu kepada ketentuan mengenai
persetujuan dan pencatatan produk asuransi
sebagaimana diatur dalam peraturan OJK mengenai
produk asuransi dan pemasaran asuransi.
yang
- 61 -
BAB X
SANKSI
Pasal 77
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7 ayat (2) dan
ayat (3), Pasal 8 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3),
Pasal 9, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15
ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 16
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19,
Pasal 20, ayat (3), dan ayat (4), Pasal 24, Pasal 25
ayat (1), Pasal 26, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28,
Pasal 29 ayat (5), ayat (6), dan ayat (8), Pasal 30,
Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35,
Pasal 36, Pasal 37 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 38
ayat (1) dan ayat (3), Pasal 39 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3), Pasal 40, Pasal 41, Pasal 44 ayat (3),
Pasal 45 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 46
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 47, Pasal 48 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 ayat (2),
Pasal 53, Pasal 54 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat
(5), ayat (6), dan ayat (8), Pasal 55 ayat (2), Pasal
56 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 57 ayat (2), Pasal
58 ayat (2), Pasal 59 ayat (2), Pasal 60 ayat (1),
ayat (6), dan ayat (7), Pasal 61, Pasal 63, Pasal 65
ayat (2), Pasal 66 ayat (1), ayat (4), dan ayat (5),
Pasal 67 ayat (3), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7),
Pasal 68, Pasal 69, Pasal 71 ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 72 ayat
(1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 73, Pasal 75 ayat
(1), dan Pasal 76 ayat (1) Peraturan OJK ini
dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian
atau seluruh kegiatan usaha; dan
c. pencabutan izin usaha.
- 62 -
(2) Dalam hal pelanggaran ketentuan dalam Pasal 3,
Pasal 5, Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 8 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 9, Pasal 12 ayat (3), Pasal
14, Pasal 15 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat
(5), Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 17, Pasal
18, Pasal 19, Pasal 20, ayat (3), dan ayat (4), Pasal
24, Pasal 25 ayat (1), Pasal 26, Pasal 27 ayat (2),
Pasal 28, Pasal 29 ayat (5), ayat (6), dan ayat (8),
Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34,
Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37 ayat (1) dan ayat (3),
Pasal 38 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 39 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3), Pasal 40, Pasal 41, Pasal 44
ayat (3), Pasal 45 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3),
Pasal 47, Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 49,
Pasal 50, Pasal 51 ayat (2), Pasal 53, Pasal 54
ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan
ayat (8), Pasal 55 ayat (2), Pasal 56 ayat (2) dan
ayat (4), Pasal 57 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 58
ayat (2), Pasal 59 ayat (2), Pasal 60 ayat (1), ayat
(6), dan ayat (7), Pasal 61, Pasal 63, Pasal 65 ayat
(2), Pasal 66 ayat (1), ayat (4), dan ayat (5), Pasal
67 ayat (3), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), Pasal
68, Pasal 69, Pasal 71 ayat (1), ayat (2), ayat (3),
ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 72 ayat (1),
ayat (3), dan ayat (4), Pasal 73, Pasal 75 ayat (1),
dan Pasal 76 ayat (1) Peraturan OJK ini dilakukan
oleh Unit Syariah dikenai sanksi administratif
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha Unit Syariah, untuk
sebagian atau seluruh kegiatan usaha; dan
c. pencabutan izin pembentukan Unit Syariah.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) atau ayat (2) dilakukan secara bertahap.
- 63 -
(4) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat
(1) dan ayat
(2), OJK dapat
menambahkan sanksi tambahan berupa:
a. larangan untuk memasarkan produk asuransi
atau produk asuransi syariah untuk lini usaha
tertentu; dan/atau
b. larangan menjadi pemegang saham, pengendali,
direksi, dewan komisaris, atau yang setara
dengan pemegang saham, pengendali, direksi,
dan dewan komisaris, atau menduduki jabatan
eksekutif di bawah direksi, atau yang setara
dengan jabatan eksekutif di bawah direksi,
pada perusahaan perasuransian.
(5) OJK dapat mengenakan sanksi pencabutan izin
usaha
tanpa
didahului
pengenaan
sanksi
administratif yang lain terhadap pelanggaran
ketentuan Pasal 8 ayat (3) Peraturan OJK ini.
Pasal 78
(1) Dalam hal Perusahaan melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1)
dan Pasal 76 ayat (1)
dikenai
sanksi administratif tambahan berupa
denda administratif.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 16
ayat (1) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenakan
denda
administratif
sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk
penggunaan setiap Agen Asuransi.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 76
ayat (1) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenakan
denda
administratif
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
sebesar
Peraturan OJK ini
- 64 -
Pasal 79
Prosedur dan tata cara pengenaan sanksi diatur dalam
peraturan OJK mengenai prosedur dan tata cara
pengenaan sanksi administratif.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 80
(1) Perusahaan
Asuransi Umum yang
telah
menyelenggarakan kegiatan usaha Asuransi Kredit
dan Suretyship sebelum berlakunya Peraturan OJK
ini,
wajib melakukan penyesuaian
terhadap
(2) Dalam hal
ketentuan dalam Peraturan OJK ini paling lama 1
(satu) tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan.
peraturan pelaksanaan mengenai
penyelenggaraan kegiatan usaha Asuransi Kredit
dan Suretyship belum ditetapkan
ketentuan
mengenai penyelenggaraan kegiatan usaha Asuransi
Kredit dan Suretyship tunduk pada Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008
tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit
dan Suretyship.
Pasal 81
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang
telah melakukan kegiatan usaha berbasis imbal
jasa (fee based) pada administrative service only
(ASO) sebelum Peraturan OJK ini diundangkan,
tetap
berlaku
sampai berakhirnya perjanjian
administrative service only (ASO) dimaksud.
(2) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang
telah melakukan penutupan asuransi dalam rangka
penyebaran risiko untuk satu objek pertanggungan
yang dilakukan secara kasus per kasus sebelum
- 65 -
Peraturan OJK ini diundangkan, tetap berlaku
sampai berakhirnya pertanggungan dimaksud.
(3) Perusahaan atau
Unit
Syariah yang telah
melakukan kerja sama dalam rangka perolehan
bisnis atau kerja sama dalam rangka melaksanakan
sebagian fungsi dalam penyelenggaraan usahanya
sebelum Peraturan OJK ini diundangkan, tetap
berlaku sampai berakhirnya kerja sama dimaksud.
Pasal 82
Dalam hal peraturan OJK mengenai prosedur dan tata
cara
pengenaan
sanksi
administratif
belum
diundangkan, ketentuan mengenai prosedur dan tata
cara pengenaan sanksi administratif tunduk pada
Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 tentang Perubahan
Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992
tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
Pasal 83
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah
yang telah menempatkan data pada pusat data (data
center) dan pusat pemulihan bencana (disaster recovery
center) di luar wilayah Indonesia pada saat Peraturan
OJK ini diundangkan, wajib menyesuaikan dengan
Peraturan OJK ini dalam jangka waktu paling lambat
tanggal 12 Oktober 2017.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 84
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 66 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 302
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 69/POJK.05/2016 </reg_id>
<reg_title> PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI, DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 28 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2016 </issued_date>
<related_reg> '40/UU/2014', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 51 /POJK.04/2015
TENTANG
PERILAKU PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor Pasar Modal termasuk Perusahaan Pemeringkat
Efek beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai pengaturan terhadap perilaku Perusahaan
Pemeringkat Efek, maka peraturan mengenai Perilaku
Perusahaan Pemeringkat Efek yang diterbitkan sebelum
terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Perilaku Perusahaan
Pemeringkat Efek;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERILAKU PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Perusahaan Pemeringkat Efek adalah Penasihat Investasi
berbentuk Perseroan Terbatas yang melakukan kegiatan
pemeringkatan dan memberikan peringkat.
2. Peringkat adalah opini tentang kemampuan untuk
memenuhi kewajiban pembayaran secara tepat waktu oleh
suatu Pihak:
a. sebagai entitas (company rating); dan/ atau
b. berkaitan dengan Efek yang diterbitkan oleh Pihak
yang diperingkat (instrument rating).
BAB II
KEWAJIBAN DAN LARANGAN
Bagian Kesatu
Perusahaan Pemeringkat Efek
- 3 -
Pasal 2
Perusahaan Pemeringkat Efek yang mendapat izin usaha dari
Otoritas Jasa Keuangan wajib melakukan kegiatan
pemeringkatan melalui analisis yang mendalam (in-depth
analysis), dilakukan secara independen, bebas dari pengaruh
pihak yang memanfaatkan jasa Perusahaan Pemeringkat Efek,
objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan dalam pemberian
Peringkat.
Pasal 3
(1) Perusahaan Pemeringkat Efek wajib:
a. bersikap
objektif,
dan independen dalam
melaksanakan kegiatan pemeringkatan;
b. memiliki prosedur dan metodologi tertulis sebagai
pedoman dan prinsip dasar dalam setiap tahapan
pada proses pemeringkatan termasuk jangka waktu
penyelesaiannya, dengan ketentuan prosedur dan
metodologi pemeringkatan wajib memenuhi kondisi
paling sedikit:
1.
tepat, sistematis, dan telah melalui tahapan
pengujian;
2. telah diuji kehandalannya; dan
3. penerapannya wajib sesuai dengan objek
pemeringkatan dan jenis industrinya;
c. menerapkan dan menaati prosedur dan metodologi
sebagaimana dimaksud pada huruf b secara
konsisten;
d. menerapkan tahapan proses pemeringkatan yang
mencakup paling sedikit:
1. pemaparan atas metodologi pemeringkatan
kepada pengguna jasa, dalam hal Perusahaan
Pemeringkat Efek melakukan pemeringkatan
karena permintaan, baik permintaan dari pihak
yang diperingkat maupun permintaan pihak
lain;
- 4 -
2. pelaksanaan survei, pengumpulan, dan
penelitian berbagai informasi yang menjadi
sumber pemeringkatan baik kualitatif maupun
kuantitatif termasuk dari atau melalui
manajemen Pihak yang diperingkat dan/atau
Pihak yang Efeknya diperingkat;
3. proses analisa dan penetapan Peringkat;
4. proses keberatan oleh Pihak yang diperingkat
dan/atau Pihak yang Efeknya diperingkat;
5. publikasi hasil Peringkat; dan
6. pemantauan hasil Peringkat;
e. melakukan kaji ulang secara berkala paling sedikit 3
(tiga) tahun sekali terhadap prosedur dan metodologi
pemeringkatan serta penerapannya, untuk
memastikan kualitas, konsistensi, dan objektivitas
proses pemeringkatan;
f.
bertanggung jawab atas setiap hasil Peringkat yang
dikeluarkan;
g. mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk
mencegah dikeluarkannya hasil Peringkat yang tidak
mencerminkan kemampuan sebenarnya Pihak yang
diperingkat dan/atau Pihak yang Efeknya
diperingkat;
h. menjamin keberlanjutan dan ketersediaan analis
dalam setiap proses pemeringkatan;
i. memastikan analisnya bekerja sesuai dengan tugas
dan tanggung jawabnya;
j. melakukan keterbukaan prosedur dan metodologi
pemeringkatan dengan pihak yang diperingkat,
investor, partisipan pasar lainnya dan masyarakat;
k. memantau entitas (company rating) dan/atau Efek
yang diterbitkan oleh Pihak yang diperingkat
(instrument rating) secara terus menerus sesuai
dengan prosedur standar operasi pemeringkatan;
l.
mengkaji ulang secara berkala hasil Peringkat yang
telah dikeluarkan;
- 5 -
m. mengkaji ulang hasil Peringkat yang telah
dikeluarkan dalam hal terdapat fakta material atau
kejadian penting yang dapat mempengaruhi hasil
Peringkat;
n. memastikan bahwa data dan informasi yang
diperoleh dalam rangka proses pemeringkatan adalah
relevan dan dapat dipercaya atau berasal dari sumber
yang dapat dipercaya;
o. mendistribusikan secara tepat waktu setiap hasil
Peringkat sesuai dengan perjanjian pemeringkatan;
p. mengungkapkan hasil pemutakhiran atas setiap hasil
Peringkat yang dikeluarkannya sesuai dengan yang
diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku atau dalam hal terdapat informasi yang
material yang menyebabkan perubahan hasil
Peringkat;
q. mempunyai sistem yang memastikan bahwa
informasi yang bersifat rahasia yang diterima dari
Pihak yang diperingkat, Pihak yang Efeknya
diperingkat dan/atau Pihak lain, tidak diketahui
dan/atau tidak dimanfaatkan oleh pihak lain, kecuali
diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
r. menggunakan informasi rahasia hanya untuk tujuan
yang berkaitan dengan aktivitas pemeringkatan atau
aktivitas lainnya yang sesuai dengan perjanjian
dengan Pihak yang diperingkat dan/atau Pihak yang
Efeknya diperingkat;
s. mempunyai Komite Pemeringkat dan pejabat
kepatuhan;
t. menetapkan secara jelas keberadaan, kewenangan,
dan tanggung jawab pejabat kepatuhan;
u. memiliki persyaratan dan kualifikasi anggota Komite
Pemeringkat secara tertulis. Persyaratan dan
kualifikasi anggota Komite Pemeringkat ini wajib
disusun untuk menjamin keberlangsungan dan
kualitas hasil pemeringkatan;
- 6 -
v. memastikan bahwa pejabat kepatuhan dapat
melaksanakan fungsinya secara independen dan
objektif;
w. memiliki persyaratan dan kualifikasi analis secara
tertulis dan menerapkannya untuk menjamin
keberlangsungan dan kualitas proses pemeringkatan;
x. menetapkan kompetensi analisnya;
y. menjamin bahwa analisnya melakukan analisa yang
memadai dan pemantauan yang cermat; dan
z. menjamin bahwa seluruh analis Perusahaan
Pemeringkat Efek meningkatkan kemampuan yang
terkait dengan pemeringkatan melalui pelatihan yang
memadai.
(2) Dalam hal hasil kaji ulang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf e mengakibatkan perlu dilakukan
perubahan prosedur dan metodologi pemeringkatan, maka
Perusahaan Pemeringkat Efek wajib melakukan
perubahan dan menyampaikan prosedur dan metodologi
tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam jangka
waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah
terjadinya perubahan.
(3) Kewajiban sebagaimana diatur pada ayat (1) huruf l dan
huruf m tidak berlaku jika:
a. Pemeringkatan yang dilakukan berdasarkan
perjanjian yang hanya menghasilkan 1 (satu) kali
pemeringkatan; dan/atau
b. Pemeringkatan yang dilakukan tanpa permintaan
Pihak tertentu, dimana Perusahaan Pemeringkat Efek
telah menyatakan bahwa Perusahaan Pemeringkat
Efek tersebut telah menghentikan kegiatan
pemeringkatan atas Pihak atau Efek tertentu.
Pasal 4
Perusahaan Pemeringkat Efek dilarang:
- 7 -
a. memberikan rekomendasi yang dapat mempengaruhi
keputusan investasi pemodal;
b. memberikan kepastian dan/atau jaminan baik secara
implisit maupun eksplisit atas hasil Peringkat tertentu
sebelum selesainya proses pemeringkatan;
c. melakukan kegiatan usaha yang tidak berkaitan dengan
kegiatan pemeringkatan, kecuali kegiatan usaha yang
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
d. memberikan data dan/atau informasi yang bersifat
rahasia yang digunakan untuk melakukan pemeringkatan
dan/atau untuk tujuan lain selain untuk keperluan
kegiatan pemeringkatan kepada pihak lain, kecuali telah
memperoleh persetujuan dari Pihak yang memiliki data
dan/atau informasi rahasia tersebut atau dalam rangka
pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan
dan/atau Pihak lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan/atau untuk kepentingan
peradilan;
e. menentukan hasil Peringkat berdasarkan hal lain selain
faktor-faktor yang relevan dengan objek pemeringkatan;
f. memberikan rekomendasi mengenai struktur Produk
Keuangan Terstruktur (structured finance product) yang
sedang diperingkatnya;
g. melakukan pemeringkatan suatu objek pemeringkatan
apabila:
1. Efek yang akan diperingkat diterbitkan oleh Pihak
yang mempunyai hubungan Afiliasi dengan
Perusahaan Pemeringkat Efek, baik langsung
maupun tidak langsung;
2. Perusahaan Pemeringkat Efek, komisaris, atau
direkturnya mempunyai kepentingan atas Efek
dan/atau entitas yang akan diperingkat dalam waktu
6 (enam) bulan terakhir sebelum melakukan kegiatan
pemeringkatan dan/atau selama Perusahaan
Pemeringkat Efek melakukan pemeringkatan; atau
- 8 -
3. Karyawan yang melakukan analisis pemeringkatan
mempunyai kepentingan atas Efek dan/atau Entitas
yang akan diperingkat;
h. menetapkan syarat atau tindakan tertentu yang harus
dilakukan oleh Pihak yang meminta untuk diperingkat,
agar menghasilkan Peringkat tertentu; dan/atau
i. memberikan kompensasi kepada analis yang melakukan
pemeringkatan dengan mendasarkan pada besarnya biaya
pemeringkatan yang dibayar oleh Pihak yang diperingkat
atau Pihak yang Efeknya diperingkat.
Bagian Kedua
Komite Pemeringkat dan Pejabat Kepatuhan
Pasal 5
(1) Komite Pemeringkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (1) huruf s wajib:
a. memiliki wewenang dan tanggung jawab secara jelas;
b. bertindak secara independen dan objektif; dan
c. menerapkan sistem pengambilan keputusan
mengenai hasil peringkat berdasarkan asas setiap
anggota komite pemeringkat hanya memiliki satu
suara.
(2) Pejabat kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) huruf s wajib:
a. bertindak secara independen dan objektif;
b. membuat rekomendasi yang dianggap perlu dalam
hal ditemukan atau diketahui terjadinya pelanggaran
pedoman perilaku Perusahaan Pemeringkat Efek,
atau tindakan melawan hukum dan/atau
pelanggaran peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang dilakukan oleh karyawan Perusahaan
Pemeringkat Efek; dan
c. menjaga kerahasiaan identitas pelapor dan isi
laporan tentang pelanggaran sebagaimana dimaksud
pada huruf b, dan mengadministrasikan laporan
- 9 -
tersebut serta tindakan yang telah dilakukan
terhadap pelanggaran dimaksud.
Bagian Ketiga
Karyawan Perusahaan Pemeringkat Efek
Pasal 6
Setiap karyawan Perusahaan Pemeringkat Efek wajib
mengambil semua tindakan yang dianggap perlu untuk
menjaga aset dan catatan-catatan yang dimiliki Perusahaan
Pemeringkat Efek dari kecurangan, pencurian, dan
penyalahgunaan.
Pasal 7
Setiap karyawan Perusahaan Pemeringkat Efek dilarang:
a. memberikan dan/atau menyebarluaskan data dan/atau
informasi yang bersifat rahasia yang digunakan untuk
melakukan pemeringkatan dan/atau untuk tujuan lain
selain untuk keperluan kegiatan pemeringkatan kepada
siapapun kecuali dalam rangka pengawasan yang
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan/atau Pihak
lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan/atau untuk kepentingan peradilan;
b. meminta dan menerima uang, hadiah, atau bantuan dari
setiap pihak yang menjalin kerjasama bisnis dengan
Perusahaan Pemeringkat Efek; dan
c.
berpartisipasi atau mempengaruhi proses penetapan
Peringkat, jika karyawan tersebut:
1. pernah menjadi karyawan atau mempunyai
hubungan usaha dengan Pihak yang diperingkat atau
Pihak yang Efeknya diperingkat yang dapat
menyebabkan benturan kepentingan dalam 6 (enam)
bulan terakhir; dan/atau
2. mempunyai hubungan Afiliasi dengan Pihak yang
diperingkat selama proses pemeringkatan yang dapat
- 10 -
menyebabkan benturan kepentingan baik langsung
maupun tidak langsung.
Bagian Keempat
Analis
Pasal 8
Analis yang bertanggung jawab terhadap kegiatan
pemeringkatan dilarang melakukan kegiatan yang berkaitan
dengan pemasaran produk Perusahaan Pemeringkat Efek,
yaitu:
a. melakukan kegiatan pemasaran jasa pemeringkatan;
b. melakukan kegiatan penjualan hasil penelitian analis yang
berkaitan dengan pemeringkatan; dan/atau
c.
berpartisipasi atau berdiskusi tentang fee atau
pembayaran dengan setiap Pihak yang diperingkat;
dan/atau
d. kegiatan lain yang berkaitan dengan pemasaran produk
Perusahaan Pemeringkat Efek.
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 9
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan peraturan ini,
termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya
pelanggaran tersebut berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
- 11 -
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g
dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan
sanksi administratif berupa peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 10
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan
tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 11
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 kepada masyarakat.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor Kep-155/BL/2009 tanggal 22 Juni 2009
tentang Perilaku Perusahaan Pemeringkat Efek beserta
Peraturan Nomor V.H.3 yang merupakan lampirannya, dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
- 12 -
Pasal 13
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 23 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H.LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 402
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 51 /POJK.04/2015
TENTANG
PERILAKU PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal,
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar
Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK terkait
sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan
dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
untuk melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK yaitu Peraturan
Nomor V.H.3, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-
155/BL/2009 tentang Perilaku Perusahaan Pemeringkat Efek, tanggal 22
Juni 2009.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
- 3 -
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s
Cukup jelas.
Huruf t
Cukup jelas.
Huruf u
Cukup jelas.
Huruf v
Cukup jelas.
Huruf w
Cukup jelas.
Huruf x
Penetapan kompetensi analis Perusahaan Pemeringkat Efek
dengan mempertimbangkan antara lain tingkat pendidikan,
pengalaman dalam sektor industri pemeringkatan, dan
pengalaman dalam menganalisa sektor industri tertentu.
Huruf y
Cukup jelas.
Huruf z
Pelatihan yang memadai antara lain melalui program
pelatihan dan program pendidikan yang berkelanjutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
- 4 -
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Mekanisme penetapan dilakukan dengan terlebih dahulu
meminta persetujuan untuk melakukan kegiatan usaha lain
kepada OJK.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Produk Keuangan Terstruktur (structured finance product) antara
lain Efek Beragun Aset, Real Estate Investment (REITs).
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
- 5 -
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5820
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 51/POJK.04/2015 </reg_id>
<reg_title> PERILAKU PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 29 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-155/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009', 'Kep-155/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor V.H.3' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 48 /POJK.04/2016
TENTANG
TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA PENYIMPANAN DAN
PENYELESAIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor Pasar Modal termasuk terkait dengan pengaturan
mengenai tata cara pembuatan peraturan oleh Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian beralih dari Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan kepada
Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan
kepastian mengenai pengaturan terhadap tata cara
pembuatan peraturan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, peraturan mengenai tata cara pembuatan
peraturan oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa
Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan;
- 2 -
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Cara
Pembuatan Peraturan Oleh Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA
CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA
PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud
dengan:
1. Bursa Efek adalah Pihak yang menyelenggarakan dan
menyediakan sistem dan/atau sarana untuk
mempertemukan penawaran jual dan beli Efek Pihak-
Pihak lain dengan tujuan memperdagangkan Efek di
antara mereka.
2. Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah Pihak yang
menyelenggarakan jasa kliring dan penjaminan
penyelesaian Transaksi Bursa.
3. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah Pihak
yang menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi
Bank Kustodian, Perusahaan Efek, dan Pihak lain.
- 3 -
4. Dewan Komisaris adalah organ Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian yang bertugas melakukan pengawasan
secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran
dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.
BAB II
PEMBUATAN PERATURAN LEMBAGA PENYIMPANAN DAN
PENYELESAIAN
Bagian Kesatu
Persyaratan Penyusunan Peraturan Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian
Pasal 2
(1) Peraturan atau perubahan peraturan Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian
dibuat dengan
memperhatikan pendapat dari pemakai jasa Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, Bursa Efek, Lembaga
Kliring dan Penjaminan, serta Pihak yang berkepentingan
lainnya.
(2) Peraturan atau perubahan peraturan Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh
persetujuan Dewan Komisaris sebelum diajukan kepada
Otoritas Jasa Keuangan untuk memperoleh persetujuan.
Pasal 3
(1) Permohonan persetujuan peraturan atau perubahan
peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam
rangkap 4 (empat) dengan menggunakan format surat
Permohonan Persetujuan Peraturan atau Perubahan
Peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini disertai dengan dokumen
sebagai berikut:
- 4 -
a. peraturan yang dimintakan persetujuan;
b. persetujuan Dewan Komisaris;
c. pendapat pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian; dan
d. pendapat pihak yang berkepentingan dengan
peraturan dimaksud.
(2) Dalam permohonan dijelaskan alasan permohonan yang
paling sedikit menyangkut latar belakang penyusunan
peraturan, masalah yang dihadapi, dan cara
pemecahannya.
Bagian Kedua
Penelaahan Permohonan Persetujuan Peraturan atau
Perubahan Peraturan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian
Pasal 4
(1) Dalam rangka memproses permohonan persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Otoritas Jasa
Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan persetujuan peraturan atau perubahan
peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak permohonan
diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta untuk
mengubah materi perubahan peraturan Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian dan/atau meminta
tambahan informasi yang berhubungan dengan
peraturan dimaksud.
(3) Dalam hal perubahan dan/atau tambahan informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan, permohonan perubahan
peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
dihitung sejak tanggal diterimanya perubahan atau
tambahan informasi tersebut oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
- 5 -
BAB III
PENAFSIRAN PERATURAN LEMBAGA PENYIMPANAN DAN
PENYELESAIAN DAN KETENTUAN INTERNAL LEMBAGA
PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN
Pasal 5
Penafsiran atas peraturan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian untuk memperjelas pengertiannya tetapi tidak
mengubah atau menambah pengertian dimaksud, dan
ketentuan mengenai pelaksanaan kegiatan internal Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian yang menyangkut bidang
kepegawaian Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian,
penggunaan tanda pengenal dan standar prosedur operasi
kegiatan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian berlaku
pada saat diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 6
Pemberitahuan oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai penafsiran atas
peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan
ketentuan mengenai pelaksanaan kegiatan internal Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, disampaikan dengan menggunakan format surat
Pemberitahuan atas Penafsiran Peraturan Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian atau Peraturan Kegiatan
Internal
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini, disertai dengan penjelasan dan latar belakang
penyusunannya.
Pasal 7
Otoritas Jasa Keuangan dapat membatalkan penafsiran dan
ketentuan mengenai kegiatan internal Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak berlakunya
peraturan dimaksud.
- 6 -
BAB IV
KETENTUAN SANKSI
Pasal 8
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi terhadap setiap pihak yang
melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan
terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g
dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan
sanksi administratif berupa peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 9
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
- 7 -
Pasal 10
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 kepada masyarakat.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 11
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor Kep-13/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang
Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian, beserta Peraturan Nomor III.C.2 yang
merupakan lampirannya dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 12
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 8 -
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 277
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 48 /POJK.04/2016
TENTANG
TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA PENYIMPANAN DAN
PENYELESAIAN
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
-2-
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
untuk mengganti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal Nomor Kep-13/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang
Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian beserta Peraturan Nomor III.C.2 yang merupakan
lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata
Cara Pembuatan Peraturan Oleh Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
-3-
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5973
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 48/POJK.04/2016 </reg_id>
<reg_title> TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN </reg_title>
<set_date> 2 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 7 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 7 Desember 2016 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-13/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-13/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor III.C.2' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 41 /POJK.05/2015
TENTANG
TATA CARA PENETAPAN PENGELOLA STATUTER
PADA LEMBAGA JASA KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan dan
pengawasan kegiatan sektor jasa keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf g serta Pasal 9 huruf e
dan huruf f Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan
mempunyai wewenang menetapkan peraturan mengenai
tata cara penetapan pengelola statuter pada lembaga jasa
keuangan serta melakukan penunjukan dan menetapkan
penggunaan pengelola statuter;
b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 62 ayat (6)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian, perlu mengatur mengenai penetapan,
tugas, masa tugas, dan pemberhentian pengelola
statuter, serta hak dan kewajiban direksi, dewan
komisaris, dan/atau dewan pengawas syariah nonaktif;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Cara Penetapan
Pengelola Statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA
CARA PENETAPAN PENGELOLA STATUTER PADA LEMBAGA
JASA KEUANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan.
2. Pengelola Statuter adalah orang perseorangan atau badan
hukum yang ditetapkan OJK untuk melaksanakan
kewenangan OJK sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan.
3. Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga jasa keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
4. Dewan Komisioner adalah dewan komisioner sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan.
5. Direksi adalah organ lembaga jasa keuangan yang
melakukan fungsi pengurusan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas bagi Lembaga Jasa Keuangan
- 3 -
berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang
setara dengan Direksi bagi Lembaga Jasa Keuangan yang
berbentuk badan hukum koperasi, usaha bersama, dana
pensiun, perusahaan daerah, perusahaan umum daerah,
atau perusahaan perseroan daerah.
6. Dewan Komisaris adalah organ Lembaga Jasa Keuangan
yang melakukan fungsi pengawasan dan pemberian
nasihat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi
Lembaga Jasa Keuangan yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas atau yang setara dengan Dewan
Komisaris bagi Lembaga Jasa Keuangan yang berbentuk
badan hukum koperasi, usaha bersama, dana pensiun,
perusahaan daerah, perusahaan umum daerah, atau
perusahaan perseroan daerah.
7. Dewan Pengawas Syariah adalah bagian dari organ
Lembaga Jasa Keuangan yang menyelenggarakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yang
melakukan fungsi pengawasan atas penyelenggaraan
usaha Lembaga Jasa Keuangan agar sesuai dengan
prinsip syariah.
8. Konsumen adalah konsumen sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan.
BAB II
PENETAPAN PENGELOLA STATUTER
Pasal 2
(1) OJK dapat melakukan penunjukan dan menetapkan
penggunaan Pengelola Statuter untuk mengambil alih
seluruh wewenang dan fungsi Direksi, Dewan Komisaris,
dan/atau Dewan Pengawas Syariah Lembaga Jasa
Keuangan.
- 4 -
(2) Penunjukan dan penetapan penggunaan Pengelola
Statuter dilakukan berdasarkan ketentuan undang-
undang di sektor jasa keuangan.
(3) Penunjukan dan penetapan penggunaan Pengelola
Statuter selain dilakukan berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat pula
dilakukan apabila berdasarkan penilaian OJK, Lembaga
Jasa Keuangan memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. kondisi keuangan Lembaga Jasa Keuangan dapat
membahayakan kepentingan Konsumen, sektor jasa
keuangan, dan/atau pemegang saham;
b. penyelenggaraan kegiatan usaha Lembaga Jasa
Keuangan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
c. Lembaga Jasa Keuangan telah dikenai sanksi
pembatasan kegiatan usaha;
d. Lembaga Jasa Keuangan dimanfaatkan oleh pihak
tertentu untuk memfasilitasi dan/atau melakukan
tindak pidana di sektor jasa keuangan;
e. pemegang saham, Direksi, Dewan Komisaris,
dan/atau Dewan Pengawas Syariah Lembaga Jasa
Keuangan diduga melakukan tindak pidana di
sektor jasa keuangan yang dapat mengganggu
operasional pada Lembaga Jasa Keuangan yang
bersangkutan;
f.
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan
Pengawas Syariah Lembaga Jasa Keuangan dinilai
tidak mampu mengatasi permasalahan yang terjadi di
Lembaga Jasa Keuangan; dan/atau
g. Lembaga Jasa Keuangan tidak memenuhi perintah
tertulis untuk mengganti Direksi, Dewan Komisaris,
dan/atau Dewan Pengawas Syariah.
(4) Penunjukan dan penetapan penggunaan Pengelola
Statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Dewan Komisioner berdasarkan usulan dari kepala
eksekutif masing-masing sektor jasa keuangan.
- 5 -
(5) Penunjukan dan penetapan penggunaan Pengelola
Statuter untuk Lembaga Jasa Keuangan yang secara
khusus dibentuk berdasarkan peraturan perundang-
undangan atau dibentuk oleh Pemerintah hanya
dilakukan setelah terlebih dahulu berkoordinasi dengan
Pemerintah.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria penunjukan
dan penetapan penggunaan
Pengelola Statuter
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Surat
Edaran OJK.
Pasal 3
(1) Pada saat penunjukan dan penetapan penggunaan
Pengelola Statuter dilakukan oleh OJK maka:
a. Pengelola Statuter mengambil alih seluruh wewenang
dan fungsi Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan
Pengawas Syariah Lembaga Jasa Keuangan; dan
b. Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan
Pengawas Syariah Lembaga Jasa Keuangan
dinyatakan nonaktif.
(2) Sejak pengambilalihan wewenang dan fungsi Direksi,
Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas
Syariah:
a. dilarang menjalankan wewenang dan fungsi selaku
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan
Pengawas Syariah.
b. wajib membantu Pengelola Statuter dalam
menjalankan wewenang, fungsi, dan tugasnya.
(3) Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas
Syariah nonaktif dilarang mengundurkan diri selama
wewenang dan fungsinya diambil alih oleh Pengelola
Statuter.
- 6 -
(4) OJK dapat mengaktifkan kembali sebagian atau seluruh
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas
Syariah nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b setelah penggunaan Pengelola Statuter berakhir.
(5) Dalam hal OJK mengaktifkan kembali sebagian Direksi,
Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah
setelah penggunaan Pengelola Statuter berakhir, OJK
memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa
Keuangan untuk menyelenggarakan rapat umum
pemegang saham untuk menunjuk Direksi, Dewan
Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah.
(6) Dalam hal OJK tidak mengaktifkan kembali seluruh
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas
Syariah, OJK memberikan perintah tertulis kepada
Pengelola Statuter untuk menyelenggarakan rapat umum
pemegang saham untuk menunjuk Direksi, Dewan
Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah yang baru
sebelum penggunaan Pengelola Statuter berakhir.
Pasal 4
(1) Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas
Syariah nonaktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) huruf b berhak memperoleh remunerasi yang
besarannya ditetapkan oleh rapat umum pemegang
saham dengan mempertimbangkan kondisi keuangan
Lembaga Jasa Keuangan, paling tinggi sebesar 50% (lima
puluh persen) dari remunerasi yang diterima sebelum
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas
Syariah dinonaktifkan.
(2) Dalam hal Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan
Pengawas Syariah nonaktif ditunjuk menjadi Pengelola
Statuter maka remunerasi bagi Direksi, Dewan Komisaris,
dan/atau Dewan Pengawas Syariah dimaksud berlaku
ketentuan remunerasi bagi Pengelola Statuter.
- 7 -
BAB III
PIHAK YANG DITUNJUK SEBAGAI PENGELOLA STATUTER
Pasal 5
(1) OJK menunjuk orang perseorangan atau badan hukum
sebagai Pengelola Statuter.
(2) Orang perseorangan yang dapat menjadi Pengelola
Statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:
a. memenuhi persyaratan yang setara dengan Direksi,
Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas
Syariah Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan
wewenang dan fungsi yang diambil alih, berdasarkan
penilaian OJK; dan
b. tidak memiliki benturan kepentingan dengan
Lembaga Jasa Keuangan yang akan dikelola,
pemegang saham, Direksi, Dewan Komisaris,
dan/atau Dewan Pengawas Syariah dari Lembaga
Jasa Keuangan yang akan dikelola.
(3) Direksi, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah,
dan/atau pegawai Lembaga Jasa Keuangan yang tidak
menyebabkan Lembaga Jasa Keuangan bermasalah dapat
ditunjuk sebagai Pengelola Statuter.
(4) Badan hukum yang dapat menjadi Pengelola Statuter
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Lembaga
Jasa Keuangan sejenis dan tidak memiliki benturan
kepentingan dengan pemegang saham, Direksi, Dewan
Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah dari
Lembaga Jasa Keuangan yang akan dikelola.
(5) Dalam hal Pengelola Statuter berbentuk badan hukum,
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota
Dewan Pengawas Syariah, dan/atau pegawai badan
hukum yang ditugaskan untuk menjalankan wewenang,
fungsi, dan tugas Pengelola Statuter harus memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dan huruf b.
- 8 -
BAB IV
TUGAS, WEWENANG, HAK, DAN TANGGUNG JAWAB
PENGELOLA STATUTER
Pasal 6
(1) Pengelola Statuter memiliki seluruh wewenang dan fungsi
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas
Syariah.
(2) Pengelola Statuter yang telah ditetapkan oleh OJK
mempunyai tugas:
a. menyelamatkan kekayaan dan/atau kumpulan dana
Lembaga Jasa Keuangan dan/atau Konsumen;
b. mengendalikan dan mengelola kegiatan usaha dari
Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c. menyusun rencana kerja yang paling sedikit memuat
langkah-langkah penyelamatan yang akan dilakukan
apabila Lembaga Jasa Keuangan tersebut masih
dapat diselamatkan;
d. mengajukan usulan agar OJK mencabut izin usaha
Lembaga Jasa Keuangan apabila Lembaga Jasa
Keuangan tersebut dinilai tidak dapat diselamatkan;
e. memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan di sektor jasa keuangan;
f. mematuhi setiap perintah tertulis dari OJK mengenai
pengendalian dan pengelolaan kegiatan usaha dari
Lembaga Jasa Keuangan;
g. mencegah dan mengurangi kerugian Konsumen,
masyarakat, dan sektor jasa keuangan;
h. memberantas kejahatan keuangan yang dilakukan
pihak tertentu di sektor jasa keuangan; dan
melaporkan kegiatannya kepada OJK.
i.
(3) Dalam melaksanakan wewenang, fungsi, dan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
Pengelola Statuter dapat menempuh langkah-langkah:
a. menyelamatkan kelangsungan usaha Lembaga Jasa
Keuangan tertentu;
- 9 -
b. membatalkan atau mengakhiri perjanjian yang dibuat
oleh Lembaga Jasa Keuangan dengan pihak ketiga
yang merugikan dan/atau menurut Pengelola
Statuter dapat merugikan kepentingan Lembaga Jasa
Keuangan dan/atau Konsumen;
c. melakukan pengalihan sebagian atau seluruh
portofolio kekayaan atau usaha dan/atau kumpulan
dana dari Lembaga Jasa Keuangan yang menurut
Pengelola Statuter dapat mencegah kerugian yang
lebih besar bagi Lembaga Jasa Keuangan; dan/atau
d. melakukan pengalihan sebagian atau seluruh
portofolio kekayaan dan/atau kumpulan dana dari
Konsumen yang menurut Pengelola Statuter dapat
mencegah kerugian yang lebih besar bagi Konsumen.
Pasal 7
(1) Pengelola Statuter dapat meminta pihak yang sedang atau
pernah menjabat sebagai anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, pegawai
dari Lembaga Jasa Keuangan, dan/atau pihak lain yang
memiliki informasi dan/atau dokumen tertentu yang
berkaitan dengan kegiatan usaha Lembaga Jasa
Keuangan untuk memberikan informasi dan/atau
dokumen dimaksud kepada Pengelola Statuter.
(2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
memberikan informasi dan/atau dokumen tertentu yang
berkaitan dengan kegiatan usaha Lembaga Jasa
Keuangan kepada Pengelola Statuter.
Pasal 8
(1) Pengelola Statuter berhak atas remunerasi.
(2) Besaran remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh OJK dengan mempertimbangkan antara
lain kewajaran, kompleksitas permasalahan pada
Lembaga Jasa Keuangan, dan ukuran aset dari Lembaga
Jasa Keuangan.
- 10 -
Pasal 9
(1) Pengelola Statuter menyampaikan laporan bulanan
Pengelola Statuter kepada OJK paling lambat tanggal 10
bulan berikutnya.
(2) Apabila batas waktu penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, maka batas
akhir penyampaian adalah hari kerja berikutnya.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit berisi informasi mengenai:
a. hal-hal yang telah dilakukan selama periode
pelaporan;
b. perkembangan kesehatan keuangan Lembaga Jasa
Keuangan selama periode pelaporan;
c. permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan
tugasnya;
d. langkah-langkah strategis yang akan dilakukan
setelah periode pelaporan; dan
e. rekomendasi kepada OJK.
(4) Dalam hal diperlukan, OJK dapat meminta Pengelola
Statuter untuk menyampaikan laporan di luar laporan
bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 10
Pengelola Statuter mempertanggungjawabkan segala
keputusan dan tindakannya dalam melaksanakan wewenang,
fungsi, dan tugasnya kepada OJK.
BAB V
BIAYA PENGELOLA STATUTER
Pasal 11
(1) Biaya penyelenggaraan usaha Lembaga Jasa Keuangan
selama masa penggunaan Pengelola Statuter dibebankan
kepada Lembaga Jasa Keuangan.
(2) Biaya remunerasi Pengelola Statuter sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dibebankan kepada
Lembaga Jasa Keuangan.
- 11 -
(3) Dalam hal biaya remunerasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak mencukupi, OJK dapat menetapkan
tambahan remunerasi dan/atau penghasilan lain
Pengelola Statuter yang menjadi beban OJK.
BAB VI
PENGAKHIRAN PENGELOLA STATUTER
Pasal 12
(1) Penggunaan Pengelola Statuter pada Lembaga Jasa
Keuangan berakhir apabila:
a. OJK memutuskan penggunaan Pengelola Statuter
tidak diperlukan lagi; atau
b. Lembaga Jasa Keuangan telah dicabut izin usahanya.
(2) OJK berwenang untuk melakukan penggantian Pengelola
Statuter apabila dinilai bahwa Pengelola Statuter
melakukan kecurangan, tidak jujur, lalai, tidak mampu,
dan/atau tidak mematuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengakhiran Pengelola
Statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
penggantian Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 13
(1) Dalam hal penggunaan Pengelola Statuter telah berakhir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Pengelola
Statuter menyampaikan laporan pertanggungjawaban
kepada OJK.
(2) Penyampaian laporan pertanggungjawaban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 30
(tiga puluh) hari kerja sejak berakhirnya penggunaan
Pengelola Statuter.
(3) Laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit berisi informasi mengenai:
a. hal-hal yang telah dilakukan selama menjalankan
tugas sebagai Pengelola Statuter;
- 12 -
b. perkembangan kesehatan keuangan Lembaga Jasa
Keuangan selama menjalankan tugas sebagai
Pengelola Statuter;
c. permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan
tugasnya; dan
(4) Dalam
d. rekomendasi kepada OJK.
hal OJK
telah menyetujui
laporan
pertanggungjawaban Pengelola Statuter sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Lembaga Jasa Keuangan wajib
menerima laporan pertanggungjawaban Pengelola Statuter
yang telah disetujui oleh OJK tersebut.
BAB VII
SANKSI
Pasal 14
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 53 dan Pasal 54 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,
OJK berwenang menetapkan sanksi administratif kepada
pihak yang melanggar ketentuan dalam Pasal 3 ayat (3),
ayat (4), Pasal 7 ayat (2), dan Pasal 13 ayat (4) Peraturan
OJK ini berupa:
a.
b.
teguran tertulis; dan/atau
larangan menjadi pemegang saham, pengendali,
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan
Pengawas Syariah paling lama 5 (lima) tahun di
sektor jasa keuangan.
(2) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), OJK dapat menetapkan sanksi administratif
tambahan atau tindakan tertentu sebagaimana diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan kepada pihak yang melakukan
pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- 13 -
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 368
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 1/POJK.05/2015 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK </reg_title>
<set_date> 23 Maret 2015 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2016 </effective_date>
<issued_date> 26 Maret 2015 </issued_date>
<related_reg> '40/UU/2014', '21/UU/2011', '73/PP/1992', '81/PP/2008', '11/UU/1992', '76/PP/1992', '77/PP/1992' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 1 /POJK.05/20172017
TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMIN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (4),
Pasal 12 ayat (3), Pasal 14 ayat (3), Pasal 18 ayat (5), Pasal
22 ayat (2), Pasal 23 ayat (5), Pasal 25 ayat (3), Pasal 29
ayat (9), Pasal 52 ayat (6), dan Pasal 62 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Penjamin;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang
Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3835);
-2-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA
PENJAMIN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh
Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin
kepada Penerima Jaminan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
2. Penjaminan Syariah adalah kegiatan pemberian jaminan
oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial
Terjamin kepada Penerima Jaminan berdasarkan Prinsip
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
3. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam
kegiatan penjaminan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan
oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan
fatwa di bidang syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
4. Penjaminan Ulang adalah kegiatan pemberian jaminan
atas pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan
Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
5. Penjaminan Ulang Syariah adalah kegiatan pemberian
jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan
Penjaminan Syariah dan UUS sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
-3-
6. Lembaga Penjamin adalah Perusahaan Penjaminan,
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan
Ulang, dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah yang
menjalankan kegiatan penjaminan
sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016
tentang Penjaminan.
7. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang
bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha
utama melakukan Penjaminan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
8. Perusahaan Penjaminan Syariah adalah badan hukum
yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha
utama melakukan Penjaminan Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016
tentang Penjaminan.
9. Perusahaan Penjaminan Ulang adalah badan hukum yang
bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha
melakukan Penjaminan Ulang sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
10. Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah adalah badan
hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan
kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2016 tentang Penjaminan.
11. Penjamin adalah pihak yang melakukan penjaminan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2016 tentang Penjaminan.
12. Penerima Jaminan adalah lembaga keuangan atau di luar
lembaga keuangan yang telah memberikan Kredit,
Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah
atau kontrak jasa kepada Terjamin sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016
tentang Penjaminan.
-4-
13. Terjamin adalah pihak yang telah memperoleh Kredit,
Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah,
atau kontrak jasa dari lembaga keuangan atau di luar
lembaga keuangan yang dijamin oleh Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2016 tentang Penjaminan.
14. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam, yang dibuat oleh bank
atau koperasi dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
15. Pembiayaan adalah penyediaan fasilitas finansial atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan, yang dibuat
oleh lembaga pembiayaan dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
16. Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah adalah
pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang yang mengatur mengenai perbankan syariah.
17. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS, adalah
unit kerja dari Perusahaan Penjaminan yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang
melaksanakan kegiatan usaha Penjaminan berdasarkan
Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
18. Lembaga Keuangan adalah bank dan lembaga keuangan
bukan bank.
-5-
19. Kantor Cabang adalah kantor Lembaga Penjamin yang
secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat
atau UUS.
20. Sertifikat Penjaminan adalah bukti persetujuan
Penjaminan dari Perusahaan Penjaminan kepada
Penerima Jaminan atas kewajiban finansial Terjamin
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2016 tentang Penjaminan.
21. Sertifikat Kafalah adalah bukti persetujuan Penjaminan
Syariah dari Perusahaan Penjaminan Syariah dan UUS
kepada Penerima Jaminan atas kewajiban finansial
Terjamin sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
22. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disingkat
PSP adalah Setiap Orang yang:
a. memiliki secara langsung saham atau modal
Lembaga Penjamin sebesar 25% (dua puluh lima per
seratus) atau lebih dari jumlah saham yang
dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau
b. memiliki secara langsung saham atau modal
Lembaga Penjamin kurang dari 25% (dua puluh lima
per seratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan
dan mempunyai hak suara namun yang
bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan
pengendalian Lembaga Penjamin, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
23. Modal Disetor:
a. bagi Lembaga Penjamin berbentuk badan hukum
perseroan terbatas adalah modal disetor;
b. bagi Lembaga Penjamin berbentuk badan hukum
koperasi adalah simpanan pokok dan simpanan
wajib; atau
c.
bagi Lembaga Penjamin berbentuk badan hukum
perusahaan umum adalah penyertaan modal
negara.
24. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
-6-
Perseroan Terbatas bagi Lembaga Penjamin yang
berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang
setara dengan Direksi bagi Lembaga Penjamin yang
berbentuk badan hukum perusahaan umum atau
koperasi.
25. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas bagi Lembaga Penjamin yang
berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang
setara dengan Dewan Komisaris bagi Lembaga Penjamin
yang berbentuk badan hukum perusahaan umum atau
koperasi.
26. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS
adalah bagian dari organ Perusahaan Penjaminan
Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan
Perusahaan Penjaminan yang memiliki UUS yang
mempunyai tugas dan fungsi pengawasan terhadap
penyelenggaraan kegiatan usaha Penjaminan Syariah dan
Penjaminan Ulang Syariah agar sesuai dengan Prinsip
Syariah.
27. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya
disingkat RUPS adalah rapat umum pemegang saham
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Lembaga
Penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas atau yang setara dengan RUPS bagi Lembaga
Penjamin yang berbentuk badan hukum perusahaan
umum atau koperasi.
28. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh
2 (dua) Lembaga Penjamin atau lebih untuk meleburkan
diri dengan cara mendirikan 1 (satu) Lembaga Penjamin
baru yang karena hukum memperoleh aset, liabilitas, dan
ekuitas dari Lembaga Penjamin yang meleburkan diri dan
status badan hukum Lembaga Penjamin yang meleburkan
diri berakhir karena hukum.
-7-
29. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang
dilakukan oleh 1 (satu) Lembaga Penjamin atau lebih
untuk menggabungkan diri dengan Lembaga Penjamin
lain yang telah ada yang mengakibatkan aset, liabilitas,
dan ekuitas dari Lembaga Penjamin yang
menggabungkan diri beralih karena hukum kepada
Lembaga Penjamin yang menerima penggabungan
dan selanjutnya status badan hukum Lembaga
Penjamin yang menggabungkan diri berakhir karena
hukum.
30. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang
dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan
untuk mengambil alih saham Lembaga Penjamin yang
mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Lembaga
Penjamin tersebut.
31. Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan
oleh Lembaga Penjamin untuk memisahkan usaha yang
mengakibatkan seluruh aset, liabilitas, dan ekuitas
Lembaga Penjamin beralih karena hukum kepada 2
(dua) badan hukum atau lebih, atau sebagian aset,
liabilitas, dan ekuitas Lembaga Penjamin beralih
karena hukum kepada 1 (satu) badan hukum atau
lebih.
32. Lembaga
Sertifikasi Profesi adalah lembaga
pelaksana kegiatan sertifikasi profesi yang memperoleh
lisensi dari
lembaga
negara yang berwenang
memberikan lisensi terhadap lembaga sertifikasi profesi di
Indonesia.
33. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau badan
usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang
tidak berbentuk badan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
-8-
BAB II
BENTUK BADAN HUKUM DAN PERMODALAN
Bagian Kesatu
Bentuk Badan Hukum
Pasal 2
Badan hukum Lembaga Penjamin berbentuk:
a. perusahaan umum;
b. perseroan terbatas; atau
c.
koperasi.
Pasal 3
Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perusahaan
umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a hanya
dapat dimiliki oleh pemerintah pusat sesuai dengan undang-
undang yang mengatur mengenai badan usaha milik negara.
Pasal 4
(1) Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf b hanya dapat dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia yang secara langsung atau tidak langsung
sepenuhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia;
b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf a
bersama-sama dengan warga negara asing atau
badan hukum asing;
c. pemerintah pusat; dan/atau
d. pemerintah daerah.
(2) Kepemilikan asing pada Lembaga Penjamin berbentuk
badan hukum perseroan terbatas, baik secara langsung
maupun tidak langsung paling banyak sebesar 30% (tiga
puluh per seratus) dari Modal Disetor.
-9-
(3) Kepemilikan asing pada Lembaga Penjamin sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib disetor dalam bentuk uang
yang ditempatkan di rekening bank dalam negeri atas
nama Lembaga Penjamin.
(4) Badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b harus merupakan lembaga jasa keuangan di
negara asalnya.
Pasal 5
Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum koperasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c hanya dapat
dimiliki oleh anggota koperasi sesuai dengan undang-undang
yang mengatur mengenai perkoperasian.
Pasal 6
Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum koperasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c yang
melakukan kegiatan penjaminan tidak dapat bertindak
sebagai Penerima Jaminan dan/atau Terjamin.
Bagian Kedua
Permodalan
Pasal 7
(1) Modal Disetor pada Lembaga Penjamin ditetapkan sesuai
dengan lingkup wilayah operasional.
(2) Jumlah Modal Disetor Perusahaan Penjaminan dan
Perusahaan Penjaminan Syariah ditetapkan paling
sedikit:
a. Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), untuk
lingkup wilayah nasional;
b. Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah),
untuk lingkup wilayah provinsi; atau
c. Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), untuk
lingkup wilayah kabupaten atau kota.
-10-
(3) Jumlah Modal Disetor Perusahaan Penjaminan Ulang dan
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah untuk seluruh
lingkup wilayah operasional ditetapkan paling sedikit
Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
(4) Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) wajib disetor secara tunai dan penuh dalam bentuk
deposito berjangka atas nama Perusahaan Penjaminan dan
Perusahaan Penjaminan Ulang pada salah satu bank umum
atau bank umum syariah di Indonesia.
(5) Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) wajib disetor secara tunai dan penuh dalam bentuk
deposito berjangka atas nama Perusahaan Penjaminan
Syariah dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah pada
salah satu bank umum syariah atau unit usaha syariah dari
bank umum di Indonesia.
Bagian Ketiga
Lingkup Wilayah Operasional
Pasal 8
(1) Lingkup wilayah operasional Lembaga Penjamin terdiri atas
wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
(2) Lingkup wilayah operasional Lembaga Penjamin harus
dituangkan secara jelas dalam anggaran dasar Lembaga
Penjamin.
Pasal 9
(1) Lembaga Penjamin dilarang membuka Kantor Cabang di
luar lingkup wilayah operasional.
(2) Lembaga Penjamin lingkup wilayah provinsi atau
kabupaten/kota
dilarang
melaksanakan
kegiatan
Penjaminan atau Penjaminan Syariah langsung terhadap
Terjamin di luar wilayah operasionalnya.
(3) Lembaga Penjamin lingkup wilayah provinsi atau
kabupaten/kota
dilarang
melaksanakan
kegiatan
Penjaminan atau Penjaminan Syariah tidak langsung
-11-
terhadap Terjamin di luar wilayah operasionalnya,
kecuali memenuhi ketentuan:
a. Lembaga Penjamin bekerja sama dengan Lembaga
Penjamin lain di luar lingkup wilayah operasionalnya
melalui mekanisme Penjaminan atau Penjaminan
Syariah bersama; atau
b. Terjamin merupakan debitur Penerima Jaminan yang
dimiliki oleh pemegang saham yang sama dengan
Lembaga Penjamin.
BAB III
KEPEMILIKAN
Pasal 10
(1) Dalam hal pemegang saham berbentuk badan hukum
Indonesia, jumlah penyertaan modal pada Lembaga
Penjamin ditetapkan paling banyak sebesar:
a. ekuitas badan hukum yang bersangkutan apabila
tidak terdapat penyertaan lain; atau
b. ekuitas badan hukum yang bersangkutan dikurangi
jumlah penyertaan lain yang telah dilakukan apabila
terdapat penyertaan lain.
(2) Ekuitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
a. penjumlahan dari Modal Disetor, cadangan, dan laba
ditahan jika badan hukum pemilik berbentuk
perseroan terbatas dan perusahaan umum; atau
b. penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib,
hibah, modal penyertaan, dana cadangan, dan sisa
hasil usaha jika badan hukum pemilik berbentuk
koperasi.
Pasal 11
(1) Setiap Orang hanya dapat menjadi PSP pada 1 (satu)
Perusahaan Penjaminan, 1 (satu) Perusahaan Penjaminan
Syariah, 1 (satu) Perusahaan Penjaminan Ulang, dan/atau
1 (satu) Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah.
-12-
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku apabila PSP adalah pemerintah dan/atau
pemerintah daerah.
BAB IV
IZIN USAHA
Pasal 12
(1) Setiap Orang yang melakukan usaha Penjaminan,
Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang, dan Penjaminan
Ulang Syariah wajib terlebih dahulu mendapat izin usaha
dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Direksi harus mengajukan permohonan izin usaha
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 13
(1) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (2), harus diajukan oleh Direksi kepada
Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 1
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
(2) Pengajuan permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dilampiri dokumen:
a.
fotokopi akta pendirian badan hukum yang telah
disahkan oleh instansi yang berwenang, yang paling
sedikit harus memuat:
1. nama, tempat kedudukan, dan lingkup wilayah
operasional;
2. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha;
3. permodalan;
4. kepemilikan; dan
5. wewenang, tanggung jawab, masa jabatan
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris
dan/atau anggota DPS,
dan perubahan anggaran dasar (jika ada) disertai
dengan bukti pengesahan, persetujuan, dan/atau
-13-
surat penerimaan pemberitahuan dari instansi
berwenang;
b. susunan organisasi yang menggambarkan fungsi
pengelolaan risiko, fungsi pengelolaan keuangan, dan
fungsi pelayanan yang ditetapkan oleh Direksi,
dilengkapi dengan susunan personalia, uraian tugas,
wewenang, dan tanggung jawab;
c. data pemegang saham atau anggota selain PSP:
1. dalam hal pemegang saham atau anggota adalah
perorangan, dokumen yang dilampirkan adalah:
a) 1 (satu) lembar pas foto terbaru ukuran 4 x 6
cm;
b) fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda
penduduk (KTP) atau paspor yang masih
berlaku;
c)
daftar riwayat hidup;
d) fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP);
e)
f)
fotokopi surat pemberitahuan (SPT) pajak
untuk 1 (satu) tahun terakhir;
surat pernyataan pemegang saham yang
menyatakan bahwa:
1) setoran modal tidak berasal dari
pinjaman;
2) setoran modal tidak berasal dari
kegiatan pencucian uang (money
laundering) dan kejahatan keuangan;
kredit dan/atau
3) tidak
memiliki
pembiayaan macet;
4) tidak termasuk dalam daftar pihak
yang dilarang untuk menjadi pemegang
saham atau pihak yang mengelola,
mengawasi, dan/atau mempunyai
pengaruh yang signifikan pada
lembaga jasa keuangan;
-14-
5) tidak
pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana di bidang
usaha jasa keuangan dan/atau
perekonomian berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima)
tahun terakhir;
6) tidak
pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana kejahatan
berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir;
7) tidak pernah dinyatakan pailit atau
dinyatakan
menyebabkan
perusahaan
bersalah
suatu
yang
dinyatakan
perseroan/
pailit
berdasarkan putusan pengadilan
yang mempunyai kekuatan hukum
tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir;
dan
8) tidak pernah menjadi pemegang saham
pengendali, anggota direksi, anggota
dewan komisaris, atau anggota dewan
pengawas syariah pada perusahaan
jasa keuangan yang dicabut izin
usahanya
karena
melakukan
pelanggaran dalam 5 (lima) tahun
terakhir;
2. dalam hal pemegang saham adalah badan
hukum, dokumen yang dilampirkan adalah:
a)
fotokopi akta pendirian badan hukum,
termasuk
anggaran
dasar
berikut
perubahan yang terakhir yang telah berlaku
sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan;
-15-
b) laporan keuangan yang telah diaudit oleh
akuntan publik dan/atau laporan keuangan
terakhir;
c)
daftar pemegang saham berikut rincian
besarnya
masing-masing
yang
kepemilikan
saham yang disertai dengan dokumen
pendukungnya
persentase
kepemilikan
menunjukkan
baik
secara
langsung maupun tidak langsung;
d) fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP);
dan
e) data direksi badan hukum tersebut
meliputi:
1) 1 (satu) lembar pas foto terbaru ukuran
4 x 6 cm;
2) fotokopi tanda pengenal berupa kartu
tanda penduduk (KTP) atau paspor
yang masih berlaku;
3) daftar riwayat hidup;
4) fotokopi nomor pokok wajib pajak
(NPWP); dan
5) surat pernyataan direksi atau yang
setara dari badan hukum dimaksud
yang menyatakan bahwa:
(a) setoran modal tidak berasal dari
pinjaman;
(b) setoran modal tidak berasal dari
kegiatan pencucian uang (money
laundering)
keuangan;
dan
kejahatan
(c) tidak memiliki kredit dan/atau
pembiayaan macet;
(d) tidak termasuk dalam daftar
pihak yang dilarang untuk
menjadi
pemegang
saham
atau pihak yang mengelola,
mengawasi, dan/atau mempunyai
-16-
pengaruh
pada
keuangan;
(e) tidak pernah dinyatakan pailit
atau dinyatakan bersalah yang
menyebabkan suatu perseroan/
perusahaan dinyatakan pailit
berdasarkan putusan pengadilan
yang
mempunyai
kekuatan
hukum tetap dalam 5 (lima) tahun
terakhir; dan
(f) tidak pernah menjadi pemegang
saham
pengendali
pada
perusahaan jasa keuangan yang
dicabut izin usahanya karena
melakukan pelanggaran dalam 5
(lima) tahun terakhir;
3. dalam hal pemegang saham adalah negara
Republik Indonesia, dilampiri dengan fotokopi
Peraturan Pemerintah mengenai penyertaan
modal negara Republik Indonesia untuk
pendirian Lembaga Penjamin; dan
4. dalam hal pemegang saham adalah pemerintah
daerah, dilampiri dengan fotokopi Peraturan
Daerah mengenai penyertaan modal daerah
untuk pendirian Lembaga Penjamin;
d. sistem dan prosedur kerja usaha Penjaminan,
Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang, atau
Penjaminan Ulang Syariah berupa:
1. prosedur operasi standar (standard operating
procedure);
2. contoh perjanjian kerja sama; dan
3. contoh Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat
Kafalah yang akan digunakan oleh Lembaga
Penjamin;
yang
lembaga
signifikan
jasa
-17-
e. bukti mempekerjakan tenaga ahli Penjaminan atau
Penjaminan Syariah berupa:
1. bukti pengangkatan tenaga ahli; dan
2. dokumen pendukung pemenuhan persyaratan
tenaga ahli;
f.
fotokopi bukti pelunasan Modal Disetor dalam
bentuk setoran tunai dari pemegang saham atau
anggota dan fotokopi bukti penempatan Modal
Disetor minimum dalam bentuk deposito berjangka
atas nama Lembaga Penjamin yang bersangkutan
pada:
1. salah satu bank umum atau bank umum
syariah
di
Indonesia
bagi Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang;
atau
2. salah satu bank umum syariah atau unit usaha
syariah dari bank umum di Indonesia bagi
Perusahaan
Penjaminan
Syariah
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah,
yang dilegalisasi oleh bank penerima setoran dan
masih berlaku selama dalam proses pengajuan izin
usaha;
g. rencana kerja untuk 3 (tiga) tahun pertama yang
paling sedikit memuat:
1. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan
potensi ekonomi;
2. rencana kegiatan usaha Lembaga Penjamin
dan langkah-langkah kegiatan yang akan
dilakukan
dimaksud; dan
3. proyeksi laporan posisi keuangan, laporan
laba rugi dan laporan arus kas bulanan serta
asumsi yang mendasarinya yang dimulai sejak
Lembaga Penjamin melakukan kegiatan
operasional;
atau
dalam mewujudkan rencana
-18-
h. bukti kesiapan infrastruktur paling sedikit berupa:
1. daftar aset tetap dan inventaris beserta bukti
kepemilikan atau penguasaan;
2. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung
kantor; dan
3. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP);
i.
konfirmasi dari otoritas pengawas di negara asal
pihak asing, jika terdapat penyertaan langsung
pihak asing; dan
j. dokumen lain dalam rangka mendukung
pertumbuhan usaha yang sehat, meliputi:
1. fotokopi akta RUPS yang menyatakan
pengangkatan DPS, bagi Perusahaan
Penjaminan Syariah atau Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah;
2. laporan posisi keuangan awal/pembukaan
Lembaga Penjamin;
3. rencana bidang kepegawaian termasuk rencana
pengembangan sumber daya manusia untuk
paling singkat 3 (tiga) tahun mendatang;
4. fotokopi pedoman tata kelola yang baik bagi
Lembaga Penjamin;
5. fotokopi perjanjian kerjasama antara pihak
asing dan pihak Indonesia, bagi Lembaga
Penjamin
yang di dalamnya terdapat
penyertaan dari badan hukum asing atau
warga negara asing yang dibuat dalam
bahasa Indonesia dan paling
sedikit
memuat:
a) komposisi permodalan, susunan anggota
Direksi dan anggota Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang
penjaminan; dan
b) kewajiban pihak asing untuk menyusun
dan melaksanakan program pendidikan
-19-
dan pelatihan sesuai bidang keahliannya;
dan
6. bukti pelunasan pembayaran biaya
perizinan dalam rangka pemberian izin
usaha.
(3) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan bersamaan dengan permohonan
penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, PSP, dan anggota DPS
Lembaga Penjamin.
(4) Ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan bagi calon anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, PSP, dan anggota DPS Lembaga Penjamin dan
format permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian
kemampuan dan kepatutan.
Pasal 14
(1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan,
permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan
atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (1) dalam jangka waktu paling lama
20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan izin usaha
diterima.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dokumen;
b. pemeriksaan setoran modal;
c.
analisis kelayakan atas rencana kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf g;
d. penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, PSP, dan
anggota DPS Lembaga Penjamin; dan
-20-
e.
analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penjaminan.
(3) Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan peninjauan ke
kantor Lembaga Penjamin untuk memastikan kesiapan
operasional Lembaga Penjamin.
(4) Direksi Lembaga Penjamin harus menyampaikan
kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal
surat permintaan kelengkapan dokumen dari Otoritas
Jasa Keuangan.
(5) Dalam hal Direksi Lembaga Penjamin telah
menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), Otoritas Jasa Keuangan
memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan belum menerima tanggapan atas permintaan
kelengkapan dokumen dimaksud, pemohon dianggap
membatalkan permohonan izin usaha.
(7) Dalam hal permohonan izin usaha disetujui, Otoritas Jasa
Keuangan menetapkan keputusan pemberian izin usaha.
(8) Penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis dan
disertai dengan alasan penolakan.
Pasal 15
(1) Lembaga Penjamin yang telah mendapat izin usaha dari
Otoritas Jasa Keuangan wajib melakukan kegiatan
usaha paling lambat 4 (empat) bulan terhitung sejak
tanggal izin usaha ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Lembaga Penjamin wajib menyampaikan laporan
pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15
-21-
(lima belas) hari terhitung sejak tanggal dimulainya
kegiatan usaha.
(3) Pelaporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan oleh Direksi
kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan
format 2 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
(4) Pelaporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dengan:
a. fotokopi perjanjian kerjasama (jika ada);
b.
Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah yang
telah dilakukan; dan
c.
fotokopi surat izin menetap dan/atau surat izin
menggunakan tenaga kerja asing yang dikeluarkan
oleh instansi berwenang bagi anggota Direksi
dan/atau Dewan Komisaris berkewarganegaraan
asing.
Pasal 16
(1) Nama Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2) huruf a angka 1 harus dicantumkan
secara jelas dalam anggaran dasar yang dimulai dengan
bentuk badan hukum dan memuat kata:
a. Penjaminan atau jaminan, bagi Perusahaan
Penjaminan;
b. Penjaminan Ulang atau jaminan ulang, bagi
Perusahaan Penjaminan Ulang;
c. Penjaminan atau jaminan serta kata syariah, bagi
Perusahaan Penjaminan Syariah; atau
d. Penjaminan Ulang atau jaminan ulang serta kata
syariah, bagi Perusahaan Penjaminan Ulang
Syariah.
(2) Penggunaan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas harus memenuhi ketentuan
-22-
peraturan perundang-undangan mengenai perseroan
terbatas.
BAB V
UNIT USAHA SYARIAH
Bagian Kesatu
Pembentukan UUS
Pasal 17
(1) Perusahaan Penjaminan dapat melakukan sebagian
kegiatan usaha Penjaminan berdasarkan Prinsip Syariah
dengan membentuk UUS.
(2) Perusahaan Penjaminan yang membentuk UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi
ketentuan:
a. memuat maksud dan tujuan
Perusahaan
Penjaminan untuk menjalankan sebagian kegiatan
usaha Penjaminan berdasarkan Prinsip Syariah
dalam anggaran dasarnya; dan
b. mempunyai pembukuan terpisah dari Perusahaan
Penjaminan.
Bagian Kedua
Modal Kerja UUS
Pasal 18
(1) UUS wajib mempunyai modal kerja sebesar:
a. Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah)
untuk UUS dari Perusahaan Penjaminan dengan
lingkup wilayah nasional;
b. Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk
UUS dari Perusahaan Penjaminan dengan lingkup
wilayah provinsi; atau
c. Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk UUS
dari Perusahaan Penjaminan dengan lingkup
wilayah kabupaten/kota.
-23-
(2) Modal kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
telah disetor penuh pada bank umum syariah atau unit
usaha syariah dari bank umum di Indonesia dalam
bentuk deposito berjangka dan telah dilegalisasi oleh bank
penerima setoran serta masih berlaku selama dalam
proses pengajuan izin UUS.
Bagian Ketiga
Perizinan UUS
Pasal 19
(1) Pembentukan UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Untuk memperoleh izin UUS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Direksi Perusahaan Penjaminan harus
mengajukan permohonan izin UUS kepada Otoritas Jasa
Keuangan dengan menggunakan format 3 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini.
(3) Pengajuan permohonan izin UUS sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus dilampiri dengan:
a. perubahan anggaran dasar yang mencantumkan:
1. salah satu maksud dan tujuan Perusahaan
Penjaminan yaitu melakukan kegiatan usaha
Penjaminan Syariah; dan
2. wewenang dan tanggung jawab DPS,
disertai dengan bukti persetujuan dan/atau surat
penerimaan pemberitahuan dari instansi
berwenang;
b. fotokopi bukti setoran modal kerja minimum dalam
bentuk deposito berjangka atas nama Perusahaan
Penjaminan pada salah satu bank umum syariah
atau unit usaha syariah dari bank umum di
Indonesia yang dilegalisasi oleh bank penerima
-24-
setoran dan masih berlaku selama dalam proses
perizinan UUS;
c. surat keputusan Direksi Perusahaan Penjaminan
yang menyetujui penempatan modal kerja pada UUS
disertai dengan besaran jumlah penempatan modal
kerjanya;
d. risalah RUPS mengenai pengangkatan DPS:
e. data pimpinan UUS, meliputi:
1. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda
penduduk (KTP) atau paspor yang masih
berlaku;
2. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP);
3. daftar riwayat hidup yang dilengkapi dengan
pas foto berwarna ukuran 4 x 6 cm;
4. bukti pengangkatan sebagai pimpinan UUS;
5. bukti keahlian, pelatihan, dan/atau
pengalaman di bidang keuangan syariah; dan
6. surat pernyataan yang menyatakan:
a) tidak
memiliki
kredit
pembiayaan macet; dan
b) tidak rangkap jabatan pada fungsi lain
pada Perusahaan Penjaminan yang
sama, kecuali pimpinan UUS adalah
Direksi;
f.
laporan keuangan awal UUS yang terpisah dari
kegiatan usaha Perusahaan Penjaminan;
g. susunan organisasi yang
dan/atau
menggambarkan
kedudukan UUS dan struktur UUS yang ditetapkan
oleh Direksi, dilengkapi dengan jumlah dan susunan
personalia, uraian tugas, wewenang, dan tanggung
jawab;
h. rencana kerja UUS yang akan dibuka untuk 3 (tiga)
tahun pertama yang paling sedikit memuat:
1. studi kelayakan peluang pasar dan potensi
ekonomi;
-25-
2. target Penjaminan Syariah dan langkah-
langkah yang dilakukan untuk mewujudkan
target dimaksud;
3. sistem dan prosedur kerja; dan
4. proyeksi arus kas bulanan serta asumsi yang
mendasarinya yang dimulai sejak UUS
melakukan kegiatan operasional serta proyeksi
laporan posisi keuangan dan laporan kinerja
keuangan.
(4) Permohonan izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) disampaikan bersamaan dengan permohonan penilaian
kemampuan dan kepatutan bagi calon anggota DPS
Perusahaan Penjaminan.
(5) Ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan bagi calon anggota DPS Perusahaan
Penjaminan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
penilaian kemampuan dan kepatutan.
Pasal 20
(1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan,
permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan
atas permohonan izin UUS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (2) dalam jangka waktu paling
lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan izin
diterima.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dokumen;
b. pemeriksaan setoran modal kerja UUS;
c.
analisis kelayakan atas rencana kerja UUS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3)
huruf h;
d. penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon
anggota DPS; dan
-26-
e.
analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penjaminan.
(3) Direksi Perusahaan Penjaminan harus menyampaikan
kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari
Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Dalam hal Direksi Perusahaan Penjaminan telah
menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Otoritas Jasa Keuangan
memberikan persetujuan atau penolakan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(5) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan belum menerima tanggapan atas permintaan
kelengkapan dokumen dimaksud, Perusahaan
Penjaminan dianggap membatalkan permohonan izin
UUS.
(6) Dalam hal permohonan izin UUS disetujui, Otoritas Jasa
Keuangan menetapkan keputusan pemberian izin UUS
kepada Perusahaan Penjaminan bersangkutan.
(7) Penolakan atas permohonan izin UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis dan
disertai alasan penolakan.
Pasal 21
(1) UUS wajib melakukan kegiatan usaha Penjaminan
Syariah paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak
tanggal izin UUS ditetapkan.
(2) UUS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan
usaha Penjaminan Syariah kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak
tanggal dimulainya kegiatan usaha UUS.
pelaksanaan
(3) Pelaporan
kegiatan
usaha UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan
-27-
oleh
Direksi Perusahaan Penjaminan dengan
menggunakan format 4 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dengan dilampiri
dokumen:
a.
b. fotokopi Sertifikat Kafalah yang telah dilakukan.
Bagian Keempat
Pimpinan UUS
Pasal 22
(1) UUS wajib dipimpin oleh seorang pimpinan UUS.
(2) Pimpinan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit memenuhi ketentuan:
a. tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet;
b. tidak rangkap jabatan pada fungsi lain pada
Perusahaan Penjaminan yang sama, kecuali
pimpinan UUS adalah Direksi; dan
c. mempunyai keahlian,
pelatihan,
pengalaman di bidang keuangan syariah.
Pasal 23
(1) Perusahaan Penjaminan wajib melaporkan perubahan
pimpinan UUS kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lama 15 (lima belas) hari kerja sejak tanggal
pengangkatan pimpinan UUS.
(2) Pelaporan perubahan pimpinan UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh
Direksi Perusahaan Penjaminan dilampiri dengan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3)
huruf e.
dan/atau
fotokopi perjanjian kerja sama Penjaminan Syariah
yang telah dilakukan (jika ada); dan
-28-
Bagian Kelima
Kantor Cabang Unit Usaha Syariah
Pasal 24
(1) UUS dapat membuka Kantor Cabang UUS di wilayah
negara Republik Indonesia sesuai lingkup wilayah
operasionalnya.
(2) Kantor Cabang UUS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mempunyai kewenangan:
a. memutuskan dan menandatangani Sertifikat
Kafalah; dan
b. menetapkan untuk membayar atau menolak
klaim.
(3) Kantor Cabang UUS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib terlebih dahulu mendapatkan izin dari Otoritas
Jasa Keuangan.
(4) UUS yang membuka Kantor Cabang UUS harus
memenuhi persyaratan:
a. tidak melanggar ketentuan tingkat kesehatan
keuangan syariah;
b. tidak sedang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan
usaha oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan
c. memiliki sumber daya manusia yang memiliki
pengalaman dan/atau telah mengikuti pelatihan
mengenai keuangan syariah.
Pasal 25
(1) Untuk memperoleh izin pembukaan Kantor Cabang
UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3),
Direksi Perusahaan Penjaminan harus mengajukan
permohonan kepada
Otoritas Jasa Keuangan
dengan menggunakan format 5 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini.
-29-
(2) Permohonan izin pembukaan Kantor Cabang UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri
dengan dokumen:
a. data pimpinan Kantor Cabang UUS, meliputi:
1. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda
penduduk (KTP) atau paspor yang masih
berlaku; dan
2. daftar riwayat hidup;
b. data sumber daya manusia yang memiliki
pengalaman dan/atau pelatihan mengenai keuangan
syariah, disertai bukti pengalaman dan/atau
pelatihan yang telah diikuti;
c. data alamat lengkap Kantor Cabang UUS disertai
dengan bukti kepemilikan atau penguasaan gedung
kantor; dan
d. rencana kerja Kantor Cabang UUS yang akan dibuka
yang paling sedikit memuat:
1. target Penjaminan Syariah dan langkah-
langkah untuk mewujudkan target dimaksud
disertai asumsi pendukungnya;
2. sistem dan prosedur kerja;
3. struktur organisasi; dan
4. jumlah dan susunan personalia.
Pasal 26
(1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan,
permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan atas
izin pembukaan Kantor Cabang UUS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dalam jangka waktu
paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan
diterima secara lengkap.
(2) Dalam rangka memproses permohonan izin pembukaan
Kantor Cabang UUS,
Otoritas Jasa Keuangan
melakukan:
a.
analisis dan penelitian atas kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2);
-30-
b.
analisis kelayakan atas rencana kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2)
huruf d; dan
c.
analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penjaminan.
(3) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan belum menerima tanggapan atas permintaan
kelengkapan dokumen dimaksud, Perusahaan
Penjaminan dianggap membatalkan permohonan izin
pembukaan Kantor Cabang UUS.
(4) Dalam hal permohonan izin pembukaan pembentukan
Kantor Cabang UUS disetujui, Otoritas Jasa Keuangan
menetapkan keputusan pemberian izin pembukaan
pembentukan Kantor Cabang UUS kepada Perusahaan
Penjaminan bersangkutan.
(5) Penolakan atas permohonan izin pembukaan Kantor
Cabang UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disertai dengan alasan penolakan.
Pasal 27
(1) UUS yang akan menutup Kantor Cabang UUS wajib
terlebih dahulu memberitahukan kepada Terjamin
dan/atau Penerima Jaminan mengenai:
a. rencana penutupan Kantor Cabang UUS; dan
b. prosedur penyelesaian hak dan kewajiban.
(2) Prosedur penyelesaian hak dan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib dilakukan
berdasarkan
ketentuan peraturan perundangan-
undangan dan memperhatikan kepentingan Terjamin
dan/atau Penerima Jaminan.
Pasal 28
(1) UUS wajib melaporkan penutupan Kantor Cabang UUS
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh)
-31-
hari kerja terhitung sejak tanggal penutupan Kantor
Cabang UUS.
(2) Pelaporan penutupan Kantor Cabang UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus diajukan oleh Direksi
Perusahaan Penjaminan dengan menggunakan format 6
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, dengan dilampiri:
a. bukti pemberitahuan rencana penutupan Kantor
Cabang UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (1) huruf a; dan
b. bukti penyelesaian hak dan kewajiban Terjamin
dan/atau Penerima Jaminan.
(3) Berdasarkan pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin
pembukaan Kantor Cabang UUS.
Pasal 29
Otoritas Jasa Keuangan dapat mencabut izin pembukaan
Kantor Cabang UUS apabila dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan secara terus menerus, Kantor Cabang UUS dimaksud
terbukti tidak melakukan kegiatan operasional.
Bagian Keenam
Penutupan UUS
Pasal 30
(1) Perusahaan Penjaminan dapat menghentikan kegiatan
usaha berdasarkan Prinsip Syariah dengan terlebih
dahulu mengajukan permohonan pencabutan izin UUS
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Penghentian kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah yang
dijalankan oleh UUS wajib memenuhi ketentuan:
a. tidak merugikan kepentingan Terjamin dan
Penerima Jaminan;
b. memberitahukan kepada Penerima Jaminan;
-32-
c. mengalihkan portofolio Penjaminan Syariah ke
Perusahaan Penjaminan Syariah atau UUS lainnya;
dan
d. menyelesaikan kewajiban yang dimiliki.
(3) Prosedur dan pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan
memperhatikan kepentingan para pihak dan pemangku
kepentingan terkait lainnya.
Pasal 31
(1) Permohonan pencabutan izin UUS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) harus disampaikan
oleh Direksi Perusahaan Penjaminan kepada Otoritas
Jasa Keuangan dengan menggunakan format 7
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Permohonan pencabutan izin UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
a.
asli salinan keputusan mengenai pemberian izin
UUS;
b. alasan penutupan; dan
c. bukti pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2).
(3) Dalam memproses permohonan pencabutan izin UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dokumen; dan
b.
analisis pemenuhan ketentuan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dan pemenuhan
ketentuan peraturan perundang-undangan terkait
lainnya.
(4) Pencabutan izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan dalam batas waktu paling lambat 20 (dua
puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima
secara lengkap.
-33-
Bagian Ketujuh
Pemisahan UUS
Pasal 32
(1) Perusahaan Penjaminan wajib memisahkan UUS
menjadi Perusahaan Penjaminan Syariah dengan
ketentuan:
a. apabila nilai aset UUS telah mencapai paling
sedikit 50% (lima puluh per seratus) dari total
nilai aset Perusahaan Penjaminan induknya
berdasarkan laporan bulanan terakhir yang
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan;
atau
b. paling lama 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
(2) Pemisahan UUS menjadi Perusahaan Penjaminan
Syariah dikarenakan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a wajib selesai dalam jangka waktu
paling lama 12 (dua belas) bulan sejak terpenuhinya
kondisi dimaksud.
(3) Dalam hal selama proses pemisahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), aset UUS menurun dan tidak
lagi mencapai paling rendah 50% (lima puluh per seratus)
dari total nilai aset Perusahaan Penjaminan induknya,
kondisi dimaksud tidak menghilangkan kewajiban
Perusahaan Penjaminan untuk melakukan pemisahan
UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Perusahaan Penjaminan yang memiliki UUS dapat
memisahkan UUS sebelum terpenuhinya kondisi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
-34-
Pasal 33
(1) Perusahaan Penjaminan Syariah hasil pemisahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dan ayat
(4) dikecualikan dari ketentuan Modal Disetor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) pada saat
pendiriannya.
(2) Modal Disetor Perusahaan Penjaminan Syariah hasil
pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat
(1) dan ayat (4) ditetapkan paling sedikit:
a. Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah),
untuk Perusahaan Penjaminan Syariah lingkup
wilayah nasional;
b. Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah),
untuk Perusahaan Penjaminan Syariah lingkup
wilayah provinsi; atau
c. Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), untuk
Perusahaan Penjaminan Syariah lingkup wilayah
kabupaten/kota.
(3) Pemenuhan Modal Disetor sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat dilakukan secara tunai dan penuh
dalam bentuk deposito berjangka atas nama
Perusahaan Penjaminan Syariah pada salah satu bank
umum syariah atau unit usaha syariah dari bank
umum di Indonesia, atau dalam bentuk lain yang
diperkenankan berdasarkan ketentuan
perundang-undangan dan sesuai standar akuntansi
keuangan syariah.
(4) Perusahaan Penjaminan Syariah hasil pemisahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dan
ayat (4) wajib meningkatkan Modal Disetor menjadi
paling sedikit sebesar ketentuan permodalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) paling
lama 5 (lima) tahun sejak tanggal izin usaha
Perusahaan Penjaminan Syariah hasil pemisahan
ditetapkan.
peraturan
-35-
Pasal 34
Pelaksanaan pemisahan UUS wajib dilakukan berdasarkan
ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini dan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
BAB VI
SUSUNAN ORGANISASI
Pasal 35
(1) Lembaga Penjamin wajib memiliki susunan organisasi
yang menggambarkan secara jelas pemisahan fungsi
pengelolaan risiko, fungsi pengelolaan keuangan, dan
fungsi pelayanan.
(2) Lembaga Penjamin wajib memiliki satuan kerja yang
menangani fungsi:
a. pemasaran;
b. teknik Penjaminan atau Penjaminan Syariah;
c. penyelesaian administrasi klaim;
d. keuangan termasuk pengelolaan investasi;
e. manajemen risiko;
f.
audit internal;
g. administrasi dan akuntansi;
h. kepatuhan;
i. pelayanan dan penyelesaian pengaduan; dan
j. pengembangan informasi/database Terjamin.
(3) Susunan organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilengkapi dengan uraian tugas, wewenang,
tanggung jawab, dan prosedur kerja secara tertulis, yang
ditetapkan oleh Direksi.
(4) Susunan organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) harus mencerminkan adanya pengendalian
internal yang baik.
(5) Lembaga Penjamin wajib memiliki pegawai yang
bertanggung jawab atas masing-masing fungsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
-36-
BAB VII
SUMBER DAYA MANUSIA
Bagian Kesatu
Sertifikasi
Pasal 36
(1) Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris wajib
memiliki sertifikat keahlian di bidang manajemen risiko
dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang manajemen
risiko.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi bagi anggota
Direksi dan anggota Dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam surat edaran
Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Kedua
Tenaga Ahli
Pasal 37
(1) Lembaga Penjamin wajib mempekerjakan tenaga ahli
Penjaminan atau Penjaminan Syariah.
(2) Tenaga ahli Penjaminan atau Penjaminan Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki sertifikat keahlian di bidang Penjaminan
atau Penjaminan Syariah dengan kualifikasi ahli
dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang
Penjaminan atau Penjaminan Syariah;
b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang
pengelolaan risiko paling singkat 1 (satu) tahun;
dan
c.
tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi
Lembaga Penjamin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi bagi tenaga
ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diatur
dalam surat edaran Otoritas Jasa Keuangan.
-37-
Pasal 38
(1) Lembaga Penjamin wajib melaporkan pengangkatan
dan/atau pemberhentian tenaga ahli Penjaminan atau
Penjaminan Syariah paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
sejak tanggal pengangkatan dan/atau pemberhentian
tenaga ahli.
(2) Pelaporan pengangkatan tenaga ahli Penjaminan
atau Penjaminan Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi
kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan
format 8 sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dengan
dilampiri:
a.
fotokopi sertifikat keahlian dari Lembaga Sertifikasi
Profesi di bidang Penjaminan atau Penjaminan
Syariah;
b. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda
penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku;
c.
daftar riwayat hidup dengan dilengkapi pas foto
berwarna yang terbaru berukuran 4 x 6 cm; dan
d. surat keterangan dari asosiasi Lembaga Penjamin
bahwa tidak sedang dalam pengenaan sanksi.
Bagian Ketiga
Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pasal 39
(1) Lembaga Penjamin wajib menyelenggarakan program
pengembangan kemampuan dan pengetahuan tenaga
kerja untuk setiap tahun.
(2) Pengembangan kemampuan dan pengetahuan tenaga
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
dilakukan dalam bentuk program pendidikan dan
pelatihan.
-38-
BAB VIII
PERUBAHAN LINGKUP WILAYAH OPERASIONAL
Pasal 40
(1) Lembaga Penjamin dapat melakukan perubahan lingkup
wilayah operasional.
(2) Perubahan lingkup wilayah operasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. peningkatan lingkup wilayah operasional; atau
b. penurunan lingkup wilayah operasional.
(3) Perubahan lingkup wilayah operasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan:
a. memenuhi ketentuan Modal Disetor lingkup wilayah
yang dituju; dan
b. telah mendapatkan persetujuan perubahan lingkup
wilayah operasional dari PSP.
(4) Lembaga Penjamin yang melakukan penurunan
lingkup wilayah operasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b dilarang melakukan pengurangan
Modal Disetor.
(5) Untuk melakukan perubahan lingkup
wilayah
operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Direksi harus mengajukan permohonan persetujuan
kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan
format 9 sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dengan
melampirkan:
a. rencana perubahan anggaran dasar;
b. bukti persetujuan perubahan lingkup wilayah
operasional dari PSP; dan
c. rencana kerja yang paling sedikit memuat:
1. rencana kegiatan usaha Lembaga Penjamin
dan langkah-langkah kegiatan yang akan
dilakukan dalam mewujudkan rencana
dimaksud; dan
-39-
2. proyeksi laporan posisi keuangan, laporan laba
rugi dan laporan arus kas bulanan yang
dimulai sejak Lembaga Penjamin melakukan
kegiatan operasional dengan lingkup wilayah
operasional yang baru.
(6) Dalam hal terjadi pemekaran wilayah provinsi atau
kabupaten/kota, Lembaga Penjamin dapat menetapkan
pilihan untuk:
a. melakukan peningkatan lingkup wilayah
operasional; atau
b. memilih salah satu wilayah provinsi atau
kabupaten/kota hasil pemekaran sebagai lingkup
wilayah operasionalnya.
(7) Lembaga Penjamin wajib menetapkan pilihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dalam jangka
waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak ditetapkannya
pemekaran wilayah.
(8) Ketentuan mengenai perubahan lingkup wilayah
operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
ayat
(5),
mutatis mutandis berlaku
terhadap
peningkatan lingkup wilayah operasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) huruf a.
(9) Lembaga Penjamin yang menetapkan untuk memilih
salah satu wilayah provinsi atau kabupaten/kota
hasil pemekaran sebagai lingkup wilayah operasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b wajib
melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan
melampirkan:
a. bukti persetujuan perubahan lingkup wilayah
operasional dari PSP; dan
b. peraturan perundang-undangan yang mendasari
pemekaran wilayah.
Pasal 41
(1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan perubahan lingkup wilayah
operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
-40-
(5) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari
kerja sejak permohonan persetujuan perubahan lingkup
wilayah operasional dinyatakan secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan melakukan:
a.
penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5);
b.
c.
analisis kelayakan atas rencana kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5) huruf c; dan
analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penjaminan.
(3) Dalam hal permohonan perubahan lingkup wilayah
operasional yang disampaikan tidak lengkap, Otoritas
Jasa Keuangan menyampaikan pemberitahuan mengenai
persyaratan yang harus dipenuhi dan/atau dokumen
yang harus dilengkapi kepada Lembaga Penjamin paling
lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah permohonan
diterima.
(4) Dalam hal permohonan perubahan lingkup wilayah
operasional disetujui,
menerbitkan surat persetujuan perubahan lingkup
wilayah operasional kepada Lembaga Penjamin.
(5) Penolakan atas permohonan perubahan lingkup wilayah
operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara tertulis dan disertai dengan alasan
penolakan.
BAB IX
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Pelaporan Perubahan Anggaran Dasar
Pasal 42
(1) Lembaga Penjamin berbentuk badan hukum perseroan
terbatas yang melakukan perubahan anggaran dasar
Otoritas Jasa Keuangan
-41-
tertentu wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak
persetujuan atau diterimanya surat pemberitahuan dari
instansi yang berwenang.
(2) Lembaga Penjamin berbentuk badan hukum koperasi
dan/atau perusahaan umum yang melakukan
perubahan anggaran dasar tertentu wajib melaporkan
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15 (lima
belas) hari kerja sejak berlakunya perubahan anggaran
dasar.
(3) Perubahan anggaran dasar tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) meliputi
perubahan:
a. nama Lembaga Penjamin;
b. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Lembaga
Penjamin;
c. perubahan tempat kedudukan kantor pusat
Lembaga Penjamin;
d. pengurangan Modal Disetor
bagi Lembaga
Penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas;
e. penambahan Modal Disetor bagi Lembaga Penjamin
yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas;
dan/atau
f.
status Lembaga Penjamin yang berbentuk badan
hukum perseroan terbatas tertutup menjadi
perseroan terbatas terbuka atau sebaliknya.
Pasal 43
(1) Pelaporan perubahan nama Lembaga Penjamin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) huruf
a harus disampaikan oleh Direksi Lembaga Penjamin
kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan
format 10 sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri
-42-
dokumen berupa fotokopi nomor pokok wajib pajak
(NPWP) atas nama baru dari Lembaga Penjamin dan:
a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan
bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi
Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas;
b. fotokopi akta risalah rapat anggota dan/atau
perubahan anggaran dasar bagi Lembaga
Penjamin yang berbentuk badan hukum koperasi;
atau
c. peraturan pemerintah yang mendasari perubahan
nama bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan
hukum perusahaan umum.
(2) Pelaporan perubahan maksud dan tujuan serta
kegiatan usaha Lembaga Penjamin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) huruf b harus
disampaikan oleh Direksi Lembaga Penjamin kepada
Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format
11 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, dengan dilampiri dokumen
berupa perubahan anggaran dasar serta bukti
pengesahan atau persetujuan dari instansi
berwenang.
(3) Pelaporan perubahan tempat kedudukan kantor pusat
Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 ayat (3) huruf c harus disampaikan oleh Direksi
Lembaga Penjamin kepada Otoritas Jasa Keuangan
dengan menggunakan format 12 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
dilampiri dokumen berupa fotokopi nomor pokok wajib
pajak (NPWP) atas alamat baru dari Lembaga Penjamin
dan:
a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan
bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi
-43-
Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas;
b. fotokopi akta risalah rapat anggota dan/atau
perubahan anggaran dasar bagi Lembaga
Penjamin yang berbentuk badan hukum koperasi;
atau
c. peraturan pemerintah yang mendasari perubahan
tempat kedudukan bagi Lembaga Penjamin yang
berbentuk badan hukum perusahaan umum.
(4) Pengurangan Modal Disetor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (3) huruf d dapat dilaksanakan
oleh Lembaga Penjamin dengan tetap memperhatikan
pemenuhan ketentuan Modal Disetor minimum dan
pemenuhan ketentuan ekuitas minimum.
(5) Pelaporan pengurangan Modal Disetor bagi Lembaga
Penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat
(3) huruf d harus disampaikan oleh Direksi Lembaga
Penjamin kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan
menggunakan format 13 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini, dengan dilampiri dokumen berupa perubahan
anggaran dasar serta bukti persetujuan dari instansi
berwenang.
(6) Penambahan Modal Disetor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (3) huruf e yang dilakukan oleh
pemegang saham badan hukum asing hanya dapat
dilakukan dalam bentuk uang yang ditempatkan di
rekening bank dalam negeri atas nama Lembaga
Penjamin.
(7) Penambahan Modal Disetor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (3) huruf e hanya dapat dilakukan
dalam bentuk:
a. setoran tunai;
b. konversi saldo laba;
-44-
c. konversi pinjaman yang diterbitkan dalam bentuk
obligasi wajib konversi;
d. dividen saham; dan/atau
e. tanah dan bangunan.
(8) Penambahan Modal Disetor dalam bentuk tanah dan
bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf
e hanya dapat dilakukan oleh pemegang saham yang
merupakan pemerintah pusat atau pemerintah
daerah.
(9) Pelaporan penambahan Modal Disetor Lembaga
Penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ayat (3) huruf e, harus disampaikan oleh Direksi
Lembaga Penjamin kepada Otoritas Jasa Keuangan
dengan menggunakan format 14 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini, dilampiri dokumen:
a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan
bukti surat penerimaan pemberitahuan dari instansi
berwenang;
b. bukti penambahan Modal Disetor, yaitu:
1. fotokopi bukti setoran pelunasan Modal
Disetor dari pemegang saham dan fotokopi
bukti penempatan Modal Disetor atas nama
Lembaga Penjamin pada salah satu bank
umum atau bank umum syariah di
Indonesia dan dilegalisasi oleh bank
penerima setoran, dalam hal penambahan
Modal Disetor dilakukan dalam bentuk uang
tunai;
2. laporan keuangan Lembaga Penjamin yang
telah diaudit oleh akuntan publik sebelum
penambahan modal, dalam hal penambahan
Modal Disetor dilakukan dalam bentuk konversi
saldo laba, konversi pinjaman yang diterbitkan
dalam bentuk obligasi wajib konversi, dan/atau
dividen saham; dan
-45-
3. laporan penilai independen atas nilai tanah dan
bangunan, dalam hal penambahan Modal
Disetor dilakukan dalam bentuk tanah dan
bangunan;
c. surat pernyataan pemegang saham atau anggota
koperasi yang menyatakan bahwa setoran modal
tidak berasal dari pinjaman, kegiatan pencucian
uang (money laundering) dan kejahatan keuangan
dalam hal penambahan modal dilakukan dalam
bentuk uang tunai;
d. laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan
publik dan/atau laporan keuangan terakhir, dalam
hal pemegang saham berupa badan usaha, lembaga
atau badan hukum koperasi; dan
e. rencana bisnis (business plan) dan langkah-langkah
Lembaga Penjamin dalam penggunaan penambahan
Modal Disetor.
(10) Pelaporan perubahan status Lembaga Penjamin yang
berbentuk badan hukum perseroan terbatas tertutup
menjadi perseroan terbatas terbuka atau sebaliknya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) huruf f,
harus disampaikan oleh Direksi Lembaga Penjamin
kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan
format 15 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dokumen
perubahan anggaran dasar disertai dengan bukti
persetujuan dari instansi berwenang.
Bagian Kedua
Pelaporan Perubahan Anggota Direksi, Anggota Dewan
Komisaris, Anggota Dewan Pengawas Syariah,
dan Pemegang Saham
Pasal 44
(1) Lembaga Penjamin yang melakukan perubahan anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS,
-46-
dan/atau pemegang saham wajib melaporkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15 (lima belas)
hari kerja sejak:
a. tanggal
Direksi,
pencatatan
anggota
perubahan
Dewan
dan/atau pemegang saham dalam
perseroan;
b. disetujui rapat anggota; atau
c. tanggal pengangkatan anggota DPS.
(2) Pelaporan perubahan anggota
sebagaimana
kepada
dalam
dimaksud
anggota
Komisaris,
daftar
Direksi,
pada
anggota
Dewan Komisaris, dan/atau anggota DPS, Lembaga
Penjamin
Otoritas
Jasa
Keuangan
ayat
(1), harus disampaikan oleh Direksi Lembaga
Penjamin
dengan menggunakan format 16 sebagaimana
tercantum
Lampiran
bagian
Otoritas
dokumen:
a.
tidak
Jasa
terpisahkan
Keuangan
yang
dari
ini,
merupakan
Peraturan
dilampiri
fotokopi akta risalah RUPS bagi Lembaga
Penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas;
b. fotokopi akta risalah rapat anggota bagi Lembaga
Penjamin yang berbentuk badan hukum koperasi;
dan
c. bukti pengangkatan anggota Direksi, anggota
Dewan Komisaris, dan/atau anggota DPS bagi
Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum
perusahaan umum.
(3) Pelaporan perubahan pemegang saham Lembaga
Penjamin berbentuk badan hukum perseroan terbatas
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), harus
disampaikan oleh Direksi Lembaga Penjamin kepada
Otoritas
Jasa Keuangan dengan menggunakan
format 17 sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
-47-
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri
dokumen:
a.
fotokopi akta pemindahan hak atas saham, dalam
hal terjadi pemindahan hak atas saham;
b. data pemegang saham selain PSP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf c, dalam hal
terdapat pemegang saham baru; dan
c. surat pernyataan pemegang saham yang
menyatakan bahwa uang yang digunakan untuk
membeli saham Lembaga Penjamin tidak berasal
dari kegiatan pencucian uang (money laundering)
dan kejahatan keuangan, dalam hal terjadi jual beli
saham.
(4) Dalam hal Lembaga Penjamin memperdagangkan
sahamnya di bursa efek, kewajiban pelaporan perubahan
pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku apabila:
a. terdapat perubahan pemegang saham dari saham
yang diperoleh bukan dari perdagangan bursa efek;
dan/atau
b. terdapat perubahan PSP.
Bagian Ketiga
Pelaporan Perubahan Bentuk Badan Hukum
Pasal 45
(1) Lembaga Penjamin yang melakukan perubahan bentuk
badan hukum wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak
diperolehnya surat persetujuan perubahan bentuk badan
hukum dari instansi berwenang.
(2) Pelaporan perubahan bentuk badan hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan oleh Direksi
Lembaga Penjamin kepada Otoritas Jasa Keuangan
dengan menggunakan format 18 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
-48-
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
dan dilampiri dokumen:
a.
risalah RUPS atau peraturan pemerintah mengenai
perubahan bentuk badan hukum Lembaga
Penjamin;
b. bukti perubahan bentuk badan hukum yang telah
disahkan oleh instansi yang berwenang;
c.
berita acara pengalihan seluruh hak dan kewajiban
dari badan hukum lama kepada badan hukum baru;
dan
d. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas nama
bentuk badan hukum Lembaga Penjamin yang baru.
Bagian Keempat
Pelaporan Perubahan Alamat
Pasal 46
(1) Lembaga Penjamin yang melakukan perubahan alamat
kantor pusat dan Kantor Cabang wajib melaporkan
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima
belas) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan
perubahan.
(2) Perubahan alamat kantor sebagaimana dimaksud ayat
(1) harus
sesuai dengan
operasionalnya.
(3) Pelaporan perubahan alamat kantor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus diajukan oleh
Direksi Lembaga Penjamin dengan menggunakan
format 19 sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dengan
dilampiri:
a. data alamat lengkap kantor pusat dan/atau kantor
cabang; dan
b. bukti penguasaan gedung kantor.
lingkup wilayah
-49-
BAB X
PENGGABUNGAN, PELEBURAN,
PENGAMBILALIHAN, DAN PEMISAHAN
Bagian Kesatu
Penggabungan dan Peleburan
Pasal 47
(1) Lembaga Penjamin dapat melakukan:
a. Penggabungan; atau
b. Peleburan.
(2) Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b hanya dapat dilakukan
oleh Lembaga Penjamin berbentuk badan hukum yang
sama.
(3) Lembaga Penjamin yang menjalankan kegiatan
penjaminan berdasarkan Prinsip Syariah hanya dapat
melakukan Penggabungan atau Peleburan dengan
Lembaga Penjamin yang juga berdasarkan Prinsip
Syariah.
Pasal 48
(1) Lembaga Penjamin yang akan melakukan
Penggabungan atau Peleburan, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47 ayat (1) wajib menyampaikan rencana
pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan, kepada
Otoritas Jasa Keuangan
persetujuan.
untuk mendapatkan
(2) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), harus disampaikan oleh Direksi kepada
Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format
20 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, dengan melampirkan:
a. rancangan akta risalah RUPS yang menyetujui
Penggabungan atau Peleburan;
b. rancangan akta Penggabungan atau Peleburan;
-50-
c. rencana daftar kepemilikan dari Lembaga Penjamin
hasil Penggabungan atau Peleburan;
d. data pemegang saham atau anggota selain PSP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
huruf c dari Lembaga Penjamin hasil Penggabungan
atau Peleburan;
e. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit dari
Lembaga Penjamin yang melakukan Penggabungan
atau Peleburan;
f.
g.
laporan keuangan proforma dari Lembaga Penjamin
hasil Penggabungan atau Peleburan;
rencana kerja untuk 3 (tiga) tahun pertama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
huruf g dari Lembaga Penjamin hasil Penggabungan
atau Peleburan;
h. susunan organisasi dari Lembaga Penjamin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
huruf b dari Lembaga Penjamin hasil Penggabungan
atau Peleburan;
i.
rancangan akta pendirian dari Lembaga Penjamin
hasil Peleburan; dan
j. dokumen sebagaimana Pasal 13 ayat (2) huruf d,
huruf e, huruf h, huruf i dan huruf j dari Lembaga
Penjamin hasil Peleburan.
(3) Permohonan persetujuan rencana
pelaksanaan
Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan bersamaan dengan
permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi
calon anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota
DPS, dan PSP Lembaga Penjamin hasil Penggabungan
atau Peleburan.
(4) Permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan
bagi calon anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris,
anggota DPS, dan PSP Lembaga Penjamin sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan mengacu
pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
-51-
penilaian kemampuan dan kepatutan lembaga jasa
keuangan.
Pasal 49
(1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan,
permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan
atas permohonan persetujuan rencana pelaksanaan
Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 ayat (1) dalam jangka waktu paling
lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan
diterima.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan melakukan:
a.
b.
c.
penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2);
analisis kelayakan atas rencana pelaksanaan
Penggabungan atau Peleburan;
penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota
DPS, dan PSP Lembaga Penjamin hasil
Penggabungan atau Peleburan; dan
d.
analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penjaminan.
(3) Direksi Lembaga Penjamin harus menyampaikan
kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal
surat permintaan kelengkapan dokumen dari Otoritas
Jasa Keuangan.
(4) Dalam hal Direksi Lembaga Penjamin telah
menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Otoritas Jasa Keuangan
memberikan persetujuan atau penolakan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2).
(5) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen
-52-
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan belum menerima tanggapan atas permintaan
kelengkapan dokumen dimaksud, Direksi Lembaga
Penjamin dianggap membatalkan permohonan
persetujuan rencana pelaksanaan Penggabungan atau
Peleburan.
(6) Dalam hal permohonan disetujui, Otoritas Jasa
Keuangan menerbitkan surat persetujuan rencana
pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan kepada
Direksi Lembaga Penjamin.
(7) Penolakan atas permohonan persetujuan rencana
pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis dan
disertai dengan alasan penolakan.
Pasal 50
(1) Lembaga Penjamin yang telah mendapatkan
persetujuan rencana pelaksanaan Penggabungan atau
Peleburan dari
Otoritas Jasa Keuangan harus
melaksanakan RUPS yang menyetujui Penggabungan
atau Peleburan paling lama 60 (enam puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal surat persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Dalam hal pelaksanaan RUPS yang menyetujui rencana
pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan tidak sesuai
dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), surat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan menjadi
tidak berlaku.
Pasal 51
(1) Lembaga Penjamin yang menerima Penggabungan wajib
melaporkan pelaksanaan RUPS yang menyetujui
Penggabungan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
RUPS.
(2) Pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui
Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-53-
harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa
Keuangan dengan menggunakan format 21 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
dilampiri dengan:
a.
fotokopi akta risalah RUPS yang menyetujui
Penggabungan;
b. fotokopi akta Penggabungan; dan
c. dokumen yang menyatakan bahwa Lembaga
Penjamin
yang menggabungkan diri
tidak
mempunyai utang pajak dari instansi yang
berwenang.
(3) Dalam rangka pelaporan pelaksanaan RUPS yang
menyetujui Penggabungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Lembaga Penjamin yang menerima
Penggabungan dapat mengajukan permohonan izin UUS
dan/atau izin pembukaan Kantor Cabang yang
sebelumnya dimiliki oleh Lembaga Penjamin yang
menggabungkan diri kepada Otoritas Jasa Keuangan atas
namanya.
(4) Permohonan izin UUS dan/atau izin pembukaan
Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
harus disampaikan oleh Direksi Lembaga Penjamin
kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan
format 22 sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri
dengan:
a.
izin UUS dan/atau izin pembukaan Kantor Cabang
terdahulu yang dimiliki oleh Lembaga Penjamin yang
menggabungkan diri; dan
b. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung Kantor
Cabang.
(5) Berdasarkan pelaporan pelaksanaan RUPS yang
menyetujui Penggabungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan permohonan izin UUS dan/atau izin
-54-
pembukaan Kantor Cabang (jika ada) sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), Otoritas Jasa Keuangan:
a. melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(4);
b. mencabut izin usaha, izin UUS, dan/atau izin
pembukaan Kantor Cabang (jika ada) Lembaga
Penjamin yang menggabungkan diri yang mulai
berlaku efektif terhitung sejak anggaran dasar
disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada
instansi yang berwenang; dan
c. memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin UUS dan/atau izin pembukaan
Kantor Cabang (jika ada) kepada Lembaga Penjamin
yang merupakan hasil Penggabungan yang mulai
berlaku efektif terhitung sejak anggaran dasar
disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada
instansi yang berwenang.
(6) Pemberian persetujuan atau penolakan izin UUS
dan/atau izin pembukaan Kantor Cabang (jika ada)
Lembaga Penjamin yang merupakan hasil Penggabungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c dilakukan
paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4)
diterima secara lengkap.
(7) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak untuk
menetapkan izin UUS dan/atau izin pembukaan Kantor
Cabang (jika ada) sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
huruf c, penolakan harus dilakukan secara tertulis
dengan disertai alasannya.
Pasal 52
Lembaga Penjamin hasil Penggabungan wajib melaporkan
pelaksanaan Penggabungan kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal anggaran dasar disahkan, disetujui oleh atau
diberitahukan kepada instansi yang berwenang dengan
-55-
menggunakan format 23 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dengan
anggaran dasar yang telah disahkan, disetujui oleh atau
diberitahukan kepada instansi yang berwenang.
Pasal 53
(1) Lembaga Penjamin hasil Peleburan wajib melaporkan
pelaksanaan RUPS yang menyetujui Peleburan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari
kerja terhitung sejak tanggal RUPS.
(2) Pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui
Peleburan sebagaimana dimaksud
(1),
Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan
format 24 sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri
dengan:
a.
b. fotokopi akta Peleburan;
c.
pada ayat
harus disampaikan oleh Direksi kepada
fotokopi akta risalah RUPS yang menyetujui
Peleburan;
fotokopi akta risalah RUPS mengenai pendirian
perusahaan hasil Peleburan; dan
d. dokumen yang menyatakan bahwa Lembaga
Penjamin yang melakukan Peleburan tidak
mempunyai utang pajak dari instansi yang
berwenang.
(3) Dalam rangka pelaporan pelaksanaan RUPS yang
menyetujui Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) Lembaga Penjamin hasil Peleburan dapat mengajukan
permohonan izin UUS dan/atau izin pembukaan Kantor
Cabang yang sebelumnya dimiliki oleh Lembaga
Penjamin yang meleburkan diri kepada Otoritas Jasa
Keuangan atas namanya.
(4) Permohonan izin UUS dan/atau izin pembukaan
Kantor Cabang (jika ada) sebagaimana dimaksud pada
-56-
ayat (3), harus disampaikan oleh Direksi kepada
Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format
25 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dengan:
a.
izin UUS dan/atau izin pembukaan Kantor Cabang
(jika ada) terdahulu yang dimiliki oleh Lembaga
Penjamin yang meleburkan diri; dan
b. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung Kantor
Cabang.
(5) Berdasarkan pelaporan pelaksanaan RUPS yang
menyetujui Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan permohonan izin UUS dan/atau izin pembukaan
Kantor Cabang (jika ada) sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), Otoritas Jasa Keuangan:
a. melakukan
penelitian
atas
kelengkapan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (4);
b. mencabut izin usaha, izin pembentukan UUS,
dan/atau izin pembukaan Kantor Cabang (jika
ada) Lembaga Penjamin
diri yang
yang meleburkan
mulai berlaku efektif terhitung
sejak anggaran dasar disahkan, disetujui oleh
atau
diberitahukan
berwenang;
c. memberikan persetujuan atau penolakan izin
usaha kepada Lembaga Penjamin yang
merupakan hasil Peleburan yang mulai berlaku
efektif terhitung sejak anggaran dasar disahkan,
disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi
yang berwenang; dan
d. memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin UUS dan/atau izin pembukaan
Kantor Cabang (jika ada) Lembaga Penjamin yang
merupakan hasil Peleburan yang mulai berlaku
efektif terhitung sejak anggaran dasar disahkan,
kepada
instansi
yang
-57-
disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi
yang berwenang.
(6) Pemberian persetujuan atau penolakan izin usaha, izin
UUS dan/atau izin pembukaan Kantor Cabang (jika
ada) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c dan
huruf d dilakukan paling lama 20 (dua puluh) hari
kerja setelah dokumen pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diterima secara
lengkap.
(7) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak untuk
menetapkan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) huruf c dan izin UUS dan/atau izin
pembukaan Kantor Cabang Lembaga Penjamin yang
merupakan hasil Peleburan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) huruf d, penolakan harus dilakukan secara
tertulis dengan disertai alasannya.
Pasal 54
Lembaga Penjamin hasil Peleburan wajib melaporkan
pelaksanaan Peleburan kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal pengesahan, persetujuan, atau pemberitahuan
dengan menggunakan format 26 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dengan
anggaran dasar yang telah disahkan disetujui oleh atau
diberitahukan kepada instansi yang berwenang.
Bagian Kedua
Pengambilalihan
Pasal 55
(1) Pengambilalihan Lembaga Penjamin wajib terlebih
dahulu memperoleh persetujuan
Keuangan.
Otoritas Jasa
-58-
(2) Untuk memperoleh persetujuan
Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Lembaga Penjamin wajib menyampaikan rencana
Pengambilalihan kepada Otoritas Jasa Keuangan,
dengan menggunakan format 27 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini, dengan melampirkan:
a. rancangan akta risalah RUPS yang menyetujui
Pengambilalihan;
b. rancangan akta Pengambilalihan;
c. rancangan akta pemindahan hak atas saham, dalam
hal Pengambilalihan saham dilakukan secara
langsung dari pemegang saham;
pernyataan
d. surat
pemegang saham yang
menyatakan bahwa uang yang digunakan
untuk membeli saham Lembaga Penjamin
tidak berasal dari pinjaman, kegiatan pencucian
uang
(money
keuangan;
e. data pemegang saham atau anggota selain PSP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
huruf c setelah Pengambilalihan; dan
f.
laporan keuangan terakhir yang telah diaudit dari
Lembaga Penjamin.
(3) Permohonan persetujuan rencana Pengambilalihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
bersamaan
dengan
permohonan
laundering) dan kejahatan
penilaian
kemampuan dan kepatutan bagi calon PSP Lembaga
Penjamin.
(4) Permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan
bagi calon PSP Lembaga Penjamin sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan mengacu
pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
penilaian kemampuan dan kepatutan lembaga jasa
keuangan.
-59-
Pasal 56
(1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan,
permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan atas
permohonan persetujuan rencana Pengambilalihan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dalam
jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak
permohonan diterima.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan melakukan:
a.
b. analisis kelayakan atas rencana Pengambilalihan;
c.
d.
penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat ( 2);
penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon
PSP; dan
analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penjaminan.
(3) Direksi Lembaga Penjamin harus menyampaikan
kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal
surat permintaan kelengkapan dokumen dari Otoritas
Jasa Keuangan.
(4) Dalam hal Direksi Lembaga Penjamin telah
menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Otoritas Jasa Keuangan
memberikan persetujuan atau penolakan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan belum menerima tanggapan atas permintaan
kelengkapan dokumen dimaksud, Direksi Lembaga
Penjamin dianggap membatalkan permohonan
persetujuan rencana Pengambilalihan.
(6) Dalam hal permohonan disetujui, Otoritas Jasa
Keuangan
menetapkan keputusan persetujuan
-60-
rencana Pengambilalihan kepada Direksi Lembaga
Penjamin.
(7) Penolakan atas permohonan persetujuan rencana
Pengambilalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara tertulis dan disertai dengan alasan
penolakan.
Pasal 57
(1) Lembaga Penjamin yang telah mendapatkan persetujuan
rencana Pengambilalihan dari Otoritas Jasa Keuangan
harus melaksanakan RUPS yang menyetujui
Pengambilalihan tersebut paling lama 60 (enam puluh)
hari kerja terhitung sejak tanggal surat persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam hal pelaksanaan RUPS yang menyetujui rencana
Pengambilalihan tidak sesuai dengan jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), surat persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan menjadi tidak berlaku.
Pasal 58
(1) Lembaga Penjamin wajib melaporkan pelaksanaan RUPS
yang menyetujui Pengambilalihan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal pemberitahuan kepada instansi
yang berwenang.
(2) Pelaporan
pelaksanaan RUPS yang menyetujui
Pengambilalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa
Keuangan dengan menggunakan format 28 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
dilampiri dengan:
a.
b. fotokopi akta Pengambilalihan; dan
fotokopi akta risalah RUPS yang menyetujui
Pengambilalihan;
-61-
c. bukti pemberitahuan kepada instansi yang
berwenang.
Bagian Ketiga
Pemisahan
Pasal 59
(1) Lembaga Penjamin dapat melakukan Pemisahan, dengan
cara:
a. Pemisahan murni; atau
b. Pemisahan tidak murni.
(2) Terhadap Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a berlaku ketentuan:
a. seluruh aset, liabilitas, dan ekuitas Lembaga
Penjamin beralih karena hukum kepada 2 (dua)
badan hukum atau lebih yang menerima peralihan;
dan
b. Lembaga Penjamin yang melakukan Pemisahan
tersebut berakhir karena hukum.
(3) Terhadap Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b berlaku ketentuan:
a. sebagian aset, liabilitas, dan ekuitas Lembaga
Penjamin beralih karena hukum kepada 1 (satu)
atau lebih badan hukum lain yang menerima
peralihan; dan
b. Lembaga Penjamin yang melakukan Pemisahan
tersebut tetap ada.
Pasal 60
(1) Lembaga Penjamin dapat melakukan Pemisahan murni
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a,
dengan cara mendirikan badan hukum baru.
(2) Salah satu badan hukum baru hasil Pemisahan murni
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus merupakan
Lembaga Penjamin.
-62-
(3) Portofolio penjaminan yang dimiliki oleh Lembaga
Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dialihkan kepada badan hukum baru hasil
Pemisahan murni yang merupakan Lembaga Penjamin.
Pasal 61
(1) Lembaga Penjamin yang akan melakukan Pemisahan
murni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1)
wajib menyampaikan rencana pelaksanaan Pemisahan
murni kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk
mendapatkan persetujuan.
(2) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Lembaga
Penjamin yang akan melakukan Pemisahan murni
kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan
format 29 sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri
dokumen:
a. rancangan akta Pemisahan;
b. rancangan akta pendirian Lembaga Penjamin baru
dan/atau badan hukum baru yang akan menerima
aset, liabilitas, dan ekuitas;
c. rancangan penyelesaian hak dan kewajiban Terjamin
dan Penerima Jaminan bagi Lembaga Penjamin yang
melakukan Pemisahan murni;
d. rencana daftar kepemilikan dari Lembaga Penjamin
baru dan/atau badan hukum baru yang akan
menerima aset, liabilitas, dan ekuitas;
e. data pemegang saham atau anggota selain PSP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
huruf c dari Lembaga Penjamin baru hasil
Pemisahan murni;
f.
laporan keuangan terakhir yang telah diaudit dari
Lembaga Penjamin yang melakukan Pemisahan
murni;
-63-
g. laporan keuangan proforma dari Lembaga Penjamin
hasil Pemisahan murni;
h. rencana kerja yang akan dilakukan untuk 3 (tiga)
tahun pertama setelah mendapatkan izin usaha dari
badan hukum baru yang merupakan Lembaga
Penjamin, yang paling sedikit memuat:
1. studi kelayakan peluang pasar dan potensi
ekonomi;
2.
rencana kegiatan usaha Penjaminan atau
Penjaminan Syariah dan langkah-langkah yang
dilakukan untuk mewujudkan rencana
dimaksud; dan
3. proyeksi laporan posisi keuangan, laporan laba
rugi, dan arus kas bulanan serta asumsi yang
mendasarinya dimulai sejak Lembaga Penjamin
melakukan kegiatan operasional; dan
i. susunan organisasi
dari Lembaga Penjamin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
huruf b dari Lembaga Penjamin baru hasil
Pemisahan murni.
(3) Permohonan persetujuan rencana Pemisahan murni
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
bersamaan dengan permohonan penilaian kemampuan
dan kepatutan bagi calon anggota Direksi, anggota
Dewan Komisaris, anggota DPS, dan/atau PSP Lembaga
Penjamin hasil Pemisahan murni.
(4) Permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi
calon anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota
DPS, dan/atau PSP Lembaga Penjamin sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan mengacu
pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
penilaian kemampuan dan kepatutan lembaga jasa
keuangan.
Pasal 62
(1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan,
permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan atas
-64-
permohonan persetujuan rencana Pemisahan murni
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) dalam
jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak
permohonan diterima.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan melakukan:
a.
b.
c.
penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2);
analisis kelayakan atas rencana Pemisahan
murni;
penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota
DPS, dan/atau PSP Lembaga Penjamin hasil
Pemisahan murni; dan
d.
analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penjaminan.
(3) Direksi Lembaga Penjamin harus menyampaikan
kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal
surat permintaan kelengkapan dokumen dari Otoritas
Jasa Keuangan.
(4) Dalam hal Direksi Lembaga Penjamin telah
menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan
memberikan persetujuan atau penolakan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(5) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Otoritas Jasa
Keuangan belum menerima tanggapan atas permintaan
kelengkapan dokumen dimaksud, Direksi Lembaga
Penjamin
dianggap membatalkan
persetujuan rencana Pemisahan murni.
permohonan
-65-
(6) Dalam hal permohonan disetujui, Otoritas Jasa
Keuangan menerbitkan surat persetujuan rencana
Pemisahan murni kepada Lembaga Penjamin.
(7) Penolakan atas permohonan persetujuan rencana
Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara tertulis dan disertai dengan alasan
penolakan.
Pasal 63
(1) Lembaga Penjamin yang telah mendapatkan persetujuan
rencana pelaksanaan Pemisahan murni dari Otoritas
Jasa Keuangan harus melaksanakan RUPS yang
menyetujui Pemisahan murni paling lama 60 (enam
puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal surat
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam hal pelaksanaan RUPS yang menyetujui
Pemisahan murni tidak sesuai dengan jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), surat
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan menjadi tidak
berlaku.
Pasal 64
(1) Lembaga Penjamin hasil Pemisahan murni wajib
melaporkan pelaksanaan RUPS yang menyetujui
Pemisahan murni kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
RUPS.
(2) Pelaporan
pelaksanaan RUPS yang menyetujui
Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), harus disampaikan oleh Direksi kepada
Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan
format 30 sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri
dengan:
a.
fotokopi akta risalah RUPS yang menyetujui
Pemisahan murni;
-66-
b. fotokopi akta Pemisahan murni;
c. dokumen yang menyatakan bahwa Lembaga
Penjamin yang melakukan Pemisahan murni tidak
mempunyai utang pajak dari instansi yang
berwenang;
d. fotokopi akta risalah RUPS yang menyatakan
pengangkatan Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau
DPS;
e.
fotokopi bukti pelunasan modal disetor dalam
bentuk setoran tunai dari pemegang saham atau
anggota fotokopi bukti penempatan modal disetor
dalam bentuk deposito berjangka atas nama
Lembaga Penjamin yang bersangkutan, dalam hal
terdapat pemegang saham baru atau anggota baru
(jika ada);
f.
laporan posisi keuangan awal/pembukaan dari
badan hukum baru hasil Pemisahan murni; dan
g. bukti kesiapan operasional dari badan hukum baru
hasil Pemisahan murni yang merupakan Lembaga
Penjamin paling sedikit berupa:
1. daftar aset tetap dan inventaris beserta bukti
kepemilikan atau penguasaan;
2. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung
kantor; dan
3. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP).
(3) Dalam rangka pelaporan pelaksanaan RUPS yang
menyetujui Pemisahan murni sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Lembaga Penjamin hasil Pemisahan murni
dapat mengajukan permohonan izin pembukaan Kantor
Cabang yang sebelumnya dimiliki oleh Lembaga
Penjamin yang melakukan Pemisahan murni kepada
Otoritas Jasa Keuangan atas namanya.
(4) Permohonan
izin pembukaan Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus
disampaikan oleh Direksi Lembaga Penjamin kepada
Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format
31 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
-67-
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dengan:
a.
izin pembukaan Kantor Cabang terdahulu yang
dimiliki oleh Lembaga Penjamin yang melakukan
Pemisahan murni; dan
b. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung Kantor
Cabang.
(5) Berdasarkan pelaporan pelaksanaan RUPS yang
menyetujui Pemisahan murni sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan izin pembukaan Kantor Cabang (jika
ada) sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Otoritas Jasa
Keuangan:
a. melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(4);
b. mencabut izin usaha dan/atau izin pembukaan
Kantor Cabang Lembaga Penjamin yang melakukan
Pemisahan murni (jika ada) yang mulai berlaku
efektif terhitung sejak anggaran dasar disahkan,
disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi
yang berwenang; dan
c. memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin usaha dan izin pembukaan
Kantor Cabang (jika ada) kepada badan hukum baru
yang merupakan Lembaga Penjamin hasil
Pemisahan murni yang mulai berlaku efektif
terhitung sejak anggaran dasar disahkan, disetujui
oleh atau diberitahukan kepada instansi yang
berwenang.
(6) Pemberian persetujuan izin usaha dan/atau izin
pembukaan Kantor Cabang (jika ada) sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) huruf c dilakukan paling lama
20 (dua puluh) hari kerja setelah dokumen pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4)
diterima secara lengkap.
(7) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak untuk
menetapkan izin usaha dan/atau izin pembukaan
-68-
Kantor Cabang (jika ada) sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) huruf c, penolakan harus dilakukan secara
tertulis dengan disertai alasannya.
Pasal 65
Lembaga Penjamin
hasil Pemisahan murni wajib
melaporkan pelaksanaan Pemisahan murni kepada Otoritas
Jasa Keuangan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal anggaran dasar disahkan, disetujui
oleh atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang
dengan menggunakan format 32 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dengan
anggaran dasar yang telah disahkan, disetujui oleh atau
diberitahukan kepada instansi yang berwenang.
Pasal 66
Lembaga Penjamin dapat melakukan Pemisahan tidak murni
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf b,
dengan cara:
a. mendirikan Lembaga Penjamin baru;
b. mendirikan badan hukum baru yang bukan merupakan
Lembaga Penjamin;
c. mengalihkan sebagian aset, liabilitas, dan ekuitas
Lembaga Penjamin kepada Lembaga Penjamin lain;
atau
d. mengalihkan sebagian aset, liabilitas, dan ekuitas
Lembaga Penjamin kepada badan hukum lain yang
bukan merupakan Lembaga Penjamin.
Pasal 67
(1) Lembaga Penjamin yang akan melakukan Pemisahan
tidak murni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat
(1) huruf b wajib menyampaikan rencana pelaksanaan
Pemisahan tidak murni kepada Otoritas Jasa Keuangan
untuk mendapatkan persetujuan.
-69-
(2) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Lembaga
Penjamin yang akan melakukan Pemisahan tidak
murni kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan
menggunakan format 33 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
dilampiri dokumen:
a. bagi Pemisahan tidak murni dengan cara
mendirikan Lembaga Penjamin baru sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 66 huruf a, meliputi:
1. rancangan akta Pemisahan;
2. rancangan akta pendirian Lembaga Penjamin
baru;
3. rencana penyelesaian hak dan kewajiban
Terjamin, Penerima Jaminan, dan pihak terkait
lainnya;
4. rencana daftar kepemilikan dari Lembaga
Penjamin baru;
5. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit
dari Lembaga Penjamin yang melakukan
Pemisahan tidak murni;
6. laporan keuangan proforma dari Lembaga
Penjamin baru;
7. rencana kerja yang akan dilakukan untuk 3
(tiga) tahun pertama setelah mendapatkan izin
usaha Lembaga Penjamin baru, yang paling
sedikit memuat:
a) studi kelayakan peluang pasar dan potensi
ekonomi;
b)
rencana kegiatan usaha Penjaminan atau
Penjaminan Syariah dan langkah-langkah
yang dilakukan untuk mewujudkan
rencana dimaksud; dan
c) proyeksi laporan posisi keuangan, laporan
laba rugi, dan arus kas bulanan serta
asumsi yang mendasarinya dimulai sejak
-70-
Lembaga Penjamin baru melakukan
kegiatan operasional;
8. proyeksi laporan posisi keuangan, laporan laba
rugi, dan laporan arus kas bulanan selama 3
(tiga) tahun dari Lembaga Penjamin yang akan
melakukan Pemisahan terhitung sejak
Pemisahan selesai dilakukan; dan
9. dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2) huruf b dan huruf c, bagi
Lembaga Penjamin baru hasil Pemisahan tidak
murni;
b. bagi Pemisahan tidak murni dengan cara
mendirikan badan hukum baru yang bukan
merupakan Lembaga Penjamin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 66 huruf b, meliputi:
1. rancangan akta Pemisahan;
2. rancangan akta pendirian badan hukum
baru;
3. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit
dari Lembaga Penjamin yang melakukan
Pemisahan tidak murni; dan
4. proyeksi laporan posisi keuangan, laporan laba
rugi, dan laporan arus kas bulanan selama 3
(tiga) tahun dari Lembaga Penjamin yang akan
melakukan Pemisahan terhitung sejak
Pemisahan selesai dilakukan;
c.
bagi Lembaga Penjamin yang melakukan Pemisahan
tidak murni dengan cara mengalihkan sebagian aset,
liabilitas, dan ekuitas Lembaga Penjamin kepada
Lembaga Penjamin lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 66 huruf c, meliputi:
1. rancangan akta Pemisahan;
2. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit
dari Lembaga Penjamin yang melakukan
Pemisahan tidak murni;
-71-
3. rencana penyelesaian hak dan kewajiban
Terjamin, Penerima Jaminan, dan pihak terkait
lainnya;
4. rencana daftar kepemilikan dari Lembaga
Penjamin lain;
5. dokumen Lembaga Penjamin yang akan
menerima pengalihan sebagian aset, liabilitas,
dan ekuitas, meliputi:
a)
fotokopi izin usaha sebagai Lembaga
Penjamin;
b) laporan keuangan tahunan terakhir yang
telah diaudit oleh kantor akuntan publik;
dan
c) laporan posisi keuangan, laporan laba rugi,
dan laporan arus kas bulan terakhir
sebelum menerima pengalihan aset,
liabilitas, dan ekuitas;
6. proyeksi laporan posisi keuangan, laporan laba
rugi, dan laporan arus kas bulanan selama 3
(tiga) tahun dari Lembaga Penjamin yang akan
melakukan Pemisahan terhitung sejak
Pemisahan selesai dilakukan;
d. bagi Lembaga Penjamin yang melakukan Pemisahan
tidak murni dengan cara mengalihkan sebagian aset,
liabilitas, dan ekuitas Lembaga Penjamin kepada
badan hukum lain yang bukan merupakan Lembaga
Penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66
huruf d, meliputi:
1. rancangan akta Pemisahan;
2. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit
dari Lembaga Penjamin yang melakukan
Pemisahan tidak murni; dan
3. proyeksi laporan posisi keuangan, laporan laba
rugi, dan laporan arus kas bulanan selama 3
(tiga) tahun dari Lembaga Penjamin yang akan
melakukan Pemisahan terhitung sejak
Pemisahan selesai dilakukan.
-72-
(3) Permohonan persetujuan rencana
pelaksanaan
Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan bersamaan dengan permohonan
penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS,
dan/atau PSP Lembaga Penjamin baru.
(4) Permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi
calon anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota
DPS, dan/atau PSP Lembaga Penjamin sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan mengacu
pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
penilaian kemampuan dan kepatutan lembaga jasa
keuangan.
Pasal 68
(1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan,
permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan atas
permohonan persetujuan pemisahan tidak murni
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) dalam
jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak
permohonan diterima.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2), Otoritas
Jasa Keuangan melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dokumen;
b.
c.
analisis kelayakan atas rencana Pemisahan tidak
murni;
penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap
calon anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris,
anggota DPS, dan/atau PSP Lembaga Penjamin
baru; dan
d.
analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penjaminan.
(3) Direksi Lembaga Penjamin harus menyampaikan
kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal
-73-
surat permintaan kelengkapan dokumen dari Otoritas
Jasa Keuangan.
(4) Dalam hal Direksi Lembaga Penjamin telah
menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Otoritas Jasa Keuangan
memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan belum menerima tanggapan atas permintaan
kelengkapan dokumen dimaksud, Direksi Lembaga
Penjamin dianggap membatalkan permohonan
persetujuan Pemisahan tidak murni.
(6) Dalam hal permohonan disetujui, Otoritas Jasa
Keuangan menetapkan keputusan persetujuan rencana
Pemisahan tidak murni kepada Direksi Lembaga
Penjamin.
(7) Penolakan atas permohonan persetujuan rencana
Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan secara tertulis dan disertai dengan
alasan penolakan.
Pasal 69
(1) Lembaga Penjamin yang telah mendapatkan
persetujuan rencana pelaksanaan Pemisahan tidak
murni dari
Otoritas Jasa Keuangan
harus
melaksanakan RUPS yang menyetujui Pemisahan tidak
murni paling lama 60 (enam puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal surat persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Dalam hal pelaksanaan RUPS yang menyetujui
Pemisahan tidak murni melebihi jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), surat
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan menjadi tidak
berlaku.
-74-
Pasal 70
(1) Lembaga Penjamin yang melakukan Pemisahan tidak
murni wajib melaporkan pelaksanaan RUPS yang
menyetujui Pemisahan tidak murni kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal RUPS.
(2) Pelaporan
pelaksanaan RUPS yang menyetujui
Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), harus disampaikan oleh Direksi
kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan
format 34 sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri
dengan:
a.
fotokopi akta risalah RUPS yang menyetujui
Pemisahan tidak murni;
b. fotokopi akta Pemisahan tidak murni;
c.
d.
fotokopi akta risalah RUPS yang menyatakan
pengangkatan Direksi dan Dewan Komisaris;
fotokopi bukti pelunasan modal disetor dalam
bentuk setoran tunai dari pemegang saham atau
anggota fotokopi bukti penempatan modal disetor
dalam bentuk deposito berjangka atas nama
Lembaga Penjamin yang bersangkutan, dalam hal
terdapat pemegang saham atau anggota baru (jika
ada);
e. laporan keuangan pembukaan dari badan hukum
baru hasil Pemisahan tidak murni; dan
f. bukti kesiapan operasional dari badan hukum
baru hasil Pemisahan tidak murni yang
merupakan Lembaga Penjamin paling sedikit
berupa:
1. daftar aset tetap dan inventaris beserta bukti
kepemilikan atau penguasaan;
2. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung
kantor; dan
-75-
3.
fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP).
(3) Dalam rangka pelaporan pelaksanaan RUPS yang
menyetujui Pemisahan tidak murni sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Lembaga Penjamin yang
menerima Pemisahan tidak murni dapat mengajukan
permohonan penetapan izin pembukaan Kantor
Cabang dan/atau Kantor Cabang UUS (jika ada) yang
sebelumnya dimiliki oleh Lembaga Penjamin yang
melakukan Pemisahan tidak murni menjadi Kantor
Cabang atas nama Lembaga Penjamin hasil Pemisahan
tidak murni kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Permohonan penetapan izin pembukaan Kantor
Cabang dan/atau Kantor Cabang UUS (jika ada)
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus
disampaikan oleh Direksi Lembaga Penjamin kepada
Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan
format 35 sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri
dengan:
a.
izin pembukaan Kantor Cabang dan/atau Kantor
Cabang UUS (jika ada) terdahulu yang dimiliki oleh
Lembaga Penjamin yang melakukan Pemisahan
tidak murni; dan
b. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung
Kantor Cabang dan/atau Kantor Cabang UUS (jika
ada).
(5) Berdasarkan pelaporan pelaksanaan RUPS yang
menyetujui Pemisahan tidak murni sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan permohonan penetapan izin
pembukaan Kantor Cabang dan/atau Kantor Cabang
UUS (jika ada) sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Otoritas Jasa Keuangan:
a. melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4);
b. mencabut izin pembukaan Kantor Cabang dan/atau
Kantor Cabang UUS Lembaga Penjamin yang
-76-
melakukan Pemisahan tidak murni (jika ada) yang
mulai berlaku efektif terhitung sejak anggaran dasar
disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada
instansi yang berwenang;
c. mencabut izin UUS, untuk Pemisahan tidak murni
yang dilakukan terhadap UUS;
d. memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin usaha
kepada Lembaga
Penjamin baru hasil Pemisahan tidak murni yang
mulai berlaku efektif terhitung sejak anggaran
dasar disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan
kepada instansi yang berwenang; dan
e. memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan penetapan izin pembukaan Kantor
Cabang dan/atau Kantor Cabang UUS (jika ada)
kepada Lembaga Penjamin yang menerima
Pemisahan tidak murni yang mulai berlaku efektif
terhitung sejak anggaran dasar disahkan,
disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi
yang berwenang.
(6) Pemberian persetujuan izin usaha dan/atau penetapan
izin pembukaan Kantor Cabang dan/atau Kantor
Cabang UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
huruf c dan huruf d dilakukan paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja setelah dokumen pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4)
diterima secara lengkap.
(7) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak untuk
menetapkan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) huruf c, penolakan harus dilakukan secara
tertulis dengan disertai alasannya.
Pasal 71
Lembaga Penjamin yang melakukan Pemisahan tidak murni
wajib melaporkan pelaksanaan Pemisahan tidak murni
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 20 (dua
puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal anggaran dasar
-77-
disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi
yang berwenang dengan menggunakan format 36
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini, dilampiri dengan anggaran dasar yang telah
disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi
yang berwenang.
Pasal 72
(1) Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau
Pemisahan wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Peleburan,
(2) Penggabungan,
Pemisahan, dan
Pengambilalihan Lembaga Penjamin tidak mengurangi
hak Penerima Jaminan dan kewajiban Terjamin.
BAB XI
KANTOR CABANG
Pasal 73
(1) Lembaga Penjamin dapat membuka Kantor Cabang di
wilayah negara Republik Indonesia sesuai lingkup
wilayah operasionalnya.
(2) Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai kewenangan:
a. menandatangani Sertifikat Penjaminan atau
Sertifikat Kafalah; dan
b. menetapkan untuk membayar atau menolak
klaim.
(3) Untuk dapat membuka Kantor Cabang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Lembaga Penjamin wajib terlebih
dahulu mendapatkan izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), Direksi mengajukan permohonan kepada
Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format 37
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
-78-
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, dan harus dilampiri dengan:
a. bukti penguasaan gedung kantor;
b. struktur organisasi dan nama calon kepala Kantor
Cabang serta jumlah karyawan; dan
c. rencana bisnis yang memuat rencana pembukaan
Kantor Cabang Lembaga Penjamin.
Pasal 74
(1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan,
permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan atas
permohonan
izin pembukaan Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (3) paling
lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah dokumen
permohonan diterima.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan izin pembukaan Kantor Cabang,
Otoritas Jasa Keuangan melakukan:
a.
b.
c.
penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 73 ayat (4);
analisis atas dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 73 ayat (4); dan
verifikasi langsung ke Kantor Cabang yang akan
dibuka, apabila diperlukan.
(3) Direksi Lembaga Penjamin harus menyampaikan
kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal
surat permintaan kelengkapan dokumen dari Otoritas
Jasa Keuangan.
(4) Dalam hal Direksi Lembaga Penjamin telah
menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Otoritas Jasa Keuangan
memberikan persetujuan atau penolakan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
-79-
(5) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan belum menerima tanggapan atas permintaan
kelengkapan dokumen dimaksud, Direksi Lembaga
Penjamin dianggap membatalkan permohonan izin
pembukaan Kantor Cabang.
(6) Dalam hal permohonan izin pembukaan Kantor Cabang
disetujui,
Otoritas Jasa Keuangan menetapkan
keputusan pemberian izin pembukaan Kantor Cabang
kepada Lembaga Penjamin.
(7) Penolakan atas permohonan izin pembukaan Kantor
Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara tertulis dan disertai dengan alasan
penolakan.
Pasal 75
Otoritas Jasa Keuangan dapat mencabut izin pembukaan
Kantor Cabang apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
secara terus menerus Kantor Cabang dimaksud terbukti tidak
melakukan kegiatan operasional.
Pasal 76
(1) Lembaga Penjamin yang akan menutup Kantor Cabang
wajib terlebih dahulu memberitahukan kepada pihak
yang terikat dalam Penjaminan atau Penjaminan Syariah
mengenai:
a. rencana penutupan Kantor Cabang; dan
b. prosedur penyelesaian hak dan kewajiban.
(2) Prosedur penyelesaian hak dan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib
dilakukan berdasarkan peraturan perundang-
undangan dan memperhatikan kepentingan pihak
yang terikat dalam Penjaminan atau Penjaminan
Syariah.
-80-
(3) Lembaga Penjamin wajib melaporkan penutupan
Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
secara tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
penutupan Kantor Cabang.
(4) Pelaporan penutupan Kantor Cabang sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) harus diajukan oleh
Direksi Lembaga Penjamin dengan menggunakan
format 38 sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dengan
dilampiri:
a. bukti pemberitahuan rencana penutupan Kantor
Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a;
b. bukti pemberitahuan prosedur penyelesaian hak dan
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b; dan
c. bukti penyelesaian hak dan kewajiban debitur.
(5) Berdasarkan pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin
pembukaan Kantor Cabang terhitung sejak tanggal
penutupan.
BAB XII
KONVERSI PERUSAHAAN PENJAMINAN ATAU PERUSAHAAN
PENJAMINAN ULANG MENJADI PERUSAHAAN PENJAMINAN
SYARIAH ATAU PERUSAHAAN PENJAMINAN ULANG SYARIAH
Pasal 77
(1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Ulang dapat melakukan konversi menjadi Perusahaan
Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang
Syariah.
(2) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Ulang yang akan melakukan konversi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan rencana
-81-
pelaksanaan konversi kepada Otoritas Jasa Keuangan
untuk mendapatkan persetujuan.
(3) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang
yang akan melakukan konversi kepada Otoritas
Jasa Keuangan, dengan menggunakan format
39
sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri
dokumen:
a. rancangan akta risalah RUPS yang menyetujui
konversi menjadi Perusahaan Penjaminan Syariah
atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah;
b. rancangan perubahan anggaran dasar yang
mencantumkan:
1. nama, salah satu maksud dan tujuan
perusahaan yaitu melakukan kegiatan usaha
Penjaminan Syariah atau Penjaminan Ulang
Syariah; dan
2. wewenang dan tanggung jawab DPS;
c. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit;
d. daftar Kantor Cabang yang dimiliki oleh
Perusahaan Penjaminan atau Perusahan
Penjaminan Ulang;
e. susunan organisasi yang dilengkapi dengan susunan
personalia, uraian tugas, wewenang, dan tanggung
jawab;
f.
rencana kerja terkait kegiatan Penjaminan Syariah
atau Penjaminan Ulang Syariah yang akan
dilakukan untuk 3 (tiga) tahun pertama setelah
mendapatkan izin usaha sebagai Perusahaan
Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan
Ulang Syariah, yang paling sedikit memuat:
1. prosedur operasi standar (standard operating
procedure);
2. contoh perjanjian kerja sama; dan
-82-
3. contoh Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat
Kafalah yang akan digunakan oleh Lembaga
Penjamin;
g. rencana
penyelesaian hak dan kewajiban
Terjamin, Penerima Jaminan, dan pihak terkait
lainnya;
h. studi kelayakan peluang pasar dan potensi
ekonomi;
i.
rencana kegiatan usaha Penjaminan Syariah atau
Penjaminan Ulang Syariah dan langkah-langkah
yang dilakukan untuk mewujudkan rencana
dimaksud;
j. proyeksi laporan posisi keuangan, laporan laba rugi,
dan arus kas bulanan serta asumsi yang
mendasarinya dimulai sejak Perusahaan
Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan
Ulang Syariah melakukan kegiatan operasional;
dan
k. bukti mempekerjakan tenaga ahli di bidang
Penjaminan Syariah.
(4) Permohonan persetujuan rencana pelaksanaan konversi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
bersamaan dengan permohonan penilaian kemampuan
dan kepatutan bagi calon anggota Direksi, anggota
Dewan Komisaris, anggota DPS, dan PSP Lembaga
Penjamin.
(5) Permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan
bagi calon Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota
DPS, dan PSP Lembaga Penjamin sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan mengacu
pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
penilaian kemampuan dan kepatutan lembaga jasa
keuangan.
Pasal 78
(1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan,
permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan atas
-83-
permohonan persetujuan rencana pelaksanaan konversi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) dalam
jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak
permohonan diterima.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan melakukan:
a.
b.
c.
penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3);
analisis kelayakan atas rencana pelaksanaan
konversi;
penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota
DPS, dan PSP; dan
d.
analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penjaminan.
(3) Direksi Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Ulang harus menyampaikan kelengkapan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat
permintaan kelengkapan dokumen dari Otoritas Jasa
Keuangan.
(4) Dalam hal Direksi Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Ulang telah menyampaikan
kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan
atau penolakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(5) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan belum menerima tanggapan atas permintaan
kelengkapan dokumen dimaksud, Direksi Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang
dianggap membatalkan permohonan persetujuan rencana
pelaksanaan konversi.
-84-
(6) Dalam hal permohonan disetujui, Otoritas Jasa
Keuangan
menetapkan keputusan persetujuan
rencana pelaksanaan konversi kepada Direksi
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Ulang.
(7) Penolakan atas permohonan persetujuan rencana
pelaksanaan konversi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan secara tertulis dan disertai dengan alasan
penolakan.
Pasal 79
(1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Ulang yang telah mendapatkan persetujuan rencana
pelaksanaan konversi dari Otoritas Jasa Keuangan harus
melaksanakan RUPS paling lama 60 (enam puluh) hari
kerja terhitung sejak tanggal surat persetujuan Otoritas
Jasa Keuangan.
(2) Dalam hal pelaksanaan RUPS yang menyetujui
rencana pelaksanaan konversi tidak sesuai dengan
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), surat
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan menjadi tidak
berlaku.
Pasal 80
(1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Ulang wajib melaporkan pelaksanaan RUPS yang
menyetujui konversi menjadi Perusahaan Penjaminan
Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah
secara tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
RUPS.
(2) Pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui
konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disampaikan oleh Direksi Perusahaan Penjaminan
atau Perusahaan Penjaminan Ulang kepada Otoritas
Jasa Keuangan dengan menggunakan format 40
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
-85-
merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri
dengan:
a.
fotokopi akta risalah RUPS yang menyetujui
konversi menjadi Perusahaan Penjaminan
Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang
Syariah;
b. fotokopi akta risalah RUPS yang menyatakan
pengangkatan Direksi, Dewan Komisaris, dan
DPS;
c.
fotokopi
perubahan anggaran dasar yang
mencantumkan:
1. nama, salah satu maksud dan tujuan
perusahaan yaitu melakukan kegiatan usaha
Penjaminan Syariah atau Penjaminan Ulang
Syariah; dan
2. wewenang dan tanggung jawab DPS; dan
d. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas
nama Perusahaan Penjaminan Syariah atau
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah hasil
konversi.
(3) Dalam rangka pelaporan pelaksanaan RUPS yang
menyetujui konversi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Ulang yang melakukan konversi dapat
mengajukan permohonan izin pembukaan Kantor
Cabang yang sebelumnya dimiliki oleh Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang yang
dikonversi kepada Otoritas Jasa Keuangan atas
namanya.
(4) Permohonan
izin pembukaan Kantor
sebagaimana dimaksud pada ayat
dengan
menggunakan
tidak
Cabang
(3), harus
disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa
Keuangan
format
bagian
terpisahkan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan
41
dari
-86-
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri
dengan:
a.
izin pembukaan Kantor Cabang terdahulu yang
dimiliki oleh Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Ulang yang dikonversi; dan
b. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung Kantor
Cabang.
(5) Berdasarkan pelaporan pelaksanaan RUPS yang
menyetujui konversi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan permohonan izin pembukaan Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) (jika ada), Otoritas
Jasa Keuangan:
a. melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4);
b. memberikan persetujuan atau penolakan perubahan
izin usaha sebagai Perusahaan Penjaminan Syariah
atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah yang
mulai berlaku efektif terhitung sejak anggaran dasar
disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada
instansi yang berwenang; dan
c. memberikan persetujuan atau penolakan izin
pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) yang mulai berlaku efektif terhitung
sejak anggaran dasar disahkan, disetujui oleh atau
diberitahukan kepada instansi yang berwenang (jika
ada).
(6) Pemberian persetujuan izin usaha dan/atau izin
pembukaan Kantor Cabang Perusahaan Penjaminan
Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah
dalam konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
huruf b dan huruf c dilakukan paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja setelah dokumen pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterima secara
lengkap.
(7) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak untuk
menetapkan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
-87-
(5) huruf b, penolakan harus dilakukan secara tertulis
dengan disertai alasannya.
Pasal 81
Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan
Ulang Syariah hasil konversi wajib melaporkan pelaksanaan
konversi kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 20
(dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal anggaran dasar
disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi
yang berwenang dengan menggunakan format 42
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini, dilampiri dengan anggaran dasar yang telah
disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi
yang berwenang.
Pasal 82
Konversi Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Ulang menjadi Perusahaan Penjaminan Syariah
atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah tidak
mengurangi hak Penerima Jaminan dan kewajiban
Terjamin.
BAB XIII
PENCABUTAN IZIN USAHA
Pasal 83
(1) Pencabutan izin usaha Lembaga Penjamin atau izin UUS
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Pencabutan izin usaha Lembaga Penjamin atau izin UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
hal:
a. bubar sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. dikenai sanksi administratif pencabutan izin usaha;
c. tidak lagi menjadi Lembaga Penjamin;
-88-
d. bubar sebagai akibat melakukan Penggabungan,
Peleburan, atau Pemisahan;
e. belum melakukan kegiatan usaha paling lambat 4
(empat) bulan setelah tanggal izin usaha ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1);
atau
f. belum melakukan kegiatan usaha paling lambat 3
(tiga) bulan setelah tanggal izin UUS ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1).
(3) Sebelum pencabutan izin usaha ditetapkan oleh Otoritas
Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin wajib melakukan
penyelesaian kewajibannya kepada Terjamin dan/atau
Penerima Jaminan.
(4) Prosedur penyelesaian kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) wajib dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan memperhatikan kepentingan
Terjamin dan/atau Penerima Jaminan.
Pasal 84
Lembaga Penjamin bubar karena:
a. keputusan RUPS;
b. jangka waktu berdirinya Lembaga Penjamin yang
ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir;
c. putusan pengadilan; atau
d. keputusan pemerintah.
Pasal 85
(1) Dalam hal Lembaga Penjamin bubar karena keputusan
RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf a,
likuidator atau kuasa rapat anggota harus melaporkan
hasil RUPS kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat
15 (lima belas) hari setelah RUPS dilaksanakan.
(2) Apabila batas akhir penyampaian laporan pembubaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari
libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja
pertama berikutnya.
(3) Pelaporan pembubaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dengan menggunakan format 43 sebagaimana
-89-
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
dan harus dilampiri dengan:
a. dokumen yang menjadi dasar ditetapkannya
keputusan atau penetapan pembubaran; dan
b.
asli salinan keputusan mengenai pemberian izin
usaha Lembaga Penjamin.
(4) Berdasarkan pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha
Lembaga Penjamin.
Pasal 86
(1) Dalam hal Lembaga Penjamin bubar karena jangka
waktu berdirinya Lembaga Penjamin yang ditetapkan
dalam anggaran dasar berakhir sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 84 huruf b, likuidator atau penyelesai harus
melaporkan pengakhiran Lembaga Penjamin kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 45 (empat puluh
lima) hari setelah jangka waktu berdirinya Lembaga
Penjamin yang ditetapkan dalam anggaran dasar
berakhir.
(2) Apabila batas akhir penyampaian laporan pembubaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari
libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja
pertama berikutnya.
(3) Pelaporan pembubaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dengan menggunakan format 43 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
dan harus dilampiri dengan:
a. dokumen yang menjadi dasar pengakhiran Lembaga
Penjamin; dan
b. asli salinan keputusan mengenai pemberian izin
usaha Lembaga Penjamin.
(4) Berdasarkan pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha
Lembaga Penjamin.
-90-
Pasal 87
(1) Dalam hal Lembaga Penjamin bubar berdasarkan
putusan pengadilan atau keputusan pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf c atau
huruf d, likuidator atau penyelesai harus melaporkan
pembubaran tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau
sejak keputusan pemerintah diterima.
(2) Apabila batas akhir penyampaian laporan pembubaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari
libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja
pertama berikutnya.
(3) Pelaporan pembubaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dengan menggunakan format 43 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
dan harus dilampiri dengan asli salinan keputusan
mengenai pemberian izin usaha Lembaga Penjamin serta:
a. putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap; atau
b. keputusan pemerintah.
(4) Berdasarkan pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha
Lembaga Penjamin.
Pasal 88
(1) Dalam hal Lembaga Penjamin dipailitkan atau
dilikuidasi, cadangan klaim dan cadangan umum harus
digunakan terlebih dahulu untuk memenuhi kewajiban
kepada Penerima Jaminan.
(2) Dalam hal terdapat kelebihan cadangan klaim dan
cadangan umum setelah pemenuhan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kelebihan
cadangan klaim dan cadangan umum tersebut dapat
digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak
-91-
ketiga selain Penerima Jaminan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 89
(1) Lembaga Penjamin yang akan menghentikan kegiatan
usahanya sehingga tidak lagi menjadi Lembaga Penjamin
wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Direksi harus menyampaikan permohonan
persetujuan penghentian kegiatan usaha yang memuat
paling sedikit hal-hal sebagai berikut:
a. alasan penghentian kegiatan usaha;
b. uraian mengenai kondisi Lembaga Penjamin,
termasuk data mengenai jumlah Sertifikat
Penjaminan atau Sertifikat Kafalah yang masih
berlaku, jumlah Terjamin dan/atau Penerima
Jaminan, dan jumlah kewajiban Lembaga
Penjamin kepada Terjamin dan/atau Penerima
Jaminan;
c. rencana penyelesaian kewajiban Lembaga Penjamin
kepada seluruh kreditor; dan
d. rencana pembubaran atau rencana lainnya
setelah Lembaga Penjamin menyelesaikan kewajiban
kepada seluruh kreditor dan izin usaha Lembaga
Penjamin telah dicabut oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
(3) Permohonan persetujuan penghentian kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diajukan
kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan
format 44 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini dilampiri dengan dokumen
sebagai berikut:
a.
asli salinan keputusan mengenai pemberian izin
usaha Lembaga Penjamin;
-92-
b. keputusan RUPS mengenai persetujuan atas
rencana penghentian kegiatan usaha Lembaga
Penjamin;
c. laporan keuangan terakhir Lembaga Pejamin;
d. bukti penyelesaian pajak dan kewajiban lainnya
kepada negara; dan
e. bukti penyelesaian pungutan Otoritas Jasa
Keuangan dan denda administratif terutang.
Pasal 90
(1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelitian terhadap
permohonan persetujuan penghentian kegiatan usaha
yang disampaikan oleh Direksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 89 ayat (2).
(2) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan memberikan
persetujuan, permintaan kelengkapan dokumen, atau
penolakan atas permohonan persetujuan penghentian
kegiatan usaha dalam jangka waktu paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja sejak permohonan persetujuan
penghentian kegiatan usaha diterima.
(3) Direksi Lembaga Penjamin harus menyampaikan
kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal
surat permintaan kelengkapan dokumen dari Otoritas
Jasa Keuangan.
(4) Dalam hal Direksi Lembaga Penjamin telah
menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Otoritas Jasa Keuangan
memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Otoritas Jasa
Keuangan belum menerima tanggapan atas permintaan
kelengkapan dokumen dimaksud, pemohon dianggap
-93-
membatalkan permohonan persetujuan penghentian
kegiatan usaha.
(6) Dalam hal permohonan persetujuan penghentian
kegiatan usaha disetujui, Otoritas Jasa Keuangan
menerbitkan surat persetujuan penghentian kegiatan
usaha kepada Lembaga Penjamin.
(7) Penolakan atas permohonan persetujuan penghentian
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan secara tertulis dan disertai dengan alasan
penolakan.
(8) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan memberikan
persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Lembaga Penjamin wajib untuk:
a. menghentikan seluruh kegiatan usaha Lembaga
Penjamin;
b. mengumumkan rencana penghentian kegiatan
usaha dan rencana penyelesaian kewajiban Lembaga
Penjamin dalam surat kabar selama 3 (tiga) hari
berturut-turut paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
sejak tanggal surat persetujuan rencana
penghentian kegiatan usaha;
c. menyelesaikan
seluruh
kewajiban
Lembaga
Penjamin dalam jangka waktu paling lama 4 (empat)
bulan sejak tanggal surat persetujuan rencana
penghentian kegiatan usaha; dan
d. menunjuk akuntan publik untuk menyusun neraca
akhir termasuk melakukan verifikasi untuk
memastikan penyelesaian seluruh kewajiban
Lembaga Penjamin.
Pasal 91
Setelah seluruh kewajiban Lembaga Penjamin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 90 ayat (8) huruf c diselesaikan,
Direksi wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa
Keuangan dengan menggunakan format 45 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
-94-
tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
yang paling sedikit memuat:
a. pelaksanaan penghentian kegiatan usaha Lembaga
Penjamin;
b. pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 90 ayat (8) huruf b;
c. pelaksanaan penyelesaian
Penjamin;
kewajiban
d. neraca akhir Lembaga Penjamin yang telah diaudit oleh
akuntan publik; dan
e. surat pernyataan dari pemegang saham yang
menyatakan bahwa seluruh kewajiban Lembaga
Penjamin telah diselesaikan dan apabila terdapat
tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab
pemegang saham.
Pasal 92
(1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelitian terhadap
laporan yang disampaikan oleh Direksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91.
(2) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dalam jangka waktu paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja sejak diterimanya laporan secara
lengkap,
Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan
keputusan tentang pencabutan izin usaha Lembaga
Penjamin.
(3) Lembaga Penjamin yang dicabut izin usahanya wajib
menghentikan kegiatan usahanya.
Pasal 93
Sejak tanggal pencabutan izin usaha Lembaga Penjamin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2), apabila di
kemudian hari muncul kewajiban Lembaga Penjamin yang
belum diselesaikan, pemegang saham bertanggung jawab atas
kewajiban dimaksud.
Lembaga
-95-
BAB XIV
ASOSIASI LEMBAGA PENJAMIN
Pasal 94
(1) Lembaga Penjamin wajib menjadi anggota asosiasi
Lembaga Penjamin.
(2) Lembaga Penjamin yang baru mendapatkan izin usaha
wajib memenuhi ketentuan menjadi anggota asosiasi
Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal penetapan izin
usaha.
(3) Asosiasi Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus mendapat persetujuan tertulis dari
Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), asosiasi Lembaga Penjamin harus
menyampaikan permohonan tertulis kepada Otoritas
Jasa Keuangan yang dilampiri dengan:
a. akta pendirian yang memuat anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga yang telah mendapatkan
pengesahan dari instansi yang berwenang; dan
b. struktur kepengurusan.
BAB XV
LEMBAGA PENUNJANG PENJAMINAN
Pasal 95
(1) Dalam melakukan kegiatan usahanya, Lembaga
Penjamin dapat menggunakan jasa lembaga penunjang
penjaminan.
(2) Lembaga penunjang penjaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:
a. pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi;
b. agen penjamin; dan
c. broker.
-96-
(3) Lembaga penunjang penjaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib terdaftar terlebih dahulu di Otoritas
Jasa Keuangan.
(4) Lembaga Penjamin wajib menggunakan lembaga
penunjang penjaminan yang telah terdaftar di Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 96
(1) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2) huruf a
harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. berbentuk badan hukum perseroan terbatas; dan
b. bersifat independen.
(2) Untuk dapat terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan,
pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2) huruf a
harus menyampaikan permohonan pendaftaran dengan
melampirkan dokumen:
a. akta pendirian badan hukum yang telah disahkan
oleh instansi yang berwenang;
b. data kepemilikan berupa daftar calon pemegang
saham berikut rincian masing-masing besarnya
kepemilikan pemegang saham;
c.
daftar susunan anggota direksi dan anggota dewan
komisaris;
d. susunan organisasi dan sumber daya manusia;
e. sistem teknologi informasi yang digunakan; dan
f.
kebijakan dan prosedur operasional.
Pasal 97
(1) Agen penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95
ayat (2) huruf b adalah orang perseorangan atau badan
hukum yang bertindak untuk dan atas nama Lembaga
Penjamin dan memenuhi persyaratan untuk mewakili
Lembaga Penjamin untuk memasarkan usaha
penjaminan.
-97-
(2) Agen penjamin yang berbentuk orang perseorangan
harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. memiliki sertifikat keagenan dari Lembaga Sertifikasi
Profesi di bidang Penjaminan;
b.
c.
terdaftar sebagai anggota asosiasi Lembaga
Penjamin; dan
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Untuk dapat terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan, agen
penjamin yang berbentuk orang perseorangan harus
menyampaikan permohonan pendaftaran kepada
Otoritas Jasa Keuangan dengan melampirkan dokumen:
a.
sertifikat keagenan dari Lembaga Sertifikasi Profesi
di bidang Penjaminan;
b. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda
penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku;
c.
daftar riwayat hidup yang dilengkapi dengan pas
foto berwarna yang terbaru berukuran 4 x 6 cm;
dan
d. surat keterangan dari asosiasi Lembaga Penjamin
bahwa tidak sedang dalam pengenaan sanksi.
(4) Agen penjamin yang berbentuk badan hukum harus
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. berbentuk badan hukum perseroan terbatas;
b.
c.
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Untuk dapat terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan, agen
penjamin yang berbentuk badan hukum harus
menyampaikan permohonan pendaftaran dengan
melampirkan dokumen:
a. anggaran dasar atau anggaran rumah tangga yang
telah disahkan oleh instansi yang berwenang;
b. data kepemilikan berupa daftar calon pemegang
saham berikut rincian masing-masing besarnya
kepemilikan pemegang saham;
c. struktur kepengurusan;
d. susunan organisasi dan sumber daya manusia;
terdaftar sebagai anggota asosiasi Lembaga
Penjamin; dan
-98-
e. sistem teknologi informasi yang digunakan; dan
f.
kebijakan dan prosedur operasional.
Pasal 98
(1) Broker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2)
huruf c terdiri dari:
a. broker penjaminan; dan
b. broker penjaminan ulang.
(2) Broker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
berbentuk badan hukum perseroan terbatas.
(3) Broker harus memiliki sumber daya manusia yang
memiliki sertifikat kepialangan dari Lembaga Sertifikasi
Profesi di bidang penjaminan.
(4) Broker harus terdaftar sebagai anggota asosiasi Lembaga
Penjamin.
(5) Untuk dapat terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan, broker
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
menyampaikan permohonan pendaftaran dengan
melampirkan dokumen:
a. akta pendirian badan hukum yang telah disahkan
oleh instansi yang berwenang;
b. data kepemilikan berupa daftar calon pemegang
saham berikut rincian masing-masing besarnya
kepemilikan pemegang saham;
c. struktur kepengurusan;
d. susunan organisasi dan sumber daya manusia;
e.
f.
kebijakan dan prosedur operasional.
Pasal 99
(1) Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan bukti tanda
terdaftar, permintaan kelengkapan dokumen, atau
penolakan atas penyampaian permohonan pendaftaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2), Pasal 97
ayat (3) dan ayat (5), dan Pasal 98 ayat (5) dalam jangka
waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak
permohonan diterima secara lengkap.
sistem teknologi informasi yang digunakan; dan
-99-
(2) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan belum menerima tanggapan atas permintaan
kelengkapan dokumen dimaksud, pemohon dianggap
membatalkan permohonan pendaftaran.
(3) Dalam hal permohonan pendaftaran disetujui, Otoritas
Jasa Keuangan menerbitkan surat tanda terdaftar.
(4) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak permohonan
pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan
disertai alasannya.
BAB XVI
PENEGAKAN KEPATUHAN
Bagian Kesatu
Pemberitahuan
Pasal 100
(1) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (5), Pasal 36 ayat (1), Pasal 37 ayat (1),
Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 48 ayat (1), Pasal 55
ayat (1), Pasal 61 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 72 ayat
(1), Pasal 76 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 77 ayat (2),
Pasal 89 ayat (1), Pasal 92 ayat (3), dan/atau Pasal 94 ayat
(1) dan ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diberikan surat pemberitahuan.
(2) Bagi Lembaga Penjamin yang mempunyai UUS dan tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 30 ayat (2)
dan ayat (3), dan/atau Pasal 34 Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini diberikan surat pemberitahuan.
(3) Lembaga Penjamin wajib melakukan pemenuhan atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan/atau ayat (2) paling lama 1 (satu) bulan sejak
tanggal surat pemberitahuan.
-100-
Bagian Kedua
Rencana Pemenuhan
Pasal 101
(1) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3), Pasal 33 ayat (4), dan/atau Pasal 83 ayat (3)
dan ayat (4) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini wajib
menyampaikan rencana pemenuhan kepada Otoritas
Jasa Keuangan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal
penetapan terjadinya pelanggaran.
(2) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling sedikit memuat rencana yang akan dilakukan
Lembaga Penjamin untuk pemenuhan ketentuan yang
disertai dengan jangka waktu tertentu yang dibutuhkan
untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) memuat:
a. restrukturisasi aset dan/atau liabilitas;
b. penambahan modal disetor;
c. pengalihan sebagian atau seluruh aset;
d. pembatasan pembagian laba;
e. pembatasan kegiatan yang menyebabkan
pelanggaran ketentuan;
f. pembatasan pembukaan kantor cabang baru;
g. Penggabungan badan usaha; dan/atau
h. hal lain yang akan dilaksanakan untuk memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus ditandatangani oleh seluruh Direksi dan Dewan
Komisaris.
(5) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus terlebih dahulu disetujui oleh RUPS dalam hal
rencana dimaksud memuat rencana penambahan Modal
Disetor atau rencana pelaksanaan Penggabungan usaha.
-101-
(6) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memperoleh pernyataan tidak keberatan dari
Otoritas Jasa Keuangan.
(7) Dalam hal rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dinilai oleh Otoritas Jasa Keuangan tidak
cukup untuk mengatasi permasalahan, Lembaga
Penjamin wajib melakukan perbaikan atas rencana
pemenuhan tersebut.
(8) Otoritas Jasa Keuangan memberikan pernyataan tidak
keberatan atas rencana pemenuhan yang disampaikan
oleh Lembaga Penjamin dengan memperhatikan kondisi
permasalahan yang dihadapi oleh Lembaga Penjamin
paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak
tanggal diterimanya rencana pemenuhan secara lengkap.
(9) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (7), Otoritas Jasa Keuangan tidak memberikan
pernyataan tidak keberatan atau tanggapan, Lembaga
Penjamin dapat melaksanakan rencana pemenuhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(10) Lembaga Penjamin wajib melaksanakan rencana
pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB XVII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 102
(1) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu surat
pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100
ayat (3), Lembaga Penjamin tidak juga memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat
(1) dan/atau ayat (2), Lembaga Penjamin dikenai sanksi
administratif secara bertahap berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha dan/atau pembekuan
kegiatan usaha UUS; atau
c. pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan izin
UUS.
-102-
(2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan sanksi
tambahan berupa:
a. pembatasan kegiatan usaha tertentu;
b. penurunan hasil penilaian tingkat risiko;
c. pembatalan persetujuan; dan/atau
d. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan.
(3) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran
tersebut telah diselesaikan, tetap dikenakan sanksi
peringatan tertulis pertama yang berakhir dengan
sendirinya.
(4) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dapat diberikan paling banyak 3 (tiga)
kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing
paling lama 2 (dua) bulan.
(5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1)
dan/atau ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan mencabut
sanksi peringatan tertulis.
(6) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dan
Lembaga Penjamin tetap tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1)
dan/atau ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan mengenakan
sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau pembekuan
kegiatan usaha UUS.
(7) Sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau pembekuan
kegiatan usaha UUS diberikan secara tertulis dan
berlaku sejak ditetapkan untuk jangka waktu paling
lama 6 (enam) bulan.
(8) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan tertulis,
sanksi pembekuan kegiatan usaha, dan/atau
pembekuan kegiatan usaha UUS berakhir pada hari
libur, sanksi peringatan tertulis, sanksi pembekuan
-103-
kegiatan usaha, dan/atau pembekuan kegiatan usaha
UUS berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya.
(9) Lembaga Penjamin yang dikenakan sanksi pembekuan
kegiatan usaha dan/atau pembekuan kegiatan usaha
UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilarang
melakukan kegiatan usaha.
(10) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1)
dan/atau ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan mencabut
sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau pembekuan
kegiatan usaha UUS.
(11) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau
pembekuan kegiatan usaha UUS masih berlaku dan
Lembaga Penjamin tetap melakukan kegiatan usaha
Penjaminan, Otoritas Jasa Keuangan dapat langsung
mengenakan sanksi pencabutan izin usaha dan/atau
pencabutan izin UUS.
(12) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka
waktu pembekuan kegiatan usaha dan/atau
pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) Lembaga Penjamin tidak
juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 100 ayat (1) dan/atau ayat (2), Otoritas
Jasa Keuangan mencabut izin usaha dan/atau izin
UUS yang bersangkutan.
(13) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan sanksi
pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan
kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, dan/atau sanksi pencabutan izin usaha
dan/atau sanksi pencabutan izin UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada masyarakat.
Pasal 103
(1) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), ayat (2),
-104-
dan ayat (3), Pasal 7 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 11 ayat
(1), Pasal 15 ayat (2), Pasal 19 ayat (1), Pasal 38 ayat (1),
Pasal 40 ayat (4), ayat (7), dan ayat (9), Pasal 42 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 43 ayat (6), ayat (7), dan ayat (8), Pasal
44 ayat (1), Pasal 45, Pasal 46 ayat (1), Pasal 47 ayat (2)
dan ayat (3), Pasal 51 ayat (1), Pasal 52, Pasal 53 ayat
(1), Pasal 54, Pasal 55 ayat (2), Pasal 58 ayat (1), Pasal 60
ayat (3), Pasal 64 ayat (1), Pasal 65, Pasal 70 ayat (1),
Pasal 71, Pasal 73 ayat (3), Pasal 76 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3), Pasal 80 ayat (1), Pasal 81, Pasal 90 ayat (8),
Pasal 91, Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4), dan/atau Pasal
101 ayat (1), ayat (7), dan ayat (10) Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini dapat dikenai sanksi administratif
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha; atau
c. pencabutan izin usaha.
(2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan sanksi
tambahan berupa:
a. pembatasan kegiatan usaha tertentu;
b. penurunan hasil penilaian tingkat risiko;
c. pembatalan persetujuan tertentu; dan/atau
d. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan.
(3) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran
tersebut telah diselesaikan, tetap dikenakan sanksi
peringatan tertulis pertama yang berakhir dengan
sendirinya.
(4) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, dapat diberikan paling banyak 3 (tiga)
kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing
paling lama 2 (dua) bulan.
(5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan
-105-
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis.
(6) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dan
Lembaga Penjamin tetap tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan mengenakan sanksi pembekuan kegiatan
usaha.
(7) Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara
tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(8) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan tertulis
dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir
pada hari libur, sanksi peringatan tertulis dan/atau
sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku hingga hari
kerja pertama berikutnya.
(9) Selama masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Lembaga
Penjamin:
a. dilarang melakukan Penjaminan atau Penjaminan
Ulang baru; dan
b. tetap bertanggung jawab untuk menyelesaikan
segala kewajiban termasuk kewajiban Penjaminan
atau Penjaminan Ulang yang telah dilakukan
sebagaimana tercantum dalam Sertifikat Penjaminan
dan/atau perjanjian kerja sama.
(10) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (7), Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(11) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih
berlaku dan Lembaga Penjamin tetap melakukan
kegiatan usaha Penjaminan, Otoritas Jasa Keuangan
dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin
usaha.
-106-
(12) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (7), Lembaga Penjamin tidak juga memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas
Jasa Keuangan mencabut izin usaha Lembaga Penjamin
yang bersangkutan.
(13) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan sanksi
pembatasan kegiatan usaha tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, pembekuan kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
dan/atau sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada masyarakat.
Pasal 104
(1) Perusahaan Penjaminan yang mempunyai UUS dan tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (2), Pasal 18 ayat (1), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22
ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), dan/atau Pasal
32 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini dikenakan sanksi administratif secara bertahap
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha UUS; atau
c. pencabutan izin UUS.
(2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan sanksi
tambahan berupa:
a. pembatasan kegiatan usaha tertentu;
b. penurunan hasil penilaian tingkat risiko;
c. pembatalan persetujuan; dan/atau
d. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan.
(3) Perusahaan Penjaminan yang mempunyai UUS yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) namun pelanggaran tersebut telah
diselesaikan,
tetap dikenakan sanksi peringatan
tertulis pertama yang berakhir dengan sendirinya.
-107-
(4) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, diberikan secara tertulis paling
banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku
masing-masing paling lama 2 (dua) bulan.
(5) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) Perusahaan Penjaminan yang mempunyai UUS
telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut
sanksi peringatan tertulis.
(6) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir serta
Perusahaan Penjaminan yang mempunyai UUS tetap
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mengenakan sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS.
(7) Sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) diberikan secara tertulis dan
berlaku sejak ditetapkan untuk jangka waktu paling
lama 6 (enam) bulan.
(8) Selama masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan usaha
UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Perusahaan
Penjaminan yang mempunyai UUS:
a. dilarang melakukan Penjaminan Syariah; dan
b. tetap bertanggung jawab untuk menyelesaikan
segala kewajiban termasuk kewajiban Penjaminan
Syariah yang telah dilakukan sebagaimana
tercantum dalam Sertifikat Kafalah dan/atau
perjanjian kerja sama.
(9) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan tertulis
dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS
berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan/atau
sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS berlaku hingga
hari kerja pertama berikutnya.
(10) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud
pada ayat (7), Perusahaan Penjaminan yang mempunyai
-108-
UUS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS dimaksud.
(11) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS
masih berlaku dan Perusahaan Penjaminan yang
mempunyai UUS tetap melakukan kegiatan usaha
Penjaminan Syariah, Otoritas Jasa Keuangan dapat
langsung mengenakan sanksi pencabutan izin UUS.
(12) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) Perusahaan Penjaminan tidak juga
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin UUS
dimaksud.
(13) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dan/atau sanksi pencabutan izin
UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
kepada masyarakat.
Pasal 105
Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 15
ayat (1) dan Pasal 21 ayat (1) dikenakan sanksi berupa
pencabutan izin usaha atau izin UUS.
BAB XVIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 106
(1) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan
sistem pelayanan secara elektronik
(e-licensing),
permohonan perizinan, persetujuan, atau pelaporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), Pasal 15
ayat (3), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (3), Pasal 23 ayat
(2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 28 ayat (2), Pasal 31 ayat (1),
Pasal 38 ayat (2), Pasal 40 ayat (5), Pasal 43 ayat (1), ayat
(2), ayat (3), ayat (5), ayat (9), dan ayat (10), Pasal 44 ayat
-109-
(2) dan ayat (3), Pasal 45 ayat (2), Pasal 46 ayat (3), Pasal
48 ayat (2), Pasal 51 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 52, Pasal
53 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 54, Pasal 55 ayat (2), Pasal
58 ayat (2), Pasal 61 ayat (2), Pasal 64 ayat (2) dan ayat (4),
Pasal 65, Pasal 67 ayat (2), Pasal 70 ayat (2), Pasal 71,
Pasal 73 ayat (4), Pasal 76 ayat (4), Pasal 77 ayat (3), Pasal
80 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 81, Pasal 85 ayat (3), Pasal
86 ayat (3), Pasal 87 ayat (3), Pasal 89 ayat (3), Pasal 91,
Pasal 94 ayat (4), Pasal 96 ayat (2), Pasal 97 ayat (3) dan
ayat (5), dan Pasal 98 ayat (5) harus disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan secara online melalui
sistem jaringan komunikasi data Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan secara
elektronik (e-licensing) sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) akan diatur lebih lanjut dalam surat edaran Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 107
(1) Lembaga Sertifikasi Profesi harus tercatat di Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Untuk dapat tercatat di Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga
Sertifikasi Profesi sebagaimana dimaksud dimaksud pada
ayat (1) harus menyampaikan permohonan kepada
Otoritas Jasa Keuangan dengan dilampiri dengan:
a. bukti sertifikasi Lembaga Sertifikasi Profesi dari
instansi lain yang ditunjuk berdasarkan peraturan
perundang-undangan; dan
b. fotokopi akta.
BAB XIX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 108
(1) Lembaga Penjamin yang telah mendapatkan izin usaha
sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Penjaminan wajib menyesuaikan dengan
ketentuan kepemilikan asing pada lembaga penjamin
-110-
yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) paling
lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2016 tentang Penjaminan diundangkan.
(2) Badan hukum asing yang telah menjadi pemegang saham
Lembaga Penjamin pada saat Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini diundangkan dikecualikan dari ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
Pasal 109
(1) Izin usaha Lembaga Penjamin yang telah diterbitkan
sebelum ditetapkannya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini, dinyatakan tetap berlaku.
(2) Dalam hal terdapat permohonan izin usaha yang belum
mendapatkan persetujuan pada saat Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini mulai berlaku, terhadap permohonan
dimaksud berlaku ketentuan dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini.
(3) Dalam hal Lembaga Sertifikasi Profesi belum terbentuk,
persyaratan mengenai bukti mempekerjakan tenaga ahli
Penjaminan atau Penjaminan Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf e dipenuhi
dengan keterangan mengenai pegawai yang memiliki
pengalaman di bidang penjaminan atau analisis kredit
paling singkat 2 (dua) tahun.
Pasal 110
(1) Lembaga Penjamin yang telah mendapatkan izin usaha
pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan wajib memenuhi ketentuan mengenai
sertifikasi bagi Direksi dan Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) paling
lama 3 (tiga) tahun setelah Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini diundangkan.
(2) Lembaga Penjamin yang telah mendapatkan izin usaha
pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan wajib memenuhi ketentuan untuk memiliki
-111-
tenaga ahli Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (1) paling lama 3 (tiga) tahun setelah
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan.
Pasal 111
(1) Setiap sanksi administratif yang telah dikenakan
terhadap Lembaga Penjamin berdasarkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5/POJK.05/2014 tentang
Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan
Penjaminan, dinyatakan tetap sah dan berlaku.
(2) Lembaga Penjamin yang belum dapat mengatasi
penyebab dikenakannya sanksi
administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi
lanjutan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
BAB XX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 112
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
ketentuan mengenai perizinan usaha dan kelembagaan
Lembaga Penjamin tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Pasal 113
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
5/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan
Perusahaan Penjaminan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 72, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5527) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 114
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
-112-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Januari 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Januari 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 6
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 1/POJK.05/2017 </reg_id>
<reg_title> PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMIN </reg_title>
<set_date> 11 Januari 2017 </set_date>
<effective_date> 11 Januari 2017 </effective_date>
<issued_date> 11 Januari 2017 </issued_date>
<replaced_reg> '5/POJK.05/2014' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '1/UU/2016' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XVII' </penalty_list>
|
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 27 /POJK.04/2017
TENTANG
PEDOMAN KONTRAK PENYIMPANAN KEKAYAAN REKSA DANA
BERBENTUK PERSEROAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai
pedoman kontrak penyimpanan kekayaan reksa dana
berbentuk perseroan beralih dari Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan;
b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai pengaturan terhadap pedoman kontrak
penyimpanan kekayaan reksa dana berbentuk perseroan,
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor
pasar modal mengenai pedoman kontrak penyimpanan
kekayaan reksa dana berbentuk perseroan yang
diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa
Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan;
- 2 -
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman
Kontrak Penyimpanan Kekayaan Reksa Dana Berbentuk
Perseroan;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEDOMAN KONTRAK PENYIMPANAN KEKAYAAN REKSA
DANA BERBENTUK PERSEROAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Reksa Dana Berbentuk Perseroan adalah Emiten yang
kegiatan usahanya menghimpun dana dengan menjual
saham dan selanjutnya dana dari penjualan saham
tersebut diinvestasikan pada berbagai jenis Efek yang
diperdagangkan di pasar modal dan pasar uang.
2. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan
utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda
bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif,
kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari
Efek.
- 3 -
3. Manajer Investasi adalah pihak yang kegiatan usahanya
mengelola portofolio Efek untuk para nasabah atau
mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok
nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun,
dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
4. Bank Kustodian adalah bank umum yang telah
memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk
melakukan kegiatan usaha sebagai kustodian.
BAB II
PEDOMAN KONTRAK PENYIMPANAN KEKAYAAN
REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN
Pasal 2
Pedoman kontrak penyimpanan kekayaan Reksa Dana
Berbentuk Perseroan dengan Bank Kustodian paling sedikit
memuat:
a. nama dan alamat Bank Kustodian;
b.
tata cara penjualan atau pembelian kembali (pelunasan)
saham, bagi Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang
bersifat terbuka;
c. pemisahan rekening Efek atas nama Reksa Dana
Berbentuk Perseroan;
d. kewajiban mengadministrasikan Efek dan dana dari
Reksa Dana Berbentuk Perseroan, memberikan jasa
penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek
serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, hak
lain, dan menyelesaikan transaksi Efek;
e. kewajiban membuat dan menyampaikan laporan kepada
Manajer Investasi, Reksa Dana Berbentuk Perseroan, dan
Otoritas Jasa Keuangan;
f. memperbolehkan akuntan memeriksa laporan keuangan
dan prosedur operasional Reksa Dana Berbentuk
Perseroan;
- 4 -
g. kewajiban untuk melaksanakan pencatatan, balik nama
dalam pemilikan Efek, pembagian hak yang berkaitan
dengan saham Reksa Dana Berbentuk Perseroan;
h. kewajiban memberikan ganti rugi kepada Reksa Dana
Berbentuk Perseroan setiap kerugian atau kesalahan
yang berkaitan dengan Efek dan dana dalam rekening
Reksa Dana Berbentuk Perseroan;
i. biaya bagi Bank Kustodian berkaitan dengan jasa yang
diberikan dan biaya yang dibebankan kepada Reksa
Dana Berbentuk Perseroan;
j. kewajiban mengasuransikan kekayaan Reksa Dana
Berbentuk Perseroan, jika para pihak memandang perlu;
k.
larangan penghentian kegiatan Bank Kustodian sebelum
dialihkan kepada Bank Kustodian pengganti; dan
l. kewajiban menentukan nilai aktiva bersih Reksa Dana
Berbentuk Perseroan, apabila Bank Kustodian
ditugaskan untuk melakukan perhitungan nilai aktiva
bersih.
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 3
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan/atau
g. pembatalan pendaftaran.
- 5 -
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau
huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 4
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 5
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 kepada masyarakat.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 6
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor Kep-21/PM/1996 tentang Pedoman Kontrak
Penyimpanan Kekayaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan,
beserta
Peraturan Nomor IV.A.5 yang merupakan
lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 7
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 6 -
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 127
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 27 /POJK.04/2017
TENTANG
PEDOMAN KONTRAK PENYIMPANAN KEKAYAAN REKSA DANA
BERBENTUK PERSEROAN
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan
lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar
modal yang mengatur mengenai pedoman kontrak penyimpanan kekayaan
Reksa Dana Berbentuk Perseroan yaitu Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-21/PM/1996 tentang Pedoman
Kontrak Penyimpanan Kekayaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan,
beserta Peraturan Nomor IV.A.5 yang merupakan lampirannya, menjadi
-2-
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Kontrak
Penyimpanan Kekayaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6074
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 27/POJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN KONTRAK PENYIMPANAN KEKAYAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN </reg_title>
<set_date> 21 Juni 2017 </set_date>
<effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date>
<issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-21/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-21/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor IV.A.5' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 2 /POJK.05/20172017
TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA PENJAMIN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (2),
Pasal 26 ayat (4), Pasal 28 ayat (3), Pasal 38 ayat (4), Pasal
39 ayat (2), Pasal 40 ayat (2), Pasal 41 ayat (2), Pasal 43
ayat (6), Pasal 48, Pasal 49 ayat (2), Pasal 50 ayat (3), dan
Pasal 52 ayat (6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016
tentang Penjaminan, perlu menetapkan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga
Penjamin;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran
Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5835);
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA PENJAMIN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh
Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial
Terjamin kepada Penerima Jaminan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Penjaminan.
2. Penjaminan Syariah adalah kegiatan pemberian
jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban
finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan
berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
3. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam
kegiatan penjaminan berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Penjaminan.
4. Penjaminan Ulang adalah kegiatan pemberian jaminan
atas pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan
Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
5. Penjaminan Ulang Syariah adalah kegiatan pemberian
jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial
Perusahaan Penjaminan Syariah dan UUS sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Penjaminan.
- 3 -
6. Lembaga Penjamin adalah Perusahaan Penjaminan,
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang, dan Perusahaan Penjaminan Ulang
Syariah yang menjalankan kegiatan penjaminan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
7. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang
bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha
utama melakukan Penjaminan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
8. Perusahaan Penjaminan Syariah adalah badan hukum
yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan
usaha utama melakukan Penjaminan Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
9. Perusahaan Penjaminan Ulang adalah badan hukum
yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan
usaha melakukan Penjaminan Ulang sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Penjaminan.
10. Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah adalah badan
hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan
kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
11. Penjamin adalah pihak yang melakukan penjaminan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
12. Penerima Jaminan adalah lembaga keuangan atau di
luar lembaga keuangan yang telah memberikan Kredit,
Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah
atau kontrak jasa kepada Terjamin sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Penjaminan.
13. Terjamin adalah pihak yang telah memperoleh Kredit,
Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip
- 4 -
Syariah, atau kontrak jasa dari lembaga keuangan
atau di luar lembaga keuangan yang dijamin oleh
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
14. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam,
yang dibuat oleh bank atau koperasi dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
15. Pembiayaan adalah penyediaan fasilitas finansial atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan, yang
dibuat oleh lembaga pembiayaan dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Penjaminan.
16. Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah adalah
pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang yang mengatur mengenai perbankan syariah.
17. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS
adalah unit kerja dari Perusahaan Penjaminan yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit
yang melaksanakan kegiatan usaha Penjaminan
berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
18. Usaha Produktif adalah kegiatan untuk menghasilkan
barang dan/atau jasa yang memberikan nilai tambah
dan meningkatkan pendapatan bagi Terjamin.
- 5 -
19. Gearing Ratio adalah perbandingan antara total nilai
penjaminan yang ditanggung sendiri dengan ekuitas
Lembaga Penjamin pada waktu tertentu.
20. Lembaga Keuangan adalah bank dan lembaga
keuangan bukan bank.
21. Kantor Cabang adalah kantor Lembaga Penjamin yang
secara langsung bertanggung jawab kepada kantor
pusat dan/atau kantor lain yang ditunjuk oleh kantor
pusat.
22. Sertifikat Penjaminan adalah bukti persetujuan
Penjaminan dari Perusahaan Penjaminan kepada
Penerima Jaminan atas kewajiban finansial Terjamin
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
23. Sertifikat
Kafalah
adalah
bukti
persetujuan
Penjaminan Syariah dari Perusahaan Penjaminan
Syariah dan UUS kepada Penerima Jaminan atas
kewajiban finansial Terjamin sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
24. Imbal Jasa Penjaminan yang selanjutnya disingkat IJP
adalah sejumlah uang yang diterima oleh Perusahaan
Penjaminan dari Terjamin dalam rangka kegiatan
Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
25. Imbal Jasa Kafalah yang selanjutnya disingkat IJK
adalah sejumlah uang yang diterima oleh Perusahaan
Penjaminan Syariah dan UUS dari Terjamin dalam
rangka kegiatan Penjaminan Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Penjaminan.
26. Imbal Jasa Penjaminan Ulang yang selanjutnya
disingkat IJPU adalah sejumlah uang yang diterima
oleh Perusahaan Penjaminan Ulang dari Perusahaan
Penjaminan dalam rangka kegiatan Penjaminan Ulang
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
- 6 -
27. Imbal Jasa Kafalah Ulang yang selanjutnya disingkat
IJKU adalah sejumlah uang yang diterima oleh
Perusahaan Penjaminan Ulang
Syariah
kegiatan
Penjaminan
Ulang
Syariah
dari
Perusahaan Penjaminan Syariah dan UUS dalam
rangka
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
28. Klaim adalah tuntutan pembayaran oleh Penerima
Jaminan kepada Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah diakibatkan Terjamin
tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai dengan
perjanjian atau tuntutan pembayaran Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah
kepada Perusahaan Penjaminan Ulang
atau
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, yang telah
membayar kewajiban finansial Terjamin kepada
Penerima Jaminan.
29. Ekuitas adalah ekuitas berdasarkan standar
akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia.
30. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas bagi Lembaga Penjamin yang
berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang
setara dengan Direksi bagi Lembaga Penjamin yang
berbentuk badan hukum perusahaan umum atau
koperasi.
31. Dewan Komisaris
adalah
dewan
komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi
Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas atau yang setara dengan Dewan
Komisaris bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk
badan hukum perusahaan umum atau koperasi.
- 7 -
BAB II
KEGIATAN USAHA
Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Usaha Perusahaan Penjaminan dan
Perusahaan Penjaminan Syariah
Pasal 2
(1) Usaha Penjaminan meliputi:
a. penjaminan
Kredit,
Pembiayaan,
atau
Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah yang
diberikan oleh Lembaga Keuangan;
b. penjaminan pinjaman yang disalurkan oleh
koperasi simpan pinjam atau koperasi yang
mempunyai unit usaha simpan pinjam kepada
anggotanya; dan
c. penjaminan Kredit dan/atau pinjaman program
kemitraan yang disalurkan oleh badan usaha
milik negara dalam rangka program kemitraan
dan bina lingkungan.
(2) Selain usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Perusahaan Penjaminan dapat melakukan:
a. penjaminan atas surat utang;
b. penjaminan pembelian barang secara angsuran;
c. penjaminan transaksi dagang;
d. penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa
(surety bond);
e. penjaminan bank garansi (kontra bank garansi);
f. penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri;
g. penjaminan letter of credit;
h. penjaminan kepabeanan (customs bond);
i. penjaminan cukai;
j.
pemberian jasa konsultasi manajemen terkait
dengan kegiatan usaha Penjaminan; dan
k. kegiatan usaha lainnya setelah mendapat
persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
- 8 -
(3) Usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) yang dilakukan oleh Perusahaan
Penjaminan Syariah harus berdasarkan Prinsip
Syariah.
(4) Dalam melakukan usaha Penjaminan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3),
Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan
Syariah harus memprioritaskan penjaminan untuk
mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah serta
koperasi.
(5) Untuk mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah
serta koperasi, dan/atau program pemerintah,
pemerintah dapat menunjuk atau menugaskan
Lembaga Penjamin milik pemerintah.
Pasal 3
(1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah yang akan melakukan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a
sampai dengan huruf j, wajib melaporkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format 1 dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan melampirkan dokumen yang berisi uraian
paling sedikit mengenai produk, manfaat, mekanisme
Klaim, serta hak dan kewajiban para pihak.
(2) Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan
surat
pencatatan pelaporan kegiatan usaha paling lama 20
(dua puluh) hari kerja setelah laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterima secara lengkap.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan tidak
menerbitkan surat pencatatan pelaporan kegiatan
usaha, Lembaga Penjamin dapat melaksanakan
kegiatan usaha tersebut.
- 9 -
Bagian Kedua
Kegiatan Usaha Lainnya bagi Perusahaan Penjaminan
dan Perusahaan Penjaminan Syariah
Pasal 4
(1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah yang akan melakukan kegiatan usaha lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf k,
wajib memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah yang akan melakukan kegiatan usaha lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. memenuhi ketentuan tingkat kesehatan; dan
b. tidak sedang dikenakan sanksi oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
(3) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah harus mengajukan
permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai
dengan format 2 dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini dengan melampirkan dokumen yang
berisi uraian paling sedikit mengenai:
a. kegiatan usaha yang akan dilaksanakan;
b. analisis prospek usaha; dan
c. contoh perjanjian kegiatan usaha yang akan
digunakan untuk operasional.
(4) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan,
permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan
atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara
lengkap.
- 10 -
(5) Dalam rangka memberikan persetujuan atau
penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Otoritas Jasa Keuangan melakukan:
a.
penelitian atas kelengkapan dan kebenaran
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
dan
b. kelayakan analisis prospek usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b.
(6) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah harus menyampaikan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 20
(dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan
kelengkapan dokumen dari Otoritas Jasa Keuangan.
(7) Dalam hal Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah telah menyampaikan kelengkapan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau
penolakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4).
(8) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Otoritas Jasa
Keuangan belum menerima tanggapan atas
permintaan kelengkapan dokumen dimaksud,
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah dianggap membatalkan permohonan.
(9) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan
disertai alasannya.
(10) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) disetujui,
menerbitkan surat persetujuan.
(11) Dalam hal kegiatan usaha lainnya yang dilakukan oleh
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah berupa pemasaran produk jasa keuangan,
proses permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
Otoritas Jasa Keuangan
- 11 -
(3) dapat dilaksanakan bersamaan dengan
permohonan
pemasaran produk jasa keuangan dimaksud.
BAB III
PENYELENGGARAAN PENJAMINAN
Bagian Kesatu
Mekanisme Penjaminan dan Penjaminan Syariah
Pasal 5
(1) Kegiatan Penjaminan dan Penjaminan Syariah
melibatkan 3 (tiga) pihak, yaitu Penerima Jaminan,
Terjamin, dan Penjamin.
(2) Penjamin memiliki hak tagih atas pemenuhan
kewajiban finansial Terjamin apabila Penjamin telah
menunaikan kewajibannya untuk memenuhi hak
finansial Penerima Jaminan jika Terjamin gagal
memenuhi kewajibannya.
(3) Kegiatan Penjaminan dan Penjaminan Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dituangkan dalam Sertifikat Penjaminan atau
Sertifikat Kafalah.
Bagian Kedua
Sertifikat Penjaminan dan Sertifikat Kafalah
Pasal 6
(1) Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) harus
memuat paling sedikit ketentuan mengenai:
a. nama dan alamat Lembaga Penjamin, Penerima
Jaminan, dan Terjamin;
b. uraian manfaat Penjaminan;
c. jenis Penjaminan;
d. nilai Penjaminan;
e.
nilai IJP atau IJK; dan
f. jangka waktu penjaminan.
perizinan/persetujuan/pendaftaran
- 12 -
(2) Selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Sertifikat Kafalah harus
memuat hal-hal sebagai berikut:
a. objek yang dijamin dapat seluruh atau sebagian
dari:
1. kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari
transaksi syariah; dan
2. hal lain yang dapat dijamin berdasarkan
Prinsip Syariah; dan
b. pernyataan ijab dan qabul yang harus dinyatakan
oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak
mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
(3) Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai
dengan lampiran yang berisi dokumen pendukung dan
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari
Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah.
(4) Setiap Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah
yang diterbitkan dan dipasarkan di wilayah hukum
Indonesia harus dibuat dalam bahasa Indonesia.
(5) Dalam hal diperlukan, Sertifikat Penjaminan atau
Sertifikat Kafalah dapat diterbitkan dalam bahasa
asing atau bahasa daerah berdampingan dengan
bahasa Indonesia.
Pasal 7
(1) Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah dapat
diterbitkan dalam bentuk
hardcopy
digital/elektronik.
(2) Dalam hal Lembaga Penjamin akan melaksanakan
kegiatan usaha dengan menerbitkan Sertifikat
Penjaminan atau Sertifikat Kafalah dalam bentuk
digital atau elektronik, Lembaga Penjamin wajib
melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan
melampirkan dokumen sebagai berikut:
a. contoh format Sertifikat Penjaminan atau
Sertifikat Kafalah;
atau
- 13 -
b. prosedur operasional standar (standard operating
procedure) penerbitan Sertifikat Penjaminan atau
Sertifikat Kafalah; dan
c.
verifikasi dan pembuktian keaslian
(authentification) tanda tangan digital.
Bagian Ketiga
Penjaminan Langsung dan Penjaminan Tidak Langsung
Pasal 8
(1) Penjaminan dan Penjaminan Syariah dilakukan
dengan cara:
a. penjaminan langsung; atau
b. penjaminan tidak langsung.
(2) Penjaminan langsung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a harus memenuhi persyaratan paling
sedikit sebagai berikut:
a. terdapat permohonan Penjaminan atau
Penjaminan Syariah dari calon Terjamin kepada
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah;
b. terdapat konfirmasi kepada Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah
dari calon Penerima Jaminan atas permintaan
Penjaminan atau Penjaminan Syariah;
c.
telah dilakukan analisis kelayakan calon Terjamin
yang dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan
atau Perusahaan Penjaminan Syariah;
d. telah dilakukan pembayaran IJP atau IJK kepada
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah; dan
e.
telah diterbitkan Sertifikat Penjaminan atau
Sertifikat Kafalah.
(3) Penjaminan tidak langsung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan
paling sedikit sebagai berikut:
- 14 -
a. terdapat permohonan Penjaminan
atau
Penjaminan Syariah dari calon Terjamin melalui
calon Penerima Jaminan;
b. telah dilakukan analisis kelayakan calon Terjamin
yang dilakukan oleh calon Penerima Jaminan;
c. terdapat perjanjian kerja sama antara calon
Penerima Jaminan dan Perusahaan Penjaminan
atau Perusahaan Penjaminan Syariah;
d. telah dilakukan pembayaran IJP atau IJK kepada
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah; dan
e. telah diterbitkan Sertifikat Penjaminan atau
Sertifikat Kafalah.
(4) Dalam pelaksanaan pemberian penjaminan tidak
langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, Lembaga Penjamin tetap dapat melakukan analisis
kelayakan calon Terjamin.
(5) Ketentuan mengenai konfirmasi permintaan
Penjaminan atau Penjaminan Syariah dari calon
Penerima Jaminan kepada Perusahaan Penjaminan
atau Perusahaan Penjaminan Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b, dikecualikan bagi
kegiatan usaha:
a. penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa
(surety bond) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (2) huruf d;
b. penjaminan kepabeanan
(customs bond)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
huruf h; dan
c. penjaminan cukai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf i.
Pasal 9
(1) Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (3) huruf c harus memuat paling sedikit:
- 15 -
a. nama dan alamat Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah, dan Penerima
Jaminan;
b. uraian manfaat Penjaminan atau Penjaminan
Syariah;
c. hak dan kewajiban Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah, Penerima
Jaminan, dan Terjamin;
d. cara pembayaran IJP atau IJK;
e. waktu yang diakui sebagai saat diterimanya
pembayaran IJP atau IJK;
f. pembatalan kontrak perjanjian kerja sama, baik
dari pihak Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah maupun
Penerima Jaminan, termasuk syarat dan
penyebabnya;
g.
syarat, dasar perhitungan Klaim, dan tata cara
pengajuan Klaim, termasuk bukti pendukung
yang diperlukan dalam pengajuan Klaim;
h. tata cara pelaksanaan peralihan hak tagih setelah
Klaim dibayar oleh Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah;
i.
pemilihan tempat penyelesaian perselisihan; dan
j. bahasa yang dijadikan acuan dalam hal terjadi
sengketa atau beda pendapat untuk Sertifikat
Penjaminan atau Sertifikat Kafalah yang dicetak
dalam 2 (dua) bahasa atau lebih.
(2) Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (3) huruf c dilarang memuat suatu
ketentuan yang dapat ditafsirkan:
a. bahwa Penerima Jaminan atau Terjamin tidak
dapat melakukan upaya hukum sehingga
Penerima Jaminan atau Terjamin harus
menerima penolakan pembayaran Klaim;
dan/atau
- 16 -
b. sebagai pembatasan upaya hukum bagi para
pihak dalam hal terjadi perselisihan mengenai
ketentuan perjanjian kerja sama.
Pasal 10
(1) Penjaminan, Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang,
dan Penjaminan Ulang Syariah bersifat mengikat dan
tidak dapat dibatalkan secara sepihak.
(2) Penjaminan dan Penjaminan Syariah dapat dibatalkan
dan dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), apabila:
a. Penerima Jaminan dan/atau Terjamin terbukti
memberikan informasi, data, atau dokumen palsu;
b. Penerima Jaminan dan/atau Terjamin terbukti
menyembunyikan informasi, data atau dokumen
yang tidak sesuai dengan ketentuan Penjaminan
atau Penjaminan Syariah; dan/atau
c.
terbukti adanya itikad buruk dari Penerima
Jaminan dan/atau Terjamin.
(3) Penjaminan Ulang dan Penjaminan Ulang Syariah
dapat dibatalkan dalam hal terjadi pembatalan
Penjaminan
atau Penjaminan Syariah
disebabkan terpenuhinya ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Bagian Keempat
Penjaminan Bersama
Pasal 11
(1) Penjaminan dan Penjaminan Syariah dapat dilakukan
dalam bentuk penjaminan bersama.
(2) Penjaminan bersama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan bentuk kegiatan Penjaminan atau
Penjaminan Syariah yang dilakukan oleh 2 (dua) atau
lebih Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah untuk melakukan kegiatan
Penjaminan atau Penjaminan Syariah atas kewajiban
finansial Terjamin.
yang
- 17 -
(3) Dalam hal kegiatan penjaminan bersama dilaksanakan
berdasarkan Prinsip Syariah, ketua (leader) dan
anggota (member) merupakan Perusahaan Penjaminan
Syariah atau UUS.
(4) Penjaminan bersama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah
mencantumkan nama Perusahaan Penjaminan
atau Perusahaan Penjaminan Syariah dan porsi
pertanggungan dari setiap anggota penjaminan
bersama dan status keanggotaannya;
b. penerbitan Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat
Kafalah dilakukan oleh ketua (leader); dan
c. ketua (leader) bertanggung jawab sepenuhnya
kepada Penerima Jaminan dan Terjamin atas
penjaminan bersama.
(5) Mekanisme penjaminan bersama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dituangkan dalam
perjanjian antara para pihak sebagai Penjamin, yang
paling sedikit memuat:
a.
identitas para pihak sebagai Penjamin, dimana
ada yang bertindak sebagai ketua (leader) dan
anggota (member);
b. ketua (leader) menanggung porsi penjaminan
terbesar;
c. ketua (leader) bertanggung jawab atas
pelaksanaan kegiatan penjaminan bersama;
d. proporsi pendapatan IJP atau IJK antara pihak
selaku Penjamin;
e. cara pembayaran IJP atau IJK oleh Terjamin;
f.
prosedur penerimaan dan penerusan IJP atau IJK
antara pihak selaku Penjamin;
g. proses pembayaran Klaim dilakukan oleh ketua
(leader) atau atas persetujuan ketua (leader)
dapat dilakukan oleh anggota (member) lain;
- 18 -
h. proporsi Klaim yang harus dibayarkan kepada
Penerima Jaminan antara pihak selaku Penjamin
dalam hal terjadi Klaim;
i.
tanggung jawab dan kewajiban masing-masing
pihak dalam proses persetujuan Penjaminan atau
Penjaminan Syariah; dan
j.
tanggung jawab dan kewajiban masing-masing
pihak dalam proses verifikasi atas pengajuan
Klaim dari Penerima Jaminan.
(6) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah yang akan melakukan kegiatan penjaminan
bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai
dengan format 3 dalam Lampiran yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini dengan melampirkan dokumen:
a. uraian mengenai kegiatan penjaminan bersama
yang akan dilaksanakan;
b. uraian mengenai calon Penerima Jaminan, ketua
(leader), dan anggota (member) serta porsi
pertanggungan dari setiap anggota penjaminan
bersama;
c. analisis prospek usaha; dan
d. rancangan perjanjian kerja sama.
(7) Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan surat pencatatan
pelaporan kegiatan penjaminan bersama paling lama
20 (dua puluh) hari kerja setelah laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) diterima secara lengkap.
(8) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (7), Otoritas Jasa Keuangan tidak
menerbitkan surat pencatatan pelaporan kegiatan
penjaminan bersama, Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah dapat melaksanakan
kegiatan penjaminan bersama tersebut.
- 19 -
Pasal 12
(1) Lembaga Penjamin dapat melakukan kerja sama
pemasaran dengan Lembaga Keuangan.
(2) Kerja sama pemasaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilaksanakan sesuai dengan ruang
lingkup kegiatan usaha Lembaga Penjamin dan
Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(3) Lembaga Penjamin yang akan melakukan kegiatan
kerja sama pemasaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa
Keuangan sesuai dengan format 4 dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
melampirkan dokumen:
a. uraian mengenai mekanisme kerja sama
pemasaran yang akan dilaksanakan;
b. uraian mengenai calon Penerima Jaminan,
Lembaga Penjamin, dan Lembaga Keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta ruang
lingkup tanggung jawab masing-masing pihak;
c. analisis prospek usaha; dan
d. rancangan perjanjian kerja sama pemasaran.
(4) Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan surat pencatatan
pelaporan kegiatan kerja sama pemasaran paling lama
20 (dua puluh) hari kerja setelah laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima secara
lengkap.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), Otoritas Jasa Keuangan tidak
menerbitkan surat pencatatan pelaporan kegiatan
kerja sama pemasaran, Lembaga Penjamin dapat
melaksanakan kegiatan kerja sama pemasaran
tersebut.
- 20 -
Bagian Kelima
Akad Penjaminan Syariah
Pasal 13
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan
Ulang Syariah, dan UUS wajib menerapkan prinsip dasar
sebagai berikut:
a. dipenuhinya prinsip keadilan ('adl), dapat dipercaya
(amanah), keseimbangan (tawazun), kemaslahatan
(maslahah), dan keuniversalan (syumul); dan
b. tidak mengandung hal-hal yang diharamkan, seperti
riba, maisir, gharar, zalim, risywah, maksiat, dan objek
haram.
Pasal 14
Perjanjian Penjaminan Syariah dan perjanjian Penjaminan
Ulang Syariah wajib menggunakan akad kafalah bil ujrah.
Pasal 15
Perusahaan Penjaminan dapat menyelenggarakan sebagian
kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dengan
membentuk UUS.
Bagian Keenam
Penjaminan Ulang dan Penjaminan Ulang Syariah
Pasal 16
(1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan
Syariah wajib melakukan mitigasi risiko dengan
menjaminulangkan penjaminannya.
(2) Penjaminan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan untuk memenuhi kewajiban finansial
Perusahaan
Penjaminan
atau
Perusahaan
Penjaminan Syariah dalam hal:
a. Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan
Syariah
telah
kewajibannya kepada Penerima Jaminan; atau
memenuhi
- 21 -
b. Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah tidak dapat memenuhi
kewajibannya.
(3) Penjaminan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan Ulang
atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah.
(4) Dalam hal dukungan penjaminan ulang dari
Perusahaan Penjaminan ulang atau Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) tidak diperoleh, mitigasi risiko
Perusahaan Penjamin dan Perusahaan Penjamin
Syariah diperoleh dari perusahaan reasuransi.
BAB IV
IMBAL JASA
Pasal 17
(1) Dalam
melaksanakan
kegiatan
Perusahaan Penjaminan menerima IJP.
(2) Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Perusahaan
Penjaminan Syariah dan UUS menerima IJK.
kegiatan
(3) Dalam
melaksanakan
Perusahaan Penjaminan Ulang menerima IJPU.
(4) Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah menerima IJKU.
Pasal 18
(1) Besarnya tarif IJP, IJK, IJPU, dan IJKU ditetapkan
dengan pertimbangan paling sedikit:
a.
usahanya,
usahanya,
risiko yang dijamin, yang paling sedikit dihitung
berdasarkan:
1. rasio Klaim;
2.
jenis Kredit atau Pembiayaan;
3. cakupan penjaminan; dan
4. jangka waktu penjaminan;
b. biaya administrasi umum, operasional, dan
pemasaran; dan
c. keuntungan.
- 22 -
(2) Ketentuan mengenai IJP atau IJK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bagi Penjaminan dan
Penjaminan Syariah yang merupakan program
pemerintah diatur dalam peraturan perundang-
undangan tersendiri.
Total
pendapatan
Pasal 19
yang
diperoleh
Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah
dari seluruh kegiatan usaha lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf k dilarang
melebihi total pendapatan yang diperoleh Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah dari
seluruh kegiatan usaha penjaminan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf a
sampai dengan huruf j.
Pasal 20
(1) Lembaga Penjamin hanya dapat memberikan biaya
akuisisi yang berhubungan dengan perolehan bisnis.
(2) Lembaga Penjamin dilarang memberikan biaya
akuisisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari nilai IJP,
IJK, IJPU, atau IJKU yang diterima.
BAB V
CADANGAN, KLAIM, PEMBAYARAN KLAIM, DAN
PERALIHAN HAK TAGIH
Bagian Kesatu
Cadangan
Pasal 21
Lembaga Penjamin wajib memiliki cadangan Klaim dan
cadangan umum.
- 23 -
Pasal 22
(1) Lembaga Penjamin wajib membentuk cadangan Klaim
paling sedikit:
a. 0,01% (nol koma nol satu per seratus) dari nilai
Penjaminan yang ditanggung sendiri; atau
b. penjumlahan dari 100% (seratus per seratus) dari
nilai Penjaminan yang ditanggung sendiri pada
saat Klaim dilaporkan, dengan Klaim yang sudah
terjadi tetapi belum dilaporkan (incurred but not
reported),
mana yang lebih banyak.
(2) Klaim yang sudah terjadi tetapi belum dilaporkan
(incurred but not reported) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, dihitung berdasarkan rata-rata
Klaim ditanggung sendiri yang telah dibayarkan pada
3 (tiga) bulan terakhir.
Pasal 23
(1) Lembaga Penjamin wajib menyisihkan cadangan
umum paling sedikit 25% (dua puluh lima per
seratus) dari laba bersih atau selisih hasil usaha
pada tiap akhir periode laporan tahunan.
(2) Dalam hal akumulasi cadangan umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) telah mencapai 50% (lima
puluh per seratus) dari modal disetor, kebijakan
untuk menyisihkan cadangan umum dapat
mengikuti kebijakan rapat umum pemegang saham
atau yang setara.
(3) Cadangan umum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya dapat dipergunakan untuk menutup
kerugian.
Bagian Kedua
Klaim
Pasal 24
(1) Pengajuan Klaim oleh Penerima Jaminan kepada
Perusahaan
Penjaminan
atau
Perusahaan
- 24 -
Penjaminan Syariah dapat dilakukan apabila
Terjamin gagal memenuhi kewajiban finansial.
(2) Pengajuan Klaim oleh Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah kepada Perusahaan
Penjaminan Ulang atau Perusahaan Penjaminan
Ulang Syariah dilakukan setelah Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah
membayar kewajiban finansial Terjamin kepada
Penerima Jaminan.
Bagian Ketiga
Pembayaran Klaim
Pasal 25
(1) Lembaga Penjamin dilarang melakukan tindakan
yang dapat memperlambat penyelesaian atau
pembayaran Klaim atau tidak melakukan tindakan
yang
seharusnya
dilakukan
mengakibatkan kelambatan
kelambatan pembayaran Klaim.
yang
penyelesaian
dapat
atau
(2) Lembaga Penjamin wajib memberikan persetujuan
atau penolakan atas permohonan pembayaran
Klaim paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak
diterimanya
secara
lengkap
permohonan
pembayaran Klaim atau sesuai jangka waktu yang
tercantum dalam Sertifikat Penjaminan, Sertifikat
Kafalah, atau perjanjian kerja sama, mana yang
lebih singkat.
(3) Lembaga Penjamin wajib membayar Klaim dalam
jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja
sejak adanya persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) atau sesuai jangka waktu yang
tercantum dalam Sertifikat Penjaminan, Sertifikat
Kafalah, atau perjanjian kerja sama, mana yang
lebih singkat.
- 25 -
(4) Dalam hal
permohonan pembayaran
Klaim
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memerlukan
kesepakatan dari Terjamin, permohonan dimaksud
harus dilengkapi dengan bukti kesepakatan dari
Terjamin.
(5) Ketentuan mengenai jangka waktu persetujuan atau
penolakan atas permohonan pembayaran Klaim
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan jangka
waktu pembayaran Klaim sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) bagi Lembaga Penjamin yang
merupakan program pemerintah
pemerintah
pusat
daerah diatur
perundang-undangan tersendiri.
Bagian Keempat
Peralihan Hak Tagih
Pasal 26
(1) Sejak Klaim dibayar oleh Perusahaan Penjaminan
atau Perusahaan Penjaminan Syariah, hak tagih
Penerima Jaminan kepada Terjamin beralih menjadi
hak tagih Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah.
(2) Perusahaan
Penjaminan
Penjaminan
Kredit,
atau
Perusahaan
Penjaminan Syariah dapat melepaskan hak tagih
atas
Pembiayaan,
atau
Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah untuk
tujuan selain Usaha Produktif.
(3) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah dapat membuat perjanjian dengan Penerima
Jaminan agar Penerima Jaminan melakukan upaya
penagihan atas hak tagih Perusahaan Penjaminan
atau Perusahaan Penjaminan Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk dan atas nama
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah.
atau
dalam peraturan
- 26 -
(4) Perusahaan
Penjaminan
atau
Perusahaan
Penjaminan Syariah memperoleh hasil penagihan
secara proporsional berdasarkan lingkup (coverage)
Penjaminan, dengan mempertimbangkan biaya
penagihan.
BAB VI
RETENSI SENDIRI
Pasal 27
(1) Perusahaan
Penjaminan
atau
Perusahaan
Penjaminan Syariah wajib memiliki retensi sendiri
untuk setiap penjaminan.
(2) Retensi sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib didasarkan pada profil risiko dan kerugian
(risk and loss profile) yang dibuat oleh Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah
secara tertib, teratur, relevan, dan akurat.
(3) Ketentuan retensi sendiri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri dari:
a. ketentuan retensi sendiri minimum; dan
b. ketentuan retensi sendiri maksimum.
(4) Ketentuan retensi sendiri minimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a adalah sebagai
berikut:
a. untuk nilai Penjaminan atau Penjaminan
Syariah
sampai
dengan
kurang
dari
Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah),
wajib ditahan sendiri paling sedikit 75% (tujuh
puluh lima per seratus) dari nilai Penjaminan
atau Penjaminan Syariah dimaksud;
b. untuk nilai Penjaminan atau Penjaminan
Syariah dari Rp25.000.000,00 (dua puluh
lima juta rupiah) sampai dengan kurang
dari Rp250.000.000,00
(dua
ratus
puluh juta rupiah), wajib ditahan sendiri
lima
- 27 -
paling sedikit sebesar jumlah paling banyak
antara:
1. Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah); atau
2. 15% (lima belas per seratus) dari nilai
Penjaminan atau Penjaminan Syariah
dimaksud;
c. untuk nilai Penjaminan atau Penjaminan
Syariah dari Rp250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah) sampai dengan kurang dari
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), wajib
ditahan sendiri paling sedikit sebesar jumlah
paling banyak antara:
1. Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
atau
2. 10% (sepuluh per seratus) dari nilai
Penjaminan atau Penjaminan Syariah
dimaksud;
d. untuk nilai Penjaminan atau Penjaminan
Syariah sama dengan atau lebih
dari
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), wajib
ditahan sendiri paling sedikit sebesar jumlah
paling banyak antara:
1. Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
atau
2. 5% (lima per seratus) dari nilai Penjaminan
atau Penjaminan Syariah dimaksud.
(5) Retensi sendiri maksimum sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf b untuk masing-masing
Terjamin dilarang melebihi 10% (sepuluh per
seratus) dari Ekuitas Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah.
(6) Dalam hal
nilai
retensi
sendiri minimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melebihi nilai
retensi sendiri maksimum sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), berlaku ketentuan retensi sendiri
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
- 28 -
BAB VII
KAPASITAS PENJAMINAN DAN NILAI PENJAMINAN
BAGI USAHA PRODUKTIF
Pasal 28
(1) Lembaga Penjamin wajib mengoptimalkan kapasitas
penjaminan.
(2) Kapasitas penjaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diukur dengan Gearing Ratio.
(3) Lembaga Penjamin wajib menjaga Gearing Ratio
untuk penjaminan bagi Usaha Produktif paling tinggi
20 (dua puluh) kali.
(4) Lembaga Penjamin wajib menjaga total Gearing Ratio
paling tinggi 40 (empat puluh) kali.
Pasal 29
(1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan
Syariah wajib memiliki nilai penjaminan bagi Usaha
Produktif paling sedikit 25% (dua puluh lima per
seratus) dari total nilai penjaminan.
(2) Nilai penjaminan bagi Usaha Produktif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi dalam
jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak
mendapatkan izin usaha.
BAB VIII
LARANGAN
Pasal 30
(1) Lembaga Penjamin dilarang:
a. memberikan pinjaman; atau
b. menerima pinjaman.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dikecualikan bagi Perusahaan Penjaminan
dan Perusahaan Penjaminan Syariah dalam rangka
melakukan restrukturisasi penjaminan bagi usaha
mikro, kecil, dan menengah, serta koperasi.
- 29 -
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dikecualikan bagi Perusahaan Penjaminan
dan Perusahaan Penjaminan Syariah yang menerima
pinjaman dengan menerbitkan obligasi
wajib
konversi (mandatory convertible bonds).
BAB IX
EKUITAS
Pasal 31
(1) Perusahaan
Penjaminan
atau
Perusahaan
Penjaminan Syariah lingkup kabupaten/kota wajib
memiliki Ekuitas paling sedikit Rp25.000.000.000,00
(dua puluh lima miliar rupiah) dalam jangka waktu
paling lama 5 (lima) tahun setelah memperoleh izin
usaha.
(2) Perusahaan
Penjaminan
atau
Perusahaan
(3) Perusahaan
Penjaminan Syariah lingkup provinsi wajib memiliki
Ekuitas paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah) dalam jangka waktu paling
lama 5 (lima) tahun setelah memperoleh izin usaha.
Penjaminan
atau
paling
Perusahaan
Penjaminan Syariah lingkup nasional wajib memiliki
Ekuitas
sedikit Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah) dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) tahun setelah memperoleh izin usaha.
(4) Perusahaan Penjaminan Ulang atau Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah wajib memiliki Ekuitas
paling sedikit Rp200.000.000.000,00 (dua ratus
miliar rupiah) dalam jangka waktu paling lama 3
(tiga) tahun setelah memperoleh izin usaha.
Pasal 32
(1) UUS Perusahaan Penjaminan dengan lingkup
kabupaten/kota wajib memiliki Ekuitas paling
sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun
setelah memperoleh izin usaha.
- 30 -
(2) UUS Perusahaan Penjaminan dengan lingkup
provinsi wajib memiliki Ekuitas paling sedikit
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun
setelah memperoleh izin usaha.
(3) UUS Perusahaan Penjaminan dengan lingkup
nasional wajib memiliki Ekuitas paling sedikit
Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah)
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun
setelah memperoleh izin usaha.
BAB X
INVESTASI LEMBAGA PENJAMIN
Bagian Kesatu
Jenis Investasi
Pasal 33
(1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan
Ulang wajib menempatkan investasi pada jenis
investasi sebagai berikut:
a. deposito pada bank;
b. surat berharga negara;
c. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia;
d. obligasi korporasi;
e. saham yang tercatat di bursa efek Indonesia;
f.
efek beragun aset;
g. reksa dana;
h. medium term notes;
i.
repurchase agreement;
j. dana investasi real estat berbentuk kontrak
investasi kolektif;
k. tanah dan bangunan; dan/atau
l.
penyertaan langsung pada perusahaan di sektor
jasa keuangan di Indonesia.
(2) Jenis investasi yang dapat ditempatkan Perusahaan
Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang
- 31 -
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk juga
jenis investasi yang menggunakan Prinsip Syariah.
Pasal 34
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan
Ulang Syariah, dan UUS wajib menempatkan investasi
pada jenis investasi sebagai berikut:
a. deposito pada bank umum syariah, unit usaha syariah
pada bank umum, dan bank pembiayaan rakyat
syariah;
b. surat berharga syariah negara;
c. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia;
d. sukuk korporasi;
e. saham yang tercatat di bursa efek Indonesia dan
masuk dalam daftar efek syariah yang ditetapkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan;
efek beragun aset syariah;
f.
g. reksa dana syariah;
h. medium term notes syariah;
i.
repurchase agreement syariah;
j. dana investasi real estat syariah berbentuk kontrak
investasi kolektif; dan/atau
k. penyertaan langsung pada perusahaan di sektor jasa
keuangan syariah di Indonesia.
Pasal 35
(1) Investasi dalam bentuk
obligasi korporasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf
d dan sukuk korporasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 huruf d wajib memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a. tercatat di bursa efek di Indonesia; dan
b. memiliki peringkat investment grade dari
perusahaan pemeringkat efek yang telah
mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa
Keuangan.
- 32 -
(2) Investasi dalam bentuk efek beragun aset
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf f
dan efek beragun aset syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 huruf f wajib memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. tercatat di bursa efek Indonesia;
b. memiliki peringkat investment grade dari
perusahaan pemeringkat efek yang telah
mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa
Keuangan; dan
c. dilakukan melalui penawaran umum
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal.
(3) Investasi dalam bentuk medium term notes
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf
h dan medium term notes syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 huruf h wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. terdaftar di Kustodian Sentral Efek Indonesia;
b. memiliki agen monitoring yang terdaftar sebagai
wali amanat di Otoritas Jasa Keuangan; dan
c. memiliki peringkat investment grade yang
dikeluarkan oleh perusahaan pemeringkat efek
yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas
Jasa Keuangan.
(4) Investasi dalam bentuk repurchase agreement
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf i
dan repurchase agreement syariah dalam Pasal 34
huruf i wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a.
setiap transaksi repurchase agreement dan
repurchase agreement syariah mengakibatkan
perubahan pada kepemilikan efek;
b. menggunakan kontrak perjanjian tertulis yang
menerapkan Global Master Repurchase Agreement
Indonesia yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan atau pihak lain yang diakui oleh
Otoritas Jasa Keuangan;
- 33 -
c.
jenis jaminan terbatas pada surat berharga
negara, surat berharga yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia, dan/atau obligasi korporasi yang
memiliki peringkat investment grade yang
dikeluarkan oleh perusahaan pemeringkat efek
yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas
Jasa Keuangan;
d. transaksi repurchase agreement dan repurchase
agreement syariah terdaftar di Kustodian Sentral
Efek Indonesia atau Bank Indonesia Scriptless
Securities Settlement System (BI-S4);
e. jangka waktu tidak melebihi 90 (sembilan puluh)
hari; dan
f.
nilai repurchase agreement dan repurchase
agreement syariah paling banyak 80% (delapan
puluh per seratus) dari nilai pasar surat berharga
yang dijaminkan.
(5) Investasi dalam bentuk dana investasi real estat
berbentuk kontrak investasi kolektif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf j dan dana
investasi real estat syariah berbentuk kontrak
investasi kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34 huruf j wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a.
telah mendapat pernyataan efektif dari Otoritas
Jasa Keuangan; dan
b. dilakukan melalui penawaran umum
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan di bidang pasar modal.
(6) Investasi dalam bentuk tanah dan bangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf
k wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a.
dimiliki dan dikuasai oleh Lembaga Penjamin
yang dibuktikan dengan sertipikat hak atas tanah
dan/atau bangunan atas nama Lembaga
Penjamin;
- 34 -
b. memberikan penghasilan sewa dan penghasilan
lainnya melalui transaksi yang didasarkan pada
harga pasar yang berlaku; dan
c.
tidak ditempatkan pada bangunan atau tanah
dengan bangunan yang sedang diagunkan, dalam
sengketa, dan/atau diblokir pihak lain.
(7) Investasi dalam bentuk penyertaan langsung pada
perusahaan di sektor jasa keuangan di Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf l
dan penyertaan langsung pada perusahaan di sektor
jasa keuangan syariah di Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 huruf k wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. penyertaan langsung dilakukan pada saham yang
diterbitkan oleh perseroan terbatas; dan
b. dalam hal Lembaga Penjamin menjadi pemegang
saham terbesar atau memiliki paling sedikit 25%
(dua puluh lima per seratus) saham pada
perseroan terbatas, Lembaga Penjamin memiliki
dan menggunakan haknya untuk:
1. menempatkan
perwakilan
dalam
keanggotaan Dewan Komisaris perseroan
terbatas; dan
2. mendapatkan akses yang tidak terbatas atas
seluruh informasi material terkait seluruh
perusahaan.
Pasal 36
Dalam hal perusahaan penerbit jenis investasi berupa
obligasi korporasi dan/atau medium term notes merupakan
lembaga jasa keuangan non-bank, ketentuan untuk
memiliki peringkat investment grade dari perusahaan
pemeringkat efek yang telah mendapat izin usaha dari
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf c dapat
dikecualikan sepanjang:
- 35 -
a.
jenis investasi memiliki peringkat 1 (satu) tingkat di
bawah investment grade; dan
b. lembaga jasa keuangan non-bank yang menerbitkan
obligasi korporasi dan/atau medium term notes tersebut
memenuhi ketentuan tingkat kesehatan keuangan
berdasarkan
ketentuan
peraturan perundang-
undangan di bidang lembaga jasa keuangan non-bank.
Bagian Kedua
Batasan Investasi
Pasal 37
(1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan
Ulang yang akan menempatkan investasi pada jenis
investasi berupa tanah dan bangunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf k wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. memiliki lingkup wilayah operasional secara
nasional; dan
b. memiliki manajemen risiko yang memadai.
(2) Lembaga Penjamin yang akan menempatkan investasi
pada jenis investasi berupa medium term notes
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf h
dan medium term notes syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 huruf h, repurchase agreement
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf i
dan repurchase agreement syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 huruf i, dana investasi real
estat berbentuk kontrak investasi kolektif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf j, dan dana
investasi real estat syariah berbentuk kontrak investasi
kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf j
wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. memiliki lingkup wilayah operasional secara
nasional;
b. memiliki
jumlah
aset
paling
sedikit
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah); dan
c. memiliki manajemen risiko yang memadai.
- 36 -
Pasal 38
(1) Investasi dalam bentuk deposito pada bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a
dan deposito pada bank umum syariah, unit usaha
syariah pada bank umum, dan bank pembiayaan rakyat
syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a
wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. pada setiap bank umum atau bank umum syariah
dilarang melebihi 30% (tiga puluh per seratus) dari
jumlah investasi; dan
b. pada setiap bank perkreditan rakyat atau bank
pembiayaan rakyat syariah dilarang melebihi 10%
(sepuluh per seratus) dari jumlah investasi.
(2) Ketentuan batasan investasi dalam bentuk deposito
pada bank dan deposito pada bank umum syariah, unit
usaha syariah pada bank umum, dan bank pembiayaan
rakyat syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan
bagi
Lembaga
Penjamin
yang
mendapatkan penugasan dari pemerintah yang
dibuktikan dengan adanya bukti penugasan.
(3) Lembaga Penjamin yang mendapatkan penugasan dari
pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
menempatkan investasi dalam bentuk deposito pada
bank, wajib ditempatkan pada deposito bank umum,
unit usaha syariah pada bank umum, bank umum
syariah, bank perkreditan rakyat, dan/atau bank
pembiayaan rakyat syariah yang dimiliki oleh
pemerintah dengan memperhatikan tingkat kesehatan
bank dimaksud.
(4) Investasi dalam bentuk obligasi korporasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf d dan/atau
sukuk korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
Pasal 34 huruf d dilarang melebihi 10% (sepuluh per
seratus) untuk setiap penerbit dan seluruhnya dilarang
melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah
investasi.
- 37 -
(5) Investasi dalam bentuk saham yang tercatat di bursa
efek Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (1) huruf e dan Pasal 34 huruf e dilarang melebihi
5% (lima per seratus) dari jumlah investasi untuk setiap
emiten dan seluruhnya dilarang melebihi 20% (dua
puluh per seratus) dari jumlah investasi.
(6) Investasi dalam bentuk efek beragun aset sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf f dan efek
beragun aset syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 huruf f dilarang melebihi 5% (lima per seratus)
dari jumlah investasi untuk setiap manajer investasi
atau penerbit dan seluruhnya dilarang melebihi 20%
(dua puluh per seratus) dari jumlah investasi.
(7) Investasi dalam bentuk reksa dana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf g dan reksa
dana syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
huruf g dilarang melebihi 5% (lima per seratus) dari
jumlah investasi untuk setiap manajer investasi dan
seluruhnya dilarang melebihi 20% (dua puluh per
seratus) dari jumlah investasi kecuali investasi pada
reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif
penyertaan terbatas ditetapkan paling tinggi 10%
(sepuluh per seratus) dari jumlah investasi.
(8) Investasi dalam bentuk medium term notes
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf h
dan medium term notes syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 huruf h harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. dilarang melebihi 10% (sepuluh per seratus) dari
jumlah investasi Lembaga Penjamin; dan
b. dilarang melebihi 10% (sepuluh per seratus) dari
jumlah emisi medium term notes.
(9) Investasi dalam bentuk repurchase agreement
sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 ayat (1) huruf i
dan repurchase agreement syariah Pasal 34 huruf i
untuk setiap counterparty dilarang melebihi 2% (dua
per seratus) dari jumlah investasi dan seluruhnya
- 38 -
dilarang melebihi 5% (lima per seratus) dari jumlah
investasi.
(10) Investasi dalam bentuk dana investasi real estat
berbentuk kontrak investasi kolektif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf j dan dana
investasi real estat syariah berbentuk kontrak investasi
kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf j
dilarang melebihi 5% (lima per seratus) dari jumlah
investasi untuk setiap manajer investasi dan
seluruhnya dilarang melebihi 20% (dua puluh per
seratus) dari jumlah investasi.
(11) Investasi dalam bentuk tanah dan bangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf k
dilarang melebihi 5% (lima per seratus) dari jumlah
investasi.
(12) Investasi dalam bentuk penyertaan langsung pada
perusahaan di sektor jasa keuangan di Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf l
dan penyertaan langsung pada perusahaan di sektor
jasa keuangan syariah di Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 huruf k dilarang melebihi
10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi.
(13) Ketentuan batasan investasi dalam bentuk penyertaan
langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (12)
dikecualikan
bagi
Lembaga
Penjamin
mendapatkan penugasan dari pemerintah yang
dibuktikan dengan adanya bukti penugasan.
(14) Lembaga Penjamin yang mendapatkan penugasan dari
pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (13)
dilarang menempatkan investasi dalam bentuk
penyertaan langsung melebihi 15% (lima belas per
seratus) dari jumlah investasi.
Pasal 39
(1) Jumlah seluruh penempatan Perusahaan Penjaminan
dan Perusahaan Penjaminan Ulang pada instrumen
investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
yang
- 39 -
(1) huruf e, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, dan huruf l
dilarang melebihi 60% (enam puluh per seratus) dari
jumlah investasi.
(2) Jumlah seluruh penempatan Perusahaan Penjaminan
Syariah dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah
pada instrumen investasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 huruf e, huruf g, huruf h, huruf i, huruf
j, dan huruf k dilarang melebihi 60% (enam puluh per
seratus) dari jumlah investasi.
Pasal 40
(1) Jumlah seluruh investasi Lembaga Penjamin yang
ditempatkan pada pihak yang terafiliasi tidak termasuk
penyertaan langsung, dilarang melebihi 10% (sepuluh
per seratus) dari jumlah investasi.
(2) Pihak yang terafiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah pihak yang memiliki hubungan dengan satu
atau lebih pihak lain, sedemikian rupa sehingga salah
satu pihak dapat mempengaruhi pengelolaan atau
kebijakan dari pihak yang lain atau sebaliknya.
(3) Hubungan yang dapat mempengaruhi pengelolaan atau
kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam
bentuk:
a. salah satu pihak memiliki satu atau lebih direktur
atau pejabat setingkat di bawah direktur atau
komisaris, yang juga menjabat sebagai direktur
atau pejabat setingkat di bawah direktur atau
komisaris pada pihak lain;
b. salah satu pihak memiliki satu atau lebih direktur,
komisaris, atau pemegang saham pengendali, yang
memiliki hubungan keluarga karena perkawinan
atau keturunan sampai derajat kedua, baik secara
horizontal maupun vertikal yang menjabat sebagai
direktur, komisaris, atau pemegang saham
pengendali pada pihak lain;
c. salah satu pihak memiliki paling sedikit 25% (dua
puluh lima per seratus) saham pihak lain;
- 40 -
d. salah satu pihak merupakan pemegang saham
terbesar dari pihak lain;
e. para pihak dikendalikan oleh pengendali yang
sama; atau
f.
salah satu pihak mempunyai hak suara pada
pihak lain yang lebih dari 50% (lima puluh per
seratus) berdasarkan suatu perjanjian.
(4) Penempatan investasi pada pihak yang terafiliasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak termasuk
hubungan karena kepemilikan atau penyertaan modal
oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
Pasal 41
(1) Kesesuaian dengan batasan investasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 40
ditentukan pada saat dilakukan penempatan investasi.
(2) Direksi harus memastikan batasan investasi pada
saat melakukan penempatan investasi telah sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 sampai dengan Pasal 40.
BAB XI
KESEHATAN KEUANGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 42
(1) Lembaga Penjamin wajib menjaga kondisi kesehatan
keuangannya.
(2) Pengukuran kesehatan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
rasio likuiditas;
b. Gearing Ratio;
c.
rentabilitas; dan
d. penilaian sendiri (self assessment) tata kelola
perusahaan yang baik bagi Lembaga Penjamin.
- 41 -
(3) Kewajiban pemenuhan kondisi kesehatan keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi UUS
dilakukan secara terpisah dengan komponen rasio
likuiditas dan rentabilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a, huruf c, dan komponen lain yang
diatur dalam surat edaran Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengukuran kesehatan
keuangan Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam surat edaran
Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Kedua
Rasio Likuiditas dan Rentabilitas
Pasal 43
(1) Lembaga Penjamin wajib menjaga tingkat likuiditasnya.
(2) Lembaga Penjamin wajib menjaga rasio likuiditas paling
rendah 120% (seratus dua puluh per seratus).
(3) Rasio likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dihitung dengan menggunakan current ratio yaitu
perbandingan antara aset lancar dengan utang lancar.
(4) Rentabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ayat (2) huruf c merupakan kemampuan Lembaga
Penjamin dalam menghasilkan laba.
(5) Penilaian terhadap faktor rentabilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) meliputi penilaian terhadap
kinerja aset dan efisiensi operasional.
BAB XII
PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI
Pasal 44
(1) Lembaga Penjamin dalam melaksanakan kegiatannya
memanfaatkan teknologi informasi.
(2) Lembaga Penjamin wajib memiliki manajemen risiko
yang memadai terhadap pemanfaatan teknologi
informasi yang paling sedikit mencakup:
a. kecukupan kebijakan dan prosedur penggunaan
teknologi informasi;
- 42 -
b. kecukupan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan,
dan
pengendalian
pemanfaatan teknologi informasi; dan
c. sistem pengendalian intern atas penggunaan
teknologi informasi.
Pasal 45
(1) Lembaga Penjamin wajib memiliki situs web.
(2) Situs web sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat informasi sebagai berikut:
a.
izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan atau
otoritas lain sebelum terbentuknya Otoritas Jasa
Keuangan;
b. struktur organisasi dan nama pejabat Lembaga
Penjamin paling sedikit Dewan Komisaris, dewan
pengawas syariah (jika ada), Direksi, dan pejabat
satu tingkat di bawah Direksi;
c. alamat, jaringan kantor cabang, alamat surat
elektronik, nomor telepon kantor, dan nama
pejabat kantor cabang;
d. ringkasan informasi produk dari seluruh produk
yang dipasarkan;
e. prosedur dan cara bertransaksi;
f.
g.
daftar agen penjamin yang aktif;
h. penerapan tata kelola perusahaan yang termuat
dalam laporan tahunan;
i.
j.
laporan keuangan tahunan yang telah diaudit;
informasi mengenai UUS dan Usaha Penjaminan
Syariah bagi Perusahaan Penjaminan yang
menjalankan usaha Penjaminan Syariah dan/atau
memiliki UUS; dan
k. informasi lainnya baik yang telah diwajibkan oleh
peraturan lainnya maupun kebutuhan dari
Lembaga Penjamin.
informasi tata cara pelayanan dan penyelesaian
pengaduan;
risiko
- 43 -
(3) Lembaga Penjamin wajib melakukan pengkinian
informasi yang disajikan dalam situs web sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) hari
kerja setelah terjadi perubahan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Pasal 46
(1) Lembaga Penjamin yang memiliki pusat data (data
center) dan pusat pemulihan bencana (disaster recovery
center) wajib menempatkan pusat data (data center) dan
pusat pemulihan bencana (disaster recovery center)
tersebut di wilayah Indonesia untuk kepentingan
penegakan hukum, perlindungan, dan penegakan
kedaulatan negara terhadap data warga negaranya.
(2) Lembaga Penjamin yang memiliki pusat pemulihan
bencana (disaster recovery center) wajib menempatkan
pusat pemulihan bencana (disaster recovery center)
tersebut pada lokasi yang terpisah dari kantor pusat.
(3) Ketentuan mengenai pusat data (data center) dan pusat
pemulihan bencana (disaster recovery center) di wilayah
Indonesia mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai penyelenggara sistem
dan transaksi elektronik.
BAB XIII
LEMBAGA PENUNJANG PENJAMINAN
Bagian Kesatu
Pemeringkat Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi
Pasal 47
(1) Lembaga Penjamin dapat menggunakan jasa dari
pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi dalam menjalankan usahanya.
(2) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi yang digunakan, wajib telah terdaftar di
Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
- 44 -
melakukan
independen,
kegiatan
objektif,
pemeringkatan
dan
secara
dapat
dipertanggungjawabkan dalam pemberian peringkat.
Pasal 48
(1) Kegiatan usaha yang dilakukan oleh pemeringkat
usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi terdiri dari:
a. menghimpun data usaha mikro, kecil, menengah,
dan koperasi dan data lainnya; dan
b. mengolah data usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi dan data lainnya untuk menghasilkan
informasi pemeringkatan (rating).
(2) Data usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi serta
data lainnya yang dihimpun dan diolah oleh
pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat digunakan untuk menghasilkan informasi
pemeringkatan (rating).
(3) Informasi pemeringkatan (rating) yang dihasilkan oleh
pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
baik yang bersifat individual maupun agregat, paling
sedikit memuat:
a. kelayakan usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi untuk memperoleh penyediaan dana;
b. rekam jejak reputasi usaha mikro, kecil,
menengah, dan koperasi dalam memenuhi
kewajiban penyediaan dana;
c. pemeringkatan untuk menilai kemampuan usaha
mikro, kecil, menengah, dan koperasi untuk
memenuhi kewajiban penyediaan dana;
d. karakter usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi; dan
e. informasi lainnya yang dapat digunakan untuk
menilai kemampuan usaha mikro, kecil,
menengah, dan koperasi.
- 45 -
Pasal 49
(1) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi wajib:
a. menjaga akurasi, keterkinian, keamanan, dan
kerahasiaan data;
b. memiliki sistem yang andal;
c. memiliki kebijakan dan prosedur operasional yang
dituangkan dalam pedoman tertulis; dan
d. memiliki aturan main yang harus dipatuhi oleh
setiap pihak yang menggunakan informasi
pemeringkatan (rating).
(2) Kebijakan dan prosedur operasional kegiatan
pemeringkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit meliputi:
a. langkah-langkah kegiatan pengamanan data;
b. level akses;
c. prosedur pengubahan data;
d. pengamanan informasi;
e. business continuity plan;
f. end-user computing;
g. disaster recovery plan;
h. pemantauan terhadap operasional termasuk audit
trail;
i. prosedur pemberian informasi pemeringkatan
(rating); dan
j. prosedur
pengaduan.
Pasal 50
(1) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan
dapat menghimpun dan mengolah data usaha mikro,
kecil, menengah, dan koperasi, dan data lainnya.
(2) Dalam rangka memperluas dan memperkaya cakupan
data usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, dan
data lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penanganan
dan
penyelesaian
- 46 -
pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi dapat melakukan kerja sama dengan:
a. kementerian dan/atau lembaga negara lainnya;
b. lembaga jasa keuangan; dan/atau
c. badan usaha lainnya.
(3) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi dapat memperoleh data sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) secara langsung berdasarkan
perjanjian dan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 51
(1) Pengelolaan data usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi dan data lainnya oleh pemeringkat usaha
mikro, kecil, menengah, dan koperasi mencakup
kegiatan
penghimpunan,
pendistribusian data.
(2) Dalam rangka pengelolaan data sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pemeringkat usaha mikro, kecil,
menengah, dan koperasi wajib berpedoman pada
ketentuan dan peraturan perundang-undangan
mengenai penyelenggara sistem informasi dan
transaksi elektronik.
Pasal 52
(1) Dalam rangka pengelolaan data sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (1), pemeringkat usaha mikro,
kecil, menengah, dan koperasi wajib melakukan
langkah-langkah pengamanan untuk menjaga akurasi,
keterkinian, keamanan, dan kerahasiaan data.
(2) Dalam rangka menjaga akurasi,
keterkinian,
keamanan, dan kerahasiaan data sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pemeringkat usaha mikro,
kecil, menengah, dan koperasi wajib menempatkan
server dan database di dalam wilayah Republik
Indonesia.
pengolahan,
dan
- 47 -
(3) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi wajib memiliki pusat pemulihan bencana
(disaster recovery center) yang ditempatkan pada lokasi
yang terpisah dari kantor pusat.
Pasal 53
(1) Pihak yang dapat memperoleh informasi pemeringkatan
(rating) adalah:
a. lembaga jasa keuangan yang menjadi anggota dari
pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi;
b. kementerian dan lembaga negara lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2)
huruf a yang menjadi sumber data pemeringkat
usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi yang
bersangkutan;
c. pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi lain;
d. usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi atas
informasi pemeringkat (rating) yang bersangkutan;
dan/atau
e. pihak lain.
(2) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi
wajib
mengadministrasikan
permintaan terhadap informasi pemeringkatan (rating)
dari pihak, sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi dapat mengenakan biaya terhadap pemberian
informasi pemeringkatan (rating) kepada pihak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 54
(1) Dalam rangka pelaksanaan tugasnya, Otoritas Jasa
Keuangan dapat meminta data yang dikelola oleh
pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi secara langsung.
seluruh
- 48 -
(2) Atas permintaan data sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah,
dan koperasi wajib memberikan akses kepada Otoritas
Jasa Keuangan berupa keterangan dan data yang
diminta,
kesempatan untuk melihat semua
pembukuan, dokumen, sarana fisik yang berkaitan
dengan kegiatan usahanya, dan hal-hal lain yang
diperlukan.
Bagian Kedua
Agen Penjamin
Pasal 55
(1) Dalam melakukan kegiatan usahanya, Lembaga
Penjamin dapat menggunakan jasa agen penjamin.
(2) Agen penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan orang perseorangan atau badan usaha yang
melakukan pemasaran kegiatan usaha penjaminan
untuk dan atas nama Lembaga Penjamin.
(3) Agen penjamin dilarang menggelapkan IJP, IJK, IJPU,
dan/atau IJKU.
(4) Lembaga Penjamin wajib memiliki perjanjian keagenan
dengan agen penjamin yang melakukan pemasaran
untuk dan atas nama Lembaga Penjamin.
(5) Semua tindakan agen penjamin yang berkaitan dengan
transaksi Penjaminan menjadi tanggung jawab
Lembaga Penjamin yang diageni.
Bagian Ketiga
Broker
Pasal 56
(1) Broker merupakan pihak yang memberikan jasa
konsultasi dan/atau keperantaraan dalam pemberian
penjaminan serta penanganan penyelesaian klaimnya
dengan bertindak untuk dan atas nama Terjamin.
- 49 -
(2) Broker wajib memberikan keterangan yang sejelas-
jelasnya kepada Lembaga Penjamin tentang objek
penjaminan yang dijaminkan.
(3) Broker wajib memberikan keterangan yang sejelas-
jelasnya kepada Terjamin tentang ketentuan isi
Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah, termasuk
mengenai hak dan kewajiban Terjamin.
(4) Broker dilarang menerbitkan dokumen pemberian
Penjaminan atau Penjaminan Syariah sementara
dan/atau Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah.
Pasal 57
(1) Broker Penjaminan atau broker Penjaminan Syariah
dapat menerima pembayaran IJP atau IJK dari
Terjamin.
(2) Broker Penjaminan Ulang atau broker Penjaminan
Ulang Syariah dapat menerima pembayaran IJPU atau
IJKU dari Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah.
(3) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah menerbitkan Sertifikat Penjaminan atau
Sertifikat Kafalah setelah menerima pembayaran IJP
atau IJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari
broker Penjaminan atau broker Penjaminan Syariah.
BAB XIV
PELAPORAN
Pasal 58
(1) Lembaga Penjamin wajib menyampaikan laporan
bulanan secara lengkap kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Ketentuan
mengenai
bentuk, susunan, dan
penyampaian laporan bulanan diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai laporan bulanan
industri keuangan non bank.
- 50 -
Pasal 59
(1) Lembaga Penjamin wajib menyampaikan laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan
publik secara lengkap kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun buku
berakhir.
(2) Tahun buku sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah berdasarkan tahun takwim.
(3) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1):
a. disusun dalam mata uang Rupiah; dan
b. disampaikan secara tertulis kepada Otoritas Jasa
Keuangan dengan alamat sebagaimana tertera
pada laman resmi Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Apabila batas akhir penyampaian laporan jatuh pada
hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah
hari kerja pertama berikutnya.
(5) Dalam hal Lembaga Penjamin memperoleh izin usaha
kurang dari 6 (enam) bulan hingga tahun takwim
berakhir, kewajiban penyampaian laporan keuangan
tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai
berlaku pada tahun takwim berikutnya.
Pasal 60
Selain laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
58 dan laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59, Lembaga Penjamin wajib menyampaikan
laporan sewaktu-waktu bila diperlukan oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 61
(1) Lembaga Penjamin wajib mengumumkan neraca dan
perhitungan laba rugi singkat paling lambat 4 (empat)
bulan setelah tahun buku berakhir, paling sedikit pada
1 (satu) surat kabar harian di Indonesia yang memiliki
peredaran luas di lingkup wilayah operasional Lembaga
Penjamin.
- 51 -
(2) Lembaga Penjamin wajib melaporkan pelaksanaan
pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
secara tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari setelah pelaksanaan
pengumuman, dilampiri dengan bukti pengumuman.
(3) Apabila batas akhir penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari libur, batas
akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama
berikutnya.
BAB XV
PEDOMAN AKUNTANSI LEMBAGA PENJAMIN
Pasal 62
(1) Lembaga Penjamin wajib melakukan pencatatan atas
kegiatan usahanya berdasarkan pernyataan standar
akuntansi keuangan yang relevan bagi Lembaga
Penjamin dan pedoman akuntansi Lembaga Penjamin
Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai pedoman akuntansi Lembaga
Penjamin Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam surat edaran Otoritas Jasa Keuangan.
BAB XVI
PENEGAKAN KEPATUHAN
Bagian Kesatu
Pemberitahuan
Pasal 63
(1) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4
ayat (1), Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 ayat (3), Pasal 25
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 44 ayat (2), Pasal 45 ayat
(1) dan ayat (3), dan/atau Pasal 55 ayat (4) Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini diberikan surat
pemberitahuan.
- 52 -
(2) Lembaga Penjamin yang mempunyai UUS yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 7 ayat (2), Pasal
12 ayat (3), Pasal 25 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 44
ayat (2), dan/atau Pasal 55 ayat (4) Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini diberikan surat pemberitahuan.
(3) Lembaga Penjamin wajib melakukan pemenuhan atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan/atau ayat (2) paling lama 1 (satu) bulan sejak
tanggal surat pemberitahuan.
Bagian Kedua
Rencana Pemenuhan
Pasal 64
(1) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6), Pasal
12 ayat (2), Pasal 16 ayat (1), Pasal 19, Pasal 21, Pasal
22 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), ayat
(2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 28 ayat (1), ayat (3),
dan ayat (4), Pasal 29, Pasal 31, Pasal 42 ayat (1),
Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2), dan/atau Pasal 46 ayat
(1) dan ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
wajib menyampaikan rencana pemenuhan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lama 1 (satu) bulan
sejak tanggal penetapan terjadinya pelanggaran.
(2) Lembaga Penjamin yang mempunyai UUS yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (6), Pasal 12 ayat (2), Pasal 16 ayat (1),
Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (1),
Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal
29, Pasal 32, Pasal 42 ayat (1), Pasal 43 ayat (1) dan
ayat (2), dan/atau Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2)
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini wajib
menyampaikan rencana pemenuhan paling lama 1
(satu) bulan sejak tanggal penetapan terjadinya
pelanggaran.
- 53 -
(3) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan/atau ayat (2) paling sedikit memuat
rencana yang akan dilakukan Lembaga Penjamin
untuk pemenuhan ketentuan yang disertai dengan
jangka waktu tertentu yang dibutuhkan untuk
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan/atau ayat (2).
(4) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan/atau ayat (2) memuat:
a. restrukturisasi aset dan/atau liabilitas;
b. penambahan modal disetor;
c. pengalihan sebagian atau seluruh aset;
d. pembatasan pembagian laba;
e. pembatasan kegiatan yang menyebabkan
pelanggaran ketentuan;
f. pembatasan pembukaan kantor cabang baru;
g. penggabungan badan usaha; dan/atau
h. hal lain yang akan dilaksanakan untuk
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2).
(5) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan/atau ayat (2) harus ditandatangani oleh
seluruh Direksi dan Dewan Komisaris.
(6) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan/atau ayat (2) harus terlebih dahulu
disetujui oleh rapat umum pemegang saham atau yang
setara dalam hal rencana dimaksud memuat rencana
penambahan
modal disetor
penggabungan usaha.
(7) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan/atau ayat (2) harus memperoleh pernyataan
tidak keberatan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(8) Dalam hal rencana pemenuhan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) dinilai oleh
Otoritas Jasa Keuangan tidak cukup untuk mengatasi
permasalahan, Lembaga Penjamin wajib melakukan
perbaikan atas rencana pemenuhan tersebut.
atau rencana
- 54 -
(9) Otoritas Jasa Keuangan memberikan pernyataan tidak
keberatan atas rencana pemenuhan yang disampaikan
oleh Lembaga Penjamin dengan memperhatikan
kondisi permasalahan yang dihadapi oleh Lembaga
Penjamin paling lama 15 (lima belas) hari kerja
terhitung sejak tanggal diterimanya rencana
pemenuhan secara lengkap.
(10) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (9) Otoritas Jasa Keuangan tidak
memberikan pernyataan tidak keberatan atau
tanggapan, Lembaga Penjamin dapat melaksanakan
rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan/atau ayat (2).
(11) Lembaga Penjamin wajib melaksanakan rencana
pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan/atau ayat (2).
BAB XVII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 65
(1) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 63 ayat (3) Lembaga Penjamin tidak juga
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 63 ayat (1) dan/atau ayat (2) Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini, Lembaga Penjamin dikenai sanksi
administratif secara bertahap berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha dan/atau pembekuan
kegiatan usaha UUS; atau
c. pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan izin
UUS.
(2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan sanksi
tambahan berupa:
a. pembatasan kegiatan usaha tertentu;
b. pembatalan persetujuan; dan/atau
- 55 -
c. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan.
(3) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun
pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap
dikenakan sanksi peringatan tertulis pertama yang
berakhir dengan sendirinya.
(4) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dapat diberikan paling banyak 3
(tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-
masing paling lama 2 (dua) bulan.
(5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1)
dan/atau ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan mencabut
sanksi peringatan tertulis.
(6) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dan
Lembaga Penjamin tetap tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1)
dan/atau ayat (2),
Otoritas Jasa Keuangan
mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha
dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS.
(7) Sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS diberikan secara
tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(8) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan tertulis,
sanksi pembekuan kegiatan usaha, dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS berakhir pada hari
libur, sanksi peringatan tertulis, sanksi pembekuan
kegiatan usaha, dan/atau sanksi pembekuan kegiatan
usaha UUS berlaku hingga hari kerja pertama
berikutnya.
- 56 -
(9) Lembaga Penjamin yang dikenakan sanksi pembekuan
kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan
usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
dilarang melakukan kegiatan usaha.
(10) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha dan/atau pembekuan
kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat
(7) Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1)
dan/atau ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan mencabut
sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS.
(11) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha
dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS
masih berlaku dan Lembaga Penjamin tetap
melakukan kegiatan usaha Penjaminan, Otoritas Jasa
Keuangan dapat langsung mengenakan sanksi
pencabutan izin usaha dan/atau sanksi pencabutan
izin UUS.
(12) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) Lembaga Penjamin tidak juga memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat
(1) dan/atau ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan
mencabut izin usaha dan/atau izin UUS Lembaga
Penjamin yang bersangkutan.
(13) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan sanksi
pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, dan/atau sanksi
pencabutan izin usaha dan/atau sanksi pencabutan
izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
kepada masyarakat.
Pasal 66
(1) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), ayat
- 57 -
(2), ayat (8), atau ayat (11) Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini dikenai sanksi administratif secara
bertahap berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha dan/atau pembekuan
kegiatan usaha UUS; atau
c. pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan izin
UUS.
(2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan sanksi
tambahan berupa:
a. pembatasan kegiatan usaha tertentu;
b. pembatalan persetujuan; dan/atau
c.
penilaian kembali kemampuan dan kepatutan.
(3) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun
pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap
dikenakan sanksi peringatan tertulis pertama yang
berakhir dengan sendirinya.
(4) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dapat diberikan paling banyak 3
(tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-
masing paling lama 2 (dua) bulan.
(5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), ayat
(2), ayat (8), atau ayat (11), Otoritas Jasa Keuangan
mencabut sanksi peringatan tertulis.
(6) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dan
Lembaga Penjamin tetap tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), ayat
(2), ayat (8), atau ayat (11), Otoritas Jasa Keuangan
mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha
dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS.
- 58 -
(7) Dalam hal Lembaga Penjamin tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat
(1), ayat (2), ayat (8), atau ayat (11) sampai dengan
berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Lembaga
Penjamin dimaksud dikenakan sanksi pencabutan izin
usaha dan/atau sanksi pencabutan izin UUS tanpa
didahului sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau
sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (6).
(8) Sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS diberikan secara
tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(9) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan tertulis,
sanksi pembekuan kegiatan usaha, dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS berakhir pada hari
libur, sanksi peringatan tertulis, sanksi pembekuan
kegiatan usaha, dan/atau sanksi pembekuan kegiatan
usaha UUS berlaku hingga hari kerja pertama
berikutnya.
(10) Lembaga Penjamin yang dikenakan sanksi pembekuan
kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan
usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
dilarang melakukan kegiatan usaha.
(11) Selama masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan
usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha
UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Lembaga
Penjaminan:
a. dilarang melakukan penjaminan; dan
b. tetap bertanggung jawab untuk menyelesaikan
segala kewajiban termasuk kewajiban penjaminan
yang telah dilakukan sebagaimana tercantum
dalam Sertifikat Penjaminan, Sertifikat Kafalah,
dan/atau perjanjian kerja sama.
- 59 -
(12) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (8), Lembaga Penjamin telah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 64 ayat (1), ayat (2), ayat (8), dan ayat (11),
Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi pembekuan
kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan
usaha UUS.
(13) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha
dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS
masih berlaku dan Lembaga Penjamin tetap melakukan
kegiatan usaha penjaminan, Otoritas Jasa Keuangan
dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin
usaha dan/atau sanksi pencabutan izin UUS.
(14) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha dan/atau pembekuan
kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat
(8), Lembaga Penjamin tidak juga memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), ayat
(2), ayat (8), atau ayat (11), Otoritas Jasa Keuangan
mencabut izin usaha dan/atau izin UUS Lembaga
Penjamin yang bersangkutan.
(15) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan sanksi
pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, dan/atau sanksi
pencabutan izin usaha dan/atau sanksi pencabutan
izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
kepada masyarakat.
Pasal 67
(1) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), Pasal 11
ayat (4), Pasal 13, Pasal 14, Pasal 20 ayat (2), Pasal 25
ayat (1), Pasal 30 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34,
Pasal 35, Pasal 37, Pasal 38 ayat (1), ayat (3), ayat (4),
- 60 -
ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (9), ayat (10),
ayat (11), ayat (12), dan ayat (14), Pasal 39, Pasal 40
ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), Pasal 60,
Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2), dan/atau Pasal 62 ayat
(1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenai
sanksi administratif secara bertahap berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha; atau
c. pencabutan izin usaha.
(2) Perusahaan Penjaminan yang mempunyai UUS yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (2), Pasal 11 ayat (4), Pasal 13, Pasal
14, Pasal 20 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 30 ayat (1),
Pasal 34, Pasal 35, Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (1),
ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat
(9), ayat (10), ayat (12), dan ayat (14), Pasal 39, Pasal 40
ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 60, dan/atau Pasal 62
ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenai
sanksi administratif secara bertahap berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha UUS; atau
c. pencabutan izin UUS.
(3) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2)
namun pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap
dikenakan sanksi peringatan tertulis pertama yang
berakhir dengan sendirinya.
(4) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan/atau ayat (2) huruf a, dapat
diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut
dengan masa berlaku masing-masing paling lama 2
(dua) bulan.
(5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat
- 61 -
(2), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi
peringatan tertulis.
(6) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dan
Lembaga Penjamin tetap tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2),
Otoritas Jasa Keuangan mengenakan sanksi
pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS.
(7) Sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS diberikan secara
tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(8) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan tertulis,
sanksi pembekuan kegiatan usaha, dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS berakhir pada hari
libur, sanksi peringatan tertulis, sanksi pembekuan
kegiatan usaha, dan/atau sanksi pembekuan kegiatan
usaha UUS berlaku hingga hari kerja pertama
berikutnya.
(9) Lembaga Penjamin yang dikenakan sanksi pembekuan
kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan
usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
dilarang melakukan kegiatan usaha.
(10) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha dan/atau pembekuan
kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat
(7) Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2),
Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi pembekuan
kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan
usaha UUS.
(11) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha
dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS
masih berlaku dan Lembaga Penjamin tetap melakukan
kegiatan usaha Penjaminan, Otoritas Jasa Keuangan
- 62 -
dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin
usaha dan/atau sanksi pencabutan izin UUS.
(12) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) Lembaga Penjamin tidak juga
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan/atau ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan
mencabut izin usaha dan/atau izin UUS Lembaga
Penjamin yang bersangkutan.
(13) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan sanksi
pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dan/atau ayat (2) huruf b dan/atau
sanksi pencabutan izin usaha dan/atau sanksi
pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dan/atau ayat (2) huruf c kepada masyarakat.
Pasal 68
(1) Lembaga Penjamin yang melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dikenai sanksi administratif tambahan berupa denda
administratif.
(2) Besarnya denda administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
a. Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap hari
keterlambatan; dan
b. paling banyak Rp360.000.000,00 (tiga ratus enam
puluh juta rupiah) untuk laporan keuangan
tahunan yang terlambat disampaikan.
Pasal 69
(1) Lembaga penunjang penjaminan yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat
(2) dan ayat (3), Pasal 49 ayat (1), Pasal 51 ayat (2),
Pasal 52, Pasal 53 ayat (2), Pasal 54 ayat (2), dan/atau
Pasal 56 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Peraturan
- 63 -
Otoritas Jasa Keuangan ini dikenai sanksi administratif
secara bertahap berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha; atau
c. pembatalan pernyataan pendaftaran.
(2) Lembaga penunjang penjaminan yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun
pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap
dikenakan sanksi peringatan tertulis pertama yang
berakhir dengan sendirinya.
(3) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, dapat diberikan paling banyak 3
(tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-
masing paling lama 2 (dua) bulan.
(4) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), lembaga penunjang penjaminan telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan
tertulis.
(5) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dan
lembaga penunjang penjaminan tetap tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Otoritas Jasa Keuangan mengenakan sanksi
pembekuan kegiatan usaha.
(6) Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara
tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(7) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan tertulis
dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir
pada hari libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja
pertama berikutnya.
(8) Lembaga penunjang penjaminan yang dikenakan
sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
- 64 -
dimaksud pada ayat (5), dilarang melakukan kegiatan
usaha.
(9) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (6), lembaga penunjang penjaminan telah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi
pembekuan kegiatan usaha.
(10) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih
berlaku dan lembaga penunjang penjaminan tetap
melakukan kegiatan usaha Penjaminan, Otoritas Jasa
Keuangan dapat langsung mengenakan sanksi
pembatalan pernyataan pendaftaran.
(11) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (6), lembaga penunjang penjaminan tidak
juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan membatalkan
pernyataan
pendaftaran
lembaga
penjaminan yang bersangkutan.
(12) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan sanksi
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dan/atau sanksi pembatalan
pernyataan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c kepada masyarakat.
BAB XVIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 70
(1) Bagi Lembaga Penjamin yang telah mendapatkan izin
usaha pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan dan telah melaksanakan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a
sampai dengan huruf j dikecualikan dari ketentuan
pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha
pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
penunjang
- 65 -
diundangkan wajib memenuhi ketentuan mengenai
pembentukan cadangan Klaim sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 paling lama 1 (satu) tahun sejak
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan.
(3) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha
pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan wajib memenuhi ketentuan mengenai
jangka waktu pembayaran Klaim sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (3)
paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini diundangkan.
(4) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha
pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan wajib memenuhi ketentuan mengenai
retensi sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (4) paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan.
(5) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha
pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan wajib memenuhi ketentuan mengenai
nilai Penjaminan bagi Usaha Produktif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) paling lama 1 (satu)
tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan.
(6) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha
sebelum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan harus memenuhi ketentuan mengenai
Ekuitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1)
dan ayat (2), paling lama 5 (lima) tahun sejak Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan.
(7) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha
sebelum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan harus memenuhi ketentuan mengenai
Ekuitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3)
dan ayat (4), paling lama 3 (tiga) tahun sejak Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan.
- 66 -
(8) UUS yang telah memperoleh izin usaha sebelum
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan
wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32, paling lama 5 (lima) tahun sejak
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan.
(9) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha
pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan wajib memenuhi ketentuan mengenai
kondisi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 ayat (1) paling lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan.
(10) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha
pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan wajib memenuhi ketentuan mengenai
pemanfaatan
teknologi
informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (1)
dan ayat (3) paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan.
(11) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha
pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan wajib memenuhi ketentuan mengenai
pemanfaatan
teknologi
informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) paling
lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini diundangkan.
BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 71
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha
Lembaga Penjamin tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Pasal 72
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
- 67 -
6/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga
Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5528) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 73
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Januari 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Januari 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 7
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 2/POJK.05/2017 </reg_id>
<reg_title> PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA PENJAMIN </reg_title>
<set_date> 11 Januari 2017 </set_date>
<effective_date> 11 Januari 2017 </effective_date>
<issued_date> 11 Januari 2017 </issued_date>
<replaced_reg> '6/POJK.05/2014' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '1/UU/2016' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XVII' </penalty_list>
|
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 32 /POJK.04/2017
TENTANG
PEDOMAN KONTRAK PENGELOLAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai
pedoman kontrak pengelolaan reksa dana berbentuk
perseroan beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai pengaturan terhadap pedoman kontrak
pengelolaan reksa dana berbentuk perseroan, ketentuan
peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal
mengenai pedoman kontrak pengelolaan reksa dana
berbentuk perseroan yang diterbitkan sebelum
terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman
Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEDOMAN KONTRAK PENGELOLAAN REKSA DANA
BERBENTUK PERSEROAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Reksa Dana Berbentuk Perseroan adalah Emiten yang
kegiatan usahanya menghimpun dana dengan menjual
saham dan selanjutnya dana dari penjualan saham
tersebut diinvestasikan pada berbagai jenis Efek yang
diperdagangkan di pasar modal dan pasar uang.
2. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan
utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda
bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif,
kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari
Efek.
3. Unit Penyertaan adalah satuan ukuran yang
menunjukkan bagian kepentingan setiap pihak dalam
portofolio investasi kolektif.
4. Manajer Investasi adalah pihak yang kegiatan usahanya
mengelola portofolio Efek untuk para nasabah atau
mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok
nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun,
- 3 -
dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
5. Bank Kustodian adalah bank umum yang telah
memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk
melakukan kegiatan usaha sebagai kustodian.
6. Pihak adalah orang perseorangan, perusahaan, usaha
bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi.
7. Emiten adalah Pihak yang melakukan Penawaran Umum.
8. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang
dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada
masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal dan peraturan pelaksanaannya.
9. Bursa Efek adalah Pihak yang menyelenggarakan dan
menyediakan sistem dan/atau
sarana untuk
mempertemukan penawaran jual dan beli Efek Pihak lain
dengan tujuan memperdagangkan Efek di antara mereka.
10. Afiliasi adalah:
a. hubungan keluarga karena perkawinan dan
keturunan sampai derajat kedua, baik secara
horizontal maupun vertikal;
b. hubungan antara Pihak dengan pegawai, direktur,
atau komisaris dari Pihak tersebut;
c. hubungan antara 2 (dua) perusahaan di mana
terdapat satu atau lebih anggota direksi atau dewan
komisaris yang sama;
d. hubungan antara perusahaan dan Pihak, baik
langsung maupun tidak langsung, mengendalikan
atau dikendalikan oleh perusahaan tersebut;
e. hubungan antara 2 (dua) perusahaan yang
dikendalikan, baik langsung maupun tidak
langsung, oleh Pihak yang sama; atau
f. hubungan antara perusahaan dan pemegang saham
utama.
- 4 -
BAB II
PEDOMAN KONTRAK PENGELOLAAN REKSA DANA
BERBENTUK PERSEROAN
Pasal 2
Kontrak pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan paling
sedikit memuat:
a. nama dan alamat Manajer Investasi;
b. komposisi investasi dalam pasar uang dan pasar modal;
c.
d.
rencana diversifikasi Efek dalam obligasi dan saham;
rencana diversifikasi investasi Efek berdasarkan jenis
industri Emiten;
e. kewajiban bagi Manajer Investasi;
f. alokasi dan perincian biaya Manajer Investasi dengan
Reksa Dana Berbentuk Perseroan;
g. ketentuan pembukuan dan laporan,
perhitungan nilai aktiva bersih;
h. tata cara pemutusan dan perubahan kontrak;
i.
termasuk
tata cara penjualan atau pembelian kembali (pelunasan)
saham, bagi Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang
bersifat terbuka;
j.
Manajer Investasi wajib menjamin bahwa semua Efek,
dana, dan aktiva lain Reksa Dana Berbentuk Perseroan
disimpan oleh Bank Kustodian;
k. keadaan yang dapat menjadi dasar dilakukannya
likuidasi bagi Reksa Dana Berbentuk Perseroan;
larangan bagi Reksa Dana Berbentuk Perseroan;
l.
m. larangan investasi dalam bidang tertentu;
n. tanggung jawab Manajer Investasi atas segala kerugian
yang timbul karena tindakannya;
o. semua kontrak yang baru, diperpanjang maupun
pengalihannya dari suatu Reksa Dana Berbentuk
Perseroan harus merupakan hasil perundingan yang
dibuat berdasarkan kepentingan objektif para Pihak yang
bersangkutan sebagaimana halnya apabila perundingan
tersebut dibuat oleh Pihak yang tidak mempunyai
kepentingan terhadap Pihak lainnya;
- 5 -
p. kontrak pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan,
kontrak penyimpanan kekayaan, atau kontrak
penggunaan jasa akuntan hanya dapat dibuat,
diperpanjang, atau dialihkan berdasarkan persetujuan
sebagian besar anggota direksi Reksa Dana Berbentuk
Perseroan;
q. Reksa Dana Berbentuk Perseroan dilarang mengadakan
kontrak untuk mengganti kerugian yang timbul bagi
Reksa Dana Berbentuk Perseroan atau pemegang saham
Reksa Dana Berbentuk Perseroan sebagai akibat
penyalahgunaan kekuasaan, kelalaian, atau kecerobohan
yang dilakukan oleh Manajer Investasi;
r. pemisahan harta Reksa Dana Berbentuk Perseroan dan
harta Manajer Investasi;
s. hal yang memperbolehkan Reksa Dana Berbentuk
Perseroan melakukan penundaan pembelian kembali
(pelunasan) oleh pemodal;
t. kewajiban menghitung nilai aktiva bersih Reksa Dana
Berbentuk Perseroan, apabila Manajer Investasi
ditugaskan untuk melakukan perhitungan nilai aktiva
bersih; dan
u. dalam hal Reksa Dana Berbentuk Perseroan dibubarkan,
biaya konsultan hukum, akuntan, dan beban lain kepada
Pihak ketiga menjadi tanggung jawab dan wajib dibayar
Manajer Investasi kepada Pihak yang bersangkutan.
Pasal 3
Larangan bagi Reksa Dana Berbentuk Perseroan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf l paling sedikit untuk
melakukan:
a. pembelian Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek luar
negeri yang informasinya tidak dapat diakses melalui
media massa atau fasilitas internet yang tersedia;
b. pembelian Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek luar
negeri yang informasinya dapat diakses melalui media
massa atau fasilitas internet yang tersedia lebih dari 15%
(lima belas persen) dari nilai aktiva bersih;
- 6 -
c. pembelian Efek bersifat ekuitas yang diterbitkan oleh
perusahaan yang telah mencatatkan Efek-nya pada
Bursa Efek di Indonesia lebih dari 5% (lima persen) dari
modal disetor perusahaan dimaksud;
d. pembelian Efek yang diterbitkan oleh suatu perusahaan
lebih dari 10% (sepuluh persen) dari nilai aktiva bersih
Reksa Dana Berbentuk Perseroan pada setiap saat,
dengan ketentuan pembatasan ini termasuk pemilikan
surat berharga yang dikeluarkan oleh bank tetapi tidak
termasuk sertifikat Bank Indonesia dan obligasi yang
diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia;
e. penjualan saham Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang
bersifat terbuka kepada setiap pemodal lebih dari 2%
(dua persen) dari modal yang dikeluarkan, kecuali bagi
Manajer Investasi Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang
bersifat terbuka yang bersangkutan;
f.
pembelian Efek beragun aset lebih dari 10% (sepuluh
persen) dari nilai aktiva bersih Reksa Dana Berbentuk
Perseroan dengan ketentuan bahwa setiap jenis Efek
beragun aset tidak lebih dari 5% (lima persen) dari nilai
aktiva bersih Reksa Dana Berbentuk Perseroan;
g. pembelian Efek yang tidak melalui Penawaran Umum
dan/atau tidak dicatatkan pada Bursa Efek di Indonesia,
kecuali Efek pasar uang, dan obligasi yang diterbitkan
oleh Pemerintah Republik Indonesia;
h. pembelian Efek yang diterbitkan oleh pihak yang
terafiliasi baik dengan Manajer Investasi maupun
pemegang Unit Penyertaan lebih dari 20% (dua puluh
persen) dari nilai aktiva bersih, kecuali hubungan Afiliasi
yang terjadi karena penyertaan modal pemerintah;
i.
j.
terlibat dalam kegiatan selain dari investasi, investasi
kembali, atau perdagangan Efek;
terlibat dalam penjualan Efek yang belum dimiliki;
k. terlibat dalam pembelian Efek secara margin;
l.
melakukan emisi obligasi atau sekuritas kredit;
m. terlibat dalam berbagai bentuk pinjaman, kecuali
pinjaman jangka pendek yang berkaitan dengan
- 7 -
penyelesaian transaksi dan pinjaman tersebut tidak lebih
dari 10% (sepuluh persen) dari nilai portofolio Reksa
Dana Berbentuk Perseroan pada saat pembelian;
n. pembelian Efek yang sedang ditawarkan dalam
Penawaran Umum dimana Manajer Investasi bertindak
sebagai penjamin emisi dari Efek dimaksud;
o.
terlibat dalam transaksi bersama atau kontrak bagi hasil
dengan Manajer Investasi atau Pihak Afiliasi-nya;
p. pembayaran dividen selain berasal dari laba;
q. pembelian Efek beragun aset dimana Manajer Investasi-
nya sama dengan Manajer Investasi Reksa Dana
Berbentuk Perseroan dan/atau terafiliasi dengan kreditur
awal Efek beragun aset tersebut; atau
r. pembelian Efek beragun aset yang tidak tercatat di Bursa
Efek.
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 4
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan/atau
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau
huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
- 8 -
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 5
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 6
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 kepada masyarakat.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 7
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor Kep-14/PM/2002 tentang Pedoman Kontrak
Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan, beserta
Peraturan Nomor IV.A.4 yang merupakan lampirannya,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 9 -
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 132
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 32 /POJK.04/2017
TENTANG
PEDOMAN KONTRAK PENGELOLAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan
lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar
modal yang mengatur mengenai pedoman kontrak pengelolaan Reksa
Dana Berbentuk Perseroan yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal Nomor Kep-14/PM/2002 tentang Pedoman Kontrak Pengelolaan
Reksa Dana Berbentuk Perseroan, beserta Peraturan Nomor IV.A.4 yang
merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Pedoman Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Dalam praktiknya “penjualan atas Efek yang belum dimiliki”
dimaksud dikenal juga dengan sebutan short sale.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
- 3 -
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6079
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 32/POJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN KONTRAK PENGELOLAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN </reg_title>
<set_date> 21 Juni 2017 </set_date>
<effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date>
<issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-14/PM/2002|KEPTA-BAPEPAM/2002', 'Kep-14/PM/2002|KEPTA-BAPEPAM/2002 | Lampiran Peraturan Nomor IV.A.4' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 35 /POJK.05/2016
TENTANG
TATA CARA PENETAPAN PERINTAH TERTULIS
PADA SEKTOR PERASURANSIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan dan
pengawasan terhadap kegiatan di sektor jasa
keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
huruf f dan Pasal 9 huruf d Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,
Otoritas Jasa Keuangan mempunyai wewenang
menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan
perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan
dan/atau pihak tertentu;
b. bahwa dalam rangka melindungi kepentingan
konsumen, masyarakat, dan sektor jasa keuangan,
Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengambil
tindakan yang dianggap perlu, antara lain
memberikan perintah tertulis pada
perasuransian;
sektor
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Tata Cara Penetapan Perintah Tertulis pada
Sektor Perasuransian;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran
Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA
CARA PENETAPAN PERINTAH TERTULIS PADA SEKTOR
PERASURANSIAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Perintah Tertulis adalah perintah tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
2. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya yang selanjutnya
Kepala
Eksekutif
pengawasan
adalah
terhadap
anggota Dewan
Komisioner Otoritas Jasa Keuangan yang memiliki
tugas
kegiatan
jasa
keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun,
lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan
lainnya.
disebut
- 3 -
3. Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan
asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan
reasuransi, perusahaan reasuransi syariah,
perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang
reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian asuransi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
4. Pengendali adalah pihak yang secara langsung atau
tidak langsung mempunyai kemampuan untuk
menentukan direksi, dewan komisaris, atau yang
setara dengan direksi atau dewan komisaris pada
badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama
dan/atau mempengaruhi tindakan direksi, dewan
komisaris, atau yang setara dengan direksi atau dewan
komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau
usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
5. Pengelola Statuter adalah
pengelola statuter
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
6. Pihak Tertentu adalah orang perseorangan atau badan
usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang
tidak berbentuk badan hukum, asosiasi, atau
kelompok yang terorganisasi.
7. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas bagi Perusahaan Perasuransian
yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau
yang setara dengan Direksi pada badan hukum
koperasi atau usaha bersama.
8. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi
Perusahaan Perasuransian yang berbentuk badan
hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan
- 4 -
Dewan Komisaris pada badan hukum koperasi atau
usaha bersama.
9. Dewan Pengawas Syariah adalah bagian dari organ
Perusahaan Perasuransian yang menyelenggarakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yang
melakukan fungsi pengawasan atas penyelenggaraan
usaha perasuransian agar sesuai dengan prinsip
syariah.
10. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
BAB II
KEWENANGAN PENETAPAN PERINTAH TERTULIS
Pasal 2
(1) OJK berwenang menetapkan Perintah Tertulis.
(2) Perintah Tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala Eksekutif.
(3) Perintah Tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan kepada
Perusahaan Perasuransian,
Pengendali, Pengelola Statuter, dan/atau Pihak
Tertentu.
Pasal 3
Perusahaan Perasuransian, Pengendali, Pengelola Statuter,
dan/atau Pihak Tertentu wajib mematuhi Perintah Tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Pasal 4
Perintah Tertulis dinyatakan berakhir apabila Perusahaan
Perasuransian, Pengendali, Pengelola Statuter, dan/atau
Pihak Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 telah
melaksanakan Perintah Tertulis dimaksud.
- 5 -
BAB III
SANKSI
Pasal 5
Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 53 dan Pasal 54 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,
OJK berwenang menetapkan sanksi administratif kepada
pihak yang melanggar ketentuan dalam Pasal 3 Peraturan
OJK ini berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau
seluruh kegiatan usaha;
c. larangan untuk memasarkan produk asuransi atau
produk asuransi syariah untuk lini usaha tertentu;
d. pencabutan izin usaha;
e. pembatalan pernyataan pendaftaran bagi pialang
asuransi, pialang reasuransi, agen asuransi, konsultan
aktuaria, akuntan publik, penilai, atau pihak lain yang
memberikan jasa bagi Perusahaan Perasuransian;
f. pembatalan persetujuan bagi lembaga mediasi atau
asosiasi; dan/atau
g. larangan menjadi pemegang saham, Pengendali,
Direksi, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah,
atau menduduki jabatan eksekutif di bawah Direksi
paling lama 10 (sepuluh) tahun pada Perusahaan
Perasuransian.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 6
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 6 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Oktober 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Oktober 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 203
Salinan sesuai dengan aslinya
Analis Eksekutif selaku Plh. Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Mislan
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 35/POJK.05/2016 </reg_id>
<reg_title> TATA CARA PENETAPAN PERINTAH TERTULIS PADA SEKTOR PERASURANSIAN </reg_title>
<set_date> 19 Oktober 2016 </set_date>
<effective_date> 25 Oktober 2016 </effective_date>
<issued_date> 25 Oktober 2016 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '40/UU/2014' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 42 /POJK.03/2015
TENTANG
KEWAJIBAN PEMENUHAN RASIO KECUKUPAN LIKUIDITAS
(LIQUIDITY COVERAGE RATIO) BAGI BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem perbankan
yang sehat dan mampu berkembang serta bersaing
secara nasional maupun internasional maka bank
perlu memiliki kecukupan likuiditas yang memadai
untuk mengantisipasi terjadinya kondisi krisis;
b. bahwa dalam rangka meningkatkan kecukupan
likuiditas bank, diperlukan peningkatan kuantitas
aset keuangan yang berkualitas tinggi untuk
mengantisipasi arus kas keluar bersih (net cash
outflow) sesuai dengan standar internasional;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan
Likuiditas (Liquidity Coverage Ratio) bagi Bank Umum;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
- 2 -
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
KEWAJIBAN PEMENUHAN RASIO KECUKUPAN
LIKUIDITAS (LIQUIDITY COVERAGE RATIO) BAGI BANK
UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri,
yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional.
2. Rasio Kecukupan Likuiditas atau Liquidity Coverage
Ratio, yang selanjutnya disingkat LCR, adalah
perbandingan antara High Quality Liquid Asset dengan
total arus kas keluar bersih (net cash outflow) selama
30 (tiga puluh) hari kedepan dalam skenario stres.
3. Aset Likuid Berkualitas Tinggi atau High Quality Liquid
Asset, yang selanjutnya disingkat HQLA, adalah kas
- 3 -
dan/atau aset keuangan yang dapat dengan mudah
dikonversi menjadi kas dengan sedikit atau tanpa
pengurangan nilai untuk memenuhi kebutuhan
likuiditas Bank selama periode 30 (tiga puluh) hari
kedepan dalam skenario stres.
4. Total Arus Kas Keluar Bersih, yang selanjutnya
disebut Net Cash Outflow, adalah total estimasi arus
kas keluar (cash outflow) dikurangi dengan total
estimasi arus kas masuk (cash inflow) yang
diperkirakan akan terjadi selama 30 (tiga puluh) hari
kedepan dalam skenario stres.
5. Simpanan adalah Simpanan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998.
6. Pendanaan atau funding adalah penerimaan dana dari
pihak ketiga yang menimbulkan kewajiban bagi Bank
dalam bentuk Simpanan, surat utang, surat berharga
yang diterbitkan, pinjaman yang diterima dan bentuk-
bentuk kewajiban lainnya yang dipersamakan dengan
itu.
Pasal 2
(1) Bank wajib memelihara kecukupan likuiditas yang
memadai.
(2) Pemenuhan kecukupan likuiditas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan
menggunakan LCR.
(3) Perhitungan LCR sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dihitung dalam denominasi Rupiah.
(4) Pemenuhan LCR sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan paling rendah 100% (seratus persen) secara
berkelanjutan.
(5) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan LCR
yang lebih tinggi dari kewajiban pemenuhan LCR
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam hal
Otoritas Jasa Keuangan menilai suatu Bank
- 4 -
membutuhkan likuiditas yang lebih besar.
Pasal 3
(1) Bank wajib menginformasikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan kondisi likuiditas Bank dalam hal:
a. tidak mampu memenuhi LCR sampai dengan
100% (seratus persen); atau
b. berpotensi tidak mampu memenuhi LCR sampai
dengan 100% (seratus persen).
(2) Dalam hal terdapat kondisi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank wajib:
a. menganalisis kondisi likuiditas Bank yang
meliputi:
1. alasan atau faktor yang berpotensi atau
menyebabkan kegagalan Bank dalam
memenuhi persyaratan LCR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4);
2. langkah-langkah yang telah dan akan
dilakukan untuk memperbaiki kondisi
likuiditas; dan
3. jangka waktu stres likuiditas yang
diperkirakan oleh Bank;
b. menyampaikan laporan analisis atas kondisi
likuiditas Bank sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan informasi lebih lanjut terkait kondisi
likuiditas Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan;
dan
c. mengambil langkah-langkah yang diperlukan
untuk memperbaiki kondisi likuiditas antara lain
meliputi:
1. pengurangan eksposur Bank terhadap risiko
likuiditas;
2. penguatan kebijakan, proses, dan prosedur
manajemen risiko likuiditas Bank; dan/atau
3. penyempurnaan rencana Pendanaan darurat
(contingency funding plan) Bank.
- 5 -
(3) Bank dapat menggunakan HQLA yang menyebabkan
LCR Bank menjadi kurang dari 100% (seratus persen)
dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan, dalam
hal kondisi likuiditas Bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berpotensi mengganggu kelangsungan
usaha Bank.
Pasal 4
Dalam hal Bank memiliki dan/atau melakukan
pengendalian terhadap perusahaan anak, kewajiban
pemenuhan LCR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
berlaku bagi Bank baik secara individu maupun secara
konsolidasi.
Pasal 5
Pemenuhan LCR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
berlaku untuk:
a. Bank yang termasuk dalam kelompok Bank Umum
Kegiatan Usaha (BUKU) 3;
b. Bank yang termasuk dalam kelompok Bank Umum
Kegiatan Usaha (BUKU) 4; dan
c. bank asing.
BAB II
HIGH QUALITY LIQUID ASSET
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 6
(1) Bank wajib memiliki HQLA dalam rangka pemenuhan
LCR.
(2) Bank wajib memiliki kebijakan mengenai HQLA paling
kurang untuk:
a. mengidentifikasi entitas hukum, lokasi geografis,
jenis mata uang dan/atau rekening HQLA
ditempatkan; dan
b. mengecualikan aset tertentu
dari HQLA
- 6 -
berdasarkan alasan operasional.
(3) Nilai HQLA yang diperhitungkan dalam perhitungan
LCR adalah nilai pasar dari HQLA.
Pasal 7
(1) Komponen HQLA yang diperhitungkan dalam
pemenuhan LCR sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 terdiri atas:
a. HQLA Level 1; dan
b. HQLA Level 2 yang meliputi:
1. HQLA Level 2A; dan
2. HQLA Level 2B.
(2) HQLA Level 1 yang dapat diperhitungkan dalam
pemenuhan LCR tidak dibatasi jumlahnya.
(3) HQLA Level 2 yang dapat diperhitungkan dalam
pemenuhan LCR paling tinggi 40% (empat puluh
persen) dari total HQLA.
(4) HQLA Level 2B yang dapat diperhitungkan dalam
pemenuhan LCR paling tinggi 15% (lima belas persen)
dari total HQLA.
(5) Perhitungan batas maksimum HQLA Level 2 dan
HQLA Level 2B menggunakan formula sebagaimana
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Bagian Kedua
Persyaratan HQLA
Pasal 8
HQLA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) harus
memenuhi:
a. persyaratan fundamental;
b. persyaratan terkait dengan karakteristik pasar;
c. persyaratan operasional; dan
d. persyaratan terdiversifikasi.
- 7 -
Pasal 9
(1) Persyaratan fundamental HQLA sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf a yaitu:
a. memiliki risiko yang rendah;
b. memiliki metode penilaian yang mudah dan pasti;
c. memiliki korelasi yang rendah dengan aset
berisiko; dan
d. terdaftar di bursa yang diakui.
(2) Persyaratan HQLA terkait dengan karakteristik pasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b yaitu:
a. memiliki pasar yang aktif dan memadai;
b. memiliki volatilitas pasar yang rendah; dan
c. secara historis merupakan aset yang diinginkan
oleh pelaku pasar apabila terjadi krisis (terjadi
flight to quality).
(3) Persyaratan operasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 huruf c yaitu:
a. bebas dari segala klaim, kecuali aset yang
disimpan atau diperjanjikan dengan Bank
Indonesia namun belum digunakan untuk
menghasilkan likuiditas;
b. tidak ditetapkan untuk tujuan menutup biaya
operasional;
c. dapat digunakan secara legal dan kontraktual
oleh Bank pada saat terjadi kondisi stres;
d. aset yang diterima sebagai agunan dalam
transaksi derivatif yang tidak dipisahkan (non
segregated collateral) yang secara hukum dapat
diagunkan kembali, dapat dimasukkan dalam
kelompok HQLA jika Bank memperhitungkan
arus keluar (outflow) terkait aset yang diagunkan
kembali;
e.
tersedia dan dapat dicairkan dalam kondisi stres
serta terdapat prosedur dan sistem yang
memadai;
f.
aset keuangan berada dibawah pengendalian
suatu fungsi khusus yang bertanggung jawab
- 8 -
mengelola likuiditas Bank, yang memiliki
kewenangan untuk mencairkan aset;
g. secara berkala dapat dicairkan sejumlah tertentu
melalui repo maupun penjualan dalam rangka
menguji aksesibilitas ke pasar, efektifitas dari
proses pencairan aset, dan/atau ketersediaan
aset;
h. Bank tidak dapat memasukkan aset dengan hak
untuk mengagunkan kembali kedalam kelompok
HQLA apabila pemilik asal aset memiliki hak
kontraktual untuk menarik aset selama 30 (tiga
puluh) hari periode stres; dan
i.
aset keuangan perusahaan anak yang memenuhi
kriteria HQLA yang digunakan untuk memenuhi
persyaratan
likuiditas hanya dapat
diperhitungkan dalam LCR secara konsolidasi,
sepanjang risiko terkait yang tercermin dari Net
Cash Outflow dari perusahaan anak
diperhitungkan dalam perhitungan LCR
konsolidasi.
(4) Persyaratan terdiversifikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 huruf d yaitu:
a. tersebar pada berbagai jenis aset keuangan,
penerbit, dan jenis mata uang; dan
b. memiliki kebijakan dan limit terkait dengan jenis
aset keuangan, penerbit, dan jenis mata uang
tertentu.
(5) Persyaratan terdiversifikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dikecualikan bagi HQLA yang berbentuk:
a. kas;
b. surat utang yang diterbitkan oleh Pemerintah
Pusat;
c. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia; dan
d. penempatan pada Bank Indonesia.
- 9 -
Bagian Ketiga
Komponen HQLA
Pasal 10
(1) HQLA Level 1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) huruf a meliputi:
a. kas dan setara kas;
b. penempatan pada Bank Indonesia;
c. surat berharga yang diterbitkan atau dijamin oleh
pemerintah negara lain, bank sentral negara lain,
entitas sektor publik, bank pembangunan
multilateral, dan/atau lembaga internasional
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang
mengatur mengenai pedoman perhitungan aset
tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit
dengan menggunakan pendekatan standar, yang
memenuhi persyaratan:
1. dikenakan bobot risiko 0% (nol persen)
dalam perhitungan Aset Tertimbang Menurut
Risiko (ATMR) untuk risiko kredit dengan
menggunakan pendekatan standar;
2. diperdagangkan pada pasar yang aktif;
3. telah teruji sebagai sumber likuiditas yang
terpercaya di pasar baik dalam kondisi
normal maupun kondisi stres; dan
4. bukan merupakan kewajiban dari lembaga
jasa keuangan dan/atau entitas yang
terafiliasi dengan lembaga jasa keuangan;
d. surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah
Pusat dan Bank Indonesia dalam Rupiah dan
valuta asing; dan
e. surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah
dan bank sentral negara lain dengan bobot risiko
lebih dari 0% (nol persen) dalam valuta asing
sepanjang:
1. Bank memiliki perusahaan anak atau cabang
di negara lain dimaksud; dan
- 10 -
2. paling tinggi sebesar kebutuhan arus keluar
(outflow) pada mata uang di negara yang
menerbitkan surat berharga valuta asing
dimaksud.
(2) Dalam rangka pemenuhan LCR, HQLA Level 1
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan
pengurangan nilai (haircut).
Pasal 11
(1) HQLA Level 2A sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) huruf b angka 1 meliputi:
a. surat berharga yang diterbitkan atau dijamin oleh
pemerintah negara lain, bank sentral negara lain,
entitas sektor publik, dan/atau bank
pembangunan multilateral yang memenuhi
persyaratan:
1. dikenakan bobot risiko 20% (dua puluh
persen) dalam perhitungan ATMR untuk
risiko kredit dengan menggunakan
pendekatan standar;
2. diperdagangkan pada pasar yang aktif;
3. telah teruji sebagai sumber likuiditas yang
terpercaya di pasar, baik dalam kondisi
normal maupun kondisi stres dengan kriteria
yaitu:
a) penurunan harga paling tinggi 10%
(sepuluh persen); atau
b) peningkatan pengurangan nilai (haircut)
paling tinggi 10% (sepuluh persen),
selama 30 (tiga puluh) hari periode stres; dan
4. bukan merupakan kewajiban dari lembaga
jasa keuangan dan/atau entitas yang
terafiliasi dengan lembaga jasa keuangan;
b. surat berharga berupa surat utang yang
diterbitkan oleh korporasi, termasuk commercial
paper, dan covered bonds namun tidak termasuk
obligasi subordinasi,
yang memenuhi
- 11 -
persyaratan:
1. tidak boleh diterbitkan oleh lembaga jasa
keuangan dan/atau entitas yang terafiliasi
dengan lembaga jasa keuangan;
2. dalam hal surat berharga berbentuk covered
bonds boleh diterbitkan oleh lembaga jasa
keuangan dan/atau entitas yang terafiliasi
dengan lembaga jasa keuangan namun tidak
boleh diterbitkan oleh Bank pelapor dan
pihak yang terafiliasi dengan Bank pelapor;
3. memiliki peringkat kredit jangka panjang
paling rendah AA- atau peringkat kredit
jangka pendek yang ekuivalen dalam hal
tidak tersedia peringkat jangka panjang dari
lembaga pemeringkat yang diakui atau
memiliki probability of default yang setara
dengan peringkat kredit paling rendah AA-;
4. diperdagangkan pada pasar yang aktif; dan
5. telah teruji sebagai sumber likuiditas yang
terpercaya di pasar, baik dalam kondisi
normal maupun kondisi stres dengan kriteria
yaitu:
a) penurunan harga paling tinggi 10%
(sepuluh persen); atau
b) peningkatan pengurangan nilai (haircut)
paling tinggi 10% (sepuluh persen),
selama 30 (tiga puluh) hari periode stres.
(2) Dalam rangka pemenuhan LCR, HQLA Level 2A
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan
pengurangan nilai (haircut) 15% (lima belas persen)
dari harga pasar.
Pasal 12
(1) HQLA Level 2B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) huruf b angka 2 meliputi:
a. efek beragun aset berupa rumah tinggal yang
memenuhi persyaratan:
- 12 -
1. tidak diterbitkan oleh Bank pelapor atau
entitas terafiliasi dari Bank pelapor;
2. aset yang mendasari tidak berasal dari Bank
pelapor atau entitas terafiliasi dari Bank
pelapor;
3. memiliki peringkat jangka panjang paling
rendah AA atau peringkat jangka pendek
yang ekuivalen apabila tidak tersedia
peringkat jangka panjang dari lembaga
pemeringkat yang diakui;
4. diperdagangkan pada pasar yang aktif;
5. telah teruji sebagai sumber likuiditas yang
terpercaya di pasar, baik dalam kondisi
normal maupun kondisi stres dengan kriteria
yaitu:
a) penurunan harga paling tinggi 20% (dua
puluh persen); atau
b) peningkatan pengurangan nilai (haircut)
paling tinggi 20% (dua puluh persen),
selama 30 (tiga puluh) hari periode stres;
6. aset yang mendasari hanya terdiri atas kredit
beragun rumah tinggal;
7. agunan kredit yang digunakan merupakan
pinjaman yang tergolong full recourse dengan
rasio nilai kredit terhadap nilai agunan
paling tinggi 80% (delapan puluh persen);
dan
8. sekuritisasi harus bersifat risk retention;
b. surat berharga berupa surat utang
yang
diterbitkan oleh korporasi termasuk commercial
paper, yang memenuhi persyaratan:
1. tidak diterbitkan oleh lembaga jasa
keuangan dan/atau entitas yang terafiliasi
dengan lembaga jasa keuangan;
2. memiliki peringkat kredit jangka panjang
paling tinggi A+ dan paling rendah BBB- atau
peringkat kredit jangka pendek yang
- 13 -
ekuivalen dalam hal tidak tersedia peringkat
jangka panjang dari lembaga pemeringkat
yang diakui atau memiliki probability of
default yang setara dengan peringkat kredit
paling tinggi A+ dan paling rendah BBB-;
3. diperdagangkan pada pasar yang aktif; dan
4. telah teruji sebagai sumber likuiditas yang
terpercaya di pasar, baik dalam kondisi
normal maupun kondisi stres dengan kriteria
yaitu:
a) penurunan harga paling tinggi 20% (dua
puluh persen); atau
b) peningkatan pengurangan nilai (haircut)
paling tinggi 20% (dua puluh persen);
selama 30 (tiga puluh) hari periode stres;
c. saham biasa yang dimiliki oleh perusahaan anak
bukan Bank yang memenuhi persyaratan:
1. tidak diterbitkan oleh lembaga jasa
keuangan dan/atau entitas yang terafiliasi
dengan lembaga jasa keuangan;
2. terdaftar di bursa yang diakui;
3. denominasi Rupiah;
4. diperdagangkan pada pasar yang aktif; dan
5. telah teruji sebagai sumber likuiditas yang
terpercaya di pasar, baik dalam kondisi
normal maupun kondisi stres dengan kriteria
yaitu:
a) penurunan harga paling tinggi 40%
(empat puluh persen); atau
b) peningkatan pengurangan nilai (haircut)
paling tinggi 40% (empat puluh persen),
selama 30 (tiga puluh) hari periode stres.
(2) Dalam rangka pemenuhan LCR, HQLA Level 2B
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan
pengurangan nilai (haircut):
a. 25% (dua puluh lima persen) dari harga pasar
untuk efek beragun aset berupa rumah tinggal
- 14 -
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a;
atau
b. 50% (lima puluh persen) dari harga pasar untuk
surat berharga berupa surat utang yang
diterbitkan oleh korporasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dan saham biasa yang
dimiliki oleh perusahaan anak bukan Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c.
BAB III
ARUS KAS KELUAR (CASH OUTFLOW)
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 13
(1) Dalam rangka pemenuhan LCR, Bank wajib
menghitung arus kas keluar (cash outflow) selama 30
(tiga puluh) hari kedepan yang bersumber dari:
a. Simpanan nasabah perorangan (retail deposit);
b. Pendanaan yang berasal dari nasabah Usaha
Mikro dan Usaha Kecil;
c. Pendanaan yang berasal dari nasabah korporasi;
d. Pendanaan dengan agunan (secured funding); dan
e. arus kas keluar lainnya (additional requirement).
(2) Nilai arus kas keluar yang diperhitungkan dalam
pemenuhan LCR adalah sebesar nilai outstanding
kewajiban pada neraca dan komitmen pada rekening
administratif dikalikan dengan tingkat penarikan (run-
off rate).
Bagian Kedua
Simpanan Nasabah Perorangan (Retail Deposit) dan
Pendanaan yang Berasal dari Nasabah Usaha Mikro dan
Usaha Kecil
Pasal 14
Simpanan nasabah perorangan sebagaimana dimaksud
- 15 -
dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a dan Pendanaan yang
berasal dari nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b,
yang diperhitungkan dalam LCR adalah:
a. memiliki jangka waktu sampai dengan 30 (tiga puluh)
hari; atau
b. memiliki jangka waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari
namun dapat ditarik sewaktu-waktu oleh nasabah
tanpa adanya penalti yang signifikan; dan
c. Simpanan tidak sedang dijaminkan sampai dengan 30
(tiga puluh) hari kedepan.
Pasal 15
(1) Pendanaan yang berasal dari nasabah Usaha Mikro
dan Usaha Kecil yang diperhitungkan dalam LCR
selain memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 juga wajib memenuhi kriteria:
a. nasabah tergolong sebagai Usaha Mikro dan
Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai usaha
mikro, kecil, dan menengah; dan
b.
total Pendanaan dari setiap nasabah paling tinggi
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal nasabah tidak tergolong sebagai Usaha
Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai usaha
mikro, kecil, dan menengah namun jumlah total
Pendanaan
nasabah
sampai
dengan
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
diperlakukan seperti nasabah perorangan, dapat
dikategorikan sebagai nasabah Usaha Mikro dan
Usaha Kecil.
Pasal 16
Dalam rangka menghitung arus kas keluar, Bank wajib
mengklasifikasikan Simpanan nasabah perorangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a
- 16 -
dalam:
a. Simpanan stabil; dan
b. Simpanan kurang stabil.
Pasal 17
(1) Simpanan stabil sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 huruf a adalah Simpanan yang memenuhi kriteria
penjaminan oleh Lembaga Penjamin Simpanan dan
memenuhi persyaratan:
a. nasabah memiliki hubungan atau keterkaitan
dengan Bank sehingga kemungkinan penarikan
Simpanan sangat kecil; atau
b. rekening Simpanan digunakan untuk keperluan
transaksi nasabah secara rutin.
(2) Besarnya tingkat penarikan untuk Simpanan nasabah
perorangan yang termasuk dalam Simpanan stabil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan 5%
(lima persen) dari nilai Simpanan stabil.
Pasal 18
(1) Simpanan kurang stabil sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 huruf b adalah Simpanan nasabah
perorangan yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).
(2) Besarnya tingkat penarikan untuk Simpanan nasabah
perorangan yang termasuk dalam Simpanan kurang
stabil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
10% (sepuluh persen) dari nilai Simpanan kurang
stabil.
(3) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan
tingkat penarikan yang lebih tinggi untuk Simpanan
nasabah perorangan yang termasuk dalam Simpanan
kurang stabil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
jika Otoritas Jasa Keuangan menilai tingkat penarikan
untuk jenis Simpanan tertentu lebih tinggi
dibandingkan jenis Simpanan lainnya.
- 17 -
Pasal 19
Dalam rangka menghitung arus kas keluar, Bank wajib
mengklasifikasikan Pendanaan yang berasal dari nasabah
Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dalam:
a. Pendanaan stabil; dan
b. Pendanaan kurang stabil.
Pasal 20
(1) Persyaratan Pendanaan stabil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 huruf a mengacu pada persyaratan
Simpanan stabil sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (1).
(2) Besarnya tingkat penarikan untuk Pendanaan yang
berasal dari nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil
yang termasuk dalam Pendanaan stabil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan 5% (lima persen)
dari nilai Pendanaan stabil.
Pasal 21
(1) Pendanaan kurang stabil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 huruf b adalah Pendanaan yang
berasal dari nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil
yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1).
(2) Besarnya tingkat penarikan untuk Pendanaan yang
berasal dari nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil
yang termasuk dalam Pendanaan kurang stabil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan 10%
(sepuluh persen) dari nilai Pendanaan kurang stabil.
Bagian Ketiga
Pendanaan yang Berasal dari Nasabah Korporasi
Pasal 22
(1) Pendanaan yang berasal dari nasabah korporasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf
- 18 -
c yang diperhitungkan dalam LCR adalah Pendanaan
yang memenuhi persyaratan:
a. memiliki jangka waktu atau sisa jangka waktu
sampai dengan 30 (tiga puluh) hari atau kurang,
termasuk Pendanaan tanpa jangka waktu; atau
b. Pendanaan dengan fitur option yang dapat
dicairkan oleh nasabah korporasi dalam jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari atau kurang.
(2) Dalam hal terdapat perjanjian yang jelas dan mengikat
bahwa nasabah korporasi hanya dapat melakukan
penarikan Pendanaan setelah memberitahukan
kepada Bank terlebih dahulu lebih dari 30 (tiga puluh)
hari sebelum penarikan, Pendanaan yang berasal dari
nasabah korporasi dapat dikecualikan dari
perhitungan arus kas keluar (cash outflow).
Pasal 23
Dalam rangka menghitung arus kas keluar, Bank wajib
mengklasifikasikan Pendanaan yang berasal dari nasabah
korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)
huruf c dalam:
a. Simpanan operasional; atau
b. Simpanan non-operasional dan/atau kewajiban
lainnya yang bersifat non-operasional.
Pasal 24
(1) Simpanan operasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 huruf a adalah Simpanan yang memenuhi
persyaratan:
a. digunakan nasabah korporasi untuk kegiatan
kliring, kustodian atau cash management yang
memenuhi kriteria:
1. merupakan Simpanan yang wajib
ditempatkan oleh nasabah korporasi pada
Bank untuk menggunakan jasa atau produk
Bank lainnya;
- 19 -
2. nasabah korporasi bergantung secara
signifikan kepada Bank untuk dapat
menyediakan fasilitas kliring, kustodian atau
cash management selama 30 (tiga puluh) hari
kedepan;
3. merupakan Simpanan yang digunakan
sebagai prasyarat agar nasabah korporasi
dapat menjalankan kegiatan kliring,
kustodian atau cash management;
4. terdapat perjanjian yang mengikat secara
hukum dengan nasabah korporasi; dan
5. apabila perjanjian akan dibatalkan sebelum
30 (tiga puluh) hari, nasabah korporasi
harus:
(i) memberitahukan kepada Bank paling
tidak 30 (tiga puluh) hari sebelumnya;
atau
(ii) dikenakan denda yang signifikan; dan
b. ditempatkan pada rekening terpisah yang tidak
memberikan insentif ekonomi kepada nasabah
yang menempatkan dananya secara berlebih
diluar dari tujuan transaksional pada rekening
ini.
(2) Bank harus memiliki metode untuk menentukan nilai
Simpanan yang dapat diklasifikasikan sebagai
Simpanan operasional.
(3) Dalam hal Bank tidak dapat menentukan nilai
Simpanan yang diklasifikasikan sebagai Simpanan
operasional, seluruh Simpanan diklasifikasikan
sebagai Simpanan non-operasional dan/atau atau
kewajiban lainnya yang bersifat non-operasional.
(4) Besarnya tingkat penarikan untuk Simpanan
operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan:
a. 5% (lima persen) dari nilai Simpanan operasional
jika memenuhi kriteria penjaminan oleh Lembaga
Penjamin Simpanan; atau
- 20 -
b. 25% (dua puluh lima persen) dari nilai Simpanan
operasional jika tidak memenuhi kriteria
penjaminan oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
Pasal 25
(1) Simpanan yang berasal dari nasabah korporasi yang
tidak memenuhi persyaratan sebagai Simpanan
operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (1) diklasifikasikan sebagai Simpanan non-
operasional dan/atau kewajiban lainnya yang bersifat
non-operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 huruf b.
(2) Besarnya tingkat penarikan untuk Simpanan non-
operasional dan/atau kewajiban lainnya yang bersifat
non-operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan:
a. Simpanan non-operasional dan/atau kewajiban
lainnya yang bersifat non-operasional yang
berasal dari perusahaan non-keuangan,
Pemerintah Pusat, Bank Indonesia, pemerintah
negara lain, bank sentral negara lain, bank
pembangunan multilateral, dan/atau entitas
sektor publik, ditetapkan:
1. 20% (dua puluh persen) dari nilai Simpanan
non-operasional dan/atau kewajiban lainnya
yang bersifat non-operasional apabila
memenuhi kriteria penjaminan oleh Lembaga
Penjamin Simpanan; atau
2. 40% (empat puluh persen) dari nilai
Simpanan
non-operasional dan/atau
kewajiban lainnya yang bersifat non-
operasional apabila tidak memenuhi kriteria
penjaminan oleh Lembaga Penjamin
Simpanan;
b. Simpanan non-operasional dan/atau kewajiban
lainnya yang bersifat non-operasional yang
berasal dari entitas lainnya ditetapkan 100%
- 21 -
(seratus persen) dari nilai Simpanan non-
operasional dan/atau kewajiban lainnya yang
bersifat non-operasional; dan/atau
c. surat berharga berupa surat utang yang
diterbitkan oleh Bank dikenakan tingkat
penarikan 100% (seratus persen) tanpa
memperhatikan pemegang surat berharga.
Bagian Keempat
Pendanaan dengan Agunan (Secured Funding)
Pasal 26
(1) Bank wajib menghitung tingkat penarikan untuk
Pendanaan dengan agunan (secured funding)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf
d yang akan jatuh tempo dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari.
(2) Besarnya tingkat penarikan untuk Pendanaan dengan
agunan (secured funding) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan:
a. 0% (nol persen) dari Pendanaan dalam hal
agunan berupa HQLA Level 1 atau pihak lawan
(counterparty) transaksi adalah Bank Indonesia;
b. 15% (lima belas persen) dari Pendanaan dalam
hal agunan berupa HQLA Level 2A;
c. 25% (dua puluh lima persen) dari Pendanaan
dalam hal:
1. pihak lawan (counterparty) transaksi adalah
Pemerintah Pusat, entitas sektor publik atau
bank pembangunan multilateral dengan
agunan selain HQLA Level 1 atau Level 2A;
atau
2. agunan merupakan efek beragun aset berupa
rumah tinggal yang memenuhi kriteria HQLA
Level 2B;
d. 50% (lima puluh persen) dari Pendanaan dalam
hal agunan berupa HQLA Level 2B selain agunan
- 22 -
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
angka 2; atau
e. 100% (seratus persen) dari Pendanaan untuk
Pendanaan dengan agunan (secured funding) yang
tidak memenuhi kriteria pada huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d.
Bagian Kelima
Arus Kas Keluar Lainnya (Additional Requirement)
Pasal 27
Dalam rangka perhitungan LCR, Bank wajib menghitung
arus kas keluar lainnya (additional requirement)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf e
yang meliputi:
a.
transaksi derivatif;
b. peningkatan kebutuhan likuiditas;
c. kehilangan Pendanaan;
d. penarikan komitmen fasilitas kredit dan fasilitas
likuiditas;
e. kewajiban kontraktual lainnya terkait penyaluran
dana;
f.
kewajiban kontijensi Pendanaan lainnya (other
contigent funding obligation); dan
g. arus kas keluar kontraktual lainnya.
Pasal 28
(1) Bank wajib memperhitungkan estimasi arus kas
keluar dalam 30 (tiga puluh) hari kedepan atas
transaksi derivatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 huruf a berdasarkan metode valuasi yang berlaku
pada masing-masing Bank.
(2) Arus kas masuk dan arus kas keluar yang berasal dari
transaksi derivatif dapat dihitung selisih bersih (net)
berdasarkan pihak lawan (counterparty) dalam hal
terdapat valid master netting agreement.
- 23 -
(3) Arus kas masuk dan arus kas keluar yang berasal dari
transaksi derivatif valuta asing dapat dihitung selisih
bersih (net) meskipun tanpa valid master netting
agreement dalam hal transaksi derivatif merupakan
pemindahan dana pokok secara penuh dan simultan
atau pada hari yang sama.
(4) Perhitungan arus kas keluar lainnya (additional
requirement) yang terkait dengan penyelesaian
(settlement) transaksi derivatif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dikurangkan dengan arus kas
masuk (cash inflow) dari penggunaan agunan yang
diterima oleh Bank sepanjang memenuhi persyaratan:
a. memenuhi kriteria sebagai HQLA;
b. tidak diperhitungkan sebagai bagian dari HQLA
dalam pemenuhan LCR; dan
c. Bank secara legal memiliki hak dan kemampuan
operasional menggunakan agunan untuk
menghasilkan dana baru.
(5) Tingkat penarikan untuk transaksi derivatif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan 100%
(seratus persen) dari nilai transaksi derivatif.
Pasal 29
Bank wajib memperhitungkan estimasi arus kas keluar
dalam 30 (tiga puluh) hari kedepan atas peningkatan
kebutuhan likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 huruf b terkait dengan:
a. penurunan peringkat (rating) Bank dalam transaksi
Pendanaan, derivatif, dan perjanjian lainnya;
b. perubahan mark to market atas transaksi derivatif
atau transaksi lainnya;
c. potensi perubahan nilai agunan untuk derivatif dan
transaksi lainnya;
d. kelebihan agunan yang tidak terpisah (non-segregated
collateral) yang dikuasai oleh Bank yang secara
kontraktual dapat diambil setiap saat oleh pihak
lawan (counterparty);
- 24 -
e. kewajiban penyediaan agunan kepada pihak lawan
(counterparty) atas suatu transaksi tertentu namun
pihak lawan (counterparty) belum meminta agunan
tersebut; dan
f.
potensi penukaran agunan yang berupa HQLA menjadi
bukan HQLA.
Pasal 30
Tingkat penarikan untuk peningkatan kebutuhan likuiditas
terkait dengan penurunan peringkat (rating) Bank dalam
transaksi Pendanaan, derivatif, dan perjanjian lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a ditetapkan
100% (seratus persen) dari jumlah agunan yang harus
diberikan atau arus kas keluar sesuai perjanjian yang
berhubungan dengan penurunan peringkat (rating) jangka
panjang sampai dengan atau sama dengan 3 (tiga) level
peringkat (notches).
Pasal 31
Tingkat penarikan untuk peningkatan kebutuhan likuiditas
terkait dengan perubahan mark to market atas transaksi
derivatif atau transaksi lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 huruf b ditetapkan sebesar aliran agunan
bersih absolut selama 30 (tiga puluh) hari yang terbesar
yang direalisasikan dalam 24 (dua puluh empat) bulan.
Pasal 32
Tingkat penarikan untuk peningkatan kebutuhan likuiditas
terkait dengan potensi perubahan nilai agunan untuk
derivatif dan transaksi lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 huruf c ditetapkan 20% (dua puluh persen)
dari nilai agunan yang bukan HQLA Level 1 setelah
pengurangan nilai (haircut) yang berasal dari nilai seluruh
agunan setelah dikurangi agunan yang diterima dari pihak
lawan (counterparty) sepanjang agunan yang diterima dapat
diagunkan kembali.
- 25 -
Pasal 33
Tingkat penarikan untuk peningkatan kebutuhan likuiditas
terkait dengan kelebihan agunan yang tidak terpisah (non-
segregated collateral) yang dikuasai oleh Bank yang secara
kontraktual dapat diambil setiap saat oleh pihak lawan
(counterparty) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
huruf d ditetapkan 100% (seratus persen) dari nilai non-
segregated collateral yang secara kontraktual dapat ditarik
kembali oleh pihak lawan (counterparty) karena nilai
agunan melebihi dari yang dipersyaratkan.
Pasal 34
Tingkat penarikan untuk peningkatan kebutuhan likuiditas
terkait dengan kewajiban penyediaan agunan kepada pihak
lawan (counterparty) atas suatu transaksi tertentu namun
pihak lawan (counterparty) belum meminta agunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf e ditetapkan
100% (seratus persen) dari nilai agunan yang secara
kontraktual harus dipenuhi.
Pasal 35
Tingkat penarikan untuk peningkatan kebutuhan likuiditas
terkait dengan potensi penukaran agunan yang berupa
HQLA menjadi bukan HQLA sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 huruf f ditetapkan 100% (seratus persen) dari nilai
HQLA yang dapat ditukar dengan aset bukan HQLA.
Pasal 36
(1) Bank wajib memperhitungkan estimasi arus kas
keluar dalam 30 (tiga puluh) hari kedepan atas risiko
kehilangan Pendanaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 huruf c yang terkait dengan:
a. kehilangan Pendanaan yang berasal dari efek
beragun aset, covered bonds, dan instrumen
pembiayaan terstruktur lainnya yang diterbitkan
oleh Bank; atau
- 26 -
b. kehilangan Pendanaan yang berasal dari asset-
backed commercial paper, conduits, securities
investment vehicles, dan fasilitas pembiayaan lain
yang serupa.
(2) Tingkat penarikan untuk kehilangan Pendanaan yang
berasal dari efek beragun aset, covered bonds, dan
instrumen pembiayaan terstruktur lainnya yang
diterbitkan oleh Bank sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a ditetapkan 100% (seratus persen) dari
transaksi Pendanaan yang jatuh tempo dalam jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari.
(3) Tingkat penarikan untuk kehilangan Pendanaan yang
berasal dari asset-backed commercial paper, conduits,
securities investment vehicles, dan fasilitas pembiayaan
lain yang serupa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b ditetapkan 100% (seratus persen) dari:
a. Pendanaan yang akan jatuh tempo dalam 30 (tiga
puluh) hari kedepan; dan
b. aset yang berpotensi untuk dilunasi dalam 30
(tiga puluh) hari kedepan walaupun belum jatuh
tempo.
(4) Dalam hal aktivitas Pendanaan terstruktur Bank
dilakukan melalui entitas bertujuan khusus, dalam
menentukan persyaratan HQLA, Bank wajib
memperhitungkan:
a. instrumen utang yang diterbitkan oleh entitas
yang jatuh tempo dalam 30 (tiga puluh) hari
dikenakan tingkat penarikan 100% (seratus
persen); atau
b. opsi tertanam dalam pembiayaan yang berpotensi
memicu pengembalian aset atau kebutuhan
untuk likuiditas, dikenakan tingkat penarikan
100% (seratus persen) dari nilai aset yang
berpotensi untuk diperoleh kembali.
- 27 -
Pasal 37
(1) Tingkat penarikan arus kas keluar lainnya (additional
requirement) yang terkait dengan kewajiban komitmen
dalam bentuk fasilitas kredit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 huruf d ditetapkan:
a. 5% (lima persen) dari fasilitas kredit yang belum
ditarik dalam hal fasilitas diberikan kepada
perorangan atau Usaha Mikro dan Usaha Kecil;
b. 10% (sepuluh persen) dari fasilitas kredit yang
belum ditarik dalam hal fasilitas diberikan kepada
korporasi non-keuangan, Pemerintah Pusat, Bank
Indonesia, pemerintah negara lain, bank sentral
negara lain, entitas sektor publik, dan/atau bank
pembangunan multilateral;
c. 40% (empat puluh persen) dari fasilitas kredit
yang belum ditarik dalam hal fasilitas diberikan
kepada Bank dan/atau lembaga jasa keuangan;
dan/atau
d. 100% (seratus persen) dari fasilitas kredit yang
belum ditarik dalam hal fasilitas diberikan kepada
entitas selain sebagaimana dimaksud pada huruf
a, huruf b, dan huruf c.
(2) Tingkat penarikan arus kas keluar lainnya (additional
requirement) yang terkait dengan kewajiban komitmen
dalam bentuk fasilitas likuiditas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 huruf d ditetapkan:
a. 5% (lima persen) dari fasilitas likuiditas yang
belum ditarik dalam hal fasilitas diberikan kepada
perorangan atau Usaha Mikro dan Usaha Kecil;
b. 30% (tiga puluh persen) dari fasilitas likuiditas
yang belum ditarik dalam hal fasilitas diberikan
kepada korporasi non-keuangan, Pemerintah
Pusat, Bank Indonesia, pemerintah negara lain,
bank sentral negara lain, entitas sektor publik,
dan/atau bank pembangunan multilateral;
c. 40% (empat puluh persen) dari fasilitas likuiditas
yang belum ditarik dalam hal fasilitas diberikan
- 28 -
kepada Bank; dan/atau
d. 100% (seratus persen) dari fasilitas likuiditas
yang belum ditarik dalam hal fasilitas diberikan
kepada lembaga jasa keuangan dan/atau entitas
selain sebagaimana dimaksud pada huruf a,
huruf b, dan huruf c.
(3) Dalam hal komitmen fasilitas kredit dan/atau fasilitas
likuiditas mempunyai agunan berupa HQLA, agunan
dapat dihitung sebagai pengurang arus kas keluar
sepanjang belum diperhitungkan sebagai HQLA dan
memenuhi syarat:
a. HQLA sudah dijadikan agunan oleh pihak ketiga
untuk menjamin fasilitas atau secara kontraktual
wajib disertakan ketika pihak ketiga akan
menarik fasilitas;
b. Bank berhak menggunakan kembali agunan
untuk memperoleh dana baru saat fasilitas sudah
ditarik; dan
c.
tidak ada korelasi antara kemungkinan penarikan
fasilitas dan nilai pasar dari agunan.
Pasal 38
(1) Tingkat penarikan terhadap kewajiban kontraktual
lainnya terkait penyaluran dana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 huruf e ditetapkan 100%
(seratus persen) dari kewajiban kontraktual terkait
penyaluran dana kepada lembaga jasa keuangan
dalam periode 30 (tiga puluh) hari.
(2) Jika total seluruh kewajiban kontraktual terkait
penyaluran dana kepada nasabah perorangan dan
korporasi non-keuangan dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari kedepan yang belum tercakup dalam
kategori lainnya melebihi 50% (lima puluh persen) dari
total arus masuk (inflow) yang bersifat kontraktual
dalam periode 30 (tiga puluh) hari, tingkat penarikan
ditetapkan 100% (seratus persen) dari nilai selisih
lebih antara:
- 29 -
a. kewajiban kontraktual untuk menyalurkan dana;
dengan
b. 50% (lima puluh persen) total arus kas masuk
(cash inflow).
Pasal 39
(1) Arus kas keluar lainnya (additional requirement) yang
terkait dengan kewajiban kontijensi Pendanaan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf f
meliputi:
a. kewajiban yang berasal dari instrumen trade
finance;
b. kewajiban yang berasal dari fasilitas kredit dan
fasilitas likuiditas yang bersifat unconditionally
revocable uncommitted;
c. kewajiban yang berasal dari letter of credit (L/C)
dan garansi yang tidak terkait dengan kewajiban
trade finance;
d. kewajiban yang berasal dari permintaan potensial
untuk membeli kembali utang Bank atau yang
terkait dengan securities investment vehicles dan
fasilitas pembiayaan lainnya;
e. kewajiban yang berasal dari structured product
yang diantisipasi oleh nasabah melalui ready
marketability;
f.
kewajiban yang berasal dari dana kelolaan
(managed funds) yang dijual dengan tujuan
menjaga kestabilan nilai;
g. kewajiban untuk menutup potensi pembelian
kembali surat berharga berupa surat utang,
dengan atau tanpa agunan, yang memiliki jangka
waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari bagi emiten
yang memiliki afiliasi dengan dealer atau market
maker; dan/atau
h. kewajiban non-kontraktual posisi short nasabah
yang dilindungi dengan agunan nasabah lain.
- 30 -
(2) Tingkat penarikan dari kewajiban kontijensi
Pendanaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan:
a. 3% (tiga persen) untuk kewajiban yang berasal
dari instrumen trade finance;
b. 0% (nol persen) untuk kewajiban yang berasal
dari fasilitas kredit dan fasilitas likuiditas yang
bersifat unconditionally revocable uncommitted;
c. 5% (lima persen) untuk kewajiban yang berasal
dari letter of credit (L/C) dan garansi yang tidak
terkait dengan kewajiban trade finance;
d. 5% (lima persen) untuk kewajiban yang berasal
dari permintaan potensial untuk membeli kembali
utang Bank atau yang terkait dengan securities
investment vehicles dan fasilitas pembiayaan
lainnya;
e. 5% (lima persen) untuk kewajiban yang berasal
dari structured product yang diantisipasi oleh
nasabah melalui ready marketability;
f. 5% (lima persen) untuk kewajiban yang berasal
dari dana kelolaan (managed funds) yang dijual
dengan tujuan menjaga kestabilan nilai;
g. 5% (lima persen) untuk kewajiban menutup
potensi pembelian kembali surat berharga berupa
surat utang, dengan atau tanpa agunan, yang
memiliki jangka waktu lebih dari 30 (tiga puluh)
hari bagi emiten yang memiliki afiliasi dengan
dealer atau market maker; dan/atau
h. 50% untuk kewajiban non-kontraktual posisi
short nasabah yang dilindungi dengan agunan
nasabah lain.
Pasal 40
Tingkat penarikan terhadap arus kas keluar kontraktual
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf g
ditetapkan 100% (seratus persen) dari kewajiban
kontraktual lainnya dalam periode 30 (tiga puluh) hari.
- 31 -
BAB IV
ARUS KAS MASUK (CASH INFLOW)
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 41
(1) Dalam rangka pemenuhan LCR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Bank wajib menghitung arus
kas masuk (cash inflow) selama 30 (tiga puluh) hari
kedepan yang bersumber dari:
a. pinjaman dengan agunan (secured lending);
b. tagihan berdasarkan pihak lawan (counterparty);
dan/atau
c. arus kas masuk lainnya.
(2) Bank dilarang menghitung tagihan komitmen
(committed facility) fasilitas kredit dan fasilitas
likuiditas sebagai sumber arus kas masuk.
(3) Nilai arus kas masuk yang dapat diperhitungkan
dalam LCR paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen)
dari total arus kas keluar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13.
(4) Dalam menghitung arus kas masuk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank hanya dapat
memperhitungkan arus kas masuk kontraktual yang
memenuhi persyaratan:
a. berasal dari tagihan yang memiliki kualitas
Lancar; dan
b. tidak diekspektasikan terjadi gagal bayar (default)
dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kedepan.
(5) Nilai arus kas masuk yang dapat diperhitungkan
dalam pemenuhan LCR adalah sebesar nilai tagihan
kontraktual dikalikan dengan tingkat penerimaan
(inflow rate).
- 32 -
Bagian Kedua
Pinjaman dengan Agunan (Secured Lending)
Pasal 42
(1) Tingkat penerimaan (inflow rate) dari pinjaman dengan
agunan (secured lending) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a ditetapkan
berdasarkan jenis agunan yang mendasari, yaitu:
a. 0% (nol persen) dari nilai kontraktual dalam hal
agunan adalah HQLA Level 1;
b. 15% (lima belas persen) dari nilai kontraktual
dalam hal agunan adalah HQLA Level 2A;
c. 25% (dua puluh lima persen) dari nilai
kontraktual dalam hal agunan adalah efek
beragun aset yang memenuhi persyaratan sebagai
HQLA Level 2B;
d. 50% (lima puluh persen) dari nilai kontraktual
dalam hal agunan adalah HQLA Level 2B selain
efek beragun aset;
e. 50% (lima puluh persen) dari nilai kontraktual
dalam hal transaksi berupa margin lending
dengan agunan yang tidak memenuhi persyaratan
sebagai HQLA; dan/atau
f. 100% (seratus persen) dari nilai kontraktual
dalam hal agunan tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai
dengan huruf e.
(2) Dalam hal agunan yang diterima oleh Bank dalam
transaksi pinjaman dengan agunan (secured lending),
diagunkan dan digunakan untuk menutupi posisi
short Bank maka tingkat penerimaan dari transaksi
pinjaman dengan agunan (secured lending) ditetapkan
0% (nol persen).
- 33 -
Bagian Ketiga
Tagihan Berdasarkan Pihak Lawan (Counterparty)
Pasal 43
(1) Bank wajib menghitung arus kas masuk berdasarkan
pihak lawan (counterparty) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 ayat (1) huruf b:
a. nasabah perorangan dan Usaha Mikro dan Usaha
Kecil;
b. nasabah lainnya yang terdiri atas;
1. lembaga jasa keuangan dan Bank Indonesia;
dan
2. lainnya.
(2) Arus kas masuk yang berasal dari pinjaman tanpa
jangka waktu tertentu dilarang diperhitungkan sebagai
arus kas masuk dalam perhitungan LCR.
(3) Dalam hal arus kas masuk berasal dari pembayaran
pokok minimum, fee atau bunga atas pinjaman tanpa
jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) yang secara kontraktual jatuh tempo dalam 30
(tiga puluh) hari,
arus
kas masuk dapat
diperhitungkan sebagai arus kas masuk dalam
perhitungan LCR.
(4) Fasilitas kredit yang diperjanjikan untuk diperpanjang
(revolving credit facilities) tidak dapat diperhitungkan
sebagai arus kas masuk dalam perhitungan LCR.
Pasal 44
Tingkat penerimaan dari tagihan kepada nasabah
perorangan dan tagihan kepada Usaha Mikro dan Usaha
Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf
a yang berasal dari pembayaran pokok dan bunga atas
kredit dengan kualitas Lancar ditetapkan 50% (lima puluh
persen) dari nilai kontraktual.
- 34 -
Pasal 45
(1) Tingkat penerimaan dari tagihan kepada lembaga jasa
keuangan dan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43 ayat (1) huruf b angka 1 ditetapkan:
a. tingkat penerimaan
yang berasal dari
pembayaran pokok dan bunga atas kredit dengan
kualitas Lancar ditetapkan 100% (seratus persen)
dari nilai kontraktual;
b. tingkat penerimaan yang berasal dari surat
berharga yang tidak diperhitungkan sebagai
HQLA dengan sisa jangka waktu kurang dari 30
(tiga puluh) hari ditetapkan 100% (seratus persen)
dari nilai kontraktual;
(2) Tingkat penerimaan dari penempatan dana pada Bank
lain untuk keperluan aktivitas operasional ditetapkan
0% (nol persen) dari nilai kontraktual.
Pasal 46
Tingkat penerimaan dari tagihan kepada nasabah korporasi
non-keuangan, Pemerintah Pusat, pemerintah negara lain,
entitas sektor publik, dan bank pembangunan multilateral
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf b
angka 2 ditetapkan:
a. tingkat penerimaan yang berasal dari pembayaran
pokok dan bunga atas kredit dengan kualitas Lancar
ditetapkan 50% (lima puluh persen) dari nilai
kontraktual; dan/atau
b. tingkat penerimaan yang berasal dari surat berharga
yang tidak diperhitungkan sebagai HQLA dengan sisa
jangka waktu kurang dari 30 (tiga puluh) hari
ditetapkan 100% (seratus persen) dari nilai
kontraktual.
- 35 -
Bagian Keempat
Arus Kas Masuk Lainnya
Pasal 47
Bank wajib menghitung arus kas masuk lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf c
yang bersumber dari:
a. tagihan transaksi derivatif; dan
b. tagihan kontraktual lainnya.
Pasal 48
(1) Tingkat penerimaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 huruf a ditetapkan 100% (seratus persen)
dari nilai tagihan transaksi derivatif.
(2) Dalam hal Bank menyerahkan agunan berupa HQLA
dalam transaksi derivatif, perhitungan arus kas masuk
dari tagihan transaksi derivatif harus dikurangi
dengan nilai agunan yang diberikan.
Pasal 49
Tingkat penerimaan dari tagihan kontraktual lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf b ditetapkan
50% (lima puluh persen) dari nilai tagihan.
Pasal 50
(1) Dalam penyusunan laporan konsolidasi bagi bank
yang beroperasi secara lintas batas (cross border)
ditetapkan:
a. tingkat penarikan yang digunakan untuk
nasabah korporasi mengikuti negara tempat bank
asal (home country); dan
b.
tingkat penarikan yang digunakan untuk
nasabah perorangan atau Usaha Mikro dan
Usaha Kecil mengikuti negara tempat cabang
bank beroperasi (host country).
(2) Tingkat penarikan yang digunakan untuk nasabah
perorangan atau Usaha Mikro dan Usaha Kecil
- 36 -
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat
menggunakan tingkat penarikan berdasarkan negara
asal (home country), apabila memenuhi kriteria:
a. tidak ada persyaratan untuk Simpanan
perorangan serta Usaha Mikro dan Usaha Kecil
pada negara tempat cabang bank beroperasi (host
country);
b. kantor cabang bank beroperasi di negara yang
belum menerapkan LCR; dan/atau
c.
diskresi otoritas pengawas perbankan dari negara
asal (home country) untuk menerapkan tingkat
penarikan pada negara asal (home country)
apabila tingkat penarikan lebih ketat daripada
persyaratan pada negara tempat cabang Bank
beroperasi (host country).
Pasal 51
Selain kewajiban menghitung LCR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Bank memantau kondisi dan kecukupan
likuiditas dengan menggunakan indikator tertentu.
BAB V
PERHITUNGAN DAN PELAPORAN LCR
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 52
Bank wajib melakukan perhitungan dan pelaporan LCR
baik individual maupun konsolidasi secara:
a. harian;
b. bulanan; dan
c. triwulanan.
- 37 -
Bagian Kedua
Perhitungan dan Laporan LCR Harian
Pasal 53
(1) Kewajiban perhitungan LCR harian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 huruf a mulai berlaku sejak:
a. 1 April 2017, untuk Bank yang termasuk dalam
kelompok BUKU 4 dan kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri; dan
b. 1 Oktober 2017, untuk Bank yang termasuk
dalam kelompok BUKU 3 dan bank asing selain
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri.
(2) Bank wajib menyampaikan laporan LCR harian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf a secara
online melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa
Keuangan.
(3) Tata cara pelaporan LCR harian secara online
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan surat edaran Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Dalam hal sistem pelaporan harian LCR secara online
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum tersedia
dan/atau terdapat kondisi tertentu, Otoritas Jasa
Keuangan dapat meminta Bank menyampaikan
laporan harian secara offline.
Bagian Ketiga
Perhitungan dan Laporan LCR Bulanan
Pasal 54
(1) Bank wajib menyusun laporan LCR bulanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf b
berdasarkan rata-rata harian laporan.
(2) Dalam hal Bank belum diwajibkan untuk melakukan
perhitungan LCR secara harian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1), Bank dapat
menghitung nilai LCR bulanan berdasarkan posisi
- 38 -
akhir bulan laporan.
Pasal 55
(1) Bank wajib menyampaikan laporan LCR bulanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf b secara
online melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Dalam hal sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia,
Bank wajib menyampaikan laporan LCR bulanan
secara offline.
(3) Bank wajib menyampaikan laporan LCR bulanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
paling lambat:
a. 15 (lima belas) hari setelah akhir bulan laporan,
untuk laporan LCR bulanan individual; dan
b. 30 (tiga puluh) hari setelah akhir bulan laporan,
untuk laporan LCR bulanan secara konsolidasi.
(4) Penyampaian laporan LCR bulanan secara offline
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
kepada:
a. Departemen Pengawasan Bank terkait atau
Kantor Regional 1 Jabodetabek, Banten,
Lampung, dan Kalimantan, bagi Bank yang
berkantor pusat atau kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri yang berada di
wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan
Bekasi (Jabodetabek) serta Provinsi Banten; atau
b. Kantor Regional atau Kantor Otoritas Jasa
Keuangan setempat bagi Bank yang berkantor
pusat di luar wilayah Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), serta
Provinsi Banten.
(5) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) jatuh pada hari
Sabtu, Minggu, dan/atau hari libur, laporan
disampaikan pada hari kerja berikutnya.
- 39 -
Pasal 56
(1) Kewajiban penyampaian laporan LCR bulanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf b
pertama kali dilakukan untuk posisi laporan:
a. tanggal 31 Desember 2015, untuk Bank yang
termasuk dalam kelompok BUKU 4 dan kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri; dan
b. tanggal 30 Juni 2016, untuk Bank yang termasuk
dalam kelompok BUKU 3 dan bank asing selain
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri.
(2) Penyusunan laporan LCR bulanan menggunakan
format sebagaimana Lampiran II yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Bagian Keempat
Perhitungan dan Laporan LCR Triwulanan
Pasal 57
(1) Bank wajib menghitung dan mempublikasikan laporan
LCR triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
52 huruf c berdasarkan rata-rata harian laporan.
(2) Dalam hal Bank belum diwajibkan untuk melakukan
perhitungan LCR secara harian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1), Bank dapat
menghitung nilai LCR triwulanan berdasarkan rata-
rata posisi akhir bulan laporan.
(3) Bank wajib mempublikasikan perhitungan dan/atau
nilai LCR triwulanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk posisi bulan Maret, bulan Juni, bulan
September, dan bulan Desember.
(4) Bank wajib mempublikasikan perhitungan dan/atau
nilai LCR triwulanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 huruf c melalui:
a.
situs web Bank untuk perhitungan dan nilai LCR
- 40 -
secara triwulanan; dan
b. paling sedikit 1 (satu) surat kabar harian cetak
berbahasa Indonesia yang memiliki peredaran
luas dan secara online bersamaan dengan laporan
publikasi triwulanan.
(5) Kewajiban publikasi perhitungan dan nilai LCR
triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf
a dilakukan paling lambat:
a.
tanggal 15 bulan kedua setelah berakhirnya
bulan laporan, untuk laporan posisi akhir bulan
Maret, Juni, dan September;
b. akhir bulan Maret tahun berikutnya setelah
berakhirnya bulan laporan, untuk laporan posisi
akhir bulan Desember.
(6) Tata cara, format, dan jangka waktu publikasi nilai
LCR triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf b dilakukan sesuai tata cara, format, dan jangka
waktu publikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai transparansi dan
publikasi laporan Bank.
(7) Bank wajib memelihara pengumuman laporan LCR
triwulanan pada situs web Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf a paling kurang untuk 5
(lima) tahun buku terakhir.
Pasal 58
(1) Kewajiban publikasi perhitungan dan nilai LCR
triwulanan melalui situs web Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 57 ayat (4) huruf a pertama kali
dilakukan untuk posisi laporan:
a. bulan Maret 2016, untuk Bank yang termasuk
dalam kelompok BUKU 4 dan kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri; dan
b. bulan September 2016, untuk Bank yang
termasuk dalam kelompok BUKU 3 dan bank
asing selain kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri.
- 41 -
(2) Penyusunan laporan perhitungan LCR triwulanan
sebagaimana format pada Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 59
(1) Kewajiban publikasi nilai LCR triwulanan melalui
surat kabar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57
ayat (4) huruf b pertama kali dilakukan untuk posisi
laporan bulan Maret 2019.
(2) Bank dinyatakan tidak mempublikasikan nilai LCR
triwulanan melalui surat kabar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) apabila dalam laporan
publikasi
triwulanan yang diumumkan tidak
mencantumkan informasi mengenai nilai LCR.
Bagian Kelima
Pelaporan bagi Bank yang Berpindah Kelompok
Pasal 60
(1) Bank yang termasuk dalam kelompok BUKU 1 dan
BUKU 2 yang pada awalnya tidak diwajibkan
memenuhi ketentuan LCR, kemudian menjadi Bank
yang termasuk dalam kelompok BUKU 3, BUKU 4 atau
bank asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
wajib menghitung dan menyampaikan laporan LCR.
(2) Kewajiban penyampaian laporan LCR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan:
a. laporan LCR bulanan dilakukan pertama kali
pada bulan ketiga sejak dinyatakan sebagai Bank
yang termasuk dalam kelompok BUKU 3, BUKU 4
atau bank asing;
b. laporan LCR triwulanan dilakukan pertama kali
pada periode triwulanan berikutnya setelah
menyampaikan laporan bulanan sebagaimana
dimaksud pada huruf a.
- 42 -
(3) Dalam hal terdapat Bank yang termasuk dalam
kelompok BUKU 3, BUKU 4 atau bank asing kemudian
menjadi Bank yang tidak termasuk dalam kelompok
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Bank tetap
wajib memenuhi ketentuan perhitungan dan
pelaporan LCR sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB VI
TAHAPAN PEMENUHAN LCR
Pasal 61
(1) Kewajiban pemenuhan LCR dilakukan secara
bertahap.
(2) Tahapan pemenuhan LCR sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan paling sedikit:
1. bagi Bank yang termasuk dalam kelompok BUKU
4 dan kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri:
a. 70% (tujuh puluh persen) sejak tanggal 31
Desember 2015;
b. 80% (delapan puluh persen) sejak tanggal 31
Desember 2016;
c. 90% (sembilan puluh persen) sejak tanggal
31 Desember 2017; dan
d. 100% (seratus persen) sejak tanggal 31
Desember 2018;
2. bagi Bank yang termasuk dalam kelompok BUKU
3 dan bank asing selain kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri:
a. 70% (tujuh puluh persen) sejak tanggal 30
Juni 2016;
b. 80% (delapan puluh persen) sejak tanggal 30
Juni 2017;
c. 90% (sembilan puluh persen) sejak tanggal
31 Desember 2017; dan
d. 100% (seratus persen) sejak tanggal 31
Desember 2018.
- 43 -
(3) Bank wajib memenuhi LCR sebagaimana tahapan
dimaksud pada ayat (2).
Pasal 62
Bank wajib menginformasikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan dan melakukan langkah-langkah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 mengenai kondisi likuiditas Bank
dalam hal tidak mampu dan/atau berpotensi tidak
memenuhi LCR sesuai dengan tahapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2).
BAB VII
SANKSI
Pasal 63
Bank yang tidak memenuhi Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini dan melanggar ketentuan sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 3 ayat (2),
Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (2), Pasal 13 ayat (1), Pasal 15
ayat (1), Pasal 16, Pasal 19, Pasal 23, Pasal 26 ayat (1),
Pasal 27, Pasal 28 ayat (1), Pasal 29, Pasal 36 ayat (1),
Pasal 36 ayat (4), Pasal 41 ayat (1), Pasal 41 ayat (2), Pasal
43 ayat (1), Pasal 43 ayat (2), Pasal 47, Pasal 52, Pasal 53
ayat (2), Pasal 54 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 55 ayat
(2), Pasal 55 ayat (3), Pasal 57 ayat (1), Pasal 57 ayat (3),
Pasal 57 ayat (4), Pasal 57 ayat (7), Pasal 60 ayat (1), Pasal
60 ayat (3), Pasal 61 ayat (3) atau Pasal 62, dikenakan
sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. larangan transfer laba bagi kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri;
c. penundaan pembagian dividen atas seluruh
kepemilikan saham dari pemegang saham yang
melakukan setoran modal;
d. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
e. larangan pembukaan jaringan kantor;
f. penurunan tingkat kesehatan Bank; dan/atau
- 44 -
g. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham
Bank dalam daftar orang yang dilarang menjadi
pemegang saham dan pengurus Bank sesuai
ketentuan yang mengatur mengenai uji kemampuan
dan kepatutan (fit and proper test).
Pasal 64
Selain sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63,
Bank yang terlambat menyampaikan laporan LCR bulanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) dikenakan
sanksi berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) per hari kerja keterlambatan atau paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 65
Bank yang tidak mencantumkan nilai LCR dalam laporan
publikasi triwulanan dikenakan sanksi sesuai Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai transparansi dan
publikasi laporan Bank.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 66
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 45 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 23 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 369
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 42 /POJK.03/2015
TENTANG
KEWAJIBAN PEMENUHAN RASIO KECUKUPAN LIKUIDITAS (LIQUIDITY
COVERAGE RATIO) BAGI BANK UMUM
I. UMUM
Pengalaman krisis keuangan dan ekonomi yang terjadi di berbagai
negara pada tahun 2008 menunjukkan bahwa meskipun permodalan
Bank memadai namun apabila tidak memiliki likuiditas yang cukup
untuk menghadapi tekanan atau stres maka dapat mengganggu
kelangsungan usaha Bank.
Kecukupan likuiditas yang memadai dapat dipenuhi dengan
memelihara kecukupan aset likuid berkualitas tinggi (High Quality
liquid Asset/HQLA) yang tidak terikat (unencumbered). Aset likuid
diklasifikasikan sebagai aset berkualitas tinggi jika kemampuan aset
tersebut dalam menghasilkan likuiditas akan tetap utuh baik melalui
penjualan maupun repo, meskipun dalam kondisi stres yang terjadi
pada Bank secara individu (idiosyncratic) maupun kondisi stres yang
meluas dan terjadi di pasar keuangan secara keseluruhan yang dapat
bersifat domestik maupun internasional (market-wide shock). Tingkat
likuiditas suatu aset akan bergantung pada skenario stres yang
mendasari, nilai nominal yang akan diuangkan, dan jangka waktu
pencairan aset.
Dengan demikian seperti halnya permodalan, dibutuhkan suatu
standar perhitungan rasio likuiditas untuk mengukur level minimum
likuiditas yang harus dipelihara oleh Bank dan disesuaikan dengan
standar internasional yang berlaku yaitu Basel III: The Liquidity
- 2 -
Coverage Ratio and Liquidity Risk Monitoring Tools.
Penetapan LCR bertujuan untuk memastikan bahwa Bank
memiliki kecukupan persediaan HQLA yang tidak terikat
(unencumbered) yang terdiri dari kas dan/atau aset yang dapat dengan
mudah dan segera dikonversi menjadi kas dengan sedikit atau tanpa
pengurangan nilai untuk memenuhi kebutuhan likuiditas Bank dalam
periode 30 (tiga puluh) hari skenario stres.
Persediaan HQLA yang tidak terikat (unencumbered) yang dimiliki
Bank paling tidak dapat membuat Bank mampu bertahan selama 30
(tiga puluh) hari dalam skenario stres, karena diasumsikan setelah 30
(tiga puluh) hari Bank telah dapat melakukan tindakan perbaikan yang
seharusnya atau Bank telah berhenti melakukan kegiatan usaha
sesuai mekanisme yang berlaku. Periode 30 (tiga puluh) hari tersebut
juga diharapkan dapat memberikan waktu bagi Otoritas Jasa
Keuangan untuk melakukan tindakan tertentu yang dipandang perlu.
Selain itu, Bank juga harus menyadari adanya potensi
kesenjangan (mismatch) yang dapat terjadi dalam periode 30 (tiga
puluh) hari kedepan dan memastikan bahwa Bank memiliki persediaan
HQLA yang memadai untuk menutup gap arus kas yang terjadi selama
periode waktu tersebut karena adanya ketidakpastian waktu terhadap
arus kas masuk maupun arus kas keluar.
Skenario perhitungan LCR merupakan kombinasi dari
idiosyncratic maupun market-wide shock, yang akan menyebabkan:
a. penarikan sebagian dari Simpanan nasabah perorangan (retail
deposit);
b. hilangnya sebagian kapasitas untuk mendapatkan Pendanaan
yang berasal dari nasabah korporasi (unsecured wholesale
funding);
c.
hilangnya sebagian dari sumber Pendanaan jangka pendek yang
dijamin dengan agunan dan pihak lawan (counterparty) tertentu;
d. adanya tambahan arus kas keluar kontraktual akibat dari
penurunan peringkat Bank sampai dengan 3 (tiga) level peringkat
(notches), termasuk persyaratan agunan;
e. peningkatan volatilitas pasar yang berdampak pada kualitas
agunan atau potensi risiko ke depan untuk produk derivatif
sehingga memerlukan pengurangan nilai (haircut) agunan yang
- 3 -
f.
lebih besar, tambahan agunan atau kebutuhan likuiditas yang
lainnya;
g. penarikan komitmen kredit yang tidak terjadwal dan fasilitas
likuiditas yang disediakan Bank kepada pihak ketiga; dan
h. potensi kebutuhan Bank untuk membeli kembali utang atau
kewajiban non-kontraktual untuk kepentingan mitigasi risiko
reputasi.
Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan pengaturan
mengenai Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas (Liquidity
Coverage Ratio/LCR) bagi Bank Umum.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
LCR dihitung dengan formula sebagai berikut:
HQLA
≥ 100%
Total Net Cash Outflow dalam 30 hari kedepan
Selain menghitung LCR, Bank melakukan pengujian
ketahanan dalam kondisi stres (stress test) berdasarkan
skenario tersendiri mengenai hal-hal yang dapat mengganggu
aktivitas bisnis Bank, dengan menggunakan jangka waktu
yang lebih panjang dari jangka waktu LCR. Dalam hal
diperlukan, hasil stress test dapat disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka menilai kemampuan
likuiditas Bank yang bersangkutan.
Ayat (3)
Konversi mata uang asing menjadi Rupiah dilakukan dengan
menggunakan kurs tengah Bank Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 4 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Langkah-langkah yang diperlukan antara lain berupa
langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam huruf a
angka 2.
Ayat (3)
Dalam memberikan persetujuan, Otoritas Jasa Keuangan
akan mempertimbangkan berbagai faktor, seperti kondisi
ekonomi saat ini, kondisi ekonomi dan keuangan ke depan,
dampaknya terhadap kestabilan sistem keuangan serta
ketersediaan sumber Pendanaan darurat (contingency
funding). Otoritas Jasa Keuangan akan melakukan penilaian
terhadap kondisi kesehatan dan profil risiko Bank serta
laporan analisis atas kondisi likuiditas Bank sebagaimana
disyaratkan pada ayat (2) huruf a.
Pasal 4
Yang dimaksud dengan “pengendalian” adalah pengendalian
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan
yang mengatur mengenai transparansi dan publikasi laporan
Bank.
Yang dimaksud dengan “perusahaan anak” adalah badan hukum
atau perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh Bank
secara langsung maupun tidak langsung, baik di dalam maupun
di luar negeri, yang melakukan kegiatan usaha di bidang
keuangan, yang terdiri atas:
- 5 -
a. perusahaan subsidiari (subsidiary company) yaitu perusahaan
anak dengan kepemilikan Bank lebih dari 50% (lima puluh
persen);
b. perusahaan partisipasi (participation company) adalah
perusahaan anak dengan kepemilikan Bank sebesar 50%
(lima puluh persen) atau kurang namun Bank memiliki
pengendalian terhadap perusahaan;
c. perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua
puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) yang
memenuhi persyaratan, yaitu:
1) kepemilikan Bank dan para pihak lainnya pada
perusahaan anak adalah masing-masing sama besar;
dan
2) masing-masing pemilik melakukan pengendalian secara
bersama terhadap perusahaan anak; dan
d. entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi keuangan
wajib dikonsolidasikan,
namun tidak termasuk perusahaan asuransi dan perusahaan
yang dimiliki dalam rangka restrukturisasi kredit.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan “Bank dalam kelompok BUKU 3 dan BUKU
4” adalah sebagaimana terdapat dalam ketentuan yang mengatur
mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal
inti Bank.
Yang dimaksud dengan “bank asing” adalah:
1. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri;
2. bank umum berbentuk badan hukum Indonesia yang lebih
dari 50% (lima puluh persen) sahamnya dimiliki oleh warga
negara asing dan/atau badan hukum asing baik secara
sendiri atau secara bersama-sama; dan/atau
3. bank yang dimiliki baik secara sendiri atau bersama-sama
oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing
kurang dari 50% (lima puluh persen) namun terdapat
pengendalian oleh warga negara asing dan/atau badan
hukum asing tersebut.
- 6 -
Pasal 6
Ayat (1)
Aset yang dapat diperhitungkan sebagai HQLA merupakan
aset yang dimiliki oleh Bank pada saat perhitungan LCR
tanpa memperhatikan sisa jangka waktu aset yang
diperhitungkan.
Atas aset yang diperhitungkan sebagai HQLA, dimungkinkan
dilakukan lindung nilai (hedging) namun Bank harus
memperhitungkan arus kas keluar (cash outflow) akibat
pembatalan perjanjian karena penjualan aset tersebut.
Ayat (2)
Penyusunan kebijakan mengenai HQLA bertujuan agar Bank
dapat menentukan komposisi persediaan HQLA secara
harian.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
HQLA Level 1 dan HQLA Level 2A idealnya memenuhi
persyaratan bank sentral (central bank eligible) untuk
mendapatkan fasilitas likuiditas intra-hari (intraday liquidity
facilities) dan fasilitas likuiditas overnight (overnight liquidity
facilities). Contoh aset yang memenuhi central bank eligible
adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
atau Pemerintah Pusat, namun dipenuhinya persyaratan
central bank eligibility tidak serta merta menjadi dasar
pengkategorian aset menjadi HQLA.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Perhitungan batas maksimum HQLA Level 2 dan HQLA Level
2B ditentukan setelah penerapan pengurangan nilai (haircut)
sesuai jenis aset serta memasukkan pengaruh adanya unwind
Securities Financing Transaction (SFT) jangka pendek dan
transaksi collateral swap yang jatuh tempo dalam 30 (tiga
puluh) hari yang melibatkan pertukaran HQLA.
- 7 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 8
Aset yang pada awalnya termasuk dalam kategori HQLA namun
kemudian tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai HQLA,
misalnya karena penurunan peringkat (rating), Bank diberikan
waktu tambahan 30 (tiga puluh) hari untuk menyesuaikan jumlah
HQLA atau mengganti aset tersebut dengan aset lainnya yang
memenuhi kriteria HQLA. Selama periode dimaksud, Bank
diperkenankan untuk tetap memperhitungkan aset tersebut
sebagai HQLA.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Aset keuangan yang memiliki risiko rendah cenderung
memiliki tingkat likuiditas yang lebih tinggi, antara lain
dicerminkan dari peringkat (rating) penerbit yang tinggi,
tingkat subordinasi yang rendah, durasi yang rendah,
risiko hukum yang rendah, risiko inflasi dan risiko nilai
tukar yang rendah.
Huruf b
Penilaian yang mudah dan pasti dicerminkan dari
perumusan harga HQLA yang mudah dihitung, tidak
bergantung pada asumsi tertentu, dan data yang
digunakan harus tersedia pada publik.
Umumnya berupa aset dengan struktur yang standar,
homogen, dan sederhana karena cenderung mudah
dipertukarkan. Oleh karena itu, aset berupa structured
product dan exotic product tidak diperhitungkan sebagai
HQLA.
Huruf c
Contoh aset berisiko adalah aset yang diterbitkan oleh
lembaga keuangan. Aset tersebut akan cenderung
- 8 -
menjadi tidak likuid pada saat terjadi stres likuiditas di
sektor perbankan.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan memiliki “pasar yang aktif dan
memadai” adalah aset tersebut harus memiliki pasar
repo atau jual putus (outright sale) yang aktif sepanjang
waktu, yang antara lain ditunjukkan dengan:
1. terdapat bukti historis mengenai keluasan pasar
(market breadth) dan kedalaman pasar (market
depth) antara lain:
a) rendahnya spread antara bid dan ask price;
b) tingginya volume perdagangan;
c) banyak dan beragamnya jumlah peserta pasar;
dan/atau
2. terdapat infrastruktur pasar yang handal.
Huruf b
Volatilitas pasar yang rendah tercermin melalui
volatilitas harga dan spread perdagangan, antara lain
ditunjukkan dengan harga yang cenderung stabil dan
tidak mengalami penurunan harga signifikan yang
terlihat dari data historis mengenai stabilitas pasar, yaitu
harga dan pengurangan nilai, dan volume perdagangan
selama periode stres.
Huruf c
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam
menilai flight to quality adalah dengan menilai korelasi
antara likuiditas pasar dengan kondisi stres pada sistem
perbankan.
Ayat (3)
Persyaratan operasional dirancang untuk memastikan bahwa
persediaan HQLA dikelola dengan baik sehingga Bank dapat
mencairkan aset tersebut menjadi kas, baik melalui repo
maupun penjualan, untuk memenuhi gap antara arus kas
masuk (cash inflows) dan arus kas keluar (cash outflows)
- 9 -
selama periode 30 (tiga puluh) hari stres tanpa adanya
hambatan untuk memenuhi kecukupan likuiditas.
Huruf a
Yang dimaksud dengan bebas dari segala klaim antara
lain tidak sedang menjadi underlying repo, bebas dari
tuntutan hukum, batasan regulasi dan perjanjian, serta
batasan lain yang membatasi kemampuan Bank untuk
melikuidasi, menjual, mentransfer, menggunakan atau
menetapkan suatu aset.
Contoh aset yang disimpan atau diperjanjikan dengan
Bank Indonesia namun belum digunakan untuk
menghasilkan likuiditas adalah giro wajib minimum
sekunder.
Huruf b
Biaya operasional antara lain biaya sewa dan biaya gaji
pegawai.
Huruf c
Contoh aset yang dapat digunakan secara legal dan
kontraktual oleh Bank pada saat terjadinya kondisi stres
antara lain aset yang diterima dalam reverse repo dan
securities financing transaction (SFT) yang dipegang oleh
Bank, belum diagunkan kembali, dan yang secara legal
serta kontraktual dapat digunakan oleh Bank untuk
menghasilkan arus kas pada saat kondisi stres, dapat
diperhitungkan sebagai HQLA.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Prosedur dan sistem yang memadai dalam hal ini
termasuk terdapatnya fungsi atau bagian khusus yang
memiliki akses terhadap seluruh informasi yang
dibutuhkan untuk melakukan pencairan aset setiap
saat.
Proses pencairan aset harus dapat dilakukan secara
operasional dengan jangka waktu penyelesaian yang
wajar untuk jenis aset tersebut.
- 10 -
Huruf f
Fungsi khusus yang bertanggung jawab mengelola
likuiditas Bank yang dimaksud dalam huruf ini antara
lain satuan kerja treasury.
Bank harus memiliki standar operasional prosedur
terkait pengendalian tersebut dan terdapatnya
pengendalian harus dibuktikan melalui:
(i) pengelolaan aset secara terpisah yang bertujuan
hanya sebagai sumber dana rencana pendanaan
darurat (contigency funding plan); atau
(ii) proses pencairan aset dapat dilakukan setiap saat
selama 30 (tiga puluh) hari kondisi stres tanpa
menimbulkan konflik secara langsung dengan bisnis
atau strategi manajemen risiko.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Kelebihan (surplus) HQLA dari persyaratan minimum
likuiditas yang dimiliki perusahaan anak hanya dapat
dimasukkan dalam perhitungan LCR secara konsolidasi
apabila aset tersebut dapat digunakan oleh entitas induk
tanpa hambatan apapun pada saat terjadi stres.
Hambatan tersebut antara lain dapat berasal dari aspek
ketentuan, hukum, pajak, akuntansi maupun hambatan
lainnya seperti kontrol mata uang asing atau mata uang
domestik yang tidak dapat dikonversi menjadi mata uang
lain (non-convertibility of local currency).
Aset perusahaan anak yang tidak memiliki akses pasar
hanya dapat dimasukkan dalam HQLA jika dapat dengan
bebas dipindahkan ke entitas induk.
Dalam kondisi tidak terdapat pasar repo yang aktif dan
memadai untuk suatu aset maka Bank tidak boleh
mengkategorikan aset sebagai HQLA apabila terdapat
hambatan dalam proses jual putus, misalnya terjadi
penurunan harga yang sangat besar.
- 11 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Perhitungan ATMR untuk risiko kredit
menggunakan pendekatan standar mengacu pada
ketentuan yang mengatur mengenai perhitungan
ATMR untuk risiko kredit dengan menggunakan
pendekatan standar.
Angka 2
Yang dimaksud dengan pasar antara lain pasar
uang dan pasar repo.
Angka 3
Contoh:
Apabila pengurangan nilai (haircut) 17% (tujuh belas
persen) maka peningkatan pengurangan nilai
(haircut) paling tinggi adalah:
17% + 10% = 27%.
Angka 4
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Penggunaan peringkat mengacu pada ketentuan
yang mengatur mengenai lembaga pemeringkat
dan peringkat yang diakui oleh Otoritas Jasa
- 12 -
Keuangan.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Contoh:
Apabila pengurangan nilai (haircut) 17% (tujuh
belas persen) maka peningkatan pengurangan
nilai (haircut) paling tinggi adalah:
17% + 10% = 27%.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Penggunaan peringkat mengacu pada ketentuan
yang mengatur mengenai lembaga pemeringkat dan
peringkat yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Angka 4
Yang dimaksud dengan pasar antara lain pasar
uang dan pasar repo.
Angka 5
Contoh:
Apabila pengurangan nilai (haircut) 17% (tujuh belas
persen) maka peningkatan pengurangan nilai
(haircut) paling tinggi adalah:
17% + 20% = 37%.
Angka 6
Pengertian kredit beragun rumah tinggal mengacu
pada ketentuan yang mengatur mengenai
perhitungan ATMR untuk risiko kredit dengan
menggunakan pendekatan standar.
- 13 -
Angka 7
Contoh pinjaman yang tergolong full recourse adalah
dalam hal terjadi penyitaan aset oleh Bank karena
debitur mengalami gagal bayar sehingga atas aset
tersebut dilakukan penjualan maka debitur tetap
bertanggung jawab atas segala kekurangan hasil
penjualan dari aset terhadap utang debitur.
Angka 8
Risk retention dilakukan antara lain dengan penerbit
efek beragun aset tetap mempertahankan
kepemilikan dari aset yang disekuritisasi.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Penggunaan peringkat mengacu pada ketentuan
yang mengatur mengenai lembaga pemeringkat dan
peringkat yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Contoh:
Apabila pengurangan nilai (haircut) 17% (tujuh belas
persen) maka peningkatan pengurangan nilai
(haircut) paling tinggi adalah:
17% + 20% = 37%.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
- 14 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Usaha Mikro dan Usaha Kecil”
adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai usaha mikro, kecil, dan
menengah.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Pendanaan yang berasal dari
nasabah korporasi” adalah kewajiban dan komitmen
Bank kepada korporasi yang berbadan hukum, termasuk
perusahaan perseorangan dan partnership yang tidak
dijamin dengan suatu hak secara hukum atas aset
tertentu yang dimiliki oleh Bank apabila terjadi
kebangkrutan, ketidakmampuan memenuhi kewajiban
(insolvency), likuidasi atau resolusi.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “Pendanaan dengan agunan
(secured funding)” adalah kewajiban yang dijamin dengan
suatu hak secara hukum atas aset tertentu yang dimiliki
oleh Bank apabila terjadi kebangkrutan,
ketidakmampuan memenuhi kewajiban (insolvency),
likuidasi atau resolusi.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tingkat penarikan (run-off rate)”
adalah tingkat
prediksi penarikan kewajiban Bank
berdasarkan skenario tertentu.
Pasal 14
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penalti dikatakan signifikan apabila penalti dimaksud lebih
besar dari pada bunga Simpanan sehingga memotong pokok
Simpanan.
- 15 -
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Lembaga Penjamin Simpanan”
adalah sebagaimana dalam Undang-Undang mengenai
lembaga penjamin simpanan.
Skema penjaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan yang
diakui apabila memenuhi persyaratan:
(i) memiliki kemampuan untuk melakukan pembayaran
segera;
(ii) kriteria penjaminan dapat didefinisikan dengan jelas;
dan
(iii) kesadaran publik akan program penjaminan tersebut
tinggi.
Kriteria Simpanan yang memenuhi kriteria penjaminan
mengacu pada ketentuan Lembaga Penjamin Simpanan.
Huruf a
Yang dimaksud dengan hubungan atau keterkaitan
dengan Bank antara lain:
1. nasabah mempunyai paling sedikit 1 (satu) produk
aktif tambahan selain fasilitas kredit dengan Bank;
2. nasabah memperoleh fasilitas kredit dari Bank
dengan jangka waktu lebih dari 3 (tiga) bulan;
dan/atau
3. nasabah adalah pihak terkait Bank.
Yang dimaksud dengan “pihak terkait Bank” adalah
pihak terkait sebagaimana diatur dalam ketentuan yang
mengatur mengenai batas maksimum pemberian kredit
Bank umum.
- 16 -
Huruf b
Contoh rekening Simpanan yang digunakan untuk
keperluan transaksi secara rutin antara lain rekening
untuk penerimaan penghasilan baik berupa gaji atau
hasil usaha.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Apabila Bank tidak dapat mengidentifikasi Simpanan
nasabah perorangan yang termasuk dalam kriteria stabil
maka Simpanan nasabah perorangan tersebut seluruhnya
harus diklasifikasikan sebagai Simpanan kurang stabil.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
- 17 -
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kegiatan kliring” dalam
ketentuan ini adalah suatu bentuk penyediaan jasa yang
memungkinkan nasabah untuk mentransfer dana atau
surat berharga secara tidak langsung melalui pelaku
kliring dalam sistem kliring nasional kepada penerima
yang diinginkan.
Jasa dalam kegiatan kliring yang disediakan terbatas
pada:
a. transmisi dana, rekonsiliasi dan konfirmasi atas
perintah pembayaran;
b. cerukan intra-hari (intraday), fasilitas Pendanaan
overnight, dan pemeliharaan saldo setelah
penyelesaian (post settlement); dan
c. penentuan posisi intra-hari (intraday) dan
penyelesaian akhir transaksi.
Yang dimaksud dengan “kegiatan kustodian” dalam
ketentuan ini adalah penyediaan jasa berupa
penyimpanan, pelaporan, pengelolaan aset dan hal-hal
lain yang sifatnya operasional dan administratif atas
nama nasabah dalam rangka transaksi aset keuangan.
Jasa dalam kegiatan kustodian yang disediakan terbatas
pada:
a. penyelesaian transaksi penjualan dan pembelian
sekuritas;
b. transfer atas pembayaran kontraktual;
c. pemrosesan agunan (the processing of collateral);
d. penerimaan fee atas jasa cash management;
e. menerima dividen dan pendapatan lainnya;
f. pemesanan dan pelunasan dari klien (client
subscriptions and redemptions);
g. jasa wali amanat untuk aset dan korporasi (asset
and corporate trust servicing);
h. pengelolaan aset (treasury);
i. jasa pelayanan rekening escrow;
j.
transfer dana, transfer saham dan jasa keagenan,
termasuk juga jasa pembayaran dan penyelesaian
- 18 -
(tidak termasuk aktifitas correspondent banking);
dan
k. depository receipts.
Yang dimaksud dengan “kegiatan cash management”
dalam ketentuan ini adalah layanan berupa produk dan
jasa kepada nasabah dalam mengelola arus kas
(cashflow), aset, dan kewajiban serta transaksi keuangan
yang dibutuhkan dalam operasi nasabah.
Jasa dalam kegiatan cash management yang diberikan
terbatas pada:
a. pendebetan atau pemindahbukuan nasabah dalam
rangka pembayaran tagihan atau kewajiban
(payment remittance);
b. konsolidasi (pooling) atau distribusi dana dari kantor
cabang/jaringan operasional perusahaan (collection
and aggregation of funds);
c. jasa pembayaran gaji karyawan secara massal
(payroll); dan
d. pengendalian atas pencairan dana (control over the
disbursement of funds).
Angka 1
Contoh Simpanan yang wajib ditempatkan oleh
nasabah pada Bank untuk menggunakan jasa atau
produk Bank antara lain margin deposit dalam
rangka kegiatan kustodian, kewajiban saldo
minimum dalam kegiatan cash management dan
kliring.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “bergantung secara
signifikan” adalah nasabah menggunakan rekening
pada Bank tersebut sebagai rekening utama dalam
melakukan kegiatan kliring, kustodian, dan/atau
cash management.
Otoritas Jasa Keuangan sewaktu-waktu dapat
melakukan pemeriksaan terhadap penentuan
rekening utama.
- 19 -
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Contoh Simpanan non-operasional dan/atau kewajiban
lainnya yang bersifat non-operasional antara lain aktivitas
correspondent banking atau jasa prime brokerage.
Yang dimaksud dengan “aktivitas correspondent banking”
adalah suatu aktivitas Bank (correspondent) yang bertindak
sebagai pemegang deposit yang dimiliki oleh Bank lain
(respondent) dan memberikan jasa pembayaran dalam rangka
penyelesaian transaksi dalam mata uang asing, yaitu
rekening nostro dan vostro yang digunakan untuk
menyelesaikan transaksi dalam mata uang asing dari
responden Bank dalam rangka kliring dan settlement.
Yang dimaksud dengan “prime brokerage“ adalah suatu paket
jasa yang ditawarkan kepada investor besar, khususnya
perusahaan hedge funds. Jasa-jasa yang ditawarkan biasanya
meliputi kliring, settlement, kustodian, pelaporan konsolidasi,
pembiayaan, securities lending, dan analisis risiko.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
- 20 -
Huruf b
Contoh entitas lainnya antara lain Bank, perusahaan
sekuritas, asuransi, dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Huruf c
Dalam hal surat berharga dijual secara ekslusif di pasar
retail, dikelola dalam akun retail, dibeli dan dimiliki oleh
nasabah perorangan (termasuk nasabah Usaha Mikro
dan Usaha Kecil yang diperlakukan sebagai nasabah
perorangan) dapat diperlakukan sama seperti nasabah
perorangan atau nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1
Entitas sektor publik dalam hal ini memiliki bobot
risiko paling tinggi 20% (dua puluh persen)
sebagaimana ketentuan yang mengatur mengenai
perhitungan ATMR untuk risiko kredit dengan
menggunakan pendekatan standar.
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
- 21 -
Pasal 28
Ayat (1)
Transaksi derivatif berupa option diasumsikan hanya akan
direalisasi (di-exercise) pada saat terjadi “in the money” bagi
pembeli option.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 29
Huruf a
Untuk mengantisipasi penurunan peringkat (rating) Bank oleh
lembaga pemeringkat yang diakui, dalam perjanjian yang
berhubungan dengan derivatif dan transaksi lainnya pada
umumnya ditambahkan klausul yang mensyaratkan untuk
memberikan tambahan agunan, fasilitas penarikan kontijensi
atau pembayaran dipercepat dari kewajiban yang ada.
Penurunan peringkat berdampak pada semua agunan
termasuk terhadap hak untuk mengagunkan kembali.
Huruf b
Dalam hal transaksi derivatif atau transaksi lainnya
mensyaratkan agunan atas eksposur mark to market untuk
transaksi dimaksud, Bank memiliki potensi peningkatan
kebutuhan likuiditas akibat mark to market tersebut.
Huruf c
Dalam hal terdapat persyaratan agar setiap pihak dalam
transaksi derivatif harus menjaga valuasi mark to market dari
posisi transaksi dengan menggunakan agunan tertentu, Bank
harus menghitung peningkatan kebutuhan likuiditas yang
terkait dengan potensi perubahan nilai agunan.
Dalam hal agunan berupa HQLA Level 1, Bank tidak perlu
menghitung peningkatan kebutuhan likuiditas terkait dengan
- 22 -
perubahan nilai agunan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “non-segregated collateral” adalah
agunan yang diterima oleh Bank namun pencatatannya tidak
dipisahkan dari neraca Bank.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Aliran agunan bersih absolut didasarkan pada realisasi arus
keluar (outflow) dan arus masuk (inflow).
Pasal 32
Pengurangan nilai (haircut) yang dikenakan mengacu pada
pengurangan nilai (haircut) sesuai perjanjian dengan pihak lawan
(counterparty).
Perhitungan arus kas keluar lainnya (additional requirement)
dalam klasifikasi ini hanya dihitung apabila agunan yang
diberikan kepada pihak lawan (counterparty) berupa agunan yang
bukan HQLA Level 1.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
- 23 -
Pasal 36
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Risiko kehilangan Pendanaan yang berasal dari asset-
backed commercial paper, conduits, securities investment
vehicles, dan fasilitas pembiayaan lain yang serupa
antara lain namun tidak terbatas pada:
1. ketidakmampuan untuk membiayai utang yang
jatuh tempo; dan
2. adanya derivatif atau komponen yang menyerupai
derivatif yang secara kontraktual tertulis dalam
dokumentasi yang terkait dengan struktur yang
akan memungkinkan pengembalian aset dalam
pembiayaan, atau yang mensyaratkan pihak yang
mengalihkan aset asal (original asset transferor)
untuk menyediakan likuiditas, yang secara efektif
mengakhiri pembiayaan (liquidity puts) dalam jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Aset yang berpotensi untuk dilunasi antara lain
disebabkan karena adanya opsi bagi investor untuk
melakukan penjualan kembali kepada penerbit.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan entitas bertujuan khusus misalnya
special purpose vehicle (SPV), conduit atau structured
investment vehicle (SIV).
- 24 -
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kewajiban komitmen dalam bentuk
fasilitas kredit” adalah perjanjian untuk melakukan
penyediaan dana dimasa depan dalam bentuk kredit baik
kepada individu maupun badan usaha yang bersifat tidak
dapat dibatalkan (irrevocable) atau dapat dibatalkan dengan
persyaratan tertentu (conditionally revocable).
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kewajiban komitmen dalam bentuk
fasilitas likuiditas” adalah fasilitas yang belum ditarik yang
digunakan untuk membiayai kembali (refinance) utang
nasabah kepada pihak ketiga pada saat nasabah tersebut
tidak dapat memperpanjang (roll over) utangnya di pasar
keuangan.
Kewajiban komitmen dalam bentuk fasilitas likuiditas yang
diperhitungkan dalam perhitungan LCR adalah kewajiban
komitmen dalam bentuk fasilitas likuiditas yang terkait
dengan utang nasabah kepada pihak ketiga yang akan jatuh
tempo dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kedepan.
Dalam hal utang nasabah kepada pihak ketiga akan jatuh
tempo lebih dari 30 (tiga puluh) hari kedepan, fasilitas
tersebut dikategorikan sebagai kewajiban komitmen dalam
bentuk fasilitas kredit.
Contoh kewajiban komitmen dalam bentuk fasilitas kredit
adalah kredit modal kerja.
Segala bentuk fasilitas kewajiban komitmen yang diberikan
kepada hedge funds, money market funds, special purpose
vehicle (SPV) atau bentuk entitas lain yang bertujuan khusus
untuk membiayai aset Bank sendiri harus dimasukkan dalam
kategori fasilitas likuiditas kepada entitas lain.
Kewajiban komitmen selain fasilitas likuiditas dikategorikan
sebagai kewajiban komitmen dalam bentuk fasilitas kredit.
Ayat (3)
Agunan berupa HQLA yang telah digunakan sebagai
pengurang arus kas keluar maka harus dikeluarkan dari
- 25 -
perhitungan HQLA. Perlakuan ini ditujukan untuk
menghindari penghitungan ganda (double counting).
Huruf a
Contoh HQLA yang dijadikan agunan untuk menjamin
fasilitas adalah fasilitas likuiditas sebagai fasilitas repo.
Huruf b
Syarat Bank berhak menggunakan kembali agunan
untuk memperoleh dana baru antara lain harus
didukung dengan aspek legal dan kemampuan
operasional.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Huruf a
Komitmen pinjaman seperti pembiayaan langsung impor
dan ekspor untuk perusahaan non keuangan
dikecualikan dari perhitungan ini dan Bank menerapkan
tingkat penarikan seperti untuk komitmen fasilitas
kredit.
Contoh instrumen trade finance antara lain:
1. dokumen perdagangan menggunakan L/C, clean
collection, documentary collection, import bills, dan
export bills; dan
2. garansi yang terkait langsung dengan kewajiban
trade finance seperti shipping guarantees.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
- 26 -
Huruf e
Antisipasi yang dilakukan oleh nasabah melalui ready
marketability antara lain adjustable rate notes dan
variable rate demand notes (VRDNs).
Huruf f
Kewajiban yang berasal dari dana kelolaan (managed
funds) yang dijual dengan tujuan menjaga kestabilan
nilai antara lain reksadana pasar uang atau jenis dana
investasi (investment fund) lainnya yang memiliki nilai
stabil.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 40
Contoh arus kas keluar kontraktual lainnya dalam 30 (tiga puluh)
hari kedepan adalah arus keluar (outflow) untuk menutupi
unsecured collateral borrowing, posisi short yang belum terpenuhi,
dividen atau pembayaran bunga kontraktual.
Arus kas keluar yang terkait dengan biaya operasional tidak
termasuk dalam perhitungan.
Pasal 41
Ayat (1)
Aset yang telah dimasukkan sebagai HQLA tidak dapat
diperhitungkan lagi sebagai arus kas masuk. Perlakuan ini
ditujukan untuk menghindari penghitungan ganda (double
counting).
Huruf a
Contoh transaksi pinjaman dengan agunan (secured
lending) adalah reverse repo.
Huruf b
Cukup jelas.
- 27 -
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Termasuk ke dalam tagihan komitmen (committed facility)
adalah fasilitas kredit, fasilitas likuiditas, dan/atau fasilitas
kontijensi lainnya dari entitas lain baik Bank maupun bukan
Bank.
LCR tidak memperhitungkan arus kas masuk yang
bersumber dari tagihan komitmen (committed facility) fasilitas
kredit dan likuiditas untuk mengurangi dampak risiko
penularan kekurangan likuiditas pada satu Bank kepada
Bank lain. Selain itu terdapat risiko Bank yang menyediakan
fasilitas kredit dan/atau likuiditas dimaksud tidak akan
memberikan fasilitas yang telah dijanjikan meskipun akan
menyebabkan timbulnya risiko hukum dan reputasi, dalam
rangka melindungi likuiditas Bank atau mengurangi eksposur
kepada Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh arus kas masuk kontraktual antara lain penerimaan
bunga atau pelunasan kredit dari debitur.
Arus kas masuk yang sifatnya kontijensi tidak termasuk
dalam perhitungan arus kas masuk.
Huruf a
Penetapan kualitas “Lancar” mengacu pada ketentuan
yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset Bank
umum.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “tingkat penerimaan (inflow rate)”
adalah tingkat prediksi penerimaan tagihan Bank
berdasarkan skenario tertentu.
- 28 -
Pasal 42
Ayat (1)
Semakin tinggi jenis agunan yang mendasari, tingkat
penerimaan semakin kecil karena diasumsikan Bank akan
melakukan perpanjangan (roll over) atas fasilitas pinjaman
dengan agunan (secured lending) yang diberikan.
Meskipun terdapat asumsi perpanjangan (roll over), Bank
harus tetap mengelola agunan dengan baik sehingga dapat
memenuhi kewajiban untuk mengembalikan agunan apabila
pihak lawan (counterparty) memutuskan untuk tidak
melakukan perpanjangan (roll over). Khususnya jika agunan
berupa bukan HQLA mengingat estimasi arus kas keluar
tidak diperhitungkan dalam perhitungan LCR.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan nasabah lainnya selain lembaga
jasa keuangan dan Bank Indonesia seperti korporasi
non-keuangan, Pemerintah Pusat, pemerintah negara
lain, entitas sektor publik, dan bank pembangunan
multilateral.
Ayat (2)
Yang dimaksud “pinjaman tanpa jangka waktu tertentu”
adalah pinjaman yang tidak memiliki jangka waktu (open
maturity), diasumsikan bahwa pinjaman yang ada saat ini
akan diperpanjang (roll over), dan diperlakukan sebagai
fasilitas komitmen.
Contoh pinjaman tanpa jangka waktu tertentu antara lain
adalah pinjaman kartu kredit.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 29 -
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 44
Penetapan kualitas “Lancar” mengacu pada ketentuan yang
mengatur mengenai penilaian kualitas aset Bank umum.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “aktivitas operasional” adalah kliring,
kustodian, dan aktivitas cash management.
Pasal 46
Huruf a
Penetapan kualitas “Lancar” mengacu pada ketentuan yang
mengatur mengenai penilaian kualitas aset Bank umum.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 47
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tagihan kontraktual lainnya” adalah
seluruh penerimaan arus kas masuk yang tidak tercakup
dalam pinjaman dengan agunan (secured lending) dan tagihan
berdasarkan pihak lawan (counterparty).
Arus kas masuk yang terkait pendapatan non-keuangan tidak
dapat diperhitungkan dalam arus masuk.
Pasal 48
Ayat (1)
Arus kas masuk dan arus kas keluar yang berasal dari
transaksi derivatif dapat dihitung selisih bersih (net)
berdasarkan pihak lawan (counterparty) dalam hal terdapat
- 30 -
valid master netting agreement.
Perhitungan arus kas masuk dan arus kas keluar dari
transaksi derivatif mengacu pada metode valuasi yang
berlaku pada masing-masing Bank.
Ayat (2)
Apabila dalam transaksi derivatif Bank menyerahkan agunan
berupa HQLA, dalam perhitungan estimasi arus kas masuk
atas transaksi derivatif harus dikurangi dengan kewajiban
kontraktual untuk menyerahkan kas atau agunan dimaksud.
Hal ini sesuai prinsip bahwa Bank tidak boleh melakukan
penghitungan ganda (double counting), perhitungan arus
masuk maupun arus keluar.
Pasal 49
Arus kas masuk yang terkait pendapatan non-keuangan tidak
dapat diperhitungkan dalam perhitungan arus masuk.
Pasal 50
Bank yang beroperasi secara lintas batas (cross border) harus
dapat mengidentifikasi hambatan yang mungkin timbul dalam
transfer likuiditas dan memonitor peraturan pada negara tempat
cabang bank beroperasi (host country) serta menguji implikasi dari
hambatan transfer likuiditas dan peraturan pada negara tempat
cabang bank beroperasi (host country) terhadap kondisi likuiditas
bank secara keseluruhan.
Pasal 51
Yang dimaksud pemantauan kondisi dan kecukupan likuiditas
dengan menggunakan indikator tertentu antara lain:
1. maturity mismatch secara kontraktual, yaitu pemantauan
dengan menggunakan indikator maturity mismatch secara
kontraktual bertujuan untuk mengidentifikasi gap antara
arus masuk (inflows) dan arus keluar (outflows) kontraktual
dalam kurun waktu tertentu. Gap berdasarkan jatuh tempo
tersebut mengindikasikan potensi kebutuhan likuiditas Bank
dalam kurun waktu tertentu apabila terjadi arus keluar
(outflows);
- 31 -
2. konsentrasi Pendanaan, yaitu pemantauan untuk
mengidentifikasi sumber-sumber Pendanaan korporasi yang
tergolong signifikan apabila terjadi penarikan dana akan
menyebabkan permasalahan likuiditas.
Indikator konsentrasi Pendanaan dilakukan melalui
pemantauan terhadap:
a. persentase sumber Pendanaan yang berasal dari pihak
lawan (counterparty) yang tergolong signifikan terhadap
total kewajiban Bank;
Sumber Pendanaan yang berasal dari setiap pihak lawan
(counterparty) yang tergolong signifikan dihitung
berdasarkan agregasi dari total seluruh jenis kewajiban
kepada satu pihak lawan (counterparty) tertentu atau
kelompok usaha atau afiliasinya serta seluruh pinjaman
langsung, yang dijamin dan tidak dijamin.
Pihak lawan (counterparty) yang tergolong signifikan
merupakan satu pihak lawan (counterparty) atau
kelompok usaha atau afiliasi yang dicatat secara agregat
memiliki Simpanan lebih dari 1% (satu persen) terhadap
neraca Bank;
b. persentase sumber Pendanaan yang berasal dari setiap
produk atau instrumen yang tergolong signifikan
terhadap total kewajiban;
Sumber Pendanaan yang berasal produk atau instrumen
dihitung untuk masing-masing produk atau instrumen
Pendanaan yang tergolong signifikan dan secara
kelompok untuk jenis produk atau instrumen yang
serupa.
Produk atau instrumen yang tergolong signifikan
didefinisikan sebagai sebuah produk atau instrumen
atau kelompok produk atau instrumen yang serupa yang
secara agregat berjumlah lebih dari 1% (satu persen)
terhadap neraca Bank;
c.
daftar jumlah aset dan kewajiban berdasarkan mata
uang yang tergolong signifikan;
Untuk dapat mengetahui jumlah ketidaksesuaian
(mismatch) mata uang yang tergolong signifikan pada
- 32 -
aset dan kewajiban Bank, Bank harus memiliki daftar
jumlah aset dan kewajiban untuk setiap mata uang yang
tergolong signifikan.
Suatu mata uang tergolong signifikan jika secara agregat
denominasi dalam mata uang berjumlah 5% (lima
persen) atau lebih dari total kewajiban Bank;
3. aset tidak terikat (unencumbered) yang tersedia, yaitu
pemantauan melalui indikator aset tidak terikat
(unencumbered) yang tersedia.
Indikator aset tidak terikat (unencumbered) yang tersedia
dilakukan melalui pemantauan terhadap:
(i) aset tidak terikat (unencumbered) yang tersedia dan
dapat digunakan sebagai agunan di pasar sekunder; dan
(ii) aset tidak terikat (unencumbered) yang tersedia dan
memenuhi persyaratan untuk mendapatkan fasilitas
Pendanaan dari bank sentral (central bank eligible).
Aset-aset tersebut berpotensi untuk digunakan sebagai
agunan sehingga dapat diperhitungkan sebagai HQLA atau
untuk memperoleh Pendanaan dari pasar sekunder atau
bank sentral;
4. LCR berdasarkan jenis mata uang yang signifikan, yaitu
pemantauan melalui indikator LCR berdasarkan jenis mata
uang yang signifikan untuk memperoleh gambaran potensi
ketidaksesuaian (mismatch) yang bersumber dari mata uang
tertentu.
Definisi dan perhitungan LCR untuk mata uang tertentu
menggunakan perhitungan LCR namun tidak terdapat
persyaratan minimal yang bersifat internasional.
Suatu mata uang tergolong signifikan jika jumlah agregat
kewajiban dalam mata uang tersebut mencapai 5% (lima
persen) atau lebih dari total kewajiban Bank;
5. monitoring tools yang berkaitan dengan pasar dilakukan
melalui pemantauan terhadap:
a. informasi pasar;
b. informasi sektor keuangan; dan
c. informasi spesifik terkait Bank.
- 33 -
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Bank dalam kelompok BUKU 3
dan BUKU 4” adalah sebagaimana terdapat dalam
ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan
jaringan kantor berdasarkan modal inti Bank.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “bank asing” adalah:
1. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri;
2. bank umum berbentuk badan hukum Indonesia
yang lebih dari 50% (lima puluh persen) sahamnya
dimiliki oleh warga negara asing dan/atau badan
hukum asing baik secara sendiri atau secara
bersama-sama; dan/atau
3. bank yang dimiliki baik secara sendiri atau
bersama-sama oleh warga negara asing dan/atau
badan hukum asing kurang dari 50% (lima puluh
persen) namun terdapat pengendalian oleh warga
negara asing dan/atau badan hukum asing
tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan kondisi tertentu antara lain apabila
Bank dalam kondisi stres.
Pasal 54
Cukup jelas.
- 34 -
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Bank dalam kelompok BUKU 3
dan BUKU 4” adalah sebagaimana terdapat dalam
ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan
jaringan kantor berdasarkan modal inti Bank.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “bank asing” adalah:
1. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri;
2. bank umum berbentuk badan hukum Indonesia
yang lebih dari 50% (lima puluh persen) sahamnya
dimiliki oleh warga negara asing dan/atau badan
hukum asing baik secara sendiri atau secara
bersama-sama; dan/atau
3. bank yang dimiliki baik secara sendiri atau
bersama-sama oleh warga negara asing dan/atau
badan hukum asing kurang dari 50% (lima puluh
persen) namun terdapat pengendalian oleh warga
negara asing dan/atau badan hukum asing
tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
- 35 -
Huruf a
Pencantuman dalam situs web Bank dilakukan secara
rinci dengan memuat perhitungan LCR.
Huruf b
Pencantuman dalam surat kabar harian cetak berbahasa
Indonesia dilakukan dengan mencantumkan nilai LCR
dalam bentuk perbandingan dengan nilai LCR triwulanan
periode sebelumnya.
Surat kabar harian cetak berbahasa Indonesia yang
memiliki peredaran luas ditempat kedudukan kantor
pusat Bank atau ditempat kedudukan kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Contoh:
Laporan LCR triwulanan posisi akhir bulan Maret 2016 wajib
dipelihara di situs web Bank sampai dengan bulan Maret
2021.
Pasal 58
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Bank dalam kelompok BUKU 3
dan BUKU 4” adalah sebagaimana terdapat dalam
ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan
jaringan kantor berdasarkan modal inti Bank.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “bank asing” adalah:
1. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri;
2. bank umum berbentuk badan hukum Indonesia
yang lebih dari 50% (lima puluh persen) sahamnya
dimiliki oleh warga negara asing dan/atau badan
- 36 -
hukum asing baik secara sendiri atau secara
bersama-sama; dan/atau
3. bank yang dimiliki baik secara sendiri atau
bersama-sama oleh warga negara asing dan/atau
badan hukum asing kurang dari 50% (lima puluh
persen) namun terdapat pengendalian oleh warga
negara asing dan/atau badan hukum asing
tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Bank kelompok BUKU 1 dan BUKU 2 dapat menjadi Bank
kelompok BUKU 3 atau BUKU 4 karena peningkatan modal
atau menjadi bank asing.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “bank asing” adalah:
1. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri;
2. bank asing subsidiari yaitu bank umum berbadan
hukum Indonesia dengan kepemilikan warga negara
asing dan/atau badan hukum asing melebihi 50%
- 37 -
(lima puluh persen) oleh satu pihak atau secara
bersama-sama; dan/atau
3. bank yang dimiliki baik secara sendiri atau
bersama-sama oleh warga negara asing dan/atau
badan hukum asing kurang dari 50% (lima puluh
persen) namun terdapat pengendalian oleh warga
negara asing dan/atau badan hukum asing
tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 62
Contoh:
Bank BUKU 3 pada tanggal 30 Juni 2016 seharusnya telah
memenuhi LCR 70% (tujuh puluh persen) namun Bank baru
memiliki LCR 65% (enam puluh lima persen). Dengan demikian
Bank wajib menginformasikan kepada Otoritas Jasa Keuangan
dan melakukan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5809
LAMPIRAN I
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 42 /POJK.03/2015
TENTANG
KEWAJIBAN PEMENUHAN RASIO KECUKUPAN LIKUIDITAS
(LIQUIDITY COVERAGE RATIO) BAGI BANK UMUM
PERHITUNGAN BATAS MAKSIMUM HQLA LEVEL 2 DAN HQLA LEVEL 2B
Komponen
HQLA
Formula
Perhitungan HQLA dilakukan dengan cara:
(HQLA Level 1 + HQLA Level 2A + HQLA Level 2B)
dikurangi
(penyesuaian untuk batas maksimum 15% HQLA Level 2 + penyesuaian untuk batas
maksimum 40% HQLA Level 2B);
Penyesuaian untuk batas
maksimum HQLA Level 2
Nilai yang paling tinggi antara:
a. adjusted HQLA Level 2B – 15/85 (adjusted HQLA Level 1 + adjusted HQLA Level 2A);
- 2 -
yaitu 15%.
b. adjusted HQLA Level 2B – (15/60 x HQLA Level1); atau
c. 0 (nol).
Penyesuaian untuk batas
maksimum HQLA Level 2B
yaitu 40%.
Nilai yang paling tinggi antara:
a. adjusted HQLA Level 2A + adjusted HQLA Level 2B – penyesuaian untuk batas maksimum
15% HQLA Level 2 – (2/3 x adjusted HQLA Level 1); atau
b. 0 (nol).
Keterangan:
1. Adjusted HQLA Level 1 adalah nilai HQLA Level 1 apabila terjadi unwind Securities Financing Transaction (SFT) jangka
pendek maupun transaksi collateral swap yang melibatkan pertukaran HQLA untuk HQLA Level 1 (termasuk kas) yang
memenuhi, atau akan memenuhi kriteria HQLA apabila aset tersebut tidak terikat (unencumbered), yang merupakan
persyaratan operasional untuk HQLA.
2. Adjusted HQLA Level 2A adalah nilai HQLA Level 2A apabila terjadi unwind SFT jangka pendek dan transaksi collateral
swap yang melibatkan pertukaran dari HQLA untuk HQLA Level 2A yang memenuhi, atau akan memenuhi kriteria
HQLA apabila aset tersebut tidak terikat (unencumbered), sebagaimana persyaratan operasional untuk HQLA.
3. Adjusted HQLA Level 2B adalah nilai dari HQLA Level 2B apabila terjadi unwind SFT jangka pendek dan transaksi
collateral swap yang melibatkan pertukaran dari HQLA untuk HQLA Level 2B aset yang memenuhi, atau akan
memenuhi kriteria HQLA apabila aset tersebut unencumbered, sebagaimana persyaratan operasional untuk HQLA.
4. Dalam konteks ini, transaksi jangka pendek adalah transaksi dengan tanggal jatuh tempo sampai dengan 30 hari
- 3 -
kalender.
5. Pengurangan nilai (haircut) yang sesuai untuk masing-masing HQLA dilakukan sebelum perhitungan batas maksimum.
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
ttd
MULIAMAN D. HADAD
LAMPIRAN II
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 42 /POJK.03/2015
TENTANG
KEWAJIBAN PEMENUHAN RASIO KECUKUPAN LIKUIDITAS
(LIQUIDITY COVERAGE RATIO) BAGI BANK UMUM
LAPORAN PERHITUNGAN
KEWAJIBAN PEMENUHAN RASIO KECUKUPAN LIKUIDITAS (LIQUIDITY COVERAGE RATIO) BULANAN
Nama Bank :
Bulan Laporan :
(dalam juta Rp)
Nilai
No. Komponen
A. HQLA
1. HQLA Level 1
1.1 Kas dan setara kas
1.2 Total penempatan pada Bank Indonesia, yaitu:
bagian dari penempatan pada Bank Indonesia yang dapat
ditarik saat kondisi stres
Haircut atau Run-off
Rate atau Inflow Rate
Outstanding
atau Nilai
Pasar
0%
0%
Nilai setelah
Haircut atau
Run-off Rate
atau Inflow
Rate
- 2 -
Nilai
No. Komponen
1.3 Surat berharga yang memenuhi kriteria Pasal 10 ayat (1) huruf c
diterbitkan atau dijamin pemerintah negara lain
diterbitkan atau dijamin oleh bank sentral negara lain
diterbitkan atau dijamin oleh entitas sektor publik
diterbitkan atau dijamin oleh bank pembangunan multilateral
diterbitkan atau dijamin oleh lembaga internasional (a.l BIS,
IMF, ECB and European Community)
1.4
1.5
Surat berharga yang diterbitkan Pemerintah Pusat dan Bank Indonesia
dalam rupiah dan valuta asing
Surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah dan bank sentral
negara lain dalam valuta asing dengan bobot risiko lebih dari 0% yang
memenuhi kriteria Pasal 10 ayat (1) huruf e
Jumlah HQLA Level 1
2. HQLA Level 2A
2.1 Surat berharga yang memenuhi kriteria Pasal 11 ayat (1) huruf a:
diterbitkan atau dijamin oleh pemerintah negara lain
diterbitkan atau dijamin oleh bank sentral negara lain
diterbitkan atau dijamin oleh entitas sektor publik
diterbitkan atau dijamin oleh bank pembangunan multilateral
2.2
2.3
Surat berharga berupa surat utang yang diterbitkan oleh korporasi
non-keuangan yang memenuhi kriteria Pasal 11 ayat (1) huruf b
Surat berharga berbentuk covered bonds yang tidak diterbitkan oleh
Bank pelapor atau pihak yang terafiliasi dengan Bank pelapor yang
memenuhi kriteria Pasal 11 ayat (1) huruf b
Jumlah HQLA Level 2A
15%
15%
15%
15%
15%
15%
B
Haircut atau Run-off
Rate atau Inflow Rate
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
A
Outstanding
atau Nilai
Pasar
Nilai setelah
Haircut atau
Run-off Rate
atau Inflow
Rate
- 3 -
Nilai
No. Komponen
Haircut atau Run-off
Rate atau Inflow Rate
3. HQLA Level 2B
3.1
3.2
3.3
3.4
Outstanding
atau Nilai
Pasar
Nilai setelah
Haircut atau
Run-off Rate
atau Inflow
Rate
Efek beragun aset (EBA) berupa rumah tinggal yang memenuhi kriteria
Pasal 12 ayat (1) huruf a
Surat berharga berupa surat utang yang diterbitkan oleh korporasi
yang memenuhi kriteria Pasal 12 ayat (1) huruf b
Saham biasa yang dimiliki perusahaan anak bukan Bank yang
memenuhi kriteria Pasal 12 ayat (1) huruf c
Surat berharga pemerintah atau bank sentral negara lain dengan
peringkat paling tinggi BBB+ dan paling rendah BBB-
Jumlah HQLA Level 2B
Jumlah HQLA sebelum penyesuaian
Penyesuaian untuk Batas Maksimum dari HQLA Level 2B
Penyesuaian untuk Batas Maksimum dari HQLA Level 2
Total HQLA
B. Net Cash Outflow (Arus Kas Keluar Bersih)
1. Arus Kas Keluar
1.1 Penarikan Simpanan Nasabah Perorangan
Jumlah Simpanan nasabah perorangan:
Simpanan stabil
Simpanan stabil yang memenuhi kriteria Pasal 50 ayat (2)
Jumlah Simpanan stabil nasabah perorangan
25%
50%
50%
50%
C
A + B + C = D
E
F
D – (E + F)
5%
- 4 -
Nilai
No. Komponen
Simpanan kurang stabil
Simpanan kurang stabil yang memenuhi kriteria Pasal 50 ayat (2)
Tambahan kategori Simpanan dengan tingkat penarikan yang lebih
tinggi yang ditetapkan oleh pengawas
Kategori 1
Kategori 2
Kategori 3
Jumlah Simpanan kurang stabil nasabah perorangan
Jumlah Penarikan Simpanan Nasabah Perorangan
1.2 Penarikan Pendanaan dari Nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil
Jumlah Pendanaan nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil:
Pendanaan stabil dari nasabah yang memenuhi kriteria Pasal 15
ayat (1)
Pendanaan stabil dari nasabah yang memenuhi kriteria Pasal 15
ayat (2)
Pendanaan stabil dari nasabah yang memenuhi kriteria Pasal 50
ayat (2)
Jumlah Pendanaan stabil nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil
Pendanaan kurang stabil dari nasabah yang memenuhi kriteria
Pasal 21 ayat (1)
Pendanaan kurang stabil yang memenuhi kriteria Pasal 50 ayat (2)
Tambahan kategori Simpanan dengan tingkat penarikan yang lebih
tinggi yang ditetapkan oleh pengawas
Kategori 1
Kategori 2
10%
Haircut atau Run-off
Rate atau Inflow Rate
10%
Outstanding
atau Nilai
Pasar
Nilai setelah
Haircut atau
Run-off Rate
atau Inflow
Rate
5%
5%
- 5 -
Nilai
No. Komponen
Kategori 3
Jumlah Pendanaan kurang stabil Usaha Mikro dan Usaha Kecil
Jumlah Penarikan Pendanaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil
1.3 Penarikan Pendanaan dari Nasabah Korporasi
Jumlah Pendanaan dari nasabah korporasi:
Simpanan operasional:
dijamin oleh LPS
tidak dijamin oleh LPS
Simpanan operasional yang memenuhi kriteria Pasal 50 ayat (1):
dijamin oleh lembaga penjaminan
tidak dijamin oleh lembaga penjaminan
Jumlah Simpanan operasional nasabah korporasi
Simpanan non-operasional dan/atau kewajiban yang bersifat non-
operasional
dijamin oleh LPS
tidak dijamin oleh LPS
Simpanan non-operasional dan/atau kewajiban yang bersifat non-
operasional yang memenuhi kriteria Pasal 50 ayat (1):
dijamin oleh lembaga penjaminan
tidak dijamin oleh lembaga penjaminan
Surat berharga berupa surat utang yang diterbitkan Bank
Jumlah Simpanan non-operasional dan/atau kewajiban yang
bersifat non-operasional
Jumlah Penarikan Pendanaan yang Berasal dari Nasabah Korporasi
100%
Haircut atau Run-off
Rate atau Inflow Rate
Outstanding
atau Nilai
Pasar
Nilai setelah
Haircut atau
Run-off Rate
atau Inflow
Rate
5%
25%
20%
40%
- 6 -
Nilai
No. Komponen
1.4 Penarikan Pendanaan dengan Agunan (Secured Funding)
Transaksi dilakukan dengan Bank Indonesia
Transaksi dilakukan dengan agunan HQLA Level 1
Transaksi dilakukan dengan agunan HQLA Level 2A
Transaksi dilakukan dengan Pemerintah Pusat atau entitas sektor
publik yang memiliki bobot risiko paling tinggi 20% atau bank
pembangunan multilateral, dengan agunan selain HQLA Level 1 atau
HQLA Level 2A
Transaksi dengan agunan HQLA Level 2B berupa EBA
Transaksi dengan agunan HQLA Level 2B selain EBA
Transaksi dilakukan dengan agunan selain HQLA
Jumlah Penarikan Pendanaan dengan Agunan (Secured Funding)
1.5 Arus Kas Keluar Lainnya (Additional Requirement)
Arus kas keluar lainnya terkait transaksi derivatif
Arus kas keluar lainnya terkait peningkatan kebutuhan likuiditas
terkait dengan penurunan peringkat (rating) Bank dalam
transaksi Pendanaan, derivatif, dan perjanjian lainnya
terkait dengan perubahan mark to market atas transaksi
derivatif atau transaksi lainnya
terkait dengan potensi perubahan nilai agunan untuk derivatif
dan transaksi lainnya
terkait dengan kelebihan agunan yang tidak terpisah (non-
segregated collateral) yang dikuasai oleh Bank yang secara
Haircut atau Run-off
Rate atau Inflow Rate
0%
0%
15%
25%
25%
50%
100%
100%
100%
Aliran agunan bersih
absolut
terbesar
selama 30 hari yang
direalisasikan dalam
24 bulan
20%
100%
Outstanding
atau Nilai
Pasar
Nilai setelah
Haircut atau
Run-off Rate
atau Inflow
Rate
- 7 -
Nilai
No. Komponen
kontraktual dapat diambil setiap saat oleh pihak lawan
terkait dengan kewajiban penyediaan agunan kepada pihak
lawan (counterparty) atas suatu transaksi tertentu namun
pihak lawan (counterparty) belum meminta agunan tersebut
terkait dengan potensi penukaran agunan yang berupa HQLA
menjadi bukan HQLA
Arus kas keluar lainnya terkait kehilangan Pendanaan
berasal dari efek beragun aset, covered bonds, dan instrumen
pembiayaan terstruktur lainnya yang diterbitkan oleh Bank
100%
berasal dari asset-backed commercial paper, conduits, securities
investment vehicles
100%
100%
100%
dari
pendanaan yang
jatuh tempo dalam
30 hari kedepan dan
aset yang berpotensi
untuk dilunasi dalam
30 hari kedepan
Arus kas keluar lainnya terkait dengan kewajiban komitmen dalam bentuk fasilitas kredit
fasilitas diberikan kepada perorangan atau Usaha Mikro dan
Usaha Kecil
5%
fasilitas diberikan kepada korporasi non-keuangan,
Pemerintah Pusat, Bank Indonesia, pemerintah negara lain,
bank sentral negara lain, entitas sektor publik, dan/atau bank
pembangunan multilateral
fasilitas diberikan kepada Bank dan/atau lembaga jasa
keuangan
fasilitas diberikan kepada entitas lainnya
10%
40%
100%
Haircut atau Run-off
Rate atau Inflow Rate
Outstanding
atau Nilai
Pasar
Nilai setelah
Haircut atau
Run-off Rate
atau Inflow
Rate
- 8 -
Nilai
No. Komponen
Arus kas keluar lainnya terkait dengan kewajiban komitmen dalam
bentuk fasilitas likuiditas
fasilitas diberikan kepada perorangan atau Usaha Mikro dan
Usaha Kecil
fasilitas diberikan kepada korporasi non-keuangan,
Pemerintah Pusat, Bank Indonesia, pemerintah negara lain,
bank sentral negara lain, entitas sektor publik, dan/atau bank
pembangunan multilateral
fasilitas diberikan kepada Bank
fasilitas diberikan kepada lembaga jasa keuangan dan/atau
entitas lainnya
Kewajiban kontraktual lainnya untuk menyediakan dana kepada:
lembaga jasa keuangan
nasabah perorangan
Haircut atau Run-off
Rate atau Inflow Rate
Outstanding
atau Nilai
Pasar
Nilai setelah
Haircut atau
Run-off Rate
atau Inflow
Rate
5%
30%
40%
100%
100%
100% dari nilai
selisih lebih antara
kewajiban
kontraktual untuk
menyalurkan dana
dengan 50% total
arus kas masuk
korporasi non-keuangan
100% dari nilai
selisih lebih antara
kewajiban
kontraktual untuk
menyalurkan dana
dengan 50% total
arus kas masuk
- 9 -
Nilai
No. Komponen
Kewajiban kontijensi Pendanaan lainnya
berasal dari instrumen trade finance
berasal dari fasilitas kredit dan fasilitas likuiditas yang bersifat
unconditionally revocable uncommitted
berasal dari letter of credit (L/C) dan garansi yang tidak terkait
dengan kewajiban trade finance
berasal dari permintaan potensial untuk membeli kembali
utang bank atau yang terkait dengan securities investment
vehicles dan fasilitas pembiayaan lainnya
berasal dari structured product yang diantisipasi oleh nasabah
melalui ready marketability
berasal dari dana kelolaan (managed funds) yang dijual dengan
tujuan menjaga kestabilan nilai
kewajiban untuk menutup potensi pembelian kembali surat
berharga, dengan atau tanpa agunan, yang memiliki jangka
waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari bagi emiten yang memiliki
afiliasi dengan dealer atau market maker
kewajiban non-kontraktual posisi short nasabah yang
dilindungi dengan agunan nasabah lain
Arus kas keluar kontraktual lainnya
Jumlah Penarikan terkait Arus Kas Keluar Lainnya (Additional
Requirement)
Jumlah Arus Kas Keluar
2. Arus Kas Masuk
2.1 Pinjaman dengan Agunan (Secured Lending)
Agunan tidak digunakan kembali untuk menutupi posisi short
nasabah
Haircut atau Run-off
Rate atau Inflow Rate
3%
0%
5%
5%
5%
5%
5%
50%
100%
Outstanding
atau Nilai
Pasar
Nilai setelah
Haircut atau
Run-off Rate
atau Inflow
Rate
- 10 -
Nilai
No. Komponen
Agunan berupa HQLA Level 1
Agunan berupa HQLA Level 2A
Agunan berupa EBA yang memenuhi persyaratan HQLA Level 2B
Agunan berupa HQLA Level 2B selain EBA
Transaksi berupa margin lending namun agunan berupa selain HQLA
Agunan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut diatas
Agunan digunakan kembali untuk menutupi posisi short nasabah
Jumlah Arus Kas Masuk yang Berasal dari Pinjaman dengan Agunan
(Secured Lending)
2.2 Tagihan berdasarkan Pihak Lawan (Counterparty)
nasabah perorangan
nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil
lembaga jasa keuangan
Bank Indonesia
Haircut atau Run-off
Rate atau Inflow Rate
0%
15%
25%
50%
50%
100%
0%
Outstanding
atau Nilai
Pasar
Nilai setelah
Haircut atau
Run-off Rate
atau Inflow
Rate
50%
50%
100%
100%
lainnya (nasabah korporasi non-keuangan, Pemerintah Pusat,
pemerintah negara lain, entitas sektor publik dan bank pembangunan
multilateral)
50% dari nilai
kontraktual
dan/atau 100% dari
nilai kontraktual
dalam hal tingkat
penerimaan berasal
dari surat berharga
bukan HQLA dengan
sisa jangka waktu
kurang dari 30 hari.
Jumlah arus kas masuk berdasarkan pihak lawan (counterparty)
- 11 -
Nilai
No. Komponen
2.3 Arus Kas Masuk Lainnya
berasal dari transaksi derivatif
berasal dari tagihan kontraktual lainnya
Jumlah Arus Kas Masuk Lainnya
Jumlah Arus Kas Masuk
Jumlah Arus Kas Masuk yang dapat Diperhitungkan dalam Perhitungan
LCR (maksimal 75% dari Total Arus Kas Keluar)
Jumlah Net Cash Out Flow
C. LCR
Jumlah HQLA
Jumlah Net Cash Out Flow
Nilai LCR
Haircut atau Run-off
Rate atau Inflow Rate
100%
50%
Outstanding
atau Nilai
Pasar
Nilai setelah
Haircut atau
Run-off Rate
atau Inflow
Rate
- 12 -
PENILAIAN KUALITATIF KONDISI LIKUIDITAS
Nama Bank
Bulan Laporan
:
:
Analisis
Diisi dengan hasil analisis kondisi likuiditas Bank.
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
MULIAMAN D. HADAD
LAMPIRAN III
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR
/POJK.03/2015
TENTANG
KEWAJIBAN PEMENUHAN RASIO KECUKUPAN LIKUIDITAS
(LIQUIDITY COVERAGE RATIO) BAGI BANK UMUM
LAPORAN PERHITUNGAN
KEWAJIBAN PEMENUHAN RASIO KECUKUPAN LIKUIDITAS (LIQUIDITY COVERAGE RATIO) TRIWULANAN
Nama Bank
Posisi Laporan
:
:
(dalam juta Rp)
Nilai outstanding kewajiban dan
komitmen/nilai
tagihan
kontraktual
Nilai HQLA setelah pengurangan nilai (haircut),
outstanding kewajiban dan komitmen dikalikan
tingkat penarikan (run-off rate) atau nilai tagihan
kontraktual dikalikan tingkat penerimaan (inflow rate).
HIGH QUALITY LIQUID ASSET (HQLA)
1
Total High Quality Liquid Asset (HQLA)
- 2 -
ARUS KAS KELUAR (CASH OUTFLOW)
2
Simpanan nasabah perorangan dan
Pendanaan yang berasal dari nasabah
Usaha Mikro dan Usaha Kecil, terdiri dari:
a. Simpanan/Pendanaan stabil
b. Simpanan/Pendanaan kurang stabil
3
Pendanaan yang berasal dari nasabah
korporasi, terdiri dari:
a. Simpanan operasional
b. Simpanan non-operasional dan/atau
kewajiban lainnya yang bersifat non-
operasional
4
5
Pendanaan dengan agunan (secured
funding)
Arus kas keluar lainnya (additional
requirement), terdiri dari:
a. arus kas keluar atas transaksi derivatif
b. arus kas keluar atas peningkatan
kebutuhan likuiditas
- 3 -
c. arus kas keluar atas kehilangan
pendanaan
d. arus kas keluar atas penarikan
komitmen fasilitas kredit dan fasilitas
likuiditas
e. arus kas keluar atas kewajiban
kontraktual lainnya terkait penyaluran
dana
f. arus kas keluar atas kewajiban
kontijensi pendanaan lainnya
g. arus kas keluar kontraktual lainnya
TOTAL ARUS KAS KELUAR (CASH
OUTFLOW)
ARUS KAS MASUK (CASH INFLOW)
6
7
8
Pinjaman dengan agunan Secured lending
Tagihan berasal dari pihak lawan
(counterparty)
Arus kas masuk lainnya
TOTAL ARUS KAS MASUK (CASH
INFLOW)
- 4 -
TOTAL ADJUSTED VALUE1
TOTAL HQLA
TOTAL ARUS KAS KELUAR BERSIH (NET
CASH OUTFLOWS)
LCR (%)
Keterangan:
1Adjusted values dihitung setelah pengenaan pengurangan nilai (haircut), tingkat penarikan (run-off rate), dan tingkat penerimaan
(inflow rate) serta batas maksimum komponen HQLA, misalnya batas maksimum HQLA Level 2B dan HQLA Level 2 serta batas
maksimum arus kas masuk yang dapat diperhitungkan dalam LCR.
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
ttd
MULIAMAN D. HADAD
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 42/POJK.03/2015 </reg_id>
<reg_title> KEWAJIBAN PEMENUHAN RASIO KECUKUPAN LIKUIDITAS (LIQUIDITY COVERAGE RATIO) BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 23 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 23 Desember 2015 </issued_date>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
-1-
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR: 5/POJK.05/2013
TENTANG
PENGAWASAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL
OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang
: bahwa dalam rangka melaksanakan pengawasan
terhadap Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial, perlu menetapkan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan tentang Pengawasan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Oleh Otoritas Jasa
Keuangan;
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4456);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
3. Undang-Undang …
-2-
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5256);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENGAWASAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN
SOSIAL OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
1. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah Otoritas
Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
2. Dewan Jaminan Sosial Nasional yang selanjutnya disingkat DJSN, adalah
Dewan Jaminan Sosial Nasional sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial.
3. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang selanjutnya disingkat BPJS,
adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial, yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan.
4. BPJS Kesehatan adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial.
5. BPJS …
-3-
5. BPJS Ketenagakerjaan adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua,
jaminan pensiun, dan jaminan kematian sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial.
6. Pemeriksaan adalah rangkaian kegiatan mencari, mengumpulkan,
mengolah, dan mengevaluasi data dan/atau keterangan serta untuk
menilai dan memberikan kesimpulan mengenai penyelenggaraan program
jaminan sosial oleh BPJS.
7. Pengawasan adalah proses kegiatan penilaian terhadap BPJS dengan
tujuan agar BPJS melaksanakan fungsinya dengan baik dan berhasil
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
8. Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan adalah dana amanat milik seluruh
peserta jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan
jaminan kematian yang merupakan himpunan iuran beserta hasil
pengembangannya yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan untuk
pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional
penyelenggaraan program jaminan sosial.
9. Dana Jaminan Sosial Kesehatan adalah dana amanat milik seluruh peserta
jaminan kesehatan yang merupakan himpunan iuran beserta hasil
pengembangannya yang dikelola oleh BPJS Kesehatan untuk pembayaran
manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan
program jaminan sosial.
10. Pemeriksa adalah pegawai OJK atau pihak yang ditunjuk oleh OJK untuk
melakukan Pemeriksaan.
11. Peserta adalah setiap orang termasuk orang asing yang bekerja paling
singkat 6 (enam) bulan di Indonesia yang telah membayar iuran
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
BAB II
RUANG LINGKUP PENGAWASAN BPJS OLEH OJK
Pasal 2
(1) OJK melakukan pengawasan terhadap BPJS.
(2) Ruang …
-4-
(2) Ruang lingkup pengawasan OJK terhadap BPJS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. kesehatan keuangan;
b. penerapan tata kelola yang baik termasuk proses bisnis;
c. pengelolaan dan kinerja investasi;
d. penerapan manajemen risiko dan kontrol yang baik;
e. pendeteksian dan penyelesaian kejahatan keuangan (fraud);
f. valuasi aset dan liabilitas;
g. kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan;
h. keterbukaan informasi kepada masyarakat (public disclosure);
i. perlindungan konsumen;
j. rasio kolektibilitas iuran;
k. monitoring dampak sistemik; dan
l. aspek lain yang merupakan fungsi, tugas, dan wewenang OJK
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengawasan terhadap aspek-aspek sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
didasarkan pada peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) belum mengatur aspek-aspek sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), pengawasan dilakukan dengan mengacu kepada standar, prinsip, dan
praktek penyelenggaraan jaminan sosial yang sehat.
Pasal 3
(1) Pengawasan OJK terhadap BPJS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) terdiri atas:
a. pengawasan langsung; dan
b. pengawasan tidak langsung.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh satuan
kerja di lingkungan pengawasan Industri Keuangan Non Bank, OJK.
BAB III
PENGAWASAN LANGSUNG
Pasal 4
Pengawasan langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a
dilakukan melalui Pemeriksaan.
Pasal 5 …
-5-
Pasal 5
(1) Pemeriksaan terhadap BPJS dilakukan oleh Pemeriksa.
(2) Dalam rangka Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemeriksa dapat melakukan Pemeriksaan terhadap perusahaan lain yang
dimiliki oleh BPJS dan/atau pihak terkait lainnya.
(3) Pemeriksaan bertujuan untuk:
a. memperoleh gambaran mengenai kondisi BPJS yang sebenarnya;
b. memastikan bahwa BPJS telah mematuhi peraturan perundang-
undangan;
c. memastikan bahwa BPJS telah menerapkan tata kelola, manajemen
risiko, dan kontrol yang baik; dan/atau
d. memastikan bahwa BPJS telah melakukan upaya untuk memenuhi
kewajiban kepada Peserta.
Pasal 6
Pemeriksaan yang dilakukan OJK terhadap BPJS dapat mencakup seluruh
aspek atau sebagian aspek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
Pasal 7
Pemeriksaan terhadap BPJS dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1
(satu) tahun.
Pasal 8
(1) Pemeriksa harus melaksanakan Pemeriksaan sesuai dengan Peraturan
OJK ini dan pedoman Pemeriksaan BPJS.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman Pemeriksaan BPJS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner OJK.
Pasal 9
(1) BPJS dan pihak lain yang diperiksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) dan ayat (2) dilarang menolak dan/atau menghambat proses
Pemeriksaan.
(2) BPJS dan pihak lain yang diperiksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) dan ayat (2) wajib:
a. memenuhi …..
-6-
a. memenuhi permintaan untuk memberikan atau meminjamkan buku,
berkas, catatan, disposisi, memorandum, dokumen, data elektronik,
termasuk salinan-salinannya;
b. memberikan keterangan dan penjelasan yang berkaitan dengan aspek
yang diperiksa baik lisan maupun tertulis;
c. memberi kesempatan kepada Pemeriksa untuk memasuki dan
memeriksa tempat atau ruangan yang dipandang perlu;
d. memberi kesempatan kepada Pemeriksa untuk meneliti keberadaan dan
penggunaan sarana fisik yang berkaitan dengan aspek yang diperiksa;
dan/atau
e. menghadirkan pihak ketiga termasuk auditor independen dan aktuaris
independen untuk memberikan data, dokumen, dan/atau keterangan
kepada Pemeriksa terkait dengan Pemeriksaan.
(3) Pihak yang diperiksa dinyatakan menghambat kelancaran proses
pemeriksaan apabila tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) atau meminjamkan buku, memberikan catatan,
dokumen, atau keterangan yang tidak benar.
Pasal 10
(1) Pemeriksaan dilakukan oleh Pemeriksa berdasarkan surat perintah
Pemeriksaan yang diterbitkan oleh OJK.
(2) Pemeriksa wajib menyampaikan surat perintah Pemeriksaan kepada BPJS
dan pihak lain yang diperiksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) dan ayat (2).
(3) Sebelum dilakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
OJK menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan kepada BPJS dan
pihak lain yang diperiksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
dan ayat (2).
(4) Surat pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
memuat informasi sebagai berikut:
a. nomor dan tanggal surat perintah Pemeriksaan;
b. nama Pemeriksa;
c. ruang lingkup Pemeriksaan;
d. tujuan Pemeriksaan;
e. jangka waktu Pemeriksaan; dan
f. dokumen-dokumen awal yang diperlukan untuk Pemeriksaan.
(5) OJK …
-7-
(5) OJK dapat melakukan Pemeriksaan tanpa didahului dengan penyampaian
surat pemberitahuan Pemeriksaan apabila:
a. pemberitahuan tersebut diduga akan mempersulit atau menghambat
proses Pemeriksaan;
b. terdapat dugaan adanya tindakan untuk mengaburkan keadaan yang
sebenarnya; atau
c. terdapat dugaan adanya tindakan menyembunyikan, menghilangkan
data, keterangan, atau laporan yang diperlukan dalam rangka
Pemeriksaan.
Pasal 11
(1) Sebelum Pemeriksaan berakhir, Pemeriksa wajib melakukan konfirmasi
dengan Direksi BPJS atas hasil Pemeriksaan.
(2) Apabila setelah proses konfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
masih terdapat perbedaan pendapat, Direksi BPJS dapat mengajukan
penjelasan secara tertulis kepada OJK paling lambat 10 (sepuluh) hari
kalender setelah berakhirnya proses Pemeriksaan.
Pasal 12
(1) Setelah proses Pemeriksaan berakhir, Pemeriksa menyusun laporan hasil
Pemeriksaan.
(2) OJK menyampaikan laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada BPJS paling lambat 20 (dua puluh) hari kalender
setelah batas akhir penyampaian penjelasan secara tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).
(3) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat
rahasia.
(4) Status rahasia atas laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dapat dibuka setelah terlebih dahulu memperoleh
persetujuan tertulis dari OJK atau berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 13
(1) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1)
dapat memuat langkah-langkah tindak lanjut yang harus dilakukan oleh
BPJS atau pemangku kepentingan lainnya.
(2) Dalam …
-8-
(2) Dalam hal terdapat langkah-langkah tindak lanjut yang harus dilakukan
oleh BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPJS wajib melaksanakan
langkah-langkah tindak lanjut tersebut.
(3) BPJS wajib melaporkan pelaksanaan langkah-langkah tindak lanjut
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada OJK sesuai dengan jangka
waktu yang ditetapkan dalam laporan hasil Pemeriksaan.
(4) Kewajiban melaporkan pelaksanaan langkah-langkah tindak lanjut
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir apabila OJK menilai bahwa
BPJS telah melaksanakan langkah-langkah tindak lanjut dimaksud.
BAB IV
PENGAWASAN TIDAK LANGSUNG
Pasal 14
Pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf b dilakukan melalui:
a. analisis atas laporan yang disampaikan oleh BPJS kepada OJK; dan/atau
b. analisis atas laporan yang disampaikan oleh pihak lain kepada OJK.
Pasal 15
OJK dapat meminta BPJS untuk menyampaikan informasi dan/atau dokumen
tertentu dalam rangka pengawasan tidak langsung atas BPJS.
BAB V
PELAPORAN
Pasal 16
(1) BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan wajib menyusun laporan
keuangan sebagai berikut:
a. laporan keuangan tahunan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan
untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember;
b. laporan keuangan tahunan Dana Jaminan Sosial Kesehatan dan Dana
Jaminan Sosial Ketenagakerjaan untuk masing-masing program
ketenagakerjaan untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember;
c. laporan keuangan semesteran BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan yang berakhir pada 30 Juni dan 31 Desember;
d. laporan …
-9-
d. laporan keuangan semesteran Dana Jaminan Sosial Kesehatan dan
Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan untuk masing-masing program
ketenagakerjaan yang berakhir pada 30 Juni dan 31 Desember;
e. laporan keuangan bulanan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan
untuk periode yang berakhir pada 31 Januari, 28 atau 29 Februari, 31
Maret, 30 April, 31 Mei, 30 Juni, 31 Juli, 31 Agustus, 30 September, 31
Oktober, 30 November, dan 31 Desember; dan
f. laporan keuangan bulanan Dana Jaminan Sosial Kesehatan dan Dana
Jaminan Sosial Ketenagakerjaan untuk masing-masing program
ketenagakerjaan untuk periode yang berakhir pada 31 Januari, 28 atau
29 Februari, 31 Maret, 30 April, 31 Mei, 30 Juni, 31 Juli, 31 Agustus, 30
September, 31 Oktober, 30 November, dan 31 Desember.
(2) BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan wajib menyusun laporan
pengelolaan program sebagai berikut:
a. laporan pengelolaan program jaminan kesehatan dan jaminan untuk
masing-masing program ketenagakerjaan tahunan untuk periode 1
Januari sampai dengan 31 Desember;
b. laporan pengelolaan program jaminan kesehatan dan jaminan untuk
masing-masing program ketenagakerjaan semesteran yang berakhir
pada 30 Juni dan 31 Desember; dan
c. laporan pengelolaan program jaminan kesehatan dan jaminan untuk
masing-masing program ketenagakerjaan bulanan untuk periode yang
berakhir pada 31 Januari, 28 atau 29 Februari, 31 Maret, 30 April, 31
Mei, 30 Juni, 31 Juli, 31 Agustus, 30 September, 31 Oktober, 30
November, dan 31 Desember.
(3) BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan wajib menyusun laporan
aktuaris tahunan untuk program jaminan kesehatan dan untuk masing-
masing program ketenagakerjaan untuk periode 1 Januari sampai dengan
31 Desember.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan disajikan
berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku.
(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dan huruf b serta
ayat (2) huruf a wajib diaudit oleh auditor independen.
(6) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dan disajikan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(7) Laporan ...
-10-
(7) Laporan aktuaris tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
merupakan laporan yang menggambarkan perkiraan kemampuan Dana
Jaminan Sosial untuk memenuhi kewajibannya di masa depan.
(8) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib ditandatangani oleh
aktuaris BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
(9) Laporan aktuaris tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
ditelaah (direview) dan dinilai kewajaran penyajiannya oleh aktuaris
independen yang tidak terafiliasi dengan manajemen BPJS Kesehatan dan
BPJS Ketenagakerjaan paling kurang 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan susunan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, dan huruf f, ayat (2) huruf c
dan ayat (3) diatur dengan Surat Edaran OJK.
Pasal 17
(1) BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan wajib menyampaikan:
a. laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a
dan huruf b, Pasal 16 ayat (2) huruf a, serta Pasal 16 ayat (3) paling
lama tanggal 30 Juni tahun berikutnya;
b. laporan semesteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf c, huruf d, dan Pasal 16 ayat (2) huruf b paling lama 1 (satu)
bulan setelah berakhirnya semester yang bersangkutan; dan
c. laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e
dan huruf f, serta Pasal 16 ayat (2) huruf c paling lama 15 (lima belas)
hari setelah berakhirnya bulan yang bersangkutan, kepada OJK.
(2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari
kerja pertama setelah batas akhir dimaksud.
BAB VI
SANKSI DAN REKOMENDASI
Pasal 18
(1) Dalam hal BPJS terbukti melakukan pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3), Pasal
16 ayat (1) sampai dengan ayat (7), dan Pasal 17 ayat (1) dan/atau atas
temuan hasil Pemeriksaan, OJK dapat memberikan sanksi administratif
berupa surat peringatan dan/atau memberikan rekomendasi kepada DJSN
dan/atau Presiden.
(2) Surat …..
-11-
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling
banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu paling lama
masing-masing 2 (dua) bulan.
(3) Dalam hal OJK menilai bahwa jenis pelanggaran yang dilakukan dan/atau
temuan Pemeriksaan tidak dapat diatasi dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), OJK dapat menetapkan berlakunya jangka waktu
tambahan paling lama 6 (enam) bulan.
(4) OJK dapat memberikan rekomendasi kepada DJSN dan/atau Presiden
dalam hal BPJS tidak memenuhi kewajiban untuk menindaklanjuti surat
peringatan terakhir atau atas temuan Pemeriksaan.
(5) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk tetapi tidak
terbatas pada:
a. peninjauan besar iuran jaminan kesehatan dan untuk masing-masing
program ketenagakerjaan;
b. peninjauan besar manfaat jaminan kesehatan dan untuk masing-masing
program ketenagakerjaan;
c. peninjauan kebijakan investasi BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan;
d. peninjauan kebijakan investasi dana jaminan kesehatan dan dana
jaminan untuk masing-masing program ketenagakerjaan; dan/atau
e. penggantian sebagian atau seluruh manajemen BPJS Kesehatan dan
BPJS Ketenagakerjaan.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 19
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku maka Peraturan OJK Nomor:
3/POJK.05/2013 tentang Laporan Bulanan Lembaga Jasa Keuangan Non-
Bank, dinyatakan tidak berlaku bagi BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan.
Pasal 20
(1) Kewajiban penyampaian laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1) huruf c dilakukan oleh BPJS kesehatan dan BPJS
ketenagakerjaan sejak bulan Maret 2014.
(2) Penyampaian …
-12-
(2) Penyampaian laporan bulanan sejak bulan Maret 2014 sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) termasuk laporan bulanan untuk periode yang
berakhir pada tanggal 31 Januari 2014 dan 28 Februari 2014.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2013
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 258
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM
DIREKTORAT HUKUM,
Ttd.
MUFLI ASMAWIDJAJA
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 5/POJK.05/2013 </reg_id>
<reg_title> PENGAWASAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN </reg_title>
<set_date> 31 Desember 2013 </set_date>
<effective_date> 31 Desember 2013 </effective_date>
<issued_date> 31 Desember 2013 </issued_date>
<replaced_reg> '3/POJK.05/2013' </replaced_reg>
<related_reg> '40/UU/2004', '21/UU/2011', '24/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
S SALINANALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 30 /POJK.04/2015
TENTANG
LAPORAN REALISASI PENGGUNAAN DANA HASIL PENAWARAN UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas keterbukaan oleh
Emiten atau Perusahaan Publik, memberikan perlindungan
kepada pemodal atas penggunaan dana hasil Penawaran
Umum, serta menyederhanakan dan menyelaraskan
penyampaian laporan realisasi penggunaan dana hasil
Penawaran Umum dengan penyampaian Laporan Keuangan
kepada Otoritas Jasa Keuangan, perlu menyempurnakan
peraturan mengenai laporan realisasi penggunaan dana hasil
Penawaran Umum dengan menetapkan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan tentang Laporan Realisasi Penggunaan Dana
Hasil Penawaran Umum;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan
(Lembaran Negara
Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
LAPORAN REALISASI PENGGUNAAN DANA HASIL
PENAWARAN UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Laporan Realisasi Penggunaan Dana yang selanjutnya
disingkat LRPD adalah laporan realisasi pengunaan dana
hasil Penawaran Umum yang disampaikan oleh Emiten
yang Pernyataan Pendaftaran-nya telah efektif.
2. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya
disingkat RUPS adalah organ Perusahaan Terbuka yang
mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada
Direksi atau Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas
dan/atau anggaran dasar Perusahaan Terbuka.
3. Perusahaan Terbuka adalah Emiten yang telah
melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas atau
Perusahaan Publik.
BAB II
LAPORAN REALISASI PENGGUNAAN HASIL PENAWARAN
UMUM
Pasal 2
(1) Emiten yang telah melakukan Penawaran Umum wajib
menyampaikan LRPD kepada Otoritas Jasa Keuangan
sampai dengan seluruh dana hasil Penawaran Umum
telah direalisasikan.
- 3 -
(2) Emiten yang telah melakukan Penawaran Umum Efek
bersifat utang dan/atau Sukuk harus
pula
menyampaikan LRPD sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) kepada Wali Amanat dengan tembusan kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
(3) LRPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
wajib dibuat secara berkala setiap 6 (enam) bulan dengan
tanggal laporan 30 Juni dan 31 Desember.
(4) LRPD untuk pertama kali wajib dibuat pada tanggal
laporan terdekat sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
setelah tanggal penyerahan Efek untuk Penawaran
Umum Perdana saham, Efek bersifat utang dan/atau
Sukuk, atau setelah tanggal penjatahan untuk
penambahan modal dengan memberikan Hak Memesan
Efek Terlebih Dahulu.
Pasal 3
(1) LRPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat pada tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya
setelah tanggal laporan sampai dengan seluruh dana
hasil Penawaran Umum telah direalisasikan.
(2) Dalam hal Emiten telah menggunakan seluruh dana hasil
Penawaran Umum sebelum tanggal laporan, Emiten
dapat menyampaikan LRPD terakhir lebih awal dari batas
waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Dalam hal tanggal 15 (lima belas) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) jatuh pada hari libur, LRPD wajib
disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja
berikutnya.
Pasal 4
Bentuk dan isi LRPD harus disusun sesuai dengan format
Laporan Realisasi Penggunaan Dana Hasil Penawaran Umum
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan
- 4 -
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Pasal 5
LRPD wajib ditandatangani paling sedikit oleh 1 (satu) orang
anggota Direksi.
BAB III
PENGGUNAAN DANA HASIL PENAWARAN UMUM
Bagian Kesatu
Pertanggungjawaban Realisasi Penggunaan Dana Hasil
Penawaran Umum Oleh Perusahaan Terbuka
Pasal 6
(1) Perusahaan Terbuka wajib mempertanggungjawabkan
realisasi penggunaan dana hasil Penawaran Umum
dalam setiap RUPS tahunan sampai dengan seluruh dana
hasil Penawaran Umum telah direalisasikan.
(2) Realisasi penggunaan dana hasil Penawaran Umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dijadikan
sebagai salah satu mata acara dalam RUPS tahunan.
(3) Pertanggungjawaban realisasi penggunaan dana hasil
Penawaran Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib paling sedikit mengungkapkan:
a. seluruh dana yang telah diperoleh;
b. jumlah biaya yang telah dikeluarkan dalam rangka
pelaksanaan Penawaran Umum;
c. dana yang telah direalisasikan dan peruntukannya;
dan
d. dana yang masih tersisa dan alasan belum
direalisasikan.
- 5 -
Pasal 7
(1) Pertanggungjawaban realisasi penggunaan dana hasil
Penawaran Umum pertama kali wajib dilakukan pada
RUPS tahunan terdekat yang akan diselenggarakan
meskipun realisasi penggunaan dana belum mencakup 1
(satu) tahun setelah tanggal penyerahan Efek atau
setelah tanggal penjatahan.
(2) Dalam hal seluruh dana hasil Penawaran Umum telah
habis direalisasikan, pertanggungjawaban realisasi
penggunaan dana yang terakhir wajib disampaikan
dalam RUPS tahunan terdekat yang akan
diselenggarakan.
Pasal 8
Dalam hal Perusahaan Terbuka melakukan Penawaran Umum
saham atau Efek bersifat utang yang dapat atau wajib
dikonversi menjadi saham beserta Efek yang memberi hak
untuk membeli saham pada masa tertentu yang melekat pada
saham atau Efek bersifat utang dimaksud, Perusahaan
Terbuka wajib mempertanggungjawabkan realisasi
penggunaan dana hasil penerbitan saham dari pelaksanaan
Efek yang memberi hak untuk membeli saham tersebut dalam
RUPS tahunan sampai dengan dana tersebut seluruhnya telah
direalisasikan.
Bagian Kedua
Perubahan Atas Penggunaan Dana Hasil Penawaran Umum
Pasal 9
(1) Emiten yang akan melakukan perubahan penggunaan
dana hasil Penawaran Umum saham wajib:
a. menyampaikan rencana dan alasan perubahan
penggunaan dana hasil Penawaran Umum
bersamaan dengan pemberitahuan mata acara RUPS
kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan
b. memperoleh persetujuan dari RUPS terlebih dahulu.
- 6 -
(2) Penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Rencana dan Penyelenggaraan Rapat
Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka dan
anggaran dasar Perusahaan Terbuka.
Pasal 10
(1) Emiten yang akan melakukan perubahan penggunaan
dana hasil Penawaran Umum Efek bersifat utang atau
Sukuk wajib:
a. menyampaikan rencana dan alasan perubahan
penggunaan dana hasil Penawaran Umum Efek
bersifat utang atau Sukuk kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 14 (empat belas) hari
sebelum penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang
Efek bersifat utang atau Sukuk; dan
b. memperoleh persetujuan dari Rapat Umum
Pemegang Efek bersifat utang atau Sukuk.
(2) Emiten harus menyampaikan hasil Rapat Umum
Pemegang Efek bersifat utang atau Sukuk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah penyelenggaraan
Rapat Umum Pemegang Efek bersifat utang atau Sukuk.
Pasal 11
Perubahan penggunaan dana hasil Penawaran Umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10,
mencakup:
a. Perubahan yang material dari masing-masing unsur
penggunaan dana; dan/atau
b. Perubahan lokasi atas objek yang akan dibeli dari dana
hasil Penawaran Umum yang memiliki dampak ekonomis.
- 7 -
Pasal 12
Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 tidak berlaku
bagi Emiten yang menerbitkan Efek bersifat utang atau Sukuk
sepanjang perubahan penggunaan dana hasil Penawaran
Umum Efek bersifat utang atau Sukuk telah diatur dalam
Kontrak Perwaliamanatan.
Bagian Ketiga
Penempatan Dana Hasil Penawaran Umum Yang Belum
Direalisasikan
Pasal 13
Dalam hal terdapat dana hasil Penawaran Umum yang belum
direalisasikan, Emiten wajib:
a. menempatkan dana tersebut dalam instrumen keuangan
yang aman dan likuid;
b. mengungkapkan bentuk dan tempat dimana dana
tersebut ditempatkan;
c. mengungkapkan tingkat suku bunga atau imbal hasil
yang diperoleh; dan
d. mengungkapkan ada atau tidaknya hubungan Afiliasi
dan sifat hubungan Afiliasi antara Emiten dengan pihak
dimana dana tersebut ditempatkan.
Pasal 14
(1) Penempatan dana hasil Penawaran Umum yang belum
direalisasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
huruf a wajib dilakukan atas nama Emiten.
(2) Dana hasil Penawaran Umum yang belum direalisasikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dilarang untuk
dijadikan jaminan utang.
- 8 -
BAB IV
PENGUNGKAPAN BIAYA EMISI
Pasal 15
Emiten wajib mengungkapkan rincian biaya yang telah
dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan Penawaran Umum
dalam LRPD.
BAB V
KETENTUAN SANKSI
Pasal 16
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f.
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau bersama-sama dengan pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
pembatalan persetujuan; dan
- 9 -
Pasal 17
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 18
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 kepada masyarakat.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di sektor
Pasar Modal lainnya terkait dengan penggunaan dana hasil
Penawaran Umum tetap berlaku bagi Emiten sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 20
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor KEP-27/PM/2003 tanggal 17 Juli 2003 tentang
Laporan Realisasi Penggunaan Dana Hasil Penawaran Umum
beserta Peraturan Nomor X.K.4 yang merupakan lampirannya
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 21
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal 16 April 2016.
- 10 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 305
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 30 /POJK.04/2015
TENTANG
LAPORAN REALISASI PENGGUNAAN DANA HASIL PENAWARAN UMUM
I. UMUM
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal, Penawaran Umum merupakan kegiatan penawaran Efek yang
dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada masyarakat
berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang dan peraturan
pelaksanaannya. Penawaran Umum merupakan salah satu kegiatan yang
dilakukan Emiten untuk dapat memperoleh dana dari masyarakat
pemodal. Dana masyarakat pemodal yang diperoleh dari Penawaran
Umum tersebut dapat digunakan oleh Emiten untuk memenuhi berbagai
kebutuhan perusahaan seperti ekspansi, refinancing, dan investasi.
Dana yang diperoleh dari Penawaran Umum diharapkan dapat
menunjang kegiatan usaha Emiten yang pada akhirnya dapat
meningkatkan dan mengembangkan usaha Emiten sehingga
keuntungannya dapat dinikmati masyarakat pemodal.
Untuk memastikan setiap dana yang diperoleh Emiten dari
Penawaran Umum direalisasikan sesuai dengan rencana penggunaan
dana yang tercantum dalam Prospektus, Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan selaku regulator Pasar Modal telah menetapkan
Peraturan Nomor X.K.4, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal Nomor Kep-27/PM/2003 tanggal 17 Juli 2003 tentang
Laporan Realisasi Pengunaan Dana Hasil Penawaran Umum. Peraturan ini
mengatur kewajiban Emiten untuk menyampaikan Laporan Realisasi
- 2 -
Pengunaan Dana (“LRPD”) kepada Otoritas Jasa Keuangan secara
periodik dan mempertanggungjawabkan realisasi penggunaan dana
kepada pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Tahunan. Laporan yang sama juga disampaikan kepada Wali Amanat
untuk Penawaran Umum Efek bersifat utang atau Sukuk. Peraturan
dimaksud juga mengatur prosedur yang wajib dilakukan apabila Emiten
bermaksud melakukan perubahan penggunaan dana.
Dengan mempertimbangkan perkembangan industri Pasar Modal dan
dalam rangka meningkatkan kualitas keterbukaan oleh Emiten atau
Perusahaan Publik, memberikan perlindungan kepada pemodal atas
penggunaan dana hasil Penawaran Umum, serta memberikan kejelasan
pengaturan, menyederhanakan dan mengharmoniskan penyampaian
laporan realisasi penggunaan dana dengan penyampaian Laporan
Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan, maka diperlukan
penyempurnaan atas Peraturan Nomor X.K.4, Lampiran Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-27/PM/2003 tanggal 17 Juli
2003 tentang Penyampaian Laporan Realisasi Pengunaan Dana Hasil
Penawaran Umum, dengan melakukan penambahan, penyesuaian,
penghapusan, dan penyederhanaan ketentuan dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang
dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pasar
Modal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 3 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “LRPD untuk pertama kali” adalah LRPD
wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan/atau
Wali Amanat pertama kali setelah Penawaran Umum.
Yang dimaksud dengan “tanggal penyerahan Efek” adalah
tanggal penyerahan Efek sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Tata Cara Pendaftaran Dalam Rangka
Penawaran Umum.
Yang dimaksud dengan “tanggal penjatahan” adalah tanggal
penjatahan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan tentang Penambahan Modal Perusahaan
Terbuka Dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu.
Efek bersifat utang termasuk pula obligasi konversi.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh Penyampaian LRPD terakhir yang lebih awal:
Dana hasil Penawaran Umum PT A telah habis direalisasikan
pada tanggal 25 Agustus 2015. PT A dapat menyampaikan LRPD
terakhir pada tanggal 2 September 2015.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tanggal penyerahan Efek” adalah
tanggal penyerahan Efek sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Tata Cara Pendaftaran Dalam Rangka
Penawaran Umum.
Yang dimaksud dengan “tanggal penjatahan” adalah tanggal
penjatahan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan tentang Penambahan Modal Perusahaan
Terbuka Dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Efek bersifat utang
atau Sukuk tunduk pada peraturan perundang-undangan di
sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Ketentuan Umum
Dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang.
Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Ketentuan Umum Dan Kontrak
Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang adalah Peraturan Nomor
VI.C.4, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-412/BL/2010
- 5 -
tanggal 6 September 2010 tentang Ketentuan Umum Dan
Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang.
Ayat (2)
Emiten menyampaikan hasil Rapat Umum Pemegang Efek
bersifat utang atau Sukuk berdasarkan hasil Rapat Umum
Pemegang Efek bersifat utang atau Sukuk yang disampaikan
oleh Wali Amanat.
Pasal 11
Yang dimaksud dengan “perubahan yang material” adalah:
a. perubahan salah satu unsur penggunaan dana yang jumlah
perubahannya sebesar 20% (dua puluh persen) atau lebih dari
total Penawaran Umum; dan/atau
b. perubahan penggunaan dana yang berbeda dengan rencana
penggunaan dana dalam prospektus atau hasil Rapat Umum
Pemegang Saham, meskipun nilainya dibawah 20% (dua puluh
persen) dari total Penawaran Umum.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Huruf a
Contoh instrumen keuangan yang aman dan likuid seperti Surat
Utang Negara dan deposito berjangka.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 15
Biaya dimaksud antara lain:
a. Biaya jasa penjaminan (underwriting fee);
b. Biaya jasa manajemen Penawaran Umum (management fee);
c. Biaya jasa penjualan (selling fee);
d. Biaya jasa Profesi Penunjang Pasar Modal;
e. Biaya jasa Lembaga Penunjang Pasar Modal;
f. Biaya jasa konsultasi keuangan (financial advisory fee);
g. Biaya pendaftaran; dan/atau
h. Biaya lain sepanjang telah diungkapkan dalam Prospektus.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa:
a. penundaan pemberian pernyataan efektif, misalnya pernyataan
efektif untuk penggabungan usaha, peleburan usaha; dan
b. penundaan pemberian pernyataan Otoritas Jasa Keuangan
bahwa tidak ada tanggapan lebih lanjut atas dokumen yang
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka
penambahan modal dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu
Perusahaan Terbuka.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5779
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 30/POJK.04/2015 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN REALISASI PENGGUNAAN DANA HASIL PENAWARAN UMUM </reg_title>
<set_date> 16 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 16 April 2016 </effective_date>
<issued_date> 22 Desember 2015 </issued_date>
<replaced_reg> 'KEP-27/PM/2003|KEPTA-BAPEPAM/2003', 'KEP-27/PM/2003|KEPTA-BAPEPAM/2003 | Lampiran Peraturan Nomor X.K.4' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 29/POJK.05/2014
TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka mendukung perkembangan
perusahaan pembiayaan yang dinamis dan mewujudkan
industri perusahaan pembiayaan yang tangguh,
kontributif, inklusif, serta berkontribusi untuk menjaga
sistem keuangan yang stabil dan berkelanjutan, perlu
dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan
mengenai penyelenggaraan usaha oleh Perusahaan
Pembiayaan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyelenggaraan Usaha
Perusahaan Pembiayaan;
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN.
BAB I ...
- 2 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan
barang dan/atau jasa.
2. Pembiayaan Investasi adalah pembiayaan untuk
pengadaan barang-barang modal beserta jasa yang
diperlukan untuk aktivitas
usaha/investasi,
rehabilitasi, modernisasi, ekspansi atau relokasi tempat
usaha/investasi yang diberikan kepada debitur dalam
jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun.
3. Pembiayaan Modal Kerja adalah pembiayaan untuk
memenuhi kebutuhan pengeluaran-pengeluaran yang
habis dalam satu siklus aktivitas usaha debitur dan
merupakan pembiayaan dengan jangka waktu paling
lama 2 (dua) tahun.
4. Pembiayaan Multiguna adalah pembiayaan untuk
pengadaan barang dan/atau jasa yang diperlukan oleh
debitur untuk pemakaian/konsumsi dan bukan untuk
keperluan usaha (aktivitas produktif) dalam jangka
waktu yang diperjanjikan.
5. Sewa Pembiayaan (Finance Lease) adalah kegiatan
pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang oleh
Perusahaan Pembiayaan untuk digunakan debitur
selama jangka waktu tertentu, yang mengalihkan secara
substansial manfaat dan risiko atas barang yang
dibiayai.
6. Jual dan Sewa-Balik (Sale and Leaseback) adalah
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penjualan suatu
barang oleh debitur kepada Perusahaan Pembiayaan
yang ...
- 3 -
yang disertai dengan menyewa-pembiayaankan kembali
barang tersebut kepada debitur yang sama.
7. Anjak Piutang (Factoring) adalah kegiatan pembiayaan
dalam bentuk pembelian piutang usaha suatu
perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut.
8. Anjak Piutang Dengan Pemberian Jaminan Dari Penjual
Piutang (Factoring With Recourse) adalah transaksi Anjak
Piutang usaha dimana penjual piutang menanggung
risiko tidak tertagihnya sebagian atau seluruh piutang
yang dijual kepada Perusahaan Pembiayaan.
9. Anjak Piutang Tanpa Pemberian Jaminan Dari Penjual
Piutang (Factoring Without Recourse) adalah transaksi
Anjak Piutang usaha dimana Perusahaan Pembiayaan
menanggung risiko tidak tertagihnya seluruh piutang
yang dijual kepada Perusahaan Pembiayaan.
10. Pembelian Dengan Pembayaran Secara Angsuran adalah
kegiatan pembiayaan dalam bentuk pengadaan barang
dan/atau jasa yang dibeli oleh debitur dari penyedia
barang atau jasa dengan pembayaran secara angsuran.
11. Pembiayaan Proyek adalah pembiayaan yang diberikan
dalam rangka pelaksanaan sebuah proyek yang
memerlukan pengadaan beberapa jenis barang modal
dan/atau jasa yang terkait dengan pelaksanaan
pengadaan proyek tersebut.
12. Pembiayaan Infrastruktur adalah pembiayaan dalam
bentuk pengadaan barang dan/atau jasa untuk
pembangunan infrastruktur.
13. Fasilitas Modal Usaha adalah Pembiayaan Modal Kerja
yang dibayarkan langsung oleh Perusahaan Pembiayaan
kepada penyedia barang dan/atau jasa.
14. Debitur adalah badan usaha atau orang perseorangan
yang menerima pembiayaan pengadaan barang
dan/atau jasa dari Perusahaan Pembiayaan.
15. Tingkat ...
- 4 -
15. Tingkat Kesehatan Keuangan adalah hasil penilaian
kondisi Perusahaan Pembiayaan terhadap risiko
permodalan, likuiditas, aset, operasional dan kinerja
Perusahaan Pembiayaan.
16. Modal Disetor:
a. bagi Perusahaan Pembiayaan yang berbentuk badan
hukum perseroan terbatas adalah modal disetor;
atau
b. bagi Perusahaan Pembiayaan yang berbentuk badan
hukum koperasi adalah simpanan pokok dan
simpanan wajib.
17. Ekuitas:
a. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk badan
hukum perseroan terbatas adalah penjumlahan dari:
1. Modal Disetor;
2. tambahan Modal Disetor, terdiri atas:
a) agio/disagio saham;
b) biaya emisi efek Ekuitas; dan
c) lainnya sesuai dengan prinsip standar
akuntansi keuangan;
3. selisih nilai transaksi restrukturisasi entitas
sepengendali;
4. saldo laba/rugi;
5. laba/rugi tahun berjalan;
6. saham tresuri (treasury stock); dan
7. komponen Ekuitas lainnya, terdiri atas:
a) perubahan dalam surplus revaluasi;
b) selisih kurs karena penjabaran laporan
keuangan dalam mata uang asing;
c) keuntungan dan kerugian dari pengukuran
kembali aset keuangan tersedia untuk dijual;
d) bagian ...
- 5 -
d) bagian efektif dari keuntungan dan kerugian
instrumen keuangan lindung nilai dalam
rangka lindung nilai arus kas; dan
e) komponen ekuitas lainnya sesuai prinsip
standar akuntansi keuangan.
b. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk badan
hukum koperasi harus sebesar penjumlahan dari
simpanan pokok, simpanan wajib, dana cadangan,
hibah, dan sisa hasil usaha yang belum dibagikan.
18. Direksi:
a. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk badan
hukum perseroan terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
mengenai perseroan terbatas; atau
b. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk badan
hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang mengenai
perkoperasian.
19. Dewan Komisaris:
a. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk badan
hukum perseroan terbatas adalah dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
mengenai perseroan terbatas; atau
b. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk badan
hukum koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang mengenai
perkoperasian.
20. Batas Maksimum Pemberian Pembiayaan yang
selanjutnya disebut dengan BMPP adalah batasan
tertentu dalam penyaluran pembiayaan yang
diperkenankan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
21. Pengendali ...
- 6 -
21. Pengendali:
a. bagi badan hukum perseroan terbatas, adalah badan
hukum, orang perseorangan dan/atau kelompok
usaha yang:
1. memiliki saham sebesar 25% (dua puluh lima
persen) atau lebih dari jumlah saham yang
dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau
2. memiliki saham kurang dari 25% (dua puluh
lima persen) dari jumlah saham yang
dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun
yang bersangkutan dapat dibuktikan telah
melakukan pengendalian perusahaan baik
secara langsung maupun tidak langsung.
b. bagi badan usaha lainnya adalah pihak yang secara
langsung ataupun tidak langsung mempunyai
kemampuan untuk menentukan pengurus,
pengawas atau yang setara dan/atau mempengaruhi
tindakan pengurus, pengawas atau yang setara.
22. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah lembaga yang independen sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas
Jasa Keuangan.
BAB II
KEGIATAN USAHA
Bagian Kesatu
Jenis Kegiatan Usaha dan Cara Pembiayaan
Pasal 2
(1) Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan meliputi:
a. Pembiayaan Investasi;
b. Pembiayaan Modal Kerja;
c. Pembiayaan Multiguna; dan/atau
d. kegiatan ...
- 7 -
d. kegiatan usaha pembiayaan lain berdasarkan
persetujuan OJK.
(2) Selain kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Perusahaan Pembiayaan dapat melakukan
sewa operasi (operating lease) dan/atau kegiatan
berbasis fee sepanjang tidak bertentangan dengan
peraturan perundangan-undangan di sektor jasa
keuangan.
Pasal 3
Kegiatan Pembiayaan Investasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dan/atau Pembiayaan Modal
Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b
ditujukan untuk Debitur berbentuk badan usaha atau
orang perseorangan:
a. yang memiliki usaha produktif; dan/atau
b. yang memiliki ide-ide untuk pengembangan usaha
produktif.
Pasal 4
(1) Pembiayaan Investasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf a wajib dilakukan dengan cara:
a. Sewa Pembiayaan (Finance Lease);
b. Jual dan Sewa-Balik (Sale and Leaseback);
c. Anjak Piutang Dengan Pemberian Jaminan Dari
Penjual Piutang (Factoring With Recourse);
d. Pembelian Dengan Pembayaran Secara Angsuran;
e. Pembiayaan Proyek;
f. Pembiayaan Infrastruktur; dan/atau
g. pembiayaan lain setelah
mendapatkan persetujuan dari OJK.
(2) Pembiayaan Modal Kerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf b wajib dilakukan dengan cara:
a. Jual dan Sewa-Balik (Sale and Leaseback);
b. Anjak ...
terlebih dahulu
- 8 -
b. Anjak Piutang Dengan Pemberian Jaminan Dari
Penjual Piutang (Factoring With Recourse);
c. Anjak Piutang Tanpa Pemberian Jaminan Dari
Penjual Piutang (Factoring Without Recourse);
d. Fasilitas Modal Usaha; dan/atau
e. pembiayaan lain setelah
terlebih dahulu
mendapatkan persetujuan dari OJK.
(3) Pembiayaan Multiguna sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf c wajib dilakukan dengan cara:
a. Sewa Pembiayaan (Finance Lease);
b. Pembelian Dengan Pembayaran Secara Angsuran;
dan/atau
c. pembiayaan lain setelah
terlebih dahulu
mendapatkan persetujuan dari OJK.
Pasal 5
(1) Perusahaan Pembiayaan yang akan melakukan kegiatan
usaha pembiayaan lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf d dan cara pembiayaan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g,
ayat (2) huruf e, dan ayat (3) huruf c, harus memiliki
Tingkat Kesehatan Keuangan dengan kondisi minimum
sehat dan tidak sedang dikenakan sanksi oleh OJK.
(2) Perusahaan Pembiayaan yang akan melakukan kegiatan
usaha pembiayaan lain dan cara pembiayaan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengajukan
permohonan kepada OJK dan harus melampirkan
dokumen yang berisi uraian paling sedikit mengenai:
a. produk yang akan dipasarkan;
b. analisis prospek usaha;
c. mekanisme atau cara pembiayaan yang akan
dilakukan;
d. hak dan kewajiban para pihak; dan
e. contoh ...
- 9 -
e. contoh perjanjian pembiayaan yang akan digunakan.
(3) OJK melakukan analisis atas dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan kelayakan usaha
pembiayaan lain yang diajukan.
(4) OJK mengeluarkan surat persetujuan atau penolakan
paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender setelah
permohonan diterima secara lengkap dan benar.
Pasal 6
(1) Perusahaan Pembiayaan yang akan melakukan kegiatan
berbasis fee sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) wajib melaporkan kepada OJK dengan melampirkan
paling sedikit mengenai:
a. produk berbasis fee yang akan dipasarkan;
b. mekanisme;
c. hak dan kewajiban para pihak;
d. perjanjian kerjasama; dan
e. perizinan dari otoritas yang berwenang (jika ada).
(2) Dalam hal OJK telah menerima laporan secara lengkap
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
mengeluarkan surat pencatatan kegiatan berbasis fee
dalam administrasi OJK paling lama 30 (tiga puluh) hari
kalender setelah laporan diterima.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), OJK tidak mengeluarkan surat
pencatatan, Perusahaan Pembiayaan dapat
melaksanakan kegiatan berbasis fee sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 7
Perusahaan Pembiayaan wajib secara jelas mencantumkan
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dalam anggaran dasarnya.
Bagian ...
- 10 -
Bagian Kedua
Sewa Pembiayaan (Finance Lease)
Pasal 8
(1) Sewa Pembiayaan (Finance Lease) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan dalam rangka
penyediaan barang oleh Perusahaan Pembiayaan untuk
digunakan oleh Debitur selama jangka waktu tertentu,
yang mengalihkan secara substansial manfaat dan
risiko atas barang yang dibiayai.
(2) Dalam hal perjanjian Sewa Pembiayaan (Finance Lease)
masih berlaku, kepemilikan atas barang objek transaksi
Sewa Pembiayaan (Finance Lease) berada pada
Perusahaan Pembiayaan.
(3) Perusahaan Pembiayaan wajib memastikan dalam
perjanjian pembiayaan bahwa Debitur dilarang
menyewa-pembiayaankan kembali barang yang disewa-
pembiayaankan kepada pihak lain.
Pasal 9
Selama masa Sewa Pembiayaan (Finance Lease),
Perusahaan Pembiayaan wajib menempelkan plakat atau
etiket pada barang yang disewa-pembiayaankan dengan
mencantumkan nama dan alamat Perusahaan Pembiayaan
serta pernyataan bahwa barang dimaksud terikat dalam
perjanjian Sewa Pembiayaan (Finance Lease).
Bagian Ketiga
Anjak Piutang
Pasal 10
(1) Perusahaan Pembiayaan dilarang melakukan transaksi
Anjak Piutang Dengan Pemberian Jaminan Dari Penjual
Piutang (Factoring With Recourse) dengan Perusahaan
Pembiayaan lainnya sebagai Debitur.
(2) Piutang ...
- 11 -
(2) Piutang usaha yang dapat dialihkan dalam Anjak
Piutang adalah piutang usaha dengan jangka waktu
jatuh tempo paling lama 10 (sepuluh) tahun.
Bagian Keempat
Pembelian Dengan Pembayaran Secara Angsuran
Pasal 11
Dalam hal Pembelian Dengan Pembayaran Secara Angsuran
untuk pengadaan barang, kepemilikan objek pembiayaan
dalam perjanjian beralih dari penyedia barang kepada
Debitur
Bagian Kelima
Pembiayaan Proyek
Pasal 12
Pembiayaan Investasi dengan cara Pembiayaan Proyek
dapat dilakukan dengan menggunakan satu atau lebih cara
pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d.
Bagian Keenam
Pembiayaan Infrastruktur
Pasal 13
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan
Pembiayaan Investasi dengan cara Pembiayaan
Infrastruktur wajib memenuhi persyaratan, sebagai
berikut:
a. memiliki Tingkat Kesehatan Keuangan dengan
kondisi minimum sehat;
b. memiliki
Ekuitas
lebih
besar
dari
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah); dan
c. memiliki standar operasi dan prosedur terkait
Pembiayaan Infrastruktur.
(2) Pembiayaan Investasi dengan cara Pembiayaan
Infrastruktur dapat dilakukan dengan menggunakan
satu ...
- 12 -
satu atau lebih cara pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf
c, dan huruf d.
Bagian Ketujuh
Fasilitas Modal Usaha
Pasal 14
Fasilitas Modal Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (2) huruf d wajib dilakukan dengan cara memberikan
pembiayaan berdasarkan bukti tagihan pembelian barang
atau penggunaan jasa yang diterima Debitur dari penyedia
barang atau jasa.
BAB III
PERJANJIAN PEMBIAYAAN
Pasal 15
(1) Seluruh perjanjian pembiayaan antara Perusahaan
Pembiayaan dengan Debitur wajib dibuat secara tertulis.
(2) Perjanjian pembiayaan antara Perusahaan Pembiayaan
dengan Debitur wajib memenuhi ketentuan penyusunan
perjanjian sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK
mengenai perlindungan konsumen sektor jasa
keuangan.
Pasal 16
(1) Perjanjian pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 wajib paling sedikit memuat:
a. jenis kegiatan usaha dan cara pembiayaan;
b. nomor dan tanggal perjanjian;
c. identitas para pihak;
d. barang atau jasa pembiayaan;
e. nilai barang atau jasa pembiayaan;
f. jumlah piutang dan nilai angsuran pembiayaan;
g. jangka waktu dan tingkat suku bunga pembiayaan;
h. objek jaminan (jika ada);
i. rincian ...
- 13 -
i. rincian biaya-biaya terkait dengan pembiayaan yang
diberikan yang paling sedikit memuat:
1. biaya survey;
2. biaya asuransi/penjaminan/fidusia;
3. biaya provisi; dan
4. biaya notaris;
j. klausul pembebanan fidusia secara jelas, apabila
terdapat pembebanan jaminan fidusia dalam
kegiatan pembiayaan;
k. mekanisme apabila terjadi perselisihan dan
pemilihan tempat penyelesaian perselisihan;
l. ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak;
dan
m. ketentuan mengenai denda.
(2) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan melakukan
pembiayaan untuk pengadaan kendaraan bermotor
dengan cara Pembelian Dengan Pembayaran Secara
Angsuran, perjanjian pembiayaan wajib mencantumkan
nilai uang muka.
(3) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan melakukan
pembiayaan dengan cara Sewa Pembiayaan (Finance
Lease), perjanjian pembiayaan wajib mencantumkan
nilai simpanan jaminan (security deposit).
BAB IV
UANG MUKA PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR
Pasal 17
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pembiayaan
dengan cara Pembelian Dengan Pembayaran Secara
Angsuran untuk kendaraan bermotor wajib menerapkan
ketentuan uang muka (down payment) kepada Debitur
sebagai berikut:
a. bagi ...
- 14 -
a. bagi kendaraan bermotor roda dua atau tiga, paling
rendah 20% (dua puluh persen) dari harga jual
kendaraan yang bersangkutan;
b. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang
digunakan untuk Pembiayaan Investasi (tujuan
produktif), paling rendah 20% (dua puluh persen)
dari harga jual kendaraan yang bersangkutan; atau
c. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang
digunakan untuk Pembiayaan Multiguna (tujuan
non-produktif), paling rendah 25% (dua puluh lima
persen) dari harga jual kendaraan yang
bersangkutan.
(2) Kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang
digunakan untuk tujuan produktif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi kriteria
paling kurang sebagai berikut:
a. merupakan kendaraan angkutan orang atau barang
yang memiliki izin yang diterbitkan oleh pihak
berwenang untuk melakukan kegiatan usaha
tertentu; atau
b. diajukan oleh orang perseorangan atau badan
hukum yang memiliki izin usaha tertentu dari pihak
berwenang dan digunakan untuk kegiatan usaha
yang relevan dengan izin usaha yang dimiliki.
(3) Ketentuan mengenai besaran uang muka (down
payment) kepada Debitur sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat ditinjau kembali dan perubahannya diatur
dengan Surat Edaran OJK.
BAB V
MITIGASI RISIKO PEMBIAYAAN
Pasal 18
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib melakukan mitigasi
risiko pembiayaan.
(2) Mitigasi ...
- 15 -
(2) Mitigasi risiko pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan dengan cara:
a. mengalihkan risiko pembiayaan melalui mekanisme
asuransi kredit atau penjaminan kredit;
b. mengalihkan risiko atas barang yang dibiayai atau
barang yang menjadi agunan dari kegiatan
Pembiayaan melalui mekanisme asuransi; dan/atau
c. melakukan pembebanan jaminan fidusia atas barang
yang dibiayai atau barang yang menjadi agunan dari
kegiatan pembiayaan.
Pasal 19
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pengalihan
risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2)
huruf a wajib menggunakan perusahaan asuransi atau
lembaga penjaminan yang memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a. telah mendapatkan izin usaha dari OJK; dan
b. tidak dalam pengenaan sanksi pembatasan kegiatan
usaha atau pembekuan kegiatan usaha dari OJK.
(2) Jangka waktu pertanggungan asuransi kredit atau
penjaminan kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (2) huruf a paling singkat sama dengan jangka
waktu pembiayaan.
Pasal 20
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pengalihan
risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2)
huruf b wajib menggunakan perusahaan asuransi yang
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. telah mendapatkan izin usaha dari OJK; dan
b. tidak dalam pengenaan sanksi pembatasan kegiatan
usaha dari OJK.
(2) Jangka ...
- 16 -
(2) Jangka waktu pertanggungan asuransi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b paling singkat
sama dengan jangka waktu pembiayaan.
Pasal 21
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pembiayaan
dengan pembebanan jaminan fidusia,
wajib
mendaftarkan jaminan fidusia dimaksud pada kantor
pendaftaran fidusia, sesuai undang-undang yang
mengatur mengenai jaminan fidusia.
(2) Kewajiban pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Perusahaan
Pembiayaan yang melakukan pembiayaan dengan
pembebanan jaminan fidusia yang pembiayaannya
berasal dari pembiayaan penerusan (channeling) atau
pembiayaan bersama (joint financing).
Pasal 22
Perusahaan Pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan
fidusia pada kantor pendaftaran fidusia paling lambat 1
(satu) bulan terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan.
Pasal 23
Perusahaan Pembiayaan dilarang melakukan eksekusi
benda jaminan apabila kantor pendaftaran fidusia belum
menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan
menyerahkannya kepada Perusahaan Pembiayaan.
Pasal 24
Eksekusi benda jaminan fidusia oleh Perusahaan
Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan dan persyaratan
sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai
jaminan fidusia dan telah disepakati oleh para pihak dalam
perjanjian pembiayaan.
BAB VI ...
- 17 -
BAB VI
TINGKAT KESEHATAN KEUANGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 25
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib setiap waktu memenuhi
persyaratan Tingkat Kesehatan Keuangan dengan
kondisi minimum sehat.
(2) Pengukuran rasio Tingkat Kesehatan Keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. rasio permodalan;
b. kualitas piutang pembiayaan;
c. rentabilitas; dan
d. likuiditas.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengukuran Tingkat
Kesehatan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Bagian Kedua
Rasio Permodalan
Pasal 26
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi rasio
permodalan paling sedikit sebesar 10% (sepuluh
persen).
(2) Rasio permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan perbandingan antara modal yang
disesuaikan dengan aset yang disesuaikan.
(3) Ketentuan mengenai besaran rasio permodalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditinjau
kembali dan perubahannya diatur dalam Surat Edaran
OJK.
(4) Ketentuan mengenai tata cara perhitungan
perbandingan antara modal yang disesuaikan dengan
aset ...
- 18 -
aset yang disesuaikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Bagian Ketiga
Kualitas Piutang Pembiayaan
Paragraf 1
Penilaian Kualitas Piutang Pembiayaan
Pasal 27
Perusahaan Pembiayaan wajib menilai, memantau dan
melakukan langkah-langkah yang diperlukan terhadap
piutang pembiayaan agar kualitas piutang pembiayaan
senantiasa baik.
Pasal 28
(1) Penilaian kualitas piutang pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ditetapkan menjadi:
a. lancar;
b. dalam perhatian khusus;
c. kurang lancar;
d. diragukan; atau
e. macet
(2) Penilaian kualitas piutang pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan faktor
ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga.
(3) Penilaian piutang pembiayaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dikategorikan sebagai berikut:
a. lancar apabila tidak terdapat keterlambatan atau
terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan/atau
bunga sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kalender;
b. dalam perhatian khusus apabila terdapat
keterlambatan pembayaran pokok dan/atau bunga
yang telah melampaui 30 (tiga puluh) hari kalender
sampai dengan 90 (sembilan puluh) hari kalender;
c. kurang ...
- 19 -
c. kurang lancar apabila terdapat keterlambatan
pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah
melampaui 90 (sembilan puluh) hari kalender sampai
dengan 120 (seratus dua puluh) hari kalender;
d. diragukan apabila terdapat keterlambatan
pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah
melampaui 120 (seratus dua puluh) hari kalender
sampai dengan 180 (seratus delapan puluh) hari
kalender; atau
e. macet apabila terdapat keterlambatan pembayaran
pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 180
(seratus delapan puluh) hari kalender.
Pasal 29
(1) Selain faktor ketepatan pembayaran pokok dan/atau
bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2),
penilaian kualitas piutang pembiayaan untuk
Pembiayaan Investasi dan Pembiayaan Modal Kerja
dengan nilai pembiayaan pada saat penandatanganan
perjanjian sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah) atau lebih, dapat juga ditetapkan dengan
mempertimbangkan faktor:
a. kemampuan membayar Debitur;
b. kinerja keuangan (financial performance) Debitur;
dan
c. prospek usaha Debitur.
(2) Penilaian terhadap kemampuan membayar Debitur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi
penilaian terhadap komponen-komponen sebagai
berikut:
a. ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan
Debitur;
b. kelengkapan dokumentasi pembiayaan;
c. kepatuhan terhadap perjanjian pembiayaan;
d. kesesuaian ...
- 20 -
d. kesesuaian penggunaan dana; dan
e. kewajaran sumber pembayaran kewajiban.
(3) Penilaian terhadap kinerja keuangan (financial
performance) Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b meliputi penilaian terhadap komponen-
komponen sebagai berikut:
a. perolehan laba;
b. struktur permodalan;
c. arus kas; dan
d. sensitivitas terhadap risiko pasar.
(4) Penilaian terhadap prospek usaha Debitur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi penilaian
terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a. potensi pertumbuhan usaha;
b. kondisi pasar dan posisi Debitur dalam persaingan;
c. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja;
d. dukungan dari grup atau afiliasi; dan
e. upaya yang dilakukan Debitur dalam rangka
memelihara lingkungan hidup.
(5) Dalam hal terdapat perbedaan antara penilaian kualitas
piutang pembiayaan oleh Perusahaan Pembiayaan
dengan OJK, kualitas piutang pembiayaan yang berlaku
adalah yang ditetapkan oleh OJK.
(6) Perusahaan Pembiayaan wajib melakukan penyesuaian
kualitas piutang pembiayaan dengan penilaian kualitas
piutang pembiayaan yang ditetapkan oleh OJK
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam laporan-
laporan yang disampaikan kepada OJK.
(7) Pedoman penilaian kualitas piutang pembiayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran OJK.
Paragraf 2 ...
- 21 -
Paragraf 2
Kualitas Piutang Pembiayaan untuk Debitur Dengan Lebih
Dari Satu Perjanjian Pembiayaan
Pasal 30
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib menetapkan kualitas
piutang pembiayaan yang sama terhadap 1 (satu)
Debitur dengan lebih dari 1 (satu) pembiayaan.
(2) Perusahaan Pembiayaan dapat menetapkan kualitas
piutang pembiayaan yang berbeda untuk lebih dari 1
(satu) pembiayaan yang dimiliki 1 (satu) Debitur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal:
a. piutang pembiayaan yang memiliki kualitas paling
rendah telah dihapus buku; dan/atau
b. nilai
piutang pembiayaan sampai dengan
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(3) Dalam hal terdapat perbedaan kualitas dalam piutang
pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
kualitas piutang pembiayaan yang wajib digunakan
adalah kualitas piutang pembiayaan yang paling
rendah.
Paragraf 3
Piutang Pembiayaan Bermasalah
Pasal 31
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib menjaga kualitas piutang
pembiayaan.
(2) Piutang pembiayaan yang dikategorikan sebagai piutang
pembiayaan bermasalah (non performing financing)
terdiri atas piutang pembiayaan dengan kualitas kurang
lancar, diragukan, dan macet.
(3) Nilai piutang pembiayaan dengan kategori kualitas
piutang pembiayaan bermasalah (non performing
financing) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah
dikurangi cadangan penyisihan penghapusan piutang
pembiayaan ...
- 22 -
pembiayaan wajib paling tinggi sebesar 5% (lima persen)
dari total piutang pembiayaan.
(4) Ketentuan mengenai besaran rasio piutang pembiayaan
bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat
ditinjau kembali dan perubahannya diatur dalam Surat
Edaran OJK.
Paragraf 4
Cadangan Penyisihan Penghapusan
Piutang Pembiayaan
Pasal 32
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib menghitung cadangan
penyisihan penghapusan piutang pembiayaan.
(2) Perhitungan cadangan penyisihan penghapusan piutang
pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan paling rendah sebesar:
a. 1% (satu persen) dari saldo piutang pembiayaan yang
memiliki kualitas lancar setelah dikurangi agunan;
b. 5% (lima persen) dari saldo piutang pembiayaan yang
memiliki kualitas dalam perhatian khusus setelah
dikurangi agunan;
c. 15% (lima belas persen) dari saldo piutang
pembiayaan yang memiliki kualitas kurang lancar
setelah dikurangi agunan;
d. 50% (lima puluh persen) dari saldo piutang
pembiayaan yang memiliki kualitas diragukan
setelah dikurangi agunan;
e. 100% (seratus persen) dari saldo piutang pembiayaan
yang memiliki kualitas macet setelah dikurangi
agunan.
(3) Perusahaan Pembiayaan wajib membentuk cadangan
penyisihan penghapusan piutang pembiayaan paling
rendah sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dalam laporan bulanan.
(4) Nilai ...
- 23 -
(4) Nilai agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
dapat diperhitungkan sebagai pengurang saldo piutang
pembiayaan ditetapkan paling tinggi senilai saldo
piutangnya.
(5) Perhitungan cadangan penyisihan penghapusan piutang
pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan Perusahaan Pembiayaan dalam rangka
perhitungan rasio permodalan, gearing ratio, rasio
Ekuitas terhadap Modal Disetor, BMPP, rasio piutang
pembiayaan bermasalah, dan perbandingan piutang
pembiayaan dengan total aset.
(6) Ketentuan mengenai jenis, tata cara perhitungan, dan
pengembalian agunan, serta tata cara perhitungan
cadangan diatur dalam Surat Edaran OJK.
Paragraf 5
Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Piutang Pembiayaan
Pasal 33
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib membentuk cadangan
kerugian penurunan nilai piutang pembiayaan sesuai
standar akuntansi keuangan yang berlaku.
(2) Pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai
piutang pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilakukan dalam penyusunan laporan keuangan
yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik.
Bagian Keempat
Rentabilitas
Pasal 34
(1) Rentabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat
(2) huruf c merupakan kemampuan Perusahaan
Pembiayaan dalam menghasilkan laba.
(2) Penilaian terhadap faktor rentabilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi penilaian terhadap
kinerja aset dan efisiensi operasional.
(3) Ketentuan ...
- 24 -
(3) Ketentuan mengenai tata cara penilaian terhadap faktor
rentabilitas diatur dalam Surat Edaran OJK.
Bagian Kelima
Likuiditas
Pasal 35
(1) Penilaian terhadap faktor likuiditas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf d merupakan
penilaian terhadap tingkat ketersesuaian antara aset
lancar dan liabilitas lancar.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penilaian likuiditas diatur
dalam Surat Edaran OJK.
BAB VII
RASIO PIUTANG PEMBIAYAAN TERHADAP TOTAL ASET
Pasal 36
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib memiliki rasio piutang
pembiayaan neto terhadap total aset (financing to asset
ratio) paling rendah 40% (empat puluh persen).
(2) Piutang pembiayaan neto sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus diperoleh dari pengurangan piutang
pembiayaan bruto dengan pendapatan yang belum
diakui dan cadangan penyisihan penghapusan piutang
pembiayaan.
(3) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka
waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak memperoleh
izin usaha.
(4) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan yang melakukan
peningkatan Modal Disetor dalam rangka pemenuhan
rasio permodalan, gearing ratio, dan perbandingan
Ekuitas dengan Modal Disetor, Perusahaan Pembiayaan
dikecualikan dari pemenuhan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama
1 (satu) ...
- 25 -
1 (satu) tahun sejak tanggal peningkatan Modal Disetor
dicatat oleh instansi yang berwenang.
BAB VIII
EKUITAS
Pasal 37
(1) Perusahaan Pembiayaan yang berbentuk badan hukum:
a. perseroan terbatas wajib memiliki Ekuitas paling
sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah); atau
b. koperasi wajib memiliki Ekuitas paling sedikit
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
(2) Perusahaan Pembiayaan berbadan hukum perseroan
terbatas yang telah mendapatkan izin usaha sebelum
Peraturan OJK ini ditetapkan dan memiliki Ekuitas di
bawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, wajib memiliki Ekuitas dengan tahapan sebagai
berikut:
a. paling sedikit sebesar Rp40.000.000.000,00 (empat
puluh miliar) paling lambat 31 Desember 2016; dan
b. paling sedikit sebesar Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar) paling lambat tanggal 31 Desember
2019.
(3) Perusahaan Pembiayaan berbadan hukum koperasi
yang telah mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan
OJK ini ditetapkan dan memiliki Ekuitas di bawah
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
wajib memiliki Ekuitas dengan tahapan sebagai berikut:
a. paling sedikit sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga
puluh miliar) paling lambat tanggal 31 Desember
2016; dan
b. paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar) paling lambat tanggal 31 Desember
2019.
Pasal 38 ...
- 26 -
Pasal 38
Perusahaan Pembiayaan wajib memiliki rasio Ekuitas
terhadap Modal Disetor paling rendah sebesar 50% (lima
puluh persen).
BAB IX
BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN PEMBIAYAAN
Pasal 39
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan
BMPP kepada seluruh pihak terkait paling tinggi 50%
(lima puluh persen) dari Ekuitas Perusahaan
Pembiayaan.
(2) Pihak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. orang perseorangan atau badan usaha yang
merupakan Pengendali Perusahaan Pembiayaan;
b. badan usaha dimana Perusahaan Pembiayaan
bertindak sebagai Pengendali;
c. orang perseorangan atau badan usaha yang
bertindak sebagai Pengendali dari badan usaha
sebagaimana dimaksud pada huruf b;
d. badan usaha yang pengendaliannya dilakukan oleh:
1. orang perseorangan dan/atau badan usaha
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
2. orang perseorangan dan/atau badan usaha
sebagaimana dimaksud pada huruf c;
e. Dewan Komisaris atau Direksi Perusahaan
Pembiayaan;
f. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai
dengan derajat kedua, baik horisontal maupun
vertikal:
1. dari ...
- 27 -
1. dari orang perseorangan yang merupakan
Pengendali Perusahaan Pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada huruf a;
2. dari Dewan Komisaris atau Direksi pada
Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud
pada huruf e.
g. dewan komisaris atau direksi pada badan usaha
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf
c, dan/atau huruf d;
h. badan usaha yang dewan komisaris atau direksi
merupakan:
1. Dewan Komisaris atau Direksi pada Perusahaan
Pembiayaan;
2. dewan komisaris atau direksi pada badan usaha
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b,
huruf c, dan/atau huruf d;
i. badan usaha dimana:
1. Dewan Komisaris atau Direksi Perusahaan
Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada huruf e
bertindak sebagai Pengendali;
2. dewan komisaris atau direksi dari pihak-pihak
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b,
huruf c, dan/atau huruf d, bertindak sebagai
Pengendali; dan
j. badan usaha yang memiliki ketergantungan
keuangan (financial interdependence) dengan
Perusahaan Pembiayaan dan/atau pihak
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf
c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h,
dan/atau huruf i.
(3) Perusahaan Pembiayaan wajib memiliki dan menata-
usahakan daftar rincian pihak terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Pasal 40 ...
- 28 -
Pasal 40
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan
BMPP kepada 1 (satu) Debitur yang bukan merupakan
pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
ayat (2) ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh persen)
dari Ekuitas Perusahaan Pembiayaan.
(2) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan
BMPP kepada 1 (satu) kelompok Debitur yang bukan
merupakan pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39 ayat (2) ditetapkan paling tinggi 50% (lima
puluh persen) dari Ekuitas Perusahaan Pembiayaan.
(3) Debitur digolongkan sebagai anggota suatu kelompok
Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila
Debitur mempunyai hubungan pengendalian dengan
Debitur lain baik melalui hubungan kepemilikan,
kepengurusan, dan/atau keuangan, yang meliputi:
a. Debitur merupakan Pengendali Debitur lain;
b. 1 (satu) pihak yang sama merupakan Pengendali dari
beberapa Debitur (common ownership);
c. Debitur memiliki ketergantungan keuangan (financial
interdependence) dengan Debitur lain;
d. Debitur menerbitkan jaminan (guarantee) untuk
mengambil alih dan/atau melunasi sebagian atau
seluruh kewajiban Debitur lain dalam hal Debitur
lain tersebut gagal memenuhi kewajibannya
(wanprestasi) kepada Perusahaan Pembiayaan;
dan/atau
e. dewan komisaris dan/atau direksi Debitur menjadi
dewan komisaris dan/atau direksi pada Debitur lain.
Pasal 41
Ketentuan BMPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
ayat (1), Pasal 40 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (2) dikecualikan
bagi pembiayaan untuk pengadaan barang dan/atau jasa
dalam rangka program pemerintah.
BAB X ...
- 29 -
BAB X
KERJA SAMA PEMBIAYAAN
Pasal 42
(1) Dalam menjalankan usahanya, Perusahaan Pembiayaan
dapat bekerjasama dengan pihak lain melalui
pembiayaan penerusan (channeling) atau pembiayaan
bersama (joint financing) dan dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. bank;
b. perusahaan pembiayaan sekunder perumahan;
c. lembaga keuangan mikro; dan/atau
d. Perusahaan Pembiayaan.
(3) Dalam pembiayaan
penerusan (channeling)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), risiko yang timbul
dari kegiatan ini berada pada pihak yang memiliki dana.
(4) Dalam pembiayaan penerusan (channeling), pihak yang
menerima dana hanya bertindak sebagai pengelola dan
memperoleh imbalan atau fee dari pengelolaan dana
tersebut.
(5) Dalam pembiayaan bersama (joint financing)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sumber dana
untuk pembiayaan ini harus berasal dari Perusahaan
Pembiayaan dan pihak lain.
(6) Risiko yang timbul dari pembiayaan bersama (joint
financing) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menjadi
beban masing-masing pihak secara proporsional sesuai
dengan besaran dana yang dikeluarkan.
BAB XI ...
- 30 -
BAB XI
PENDANAAN
Pasal 43
Sumber pendanaan Perusahaan Pembiayaan dapat berasal
dari:
a. pinjaman dari bank, industri keuangan non bank,
dan/atau badan usaha lain;
b. penerbitan obligasi;
c. penerbitan medium term notes;
d. pinjaman subordinasi;
e. penambahan Modal Disetor termasuk melalui
penawaran umum saham; dan/atau
f. sekuritisasi aset.
Pasal 44
Jumlah pinjaman dari badan usaha lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 huruf a, wajib memenuhi
ketentuan paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) untuk setiap kreditur dengan jangka waktu
pengembalian paling singkat 1 (satu) tahun.
Pasal 45
Pinjaman subordinasi yang diterima Perusahaan
Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf
d harus memenuhi ketentuan:
a. paling singkat berjangka waktu 5 (lima) tahun;
b. dalam hal terjadi likuidasi, hak tagih berlaku paling
akhir dari segala pinjaman yang ada; dan
c. dituangkan dalam bentuk perjanjian akta notariil antara
Perusahaan Pembiayaan dengan pemberi pinjaman.
Pasal 46
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan
gearing ratio paling tinggi 10 (sepuluh) kali.
(2) Gearing ratio ...
- 31 -
(2) Gearing ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan perbandingan antara jumlah pinjaman
dengan selisih penjumlahan Ekuitas dan pinjaman
subordinasi dengan penyertaan.
(3) Pinjaman subordinasi yang dapat diperhitungkan
sebagai pembagi dalam perhitungan gearing ratio
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling tinggi 50%
(lima puluh persen) dari Modal Disetor.
(4) Ketentuan mengenai besaran gearing ratio sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dapat ditinjau kembali dan
perubahannya diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 47
(1) Perusahaan Pembiayaan yang menerima pinjaman
dalam valuta asing wajib melakukan lindung nilai secara
penuh (full hedge).
(2) Lindung nilai secara penuh (full hedge) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan untuk pokok
pinjaman, suku bunga pinjaman, dan/atau jangka
waktu pembayaran.
Pasal 48
Perusahaan Pembiayaan yang akan menerima pinjaman
dalam valuta asing wajib memenuhi Tingkat Kesehatan
Keuangan dengan kondisi minimum sehat.
BAB XII
PENYERTAAN
Pasal 49
(1) Perusahaan Pembiayaan hanya dapat melakukan
penyertaan modal secara langsung pada:
a. perusahaan di sektor jasa keuangan di Indonesia;
dan
b. perusahaan yang terkait dengan kegiatan
Perusahaan Pembiayaan.
(2) Jumlah ...
- 32 -
(2) Jumlah seluruh penyertaan langsung Perusahaan
Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah Ekuitas
Perusahaan Pembiayaan.
(3) Jumlah seluruh penyertaan langsung Perusahaan
Pembiayaan kepada entitas dalam 1 (satu) grup paling
tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah Ekuitas
Perusahaan Pembiayaan.
(4) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan
jumlah penyertaan langsung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) pada saat melakukan
penyertaan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) dikecualikan bagi Perusahaan Pembiayaan yang
melakukan pemisahan dalam rangka pendirian
Perusahaan Pembiayaan yang seluruh kegiatan
usahanya dilakukan berdasarkan prinsip syariah.
BAB XIII
SERTIFIKASI
Pasal 50
(1) Pegawai Perusahaan Pembiayaan yang menduduki
posisi manajerial mulai dari tingkat kepala kantor
cabang sampai dengan satu tingkat dibawah Direksi,
wajib memiliki sertifikat tingkat dasar di bidang
pembiayaan dari lembaga yang ditunjuk oleh asosiasi
dengan menyampaikan pemberitahuan kepada OJK dan
disertai dengan alasan penunjukan.
(2) Direksi Perusahaan Pembiayaan wajib memiliki
sertifikat keahlian di bidang pembiayaan dari lembaga
yang ditunjuk oleh asosiasi dengan menyampaikan
pemberitahuan kepada OJK dan disertai dengan alasan
penunjukan.
(3) Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan wajib
memiliki sertifikat tingkat dasar di bidang pembiayaan
dari ...
- 33 -
dari lembaga yang ditunjuk oleh asosiasi dengan
menyampaikan pemberitahuan kepada OJK dan disertai
dengan alasan penunjukan.
(4) Direksi dan pejabat 1 (satu) tingkat di bawah Direksi
yang membawahkan fungsi manajemen risiko wajib
memiliki sertifikat keahlian di bidang manajemen risiko
dari lembaga yang ditunjuk oleh asosiasi dengan
menyampaikan pemberitahuan kepada OJK dan disertai
dengan alasan penunjukan.
(5) Pegawai dan/atau tenaga alih daya Perusahaan
Pembiayaan yang menangani bidang penagihan wajib
memiliki sertifikat profesi di bidang penagihan dari
lembaga yang ditunjuk asosiasi dengan menyampaikan
pemberitahuan kepada OJK dan disertai dengan alasan
penunjukan.
BAB XIV
LARANGAN
Pasal 51
Perusahaan Pembiayaan dilarang:
a. menghimpun dana secara langsung dari masyarakat
berbentuk giro, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu;
b. memberikan jaminan dalam segala bentuknya atas
pemenuhan kewajiban pihak lain;
c. menerbitkan surat sanggup bayar (promisorry note),
kecuali sebagai jaminan atas utang kepada bank yang
menjadi krediturnya;
d. melakukan tindakan yang menyebabkan atau memaksa
lembaga keuangan lainnya yang berada di bawah
pengawasan OJK melanggar peraturan perundang-
undangan yang berlaku; dan/atau
e. melakukan tindakan yang menyebabkan atau memaksa
lembaga keuangan lainnya yang berada di bawah
pengawasan ...
- 34 -
pengawasan OJK menghindari peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 52
(1) Dalam melakukan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Perusahaan
Pembiayaan dilarang melakukan pembiayaan secara
dana tunai kepada Debitur.
(2) Dalam menyalurkan pembiayaan,
Perusahaan
Pembiayaan dilarang melakukan pembelian barang dari
Debitur atau calon Debitur kecuali melalui cara Jual dan
Sewa-Balik (Sale and Leaseback).
Pasal 53
Perusahaan Pembiayaan dalam melakukan kegiatan
usahanya dilarang menggunakan informasi yang tidak
benar yang dapat merugikan kepentingan Debitur, kreditur,
dan pemangku kepentingan termasuk OJK.
BAB XV
PENYAMPAIAN LAPORAN BERKALA
Pasal 54
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib menyampaikan laporan
berkala kepada OJK, yaitu:
a. laporan bulanan; dan
b. laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh
akuntan publik.
(2) Ketentuan mengenai laporan bulanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK
mengenai laporan bulanan.
Pasal 55
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib menyampaikan laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan
publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1)
huruf b kepada OJK paling lambat 4 (empat) bulan
setelah tahun buku terakhir.
(2) Perusahaan ...
- 35 -
(2) Perusahaan Pembiayaan wajib menyampaikan laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan
publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1)
secara lengkap dan benar dalam bentuk hard copy dan
soft copy.
(3) Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) wajib
disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang
berlaku di Indonesia.
(4) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (1) wajib mencantumkan
perhitungan hal-hal yang diatur khusus di dalam
Peraturan OJK ini.
(5) Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh
akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54
ayat (1) wajib disusun dalam mata uang rupiah.
(6) Tahun buku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
berdasarkan tahun takwim.
(7) Akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus terdaftar di OJK.
(8) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan memperoleh izin
usaha kurang dari 6 (enam) bulan hingga tahun takwim
berakhir, kewajiban penyampaian laporan keuangan
tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai
berlaku pada tahun takwim berikutnya.
Pasal 56
Dalam hal batas akhir penyampaian laporan keuangan
tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1)
jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan
adalah hari kerja pertama berikutnya.
Pasal 57...
- 36 -
Pasal 57
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib mengumumkan laporan
posisi keuangan dan laporan laba rugi komprehensif
singkat paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun
buku berakhir paling sedikit pada 1 (satu) surat kabar
harian di Indonesia yang memiliki peredaran nasional.
(2) Perusahaan Pembiayaan wajib melaporkan pelaksanaan
pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
secara tertulis kepada OJK paling lambat 20 (dua puluh)
hari kalender setelah pelaksanaan pengumuman,
dilampiri dengan bukti pengumuman.
(3) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan
pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) jatuh pada hari libur, batas akhir
penyampaian laporan adalah hari kerja pertama
berikutnya.
BAB XVI
SISTEM INFORMASI DAN TEKNOLOGI
Pasal 58
(1) Dalam rangka mendukung penyelenggaraan usaha yang
sehat, Perusahaan Pembiayaan wajib mempunyai sistem
informasi dan teknologi yang terintegrasi.
(2) Kewajiban sebagaimana yang dimaksudkan pada ayat
(1) berlaku untuk Perusahaan Pembiayaan yang
mempunyai kantor cabang lebih dari 5 (lima).
BAB XVII
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DI BIDANG
KETENAGALISTRIKAN DAN PELAYARAN
Pasal 59
(1) Perusahaan Pembiayaan yang didirikan khusus untuk
melakukan kegiatan pembiayaan di bidang
ketenagalistrikan dapat melakukan kegiatan usaha
selain ...
- 37 -
selain kegiatan usaha sebagaimana diatur dalam Pasal
2 Peraturan OJK ini.
(2) Kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya dilakukan dalam rangka mendukung
pemenuhan kebutuhan ketenagalistrikan nasional.
(3) Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak wajib memenuhi ketentuan mengenai
Pasal 26 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), Pasal 46 ayat (1).
Pasal 60
Perusahaan Pembiayaan yang didirikan khusus untuk
melakukan kegiatan di bidang pelayaran tidak wajib
memenuhi ketentuan Pasal 49 ayat (2) dan ayat (3).
BAB XVIII
PENEGAKAN KEPATUHAN
Bagian Kesatu
Pemberitahuan
Pasal 61
(1) Perusahaan Pembiayaan yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1), Pasal 7, Pasal 8 ayat (3), Pasal 9, Pasal 15, Pasal 16,
Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (1),
Pasal 20 ayat (1), Pasal 39 ayat (3), Pasal 47, Pasal 54
ayat (1) huruf b, Pasal 55 ayat (1), Pasal 55 ayat (2), Pasal
55 ayat (3), Pasal 55 ayat (4), Pasal 55 ayat (5), Pasal 55
ayat (6), Pasal 57 ayat (1), dan/atau Pasal 57 ayat (2),
Peraturan OJK ini diberikan surat pemberitahuan.
(2) Perusahaan Pembiayaan wajib melakukan pemenuhan
atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal surat
pemberitahuan.
Bagian ...
- 38 -
Bagian Kedua
Rencana Pemenuhan
Pasal 62
(1) Perusahaan Pembiayaan yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat
(1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27, Pasal 29 ayat (6), Pasal
30 ayat (1), Pasal 30 ayat (3), Pasal 31 ayat (1), Pasal 31
ayat (3), Pasal 32 ayat (1), Pasal 32 ayat (3), Pasal 33 ayat
(1), Pasal 36 ayat (1), Pasal 36 ayat (3), Pasal 37 ayat (1),
Pasal 37 ayat (2) huruf a, Pasal 37 ayat (3) huruf a, Pasal
38, Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 ayat (1), Pasal 40 ayat (2),
Pasal 46 ayat (1), Pasal 50, dan/atau Pasal 58 ayat (1)
Peraturan OJK ini wajib menyampaikan rencana
pemenuhan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal
penetapan terjadinya pelanggaran oleh OJK.
(2) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), paling sedikit memuat rencana yang akan dilakukan
Perusahaan Pembiayaan untuk pemenuhan ketentuan
yang disertai dengan jangka waktu tertentu yang
dibutuhkan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), memuat antara lain:
a. restrukturisasi aset dan/atau liabilitas;
b. penambahan Modal Disetor;
c. pembatasan penerimaan pinjaman baru;
d. penerimaan pinjaman subordinasi;
e. pengalihan sebagian atau seluruh aset;
f. pembatasan pembagian laba;
g. pembatasan kegiatan yang menyebabkan
pelanggaran ketentuan;
h. pembatasan pembukaan kantor cabang baru;
dan/atau
i. penggabungan ...
- 39 -
i. penggabungan badan usaha.
(4) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus ditandatangani oleh seluruh Direksi dan
Dewan Komisaris.
(5) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus terlebih dahulu disetujui oleh rapat umum
pemegang saham dalam hal rencana dimaksud memuat
rencana penambahan Modal Disetor atau rencana
penggabungan usaha.
(6) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memperoleh pernyataan tidak keberatan dari
OJK.
(7) Dalam hal rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dinilai oleh OJK tidak cukup untuk
mengatasi permasalahan, Perusahaan Pembiayaan
wajib melakukan perbaikan atas rencana pemenuhan
tersebut.
(8) OJK memberikan pernyataan tidak keberatan atas
rencana pemenuhan yang disampaikan oleh Perusahaan
Pembiayaan dengan memperhatikan kondisi
permasalahan yang dihadapi oleh Perusahaan
Pembiayaan paling lama 14 (empat belas) hari terhitung
sejak tanggal diterimanya rencana pemenuhan secara
lengkap.
(9) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (8), OJK tidak memberikan pernyataan tidak
keberatan atau tanggapan, Perusahaan Pembiayaan
dapat melaksanakan rencana pemenuhan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(10) Perusahaan Pembiayaan wajib melaksanakan rencana
pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB XIX ...
- 40 -
BAB XIX
SANKSI
Pasal 63
(1) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 ayat (2), Perusahaan Pembiayaan tidak juga
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 ayat (1), Perusahaan Pembiayaan dikenakan
sanksi administratif secara bertahap berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan kegiatan usaha; dan
c. pencabutan izin usaha.
(2) Perusahaan yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran tersebut
telah diselesaikan, tetap dikenakan sanksi peringatan
pertama yang berakhir dengan sendirinya.
(3) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, dapat diberikan secara tertulis paling banyak 3
(tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-
masing paling lama 2 (dua) bulan.
(4) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), OJK
mencabut sanksi peringatan.
(5) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), berakhir dan Perusahaan
Pembiayaan tetap tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), OJK
mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(6) Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara
tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(7) Dalam ...
- 41 -
(7) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau
sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari
libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan
kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama
berikutnya.
(8) Perusahaan Pembiayaan yang dikenakan sanksi
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) dilarang melakukan kegiatan usaha.
(9) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (6), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat
(1), OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(10) Dalam hal sanksi waktu pembekuan usaha masih
berlaku dan Perusahaan Pembiayaan tetap melakukan
kegiatan usaha pembiayaan, OJK dapat langsung
mengenakan sanksi pencabutan izin usaha.
(11) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (6), Perusahaan Pembiayaan tidak juga
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 ayat (1), OJK mencabut izin usaha Perusahaan
Pembiayaan yang bersangkutan.
(12) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dan/atau sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada masyarakat.
Pasal 64
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1), ayat (7),
atau ayat (10) Peraturan OJK ini dapat dikenakan sanksi
administratif berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan ...
- 42 -
b. pembekuan kegiatan usaha; dan/atau
c. pencabutan izin usaha.
(2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
dapat memberikan sanksi tambahan berupa:
a. pembatasan kegiatan usaha tertentu;
b. penurunan hasil penilaian tingkat risiko;
c. pembatalan persetujuan; dan/atau
d. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan.
(3) Perusahaan yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran tersebut
telah diselesaikan, tetap dikenakan sanksi peringatan
pertama yang berakhir dengan sendirinya.
(4) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, dapat diberikan secara tertulis paling banyak 3
(tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-
masing paling lama 2 (dua) bulan.
(5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud Pasal 62 ayat (1), ayat (7) atau
ayat (10), OJK mencabut sanksi peringatan.
(6) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) berakhir dan Perusahaan
Pembiayaan tetap tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada dalam Pasal 62 ayat (1),
ayat (7), atau ayat (10), OJK mengenakan sanksi
pembekuan kegiatan usaha.
(7) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan melakukan
pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
ayat (1) atau ayat (3) dan tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1), ayat (7),
atau ayat (10) sampai dengan berakhirnya jangka waktu
peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Perusahaan Pembiayaan dimaksud dikenakan sanksi
pencabutan ...
- 43 -
pencabutan izin usaha tanpa didahului sanksi
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (6).
(8) Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara
tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(9) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau
sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari
libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan
kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama
berikutnya.
(10) Perusahaan Pembiayaan yang dikenakan sanksi
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (6), dilarang melakukan kegiatan usaha.
(11) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (8), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(12) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih
berlaku dan Perusahaan Pembiayaan tetap melakukan
kegiatan usaha pembiayaan, OJK dapat langsung
mengenakan sanksi pencabutan izin usaha.
(13) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (8), Perusahaan Pembiayaan tidak juga
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 ayat (1), ayat (7), atau, ayat (10), OJK mencabut
izin usaha Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan.
(14) OJK dapat mengumumkan sanksi pembatasan kegiatan
usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a, pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, dan/atau sanksi
pencabutan ...
- 44 -
pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c kepada masyarakat.
Pasal 65
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 ayat (2),
Pasal 10 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 21,
Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 37 ayat (2) huruf b,
Pasal 37 ayat (3) huruf b, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49
ayat (4), Pasal 51, Pasal 52, dan/atau Pasal 53 Peraturan
OJK ini dikenakan sanksi administratif secara bertahap
berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan kegiatan usaha; dan
c. pencabutan izin usaha.
(2) Perusahaan yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran tersebut
telah diselesaikan, tetap dikenakan sanksi peringatan
pertama yang berakhir dengan sendirinya.
(3) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, dapat diberikan secara tertulis paling banyak 3
(tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-
masing paling lama 2 (dua) bulan.
(4) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut
sanksi peringatan.
(5) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) berakhir dan Perusahaan
Pembiayaan tetap tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mengenakan
sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(6) Sanksi ...
- 45 -
(6) Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara
tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(7) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau
sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari
libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan
kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama
berikutnya.
(8) Perusahaan Pembiayaan yang dikenakan sanksi
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), dilarang melakukan kegiatan usaha.
(9) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (6), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(10) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih
berlaku dan Perusahaan Pembiayaan tetap melakukan
kegiatan usaha pembiayaan, OJK dapat langsung
mengenakan sanksi pencabutan izin usaha.
(11) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (6), Perusahaan Pembiayaan tidak juga
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), OJK mencabut izin usaha Perusahaan Pembiayaan
yang bersangkutan.
(12) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dan/atau sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada masyarakat.
Pasal 66
(1) OJK dapat mengenakan sanksi pembekuan kegiatan
usaha tanpa didahului pengenaan sanksi peringatan
apabila ...
- 46 -
apabila Perusahaan Pembiayaan
pelanggaran atas Pasal 51 huruf a.
melakukan
(2) Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara
tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(3) Dalam hal masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan
usaha berakhir pada hari libur, sanksi pembekuan
kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama
berikutnya.
(4) Perusahaan Pembiayaan yang dikenakan sanksi
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilarang melakukan kegiatan usaha.
(5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(6) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih
berlaku dan Perusahaan Pembiayaan tetap melakukan
kegiatan usaha pembiayaan, OJK dapat langsung
mengenakan sanksi pencabutan izin usaha.
(7) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Perusahaan Pembiayaan tidak juga
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), OJK mencabut izin usaha Perusahaan Pembiayaan
yang bersangkutan.
(8) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sanksi
pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) atau ayat (7) kepada masyarakat.
Pasal 67 ...
- 47 -
Pasal 67
Dalam hal Perusahaan Pembiayaan mendapatkan sanksi
administratif berupa sanksi peringatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf a, Pasal 64 ayat (1)
huruf a, dan/atau Pasal 65 ayat (1) huruf a secara kumulatif
sebanyak 5 (lima) kali atau lebih dalam jangka waktu 2 (dua)
tahun, OJK dapat meminta Direksi dan/atau Dewan
Komisaris untuk mengikuti penilaian kembali kemampuan
dan kepatutan.
BAB XX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 68
(1) Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin
usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, dapat
melaksanakan kegiatan usahanya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, huruf b, dan
huruf c, serta Pasal 2 ayat (2).
(2) Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh
izin usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan,
ketentuan mengenai pencantuman kegiatan usaha
dalam anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7, dinyatakan berlaku 1 (satu) tahun sejak
Peraturan OJK ini ditetapkan.
(3) Perjanjian pembiayaan yang telah dilakukan oleh
Perusahaan Pembiayaan sebelum Peraturan OJK ini
ditetapkan dinyatakan tetap berlaku sampai dengan
berakhirnya perjanjian pembiayaan tersebut.
Pasal 69
Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin
usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26 ayat (1),
Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32,
Pasal 34, dan Pasal 35 dinyatakan berlaku 1 (satu) tahun
sejak Peraturan OJK ini ditetapkan.
Pasal 70 ...
- 48 -
Pasal 70
(1) Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh
izin usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan,
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat
(1), Pasal 39 ayat (3), Pasal 40 ayat (1), dan Pasal 40 ayat
(2), berlaku 2 (dua) tahun sejak Peraturan OJK ini
ditetapkan.
(2) Penyaluran pembiayaan yang diberikan sebelum
ketentuan BMPP berlaku sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), tetap dapat dilanjutkan sampai dengan
berakhirnya jangka waktu perjanjian pembiayaan
tersebut dan tidak diperhitungkan sebagai dasar
perhitungan BMPP.
Pasal 71
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 tidak
berlaku bagi pinjaman dalam valuta asing yang diterima
oleh Perusahaan Pembiayaan sebelum Peraturan OJK ini
ditetapkan.
Pasal 72
Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin
usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dinyatakan berlaku
3 (tiga) tahun sejak Peraturan OJK ini ditetapkan.
Pasal 73
Perjanjian pembiayaan berupa penyediaan dana secara
tunai yang telah dilakukan sebelum Peraturan OJK ini
ditetapkan, tetap dapat dilanjutkan sampai dengan
berakhirnya jangka waktu perjanjian pembiayaan tersebut.
Pasal 74
Ketentuan dan mekanisme pelaporan bulanan Perusahaan
Pembiayaan dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum
terdapat peraturan yang mengatur mengenai ketentuan
pelaporan bulanan sesuai dengan kegiatan usaha dalam
Peraturan OJK ini.
Pasal 75 ...
- 49 -
Pasal 75
Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin
usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dinyatakan berlaku
2 (dua) tahun sejak peraturan OJK ini ditetapkan.
Pasal 76
(1) Setiap sanksi administratif yang telah dikenakan
terhadap Perusahaan Pembiayaan berdasarkan:
a. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor
b. Peraturan
84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan;
Menteri Keuangan Nomor
30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non
Bank;
c. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor
43/PMK.010/2012 tentang Uang Muka Pembiayaan
Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Pada
Perusahaan Pembiayaan sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
220/PMK.010/2012;
d. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor
130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan
Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang
Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk
Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan
Fidusia,
dinyatakan tetap sah dan berlaku.
(2) Perusahaan Pembiayaan yang belum dapat mengatasi
penyebab dikenakannya sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi
lanjutan sesuai dengan Peraturan OJK ini.
administratif
BAB XXI ...
- 50 -
BAB XXI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 77
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan
mengenai penyelenggaraan usaha Perusahaan Pembiayaan
tunduk pada Peraturan OJK ini.
Pasal 78
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 November 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 November 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 364
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum,
Ttd.
Tini Kustini
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 29/POJK.05/2014 </reg_id>
<reg_title> PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN </reg_title>
<set_date> 19 November 2014 </set_date>
<effective_date> 19 November 2014 </effective_date>
<issued_date> 19 November 2014 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XIX' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 49 /POJK.04/2016
TENTANG
DANA PERLINDUNGAN PEMODAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor Pasar Modal termasuk terkait dengan pengaturan
mengenai dana perlindungan pemodal beralih dari Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke
Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan
kepastian mengenai pengaturan terhadap dana
perlindungan pemodal, peraturan mengenai Dana
Perlindungan Pemodal yang diterbitkan sebelum
terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Dana
Perlindungan Pemodal;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG DANA
PERLINDUNGAN PEMODAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud
dengan:
1. Aset Pemodal adalah Efek dan harta lain yang berkaitan
dengan Efek, dan/atau dana milik Pemodal yang
dititipkan pada Kustodian.
2. Dana Perlindungan Pemodal adalah kumpulan dana yang
dibentuk untuk melindungi Pemodal dari hilangnya Aset
Pemodal, sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini.
3. Pemodal adalah nasabah dari Perantara Pedagang Efek
yang mengadministrasikan rekening Efek nasabah dan
Bank Kustodian.
4. Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal adalah
perseroan terbatas yang telah mendapatkan izin usaha
dari Otoritas Jasa Keuangan untuk menyelenggarakan
dan mengelola Dana Perlindungan Pemodal.
- 3 -
5. Faktor Risiko adalah salah satu unsur dalam penentuan
besaran iuran keanggotaan tahunan Bank Kustodian
untuk Dana Perlindungan Pemodal yang merupakan
jumlah nilai risiko dikalikan dengan Bobot Risiko.
BAB II
PEMBENTUKAN DANA PERLINDUNGAN PEMODAL
Pasal 2
Dana Perlindungan Pemodal dibentuk dan berasal dari
sumber sebagai berikut:
a. kontribusi dana awal dari Bursa Efek, Lembaga Kliring
dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian;
b. iuran keanggotaan yang nilainya ditetapkan oleh Otoritas
Jasa Keuangan, yang terdiri dari iuran keanggotaan awal
dan iuran keanggotaan tahunan;
c. dana yang diperoleh Dana Perlindungan Pemodal dari
Kustodian sebagai pengganti dari Pemodal sebagai
pelaksanaan hak subrogasi;
d. hasil investasi Dana Perlindungan Pemodal; dan
e. sumber lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
BAB III
IURAN KEANGGOTAAN DANA PERLINDUNGAN PEMODAL
Pasal 3
(1) Pelaksanaan iuran keanggotaan Dana Perlindungan
Pemodal dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. bagi Perantara Pedagang Efek yang
mengadministrasikan rekening Efek nasabah:
1) iuran
keanggotaan
awal
sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk
masing-masing Perantara Pedagang Efek yang
mengadministrasikan rekening Efek nasabah;
dan
- 4 -
2) iuran keanggotaan tahunan sebesar 0,001%
(satu per seratus ribu) dari rata-rata bulanan
total nilai Aset Nasabah tahun sebelumnya yang
dititipkan pada Perantara Pedagang Efek yang
mengadministrasikan rekening Efek nasabah.
b. bagi Bank Kustodian:
1) iuran
keanggotaan
awal
sebesar
Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) untuk
masing-masing Bank Kustodian; dan
2) iuran keanggotaan tahunan sebesar seluruh
Faktor Risiko dikalikan dengan 0,001% (satu
per seratus ribu) dari rata-rata bulanan total
nilai Aset Pemodal tahun sebelumnya yang
dititipkan pada Bank Kustodian.
(2) Perubahan atas besaran iuran keanggotaan awal dan
iuran keanggotaan tahunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk selanjutnya ditetapkan dengan Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
BAB IV
PENGELOLAAN DANA PERLINDUNGAN PEMODAL
Pasal 4
Dana Perlindungan Pemodal bukan merupakan milik Pihak
tertentu dan tidak digunakan untuk keperluan apapun
kecuali untuk tujuan sebagaimana ditentukan dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 5
Dana Perlindungan Pemodal diadministrasikan dan dikelola
oleh Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal.
Pasal 6
Dana Perlindungan Pemodal diwakili baik di dalam maupun di
luar pengadilan oleh Penyelenggara Dana Perlindungan
Pemodal.
- 5 -
Pasal 7
Harta kekayaan dari Dana Perlindungan Pemodal tidak dapat
dipinjamkan atau dijaminkan.
Pasal 8
Harta kekayaan dari Dana Perlindungan Pemodal hanya dapat
diinvestasikan pada Surat Berharga Negara dan/atau deposito
pada bank yang dimiliki Pemerintah Republik Indonesia.
Pasal 9
Investasi Dana Perlindungan Pemodal dalam bentuk selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya dapat dilakukan
setelah mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 10
Hasil investasi Dana Perlindungan Pemodal setelah dikurangi
biaya atas jasa pengelolaan, wajib ditambahkan ke dalam
Dana Perlindungan Pemodal.
Pasal 11
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal berhak
mendapatkan imbalan atas jasa pengelolaan atas investasi
Dana Perlindungan Pemodal sebesar 10% (sepuluh persen)
dari pendapatan bersih hasil investasi.
Pasal 12
Otoritas Jasa Keuangan dapat menentukan batasan lain atas
imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dengan
memperhatikan kebutuhan Dana Perlindungan Pemodal dan
kondisi keuangan Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal.
Pasal 13
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan memutuskan
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal tidak sanggup
untuk menyelenggarakan dan mengelola Dana Perlindungan
Pemodal, penyelenggaraan dan pengelolaan Dana
- 6 -
Perlindungan Pemodal dilakukan oleh Otoritas Jasa
Keuangan, baik dengan atau tanpa menunjuk Pihak lain.
Pasal 14
Dalam kondisi tertentu selain sebagaimana diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, Otoritas Jasa
Keuangan dapat mengambil alih dan menetapkan penggunaan
Dana Perlindungan Pemodal.
Pasal 15
Ketentuan mengenai kondisi tertentu dan penggunaan Dana
Perlindungan Pemodal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
BAB V
KEANGGOTAAN DANA PERLINDUNGAN PEMODAL
Pasal 16
Kustodian wajib menjadi anggota Dana Perlindungan
Pemodal.
Pasal 17
Kustodian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 adalah
Perantara Pedagang Efek yang mengadministrasikan rekening
Efek nasabah dan Bank Kustodian.
Pasal 18
Anggota Dana Perlindungan Pemodal wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. membayar penuh dan tepat waktu iuran keanggotaan
sejumlah nilai yang ditentukan oleh Otoritas Jasa
Keuangan;
b. memisahkan rekening Efek pada Kustodian untuk setiap
Pemodal dan dengan rekening Efek milik Kustodian;
c. memisahkan rekening dana pada bank untuk setiap
Pemodal dan dengan rekening dana milik Kustodian
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
- 7 -
undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur
mengenai Pengendalian Internal Perusahaan Efek yang
Melakukan Kegiatan Usaha sebagai Perantara Pedagang
Efek; dan
d. memiliki dan menerapkan sistem manajemen risiko
sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-
undangan di bidang Pasar Modal.
BAB VI
RUANG LINGKUP PERLINDUNGAN DANA PERLINDUNGAN
PEMODAL
Pasal 19
Aset Pemodal berupa Efek dan harta lain yang berkaitan
dengan Efek yang mendapat perlindungan Dana Perlindungan
Pemodal adalah Efek dalam Penitipan Kolektif pada Kustodian
yang dicatat dalam Rekening Efek pada Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
Pasal 20
Aset Pemodal berupa dana yang mendapat perlindungan Dana
Perlindungan Pemodal adalah dana yang dititipkan pada
Kustodian yang dibukakan Rekening Dana Nasabah pada
bank atas nama masing-masing Pemodal.
Pasal 21
Pemodal yang asetnya mendapat perlindungan Dana
Perlindungan Pemodal adalah Pemodal yang memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. menitipkan asetnya dan memiliki rekening Efek pada
Kustodian;
b. dibukakan Sub Rekening Efek pada Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian oleh Kustodian; dan
c. memiliki nomor tunggal identitas pemodal dari Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
- 8 -
Pasal 22
Dana Perlindungan Pemodal digunakan untuk memberikan
ganti rugi kepada Pemodal atas hilangnya Aset Pemodal.
Pasal 23
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 tidak
berlaku bagi Pemodal yang memenuhi 1 (satu) atau lebih
kriteria berikut:
a. Pemodal yang terlibat atau menjadi penyebab Aset
Pemodal hilang;
b. Pemodal merupakan pemegang saham pengendali,
anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau pejabat
satu tingkat di bawah anggota direksi Kustodian;
dan/atau
c. Pemodal merupakan Afiliasi dari pihak sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b.
BAB VII
GANTI RUGI OLEH DANA PERLINDUNGAN PEMODAL
Bagian Kesatu
Pembayaran Ganti Rugi
Pasal 24
(1) Pembayaran ganti rugi kepada Pemodal dengan
menggunakan Dana Perlindungan Pemodal dilakukan
jika memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Otoritas Jasa Keuangan telah menerbitkan
pernyataan tertulis bahwa:
1) terdapat kehilangan Aset Pemodal;
2) Kustodian tidak memiliki kemampuan untuk
mengembalikan Aset Pemodal yang hilang; dan
3) bagi Kustodian berupa Perantara Pedagang Efek
yang mengadministrasikan Efek dinyatakan
tidak dapat melanjutkan kegiatan usahanya
dan dipertimbangkan izin usahanya dicabut
oleh Otoritas Jasa Keuangan; atau
- 9 -
4) bagi Bank Kustodian dinyatakan tidak dapat
melanjutkan kegiatan usahanya sebagai Bank
Kustodian dan dipertimbangkan persetujuan
Bank Umum sebagai Kustodian dicabut oleh
Otoritas Jasa Keuangan; dan
b. Pemodal telah mengajukan permohonan ganti rugi
kepada Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal
sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal.
(2) Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria pernyataan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dalam bentuk dana sebesar nilai Aset Pemodal
yang hilang dan/atau sesuai dengan batasan paling
tinggi untuk setiap Pemodal dan setiap Kustodian yang
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penentuan nilai Aset
Pemodal yang hilang sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 25
Ganti rugi atas nilai Aset Pemodal yang hilang tidak
mencakup nilai kerugian atas perkiraan nilai investasi masa
datang.
Bagian Kedua
Subrogasi
Pasal 26
(1) Dana Perlindungan Pemodal menggantikan kedudukan
Pemodal yang mendapatkan ganti rugi atas hilangnya
Aset Pemodal dari Dana Perlindungan Pemodal terhadap
Kustodian karena subrogasi.
- 10 -
(2) Hak Dana Perlindungan Pemodal karena subrogasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar
ganti rugi yang telah diberikan Dana Perlindungan
Pemodal kepada Pemodal beserta biaya yang telah
dikeluarkan dalam rangka pembayaran ganti rugi dan
pengembalian dana dimaksud.
(3) Penggantian kedudukan Pemodal oleh Dana
Perlindungan Pemodal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak menghilangkan hak Pemodal untuk
menuntut Kustodian atas hilangnya Aset Pemodal yang
tidak diganti oleh Dana Perlindungan Pemodal.
(4) Dalam melaksanakan hak subrogasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Dana Perlindungan Pemodal
diwakili oleh Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal.
(5) Pelaksanaan hak subrogasi oleh Penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal dilaksanakan sesuai dengan tata
cara sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Penyelenggara Dana Perlindungan
Pemodal.
Bagian Ketiga
Kewajiban Anggota Dana Perlindungan Pemodal karena
Subrogasi
Pasal 27
(1) Kustodian wajib mengembalikan seluruh dana ganti rugi
yang telah dibayarkan oleh Dana Perlindungan Pemodal
ditambah biaya yang telah dikeluarkan.
(2) Pengembalian dana oleh Kustodian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam jangka
waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak
permintaan pengembalian dana disampaikan oleh
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal.
- 11 -
BAB VIII
KETENTUAN SANKSI
Pasal 28
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif denda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau
secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d,
huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 29
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
- 12 -
Pasal 30
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 kepada masyarakat.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 31
Dengan diberlakukannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini, Dana Perlindungan Pemodal yang dibentuk berdasarkan
Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor VI.A.4 tentang Dana Perlindungan Pemodal,
Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor Kep-715/BL/2012 tanggal 28
Desember 2012, dinyatakan tetap ada dan dikelola oleh
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal.
Pasal 32
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor
30/SEOJK.04/2015 tentang Iuran Keanggotan Bank
Kustodian Untuk Dana Perlindungan Pemodal dinyatakan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 33
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor Kep-715/BL/2012 tanggal
28 Desember 2012 tentang Dana Perlindungan Pemodal,
beserta
Peraturan Nomor VI.A.4 yang merupakan
lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
- 13 -
Pasal 34
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 278
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 49 /POJK.04/2016
TENTANG
DANA PERLINDUNGAN PEMODAL
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
untuk mengganti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai Dana Perlindungan Pemodal yaitu Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor:
Kep-715/BL/2012 tanggal 28 Desember 2012 tentang Dana Perlindungan
Pemodal beserta Peraturan Peraturan Nomor VI.A.4 yang merupakan
lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Dana
Perlindungan Pemodal.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Pengendalian Internal Perusahaan Efek
yang Melakukan Kegiatan Usaha sebagai Perantara Pedagang
Efek yang berlaku adalah Peraturan Nomor V.D.3, Lampiran
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor KEP-548/BL/2010 tentang Pengendalian
Internal Perusahaan Efek Yang Melakukan Kegiatan Usaha
Sebagai Perantara Pedagang Efek.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Nomor tunggal identitas pemodal dimaksud biasa disebut juga
dengan sebutan single investor identification.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
- 5 -
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5974
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 49/POJK.04/2016 </reg_id>
<reg_title> DANA PERLINDUNGAN PEMODAL </reg_title>
<set_date> 2 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 7 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 7 Desember 2016 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-715/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012', 'Kep-715/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 | Lampiran Peraturan Nomor VI.A.4' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 46 /POJK.04/2016
TENTANG
TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH BURSA EFEK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor Pasar Modal termasuk terkait dengan pengaturan
mengenai tata cara pembuatan peraturan oleh Bursa
Efek beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan
kepastian mengenai pengaturan terhadap tata cara
pembuatan peraturan Bursa Efek, peraturan mengenai
tata cara pembuatan peraturan oleh Bursa Efek yang
diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa
Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan;
c. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Cara
Pembuatan Peraturan Oleh Bursa Efek;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA
CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH BURSA EFEK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud
dengan:
1. Bursa Efek adalah Pihak yang menyelenggarakan dan
menyediakan sistem dan/atau sarana untuk
mempertemukan penawaran jual dan beli Efek
Pihak-Pihak lain dengan tujuan memperdagangkan Efek
di antara mereka.
2. Dewan Komisaris adalah organ Bursa Efek yang bertugas
melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus
sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat
kepada Direksi.
3. Anggota Bursa Efek adalah Perantara Pedagang Efek
yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa
Keuangan dan mempunyai hak untuk mempergunakan
sistem dan/atau sarana Bursa Efek sesuai dengan
peraturan Bursa Efek.
4. Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah Pihak yang
menyelenggarakan jasa kliring dan penjaminan
penyelesaian Transaksi Bursa.
- 3 -
5. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah Pihak
yang menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi
Bank Kustodian, Perusahaan Efek, dan Pihak lain.
BAB II
PEMBUATAN PERATURAN BURSA EFEK
Bagian Kesatu
Persyaratan Penyusunan Peraturan Bursa Efek
Pasal 2
(1)
Peraturan atau perubahan peraturan Bursa Efek dibuat
dengan memperhatikan pendapat dari Anggota Bursa
Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, serta Pihak yang
berkepentingan lainnya.
(2)
Peraturan atau perubahan peraturan Bursa Efek
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih
dahulu memperoleh persetujuan Dewan Komisaris
sebelum diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan
untuk memperoleh persetujuan.
Pasal 3
(1) Permohonan persetujuan peraturan atau perubahan
peraturan Bursa Efek disampaikan kepada Otoritas
Jasa Keuangan dalam rangkap 4 (empat) dengan
menggunakan format surat Permohonan Persetujuan
Peraturan Atau Perubahan Peraturan Bursa Efek
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini disertai dengan
dokumen sebagai berikut:
a. peraturan yang dimintakan persetujuan;
b. persetujuan Dewan Komisaris;
c. pendapat Anggota Bursa Efek; dan
d. pendapat pihak yang berkepentingan dengan
peraturan dimaksud.
- 4 -
(2) Dalam permohonan dijelaskan alasan permohonan yang
paling sedikit menyangkut latar belakang penyusunan
peraturan, masalah yang dihadapi, dan cara
pemecahannya.
Bagian Kedua
Penelaahan Permohonan Persetujuan Peraturan atau
Perubahan Peraturan Bursa Efek
Pasal 4
(1) Dalam rangka memproses permohonan persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Otoritas Jasa
Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan perubahan peraturan Bursa Efek
paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak permohonan
diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta untuk
mengubah materi perubahan peraturan Bursa Efek
dan/atau meminta tambahan informasi yang
berhubungan dengan peraturan dimaksud.
(3) Dalam hal perubahan dan/atau tambahan informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan, permohonan
perubahan peraturan Bursa Efek dihitung sejak tanggal
diterimanya perubahan atau tambahan informasi
tersebut oleh Otoritas Jasa Keuangan.
BAB III
PENAFSIRAN PERATURAN BURSA EFEK DAN KETENTUAN
INTERNAL BURSA EFEK
Pasal 5
Penafsiran atas peraturan Bursa Efek untuk memperjelas
pengertiannya tetapi tidak mengubah atau menambah
pengertian dimaksud, dan ketentuan mengenai pelaksanaan
kegiatan internal Bursa Efek yang menyangkut bidang
- 5 -
kepegawaian Bursa Efek, penggunaan tanda pengenal dan
standar prosedur operasi kegiatan Bursa Efek berlaku pada
saat diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 6
Pemberitahuan oleh Bursa Efek kepada Otoritas Jasa
Keuangan mengenai penafsiran atas peraturan Bursa Efek
dan ketentuan mengenai pelaksanaan kegiatan internal Bursa
Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, disampaikan
dengan menggunakan format surat Pemberitahuan atas
Penafsiran Peraturan Bursa Efek atau Peraturan Internal
Bursa Efek sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, disertai dengan penjelasan dan
latar belakang penyusunannya.
Pasal 7
Otoritas Jasa Keuangan dapat membatalkan penafsiran dan
ketentuan mengenai kegiatan
internal Bursa Efek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dalam jangka waktu
30 (tiga puluh) hari sejak berlakunya peraturan dimaksud.
BAB IV
KETENTUAN SANKSI
Pasal 8
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi terhadap setiap pihak yang
melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan
terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
- 6 -
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g
dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan
sanksi administratif berupa peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 9
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 10
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 kepada masyarakat.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 11
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor Kep-03/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang
Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Bursa Efek, beserta
Peraturan Nomor III.A.2 yang merupakan lampirannya,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
- 7 -
Pasal 12
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 275
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 46 /POJK.04/2016
TENTANG
TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH BURSA EFEK
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
untuk mengganti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Bursa
Efek yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-
03/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Tata Cara Pembuatan
Peraturan Oleh Bursa Efek beserta Peraturan Nomor III.A.2 yang
merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Bursa Efek.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 12
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5971
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 46/POJK.04/2016 </reg_id>
<reg_title> TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH BURSA EFEK </reg_title>
<set_date> 2 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 7 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 7 Desember 2016 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-03/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-03/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | lampiran Peraturan Nomor III.A.2' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 32 /POJK.04/2014
TENTANG
RENCANA DAN PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM
PERUSAHAAN TERBUKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa penerapan prinsip tata kelola perusahaan
yang baik bagi Perusahaan Terbuka perlu
ditingkatkan untuk lebih melindungi hak
pemegang saham dalam penyelenggaraan Rapat
Umum Pemegang Saham;
b. bahwa ketentuan mengenai Rencana dan
Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham bagi
Perusahaan Terbuka memerlukan penyesuaian
sejalan dengan kebutuhan industri Pasar Modal
akan pelaksanaan tata kelola perusahaan yang
baik;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Rencana dan Penyelenggaraan Rapat
Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka;
Mengingat…
-2-
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3608);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4756);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
RENCANA DAN PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM
PEMEGANG SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Perusahaan Terbuka adalah Emiten yang melakukan
Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas atau
Perusahaan Publik.
2. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya
disebut RUPS adalah organ Perusahaan Terbuka
yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan
kepada…
-3-
kepada Direksi atau Dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan
Terbatas dan/atau anggaran dasar Perusahaan
Terbuka.
3.
Direksi adalah organ Perusahaan Terbuka yang
berwenang dan bertanggung jawab penuh atas
pengurusan Perusahaan Terbuka untuk kepentingan
Perusahaan Terbuka, sesuai dengan maksud dan
tujuan Perusahaan Terbuka serta mewakili
Perusahaan Terbuka, baik di dalam maupun di luar
pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar
Perusahaan Terbuka.
4. Dewan Komisaris adalah organ Perusahaan Terbuka
yang bertugas melakukan pengawasan secara umum
dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar
serta memberi nasihat kepada Direksi Perusahaan
Terbuka.
Pasal 2
(1) RUPS terdiri atas RUPS tahunan dan RUPS lainnya.
(2) RUPS tahunan wajib diselenggarakan dalam jangka
waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun
buku berakhir.
(3) RUPS lainnya dapat diselenggarakan pada setiap
waktu berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan
Perusahaan Terbuka.
BAB II
PENYELENGGARAAN RUPS
Bagian Pertama
Permintaan Penyelenggaraan RUPS
Pasal 3
(1) 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang
bersama-sama mewakili 1/10 (satu per sepuluh) atau
lebih…
-4-
lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara,
kecuali anggaran dasar Perusahaan Terbuka
menentukan suatu jumlah yang lebih kecil, dapat
meminta agar diselenggarakan RUPS.
(2) Permintaan penyelenggaraan RUPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Direksi
dengan surat tercatat disertai alasannya.
(3) Permintaan penyelenggaraan RUPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus:
a.
dilakukan dengan itikad baik;
b. mempertimbangkan kepentingan Perusahaan
Terbuka;
c. merupakan permintaan yang membutuhkan
keputusan RUPS;
d.
e.
disertai dengan alasan dan bahan terkait hal
yang harus diputuskan dalam RUPS; dan
tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan dan anggaran dasar
Perusahaan Terbuka.
(4) Direksi wajib melakukan pengumuman RUPS kepada
pemegang saham dalam jangka waktu paling lambat
15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal
permintaan penyelenggaraan RUPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterima Direksi.
(5) Dalam hal Direksi tidak melakukan pengumuman
RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
pemegang saham dapat mengajukan kembali
permintaan penyelenggaraan RUPS kepada Dewan
Komisaris.
(6) Dewan Komisaris wajib melakukan pengumuman
RUPS kepada pemegang saham dalam jangka waktu
paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak
tanggal
permintaan penyelenggaraan RUPS
sebagaimana…
-5-
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterima Dewan
Komisaris.
Pasal 4
(1) Dalam hal Direksi atau Dewan Komisaris tidak
melakukan pengumuman RUPS dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) dan
ayat (6), Direksi atau Dewan Komisaris wajib
mengumumkan:
a. terdapat permintaan penyelenggaraan RUPS dari
pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1); dan
b. alasan tidak diselenggarakannya RUPS.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 15
(lima belas) hari sejak diterimanya permintaan
penyelenggaraan RUPS dari pemegang saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) dan
ayat (6).
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bagi Perusahaan Terbuka yang sahamnya tercatat
pada Bursa Efek paling kurang melalui:
a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa
Indonesia yang berperedaran nasional;
b. situs web Bursa Efek; dan
c.
situs web Perusahaan Terbuka, dalam Bahasa
Indonesia dan bahasa asing, dengan ketentuan
bahasa asing yang digunakan paling kurang
bahasa Inggris.
(4) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bagi Perusahaan Terbuka yang sahamnya tidak
tercatat pada Bursa Efek paling kurang melalui:
a. 1 (satu)…
-6-
a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa
Indonesia yang berperedaran nasional; dan
b.
situs web Perusahaan Terbuka, dalam Bahasa
Indonesia dan bahasa asing, dengan ketentuan
bahasa asing yang digunakan paling kurang
bahasa Inggris.
(5) Pengumuman yang menggunakan bahasa asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan
ayat (4) huruf b wajib memuat informasi yang sama
dengan informasi dalam pengumuman yang
menggunakan Bahasa Indonesia.
(6) Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran informasi
yang diumumkan dalam bahasa asing dengan yang
diumumkan dengan Bahasa Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), informasi yang digunakan
sebagai acuan adalah informasi dalam Bahasa
Indonesia.
(7)
Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf a dan ayat (4) huruf a beserta salinan
surat
permintaan
penyelenggaraan RUPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 2 (dua) hari kerja setelah pengumuman.
Pasal 5
(1) Dalam hal Dewan Komisaris tidak melakukan
pengumuman RUPS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (6), pemegang saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dapat mengajukan
permintaan diselenggarakannya RUPS kepada ketua
pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi
tempat kedudukan Perusahaan Terbuka untuk
menetapkan pemberian izin diselenggarakannya
RUPS.
(2) Pemegang…
-7-
(2) Pemegang saham yang telah memperoleh penetapan
pengadilan untuk menyelenggarakan RUPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. melakukan pengumuman, pemanggilan akan
diselenggarakan RUPS, pengumuman ringkasan
risalah RUPS, atas RUPS yang diselenggarakan
sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini.
b. melakukan pemberitahuan akan diselenggarakan
RUPS dan menyampaikan bukti pengumuman,
bukti pemanggilan, risalah RUPS, dan bukti
pengumuman ringkasan risalah RUPS atas RUPS
yang diselenggarakan kepada Otoritas Jasa
Keuangan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
c. melampirkan dokumen yang memuat nama
pemegang saham serta jumlah kepemilikan
sahamnya pada Perusahaan Terbuka yang telah
memperoleh penetapan pengadilan untuk
menyelenggarakan RUPS dan
penetapan
pengadilan dalam pemberitahuan sebagaimana
dimaksud pada huruf b kepada Otoritas Jasa
Keuangan terkait akan diselenggarakan RUPS
tersebut.
Pasal 6
Pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) wajib tidak mengalihkan kepemilikan sahamnya
dalam jangka waktu paling sedikit 6 (enam) bulan sejak
RUPS jika permintaan penyelenggaraan RUPS dipenuhi
oleh Direksi atau Dewan Komisaris atau ditetapkan oleh
pengadilan.
Bagian…
-8-
Bagian Kedua
Tempat dan Waktu Penyelenggaraan RUPS
Pasal 7
(1) RUPS wajib diselenggarakan di wilayah Negara
Republik Indonesia.
(2) Perusahaan Terbuka wajib menentukan tempat dan
waktu penyelenggaraan RUPS.
(3) Tempat penyelenggaraan RUPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan di:
a. tempat kedudukan Perusahaan Terbuka;
b. tempat Perusahaan Terbuka melakukan
kegiatan usaha utamanya;
c.
ibukota provinsi dimana tempat kedudukan
atau tempat kegiatan usaha utama Perusahaan
Terbuka; atau
d.
provinsi tempat kedudukan Bursa Efek dimana
saham Perusahaan Terbuka dicatatkan.
Bagian Ketiga
Pemberitahuan RUPS
Pasal 8
(1) Perusahaan Terbuka wajib terlebih dahulu
menyampaikan pemberitahuan mata acara rapat
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 5
(lima) hari kerja sebelum pengumuman RUPS,
dengan tidak memperhitungkan tanggal
pengumuman RUPS.
(2) Mata acara rapat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib diungkapkan secara jelas dan rinci.
(3) Dalam hal terdapat perubahan mata acara rapat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan
Terbuka wajib menyampaikan perubahan mata acara
dimaksud…
-9-
dimaksud kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat pada saat pemanggilan RUPS.
Pasal 9
Ketentuan Pasal 8 mutatis mutandis berlaku untuk
pemberitahuan penyelenggaraan RUPS oleh pemegang
saham yang telah memperoleh penetapan pengadilan
untuk menyelenggarakan RUPS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2).
Bagian Keempat
Pengumuman RUPS
Pasal 10
(1) Perusahaan Terbuka wajib melakukan pengumuman
RUPS kepada pemegang saham paling lambat 14
(empat belas) hari sebelum pemanggilan RUPS,
dengan tidak memperhitungkan tanggal
pengumuman dan tanggal pemanggilan.
(2) Pengumuman RUPS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling kurang memuat:
a.
ketentuan pemegang saham yang berhak hadir
dalam RUPS;
b.
c.
ketentuan pemegang saham yang berhak
mengusulkan mata acara rapat;
tanggal penyelenggaraan RUPS; dan
d. tanggal pemanggilan RUPS.
(3) Dalam hal RUPS diselenggarakan atas permintaan
pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, selain memuat hal yang disebut pada ayat
(2), pengumuman RUPS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memuat informasi bahwa Perusahaan
Terbuka menyelenggarakan RUPS karena adanya
permintaan dari pemegang saham.
(4) Pengumuman…
-10-
(4) Pengumuman RUPS kepada pemegang saham
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi
Perusahaan Terbuka yang sahamnya tercatat pada
Bursa Efek paling kurang melalui:
a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia
yang berperedaran nasional;
b. situs web Bursa Efek; dan
c.
situs web Perusahaan Terbuka, dalam Bahasa
Indonesia dan bahasa asing, dengan ketentuan
bahasa asing yang digunakan paling kurang
bahasa Inggris.
(5) Pengumuman RUPS kepada pemegang saham
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi
Perusahaan Terbuka yang sahamnya tidak tercatat
pada Bursa Efek paling kurang melalui:
a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa
Indonesia yang berperedaran nasional; dan
b.
situs web Perusahaan Terbuka, dalam Bahasa
Indonesia dan bahasa asing, dengan ketentuan
bahasa asing yang digunakan paling kurang
bahasa Inggris.
(6) Pengumuman RUPS yang menggunakan bahasa
asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c
dan ayat (5) huruf b wajib memuat informasi yang
sama dengan informasi dalam pengumuman RUPS
yang menggunakan Bahasa Indonesia.
(7) Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran informasi
yang diumumkan dalam bahasa asing dengan yang
diumumkan dengan Bahasa Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (6), informasi yang digunakan
sebagai acuan adalah informasi dalam Bahasa
Indonesia.
(8) Bukti pengumuman RUPS sebagaimana dimaksud
pada…
-11-
pada ayat (4) huruf a dan ayat (5) huruf a wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 2 (dua) hari kerja setelah pengumuman
RUPS.
(9) Dalam hal RUPS diselenggarakan atas permintaan
pemegang saham, penyampaian bukti pengumuman
RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (8) juga
disertai dengan
salinan surat
penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2).
Pasal 11
Ketentuan Pasal 10 mutatis mutandis berlaku untuk
pengumuman penyelenggaraan RUPS oleh pemegang
saham yang telah memperoleh penetapan pengadilan
untuk menyelenggarakan RUPS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2).
Pasal 12
(1) Pemegang saham dapat mengusulkan mata acara
rapat secara tertulis kepada Direksi paling lambat 7
(tujuh) hari sebelum pemanggilan RUPS.
(2) Pemegang saham yang dapat mengusulkan mata
acara rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang
mewakili 1/20 (satu per dua puluh) atau lebih dari
jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali
anggaran dasar Perusahaan Terbuka menentukan
suatu jumlah yang lebih kecil.
(3) Usulan mata acara rapat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus:
a. dilakukan dengan itikad baik;
b. mempertimbangkan kepentingan Perusahaan
Terbuka;
c. menyertakan alasan dan bahan usulan mata
acara rapat; dan
d. tidak…
permintaan
-12-
d. tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
(4) Usulan mata acara rapat dari pemegang saham
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
mata acara yang membutuhkan keputusan RUPS.
(5) Perusahaan Terbuka wajib mencantumkan usulan
mata acara rapat dari pemegang saham sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4)
dalam mata acara rapat yang dimuat dalam
pemanggilan.
Bagian Kelima
Pemanggilan RUPS
Pasal 13
(1) Perusahaan Terbuka wajib melakukan pemanggilan
kepada pemegang saham paling lambat 21 (dua
puluh satu) hari sebelum RUPS, dengan tidak
memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal
RUPS.
(2) Pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling kurang memuat informasi:
a. tanggal penyelenggaraan RUPS;
b. waktu penyelenggaraan RUPS;
c.
tempat penyelenggaraan RUPS;
d.
ketentuan pemegang saham yang berhak hadir
dalam RUPS;
e. mata acara rapat termasuk penjelasan atas
setiap mata acara tersebut; dan
f.
informasi yang menyatakan bahan terkait mata
acara rapat tersedia bagi pemegang saham
sejak tanggal dilakukannya pemanggilan RUPS
sampai dengan RUPS diselenggarakan.
(3) Pemanggilan…
-13-
(3) Pemanggilan RUPS kepada pemegang saham
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi
Perusahaan Terbuka yang sahamnya tercatat pada
Bursa Efek paling kurang melalui:
a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa
Indonesia yang berperedaran nasional;
b. situs web Bursa Efek; dan
c.
situs web Perusahaan Terbuka, dalam Bahasa
Indonesia dan bahasa asing, dengan ketentuan
bahasa asing yang digunakan paling kurang
bahasa Inggris.
(4) Pemanggilan RUPS kepada pemegang saham
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi
Perusahaan Terbuka yang tidak tercatat pada Bursa
Efek paling kurang melalui:
a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa
Indonesia yang berperedaran nasional; dan
b.
situs web Perusahaan Terbuka, dalam Bahasa
Indonesia dan bahasa asing, dengan ketentuan
bahasa asing yang digunakan paling kurang
bahasa Inggris.
(5) Pemanggilan RUPS yang menggunakan bahasa asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan
ayat (4) huruf b wajib memuat informasi yang sama
dengan informasi dalam pemanggilan RUPS yang
menggunakan Bahasa Indonesia.
(6) Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran informasi
pada pemanggilan dalam bahasa asing dengan
informasi pada pemanggilan dalam Bahasa Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), informasi yang
digunakan sebagai acuan adalah informasi dalam
Bahasa Indonesia.
(7) Bukti pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud
pada…
-14-
pada ayat (3) huruf a dan ayat (4) huruf a wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 2 (dua) hari kerja setelah pemanggilan RUPS.
Pasal 14
Ketentuan Pasal 13 mutatis mutandis berlaku untuk
pemanggilan penyelenggaraan RUPS oleh pemegang
saham yang telah memperoleh penetapan pengadilan
untuk menyelenggarakan RUPS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2).
Pasal 15
(1) Perusahaan Terbuka wajib menyediakan bahan mata
acara rapat bagi pemegang saham.
(2) Bahan mata acara rapat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib tersedia sejak tanggal
dilakukannya pemanggilan RUPS sampai dengan
penyelenggaraan RUPS.
(3) Dalam hal ketentuan peraturan perundang-
undangan lain mengatur kewajiban ketersediaan
bahan mata acara rapat lebih awal dari ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyediaan
bahan mata acara rapat dimaksud mengikuti
ketentuan peraturan perundang-undangan lain
tersebut.
(4) Bahan mata acara rapat yang tersedia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat berupa salinan
dokumen fisik dan/atau salinan dokumen elektronik.
(5) Salinan dokumen fisik sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) diberikan secara cuma-cuma di kantor
Perusahaan Terbuka jika diminta secara tertulis oleh
pemegang saham.
(6) Salinan dokumen elektronik sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dapat diakses atau diunduh melalui
situs web Perusahaan Terbuka.
(7) Dalam…
-15-
(7) Dalam hal mata acara rapat mengenai pengangkatan
anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris,
daftar riwayat hidup calon anggota Direksi dan/atau
anggota Dewan Komisaris yang akan diangkat wajib
tersedia:
a.
di situs web Perusahaan Terbuka paling kurang
sejak saat pemanggilan sampai dengan
penyelenggaraan RUPS; atau
b. pada waktu lain selain waktu sebagaimana
dimaksud pada huruf a namun paling lambat
pada saat penyelenggaraan RUPS, sepanjang
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 16
(1) Perusahaan Terbuka wajib melakukan ralat
pemanggilan RUPS jika terdapat perubahan
informasi dalam pemanggilan RUPS yang telah
dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (2).
(2) Dalam hal ralat pemanggilan RUPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memuat informasi atas
perubahan tanggal penyelenggaraan RUPS dan/atau
penambahan mata acara RUPS, Perusahaan Terbuka
wajib melakukan pemanggilan ulang RUPS dengan
tata cara pemanggilan sebagaimana diatur dalam
Pasal 13.
(3) Ketentuan kewajiban melakukan pemanggilan ulang
RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
berlaku apabila ralat pemanggilan RUPS mengenai
perubahan atas tanggal penyelenggaraan RUPS
dan/atau penambahan mata acara RUPS dilakukan
bukan karena kesalahan Perusahaan Terbuka.
(4) Bukti ralat pemanggilan bukan merupakan
kesalahan Perusahaan Terbuka sebagaimana
dimaksud…
-16-
dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Otoritas
Jasa Keuangan pada hari yang sama saat dilakukan
ralat pemanggilan.
(5) Ketentuan media dan penyampaian bukti
pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (3), ayat (4), dan ayat (7) mutatis
mutandis berlaku untuk media ralat pemanggilan
RUPS dan penyampaian bukti ralat pemanggilan
RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 17
(1) Pemanggilan RUPS kedua dilakukan dengan
ketentuan:
a.
Pemanggilan RUPS kedua dilakukan dalam
jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari
sebelum RUPS kedua dilangsungkan.
b. Dalam pemanggilan RUPS kedua harus
menyebutkan RUPS pertama telah
dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum
kehadiran.
c. RUPS kedua dilangsungkan dalam jangka
waktu paling cepat 10 (sepuluh) hari dan paling
lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah RUPS
pertama dilangsungkan.
(2) Ketentuan media pemanggilan dan ralat pemanggilan
RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3)
sampai dengan ayat (7) dan Pasal 16 mutatis
mutandis berlaku untuk pemanggilan RUPS kedua.
Pasal 18
Pemanggilan RUPS ketiga dilakukan dengan ketentuan:
1. Pemanggilan RUPS ketiga atas permohonan
Perusahaan Terbuka ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
2. Dalam…
-17-
2. Dalam pemanggilan RUPS ketiga menyebutkan RUPS
kedua telah dilangsungkan dan tidak mencapai
kuorum kehadiran.
Bagian Keenam
Hak Pemegang Saham dan Kehadiran Pihak Lain Dalam RUPS
Paragraf 1
Hak Pemegang Saham
Pasal 19
(1) Pemegang saham baik sendiri maupun diwakili
berdasarkan surat kuasa berhak menghadiri RUPS.
(2) Pemegang saham yang berhak hadir dalam RUPS
adalah pemegang saham yang namanya tercatat
dalam daftar pemegang saham Perusahaan Terbuka
1 (satu) hari kerja sebelum pemanggilan RUPS.
(3) Dalam hal terjadi ralat pemanggilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), pemegang saham
yang berhak hadir dalam RUPS adalah pemegang
saham yang namanya tercatat dalam daftar
pemegang saham Perusahaan Terbuka 1 (satu) hari
kerja sebelum ralat pemanggilan RUPS.
Pasal 20
Pada saat pelaksanaan RUPS, pemegang saham berhak
memperoleh informasi mata acara rapat dan bahan terkait
mata acara rapat sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan Perusahaan Terbuka.
Paragraf 2
Kehadiran Pihak Lain Dalam RUPS
Pasal 21
Pada saat pelaksanaan RUPS, Perusahaan Terbuka dapat
mengundang pihak lain yang terkait dengan mata acara
RUPS.
Bagian…
-18-
Bagian Ketujuh
Pimpinan RUPS
Pasal 22
(1) RUPS dipimpin oleh anggota Dewan Komisaris yang
ditunjuk oleh Dewan Komisaris.
(2) Dalam hal semua anggota Dewan Komisaris tidak
hadir atau berhalangan hadir, RUPS dipimpin oleh
salah seorang anggota Direksi yang ditunjuk oleh
Direksi.
(3) Dalam hal semua anggota Dewan Komisaris atau
anggota Direksi tidak hadir atau berhalangan hadir
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
RUPS dipimpin oleh pemegang saham yang hadir
dalam RUPS yang ditunjuk dari dan oleh peserta
RUPS.
Pasal 23
(1) Dalam hal anggota Dewan Komisaris yang ditunjuk
oleh Dewan Komisaris untuk memimpin RUPS
mempunyai benturan kepentingan dengan mata
acara yang akan diputuskan dalam RUPS, RUPS
dipimpin oleh anggota Dewan Komisaris lainnya yang
tidak mempunyai benturan kepentingan yang
ditunjuk oleh Dewan Komisaris.
(2) Dalam hal semua anggota Dewan Komisaris
mempunyai benturan kepentingan, RUPS dipimpin
oleh salah satu anggota Direksi yang ditunjuk oleh
Direksi.
(3) Dalam hal salah satu anggota Direksi yang ditunjuk
oleh Direksi untuk memimpin RUPS mempunyai
benturan kepentingan atas mata acara yang akan
diputuskan dalam RUPS, RUPS dipimpin oleh
anggota Direksi yang tidak mempunyai benturan
kepentingan.
(4) Dalam…
-19-
(4) Dalam hal semua anggota Direksi mempunyai
benturan kepentingan, RUPS dipimpin oleh salah
seorang pemegang saham bukan pengendali yang
dipilih oleh mayoritas pemegang saham lainnya yang
hadir dalam RUPS.
Bagian Kedelapan
Tata Tertib RUPS
Pasal 24
(1) Pada saat pelaksanaan RUPS, tata tertib RUPS harus
diberikan kepada pemegang saham yang hadir.
(2) Pokok-pokok tata tertib RUPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dibacakan sebelum
RUPS dimulai.
(3) Pada saat pembukaan RUPS, pimpinan RUPS wajib
memberikan penjelasan kepada pemegang saham
paling kurang mengenai:
a.
kondisi umum Perusahaan Terbuka secara
singkat;
b. mata acara rapat;
c. mekanisme pengambilan keputusan terkait
mata acara rapat; dan
d.
tata cara penggunaan hak pemegang saham
untuk mengajukan pertanyaan dan/atau
pendapat.
Bagian Kesembilan
Keputusan, Kuorum Kehadiran, dan Kuorum Keputusan RUPS
Paragraf 1
Keputusan RUPS
Pasal 25
(1) Keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah
untuk mufakat.
(2) Dalam…
-20-
(2) Dalam hal keputusan berdasarkan musyawarah
untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak tercapai, keputusan diambil melalui
pemungutan suara.
(3) Pengambilan keputusan melalui pemungutan suara
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan
dengan memperhatikan ketentuan kuorum
kehadiran dan kuorum keputusan RUPS.
Paragraf 2
Kuorum Kehadiran dan Kuorum Keputusan
Pasal 26
(1) Kuorum kehadiran dan kuorum keputusan RUPS
untuk mata acara yang harus diputuskan dalam
RUPS dilakukan dengan mengikuti ketentuan:
a. RUPS dapat dilangsungkan jika dalam RUPS
lebih dari 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara hadir atau
diwakili, kecuali Undang-Undang dan/atau
anggaran dasar
Perusahaan Terbuka
menentukan jumlah kuorum yang lebih besar.
b. Dalam hal kuorum sebagaimana dimaksud
pada huruf a tidak tercapai, RUPS kedua dapat
diadakan dengan ketentuan RUPS kedua sah
dan berhak mengambil keputusan jika dalam
RUPS paling sedikit 1/3 (satu per tiga) bagian
dari jumlah seluruh saham dengan hak suara
hadir atau diwakili, kecuali anggaran dasar
Perusahaan Terbuka menentukan jumlah
kuorum yang lebih besar.
c. Keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan huruf b adalah sah jika disetujui
oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) bagian dari
seluruh saham dengan hak suara yang hadir
dalam…
-21-
dalam RUPS, kecuali Undang-Undang dan/atau
anggaran dasar
Perusahaan Terbuka
menentukan bahwa keputusan adalah sah jika
disetujui oleh jumlah suara setuju yang lebih
besar.
(2) Dalam hal kuorum kehadiran pada RUPS kedua
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak
tercapai, RUPS ketiga dapat diadakan dengan
ketentuan RUPS ketiga sah dan berhak mengambil
keputusan jika dihadiri oleh pemegang saham dari
saham dengan hak suara yang sah dalam kuorum
kehadiran dan kuorum keputusan yang ditetapkan
oleh Otoritas Jasa Keuangan atas permohonan
Perusahaan Terbuka.
Pasal 27
Kuorum kehadiran dan kuorum keputusan RUPS untuk
mata acara perubahan anggaran dasar Perusahaan
Terbuka yang memerlukan persetujuan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia, kecuali perubahan anggaran
dasar Perusahaan Terbuka dalam rangka memperpanjang
jangka waktu berdirinya Perusahaan Terbuka dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. RUPS dapat dilangsungkan jika RUPS dihadiri oleh
pemegang saham yang mewakili paling kurang 2/3
(dua per tiga) bagian dari jumlah seluruh saham
dengan hak suara yang sah.
b. Keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada huruf
a adalah sah jika disetujui oleh lebih dari 2/3 (dua
per tiga) bagian dari seluruh saham dengan hak
suara yang hadir dalam RUPS.
c. Dalam hal kuorum sebagaimana dimaksud pada
huruf a tidak tercapai, RUPS kedua dapat diadakan
dengan ketentuan RUPS kedua sah dan berhak
mengambil keputusan jika dalam RUPS dihadiri oleh
pemegang…
-22-
pemegang saham yang mewakili paling sedikit 3/5
(tiga per lima) bagian dari jumlah seluruh saham
dengan hak suara yang sah.
d. Keputusan RUPS kedua adalah sah jika disetujui
oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) bagian dari seluruh
saham dengan hak suara yang hadir dalam RUPS.
e. Dalam hal kuorum kehadiran pada RUPS kedua
sebagaimana dimaksud huruf c tidak tercapai, RUPS
ketiga dapat diadakan dengan ketentuan RUPS
ketiga sah dan berhak mengambil keputusan jika
dihadiri oleh pemegang saham dari saham dengan
hak suara yang sah dalam kuorum kehadiran dan
kuorum keputusan yang ditetapkan oleh Otoritas
Jasa Keuangan atas permohonan Perusahaan
Terbuka.
Pasal 28
Kuorum kehadiran dan kuorum keputusan RUPS untuk
mata acara mengalihkan kekayaan Perusahaan Terbuka
yang merupakan lebih dari 50% (lima puluh persen)
jumlah kekayaan bersih Perusahaan Terbuka dalam 1
(satu) transaksi atau lebih baik yang berkaitan satu sama
lain maupun tidak, menjadikan jaminan utang kekayaan
Perusahaan Terbuka yang merupakan lebih dari 50% (lima
puluh persen) jumlah kekayaan bersih Perusahaan
Terbuka dalam 1 (satu) transaksi atau lebih baik yang
berkaitan satu sama lain maupun tidak, penggabungan,
peleburan, pengambilalihan, pemisahan, pengajuan
permohonan agar Perusahaan Terbuka dinyatakan pailit,
perpanjangan jangka waktu berdirinya Perusahaan
Terbuka, dan pembubaran Perusahaan Terbuka,
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. RUPS dapat dilangsungkan jika RUPS dihadiri oleh
pemegang saham yang mewakili paling kurang 3/4
(tiga per empat) bagian dari jumlah seluruh saham
dengan hak suara yang sah.
b. Keputusan…
-23-
b. Keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada huruf
a adalah sah jika disetujui oleh lebih dari 3/4 (tiga per
empat) bagian dari seluruh saham dengan hak suara
yang hadir dalam RUPS.
c. Dalam hal kuorum sebagaimana dimaksud pada
huruf a tidak tercapai, RUPS kedua dapat diadakan
dengan ketentuan RUPS kedua sah dan berhak
mengambil keputusan jika RUPS dihadiri oleh
pemegang saham yang mewakili paling kurang 2/3
(dua per tiga) bagian dari jumlah seluruh saham
dengan hak suara yang sah.
d. Keputusan RUPS kedua adalah sah jika disetujui oleh
lebih dari 3/4 (tiga per empat) bagian dari seluruh
saham dengan hak suara yang hadir dalam RUPS.
e. Dalam hal kuorum kehadiran pada RUPS kedua
sebagaimana dimaksud huruf c tidak tercapai, RUPS
ketiga dapat diadakan dengan ketentuan RUPS ketiga
sah dan berhak mengambil keputusan jika dihadiri
oleh pemegang saham dari saham dengan hak suara
yang sah dalam kuorum kehadiran dan kuorum
keputusan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan atas permohonan Perusahaan Terbuka.
Pasal 29
Kuorum kehadiran dan kuorum keputusan RUPS untuk
mata acara transaksi yang mempunyai benturan
kepentingan, dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. RUPS dapat dilangsungkan jika RUPS dihadiri oleh
Pemegang Saham Independen yang mewakili lebih
dari 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah seluruh
saham dengan hak suara yang sah yang dimiliki oleh
Pemegang Saham Independen.
b. Keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada
huruf…
-24-
huruf a adalah sah jika disetujui oleh Pemegang
Saham Independen yang mewakili lebih dari 1/2
(satu per dua) bagian dari jumlah seluruh saham
dengan hak suara yang sah yang dimiliki oleh
Pemegang Saham Independen.
c. Dalam hal kuorum sebagaimana dimaksud pada
huruf a tidak tercapai, RUPS kedua dapat diadakan
dengan ketentuan RUPS kedua sah dan berhak
mengambil keputusan jika dalam RUPS dihadiri oleh
Pemegang Saham Independen yang mewakili lebih
dari 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah seluruh
saham dengan hak suara yang sah yang dimiliki oleh
Pemegang Saham Independen.
d. Keputusan RUPS kedua adalah sah jika disetujui oleh
lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah
saham yang dimiliki oleh Pemegang Saham
Independen yang hadir dalam RUPS.
e. Dalam hal kuorum kehadiran pada RUPS kedua
sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak tercapai,
RUPS ketiga dapat diadakan dengan ketentuan RUPS
ketiga sah dan berhak mengambil keputusan jika
dihadiri oleh Pemegang Saham Independen dari
saham dengan hak suara yang sah, dalam kuorum
kehadiran yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan atas permohonan Perusahaan Terbuka.
f. Keputusan RUPS ketiga adalah sah jika disetujui oleh
Pemegang Saham Independen yang mewakili lebih
dari 50% (lima puluh persen) saham yang dimiliki
oleh Pemegang Saham Independen yang hadir.
g. Pemegang saham yang mempunyai benturan
kepentingan dianggap telah memberikan keputusan
yang sama dengan keputusan yang disetujui oleh
Pemegang Saham Independen yang tidak mempunyai
benturan kepentingan.
Pasal 30…
-25-
Pasal 30
Pemegang saham dari saham dengan hak suara yang sah
yang hadir dalam RUPS namun abstain (tidak
memberikan suara) dianggap mengeluarkan suara yang
sama dengan suara mayoritas pemegang saham yang
mengeluarkan suara.
Pasal 31
(1) Dalam pemungutan suara, suara yang dikeluarkan
oleh pemegang saham berlaku untuk seluruh saham
yang dimilikinya dan pemegang saham tidak berhak
memberikan kuasa kepada lebih dari seorang kuasa
untuk sebagian dari jumlah saham yang dimilikinya
dengan suara yang berbeda.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan bagi:
a. Bank Kustodian atau Perusahaan Efek sebagai
Kustodian yang mewakili nasabah-nasabahnya
pemilik saham Perusahaan Terbuka.
b. Manajer Investasi yang mewakili kepentingan
Reksa Dana yang dikelolanya.
Bagian Kesepuluh
Risalah RUPS dan Ringkasan Risalah RUPS
Pasal 32
(1) Perusahaan Terbuka wajib membuat risalah RUPS
dan ringkasan risalah RUPS.
(2) Risalah RUPS wajib dibuat dan ditandatangani oleh
pimpinan rapat dan paling sedikit 1 (satu) orang
pemegang saham yang ditunjuk dari dan oleh peserta
RUPS.
(3) Tanda tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak disyaratkan apabila risalah RUPS tersebut
dibuat dalam bentuk akta berita acara RUPS yang
dibuat oleh notaris.
Pasal 33…
-26-
Pasal 33
(1) Risalah RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 ayat (1) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah
RUPS diselenggarakan.
(2) Dalam hal waktu penyampaian risalah RUPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari
libur, risalah RUPS tersebut wajib disampaikan
paling lambat pada hari kerja berikutnya.
Pasal 34
(1) Ringkasan risalah RUPS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (1) wajib memuat informasi
paling kurang:
a.
tanggal RUPS, tempat pelaksanaan RUPS,
waktu pelaksanaan RUPS, dan mata acara
RUPS;
b.
c.
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris
yang hadir pada saat RUPS;
jumlah saham dengan hak suara yang sah yang
hadir pada saat RUPS dan persentasenya dari
jumlah seluruh saham yang mempunyai hak
suara yang sah;
d. ada tidaknya pemberian kesempatan kepada
pemegang saham untuk mengajukan
pertanyaan dan/atau memberikan pendapat
terkait mata acara rapat;
e.
jumlah pemegang saham yang mengajukan
pertanyaan dan/atau memberikan pendapat
terkait mata acara rapat, jika pemegang saham
diberi kesempatan;
f.
g.
mekanisme pengambilan keputusan RUPS;
hasil pemungutan suara yang meliputi jumlah
suara setuju, tidak setuju, dan abstain (tidak
memberikan…
-27-
memberikan suara) untuk setiap mata acara
rapat, jika pengambilan keputusan dilakukan
dengan pemungutan suara;
h. keputusan RUPS; dan
i.
pelaksanaan pembayaran dividen tunai kepada
pemegang saham yang berhak, jika terdapat
keputusan RUPS terkait dengan pembagian
dividen tunai.
(2) Ringkasan risalah RUPS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bagi Perusahaan Terbuka yang
sahamnya tercatat pada Bursa Efek wajib
diumumkan kepada masyarakat paling kurang
melalui:
a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa
Indonesia berperedaran nasional;
b. situs web Bursa Efek; dan
c.
situs web Perusahaan Terbuka, dalam Bahasa
Indonesia dan bahasa asing, dengan ketentuan
bahasa asing yang digunakan paling kurang
bahasa Inggris.
(3) Ringkasan risalah RUPS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bagi Perusahaan Terbuka yang
sahamnya tidak tercatat pada Bursa Efek, wajib
diumumkan kepada masyarakat paling kurang
melalui:
a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa
Indonesia yang berperedaran nasional; dan
b.
situs web Perusahaan Terbuka, dalam Bahasa
Indonesia dan bahasa asing, dengan ketentuan
bahasa asing yang digunakan paling kurang
bahasa Inggris.
(4) Ringkasan risalah RUPS yang menggunakan bahasa
asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
dan ayat (3) huruf b wajib memuat informasi yang
sama…
-28-
sama dengan informasi dalam ringkasan risalah
RUPS yang menggunakan Bahasa Indonesia.
(5) Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran informasi
pada ringkasan risalah RUPS dalam bahasa asing
dengan informasi pada ringkasan risalah RUPS
dalam Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), informasi yang digunakan sebagai
acuan adalah Bahasa Indonesia.
(6) Pengumuman ringkasan risalah RUPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) wajib
diumumkan kepada masyarakat paling lambat 2
(dua) hari kerja setelah RUPS diselenggarakan.
(7) Bukti pengumuman ringkasan risalah RUPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan
ayat (3) huruf a wajib disampaikan kepada Otoritas
Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja
setelah diumumkan.
Pasal 35
Ketentuan Pasal 33 dan Pasal 34 ayat (2), ayat (3), ayat (6),
dan ayat (7) mutatis mutandis berlaku untuk:
a. penyampaian kepada Otoritas Jasa Keuangan atas
risalah RUPS dan ringkasan risalah RUPS yang
diumumkan; dan
b. pengumuman ringkasan risalah RUPS,
dari penyelenggaraan RUPS oleh pemegang saham yang
telah memperoleh penetapan pengadilan untuk
menyelenggarakan RUPS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2).
BAB III
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 36
Dalam hal terdapat keputusan RUPS terkait dengan
pembagian dividen tunai, Perusahaan Terbuka wajib
melaksanakan…
-29-
melaksanakan pembayaran dividen tunai kepada
pemegang saham yang berhak paling lambat 30 (tiga
puluh) hari setelah diumumkannya ringkasan risalah
RUPS yang memutuskan pembagian dividen tunai.
BAB IV
KETENTUAN SANKSI
Pasal 37
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di
bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan
berwenang mengenakan sanksi
administratif
terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya
pelanggaran tersebut, berupa:
a.
peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar
sejumlah uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e.
pencabutan izin usaha;
f.
g.
pembatalan persetujuan; dan
pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f,
atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa
didahului pengenaan sanksi administratif berupa
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan
secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan
pengenaan sanksi
administratif sebagaimana
dimaksud…
-30-
dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e,
huruf f, atau huruf g.
Pasal 38
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat
melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang
melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini.
Pasal 39
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
37 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 kepada masyarakat.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 40
Perusahaan Terbuka dalam waktu 1 (satu) tahun setelah
diundangkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
wajib mengubah anggaran dasarnya sesuai dengan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-60/PM/1996
tanggal 17 Januari 1996 tentang Rencana dan
Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham beserta
Peraturan Nomor IX.I.1 yang merupakan lampirannya
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 42
Ketentuan peraturan perundang-undangan lain terkait
RUPS…
-31-
RUPS tetap berlaku bagi Perusahaan Terbuka sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 43
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Desember 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 8 Desember 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 374
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum,
Ttd.
Tini Kustini
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 32/POJK.04/2014 </reg_id>
<reg_title> RENCANA DAN PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA </reg_title>
<set_date> 8 Desember 2014 </set_date>
<effective_date> 8 Desember 2014 </effective_date>
<issued_date> 8 Desember 2014 </issued_date>
<replaced_reg> 'KEP-60/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM-LK/1996', 'KEP-60/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM-LK/1996 | Lampiran Peraturan Nomor IX.I.1' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '40/UU/2007', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 17 /POJK.05/2017
TENTANG
PROSEDUR DAN TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF DI
BIDANG PERASURANSIAN DAN PEMBLOKIRAN KEKAYAAN PERUSAHAAN
ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN
REASURANSI, DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan kewenangan Otoritas Jasa
Keuangan dan melaksanakan ketentuan Pasal 71 ayat (4)
dan Pasal 72 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2014 tentang Perasuransian, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Prosedur dan Tata Cara
Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Perasuransian
dan Pemblokiran Kekayaan Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi,
dan Perusahaan Reasuransi Syariah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618);
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PROSEDUR DAN TATA CARA PENGENAAN SANKSI
ADMINISTRATIF DI BIDANG PERASURANSIAN DAN
PEMBLOKIRAN KEKAYAAN PERUSAHAAN ASURANSI,
PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN
REASURANSI, DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan
asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan
reasuransi, perusahaan reasuransi syariah,
perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang
reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian
asuransi.
2. Pialang Asuransi adalah orang yang bekerja pada
perusahaan pialang asuransi dan memenuhi
persyaratan untuk memberi rekomendasi atau
mewakili pemegang polis, tertanggung, atau peserta
dalam melakukan penutupan asuransi atau asuransi
syariah dan/atau penyelesaian klaim.
3. Pialang Reasuransi adalah orang yang bekerja pada
perusahaan pialang reasuransi dan memenuhi
persyaratan untuk memberi rekomendasi atau
mewakili perusahaan asuransi, perusahaan asuransi
syariah, perusahaan penjaminan, perusahaan
penjaminan syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah dalam melakukan
penutupan reasuransi atau reasuransi syariah
dan/atau penyelesaian klaim.
- 3 -
4. Agen Asuransi adalah orang yang bekerja sendiri atau
bekerja pada badan usaha, yang bertindak untuk dan
atas nama perusahaan asuransi atau perusahaan
asuransi syariah dan memenuhi persyaratan untuk
mewakili perusahaan asuransi atau perusahaan
asuransi syariah memasarkan produk asuransi atau
produk asuransi syariah.
5. Konsultan Aktuaria adalah aktuaris yang bekerja
pada kantor konsultan aktuaria dan memberikan jasa
bagi Perusahaan Perasuransian.
6. Akuntan Publik adalah akuntan publik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2011 tentang Akuntan Publik dan memberikan jasa
bagi Perusahaan Perasuransian.
7.
Penilai adalah seseorang yang dengan keahliannya
menjalankan kegiatan penilaian aset dan memberikan
jasa bagi Perusahaan Perasuransian.
8. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat
DPS adalah bagian dari organ perusahaan asuransi,
perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi,
dan perusahaan reasuransi syariah yang mempunyai
tugas dan fungsi pengawasan terhadap
penyelenggaraan kegiatan usaha perusahaan
asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan
reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah agar
sesuai dengan prinsip syariah.
9. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau
korporasi.
10. Kekayaan adalah kekayaan yang dimiliki dan/atau
dikuasai oleh perusahaan asuransi, perusahaan
asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan
perusahaan reasuransi syariah.
11. Pemblokiran adalah tindakan penghentian aktivitas
apapun yang antara lain berupa pengurangan nilai,
pengalihan, penukaran, penempatan, pembagian,
dan/atau pencairan atas sebagian atau seluruh
Kekayaan dalam jangka waktu tertentu.
- 4 -
BAB II
JENIS SANKSI ADMINISTRATIF
DI BIDANG PERASURANSIAN
Pasal 2
(1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan
sanksi administratif kepada Setiap Orang yang
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian dan peraturan pelaksanaannya.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian
atau seluruh kegiatan usaha;
c. larangan untuk memasarkan produk asuransi
atau produk asuransi syariah untuk lini usaha
tertentu;
d. pencabutan izin usaha;
e. pembatalan pernyataan pendaftaran bagi Pialang
Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen
Asuransi;
f. pembatalan pernyataan pendaftaran bagi
Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, Penilai,
atau pihak lain yang memberikan jasa bagi
Perusahaan Perasuransian;
g. pembatalan persetujuan bagi lembaga mediasi
atau asosiasi;
h. denda administratif; dan/atau
i.
larangan menjadi pemegang saham, pengendali,
direksi, dewan komisaris, DPS, atau menduduki
jabatan eksekutif di bawah direksi, atau yang
setara dengan jabatan eksekutif di bawah direksi
pada Perusahaan Perasuransian.
- 5 -
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dan disampaikan Otoritas Jasa
Keuangan secara tertulis.
BAB III
PROSEDUR DAN TATA CARA PENGENAAN
SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Kesatu
Prosedur dan Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif
bagi Perusahaan Perasuransian
Pasal 3
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) dikenakan kepada Perusahaan
Perasuransian secara bertahap yang diawali dengan
sanksi administratif berupa peringatan tertulis,
kecuali diatur berbeda.
(2) Pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut
atas setiap pelanggaran yaitu sanksi administratif
berupa peringatan tertulis pertama, peringatan
tertulis kedua, dan peringatan tertulis ketiga atau
terakhir.
(3) Sanksi administratif berupa peringatan tertulis
pertama dan peringatan tertulis kedua dapat
dikenakan sebagai sanksi administratif berupa
peringatan tertulis terakhir apabila Perusahaan
Perasuransian:
a. pernah melakukan pelanggaran yang sama
dalam 1 (satu) tahun terakhir sebelum tanggal
pengenaan sanksi administratif berupa
peringatan tertulis;
b. sedang dikenai sanksi administratif berupa
pembatasan kegiatan usaha karena pelanggaran
yang lain; dan/atau
- 6 -
c. berdasarkan pertimbangan Otoritas Jasa
Keuangan sanksi peringatan tertulis berikutnya
tidak diperlukan.
(4) Jangka waktu pemberlakuan sanksi administratif
berupa peringatan tertulis bagi Perusahaan
Perasuransian masing-masing paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak ditetapkannya sanksi administratif
tersebut.
(5) Jangka waktu pemberlakuan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat
diberlakukan lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari
dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai bahwa
jenis pelanggaran yang dilakukan tidak mungkin
dapat diatasi dalam jangka waktu tersebut, yaitu
menjadi:
a. paling lama 6 (enam) bulan, dalam hal:
1. perusahaan asuransi, perusahaan asuransi
syariah, perusahaan reasuransi, dan
perusahaan reasuransi syariah dikenai
sanksi administratif karena tidak
terpenuhinya ketentuan minimum tingkat
solvabilitas dan/atau ekuitas minimum;
atau
2. perusahaan pialang asuransi, perusahaan
pialang reasuransi, atau perusahaan penilai
kerugian asuransi
dikenai sanksi
administratif karena tidak terpenuhinya
ketentuan ekuitas minimum; atau
b. paling lama 3 (tiga) bulan, dalam hal penyebab
pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Pasal 4
(1) Perusahaan Perasuransian dikenai sanksi
administratif berupa pembatasan kegiatan usaha
apabila Perusahaan Perasuransian tidak dapat
mengatasi pelanggaran yang merupakan penyebab
selain
- 7 -
terbitnya sanksi peringatan tertulis terakhir sampai
dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (4) atau ayat (5).
(2) Sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dikenakan untuk sebagian atau seluruh kegiatan
usaha.
(3) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengenakan sanksi
pembatasan kegiatan usaha untuk sebagian atau
seluruh kegiatan usaha kepada Perusahaan
Perasuransian tanpa didahului pengenaan sanksi
administratif berupa peringatan tertulis dalam hal
kondisi kesehatan keuangan Perusahaan
Perasuransian memburuk dan/atau Perusahaan
Perasuransian dinilai membahayakan kepentingan
pemegang polis, tertanggung, atau peserta.
(4) Perusahaan Perasuransian yang sedang dikenai
sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan
usaha untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap dikenai
sanksi administratif berupa peringatan tertulis
apabila melakukan pelanggaran baru selain yang
telah menjadi dasar pengenaan sanksi pembatasan
kegiatan usaha untuk sebagian atau seluruh kegiatan
usaha.
(5) Jangka waktu pemberlakuan sanksi administratif
berupa pembatasan kegiatan usaha bagi Perusahaan
Perasuransian adalah:
a. paling lama 1 (satu) tahun untuk pembatasan
kegiatan usaha untuk sebagian kegiatan usaha;
atau
b. paling lama 3 (tiga) bulan untuk pembatasan
kegiatan usaha untuk seluruh kegiatan usaha,
sejak ditetapkannya sanksi administratif tersebut.
- 8 -
Pasal 5
(1) Perusahaan Perasuransian dikenai sanksi
administratif berupa pembatasan kegiatan usaha
untuk seluruh kegiatan usaha apabila Perusahaan
Perasuransian tidak dapat mengatasi pelanggaran
yang merupakan penyebab terbitnya
sanksi
administratif berupa pembatasan kegiatan usaha
untuk sebagian kegiatan usaha sampai dengan
jangka waktu yang ditentukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) huruf a.
(2) Dalam hal Perusahaan Perasuransian yang sedang
dikenai sanksi administratif berupa pembatasan
kegiatan untuk seluruh kegiatan usaha dikenai
sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan
usaha baru karena pelanggaran baru maka:
a. pelanggaran baru tersebut menjadi dasar
tambahan atas pengenaan sanksi administratif
berupa pembatasan kegiatan usaha untuk
seluruh kegiatan usaha; dan
b. jangka waktu pemberlakuan sanksi administratif
berupa pembatasan kegiatan usaha mengikuti
batas waktu pemberlakuan sanksi administratif
berupa pembatasan kegiatan usaha untuk
seluruh kegiatan usaha yang telah dikenakan
kepada Perusahaan Perasuransian sebelumnya.
(3) Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan kepada
masyarakat mengenai pengenaan sanksi administratif
berupa pembatasan kegiatan usaha melalui situs web
resmi Otoritas Jasa Keuangan dan/atau media cetak
berskala nasional.
Pasal 6
(1) Perusahaan Perasuransian dikenai sanksi
administratif berupa pencabutan izin usaha apabila
Perusahaan Perasuransian tidak dapat mengatasi
pelanggaran yang merupakan penyebab terbitnya
sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan
- 9 -
usaha untuk seluruh kegiatan usaha sampai dengan
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (5) huruf b.
(2) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengenakan sanksi
administratif berupa pencabutan izin usaha kepada
Perusahaan Perasuransian
tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif yang lain, dalam hal:
a. kondisi keuangan Perusahaan Perasuransian
memburuk secara drastis;
b. pemegang saham Perusahaan Perasuransian
tidak kooperatif;
c.
direksi, dewan komisaris, atau yang setara, atau
DPS pada Perusahaan Perasuransian tidak
memiliki jalan keluar untuk mengatasi
permasalahan yang membahayakan kepentingan
pemegang polis, tertanggung, atau peserta;
d. diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perasuransian; dan/atau
e. kondisi lain yang menurut penilaian Otoritas
Jasa Keuangan dapat membahayakan
kepentingan pemegang polis, tertanggung, atau
peserta.
(3) Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan kepada
masyarakat mengenai pengenaan sanksi administratif
berupa pencabutan izin usaha melalui situs web
resmi Otoritas Jasa Keuangan dan/atau media cetak
berskala nasional.
Pasal 7
(1) Perusahaan Perasuransian dapat dikenai sanksi
administratif berupa larangan untuk memasarkan
produk asuransi atau produk asuransi syariah untuk
lini usaha tertentu.
(2) Pengenaan sanksi
administratif
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap
Perusahaan Perasuransian yang sedang dikenai
sanksi administratif berupa peringatan tertulis.
- 10 -
(3) Jangka waktu pemberlakuan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah paling
lama 1 (satu) tahun sejak ditetapkannya sanksi
administratif tersebut.
(4) Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan kepada
masyarakat mengenai pengenaan sanksi administratif
berupa larangan untuk memasarkan produk asuransi
atau produk asuransi syariah untuk lini usaha
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui
situs web resmi Otoritas Jasa Keuangan dan/atau
media cetak berskala nasional.
Bagian Kedua
Prosedur dan Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif
bagi Konsultan Aktuaria, Penilai, Akuntan Publik, atau
Pihak Lain yang Merupakan Profesi Penyedia Jasa bagi
Perusahaan Perasuransian
Pasal 8
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) dikenakan kepada Konsultan
Aktuaria, Penilai, atau pihak lain yang merupakan
profesi penyedia jasa bagi Perusahaan Perasuransian
secara bertahap yang diawali dengan sanksi
administratif berupa peringatan tertulis, kecuali
diatur berbeda.
(2) Pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut
atas setiap pelanggaran yaitu sanksi administratif
berupa peringatan tertulis pertama, peringatan
tertulis kedua, dan peringatan tertulis ketiga atau
terakhir.
(3) Sanksi administratif berupa peringatan tertulis
pertama atau peringatan tertulis kedua dapat
dikenakan sebagai sanksi administratif berupa
peringatan tertulis terakhir apabila Konsultan
- 11 -
Aktuaria, Penilai, atau pihak lain yang merupakan
profesi penyedia jasa bagi Perusahaan Perasuransian:
a. pernah melakukan pelanggaran yang sama
dalam 1 (satu) tahun terakhir sebelum tanggal
pengenaan sanksi administratif berupa
peringatan tertulis;
b. sedang dikenai sanksi administratif berupa
sanksi pembatasan seluruh kegiatan usaha
karena pelanggaran yang lain; dan/atau
c. berdasarkan pertimbangan Otoritas Jasa
Keuangan sanksi
administratif berupa
peringatan tertulis berikutnya tidak diperlukan.
(4) Jangka waktu pemberlakuan sanksi administratif
berupa peringatan tertulis bagi Konsultan Aktuaria,
Penilai, atau pihak lain yang merupakan profesi
penyedia jasa bagi Perusahaan Perasuransian
masing-masing paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
ditetapkannya sanksi administratif tersebut.
Pasal 9
(1) Konsultan Aktuaria, Penilai, atau pihak lain yang
merupakan profesi penyedia jasa bagi Perusahaan
Perasuransian dikenai sanksi administratif berupa
pembatasan seluruh kegiatan usaha apabila yang
bersangkutan tidak dapat mengatasi pelanggaran
yang merupakan penyebab terbitnya sanksi
administratif berupa peringatan tertulis terakhir
sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (4).
(2) Jangka waktu pemberlakuan sanksi administratif
berupa pembatasan seluruh kegiatan usaha bagi
Konsultan Aktuaria, Penilai, atau pihak lain yang
merupakan profesi penyedia jasa bagi Perusahaan
Perasuransian adalah paling lama 1 (satu) tahun
sejak ditetapkan sanksi administratif tersebut.
(3) Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan kepada
masyarakat mengenai pengenaan sanksi administratif
- 12 -
berupa pembatasan kegiatan usaha melalui situs web
resmi Otoritas Jasa Keuangan dan/atau media cetak
berskala nasional.
Pasal 10
(1) Konsultan Aktuaria, Penilai, atau pihak lain yang
merupakan profesi penyedia jasa bagi Perusahaan
Perasuransian dikenai sanksi administratif berupa
pembatalan pernyataan pendaftaran apabila yang
bersangkutan tidak dapat mengatasi pelanggaran
yang merupakan penyebab terbitnya sanksi
administratif berupa pembatasan seluruh kegiatan
usaha sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
(2) Prosedur dan tata cara pengenaan sanksi
administratif bagi Akuntan Publik mengacu pada
peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
penggunaan jasa Akuntan Publik dan kantor Akuntan
Publik dalam kegiatan jasa keuangan.
(3) Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan kepada
masyarakat mengenai pengenaan sanksi administratif
berupa pembatalan pernyataan
pendaftaran
Konsultan Aktuaria, Penilai, atau pihak lain yang
merupakan profesi penyedia jasa bagi Perusahaan
Perasuransian melalui situs web resmi Otoritas Jasa
Keuangan dan/atau media cetak berskala nasional.
Bagian Ketiga
Prosedur dan Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif
bagi Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, Agen Asuransi,
atau Pihak Lain yang Bukan Merupakan Profesi Penyedia
Jasa bagi Perusahaan Perasuransian
Pasal 11
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) dikenakan kepada Pialang Asuransi,
Pialang Reasuransi, Agen Asuransi, atau pihak lain
- 13 -
yang bukan merupakan profesi penyedia jasa bagi
Perusahaan Perasuransian secara bertahap yang
diawali dengan sanksi administratif berupa
peringatan tertulis, kecuali diatur berbeda.
(2) Pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut
atas setiap pelanggaran.
(3) Jangka waktu pemberlakuan sanksi administratif
berupa peringatan tertulis untuk Pialang Asuransi,
Pialang Reasuransi, Agen Asuransi, atau pihak lain
yang bukan merupakan profesi penyedia jasa bagi
Perusahaan Perasuransian masing-masing paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya sanksi
administratif tersebut.
Pasal 12
(1) Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, Agen Asuransi,
atau pihak lain yang bukan merupakan profesi
penyedia jasa bagi Perusahaan Perasuransian dikenai
sanksi administratif berupa pembatalan pernyataan
pendaftaran apabila yang bersangkutan tidak dapat
mengatasi pelanggaran yang merupakan penyebab
terbitnya sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sampai dengan jangka waktu yang ditentukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3).
(2) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengenakan sanksi
administratif berupa
pembatalan pernyataan
pendaftaran kepada Pialang Asuransi, Pialang
Reasuransi, Agen Asuransi, atau pihak lain yang
bukan merupakan profesi penyedia jasa bagi
Perusahaan Perasuransian
tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(1), dalam hal terdapat pelanggaran ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang
perasuransian yang dinilai membahayakan
- 14 -
kepentingan pemegang polis, tertanggung, atau
peserta.
(3) Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan kepada
masyarakat mengenai pengenaan sanksi administratif
berupa pembatalan pernyataan pendaftaran Pialang
Asuransi, Pialang Reasuransi, Agen Asuransi, atau
pihak lain yang bukan merupakan profesi penyedia
jasa bagi Perusahaan Perasuransian melalui situs web
resmi Otoritas Jasa Keuangan dan/atau media cetak
berskala nasional.
Bagian Keempat
Prosedur dan Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif
bagi Pemegang Saham, Pengendali, Direksi,
Dewan Komisaris, atau DPS
Pasal 13
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) dikenakan kepada pemegang saham,
pengendali, direksi, dewan komisaris, atau DPS dari
Perusahaan Perasuransian secara bertahap yang
diawali dengan sanksi administratif berupa
peringatan tertulis, kecuali diatur berbeda.
(2) Pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut
atas setiap pelanggarannya yaitu sanksi administratif
berupa peringatan tertulis pertama, peringatan
tertulis kedua, dan peringatan tertulis ketiga atau
terakhir.
(3) Sanksi administratif berupa peringatan tertulis
pertama dan peringatan tertulis kedua dapat
dikenakan sebagai sanksi administratif berupa
peringatan tertulis terakhir apabila pemegang saham,
pengendali, direksi, dewan komisaris, atau DPS
pernah melakukan pelanggaran yang sama dalam 1
(satu) tahun terakhir sebelum tanggal pengenaan
- 15 -
sanksi administratif berupa peringatan tertulis atau
berdasarkan pertimbangan Otoritas Jasa Keuangan
sanksi administratif berupa peringatan tertulis
berikutnya tidak diperlukan.
(4) Jangka waktu pemberlakuan sanksi administratif
berupa peringatan tertulis bagi pemegang saham,
pengendali, direksi, dewan komisaris, atau DPS
masing-masing paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
ditetapkannya sanksi administratif tersebut.
Pasal 14
(1) Pemegang saham, pengendali, direksi, dewan
komisaris, atau DPS dikenai sanksi administratif
berupa larangan menjadi pemegang saham,
pengendali, direksi, dewan komisaris, DPS, atau
menduduki jabatan eksekutif di bawah direksi, atau
yang setara dengan jabatan eksekutif di bawah
direksi pada Perusahaan Perasuransian apabila yang
bersangkutan tidak dapat mengatasi pelanggaran
yang merupakan penyebab terbitnya sanksi
administratif berupa peringatan tertulis terakhir
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (4).
(2) Sanksi administratif berupa larangan menjadi
pemegang saham, pengendali, direksi, dewan
komisaris, DPS, atau menduduki jabatan eksekutif
di bawah direksi, atau yang setara dengan jabatan
eksekutif di bawah direksi pada Perusahaan
Perasuransian dapat dikenakan untuk jangka waktu
3 (tiga) tahun, 5 (lima) tahun, atau 20 (dua puluh)
tahun.
(3) Sanksi administratif berupa larangan menjadi
pemegang saham atau pengendali dikenakan untuk
jangka waktu:
a. 3 (tiga) tahun, dalam hal pemegang saham atau
pengendali:
- 16 -
1. mempengaruhi dan/atau menyuruh direksi,
dewan komisaris, DPS, pejabat eksekutif,
dan/atau pegawai untuk melakukan
perbuatan yang melanggar prinsip kehati-
hatian dan/atau asas usaha perasuransian
yang sehat;
2. terbukti
tidak melaksanakan perintah
Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan
dan/atau tidak melakukan sesuatu;
3. tidak mampu melakukan upaya yang
diperlukan
apabila
Perasuransian
mengalami
permodalan atau likuiditas; atau
4. terbukti menolak memberikan komitmen
dan/atau tidak memenuhi komitmen yang
telah disepakati dengan Otoritas Jasa
Keuangan dan/atau pemerintah;
b. 5 (lima) tahun, dalam hal pemegang saham
atau pengendali:
1. mempengaruhi
dan/atau
dan/atau
Perusahaan
kesulitan
menyuruh
direksi, dewan komisaris, DPS, pejabat
eksekutif,
pegawai untuk
mengaburkan pelanggaran ketentuan atau
kondisi keuangan dan/atau transaksi;
2. mempengaruhi dan/atau menyuruh direksi,
dewan komisaris, DPS, pejabat eksekutif,
dan/atau pegawai untuk memberikan
keuntungan secara tidak wajar kepada
pemegang saham, dewan komisaris, direksi,
DPS, pejabat eksekutif, pegawai, dan/atau
pihak lain yang dapat merugikan atau
mengurangi
keuntungan
Perasuransian; atau
3. melakukan hal sebagaimana dimaksud
dalam huruf a secara berulang, lebih dari 1
(satu) pelanggaran, dan/atau terbukti
Perusahaan
- 17 -
menguntungkan diri sendiri maupun pihak
lain; atau
c. 20 (dua puluh) tahun, dalam hal pemegang
saham atau pengendali:
1. terbukti melakukan tindak pidana di sektor
jasa keuangan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap;
2. terbukti
menyebabkan
Perusahaan
Perasuransian mengalami kesulitan yang
membahayakan
kelangsungan
Perusahaan Perasuransian dan/atau dapat
membahayakan industri
atau
3. terbukti
bersalah
dinyatakan
pailit
dan/atau
yang menyebabkan suatu
Perusahaan Perasuransian dinyatakan pailit
berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
(4) Sanksi administratif berupa larangan menjadi
direksi, dewan komisaris, DPS, atau menduduki
jabatan eksekutif di bawah direksi, atau yang setara
dengan jabatan eksekutif di bawah direksi pada
Perusahaan Perasuransian dikenakan untuk jangka
waktu:
a. 3 (tiga) tahun, dalam hal direksi, dewan
komisaris, atau DPS:
1. melanggar prinsip kehati-hatian di bidang
perasuransian dan/atau
perasuransian yang sehat;
asas usaha
2. terbukti
tidak melaksanakan perintah
Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan
dan/atau tidak melakukan sesuatu;
3. tidak mampu melakukan pengelolaan
strategis dalam rangka pengembangan
Perusahaan Perasuransian yang sehat; atau
perasuransian;
usaha
- 18 -
4. terbukti menolak memberikan komitmen
dan/atau tidak memenuhi komitmen yang
telah disepakati dengan Otoritas Jasa
Keuangan dan/atau pemerintah;
b. 5 (lima) tahun, dalam hal direksi, dewan
komisaris, atau DPS:
1. menyembunyikan dan/atau mengaburkan
pelanggaran
ketentuan
atau
keuangan dan/atau transaksi;
2. memberikan keuntungan secara tidak wajar
kepada pemegang saham, dewan komisaris,
direksi, DPS, pejabat eksekutif, pegawai,
dan/atau pihak lain yang dapat merugikan
atau mengurangi keuntungan Perusahaan
Perasuransian; atau
3. melakukan hal sebagaimana dimaksud
dalam huruf a secara berulang, lebih dari 1
(satu) pelanggaran, dan/atau terbukti
menguntungkan diri sendiri maupun pihak
lain; atau
c. 20 (dua puluh) tahun, dalam hal direksi, dewan
komisaris, atau DPS:
1. terbukti melakukan tindak pidana di sektor
jasa keuangan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap;
2. terbukti
menyebabkan
Perusahaan
Perasuransian mengalami kesulitan yang
membahayakan
kelangsungan
Perusahaan Perasuransian dan/atau dapat
membahayakan industri perasuransian;
atau
3. terbukti
bersalah
dinyatakan
pailit
yang menyebabkan
dan/atau
suatu
Perusahaan Perasuransian dinyatakan pailit
berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
usaha
kondisi
- 19 -
(5) Dalam hal kriteria pelanggaran yang dilakukan oleh
pemegang saham, pengendali, direksi, dewan
komisaris, atau DPS berkaitan dengan integritas,
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengenakan sanksi
administratif berupa larangan menjadi pemegang
saham, pengendali, direksi, dewan komisaris, DPS,
dan menduduki jabatan eksekutif di bawah direksi,
atau yang setara dengan jabatan eksekutif di bawah
direksi secara lintas jabatan.
Pasal 15
(1) Pemegang saham atau pengendali dari Perusahaan
Perasuransian yang dikenai sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1)
dapat diberi masa penyesuaian paling lama 1 (satu)
tahun sejak ditetapkannya sanksi administratif
berupa larangan menjadi pemegang saham atau
pengendali.
(2) Masa penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa
Keuangan.
(3) Untuk memperoleh persetujuan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), pemegang saham atau
pengendali harus mengajukan permohonan dalam
jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
sejak tanggal surat ketetapan sanksi administratif.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
paling sedikit memuat:
a.
latar belakang atau alasan permohonan masa
penyesuaian;
b. jangka waktu penyesuaian yang diusulkan; dan
c. langkah yang akan ditempuh selama masa
penyesuaian.
- 20 -
BAB IV
SANKSI ADMINISTRATIF
BERUPA DENDA ADMINISTRATIF
Pasal 16
(1) Setiap Orang dapat dikenai sanksi administratif
berupa denda administratif.
(2) Pelanggaran yang menyebabkan timbulnya sanksi
administratif berupa denda administratif dan
besaran denda administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perasuransian.
(3) Sanksi administratif berupa denda administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
secara tertulis dengan memuat paling sedikit:
a. besaran denda administratif; dan
b. pelanggaran yang menyebabkan dikenakan
denda administratif.
(4) Tata cara pembayaran sanksi administratif berupa
denda administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengacu pada peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai tata cara penagihan sanksi
administratif berupa denda di sektor jasa keuangan.
BAB V
PROSEDUR DAN TATA CARA PENGAJUAN KEBERATAN
ATAS SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 17
(1) Setiap Orang yang dikenai sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dapat
mengajukan keberatan kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
dengan
menyampaikan
alasan
yang
kuat
mengenai keberatan atas sanksi administratif yang
- 21 -
dikenakan dan disertai dengan bukti yang
mendukung.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu
paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal
surat ketetapan sanksi administratif.
(4) Otoritas Jasa Keuangan mengabulkan atau menolak
keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
diterimanya keberatan atas sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Dalam hal keberatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikabulkan, Otoritas Jasa Keuangan
menerbitkan surat pembatalan pengenaan sanksi
administratif.
(6) Dalam hal keberatan sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1)
ditolak,
Otoritas
Jasa Keuangan
menerbitkan surat penolakan atas keberatan yang
diajukan yang disertai dengan alasan penolakan dan
penegasan bahwa sanksi administratif tetap berlaku.
BAB VI
PROSEDUR DAN TATA CARA PENGAKHIRAN DAN
PENCABUTAN SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 18
(1) Sanksi administratif berakhir apabila Setiap Orang
yang dikenai sanksi administratif menyampaikan
laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan bahwa yang
bersangkutan telah mengatasi pelanggaran yang
merupakan penyebab terbitnya sanksi administratif
dalam jangka waktu yang diberikan dan Otoritas
Jasa Keuangan menilai bahwa yang bersangkutan
telah mengatasi pelanggaran dimaksud.
(2) Pengakhiran sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan Otoritas Jasa
Keuangan dengan menerbitkan surat pencabutan
sanksi administratif, kecuali apabila pada saat
- 22 -
sanksi administratif diterbitkan, yang bersangkutan
diketahui Otoritas Jasa Keuangan telah mengatasi
pelanggaran yang merupakan penyebab terbitnya
sanksi administratif dimaksud.
(3) Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan kepada
masyarakat
mengenai
pengakhiran
sanksi
administratif berupa pembatasan kegiatan usaha,
untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha,
larangan untuk memasarkan produk asuransi atau
produk asuransi syariah untuk lini usaha tertentu
melalui situs web resmi Otoritas Jasa Keuangan
dan/atau media cetak berskala nasional.
BAB VII
PROSEDUR DAN TATA CARA PEMBLOKIRAN KEKAYAAN
PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI
SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI, DAN
PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH
Bagian Kesatu
Prosedur dan Tata Cara Pemblokiran
Pasal 19
(1) Otoritas Jasa Keuangan dapat memerintahkan
untuk melakukan Pemblokiran atau meminta
instansi yang berwenang untuk memblokir sebagian
atau seluruh Kekayaan dari perusahaan asuransi,
perusahaan
asuransi
syariah,
perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah
yang sedang dikenai sanksi administratif berupa
pembatasan kegiatan usaha karena tidak memenuhi
ketentuan tingkat solvabilitas atau dicabut izin
usahanya.
(2) Untuk melaksanakan Pemblokiran sebagian atau
seluruh Kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Otoritas Jasa Keuangan menetapkan surat
- 23 -
perintah Pemblokiran atau mengajukan surat
permintaan Pemblokiran kepada:
a. bank;
b. lembaga penyimpanan dan penyelesaian;
c. bank kustodian;
d. Badan Pertanahan Nasional; dan/atau
e. pihak
Pemblokiran.
(3) Jenis Kekayaan yang dapat diblokir adalah:
a.
b. saham yang tercatat di bursa efek;
c.
deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan giro
pada bank;
obligasi korporasi yang tercatat di bursa efek;
d. medium term notes;
e. surat berharga yang diterbitkan oleh Negara
Republik Indonesia;
f.
surat berharga yang diterbitkan oleh negara
selain Negara Republik Indonesia;
g. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia;
h. unit penyertaan reksadana;
i.
efek beragun aset;
j.
unit penyertaan dana investasi real estat
berbentuk kontrak investasi kolektif;
k. transaksi surat berharga melalui repurchase
agreement (REPO);
l. bangunan dengan hak strata (strata title);
m. tanah dengan bangunan;
n. tanah; dan/atau
o. Kekayaan lain.
Pasal 20
(1) Penyampaian perintah atau permintaan Pemblokiran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Perintah atau permintaan Pemblokiran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis
lain yang berwenang melakukan
- 24 -
oleh Otoritas Jasa Keuangan yang paling sedikit
memuat informasi mengenai:
a. dasar hukum kewenangan Otoritas Jasa
Keuangan
Kekayaan;
untuk
b.
c.
meminta
Pemblokiran
identitas pihak yang akan diblokir kekayaannya;
daftar Kekayaan yang akan diblokir; dan
d. jangka waktu Pemblokiran.
Pasal 21
(1) Atas perintah atau permintaan Pemblokiran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, pihak yang
melakukan Pemblokiran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (2) membuat berita acara
Pemblokiran yang paling sedikit memuat:
a. nomor
dan
Pemblokiran;
b. hari dan tanggal diterimanya surat permintaan
Pemblokiran;
c.
d.
hari dan tanggal dilakukannya Pemblokiran; dan
identitas pihak yang diblokir kekayaannya.
(2) Berita acara Pemblokiran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan dan perusahaan asuransi, perusahaan
asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah yang diblokir
kekayaannya paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak
dilakukan Pemblokiran.
Bagian Kedua
Pencabutan Blokir
Pasal 22
(1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan pencabutan
blokir terhadap sebagian atau seluruh Kekayaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3)
apabila:
tanggal
surat
permintaan
- 25 -
a. kondisi
yang
menyebabkan
Pemblokiran
Kekayaan tidak terpenuhi lagi; dan/atau
b. Otoritas Jasa Keuangan menilai Pemblokiran
tidak diperlukan lagi.
(2) Otoritas Jasa Keuangan melakukan pencabutan
blokir pada ayat (1) dengan mengajukan surat
perintah atau surat permintaan pencabutan blokir
kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (2).
Pasal 23
Atas perintah atau permintaan pencabutan blokir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2),
pihak yang melakukan Pemblokiran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) menindaklanjuti
perintah atau permintaan dimaksud dalam jangka
waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya
surat perintah atau surat permintaan pencabutan
blokir.
Pasal 24
(1) Atas perintah atau permintaan pencabutan blokir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, pihak
yang melakukan pencabutan blokir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) membuat
berita acara pencabutan blokir yang paling sedikit
memuat:
a. nomor
dan
tanggal
pencabutan blokir;
b. hari dan tanggal diterimanya surat permintaan
pencabutan blokir;
c.
d.
hari dan tanggal dilakukannya pencabutan
blokir; dan
identitas
pihak
kekayaannya.
yang
dicabut
surat
permintaan
blokir
- 26 -
(2) Berita acara pencabutan blokir sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan dan perusahaan asuransi,
perusahaan
asuransi
syariah,
perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah
yang dicabut blokir kekayaannya paling lambat
3 (tiga) hari kerja sejak dilakukan pencabutan
blokir.
(3) Pencabutan blokir dianggap efektif pada saat pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2)
menerbitkan berita acara pencabutan blokir.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 25
(1) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
mulai berlaku, sanksi administratif yang telah
dikenakan kepada Perusahaan Perasuransian
sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini dinyatakan tetap berlaku.
(2) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
mulai berlaku, sanksi administratif yang belum
diterbitkan yang merupakan tahapan lanjutan dari
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 26
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
mulai berlaku, ketentuan mengenai prosedur dan tata
cara pengenaan sanksi administratif
di bidang
perasuransian tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
- 27 -
Pasal 27
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 April 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 April 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 91
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 17/POJK.05/2017 </reg_id>
<reg_title> PROSEDUR DAN TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF DI BIDANG PERASURANSIAN DAN PEMBLOKIRAN KEKAYAAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI, DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH </reg_title>
<set_date> 17 April 2017 </set_date>
<effective_date> 25 April 2017 </effective_date>
<issued_date> 25 April 2017 </issued_date>
<related_reg> '40/UU/2014', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> '17/POJK.05/2017' </penalty_list>
|
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 54 /POJK.04/2017
TENTANG
BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM
DAN PENAMBAHAN MODAL DENGAN MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK
TERLEBIH DAHULU OLEH EMITEN DENGAN ASET SKALA KECIL
ATAU EMITEN DENGAN ASET SKALA MENENGAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan kualitas keterbukaan
informasi dalam prospektus dalam rangka penawaran
umum dan penambahan modal dengan memberikan hak
memesan efek terlebih dahulu oleh emiten dengan aset
skala kecil atau emiten dengan aset skala menengah,
perlu menyempurnakan ketentuan peraturan perundang-
undangan di sektor pasar modal terkait pedoman
mengenai bentuk dan isi prospektus dalam rangka
penawaran umum oleh perusahaan menengah atau kecil;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Bentuk dan Isi
Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum dan
Penambahan Modal dengan Memberikan Hak Memesan
- 2 -
Efek Terlebih Dahulu oleh Emiten dengan Aset Skala
Kecil atau Emiten dengan Aset Skala Menengah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG BENTUK
DAN ISI PROSPEKTUS DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM
DAN PENAMBAHAN MODAL DENGAN MEMBERIKAN HAK
MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU OLEH EMITEN
DENGAN ASET SKALA KECIL ATAU EMITEN DENGAN ASET
SKALA MENENGAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Prospektus adalah setiap informasi tertulis sehubungan
dengan penawaran umum dengan tujuan agar Pihak lain
membeli efek.
2. Emiten adalah Pihak yang melakukan penawaran umum.
3. Emiten dengan Aset Skala Kecil yang selanjutnya disebut
Emiten Skala Kecil adalah Emiten berbentuk badan
hukum yang didirikan di Indonesia yang:
a. memiliki total aset atau istilah lain yang setara,
tidak lebih dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
- 3 -
miliar rupiah) berdasarkan laporan keuangan yang
digunakan dalam dokumen pernyataan pendaftaran;
dan
b. tidak dikendalikan baik langsung maupun tidak
langsung oleh:
1) pengendali dari Emiten atau Perusahaan Publik
yang bukan Emiten Skala Kecil atau Emiten
dengan aset skala menengah; dan/atau
2) perusahaan yang memiliki aset lebih dari
Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh
miliar rupiah).
4. Emiten dengan Aset Skala Menengah yang selanjutnya
disebut Emiten Skala Menengah adalah Emiten
berbentuk badan hukum yang didirikan di Indonesia
yang:
a. memiliki total aset atau istilah lain yang setara, lebih
dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)
sampai dengan Rp250.000.000.000,00 (dua ratus
lima puluh miliar rupiah) berdasarkan laporan
keuangan yang digunakan dalam dokumen
pernyataan pendaftaran; dan
b. tidak dikendalikan baik langsung maupun tidak
langsung oleh:
1) pengendali dari Emiten atau Perusahaan Publik
yang bukan Emiten Skala Kecil atau Emiten
Skala Menengah; dan/atau
2) perusahaan yang memiliki aset lebih dari
Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh
miliar rupiah).
5. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran efek yang
dilakukan oleh Emiten untuk menjual efek kepada
masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal dan peraturan pelaksanaannya.
- 4 -
6. Penawaran Umum oleh Emiten Skala Kecil adalah
Penawaran Umum yang dilakukan oleh Emiten Skala
Kecil dengan nilai keseluruhan efek yang ditawarkan,
tidak termasuk efek lain yang menyertainya, dengan
jumlah tidak lebih dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar rupiah).
7. Penawaran Umum oleh Emiten Skala Menengah adalah
Penawaran Umum yang dilakukan oleh Emiten Skala
Menengah dengan nilai keseluruhan efek yang
ditawarkan, tidak termasuk efek lain yang menyertainya,
dengan jumlah tidak lebih dari Rp250.000.000.000,00
(dua ratus lima puluh miliar rupiah).
8. Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu yang selanjutnya
disingkat HMETD adalah hak yang melekat pada saham
yang memberikan kesempatan pemegang saham yang
bersangkutan untuk membeli saham dan/atau efek
bersifat ekuitas lainnya baik yang dapat dikonversikan
menjadi saham atau yang memberikan hak untuk
membeli saham, sebelum ditawarkan kepada pihak lain.
9. Pernyataan Pendaftaran adalah dokumen yang wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Emiten
dalam rangka Penawaran Umum atau Perusahaan
Publik.
10. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan
utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda
bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif,
kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari
Efek.
11. Kelompok Usaha Emiten Skala Kecil adalah Emiten Skala
Kecil dan semua perusahaan yang laporan keuangannya
dikonsolidasikan dengan laporan keuangan Emiten Skala
Kecil.
12. Kelompok Usaha Emiten Skala Menengah adalah Emiten
Skala Menengah dan semua perusahaan yang laporan
- 5 -
keuangannya dikonsolidasikan dengan laporan keuangan
Emiten Skala Menengah.
13. Pembeli Siaga adalah pihak yang akan membeli baik
sebagian maupun seluruh sisa saham dan/atau Efek
bersifat ekuitas lainnya yang tidak diambil oleh
pemegang HMETD.
14. Waran adalah Efek yang diterbitkan oleh suatu
perusahaan yang memberi hak kepada pemegang Efek
untuk memesan saham dari perusahaan tersebut pada
harga tertentu setelah 6 (enam) bulan sejak Efek
dimaksud diterbitkan.
15. Penjamin Emisi Efek adalah Pihak yang membuat
kontrak dengan Emiten untuk melakukan Penawaran
Umum bagi kepentingan Emiten dengan atau tanpa
kewajiban untuk membeli sisa Efek yang tidak terjual.
16. Akuntan Publik adalah seseorang yang telah memperoleh
izin untuk memberikan jasa sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan mengenai
akuntan publik dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
17. Penilai adalah seseorang yang dengan keahliannya
menjalankan kegiatan penilaian di pasar modal dan
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
18. Wali Amanat adalah Pihak yang mewakili kepentingan
pemegang Efek bersifat utang.
19. Kontrak Perwaliamanatan adalah perjanjian antara
Emiten dan Wali Amanat dalam rangka penerbitan Efek
bersifat utang dan/atau sukuk yang dibuat dalam
bentuk notariil.
20. Perusahaan Anak adalah perusahaan yang laporan
keuangannya dikonsolidasikan dengan laporan keuangan
Emiten.
21. Direksi adalah organ Emiten yang berwenang dan
bertanggung jawab penuh atas pengurusan Emiten
untuk kepentingan Emiten, sesuai dengan maksud dan
tujuan Emiten serta mewakili Emiten, baik di dalam
- 6 -
maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan
anggaran dasar.
22. Dewan Komisaris adalah organ Emiten yang bertugas
melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus
sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat
kepada Direksi.
23. Bursa Efek adalah pihak yang menyelenggarakan dan
menyediakan sistem dan/atau sarana untuk
mempertemukan penawaran jual dan beli Efek pihak lain
dengan tujuan memperdagangkan Efek diantara mereka.
24. Informasi atau Fakta Material adalah informasi atau
fakta penting dan relevan mengenai peristiwa, kejadian,
atau fakta yang dapat mempengaruhi harga Efek pada
Bursa Efek dan/atau keputusan pemodal, calon pemodal,
atau pihak lain yang berkepentingan atas informasi atau
fakta tersebut.
25. Pengendali adalah pihak yang memiliki saham lebih dari
50% (lima puluh persen) dari seluruh saham yang disetor
penuh, atau pihak yang mempunyai kemampuan untuk
menentukan, baik langsung maupun tidak langsung,
dengan cara apapun pengelolaan dan/atau
kebijaksanaan Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala
Menengah.
Pasal 2
(1) Prospektus wajib memuat rincian Informasi atau Fakta
Material mengenai Penawaran Umum dan informasi
dan/atau keterangan yang dapat mempengaruhi
keputusan pemodal, yang diketahui atau layak diketahui
oleh Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
dan penjamin pelaksana emisi Efek (jika menggunakan
penjamin pelaksana emisi Efek).
(2) Prospektus dilarang memuat keterangan yang tidak
benar tentang fakta material atau tidak memuat
keterangan yang benar tentang fakta material yang
- 7 -
diperlukan agar Prospektus tersebut tidak memberikan
gambaran yang menyesatkan.
(3) Prospektus harus dibuat sedemikian rupa sehingga jelas
dan komunikatif.
(4) Penyajian dan penyampaian informasi penting dalam
Prospektus tidak dikaburkan dengan informasi yang
kurang penting yang mengakibatkan informasi penting
tersebut terlepas dari perhatian pembaca.
(5) Pengungkapan Informasi atau Fakta Material dan/atau
penggunaan foto, diagram, dan/atau tabel dalam
Prospektus dilarang memberikan gambaran yang
menyesatkan.
(6) Pengungkapan atas Informasi atau Fakta Material dalam
Prospektus harus dilakukan secara jelas dengan
penekanan yang sesuai dengan bidang usaha atau sektor
industrinya sehingga Prospektus tidak menyesatkan.
Pasal 3
Dalam menyusun Prospektus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
dapat melakukan penyesuaian atas pengungkapan Informasi
atau Fakta Material tidak terbatas hanya pada Informasi atau
Fakta Material yang telah diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini.
Pasal 4
Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Emiten Skala
Kecil atau Emiten Skala Menengah serta penjamin pelaksana
emisi Efek (jika menggunakan penjamin pelaksana emisi Efek)
pada waktu Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif, lembaga
dan profesi penunjang pasar modal atau pihak lain yang
memberikan pendapat atau keterangan dan atas
persetujuannya dimuat dalam Prospektus, baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama, wajib bertanggung jawab bahwa
- 8 -
Prospektus telah memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
BAB II
BENTUK PROSPEKTUS
Pasal 5
Prospektus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 paling
sedikit harus memuat bagian pokok sebagai berikut:
a. informasi pada bagian awal Prospektus;
b.
c.
daftar isi;
informasi tentang Efek yang ditawarkan;
d. penggunaan dana yang diperoleh dari hasil Penawaran
Umum atau penambahan modal dengan memberikan
HMETD;
e. analisis dan pembahasan oleh manajemen;
f.
faktor risiko;
g. kejadian penting setelah tanggal laporan Akuntan Publik;
h. keterangan tentang Emiten Skala Kecil atau Emiten
Skala Menengah, kegiatan usaha, serta kecenderungan
dan prospek usaha; dan
i. tata cara pemesanan Efek.
Pasal 6
Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
melakukan Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas, selain
memuat bagian pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah harus
menambahkan bagian:
a. kebijakan dividen;
b. penjaminan emisi Efek (jika menggunakan Penjamin
Emisi Efek);
c. pendapat dari segi hukum;
d. laporan keuangan; dan
- 9 -
e. laporan Penilai dan laporan tenaga ahli (jika
menggunakan Penilai dan tenaga ahli).
Pasal 7
Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
melakukan Penawaran Umum Efek bersifat utang, selain
memuat bagian pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah harus
menambahkan bagian:
a. penjaminan emisi Efek (jika menggunakan Penjamin
Emisi Efek);
b. keterangan tentang Wali Amanat dan penanggung (jika
terdapat penanggung);
c. pendapat dari segi hukum;
d. laporan keuangan; dan
e. laporan Penilai dan laporan tenaga ahli (jika
menggunakan Penilai dan tenaga ahli).
Pasal 8
Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
melakukan penambahan modal dengan memberikan HMETD,
selain memuat bagian pokok sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
harus menambahkan bagian:
a. kebijakan dividen;
b. keterangan tentang Wali Amanat dan penanggung (jika
terdapat penanggung), dalam hal penerbitan HMETD
untuk Efek bersifat utang yang dapat atau wajib
dikonversi menjadi saham;
c. keterangan mengenai Pembeli Siaga dan/atau calon
Pengendali Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala
Menengah (jika terdapat Pembeli Siaga dan/atau calon
Pengendali Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala
Menengah); dan
d.
ikhtisar data keuangan penting.
- 10 -
BAB III
ISI PROSPEKTUS
Bagian Pertama
Informasi pada Bagian Awal Prospektus
Pasal 9
Informasi pada bagian awal Prospektus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf a paling sedikit memuat atau
mengungkapkan informasi pokok:
a. tanggal efektif Pernyataan Pendaftaran dari Otoritas Jasa
Keuangan;
b. tanggal penjatahan;
c. tanggal pengembalian uang pemesanan;
d. tanggal distribusi Efek;
e. tanggal pencatatan, jika Efek tersebut akan dicatatkan di
Bursa Efek;
f. nama lengkap Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala
Menengah, alamat, logo (jika ada), nomor telepon, nomor
faksimili, surat elektronik, situs web, dan kotak pos
termasuk pabrik serta kantor perwakilan (jika ada), dan
kegiatan usaha utama dari Emiten Skala Kecil atau
Emiten Skala Menengah;
g. tempat dan tanggal Prospektus diterbitkan;
h. pernyataan berikut dalam huruf kapital yang langsung
dapat menarik perhatian pembaca:
“OTORITAS JASA KEUANGAN TIDAK MEMBERIKAN
PERNYATAAN MENYETUJUI ATAU TIDAK MENYETUJUI
EFEK INI, TIDAK JUGA MENYATAKAN KEBENARAN
ATAU KECUKUPAN ISI PROSPEKTUS INI. SETIAP
PERNYATAAN YANG BERTENTANGAN DENGAN HAL–
HAL TERSEBUT ADALAH PERBUATAN MELANGGAR
HUKUM.”;
“PROSPEKTUS INI PENTING DAN PERLU MENDAPAT
PERHATIAN SEGERA. APABILA TERDAPAT KERAGUAN
- 11 -
PADA TINDAKAN YANG AKAN DIAMBIL, SEBAIKNYA
BERKONSULTASI DENGAN PIHAK YANG KOMPETEN.”;
dan
“PENAWARAN UMUM INI DILAKUKAN OLEH EMITEN
DENGAN ASET SKALA KECIL ATAU EMITEN DENGAN
ASET SKALA MENENGAH, SESUAI DENGAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA
PENAWARAN UMUM DAN PENAMBAHAN MODAL
DENGAN MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK
TERLEBIH DAHULU OLEH EMITEN DENGAN ASET
SKALA KECIL ATAU EMITEN DENGAN ASET SKALA
MENENGAH.”;
i.
pernyataan dalam huruf kapital bahwa Emiten Skala
Kecil atau Emiten Skala Menengah dan penjamin
pelaksana emisi Efek (jika menggunakan penjamin
pelaksana emisi Efek) bertanggung jawab sepenuhnya
atas kebenaran semua informasi dan kejujuran pendapat
yang diungkapkan dalam Prospektus sebagai berikut:
“EMITEN DAN PENJAMIN PELAKSANA EMISI EFEK (jika
ada) BERTANGGUNG JAWAB SEPENUHNYA ATAS
KEBENARAN SEMUA INFORMASI, FAKTA, DATA, ATAU
LAPORAN DAN KEJUJURAN PENDAPAT YANG
TERCANTUM DALAM PROSPEKTUS INI.”;
j.
pernyataan singkat dalam huruf kapital yang langsung
dapat menarik perhatian pembaca, mengenai:
1.
2.
risiko kemungkinan tidak likuidnya Efek bersifat
ekuitas yang ditawarkan (jika ada);
k. keterangan bahwa Pernyataan Pendaftaran telah
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan
mengacu pada ketentuan peraturan perundang-
undangan di sektor pasar modal;
risiko utama yang dihadapi Emiten Skala Kecil atau
Emiten Skala Menengah; dan
- 12 -
l.
pernyataan bahwa semua lembaga dan profesi penunjang
pasar modal yang disebut dalam Prospektus bertanggung
jawab sepenuhnya atas data yang disajikan sesuai
dengan fungsi dan kedudukan mereka, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor
pasar modal, dan kode etik, norma, serta standar profesi
masing-masing;
m. pernyataan bahwa sehubungan dengan Penawaran
Umum dan penambahan modal dengan memberikan
HMETD, setiap pihak terafiliasi dilarang untuk
memberikan keterangan atau pernyataan mengenai data
yang tidak diungkapkan dalam Prospektus, tanpa
persetujuan tertulis dari Emiten Skala Kecil atau Emiten
Skala Menengah dan penjamin pelaksana emisi Efek (jika
menggunakan penjamin pelaksana emisi Efek); dan
n. dalam hal Prospektus mencantumkan nama pihak yang
membantu Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala
Menengah dalam penyusunan Prospektus, pihak
dimaksud harus membuat pernyataan bahwa telah
memberikan persetujuan tertulis mengenai pencantuman
nama pihak tersebut dalam Prospektus dan tidak
mencabut persetujuan tersebut.
Pasal 10
Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
melakukan Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas, selain
memuat informasi pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9, Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah wajib
menambahkan informasi:
a. masa penawaran;
b. dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala
Menengah tidak menggunakan jasa Penjamin Emisi Efek,
Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah harus
mencantumkan pernyataan berikut dalam huruf kapital
yang langsung dapat menarik perhatian pembaca:
- 13 -
“EMITEN DENGAN ASET SKALA KECIL ATAU EMITEN
DENGAN ASET SKALA MENENGAH TIDAK
MENGGUNAKAN JASA PENJAMIN EMISI EFEK DALAM
PENAWARAN UMUM INI”;
c. dalam hal Efek akan dicatatkan di Bursa Efek, Emiten
Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah harus
memberikan informasi atas tindakan yang akan diambil
oleh Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
jika Bursa Efek tersebut menolak permohonan
pencatatan Efek tersebut;
d. pernyataan Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala
Menengah tentang rencana stabilisasi harga Efek, sebagai
berikut:
1.
jika direncanakan opsi penjatahan lebih dalam
rangka Penawaran Umum, harus diberikan
pernyataan dalam huruf kapital yang langsung
dapat menarik perhatian pembaca mengenai
rencana dan tujuan dilaksanakannya opsi
penjatahan lebih, termasuk rencana stabilisasi
harga; dan
2.
jika direncanakan untuk melakukan stabilisasi
harga saham tertentu yang telah tercatat di Bursa
Efek untuk mempermudah pelaksanaan penjualan
Efek bersifat ekuitas dalam rangka Penawaran
Umum, harus diberikan pernyataan dalam huruf
kapital yang langsung dapat menarik perhatian
pembaca yang berbunyi sebagai berikut:
"DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN HARGA
PASAR SAHAM YANG SAMA, BAIK JENIS MAUPUN
KELASNYA, DENGAN YANG DITAWARKAN PADA
PENAWARAN UMUM INI, PENJAMIN EMISI EFEK
DAPAT MELAKUKAN STABILISASI HARGA PADA
TINGKAT HARGA YANG LEBIH TINGGI DARI YANG
MUNGKIN TERJADI DI BURSA EFEK SEKIRANYA
TIDAK DILAKUKAN STABILISASI HARGA. JIKA
- 14 -
PENJAMIN EMISI EFEK MELAKUKAN STABILISASI
HARGA, MAKA BAIK STABILISASI HARGA MAUPUN
PENAWARAN UMUM TERSEBUT DAPAT
DIHENTIKAN SEWAKTU-WAKTU.”
Pasal 11
Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
melakukan Penawaran Umum Efek bersifat utang, selain
memuat informasi pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9, Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah harus
menambahkan informasi:
a. masa penawaran;
b. dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala
Menengah tidak menggunakan jasa Penjamin Emisi Efek,
Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah harus
mencantumkan pernyataan berikut dalam huruf kapital
yang langsung dapat menarik perhatian pembaca:
“EMITEN DENGAN ASET SKALA KECIL ATAU EMITEN
DENGAN ASET SKALA MENENGAH TIDAK
MENGGUNAKAN JASA PENJAMIN EMISI EFEK DALAM
PENAWARAN UMUM INI.”; dan
c. dalam hal Efek akan dicatatkan di Bursa Efek, Emiten
Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah harus
memberikan informasi atas tindakan yang akan diambil
oleh Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
jika Bursa Efek tersebut menolak permohonan
pencatatan Efek tersebut.
Pasal 12
Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
melakukan penambahan modal dengan memberikan HMETD,
selain memuat informasi pokok sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9, Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
harus menambahkan informasi:
- 15 -
a. tanggal rapat umum pemegang saham;
b. tanggal daftar pemegang saham yang berhak memperoleh
HMETD;
c. tanggal distribusi HMETD;
d. tanggal terakhir pelaksanaan HMETD dan tanggal
terakhir pembayaran saham dan/atau Efek bersifat
ekuitas lainnya dalam pelaksanaan HMETD;
e. periode perdagangan HMETD;
f.
tanggal pembayaran pemesanan tambahan saham
dan/atau Efek bersifat ekuitas lainnya; dan
g. tanggal pembayaran penuh oleh Pembeli Siaga (jika ada).
Bagian Kedua
Daftar Isi
Pasal 13
Daftar isi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b
harus meliputi uraian mengenai bagian dan halaman.
Bagian Ketiga
Informasi tentang Efek yang Ditawarkan
Pasal 14
Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
melakukan Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas, dalam
bagian informasi tentang Efek yang ditawarkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf c paling sedikit memuat atau
mengungkapkan:
a. jenis dan jumlah Efek bersifat ekuitas;
b. nilai nominal (jika menggunakan nilai nominal);
c. harga penawaran;
d.
total nilai Penawaran Umum;
e. Efek lain yang menyertai (jika ada), paling sedikit
meliputi:
- 16 -
1. untuk Waran, paling sedikit meliputi:
a) jenis dan jumlah Efek yang mendasarinya;
b) jumlah Waran yang akan diterbitkan;
c) jumlah Waran yang masih dan akan beredar;
d) tanggal dimulai dan tanggal diakhirinya
pelaksanaan Waran;
e) harga saham baru dalam pelaksanaan Waran;
f)
ketentuan mengenai perubahan harga
pelaksanaan; dan
g) ketentuan material lainnya dari Waran
dimaksud;
2. untuk Efek yang dapat dikonversi menjadi saham
yang dapat dibeli kembali, paling sedikit meliputi:
a) uraian tentang syarat konversi termasuk
apakah hak konversi akan hilang jika tidak
dilaksanakan sebelum tanggal yang
diungkapkan dalam pengumuman pembelian
kembali;
b) tanggal dimulai dan tanggal diakhirinya
konversi; dan
c)
jenis, frekuensi, serta waktu pengumuman
pembelian kembali termasuk dimana
pengumuman tersebut akan dipublikasikan;
f. jumlah Efek bersifat ekuitas yang dialokasikan kepada
karyawan (jika ada);
g. hak pemegang saham meliputi hak atas dividen, HMETD,
dan hak lain termasuk batasan dan/atau kualifikasi atas
hak tersebut (jika ada) dan pengaruhnya terhadap hak
pemegang saham;
h. pembatasan hak pengalihan atau hak suara (jika ada);
i.
keterangan tentang apakah saham yang diterbitkan dan
ditawarkan kepada umum merupakan saham portepel
(saham dalam simpanan) dan/atau saham yang sudah
disetor penuh (divestasi);
- 17 -
j. nama Bursa Efek (jika Efek tersebut akan dicatatkan)
dan keterangan tentang jumlah dan persentase saham
yang akan dicatatkan pada Bursa Efek, serta pembatasan
atas pencatatan saham (jika ada);
k. keterangan tentang rencana Emiten Skala Kecil atau
Emiten Skala Menengah untuk mengeluarkan Efek
bersifat ekuitas dalam waktu 12 (dua belas) bulan setelah
tanggal efektif (jika ada);
l.
informasi tentang susunan modal dan pemegang saham
sebelum dan sesudah Penawaran Umum dalam bentuk
tabel, termasuk:
1. modal dasar dan modal ditempatkan dan disetor
penuh yang meliputi jumlah saham, nilai nominal
per saham, dan jumlah nilai nominal saham atau
jumlah dan nilai saham dalam hal saham tanpa nilai
nominal;
2. rincian kepemilikan saham pemegang saham dengan
ketentuan pemegang saham yang memiliki 5% (lima
persen) atau lebih, anggota Direksi, dan anggota
Dewan Komisaris harus mengungkapkan nama,
jumlah saham, dan jumlah nilai nominal saham dan
persentase kepemilikan atau jumlah dan nilai saham
serta persentase kepemilikan dalam hal saham
tanpa nilai nominal;
3. saham portepel (saham dalam simpanan), yang
mencakup jumlah saham, nilai nominal per saham,
dan jumlah nilai nominal saham atau jumlah dan
nilai saham dalam hal saham tanpa nilai nominal;
dan
4. tabel proforma ekuitas pada tanggal laporan
keuangan terakhir yang menggambarkan posisi
perubahan permodalan terakhir (jika ada) dan
Penawaran Umum telah terjadi pada tanggal laporan
keuangan terakhir; dan
- 18 -
m. uraian mengenai Efek bersifat utang yang dapat atau
wajib dikonversi menjadi saham (jika menerbitkan Efek
bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi
saham),
paling sedikit
harus memuat atau
mengungkapkan:
1. hak para pemegang Efek bersifat utang yang dapat
atau wajib dikonversi menjadi saham;
2.
3.
sifat Efek bersifat utang yang dapat dikonversikan
menjadi saham;
sifat Efek bersifat utang yang dapat atau wajib
dikonversi menjadi saham yang memungkinkan
pelunasan lebih dini atas pilihan Emiten Skala Kecil
atau Emiten Skala Menengah atau pemegang Efek
bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi
menjadi saham;
4. harga dan tingkat suku bunga dari Efek bersifat
utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi
saham;
5. jadwal pelunasan atau cicilan termasuk jumlahnya;
6. jadwal pembayaran bunga;
7. jadwal konversi Efek bersifat utang menjadi saham;
8.
hasil pemeringkatan Efek bersifat utang yang dapat
dikonversi menjadi saham dan nama perusahaan
pemeringkat Efek;
9. ketentuan tentang dana pelunasan (jika ada);
10. mata uang yang menjadi denominasi utang dan
mata uang lain yang menjadi alternatif (jika ada)
digunakan dalam penerbitan Efek bersifat utang
yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham
dimaksud (jika ada);
11. ringkasan tentang setiap tuntutan atas aset dari
Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
yang dijadikan agunan untuk Efek bersifat utang
yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham
yang ditawarkan;
- 19 -
12. pernyataan tentang dicatatkan atau tidaknya Efek
bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi
menjadi saham di Bursa Efek; dan
13. jumlah dan persentase Efek bersifat utang yang
dapat atau wajib dikonversi menjadi saham, dalam
hal Efek bersifat utang yang dapat atau wajib
dikonversi menjadi saham sebagaimana dimaksud
dalam angka 12 dicatatkan di Bursa Efek.
Pasal 15
Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
melakukan Penawaran Umum Efek bersifat utang, dalam
bagian informasi tentang Efek yang ditawarkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf c paling sedikit memuat atau
mengungkapkan:
a. jumlah nominal dan jenis Efek bersifat utang yang
ditawarkan;
b. mata uang yang menjadi denominasi utang;
c. harga, suku bunga, atau imbalan dengan cara lain yang
ditetapkan untuk Efek bersifat utang, termasuk metode
penentuannya dengan ketentuan jika suku bunga
mengambang, diuraikan secara lengkap tentang cara
penentuan suku bunga mengambang dimaksud;
d. tanggal pembayaran utang pokok dan jumlah utang
pokok yang harus dibayar pada tanggal tersebut;
e. tanggal pembayaran bunga atau imbalan dengan cara
lain;
f.
satuan pemindahbukuan dan satuan perdagangan dari
Efek bersifat utang yang akan ditawarkan dalam rangka
Penawaran Umum, termasuk batasan dalam melakukan
pemindahbukuan;
g.
aset Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
yang menjadi agunan atas utang yang timbul berkenaan
dengan Efek yang ditawarkan, saat efektifnya aset
tersebut sebagai agunan bagi pemegang Efek bersifat
- 20 -
utang, dan ringkasan penilaian (jika ada);
h. hasil pemeringkatan Efek bersifat utang;
i.
j.
ikhtisar pokok Kontrak Perwaliamanatan;
ikhtisar pokok perjanjian penanggungan utang (jika
menggunakan penanggung); dan
k. ikatan lainnya sehubungan dengan Efek bersifat utang
yang ditawarkan.
Pasal 16
Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
melakukan penambahan modal dengan memberikan HMETD,
dalam bagian informasi tentang Efek yang ditawarkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c, selain
informasi yang disebutkan dalam Pasal 14 kecuali informasi
yang disebutkan dalam Pasal 14 huruf f dan huruf i, informasi
yang ditambahkan
paling sedikit memuat atau
mengungkapkan:
a. uraian mengenai rapat umum pemegang saham yang
menyetujui penambahan modal dengan memberikan
HMETD;
b.
rasio HMETD atas saham;
c. dampak dilusi dari penerbitan saham baru;
d. uraian mengenai tata cara pengalihan HMETD;
e. uraian mengenai perlakuan saham dan/atau Efek
bersifat ekuitas lainnya yang diterbitkan dalam
penambahan modal dengan memberikan HMETD yang
tidak diambil oleh yang berhak;
f. uraian mengenai perlakuan HMETD dalam bentuk
pecahan;
g.
tata cara penerbitan dan penyampaian bukti HMETD
serta saham dan/atau Efek bersifat ekuitas lainnya;
h. syarat penerima dan pemegang HMETD yang berhak;
i. bentuk sertifikat HMETD (jika ada);
j. pemecahan sertifikat bukti HMETD (jika ada);
k.
tata cara pelaksanaan HMETD;
- 21 -
l. pemesanan pembelian tambahan saham dan/atau Efek
bersifat ekuitas lainnya;
m. penjatahan pemesanan tambahan saham dan/atau Efek
bersifat ekuitas lainnya;
n. nilai teoretis HMETD;
o. pernyataan yang menyatakan pemegang saham utama
akan melaksanakan atau tidak melaksanakan HMETD
yang dimiliki dan informasi nama pihak yang akan
menerima pengalihan HMETD (jika ada) serta uraian
singkat mengenai pengalihan HMETD;
p. uraian singkat mengenai pembelian sisa Efek oleh
Pembeli Siaga dan nama lengkap pihak yang bertindak
sebagai Pembeli Siaga/calon Pengendali (jika ada); dan
q. uraian mengenai penyetoran atas saham dalam bentuk
lain selain uang (jika ada) yang paling sedikit memuat
atau mengungkapkan:
1. keterangan tentang objek penyetoran; dan
2.
identitas pihak;
ringkasan hasil penilaian dari Penilai paling sedikit
memuat atau mengungkapkan:
a)
b) objek penilaian;
c) tujuan penilaian;
d) asumsi dan kondisi pembatas;
e) pendekatan penilaian dan metode penilaian;
f)
kesimpulan nilai; dan
g) pendapat kewajaran atas transaksi penyetoran.
Bagian Keempat
Penggunaan Dana yang Diperoleh dari Hasil
Penawaran Umum atau Penambahan Modal dengan
Memberikan HMETD
Pasal 17
Dalam bagian penggunaan dana yang diperoleh dari hasil
Penawaran Umum atau penambahan modal dengan
- 22 -
memberikan HMETD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf d harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan
informasi pokok:
a. keterangan tentang tujuan Penawaran Umum atau
penambahan modal dengan memberikan HMETD dan
penggunaan dana yang diperoleh dari hasil Penawaran
Umum atau penambahan modal dengan memberikan
HMETD setelah dikurangi dengan biaya, dibuat secara
rinci dalam bentuk jumlah dan/atau persentase dengan
ketentuan:
1. mengungkapkan rincian penggunaan dana sesuai
dengan tujuan dari Penawaran Umum atau
penambahan modal dengan memberikan HMETD;
dan
2. mengungkapkan fakta dan sifat hubungan afiliasi
dengan Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala
Menengah dalam hal:
a) penggunaan dana untuk pembayaran utang
seluruhnya atau sebagian kepada kreditur
terafiliasi; dan
b) penggunaan dana untuk pembelian atau
investasi dalam perusahaan lain (jika ada) jika
perusahaan dimaksud adalah pihak terafiliasi
dengan Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala
Menengah; dan
b. keterangan mengenai sumber dana lain yang akan
digunakan untuk membiayai suatu kegiatan apabila dana
hasil Penawaran Umum atau penambahan modal dengan
memberikan HMETD tidak mencukupi.
Pasal 18
(1) Dalam hal terdapat pihak yang melakukan penyetoran
modal dalam bentuk selain uang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 huruf q, yang dapat mengakibatkan
pihak tersebut menjadi Pengendali baru Emiten Skala
- 23 -
Kecil atau Emiten Skala Menengah dan meningkatkan
ekuitas Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
sebesar 100% (seratus persen) atau lebih, Prospektus
paling sedikit harus memuat atau mengungkapkan:
a. dalam hal setoran modal berbentuk saham
perusahaan lain, informasi yang harus dimuat atau
diungkapkan paling sedikit:
1. laporan keuangan perusahaan lain tersebut;
2. informasi keuangan proforma yang diperiksa
Akuntan Publik;
3. informasi tentang faktor risiko;
4. keterangan tentang perusahaan lain tersebut;
5.
analisis dan pembahasan manajemen tentang
perusahaan lain tersebut;
6. kegiatan dan prospek usaha; dan
7. pendapat dari segi hukum perusahaan lain
tersebut; dan/atau
b. dalam hal setoran modal berbentuk aset, informasi
yang harus diungkapkan berupa keterangan
mengenai aset tersebut serta risiko dan prospek
usaha atas penggunaan aset tersebut.
(2) Pengungkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam bagian tersendiri dalam Prospektus.
Pasal 19
Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah harus
mengungkapkan informasi tentang perkiraan rincian biaya
yang dikeluarkan oleh Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala
Menengah dalam rangka Penawaran Umum dan penambahan
modal dengan memberikan HMETD baik dalam bentuk
persentase tertentu atau nilai absolut dalam denominasi mata
uang, yang paling sedikit memuat atau mengungkapkan:
a. biaya jasa penjaminan (jika ada);
b. biaya jasa penyelenggaraan (jika ada);
c. biaya jasa penjualan (jika ada);
- 24 -
d. biaya jasa profesi penunjang pasar modal;
e. biaya jasa lembaga penunjang pasar modal;
f. biaya jasa konsultasi keuangan (jika ada); dan
g. biaya lain-lain.
Bagian Kelima
Analisis dan Pembahasan oleh Manajemen
Pasal 20
Dalam bagian analisis dan pembahasan oleh manajemen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e, paling sedikit
harus memuat atau mengungkapkan:
a. bahasan yang memberikan gambaran menyeluruh
mengenai kegiatan usaha Emiten Skala Kecil atau Emiten
Skala Menengah termasuk kondisi keuangan dan hasil
operasi Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
serta perubahan dan penyebab perubahan kondisi
keuangan dan hasil operasi Emiten Skala Kecil atau
Emiten Skala Menengah, yang paling sedikit meliputi:
1. total aset;
2.
total liabilitas;
3. ekuitas;
4. penjualan/pendapatan usaha;
5. beban usaha;
6. laba (rugi) usaha; dan
7. laba (rugi) bersih;
b. bahasan mengenai sumber dan jumlah arus kas dari
aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan serta pola
arus kas dikaitkan dengan karakteristik dan siklus bisnis
Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah;
c. bahasan mengenai komitmen investasi barang modal
yang material yang dilakukan, dengan penjelasan
tentang:
1. pihak yang terkait dalam perjanjian;
- 25 -
2.
nilai keseluruhan, mata uang, dan bagian yang telah
direalisasi;
3. tujuan dari investasi barang modal;
4. sumber dana yang digunakan;
5. prakiraan periode dimulai dan selesainya proses
pembangunan dalam rangka investasi barang modal
(jika ada); dan
6. peningkatan kapasitas produksi yang diharapkan
dari investasi barang modal (jika ada);
d. bahasan mengenai kebijakan pemerintah dan institusi
lainnya dalam bidang fiskal, moneter, ekonomi publik,
dan politik yang berdampak langsung maupun tidak
langsung terhadap kegiatan usaha dan investasi Emiten
Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah dan
Perusahaan Anak yang tercermin di laporan keuangan;
e. bahasan mengenai kejadian atau transaksi yang tidak
normal dan jarang terjadi yang dapat mempengaruhi
jumlah pendapatan dan profitabilitas; dan
f. bahasan tentang kejadian material yang terjadi setelah
tanggal laporan keuangan dan laporan Akuntan Publik.
Bagian Keenam
Faktor Risiko
Pasal 21
Dalam bagian faktor risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf f paling sedikit harus memuat atau
mengungkapkan risiko yang disusun berdasarkan bobot risiko
yang dihadapi.
Bagian Ketujuh
Kejadian Penting setelah Tanggal Laporan Akuntan Publik
Pasal 22
Dalam bagian kejadian penting setelah tanggal laporan
Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf
- 26 -
g, paling sedikit harus memuat atau mengungkapkan:
a. informasi tentang semua kejadian penting yang terjadi
setelah tanggal laporan Akuntan Publik sampai dengan
tanggal efektifnya Pernyataan Pendaftaran;
b. pernyataan mengenai ada tidaknya kewajiban setelah
tanggal laporan Akuntan Publik sampai dengan tanggal
efektifnya Pernyataan Pendaftaran; dan
c. pernyataan manajemen mengenai tidak terdapatnya
kejadian penting setelah tanggal laporan Akuntan Publik
sampai dengan tanggal efektifnya Pernyataan
Pendaftaran, dalam hal tidak terdapat kejadian penting.
Bagian Kedelapan
Keterangan tentang Emiten Skala Kecil
atau Emiten Skala Menengah, Kegiatan Usaha, serta
Kecenderungan dan Prospek Usaha
Pasal 23
Dalam bagian keterangan tentang Emiten Skala Kecil atau
Emiten Skala Menengah, kegiatan usaha, serta
kecenderungan dan prospek usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf h, paling sedikit harus memuat atau
mengungkapkan:
a. keterangan tentang Emiten Skala Kecil atau Emiten
Skala Menengah, paling sedikit meliputi:
1. permodalan dan pemegang saham, paling sedikit:
a) kepemilikan saham dan struktur permodalan
terakhir;
b)
posisi Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala
Menengah dan Perusahaan Anak dalam
Kelompok Usaha Emiten Skala Kecil atau
Kelompok Usaha Emiten Skala Menengah yang
dibuat dalam bentuk diagram disertai
persentase kepemilikannya; dan
- 27 -
c) keterangan tentang Pengendali, baik langsung
maupun tidak langsung, sampai kepada pemilik
individu, dan/atau pemegang saham utama
yang disajikan dalam bentuk skema atau
diagram;
2. pengurusan dan pengawasan yang meliputi nama
dan daftar riwayat hidup anggota Direksi dan
anggota Dewan Komisaris Emiten Skala Kecil atau
Emiten Skala Menengah serta
sekretaris
perusahaan, komite audit, dan/atau komite lainnya
(jika ada);
3. struktur organisasi Emiten Skala Kecil atau Emiten
Skala Menengah;
4. perkara yang dihadapi Emiten Skala Kecil atau
Emiten Skala Menengah dan Perusahaan Anak,
serta anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris
Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah,
yang mempunyai dampak material terhadap
kelangsungan usaha Emiten Skala Kecil atau Emiten
Skala Menengah (jika ada);
5. keterangan material tentang sumber daya manusia;
6. transaksi dengan pihak terafiliasi; dan
7. informasi tentang Perusahaan Anak dan/atau
investasi pada perusahaan lain (jika ada), paling
sedikit meliputi:
a) nama;
b) tahun pendirian;
c) kegiatan usaha yang diuraikan secara umum;
d) struktur permodalan dan susunan pemegang
saham terakhir;
e) pengurusan dan pengawasan; dan
f)
data keuangan penting 2 (dua) tahun buku
terakhir atau sejak berdirinya jika kurang dari
2 (dua) tahun buku; dan
- 28 -
b. kegiatan usaha Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala
Menengah serta kecenderungan dan prospek usaha yang
paling sedikit memuat atau mengungkapkan:
1. uraian singkat mengenai kegiatan usaha utama
Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
atau Kelompok Usaha Emiten Skala Kecil atau
Kelompok Usaha Emiten Skala Menengah (jika
Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
merupakan entitas induk);
2. perjanjian penting;
3. pernyataan manajemen bahwa tidak terdapat
pembatasan yang merugikan hak pemegang saham
publik;
4. uraian tentang produk dan jasa utama yang
ditawarkan oleh Emiten Skala Kecil atau Emiten
Skala Menengah;
5. keterangan umum tentang pelanggan dari Emiten
Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah;
6. keterangan umum tentang pemasok persediaan
Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah;
7. keterangan umum tentang sarana produksi yang
dimiliki atau disewa dari pihak lain atau dikuasai,
seperti hak tanah, bangunan dan prasarana, serta
mesin dan perlengkapan serta statusnya;
8. setiap kecenderungan yang signifikan dalam
produksi, penjualan, persediaan, beban, dan harga
penjualan sejak tahun buku terakhir yang
mempengaruhi kegiatan usaha dan prospek
keuangan Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala
Menengah;
9. setiap kecenderungan, ketidakpastian, permintaan,
komitmen, atau peristiwa yang dapat diketahui yang
dapat mempengaruhi secara signifikan penjualan
bersih atau pendapatan usaha, pendapatan dari
operasi berjalan, profitabilitas, likuiditas atau
- 29 -
sumber modal, atau peristiwa yang akan
menyebabkan informasi keuangan yang dilaporkan
tidak dapat dijadikan indikasi atas hasil operasi atau
kondisi keuangan masa datang; dan
10. dalam hal tidak ada kecenderungan, ketidakpastian,
permintaan, komitmen, atau peristiwa sebagaimana
dimaksud dalam angka 8 dan angka 9, Emiten Skala
Kecil atau Emiten Skala Menengah harus
memberikan pernyataan yang memadai mengenai
hal tersebut.
Pasal 24
Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
melakukan Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas, selain
informasi pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23,
Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah harus
menambahkan informasi:
a. pendirian Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala
Menengah, paling sedikit meliputi tanggal akta pendirian,
susunan pemegang saham, nama Emiten Skala Kecil
atau Emiten Skala Menengah, dan kegiatan usahanya,
termasuk riwayat singkat mengenai pendirian, bentuk
dan nama organisasi jika bukan merupakan perusahaan;
b. kejadian penting sehubungan dengan perkembangan
usaha; dan
c.
kronologis perubahan dalam susunan pemegang saham
dan kepemilikan saham selama 2 (dua) tahun terakhir
atau sejak berdirinya jika kurang dari 2 (dua) tahun
sebelum penyampaian Pernyataan Pendaftaran.
Bagian Kesembilan
Tata Cara Pemesanan Efek
Pasal 25
Dalam bagian tata cara pemesanan Efek, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf i, paling sedikit harus memuat
- 30 -
atau mengungkapkan informasi pokok:
a. penyerahan formulir pemesanan, persyaratan
pembayaran, pembatalan pemesanan, dan tanda terima
untuk pemesanan;
b. penjelasan tentang pembatasan pihak yang dapat
memesan (jika ada);
c. tanggal dimulai dan berakhirnya pemesanan; dan
d. tanggal pengembalian uang pemesanan, dan distribusi
Efek atau bukti lain tentang kepemilikan Efek.
Pasal 26
Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
melakukan Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas dan/atau
Penawaran Umum Efek bersifat utang, selain informasi pokok
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Emiten Skala Kecil
atau Emiten Skala Menengah harus menambahkan informasi
paling sedikit mengenai penjelasan metode penjatahan
pemesanan serta penjatahan pemesanan yang akan
dialokasikan kepada pihak tertentu (jika ada).
Bagian Kesepuluh
Kebijakan Dividen
Pasal 27
Dalam bagian kebijakan dividen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf a dan Pasal 8 huruf a harus memuat
atau mengungkapkan informasi mengenai kebijakan dividen
serta riwayat pembayaran dividen.
Bagian Kesebelas
Penjaminan Emisi Efek
Pasal 28
Dalam bagian penjaminan emisi Efek sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf b dan Pasal 7 huruf a, paling sedikit
- 31 -
harus memuat atau mengungkapkan:
a. uraian tentang ketentuan dan persyaratan yang penting
dari perjanjian penjaminan emisi Efek;
b. nama penjamin pelaksana emisi Efek dan Penjamin Emisi
Efek;
c. bentuk penjaminan;
d. persentase dan nilai penjaminan; dan
e.
sifat hubungan afiliasi antara Penjamin Emisi Efek
dengan Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
(jika ada).
Bagian Kedua Belas
Pendapat dari Segi Hukum
Pasal 29
Dalam bagian pendapat dari segi hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf c dan Pasal 7 huruf c,
pendapat dari konsultan hukum paling sedikit harus memuat
atau mengungkapkan:
a. keabsahan akta pendirian;
b. kesesuaian anggaran dasar terakhir dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal;
c. keabsahan perjanjian dalam rangka Penawaran Umum
atau penambahan modal dengan memberikan HMETD
dan perjanjian penting lainnya;
d.
izin dan persetujuan pokok yang diperlukan dalam
pelaksanaan kegiatan usaha atau kegiatan usaha yang
direncanakan Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala
Menengah;
e. status kepemilikan, pembebanan, asuransi, dan sengketa
atas aset Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala
Menengah yang nilainya material;
f.
perkara yang penting dan relevan, tuntutan perdata atau
pidana, serta tindakan hukum lainnya menyangkut
Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah dan
- 32 -
Perusahaan Anak, anggota Direksi, atau anggota Dewan
Komisaris (jika ada);
g. struktur permodalan dan pemegang saham Emiten Skala
Kecil atau Emiten Skala Menengah serta setiap
perubahannya selama 2 (dua) tahun terakhir sebelum
Pernyataan Pendaftaran atau sejak berdirinya bagi
Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah yang
berdiri kurang dari 2 (dua) tahun telah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
h. aspek hukum material lainnya sehubungan dengan
Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah dan
penawaran Efek yang akan dilaksanakan.
Bagian Ketiga Belas
Laporan Keuangan
Pasal 30
Dalam bagian laporan keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf d dan Pasal 7 huruf d, harus menyajikan
laporan keuangan dengan ketentuan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum dan
penambahan modal dengan memberikan HMETD oleh Emiten
Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah.
Bagian Keempat Belas
Laporan Penilai dan Laporan Tenaga Ahli
Pasal 31
(1) Dalam hal terdapat laporan Penilai dan laporan tenaga
ahli, dalam bagian laporan Penilai dan laporan tenaga
ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e dan
Pasal 7 huruf e, harus paling sedikit memuat atau
mengungkapkan:
- 33 -
a. ringkasan laporan Penilai atau tenaga ahli; dan
b. untuk tenaga ahli, harus mengungkapkan juga
informasi meliputi nama, alamat, dan kualifikasi
tenaga ahli serta pernyataan bahwa tenaga ahli
tersebut telah memberikan persetujuan atas
pencantuman ringkasan laporan dimaksud dalam
Prospektus dalam hal Prospektus memuat ringkasan
laporan dari tenaga ahli.
(2) Laporan Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a harus memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor pasar modal mengenai
pedoman penilaian dan penyajian laporan penilaian di
pasar modal.
Bagian Kelima Belas
Keterangan tentang Wali Amanat dan Penanggung
Pasal 32
Dalam bagian keterangan tentang Wali Amanat dan
penanggung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b
dan Pasal 8 huruf b, paling sedikit harus memuat atau
mengungkapkan:
a. nama, alamat, dan uraian mengenai pihak yang
bertindak sebagai Wali Amanat dan penanggung (jika
terdapat penanggung); dan
b. pernyataan dari penanggung (jika terdapat penanggung)
bahwa:
1. penanggung sanggup untuk menanggung sesuai
dengan kewajiban atau kesanggupan penanggungan
yang tercantum dalam perjanjian penanggungan;
dan
2. ada atau tidaknya perkara di bidang keuangan yang
sedang dijalani oleh penanggung.
- 34 -
Bagian Keenam Belas
Keterangan mengenai Pembeli Siaga dan/atau Calon
Pengendali Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
Pasal 33
Dalam bagian keterangan mengenai Pembeli Siaga dan/atau
calon Pengendali Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala
Menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c
paling sedikit harus memuat atau mengungkapkan:
a. nama dan alamat domisili atau kantor pusat Pembeli
Siaga dan/atau calon Pengendali Emiten Skala Kecil atau
Emiten Skala Menengah;
b. bidang usaha (jika ada);
c. status badan hukum (jika ada);
d. susunan pengurus dan pengawas (jika ada);
e. struktur permodalan atau informasi yang setara;
f. penerima manfaat dari calon Pengendali baru (jika ada);
g. sumber dana yang digunakan oleh Pembeli Siaga
dan/atau calon Pengendali Emiten Skala Kecil atau
Emiten Skala Menengah;
h. sifat hubungan afiliasi dengan Emiten Skala Kecil atau
Emiten Skala Menengah (jika ada); dan
i.
uraian tentang persyaratan penting dari perjanjian
pembelian sisa Efek atau persetujuan untuk membeli
Efek oleh Pembeli Siaga.
Bagian Ketujuh Belas
Ikhtisar Data Keuangan Penting
Pasal 34
(1) Dalam bagian ikhtisar data keuangan penting
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf d paling
sedikit harus memuat atau mengungkapkan:
a. keterangan laporan keuangan yang telah diaudit
yang menjadi sumber data termasuk informasi
- 35 -
Akuntan Publik, nama kantor Akuntan Publik, opini
yang diberikan, dan penjelasan tentang periode
laporan keuangan yang dicakup;
b. data keuangan 2 (dua) tahun buku terakhir atau
sejak berdirinya jika kurang dari 2 (dua) tahun buku
ditambah interim (jika ada);
c. dalam hal terdapat data keuangan periode interim,
disajikan perbandingannya dengan periode yang
sama tahun sebelumnya (tidak harus diaudit),
kecuali untuk laporan posisi keuangan;
d. bentuk dan isi data keuangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf b harus sama dengan yang
disajikan dalam laporan keuangan; dan
e. data keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
b paling sedikit meliputi:
1. pendapatan;
2. laba (rugi) bruto;
3. laba (rugi) tahun berjalan;
4. penghasilan komprehensif lain;
5. total penghasilan komprehensif tahun berjalan;
6. jumlah laba (rugi) yang dapat diatribusikan
kepada pemilik entitas induk dan kepentingan
non Pengendali;
7. jumlah penghasilan komprehensif yang dapat
diatribusikan kepada pemilik entitas induk dan
kepentingan non Pengendali;
8. laba (rugi) per saham;
9. dividen per saham (jika ada pembagian dividen);
10. total aset lancar, total aset tidak lancar, dan
total aset;
11. total liabilitas jangka pendek, total liabilitas
jangka panjang, dan total liabilitas;
12. total ekuitas;
13. rasio laba (rugi) tahun berjalan terhadap total
aset;
- 36 -
14. rasio laba (rugi) tahun berjalan terhadap
ekuitas;
15. rasio laba (rugi) tahun berjalan terhadap
pendapatan;
16. rasio lancar;
17. rasio liabilitas terhadap ekuitas;
18. rasio liabilitas terhadap total aset;
19. informasi dan rasio keuangan lainnya yang
relevan dengan Pengendali Emiten Skala Kecil
atau Emiten Skala Menengah dan jenis
industrinya; dan
20. informasi nilai kurs, dalam hal laporan
keuangan Pengendali Emiten Skala Kecil atau
Emiten Skala Menengah disusun selain dalam
mata uang rupiah, paling sedikit meliputi:
a)
nilai kurs pada tanggal yang paling akhir
yang dapat diketahui;
b)
nilai kurs tertinggi dan terendah untuk
tiap bulan selama periode 6 (enam) bulan
terakhir;
c) nilai kurs rata-rata untuk setiap tahun dan
periode interim yang disajikan dalam
laporan keuangan yang dihitung dengan
menggunakan nilai kurs rata-rata pada
hari terakhir pada tiap bulan dalam
periode dimaksud; dan
d) sumber informasi atas pengungkapan nilai
kurs yang digunakan.
(2) Ikhtisar data keuangan penting yang disajikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus konsisten
dengan laporan keuangan Emiten Skala Kecil atau
Emiten Skala Menengah termasuk nama pos yang
digunakan.
- 37 -
BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 35
Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
mengajukan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka
Penawaran Umum sukuk, selain wajib memenuhi ketentuan
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, Emiten Skala
Kecil atau Emiten Skala Menengah wajib memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan mengenai penerbitan dan persyaratan sukuk.
Pasal 36
Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
akan menerbitkan Efek utang konversi melalui Penawaran
Umum, sifat Efek utang konversi tersebut harus merupakan
Efek utang wajib konversi.
BAB V
KETENTUAN SANKSI
Pasal 37
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi terhadap setiap pihak yang
melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan
terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a.
peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan/atau
- 38 -
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 38
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 39
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 kepada masyarakat.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 40
Bagi Emiten Skala Kecil dan Emiten Skala Menengah yang
telah mengajukan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka
Penawaran Umum dan penambahan modal dengan
memberikan HMETD kepada Otoritas Jasa Keuangan namun
Pernyataan Pendaftaran dimaksud belum efektif sebelum
berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, Prospektus
yang disampaikan oleh Emiten Skala Kecil dan Emiten Skala
- 39 -
Menengah dalam rangka Penawaran Umum dan penambahan
modal dengan memberikan HMETD tetap mengikuti Peraturan
Nomor IX.C.8, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal Nomor Kep-56/PM/1996 tanggal 17 Januari
1996 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus
Dalam Rangka Penawaran Umum oleh Perusahaan Menengah
atau Kecil.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor Kep-56/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang
Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus Dalam Rangka
Penawaran Umum oleh Perusahaan Menengah atau Kecil
beserta Peraturan Nomor IX.C.8 yang merupakan
lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 42
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 40 -
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juli 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Juli 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 172
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 54 /POJK.04/2017
TENTANG
BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM
DAN PENAMBAHAN MODAL DENGAN MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK
TERLEBIH DAHULU OLEH PERUSAHAAN DENGAN ASET SKALA KECIL
ATAU PERUSAHAAN DENGAN ASET SKALA MENENGAH
I. UMUM
Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang pada pokoknya mengatur
bahwa setiap pihak yang akan melakukan Penawaran Umum wajib
menyampaikan Pernyataan Pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan
dan Pernyataan Pendaftaran tersebut telah menjadi efektif. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Otoritas Jasa
Keuangan memiliki kewenangan untuk mengatur dokumen yang wajib
disampaikan pada saat penyampaian Pernyataan Pendaftaran. Pengaturan
mengenai bentuk dan isi Prospektus yang harus disampaikan untuk
penyampaian Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum
Efek bersifat ekuitas, Efek bersifat utang, dan Sukuk Emiten Skala Kecil
atau Emiten Skala Menengah, saat ini diatur dengan Peraturan Nomor
IX.C.8, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor
Kep-56/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Pedoman Mengenai
Bentuk dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum oleh
Perusahaan Menengah atau Kecil. Namun, dalam perkembangannya perlu
adanya penyesuaian mengenai bentuk dan isi Prospektus dalam rangka
Penawaran Umum sehingga mempermudah akses bagi Emiten Skala Kecil
- 2 -
atau Emiten Skala Menengah agar dapat memanfaatkan pasar modal
sebagai sumber pendanaan.
Penyesuaian Peraturan Nomor IX.C.8 tersebut dilakukan untuk
tujuan meningkatkan kualitas keterbukaan informasi dalam Prospektus
Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah sehingga diharapkan
masyarakat dalam berinvestasi pada Emiten Skala Kecil atau Emiten
Skala Menengah memiliki pengetahuan yang cukup dalam mengambil
keputusan.
Adapun penyesuaian informasi yang dilakukan terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai pedoman mengenai bentuk dan
isi Prospektus dalam rangka Penawaran Umum oleh Emiten Skala Kecil
atau Emiten Skala Menengah, yaitu antara lain:
a. untuk Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas dan Penawaran Umum
Efek bersifat utang menambahkan informasi:
1. kejadian penting setelah tanggal laporan Akuntan Publik;
2. penjaminan emisi Efek;
3. pendapat dari segi hukum; dan
4. laporan Penilai dan laporan tenaga ahli (jika ada);
b. khusus untuk Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas ditambahkan
informasi opsi penjatahan lebih dalam rangka Penawaran Umum;
c. menambahkan informasi terkait penambahan modal dengan
memberikan HMETD:
1. keterangan mengenai Pembeli Siaga dan/atau calon Pengendali
Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah (jika ada);
2. ikhtisar data keuangan penting;
3.
jadwal terkait penambahan modal dengan memberikan HMETD;
4. uraian mengenai HMETD yang ditawarkan;
5. penyetoran atas saham dalam bentuk lain selain uang;
6. pernyataan yang menyatakan pemegang saham utama akan
melaksanakan atau tidak melaksanakan HMETD yang dimiliki
dan informasi nama pihak yang akan menerima pengalihan
HMETD;
7. nama lengkap Pihak yang bertindak sebagai Pembeli Siaga
dan/atau calon Pengendali;
8. uraian mengenai Efek bersifat utang yang dapat atau wajib
dikonversi menjadi saham;
- 3 -
9. pihak yang melakukan penyetoran modal dalam bentuk selain
uang yang dapat mengakibatkan pihak tersebut menjadi
Pengendali baru Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala
Menengah dan meningkatkan ekuitas Emiten Skala Kecil atau
Emiten Skala Menengah sebesar 100% (seratus persen) atau
lebih, Prospektus paling sedikit harus memuat atau
mengungkapkan:
a) dalam hal setoran modal berbentuk saham perusahaan
lain, informasi yang harus dimuat atau diungkapkan paling
sedikit:
1) laporan keuangan perusahaan lain tersebut;
2) informasi keuangan proforma yang diperiksa Akuntan
Publik;
3) informasi tentang faktor risiko;
4) keterangan tentang perusahaan lain tersebut;
5) kegiatan dan prospek usaha, dan
6) pendapat dari segi hukum perusahaan lain tersebut;
dan/atau
b) dalam hal setoran modal berbentuk aset, informasi yang
harus diungkapkan berupa keterangan mengenai aset
tersebut serta risiko dan prospek usaha atas penggunaan
aset tersebut.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
- 5 -
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Contoh ikhtisar pokok Kontrak Perwaliamanatan antara lain:
1. ikhtisar hak pemegang Efek bersifat utang;
2. ikhtisar sifat Efek bersifat utang yang memberi
kemungkinan pembayaran lebih dini atas pilihan Emiten
Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah atau pemegang
Efek bersifat utang;
3. hak keutamaan (senioritas) dibandingkan dengan utang
lainnya dari Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala
Menengah yang ada dan yang mungkin timbul; dan
4. ikhtisar persyaratan mengenai dana pelunasan utang
(sinking fund), (jika ada);
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Huruf a
Angka 1
Contoh penggunaan dana antara lain untuk pengembangan
sarana yang ada, diversifikasi, dan penambahan modal
kerja.
- 6 -
Angka 2
Yang dimaksud dengan “afiliasi” adalah afiliasi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Huruf a
Dalam praktiknya biaya jasa penjaminan disebut dengan
underwriting fee.
Huruf b
Dalam praktiknya biaya jasa penyelenggaraan disebut dengan
management fee.
Huruf c
Dalam praktiknya biaya jasa penjualan disebut dengan selling
fee.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Dalam praktiknya biaya jasa konsultasi keuangan disebut
dengan financial advisory fee.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Risiko yang dihadapi dapat berupa antara lain:
1.
risiko utama yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap
kelangsungan usaha;
- 7 -
2. risiko usaha;
3. risiko umum; dan
4. risiko bagi investor.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “perjanjian penting” antara lain
terdiri atas:
1. pembelian bahan baku;
2. pemasaran;
3.
distribusi; atau
4. pembelanjaan.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
- 8 -
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Yang dimaksud dengan “keterangan umum tentang sarana
produksi yang dimiliki atau disewa dari pihak lain atau
dikuasai” antara lain terdiri atas:
1. hak tanah, bangunan, dan prasarana; dan
2. mesin dan perlengkapan serta statusnya.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
Pasal 24
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kejadian penting sehubungan dengan
perkembangan usaha” antara lain terdiri atas:
1. perubahan kepemilikan;
2. investasi barang modal yang material yang dilakukan,
perkembangan produk atau jasa baru; dan
3. kegiatan pemasaran yang penting.
Huruf c
Contoh 1:
Pada tahun 2012 dan 2013 PT A melakukan peningkatan modal
disetor. Tahun 2014 dan tahun 2015 tidak terjadi perubahan
struktur permodalan namun pada April 2016 dan September
2016 dilakukan peningkatan modal disetor kembali. Pada tahun
2017 PT A melakukan Pernyataan Pendaftaran ke OJK.
Maka perubahan dalam susunan pemegang saham dan
kepemilikan saham 2 (dua) tahun terakhir yang diungkapkan
sebelum Pernyataan Pendaftaran adalah perubahan struktur
- 9 -
permodalan pada April 2016, September 2016 dan struktur
permodalan tahun 2015 yang merujuk pada perubahan struktur
permodalan tahun 2013.
Contoh 2:
Pada tahun 2012 dan 2013 PT A melakukan peningkatan modal
disetor. Tahun 2014, tahun 2015, dan tahun 2016 tidak terjadi
perubahan struktur permodalan. Pada tahun 2017 PT A
melakukan Pernyataan Pendaftaran ke OJK.
Maka perubahan dalam susunan pemegang saham dan
kepemilikan saham 2 (dua) tahun terakhir yang diungkapkan
sebelum Pernyataan Pendaftaran adalah perubahan struktur
permodalan tahun 2013.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
- 10 -
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6106
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 54/POJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM DAN PENAMBAHAN MODAL DENGAN MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU OLEH EMITEN DENGAN ASET SKALA KECIL ATAU EMITEN DENGAN ASET SKALA MENENGAH </reg_title>
<set_date> 19 Juli 2017 </set_date>
<effective_date> 27 Juli 2017 </effective_date>
<issued_date> 27 Juli 2017 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-56/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-56/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor IX.C.8' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 23 /POJK.04/2017
TENTANG
PROSPEKTUS AWAL DAN INFO MEMO
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai
prospektus awal dan info memo beralih dari Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke
Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai pengaturan terhadap prospektus awal dan info
memo, ketentuan peraturan perundang-undangan di
sektor pasar modal mengenai prospektus awal dan info
memo yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas
Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Prospektus
Awal dan Info Memo;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PROSPEKTUS AWAL DAN INFO MEMO.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Prospektus adalah setiap informasi tertulis sehubungan
dengan penawaran umum dengan tujuan agar pihak lain
membeli efek.
2. Prospektus Awal adalah dokumen tertulis yang memuat
seluruh informasi dalam Prospektus yang disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagai bagian dari
pernyataan pendaftaran, kecuali informasi mengenai nilai
nominal, jumlah dan harga penawaran efek, penjaminan
emisi efek, tingkat suku bunga obligasi, atau hal lain
yang berhubungan dengan persyaratan penawaran yang
belum dapat ditentukan.
3.
Info Memo adalah dokumen tertulis yang memuat
seluruh informasi dalam Prospektus Awal dan informasi
tambahan lain yang relevan (jika ada), dan ditulis dalam
bahasa lain selain Bahasa Indonesia, serta dapat dibuat
dalam format yang berbeda.
4. Prospektus Ringkas adalah ringkasan dari isi Prospektus
Awal.
- 3 -
5. Penawaran Awal adalah ajakan baik secara langsung
maupun tidak langsung dengan menggunakan
Prospektus Awal yang antara lain bertujuan untuk
mengetahui minat calon pembeli atas efek yang akan
ditawarkan dan/atau perkiraan harga penawaran efek.
6. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan
utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda
bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif,
kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari
efek.
7. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang
dilakukan oleh emiten untuk menjual Efek kepada
masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal dan peraturan pelaksanaannya.
Pasal 2
Prospektus Awal dan Info Memo dapat mencantumkan
informasi mengenai:
a. kisaran jumlah Efek yang akan ditawarkan;
b. kisaran harga penawaran Efek; dan
c. hal lain yang berhubungan dengan persyaratan
penawaran.
Pasal 3
Prospektus Awal dan Info Memo hanya dapat didistribusikan
setelah diumumkannya Prospektus Ringkas sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
di sektor pasar modal yang mengatur mengenai tata cara
pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum.
Pasal 4
Penyampaian minat untuk membeli Efek dari calon pembeli
yang dilakukan dalam masa Penawaran Awal wajib bersifat
tidak mengikat dan bukan merupakan suatu pemesanan atas
suatu Efek.
- 4 -
BAB II
KULIT MUKA PROSPEKTUS AWAL DAN INFO MEMO
Pasal 5
Prospektus Awal dan Info Memo harus memuat tanggal
penerbitan dan pernyataan pada kulit muka Prospektus Awal
dan Info Memo dalam huruf cetak besar dengan tinta merah
yang langsung dapat menarik perhatian, dalam bahasa yang
digunakan dalam Prospektus Awal dan Info Memo, yaitu:
“INFORMASI DALAM DOKUMEN INI MASIH DAPAT
DILENGKAPI DAN/ATAU DIUBAH.
PERNYATAAN
PENDAFTARAN EFEK INI TELAH DISAMPAIKAN KEPADA
OTORITAS JASA KEUANGAN NAMUN BELUM MEMPEROLEH
PERNYATAAN EFEKTIF DARI OTORITAS JASA KEUANGAN.
DOKUMEN INI HANYA DAPAT DIGUNAKAN DALAM RANGKA
PENAWARAN AWAL TERHADAP EFEK INI. EFEK INI TIDAK
DAPAT DIJUAL SEBELUM PERNYATAAN PENDAFTARAN
YANG TELAH DISAMPAIKAN KEPADA OTORITAS JASA
KEUANGAN MENJADI EFEKTIF. PEMESANAN MEMBELI
EFEK INI HANYA DAPAT DILAKSANAKAN SETELAH CALON
PEMBELI ATAU PEMESAN MENERIMA ATAU MEMPUNYAI
KESEMPATAN UNTUK MEMBACA PROSPEKTUS”.
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 6
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
- 5 -
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan/atau
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g
dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan
sanksi
administratif berupa peringatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 7
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 8
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 kepada masyarakat.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 9
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor Kep-41/PM/2000 tentang Prospektus Awal dan Info
Memo, beserta Peraturan Nomor IX.A.8 yang merupakan
lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
tertulis
- 6 -
Pasal 10
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap
orang
mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 123
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 23 /POJK.04/2017
TENTANG
PROSPEKTUS AWAL DAN INFO MEMO
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan
lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar
modal yang mengatur mengenai Prospektus Awal dan Info Memo yaitu
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-41/PM/2000
tentang Prospektus Awal dan Info Memo, beserta Peraturan Nomor IX.A.8
yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Prospektus Awal dan Info Memo.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Dalam praktiknya “Penawaran Awal” dimaksud dikenal juga dengan
sebutan bookbuilding.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa
penundaan pemberian pernyataan efektif untuk pernyataan
pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6070
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 23/POJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> PROSPEKTUS AWAL DAN INFO MEMO </reg_title>
<set_date> 21 Juni 2017 </set_date>
<effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date>
<issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-41/PM/2000|KEPTA-BAPEPAM/2000', 'Kep-41/PM/2000|KEPTA-BAPEPAM/2000 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.8' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 14 /POJK.05/2014
TENTANG
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 28 dan Pasal
31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Pembinaan dan Pengawasan Lembaga
Keuangan Mikro;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5394);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 89 Tahun 2014 tentang
Suku Bunga Pinjaman atau Imbal Hasil Pembiayaan dan
Luas Cakupan Wilayah Usaha Lembaga Keuangan Mikro)
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
321, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5616);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN LEMBAGA KEUANGAN
MIKRO.
BAB I…
-2-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat
LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan
untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan
pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau
pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota
dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun
pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang
tidak semata-mata mencari keuntungan.
2. Pinjaman adalah penyediaan dana oleh LKM kepada
masyarakat yang harus dikembalikan sesuai dengan
yang diperjanjikan.
3. Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh LKM kepada
masyarakat yang harus dikembalikan sesuai dengan
yang diperjanjikan dengan prinsip syariah.
4. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh
masyarakat kepada LKM dalam bentuk tabungan
dan/atau deposito berdasarkan perjanjian penyimpanan
dana.
5. Penyimpan adalah pihak yang menempatkan dananya
pada LKM berdasarkan perjanjian.
6. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam
berdasarkan fatwa atau pernyataan kesesuaian syariah
dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN MUI).
7. Direksi:
a. bagi LKM berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan mengenai
perseroan terbatas;
b. bagi LKM berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengurus sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai perkoperasian.
8. Dewan …
-3-
8. Dewan Komisaris:
a. bagi LKM berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
mengenai perseroan terbatas;
b. bagi LKM berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai perkoperasian.
9. Pemeriksaan adalah rangkaian kegiatan mengumpulkan,
mencari, mengolah, dan mengevaluasi data dan
informasi mengenai kegiatan usaha LKM.
10. Pemeriksa adalah pegawai Otoritas Jasa Keuangan,
pegawai Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak
lain yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan.
11. Surat Perintah Pemeriksaan adalah surat yang
dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota atau pihak lain yang ditunjuk
oleh Otoritas Jasa Keuangan, yang digunakan oleh
Pemeriksa sebagai dasar untuk melakukan
Pemeriksaan.
12. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan adalah surat yang
dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota atau pihak lain yang ditunjuk
oleh Otoritas Jasa Keuangan, yang disampaikan kepada
LKM yang akan diperiksa.
13. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur
tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas dan
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang mengenai OJK.
BAB II…
-4-
BAB II
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 2
(1) Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan LKM
dilakukan oleh OJK.
(2) Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan, OJK
melakukan koordinasi dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan koperasi dan Kementerian
Dalam Negeri.
(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) didelegasikan kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
(4) Dalam hal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota belum
siap, OJK dapat mendelegasikan pembinaan dan
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada pihak lain yang ditunjuk.
Pasal 3
(1) Untuk dapat melaksanakan fungsi dan tugas pembinaan
dan pengawasan LKM, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota melakukan persiapan sumber daya
manusia dan infrastruktur.
(2) Persiapan sumber daya manusia dan infrastruktur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a. menunjuk pegawai Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota untuk melaksanakan fungsi dan
tugas pembinaan dan pengawasan LKM;
b. menugaskan pegawai yang ditunjuk sebagaimana
dimaksud pada huruf a untuk mengikuti pelatihan
yang diselenggarakan oleh OJK; dan
c. mempersiapkan sarana pendukung operasional
pengawasan.
Pasal 4
Pihak lain yang ditunjuk sebagaimana dimaksud
dalamPasal 2 ayat (4) paling kurang memenuhi persyaratan:
a. Kesediaan…
-5-
a. Kesediaan untuk melaksanakan tugas pembinaan dan
pengawasan LKM sesuai dengan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dan
peraturan pelaksanaannya;
b. Mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang
operasionalisasi LKM; dan
c. Memiliki infrastruktur yang memadai yang dapat
menunjang pelaksanaan pembinaan dan pengawasan
LKM.
Pasal 5
(1) Pembinaan dan pengawasan yang didelegasikan kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak lain
yang ditunjuk meliputi:
a. Penerimaan laporan keuangan dan input data ke
dalam sistem aplikasi;
b. Pelaksanaan analisis laporan keuangan LKM;
c. Penerimaan dan analisis laporan lain;
d. Pelaksanaan tindak lanjut atas laporan lainnya;
e. Penyusunan rencana kerja pemeriksaan,
pelaksanaan pemeriksaan, dan tindak lanjut atas
hasil pemeriksaan LKM;
f. Pengenaan sanksi administratif kepada LKM selain
pencabutan izin usaha dan denda; dan
g. Pelaksanaan langkah-langkah penyehatan terhadap
LKM yang mengalami kesulitan likuiditas dan
solvabilitas yang membahayakan keberlangsungan
usaha.
(2) Perubahan pembinaan dan pengawasan yang
didelegasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 6
Pembinaan dan pengawasan LKM dilaksanakan sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro dan peraturan pelaksanaannya
serta pedoman yang ditetapkan oleh OJK.
Pasal 7…
-6-
Pasal 7
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
pembinaan dan pengawasan LKM diatur dengan Surat
Edaran Dewan Komisioner OJK.
BAB III
PEMERIKSAAN
Pasal 8
(1) Dalam rangka pelaksanaan fungsi pembinaan dan
pengawasan, OJK melakukan Pemeriksaan terhadap
LKM.
(2) Pemeriksaan terhadap LKM sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) didelegasikan kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota setempat di wilayah LKM beroperasi
atau pihak lain yang ditunjuk oleh OJK.
(3) Dalam hal diperlukan, OJK dapat melakukan
Pemeriksaan langsung terhadap LKM baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak lain
yang ditunjuk.
(4) Pemeriksaan bertujuan untuk:
a. memperoleh keyakinan mengenai kondisi LKM yang
sebenarnya;
b. meneliti kesesuaian kondisi LKM dengan peraturan
perundang-undangan dan praktik penyelenggaraan
usaha LKM yang sehat; dan
c. memastikan bahwa LKM telah melakukan upaya
untuk dapat memenuhi kewajiban kepada nasabah.
Pasal 9
(1) Pelaksanaan Pemeriksaan terhadap LKM dilakukan
berdasarkan:
a. hasil analisis atas laporan berkala LKM, patut
diduga bahwa penyelenggaraan kegiatan usaha LKM
dimaksud menyimpang dari peraturan perundang-
undangan di bidang LKM yang dapat menimbulkan
risiko yang membahayakan keberlangsungan usaha
LKM dan/atau kepentingan Penyimpan dalam
kegiatan penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan dan
pengelolaan Simpanan; atau
b. pengaduan…
-7-
b. pengaduan atau laporan yang disampaikan
masyarakat,
terdapat
dugaan bahwa
penyelenggaraan kegiatan usaha dari LKM
menyimpang dari ketentuan peraturan perundangan
yang berlaku mengenai LKM yang dapat
menimbulkan kerugian pada masyarakat.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi Pemeriksaan atas substansi laporan berkala
dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan di bidang LKM.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat
(3) dilakukan dalam hal terdapat dugaan adanya
kondisi-kondisi:
a. terjadinya penyalahgunaan keuangan LKM baik oleh
Direksi, Komisaris maupun pegawai LKM;
b. terjadinya kesulitan likuiditas dan solvabilitas yang
mengarah pada kondisi yang membahayakan
keberlangsungan usaha LKM;
c. terdapat penyimpangan terhadap Prinsip Syariah bagi
LKM yang menyelenggarakan kegiatan usahanya
berdasarkan Prinsip Syariah;
d. tunggakan pengembalian Pinjaman atau Pembiayaan
cukup besar sehingga dapat mempengaruhi kondisi
keuangan LKM;
e. adanya penyimpangan dalam bentuk pemberian
Pinjaman atau Pembiayaan fiktif;
f. terjadinya kesalahan dalam pencatatan dan/atau
perhitungan pembukuan yang berakibat kerugian
finansial bagi LKM; dan/atau
g. terdapat kondisi-kondisi di luar ketentuan
sebagaimana dimaksud huruf a sampai dengan huruf
f, yang berdasarkan pertimbangan dari OJK perlu
untuk dilakukan Pemeriksaan secara langsung oleh
OJK terhadap LKM.
(4) Dalam…
-8-
(4) Dalam pelaksanaan pemeriksaan LKM sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), OJK berkoordinasi dengan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak lain
yang ditunjuk.
Pasal 10
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dilaksanakan oleh Pemeriksa berdasarkan surat tugas
atau Surat Perintah Pemeriksaan dan Surat
Pemberitahuan Pemeriksaan.
(2) Sebelum dilakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terlebih dahulu disampaikan Surat
Pemberitahuan Pemeriksaan kepada LKM.
(3) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat 3
(tiga) hari kerja sebelum tanggal pelaksanaan kegiatan
Pemeriksaan.
(4) Penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan
terlebih dahulu tidak berlaku dalam hal penyampaian
surat pemberitahuan tersebut dapat menyebabkan
tindakan mengaburkan keadaan yang sebenarnya atau
tindakan menyembunyikan data, keterangan, atau
laporan yang diperlukan dalam pelaksanaan
Pemeriksaan.
Pasal 11
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
a. persiapan Pemeriksaan;
b. pelaksanaan Pemeriksaan; dan
c. pelaporan hasil Pemeriksaan.
(2) Persiapan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dibuat berdasarkan hasil analisis
laporan berkala dan data lain yang mendukung.
(3) Pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dilakukan dengan cara Pemeriksaan di
kantor LKM.
(4) Untuk…
-9-
(4) Untuk mendukung pelaksanaan Pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat
dilakukan konfirmasi kepada pihak ketiga yang terkait
dengan LKM yang bersangkutan.
(5) Pelaporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c harus disusun berdasarkan data
atau keterangan yang diperoleh selama proses
pemeriksaan berlangsung yang dituangkan dalam kertas
kerja Pemeriksaan.
Pasal 12
(1) Pada saat akan dimulai Pemeriksaan, Pemeriksa wajib
menunjukkan surat tugas atau Surat Perintah
Pemeriksaan.
(2) Dalam hal Pemeriksa tidak dapat memenuhi ketentuan
dalam ayat (1), LKM yang akan diperiksa dapat menolak
dilakukannya Pemeriksaan.
Pasal 13
(1) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan, LKM yang diperiksa
wajib untuk:
a. menerima
pelaksanaan Pemeriksaan yang
dilaksanakan oleh Pemeriksa;
b. memenuhi permintaan Pemeriksa untuk memberikan
atau meminjamkan buku, catatan-catatan, dan
dokumen-dokumen yang diperlukan untuk
kelancaran Pemeriksaan;
c. memberikan keterangan yang diperlukan secara
tertulis dan/atau lisan; dan
d. memberi akses kepada Pemeriksa untuk memasuki
tempat atau ruangan yang dipandang perlu.
(2) LKM dianggap menghambat kelancaran proses
Pemeriksaan apabila tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pemeriksa wajib merahasiakan data dan/atau
keterangan yang diperoleh selama Pemeriksaan terhadap
pihak yang tidak berhak.
Pasal 14…
-10-
Pasal 14
(1) Pemeriksa wajib melakukan pembahasan atas hasil
Pemeriksaan dengan LKM sebelum pelaksanaan
Pemeriksaan berakhir.
(2) Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditandatangani oleh pihak Pemeriksa dan LKM sebagai
dasar penyusunan laporan hasil Pemeriksaan.
(3) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disampaikan kepada LKM paling lama 15 (lima
belas) hari kerja setelah laporan hasil Pemeriksaan
ditetapkan.
Pasal 15
Pemeriksaan LKM dilaksanakan berdasarkan Pedoman
Pemeriksaan yang diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran
OJK.
BAB IV
EVALUASI ATAS PEMBINAAN DAN PENGAWASAN LKM
Pasal 16
(1) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak lain
yang menerima pendelegasian pembinaan dan
pengawasan melaporkan secara berkala hasil pembinaan
dan pengawasan LKM kepada OJK untuk periode
1 (satu) tahun takwim paling lambat 2 (dua) bulan
terhitung sejak tahun takwim berakhir.
(2) OJK melakukan evaluasi atas pelaksanaan pembinaan
dan pengawasan LKM yang telah dilakukan oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak lain
yang ditunjuk untuk periode 1 (satu) tahun takwim.
(3) Dalam hal kewenangan pembinaan dan pengawasan
LKM yang telah didelegasikan kepada Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota atau pihak lain yang ditunjuk
tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya oleh sebab
apapun, OJK dapat mengambilalih kewenangan
pembinaan dan pengawasan LKM dan mendelegasikan
kepada pihak lain.
BAB V…
-11-
BAB V
SANKSI
Pasal 17
(1) LKM yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 13
ayat (1) dan ayat (2) Peraturan OJK ini, dikenakan
sanksi administratif berupa peringatan tertulis.
(2) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-
turut dengan masa berlaku masing-masing 40 (empat
puluh) hari kerja.
(3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
LKM telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), OJK atau Pemerintah Kabupaten/Kota
setempat atau pihak lain yang ditunjuk oleh OJK
mencabut sanksi peringatan tertulis.
(4) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan LKM
tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), OJK meminta pemegang saham atau rapat
anggota koperasi untuk mengganti Direksi LKM dalam
jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak
pemberitahuan dari OJK.
(5) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) berakhir dan rapat umum pemegang saham atau
rapat anggota tidak mengganti Direksi LKM dimaksud,
OJK memberhentikan Direksi LKM dan selanjutnya
menunjuk serta mengangkat pengganti sementara
sampai rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota mengangkat pengganti yang tetap dengan
persetujuan OJK.
BAB VI…
-12-
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal 8 Januari
2015.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Nopember 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA. H LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 344
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum,
Ttd.
Tini Kustini
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 14/POJK.05/2014 </reg_id>
<reg_title> PEMBINAAN DAN PENGAWASAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO </reg_title>
<set_date> 31 Oktober 2014 </set_date>
<effective_date> 8 Januari 2015 </effective_date>
<issued_date> 11 Nopember 2014 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '1/UU/2013', '89/PP/2014' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 67 /POJK.05/2016
TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN ASURANSI,
PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI,
DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (4),
Pasal 10 ayat (4), Pasal 13 ayat (3), Pasal 14 ayat (4), Pasal
16 ayat (3), Pasal 17 ayat (3), Pasal 20 ayat (5), Pasal 40
ayat (6), Pasal 41 ayat (4), Pasal 69 ayat (2), Pasal 85 ayat
(2), Pasal 87 ayat (2), dan Pasal 88 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi,
dan Perusahaan Reasuransi Syariah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
- 2 -
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN
ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH,
PERUSAHAAN REASURANSI, DAN PERUSAHAAN
REASURANSI SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Perusahaan adalah perusahaan asuransi, perusahaan
asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan
perusahaan reasuransi syariah.
2. Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu
perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang
menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan
asuransi sebagai imbalan untuk:
a. memberikan penggantian kepada tertanggung
atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan,
biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang
mungkin diderita tertanggung atau pemegang
polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak
pasti; atau
b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada
meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang
didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan
manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau
didasarkan pada hasil pengelolaan dana,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
- 3 -
3. Asuransi Syariah adalah kumpulan perjanjian, yang
terdiri atas perjanjian antara perusahaan asuransi
syariah dan pemegang polis dan perjanjian di antara
para pemegang polis, dalam rangka pengelolaan
kontribusi berdasarkan prinsip syariah guna saling
menolong dan melindungi dengan cara:
a. memberikan penggantian kepada peserta atau
pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya
yang timbul, kehilangan keuntungan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang
mungkin diderita peserta atau pemegang polis
karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti;
atau
b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada
meninggalnya peserta atau pembayaran yang
didasarkan pada hidupnya peserta dengan
manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau
didasarkan pada hasil pengelolaan dana,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
4. Usaha Perasuransian adalah segala usaha menyangkut
jasa pertanggungan atau pengelolaan risiko,
pertanggungan ulang risiko, pemasaran dan distribusi
produk asuransi atau produk asuransi syariah,
konsultasi dan keperantaraan asuransi, asuransi
syariah, reasuransi, atau reasuransi syariah, atau
penilaian kerugian asuransi atau asuransi syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
5. Usaha Asuransi Umum adalah usaha jasa
pertanggungan risiko yang memberikan penggantian
kepada tertanggung atau pemegang polis karena
kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan
keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada
pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau
pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang
- 4 -
tidak pasti sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
6. Usaha Asuransi Jiwa adalah usaha yang
menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko yang
memberikan pembayaran kepada pemegang polis,
tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal
tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau
pembayaran lain kepada pemegang polis, tertanggung,
atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang
diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah
ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil
pengelolaan dana sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
7. Usaha Reasuransi adalah usaha jasa pertanggungan
ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan
asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan
reasuransi lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
8. Usaha Asuransi Umum Syariah adalah usaha
pengelolaan risiko berdasarkan prinsip syariah guna
saling menolong dan melindungi dengan memberikan
penggantian kepada peserta atau pemegang polis
karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul,
kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta
atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa
yang tidak pasti sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
9. Usaha Asuransi Jiwa Syariah adalah usaha
pengelolaan risiko berdasarkan prinsip syariah guna
saling menolong dan melindungi dengan memberikan
pembayaran yang didasarkan pada meninggal atau
hidupnya peserta, atau pembayaran lain kepada
peserta atau pihak lain yang berhak pada waktu
- 5 -
tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya
telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil
pengelolaan dana sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
10. Usaha Reasuransi Syariah adalah usaha pengelolaan
risiko berdasarkan prinsip syariah atas risiko yang
dihadapi oleh perusahaan asuransi syariah,
perusahaan penjaminan syariah, atau perusahaan
reasuransi syariah lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
11. Perusahaan Asuransi Umum adalah perusahaan yang
menyelenggarakan Usaha Asuransi Umum.
12. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan yang
menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa.
13. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang
menyelenggarakan Usaha Reasuransi.
14. Perusahaan Asuransi Umum Syariah adalah
perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Asuransi
Umum Syariah.
15. Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah adalah perusahaan
yang menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa Syariah.
16. Perusahaan Reasuransi Syariah adalah perusahaan
yang menyelenggarakan Usaha Reasuransi Syariah.
17. Perusahaan Asuransi adalah Perusahaan Asuransi
Umum dan Perusahaan Asuransi Jiwa.
18. Perusahaan Asuransi Syariah adalah Perusahaan
Asuransi Umum Syariah dan Perusahaan Asuransi
Jiwa Syariah.
19. Unit Syariah adalah unit kerja di kantor pusat
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor di luar
kantor pusat yang menjalankan usaha berdasarkan
prinsip syariah.
20. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam
kegiatan perasuransian berdasarkan fatwa yang
- 6 -
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2014 tentang Perasuransian.
21. Pihak adalah orang atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk
badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
22. Dana Jaminan adalah kekayaan Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi,
atau Perusahaan Reasuransi Syariah yang merupakan
jaminan terakhir dalam rangka melindungi
kepentingan pemegang polis, tertanggung, atau
peserta, dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau
Perusahaan
Reasuransi
Syariah
dilikuidasi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
23. Dana Asuransi adalah kumpulan dana yang berasal
dari premi yang dibentuk untuk memenuhi kewajiban
yang timbul dari polis yang diterbitkan atau dari klaim
asuransi sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
24. Dana Tabarru' adalah kumpulan dana yang berasal
dari kontribusi para peserta, yang mekanisme
penggunaannya sesuai dengan perjanjian Asuransi
Syariah atau perjanjian reasuransi syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
25. Modal Disetor:
a. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum
perseroan terbatas adalah modal disetor; atau
b. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum
koperasi adalah simpanan pokok dan simpanan
wajib.
26. Ekuitas adalah ekuitas berdasarkan standar akuntansi
keuangan yang berlaku di Indonesia.
- 7 -
27. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya
disingkat PSP adalah Pihak yang:
a. memiliki secara langsung saham atau modal
Perusahaan sebesar 25% (dua puluh lima persen)
atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan
dan mempunyai hak suara; atau
b. memiliki secara langsung saham atau modal
Perusahaan kurang dari 25% (dua puluh lima
persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan
mempunyai hak suara namun yang bersangkutan
dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian
Perusahaan, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
28. Pengendali adalah Pihak yang secara langsung atau
tidak langsung mempunyai kemampuan untuk
menentukan direksi, dewan komisaris, atau yang
setara dengan direksi atau dewan komisaris pada
badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama
dan/atau mempengaruhi tindakan direksi, dewan
komisaris, atau yang setara dengan direksi atau dewan
komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau
usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
29. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya
disingkat RUPS adalah rapat umum pemegang saham
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi
Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas atau yang setara dengan RUPS bagi
Perusahaan yang berbentuk badan hukum koperasi
atau usaha bersama.
30. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas bagi Perusahaan yang berbentuk
badan hukum perseroan terbatas atau yang setara
dengan Direksi bagi Perusahaan yang berbentuk badan
hukum koperasi atau usaha bersama.
- 8 -
31. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi
Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas atau yang setara dengan Dewan Komisaris
bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum
koperasi atau usaha bersama.
32. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat
DPS adalah bagian dari organ Perusahaan yang
mempunyai tugas dan fungsi pengawasan terhadap
penyelenggaraan kegiatan usaha Perusahaan agar
sesuai dengan Prinsip Syariah.
33. Lembaga Sertifikasi Profesi adalah lembaga pelaksana
kegiatan sertifikasi profesi yang memperoleh lisensi
dari lembaga negara yang berwenang memberikan
lisensi terhadap lembaga sertifikasi profesi di
Indonesia.
34. Tenaga Ahli adalah orang perseorangan yang memiliki
kualifikasi dan/atau keahlian tertentu dan ditunjuk
sebagai Tenaga Ahli pada Perusahaan tempatnya
bekerja.
35. Agen Asuransi adalah orang yang bekerja sendiri atau
bekerja pada badan usaha, yang bertindak untuk dan
atas nama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Asuransi Syariah dan memenuhi persyaratan untuk
mewakili Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Asuransi Syariah memasarkan produk asuransi atau
produk asuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
36. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan
oleh 2 (dua) Perusahaan atau lebih untuk meleburkan
diri dengan cara mendirikan 1 (satu) Perusahaan baru
yang karena hukum memperoleh aset, liabilitas, dan
Ekuitas dari Perusahaan yang meleburkan diri dan
status badan hukum Perusahaan yang meleburkan diri
berakhir karena hukum.
- 9 -
37. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang
dilakukan oleh 1 (satu) Perusahaan atau lebih untuk
menggabungkan diri dengan Perusahaan lain yang
telah ada yang mengakibatkan aset, liabilitas, dan
Ekuitas dari Perusahaan yang menggabungkan diri
beralih karena hukum kepada Perusahaan yang
menerima Penggabungan dan selanjutnya status badan
hukum Perusahaan yang menggabungkan diri berakhir
karena hukum.
38. Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan
oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
untuk memisahkan Unit Syariah yang mengakibatkan
sebagian aset, liabilitas, dan Ekuitas Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi beralih karena
hukum kepada Perusahaan Asuransi Syariah atau
Perusahaan Reasuransi Syariah.
39. Asosiasi adalah asosiasi dari Perusahaan Asuransi
Umum, Perusahaan Asuransi Jiwa, Perusahaan
Reasuransi, Perusahaan Asuransi Umum Syariah,
Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah, atau Perusahaan
Reasuransi Syariah.
40. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah lembaga yang independen yang
mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
BAB II
BENTUK BADAN HUKUM, KEPEMILIKAN,
NAMA PERUSAHAAN, DAN PERMODALAN
Bagian Kesatu
Bentuk Badan Hukum
Pasal 2
Bentuk badan hukum Perusahaan adalah:
a. perseroan terbatas;
- 10 -
b. koperasi; atau
c. usaha bersama yang telah ada pada saat Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian
diundangkan.
Bagian Kedua
Kepemilikan
Pasal 3
(1) Perusahaan hanya dapat dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia yang secara langsung atau tidak
langsung sepenuhnya dimiliki oleh warga negara
Indonesia; atau
b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
bersama-sama dengan warga negara asing atau
badan hukum asing yang harus merupakan
Perusahaan yang memiliki usaha sejenis atau
perusahaan induk yang salah satu anak
perusahaannya bergerak di bidang Usaha
Perasuransian yang sejenis.
(2) Warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dapat menjadi pemilik Perusahaan hanya
melalui transaksi di bursa efek.
(3) Kriteria badan hukum asing dan kepemilikan badan
hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b serta kepemilikan warga negara asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam
Perusahaan berpedoman kepada peraturan pemerintah
mengenai kepemilikan asing pada perusahaan
perasuransian.
Pasal 4
(1) Perusahaan yang telah memperoleh izin usaha pada
saat diundangkannya Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2014 tentang Perasuransian dan belum
- 11 -
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf a wajib menyesuaikan ketentuan
tersebut dengan cara:
a. mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada
warga negara Indonesia; atau
b. melakukan perubahan kepemilikan melalui
mekanisme penawaran umum (initial public
offering),
paling lama 5 (lima) tahun sejak diundangkannya
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
(2) Perubahan kepemilikan melalui mekanisme penawaran
umum (initial public offering) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan dalam hal
Perusahaan telah melakukan upaya pengalihan
kepemilikan sahamnya kepada warga negara Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Dalam rangka pemenuhan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Perusahaan wajib menyusun
rencana tindak yang paling sedikit memuat cara
penyesuaian, tahapan pelaksanaan, dan jangka waktu.
(4) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
wajib mendapatkan persetujuan RUPS.
(5) Rencana tindak yang telah mendapatkan persetujuan
RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib
disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK
paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan OJK ini
diundangkan.
(6) OJK memberikan persetujuan atau permintaan
perbaikan atas rencana tindak sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja
sejak tanggal diterimanya rencana tindak.
(7) Perusahaan dapat melakukan perubahan terhadap
rencana tindak yang telah memperoleh persetujuan
dari OJK paling banyak 3 (tiga) kali.
(8) Ketentuan mengenai rencana tindak sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (6),
- 12 -
berlaku secara mutatis mutandis terhadap perubahan
rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
(9) Perusahaan wajib menyampaikan laporan pelaksanaan
rencana tindak yang telah mendapatkan persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) kepada OJK
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak realisasi
rencana tindak atau sesuai dengan tahapan rencana
tindak.
Bagian Ketiga
Nama Perusahaan
Pasal 5
(1) Perusahaan harus menggunakan nama Perusahaan
yang dimulai dengan bentuk badan hukum dan
memuat kata:
a. asuransi, insurance, atau kata yang mencirikan
kegiatan dari Perusahaan Asuransi;
b. reasuransi,
reinsurance, atau kata yang
mencirikan kegiatan dari Perusahaan Reasuransi;
c. asuransi syariah, sharia insurance, atau kata yang
mencirikan kegiatan dari Perusahaan Asuransi
Syariah; atau
d. reasuransi syariah, sharia reinsurance, atau kata
yang mencirikan kegiatan dari Perusahaan
Reasuransi Syariah.
(2) Penggunaan nama Perusahaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bagi Perusahaan berbentuk badan
hukum perseroan terbatas harus memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai perseroan
terbatas.
(3) Nama Perusahaan wajib dicantumkan secara jelas
pada gedung kantor, iklan, dan kop surat Perusahaan.
(4) OJK berwenang meminta Perusahaan untuk mengubah
nama Perusahaan apabila nama Perusahaan tidak
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
- 13 -
Bagian Keempat
Permodalan
Pasal 6
(1) Perusahaan Asuransi harus memiliki Modal Disetor
pada saat pendirian paling sedikit
Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar
rupiah).
(2) Perusahaan Reasuransi harus memiliki Modal Disetor
pada saat pendirian paling sedikit
Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah).
sebesar
(3) Perusahaan Asuransi Syariah harus memiliki Modal
Disetor pada saat pendirian paling sedikit sebesar
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(4) Perusahaan Reasuransi Syariah harus memiliki Modal
Disetor pada saat pendirian paling sedikit sebesar
Rp175.000.000.000,00 (seratus tujuh puluh lima
miliar rupiah).
(5) Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) wajib disetor secara tunai dan penuh
dalam bentuk deposito berjangka dan/atau rekening
giro atas nama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi pada salah satu bank umum, bank umum
syariah, atau unit usaha syariah dari bank umum di
Indonesia.
(6) Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dan ayat (4) wajib disetor secara tunai dan penuh
dalam bentuk deposito berjangka dan/atau rekening
giro atas nama Perusahaan Asuransi Syariah atau
Perusahaan Reasuransi Syariah pada salah satu bank
umum syariah atau unit usaha syariah dari bank
umum di Indonesia.
Pasal 7
(1) Pada saat pengajuan izin usaha, Perusahaan harus
memiliki Dana Jaminan paling sedikit 20% (dua puluh
persen) dari Modal Disetor minimum yang
sebesar
- 14 -
dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) sampai dengan ayat (4).
(2) Bagi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi, Dana Jaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dapat ditempatkan dalam bentuk
deposito berjangka dengan perpanjangan otomatis
pada bank umum, bank umum syariah, atau unit
usaha syariah dari bank umum di Indonesia yang
bukan afiliasi dari Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan.
(3) Bagi Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan
Reasuransi Syariah, Dana Jaminan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat ditempatkan
dalam bentuk deposito berjangka dengan perpanjangan
otomatis pada bank umum syariah atau unit usaha
syariah dari bank umum di Indonesia yang bukan
afiliasi dari Perusahaan Asuransi Syariah atau
Perusahaan Reasuransi Syariah yang bersangkutan.
Pasal 8
(1) Pemegang saham Perusahaan yang berbentuk badan
hukum asing harus memiliki rating paling rendah A
atau yang setara dari lembaga pemeringkat yang diakui
secara internasional.
(2) Bagi pemegang saham Perusahaan yang berbentuk
badan hukum asing dan merupakan perusahaan induk
yang salah satu anak perusahaannya bergerak di
bidang Usaha Perasuransian yang sejenis, pemenuhan
ketentuan rating sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dipenuhi oleh rating dari salah satu anak
perusahaannya yang bergerak di bidang Usaha
Perasuransian yang sejenis.
(3) Bagi pemegang saham Perusahaan yang berbentuk
badan hukum Indonesia, jumlah penyertaan langsung
pada Perusahaan ditetapkan paling tinggi sebesar
Ekuitas pemegang saham.
- 15 -
(4) Ketentuan jumlah penyertaan langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi pemegang
saham Perusahaan yang merupakan lembaga jasa
keuangan yang berada dalam pengawasan OJK.
(5) Bagi lembaga jasa keuangan yang berada dalam
pengawasan OJK, jumlah penyertaan langsung pada
Perusahaan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai investasi dan/atau penyertaan.
(6) Jumlah penyertaan langsung sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) wajib dipenuhi pada saat badan hukum
yang bersangkutan melakukan:
a. penyetoran modal
Perusahaan;
pada saat
pendirian
b. penyertaan langsung sebagai pemegang saham
baru Perusahaan pada saat Perusahaan telah
mendapatkan izin usaha; dan/atau
c. penambahan penyertaan pada Perusahaan.
BAB III
PERIZINAN USAHA
Bagian Kesatu
Persyaratan dan Tata Cara Memperoleh Izin Usaha
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
Pasal 9
(1) Setiap Pihak yang menyelenggarakan Usaha Asuransi
Umum, Usaha Asuransi Jiwa, atau Usaha Reasuransi
wajib terlebih dahulu mendapat izin usaha dari OJK.
(2) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Direksi harus mengajukan permohonan
izin usaha kepada OJK.
Pasal 10
(1) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (2), harus diajukan oleh Direksi kepada
- 16 -
OJK dengan menggunakan format 1 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(2) Pengajuan permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dokumen:
a. fotokopi akta pendirian badan hukum yang telah
disahkan oleh instansi yang berwenang, yang
paling sedikit harus memuat:
1. nama dan tempat kedudukan;
2. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha;
3. permodalan;
4. kepemilikan; dan
5. wewenang, tanggung jawab, dan masa
jabatan anggota Direksi dan anggota Dewan
Komisaris,
dan fotokopi akta perubahan anggaran dasar (jika
ada) disertai dengan fotokopi bukti persetujuan
dan/atau bukti surat penerimaan pemberitahuan
dari instansi yang berwenang;
b. susunan organisasi yang dilengkapi dengan
uraian tugas, wewenang, tanggung jawab, dan
prosedur kerja;
c.
fotokopi bukti pelunasan Modal Disetor dalam
bentuk setoran tunai dan fotokopi bukti
penempatan Modal Disetor minimum dalam
bentuk deposito berjangka dan/atau rekening
giro pada salah satu bank umum, bank umum
syariah, atau unit usaha syariah dari bank
umum di Indonesia dan dilegalisasi oleh bank
penerima setoran yang masih berlaku selama
dalam proses pengajuan izin usaha;
d. laporan awal Dana Jaminan beserta bukti
penempatan Dana Jaminan;
e.
daftar kepemilikan, berupa:
1. daftar pemegang saham berikut rincian
besarnya masing-masing kepemilikan saham
dan seluruh struktur kelompok usaha yang
- 17 -
terkait Perusahaan
Perusahaan
Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi dan badan hukum
pemilik
Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi sampai dengan
pemilik terakhir, bagi Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Reasuransi berbentuk
badan hukum perseroan terbatas; atau
2. daftar anggota berikut jumlah simpanan
pokok dan simpanan wajib, bagi Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
berbentuk badan hukum koperasi;
f. data pemegang saham atau anggota selain PSP:
1. orang perseorangan, dilampiri dengan:
a)
fotokopi tanda pengenal berupa kartu
tanda penduduk (KTP) atau paspor yang
masih berlaku;
b) fotokopi nomor pokok wajib pajak
(NPWP);
c)
fotokopi surat pemberitahuan (SPT)
pajak 2 (dua) tahun terakhir dan
dokumen lain yang menunjukkan
kemampuan keuangan serta sumber
dana calon pemegang saham orang
perseorangan;
d) daftar riwayat hidup dengan dilengkapi
pas foto berwarna yang terbaru
berukuran 4 x 6 cm; dan
e) surat pernyataan
dari yang
bersangkutan yang menyatakan:
1) setoran modal tidak berasal dari
pinjaman;
2) setoran modal tidak berasal dari
kegiatan pencucian uang (money
laundering) dan kejahatan
keuangan;
3) tidak memiliki kredit dan/atau
pembiayaan macet;
- 18 -
4) tidak termasuk sebagai Pihak yang
dilarang untuk menjadi pemegang
saham atau Pihak yang mengelola,
mengawasi, dan/atau mempunyai
pengaruh yang signifikan pada
lembaga jasa keuangan;
5) tidak pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana di bidang
usaha jasa keuangan dan/atau
perekonomian
berdasarkan
putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap
dalam 5 (lima) tahun terakhir;
6) tidak pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana
kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam 5
(lima) tahun terakhir;
7) tidak pernah dinyatakan pailit atau
bersalah yang menyebabkan suatu
perusahaan dinyatakan pailit
berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dalam 5 (lima) tahun
terakhir; dan
8) tidak pernah menjadi PSP, anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris,
Pengendali, atau anggota DPS pada
perusahaan jasa keuangan yang
dicabut izin usahanya karena
melakukan pelanggaran dalam 5
(lima) tahun terakhir;
2. badan hukum, dilampiri dengan:
a)
fotokopi akta pendirian badan hukum
termasuk anggaran dasar berikut
perubahannya (jika ada),
disertai
- 19 -
dengan fotokopi bukti pengesahan,
fotokopi bukti persetujuan, dan/atau
fotokopi
bukti
surat penerimaan
pemberitahuan dari instansi berwenang;
b) laporan keuangan yang telah diaudit
oleh akuntan publik yang dilengkapi
laporan keuangan non-konsolidasi dan
laporan keuangan bulan terakhir;
c) dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf f angka 1 huruf a), huruf
b), dan huruf d), bagi direksi atau yang
setara dengan direksi dari badan
hukum yang bersangkutan; dan
d) surat pernyataan direksi atau yang
setara dengan direksi dari badan
hukum yang bersangkutan yang
menyatakan bahwa:
1) setoran modal tidak berasal dari
pinjaman;
2) setoran modal tidak berasal dari
kegiatan pencucian uang (money
laundering)
keuangan;
dan kejahatan
3) tidak memiliki kredit dan/atau
pembiayaan macet;
4) tidak termasuk sebagai Pihak yang
dilarang untuk menjadi pemegang
saham atau Pihak yang mengelola,
mengawasi, dan/atau mempunyai
pengaruh yang signifikan pada
lembaga jasa keuangan;
5) tidak pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana di bidang
usaha jasa keuangan dan/atau
perekonomian
putusan pengadilan yang telah
berdasarkan
- 20 -
mempunyai kekuatan hukum tetap
dalam 5 (lima) tahun terakhir;
6) tidak pernah dinyatakan pailit atau
dinyatakan
bersalah yang
menyebabkan suatu perusahaan
dinyatakan pailit berdasarkan
putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap
dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan
7) tidak pernah menjadi PSP pada
perusahaan jasa keuangan yang
dicabut izin usahanya karena
melakukan pelanggaran dalam 5
(lima) tahun terakhir;
e)
hasil rating dari lembaga pemeringkat
yang diakui secara internasional, bagi
pemegang saham yang berbentuk badan
hukum asing;
3. negara Republik Indonesia, dilampiri dengan
fotokopi peraturan pemerintah mengenai
penyertaan modal negara Republik Indonesia
untuk pendirian Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi;
4. pemerintah daerah, dilampiri dengan
fotokopi peraturan daerah mengenai
penyertaan modal daerah untuk pendirian
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi;
g.
daftar Pengendali beserta keterangan mengenai
bentuk pengendaliannya;
h. bukti mempekerjakan Tenaga Ahli;
i.
rencana kerja untuk 3 (tiga) tahun pertama yang
paling sedikit memuat:
1. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan
potensi ekonomi serta lini usaha yang akan
dimasuki dan target pasarnya;
- 21 -
2. langkah-langkah yang dilakukan untuk
mewujudkan rencana dimaksud; dan
3. proyeksi arus kas, neraca, perhitungan
laba/rugi semesteran dan tingkat kesehatan
Perusahaan serta asumsi yang
mendasarinya, dimulai sejak Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
melakukan kegiatan operasional;
j.
k.
fotokopi pedoman manajemen risiko Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi;
spesifikasi produk asuransi
yang akan
dipasarkan, yang dilengkapi dengan proyeksi
pendapatan premi dan pengeluaran yang
dikaitkan dengan pemasaran produk asuransi
baru untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan
contoh polis yang akan digunakan bagi
Perusahaan Asuransi;
l.
fotokopi perikatan dengan pihak lain (jika ada)
dan kebijakan pengalihan sebagian fungsi dalam
penyelenggaraan usaha;
m. sistem administrasi dan infrastruktur
pengelolaan data yang mendukung penyiapan
dan penyampaian laporan kepada OJK;
n. konfirmasi dari otoritas pengawas di negara asal
Pihak asing, dalam hal terdapat penyertaan
langsung dari Pihak asing;
o. bukti pelunasan biaya perizinan; dan
p. dokumen lain dalam rangka mendukung
pertumbuhan usaha yang sehat, meliputi:
1. fotokopi
laporan posisi keuangan
awal/pembukaan Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi;
2. bukti kesiapan operasional;
3. bukti mempekerjakan aktuaris dan auditor
internal;
4. rencana bidang kepegawaian termasuk
rencana pengembangan sumber daya
- 22 -
manusia paling singkat untuk 3 (tiga) tahun
pertama;
5. fotokopi pedoman pelaksanaan program anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme;
6. fotokopi pedoman tata kelola Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang
baik;
7. pedoman tata kelola investasi;
8. fotokopi
perjanjian kerjasama antara
pemegang saham yang berbentuk badan
hukum asing dengan pemegang saham
Indonesia, bagi Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi yang di dalamnya
terdapat penyertaan dari badan hukum
asing yang dibuat dalam bahasa Indonesia
dan paling sedikit memuat:
a) komposisi permodalan dan rincian
kewenangan, yang paling sedikit
memuat ketentuan mengenai hak
suara, pembagian keuntungan dan
kerugian, dan penunjukan anggota
Direksi dan anggota Dewan Komisaris
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi; dan
b) kewajiban pemegang saham berbentuk
badan hukum asing untuk menyusun
dan melaksanakan program pendidikan
dan pelatihan sesuai bidang
keahliannya;
9. rencana dukungan reasuransi otomatis, bagi
Perusahaan Asuransi; dan
10. rencana
dukungan retrosesi, bagi
Perusahaan Reasuransi.
(3) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan bersamaan dengan permohonan
penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon pihak
- 23 -
utama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi.
(4) Ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan bagi pihak utama Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi dan format permohonan
penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan OJK
mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi
pihak utama lembaga jasa keuangan.
Bagian Kedua
Persyaratan dan Tata Cara Memperoleh Izin Usaha
Perusahaan Asuransi Syariah dan
Perusahaan Reasuransi Syariah
Paragraf 1
Umum
Pasal 11
(1) Setiap Pihak yang menyelenggarakan Usaha Asuransi
Umum Syariah, Usaha Asuransi Jiwa Syariah, atau
Usaha Reasuransi Syariah wajib terlebih dahulu
mendapat izin usaha dari OJK.
(2) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1),
Direksi
harus
mengajukan permohonan izin usaha kepada OJK.
Pasal 12
Izin usaha sebagai Perusahaan Asuransi Syariah dan
Perusahaan Reasuransi Syariah dapat dilakukan dengan
cara mengajukan permohonan:
a. pendirian baru Perusahaan Asuransi Syariah atau
Perusahaan Reasuransi Syariah;
b. konversi dari Perusahaan Asuransi menjadi
Perusahaan Asuransi Syariah atau konversi dari
Perusahaan Reasuransi menjadi Perusahaan
Reasuransi Syariah; atau
- 24 -
c. Pemisahan Unit Syariah dari Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Reasuransi.
Paragraf 2
Pendirian Baru Perusahaan Asuransi Syariah atau
Perusahaan Reasuransi Syariah
Pasal 13
(1) Permohonan izin usaha pendirian baru Perusahaan
Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf
a, harus diajukan oleh Direksi kepada OJK dengan
menggunakan format 2 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(2) Pengajuan permohonan izin usaha pendirian baru
Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan
Reasuransi Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (2) disertai dengan tambahan
dokumen sebagai berikut:
a. fotokopi risalah RUPS mengenai pengangkatan
anggota DPS;
b. bukti pengesahan Dewan Syariah Nasional
tentang penunjukan anggota DPS;
c.
fotokopi pedoman pelaksanaan manajemen
keuangan sesuai Prinsip Syariah, yang paling
sedikit mengatur mengenai penempatan investasi
baik batasan, jenis, maupun jumlah;
d. fotokopi pedoman penyelenggaraan Usaha
Perasuransian sesuai Prinsip Syariah, yang
paling sedikit mengatur mengenai penyebaran
risiko;
e. bukti pendukung bahwa Tenaga Ahli yang
diperkerjakan memiliki keahlian di bidang
Asuransi Syariah dan/atau ekonomi syariah;
dan
- 25 -
f.
bukti pengesahan DPS atas produk Asuransi
Syariah yang akan dipasarkan yang paling sedikit
meliputi:
1. dasar perhitungan tarif kontribusi,
penyisihan kontribusi, dan asset share atau
profit testing, bagi Perusahaan Asuransi Jiwa
Syariah;
2. dasar perhitungan tarif kontribusi,
penyisihan kontribusi, dan proyeksi
underwriting, bagi Perusahaan Asuransi
Umum Syariah;
3. cara pemasaran;
4. rencana dukungan reasuransi otomatis bagi
Perusahaan Asuransi Syariah dan rencana
dukungan retrosesi bagi Perusahaan
Reasuransi Syariah; dan
5. contoh polis, surat permohonan penutupan
asuransi (SPPA), dan brosur.
Paragraf 3
Konversi dari Perusahaan Asuransi menjadi Perusahaan
Asuransi Syariah atau Konversi dari Perusahaan
Reasuransi menjadi Perusahaan Reasuransi Syariah
Pasal 14
(1) Perusahaan Asuransi Syariah hasil konversi harus
memiliki Ekuitas pada saat konversi paling sedikit
sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(2) Perusahaan Reasuransi Syariah hasil konversi harus
memiliki Ekuitas pada saat konversi paling sedikit
sebesar Rp175.000.000.000,00 (seratus tujuh puluh
lima miliar rupiah).
Pasal 15
Konversi dari Perusahaan Asuransi menjadi Perusahaan
Asuransi Syariah atau konversi dari Perusahaan
Reasuransi menjadi Perusahaan Reasuransi Syariah
- 26 -
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. tidak merugikan pemegang polis atau tertanggung;
b. dengan pemberitahuan kepada pemegang polis
mengenai rencana konversi dan tata cara penyelesaian
hak pemegang polis atau tertanggung; dan
c. memindahkan portofolio pertanggungan kepada
Perusahaan Asuransi lain, membayarkan bagian
premi, dan/atau membayarkan nilai tunai
pertanggungan, bagi tertanggung atau pemegang polis
yang tidak bersedia menjadi pemegang polis atau
peserta dari Perusahaan Asuransi Syariah.
Pasal 16
(1) Permohonan izin usaha konversi dari Perusahaan
Asuransi menjadi Perusahaan Asuransi Syariah atau
konversi dari Perusahaan Reasuransi menjadi
Perusahaan Reasuransi Syariah
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf b, harus diajukan
oleh Direksi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi kepada OJK dengan menggunakan format
3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini.
(2) Pengajuan permohonan izin usaha konversi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(2) huruf b, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h,
huruf i, huruf j, huruf l, huruf m, huruf n, huruf o,
dan huruf p disertai dengan dokumen tambahan
berupa:
a.
izin usaha sebagai Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi;
- 27 -
b. fotokopi akta perubahan anggaran dasar yang
mencantumkan:
1. salah satu maksud dan tujuan Perusahaan
yaitu melakukan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah; dan
c.
2. wewenang dan tanggung jawab DPS,
disertai dengan bukti pengesahan, bukti
persetujuan, dan/atau bukti surat penerimaan
pemberitahuan dari instansi yang berwenang;
fotokopi risalah RUPS yang menyetujui konversi;
d. fotokopi risalah RUPS mengenai pengangkatan
anggota DPS;
e. bukti pengesahan Dewan Syariah Nasional
tentang penunjukan anggota DPS;
f.
fotokopi pedoman pelaksanaan manajemen
keuangan sesuai Prinsip Syariah yang paling
sedikit mengatur mengenai penempatan investasi
baik batasan, jenis maupun jumlah;
g.
fotokopi pedoman penyelenggaraan Usaha
Perasuransian sesuai Prinsip Syariah yang paling
sedikit mengatur mengenai penyebaran risiko;
h. bukti pendukung bahwa Tenaga Ahli yang
diperkerjakan memiliki keahlian di bidang
Asuransi Syariah dan/atau ekonomi syariah;
i.
bukti pengesahan DPS atas produk asuransi yang
akan dipasarkan yang paling sedikit meliputi:
1. dasar perhitungan tarif kontribusi,
penyisihan kontribusi, dan asset share atau
profit testing bagi Perusahaan Asuransi Jiwa
Syariah;
2. dasar perhitungan tarif kontribusi,
penyisihan kontribusi, dan proyeksi
underwriting bagi Perusahaan Asuransi
Umum Syariah;
3. cara pemasaran;
4. rencana dukungan reasuransi otomatis bagi
Perusahaan Asuransi Syariah dan rencana
- 28 -
dukungan retrosesi bagi Perusahaan
Reasuransi Syariah; dan
5. contoh polis, surat permohonan penutupan
asuransi (SPPA) dan brosur; dan
j.
rencana penyelesaian hak pemegang polis atau
tertanggung yang tidak bersedia menjadi
pemegang polis atau peserta dari Perusahaan
Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi
Syariah hasil konversi.
Paragraf 4
Pemisahan Unit Syariah
Pasal 17
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
wajib melakukan Pemisahan Unit Syariah menjadi
Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan
Reasuransi Syariah apabila Dana Tabarru’ dan dana
investasi peserta telah mencapai paling sedikit 50%
(lima puluh persen) dari total nilai Dana Asuransi,
Dana Tabarru’, dan dana investasi peserta pada
perusahaan induknya atau 10 (sepuluh) tahun sejak
diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2014 tentang Perasuransian.
(2) Dana Tabarru’ dan dana investasi peserta telah
mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari
total nilai Dana Asuransi, Dana Tabarru’, dan dana
investasi peserta pada perusahaan induknya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
berdasarkan laporan bulanan yang disampaikan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
kepada OJK.
(3) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
yang telah memperoleh izin usaha pada saat
Peraturan OJK ini diundangkan dan/atau telah
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
- 29 -
ayat (1) wajib menyusun rencana kerja Pemisahan
Unit Syariah.
(4) Rencana kerja Pemisahan Unit Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) paling sedikit memuat cara
Pemisahan Unit Syariah, tahapan pelaksanaan, dan
jangka waktu.
(5) Rencana kerja Pemisahan Unit Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) wajib mendapatkan
persetujuan RUPS.
(6) Rencana kerja Pemisahan Unit Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) karena Dana Tabarru’ dan
dana investasi telah mencapai paling sedikit 50% (lima
puluh persen) dari total nilai Dana Asuransi, Dana
Tabarru’, dan dana investasi peserta pada perusahaan
induknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
disampaikan oleh Direksi kepada OJK paling lama 3
(tiga) bulan setelah batas waktu penyampaian laporan
bulanan Perusahaan kepada OJK.
(7) Rencana kerja Pemisahan Unit Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dalam hal Dana Tabarru’ dan
dana investasi belum mencapai 50% (lima puluh
persen) dari total nilai Dana Asuransi, Dana Tabarru’,
dan dana investasi peserta pada perusahaan
induknya, wajib disampaikan oleh Direksi kepada OJK
paling lambat tanggal 17 Oktober 2020.
(8) OJK memberikan persetujuan atau permintaan
perbaikan atas rencana kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja
sejak tanggal diterimanya rencana kerja.
(9) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
dapat melakukan perubahan terhadap rencana kerja
yang telah memperoleh persetujuan dari OJK paling
banyak 2 (dua) kali yang disampaikan kepada OJK
paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal surat
persetujuan OJK atas rencana kerja tersebut.
(10) Dalam hal Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi mengajukan permohonan Pemisahan Unit
- 30 -
Syariah menjadi Perusahaan Asuransi Syariah atau
Perusahaan Reasuransi Syariah lebih cepat dari pada
rencana kerja yang telah disampaikan, maka rencana
kerja tersebut dianggap tidak berlaku.
(11) Ketentuan mengenai rencana kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (8) berlaku
secara mutatis mutandis terhadap perubahan rencana
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (9).
Pasal 18
(1) Pemisahan Unit Syariah dari Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 dapat dilakukan dengan cara:
a. mendirikan Perusahaan Asuransi Syariah atau
Perusahaan Reasuransi Syariah baru yang diikuti
dengan pengalihan seluruh portofolio kepesertaan
kepada Perusahaan Asuransi Syariah atau
Perusahaan Reasuransi Syariah baru; atau
b. mengalihkan seluruh portofolio kepesertaan pada
Unit Syariah kepada Perusahaan Asuransi
Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah lain
yang telah memperoleh izin usaha.
(2) Pemisahan Unit Syariah dari Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
wajib memberitahukan rencana Pemisahan Unit
Syariah kepada pemegang polis melalui:
a. pengumuman rencana Pemisahan Unit Syariah
dalam surat kabar; dan
b. surat kepada setiap pemegang polis.
(4) Pemisahan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. tidak mengurangi hak pemegang polis atau
peserta;
- 31 -
b. dilakukan pada Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi yang memiliki bidang
usaha yang sama; dan
c.
tidak menyebabkan Perusahaan Asuransi Syariah
atau Perusahaan Reasuransi Syariah yang
menerima pengalihan Unit Syariah melanggar
ketentuan yang berlaku di bidang perasuransian.
Pasal 19
(1) Ekuitas pada saat pendirian Perusahaan Asuransi
Syariah hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a paling sedikit sebesar
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
(2) Ekuitas pada saat pendirian Perusahaan Reasuransi
Syariah hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a paling sedikit sebesar
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 20
(1) Pendirian Perusahaan Asuransi Syariah atau
Perusahaan Reasuransi Syariah baru hasil Pemisahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf
a dapat dilakukan oleh 1 (satu) atau lebih Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang memiliki
Unit Syariah.
(2) Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan
Reasuransi Syariah baru sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a dilarang melakukan
kegiatan usaha sebelum memperoleh izin usaha dari
OJK.
(3) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Direksi Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi harus mengajukan
permohonan izin usaha kepada OJK.
(4) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), harus diajukan oleh Direksi Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi kepada OJK
- 32 -
dengan menggunakan format 4 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(5) Pengajuan permohonan izin usaha Pemisahan Unit
Syariah dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilampiri dokumen:
a. fotokopi akta risalah RUPS yang menyetujui
Pemisahan;
b. fotokopi akta Pemisahan;
c. dokumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 10
ayat (2), kecuali dokumen huruf c, disertai
dengan dokumen tambahan berupa:
1. dokumen pemenuhan ketentuan Ekuitas
Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2); dan
2. bukti pendukung bahwa Tenaga Ahli yang
diperkerjakan memiliki keahlian di bidang
Asuransi Syariah dan/atau ekonomi syariah.
(6) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) disampaikan bersamaan dengan permohonan
penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon pihak
utama Perusahaan Asuransi Syariah dan Perusahaan
Reasuransi Syariah.
(7) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).
Pasal 21
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
wajib memberitahukan Pemisahan Unit Syariah
kepada pemegang polis setelah permohonan izin
usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3)
disetujui OJK, yaitu melalui:
a. pengumuman Pemisahan Unit Syariah dalam
surat kabar paling lambat 20 (dua puluh) hari
- 33 -
kerja setelah memperoleh izin usaha dari OJK;
dan
b. surat kepada setiap pemegang polis.
(2) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
wajib mengalihkan seluruh portofolio kepesertaan
pada Unit Syariah kepada Perusahaan Asuransi
Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf
a setelah Perusahaan Asuransi Syariah atau
Perusahaan Reasuransi Syariah hasil Pemisahan
memperoleh izin usaha dari OJK, paling lambat 12
(dua belas) bulan sejak tanggal penetapan keputusan
pemberian izin usaha dari OJK.
(3) Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan
Reasuransi Syariah yang menerima pengalihan
portofolio kepesertaan pada Unit Syariah wajib
menyampaikan laporan penerimaan pengalihan
portofolio kepesertaan tersebut kepada OJK paling
lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah seluruh
portofolio kepesertaan tersebut diterima.
pengalihan
(4) Laporan
penerimaan
kepesertaan pada Unit Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) memuat rincian kepesertaan
Asuransi Syariah atau Reasuransi Syariah yang
diterima dari Unit Syariah Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi dan disertai laporan keuangan
Perusahaan Asuransi Syariah dan Perusahaan
Reasuransi Syariah setelah penerimaan portofolio
kepesertaan.
Pasal 22
(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
yang memiliki Unit Syariah wajib mengajukan
permohonan pencabutan izin pembentukan Unit
Syariah kepada OJK paling lambat 10 (sepuluh) hari
kerja setelah portofolio kepesertaan pada Unit Syariah
portofolio
- 34 -
dialihkan kepada Perusahaan Asuransi Syariah atau
Perusahaan Reasuransi Syariah hasil Pemisahan.
(2) Permohonan pencabutan izin pembentukan Unit
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
diajukan oleh Direksi Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi kepada OJK dengan dilampiri:
a. bukti penyelesaian hak dan kewajiban Unit
Syariah; dan
b. surat pernyataan dari Direksi Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi bahwa
langkah-langkah penyelesaian seluruh kewajiban
Unit Syariah telah dilakukan sesuai dengan
ketentuan dan apabila terdapat tuntutan di
kemudian hari menjadi tanggung jawab
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi.
(3) Dalam hal OJK memberikan persetujuan atas
permohonan pencabutan izin pembentukan Unit
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
mencabut izin pembentukan Unit Syariah.
Pasal 23
(1) Pengalihan
portofolio
kepesertaan pada Unit
Syariah kepada Perusahaan Asuransi Syariah atau
Perusahaan
Reasuransi
Syariah
Pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan dengan
persetujuan OJK.
(2) Untuk mendapatkan persetujuan OJK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Direksi Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Reasuransi harus mengajukan
permohonan kepada OJK dengan menggunakan
format 5 sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini.
penerima
- 35 -
(3) Pengajuan permohonan persetujuan pengalihan
portofolio kepesertaan pada Unit Syariah dari
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri
dokumen:
a. laporan posisi keuangan Unit Syariah yang telah
diaudit oleh akuntan publik;
b. surat persetujuan pengalihan hak dan kewajiban
dari Perusahaan Asuransi Syariah atau
Perusahaan Reasuransi Syariah yang menerima
pengalihan;
c.
d.
e.
(4) OJK
portofolio kepesertaan pada Unit Syariah;
fotokopi akta Pemisahan; dan
fotokopi akta risalah RUPS yang menyetujui
Pemisahan.
memberikan persetujuan,
permintaan
kelengkapan dokumen, atau penolakan atas
permohonan pengalihan portofolio kepesertaan pada
Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari
kerja sejak permohonan diterima.
(5) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
harus menyampaikan
kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 20
(dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan
kelengkapan dokumen dari OJK.
(6) Dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi
telah menyampaikan kelengkapan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (5), OJK
memberikan persetujuan atau penolakan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4).
(7) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), OJK belum
menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan
dokumen dimaksud, Perusahaan Asuransi atau
- 36 -
Perusahaan Reasuransi dianggap membatalkan
permohonan pengalihan portofolio kepesertaan pada
Unit Syariah.
(8) Dalam hal permohonan pengalihan portofolio
kepesertaan pada Unit Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) disetujui, OJK menetapkan
keputusan pengalihan hak dan kewajiban Unit
Syariah
kepada
Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi.
(9) Dalam hal OJK menolak permohonan pengalihan
portofolio kepesertaan pada Unit Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), penolakan harus dilakukan
secara tertulis dengan disertai alasannya.
Pasal 24
(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
yang memiliki Unit Syariah dan telah memperoleh
persetujuan OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 ayat (1) wajib mengalihkan portofolio kepesertaan
pada Unit Syariah kepada Perusahaan Asuransi
Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah paling
lambat 1 (satu) tahun setelah persetujuan Pemisahan
diberikan oleh OJK.
(2) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
yang memiliki Unit Syariah wajib mengumumkan
rencana pengalihan portofolio kepesertaan pada Unit
Syariah dalam surat kabar yang memiliki peredaran
nasional paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak
tanggal persetujuan Pemisahan Unit Syariah
diberikan.
(3) Dalam hal telah selesai dilaksanakan pengalihan
portofolio kepesertaan pada Unit Syariah kepada
Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan
Reasuransi Syariah penerima Pemisahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Reasuransi yang melakukan
- 37 -
pengalihan portofolio kepesertaan pada Unit Syariah
wajib:
a. melaporkan pelaksanaan pengalihan portofolio
kepesertaan pada Unit Syariah; dan
b. mengajukan permohonan pencabutan izin
pembentukan Unit Syariah,
paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal
pelaksanaan pengalihan portofolio kepesertaan pada
Unit Syariah.
(4) Pelaporan pelaksanaan pengalihan
portofolio
kepesertaan pada Unit Syariah dan permohonan
pencabutan izin pembentukan Unit Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
disampaikan oleh Direksi Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi kepada OJK dengan
menggunakan format 6 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dengan
dilampiri:
a. bukti penyelesaian portofolio kepesertaan pada
Unit Syariah; dan
b. surat pernyataan dari Direksi Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi bahwa
langkah-langkah penyelesaian seluruh portofolio
kepesertaan pada Unit Syariah telah dilakukan
dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari
menjadi tanggung jawab Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Reasuransi.
(5) Berdasarkan pelaporan pelaksanaan Pemisahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), OJK mencabut
izin Unit Syariah.
Bagian Ketiga
Persetujuan atau Penolakan Permohonan Izin Usaha
Pasal 25
(1) OJK memberikan persetujuan, permintaan
kelengkapan dokumen, atau penolakan atas
- 38 -
permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 16 ayat (1),
dan Pasal 20 ayat (4) dalam jangka waktu paling lama
20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan izin
usaha diterima.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau
penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
melakukan:
a.
penelitian
sebagaimana maksud dalam Pasal 10 ayat (2);
b. verifikasi setoran modal;
c.
analisis kelayakan atas rencana kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
huruf i;
d. penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap
calon pihak utama; dan
e.
analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perasuransian.
(3) OJK dapat melakukan peninjauan ke kantor
Perusahaan untuk memastikan kesiapan operasional
Perusahaan.
(4) Direksi
Perusahaan
harus menyampaikan
kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari
OJK.
(5) Dalam hal Direksi Perusahaan telah menyampaikan
kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), OJK memberikan persetujuan atau penolakan
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(6) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK belum
menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan
dokumen dimaksud,
Perusahaan
membatalkan permohonan izin usaha.
atas kelengkapan dokumen
dianggap
- 39 -
(7) Dalam hal permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disetujui, OJK menetapkan
keputusan pemberian izin usaha kepada Perusahaan.
(8) Dalam hal OJK menolak permohonan izin usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penolakan
harus dilakukan secara tertulis dengan disertai
alasannya.
Pasal 26
(1) Perusahaan yang membatalkan permohonan izin
usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat
(6) dapat mengajukan permohonan pencairan Dana
Jaminan.
(2) Permohonan pencairan Dana Jaminan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh
Direksi Perusahaan kepada OJK sesuai dengan format
7 yang tercantum dalam lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(3) Bagi Perusahaan yang permohonan izin usahanya
ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat
(8), OJK akan menerbitan surat persetujuan pencairan
Dana Jaminan.
Pasal 27
(1) Perusahaan yang telah mendapat izin usaha dari OJK
wajib melakukan kegiatan usaha paling lama 3 (tiga)
bulan terhitung sejak tanggal izin usaha ditetapkan
oleh OJK.
(2) Perusahaan wajib
menyampaikan laporan
pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada OJK paling lama 10 (sepuluh)
hari kerja sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha.
(3) Pelaporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan oleh
Direksi
Perusahaan
kepada OJK
dengan
menggunakan format 8 sebagaimana tercantum dalam
- 40 -
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(4) Pelaporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan:
a. bukti kegiatan pertanggungan yang telah
dilakukan oleh Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Asuransi Syariah atau bukti
pertanggungan ulang yang telah dilakukan oleh
Perusahaan
Reasuransi
Reasuransi Syariah; dan
b. fotokopi surat izin menetap dan/atau surat izin
menggunakan tenaga kerja asing yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, bagi
anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris yang berkewarganegaraan asing.
BAB IV
PEMEGANG SAHAM PENGENDALI DAN PENGENDALI
Bagian Kesatu
Pemegang Saham Pengendali
Pasal 28
(1) Setiap Pihak hanya dapat menjadi PSP pada 1 (satu)
Perusahaan Asuransi Jiwa, 1 (satu) Perusahaan
Asuransi Umum, 1 (satu) Perusahaan Reasuransi, 1
(satu) Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah, 1 (satu)
Perusahaan Asuransi Umum Syariah, dan 1 (satu)
Perusahaan Reasuransi Syariah.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku apabila PSP adalah Negara Republik
Indonesia.
Pasal 29
(1) Pada saat diundangkannya Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2014 tentang Perasuransian, setiap Pihak yang
menjadi PSP pada lebih dari 1 (satu) Perusahaan
atau Perusahaan
- 41 -
Asuransi Jiwa, 1 (satu) Perusahaan Asuransi Umum,
1 (satu) Perusahaan Reasuransi, 1 (satu) Perusahaan
Asuransi Jiwa Syariah, 1 (satu) Perusahaan Asuransi
Umum Syariah, dan 1 (satu) Perusahaan Reasuransi
Syariah wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam
Pasal 28 ayat (1) paling lambat pada tanggal 17
Oktober 2017.
(2) Dalam rangka memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), PSP dapat
melakukan:
a. Penggabungan Perusahaan yang berada dalam
pengendaliannya;
b. Peleburan Perusahaan yang berada dalam
pengendaliannya;
c. penjualan sebagian atau seluruh kepemilikan
saham Perusahaan yang berada dalam
pengendaliannya, sehingga tidak menjadi PSP;
atau
d. aksi korporasi lainnya berdasarkan persetujuan
OJK.
(3) Perusahaan yang dimiliki oleh PSP yang belum
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1), wajib menyusun rencana tindak
dalam rangka menyesuaikan dengan ketentuan
tersebut.
(4) Rencana tindak penyesuaian dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) paling
sedikit memuat cara penyesuaian, tahapan
pelaksanaan, dan jangka waktu.
(5) Rencana tindak dalam rangka
penyesuaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
mendapatkan persetujuan RUPS.
(6) Rencana tindak penyesuaian dengan ketentuan
mengenai PSP sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
wajib disampaikan oleh Direksi kepada OJK, paling
lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan OJK ini
diundangkan.
- 42 -
(7) OJK memberikan persetujuan atau permintaan
perbaikan atas rencana tindak sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja
sejak tanggal diterimanya rencana tindak.
(8) Perusahaan dapat melakukan perubahan terhadap
rencana tindak yang telah memperoleh persetujuan
dari OJK paling banyak 1 (satu) kali.
(9) Ketentuan mengenai rencana tindak sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) sampai dengan ayat (7),
berlaku secara mutatis mutandis terhadap perubahan
rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat
(8).
Bagian Kedua
Pengendali
Pasal 30
(1) Perusahaan wajib menetapkan paling sedikit 1 (satu)
Pengendali.
(2) Pihak yang dikategorikan sebagai Pengendali
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
a. pemegang saham; atau
b. bukan pemegang saham.
(3) Pihak yang dikategorikan sebagai Pengendali yang
merupakan pemegang saham sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a merupakan PSP.
(4) Pengendali yang merupakan pemegang saham
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus
memenuhi kriteria persyaratan integritas dan
kelayakan keuangan sebagaimana diatur dalam
peraturan OJK mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan.
(5) Pengendali yang bukan merupakan pemegang saham
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus
memenuhi kriteria persyaratan integritas dan reputasi
keuangan sebagaimana diatur dalam peraturan OJK
- 43 -
mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi
pihak utama lembaga jasa keuangan.
(6) Pengendali wajib ikut bertanggung jawab atas
kelangsungan usaha Perusahaan dalam
pengendaliannya.
(7) Dalam hal terdapat Pengendali lain yang belum
ditetapkan oleh Perusahaan, OJK berwenang
menetapkan Pengendali di luar Pengendali
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 31
(1) Perusahaan yang telah memperoleh izin usaha pada
saat Peraturan OJK ini diundangkan wajib
melaporkan penetapan Pengendali kepada OJK paling
lama 6 (enam) bulan setelah Peraturan OJK ini
diundangkan.
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK
sesuai dengan format 9 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan dilampiri
dengan daftar Pengendali beserta keterangan
mengenai bentuk pengendaliannya.
(3) Dalam hal Pengendali sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) belum memenuhi ketentuan penilaian dan
kepatutan sebagaimana diatur dalam peraturan OJK
mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi
pihak utama lembaga jasa keuangan, maka pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
disampaikan bersamaan dengan penyampaian
permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan.
Pasal 32
(1) Pihak yang telah ditetapkan menjadi Pengendali tidak
dapat berhenti menjadi Pengendali tanpa persetujuan
dari OJK.
- 44 -
(2) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Perusahaan wajib
menyampaikan permohonan secara tertulis kepada
OJK disertai dengan alasan berhenti menjadi
Pengendali.
(3) Dalam hal Perusahaan hanya memiliki 1 (satu)
Pengendali, maka untuk memperoleh persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan
wajib terlebih dahulu menetapkan Pengendali yang
baru.
(4) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan
terhadap permohonan yang disampaikan, OJK
mempertimbangkan pemenuhan terhadap ketentuan
Pasal 30 ayat (6) dan berwenang melakukan
pemeriksaan.
(5) Persetujuan atau penolakan OJK atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan
paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak
diterimanya permohonan atau ditetapkannya laporan
hasil pemeriksaan.
(6) Bagi Pihak yang telah disetujui OJK untuk berhenti
menjadi Pengendali pada Perusahaan, maka yang
bersangkutan dilarang untuk melakukan
pengendalian terhadap Perusahaan.
Pasal 33
(1) Perubahan Pengendali wajib dilaporkan kepada OJK
disertai dengan daftar pemegang saham berikut
rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham
dan seluruh struktur kelompok usaha yang terkait
Perusahaan dan badan hukum pemilik Perusahaan
sampai dengan pemilik terakhir disertai dokumen
pendukung.
(2) Perubahan Pengendali sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilaporkan oleh Direksi Perusahaan
kepada OJK paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja
setelah ditetapkan oleh Perusahaan.
- 45 -
BAB V
UNIT SYARIAH
Bagian Kesatu
Pembentukan Unit Syariah
Pasal 34
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
yang akan melakukan sebagian kegiatan usahanya
berdasarkan Prinsip Syariah wajib membentuk Unit
Syariah.
(2) Rencana pembentukan Unit Syariah harus dimuat
dalam rencana bisnis Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi periode berjalan.
Bagian Kedua
Modal Kerja Unit Syariah
Pasal 35
(1) Unit Syariah dari Perusahaan Asuransi harus memiliki
modal kerja pada saat pembentukan paling sedikit
sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah).
(2) Unit Syariah dari Perusahaan Reasuransi harus
memiliki modal kerja pada saat pembentukan paling
sedikit sebesar Rp75.000.000.000,00 (tujuh puluh
lima miliar rupiah).
(3) Modal kerja Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) harus disisihkan dalam bentuk
deposito berjangka atau giro atas nama Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dan
ditempatkan pada salah satu bank umum syariah
atau unit usaha syariah dari bank umum di
Indonesia.
- 46 -
Bagian Ketiga
Izin Pembentukan Unit Syariah
Pasal 36
(1) Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh izin
pembentukan Unit Syariah dari OJK.
(2) Pada saat pengajuan izin pembentukan Unit Syariah,
Unit Syariah harus memiliki Dana Jaminan paling
sedikit 20% (dua puluh persen) dari modal kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.
(3) Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
hanya dapat ditempatkan dalam bentuk deposito
berjangka dengan perpanjangan otomatis pada bank
umum syariah atau unit usaha syariah dari bank
umum di Indonesia yang bukan afiliasi dari
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
yang bersangkutan.
(4) Untuk memperoleh izin pembentukan Unit Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
harus mengajukan permohonan pembentukan Unit
Syariah kepada OJK sesuai dengan format 10
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini.
(5) Pengajuan permohonan izin pembentukan Unit
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus
dilampiri dengan:
a. fotokopi akta perubahan anggaran dasar
Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi yang paling sedikit memuat:
1. maksud dan tujuan antara lain melakukan
kegiatan usaha dengan Prinsip Syariah;
2. nama, wewenang dan tanggung jawab
anggota DPS; dan
- 47 -
3. besaran modal kerja Unit Syariah disertai
dengan bukti persetujuan dan/atau bukti
surat penerimaan pemberitahuan dari
instansi yang berwenang;
b. fotokopi surat keputusan Direksi Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang
menyetujui penempatan modal kerja pada Unit
Syariah disertai dengan besaran jumlah
penempatan modal kerjanya;
c.
fotokopi bukti setoran modal kerja dalam bentuk
deposito berjangka atas nama Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi pada salah
satu bank umum syariah atau unit usaha syariah
dari bank umum di Indonesia yang dilegalisasi
oleh bank penerima setoran yang masih berlaku
selama dalam proses perizinan pembentukan
Unit Syariah;
d. data pimpinan Unit Syariah, meliputi:
1. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda
penduduk (KTP) atau paspor yang masih
berlaku;
2. daftar riwayat hidup dilengkapi pas foto
berwarna yang terbaru berukuran 4 x 6 cm;
3. bukti pengangkatan sebagai pimpinan Unit
Syariah; dan
4. surat pernyataan yang menyatakan:
a) tidak memiliki kredit dan/atau
pembiayaan macet;
b) tidak rangkap jabatan pada fungsi lain,
pada perusahaan yang sama, kecuali
pimpinan Unit Syariah dijabat oleh
Direksi; dan
c) bukti keahlian, pelatihan, dan/atau
pengalaman di bidang keuangan
syariah;
- 48 -
e. data DPS, meliputi:
1. memenuhi
persyaratan
kemampuan dan kepatutan; dan
2. fotokopi akta risalah RUPS mengenai
pengangkatan DPS;
f.
laporan keuangan awal Unit Syariah yang
terpisah dari kegiatan usaha Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi;
g. rencana kerja Unit Syariah yang akan dibentuk,
yang paling sedikit memuat:
1. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan
potensi ekonomi serta lini usaha yang akan
dimasuki dan target pasarnya;
2. langkah-langkah yang dilakukan untuk
mewujudkan rencana dimaksud; dan
3. proyeksi arus kas bulanan selama 12 (dua
belas) bulan, laporan posisi keuangan,
perhitungan laba/rugi,
dan
tingkat
kesehatan Perusahaan serta asumsi yang
mendasarinya, dimulai sejak Unit Syariah
melakukan kegiatan operasional; dan
h. rencana kerja Pemisahan Unit Syariah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, yang paling
sedikit memuat cara Pemisahan, tahapan
pelaksanaan, dan jangka waktu.
Pasal 37
(1) OJK memberikan persetujuan, permintaan
kelengkapan dokumen, atau penolakan atas
permohonan izin pembentukan Unit Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) dalam
jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja
sejak permohonan izin pembentukan Unit Syariah
diterima.
penilaian
- 49 -
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau
penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
melakukan:
a. analisis dan penelitian atas kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5);
b. analisis kelayakan atas rencana kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5) huruf g;
c. penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap
calon anggota DPS; dan
d. analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perasuransian
syariah.
(3) OJK dapat melakukan peninjauan ke kantor Unit
Syariah untuk memastikan kesiapan operasional Unit
Syariah.
(4) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
harus menyampaikan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5) paling
lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat
permintaan kelengkapan dokumen dari OJK.
(5) Dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi
telah menyampaikan kelengkapan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4), OJK
memberikan persetujuan atau penolakan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(6) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK belum
menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan
dokumen dimaksud, Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi dianggap membatalkan
permohonan izin pembentukan Unit Syariah.
(7) Dalam hal permohonan izin pembentukan Unit
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disetujui, OJK menetapkan keputusan pemberian izin
- 50 -
pembentukan Unit Syariah kepada Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi.
(8) Dalam hal OJK menolak permohonan izin
pembentukan Unit Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), penolakan harus dilakukan secara
tertulis dengan disertai alasannya.
Pasal 38
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
wajib melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak
tanggal izin pembentukan Unit Syariah ditetapkan.
(2) Unit Syariah dilarang tidak melakukan kegiatan usaha
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan secara terus
menerus.
(3) Unit Syariah wajib menyampaikan laporan
pelaksanaan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha Unit
Syariah.
(4) Pelaporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) harus disampaikan oleh
Direksi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi sesuai dengan format 11 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan
dilampiri:
a.
daftar bukti polis syariah yang telah diterbitkan;
dan
b. daftar perjanjian kegiatan usaha berdasarkan
Prinsip Syariah yang telah dilakukan.
Bagian Keempat
Pembukuan Unit Syariah
Pasal 39
(1) Unit Syariah wajib memiliki pembukuan terpisah dari
perusahaan induknya.
- 51 -
(2) Penyusunan laporan keuangan Unit Syariah wajib
mengikuti perlakuan akuntansi yang diatur dalam
standar akuntansi keuangan yang berlaku.
Bagian Kelima
Pimpinan Unit Syariah
Pasal 40
(1) Unit Syariah wajib dipimpin oleh seorang pimpinan
Unit Syariah.
(2) Pimpinan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan
operasional Unit Syariah.
(3) Pimpinan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan
macet;
b. memiliki keahlian, pengalaman, dan/atau bukti
pelatihan di bidang keuangan Syariah; dan
c.
tidak rangkap jabatan pada fungsi lain pada
perusahaan yang sama, kecuali pimpinan Unit
Syariah dijabat oleh Direksi.
Pasal 41
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
wajib melaporkan perubahan pimpinan Unit Syariah
kepada OJK paling lama 15 (lima belas) hari kerja
sejak tanggal pengangkatan pimpinan Unit Syariah.
(2) Pelaporan perubahan pimpinan Unit Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri
dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 ayat (5) huruf d.
- 52 -
Bagian Keenam
Kantor di Luar Kantor Pusat Unit Syariah
Pasal 42
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
yang memiliki Unit Syariah dapat membuka kantor di
luar kantor pusat Unit Syariah di dalam atau di luar
negeri.
(2) Unit Syariah yang membuka kantor di luar kantor
pusat Unit Syariah yang memiliki kewenangan untuk
membuat keputusan mengenai penerimaan atau
penolakan pertanggungan dan/atau klaim setiap saat
wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memenuhi ketentuan mengenai kesehatan
keuangan untuk 4 (empat) triwulan terakhir;
b. tidak sedang dikenakan sanksi administratif oleh
OJK; dan
c.
telah dicantumkan dalam rencana bisnis
Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi periode berjalan.
Pasal 43
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
wajib melaporkan pembukaan kantor di luar kantor
pusat Unit Syariah kepada OJK.
(2) Pelaporan pembukaan kantor di luar kantor pusat
Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan Asuransi
dan Perusahaan Reasuransi kepada OJK paling lama
10 (sepuluh) hari kerja setelah kantor di luar kantor
pusat Unit Syariah tersebut beroperasi dengan
menggunakan format 12 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
- 53 -
Pasal 44
(1) Unit Syariah yang akan menutup kantor di luar
kantor pusat Unit Syariah yang memiliki kewenangan
untuk membuat keputusan mengenai penerimaan
atau penolakan pertanggungan dan/atau klaim wajib
terlebih dahulu memberitahukan kepada pemegang
polis atau peserta mengenai:
a. rencana penutupan kantor di luar kantor pusat
Unit Syariah; dan
b. prosedur pengalihan hak dan kewajiban
pemegang polis atau peserta.
(2) Unit Syariah wajib menunjuk kantor di luar kantor
pusat Unit Syariah yang memiliki kewenangan untuk
membuat keputusan mengenai penerimaan atau
penolakan pertanggungan dan/atau klaim atau kantor
pusat Unit Syariah untuk menangani pengalihan hak
dan kewajiban pemegang polis atau peserta dari
kantor di luar kantor pusat Unit Syariah yang ditutup.
(3) Unit Syariah yang akan menghentikan atau menutup
kantor di luar kantor pusat Unit Syariah wajib
melaporkan terlebih dahulu kepada OJK paling lama
15 (lima belas) hari kerja sebelum tanggal penghentian
atau penutupan kantor dimaksud.
(4) Pelaporan penghentian atau penutupan kantor di luar
kantor pusat Unit Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) harus disampaikan oleh Direksi
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
dengan menggunakan format 13 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, yang
dilampiri dengan bukti pemberitahuan kepada
pemegang polis atau peserta.
- 54 -
Bagian Ketujuh
Penutupan Unit Syariah
Pasal 45
(1) Penutupan Unit Syariah dilakukan dalam hal:
a. Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi yang memiliki Unit Syariah
mengajukan permohonan penutupan Unit
Syariah; atau
b. Unit Syariah dikenakan sanksi administratif
berupa pencabutan izin Unit Syariah.
(2) Dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi mengajukan permohonan penutupan Unit
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
wajib terlebih dahulu melaporkan rencana penutupan
Unit Syariah kepada OJK dengan disertai:
a. alasan atau latar belakang penutupan Unit
Syariah;
b. uraian mengenai kondisi Unit Syariah, termasuk
data mengenai jumlah polis yang masih berlaku
(in-force), jumlah pemegang polis atau peserta,
jumlah kewajiban Unit Syariah kepada pemegang
polis atau peserta dan kewajiban lainnya; dan
c. rencana penyelesaian hak dan kewajiban kepada
pemegang polis atau peserta dan Pihak lainnya.
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) OJK memberikan persetujuan atas rencana
penutupan Unit Syariah.
Pasal 46
(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
yang telah memperoleh penetapan persetujuan
rencana penutupan Unit Syariah wajib untuk:
a. menghentikan seluruh kegiatan usaha Unit
Syariah;
- 55 -
b. mengumumkan rencana penghentian kegiatan
usaha Unit Syariah dan rencana penyelesaian
kewajiban Unit Syariah dalam 2 (dua) surat kabar
harian yang salah satunya mempunyai peredaran
nasional paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja
sejak tanggal surat penetapan persetujuan
rencana penutupan Unit Syariah; dan
c. menyelesaikan seluruh kewajiban Unit Syariah
paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal surat
penetapan penutupan Unit Syariah.
(2) Pelaksanaan penghentian kegiatan usaha Unit Syariah
wajib dilaporkan oleh Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi yang memiliki Unit Syariah
kepada OJK paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja
setelah tanggal penghentian.
Pasal 47
(1) Setelah seluruh kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 ayat (1) diselesaikan, Direksi
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
wajib menyampaikan kepada OJK laporan yang paling
sedikit memuat:
a. pelaksanaan penghentian kegiatan Unit Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1)
huruf a;
b. pelaksanaan pengumuman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf b;
c. pelaksanaan penyelesaian hak dan kewajiban
pemegang polis atau peserta Unit Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1)
huruf c;
d. neraca akhir Unit Syariah yang telah diaudit oleh
auditor independen; dan
e. surat pernyataan dari Direksi Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang
menyatakan bahwa seluruh kewajiban Unit
Syariah telah diselesaikan dan apabila terdapat
- 56 -
tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung
jawab Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) OJK melakukan:
a.
penelitian atas laporan pelaksanaan rencana
penutupan Unit Syariah; dan
b. menetapkan keputusan pencabutan izin
pembentukan Unit Syariah paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterima secara lengkap.
BAB VI
SUSUNAN ORGANISASI
Pasal 48
(1) Perusahaan wajib memiliki susunan organisasi yang
menggambarkan secara jelas pemisahan fungsi
pengelolaan risiko, fungsi pengelolaan keuangan, dan
fungsi pelayanan.
(2) Perusahaan wajib memiliki satuan kerja yang
menangani fungsi:
a. underwriting;
b. aktuaria;
c. penyelesaian administrasi klaim;
d. pemasaran;
e. keuangan termasuk pengelolaan investasi;
f.
g.
manajemen risiko;
audit internal;
h. administrasi dan akuntansi;
i.
kepatuhan;
j.
anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme; dan
k. pelayanan dan penyelesaian pengaduan.
(3) Susunan organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilengkapi dengan uraian tugas, wewenang,
- 57 -
tanggung jawab, dan prosedur kerja secara tertulis,
yang ditetapkan oleh Direksi.
(4) Susunan organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus mencerminkan adanya pengendalian internal
yang baik.
(5) Perusahaan wajib memiliki pegawai yang bertanggung
jawab atas masing-masing fungsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(6) Pengelolaan Perusahaan wajib didukung paling sedikit
dengan sistem pengolahan data yang dapat
menghasilkan informasi yang akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan dalam pengambilan
keputusan.
BAB VII
SUMBER DAYA MANUSIA
Bagian Kesatu
Sertifikasi
Pasal 49
(1) Anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan
pejabat 1 (satu) tingkat di bawah Direksi wajib
memiliki sertifikat keahlian di bidang manajemen
risiko dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang
manajemen risiko.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi bagi
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan
pejabat 1 (satu) tingkat di bawah Direksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran
OJK.
Bagian Kedua
Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Pasal 50
(1) Perusahaan dapat menggunakan tenaga kerja asing.
- 58 -
(2) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) untuk dipekerjakan sebagai:
a. Tenaga Ahli dengan level jabatan satu tingkat di
bawah Direksi;
b. aktuaris; atau
c. konsultan.
(3) Perusahaan hanya dapat mempekerjakan tenaga kerja
asing yang menangani fungsi:
a. underwriting;
b. aktuaria;
c. pemasaran; dan/atau
d. sistem informasi.
(4) Perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja asing
sebagai Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a wajib memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a. tenaga kerja asing dipekerjakan dengan jangka
waktu paling lama 5 (lima) tahun; dan
b. tenaga kerja asing didampingi oleh tenaga kerja
Indonesia dalam rangka alih pengetahuan,
keahlian, dan teknologi.
(5) Perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja asing
sebagai konsultan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf c wajib memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a. tenaga kerja asing hanya dipekerjakan untuk
melaksanakan proyek atau program tertentu yang
berkaitan dengan kegiatan operasional di bidang
perasuransian;
b. jangka waktu untuk proyek atau program
sebagaimana dimaksud dalam huruf a paling
lama 5 (lima) tahun; dan
c. tenaga kerja asing didampingi oleh tenaga kerja
Indonesia dalam rangka alih pengetahuan,
keahlian, dan teknologi.
- 59 -
(6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib memenuhi persyaratan:
a. memiliki keahlian sesuai dengan bidang tugas
yang akan menjadi tanggung jawabnya;
b. tenaga asing tersebut menduduki jabatan yang
belum dapat diisi oleh tenaga kerja Indonesia;
dan
c. memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang ketenagakerjaan.
(7) OJK berwenang untuk meminta Perusahaan
memberhentikan tenaga kerja asing yang tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (6).
Pasal 51
(1) Perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), wajib
terlebih dahulu melaporkan kepada OJK paling lama
20 (dua puluh) hari kerja sebelum tenaga kerja asing
dimaksud dipekerjakan.
(2) Pelaporan rencana mempekerjakan tenaga kerja asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK
sesuai dengan format 14 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(3) Pelaporan rencana mempekerjakan tenaga kerja asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilampiri:
a.
disertai
dengan
daftar riwayat hidup tenaga kerja asing yang
dipekerjakan,
fotokopi
dokumen yang mencerminkan bidang
keahliannya;
b. rencana program pendidikan dan pelatihan
tahunan selama tenaga kerja asing dimaksud
dipekerjakan; dan
- 60 -
c. rencana penempatan dan bidang
tugas
yang menjadi tanggung jawab tenaga kerja
asing.
Pasal 52
(1) Perusahaan wajib melaporkan pengangkatan atau
pemberhentian tenaga kerja asing kepada OJK paling
lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah diangkat atau
diberhentikan.
(2) Pelaporan pengangkatan tenaga kerja asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK
dengan melampirkan:
a. fotokopi bukti pengangkatan tenaga kerja asing;
b. fotokopi surat izin menetap;
c.
d. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP).
(3) Pelaporan pemberhentian tenaga kerja asing
sebagaiman dimaksud pada ayat (1) harus
disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK
dengan disertai alasan pemberhentian.
Pasal 53
(1) Perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), wajib
menyelenggarakan kegiatan alih pengetahuan dari
tenaga kerja asing kepada pegawai Perusahaan.
(2) Alih pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), harus dibuat dalam bentuk program pendidikan
dan pelatihan tahunan kepada pegawai Perusahaan.
fotokopi surat izin menggunakan tenaga kerja
asing; dan
- 61 -
Bagian Ketiga
Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pasal 54
(1) Perusahaan
wajib
menyelenggarakan program
pengembangan kemampuan dan pengetahuan bagi
pegawainya.
(2) Pengembangan kemampuan dan pengetahuan bagi
pegawainya sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
wajib dilakukan dalam bentuk program pendidikan
dan pelatihan.
BAB VIII
TENAGA AHLI, AKTUARIS, DAN AUDITOR INTERNAL
Bagian Kesatu
Tenaga Ahli Perusahaan Asuransi Umum dan
Perusahaan Asuransi Umum Syariah
Pasal 55
(1) Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan
Asuransi Umum Syariah wajib mempekerjakan paling
sedikit 1 (satu) orang Tenaga Ahli.
(2) Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki sertifikat keahlian asuransi umum atau
asuransi umum syariah dengan level tertinggi
dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang
perasuransian;
b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang
pengelolaan risiko asuransi umum atau asuransi
umum syariah paling singkat 3 (tiga) tahun; dan
c.
tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari
asosiasi profesinya.
(3) Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan
Asuransi Umum Syariah wajib menyesuaikan Tenaga
Ahli dalam jumlah yang cukup sesuai dengan jenis
- 62 -
dan lini usaha yang diselenggarakannya serta
memperhatikan kompleksitas usaha.
(4) Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki sertifikat keahlian asuransi umum atau
asuransi umum syariah dengan level paling
rendah satu tingkat dibawah kualifikasi tertinggi
dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang
perasuransian;
b. memiliki sertifikat keahlian sesuai dengan lini
usaha yang diselenggarakan dari Lembaga
Sertifikasi Profesi di bidang perasuransian;
c. memiliki pengalaman kerja dalam bidang
pengelolaan risiko paling singkat 3 (tiga) tahun;
dan
d. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari
asosiasi profesinya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyesuaian jumlah
Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
persyaratan Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Bagian Kedua
Tenaga Ahli Perusahaan Asuransi Jiwa dan
Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah
Pasal 56
(1) Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi
Jiwa Syariah wajib mempekerjakan paling sedikit 1
(satu) orang Tenaga Ahli.
(2) Tenaga Ahli asuransi jiwa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. memiliki sertifikat keahlian asuransi jiwa atau
asuransi jiwa syariah dengan level tertinggi dari
Lembaga Sertifikasi Profesi
perasuransian;
di bidang
- 63 -
b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang
pengelolaan risiko asuransi jiwa atau asuransi
jiwa syariah paling singkat 3 (tiga) tahun; dan
c.
tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari
asosiasi profesinya.
(3) Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi
Jiwa Syariah wajib menyesuaikan Tenaga Ahli dalam
jumlah yang cukup sesuai dengan jenis dan lini usaha
yang diselenggarakannya serta memperhatikan
kompleksitas usaha.
(4) Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki sertifikat keahlian asuransi jiwa atau
asuransi jiwa syariah dengan level paling rendah
satu tingkat dibawah kualifikasi tertinggi dari
Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang
perasuransian;
b. memiliki sertifikat keahlian sesuai dengan lini
usaha yang diselenggarakan dari Lembaga
Sertifikasi Profesi di bidang perasuransian;
c. memiliki pengalaman kerja dalam bidang
pengelolaan risiko paling singkat 3 (tiga) tahun;
dan
d. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari
asosiasi profesinya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyesuaian jumlah
Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
persyaratan Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Bagian Ketiga
Tenaga Ahli Perusahaan Reasuransi dan
Perusahaan Reasuransi Syariah
Pasal 57
(1) Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi
Syariah wajib mempekerjakan paling sedikit 1 (satu)
orang Tenaga Ahli.
- 64 -
(2) Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki sertifikat keahlian asuransi umum atau
asuransi umum syariah dengan level tertinggi
dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang
perasuransian;
b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang
pengelolaan risiko reasuransi paling singkat 3
(tiga) tahun; dan
c.
tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari
Asosiasi profesinya.
(3) Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi
Syariah wajib menyesuaikan Tenaga Ahli dalam
jumlah yang cukup sesuai dengan jenis dan lini usaha
yang diselenggarakannya serta memperhatikan
kompleksitas usaha.
(4) Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki sertifikat keahlian asuransi umum atau
asuransi umum syariah dengan level paling
rendah satu tingkat dibawah kualifikasi tertinggi
dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang
perasuransian;
b. memiliki sertifikat keahlian sesuai dengan lini
usaha yang diselenggarakan dari Lembaga
Sertifikasi Profesi di bidang perasuransian;
c. memiliki pengalaman kerja dalam bidang
pengelolaan risiko paling singkat 3 (tiga) tahun;
dan
d. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari
Asosiasi profesinya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyesuaian jumlah
Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
persyaratan Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) diatur dalam Surat Edaran OJK.
- 65 -
Bagian Keempat
Tenaga Ahli pada Kantor di Luar Kantor Pusat
Pasal 58
(1) Perusahaan wajib mengangkat 1 (satu) orang Tenaga
Ahli dengan level paling rendah 1 (satu) tingkat
dibawah kualifikasi tertinggi pada setiap kantor di luar
kantor pusat yang memiliki kewenangan untuk
membuat keputusan mengenai penerimaan atau
penolakan pertanggungan dan/atau klaim.
(2) Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada (1) harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki sertifikat keahlian sesuai lingkup usaha
dengan level paling rendah 1 (satu) tingkat di
bawah kualifikasi tertinggi dari Lembaga
Sertifikasi Profesi di bidang perasuransian;
b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang
pengelolaan risiko asuransi paling singkat 2 (dua)
tahun; dan
c.
tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari
asosiasi profesinya.
Bagian Kelima
Aktuaris
Pasal 59
(1) Perusahaan wajib mengangkat 1 (satu) orang aktuaris
sebagai aktuaris Perusahaan (appointed actuary).
(2) Perusahaan wajib mempekerjakan aktuaris dalam
jumlah yang cukup sesuai dengan jenis dan lini usaha
yang diselenggarakannya serta memperhatikan
kompleksitas usaha.
(3) Perusahaan
dilarang
mengangkat aktuaris
Perusahaan (appointed actuary) yang merangkap
jabatan sebagai anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, atau anggota DPS pada Perusahaan.
- 66 -
(4) Aktuaris Perusahaan (appointed actuary) sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan aktuaris yang
dipekerjakan Perusahaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. memiliki kualifikasi sebagai aktuaris yang
mendapatkan izin dari instansi yang berwenang;
b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang
aktuaria asuransi paling singkat 3 (tiga) tahun; dan
c. menjadi anggota asosiasi profesi aktuaris atau
mendapat rekomendasi dari asosiasi profesi
aktuaris yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan dinilai layak untuk bekerja pada
Perusahaan di Indonesia bagi aktuaris selain
anggota asosiasi profesi aktuaris.
Pasal 60
(1) Aktuaris Perusahaan (appointed actuary) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dan aktuaris yang
dipekerjakan Perusahaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 ayat (2) paling sedikit bertugas
melakukan evaluasi terhadap kewajiban Perusahaan
kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta dan
aspek teknis aktuaria lainnya.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, aktuaris Perusahaan
(appointed actuary) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (1) dan aktuaris yang dipekerjakan
Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
ayat (2) harus berpedoman pada standar praktik dan
kode etik profesi yang berlaku.
Bagian Keenam
Auditor Internal
Pasal 61
(1) Perusahaan wajib memiliki satuan kerja audit
internal.
- 67 -
(2) Satuan kerja audit internal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bertanggung jawab secara langsung
kepada direktur utama atau yang setara.
(3) Satuan kerja audit internal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dipimpin oleh seorang auditor internal.
Bagian Ketujuh
Pelaporan Pengangkatan dan Pemberhentian Tenaga Ahli,
Aktuaris, dan/atau Auditor Internal
Pasal 62
(1) Perusahaan wajib
melaporkan pengangkatan
dan/atau pemberhentian Tenaga Ahli, aktuaris,
dan/atau auditor internal paling lama 20 (dua puluh)
hari kerja sejak tanggal pengangkatan dan/atau
pemberhentian Tenaga Ahli, aktuaris, dan/atau
auditor internal.
(2) Pelaporan pengangkatan Tenaga Ahli, aktuaris,
dan/atau auditor internal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi
Perusahaan kepada OJK dengan menggunakan format
15 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini, dengan dilampiri:
a. fotokopi
sertifikat keahlian dari Lembaga
Sertifikasi Profesi, bagi Tenaga Ahli dan aktuaris;
b. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda
penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku;
c.
daftar riwayat hidup yang disertai dengan pas
foto berwarna yang terbaru berukuran 4 x 6 cm;
dan
d. surat keterangan dari asosiasi profesi terkait
bahwa tidak sedang dalam pengenaan sanksi.
(3) Pelaporan pemberhentian Tenaga Ahli, aktuaris,
dan/atau auditor internal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi kepada
OJK dengan menggunakan format 16 sebagaimana
- 68 -
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
BAB IX
KANTOR DI LUAR KANTOR PUSAT
Pasal 63
(1) Perusahaan dapat membuka kantor di luar kantor
pusat di dalam atau di luar negeri.
(2) Perusahaan bertanggung jawab sepenuhnya atas
setiap kantor yang dimiliki atau dikelolanya atau yang
pemilik atau pengelolanya diberi izin menggunakan
nama Perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 64
(1) Perusahaan yang membuka kantor di luar kantor
pusat yang memiliki kewenangan untuk membuat
keputusan mengenai penerimaan atau penolakan
pertanggungan dan/atau klaim setiap saat wajib
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memenuhi ketentuan mengenai kesehatan
keuangan untuk 4 (empat) triwulan terakhir;
b. memiliki penilaian tingkat risiko rendah atau
sedang rendah;
c. memiliki Tenaga Ahli yang bekerja secara penuh
pada kantor yang bersangkutan; dan
d. tidak sedang dikenakan sanksi administratif oleh
OJK.
(2) Dalam hal Perusahaan tidak dapat memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
OJK belum dapat mencatat kantor di luar kantor
pusat dan memerintahkan penghentian sementara
kegiatan operasional sampai dengan dipenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- 69 -
Pasal 65
Pengelolaan kantor di luar kantor pusat yang tidak
memiliki kewenangan untuk membuat keputusan
mengenai penerimaan atau penolakan pertanggungan
dan/atau klaim, dapat dilaksanakan oleh Perusahaan atau
dikerjasamakan dengan Pihak lain.
Pasal 66
(1) Perusahaan wajib melaporkan setiap pembukaan
kantor di luar kantor pusatnya kepada OJK.
(2) Pelaporan pembukaan kantor di luar kantor pusatnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disampaikan oleh Direksi kepada OJK Perusahaan
paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah kantor
tersebut beroperasi dengan menggunakan format 17
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini.
(3) Pelaporan pembukaan kantor di luar kantor pusat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri:
a. nama kantor dan fungsi kantor;
b. alamat kantor yang didukung oleh surat
keterangan dari pihak yang relevan yang paling
sedikit menyatakan nama Perusahaan;
c. nama pimpinan kantor dilengkapi dengan daftar
riwayat hidup; dan
d. tugas dan kewenangan pimpinan kantor.
Pasal 67
(1) Perusahaan yang akan menutup kantor di luar kantor
pusat yang memiliki kewenangan untuk membuat
keputusan mengenai penerimaan atau penolakan
pertanggungan dan/atau klaim wajib terlebih dahulu
memberitahukan kepada pemegang polis, tertanggung,
atau peserta mengenai:
a. rencana penutupan kantor di luar kantor pusat;
dan
- 70 -
b. prosedur penyelesaian hak dan kewajiban.
(2) Prosedur penyelesaian hak dan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib
dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan
kepentingan pemegang polis, tertanggung, atau
peserta.
Pasal 68
(1) Perusahaan wajib melaporkan penutupan kantor di
luar kantor pusat yang memiliki kewenangan untuk
membuat keputusan mengenai penerimaan atau
penolakan pertanggungan dan/atau klaim
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) secara
tertulis oleh Direksi Perusahaan kepada OJK paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
penutupan kantor di luar kantor pusat.
(2) Pelaporan penutupan kantor di luar kantor pusat yang
memiliki kewenangan untuk membuat keputusan
mengenai penerimaan atau penolakan pertanggungan
dan/atau klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal
67 ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi kepada
OJK Perusahaan dengan menggunakan format 18
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini, dengan dilampiri:
a. bukti pemberitahuan rencana penutupan kantor
di luar kantor pusat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 67 ayat (1) huruf a; dan
b. bukti pengalihan pelayanan kantor di luar kantor
pusat yang di tutup ke kantor pusat atau kantor
di luar kantor pusat terdekat.
Pasal 69
(1) Perusahaan wajib melaporkan penutupan kantor di
luar kantor pusat yang tidak memiliki kewenangan
untuk membuat keputusan mengenai penerimaan
dan memperhatikan
- 71 -
atau penolakan pertanggungan dan/atau klaim secara
tertulis oleh Direksi Perusahaan kepada OJK paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
penutupan kantor di luar kantor pusat.
(2) Pelaporan penutupan kantor di luar kantor pusat yang
tidak memiliki kewenangan untuk membuat
keputusan mengenai penerimaan atau penolakan
pertanggungan dan/atau klaim
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh
Direksi Perusahaan
kepada OJK
dengan
menggunakan format 19 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
BAB X
KEANGGOTAAN PADA ASOSIASI
Pasal 70
(1) Setiap Perusahaan wajib menjadi anggota salah satu
Asosiasi yang sesuai dengan jenis usahanya.
(2) Asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendapat persetujuan tertulis dari OJK.
(3) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Asosiasi
harus
menyampaikan permohonan kepada OJK yang
dilampiri dokumen:
a. fotokopi anggaran dasar atau anggaran rumah
tangga; dan
b. struktur kepengurusan.
BAB XI
PENDAFTARAN AGEN ASURANSI
Pasal 71
(1) Agen Asuransi wajib terdaftar di OJK.
- 72 -
(2) Agen Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk Agen Asuransi yang bekerja pada badan
usaha.
(3) Agen Asuransi yang terdaftar di OJK harus memiliki
sertifikat keagenan dari Lembaga Sertifikasi Profesi di
bidang perasuransian.
(4) OJK mendelegasikan kewenangan pendaftaran Agen
Asuransi kepada Asosiasi.
(5) Untuk terdaftar di OJK, Agen Asuransi harus
menyampaikan permohonan pendaftaran kepada
Asosiasi.
(6) Pendelegasian wewenang sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) ditetapkan oleh OJK berdasarkan Keputusan
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran Agen
Asuransi diatur oleh Asosiasi dengan persetujuan OJK.
(8) Asosiasi melaporkan pelaksanaan pendaftaran Agen
Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada
OJK setiap periode bulan Maret, Juni, September, dan
Desember paling lama pada tanggal 20 bulan
berikutnya.
Pasal 72
OJK memiliki akses terhadap data Agen Asuransi yang
dikelola oleh Asosiasi.
Pasal 73
(1) Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
ayat (2) harus terdaftar di OJK.
(2) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus berbentuk badan hukum:
a. perseroan terbatas; atau
b. koperasi.
(3) Untuk terdaftar di OJK badan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan
permohonan pendaftaran kepada OJK dengan
- 73 -
menggunakan format 20 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dengan dilampiri:
a. fotokopi akta pendirian badan usaha yang
dilampiri dengan bukti pengesahan dari instansi
yang berwenang;
b. daftar Agen Asuransi yang bekerja dengan bukti
sertifikasi keagenan; dan
c. bukti perjanjian kerja sama antara Perusahaan
Asuransi dengan badan usaha.
(4) OJK
memberikan persetujuan, permintaan
kelengkapan dokumen, atau penolakan atas
permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja sejak permohonan pendaftaran
diterima.
(5) Pemohon harus menyampaikan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 20
(dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan
kelengkapan dokumen dari OJK.
(6) Dalam hal pemohon telah menyampaikan kelengkapan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (5), OJK
memberikan persetujuan atau penolakan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(7) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), OJK belum
menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan
dokumen dimaksud, pemohon dianggap membatalkan
permohonan pendaftaran.
(8) Dalam hal permohonan pendaftaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) disetujui, OJK menyampaikan
surat tanda terdaftar kepada pemohon.
(9) Dalam hal OJK menolak permohonan pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penolakan harus
dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya.
- 74 -
BAB XII
PERUBAHAN KEPEMILIKAN
Pasal 74
(1) Setiap perubahan kepemilikan Perusahaan wajib
terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari OJK.
(2) Dalam hal perubahan kepemilikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diakibatkan oleh adanya
penambahan Modal Disetor maka penambahan modal
dimaksud hanya dapat dilakukan dalam bentuk:
a. setoran tunai;
b. pengalihan saldo laba;
c. pengalihan pinjaman; dan/atau
d. dividen saham.
Pasal 75
(1) Perusahaan yang telah mendapatkan izin usaha pada
saat Peraturan OJK ini diundangkan dan akan
melakukan perubahan kepemilikan melalui
pengambilalihan dan/atau penambahan pemegang
saham baru wajib menyesuaikan ketentuan mengenai
Modal Disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(2) Perusahaan yang akan melakukan perubahan
kepemilikan melalui penambahan pemegang saham
baru yang merupakan hasil warisan, dikecualikan dari
kewajiban penyesuaian mengenai Modal Disetor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Perusahaan yang akan melakukan perubahan
kepemilikan dalam rangka pemenuhan Ekuitas
minimum sebagaimana diatur dalam peraturan
OJK mengenai kesehatan keuangan Perusahaan,
dikecualikan dari kewajiban penyesuaian mengenai
Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
- 75 -
Pasal 76
(1) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1), calon pemegang
saham melalui Direksi Perusahaan harus mengajukan
permohonan persetujuan kepada OJK dengan
menggunakan format 21 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, yang dilampiri
dengan:
a. rencana daftar kepemilikan;
b. data calon pemegang saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf f, apabila
terdapat pemegang saham baru;
c. rancangan akta risalah RUPS;
d. rancangan akta pemindahan hak atas saham;
e.
fotokopi surat pemberitahuan pajak (SPT) 2 (dua)
tahun terakhir dan dokumen lain yang
menunjukkan kemampuan keuangan serta
sumber dana calon pemegang saham orang
perseorangan;
f.
fotokopi laporan keuangan Perusahaan yang telah
diaudit oleh akuntan publik sebelum
penambahan Modal Disetor, dalam hal
perubahan kepemilikan diakibatkan oleh
penambahan Modal Disetor dan akan dilakukan
dalam bentuk pengalihan saldo laba, pengalihan
pinjaman, dan/atau dividen saham; dan
g.
fotokopi perjanjian kerjasama antara pemegang
saham yang berbentuk badan hukum asing
dengan pemegang saham Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf p angka
8, bagi permohonan persetujuan perubahan
kepemilikan yang terdapat pemegang saham baru
berbentuk badan hukum asing.
(2) OJK memberikan persetujuan, permintaan
kelengkapan dokumen, atau penolakan atas
permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud
- 76 -
pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja sejak permohonan persetujuan
perubahan kepemilikan diterima.
(3) Dalam rangka memberikan persetujuan atau
penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), OJK
melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. analisis kelayakan rencana perubahan
kepemilikan;
c. penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap
calon Pengendali, dalam hal perubahan kepemilikan
menyebabkan perubahan Pengendali; dan
d. analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perasuransian.
(4) Perusahaan harus menyampaikan kelengkapan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat
permintaan kelengkapan dokumen dari OJK.
(5) Dalam hal Perusahaan telah menyampaikan
kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), OJK memberikan persetujuan atau penolakan
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(6) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), OJK belum
menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan
dokumen dimaksud, Perusahaan dianggap
membatalkan permohonan.
(7) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disetujui, OJK menerbitkan surat persetujuan
kepada Perusahaan.
(8) Dalam hal OJK menolak permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), penolakan harus dilakukan
secara tertulis dengan disertai alasannya.
- 77 -
Pasal 77
(1) Perusahaan wajib melaporkan pelaksanaan
perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 74 ayat (1) kepada OJK paling lama 15 (lima
belas) hari kerja sejak tanggal diterimanya bukti
persetujuan dan/atau bukti surat penerimaan
pemberitahuan dari instansi yang berwenang.
(2) Pelaporan perubahan kepemilikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh
Direksi Perusahaan kepada OJK dengan
menggunakan format 22 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan:
a. fotokopi akta perubahan anggaran dasar yang
disertai bukti pengesahan, bukti persetujuan,
dan/atau bukti surat penerimaan pemberitahuan
dari instansi yang berwenang;
b. akta pemindahan hak atas saham dalam hal
terjadi pemindahan hak atas saham; dan/atau
c. bukti penambahan modal berupa fotokopi bukti
pelunasan Modal Disetor dalam bentuk setoran
tunai dan fotokopi bukti penempatan Modal Disetor
pada salah satu bank umum atau bank umum
syariah yang dilegalisasi oleh bank penerima
setoran dalam hal perubahan kepemilikan
mengakibatkan penambahan Modal Disetor.
BAB XIII
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Pelaporan Perubahan Anggaran Dasar
Pasal 78
(1) Perusahaan wajib melaporkan kepada OJK perubahan
anggaran dasar meliputi:
a. perubahan nama Perusahaan;
- 78 -
b. perubahan tempat kedudukan kantor pusat
Perusahaan;
c. pengurangan Modal Disetor bagi Perusahaan
yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas;
d. penambahan Modal Disetor bagi Perusahaan
yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas; dan/atau
e. perubahan status Perusahaan yang tertutup
menjadi terbuka atau sebaliknya,
paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak tanggal
persetujuan, surat penerimaan pemberitahuan, atau
pengesahan dari instansi yang berwenang.
(2) Pelaporan perubahan nama Perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) huruf a harus
disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK
dengan menggunakan format 23 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini,
dilampiri dokumen:
a. fotokopi akta perubahan anggaran dasar yang
disertai dengan bukti persetujuan dari instansi
berwenang bagi Perusahaan yang berbentuk
badan hukum perseroan terbatas; dan
b. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas
nama baru dari Perusahaan.
(3) Pelaporan perubahan tempat kedudukan kantor pusat
Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan
kepada OJK dengan menggunakan format 24
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen:
a. fotokopi akta perubahan anggaran dasar yang
disertai dengan bukti persetujuan dari instansi
berwenang bagi Perusahaan yang berbentuk
badan hukum perseroan terbatas; dan
- 79 -
b. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas
tempat kedudukan nama baru dari Perusahaan.
(4) Pengurangan Modal Disetor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c dapat dilaksanakan oleh
Perusahaan dengan tetap memperhatikan pemenuhan
ketentuan Modal Disetor minimum dan/atau
pemenuhan ketentuan Ekuitas minimum Perusahaan.
bagi
(5) Pelaporan pengurangan
Modal Disetor
Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada
OJK dengan menggunakan format 25 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini,
dilampiri dokumen fotokopi akta perubahan anggaran
dasar yang disertai dengan bukti persetujuan dari
instansi yang berwenang.
(6) Penambahan Modal Disetor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d hanya dapat dilakukan dalam
bentuk:
a. setoran tunai;
b. pengalihan saldo laba;
c. pengalihan pinjaman; dan/atau
d. dividen saham.
(7) Pelaporan penambahan Modal Disetor Perusahaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, harus
disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK
dengan menggunakan format 26 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini,
dilampiri dokumen:
a. fotokopi akta perubahan anggaran dasar yang
disertai dengan bukti surat penerimaan
pemberitahuan dari instansi berwenang bagi
Perusahaan yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas;
- 80 -
b. bukti penambahan Modal Disetor, yaitu:
1. fotokopi bukti setoran modal pada salah
satu bank umum, bank umum syariah, atau
unit usaha syariah dari bank umum di
Indonesia dan dilegalisasi oleh bank
penerima setoran, dalam hal penambahan
Modal Disetor dilakukan dalam bentuk uang
tunai; atau
2. laporan keuangan Perusahaan yang telah
diaudit oleh akuntan publik sebelum
penambahan modal, dalam hal penambahan
Modal Disetor dilakukan dalam bentuk
pengalihan saldo laba, pengalihan pinjaman
dan/atau dividen saham bagi Perusahaan
yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas;
c. surat pernyataan pemegang saham yang
menyatakan bahwa setoran modal tidak berasal
dari pinjaman, kegiatan pencucian uang (money
laundering) dan kejahatan keuangan dalam hal
penambahan modal dilakukan dalam bentuk
uang tunai sebagaimana dimaksud pada huruf b
angka 1;
d. fotokopi surat pemberitahuan (SPT) pajak 2 (dua)
tahun terakhir dan dokumen lain yang
menunjukkan kemampuan keuangan serta
sumber dana calon pemegang saham orang
perseorangan; dan
e. laporan keuangan pemegang saham yang telah
diaudit oleh akuntan publik dan/atau laporan
keuangan terakhir, dalam hal pemegang saham
berbentuk badan hukum.
(8) Pelaporan perubahan status Perusahaan yang
tertutup menjadi
terbuka atau sebaliknya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, harus
disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK
dengan menggunakan format 27 sebagaimana
- 81 -
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini,
dilampiri dokumen fotokopi akta perubahan anggaran
dasar disertai dengan bukti persetujuan dari instansi
berwenang.
Bagian Kedua
Pelaporan Perubahan Anggota Direksi, Anggota Dewan
Komisaris, dan/atau Anggota Dewan Pengawas Syariah
Pasal 79
(1) Perusahaan yang melakukan perubahan anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau anggota
DPS wajib melaporkan kepada OJK paling lama 15
(lima belas) hari kerja terhitung sejak:
a. tanggal pencatatan perubahan anggota Direksi
dan/atau anggota Dewan Komisaris dalam daftar
perseroan;
b. disetujui rapat anggota; atau
c. tanggal pengangkatan anggota DPS.
(2) Pelaporan perubahan anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, dan/atau anggota DPS Perusahaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK
dengan menggunakan format 28 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini,
dilampiri dokumen:
a. fotokopi akta risalah rapat anggota bagi
Perusahaan yang berbentuk badan hukum
koperasi; atau
b. akta risalah RUPS bagi Perusahaan yang
berbentuk badan hukum perseroan terbatas.
- 82 -
Bagian Ketiga
Pelaporan Perubahan Alamat
Pasal 80
(1) Perusahaan wajib melaporkan perubahan alamat
kantor pusat dan kantor di luar kantor pusat, kepada
OJK paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung
sejak tanggal perubahan.
(2) Pelaporan perubahan alamat kantor pusat dan kantor
di luar kantor pusat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada
OJK dengan menggunakan format 29 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dengan
disertai data mengenai alamat kantor yang didukung
oleh surat keterangan dari pihak yang relevan yang
paling sedikit menyatakan nama Perusahaan.
BAB XIV
PENGGABUNGAN DAN PELEBURAN
Pasal 81
(1) Perusahaan dapat melakukan:
a. Penggabungan; atau
b. Peleburan.
(2) Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b hanya dapat
dilakukan oleh Perusahaan berbentuk badan hukum
yang sama dan memiliki bidang usaha yang sejenis.
Pasal 82
(1) Perusahaan yang akan melakukan Penggabungan
atau Peleburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
81 ayat (1) wajib menyampaikan rencana pelaksanaan
Penggabungan atau Peleburan kepada OJK untuk
mendapatkan persetujuan.
- 83 -
(2) Untuk memperoleh persetujuan Penggabungan atau
Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi ketentuan:
a. Penggabungan atau Peleburan tersebut tidak
mengurangi hak pemegang polis, tertanggung,
atau peserta, bagi Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi
Syariah; dan
b. kondisi keuangan Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah
hasil Penggabungan atau Peleburan tersebut
harus memenuhi ketentuan tingkat kesehatan
keuangan.
(3) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), harus disampaikan oleh Direksi kepada
OJK, dengan menggunakan format 30 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dengan
melampirkan:
a. rancangan akta risalah RUPS yang menyetujui
Penggabungan atau Peleburan;
b. rancangan akta Penggabungan atau Peleburan;
c. rencana
daftar kepemilikan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf e dari
Perusahaan hasil Penggabungan atau Peleburan;
d. data pemegang saham atau anggota selain PSP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2)
huruf f dari Perusahaan hasil Penggabungan atau
Peleburan;
e. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit dari
Perusahaan yang melakukan Penggabungan atau
Peleburan;
f.
laporan keuangan proforma dari Perusahaan
hasil Penggabungan atau Peleburan;
- 84 -
g. rencana kerja untuk 3 (tiga) tahun pertama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2)
huruf i dari Perusahaan hasil Penggabungan atau
Peleburan; dan
h. susunan
organisasi
dari Perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2)
huruf b dari Perusahaan hasil Penggabungan
atau Peleburan.
(4) Permohonan persetujuan rencana pelaksanaan
Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan bersamaan dengan
permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan
bagi calon anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris,
anggota DPS, dan/atau PSP Perusahaan.
(5) Permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan
bagi calon anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris,
anggota DPS, dan/atau PSP Perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan
mengacu pada peraturan OJK mengenai penilaian
kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga
jasa keuangan.
(6) OJK memberikan persetujuan, permintaan
kelengkapan dokumen, atau penolakan atas
persetujuan rencana pelaksanaan Penggabungan atau
Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja
sejak permohonan diterima.
(7) Dalam rangka memberikan persetujuan atau
penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
melakukan:
a.
b.
c.
penelitian atas kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
analisis kelayakan atas rencana pelaksanaan
Penggabungan atau Peleburan;
penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap
calon anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris,
anggota DPS, dan/atau PSP Perusahaan; dan
- 85 -
d.
(8) Direksi
analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Perasuransian.
harus menyampaikan
Perusahaan
kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari
OJK.
(9) Dalam hal Direksi Perusahaan telah menyampaikan
kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), OJK memberikan persetujuan atau penolakan
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (6).
(10) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (6), OJK belum
menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan
dokumen dimaksud, Direksi Perusahaan dianggap
membatalkan permohonan persetujuan rencana
pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan.
(11) Dalam hal permohonan disetujui, OJK menerbitkan
surat
persetujuan rencana
Penggabungan atau Peleburan kepada Direksi
Perusahaan.
(12) Penolakan atas permohonan persetujuan rencana
pelaksanaan
Penggabungan atau Peleburan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan secara
tertulis dan disertai dengan alasan penolakan.
Pasal 83
(1) Perusahaan yang telah mendapatkan persetujuan
rencana pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan
dari OJK harus melaksanakan RUPS yang menyetujui
Penggabungan atau Peleburan paling lama 60 (enam
puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal surat
persetujuan OJK.
(2) Dalam hal pelaksanaan RUPS yang menyetujui
rencana pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan
pelaksanaan
- 86 -
tidak sesuai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), maka surat persetujuan OJK
menjadi tidak berlaku.
Pasal 84
(1) Perusahaan yang menerima Penggabungan wajib
melaporkan pelaksanaan RUPS yang menyetujui
Penggabungan kepada OJK paling lambat 10 (sepuluh)
hari kerja terhitung sejak tanggal RUPS.
(2) Pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui
Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
harus disampaikan oleh Direksi kepada OJK dengan
menggunakan format 31 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan:
a. fotokopi akta risalah RUPS yang menyetujui
Penggabungan;
b. fotokopi akta Penggabungan; dan
c. dokumen yang menyatakan bahwa Perusahaan
tidak mempunyai utang pajak dari instansi yang
berwenang.
(3) Dalam rangka pelaporan pelaksanaan RUPS yang
menyetujui Penggabungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Perusahaan yang menerima
Penggabungan dapat mengajukan permohonan izin
pembentukan Unit Syariah yang sebelumnya dimiliki
oleh Perusahaan yang menggabungkan diri kepada
OJK atas namanya.
(4) Permohonan izin pembentukan Unit Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus
disampaikan oleh Direksi kepada OJK dengan
menggunakan format 32 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan
izin pembentukan Unit Syariah yang dimiliki oleh
Perusahaan yang menggabungkan diri.
- 87 -
(5) Berdasarkan pelaporan pelaksanaan RUPS yang
menyetujui Penggabungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan permohonan izin pembentukan Unit
Syariah (jika ada) sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), OJK:
a. melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(4);
b. mencabut izin usaha dan/atau izin pembentukan
Unit Syariah (jika ada) Perusahaan yang
menggabungkan diri yang mulai berlaku efektif
terhitung sejak anggaran dasar disahkan,
disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi
yang berwenang; dan
c. memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin pembentukan Unit Syariah
kepada Perusahaan yang merupakan hasil
Penggabungan yang mulai berlaku efektif
terhitung sejak anggaran dasar disahkan,
disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi
yang berwenang (jika ada).
(6) Pemberian persetujuan atau penolakan
atas
permohonan izin pembentukan Unit Syariah
Perusahaan yang merupakan hasil Penggabungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c
dilakukan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja
setelah dokumen pelaporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diterima secara lengkap.
(7) Dalam hal OJK menolak untuk menetapkan izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c,
penolakan tersebut disertai dengan penjelasan secara
tertulis.
Pasal 85
Perusahaan hasil Penggabungan wajib melaporkan
pelaksanaan Penggabungan kepada OJK dilampiri dengan
anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi yang
- 88 -
berwenang kepada OJK paling lambat 20 (dua puluh) hari
kerja terhitung sejak tanggal pengesahan.
Pasal 86
(1) Perusahaan hasil Peleburan wajib melaporkan
pelaksanaan RUPS yang menyetujui Peleburan kepada
OJK paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal RUPS.
(2) Pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui
Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
harus disampaikan oleh Direksi kepada OJK dengan
menggunakan format 33 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan:
a. fotokopi akta risalah RUPS yang menyetujui
Peleburan;
b. fotokopi akta Peleburan; dan
c. dokumen yang menyatakan bahwa Perusahaan
tidak mempunyai utang pajak dari instansi yang
berwenang.
(3) Dalam rangka pelaporan pelaksanaan RUPS yang
menyetujui Peleburan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Perusahaan yang menerima Peleburan dapat
mengajukan permohonan izin pembentukan Unit
Syariah yang sebelumnya dimiliki oleh Perusahaan
yang meleburkan diri kepada OJK atas namanya.
(4) Permohonan izin pembentukan Unit Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus
disampaikan oleh Direksi kepada OJK dengan
menggunakan format 34 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan
izin pembentukan Unit Syariah yang dimiliki oleh
Perusahaan yang meleburkan diri.
(5) Berdasarkan pelaporan pelaksanaan RUPS yang
menyetujui Peleburan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan permohonan izin pembentukan Unit
- 89 -
Syariah (jika ada) sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), OJK:
a. melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(4);
b. mencabut izin usaha dan/atau izin pembentukan
Unit Syariah (jika ada) Perusahaan yang
meleburkan diri yang mulai berlaku efektif
terhitung sejak anggaran dasar disahkan,
disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi
yang berwenang;
c. memberikan persetujuan atau penolakan izin
usaha kepada Perusahaan yang merupakan hasil
Peleburan yang mulai berlaku efektif terhitung
sejak anggaran dasar disahkan, disetujui oleh
atau diberitahukan kepada instansi yang
berwenang; dan
d. memberikan persetujuan atau penolakan izin
pembentukan Unit Syariah kepada Perusahaan
yang merupakan hasil Peleburan yang mulai
berlaku efektif terhitung sejak
disahkan,
dasar
disetujui
oleh
anggaran
atau
diberitahukan kepada instansi yang berwenang
(jika ada).
(6) Pemberian persetujuan atau penolakan izin usaha
dan/atau
izin
pembentukan
Unit
Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c dan
huruf d dilakukan paling lama 20 (dua puluh)
hari kerja setelah dokumen pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diterima secara
lengkap.
(7) Dalam hal OJK menolak untuk menetapkan izin
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c
dan huruf d penolakan tersebut disertai dengan
penjelasan secara tertulis.
(8) Sebelum persetujuan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) huruf c dan huruf d diberikan,
- 90 -
Perusahaan dilarang menjalankan kegiatan Usaha
Perasuransian.
Pasal 87
Perusahaan hasil Peleburan wajib melaporkan pelaksanaan
Peleburan kepada OJK dilampiri dengan anggaran dasar
yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang kepada
OJK paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal pengesahan.
Pasal 88
Penggabungan dan Peleburan wajib dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XV
SANKSI
Pasal 89
(1) Perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4
ayat (1) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (4), ayat (5), dan ayat
(9), Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat (5) dan ayat (6), Pasal
7 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 8 ayat (6), Pasal
9 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), ayat (3),
ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 18 ayat (2) dan
ayat (3), Pasal 20 ayat (2), Pasal 21 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3), Pasal 22 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal
28 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), ayat (3), ayat (5), dan
ayat (6), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (6), Pasal 31 ayat
(1), Pasal 32 ayat (2), ayat (3), dan ayat (6), Pasal 33
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 48 ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 49 ayat (1), Pasal 50
ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 51 ayat
(1), Pasal 52 ayat (1), Pasal 53 ayat (1), Pasal 54 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 55 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 56
ayat (1) dan ayat (3), Pasal 57 ayat (1) dan ayat (3),
- 91 -
Pasal 58 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3), Pasal 61 ayat (1), Pasal 62 ayat (1), Pasal 64 ayat
(1), Pasal 66 ayat (1), Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 68 ayat (1), Pasal 69 ayat (1), Pasal 70 ayat (1),
Pasal 71 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2), Pasal
75 ayat (1), Pasal 77 ayat (1), Pasal 78 ayat (1) dan
ayat (6), Pasal 79 ayat (1), Pasal 80 ayat (1), Pasal 81
ayat (2), Pasal 82 ayat (1), Pasal 83 ayat (1), Pasal 84
ayat (1), Pasal 85, Pasal 86 ayat (1) dan ayat (8), Pasal
87, dan Pasal 88 Peraturan OJK ini dikenakan sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha untuk sebagian atau
seluruh kegiatan usaha; atau
c. pencabutan izin usaha.
(2) Perusahaan yang mempunyai Unit Syariah dan tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), Pasal 36 ayat (1)
dan ayat (3), Pasal 38 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3),
Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 40 ayat (1), Pasal
41 ayat (1), Pasal 42 ayat (2), Pasal 43 ayat (1), Pasal
44 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 45 ayat (2),
Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 47 ayat (1)
Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif
secara bertahap yaitu berupa:
a. peringatan;
b. pembatasan kegiatan Unit Syariah, untuk
sebagian atau seluruh kegiatan usaha; atau
c. pencabutan izin pembentukan Unit Syariah.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan secara bertahap.
(4) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), OJK dapat mengenakan sanksi
tambahan berupa larangan menjadi pemegang saham,
Pengendali, Direksi, Dewan Komisaris, atau
menduduki jabatan eksekutif di bawah Direksi pada
perusahaan perasuransian.
- 92 -
BAB XVI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 90
(1) Dalam hal OJK telah menyediakan sistem pelayanan
secara elektronik (e-licensing), maka permohonan
perizinan, persetujuan, atau pelaporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Pasal 13 ayat (1),
Pasal 16 ayat (1), Pasal 20 ayat (4), Pasal 23 ayat (2),
Pasal 24 ayat (4), Pasal 26 ayat (2), Pasal 27 ayat (3),
Pasal 31 ayat (2), Pasal 36 ayat (4), Pasal 38 ayat (4),
Pasal 43 ayat (2), Pasal 44 ayat (4), Pasal 51 ayat (2),
Pasal 62 ayat (3), Pasal 66 ayat (2), Pasal 68 ayat (2),
Pasal 69 ayat (2), Pasal 73 ayat (3), Pasal 76 ayat (1),
Pasal 77 ayat (2), Pasal 78 ayat (2), ayat (3), ayat (5),
ayat (7), dan ayat (8), Pasal 79 ayat (2), Pasal 80 ayat
(2), Pasal 82 ayat (3), Pasal 84 ayat (2) dan ayat (4),
dan Pasal 85, dan Pasal 86 ayat (2) disampaikan
kepada OJK secara online melalui sistem jaringan
komunikasi data OJK.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan secara
elektronik (e-licensing) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 91
(1) Lembaga Sertifikasi Profesi harus tercatat di OJK.
(2) Untuk dapat tercatat di OJK, Lembaga Sertifikasi
Profesi sebagaimana dimaksud dimaksud pada ayat
(1) harus menyampaikan permohonan kepada OJK
dengan dilampiri:
a. bukti lisensi Lembaga Sertifikasi Profesi dari
instansi lain yang ditunjuk berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b. fotokopi akta anggaran dasar Lembaga Sertifikasi
Profesi.
- 93 -
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 92
Perusahaan yang mengajukan permohonan izin usaha
kepada OJK sebelum Peraturan OJK ini diundangkan dan
belum menyampaikan dokumen permohonan izin usaha
secara lengkap, maka berlaku ketentuan dalam Peraturan
OJK ini.
Pasal 93
Pada saat program penjaminan polis berlaku, ketentuan
mengenai persyaratan untuk melampirkan laporan awal
Dana Jaminan beserta bukti penempatan Dana Jaminan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf d
dinyatakan tidak berlaku untuk Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Asuransi Syariah.
Pasal 94
Perusahaan yang telah memperoleh izin usaha pada saat
Peraturan OJK ini diundangkan, dikecualikan dari
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
sepanjang tidak melakukan perubahan nama Perusahaan.
Pasal 95
Perusahaan yang pada saat Peraturan OJK ini
diundangkan telah mempekerjakan tenaga kerja asing yang
menangani fungsi selain fungsi underwriting, aktuaria,
pemasaran, dan/atau sistem informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3), tetap dapat
mempekerjakan tenaga kerja asing dimaksud sampai
dengan berakhirnya perjanjian kerja.
Pasal 96
(1) Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan
Asuransi Umum Syariah yang telah memperoleh izin
usaha sebelum Peraturan OJK ini diundangkan harus
- 94 -
memenuhi ketentuan mempekerjakan paling sedikit 1
(satu) orang Tenaga Ahli Asuransi Umum dan Tenaga
Ahli Asuransi Umum Syariah sesuai dengan jenis dan
lini usaha yang diselenggarakannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 paling lama 2 (dua) tahun
sejak Peraturan OJK ini diundangkan.
(2) Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi
Jiwa Syariah yang telah memperoleh izin usaha pada
saat Peraturan OJK ini diundangkan harus memenuhi
ketentuan mempekerjakan Tenaga Ahli Asuransi Jiwa
dan Tenaga Ahli Asuransi Jiwa Syariah sesuai dengan
jenis dan lini usaha yang diselenggarakannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 paling lama 2
(dua) tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan.
Pasal 97
Perusahaan Asuransi Umum, Perusahaan Asuransi Umum
Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan
Reasuransi Syariah yang telah memperoleh izin usaha
pada saat Peraturan OJK ini diundangkan harus
menyesuaikan ketentuan pengangkatan aktuaris
perusahaan (appointed actuary) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 ayat (1) paling lambat pada tanggal 1
Januari 2018.
Pasal 98
Aktuaris perusahaan (appointed actuary) yang telah
melakukan rangkap jabatan sebagai Direksi pada saat
Peraturan OJK ini diundangkan harus menyesuaikan
ketentuan larangan merangkap jabatan sebagai Direksi,
Dewan Komisaris, dan DPS pada Perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) paling lama 3 (tiga)
tahun setelah Peraturan OJK ini diundangkan.
Pasal 99
Sertifikat yang telah diperoleh dari asosiasi atau lembaga,
baik di dalam maupun luar negeri, yang telah
- 95 -
melaksanakan sertifikasi dibidang Perasuransian sebelum
Peraturan OJK ini diundangkan dinyatakan tetap sah dan
berlaku.
Pasal 100
Asosiasi atau lembaga yang telah melaksanakan sertifikasi
dibidang Perasuransian pada saat Peraturan OJK ini
diundangkan harus memenuhi ketentuan sebagai Lembaga
Sertifikasi Profesi paling lama 3 (tiga) tahun sejak
Peraturan OJK ini diundangkan.
Pasal 101
Dalam hal peraturan OJK mengenai prosedur dan tata cara
pengenaan sanksi administratif dan pemblokiran kekayaan
perusahaan perasuransian belum diundangkan, maka
ketentuan mengenai prosedur dan tata cara pengenaan
sanksi administratif mengacu kepada Peraturan
Pemerintah Nomor 73
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 tentang Perubahan
Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992
tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 102
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan
mengenai perizinan usaha dan kelembagaan bagi
Perusahaan tunduk pada Peraturan OJK ini.
Pasal 103
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Tahun 1992 tentang
- 96 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 300
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 67/POJK.05/2016 </reg_id>
<reg_title> PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI, DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 28 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2016 </issued_date>
<related_reg> '40/UU/2014', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XV' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 55 /POJK.05/2017
TENTANG
LAPORAN BERKALA PERUSAHAAN PERASURANSIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 22 ayat (6) dan
Pasal 60 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2014 tentang Perasuransian, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Berkala Perusahaan
Perasuransian;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
LAPORAN BERKALA PERUSAHAAN PERASURANSIAN.
- 2 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan asuransi,
perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi,
perusahaan reasuransi syariah, perusahaan pialang
asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan
perusahaan penilai kerugian asuransi.
2. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi
umum dan perusahaan asuransi jiwa.
3. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang
menyelenggarakan usaha jasa pertanggungan ulang
terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi,
perusahaan penjaminan, atau perusahaan reasuransi
lainnya.
4. Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan
asuransi umum syariah dan perusahaan asuransi jiwa
syariah.
5. Perusahaan Reasuransi Syariah adalah perusahaan yang
menyelenggarakan usaha pengelolaan risiko berdasarkan
prinsip syariah atas risiko yang dihadapi oleh
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan penjaminan
syariah, atau perusahaan reasuransi syariah lainnya.
6. Unit Syariah adalah unit kerja di kantor pusat
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor di luar kantor
pusat yang menjalankan usaha berdasarkan prinsip
syariah.
7. Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan yang
menyelenggarakan usaha jasa konsultasi dan/atau
keperantaraan dalam penutupan asuransi atau asuransi
syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan
bertindak untuk dan atas nama pemegang polis,
tertanggung, atau peserta.
- 3 -
8. Perusahaan Pialang Reasuransi adalah perusahaan yang
menyelenggarakan usaha jasa konsultasi dan/atau
keperantaraan dalam penempatan reasuransi atau
penempatan reasuransi syariah serta penanganan
penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk dan atas
nama Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan penjaminan, perusahaan
penjaminan syariah, Perusahaan Reasuransi, atau
Perusahaan Reasuransi Syariah yang melakukan
penempatan reasuransi atau reasuransi syariah.
9. Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi adalah
perusahaan yang menyelenggarakan usaha jasa
penilaian klaim dan/atau jasa konsultasi atas objek
asuransi.
10. Laporan Berkala adalah laporan yang disusun oleh
Perusahaan Perasuransian untuk kepentingan Otoritas
Jasa Keuangan dalam periode tertentu.
11. Laporan Bulanan adalah laporan yang disusun oleh
Perusahaan Perasuransian untuk kepentingan Otoritas
Jasa Keuangan, yang meliputi periode tanggal 1 Januari
sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan.
12. Laporan Triwulanan adalah laporan yang disusun oleh
Perusahaan Perasuransian untuk kepentingan Otoritas
Jasa Keuangan, yang meliputi periode tanggal 1 Januari
sampai dengan akhir triwulan yang bersangkutan.
13. Laporan Semesteran adalah laporan yang disusun oleh
Perusahaan Perasuransian untuk kepentingan Otoritas
Jasa Keuangan, yang meliputi periode tanggal 1 Januari
sampai dengan akhir semester yang bersangkutan.
14. Laporan Tahunan adalah laporan yang disusun oleh
Perusahaan Perasuransian untuk kepentingan Otoritas
Jasa Keuangan, yang meliputi periode tanggal 1 Januari
sampai dengan akhir tahun yang bersangkutan.
- 4 -
15. Laporan Lain adalah laporan yang disusun oleh
Perusahaan Perasuransian untuk kepentingan Otoritas
Jasa Keuangan selain Laporan Bulanan, Laporan
Triwulanan, Laporan Semesteran, dan Laporan Tahunan
yang disampaikan dalam periode tertentu.
BAB II
PENYUSUNAN LAPORAN BERKALA
PERUSAHAAN PERASURANSIAN
Pasal 2
(1) Perusahaan Perasuransian wajib menyusun Laporan
Berkala secara lengkap dan tepat waktu sesuai dengan
ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Laporan Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. Laporan Bulanan;
b. Laporan Triwulanan;
c. Laporan Semesteran;
d. Laporan Tahunan; dan
e. Laporan Lain.
(3) Laporan Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah,
Perusahaan Reasuransi,
Perusahaan
Reasuransi Syariah, dan Unit Syariah terbagi menjadi
jenis laporan sebagai berikut:
a. Laporan Bulanan;
b. Laporan Triwulanan;
c. Laporan Tahunan; dan
d. Laporan Lain.
(4) Laporan Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan
Pialang Reasuransi terbagi menjadi jenis laporan sebagai
berikut:
a. Laporan Semesteran; dan
b. Laporan Tahunan.
- 5 -
(5) Laporan Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi berupa
Laporan Tahunan.
Pasal 3
(1) Laporan Bulanan dan Laporan Triwulanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dan huruf b
bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
adalah Laporan Bulanan dan Laporan Triwulanan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan
asuransi dan perusahaan reasuransi.
(2) Laporan Bulanan dan Laporan Triwulanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dan huruf b
bagi Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi Syariah, dan Unit Syariah adalah
Laporan Bulanan dan Laporan Triwulanan sebagaimana
dimaksud
dalam
Peraturan
Otoritas
Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan
asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip
syariah.
(3) Laporan Semesteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (2) huruf c bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan
Perusahaan Pialang Reasuransi adalah Laporan
Semesteran sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai penyelenggaraan
usaha perusahaan pialang asuransi, perusahaan
pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian
asuransi.
Pasal 4
(1) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) huruf d terdiri atas:
a. aspek keuangan; dan
b. aspek manajemen.
Jasa
- 6 -
(2) Aspek keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah,
Perusahaan Reasuransi,
Perusahaan
Reasuransi Syariah, dan Unit Syariah adalah Laporan
Keuangan Tahunan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan
keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan
reasuransi dengan prinsip syariah.
(3) Aspek manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi
Syariah, dan Unit Syariah, terdiri atas:
a. bukti sertifikat atau bukti lain yang menunjukan
bahwa pihak utama telah memenuhi syarat
keberlanjutan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak
utama pada perusahaan perasuransian, dana
pensiun, perusahaan pembiayaan, dan perusahaan
penjaminan;
b. laporan hasil penilaian tingkat risiko posisi akhir
tahun sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian tingkat
risiko lembaga jasa keuangan non-bank;
c. rencana tindak lanjut atas penilaian tingkat risiko
posisi akhir tahun sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
penilaian tingkat risiko lembaga jasa keuangan non-
bank;
d. laporan hasil penilaian sendiri penerapan
manajemen risiko Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
penerapan manajemen risiko bagi lembaga jasa
keuangan non-bank;
- 7 -
e. laporan penerapan strategi anti fraud sebagaimana
dimaksud dalam
Peraturan
Otoritas
Jasa
Keuangan mengenai penyelenggaraan usaha
perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah,
perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi
syariah;
f.
laporan penerapan tata kelola perusahaan yang baik
bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai tata kelola
perusahaan yang baik bagi
perasuransian;
perusahaan
g. laporan realisasi rencana bisnis secara tahunan
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai rencana korporasi
dan rencana bisnis perusahaan asuransi, perusahaan
asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan
perusahaan reasuransi syariah;
h. laporan data risiko asuransi
dimaksud dalam Peraturan
Otoritas
sebagaimana
Jasa
Keuangan mengenai pemeliharaan dan pelaporan
data risiko asuransi serta penerapan tarif
premi dan kontribusi untuk lini usaha
asuransi harta benda dan asuransi kendaraan
bermotor;
i.
laporan pelaksanaan penempatan reasuransi
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan mengenai retensi sendiri dan
dukungan reasuransi dalam negeri;
j.
laporan aktuaris tahunan sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan
perusahaan reasuransi dan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan
mengenai kesehatan keuangan
k.
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi
dengan prinsip syariah; dan
laporan lainnya.
- 8 -
(4) Aspek keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a bagi Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan
Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian
Asuransi adalah Laporan Tahunan sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan pialang
asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan
perusahaan penilai kerugian asuransi.
(5) Aspek manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b bagi Perusahaan Pialang Asuransi,
Perusahaan
Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian
Asuransi, terdiri atas:
a. laporan
hasil penilaian sendiri
penerapan
manajemen risiko Perusahaan Pialang Asuransi,
Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan
Penilai Kerugian Asuransi sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
penerapan manajemen risiko bagi lembaga jasa
keuangan non-bank;
b. laporan penerapan tata kelola perusahaan yang baik
bagi Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan
Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai
Kerugian Asuransi sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai tata
kelola perusahaan yang baik bagi perusahaan
perasuransian; dan
c. laporan lainnya.
Pasal 5
Laporan Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
huruf e bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi
Syariah, terdiri atas:
a. laporan rencana korporasi dan rencana bisnis
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai tata kelola perusahaan yang baik
bagi perusahaan perasuransian;
- 9 -
b. laporan program reasuransi/retrosesi otomatis
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai retensi sendiri dan dukungan
reasuransi dalam negeri;
c. laporan pelaksanaan edukasi sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
perlindungan konsumen sektor jasa keuangan;
d. laporan pengaduan konsumen dan tindak lanjut
pelayanan dan penyelesaian konsumen sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai
keuangan;
perlindungan konsumen sektor jasa
e.
laporan penilaian pelaksanaan tata kelola terintegrasi
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai penerapan tata kelola terintegrasi
bagi konglomerasi keuangan, dalam hal Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah sebagai
entitas utama;
f. Laporan Tahunan pelaksanaan tata kelola terintegrasi
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai penerapan tata kelola terintegrasi
bagi konglomerasi keuangan, dalam hal Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah sebagai
entitas utama;
g.
laporan profil risiko terintegrasi sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi
konglomerasi keuangan, dalam hal Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi,
dan Perusahaan Reasuransi Syariah sebagai entitas
utama;
h. laporan kecukupan permodalan terintegrasi sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai kewajiban penyediaan modal minimum
terintegrasi bagi konglomerasi keuangan, dalam hal
- 10 -
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi
Syariah sebagai entitas utama;
i.
j.
laporan rencana kegiatan pengkinian data dan laporan
realisasi pengkinian data sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
penerapan program anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme di sektor jasa
keuangan; dan
laporan lainnya.
Pasal 6
Ketentuan mengenai bentuk, susunan, dan tata cara
penyampaian Laporan Bulanan, Laporan Triwulanan, Laporan
Semesteran, Laporan Tahunan, dan Laporan Lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 5 diatur dalam
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 7
Direksi atau yang setara dari Perusahaan Perasuransian
bertanggung jawab atas penyusunan dan penyajian Laporan
Berkala.
BAB III
PENYAMPAIAN LAPORAN BERKALA
PERUSAHAAN PERASURANSIAN
Pasal 8
(1) Perusahaan Perasuransian wajib menyampaikan
Laporan Berkala kepada Otoritas Jasa Keuangan berupa:
a. Laporan Bulanan, Laporan Triwulanan, Laporan
Semesteran, dan Laporan Lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf e disampaikan sesuai dengan
ketentuan batas waktu yang diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan atau ketentuan peraturan
- 11 -
perundang-undangan lain yang mewajibkan
penyampaian pelaporan dimaksud; dan
b. Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf d paling lambat tanggal 30
April tahun berikutnya.
(2) Apabila batas akhir penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas
akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama
berikutnya.
BAB IV
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 9
(1) Perusahaan Perasuransian yang tidak memenuhi
ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1)
dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau
seluruh kegiatan usaha; dan/atau
c. pencabutan izin usaha.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara bertahap.
(3) Bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah,
dan Unit Syariah, keterlambatan penyampaian Laporan
Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3)
huruf b dan Laporan Tahunan bagi aspek keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), selain
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dikenakan sanksi tambahan berupa denda keterlambatan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan
asuransi dan perusahaan reasuransi dan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan
prinsip syariah.
- 12 -
(4) Bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang
Reasuransi
keterlambatan penyampaian Laporan
Semesteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)
dan Laporan Tahunan berupa Laporan Tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf a,
selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dikenakan sanksi tambahan berupa denda
keterlambatan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai penyelenggaraan
usaha perusahaan pialang asuransi, perusahaan
pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian
asuransi.
(5) Bagi Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi keterlambatan
penyampaian Laporan Tahunan berupa Laporan Tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf a
selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dikenakan sanksi tambahan berupa
denda keterlambatan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai penyelenggaraan
usaha perusahaan pialang asuransi, perusahaan
pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian
asuransi.
(6) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat menambahkan
sanksi tambahan berupa:
a. larangan untuk memasarkan produk asuransi untuk
lini usaha tertentu;
b. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan bagi
pengendali, direksi, atau dewan komisaris, atau yang
setara pada Perusahaan Perasuransian;
c. larangan bagi Perusahaan Perasuransian untuk
menjadi pemegang saham, pengendali, atau yang
setara dengan pemegang saham dan pengendali pada
badan hukum berbentuk koperasi atau usaha
bersama, pada Perusahaan Perasuransian; dan/atau
- 13 -
d. larangan bagi pemegang saham, pengendali, direksi,
dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang
saham, pengendali, direksi, dan dewan komisaris
pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha
bersama Perusahaan Perasuransian untuk menjadi
pemegang saham, pengendali, direksi, dewan
komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham,
pengendali, direksi, atau dewan komisaris pada badan
hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama,
pada Perusahaan Perasuransian.
Pasal 10
(1) Perusahaan yang dicabut izin usahanya dan memiliki
kewajiban untuk membayar denda atas keterlambatan
penyampaian Laporan Berkala atau tidak menyampaikan
Laporan Berkala, tetap diwajibkan untuk membayar
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5).
(2) Bagi Perusahaan yang dicabut izin usahanya dan tidak
menyampaikan Laporan Berkala sebagaimana dimaksud
ayat (1), penghitungan jumlah hari keterlambatan
dihitung setelah batas akhir kewajiban penyampaian
Laporan Berkala sampai dengan 1 (satu) hari sebelum
tanggal pencabutan izin usaha dengan batas maksimal
pengenaan denda sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi,
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan
keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan
reasuransi dengan prinsip syariah, dan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai penyelenggaraan
usaha perusahaan pialang asuransi, perusahaan
pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian
asuransi.
- 14 -
(3) Tata cara penagihan sanksi denda aministratif mengikuti
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai tata cara
penagihan sanksi administratif berupa denda di sektor
jasa keuangan.
(4) Prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif
mengikuti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif di
bidang perasuransian dan pemblokiran kekayaan
perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah,
perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi
syariah.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 11
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku:
a. Peraturan
Otoritas
Jasa
Keuangan
Nomor
3/POJK.05/2013 tentang Laporan Bulanan Lembaga Jasa
Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 150, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5443), dinyatakan tidak
berlaku bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Reasuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi Syariah, dan Unit Syariah;
b. ketentuan mengenai waktu penyampaian bukti sertifikat
atau bukti lain yang menunjukan bahwa pihak utama
telah memenuhi syarat keberlanjutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5) Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 4/POJK.05/2013 tentang Penilaian
Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak Utama pada
Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan
Pembiayaan, dan Perusahaan Penjaminan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 231,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
- 15 -
5474), dinyatakan tidak berlaku bagi Perusahaan
Perasuransian;
c. ketentuan mengenai waktu penyampaian laporan hasil
penilaian tingkat risiko posisi akhir tahun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.05/2014 tentang
Penilaian Tingkat Risiko Lembaga Jasa Keuangan Non-
Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5575), dinyatakan tidak berlaku bagi
Perusahaan
Asuransi,
Perusahaan
Reasuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi
Syariah, dan Unit Syariah;
d. ketentuan mengenai waktu penyampaian rencana tindak
lanjut atas penilaian tingkat risiko posisi akhir tahun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf a
Peraturan
Otoritas
Jasa
Keuangan
Nomor
10/POJK.05/2014 tentang Penilaian Tingkat Risiko
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 197,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5575), dinyatakan tidak berlaku bagi Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Unit
Syariah;
e. ketentuan mengenai waktu penyampaian laporan hasil
penilaian
sendiri
penerapan manajemen risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.05/2015 tentang
Penerapan Manajemen Risiko bagi Lembaga Jasa
Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 69, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5682), dinyatakan
tidak berlaku bagi Perusahaan Perasuransian;
f.
ketentuan mengenai waktu penyampaian laporan
penerapan strategi anti fraud sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 72 ayat (4) huruf a Peraturan Otoritas Jasa
- 16 -
Keuangan
Nomor
Penyelenggaraan
Usaha
69/POJK.05/2016
Perusahaan
tentang
Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi,
dan Perusahaan Reasuransi Syariah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 302, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5992),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
g. ketentuan mengenai waktu penyampaian laporan
penerapan tata kelola perusahaan yang baik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 73/POJK.05/2016 tentang Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 306, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5996), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku; dan
h. ketentuan mengenai waktu penyampaian laporan realisasi
rencana bisnis secara tahunan sebagaimana dimaksud
dalam Romawi VIII angka 2 Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan 15/SEOJK.05/2014 tentang Rencana Korporasi
dan Rencana Bisnis Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan
Perusahaan Reasuransi Syariah, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 12
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyampaian
laporan, bentuk dan susunan, serta tata cara penyampaian
Laporan Berkala bagi Perusahaan Perasuransian tunduk pada
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 13
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 17 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juli 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Juli 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 174
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 55/POJK.05/2017 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN BERKALA PERUSAHAAN PERASURANSIAN </reg_title>
<set_date> 19 Juli 2017 </set_date>
<effective_date> 31 Juli 2017 </effective_date>
<issued_date> 31 Juli 2017 </issued_date>
<replaced_reg> '3/POJK.05/2013', '4/POJK.05/2013 | Pasal 21 Ayat (5)', '10/POJK.05/2014 | Pasal 7 Ayat (1) Huruf a', '10/POJK.05/2014 | Pasal 8 Ayat (4) Huruf a', '1/POJK.05/2015 | Pasal 6 Ayat (2)', '69/POJK.05/2016 | Pasal 72 Ayat (4) Huruf a', '73/POJK.05/2016 | Pasal 78 Ayat (2)', '15/SEOJK.05/2014 | Romawi VIII Angka 2' </replaced_reg>
<related_reg> '40/UU/2014', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KRUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 17/POJK.03/2014
TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI
KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan sektor keuangan yang
tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta memiliki
daya saing yang tinggi diperlukan pengelolaan eksposur
risiko yang efektif;
b. bahwa adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki
hubungan kepemilikan dan/atau pengendalian di berbagai
sektor jasa keuangan telah meningkatkan kompleksitas
transaksi dan interaksi antar lembaga jasa keuangan dalam
sistem keuangan yang menyebabkan peningkatan eksposur
risiko;
bahwa hubungan kepemilikan dan/atau pengendalian di
berbagai sektor jasa keuangan akan mempengaruhi
kelangsungan usaha lembaga jasa kcuangan yang
disebabkan oleh eksposur risiko yang timbul baik secara
langsung maupun tidak langsung dari kegiatan usaha
perusahaan anak, perusahaan terelasi, dan entitas lainnya
yang tergabung dalam suatu konglomerasi keuangan;
d. bahwa untuk mengelola cksposur risiko sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, konglomerasi keuangan perlu
menerapkan manajemen risiko secara terintegrasi;
c. bahwa penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi
konglomerasi keuangan diharapkan dapat mewujudkan
stabilitas ...
End of Page 1
- 2 -
stabilitas sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan, sehingga mampu meningkatkan daya saing
nasional;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi
Konglomerasi Keuangan;
bagi
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3467);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor
64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3608);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN ...
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI BAGI
KONGLOMERASI KEUANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disebut LJK adalah lembaga yang
melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian,
dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa
Keuangan.
2. Konglomerasi Keuangan adalah LJK yang berada dalam satu grup atau
kelompok karena keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian.
3. Entitas Utama adalah LJK induk dari Konglomerasi Keuangan atau LJK yang
ditunjuk oleh pemegang saham pengendali Konglomerasi Keuangan.
4. Risiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa tertentu.
5. Manajemen Risiko adalah serangkaian metodologi dan prosedur yang
digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan
mengendalikan Risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha LJK.
6. Manajemen Risiko Terintegrasi adalah serangkaian metodologi dan prosedur
yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan
mengendalikan Risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha LJK yang
tergabung dalam suatu Konglomerasi Keuangan secara terintegrasi.
7. Direksi adalah:
a. bagi LJK berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perseroan
Terbatas;
b. bagi LJK berbadan hukum Perusahaan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perusahaan
Daerah;
c. bagi ...
- 4 -
c. bagi LJK berbadan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perkoperasian;
d. bagi LJK yang berbadan hukum Usaha Bersama adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan;
e. bagi LJK yang berstatus sebagai kantor cabang dari entitas yang
berkedudukan di luar negeri adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat
satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang.
8. Dewan Komisaris adalah:
a. bagi LJK berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perseroan
Terbatas;
b. bagi LJK berbadan hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perusahaan
Daerah;
c. bagi LJK berbadan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perkoperasian;
d. bagi LJK yang berbadan hukum Usaha Bersama adalah dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan;
e. bagi LJK yang berstatus sebagai kantor cabang dari entitas yang
berkedudukan di luar negeri adalah pihak yang ditunjuk untuk
melaksanakan fungsi pengawasan.
Pasal 2
Konglomerasi Keuangan wajib menerapkan Manajemen Risiko Terintegrasi secara
komprehensif dan efektif sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Pasal 3
Entitas Utama wajib mengintegrasikan penerapan Manajemen Risiko pada
Konglomerasi Keuangan.
BAB ...
- 5 -
BAB II
STRUKTUR KONGLOMERASI KEUANGAN
Pasal 4
(1) Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 memiliki
struktur yang terdiri dari Entitas Utama dan:
a. perusahaan anak; dan/atau
b. perusahaan terelasi beserta perusahaan anaknya.
(2) Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis
LJK sebagai berikut:
a. bank;
b. perusahaan asuransi dan reasuransi;
c. perusahaan efek; dan/atau
d. perusahaan pembiayaan.
Pasal 5
(1) Perusahaan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) adalah
badan hukum atau perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh
LJK secara langsung maupun tidak langsung baik di dalam maupun di luar
negeri yang melakukan kegiatan usaha di sektor jasa keuangan.
(2) Perusahaan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. Perusahaan subsidiari yaitu perusahaan yang dimiliki LJK lebih dari
50% (lima puluh perseratus);
b. Perusahaan partisipasi yaitu perusahaan yang dimiliki LJK sebesar 50%
(lima puluh perseratus) atau kurang, namun LJK memiliki pengendalian
terhadap perusahaan;
c. Perusahaan yang dimiliki LJK lebih dari 20% (dua puluh perseratus)
sampai dengan 50% (lima puluh perseratus) yang memenuhi
persyaratan, yaitu:
1. kepemilikan LJK dan para pihak lainnya pada perusahaan anak
adalah masing-masing sama besar; dan
2. masing-masing pemilik melakukan pengendalian secara bersama
terhadap perusahaan anak yang didasarkan pada perjanjian, dan
dibuktikan dengan adanya kesepakatan atau komitmen secara
tertulis dari para pemilik untuk memberikan dukungan baik finansial
maupun non finansial sesuai kepemilikannya masing-masing.
d. Entitas ...
- 6 -
d. Entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku
wajib dikonsolidasikan.
Pasal 6
Perusahaan terelasi (sister company) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) adalah beberapa LJK yang terpisah secara kelembagaan dan/atau secara
hukum namun dimiliki dan/atau dikendalikan oleh pemegang saham pengendali
yang sama.
Pasal 7
(1) LJK wajib mengidentifikasi keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian
dengan LJK lain dalam menentukan Konglomerasi Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4.
(2) Konglomerasi Keuangan wajib memiliki Entitas Utama.
(3) Dalam hal struktur Konglomerasi Keuangan terdiri dari LJK induk dan LJK
anak, Entitas Utama adalah LJK induk.
(4) Dalam hal struktur Konglomerasi Keuangan selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), pemegang saham pengendali Konglomerasi Keuangan wajib
menunjuk Entitas Utama.
(5) Dalam hal Konglomerasi Keuangan dimiliki oleh lebih dari satu pihak
dengan porsi kepemilikan yang sama, penunjukan Entitas Utama
berdasarkan kesepakatan di antara pihak dengan porsi kepemilikan yang
sama.
(6) Pihak yang ditunjuk sebagai Entitas Utama sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dan ayat (5) adalah LJK yang memiliki total aset terbesar dan/atau
memiliki kualitas penerapan Manajemen Risiko yang baik.
(7) Otoritas Jasa Keuangan berwenang memerintahkan Entitas Utama untuk
melakukan penyesuaian terhadap:
a. LJK yang termasuk dalam Konglomerasi Keuangan; dan/atau
b. LJK yang ditunjuk menjadi Entitas Utama.
BAB ...
- 7 -
BAB III
RUANG LINGKUP MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI
Pasal 8
Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
mencakup paling sedikit:
a. pengawasan Direksi dan Dewan Komisaris Entitas Utama;
b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit Manajemen Risiko
Terintegrasi;
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, pengendalian
Risiko secara terintegrasi, dan sistem informasi Manajemen Risiko
Terintegrasi; dan
d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh terhadap penerapan Manajemen
Risiko Terintegrasi.
Pasal 9
(1) Risiko yang wajib dikelola dalam Manajemen Risiko Terintegrasi mencakup:
a. Risiko kredit;
b. Risiko pasar;
c. Risiko likuiditas;
d. Risiko operasional;
e. Risiko hukum;
f. Risiko reputasi;
g. Risiko stratejik;
h. Risiko kepatuhan;
i. Risiko transaksi intra-grup;
j. Risiko asuransi.
(2) Risiko asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j tidak wajib
dikelola oleh Konglomerasi Keuangan yang tidak memiliki perusahaan
asuransi dan/atau reasuransi.
Pasal 10
Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi dapat disesuaikan dengan
karakteristik dan kompleksitas usaha Konglomerasi Keuangan.
BAB ...
- 8 -
BAB IV
PENGAWASAN DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS ENTITAS UTAMA
Pasal 11
(1) Direksi dan Dewan Komisaris Entitas Utama berwenang dan bertanggung
jawab untuk memastikan penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi sesuai
dengan karakteristik dan kompleksitas usaha Konglomerasi Keuangan.
(2) Dalam mendukung penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Direksi dan Dewan Komisaris Entitas Utama wajib
memastikan penerapan Manajemen Risiko pada masing-masing LJK dalam
Konglomerasi Keuangan.
(3) Dalam hal Entitas Utama adalah LJK yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, Dewan Pengawas Syariah pada Entitas Utama
wajib memastikan penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
Pasal 12
(1) Kewenangan dan tanggung jawab Direksi Entitas Utama dalam rangka
memastikan penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) mencakup paling sedikit:
a. menyusun kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi secara tertulis dan
komprehensif sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini;
b. melaksanakan kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi yang telah
ditetapkan;
c. mengembangkan budaya Risiko sebagai bagian dari penerapan
Manajemen Risiko Terintegrasi pada Konglomerasi Keuangan;
d. memastikan efektivitas pengelolaan sumber daya manusia yang
mencakup kompetensi, kualifikasi, dan kecukupan sumber daya
manusia pada Entitas Utama untuk melaksanakan fungsi Manajemen
Risiko Terintegrasi;
e. memastikan bahwa penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi telah
dilakukan secara independen;
f. mengevaluasi ...
- 9 -
f. mengevaluasi hasil kaji ulang Satuan Kerja Manajemen Risiko
Terintegrasi secara berkala terhadap proses Manajemen Risiko
Terintegrasi.
(2) Direksi Entitas Utama wajib mengevaluasi dan menyesuaikan strategi dan
kerangka Risiko sebagai bagian dari kebijakan Manajemen Risiko
Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit 1
(satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau sewaktu-waktu dalam hal terdapat
perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan usaha Konglomerasi
Keuangan secara signifikan.
(3) Dalam rangka melaksanakan wewenang dan tanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Direksi Entitas Utama wajib memiliki pemahaman
yang memadai mengenai Risiko yang melekat pada seluruh kegiatan bisnis
dalam Konglomerasi Keuangan dan mampu mengambil tindakan yang
diperlukan sesuai dengan profil Risiko Konglomerasi Keuangan.
Pasal 13
Entitas Utama wajib menunjuk Direktur Entitas Utama yang membawahkan
fungsi Manajemen Risiko menjadi Direktur yang membawahkan fungsi
Manajemen Risiko Terintegrasi untuk melaksanakan penerapan Manajemen
Risiko Terintegrasi.
Pasal 14
(1) Kewenangan dan tanggung jawab Dewan Komisaris Entitas Utama dalam
rangka memastikan penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) mencakup paling sedikit:
a. mengarahkan, menyetujui, dan mengevaluasi kebijakan Manajemen
Risiko Terintegrasi;
b. mengevaluasi pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi oleh
Direksi Entitas Utama.
(2) Dewan Komisaris Entitas Utama wajib mengevaluasi kebijakan Manajemen
Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau sewaktu-waktu dalam hal
terdapat perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan usaha secara
signifikan.
Pasal ...
- 10 -
Pasal 15
Direksi dan Dewan Komisaris Entitas Utama selain wajib melaksanakan
wewenang dan tanggung jawab dalam rangka penerapan Manajemen Risiko
Terintegrasi pada Konglomerasi Keuangan, tetap wajib melaksanakan wewenang
dan tanggung jawab sebagai Direksi dan Dewan Komisaris dalam rangka
penerapan manajemen risiko pada Entitas Utama sesuai dengan ketentuan yang
berlaku bagi Entitas Utama.
Pasal 16
Dalam rangka penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi yang komprehensif dan
efektif, Entitas Utama wajib membentuk:
a. Komite Manajemen Risiko Terintegrasi; dan
b. Satuan Kerja Manajemen Risiko Terintegrasi.
Pasal 17
(1) Komite Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 huruf a terdiri dari paling sedikit:
a. Direktur Entitas Utama yang membawahkan fungsi Manajemen Risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sebagai ketua merangkap
anggota Komite Manajemen Risiko Terintegrasi;
b. Direktur yang mewakili dan ditunjuk dari LJK dalam Konglomerasi
Keuangan; dan
c. pejabat eksekutif.
(2) Jumlah dan komposisi direktur yang menjadi anggota Komite Manajemen
Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
disesuaikan dengan kebutuhan Konglomerasi Keuangan serta efisiensi dan
efektivitas pelaksanaan tugas dari Komite Manajemen Risiko Terintegrasi
dengan memperhatikan antara lain keterwakilan masing-masing sektor jasa
keuangan.
(3) Jumlah dan sifat keanggotaan pejabat eksekutif dalam Komite Manajemen
Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disesuaikan
dengan kebutuhan masing-masing Konglomerasi Keuangan.
(4) Komite Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk memberikan rekomendasi
kepada Direksi Entitas Utama, dalam rangka paling kurang:
a. penyusunan ...
- 11 -
a. penyusunan kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi; dan
b. perbaikan atau penyempurnaan kebijakan Manajemen Risiko
Terintegrasi berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan.
Pasal 18
(1) Pembentukan organisasi Satuan Kerja Manajemen Risiko Terintegrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b dalam Entitas Utama
disesuaikan dengan karakteristik dan kompleksitas usaha serta Risiko yang
melekat pada Konglomerasi Keuangan.
(2) Dalam hal Entitas Utama telah memiliki satuan kerja Manajemen Risiko,
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Satuan Kerja Manajemen Risiko
Terintegrasi dapat merupakan salah satu fungsi dari satuan kerja
Manajemen Risiko yang telah ada.
(3) Satuan Kerja Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) harus independen.
(4) Dalam melaksanakan tugasnya, Satuan Kerja Manajemen Risiko
Terintegrasi harus berkoordinasi dengan satuan kerja yang melaksanakan
fungsi Manajemen Risiko pada masing-masing LJK dalam Konglomerasi
Keuangan.
(5) Satuan Kerja Manajemen Risiko Terintegrasi bertanggung jawab langsung
kepada Direktur yang membawahkan fungsi Manajemen Risiko Terintegrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Pasal 19
Wewenang dan tanggung jawab Satuan Kerja Manajemen Risiko Terintegrasi
meliputi:
a. memberikan masukan kepada Direksi Entitas Utama antara lain dalam
penyusunan kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi;
b. memantau pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi termasuk
mengembangkan prosedur dan alat untuk identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian Risiko;
c. melakukan pemantauan Risiko pada Konglomerasi Keuangan berdasarkan
hasil penilaian:
1. profil ...
- 12 -
1. profil Risiko setiap LJK dalam Konglomerasi Keuangan,
2. tingkat Risiko masing-masing Risiko secara terintegrasi,
3. profil Risiko secara terintegrasi;
d. melakukan stress testing;
e. melaksanakan kaji ulang secara berkala untuk memastikan:
1. keakuratan metodologi penilaian Risiko;
2. kecukupan implementasi sistem informasi manajemen; dan
3. ketepatan kebijakan, prosedur dan penetapan limit Risiko,
secara terintegrasi;
f. mengkaji usulan lini bisnis baru yang bersifat strategis dan berpengaruh
signifikan terhadap eksposur Risiko Konglomerasi Keuangan;
g. memberikan informasi kepada Komite Manajemen Risiko Terintegrasi
terhadap hal-hal yang perlu ditindaklanjuti terkait hasil evaluasi terhadap
penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi;
h. memberikan masukan kepada Komite Manajemen Risiko Terintegrasi, dalam
rangka penyusunan dan penyempurnaan kebijakan Manajemen Risiko
Terintegrasi;
i. menyusun dan menyampaikan laporan profil Risiko terintegrasi secara
berkala kepada Direktur dari Entitas Utama yang membawahkan fungsi
Manajemen Risiko Terintegrasi dan kepada Komite Manajemen Risiko
Terintegrasi.
BAB V
KEBIJAKAN, PROSEDUR DAN PENETAPAN LIMIT MANAJEMEN RISIKO
TERINTEGRASI
Pasal 20
Dalam menyusun kebijakan, prosedur, dan penetapan limit Manajemen Risiko
Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b, Entitas Utama wajib
memperhatikan tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite) dan toleransi
Risiko (risk tolerance).
Pasal ...
- 13 -
Pasal 21
Kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi memuat paling sedikit:
a. penetapan Risiko yang terkait dengan kegiatan bisnis Konglomerasi
Keuangan;
b. perumusan strategi Manajemen Risiko Terintegrasi;
c. penetapan penggunaan metode pengukuran dan sistem informasi Manajemen
Risiko Terintegrasi;
d. penetapan strategi dan kerangka Risiko sesuai dengan tingkat Risiko yang
akan diambil (risk appetite) dan toleransi Risiko (risk tolerance);
e. penetapan metode penilaian peringkat Risiko;
f. penyusunan rencana darurat (contingency plan) dalam kondisi terburuk
(worst case scenario);
g. penetapan sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen Risiko
Terintegrasi.
Pasal 22
(1) Kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 dijabarkan dalam prosedur Manajemen Risiko Terintegrasi dan
penetapan limit Risiko.
(2) Prosedur Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) memuat paling sedikit:
a. akuntabilitas dan jenjang delegasi wewenang yang jelas dalam
pelaksanaan Manajemen Risiko Terintegrasi;
b. pelaksanaan kaji ulang terhadap prosedur secara berkala; dan
c. dokumentasi prosedur secara memadai.
(3) Penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
mencakup:
a. limit secara keseluruhan;
b. limit setiap Risiko; dan
c. limit setiap LJK dalam Konglomerasi Keuangan yang memiliki eksposur
Risiko.
(4) Konglomerasi Keuangan wajib memiliki mekanisme persetujuan apabila
terjadi pelampauan limit.
BAB ...
- 14 -
BAB VI
PROSES IDENTIFIKASI, PENGUKURAN, PEMANTAUAN, PENGENDALIAN DAN
SISTEM INFORMASI MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI
Pasal 23
(1) Entitas Utama wajib melakukan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian Risiko terhadap seluruh faktor Risiko (risk
factors) yang bersifat signifikan secara terintegrasi.
(2) Pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung oleh:
a. sistem informasi Manajemen Risiko Terintegrasi yang memadai; dan
b. pelaporan mengenai kinerja, kondisi keuangan, dan eksposur risiko atas:
1. Konglomerasi Keuangan; dan
2. masing-masing LJK dalam Konglomerasi Keuangan.
Pasal 24
(1) Dalam rangka melaksanakan identifikasi Risiko, Entitas Utama wajib
melakukan analisis paling kurang terhadap Risiko yang melekat dalam
bisnis Konglomerasi Keuangan.
(2) Dalam rangka melaksanakan pengukuran Risiko, Entitas Utama wajib
paling kurang melakukan:
a. evaluasi secara berkala terhadap kesesuaian asumsi, sumber data, dan
prosedur yang digunakan untuk mengukur Risiko; dan
b. penyempurnaan terhadap metode pengukuran Risiko apabila terdapat
perubahan faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi Risiko.
(3) Dalam rangka melaksanakan pemantauan Risiko, Entitas Utama wajib
melakukan paling sedikit:
a. evaluasi terhadap eksposur Risiko; dan
b. penyempurnaan proses dan cakupan pelaporan.
(4) Dalam rangka melaksanakan pengendalian Risiko, Entitas Utama wajib
memastikan Konglomerasi Keuangan memiliki metode pengendalian Risiko
atas Risiko yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Konglomerasi
Keuangan.
Pasal ...
- 15 -
Pasal 25
(1) Sistem informasi Manajemen Risiko Terintegrasi paling sedikit menghasilkan
laporan atau informasi mengenai:
a. eksposur Risiko;
b. kepatuhan pelaksanaan Manajemen Risiko Terintegrasi dibandingkan
dengan kebijakan dan prosedur yang disusun; dan
c. kepatuhan terhadap penetapan limit.
(2) Laporan atau informasi yang dihasilkan dari sistem informasi Manajemen
Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara
berkala kepada Direktur Entitas Utama yang membawahkan fungsi
Manajemen Risiko Terintegrasi dan kepada Komite Manajemen Risiko
Tertintegrasi.
BAB VII
SISTEM PENGENDALIAN INTERN MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI
Pasal 26
(1) Entitas Utama wajib memiliki sistem pengendalian intern yang menyeluruh
terhadap penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 huruf d.
(2) Sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun
agar dapat memastikan:
a. dipatuhinya kebijakan atau ketentuan intern serta peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku;
b. tersedianya informasi keuangan dan manajemen yang lengkap, akurat,
tepat guna, dan tepat waktu; dan
c. efektivitas budaya Risiko (risk culture) pada organisasi Konglomerasi
Keuangan secara menyeluruh.
BAB VIII
PELAPORAN
Pasal 27
(1) Entitas Utama wajib menyampaikan laporan mengenai LJK yang menjadi
Entitas Utama dan LJK yang menjadi anggota Konglomerasi Keuangan
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Entitas ...
- 16 -
(2) Entitas Utama wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan
dalam hal terdapat:
a. Konglomerasi Keuangan baru disertai penunjukan Entitas Utama;
b. perubahan Entitas Utama;
c. perubahan anggota Konglomerasi Keuangan; dan/atau
d. pembubaran Konglomerasi Keuangan,
(3) Laporan disampaikan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak terjadinya
kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah dilaporkan
kepada Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan yang lain, laporan tersebut dianggap telah memenuhi kewajiban
pelaporan.
(5) Entitas Utama wajib menyampaikan laporan penyesuaian terhadap:
a. LJK yang termasuk dalam Konglomerasi Keuangan; dan/atau
b. LJK yang ditunjuk menjadi Entitas Utama,
dalam hal diperintahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7).
Pasal 28
(1) Entitas Utama wajib menyusun laporan profil Risiko terintegrasi secara
berkala.
(2) Profil Risiko terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikategorikan
menjadi 5 (lima) peringkat.
(3) Laporan profil Risiko terintegrasi disusun setiap semester untuk posisi akhir
bulan Juni dan Desember.
(4) Entitas Utama wajib menyampaikan laporan profil Risiko terintegrasi kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Laporan profil Risiko terintegrasi disampaikan paling lambat pada tanggal 15
(lima belas) bulan kedua setelah berakhirnya bulan laporan yang
bersangkutan.
(6) Dalam hal tanggal 15 (lima belas) jatuh pada hari Sabtu/Minggu/libur,
laporan profil Risiko terintegrasi disampaikan pada hari kerja berikutnya.
Pasal ...
- 17 -
Pasal 29
Bagi Entitas Utama berupa bank yang telah menyampaikan laporan profil Risiko
terintegrasi secara berkala, bank dianggap telah memenuhi kewajiban
penyampaian laporan profil Risiko konsolidasi secara berkala sebagaimana diatur
dalam ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko secara konsolidasi bagi
bank yang melakukan pengendalian terhadap perusahaan anak.
Pasal 30
Entitas Utama dinyatakan terlambat menyampaikan laporan profil Risiko
terintegrasi apabila laporan diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan setelah batas
waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5).
BAB IX
LAIN-LAIN
Pasal 31
Hubungan antar LJK yang dimiliki dan dikendalikan langsung oleh Pemerintah
Pusat Republik Indonesia dikecualikan dari pengertian Konglomerasi Keuangan.
Pasal 32
(1) Dalam hal Konglomerasi Keuangan berada dalam satu sektor jasa keuangan
yang sama dan telah terdapat ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
manajemen risiko bagi sektor jasa keuangan tersebut, penerapan
Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai manajemen
risiko yang berlaku bagi sektor jasa keuangan tersebut.
(2) Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. memiliki Entitas Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2);
b. membentuk Komite Manajemen Risiko Terintegrasi dan Satuan Kerja
Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16;
c. menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27; dan
d. menyampaikan laporan profil Risiko terintegrasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28.
Pasal ...
- 18 -
Pasal 33
Entitas Utama wajib menyediakan data dan informasi yang berkaitan dengan
penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 34
Dalam menerapkan Manajemen Risiko Terintegrasi, Entitas Utama wajib
memastikan hal-hal sebagai berikut:
a. kecukupan permodalan Konglomerasi Keuangan;
b. manajemen likuiditas dilakukan secara efektif;
c. pemantauan transaksi intra grup secara terintegrasi;
d. Manajemen Risiko penyediaan dana termasuk penyediaan dana besar (large
exposures) secara efektif; dan
e. pelaksanaan tata kelola terintegrasi secara efektif.
BAB X
SANKSI
Pasal 35
Konglomerasi Keuangan yang melanggar ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 7 ayat
(2), Pasal 9, Pasal 22 ayat (4), dan Pasal 32 ayat (2); Entitas Utama yang
melanggar ketentuan dalam Pasal 3, Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 12 ayat
(2) dan ayat (3), Pasal 13, Pasal 14 ayat (2), Pasal 15, Pasal 16, Pasal 20, Pasal
23, Pasal 24, Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5), Pasal 28
ayat (1), Pasal 33, dan Pasal 34; LJK yang melanggar ketentuan dalam Pasal 7
ayat (1); dan pemegang saham pengendali Konglomerasi Keuangan yang
melanggar ketentuan dalam Pasal 7 ayat (4), dikenakan sanksi administratif
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan;
c. pembatalan hasil uji kemampuan dan kepatutan;
d. pembatasan kegiatan usaha;
e. perintah penggantian manajemen;
f. pencantuman manajemen dalam daftar orang tercela; dan/atau
g. pembatalan persetujuan, pendaftaran dan pengesahan.
Pasal ...
- 19 -
Pasal 36
Entitas Utama yang dinyatakan terlambat menyampaikan laporan profil Risiko
terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4) dikenakan sanksi
berupa peringatan tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah) per hari keterlambatan dengan jumlah paling banyak sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 37
Mekanisme pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal
36 mengacu pada ketentuan yang berlaku bagi LJK pada setiap sektor jasa
keuangan.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 38
Laporan mengenai LJK yang menjadi Entitas Utama dan LJK yang menjadi
anggota Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1)
disampaikan pertama kali paling lambat 31 Maret 2015.
Pasal 39
Kewajiban penyampaian laporan profil Risiko terintegrasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (4) pertama kali dilakukan untuk posisi laporan sebagai
berikut:
a. Juni 2015, untuk Entitas Utama yang merupakan Bank Umum Berdasarkan
Kegiatan Usaha (BUKU) 4;
b. Desember 2015, untuk Entitas Utama berupa bank selain Bank Umum
Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 dan bukan bank.
Pasal 40
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 35 mulai berlaku sejak:
a. 1 Januari 2017, untuk Entitas Utama yang merupakan Bank Umum
Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4;
b. 1 Januari 2018, untuk Entitas Utama berupa bank non Bank Umum
Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 dan bukan bank.
BAB ...
- 20-
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi bagi
Konglomerasi Keuangan diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 42
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku, LJK tetap menerapkan
ketentuan yang berlaku pada masing-masing sektor jasa keuangan.
Pasal 43
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 November 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 19 November 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA, Salinan sesuai dengan aslinya
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum I
Ttd. Departemen Hukum,
Departemen Hukum,
YASONNA H. LAOLY
PASONRA R LAOLY
Tini Kustini
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 348
End of Page 20
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 17/POJK.03/2014
TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI
KEUANGAN
I. UMUM
Kondisi sektor jasa keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil
serta aman merupakan suatu prasyarat utama agar sistem keuangan mampu
mendukung pencapaian stabilitas sistem keuangan dan berperan secara optimal
dalam perekonomian nasional.
Industri keuangan merupakan salah satu industri yang memiliki
kompleksitas operasional dan tingkat persaingan yang tinggi, sehingga
menyebabkan industri keuangan terekspos risiko yang tinggi dan harus
beroperasi secara berhati-hati serta efisien.
Seiring dengan perkembangan globalisasi, teknologi informasi, dan inovasi
produk serta aktivitas Lembaga Jasa Keuangan (LJK) telah menciptakan sistem
keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar masing-
masing sektor jasa keuangan baik dalam produk dan kelembagaan, maupun
kepemilikan yang menyebabkan meningkatnya eksposur risiko.
Menghadapi kondisi tersebut, LJK perlu memperhatikan seluruh risiko
yang dapat mempengaruhi kelangsungan usahanya. Risiko yang harus
diperhatikan mencakup seluruh risiko yang secara langsung maupun tidak
langsung dapat mempengaruhi kelangsungan usaha LJK, baik yang berasal dari
perusahaan anak dan perusahaan terelasi (sister company), maupun entitas
lainnya yang tergabung dalam suatu konglomerasi keuangan.
Dalam rangka pengukuran risiko secara lebih menyeluruh, konglomerasi
keuangan harus menerapkan manajemen risiko secara terintegrasi. Melalui
penerapan manajemen risiko secara terintegrasi, konglomerasi keuangan akan
mendapat manfaat antara lain pengelolaan risiko yang lebih baik, penetapan risk
appetite dan risk tolerance yang sesuai dengan kompleksitas dan karakteristik
usaha konglomerasi keuangan, sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan
sinergi serta meningkatkan kapasitas bisnis dan permodalan. Selain itu,
penerapan ...
- 2 -
penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi konglomerasi keuangan
diharapkan dapat mewujudkan stabilitas sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan, sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, perlu pengaturan tentang Penerapan
Manajemen Risiko Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pengendalian” adalah perseorangan
atau perusahaan/badan, baik secara sendiri maupun bersama-
sama serta dan baik langsung maupun tidak langsung yang
memiliki 50% (lima puluh perseratus) atau kurang saham yang
memiliki hak suara pada suatu perusahaan atau badan lain
tetapi:
1. terdapat perjanjian dengan pemegang saham lain, sehingga
memiliki hak suara lebih dari 50% (lima puluh perseratus);
2. mempunyai kewenangan untuk mengatur kebijakan
keuangan dan operasional perusahaan/badan lain
berdasarkan anggaran dasar/perjanjian;
3. mempunyai ...
- 3 -
3. mempunyai kewenangan untuk menunjuk atau mengganti
sebagian besar Direksi dan Dewan Komisaris atau organ
lain yang setara dan mengendalikan perusahaan/badan
lain melalui Direksi dan Dewan Komisaris atau organ lain;
dan/atau
4. mampu menguasai suara mayoritas pada rapat Direksi dan
Dewan Komisaris atau organ lain yang setara dan
mengendalikan perusahaan/badan melalui Direksi dan
Dewan Komisaris atau organ lain.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Sebagai contoh: LJK A adalah LJK induk dari LJK anak yang terdiri
dari LJK B dan LJK C secara langsung, serta LJK D dan LJK E secara
tidak langsung. Dengan demikian, Entitas Utama dari Konglomerasi
Keuangan adalah LJK A. Untuk jelasnya, sebagaimana bagan di
bawah ini.
LJK A
LJK B
LJK C
LJK D
LJK E
Ayat ...
- 4 -
Ayat (4)
Termasuk pemegang saham pengendali pada ayat ini adalah:
1. perorangan/perusahaan non keuangan; atau
2. perorangan/perusahaan yang berkedudukan di luar negeri.
Sebagai contoh: “Non LJK 1” adalah pemegang saham pengendali
dari Konglomerasi Keuangan yang terdiri atas LJK A, LJK B, dan LJK
C. “Non LJK 1” wajib menunjuk Entitas Utama dalam rangka
penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi. Untuk jelasnya,
sebagaimana bagan di bawah ini.
Non LJK 1
LJK A
LJK B
LJK C
Contoh berikutnya: “Non LJK 2” adalah pemegang saham pengendali
dari Konglomerasi Keuangan yang terdiri atas LJK A, LJK B, LJK C,
LJK D, dan LJK E. “Non LJK 2” wajib menunjuk Entitas Utama dalam
rangka penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi. Untuk jelasnya,
sebagaimana bagan di bawah ini.
Non LJK 2
LJK A
Non LJK 1
LJK B
LJK C
LJK D
LJK E
Ayat ...
- 5 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Risiko kredit” adalah Risiko akibat
kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi
kewajiban kepada Konglomerasi Keuangan.
Untuk LJK yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah, Risiko kredit mencakup pula Risiko investasi.
Yang dimaksud dengan Risiko investasi (Equity Investment Risk)
adalah Risiko akibat LJK ikut menanggung kerugian usaha
nasabah yang dibiayai dalam pembiayaan berbasis bagi hasil
baik yang menggunakan metode net revenue sharing maupun
yang menggunakan metode profit and loss sharing.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Risiko pasar” adalah Risiko akibat
adanya pergerakan variabel pasar (adverse movement) dari
portofolio yang dimiliki Konglomerasi Keuangan.
Yang dimaksud dengan “variabel pasar” adalah suku bunga,
nilai tukar, komoditas, dan ekuitas.
Untuk LJK yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah, Risiko pasar mencakup pula Risiko imbal hasil.
Yang dimaksud dengan Risiko imbal hasil (rate of return risk)
adalah Risiko akibat perubahan tingkat imbal hasil yang
dibayarkan LJK kepada nasabah, karena terjadi perubahan
tingkat imbal hasil yang diterima LJK dari penyaluran dana,
yang dapat mempengaruhi perilaku nasabah dana pihak ketiga
LJK.
Huruf …
- 6 -
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Risiko likuiditas” adalah Risiko akibat
ketidakmampuan Konglomerasi Keuangan untuk memenuhi
kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas
dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat
diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan
dari Konglomerasi Keuangan tersebut.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “Risiko operasional” adalah Risiko
akibat ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses
internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau
adanya kejadian-kejadian eksternal yang mempengaruhi
operasional Konglomerasi Keuangan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “Risiko hukum” adalah Risiko akibat
tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis.
Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya
tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan
yang mendukung, atau kelemahan perikatan seperti tidak
dipenuhinya syarat sahnya perjanjian dan pengikatan agunan
yang tidak sempurna.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “Risiko reputasi” adalah Risiko akibat
menurunnya tingkat kepercayaan stakeholder yang bersumber
dari persepsi negatif baik terhadap LJK sebagai anggota
Konglomerasi Keuangan maupun terhadap Konglomerasi
Keuangan secara keseluruhan.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “Risiko stratejik” adalah Risiko akibat
ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan
suatu keputusan stratejik serta kegagalan dalam
mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.
Huruf …
- 7 -
Huruf h
Yang dimaksud dengan “Risiko kepatuhan” adalah Risiko
akibat tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan
peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “Risiko transaksi intra-grup” adalah
Risiko akibat ketergantungan suatu entitas baik secara
langsung maupun tidak langsung terhadap entitas lainnya
dalam satu Konglomerasi Keuangan dalam rangka pemenuhan
kewajiban perjanjian tertulis maupun perjanjian tidak tertulis
baik yang diikuti perpindahan dana dan/atau tidak diikuti
perpindahan dana.
Risiko transaksi intra-grup antara lain dapat timbul dari:
1. kepemilikan silang antar LJK dalam Konglomerasi
Keuangan;
2. sentralisasi manajemen likuiditas jangka pendek;
3. jaminan, pinjaman, dan komitmen yang diberikan atau
diperoleh suatu LJK dari LJK lain dalam Konglomerasi
Keuangan;
4. eksposur kepada pemegang saham pengendali, termasuk
eksposur pinjaman dan off-balance sheet seperti jaminan
dan komitmen;
5. pembelian atau penjualan aset kepada LJK lain dalam satu
Konglomerasi Keuangan;
6. transfer risiko melalui reasuransi; dan/atau
7. transaksi untuk mengalihkan eksposur risiko pihak ketiga
di antara LJK dalam satu Konglomerasi Keuangan.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “Risiko asuransi” adalah Risiko akibat
kegagalan perusahaan asuransi memenuhi kewajiban kepada
pemegang polis sebagai akibat dari ketidakcukupan proses
seleksi Risiko (underwriting), penetapan premi
penggunaan reasuransi, dan/atau penanganan klaim.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal …
(pricing),
- 8 -
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penerapan Manajemen Risiko untuk masing-masing LJK mencakup
paling sedikit:
1. pengawasan Dewan Komisaris dan Direksi LJK;
2. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit manajemen
Risiko;
3. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan,
pengendalian Risiko, dan sistem informasi manajemen Risiko;
dan
4. sistem pengendalian intern yang menyeluruh terhadap penerapan
manajemen Risiko.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi memuat antara lain
strategi dan kerangka Risiko yang ditetapkan sesuai dengan
tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite) dan toleransi
Risiko (risk tolerance).
Huruf b
Termasuk pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko
Terintegrasi adalah:
1. mengevaluasi penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi
pada Konglomerasi Keuangan;
2. memastikan seluruh Risiko yang signifikan dan dampak
yang ditimbulkan oleh Risiko dimaksud telah
ditindaklanjuti;
3. menyampaikan …
- 9 -
3. menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Dewan
Komisaris Entitas Utama secara berkala;
4. mengkomunikasikan kebijakan Manajemen Risiko
Terintegrasi secara efektif kepada seluruh jenjang
organisasi yang relevan dalam Konglomerasi Keuangan agar
dipahami secara jelas.
Huruf c
Pengembangan budaya Risiko antara lain dilakukan dengan
memupuk risk awareness melalui komunikasi yang memadai
dalam Konglomerasi Keuangan tentang pentingnya
pengendalian Risiko dan pengendalian intern yang efektif.
Huruf d
Pengelolaan sumber daya manusia pada Entitas Utama yang
melaksanakan fungsi Manajemen Risiko Terintegrasi dilakukan
dengan cara antara lain:
1. penetapan kualifikasi sumber daya manusia yang jelas
untuk setiap jenjang jabatan yang terkait dengan
penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi;
2. penempatan pejabat dan staf yang kompeten pada satuan
kerja yang terkait dengan penerapan Manajemen Risiko
Terintegrasi sesuai dengan sifat, jumlah, dan kompleksitas
kegiatan usaha;
3. kecukupan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia
dalam memahami tugas dan tanggung jawabnya, baik
untuk unit bisnis, satuan kerja Manajemen Risiko maupun
unit pendukung yang bertanggung jawab atas pelaksanaan
Manajemen Risiko Terintegrasi;
4. peningkatan kompetensi sumber daya manusia antara lain
melalui program pendidikan dan pelatihan secara
berkesinambungan mengenai penerapan Manajemen Risiko
Terintegrasi;
5. pemahaman seluruh sumber daya manusia terhadap
strategi, tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite),
toleransi Risiko (risk tolerance), dan kerangka Risiko secara
terintegrasi …
- 10 -
terintegrasi serta mengimplementasikannya secara
konsisten dalam aktivitas yang ditangani.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “independen” antara lain:
1. Adanya pemisahan satuan kerja yang melaksanakan fungsi
Manajemen Risiko Terintegrasi dan yang melaksanakan
fungsi pengendalian intern dengan satuan kerja operasional
(risk-taking unit) pada Entitas Utama, perusahaan anak,
dan perusahaan terelasi.
2. Penerapan manajemen Risiko bebas dari benturan
kepentingan antara Konglomerasi Keuangan dengan
individu masing-masing LJK.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tindakan yang diperlukan” antara lain
dengan cara memberikan rekomendasi atau usulan terkait penerapan
Manajemen Risiko kepada LJK-LJK anggota Konglomerasi Keuangan.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi memuat antara lain
strategi dan kerangka Risiko yang ditetapkan sesuai dengan
tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite) dan toleransi
Risiko (risk tolerance).
Huruf b
Evaluasi dilakukan antara lain melalui evaluasi
pertanggungjawaban Direksi Entitas Utama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal …
- 11 -
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Keanggotaan Komite Manajemen Risiko Terintegrasi dapat berupa
keanggotaan tetap dan tidak tetap, sesuai dengan kebutuhan
Konglomerasi Keuangan.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pejabat eksekutif adalah pejabat satu tingkat di bawah
Direktur yang memimpin satuan kerja operasional dan/atau
fungsi/satuan kerja Manajemen Risiko.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penyempurnaan kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi
dilakukan secara berkala maupun bersifat insidentil sebagai akibat
dari suatu perubahan kondisi internal dan eksternal yang
mempengaruhi kecukupan permodalan, profil Risiko, dan
efektifitas penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi berdasarkan
hasil evaluasi.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat …
- 12 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “independen” antara lain adanya pemisahan
satuan kerja yang melaksanakan fungsi Manajemen Risiko
Terintegrasi dengan satuan kerja operasional (risk-taking unit) pada
Entitas Utama.
Ayat (4)
Salah satu contoh koordinasi adalah satuan kerja atau fungsi
Manajemen Risiko masing-masing LJK menginformasikan eksposur
Risiko masing-masing LJK kepada satuan kerja Manajemen Risiko
Terintegrasi secara berkala.
Frekuensi penyampaian informasi eksposur Risiko disesuaikan
dengan karakteristik jenis Risiko.
Masing-masing LJK dapat menyesuaikan organisasi satuan kerja
Manajemen Risiko yang tepat sesuai dengan kondisinya dengan
mempertimbangkan antara lain kondisi keuangan dan sumber daya
manusia.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 19
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “stress testing” adalah pengujian terhadap
kemampuan Konglomerasi Keuangan pada kondisi krisis dengan
menggunakan skenario stress secara spesifik pada Konglomerasi
Keuangan maupun skenario stress pada pasar.
Stress testing dilakukan pula dengan memperhitungkan Risiko yang
terkait dengan aktivitas off balance sheet.
Huruf …
- 13 -
Huruf e
Pelaksanaan kaji ulang secara berkala dimaksudkan antara lain
untuk mengantisipasi apabila terjadi perubahan faktor internal dan
faktor eksternal dalam Konglomerasi Keuangan.
Huruf f
Lini bisnis baru dapat berupa masuknya suatu entitas yang
tergabung dalam Konglomerasi Keuangan dalam segmen pasar baru
yang dapat meningkatkan eksposur Risiko Konglomerasi Keuangan.
Pengkajian usulan lini bisnis baru difokuskan terutama pada aspek
kemampuan dalam mengelola bisnis baru, termasuk kelengkapan
sistem dan prosedur yang digunakan serta dampaknya terhadap
eksposur risiko secara keseluruhan.
Huruf g
Informasi yang diberikan kepada Komite Manajemen Risiko
Terintegrasi antara lain mengenai besaran dan maksimum eksposur
Risiko yang perlu mendapat perhatian Direksi Entitas Utama atau
LJK pada Konglomerasi Keuangan.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Profil Risiko merupakan gambaran secara menyeluruh atas besarnya
potensi Risiko yang melekat pada seluruh portofolio atau eksposur
Konglomerasi Keuangan.
Frekuensi penyampaian laporan dapat ditingkatkan apabila kondisi
pasar berubah dengan cepat namun paling kurang secara
semesteran.
Pasal 20
Tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite) merupakan tingkat dan
cakupan Risiko yang bersedia diambil dalam rangka mencapai sasaran
secara terintegrasi. Tingkat Risiko yang akan diambil tercermin dalam
strategi dan sasaran bisnis.
Toleransi Risiko (risk tolerance) merupakan tingkat dan cakupan Risiko
yang ditetapkan secara maksimum dan merupakan penjabaran dari tingkat
Risiko yang akan diambil.
Tingkat …
- 14 -
Tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite) dan toleransi Risiko (risk
tolerance) harus sejalan dengan strategi bisnis, profil Risiko, dan rencana
permodalan Konglomerasi Keuangan.
Pasal 21
Huruf a
Penetapan risiko yang terkait dengan kegiatan bisnis Konglomerasi
Keuangan didasarkan pada hasil dari proses identifikasi terhadap
Risiko yang melekat pada setiap lini bisnis yang telah dan akan
dilakukan LJK dalam Konglomerasi Keuangan. Penetapan Risiko
dilakukan pula pada saat Konglomerasi Keuangan akan melakukan
kegiatan bisnis baru dalam bentuk ekspansi dan/atau diversifikasi
usaha.
Huruf b
Perumusan Strategi Manajemen Risiko Terintegrasi disusun dengan
memperhatikan prinsip umum dan faktor antara lain sebagai berikut:
1. berorientasi jangka panjang untuk memastikan kelangsungan
usaha dengan mempertimbangkan kondisi/siklus ekonomi;
2. perkembangan ekonomi dan industri serta dampaknya pada
Risiko Konglomerasi Keuangan;
3. kompleksitas bisnis Konglomerasi Keuangan termasuk
kecukupan sumber daya manusia dan infrastruktur pendukung;
4. kemampuan mengendalikan dan mengelola Risiko secara
komprehensif, termasuk Risiko pada perusahaan anak dan
perusahaan terelasi;
5. bauran serta diversifikasi portofolio;
6. kondisi keuangan dari Konglomerasi Keuangan untuk
menghasilkan laba, dan menyerap Risiko yang timbul sebagai
akibat perubahan faktor internal dan faktor eksternal; dan
7. kecukupan permodalan yang diharapkan disertai alokasi sumber
daya yang memadai.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf …
- 15 -
Huruf e
Penetapan metode penilaian peringkat Risiko merupakan dasar bagi
Entitas Utama untuk menetapkan profil Risiko terintegrasi sesuai
peringkat Risiko yang berlaku di Konglomerasi Keuangan.
Huruf f
Kebijakan rencana darurat (contingency plan) disusun untuk
menghadapi kemungkinan kondisi internal dan eksternal terburuk
dalam rangka mempertahankan kelangsungan usaha Konglomerasi
Keuangan.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pelaksanaan kaji ulang terhadap prosedur dilakukan secara
berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau
sewaktu-waktu sesuai dengan cakupan Risiko, kebutuhan, dan
perkembangan Konglomerasi Keuangan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “dokumentasi prosedur yang memadai”
adalah dokumentasi yang tertulis, lengkap dan memudahkan
untuk dilakukan jejak audit (audit trail) untuk keperluan
pengendalian intern.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal …
- 16 -
Pasal 23
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “seluruh faktor risiko” adalah berbagai
parameter yang mempengaruhi eksposur Risiko termasuk yang
berasal dari perusahaan non keuangan yang mempengaruhi
Konglomerasi Keuangan.
Yang dimaksud dengan “faktor risiko yang bersifat signifikan” adalah
faktor-faktor Risiko baik kuantitatif maupun kualitatif yang
berpengaruh secara signifikan terhadap kondisi keuangan dari
Konglomerasi Keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Identifikasi Risiko antara lain dapat didasarkan pada pengalaman
kerugian yang pernah terjadi.
Ayat (2)
Huruf a
Frekuensi evaluasi secara berkala dilakukan sesuai dengan
perkembangan usaha dan kondisi eksternal yang
mempengaruhi kondisi Konglomerasi Keuangan.
Huruf b
Faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi Risiko
antara lain penambahan lini bisnis baru yang dapat
mempengaruhi kondisi keuangan Konglomerasi Keuangan.
Ayat (3)
Huruf a
Evaluasi terhadap eksposur Risiko dilakukan dengan cara
pemantauan dan pelaporan Risiko yang bersifat signifikan atau
yang berdampak kepada kondisi permodalan Konglomerasi
Keuangan.
Huruf b
Penyempurnaan proses dan cakupan pelaporan dilakukan
antara lain apabila terdapat perubahan kegiatan usaha,
produk ...
- 17 -
produk, transaksi, faktor Risiko, teknologi informasi dan sistem
informasi Manajemen Risiko Terintegrasi yang bersifat
signifikan.
Ayat (4)
Pengendalian Risiko dapat dilakukan antara lain dengan cara lindung
nilai, metode mitigasi risiko, dan penambahan modal untuk
menyerap potensi kerugian.
Pasal 25
Ayat (1)
Huruf a
Laporan atau informasi eksposur Risiko mencakup eksposur
kuantitatif dan kualitatif, secara keseluruhan (composite)
maupun rincian eksposur untuk setiap jenis Risiko dan setiap
LJK dalam Konglomerasi Keuangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Informasi keuangan dan manajemen yang lengkap, akurat,
tepat guna, dan tepat waktu diperlukan dalam rangka
pengambilan keputusan yang tepat dan dapat
dipertanggungjawabkan, serta dikomunikasikan kepada pihak
yang berkepentingan.
Huruf c
Efektivitas budaya Risiko dimaksudkan untuk mengidentifikasi
kelemahan ...
- 18 -
kelemahan dan penyimpangan secara lebih dini dan menilai
kembali kewajaran kebijakan dan prosedur yang ada pada
Konglomerasi Keuangan secara berkesinambungan.
Pasal 27
Ayat (1)
Laporan disertai dengan dokumen penunjukan Entitas Utama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Peringkat terbaik dari 5 (lima) kategori peringkat profil Risiko
Terintegrasi adalah peringkat 1 (satu).
Ayat (3)
Laporan profil Risiko terintegrasi disajikan secara komparatif dengan
posisi semester sebelumnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 29
Laporan profil Risiko terintegrasi dapat digunakan oleh Entitas Utama
untuk melakukan penilaian tingkat kesehatan secara konsolidasi
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai penilaian tingkat
kesehatan bank umum.
Pasal ...
- 19 -
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Sektor jasa keuangan terdiri dari sektor perbankan, sektor pasar
modal, dan sektor industri keuangan non bank.
Contoh:
Dalam hal Konglomerasi Keuangan seluruhnya terdiri dari beberapa
perusahaan asuransi, maka penerapan Manajemen Risiko
Terintegrasi mengacu pada ketentuan mengenai manajemen risiko
untuk perusahaan asuransi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 33
Data dan informasi dari Entitas Utama digunakan oleh Otoritas Jasa
Keuangan dalam rangka melakukan evaluasi dan penilaian terhadap
penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi yang dilakukan oleh
Konglomerasi Keuangan.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal ...
- 20 -
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5626
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 17/POJK.03/2014 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN </reg_title>
<set_date> 18 November 2014 </set_date>
<effective_date> 19 November 2014 </effective_date>
<issued_date> 19 November 2014 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '8/UU/1995', '7/UU/1992', '2/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
|
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 11 /POJK.04/2017
TENTANG
LAPORAN KEPEMILIKAN ATAU SETIAP PERUBAHAN KEPEMILIKAN SAHAM
PERUSAHAAN TERBUKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyesuaikan dengan standar
internasional dan meningkatkan kualitas keterbukaan
informasi oleh pemegang saham tertentu, perlu
mengganti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
60/POJK.04/2015 tentang Keterbukaan Informasi
Pemegang Saham Tertentu;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Kepemilikan
atau Setiap Perubahan Kepemilikan Saham Perusahaan
Terbuka;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
- 2 -
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
LAPORAN KEPEMILIKAN ATAU SETIAP PERUBAHAN
KEPEMILIKAN SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud
dengan:
1. Perusahaan Terbuka adalah Emiten yang telah
melakukan Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas atau
Perusahaan Publik.
2. Emiten adalah Pihak yang melakukan Penawaran Umum.
3. Pihak adalah orang perseorangan, perusahaan, usaha
bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi.
4. Direksi adalah organ Perusahaan Terbuka yang
berwenang dan bertanggung jawab penuh atas
pengurusan Perusahaan Terbuka untuk kepentingan
Perusahaan Terbuka, sesuai dengan maksud dan tujuan
Perusahaan Terbuka serta mewakili Perusahaan Terbuka,
baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan
ketentuan anggaran dasar.
5. Dewan Komisaris adalah organ Perusahaan Terbuka yang
bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau
khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi
nasihat kepada Direksi.
- 3 -
BAB II
PENYAMPAIAN LAPORAN
Pasal 2
(1) Anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris wajib
melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan atas
kepemilikan dan setiap perubahan kepemilikannya atas
saham Perusahaan Terbuka baik langsung maupun tidak
langsung.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
juga bagi setiap Pihak yang memiliki saham baik
langsung maupun tidak langsung paling sedikit 5% (lima
persen) dari modal disetor dalam Perusahaan Terbuka.
(3) Kewajiban laporan perubahan kepemilikan atas saham
Perusahaan Terbuka untuk Pihak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berlaku atas setiap perubahan
kepemilikan paling sedikit 0,5% (nol koma lima persen)
dari saham yang disetor dalam Perusahaan Terbuka baik
dalam 1 (satu) atau beberapa transaksi.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) wajib disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari
sejak terjadinya kepemilikan atau perubahan
kepemilikan atas saham Perusahaan Terbuka tersebut.
Pasal 3
(1) Perusahaan Terbuka wajib memiliki kebijakan mengenai
kewajiban anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris
untuk menyampaikan informasi kepada Perusahaan
Terbuka mengenai kepemilikan dan setiap perubahan
kepemilikannya atas saham Perusahaan Terbuka.
(2) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah
terjadinya kepemilikan atau setiap perubahan
kepemilikan atas saham Perusahaan Terbuka.
(3) Pelaksanaan atas kebijakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib diungkapkan dalam laporan tahunan atau
situs web Perusahaan Terbuka.
- 4 -
Pasal 4
Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat
(2) dapat memberikan kuasa tertulis kepada pihak lain untuk
melaporkan kepemilikan dan setiap perubahan
kepemilikannya atas saham Perusahaan Terbuka.
Pasal 5
Penyampaian laporan kepemilikan dan setiap perubahan
kepemilikan atas saham sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 wajib dilakukan paling lambat 5 (lima) hari sejak
terjadinya kepemilikan atau perubahan kepemilikan atas
saham Perusahaan Terbuka.
Pasal 6
Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 5 jatuh pada hari
libur, laporan kepemilikan saham wajib disampaikan paling
lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya.
Pasal 7
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 paling
sedikit meliputi:
a. nama, tempat tinggal, dan kewarganegaraan;
b. nama saham Perusahaan Terbuka;
c. jumlah saham dan persentase kepemilikan saham
sebelum dan setelah transaksi;
d. jumlah saham yang dibeli atau dijual;
e. harga pembelian atau penjualan per saham;
f.
tanggal transaksi;
g. tujuan dari transaksi;
h. status kepemilikan saham (langsung atau tidak
langsung); dan
i. dalam hal kepemilikan saham secara tidak
langsung, diungkapkan informasi mengenai
pemegang saham yang tercatat di daftar pemegang
saham Perusahaan Terbuka untuk kepentingan
pemilik manfaat.
- 5 -
(2) Bentuk dan isi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus disusun sesuai dengan format Laporan
Kepemilikan atau Setiap Perubahan Kepemilikan Saham
Perusahaan Terbuka sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(3) Dalam hal penyampaian laporan dan setiap perubahan
kepemilikan atas saham dilakukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib disertai dengan fotokopi surat kuasa.
Pasal 8
Salinan dari laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
tersedia untuk publik dan dapat digandakan di Otoritas Jasa
Keuangan.
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 9
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g
- 6 -
dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan
sanksi
administratif berupa peringatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 10
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 11
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 kepada masyarakat.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
60/POJK.04/2015 tentang Keterbukaan Informasi Pemegang
Saham Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 411, Tambahan Lembaran Negara Repulik
Indonesia Nomor 5829), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 13
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
tertulis
- 7 -
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Maret 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 Maret 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 48
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 11 /POJK.04/2017
TENTANG
LAPORAN KEPEMILIKAN ATAU SETIAP PERUBAHAN KEPEMILIKAN SAHAM
PERUSAHAAN TERBUKA
I. UMUM
Bahwa kewajiban pelaporan kepada Otoritas Jasa Keuangan atas
kepemilikan saham Perusahaan Terbuka paling sedikit 5% (lima persen)
telah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
60/POJK.04/2015 tentang Keterbukaan Informasi Pemegang Saham
Tertentu.
Namun demikian, dalam rangka meningkatkan iklim investasi dan
perlindungan terhadap investor minoritas, perlu
dilakukan
penyempurnaan pengaturan mengenai keterbukaan informasi atas
kepemilikan saham Perusahaan Terbuka paling sedikit 5% (lima persen).
Penyempurnaan dilakukan antara lain dengan mengatur:
a. kewajiban pelaporan bagi pihak yang memiliki saham Perusahaan
Terbuka paling sedikit 5% (lima persen) baik secara langsung
maupun tidak langsung (beneficial owner).
b. kewajiban pelaporan oleh pihak yang memiliki saham Perusahaan
Terbuka paling sedikit 5% (lima persen) baik secara langsung
maupun tidak langsung dapat dikuasakan secara tertulis kepada
pihak lain, dengan konsekuensi batas waktu penyampaian laporan
dipercepat menjadi 5 (lima) hari sejak terjadinya kepemilikan atau
perubahan kepemilikan atas saham Perusahaan Terbuka.
- 2 -
c. kewajiban laporan perubahan kepemilikan atas saham Perusahaan
Terbuka berlaku atas setiap perubahan kepemilikan paling sedikit
0,5% (nol koma lima persen) dari saham yang disetor dalam
Perusahaan Terbuka.
Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, perlu untuk mengubah
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 60/POJK.04/2015 tentang
Keterbukaan Informasi Pemegang Saham Tertentu dengan menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Kepemilikan atau
Setiap Perubahan Kepemilikan Saham Perusahaan Terbuka.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kepemilikan atas saham Perusahaan
Terbuka” adalah kepemilikan saham anggota Direksi atau
anggota Dewan Komisaris pada Perusahaan Terbuka dimana
anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris menjabat.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pihak yang memiliki saham secara
tidak langsung” adalah pihak yang memiliki saham Perusahaan
Terbuka melalui pihak lain.
Pihak tersebut merupakan pemilik manfaat sebenarnya
(ultimate beneficial owner) dari saham tersebut dan/atau bagian
dari mata rantai pemilikan sampai dengan pemilik sebenarnya.
Ayat (3)
Kewajiban timbul sejak tercapainya 0,5% (nol koma lima
persen) perubahan atas kepemilikan saham.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Pemberian kuasa ini tidak menghilangkan tanggung jawab pihak
sebagai pemilik saham untuk memastikan penyampaian laporan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa:
a. penundaan pemberian pernyataan efektif, misalnya pernyataan
efektif untuk penggabungan usaha, peleburan usaha; dan
b. penundaan pemberian pernyataan Otoritas Jasa Keuangan
bahwa tidak ada tanggapan lebih lanjut atas dokumen yang
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka
penambahan modal dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu
Perusahaan Terbuka.
Pasal 11
Pengumuman pengenaan sanksi administratif dan tindakan tertentu
oleh Otoritas Jasa Keuangan dilakukan melalui situs web Otoritas
Jasa Keuangan atau laporan tahunan Otoritas Jasa Keuangan.
- 4 -
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6032
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 11 /POJK.04/2017
TENTANG
LAPORAN KEPEMILIKAN ATAU SETIAP PERUBAHAN KEPEMILIKAN SAHAM
PERUSAHAAN TERBUKA
- 2 -
LAPORAN KEPEMILIKAN ATAU SETIAP PERUBAHAN KEPEMILIKAN
SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA
Nomor
:
......................., ..................
Lampiran :
Perihal
:
Kepada
Yth. Kepala Eksekutif Pengawas
Pasar Modal
Otoritas Jasa Keuangan
di Jakarta
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
Alamat lengkap
: ...................................................................................
: ...................................................................................
(nama jalan dan nomor)
................................................... -
Nomor telepon
Kewarganegaraan
: ...................................................................................
: ...................................................................................
sesuai dengan Pasal ... Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor .............
tentang Keterbukaan Informasi Pemegang Saham Tertentu, melapor bahwa
saya telah memiliki saham Perusahaan Terbuka dengan rincian sebagai
berikut:
1. Nama saham Perusahaan Terbuka
2.
Jumlah saham dan persentase
kepemilikan saham sebelum dan
setelah transaksi
3.
4.
Jumlah saham yang dibeli atau
dijual
Harga pembelian atau penjualan per
- 3 -
saham
5.
6.
7.
Tanggal transaksi
Tujuan dari transaksi
Status kepemilikan saham
Langsung
Tidak Langsung
Penjelasan:
..(diisi informasi mengenai
pemegang saham yang
terdaftar dalam daftar
pemegang saham untuk
kepentingan pemilik
manfaat).........................
Demikian disampaikan, atas perhatiannya diucapkan terima kasih.
................................................
(nama jelas dan tanda tangan)
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Maret 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd
ttd
Yuliana
MULIAMAN D. HADAD
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 11/POJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN KEPEMILIKAN ATAU SETIAP PERUBAHAN KEPEMILIKAN SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA </reg_title>
<set_date> 14 Maret 2017 </set_date>
<effective_date> 14 Maret 2017 </effective_date>
<issued_date> 14 Maret 2017 </issued_date>
<replaced_reg> '60/POJK.04/2015' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 18/POJK.04/2015
TENTANG
PENERBITAN DAN PERSYARATAN SUKUK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka mendorong perkembangan industri
Pasar Modal Syariah di Indonesia, diperlukan penyempurnaan
peraturan mengenai Penerbitan Efek Syariah dengan
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Penerbitan dan Persyaratan Sukuk;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENERBITAN DAN PERSYARATAN SUKUK.
- 2 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Sukuk adalah Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti
kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian
yang
tidak terpisahkan atau tidak terbagi
(syuyu’/undivided share), atas aset yang mendasarinya.
2. Tim Ahli Syariah adalah tim yang bertanggung jawab
terhadap kesesuaian syariah atas produk atau jasa
syariah di Pasar Modal yang diterbitkan atau dikeluarkan
perusahaan.
3. Prinsip Syariah di Pasar Modal adalah prinsip hukum
Islam dalam Kegiatan Syariah di Pasar Modal
berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis
Ulama Indonesia, sepanjang fatwa dimaksud tidak
bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal
dan/atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan lainnya
yang didasarkan pada fatwa Dewan Syariah Nasional -
Majelis Ulama Indonesia.
4. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang
bertanggung jawab memberikan nasihat dan saran serta
mengawasi pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal
terhadap Pihak yang melakukan Kegiatan Syariah di
Pasar Modal.
5. Akad Syariah adalah perjanjian atau kontrak tertulis
antara para pihak yang memuat hak dan kewajiban
masing-masing pihak yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah di Pasar Modal.
6. Ahli Syariah Pasar Modal yang selanjutnya disingkat
ASPM adalah:
a. orang perseorangan yang memiliki pengetahuan dan
pengalaman di bidang syariah; atau
b. badan usaha yang pengurus dan pegawainya
- 3 -
memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang
syariah,
yang memberikan nasihat dan/atau mengawasi
pelaksanaan penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal
dalam kegiatan usaha perusahaan dan/atau memberikan
pernyataan kesesuaian syariah atas produk atau jasa
syariah di Pasar Modal.
Pasal 2
Aset yang menjadi dasar Sukuk wajib tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal.
Pasal 3
Aset yang menjadi dasar Sukuk sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dapat terdiri atas:
a. aset berwujud tertentu (a’yan maujudat);
b.
nilai manfaat atas aset berwujud (manafiul a’yan)
tertentu baik yang sudah ada maupun yang akan ada;
c.
jasa (al khadamat) yang sudah ada maupun yang akan
ada;
d. aset proyek tertentu (maujudat masyru’ mu’ayyan);
dan/atau
e. kegiatan investasi yang telah ditentukan (nasyath
ististmarin khashah).
Pasal 4
Emiten yang melakukan Penawaran Umum Sukuk wajib
mematuhi ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal,
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dan peraturan
perundang-undangan lain di sektor Pasar Modal.
Pasal 5
(1) Emiten yang melakukan Penawaran Umum Sukuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib
mendapatkan pernyataan kesesuaian syariah atas Sukuk
- 4 -
dalam Penawaran Umum tersebut dari Dewan Pengawas
Syariah Emiten atau Tim Ahli Syariah.
(2) Pernyataan kesesuaian syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib:
a. disampaikan Emiten yang bukan merupakan
Perusahaan Menengah atau Kecil kepada Otoritas
Jasa Keuangan sebelum Emiten dapat memulai
mengumumkan Prospektus Ringkas serta dimuat
dalam Prospektus Ringkas dan Prospektus; atau
b. disampaikan Emiten yang merupakan Perusahaan
Menengah atau Kecil kepada Otoritas Jasa
Keuangan sebelum Emiten dapat memulai
mengumumkan Prospektus Awal dan Prospektus
serta dimuat dalam Prospektus Awal dan
Prospektus.
(3) Anggota Dewan Pengawas Syariah atau anggota Tim Ahli
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memiliki izin ASPM sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar
Modal.
BAB II
PENERBITAN
Pasal 6
Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum
Sukuk wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di
sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan
Pendaftaran, Penawaran Umum, dan peraturan terkait
lainnya, serta Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 7
Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum
Sukuk oleh Emiten wajib disertai dokumen tambahan sebagai
berikut:
a.
hasil pemeringkatan Sukuk sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar
- 5 -
Modal yang mengatur mengenai Pemeringkatan Efek
Bersifat Utang dan/atau Sukuk;
b. perjanjian perwaliamanatan Sukuk;
c. Akad Syariah yang dipergunakan dalam penerbitan
Sukuk;
d. surat pernyataan Emiten yang menyatakan bahwa:
1. aset yang menjadi dasar Sukuk tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; dan
2. selama periode Sukuk, aset yang menjadi dasar
Sukuk tidak akan bertentangan dengan Prinsip
Syariah di Pasar Modal;
e. surat pernyataan dari Wali Amanat Sukuk yang
menyatakan Wali Amanat Sukuk mempunyai 1 (satu)
orang anggota Direksi atau penanggung jawab kegiatan
yang diberi mandat oleh Direksi yang memiliki
pengetahuan yang memadai dan/atau pengalaman di
bidang keuangan syariah dan/atau tenaga ahli di bidang
perwaliamanatan dalam penerbitan Sukuk yang
memahami kegiatan dan jenis usaha serta transaksi yang
bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal;
f.
surat pernyataan yang menyatakan bahwa Emiten wajib
dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab
melakukan pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal
jasa, selama aset yang menjadi dasar Sukuk masih ada;
g. pernyataan kesesuaian syariah atas Sukuk dalam
Penawaran Umum dari Dewan Pengawas Syariah Emiten
atau Tim Ahli Syariah; dan
h. perjanjian penjaminan Emisi Efek yang memuat bahwa
dana hasil Penawaran Umum diterima Emiten paling
lambat pada saat penyerahan Sukuk.
Pasal 8
Prospektus dalam rangka Pernyataan Pendaftaran dan
Penawaran Umum Sukuk oleh Emiten sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 wajib mengungkapkan informasi tambahan
sebagai berikut:
- 6 -
a. aset yang menjadi dasar Sukuk tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal dan Emiten
menjamin selama periode Sukuk aset yang menjadi dasar
Sukuk tidak akan bertentangan dengan Prinsip Syariah
di Pasar Modal;
b.
jenis Akad Syariah dan skema transaksi syariah serta
penjelasan skema transaksi syariah yang digunakan
dalam penerbitan Sukuk;
c. ringkasan Akad Syariah yang dilakukan oleh para Pihak;
d. sumber pendapatan yang menjadi dasar penghitungan
pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa sesuai
dengan karakteristik Akad Syariah;
e. besaran nisbah pembayaran bagi hasil, marjin, atau
imbal jasa sesuai dengan karakteristik Akad Syariah;
f.
rencana jadwal dan tata cara pembagian dan/atau
pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa sesuai
dengan karakteristik Akad Syariah;
g. hasil pemeringkatan Sukuk;
h. rencana penggunaan dana hasil penerbitan Sukuk sesuai
dengan karakteristik Akad Syariah;
i. sumber dana yang digunakan untuk melakukan
pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa sesuai
dengan karakteristik Akad Syariah;
j.
jaminan yang meliputi paling sedikit jenis, nilai, dan
status kepemilikan (jika ada);
k. penggantian aset yang menjadi dasar Sukuk jika terjadi
hal-hal yang menyebabkan nilainya tidak lagi sesuai
dengan nilai Sukuk yang diterbitkan (jika diperlukan
sesuai karakteristik Akad Syariah);
l.
syarat dan ketentuan dalam hal Emiten akan mengubah
jenis Akad Syariah, isi Akad Syariah dan/atau aset yang
menjadi dasar Sukuk;
m. ketentuan apabila Emiten gagal dalam memenuhi
kewajibannya;
n. mekanisme penanganan dalam hal Emiten gagal dalam
memenuhi kewajibannya;
- 7 -
o. ketentuan mengenai sanksi yang berkaitan dengan tidak
dipenuhinya
kewajiban
perwaliamanatan; dan
p. pernyataan kesesuaian syariah atas Sukuk dalam
Penawaran Umum dari Dewan Pengawas Syariah Emiten
atau Tim Ahli Syariah.
Pasal 9
Emiten wajib menyajikan Laporan Keuangan yang telah
diaudit untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terakhir dalam
Prospektus, dalam hal Emiten yang melakukan Penawaran
Umum Sukuk telah memiliki kewajiban penyampaian laporan
keuangan secara berkala.
BAB III
PERUBAHAN STATUS SUKUK
Pasal 10
(1) Sukuk tidak lagi menjadi Efek Syariah jika terjadi kondisi
sebagai berikut:
a. tidak lagi memiliki aset yang menjadi dasar Sukuk;
dan/atau
b.
terjadi perubahan jenis Akad Syariah, isi Akad
Syariah, dan/atau aset yang menjadi dasar Sukuk,
yang menyebabkan bertentangan dengan Prinsip
Syariah di Pasar Modal.
(2) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Sukuk berubah menjadi utang piutang dan
Emiten wajib menyelesaikan kewajiban atas utang
piutang dimaksud kepada pemegang Sukuk.
BAB IV
PENGGUNAAN DANA HASIL PENAWARAN UMUM
Pasal 11
Emiten wajib menggunakan dana hasil Penawaran Umum
Sukuk untuk membiayai kegiatan atau melakukan investasi
dalam
perjanjian
- 8 -
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar
Modal.
BAB V
PERJANJIAN PERWALIAMANATAN SUKUK
Pasal 12
(1) Emiten yang melakukan Penawaran Umum Sukuk wajib
menyusun perjanjian perwaliamanatan Sukuk.
(2) Ketentuan mengenai perjanjian perwaliamanatan dalam
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai ketentuan umum dan kontrak
perwaliamanatan Efek bersifat utang berlaku mutatis
mutandis
untuk
perwaliamanatan Sukuk.
(3) Perjanjian
perwaliamanatan Sukuk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memuat ketentuan
tambahan antara lain:
a. uraian tentang Akad Syariah yang menjadi dasar
Sukuk;
b. uraian tentang aset yang menjadi dasar Sukuk;
c. penggunaan dana hasil penerbitan Sukuk sesuai
dengan karakteristik Akad Syariah;
d. sumber dana yang digunakan untuk melakukan
pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa
sesuai dengan karakteristik Akad Syariah;
e. besaran nisbah pembayaran bagi hasil, marjin, atau
imbal jasa sesuai dengan karakteristik Akad
Syariah;
f.
jaminan yang meliputi paling sedikit jenis, nilai dan
status kepemilikan (jika ada);
g. rencana jadwal dan tata cara pembagian dan/atau
pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa
sesuai dengan karakteristik Akad Syariah;
h. uraian tentang kewajiban Wali Amanat Sukuk untuk
mengambil segala tindakan yang diperlukan:
penyusunan
perjanjian
- 9 -
1. untuk memastikan kepatuhan Emiten terhadap
pemenuhan Akad Syariah;
2. untuk memastikan aset yang menjadi dasar
Sukuk tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah di Pasar Modal;
3. dalam hal Emiten melakukan pelanggaran atas
pemenuhan kepatuhan terhadap penerapan
Prinsip Syariah di Pasar Modal atau
pelanggaran kewajiban dalam Akad Syariah
dan/atau perjanjian
(wanprestasi); dan
perwaliamanatan
4. untuk tetap mewakili kepentingan pemegang
Sukuk sampai dengan terpenuhinya
penyelesaian seluruh kewajiban Emiten kepada
yang bersangkutan ketika Sukuk berubah
menjadi utang piutang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (2).
i.
ketentuan mengenai nilai Sukuk menjadi utang
piutang jika Sukuk berubah menjadi utang piutang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan
penyelesaian kewajiban Emiten atas utang piutang
dimaksud;
j.
kewajiban Wali Amanat tetap mewakili kepentingan
pemegang Sukuk sampai dengan seluruh haknya
dipenuhi Emiten termasuk jika Sukuk berubah
menjadi utang piutang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (2);
k. penggantian aset yang menjadi dasar Sukuk jika
terjadi hal-hal yang menyebabkan nilainya tidak lagi
sesuai dengan nilai Sukuk yang diterbitkan (jika
diperlukan sesuai karakteristik Akad Syariah);
l.
syarat dan ketentuan dalam hal Emiten akan
mengubah jenis Akad Syariah, isi Akad Syariah,
dan/atau aset yang menjadi dasar Sukuk yang
memuat:
- 10 -
1. perubahan tersebut hanya dapat dilakukan
setelah terlebih dahulu disetujui oleh Rapat
Umum Pemegang Sukuk (RUP Sukuk);
2. mekanisme pemenuhan hak pemegang Sukuk
yang tidak setuju terhadap perubahan
dimaksud; dan
3. perubahan hanya dapat dilakukan jika ada
pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan
Pengawas Syariah Emiten atau Tim Ahli
Syariah.
m. ketentuan mengenai kegagalan Emiten dalam
memenuhi kewajibannya;
n. mekanisme penanganan dan/atau penyelesaian
dalam hal Emiten gagal dalam memenuhi
kewajibannya sebagaimana dimaksud pada huruf m
dengan memperhatikan Prinsip Syariah di Pasar
Modal; dan
o. ketentuan mengenai sanksi yang berkaitan dengan
tidak dipenuhinya kewajiban dalam perjanjian
perwaliamanatan.
Pasal 13
Ketentuan mengenai tugas dan tanggung jawab Wali Amanat
dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai ketentuan umum dan kontrak
perwaliamanatan Efek bersifat utang berlaku mutatis
mutandis bagi Wali Amanat Sukuk.
BAB VI
KETENTUAN SANKSI
Pasal 14
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
- 11 -
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 15
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 16
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 kepada masyarakat.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 17
(1) Kewajiban anggota Dewan Pengawas Syariah atau Tim
Ahli Syariah memiliki izin ASPM sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (3) selama 2 (dua) tahun sejak
- 12 -
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku dapat
digantikan oleh orang perseorangan yang memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1)
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah
Pasar Modal sepanjang yang bersangkutan melapor
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam)
bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar Modal.
(2) Orang perseorangan yang telah menyampaikan laporan
kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat menjadi anggota Dewan Pengawas
Syariah atau anggota Tim Ahli Syariah meskipun belum
memiliki izin ASPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (3) paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah
Pasar Modal.
Pasal 18
Pernyataan Pendaftaran yang telah diterima oleh Otoritas Jasa
Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini namun belum menjadi efektif tetap mengikuti
Peraturan Nomor IX.A.13, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-
181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang Penerbitan Efek
Syariah.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, angka 3 Peraturan Nomor IX.A.13, Lampiran
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor: KEP-181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009
tentang Penerbitan Efek Syariah dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
- 13 -
Pasal 20
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 November 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 November 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H.LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 269
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 18/POJK.04/2015
TENTANG
PENERBITAN DAN PERSYARATAN SUKUK
I. UMUM
Dalam rangka pengembangan Pasar Modal syariah agar dapat
tumbuh stabil dan berkelanjutan diperlukan pengembangan infrastruktur
pasar yang memadai. Salah satu infrastruktur penting adalah tersedianya
regulasi yang jelas dan mudah dipahami serta diterapkan sehingga
regulasi tersebut menjadi regulasi yang dapat diterima pasar (market
friendly). Selanjutnya, mengingat Efek Syariah memiliki karakteristik yang
khusus maka diperlukan pengaturan yang sesuai dengan karakteristik
masing-masing jenis Efeknya.
Dinamika perkembangan Pasar Modal syariah menuntut adanya
penyempurnaan atas Peraturan Nomor IX.A.13, Lampiran Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-
181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang Penerbitan Efek Syariah,
mengingat peraturan tersebut mengatur penerbitan berbagai jenis Efek
Syariah. Melihat kondisi tersebut, maka diperlukan adanya ketentuan
khusus yang sesuai untuk setiap jenis Efek Syariah. Hal tersebut sejalan
dengan praktik yang berlaku umum (common practice) dan standar
internasional. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini merupakan salah
satu dari 5 (lima) peraturan yang berasal dari Peraturan Nomor IX.A.13,
Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor: KEP-181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang
Penerbitan Efek Syariah namun khusus mengatur mengenai penerbitan
- 2 -
Sukuk sekaligus menyempurnakan ketentuan yang ada di Peraturan
Nomor IX.A.13.
Adapun beberapa pokok penyempurnaan peraturan penerbitan
Sukuk tersebut antara lain meliputi penyempurnaan definisi Sukuk,
pengaturan aset atau kegiatan usaha yang menjadi dasar Sukuk dan
penerbitan Sukuk (underlying asset), pengaturan perjanjian
perwaliamanatan, pengaturan mengenai peran Dewan Pengawas Syariah
atau Tim Ahli Syariah dalam penerbitan Sukuk, dan simplifikasi dokumen
Pernyataan Pendaftaran Penawaran Umum Sukuk.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Yang dimaksud dengan “aset yang menjadi dasar Sukuk” adalah aset
yang menjadi dasar penerbitan Sukuk maupun selama umur Sukuk.
Contoh aset yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar
Modal adalah barang/jasa/aset tidak berwujud terkait kegiatan:
a. perjudian dan permainan yang tergolong judi;
b. jasa keuangan ribawi;
c.
jual beli risiko yang mengandung unsur ketidakpastian (gharar)
dan/atau judi (maisir); dan
d. memproduksi, mendistribusikan, memperdagangkan, dan/atau
menyediakan antara lain:
1. barang atau jasa haram zatnya (haram li-dzatihi);
2. barang atau jasa haram bukan karena zatnya (haram li-
ghairihi) yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional -
Majelis Ulama Indonesia; dan/atau
3. barang atau jasa yang merusak moral dan bersifat
mudarat.
Pasal 3
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Dalam hal Emiten mempunyai Dewan Pengawas Syariah,
pernyataan kesesuaian syariah atas Sukuk yang diterbitkan oleh
Emiten dapat diterbitkan oleh Dewan Pengawas Syariah Emiten
dimaksud. Dalam hal Emiten tidak mempunyai Dewan
Pengawas Syariah, maka pernyataan kesesuaian syariah atas
Sukuk dalam Penawaran Umum dilakukan oleh Tim Ahli
Syariah yang ditunjuk oleh Emiten.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Prospektus adalah Prospektus
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pasar
Modal.
Yang dimaksud dengan Prospektus Awal adalah Prospektus Awal
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di
sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Prospektus Awal.
Yang dimaksud dengan Prospektus Ringkas adalah Prospektus
Ringkas sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai
Prospektus Ringkas dalam rangka Penawaran Umum.
Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai Prospektus Awal adalah Peraturan
Nomor IX.A.8, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal Nomor: KEP-41/PM/2000 tanggal 27 Oktober 2000
tentang Perubahan Peraturan Nomor IX.A.8 tentang Prospektus
Awal dan Info Memo.
Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Prospektus Ringkas adalah Peraturan
Nomor IX.C.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal Nomor: KEP-43/PM/2000 tanggal 27 Oktober 2000
tentang Perubahan Peraturan Nomor IX.C.3 tentang Pedoman
- 4 -
Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus Ringkas Dalam Rangka
Penawaran Umum.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran dan Penawaran Umum
antara lain sebagai berikut:
a. Peraturan Nomor IX.A.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-44/PM/1996 tanggal
17 Januari 1996 tentang Tata Cara Untuk Meminta Perubahan
Dan Atau Tambahan Informasi Atas Pernyataan Pendaftaran;
b. Peraturan Nomor IX.C.2, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-51/PM/1996 tanggal
17 Januari 1996 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi
Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum;
c. Peraturan Nomor IX.A.8, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-41/PM/2000 tanggal
27 Oktober 2000 tentang Prospektus Awal dan Info Memo;
d. Peraturan Nomor IX.C.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-42/PM/2000 tanggal
27 Oktober 2000 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi
Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum;
e. Peraturan Nomor IX.C.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-43/PM/2000 tanggal
27 Oktober 2000 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi
Prospektus Ringkas Dalam Rangka Penawaran Umum;
f.
Peraturan Nomor IX.A.6, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-06/PM/2001 tanggal
8 Maret 2001 tentang Pembatasan Atas Saham Yang Diterbitkan
Sebelum Penawaran Umum;
g. Peraturan Nomor IX.A.2, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor:
KEP-122/BL/2009 tanggal 29 Mei 2009 tentang Tata Cara
Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum;
- 5 -
h. Peraturan Nomor IX.A.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor:
KEP-690/BL/2011 tanggal 30 Desember 2011 tentang
Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran;
i.
Peraturan Nomor IX.A.7, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor:
KEP-691/BL/2011 tanggal 30 Desember 2011 tentang
Pemesanan dan Penjatahan Efek Dalam Penawaran Umum; dan
j.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 36/POJK.04/2014
tentang Penawaran Umum Berkelanjutan Efek Bersifat Utang
dan/atau Sukuk.
Pasal 7
Huruf a
Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Pemeringkatan Efek Bersifat Utang
dan/atau Sukuk adalah Peraturan Nomor IX.C.11 Lampiran
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-
712/BL/2012 tanggal 26 Desember 2012 tentang Pemeringkatan
Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk.
Huruf b
Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai perjanjian perwaliamanatan Sukuk adalah
Peraturan Nomor VI.C.4, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-
412/BL/2010 tanggal 6 September 2010 tentang Ketentuan
Umum dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang.
Huruf c
Jenis-jenis Akad Syariah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai akad-
akad yang digunakan dalam penerbitan Efek syariah di Pasar
Modal yaitu Ijarah, Istishna, Kafalah, Mudharabah, Musyarakah,
Wakalah, dan akad lainnya yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah di Pasar Modal.
- 6 -
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 8
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
- 7 -
Huruf m
Yang dimaksud dengan “gagal dalam memenuhi kewajibannya”
adalah tidak memenuhi kewajiban keuangan dan/atau gagal
mematuhi Prinsip Syariah di Pasar Modal.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan kontrak
perwaliamanatan Efek bersifat utang adalah Peraturan Nomor
VI.C.4, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal
Nomor
Kep-412/BL/2010
tanggal
6 September 2010 tentang Ketentuan Umum dan Kontrak
Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
- 8 -
Huruf b
Uraian tentang aset yang menjadi dasar Sukuk paling
sedikit terdiri dari jenis/bentuk aset, lokasi aset, status
kepemilikan aset, status aset (sebagai jaminan atau tidak)
dan implikasi hukum dan ekonomi yang menyertainya (jika
ada), serta nilai aset berdasarkan hasil penilaian dari
Penilai.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “pelanggaran atas pemenuhan
kepatuhan terhadap penerapan Prinsip Syariah di
Pasar Modal” antara lain berupa pelanggaran atas
Akad Syariah dan/atau aset yang menjadi dasar
Sukuk.
Yang dimaksud dengan “pelanggaran kewajiban dalam
Akad Syariah dan/atau perjanjian perwaliamanatan
(wanprestasi)” antara lain Emiten tidak membayar bagi
hasil, marjin, imbal jasa atau nilai pokok Sukuk sesuai
dengan perjanjian.
Angka 4
Cukup jelas.
- 9 -
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Yang dimaksud dengan “nilainya tidak lagi sesuai dengan
nilai Sukuk yang diterbitkan” adalah nilai objek yang
menjadi dasar Sukuk mengalami perubahan dan tidak
cukup digunakan sebagai dasar dalam pembayaran bagi
hasil, marjin, imbal jasa (fee), atau nilai pokok Sukuk.
Huruf l
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Contoh mekanisme pemenuhan hak pemegang Sukuk
yang tidak setuju terhadap perubahan dimaksud
adalah pembelian kembali Sukuk atau pembatalan
terhadap perubahan dimaksud.
Angka 3
Pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Pengawas
Syariah Emiten atau Tim Ahli Syariah diperoleh
sebelum dilaksanakannya Rapat Umum Pemegang
Sukuk (RUP Sukuk).
Huruf m
Yang dimaksud dengan “gagal dalam memenuhi
kewajibannya” adalah tidak memenuhi kewajiban finansial
dan/atau kepatuhan terhadap Prinsip Syariah di Pasar
Modal.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Pasal 13
Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan kontrak perwaliamanatan
- 10 -
Efek bersifat utang adalah Peraturan Nomor VI.C.4 Lampiran
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-
412/BL/2010 tanggal 6 September 2010 tentang Ketentuan Umum
dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa:
a. penundaan pemberian pernyataan efektif, misalnya pernyataan
efektif untuk penggabungan usaha, peleburan usaha; dan
b. penundaan pemberian pernyataan Otoritas Jasa Keuangan
bahwa tidak ada tanggapan lebih lanjut atas dokumen yang
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka
penambahan modal dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu
Perusahaan Terbuka.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5758
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 8/POJK.04/2015 </reg_id>
<reg_title> SITUS WEB EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK </reg_title>
<set_date> 25 Juni 2015 </set_date>
<effective_date> 26 Juni 2015 </effective_date>
<issued_date> 26 Juni 2015 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
-1-
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 29 /POJK.04/2017
TENTANG
LAPORAN WALI AMANAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang
: a.
bahwa
dengan
berlakunya
Undang-Undang
Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai
laporan wali amanat beralih dari Badan Pengawas Pasar
Modal
dan
Lembaga
Keuangan
ke
Otoritas
Jasa
Keuangan;
b.
bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai pengaturan terhadap laporan wali amanat,
ketentuan
pasar
peraturan
modal
diterbitkan
perundang-undangan
mengenai
sebelum
laporan
wali
terbentuknya
di sektor
amanat
Otoritas
yang
Jasa
Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan;
c.
bahwa
berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Wali
Amanat;
-2Mengingat
: 1.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor
64,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Nomor 3608);
2.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN
OTORITAS
JASA
KEUANGAN
TENTANG
LAPORAN WALI AMANAT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1.
Wali Amanat adalah pihak yang mewakili kepentingan
pemegang efek yang bersifat utang.
2.
Emiten adalah pihak yang melakukan Penawaran Umum.
3.
Kontrak
Perwaliamanatan
adalah
perjanjian
antara
Emiten dan Wali Amanat dalam rangka penerbitan efek
bersifat utang dan/atau sukuk yang dibuat dalam
bentuk akta notariil.
4.
Sukuk adalah efek syariah berupa sertifikat atau bukti
kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian
yang
tidak
terpisahkan
atau
tidak
terbagi
(syuyu’/undivided share), atas aset yang mendasarinya.
5.
Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan
utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda
bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif,
kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari
Efek.
-3BAB II
LAPORAN
Pasal 2
(1)
Wali Amanat wajib menyampaikan laporan kegiatan
kepada Otoritas Jasa Keuangan yang meliputi:
a.
laporan tengah tahunan mengenai kegiatan Wali
Amanat; dan
b.
(2)
laporan tahunan mengenai kegiatan Wali Amanat.
Dalam hal terjadi peristiwa penting yang menyangkut
kegiatan
perwaliamanatan,
menyampaikan
laporan
Wali
mengenai
Amanat
peristiwa
wajib
penting
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(3)
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) disampaikan dalam bentuk dokumen cetak paling
sedikit 2 (dua) rangkap disertai dengan salinan dokumen
elektronik.
Pasal 3
(1)
Laporan tengah tahunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf a wajib disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 30 (tiga puluh)
hari setelah periode laporan, yang disusun dengan
menggunakan
sebagaimana
format
Laporan
tercantum
dalam
Tengah
Tahunan
Lampiran
yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2)
Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf b wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah
periode laporan, yang disusun dengan menggunakan
format Laporan Tahunan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(3)
Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) jatuh pada hari libur, penyampaian
-4laporan wajib disampaikan pada 1 (satu) hari kerja
berikutnya.
(4)
Dalam hal penyampaian laporan melewati batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penghitungan
jumlah hari keterlambatan atas penyampaian laporan
dihitung sejak hari pertama setelah batas akhir waktu
penyampaian
laporan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat (3).
Pasal 4
Laporan peristiwa penting sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah terjadinya
peristiwa atau sejak diketahuinya peristiwa tersebut.
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 5
(1)
Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
pasar
modal,
Otoritas
Jasa
Keuangan
berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang
melakukan
pelanggaran
Otoritas Jasa Keuangan
ketentuan
Peraturan
ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a.
peringatan tertulis;
b.
denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
(2)
c.
pembatasan kegiatan usaha;
d.
pembekuan kegiatan usaha;
e.
pencabutan izin usaha;
f.
pembatalan persetujuan; dan/atau
g.
pembatalan pendaftaran.
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau
huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
-5pengenaan
sanksi
administratif
berupa
peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3)
Sanksi
administratif
berupa
denda
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 6
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 7
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 kepada masyarakat.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 8
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor Kep-77/PM/1996 tentang Laporan Wali Amanat,
beserta Peraturan Nomor X.I.1 yang merupakan lampirannya,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 9
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
-6Agar
setiap
orang
mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 129
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 29 /POJK.04/2017
TENTANG
LAPORAN WALI AMANAT
I.
UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan
lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar
modal yang mengatur mengenai laporan Wali Amanat yaitu Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-77/PM/1996 tentang
Laporan Wali Amanat, beserta Peraturan Nomor X.I.1 yang merupakan
lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan
Wali Amanat.
-2-
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Laporan tengah tahunan mengenai kegiatan Wali Amanat
antara lain memuat:
1.
jumlah dan jenis Efek bersifat utang dan/atau Sukuk
yang masih beredar;
2.
pembayaran pokok dan/atau bunga Efek bersifat
utang dan/atau Sukuk;
3.
jumlah Efek bersifat utang yang telah dikonversikan
menjadi saham; dan
4.
pelaksanaan pengawasan yang telah dilakukan oleh
Wali Amanat terhadap Emiten.
Huruf b
Laporan tahunan mengenai kegiatan Wali Amanat antara
lain memuat:
1.
jumlah dan jenis Efek bersifat utang dan/atau Sukuk
yang masih beredar;
2.
pembayaran pokok dan/atau bunga Efek bersifat
utang dan/atau Sukuk;
3.
jumlah Efek bersifat utang yang telah dikonversikan
menjadi saham; dan
4.
pelaksanaan pengawasan yang telah dilakukan oleh
Wali Amanat terhadap Emiten.
Ayat (2)
Laporan
peristiwa
penting
yang
menyangkut
kegiatan
perwaliamanatan, antara lain:
a.
pembayaran pokok dan bunga Efek bersifat utang sebelum
jatuh
tempo,
jika
dimungkinkan
di
dalam
kontrak
perwaliamanatan;
b.
pelanggaran
atas
ketentuan
perwaliamanatan termasuk:
dalam
kontrak
-3-
1.
pembayaran pokok dan/atau bunga Efek bersifat
utang yang tidak tepat waktu; dan
2.
pengurangan,
penambahan,
pengalihan,
atau
penukaran jaminan; dan
c.
penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Efek bersifat
utang.
Ayat (3)
Dalam praktiknya “salinan dokumen elektronik” dimaksud
dikenal dengan sebutan soft copy.
Salinan dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
ini dapat disampaikan dengan menggunakan antara lain media
digital cakram padat (compact disc), flashdisk, atau lainnya.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa
perintah untuk menyampaikan kembali laporan yang telah diperbaiki
sesuai dengan hasil pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
-4-
Pasal 9
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6076
[Grab your reader’s attention with a great
- 5 - or use this space
quote from the document
to emphasize a key point. To place this
text box anywhere on the page, just drag
it.]
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 29 /POJK.04/2017
TENTANG
LAPORAN WALI AMANAT
-2-
LAPORAN WALI AMANAT
Laporan Tengah Tahunan / Tahunan *)
Nama Wali Amanat
: .........
1. Obligasi dan/atau Sukuk yang Diwaliamanatkan
No
1.
Emiten
Nama Obligasi
dan/atau Sukuk
Tanggal
Emisi
Tanggal Jatuh
Tempo
Nilai
Outstanding
Pembayaran
Bunga/Kupon
Konversi
PT. …..
*) sesuai jenis laporan
2. Pelaksanaan Pengawasan Terhadap Emiten yang Diwaliamanatkan
No
1.
Emiten
Pelaksanaan Pengawasan Terhadap Emiten
PT. ……
.......... , ................20.......
PT ...........
...................
(Nama Lengkap & Jabatan)
-3-
Laporan Peristiwa Penting
No
1.
Emiten
Tanggal Peristiwa Penting
Jenis Peristiwa Penting
Keterangan
PT. ……
.......... , ................20.......
PT ...........
...................
(Nama Lengkap & Jabatan)
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 9/POJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS DAN PROSPEKTUS RINGKAS DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM EFEK BERSIFAT UTANG </reg_title>
<set_date> 14 Maret 2017 </set_date>
<effective_date> 14 Maret 2017 </effective_date>
<issued_date> 14 Maret 2017 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 10 /POJK.03/2016
TENTANG
PEMENUHAN KETENTUAN BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN
TRANSFORMASI BADAN KREDIT DESA YANG DIBERIKAN STATUS
SEBAGAI BANK PERKREDITAN RAKYAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790)
Badan Kredit Desa diberikan status sebagai Bank
Perkreditan Rakyat dengan memenuhi persyaratan
dan tata cara yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah;
b. bahwa fungsi dan peran Badan Kredit Desa masih
diperlukan keberadaannya oleh masyarakat desa
dalam rangka menciptakan sistem keuangan yang
inklusif;
- 2 -
c. bahwa perkembangan perekonomian yang ada saat ini
dipenuhi oleh tantangan-tantangan yang semakin
besar sehingga perlu diikuti dengan penguatan
kelembagaan dan pengawasan Badan Kredit Desa;
d. bahwa dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan
Rakyat telah mengamanatkan kepada OJK untuk
mengatur Badan Kredit Desa yang diberikan status
sebagai Bank Perkreditan Rakyat;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf
d, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai pemenuhan ketentuan Bank
Perkreditan Rakyat dan transformasi Badan Kredit
Desa yang diberikan status sebagai Bank Perkreditan
Rakyat.
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3502);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5253);
- 3 -
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394);
5. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5495);
6. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 351, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5629).
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEMENUHAN KETENTUAN BANK PERKREDITAN RAKYAT
DAN TRANSFORMASI BADAN KREDIT DESA YANG
DIBERIKAN STATUS SEBAGAI BANK PERKREDITAN
RAKYAT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah lembaga yang independen yang
mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
- 4 -
2. Badan Kredit Desa yang selanjutnya disingkat BKD
adalah Bank Desa, Lumbung Desa, atau Badan Kredit
Desa yang telah mendapat izin usaha dari Menteri
Keuangan dan telah diberikan status sebagai Bank
Perkreditan Rakyat oleh Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998.
3. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat
BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998.
4. Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat
LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan
untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan
pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman
atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada
anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan,
maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan
usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.
5. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut
dengan nama lain selanjutnya disebut Desa adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional
yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun
- 5 -
2014 tentang Desa.
6. Badan Usaha Milik Desa yang selanjutnya disebut
BUMDesa adalah badan usaha yang seluruh atau
sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui
penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset,
jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-
besarnya kesejahteraan masyarakat Desa
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2014 tentang Desa.
7. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam
antara BKD dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan pemberian bunga.
8. Nasabah Debitur adalah nasabah yang memperoleh
fasilitas kredit atau yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan perjanjian antara BKD dengan nasabah
yang bersangkutan.
9. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh
masyarakat kepada BKD berdasarkan perjanjian
penyimpanan dana dalam bentuk tabungan.
10. Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang
menempatkan dana di BKD dalam bentuk tabungan
berdasarkan perjanjian antara BKD dengan nasabah
yang bersangkutan.
11. Penyatuan BKD adalah:
a. proses penggabungan 1 (satu) BKD atau lebih ke
dalam BPR milik Pemerintah Daerah, yang
mengakibatkan beralihnya aset dan kewajiban
BKD dengan membubarkan BKD yang
melakukan penggabungan; atau
b. proses peleburan 2 (dua) BKD atau lebih menjadi
1 (satu) BPR,
tanpa proses pemberesan.
- 6 -
12. Pengalihan BKD adalah pengambilalihan aset dan
kewajiban 1 (satu) BKD atau lebih oleh Pemerintah
Daerah yang belum memiliki BPR, diikuti dengan
pembubaran BKD yang diambil alih tanpa proses
pemberesan dan dilanjutkan dengan pendirian BPR
baru.
13. Pemberesan BKD adalah penyelesaian hak dan
kewajiban BKD yang dicabut izin usahanya, oleh Tim
Pemberesan.
14. Tim Pemberesan adalah tim yang dibentuk pemilik
BKD untuk melakukan Pemberesan BKD.
15. Direksi:
a. bagi BPR berbadan hukum Perseroan Terbatas
adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbadan hukum Perusahaan Umum
Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah
adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015;
c. bagi BPR berbadan hukum Koperasi adalah
pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
16. Dewan Komisaris:
a. bagi BPR berbadan hukum Perseroan Terbatas
adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbadan hukum Perusahaan Umum
Daerah adalah dewan pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
- 7 -
sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015;
c. bagi BPR berbadan hukum Perusahaan Perseroan
Daerah adalah komisaris sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015;
d. bagi BPR berbadan hukum Koperasi adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
17. Pelaksana Operasional adalah karyawan BKD yang
diangkat oleh pemilik BKD dan bertugas untuk
melaksanakan kegiatan operasional BKD.
18. Dewan Pengawas adalah karyawan BKD yang diangkat
oleh pemilik BKD dan bertugas untuk mengawasi
pelaksanaan kegiatan operasional BKD.
19. Masa Transisi adalah jangka waktu bagi BKD untuk
memenuhi seluruh ketentuan BPR atau transformasi
BKD yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2019.
BAB II
PEMENUHAN KETENTUAN BPR
Pasal 2
(1) BKD wajib memenuhi ketentuan BPR mencakup
antara lain kelembagaan, prinsip kehati-hatian,
pelaporan dan transparansi keuangan, serta
penerapan standar akuntansi bagi BPR paling lambat
tanggal 31 Desember 2019.
(2) Ketentuan kelembagaan BPR sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi antara lain:
a. bentuk badan hukum BPR berupa Perseroan
Terbatas, Koperasi, Perusahaan Umum Daerah
atau Perusahaan Perseroan Daerah; dan
b. kewajiban BPR untuk memiliki anggota Direksi
- 8 -
dan anggota Dewan Komisaris,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Ketentuan prinsip kehati-hatian BPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain:
a. penerapan tata kelola;
b. penerapan manajemen risiko;
c. pemenuhan kewajiban penyediaan modal
minimum dan pemenuhan modal inti;
d. kualitas aset produktif; dan
e. penerapan batas maksimum pemberian kredit.
(4) Ketentuan pelaporan dan transparansi keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi antara
lain penyusunan dan penyampaian:
a. laporan bulanan;
b. laporan rencana kerja dan realisasi rencana
kerja;
c. laporan pelaksanaan pengawasan oleh Dewan
Komisaris;
d. laporan keuangan publikasi; dan
e. laporan keuangan tahunan.
Pasal 3
(1) Dalam rangka memenuhi seluruh ketentuan BPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, BKD wajib
menyampaikan rencana tindak (action plan) kepada
OJK paling lambat tanggal 31 Desember 2016.
(2) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat paling sedikit rencana:
a. pembentukan badan hukum Perseroan Terbatas,
Koperasi, Perusahaan Umum Daerah atau
Perusahaan Perseroan Daerah;
b. pengangkatan anggota Direksi dan anggota
Dewan Komisaris;
c. pemenuhan modal inti BPR;
d. pemenuhan infrastruktur termasuk teknologi
- 9 -
informasi untuk mendukung kegiatan operasional
dan pelaporan; dan
e. hari kerja operasional.
(3) Dalam hal OJK memandang perlu, OJK dapat
meminta BKD untuk melakukan revisi terhadap
rencana tindak yang disampaikan BKD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) BKD wajib menyampaikan revisi rencana tindak
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lambat 30
(tiga puluh) hari setelah OJK menyampaikan
permintaan revisi rencana tindak.
(5) Batas waktu realisasi seluruh rencana tindak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pada
ayat (4) paling lambat tanggal 31 Desember 2019.
(6) BKD wajib melaksanakan rencana tindak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pada
ayat (4) dan melaporkan perkembangan realisasi
rencana tindak kepada OJK setiap 6 (enam) bulan
sekali untuk periode yang berakhir pada tanggal 30
Juni dan 31 Desember.
(7) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) dilakukan paling lambat pada akhir bulan
berikutnya.
(8) Laporan perkembangan realisasi rencana tindak
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan untuk
pertama kali paling lambat pada tanggal 31 Juli 2017.
(9) BKD atas inisiatif sendiri hanya dapat 1 (satu) kali
merevisi rencana tindak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan disampaikan kepada OJK paling lambat
tanggal 31 Desember 2017.
(10) Laporan perkembangan realisasi rencana tindak
sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dilakukan untuk
pertama kali paling lambat pada tanggal 31 Juli 2018.
- 10 -
Pasal 4
(1) Dalam rangka melaksanakan rencana tindak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf
a, BKD harus membentuk badan hukum sesuai
ketentuan yang mengatur kelembagaan BPR dan
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
(2) Dalam rangka melaksanakan rencana tindak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf
b, BKD harus mengangkat anggota Direksi dan
anggota Dewan Komisaris sesuai ketentuan yang
mengatur kelembagaan BPR dan ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
(3) Dalam rangka melaksanakan rencana tindak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c,
BKD harus memenuhi modal inti minimum BPR
sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah)
dengan ketentuan:
a. BKD dengan modal inti kurang dari
Rp3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah) wajib
memenuhi modal inti minimum sebesar
Rp3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah) paling
lambat pada tanggal 31 Desember 2019.
b. BKD sebagaimana dimaksud pada huruf a wajib
memenuhi modal inti minimum sebesar
Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah) paling
lambat pada tanggal 31 Desember 2024.
c. BKD dengan modal inti paling sedikit sebesar
Rp3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah) namun
kurang dari Rp6.000.000.000,00 (enam milyar
rupiah), wajib memenuhi modal inti minimum
sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam milyar
rupiah) paling lambat pada tanggal 31 Desember
2019.
- 11 -
Pasal 5
(1) Dalam rangka memenuhi ketentuan BPR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2:
a. 1 (satu) BKD atau lebih dapat melakukan
Penyatuan BKD melalui proses penggabungan
BKD.
b. 2 (dua) BKD atau lebih dapat melakukan
Penyatuan BKD melalui proses peleburan BKD.
(2) Penyatuan BKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b harus melibatkan Pemerintah Daerah.
(3) Penyatuan BKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari
OJK.
(4) Hak dan kewajiban yang timbul setelah Penyatuan
BKD menjadi tanggung jawab BPR hasil Penyatuan
BKD.
Pasal 6
(1) Untuk memperoleh persetujuan Penyatuan BKD
melalui proses penggabungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, Ketua Pelaksana
Operasional dari BKD atau salah satu BKD yang
melakukan Penyatuan BKD harus mengajukan
permohonan kepada OJK sesuai dengan format yang
akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan.
(2) Untuk memperoleh persetujuan Penyatuan BKD
melalui proses peleburan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, Ketua Pelaksana
Operasional dari salah satu BKD yang melakukan
Penyatuan BKD harus mengajukan permohonan
kepada OJK sesuai dengan format yang akan diatur
lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) harus dilampiri dengan:
- 12 -
a. rancangan Penyatuan BKD yang memuat paling
sedikit:
1. nama dan tempat kedudukan BKD yang
melakukan Penyatuan BKD;
2. nama dan tempat kedudukan BPR hasil
Penyatuan BKD; dan
3. nama pemegang saham atau pemilik, calon
anggota Direksi dan anggota Dewan
Komisaris hasil Penyatuan BKD;
b. persetujuan para pemilik BKD yang melakukan
Penyatuan BKD sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
c. rancangan neraca dan laporan laba rugi setelah
Penyatuan BKD sesuai dengan format yang akan
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan.
(4) OJK memberikan persetujuan atau penolakan secara
tertulis atas permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara
lengkap.
Pasal 7
(1) BPR hasil Penyatuan BKD wajib melaporkan
pelaksanaan Penyatuan BKD kepada OJK dengan
dilampiri dokumen paling sedikit:
a. fotokopi anggaran dasar BPR hasil Penyatuan
BKD yang telah disahkan oleh instansi yang
berwenang;
b. susunan organisasi dan kepengurusan BPR hasil
Penyatuan BKD, data Direksi dan Dewan
Komisaris serta data pemegang saham atau
pemilik BPR hasil Penyatuan BKD;
c. laporan neraca dan laba rugi BPR hasil
Penyatuan BKD; dan
d. alamat lengkap BPR hasil Penyatuan BKD.
- 13 -
(2) Laporan pelaksanaan Penyatuan BKD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling
lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal
diterimanya pengesahan anggaran dasar dari instansi
yang berwenang.
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1):
a. OJK mencabut izin usaha BKD yang melakukan
Penyatuan BKD melalui proses penggabungan
BKD; atau
b. OJK mencabut izin usaha BKD dan menerbitkan
izin usaha BPR yang baru hasil Penyatuan BKD
melalui proses peleburan BKD.
(4) Laporan pelaksanaan Penyatuan BKD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengacu pada format yang
akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 8
(1) Pemerintah Daerah dapat mengajukan rencana
Pengalihan BKD sesuai dengan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pengajuan rencana Pengalihan BKD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan:
a. rancangan Pengalihan BKD yang memuat paling
sedikit:
1) nama dan tempat kedudukan Pemerintah
Daerah yang akan mengambil alih BKD;
2) jumlah dan nilai nominal aset dan kewajiban
yang akan diambil alih beserta komposisi
pemegang saham atau pemilik setelah
dilakukan Pengalihan BKD; dan
3) rencana status kantor-kantor BKD hasil
Pengalihan BKD;
- 14 -
b. persetujuan para pemilik BKD yang melakukan
Pengalihan BKD sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c. rancangan neraca dan laporan laba rugi setelah
Pengalihan BKD; dan
d. rancangan pengumuman Pengalihan BKD.
(3) OJK memberikan persetujuan atau penolakan secara
tertulis atas rencana Pengalihan BKD sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling
lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak pengajuan
rencana Pengalihan BKD diterima secara lengkap.
(4) Dalam hal rencana Pengalihan BKD disetujui oleh
OJK, Pemerintah Daerah melaksanakan proses
Pengalihan BKD dilanjutkan dengan pengajuan
permohonan izin usaha BPR yang dilampiri dengan
bukti pemenuhan modal inti minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan:
a. akta pendirian badan hukum yang memuat
anggaran dasar badan hukum yang telah
disahkan oleh instansi yang berwenang;
b. Peraturan Daerah mengenai pendirian BPR;
c. bukti kesiapan operasional;
d. data kepemilikan berupa daftar pemegang saham
berikut rincian besarnya masing-masing
kepemilikan saham;
e. calon anggota Direksi dan Dewan Komisaris;
f. susunan organisasi serta sistem dan prosedur
kerja, termasuk susunan personalia; dan
g. surat keputusan Kepala Daerah yang
menyatakan bahwa sumber dana setoran modal
telah dianggarkan dalam APBD dan telah
disahkan oleh DPRD setempat,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai
kelembagaan BPR.
(5) Pengajuan rencana Pengalihan BKD sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mengacu pada format yang
- 15 -
akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan.
(6) OJK memberikan persetujuan atau penolakan secara
tertulis atas permohonan izin usaha BPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dalam jangka waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan
diterima secara lengkap.
(7) Dalam persetujuan permohonan izin usaha BPR
sebagaimana dimaksud pada ayat (6), diikuti
pencabutan izin usaha BKD yang diambil alih.
Pasal 9
Dalam hal BKD tidak dapat memenuhi ketentuan BPR
setelah batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1), OJK mencabut izin usaha BKD.
Pasal 10
(1) BKD yang berdasarkan pertimbangannya tidak dapat
memenuhi ketentuan BPR dapat memilih untuk
mengubah:
a. kegiatan usaha menjadi LKM; atau
b. badan usaha menjadi BUMDesa atau unit usaha
BUMDesa.
(2) BKD yang memilih untuk mengubah kegiatan usaha
atau badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib menyampaikan rencana tindak kepada OJK
paling lambat tanggal 31 Desember 2016.
(3) Dalam hal BKD memilih mengubah kegiatan usahanya
menjadi LKM, rencana tindak sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) memuat paling sedikit:
a. pilihan kegiatan usaha atau badan usaha;
b. pembentukan badan hukum yang sesuai dengan
kegiatan usaha;
c. pengangkatan pengurus;
d. pengajuan permohonan izin usaha sebagai LKM,
dalam hal BKD memilih untuk menjadi LKM; dan
- 16 -
e. pengajuan permohonan pencabutan izin usaha
sebagai BPR.
(4) Dalam hal BKD memilih mengubah badan usahanya
menjadi BUMDesa atau unit usaha BUMDesa,
rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
memuat paling sedikit rencana pendirian BUMDesa
atau unit usaha BUMDesa sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(5) Perubahan kegiatan usaha atau badan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
oleh BKD paling lambat pada tanggal 31 Desember
2019.
(6) Dalam hal OJK memandang perlu, OJK dapat
meminta BKD untuk melakukan revisi terhadap
rencana tindak yang disampaikan BKD sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(7) BKD atas inisiatif sendiri hanya dapat 1 (satu) kali
merevisi rencana tindak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan disampaikan kepada OJK paling lambat
tanggal 31 Desember 2017.
(8) BKD wajib melaksanakan rencana tindak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau ayat
(6) dan (7) paling lambat tanggal 31 Desember 2019.
Pasal 11
(1) BKD wajib menyampaikan laporan perkembangan
realisasi rencana tindak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (2) kepada OJK setiap 6 (enam)
bulan sekali untuk periode yang berakhir pada tanggal
30 Juni dan 31 Desember.
(2) Laporan perkembangan realisasi rencana tindak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2)
dilakukan untuk pertama kali paling lambat pada
tanggal 31 Juli 2017.
(3) Laporan perkembangan realisasi rencana tindak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (7)
- 17 -
dilakukan untuk pertama kali paling lambat pada
tanggal 31 Juli 2018.
Pasal 12
(1) BKD wajib menyampaikan kepada OJK:
a. informasi mengenai keaktifan BKD disertai bukti-
buktinya; dan
b. laporan keuangan BKD secara triwulanan selama
1 (satu) tahun untuk periode yang berakhir pada
tanggal 31 Maret 2016, 30 Juni 2016, 30
September 2016, dan 31 Desember 2016,
paling lambat 1 (satu) tahun setelah berlakunya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) BKD yang tidak menyampaikan informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dinyatakan sebagai BKD yang tidak aktif beroperasi.
(3) OJK mencabut izin usaha BKD yang dinyatakan
sebagai BKD yang tidak aktif beroperasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Pencabutan izin bagi BKD sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan tanpa proses pemberesan.
(5) Dalam hal terdapat hak dan kewajiban BKD yang
dicabut izin usahanya sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), hak dan kewajiban BKD menjadi tanggung
jawab pemilik BKD.
Pasal 13
(1) BKD yang memilih untuk menjadi BUMDesa atau unit
usaha BUMDesa wajib mengajukan permohonan
pencabutan izin usaha sebagai BPR kepada OJK.
(2) Dalam hal permohonan pencabutan izin usaha
sebagai BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disetujui, OJK mencabut izin usaha BKD dan segala
hak dan kewajiban BKD beralih kepada BUMDesa
atau unit usaha BUMDesa.
- 18 -
(3) Dalam hal OJK telah mencabut izin usaha BKD
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) namun
BUMDesa atau unit usaha BUMDesa belum
terbentuk, segala hak dan kewajiban BKD menjadi
tanggung jawab pemilik BKD.
(4) BKD yang memilih menjadi LKM, wajib mengajukan
permohonan pencabutan izin usaha sebagai BPR
kepada OJK bersamaan dengan
permohonan izin kegiatan usaha sebagai LKM.
pengajuan
(5) Dalam hal OJK menyetujui permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4):
a. OJK mencabut izin usaha BKD;
b. OJK memberikan izin kegiatan usaha sebagai
LKM; dan
c. segala hak dan kewajiban BKD beralih kepada
LKM.
Pasal 14
BKD yang tidak dapat memenuhi ketentuan BPR atau
tidak dapat melaksanakan rencana tindak paling lambat
tanggal 31 Desember 2019 sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dan Pasal 10 ayat (8), dicabut izin usahanya oleh
OJK dan diikuti dengan Pemberesan BKD.
Pasal 15
(1) BKD dapat mengajukan permohonan pencabutan izin
usaha kepada OJK atas inisiatif BKD.
(2) Dalam hal permohonan pencabutan izin usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, OJK
mencabut izin usaha BKD dan diikuti dengan
Pemberesan BKD.
Pasal 16
(1) BKD yang telah dicabut izin usahanya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15 ayat (2),
disebut sebagai “BKD Dalam Pemberesan” dan
- 19 -
mencantumkan frasa “(Dalam Pemberesan)” setelah
penulisan nama BKD.
(2) Sejak tanggal pencabutan izin usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 14, dan Pasal 15 ayat
(2), BKD tidak diperbolehkan melakukan perbuatan
hukum berkaitan dengan aset BKD, kecuali untuk:
a. pembayaran gaji karyawan, Pelaksana
Operasional, dan Dewan Pengawas yang belum
dibayarkan;
b. pembayaran biaya kantor;
c. pembayaran kewajiban BKD kepada Nasabah
Penyimpan dan/atau pihak ketiga; dan/atau
d. hal-hal lain atas persetujuan OJK.
(3) BKD yang telah dicabut izin usahanya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 14, dan Pasal 15 ayat
(2) juga tidak diperbolehkan melakukan pembayaran
gaji kepada Dewan Pengawas Ex-Officio Kepala Desa.
Pasal 17
(1) BKD yang dicabut
izin usahanya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 14, dan Pasal 15 ayat
(2) membentuk Tim Pemberesan paling lambat 3 (tiga)
bulan sejak tanggal pencabutan izin usaha.
(2) Apabila Tim Pemberesan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak dapat terbentuk, Pemberesan BKD
menjadi tanggung jawab pemilik BKD.
Pasal 18
(1) Pelaksanaan Pemberesan BKD dilakukan oleh Tim
Pemberesan.
(2) Dengan terbentuknya Tim Pemberesan, wewenang dan
tanggung jawab pengurusan BKD Dalam Pemberesan
menjadi wewenang dan tanggung jawab Tim
Pemberesan.
(3) Dalam melaksanakan wewenang dan tanggung
jawabnya, Tim Pemberesan mewakili BKD Dalam
- 20 -
Pemberesan.
(4) Sejak terbentuknya Tim Pemberesan, Pelaksana
Operasional dan Dewan Pengawas BKD menjadi non
aktif, dan berkewajiban untuk setiap saat membantu
memberikan data dan informasi yang diperlukan oleh
Tim Pemberesan.
Pasal 19
(1) Pelaksanaan Pemberesan BKD diselesaikan dalam
jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung
sejak tanggal Tim Pemberesan dibentuk.
(2) Dalam hal Pemberesan BKD tidak dapat diselesaikan
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pemberesan BKD ditetapkan menjadi tanggung
jawab pemilik BKD.
Pasal 20
(1) Dalam melaksanakan wewenang dan tanggung
jawabnya Tim Pemberesan tidak diperbolehkan
memperoleh keuntungan untuk diri sendiri.
(2) Tim Pemberesan bertanggung jawab secara pribadi
apabila dalam melaksanakan tugasnya melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 21
Pemberesan BKD dilakukan dengan cara:
a. pencairan harta BKD;
b. penagihan piutang kepada para Nasabah Debitur
BKD; dan/atau
c. pembayaran kewajiban BKD kepada penyimpan dana
dan/atau kreditur lainnya dari hasil pencairan
dan/atau penagihan tersebut.
Pasal 22
Segala biaya yang berkaitan dengan Pemberesan BKD dan
tercantum dalam Daftar Biaya Pemberesan menjadi beban
- 21 -
harta kekayaan BKD Dalam Pemberesan dan dikeluarkan
terlebih dahulu dari setiap hasil pencairan yang
bersangkutan.
Pasal 23
(1) Tim Pemberesan menyusun neraca akhir Pemberesan
BKD untuk dilaporkan kepada pemilik BKD paling
lambat 1 (satu) bulan setelah pelaksanaan
pemberesan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1).
(2) Dalam hal neraca akhir Pemberesan BKD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah disetujui
pemilik BKD dan pemilik telah menerima
pertanggungjawaban Tim Pemberesan, pemilik BKD
membubarkan Tim Pemberesan.
(3) Neraca
akhir Pemberesan BKD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) juga dilaporkan kepada OJK.
(4) Dalam hal neraca akhir Pemberesan BKD tidak dapat
diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam)
bulan terhitung sejak tanggal Tim Pemberesan
dibentuk, seluruh hak dan kewajiban BKD ditetapkan
menjadi tanggung jawab pemilik BKD.
BAB III
PENGATURAN BKD DALAM MASA TRANSISI
Bagian Kesatu
Permodalan
Pasal 24
(1) Selama Masa Transisi, BKD dapat memperoleh
tambahan modal dari:
a. penyertaan oleh Desa yang berasal dari kekayaan
Desa yang dipisahkan;
b. sumbangan penduduk Desa; dan/atau
c. sumber-sumber lain yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
- 22 -
(2) Tambahan modal BKD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas
pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank
dan/atau pihak lain; dan/atau
b. tidak berasal dari dan untuk pencucian uang.
Bagian Kedua
Kepengurusan
Pasal 25
(1) Selama Masa Transisi, pengurus BKD terdiri dari
Pelaksana Operasional dan Dewan Pengawas.
(2) BKD wajib membentuk struktur organisasi BKD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang terpisah
dari struktur organisasi Pemerintahan Desa.
(3) BKD wajib melaporkan susunan pengurus dan
struktur organisasi BKD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) kepada OJK paling lambat tanggal
31 Desember 2016 disertai dengan fotokopi kartu
identitas pengurus.
(4) BKD wajib melaporkan setiap perubahan susunan
pengurus BKD paling lambat 30 (tiga puluh) hari
setelah tanggal berlakunya perubahan kepengurusan
disertai dengan fotokopi dokumen pengangkatan,
pemberhentian, dan/atau perubahan kepengurusan
dan fotokopi kartu identitas pengurus yang baru.
(5) Pelaksana Operasional dan Dewan Pengawas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan
diberhentikan oleh pemilik BKD.
Pasal 26
(1) Kegiatan operasional, pengelolaan keuangan, dan
segala perbuatan hukum BKD dijalankan oleh
Pelaksana Operasional.
(2) Pelaksana Operasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib berjumlah paling sedikit 2 (dua) orang,
- 23 -
dimana salah satunya menjabat sebagai Ketua
Pelaksana Operasional.
(3) Ketua Pelaksana Operasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditunjuk oleh pemilik BKD dengan
mengacu pada ketentuan yang berlaku.
(4) Pelaksana Operasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) bertindak untuk dan atas nama BKD baik di
dalam maupun di luar pengadilan.
Pasal 27
(1) Pelaksana Operasional memiliki tugas dan tanggung
jawab paling sedikit untuk:
a. menjalankan kegiatan usaha BKD termasuk
menyusun dan melaksanakan rencana tindak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
dan Pasal 10 ayat (2);
b. menjaga dan memelihara segala aset BKD;
c. membuat rencana kerja tahunan BKD;
d. melakukan pembukuan terhadap segala aktivitas
transaksi BKD;
e. membuat laporan keuangan BKD;
f. bersama dengan Dewan Pengawas menyelesaikan
setiap permasalahan dan kecurangan yang terjadi
di BKD;
g. memberikan perlindungan bagi Nasabah
Penyimpan BKD;
h. menanggung segala kerugian BKD yang
sepatutnya dapat dicegah oleh Pelaksana
Operasional atau kerugian yang diakibatkan
karena Pelaksana Operasional melanggar
ketentuan peraturan
perundang-undangan
termasuk ketentuan dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini;
i. mencegah terjadinya kecurangan dalam BKD; dan
j.
menyampaikan laporan keuangan BKD kepada
- 24 -
pemilik BKD paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1
(satu) tahun.
(2) Pelaksana Operasional memiliki kewenangan paling
sedikit untuk:
a. memberikan persetujuan atau penolakan
pemberian kredit bagi penduduk Desa setempat;
b. memberikan perpanjangan waktu jatuh tempo
bagi Nasabah Debitur yang mengajukan
permohonan perpanjangan waktu jatuh tempo;
c. menetapkan besarnya tingkat suku bunga Kredit
dan Simpanan;
d. memberikan persetujuan untuk menarik
Simpanan; dan
e. mengangkat dan memberhentikan karyawan
BKD.
Pasal 28
(1) BKD wajib memiliki Dewan Pengawas yang berjumlah
paling sedikit 2 (dua) orang dan paling banyak sama
dengan jumlah Pelaksana Operasional.
(2) Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri dari:
a. Ex-Officio Kepala Desa; dan/atau
b. pihak lain yang diangkat dan diberhentikan oleh
pemilik BKD.
Pasal 29
(1) Dewan Pengawas memiliki tugas dan tanggung jawab
paling sedikit untuk:
a. memberikan arahan kepada Pelaksana
Operasional dalam melaksanakan pengurusan
BKD;
b. memberikan saran dan pendapat mengenai
masalah yang dianggap penting bagi pengurusan
BKD;
c. mengadakan rapat Dewan Pengawas untuk
- 25 -
mengevaluasi kinerja Pelaksana Operasional
paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan;
d. melakukan pengawasan terhadap kinerja
Pelaksana Operasional untuk mencegah
terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan
operasional BKD;
e. menyelesaikan setiap permasalahan dan
kecurangan yang terjadi di BKD; dan
f. menanggung segala kerugian BKD yang
sepatutnya dapat dicegah oleh Dewan Pengawas
atau kerugian yang diakibatkan karena Dewan
Pengawas melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan termasuk ketentuan dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Dewan Pengawas memiliki kewenangan paling sedikit
untuk:
a. menyelenggarakan rapat Dewan Pengawas untuk
mengevaluasi kinerja BKD;
b. memeriksa pembukuan BKD;
c. melakukan pemeriksaan langsung terhadap
operasional BKD;
d. meminta Pelaksana Operasional untuk
menyampaikan laporan keuangan BKD; dan
e. meminta Pelaksana Operasional untuk
merencanakan dan melaksanakan program
pengembangan dan transformasi BKD.
Pasal 30
Upah bagi Pelaksana Operasional dan Dewan Pengawas
ditetapkan melalui rapat pemilik BKD yang disesuaikan
dengan kemampuan masing-masing BKD.
Pasal 31
(1) Persyaratan untuk dapat diangkat sebagai Pelaksana
Operasional dan Dewan Pengawas meliputi:
a. memiliki integritas yang baik;
- 26 -
b. memiliki pengetahuan dalam hal penghimpunan
dan penyaluran dana; dan
c. cakap melakukan perbuatan hukum.
(2) BKD harus memiliki paling sedikit 1 (satu) orang
Pelaksana Operasional yang berpengalaman dalam
menangani operasional BKD.
Pasal 32
Pelaksana Operasional dapat dibantu oleh karyawan sesuai
dengan kebutuhan dan harus disertai dengan uraian tugas
terkait dengan tanggung jawab, pembagian peran, dan
pembagian kerja lainnya.
Pasal 33
Pelaksana Operasional dan/atau Dewan Pengawas dapat
diberhentikan dengan alasan:
a. meninggal dunia;
b. telah selesai masa tugas sebagaimana diatur dalam
dokumen pengangkatan sebagai Pelaksana
Operasional atau Dewan Pengawas;
c. mengundurkan diri;
d. tidak melaksanakan tugas dengan baik yang dapat
menghambat kinerja BKD; dan/atau
e. melakukan tindakan-tindakan penyimpangan yang
merugikan keuangan BKD.
Pasal 34
(1) Pelaksana Operasional diperkenankan merangkap
jabatan sebagai Pelaksana Operasional di BKD lain
sepanjang tidak mengganggu tugas dan tanggung
jawab sebagai Pelaksana Operasional di masing-
masing BKD dan telah mendapatkan persetujuan dari
pemilik BKD yang bersangkutan.
(2) Dalam hal Pelaksana Operasional BKD merupakan
perangkat Desa dimana BKD berkedudukan,
Pelaksana Operasional dimaksud tidak dapat
- 27 -
merangkap sebagai Pelaksana Operasional di BKD
lain.
(3) Pelaksana Operasional BKD dilarang merangkap
jabatan sebagai Dewan Pengawas.
Pasal 35
(1) Dewan Pengawas diperkenankan merangkap jabatan
sebagai Dewan Pengawas di BKD lain sepanjang tidak
mengganggu tugas dan tanggung jawab sebagai
Dewan Pengawas di masing-masing BKD dan telah
mendapatkan persetujuan dari pemilik BKD yang
bersangkutan.
(2) Dewan Pengawas tidak dapat merangkap jabatan
sebagai Pelaksana Operasional.
(3) Dewan Pengawas Ex-Officio Kepala Desa tidak dapat
merangkap jabatan sebagai Dewan Pengawas di BKD
lain.
Bagian Ketiga
Laporan
Pasal 36
(1) BKD wajib menyampaikan laporan keuangan secara
berkala kepada OJK setiap 3 (tiga) bulan untuk
periode yang berakhir pada tanggal 31 Maret, 30 Juni,
30 September, dan 31 Desember.
(2) Penyampaian laporan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 1
(satu) bulan setelah berakhirnya bulan laporan.
(3) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan
keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh
pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan
adalah hari kerja berikutnya.
Pasal 37
(1) Dalam rangka menerapkan prinsip keterbukaan, BKD
wajib mengumumkan laporan keuangan untuk setiap
- 28 -
periode akhir tahun pada papan pengumuman yang
mudah diketahui oleh masyarakat di kantor BKD
dan/atau kantor Desa tempat BKD berkedudukan.
(2) Pengumuman laporan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat
tanggal 1 Februari tahun berikutnya.
Pasal 38
Ketentuan pelaksanaan mengenai laporan keuangan BKD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dan Pasal
37 diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Keempat
Pengawasan
Pasal 39
(1) Pengawasan BKD dilakukan oleh OJK.
(2) Dalam rangka melakukan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) OJK berwenang melakukan
pemeriksaan terhadap BKD.
(3) Dalam melakukan pengawasan, OJK dapat melakukan
koordinasi dengan instansi terkait antara lain
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Transmigrasi dan Kementerian Dalam Negeri.
Pasal 40
Dalam rangka pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39 ayat (2), BKD wajib memberikan:
a. keterangan dan data yang diminta;
b. kesempatan untuk melihat semua pembukuan,
dokumen, dan sarana fisik yang berkaitan dengan
kegiatan usahanya; dan
c. hal-hal lain yang diperlukan.
Pasal 41
(1) OJK dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas
nama OJK melaksanakan pemeriksaan sebagaimana
- 29 -
dimaksud dalam Pasal 39.
(2) Pihak lain yang melaksanakan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
merahasiakan keterangan dan data yang diperoleh.
(3) Pihak lain yang ditugaskan untuk melaksanakan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi persyaratan paling sedikit:
a. bersedia untuk melaksanakan pemeriksaan BKD
sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini; dan
b. mempunyai pengetahuan dan pemahaman
tentang operasional BKD.
(4) Pemeriksaan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan sendiri atau bersama-
sama dengan pemeriksa dari OJK.
(5) Pengaturan mengenai penugasan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 42
(1) Pihak lain yang melaksanakan pemeriksaan BKD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1), wajib
melaporkan hasil pemeriksaan BKD kepada OJK
paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah
seluruh pemeriksaan selesai dilaksanakan.
(2) OJK melakukan evaluasi atas
pelaksanaan
pemeriksaan BKD yang telah dilakukan oleh pihak
lain yang ditugaskan.
BAB IV
SANKSI
Pasal 43
(1) BKD yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 3
ayat (1), Pasal 3 ayat (4), Pasal 3 ayat (6), Pasal 10 ayat
(2), Pasal 10 ayat (5), dan/atau Pasal 10 ayat (8),
dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan
- 30 -
izin usaha setelah diberikan 3 (tiga) kali peringatan
tertulis.
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan dengan rentang waktu 1 (satu) bulan
untuk setiap peringatan tertulis.
Pasal 44
(1) BKD yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 40
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dikenakan
sanksi administratif berupa peringatan tertulis.
(2) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diberikan 3 (tiga) kali dengan masa
berlaku masing-masing 15 (lima belas) hari kerja.
(3) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan
BKD tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pemilik BKD wajib
melakukan penggantian Pelaksana Operasional
dan/atau Dewan Pengawas dalam jangka waktu
paling lambat 3 (tiga) bulan sejak pemberitahuan dari
OJK.
(4) BKD yang tidak memenuhi ketentuan pada ayat (3)
dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis.
(5) Sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), diberikan 3 (tiga) kali dengan masa berlaku
masing-masing 15 (lima belas) hari kerja.
(6) BKD yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5)
dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan
izin usaha.
Pasal 45
(1) BKD yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 3
ayat (7), Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (2), Pasal 11 ayat
(1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 25 ayat
- 31 -
(4), dan/atau Pasal 36 ayat (1), Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini, dikenakan sanksi kewajiban
membayar berupa denda.
(2) Pengenaan sanksi kewajiban membayar berupa denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan
sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) untuk
setiap hari keterlambatan dan paling banyak
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
(3) Dalam rangka pengenaan sanksi kewajiban membayar
berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
tanggal penyampaian laporan adalah:
a. tanggal penerimaan oleh OJK atau pihak lain
yang ditunjuk oleh OJK, apabila laporan
diserahkan langsung; atau
b. tanggal pengiriman dalam tanda bukti
pengiriman melalui kantor pos atau perusahaan
jasa pengiriman/titipan, apabila laporan tidak
diserahkan secara langsung.
(4) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
disetor ke rekening OJK.
(5) Dalam hal BKD belum membayar denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), denda tersebut dinyatakan
sebagai utang BKD kepada OJK dan harus
dicantumkan dalam laporan keuangan BKD yang
bersangkutan.
Pasal 46
BKD yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 25 ayat
(2), Pasal 26 ayat (2), Pasal 28 ayat (1), dan/atau Pasal 37
ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis.
Pasal 47
Pihak lain yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 41
ayat (2) dan/atau Pasal 42 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini, dikenakan sanksi sesuai dengan perjanjian
kerjasama.
- 32 -
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 48
BKD yang sudah berbadan hukum sebelum Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku, namun tidak sesuai
dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan/atau
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, harus
menyesuaikan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan
paling lambat tanggal 31 Desember 2019.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 50
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/27/PBI/2004
tanggal 13 Desember 2004 tentang Pelaksanaan
Pengawasan Badan Kredit Desa (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 161, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
4460) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
Pasal 51
Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia dan Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia mengenai BPR beserta
peraturan pelaksanaannya yang mengatur pengecualian
BKD dari peraturan perundang-undangan dimaksud
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 31
Desember 2019.
- 33 -
Pasal 52
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Januari 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 2 Februari 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 24
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 10 /POJK.03/2016
TENTANG
PEMENUHAN KETENTUAN BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN
TRANSFORMASI BADAN KREDIT DESA YANG DIBERIKAN STATUS
SEBAGAI BANK PERKREDITAN RAKYAT
I. UMUM
Dalam rangka menciptakan sistem keuangan inklusif yang kuat
dan tangguh, diperlukan lembaga keuangan yang mampu melayani
masyarakat hingga lapisan masyarakat di pedesaan. Badan Kredit
Desa sebagai salah satu jenis lembaga keuangan di Desa yang masih
ada hingga saat ini memiliki peran yang sangat penting dalam
membantu perekonomian masyarakat Desa. Peran penting dari Badan
Kredit Desa tersebut perlu diperkuat melalui penataan kelembagaan
dan pengawasan dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 menyatakan bahwa Bank Desa, Lumbung Desa, Bank
Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari (LPN), Lembaga
Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit
Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga
Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD),
dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu
diberikan status sebagai BPR dengan memenuhi persyaratan tata cara
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Selanjutnya dalam
Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 tentang
Bank Perkreditan Rakyat menyatakan bahwa Bank Desa, Lumbung
- 2 -
Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, LPN, LPD, BKD, BKK, KURK,
LPK, BKPD, dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan
dengan itu, yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan,
dinyatakan menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Dengan demikian,
saat ini terdapat BKD dengan izin usaha dari Menteri Keuangan yang
diberikan status sebagai BPR. Namun dengan karakteristik operasional
BKD yang unik dan tidak sama dengan BPR pada umumnya, BKD yang
diberikan status sebagai BPR dikecualikan dari setiap peraturan
perundang-undangan yang berlaku bagi BPR.
Dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, BKD
yang diberikan status sebagai BPR tidak akan dikecualikan dari setiap
ketentuan yang berlaku bagi BPR pada umumnya. Namun, demi
menjaga keberlangsungan operasional BKD yang memiliki peranan
penting bagi perekonomian masyarakat Desa, Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini memberikan pilihan sebagai jalan keluar bagi BKD yang
tidak mampu memenuhi seluruh ketentuan bagi BPR dengan
mengubah kegiatan usaha atau badan usahanya menjadi kegiatan
usaha atau badan usaha selain BPR, yaitu dengan bertransformasi
menjadi Lembaga Keuangan Mikro (LKM), menjadi Badan Usaha Milik
Desa (BUMDesa) atau unit usaha dari BUMDesa yang sudah ada di
Desa dimana BKD berkedudukan dan menjalankan kegiatan
operasionalnya.
Ruang lingkup Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini terbatas
pada BKD yang telah memperoleh izin dari Menteri Keuangan sehingga
diberikan status sebagai BPR oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud “hari kerja operasional” adalah BKD
beroperasi atau melaksanakan kegiatannya setiap hari
kerja.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat(5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 4 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “sesuai ketentuan yang mengatur
kelembagaan BPR” antara lain:
a. anggota Direksi berjumlah paling sedikit 2 (dua) orang
dan salah satunya menjabat sebagai Direktur Utama;
b. anggota Direksi wajib memiliki sertifikat kelulusan yang
masih berlaku yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi
profesi;
c. anggota Dewan Komisaris berjumlah paling sedikit 2 (dua)
orang dan paling banyak sama dengan jumlah anggota
Direksi, serta salah satu diantaranya menjabat sebagai
Komisaris Utama;
d. anggota Dewan Komisaris wajib memiliki sertifikat
kelulusan yang masih berlaku yang dikeluarkan oleh
lembaga sertifikasi profesi;
e. calon anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris wajib
memperoleh persetujuan dari OJK sebelum menjalankan
tugas dan fungsi dalam jabatannya; dan
f. calon anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris wajib
memenuhi persyaratan kompetensi, integritas, dan
reputasi keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan
mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper
test) BPR.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Pemerintah Daerah” adalah
Pemerintah Kabupaten/Kota atau Pemerintah Provinsi.
Yang dimaksud dengan “melibatkan Pemerintah Daerah”
antara lain Pemerintah Daerah melakukan penyertaan modal
pada BPR hasil penyatuan tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 5 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup Jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
BKD yang telah memilih untuk menjadi LKM atau BUMDesa,
tidak perlu membuat rencana tindak untuk memenuhi
ketentuan BPR.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
- 6 -
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “bukti-bukti” pada ayat ini
paling sedikit:
a. Bukti pembukuan;
b. Daftar Nasabah Debitur dan Nasabah Penyimpan;
dan
c. Foto atau dokumentasi kegiatan operasional selama
3 (tiga) bulan terakhir.
Huruf b
Laporan keuangan BKD terdiri dari neraca dan laporan
laba rugi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “BUMDesa atau unit usaha
BUMDesa” pada ayat ini adalah BUMDesa atau unit usaha
BUMDesa yang telah ada atau didirikan untuk
mengakomodasi transformasi BKD.
- 7 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Salah satu contoh perbuatan hukum yang dimaksud dalam
ayat ini adalah menerima Simpanan, memberikan Pinjaman
serta mengalihkan hak atas harta kekayaan BKD.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
BKD dalam hal ini diwakili oleh pemilik BKD.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 20
Ayat (1)
Salah satu bentuk melaksanakan wewenang dan tanggung
jawab dengan memperoleh keuntungan untuk diri sendiri
adalah membeli harta kekayaan BKD Dalam Pemberesan
untuk kepentingan sendiri, keluarganya, dan/atau
kelompoknya.
Dalam pengertian memperoleh keuntungan untuk diri
sendiri, termasuk juga apabila anggota Tim Pemberesan
melakukan transaksi yang di dalamnya terdapat benturan
kepentingan antara BKD Dalam Pemberesan dan anggota Tim
Pemberesan yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 9 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pengangkatan dan pemberhentian Pelaksana Operasional dan
Dewan Pengawas dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pelaksana Operasional atau Dewan Pengawas yang diangkat
oleh pemilik BKD dapat berasal dari Desa atau dari luar Desa
tempat BKD berkedudukan.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a.
Yang dimaksud “Ex-Officio" adalah jabatan seseorang pada
lembaga tertentu karena tugas dan kewenangannya pada
lembaga lain.
Huruf b.
Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak selain
Kepala Desa atau orang-perorangan yang tidak menjabat
sebagai Pelaksana Operasional BKD.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
- 10 -
Pasal 31
Ayat (1)
Penetapan Ex-Officio Kepala Desa sebagai Dewan Pengawas
didasarkan pada jabatannya. Dengan demikian persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak diberlakukan bagi
anggota Dewan Pengawas Ex-Officio Kepala Desa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
- 11 -
Pasal 41
Ayat (1)
Yang dimaksud “pihak lain” pada ayat ini antara lain:
a. akuntan pada kantor akuntan publik; atau
b. perseorangan yang memiliki kompetensi dalam
pemeriksaan BKD, BPR dan/atau Bank Umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
- 12 -
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5847
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 10/POJK.03/2016 </reg_id>
<reg_title> PEMENUHAN KETENTUAN BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN TRANSFORMASI BADAN KREDIT DESA YANG DIBERIKAN STATUS SEBAGAI BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title>
<set_date> 27 Januari 2016 </set_date>
<effective_date> 2 Februari 2016 </effective_date>
<issued_date> 2 Februari 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '6/27/PBI/2004' </replaced_reg>
<related_reg> '20/POJK.03/2014', '21/UU/2011', '25/UU/1992', '1/UU/2013', '6/UU/2014', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 15/POJK.04/2015
TENTANG
PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI PASAR MODAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung pengembangan Pasar
Modal berdasarkan prinsip syariah, diperlukan pedoman
Prinsip Syariah di Pasar Modal bagi pelaku sektor Pasar
Modal;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Prinsip
Syariah di Pasar Modal;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI PASAR MODAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Akad Syariah adalah perjanjian atau kontrak tertulis
antara para pihak yang memuat hak dan kewajiban
masing-masing pihak yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah di Pasar Modal.
2. Prinsip Syariah di Pasar Modal adalah prinsip hukum
Islam dalam Kegiatan Syariah di Pasar Modal
berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis
Ulama Indonesia, sepanjang fatwa dimaksud tidak
bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini dan/atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan lainnya
yang didasarkan pada fatwa Dewan Syariah Nasional -
Majelis Ulama Indonesia.
3. Efek Syariah adalah Efek sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Pasar Modal dan peraturan
pelaksanaannya yang:
a. akad, cara pengelolaan, kegiatan usaha;
b. aset yang menjadi landasan akad, cara pengelolaan,
kegiatan usaha; dan/atau
c.
aset yang terkait dengan Efek dimaksud dan
penerbitnya,
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar
Modal.
4. Kegiatan Syariah di Pasar Modal adalah kegiatan yang
terkait dengan Penawaran Umum Efek Syariah,
perdagangan Efek Syariah, pengelolaan investasi syariah
di Pasar Modal, dan Emiten atau Perusahaan Publik yang
berkaitan dengan Efek Syariah yang diterbitkannya,
- 3 -
Perusahaan Efek yang sebagian atau seluruh usahanya
berdasarkan prinsip syariah, serta lembaga dan profesi
yang berkaitan dengan Efek Syariah.
5. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang
bertanggung jawab memberikan nasihat dan saran serta
mengawasi pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal
terhadap Pihak yang melakukan Kegiatan Syariah di
Pasar Modal.
6. Ahli Syariah Pasar Modal yang selanjutnya disingkat
ASPM adalah:
a. orang perseorangan yang memiliki pengetahuan dan
pengalaman di bidang syariah; atau
b. badan usaha yang pengurus dan pegawainya
memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang
syariah,
yang memberikan nasihat dan/atau mengawasi
pelaksanaan penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal
dalam kegiatan usaha perusahaan dan/atau memberikan
pernyataan kesesuaian syariah atas produk atau jasa
syariah di Pasar Modal.
Pasal 2
(1) Kegiatan dan jenis usaha yang bertentangan dengan
Prinsip Syariah di Pasar Modal mencakup antara lain:
a. perjudian dan permainan yang tergolong judi;
b. jasa keuangan ribawi;
c.
d. memproduksi,
jual beli risiko yang mengandung unsur
ketidakpastian (gharar) dan/atau judi (maisir); dan
mendistribusikan,
memperdagangkan, dan/atau menyediakan antara
lain:
1. barang atau jasa haram zatnya (haram li-
dzatihi);
2. barang atau jasa haram bukan karena zatnya
(haram li-ghairihi) yang ditetapkan oleh Dewan
Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia;
dan/atau
- 4 -
3. barang atau jasa yang merusak moral dan
bersifat mudarat.
(2) Transaksi yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di
Pasar Modal mencakup antara lain:
a. perdagangan atau transaksi dengan penawaran
dan/atau permintaan palsu;
b. perdagangan atau transaksi yang tidak disertai
dengan penyerahan barang dan/atau jasa;
c. perdagangan atas barang yang belum dimiliki;
d. pembelian atau penjualan atas Efek yang
menggunakan atau memanfaaatkan informasi orang
dalam dari Emiten atau Perusahaan Publik;
e. transaksi marjin atas Efek Syariah yang
mengandung unsur bunga (riba);
f.
perdagangan atau transaksi dengan tujuan
penimbunan (ihtikar);
g. melakukan perdagangan atau transaksi yang
mengandung unsur suap (risywah); dan
h. transaksi lain yang mengandung unsur spekulasi
(gharar),
penipuan (tadlis)
termasuk
menyembunyikan kecacatan (ghisysy), dan upaya
untuk mempengaruhi pihak lain yang mengandung
kebohongan (taghrir).
Pasal 3
(1) Efek memenuhi Prinsip Syariah di Pasar Modal sehingga
menjadi Efek Syariah apabila:
a. kegiatan dan jenis usaha, serta cara pengelolaan
usaha dari Pihak yang menerbitkan Efek;
b. akad, cara pengelolaan, dan kekayaan Reksa Dana;
c. akad, cara pengelolaan, dan aset keuangan yang
membentuk portofolio Efek Beragun Aset yang
diterbitkan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun
Aset;
d. akad, cara pengelolaan, dan kekayaan Dana
Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif;
- 5 -
e. akad dan portofolionya yang berupa Kumpulan
Piutang atau pembiayaan pemilikan rumah;
f.
akad, cara pengelolaan, dan/atau aset yang
mendasari Sukuk; atau
g. akad, cara pengelolaan, dan/atau aset yang
mendasari Efek lain yang ditetapkan oleh Otoritas
Jasa Keuangan,
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar
Modal.
(2) Akad-akad sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
digunakan dalam penerbitan Efek wajib mengacu pada
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai akad-akad yang digunakan
dalam penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal dan/atau
akad lainnya yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah di Pasar Modal.
BAB II
PIHAK YANG MELAKUKAN KEGIATAN SYARIAH DI PASAR
MODAL
Pasal 4
Pihak yang melakukan Kegiatan Syariah di Pasar Modal
meliputi:
a. Pihak yang menyatakan kegiatan dan jenis usaha,
dan/atau cara pengelolaannya, dan/atau jasa yang
diberikannya berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar
Modal.
b. Pihak yang tidak menyatakan kegiatan dan jenis usaha,
dan/atau cara pengelolaannya, dan/atau jasa yang
diberikannya berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar
Modal, namun:
1. pihak tersebut memiliki unit usaha syariah;
2. merupakan Manajer Investasi yang melakukan
kegiatan pengelolaan investasi syariah;
3. merupakan Kustodian dari investasi syariah;
- 6 -
4. sebagian aktifitas operasional usaha Pihak tersebut
dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar
Modal; dan/atau
5. memberikan jasa syariah lainnya.
c. Pihak yang tidak menyatakan kegiatan dan jenis usaha,
dan/atau cara pengelolaannya, dan/atau jasa yang
diberikannya berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar
Modal, namun menerbitkan Efek Syariah dan/atau
berperan membantu penerbitan Efek Syariah di Pasar
Modal.
Pasal 5
Ketentuan lebih lanjut mengenai jasa syariah lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 5 diatur
dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 6
Setiap Pihak yang melakukan Kegiatan Syariah di Pasar Modal
wajib mematuhi Prinsip Syariah di Pasar Modal sebagaimana
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan
peraturan perundang-undangan lain di sektor Pasar Modal.
Pasal 7
Setiap Pihak yang melakukan Kegiatan Syariah di Pasar Modal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a wajib:
a. menyatakan dalam anggaran dasar atau dokumen sejenis
bahwa kegiatan usahanya dilakukan berdasarkan Prinsip
Syariah di Pasar Modal; dan
b. mempunyai Dewan Pengawas Syariah.
Pasal 8
Setiap Pihak yang melakukan Kegiatan Syariah di Pasar Modal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b wajib:
a. mempunyai Dewan Pengawas Syariah, untuk Manajer
Investasi yang melakukan kegiatan pengelolaan investasi
syariah; atau
- 7 -
b. mempunyai Dewan Pengawas Syariah atau paling sedikit
1 (satu) direktur atau penanggung jawab kegiatan yang
diberi mandat oleh Direksi yang memiliki pengetahuan
yang memadai dan/atau pengalaman di bidang keuangan
syariah, untuk pihak yang melakukan kegiatan selain
Manajer Investasi yang mengelola investasi syariah.
Pasal 9
(1) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf b dan Pasal 8 huruf a terdiri dari 1 (satu)
anggota atau lebih yang diangkat oleh Rapat Umum
Pemegang Saham, mekanisme lain yang setara dengan
Rapat Umum Pemegang Saham, atau ditunjuk oleh
Direksi.
(2) Anggota Dewan Pengawas Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib merupakan orang
perseorangan atau badan usaha yang mempunyai izin
ASPM dari Otoritas Jasa Keuangan.
BAB III
PELAPORAN
Pasal 10
(1) Setiap Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf
a wajib menyampaikan laporan yang disusun oleh Dewan
Pengawas Syariah kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait
pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal.
(2) Setiap Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf
b wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa
Keuangan terkait pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar
Modal yang disusun oleh:
a. Dewan Pengawas Syariah, untuk Manajer Investasi
yang melakukan kegiatan pengelolaan investasi
syariah; atau
b. Dewan Pengawas Syariah, direktur, atau
penanggung jawab kegiatan yang diberi mandat oleh
Direksi, yang memiliki pengetahuan yang memadai
- 8 -
dan/atau pengalaman di bidang keuangan syariah,
untuk pihak yang melakukan kegiatan selain
Manajer Investasi yang mengelola investasi syariah.
Pasal 11
(1) Laporan terkait pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar
Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
dan ayat (2) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan
bersamaan dengan penyampaian laporan tahunan atau
laporan keuangan tahunan.
(2) Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
mempunyai kewajiban menyampaikan lebih dari 1 (satu)
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jatuh
waktu kewajiban penyampaian laporan mengikuti
kewajiban penyampaian laporan yang paling akhir.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat hasil reviu atas pemenuhan Prinsip
Syariah di Pasar Modal.
BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 12
Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan pemeriksaan
atas pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal yang
dilakukan oleh setiap Pihak yang melakukan Kegiatan Syariah
di Pasar Modal.
BAB V
KETENTUAN SANKSI
Pasal 13
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
- 9 -
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau
huruf g.
Pasal 14
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 15
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 kepada masyarakat.
- 10 -
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, angka 1 Peraturan Nomor IX.A.13 tentang Penerbitan
Efek Syariah, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-
181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang Penerbitan Efek
Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 17
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 November 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 November 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H.LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 266
ttd
Sudarmaji
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 15/POJK.04/2015
TENTANG
PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI PASAR MODAL
I. UMUM
Dalam rangka pengembangan Pasar Modal syariah agar dapat
tumbuh stabil dan berkelanjutan diperlukan pengembangan infrastruktur
pasar yang memadai. Salah satu infrastruktur pasar yang penting adalah
tersedianya regulasi yang jelas, mudah dipahami, dan dapat dilaksanakan
sehingga regulasi tersebut menjadi regulasi yang dapat diterima pasar
(market friendly).
Dinamika perkembangan Pasar Modal syariah menuntut adanya
penyempurnaan Peraturan Nomor IX.A.13, Lampiran Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-
181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang Penerbitan Efek Syariah, agar
sesuai dengan kebutuhan industri Pasar Modal syariah, praktik yang
berlaku umum, dan standar internasional.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini menyempurnakan Peraturan
Nomor IX.A.13, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009
tentang Penerbitan Efek Syariah, yang mengatur antara lain penerapan
Prinsip Syariah di Pasar Modal dalam Kegiatan Syariah di Pasar Modal
dan/atau kegiatan dan jenis usaha, cara pengelolaan usaha yang
dilakukan, serta produk atau jasa yang diterbitkan berdasarkan prinsip
syariah. Beberapa pokok penyempurnaan dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini antara lain meliputi jenis kegiatan usaha yang bertentangan
dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal, transaksi yang bertentangan
- 2 -
dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal, kewajiban bagi Pihak yang
melakukan Kegiatan Syariah di Pasar Modal, dan laporan pemenuhan
Prinsip Syariah di Pasar Modal.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh jasa keuangan ribawi antara lain bank berbasis
bunga dan perusahaan pembiayaan berbasis bunga.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “gharar” adalah ketidakjelasan yang
menimbulkan perselisihan.
Contoh jual beli risiko yang mengandung unsur
ketidakpastian (gharar) antara lain asuransi konvensional
dan transaksi derivatif (forward, futures, swap) atau opsi
yang mengandung spekulasi.
Yang dimaksud dengan “maisir” adalah setiap kegiatan yang
melibatkan perjudian dimana pihak yang memenangkan
perjudian akan mengambil taruhannya dan pihak yang
kalah akan kehilangan taruhannya.
Huruf d
Angka 1
Contoh barang atau jasa haram zatnya (haram li-
dzatihi) antara lain minuman keras, hewan yang
diharamkan secara syariah, dan produk turunannya.
Angka 2
Contoh barang atau jasa haram bukan karena zatnya
(haram li-ghairihi) antara lain daging dari binatang yang
halal secara syariah namun disembelih tanpa
membaca basmalah.
- 3 -
Angka 3
Contoh barang atau jasa yang merusak moral dan
bersifat mudarat antara lain rokok, media dan/atau
penyedia jasa yang mengandung unsur pornografi dan
pornoaksi.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh perdagangan dengan penawaran atau permintaan
palsu (najsy) antara lain:
1. Transaksi Efek yang diawali pergerakan harga
cenderung naik (uptrend), yang disebabkan oleh
serangkaian transaksi yang dengan sengaja dilakukan
oleh inisiator beli agar membentuk harga naik hingga
level tertinggi yang diinginkannya. Setelah harga Efek
mencapai level tertinggi yang diinginkannya, pihak-
pihak yang berkepentingan terhadap kenaikan harga
tersebut, melakukan transaksi sebagai inisiator jual
Efek dengan volume yang signifikan (pump and dump).
2. Transaksi suatu Efek yang diawali oleh pergerakan
harga cenderung naik (uptrend) yang disebabkan oleh
serangkaian transaksi yang dengan sengaja dilakukan
oleh inisiator beli agar membentuk harga naik hingga
mencapai level tertinggi yang diinginkannya yang
disertai dengan adanya informasi positif yang tidak
benar, dilebih-lebihkan, menyesatkan (misleading).
Setelah harga mencapai level tertinggi yang
diinginkannya, pihak-pihak yang berkepentingan
terhadap kenaikan harga tersebut melakukan
serangkaian transaksi sebagai inisiator jual Efek
dengan volume yang signifikan (hype and dump).
3. Permintaan atau penawaran palsu (creating fake
demand/supply), yaitu adanya 1 (satu) atau lebih
pihak tertentu melakukan pemasangan order beli atau
jual pada level harga terbaik, tetapi jika order beli atau
jual yang dipasang sudah mencapai harga terbaik (best
price) maka order tersebut dihilangkan (deleted) atau
diganti (amended) baik dari jumlah dan/atau harganya
- 4 -
diturunkan secara berulang kali. Hal ini dilakukan
untuk memberi kesan adanya permintaan atau
penawaran yang tinggi sehingga pasar terpengaruh
untuk membeli atau menjual.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Contoh perdagangan atas barang yang belum dimiliki
adalah perdagangan Efek Syariah yang belum dimiliki (bai’
al-ma’dum/short selling).
Pengertian “barang” mencakup pula Efek Syariah.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “informasi orang dalam” adalah
Informasi Material yang dimiliki oleh orang dalam yang
belum tersedia untuk umum sebagaimana dimaksud dalam
penjelasan Pasal 95 Undang-Undang tentang Pasar Modal.
Yang dimaksud dengan “orang dalam” adalah orang dalam
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 95 Undang-
Undang tentang Pasar Modal.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “penimbunan (ihtikar)” adalah
membeli suatu barang yang sangat diperlukan masyarakat
pada saat harga mahal dan menimbunnya dengan tujuan
untuk menjualnya kembali pada saat harganya lebih mahal.
Tindakan-tindakan yang termasuk dalam kategori
penimbunan (ihtikar) antara lain:
1. Pooling interest, yaitu aktivitas transaksi atas suatu
Efek yang terkesan likuid (liquid), baik disertai dengan
pergerakan harga maupun tidak, pada suatu periode
tertentu dan hanya diramaikan sekelompok anggota
Bursa Efek tertentu (dalam pembelian maupun
penjualan). Selain itu volume transaksi setiap harinya
dalam periode tersebut selalu dalam jumlah yang
hampir sama dan/atau dalam kurun periode tertentu
aktivitas transaksinya tiba-tiba melonjak secara
- 5 -
drastis. Tujuannya menciptakan kesempatan untuk
dapat menjual atau mengumpulkan saham atau
menjadikan aktivitas saham tertentu dapat dijadikan
acuan (benchmark).
2. Cornering, yaitu pola transaksi yang dimaksudkan
untuk menciptakan penawaran (supply) semu yang
menyebabkan harga menurun pada pagi hari dan
menyebabkan investor publik melakukan penjualan
saham namun belum memiliki saham yang dijual
(short selling). Kemudian ada upaya pembelian yang
menyebabkan harga meningkat pada sesi sore hari
yang menyebabkan pelaku penjualan saham namun
belum memiliki saham yang dijual (short selling)
mengalami gagal serah atau mengalami kerugian
karena harus melakukan pembelian di harga yang
lebih mahal.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “suap (risywah)” adalah suatu
pemberian yang bertujuan untuk mengambil sesuatu yang
bukan haknya, membenarkan yang bathil dan menjadikan
yang bathil sebagai sesuatu yang benar.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “penipuan (tadlis)” adalah tindakan
menyembunyikan kecacatan objek akad yang dilakukan
oleh penjual untuk mengelabui pembeli seolah-olah objek
akad tersebut tidak cacat.
Tindakan yang tergolong penipuan (tadlis) antara lain:
1. melakukan transaksi lebih dahulu atas dasar adanya
informasi bahwa seseorang akan melakukan transaksi
dalam volume besar (front running).
2. informasi menyesatkan (misleading information), yaitu
membuat pernyataan atau memberikan keterangan
yang secara material tidak benar atau menyesatkan
sehingga mempengaruhi harga Efek.
Yang dimaksud dengan “menyembunyikan kecacatan
(ghisysy)” adalah penjual menjelaskan atau memaparkan
- 6 -
keunggulan atau keistimewaan barang yang dijual serta
menyembunyikan kecacatannya.
Tindakan-tindakan yang termasuk dalam kategori upaya
memaparkan keunggulan atau keistimewaan dan
menyembunyikan kecacatan (ghisysy) antara lain:
1. Pembentukan harga penutupan (marking at the close),
yaitu penempatan order jual atau beli yang dilakukan
diakhir hari perdagangan yang bertujuan menciptakan
harga penutupan sesuai dengan yang diinginkan.
2. Transaksi dari sekelompok pelaku dengan peran
sebagai pembeli dan penjual secara bergantian serta
dilakukan dengan volume yang berkesan wajar
sehingga memberi kesan bahwa suatu Efek aktif
diperdagangkan (alternate trade).
Tindakan-tindakan yang termasuk dalam kategori upaya
mempengaruhi pihak lain yang mengandung kebohongan
(taghrir) antara lain:
1. Perdagangan semu yang tidak mengubah kepemilikan
dalam rangka membentuk harga dengan memberi
kesan seolah-olah harga terbentuk melalui transaksi
yang berkesan wajar dan untuk aktif diperdagangkan
(wash sale).
2. Transaksi yang terjadi melalui pemasangan order beli
dan jual pada rentang waktu yang hampir bersamaan
yang terjadi karena adanya perjanjian pembeli dan
penjual sebelumnya dalam rangka membentuk harga
atau kepentingan lainnya baik di dalam maupun di
luar bursa (pre-arrange trade).
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Akad mencakup baik Akad Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
maupun akad lainnya.
- 7 -
Huruf c
Yang dimaksud dengan “aset keuangan” adalah kumpulan
tagihan/piutang.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “portofolio” adalah Kumpulan
Piutang yang terdiri dari piutang-piutang yang timbul dari
pembiayaan pemilikan rumah termasuk agunan/jaminan
beserta hak tanggungan yang melekat sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan Dan
Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi
Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan.
Yang dimaksud dengan “Kumpulan Piutang” di atas adalah
Kumpulan Aset Keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan Dan
Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi
Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan.
Sedangkan yang dimaksud dengan “Aset Keuangan”
sebagaimana tersebut di atas adalah piutang yang diperoleh
Kreditur Asal dari pemberian Kredit Pemilikan Rumah
kepada debitur, termasuk agunan/jaminan beserta hak
tanggungan yang melekat padanya sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan Dan
Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi
Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan.
Huruf f
Pemenuhan seluruh atau sebagian unsur kesyariahan atas
akad, aset, dan/atau cara pengelolaan yang mendasari
Sukuk dalam huruf ini tergantung dari akad Sukuk.
Sebagai contoh untuk Sukuk dengan akad mudharabah,
unsur akad, aset, dan cara pengelolaan aset yang
mendasari Sukuk tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah di Pasar Modal.
- 8 -
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Contoh Pihak yang menyatakan bahwa kegiatan dan jenis usaha
dan/atau cara pengelolaannya, dan/atau jasa yang diberikannya
berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal adalah perusahaan
yang menyatakan dalam anggaran dasarnya bahwa kegiatan
usahanya sesuai dengan prinsip syariah.
Huruf b
Contoh Pihak yang tidak menyatakan bahwa kegiatan dan jenis
usaha dan/atau cara pengelolaannya berdasarkan Prinsip
Syariah di Pasar Modal namun memiliki unit usaha syariah
adalah perusahaan konvensional yang memiliki unit usaha
syariah.
Contoh Pihak yang tidak menyatakan bahwa kegiatan dan jenis
usaha dan/atau cara pengelolaannya berdasarkan Prinsip
Syariah di Pasar Modal, namun melakukan kegiatan pengelolaan
investasi syariah adalah Manajer Investasi yang mengelola Reksa
Dana Syariah.
Contoh Pihak yang tidak menyatakan bahwa kegiatan dan jenis
usaha dan/atau cara pengelolaannya berdasarkan Prinsip
Syariah di Pasar Modal, namun sebagian aktifitas operasional
usaha Pihak tersebut dilakukan berdasarkan prinsip syariah
adalah Perusahaan Efek yang memberikan jasa online trading
syariah.
Huruf c
Contoh Pihak yang tidak menyatakan bahwa kegiatan dan jenis
usaha dan/atau cara pengelolaannya, dan/atau jasa yang
diberikannya berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal,
namun menerbitkan Efek Syariah dan/atau berperan membantu
penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal antara lain Emiten yang
menerbitkan Sukuk atau Perusahaan Efek yang memberikan
jasa penjaminan emisi Sukuk.
- 9 -
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal Pihak yang melakukan Kegiatan Syariah di Pasar
Modal merupakan Kantor Cabang Bank Asing, yang dimaksud
dengan “Direksi” adalah pimpinan tertinggi pada Kantor Cabang
Bank Asing tersebut.
Yang dimaksud dengan “memiliki pengetahuan yang memadai di
bidang keuangan syariah” antara lain mengetahui hal-hal yang
bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Laporan
terkait
pemenuhan Prinsip Syariah di
Pasar Modal yang disampaikan bersamaan dengan
penyampaian:
a. Laporan tahunan diperuntukan antara lain bagi Emiten
atau Perusahaan Publik.
b. Laporan keuangan tahunan diperuntukan antara lain bagi
Manajer Investasi yang mengelola Reksa Dana syariah.
- 10 -
Ayat (2)
Sebagai contoh, Emiten A mempunyai kewajiban penyampaian
laporan keuangan tahunan paling lambat 31 Maret 2015 dan
kewajiban penyampaian laporan tahunan paling lambat 30 April
2015, jatuh waktu kewajiban penyampaian laporan pemenuhan
Prinsip Syariah di Pasar Modal adalah 30 April 2015.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa
penundaan pemberian pernyataan efektif, misalnya pernyataan
efektif dalam rangka Penawaran Umum Sukuk.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5755
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 15/POJK.04/2015 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI PASAR MODAL </reg_title>
<set_date> 3 November 2015 </set_date>
<effective_date> 10 November 2015 </effective_date>
<issued_date> 10 November 2015 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-181/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.13 angka 1' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
- 1 -
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 43 /POJK.03/2017
TENTANG
TINDAK LANJUT PELAKSANAAN PENGAWASAN BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa kesehatan suatu bank merupakan kepentingan
semua pihak yang terkait sehingga bank harus meyakini
dan memahami sepenuhnya hal yang harus dilakukan
atau tidak dilakukan dalam melaksanakan kegiatan
usaha bank;
b. bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan dan
pengawasan terhadap kegiatan di sektor perbankan,
Otoritas Jasa Keuangan mempunyai wewenang
menetapkan hal yang sebaiknya dilakukan atau tidak
dilakukan oleh bank dalam melaksanakan kegiatan
usaha;
c. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di
sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa
Keuangan, diperlukan pengaturan kembali tindak lanjut
pelaksanaan pengawasan bank;
- 2 -
d. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Tindak Lanjut Pelaksanaan Pengawasan Bank;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TINDAK
LANJUT PELAKSANAAN PENGAWASAN BANK.
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan, termasuk kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan Bank
- 3 -
Syariah serta Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
2. Perintah atau Cease and Desist Order (CDO) yang
selanjutnya disebut Perintah atau CDO adalah perintah
untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan kegiatan
tertentu guna memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor perbankan dan/atau
mencegah dan mengurangi kerugian konsumen,
masyarakat, dan sektor perbankan.
3. Direksi adalah:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada Bank
yang belum berubah bentuk menjadi
Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah;
- 4 -
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengurus sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
d. bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri adalah pimpinan kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri yaitu
pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di
bawah pemimpin kantor cabang.
4. Dewan Komisaris adalah:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan
pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
beberapa kali diubah,
terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah;
2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah beberapa kali
diubah,
terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah;
3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada
Bank yang belum berubah bentuk menjadi
Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
- 5 -
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah;
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
5. Pemegang Saham Pengendali bagi Bank yang selanjutnya
disingkat PSP adalah badan hukum, orang perseorangan
dan/atau kelompok usaha yang:
a. memiliki saham perusahaan atau Bank sebesar 25%
(dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah
saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara;
atau
b. memiliki saham perusahaan atau Bank kurang
dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham
yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun
yang bersangkutan dapat dibuktikan telah
melakukan pengendalian perusahaan atau Bank,
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pasal 2
Bank dalam melaksanakan kegiatan usaha wajib berdasarkan
pada prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat
serta mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 3
(1) Dalam hal terjadi penyimpangan atas prinsip
kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat serta
terjadi pelanggaran terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan, Otoritas Jasa Keuangan dapat
memberikan Perintah atau CDO mengenai hal yang
sebaiknya dilakukan atau tidak dilakukan oleh Bank.
- 6 -
(2) Untuk memenuhi Perintah atau CDO dari Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
menyampaikan komitmen dari:
a. Direksi dan/atau Dewan Komisaris Bank, untuk
melakukan atau tidak melakukan kegiatan tertentu
sehingga perbaikan atas penyimpangan tersebut
dapat diselesaikan; dan/atau
b. PSP, untuk menanggulangi masalah yang
merupakan kewajiban PSP.
(3) Komitmen Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau PSP
bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan.
Pasal 4
Bank, Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau PSP yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dan Pasal 3 ayat (3) dikenakan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan atau Pasal 58
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
Pasal 5
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku:
a. Surat Keputusan Direksi Nomor 23/82/KEP/DIR tentang
Tindak Lanjut Pelaksanaan Pengawasan dan Pembinaan
Bank; dan
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 23/22/BPPP
tentang Tindak Lanjut Pelaksanaan Pengawasan dan
Pembinaan Bank,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
- 7 -
Pasal 6
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 149
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 43 /POJK.03/2017
TENTANG
TINDAK LANJUT PELAKSANAAN PENGAWASAN BANK
I. UMUM
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan mengamanatkan bahwa fungsi pengawasan dan pengaturan
terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang
beroperasi di Indonesia dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas
Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa
keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel,
serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil, juga mampu melindungi kepentingan konsumen
dan masyarakat.
Untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, masyarakat,
dan sektor jasa keuangan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengambil
tindakan yang dianggap perlu, antara lain memberikan Perintah atau
CDO kepada sektor perbankan. Perintah atau CDO tersebut dilaksanakan
dalam bentuk permintaan komitmen kepada Bank untuk melakukan atau
tidak melakukan hal tertentu dalam melaksanakan kegiatan usaha Bank.
Perintah atau CDO diberikan dalam hal terjadi penyimpangan atas prinsip
kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat serta terjadi pelanggaran
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
- 2 -
Pada prinsipnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini memuat
kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam memberikan Perintah
atau CDO. Agar kewenangan tersebut dapat dilakukan sesuai dengan tata
kelola yang baik, Perintah atau CDO dalam pengawasan Bank perlu
disusun dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Berkaitan dengan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang
sehat, Bank perlu memahami fungsinya sebagai lembaga
kepercayaan masyarakat sehingga Bank harus menghindari praktik
atau kegiatan yang diperkirakan atau dapat membahayakan
kelangsungan usaha Bank atau merugikan kepentingan masyarakat.
Pasal 3
Ayat (1)
Contoh Perintah atau CDO, antara lain:
a. penghentian sementara pembukaan jaringan kantor;
b. penghentian sementara untuk melakukan kegiatan usaha
tertentu;
c. penggantian Direksi atau Dewan Komisaris;
d. penambahan modal dan/atau pengalihan pemilikan Bank;
e. penggabungan atau peleburan usaha dengan bank lain;
dan/atau
f. penghapusbukuan kredit atau pembiayaan macet dan
memperhitungkan kerugian Bank dengan modal Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6092
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 43/POJK.03/2017 </reg_id>
<reg_title> TINDAK LANJUT PELAKSANAAN PENGAWASAN BANK </reg_title>
<set_date> 12 Juli 2017 </set_date>
<effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date>
<issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date>
<replaced_reg> '23/82/KEP/DIR|SKDIR-BI', '23/22/BPPP|SE-BI' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal 4' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 75 /POJK.03/2016
TENTANG
STANDAR PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI INFORMASI BAGI
BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa perkembangan teknologi informasi bergerak
dinamis mengikuti lingkungan bisnis dan kebutuhan
masyarakat terhadap produk dan layanan perbankan;
b. bahwa dalam rangka meningkatkan efisiensi
operasional dan kualitas pelayanan kepada
masyarakat pengguna jasa perbankan diperlukan
penyelenggaraan teknologi informasi oleh Bank
Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah secara efektif dan efisien;
c. bahwa penyelenggaraan teknologi informasi secara
efektif dan efisien merupakan tanggung jawab
manajemen dengan melibatkan seluruh jenjang
organisasi di Bank Perkreditan Rakyat dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah sebagai pengguna
teknologi informasi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
- 2 -
tentang Standar Penyelenggaraan Teknologi Informasi
bagi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah.
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253).
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
STANDAR PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI INFORMASI
BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK
PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat
BPR yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha
- 3 -
secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan.
2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya
disingkat BPRS yaitu bank syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
3. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk
mengumpulkan,
menyiapkan,
menyimpan,
memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau
menyebarkan informasi.
4. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan
prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan,
mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan,
menampilkan, mengumumkan, mengirimkan,
dan/atau menyebarkan informasi elektronik.
5. Aplikasi Inti Perbankan (Core Banking System) adalah
Sistem Elektronik berupa aplikasi untuk proses akhir
seluruh transaksi perbankan yang terjadi sepanjang
hari, termasuk pengkinian data dalam pembukuan
BPR dan BPRS, yang paling sedikit mencakup fungsi
nasabah, simpanan, pinjaman, akuntansi dan
pelaporan.
6. Pusat Data (Data Center) adalah suatu fasilitas yang
digunakan untuk menempatkan Sistem Elektronik
dan komponen terkaitnya untuk keperluan
penempatan, penyimpanan, dan pengolahan data.
7. Pusat Pemulihan Bencana (Disaster Recovery Center)
adalah suatu fasilitas yang digunakan untuk
memulihkan kembali data atau informasi serta fungsi-
fungsi penting Sistem Elektronik yang terganggu atau
- 4 -
rusak akibat terjadinya bencana yang disebabkan oleh
alam atau manusia.
8. Pangkalan Data (Database) adalah sekumpulan data
komprehensif dan disusun secara sistematis, dapat
diakses oleh pengguna sesuai wewenang masing-
masing, dan dikelola oleh administrator Pangkalan
Data (Database Administrator).
9. Rencana Pemulihan Bencana (Disaster Recovery Plan)
adalah dokumen yang berisikan rencana dan langkah-
langkah memulihkan kembali akses data, perangkat
keras dan perangkat lunak yang diperlukan, agar BPR
dan BPRS dapat menjalankan kegiatan operasional
bisnis yang kritikal setelah adanya gangguan
dan/atau bencana.
10. Direksi:
a. bagi BPR dan BPRS berbentuk badan hukum
Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk badan hukum:
1. Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah;
2. Perusahaan Daerah adalah direksi pada BPR
yang belum berubah bentuk badan hukum
menjadi Perusahaan Umum Daerah atau
Perusahaan Perseroan Daerah sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan
- 5 -
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi
adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
11. Dewan Komisaris:
a. bagi BPR dan BPRS berbentuk badan hukum
Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk badan hukum:
1. Perusahaan Umum Daerah adalah dewan
pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah;
2. Perusahaan Perseroan Daerah adalah
komisaris sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah;
3. Perusahaan Daerah adalah pengawas pada
BPR yang belum berubah bentuk badan
hukum menjadi Perusahaan Umum Daerah
atau Perusahaan Perseroan Daerah sesuai
- 6 -
dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah.
c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi
adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
BAB II
RUANG LINGKUP PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI
INFORMASI
Pasal 2
(1) BPR dan BPRS wajib menyelenggarakan Teknologi
Informasi yang paling sedikit berupa:
a. Aplikasi Inti Perbankan dan Pusat Data bagi BPR
atau BPRS yang memiliki modal inti kurang dari
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);
atau
b. Aplikasi Inti Perbankan, Pusat Data dan Pusat
Pemulihan Bencana bagi BPR atau BPRS yang
memiliki modal inti paling sedikit
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
(2) BPR dan BPRS dapat menyelenggarakan Teknologi
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara
mandiri atau bekerjasama dengan penyedia jasa
Teknologi Informasi.
(3) Penyelenggaraan Teknologi Informasi bekerjasama
dengan penyedia jasa Teknologi Informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilaksanakan untuk seluruh atau sebagian
penyelenggaraan Teknologi Informasi BPR atau BPRS
meliputi penyelenggaraan:
- 7 -
a. Aplikasi Inti Perbankan;
b. Pusat Data;
c. Pusat Pemulihan Bencana; dan/atau
d. Penyelenggaraan Teknologi Informasi lainnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 3
(1) BPR dan BPRS wajib menempatkan Pusat Data dan
Pusat Pemulihan Bencana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) di wilayah
Indonesia.
(2) Pusat Data wajib ditempatkan di lokasi dengan
karakteristik risiko yang berbeda dengan lokasi Pusat
Pemulihan Bencana.
Pasal 4
(1) BPR dan BPRS yang menyelenggarakan secara
mandiri Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) wajib:
a. melakukan rekam cadang (back up) data aktivitas
yang diproses menggunakan Teknologi Informasi;
dan
b. memiliki installer Aplikasi Inti Perbankan yang
digunakan BPR dan BPRS untuk melakukan
install ulang.
(2) BPR dan BPRS yang melakukan kerjasama
penyelenggaraan Teknologi Informasi dengan penyedia
jasa Teknologi Informasi, wajib memastikan bahwa
penyedia jasa Teknologi Informasi melakukan rekam
cadang data aktivitas dan memiliki installer Aplikasi
Inti Perbankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Data aktivitas BPR dan BPRS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) wajib disimpan dalam
jangka waktu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
perusahaan.
mengenai
dokumen
- 8 -
(4) Rekam cadang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dan ayat (2) wajib dilakukan setiap akhir hari
untuk seluruh data aktivitas BPR dan BPRS.
Pasal 5
(1) BPR dan BPRS wajib memastikan Aplikasi Inti
Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
mampu:
a. menerapkan ketentuan peraturan perundang-
undangan bagi BPR atau BPRS;
b. melakukan pembukuan transaksi antar jaringan
kantor:
1. pada hari yang sama bagi BPR dan BPRS
yang tidak menyediakan layanan perbankan
elektronik (electronic banking) dan tidak
melakukan kegiatan sebagai penerbit kartu
Automated Teller Machine (ATM);
2. secara online dan real time bagi BPR dan
BPRS yang menyediakan layanan perbankan
elektronik dan/atau melakukan kegiatan
sebagai penerbit kartu Automated Teller
Machine (ATM).
c. menghasilkan data dan informasi yang digunakan
dalam mendukung proses penyusunan laporan
untuk kebutuhan intern dan ekstern.
d. mengonsolidasikan fungsi-fungsi yang terdapat
dalam Aplikasi Inti Perbankan untuk mendukung
penyediaan data dan informasi yang lengkap,
akurat, kini, dan utuh.
(2) BPR dan BPRS harus memastikan Aplikasi Inti
Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
mampu mengimplementasikan profil nasabah secara
terpadu (Single Customer Identification File).
- 9 -
Pasal 6
(1) BPR dan BPRS dapat melakukan pengembangan dan
pengadaan Aplikasi Inti Perbankan:
a. secara mandiri (in-house); atau
b. dengan cara membeli Aplikasi Inti Perbankan
yang dikembangkan oleh penyedia Aplikasi Inti
Perbankan.
(2) Penyedia Aplikasi Inti Perbankan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b harus:
a. berbentuk badan hukum;
b. memiliki sumber daya manusia yang kompeten di
bidang Teknologi Informasi; dan
c. berkedudukan di wilayah Indonesia
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a dikecualikan dalam hal BPR dan BPRS telah
memiliki Aplikasi Inti Perbankan pada saat Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku dan melakukan
kerja sama dengan penyedia Aplikasi Inti Perbankan
yang tidak berbentuk badan hukum untuk
pengembangan atau pemeliharaan Aplikasi Inti
Perbankan dimaksud.
(4) Pengembangan dan pengadaan Aplikasi Inti
Perbankan BPR atau BPRS dengan menggunakan
penyedia Aplikasi Inti Perbankan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, wajib dilaksanakan
berdasarkan perjanjian tertulis.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 7
BPR dan BPRS dilarang melakukan kegiatan penyediaan
jasa Teknologi Informasi kepada pihak lain, kecuali terkait
dengan produk dan layanan yang disediakan oleh BPR dan
BPRS.
- 10 -
Pasal 8
Dalam rangka penyelenggaraan Teknologi Informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), BPR dan
BPRS wajib melakukan pencatatan seluruh transaksi
dalam pembukuan BPR atau BPRS pada hari yang sama.
BAB III
WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI, DEWAN
KOMISARIS, DAN SUMBER DAYA MANUSIA TERKAIT
PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI INFORMASI
Pasal 9
BPR dan BPRS wajib menetapkan wewenang dan tanggung
jawab
Direksi
dan Dewan Komisaris
penyelenggaraan Teknologi Informasi.
Pasal 10
Wewenang dan tanggung jawab Direksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 paling sedikit:
a. menetapkan rencana pengembangan dan pengadaan
Teknologi Informasi BPR atau BPRS;
b. menetapkan kebijakan dan prosedur terkait
penyelenggaraan Teknologi Informasi yang memadai
dan mengomunikasikannya secara efektif, baik pada
satuan kerja penyelenggara maupun pengguna
Teknologi Informasi;
c. memantau kecukupan kinerja penyelenggaraan
Teknologi Informasi dan upaya peningkatannya; dan
d. memastikan bahwa:
1. Teknologi Informasi yang digunakan mendukung
perkembangan usaha, pencapaian tujuan bisnis
dan kelangsungan pelayanan terhadap nasabah
BPR atau BPRS;
2. terdapat kegiatan peningkatan kompetensi
sumber daya manusia yang terkait dengan
penyelenggaraan dan penggunaan Teknologi
Informasi;
terkait
- 11 -
3. tersedianya sistem pengelolaan pengamanan
informasi (information security management
system) yang efektif dan dikomunikasikan kepada
satuan kerja penyelenggara dan pengguna
Teknologi Informasi; dan
4. kebijakan dan prosedur penyelenggaraan
Teknologi Informasi diterapkan secara efektif.
Pasal 11
Wewenang dan tanggung jawab Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 paling sedikit
meliputi:
a. mengarahkan dan memantau rencana pengembangan
dan pengadaan Teknologi Informasi BPR atau BPRS
yang bersifat mendasar; dan
b. mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi terkait
penyelenggaraan Teknologi Informasi BPR atau BPRS.
Pasal 12
(1) Dalam rangka penyelenggaraan Teknologi Informasi
secara efektif dan efisien, BPR dan BPRS wajib
menunjuk satuan kerja atau pegawai yang
bertanggung jawab atas penyelenggaraan Teknologi
Informasi.
(2) Satuan kerja atau pegawai yang bertanggung jawab
atas
penyelenggaraan
Teknologi Informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
independen terhadap kegiatan penghimpunan dana,
penyaluran dana, pembukuan, dan/atau audit intern.
(3) Wewenang dan tanggung jawab satuan kerja atau
pegawai
yang bertanggung jawab
terhadap
penyelenggaraan Teknologi Informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit:
a. membantu Direksi dan Dewan Komisaris dalam
penyelenggaraan Teknologi Informasi terkait
dengan
perencanaan, pelaksanaan dan
pemantauan;
- 12 -
b. mendukung pengembangan dan/atau pengadaan
Teknologi Informasi;
c. mendukung implementasi, operasional, dan
pemeliharaan Teknologi Informasi; dan
d. melakukan upaya penyelesaian permasalahan
terkait operasional Teknologi Informasi, yang
tidak dapat diselesaikan oleh satuan kerja
pengguna Teknologi Informasi.
BAB IV
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR PENYELENGGARAAN
TEKNOLOGI INFORMASI
Pasal 13
(1) BPR dan BPRS wajib memiliki kebijakan dan prosedur
penyelenggaraan Teknologi Informasi.
(2) Kebijakan dan prosedur penyelenggaraan Teknologi
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit meliputi:
a. wewenang dan tanggung jawab Direksi, Dewan
Komisaris, dan Satuan Kerja atau pegawai yang
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
Teknologi Informasi;
b. pengembangan dan pengadaan;
c. operasional Teknologi Informasi;
d. jaringan komunikasi;
e. pengamanan informasi;
f.
Rencana Pemulihan Bencana;
g. audit intern Teknologi Informasi; dan
h. kerjasama dengan penyedia jasa Teknologi
Informasi.
Pasal 14
(1) Dalam rangka penyelenggaraan Teknologi Informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), BPR
dan BPRS wajib memiliki Rencana Pemulihan
Bencana yang teruji dan memadai.
- 13 -
(2) Rencana Pemulihan Bencana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dapat dilaksanakan secara efektif
agar operasional BPR dan BPRS tetap berjalan saat
terjadi gangguan dan/atau bencana yang signifikan
pada sarana Teknologi Informasi yang digunakan.
(3) BPR dan BPRS wajib melakukan uji coba terhadap
Rencana Pemulihan Bencana untuk Aplikasi Inti
Perbankan, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga)
tahun dengan melibatkan pengguna Teknologi
Informasi.
(4) BPR dan BPRS wajib melakukan kaji ulang terhadap
Rencana Pemulihan Bencana secara berkala paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun dengan
mempertimbangkan hasil uji coba sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
Pasal 15
Dalam melakukan pengembangan dan pengadaan Sistem
Elektronik BPR dan BPRS wajib melakukan langkah-
langkah pengendalian untuk menghasilkan sistem dan
data yang terjaga kerahasiaan (confidentiality), integritas
(integrity), dan ketersediaan (availability), serta mendukung
pencapaian tujuan BPR atau BPRS, antara lain meliputi:
a. menetapkan dan menerapkan prosedur
pengembangan dan pengadaan Sistem Elektronik
secara konsisten;
b. menerapkan manajemen proyek dalam pengembangan
dan pengadaan Sistem Elektronik;
c. melakukan testing yang memadai pada saat
pengembangan dan pengadaan Sistem Elektronik
termasuk uji coba dengan melibatkan satuan kerja
pengguna, untuk memastikan keakuratan dan
berfungsinya Sistem Elektronik sesuai kebutuhan
pengguna serta kesesuaian satu sistem dengan sistem
yang lain;
d. melakukan dokumentasi terhadap pengadaan,
pengembangan, dan pemeliharaan Sistem Elektronik;
- 14 -
e. memiliki manajemen perubahan Sistem Elektronik;
dan
f. memastikan Sistem Elektronik BPR dan BPRS mampu
menampilkan kembali informasi secara utuh.
BAB V
PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI INFORMASI
BEKERJASAMA DENGAN PENYEDIA JASA
Pasal 16
BPR dan BPRS wajib memastikan bahwa penyedia jasa
Teknologi Informasi BPR atau BPRS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) harus berbentuk badan
hukum dan berkedudukan di wilayah Indonesia.
Pasal 17
(1) Dalam penyelenggaraan Teknologi Informasi BPR atau
BPRS bekerjasama dengan penyedia jasa Teknologi
Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) BPR dan BPRS wajib:
a. bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
Teknologi Informasi;
b. melakukan
pengawasan
terhadap
penyelenggaraan Teknologi Informasi BPR atau
BPRS yang diselenggarakan oleh pihak penyedia
jasa Teknologi Informasi;
c. memantau reputasi pihak penyedia jasa
Teknologi Informasi dan kelangsungan
penyediaan layanan kepada BPR atau BPRS;
d. memilih pihak penyedia jasa Teknologi Informasi
berdasarkan analisis manfaat dan biaya dengan
melibatkan satuan kerja atau pegawai yang
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
Teknologi Informasi;
e. memberikan akses kepada Otoritas Jasa
Keuangan terhadap Pangkalan Data secara tepat
- 15 -
waktu baik untuk data terkini maupun untuk
data yang telah lalu; dan
f. memastikan penyedia jasa Teknologi Informasi:
1. memiliki tenaga ahli yang didukung dengan
sertifikat keahlian sesuai dengan keperluan
penyelenggaraan Teknologi Informasi;
2. menerapkan prinsip pengendalian Teknologi
Informasi secara memadai yang dibuktikan
dengan hasil audit yang dilakukan pihak
independen;
3. menyediakan akses bagi auditor intern BPR
dan BPRS, auditor ekstern yang ditunjuk
oleh BPR dan BPRS, dan Otoritas Jasa
Keuangan untuk memperoleh data dan
informasi yang diperlukan secara tepat
waktu setiap kali dibutuhkan;
4. menyatakan tidak berkeberatan dalam hal
Otoritas Jasa Keuangan dan/atau pihak lain
yang berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan melakukan
pemeriksaan terhadap kegiatan penyediaan
jasa yang diberikan;
5. sebagai pihak terafiliasi, menjaga keamanan
seluruh informasi termasuk rahasia bank
dan data pribadi nasabah;
6. melaporkan kepada BPR atau BPRS setiap
kejadian kritis yang dapat mengakibatkan
kerugian keuangan dan/atau mengganggu
kelangsungan operasional BPR atau BPRS;
7. menyediakan Rencana Pemulihan Bencana
yang teruji dan memadai;
8. bersedia untuk menyepakati kemungkinan
penghentian perjanjian kerja sama sebelum
berakhirnya jangka waktu perjanjian (early
termination) dalam hal perjanjian kerja sama
tersebut menyebabkan atau diindikasikan
akan menyebabkan kesulitan pelaksanaan
- 16 -
tugas pengawasan Otoritas Jasa Keuangan;
dan
9. memenuhi tingkat layanan sesuai dengan
perjanjian tingkat layanan (service level
agreement) antara BPR atau BPRS dan pihak
penyedia jasa Teknologi Informasi.
(2) Penyelenggaraan Teknologi Informasi bekerja sama
dengan penyedia jasa Teknologi Informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib
didasarkan pada perjanjian kerja sama yang paling
sedikit memuat pokok-pokok perjanjian kerja sama,
termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf f.
(3) BPR dan BPRS wajib memastikan penyedia jasa
Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) dilarang melakukan pengalihan
(subkontrak) sebagian atau seluruh kegiatan
penyelenggaraan Teknologi Informasi BPR atau BPRS
kepada pihak lain.
(4) BPR dan BPRS tetap wajib melakukan proses seleksi
dan melakukan transaksi dengan penyedia jasa
Teknologi Informasi dengan memperhatikan prinsip
kehati-hatian, manajemen risiko, dan didasarkan
pada hubungan kerja sama secara wajar (arm’s length
principle), termasuk dalam hal penyedia jasa Teknologi
Informasi merupakan pihak terkait dengan BPR atau
BPRS.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai cakupan perjanjian
kerja sama penyelenggaraan Teknologi Informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 18
(1) Dalam hal kerja sama dengan penyedia jasa
Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) menyebabkan atau diindikasikan akan
menyebabkan kesulitan pelaksanaan tugas
- 17 -
pengawasan Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa
Keuangan dapat meminta BPR atau BPRS untuk
melakukan upaya perbaikan.
(2) BPR atau BPRS wajib menyampaikan rencana tindak
dalam rangka upaya perbaikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lambat 20 (dua puluh)
hari kerja sejak tanggal permintaan Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterima.
(3) Dalam rangka pelaksanaan rencana tindak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Otoritas Jasa
Keuangan memberikan jangka waktu paling lama 6
(enam) bulan kepada BPR atau BPRS untuk
melakukan upaya perbaikan.
(4) Dalam hal setelah jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) BPR atau BPRS tidak dapat
melakukan upaya perbaikan, Otoritas Jasa Keuangan
dapat memerintahkan BPR atau BPRS untuk
menghentikan kerja sama dengan penyedia jasa
Teknologi Informasi sebelum berakhirnya jangka
waktu perjanjian.
Pasal 19
(1) Dalam hal kerja sama dengan penyedia jasa Teknologi
Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) telah direalisasikan, namun terdapat kondisi
berupa:
a. memburuknya kinerja penyelenggaraan Teknologi
Informasi BPR dan BPRS yang disebabkan oleh
penyedia jasa Teknologi Informasi yang dapat
berdampak signifikan terhadap kegiatan usaha
BPR atau BPRS;
b. penyedia jasa Teknologi Informasi mengalami
kesulitan keuangan yang menyebabkan insolven,
dalam proses menuju likuidasi, atau dinyatakan
pailit berdasarkan putusan pengadilan;
- 18 -
c. terdapat pelanggaran oleh penyedia jasa
Teknologi Informasi terhadap kewajiban menjaga
keamanan data dan informasi termasuk rahasia
bank dan data pribadi nasabah; dan/atau
d. terdapat kondisi yang menyebabkan BPR atau
BPRS tidak dapat menyediakan data dan
informasi yang diperlukan dalam rangka
pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
maka BPR dan BPRS wajib melakukan tindakan
tertentu.
(2) Tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), paling sedikit:
a. melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak kondisi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketahui
oleh BPR atau BPRS;
b. memutuskan tindak lanjut yang akan diambil
untuk mengatasi permasalahan termasuk
penghentian kerja sama dengan penyedia jasa
Teknologi Informasi apabila diperlukan; dan
c. melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan
mengenai keputusan tindak lanjut yang telah
dan/atau akan diambil, paling lambat
10
(sepuluh) hari kerja sejak tanggal laporan kondisi
sebagaimana dimaksud pada huruf a.
(3) Dalam hal BPR dan BPRS memutuskan untuk
menghentikan kerja sama dengan penyedia jasa
Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b, BPR dan BPRS wajib melaporkan
penghentian kerja sama kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak
penghentian kerja sama dimaksud.
- 19 -
BAB VI
PENGAMANAN PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI
INFORMASI, TERMASUK KERAHASIAAN DATA PRIBADI
NASABAH
Pasal 20
(1) BPR dan BPRS wajib menerapkan upaya pengamanan
yang diperlukan untuk mencegah gangguan
keamanan dalam penyelenggaraan Teknologi Informasi
yang berpotensi merugikan BPR, BPRS dan/atau
nasabahnya.
(2) Dalam rangka menerapkan upaya pengamanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPR dan BPRS
wajib menjaga kerahasiaan (confidentiality), integritas
(integrity), ketersediaan (availability), dan dapat
ditelusurinya suatu informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik yang terkait dengan nasabah dan
seluruh aktivitas BPR atau BPRS sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) BPR dan BPRS wajib melakukan pengendalian
otorisasi
(authorization of control)
penyelenggaraan Teknologi Informasi.
Pasal 21
Dalam menyelenggarakan Teknologi Informasi, BPR dan
BPRS wajib:
a. menjamin perolehan, penggunaan, pemanfaatan,
dan/atau pengungkapan data pribadi nasabah
dilakukan berdasarkan persetujuan nasabah yang
bersangkutan, kecuali ditentukan lain oleh ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
b. menjamin penggunaan atau pengungkapan data
pribadi nasabah dilakukan berdasarkan persetujuan
nasabah yang bersangkutan dan sesuai dengan
tujuan yang disampaikan kepada nasabah pada saat
perolehan data.
dalam
- 20 -
BAB VII
FUNGSI AUDIT INTERN PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI
INFORMASI
Pasal 22
(1) BPR dan BPRS wajib melaksanakan fungsi audit
intern terhadap penyelenggaraan Teknologi Informasi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Fungsi audit intern sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilaksanakan secara berkala paling sedikit 1
(satu) kali dalam 1 (satu) tahun sebagai bagian dari
pelaksanaan audit intern atau dilaksanakan terpisah
dari audit intern.
(3) Dalam rangka pelaksanaan fungsi audit intern
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPR dan BPRS
wajib memastikan tersedianya jejak audit (audit trail)
terhadap seluruh kegiatan penyelenggaraan Teknologi
Informasi untuk keperluan pengawasan, penegakan
hukum, penyelesaian sengketa, verifikasi, pengujian,
dan pemeriksaan lainnya.
(4) Pelaksanaan fungsi audit intern sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh auditor
ekstern.
(5) Ketentuan lebih lanjut terkait dengan pelaksanaan
fungsi audit intern sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan.
BAB VIII
LAPORAN
Bagian Kesatu
Laporan Rutin
Pasal 23
(1) BPR dan BPRS wajib menyampaikan laporan kepada
Otoritas Jasa Keuangan mengenai pelaksanaan fungsi
- 21 -
audit intern sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
ayat (1).
(2) Jangka waktu penyampaian laporan pelaksanaan
fungsi audit intern sebagaimana dimaksud pada ayat
(1):
a. bagi BPR, mengacu pada jangka waktu
penyampaian laporan pelaksanaan dan pokok-
pokok hasil audit intern sebagaimana diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai Penerapan Tata Kelola bagi BPR; dan
b. bagi BPRS, disampaikan paling lambat pada
tanggal 31 Januari untuk audit yang
dilaksanakan atas periode akhir tahun
sebelumnya.
(3) Dalam hal tanggal 31 Januari sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b jatuh pada hari Sabtu, Minggu,
atau hari libur nasional maka laporan wajib
disampaikan paling lambat pada hari kerja
berikutnya.
Bagian Kedua
Laporan Insidentil
Pasal 24
BPR dan BPRS wajib menyampaikan laporan kepada
Otoritas Jasa Keuangan mengenai kondisi terkini
penyelenggaraan Teknologi Informasi BPR atau BPRS:
a. paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini berlaku; dan
b. paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak Teknologi
Informasi efektif beroperasi dalam hal jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada huruf a terlampaui dan
terjadi perubahan mendasar dalam penyelenggaraan
Teknologi Informasi.
- 22 -
Pasal 25
BPR dan BPRS wajib menyampaikan laporan realisasi kerja
sama dengan penyedia jasa Teknologi Informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) paling
lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak penyelenggaraan
Teknologi Informasi BPR atau BPRS oleh penyedia jasa
Teknologi Informasi efektif beroperasi.
Pasal 26
(1) BPR dan BPRS wajib melaporkan kepada Otoritas
Jasa Keuangan mengenai kejadian kritis,
penyalahgunaan, dan/atau kejahatan dalam
penyelenggaraan Teknologi Informasi yang dapat atau
telah mengakibatkan kerugian keuangan yang
signifikan dan/atau mengganggu kelancaran
operasional BPR atau BPRS.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan melalui surat elektronik (e-mail) atau
telepon paling lambat 1 (satu) hari setelah kejadian
kritis, penyalahgunaan dan/atau kejahatan diketahui,
yang diikuti dengan laporan tertulis paling lambat 7
(tujuh) hari kerja
sejak
penyalahgunaan dan/atau kejahatan diketahui.
BAB IX
SANKSI
Pasal 27
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (4), Pasal 7, Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat
(1), Pasal 14 ayat (3), Pasal 14 ayat (4), Pasal 15, Pasal 16,
Pasal 17 ayat (1), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal
17 ayat (4), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19 ayat (1), Pasal 19
ayat (3), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Pasal 22 ayat
(2), dan/atau Pasal 22 ayat (3) dikenakan sanksi
administratif berupa:
kejadian kritis,
- 23 -
a.
teguran tertulis;
b. penurunan peringkat tingkat kesehatan;
c.
larangan pembukaan jaringan kantor;
d. penghentian sementara sebagian kegiatan usaha BPR
dan BPRS; dan/atau
e. pencantuman pengurus BPR atau BPRS dalam daftar
pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak lulus
melalui mekanisme uji kemampuan dan kepatutan
BPR dan BPRS.
Pasal 28
(1) BPR dan BPRS yang terlambat menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal
23 ayat (3), Pasal 24, Pasal 25, dan/atau Pasal 26 ayat
(2) dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis dan kewajiban membayar sebesar
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja
keterlambatan dengan jumlah paling banyak
Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(2) BPR dan BPRS dinyatakan terlambat menyampaikan
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila
Otoritas Jasa Keuangan menerima laporan yang
disampaikan oleh BPR atau BPRS dalam jangka waktu
paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah batas
akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (3),
Pasal 24, Pasal 25 dan/atau Pasal 26 ayat (2).
Pasal 29
(1) BPR dan BPRS yang tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal
23 ayat (3), Pasal 24, Pasal 25 dan/atau Pasal 26 ayat
(2) dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar
sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(2) BPR dan BPRS dinyatakan tidak menyampaikan
laporan sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1)
apabila Otoritas Jasa Keuangan tidak menerima
- 24 -
laporan dari BPR atau BPRS dalam jangka waktu 20
(dua puluh) hari kerja setelah batas akhir waktu
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (3), Pasal 24, Pasal 25
dan/atau Pasal 26 ayat (2).
(3) BPR dan BPRS yang dikenakan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tetap wajib menyampaikan
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(1), Pasal 23 ayat (3), Pasal 24, Pasal 25 dan/atau
Pasal 26 ayat (2).
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 30
(1) BPR dan BPRS yang telah memperoleh izin usaha
pada saat POJK ini diundangkan wajib memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (2),
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1),
Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (3), Pasal 14 ayat (4),
Pasal 16, Pasal 22 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 22
ayat (3), Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (3) paling
lambat 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini berlaku.
(2) BPR dan BPRS dalam proses pendirian dan belum
memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan
wajib memenuhi seluruh ketentuan dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini pada saat pelaksanaan
kegiatan operasional.
- 25 -
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Ketentuan lebih lanjut mengenai Standar Penyelenggaraan
Teknologi Informasi bagi BPR atau BPRS diatur dalam
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 32
Dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
maka:
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
27/164/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 27/9/UPPB masing-masing tanggal 31 Maret
1995 tentang Penggunaan Teknologi Sistem Informasi
oleh Bank; dan
b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/175/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 31/14/UPPB tanggal 22 Desember 1998
tentang Penyempurnaan Teknologi Sistem Informasi
Bank dalam Menghadapi Tahun 2000,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini diberlakukan.
- 26 -
Pasal 33
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 308
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 75/POJK.03/2016 </reg_id>
<reg_title> STANDAR PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI INFORMASI BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 28 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '31/14/UPPB|SE-BI/1998', '27/9/UPPB|SE-BI/1995', '27/164/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995', '31/175/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 77 /POJK.01/2016
TENTANG
LAYANAN PINJAM MEMINJAM UANG BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa teknologi informasi telah digunakan untuk
mengembangkan industri keuangan yang dapat
mendorong tumbuhnya alternatif pembiayaan bagi
masyarakat;
b. bahwa dalam rangka mendukung pertumbuhan
lembaga jasa keuangan berbasis teknologi informasi
sehingga dapat lebih berkontribusi terhadap
perekonomian nasional;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi;
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
LAYANAN PINJAM MEMINJAM UANG BERBASIS
TEKNOLOGI INFORMASI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang
dimaksud dengan:
1. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah lembaga yang independen, yang
mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
2. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya adalah pergadaian,
lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor
Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder
perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakan
pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib,
meliputi penyelenggara program jaminan sosial,
pensiun, dan kesejahteraan, sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan mengenai
pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor
Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder
perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakan
pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta
lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi
oleh OJK berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
3. Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi adalah penyelenggaraan layanan jasa
keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman
dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan
perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah
- 3 -
secara langsung melalui sistem elektronik dengan
menggunakan jaringan internet.
4. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan
prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan,
mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan,
menampilkan,
mengumumkan, mengirimkan,
dan/atau menyebarkan informasi elektronik di bidang
layanan jasa keuangan.
5. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk
mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses,
mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan
informasi di bidang layanan jasa keuangan.
6. Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi yang selanjutnya disebut
Penyelenggara adalah badan hukum Indonesia yang
menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi.
7. Penerima Pinjaman adalah orang dan/atau badan
hukum yang mempunyai utang karena perjanjian
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi.
8. Pemberi Pinjaman adalah orang, badan hukum,
dan/atau badan usaha yang mempunyai piutang
karena perjanjian Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi.
9. Pengguna Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi yang selanjutnya disebut Pengguna
adalah Pemberi Pinjaman dan Penerima Pinjaman yang
menggunakan Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi.
10. Direksi:
a. bagi Penyelenggara yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; atau
- 4 -
b. bagi Penyelenggara yang berbentuk badan hukum
koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian.
11. Komisaris:
a. bagi Penyelenggara yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas adalah komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; atau
b. bagi Penyelenggara yang berbentuk badan hukum
koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian.
12. Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik
yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat
dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui
komputer atau Sistem Elektronik termasuk tetapi tidak
terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan,
foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses,
simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti
atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
13. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat
elektronik yang memuat tanda tangan elektronik dan
identitas yang menunjukkan status subjek hukum para
pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh
penyelenggara sertifikasi elektronik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
14. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan
hukum yang berfungsi sebagai pihak yang memberikan
dan mengaudit Sertifikat Elektronik yang terdaftar di
OJK.
- 5 -
15. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang
terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan,
terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik
lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan
autentikasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
BAB II
PENYELENGGARA LAYANAN PINJAM MEMINJAM UANG
BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI
Bagian Kesatu
Bentuk Badan Hukum, Kepemilikan, dan Permodalan
Pasal 2
(1) Penyelenggara dinyatakan sebagai Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya.
(2) Badan hukum Penyelenggara berbentuk:
a. perseroan terbatas; atau
b. koperasi.
Pasal 3
(1) Penyelenggara berbentuk badan hukum perseroan
terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
huruf a, dapat didirikan dan dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia; dan/atau
b. warga negara asing dan/atau badan hukum asing.
(2) Kepemilikan saham Penyelenggara oleh warga negara
asing dan/atau badan hukum asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, baik secara langsung
maupun tidak langsung paling banyak 85% (delapan
puluh lima persen).
- 6 -
Pasal 4
(1) Penyelenggara berbentuk badan hukum perseroan
terbatas wajib memiliki modal disetor paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) pada saat
pendaftaran.
(2) Penyelenggara berbentuk badan hukum koperasi wajib
memiliki
modal sendiri
paling
sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) pada saat
pendaftaran.
(3) Penyelenggara wajib
memiliki modal disetor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau modal
sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
sedikit Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta
rupiah) pada saat mengajukan permohonan perizinan.
Bagian Kedua
Kegiatan Usaha
Pasal 5
(1) Penyelenggara
menyediakan, mengelola, dan
mengoperasikan Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi dari pihak Pemberi
Pinjaman kepada pihak Penerima Pinjaman yang
sumber dananya berasal dari pihak Pemberi Pinjaman.
(2) Penyelenggara dapat bekerja sama dengan
penyelenggara layanan jasa keuangan berbasis
teknologi informasi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Batasan Pemberian Pinjaman Dana
Pasal 6
(1) Penyelenggara wajib memenuhi ketentuan batas
maksimum total pemberian pinjaman dana kepada
setiap Penerima Pinjaman.
- 7 -
(2) Batas maksimum total pemberian pinjaman dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(3) OJK dapat melakukan peninjauan kembali atas batas
maksimum total pemberian pinjaman dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Bagian Keempat
Pendaftaran dan Perizinan
Pasal 7
Penyelenggara wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan
kepada OJK.
Paragraf 1
Pendaftaran
Pasal 8
(1) Penyelenggara yang akan melakukan kegiatan Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
mengajukan permohonan pendaftaran kepada OJK.
(2) Penyelenggara yang telah melakukan kegiatan Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
sebelum peraturan OJK ini diundangkan, harus
mengajukan permohonan pendaftaran kepada OJK
paling lambat 6 (enam) bulan setelah peraturan OJK ini
berlaku.
(3) Permohonan
pendaftaran oleh Penyelenggara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
disampaikan oleh Direksi kepada Kepala Eksekutif
Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya
dengan menggunakan Formulir 1 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari peraturan OJK ini, dan
dilampiri dengan dokumen yang paling sedikit memuat:
- 8 -
a. akta pendirian badan hukum termasuk anggaran
dasar berikut perubahannya (jika ada) yang telah
disahkan/disetujui oleh instansi yang berwenang
atau diberitahukan kepada instansi yang
berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. bukti identitas diri dan daftar riwayat hidup yang
dilengkapi dengan pas foto berwarna yang terbaru
berukuran 4x6 cm dari:
1. pemegang saham yang memiliki saham paling
sedikit 20% (dua puluh persen);
2. anggota Direksi; dan
3. anggota Komisaris;
c.
fotokopi nomor pokok wajib pajak badan;
d. surat keterangan domisili Penyelenggara dari
instansi yang berwenang;
e. bukti kesiapan operasional kegiatan usaha berupa
dokumen terkait Sistem Elektronik yang
digunakan Penyelenggara dan data kegiatan
operasional.
f.
bukti pemenuhan syarat permodalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) atau Pasal 4 ayat
(2);
g. surat pernyataan rencana penyelesaian terkait hak
dan kewajiban Pengguna dalam hal perizinan
Penyelenggara tidak disetujui oleh OJK.
(4) Persetujuan atas permohonan pendaftaran dilakukan
dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
sejak diterimanya dokumen permohonan pendaftaran
sesuai dengan persyaratan dalam peraturan OJK ini.
persetujuan
(5) OJK menetapkan
pendaftaran
Penyelenggara dengan memberikan surat tanda bukti
terdaftar.
Pasal 9
(1) Penyelenggara
yang telah terdaftar
wajib
menyampaikan laporan secara berkala setiap 3 (tiga)
- 9 -
bulan untuk periode yang berakhir pada tanggal 31
Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember
kepada OJK dengan informasi yang paling sedikit
memuat:
a. jumlah Pemberi Pinjaman dan Penerima Pinjaman;
b. kualitas pinjaman yang diterima oleh Penerima
Pinjaman berikut dasar penilaian kualitas
pinjaman; dan
c. kegiatan yang telah dilakukan setelah terdaftar di
OJK.
(2) Laporan berkala setiap 3 (tiga) bulan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada OJK
paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak
jatuh tempo tanggal pelaporan.
Pasal 10
(1) Penyelenggara yang telah terdaftar di OJK, wajib
mengajukan permohonan izin sebagai Penyelenggara
dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak
tanggal terdaftar di OJK.
(2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) telah berakhir, Penyelenggara yang telah
mendapatkan surat tanda bukti terdaftar dan tidak
menyampaikan permohonan perizinan atau tidak
memenuhi persyaratan perizinan, surat tanda bukti
terdaftar Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (5) dinyatakan batal.
(3) Penyelenggara yang surat tanda bukti terdaftarnya
dinyatakan batal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak dapat lagi menyampaikan permohonan
pendaftaran kepada OJK.
(4) Penyelenggara yang surat tanda bukti terdaftarnya
dinyatakan batal sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
harus menyelesaikan hak dan kewajiban Pengguna
sesuai dalam surat pernyataan rencana penyelesaian.
(5) Penyelenggara yang masih terdaftar dan menyatakan
tidak mampu meneruskan kegiatan operasionalnya,
- 10 -
harus mengajukan permohonan kepada OJK disertai
dengan alasan ketidakmampuan, dan rencana
penyelesaian hak dan kewajiban Pengguna.
Paragraf 2
Perizinan
Pasal 11
(1) Permohonan perizinan Penyelenggara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) disampaikan oleh
Direksi Penyelenggara kepada Kepala Eksekutif
Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya
dengan menggunakan Formulir 2 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari peraturan OJK ini dan
dilampiri paling sedikit:
a. akta pendirian badan hukum termasuk anggaran
dasar berikut perubahannya (jika ada) yang telah
disahkan/disetujui oleh instansi yang berwenang
atau diberitahukan kepada instansi yang
berwenang, yang paling sedikit memuat:
1. nama dan tempat kedudukan;
2. kegiatan usaha sebagai Perusahaan Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi;
3. permodalan;
4. kepemilikan;
5. wewenang, tanggung jawab, masa jabatan
Direksi, dan Komisaris; dan
6. perubahan anggaran dasar terakhir (jika ada)
disertai dengan bukti pengesahan,
persetujuan dan/atau surat penerimaan
pemberitahuan dari instansi berwenang;
b. daftar kepemilikan, berupa:
1. daftar pemegang saham berikut rincian
besarnya masing-masing kepemilikan saham
- 11 -
bagi Penyelenggara berbentuk badan hukum
perseroan terbatas; atau
2. daftar anggota berikut jumlah simpanan
pokok dan simpanan wajib bagi
Penyelenggara berbentuk badan hukum
koperasi;
c. data pemegang saham:
1. bagi orang perseorangan, dilampiri dengan:
a)
fotokopi tanda pengenal berupa kartu
tanda penduduk yang masih berlaku
atau paspor bagi warga negara asing;
b) fotokopi nomor pokok wajib pajak;
c)
daftar riwayat hidup dengan dilengkapi
pas foto berwarna yang terbaru
berukuran 4x6 cm; dan
d) surat pernyataan bermeterai yang
menyatakan:
1) setoran modal Penyelenggara tidak
berasal dari pinjaman;
2) setoran modal Penyelenggara tidak
berasal dari kegiatan pencucian
uang (money laundering) dan
kejahatan keuangan;
3) tidak tercatat dalam daftar kredit
macet;
4) tidak pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana di bidang
usaha jasa keuangan dan/atau
perekonomian
berdasarkan
putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap
dalam 5 (lima) tahun terakhir;
5) tidak pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana kejahatan
berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan
- 12 -
hukum tetap dalam 5 (lima) tahun
terakhir;
6) tidak pernah dinyatakan pailit atau
bersalah yang menyebabkan suatu
perseroan/perusahaan dinyatakan
pailit berdasarkan keputusan
pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam 5
(lima) tahun terakhir; dan
7) tidak pernah menjadi pemegang
saham pengendali, anggota direksi,
atau anggota dewan komisaris,
pada perusahaan jasa keuangan
yang dicabut izin usahanya karena
melakukan pelanggaran dalam 5
(lima) tahun terakhir;
2. bagi badan hukum, dilampiri dengan:
a) akta pendirian badan hukum termasuk
anggaran dasar berikut perubahan yang
terakhir (jika ada), disertai dengan bukti
pengesahan, persetujuan, atau
pencatatan dari instansi berwenang;
b) surat pernyataan direksi atau yang
setara yang menyatakan bahwa:
1) setoran modal Penyelenggara tidak
berasal dari pinjaman;
2) setoran modal Penyelenggara tidak
berasal dari kegiatan pencucian
uang (money laundering) dan
kejahatan keuangan; dan
3) tidak tercatat dalam daftar kredit
macet;
3. bagi pemerintah pusat, dilampiri dengan
peraturan pemerintah mengenai penyertaan
modal Negara untuk pendirian perusahaan;
- 13 -
4. bagi pemerintah daerah, dilampiri dengan
peraturan daerah mengenai penyertaan
modal daerah untuk pendirian perusahaan;
d. data Direksi dan Komisaris:
1. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda
penduduk yang masih berlaku atau paspor
bagi warga negara asing;
2. daftar riwayat hidup dengan dilengkapi pas
foto berwarna yang terbaru berukuran 4x6
cm;
3. fotokopi nomor pokok wajib pajak; dan
4. surat pernyataan bermeterai dari masing-
masing anggota Direksi, dan Komisaris yang
menyatakan:
a) tidak tercatat dalam daftar kredit macet;
b) tidak pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana di bidang jasa
keuangan dan/atau perekonomian
berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dalam 5 (lima) tahun terakhir;
c)
tidak pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana kejahatan
berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dalam 5 (lima) tahun terakhir;
d) tidak pernah dinyatakan pailit atau
dinyatakan bersalah menyebabkan
suatu badan usaha dinyatakan pailit
berdasarkan putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap
dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan
e)
tidak pernah menjadi pemegang saham,
direksi, komisaris pada perusahaan jasa
keuangan yang dicabut izin usahanya
karena melakukan pelanggaran dalam 5
(lima) tahun terakhir;
- 14 -
e.
f.
fotokopi bukti pemenuhan permodalan yang
dilegalisasi dan masih berlaku selama proses
permohonan perizinan atas nama pada salah satu
bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan/atau berdasarkan
prinsip syariah yang berbadan hukum Indonesia;
struktur organisasi Penyelenggara;
g. pedoman/standar prosedur operasional terkait
penerapan program anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme;
h. rencana kerja untuk 1 (satu) tahun pertama yang
paling sedikit memuat:
1. gambaran mengenai kegiatan usaha yang
akan dilakukan;
2. target dan langkah-langkah yang dilakukan
untuk mewujudkan target dimaksud; dan
3. proyeksi laporan keuangan untuk 1 (satu)
tahun ke depan;
i.
bukti kesiapan operasional berupa:
1. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung
dan ruangan kantor atau unit layanan
(outlet), berupa fotokopi sertifikat hak milik,
hak guna bangunan, atau hak pakai atas
nama Penyelenggara, atau perjanjian sewa
gedung/ruangan; dan
2. daftar inventaris dan peralatan kantor;
j.
fotokopi nomor pokok wajib pajak atas nama
Penyelenggara;
k. surat pernyataan rencana penyelesaian terkait hak
dan kewajiban Pengguna dalam hal Penyelenggara
tidak dapat meneruskan kegiatan operasional
sistem elektronik Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi; dan
bukti pelunasan biaya perizinan.
l.
(2) OJK melakukan penelaahan atas permohonan
perizinan yang disampaikan oleh Penyelenggara.
- 15 -
(3) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan perizinan paling lama 20 (dua puluh) hari
kerja sejak diterimanya dokumen permohonan
perizinan sesuai dengan persyaratan dalam peraturan
OJK ini.
(4) Permohonan perizinan otomatis berlaku apabila jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
terlampaui.
Bagian Kelima
Perubahan Kepemilikan
Pasal 12
Perubahan kepemilikan Penyelenggara harus terlebih
dahulu mendapatkan persetujuan dari OJK.
Bagian Keenam
Pencabutan Izin Atas Permohonan Sendiri
Pasal 13
(1) Penyelenggara yang memperoleh izin dan menyatakan
tidak mampu meneruskan kegiatan operasionalnya,
harus mengajukan permohonan kepada OJK disertai
dengan alasan ketidakmampuan, dan rencana
penyelesaian hak dan kewajiban Pengguna.
(2) OJK mencabut izin Penyelenggara paling lambat 20
(dua puluh) hari kerja sejak tanggal permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Ketujuh
Kualifikasi Sumber Daya Manusia
Pasal 14
(1) Penyelenggara wajib memiliki sumber daya manusia
yang memiliki keahlian dan/atau latar belakang di
bidang teknologi informasi.
(2) Penyelenggara wajib memiliki paling sedikit 1 (satu)
orang anggota Direksi dan 1 (satu) orang anggota
- 16 -
Komisaris yang berpengalaman paling sedikit 1 (satu)
tahun di industri jasa keuangan.
(3) Penyelenggara harus meningkatkan kualitas sumber
daya manusia melalui kegiatan pendidikan dan
pelatihan yang mendukung pengembangan Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
BAB III
PENGGUNA JASA LAYANAN PINJAM MEMINJAM UANG
BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI
Bagian Kesatu
Penerima Pinjaman
Pasal 15
(1) Penerima Pinjaman harus berasal dan berdomisili di
wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Penerima Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri dari:
a. orang perseorangan warga negara Indonesia; atau
b. badan hukum Indonesia.
Bagian Kedua
Pemberi Pinjaman
Pasal 16
(1) Pemberi Pinjaman dapat berasal dari dalam dan/atau
luar negeri.
(2) Pemberi Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri dari:
a. orang perseorangan warga negara Indonesia;
b. orang perseorangan warga negara asing;
c. badan hukum Indonesia/asing;
d. badan usaha Indonesia/asing; dan/atau
e. lembaga internasional.
- 17 -
Pasal 17
(1) Penyelenggara memberikan masukan atas suku bunga
yang ditawarkan oleh Pemberi Pinjaman dan Penerima
Pinjaman dengan mempertimbangkan kewajaran dan
perkembangan perekonomian nasional.
(2) Dalam hal Penerima Pinjaman menerima pinjaman dari
luar negeri, penyelenggaraan Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi tunduk
pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IV
PERJANJIAN LAYANAN PINJAM MEMINJAM UANG
BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI
Pasal 18
Perjanjian pelaksanaan Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi meliputi:
a. perjanjian antara Penyelenggara dengan Pemberi
Pinjaman; dan
b. perjanjian antara Pemberi Pinjaman dengan Penerima
Pinjaman.
Bagian Kesatu
Perjanjian Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi dengan Pemberi Pinjaman
Pasal 19
(1) Perjanjian penyelenggaraan Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi
antara
Penyelenggara dengan Pemberi Pinjaman dituangkan
dalam Dokumen Elektronik.
(2) Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada
pada ayat (1) wajib paling sedikit memuat:
a. nomor perjanjian;
b. tanggal perjanjian;
c. identitas para pihak;
- 18 -
d. ketentuan mengenai hak dan kewajiban para
pihak;
e. jumlah pinjaman;
f. suku bunga pinjaman;
g. besarnya komisi;
h. jangka waktu;
i.
rincian biaya terkait;
j. ketentuan mengenai denda (jika ada);
k. mekanisme penyelesaian sengketa; dan
l. mekanisme penyelesaian dalam hal Penyelenggara
tidak dapat melanjutkan kegiatan operasionalnya.
(3) Penyelenggara wajib menyediakan akses informasi
kepada Pemberi Pinjaman atas penggunaan dananya.
(4) Akses informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak termasuk informasi terkait identitas Penerima
Pinjaman.
(5) Informasi penggunaan dana sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) paling sedikit memuat:
a.
jumlah dana yang dipinjamkan kepada Penerima
Pinjaman;
b.
tujuan pemanfaatan dana oleh Penerima
Pinjaman;
c. besaran bunga pinjaman; dan
d.
jangka waktu pinjaman.
Bagian Kedua
Perjanjian Pemberi Pinjaman dengan Penerima Pinjaman
Pasal 20
(1) Perjanjian pemberian pinjaman antara Pemberi
Pinjaman dengan Penerima Pinjaman dituangkan
dalam Dokumen Elektronik.
(2) Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib paling sedikit memuat:
a. nomor perjanjian;
b. tanggal perjanjian;
c. identitas para pihak;
- 19 -
d. ketentuan mengenai hak dan kewajiban para
pihak;
e. jumlah pinjaman;
f. suku bunga pinjaman;
g. nilai angsuran;
h. jangka waktu;
i.
j.
objek jaminan (jika ada);
rincian biaya terkait;
k. ketentuan mengenai denda (jika ada); dan
l. mekanisme penyelesaian sengketa.
(3) Penyelenggara wajib menyediakan akses informasi
kepada Penerima Pinjaman atas posisi pinjaman yang
diterima.
(4) Akses informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak termasuk informasi terkait identitas Pemberi
Pinjaman.
BAB V
MITIGASI RISIKO
Pasal 21
Penyelenggara dan Pengguna harus melakukan mitigasi
risiko.
Pasal 22
Penyelenggara dapat menjadi anggota sistem layanan
informasi keuangan OJK atau sistem layanan informasi
lainnya yang terdaftar di OJK dengan memenuhi
persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 23
Penyelenggara dapat bekerjasama dan melakukan
pertukaran data dengan penyelenggara layanan pendukung
berbasis teknologi informasi dalam rangka peningkatan
kualitas Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi.
- 20 -
Pasal 24
(1) Penyelenggara wajib menggunakan escrow account dan
virtual account dalam rangka Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
(2) Penyelenggara wajib menyediakan virtual account bagi
setiap Pemberi Pinjaman.
(3) Dalam rangka pelunasan pinjaman, Penerima Pinjaman
melakukan pembayaran melalui escrow account
Penyelenggara untuk diteruskan ke virtual account
Pemberi Pinjaman.
BAB VI
TATA KELOLA SISTEM TEKNOLOGI INFORMASI
PENYELENGGARAAN LAYANAN PINJAM MEMINJAM UANG
BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI
Bagian Kesatu
Pusat Data dan Pusat Pemulihan Bencana
Pasal 25
(1) Penyelenggara wajib menggunakan pusat data dan
pusat pemulihan bencana.
(2) Pusat data dan pusat pemulihan bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib ditempatkan di
Indonesia.
(3) Penyelenggara wajib memenuhi standar minimum
sistem teknologi informasi, pengelolaan risiko teknologi
informasi, pengamanan teknologi informasi, ketahanan
terhadap gangguan dan kegagalan sistem, serta alih
kelola sistem teknologi informasi.
Bagian Kedua
Kerahasiaan Data
Pasal 26
Penyelenggara wajib:
- 21 -
a. menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan
data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang
dikelolanya sejak data diperoleh hingga data tersebut
dimusnahkan;
b. memastikan tersedianya proses autentikasi, verifikasi,
dan validasi yang mendukung kenirsangkalan dalam
mengakses, memproses, dan mengeksekusi data
pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang
dikelolanya;
c. menjamin bahwa perolehan, penggunaan,
pemanfaatan, dan pengungkapan data pribadi, data
transaksi, dan data keuangan yang diperoleh oleh
Penyelenggara berdasarkan persetujuan pemilik data
pribadi, data transaksi, dan data keuangan, kecuali
ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan;
d. menyediakan media komunikasi lain selain Sistem
Elektronik Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi untuk memastikan kelangsungan
layanan nasabah yang dapat berupa surat elektronik,
call center, atau media komunikasi lainnya; dan
e. memberitahukan secara tertulis kepada pemilik data
pribadi, data transaksi, dan data keuangan tersebut
jika terjadi kegagalan dalam perlindungan kerahasiaan
data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang
dikelolanya.
Bagian Ketiga
Rekam Jejak Audit
Pasal 27
(1) Penyelenggara wajib menyediakan rekam jejak audit
terhadap seluruh kegiatannya di dalam Sistem
Elektronik Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi.
- 22 -
(2) Penyelenggara wajib memastikan bahwa perangkat
sistem Teknologi Informasi yang dipergunakan
mendukung penyediaan rekam jejak audit.
(3) Rekam jejak audit sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) digunakan untuk keperluan pengawasan,
penegakan hukum, penyelesaian sengketa, verifikasi,
pengujian, dan pemeriksaan lainnya.
Bagian Keempat
Sistem Pengamanan
Pasal 28
(1) Penyelenggara wajib melakukan pengamanan terhadap
komponen sistem teknologi informasi dengan memiliki
dan menjalankan prosedur dan sarana untuk
pengamanan Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi dalam menghindari
gangguan, kegagalan, dan kerugian.
(2) Penyelenggara wajib menyediakan sistem pengamanan
yang mencakup prosedur, sistem pencegahan, dan
penanggulangan terhadap ancaman dan serangan
yang menimbulkan gangguan, kegagalan, dan
kerugian.
(3) Penyelenggara wajib ikut serta dalam pengelolaan
celah keamanan teknologi informasi dalam
mendukung keamanan informasi di dalam industri
layanan jasa keuangan berbasis teknologi informasi.
(4) Penyelenggara wajib menampilkan kembali Dokumen
Elektronik secara utuh sesuai dengan format dan masa
retensi yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
- 23 -
BAB VII
EDUKASI DAN PERLINDUNGAN PENGGUNA LAYANAN
PINJAM MEMINJAM UANG BERBASIS TEKNOLOGI
INFORMASI
Pasal 29
Penyelenggara wajib menerapkan prinsip dasar dari
perlindungan Pengguna yaitu:
a.
transparansi;
b. perlakuan yang adil;
c. keandalan;
d. kerahasiaan dan keamanan data; dan
e.
penyelesaian sengketa Pengguna secara sederhana,
cepat, dan biaya terjangkau.
Pasal 30
(1) Penyelenggara wajib menyediakan dan/atau
menyampaikan informasi terkini mengenai Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan dalam dokumen atau sarana lain yang
dapat digunakan sebagai alat bukti.
Pasal 31
(1) Penyelenggara wajib menyampaikan informasi kepada
Pengguna tentang penerimaan, penundaan, atau
penolakan permohonan Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi.
(2) Dalam hal Penyelenggara menyampaikan informasi
penundaan atau penolakan permohonan layanan jasa
keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Penyelenggara wajib menyampaikan alasan
penundaan atau penolakannya kecuali diatur lain oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan.
- 24 -
Pasal 32
(1) Penyelenggara wajib menggunakan istilah, frasa,
dan/atau kalimat yang sederhana dalam bahasa
Indonesia yang mudah dibaca dan dimengerti oleh
Pengguna dalam setiap Dokumen Elektronik.
(2) Bahasa Indonesia dalam dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat disandingkan dengan
bahasa lain jika diperlukan.
Pasal 33
Penyelenggara mendukung pelaksanaan kegiatan dalam
rangka meningkatkan literasi dan inklusi keuangan.
Pasal 34
Penyelenggara wajib memperhatikan kesesuaian antara
kebutuhan dan kemampuan Pengguna dengan layanan
yang ditawarkan kepada Pengguna.
Pasal 35
Penyelenggara wajib mencantumkan dan/atau
menyebutkan dalam setiap penawaran atau promosi
layanan yang terdiri atas:
a. nama dan/atau logo Penyelenggara; dan
b. pernyataan bahwa Penyelenggara terdaftar dan diawasi
oleh OJK.
Pasal 36
(1) Dalam hal Penyelenggara menggunakan perjanjian
baku, perjanjian baku tersebut wajib disusun sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang digunakan oleh Penyelenggara dilarang:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau
kewajiban Penyelenggara kepada Pengguna; dan
b. menyatakan bahwa Pengguna tunduk pada
peraturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau
perubahan yang dibuat secara sepihak oleh
- 25 -
Penyelenggara dalam
memanfaatkan layanan.
Pasal 37
Penyelenggara wajib bertanggung jawab atas kerugian
Pengguna yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian,
Direksi, dan/atau pegawai Penyelenggara.
Pasal 38
Penyelenggara wajib memiliki standar prosedur operasional
dalam melayani Pengguna yang dimuat dalam Dokumen
Elektronik.
Pasal 39
(1) Penyelenggara dilarang dengan cara apapun,
memberikan data dan/atau informasi mengenai
Pengguna kepada pihak ketiga.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan dalam hal:
a. Pengguna memberikan persetujuan secara
elektronik; dan/atau
b. diwajibkan oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Pembatalan atau perubahan sebagian persetujuan atas
pengungkapan data dan/atau informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan secara
elektronik oleh Pengguna dalam bentuk Dokumen
Elektronik.
Pasal 40
Penyelenggara wajib melaporkan secara elektronik setiap
bulan dalam hal terdapat pengaduan Pengguna disertai
dengan tindak lanjut penyelesaian pengaduan dimaksud
kepada OJK.
periode
Pengguna
- 26 -
BAB VIII
TANDA TANGAN ELEKTRONIK
Pasal 41
(1) Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
dilaksanakan dengan menggunakan tanda tangan
elektronik.
(2) Perjanjian selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang disusun dalam rangka penyelenggaraan Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
dapat menggunakan tanda tangan elektronik.
(3) Penggunaan tanda tangan elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai tanda tangan
elektronik.
BAB IX
PRINSIP DAN TEKNIS PENGENALAN NASABAH
Pasal 42
Penyelenggara wajib menerapkan program anti pencucian
uang dan pencegahan pendanaan terorisme di sektor jasa
keuangan terhadap Pengguna sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai penerapan
program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme.
BAB X
LARANGAN
Pasal 43
Dalam menjalankan kegiatan usaha, Penyelenggara
dilarang:
a. melakukan kegiatan usaha selain kegiatan usaha
Penyelenggara yang diatur dalam peraturan OJK ini;
- 27 -
b. bertindak sebagai Pemberi Pinjaman atau Penerima
Pinjaman;
c. memberikan jaminan dalam segala bentuknya atas
pemenuhan kewajiban pihak lain;
d. menerbitkan surat utang;
e. memberikan rekomendasi kepada Pengguna;
f.
mempublikasikan informasi yang fiktif dan/atau
menyesatkan;
g. melakukan penawaran layanan kepada Pengguna
dan/atau masyarakat melalui sarana komunikasi
pribadi tanpa persetujuan Pengguna; dan
h. mengenakan biaya apapun kepada Pengguna atas
pengajuan pengaduan.
BAB XI
LAPORAN BERKALA
Pasal 44
Penyelenggara yang telah memperoleh izin, wajib
menyampaikan laporan berkala secara elektronik kepada
OJK, yaitu:
a.
b.
laporan bulanan; dan
laporan tahunan.
Pasal 45
(1) Laporan bulanan Penyelenggara wajib paling sedikit
memuat:
a. laporan kinerja keuangan Penyelenggara Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi yang disampaikan dalam bentuk
dokumen fisik dan Dokumen Elektronik;
b.
laporan kinerja penyelenggaraan Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
dalam bentuk dokumen fisik dan Dokumen
Elektronik;
- 28 -
c. Dokumen Elektronik dalam format database
dengan struktur elemen database Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi; dan
d. pengaduan Pengguna disertai dengan tindak
lanjut penyelesaian pengaduan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40;
sesuai Formulir 3 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari peraturan OJK ini.
(2) Dalam hal diperlukan, OJK dapat meminta informasi
dan/atau data tambahan kepada Penyelenggara.
(3) Laporan bulanan disampaikan dalam bentuk dokumen
fisik dan dokumen elektronik.
(4) Laporan bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan kepada Kepala Eksekutif Pengawas
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan,
dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya paling lambat 10
(sepuluh) hari kerja pada bulan berikutnya.
(5) Penyampaian informasi laporan bulanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d ditembuskan pada
anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan
Perlindungan Konsumen.
Pasal 46
(1) Penyelenggara wajib menyampaikan laporan tahunan
kepada OJK untuk periode pelaporan 1 Januari sampai
31 Desember.
(2) Laporan tahunan terdiri dari:
a. laporan keuangan; dan
b. laporan kegiatan penyelenggaraan Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi;
sesuai Formulir 4 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari peraturan OJK ini.
(3) Dalam hal diperlukan, OJK dapat meminta informasi
dan/atau data tambahan kepada Penyelenggara.
- 29 -
(4) Laporan tahunan disampaikan dalam bentuk dokumen
fisik dan dokumen elektronik.
(5) Laporan tahunan sebagaimana ayat (4) disampaikan
kepada Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian,
Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga
Jasa Keuangan Lainnya paling lambat 20 (dua puluh)
hari kerja setelah periode pelaporan berakhir.
BAB XII
SANKSI
Pasal 47
(1) Atas pelanggaran kewajiban dan larangan dalam
peraturan OJK ini, OJK berwenang mengenakan sanksi
administratif terhadap Penyelenggara berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha; dan
d. pencabutan izin.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b sampai dengan huruf d, dapat dikenakan
dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi
administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c dan huruf d.
BAB XIII
KETENTUAN LAIN
Pasal 48
Penyelenggara wajib terdaftar sebagai anggota asosiasi yang
telah ditunjuk oleh OJK.
- 30 -
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 49
Pelaksanaan kerja sama antara Penyelenggara dengan
penyelenggara layanan pendukung berbasis teknologi
informasi yang terdaftar di OJK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 mulai berlaku 2 (dua) tahun sejak Peraturan
OJK ini diundangkan.
Pasal 50
Pada saat peraturan OJK ini berlaku, perjanjian Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang
masih berlangsung dengan nilai pinjaman dana melebihi
batas maksimum total pemberian pinjaman dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, tetap dapat
dilanjutkan sampai dengan berakhirnya jangka waktu
perjanjian dimaksud.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 51
Ketentuan lebih lanjut mengenai Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi antara lain terkait
perubahan batas maksimum total pemberian pinjaman
dana, tata cara pemberian pinjaman, kerja sama antara
Penyelenggara dengan penyelenggara layanan pendukung
lainnya berbasis teknologi informasi, penempatan pusat
data dan standar minimum sistem teknologi informasi,
pengelolaan risiko teknologi informasi, pengamanan
teknologi informasi, ketahanan terhadap gangguan dan
kegagalan sistem serta alih kelola sistem teknologi
informasi, sistem keamanan, kerahasiaan data, kegagalan
sistem transaksi Penyelenggara, pengamanan sistem
teknologi informasi, pengelolaan celah keamanan teknologi
- 31 -
informasi, retensi informasi dan/atau Dokumen Elektronik,
dan tata cara penggunaan Tanda Tangan Elektronik dalam
penyelenggaraan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi, diatur dalam surat edaran OJK.
Pasal 52
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 324
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 77/POJK.01/2016 </reg_id>
<reg_title> LAYANAN PINJAM MEMINJAM UANG BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI </reg_title>
<set_date> 28 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 29 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 29 Desember 2016 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
|
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 48 /POJK.03/2017
TENTANG
TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK PERKREDITAN RAKYAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk menciptakan transparansi kondisi
keuangan dan kinerja Bank Perkreditan Rakyat, Bank
Perkreditan Rakyat mengumumkan laporan keuangan
dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa untuk meningkatkan transparansi kondisi
keuangan dan kinerja Bank Perkreditan Rakyat,
diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara
publikasi kondisi keuangan Bank Perkreditan Rakyat
dan informasi lainnya kepada publik secara berkala,
akurat, dan benar;
c. bahwa penyusunan laporan keuangan tahunan dan
laporan keuangan publikasi Bank Perkreditan Rakyat
sesuai dengan standar akuntansi keuangan untuk
entitas tanpa akuntabilitas publik bagi Bank
Perkreditan Rakyat dan pedoman akuntansi Bank
Perkreditan Rakyat;
d. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas
dan wewenang pengaturan dan pengawasan jasa
keuangan di sektor perbankan dari Bank Indonesia ke
- 2 -
Otoritas Jasa Keuangan diperlukan pengaturan
kembali transparansi kondisi keuangan Bank
Perkreditan Rakyat;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank
Perkreditan Rakyat;
Mengingat
: a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
b. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK
PERKREDITAN RAKYAT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat
BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
- 3 -
secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
2. Laporan Tahunan adalah laporan lengkap mengenai
kinerja suatu BPR dalam kurun waktu 1 (satu) tahun
yang berisi laporan keuangan tahunan dan informasi
umum.
3. Laporan Keuangan Tahunan adalah laporan keuangan
akhir tahun BPR yang disusun berdasarkan standar
akuntansi keuangan yang berlaku bagi BPR dan
pedoman akuntansi BPR.
4. Laporan Keuangan Publikasi adalah laporan keuangan
BPR yang disusun berdasarkan standar akuntansi
keuangan yang berlaku bagi BPR dan pedoman
akuntasi BPR serta dipublikasikan setiap triwulan
sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
5. Tahun Buku adalah tahun takwim atau tahun yang
dimulai dari bulan Januari sampai dengan bulan
Desember.
6. Surat Komentar (Management Letter) adalah surat dari
kantor akuntan publik yang berisi komentar tertulis
dari akuntan publik kepada manajemen bank
mengenai hasil kaji ulang terhadap struktur
pengendalian intern, pelaksanaan standar akuntansi
keuangan yang berlaku bagi BPR atau masalah lain
yang ditemui dalam pelaksanaan audit, beserta saran
perbaikannya.
7. Direksi:
a. bagi BPR berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
- 4 -
beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada BPR
yang belum berubah bentuk badan hukum
menjadi Perusahaan Umum Daerah atau
Perusahaan Perseroan Daerah sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi
adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
8. Dewan Komisaris:
a. bagi BPR berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan
pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah
komisaris sebagaimana dimaksud dalam
- 5 -
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada
BPR yang belum berubah bentuk badan
hukum menjadi Perusahaan Umum Daerah
atau Perusahaan Perseroan Daerah sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah;
c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi
adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
Pasal 2
(1) BPR wajib menyusun dan menyajikan laporan
keuangan dengan bentuk dan cakupan sebagaimana
ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini, yang terdiri atas:
a. Laporan Tahunan; dan
b. Laporan Keuangan Publikasi.
(2) Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun
dalam Bahasa Indonesia.
- 6 -
BAB II
LAPORAN TAHUNAN
Pasal 3
(1) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf a paling sedikit memuat:
a. informasi umum yang meliputi:
1. kepengurusan;
2. kepemilikan;
3. perkembangan usaha BPR;
4. strategi dan kebijakan manajemen; dan
5. laporan manajemen;
b. Laporan Keuangan Tahunan yang terdiri atas:
1. neraca;
2. laporan laba rugi;
3. laporan perubahan ekuitas;
4. laporan arus kas; dan
5. catatan atas laporan keuangan, termasuk
informasi tentang komitmen dan kontinjensi;
c.
opini dari akuntan publik atas Laporan Keuangan
Tahunan BPR yang diaudit oleh akuntan publik;
d. seluruh aspek transparansi dan informasi yang
diwajibkan untuk Laporan Keuangan Publikasi
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini;
e. seluruh aspek pengungkapan (disclosure)
sebagaimana diwajibkan dalam standar akuntasi
keuangan yang berlaku bagi BPR dan pedoman
akuntansi BPR; dan
f. Surat Komentar (Management Letter) atas audit
Laporan Keuangan Tahunan BPR.
(2) Laporan Keuangan Tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b wajib disusun untuk 1 (satu)
Tahun Buku dan disajikan dengan perbandingan
1 (satu) Tahun Buku sebelumnya.
- 7 -
Pasal 4
(1) BPR wajib menyampaikan Laporan Tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib ditandatangani paling sedikit oleh 1 (satu)
anggota Direksi BPR dengan mencantumkan nama
secara jelas.
(3) Dalam hal seluruh anggota Direksi berhalangan,
Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib ditandatangani oleh anggota Dewan
Komisaris atau pejabat yang ditunjuk oleh rapat
umum pemegang saham atau sesuai dengan anggaran
dasar, dengan mencantumkan nama dan jabatan
secara jelas.
(4) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib disampaikan paling lambat akhir bulan April
setelah Tahun Buku berakhir.
Pasal 5
(1) Bagi BPR yang mempunyai total aset paling sedikit
sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah),
Laporan Keuangan Tahunan yang disampaikan dalam
Laporan Tahunan wajib diaudit terlebih dahulu oleh
akuntan publik yang terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Bagi BPR yang mempunyai total aset kurang dari
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), Laporan
Keuangan Tahunan yang disampaikan dalam Laporan
Tahunan yaitu Laporan Keuangan Tahunan yang telah
dipertanggungjawabkan oleh Direksi dalam rapat
umum pemegang saham atau rapat anggota.
(3) Dalam hal Laporan Keuangan Tahunan BPR
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diaudit oleh
akuntan publik, Laporan Keuangan Tahunan yang
disampaikan dalam Laporan Tahunan adalah Laporan
Keuangan Tahunan yang diaudit.
- 8 -
(4) Apabila pelaksanaan audit oleh akuntan publik
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
melewati batas waktu penyampaian Laporan Tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), selain
menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), BPR menyampaikan Laporan
Keuangan Tahunan yang telah diaudit oleh akuntan
publik paling lambat 1 (satu) bulan setelah
diterimanya hasil audit atas Laporan Keuangan.
(5) Laporan Keuangan Tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) disusun sesuai dengan
standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi BPR
dan pedoman akuntansi BPR.
Pasal 6
BPR yang telah menyampaikan Laporan Tahunan namun:
a. Laporan Keuangan Tahunan BPR tidak diaudit oleh
akuntan publik yang terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1); atau
b. Laporan Keuangan Tahunan BPR belum
dipertanggungjawabkan oleh Direksi kepada rapat
umum pemegang saham atau rapat anggota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2),
dinyatakan belum menyampaikan Laporan Tahunan.
Pasal 7
(1) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan
Tahunan, apabila BPR menyampaikan Laporan
Tahunan kepada Otoritas Jasa Keuangan setelah
batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), sampai dengan
paling lambat 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu
penyampaian laporan.
(2) BPR dinyatakan tidak menyampaikan Laporan
Tahunan apabila BPR belum menyampaikan Laporan
- 9 -
Tahunan setelah
batas waktu keterlambatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) BPR yang tidak menyampaikan Laporan Tahunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap wajib
menyampaikan Laporan Tahunan sebelum Tahun
Buku berikutnya.
BAB III
LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI
Pasal 8
(1) BPR wajib mengumumkan Laporan Keuangan
Publikasi triwulanan untuk posisi akhir bulan Maret,
bulan Juni, bulan September, dan bulan Desember
sesuai dengan bentuk dan tata cara yang ditetapkan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Laporan Keuangan Publikasi untuk posisi bulan
Desember disusun berdasarkan Laporan Keuangan
Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(3) Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b paling sedikit memuat:
a. laporan keuangan yang terdiri atas:
1. neraca;
2.
3.
laporan laba rugi; dan
laporan komitmen dan kontinjensi;
b. informasi lain yang paling sedikit terdiri atas:
1. kualitas aset produktif (KAP) untuk:
a) penempatan pada bank lain; dan
b)
kredit yang diberikan, baik kepada
pihak terkait maupun pihak tidak
terkait;
2. rasio keuangan, yang terdiri atas:
a) Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM);
b) Non-Performing Loan (NPL);
c) penyisihan penghapusan aset produktif
(PPAP);
- 10 -
d) Return On Asset (ROA);
e) Beban
f)
Operasional
terhadap
Pendapatan Operasional (BOPO);
cash ratio; dan
g) Loan to Deposit Ratio (LDR); dan
c. susunan anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, dan komposisi pemegang saham
termasuk pemegang saham pengendali.
(4) Laporan Keuangan Publikasi triwulanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disajikan dalam bentuk
perbandingan dengan Laporan Keuangan Publikasi
triwulanan tahun sebelumnya.
Pasal 9
(1) BPR yang mempunyai total aset paling sedikit sebesar
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) wajib:
a. mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi
posisi akhir bulan Maret, bulan Juni, dan bulan
September dalam surat kabar harian lokal atau
menempelkan pada papan pengumuman atau
media lain yang mudah dibaca oleh publik; dan
b. mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi
posisi akhir bulan Desember dalam surat kabar
harian lokal dan menempelkan pada papan
pengumuman atau media lain yang mudah dibaca
oleh publik.
(2) BPR yang mempunyai total aset kurang dari
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) wajib
mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi posisi
akhir bulan Maret, bulan Juni, bulan September, dan
bulan Desember pada surat kabar harian lokal atau
menempelkan pada papan pengumuman atau media
lain yang mudah dibaca oleh publik.
(3) Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
wajib dilakukan paling lambat pada:
- 11 -
a. akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan
laporan untuk Laporan Keuangan Publikasi posisi
akhir bulan Maret, bulan Juni, dan bulan
September; dan
b. akhir bulan keempat setelah berakhirnya bulan
laporan untuk Laporan Keuangan Publikasi posisi
akhir bulan Desember.
Pasal 10
(1) Dalam hal BPR mengumumkan Laporan Keuangan
Publikasi dengan menempelkan pada papan
pengumuman atau media lain yang mudah dibaca oleh
publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Laporan
Keuangan Publikasi wajib:
a. ditempelkan di seluruh kantor BPR; dan
b. ditempelkan secara terus menerus sampai dengan
jangka waktu pelaporan berikutnya.
(2) BPR yang tidak mengumumkan Laporan Keuangan
Publikasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tidak
mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi.
Pasal 11
(1) BPR dinyatakan terlambat mengumumkan Laporan
Keuangan Publikasi apabila mengumumkan Laporan
Keuangan Publikasi setelah batas akhir waktu
pengumuman laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (3) sampai dengan paling lambat 1 (satu)
bulan sejak batas akhir pengumuman laporan.
(2) BPR dinyatakan tidak mengumumkan Laporan
Keuangan Publikasi, apabila BPR belum
mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi setelah
batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Dalam hal BPR telah mengumumkan Laporan
Keuangan Publikasi posisi bulan Desember, namun:
- 12 -
a. Laporan Keuangan Tahunan untuk Laporan
Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) tidak diaudit oleh akuntan publik yang
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; atau
b. Laporan Keuangan Tahunan untuk Laporan
Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2) belum dipertanggungjawabkan oleh
Direksi kepada rapat umum pemegang saham
atau rapat anggota,
BPR dinyatakan belum mengumumkan Laporan
Keuangan Publikasi posisi bulan Desember.
Pasal 12
(1) Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 harus ditandatangani paling sedikit oleh
1 (satu) anggota Direksi dengan mencantumkan nama
secara jelas.
(2) Dalam hal seluruh anggota Direksi berhalangan,
Laporan Keuangan Publikasi ditandatangani oleh
anggota Dewan Komisaris atau pejabat yang ditunjuk
oleh rapat umum pemegang saham atau sesuai
anggaran dasar, dengan mencantumkan nama dan
jabatan secara jelas.
(3) Bagi BPR yang laporan keuangannya diaudit oleh
akuntan publik, Laporan Keuangan Publikasi posisi
akhir bulan Desember harus:
a. memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2); dan
b. mencantumkan nama akuntan publik yang
bertanggung jawab dalam audit (partner in charge)
dan nama kantor akuntan publik yang mengaudit
Laporan Keuangan Tahunan.
Pasal 13
BPR wajib menyampaikan bukti pengumuman kepada
Otoritas Jasa Keuangan berupa:
- 13 -
a. halaman surat kabar yang memuat Laporan Keuangan
Publikasi; dan/atau
b. fotokopi Laporan Keuangan Publikasi yang
ditempelkan pada papan pengumuman atau media
lain,
paling lambat tanggal 14 setelah berakhirnya batas waktu
pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (3).
Pasal 14
(1) BPR wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan rekaman data Laporan Keuangan Publikasi
secara daring (online) melalui sistem pelaporan
Otoritas Jasa Keuangan, paling lambat tanggal 14
setelah batas akhir pengumuman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3).
(2) Dalam hal penyampaian laporan melalui sistem
pelaporan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum dapat dilakukan, BPR
menyampaikan laporan secara daring (online) melalui
aplikasi laporan berkala BPR sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan yang mengatur mengenai laporan
bulanan BPR.
(3) BPR dapat dikecualikan dari kewajiban
menyampaikan rekaman data Laporan Keuangan
Publikasi secara daring
dimaksud pada ayat (1) dan menyampaikan laporan
secara luring (offline), dalam hal:
a. BPR berkedudukan di daerah yang belum tersedia
fasilitas jaringan telekomunikasi;
b. BPR baru beroperasi dengan jangka waktu paling
lama 2 (dua) bulan setelah melakukan kegiatan
operasional;
c. BPR mengalami gangguan teknis; dan/atau
d.
terjadi kerusakan dan/atau gangguan pada
pangkalan data (database) atau jaringan
komunikasi Otoritas Jasa Keuangan, atau Bank
(online) sebagaimana
- 14 -
Indonesia dalam hal penyampaian laporan
melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan
belum dapat dilakukan.
(4) BPR dapat menyampaikan rekaman data Laporan
Keuangan Publikasi secara luring (offline) sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dengan terlebih dahulu
menyampaikan
surat
pemberitahuan
beserta
alasannya kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan
tembusan kepada Bank Indonesia dalam hal
penyampaian laporan melalui sistem pelaporan
Otoritas Jasa Keuangan belum dapat dilakukan.
Pasal 15
(1) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan bukti
pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
dan rekaman data Laporan Keuangan Publikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1),
apabila BPR menyampaikan bukti pengumuman atau
rekaman data Laporan Keuangan Publikasi setelah
berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) sampai dengan
paling lama 1 (satu) bulan sejak batas akhir
penyampaian.
(2) BPR dinyatakan tidak menyampaikan bukti
pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1),
apabila BPR belum menyampaikan bukti
pengumuman atau rekaman data Laporan Keuangan
Publikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal BPR telah menyampaikan rekaman data
Laporan Keuangan Publikasi namun data tidak sesuai
dengan Laporan Keuangan Publikasi yang
diumumkan, BPR dinyatakan belum menyampaikan
rekaman data Laporan Keuangan Publikasi.
setelah batas waktu keterlambatan
- 15 -
BAB IV
TANGGUNG JAWAB LAPORAN KEUANGAN
Pasal 16
Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan
Publikasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab Direksi dan
Dewan Komisaris BPR.
BAB V
KEADAAN KAHAR (FORCE MAJEURE)
Pasal 17
(1) BPR yang mengalami keadaan kahar (force majeure)
yang berdampak pada terlampauinya batas waktu
untuk mengumumkan dan/atau menyampaikan
laporan, dikecualikan dari kewajiban mengumumkan
dan/atau menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), Pasal 9 ayat (3),
Pasal 13, dan Pasal 14 ayat (1).
(2) Untuk memperoleh pengecualian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), BPR harus menyampaikan
surat pemberitahuan disertai penjelasan mengenai
penyebab terjadinya keadaan kahar (force majeure)
yang dialami dan disertai keterangan pejabat yang
berwenang dari instansi terkait di daerah setempat
kepada Otoritas Jasa Keuangan, dengan tembusan
kepada Bank Indonesia dalam hal penyampaian
laporan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa
Keuangan belum dapat dilakukan.
(3) BPR yang memperoleh pengecualian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib mengumumkan
dan/atau menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), Pasal 9 ayat (3),
Pasal 13, dan Pasal 14 ayat (1), setelah BPR kembali
melakukan kegiatan operasional secara normal.
(4) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) hanya diberikan hingga keadaan kahar
- 16 -
(force majeure) atau berdasarkan pertimbangan
Otoritas Jasa Keuangan telah dapat teratasi.
BAB VI
SANKSI
Bagian Kesatu
Laporan Tahunan
Pasal 18
(1) BPR yang terlambat menyampaikan Laporan Tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1),
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari
keterlambatan.
(2) BPR yang tidak menyampaikan Laporan Tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2),
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
(3) BPR yang tidak menyampaikan Laporan Tahunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hingga periode
penyampaian Laporan Tahunan berikutnya dikenakan
sanksi administratif, berupa teguran tertulis dan:
a. penurunan tingkat kesehatan bank; dan/atau
b. pencantuman anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris dan/atau pemegang saham pengendali
dalam daftar pihak yang memperoleh predikat
tidak lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan
BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai uji
kemampuan dan kepatutan.
Pasal 19
(1) BPR yang menyampaikan Laporan Tahunan yang
penyusunan dan penyajiannya tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan
Pasal 4 dan/atau standar akuntansi keuangan yang
- 17 -
berlaku bagi BPR dan pedoman akuntansi BPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5)
dikenakan:
a. sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) apabila setelah
diberi surat peringatan sebanyak 2 (dua) kali oleh
Otoritas Jasa Keuangan dengan tenggang waktu 2
(dua) minggu untuk setiap surat peringatan, BPR
tidak memperbaiki dan tidak menyampaikan
laporan dimaksud; dan
b. sanksi administratif berupa teguran tertulis dan:
1) penurunan tingkat kesehatan bank;
dan/atau
2) pencantuman anggota Direksi dan anggota
Dewan Komisaris dalam daftar pihak yang
memperoleh predikat tidak lulus dalam uji
kemampuan dan kepatutan BPR
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai
uji kemampuan dan kepatutan.
(2) BPR yang menyampaikan Laporan Tahunan yang
isinya secara material tidak sesuai dengan keadaan
sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
selain dikenakan sanksi administratif berupa denda
dan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), terhadap anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, pegawai BPR maupun pihak terafiliasi
lainnya dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 50
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan.
- 18 -
Bagian Kedua
Laporan Keuangan Publikasi
Pasal 20
(1) BPR yang dinyatakan terlambat mengumumkan
Laporan Keuangan Publikasi pada surat kabar harian
lokal dan/atau menempelkannya pada papan
pengumuman atau media lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1), masing-masing dikenakan
sanksi administratif berupa
denda
Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari
keterlambatan.
(2) BPR yang tidak mengumumkan Laporan Keuangan
Publikasi pada surat kabar harian lokal dan/atau
menempelkannya pada papan pengumuman atau
media lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2), masing-masing dikenakan
administratif berupa denda sebesar Rp3.000.000,00
(tiga juta rupiah).
Pasal 21
(1) BPR yang terlambat menyampaikan bukti
pengumuman dan/atau rekaman data Laporan
Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (1), masing-masing dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima
puluh ribu rupiah) per hari keterlambatan.
(2) BPR yang tidak menyampaikan bukti pengumuman
atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), atau
penyampaian masing-masing dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp3.000.000,00
(tiga juta rupiah).
Pasal 22
BPR yang telah dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 21, tetap diwajibkan
sebesar
sanksi
- 19 -
untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB VII
LAIN-LAIN
Pasal 23
Apabila batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (4), Pasal 5 ayat (4), Pasal 7 ayat (1),
Pasal 7 ayat (2), Pasal 9 ayat (3), Pasal 11 ayat (1), Pasal 11
ayat (2), Pasal 13, Pasal 14 ayat (1), dan Pasal 15 ayat (1)
dan ayat (2), jatuh pada hari libur, batas waktu kewajiban
jatuh pada hari kerja berikutnya.
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai Laporan Tahunan,
Laporan Keuangan Publikasi, dan Sanksi sebagaimana
dimaksud dalam BAB II, BAB III, dan BAB VI diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
BAB VIII
PENUTUP
Pasal 25
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/3/PBI/2013
tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan
Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5418), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,
kecuali Pasal 17 ayat (3) dinyatakan masih tetap berlaku
sampai dengan berlakunya peraturan pelaksanaan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penggunaan
jasa akuntan publik dan kantor akuntan publik dalam
kegiatan jasa keuangan.
- 20 -
Pasal 26
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 154
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 48 /POJK.03/2017
TENTANG
TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK PERKREDITAN RAKYAT
I. UMUM
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan, BPR wajib menyampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan dan mengumumkan laporan keuangan dalam
bentuk neraca, laporan laba rugi, dan penjelasannya, serta laporan
berkala lainnya dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Otoritas
Jasa Keuangan.
Untuk melindungi kepentingan masyarakat melalui penerapan
tata kelola, yang salah satu aspek pentingnya adalah transparansi
kondisi keuangan kepada publik, laporan keuangan yang diumumkan
harus diyakini dapat diakses dengan mudah oleh para stakeholders
untuk dapat melindungi kepentingan masyarakat penyimpan dana,
investor dan/atau pengguna lainnya sehingga akhirnya dapat
meningkatkan kepercayaan publik terhadap perbankan nasional.
Agar laporan keuangan dapat memberikan informasi yang
akurat dan benar serta dapat diperbandingkan, laporan keuangan
harus disusun sesuai dengan standar akuntansi serta pedoman
pencatatan dan pelaporan yang berlaku bagi Bank Perkreditan Rakyat.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan
Keuangan Tahunan yang
telah
dipertanggungjawabkan dalam rapat umum pemegang saham
atau rapat anggota dibuktikan dengan penyampaian risalah
rapat umum pemegang saham atau rapat anggota.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 7
Ayat (1)
Contoh:
Penyampaian Laporan Tahunan 2018 yang wajib diaudit oleh
akuntan publik dinyatakan terlambat apabila disampaikan
dalam kurun waktu 1 Mei sampai dengan 31 Mei 2019.
Ayat (2)
Contoh:
Laporan Tahunan 2018 yang wajib diaudit oleh akuntan
publik dinyatakan tidak disampaikan apabila disampaikan
setelah tanggal 31 Mei 2019.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “surat kabar harian lokal” adalah
surat kabar yang mempunyai peredaran di wilayah
kedudukan BPR.
Yang dimaksud dengan “media lainnya” termasuk segala
sarana yang digunakan oleh BPR untuk menempelkan
laporan keuangan, misalnya dinding depan kantor BPR.
Yang dimaksud dengan “mudah dibaca oleh publik” adalah
Laporan Keuangan Publikasi yang ditempelkan pada papan
pengumuman atau media lain di kantor BPR yang langsung
dapat dilihat dan dibaca oleh masyarakat umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal 10
Ayat (1)
Contoh:
Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2019 ditempelkan
pada papan pengumuman atau media lain hingga masuk
periode pengumuman Laporan Keuangan Publikasi bulan
Juni 2019.
Yang dimaksud dengan kantor BPR adalah kantor pusat,
kantor cabang, dan kantor kas.
Ayat (2)
Contoh:
Pada saat pemeriksaan bulan Agustus 2019, BPR tidak
menempelkan Laporan Keuangan Publikasi pada papan
pengumuman atau media lain yang mudah dibaca oleh publik
pada salah satu kantor BPR untuk posisi akhir bulan Juni
2019, maka BPR akan dikenakan sanksi tidak
mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi pada periode
Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Juni 2019.
Pasal 11
Ayat (1)
Contoh:
Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2019, BPR
dinyatakan terlambat mengumumkan Laporan Keuangan
Publikasi apabila diumumkan dalam kurun waktu 1 Mei
sampai dengan 31 Mei 2019.
Ayat (2)
Contoh:
Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2019, BPR
dinyatakan tidak mengumumkan Laporan Keuangan
Publikasi apabila diumumkan setelah tanggal 31 Mei 2019.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
- 5 -
Pasal 13
Contoh:
Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Maret 2019 wajib
diumumkan paling lambat tanggal 30 April 2019.
Selanjutnya, BPR wajib menyampaikan guntingan surat kabar
dan/atau fotokopi Laporan Keuangan Publikasi dan rekaman data
Laporan Publikasi paling lambat tanggal 14 Mei 2019.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyampaian rekaman data Laporan Keuangan Publikasi
secara luring (offline) dilakukan dengan cara antara lain
seperti mengirimkan flashdisk, compact disc, atau sarana
rekaman atau transfer data lainnya.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “daerah yang belum tersedia
fasilitas jaringan telekomunikasi” adalah daerah yang
tidak mempunyai sarana jaringan telekomunikasi sesuai
dengan sarana jaringan telekomunikasi yang digunakan
untuk sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah
gangguan yang mengakibatkan BPR pelapor tidak dapat
menyampaikan Laporan Keuangan Publikasi secara
daring (online), antara lain gangguan pada jaringan
telekomunikasi, kebakaran atau pemadaman listrik.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 15
Ayat (1)
Contoh:
Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2019, BPR
dinyatakan terlambat menyampaikan halaman surat kabar
dan/atau fotokopi Laporan Keuangan Publikasi dan rekaman
data Laporan Keuangan Publikasi, jika disampaikan dalam
kurun waktu 15 Mei sampai dengan 14 Juni 2019.
Ayat (2)
Contoh:
Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2019, BPR
dinyatakan tidak menyampaikan guntingan halaman surat
kabar atau fotokopi Laporan Keuangan Publikasi yang
ditempelkan pada papan pengumuman dan rekaman data
Laporan Keuangan Publikasi, apabila disampaikan setelah
tanggal 14 Juni 2019.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan kahar (force majeure)”
adalah keadaan yang secara nyata menyebabkan BPR tidak
dapat mengumumkan dan/atau menyampaikan laporan,
antara lain kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase,
serta bencana alam seperti gempa bumi, dan/atau banjir,
yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi
terkait di daerah setempat.
Contoh:
Apabila BPR mengalami kebakaran di bulan Februari 2019
yang menyebabkan BPR mengalami kerusakan infrastruktur
dan kehilangan data dan/atau informasi secara permanen,
sehingga tidak dapat menyampaikan laporan atau
mengumumkan laporan posisi bulan Desember 2018 sampai
- 7 -
dengan batas waktu penyampaian Laporan Tahunan dan
pengumuman Laporan Keuangan Publikasi, dikecualikan dari
penyampaian pelaporan atau pengumuman.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Yang dimaksud dengan “hari libur” adalah hari Sabtu, hari
Minggu, atau hari libur yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 26
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6097
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 48/POJK.03/2017 </reg_id>
<reg_title> TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title>
<set_date> 12 Juli 2017 </set_date>
<effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date>
<issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date>
<replaced_reg> '15/3/PBI/2013 | kecuali Pasal 17 ayat (3) dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan berlakunya peraturan pelaksanaan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penggunaan jasa akuntan publik dan kantor akuntan publik dalam kegiatan jasa keuangan.' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '10/UU/1998', '7/UU/1992' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA REUANGAN
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 1/POJK.07/2014
TENTANG
LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
DI SEKTOR JASA KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa rangkaian perlindungan Konsumen mencakup
edukasi, pelayanan informasi, dan Pengaduan hingga
fasilitasi penyelesaian Pengaduan;
b. bahwa dalam penyelesaian Pengaduan oleh Lembaga
Jasa Keuangan seringkali tidak tercapai kesepakatan
antara Konsumen dengan Lembaga Jasa Kcuangan;
c. bahwa untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang
mampu menyelesaikan Sengketa secara cepat, murah,
adil, dan efisien;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di
Sektor Jasa Keuangan;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
2. Undang-Undang ...
End of Page 1
2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Rcpublik
Indonesia Nomor 3872);
3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan (Lembaran Negara Tahun 2013
Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5431);
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI
SEKTOR JASA KEUANGAN.
BAB 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan
lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain,
yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan.
2. Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga yang
melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
3. Daftar Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah kumpulan
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh OJK.
. Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan
di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
5. Perbankan ...
End of Page 2
-3-
5. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional dan syariah
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan
dan undang-undang mengenai perbankan syariah.
. Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran
Umum dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan
dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang
berkaitan dengan Efek sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
mengenai pasar modal.
Perasuransian adalah usaha perasuransian yang bergerak di sektor
usaha asuransi, yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun
dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan
perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi
terhadap timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti
atau terhadap hidup atau meninggalnya sescorang, usaha reasuransi,
dan usaha penunjang usaha asuransi yang menyelenggarakan jasa
keperantaraan, penilaian kerugian asuransi dan jasa aktuaria,
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha
8. Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan
program yang menjanjikan manfaat pensiun sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang mengenai dana pensiun.
9. Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan
pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
mengenai lembaga pembiayaan.
10. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya adalah pergadaian, lembaga
penjaminan, lembaga pembiayaan ckspor Indonesia, perusahaan
pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang
menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib,
meliputi penyelenggara program jaminan sosial, pensiun, dan
kesejahteraan, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan ...
End of Page 3
undangan mengenai pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan
ckspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan
pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta lembaga jasa
keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan
antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal,
pemegang polis pada Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun,
berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
12. Pengaduan adalah penyampaian ungkapan ketidakpuasan Konsumen
pada Konsumen yang diduga terjadi karena kesalahan atau kelalaian
Lembaga Jasa Keuangan dalam kegiatan penempatan dana oleh
Konsumen pada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pemanfaatan
pelayanan dan/atau produk Lembaga Jasa Keuangan.
13. Sengketa adalah perselisihan antara Konsumen dengan Lembaga Jasa
Keuangan dalam kegiatan penempatan dana oleh Konsumen pada
Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pemanfaatan pelayanan dan/atau
produk Lembaga Jasa Keuangan setelah melalui proses penyelesaian
Pengaduan oleh Lembaga Jasa Keuangan.
BAB II
PENYELESAIAN PENGADUAN OLEH LEMBAGA JASA KEUANGAN
Pasal 2
(1) Pengaduan wajib diselesaikan terlebih dahulu oleh Lembaga Jasa
Keuangan.
(2) Dalam hal tidak tercapai kescpakatan penyelesaian Pengaduan
scbagaimana dimaksud pada ayat (1), Konsumen dan Lembaga Jasa
Keuangan dapat melakukan penyelesaian Sengketa di luar pengadilan
atau melalui pengadilan.
(3) Penyelesaian ...
End of Page 4
(3) Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Lembaga. Altematif Penyelesalan Sengketa sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dimuat dalam Daftar Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
yang ditetapkan oleh OJK.
(5) Penyelesaian Sengketa melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat rahasia.
Pasal 3
(1) Lembaga Jasa Keuangan wajib menjadi anggota Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa di sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (4).
(2) Dalam hal Lembaga Jasa Keuangan melakukan kegiatan usaha lintas
sektor jasa keuangan, maka Lembaga Jasa Keuangan tersebut hanya
wajib menjadi anggota pada 1 (satu) Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa yang sesuai dengan kegiatan usaha utamanya.
(3) Lembaga Jasa Keuangan wajib melaksanakan putusan Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
BAB II
DAFTAR LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 4
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dimuat dalam Daftar
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang ditetapkan oleh OJK
meliputi Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang
a. mempunyai layanan penyelesaian Sengketa paling kurang berupa
1) mediasi;
2) ajudikasi; dan
3) arbitrase.
b. mempunyai peraturan yang meliputi
1) layanan penyelesaian Sengkcta;
2) prosedur penyelesaian Sengketa
End of Page 5
3) biaya penyelesaian Sengketa;
4) jangka waktu penyelesaian Sengketa;
5) ketentuan benturan kepentingan dan afiliasi bagi mediator,
ajudikator, dan arbiter; dan
6) kode etik bagi mediator, ajudikator, dan arbiter;
menerapkan prinsip aksesibilitas, independensi, keadilan, dan efisiensi
dan efektifitas dalam setiap peraturannya;
. mempunyai sumber daya untuk dapat melaksanakan pelayanan
penyelesaian Sengketa; dan
didirikan oleh Lembaga Jasa Keuangan yang dikoordinasikan oleh
asosiasi dan/atau didirikan oleh lembaga yang menjalankan fungsi self
regulatory organization.
BAB IV
PRINSIP LEMBAGA AL/TERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Bagian Kesatu
Prinsip Aksesibilitas
Pasal 5
(1) Lembaga Altemnatif Penyelesaian Sengketa memiliki skema layanan
penyelesaian Sengketa yang mudah diakses oleh Konsumen
2) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa mengembangkan strategi
komunikasi untuk meningkatkan akses Konsumen terhadap layanan
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dan meningkatkan
pemahaman Konsumen terhadap proses penyelesaian Sengketa yang
dilaksanakan oleh Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa.
3) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa menyediakan layanan yang
mencakup seluruh wilayah Indonesia.
Bagian Kedua
Prinsip Independensi
Pasal 6
(1) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa mempunyai organ pengawas
yang memastikan bahwa Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
telah memenuhi persyaratan untuk menjalankan fungsinya.
(2) Lembaga ...
End of Page 6
(2) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dilarang memberikan hak
veto kepada anggotanya.
(3) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa berkonsultasi dengan
pemangku kepentingan yang relevan dalam menyusun atau mengubah
peraturan sebelum mengimplementasikannya.
(4) Lembaga Altematif Penyelesaian Sengketa mempunyai sumber daya
yang memadai untuk melaksanakan fungsinya dan tidak tergantung
kepada Lembaga Jasa Keuangan tertentu.
Bagian Ketiga
Prinsip Keadilan
Pasal 7
(1) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa memiliki peraturan dalam
pengambilan putusan, dengan ketentuan sebagai berikut:
mediator benar-benar bertindak scbagai fasilitator dalam rangka
mempertemukan kepentingan para pihak yang bersengketa untuk
memperoleh kesepakatan penyelesaian;
b. ajudikator dan arbiter dilarang mengambil putusan berdasarkan
pada informasi yang tidak diketahui para pihak; dan
c. ajudikator dan arbiter wajib memberikan alasan tertulis dalam
setiap putusannya.
(2) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan alasan tertulis
atas penolakan permohonan penyclesaian Sengketa dari Konsumen
dan/atau Lembaga Jasa Keuangan.
Bagian Keempat
Prinsip Efisiensi dan Efektifitas
Pasal 8
(1) Peraturan penyelesaian Sengketa pada Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa mengatur tentang jangka waktu penyelesaian
Sengketa.
(2) Lembaga ..
End of Page 7
(2) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa mengenakan biaya murah
kepada Konsumen dalam penyelesaian Sengketa.
(3) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa memiliki peraturan
penyelesaian Sengketa yang memuat ketentuan yang memastikan
bahwa anggotanya mematuhi dan melaksanakan setiap putusan
Lembaga Altcrnatif Penyelesaian Sengketa.
4) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa mengawasi pelaksanaan
putusan.
BAB V
PELAPORAN LEMBAGA AL/TERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
DI SEKTOR JASA KEUANGAN
Pasal 9
(1) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dimuat dalam Daftar
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang ditetapkan oleh OJK
menyampaikan laporan berkala setiap 6 (enam) bulan yaitu pada bulan
Juni dan Desember kepada OJK, paling lambat pada tanggal 10 bulan
berikutnya.
(2) Dalam hal tanggal pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
jatuh pada hari libur, laporan disampaikan paling lambat pada hari
kerja berikutnya.
(3) Laporan scbagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi paling
kurang
jumlah permohonan penyelesaian Sengketa;
b. demografi dari Konsumen yang mengajukan permohonan
penyelesaian Sengketa;
jumlah permohonan penyelesaian Sengketa yang ditolak karena
tidak memenuhi persyaratan (termasuk alasan penolakan);
d. Sengketa yang masih dalam proses penyelesaian;
e. jangka waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masing-
masing Sengketa;
End of Page 8
-9-
jenis layanan dan/atau produk yang menjadi Sengketa; dan
8. jumlah Sengketa yang telah diputus dan hasil monitoring atas
pelaksanaan putusan dimaksud.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 10
(1) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dibentuk oleh Lembaga Jasa
Keuangan yang dikoordinasikan oleh asosiasi masing-masing scktor
jasa keuangan.
(2) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa bagi sektor perbankan,
pembiayaan, penjaminan, dan pergadaian wajib dibentuk paling lambat
tanggal 31 Desember 2015.
Pasal 11
(1) Dalam hal Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) belum terbentuk, maka Konsumen
dapat mengajukan permohonan fasilitasi penyelesaian Sengketa kepada
(2) Fasilitasi Sengketa oleh OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan OJK yang
mengatur mengenai Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
BAB VII
SANKSI
Pasal 12
(1) Lembaga Jasa Keuangan yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif
antara lain
peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu,
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha, dan/atau
e. pencabutan izin kegiatan usaha.
(2) Sanksi...
End of Page 9
-10-
(2) Sanksi scbagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d,
atau huruf e dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan
sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi denda scbagaimana dimaksud pada ayat (I) huruf b dapat
dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan
pengenaaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf
d, atau huruf e.
(4) Besaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
ditetapkan OJK berdasarkan ketentuan tentang sanksi administratif
berupa denda yang berlaku untuk setiap sektor jasa keuangan.
5) OJK dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 13
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Januari 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Januari 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 12
Kepala Bagian Bantuan Hukum
Direktdrat Hukum,
Mufli Asmawidjaja
End of Page 10
-11-
PENJELASAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 1/POJK.07/2014
TENTANG
LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
DI SEKTOR JASA KEUANGAN
I. UMUM
Perlindungan Konsumen di sektor jasa keuangan bertujuan untuk
menciptakan sistem perlindungan Konsumen yang andal, meningkatkan
pemberdayaan Konsumen, dan menumbuhkan kesadaran Lembaga
Jasa Keuangan sehingga mampu meningkatkan kepercayaan
masyarakat pada sektor jasa keuangan.
Perlindungan Konsumen merupakan rangkaian kebijakan dan
pelaksanaan kegiatan yang mencakup edukasi, pelayanan informasi,
dan pengaduan serta fasilitasi penyelesaian Sengketa bagi Konsumen
sektor jasa keuangan dan masyarakat pengguna jasa keuangan.
Mekanisme penyclesaian Pengaduan di sektor jasa keuangan ditempuh
melalui 2 (dua) tahapan yaitu penyelesaian Pengaduan yang dilakukan
oleh Lembaga Jasa Keuangan (intemal dispute resolution) dan
penyelesaian Sengketa melalui lembaga peradilan atau lembaga di luar
peradilan (extemal dispute resolution).
Penyelesaian Pengaduan oleh Lembaga Jasa Keuangan dilakukan
berdasarkan azas musyawarah untuk mencapai mufakat. Dalam
penyclesaian Pengaduan tidak selalu tercapai kesepakatan antara
Konsumen dengan Lembaga Jasa Keuangan. Dalam rangka melindungi
Konsumen, diperlukan adanya suatu mekanisme penyelesaian Sengketa
antara Konsumen dengan Lembaga Jasa Keuangan di eksteral
Lembaga Jasa Keuangan melalui lembaga peradilan atau lembaga di
Iuar peradilan.
Penyelesaian ...
End of Page 11
-12-
Penyclesaian Sengketa melalui lembaga di luar peradilan dapat
dilakukan oleh Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sejalan
dengan karakteristik dan perkembangan di sektor jasa keuangan yang
senantiasa cepat, dinamis, dan penuh inovasi, maka Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa di luar peradilan memerlukan prosedur yang
cepat, berbiaya murah, dengan hasil yang obyektif, relevan, dan adil.
Penyelesaian Sengketa melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa bersifat rahasia sehingga masing-masing pihak yang
bersengketa lebih nyaman dalam melakukan proses penyelesaian
Sengketa, dan tidak memerlukan waktu yang lama karena didesain
dengan menghindari kelambatan prosedural dan administratif. Selain
itu, penyelesaian Sengketa melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa dilakukan oleh orang-orang yang memang memiliki keahlian
sesuai dengan jenis Sengketa, sehingga dapat menghasilkan putusan
yang obyektif dan relevan.
Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, OJK menerbitkan peraturan
mengenai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di sektor jasa
keuangan. Dalam melakukan fungsinya, Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa memenuhi beberapa prinsip yaitu aksesibilitas,
independensi, kcadilan, dan efisiensi dan efektifitas.
Agar Konsumen dan Lembaga Jasa Keuangan memperoleh tempat
penyelesaian Sengketa yang memenuhi prinsip-prinsip tersebut di atas,
OJK menetapkan Daftar Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di
sektor jasa keuangan.
Dalam rangka menerapkan prinsip aksesibilitas, Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa mengembangkan strategi komunikasi. Hal
tersebut bertujuan untuk meningkatkan akses Konsumen terhadap
layanan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dan meningkatkan
pemahaman Konsumen terhadap proses penyelesaian Sengketa
alternatif. Lembaga Alteratif Penyelesaian Sengketa bersifat
independen dalam artian tidak memiliki ketergantungan kepada
Lembaga Jasa Keuangan tertentu. Mediator, ajudikator, dan arbiter
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa bersifat adil dalam
menjalankan ....
End of Page 12
-13 -
menjalankan tugasnya, yaitu mediator benar-benar bertindak sebagai
fasilitator demi tercapainya kesepakatan penyelesajan dan kewajiban
bagi ajudikator dan arbiter untuk memberikan alasan tertulis dalam
setiap putusannya.
Pemenuhan prinsip efisiensi dan cfektifitas dilakukan oleh Lembaga
Alternatif Penyclesaian Sengketa melalui penentuan jangka waktu
penyelesaian Sengketa, jangka waktu pelaksanaan putusan, dan
pengenaan biaya murah dalam penyelesaian Sengketa.
Dengan tersedianya mekanisme penyclesaian Sengketa di sektor jasa
keuangan melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang
menerapkan prinsip-prinsip aksesibilitas, independensi, keadilan, dan
efisiensi dan cfektifitas, rangkaian sistem perlindungan Konsumen akan
meningkatkan kepercayaan Konsumen kepada Lembaga Jasa Keuangan
dan membawa dampak positif bagi perkembangan industri jasa
keuangan dalam mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa bersifat
rahasia adalah bersifat tertutup dan putusannya tidak
diumumkan.
Pasal 3...
End of Page 13
-14-
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh Lembaga Jasa Keuangan yang melakukan kegiatan
lintas sektor jasa kcuangan adalah sebagai berikut
PT Bank XYZ Tbk melakukan kegiatan usaha utama sebagai
bank umum yang telah melakukan penawaran umum, juga
menjadi agen penjual asuransi, menjadi bank
kustodian, serta bertindak sebagai agen penjual efek reksa
dana, sehingga PT XYZ Tbk melakukan kegiatan lintas
sektor jasa keuangan yaitu di scktor Perbankan,
Perasuransian, dan Pasar Modal. PT XYZ Tbk tersebut hanya
wajib menjadi anggota pada 1 (satu) Lembaga Alternatif
Ponyclesaian Sengketa yaitu sektor Perbankan.
Ayat (3)
Putusan Lembaga Alternatif Penyclesaian Sengketa mengikat
Lembaga Jasa Keuangan. Yang dimaksud dengan 'putusan'
termasuk akta kescpakatan mediasi.
Pasal 4
Huruf a
1) Yang dimaksud dengan 'mediasi' adalah cara
penyelesaian Sengketa melalui pihak kctiga yang
ditunjuk oleh pihak yang bersengketa untuk membantu
pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan.
2) Yang dimaksud dengan 'ajudikasi' adalah cara
penyelesaian Sengketa melalui pihak ketiga yang
ditunjuk para pihak yang bersengketa untuk
menjatuhkan putusan atas Sengketa yang timbul
diantara pihak dimaksud.
Putusan ajudikasi mengikat kcpada Lembaga Jasa
Keuangan. Apabila Konsumen menyetujui putusan
ajudikasi meskipun Lembaga Jasa Keuangan tidak
menyetujuinya ...
End of Page 14
-15-
menyetujuinya, maka Lembaga Jasa Keuangan wajib
melaksanakan putusan ajudikasi. Sebaliknya apabila
Konsumen tidak menyetujui putusan ajudikasi
walaupun Lembaga Jasa Keuangan menyetujuinya maka
putusan tidak dapat dilaksanakan.
3) Yang dimaksud dengan 'arbitrase' adalah cara
penyelesaian suatu Sengketa perdata di luar peradilan
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan 'sumber daya' meliputi antara lain
sumber daya manusia (mediator, ajudikator, arbiter,
pengelola administrasi dan lain lain), sarana dan prasarana.
Huruf e
Yang dimaksud dengan 'lembaga yang menjalankan fungsi
self regulatory organization' antara lain Bursa Efek,
Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan 'mudah diakses' antara lain
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa menyediakan
sarana yang memudahkan Konsumen untuk mengetahui
jenis layanan penyclesaian Sengketa.
Ayat (2)
Contoh pengembangan strategi komunikasi untuk
meningkatkan pemahaman Konsumen terhadap proses
penyelesaian Sengketa antara lain melalui uuebsite Lembaga
Alternatif .
End of Page 15
-16-
Alternatif Penyelesaian Sengketa atau dalam brosur yang
disediakan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Ayat (3)
Dalam menyediakan layanan yang mencakup seluruh
wilayah Indonesia, Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
tidak harus memiliki kantor di setiap wilayah Indonesia,
namun Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dapat
menyediakan layanan dengan memanfaatkan teknologi
informasi antara lain alat teleconference dan/atau video
conference.
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan 'organ pengawas' antara lain dewan
penasihat atau dewan pengawas yang tugasnya melakukan
pengawasan terhadap kegiatan Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan 'hak veto' antara lain hak untuk
mengganti pengurus atau mengubah peraturan Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan 'pemangku kepentingan' antara lain
asosiasi atau perhimpunan Konsumen atau lembaga yang
bergerak di bidang perlindungan Konsumen dan asosiasi
atau perhimpunan Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan
masing-masing sektor.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan 'sumber daya' antara lain sumber
daya manusia, sarana, dan prasarana.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
End of Page 16
Huruf b
Dalam hal ajudikator atau arbiter memiliki informasi
dari pihak di luar para pihak yang bersengketa, dan
informasi tersebut digunakan sebagai bahan
pertimbangan pengambilan putusan, maka ajudikator
atau arbiter harus menyampaikan informasi dimaksud
kepada para pihak.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan 'jangka waktu' adalah jangka waktu
penyelesaian sengketa pada tahap mediasi, ajudikasi, dan
arbitrasc.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh ketentuan untuk memastikan bahwa anggota
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa mematuhi dan
melaksanakan setiap putusan Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa adalah ketentuan mengenai jangka
waktu pelaksanaan putusan dimaksud.
Yang dimaksud dengan 'putusan' termasuk akta
kesepakatan mediasi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada ...
End of Page 17
-18 -
kcpada Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen,
Direktorat Pembelaan Hukum Perlindungan Konsumen OJK
dengan alamat
Gedung Radius Prawiro Lantai 2
Komplek Perkantoran Bank Indonesia
Jalan M.H. Thamrin Nomor 2
Jakarta Pusat 10350
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukupjelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Contoh pembentukan Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa di sektor Perbankan dibentuk oleh bank-bank yang
dikoordinasikan oleh asosiasi di sektor Perbankan, misalnya
Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas), Himpunan Bank
Milik Negara (Himbara), Perhimpunan Bank Perkreditan
Rakyat Indonesia (Perbarindo), Asosiasi Bank Pembangunan
Daerah (Asbanda), Asosiasi Bank Syariah Indonesia
(Asbisindo), dan Asosiasi Bank Asing Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5499
End of Page 18
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 1/POJK.07/2014 </reg_id>
<reg_title> LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI SEKTOR JASA KEUANGAN </reg_title>
<set_date> 16 Januari 2014 </set_date>
<effective_date> 23 Januari 2014 </effective_date>
<issued_date> 23 Januari 2014 </issued_date>
<related_reg> '1/POJK.07/2013', '30/UU/1999', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 38 /POJK.04/2014
TENTANG
PENAMBAHAN MODAL PERUSAHAAN TERBUKA TANPA
MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang
: bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas
keterbukaan informasi kepada masyarakat dan
meningkatkan pengawasan atas pelaksanaan
penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa
memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu,
perlu menyempurnakan peraturan mengenai
Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek
Terlebih Dahulu dengan menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Penambahan Modal
Perusahaan Terbuka Tanpa Memberikan Hak
Memesan Efek Terlebih Dahulu;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3608);
: 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111,
Tambahan…
- 2 -
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENAMBAHAN MODAL PERUSAHAAN TERBUKA
TANPA MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK
TERLEBIH DAHULU.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Perusahaan Terbuka adalah Emiten yang telah
melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat
Ekuitas atau Perusahaan Publik.
2. Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu yang
selanjutnya disingkat HMETD adalah hak yang
melekat pada saham yang memberikan
kesempatan pemegang saham yang
bersangkutan untuk membeli saham dan/atau
Efek Bersifat Ekuitas lainnya baik yang dapat
dikonversikan menjadi saham atau yang
memberikan hak untuk membeli saham,
sebelum ditawarkan kepada Pihak lain.
3. Pelaksanaan Penambahan Modal adalah tanggal
dilaksanakannya penyetoran modal atau tanggal
pelaksanaan konversi utang dalam rangka
penambahan modal tanpa memberikan HMETD.
4. Rapat Umum Pemegang Saham yang
selanjutnya disebut RUPS adalah organ
Perusahaan Terbuka yang mempunyai
wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi
atau…
- 3 -
atau Dewan Komisaris sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang tentang Perseroan
Terbatas dan/atau anggaran dasar.
5. Program Kepemilikan Saham Perusahaan
Terbuka selanjutnya disebut
Program
Kepemilikan Saham adalah program penawaran
kepada karyawan, anggota Direksi, dan/atau
anggota Dewan Komisaris Perusahaan Terbuka
dan/atau Perusahaan Terkendali
yang
memenuhi syarat untuk memiliki saham
Perusahaan Terbuka.
BAB II
PERSYARATAN PENAMBAHAN MODAL TANPA HMETD
Pasal 2
(1) Perusahaan Terbuka dapat menambah modal
tanpa memberikan HMETD kepada pemegang
saham sebagaimana diatur dalam peraturan di
sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai
Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu, baik untuk
memperbaiki posisi keuangan maupun selain
untuk memperbaiki posisi keuangan
Perusahaan Terbuka.
(2) Penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa
memberikan HMETD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh
persetujuan RUPS.
(3) RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan yang mengatur mengenai
Rencana dan Penyelenggaraan RUPS
Perusahaan Terbuka dan anggaran dasar
Perusahaan Terbuka.
Pasal 3…
- 4 -
Pasal 3
Penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa
memberikan HMETD untuk memperbaiki posisi
keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) dapat dilakukan sepanjang memenuhi kondisi
sebagai berikut:
a. Perusahaan Terbuka adalah bank yang
menerima pinjaman dari Bank Indonesia atau
lembaga pemerintah lain yang jumlahnya lebih
dari 100% (seratus persen) dari modal disetor
atau kondisi lain yang dapat mengakibatkan
restrukturisasi bank oleh instansi Pemerintah
yang berwenang;
b. Perusahaan Terbuka selain bank yang
mempunyai modal kerja bersih negatif dan
mempunyai liabilitas melebihi 80% (delapan
puluh persen) dari aset Perusahaan Terbuka
tersebut pada saat RUPS yang menyetujui
penambahan modal tanpa memberikan HMETD;
atau
c. Perusahaan Terbuka tidak mampu memenuhi
kewajiban keuangan pada saat jatuh tempo
kepada pemberi pinjaman yang tidak terafiliasi
sepanjang pemberi pinjaman yang tidak
terafiliasi tersebut menyetujui untuk menerima
saham atau obligasi konversi Perusahaan
Terbuka untuk menyelesaikan pinjaman
tersebut.
Pasal 4
(1) Penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa
memberikan HMETD selain untuk memperbaiki
posisi keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) hanya dapat dilakukan paling
banyak 10% (sepuluh persen) dari modal disetor
yang tercantum dalam perubahan anggaran
dasar yang telah diberitahukan dan diterima
Menteri…
- 5 -
Menteri yang berwenang pada saat pengumuman
RUPS, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Penambahan modal Perusahaan Terbuka
tanpa memberikan HMETD selain dalam
rangka Program Kepemilikan Saham
dilakukan dalam 2 (dua) tahun sejak RUPS
untuk penambahan modal Perusahaan
Terbuka tanpa memberikan HMETD
dimaksud; dan
b. Penambahan modal Perusahaan Terbuka
tanpa memberikan HMETD dalam rangka
Program Kepemilikan Saham dilakukan
dalam 5 (lima) tahun sejak RUPS untuk
penambahan modal Perusahaan Terbuka
tanpa memberikan HMETD dalam rangka
Program Kepemilikan Saham dimaksud.
(2) Apabila pada saat Perusahaan Terbuka
melakukan
penambahan
modal
memberikan HMETD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a masih terdapat
pelaksanaan penambahan modal Perusahaan
Terbuka tanpa memberikan HMETD dalam
rangka
Program Kepemilikan Saham
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
yang belum selesai jangka waktunya,
penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa
memberikan HMETD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a hanya dapat dilakukan
paling banyak 10% (sepuluh persen) dari modal
disetor pada saat pengumuman RUPS mengenai
penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa
memberikan HMETD dimaksud, dikurangi
jumlah penambahan modal Perusahaan Terbuka
tanpa memberikan HMETD untuk Program
Kepemilikan Saham yang belum dilaksanakan.
tanpa
(3) Apabila…
- 6 -
(3) Apabila pada saat Perusahaan Terbuka
melakukan
penambahan
modal
memberikan HMETD dalam rangka Program
Kepemilikan Saham sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b masih terdapat
pelaksanaan penambahan modal Perusahaan
Terbuka tanpa memberikan
HMETD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
yang belum selesai jangka waktunya,
penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa
memberikan HMETD dalam rangka Program
Kepemilikan Saham sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan
paling banyak 10% (sepuluh persen) dari modal
disetor pada saat pengumuman RUPS mengenai
penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa
memberikan HMETD dalam rangka Program
Kepemilikan Saham dimaksud, dikurangi jumlah
penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa
memberikan HMETD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a yang belum dilaksanakan.
Pasal 5
(1) Penyetoran atas saham dalam bentuk lain selain
uang hanya
dapat
dilakukan dalam
penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa
memberikan HMETD untuk tujuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
(2) Penyetoran atas saham dalam bentuk lain selain
uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. terkait langsung dengan kebutuhan
Perusahaan Terbuka; dan
b. menggunakan Penilai untuk menentukan
nilai wajar dari bentuk lain selain uang
yang digunakan sebagai penyetoran dan
kewajaran transaksi penyetoran atas saham
dalam…
tanpa
- 7 -
dalam bentuk lain selain uang.
BAB III
KETERBUKAAN INFORMASI
Pasal 6
(1) Perusahaan Terbuka yang menambah modal
tanpa memberikan HMETD kepada pemegang
saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) wajib mengumumkan informasi tentang
penambahan modal tanpa memberikan HMETD
kepada pemegang saham bersamaan dengan
pengumuman RUPS dengan memenuhi Prinsip
Keterbukaan yang paling kurang memuat:
a. alasan dan tujuan penambahan modal
tanpa memberikan HMETD;
b. perkiraan periode pelaksanaan (jika ada);
c. rencana penggunaan dana hasil
penambahan modal tanpa memberikan
HMETD (jika telah dapat ditentukan);
d. analisis dan pembahasan manajemen
mengenai kondisi keuangan Perusahaan
Terbuka sebelum dan sesudah penambahan
modal tanpa memberikan HMETD;
e.
risiko atau dampak penambahan modal
tanpa
memberikan HMETD kepada
pemegang saham termasuk dilusi;
f. keterangan dalam bentuk tabel tentang
rincian struktur modal saham sebelum dan
sesudah penambahan modal tanpa
memberikan HMETD yang paling kurang
mencakup:
1. modal dasar, modal ditempatkan dan
disetor penuh beserta informasi
mengenai jumlah saham, nilai nominal,
dan jumlah nilai nominal;
2. rincian…
- 8 -
2. rincian kepemilikan saham oleh
pemegang saham yang memiliki 5%
(lima persen) atau lebih, direktur, dan
komisaris yang meliputi informasi
mengenai nama, jumlah kepemilikan
sahamnya, jumlah nilai nominal, dan
persentase kepemilikan sahamnya;
3. saham dalam simpanan (portepel), yang
meliputi informasi mengenai jumlah
saham dan nilai nominal; dan
4. proforma modal saham apabila Efek
dikonversikan (jika ada); dan
g. keterangan mengenai calon pemodal (jika
ada) termasuk ada atau tidak adanya
hubungan Afiliasi dengan Perusahaan
Terbuka.
(2) Dalam hal penambahan modal Perusahaan
Terbuka tanpa memberikan HMETD digunakan
untuk pelunasan utang dan/atau konversi
utang Perusahaan Terbuka, selain persyaratan
keterbukaan informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Perusahaan Terbuka wajib
menambahkan informasi dalam pengumuman
berupa:
a. riwayat utang yang akan dilunasi; dan
b. penggunaan dana atas utang yang akan
dilunasi dan/atau dikonversi.
(3) Dalam hal
pemodal yang melakukan
penambahan modal tanpa HMETD adalah pihak
terafiliasi, selain persyaratan keterbukaan
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Perusahaan Terbuka wajib menambahkan
informasi dalam pengumuman berupa:
a. sifat hubungan Afiliasi; dan
b. penjelasan, pertimbangan, dan alasan
dilakukannya…
- 9 -
dilakukannya penambahan modal tanpa
HMETD oleh pemodal yang merupakan
pihak terafiliasi dibandingkan dengan
apabila dilakukan bukan oleh pihak
terafiliasi.
(4) Dalam hal penambahan modal Perusahaan
Terbuka
tanpa
memberikan
HMETD
mengakibatkan perubahan pengendalian
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai Pengambilalihan Perusahaan Terbuka
oleh pengendali baru yang berupa orang
perseorangan, selain persyaratan keterbukaan
informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Perusahaan Terbuka wajib menambahkan
informasi dalam pengumuman mengenai calon
pengendali baru tersebut berupa:
a. nama;
b. alamat;
c. kewarganegaraan;
d. pemilik manfaat (jika ada); dan
e. hubungan Afiliasi-nya dengan Perusahaan
Terbuka (jika ada).
(5) Dalam hal penambahan modal Perusahaan
Terbuka
tanpa
memberikan
HMETD
mengakibatkan perubahan pengendalian
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai Pengambilalihan Perusahaan Terbuka
oleh pengendali baru yang berupa Pihak selain
orang perseorangan,
selain persyaratan
keterbukaan informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Perusahaan Terbuka wajib
menambahkan informasi dalam pengumuman
mengenai calon pengendali baru tersebut
berupa…
- 10 -
berupa:
a. nama Pihak;
b. alamat domisili atau alamat kantor pusat;
c. bidang usaha;
d. bentuk hukum Pihak;
e. susunan pengurus dan/atau pengawas;
f. struktur permodalan;
g. pemilik manfaat; dan
h. hubungan Afiliasi-nya dengan Perusahaan
Terbuka (jika ada).
Pasal 7
Dalam hal penambahan modal Perusahaan Terbuka
tanpa memberikan HMETD dilakukan dalam rangka
memperbaiki posisi keuangan Perusahaan Terbuka
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, selain
persyaratan keterbukaan informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Perusahaan Terbuka wajib
menambahkan informasi dalam pengumuman
berupa:
a. keterangan tentang kreditur yang menyetujui
dan akan berpartisipasi dalam restrukturisasi
utang Perusahaan Terbuka;
b. syarat dan kondisi restrukturisasi utang;
c.
d.
harga saham pada saat Pelaksanaan
Penambahan Modal; dan
penjelasan atas akun–akun yang menyebabkan
posisi keuangan Perusahaan Terbuka
mengalami kondisi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3.
Pasal 8
(1) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 dan Pasal 7 wajib dilakukan paling
kurang melalui:
a. 1(satu)…
- 11 -
a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa
Indonesia yang berperedaran nasional atau
situs web Bursa Efek; dan
b. situs web Perusahaan Terbuka.
(2) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a wajib disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua)
hari kerja setelah pengumuman dimaksud.
Pasal 9
(1)
Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
dan Pasal 7 beserta dokumen pendukungnya
wajib disampaikan Perusahaan Terbuka kepada
Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk dokumen
cetak dan salinan elektronik dari dokumen
pendukung dimaksud bersamaan dengan
pengumuman RUPS.
(2)
Informasi beserta dokumen pendukungnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
tersedia bagi pemegang saham sejak
pengumuman RUPS sampai dengan
pelaksanaan RUPS.
Pasal 10
(1) Perusahaan Terbuka wajib mengumumkan
kepada pemegang saham dan menyampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan perubahan
dan/atau tambahan informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 paling
lambat 2 (dua) hari kerja sebelum pelaksanaan
RUPS.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilakukan paling kurang melalui:
a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa
Indonesia yang berperedaran nasional atau
situs web Bursa Efek; dan
b. situs…
- 12 -
b. situs web Perusahaan Terbuka.
(3) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a wajib disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua)
hari kerja setelah pengumuman dimaksud.
BAB IV
PELAKSANAAN PENAMBAHAN MODAL PERUSAHAAN TERBUKA TANPA
MEMBERIKAN HMETD
Pasal 11
Harga saham pada Pelaksanaan Penambahan Modal
untuk Perusahaan Terbuka yang sahamnya tidak
tercatat dan tidak diperdagangkan di Bursa Efek
paling rendah sama dengan harga pasar wajar yang
ditetapkan oleh Penilai.
Pasal 12
Jangka waktu antara tanggal penilaian yang
diterbitkan Penilai atas penyetoran saham dalam
bentuk lain selain uang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 dan atas harga saham pada
Pelaksanaan Penambahan Modal untuk Perusahaan
Terbuka yang sahamnya tidak tercatat dan tidak
diperdagangkan di Bursa Efek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dengan Pelaksanaan
Penambahan Modal tidak lebih dari 6 (enam) bulan.
Pasal 13
Penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa
memberikan HMETD yang dilaksanakan melalui
Penawaran Umum wajib mengikuti ketentuan
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar
Modal yang mengatur mengenai Penawaran Umum.
BAB V…
- 13 -
BAB V
PENGUMUMAN DAN PEMBERITAHUAN
PELAKSANAAN PENAMBAHAN MODAL
Pasal 14
(1) Perusahaan Terbuka wajib mengumumkan
kepada masyarakat serta memberitahukan
kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai
Pelaksanaan Penambahan Modal paling lambat
5 (lima) hari kerja sebelum Pelaksanaan
Penambahan Modal.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilakukan paling kurang melalui:
a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa
Indonesia yang berperedaran nasional atau
situs web Bursa Efek; dan
b. situs web Perusahaan Terbuka.
(3) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a wajib disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua)
hari kerja setelah pengumuman dimaksud.
Pasal 15
(1) Perusahaan Terbuka wajib mengumumkan
kepada masyarakat serta memberitahukan
kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai hasil
Pelaksanaan Penambahan Modal, yang meliputi
informasi antara lain:
a. pihak yang melakukan penyetoran;
b. jumlah dan harga saham yang diterbitkan;
dan
c. rencana penggunaan dana,
paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah
Pelaksanaan Penambahan Modal.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib…
- 14 -
(1) wajib dilakukan paling kurang melalui:
a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa
Indonesia yang berperedaran nasional atau
situs web Bursa Efek; dan
b. situs web Perusahaan Terbuka.
(3) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a wajib disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua)
hari kerja setelah informasi tersebut
diumumkan.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 16
Dalam hal penambahan modal Perusahaan Terbuka
tanpa memberikan HMETD merupakan Transaksi
Afiliasi, Perusahaan Terbuka dikecualikan untuk
mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
peraturan di sektor Pasar Modal yang mengatur
mengenai Transaksi Afiliasi dan Benturan
Kepentingan Transaksi Tertentu.
Pasal 17
Dalam hal penambahan modal tanpa HMETD
merupakan transaksi yang mengandung Benturan
Kepentingan, Perusahaan Terbuka disamping wajib
memenuhi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini juga
wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam peraturan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Transaksi Afiliasi dan Benturan
Kepentingan Transaksi Tertentu.
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dalam
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
BAB VII…
- 15 -
BAB VII
KETENTUAN SANKSI
Pasal 19
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di
bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan
berwenang mengenakan sanksi administratif
terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut,
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar
sejumlah uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e,
huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan
atau tanpa didahului pengenaan sanksi
administratif berupa peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat
dikenakan secara tersendiri atau secara
bersama-sama dengan pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau
huruf g.
Pasal 20…
- 16 -
Pasal 20
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan
dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap
pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 21
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan
pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan tindakan
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
kepada masyarakat.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 22
Perusahaan Terbuka yang telah menyampaikan mata
acara rapat mengenai penambahan modal
Perusahaan Terbuka tanpa memberikan HMETD
kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini tetap mengikuti
Peraturan Nomor IX.D.4, Lampiran Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Nomor: KEP-429/BL/2009 tanggal 9 Desember 2009
tentang Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan
Efek Terlebih Dahulu.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal
dan Lembaga Keuangan Nomor:
KEP-429/BL/2009 tanggal 9 Desember 2009 tentang
Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek
Terlebih Dahulu beserta Peraturan Nomor IX.D.4 yang
merupakan…
- 17 -
merupakan lampirannya dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 24
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER,
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 395
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum I
Departemen Hukum,
Ttd.
Ttd.
Tini Kustini
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 38/POJK.04/2014 </reg_id>
<reg_title> PENAMBAHAN MODAL PERUSAHAAN TERBUKA TANPA MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU </reg_title>
<set_date> 29 Desember 2014 </set_date>
<effective_date> 30 Desember 2014 </effective_date>
<issued_date> 30 Desember 2014 </issued_date>
<replaced_reg> 'KEP-429/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009', 'KEP-429/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor IX.D.4' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 16 /POJK.05/2016
TENTANG
PEDOMAN TATA KELOLA DANA PENSIUN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan semakin meningkatnya risiko
pengelolaan kekayaan
dana
pensiun dan
penyelenggaraan program pensiun, diperlukan
peningkatan kualitas penyelenggaraan dana pensiun
yang taat terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan selaras dengan praktik yang berlaku
umum melalui penerapan tata kelola dana pensiun;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang tentang Pedoman
Tata Kelola Dana Pensiun;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 37,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3477);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
- 2 -
3. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang
Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Tahun
1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3507);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang
Dana Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3508);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEDOMAN TATA KELOLA DANA PENSIUN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola
dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat
pensiun.
2. Pedoman Tata Kelola Dana Pensiun adalah pedoman
yang dijadikan sebagai landasan penerapan tata kelola
Dana Pensiun.
3. Tata Kelola Dana Pensiun adalah suatu proses dan
struktur yang digunakan oleh Dana Pensiun untuk
pencapaian tujuan penyelenggaraan program pensiun
dengan memperhatikan kepentingan setiap pihak
yang terkait dalam penyelenggaraan Dana Pensiun,
berlandaskan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan praktik yang berlaku umum.
4. Pendiri adalah:
a. orang atau badan yang membentuk Dana Pensiun
Pemberi Kerja;
b. bank atau perusahaan asuransi jiwa yang
membentuk Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
- 3 -
5. Dewan Pengawas adalah dewan pengawas Dana
Pensiun.
6. Pengurus adalah pengurus Dana Pensiun.
7. Pihak adalah perorangan, perusahaan, usaha
bersama, asosiasi, atau sekelompok orang yang
terorganisasi.
8. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
BAB II
PENYUSUNAN, PRINSIP, DAN ISI PEDOMAN TATA KELOLA
DANA PENSIUN
Pasal 2
Dana Pensiun harus menyusun dan menerapkan Pedoman
Tata Kelola Dana Pensiun.
Pasal 3
(1) Dana Pensiun dalam menyusun dan menerapkan
Pedoman Tata Kelola Dana Pensiun, berpedoman pada:
a. prinsip-prinsip tata kelola Dana Pensiun yang
baik yang meliputi:
1) kemandirian, yaitu suatu keadaan Dana
Pensiun yang bebas dari benturan
kepentingan dan atau dari pengaruh atau
tekanan dari setiap Pihak manapun yang
tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan praktik yang
berlaku umum;
2)
transparansi, yaitu suatu keadaan
penyelenggaraan Dana Pensiun yang
menjamin keterbukaan dalam proses
pembuatan dan penerapan keputusan
mengenai penyelenggaraan Dana Pensiun
sesuai dengan peraturan perundang-
- 4 -
undangan yang berlaku dan praktik yang
berlaku umum;
3) akuntabilitas, yaitu suatu keadaan
penyelenggaraan Dana Pensiun yang dapat
menjelaskan pelaksanaan fungsi setiap Pihak
yang terkait dengan Dana Pensiun sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan praktik yang berlaku umum;
4) pertanggungjawaban, yaitu suatu keadaan
penyelenggaraan Dana Pensiun yang dapat
menegaskan dan menjelaskan peranan dan
status dari setiap Pihak yang terkait dengan
Dana Pensiun untuk setiap proses pembuatan
dan penerapan kebijakan di Dana Pensiun; dan
5) kewajaran, yaitu keadilan dan kesetaraan di
dalam memenuhi hak-hak setiap Pihak yang
timbul berdasarkan perjanjian yang mengikat
secara hukum dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku serta praktik yang
berlaku umum; dan
b. pedoman penerapan Tata Kelola Dana Pensiun
sebagaimana tercantum pada Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini.
(2) Pedoman Tata Kelola Dana Pensiun sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disusun oleh Pengurus dan
ditetapkan oleh Pendiri.
(3) Pendiri, pemberi kerja, Dewan Pengawas, Pengurus,
dan Pihak lain yang terkait dengan Dana Pensiun
bertanggung jawab atas penerapan Pedoman Tata
Kelola Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing.
Pasal 4
Pedoman Tata Kelola Dana Pensiun paling sedikit harus
memuat:
a. maksud dan tujuan pedoman;
- 5 -
b. kaidah perilaku diantaranya memuat prinsip tata
kelola dan kode etik sesuai praktik yang berlaku
umum;
c. pengaturan kedudukan, tugas, fungsi, wewenang,
tanggung jawab, hak, dan kewajiban setiap Pihak yang
terkait dengan Dana Pensiun serta hubungan antar
Pihak sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di bidang Dana Pensiun;
d. pedoman teknis yang memuat antara lain pedoman
akuntansi, investasi, sistem pengendalian internal,
perilaku dan kode etik, organisasi dan tata kerja,
pengadaan barang dan jasa, pengambilan keputusan,
pelayanan kepesertaan, surat menyurat, sistem
informasi, penjualan/pelepasan atau penghapusan
aktiva investasi yang bermasalah dan aktiva
operasional, penyusunan anggaran, perpajakan,
pengelolaan risiko, pendanaan dan kearsipan; dan
e. pernyataan kepatuhan terhadap Pedoman Tata Kelola
Dana Pensiun.
Pasal 5
OJK secara berkala menelaah ulang pedoman penerapan
Tata Kelola Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf b.
BAB III
EVALUASI PENERAPAN PEDOMAN
TATA KELOLA DANA PENSIUN
Pasal 6
(1) Dewan Pengawas setiap tahun harus melaksanakan
evaluasi dan menyusun hasil evaluasi secara tertulis
atas penerapan Pedoman Tata Kelola Dana Pensiun
pada tahun yang bersangkutan.
- 6 -
(2) Hasil evaluasi tahunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terlebih dahulu harus disampaikan kepada
Pengurus untuk mendapatkan tanggapan dalam batas
waktu yang wajar sebagaimana ditetapkan oleh Dewan
Pengawas.
(3) Hasil evaluasi tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus disampaikan oleh Dewan
Pengawas kepada Pendiri
paling
(enam) bulan setelah akhir tahun periode yang
dievaluasi.
(4) Pendiri menggunakan hasil evaluasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) sebagai bahan pertimbangan
untuk menilai kinerja Dana Pensiun.
(5) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Pendiri dapat meminta Pengurus untuk
menyempurnakan Pedoman Tata
Pensiun dan/atau mewajibkan untuk menerapkan
Tata Kelola Dana Pensiun sesuai dengan Pedoman
Tata Kelola Dana Pensiun yang ditetapkan oleh
Pendiri.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 7
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor KEP-136/BL/2006 tentang Pedoman
Tata Kelola Dana Pensiun dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 8
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
lambat 6
Kelola Dana
- 7 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Februari 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Maret 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 48
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 16/POJK.05/2016 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN TATA KELOLA DANA PENSIUN </reg_title>
<set_date> 23 Februari 2016 </set_date>
<effective_date> 15 Maret 2016 </effective_date>
<issued_date> 15 Maret 2016 </issued_date>
<replaced_reg> 'KEP-136/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM-LK/2006' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '76/PP/1992', '77/PP/1992', '11/UU/1992' </related_reg>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 25 /POJK.03/2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 27/POJK.03/2015 TENTANG KEGIATAN USAHA BANK BERUPA
PENITIPAN DENGAN PENGELOLAAN (TRUST)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa telah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak maka
diperlukan kebijakan untuk mendukung masuknya
dana repatriasi melalui industri jasa keuangan;
b. bahwa dalam rangka mendukung masuknya dana
repatriasi ke sektor perbankan maka perlu landasan
hukum bagi Bank untuk dapat menerima nasabah
Settlor baik dalam bentuk korporasi maupun
perorangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perubahan
atas
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 27/POJK.03/2015 tentang Kegiatan Usaha
Bank Berupa Penitipan Dengan Pengelolaan (Trust);
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang
Pengampunan Pajak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 131, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5899);
5. Peraturan
Otoritas
Jasa
Keuangan
Nomor 27/POJK.03/2015 tentang Kegiatan Usaha
Bank Berupa Penitipan dengan Pengelolaan (Trust)
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 293, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5775);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA
KEUANGAN NOMOR 27/POJK.03/2015 TENTANG
KEGIATAN USAHA BANK BERUPA PENITIPAN DENGAN
PENGELOLAAN (TRUST).
- 3 -
Pasal I
Ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf a dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27/POJK.03/2015 tentang
Kegiatan Usaha Bank Berupa Penitipan Dengan
Pengelolaan (Trust) (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 293, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5775) diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 20
(1) Settlor wajib memenuhi kriteria:
a. nasabah korporasi atau nasabah perorangan; dan
b. bukan merupakan pihak terafiliasi dengan Bank.
(2) Settlor dapat bertindak sebagai Beneficiary.
Pasal II
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 4 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Juli 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Juli 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 139
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 25 /POJK.03/2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 27/POJK.03/2015 TENTANG KEGIATAN USAHA BANK BERUPA
PENITIPAN DENGAN PENGELOLAAN (TRUST)
I. UMUM
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak
yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dan
mendorong pertumbuhan perekonomian serta meningkatkan
kesadaran dan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan
masyarakat Indonesia maka diperlukan kebijakan pendukung untuk
pelaksanaan Undang-Undang dimaksud.
Salah satu bentuk kebijakan pendukung di industri jasa keuangan
untuk mendorong masuknya dana repatriasi dan menempatkannya di
perbankan antara lain melalui kegiatan penitipan dengan pengelolaan
(trust).
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dalam rangka
memberikan landasan hukum bagi industri perbankan untuk dapat
menerima nasabah Settlor baik dalam bentuk korporasi maupun
perorangan maka diperlukan penyempurnaan atas Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 27/POJK.03/2015 tentang Kegiatan Usaha
Bank Berupa Penitipan Dengan Pengelolaan (Trust).
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pihak terafiliasi” adalah
pihak terafiliasi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Perbankan dan Undang-
Undang tentang Perbankan Syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5902
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 5/POJK.03/2016 </reg_id>
<reg_title> RENCANA BISNIS BANK </reg_title>
<set_date> 26 Januari 2016 </set_date>
<effective_date> 27 Januari 2016 </effective_date>
<issued_date> 27 Januari 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '12/21/PBI/2010' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 23 /POJK.05/2015
TENTANG
PRODUK ASURANSI DAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa produk asuransi dan pemasaran produk asuransi
yang semakin beragam dan kompleks dapat
meningkatkan risiko yang dihadapi oleh perusahaan
asuransi maupun pemegang polis, tertanggung, atau
peserta;
b. bahwa penerapan tata kelola yang baik (good corporate
governance), manajemen risiko yang memadai, dan
praktik asuransi yang sehat pada perusahaan asuransi
serta pemberdayaan pemegang polis, tertanggung, atau
peserta perlu ditingkatkan sehingga risiko terkait produk
asuransi dan pemasaran produk asuransi dapat dikelola
dengan baik;
c. bahwa dalam rangka meningkatkan akses masyarakat
berpenghasilan rendah terhadap produk asuransi
diperlukan pengaturan dan pengawasan yang dapat
mendukung perkembangan asuransi mikro;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c dipandang
perlu untuk menetapkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Produk Asuransi dan Pemasaran
Produk Asuransi;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5618);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PRODUK ASURANSI DAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud
dengan:
1. Produk Asuransi adalah:
a. program yang menjanjikan perlindungan terhadap 1
(satu)
jenis atau lebih risiko yang dapat
diasuransikan yang timbul dari suatu peristiwa yang
tidak pasti dengan memberikan penggantian kepada
pemegang polis, tertanggung, atau peserta karena
kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan
keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada
pihak ketiga yang mungkin diderita pemegang polis,
tertanggung, atau peserta, atau pemberian jaminan
pemenuhan kewajiban pihak yang dijamin kepada
pihak yang lain apabila pihak yang dijamin tersebut
tidak dapat memenuhi kewajibannya;
b. program yang menjanjikan perlindungan terhadap 1
(satu) jenis atau lebih risiko yang terkait dengan
meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan,
hidup dan meninggalnya seseorang yang
dipertanggungkan, atau anuitas asuransi jiwa;
- 3 -
c. program yang menjanjikan perlindungan terhadap 1
(satu) jenis atau lebih risiko yang terkait dengan
keadaan kesehatan fisik seseorang atau
menurunnya kondisi kesehatan seseorang yang
dipertanggungkan; dan/atau
d. program yang menjanjikan perlindungan terhadap 1
(satu) jenis atau lebih risiko dengan memberikan
penggantian atau pembayaran kepada pemegang
polis, tertanggung, atau peserta atau pihak lain yang
berhak dalam hal terjadi kecelakaan.
2. Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi yang
selanjutnya disebut PAYDI adalah Produk Asuransi yang
paling sedikit memberikan perlindungan terhadap risiko
kematian dan memberikan manfaat yang mengacu pada
hasil investasi dari kumpulan dana yang khusus
dibentuk untuk Produk Asuransi baik yang dinyatakan
dalam bentuk unit maupun bukan unit.
3. Produk Asuransi Bersama adalah Produk Asuransi yang
dirancang untuk dipasarkan dan ditanggung atau
dikelola risikonya oleh 2 (dua) atau lebih perusahaan
asuransi.
4. Produk Asuransi Standar adalah Produk Asuransi yang
memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
5. Produk Asuransi Mikro adalah Produk Asuransi yang
didesain untuk memberikan perlindungan atas risiko
keuangan yang dihadapi masyarakat berpenghasilan
rendah.
6.
Polis Asuransi adalah akta perjanjian asuransi atau
dokumen lain yang dipersamakan dengan akta perjanjian
asuransi, serta dokumen lain yang merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dengan perjanjian
asuransi, yang dibuat secara tertulis dan memuat
perjanjian antara pihak perusahaan asuransi dan
pemegang polis.
- 4 -
7. Premi adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh
perusahaan asuransi dan disetujui oleh pemegang polis
untuk dibayarkan berdasarkan perjanjian asuransi atau
sejumlah uang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mendasari program
asuransi wajib untuk memperoleh manfaat.
8. Kontribusi adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh
perusahaan asuransi syariah dan disetujui oleh
pemegang polis untuk dibayarkan berdasarkan perjanjian
asuransi syariah untuk memperoleh manfaat dari dana
tabarru’ dan/atau dana investasi peserta dan untuk
membayar biaya pengelolaan atau sejumlah uang yang
ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mendasari program asuransi wajib untuk
memperoleh manfaat.
9. Perusahaan
adalah perusahaan asuransi dan
perusahaan asuransi syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
10. Perusahaan Asuransi Umum adalah Perusahaan yang
menyelenggarakan usaha asuransi umum dan/atau
usaha asuransi umum syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
11. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah Perusahaan yang
menyelenggarakan usaha asuransi jiwa dan/atau usaha
asuransi jiwa syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
12. Aktuaris Perusahaan adalah aktuaris yang ditunjuk dan
merupakan karyawan Perusahaan.
13. Bancassurance adalah aktivitas kerja sama antara
Perusahaan dengan bank dalam rangka memasarkan
Produk Asuransi melalui bank.
14. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
- 5 -
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan.
BAB II
PRODUK ASURANSI
Bagian Kesatu
Jenis dan Kriteria Produk Asuransi
Pasal 2
Setiap Produk Asuransi harus memberikan perlindungan dari
paling sedikit 1 (satu) jenis risiko yang dapat diasuransikan.
Pasal 3
Produk Asuransi harus memiliki:
a. Premi atau Kontribusi yang sesuai dengan manfaat yang
dijanjikan, yang ditetapkan pada tingkat yang
mencukupi, tidak berlebihan, dan tidak diterapkan
secara diskriminatif; dan
b.
Polis Asuransi yang tidak mengandung kata, frasa, atau
kalimat yang dapat:
1. menimbulkan penafsiran yang berbeda mengenai
risiko yang ditutup, kewajiban Perusahaan, dan
kewajiban pemegang polis, tertanggung, atau
peserta; dan/atau
2. mempersulit pemegang polis, tertanggung, atau
peserta mengurus haknya.
Pasal 4
(1) PAYDI harus memenuhi kriteria:
a. memiliki proporsi perlindungan terhadap risiko
kematian dan manfaat yang dikaitkan dengan
investasi;
b. memiliki masa pertanggungan tertentu; dan
c. memiliki strategi investasi yang spesifik.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai PAYDI sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran OJK.
- 6 -
Pasal 5
(1) Produk Asuransi Bersama dirancang untuk dipasarkan
dan ditanggung atau dikelola risikonya melalui
mekanisme kerja sama antara:
a. Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan
Asuransi Umum lainnya;
b. Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi
Jiwa lainnya; atau
c. Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan
Asuransi Jiwa.
(2) Pembagian risiko antara Perusahaan Asuransi Umum
dan Perusahaan Asuransi Jiwa dalam Produk Asuransi
Bersama harus sesuai dengan ruang lingkup usaha
Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi
Jiwa.
(3) Produk Asuransi Bersama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak termasuk pertanggungan bersama yang
dilakukan oleh 2 (dua) atau lebih Perusahaan yang
sejenis dalam rangka penyebaran risiko untuk satu objek
pertanggungan yang bersifat kasus per kasus.
Pasal 6
(1) Produk Asuransi Bersama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) harus dituangkan dalam suatu perjanjian
tertulis.
(2) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit harus memuat hal-hal sebagai berikut:
a. susunan keanggotaan, termasuk Perusahaan yang
menjadi ketua (leader) yang akan mengkoordinir
kegiatan pemasaran Produk Asuransi Bersama
dimaksud;
b. tugas ketua;
c. pembagian risiko untuk masing-masing Perusahaan
yang tergabung dalam pemasaran Produk Asuransi
Bersama sesuai dengan ruang lingkup usaha
masing-masing Perusahaan;
- 7 -
d. tata cara pembayaran Premi atau Kontribusi oleh
pemegang polis;
e. prosedur underwriting, prosedur penerimaan, dan
penerusan Premi atau Kontribusi, serta prosedur
penyelesaian dan pembayaran klaim; dan
prosedur
f.
penyelesaian perselisihan antara
Perusahaan yang tergabung dalam pemasaran
Produk Asuransi Bersama.
Pasal 7
Produk Asuransi Standar harus memenuhi kriteria yaitu
memiliki Polis Asuransi yang sama dengan polis standar
asuransi yang dibuat oleh asosiasi industri asuransi.
Pasal 8
(1) Produk Asuransi Mikro harus memiliki karakteristik:
a. sederhana;
b. mudah;
c. ekonomis; dan
d. segera.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Produk Asuransi Mikro
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Surat Edaran OJK.
Pasal 9
(1) Produk Asuransi yang dapat dipasarkan oleh Perusahaan
Asuransi Umum adalah Produk Asuransi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf a, huruf c, dan
huruf d.
(2) Produk Asuransi yang dapat dipasarkan oleh Perusahaan
Asuransi Jiwa adalah Produk Asuransi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf b, huruf c, huruf
d, dan angka 2.
(3) Produk Asuransi Mikro yang dapat dipasarkan oleh
Perusahaan Asuransi Jiwa adalah Produk Asuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kecuali anuitas
asuransi jiwa dan PAYDI.
- 8 -
(4) Produk Asuransi yang dapat dipasarkan oleh Perusahaan
Asuransi Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan/atau Perusahaan Asuransi Jiwa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dapat diperluas dengan
mengikuti perluasan ruang lingkup usaha asuransi.
Pasal 10
(1) Perusahaan harus memberi nama untuk setiap Produk
Asuransi yang dipasarkan.
(2) Nama Produk Asuransi yang dipasarkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. menggunakan kata asuransi atau kata lain yang
semakna;
b. tidak menimbulkan tafsiran bahwa produk tersebut
bukan Produk Asuransi; dan
c. sesuai dengan nama Produk Asuransi pada saat
dilaporkan ke OJK.
(3) Nama dari Produk Asuransi Mikro harus menggunakan
frasa “asuransi mikro” atau frasa lain yang semakna.
Bagian Kedua
Polis Asuransi
Pasal 11
Polis Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b
harus memuat ketentuan paling sedikit mengenai:
a. saat berlakunya pertanggungan;
b. uraian manfaat yang diperjanjikan;
c. cara pembayaran Premi atau Kontribusi;
d. tenggang waktu (grace period) pembayaran Premi atau
Kontribusi;
e. kurs yang digunakan untuk Polis Asuransi dengan mata
uang asing apabila pembayaran Premi atau Kontribusi
dan manfaat dikaitkan dengan mata uang rupiah;
f. waktu yang diakui sebagai saat diterimanya pembayaran
Premi atau Kontribusi;
- 9 -
g. kebijakan Perusahaan yang ditetapkan apabila
pembayaran Premi atau Kontribusi dilakukan melewati
tenggang waktu yang disepakati;
h. periode pada saat Perusahaan tidak dapat meninjau
ulang keabsahan kontrak asuransi (incontestable period)
pada Produk Asuransi jangka panjang;
i.
tabel nilai tunai, bagi Produk Asuransi yang dipasarkan
oleh Perusahaan Asuransi Jiwa yang mengandung nilai
tunai;
j.
perhitungan dividen Polis Asuransi atau yang sejenis,
bagi Produk Asuransi yang dipasarkan oleh Perusahaan
Asuransi Jiwa yang menjanjikan dividen Polis Asuransi
atau yang sejenis;
k. klausula penghentian pertanggungan, baik dari
Perusahaan maupun dari pemegang polis, tertanggung,
atau peserta, termasuk syarat dan penyebabnya;
l.
syarat dan tata cara pengajuan klaim, termasuk bukti
pendukung yang relevan dan diperlukan dalam
pengajuan klaim;
m. tata cara penyelesaian dan pembayaran klaim;
n. klausula penyelesaian perselisihan yang antara lain
memuat mekanisme penyelesaian di dalam pengadilan
maupun di luar pengadilan dan pemilihan tempat
kedudukan penyelesaian perselisihan; dan
o. bahasa yang dijadikan acuan dalam hal terjadi sengketa
atau beda pendapat, untuk Polis Asuransi yang dicetak
dalam 2 (dua) bahasa atau lebih.
Pasal 12
Polis Asuransi untuk Produk Asuransi dengan prinsip syariah,
selain harus memuat ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11, juga harus memuat hal-hal sebagai berikut:
a.
jenis akad yang digunakan;
b. hak, kewajiban, dan wewenang masing-masing pihak
berdasarkan akad yang disepakati;
c. besar Kontribusi yang dialokasikan ke dalam dana
tabarru’, ujrah, dan dana investasi;
- 10 -
d. besar, waktu, dan cara pembayaran bagi hasil investasi
dalam hal Produk Asuransi menggunakan akad
mudharabah atau mudharabah musytarakah;
e.
alokasi penggunaan surplus underwriting untuk dana
tabarru’, dana peserta, dan/atau dana Perusahaan; dan
f. pemberian qardh oleh Perusahaan dalam hal dana
tabarru’ tidak cukup untuk membayar manfaat asuransi.
Pasal 13
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berlaku
juga bagi Polis Asuransi untuk Produk Asuransi Mikro,
kecuali huruf e, huruf i, huruf j, dan huruf n.
Pasal 14
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal
12 berlaku juga bagi Polis Asuransi untuk Produk Asuransi
Mikro dengan prinsip syariah, kecuali Pasal 11 huruf e, huruf
i, huruf j, huruf n, dan Pasal 12 huruf b.
Pasal 15
(1) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
dan Pasal 12, Polis Asuransi untuk Produk Asuransi
Bersama harus memuat bagian risiko yang akan
ditanggung oleh masing-masing Perusahaan yang
tergabung dalam pemasaran Produk Asuransi Bersama.
(2) Polis Asuransi untuk Produk Asuransi Bersama
diterbitkan oleh Perusahaan yang ditunjuk menjadi ketua
dalam pemasaran Produk Asuransi Bersama.
(3) Polis Asuransi untuk Produk Asuransi Bersama harus
ditandatangani oleh:
a. seluruh Perusahaan yang tergabung dalam
pemasaran Produk Asuransi Bersama; atau
b. Perusahaan yang menjadi ketua dalam pemasaran
Produk Asuransi Bersama.
(4) Dalam hal Polis Asuransi untuk Produk Asuransi
Bersama ditandatangani hanya oleh Perusahaan yang
menjadi ketua dalam pemasaran Produk Asuransi
- 11 -
Bersama, perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) dan Polis Asuransi untuk Produk
Asuransi Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memuat ketentuan bahwa Perusahaan yang
tergabung dalam pemasaran Produk Asuransi Bersama
terikat sesuai porsi risiko masing-masing.
Pasal 16
(1) Ketentuan mengenai kurs yang digunakan untuk Polis
Asuransi dengan mata uang asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 huruf e, harus berupa kurs
ekuivalen yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada saat
pembayaran.
(2) Kurs ekuivalen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus menghasilkan sejumlah mata uang asing yang
seharusnya diterima oleh penerima pembayaran tersebut
jika pembayaran dilakukan dengan mata uang asing
dimaksud.
Pasal 17
Perusahaan dilarang mencantumkan suatu ketentuan di
dalam Polis Asuransi yang dapat ditafsirkan:
a. bahwa pemegang polis, tertanggung, atau peserta tidak
dapat melakukan upaya hukum sehingga pemegang
polis, tertanggung, atau peserta harus menerima
penolakan pembayaran klaim; dan/atau
b. sebagai pembatasan upaya hukum bagi para pihak dalam
hal terjadi perselisihan mengenai ketentuan Polis
Asuransi.
Pasal 18
(1) Ketentuan dalam Polis Asuransi yang mengatur mengenai
penyelesaian perselisihan harus memuat penyelesaian
sengketa yaitu di luar pengadilan dan melalui pengadilan.
(2) Ketentuan dalam Polis Asuransi yang mengatur mengenai
penyelesaian perselisihan atas perjanjian asuransi yang
dilakukan di luar pengadilan, harus memberikan pilihan
- 12 -
alternatif penyelesaian sengketa yaitu melalui lembaga
alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai lembaga alternatif penyelesaian sengketa di
sektor jasa keuangan.
(3) Ketentuan dalam Polis Asuransi yang mengatur mengenai
penyelesaian perselisihan atas perjanjian asuransi yang
dilakukan melalui pengadilan, tidak boleh membatasi
pemilihan pengadilan hanya pada pengadilan negeri di
tempat kedudukan Perusahaan.
Pasal 19
(1) Polis Asuransi harus ditulis dengan jelas sehingga dapat
dibaca dengan mudah dan dimengerti oleh pemegang
polis, tertanggung, atau peserta.
(2) Dalam hal Polis Asuransi terdapat perumusan yang dapat
ditafsirkan sebagai:
a. pengecualian atau pembatasan penyebab risiko yang
ditutup berdasarkan Polis Asuransi yang
bersangkutan; dan/atau
b. pengurangan, pembatasan, atau pembebasan
kewajiban Perusahaan,
bagian perumusan dimaksud harus ditulis atau dicetak
dengan huruf tebal atau miring sehingga dapat dengan
mudah diketahui adanya pengecualian atau pembatasan
penyebab risiko atau adanya pengurangan, pembatasan,
atau pembebasan kewajiban Perusahaan.
Pasal 20
(1) Setiap Polis Asuransi yang diterbitkan dan dipasarkan di
wilayah hukum Indonesia harus dibuat dalam bahasa
Indonesia.
(2) Dalam hal diperlukan, Polis Asuransi dapat diterbitkan
dalam bahasa asing atau bahasa daerah berdampingan
dengan bahasa Indonesia.
- 13 -
Pasal 21
(1) Polis Asuransi diterbitkan dalam bentuk hardcopy atau
digital/elektronik.
(2) Dalam hal Polis Asuransi diterbitkan dalam bentuk
digital/elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Perusahaan harus memperoleh persetujuan pemegang
polis, tertanggung, atau peserta.
Pasal 22
Dalam pemasaran Produk Asuransi kumpulan, Perusahaan
wajib:
a. menerbitkan Polis Asuransi induk yang mencantumkan
nama tertanggung atau peserta asuransi dan masa
pertanggungan dari masing-masing tertanggung atau
peserta asuransi; dan
b. menerbitkan bukti kepesertaan bagi masing-masing
tertanggung/peserta asuransi.
Pasal 23
(1) Setiap polis standar asuransi yang dibuat oleh asosiasi
industri asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7,
harus dilaporkan oleh ketua asosiasi industri asuransi
kepada OJK untuk memperoleh surat persetujuan.
(2) Polis standar asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memenuhi ketentuan mengenai Polis Asuransi
sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK ini.
Pasal 24
Dalam setiap penutupan asuransi, Polis Asuransi harus
sesuai spesimen Polis Asuransi yang dilaporkan oleh
Perusahaan atau polis standar asuransi yang dilaporkan oleh
ketua asosiasi industri asuransi kepada OJK.
Pasal 25
Dalam hal OJK menilai bahwa dalam ketentuan Polis
Asuransi atau polis standar asuransi terdapat hal-hal yang
dapat merugikan pemegang polis, tertanggung, atau peserta,
- 14 -
atau Perusahaan, OJK dapat meminta Perusahaan atau ketua
asosiasi industri asuransi untuk mengubah ketentuan Polis
Asuransi atau polis standar asuransi dimaksud sesuai dengan
rekomendasi OJK.
Bagian Ketiga
Premi atau Kontribusi
Pasal 26
(1) Perhitungan Premi atau Kontribusi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf a harus didasarkan pada
asumsi yang wajar dan praktik asuransi yang berlaku
umum.
(2) Penetapan Premi atau Kontribusi Produk Asuransi yang
dipasarkan oleh Perusahaan Asuransi Umum harus
dilakukan dengan mempertimbangkan paling sedikit
sebagai berikut:
a. Premi atau Kontribusi murni yang dihitung
berdasarkan profil kerugian (risk and loss profile)
jenis asuransi yang bersangkutan untuk paling
kurang 5 (lima) tahun terakhir; dan
b. biaya akuisisi, biaya administrasi, dan biaya umum
lainnya.
(3) Penetapan Premi atau Kontribusi Produk Asuransi yang
dipasarkan oleh Perusahaan Asuransi Jiwa harus
dilakukan dengan mempertimbangkan paling sedikit
sebagai berikut:
a. Premi atau Kontribusi murni yang dihitung
berdasarkan profil risiko, tingkat bunga, tabel
mortalita, atau tabel morbidita;
b. perkiraan hasil investasi dari Premi atau Kontribusi;
dan
c. biaya akuisisi, biaya administrasi, dan biaya umum
lainnya.
- 15 -
Pasal 27
(1) Penghentian pertanggungan, baik atas kehendak
Perusahaan maupun pemegang polis, tertanggung, atau
peserta, harus dilakukan dengan pemberitahuan secara
tertulis.
(2) Dalam hal terjadi penghentian pertanggungan pada
Produk Asuransi yang tidak memiliki unsur tabungan
dan/atau investasi, maka besar pengembalian Premi atau
Kontribusi paling sedikit sebesar jumlah yang dihitung
secara proporsional berdasarkan sisa jangka waktu
pertanggungan, setelah dikurangi bagian Premi atau
Kontribusi yang telah dibayarkan kepada perusahaan
pialang asuransi, agen asuransi, dan/atau tenaga
pemasar.
(3) Dalam hal terjadi penghentian pertanggungan pada
Produk Asuransi yang memiliki unsur tabungan
dan/atau investasi, Perusahaan harus membayar paling
sedikit sejumlah:
a.
nilai tunai atau cadangan akumulasi dana bagi
Produk Asuransi selain Produk Asuransi dengan
prinsip syariah; atau
b. akumulasi dana investasi peserta bagi Produk
Asuransi dengan prinsip syariah,
pada saat penghentian tersebut.
BAB III
PERSETUJUAN DAN PENCATATAN
PRODUK ASURANSI
Bagian Kesatu
Kewajiban Pelaporan
Pasal 28
(1) Setiap Produk Asuransi baru yang akan dipasarkan wajib
dilaporkan kepada OJK untuk memperoleh surat
persetujuan atau surat pencatatan.
- 16 -
(2) Kriteria Produk Asuransi baru sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
a. Produk Asuransi yang belum pernah dipasarkan
oleh Perusahaan yang bersangkutan; atau
b. Produk Asuransi tersebut merupakan perubahan
atas Produk Asuransi yang sudah dipasarkan, yang
perubahannya meliputi:
1.
risiko yang ditanggung termasuk pengecualian
atau pembatasan penyebab risiko yang
ditanggung;
2. rumusan Premi atau Kontribusi;
3. perubahan kategori risiko;
4. asumsi yang terkait dengan pembentukan
rumusan Premi atau Kontribusi; dan/atau
5. metode perhitungan nilai tunai.
(3) Produk Asuransi baru yang akan dilaporkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tercantum
dalam rencana bisnis Perusahaan.
Pasal 29
(1) Pelaporan Produk Asuransi baru sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) dilakukan oleh direksi
Perusahaan atau yang setara.
(2) Dalam hal Produk Asuransi baru yang dilaporkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1)
merupakan Produk Asuransi Bersama,
dilakukan oleh direksi atau yang setara
pelaporan
dari
Perusahaan yang ditunjuk menjadi ketua dalam
pemasaran Produk Asuransi Bersama.
Pasal 30
(1) Perusahaan yang akan melaporkan Produk Asuransi
baru harus:
a. memenuhi ketentuan tingkat kesehatan keuangan;
dan
b. tidak sedang dikenai sanksi administratif.
- 17 -
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku dalam hal pelaporan Produk Asuransi baru
dimaksud merupakan:
a. pengganti atau perbaikan atas Produk Asuransi yang
telah dipasarkan dan merupakan bagian dari
rencana penyehatan Perusahaan yang telah disetujui
oleh OJK; atau
b. salah satu upaya untuk dapat dicabutnya sanksi
administratif yang dikenakan karena Perusahaan
belum melaporkan Produk Asuransi yang sudah
dipasarkan.
(3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
bagi Perusahaan yang memasarkan Produk Asuransi
kredit dan/atau
suretyship
harus memenuhi
persyaratan/kriteria lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan mengenai persyaratan/kriteria
usaha asuransi kredit dan/atau suretyship.
Bagian Kedua
Persetujuan Produk Asuransi
Pasal 31
Produk Asuransi yang wajib dilaporkan kepada OJK untuk
memperoleh surat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1) adalah Produk Asuransi baru selain Produk
Asuransi Standar.
Pasal 32
(1) Pelaporan Produk Asuransi baru untuk memperoleh
surat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31, harus dilengkapi dokumen sebagai berikut:
a. formulir pelaporan Produk Asuransi baru;
b. proyeksi pendapatan Premi atau Kontribusi dan
pengeluaran yang dikaitkan dengan pemasaran
Produk Asuransi baru untuk jangka waktu 3 (tiga)
tahun;
c. deskripsi Produk Asuransi baru;
- 18 -
d. spesimen Polis Asuransi; dan
e. surat pernyataan dewan pengawas syariah, khusus
untuk Produk Asuransi dengan prinsip syariah.
(2) Surat pernyataan dewan pengawas syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e harus menyatakan
kesesuaian Produk Asuransi yang dilaporkan dengan
prinsip syariah yang paling sedikit mencakup hal sebagai
berikut:
a. Polis Asuransi;
b. deskripsi Produk Asuransi;
c. brosur atau media pemasaran;
d. kebijakan dan prosedur pengelolaan kekayaan; dan
e. kebijakan akuntansi terkait dengan produk yang
akan dipasarkan.
Pasal 33
Selain kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32, dalam hal pelaporan Produk Asuransi Bersama
merupakan pelaporan:
a. Produk Asuransi baru yang belum pernah dipasarkan
oleh Perusahaan yang bersangkutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf a, harus
dilengkapi dengan dokumen perjanjian tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1).
b. Produk Asuransi baru yang merupakan perubahan atas
Produk Asuransi yang sudah dipasarkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf b, harus
dilengkapi dengan surat persetujuan atau surat
pencatatan Produk Asuransi Bersama dimaksud.
Pasal 34
(1) Selain kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32, untuk pelaporan Produk Asuransi kredit
dan/atau suretyship harus dilengkapi dengan dokumen
lain.
(2) Ketentuan mengenai dokumen lain untuk pelaporan
Produk Asuransi kredit dan/atau suretyship diatur dalam
- 19 -
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
pelaporan Produk Asuransi kredit dan/atau suretyship.
Pasal 35
OJK memberikan surat persetujuan atas pelaporan Produk
Asuransi baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah dokumen diterima secara
lengkap dan benar.
Pasal 36
Perusahaan dilarang memasarkan Produk Asuransi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 sebelum
mendapatkan surat persetujuan dari OJK.
Bagian Ketiga
Pencatatan Produk Asuransi
Pasal 37
Produk Asuransi yang wajib dilaporkan kepada OJK untuk
memperoleh surat pencatatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1), adalah sebagai berikut:
a. Produk Asuransi baru yang berupa Produk Asuransi
Standar; dan
b. Produk Asuransi yang telah dipasarkan yang mengalami
perubahan selain perubahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (2) huruf b dengan ketentuan:
1. Produk Asuransi dimaksud dipasarkan kepada
tertanggung orang perorangan; atau
2. Produk Asuransi dimaksud dipasarkan kepada
tertanggung selain orang perorangan, yang pernah
dihentikan pemasarannya.
Pasal 38
(1) Pelaporan Produk Asuransi baru yang berupa Produk
Asuransi Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
huruf a, harus dilengkapi dokumen sebagai berikut:
a. formulir pelaporan Produk Asuransi baru;
- 20 -
b. deskripsi Produk Asuransi baru; dan
c. surat pernyataan dewan pengawas syariah mengenai
kesesuaian Produk Asuransi yang dilaporkan
dengan prinsip syariah, khusus untuk Produk
Asuransi Standar dengan prinsip syariah.
(2) Surat pernyataan dewan pengawas syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, harus mencakup paling
sedikit:
a.
Polis Asuransi;
b. deskripsi Produk Asuransi;
c. brosur atau media pemasaran;
d. kebijakan dan prosedur pengelolaan kekayaan; dan
e. kebijakan akuntansi terkait dengan produk yang
akan dipasarkan.
Pasal 39
Pelaporan perubahan atas Produk Asuransi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 huruf b, harus dilengkapi dokumen
sebagai berikut:
a. formulir pelaporan perubahan Produk Asuransi;
b. surat persetujuan atau surat pencatatan atas Produk
Asuransi sebelum perubahan;
c. deskripsi Produk Asuransi;
d. matriks perbandingan Produk Asuransi sebelum dan
sesudah perubahan; dan
e. spesimen Polis Asuransi setelah perubahan, khusus
untuk Produk Asuransi selain Produk Asuransi Standar.
Pasal 40
(1) Pelaporan Produk Asuransi Standar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 huruf a yang merupakan
Produk Asuransi Bersama, selain harus memenuhi
kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38, juga harus dilengkapi dengan dokumen
perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1).
- 21 -
(2) Pelaporan perubahan atas Produk Asuransi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 huruf b yang merupakan
Produk Asuransi Bersama, selain harus memenuhi
kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39, juga harus dilengkapi dengan surat persetujuan
atau surat pencatatan dari Produk Asuransi Bersama
dimaksud.
Pasal 41
OJK memberikan surat pencatatan atas pelaporan Produk
Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 paling lama
7 (tujuh) hari kerja setelah dokumen diterima secara lengkap
dan benar.
Pasal 42
Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37,
dapat dipasarkan oleh Perusahaaan setelah mendapatkan
tanda terima dari OJK atas penyampaian pelaporan Produk
Asuransi dimaksud.
Bagian Keempat
Pemenuhan Kelengkapan Dokumen
Pelaporan Produk Asuransi
Pasal 43
(1) Dalam hal pelaporan Produk Asuransi baru atau
perubahan atas Produk Asuransi yang telah dipasarkan
belum memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan atau belum memenuhi kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal
34, Pasal 38, Pasal 39, dan/atau Pasal 40, OJK
menyampaikan pemberitahuan mengenai persyaratan
yang harus dipenuhi dan/atau dokumen yang harus
dilengkapi kepada Perusahaan melalui:
a. surat;
b. surat elektronik;
- 22 -
c. pertemuan dengan pihak Perusahaan di kantor OJK;
dan/atau
d. cara lain yang dapat ditelusuri dan disimpan
buktinya.
(2) Apabila dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari kerja
sejak tanggal pemberitahuan dari OJK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Perusahaan tidak memenuhi
persyaratan dan/atau melengkapi dokumen, Perusahaan
dianggap membatalkan pelaporan Produk Asuransi baru
atau perubahan atas Produk Asuransi yang telah
dipasarkan.
(3) Apabila Perusahaan tetap bermaksud memasarkan
Produk Asuransi baru atau melakukan perubahan atas
Produk Asuransi yang telah dipasarkan setelah melewati
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Perusahaan harus menyampaikan kembali pelaporan
Produk Asuransi baru atau perubahan atas Produk
Asuransi yang telah dipasarkan dimaksud kepada OJK.
Pasal 44
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, bentuk, dan format
pelaporan Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32, Pasal 38, dan Pasal 39 diatur dalam Surat Edaran
OJK.
BAB IV
SALURAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI
Pasal 45
(1) Perusahaan hanya dapat memasarkan Produk Asuransi
melalui saluran pemasaran sebagai berikut:
a. secara langsung (direct marketing);
b. agen asuransi;
c. Bancassurance; dan/atau
d. badan usaha selain bank.
- 23 -
(2) Pemasaran Produk Asuransi Mikro dapat dilakukan
melalui saluran pemasaran pada ayat (1) dan/atau
tenaga pemasar.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai saluran pemasaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 46
Perusahaan yang akan memasarkan Produk Asuransi melalui
saluran pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
ayat (1) huruf b sampai dengan huruf d wajib memiliki
perjanjian tertulis dengan pihak yang melakukan pemasaran.
Pasal 47
(1) Saluran pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
45 ayat (1) dapat menggunakan media komunikasi jarak
jauh.
(2) Pemasaran Produk Asuransi melalui media komunikasi
jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memuat informasi mengenai identitas Perusahaan,
Produk Asuransi yang ditawarkan, serta syarat dan
ketentuan Polis Asuransi.
(3) Saluran pemasaran dengan menggunakan media
komunikasi jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), untuk PAYDI wajib diikuti dengan pertemuan
langsung secara tatap muka.
Pasal 48
Perusahaan yang memasarkan Produk Asuransi melalui agen
asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1)
huruf b, wajib memastikan bahwa agen asuransi tersebut
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai agen asuransi.
- 24 -
Pasal 49
(1) Perusahaan yang memasarkan Produk Asuransi melalui
Bancassurance sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
ayat (1) huruf c harus terlebih dahulu memperoleh surat
persetujuan Bancassurance dari OJK.
(2) Perusahaan dilarang melakukan pemasaran melalui
Bancassurance sebelum mendapat surat persetujuan dari
OJK.
Pasal 50
Perusahaan yang memasarkan Produk Asuransi melalui
badan usaha selain bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal
45 ayat (1) huruf d dengan kriteria tertentu harus terlebih
dahulu memperoleh surat persetujuan dari OJK.
Pasal 51
Pemasaran Produk Asuransi Mikro melalui tenaga pemasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) harus
dilakukan oleh orang yang memiliki pengetahuan mengenai
asuransi dan Produk Asuransi Mikro.
Pasal 52
Dalam hal pemasaran Produk Asuransi dilakukan melalui
saluran pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan ayat (2), Perusahaan
wajib:
a. memastikan bahwa pihak yang melakukan pemasaran
dimaksud menyampaikan informasi yang akurat, jelas,
jujur, dan tidak menyesatkan mengenai Produk Asuransi
kepada calon pemegang polis, tertanggung, atau peserta
sebelum calon pemegang polis, tertanggung, atau peserta
memutuskan untuk melakukan penutupan asuransi
dengan Perusahaan; dan
b. bertanggung jawab atas semua tindakan pihak yang
melakukan pemasaran dimaksud yang berkaitan dengan
Produk Asuransi yang dipasarkan.
- 25 -
BAB V
PERLINDUNGAN KONSUMEN ASURANSI
Pasal 53
(1) Perusahaan dan/atau perusahaan pialang asuransi wajib
menyampaikan informasi yang akurat, jelas, jujur, dan
tidak menyesatkan mengenai Produk Asuransi kepada
calon pemegang polis, tertanggung, atau peserta sebelum
calon pemegang polis, tertanggung, atau peserta
memutuskan untuk melakukan penutupan asuransi
dengan Perusahaan.
(2) Perusahaan yang memasarkan PAYDI wajib memiliki,
menerapkan, dan mengembangkan kebijakan dan
prosedur penilaian kesesuaian Produk Asuransi dengan
kebutuhan dan profil calon pemegang polis, tertanggung,
atau peserta yang menjadi target pemasaran (customer
risk profile assessment).
(3) Perusahaan wajib menyelesaikan setiap keluhan terkait
Produk Asuransi yang diajukan oleh pihak pemegang
polis, tertanggung, atau peserta.
Pasal 54
(1) Perusahaan wajib menyampaikan Polis Asuransi kepada
pemegang polis, tertanggung, atau peserta dalam bentuk
hardcopy atau digital/elektronik.
(2) Dalam hal Polis Asuransi disampaikan dalam bentuk
digital/elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
bagian Polis Asuransi yang berupa ikhtisar polis tetap
wajib disampaikan dalam bentuk hardcopy.
BAB VI
MANAJEMEN PRODUK ASURANSI
Bagian Kesatu
Perencanaan Produk Asuransi
Pasal 55
(1) Perusahaan wajib memiliki rencana pengembangan dan
pemasaran Produk Asuransi yang ditetapkan oleh direksi
atau yang setara.
- 26 -
(2) Rencana pengembangan dan pemasaran Produk Asuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian
dari rencana bisnis Perusahaan.
(3) Ketentuan mengenai bentuk, susunan, dan tata cara
penyusunan rencana pengembangan dan pemasaran
Produk Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran OJK mengenai
rencana korporasi dan rencana bisnis perusahaan
asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan
reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah.
Bagian Kedua
Pemantauan Kinerja Produk Asuransi
Pasal 56
(1) Perusahaan wajib melakukan pemantauan atas kinerja
setiap Produk Asuransi.
(2) Pemantauan atas kinerja setiap Produk Asuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
mengevaluasi antara lain:
a. embedded value atas Produk Asuransi dimaksud;
b. profit testing dan asset share dengan menggunakan
asumsi pada saat pemantauan; dan
c.
analisis atas value new business (dampak new
business suatu Produk Asuransi
terhadap
solvabilitas atau modal).
(3) Evaluasi pemantauan atas kinerja setiap Produk
Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
secara periodik oleh Aktuaris Perusahaan sesuai dengan
standar praktik dan kode etik yang dikeluarkan oleh
asosiasi profesi aktuaris Indonesia.
(4) Berdasarkan evaluasi pemantauan atas kinerja setiap
Produk Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Aktuaris Perusahaan memberikan rekomendasi untuk:
a. melanjutkan pemasaran Produk Asuransi;
b. mengubah asumsi yang digunakan dalam Produk
Asuransi; atau
c. menghentikan pemasaran Produk Asuransi.
- 27 -
(5) Perusahaan wajib mendokumentasikan hasil
pemantauan atas kinerja setiap Produk Asuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Ketiga
Penghentian Pemasaran Produk Asuransi
Pasal 57
(1) OJK dapat memerintahkan Perusahaan untuk
menghentikan pemasaran Produk Asuransi, dalam hal:
a. Produk Asuransi yang dipasarkan berbeda dengan
Produk Asuransi yang telah memperoleh surat
persetujuan atau surat pencatatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1); dan/atau
b. Produk yang dipasarkan tidak lagi memenuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Perusahaan wajib menghentikan seluruh kegiatan
pemasaran Produk Asuransi yang dikenakan penghentian
oleh OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 58
(1) Perusahaan wajib melaporkan penghentian pemasaran
Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57
kepada OJK paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak
penghentian pemasaran Produk Asuransi dimaksud.
(2) Perusahaan yang telah menghentikan pemasaran Produk
Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dapat
memasarkan Produk Asuransi tersebut kembali setelah
Produk Asuransi tersebut telah mendapatkan surat
persetujuan atau surat pencatatan dari
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1).
OJK
(3) Pelaporan penghentian pemasaran Produk Asuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan
oleh direksi Perusahaan atau yang setara dilengkapi
dengan:
a. penjelasan mengenai alasan penghentian pemasaran
Produk Asuransi; dan
b. data Polis Asuransi yang masih aktif.
- 28 -
Pasal 59
Penghentian pemasaran Produk Asuransi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 57 tidak boleh mengurangi hak
pemegang polis, tertanggung, atau peserta.
BAB VII
SANKSI
Pasal 60
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 17, Pasal 22,
Pasal 28 ayat (1), Pasal 36, Pasal 46, Pasal 47 ayat (2),
ayat (3), Pasal 48, Pasal 49 ayat (2), Pasal 52, Pasal 53,
Pasal 54, Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), ayat (5),
Pasal 57 ayat (2), dan/atau Pasal 58 ayat (1), Peraturan
OJK ini dikenakan sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda;
c. kewajiban bagi direksi atau yang setara untuk
menjalani penilaian kemampuan dan kepatutan ulang;
d. pembatasan kegiatan usaha; dan/atau
e. pencabutan izin usaha.
(3) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,
huruf c, huruf d, dan/atau huruf e, dapat dikenakan
dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a.
(4) Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara
bersama-sama dengan pengenaaan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf c, huruf d,
dan/atau huruf e.
(5) Besaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b ditetapkan OJK berdasarkan ketentuan
tentang sanksi administratif berupa denda yang berlaku
untuk Perusahaan.
- 29 -
(6) OJK dapat mengumumkan pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
kepada masyarakat.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 61
(1) Surat pencatatan atas Produk Asuransi yang telah
diterbitkan oleh OJK sebelum Peraturan OJK ini mulai
berlaku, dinyatakan tetap berlaku.
(2) Proses pelaporan Produk Asuransi yang belum selesai
pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku tunduk pada
Peraturan OJK ini.
(3) Dalam hal OJK telah menyampaikan pemberitahuan
mengenai kelengkapan dokumen dan/atau persyaratan
yang harus dipenuhi oleh Perusahaan sebelum Peraturan
OJK ini berlaku, jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43 ayat (2) dihitung sejak Peraturan OJK ini
mulai berlaku.
(4) Asosiasi harus melaporkan spesimen polis standar
asuransi yang telah terbit sebelum Peraturan OJK ini
mulai berlaku kepada OJK paling lambat 20 (dua puluh)
hari kerja sejak Peraturan OJK ini mulai berlaku.
(5) Ketentuan mengenai PAYDI sebagaimana diatur dalam
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan
Lembaga Keuangan Nomor KEP-104/BL/2006 tentang
Produk Unit Link dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan Peraturan OJK ini sampai
dengan Surat Edaran OJK mengenai PAYDI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) ditetapkan.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 62
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan
mengenai Produk Asuransi dan pemasaran Produk Asuransi
tunduk pada Peraturan OJK ini.
- 30 -
Pasal 63
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 November 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 287
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 23/POJK.05/2015 </reg_id>
<reg_title> PRODUK ASURANSI DAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI </reg_title>
<set_date> 24 November 2015 </set_date>
<effective_date> 26 November 2015 </effective_date>
<issued_date> 26 November 2015 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '40/UU/2014' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
- 4 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 44 /POJK.03/2015
TENTANG
SERTIFIKASI KOMPETENSI KERJA BAGI ANGGOTA DIREKSI DAN
ANGGOTA DEWAN KOMISARIS BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK
PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung pertumbuhan
ekonomi Indonesia secara optimal dan
berkesinambungan, perlu meningkatkan ketahanan
dan daya saing industri perbankan nasional;
b. bahwa untuk meningkatkan peran dan kontribusi
industri Bank Perkreditan Rakyat dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah terhadap ekonomi
daerah, dan memperkuat daya saing Bank
Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah, perlu upaya peningkatan kompetensi anggota
Direksi dan anggota Dewan Komisaris Bank
Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah melalui program sertifikasi;
c. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Sertifikasi
Kompetensi Kerja bagi anggota Direksi dan anggota
- 2 -
Dewan Komisaris Bank Perkreditan Rakyat dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
4. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 351, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5629);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
SERTIFIKASI KOMPETENSI KERJA BAGI ANGGOTA
DIREKSI DAN ANGGOTA DEWAN KOMISARIS BANK
PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT
SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
- 3 -
dimaksud dengan:
1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat
BPR adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu-lintas pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah oleh Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya
disingkat BPRS adalah Bank Syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
3. Direksi:
a. bagi BPR dan BPRS berbadan hukum Perseroan
Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbadan hukum Perusahaan Daerah
adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
c. bagi BPR berbadan hukum Koperasi adalah
pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
4. Dewan Komisaris:
a. bagi BPR dan BPRS berbadan hukum Perseroan
Terbatas adalah komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbadan hukum Perusahaan Daerah
adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam
- 4 -
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
c. bagi BPR berbadan hukum Koperasi adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
5. Badan Nasional Sertifikasi Profesi yang selanjutnya
disingkat BNSP adalah lembaga independen
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
6.
Sertifikasi Kompetensi Kerja bagi BPR dan BPRS yang
selanjutnya disebut Sertifikasi Kompetensi Kerja
adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang
dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji
kompetensi yang mengacu kepada Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang berlaku
bagi BPR dan BPRS.
7. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang
selanjutnya disingkat SKKNI adalah rumusan
kemampuan kerja yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta
sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas
dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
8. Lembaga Sertifikasi Profesi adalah lembaga pelaksana
Sertifikasi Kompetensi Kerja yang mendapatkan
lisensi dari BNSP.
9. Program Pemeliharaan Kompetensi Kerja yang
selanjutnya disebut dengan Program Pemeliharaan
adalah program pengkinian kompetensi kerja bagi
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR
dan BPRS pemegang Sertifikat Kompetensi Kerja.
- 5 -
BAB II
KEWAJIBAN SERTIFIKASI KOMPETENSI KERJA BAGI
ANGGOTA DIREKSI DAN ANGGOTA DEWAN KOMISARIS
BPR DAN BPRS
Pasal 2
Maksud dan tujuan Sertifikasi Kompetensi Kerja, yaitu:
a. memastikan dan memelihara kompetensi kerja
sumber daya manusia BPR dan BPRS mencakup
aspek pengetahuan, keterampilan, dan/atau keahlian
serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan
tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan; dan
b. meningkatkan kualitas dan daya saing sumber daya
manusia BPR dan BPRS menuju terciptanya industri
BPR dan BPRS yang sehat, kuat, efisien, dan
berkesinambungan.
Pasal 3
(1) BPR dan BPRS harus menerapkan tata kelola
termasuk manajemen sumber daya manusia berbasis
kompetensi secara efektif dan terencana.
(2) Dalam rangka menerapkan tata kelola termasuk
manajemen sumber daya manusia secara efektif dan
terencana, BPR dan BPRS harus mengisi jabatan
Direksi dan Dewan Komisaris dengan sumber daya
manusia yang memiliki kompetensi yang relevan
dengan bidang pekerjaannya.
Pasal 4
(1) BPR atau BPRS wajib memiliki anggota Direksi dan
anggota Dewan Komisaris yang seluruhnya memiliki
Sertifikat Kompetensi Kerja yang diterbitkan oleh
Lembaga Sertifikasi Profesi.
(2) Kewajiban memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja bagi
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
- 6 -
salah satu persyaratan bagi calon anggota Direksi dan
calon anggota Dewan Komisaris.
(3) Kewajiban memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja bagi
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPRS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai BPRS.
BAB III
TINGKATAN SERTIFIKASI KOMPETENSI KERJA BAGI
ANGGOTA DIREKSI DAN ANGGOTA DEWAN KOMISARIS
BPR DAN BPRS
Pasal 5
(1) Sertifikat Kompetensi Kerja bagi anggota Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
ditetapkan dalam 2 (dua) tingkat berdasarkan total
aset BPR dan BPRS, yaitu Sertifikat Kompetensi Kerja
tingkat 1 dan Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2.
(2) Sertifikat Kompetensi Kerja bagi anggota Dewan
Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) ditetapkan dalam 1 (satu) tingkat dan tidak
memperhitungkan total aset BPR dan BPRS.
Pasal 6
(1) Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 1 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) wajib dimiliki oleh
anggota Direksi BPR dan BPRS dengan total aset
kurang dari Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar
rupiah).
(2) Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) wajib dimiliki oleh
anggota Direksi BPR dan BPRS dengan total aset
paling sedikit Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar
rupiah).
- 7 -
Pasal 7
Anggota Direksi BPR dan BPRS yang memiliki Sertifikat
Kompetensi Kerja tingkat 1 yang masih berlaku, dapat
memperoleh Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2 dengan
menambah jumlah unit kompetensi yang dipersyaratkan
pada Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2 sesuai dengan
SKKNI yang tidak tercakup pada unit kompetensi untuk
memperoleh Sertifikasi Kompetensi Kerja tingkat 1.
Pasal 8
(1) Dalam hal BPR dan BPRS mengalami peningkatan
total
aset
menjadi
paling
sedikit
Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah)
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan berturut-turut,
anggota Direksi BPR dan BPRS wajib memiliki
Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2.
(2) Anggota Direksi BPR dan BPRS wajib memiliki
Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2 paling lambat 12
(dua belas) bulan sejak total aset BPR dan BPRS
memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(3) Dalam hal terdapat perbedaan sisa batas waktu
pemenuhan kewajiban memiliki Sertifikat Kompetensi
Kerja tingkat 2 bagi anggota Direksi BPRS
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
kelembagaan BPRS, pemenuhan Sertifikat
Kompetensi Kerja tingkat 2 bagi anggota Direksi BPRS
dapat menggunakan sisa batas waktu yang lebih
lama.
Pasal 9
(1) Bagi BPR dan BPRS yang berdasarkan laporan
bulanan mengalami penurunan total aset setelah
memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada Pasal
8 ayat (1), anggota Direksi BPR dan BPRS tetap wajib
memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2.
- 8 -
(2) Kewajiban memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja
tingkat 2 bagi BPR yang mengalami penurunan total
aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
juga bagi calon anggota Direksi BPR.
BAB IV
PENYELENGGARA SERTIFIKASI KOMPETENSI KERJA
Pasal 10
Lembaga Sertifikasi Profesi yang dapat menyelenggarakan
Sertifikasi Kompetensi Kerja wajib terdaftar di Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 11
(1) Untuk memenuhi kewajiban pendaftaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Lembaga
Sertifikasi Profesi harus memenuhi persyaratan paling
sedikit:
a. didirikan oleh asosiasi industri dan/atau asosiasi
profesi perbankan yang menyelenggarakan
Sertifikasi Kompetensi Kerja bagi sumber daya
manusia BPR dan BPRS;
b. memiliki lisensi dari BNSP;
c. memiliki visi, misi, dan strategi yang menunjang
peningkatan kompetensi kerja sumber daya
manusia BPR dan BPRS;
d. merupakan badan hukum yang terpisah dari
pendirinya dan mampu bertindak secara
profesional serta independen termasuk terhadap
industri BPR dan BPRS;
e. memiliki struktur organisasi paling kurang terdiri
dari unsur pengarah, dan unsur pelaksana yang
independen dan tidak merangkap sebagai
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris,
dan/atau anggota Dewan Pengawas Syariah,
serta pegawai BPR dan BPRS; dan
- 9 -
f. merupakan organisasi tingkat nasional yang
berkedudukan di wilayah Republik Indonesia.
(2) Lembaga Sertifikasi Profesi yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengajukan pendaftaran kepada Otoritas Jasa
Keuangan c.q. Departemen Perizinan dan Informasi
Perbankan, dengan melampirkan dokumen sebagai
berikut:
a. fotokopi Anggaran Dasar Lembaga Sertifikasi
Profesi;
b. fotokopi lisensi yang masih berlaku dari BNSP
yang mencakup ruang lingkup kegiatan
sertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Profesi;
c. struktur organisasi dan wilayah operasional
Lembaga Sertifikasi Profesi;
d. skema sertifikasi Lembaga Sertifikasi Profesi; dan
e. kebijakan dan prosedur dalam pelaksanaan
proses sertifikasi.
Pasal 12
(1) Berdasarkan penelitian terhadap persyaratan dan
kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11, Otoritas Jasa Keuangan mencantumkan
nama Lembaga Sertifikasi Profesi dalam daftar
Lembaga Sertifikasi Profesi yang melaksanakan
Sertifikasi Kompetensi Kerja.
(2) Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan nama
Lembaga Sertifikasi Profesi yang terdaftar di Otoritas
Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam situs jejaring (website) Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 13
Lembaga Sertifikasi Profesi wajib memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 selama
melaksanakan program Sertifikasi Kompetensi Kerja.
- 10 -
Pasal 14
Standar kompetensi kerja yang digunakan dalam
pelaksanaan uji kompetensi dalam rangka Sertifikasi
Kompetensi Kerja adalah SKKNI yang diberlakukan bagi
BPR dan BPRS berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 15
(1) Lembaga Sertifikasi Profesi harus menerapkan metode
dan prosedur uji kompetensi sebagaimana ditetapkan
dalam skema sertifikasi.
(2) Pelaksanaan uji kompetensi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menggunakan metode yang menjamin
penilaian secara objektif dan sistematis.
Pasal 16
Lembaga Sertifikasi Profesi memiliki tugas dan tanggung
jawab:
a. mengembangkan dan mendokumentasikan kebijakan
dan prosedur tertulis yang diperlukan untuk
menjamin terselenggaranya seluruh proses sertifikasi
dengan baik dan mengambil tindakan perbaikan
apabila ditemukan kelemahan atau pelanggaran;
b. menerbitkan Sertifikat Kompetensi Kerja atas nama
BNSP yang mencantumkan antara lain nama
pemegang sertifikat, jenjang kualifikasi, bidang
pekerjaan atau profesi, unit kompetensi, dan masa
berlaku sertifikat;
c. menyesuaikan materi uji Sertifikasi Kompetensi Kerja
dengan perkembangan pengetahuan dan kebutuhan
dalam industri BPR dan BPRS; dan
d. menyampaikan laporan kegiatan yang terkait dengan
pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi Kerja dalam hal
diperlukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
- 11 -
Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, tugas,
wewenang, dan tanggung jawab unsur pengarah dan
unsur pelaksana ditetapkan oleh Lembaga Sertifikasi
Profesi dengan memperhatikan ketentuan BNSP.
BAB V
PROGRAM PEMELIHARAAN
Pasal 18
(1) BPR dan BPRS wajib mengikutsertakan setiap
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR
dan BPRS yang telah memiliki Sertifikat Kompetensi
Kerja dalam Program Pemeliharaan kompetensi kerja
secara berkala.
(2) Jangka waktu Program Pemeliharaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam masa
berlakunya Sertifikat Kompetensi Kerja sebagai salah
satu persyaratan perpanjangan masa berlaku
Sertifikat Kompetensi Kerja.
(3) Program Pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib diikuti oleh anggota Direksi dan anggota
Dewan Komisaris BPR dan BPRS paling sedikit 1
(satu) kali dalam 5 (lima) tahun sejak berlakunya
Sertifikat Kompetensi Kerja.
(4) BPR dan BPRS wajib mengadministrasikan dengan
tertib dokumen Program Pemeliharaan bagi anggota
Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR dan BPRS.
BAB VI
LAIN-LAIN
Pasal 19
(1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk:
a. melakukan koordinasi dengan BNSP dalam
rangka evaluasi terhadap kualitas standar
- 12 -
Sertifikasi Kompetensi Kerja dan materi yang
diujikan dalam Sertifikasi Kompetensi Kerja; dan
b. mencantumkan atau menghapus nama Lembaga
Sertifikasi Profesi dalam daftar Lembaga
Sertifikasi Profesi di OJK dan
di
dalam situs web Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Lembaga Sertifikasi Profesi wajib menyampaikan
laporan mengenai pelaksanaan program Sertifikasi
Kompetensi Kerja yang diminta oleh Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
huruf d.
BAB VII
SANKSI
Pasal 20
(1) BPR dan BPRS yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal
6, Pasal 8, dan/atau Pasal 9 dapat dikenakan sanksi
administratif berupa:
a.
teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan BPR dan BPRS
satu predikat;
c. larangan pembukaan jaringan kantor dan
kegiatan Pedagang Valuta Asing (PVA); dan/atau
d. penghentian sementara sebagian kegiatan
operasional BPR dan BPRS.
(2) Lembaga Sertifikasi Profesi yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
dan/atau Pasal 19 ayat (2) dapat dikenakan sanksi
berupa penghapusan nama Lembaga Sertifikasi
Profesi dalam daftar Lembaga Sertifikasi Profesi di
Otoritas Jasa Keuangan dan di dalam pengumuman
pada situs web Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilaksanakan setelah Otoritas Jasa Keuangan
menyampaikan 3 (tiga) surat peringatan dengan
- 13 -
tenggang waktu surat peringatan masing-masing
selama 1 (satu) bulan.
Pasal 21
Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR dan
BPRS yang tidak mengikuti Program Pemeliharaan dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(2) yang mengakibatkan Sertifikat Kompetensi Kerja yang
dimiliki tidak berlaku, dikenakan sanksi wajib mengikuti
uji kompetensi kerja untuk memperoleh Sertifikat
Kompetensi Kerja.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 22
Sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
sertifikat kompetensi kerja bagi anggota Direksi dan
Dewan Komisaris BPR dan BPRS yang masih berlaku
berdasarkan SKKNI bagi BPR dan BPRS diakui sebagai
Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 1.
Pasal 23
Lembaga Sertifikasi Profesi yang telah melakukan kegiatan
Sertifikasi Kompetensi Kerja sebelum berlakunya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini wajib mengajukan
pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan c.q.
Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan paling
lama 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini, dengan melampirkan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
- 14 -
berlaku:
1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/34/DPBPR
tanggal 13 Agustus 2004 tentang Lembaga Sertifikasi
bagi Bank Perkreditan Rakyat; dan
2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/23/DPbS
tanggal 20 Oktober 2006 tentang Lembaga Sertifikasi
bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip
Syariah,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
- 15 -
Pasal 25
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 2017.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 397
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 4/POJK.03/2015 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN TATA KELOLA BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title>
<set_date> 31 Maret 2015 </set_date>
<effective_date> 1 April 2015 </effective_date>
<issued_date> 1 April 2015 </issued_date>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 64 /POJK.03/2016
TENTANG
PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK KONVENSIONAL
MENJADI BANK SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung pertumbuhan
perekonomian nasional diperlukan lembaga perbankan
yang dapat melayani seluruh lapisan masyarakat;
b. bahwa bank syariah sebagai bagian dari sistem perbankan
nasional perlu dikembangkan secara sehat dan kuat agar
dapat memberikan pelayanan jasa perbankan bagi
masyarakat, antara lain melalui perubahan kegiatan
usaha bank konvensional menjadi bank syariah;
c. bahwa perubahan kegiatan usaha bank konvensional
menjadi bank syariah harus didukung dengan modal yang
cukup dan manajemen yang profesional sehingga dapat
tercipta bank syariah yang sehat dan tangguh
(sustainable);
d. bahwa sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa
keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia
ke Otoritas Jasa Keuangan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Perubahan Kegiatan Usaha Bank Konvensional Menjadi
Bank Syariah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4756);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK KONVENSIONAL
MENJADI BANK SYARIAH.
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan
usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut
jenisnya terdiri dari Bank Umum Syariah dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah;
2. Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah;
3. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya
disebut BPRS adalah Bank Syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah;
4. Bank Konvensional adalah bank yang menjalankan
kegiatan usahanya secara konvensional dan berdasarkan
jenisnya terdiri dari Bank Umum Konvensional dan Bank
Perkreditan Rakyat;
5. Bank Umum Konvensional adalah Bank Konvensional
yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah;
6. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR
adalah Bank Konvensional yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;
- 4 -
7. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam
kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan
oleh Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia;
8. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disebut
PSP adalah badan hukum, perorangan dan/atau
kelompok usaha yang:
a. memiliki saham perusahaan atau bank sebesar 25%
(dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham
yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau
b. memiliki saham perusahaan atau bank kurang dari
25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang
dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang
bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan
pengendalian perusahaan atau bank, baik secara
langsung maupun tidak langsung;
9. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas;
10. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
11. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disebut DPS
adalah dewan yang bertugas memberikan nasihat dan
saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank
Syariah agar sesuai dengan Prinsip Syariah;
12. Hari adalah hari kalender.
Pasal 2
(1) Bank Konvensional dapat melakukan perubahan kegiatan
usaha menjadi Bank Syariah.
(2) Perubahan kegiatan usaha Bank Konvensional menjadi
Bank Syariah dapat dilakukan:
a. Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum
Syariah; atau
b. BPR menjadi BPRS.
- 5 -
Pasal 3
Bank Syariah dilarang melakukan perubahan kegiatan usaha
menjadi Bank Konvensional.
Pasal 4
(1) Perubahan kegiatan usaha Bank Konvensional menjadi
Bank Syariah hanya dapat dilakukan dengan izin Otoritas
Jasa Keuangan.
(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam bentuk izin perubahan kegiatan usaha.
BAB II
PERSYARATAN PERUBAHAN KEGIATAN USAHA
Bagian Kesatu
Persyaratan Umum
Pasal 5
Rencana perubahan kegiatan usaha Bank Konvensional
menjadi Bank Syariah harus dicantumkan dalam rencana
bisnis Bank Konvensional.
Pasal 6
Bank Konvensional yang akan melakukan perubahan kegiatan
usaha menjadi Bank Syariah harus:
a. menyesuaikan anggaran dasar;
b. memenuhi persyaratan permodalan;
c. menyesuaikan persyaratan Direksi dan Dewan Komisaris;
d. membentuk DPS; dan
e. menyajikan laporan keuangan awal sebagai sebuah Bank
Syariah.
Pasal 7
Penyesuaian anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 huruf a mengacu pada Undang-Undang yang mengatur
mengenai Perbankan Syariah dan ketentuan peraturan
perundang-undangan lain yang berlaku.
- 6 -
Bagian Kedua
Persyaratan Menjadi Bank Umum Syariah
Pasal 8
Bank Umum Konvensional yang akan melakukan perubahan
kegiatan usaha menjadi Bank Umum Syariah harus memenuhi
ketentuan mengenai permodalan Bank Umum Syariah.
Pasal 9
Direksi dan Dewan Komisaris Bank Umum Syariah harus
memenuhi ketentuan yang mengatur mengenai Bank Umum
Syariah.
Pasal 10
(1) Bank Umum Konvensional yang akan melakukan
perubahan kegiatan usaha menjadi Bank Umum Syariah
harus membentuk DPS.
(2) Calon anggota DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi persyaratan DPS sebagaimana diatur
dalam ketentuan mengenai Bank Umum Syariah.
Bagian Ketiga
Persyaratan Menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
Pasal 11
BPR yang akan melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi
BPRS harus memenuhi ketentuan mengenai permodalan BPRS.
Pasal 12
Direksi dan Dewan Komisaris BPRS harus memenuhi
ketentuan yang mengatur mengenai BPRS.
Pasal 13
(1) BPR yang akan melakukan perubahan kegiatan usaha
menjadi BPRS harus membentuk DPS.
- 7 -
(2) Calon anggota DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi persyaratan DPS sebagaimana diatur
dalam ketentuan mengenai BPRS.
BAB III
TATA CARA PERIZINAN PERUBAHAN KEGIATAN USAHA
Pasal 14
(1) Permohonan izin perubahan kegiatan usaha diajukan oleh
Bank Konvensional disertai dengan antara lain:
a. misi dan visi perubahan kegiatan usaha menjadi
Bank Syariah;
b. rancangan perubahan anggaran dasar;
c. nama dan data identitas dari calon PSP, calon
anggota Direksi, calon anggota Dewan Komisaris, dan
calon anggota DPS;
d. rencana bisnis Bank Syariah;
e. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi
ekonomi; dan
f. rencana penyelesaian hak dan kewajiban nasabah.
(2) Bank Konvensional yang mengajukan permohonan izin
perubahan kegiatan usaha harus memberikan penjelasan
mengenai keseluruhan rencana perubahan kegiatan
usaha menjadi Bank Syariah.
Pasal 15
(1) Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1) huruf b harus dimintakan persetujuan
kepada instansi yang berwenang.
(2) Permohonan kepada instansi yang berwenang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
bersamaan dengan pengajuan permohonan izin
perubahan kegiatan usaha.
- 8 -
Pasal 16
Bank Konvensional yang telah mendapat izin perubahan
kegiatan usaha menjadi Bank Syariah wajib mencantumkan
secara jelas:
a. kata “Syariah” pada penulisan nama; dan
b. logo iB pada formulir, warkat, produk, kantor, dan
jaringan kantor Bank Syariah.
Pasal 17
(1) Bank Konvensional yang telah mendapat izin perubahan
kegiatan usaha menjadi Bank Syariah wajib
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung
sejak tanggal izin perubahan kegiatan usaha diberikan.
(2) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Bank Syariah hasil perubahan kegiatan
usaha belum melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
Prinsip Syariah, maka izin perubahan kegiatan usaha
yang telah diberikan akan ditinjau kembali.
(3) Rencana pelaksanaan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diumumkan kepada masyarakat paling lambat 10
(sepuluh) hari sebelum tanggal pelaksanaan.
(4) Pelaksanaan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan
paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
pelaksanaan.
(5) Bank Konvensional yang telah mendapat izin perubahan
kegiatan usaha menjadi Bank Syariah dilarang melakukan
kegiatan usaha secara konvensional, kecuali dalam rangka
penyelesaian hak dan kewajiban dari kegiatan usaha
secara konvensional.
Pasal 18
(1) Bank Konvensional yang telah mendapat izin perubahan
kegiatan usaha menjadi Bank Syariah wajib
menyelesaikan hak dan kewajiban dari kegiatan usaha
- 9 -
secara konvensional paling lambat 1 (satu) tahun
terhitung sejak tanggal izin perubahan kegiatan usaha
diberikan.
(2) Batas waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diperpanjang dalam hal penyelesaian hak
dan kewajiban dari kegiatan usaha secara konvensional
belum dapat diselesaikan yang disebabkan oleh hal-hal
yang tidak dapat dihindari (force majeur) atau
pertimbangan lain yang dapat diterima.
BAB IV
SANKSI
Pasal 19
(1) Bank Konvensional yang telah mendapat izin perubahan
kegiatan usaha menjadi Bank Syariah yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 17 ayat (5), dan Pasal 18 ayat
(1) dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
(2) Bank Syariah yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) dan ayat
(4) dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, berupa:
a. teguran tertulis dan denda:
1. sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per
hari keterlambatan untuk setiap laporan atau
pengumuman dan paling banyak seluruhnya
sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta
rupiah) untuk Bank Umum Syariah; atau
2. sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per
hari keterlambatan untuk setiap laporan atau
pengumuman dan paling banyak seluruhnya
sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk
BPRS.
- 10 -
b. teguran tertulis dan denda:
1. paling banyak sebesar Rp30.000.000,00 (tiga
puluh juta rupiah) dalam hal Bank Umum
Syariah tidak menyampaikan laporan atau
melaksanakan pengumuman; atau
2. paling banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) dalam hal BPRS tidak menyampaikan
laporan atau melaksanakan pengumuman.
(3) Bank Syariah dinyatakan tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b apabila
belum melaksanakan pengumuman dan/atau
menyampaikan laporan dimaksud setelah 30 (tiga puluh)
hari sejak batas akhir pelaksanaan pengumuman
dan/atau penyampaian laporan.
(4) Pengenaan sanksi teguran tertulis dan denda karena
dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau tidak
melaksanakan pengumuman sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak menghapuskan kewajiban Bank
Syariah untuk menyampaikan laporan dan/atau
melaksanakan pengumuman.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Ketentuan pelaksanaan mengenai perubahan kegiatan usaha
Bank Konvensional menjadi Bank Syariah diatur dalam Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 21
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku maka
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/15/PBI/2009 tentang
Perubahan Kegiatan Usaha Bank Konvensional Menjadi Bank
Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
- 11 -
Pasal 22
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 295
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 64 /POJK.03/2016
TENTANG
PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK KONVENSIONAL
MENJADI BANK SYARIAH
I. UMUM
Sistem perbankan nasional yang mengakomodasi konsep dual banking
system memberikan jalan bagi berkembangnya perbankan syariah di
Indonesia. Perbankan syariah yang semakin berkembang diharapkan
mampu memberikan kontribusi yang lebih besar bagi perkembangan
perekonomian nasional. Peran perbankan syariah dalam sistem perbankan
nasional perlu ditingkatkan antara lain dengan meningkatkan jumlah
jaringan kantor melalui pembentukan Bank Syariah baru atau membuka
peluang yang lebih besar untuk pelaksanaan perubahan kegiatan usaha
(konversi) Bank Konvensional menjadi Bank Syariah. Upaya peningkatan
jaringan kantor perbankan syariah tersebut juga dimaksudkan untuk
mengakomodasi tuntutan masyarakat yang semakin besar terhadap
keberadaan perbankan syariah serta minat para investor untuk masuk
dalam industri perbankan syariah.
Dengan diberlakukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, terdapat beberapa perubahan ketentuan yang terkait
dengan kelembagaan, kepengurusan dan kegiatan usaha Bank Syariah,
termasuk ketentuan tentang perubahan kegiatan usaha (konversi) Bank
Konvensional menjadi Bank Syariah. Pelaksanaan perubahan kegiatan
usaha (konversi) Bank Konvensional menjadi Bank Syariah harus tetap
memperhatikan azas perbankan yang sehat dan prinsip kehati-hatian
- 2 -
sehingga dapat tercipta perbankan syariah yang kuat dan konsisten dalam
menerapkan Prinsip Syariah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “laporan keuangan awal sebagai sebuah
Bank Syariah” adalah laporan keuangan sebagai Bank Syariah
yang menunjukan laba rugi tahun berjalan dan laba rugi tahun
lalu memiliki saldo Rp0,00 (nol rupiah) atau nihil.
- 3 -
Pasal 7
Yang dimaksud dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
lain yang berlaku antara lain Undang-Undang yang mengatur
mengenai Perseroan Terbatas, peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai kelembagaan Bank Umum Syariah, dan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai kelembagaan BPRS.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan ketentuan mengenai permodalan Bank Umum
Syariah antara lain ketentuan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM) Bank Umum Syariah dan ketentuan mengenai
jumlah modal inti minimum Bank Umum Syariah.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan ketentuan yang mengatur mengenai Bank
Umum Syariah antara lain mengenai:
a. uji/penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) yang
berlaku bagi Bank Umum Syariah;
b. penerapan tata kelola (good corporate governance) yang berlaku
bagi Bank Umum Syariah; dan
c. kelembagaan Bank Umum Syariah.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Yang dimaksud dengan ketentuan mengenai permodalan BPRS antara
lain ketentuan mengenai KPMM dan pemenuhan modal inti minimum
BPRS.
Pasal 12
Yang dimaksud dengan ketentuan yang mengatur mengenai BPRS
antara lain mengenai:
a. uji/penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) yang
berlaku bagi BPRS;
b. penerapan tata kelola (good corporate governance) yang berlaku
bagi BPRS; dan
- 4 -
c. kelembagaan BPRS.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Pemberian izin perubahan kegiatan usaha diberikan dengan
mempertimbangkan antara lain:
a.
analisis atas rencana penyelesaian hak dan kewajiban
nasabah yang tidak bersedia diubah menjadi nasabah Bank
Syariah;
b. analisis atas rencana bisnis bagi Bank Syariah;
c.
hasil uji/penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper
test) terhadap calon PSP, calon anggota Direksi, dan calon
anggota Dewan Komisaris; dan
d. hasil wawancara terhadap calon anggota DPS.
Ayat (2)
Hal-hal yang harus dijelaskan melalui presentasi di Otoritas Jasa
Keuangan antara lain:
a. misi dan visi perubahan kegiatan usaha;
b.
hasil studi kelayakan mengenai peluang pasar
penghimpunan dan penyaluran dana;
c. rencana bisnis jangka pendek dan menengah bagi Bank
Syariah;
d. sistem teknologi informasi;
e. jumlah dan lokasi kantor Bank Syariah; dan
f.
struktur organisasi dan personalia.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Huruf a
Pencantuman kata “Syariah” dilakukan sebagai berikut:
- 5 -
1. untuk Bank Umum Syariah, pencantuman kata “Syariah”
dapat dilakukan setelah kata “Bank” atau setelah nama
bank; atau
2. untuk BPRS, pencantuman kata “Syariah” dilakukan dengan
penyebutan frasa “Bank Pembiayaan Rakyat Syariah” atau
“BPR Syariah” atau “BPRS” sebelum nama bank.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “ditinjau kembali” adalah:
a. diperpanjang apabila keterlambatan tersebut disebabkan
oleh hal-hal yang tidak dapat dihindari (force majeur) atau
pertimbangan lain yang dapat diterima. Perpanjangan jangka
waktu tersebut diberikan paling lama 60 (enam puluh) hari.
b. dibatalkan apabila Bank Syariah hasil perubahan kegiatan
usaha tidak dapat memberikan alasan yang relevan atas
keterlambatan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
Ayat (3)
Pelaksanan pengumuman dilakukan melalui:
a. surat kabar yang mempunyai peredaran nasional, untuk
Bank Umum Syariah;
b. surat kabar lokal atau papan pengumuman di tempat
kedudukan kantor BPRS, untuk BPRS.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5985
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 64/POJK.03/2016 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK KONVENSIONAL MENJADI BANK SYARIAH </reg_title>
<set_date> 22 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 27 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 27 Desember 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '11/15/PBI/2009' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '40/UU/2007', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 51 /POJK.04/2016
TENTANG
TATA CARA UNTUK MEMINTA PERUBAHAN DAN/ATAU TAMBAHAN
INFORMASI ATAS PERNYATAAN PENDAFTARAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor Pasar Modal termasuk dengan pengaturan
mengenai tata cara untuk meminta perubahan dan/atau
tambahan informasi atas Pernyataan Pendaftaran beralih
dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan
kepastian mengenai pengaturan terhadap tata cara untuk
meminta perubahan dan/atau tambahan informasi atas
Pernyataan Pendaftaran, peraturan mengenai tata cara
untuk meminta perubahan dan/atau tambahan
informasi atas Pernyataan Pendaftaran perlu diubah ke
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
- 2 -
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Cara
Untuk Meminta Perubahan dan/atau Tambahan
Informasi Atas Pernyataan Pendaftaran;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA
CARA UNTUK MEMINTA PERUBAHAN DAN/ATAU TAMBAHAN
INFORMASI ATAS PERNYATAAN PENDAFTARAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan Pernyataan Pendaftaran adalah dokumen yang wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Emiten
dalam rangka Penawaran Umum atau Perusahaan Publik.
BAB II
TATA CARA PERMINTAAN PERUBAHAN DAN/ATAU
TAMBAHAN INFORMASI ATAS PERNYATAAN PENDAFTARAN
Pasal 2
(1) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta perubahan
dan/atau tambahan informasi setiap saat sebelum atau
- 3 -
sesudah Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif, dalam
hal Otoritas Jasa Keuangan berpendapat bahwa informasi
yang tercantum dalam Pernyataan Pendaftaran tidak
cukup, palsu, menyesatkan, tidak jelas, atau masih
memerlukan perubahan dan/atau tambahan informasi.
(2) Permintaan perubahan dan/atau tambahan informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
permintaan secara tertulis atau lisan kepada Emiten atau
Perusahaan Publik.
Pasal 3
Dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah
penyerahan Pernyataan Pendaftaran pertama, Otoritas Jasa
Keuangan dapat meminta perubahan dan/atau tambahan
informasi yang diperlukan agar Pernyataan Pendaftaran
tersebut dilengkapi atau agar semua informasi atau fakta
material bagi pemodal atau publik diungkapkan.
Pasal 4
Setiap perubahan dan/atau tambahan informasi yang diminta
Otoritas Jasa Keuangan setelah jangka waktu 45 (empat puluh
lima) hari setelah penyerahan Pernyataan Pendaftaran yang
pertama harus didasarkan pada pertimbangan bahwa
perubahan dan/atau tambahan informasi tersebut diperlukan
untuk mengungkapkan semua informasi atau fakta material
kepada pemodal dan publik.
Pasal 5
Dalam hal permintaan perubahan dan/atau tambahan
informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
dilakukan secara lisan, permintaan wajib dicatat dalam bentuk
memo untuk arsip, yang menyatakan:
a. hal yang diminta;
b. Pihak yang dimintakan perubahan dan/atau tambahan
informasi; dan
c. tanggapan yang diperoleh secara lisan.
- 4 -
Pasal 6
Semua perubahan dan/atau tambahan informasi yang
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan, harus terlebih
dahulu memperoleh tanggapan dari Otoritas Jasa Keuangan
sebelum Pernyataan Pendaftaran dapat dinyatakan menjadi
efektif.
Pasal 7
Permintaan yang memerlukan perubahan dan/atau tambahan
informasi terhadap Pernyataan Pendaftaran akan mengubah
tanggal pengajuan Pernyataan Pendaftaran secara lengkap.
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 8
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi terhadap setiap pihak yang
melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan
terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g
dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan
sanksi
administratif berupa peringatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
tertulis
- 5 -
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri
atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 9
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan
tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 10
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
kepada masyarakat.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 11
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-
44/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Tata Cara Untuk
Meminta Perubahan dan/atau Tambahan Informasi Atas
Pernyataan Pendaftaran, beserta Peraturan Nomor IX.A.3 yang
merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
- 6 -
Pasal 12
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap
orang
mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 280
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 51 /POJK.04/2016
TENTANG
TATA CARA UNTUK MEMINTA PERUBAHAN DAN/ATAU TAMBAHAN
INFORMASI ATAS PERNYATAAN PENDAFTARAN
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
untuk mengganti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai Tata Cara Untuk Meminta Perubahan dan/atau
Tambahan Informasi Atas Pernyataan Pendaftaran yaitu Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-44/PM/1996 tanggal
17 Januari 1996 tentang Tata Cara Untuk Meminta Perubahan dan/atau
Tambahan Informasi Atas Pernyataan Pendaftaran, beserta Peraturan
Nomor IX.A.3 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas
- 2 -
Jasa Keuangan tentang Tata Cara Untuk Meminta Perubahan dan/atau
Tambahan Informasi Atas Pernyataan Pendaftaran.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa:
a. penundaan pemberian pernyataan efektif, misalnya pernyataan
efektif untuk Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran
Umum; dan
b. penundaan pemberian pernyataan Otoritas Jasa Keuangan
bahwa tidak ada tanggapan lebih lanjut atas dokumen yang
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka
- 3 -
penambahan modal dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu
Perusahaan Terbuka.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5976
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 51/POJK.04/2016 </reg_id>
<reg_title> TATA CARA UNTUK MEMINTA PERUBAHAN DAN/ATAU TAMBAHAN INFORMASI ATAS PERNYATAAN PENDAFTARAN </reg_title>
<set_date> 2 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 7 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 7 Desember 2016 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-44/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-44/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.3' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 26/POJK.03/2015
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM TERINTEGRASI
BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan sektor keuangan yang
tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta memiliki
daya saing yang tinggi, konglomerasi keuangan perlu
memiliki kecukupan modal yang memadai;
b. bahwa sejalan dengan kompleksitas usaha dan risiko
konglomerasi keuangan, konglomerasi keuangan perlu
melakukan pengelolaan permodalan yang memadai;
c. bahwa dengan kecukupan modal dan pengelolaan
permodalan konglomerasi keuangan yang memadai
diharapkan dapat mewujudkan stabilitas sistem
keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan sehingga
mampu meningkatkan daya saing nasional;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Terintegrasi bagi
Konglomerasi Keuangan.
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253;
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5679);
6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618);
7. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
29/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha
Perusahaan Pembiayaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 364, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5638);
- 3 -
8. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
31/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha
Pembiayaan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 366, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5640);
9. Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor
17/POJK.03/2014 tentang Penerapan Manajemen Risiko
Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 348,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5626);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM TERINTEGRASI
BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Lembaga Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat
LJK, adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di
sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan.
2. Konglomerasi Keuangan adalah Konglomerasi Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai penerapan manajemen risiko
terintegrasi bagi konglomerasi keuangan.
- 4 -
3. Entitas Utama adalah Entitas Utama sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi
konglomerasi keuangan.
4. Perusahaan Anak adalah Perusahaan Anak sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi
konglomerasi keuangan.
5. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
Terintegrasi, yang selanjutnya disebut Rasio KPMM
Terintegrasi, adalah perbandingan antara Total Modal
Aktual Konglomerasi Keuangan (aggregate net equity)
dengan Total Modal Minimum Konglomerasi Keuangan
(aggregate regulatory capital requirement).
6. Manajemen Permodalan Terintegrasi adalah proses yang
berkesinambungan untuk memelihara permodalan pada
tingkat yang memadai dalam rangka mendukung rencana
bisnis Konglomerasi Keuangan maupun mengantisipasi
potensi kerugian yang diakibatkan oleh aktivitas
Konglomerasi Keuangan.
7. Direksi adalah:
a. bagi LJK berbadan hukum Perseroan Terbatas
adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas;
b. bagi LJK berbadan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah adalah Direksi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015;
- 5 -
2) Perusahaan Daerah adalah Direksi Perusahaan
Daerah yang belum menyesuaikan bentuk badan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015;
c. bagi LJK berbadan hukum Koperasi adalah
Pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
d. bagi LJK berbadan hukum Usaha Bersama adalah
Direksi sebagaimana dimaksud dalam anggaran
dasar perusahaan;
e. bagi LJK berstatus sebagai kantor cabang dari
entitas yang berkedudukan di luar negeri adalah
pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di
bawah pemimpin kantor cabang.
8. Dewan Komisaris adalah:
a. bagi LJK berbadan hukum Perseroan Terbatas
adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi LJK berbadan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah adalah Dewan Pengawas atau
Komisaris sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015;
- 6 -
2) Perusahaan Daerah adalah Pengawas bagi
Perusahaan Daerah yang belum menyesuaikan
bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2015;
c. bagi LJK berbadan hukum Koperasi adalah
Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
d. bagi LJK berbadan hukum Usaha Bersama adalah
Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam
anggaran dasar perusahaan;
e. bagi LJK berstatus sebagai kantor cabang dari
entitas yang berkedudukan di luar negeri adalah
pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi
pengawasan.
Pasal 2
(1) Konglomerasi Keuangan wajib menyediakan modal
minimum terintegrasi paling rendah sebesar 100%
(seratus persen) dari Total Modal Minimum (TMM)
Konglomerasi Keuangan (aggregate regulatory capital
requirement).
(2) Penyediaan Modal Minimum Terintegrasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan dengan
menghitung Rasio KPMM Terintegrasi.
Pasal 3
(1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan modal
minimum terintegrasi lebih besar dari modal minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dalam hal
Otoritas Jasa Keuangan menilai Konglomerasi Keuangan
menghadapi risiko yang membutuhkan penyediaan
modal lebih besar.
- 7 -
(2) Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta anggota
Konglomerasi Keuangan yang berpotensi menimbulkan
permasalahan permodalan Konglomerasi Keuangan
untuk meningkatkan modal dan melakukan hal-hal lain
sesuai ketentuan pada masing-masing sektor keuangan.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai
terdapat kecenderungan penurunan modal yang
berpotensi menyebabkan modal Konglomerasi Keuangan
berada di bawah kewajiban penyediaan modal minimum
terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) atau Pasal 3 ayat (1).
Pasal 4
LJK anggota Konglomerasi Keuangan dilarang melakukan
tindakan yang dapat mengakibatkan kondisi permodalan
Konglomerasi Keuangan tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3
ayat (1).
BAB II
TOTAL MODAL AKTUAL KONGLOMERASI KEUANGAN
(AGGREGATE NET EQUITY)
Pasal 5
(1) Dalam menghitung Rasio KPMM Terintegrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Entitas
Utama menghitung Total Modal Aktual (TMA)
Konglomerasi Keuangan dengan cara menjumlahkan nilai
nominal dari modal aktual masing-masing LJK secara
individu dan/atau secara konsolidasi dengan Perusahaan
Anak dalam Konglomerasi Keuangan sesuai ketentuan
pada masing-masing sektor keuangan.
(2) TMA Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dikurangi dengan faktor pengurang
modal berupa:
- 8 -
a. penyertaan modal LJK kepada LJK lain dalam
Konglomerasi Keuangan; dan/atau
b. penempatan dana LJK kepada LJK lain dalam
Konglomerasi Keuangan yang diakui sebagai
instrumen modal (regulatory capital) oleh LJK lain
dimaksud,
sepanjang belum diperhitungkan dalam perhitungan
modal atau belum diperhitungkan sebagai faktor
pengurang modal pada masing-masing sektor keuangan.
(3) Dalam hal suatu sektor keuangan memiliki pengaturan
perhitungan permodalan konsolidasi terhadap
Perusahaan Anak, modal aktual yang diperhitungkan
dalam TMA Konglomerasi Keuangan adalah modal aktual
secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak.
(4) Dalam hal pengaturan perhitungan permodalan
konsolidasi tidak memperhitungkan modal suatu
Perusahaan Anak, modal aktual Perusahaan Anak
dimaksud diperhitungkan dalam TMA Konglomerasi
Keuangan.
Pasal 6
Modal aktual masing-masing LJK dalam Konglomerasi
Keuangan secara individu dan/atau secara konsolidasi
dengan Perusahaan Anak yang diperhitungkan dalam TMA
Konglomerasi Keuangan yaitu:
a. bagi bank adalah modal inti aktual dan modal pelengkap
aktual;
b. bagi perusahaan pembiayaan adalah modal yang
disesuaikan aktual;
c. bagi perusahaan asuransi/reasuransi adalah nilai aktual
dari selisih antara aset/kekayaan yang diperkenankan
dengan liabilitas;
d. bagi perusahaan efek adalah Modal Kerja Bersih yang
Disesuaikan (MKBD) aktual.
- 9 -
BAB III
TOTAL MODAL MINIMUM KONGLOMERASI KEUANGAN
(AGGREGATE REGULATORY CAPITAL REQUIREMENT)
Pasal 7
(1) Dalam menghitung Rasio KPMM Terintegrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Entitas
Utama menghitung Total Modal Minimum (TMM)
Konglomerasi Keuangan dengan cara menjumlahkan nilai
nominal dari modal minimum masing-masing LJK secara
individu dan/atau secara konsolidasi dengan Perusahaan
Anak yang wajib dipenuhi oleh masing-masing LJK dalam
Konglomerasi Keuangan sesuai ketentuan pada masing-
masing sektor keuangan.
(2) Dalam hal suatu sektor keuangan memiliki pengaturan
perhitungan permodalan konsolidasi terhadap
Perusahaan Anak, modal minimum yang diperhitungkan
dalam TMM Konglomerasi Keuangan adalah modal
minimum secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak
yang wajib dipenuhi sesuai ketentuan pada masing-
masing sektor keuangan.
(3) Dalam hal pengaturan perhitungan permodalan
konsolidasi tidak memperhitungkan modal suatu
Perusahaan Anak, modal minimum Perusahaan Anak
dimaksud diperhitungkan dalam TMM Konglomerasi
Keuangan.
Pasal 8
Modal minimum masing-masing LJK dalam Konglomerasi
Keuangan secara individu dan/atau secara konsolidasi
dengan Perusahaan Anak yang diperhitungkan dalam TMM
Konglomerasi Keuangan yaitu:
a. bagi bank adalah modal minimum sesuai profil risiko;
b. bagi perusahaan pembiayaan adalah modal yang
disesuaikan minimum;
- 10 -
c. bagi perusahaan asuransi/reasuransi adalah nilai
minimum dari selisih antara aset/kekayaan yang
diperkenankan dengan liabilitas;
d. bagi perusahaan efek adalah nilai minimum Modal Kerja
Bersih yang Disesuaikan (MKBD).
BAB IV
MANAJEMEN PERMODALAN TERINTEGRASI
Pasal 9
(1) Konglomerasi Keuangan wajib menerapkan Manajemen
Permodalan Terintegrasi secara komprehensif dan efektif.
(2) Penerapan Manajemen Permodalan Terintegrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan
oleh Entitas Utama, Direksi Entitas Utama, dan Dewan
Komisaris Entitas Utama.
Pasal 10
(1) Direksi Entitas Utama dan Dewan Komisaris Entitas
Utama berwenang dan bertanggung jawab untuk
memastikan penerapan Manajemen Permodalan
Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) sesuai dengan karakteristik dan kompleksitas usaha
Konglomerasi Keuangan.
(2) Kewenangan dan tanggung jawab Direksi Entitas Utama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup paling
sedikit:
a. menyusun kebijakan, strategi, dan prosedur
permodalan secara terintegrasi sesuai dengan
ukuran, karakteristik, kompleksitas usaha, dan
tingkat risiko Konglomerasi Keuangan; dan
b. melaksanakan kebijakan, strategi, dan prosedur
pengelolaan permodalan secara terintegrasi.
(3) Kewenangan dan tanggung jawab Dewan Komisaris
Entitas Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup paling sedikit:
- 11 -
a. mengarahkan, menyetujui, dan mengevaluasi
kebijakan, strategi, dan prosedur pengelolaan
permodalan secara terintegrasi; dan
b. mengevaluasi pelaksanaan kebijakan, strategi, dan
prosedur pengelolaan permodalan secara terintegrasi
oleh Direksi Entitas Utama.
Pasal 11
Dalam rangka penerapan Manajemen Permodalan
Terintegrasi, Entitas Utama wajib paling sedikit:
a. memiliki kebijakan dan prosedur pengelolaan permodalan
secara terintegrasi;
b. melakukan penilaian kecukupan modal secara
terintegrasi;
c. memantau dan menyampaikan laporan modal secara
terintegrasi;
d. memiliki sistem pengendalian intern yang memadai
terkait dengan permodalan secara terintegrasi; dan
e. melakukan kaji ulang penerapan Manajemen Permodalan
Terintegrasi secara berkala.
Pasal 12
(1) Kebijakan pengelolaan permodalan secara terintegrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a memuat
paling sedikit kebijakan mengenai:
a. tingkat permodalan untuk memenuhi modal
minimum Konglomerasi Keuangan (regulatory
capital);
b. sumber-sumber permodalan baik intern maupun
ekstern Konglomerasi Keuangan;
c. tindakan yang dilakukan Konglomerasi Keuangan:
1. untuk mengantisipasi seluruh risiko yang
ditimbulkan oleh aktivitas Konglomerasi
Keuangan;
2. pada saat modal berada di bawah target yang
ditetapkan; dan
- 12 -
3. untuk memastikan kepatuhan Konglomerasi
Keuangan pada ketentuan yang berlaku
mengenai kewajiban penyediaan
modal
minimum.
(2) Prosedur pengelolaan permodalan secara terintegrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a memuat
paling
sedikit
prosedur perencanaan, penilaian
kecukupan, dan pemantauan permodalan Konglomerasi
Keuangan.
Pasal 13
(1) Dalam melakukan penilaian kecukupan modal secara
terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf
b, Entitas Utama wajib mengidentifikasi:
a.
indikasi double atau multiple gearing dalam
Konglomerasi Keuangan;
b. indikasi excessive leverage;
c. hambatan melakukan transfer modal dari satu LJK
kepada LJK lain dalam Konglomerasi Keuangan; dan
d.
risiko yang signifikan mempengaruhi Konglomerasi
Keuangan.
(2) Penilaian kecukupan modal secara terintegrasi dilakukan
oleh Satuan Kerja Manajemen Risiko Terintegrasi
(SKMRT).
(3) Entitas Utama wajib mendokumentasikan hasil penilaian
kecukupan modal secara terintegrasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Pasal 14
(1) Dalam melakukan pemantauan dan penyampaian
laporan modal secara terintegrasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 huruf c, Entitas Utama wajib memiliki
sistem informasi yang dapat menghasilkan informasi dan
laporan yang memadai termasuk dampak risiko terhadap
kebutuhan modal Konglomerasi Keuangan.
- 13 -
(2) Pemantauan dan penyampaian laporan modal secara
terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Satuan Kerja Manajemen Risiko
Terintegrasi (SKMRT).
(3) Laporan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada Direksi Entitas Utama dan Komite
Manajemen Risiko Terintegrasi secara berkala.
Pasal 15
Entitas Utama wajib memiliki sistem pengendalian intern yang
memadai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf d
untuk memastikan keandalan penerapan Manajemen
Permodalan Terintegrasi.
Pasal 16
Kaji ulang penerapan Manajemen Permodalan Terintegrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf e dilakukan
Satuan Kerja Audit Intern Terintegrasi (SKAIT).
BAB V
PELAPORAN
Pasal 17
(1) Entitas Utama wajib menyusun Laporan Kecukupan
Permodalan Terintegrasi setiap semester untuk posisi
akhir bulan Juni dan Desember.
(2) Laporan Kecukupan Permodalan Terintegrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. modal aktual dari masing-masing LJK anggota
Konglomerasi Keuangan;
b. TMA Konglomerasi Keuangan;
c. modal minimum yang wajib dipenuhi oleh masing-
masing LJK anggota Konglomerasi Keuangan;
d. TMM Konglomerasi Keuangan;
e. Rasio KPMM Terintegrasi;
f.
Rincian penyertaan modal antar LJK dalam
Konglomerasi Keuangan; dan
- 14 -
g. Rincian penempatan dana LJK kepada LJK lain
dalam Konglomerasi Keuangan yang diakui sebagai
instrumen modal (regulatory capital) oleh LJK lain
dimaksud.
(3) Entitas Utama wajib menyampaikan Laporan Kecukupan
Permodalan Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat:
a. tanggal 15 (lima belas) bulan Agustus untuk laporan
posisi akhir bulan Juni;
b. tanggal 15 (lima belas) bulan Februari untuk laporan
posisi akhir bulan Desember.
(4) Dalam hal tanggal 15 (lima belas) jatuh pada hari
Sabtu/Minggu/libur, Laporan Kecukupan Permodalan
Terintegrasi disampaikan pada hari kerja berikutnya.
(5) Laporan Kecukupan Permodalan Terintegrasi
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan u.p.
Departemen Pengawasan atau Kantor Regional atau
Kantor Otoritas Jasa Keuangan yang bertanggung jawab
mengawasi LJK Entitas Utama.
(6) Laporan Kecukupan Permodalan Terintegrasi dibuat
sesuai dengan format sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran I Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 18
Entitas Utama wajib menyampaikan Laporan Kecukupan
Permodalan Terintegrasi sewaktu-waktu dalam hal diminta
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
BAB VI
SANKSI
Pasal 19
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 4, Pasal
9, Pasal 11, Pasal 13 ayat (1), Pasal 13 ayat (3), Pasal 14 ayat
(1), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) dan/atau Pasal 18 dikenakan
sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
- 15 -
b. penurunan tingkat kesehatan;
c. pembatalan hasil uji kemampuan dan kepatutan;
d. pembatasan kegiatan usaha;
e. perintah penggantian manajemen;
f. pencantuman manajemen dalam daftar orang tercela;
dan/atau
g. pembatalan persetujuan, pendaftaran dan pengesahan.
Pasal 20
Entitas Utama yang dinyatakan terlambat menyampaikan
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3)
dikenakan sanksi berupa peringatan tertulis dan kewajiban
membayar berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) per hari keterlambatan dengan jumlah paling banyak
sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 21
Mekanisme pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 dan Pasal 20 mengacu pada ketentuan yang berlaku
bagi LJK pada masing-masing sektor keuangan.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 22
Bagi Konglomerasi Keuangan yang terdiri atas LJK-LJK
sejenis, penerapan ketentuan kewajiban penyediaan modal
minimum terintegrasi mulai berlaku pada saat ketentuan
manajemen risiko terintegrasi dan tata kelola terintegrasi bagi
Konglomerasi Keuangan dimaksud mulai diterapkan pada
masing-masing sektor keuangan.
Pasal 23
Kewajiban penyampaian Laporan Kecukupan Permodalan
Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3)
pertama kali dilakukan untuk laporan posisi akhir bulan
Desember 2015.
- 16 -
Pasal 24
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
mulai berlaku pada:
a. 1 Januari 2019, untuk Entitas Utama yang merupakan
Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4;
b. 1 Juli 2019, untuk Entitas Utama bukan bank dan
Entitas Utama berupa bank selain Bank Umum
Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4.
Pasal 25
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
mulai berlaku pada:
a. 1 Januari 2018, untuk Entitas Utama yang merupakan
Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4;
b. 1 Juli 2018, untuk Entitas Utama bukan bank dan
Entitas Utama berupa bank selain Bank Umum
Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 26
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku, LJK
tetap menerapkan ketentuan yang berlaku pada masing-
masing sektor keuangan.
- 17 -
Pasal 27
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 11 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 292
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 26 /POJK.03/2015
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM TERINTEGRASI BAGI
KONGLOMERASI KEUANGAN
I. UMUM
Kondisi sektor jasa keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan
merupakan suatu prasyarat utama agar sistem keuangan mampu
mendukung pencapaian stabilitas sistem keuangan dan berkontribusi
secara optimal dalam perekonomian nasional.
Modal merupakan sumber dukungan keuangan dalam pelaksanaan
aktivitas Konglomerasi Keuangan secara keseluruhan, cushion untuk
menyerap kerugian yang tidak terduga (unexpected losses), dan jaring
pengaman (safety net) dalam kondisi krisis. Kecukupan modal yang
memadai dapat meningkatkan kepercayaan pemangku kepentingan
(stakeholders) sehingga mendukung kondisi dan kestabilan Konglomerasi
Keuangan.
Besaran modal yang harus disediakan oleh suatu Konglomerasi
Keuangan sangat bergantung pada risiko yang dihadapi. Oleh karena itu
dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat dan meningkatkan
kondisi usahanya secara keseluruhan, Konglomerasi Keuangan wajib
memiliki sistem yang memadai untuk mengidentifikasi, mengukur,
memantau, dan mengendalikan risiko yang ditimbulkan dari aktivitas
bisnis Konglomerasi Keuangan serta menyediakan modal yang memadai
untuk mengantisipasi risiko tersebut.
- 2 -
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, diperlukan pengaturan
mengenai kewajiban penyediaan modal minimum terintegrasi bagi
konglomerasi keuangan dalam suatu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan risiko yang membutuhkan penyediaan
modal lebih besar antara lain risiko transaksi intra grup.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan hal-hal lain antara lain:
a. pembatasan kegiatan usaha tertentu;
b. pembatasan bonus dan insentif lainnya; dan/atau
c. pengaturan atau penundaan pembayaran dividen.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Contoh tindakan yang dapat mengakibatkan kondisi permodalan
Konglomerasi Keuangan tidak memenuhi ketentuan antara lain:
1) melakukan pembayaran dividen;
2) memberikan bonus / insentif / tantiem / remunerasi /benefit
lainnya kepada Direksi, Dewan Komisaris, atau pegawai.
- 3 -
Pasal 5
Ayat (1)
Contoh 1:
Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK 1, LJK A, LJK B, dan
LJK C. TMA Konglomerasi Keuangan adalah penjumlahan dari
modal aktual LJK 1, LJK A, LJK B, dan LJK C, sesuai ketentuan
yang berlaku pada masing-masing sektor keuangan.
Contoh 2:
Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK A, LJK B, dan LJK C.
TMA Konglomerasi Keuangan adalah penjumlahan dari modal
aktual LJK A, LJK B, dan LJK C, sesuai ketentuan yang berlaku
pada masing-masing sektor keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh 1
- 4 -
Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK 1, LJK A, LJK B, dan
LJK C. Dalam hal pada LJK 1 terdapat ketentuan yang mengatur
perhitungan modal secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak,
TMA Konglomerasi Keuangan adalah modal aktual LJK 1 secara
konsolidasi dengan LJK A, LJK B, dan LJK C.
Contoh 2:
Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK 1, LJK A, LJK B, LJK C,
dan LJK D. Dalam hal pada LJK 1 terdapat ketentuan yang
mengatur perhitungan modal secara konsolidasi dengan
Perusahaan Anak, TMA Konglomerasi Keuangan adalah
penjumlahan modal aktual LJK 1 secara konsolidasi dengan LJK
A, LJK B, dan LJK C ditambah dengan modal aktual LJK D
secara individu.
Ayat (4)
Contoh:
Konglomerasi Keuangan terdiri atas bank, perusahaan
pembiayaan, perusahaan efek, dan perusahaan asuransi.
Berdasarkan ketentuan yang mengatur bank, penyertaan
kepada Perusahaan Anak berupa perusahaan asuransi menjadi
faktor pengurang modal dalam perhitungan modal secara
konsolidasi dengan Perusahaan Anak sehingga modal
perusahaan asuransi tersebut tidak ditambahkan ke modal bank
secara konsolidasi.
- 5 -
Dengan demikian, perhitungan TMA Konglomerasi Keuangan
adalah modal aktual bank secara konsolidasi dengan
Perusahaan Anak berupa perusahaan pembiayaan dan
perusahaan efek ditambah dengan modal aktual perusahaan
asuransi secara individu.
Pasal 6
Huruf a
Yang dimaksud dengan “bank” adalah bank umum, bank umum
syariah, bank perkreditan rakyat, dan bank pembiayaan rakyat
syariah.
Yang dimaksud dengan “modal inti dan modal pelengkap” adalah
modal inti dan modal pelengkap setelah memperhitungkan
faktor pengurang modal sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “perusahaan pembiayaan” adalah
perusahaan pembiayaan dan perusahaan pembiayaan syariah.
Yang dimaksud dengan “modal yang disesuaikan” adalah modal
yang disesuaikan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan atau
penyelenggaraan usaha pembiayaan syariah.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “perusahaan asuransi/reasuransi”
adalah perusahaan asuransi/reasuransi dan perusahaan
asuransi/reasuransi syariah.
Yang dimaksud dengan “aset/kekayaan yang diperkenankan”
adalah aset/kekayaan yang diperkenankan sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan mengenai kesehatan keuangan
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi.
Yang dimaksud dengan “liabilitas” adalah liabilitas sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan mengenai kesehatan keuangan
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “modal kerja bersih yang disesuaikan
(MKBD)” adalah MKBD sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
mengenai pemeliharaan dan pelaporan MKBD.
- 6 -
Pasal 7
Ayat (1)
Contoh 1:
Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK 1, LJK A, LJK B, dan
LJK C. TMM Konglomerasi Keuangan adalah penjumlahan dari
modal minimum yang wajib dipenuhi oleh LJK 1, LJK A, LJK B,
dan LJK C, sesuai ketentuan yang berlaku pada masing-masing
sektor keuangan sehingga Rasio KPMM Terintegrasi dihitung
sebagai berikut:
Contoh 2:
Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK A, LJK B, dan LJK C.
TMM Konglomerasi Keuangan adalah penjumlahan dari modal
minimum yang wajib dipenuhi oleh LJK A, LJK B, dan LJK C,
sesuai ketentuan yang berlaku pada masing-masing sektor
keuangan sehingga Rasio KPMM Terintegrasi dihitung sebagai
berikut:
- 7 -
Ayat (2)
Contoh 1:
Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK 1, LJK A, LJK B, dan
LJK C. Pada LJK 1 terdapat ketentuan yang mengatur
perhitungan modal secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak.
Dengan demikian, TMM Konglomerasi Keuangan adalah modal
minimum yang wajib dipenuhi oleh LJK 1 secara konsolidasi
dengan LJK A, LJK B, dan LJK C sehingga Rasio KPMM
Terintegrasi dihitung sebagai berikut:
Contoh 2:
- 8 -
Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK 1, LJK A, LJK B, LJK C,
dan LJK D. Pada LJK 1 terdapat ketentuan yang mengatur
perhitungan modal secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak.
Dengan demikian, TMM Konglomerasi Keuangan adalah modal
minimum yang wajib dipenuhi oleh LJK 1 secara konsolidasi
dengan LJK A, LJK B, dan LJK C ditambah dengan modal
minimum yang wajib dipenuhi oleh LJK D secara individu,
sehingga Rasio KPMM Terintegrasi dihitung sebagai berikut:
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “modal minimum Perusahaan Anak”
adalah modal minimum yang wajib dipenuhi oleh Perusahaan
Anak sesuai ketentuan pada masing-masing sektor keuangan.
Contoh :
Konglomerasi Keuangan terdiri atas bank, perusahaan
pembiayaan, perusahaan efek, dan perusahaan asuransi.
Berdasarkan ketentuan yang mengatur bank, penyertaan
kepada Perusahaan Anak berupa perusahaan asuransi menjadi
faktor pengurang modal dalam perhitungan modal secara
konsolidasi dengan Perusahaan Anak sehingga modal
perusahaan asuransi tersebut tidak ditambahkan pada modal
bank secara konsolidasi.
- 9 -
Dengan demikian perhitungan TMM Konglomerasi Keuangan
adalah modal minimum yang wajib dipenuhi oleh bank secara
konsolidasi dengan Perusahaan Anak berupa perusahaan
pembiayaan dan perusahaan efek ditambah dengan modal
minimum yang wajib dipenuhi oleh perusahaan asuransi secara
individu sehingga Rasio KPMM Terintegrasi dihitung sebagai
berikut:
Pasal 8
Huruf a
Yang dimaksud dengan “bank” adalah bank umum, bank umum
syariah, bank perkreditan rakyat, dan bank pembiayaan rakyat
syariah.
Yang dimaksud dengan “modal minimum sesuai profil risiko”
adalah modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan mengenai kewajiban penyediaan
modal minimum.
Contoh: Bank A memiliki profil risiko 2 (dua) dan memiliki
kewajiban penyediaan modal mínimum sesuai profil risiko
sebesar 9% (sembilan persen) dari Aset Tertimbang Menurut
Risiko (ATMR). Apabila bank memiliki ATMR sebesar
Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) maka modal minimum
sesuai profil risiko adalah sebesar 9% x Rp1.000.000.000.-
=Rp90.000.000,- (sembilan puluh juta rupiah).
Huruf b
Yang dimaksud dengan “perusahaan pembiayaan” adalah
perusahaan pembiayaan dan perusahaan pembiayaan syariah.
Yang dimaksud dengan “modal yang disesuaikan” adalah modal
yang disesuaikan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan atau
penyelenggaran usaha pembiayaan syariah.
- 10 -
Contoh: Perusahaan Pembiayaan A memiliki nilai aset yang
disesuaikan sebesar Rp2.000.000.000,- (dua milyar rupiah).
Apabila rasio permodalan mínimum ditetapkan sebesar 10%
(sepuluh persen) maka modal yang disesuaikan mínimum
adalah sebesar 10% x Rp2.000.000.000,- = Rp200.000.000,-
(dua ratus juta rupiah).
Huruf c
Yang dimaksud dengan “perusahaan asuransi/reasuransi”
adalah perusahaan asuransi/reasuransi dan perusahaan
asuransi/reasuransi syariah.
Yang dimaksud dengan “aset/kekayaan yang diperkenankan”
adalah aset/kekayaan yang diperkenankan sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan mengenai kesehatan keuangan
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi.
Yang dimaksud dengan “liabilitas” adalah liabilitas sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan mengenai kesehatan keuangan
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi.
Contoh: Perusahaan Asuransi A memiliki modal mínimum
berbasis risiko (MMBR) sebesar Rp1.000.000.000,- (satu milyar
rupiah). Apabila target tingkat solvabilitas ditetapkan sebesar
120% (seratus dua puluh persen) maka nilai mínimum dari
selisih antara aset/kekayaan yang diperkenankan dengan
liabilitas adalah sebesar 120% x Rp1.000.000.000,- =
Rp1.200.000.000,- (satu milyar dua ratus juta rupiah).
Huruf d
Yang dimaksud dengan “modal kerja bersih yang disesuaikan
(MKBD)” adalah MKBD sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
mengenai pemeliharaan dan pelaporan MKBD.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 11 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Evaluasi kebijakan, strategi, dan prosedur pengelolaan
permodalan dilakukan secara berkala paling sedikit 1 (satu)
tahun sekali atau sewaktu-waktu jika diperlukan.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kebijakan mengenai sumber permodalan intern perlu
mempertimbangkan hambatan dalam melakukan transfer
modal antar LJK dalam Konglomerasi Keuangan baik
karena kondisi intern maupun ekstern Konglomerasi
Keuangan seperti adanya ketentuan yang berlaku dari
otoritas yang menghambat dilakukannya transfer modal.
Huruf c
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “target yang ditetapkan”
adalah target yang ditetapkan oleh Konglomerasi
Keuangan ataupun oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Angka 3
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam prosedur perencanaan modal mempertimbangkan antara
lain target permodalan, risiko, strategi, dan rencana bisnis
Konglomerasi Keuangan serta kondisi makroekonomi.
- 12 -
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “double atau multiple gearing”
adalah kondisi adanya penyertaan atau penempatan modal
antar LJK anggota Konglomerasi Keuangan yang
menyebabkan modal Konglomerasi Keuangan dinilai lebih
besar dari yang seharusnya (overstated).
Huruf b
Yang dimaksud dengan “excessive leverage” adalah kondisi
adanya pinjaman yang berlebihan oleh suatu LJK yang
ditempatkan dalam bentuk modal pada LJK lain.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “SKMRT” adalah SKMRT sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan mengenai penerapan manajemen
risiko terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “SKMRT” adalah SKMRT sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan mengenai penerapan manajemen
risiko terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Komite Manajemen Risiko Terintegrasi”
adalah Komite Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan mengenai penerapan manajemen
risiko terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan.
- 13 -
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Yang dimaksud “SKAIT” adalah SKAIT sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan mengenai penerapan tata kelola terintegrasi bagi
Konglomerasi Keuangan.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Laporan Kecukupan Permodalan Terintegrasi dapat diminta secara
sewaktu-waktu antara lain dalam hal Otoritas Jasa Keuangan
memerlukan informasi mengenai kondisi permodalan Konglomerasi
Keuangan terkini dalam rangka pengawasan terintegrasi terhadap
Konglomerasi Keuangan.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Yang dimaksud dengan “LJK-LJK yang sejenis” adalah LJK-LJK yang
diatur oleh ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko dan
tata kelola yang sama pada masing-masing sektor keuangan.
Contoh:
a. LJK berupa perusahaan asuransi.
b. LJK berupa perusahaan efek.
c. LJK berupa bank perkreditan rakyat.
- 14 -
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5774
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 26/POJK.03/2015 </reg_id>
<reg_title> KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN </reg_title>
<set_date> 4 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 11 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 11 Desember 2015 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '40/UU/2014', '29/POJK.05/2014', '9/UU/2015', '8/UU/1995', '17/POJK.03/2014', '23/UU/2014', '7/UU/1992', '31/POJK.05/2014', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 52 /POJK.04/2017
TENTANG
DANA INVESTASI INFRASTRUKTUR BERBENTUK KONTRAK INVESTASI
KOLEKTIF
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk menyediakan alternatif sumber pendanaan dunia
usaha untuk mendukung pembangunan di bidang
infrastruktur melalui penerbitan instrumen investasi di pasar
modal serta memberikan alternatif investasi bagi investor dan
meningkatkan keberagaman produk investasi di pasar modal,
perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Dana Investasi Infrastruktur Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG DANA
INVESTASI INFRASTRUKTUR BERBENTUK KONTRAK
INVESTASI KOLEKTIF.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Dana Investasi Infrastruktur Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif yang selanjutnya disebut DINFRA adalah wadah
berbentuk kontrak investasi kolektif yang dipergunakan
untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk
selanjutnya sebagian besar diinvestasikan pada aset
infrastruktur oleh manajer investasi.
2. Kontrak Investasi Kolektif adalah kontrak antara manajer
investasi dan bank kustodian yang mengikat pemegang
unit penyertaan dimana manajer investasi diberi
wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif
dan bank kustodian diberi wewenang untuk
melaksanakan penitipan kolektif.
3. Aset Infrastruktur adalah aset berupa fasilitas teknis, fisik,
sistem, perangkat keras, dan perangkat lunak yang
diperlukan untuk melakukan pelayanan kepada
masyarakat dan mendukung jaringan struktur agar
pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat dapat
berjalan dengan baik.
4. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang,
surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti
utang, unit penyertaan Kontrak Investasi Kolektif, kontrak
berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek.
5. Unit Penyertaan adalah satuan ukuran yang
menunjukkan bagian kepentingan setiap pihak dalam
portofolio investasi kolektif.
- 3 -
6.
Instrumen Pasar Uang adalah instrumen yang
ditransaksikan di pasar uang, yang meliputi instrumen
yang diterbitkan dengan jangka waktu sampai dengan
1 (satu) tahun, instrumen yang akan jatuh tempo dalam
waktu 1 (satu) tahun, sertifikat deposito, dan instrumen
lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, termasuk yang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
7. Pasar Uang adalah bagian dari sistem keuangan yang
bersangkutan dengan kegiatan perdagangan, pinjam-
meminjam, atau pendanaan berjangka pendek sampai
dengan 1 (satu) tahun dalam mata uang rupiah dan valuta
asing, yang berperan dalam transmisi kebijakan moneter,
pencapaian stabilitas sistem keuangan, dan kelancaran
sistem pembayaran.
8. Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan
penawaran umum dan perdagangan Efek, Perusahaan
Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya,
serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek.
9. Manajer Investasi adalah pihak yang kegiatan usahanya
mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau
mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok
nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun,
dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
10. Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan
Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta jasa
lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak lain,
menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang
rekening yang menjadi nasabahnya.
11. Bank Kustodian adalah bank umum yang telah
memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan
sebagai Kustodian.
12. Pihak adalah orang perseorangan, perusahaan, usaha
bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi.
13. Penilai adalah Pihak yang melakukan penilaian Aset
Infrastuktur yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
- 4 -
14. Nilai Aktiva Bersih adalah nilai pasar wajar seluruh aset
DINFRA setelah dikurangi kewajiban.
15. Nilai Pasar Wajar adalah nilai yang dapat diperoleh dari
transaksi yang dilakukan antar Pihak yang bebas bukan
karena paksaan atau likuidasi.
16. Special Purpose Company adalah perseroan terbatas yang
sahamnya dimiliki oleh DINFRA paling sedikit 99,9%
(sembilan puluh sembilan koma sembilan persen) dari
modal disetor.
17. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang
dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada
masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam
undang-undang mengenai Pasar Modal dan peraturan
pelaksanaannya.
18. Bursa Efek adalah Pihak yang menyelenggarakan dan
menyediakan sistem dan/atau sarana untuk
mempertemukan penawaran jual dan beli Efek Pihak lain
dengan tujuan memperdagangkan Efek di antara mereka.
19. Pernyataan Pendaftaran adalah dokumen yang wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Emiten
dalam rangka Penawaran Umum atau Perusahaan Publik.
20. Dokumen Keterbukaan DINFRA adalah setiap informasi
tertulis yang memuat informasi atau fakta material
DINFRA dalam rangka penerbitan DINFRA dengan tujuan
agar Pihak lain membeli DINFRA.
BAB II
PEDOMAN PENERBITAN UNIT PENYERTAAN DINFRA
Bagian Kesatu
Pedoman Penawaran
Pasal 2
Unit Penyertaan DINFRA dapat ditawarkan melalui Penawaran
Umum atau tidak melalui Penawaran Umum.
- 5 -
Pasal 3
(1) Penawaran Umum Unit Penyertaan DINFRA hanya dapat
dilakukan setelah Pernyataan Pendaftaran DINFRA telah
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan
Pernyataan Pendaftaran tersebut telah menjadi efektif.
(2) Dalam hal Unit Penyertaan DINFRA ditawarkan tidak
melalui Penawaran Umum, Manajer Investasi pengelola
DINFRA wajib menyampaikan permohonan pencatatan
dalam rangka penawaran Unit Penyertaan DINFRA kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat
10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya
Kontrak Investasi Kolektif.
Pasal 4
Manajer Investasi dapat mengajukan perubahan mekanisme
penawaran Unit Penyertaan DINFRA yang telah memperoleh
pencatatan dari Otoritas Jasa Keuangan dari yang semula tidak
melalui Penawaran Umum menjadi Penawaran Umum, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Manajer Investasi dan Bank Kustodian dalam penerbitan
DINFRA bersepakat untuk melakukan perubahan
penawaran;
b. telah memperoleh persetujuan pemegang Unit Penyertaan
dalam rapat umum pemegang Unit Penyertaan DINFRA;
dan
c. mengajukan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka
Penawaran Umum Unit Penyertaan DINFRA.
Pasal 5
(1) Dalam melakukan penawaran Unit Penyertaan DINFRA,
Manajer Investasi dapat bekerjasama dengan Pihak lain.
(2) Dalam hal Pihak lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan Pihak di dalam negeri, Pihak tersebut
wajib memiliki izin atau surat tanda terdaftar sebagai agen
penjual Efek reksa dana dari Otoritas Jasa Keuangan.
- 6 -
(3) Manajer Investasi yang menggunakan jasa Pihak lain
untuk melakukan penawaran Unit Penyertaan DINFRA
wajib:
a. memiliki kebijakan dan prosedur tertulis terkait
penawaran Unit Penyertaan DINFRA melalui Pihak
lain;
b. menyediakan Dokumen Keterbukaan DINFRA,
brosur, dan materi pemasaran lain terkait DINFRA
yang ditawarkan; dan
c. memastikan bahwa penawaran Unit Penyertaan
DINFRA oleh Pihak lain tidak termasuk dalam
Penawaran Umum, dalam hal Unit Penyertaan
DINFRA yang ditawarkan merupakan produk yang
tidak ditawarkan melalui Penawaran Umum.
Pasal 6
Unit Penyertaan DINFRA yang ditawarkan melalui Penawaran
Umum dapat dicatatkan di Bursa Efek.
Bagian Kedua
Persyaratan Manajer Investasi
Pasal 7
Manajer Investasi pengelola DINFRA wajib memiliki komite
investasi yang bertugas untuk:
a. menetapkan kebijakan dan strategi investasi DINFRA; dan
b. mengawasi seluruh kegiatan investasi DINFRA.
Bagian Ketiga
Kewajiban Manajer Investasi dan Bank Kustodian
Pasal 8
(1) Manajer Investasi pengelola DINFRA wajib:
a. menyimpan semua kekayaan DINFRA pada Bank
Kustodian;
b. melakukan uji tuntas atas Aset Infrastruktur yang
akan menjadi portofolio DINFRA;
- 7 -
c. mengelola DINFRA sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan serta Kontrak
Investasi Kolektif, Dokumen Keterbukaan DINFRA,
dan kontrak lainnya terkait DINFRA;
d. memisahkan kekayaan DINFRA dari kekayaan
Manajer Investasi;
e. melakukan pembukuan dan pelaporan termasuk
memelihara semua catatan penting yang berkaitan
dengan laporan keuangan dan pengelolaan DINFRA
terpisah dari pembukuan dan pelaporan dari Manajer
Investasi itu sendiri;
f. menghitung Nilai Pasar Wajar dari aset dalam
portofolio DINFRA paling sedikit 1 (satu) kali dalam
3 (tiga) bulan;
g. menunjuk Bank Kustodian pengganti bila diperlukan;
h. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan
tahunan DINFRA kepada Otoritas Jasa Keuangan;
i.
menerbitkan pembaruan Dokumen Keterbukaan
DINFRA yang disertai laporan keuangan tahunan
terakhir DINFRA serta menyampaikannya kepada
Otoritas Jasa Keuangan pada akhir bulan ketiga
setelah tanggal laporan keuangan tahunan berakhir,
dalam hal
DINFRA
terus-menerus;
j. menyusun tata cara pembelian, penjualan kembali,
dan/atau pengalihan Unit Penyertaan DINFRA;
k. memiliki prosedur yang dapat menghasilkan
informasi mengenai kegiatan operasional, kondisi
keuangan, dan aset DINFRA; dan
l. dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab
menjalankan tugas sebaik mungkin untuk
kepentingan DINFRA sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal Manajer Investasi pengelola DINFRA tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf l, Manajer Investasi wajib bertanggung
ditawarkan secara
- 8 -
jawab atas segala kerugian yang timbul karena
tindakannya.
Pasal 9
(1) Bank Kustodian yang mengadministrasikan DINFRA
wajib:
a. memberikan jasa penitipan kolektif dan Kustodian
sehubungan dengan kekayaan DINFRA;
b. mendaftarkan atau mencatatkan kekayaan DINFRA
atas nama Bank Kustodian untuk kepentingan
pemegang Unit Penyertaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan serta melakukan
tindakan yang diperlukan terkait dengan pendaftaran
atau pencatatan kekayaan dimaksud;
c. memisahkan kekayaan DINFRA dari kekayaan Bank
Kustodian;
d. memiliki sistem dan prosedur dalam menjalankan
tugas dan kewajibannya;
e. melakukan pembukuan dan pelaporan termasuk
memelihara semua catatan penting yang berkaitan
dengan laporan keuangan dan pengelolaan DINFRA
yang terpisah dari pembukuan dan pelaporan dari
Bank Kustodian itu sendiri;
f. menghitung Nilai Aktiva Bersih DINFRA paling sedikit
1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan;
g. membukukan semua perubahan:
1. Aset Infrastruktur dan aset lainnya;
2. jumlah Unit Penyertaan;
3. pengeluaran;
4. biaya pengelolaan;
5. pendapatan bunga;
6. pendapatan lain; atau
7. biaya lain;
h. menyelesaikan transaksi yang dilakukan DINFRA
sesuai dengan instruksi Manajer Investasi;
- 9 -
i. membayarkan biaya pengelolaan dan biaya lain yang
dikenakan pada DINFRA sesuai dengan Kontrak
Investasi Kolektif DINFRA;
j. membayarkan kepada pemegang Unit Penyertaan
DINFRA setiap pembagian uang tunai yang
berhubungan dengan DINFRA;
k. menyimpan catatan secara terpisah yang
menunjukkan semua perubahan jumlah Unit
Penyertaan DINFRA yang dimiliki setiap pemegang
Unit Penyertaan, nama, kewarganegaraan, alamat,
serta identitas lain dari para pemegang Unit
Penyertaan;
l. memastikan Unit Penyertaan diterbitkan hanya atas
penerimaan dana dari calon pemegang Unit
Penyertaan;
m. menolak instruksi Manajer Investasi secara tertulis
dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan
dalam hal instruksi tersebut pada saat diterima oleh
Bank Kustodian secara jelas melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pasar
modal dan/atau Kontrak Investasi Kolektif DINFRA;
dan
n. dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab
menjalankan tugas sebaik mungkin untuk
kepentingan DINFRA sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal Bank Kustodian yang mengadministrasikan
DINFRA tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf n, Bank Kustodian wajib
bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul
karena tindakannya.
- 10 -
Bagian Keempat
Hak Pemegang Unit Penyertaan DINFRA
Pasal 10
Hak pemegang Unit Penyertaan DINFRA meliputi:
a. hak untuk memperoleh bukti kepemilikan;
b. hak untuk memperoleh laporan keuangan tahunan secara
periodik;
c. hak untuk memperoleh informasi mengenai Nilai Aktiva
Bersih DINFRA;
d. hak untuk menjual Unit Penyertaan di Bursa Efek (jika
Unit Penyertaan ditawarkan melalui Penawaran Umum
dan tercatat di Bursa Efek);
e. hak untuk mendapatkan distribusi pendapatan dari
DINFRA (jika ada);
f. hak suara dalam rapat umum pemegang Unit Penyertaan
DINFRA; dan
g. hak atas hasil likuidasi.
Bagian Kelima
Rapat Umum Pemegang Unit Penyertaan DINFRA
Pasal 11
Rapat umum pemegang Unit Penyertaan DINFRA dilakukan
dengan mekanisme sebagai berikut:
a. pemberitahuan rapat umum pemegang Unit Penyertaan
dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum
pemanggilan dan pemanggilan dilakukan paling lambat 14
(empat belas) hari sebelum rapat umum pemegang Unit
Penyertaan paling sedikit melalui situs web Manajer
Investasi atau Bank Kustodian;
b. panggilan rapat umum pemegang Unit Penyertaan wajib
mencantumkan tempat, waktu penyelenggaraan,
prosedur, serta agenda rapat;
c. sebelum pemberitahuan rencana rapat umum pemegang
Unit Penyertaan di situs web dilaksanakan, Manajer
Investasi wajib menyampaikan terlebih dahulu agenda
- 11 -
rapat tersebut secara jelas dan rinci kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum
pemberitahuan;
d. rapat umum pemegang Unit Penyertaan dinyatakan sah
apabila dihadiri oleh pemegang Unit Penyertaan yang
mewakili lebih dari 1/2 (satu per dua) dari seluruh Unit
Penyertaan yang beredar;
e. keputusan dalam rapat umum pemegang Unit Penyertaan
dinyatakan sah apabila disetujui oleh pemegang Unit
Penyertaan
yang mewakili
lebih
1/2 (satu per dua) dari Unit Penyertaan yang hadir;
f. dalam hal rapat umum pemegang Unit Penyertaan
pertama gagal diselenggarakan atau gagal mengambil
keputusan, diselenggarakan rapat umum pemegang Unit
Penyertaan kedua;
g. panggilan untuk rapat umum pemegang Unit Penyertaan
kedua dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum
rapat umum pemegang Unit Penyertaan kedua dilakukan
dengan menyebutkan bahwa rapat umum pemegang Unit
Penyertaan pertama telah diselenggarakan tetapi tidak
mencapai kuorum atau tidak dapat mengambil
keputusan;
h. rapat umum pemegang Unit Penyertaan kedua
diselenggarakan paling cepat 10 (sepuluh) hari dan paling
lambat 21 (dua puluh satu) hari dari rapat umum
pemegang Unit Penyertaan pertama;
i.
rapat umum pemegang Unit Penyertaan kedua sah dan
berhak mengambil keputusan jika dihadiri oleh pemegang
Unit Penyertaan yang mewakili paling sedikit 1/3 (satu per
tiga) dari jumlah seluruh Unit Penyertaan yang beredar;
j. keputusan dalam rapat umum pemegang Unit Penyertaan
kedua dinyatakan sah apabila disetujui oleh pemegang
Unit Penyertaan yang mewakili lebih dari
1/2 (satu per dua) dari Unit Penyertaan yang hadir; dan
k. dalam hal rapat umum pemegang Unit Penyertaan kedua
gagal diselenggarakan atau gagal mengambil keputusan,
Manajer Investasi dapat menyelenggarakan rapat umum
dari
- 12 -
pemegang Unit Penyertaan ketiga dengan kuorum
kehadiran, kuorum pengambilan keputusan, panggilan,
dan waktu penyelenggaraan rapat umum pemegang Unit
Penyertaan ketiga yang disetujui oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
BAB III
PEDOMAN PENGELOLAAN DINFRA
Bagian Kesatu
Nama DINFRA
Pasal 12
(1) Nama DINFRA wajib menggambarkan:
a. nama Manajer Investasi;
b. nama yang mencerminkan investasi DINFRA pada
Aset Infrastruktur; dan
c. denominasi mata uang asing yang digunakan, jika
menggunakan mata uang selain Rupiah.
(2) Nama DINFRA dilarang:
a. sama dengan DINFRA lainnya;
b. mengandung ungkapan mengenai kepastian atau
janji atas imbal hasil dan/atau tidak adanya risiko
investasi;
c. mengandung ungkapan Manajer Investasi memiliki
keunggulan tertentu yang belum tentu benar;
dan/atau
d. tidak konsisten dengan kebijakan investasi DINFRA.
Bagian Kedua
Nilai Aktiva Bersih DINFRA
Pasal 13
(1) Nilai Aktiva Bersih awal Unit Penyertaan DINFRA wajib
ditetapkan sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah).
(2) Dalam hal Nilai Aktiva Bersih awal Unit Penyertaan
DINFRA ditetapkan dalam denominasi mata uang asing,
- 13 -
Nilai Aktiva Bersih awal Unit Penyertaan DINFRA wajib
ditetapkan sebesar US$ 1 (satu dolar Amerika Serikat)
atau EUR 1 (satu euro).
(3) Dalam hal Unit Penyertaan DINFRA ditawarkan melalui
Penawaran Umum dan tercatat dan/atau diperdagangkan
di Bursa Efek luar negeri, Nilai Aktiva Bersih awal Unit
Penyertaan DINFRA dapat ditetapkan dalam denominasi
mata uang asing lainnya dengan nilai lain sesuai dengan
ketentuan di Bursa Efek luar negeri.
Bagian Ketiga
Investasi DINFRA
Pasal 14
(1) DINFRA dapat menginvestasikan dananya pada Aset
Infrastruktur secara langsung dengan atau tanpa
menggunakan Special Purpose Company yang dibentuk
untuk kepentingan DINFRA.
(2) Kepemilikan DINFRA pada Special Purpose Company dapat
diwakili oleh Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian
untuk kepentingan pemegang Unit Penyertaan DINFRA.
(3) Dalam hal DINFRA menggunakan Special Purpose
Company untuk melakukan investasi, Special Purpose
Company tersebut wajib mendistribusikan seluruh hasil
investasi kepada DINFRA dan pihak lain secara
proporsional.
Pasal 15
(1) Portofolio investasi DINFRA hanya dapat berupa:
a. Aset Infrastruktur paling sedikit 51% (lima puluh satu
persen) dari Nilai Aktiva Bersih; dan
b. aset lainnya paling banyak 49% (empat puluh
sembilan persen) dari Nilai Aktiva Bersih, yaitu:
1.
Instrumen Pasar Uang; atau
2. Portofolio Efek berupa:
a) Efek yang diterbitkan di dalam negeri;
dan/atau
- 14 -
b) instrumen keuangan lain yang memperoleh
penetapan Otoritas Jasa Keuangan sebagai
Efek.
(2) Kas/setara kas dalam DINFRA wajib ditetapkan paling
banyak 20% (dua puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih.
(3) Investasi pada Aset Infrastruktur sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan:
a. secara langsung melalui pembelian
Aset
Infrastruktur, dengan ketentuan:
1. Aset Infrastruktur berada di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia; dan
2. berupa Aset Infrastruktur yang:
a) mendukung program pembangunan atau
penyediaan infrastuktur pemerintah; atau
b) membawa kemanfaatan bagi publik; atau
b. secara tidak langsung melalui:
1. pembelian Efek bersifat ekuitas yang diterbitkan
oleh perusahaan yang memiliki, menguasai,
atau memiliki pengendalian atas Aset
Infrastruktur;
2.
investasi pada Efek bersifat utang yang
pembayarannya berasal dari Aset Infrastruktur;
atau
3.
investasi pada Efek bersifat utang yang
diterbitkan oleh perusahaan yang memiliki,
menguasai, atau memiliki pengendalian atas
Aset Infrastruktur.
Pasal 16
(1) Investasi pada Aset Infrastruktur secara langsung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) huruf a
bagi DINFRA yang ditawarkan melalui Penawaran Umum
wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Aset Infrastruktur wajib telah menghasilkan
pendapatan sebelum Aset Infrastruktur dialihkan
kepada DINFRA atau akan menghasilkan pendapatan
- 15 -
paling lambat 6 (enam) bulan sejak Aset Infrastruktur
dialihkan kepada DINFRA; dan
b. Dana Investasi Infrastruktur dapat berinvestasi pada
Aset Infrastruktur berupa proyek yang belum atau
sedang dalam proses pembangunan paling banyak
25% (dua puluh lima persen) dari Nilai Aktiva Bersih.
(2) Investasi pada Aset Infrastruktur secara langsung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) huruf a
bagi DINFRA yang tidak ditawarkan melalui Penawaran
Umum wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Aset Infrastruktur dapat berupa proyek yang belum
atau sedang dalam proses pembangunan; dan
b. Manajer Investasi wajib mengungkapkan
karakteristik investasi pada Aset Infrastruktur
berupa proyek yang belum atau sedang dalam proses
pembangunan dalam Dokumen Keterbukaan
DINFRA.
(3) Manajer Investasi pengelola DINFRA yang berinvestasi
pada Aset Infrastruktur berupa proyek yang belum atau
sedang dalam proses pembangunan wajib melakukan uji
tuntas yang memadai atas investasi DINFRA pada proyek
yang belum atau sedang dalam proses pembangunan.
Pasal 17
(1) Manajer Investasi pengelola DINFRA wajib memastikan
bahwa:
a.
investasi secara langsung pada Aset Infrastruktur
yang menjadi portofolio DINFRA memiliki alas hukum
yang kuat;
b. DINFRA yang ditawarkan melalui Penawaran Umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1)
mendistribusikan keuntungan kepada para
pemegang Unit Penyertaan DINFRA dalam jumlah
paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari laba
bersih setelah pajak tanpa memperhitungkan
keuntungan yang belum terealisasi; dan
- 16 -
c. DINFRA berinvestasi pada Aset Infrastruktur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dalam
jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun sejak
Pernyataan Pendaftaran DINFRA yang ditawarkan
melalui Penawaran Umum menjadi efektif atau
DINFRA yang tidak ditawarkan melalui Penawaran
Umum tercatat di Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Jangka waktu investasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling
lama 1 (satu) tahun dengan persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 18
(1) DINFRA dapat meminjam dana hanya untuk kepentingan
pembelian Aset Infrastruktur yang telah menghasilkan
pendapatan dengan ketentuan paling banyak 45% (empat
puluh lima persen) dari nilai Aset Infrastruktur yang akan
dibeli.
(2) Peminjaman dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara tidak langsung melalui Special Purpose
Company dan memperoleh persetujuan rapat umum
pemegang Unit Penyertaan DINFRA.
(3) Persetujuan rapat umum pemegang Unit Penyertaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sah apabila rapat
umum pemegang Unit Penyertaan dihadiri oleh lebih dari
1/2 (satu per dua) bagian dari seluruh jumlah Unit
Penyertaan dan disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu per dua)
bagian dari jumlah seluruh Unit Penyertaan yang beredar.
Pasal 19
Manajer Investasi untuk kepentingan DINFRA dapat
melakukan pembelian Aset Infrastruktur dimana perusahaan
pemilik aset merupakan afiliasi Manajer Investasi atau Efek
yang diterbitkan oleh pihak yang terafiliasi dengan Manajer
Investasi, dengan ketentuan:
- 17 -
a. transaksi pembelian wajib dilakukan dalam kondisi arm’s
length dimana transaksi antar para Pihak dilakukan
secara independen dan pada harga yang wajar; dan
b. Manajer Investasi wajib mengungkapkan informasi
mengenai pembelian Aset Infrastruktur yang dilakukan
baik secara langsung maupun tidak langsung dimana
perusahaan pemilik aset merupakan afiliasi Manajer
Investasi atau Efek yang diterbitkan oleh pihak yang
terafiliasi dengan Manajer Investasi dalam Dokumen
Keterbukaan.
Pasal 20
Manajer Investasi dilarang melakukan tindakan yang dapat
menyebabkan DINFRA:
a. meminjamkan dan/atau menjaminkan aset yang dimiliki
oleh DINFRA untuk kepentingan Pihak lain;
b. berinvestasi pada Aset Infrastruktur dan/atau Efek di luar
wilayah Indonesia; dan
c. berinvestasi pada Unit Penyertaan DINFRA lain.
Pasal 21
Manajer Investasi dan Bank Kustodian dari DINFRA dilarang:
a. bertindak untuk dan atas namanya sendiri dalam
melakukan penjualan dan pembelian Aset Infrastruktur
dan aset DINFRA lainnya; dan/atau
b. menghentikan pengelolaan DINFRA sebelum ditunjuk
Manajer Investasi atau Bank Kustodian pengganti, jika
yang bersangkutan mengundurkan diri atau mengalihkan
kepada Manajer Investasi atau Bank Kustodian lain.
- 18 -
BAB IV
PEDOMAN KONTRAK DAN PEDOMAN DOKUMEN
KETERBUKAAN DINFRA
Bagian Kesatu
Pedoman Kontrak Investasi Kolektif
Pasal 22
Kontrak Investasi Kolektif DINFRA wajib dibuat dalam bentuk
akta notariil oleh notaris yang terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 23
Manajer Investasi dilarang terafiliasi dengan Bank Kustodian
kecuali hubungan afiliasi yang terjadi karena penyertaan modal
pemerintah Republik Indonesia.
Pasal 24
Kontrak Investasi Kolektif DINFRA paling sedikit memuat:
a. nama dan alamat Manajer Investasi;
b. nama dan alamat Bank Kustodian;
c. tujuan dan kebijakan investasi;
d. kebijakan pembentukan dan penggunaan Special Purpose
Company (jika ada);
e.
alokasi biaya yang menjadi beban Manajer Investasi,
DINFRA, pemegang Unit Penyertaan, dan/atau biaya lain
(jika ada);
f. kewajiban dan tanggung jawab Manajer Investasi;
g. kewajiban dan tanggung jawab Bank Kustodian;
h. tindakan yang dilarang dilakukan oleh DINFRA;
i.
informasi mengenai hak, kewajiban, dan kewenangan
Pihak lain yang terkait, serta tata kelola pengelolaan dan
pengadministrasian investasi pada Aset Infrastruktur dan
portofolio Efek;
penggantian Manajer Investasi atau Bank Kustodian;
k. hak pemegang Unit Penyertaan;
j.
- 19 -
l.
tata cara pelaksanaan dan pembayaran transaksi Unit
Penyertaan;
m. kebijakan pembagian hasil investasi kepada pemegang
Unit Penyertaan;
n. Nilai Aktiva Bersih awal;
o. tata cara penghitungan Nilai Aktiva Bersih;
p. metode penilaian aset dalam portofolio investasi kolektif;
q. penyampaian laporan keuangan tahunan DINFRA;
r. ketentuan mengenai tata cara pengunduran diri Manajer
Investasi dan/atau Bank Kustodian;
s. keadaan memaksa di luar kemampuan Manajer Investasi
dan/atau Bank Kustodian yang menyebabkan para pihak
tersebut menjadi tidak dapat menjalankan atau
melakukan tugas dan kewajibannya (keadaan darurat);
t. pembubaran dan likuidasi DINFRA;
u. beban biaya atas DINFRA yang dibubarkan dan
dilikuidasi; dan
v. penunjukan lembaga alternatif penyelesaian sengketa di
sektor Pasar Modal atau lembaga penyelesaian sengketa
alternatif lainnya sebagai lembaga untuk menyelesaikan
perselisihan dan sengketa perdata antara Manajer
Investasi, Bank Kustodian, dan pemegang Unit
Penyertaan.
Bagian Kedua
Keterbukaan Informasi DINFRA
Pasal 25
Manajer Investasi pengelola DINFRA yang melakukan
Penawaran Umum wajib menyediakan keterbukaan informasi
mengenai DINFRA melalui situs web.
Pasal 26
Dokumen Keterbukaan DINFRA yang ditawarkan wajib
memuat informasi terkini.
- 20 -
Pasal 27
(1) Dokumen Keterbukaan DINFRA wajib:
a. mencakup seluruh informasi atau fakta penting dan
relevan mengenai peristiwa, kejadian, serta fakta
material yang dapat mempengaruhi keputusan
pemodal, calon pemodal, atau Pihak lain yang
berkepentingan atas informasi atau fakta tersebut,
yang diketahui atau selayaknya diketahui oleh
Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian;
b. memuat informasi yang lengkap, cukup, objektif,
jelas, dan mudah dimengerti; dan
c. mengungkapkan ringkasan atas fakta dan
pertimbangan yang paling penting pada bagian awal
Dokumen Keterbukaan DINFRA dengan urutan
pengungkapan fakta pada Dokumen Keterbukaan
DINFRA ditentukan oleh relevansi fakta tersebut
terhadap masalah tertentu.
(2) Pengungkapan fakta material dalam Dokumen
Keterbukaan DINFRA dapat disesuaikan tidak terbatas
hanya pada fakta material.
(3) Pengungkapan atas fakta material sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan secara jelas dengan penekanan
yang sesuai dengan kondisi DINFRA, sehingga Dokumen
Keterbukaan DINFRA tidak menyesatkan.
(4) Dokumen Keterbukaan DINFRA dilarang:
a. memuat informasi yang tidak benar tentang fakta
material, penggunaan foto, diagram, dan/atau tabel;
atau
b. tidak memuat fakta material yang dibutuhkan,
sehingga informasi yang termuat dalam Dokumen
Keterbukaan DINFRA tersebut tidak memberikan
gambaran yang menyesatkan.
(5) DINFRA, Manajer Investasi, Bank Kustodian, dan profesi
penunjang Pasar Modal, baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama, bertanggung jawab bahwa semua
informasi dalam Dokumen Keterbukaan DINFRA:
- 21 -
a. tidak memuat informasi atau fakta material yang
tidak benar;
b. tidak menghilangkan informasi atau fakta material;
dan
c. diungkapkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4).
Pasal 28
Dokumen Keterbukaan DINFRA paling sedikit memuat
informasi sebagai berikut:
a. informasi yang wajib disajikan atau diungkapkan pada
bagian luar kulit muka Dokumen Keterbukaan, yang
meliputi:
1. nama DINFRA;
2. dasar hukum DINFRA;
3. alamat, logo, nomor telepon, dan faksimili Manajer
Investasi dan Bank Kustodian;
4. tanggal efektif (bagi DINFRA yang ditawarkan melalui
Penawaran Umum) atau tanggal pencatatan (bagi
DINFRA yang ditawarkan tidak melalui Penawaran
Umum);
5. batas masa penawaran (jika ada);
6. batas minimal dan/atau maksimal jumlah Unit
Penyertaan yang ditawarkan (jika ada);
7. tanggal akhir penjatahan (jika ada);
8. tanggal pengembalian uang pemesanan (jika ada);
9. nama Bursa Efek dan tanggal pencatatan yang
direncanakan (jika ada);
10. penjelasan singkat mengenai kebijakan dasar
rencana investasi DINFRA;
11. harga penawaran sama dengan Nilai Aktiva Bersih per
Unit Penyertaan;
12. nama lengkap penjamin emisi Efek (jika ada);
13. nama lengkap Manajer Investasi;
14. nama lengkap Bank Kustodian;
15. tempat dan tanggal Dokumen Keterbukaan DINFRA
diterbitkan;
- 22 -
16. kolom perhatian dengan menyebutkan:
“SEBELUM ANDA MEMUTUSKAN UNTUK MEMBELI
UNIT PENYERTAAN INI ANDA HARUS TERLEBIH
DAHULU MEMPELAJARI HALAMAN” (yang menunjuk
pada halaman dalam Dokumen Keterbukaan DINFRA
mengenai kebijakan investasi, faktor risiko, dan
Manajer Investasi); dan
17. pernyataan berikut dicetak dalam huruf besar:
“OTORITAS JASA KEUANGAN TIDAK MEMBERIKAN
PERNYATAAN MENYETUJUI ATAU TIDAK
MENYETUJUI EFEK INI, TIDAK JUGA MENYATAKAN
KEBENARAN ATAU KECUKUPAN ISI DOKUMEN
KETERBUKAAN INI. SETIAP PERNYATAAN YANG
BERTENTANGAN DENGAN HAL TERSEBUT ADALAH
PERBUATAN MELANGGAR HUKUM”;
b. informasi yang wajib disajikan (diungkapkan) pada bagian
dalam kulit muka Dokumen Keterbukaan DINFRA:
“DANA INVESTASI INFRASTRUKTUR TIDAK TERMASUK
INSTRUMEN INVESTASI YANG DIJAMIN OLEH
PEMERINTAH, BANK INDONESIA, ATAU PIHAK INSTITUSI
LAINNYA. SEBELUM MEMBELI UNIT PENYERTAAN,
INVESTOR HARUS TERLEBIH DAHULU MEMPELAJARI
DAN MEMAHAMI DOKUMEN KETERBUKAAN DAN
DOKUMEN PENAWARAN LAINNYA. ISI DARI DOKUMEN
KETERBUKAAN DAN DOKUMEN PENAWARAN LAINNYA
BUKANLAH SUATU SARAN BAIK DARI SEGI BISNIS,
HUKUM, MAUPUN PAJAK“;
daftar isi;
c.
d.
istilah dan definisi, yang paling sedikit memuat hal sebagai
berikut:
1. pengertian DINFRA;
2. bentuk hukum DINFRA;
3. pengertian DINFRA yang sedang ditawarkan;
4. pengertian Manajer Investasi;
5. pengertian Bank Kustodian;
6. pengertian Special Purpose Company (jika ada);
7. pengertian Penilai;
- 23 -
8. pengertian Aset Infrastruktur;
9. pengertian bukti kepemilikan DINFRA atau Unit
Penyertaan;
10. pengertian Nilai Aktiva Bersih; dan
11. hal lain yang dianggap material untuk dijelaskan;
e. informasi mengenai DINFRA, yang meliputi:
1. pendirian DINFRA;
2. penawaran Unit Penyertaan;
3. penjelasan imbal hasil yang diperoleh dari aset
berupa Aset Infrastruktur dari DINFRA; dan
4. pengelolaan DINFRA, yang paling sedikit mencakup:
a) komite investasi;
b) tim pengelola investasi;
c)
informasi mengenai Manajer Investasi, yang
meliputi:
1) keterangan singkat tentang Manajer
Investasi;
2) pengalaman Manajer Investasi; dan
3) Pihak yang terafiliasi dengan Manajer
Investasi;
d) informasi mengenai Bank Kustodian;
e)
f)
g)
informasi mengenai Penilai;
informasi tentang profesi penunjang Pasar
Modal lainnya yang berkaitan dengan
pembentukan DINFRA dan penerbitan Unit
Penyertaan DINFRA;
h) tujuan dan kebijakan investasi;
i)
j)
ringkasan hasil uji tuntas atas Aset
Infrastruktur;
metode penilaian Aset Infrastruktur dan aset
lain;
k) alokasi biaya yang menjadi beban Manajer
Investasi, DINFRA, pemegang Unit Penyertaan,
dan/atau biaya lain (jika ada);
perpajakan;
l)
informasi mengenai Special Purpose Company
(jika ada);
- 24 -
m) faktor risiko yang utama;
n) hak pemegang Unit Penyertaan;
o) pendapat hukum dari konsultan hukum yang
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan;
p) pendapat dari Penilai tentang penilaian Aset
Infrastruktur;
q) persyaratan dan tata cara pemesanan atau
pembelian Unit Penyertaan;
r)
informasi mengenai penyebarluasan Dokumen
Keterbukaan DINFRA dan formulir pemesanan
atau pembelian Unit Penyertaan;
s) skema transaksi pembelian atau penjualan Unit
Penyertaan DINFRA di Bursa Efek (jika ada);
t)
jenis aktivitas usaha Aset Infrastruktur yang
menjadi tujuan investasi DINFRA;
u) struktur DINFRA;
v) perjanjian yang terkait dengan DINFRA;
w) peraturan perundang-undangan yang terkait
DINFRA;
x) perkiraan dan proyeksi keuntungan dari aset
DINFRA;
y) rapat umum pemegang Unit Penyertaan;
z)
aa) pembubaran dan likuidasi DINFRA.
Pasal 29
(1) Manajer Investasi pengelola DINFRA yang Unit
Penyertaan-nya ditawarkan melalui Penawaran Umum
dan ditawarkan secara terus-menerus wajib menerbitkan
pembaharuan Dokumen Keterbukaan DINFRA dalam hal
terdapat perubahan fakta material.
(2) Pembaharuan Dokumen Keterbukaan
DINFRA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa sisipan
perubahan terhadap Dokumen Keterbukaan DINFRA
dengan mencantumkan pernyataan, ”SISIPAN INI
hal lain yang material untuk diketahui oleh
pemodal (jika ada); dan
- 25 -
MERUPAKAN PEMBAHARUAN DAN BAGIAN YANG TIDAK
TERPISAHKAN DARI DOKUMEN KETERBUKAAN.”.
BAB V
PENILAIAN ASET DALAM DINFRA
Pasal 30
Dalam hal DINFRA berinvestasi pada Aset Infrastruktur secara
langsung, penilaian aset dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Manajer Investasi pengelola DINFRA wajib melakukan
penilaian atas Aset Infrastruktur milik DINFRA secara
berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun;
dan
b. seluruh penilaian Aset Infrastruktur sebagaimana
dimaksud dalam huruf a wajib dilakukan oleh Penilai
yang ditunjuk oleh Manajer Investasi pengelola DINFRA
dan disetujui Bank Kustodian.
Pasal 31
Dalam hal DINFRA berinvestasi pada Aset Infrastruktur secara
tidak langsung, penilaian aset dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Manajer Investasi pengelola DINFRA wajib menghitung
Nilai Pasar Wajar dari Aset Infrastuktur secara tidak
langsung dalam portofolio DINFRA dan menyampaikannya
kepada Bank Kustodian setiap 3 (tiga) bulan sekali paling
lambat pada hari ke-10 (sepuluh) setelah berakhirnya
bulan Maret, Juni, September, dan Desember;
b. penghitungan Nilai Pasar Wajar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak wajib dilakukan dengan metode yang
mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan
di sektor Pasar Modal mengenai Nilai Pasar Wajar dari Efek
dalam portofolio reksa dana, kecuali dalam hal Efek yang
menjadi Aset Infrastuktur secara tidak langsung dalam
portofolio DINFRA terdiri dari Efek yang tercatat dan/atau
diperdagangkan di Bursa Efek; dan
- 26 -
c. dalam hal penghitungan Nilai Pasar Wajar dari Aset
Infrastuktur sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak
dilakukan dengan metode yang mengacu pada ketentuan
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
mengenai Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam portofolio
reksa dana, Manajer Investasi pengelola DINFRA wajib
menetapkan metode penghitungan Nilai Pasar Wajar dari
Efek dalam portofolio DINFRA secara konsisten sebagai
dasar penghitungan Nilai Aktiva Bersih.
Pasal 32
(1) Manajer Investasi pengelola DINFRA wajib menghitung
Nilai Pasar Wajar dari aset lain dalam portofolio DINFRA
dan menyampaikannya kepada Bank Kustodian setiap
3 (tiga) bulan sekali paling lambat pada hari ke-10
(sepuluh) setelah berakhirnya bulan Maret, Juni,
September, dan Desember.
(2) Penilaian aset lain dalam portofolio DINFRA wajib
dilakukan oleh Manajer Investasi dengan metode yang
mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan
di sektor Pasar Modal mengenai Nilai Pasar Wajar dari Efek
dalam portofolio reksa dana.
BAB VI
PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN
UMUM DAN PERMOHONAN PENCATATAN DINFRA
Bagian Kesatu
Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum
Pasal 33
(1) Dalam hal Unit Penyertaan DINFRA ditawarkan melalui
Penawaran Umum, Manajer Investasi pengelola DINFRA
wajib menyampaikan Pernyataan Pendaftaran dalam
rangka Penawaran Umum DINFRA kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
- 27 -
(2) Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum
DINFRA diajukan oleh Manajer Investasi dengan cara
sebagai berikut:
a. menyampaikan Pernyataan Pendaftaran yang
disusun dengan menggunakan format Pernyataan
Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum
DINFRA sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
b. paling sedikit 1 (satu) dokumen Pernyataan
Pendaftaran dan dokumen lainnya harus
ditandatangani secara langsung oleh Pihak yang
namanya disebut dalam Pernyataan Pendaftaran dan
diberi meterai yang cukup;
c. pernyataan bahwa semua lembaga dan profesi
penunjang Pasar Modal yang disebut dalam
Pernyataan Pendaftaran bertanggung jawab
sepenuhnya atas data yang disajikan relevan dengan
fungsi mereka, sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, kode etik, norma, dan standar profesi
masing-masing; dan
d. menyertakan dokumen paling sedikit meliputi:
1. Kontrak Investasi Kolektif yang dibuat dengan
akta notaris oleh notaris yang terdaftar di
Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan format
digitalnya;
2. Dokumen Keterbukaan DINFRA (diberi meterai
dan ditandatangani para pihak disertai dengan
format digitalnya); dan
3. dokumen yang memuat informasi dan fakta
material terkait investasi DINFRA pada Aset
Infrastruktur.
(3) Dalam rangka Pernyataan Pendaftaran DINFRA, Manajer
Investasi wajib
membuat, menyimpan, dan
mengadministrasikan dokumen sebagai berikut:
a. Kontrak Investasi Kolektif DINFRA disertai dengan
format digitalnya;
- 28 -
b. salinan perjanjian yang berkaitan dengan Aset
Infrastruktur;
c. dokumen penilaian Aset Infrastruktur baik investasi
secara langsung dan/atau tidak langsung;
d. perjanjian kerjasama penawaran Unit Penyertaan
(jika ada);
e. laporan pemeriksaan dari segi hukum dan pendapat
hukum yang dibuat oleh konsultan hukum yang
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan terkait DINFRA
dan Aset Infrastruktur;
f.
hasil uji tuntas atas Aset Infrastruktur yang
ditandatangani oleh direksi Manajer Investasi;
g. Dokumen Keterbukaan DINFRA yang diberi meterai
dan ditandatangani para pihak disertai dengan
format digitalnya;
h. dalam hal DINFRA menggunakan Special Purpose
Company, wajib memiliki:
1. akta pendirian dan perubahan anggaran dasar
Special Purpose Company;
2.
ijin usaha dari pihak yang berwenang (jika ada);
dan
3. daftar Pihak yang terafiliasi dengan Special
Purpose Company; dan
i. rencana pemasaran dan operasional DINFRA.
(4) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan
sistem elektronik, Pernyataan Pendaftaran wajib
disampaikan melalui sistem elektronik dimaksud.
(5) Dalam hal Pernyataan Pendaftaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak memenuhi syarat atau
memenuhi syarat, Otoritas Jasa Keuangan memberikan
surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan
bahwa:
a. Pernyataan Pendaftaran tidak lengkap; atau
b. Pernyataan Pendaftaran dinyatakan efektif oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
- 29 -
Bagian Kedua
Permohonan Pencatatan
Pasal 34
(1) Dalam hal Unit Penyertaan DINFRA ditawarkan tidak
melalui Penawaran Umum, Manajer Investasi pengelola
DINFRA wajib menyampaikan permohonan pencatatan
dalam rangka penawaran Unit Penyertaan DINFRA kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat
10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya
Kontrak Investasi Kolektif.
(2) Permohonan pencatatan DINFRA sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diajukan oleh Manajer Investasi disertai
dengan:
a. Kontrak Investasi Kolektif yang dibuat dengan akta
notaris oleh notaris yang terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan disertai dengan format digitalnya;
b. Dokumen Keterbukaan DINFRA yang diberi meterai
dan ditandatangani para pihak disertai dengan
format digitalnya; dan
c. dokumen yang memuat informasi dan fakta material
terkait investasi DINFRA pada Aset Infrastruktur.
(3) Dalam rangka pencatatan DINFRA, Manajer Investasi
wajib membuat, menyimpan, dan mengadministrasikan
dokumen sebagai berikut:
a. Kontrak Investasi Kolektif DINFRA disertai dengan
format digitalnya;
b. salinan perjanjian yang berkaitan dengan Aset
Infrastruktur;
c. dokumen penilaian Aset Infrastruktur baik investasi
secara langsung dan/atau tidak langsung;
d. perjanjian kerja sama penawaran Unit Penyertaan
(jika ada);
e. laporan pemeriksaan dari segi hukum dan pendapat
hukum yang dibuat oleh konsultan hukum yang
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan terkait DINFRA
dan Aset Infrastruktur;
- 30 -
f.
hasil uji tuntas atas Aset Infrastruktur yang
ditandatangani oleh direksi Manajer Investasi;
g. Dokumen Keterbukaan DINFRA yang diberi meterai
dan ditandatangani para pihak disertai dengan
format digitalnya;
h. dalam hal DINFRA menggunakan Special Purpose
Company, wajib memiliki:
1. akta pendirian dan perubahan anggaran dasar
Special Purpose Company;
2.
ijin usaha dari pihak yang berwenang (jika ada);
dan
3. daftar Pihak yang terafiliasi dengan Special
Purpose Company; dan
i. rencana pemasaran dan operasional DINFRA.
(4) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan
sistem elektronik bagi permohonan pencatatan DINFRA,
permohonan pencatatan wajib disampaikan melalui
sistem elektronik dimaksud.
Pasal 35
(1) Dalam memproses Pernyataan Pendaftaran dalam rangka
Penawaran Umum atau permohonan pencatatan atas
DINFRA, Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelaahan
atas kelengkapan dokumen permohonan.
(2) Dalam rangka mendukung penelaahan atas DINFRA,
Otoritas Jasa Keuangan berwenang:
a. meminta Manajer Investasi pengelola DINFRA untuk
melakukan presentasi; dan/atau
b. melakukan pemeriksaan setempat atas Aset
Infrastruktur yang akan menjadi aset dasar DINFRA.
- 31 -
BAB VII
PELAPORAN DINFRA
Pasal 36
(1) Penghitungan Nilai Aktiva Bersih DINFRA sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f wajib
disampaikan oleh Bank Kustodian kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat pada hari ke-12 (dua belas)
setelah berakhirnya bulan Maret, Juni, September, dan
Desember.
(2) Dalam hal DINFRA memiliki portofolio investasi berupa
Aset Infrastruktur secara langsung, untuk penghitungan
Nilai Aktiva Bersih DINFRA sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Nilai Pasar Wajar portofolio investasi yang
digunakan adalah Nilai Pasar Wajar yang dihitung
berdasarkan hasil penilaian terakhir oleh Penilai.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan secara elektronik kepada Otoritas Jasa
Keuangan melalui sistem pelaporan yang disediakan oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Penghitungan Nilai Aktiva Bersih yang dilaporkan oleh
Bank Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib tersedia bagi pemegang Unit Penyertaan dalam
bentuk cetak atau dalam bentuk digital.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan
secara elektronik kepada Otoritas Jasa Keuangan diatur
dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 37
(1) Manajer Investasi bersama dengan Bank Kustodian wajib
menyusun laporan keuangan tahunan DINFRA dengan
berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
(2) Manajer Investasi pengelola DINFRA wajib menyampaikan
laporan keuangan tahunan DINFRA yang telah diaudit
oleh akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan
paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah tanggal
laporan keuangan tahunan DINFRA.
- 32 -
(3) Laporan keuangan tahunan DINFRA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib tersedia bagi pemegang Unit
Penyertaan DINFRA.
Pasal 38
Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 37 jatuh pada hari libur,
laporan tersebut wajib disampaikan pada 1 (satu) hari kerja
berikutnya.
BAB VIII
PEMBUBARAN DINFRA
Pasal 39
DINFRA wajib dibubarkan dalam hal:
a. diperintahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar
Modal; atau
b. Manajer Investasi dan Bank Kustodian telah sepakat
untuk membubarkan DINFRA dengan terlebih dahulu
memperoleh persetujuan dari seluruh pemegang Unit
Penyertaan.
Pasal 40
Dalam hal DINFRA dibubarkan karena kondisi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 huruf a, Manajer Investasi wajib:
a. menyampaikan rencana pembubaran, likuidasi, dan
pembagian hasil likuidasi DINFRA kepada seluruh
pemegang Unit Penyertaan DINFRA paling lambat
10 (sepuluh) hari kerja sejak diperintahkan Otoritas Jasa
Keuangan, dan pada hari yang sama memberitahukan
secara tertulis kepada Bank Kustodian untuk
menghentikan perhitungan Nilai Aktiva Bersih DINFRA;
b. menginstruksikan kepada Bank Kustodian untuk
membayarkan hasil likuidasi yang menjadi hak pemegang
Unit Penyertaan dengan ketentuan penghitungannya
dilakukan secara proporsional dari Nilai Aktiva Bersih
- 33 -
pada saat pembubaran dan hasil likuidasi tersebut
diterima pemegang Unit Penyertaan; dan
c. menyampaikan laporan hasil pembubaran, likuidasi, dan
pembagian hasil likuidasi DINFRA kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari
sejak diperintahkan pembubaran oleh Otoritas Jasa
Keuangan dengan dokumen sebagai berikut:
1. laporan hasil pembubaran, likuidasi, dan pembagian
hasil likuidasi DINFRA dengan dilengkapi pendapat
dari konsultan hukum yang terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan;
2. laporan keuangan terkait pembubaran, likuidasi, dan
pembagian hasil likuidasi DINFRA yang diaudit oleh
akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan;
dan
3. akta pembubaran dan likuidasi DINFRA dari notaris
yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
d. jangka waktu penyampaian laporan hasil pembubaran,
likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi DINFRA kepada
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf c dapat diperpanjang dengan persetujuan Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 41
Dalam hal DINFRA dibubarkan karena kondisi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 huruf b, Manajer Investasi wajib:
a. menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam
jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak
terjadinya kesepakatan pembubaran DINFRA oleh Manajer
Investasi dan Bank Kustodian dengan melampirkan:
1. kesepakatan pembubaran dan likuidasi DINFRA
antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian;
2. persetujuan rapat pemegang Unit Penyertaan DINFRA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11;
3. alasan pembubaran; dan
4. kondisi keuangan terakhir DINFRA,
- 34 -
dan pada hari yang sama menyampaikan rencana
pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi
DINFRA kepada para pemegang Unit Penyertaan serta
memberitahukan secara tertulis kepada Bank Kustodian
untuk menghentikan perhitungan Nilai Aktiva Bersih
DINFRA;
b. menginstruksikan kepada Bank Kustodian untuk
membayarkan hasil likuidasi yang menjadi hak pemegang
Unit Penyertaan dengan ketentuan penghitungannya
dilakukan secara proporsional dari Nilai Aktiva Bersih
pada saat likuidasi selesai dilakukan dan hasil likuidasi
tersebut diterima pemegang Unit Penyertaan;
c. menyampaikan laporan hasil pembubaran, likuidasi, dan
pembagian hasil likuidasi DINFRA kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari
sejak terjadinya kesepakatan pembubaran DINFRA oleh
Manajer Investasi dan Bank Kustodian dengan dokumen
sebagai berikut:
1. laporan hasil pembubaran, likuidasi, dan pembagian
hasil likuidasi DINFRA dengan dilengkapi pendapat
dari konsultan hukum yang terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan;
2. laporan keuangan terkait pembubaran, likuidasi, dan
pembagian hasil likuidasi DINFRA yang diaudit oleh
akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan;
dan
3. akta pembubaran dan likuidasi DINFRA dari notaris
yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; dan
d. jangka waktu penyampaian laporan hasil pembubaran,
likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi DINFRA kepada
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf c dapat diperpanjang dengan persetujuan Otoritas
Jasa Keuangan.
- 35 -
BAB IX
KETENTUAN SANKSI
Pasal 42
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan/atau
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau
huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 43
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan
tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
- 36 -
Pasal 44
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43 kepada masyarakat.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 45
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 37 -
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juli 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Juli 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 170
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 52 /POJK.04/2017
TENTANG
DANA INVESTASI INFRASTRUKTUR BERBENTUK KONTRAK INVESTASI
KOLEKTIF
I. UMUM
Dana Investasi Infrastruktur Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
yang selanjutnya disebut dengan DINFRA adalah wadah berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari
masyarakat pemodal untuk selanjutnya sebagian besar diinvestasikan pada
Aset Infrastruktur oleh Manajer Investasi.
Produk investasi ini ditujukan untuk menyediakan salah satu
alternatif pendanaan bagi pembangunan infrastruktur di Indonesia melalui
sekuritisasi dari Aset Infrastruktur, sekaligus untuk memberikan altenatif
produk investasi bagi pemodal.
Pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur hal mengenai
pedoman pengelolaan, Kontrak Investasi Kolektif, dokumen keterbukaan,
pencatatan, pelaporan, dan pembubaran DINFRA. Dengan diterbitkannya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, diharapkan tercipta pendalaman
Pasar Modal Indonesia melalui industri pengelolaan investasi sekaligus
meningkatkan daya saing industri pengelolaan investasi di Indonesia.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 12
Ayat (1)
Sebagai contoh, nama DINFRA yang dikelola oleh Manajer
Investasi XYZ dengan kebijakan investasi yang mencerminkan
investasi Dana Investasi Infrastruktur pada Aset Infrastruktur
dapat diberi nama “Dana Investasi Infrastruktur XYZ Kawasan
Ekonomi Khusus”. Contoh lainnya, Dana Investasi Infrastruktur
yang dikelola oleh Manajer Investasi yang sama yang
mencerminkan investasi Dana Investasi Infrastruktur pada Aset
Infrastruktur namun dengan denominasi mata uang Dolar
Amerika Serikat dapat diberi nama “XYZ Dana Investasi
Infrastruktur toll road USD”.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh nama DINFRA yang mengandung ungkapan
mengenai kepastian atau janji atas imbal hasil dan/atau
tidak adanya risiko investasi antara lain “Dana Investasi
Infrastruktur Pasti Untung” atau “Dana Investasi
Infrastruktur Anti Rugi”.
Huruf c
Contoh nama DINFRA yang mengandung ungkapan Manajer
Investasi memiliki keunggulan tertentu yang belum tentu
benar antara lain “Dana Investasi Infrastruktur XYZ Terbaik
dalam Kawasan Ekonomi Khusus”.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a.
Contoh jenis Aset Infrastruktur antara lain:
a. infrastruktur transportasi;
b. infrastruktur jalan;
c. infrastruktur sumber daya air dan irigasi;
d. infrastruktur air minum;
e. infrastruktur sistem pengelolaan air limbah terpusat;
f.
g. infrastruktur sistem pengelolaan persampahan;
h. infrastruktur telekomunikasi dan informatika;
i.
infrastruktur ketenagalistrikan;
j.
infrastruktur minyak dan gas bumi dan energi
terbarukan;
k. infrastruktur konservasi energi;
l.
infrastruktur fasilitas perkotaan;
m. infrastruktur fasilitas pendidikan;
n. infrastruktur fasilitas sarana dan prasarana
olahraga,serta kesenian;
o. infrastruktur kawasan;
p. infrastruktur pariwisata;
q. infrastruktur kesehatan;
r. infrastruktur lembaga pemasyarakatan; dan
s. infrastruktur perumahan rakyat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Efek bersifat utang yang pembayarannya berasal dari
Aset Infrastruktur contohnya adalah Project Bond dan
Infrastructure Bond.
infrastruktur sistem pengelolaan air limbah setempat;
- 5 -
Angka 3
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Pinjaman dana dan/atau penerbitan Efek bersifat utang untuk
kepentingan DINFRA dapat dilakukan secara langsung dan/atau
melalui Special Purpose Company.
Pasal 19
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pada harga yang wajar” adalah
mempertimbangkan harga yang wajar berdasarkan Penilai (bagi
investasi secara langsung pada Aset Infrastruktur).
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 25
Situs web dapat berupa situs web milik Manajer Investasi, Bursa Efek,
atau pihak lain yang berkaitan dengan Dana Investasi Infrastruktur.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”fakta material” antara lain laporan
keuangan, pergantian anggota direksi Manajer Investasi, biaya,
dan alamat Manajer Investasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
- 7 -
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6104
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 52/POJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> DANA INVESTASI INFRASTRUKTUR BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF </reg_title>
<set_date> 19 Juli 2017 </set_date>
<effective_date> 27 Juli 2017 </effective_date>
<issued_date> 27 Juli 2017 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 24 /POJK.04/2016
TENTANG
AGEN PERANTARA PEDAGANG EFEK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan jumlah investor Pasar
Modal Indonesia dan memanfaatkan potensi Pasar Modal
Indonesia serta mengoptimalkan fungsi pemasaran dari
Perantara Pedagang Efek, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Agen Perantara Pedagang
Efek;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG AGEN
PERANTARA PEDAGANG EFEK.
- 2 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Perantara Pedagang Efek adalah Pihak yang melakukan
kegiatan usaha jual beli Efek untuk kepentingan sendiri
atau Pihak lain.
2. Agen Perantara Pedagang Efek adalah Pihak yang
mereferensikan calon nasabah kepada Perantara Pedagang
Efek untuk menjadi nasabah Perantara Pedagang Efek
dengan mendapat komisi berdasarkan kontrak kerja sama.
3.
Izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas
adalah Izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran
Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan tentang Segmentasi Perizinan Wakil
Perantara Pedagang Efek.
4. Pelaku Usaha Jasa Keuangan adalah Pelaku Usaha Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan.
5. Gerai adalah sarana kegiatan Agen Perantara Pedagang
Efek yang tidak bersifat permanen, dengan jangka waktu
paling lama 3 (tiga) bulan pada 1 (satu) tempat yang sama.
BAB II
RUANG LINGKUP DAN PERSYARATAN AGEN PERANTARA
PEDAGANG EFEK
Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Agen Perantara Pedagang Efek
Pasal 2
Agen Perantara Pedagang Efek terdiri atas Agen Perantara
Pedagang Efek kelembagaan dan Agen Perantara Pedagang
Efek orang perseorangan.
- 3 -
Pasal 3
(1) Pihak yang melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang
Efek kelembagaan wajib terlebih dahulu terdaftar di
Otoritas Jasa Keuangan dan memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
(2) Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh
Pelaku Usaha Jasa Keuangan yang merupakan badan
hukum.
Pasal 4
(1) Kegiatan sebagai Agen Perantara Pedagang Efek orang
perseorangan dilakukan oleh orang perseorangan yang
memiliki izin sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek, Wakil
Perantara Pedagang Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek
Pemasaran, dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek
Pemasaran Terbatas.
(2) Orang perseorangan yang memiliki izin sebagai Wakil
Penjamin Emisi Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek,
Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran, dan/atau
Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan
kegiatan sebagai Agen Perantara Pedagang Efek orang
perseorangan tanpa perlu terlebih dahulu mengajukan
permohonan pendaftaran kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
(3) Orang perseorangan yang memiliki izin sebagai Wakil
Penjamin Emisi Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek,
Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran, dan/atau
Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan
kegiatan sebagai Agen Perantara Pedagang Efek orang
perseorangan, apabila tidak bekerja pada Perusahaan
Efek dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
- 4 -
Pasal 5
(1) Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 hanya dapat melakukan
kegiatan penawaran kepada calon nasabah untuk
menjadi nasabah Perantara Pedagang Efek dan kegiatan
lain yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dapat melakukan kegiatan
penawaran kepada calon nasabah untuk menjadi
nasabah Perantara Pedagang Efek di kantor pusat,
kantor lain selain kantor pusat, lokasi lain dan/atau
Gerai.
(3) Agen Perantara Pedagang Efek orang perseorangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 hanya dapat
melakukan kegiatan penawaran kepada calon nasabah
untuk menjadi nasabah Perantara Pedagang Efek.
Pasal 6
Pegawai Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan yang
melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek wajib
memiliki izin orang perseorangan dari Otoritas Jasa Keuangan
paling rendah izin sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek
Pemasaran Terbatas.
Bagian Kedua
Persyaratan Agen Perantara Pedagang Efek Kelembagaan
Pasal 7
Dalam rangka memperoleh Surat Tanda Terdaftar sebagai
Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan, Pelaku Usaha
Jasa Keuangan wajib:
a. memiliki pegawai yang melakukan kegiatan Agen
Perantara Pedagang Efek di setiap kantor pusat, kantor
lain selain kantor pusat, lokasi lain dan/atau Gerai Agen
Perantara Pedagang Efek yang melakukan kegiatan Agen
Perantara Pedagang Efek;
- 5 -
b. memiliki pejabat penanggung jawab kegiatan Agen
Perantara Pedagang Efek untuk setiap kantor pusat,
kantor lain selain kantor pusat, lokasi lain dan/atau
Gerai Agen Perantara Pedagang Efek yang melakukan
kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek; dan
c. memiliki sistem pengendalian internal yang memadai.
Pasal 8
Pegawai yang melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang
Efek dan/atau pejabat penanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dan huruf b, wajib:
a. memiliki izin orang perseorangan dari Otoritas Jasa
Keuangan paling rendah izin sebagai Wakil Perantara
Pedagang Efek Pemasaran Terbatas; dan
b. mendapat penugasan khusus secara tertulis dari Agen
Perantara Pedagang Efek kelembagaan untuk bertindak
sebagai pegawai yang melakukan Agen Perantara
Pedagang Efek dan/atau pejabat penanggung jawab
kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek.
Pasal 9
Sistem pengendalian internal yang memadai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf c wajib dituangkan secara
tertulis dengan ketentuan paling sedikit memuat:
a. pemberian wewenang dan tanggung jawab yang dapat
menghindari timbulnya benturan kepentingan;
b. prosedur operasi standar pelaksanaan kegiatan Agen
Perantara Pedagang Efek; dan
c. upaya dan tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki
penyimpangan yang terjadi.
- 6 -
BAB III
TATA CARA PENDAFTARAN DAN DOKUMEN ELEKTRONIK
SERTA BATAS WAKTU
Bagian Kesatu
Pendaftaran Agen Perantara Pedagang Efek Kelembagaan
Pasal 10
(1) Permohonan pendaftaran sebagai Agen Perantara
Pedagang Efek kelembagaan diajukan oleh pemohon
dalam bentuk dokumen cetak kepada Otoritas Jasa
Keuangan sesuai dengan format surat permohonan
pendaftaran sebagai Agen Perantara Pedagang Efek
kelembagaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Permohonan pendaftaran sebagai Agen Perantara
Pedagang Efek kelembagaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib disertai kelengkapan dokumen
sebagai berikut:
a.
fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh
instansi yang berwenang dan perubahan anggaran
dasar terakhir;
b. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Badan;
c. fotokopi izin usaha;
d. data kantor pusat yang memuat alamat kantor dan
penanggungjawabnya serta daftar pegawai yang
melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek;
e. dokumen yang terkait dengan nama, data, dan
informasi pejabat penanggung jawab Agen Perantara
Pedagang Efek, meliputi:
1. daftar riwayat hidup terbaru yang telah
ditandatangani;
2. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor
yang masih berlaku;
- 7 -
3. fotokopi Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja
Asing bagi warga negara asing;
4. fotokopi surat keputusan Direksi terkait
pengangkatan atau penempatan sebagai pejabat
penanggung jawab kegiatan Agen Perantara
Pedagang Efek di kantor pusat; dan
5. fotokopi izin orang perseorangan dari Otoritas
Jasa Keuangan paling rendah berupa izin
sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek
Pemasaran Terbatas
bersangkutan;
f. dokumen pegawai yang melakukan kegiatan Agen
Perantara Pedagang Efek yang meliputi:
1. daftar riwayat hidup terbaru yang telah
ditandatangani;
2. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor
yang masih berlaku;
3.
fotokopi Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja
Asing bagi warga negara asing;
4. fotokopi surat keputusan Direksi terkait
pengangkatan atau penempatan pegawai yang
melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang
Efek di kantor pusat; dan
5. fotokopi izin orang perseorangan dari Otoritas
Jasa Keuangan paling rendah berupa izin
sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek
Pemasaran Terbatas
bersangkutan;
g. diagram struktur organisasi yang menunjukkan
garis pertanggungjawaban dari masing-masing
fungsi kepada penanggung jawab atau anggota
Direksi yang bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek
beserta uraian tugasnya;
h. prosedur operasi standar pelaksanaan kegiatan Agen
Perantara Pedagang Efek; dan
atas nama yang
atas nama yang
- 8 -
i.
proyeksi rencana operasi kegiatan Agen Perantara
Pedagang Efek paling singkat 1 (satu) tahun ke
depan yang paling sedikit mencakup informasi
sebagai berikut:
1. target jenis calon nasabah (pangsa pasar); dan
2. target jumlah calon nasabah.
Pasal 11
Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta tambahan data
dan/atau informasi untuk melengkapi permohonan
pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
Bagian Kedua
Dokumen Elektronik, Proses Pendaftaran, dan Batas Waktu
Pasal 12
(1) Dokumen permohonan pendaftaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 wajib pula disiapkan dalam
format digital dan disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan dengan menggunakan media digital cakram
padat atau lainnya, atau surat elektronik dengan alamat
pendaftaranappe@ojk.go.id.
(2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan
sistem elektronik, permohonan pendaftaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 dapat disampaikan melalui
sistem elektronik dimaksud.
(3) Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menyampaikan
permohonan pendaftaran melalui sistem elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha Jasa
Keuangan wajib menyimpan dokumen cetak permohonan
pendaftaran sebagaimana yang telah disampaikan
melalui sistem elektronik.
(4) Otoritas Jasa Keuangan sewaktu-waktu dapat meminta
dokumen cetak permohonan pendaftaran kepada Pelaku
Usaha Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) apabila diperlukan.
- 9 -
Pasal 13
(1) Dalam memproses permohonan pendaftaran sebagai
Agen Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10, Otoritas Jasa Keuangan melakukan
penelitian atas kelengkapan dokumen permohonan.
(2) Dalam hal permohonan pendaftaran sebagai Agen
Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 tidak memenuhi syarat, paling lambat 45
(empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan,
Otoritas
Jasa
Keuangan
memberikan
pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan
bahwa:
a. permohonan
belum memenuhi persyaratan
kelengkapan dokumen; atau
b. permohonan ditolak karena tidak memenuhi
persyaratan.
(3) Pemohon wajib melengkapi kekurangan dokumen yang
dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a paling lambat 45 (empat puluh lima) hari
setelah tanggal surat pemberitahuan.
(4) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dianggap telah
membatalkan permohonan pendaftaran sebagai Agen
Perantara Pedagang Efek.
(5) Otoritas Jasa Keuangan memberikan Surat Tanda
Terdaftar sebagai Agen Perantara Pedagang Efek kepada
pemohon yang mengajukan permohonan pendaftaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 paling lambat
45 (empat puluh lima) hari sejak permohonan diterima
secara lengkap dan memenuhi syarat.
Pasal 14
(1) Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan wajib
melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek
dalam waktu 6 (enam) bulan sejak:
a. memperoleh Surat Tanda Terdaftar dari Otoritas
Jasa Keuangan; atau
surat
- 10 -
b. berakhirnya kontrak kerja sama kegiatan Agen
Perantara Pedagang Efek.
(2) Dalam hal Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan
tidak melaksanakan kegiatan Agen Perantara Pedagang
Efek dalam waktu 6 (enam) bulan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Surat Tanda Terdaftar Agen
Perantara Pedagang Efek kelembagaan menjadi tidak
berlaku.
BAB IV
KONTRAK KERJA SAMA
Pasal 15
Kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek wajib didasarkan
pada kontrak kerja sama antara Perantara Pedagang Efek
dengan Agen Perantara Pedagang Efek.
Pasal 16
Kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
paling sedikit memuat hal sebagai berikut:
a.
identitas pihak yang terlibat dalam kontrak;
b. hak dan kewajiban para pihak;
c. komisi yang diterima Agen Perantara Pedagang Efek dan
biaya yang menjadi beban Agen Perantara Pedagang
Efek;
d. jangka waktu kontrak;
e. penunjukan lembaga peradilan atau lembaga lainnya
sebagai lembaga untuk menyelesaikan perselisihan dan
sengketa perdata antar para Pihak; dan
f.
ketentuan pengakhiran kontrak.
Pasal 17
Dalam melakukan kerja sama dengan Agen Perantara
Pedagang Efek, Perantara Pedagang Efek wajib:
a. memiliki kontrak kerja sama secara tertulis dengan
Agen Perantara Pedagang Efek;
b. bertanggung jawab atas perjanjian kerja sama antara
- 11 -
Perantara Pedagang Efek dan Agen Perantara Pedagang
Efek;
c. bertanggung jawab atas perilaku Agen Perantara
Pedagang Efek orang perseorangan;
d. meneliti pemenuhan persyaratan yang ditentukan dan
proses uji tuntas terhadap calon Agen Perantara
Pedagang Efek;
e. memastikan
Agen
Perantara
Pedagang
Efek
kelembagaan memiliki pejabat yang bertanggung jawab
atas kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek;
f.
bertanggung jawab atas perbuatan dan tindakan Agen
Perantara Pedagang Efek yang termasuk dalam cakupan
layanan Agen Perantara Pedagang Efek sesuai dengan
yang dicantumkan dalam perjanjian kerja sama; dan
g. memantau dan mengawasi kegiatan Agen Perantara
Pedagang Efek secara langsung, baik secara berkala
maupun insidentil.
Pasal 18
(1) Agen Perantara Pedagang Efek wajib menyampaikan
laporan setiap dimulainya dan/atau berakhirnya
kontrak kerja sama dengan Perantara Pedagang Efek
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Laporan dimulainya kontrak kerja sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dengan dokumen
kontrak kerja sama dan dokumen kelayakan uji tuntas
dengan Perantara Pedagang Efek.
(3) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
efektif dimulainya kerja sama dan/atau berakhirnya
kerja sama.
- 12 -
BAB V
PEJABAT PENANGGUNG JAWAB DAN PEGAWAI AGEN
PERANTARA PEDAGANG EFEK
Pasal 19
(1) Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan wajib
memiliki paling sedikit 1 (satu) orang pejabat
penanggung jawab atas kegiatan Agen Perantara
Pedagang Efek kelembagaan.
(2) Pejabat penanggung jawab kegiatan Agen Perantara
Pedagang Efek kelembagaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib mempunyai pengalaman dalam
kegiatan pemasaran paling singkat 3 (tiga) tahun.
(3) Pejabat penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memiliki tugas dan fungsi paling sedikit sebagai
berikut:
a. memastikan proses kegiatan Agen Perantara
Pedagang Efek kelembagaan telah berjalan sesuai
dengan:
1. kontrak kerja sama yang dibuat oleh Agen
Perantara Pedagang Efek kelembagaan dengan
Perantara Pedagang Efek;
2. prosedur operasi standar Agen Perantara
Pedagang Efek kelembagaan; dan
3. kontrak kerja sama yang dibuat oleh Agen
Perantara Pedagang Efek kelembagaan dengan
pihak lain dalam rangka melaksanakan
kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek di
Gerai;
b. memastikan dokumen atas proses kegiatan Agen
Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud
pada huruf a telah lengkap; dan
c. memastikan proses kegiatan Agen Perantara
Pedagang Efek kelembagaan telah berjalan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- 13 -
(4) Pejabat penanggung jawab Agen Perantara Pedagang
Efek kelembagaan dilarang merangkap bekerja pada
perusahaan lain.
Pasal 20
(1) Pegawai Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan
yang melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang
Efek dilarang merangkap bekerja pada perusahaan lain.
(2) Pegawai Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang terdaftar
pada lebih dari 1 (satu) lokasi Agen Perantara Pedagang
Efek kelembagaan.
(3) Perangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
berlaku untuk Gerai.
Pasal 21
Dalam hal terjadi kekosongan atas seluruh pegawai yang
melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek
dan/atau pejabat penanggung jawab kegiatan Agen
Perantara Pedagang Efek kelembagaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dan huruf b, Agen
Perantara Pedagang Efek kelembagaan dimaksud tidak dapat
melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang sebagai Agen
Perantara Pedagang Efek kelembagaan sampai dengan
terdapat pegawai yang melakukan kegiatan Agen Perantara
Pedagang Efek dan/atau pejabat penanggung jawab kegiatan
Agen Perantara Pedagang Efek yang memiliki izin paling
rendah sebagai Wakil Agen Perantara Pedagang Efek
Pemasaran Terbatas.
- 14 -
BAB VI
KANTOR LAIN SELAIN KANTOR PUSAT, LOKASI LAIN, DAN
GERAI AGEN PERANTARA PEDAGANG EFEK
Bagian Kesatu
Kantor Lain Selain Kantor Pusat dan Lokasi Lain Agen
Perantara Pedagang Efek Kelembagaan
Pasal 22
(1) Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan yang
melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek di
kantor lain selain kantor pusat dan/atau lokasi lain wajib
melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat
7 (tujuh) hari kerja setelah dimulainya kegiatan Agen
Perantara Pedagang Efek dimaksud.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan sesuai dengan format laporan kegiatan Agen
Perantara Pedagang Efek kelembagaan di kantor lain selain
kantor pusat dan/atau lokasi lain sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(3) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) disertai dokumen sebagai berikut:
a. dokumen pejabat penanggung jawab Agen Perantara
Pedagang Efek kelembagaan di kantor lain selain
kantor pusat dan/atau lokasi lain yang meliputi:
1. daftar riwayat hidup terbaru yang telah
ditandatangani;
2. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor
yang masih berlaku;
3. fotokopi Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing,
bagi warga negara asing;
4. fotokopi surat keputusan Direksi terkait
pengangkatan atau penunjukan sebagai pejabat
penanggung jawab kegiatan Agen Perantara
Pedagang Efek di kantor lain selain kantor pusat
dan/atau lokasi lain; dan
- 15 -
5. fotokopi izin orang perseorangan dari Otoritas
Jasa Keuangan paling rendah berupa izin
sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek
Pemasaran Terbatas
bersangkutan;
b. dokumen pegawai Agen Perantara Pedagang Efek yang
melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek di
kantor lain selain kantor pusat dan/atau lokasi lain
yang meliputi:
1. daftar riwayat hidup terbaru yang telah
ditandatangani;
2. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor
yang masih berlaku;
3. fotokopi Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing,
bagi warga negara asing;
4. fotokopi surat keputusan Direksi terkait
pengangkatan atau penunjukan sebagai pegawai
Agen Perantara Pedagang Efek yang melakukan
kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek di kantor
lain selain kantor pusat dan/atau lokasi lain; dan
5. fotokopi izin orang perseorangan dari Otoritas
Jasa Keuangan paling rendah berupa izin
sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek
Pemasaran Terbatas
bersangkutan;
c. surat keterangan domisili kantor lain selain kantor
pusat dan/atau lokasi lain dari pengelola gedung atau
instansi berwenang; dan
d. daftar kantor lain selain kantor pusat dan/atau lokasi
lain beserta alamat kantor dan penanggungjawabnya
serta daftar pegawai Agen Perantara Pedagang Efek
yang melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang
Efek, sesuai dengan format daftar kantor lain selain
kantor pusat dan/atau lokasi lain Agen Perantara
Pedagang Efek kelembagaan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
atas nama yang
atas nama yang
- 16 -
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini.
Pasal 23
Dokumen laporan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek di
kantor lain selain kantor pusat dan/atau lokasi lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3)
wajib pula disiapkan dalam format digital dan disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan media
digital cakram padat atau lainnya, atau surat elektronik dengan
alamat pendaftaranappe@ojk.go.id.
Bagian Kedua
Gerai Agen Perantara Pedagang Efek
Pasal 24
(1) Agen Perantara Pedagang Efek dapat membuka Gerai
melalui kerja sama dengan pihak lain.
(2) Kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek di Gerai wajib
dilakukan oleh orang perseorangan yang memiliki izin dari
Otoritas Jasa Keuangan paling rendah berupa izin sebagai
Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas.
BAB VII
KEWAJIBAN DAN LARANGAN AGEN PERANTARA PEDAGANG
EFEK
Bagian Kesatu
Kewajiban Agen Perantara Pedagang Efek
Pasal 25
Bagi Agen Perantara Pedagang Efek:
a. kelembagaan wajib:
1. bertanggung jawab atas segala tindakan yang
berkaitan dengan kegiatan Agen Perantara
Pedagang Efek yang dilakukan oleh pegawai
dan/atau pihak lain yang bekerja sama dengan
- 17 -
Agen Perantara Pedagang Efek tersebut;
2. mempunyai sistem pengawasan atas kegiatan
para pegawainya yang melakukan kegiatan Agen
Perantara Pedagang Efek untuk menjamin
dipatuhinya
semua
ketentuan
peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal; dan
3. menjalankan tugas sebaik mungkin dengan
itikad baik dan penuh tanggung jawab sesuai
dengan kontrak kerja sama; dan
b. orang perseorangan wajib:
1. bertanggung jawab atas segala tindakan yang
berkaitan dengan kegiatan Agen Perantara
Pedagang Efek; dan
2. menjalankan tugas sebaik mungkin dengan
itikad baik dan penuh tanggung jawab sesuai
dengan kontrak kerja sama dengan Perantara
Pedagang Efek.
Bagian Kedua
Larangan Agen Perantara Pedagang Efek
Pasal 26
Bagi Agen Perantara Pedagang Efek:
a. kelembagaan dilarang:
1. menerima pesanan dari nasabah atau meneruskan
transaksi nasabah;
2. memungut penerimaan dari nasabah dan membagi
komisi dengan nasabah;
3. memberikan penjelasan yang tidak benar dan
ungkapan yang berlebihan terkait investasi di Pasar
Modal;
4. memastikan dan menjanjikan hasil investasi;
5. menyarankan untuk melakukan transaksi;
6. membuat pernyataan yang negatif terhadap Perantara
Pedagang Efek tertentu;
- 18 -
7. memberikan rekomendasi atas Efek tertentu kepada
calon nasabah untuk mendapatkan keuntungan;
8. menjanjikan potongan komisi kepada calon nasabah;
dan
9. bertindak sebagai Agen Perantara Pedagang Efek
terhadap lebih dari 1 (satu) Perantara Pedagang Efek;
dan
b. orang perseorangan dilarang:
1. menerima pesanan dari nasabah atau meneruskan
transaksi nasabah;
2. memungut penerimaan dari nasabah dan membagi
komisi dengan nasabah;
3. memberikan penjelasan yang tidak benar dan
ungkapan yang berlebihan terkait investasi di Pasar
Modal;
4. memastikan dan menjanjikan hasil investasi;
5. menyarankan untuk melakukan transaksi;
6. membuat pernyataan yang negatif terhadap Perantara
Pedagang Efek tertentu;
7. memberikan rekomendasi atas Efek tertentu kepada
calon nasabah untuk mendapatkan keuntungan;
8. menjanjikan potongan komisi kepada calon nasabah;
9. bertindak sebagai Agen Perantara Pedagang Efek
terhadap lebih dari 1 (satu) Perantara Pedagang Efek;
dan
10. bekerja pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
BAB VIII
PENYAMPAIAN LAPORAN
Bagian Kesatu
Laporan Bagi Agen Perantara Pedagang Efek Kelembagaan
Pasal 27
Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan wajib melaporkan
kepada Otoritas Jasa Keuangan apabila terdapat:
- 19 -
1. perubahan alamat kantor pusat, kantor lain selain kantor
pusat dan/atau lokasi lain;
2. perubahan pejabat penanggung jawab dan pegawai yang
melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek;
dan/atau
3. penutupan kantor lain selain kantor pusat dan/atau lokasi
lain,
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak terjadinya peristiwa
dimaksud.
Bagian Kedua
Laporan Bagi Perantara Pedagang Efek
Pasal 28
(1) Perantara Pedagang Efek wajib melaporkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan setiap penambahan dan
pemutusan kerjasama dengan Agen Perantara
Pedagang Efek.
(2) Laporan setiap penambahan dan pemutusan kerjasama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 7 (tujuh)
hari
kerja
sejak penambahan dan pemutusan
kerjasama tersebut.
(3) Perantara Pedagang Efek wajib melaporkan perkembangan
penyelenggaraan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek
kepada Otoritas Jasa Keuangan, sesuai dengan format
laporan perkembangan penyelenggaraan kegiatan Agen
Perantara Pedagang Efek sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(4) Laporan perkembangan penyelenggaraan kegiatan Agen
Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan
secara triwulanan untuk posisi bulan Maret, Juni,
September, dan Desember paling lambat setiap hari kerja
ke-15 (kelima belas) setelah akhir bulan laporan.
- 20 -
Pasal 29
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem
laporan elektronik Agen Perantara Pedagang Efek, laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dapat disampaikan
melalui sistem elektronik dimaksud.
BAB IX
BERAKHIRNYA KEGIATAN AGEN PERANTARA PEDAGANG
EFEK
Bagian Kesatu
Pencabutan Atau Pembatalan Surat Tanda Terdaftar Sebagai
Agen Perantara Pedagang Efek Kelembagaan
Pasal 30
Surat Tanda Terdaftar sebagai Agen Perantara Pedagang Efek
kelembagaan dapat dicabut atau dibatalkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan berdasarkan hal sebagai berikut:
a. Surat Tanda Terdaftar sebagai Agen Perantara Pedagang
Efek kelembagaan dikembalikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan;
b. pelanggaran terhadap peraturan perundang undangan-
undangan di sektor Pasar Modal;
c.
Izin usaha pihak yang melakukan kegiatan Agen Perantara
Pedagang Efek kelembagaan dicabut oleh Otoritas Jasa
Keuangan; dan
d. Badan hukum pihak yang melakukan kegiatan sebagai
Agen Perantara Pedagang Efek pailit atau bubar.
Bagian Kedua
Berakhirnya Kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek Orang
Perseorangan
Pasal 31
Kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek orang perseorangan
berakhir dengan sendirinya apabila Izin orang perseorangan
dari Otoritas Jasa Keuangan berupa izin sebagai Wakil
Penjamin Emisi Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek, Wakil
- 21 -
Perantara Pedagang Efek Pemasaran, dan/atau Wakil
Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas yang dimiliki
sudah tidak berlaku.
BAB X
KETENTUAN SANKSI
Pasal 32
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan peraturan ini,
termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya
pelanggaran tersebut berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f.
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
pembatalan persetujuan; dan
- 22 -
Pasal 33
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
Pasal 34
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 kepada masyarakat.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 35
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, orang perseorangan yang telah memiliki izin sebagai
Wakil Penjamin Emisi Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek,
Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran, dan/atau Wakil
Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas dapat
melakukan kegiatan sebagai Agen Perantara Pedagang Efek
orang perseorangan.
Pasal 36
Kontrak kerja sama antara Pihak dengan Perantara Pedagang
Efek dalam rangka melakukan kegiatan penawaran kepada
calon nasabah untuk menjadi nasabah Perantara Pedagang
Efek yang masih berlaku dan sudah ada sebelum berlakunya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, wajib:
a. disesuaikan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini; dan
b. dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan,
paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini diundangkan.
- 23 -
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 37
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku sejak
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Juni 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juni 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H.LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 127
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 24 /POJK.04/2016
TENTANG
AGEN PERANTARA PEDAGANG EFEK
I. UMUM
Salah satu penyebab rendahnya jumlah investor Pasar Modal di
Indonesia adalah terbatasnya akses masyarakat Indonesia untuk menjadi
investor di Pasar Modal. Terbatasnya jaring pemasaran Perantara
Pedagang Efek yang hanya terfokus di kota besar menyebabkan calon
investor potensial yang berada di daerah sulit untuk terjangkau.
Dalam rangka memperluas fungsi pemasaran Perantara Pedagang
Efek, diperlukan pengaturan yang memungkinkan Perantara Pedagang
Efek melakukan kerja sama dengan Pihak lain yang memiliki akses untuk
menjangkau calon nasabah terutama calon nasabah yang berada di
daerah.
Peraturan ini membuka kesempatan bagi Pihak lain untuk menjadi
Agen Perantara Pedagang Efek dengan melakukan kerjasama dengan
Perantara Pedagang Efek untuk melakukan penawaran kepada
masyarakat untuk menjadi nasabah Perantara Pedagang Efek. Pihak
tersebut dapat berupa orang perseorangan maupun badan hukum yang
merupakan Pelaku Usaha Jasa Keuangan, seperti Bank Umum, Bank
Perkreditan Rakyat, Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, Bank
Kustodian, Dana Pensiun, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi,
Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Gadai, dan Perusahaan Penjaminan.
Kerja sama antara Agen Perantara Pedagang Efek dan Perantara
Pedagang Efek didasarkan oleh kontrak/perjanjian tertulis, yang
menyebutkan minimal klausa yang wajib tercantum dalam perjanjian
- 2 -
kedua belah pihak. Agen Perantara Pedagang Efek dapat menawarkan dan
memproses penerimaan sebagai nasabah Perantara Pedagang Efek, serta
menyampaikan informasi suatu Efek sebagai referensi nasabah untuk
transaksi Efek. Akan tetapi transaksi Efek tetap dilakukan oleh Perantara
Pedagang Efek.
Disamping membuka kesempatan bagi Pihak lain untuk menjadi
Agen Perantara Pedagang Efek, dalam peraturan ini juga diatur terkait
kegiatan dan perilaku Agen Perantara Pedagang Efek. Pengaturan tersebut
diharapkan dapat lebih menjamin kepastian hukum dan kepatuhan Agen
Perantara Pedagang Efek terhadap peraturan perundang-undangan
sehingga pada akhirnya dapat melindungi masyarakat pemodal dari
praktik yang merugikan.
Sehubungan dengan hal tersebut dan dalam rangka pelaksanaan
kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek serta untuk memitigasi risiko
yang mungkin timbul, perlu pengaturan tentang Agen Perantara Pedagang
Efek dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud “instansi yang berwenang” antara lain
instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
hukum dan hak asasi manusia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan izin usaha termasuk pengesahan
badan hukum Dana Pensiun.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Angka 1
Untuk melihat pengalaman kerja dalam kegiatan
pemasaran, daftar riwayat hidup dilengkapi dengan
informasi pengalaman kerja yang memuat tahun
- 4 -
bekerja, nama perusahaan, bidang usaha, nama
jabatan dan uraian tugas, dan tanggung jawab.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Surat elektronik dimaksud biasa disebut dengan e-mail.
Ayat (2)
Otoritas Jasa Keuangan tidak lagi mewajibkan penyampaian
permohonan pendaftaran Agen Perantara Pedagang Efek dalam
bentuk dokumen cetak dalam hal permohonan tersebut telah
disampaikan melalui sistem elektronik.
- 5 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Ketentuan pada huruf c ini hanya berlaku bagi Perantara
Pedagang Efek yang melakukan kerjasama dengan Agen
Perantara Pedagang Efek orang perseorangan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
- 6 -
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Pejabat penanggung jawab dapat ditunjuk sebagai pihak yang
bertanggung jawab pada 1 (satu) atau lebih lokasi kegiatan Agen
Perantara Pedagang Efek.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Surat elektronik dimaksud biasa disebut dengan e-mail.
Pasal 24
Cukup jelas.
- 7 -
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Laporan perkembangan penyelenggaraan kegiatan Agen
Perantara Pedagang Efek oleh Perantara Pedagang Efek berlaku
atas Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan dan Agen
Perantara Pedagang Efek orang perseorangan yang memiliki
kontrak kerjasama dengan Perantara Pedagang Efek dimaksud,
yang paling kurang menjelaskan perkembangan:
a. jumlah kerjasama dengan Agen Perantara Pedagang Efek
yang ada;
b. jumlah calon nasabah yang diajukan Agen Perantara
Pedagang Efek ke Perantara Pedagang Efek;
c. jumlah calon nasabah yang disetujui untuk menjadi
nasabah; dan
d. nilai transaksi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5896
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 24/POJK.04/2016 </reg_id>
<reg_title> AGEN PERANTARA PEDAGANG EFEK </reg_title>
<set_date> 27 Juni 2016 </set_date>
<effective_date> 29 Juni 2016 </effective_date>
<issued_date> 29 Juni 2016 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR: 2/POJK.04/2013
TENTANG
PEMBELIAN KEMBALI SAHAM YANG DIKELUARKAN OLEH EMITEN ATAU
PERUSAHAAN PUBLIK DALAM KONDISI PASAR YANG BERFLUKTUASI
SECARA SIGNIFIKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mengurangi dampak pasar yang
berfluktuasi secara signifikan, maka diperlukan kemudahan
bagi Emiten atau Perusahaan Publik untuk melakukan aksi
korporasi pembelian saham kembali tanpa melanggar
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan dalam huruf a, maka
perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Pembelian Kembali Saham Yang Dikeluarkan Oleh Emiten
Atau Perusahaan Publik Dalam Kondisi Pasar Yang
Berfluktuasi Secara Signifikan;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5253);
2. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 106,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4756);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3608);
4. Peraturan...
- 2 -
4. Peraturan Bapepam dan LK Nomor XI.B.2, Lampiran
Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor:
Kep-105/BL/2010 tanggal 13 April 2010 tentang Pembelian
Kembali Saham Yang Dikeluarkan Oleh Emiten atau
Perusahaan Publik;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEMBELIAN KEMBALI SAHAM YANG DIKELUARKAN OLEH
EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK DALAM KONDISI PASAR
YANG BERFLUKTUASI SECARA SIGNIFIKAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Kondisi Pasar Yang Berfluktuasi Secara Signifikan adalah:
a. indeks harga saham gabungan di Bursa Efek selama 3
(tiga) hari bursa berturut-turut secara kumulatif turun
15% (lima belas perseratus) atau lebih; atau
b. kondisi lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
2. Perusahaan adalah Emiten yang telah melakukan
Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas atau Perusahaan
Publik.
Pasal 2
Kondisi Pasar Yang Berfluktuasi Secara Signifikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf b, dimulai dan diakhiri
dengan penetapan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 3
Dalam hal terjadi Kondisi Pasar Yang Berfluktuasi Secara
Signifikan, Perusahaan dapat membeli kembali sahamnya tanpa
melanggar ketentuan Pasal 91, Pasal 92, Pasal 95, dan Pasal 96
Undang...
- 3 -
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal,
sepanjang memenuhi Peraturan ini.
BAB II
PERSYARATAN PEMBELIAN KEMBALI SAHAM PERUSAHAAN
Pasal 4
Dalam hal terjadi Kondisi Pasar Yang Berfluktuasi Secara
Signifikan, Perusahaan dapat melakukan pembelian kembali
saham tanpa persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham.
Pasal 5
Pembelian kembali saham oleh Perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 paling banyak 20% (dua puluh
perseratus) dari modal disetor.
Pasal 6
(1) Perusahaan dapat melakukan pembelian kembali saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 setelah
menyampaikan keterbukaan informasi kepada Otoritas Jasa
Keuangan dan Bursa Efek.
(2) Keterbukaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari Bursa setelah terjadinya
Kondisi Pasar Yang Berfluktuasi Secara Signifikan.
(3) Pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) bulan setelah keterbukaan informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Keterbukaan informasi dalam rangka pembelian kembali
saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat
informasi sebagai berikut:
a. perkiraan jadwal, biaya pembelian kembali saham
tersebut, dan perkiraan jumlah nilai nominal seluruh
saham yang akan dibeli kembali;
b. perkiraan menurunnya pendapatan Perusahaan sebagai
akibat pelaksanaan pembelian kembali saham dan
dampak...
- 4 -
dampak atas biaya pembiayaan Perusahaan;
c. proforma laba per saham Perusahaan setelah rencana
pembelian kembali saham dilaksanakan, dengan
mempertimbangkan menurunnya pendapatan;
d. pembatasan harga saham untuk pembelian kembali
saham;
e. pembatasan jangka waktu pembelian kembali saham;
f. metode yang akan digunakan untuk membeli kembali
saham; dan
g. pembahasan dan analisis manajemen mengenai
pengaruh pembelian kembali saham terhadap kegiatan
usaha dan pertumbuhan Perusahaan di masa
mendatang.
Pasal 7
Jika pembelian kembali saham dilakukan melalui Bursa Efek,
maka transaksi beli dilakukan melalui satu Anggota Bursa
Efek.
Pasal 8
Setiap Pihak yang merupakan:
a. komisaris, direktur, pegawai, dan Pemegang Saham Utama
Perusahaan;
b. orang perseorangan yang karena kedudukan atau
profesinya atau karena hubungan usahanya dengan
Perusahaan memungkinkan orang tersebut memperoleh
informasi orang dalam; atau
c. Pihak yang dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir tidak lagi
menjadi Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b,
dilarang melakukan transaksi atas saham Perusahaan tersebut
dalam jangka waktu pembelian kembali saham atau pada hari
yang sama dengan penjualan saham hasil pembelian kembali
yang dilakukan oleh Perusahaan melalui Bursa Efek.
BAB III...
- 5 -
BAB III
PENGALIHAN SAHAM HASIL PEMBELIAN KEMBALI
Pasal 9
Saham hasil pembelian kembali dapat dialihkan dengan cara,
antara lain:
a. dijual baik di Bursa Efek maupun di luar Bursa Efek;
b. ditarik kembali dengan cara pengurangan modal;
c. pelaksanaan Employee Stock Option Plan atau Employee
Stock Purchase Plan;
d. pelaksanaan konversi utang menjadi saham Perusahaan;
dan/atau
e. pelaksanaan waran.
Pasal 10
(1) Pengalihan saham yang dilakukan dengan cara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a dapat
dilakukan tanpa mendapatkan persetujuan Rapat Umum
Pemegang Saham.
(2) Pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. dilaksanakan setelah 30 (tiga puluh) hari:
1. sejak pembelian kembali saham Perusahaan
dilaksanakan seluruhnya; atau
2. setelah berakhirnya masa pembelian kembali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3); dan
b.
harga pengalihan saham tidak boleh lebih rendah dari
harga rata-rata pembelian kembali saham Perusahaan
dan dengan ketentuan:
1. untuk saham Perusahaan yang tercatat dan
diperdagangkan di Bursa Efek, tidak boleh lebih
rendah dari harga penutupan perdagangan harian
di Bursa Efek satu hari sebelum tanggal
penjualan saham atau harga rata-rata dari harga
penutupan perdagangan harian di Bursa Efek
selama...
- 6 -
selama 90 (sembilan puluh) hari terakhir sebelum
tanggal penjualan saham oleh Perusahaan, mana
yang lebih tinggi;
2. untuk saham Perusahaan yang tidak tercatat di
Bursa Efek, tidak boleh lebih rendah dari harga
pasar wajar yang ditetapkan oleh Penilai; atau
3. untuk saham Perusahaan yang tercatat di Bursa
Efek, namun selama 90 (sembilan puluh) hari
atau lebih sebelum tanggal penjualan saham oleh
Perusahaan tidak diperdagangkan di Bursa Efek
atau dihentikan sementara perdagangannya oleh
Bursa Efek tidak boleh lebih rendah dari:
a) harga pasar wajar yang ditetapkan oleh
Penilai; atau
b) harga rata-rata dari harga penutupan
perdagangan harian di Bursa Efek dalam
waktu 12 (dua belas) bulan terakhir yang
dihitung mundur dari hari perdagangan
terakhir atau hari dihentikan sementara
perdagangannya,
mana yang lebih tinggi.
Pasal 11
Dalam hal Perusahaan melakukan aksi korporasi yang
mengakibatkan adanya perubahan nilai nominal saham hasil
pembelian kembali, maka penghitungan harga pembelian
kembali saham disesuaikan dengan mengikuti perbandingan
antara nilai nominal saham pada saat pembelian kembali
dengan nilai nominal saham hasil aksi korporasi dimaksud.
Pasal 12
(1) Dalam hal masih terdapat saham hasil pembelian kembali
yang dikuasai oleh Perusahaan selama jangka waktu 3 (tiga)
tahun sejak selesainya pembelian kembali saham, maka
Perusahaan…
- 7 -
Perusahaan wajib mulai mengalihkan saham hasil pembelian
kembali dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Dalam hal kewajiban pengalihan saham sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilaksanakan atau belum
dapat diselesaikan oleh Perusahaan, maka dalam jangka
waktu paling lama 1 (satu) tahun setelah berakhirnya jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan
wajib telah selesai mengalihkan saham dimaksud.
Pasal 13
Dalam hal pengalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (2) dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 huruf a, maka harga penjualan saham paling rendah
pada harga:
a. untuk saham Perusahaan yang tercatat dan diperdagangkan
di Bursa Efek, tidak boleh lebih rendah dari harga
penutupan perdagangan harian di Bursa Efek 1 (satu) hari
sebelum tanggal penjualan saham atau harga rata-rata dari
harga penutupan perdagangan harian di Bursa Efek selama
90 (sembilan puluh) hari terakhir sebelum tanggal penjualan
saham oleh Perusahaan, mana yang lebih tinggi;
b. untuk saham Perusahaan yang tidak tercatat di Bursa Efek,
tidak boleh lebih rendah dari harga pasar wajar yang
ditetapkan oleh Penilai; atau
c. untuk saham Perusahaan yang tercatat di Bursa Efek,
namun selama 90 (sembilan puluh) hari atau lebih sebelum
tanggal penjualan saham oleh Perusahaan tidak
diperdagangkan di Bursa Efek atau dihentikan sementara
perdagangannya oleh Bursa Efek, tidak boleh lebih rendah
dari:
1) harga pasar wajar yang ditetapkan oleh Penilai; atau
2) harga rata-rata dari harga penutupan perdagangan harian
di Bursa Efek dalam waktu 12 (dua belas) bulan terakhir
yang dihitung mundur dari hari perdagangan terakhir
atau hari dihentikan sementara perdagangannya,
mana...
- 8 -
mana yang lebih tinggi.
Pasal 14
Dalam hal pengalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf a, Perusahaan dapat memperpanjang jangka waktu
pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12,
jika terjadi Kondisi Pasar Yang Berfluktuasi Secara Signifikan.
Pasal 15
Dalam hal kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 telah
berakhir, maka Perusahaan wajib segera melanjutkan
pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
Pasal 16
(1) Perusahaan wajib mengumumkan keterbukaan informasi
kepada masyarakat dan menyampaikan bukti
pengumuman dan dokumen pendukungnya kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 14 (empat belas)
hari sebelum dilaksanakannya penjualan saham hasil
pembelian kembali.
(2) Dalam hal kewajiban penyampaian keterbukaan informasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jatuh pada hari
Sabtu atau hari libur, maka penyampaian keterbukaan
informasi atau pelaporan dimaksud wajib disampaikan
pada hari kerja pertama berikutnya.
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk penjualan saham hasil pembelian kembali yang
dilakukan di luar Bursa Efek, paling sedikit meliputi:
a. identitas Pihak yang akan menerima saham;
b. waktu pelaksanaan penjualan saham;
c. kegiatan usaha Pihak yang akan menerima saham,
apabila Pihak dimaksud merupakan badan usaha; dan
d. sifat hubungan Afiliasi dari Pihak-pihak yang
melakukan...
- 9 -
melakukan transaksi dengan Perusahaan (jika ada).
(4) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk penjualan saham hasil pembelian kembali yang
dilakukan di Bursa Efek, paling sedikit meliputi:
a. nama Anggota Bursa yang ditunjuk untuk melakukan
penjualan saham;
b. waktu pelaksanaan penjualan saham; dan
c. jumlah seluruh saham yang akan dijual.
Pasal 17
Dalam hal saham hasil pembelian kembali dijual melalui Bursa
Efek, maka wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. transaksi jual wajib dilaksanakan melalui 1 (satu) Anggota
Bursa;
b. transaksi jual hanya dapat dilakukan setelah 30 (tiga puluh)
menit sejak pembukaan sampai dengan 30 (tiga puluh) menit
sebelum penutupan perdagangan; dan
c. jumlah penjualan kembali saham pada setiap hari adalah
paling banyak sebesar 20% (dua puluh perseratus) dari
jumlah seluruh saham yang telah dibeli kembali oleh
Perusahaan.
Pasal 18
Dalam hal saham yang dibeli kembali telah dijual pada harga
yang lebih rendah dari harga pembelian kembali, maka
kerugian tersebut wajib diungkapkan secara jelas dalam
laporan keuangan Perusahaan.
Pasal 19
Dalam hal pengalihan saham hasil pembelian kembali
merupakan:
a. Transaksi Afiliasi dan tidak mengandung Benturan
Kepentingan; atau
b. Transaksi Material,
maka Perusahaan hanya wajib memenuhi Peraturan ini.
BAB IV...
- 10 -
BAB IV
KETENTUAN SANKSI
Pasal 20
Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di
bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi terhadap setiap pihak yang melanggar
ketentuan Peraturan ini termasuk pihak yang menyebabkan
terjadinya pelanggaran tersebut.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Agustus 2013
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 Agustus 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 143
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA DIVISI BANTUAN HUKUM
DIREKTORAT HUKUM,
Ttd.
MUFLI ASMAWIDJAJA
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR: 2/POJK.04/2013
TENTANG
PEMBELIAN KEMBALI SAHAM YANG DIKELUARKAN OLEH EMITEN ATAU
PERUSAHAAN PUBLIK DALAM KONDISI PASAR YANG BERFLUKTUASI
SECARA SIGNIFIKAN
I. UMUM
Aksi korporasi pembelian kembali saham merupakan salah satu aksi korporasi
yang dapat dilakukan oleh Emiten atau Perusahaan Publik sebagaimana telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas dan Peraturan Bapepam dan LK Nomor XI.B.2, Lampiran Keputusan
Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-105/BL/2010 tanggal 13 April 2010
tentang Pembelian Kembali Saham yang Dikeluarkan oleh Emiten atau
Perusahaan Publik.
Bahwa dalam rangka mengurangi dampak pasar yang berfluktuasi secara
signifikan sehingga terjadi tekanan bursa saham domestik maka diperlukan
kemudahan bagi Emiten atau Perusahaan Publik untuk melakukan aksi
korporasi pembelian saham kembali tanpa melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan tetap menjaga terselenggaranya
perdagangan Efek yang teratur, wajar, dan efisien.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Otoritas Jasa Keuangan
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pembelian Kembali
Saham yang Dikeluarkan oleh Emiten atau Perusahaan Publik Dalam Kondisi
Pasar Yang Berfluktuasi Secara Signifikan.
II. PASAL...
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup Jelas
Pasal 4
Cukup Jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13...
- 3 -
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup Jelas
Pasal 16
Cukup Jelas
Pasal 17
Cukup Jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5439
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 2/POJK.04/2013 </reg_id>
<reg_title> PEMBELIAN KEMBALI SAHAM YANG DIKELUARKAN OLEH EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK DALAM KONDISI PASAR YANG BERFLUKTUASI SECARA SIGNIFIKAN </reg_title>
<set_date> 23 Agustus 2013 </set_date>
<effective_date> 26 Agustus 2013 </effective_date>
<issued_date> 26 Agustus 2013 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995', 'Kep-105/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010 | Lampiran Peraturan Bapepam dan LK Nomor XI.B.2', '40/UU/2007' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 45 /POJK.03/2017
TENTANG
PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT ATAU PEMBIAYAAN BANK BAGI
DAERAH TERTENTU DI INDONESIA YANG TERKENA BENCANA ALAM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang
: a. bahwa bencana alam yang telah beberapa kali melanda
berbagai daerah di Indonesia pada umumnya menimbulkan
dampak kerugian yang cukup signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi di daerah tertentu yang terkena
bencana alam;
b. bahwa letak Indonesia yang berada di wilayah yang rawan
terkena bencana alam menyebabkan Indonesia berpotensi
mengalami bencana alam;
c. bahwa salah satu upaya untuk mendukung pemulihan
kondisi perekonomian dilakukan dengan memberikan
perlakuan khusus terhadap kredit atau pembiayaan bank
dengan jumlah tertentu dan kredit atau pembiayaan yang
direstrukturisasi;
d. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di
sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa
Keuangan, diperlukan pengaturan kembali perlakuan
khusus terhadap kredit atau pembiayaan bank bagi daerah
tertentu di Indonesia yang terkena bencana alam;
- 2 -
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perlakuan
Khusus terhadap Kredit atau Pembiayaan Bank bagi
Daerah Tertentu di Indonesia yang Terkena Bencana Alam;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT ATAU PEMBIAYAAN
BANK BAGI DAERAH TERTENTU DI INDONESIA YANG
TERKENA BENCANA ALAM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud
dengan:
- 3 -
1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri serta Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Kredit bagi Bank Umum adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara
Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga, termasuk:
a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening
giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada
akhir hari;
b. pengambilalihan tagihan untuk kegiatan anjak
piutang; dan
c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.
3. Kredit bagi Bank Perkreditan Rakyat adalah penyediaan
uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-
meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan pemberian bunga.
4. Pembiayaan bagi Bank Umum Syariah (BUS) atau Unit
Usaha Syariah (UUS) adalah penyediaan dana atau tagihan
yang dipersamakan dengan itu berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan
musyarakah;
b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau
sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah,
salam, dan istishna’;
- 4 -
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang
qardh; dan
e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah
untuk transaksi multijasa,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara BUS
atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang
dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk
mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu
tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi
hasil.
5. Pembiayaan bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan
dengan itu berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan
musyarakah;
b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau
sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah,
salam, dan istishna’;
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang
qardh; dan
e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah
untuk transaksi multijasa,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara BPRS
dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai
dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana
tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan
ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
Pasal 2
(1) Penetapan kualitas Kredit bagi Bank Umum atau
Pembiayaan bagi BUS atau UUS dan/atau penyediaan dana
lain dari Bank bagi debitur dengan plafon sampai dengan
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) hanya didasarkan
pada ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga, atau
imbal hasil.
- 5 -
(2) Tata cara penetapan kualitas Kredit bagi Bank Umum atau
Pembiayaan bagi BUS atau UUS dan/atau penyediaan dana
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai penilaian kualitas aset bank umum dan
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah dan
unit usaha syariah.
(3) Plafon Kredit bagi Bank Umum atau Pembiayaan bagi BUS
atau UUS dan/atau penyediaan dana lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku baik untuk debitur
individual maupun kelompok debitur dan untuk seluruh
fasilitas yang diterima dari 1 (satu) Bank Umum atau BUS
atau UUS.
(4) Penetapan kualitas Kredit bagi Bank Umum atau
Pembiayaan bagi BUS atau UUS dan/atau penyediaan dana
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi
Kredit bagi Bank Umum atau Pembiayaan bagi BUS atau
UUS dan/atau penyediaan dana lain yang disalurkan
sebelum maupun setelah terjadinya bencana alam.
(5) Penetapan kualitas Kredit bagi Bank Umum atau
Pembiayaan bagi BUS atau UUS dan/atau penyediaan dana
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku
untuk Kredit bagi Bank Umum atau Pembiayaan bagi BUS
atau UUS dan/atau penyediaan dana lain yang disalurkan
kepada debitur dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di
daerah tertentu yang terkena bencana alam untuk jangka
waktu 3 (tiga) tahun sejak terjadinya bencana alam.
(6) Penetapan kualitas Kredit bagi Bank Perkreditan Rakyat
atau Pembiayaan bagi BPRS didasarkan pada ketepatan
pembayaran pokok dan/atau bunga, atau imbal hasil hanya
berlaku untuk Kredit bagi Bank Perkreditan Rakyat atau
Pembiayaan bagi BPRS yang disalurkan kepada debitur
dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di daerah tertentu
yang terkena bencana alam untuk jangka waktu 3 (tiga)
tahun sejak terjadinya bencana alam, baik yang disalurkan
sebelum maupun setelah terjadinya bencana alam.
- 6 -
(7) Tata cara penetapan kualitas Kredit bagi Bank Perkreditan
Rakyat atau Pembiayaan bagi BPRS sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai kualitas aktiva produktif
dan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva
produktif bank perkreditan rakyat atau ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai penilaian
kualitas aktiva bagi bank pembiayaan rakyat syariah.
Pasal 3
(1) Kualitas Kredit bagi Bank Umum atau Pembiayaan bagi
BUS atau UUS dan Kredit bagi Bank Perkreditan Rakyat
atau Pembiayaan bagi BPRS yang direstrukturisasi
ditetapkan Lancar sejak restrukturisasi sampai dengan
3 (tiga) tahun setelah terjadinya bencana alam.
(2) Pelaksanaan restrukturisasi Kredit bagi Bank Umum atau
Pembiayaan bagi BUS atau UUS dan restrukturisasi Kredit
bagi Bank Perkreditan Rakyat atau Pembiayaan bagi BPRS
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai penilaian kualitas aset bank umum,
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah dan
unit usaha syariah, ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai restrukturisasi pembiayaan bagi bank
syariah dan unit usaha syariah, ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai kualitas aktiva produktif
dan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva
produktif bank perkreditan rakyat atau ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai penilaian
kualitas aktiva bagi bank pembiayaan rakyat syariah.
(3) Restrukturisasi Kredit bagi Bank Umum atau Pembiayaan
bagi BUS atau UUS dan restrukturisasi Kredit bagi Bank
Perkreditan Rakyat atau Pembiayaan bagi BPRS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
terhadap kredit atau pembiayaan yang disalurkan sebelum
maupun setelah terjadinya bencana alam.
- 7 -
Pasal 4
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 hanya berlaku
untuk Kredit bagi Bank Umum atau Pembiayaan bagi BUS atau
UUS dan Kredit bagi Bank Perkreditan Rakyat atau Pembiayaan
bagi BPRS yang memenuhi persyaratan:
a. disalurkan kepada debitur dengan lokasi proyek atau lokasi
usaha di daerah tertentu yang terkena bencana alam;
b. telah atau diperkirakan akan mengalami kesulitan
pembayaran pokok dan/atau bunga kredit atau imbal hasil
pembiayaan yang disebabkan dampak dari bencana alam di
daerah tertentu; dan
c. direstrukturisasi setelah terjadinya bencana alam.
Pasal 5
Penetapan kualitas Kredit bagi Bank Umum atau Pembiayaan
bagi BUS atau UUS dan Kredit bagi Bank Perkreditan Rakyat
atau Pembiayaan bagi BPRS yang tidak direstrukturisasi
maupun yang direstrukturisasi setelah jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5), Pasal 2 ayat (6)
dan Pasal 3 ayat (1) mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai penilaian kualitas aset bank
umum, ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah dan unit
usaha syariah, ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai kualitas aktiva produktif dan pembentukan
penyisihan penghapusan aktiva produktif bank perkreditan
rakyat atau ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai penilaian kualitas aktiva bagi bank pembiayaan rakyat
syariah.
Pasal 6
Penentuan daerah tertentu yang terkena bencana alam
ditetapkan dalam suatu keputusan Dewan Komisioner Otoritas
Jasa Keuangan dengan memperhatikan aspek:
a. luas wilayah yang terkena bencana alam;
b. jumlah korban jiwa;
c.
jumlah kerugian materiil;
- 8 -
d. jumlah debitur yang diperkirakan terkena dampak bencana
alam;
e. persentase jumlah kredit atau pembiayaan yang diberikan
kepada debitur yang terkena dampak bencana alam
terhadap jumlah kredit atau pembiayaan di daerah yang
terkena bencana alam;
f.
persentase jumlah kredit atau pembiayaan dengan plafon
sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
terhadap jumlah kredit atau pembiayaan di daerah yang
terkena bencana alam; dan
g. aspek lainnya yang menurut Otoritas Jasa Keuangan perlu
untuk dipertimbangkan.
Pasal 7
(1) Bank dapat memberikan kredit atau pembiayaan dan/atau
penyediaan dana lain yang diberikan setelah terjadinya
bencana alam bagi debitur yang terkena dampak bencana
alam di daerah tertentu di Indonesia yang terkena bencana
alam.
(2) Penetapan kualitas kredit atau pembiayaan dan/atau
penyediaan dana lain yang diberikan setelah terjadinya
bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara terpisah dengan kualitas kredit atau
pembiayaan dan/atau penyediaan dana lain sebelumnya.
(3) Penetapan kualitas Kredit bagi Bank Umum atau
Pembiayaan bagi BUS atau UUS dan/atau penyediaan dana
lain yang diberikan setelah terjadinya bencana alam
sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
a. untuk kredit atau pembiayaan dan/atau penyediaan
dana lain yang diberikan setelah terjadinya bencana
alam
dengan plafon sampai dengan
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), penetapan
kualitas kredit atau pembiayaan mengacu pada
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1);
b. untuk kredit atau pembiayaan dan/atau penyediaan
dana lain yang diberikan setelah terjadinya bencana
- 9 -
alam dengan plafon lebih dari Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah), penetapan kualitas kredit atau
pembiayaan mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai penilaian kualitas aset
bank umum atau ketentuan Otoritas Jasa Keuangan
yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank
umum syariah dan unit usaha syariah.
(4) Penetapan kualitas Kredit bagi Bank Umum atau
Pembiayaan bagi BUS atau UUS dan/atau penyediaan dana
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a hanya
berlaku untuk Kredit bagi Bank Umum atau Pembiayaan
bagi BUS atau UUS dan/atau penyediaan dana lain yang
disalurkan kepada debitur dengan lokasi proyek atau lokasi
usaha di daerah tertentu yang terkena bencana alam untuk
jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak terjadinya bencana alam.
Pasal 8
Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan plafon kredit atau
pembiayaan dan/atau penyediaan dana lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (3), serta
jangka waktu penetapan kualitas kredit atau pembiayaan yang
tidak direstrukturisasi maupun yang direstrukturisasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5), Pasal 2 ayat (6)
Pasal 3 ayat (1), dan Pasal 7 ayat (4) yang berbeda dalam suatu
keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dengan
memperhatikan kondisi bencana alam yang terjadi di daerah
tertentu.
Pasal 9
(1) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku:
1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/17/PBI/2005
tentang Perlakuan Khusus terhadap Bank Perkreditan
Rakyat Pasca Bencana Alam di Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam dan Kabupaten Nias, Provinsi Sumatera
Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
- 10 -
2005 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4509);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/10/PBI/2006
tentang Perlakuan Khusus terhadap Kredit Bank Pasca
Bencana Alam di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
dan Daerah Sekitarnya di Propinsi Jawa Tengah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4626);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/15/PBI/2006
tentang Perlakuan Khusus terhadap Kredit Bank Bagi
Daerah-Daerah Tertentu di Indonesia yang Terkena
Bencana Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4641); dan
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/27/PBI/2009
tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 8/10/PBI/2006 tentang Perlakuan Khusus
terhadap Kredit Bank Pasca Bencana Alam di Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Sekitarnya di
Propinsi Jawa Tengah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 105, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5031),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan
mengenai penetapan sebagai daerah yang memerlukan
perlakuan khusus terhadap kredit bank atau pengaturan
bagi Bank yang sebelumnya mengacu pada ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi mengacu
pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
- 11 -
Pasal 10
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 151
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 12 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 45/POJK.03/2017
TENTANG
PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT ATAU PEMBIAYAAN BANK BAGI
DAERAH TERTENTU DI INDONESIA YANG TERKENA BENCANA ALAM
I. UMUM
Sebagaimana diketahui beberapa tahun terakhir ini sebagian wilayah di
Indonesia dilanda bencana alam dan beberapa wilayah lainnya rawan
terhadap potensi bencana alam. Dampak bencana alam ini dapat
mengganggu perekonomian Indonesia, khususnya di daerah yang terkena
bencana alam. Debitur yang terkena dampak bencana alam tersebut
diperkirakan akan mengalami kesulitan dalam melunasi kewajibannya
sesuai dengan perjanjian kredit atau pembiayaan.
Sehubungan dengan hal tersebut, Otoritas Jasa Keuangan perlu untuk
memberikan perlakuan khusus terhadap kredit atau pembiayaan Bank
berupa kelonggaran dalam penetapan kualitas kredit atau pembiayaan dan
terhadap pemberian kredit atau pembiayaan yang diberikan setelah
terjadinya bencana alam kepada debitur yang terkena dampak bencana alam
dimaksud.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
- 13 -
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penyediaan dana lain” adalah penerbitan
jaminan dan pembukaan letter of credit.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Restrukturisasi Kredit bagi Bank Umum atau Pembiayaan bagi
BUS dan UUS dan restrukturisasi Kredit bagi Bank Perkreditan
Rakyat atau Pembiayaan bagi BPRS dapat dilakukan terhadap
seluruh kredit atau pembiayaan yang diberikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
- 14 -
Pasal 7
Ayat (1)
Pemberian kredit atau pembiayaan dan/atau penyediaan dana lain
yang diberikan setelah terjadinya bencana alam tersebut dilakukan
secara selektif sesuai dengan kebijakan perkreditan atau
pembiayaan Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “penyediaan dana lain” adalah penerbitan
jaminan dan pembukaan letter of credit.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6094
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 45/POJK.03/2017 </reg_id>
<reg_title> PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT ATAU PEMBIAYAAN BANK BAGI DAERAH TERTENTU DI INDONESIA YANG TERKENA BENCANA ALAM </reg_title>
<set_date> 12 Juli 2017 </set_date>
<effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date>
<issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date>
<replaced_reg> '8/10/PBI/2006', '8/15/PBI/2006', '7/17/PBI/2005', '11/27/PBI/2009' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 18/POJK.04/2015
TENTANG
PENERBITAN DAN PERSYARATAN SUKUK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka mendorong perkembangan industri
Pasar Modal Syariah di Indonesia, diperlukan penyempurnaan
peraturan mengenai Penerbitan Efek Syariah dengan
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Penerbitan dan Persyaratan Sukuk;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENERBITAN DAN PERSYARATAN SUKUK.
- 2 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Sukuk adalah Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti
kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian
yang
tidak terpisahkan atau tidak terbagi
(syuyu’/undivided share), atas aset yang mendasarinya.
2. Tim Ahli Syariah adalah tim yang bertanggung jawab
terhadap kesesuaian syariah atas produk atau jasa
syariah di Pasar Modal yang diterbitkan atau dikeluarkan
perusahaan.
3. Prinsip Syariah di Pasar Modal adalah prinsip hukum
Islam dalam Kegiatan Syariah di Pasar Modal
berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis
Ulama Indonesia, sepanjang fatwa dimaksud tidak
bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal
dan/atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan lainnya
yang didasarkan pada fatwa Dewan Syariah Nasional -
Majelis Ulama Indonesia.
4. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang
bertanggung jawab memberikan nasihat dan saran serta
mengawasi pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal
terhadap Pihak yang melakukan Kegiatan Syariah di
Pasar Modal.
5. Akad Syariah adalah perjanjian atau kontrak tertulis
antara para pihak yang memuat hak dan kewajiban
masing-masing pihak yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah di Pasar Modal.
6. Ahli Syariah Pasar Modal yang selanjutnya disingkat
ASPM adalah:
a. orang perseorangan yang memiliki pengetahuan dan
pengalaman di bidang syariah; atau
b. badan usaha yang pengurus dan pegawainya
- 3 -
memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang
syariah,
yang memberikan nasihat dan/atau mengawasi
pelaksanaan penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal
dalam kegiatan usaha perusahaan dan/atau memberikan
pernyataan kesesuaian syariah atas produk atau jasa
syariah di Pasar Modal.
Pasal 2
Aset yang menjadi dasar Sukuk wajib tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal.
Pasal 3
Aset yang menjadi dasar Sukuk sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dapat terdiri atas:
a. aset berwujud tertentu (a’yan maujudat);
b.
nilai manfaat atas aset berwujud (manafiul a’yan)
tertentu baik yang sudah ada maupun yang akan ada;
c.
jasa (al khadamat) yang sudah ada maupun yang akan
ada;
d. aset proyek tertentu (maujudat masyru’ mu’ayyan);
dan/atau
e. kegiatan investasi yang telah ditentukan (nasyath
ististmarin khashah).
Pasal 4
Emiten yang melakukan Penawaran Umum Sukuk wajib
mematuhi ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal,
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dan peraturan
perundang-undangan lain di sektor Pasar Modal.
Pasal 5
(1) Emiten yang melakukan Penawaran Umum Sukuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib
mendapatkan pernyataan kesesuaian syariah atas Sukuk
- 4 -
dalam Penawaran Umum tersebut dari Dewan Pengawas
Syariah Emiten atau Tim Ahli Syariah.
(2) Pernyataan kesesuaian syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib:
a. disampaikan Emiten yang bukan merupakan
Perusahaan Menengah atau Kecil kepada Otoritas
Jasa Keuangan sebelum Emiten dapat memulai
mengumumkan Prospektus Ringkas serta dimuat
dalam Prospektus Ringkas dan Prospektus; atau
b. disampaikan Emiten yang merupakan Perusahaan
Menengah atau Kecil kepada Otoritas Jasa
Keuangan sebelum Emiten dapat memulai
mengumumkan Prospektus Awal dan Prospektus
serta dimuat dalam Prospektus Awal dan
Prospektus.
(3) Anggota Dewan Pengawas Syariah atau anggota Tim Ahli
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memiliki izin ASPM sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar
Modal.
BAB II
PENERBITAN
Pasal 6
Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum
Sukuk wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di
sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan
Pendaftaran, Penawaran Umum, dan peraturan terkait
lainnya, serta Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 7
Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum
Sukuk oleh Emiten wajib disertai dokumen tambahan sebagai
berikut:
a.
hasil pemeringkatan Sukuk sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar
- 5 -
Modal yang mengatur mengenai Pemeringkatan Efek
Bersifat Utang dan/atau Sukuk;
b. perjanjian perwaliamanatan Sukuk;
c. Akad Syariah yang dipergunakan dalam penerbitan
Sukuk;
d. surat pernyataan Emiten yang menyatakan bahwa:
1. aset yang menjadi dasar Sukuk tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; dan
2. selama periode Sukuk, aset yang menjadi dasar
Sukuk tidak akan bertentangan dengan Prinsip
Syariah di Pasar Modal;
e. surat pernyataan dari Wali Amanat Sukuk yang
menyatakan Wali Amanat Sukuk mempunyai 1 (satu)
orang anggota Direksi atau penanggung jawab kegiatan
yang diberi mandat oleh Direksi yang memiliki
pengetahuan yang memadai dan/atau pengalaman di
bidang keuangan syariah dan/atau tenaga ahli di bidang
perwaliamanatan dalam penerbitan Sukuk yang
memahami kegiatan dan jenis usaha serta transaksi yang
bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal;
f.
surat pernyataan yang menyatakan bahwa Emiten wajib
dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab
melakukan pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal
jasa, selama aset yang menjadi dasar Sukuk masih ada;
g. pernyataan kesesuaian syariah atas Sukuk dalam
Penawaran Umum dari Dewan Pengawas Syariah Emiten
atau Tim Ahli Syariah; dan
h. perjanjian penjaminan Emisi Efek yang memuat bahwa
dana hasil Penawaran Umum diterima Emiten paling
lambat pada saat penyerahan Sukuk.
Pasal 8
Prospektus dalam rangka Pernyataan Pendaftaran dan
Penawaran Umum Sukuk oleh Emiten sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 wajib mengungkapkan informasi tambahan
sebagai berikut:
- 6 -
a. aset yang menjadi dasar Sukuk tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal dan Emiten
menjamin selama periode Sukuk aset yang menjadi dasar
Sukuk tidak akan bertentangan dengan Prinsip Syariah
di Pasar Modal;
b.
jenis Akad Syariah dan skema transaksi syariah serta
penjelasan skema transaksi syariah yang digunakan
dalam penerbitan Sukuk;
c. ringkasan Akad Syariah yang dilakukan oleh para Pihak;
d. sumber pendapatan yang menjadi dasar penghitungan
pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa sesuai
dengan karakteristik Akad Syariah;
e. besaran nisbah pembayaran bagi hasil, marjin, atau
imbal jasa sesuai dengan karakteristik Akad Syariah;
f.
rencana jadwal dan tata cara pembagian dan/atau
pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa sesuai
dengan karakteristik Akad Syariah;
g. hasil pemeringkatan Sukuk;
h. rencana penggunaan dana hasil penerbitan Sukuk sesuai
dengan karakteristik Akad Syariah;
i. sumber dana yang digunakan untuk melakukan
pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa sesuai
dengan karakteristik Akad Syariah;
j.
jaminan yang meliputi paling sedikit jenis, nilai, dan
status kepemilikan (jika ada);
k. penggantian aset yang menjadi dasar Sukuk jika terjadi
hal-hal yang menyebabkan nilainya tidak lagi sesuai
dengan nilai Sukuk yang diterbitkan (jika diperlukan
sesuai karakteristik Akad Syariah);
l.
syarat dan ketentuan dalam hal Emiten akan mengubah
jenis Akad Syariah, isi Akad Syariah dan/atau aset yang
menjadi dasar Sukuk;
m. ketentuan apabila Emiten gagal dalam memenuhi
kewajibannya;
n. mekanisme penanganan dalam hal Emiten gagal dalam
memenuhi kewajibannya;
- 7 -
o. ketentuan mengenai sanksi yang berkaitan dengan tidak
dipenuhinya
kewajiban
perwaliamanatan; dan
p. pernyataan kesesuaian syariah atas Sukuk dalam
Penawaran Umum dari Dewan Pengawas Syariah Emiten
atau Tim Ahli Syariah.
Pasal 9
Emiten wajib menyajikan Laporan Keuangan yang telah
diaudit untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terakhir dalam
Prospektus, dalam hal Emiten yang melakukan Penawaran
Umum Sukuk telah memiliki kewajiban penyampaian laporan
keuangan secara berkala.
BAB III
PERUBAHAN STATUS SUKUK
Pasal 10
(1) Sukuk tidak lagi menjadi Efek Syariah jika terjadi kondisi
sebagai berikut:
a. tidak lagi memiliki aset yang menjadi dasar Sukuk;
dan/atau
b.
terjadi perubahan jenis Akad Syariah, isi Akad
Syariah, dan/atau aset yang menjadi dasar Sukuk,
yang menyebabkan bertentangan dengan Prinsip
Syariah di Pasar Modal.
(2) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Sukuk berubah menjadi utang piutang dan
Emiten wajib menyelesaikan kewajiban atas utang
piutang dimaksud kepada pemegang Sukuk.
BAB IV
PENGGUNAAN DANA HASIL PENAWARAN UMUM
Pasal 11
Emiten wajib menggunakan dana hasil Penawaran Umum
Sukuk untuk membiayai kegiatan atau melakukan investasi
dalam
perjanjian
- 8 -
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar
Modal.
BAB V
PERJANJIAN PERWALIAMANATAN SUKUK
Pasal 12
(1) Emiten yang melakukan Penawaran Umum Sukuk wajib
menyusun perjanjian perwaliamanatan Sukuk.
(2) Ketentuan mengenai perjanjian perwaliamanatan dalam
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai ketentuan umum dan kontrak
perwaliamanatan Efek bersifat utang berlaku mutatis
mutandis
untuk
perwaliamanatan Sukuk.
(3) Perjanjian
perwaliamanatan Sukuk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memuat ketentuan
tambahan antara lain:
a. uraian tentang Akad Syariah yang menjadi dasar
Sukuk;
b. uraian tentang aset yang menjadi dasar Sukuk;
c. penggunaan dana hasil penerbitan Sukuk sesuai
dengan karakteristik Akad Syariah;
d. sumber dana yang digunakan untuk melakukan
pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa
sesuai dengan karakteristik Akad Syariah;
e. besaran nisbah pembayaran bagi hasil, marjin, atau
imbal jasa sesuai dengan karakteristik Akad
Syariah;
f.
jaminan yang meliputi paling sedikit jenis, nilai dan
status kepemilikan (jika ada);
g. rencana jadwal dan tata cara pembagian dan/atau
pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa
sesuai dengan karakteristik Akad Syariah;
h. uraian tentang kewajiban Wali Amanat Sukuk untuk
mengambil segala tindakan yang diperlukan:
penyusunan
perjanjian
- 9 -
1. untuk memastikan kepatuhan Emiten terhadap
pemenuhan Akad Syariah;
2. untuk memastikan aset yang menjadi dasar
Sukuk tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah di Pasar Modal;
3. dalam hal Emiten melakukan pelanggaran atas
pemenuhan kepatuhan terhadap penerapan
Prinsip Syariah di Pasar Modal atau
pelanggaran kewajiban dalam Akad Syariah
dan/atau perjanjian
(wanprestasi); dan
perwaliamanatan
4. untuk tetap mewakili kepentingan pemegang
Sukuk sampai dengan terpenuhinya
penyelesaian seluruh kewajiban Emiten kepada
yang bersangkutan ketika Sukuk berubah
menjadi utang piutang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (2).
i.
ketentuan mengenai nilai Sukuk menjadi utang
piutang jika Sukuk berubah menjadi utang piutang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan
penyelesaian kewajiban Emiten atas utang piutang
dimaksud;
j.
kewajiban Wali Amanat tetap mewakili kepentingan
pemegang Sukuk sampai dengan seluruh haknya
dipenuhi Emiten termasuk jika Sukuk berubah
menjadi utang piutang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (2);
k. penggantian aset yang menjadi dasar Sukuk jika
terjadi hal-hal yang menyebabkan nilainya tidak lagi
sesuai dengan nilai Sukuk yang diterbitkan (jika
diperlukan sesuai karakteristik Akad Syariah);
l.
syarat dan ketentuan dalam hal Emiten akan
mengubah jenis Akad Syariah, isi Akad Syariah,
dan/atau aset yang menjadi dasar Sukuk yang
memuat:
- 10 -
1. perubahan tersebut hanya dapat dilakukan
setelah terlebih dahulu disetujui oleh Rapat
Umum Pemegang Sukuk (RUP Sukuk);
2. mekanisme pemenuhan hak pemegang Sukuk
yang tidak setuju terhadap perubahan
dimaksud; dan
3. perubahan hanya dapat dilakukan jika ada
pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan
Pengawas Syariah Emiten atau Tim Ahli
Syariah.
m. ketentuan mengenai kegagalan Emiten dalam
memenuhi kewajibannya;
n. mekanisme penanganan dan/atau penyelesaian
dalam hal Emiten gagal dalam memenuhi
kewajibannya sebagaimana dimaksud pada huruf m
dengan memperhatikan Prinsip Syariah di Pasar
Modal; dan
o. ketentuan mengenai sanksi yang berkaitan dengan
tidak dipenuhinya kewajiban dalam perjanjian
perwaliamanatan.
Pasal 13
Ketentuan mengenai tugas dan tanggung jawab Wali Amanat
dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai ketentuan umum dan kontrak
perwaliamanatan Efek bersifat utang berlaku mutatis
mutandis bagi Wali Amanat Sukuk.
BAB VI
KETENTUAN SANKSI
Pasal 14
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
- 11 -
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 15
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 16
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 kepada masyarakat.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 17
(1) Kewajiban anggota Dewan Pengawas Syariah atau Tim
Ahli Syariah memiliki izin ASPM sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (3) selama 2 (dua) tahun sejak
- 12 -
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku dapat
digantikan oleh orang perseorangan yang memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1)
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah
Pasar Modal sepanjang yang bersangkutan melapor
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam)
bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar Modal.
(2) Orang perseorangan yang telah menyampaikan laporan
kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat menjadi anggota Dewan Pengawas
Syariah atau anggota Tim Ahli Syariah meskipun belum
memiliki izin ASPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (3) paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah
Pasar Modal.
Pasal 18
Pernyataan Pendaftaran yang telah diterima oleh Otoritas Jasa
Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini namun belum menjadi efektif tetap mengikuti
Peraturan Nomor IX.A.13, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-
181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang Penerbitan Efek
Syariah.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, angka 3 Peraturan Nomor IX.A.13, Lampiran
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor: KEP-181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009
tentang Penerbitan Efek Syariah dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
- 13 -
Pasal 20
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 November 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 November 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H.LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 269
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 18/POJK.04/2015
TENTANG
PENERBITAN DAN PERSYARATAN SUKUK
I. UMUM
Dalam rangka pengembangan Pasar Modal syariah agar dapat
tumbuh stabil dan berkelanjutan diperlukan pengembangan infrastruktur
pasar yang memadai. Salah satu infrastruktur penting adalah tersedianya
regulasi yang jelas dan mudah dipahami serta diterapkan sehingga
regulasi tersebut menjadi regulasi yang dapat diterima pasar (market
friendly). Selanjutnya, mengingat Efek Syariah memiliki karakteristik yang
khusus maka diperlukan pengaturan yang sesuai dengan karakteristik
masing-masing jenis Efeknya.
Dinamika perkembangan Pasar Modal syariah menuntut adanya
penyempurnaan atas Peraturan Nomor IX.A.13, Lampiran Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-
181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang Penerbitan Efek Syariah,
mengingat peraturan tersebut mengatur penerbitan berbagai jenis Efek
Syariah. Melihat kondisi tersebut, maka diperlukan adanya ketentuan
khusus yang sesuai untuk setiap jenis Efek Syariah. Hal tersebut sejalan
dengan praktik yang berlaku umum (common practice) dan standar
internasional. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini merupakan salah
satu dari 5 (lima) peraturan yang berasal dari Peraturan Nomor IX.A.13,
Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor: KEP-181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang
Penerbitan Efek Syariah namun khusus mengatur mengenai penerbitan
- 2 -
Sukuk sekaligus menyempurnakan ketentuan yang ada di Peraturan
Nomor IX.A.13.
Adapun beberapa pokok penyempurnaan peraturan penerbitan
Sukuk tersebut antara lain meliputi penyempurnaan definisi Sukuk,
pengaturan aset atau kegiatan usaha yang menjadi dasar Sukuk dan
penerbitan Sukuk (underlying asset), pengaturan perjanjian
perwaliamanatan, pengaturan mengenai peran Dewan Pengawas Syariah
atau Tim Ahli Syariah dalam penerbitan Sukuk, dan simplifikasi dokumen
Pernyataan Pendaftaran Penawaran Umum Sukuk.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Yang dimaksud dengan “aset yang menjadi dasar Sukuk” adalah aset
yang menjadi dasar penerbitan Sukuk maupun selama umur Sukuk.
Contoh aset yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar
Modal adalah barang/jasa/aset tidak berwujud terkait kegiatan:
a. perjudian dan permainan yang tergolong judi;
b. jasa keuangan ribawi;
c.
jual beli risiko yang mengandung unsur ketidakpastian (gharar)
dan/atau judi (maisir); dan
d. memproduksi, mendistribusikan, memperdagangkan, dan/atau
menyediakan antara lain:
1. barang atau jasa haram zatnya (haram li-dzatihi);
2. barang atau jasa haram bukan karena zatnya (haram li-
ghairihi) yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional -
Majelis Ulama Indonesia; dan/atau
3. barang atau jasa yang merusak moral dan bersifat
mudarat.
Pasal 3
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Dalam hal Emiten mempunyai Dewan Pengawas Syariah,
pernyataan kesesuaian syariah atas Sukuk yang diterbitkan oleh
Emiten dapat diterbitkan oleh Dewan Pengawas Syariah Emiten
dimaksud. Dalam hal Emiten tidak mempunyai Dewan
Pengawas Syariah, maka pernyataan kesesuaian syariah atas
Sukuk dalam Penawaran Umum dilakukan oleh Tim Ahli
Syariah yang ditunjuk oleh Emiten.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Prospektus adalah Prospektus
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pasar
Modal.
Yang dimaksud dengan Prospektus Awal adalah Prospektus Awal
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di
sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Prospektus Awal.
Yang dimaksud dengan Prospektus Ringkas adalah Prospektus
Ringkas sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai
Prospektus Ringkas dalam rangka Penawaran Umum.
Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai Prospektus Awal adalah Peraturan
Nomor IX.A.8, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal Nomor: KEP-41/PM/2000 tanggal 27 Oktober 2000
tentang Perubahan Peraturan Nomor IX.A.8 tentang Prospektus
Awal dan Info Memo.
Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Prospektus Ringkas adalah Peraturan
Nomor IX.C.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal Nomor: KEP-43/PM/2000 tanggal 27 Oktober 2000
tentang Perubahan Peraturan Nomor IX.C.3 tentang Pedoman
- 4 -
Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus Ringkas Dalam Rangka
Penawaran Umum.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran dan Penawaran Umum
antara lain sebagai berikut:
a. Peraturan Nomor IX.A.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-44/PM/1996 tanggal
17 Januari 1996 tentang Tata Cara Untuk Meminta Perubahan
Dan Atau Tambahan Informasi Atas Pernyataan Pendaftaran;
b. Peraturan Nomor IX.C.2, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-51/PM/1996 tanggal
17 Januari 1996 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi
Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum;
c. Peraturan Nomor IX.A.8, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-41/PM/2000 tanggal
27 Oktober 2000 tentang Prospektus Awal dan Info Memo;
d. Peraturan Nomor IX.C.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-42/PM/2000 tanggal
27 Oktober 2000 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi
Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum;
e. Peraturan Nomor IX.C.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-43/PM/2000 tanggal
27 Oktober 2000 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi
Prospektus Ringkas Dalam Rangka Penawaran Umum;
f.
Peraturan Nomor IX.A.6, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-06/PM/2001 tanggal
8 Maret 2001 tentang Pembatasan Atas Saham Yang Diterbitkan
Sebelum Penawaran Umum;
g. Peraturan Nomor IX.A.2, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor:
KEP-122/BL/2009 tanggal 29 Mei 2009 tentang Tata Cara
Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum;
- 5 -
h. Peraturan Nomor IX.A.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor:
KEP-690/BL/2011 tanggal 30 Desember 2011 tentang
Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran;
i.
Peraturan Nomor IX.A.7, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor:
KEP-691/BL/2011 tanggal 30 Desember 2011 tentang
Pemesanan dan Penjatahan Efek Dalam Penawaran Umum; dan
j.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 36/POJK.04/2014
tentang Penawaran Umum Berkelanjutan Efek Bersifat Utang
dan/atau Sukuk.
Pasal 7
Huruf a
Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Pemeringkatan Efek Bersifat Utang
dan/atau Sukuk adalah Peraturan Nomor IX.C.11 Lampiran
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-
712/BL/2012 tanggal 26 Desember 2012 tentang Pemeringkatan
Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk.
Huruf b
Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai perjanjian perwaliamanatan Sukuk adalah
Peraturan Nomor VI.C.4, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-
412/BL/2010 tanggal 6 September 2010 tentang Ketentuan
Umum dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang.
Huruf c
Jenis-jenis Akad Syariah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai akad-
akad yang digunakan dalam penerbitan Efek syariah di Pasar
Modal yaitu Ijarah, Istishna, Kafalah, Mudharabah, Musyarakah,
Wakalah, dan akad lainnya yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah di Pasar Modal.
- 6 -
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 8
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
- 7 -
Huruf m
Yang dimaksud dengan “gagal dalam memenuhi kewajibannya”
adalah tidak memenuhi kewajiban keuangan dan/atau gagal
mematuhi Prinsip Syariah di Pasar Modal.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan kontrak
perwaliamanatan Efek bersifat utang adalah Peraturan Nomor
VI.C.4, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal
Nomor
Kep-412/BL/2010
tanggal
6 September 2010 tentang Ketentuan Umum dan Kontrak
Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
- 8 -
Huruf b
Uraian tentang aset yang menjadi dasar Sukuk paling
sedikit terdiri dari jenis/bentuk aset, lokasi aset, status
kepemilikan aset, status aset (sebagai jaminan atau tidak)
dan implikasi hukum dan ekonomi yang menyertainya (jika
ada), serta nilai aset berdasarkan hasil penilaian dari
Penilai.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “pelanggaran atas pemenuhan
kepatuhan terhadap penerapan Prinsip Syariah di
Pasar Modal” antara lain berupa pelanggaran atas
Akad Syariah dan/atau aset yang menjadi dasar
Sukuk.
Yang dimaksud dengan “pelanggaran kewajiban dalam
Akad Syariah dan/atau perjanjian perwaliamanatan
(wanprestasi)” antara lain Emiten tidak membayar bagi
hasil, marjin, imbal jasa atau nilai pokok Sukuk sesuai
dengan perjanjian.
Angka 4
Cukup jelas.
- 9 -
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Yang dimaksud dengan “nilainya tidak lagi sesuai dengan
nilai Sukuk yang diterbitkan” adalah nilai objek yang
menjadi dasar Sukuk mengalami perubahan dan tidak
cukup digunakan sebagai dasar dalam pembayaran bagi
hasil, marjin, imbal jasa (fee), atau nilai pokok Sukuk.
Huruf l
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Contoh mekanisme pemenuhan hak pemegang Sukuk
yang tidak setuju terhadap perubahan dimaksud
adalah pembelian kembali Sukuk atau pembatalan
terhadap perubahan dimaksud.
Angka 3
Pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Pengawas
Syariah Emiten atau Tim Ahli Syariah diperoleh
sebelum dilaksanakannya Rapat Umum Pemegang
Sukuk (RUP Sukuk).
Huruf m
Yang dimaksud dengan “gagal dalam memenuhi
kewajibannya” adalah tidak memenuhi kewajiban finansial
dan/atau kepatuhan terhadap Prinsip Syariah di Pasar
Modal.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Pasal 13
Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan kontrak perwaliamanatan
- 10 -
Efek bersifat utang adalah Peraturan Nomor VI.C.4 Lampiran
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-
412/BL/2010 tanggal 6 September 2010 tentang Ketentuan Umum
dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa:
a. penundaan pemberian pernyataan efektif, misalnya pernyataan
efektif untuk penggabungan usaha, peleburan usaha; dan
b. penundaan pemberian pernyataan Otoritas Jasa Keuangan
bahwa tidak ada tanggapan lebih lanjut atas dokumen yang
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka
penambahan modal dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu
Perusahaan Terbuka.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5758
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 18/POJK.04/2015 </reg_id>
<reg_title> PENERBITAN DAN PERSYARATAN SUKUK </reg_title>
<set_date> 3 November 2015 </set_date>
<effective_date> 10 November 2015 </effective_date>
<issued_date> 10 November 2015 </issued_date>
<replaced_reg> 'KEP-181/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.13 angka 3' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 38 /POJK.05/2015
TENTANG
PENDAFTARAN DAN PENGAWASAN KONSULTAN AKTUARIA,
AKUNTAN PUBLIK, DAN PENILAI YANG MELAKUKAN KEGIATAN
DI INDUSTRI KEUANGAN NON-BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan Industri Keuangan
Non-Bank yang sehat dan stabil serta untuk
melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat
diperlukan konsultan aktuaria, akuntan publik, dan
penilai yang profesional;
b. bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum
dan meningkatkan profesionalisme bagi konsultan
aktuaria, akuntan publik, dan penilai dalam
melakukan kegiatan di Industri Keuangan Non-Bank
diperlukan pengaturan mengenai pendaftaran dan
pengawasan konsultan aktuaria, akuntan publik, dan
penilai yang melakukan kegiatan di Industri Keuangan
Non-Bank;
c. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 55 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian, perlu mengatur mengenai persyaratan
dan tata cara pendaftaran konsultan aktuaria, akuntan
publik, dan penilai;
- 2 -
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Pendaftaran dan Pengawasan Konsultan
Aktuaria, Akuntan Publik, dan Penilai yang Melakukan
Kegiatan di Industri Keuangan Non-Bank;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENDAFTARAN DAN PENGAWASAN KONSULTAN
AKTUARIA, AKUNTAN PUBLIK, DAN PENILAI YANG
MELAKUKAN KEGIATAN DI INDUSTRI KEUANGAN NON-
BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang
dimaksud dengan:
1. Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank yang selanjutnya
disingkat LJKNB adalah lembaga yang melaksanakan
kegiatan di sektor perasuransian, dana pensiun,
lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan, termasuk yang menyelenggarakan seluruh
atau sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah.
- 3 -
2.
Industri Keuangan Non-Bank yang selanjutnya
disingkat IKNB adalah industri keuangan yang terdiri
dari LJKNB.
3. Konsultan Aktuaria adalah aktuaris yang bekerja pada
kantor konsultan aktuaria dan memberikan jasa di
sektor IKNB.
4. Akuntan Publik adalah akuntan publik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2011 tentang Akuntan Publik dan memberikan jasa di
sektor IKNB.
5.
Penilai adalah seseorang yang dengan keahliannya
menjalankan kegiatan penilaian aset dan memberikan
jasa di sektor IKNB.
6. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
BAB II
RUANG LINGKUP PENDAFTARAN
KONSULTAN AKTUARIA, AKUNTAN PUBLIK, DAN PENILAI
Bagian Kesatu
Kewajiban Pendaftaran Konsultan Aktuaria,
Akuntan Publik, dan Penilai
Pasal 2
(1) Untuk dapat menyediakan jasa bagi LJKNB, Konsultan
Aktuaria, Akuntan Publik, dan Penilai wajib terlebih
dahulu terdaftar di OJK sebagai penyedia jasa di sektor
IKNB.
(2) Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
jasa yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor IKNB atau berdasarkan
rekomendasi OJK dalam rangka pengawasan LJKNB.
- 4 -
Pasal 3
LJKNB dilarang menggunakan jasa yang dipersyaratkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dari
Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, dan Penilai yang tidak
terdaftar di OJK.
Bagian Kedua
Masa Pemberian Jasa
Pasal 4
(1) Konsultan Aktuaria dilarang memberikan jasa yang
dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) kepada LJKNB yang sama lebih dari 3 (tiga) kali
berturut-turut.
(2) Dalam hal Konsultan Aktuaria telah memberikan jasa
yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) kepada LJKNB yang sama selama 3
(tiga) kali berturut-turut, maka Konsultan Aktuaria
yang bersangkutan baru dapat memberikan kembali
jasa yang dipersyaratkan kepada LJKNB yang sama
setelah 1 (satu) kali tidak memberikan jasa yang
dipersyaratkan.
Pasal 5
(1) Akuntan Publik dilarang memberikan jasa yang
dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) kepada LJKNB yang sama lebih dari 5 (lima)
tahun buku berturut-turut.
(2) Dalam hal Akuntan Publik telah memberikan jasa yang
dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) kepada LJKNB yang sama selama 5 (lima)
tahun buku berturut-turut, maka Akuntan Publik yang
bersangkutan baru dapat memberikan kembali jasa
yang dipersyaratkan kepada LJKNB yang sama setelah
2 (dua) tahun buku.
- 5 -
Pasal 6
(1) Penilai dilarang memberikan jasa yang dipersyaratkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) kepada
LJKNB yang sama lebih dari 3 (tiga) tahun buku
berturut-turut.
(2) Dalam hal Penilai telah memberikan jasa yang
dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) kepada LJKNB yang sama selama 3 (tiga) tahun
buku berturut-turut, maka Penilai yang bersangkutan
baru dapat memberikan kembali
jasa
yang
dipersyaratkan kepada LJKNB yang sama setelah 3
(tiga) tahun buku.
BAB III
PERSYARATAN DAN TATA CARA PENDAFTARAN
KONSULTAN AKTUARIA, AKUNTAN PUBLIK, DAN PENILAI
Pasal 7
Untuk dapat terdaftar di OJK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1), Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, dan
Penilai harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki izin praktik dari Menteri Keuangan;
b.
tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau
dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di
bidang keuangan serta tidak memiliki kredit macet;
c. memiliki pengalaman dan kompetensi di sektor IKNB;
dan
d. tidak pernah dikenakan sanksi pembatalan surat
tanda terdaftar sebagai Konsultan Aktuaria, Akuntan
Publik, atau Penilai dari OJK.
Pasal 8
(1) Pendaftaran Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, dan
Penilai didasarkan pada permohonan pendaftaran.
(2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan yang bersangkutan kepada OJK
dan disertai dokumen sebagai berikut:
- 6 -
a.
fotokopi izin praktik dari Menteri Keuangan;
b. daftar riwayat hidup terbaru yang telah
ditandatangani;
c.
d.
e.
f.
fotokopi ijazah pendidikan formal terakhir;
fotokopi nomor pokok wajib pajak;
fotokopi sertifikat program pelatihan di sektor
IKNB;
surat pernyataan bermeterai yang menyatakan
bahwa yang
bersangkutan
tidak
pernah
melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum
karena terbukti melakukan tindak pidana di
bidang keuangan serta tidak memiliki kredit
macet; dan
g.
formulir permohonan pendaftaran.
(3) Dalam hal Akuntan Publik atau Penilai telah terdaftar
di OJK selain
di sektor IKNB, permohonan
pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan yang bersangkutan kepada OJK dan
disertai dokumen sebagai berikut:
a.
fotokopi surat tanda terdaftar yang diterbitkan
OJK;
b. surat pernyataan bermeterai yang menyatakan
bahwa yang
bersangkutan
tidak
pernah
melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum
karena terbukti melakukan tindak pidana di
bidang keuangan serta tidak memiliki kredit
macet;
c.
d.
fotokopi sertifikat program pelatihan di bidang
IKNB; dan
formulir permohonan pendaftaran.
(4) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan secara elektronik.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata
cara permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK.
- 7 -
Pasal 9
(1) OJK menyetujui atau menolak permohonan
pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(1) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari
kerja sejak permohonan pendaftaran diterima secara
lengkap.
(2) Dalam hal permohonan pendaftaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) tidak lengkap, OJK
memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon
yang menyatakan bahwa permohonan pendaftaran tidak
lengkap dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh)
hari kerja sejak permohonan pendaftaran diterima.
(3) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan dokumen
yang dipersyaratkan dalam waktu 20 (dua puluh) hari
kerja setelah tanggal surat pemberitahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dianggap telah membatalkan
permohonan pendaftaran.
(4) Dalam hal permohonan pendaftaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) disetujui, OJK
menerbitkan surat tanda terdaftar kepada pemohon.
(5) Dalam hal setelah 20 (dua puluh) hari kerja sejak
permohonan pendaftaran diterima OJK, OJK belum
menerbitkan surat pemberitahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) atau surat tanda terdaftar
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Konsultan
Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai dapat
memberikan jasa kepada LJKNB.
(6) Dalam hal setelah Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik,
atau Penilai memberikan jasa kepada LJKNB
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diketahui bahwa
terdapat kekurangan atau ketidaksesuaian dokumen
yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2), OJK menerbitkan surat pemberitahuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai larangan
bagi Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai
untuk memberikan jasa kepada LJKNB.
- 8 -
(7) OJK mengumumkan Konsultan Aktuaria, Akuntan
Publik, atau Penilai yang memiliki surat tanda terdaftar
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melalui situs web
OJK.
BAB IV
KEWAJIBAN KONSULTAN AKTUARIA,
AKUNTAN PUBLIK, DAN PENILAI
Pasal 10
(1) Setiap Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, dan
Penilai yang memiliki surat tanda terdaftar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4)
wajib:
a. bersikap independen, objektif, dan profesional
dalam memberikan jasanya;
b. menjadi anggota asosiasi profesi yang diakui oleh
Menteri Keuangan;
c. menaati standar profesi dan kode etik yang
ditetapkan oleh asosiasi profesi yang diakui oleh
Menteri Keuangan;
d. memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan di sektor IKNB;
e. menyampaikan laporan kepada OJK sesuai
dengan batas waktu penyampaian laporan;
f. mengikuti program pendidikan berkelanjutan;
dan
g. menyampaikan informasi mengenai pelanggaran
yang dilakukan oleh LJKNB terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di
sektor jasa keuangan dan/atau di OJK, serta
kondisi atau perkiraan kondisi yang dapat
membahayakan kelangsungan usaha LJKNB
atau para pemangku kepentingan.
(2) Kewajiban bersikap independen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dipenuhi paling
sedikit dengan memenuhi kondisi:
- 9 -
a. tidak mempunyai kepentingan keuangan yang
material dengan LJKNB;
b. tidak mempunyai hubungan pekerjaan dengan
LJKNB;
c.
tidak mempunyai hubungan keluarga karena
perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua
baik secara horizontal maupun vertikal dengan
direksi dan/atau dewan komisaris atau yang
setara pada LJKNB;
d. tidak mempunyai hubungan usaha yang material
dengan LJKNB, karyawan kunci LJKNB, atau
pemegang saham pengendali LJKNB atau yang
setara;
e.
f.
tidak memiliki sengketa hukum dengan LJKNB;
dan
tidak terdapat hal-hal lain yang dapat
menimbulkan konflik kepentingan antara LJKNB
dan Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau
Penilai.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
berupa:
a. laporan mengikuti program pendidikan
berkelanjutan;
b. laporan
perubahan data dan informasi
Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau
Penilai; dan
c. laporan
mengenai
pelanggaran
ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di
sektor jasa keuangan dan/atau di OJK yang
dilakukan oleh LJKNB, serta kondisi atau
perkiraan kondisi yang dapat membahayakan
kelangsungan usaha LJKNB atau para pemangku
kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf g.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
dan program pendidikan berkelanjutan sebagaimana
- 10 -
dimaksud pada ayat (1) huruf f diatur dalam Surat
Edaran OJK.
BAB V
PENGHENTIAN PEMBERIAN JASA, PENGUNDURAN DIRI,
DAN TIDAK BERLAKUNYA SURAT TANDA TERDAFTAR
KONSULTAN AKTUARIA, AKUNTAN PUBLIK, DAN PENILAI
Bagian Kesatu
Penghentian Pemberian Jasa untuk
Sementara Waktu atas Permintaan Sendiri
Pasal 11
(1) Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai
dapat mengajukan permohonan persetujuan
penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu
atas permintaan sendiri kepada OJK.
(2) Permohonan persetujuan penghentian pemberian jasa
untuk sementara waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diajukan oleh Konsultan Aktuaria, Akuntan
Publik, atau Penilai yang bersangkutan secara tertulis
kepada OJK dengan melampirkan:
a. alasan penghentian pemberian jasa untuk
sementara waktu atas permintaan sendiri;
b. surat pernyataan bermeterai yang menyatakan
bahwa yang bersangkutan tidak sedang dalam
perikatan dengan LJKNB; dan
c.
formulir penghentian pemberian jasa untuk
sementara waktu atas permintaan sendiri.
(3) OJK menerbitkan persetujuan penghentian pemberian
jasa untuk sementara waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) setelah Konsultan Aktuaria, Akuntan
Publik, dan Penilai menyampaikan permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka
waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak
permohonan diterima secara lengkap.
- 11 -
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara
permohonan persetujuan penghentian pemberian jasa
untuk sementara waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 12
Persetujuan penghentian pemberian jasa untuk sementara
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
diberikan untuk jangka waktu paling singkat 1 (satu)
tahun.
Pasal 13
(1) Surat tanda terdaftar Konsultan Aktuaria, Akuntan
Publik, atau Penilai dinyatakan tidak berlaku untuk
sementara waktu oleh OJK dalam hal:
a. yang bersangkutan telah mendapat surat
persetujuan penghentian pemberian jasa untuk
sementara waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (3);
b. yang bersangkutan
memiliki persetujuan
penghentian pemberian jasa untuk sementara
waktu yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan;
atau
c. yang bersangkutan belum memperpanjang izin
praktik dari Menteri Keuangan dalam hal masa
berlaku izin telah berakhir.
(2) Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai
dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1) selama surat tanda terdaftar
atas nama yang bersangkutan dinyatakan tidak
berlaku untuk sementara waktu oleh OJK.
Pasal 14
(1) Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai yang
akan mengakhiri masa penghentian pemberian jasa
untuk sementara waktu sebagaimana dimaksud dalam
- 12 -
Pasal 11 ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh
pengaktifan kembali surat tanda terdaftar.
(2) Untuk memperoleh pengaktifan kembali surat tanda
terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, dan Penilai
harus memberitahukan kepada OJK dengan
menyampaikan:
a. permohonan pengaktifan kembali surat tanda
terdaftar; dan
b. bukti mengikuti program pendidikan
berkelanjutan yang diikuti paling lama 1 (satu)
tahun sebelum penyampaian permohonan
pengaktifan kembali surat tanda terdaftar.
(3) OJK mengaktifkan kembali surat tanda terdaftar
Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai
dengan memberikan surat pemberitahuan kepada
Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai
dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari
kerja sejak permohonan pengaktifan kembali surat
tanda terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a diterima secara lengkap.
(4) OJK berwenang mencabut surat tanda terdaftar
Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai yang
tidak mengajukan permohonan pengaktifan kembali
surat tanda terdaftar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan berakhirnya masa penghentian
pemberian jasa untuk sementara waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara
permohonan pengaktifan kembali surat tanda terdaftar
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Surat Edaran OJK.
Pasal 15
(1) Dalam hal Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau
Penilai mengakhiri masa penghentian pemberian jasa
untuk sementara waktu sebagaimana dimaksud dalam
- 13 -
Pasal 13 ayat (1) huruf b karena memiliki surat
pengaktifan kembali yang diterbitkan oleh Menteri
Keuangan, OJK menerbitkan surat yang menyatakan
pengaktifan kembali surat tanda terdaftar Konsultan
Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai yang
bersangkutan.
(2) Dalam hal Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau
Penilai mengakhiri masa penghentian pemberian jasa
untuk sementara waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1) huruf c karena telah memperpanjang
izin praktik dari Menteri Keuangan, OJK menerbitkan
surat yang menyatakan pengaktifan kembali surat
tanda terdaftar Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik,
atau Penilai yang bersangkutan.
Bagian Kedua
Pengunduran Diri atas Permintaan Sendiri
Pasal 16
(1) Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai
dapat mengajukan permohonan pengunduran diri atas
permintaan sendiri kepada OJK.
(2) Permohonan pengunduran diri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan Konsultan Aktuaria,
Akuntan Publik, atau Penilai secara tertulis kepada
OJK dengan disertai dokumen sebagai berikut:
a. surat pernyataan bermeterai yang menyatakan
bahwa yang bersangkutan mengundurkan diri
dan telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang
berasal dari OJK;
b. surat pernyataan yang menyatakan bahwa
Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai
tidak sedang dalam perikatan dengan LJKNB;
c.
asli surat tanda terdaftar Konsultan Aktuaria,
Akuntan Publik, atau Penilai; dan
d. formulir pengunduran diri.
- 14 -
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara
permohonan pengunduran diri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 17
(1) OJK memberikan persetujuan pengunduran diri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1)
dengan menerbitkan surat pembatalan surat tanda
terdaftar Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau
Penilai.
(2) OJK menolak permohonan pengunduran diri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1),
dalam hal yang bersangkutan:
a. sedang diperiksa oleh Kementerian Keuangan
atau OJK;
b. telah dikenakan sanksi peringatan tertulis oleh
OJK sebanyak 2 (dua) kali dalam jangka waktu
2 (dua) tahun terakhir terhitung sejak saat
permohonan disampaikan secara lengkap;
c. sedang menjalani kewajiban yang harus
dilakukan
berdasarkan
rekomendasi
Kementerian Keuangan atau OJK; atau
d. sedang menjalani sanksi dari Kementerian
Keuangan atau OJK.
(3) OJK menerbitkan surat pembatalan surat tanda
terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja
sejak diterimanya permohonan pengunduran diri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1)
secara lengkap.
(4) Dalam
hal
permohonan
lengkap,
OJK
pengunduran
memberikan
diri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1)
tidak
surat
pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan
bahwa permohonan tidak lengkap dalam jangka
waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak
permohonan diterima.
- 15 -
(5) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan
dokumen yang dipersyaratkan dalam waktu 20 (dua
puluh)
hari
kerja
telah
setelah
membatalkan
tanggal
surat
pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dianggap
permohonan
pengunduran diri.
(6) Pemohon dapat kembali mengajukan permohonan
baru dengan menyampaikan kembali permohonan
pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (2).
Bagian Ketiga
Tidak Berlakunya Surat Tanda Terdaftar
Pasal 18
(1) Surat tanda terdaftar Konsultan Aktuaria, Akuntan
Publik, atau Penilai dinyatakan tidak berlaku dalam
hal:
a. OJK membatalkan surat tanda terdaftar
berdasarkan permintaan sendiri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1);
b. yang bersangkutan meninggal dunia;
c.
izin Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau
Penilai dicabut oleh Kementerian Keuangan;
d. yang bersangkutan dihukum karena terbukti
melakukan tindak pidana di bidang keuangan;
atau
e. yang bersangkutan menyampaikan dokumen
palsu atau yang dipalsukan atau pernyataan
yang tidak benar pada saat pengajuan
permohonan pendaftaran.
(2) OJK mengumumkan surat tanda terdaftar Konsultan
Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai yang tidak
berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui
situs web OJK.
- 16 -
BAB VI
PENGAWASAN KONSULTAN AKTUARIA,
AKUNTAN PUBLIK, DAN PENILAI
Pasal 19
(1) OJK melakukan pengawasan terhadap Konsultan
Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai yang terdaftar
di OJK.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), OJK dapat melakukan pemeriksaan
sewaktu-waktu terhadap Konsultan Aktuaria, Akuntan
Publik, atau Penilai.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan baik secara langsung maupun tidak
langsung.
(4) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan untuk menilai ketaatan Konsultan Aktuaria,
Akuntan Publik, atau Penilai terhadap ketentuan
dalam
Peraturan OJK ini dan peraturan
pelaksanaannya.
(5) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dilakukan apabila terdapat informasi baik dari internal
maupun eksternal OJK yang perlu ditindaklanjuti.
(6) Dalam pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Konsultan Aktuaria, Akuntan
Publik, atau Penilai yang diperiksa wajib:
a. memenuhi permintaan untuk memberikan data
dan/atau dokumen yang diperlukan untuk
kelancaran pemeriksaan sesuai dengan jangka
waktu yang ditentukan;
b. memberikan keterangan yang diperlukan secara
lisan dan/atau tertulis; dan
c. memberikan data, dokumen, dan/atau keterangan
yang diperlukan dari pihak ketiga yang
mempunyai hubungan dengan
Konsultan
Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai yang
diperiksa.
- 17 -
(7) Dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), OJK dapat melakukan
penugasan kepada pihak lain untuk melakukan
pemeriksaan atas nama OJK.
(8) OJK wajib merahasiakan data, dokumen, dan/atau
keterangan yang diperoleh dari Konsultan Aktuaria,
Akuntan Publik, atau Penilai dari pihak yang tidak
berhak.
Pasal 20
Dalam melakukan pengawasan terhadap Konsultan
Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), OJK dapat melakukan
koordinasi dan pertukaran informasi dengan pihak lain
yang berkaitan dengan Konsultan Aktuaria, Akuntan
Publik, atau Penilai.
BAB VII
SANKSI
Bagian Kesatu
Jenis Sanksi
Pasal 21
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal
4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), Pasal 10
ayat (1), Pasal 14 ayat (1), dan Pasal 19 ayat (6)
Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha; dan/atau
c. pembatalan surat tanda terdaftar.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 3 Peraturan
OJK ini dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha; dan/atau
c. pencabutan izin usaha.
- 18 -
Pasal 22
(1) Pengenaan sanksi peringatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dikenakan paling
banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka
waktu paling lama masing-masing 30 (tiga puluh)
hari.
(2) Dalam hal Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau
Penilai telah dikenakan sanksi peringatan terakhir, dan
dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah
peringatan dimaksud Konsultan Aktuaria, Akuntan
Publik, atau Penilai tetap tidak dapat mengatasi
penyebab dari sanksi, Konsultan Aktuaria, Akuntan
Publik, atau Penilai yang bersangkutan dikenakan
sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
huruf b.
Pasal 23
(1) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(1) huruf b berlaku sejak tanggal ditetapkan untuk
jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan.
(2) Dalam hal Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau
Penilai dapat mengatasi penyebab dari sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
huruf b dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), OJK mencabut sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b.
(3) Dalam hal Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau
Penilai tidak dapat mengatasi penyebab dari sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
huruf b dalam jangka waktu sampai berakhirnya
sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
disimpulkan bahwa Konsultan Aktuaria, Akuntan
Publik, atau Penilai tidak mampu atau tidak
bersedia mengatasi penyebab dari sanksi termaksud,
OJK mencabut surat tanda terdaftar Konsultan
Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai.
- 19 -
Pasal 24
(1) Pengenaan sanksi peringatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a dikenakan paling
banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu
paling lama masing-masing 30 (tiga puluh) hari.
(2) Dalam hal LJKNB telah dikenakan sanksi peringatan
terakhir, dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
setelah peringatan dimaksud LJKNB tetap tidak dapat
mengatasi penyebab dari sanksi, LJKNB yang
bersangkutan dikenakan sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b.
Pasal 25
(1) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2)
huruf b berlaku sejak tanggal ditetapkan untuk jangka
waktu paling lama 12 (dua belas) bulan.
(2) Dalam hal LJKNB dapat mengatasi penyebab dari
sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2)
huruf b dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), OJK mencabut sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b.
(3) Dalam hal LJKNB tidak dapat mengatasi penyebab
dari sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (2) huruf b dalam jangka waktu sampai
berakhirnya sanksi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) disimpulkan bahwa LJKNB tidak mampu
atau tidak bersedia mengatasi penyebab dari sanksi
termaksud, OJK mencabut izin usaha LJKNB yang
bersangkutan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 26
Selama 12 (dua belas) bulan pertama sejak Peraturan OJK
ini berlaku, surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (2) dan surat tanda terdaftar
- 20 -
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) disampaikan
OJK kepada pemohon dalam jangka waktu paling lama 45
(empat puluh lima) hari kerja.
Pasal 27
Kontrak perikatan kerja pemberian jasa Konsultan
Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai yang telah
disepakati sebelum diundangkannya Peraturan OJK ini
tetap dapat dilaksanakan sampai dengan masa berlaku
kontrak pemberian jasa berakhir.
Pasal 28
(1) Dalam hal pada saat Peraturan OJK ini berlaku,
Menteri Keuangan belum memberlakukan peraturan
mengenai izin praktik Konsultan Aktuaria, dalam
rangka permohonan pendaftaran
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Konsultan Aktuaria
harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. menyampaikan fotokopi sertifikat Fellowship of the
Society of Actuaries of Indonesia (FSAI) atau yang
setara pada saat mengajukan permohonan; dan
b. menyampaikan fotokopi izin praktik dari Menteri
Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan sejak
Menteri Keuangan memberlakukan peraturan
mengenai izin praktik Konsultan Aktuaria.
(2) OJK menerbitkan surat tanda terdaftar sementara bagi
Konsultan Aktuaria yang telah memenuhi persyaratan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b sampai dengan
huruf g.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
(1) Peraturan OJK ini mulai berlaku setelah 9 (sembilan)
bulan terhitung sejak tanggal diundangkan.
- 21 -
(2) Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai dapat
melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) paling cepat 6 (enam) bulan sejak
tanggal Peraturan OJK ini diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 361
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 38/POJK.05/2015 </reg_id>
<reg_title> PENDAFTARAN DAN PENGAWASAN KONSULTAN AKTUARIA, AKUNTAN PUBLIK, DAN PENILAI YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI INDUSTRI KEUANGAN NON-BANK </reg_title>
<set_date> 21 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> setelah 9 (sembilan) bulan terhitung sejak tanggal 28 Desember 2015. </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2015 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '40/UU/2014' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 14 /POJK.05/2015
TENTANG
RETENSI SENDIRI DAN DUKUNGAN REASURANSI DALAM NEGERI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa kesehatan keuangan perusahaan asuransi,
perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi,
dan perusahaan reasuransi syariah dipengaruhi oleh
retensi sendiri dan dukungan reasuransi;
b. bahwa dalam rangka mendorong pertumbuhan
perasuransian nasional dan optimalisasi kapasitas
asuransi, asuransi syariah, reasuransi, dan reasuransi
syariah dalam negeri diperlukan penyesuaian ketentuan
mengenai retensi sendiri dan dukungan reasuransi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangkan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Retensi
Sendiri dan Dukungan Reasuransi Dalam Negeri;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
- 2 -
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
RETENSI SENDIRI DAN DUKUNGAN REASURANSI DALAM
NEGERI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang
dimaksud dengan:
1. Perusahaan adalah perusahaan asuransi, perusahaan
asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan
perusahaan reasuransi syariah.
2. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi
umum dan perusahaan asuransi jiwa sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2014 tentang Perasuransian.
3. Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan
asuransi umum syariah dan perusahaan asuransi jiwa
syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
4. Perusahaan Asuransi Umum adalah perusahaan yang
menyelenggarakan usaha asuransi umum, dan/atau
usaha reasuransi untuk risiko Perusahaan Asuransi
Umum lain sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
5. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan yang
menyelenggarakan usaha asuransi jiwa sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2014 tentang Perasuransian.
- 3 -
6. Perusahaan Asuransi Umum Syariah adalah
perusahaan yang menyelenggarakan usaha asuransi
umum syariah dan/atau usaha reasuransi syariah
untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum Syariah lain
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan/atau
Perusahaan Asuransi Umum yang menyelenggarakan
sebagian usahanya dengan prinsip syariah.
7. Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah adalah perusahaan
yang menyelenggarakan usaha asuransi jiwa syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan/atau
Perusahaan Asuransi Jiwa yang menyelenggarakan
sebagian usahanya dengan prinsip syariah.
8. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang
menyelenggarakan usaha reasuransi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2014 tentang Perasuransian.
9. Perusahaan Reasuransi Syariah adalah perusahaan
yang menyelenggarakan usaha reasuransi syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan/atau
Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan
sebagian usahanya dengan prinsip syariah.
10. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
BAB II
RETENSI SENDIRI
Pasal 2
(1) Perusahaan wajib memiliki dan menerapkan retensi
sendiri untuk setiap risiko yang dikelola sesuai dengan
batas retensi sendiri.
- 4 -
(2) Penerapan batas retensi sendiri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib didasarkan pada profil
risiko dan kerugian (risk and loss profile) yang dibuat
secara tertib, teratur, relevan, dan akurat.
Pasal 3
Ketentuan lebih lanjut mengenai batas retensi sendiri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) diatur dalam
Surat Edaran OJK.
BAB III
DUKUNGAN REASURANSI
Bagian Kesatu
Strategi Dukungan Reasuransi
Pasal 4
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi
Syariah
wajib
mengembangkan
dan
mengimplementasikan strategi dukungan reasuransi
untuk penyelenggaraan usaha Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Asuransi Syariah agar memiliki
kapasitas yang cukup untuk memenuhi liabilitas.
(2) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi
Syariah wajib menelaah implementasi strategi
dukungan reasuransi paling sedikit sekali dalam
setahun.
(3) Untuk pertama kali, strategi dukungan reasuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan kepada OJK paling lambat tanggal 15
Januari 2016.
(4) Dalam hal Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Asuransi Syariah mengubah strategi dukungan
reasuransi, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Asuransi Syariah wajib menyampaikan perubahan
dimaksud kepada OJK beserta alasannya dalam waktu
- 5 -
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak perubahan
strategi dukungan reasuransi dimaksud.
Pasal 5
Strategi dukungan reasuransi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) paling sedikit harus memuat:
a. kebijakan reasuransi secara komprehensif dengan
memperhitungkan manfaat diversifikasi dan kelayakan
pihak reasuransi (counterparty);
b.
sistem yang sehat dalam melakukan pemilihan dan
pemantauan program reasuransi;
c. ringkasan proses pembentukan retensi sendiri dan
monitoring retensi sendiri; dan
d. penanggung jawab pelaksana program reasuransi dan
pengendaliannya.
Pasal 6
Dalam mengembangkan strategi dukungan reasuransi,
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah
harus memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:
a. profil risiko dari risiko yang ditanggung;
b. kecukupan modal dan akses terhadap penambahan
modal;
c.
volatilitas klaim masa lalu dan/atau klaim yang
diperkirakan;
d. tingkat profitabilitas masing-masing lini usaha;
e. ukuran retensi yang sesuai dengan Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah;
f. penggunaan program reasuransi proporsional dan
nonproporsional;
g. kondisi lingkungan, khususnya untuk daerah yang
rawan bencana;
h. kapasitas reasuransi otomatis;
i.
optimalisasi kualitas, penggunaan, dan biaya
reasuransi;
j. dampak bila reasuradur dalam negeri dengan porsi
reasuransi otomatis mengalami kebangkrutan;
- 6 -
k. peringkat reasuradur dalam negeri; dan
l.
kondisi pasar reasuransi.
Bagian Kedua
Dukungan Reasuransi untuk Risiko Sederhana
Pasal 7
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah
wajib memperoleh dukungan reasuransi 100% (seratus
persen) dari reasuradur dalam negeri untuk pertanggungan
yang memiliki risiko sederhana.
Pasal 8
(1) Kewajiban memperoleh dukungan reasuransi 100%
(seratus persen) dari reasuradur dalam negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dikecualikan
bagi Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan
Asuransi Umum Syariah untuk:
a. produk asuransi yang bersifat global (worldwide);
dan/atau
b. produk asuransi yang didesain secara khusus
untuk perusahaan multinasional.
(2) Kewajiban memperoleh dukungan reasuransi 100%
(seratus persen) dari reasuradur dalam negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dikecualikan
bagi Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan
Asuransi Jiwa Syariah untuk:
a. produk asuransi yang bersifat global (worldwide);
b. produk asuransi yang didesain secara khusus
untuk perusahaan multinasional; dan/atau
c. produk asuransi baru yang pengembangannya
(product development) didukung oleh reasuradur
luar negeri.
(3) Produk asuransi baru yang pengembangannya
(product development) didukung oleh reasuradur luar
negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c,
dapat memperoleh dukungan reasuransi dari
- 7 -
reasuradur luar negeri untuk jangka waktu paling
lama 4 (empat) tahun sejak produk asuransi tersebut
dilaporkan kepada OJK.
Pasal 9
Dalam hal Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi
Syariah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) atau ayat (2), Perusahaan Asuransi
dan Perusahaan Asuransi Syariah dapat memperoleh
dukungan reasuransi dari reasuradur luar negeri dengan
batasan yang disetujui OJK.
Bagian Ketiga
Reasuransi Otomatis
Pasal 10
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi
Syariah wajib mempunyai dukungan reasuransi
otomatis.
(2) Dukungan reasuransi otomatis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan dengan
menempatkan secara prioritas kepada reasuradur
dalam negeri.
(3) Penempatan dukungan reasuransi otomatis secara
prioritas kepada reasuradur dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk
pertanggungan selain pertanggungan yang memiliki
risiko sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7, wajib mengikuti besar minimum penempatan
dukungan reasuransi otomatis secara prioritas kepada
reasuradur dalam negeri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai besar minimum
penempatan dukungan reasuransi otomatis secara
prioritas kepada
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Surat Edaran OJK.
reasuradur dalam negeri
- 8 -
Pasal 11
(1) Dukungan reasuransi otomatis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) wajib diperoleh
untuk setiap produk asuransi yang dipasarkan,
termasuk dukungan reasuransi otomatis untuk risiko
bencana (catastrophic risks).
(2) Dalam hal Perusahaan Asuransi Umum dan
Perusahaan Asuransi Umum Syariah
telah
membentuk cadangan atas risiko bencana
(catastrophic risks) maka Perusahaan Asuransi Umum
dan Perusahaan Asuransi Umum Syariah dikecualikan
dari kewajiban memperoleh dukungan reasuransi
otomatis untuk risiko bencana (catastrophic risks)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal Perusahaan Asuransi Umum dan
Perusahaan Asuransi Umum Syariah mempunyai
dukungan reasuransi otomatis untuk risiko bencana
(catastrophic risks), besar minimum retensi sendiri
ditentukan dengan asumsi kejadian risiko bencana
(catastrophic risks) berulang setiap 250 (dua ratus lima
puluh) tahun sekali.
(4) Dukungan reasuransi otomatis untuk risiko bencana
(catastrophic risks) sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib ditempatkan secara prioritas kepada
reasuradur dalam negeri sesuai dengan besar
minimum penempatan dukungan reasuransi otomatis
untuk risiko bencana (catastrophic risks).
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai besar minimum
penempatan dukungan reasuransi otomatis untuk
risiko bencana (catastrophic risks) sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Surat Edaran
OJK.
Pasal 12
(1) Dalam memperoleh dukungan reasuransi otomatis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Perusahaan
- 9 -
Asuransi Umum wajib mengikuti urutan prioritas
sebagai berikut:
a. dukungan reasuransi otomatis diperoleh paling
sedikit dari 2 (dua) Perusahaan Reasuransi dalam
negeri;
b. dalam hal dukungan reasuransi otomatis
sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak
diperoleh, dukungan reasuransi otomatis
diperoleh paling sedikit dari 1 (satu) Perusahaan
Reasuransi dalam negeri dan 1 (satu) Perusahaan
Asuransi Umum dalam negeri; dan
c. dalam hal dukungan reasuransi otomatis dari
reasuradur dalam negeri sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan huruf b tidak diperoleh,
dukungan reasuransi otomatis dapat diperoleh
dari perusahaan reasuransi luar negeri.
(2) Dukungan reasuransi otomatis dari perusahaan
reasuransi luar negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c dapat dilakukan oleh Perusahaan
Asuransi Umum, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. merupakan produk asuransi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan/atau
b. tidak memperoleh dukungan reasuransi otomatis
dari seluruh Perusahaan Reasuransi dalam negeri
dan 2 (dua) Perusahaan Asuransi Umum dalam
negeri.
Pasal 13
(1) Dalam memperoleh dukungan reasuransi otomatis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Perusahaan
Asuransi Jiwa wajib mengikuti urutan prioritas
sebagai berikut:
a. dukungan reasuransi otomatis diperoleh paling
sedikit dari 2 (dua) Perusahaan Reasuransi dalam
negeri; dan
b. dalam hal dukungan reasuransi otomatis
sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak
- 10 -
diperoleh, dukungan reasuransi otomatis dapat
diperoleh dari perusahaan reasuransi luar negeri.
(2) Dukungan reasuransi otomatis dari perusahaan
reasuransi luar negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dapat dilakukan oleh Perusahaan
Asuransi Jiwa, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. merupakan produk asuransi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2); dan/atau
b. tidak memperoleh dukungan reasuransi otomatis
dari seluruh Perusahaan Reasuransi dalam
negeri.
Pasal 14
(1) Dalam memperoleh dukungan reasuransi otomatis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Perusahaan
Asuransi Umum Syariah wajib mengikuti urutan
prioritas sebagai berikut:
a. dukungan reasuransi otomatis diperoleh paling
sedikit dari 2 (dua) Perusahaan Reasuransi
Syariah dalam negeri;
b. dalam hal dukungan reasuransi otomatis
sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak
diperoleh, dukungan reasuransi otomatis
diperoleh paling sedikit dari 1 (satu) Perusahaan
Reasuransi Syariah dalam negeri dan 1 (satu)
Perusahaan Asuransi Umum Syariah dalam
negeri; dan
c. dalam hal dukungan reasuransi otomatis
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b
tidak diperoleh, dukungan reasuransi otomatis
dapat diperoleh dari perusahaan reasuransi
syariah luar negeri.
(2) Dukungan reasuransi otomatis dari perusahaan
reasuransi syariah luar negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c dapat dilakukan oleh
Perusahaan Asuransi Umum Syariah, dengan
ketentuan sebagai berikut:
- 11 -
a. merupakan produk asuransi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan/atau
b. tidak memperoleh dukungan reasuransi otomatis
dari seluruh Perusahaan Reasuransi Syariah
dalam negeri dan 2 (dua) Perusahaan Asuransi
Umum Syariah dalam negeri.
Pasal 15
(1) Dalam memperoleh dukungan reasuransi otomatis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Perusahaan
Asuransi Jiwa Syariah wajib mengikuti urutan
prioritas sebagai berikut:
a. dukungan reasuransi otomatis diperoleh paling
sedikit dari 1 (satu) Perusahaan Reasuransi
Syariah dalam negeri; dan
b. dalam hal dukungan reasuransi otomatis
sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak
diperoleh, dukungan reasuransi otomatis dapat
diperoleh dari perusahaan reasuransi syariah luar
negeri.
(2) Dukungan reasuransi otomatis dari perusahaan
reasuransi syariah luar negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan oleh
Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. merupakan produk asuransi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2); dan/atau
b. tidak memperoleh dukungan reasuransi otomatis
dari seluruh Perusahaan Reasuransi Syariah
dalam negeri.
Pasal 16
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah
yang tidak memperoleh dukungan reasuransi otomatis dari
reasuradur dalam negeri dikarenakan faktor teknis wajib
melakukan perbaikan terhadap penyebab tidak
diperolehnya dukungan reasuransi otomatis dimaksud
- 12 -
paling lambat 1 (satu) tahun sejak saat tidak diperolehnya
dukungan reasuransi otomatis tersebut.
Pasal 17
(1) Dukungan reasuransi otomatis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dapat dikecualikan
karena tidak diperoleh atau tidak diperlukannya
dukungan reasuransi otomatis dalam hal:
a. tidak ada reasuradur yang bersedia memberikan
dukungan reasuransi otomatis antara lain karena
karakteristik risiko yang khusus dari lini usaha
asuransi;
b. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi
Syariah akan memulai memasarkan lini usaha
asuransi yang baru;
c. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi
Syariah memasarkan produk asuransi hanya
untuk memenuhi permintaan pemegang polis
atas paket asuransi yang komprehensif dan tidak
memasarkan secara tersendiri; dan/atau
d.
risiko yang dikelola tidak melebihi kapasitas
retensi sendiri.
(2) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi
Syariah wajib memiliki bukti penyebab tidak diperoleh
atau tidak diperlukannya dukungan reasuransi
otomatis.
Bagian Keempat
Reasuransi Fakultatif
Pasal 18
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi
Syariah wajib memperoleh dukungan reasuransi
fakultatif dalam hal:
a. tidak memperoleh atau tidak diperlukannya
dukungan reasuransi otomatis karena hal
- 13 -
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1);
atau
b. dukungan reasuransi otomatis tidak mencukupi
untuk risiko yang diterima oleh Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah.
(2) Dukungan reasuransi fakultatif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan dengan
menempatkan secara prioritas kepada reasuradur
dalam negeri.
(3) Penempatan dukungan reasuransi fakultatif secara
prioritas kepada reasuradur dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk
pertanggungan selain pertanggungan yang memiliki
risiko sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7, wajib mengikuti besar minimum penempatan
dukungan reasuransi fakultatif secara prioritas
kepada reasuradur dalam negeri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai besar minimum
penempatan dukungan reasuransi fakultatif secara
prioritas kepada
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Surat Edaran OJK.
Pasal 19
(1) Dalam memperoleh dukungan reasuransi fakultatif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Perusahaan
Asuransi Umum wajib mengikuti urutan prioritas
sebagai berikut:
a. dukungan reasuransi fakultatif diperoleh paling
sedikit dari 2 (dua) Perusahaan Reasuransi dalam
negeri;
b. dalam hal dukungan reasuransi fakultatif
sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak
diperoleh, dukungan reasuransi fakultatif
diperoleh paling sedikit dari 1 (satu) Perusahaan
Reasuransi dalam negeri dan 1 (satu) Perusahaan
Asuransi Umum dalam negeri; dan
reasuradur dalam negeri
- 14 -
c. dalam hal dukungan reasuransi fakultatif dari
reasuradur dalam negeri sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan huruf b tidak diperoleh,
dukungan reasuransi fakultatif dapat diperoleh
reasuradur luar negeri.
(2) Dukungan reasuransi fakultatif dari reasuradur luar
negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dapat dilakukan oleh Perusahaan Asuransi Umum,
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. merupakan produk asuransi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan/atau
b. tidak memperoleh dukungan reasuransi fakultatif
dari seluruh Perusahaan Reasuransi dalam negeri
dan 2 (dua) Perusahaan Asuransi Umum dalam
negeri.
Pasal 20
(1) Dalam memperoleh dukungan reasuransi fakultatif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Perusahaan
Asuransi Jiwa wajib mengikuti urutan prioritas
sebagai berikut:
a. dukungan reasuransi fakultatif diperoleh paling
sedikit dari 2 (dua) Perusahaan Reasuransi dalam
negeri; dan
b. dalam hal dukungan reasuransi fakultatif
sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak
diperoleh, dukungan reasuransi fakultatif dapat
diperoleh dari perusahaan reasuransi luar negeri.
(2) Dukungan reasuransi fakultatif dari perusahaan
reasuransi luar negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dapat dilakukan oleh Perusahaan
Asuransi Jiwa, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. merupakan produk asuransi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2); dan/atau
b. tidak memperoleh dukungan reasuransi fakultatif
dari seluruh Perusahaan Reasuransi dalam
negeri.
- 15 -
Pasal 21
(1) Dalam memperoleh dukungan reasuransi fakultatif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Perusahaan
Asuransi Umum Syariah wajib mengikuti urutan
prioritas sebagai berikut:
a. dukungan reasuransi fakultatif diperoleh paling
sedikit dari 2 (dua) Perusahaan Reasuransi
Syariah dalam negeri;
b. dalam hal dukungan reasuransi fakultatif
sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak
diperoleh, dukungan reasuransi fakultatif
diperoleh paling sedikit dari 1 (satu) Perusahaan
Reasuransi Syariah dalam negeri dan 1 (satu)
Perusahaan Asuransi Umum Syariah dalam
negeri; dan
c. dalam hal dukungan reasuransi fakultatif
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b
tidak diperoleh, dukungan reasuransi fakultatif
dapat diperoleh dari perusahaan reasuransi
syariah atau perusahaan reasuransi luar negeri.
(2) Dukungan reasuransi fakultatif dari perusahaan
reasuransi syariah atau perusahaan reasuransi luar
negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dapat dilakukan oleh Perusahaan Asuransi Umum
Syariah, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. merupakan produk asuransi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan/atau
b. tidak memperoleh dukungan reasuransi fakultatif
dari seluruh Perusahaan Reasuransi Syariah
dalam negeri dan 2 (dua) Perusahaan Asuransi
Umum Syariah dalam negeri.
Pasal 22
(1) Dalam memperoleh dukungan reasuransi fakultatif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Perusahaan
- 16 -
Asuransi Jiwa Syariah wajib mengikuti urutan
prioritas sebagai berikut:
a. dukungan reasuransi fakultatif diperoleh paling
sedikit dari 1 (satu) Perusahaan Reasuransi
Syariah dalam negeri; dan
b. dalam hal dukungan reasuransi fakultatif
sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak
diperoleh, dukungan reasuransi fakultatif dapat
diperoleh dari perusahaan reasuransi syariah
atau perusahaan reasuransi luar negeri.
(2) Dukungan reasuransi fakultatif dari perusahaan
reasuransi syariah atau perusahaan reasuransi luar
negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dapat dilakukan oleh Perusahaan Asuransi Jiwa
Syariah, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. merupakan produk asuransi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2); dan/atau
b. tidak memperoleh dukungan reasuransi fakultatif
dari seluruh Perusahaan Reasuransi Syariah
dalam negeri.
Pasal 23
Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi
Umum Syariah wajib menempatkan reasuransi structured
(layer basis) fakultatif secara across the board untuk
seluruh layer.
Bagian Kelima
Ketentuan Khusus
Pasal 24
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah
wajib memilih Perusahaan Reasuransi atau Perusahaan
Reasuransi Syariah dalam negeri sebagai ketua (leader)
panel reasuransi otomatis.
- 17 -
Pasal 25
(1) Dalam hal dukungan reasuransi otomatis dan/atau
dukungan reasuransi fakultatif diperoleh dari
reasuradur luar negeri atau reasuradur syariah luar
negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1)
huruf c, Pasal 13 ayat (1) huruf b, Pasal 14 ayat (1)
huruf c, Pasal 15 ayat (1) huruf b, Pasal 19 ayat (1)
huruf c, Pasal 20 ayat (1) huruf b, Pasal 21 ayat (1)
huruf c, dan Pasal 22 ayat (1) huruf b, Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib
memperoleh dukungan reasuradur luar negeri atau
reasuradur syariah luar negeri yang paling kurang
memiliki peringkat BBB atau yang setara dari
perusahaan pemeringkat yang diakui secara
internasional.
(2) Dalam hal peringkat reasuradur luar negeri atau
reasuradur syariah luar negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diterbitkan oleh lebih dari satu
perusahaan pemeringkat, peringkat yang digunakan
adalah peringkat yang paling rendah.
Pasal 26
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi
Syariah wajib memiliki dan menyampaikan bukti tidak
diperolehnya dukungan reasuransi otomatis dalam
negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2)
huruf b, Pasal 13 ayat (2) huruf b, Pasal 14 ayat (2)
huruf b, dan Pasal 15 ayat (2) huruf b, kepada OJK.
(2) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi
Syariah wajib memiliki bukti tidak diperolehnya
dukungan reasuransi fakultatif dalam negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf
b, Pasal 20 ayat (2) huruf b, Pasal 21 ayat (2) huruf b,
dan Pasal 22 ayat (2) huruf b.
- 18 -
Pasal 27
(1) Dalam hal dukungan reasuransi otomatis dan/atau
dukungan reasuransi fakultatif dinilai oleh OJK dapat
membahayakan dan/atau memperburuk kondisi
kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Asuransi Syariah atau dapat menjadikan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi
Syariah
tidak melaksanakan fungsi sebagai
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi
Syariah, OJK dapat memerintahkan Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah untuk
mengubah program dukungan reasuransi yang
dimilikinya agar lebih sesuai dengan kondisi
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi
Syariah.
(2) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi
Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB IV
KEWAJIBAN PERUSAHAAN REASURANSI
Pasal 28
(1) Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi
Syariah wajib memiliki program retrosesi yang
memadai, aman, dan didukung oleh panel retrosesi
dengan peringkat BBB atau yang setara dari
perusahaan pemeringkat yang diakui secara
internasional.
(2) Dalam hal peringkat anggota panel retrosesi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan
lebih dari satu perusahaan pemeringkat, peringkat
yang digunakan adalah peringkat yang paling
rendah.
wajib melaksanakan perintah OJK
- 19 -
(3) Perusahaan Reasuransi wajib menyampaikan bukti
peringkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
laporan program reasuransi otomatis.
Pasal 29
Seluruh Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan
Reasuransi Syariah harus melakukan penyatuan kapasitas
untuk memberikan dukungan reasuransi kepada
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah.
Pasal 30
(1) Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi
Syariah wajib meningkatkan kapasitas dan kualitas
pelayanan dalam memberikan dukungan reasuransi
kepada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Asuransi Syariah.
(2) Peningkatan kapasitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilakukan dengan memiliki peringkat
paling sedikit A-Idn atau yang setara dari perusahaan
pemeringkat yang diakui secara internasional.
(3) Peningkatan kualitas pelayanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling sedikit
melalui kegiatan:
a. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
(transfer knowledge) kepada Perusahaan Asuransi
dan/atau Perusahaan Asuransi Syariah dalam
peningkatan manajemen risiko; dan
b. penyelenggaraan kegiatan pelayanan dan
penyelesaian klaim dengan baik.
(4) Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi
Syariah wajib menyampaikan konfirmasi penerimaan
(akseptasi) ataupun penolakan dukungan reasuransi
kepada Perusahaan Asuransi dan/atau Perusahaan
Asuransi Syariah, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
sejak surat permohonan dukungan reasuransi dari
Perusahaan Asuransi dan/atau Perusahaan Asuransi
Syariah diterima secara lengkap.
- 20 -
(5) Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi
Syariah wajib menyelesaikan klaim, paling lama 20
(dua puluh) hari kerja sejak dokumen pengajuan klaim
dari Perusahaan Asuransi dan/atau Perusahaan
Asuransi Syariah diterima secara lengkap, sepanjang
tidak diatur lain dalam perjanjian bagi reasuransi
otomatis.
BAB V
LAPORAN PROGRAM REASURANSI/RETROSESI
OTOMATIS DAN LAPORAN PELAKSANAAN
PENEMPATAN REASURANSI
Pasal 31
(1) Perusahaan setiap tahun wajib menyampaikan
laporan program reasuransi/retrosesi otomatis kepada
OJK, paling lambat tanggal 15 Januari.
(2) Dalam hal perjanjian dukungan reasuransi/retrosesi
otomatis tidak dimulai bulan Januari, laporan
program reasuransi/retrosesi otomatis disampaikan
paling lambat 15 (lima belas) hari sejak tanggal
perjanjian dukungan reasuransi/retrosesi otomatis
berlaku.
(3) Apabila batas waktu akhir penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian
laporan menjadi pada hari kerja pertama berikutnya.
(4) Laporan program reasuransi/retrosesi
otomatis
disertai dengan grafik yang menggambarkan retensi
sendiri dan dukungan reasuransi/retrosesi otomatis
yang diterima serta limit dukungan reasuransi.
(5) Laporan program reasuransi otomatis wajib dilengkapi
dengan perjanjian reasuransi yang telah
ditandatangani oleh Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi dalam 1 (satu) tahun terakhir.
- 21 -
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, susunan, dan
tata
cara penyampaian
laporan program
reasuransi/retrosesi otomatis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 33
(1) Perusahaan setiap tahun wajib menyampaikan
laporan pelaksanaan penempatan reasuransi, paling
lambat tanggal 30 April tahun berikutnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, susunan dan
tata cara penyampaian laporan pelaksanaan
penempatan reasuransi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 34
Perusahaan dikecualikan dari kewajiban penyampaian
laporan program reasuransi/retrosesi otomatis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dan
laporan pelaksanaan penempatan reasuransi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) apabila Perusahaan
dimaksud:
a. dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha untuk
seluruh lini usaha asuransi; dan/atau
b. dalam proses untuk mengembalikan izin usaha.
BAB VI
SANKSI
Pasal 35
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2, Pasal 4,
Pasal 7, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 11
ayat (1), ayat (4), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1),
Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (1), Pasal 16, Pasal 17
ayat (2), Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 19
ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 22
ayat (1), Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25 ayat (1), Pasal 26,
- 22 -
Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 ayat (1), ayat (3), Pasal 30,
Pasal 31 ayat (1), ayat (5), dan/atau Pasal 33
ayat (1) Peraturan OJK ini dikenakan sanksi
administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda;
c. kewajiban bagi direksi atau yang setara untuk
menjalani penilaian kemampuan dan kepatutan
ulang;
d. pembatasan kegiatan usaha; dan/atau
e. pencabutan izin usaha.
(3) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,
huruf c, huruf d, atau huruf e, dapat dikenakan
dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a.
(4) Besaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b ditetapkan OJK berdasarkan
ketentuan tentang sanksi administratif berupa denda
yang berlaku untuk Perusahaan.
(5) OJK dapat mengumumkan pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
kepada masyarakat.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 36
(1) Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi
Syariah wajib melakukan penyesuaian terhadap
ketentuan Pasal 30 ayat (2) paling lama 2 (dua) tahun
sejak Peraturan OJK ini diundangkan.
- 23 -
(2) Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan
Asuransi Umum Syariah yang telah memiliki
perjanjian dukungan reasuransi otomatis dengan
reasuradur luar negeri sebelum Peraturan OJK ini
diundangkan wajib melakukan penyesuaian dengan
seluruh ketentuan dalam Peraturan OJK ini paling
lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan OJK ini
diundangkan.
(3) Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi
Jiwa Syariah yang telah memiliki perjanjian dukungan
reasuransi otomatis dengan reasuradur luar negeri
sebelum Peraturan OJK ini diundangkan, berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a. untuk seluruh pertanggungan yang telah
berlangsung (existing business) menggunakan
perjanjian
dukungan
reasuransi otomatis
yang telah ada sampai masa perjanjian
berakhir; dan
b. untuk pertanggungan baru (new business) wajib
menyesuaikan terhadap seluruh ketentuan dalam
Peraturan OJK ini paling lama 1 (satu) tahun
sejak Peraturan OJK ini diundangkan.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 37
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, seluruh
ketentuan mengenai dukungan reasuransi dan retensi
sendiri tunduk pada ketentuan Peraturan OJK ini.
Pasal 38
Peraturan OJK ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari
2016.
- 24 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 November 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 November 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 265
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 14/POJK.05/2015 </reg_id>
<reg_title> RETENSI SENDIRI DAN DUKUNGAN REASURANSI DALAM NEGERI </reg_title>
<set_date> 3 November 2015 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2016 </effective_date>
<issued_date> 10 November 2015 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '40/UU/2014' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
- 1 -
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 51 /POJK.03/2017
TENTANG
PENERAPAN KEUANGAN BERKELANJUTAN
BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN, EMITEN, DAN PERUSAHAAN PUBLIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa
untuk
mewujudkan pembangunan
berkelanjutan yang mampu menjaga stabilitas
ekonomi serta bersifat inklusif diperlukan sistem
perekonomian nasional yang mengedepankan
keselarasan antara aspek ekonomi, sosial, dan
lingkungan hidup;
b. bahwa untuk menggerakkan perekonomian nasional
yang mengedepankan keselarasan antara aspek
ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup, mampu
menjaga stabilitas ekonomi serta bersifat inklusif
dibutuhkan sumber pendanaan dalam jumlah yang
memadai;
c. bahwa pengembangan sistem lembaga keuangan yang
ramah lingkungan hidup telah diamanatkan dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
- 2 -
d. bahwa Roadmap Keuangan Berkelanjutan di Indonesia
yang telah diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan
perlu ditindaklanjuti dengan peraturan yang spesifik
dan mengikat untuk seluruh lembaga jasa keuangan,
emiten, dan perusahaan publik;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d,
perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi
Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan
Publik;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3477);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3608);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
- 3 -
5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5256);
6. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
7. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5256);
8. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618);
9. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5835);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENERAPAN KEUANGAN BERKELANJUTAN BAGI
LEMBAGA JASA KEUANGAN, EMITEN, DAN PERUSAHAAN
PUBLIK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
LJK adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di
- 4 -
sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana
pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa
keuangan lainnya.
2. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya adalah pergadaian,
lembaga penjaminan, Lembaga Pembiayaan Ekspor
Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder
perumahan, dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai
pergadaian,
penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia,
perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan
badan penyelenggara jaminan sosial.
3. Bank Umum adalah:
a. Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah oleh
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan;
b. Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
4. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat
BPR adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang
Perubahan atas
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
5. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya
disingkat BPRS adalah Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
6. Emiten adalah pihak yang melakukan penawaran
umum.
Undang-Undang
sebagaimana dimaksud dalam
- 5 -
7. Perusahaan Publik adalah perseroan yang sahamnya
telah dimiliki paling sedikit oleh 300 (tiga ratus)
pemegang saham dan memiliki modal disetor paling
sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau
suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor
yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
8. Keuangan Berkelanjutan adalah dukungan
menyeluruh dari sektor jasa keuangan untuk
menciptakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan
dengan menyelaraskan kepentingan ekonomi, sosial,
dan lingkungan hidup.
9. Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup,
termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain.
10. Produk dan/atau Jasa Keuangan Berkelanjutan
adalah produk dan/atau jasa keuangan yang
mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan
Lingkungan Hidup, serta tata kelola dalam fitur-
fiturnya.
11. Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan adalah
dokumen tertulis yang menggambarkan rencana
kegiatan usaha dan program kerja LJK jangka pendek
(satu tahun) dan jangka panjang (lima tahun) yang
sesuai dengan prinsip yang digunakan untuk
menerapkan Keuangan Berkelanjutan, termasuk
strategi untuk merealisasi rencana dan program kerja
tersebut sesuai dengan target dan waktu yang
ditetapkan, dengan tetap memperhatikan pemenuhan
ketentuan kehati-hatian dan penerapan manajemen
risiko.
12. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan yang
selanjutnya disingkat TJSL adalah komitmen untuk
- 6 -
berperan serta dalam pembangunan ekonomi
berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan
dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan
sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat
pada umumnya.
13. Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report) adalah
laporan yang diumumkan kepada masyarakat yang
memuat kinerja ekonomi, keuangan, sosial, dan
Lingkungan Hidup suatu LJK, Emiten, dan
Perusahaan Publik dalam menjalankan bisnis
berkelanjutan.
Pasal 2
(1) LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik wajib
menerapkan Keuangan Berkelanjutan dalam kegiatan
usaha LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik.
(2) Penerapan Keuangan Berkelanjutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
menggunakan:
a. prinsip investasi bertanggung jawab;
b. prinsip strategi dan praktik bisnis berkelanjutan;
c. prinsip pengelolaan risiko sosial dan Lingkungan
Hidup;
d. prinsip tata kelola;
e. prinsip komunikasi yang informatif;
f.
prinsip inklusif;
g. prinsip pengembangan sektor unggulan prioritas;
dan
h. prinsip koordinasi dan kolaborasi.
Pasal 3
(1) Penerapan Keuangan Berkelanjutan untuk LJK,
Emiten, dan Perusahaan Publik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, wajib dilakukan dengan
ketentuan:
a. bagi LJK berupa Bank Umum yang termasuk
dalam kelompok Bank Umum berdasarkan
- 7 -
Kegiatan Usaha (BUKU) 3, BUKU 4, dan bank
asing, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
2019;
b. bagi LJK berupa BUKU 1 dan BUKU 2,
perusahaan
pembiayaan,
perusahaan
pembiayaan syariah, perusahaan modal ventura,
perusahaan modal ventura syariah, perusahaan
pembiayaan infrastruktur, perusahaan asuransi,
perusahaan asuransi
syariah, perusahaan
reasuransi, perusahaan reasuransi syariah,
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia,
perusahaan pembiayaan sekunder perumahan,
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Emiten
selain Emiten dengan aset skala kecil dan Emiten
dengan aset skala menengah, serta Perusahaan
Publik mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
2020;
c. bagi LJK berupa BPR berdasarkan Kegiatan
Usaha (BPRKU) 3 termasuk BPRS yang memiliki
modal inti yang setara dengan BPRKU 3,
perusahaan efek yang mengadministrasikan
rekening efek nasabah, dan Emiten dengan aset
skala menengah mulai berlaku pada tanggal 1
Januari 2022;
d. bagi LJK berupa BPRKU 1 dan BPRKU 2 serta
BPRS yang memiliki modal inti yang setara
dengan BPRKU 1 atau BPRKU 2, Emiten dengan
aset skala kecil, perusahaan efek yang tidak
mengadministrasikan rekening efek nasabah,
perusahaan pergadaian, perusahaan penjaminan,
dan perusahaan penjaminan syariah mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 2024; dan
e. bagi LJK berupa dana pensiun dengan total aset
paling sedikit Rp1.000.000.000.000,00 (satu
triliun rupiah) mulai berlaku pada tanggal 1
Januari 2025.
- 8 -
(2) Dalam hal LJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
juga merupakan Emiten atau Perusahaan Publik,
kewajiban penerapan Keuangan Berkelanjutan oleh
LJK mulai berlaku pada tanggal penerapan Keuangan
Berkelanjutan yang lebih awal.
BAB II
PENERAPAN KEUANGAN BERKELANJUTAN
Pasal 4
(1) Untuk menerapkan
Keuangan
Berkelanjutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) LJK
wajib menyusun Rencana Aksi Keuangan
Berkelanjutan
sebagaimana tercantum
dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan setiap
tahun kepada Otoritas Jasa Keuangan:
a. pada waktu yang sama dengan penyampaian
rencana bisnis bagi LJK yang diwajibkan untuk
menyampaikan rencana bisnis sebagai bagian
dari rencana bisnis atau dalam dokumen
terpisah; dan
b. paling lambat tanggal 31 Januari bagi LJK yang
tidak diwajibkan untuk menyampaikan rencana
bisnis.
(3) Apabila batas waktu penyampaian Rencana Aksi
Keuangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu,
atau hari libur, Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan
wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya.
(4) Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan wajib disusun
oleh Direksi dan disetujui oleh Dewan Komisaris.
(5) LJK yang juga merupakan Emiten atau Perusahaan
Publik wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4).
- 9 -
Pasal 5
LJK wajib melaksanakan Rencana Aksi Keuangan
Berkelanjutan secara efektif.
Pasal 6
LJK wajib mengomunikasikan Rencana Aksi Keuangan
Berkelanjutan kepada:
a. pemegang saham; dan
b. seluruh jenjang organisasi yang ada pada LJK.
Pasal 7
(1) Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib disusun
berdasarkan prioritas masing-masing LJK paling
sedikit:
a. pengembangan Produk dan/atau Jasa Keuangan
Berkelanjutan termasuk peningkatan portofolio
pembiayaan, investasi atau penempatan pada
instrumen keuangan atau proyek yang sejalan
dengan penerapan Keuangan Berkelanjutan;
b. pengembangan kapasitas intern LJK; atau
c. penyesuaian organisasi, manajemen risiko, tata
kelola, dan/atau standar prosedur operasional
(standard operating procedure) LJK yang sesuai
dengan prinsip penerapan Keuangan
Berkelanjutan.
(2) Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dengan target
waktu penerapan.
Pasal 8
(1) LJK yang diwajibkan melaksanakan TJSL wajib
mengalokasikan sebagian dana TJSL untuk
mendukung kegiatan penerapan Keuangan
Berkelanjutan.
- 10 -
(2) Emiten yang bukan merupakan LJK dan Perusahaan
Publik yang bukan merupakan LJK namun diwajibkan
melaksanakan TJSL dapat mengalokasikan sebagian
dana TJSL untuk mendukung kegiatan penerapan
Keuangan Berkelanjutan.
(3) Alokasi dana TJSL sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dituangkan dalam Rencana Aksi Keuangan
Berkelanjutan.
(4) Laporan penggunaan dana TJSL sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dituangkan dalam
Laporan Keberlanjutan.
BAB III
PEMBERIAN INSENTIF
Pasal 9
(1) LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik yang
menerapkan Keuangan Berkelanjutan secara efektif
dapat diberikan insentif oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa:
a. mengikutsertakan LJK, Emiten, dan Perusahaan
Publik dalam program pengembangan kompetensi
sumber daya manusia;
b. penganugerahan Sustainable Finance Award;
dan/atau
c. insentif lain.
BAB IV
PENYAMPAIAN RENCANA AKSI KEUANGAN
BERKELANJUTAN, PELAPORAN, DAN PUBLIKASI
Pasal 10
(1) LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik wajib menyusun
Laporan Keberlanjutan.
- 11 -
(2) Laporan Keberlanjutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disusun secara terpisah dari laporan tahunan
atau sebagai bagian yang tidak terpisah dari laporan
tahunan.
(3) Laporan Keberlanjutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan setiap tahun paling lambat sesuai dengan
batas waktu penyampaian laporan tahunan yang
berlaku untuk masing-masing LJK, Emiten, dan
Perusahaan Publik.
(4) Dalam hal LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik
menyampaikan Laporan Keberlanjutan secara
terpisah dari laporan tahunan, Laporan Keberlanjutan
wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan
setiap tahun paling lambat pada tanggal 30 April
tahun berikutnya.
(5) Apabila batas waktu penyampaian Laporan
Keberlanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, atau hari libur,
Laporan Keberlanjutan wajib disampaikan pada hari
kerja berikutnya.
(6) Laporan Keberlanjutan pertama kali wajib
disampaikan untuk periode laporan:
a. tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31
Desember 2019 untuk LJK berupa BUKU 3,
BUKU 4, dan bank asing;
b. tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31
Desember 2020 untuk LJK berupa BUKU 1 dan
BUKU 2, perusahaan pembiayaan, perusahaan
pembiayaan syariah, perusahaan modal ventura,
perusahaan modal ventura syariah, perusahaan
pembiayaan infrastruktur, perusahaan asuransi,
perusahaan asuransi syariah, perusahaan
reasuransi, perusahaan reasuransi syariah,
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia,
perusahaan pembiayaan sekunder perumahan,
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Emiten
- 12 -
selain Emiten dengan aset skala kecil dan Emiten
dengan aset skala menengah, serta Perusahaan
Publik;
c. tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31
Desember 2022 untuk LJK berupa BPRKU 3
termasuk BPRS yang memiliki modal inti yang
setara dengan BPRKU 3, perusahaan efek yang
mengadministrasikan rekening efek nasabah, dan
Emiten dengan aset skala menengah;
d. tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31
Desember 2024 untuk LJK berupa BPRKU 1 dan
BPRKU 2 serta BPRS yang memiliki modal inti
yang setara dengan BPRKU 1 atau BPRKU 2,
Emiten dengan aset skala kecil, perusahaan efek
yang tidak mengadministrasikan rekening efek
nasabah, perusahaan pergadaian, perusahaan
penjaminan, dan perusahaan penjaminan
syariah; dan
e. tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal
31 Desember 2025 bagi LJK berupa dana pensiun
dengan total
aset
paling
sedikit
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah).
(7) Dalam hal LJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
juga merupakan Emiten atau Perusahaan Publik,
kewajiban penyampaian Laporan Keberlanjutan
pertama kali disampaikan oleh LJK untuk periode
Laporan Keberlanjutan yang lebih awal.
(8) Laporan Keberlanjutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib disusun dengan format sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran II yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Pasal 11
Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Laporan
Keberlanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
- 13 -
ayat (1) disampaikan secara luring (offline) kepada Otoritas
Jasa Keuangan:
a. bagi LJK berupa bank, ditujukan kepada:
1. Departemen Pengawasan Bank terkait atau
Departemen Perbankan Syariah bagi bank yang
berkantor pusat atau memiliki kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri yang
berada di wilayah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta; atau
2. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau
Kantor Otoritas Jasa Keuangan
membawahkan wilayah kantor pusat bank;
yang
b. bagi LJK berupa Perusahaan Efek, Emiten yang bukan
merupakan LJK, dan Perusahaan Publik yang bukan
merupakan LJK ditujukan kepada Departemen
Pengawasan Pasar Modal terkait;
c. bagi LJK berupa perusahaan pembiayaan, perusahaan
pembiayaan syariah, perusahaan modal ventura,
perusahaan modal ventura syariah, perusahaan
pembiayaan infrastruktur, perusahaan asuransi,
perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi,
perusahaan reasuransi syariah, dan dana pensiun
ditujukan kepada Departemen Pengawasan Industri
Keuangan Nonbank terkait; dan
d. bagi Lembaga Jasa Keuangan Lainnya ditujukan
kepada Departemen yang mengawasi masing-masing
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
Pasal 12
(1) LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik wajib
mempublikasikan Laporan Keberlanjutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).
(2) Publikasi Laporan
Keberlanjutan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan melalui situs
web LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik paling
lambat pada tanggal 30 April tahun berikutnya.
- 14 -
(3) Bagi LJK yang belum memiliki situs web, Laporan
Keberlanjutan wajib dipublikasikan melalui media
cetak atau media pengumuman lain yang mudah
terbaca oleh publik paling lambat pada tanggal 30
April tahun berikutnya.
BAB V
SANKSI
Pasal 13
(1) LJK yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 sampai
dengan Pasal 7, Pasal 8 ayat (1), Pasal 10, dan/atau
Pasal 12 dikenakan sanksi administratif berupa
teguran atau peringatan tertulis.
(2) Emiten yang bukan merupakan LJK dan Perusahaan
Publik yang bukan merupakan LJK yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1), Pasal 10, dan/atau Pasal 12 dikenakan
sanksi administratif berupa teguran atau peringatan
tertulis.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 15 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Juli 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Juli 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 169
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 51/POJK.03/2017 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN KEUANGAN BERKELANJUTAN BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN, EMITEN, DAN PERUSAHAAN PUBLIK </reg_title>
<set_date> 18 Juli 2017 </set_date>
<effective_date> 27 Juli 2017 </effective_date>
<issued_date> 27 Juli 2017 </issued_date>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '11/UU/1992', '8/UU/1995', '21/UU/2011', '2/UU/2009', '21/UU/2008', '24/UU/2011', '40/UU/2014', '1/UU/2016' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 53 /POJK.04/2017
TENTANG
PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM DAN
PENAMBAHAN MODAL DENGAN MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK
TERLEBIH DAHULU OLEH EMITEN DENGAN ASET SKALA KECIL ATAU
EMITEN DENGAN ASET SKALA MENENGAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk memberikan kesempatan yang lebih luas
bagi emiten dengan aset skala kecil atau emiten dengan
aset skala menengah memperoleh pendanaan melalui
pasar modal, perlu menyempurnakan ketentuan
peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal
terkait pedoman mengenai bentuk dan isi pernyataan
pendaftaran dalam rangka penawaran umum oleh
perusahaan menengah atau kecil; dan
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Pernyataan Pendaftaran
Dalam Rangka Penawaran Umum dan Penambahan
Modal dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih
Dahulu oleh Emiten dengan Aset Skala Kecil atau Emiten
dengan Aset Skala Menengah;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN
UMUM DAN PENAMBAHAN MODAL DENGAN MEMBERIKAN
HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU OLEH EMITEN
DENGAN ASET SKALA KECIL ATAU EMITEN DENGAN ASET
SKALA MENENGAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Emiten adalah Pihak yang melakukan penawaran umum.
2. Emiten dengan Aset Skala Kecil yang selanjutnya disebut
Emiten Skala Kecil adalah Emiten berbentuk badan
hukum yang didirikan di Indonesia yang:
a. memiliki total aset atau istilah lain yang setara,
tidak lebih dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar rupiah) berdasarkan laporan keuangan yang
digunakan dalam dokumen pernyataan pendaftaran;
dan
b. tidak dikendalikan baik langsung maupun tidak
langsung oleh:
- 3 -
1) pengendali dari Emiten atau Perusahaan Publik
yang bukan Emiten Skala Kecil atau Emiten
dengan aset skala menengah; dan/atau
2) perusahaan yang memiliki aset lebih dari
Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh
miliar rupiah).
3. Emiten dengan Aset Skala Menengah yang selanjutnya
disebut Emiten Skala Menengah adalah Emiten
berbentuk badan hukum yang didirikan di Indonesia
yang:
a. memiliki total aset atau istilah lain yang setara, lebih
dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)
sampai dengan Rp250.000.000.000,00 (dua ratus
lima puluh miliar rupiah) berdasarkan laporan
keuangan yang digunakan dalam dokumen
pernyataan pendaftaran; dan
b. tidak dikendalikan baik langsung maupun tidak
langsung oleh:
1) pengendali dari Emiten atau Perusahaan Publik
yang bukan Emiten Skala Kecil atau Emiten
Skala Menengah; dan/atau
2) perusahaan yang memiliki aset lebih dari
Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh
miliar rupiah).
4. Pernyataan Pendaftaran adalah dokumen yang wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Emiten
dalam rangka penawaran umum atau Perusahaan Publik.
5. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran efek yang
dilakukan oleh Emiten untuk menjual efek kepada
masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal dan peraturan pelaksanaannya.
6. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan
utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda
bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif,
- 4 -
kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari
Efek.
7. Pengendali adalah pihak yang memiliki saham lebih dari
50% (lima puluh persen) dari seluruh saham yang disetor
penuh, atau pihak yang mempunyai kemampuan untuk
menentukan, baik langsung maupun tidak langsung,
dengan cara apapun pengelolaan dan/atau
kebijaksanaan Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala
Menengah.
8. Penawaran Umum oleh Emiten Skala Kecil adalah
Penawaran Umum yang dilakukan oleh Emiten Skala
Kecil dengan nilai keseluruhan Efek yang ditawarkan,
tidak termasuk Efek lain yang menyertainya, dengan
jumlah tidak lebih dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar rupiah).
9. Penawaran Umum oleh Emiten Skala Menengah adalah
Penawaran Umum yang dilakukan oleh Emiten Skala
Menengah dengan nilai keseluruhan Efek yang
ditawarkan, tidak termasuk Efek lain yang menyertainya,
dengan jumlah tidak lebih dari Rp250.000.000.000,00
(dua ratus lima puluh miliar rupiah).
10. Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu yang selanjutnya
disingkat HMETD adalah hak yang melekat pada saham
yang memberikan kesempatan pemegang saham yang
bersangkutan untuk membeli saham dan/atau Efek
bersifat ekuitas lainnya baik yang dapat dikonversikan
menjadi saham atau yang memberikan hak untuk
membeli saham, sebelum ditawarkan kepada pihak lain.
11. Waran adalah Efek yang diterbitkan oleh suatu
perusahaan yang memberi hak kepada pemegang Efek
untuk memesan saham dari perusahaan tersebut pada
harga tertentu setelah 6 (enam) bulan sejak Efek
dimaksud diterbitkan.
12. Kontrak Perwaliamanatan adalah perjanjian antara
Emiten dan wali amanat dalam rangka penerbitan Efek
bersifat utang yang dibuat dalam bentuk akta notariil.
- 5 -
13. Penjamin Emisi Efek adalah Pihak yang membuat
kontrak dengan Emiten untuk melakukan Penawaran
Umum bagi kepentingan Emiten dengan atau tanpa
kewajiban untuk membeli sisa Efek yang tidak terjual.
14. Akuntan Publik adalah seseorang yang telah memperoleh
izin untuk memberikan jasa sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan mengenai
akuntan publik dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
15. Pemegang Saham Utama adalah pihak yang, baik secara
langsung maupun tidak langsung, memiliki paling sedikit
20% (dua puluh persen) hak suara dari seluruh saham
yang mempunyai hak suara yang dikeluarkan oleh suatu
perusahaan atau jumlah yang lebih kecil dari itu
sebagaimana ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
16. Pembeli Siaga adalah pihak yang akan membeli baik
sebagian maupun seluruh sisa saham dan/atau Efek
bersifat ekuitas lainnya yang tidak diambil oleh
pemegang HMETD.
Pasal 2
Penawaran Umum oleh Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala
Menengah wajib mengikuti ketentuan peraturan perundang-
undangan di sektor pasar modal mengenai tata cara
pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum dan ketentuan
peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal
mengenai tata cara untuk meminta perubahan dan/atau
tambahan informasi atas Pernyataan Pendaftaran.
Pasal 3
Emiten Skala Kecil yang melakukan Penawaran Umum
dengan nilai keseluruhan Efek yang ditawarkan lebih dari
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan tidak
lebih dari Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar
rupiah), tidak termasuk Efek lain yang menyertai Efek yang
ditawarkan, wajib mengikuti ketentuan Penawaran Umum
oleh Emiten Skala Menengah.
- 6 -
Pasal 4
Dalam hal Penawaran Umum disertai dengan penerbitan
Waran, jumlah Waran yang akan diterbitkan dan Waran yang
telah beredar tidak boleh melebihi 35% (tiga puluh lima
persen) dari jumlah saham yang telah ditempatkan dan
disetor penuh pada saat Pernyataan Pendaftaran disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 5
Penambahan modal oleh Emiten Skala Kecil atau Emiten
Skala Menengah dengan memberikan HMETD, wajib
mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai penambahan modal
perusahaan terbuka dengan memberikan HMETD, kecuali
diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 6
Prospektus dalam rangka Penawaran Umum dan penambahan
modal dengan memberikan HMETD oleh Emiten Skala Kecil
atau Emiten Skala Menengah wajib mengikuti ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai bentuk dan isi prospektus dalam rangka
Penawaran Umum dan penambahan modal dengan
memberikan HMETD oleh Emiten dengan Aset Skala Kecil
atau Emiten dengan Aset Skala Menengah.
BAB II
PERNYATAAN PENDAFTARAN OLEH EMITEN SKALA KECIL
Pasal 7
(1) Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum
oleh Emiten Skala Kecil paling sedikit harus terdiri atas:
- 7 -
a. surat pengantar Pernyataan Pendaftaran sesuai
dengan format Surat Pengantar Pernyataan
Pendaftaran sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
b. prospektus; dan
c. dokumen lain yang harus disampaikan sebagai
bagian dari Pernyataan Pendaftaran.
(2) Dokumen lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c meliputi:
a. laporan keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan
Publik;
b. pendapat dari segi hukum;
c. riwayat hidup dari anggota dewan komisaris atau
organ lain yang setara dan anggota direksi atau
organ lain yang setara;
d. perjanjian dengan Penjamin Emisi Efek (jika
menggunakan Penjamin Emisi Efek);
e. pernyataan dari penjamin pelaksana emisi Efek (jika
menggunakan penjamin pelaksana emisi Efek)
sesuai dengan format Pernyataan Penjamin
Pelaksana Emisi Efek sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
f.
pernyataan dari Emiten Skala Kecil sesuai dengan
format Pernyataan Emiten Skala Kecil sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini;
g. pernyataan dari profesi penunjang pasar modal
sesuai dengan format Pernyataan Profesi Penunjang
Pasar Modal sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
h. pernyataan tentang komitmen Emiten Skala Kecil
untuk memenuhi ketentuan mengenai organ
- 8 -
dan/atau fungsi tata kelola bagi Emiten berdasarkan
ketentuan yang berlaku di pasar modal sesuai
dengan format Pernyataan tentang Komitmen dalam
Pemenuhan Organ dan/atau Fungsi Tata Kelola oleh
Emiten Skala Kecil sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini (jika
diperlukan); dan
i. dokumen yang memuat informasi lain sesuai dengan
permintaan Otoritas Jasa Keuangan yang dianggap
perlu dalam penelaahan Pernyataan Pendaftaran,
sepanjang dapat diumumkan kepada masyarakat
tanpa merugikan kepentingan Emiten Skala Kecil.
Pasal 8
Dalam hal Emiten Skala Kecil melakukan Pernyataan
Pendaftaran dalam rangka penambahan modal dengan
memberikan HMETD, selain wajib menyampaikan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 kecuali Pasal 7 ayat (2)
huruf b, huruf e, dan huruf h, Emiten Skala Kecil harus
menyampaikan dokumen:
a. bukti kecukupan dana dari:
1. Pemegang Saham Utama (jika Pemegang Saham
Utama melaksanakan haknya);
2. Pembeli Siaga (jika terdapat Pembeli Siaga);
dan/atau
3. pihak yang memperoleh pengalihan HMETD dari
Pemegang Saham Utama (jika terdapat pihak yang
memperoleh pengalihan HMETD);
b. perjanjian pembelian sisa Efek (jika terdapat Pembeli
Siaga);
c. pendapat dari segi hukum yang berkaitan dengan aspek
hukum dari penambahan modal dengan memberikan
HMETD termasuk penggunaan dananya;
d. surat pencabutan pembatasan yang dapat merugikan
kepentingan pemegang saham publik dari kreditur; dan
- 9 -
e. dokumen yang berkaitan dengan penambahan modal
dalam bentuk lain selain uang, paling sedikit meliputi:
1. laporan penilai atas objek penyetoran;
2. pendapat dari segi hukum atas objek penyetoran;
dan
3. laporan keuangan perusahaan lain, dalam hal objek
penyetoran adalah saham perusahaan lain, yang
diaudit Akuntan Publik yang menjadi objek
penyetoran untuk jangka waktu 2 (dua) tahun
terakhir atau sejak berdirinya, kecuali perusahaan
lain tersebut berada di luar yurisdiksi Indonesia
dapat diaudit oleh akuntan yang terdaftar di negara
yang bersangkutan.
Pasal 9
Dalam hal Emiten Skala Kecil mengajukan Pernyataan
Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Efek bersifat
utang, selain harus menyampaikan dokumen lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Emiten Skala
Kecil harus menyampaikan dokumen:
a. peringkat yang dikeluarkan oleh perusahaan pemeringkat
Efek atas Efek bersifat utang dan/atau sukuk;
b. Kontrak Perwaliamanatan; dan
c.
perjanjian penanggungan (jika ada).
Pasal 10
(1) Dalam hal Emiten Skala Kecil mengajukan Pernyataan
Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum sukuk,
selain harus menyampaikan dokumen lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Emiten Skala Kecil
harus menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
penerbitan dan persyaratan sukuk kecuali kewajiban
penyampaian pernyataan kesesuaian syariah.
(2) Kewajiban penyampaian pernyataan kesesuaian syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan
- 10 -
sebelum diterimanya pernyataan Otoritas Jasa Keuangan
bahwa Emiten Skala Kecil wajib mengumumkan
keterbukaan informasi.
Pasal 11
Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2) huruf a, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. laporan keuangan 1 (satu) tahun terakhir atau sejak
berdirinya bagi Emiten yang berdiri kurang dari 1 (satu)
tahun;
b. penyusunan dan penyajian laporan keuangan dapat
menggunakan standar akuntansi keuangan untuk entitas
tanpa akuntabilitas publik;
c. dalam hal efektifnya Pernyataan Pendaftaran melebihi
6 (enam) bulan dari laporan keuangan tahunan terakhir,
laporan keuangan tahunan terakhir harus dilengkapi
dengan laporan keuangan interim yang telah diaudit oleh
Akuntan Publik, sehingga jangka waktu antara tanggal
efektif Pernyataan Pendaftaran dan tanggal laporan
keuangan interim tidak melampaui 6 (enam) bulan;
d.
laporan keuangan interim sebagaimana dimaksud dalam
huruf c harus disajikan dengan perbandingan periode
interim yang sama dari 1 (satu) tahun buku sebelumnya,
kecuali untuk laporan posisi keuangan; dan
e.
laporan keuangan interim yang digunakan sebagai
pembanding tidak harus diaudit.
Pasal 12
Dalam hal Emiten Skala Kecil menerapkan standar akuntansi
keuangan untuk entitas tanpa akuntabilitas publik pada
laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar
modal mengenai penyajian dan pengungkapan laporan
keuangan Emiten atau perusahaan publik dinyatakan tidak
berlaku bagi Emiten Skala Kecil.
- 11 -
Pasal 13
Dalam hal Emiten Skala Kecil melakukan Pernyataan
Pendaftaran dalam rangka penambahan modal dengan
memberikan HMETD, ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf a tidak
berlaku, namun wajib menyampaikan laporan keuangan
interim yang telah diaudit Akuntan Publik dengan ketentuan:
a.
jika laporan keuangan tahunan terakhir yang telah
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan akan
berumur lebih dari 6 (enam) bulan pada saat Pernyataan
Pendaftaran menjadi efektif; dan
b. jangka waktu antara tanggal laporan keuangan interim
yang diaudit Akuntan Publik dan efektifnya Pernyataan
Pendaftaran tidak lebih dari 6 (enam) bulan.
Pasal 14
(1) Pendapat dari segi hukum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2) huruf b mencakup semua aspek hukum
Emiten Skala Kecil, kecuali:
a. pemeriksaan anggaran dasar hanya mencakup
anggaran dasar pada saat pendirian dan anggaran
dasar terakhir; dan
b. pemeriksaan struktur permodalan dan perubahan
kepemilikan saham hanya mencakup 2 (dua) tahun
terakhir atau sejak berdirinya jika kurang dari 2
(dua) tahun sebelum Pernyataan Pendaftaran.
(2) Dalam hal dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b tidak terdapat perubahan struktur
permodalan dan kepemilikan saham, laporan
pemeriksaan segi hukum mencakup pemeriksaan
struktur permodalan dan kepemilikan saham terakhir.
Pasal 15
(1) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta informasi
dan/atau dokumen lain yang tidak merupakan bagian
dari Pernyataan Pendaftaran meliputi:
- 12 -
a. surat pernyataan bermeterai cukup dari Emiten
Skala Kecil, anggota direksi atau organ lain yang
setara, dan/atau anggota dewan komisaris atau
organ lain yang setara tentang terlibat atau tidaknya
dalam perkara hukum;
b. surat pernyataan dari pihak yang membantu
penyusunan prospektus (jika ada):
1. surat pernyataan persetujuan pencantuman
nama pihak tersebut di prospektus; dan/atau
2. surat pencabutan dalam hal pihak tersebut
mencabut persetujuannya;
c. keterangan lain yang diterima oleh Otoritas Jasa
Keuangan dari pihak yang membantu dalam
Penawaran Umum untuk mendukung kecukupan
dan ketelitian dari pengungkapan yang diwajibkan
(jika ada); dan/atau
d. dokumen lain yang dibutuhkan.
(2) Permintaan informasi dan/atau dokumen lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dimaksudkan
untuk diumumkan kepada masyarakat karena dapat
merugikan kepentingan Emiten Skala Kecil atau pihak
terafiliasi.
(3) Pencabutan persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b angka 2 hanya dapat dilakukan sebelum
efektifnya Pernyataan Pendaftaran.
BAB III
PERNYATAAN PENDAFTARAN OLEH EMITEN SKALA
MENENGAH
Pasal 16
(1) Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum
oleh Emiten Skala Menengah paling sedikit harus terdiri
atas:
a. surat pengantar Pernyataan Pendaftaran sesuai
dengan format Surat Pengantar Pernyataan
- 13 -
Pendaftaran sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
b. prospektus; dan
c. dokumen lain yang harus disampaikan sebagai
bagian dari Pernyataan Pendaftaran.
(2) Dokumen lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c meliputi:
a. laporan keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan
Publik;
b. pendapat dari segi hukum;
c. riwayat hidup dari anggota dewan komisaris atau
organ lain yang setara dan anggota direksi atau
organ lain yang setara;
d. perjanjian dengan Penjamin Emisi Efek (jika
menggunakan Penjamin Emisi Efek);
e. pernyataan dari penjamin pelaksana emisi Efek (jika
menggunakan penjamin pelaksana emisi Efek)
sesuai dengan format Pernyataan Penjamin
Pelaksana Emisi Efek sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
f.
pernyataan dari Emiten Skala Menengah sesuai
dengan format Pernyataan Emiten Skala Menengah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini;
g. pernyataan dari profesi penunjang pasar modal
sesuai dengan format Pernyataan Profesi Penunjang
Pasar Modal sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
h. pernyataan tentang komitmen Emiten Skala
Menengah untuk memenuhi ketentuan mengenai
organ dan/atau fungsi tata kelola berdasarkan
ketentuan yang berlaku di pasar modal sesuai
- 14 -
dengan format Pernyataan tentang Komitmen dalam
Pemenuhan Organ dan/atau Fungsi Tata Kelola oleh
Emiten Skala Menengah sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini (jika diperlukan); dan
i. dokumen yang memuat informasi lain sesuai dengan
permintaan Otoritas Jasa Keuangan yang dianggap
perlu dalam penelaahan Pernyataan Pendaftaran,
sepanjang dapat diumumkan kepada masyarakat
tanpa merugikan kepentingan Emiten Skala
Menengah.
Pasal 17
Dalam hal Emiten Skala Menengah melakukan Pernyataan
Pendaftaran dalam rangka penambahan modal dengan
memberikan HMETD, selain wajib menyampaikan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 kecuali Pasal 16 ayat
(2) huruf b, huruf e, dan huruf h, Emiten Skala Menengah
harus menyampaikan dokumen:
a. bukti kecukupan dana dari:
1. Pemegang Saham Utama (jika Pemegang Saham
Utama melaksanakan haknya);
2. Pembeli Siaga (jika terdapat Pembeli Siaga);
dan/atau
3. pihak yang memperoleh pengalihan HMETD dari
Pemegang Saham Utama (jika terdapat pihak yang
memperoleh pengalihan dana);
b. perjanjian pembelian sisa Efek (jika terdapat Pembeli
Siaga);
c. pendapat dari segi hukum yang berkaitan dengan aspek
hukum dari penambahan modal dengan memberikan
HMETD termasuk penggunaan dananya;
d. surat pencabutan pembatasan yang dapat merugikan
kepentingan pemegang saham publik dari kreditur; dan
- 15 -
e. dokumen lain yang berkaitan dengan penambahan modal
dalam bentuk lain selain uang, paling sedikit meliputi:
1. laporan penilai atas objek penyetoran;
2. pendapat dari segi hukum atas objek penyetoran;
dan
3. laporan keuangan perusahaan lain, dalam hal objek
penyetoran adalah saham perusahaan lain, yang
diaudit Akuntan Publik yang menjadi objek
penyetoran untuk jangka waktu 2 (dua) tahun
terakhir atau sejak berdirinya, kecuali perusahaan
lain tersebut berada di luar yurisdiksi Indonesia
dapat diaudit oleh akuntan yang terdaftar di negara
yang bersangkutan.
Pasal 18
Dalam hal Emiten Skala Menengah mengajukan Pernyataan
Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Efek bersifat
utang, selain harus menyampaikan dokumen lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), Emiten Skala
Menengah harus menyampaikan dokumen:
a. peringkat yang dikeluarkan oleh perusahaan pemeringkat
Efek atas Efek bersifat utang dan/atau sukuk;
b. Kontrak Perwaliamanatan; dan
c.
perjanjian penanggungan (jika ada).
Pasal 19
(1) Dalam hal Emiten Skala Menengah mengajukan
Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum
sukuk, selain harus menyampaikan dokumen lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), Emiten
Skala Menengah harus menyampaikan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai penerbitan dan persyaratan sukuk
kecuali kewajiban penyampaian pernyataan kesesuaian
syariah.
- 16 -
(2) Kewajiban penyampaian pernyataan kesesuaian syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan
sebelum diterimanya pernyataan Otoritas Jasa Keuangan
bahwa Emiten Skala Menengah wajib mengumumkan
keterbukaan informasi.
Pasal 20
Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (2) huruf a, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir atau sejak
berdirinya bagi Emiten yang berdiri kurang dari 2 (dua)
tahun yang disajikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor pasar modal yang
mengatur mengenai penyajian dan pengungkapan
laporan keuangan Emiten atau perusahaan publik serta
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor
pasar modal yang mengatur mengenai pedoman
akuntansi perusahaan Efek;
b. dalam hal efektifnya Pernyataan Pendaftaran melebihi
6 (enam) bulan dari laporan keuangan tahunan terakhir,
laporan keuangan tahunan terakhir harus dilengkapi
dengan laporan keuangan interim yang telah diaudit oleh
Akuntan Publik, sehingga jangka waktu antara tanggal
efektif Pernyataan Pendaftaran dan tanggal laporan
keuangan interim tidak melampaui 6 (enam) bulan;
c.
laporan keuangan interim sebagaimana dimaksud dalam
huruf b harus disajikan dengan perbandingan periode
interim yang sama dari 1 (satu) tahun buku sebelumnya,
kecuali untuk laporan posisi keuangan; dan
d.
laporan keuangan interim yang digunakan sebagai
pembanding tidak harus diaudit.
Pasal 21
Dalam hal Emiten Skala Menengah melakukan Pernyataan
Pendaftaran dalam rangka penambahan modal dengan
memberikan HMETD, ketentuan Pasal 16 ayat (2) huruf a
- 17 -
tidak berlaku, namun wajib menyampaikan laporan keuangan
interim yang telah diaudit Akuntan Publik dengan ketentuan:
a.
jika laporan keuangan tahunan terakhir yang telah
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan akan
berumur lebih dari 6 (enam) bulan pada saat Pernyataan
Pendaftaran menjadi efektif; dan
b. jangka waktu antara tanggal laporan keuangan interim
yang diaudit Akuntan Publik dan efektifnya Pernyataan
Pendaftaran tidak lebih dari 6 (enam) bulan.
Pasal 22
(1) Pendapat dari segi hukum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (2) huruf b mencakup semua aspek hukum
Emiten Skala Menengah, kecuali:
a. pemeriksaan anggaran dasar hanya mencakup
anggaran dasar pada saat pendirian dan anggaran
dasar terakhir; dan
b. pemeriksaan struktur permodalan dan perubahan
kepemilikan saham hanya mencakup 2 (dua) tahun
terakhir atau sejak berdirinya jika kurang dari
2 (dua) tahun sebelum Pernyataan Pendaftaran.
(2) Dalam hal dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b tidak terdapat perubahan struktur
permodalan dan kepemilikan saham, laporan
pemeriksaan segi hukum mencakup pemeriksaan
struktur permodalan dan kepemilikan saham terakhir.
Pasal 23
(1) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta informasi
dan/atau dokumen lain yang tidak merupakan bagian
dari Pernyataan Pendaftaran meliputi:
a. surat pernyataan bermeterai cukup dari Emiten
Skala Menengah, anggota direksi atau organ lain
yang setara, dan/atau anggota dewan komisaris
atau organ lain yang setara tentang terlibat atau
tidaknya dalam perkara hukum;
- 18 -
b. surat pernyataan dari pihak yang membantu
penyusunan prospektus (jika ada):
1. surat pernyataan persetujuan pencantuman
nama pihak tersebut di prospektus; dan/atau
2. surat pencabutan dalam hal pihak tersebut
mencabut persetujuannya;
c. keterangan lain yang diterima oleh Otoritas Jasa
Keuangan dari pihak yang membantu dalam suatu
Penawaran Umum untuk mendukung kecukupan
dan ketelitian dari pengungkapan yang diwajibkan
(jika ada); dan/atau
d. dokumen lain yang dibutuhkan.
(2) Permintaan informasi dan/atau dokumen lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dimaksudkan
untuk diumumkan kepada masyarakat karena dapat
merugikan kepentingan Emiten Skala Menengah atau
pihak terafiliasi Emiten Skala Menengah.
(3) Pencabutan persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b angka 2 hanya dapat dilakukan sebelum
efektifnya Pernyataan Pendaftaran.
BAB IV
KETERBUKAAN INFORMASI
Pasal 24
(1) Setelah disampaikannya Pernyataan Pendaftaran dalam
rangka Penawaran Umum, Emiten Skala Kecil dan
Emiten Skala Menengah, serta setiap pihak yang
memberikan pendapat atau keterangan dan atas
persetujuannya, pendapat atau keterangan tersebut
dimuat dalam Pernyataan Pendaftaran dan dokumen
pendukungnya, dilarang mengumumkan keterbukaan
informasi mengenai Penawaran Umum sampai dengan
diterimanya pernyataan Otoritas Jasa Keuangan bahwa
Emiten Skala Kecil dan Emiten Skala Menengah wajib
mengumumkan keterbukaan informasi.
- 19 -
(2) Keterbukaan informasi mengenai Penawaran Umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diumumkan
paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah diterimanya
pernyataan Otoritas Jasa Keuangan bahwa Emiten Skala
Kecil atau Emiten Skala Menengah sudah dapat
melakukan penawaran awal dan/atau menyebarkan
informasi yang berkaitan dengan Penawaran Umum.
(3) Keterbukaan informasi mengenai Penawaran Umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diumumkan
dalam situs web Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala
Menengah atau situs web Penjamin Emisi Efek (jika
menggunakan Penjamin Emisi Efek).
Pasal 25
Informasi yang dimuat dalam keterbukaan informasi
sebagaimana dimaksud Pasal 24 ayat (2) paling sedikit
meliputi:
a. tanggal terkait Penawaran Umum;
b. jumlah Efek yang ditawarkan;
c. nilai nominal (jika ada);
d. harga penawaran (jika ada);
e. total nilai Penawaran Umum;
f.
Efek lain yang menyertai (jika ada);
g. rencana penggunaan dana;
h. hasil pemeringkatan Efek dari perusahaan pemeringkat
Efek; dan
i.
keterangan yang menyatakan bahwa prospektus dan
formulir pemesanan pembelian Efek tersedia di kantor
Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah atau
kantor Penjamin Emisi Efek dan/atau situs web Emiten
Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah atau situs web
Penjamin Emisi Efek.
Pasal 26
Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
melakukan penambahan modal dengan memberikan HMETD,
- 20 -
selain informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25,
Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah harus
menambahkan informasi:
a. tanggal dan hasil keputusan rapat umum pemegang
saham yang menyetujui penambahan modal dengan
memberikan HMETD;
b. rasio HMETD atas saham atau indikasi rasio HMETD
atas saham dalam hal rasio belum dapat ditentukan;
c. uraian mengenai perlakuan HMETD dalam bentuk
pecahan;
d. rasio Efek lain yang menyertai dengan saham yang akan
diterbitkan;
e. keterangan tentang rencana untuk mengeluarkan saham
dan/atau Efek bersifat ekuitas lainnya dalam waktu
12 (dua belas) bulan setelah tanggal efektif (jika ada);
f.
pernyataan yang menyatakan Pemegang Saham Utama
akan melaksanakan atau tidak melaksanakan HMETD
yang dimiliki dan informasi nama pihak yang akan
menerima pengalihan HMETD (jika ada);
g. keterangan mengenai Pembeli Siaga dan/atau calon
Pengendali (jika ada);
h. dampak dilusi bagi pemegang saham dari penerbitan
saham baru;
i.
uraian mengenai penyetoran atas saham dalam bentuk
lain selain uang paling sedikit meliputi:
1) keterangan tentang objek penyetoran;
2)
3) nama pihak yang melakukan penyetoran; dan
4) nilai setoran modal; dan
j. uraian singkat mengenai Efek bersifat utang yang dapat
atau wajib dikonversi (jika menerbitkan Efek dimaksud).
hasil penilaian atas nilai wajar objek penyetoran dan
kewajaran transaksi penyetoran;
- 21 -
BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 27
(1) Bagi Emiten Skala Kecil yang belum memenuhi
ketentuan terkait dengan organ dan/atau fungsi tata
kelola, wajib memenuhi ketentuan tersebut paling lambat
12 (dua belas) bulan sejak efektifnya Pernyataan
Pendaftaran Penawaran Umum perdana Efek.
(2) Bagi Emiten Skala Menengah yang belum memenuhi
ketentuan terkait dengan organ dan/atau fungsi tata
kelola, wajib memenuhi ketentuan tersebut paling lambat
6 (enam) bulan sejak efektifnya Pernyataan Pendaftaran
Penawaran Umum perdana Efek.
Pasal 28
(1) Dalam hal Emiten Skala Kecil yang telah melakukan
Penawaran Umum tidak lagi memenuhi kriteria sebagai
Emiten Skala Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 1, Emiten Skala Kecil dilarang menggunakan
standar akuntansi keuangan untuk entitas tanpa
akuntabilitas publik.
(2) Emiten Skala Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib menyajikan dan mengungkapkan laporan
keuangannya sesuai dengan pedoman penyajian dan
pengungkapan laporan keuangan sebagaimana diatur
dalam peraturan mengenai pedoman pengungkapan dan
penyajian laporan keuangan Emiten atau perusahaan
publik untuk periode laporan keuangan yang dimulai 1
(satu) tahun setelah Emiten Skala Kecil tidak lagi
memenuhi kriteria Emiten Skala Kecil.
Pasal 29
Ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini tidak
berlaku bagi Emiten yang memenuhi kriteria Emiten Skala
Kecil atau Emiten Skala Menengah yang telah menyampaikan
- 22 -
Pernyataan Pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan dan
Pernyataan Pendaftaran-nya telah memperoleh pernyataan
efektif dari Otoritas Jasa Keuangan pada saat
diundangkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 30
Surat Edaran Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor SE-06/BL/2010 tentang Penggunaan
Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas
Publik bagi Entitas yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal
atau Menghimpun dan/atau Mengelola Dana Masyarakat
Melalui Pasar Modal, Perusahaan Publik, dan Lembaga
Keuangan Non-Bank, tidak berlaku bagi Emiten Skala Kecil
yang menggunakan standar akuntansi keuangan untuk
entitas tanpa akuntabilitas publik sesuai dengan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB VI
KETENTUAN SANKSI
Pasal 31
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan/atau
g. pembatalan pendaftaran.
- 23 -
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 32
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 33
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 kepada masyarakat.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 34
Bagi Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah yang
telah mengajukan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka
Penawaran Umum kepada Otoritas Jasa Keuangan namun
Pernyataan Pendaftaran dimaksud belum efektif sebelum
berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dokumen
Pernyataan Pendaftaran yang disampaikan oleh Emiten Skala
Kecil atau Emiten Skala Menengah dalam rangka Penawaran
Umum tetap mengikuti Peraturan Nomor IX.C.7, lampiran
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor
Kep-11/PM/1997 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi
- 24 -
Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum
oleh Perusahaan Menengah atau Kecil.
Pasal 35
Bagi Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah yang
telah mengajukan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka
penambahan modal dengan memberikan HMETD kepada
Otoritas Jasa Keuangan namun Pernyataan Pendaftaran
dimaksud belum efektif sebelum berlakunya Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, dokumen Pernyataan Pendaftaran
yang disampaikan oleh Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala
Menengah dalam rangka penambahan modal dengan
memberikan HMETD tetap mengikuti Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 32/POJK.04/2015 tentang Penambahan
Modal Perusahaan Terbuka dengan Memberikan Hak
Memesan Efek Terlebih Dahulu.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 36
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor Kep-11/PM/1997 tentang Pedoman Mengenai Bentuk
Dan Isi Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran
Umum oleh Perusahaan Skala Menengah atau Kecil, beserta
Peraturan Nomor IX.C.7 yang merupakan lampirannya,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 37
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 25 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juli 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Juli 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 171
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 53 /POJK.04/2017
TENTANG
PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM DAN
PENAMBAHAN MODAL DENGAN MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK
TERLEBIH DAHULU OLEH EMITEN DENGAN SKALA ASET KECIL ATAU
EMITEN DENGAN SKALA ASET MENENGAH
I. UMUM
Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang pada pokoknya mengatur
bahwa setiap pihak yang akan melakukan Penawaran Umum wajib
menyampaikan Pernyataan Pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan
dan Pernyataan Pendaftaran tersebut telah menjadi efektif. Selanjutnya,
berdasarkan kewenangan yang diberikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1995 tentang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan memiliki kewenangan
untuk mengatur dokumen yang wajib disampaikan pada saat
penyampaian Pernyataan Pendaftaran. Pengaturan mengenai dokumen
yang harus disampaikan untuk penyampaian Pernyataan Pendaftaran
dalam rangka Penawaran Umum Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala
Menengah saat ini diatur dengan Peraturan Nomor IX.C.7, lampiran
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-11/PM/1997
tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Pernyataan Pendaftaran Dalam
Rangka Penawaran Umum oleh Perusahaan Menengah atau Kecil. Namun,
dalam perkembangannya perlu adanya penyesuaian atas definisi
mengenai Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah serta
penyederhanaan dokumen Pernyataan Pendaftaran sehingga
mempermudah akses bagi Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala
- 2 -
Menengah untuk memanfaatkan pasar modal sebagai sumber pendanaan
melalui Penawaran Umum.
Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam revisi Peraturan Nomor
IX.C.7 dilakukan perubahan atas definisi Emiten Skala Kecil atau Emiten
Skala Menengah dengan memisahkan definisi atas masing-masing Emiten
dan mengatur mengenai batasan klasifikasi total aset serta jumlah
Penawaran Umum yang dapat dilakukan oleh Emiten Skala Kecil atau
Emiten Skala Menengah. Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
dalam revisi peraturan ini merupakan Emiten berbentuk badan hukum,
antara lain perseroan terbatas, yayasan, dan koperasi. Selanjutnya,
dilakukan penyederhanaan dokumen Pernyataan Pendaftaran dalam
rangka Penawaran Umum oleh Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala
Menengah, yaitu antara lain:
a. penggunaan standar akuntansi keuangan yang berbeda pada Emiten
Skala Kecil, dimana untuk Emiten Skala Kecil dapat menggunakan
standar akuntansi keuangan untuk entitas tanpa akuntabilitas
publik;
b. mempersingkat periode kewajiban audit atas laporan keuangan
dalam rangka Penawaran Umum, dimana untuk Emiten Skala Kecil
laporan keuangan yang diaudit wajib 1 (satu) tahun atau sejak
berdirinya jika kurang dari 1 (satu) tahun sedangkan untuk Emiten
Skala Menengah wajib 2 (dua) tahun atau sejak berdirinya jika
kurang dari 2 (dua) tahun; dan
c. menghapus kewajiban penggunaan comfort letter dan surat
pernyataan manajemen dalam bidang akuntansi sebagai dokumen
Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum untuk
Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah.
Selain hal-hal tersebut di atas, diberikan pula kelonggaran dalam
penerapan ketentuan terkait tata kelola pada Emiten Skala Kecil atau
Emiten Skala Menengah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Huruf a
Bukti kecukupan dana dari masing-masing pihak untuk
mendukung masing-masing surat pernyataannya misalnya
rekening koran bank yang menunjukkan masing-masing pihak
mempunyai cukup dana untuk melaksanakan kewajibannya
membeli saham.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Dalam praktiknya, pembatasan dikenal juga dengan sebutan
negative covenant. Contoh: pembatasan pembagian dividen oleh
debitur kepada pemegang saham.
Huruf e
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Huruf a
Bukti kecukupan dana dari masing-masing pihak untuk
mendukung masing-masing surat pernyataannya misalnya
rekening koran bank yang menunjukkan masing-masing pihak
mempunyai cukup dana untuk melaksanakan kewajibannya
membeli saham.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
- 5 -
Huruf d
Dalam praktiknya, pembatasan dikenal juga dengan sebutan
negative covenant. Contoh: pembatasan pembagian dividen oleh
debitur kepada pemegang saham.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam praktiknya, penawaran awal dikenal juga dengan sebutan
bookbuilding.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Organ dan/atau fungsi terkait dengan tata kelola antara lain
komisaris independen, komite audit, satuan audit internal,
sekretaris perusahaan, dan komite remunerasi dan nominasi.
Ayat (2)
Organ dan/atau fungsi terkait dengan tata kelola antara lain
komisaris independen, komite audit, satuan audit internal,
sekretaris perusahaan, dan komite remunerasi dan nominasi.
Pasal 28
Ayat (1)
Contoh PT A Tbk memiliki total aset sebesar Rp 51 Miliar atau
menjadi afiliasi atau dikendalikan oleh suatu perusahaan yang
bukan Emiten dengan Aset Skala Kecil atau Emiten dengan Aset
Skala Menengah berdasarkan laporan keuangan tahunan untuk
periode yang berakhir tanggal 31 Desember 2015, maka laporan
keuangan untuk periode 1 Januari 2016 sampai 31 Desember
2016 masih dapat menggunakan standar akuntansi keuangan
untuk entitas tanpa akuntabilitas publik. PT A Tbk tidak dapat
menggunakan standar akuntansi keuangan untuk entitas tanpa
akuntabilitas publik untuk laporan keuangan yang dimulai pada
tanggal 1 Januari 2017. Apabila PT A Tbk mengalami penurunan
aset pada periode 1 Januari 2016 sampai 31 Desember 2016
sehingga memenuhi kriteria Emiten dengan Skala Aset Kecil, PT
A Tbk tetap tidak diperbolehkan menggunakan standar
akuntansi keuangan untuk entitas tanpa akuntabilitas publik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
- 7 -
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa:
a. penundaan pemberian pernyataan efektif, misalnya pernyataan
efektif untuk penggabungan usaha dan peleburan usaha; dan
b. penundaan pemberian pernyataan Otoritas Jasa Keuangan
bahwa tidak ada tanggapan lebih lanjut atas dokumen yang
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka
penambahan modal dengan memberikan HMETD Perusahaan
Terbuka.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6105
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 53/POJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM DAN PENAMBAHAN MODAL DENGAN MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU OLEH EMITEN DENGAN ASET SKALA KECIL ATAU EMITEN DENGAN ASET SKALA MENENGAH </reg_title>
<set_date> 19 Juli 2017 </set_date>
<effective_date> 27 Juli 2017 </effective_date>
<issued_date> 27 Juli 2017 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-11/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM/1997', 'Kep-11/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM/1997 | Lampiran Peraturan Nomor IX.C.7' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 28 /POJK.05/2015
TENTANG
PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI,
PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI,
DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 42 ayat (4),
Pasal 44 ayat (3), Pasal 45 ayat (3), dan Pasal 51 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Pembubaran, Likuidasi, dan Kepailitan
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618);
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN
ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH,
PERUSAHAAN REASURANSI,
REASURANSI SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud
dengan:
1. Perusahaan adalah perusahaan asuransi, perusahaan
asuransi
syariah, perusahaan
perusahaan reasuransi syariah.
2. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi umum
dan perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
3. Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan
asuransi umum syariah dan perusahaan asuransi jiwa
syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
4. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang
memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap
risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi,
perusahaan penjaminan, atau Perusahaan Reasuransi
lainnya.
5. Perusahaan Reasuransi Syariah adalah perusahaan yang
melakukan pengelolaan risiko berdasarkan prinsip
syariah atas risiko yang dihadapi oleh Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan penjaminan syariah, atau
Perusahaan Reasuransi Syariah lainnya.
6. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya
disingkat RUPS adalah RUPS sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
reasuransi, dan
DAN PERUSAHAAN
- 3 -
Perseroan Terbatas bagi Perusahaan yang berbentuk
badan hukum perseroan terbatas atau yang setara
dengan RUPS pada badan hukum koperasi.
7. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas bagi Perusahaan yang berbentuk
badan hukum perseroan terbatas atau yang setara
dengan Direksi pada badan hukum koperasi.
8. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas bagi Perusahaan yang
berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang
setara dengan Dewan Komisaris pada badan hukum
koperasi.
9. Dewan Pengawas Syariah adalah bagian dari organ
Perusahaan yang menyelenggarakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, yang melakukan fungsi
pengawasan atas penyelenggaraan usaha asuransi atau
usaha reasuransi agar sesuai dengan prinsip syariah.
10. Pencabutan Izin Usaha Perusahaan adalah dicabutnya
izin usaha Perusahaan oleh Otoritas Jasa Keuangan
karena Perusahaan tidak memenuhi peraturan
perundang-undangan di bidang perasuransian atau
dinyatakan pailit oleh pengadilan.
11. Pembubaran Perusahaan yang selanjutnya disebut
Pembubaran adalah proses pengakhiran status badan
hukum Perusahaan setelah Pencabutan Izin Usaha
Perusahaan.
12. Likuidasi Perusahaan yang selanjutnya disebut Likuidasi
adalah tindakan penyelesaian seluruh aset dan
kewajiban Perusahaan sebagai akibat Pencabutan Izin
Usaha Perusahaan dan Pembubaran.
13. Tim Likuidasi adalah tim yang bertugas melakukan
Likuidasi, yang dibentuk oleh RUPS atau Otoritas Jasa
Keuangan.
14. Pemegang Polis adalah pihak yang mengikatkan diri
berdasarkan perjanjian dengan Perusahaan untuk
- 4 -
mendapatkan pelindungan atau pengelolaan atas risiko
bagi dirinya, tertanggung, atau peserta lain sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014
tentang Perasuransian.
15. Tertanggung adalah pihak yang menghadapi risiko
sebagaimana diatur dalam perjanjian asuransi atau
perjanjian reasuransi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
16. Peserta adalah pihak yang menghadapi risiko
sebagaimana diatur dalam perjanjian asuransi syariah
atau perjanjian reasuransi syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014
tentang Perasuransian.
17. Kreditor adalah setiap pihak yang memiliki piutang atau
tagihan kepada Perusahaan termasuk Pemegang Polis,
Tertanggung, Peserta, atau pihak lain yang berhak atas
manfaat asuransi/asuransi syariah dan
pegawai
Perusahaan.
18. Dana Asuransi adalah kumpulan dana yang berasal dari
premi yang dibentuk untuk memenuhi kewajiban yang
timbul dari polis yang diterbitkan atau dari klaim
asuransi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
19. Dana Tabarru' adalah kumpulan dana yang berasal dari
kontribusi para Peserta, yang mekanisme penggunaannya
sesuai dengan perjanjian asuransi syariah atau perjanjian
reasuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
20. Neraca Penutupan adalah neraca Perusahaan per tanggal
Pencabutan Izin Usaha Perusahaan yang disusun sesuai
dengan standar akuntasi keuangan yang berlaku.
21. Neraca Sementara Likuidasi adalah neraca Perusahaan
per tanggal Pencabutan Izin Usaha Perusahaan yang
disusun oleh Tim Likuidasi berdasarkan Neraca
Penutupan yang telah diaudit dengan memperhitungkan:
a.
posisi aset berdasarkan nilai yang diperkirakan
- 5 -
dapat direalisasikan; dan
b.
posisi kewajiban setelah berakhirnya jangka waktu
pengajuan tagihan atau piutang oleh Kreditor.
22. Neraca Akhir Likuidasi adalah neraca yang disampaikan
oleh Tim Likuidasi setelah proses Likuidasi selesai atau
berakhirnya jangka waktu pelaksanaan Likuidasi.
23. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan
debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim
pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
24. Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi yang
selanjutnya disebut PAYDI adalah produk asuransi yang
paling sedikit memberikan perlindungan terhadap risiko
kematian dan memberikan manfaat yang mengacu pada
hasil investasi dari kumpulan dana yang khusus
dibentuk untuk produk asuransi baik yang dinyatakan
dalam bentuk unit maupun bukan unit.
25. Benturan Kepentingan adalah keadaan dimana terdapat
konflik antara kepentingan ekonomis Perusahaan dengan
kepentingan ekonomis pribadi pemegang saham atau
yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum
berbentuk koperasi, anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, dan/atau anggota Dewan Pengawas Syariah.
26. Surat Kabar adalah surat kabar harian berbahasa
Indonesia yang beredar secara nasional.
27. Hari adalah hari kalender.
28. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah lembaga yang independen, yang mempunyai
fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan.
- 6 -
BAB II
PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI PERUSAHAAN YANG DICABUT
IZIN USAHANYA KARENA TIDAK MEMENUHI PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PERASURANSIAN
Bagian Kesatu
Kewajiban dan Larangan bagi Perusahaan
Pasca Pencabutan Izin Usaha Perusahaan
Pasal 2
(1) Perusahaan wajib menghentikan kegiatan usaha serta
segera menyelenggarakan RUPS untuk memutuskan
Pembubaran dan membentuk Tim Likuidasi sejak
Pencabutan Izin Usaha Perusahaan.
(2) Sejak Pencabutan Izin Usaha Perusahaan, pemegang
saham atau yang setara dengan pemegang saham pada
badan hukum berbentuk koperasi, Direksi, Dewan
Komisaris,
dan
pegawai Perusahaan
dilarang
mengalihkan, menjaminkan, mengagunkan, atau
menggunakan kekayaan, atau melakukan tindakan lain
yang dapat mengurangi aset atau menurunkan nilai aset
Perusahaan.
Pasal 3
(1) Direksi wajib menyusun dan menyampaikan Neraca
Penutupan kepada OJK paling lama 15 (lima belas) Hari
sejak tanggal Pencabutan Izin Usaha Perusahaan.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Neraca Penutupan tidak disampaikan
kepada OJK, OJK menunjuk akuntan publik untuk
menyusun Neraca Penutupan.
(3) Dalam hal Neraca Penutupan disusun oleh akuntan
publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tanggung
jawab atas Neraca Penutupan dimaksud tetap berada
pada Direksi.
(4) Batas waktu penyampaian Neraca Penutupan yang
disusun oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud
- 7 -
pada ayat (2) harus mempertimbangkan lokasi kantor,
kondisi aset, dan kompleksitas permasalahan
Perusahaan dengan ketentuan paling lama 60 (enam
puluh) Hari sejak tanggal penunjukan akuntan publik
tersebut.
(5) Biaya penyusunan Neraca Penutupan oleh akuntan
publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi
beban Perusahaan.
(6) OJK menyampaikan Neraca Penutupan kepada Tim
Likuidasi setelah menerima Neraca Penutupan yang
disusun dan disampaikan oleh Direksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau yang disusun dan
disampaikan oleh akuntan publik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Bagian Kedua
Pembubaran
Pasal 4
(1) Paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak tanggal dicabutnya
izin usaha, Perusahaan yang dicabut izin usahanya wajib
menyelenggarakan
RUPS
untuk
memutuskan
Pembubaran yang bersangkutan dan membentuk Tim
Likuidasi.
(2) Anggota Tim Likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan OJK.
(3) Untuk memperoleh persetujuan OJK sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) Direksi harus menyampaikan
dokumen sebagai berikut:
a. fotokopi bukti identitas calon anggota Tim Likuidasi;
b. daftar riwayat hidup calon anggota Tim Likuidasi;
dan
c. pernyataan calon anggota Tim Likuidasi bahwa yang
bersangkutan
bersedia untuk melaksanakan
Likuidasi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan
Peraturan OJK ini.
- 8 -
(4) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
disampaikan kepada OJK paling lama 15 (lima belas)
Hari sebelum tanggal pelaksanaan RUPS.
(5) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas
usulan calon anggota Tim Likuidasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling lama 5 (lima) Hari setelah
diterimanya dokumen secara lengkap.
(6) Apabila telah melewati jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) OJK belum memberikan
persetujuan atau penolakan atas usulan calon anggota
Tim Likuidasi, OJK dianggap menyetujui susunan calon
anggota Tim Likuidasi yang diajukan.
(7) Dalam hal OJK menolak usulan calon anggota Tim
Likuidasi, Direksi wajib menyampaikan usulan calon
anggota Tim Likuidasi yang baru dan menyampaikan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling
lama 5 (lima) Hari setelah diterimanya pemberitahuan
dari OJK.
Pasal 5
(1) Dalam rangka Pembubaran, Tim Likuidasi yang dibentuk
oleh RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
mendaftarkan dan memberitahukan Pembubaran kepada
instansi yang berwenang, serta mengumumkannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia dan 2 (dua) surat kabar
harian yang mempunyai peredaran yang luas.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak tanggal keputusan
Pembubaran oleh RUPS.
(3) Pemberitahuan dan pengumuman sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memuat:
a. Pembubaran dan dasar hukumnya;
b. nama dan alamat Tim Likuidasi;
c.
tata cara pengajuan tagihan; dan
d. jangka waktu pengajuan tagihan.
(4) Jangka waktu pengajuan tagihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf d bagi Perusahaan yang berbentuk
- 9 -
badan hukum perseroan terbatas paling lama 60 (enam
puluh) Hari terhitung sejak tanggal pengumuman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Jangka waktu pengajuan tagihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf d bagi Perusahaan yang berbentuk badan
hukum koperasi paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak
tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 6
(1) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (l) RUPS tidak dapat diselenggarakan
atau RUPS dapat diselenggarakan, tetapi tidak berhasil
memutuskan Pembubaran dan
tidak
berhasil
membentuk Tim Likuidasi, OJK:
a. memutuskan Pembubaran dan membentuk Tim
Likuidasi;
b. mendaftarkan dan memberitahukan Pembubaran
kepada
instansi
yang berwenang,
serta
mengumumkannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia dan 2 (dua) surat kabar harian yang
mempunyai peredaran yang luas;
c. memerintahkan Tim Likuidasi melaksanakan
Likuidasi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan
Peraturan OJK ini; dan
d. memerintahkan Tim Likuidasi melaporkan hasil
pelaksanaan Likuidasi kepada OJK.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilaksanakan oleh OJK paling lama 15 (lima belas) Hari
sejak tanggal keputusan Pembubaran oleh OJK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Pemberitahuan dan pengumuman sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b memuat:
a. Pembubaran dan dasar hukumnya;
b. nama dan alamat Tim Likuidasi;
c.
d.
tata cara pengajuan tagihan; dan
jangka waktu pengajuan tagihan.
- 10 -
(4) Jangka waktu pengajuan tagihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf d bagi Perusahaan yang berbentuk
badan hukum perseroan terbatas paling lama 60 (enam
puluh) Hari terhitung sejak tanggal pengumuman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(5) Jangka waktu pengajuan tagihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf d bagi Perusahaan yang berbentuk
badan hukum koperasi paling lama 3 (tiga) bulan terhitung
sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b.
Pasal 7
(1) Sejak keputusan RUPS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) atau keputusan OJK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Perusahaan yang
berbentuk badan hukum perseroan terbatas disebut
Perusahaan dalam Likuidasi dan wajib mencantumkan
kata “(dalam likuidasi)” disingkat “(DL)” di belakang nama
Perusahaan.
(2) Sejak keputusan RUPS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) atau keputusan OJK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Perusahaan yang
berbentuk badan hukum koperasi disebut Perusahaan
dalam penyelesaian dan wajib mencantumkan kata
“(dalam penyelesaian)” disingkat “(DP)” di belakang nama
Perusahaan.
Bagian Ketiga
Tim Likuidasi
Paragraf 1
Umum
Pasal 8
(1) Sejak terbentuknya Tim Likuidasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 6:
a. tanggung jawab dan kepengurusan Perusahaan
dalam Likuidasi dilaksanakan oleh Tim Likuidasi;
- 11 -
b. Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas
Syariah:
1. tidak memiliki lagi kewenangan sebagai Direksi,
Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas
Syariah serta menjadi non aktif;
2. tidak diperkenankan untuk mengundurkan diri
sebelum Likuidasi selesai, kecuali dengan
persetujuan OJK; dan
3. tidak berhak menerima gaji dan penghasilan
lainnya sebagai Direksi, Dewan Komisaris, dan
Dewan Pengawas Syariah Perusahaan dalam
Likuidasi.
(2) Pemegang saham atau yang setara dengan pemegang
saham pada badan hukum berbentuk koperasi, Direksi,
Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah dan pegawai
Perusahaan dalam Likuidasi wajib memberikan data,
informasi, dan dokumen yang diperlukan oleh Tim
Likuidasi.
(3) Pemegang saham atau yang setara dengan pemegang
saham pada badan hukum berbentuk koperasi, Direksi,
Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, dan pegawai
Perusahaan dalam Likuidasi dilarang menghambat
proses Likuidasi.
Paragraf 2
Tugas dan Wewenang Tim Likuidasi
Pasal 9
Tim Likuidasi mempunyai tugas sebagai berikut:
a. menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan
Pembubaran;
b. menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan pegawai
Perusahaan;
c. melakukan pemberesan aset dan kewajiban Perusahaan;
d. menyampaikan laporan berkala dan laporan insidentil
apabila diperlukan kepada OJK;
- 12 -
e. melakukan pertanggungjawaban pelaksanaan Likuidasi
kepada:
1. RUPS, untuk Tim Likuidasi yang dibentuk oleh RUPS;
atau
2. OJK, untuk Tim Likuidasi yang dibentuk oleh OJK;
dan
f. melakukan tugas lainnya yang dianggap perlu untuk
melaksanakan proses Likuidasi.
Pasal 10
Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9, Tim Likuidasi berwenang:
a. mewakili Perusahaan dalam Likuidasi dalam segala hal
yang berkaitan dengan penyelesaian hak dan kewajiban
Perusahaan tersebut baik di dalam maupun di luar
pengadilan;
b. melakukan perundingan dan tindakan lainnya dalam
rangka penjualan aset dan penagihan piutang terhadap
para debitor;
c. melakukan pemanggilan, perundingan, dan pembayaran
kewajiban kepada para Kreditor;
d. mempekerjakan tenaga pendukung Tim Likuidasi, baik
yang berasal dari dalam maupun dari luar Perusahaan
dalam Likuidasi;
e. menunjuk pihak lain untuk membantu pelaksanaan
Likuidasi, antara lain konsultan aktuaria, penilai, dan
advokat/pengacara/konsultan hukum;
f. melakukan pemanggilan kepada para Kreditor;
g. meminta pembatalan kepada pengadilan atas segala
perbuatan hukum Perusahaan yang diduga merugikan
Perusahaan dan dilakukan tidak dengan itikad baik; dan
h. melakukan tindakan lain yang diperlukan dalam rangka
pelaksanaan Likuidasi.
Pasal 11
Dalam rangka mewakili Perusahaan dalam Likuidasi di luar
dan di dalam Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
- 13 -
10 huruf a, Tim Likuidasi dapat menggunakan jasa
advokat/pengacara/konsultan hukum sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 12
(1) Dalam rangka mempekerjakan tenaga pendukung Tim
Likuidasi dan penunjukan pihak lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 huruf d dan huruf e, Tim
Likuidasi wajib mempertimbangkan:
a. efisiensi dalam pelaksanaan Likuidasi;
b. keahlian tenaga pendukung Tim Likuidasi atau pihak
lain dimaksud; dan
c. kemampuan keuangan Perusahaan dalam Likuidasi
untuk membayar remunerasi tenaga pendukung Tim
Likuidasi atau pihak lain dimaksud.
(2) Remunerasi tenaga pendukung Tim Likuidasi atau pihak
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
meliputi honorarium, tunjangan hari raya, dan
keikutsertaan dalam program jaminan sosial nasional
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 13
Dalam rangka meminta pembatalan kepada pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf g, Tim Likuidasi
terlebih dahulu melakukan tindakan antara lain
mengidentifikasi perikatan yang masih berlaku pada tanggal
Pencabutan Izin Usaha Perusahaan yang diduga merugikan
Perusahaan, dengan cara meneliti:
a. keabsahan perikatan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
b. kewajaran harga transaksi.
Pasal 14
Tim Likuidasi harus bertindak adil dan objektif dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya.
- 14 -
Paragraf 3
Jangka Waktu Pelaksanaan Likuidasi
Pasal 15
(1) Pelaksanaan Likuidasi oleh Tim Likuidasi wajib
diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua)
tahun terhitung sejak tanggal pembentukan Tim Likuidasi.
(2) Dalam hal pelaksanaan Likuidasi belum dapat
diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), maka:
a. RUPS berwenang memperpanjang jangka waktu
pelaksanaan Likuidasi paling banyak 2 (dua) kali
masing-masing paling lama 1 (satu) tahun untuk
Tim Likuidasi yang dibentuk oleh RUPS setelah
terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari OJK;
b. OJK dapat memperpanjang jangka waktu
pelaksanaan Likuidasi paling banyak 2 (dua) kali
masing-masing paling lama 1 (satu) tahun untuk
Tim Likuidasi yang dibentuk oleh OJK.
(3) Permohonan perpanjangan jangka waktu pelaksanaan
Likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling
sedikit harus dilengkapi dengan:
a. alasan perpanjangan jangka waktu pelaksanaan
Likuidasi;
b.
laporan perkembangan proses Likuidasi sampai
dengan tanggal permohonan beserta bukti
pendukungnya; dan
c.
rencana kerja dan anggaran biaya selama
perpanjangan jangka waktu pelaksanaan Likuidasi.
(4) Permohonan perpanjangan jangka waktu pelaksanaan
Likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan
paling lama 4 (empat) bulan sebelum berakhirnya jangka
waktu pelaksanaan Likuidasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) atau berakhirnya perpanjangan jangka waktu yang
pertama.
- 15 -
(5) Dalam hal pelaksanaan Likuidasi belum dapat diselesaikan
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
OJK dapat:
a. menunggu sampai ada putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap, dalam hal belum
selesainya pelaksanaan Likuidasi sampai jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikarenakan adanya gugatan atau sengketa pada
aset bermasalah Perusahaan dalam Likuidasi; atau
b. menetapkan langkah penyelesaian lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Paragraf 4
Anggota Tim Likuidasi
Pasal 16
(1) Anggota Tim Likuidasi untuk setiap Perusahaan dalam
Likuidasi paling sedikit 2 (dua) orang dan paling banyak 5
(lima) orang.
(2) Penetapan jumlah anggota Tim Likuidasi dilakukan dengan
mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan
Likuidasi.
(3) Dalam hal diperlukan, salah satu anggota pemegang saham
atau yang setara dengan pemegang saham pada badan
hukum berbentuk koperasi, Direksi, atau Dewan Komisaris
dapat ditunjuk sebagai anggota Tim Likuidasi dengan
mempertimbangkan pemahaman atas permasalahan yang
terjadi pada Perusahaan, bersikap kooperatif, dan tidak
mempunyai Benturan Kepentingan yang dapat merugikan
Perusahaan.
(4) Salah satu anggota Tim Likuidasi ditetapkan sebagai ketua
Tim Likuidasi.
Pasal 17
(1) Penunjukan Tim Likuidasi dilakukan dengan
mempertimbangkan integritas, kompetensi, dan reputasi
keuangan calon anggota Tim Likuidasi.
- 16 -
(2) Keanggotan Tim Likuidasi paling sedikit terdiri atas:
a. 1 (satu) orang yang memiliki pengetahuan dan
pengalaman paling singkat 10 (sepuluh) tahun di
bidang perasuransian; dan
b. 1 (satu) orang yang memiliki pengetahuan dan
pengalaman paling singkat 10 (sepuluh) tahun di
bidang hukum, audit, keuangan, dan/atau
akuntansi.
(3) Sesama anggota Tim Likuidasi dan antara anggota Tim
Likuidasi dengan tenaga pendukung Tim Likuidasi atau
pihak lain yang ditunjuk tidak boleh memiliki hubungan
perkawinan, hubungan keluarga semenda, atau hubungan
keluarga sedarah ke atas, ke bawah, dan ke samping sampai
dengan derajat pertama.
Pasal 18
Dalam hal terjadi benturan kepentingan antara kepentingan
pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham
pada badan hukum berbentuk koperasi dan kepentingan
Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, Tim Likuidasi
harus mengutamakan kepentingan Pemegang Polis,
Tertanggung, atau Peserta.
Pasal 19
(1) Dalam hal anggota Tim Likuidasi dibentuk oleh RUPS, OJK
dapat memerintahkan RUPS untuk memberhentikan
dan/atau menunjuk pengganti anggota Tim Likuidasi yang
berhenti sebelum jangka waktu penugasan Tim Likuidasi
berakhir dengan pertimbangan apabila anggota Tim
Likuidasi:
a.
tidak menjalankan tugas dengan baik;
b. melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c. mengundurkan diri;
d. berhalangan tetap; atau
e. meninggal dunia.
(2) Dalam hal OJK memerintahkan RUPS sebagaimana
- 17 -
dimaksud pada ayat (1), namun RUPS tidak
memberhentikan dan/atau menunjuk pengganti anggota
Tim Likuidasi, maka OJK dapat memberhentikan
dan/atau menunjuk pengganti anggota Tim Likuidasi
yang berhenti.
(3) Dalam hal anggota Tim Likuidasi dibentuk oleh OJK, OJK
dapat memberhentikan anggota Tim Likuidasi sebelum
jangka waktu penugasan Tim Likuidasi berakhir
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(4) OJK dapat menunjuk pengganti anggota Tim Likuidasi yang
diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk
sisa masa tugasnya.
Paragraf 5
Remunerasi Tim Likuidasi
Pasal 20
(1) Anggota Tim Likuidasi diberikan remunerasi yang ditetapkan
oleh:
a. RUPS untuk Tim Likuidasi yang dibentuk oleh RUPS;
atau
b. OJK untuk Tim Likuidasi yang dibentuk oleh OJK.
(2) Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
dari:
a. honorarium; dan
b. penghasilan/fasilitas lain.
(3) Jumlah remunerasi Tim Likuidasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan faktor-
faktor antara lain:
a.
jumlah aset dan kewajiban;
b. kondisi dan tingkat kesulitan pencairan aset
dan/atau penagihan piutang serta penyelesaian
kewajiban Perusahaan;
jaringan kantor Perusahaan dalam Likuidasi; dan
d. kualifikasi anggota Tim Likuidasi.
c.
(4) Penghasilan/fasilitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat
- 18 -
(2) huruf b hanya meliputi tunjangan hari raya, insentif yang
wajar, dan keikutsertaan dalam program jaminan sosial
nasional sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Remunerasi Tim Likuidasi merupakan komponen biaya
Likuidasi yang menjadi beban Perusahaan dalam Likuidasi.
(6) Ketentuan mengenai pemberian insentif yang wajar
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Surat
Edaran OJK.
Paragraf 6
Rencana Kerja dan Anggaran Biaya Tim Likuidasi
Pasal 21
(1) Tim Likuidasi menyusun rencana kerja dan anggaran
biaya dalam rangka pelaksanaan Likuidasi mengacu pada
pedoman rencana kerja dan anggaran biaya.
(2) Tim Likuidasi menyusun rencana kerja dan anggaran
biaya dalam rangka pelaksanaan Likuidasi yang paling
sedikit memuat:
a.
b.
jenis kegiatan yang akan dilakukan;
jadwal penyelesaian masing-masing kegiatan;
c. rencana dan cara pencairan aset dan/atau
penagihan piutang;
d.
e.
rencana dan cara pembayaran kewajiban kepada
Kreditor;
jumlah tenaga pendukung Tim Likuidasi yang
diperlukan; dan
f. biaya Likuidasi.
(3) Rencana kerja dan anggaran biaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disusun untuk periode selama jangka waktu
penugasan Tim Likuidasi yang dirinci secara bulanan.
(4) Dalam hal terdapat perbaikan rencana kerja dan anggaran
biaya tahun berjalan, Tim Likuidasi harus menyampaikan
perbaikan rencana kerja dan anggaran biaya tahun berjalan
tersebut kepada OJK untuk mendapatkan persetujuan.
(5) Perbaikan rencana kerja dan anggaran biaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) disetujui oleh OJK paling lama 20
- 19 -
(dua puluh) Hari setelah OJK menerima perbaikan rencana
kerja dan anggaran biaya dimaksud.
(6) Dalam hal OJK belum atau tidak memberikan persetujuan
atas perbaikan rencana kerja dan anggaran biaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Tim Likuidasi tetap
menggunakan rencana kerja dan anggaran biaya terakhir
yang telah disetujui OJK.
(7) Dalam hal OJK memperpanjang jangka waktu pelaksanaan
Likuidasi dan/atau masa tugas Tim Likuidasi, Tim Likuidasi
menyampaikan rencana kerja dan anggaran biaya untuk
masa perpanjangan tersebut kepada OJK.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman rencana kerja
dan anggaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 22
(1) Rencana kerja dan anggaran biaya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 disampaikan kepada OJK paling lama 30
(tiga puluh) Hari sejak Tim Likuidasi terbentuk atau sejak
dimulai masa perpanjangan tugas Tim Likuidasi.
(2) OJK dapat meminta perbaikan atas rencana kerja dan
anggaran biaya paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak
diterimanya rencana kerja dan anggaran biaya.
(3) Dalam hal OJK meminta perbaikan atas rencana kerja dan
anggaran biaya, Tim Likuidasi wajib menyampaikan
perbaikan atas rencana kerja dan anggaran biaya sesuai
permintaan OJK paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak
diterimanya surat permintaan perbaikan dari OJK.
(4) OJK memberikan persetujuan atas rencana kerja dan
anggaran biaya paling lama 20 (dua puluh) Hari setelah
OJK menerima rencana kerja dan anggaran biaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau perbaikan atas
rencana kerja dan anggaran biaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
- 20 -
Bagian Keempat
Penyelesaian Kewajiban Perusahaan Kepada Pegawai
Pasal 23
(1) Dalam rangka melaksanakan tugas menyelesaikan hal-hal
yang berkaitan dengan pegawai Perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 huruf b, Tim Likuidasi
menghitung gaji terutang dan pesangon pegawai yang
menjadi kewajiban Perusahaan kepada pegawai yang telah
dilakukan pemutusan hubungan kerja.
(2) Pembayaran gaji terutang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan memperhitungkan kewajiban pegawai
yang telah jatuh tempo.
(3) Pembayaran pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan memperhitungkan seluruh kewajiban
pegawai.
(4) Tim Likuidasi dapat menunda pembayaran pesangon
kepada anggota Direksi dan pegawai Perusahaan yang
diindikasikan melakukan tindak pidana perasuransian
dan/atau tindak pidana lainnya yang dapat merugikan
Perusahaan.
(5) Tim Likuidasi wajib melakukan pemutusan hubungan kerja
pegawai paling lama 3 (tiga) bulan sejak terbentuknya Tim
Likuidasi.
(6) Tim Likuidasi wajib membuat perhitungan hak-hak pegawai
lainnya yang timbul sebagai akibat pemutusan hubungan
kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan di bidang ketenagakerjaan untuk dicatat sebagai
kewajiban Perusahaan dalam Likuidasi dalam kelompok
kewajiban kepada Kreditor lainnya.
(7) Dalam hal Tim Likuidasi belum terbentuk dan pembayaran
gaji pegawai telah jatuh tempo, maka atas persetujuan OJK,
Direksi dapat melakukan pembayaran gaji tersebut
sepanjang dana untuk pembayaran gaji tersebut tersedia.
- 21 -
Bagian Kelima
Pembayaran Kewajiban Perusahaan Kepada
Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta
Pasal 24
(1) Hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta atas
pembagian harta kekayaan Perusahaan dalam Likuidasi
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak
pihak lainnya.
(2) Dana Asuransi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi dalam Likuidasi harus digunakan terlebih
dahulu untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang
Polis, Tertanggung, atau pihak lain yang berhak atas
manfaat asuransi.
(3) Dalam hal Dana Asuransi tidak mencukupi untuk
membayar seluruh kewajiban kepada Pemegang Polis,
Tertanggung, atau pihak lain yang berhak atas manfaat
asuransi, pembayaran kewajiban dimaksud dilakukan
secara proporsional.
(4) Dalam hal setelah seluruh kewajiban kepada Pemegang
Polis, Tertanggung, dan pihak lain yang berhak atas
manfaat asuransi telah dipenuhi terdapat kelebihan
Dana Asuransi, Dana Asuransi dimaksud dapat
digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak
ketiga selain Pemegang Polis, Tertanggung, atau pihak
lain yang berhak atas manfaat asuransi.
(5) Dana investasi Pemegang Polis asuransi PAYDI hanya
dapat digunakan untuk membayar kewajiban kepada
Pemegang Polis yang bersangkutan.
(6) Dana tabarru' dan dana investasi Peserta Perusahaan
Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah
dalam Likuidasi tidak dapat digunakan untuk membayar
kewajiban selain kepada Peserta.
Pasal 25
(1) Dalam rangka pembayaran hak Pemegang Polis,
Tertanggung, atau Peserta sebagaimana dimaksud dalam
- 22 -
Pasal 24 ayat (1), Tim Likuidasi dari perusahaan asuransi
jiwa atau perusahaan asuransi jiwa syariah dalam Likuidasi
harus mengupayakan agar pertanggungan polis asuransi
jiwa atau asuransi jiwa syariah yang masih berlaku (in force)
dapat terus berlaku dengan cara mengalihkan portofolio
pertanggungan kepada perusahaan asuransi jiwa atau
perusahaan asuransi jiwa syariah lain.
(2) Dalam rangka melakukan pengalihan portofolio
pertanggungan kepada perusahaan asuransi jiwa atau
perusahaan asuransi jiwa syariah lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Tim Likuidasi harus terlebih dahulu
memberitahukan rencana pengalihan tersebut kepada
Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta.
(3) Pengalihan portofolio pertanggungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. dilakukan pada perusahaan asuransi jiwa atau
perusahaan asuransi jiwa syariah yang memiliki bidang
usaha yang sama; dan
b.
tidak menyebabkan perusahaan asuransi jiwa atau
perusahaan asuransi jiwa syariah yang menerima
pengalihan portofolio pertanggungan melanggar
ketentuan terkait kesehatan keuangan yang berlaku di
bidang perasuransian.
(4) Dalam hal Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta
menolak pertanggungannya dialihkan kepada perusahaan
asuransi jiwa atau perusahaan asuransi jiwa syariah lain,
Tim Likuidasi mengembalikan premi atau kontribusi sesuai
dengan sisa masa pertanggungan.
Pasal 26
(1) Pembayaran klaim manfaat polis dilakukan secara
penuh, kecuali apabila aset Perusahaan lebih kecil dari
kewajiban Perusahaan, pembayaran dilakukan secara
proporsional.
(2) Dalam hal pertanggungan asuransi atau asuransi syariah
yang masih berlaku (in force) pada saat Pencabutan Izin
Usaha Perusahaan tidak dialihkan kepada Perusahaan
- 23 -
lain, pembayaran hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau
Peserta dilakukan sebagai berikut:
a. untuk polis asuransi atau asuransi syariah yang tidak
memiliki unsur tabungan adalah sebesar jumlah yang
dihitung secara proporsional berdasarkan sisa jangka
waktu pertanggungan pada tanggal Pencabutan Izin
Usaha Perusahaan (unearned premium), setelah
dikurangi bagian premi atau kontribusi yang telah
dibayarkan kepada perusahaan pialang asuransi
dan/atau komisi agen asuransi;
b. untuk polis asuransi yang memiliki unsur tabungan
adalah sebesar nilai tunai pada saat Pencabutan Izin
Usaha Perusahaan;
c. untuk polis asuransi PAYDI:
1. untuk premi atau kontribusi risiko berlaku
ketentuan sebagaimana diatur pada huruf a;
dan
2. untuk dana investasi Peserta adalah sebesar nilai
tunai neto pada tanggal Pencabutan Izin Usaha
Perusahaan,
kecuali apabila aset Perusahaan lebih kecil dari
kewajiban Perusahaan maka pembayaran dilakukan
secara proporsional.
Pasal 27
(1) Hasil pencairan aset selain Dana Asuransi atau Dana
Tabarru’ digunakan untuk membayar kewajiban Perusahaan
kepada Pemegang Polis, Tertanggung, Peserta, atau pihak
lain yang berhak atas manfaat asuransi/asuransi syariah,
setelah dikurangi gaji terutang dan biaya pelaksanaan
Likuidasi.
(2) Pembayaran kewajiban Perusahaan kepada Pemegang Polis,
Tertanggung, Peserta, atau pihak lain yang berhak atas
manfaat asuransi/asuransi syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan apabila Dana Asuransi atau Dana
Tabarru’ tidak cukup membayar seluruh kewajiban kepada
Pemegang Polis, Tertanggung, Peserta, atau pihak lain yang
- 24 -
berhak atas manfaat asuransi/asuransi syariah.
(3) Pembayaran kewajiban kepada Kreditor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dari hasil pencairan aset dapat
dilakukan secara bertahap atau sekaligus pada akhir masa
Likuidasi sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan lain.
(4) Pembayaran kewajiban kepada Kreditor sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) harus terlebih dahulu mendapat
persetujuan OJK.
Pasal 28
(1) Dalam hal terdapat sisa hasil Likuidasi setelah dilakukan
pembayaran atas seluruh kewajiban Perusahaan dalam
Likuidasi, sisa hasil Likuidasi tersebut merupakan hak
pemegang saham atau yang setara dengan pemegang
saham pada badan hukum berbentuk koperasi.
(2) Sisa hasil Likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dibagikan kepada pemegang saham atau
yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum
berbentuk koperasi setelah berakhirnya jangka waktu 2
(dua) tahun sejak proses Likuidasi selesai.
(3) Kreditor yang belum mengajukan tagihan kepada Tim
Likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4)
atau ayat (5), dapat mengajukan tagihan dalam jangka
waktu 2 (dua) tahun sejak proses Likuidasi selesai
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan
melalui OJK kepada pemegang saham atau yang setara
dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk
koperasi.
(5) OJK dapat meminta instansi yang berwenang untuk
memblokir sisa hasil Likuidasi yang menjadi hak
pemegang saham atau yang setara dengan pemegang
saham pada badan hukum berbentuk koperasi dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(6) Tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dibebankan pada sisa hasil Likuidasi yang merupakan
- 25 -
hak pemegang saham atau yang setara dengan pemegang
saham pada badan hukum berbentuk koperasi.
(7) Berdasarkan permintaan pemegang saham atau yang
setara dengan pemegang saham pada badan hukum
berbentuk koperasi, OJK dapat meminta instansi yang
berwenang untuk mencabut pemblokiran sisa hasil
Likuidasi sebesar tagihan dimaksud untuk membayar
tagihan yang telah diverifikasi.
(8) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) berakhir tidak ada tagihan yang diajukan
melalui OJK kepada pemegang saham atau yang setara
dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk
koperasi atau ada tagihan tetapi masih terdapat sisa
hasil Likuidasi, OJK meminta pencabutan pemblokiran
kepada instansi yang berwenang atas sisa hasil Likuidasi
tersebut untuk diambil oleh pemegang saham atau yang
setara dengan pemegang saham pada badan hukum
berbentuk koperasi.
Bagian Keenam
Pemberesan Aset dan Kewajiban Perusahaan
Pasal 29
Dalam rangka pemberesan aset dan kewajiban Perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, Tim Likuidasi
melaksanakan tindakan sebagai berikut:
a. menunjuk akuntan publik yang terdaftar di OJK untuk
mengaudit Neraca Penutupan;
b. melakukan inventarisasi aset dan kewajiban;
c. menyusun Neraca Sementara Likuidasi;
d. melaksanakan pencairan aset dan/atau penagihan
piutang;
e. melaksanakan pembayaran kewajiban kepada para
Kreditor; dan
f. menitipkan bagian yang belum diambil oleh Kreditor
kepada pengadilan.
- 26 -
Pasal 30
(1) Setelah menerima Neraca Penutupan dari OJK, Tim
Likuidasi menunjuk akuntan publik yang terdaftar di OJK
untuk mengaudit Neraca Penutupan.
(2) Pelaksanaan audit Neraca Penutupan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengacu kepada
kerangka acuan kerja yang disusun oleh Tim Likuidasi.
(3) Kerangka acuan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling sedikit memuat tujuan dan ruang lingkup audit.
(4) Penunjukan akuntan publik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak Neraca
Penutupan diterima Tim Likuidasi.
(5) Tim Likuidasi menyampaikan Neraca Penutupan yang telah
diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kepada OJK paling lama 90 (sembilan puluh) Hari
sejak tanggal penunjukan akuntan publik.
Pasal 31
(1) Tim Likuidasi melakukan inventarisasi aset dan
kewajiban posisi per tanggal Pencabutan Izin Usaha
Perusahaan.
(2) Aset dikelompokkan dalam aset tidak bermasalah dan
aset bermasalah.
(3) Aset ditetapkan dalam kelompok bermasalah apabila
memiliki hambatan hukum dalam pencairannya yang
disebabkan antara lain:
a. dokumen tidak lengkap;
b. dokumen lengkap tetapi fisik aset tidak diketahui
keberadaannya;
c. pengikatan tidak sempurna;
d. aset dan/atau agunan tidak marketable; dan/atau
e. menjadi objek sengketa di luar atau di dalam
pengadilan.
(4) Dalam rangka melakukan inventarisasi kewajiban
Perusahaan kepada Pemegang Polis, Tertanggung,
Peserta, atau pihak lain yang berhak atas manfaat
- 27 -
asuransi, Tim Likuidasi dapat menunjuk aktuaris
independen.
(5) Hasil inventarisasi aset dan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar dalam
penyusunan dan merupakan lampiran Neraca Sementara
Likuidasi.
Pasal 32
(1) Tim Likuidasi menyusun Neraca Sementara Likuidasi
dengan mengacu pada pedoman penyusunan Neraca
Sementara Likuidasi.
(2) Tim Likuidasi menyampaikan Neraca Sementara Likuidasi
kepada OJK paling lama 60 (enam puluh) Hari setelah Tim
Likuidasi menerima Neraca Penutupan yang telah diaudit.
(3) OJK dapat menyetujui atau meminta perbaikan Neraca
Sementara Likuidasi apabila disusun tidak sesuai dengan
pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat
7 (tujuh) Hari sejak Neraca Sementara Likuidasi diterima
OJK.
(4) Tim Likuidasi wajib memenuhi permintaan OJK
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 15 (lima
belas) Hari sejak tanggal permintaan perbaikan Neraca
Sementara Likuidasi oleh OJK.
(5) Tim Likuidasi wajib mengumumkan Neraca Sementara
Likuidasi yang telah disetujui OJK pada 2 (dua) Surat Kabar
paling lambat 7 (tujuh) Hari sejak Neraca Sementara
Likuidasi dimaksud disetujui OJK.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penyusunan
Neraca Sementara Likuidasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 33
(1) Pencairan aset tidak bermasalah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 ayat (2), dilakukan setelah Neraca
Sementara Likuidasi disetujui oleh OJK.
(2) Dalam hal Neraca Sementara Likuidasi belum disetujui OJK,
pencairan aset tidak bermasalah sebagaimana dimaksud
- 28 -
pada ayat (1) dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan
dari OJK.
(3) Pencairan aset tidak bermasalah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) harus menggunakan harga pasar
wajar.
(4) Pencairan aset dan/atau penagihan piutang dilakukan oleh
Tim Likuidasi sesuai dengan rencana dan cara yang
tercantum dalam rencana kerja dan anggaran biaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf c.
Pasal 34
Seluruh biaya pelaksanaan Likuidasi yang tercantum dalam
daftar biaya Likuidasi menjadi beban aset Perusahaan dalam
Likuidasi dan dikeluarkan terlebih dahulu dari setiap hasil
pencairannya.
Bagian Ketujuh
Pengawasan dan Pelaporan Pelaksanaan Likuidasi
Pasal 35
(1) OJK melakukan pengawasan atas pelaksanaan Likuidasi.
(2) Pengawasan pelaksanaan Likuidasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tidak langsung
dengan cara menganalisis laporan yang disampaikan oleh
Tim Likuidasi kepada OJK.
(3) Dalam hal dipandang perlu, OJK dapat melakukan
pengawasan secara langsung di Perusahaan dalam
Likuidasi.
(4) OJK dapat menunjuk akuntan publik atau pihak lain
untuk dan atas nama OJK melakukan pengawasan
secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 36
(1) Tim Likuidasi menyampaikan laporan realisasi rencana kerja
dan anggaran biaya kepada OJK setiap bulan paling lama
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
- 29 -
(2) Apabila batas akhir penyampaian laporan realisasi rencana
kerja dan anggaran biaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian
laporan adalah hari kerja pertama berikutnya.
(3) Laporan realisasi rencana kerja dan anggaran biaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. perkembangan kegiatan Likuidasi;
b. kendala ketidaktercapaian target;
c.
d.
laporan aliran kas;
posisi aset yang telah dicairkan dan kewajiban yang
telah diselesaikan;
e. rincian realisasi anggaran; dan
f. hambatan yang dihadapi dan rencana tindak lanjut.
Bagian Kedelapan
Pengakhiran Likuidasi
Pasal 37
Pelaksanaan Likuidasi selesai dalam hal:
a. seluruh kewajiban Perusahaan dalam Likuidasi telah
dibayarkan dan/atau tidak ada lagi aset yang dapat
digunakan untuk membayar kewajiban sebelum
berakhirnya jangka waktu pelaksanaan Likuidasi; atau
b. berakhirnya jangka waktu pelaksanaan Likuidasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
Pasal 38
(1) Dalam hal pelaksanaan Likuidasi akan berakhir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2),
sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sebelum perkiraan
berakhirnya pelaksanaan Likuidasi, Tim Likuidasi wajib
mengumumkan tanggal pembayaran terakhir kepada
Kreditor termasuk tindak lanjut apabila Kreditor tidak
mengambil haknya dalam jangka waktu sampai dengan
tanggal pembayaran terakhir.
- 30 -
(2) Tanggal pembayaran terakhir sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak tanggal
pengumuman.
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam 2 (dua) Surat Kabar.
(4) Dalam hal Kreditor belum mengambil haknya sampai
dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
maka dana yang menjadi hak Kreditor tersebut dititipkan
pada pengadilan.
(5) Penitipan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak batas waktu
pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(6) Tim Likuidasi dinyatakan telah melaksanakan pembayaran
kewajiban kepada Kreditor yang bersangkutan setelah
dititipkannya dana yang menjadi hak Kreditor yang belum
diambil sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun dana yang
menjadi hak Kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
tidak diambil oleh Kreditor yang bersangkutan, maka dana
tersebut diserahkan kepada kas negara.
Bagian Kesembilan
Pertanggungjawaban Tim Likuidasi
Pasal 39
(1) Dalam hal Tim Likuidasi dibentuk oleh RUPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Tim
Likuidasi wajib menyampaikan Neraca Akhir Likuidasi
kepada OJK dan laporan pertanggungjawaban tugas Tim
Likuidasi kepada RUPS paling lama 10 (sepuluh) Hari
setelah pelaksanaan Likuidasi selesai.
(2) Dalam hal Tim Likuidasi dibentuk oleh OJK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Tim Likuidasi wajib
menyampaikan Neraca Akhir Likuidasi dan laporan
pertanggungjawaban tugas Tim Likuidasi kepada OJK
dengan tembusan kepada pemegang saham atau yang
setara dengan pemegang saham pada badan hukum
- 31 -
berbentuk koperasi paling lama 10 (sepuluh) Hari setelah
pelaksanaan Likuidasi selesai.
(3) Laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) paling sedikit memuat:
a. penerimaan hasil Likuidasi;
b. biaya Likuidasi;
c. pembayaran kewajiban kepada Kreditor;
d. sisa aset kas atau setara kas;
e. sisa aset bermasalah; dan
f.
sisa kewajiban yang belum dibayarkan.
(4) OJK menunjuk akuntan publik untuk dan atas nama OJK
melakukan audit Neraca Akhir Likuidasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 40
Dalam hal Tim Likuidasi yang dibentuk oleh RUPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) telah
menyampaikan Neraca Akhir Likuidasi dan disetujui OJK
serta laporan pertanggungjawaban telah diterima RUPS, maka
RUPS:
a. meminta Tim Likuidasi untuk:
1. mengumumkan berakhirnya Likuidasi dengan
menempatkannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia dan dalam 2 (dua) Surat Kabar;
2. memberitahukan kepada instansi yang berwenang
mengenai hapusnya
Perusahaan; dan
3. memberitahukan kepada instansi yang berwenang,
agar nama Perusahaan dicoret dari daftar
perusahaan; dan
b. membubarkan Tim Likuidasi.
Pasal 41
(1) Dalam hal Tim Likuidasi yang dibentuk oleh OJK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) telah
menyampaikan Neraca Akhir Likuidasi dan laporan
pertanggungjawaban kepada OJK, OJK memutuskan
status badan hukum
- 32 -
menerima atau tidak menerima pertanggungjawaban Tim
Likuidasi paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak OJK menerima
laporan hasil audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
ayat (4).
(2) Dalam hal laporan pertanggungjawaban Tim Likuidasi
telah diterima oleh OJK, maka OJK:
a. meminta Tim Likuidasi untuk:
1. mengumumkan berakhirnya Likuidasi dengan
menempatkannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia dan dalam 2 (dua) Surat
Kabar;
2. memberitahukan kepada instansi yang
berwenang mengenai hapusnya status badan
hukum Perusahaan;
3. memberitahukan
kepada
instansi
yang
berwenang, agar nama Perusahaan dicoret dari
daftar perusahaan; dan
4. menyerahkan seluruh dokumen Perusahaan
dalam Likuidasi kepada OJK.
b. membubarkan Tim Likuidasi; dan
c. memberhentikan Direksi, Dewan Komisaris, dan
Dewan Pengawas Syariah non aktif.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dilakukan oleh Tim Likuidasi paling lama 30 (tiga puluh)
Hari sejak pertanggungjawaban diterima oleh OJK.
(4) Dalam hal OJK memutuskan tidak menerima
pertanggungjawaban Tim Likuidasi, OJK dapat:
a. melaporkan Tim Likuidasi kepada pihak yang
berwajib apabila Tim Likuidasi terindikasi
melakukan:
1. kecurangan dalam melakukan proses Likuidasi;
atau
2. tindak pidana; atau
b. melakukan langkah lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- 33 -
Pasal 42
Status badan hukum Perusahaan yang dilikuidasi berakhir
sejak tanggal pengumuman berakhirnya Likuidasi dalam
Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 huruf a angka 1 dan Pasal 41 ayat (2) huruf a
angka 1.
BAB III
PENGHENTIAN KEGIATAN USAHA
ATAS PERMINTAAN PERUSAHAAN
Pasal 43
(1) Perusahaan yang menghentikan kegiatan usahanya wajib
terlebih dahulu melaporkan rencana penghentian
kegiatan usaha kepada OJK.
(2) Perusahaan yang melaporkan rencana penghentian
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki tingkat risiko rendah atau sedang - rendah
dan aset yang dimiliki masuk dalam kelompok
Perusahaan yang hanya mewakili jumlah tertentu
dari total aset industri sesuai dengan ketentuan
mengenai penilaian tingkat risiko; dan
b. telah mencantumkan rencana penghentian kegiatan
usaha di dalam rencana bisnis Perusahaan.
(3) Tingkat risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a adalah berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh
OJK.
Pasal 44
(1) Rencana penghentian kegiatan usaha Perusahaan harus
mendapat persetujuan dari OJK.
(2) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), rencana penghentian kegiatan usaha harus
memuat paling sedikit hal-hal sebagai berikut:
a. alasan penghentian kegiatan usaha;
- 34 -
b. uraian mengenai kondisi Perusahaan, termasuk data
mengenai jumlah polis yang masih berlaku (in force),
jumlah Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta,
jumlah kewajiban Perusahaan kepada Pemegang
Polis, Tertanggung, atau Peserta dan kewajiban
lainnya;
c. rencana penyelesaian kewajiban Perusahaan kepada
seluruh Kreditor; dan
d. rencana pembubaran atau rencana lainnya setelah
Perusahaan menyelesaikan kewajiban kepada
seluruh Kreditor dan izin usaha Perusahaan telah
dicabut oleh OJK.
(3) Rencana penghentian kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) harus dilampiri dengan
dokumen sebagai berikut:
a.
asli salinan keputusan mengenai pemberian izin
usaha Perusahaan atau apabila asli salinan
keputusan hilang harus dilampiri dengan copy
salinan keputusan mengenai pemberian izin usaha
yang telah dilegalisasi dan surat pernyataan Direksi
bahwa asli salinan keputusan hilang;
b. keputusan RUPS mengenai persetujuan atas
rencana penghentian kegiatan usaha Perusahaan;
c. laporan keuangan terakhir Perusahaan;
d. bukti penyelesaian pajak dan kewajiban lainnya
kepada negara; dan
e. bukti penyelesaian pungutan OJK dan denda
administratif terutang.
Pasal 45
(1) OJK melakukan penelitian terhadap rencana penghentian
kegiatan usaha yang disampaikan oleh Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44.
(2) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) Hari sejak diterimanya rencana penghentian
kegiatan usaha secara lengkap, OJK menerbitkan surat
- 35 -
persetujuan atau surat penolakan rencana penghentian
kegiatan usaha.
(3) Dalam hal OJK menerbitkan surat persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan
diwajibkan untuk:
a. menghentikan seluruh kegiatan usaha Perusahaan;
b. mengumumkan rencana penghentian kegiatan
usaha dan rencana penyelesaian kewajiban
Perusahaan dalam Surat Kabar selama 3 (tiga) Hari
berturut-turut paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak
tanggal surat persetujuan rencana penghentian
kegiatan usaha;
c. menyelesaikan seluruh kewajiban Perusahaan dalam
jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan sejak
tanggal surat persetujuan rencana penghentian
kegiatan usaha; dan
d. menunjuk akuntan publik untuk menyusun neraca
akhir termasuk melakukan verifikasi untuk
memastikan penyelesaian seluruh kewajiban
Perusahaan.
Pasal 46
(1) Penyelesaian kewajiban Perusahaan kepada seluruh
Kreditor termasuk Pemegang Polis, Tertanggung, atau
Peserta tidak boleh merugikan atau mengurangi hak
Keditor termasuk Pemegang Polis, Tertanggung, atau
Peserta.
(2) Dalam hal Perusahaan yang menghentikan kegiatan
usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip
syariah tidak memiliki Peserta, Dana Tabarru’ yang ada
wajib dihibahkan kepada lembaga sosial atas
pertimbangan Dewan Pengawas Syariah.
(3) Dalam hal penyelesaian kewajiban kepada Pemegang Polis,
Tertanggung, atau Peserta dilakukan dengan cara
mengalihkan
portofolio
pertanggungan
Perusahaan lain, Perusahaan wajib memberitahukan
kepada
- 36 -
rencana pengalihan portofolio pertanggungan tersebut
kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta melalui:
a. pengumuman rencana penghentian kegiatan usaha
dalam Surat Kabar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (3) huruf b; dan
b. surat kepada setiap Pemegang Polis, Tertanggung,
atau Peserta.
(4) Pengalihan portofolio pertanggungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. tidak mengurangi hak Pemegang Polis, Tertanggung,
atau Peserta;
b. dilakukan pada Perusahaan yang memiliki bidang
usaha yang sama; dan
c.
tidak menyebabkan Perusahaan yang menerima
pengalihan portofolio pertanggungan melanggar
ketentuan yang berlaku di bidang perasuransian.
Pasal 47
(1) Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta dari
Perusahaan yang akan melakukan pengalihan seluruh
portofolio pertanggungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (3) berhak untuk menolak
pertanggungannya dialihkan kepada Perusahaan lain.
(2) Perusahaan wajib memberikan kesempatan kepada
Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta untuk
menyampaikan penolakan pengalihan pertanggungannya
kepada Perusahaan lain dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan sejak pengumuman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (3).
(3) Dalam hal Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta
menolak pertanggungannya dialihkan kepada
Perusahaan lain, pertanggungan menjadi berakhir dan
Perusahaan wajib mengembalikan hak Pemegang Polis,
Tertanggung, atau Peserta.
(4) Perusahaan wajib memberitahukan hak Pemegang Polis,
Tertanggung, atau Peserta sebagaimana dimaksud pada
- 37 -
ayat (2) dan akibat dari penolakan pengalihan
pertanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dalam pengumuman dan surat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 ayat (3).
Pasal 48
Pengembalian hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) dilakukan
sebagai berikut:
a. untuk polis asuransi atau asuransi syariah yang tidak
memiliki unsur tabungan adalah sebesar jumlah yang
dihitung secara proporsional berdasarkan sisa jangka
waktu pertanggungan pada tanggal Pemegang Polis,
Tertanggung, atau Peserta menyampaikan penolakan atas
pengalihan pertanggungannya (unearned premium), setelah
dikurangi bagian premi atau kontribusi yang telah
dibayarkan kepada perusahaan pialang asuransi dan/atau
komisi agen;
b. untuk polis asuransi yang memiliki unsur tabungan
adalah sebesar nilai tunai pada tanggal Pemegang Polis,
Tertanggung, atau Peserta menyampaikan penolakan atas
pengalihan pertanggungannya;
c. untuk polis asuransi PAYDI:
1. untuk premi atau kontribusi
risiko berlaku
ketentuan sebagaimana diatur pada huruf a; dan
2. untuk dana investasi Peserta adalah sebesar nilai
tunai neto pada tanggal Pemegang Polis,
Tertanggung, atau Peserta menyampaikan penolakan
atas pengalihan pertanggungannya.
Pasal 49
Setelah seluruh kewajiban Perusahaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 diselesaikan, Direksi wajib menyampaikan
laporan kepada OJK yang paling sedikit memuat:
a. pelaksanaan penghentian kegiatan usaha Perusahaan;
b. pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 ayat (3) huruf b;
c. pelaksanaan penyelesaian kewajiban Perusahaan;
- 38 -
d. neraca akhir Perusahaan yang telah diaudit oleh auditor
independen; dan
e. surat pernyataan dari pemegang saham atau yang setara
dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk
koperasi yang menyatakan bahwa seluruh kewajiban
Perusahaan telah diselesaikan dan apabila terdapat
tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab
pemegang saham atau yang setara dengan pemegang
saham pada badan hukum berbentuk koperasi.
Pasal 50
(1) OJK melakukan penelitian terhadap laporan yang
disampaikan oleh Direksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 49.
(2) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dalam jangka waktu paling lama 30
(tiga puluh) Hari sejak diterimanya laporan secara
lengkap, OJK menerbitkan keputusan tentang
Pencabutan Izin Usaha Perusahaan.
Pasal 51
Sejak tanggal Pencabutan Izin Usaha Perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2), apabila di
kemudian hari muncul kewajiban Perusahaan yang belum
diselesaikan, pemegang saham atau yang setara dengan
pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi
bertanggung jawab atas kewajiban dimaksud.
BAB IV
KEPAILITAN PERUSAHAAN
Bagian Kesatu
Persyaratan dan Tata Cara
Permohonan Pernyataan Pailit Perusahaan
Pasal 52
(1) Kreditor berdasarkan penilaiannya bahwa Perusahaan
memenuhi persyaratan dinyatakan pailit sesuai undang-
- 39 -
undang mengenai kepailitan, dapat menyampaikan
permohonan kepada OJK agar OJK mengajukan
permohonan pernyataan pailit Perusahaan yang
bersangkutan kepada pengadilan niaga.
(2) Perusahaan tidak dapat mengajukan permohonan
pernyataan pailit bagi dirinya sendiri.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dan
ditandatangani
oleh Kreditor atau kuasanya yang
memuat sekurang-kurangnya:
a.
identitas Kreditor, paling sedikit meliputi nama lengkap
dan alamat Kreditor;
b. nama Perusahaan yang dimohonkan untuk dinyatakan
pailit oleh pengadilan niaga;
c. uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan
yang meliputi:
1. kewenangan pengadilan niaga;
2. kedudukan hukum (legal standing) Kreditor yang
berisi uraian yang jelas mengenai hak Kreditor
untuk mengajukan permohonan; dan
3. alasan permohonan pernyataan pailit diuraikan
secara jelas dan rinci; dan
d. hal-hal yang dimohonkan untuk diputus oleh
pengadilan niaga.
(4) Selain memenuhi ketentuan pada ayat (3), permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan
alat bukti yang mendukung permohonan pernyataan
pailit Perusahaan, yang paling sedikit berupa:
a. bukti identitas diri Kreditor;
b. bukti surat atau tulisan yang berkaitan dengan
alasan permohonan;
c.
daftar calon saksi dan/atau ahli disertai pernyataan
singkat tentang hal-hal yang akan diterangkan
terkait dengan alasan permohonan, serta pernyataan
bersedia menghadiri persidangan, dalam hal Kreditor
bermaksud mengajukan saksi dan/atau ahli; dan
- 40 -
d. daftar bukti lain yang dapat berupa informasi yang
disimpan dalam atau dikirim melalui media
elektronik, bila dipandang perlu.
(5) Di samping diajukan dalam bentuk tertulis, permohonan
juga diajukan dalam format digital dalam media elektronik
berupa cakram padat (compact disk) atau yang serupa
dengan itu.
Pasal 53
(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1)
ditujukan kepada Ketua Dewan Komisioner OJK dengan
tembusan kepada
Kepala
Eksekutif
Pengawas
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK.
(2) OJK memeriksa permohonan berikut alat bukti yang
disampaikan oleh Kreditor.
(3) Apabila permohonan belum lengkap, OJK memberitahukan
kepada Kreditor tentang kelengkapan permohonan yang
harus dipenuhi, dan Kreditor harus melengkapinya dalam
waktu paling lambat 10 (sepuluh) Hari sejak diterimanya
pemberitahuan kekuranglengkapan permohonan.
(4) Apabila kelengkapan permohonan tidak dipenuhi dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
permohonan dianggap gugur dan selanjutnya OJK
mengembalikan berkas permohonan kepada Kreditor.
Pasal 54
(1) OJK menyetujui atau menolak permohonan untuk
mengajukan permohonan pernyataan pailit Perusahaan
paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak permohonan
diterima secara lengkap.
(2) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), OJK dapat:
a. meminta keterangan terkait permohonan pernyataan
pailit kepada Kreditor, Perusahaan yang dimohonkan
pailit, dan/atau pihak lain; dan/atau
b. melakukan pemeriksaan terhadap Perusahaan.
- 41 -
Pasal 55
(1) OJK menyetujui atau menolak permohonan Kreditor
untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit
Perusahaan kepada
pengadilan niaga dengan
mempertimbangkan:
a. pemenuhan persyaratan dinyatakan pailit sebagaimana
diatur dalam undang-undang mengenai kepailitan;
b. pemenuhan persyaratan pengajuan permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3);
c. kemampuan keuangan Perusahaan untuk membayar
utang atau kewajiban;
d. status pengawasan Perusahaan;
e. pengenaan sanksi administratif terhadap Perusahaan;
dan
f.
suatu kondisi tertentu.
(2) Dalam hal OJK menolak permohonan untuk mengajukan
permohonan pernyataan pailit Perusahaan, OJK
menyampaikan penolakan permohonan tersebut secara
tertulis kepada Kreditor disertai dengan alasan
penolakan.
(3) Dalam hal OJK menolak permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), OJK dapat:
a. menyarankan kepada Kreditor untuk menyelesaikan
sengketa dengan Perusahaan melalui lembaga
alternatif penyelesaian sengketa atau peradilan
perdata;
b. memfasilitasi penyelesaian sengketa di luar
pengadilan secara damai; atau
c. melakukan tindakan lainnya yang dapat membantu
penyelesaian sengketa.
(4) Apabila OJK menyetujui permohonan untuk mengajukan
permohonan pernyataan pailit Perusahaan, maka OJK
segera menyampaikan permohonan pernyataan pailit
Perusahaan kepada pengadilan niaga sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Biaya permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan
niaga ditanggung oleh Kreditor.
- 42 -
Pasal 56
(1) Dalam rangka melindungi kepentingan konsumen, OJK
dapat mengajukan permohonan pailit Perusahaan kepada
pengadilan niaga tanpa adanya permohonan dari
Kreditor.
(2) Dalam mengajukan permohonan pailit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), OJK mempertimbangkan hal-hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) kecuali
huruf b.
Pasal 57
(1) Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit
belum diucapkan, OJK dapat mengajukan permohonan
kepada pengadilan untuk:
a. meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau
seluruh kekayaan Perusahaan; atau
b. menunjuk kurator sementara untuk mengawasi:
1. pengelolaan usaha Perusahaan; dan
2. pembayaran kepada Kreditor, pengalihan, atau
pengagunan kekayaan Perusahaan yang dalam
Kepailitan merupakan wewenang kurator.
(2) Kurator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Balai Harta Peninggalan; atau
b. kurator lainnya.
(3) Dalam mengajukan kurator sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, OJK mempertimbangkan hal-hal sebagai
berikut:
a. independen dan tidak mempunyai benturan
kepentingan;
b. memiliki keahlian khusus dalam mengurus
dan/atau membereskan harta pailit;
c.
tidak sedang menangani perkara Kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari
3 (tiga) perkara;
d. memahami ketentuan mengenai perasuransian; dan
- 43 -
e.
terdaftar pada kementerian yang lingkup dan
tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kedua
Pelaksanaan dan Tindak Lanjut
Berakhirnya Kepailitan Perusahaan
Pasal 58
Dalam hal harta Perusahaan yang dinyatakan pailit berada
dalam keadaan insolvensi dan dilakukan pemberesan harta
pailit, ketentuan mengenai pembagian harta kekayaan
Perusahaan dalam Likuidasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 sampai dengan Pasal 28 mutatis mutandis berlaku bagi
pembagian harta kekayaan Perusahaan yang dinyatakan pailit.
Pasal 59
Dalam hal pemberesan harta Perusahaan yang dinyatakan
pailit telah dilakukan dan Kepailitan Perusahaan berakhir,
OJK mencabut izin usaha Perusahaan yang bersangkutan.
BAB V
SANKSI
Pasal 60
Pihak yang melanggar ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal
3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (7), Pasal 7,
Pasal 8 ayat (2), ayat (3), Pasal 12 ayat (1), Pasal 15 ayat (1),
Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), ayat (6), Pasal 32 ayat (4),
ayat (5), Pasal 38 ayat (1), Pasal 39 ayat (1), ayat (2), Pasal 43
ayat (1), Pasal 46 ayat (2), ayat (3), Pasal 47 ayat (2), ayat (3),
ayat (4), dan Pasal 49. dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis; dan/atau
b. larangan menjadi pemegang saham atau yang setara
dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk
koperasi, Direksi, Dewan Komisaris, atau Dewan
Pengawas Syariah pada Perusahaan.
- 44 -
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 61
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 294
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 28/POJK.05/2015 </reg_id>
<reg_title> PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI, DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH </reg_title>
<set_date> 7 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 11 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 11 Desember 2015 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '40/UU/2014' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 18 /POJK.03/2017
TENTANG
PELAPORAN DAN PERMINTAAN INFORMASI DEBITUR MELALUI
SISTEM LAYANAN INFORMASI KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk
mengatur dan mengembangkan penyelenggaraan
sistem informasi antar bank maupun lembaga lain di
bidang keuangan, khususnya dalam rangka
memperoleh dan menyediakan informasi debitur;
b. bahwa dalam rangka memperlancar proses
penyediaan dana untuk mendorong pembangunan
ekonomi, penerapan manajemen risiko oleh lembaga
jasa keuangan serta mendukung pengawasan yang
efektif di sektor jasa keuangan, diperlukan adanya
sistem layanan informasi keuangan yang andal,
komprehensif, dan terintegrasi di sektor jasa
keuangan;
- 2 -
c. bahwa dalam rangka pengembangan sistem layanan
informasi keuangan yang andal, komprehensif, dan
terintegrasi di sektor jasa keuangan, dilakukan
implementasi secara bertahap dimulai dengan layanan
informasi tentang debitur;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c,
perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Pelaporan dan Permintaan Informasi Debitur
Melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PELAPORAN DAN PERMINTAAN INFORMASI DEBITUR
MELALUI SISTEM LAYANAN INFORMASI KEUANGAN.
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah lembaga yang independen, yang
mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan.
2. Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
LJK adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di
sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana
pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya.
3. Bank Umum adalah:
a. Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan, termasuk kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri;
b. Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
4. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat
BPR adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
- 4 -
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan.
5. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya
disingkat BPRS adalah Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
6. Lembaga Pembiayaan adalah lembaga pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan.
7. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya adalah lembaga jasa
keuangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan.
8. Pelapor adalah pihak yang melakukan pelaporan dan
permintaan informasi debitur melalui sistem layanan
informasi keuangan kepada OJK.
9. Debitur adalah orang perseorangan, perusahaan, atau
pihak yang memperoleh fasilitas penyediaan dana dari
Pelapor.
10. Laporan Debitur adalah informasi yang disajikan dan
dilaporkan oleh Pelapor kepada OJK menurut tata
cara dan bentuk laporan serta media laporan yang
ditetapkan oleh OJK.
11. Fasilitas Penyediaan Dana adalah penyediaan dana
oleh Pelapor kepada Debitur, baik dalam rupiah
maupun valuta asing dalam bentuk kredit atau
pembiayaan, surat berharga, dan transaksi rekening
administratif serta bentuk fasilitas lain yang dapat
dipersamakan dengan itu termasuk yang berdasarkan
prinsip syariah sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.
12. Informasi Debitur adalah informasi mengenai Debitur,
Fasilitas Penyediaan Dana yang diterima Debitur, dan
informasi terkait lain yang disajikan berdasarkan
Laporan Debitur yang diterima oleh OJK dari Pelapor.
- 5 -
13. Sistem Layanan Informasi Keuangan yang selanjutnya
disingkat SLIK adalah sistem informasi yang dikelola
oleh OJK untuk mendukung pelaksanaan tugas
pengawasan dan layanan informasi di bidang
keuangan.
14. Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan yang
selanjutnya disingkat LPIP adalah lembaga atau
badan yang menghimpun dan mengolah data kredit
dan data lain untuk menghasilkan informasi
perkreditan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan tentang LPIP.
BAB II
PELAPOR
Pasal 2
(1) Pihak yang wajib menjadi Pelapor adalah:
a. Bank Umum;
b. BPR;
c. BPRS;
d. Lembaga Pembiayaan yang memberikan Fasilitas
Penyediaan Dana; dan
e. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya yang
memberikan Fasilitas Penyediaan Dana, kecuali
lembaga keuangan mikro.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara untuk
menjadi Pelapor bagi pihak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran OJK.
Pasal 3
(1) Lembaga Jasa Keuangan Lainnya yang menyediakan
layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi
informasi dan lembaga keuangan mikro dapat menjadi
Pelapor dengan mengajukan permohonan dan
mendapat persetujuan OJK dengan memenuhi
persyaratan:
a. memiliki infrastruktur yang memadai;
- 6 -
b. memiliki data yang diperlukan dalam SLIK; dan
c. menandatangani perjanjian keikutsertaan dalam
pelaporan dan permintaan Informasi Debitur
melalui SLIK.
(2) Lembaga lain bukan LJK dapat menjadi Pelapor
setelah mendapat persetujuan OJK dengan memenuhi
persyaratan:
a. melakukan kegiatan penyediaan dana;
b. memiliki infrastruktur yang memadai;
c. memiliki data yang diperlukan dalam SLIK; dan
d. menandatangani perjanjian keikutsertaan dalam
pelaporan dan permintaan Informasi Debitur
melalui SLIK.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara untuk
menjadi Pelapor bagi Lembaga Jasa Keuangan
Lainnya yang menyediakan layanan pinjam-meminjam
uang berbasis teknologi informasi, lembaga keuangan
mikro, dan lembaga lain bukan LJK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Surat Edaran OJK.
BAB III
LAPORAN DEBITUR DAN KOREKSI LAPORAN DEBITUR
Pasal 4
(1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan Debitur kepada
OJK secara lengkap, akurat, terkini, utuh, dan tepat
waktu setiap bulan untuk posisi akhir bulan.
(2) Laporan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib mencakup informasi mengenai:
a. Debitur;
b. Fasilitas Penyediaan Dana;
c. agunan;
d. penjamin;
e. pengurus dan pemilik; dan
f.
keuangan Debitur.
- 7 -
(3) Laporan Debitur dilaporkan oleh kantor pusat Pelapor
kepada OJK.
(4) Laporan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
wajib mencakup informasi dari kantor pusat Pelapor
dan seluruh kantor cabang.
(5) Laporan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib disusun sesuai dengan pedoman penyusunan
Laporan Debitur yang ditetapkan oleh OJK.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai cakupan Laporan
Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Surat Edaran OJK.
Pasal 5
(1) Informasi mengenai keuangan Debitur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf f dilaporkan
dalam hal Debitur merupakan perusahaan atau pihak
yang menerima Fasilitas Penyediaan Dana dari 1
(satu) Pelapor dan/atau pembiayaan bersama lebih
dari 1 (satu) Pelapor, dengan jumlah seluruh Fasilitas
Penyediaan Dana
paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Pelapor melaporkan informasi mengenai keuangan
Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
huruf f yang bersumber dari laporan keuangan
tahunan Debitur terkini.
(3) Pelapor melaporkan informasi mengenai keuangan
Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
lambat pada Laporan Debitur bulan Juni tahun
berikutnya.
Pasal 6
Pelapor baru wajib menyampaikan Laporan Debitur untuk
pertama kali kepada OJK paling lambat tanggal 12 pada
bulan keempat terhitung sejak ditetapkan sebagai pelapor
oleh OJK.
sebesar
- 8 -
Pasal 7
Pelapor wajib melakukan koreksi Laporan Debitur yang
telah disampaikan kepada OJK dalam hal Laporan Debitur
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 atas dasar:
a. temuan Pelapor; atau
b. temuan OJK.
BAB IV
PERIODE PENYAMPAIAN LAPORAN DEBITUR DAN
KOREKSI LAPORAN DEBITUR
Pasal 8
(1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan Debitur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) secara
bulanan paling lambat tanggal 12 bulan berikutnya
setelah bulan Laporan Debitur.
(2) Pelapor wajib menyampaikan koreksi Laporan Debitur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 atas dasar:
a. temuan Pelapor, paling lambat tanggal 12 bulan
berikutnya setelah bulan Laporan Debitur; atau
b. temuan OJK, paling lambat tanggal 12 pada
bulan berikutnya setelah temuan OJK
disampaikan kepada Pelapor.
(3) Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian Laporan
Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, atau hari libur,
Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur
disampaikan pada hari kerja berikutnya.
(4) OJK dapat menetapkan tanggal berakhirnya
penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi
Laporan Debitur selain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), dalam hal terjadi:
a. kerusakan dan/atau gangguan pada pangkalan
data (database) atau jaringan komunikasi di OJK;
dan/atau
- 9 -
b. kondisi tertentu yang berdampak signifikan pada
periode penyampaian Laporan Debitur.
(5) Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan
Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur pada
tanggal Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan
Debitur diterima oleh OJK.
Pasal 9
(1) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan
Debitur apabila melampaui batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4)
sampai dengan akhir bulan setelah bulan Laporan
Debitur.
(2) Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan
Debitur apabila sampai dengan batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum
menyampaikan Laporan Debitur.
(3) Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan
Laporan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
tetap harus menyampaikan Laporan Debitur.
(4) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi
Laporan Debitur apabila penyampaian koreksi
Laporan Debitur melampaui batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).
(5) Keterlambatan koreksi Laporan Debitur yang
disebabkan karena program peningkatan kualitas data
yang dilaksanakan oleh OJK dikecualikan dari
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
BAB V
PENYAMPAIAN LAPORAN DEBITUR DAN KOREKSI
LAPORAN DEBITUR
Pasal 10
(1) Pelapor hanya dapat menyampaikan Laporan Debitur
dan/atau koreksi Laporan Debitur secara daring
(online) melalui SLIK.
- 10 -
(2) Pelapor yang mengalami gangguan teknis dalam
menyampaikan Laporan Debitur dan/atau koreksi
Laporan Debitur dapat menyampaikan secara luring
(offline) paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah batas
akhir periode penyampaian Laporan Debitur dan/atau
koreksi Laporan Debitur dengan surat pemberitahuan
tertulis kepada OJK disertai dokumen pendukung.
(3) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan
Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara
luring (offline) apabila penyampaian laporan
melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
(4) Pelapor yang mengalami keadaan kahar (force majeure)
sehingga tidak memungkinkan untuk menyampaikan
Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur
secara daring (online) dan secara luring (offline) sampai
dengan batas akhir periode penyampaian Laporan
Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur,
memberitahukan secara tertulis kepada OJK untuk
memperoleh penundaan batas waktu penyampaian
Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur.
(5) Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur
secara luring (offline) sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan pemberitahuan tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4), disampaikan
kepada:
a. Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan,
bagi Pelapor yang berkantor pusat di wilayah
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau
Provinsi Banten; atau
b. Kantor Regional OJK atau Kantor OJK setempat,
bagi Pelapor yang berkantor pusat di luar wilayah
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau
Provinsi Banten.
- 11 -
Pasal 11
(1) Dalam hal terjadi kerusakan pada Laporan Debitur
dan/atau koreksi Laporan Debitur karena gangguan
teknis atau gangguan lain pada sistem dan/atau
jaringan komunikasi data, OJK dapat meminta
Pelapor untuk menyampaikan kembali Laporan
Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur.
(2) Pelapor wajib menyampaikan kembali Laporan Debitur
dan/atau koreksi Laporan Debitur atas permintaan
OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB VI
PENGKINIAN DATA LAPORAN DEBITUR
Pasal 12
(1) OJK dapat melakukan pengkinian data Laporan
Debitur pada SLIK dalam hal Pelapor:
a. dicabut izin usaha atau dilikuidasi; atau
b. tidak mampu melakukan pengkinian Laporan
Debitur karena sebab lain.
(2) Pengkinian data Laporan Debitur pada SLIK dalam hal
Pelapor dicabut izin usaha atau dilikuidasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilakukan berdasarkan permohonan tertulis dari:
a. pihak yang ditunjuk melakukan penyelesaian
kewajiban Pelapor; atau
b. Debitur yang disertai dengan dokumen
pendukung.
(3) Pengkinian data Laporan Debitur pada SLIK dalam hal
Pelapor tidak mampu melakukan pengkinian Laporan
Debitur pada SLIK karena sebab lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan
berdasarkan permohonan tertulis dari Pelapor.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengkinian
data Laporan Debitur pada SLIK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran
OJK.
- 12 -
BAB VII
KETERBUKAAN KEPADA DEBITUR
DAN INFORMASI DEBITUR
Pasal 13
Pelapor wajib memberitahukan kepada Debitur mengenai
penyampaian Laporan Debitur yang bersangkutan ke
dalam SLIK.
Pasal 14
(1) Pihak yang dapat meminta Informasi Debitur adalah:
a. Pelapor;
b. Debitur;
c. LPIP; dan
d. pihak lain.
(2) Cakupan Informasi Debitur yang dapat diminta oleh
pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. identitas Debitur;
b. pemilik dan pengurus bagi Debitur badan usaha;
c. Fasilitas Penyediaan Dana yang diterima Debitur;
d. agunan;
e. penjamin;
f.
kualitas Fasilitas Penyediaan Dana; dan
g. informasi lain.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai cakupan Informasi
Debitur untuk masing-masing pihak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran
OJK.
Pasal 15
(1) Pelapor yang telah memenuhi kewajiban pelaporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dapat meminta
Informasi Debitur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (2) kepada OJK secara daring (online)
melalui SLIK.
(2) Permintaan Informasi Debitur secara daring (online)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan
- 13 -
melalui kantor pusat Pelapor dan/atau kantor cabang
Pelapor.
(3) Pelapor wajib menatausahakan semua permintaan
Informasi Debitur melalui SLIK yang dilakukan oleh
Pelapor, yang paling sedikit mengenai:
a.
tanggal permintaan;
b. nomor identitas Debitur;
c. nama Debitur;
d. peruntukan Informasi Debitur; dan
e. pegawai yang mengajukan permintaan dan
menerima Informasi Debitur.
(4) Pelapor dilarang menggunakan Informasi Debitur yang
diperoleh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
keperluan Pelapor selain dalam rangka:
a. mendukung kelancaran proses pemberian
Fasilitas Penyediaan Dana;
b. menerapkan manajemen risiko; dan/atau
c.
mengidentifikasi kualitas Debitur dalam rangka
pemenuhan ketentuan OJK atau pihak lain yang
berwenang.
Pasal 16
(1) Pelapor wajib memberikan Informasi Debitur atas
permintaan Debitur kepada Pelapor.
(2) Informasi Debitur yang diberikan oleh Pelapor atas
permintaan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), hanya dapat diberikan kepada Debitur dari
Pelapor yang bersangkutan.
Pasal 17
(1) Dalam hal Pelapor menolak memberikan Fasilitas
Penyediaan Dana kepada Debitur atau calon Debitur
atas dasar Informasi Debitur, Pelapor wajib
memberikan penjelasan secara tertulis kepada Debitur
atau calon Debitur.
- 14 -
(2) Penjelasan secara tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan dalam hal terdapat permintaan
secara tertulis dari Debitur atau calon Debitur.
Pasal 18
(1) Debitur dapat meminta Informasi Debitur atas nama
Debitur yang bersangkutan kepada OJK atau kepada
Pelapor dari Debitur yang bersangkutan.
(2) Permintaan Informasi Debitur oleh Debitur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan
dengan permohonan secara tertulis yang disampaikan
langsung oleh Debitur yang bersangkutan atau pihak
yang diberi kuasa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permintaan
Informasi Debitur oleh Debitur sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran
OJK.
Pasal 19
LPIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1)
huruf c dapat memperoleh Informasi Debitur dalam rangka
pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai LPIP.
Pasal 20
(1) Pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1) huruf d dapat meminta Informasi Debitur
kepada OJK dalam rangka pelaksanaan peraturan
perundang-undangan dan/atau berdasarkan nota
kesepahaman dengan OJK.
(2) Permintaan Informasi Debitur oleh pihak lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
secara:
a.
b.
rutin; dan/atau
insidental.
(3) Permintaan Informasi Debitur oleh pihak lain secara
rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
- 15 -
dapat dilakukan dengan perjanjian dan/atau nota
kesepahaman antara OJK dan pihak lain.
(4) Permintaan Informasi Debitur oleh pihak lain secara
insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b dilakukan dengan memenuhi persyaratan:
a. permohonan Informasi Debitur disampaikan
secara tertulis kepada OJK oleh pihak yang
memiliki kewenangan, dengan menyampaikan
peruntukan penggunaan Informasi Debitur; dan
b. pemohon menyatakan bertanggung jawab
terhadap segala akibat yang timbul berkaitan
dengan penggunaan Informasi Debitur.
Pasal 21
Pihak yang dapat meminta Informasi Debitur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) bertanggung jawab
terhadap segala akibat hukum yang timbul sehubungan
dengan penggunaan Informasi Debitur untuk keperluan
yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan Peraturan OJK ini.
BAB VIII
PENANGANAN DAN PENYELESAIAN PENGADUAN
Pasal 22
Debitur dapat mengajukan pengaduan mengenai
ketidakakuratan Informasi Debitur secara langsung kepada
Pelapor yang bersangkutan.
Pasal 23
(1) Pelapor wajib menindaklanjuti pengaduan mengenai
ketidakakuratan Informasi Debitur yang diajukan oleh
Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
(2) Dalam menindaklanjuti pengaduan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pelapor wajib melakukan
penelitian atas permasalahan yang diadukan
- 16 -
berdasarkan dokumen dan/atau data yang dimiliki
oleh Pelapor dan/atau Debitur.
Pasal 24
(1) Pelapor wajib menyelesaikan pengaduan mengenai
ketidakakuratan Informasi Debitur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 paling lama 20 (dua puluh)
hari kerja setelah tanggal pengaduan diterima oleh
Pelapor.
(2) Dalam hal permasalahan yang diadukan oleh Debitur
memerlukan penelitian khusus terhadap dokumen
Pelapor dan/atau Debitur, Pelapor dapat
memperpanjang jangka waktu penyelesaian
pengaduan sampai dengan paling lama 20 (dua puluh)
hari kerja.
(3) Pelapor wajib menginformasikan batas waktu
penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) kepada Debitur yang mengajukan
pengaduan.
(4) Dalam hal Pelapor telah menyelesaikan pengaduan
mengenai ketidakakuratan Informasi Debitur, Pelapor
wajib menyampaikan hasil penyelesaian pengaduan
kepada Debitur secara tertulis.
Pasal 25
Dalam hal Pelapor tidak dapat menyelesaikan pengaduan
mengenai ketidakakuratan Informasi Debitur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Debitur
dapat melakukan upaya penyelesaian pengaduan melalui
OJK atau Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
(LAPS).
Pasal 26
(1) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian atas
permasalahan yang diadukan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (2) merupakan pengaduan yang
- 17 -
disebabkan oleh kesalahan Pelapor, Pelapor
menyampaikan koreksi Laporan Debitur kepada OJK.
(2) Koreksi Laporan Debitur kepada OJK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diperlakukan sebagai koreksi
atas dasar temuan Pelapor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf a dan Pasal 8 ayat (2) huruf a.
BAB IX
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR PELAPORAN, PERMINTAAN
INFORMASI DEBITUR, DAN PENYELESAIAN PENGADUAN
INFORMASI DEBITUR
Pasal 27
Pelapor wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis
mengenai penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi
Laporan Debitur yang paling sedikit mencakup:
a. wewenang dan tanggung jawab pegawai yang
melakukan verifikasi dan menyampaikan Laporan
Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur kepada
OJK;
b. langkah yang dilakukan dalam rangka pemeliharaan
dan pengamanan sistem dan data;
c. langkah yang dilakukan dalam rangka memastikan
kelengkapan, keakuratan, kekinian, keutuhan, dan
ketepatan waktu Laporan Debitur dan/atau koreksi
Laporan Debitur;
d. langkah yang dilakukan dalam hal terjadi gangguan
atau keadaan kahar (force majeure) untuk memastikan
kesinambungan penyampaian Laporan Debitur
dan/atau koreksi Laporan Debitur kepada OJK serta
wewenang dan tanggung jawab pegawai yang
ditunjuk.
Pasal 28
Pelapor wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis
mengenai permintaan dan penggunaan Informasi Debitur
yang paling sedikit mencakup:
- 18 -
a. wewenang dan tanggung jawab pegawai yang diberi
akses untuk mengajukan permintaan dan menerima
Informasi Debitur;
b. langkah yang dilakukan dalam permintaan Informasi
Debitur, termasuk memastikan penggunaan Informasi
Debitur sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4);
c. langkah yang dilakukan dalam penyediaan Informasi
Debitur atas permintaan Debitur kepada Pelapor;
d. penatausahaan Informasi Debitur; dan
e. pengamanan Informasi Debitur.
Pasal 29
Dalam rangka menyelesaikan pengaduan mengenai
ketidakakuratan Informasi Debitur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22, Pelapor wajib memiliki kebijakan dan
prosedur tertulis yang paling sedikit mencakup:
a. wewenang dan tanggung jawab pegawai yang
menangani pengaduan;
b. tata cara penerimaan pengaduan;
c. langkah dalam penanganan dan penyelesaian
pengaduan;
d. pemantauan penanganan dan penyelesaian
pengaduan; dan
e. penatausahaan penanganan dan penyelesaian
pengaduan.
BAB X
PEGAWAI PELAKSANA
Pasal 30
(1) Pelapor wajib menunjuk pegawai pelaksana dan/atau
pejabat yang mencakup fungsi untuk:
a. menyampaikan Laporan Debitur;
b. melakukan verifikasi Laporan Debitur;
c. mengajukan permintaan dan menerima Informasi
Debitur;
- 19 -
d. melakukan administrasi dan pengelolaan hak
akses pengguna SLIK di internal Pelapor;
e. menangani pengaduan Debitur; dan
f. melakukan pengamanan data Informasi Debitur.
(2) Penunjukan pegawai pelaksana dan/atau pejabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
mempertimbangkan prinsip pemisahan tugas
(segregation of duties) serta disesuaikan dengan
kompleksitas kegiatan usaha Pelapor.
(3) Pelapor wajib menyampaikan pegawai pelaksana
dan/atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada OJK dalam jangka
waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak
ditetapkan sebagai Pelapor oleh OJK.
(4) Dalam hal terjadi perubahan pegawai pelaksana
dan/atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pelapor wajib:
a. menyampaikan perubahan pegawai pelaksana
dan/atau pejabat yang ditunjuk kepada OJK; dan
b. melakukan penyesuaian hak akses pengguna
SLIK di internal Pelapor,
paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah terjadi
perubahan.
BAB XI
PENGAWASAN
Pasal 31
(1) OJK melakukan pengawasan secara langsung
dan/atau pengawasan secara tidak langsung terkait
pelaksanaan SLIK terhadap Pelapor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2.
(2) OJK berwenang melakukan pengawasan secara
langsung dan/atau pengawasan secara tidak langsung
terkait pelaksanaan SLIK terhadap Pelapor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
- 20 -
(3) Pelapor wajib memberikan informasi kepada OJK
dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
BAB XII
SANKSI
Pasal 32
Pelapor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2),
Pasal 4 ayat (4), Pasal 4 ayat (5), Pasal 6, Pasal 11 ayat (2),
Pasal 13, Pasal 15 ayat (3), Pasal 15 ayat (4),
Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 23 ayat (1),
Pasal 23 ayat (2), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24 ayat (3),
Pasal 24 ayat (4), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30
ayat (1), Pasal 30 ayat (3), Pasal 30 ayat (4), dan/atau
Pasal 31 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis atau peringatan tertulis.
Pasal 33
(1) Pelapor yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan dinyatakan
terlambat
menyampaikan Laporan Debitur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) atau
Pasal 10 ayat (3) dikenakan sanksi administratif
berupa:
a. denda
1. bagi Pelapor dengan aset paling sedikit
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar
rupiah), sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) per hari kerja keterlambatan; atau
2. bagi Pelapor dengan aset kurang dari
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar
rupiah), sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu
rupiah) per hari kerja keterlambatan, dan
b. penundaan pemberian Informasi Debitur sampai
dengan Laporan Debitur diterima oleh OJK.
- 21 -
(2) Pelapor yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan dinyatakan tidak
menyampaikan Laporan Debitur
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dikenakan sanksi
administratif berupa:
a. denda
1. bagi Pelapor dengan aset paling sedikit
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar
rupiah), sebesar Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) per bulan Laporan
Debitur dan paling lama 12 (dua belas)
bulan Laporan Debitur secara berturut-
turut; atau
2. bagi Pelapor dengan aset kurang dari
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar
rupiah), sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta
rupiah) per bulan Laporan Debitur dan
paling lama 12 (dua belas) bulan Laporan
Debitur secara berturut-turut; dan
b. penundaan pemberian Informasi Debitur sampai
dengan seluruh Laporan Debitur diterima oleh
OJK.
Pasal 34
(1) Pelapor yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a dan
dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan
Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4)
atau Pasal 10 ayat (3) dikenakan sanksi administratif
berupa denda:
a. bagi Pelapor dengan aset paling sedikit
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah),
sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per
Debitur per hari kerja keterlambatan dan paling
banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah)
per bulan Laporan Debitur dan paling lama
- 22 -
keterlambatan 12 (dua belas) bulan Laporan
Debitur secara berturut-turut; atau
b. bagi Pelapor dengan aset kurang dari
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah),
sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah)
per Debitur per hari kerja keterlambatan dan
paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah)
per bulan Laporan Debitur dan paling lama
keterlambatan 12 (dua belas) bulan Laporan
Debitur secara berturut-turut.
(2) Pelapor yang atas dasar temuan OJK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dikenakan sanksi
administratif berupa denda:
a. bagi Pelapor dengan aset paling sedikit
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah),
sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah)
per Debitur paling banyak Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) per bulan Laporan Debitur
dan paling lama keterlambatan 12 (dua belas)
bulan Laporan Debitur secara berturut-turut;
atau
b. bagi Pelapor dengan aset kurang dari
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah),
sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah)
per Debitur paling banyak Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) per bulan Laporan Debitur
dan paling lama keterlambatan 12 (dua belas)
bulan Laporan Debitur secara berturut-turut.
(3) Pelapor yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b dan
dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan
Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4)
atau Pasal 10 ayat (3) dikenakan sanksi administratif
berupa:
a. denda
1. bagi Pelapor dengan aset paling sedikit
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar
- 23 -
rupiah), sebesar Rp50.000,00 (lima puluh
ribu rupiah) per Debitur paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
per bulan Laporan Debitur dan paling lama
keterlambatan 12 (dua belas) bulan Laporan
Debitur secara berturut-turut; atau
2. bagi Pelapor dengan aset kurang dari
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar
rupiah), sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu
rupiah) per Debitur paling banyak
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per
bulan Laporan Debitur dan paling lama
keterlambatan 12 (dua belas) bulan Laporan
Debitur secara berturut-turut; dan
b. penundaan pemberian Informasi Debitur sampai
dengan seluruh koreksi Laporan Debitur diterima
oleh OJK.
Pasal 35
Pelapor yang meminta dan menggunakan Informasi
Debitur tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) untuk setiap Informasi Debitur.
Pasal 36
Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf b, Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat (2) huruf a,
Pasal 8 ayat (2) huruf b, Pasal 9 ayat (1), Pasal 9 ayat (2),
Pasal 9 ayat (4), Pasal 10 ayat (3), dan Pasal 15 ayat (4),
selain dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis atau peringatan tertulis, denda, dan/atau sanksi
administratif lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, dan/atau Pasal 35, dapat
dikenakan sanksi administratif berupa:
a. penurunan tingkat kesehatan;
- 24 -
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
c. penilaian kemampuan dan kepatutan; dan/atau
d. sanksi administratif lain,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 37
Bagi Pelapor baru, pelaksanaan pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a,
Pasal 33 ayat (2) huruf a, Pasal 34 ayat (1), Pasal 34
ayat (2), dan Pasal 34 ayat (3) huruf a, mulai berlaku 9
(sembilan) bulan sejak batas waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 38
(1) Bank Umum, BPR, BPRS, Lembaga Pembiayaan yang
memberikan Fasilitas Penyediaan Dana, dan Lembaga
Jasa Keuangan Lainnya yang memberikan Fasilitas
Penyediaan Dana, yang pada saat Peraturan OJK ini
berlaku, telah menjadi Pelapor Sistem Informasi
Debitur sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Bank Indonesia Nomor 9/14/PBI/2007 tentang
Sistem Informasi Debitur sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
18/21/PBI/2016 tentang Perubahan atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 9/14/PBI/2007 tentang
Sistem Informasi Debitur menyampaikan:
a. Laporan Debitur kepada OJK mulai Laporan
Debitur bulan Maret 2017 dan bulan April 2017
yang disampaikan paling lambat bulan Mei 2017;
dan
b. daftar pihak yang ditunjuk sebagai pegawai
pelaksana dan/atau pejabat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) kepada OJK
- 25 -
paling lama 3 (tiga) bulan sejak Peraturan OJK ini
mulai berlaku.
(2) BPR, BPRS, dan perusahaan pembiayaan yang pada
saat Peraturan OJK ini mulai berlaku belum menjadi
Pelapor Sistem Informasi Debitur sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/14/PBI/2007 tentang Sistem Informasi Debitur
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 18/21/PBI/2016 tentang Perubahan
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/14/PBI/2007
tentang Sistem Informasi Debitur menjadi Pelapor
SLIK paling lambat tanggal 31 Desember 2018.
(3) Perusahaan modal ventura, perusahaan pembiayaan
infrastruktur, dan pergadaian, yang pada saat
Peraturan OJK ini berlaku belum menjadi Pelapor
Sistem Informasi Debitur sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/14/PBI/2007 tentang Sistem Informasi Debitur
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 18/21/PBI/2016 tentang Perubahan
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/14/PBI/2007
tentang Sistem Informasi Debitur, menjadi Pelapor
SLIK paling lambat tanggal 31 Desember 2022.
(4) Khusus Laporan Debitur bulan Maret 2017 sampai
dengan November 2017, Pelapor menyampaikan
Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur
paling lama 5 (lima) hari kerja setelah batas akhir
periode penyampaian Laporan Debitur dan/atau
koreksi Laporan Debitur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) huruf a, dan
Pasal 10 ayat (2).
- 26 -
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 39
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku:
1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/14/PBI/2007
tentang Sistem Informasi Debitur (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 143,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4784); dan
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/21/PBI/2016
tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 9/14/PBI/2007 tentang Sistem Informasi
Debitur (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 195, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5933),
dicabut dan dinyatakan
tanggal 1 Januari 2018.
Pasal 40
Ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d,
Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 23,
Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 29, Pasal 33 ayat (1)
huruf a, Pasal 33 ayat (2) huruf a, Pasal 34 ayat (1),
Pasal 34 ayat (2), dan Pasal 34 ayat (3) huruf a, mulai
berlaku sejak tanggal 1 Januari 2018.
Pasal 41
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
tidak berlaku sejak
- 27 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 April 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Mei 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 93
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 18 /POJK.03/2017
TENTANG
PELAPORAN DAN PERMINTAAN INFORMASI DEBITUR MELALUI
SISTEM LAYANAN INFORMASI KEUANGAN
I. UMUM
Kemudahan akses perkreditan atau pembiayaan merupakan salah
satu aspek penting dalam menciptakan sistem keuangan yang sehat
dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Kemudahan akses perkreditan atau pembiayaan perlu didukung
dengan adanya sistem informasi yang berfungsi sebagai sarana
pertukaran informasi kredit antar lembaga jasa keuangan.
Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
Otoritas Jasa Keuangan diberikan kewenangan untuk mengatur dan
mengembangkan penyelenggaraan sistem informasi antar bank yang
dapat diperluas dengan menyertakan lembaga lain di bidang keuangan.
Oleh sebab itu, dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya,
Otoritas Jasa Keuangan memandang perlu mengembangkan sebuah
sistem baru untuk mendukung akses informasi perkreditan melalui
Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK).
SLIK dapat dimanfaatkan untuk memperlancar proses penyediaan
dana, penerapan manajemen risiko, penilaian kualitas debitur, dan
meningkatkan disiplin industri keuangan.
- 2 -
Dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi
penyelenggaraan SLIK diperlukan pengaturan mengenai pelaporan dan
permintaan informasi debitur melalui SLIK.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “Lembaga Jasa Keuangan
Lainnya yang memberikan Fasilitas Penyediaan Dana”
antara lain lembaga pembiayaan ekspor Indonesia,
pergadaian, perusahaan pembiayaan sekunder
perumahan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “infrastruktur yang memadai”
antara lain struktur organisasi, sumber daya manusia,
perangkat komputer, jaringan komunikasi data yang
diperlukan dalam SLIK.
Huruf b
Cukup jelas.
- 3 -
Huruf c
Yang dimaksud dengan “perjanjian keikutsertaan dalam
pelaporan dan permintaan Informasi Debitur melalui
SLIK” adalah perikatan antara Pelapor dan OJK
mengenai keikutsertaan Pelapor dalam SLIK.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “infrastruktur yang memadai”
antara lain struktur organisasi, sumber daya manusia,
perangkat komputer, jaringan komunikasi data yang
diperlukan dalam SLIK.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “perjanjian keikutsertaan dalam
pelaporan dan permintaan Informasi Debitur melalui
SLIK” adalah perikatan antara Pelapor dan OJK mengenai
keikutsertaan Pelapor dalam SLIK.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Informasi mengenai Debitur, antara lain berisi informasi
mengenai nama, nomor identitas, tempat lahir, tanggal
lahir, alamat, nomor telepon, nomor seluler, alamat
electronic mail, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), nama
gadis ibu kandung, informasi pasangan, pekerjaan,
hubungan keterkaitan Debitur dengan Pelapor,
penghasilan Debitur.
- 4 -
Huruf b
Informasi mengenai Fasilitas Penyediaan Dana, antara
lain berisi informasi mengenai jenis penyediaan dana,
jumlah fasilitas yang diberikan serta kualitas penyediaan
dana termasuk penyediaan dana yang dihapus buku,
dihapus tagih atau diselesaikan dengan cara
pengambilalihan agunan atau penyelesaian melalui
peradilan.
Penetapan kualitas penyediaan dana mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
bagi masing-masing Pelapor.
Huruf c
Informasi mengenai agunan, antara lain berisi informasi
mengenai bukti kepemilikan, nilai agunan, tanggal
penilaian, ketersediaan agunan, lokasi agunan, jenis
pengikatan agunan.
Huruf d
Informasi mengenai penjamin, antara lain berisi
informasi mengenai nomor identitas atau NPWP
penjamin, nama penjamin, alamat penjamin, persentase
bagian yang dijamin.
Huruf e
Informasi mengenai pengurus dan pemilik dilaporkan
untuk jenis Debitur badan usaha, antara lain berisi
informasi mengenai nama, alamat, nomor identitas atau
NPWP, jabatan serta pangsa kepemilikan.
Huruf f
Informasi mengenai keuangan Debitur diperoleh dari
laporan keuangan Debitur, antara lain berisi informasi
mengenai pos-pos neraca dan laba rugi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Laporan Debitur yang disampaikan mencakup laporan dari
kantor pusat, kantor cabang, kantor cabang pembantu atau
sejenisnya yang memberikan Fasilitas Penyediaan Dana.
- 5 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “laporan keuangan tahunan Debitur”
adalah laporan keuangan tahunan yang telah diaudit atau
belum/tidak diaudit.
Ayat (3)
Contoh:
Informasi mengenai keuangan Debitur yang bersumber dari
laporan keuangan tahunan Debitur bulan Desember 2018
disampaikan oleh Pelapor paling lambat tanggal 12 Juli 2019.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan “Pelapor baru” adalah Pelapor yang belum
pernah menyampaikan Laporan Debitur dalam Sistem Informasi
Debitur (SID) dan SLIK.
Contoh:
Pelapor ditetapkan sebagai pelapor oleh OJK pada bulan
September 2018 maka Pelapor untuk pertama kali menyampaikan
Laporan Debitur paling lambat tanggal 12 Januari 2019 untuk
bulan data Desember 2018.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Contoh:
Laporan Debitur bulan Mei 2018 disampaikan paling lambat
tanggal 12 Juni 2018.
- 6 -
Ayat (2)
Huruf a
Contoh:
Koreksi Laporan Debitur untuk bulan Mei 2018
disampaikan paling lambat pada tanggal 12 Juni 2018.
Huruf b
Contoh 1:
Apabila temuan OJK disampaikan kepada Pelapor pada
tanggal 1 Mei 2018 maka koreksi Laporan Debitur
dilakukan paling lambat tanggal 12 Juni 2018.
Contoh 2:
Apabila temuan OJK disampaikan kepada Pelapor pada
tanggal 20 Mei 2018 maka koreksi Laporan Debitur
dilakukan paling lambat tanggal 12 Juni 2018.
Ayat (3)
Yang termasuk hari libur adalah hari libur nasional dan cuti
bersama.
Yang dimaksud dengan “hari kerja berikutnya” adalah hari
kerja setelah hari libur berlangsung.
Contoh:
Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur bulan
Juli 2018
yang disampaikan paling lambat
tanggal 12 Agustus 2018 adalah hari Minggu, batas akhir
penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan
Debitur bulan Juli 2018 adalah hari Senin tanggal 13
Agustus 2018.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang termasuk kondisi tertentu yang berdampak
signifikan pada periode penyampaian Laporan Debitur
dan/atau koreksi Laporan Debitur, misalnya libur dan
cuti bersama dalam rangka hari raya Idul Fitri yang
memiliki jangka waktu relatif lama dan bertepatan
dengan periode penyampaian Laporan Debitur dan/atau
koreksi Laporan Debitur.
- 7 -
Ayat (5)
Tanggal Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur
diterima oleh OJK adalah tanggal yang tercantum pada tanda
terima Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur
dari SLIK untuk penyampaian secara daring (online) maupun
secara luring (offline).
Pasal 9
Ayat (1)
Contoh:
Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan
Debitur bulan Mei 2018, apabila Pelapor menyampaikan
Laporan Debitur pada kurun waktu tanggal 13 Juni 2018
sampai dengan 30 Juni 2018.
Ayat (2)
Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Debitur
bulan Mei 2018, apabila Pelapor belum menyampaikan
Laporan Debitur atau menyampaikan Laporan Debitur
melampaui tanggal 30 Juni 2018.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh 1:
Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi
Laporan Debitur bulan Mei 2018, apabila koreksi Laporan
Debitur disampaikan melampaui tanggal 12 Juni 2018.
Contoh 2:
Apabila temuan OJK disampaikan kepada Pelapor pada
tanggal 1 Mei 2018 maka koreksi Laporan Debitur
disampaikan paling lambat tanggal 12 Juni 2018.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “menyampaikan Laporan Debitur
dan/atau koreksi Laporan Debitur secara daring (online)”
- 8 -
adalah penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi
Laporan Debitur oleh Pelapor dengan cara mengirim atau
mentransfer rekaman data Laporan Debitur dan/atau koreksi
Laporan Debitur secara langsung melalui jaringan yang
terhubung dengan SLIK.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan
yang menyebabkan Pelapor tidak dapat menyampaikan
Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara
daring (online), antara lain gangguan pada jaringan
komunikasi data dan pemadaman listrik.
Yang dimaksud dengan “penyampaian Laporan Debitur
dan/atau koreksi Laporan Debitur secara luring (offline)”,
adalah penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi
Laporan Debitur oleh Pelapor yang dilakukan dengan
menyampaikan rekaman data Laporan Debitur dan/atau
koreksi Laporan Debitur kepada OJK antara lain dalam
bentuk compact disc atau USB flashdisk.
Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” antara lain
surat atau pengumuman dari penyedia jaringan komunikasi
data dalam hal Pelapor mengalami gangguan komunikasi
data dan/atau surat dari penyedia jaringan listrik dalam hal
Pelapor mengalami pemadaman listrik atau dokumen yang
menyatakan telah ada upaya melakukan penyampaian
laporan SLIK secara daring (online).
Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur yang
disampaikan secara luring (offline) oleh Pelapor dan diunggah
oleh OJK tetap menjadi tanggung jawab Pelapor.
Ayat (3)
Contoh:
Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan Debitur
dan/atau koreksi Laporan Debitur bulan Januari 2018
secara daring (online) yang disampaikan paling lambat
tanggal 12 Februari 2018, kemudian Pelapor menyampaikan
Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara
luring (offline) pada tanggal 15 Februari 2018, apabila tanda
terima Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur
- 9 -
dari SLIK tersebut melebihi tanggal 15 Februari 2018 maka
Pelapor dinyatakan terlambat.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “keadaan kahar (force majeure)”
antara lain kebakaran, kerusuhan massa, perang, konflik
bersenjata, sabotase serta bencana alam seperti banjir dan
gempa bumi yang mengganggu kegiatan operasional Pelapor,
yang dibenarkan oleh pejabat instansi yang berwenang dari
daerah setempat.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Pengkinian Laporan Debitur tidak dapat lagi dilakukan
oleh Pelapor karena data telah dialihkan kepada pihak
yang ditunjuk melakukan penyelesaian kewajiban
Pelapor, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “sebab lain” antara lain karena
secara teknis Pelapor tidak dapat melakukan pengkinian
Laporan Debitur.
Contoh:
Pelapor akan melakukan koreksi terkait dengan fasilitas
yang telah dilaporkan lunas maka Pelapor dapat
melakukan pengkinian data Laporan Debitur setelah
menyampaikan permohonan pengkinian data dan
disetujui oleh OJK.
- 10 -
Ayat (2)
Huruf a
Pihak yang ditunjuk antara lain Lembaga Penjamin
Simpanan atau tim likuidasi.
Huruf b
Dokumen pendukung yang disampaikan oleh Debitur
akan diverifikasi lebih lanjut kepada pihak terkait.
Dokumen pendukung antara lain bukti pembayaran dan
berita acara penyelesaian pembayaran.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 13
Pemberitahuan kepada Debitur dapat dilakukan melalui sarana
antara lain formulir, surat elektronik (electronic mail), dan pesan
singkat (short messages service).
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau
berdasarkan nota kesepahaman dengan OJK berwenang
untuk memperoleh Informasi Debitur, misalnya
pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara,
Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, serta
aparat penegak hukum dalam rangka pelaksanaan tugas
- 11 -
dan wewenang berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Informasi lain antara lain berupa informasi keuangan
Debitur.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “menatausahakan” adalah
melakukan penatausahaan atas setiap permintaan Informasi
Debitur baik secara manual maupun melalui sarana
teknologi informasi.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
- 12 -
Huruf c
Pihak lain yang berwenang antara lain otoritas pengawas
Pelapor.
Pasal 16
Ayat (1)
Pemberian Informasi Debitur kepada Debitur dari Pelapor
yang bersangkutan merupakan salah satu bentuk
pelaksanaan transparansi Pelapor kepada Debitur.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Pemberian penjelasan secara tertulis kepada Debitur atau
calon Debitur dilakukan dengan menggunakan surat
pemberitahuan oleh Pelapor.
Ayat (2)
Permintaan secara tertulis dari Debitur atau calon Debitur
kepada Pelapor dilakukan dengan menggunakan surat
permohonan.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “disampaikan langsung oleh Debitur“
adalah Debitur yang bersangkutan datang ke OJK atau
kantor Pelapor.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
- 13 -
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Tanggal pengaduan diterima adalah tanggal yang tercantum
dalam administrasi pengaduan yang ditatausahakan oleh
Pelapor.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “memerlukan penelitian khusus”
antara lain dalam hal terdapat indikasi fraud di bidang
perkreditan atau pembiayaan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyelesaian pengaduan
mengenai ketidakakuratan
Informasi Debitur dibuktikan dengan dokumen kesepakatan
penyelesaian pengaduan.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Pelapor menyampaikan koreksi Laporan Debitur kepada OJK
segera setelah dilakukan koreksi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 14 -
Pasal 27
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “langkah yang dilakukan dalam
rangka pemeliharaan dan pengamanan sistem dan data”
antara lain pelaksanaan rekam cadang (back-up) data Debitur
setelah dilakukan penyampaian Laporan Debitur dan/atau
koreksi Laporan Debitur secara berkala setiap bulan serta
melakukan pengkinian antivirus dan pengecekan jaringan
secara berkala.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “prinsip pemisahan tugas
(segregation of duties)” antara lain pemisahan tugas antara
satuan kerja atau unit yang melakukan penyampaian
Laporan Debitur, verifikasi Laporan Debitur dengan satuan
kerja atau unit yang melaksanakan fungsi penyelesaian
pengaduan Debitur.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 15 -
Pasal 31
Ayat (1)
Pengawasan dilakukan melalui:
a. pengawasan secara langsung adalah pengawasan
langsung yang dilakukan dengan cara melakukan
pemeriksaan kepada Pelapor; dan/atau
b. pengawasan secara tidak langsung adalah pengawasan
tidak langsung melalui penelitian, analisis, dan evaluasi
atas Laporan Debitur yang disampaikan oleh Pelapor
kepada OJK dan/atau informasi lain yang diperoleh
OJK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Huruf a
Perhitungan aset sebagai dasar pengenaan sanksi
administratif berupa denda pada angka 1 dan angka 2
berdasarkan jumlah aset pada saat posisi pelaporan.
Angka 1
Contoh:
Apabila Pelapor dengan aset paling sedikit
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah)
menyampaikan Laporan Debitur bulan
Februari 2018 pada hari Jumat tanggal 16
Maret 2018, Pelapor dinyatakan terlambat
menyampaikan Laporan Debitur selama 4 (empat)
hari kerja yaitu hari Selasa, Rabu, Kamis, dan
Jumat sehingga Pelapor dikenakan sanksi denda
sebesar 4 x Rp1.000.000,00 = Rp4.000.000,00.
- 16 -
Angka 2
Contoh:
Apabila Pelapor dengan aset kurang dari
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah)
menyampaikan Laporan Debitur bulan
Februari 2018 pada hari Jumat tanggal 16
Maret 2018, Pelapor dinyatakan terlambat
menyampaikan Laporan Debitur selama 4 (empat)
hari kerja yaitu hari Selasa, Rabu, Kamis, dan
Jumat sehingga Pelapor dikenakan sanksi denda
sebesar 4 x Rp100.000,00 = Rp400.000,00.
Huruf b
Pelapor sebagaimana dimaksud pada contoh angka 1
dan angka 2 selain dikenakan sanksi administratif
berupa denda juga dikenakan sanksi administratif
berupa penundaan pemberian Informasi Debitur dari
tanggal 13 Maret 2018 sampai dengan 16 Maret 2018.
Ayat (2)
Huruf a
Perhitungan aset sebagai dasar pengenaan sanksi
administratif berupa denda pada angka 1 dan angka 2
berdasarkan jumlah aset pada saat posisi pelaporan.
Angka 1
Contoh:
Apabila Pelapor dengan aset paling sedikit
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah)
tidak menyampaikan Laporan Debitur bulan
Mei 2018 sampai dengan batas akhir bulan
Juni 2018, kemudian Pelapor menyampaikan
Laporan Debitur pada tanggal 10 Juli 2018, Pelapor
dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Debitur
dan dikenakan sanksi berupa denda
sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Angka 2
Contoh:
Apabila Pelapor dengan aset kurang dari
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah)
- 17 -
tidak menyampaikan Laporan Debitur bulan
Mei 2018 sampai dengan batas akhir bulan
Juni 2018, kemudian Pelapor menyampaikan
Laporan Debitur pada tanggal 10 Juli 2018, Pelapor
dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Debitur
dan dikenakan sanksi berupa denda sebesar
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Huruf b
Pelapor sebagaimana dimaksud pada contoh angka 1
dan angka 2 selain dikenakan sanksi administratif
berupa denda juga dikenakan sanksi administratif
berupa penundaan pemberian Informasi Debitur dari
tanggal 13 Juni 2018 sampai dengan tanggal 10
Juli 2018.
Pasal 34
Perhitungan aset sebagai dasar pengenaan sanksi administratif
berupa denda pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berdasarkan
jumlah aset pada saat posisi pelaporan.
Ayat (1)
Huruf a
Contoh:
Apabila Pelapor dengan aset
paling sedikit
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah)
menyampaikan koreksi Laporan Debitur bulan
Februari 2018 pada hari Jumat tanggal 16 Maret 2018
secara daring (online) dengan jumlah 10 Debitur yang
dikoreksi, Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan
koreksi Laporan Debitur selama 4 (empat) hari kerja
yaitu hari Selasa, Rabu, Kamis, dan Jumat sehingga
Pelapor dikenakan sanksi denda sebesar 10 x 4 x
Rp50.000,00 = Rp2.000.000,00.
Huruf b
Contoh:
Apabila Pelapor dengan aset kurang dari
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah)
menyampaikan koreksi Laporan Debitur bulan
- 18 -
Oktober 2018 pada hari Rabu tanggal 21 November 2018
secara luring (offline) dengan jumlah 10 debitur yang
dikoreksi, Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan
koreksi Laporan Debitur selama 3 (tiga) hari kerja yaitu
hari Jumat, hari Senin, dan hari Rabu sehingga Pelapor
dikenakan sanksi denda sebesar 10 x 3 x Rp10.000,00 =
Rp300.000,00.
Ayat (2)
Temuan OJK antara lain dapat berasal dari hasil pengawasan
OJK, informasi dari Debitur, dan/atau informasi dari Pelapor
lain.
Huruf a
Contoh:
OJK memberitahukan temuan kepada Pelapor dengan
aset paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus
miliar rupiah) untuk melakukan koreksi terhadap 10
(sepuluh) Debitur untuk 2 (dua) bulan Laporan Debitur.
Atas temuan tersebut, Pelapor dikenakan sanksi denda
sebesar 10 x 2 x Rp50.000,00 = Rp1.000.000,00.
Huruf b
Contoh:
OJK memberitahukan temuan kepada Pelapor dengan
aset kurang dari atau sama dengan
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) untuk
melakukan koreksi terhadap 10 (sepuluh) Debitur
untuk 2 (dua) bulan Laporan Debitur.
Atas temuan tersebut, Pelapor dikenakan sanksi denda
sebesar 10 x 2 x Rp10.000,00 = Rp200.000,00.
Ayat (3)
Huruf a
Angka 1
Contoh:
Apabila Pelapor dengan aset paling sedikit
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah)
menyampaikan koreksi Laporan Debitur bulan
Februari 2018 atas temuan OJK, pada hari Jumat
tanggal 16 Maret 2018 secara daring (online)
- 19 -
terhadap 10 (sepuluh) Debitur untuk 2 (dua) bulan
Laporan Debitur, Pelapor dinyatakan terlambat dan
dikenakan sanksi berupa denda sebesar 10 x 2 x
Rp50.000,00 = Rp1.000.000,00.
Angka 2
Contoh:
Apabila Pelapor dengan aset kurang dari
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah)
menyampaikan koreksi Laporan Debitur bulan
Februari 2018 atas temuan OJK, pada hari Jumat
tanggal 16 Maret 2018 secara daring (online)
terhadap 10 (sepuluh) Debitur untuk 2 (dua) bulan
Laporan Debitur, Pelapor dinyatakan terlambat dan
dikenakan sanksi berupa denda sebesar 10 x 2 x
Rp10.000,00 = Rp200.000,00.
Huruf b
Pelapor sebagaimana dimaksud pada contoh angka 1
dan angka 2 selain dikenakan sanksi administratif
berupa denda juga dikenakan sanksi administratif
berupa penundaan pemberian Informasi Debitur dari
tanggal 13 Maret 2018 sampai dengan tanggal 16
Maret 2018.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Contoh:
Pelapor ditetapkan menjadi Pelapor SLIK pada bulan September
2017, Pelapor mulai dikenakan sanksi untuk pelanggaran
penyampaian Laporan Debitur bulan Oktober 2018 yang
dilaporkan paling lambat tanggal 12 November 2018.
- 20 -
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Laporan Debitur bulan Juni 2017 dilaporkan paling lambat
tanggal 19 Juli 2017.
Laporan Debitur bulan Juli 2017 dilaporkan paling lambat
tanggal 22 Agustus 2017.
Laporan Debitur secara luring (offline) bulan Juli 2017
dilaporkan paling lambat tanggal 25 Agustus 2017.
Pasal 39
Sampai dengan tanggal 31 Desember 2017, kewajiban pelaporan
mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 9/14/PBI/2007 tanggal 30 November 2007
tentang Sistem Informasi Debitur sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/21/PBI/2016
tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/14/PBI/2007 tentang Sistem Informasi Debitur dan Peraturan
OJK ini.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6049
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 18/POJK.03/2017 </reg_id>
<reg_title> PELAPORAN DAN PERMINTAAN INFORMASI DEBITUR MELALUI SISTEM LAYANAN INFORMASI KEUANGAN </reg_title>
<set_date> 26 April 2017 </set_date>
<effective_date> 5 Mei 2017 </effective_date>
<issued_date> 5 Mei 2017 </issued_date>
<replaced_reg> '9/14/PBI/2007', '18/21/PBI/2016' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 71 /POJK.05/2016
TENTANG
KESEHATAN KEUANGAN
PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 ayat (4),
Pasal 20 ayat (5), Pasal 21 ayat (4), dan Pasal 22 ayat (5)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik
5253);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5618);
Indonesia Nomor
-2-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN
PERUSAHAAN REASURANSI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Perusahaan adalah perusahaan asuransi dan
perusahaan reasuransi.
2. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi
umum dan perusahaan asuransi jiwa sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2014 tentang Perasuransian.
3. Perusahaan Asuransi Umum adalah perusahaan yang
menyelenggarakan usaha jasa pertanggungan risiko
yang memberikan penggantian kepada tertanggung
atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan,
biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang
mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis
karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.
4. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan yang
menyelenggarakan usaha jasa penanggulangan risiko
yang memberikan pembayaran kepada pemegang
polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam
hal tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup,
atau pembayaran lain kepada pemegang polis,
tertanggung, atau pihak lain yang berhak pada waktu
tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya
telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil
pengelolaan dana.
5. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang
menyelenggarakan usaha jasa pertanggungan ulang
-3-
terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan
Asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan
reasuransi lainnya.
6. Pihak adalah orang atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun yang tidak
berbentuk badan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
7. Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi
yang selanjutnya disebut PAYDI adalah produk
asuransi yang paling sedikit memberikan
perlindungan terhadap risiko kematian dan
memberikan manfaat yang mengacu pada hasil
investasi dari kumpulan dana yang khusus dibentuk
untuk produk asuransi baik yang dinyatakan dalam
bentuk unit maupun bukan unit.
8.
Liabilitas adalah kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan di bidang
perasuransian.
9. Dana Asuransi adalah kumpulan dana yang berasal
dari premi yang dibentuk untuk memenuhi Liabilitas
yang timbul dari polis yang diterbitkan atau dari klaim
asuransi.
10. Aset Yang Diperkenankan adalah aset yang
diperhitungkan dalam perhitungan tingkat
solvabilitas.
11. Modal Minimum Berbasis Risiko yang selanjutnya
disingkat MMBR adalah jumlah dana yang dibutuhkan
untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin
timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan
aset dan Liabilitas.
12. Tingkat Solvabilitas adalah selisih antara jumlah Aset
Yang Diperkenankan dikurangi dengan jumlah
Liabilitas.
13. Ekuitas adalah ekuitas berdasarkan standar
akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia.
-4-
14. Medium Term Notes yang selanjutnya disingkat MTN
adalah surat utang yang diterbitkan oleh perusahaan
dan memiliki jangka waktu satu sampai dengan lima
tahun.
15. Premi Neto adalah premi bruto dikurangi komisi dan
dikurangi premi reasuransi dibayar yang telah
dikurangi komisi reasuransi diterima.
16. Dana Jaminan adalah aset Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Reasuransi yang merupakan
jaminan
terakhir dalam rangka
melindungi
17. Manajer
kepentingan pemegang polis, tertanggung, atau
peserta, dalam hal Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi dilikuidasi.
adalah
Investasi
manajer
investasi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
18. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan bank
syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008.
19. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat
BPR adalah bank perkreditan rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
20. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya
disingkat BPRS adalah bank pembiayaan rakyat
syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
21. Bank Kustodian adalah bank umum yang telah
mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan
sebagai kustodian.
-5-
22. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah lembaga yang independen yang
mempunyai
pengaturan,
fungsi,
tugas,
pengawasan,
dan
pemeriksaan,
wewenang
dan
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan.
BAB II
KESEHATAN KEUANGAN
Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Kesehatan Keuangan
Pasal 2
(1) Perusahaan
wajib
setiap
waktu memenuhi
persyaratan tingkat kesehatan keuangan.
(2) Pengukuran tingkat kesehatan keuangan Perusahaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Tingkat Solvabilitas;
b. cadangan teknis;
c. kecukupan investasi;
d. Ekuitas;
e. Dana Jaminan; dan
f.
ketentuan lain yang berhubungan dengan
kesehatan keuangan.
Bagian Kedua
Tingkat Solvabilitas
Pasal 3
(1) Perusahaan setiap saat wajib memenuhi Tingkat
Solvabilitas paling rendah 100% (seratus persen) dari
MMBR.
(2) Perusahaan setiap tahun wajib menetapkan target
Tingkat Solvabilitas internal.
-6-
(3) Target Tingkat Solvabilitas internal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling rendah
120% (seratus dua puluh persen) dari MMBR dengan
memperhitungkan profil risiko setiap Perusahaan
serta mempertimbangkan hasil simulasi skenario
perubahan (stress test).
(4) OJK dapat memerintahkan kepada Perusahaan
untuk meningkatkan dan memenuhi target Tingkat
Solvabilitas internal sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dengan mempertimbangkan profil risiko
Perusahaan serta mempertimbangkan hasil simulasi
skenario perubahan (stress test).
(5) Perusahaan setiap saat harus memenuhi Target
Solvabilitas internal sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dan ayat (4).
(6) Perusahaan dilarang membayar dividen atau
memberikan imbalan dalam bentuk apapun kepada
pemegang saham atau yang setara apabila hal
tersebut akan menyebabkan tidak tercapainya target
Tingkat Solvabilitas internal yang dipersyaratkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
Pasal 4
(1) Perhitungan MMBR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) harus memperhitungkan risiko paling
sedikit terdiri dari:
a.
b.
c.
d.
e.
risiko kredit;
risiko likuiditas;
risiko pasar;
risiko asuransi; dan
risiko operasional.
(2) Dalam hal Perusahaan Asuransi memasarkan PAYDI,
MMBR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
ditambah sebesar persentase tertentu dari dana
investasi yang bersumber dari PAYDI.
-7-
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan jumlah
MMBR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Bagian Ketiga
Aset Yang Diperkenankan Dalam Bentuk Investasi
Pasal 5
(1) Perusahaan wajib menerapkan prinsip kehati-hatian
dalam penempatan investasi.
(2) Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi
harus ditempatkan pada jenis:
a. deposito berjangka pada Bank, BPR, dan BPRS,
termasuk deposit on call dan deposito yang
berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1
(satu) bulan;
b. sertifikat deposito pada Bank;
c. saham yang tercatat di bursa efek;
d. obligasi korporasi yang tercatat di bursa efek;
e. MTN;
f.
surat berharga yang diterbitkan oleh Negara
Republik Indonesia;
g. surat berharga yang diterbitkan oleh negara
selain Negara Republik Indonesia;
h. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia;
i.
j.
surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga
multinasional yang Negara Republik Indonesia
menjadi salah satu anggota atau pemegang
sahamnya;
reksa dana;
k. efek beragun aset;
l. dana investasi real estat berbentuk kontrak
investasi kolektif;
m. transaksi surat berharga melalui repurchase
agreement (REPO);
-8-
n. penyertaan langsung pada perseroan terbatas
yang sahamnya tidak tercatat di bursa efek;
o. tanah, bangunan dengan hak strata (strata title),
atau tanah dengan bangunan, untuk investasi;
p. pembiayaan melalui mekanisme kerja sama
dengan Pihak lain dalam bentuk kerjasama
pemberian kredit (executing);
q. emas murni;
r. pinjaman yang dijamin dengan hak tanggungan;
dan/atau
s. pinjaman polis.
(3) Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dapat
ditempatkan di luar negeri harus dalam jenis:
a. saham yang tercatat di bursa efek;
b. obligasi korporasi yang tercatat di bursa efek;
c. surat berharga yang diterbitkan oleh negara
selain Negara Republik Indonesia;
d. surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga
multinasional yang Negara Republik Indonesia
menjadi salah satu anggota atau pemegang
sahamnya;
e. reksa dana; dan/atau
f.
penyertaan langsung pada perusahaan yang
sahamnya tidak tercatat di bursa efek.
(4) Jenis investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3) termasuk juga jenis investasi yang
menggunakan prinsip syariah.
(5) Ketentuan mengenai dasar penilaian setiap jenis
investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai
dengan ayat (4) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 6
(1) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi berupa
obligasi
korporasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d
harus dilakukan pada obligasi korporasi yang memiliki
-9-
peringkat
investment grade dari perusahaan
pemeringkat efek yang diakui oleh OJK.
(2) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi berupa MTN sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. MTN terdaftar di Kustodian Sentral Efek
Indonesia;
b. MTN memiliki agen monitoring yang mendapatkan
izin sebagai wali amanat dari OJK; dan
c. MTN memiliki peringkat investment grade yang
dikeluarkan oleh perusahaan pemeringkat efek
yang diakui oleh OJK.
(3) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi berupa surat berharga yang
diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara
Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau
pemegang sahamnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) huruf i harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. memiliki peringkat investment grade dari
perusahaan pemeringkat efek yang diakui secara
internasional;
b. dijual melalui penawaran umum; dan
c. informasi mengenai transaksinya dapat diakses di
Indonesia.
(4) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi berupa reksa dana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf j, harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. bagi reksa dana yang dilakukan melalui
penawaran umum, telah mendapat pernyataan
efektif dari OJK; dan
b. bagi reksa dana penyertaan terbatas, telah
tercatat di OJK.
(5) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi berupa efek beragun aset dan dana
-10-
investasi real estat berbentuk kontrak investasi
kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)
huruf k dan huruf l harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. telah mendapat pernyataan efektif dari OJK;
b. memiliki peringkat investment grade dari
perusahaan pemeringkat efek yang diakui oleh
OJK; dan
c. dilakukan melalui penawaran umum
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal.
(6) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi berupa REPO sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2) huruf m harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a.
tingkat risiko Perusahaan berdasarkan penilaian
yang dilakukan oleh OJK adalah sedang rendah
atau rendah;
b. menggunakan kontrak perjanjian yang
terstandarisasi oleh OJK;
c.
transaksi dalam bentuk beli surat berharga
dengan janji jual kembali pada waktu dan harga
yang telah ditetapkan;
d.
jenis jaminan terbatas pada surat berharga yang
diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia
dan/atau surat berharga yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia;
e. jangka waktu tidak melebihi 90 (sembilan puluh)
hari;
f.
nilai REPO paling tinggi 80% (delapan puluh
persen) dari nilai pasar surat berharga yang
dijaminkan; dan
g.
transaksi REPO terdaftar di Kustodian Sentral
Efek Indonesia atau Bank Indonesia Scriptless
Securities Settlement System (BI-S4).
(7) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi berupa tanah, bangunan dengan hak
-11-
strata (strata title) atau tanah dengan bangunan,
untuk investasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2) huruf o harus memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a.
dimiliki dan dikuasai oleh Perusahaan yang
dibuktikan dengan sertipikat hak atas tanah
dan/atau bangunan atas nama Perusahaan; dan
b. tidak ditempatkan pada tanah, bangunan, atau
tanah dengan bangunan yang sedang diagunkan,
dalam sengketa, atau diblokir Pihak lain.
(8) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi berupa pembiayaan melalui
mekanisme kerja sama dengan Pihak lain dalam
bentuk kerja sama pemberian kredit (executing)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf p
harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. merupakan perusahaan pembiayaan yang telah
memperoleh izin usaha dari OJK;
b. perusahaan pembiayaan dimaksud tidak sedang
dikenai sanksi administratif berupa pembatasan
kegiatan usaha atau pembekuan kegiatan usaha
oleh OJK pada saat dimulainya kerja sama;
tingkat risiko
c.
perusahaan pembiayaan
berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh OJK
adalah sedang rendah atau rendah; dan
d. memenuhi ketentuan tingkat kesehatan
keuangan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pembiayaan,
pada saat dimulainya kerja sama.
(9) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi berupa emas murni sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf q, harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. memenuhi persyaratan spesifikasi yang
ditetapkan oleh bursa komoditi yang telah
memperoleh izin dari instansi yang berwenang;
dan
-12-
b. disimpan di Bank Kustodian atau Pihak
lain yang memperoleh izin atau persetujuan
dari
instansi
(10) Penempatan atas
yang
berwenang
menyelenggarakan jasa penitipan.
Aset Yang Diperkenankan
dalam bentuk investasi berupa pinjaman yang
dijamin dengan hak tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf r
harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. pinjaman
tersebut
perorangan;
b. pinjaman tersebut dijamin dengan hak
tanggungan pertama;
c. pinjaman tersebut dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
d.
sertipikat hak atas tanah yang telah dibubuhi
catatan pembebanan hak tanggungan disimpan
oleh Perusahaan; dan
e. besarnya setiap pinjaman paling tinggi 75%
(tujuh
puluh
oleh
lima persen) dari
lembaga
penilai
nilai
jaminan yang terkecil diantara nilai yang
ditetapkan
yang
terdaftar pada instansi yang berwenang dan
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Pasal 7
Dalam hal obligasi korporasi dan/atau MTN yang
diterbitkan
oleh
memiliki
tingkat
perusahaan
investment
pembiayaan
grade
tidak
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan/atau ayat (2)
huruf c penempatan dapat dilakukan sepanjang:
a. memiliki peringkat 1 (satu) tingkat di bawah
investment grade; dan
diberikan
untuk
kepada
-13-
b. perusahaan pembiayaan yang menerbitkan obligasi
korporasi dan/atau MTN memenuhi ketentuan tingkat
kesehatan keuangan berdasarkan
peraturan perundang-undangan di bidang pembiayaan
pada saat penempatan.
Pasal 8
(1) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi di luar negeri berupa saham yang
tercatat di bursa efek sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (3) huruf a harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. termasuk dalam kategori saham yang aktif
diperdagangkan pada bursa efek di tempat saham
tersebut dicatatkan berdasarkan kriteria yang
ditetapkan oleh bursa efek dimaksud; dan
b. informasi mengenai emiten dan transaksi saham
tersebut dapat diakses di Indonesia.
(2) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi di luar negeri berupa obligasi
korporasi yang tercatat di bursa efek, surat berharga
yang diterbitkan oleh negara selain Negara Republik
Indonesia, dan surat berharga yang diterbitkan oleh
lembaga multinasional yang Negara Republik
Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang
sahamnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(3) huruf b, huruf c, dan huruf d harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. memiliki peringkat investment grade dari
perusahaan pemeringkat efek yang diakui secara
internasional;
b. dijual melalui penawaran umum; dan
c. informasi mengenai transaksinya dapat diakses di
Indonesia.
(3) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi di luar negeri berupa reksa dana
ketentuan
-14-
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf e
harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a.
dikelola oleh Manajer Investasi di luar negeri yang
telah mendapatkan izin dari otoritas pasar modal
di negara tempat Manajer Investasi berdomisili;
b. telah mendapatkan izin/persetujuan/pendaftaran
dari otoritas pasar modal di negara tempat
Manajer Investasi dimaksud berdomisili dan
dilakukan melalui penawaran umum;
c.
dikelola oleh Manajer Investasi di luar negeri yang
tidak sedang dikenai sanksi administratif berupa
pembatasan kegiatan usaha atau pembekuan
kegiatan usaha oleh otoritas di negara tempat
Manajer Investasi dimaksud berdomisili; dan
d. informasi mengenai reksa dana dapat diakses di
Indonesia.
Pasal 9
(1) Dalam hal Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi berupa saham dan/atau obligasi korporasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c
dan huruf d yang tercatat di bursa efek di dalam
negeri dan/atau di luar negeri dan emitennya
merupakan badan hukum asing, dikategorikan
sebagai investasi di luar negeri.
(2) Dalam hal Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi berupa saham dan/atau obligasi korporasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c
dan huruf d yang dicatatkan di bursa efek di dalam
negeri dan/atau di luar negeri dan emitennya
merupakan badan hukum Indonesia, dikategorikan
sebagai investasi di dalam negeri.
(3) Dalam hal Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi berupa obligasi korporasi yang tercatat di
bursa efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(2) huruf d yang diterbitkan oleh badan hukum asing
yang lebih dari 50% (lima puluh persen) sahamnya
-15-
dimiliki oleh badan hukum Indonesia, dikategorikan
sebagai investasi di dalam negeri.
(4) Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi
berupa obligasi korporasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. memiliki peringkat investment grade dari
perusahaan pemeringkat efek yang diakui oleh
OJK atau memiliki peringkat investment grade
dari perusahaan pemeringkat efek yang diakui
secara internasional; dan
b. dijual melalui penawaran umum.
(5) Dalam hal Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi berupa surat berharga yang diterbitkan oleh
lembaga multinasional yang Negara Republik
Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang
sahamnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(2) huruf i dan ayat (3) huruf d berdenominasi rupiah,
dikategorikan sebagai investasi di dalam negeri.
Pasal 10
(1) Perusahaan dilarang memiliki investasi di luar negeri,
kecuali dalam jenis investasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (3).
(2) Perusahaan dilarang menempatkan investasi di luar
negeri melebihi 20% (dua puluh persen) dari jumlah
investasi.
(3) Dalam hal jumlah investasi di luar negeri melebihi
batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
disebabkan adanya kenaikan nilai investasi tersebut,
Perusahaan wajib menyesuaikan kembali jumlah
investasi sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga)
bulan sejak diketahui adanya kenaikan nilai investasi.
-16-
Pasal 11
(1) Pembatasan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (2) adalah sebagai berikut:
a.
investasi berupa deposito berjangka pada Bank,
termasuk deposit on call dan deposito yang
berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1
(satu) bulan, untuk setiap Bank paling tinggi 20%
(dua puluh persen) dari jumlah investasi;
b.
investasi berupa deposito berjangka, untuk setiap
BPR dan BPRS paling tinggi 1% (satu persen) dari
jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 5%
(lima persen) dari jumlah investasi;
c.
investasi berupa sertifikat deposito untuk setiap
Bank paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari
total investasi berupa deposito berjangka pada
Bank sebagaimana dimaksud pada huruf a;
d.
investasi berupa saham yang tercatat di bursa
efek, untuk setiap emiten paling tinggi 10%
(sepuluh persen) dari jumlah investasi dan
seluruhnya paling tinggi 40% (empat puluh
persen) dari jumlah investasi;
e.
investasi berupa obligasi korporasi yang tercatat
di bursa efek, untuk setiap emiten paling tinggi
20% (dua puluh persen) dari jumlah investasi dan
seluruhnya paling tinggi 50% (lima puluh persen)
dari jumlah investasi;
f.
investasi berupa MTN dan surat berharga yang
diterbitkan oleh lembaga multinasional yang
Negara Republik Indonesia menjadi salah satu
anggota atau pemegang sahamnya, untuk setiap
penerbit paling tinggi 20% (dua puluh persen)
dari jumlah investasi dan seluruhnya paling
tinggi 40% (empat puluh persen) dari jumlah
investasi;
g.
investasi berupa surat berharga yang diterbitkan
oleh negara selain Negara Republik Indonesia,
-17-
untuk setiap penerbit paling tinggi 10% (sepuluh
persen) dari jumlah investasi;
h. investasi berupa reksa dana, untuk setiap
Manajer Investasi paling tinggi 20% (dua puluh
persen) dari jumlah investasi dan seluruhnya
paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari jumlah
investasi;
i.
investasi berupa efek beragun aset untuk setiap
Manajer Investasi paling tinggi 10% (sepuluh
persen) dari jumlah investasi dan seluruhnya
paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah
investasi;
j.
investasi berupa dana investasi real estat
berbentuk kontrak investasi kolektif, untuk setiap
Manajer Investasi paling tinggi 10% (sepuluh
persen) dari jumlah investasi dan seluruhnya
paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah
investasi;
k.
investasi berupa REPO, untuk setiap counterparty
paling tinggi 2% (dua persen) dari jumlah
investasi dan seluruhnya paling tinggi 10%
(sepuluh persen) dari jumlah investasi;
l.
investasi berupa penyertaan langsung (saham
yang tidak tercatat di bursa efek), seluruhnya
paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah
investasi;
m. investasi berupa tanah, bangunan dengan hak
strata (strata title), atau tanah dengan bangunan,
untuk investasi, seluruhnya paling tinggi 20%
(dua puluh persen) dari jumlah investasi;
n. investasi berupa tanah untuk investasi,
seluruhnya paling tinggi 1/3 (satu per tiga) dari
jumlah investasi sebagaimana dimaksud pada
huruf m;
o.
investasi berupa pembiayaan melalui mekanisme
kerja sama dengan Pihak lain dalam bentuk
kerjasama pemberian kredit (executing), untuk
-18-
setiap Pihak paling tinggi 10% (sepuluh persen)
dari jumlah investasi dan seluruhnya paling
tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah
investasi;
p.
q.
investasi berupa emas murni, seluruhnya paling
tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah investasi;
investasi berupa pinjaman yang dijamin dengan
hak tanggungan, seluruhnya paling tinggi 10%
(sepuluh persen) dari jumlah investasi; dan/atau
r.
investasi berupa pinjaman polis, dengan besarnya
pinjaman polis paling tinggi 80% (delapan puluh
persen) dari nilai tunai polis yang bersangkutan.
(2) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi berupa reksa dana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf j, yang
underlying asetnya seluruhnya berupa investasi surat
berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik
Indonesia dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf h.
(3) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi berupa reksa dana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf j dalam bentuk
kontrak investasi kolektif penyertaan terbatas untuk
setiap Manajer Investasi paling tinggi 10% (sepuluh
persen) dari jumlah investasi dan seluruhnya paling
tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah investasi.
(4) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d sampai dengan huruf k, jumlah seluruhnya
paling tinggi 80% (delapan puluh persen) dari jumlah
investasi.
Pasal 12
(1) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi pada Pihak yang terafiliasi dengan
Perusahaan paling tinggi 25% (dua puluh lima persen)
dari jumlah investasi.
-19-
(2) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi pada satu Pihak atau beberapa Pihak
yang terafiliasi namun Pihak tersebut tidak terafiliasi
dengan Perusahaan, paling tinggi 25% (dua puluh lima
persen) dari jumlah investasi.
(3) Dalam hal Perusahaan akan melakukan penempatan
investasi yang melebihi batasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf
l, Perusahaan wajib mendapat persetujuan dari OJK.
(4) Dalam hal Perusahaan akan melakukan penempatan
investasi yang melebihi batasan sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) huruf l,
persetujuan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
hanya dapat diberikan untuk penyertaan langsung
pada lembaga jasa keuangan yang telah mendapat izin
dari OJK.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan investasi
yang melebihi batasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 13
(1) Pihak yang terafiliasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) adalah Pihak yang
memiliki hubungan dengan satu atau lebih Pihak lain,
sedemikian rupa sehingga salah satu Pihak dapat
mempengaruhi pengelolaan atau kebijakan dari Pihak
yang lain atau sebaliknya.
(2) Hubungan yang dapat mempengaruhi pengelolaan
atau kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam bentuk:
a. salah satu Pihak memiliki satu atau lebih
direktur atau pejabat setingkat di bawah direktur
atau komisaris, yang juga menjabat sebagai
direktur atau pejabat setingkat di bawah direktur
atau komisaris pada Pihak lain;
-20-
b. salah satu Pihak memiliki satu atau lebih
direktur, komisaris, atau pemegang saham
pengendali, yang memiliki hubungan keluarga
karena perkawinan atau keturunan sampai
derajat kedua, baik secara horizontal maupun
vertikal yang menjabat sebagai direktur,
komisaris, atau pemegang saham pengendali
pada Pihak lain;
c. salah satu Pihak memiliki paling sedikit 25% (dua
puluh lima persen) saham Pihak lain;
d. salah satu Pihak merupakan pemegang saham
terbesar dari Pihak lain;
e. para Pihak dikendalikan oleh pengendali yang
sama; atau
f.
salah satu Pihak mempunyai hak suara pada
Pihak lain yang lebih dari 50% (lima puluh persen)
berdasarkan suatu perjanjian.
(3) Hubungan afiliasi dan/atau hubungan hukum lainnya
dengan Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) tidak termasuk hubungan karena
kepemilikan atau penyertaan modal oleh Negara
Republik Indonesia.
Pasal 14
(1) Perusahaan dilarang melakukan segala bentuk
pengalihan aset kepada pemegang saham atau Pihak
terafiliasi dengan Perusahaan kecuali melalui
transaksi yang wajar (arm’s length transaction).
(2) Perusahaan dilarang memberikan pinjaman kepada
pemegang saham atau Pihak terafiliasi dengan
Perusahaan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
berlaku dalam hal pinjaman dalam bentuk investasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku dalam hal pinjaman atau penempatan untuk
Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi dan
-21-
Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan
investasi.
Pasal 15
Jumlah investasi yang digunakan sebagai dasar
perhitungan pembatasan atas Aset Yang Diperkenankan
dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 dan Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) merupakan nilai
seluruh bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 per tanggal laporan posisi keuangan.
Pasal 16
Ketentuan mengenai pembatasan atas Aset Yang
Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 termasuk untuk penempatan
pada jenis investasi yang menggunakan prinsip syariah.
Bagian Keempat
Aset Yang Diperkenankan
Dalam Bentuk Bukan Investasi
Pasal 17
(1) Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan
investasi harus dalam jenis:
a. kas dan bank;
b. tagihan premi penutupan langsung, termasuk
tagihan premi koasuransi yang menjadi bagian
Perusahaan;
c. tagihan premi reasuransi;
d. aset reasuransi;
e. tagihan klaim koasuransi;
f.
g.
tagihan klaim reasuransi;
tagihan investasi;
h. tagihan hasil investasi;
i. bangunan dengan hak strata (strata title) atau
tanah dengan bangunan, untuk dipakai sendiri;
dan/atau
-22-
j.
biaya akuisisi yang ditangguhkan (deferred
acquisition cost).
(2) Pembatasan atas Aset Yang Diperkenankan dalam
bentuk bukan investasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. kas dan bank, dengan ketentuan kas dan bank di
luar negeri yang diperkenankan seluruhnya
paling tinggi 1% (satu persen) dari Ekuitas
periode berjalan;
b. tagihan premi penutupan langsung termasuk
tagihan premi koasuransi yang menjadi bagian
Perusahaan, dengan umur tagihan paling lama 2
(dua) bulan dihitung sejak tanggal:
1) pertanggungan dimulai bagi polis dengan
pembayaran premi tunggal; atau
2) jatuh tempo pembayaran premi bagi polis
dengan pembayaran premi cicilan;
c. tagihan premi reasuransi, dengan umur tagihan
paling lama 2 (dua) bulan dihitung sejak tanggal
jatuh tempo pembayaran;
d. aset reasuransi, terdiri dari:
1) aset yang bersumber dari nilai estimasi
pemulihan klaim atas porsi pertanggungan
ulang; dan
2) aset yang bersumber dari perjanjian kontrak
jangka panjang (longterm contract) program
reasuransi dukungan modal (capital oriented
reinsurance) dengan ketentuan:
a) hanya untuk setiap PAYDI baru yang
biaya akusisinya dibayarkan terlebih
dahulu oleh Perusahaan (back end
loading);
b) Perusahaan yang telah mengakui aset
yang timbul dari perjanjian program
reasuransi dukungan modal (capital
oriented reinsurance) untuk satu PAYDI
-23-
maka tidak diperkenankan mengakui
aset biaya akuisisi yang ditangguhkan
(deferred acquisition cost) atas PAYDI
yang sama; dan
c) untuk setiap perjanjian program
reasuransi dukungan modal (capital
oriented reinsurance) harus terlebih
dahulu mendapat persetujuan dari OJK;
e.
tagihan klaim koasuransi, dengan umur tagihan
paling lama 2 (dua) bulan dihitung sejak tanggal
pembayaran klaim kepada pemegang polis atau
tertanggung;
f.
tagihan klaim reasuransi, dengan umur tagihan
paling lama 2 (dua) bulan dihitung sejak tanggal
jatuh tempo pembayaran;
g. tagihan investasi, dengan umur tagihan paling
lama 1 (satu) bulan dihitung sejak tanggal jatuh
tempo pembayaran;
h. tagihan hasil investasi, dengan umur tagihan
paling lama 1 (satu) bulan dihitung sejak tanggal
jatuh tempo pembayaran;
i. bangunan dengan hak strata (strata title) atau
tanah dengan bangunan, yang dipakai sendiri,
dengan nilai seluruhnya paling tinggi 25% (dua
puluh lima persen) dari Ekuitas periode berjalan;
dan/atau
j.
biaya akuisisi yang ditangguhkan (deferred
acquisition cost), dengan ketentuan:
1. hanya dapat dilakukan untuk PAYDI yang
biaya akuisisinya dibayarkan terlebih dahulu
oleh Perusahaan (back-end loading);
2. Perusahan yang telah mengakui aset biaya
akuisisi yang ditangguhkan atas PAYDI
maka tidak diperkenankan mengakui aset
yang timbul dari perjanjian program
reasuransi dukungan modal (capital oriented
-24-
reinsurance) untuk satu produk PAYDI yang
sama; dan
3. setiap pembentukan biaya akuisisi yang
ditangguhkan (deferred acquisition cost)
untuk masing-masing produk PAYDI harus
terlebih dahulu mendapat persetujuan dari
OJK.
(3) Ketentuan mengenai dasar penilaian setiap jenis
bukan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan tata cara permohonan untuk mendapatkan
persetujuan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf d angka 2) huruf c) dan huruf j angka 3) diatur
dalam Surat Edaran OJK.
Bagian Kelima
Status Aset Yang Diperkenankan
Pasal 18
Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Aset Yang
Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 harus:
a.
dimiliki dan dikuasai oleh Perusahaan, yang
dibuktikan dengan bukti kepemilikan atas nama
Perusahaan dari instansi yang berwenang;
b. tidak dalam sengketa;
c. tidak sedang dijadikan jaminan; dan
d. tidak sedang diblokir oleh Pihak yang berwenang.
Bagian Keenam
Liabilitas
Pasal 19
(1) Liabilitas yang diperhitungkan dalam perhitungan
Tingkat Solvabilitas wajib meliputi semua Liabilitas
Perusahaan, termasuk cadangan teknis.
-25-
(2) Perusahaan wajib membentuk cadangan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
jenis produk asuransi.
(3) Pembentukan
cadangan teknis
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh aktuaris
Perusahaan.
Pasal 20
(1) Liabilitas
dalam
bentuk
cadangan
teknis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 meliputi:
a. cadangan premi:
1. untuk produk yang berjangka waktu lebih
dari 1 (satu) tahun yang syarat dan kondisi
polisnya tidak dapat diperbaharui kembali
(non renewable) pada setiap ulang tahun
polis; dan
2. untuk produk yang berjangka waktu lebih
dari 1 (satu) tahun yang syarat dan kondisi
polisnya
dapat
diperbaharui
kembali
(renewable) dan memberikan manfaat lain
setelah periode tertentu;
b. cadangan atas premi yang belum merupakan
pendapatan untuk produk yang berjangka waktu
sampai dengan 1 (satu) tahun atau berjangka
waktu lebih dari 1 (satu) tahun yang syarat dan
kondisi polisnya dapat diperbaharui kembali
(renewable) pada setiap ulang tahun polis;
c. cadangan atas PAYDI;
d. cadangan klaim; dan
e. cadangan atas risiko bencana (catastrophic
reserve).
(2) Pembentukan
cadangan
dimaksud pada ayat
premi
(1) huruf a
sebagaimana
wajib
memperhitungkan penerimaan dan pengeluaran yang
dapat terjadi di masa yang akan datang dengan
menggunakan asumsi estimasi sentral ditambah
dengan marjin risiko.
-26-
(3) Pembentukan cadangan atas premi yang belum
merupakan pendapatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b wajib memperhitungkan cadangan
atas seluruh risiko yang belum dijalani (unexpired
risk reserve).
(4) Cadangan atas PAYDI sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c adalah:
a. cadangan akumulasi dana untuk PAYDI yang
tidak digaransi;
b. cadangan atas unsur investasi untuk PAYDI
yang digaransi; dan
c. cadangan atas unsur proteksi dari PAYDI dan
manfaat lain yang dijanjikan dari PAYDI.
(5) Cadangan akumulasi dana atas PAYDI yang tidak
digaransi tidak diperhitungkan dalam perhitungan
Tingkat Solvabilitas.
(6) Cadangan klaim sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d meliputi:
a. cadangan klaim dalam proses penyelesaian;
b. cadangan klaim yang sudah terjadi namun
belum dilaporkan (incurred but not reported atau
IBNR); dan
(7) Cadangan atas
c. cadangan klaim atas klaim yang telah disetujui
dan pembayaran manfaatnya tidak sekaligus.
risiko bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e dihitung
berdasarkan manfaat asuransi retensi sendiri dengan
memperhitungkan kemungkinan terjadinya risiko
bencana.
Pasal 21
(1) Dalam hal ditemukan ketidakwajaran cadangan
teknis atau bagian dari cadangan teknis yang
dibentuk oleh Perusahaan, OJK dapat:
a. meminta Perusahaan untuk melakukan valuasi
ulang atas jumlah cadangan teknis atau atas
-27-
bagian dari cadangan teknis yang dianggap
tidak wajar; atau
b. meminta dilakukan penelaahan (review) atas
cadangan teknis atau atas bagian dari cadangan
teknis tersebut oleh Pihak independen atas
beban Perusahaan.
(2) Perusahaan wajib menunjuk Pihak independen paling
lama 1 (satu) bulan setelah permintaan untuk
dilakukan
penelaahan
(review)
dimaksud pada ayat (1) huruf b.
Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut mengenai cadangan teknis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 diatur dalam
Surat Edaran OJK.
Bagian Ketujuh
Pinjaman Subordinasi
Pasal 23
Dalam rangka perhitungan Tingkat Solvabilitas, pinjaman
subordinasi tidak diperlakukan sebagai unsur Liabilitas
apabila pinjaman tersebut memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a. digunakan untuk memenuhi ketentuan batas Tingkat
Solvabilitas; dan
b. dituangkan dalam perjanjian notariil yang paling
sedikit memuat:
1. pembayaran pokok pinjaman tersebut hanya
dapat dilakukan apabila tidak menyebabkan
Perusahaan tidak memenuhi target Tingkat
Solvabilitas internal;
2. jangka waktu pelunasan pinjaman tidak
dibatasi; dan
3. tingkat bunga yang dijanjikan paling tinggi 1/5
(satu per lima) dari tingkat suku bunga Bank
sebagaimana
-28-
Indonesia
perjanjian.
pada
saat
ditandatanganinya
Pasal 24
Perusahaan
dilarang
mengembalikan
pinjaman
subordinasi apabila hal tersebut akan menyebabkan tidak
terpenuhinya ketentuan target Tingkat Solvabilitas
internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3).
Bagian Kedelapan
Kecukupan Investasi
Pasal 25
(1) Perusahaan wajib memiliki Aset Yang Diperkenankan
dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2) ditambah Aset Yang
Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi
berupa kas dan bank sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1) huruf a, paling sedikit sebesar
jumlah cadangan teknis retensi sendiri, ditambah
Liabilitas pembayaran klaim retensi sendiri, dan
Liabilitas
lain kepada pemegang polis atau
tertanggung.
(2) Liabilitas pembayaran klaim
retensi
sendiri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
Liabilitas pembayaran atas klaim yang telah
disepakati tetapi belum dibayar dikurangi dengan
beban klaim yang menjadi bagian dari reasuradur.
BAB III
PRODUK ASURANSI YANG DIKAITKAN
DENGAN INVESTASI
Pasal 26
Perusahaan Asuransi yang memasarkan PAYDI wajib
memisahkan pencatatan aset dan Liabilitas yang
-29-
bersumber dari PAYDI dengan aset dan Liabilitas yang
bersumber dari produk asuransi lainnya.
Pasal 27
(1) Aset yang bersumber dari PAYDI wajib ditempatkan
pada jenis:
a. deposito berjangka pada Bank, BPR, dan BPRS,
termasuk deposit on call dan deposito yang
berjangka waktu kurang dari atau sama dengan
1 (satu) bulan;
b.
sertifikat deposito pada Bank;
c. saham yang tercatat di bursa efek;
d.
e. MTN;
f.
obligasi korporasi yang tercatat di bursa efek;
surat berharga yang diterbitkan oleh Negara
Republik Indonesia;
g. surat berharga yang diterbitkan oleh negara
selain Negara Republik Indonesia;
h. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia;
i.
j.
surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga
multinasional yang Negara Republik Indonesia
menjadi salah satu anggota atau pemegang
sahamnya;
reksa dana;
k. efek beragun aset;
l. REPO; dan/atau
m. emas murni.
(2) Aset yang bersumber dari PAYDI dalam bentuk
bukan investasi harus dalam jenis:
a. kas dan bank;
b. tagihan premi penutupan langsung;
c. tagihan investasi; dan/atau
d. tagihan hasil investasi.
(3) Jenis investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disesuaikan dengan deskripsi produk yang
-30-
dilaporkan kepada OJK dan yang dijanjikan kepada
calon pemegang polis.
(4) Aset yang bersumber dari PAYDI yang tidak digaransi
tidak
diperhitungkan
Diperkenankan.
(5) Ketentuan mengenai dasar penilaian setiap jenis
investasi dan bukan investasi atas aset yang
bersumber dari PAYDI sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 28
Penempatan atas aset yang bersumber dari PAYDI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) wajib
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 sampai dengan Pasal 9.
Pasal 29
Penempatan investasi di luar negeri atas PAYDI paling
tinggi 20% (dua puluh persen) dari total investasi PAYDI.
Pasal 30
(1) Perusahaan wajib menatausahakan seluruh aset
yang bersumber dari PAYDI pada Bank Kustodian.
(2) Bank Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilarang mempunyai hubungan afiliasi dengan
Perusahaan, kecuali hubungan afiliasi tersebut
terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal
Negara Republik Indonesia.
BAB IV
TRANSAKSI DERIVATIF
Pasal 31
(1) Perusahaan dilarang melakukan transaksi derivatif
atau memiliki instrumen derivatif, kecuali:
a. kontrak opsi jual saham atas saham yang
dimiliki yang tercatat di bursa efek di Indonesia;
sebagai
Aset
Yang
-31-
b. instrumen derivatif yang diperoleh Perusahaan
sebagai instrumen yang melekat pada saham,
obligasi korporasi, atau surat berharga negara
yang tercatat di bursa efek di Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)
huruf c, huruf d, dan huruf f; atau
c. instrumen derivatif lainnya untuk keperluan
lindung nilai atas risiko mata uang dan/atau
tingkat bunga.
(2) Transaksi
instrumen derivatif
lainnya untuk
keperluan lindung nilai sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c dilakukan dengan counterparty yang
paling rendah memiliki peringkat investment grade
dari perusahaan pemeringkat efek yang diakui oleh
OJK atau dari perusahaan pemeringkat efek yang
diakui secara internasional.
(3) Perusahaan dapat menjual instrumen derivatif yang
melekat pada surat berharga negara, saham, atau
obligasi korporasi yang tercatat di bursa efek di
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b secara terpisah dari surat berharga negara, saham,
atau obligasi korporasi yang bersangkutan.
(4) Transaksi
derivatif atau
instrumen derivatif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat
persetujuan direksi atau yang setara.
Pasal 32
(1) Perusahaan wajib melaporkan setiap transaksi
derivatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat
(1) kepada OJK paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak
tanggal transaksi.
(2) Laporan transaksi derivatif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit dilampiri dengan:
a.
b. perjanjian transaksi derivatif;
hasil kajian/analisis tentang perlunya lindung
nilai;
-32-
c. bukti peringkat pihak lain
(counterparty)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2);
dan
d. bukti persetujuan direksi atau yang setara.
BAB V
EKUITAS
Pasal 33
Perusahaan wajib memiliki Ekuitas paling sedikit sebesar:
a. Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), bagi
Perusahaan Asuransi;
b. Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah), bagi
Perusahaan Reasuransi.
Pasal 34
Perusahaan yang memiliki unit syariah wajib memenuhi
Ekuitas dalam jumlah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ditambah Ekuitas bagi unit syariah sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan OJK mengenai kesehatan
keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi dengan prinsip syariah.
Pasal 35
(1) Perusahaan dilarang membayar dividen atau
memberikan imbalan dalam bentuk apapun kepada
pemegang saham atau yang setara apabila hal
tersebut akan menyebabkan berkurangnya jumlah
Ekuitas di bawah ketentuan Ekuitas yang
dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 dan Pasal 34.
(2) Pembayaran dividen atau pemberian imbalan dalam
bentuk apapun kepada pemegang saham atau yang
setara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
-33-
BAB VI
DANA JAMINAN
Bagian Kesatu
Pembentukan Dana Jaminan
Pasal 36
(1) Perusahaan wajib membentuk Dana Jaminan paling
rendah 20% (dua puluh persen) dari Ekuitas
minimum
yang
dipersyaratkan
dimaksud dalam Pasal 33.
(2) Jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib disesuaikan dengan perkembangan
volume usaha Perusahaan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. bagi
Perusahaan
Asuransi
Jiwa
sebagaimana
wajib
membentuk Dana Jaminan sebesar 2% (dua
persen) dari cadangan atas PAYDI ditambah 5%
(lima persen) dari cadangan premi untuk
produk selain PAYDI dan cadangan atas premi
yang belum merupakan pendapatan; dan
b. bagi
Perusahaan
Asuransi Umum dan
Perusahaan Reasuransi wajib membentuk Dana
Jaminan sebesar 1% (satu persen) dari Premi
Neto ditambah 0,25% (nol koma dua lima
persen) dari premi reasuransi ditambah 2%
(dua persen) dari cadangan atas PAYDI.
(3) Perusahaan wajib membentuk Dana Jaminan sebesar
jumlah terbesar antara hasil perhitungan jumlah Dana
Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
Pasal 37
(1) Jumlah cadangan premi termasuk cadangan atas
premi
yang
belum merupakan pendapatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2)
-34-
huruf a serta Premi Neto dan premi reasuransi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2)
huruf b, diperoleh dari laporan keuangan per 31
Desember terakhir yang telah diaudit oleh akuntan
publik yang terdaftar di OJK.
(2) Dalam hal Dana Jaminan kurang daripada jumlah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) atau
ayat (2), Perusahaan wajib menambah Dana
Jaminan yang dimilikinya paling lama 5 (lima) hari
kerja setelah tanggal 30 April tahun berjalan.
(3) Dalam hal Dana Jaminan yang telah dimiliki lebih
besar daripada jumlah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2), Perusahaan
dapat mengurangi Dana Jaminan yang dimilikinya
setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari
OJK.
(4) Dana Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 ayat (1) dan ayat (2) wajib ditempatkan dalam
jenis:
a.
deposito, dengan perpanjangan otomatis pada
Bank yang bukan merupakan afiliasi dari
Perusahaan; dan/atau
b. surat berharga yang diterbitkan oleh Negara
Republik Indonesia, yang pada saat penempatan
sebagai Dana Jaminan memiliki sisa jangka
waktu sampai dengan jatuh tempo paling
singkat 1 (satu) tahun.
(5) Dana Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 ayat (1) dan ayat (2) dilarang diagunkan atau
dibebani dengan hak apa pun.
Bagian Kedua
Penatausahaan Dana Jaminan
Pasal 38
(1) Perusahaan wajib menatausahakan seluruh Dana
Jaminan pada Bank Kustodian.
-35-
(2) Bank Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bukan merupakan afiliasi dari Perusahaan,
kecuali hubungan afiliasi tersebut terjadi karena
kepemilikan atau penyertaan modal Negara Republik
Indonesia.
Pasal 39
Penatausahaan Dana Jaminan pada Bank Kustodian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) wajib
didasarkan pada perjanjian antara Perusahaan dan Bank
Kustodian yang paling sedikit memuat:
a. pendelegasian atau pemberian kuasa oleh Perusahaan
kepada Bank Kustodian untuk mencairkan,
memindahkan, atau menyerahkan Dana Jaminan
setelah memperoleh persetujuan OJK;
b. kewajiban Bank Kustodian untuk menempatkan dana
yang diperoleh dari pencairan Dana Jaminan dalam
bentuk surat berharga yang diterbitkan oleh Negara
Republik Indonesia yang telah jatuh tempo ke dalam
bentuk deposito berjangka 1 (satu) bulan pada Bank
atas nama Perusahaan, dalam hal Perusahaan belum
melakukan penggantian Dana Jaminan yang telah
jatuh tempo dimaksud;
c. ketentuan bahwa Bank Kustodian tidak dapat
menjalankan instruksi dari Perusahaan maupun
Pihak lain untuk melakukan pencairan, pemindahan,
dan penyerahan deposito atau surat berharga yang
diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia yang
digunakan sebagai Dana Jaminan kecuali telah
mendapat persetujuan OJK; dan
d. ketentuan bahwa Bank Kustodian wajib menyampaikan
laporan bulanan penatausahaan Dana Jaminan yang
dimiliki oleh Perusahaan kepada OJK paling lambat
tanggal 15 bulan berikutnya yang paling sedikit
memuat:
1. nama Perusahaan pemilik Dana Jaminan;
2.
jenis Dana Jaminan;
-36-
3. nomor bilyet dan Bank penerbit untuk deposito;
4.
5.
nilai nominal Dana Jaminan; dan
6. tanggal jatuh tempo.
Bagian Ketiga
Perubahan Dana Jaminan
Pasal 40
(1) Perusahaan dapat melakukan perubahan Dana
Jaminan berupa
pembentukan, penambahan,
penggantian, pemindahan, dan/atau pencairan Dana
Jaminan.
(2) Pembentukan atau penambahan Dana Jaminan dapat
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. penempatan baru deposito pada Bank dan/atau
surat berharga yang diterbitkan oleh Negara
Republik Indonesia sebagai Dana Jaminan;
b. penempatan deposito pada Bank yang semula
bukan Dana Jaminan menjadi Dana Jaminan;
dan/atau
c. penempatan surat berharga yang diterbitkan oleh
Negara Republik Indonesia yang semula bukan
Dana Jaminan menjadi Dana Jaminan.
(3) Perusahaan dapat melakukan pemindahan atau
penggantian Dana Jaminan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a.
seri dari surat berharga yang diterbitkan oleh
Negara Republik Indonesia;
dari deposito menjadi surat berharga yang
diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia atau
sebaliknya;
b. mengubah jangka waktu deposito pada Bank;
c. mengubah Bank tempat penempatan deposito;
dan/atau
d. menukarkan surat berharga yang diterbitkan oleh
Negara Republik Indonesia dengan surat berharga
-37-
yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia
lainnya.
(4) Dalam hal Perusahaan akan melakukan pemindahan
atau penggantian Dana Jaminan sebagaimana
dimaksud pada ayat
(3), Perusahaan wajib
menempatkan terlebih dahulu Dana Jaminan pengganti
paling sedikit sebesar nilai Dana Jaminan yang akan
dipindah atau diganti.
(5) Dalam hal terdapat Dana Jaminan dalam bentuk surat
berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik
Indonesia yang akan jatuh tempo, Perusahaan wajib
menempatkan terlebih dahulu Dana Jaminan baru
paling sedikit sebesar nilai surat berharga yang
diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia yang akan
jatuh tempo dimaksud, paling lama 1 (satu) hari
sebelum tanggal jatuh tempo.
(6) Perusahaan dapat mencairkan Dana Jaminan dalam
hal jumlah Dana Jaminan telah melebihi dari jumlah
minimum yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2).
(7) Jumlah Dana Jaminan yang dapat dicairkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) adalah selisih
lebih dari jumlah minimum yang dipersyaratkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dan
ayat (2).
(8) Perusahaan hanya dapat melakukan pemindahan atau
pencairan Dana Jaminan setelah memperoleh
persetujuan OJK.
(9) Pemindahan atau pencairan Dana Jaminan dilakukan
dengan menyampaikan dokumen permohonan yang
paling sedikit memuat:
a. alasan pemindahan atau pencairan Dana
Jaminan;
b. persetujuan direksi atau yang setara atas
pemindahan atau pencairan Dana Jaminan; dan
c. dokumen pendukung yang membuktikan alasan
pemindahan atau pencairan Dana Jaminan.
-38-
Pasal 41
(1) OJK dapat memerintahkan Perusahaan untuk
menambah jumlah Dana Jaminan paling tinggi sebesar
jumlah cadangan teknis, dalam hal:
a. Perusahaan tidak dapat memenuhi ketentuan
mengenai Tingkat Solvabilitas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); dan
b. Perusahaan sedang dikenai sanksi pembatasan
kegiatan usaha.
(2) Perusahaan wajib menambah jumlah Dana Jaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1
(satu) bulan sejak diperintahkan untuk menambah
jumlah Dana Jaminan.
BAB VII
PEMISAHAN ASET DAN LIABILITAS
Pasal 42
(1) Aset dan Liabilitas yang terkait dengan hak pemegang
polis atau tertanggung wajib dipisahkan dari aset dan
Liabilitas yang lain dari Perusahaan.
(2) Pemisahan aset dan Liabilitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri dari Dana Asuransi dan dana
Perusahaan.
(3) Pemisahan aset dan Liabilitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib diungkapkan dalam laporan
keuangan Perusahaan.
(4) Ketentuan mengenai pengungkapan pemisahan aset
dan Liabilitas dalam laporan keuangan Perusahaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Surat Edaran OJK.
Pasal 43
(1) Perusahaan harus mempertahankan Aset Yang
Diperkenankan dalam Dana Asuransi dengan nilai
paling sedikit sebesar Liabilitas Dana Asuransi.
-39-
(2) Liabilitas Dana Asuransi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri dari cadangan teknis, utang klaim, utang
koasuransi, utang reasuransi, dan Liabilitas lain
kepada pemegang polis atau tertanggung.
BAB VIII
PENYAMPAIAN LAPORAN BERKALA
Bagian Kesatu
Penyusunan Laporan
Pasal 44
(1) Perusahaan wajib menyusun:
a. laporan keuangan tahunan untuk periode 1
Januari sampai dengan 31 Desember berdasarkan
standar akuntansi keuangan yang berlaku di
Indonesia;
b. laporan keuangan tahunan untuk periode 1
Januari sampai dengan 31 Desember berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang perasuransian;
c. laporan keuangan triwulanan yang berakhir pada
31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perasuransian;
d. laporan keuangan bulanan untuk periode tanggal
1 sampai dengan akhir bulan berjalan; dan
e. laporan aktuaris tahunan untuk periode 1 Januari
sampai dengan 31 Desember.
(2) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a wajib diaudit oleh akuntan publik
yang terdaftar di OJK.
(3) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b wajib ditelaah dan dinilai
kesesuaiannya
dengan
ketentuan
perundang-undangan di bidang kesehatan keuangan
peraturan
-40-
perusahaan perasuransian oleh aktuaris Perusahaan
atau akuntan publik yang terdaftar di OJK.
(4) Laporan aktuaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf e merupakan laporan yang menggambarkan
perkiraan kemampuan Perusahaan untuk memenuhi
kewajibannya di masa depan.
(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
harus ditandatangani oleh aktuaris Perusahaan.
(6) Laporan aktuaris tahunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf e wajib ditelaah dan dinilai kewajaran
penyajiannya oleh konsultan aktuaria yang terdaftar di
OJK paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun.
(7) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dan laporan keuangan triwulanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling
sedikit memuat:
a. profil Perusahaan;
b. surat pernyataan direksi atau yang setara;
c.
d.
e.
f.
laporan posisi keuangan;
laporan laba/rugi komprehensif;
laporan arus kas;
g.
laporan perubahan Ekuitas;
laporan Tingkat Solvabilitas;
h. perhitungan aset dan Liabilitas;
i.
laporan keuangan PAYDI;
j.
k.
laporan keuangan gabungan; dan
laporan tambahan.
(8) Ketentuan mengenai bentuk dan susunan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai
dengan huruf e diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 45
Bagi Perusahaan yang menyelenggarakan sebagian
usahanya dengan prinsip syariah, laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf b sampai dengan
huruf d tidak termasuk laporan yang terkait dengan unit
syariah dari Perusahaan dimaksud.
-41-
Pasal 46
Dalam laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat
(1), setiap aset dan Liabilitas dalam satuan mata uang
asing wajib disajikan dalam mata uang rupiah berdasarkan
nilai kurs tengah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
pada tanggal laporan.
Bagian Kedua
Penyampaian Laporan
Pasal 47
(1) Perusahaan wajib menyampaikan kepada OJK:
a.
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf e paling
lambat 30 April tahun berikutnya;
b.
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
ayat (1) huruf c, paling lama 1 (satu) bulan
setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan;
dan
c.
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
ayat (1) huruf d paling lambat tanggal 10 bulan
berikutnya.
(2) Apabila batas waktu terakhir penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hari
libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari
kerja pertama setelah batas waktu terakhir dimaksud.
(3) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Surat Edaran OJK.
Bagian Ketiga
Pengumuman Laporan
Pasal 48
(1) Perusahaan wajib mengumumkan ringkasan laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) pada situs web
-42-
Perusahaan dan surat kabar harian berbahasa
Indonesia yang beredar secara nasional paling lama 1
(satu) bulan setelah batas waktu penyampaian laporan
keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat
(1) huruf a.
(2) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib disampaikan kepada OJK paling lama 2 (dua)
hari kerja setelah pengumuman pada surat kabar.
(3) Perusahaan wajib mengumumkan ringkasan laporan
keuangan triwulanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44 ayat (1) huruf c pada situs web Perusahaan
paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya
triwulan yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai bentuk dan susunan ringkasan
laporan keuangan tahunan dan laporan keuangan
triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (3) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 49
Dalam hal terdapat bagian yang perlu dikoreksi dalam
laporan yang telah diumumkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 ayat (1) dan ayat (3) Perusahaan wajib
mengoreksi laporan tersebut dan mengumumkan kembali
pada situs web Perusahaan.
BAB IX
RENCANA PENYEHATAN KEUANGAN
Pasal 50
Perusahaan yang tidak memenuhi target Tingkat
Solvabilitas internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (3) dan ayat (4):
a. wajib menyampaikan rencana penyehatan keuangan;
dan
b. dilarang membagikan dividen atau memberikan
imbalan dalam bentuk apapun kepada pemegang
saham.
-43-
Pasal 51
(1) Rencana
penyehatan
keuangan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 huruf a wajib disampaikan
kepada OJK paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui
tidak dipenuhinya Target
Solvabilitas
(2) Rencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5).
penyehatan
keuangan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat
langkah penyehatan keuangan yang disertai dengan
jangka waktu tertentu yang dibutuhkan untuk
memenuhi ketentuan target Tingkat Solvabilitas
internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(5).
(3) Langkah
penyehatan
keuangan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), memuat rencana tindak
sebagai berikut:
a.
restrukturisasi aset dan/atau Liabilitas;
b. penambahan modal disetor;
c. pemberian pinjaman subordinasi;
d. peningkatan tarif premi;
e. pengalihan sebagian atau seluruh portofolio
pertanggungan;
f. penggabungan badan usaha; dan/atau
g. tindakan lain.
(4) Rencana
penyehatan
keuangan
sebagaimana
(5) Rencana
dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh
seluruh direksi dan dewan komisaris atau yang setara.
penyehatan
keuangan
sebagaimana
(6) Dalam
dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu
disetujui oleh rapat umum pemegang saham atau
yang setara dalam hal rencana penyehatan dimaksud
memuat rencana tindak penambahan modal disetor
atau rencana tindak penggabungan badan usaha.
penyehatan
hal
rencana
keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai OJK tidak
cukup untuk mengatasi permasalahan, Perusahaan
wajib melakukan perbaikan atas rencana penyehatan
internal
-44-
(7) Rencana
keuangan tersebut paling lama 1 (satu) bulan sejak
pemberitahuan dari OJK.
penyehatan
keuangan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (6) wajib memperoleh
pernyataan tidak keberatan dari OJK.
(8) OJK memberikan pernyataan tidak keberatan atas
rencana penyehatan keuangan yang disampaikan oleh
Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
dengan memperhatikan kondisi permasalahan yang
dihadapi oleh Perusahaan paling lama 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
rencana penyehatan keuangan secara lengkap.
(9) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (8) OJK tidak memberikan pernyataan tidak
keberatan atau tanggapan, Perusahaan dapat
melaksanakan
rencana
penyehatan keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat
(6).
Pasal 52
(1) Perusahaan wajib menyampaikan kepada OJK laporan
pelaksanaan rencana penyehatan keuangan paling
lambat tanggal 15 bulan berikutnya.
(2) Laporan pelaksanaan rencana penyehatan keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
memuat:
a. laporan keuangan bulanan yang disusun sesuai
bentuk dan susunan laporan keuangan
triwulanan;
b.
realisasi rencana tindak yang terdiri dari:
1. rencana penyehatan keuangan yang telah
dilaksanakan sesuai dengan target waktu
yang ditetapkan;
2. rencana penyehatan keuangan yang tidak
dapat dilaksanakan sesuai dengan target
waktu yang ditetapkan; dan
-45-
3. alasan tidak dapat dilaksanakannya rencana
penyehatan sesuai target waktu yang telah
ditetapkan; dan
c. dokumen pendukung yang membuktikan
tindakan
penyehatan
dilaksanakan.
(3) Apabila tanggal 15 adalah hari libur, batas akhir
penyampaian
laporan
pelaksanaan
rencana
penyehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah hari kerja pertama setelah tanggal 15.
Pasal 53
(1) Dalam hal Perusahaan memperkirakan Tingkat
Solvabilitas Perusahaan tidak akan terpenuhi dalam
jangka waktu sebagaimana telah ditetapkan di dalam
rencana penyehatan keuangan, Perusahaan dapat
melakukan perubahan atas rencana penyehatan
keuangan.
(2) Perubahan atas rencana penyehatan keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih
dahulu memperoleh persetujuan dari OJK.
(3) OJK memberikan pernyataan tidak keberatan atas
perubahan rencana penyehatan keuangan yang
disampaikan oleh Perusahaan paling lama 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
perubahan rencana penyehatan keuangan secara
lengkap.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) OJK tidak memberikan pernyataan tidak
keberatan atau tanggapan, Perusahaan dapat
melaksanakan perubahan rencana penyehatan
keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 54
OJK dapat memerintahkan kepada Perusahaan untuk
melakukan pemindahan sebagian atau seluruh portofolio
pertanggungan kepada Perusahaan lain, dalam hal
keuangan
telah
-46-
Perusahaan tidak dapat memenuhi Tingkat Solvabilitas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan/atau
sedang dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha.
BAB X
SANKSI
Pasal 55
(1) Perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan dalam
Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), ayat (2), dan ayat (6),
Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (1), Pasal 10, Pasal 12
ayat (3), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 19 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 21
ayat (2), Pasal 24, Pasal 25 ayat (1), Pasal 26, Pasal 27
ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28, Pasal 30, Pasal 31 ayat
(1) dan ayat (4), Pasal 32 ayat (1), Pasal 33, Pasal 34,
Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37 ayat (2), ayat (4), dan ayat
(5), Pasal 38 ayat (1), Pasal 39, Pasal 40 ayat (4), ayat
(5), dan ayat (8), Pasal 41 ayat (2), Pasal 42 ayat (1)
dan ayat (3), Pasal 44 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (6), Pasal 46, Pasal 47 ayat (1), Pasal 48 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3), Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 ayat
(1), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 52 ayat (1), dan Pasal
53 ayat (2) Peraturan OJK ini dikenakan sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian
atau seluruh kegiatan usaha; dan/atau
c. pencabutan izin usaha.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan secara bertahap.
(3) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), OJK dapat menambahkan sanksi
tambahan berupa:
a. larangan untuk memasarkan produk asuransi
untuk lini usaha tertentu;
-47-
b. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan bagi
pengendali, direksi, atau dewan komisaris, atau yang
setara pada Perusahaan;
c. larangan bagi Perusahaan untuk menjadi pemegang
saham atau yang setara dengan pemegang saham,
dan/atau pengendali pada badan hukum berbentuk
koperasi atau usaha bersama, pada perusahaan
perasuransian; dan/atau
d. larangan bagi pemegang saham, pengendali, direksi,
dan/atau dewan komisaris, atau yang setara dengan
pemegang saham, direksi, dan/atau dewan komisaris
Perusahaan untuk menjadi pemegang saham,
pengendali, direksi, dan/atau dewan komisaris, atau
yang setara dengan pemegang saham, direksi,
dan/atau dewan komisaris pada badan hukum
berbentuk koperasi atau usaha bersama, pada
perusahaan perasuransian.
Pasal 56
OJK dapat mengenakan sanksi pencabutan izin usaha:
a. tanpa didahului pengenaan sanksi administratif yang
lain; atau
b. tanpa didahului pengenaan sanksi administrasi
secara bertahap sebagaimana dimaksud dalam Pasal
55 ayat (2),
dalam hal Perusahaan memiliki Tingkat Solvabilitas
kurang dari 40% (empat puluh persen) dan berdasarkan
hasil pengawasan OJK dinilai membahayakan bagi
pemegang polis atau tertanggung.
Pasal 57
(1) Perusahaan yang melanggar ketentuan Pasal 47 ayat
(1) huruf a atau huruf b dikenakan sanksi tambahan
berupa denda administratif sebesar Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah) per hari keterlambatan dan paling
banyak sebesar Rp360.000.000,00 (tiga ratus enam
puluh juta rupiah) untuk setiap laporan.
-48-
(2) Perusahaan yang melanggar ketentuan Pasal 48 ayat
(1) dikenakan sanksi tambahan berupa denda
administratif sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima
ratus ribu rupiah)
per hari dan paling banyak
sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 58
(1) Perusahaan harus memenuhi ketentuan dalam Pasal
42 paling lambat pada laporan keuangan periode 31
Desember 2017.
(2) Penilaian terhadap Liabilitas dalam bentuk cadangan
teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan
penandatanganan laporan aktuaris sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (5) bagi Perusahaan
Asuransi Umum dapat dilakukan oleh:
a. pegawai Perusahaan yang memiliki sertifikat
analis asuransi umum (certified non-life analyst)
dari Persatuan Aktuaris Indonesia; atau
b. konsultan aktuaria yang terdaftar di OJK dan
tidak terafiliasi dengan Perusahaan,
paling lambat sampai dengan tanggal 31 Desember
2017.
Pasal 59
(1) Setiap sanksi administratif yang telah dikenakan
terhadap Perusahaan berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
53/PMK.010/2012 tentang Kesehatan Keuangan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
dinyatakan tetap sah dan berlaku.
(2) Perusahaan yang belum dapat mengatasi penyebab
dikenakannya sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi lanjutan
sesuai dengan Peraturan OJK ini.
-49-
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 60
Pada saat Peraturan OJK ini mulai
berlaku,
ketentuan mengenai kesehatan keuangan Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi tunduk
pada
Peraturan OJK ini.
Pasal 61
(1) Peraturan OJK ini tidak berlaku bagi Perusahaan
yang menyelenggarakan seluruh usahanya dengan
prinsip syariah atau bagi unit syariah dari
Perusahaan
yang
menyelenggarakan
usahanya dengan prinsip syariah.
(2) Ketentuan kesehatan keuangan bagi Perusahaan
yang menyelenggarakan seluruh usahanya dengan
prinsip syariah atau bagi unit syariah dari
Perusahaan
yang
menyelenggarakan
sebagian
sebagian
usahanya dengan prinsip syariah diatur dengan
Peraturan OJK mengenai kesehatan keuangan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
dengan prinsip syariah.
Pasal 62
Ketentuan mengenai bentuk dan susunan laporan,
perhitungan jumlah MMBR, dasar penilaian investasi dan
bukan investasi, dan pembentukan cadangan teknis
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan OJK ini.
Pasal 63
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli
2017.
-50-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 304
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 71/POJK.05/2016 </reg_id>
<reg_title> KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 1 Juli 2017 </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2016 </issued_date>
<related_reg> '40/UU/2014', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 20/POJK.03/2014
TENTANG
BANK PERKREDITAN RAKYAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi
Indonesia secara optimal dan berkesinambungan, perlu
meningkatkan ketahanan dan daya saing industri
perbankan nasional;
o. bahwa untuk meningkatkan peran dan kontribusi industri
Bank Perkreditan Rakyat terhadap ekonomi daerah, dan
memperkuat daya saing Bank Perkreditan Rakyat, perlu
upaya peningkatan ketahanan dan daya saing BPR melalui
penguatan permodalan, penataan kepemilikan dan
peningkatan kualitas pengurus Bank Perkreditan Rakyat;
c. bahwa dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor:8/26/PBI/2006 tentang Bank Perkreditan Rakyat
belum dapat mengakomodasi perkembangan Bank
Perkreditan Rakyat sehingga perlu diganti;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Bank
Perkreditan Rakyat;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia
End of Page 1
- 2 -
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG BANK
PERKREDITAN RAKYAT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR yaitu bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya
tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang mengenai perbankan.
2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya disebut BPRS yaitu bank
syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai
perbankan syariah.
3. Bank Umum yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang mengenai perbankan.
4. Kantor Cabang yaitu kantor BPR yang secara langsung bertanggungjawab
kepada kantor pusat BPR yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha
yang jelas dimana Kantor Cabang tersebut melakukan usahanya.
5. Kantor …
- 3 -
5. Kantor Kas yaitu kantor BPR yang melakukan pelayanan kas, tidak termasuk
pemberian kredit dalam rangka membantu kantor induknya, dengan alamat
tempat usaha yang jelas dimana Kantor Kas tersebut melakukan usahanya.
6. Kegiatan Pelayanan Kas yaitu kegiatan Kas Keliling, Payment Point, dan
kegiatan layanan dengan menggunakan kartu Automated Teller Machine (ATM)
dan/atau kartu debet.
7. Kas Keliling yaitu kegiatan pelayanan kas dalam rangka melayani masyarakat
secara berpindah-pindah dengan menggunakan alat transportasi atau pada
lokasi tertentu secara tidak permanen, antara lain kas mobil, kas terapung
atau konter BPR non permanen, tidak termasuk kegiatan promosi.
8. Payment Point yaitu kegiatan pelayanan kas dalam rangka melayani
masyarakat dalam bentuk pelayanan pembayaran atau penerimaan
pembayaran melalui kerjasama antara BPR dengan pihak lain pada suatu
lokasi tertentu, seperti untuk pembayaran tagihan telepon, tagihan listrik,
gaji pegawai, dan/atau penerimaan setoran dari pihak ketiga.
9. Perangkat Perbankan Elektronis yang selanjutnya disingkat PPE yaitu
kegiatan pelayanan kas atau non kas dalam rangka melayani masyarakat
yang dilakukan dengan menggunakan sarana mesin elektronis namun tidak
termasuk penyediaan instrumen giral, yang berlokasi baik di dalam maupun
di luar kantor BPR, yang dapat melakukan pelayanan penarikan atau
penyetoran secara tunai, pembayaran melalui pemindahbukuan, pemindahan
dana antar bank, dan/atau informasi saldo atau mutasi rekening nasabah,
baik menggunakan jaringan dan/atau mesin milik BPR sendiri maupun
melalui kerja sama BPR dengan pihak lain, antara lain Automated Teller
Machine (ATM) termasuk dalam hal ini adalah Automated Deposit Machine
(ADM) dan Electronic Data Capture (EDC).
10. Direksi:
a. bagi BPR berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perseroan
Terbatas;
b. bagi BPR berbadan hukum Perusahaan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perusahaan
Daerah;
c. bagi BPR berbadan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perkoperasian.
11. Dewan …
- 4 -
11. Dewan Komisaris:
a. bagi BPR berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perseroan
Terbatas;
b. bagi BPR berbadan hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perusahaan
Daerah;
c. bagi BPR berbadan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perkoperasian.
12. Pejabat Eksekutif yaitu pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada
direksi atau mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional bpr,
antara lain pemimpin kantor cabang, kepala divisi, kepala bagian, manajer
dan/atau pejabat lainnya yang setara.
13. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disingkat dengan PSP yaitu
orang perseorangan, badan hukum, dan/atau kelompok usaha yang:
a. memiliki saham perusahaan atau BPR sebesar 25% (dua puluh lima
perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan
mempunyai hak suara; atau
b. memiliki saham perusahaan atau BPR sebesar kurang dari 25% (dua
puluh lima perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan
mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah
melakukan pengendalian perusahaan atau BPR, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
14. Lembaga Sertifikasi Profesi yaitu lembaga pelaksana kegiatan sertifikasi
profesi yang memperoleh lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi atau
instansi lain yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan.
15. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat dengan RUPS:
a. bagi BPR berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah RUPS sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbadan hukum Perusahaan Daerah adalah Rapat Pemegang
Saham/Saham Prioritet dan RUPS (prioritet dan biasa) sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perusahaan Daerah;
c. bagi BPR berbadan hukum Koperasi adalah Rapat Anggota sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perkoperasian.
16. Daftar …
- 5 -
16. Daftar Tidak Lulus yang selanjutnya disingkat DTL yaitu daftar yang
ditatausahakan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang memuat pihak-pihak yang
mendapat predikat tidak lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan.
Pasal 2
Bentuk hukum BPR dapat berupa:
a. Perseroan Terbatas;
b. Koperasi; atau
c. Perusahaan Daerah.
BAB II
PENDIRIAN BANK PERKREDITAN RAKYAT
Pasal 3
Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha
dengan izin Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 4
(1) BPR hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia;
b. badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara
Indonesia; dan/atau
c. Pemerintah Daerah.
(2) Dalam hal badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b diajukan sebagai calon PSP BPR, badan hukum dimaksud harus
telah beroperasi paling sedikit selama 2 (dua) tahun pada saat pengajuan
permohonan persetujuan prinsip.
Pasal 5
(1) Modal disetor untuk mendirikan BPR ditetapkan paling sedikit:
a. Rp14.000.000.000,00 (empat belas miliar rupiah), bagi BPR yang
didirikan di zona 1;
b. Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah), bagi BPR yang didirikan di
zona 2;
c. Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah), bagi BPR yang didirikan di
zona 3; dan
d. Rp4.000.000.000,00 …
- 6 -
d. Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah), bagi BPR yang didirikan di
zona 4.
(2) Dengan pertimbangan tertentu, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
menetapkan jumlah modal disetor di atas jumlah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Pembagian zona sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan
berdasarkan potensi ekonomi wilayah dan tingkat persaingan lembaga
keuangan di wilayah kabupaten atau kota yang bersangkutan.
(4) Paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib digunakan untuk modal kerja.
Pasal 6
(1) Modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus
ditempatkan dalam bentuk deposito di Bank Umum di Indonesia atas nama
“Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan q.q. (nama calon PSP BPR)”
dengan keterangan untuk pendirian BPR yang bersangkutan dan
pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Penempatan modal disetor dalam bentuk deposito sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan secara bertahap:
a. paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor sebelum
pengajuan permohonan persetujuan prinsip pendirian BPR; dan
b. kekurangan dari modal disetor, disetorkan sebelum pengajuan
permohonan izin usaha pendirian BPR.
BAB III
PERIZINAN BANK PERKREDITAN RAKYAT
Pasal 7
Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan dalam 2 (dua)
tahap:
a. Persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian
BPR; dan
b. Izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha BPR
setelah persiapan sebagaimana dimaksud pada huruf a selesai dilakukan.
Pasal …
- 7 -
Pasal 8
Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf a diajukan paling sedikit oleh seorang calon PSP kepada
Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, disertai dengan:
a. rancangan akta pendirian badan hukum, yang memuat rancangan anggaran
dasar;
b. data kepemilikan:
1. daftar calon pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing
kepemilikan saham, bagi BPR yang berbadan hukum Perseroan Terbatas
atau Perusahaan Daerah;
2. daftar calon anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan
simpanan wajib bagi BPR yang berbadan hukum Koperasi,
c. daftar Calon anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris;
d. rencana struktur organisasi dan jumlah personalia;
e. analisis potensi dan kelayakan pendirian BPR;
f. rencana sistem dan prosedur kerja;
g. bukti setoran modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dalam bentuk
fotokopi bilyet deposito;
h. surat pernyataan dari calon pemegang saham bagi BPR yang berbadan
hukum Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah atau dari calon anggota
bagi BPR yang berbadan hukum Koperasi, bahwa setoran modal sebagaimana
dimaksud dalam huruf g:
1. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk
apapun dari Bank dan/atau pihak lain; dan/atau
2. tidak berasal dari dan untuk pencucian uang.
Dalam hal calon pemegang saham BPR adalah Pemerintah Daerah, surat
pernyataan dapat digantikan oleh Surat Keputusan Kepala Daerah.
i. bukti lunas pembayaran biaya perizinan dalam rangka pendirian BPR kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 9
(1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan persetujuan prinsip paling lambat 40 (empat puluh) hari kerja
sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara
lengkap.
(2) Dalam …
- 8 -
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. penilaian terhadap analisis potensi dan kelayakan pendirian BPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf e;
c. uji kemampuan dan kepatutan melalui penelitian administratif dan
wawancara terhadap calon PSP, calon anggota Direksi, dan calon anggota
Dewan Komisaris, sesuai dengan ketentuan tentang uji kemampuan dan
kepatutan BPR;
d. pemeriksaan setoran modal; dan
e. penelitian terhadap kinerja keuangan BPR dan/atau lembaga keuangan
lain yang berada dalam kepemilikan PSP yang sama.
(3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pihak-pihak yang
mengajukan permohonan pendirian BPR harus melakukan presentasi dan
memberikan penjelasan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai analisis
potensi dan kelayakan pendirian BPR, sumber dana, rencana dan tujuan
pendirian serta kemampuan keuangan dalam rangka memelihara
solvabilitas dan pertumbuhan BPR.
Pasal 10
(1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) berlaku
untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal persetujuan
prinsip diberikan dan tidak dapat diperpanjang.
(2) Pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip dilarang melakukan
kegiatan usaha sebelum mendapat izin usaha.
(3) Persetujuan prinsip yang telah diberikan batal dan dinyatakan tidak
berlaku, apabila sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip belum mengajukan
permohonan izin usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 11
Pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip mengajukan izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b kepada Dewan Komisioner
Otoritas Jasa Keuangan dengan melampirkan:
a. Akta …
- 9 -
a. akta pendirian badan hukum, yang memuat anggaran dasar badan hukum
yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang;
b. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dalam hal
terjadi perubahan;
c. daftar Calon anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf c dalam hal terjadi perubahan;
d. susunan organisasi serta sistem dan prosedur kerja, termasuk susunan
personalia;
e. bukti pelunasan modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1),
dalam bentuk fotokopi bilyet deposito pada Bank Umum di Indonesia atas
nama “Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan q.q. (nama calon PSP BPR)”
dengan keterangan untuk pendirian BPR yang bersangkutan dan
pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari
Otoritas Jasa Keuangan;
f. surat pernyataan dari pemegang saham bagi BPR yang berbadan hukum
Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah atau dari anggota bagi BPR yang
berbadan hukum Koperasi, bahwa setoran modal sebagaimana dimaksud
pada huruf e:
1. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk
apapun dari Bank dan/atau pihak lain; dan/atau
2. tidak berasal dari dan untuk pencucian uang.
Dalam hal pemegang saham adalah Pemerintah Daerah, surat pernyataan
dapat digantikan dengan Surat Keputusan Kepala Daerah.
g. bukti kesiapan operasional, mencakup paling sedikit:
1. daftar aset tetap dan inventaris;
2. bukti penguasaan gedung kantor berupa bukti kepemilikan atau
perjanjian sewa-menyewa gedung kantor yang didukung oleh bukti
kepemilikan dari pihak yang menyewakan;
3. foto gedung kantor dan tata letak ruangan;
4. contoh formulir atau warkat yang akan digunakan untuk operasional
BPR; dan
5. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Pasal …
- 10 -
Pasal 12
(1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin usaha paling lambat 40 (empat puluh) hari kerja sejak
permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon PSP, calon anggota
Direksi dan calon anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 huruf b dan huruf c dalam hal terdapat penggantian atas
calon yang diajukan sebelumnya;
c. pemeriksaan setoran modal; dan
d. penelitian terhadap kinerja keuangan BPR dan/atau lembaga keuangan
lain yang berada dalam kepemilikan PSP yang sama.
Pasal 13
(1) BPR yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan wajib
melakukan kegiatan usaha BPR paling lambat 40 (empat puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal izin usaha diterbitkan.
(2) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilaporkan oleh Direksi BPR kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat
10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan kegiatan operasional.
(3) Dalam hal BPR belum melakukan kegiatan usaha dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), izin usaha yang telah diterbitkan
batal dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 14
BPR yang telah mendapat izin usaha dari Dewan Komisioner Otoritas Jasa
Keuangan wajib mencantumkan bentuk badan hukum dan kata “Bank
Perkreditan Rakyat” atau disingkat “BPR” di depan nama BPR, sesuai dengan
anggaran dasar BPR.
BAB …
- 11 -
BAB IV
KEPEMILIKAN DAN PERUBAHAN MODAL BANK PERKREDITAN RAKYAT
Pasal 15
Setiap BPR wajib memiliki paling sedikit 1 (satu) pemegang saham dengan
persentase kepemilikan saham paling sedikit 25% (dua puluh lima perseratus)
sesuai dengan kriteria mengenai PSP yang diatur dalam ketentuan mengenai uji
kemampuan dan kepatutan BPR.
Pasal 16
(1) Kepemilikan BPR oleh badan hukum wajib memenuhi hal-hal sebagai
berikut:
a. bagi badan hukum Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, atau
Koperasi paling banyak sebesar modal sendiri bersih badan hukum yang
bersangkutan dan tidak melebihi jumlah yang diperkenankan bagi badan
hukum tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; dan
b. bagi badan hukum yayasan atau badan hukum lainnya paling banyak
sebesar jumlah yang diperkenankan bagi badan hukum tersebut sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Perhitungan kepemilikan dilakukan pada awal pendirian BPR dan pada saat
dilakukan penambahan modal disetor oleh badan hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki
saham BPR paling rendah 25% (dua puluh lima perseratus), BPR wajib
menyampaikan laporan keuangan tahunan yang disusun oleh badan hukum
tersebut sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) BPR wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat akhir
bulan Juni setelah tahun posisi laporan.
Pasal 17
Sumber dana untuk kepemilikan BPR dilarang:
a. berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari
Bank dan/atau pihak lain, kecuali sumber dana tersebut berasal dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); dan/atau
b. berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang.
Pasal …
- 12 -
Pasal 18
(1) Pemegang saham BPR dilarang menarik kembali modal yang telah disetor.
(2) Dalam hal pemegang saham bermaksud mengundurkan diri sebagai
pemegang saham BPR, pemegang saham dimaksud wajib mengalihkan
kepemilikan sahamnya kepada pihak lain sepanjang memenuhi ketentuan
Otoritas Jasa Keuangan dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 19
(1) Pihak-pihak yang dapat menjadi pemilik BPR harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
c. memiliki komitmen terhadap pengembangan operasional BPR yang
sehat;
d. tidak termasuk dalam DTL;
e. memiliki komitmen untuk tidak melakukan dan/atau mengulang
perbuatan dan/atau tindakan yang termasuk dalam cakupan uji
kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
mengenai uji kemampuan dan kepatutan BPR;
f. tidak memiliki kredit macet dan/atau pembiayaan macet;
g. tidak menjadi pengendali, anggota Direksi, atau anggota Dewan
Komisaris dari badan hukum yang mempunyai kredit macet dan/atau
pembiayaan macet; dan/atau
h. tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pemegang
saham, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan
bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit berdasarkan
ketetapan pengadilan dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum
dicalonkan.
(2) Pihak-pihak yang dapat menjadi PSP harus memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan persyaratan kelayakan keuangan
sesuai dengan ketentuan mengenai uji kemampuan dan kepatutan BPR.
(3) Dalam hal pemilik BPR berbentuk badan hukum, persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi pemilik, anggota Direksi, anggota
Dewan Komisaris, atau pengurus dari badan hukum dimaksud.
Pasal …
- 13 -
Pasal 20
(1) Dalam rangka penambahan modal disetor, pemegang saham dan/atau calon
pemegang saham harus mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Pemegang saham dan/atau calon pemegang saham menyampaikan
permohonan persetujuan penambahan modal disetor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan dilampiri:
a. bukti setoran modal; dan
b. dokumen pendukung.
(3) Penambahan modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
ditempatkan dalam bentuk deposito pada Bank Umum di Indonesia atau
pada BPR yang bersangkutan, kecuali yang bersumber dari dividen BPR
yang bersangkutan.
(4) Penambahan modal disetor yang ditempatkan dalam bentuk deposito pada
BPR yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya
berlaku:
a. bagi BPR yang tidak dalam status pengawasan khusus; dan
b. dilakukan oleh pemegang saham BPR yang bersangkutan.
(5) Tata cara penambahan modal disetor:
a. dalam bentuk deposito pada Bank Umum di Indonesia dengan cara
mencantumkan atas nama ”Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan
q.q. (nama BPR)”, dan mencantumkan keterangan nama penyetor
tambahan modal serta keterangan bahwa pencairannya hanya dapat
dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan;
dan/atau
b. dalam bentuk deposito pada BPR yang bersangkutan dengan cara
mencantumkan atas nama “Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan
q.q. (nama pemegang saham penyetor)” dan mencantumkan keterangan
bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat
persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(6) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan penambahan modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan berikut
dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap.
(7) BPR …
- 14 -
(7) BPR harus menyelenggarakan RUPS untuk menyetujui penambahan modal
disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (6), paling lama 60 (enam puluh)
hari kerja sejak tanggal persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
(8) Dalam hal RUPS tidak dapat diselenggarakan dalam waktu yang ditentukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (7), persetujuan Otoritas Jasa Keuangan
batal dan dinyatakan tidak berlaku.
(9) BPR wajib melaporkan pelaksanaan penambahan modal disetor kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah
perubahan modal disetor disetujui dalam RUPS sebagaimana dimaksud
pada ayat (7), dengan dilampiri:
a. bukti penyetoran;
b. risalah RUPS;
c. surat pernyataan dari pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 huruf h; dan
d. data kepemilikan berupa:
1. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing
kepemilikan saham, bagi BPR yang berbadan hukum Perseroan
Terbatas atau Perusahaan Daerah;
2. daftar anggota berikut jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib,
bagi BPR yang berbadan hukum Koperasi.
(10) BPR wajib melaporkan perubahan modal disetor sebagaimana dimaksud
pada ayat (9) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja sejak tanggal surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran
dasar atau pengesahan dari instansi yang berwenang, dengan dilampiri:
a. perubahan anggaran dasar sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku; dan
b. bukti pelaporan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada
huruf a kepada instansi yang berwenang.
Pasal 21
(1) Perubahan kepemilikan saham yang wajib mendapatkan persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan adalah perubahan karena:
a. pengalihan saham yang mengakibatkan perubahan dan/atau
mengakibatkan terjadinya PSP BPR; dan/atau
b. penggantian …
- 15 -
b. penggantian dan/atau penambahan pemilik baik yang mengakibatkan
atau tidak mengakibatkan perubahan PSP BPR.
(2) Direksi BPR menyampaikan permohonan persetujuan perubahan
kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas
Jasa Keuangan dengan dilampiri:
a. bukti setoran modal; dan
b. dokumen pendukung.
(3) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan perubahan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan berikut
dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap.
(4) BPR harus menyelenggarakan RUPS untuk menyetujui perubahan
kepemilikan saham paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Dalam hal RUPS tidak dapat diselenggarakan dalam waktu yang ditentukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), persetujuan Otoritas Jasa Keuangan
batal dan dinyatakan tidak berlaku.
(6) BPR wajib melaporkan perubahan kepemilikan saham kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah perubahan
kepemilikan saham disetujui RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
dengan dilampiri:
a. bukti penyetoran;
b. risalah RUPS;
c. surat pernyataan dari pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 huruf h; dan
d. data kepemilikan berupa:
1. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing
kepemilikan saham, bagi BPR yang berbadan hukum Perseroan
Terbatas atau Perusahaan Daerah;
2. daftar anggota berikut jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib,
bagi BPR yang berbadan hukum Koperasi.
(7) BPR wajib melaporkan perubahan kepemilikan saham sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10
(sepuluh) hari kerja sejak tanggal surat penerimaan pemberitahuan
perubahan …
- 16 -
perubahan anggaran dasar atau pengesahan dari instansi yang berwenang
dengan dilampiri:
a. perubahan anggaran dasar sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku; dan
b. bukti pelaporan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada
huruf a kepada instansi yang berwenang.
Pasal 22
(1) BPR wajib melaporkan perubahan komposisi kepemilikan saham yang tidak
mengakibatkan penggantian dan/atau penambahan PSP serta tidak
diakibatkan oleh penambahan modal disetor kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak RUPS dengan dilampiri:
a. risalah RUPS; dan
b. data kepemilikan berupa:
1. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing
kepemilikan saham, bagi BPR yang berbadan hukum Perseroan
Terbatas atau Perusahaan Daerah;
2. daftar anggota berikut jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib,
bagi BPR yang berbadan hukum Koperasi.
(2) BPR wajib melaporkan pelaksanaan perubahan komposisi kepemilikan
saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal surat penerimaan
pemberitahuan perubahan anggaran dasar atau pengesahan dari instansi
yang berwenang, dengan dilampiri:
a. perubahan anggaran dasar sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku; dan
b. bukti pelaporan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada
huruf a kepada instansi yang berwenang khusus untuk BPR yang
berbadan hukum Perseroan Terbatas dan Koperasi.
Pasal 23
(1) BPR wajib melaporkan perubahan modal dasar kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak BPR menerima surat
persetujuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang,
dengan dilampiri:
a. risalah …
- 17 -
a. risalah RUPS; dan
b. perubahan anggaran dasar yang disetujui oleh instansi yang berwenang.
(2) BPR wajib mengadministrasikan dengan tertib:
a. daftar pemegang saham dan perubahannya, bagi BPR yang berbadan
hukum Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah;
b. buku daftar anggota dan perubahannya, bagi BPR yang berbadan hukum
Koperasi.
BAB V
ANGGOTA DIREKSI, DEWAN KOMISARIS, DAN PEJABAT EKSEKUTIF
Pasal 24
(1) Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris harus memenuhi
persyaratan:
a. kompetensi;
b. integritas; dan
c. reputasi keuangan.
(2) Pemenuhan persyaratan bagi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
mengenai uji kemampuan dan kepatutan BPR.
Pasal 25
(1) Anggota Direksi paling sedikit berjumlah 2 (dua) orang dan salah satu
diantaranya menjabat sebagai Direktur Utama.
(2) Dalam rangka penerapan tata kelola yang baik pada BPR, Otoritas Jasa
Keuangan dapat menetapkan jumlah anggota Direksi lebih dari 2 (dua)
orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Seluruh anggota Direksi wajib bertempat tinggal di kota/kabupaten yang
sama, atau kota/kabupaten yang berbeda pada provinsi yang sama atau
kota/kabupaten di provinsi lain yang berbatasan langsung dengan
kota/kabupaten pada provinsi lokasi Kantor Pusat BPR.
(4) Anggota Direksi harus memiliki pendidikan formal paling rendah setingkat
diploma tiga.
(5) Anggota Direksi harus memiliki:
a. pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan
jabatannya;
b. pengalaman …
- 18 -
b. pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan/atau lembaga jasa
keuangan non perbankan; dan
c. kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka
pengembangan BPR yang sehat.
(6) Pengalaman dan keahlian sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) huruf b
paling singkat selama 2 (dua) tahun.
Pasal 26
Anggota Direksi wajib memiliki sertifikat kelulusan yang masih berlaku yang
dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi.
Pasal 27
(1) Mayoritas anggota Direksi dilarang memiliki hubungan keluarga atau
semenda sampai dengan derajat kedua dengan:
a. sesama anggota Direksi; dan/atau
b. anggota Dewan Komisaris.
(2) Anggota Direksi baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dilarang
memiliki saham sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih dari
modal disetor pada Bank dan/atau menjadi pemegang saham mayoritas di
lembaga jasa keuangan non Bank.
(3) Anggota Direksi dilarang merangkap jabatan pada Bank, perusahaan non
Bank dan/atau lembaga lain kecuali sebagai pengurus asosiasi industri BPR
dan/atau lembaga pendidikan dalam rangka peningkatan kompetensi SDM
BPR sepanjang tidak mengganggu pelaksanaan tugas sebagai Direksi BPR.
(4) Anggota Direksi dilarang memberikan kuasa umum yang mengakibatkan
pengalihan tugas dan wewenang tanpa batas.
Pasal 28
(1) Anggota Dewan Komisaris paling sedikit berjumlah 2 (dua) orang dan paling
banyak sama dengan jumlah anggota Direksi, serta salah satu di antaranya
menjabat sebagai Komisaris Utama.
(2) Dalam rangka penerapan tata kelola yang baik pada BPR, Otoritas Jasa
Keuangan dapat menetapkan jumlah anggota Dewan Komisaris lebih dari 2
(dua) orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Seluruh …
- 19 -
(3) Seluruh anggota Dewan Komisaris wajib berkedudukan di Indonesia, dan
paling sedikit 1 (satu) orang anggota Dewan Komisaris harus bertempat
tinggal di provinsi yang sama atau di kota/kabupaten pada provinsi lain
yang berbatasan langsung dengan provinsi lokasi Kantor Pusat BPR.
(4) Anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memiliki:
a. pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan
jabatannya; dan/atau
b. pengalaman di bidang perbankan dan/atau lembaga jasa keuangan non
perbankan.
(5) Anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memiliki sertifikat kelulusan yang masih berlaku dari Lembaga Sertifikasi
Profesi.
(6) Calon anggota Dewan Komisaris harus memiliki sertifikat kelulusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) pada saat diajukan sebagai calon
anggota Dewan Komisaris.
(7) Anggota Dewan Komisaris hanya dapat merangkap jabatan sebagai
komisaris paling banyak pada 2 (dua) BPR lain atau BPRS.
(8) Anggota Dewan Komisaris dilarang merangkap jabatan sebagai anggota
Direksi atau Pejabat Eksekutif pada BPR, BPRS, dan/atau Bank Umum.
(9) Dewan Komisaris wajib melakukan rapat secara berkala paling sedikit 1
(satu) kali dalam 3 (tiga) bulan.
(10) Dewan Komisaris wajib mempresentasikan hasil pengawasan terhadap BPR
apabila diminta Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 29
(1) Mayoritas anggota Dewan Komisaris dilarang memiliki hubungan keluarga
atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan:
a. sesama anggota Dewan Komisaris; atau
b. anggota Direksi.
(2) Anggota Dewan Komisaris dilarang memberikan kuasa umum yang
mengakibatkan pengalihan tugas dan wewenang tanpa batas.
Pasal …
- 20 -
Pasal 30
Dalam hal terjadi benturan kepentingan, anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, dan Pejabat Eksekutif dilarang mengambil keputusan.
Pasal 31
(1) Calon anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris wajib memperoleh
persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan sebelum menjalankan tugas dan
fungsi dalam jabatannya.
(2) BPR mengajukan permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan
dokumen pendukung.
(3) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan melakukan
uji kemampuan dan kepatutan.
(4) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas pengajuan calon anggota
Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris paling lama 30 (tiga puluh) hari
sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara
lengkap.
(5) BPR harus menyelenggarakan RUPS untuk mengangkat anggota Direksi
dan/atau anggota Dewan Komisaris paling lama 90 (sembilan puluh) hari
sejak tanggal persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4).
(6) Dalam hal jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) berakhir dan BPR belum menyelenggarakan RUPS, persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan dan penetapan hasil uji kemampuan dan kepatutan
batal dan dinyatakan tidak berlaku.
(7) Pengangkatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris oleh
RUPS belum efektif sebelum mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa
Keuangan.
(8) Pengangkatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris wajib
dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja sejak tanggal efektif pengangkatan anggota Direksi dan/atau anggota
Dewan Komisaris disertai dengan risalah RUPS.
Pasal …
- 21 -
Pasal 32
(1) BPR wajib menyampaikan laporan pengunduran diri anggota Direksi
dan/atau anggota Dewan Komisaris kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak pengunduran diri dinyatakan efektif,
disertai dengan alasan pengunduran diri.
(2) BPR wajib menyampaikan laporan pemberhentian anggota Direksi dan/atau
anggota Dewan Komisaris kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10
(sepuluh) hari kerja sejak pemberhentian dinyatakan efektif, disertai dengan
alasan pemberhentian.
(3) Dalam hal anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris meninggal
dunia, BPR wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama
10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal anggota Direksi dan/atau anggota
Dewan Komisaris meninggal dunia disertai dengan surat keterangan
kematian dari instansi yang berwenang.
(4) Dalam hal anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris memenuhi
ketentuan larangan terhadap anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris, larangan tersebut berlaku efektif sejak tanggal surat
pemberitahuan atau keputusan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 33
(1) Dalam hal anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris
diberhentikan oleh RUPS sehingga mengakibatkan tidak terpenuhinya
jumlah minimum anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
ayat (1) dan ayat (2) dan/atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), BPR wajib melakukan
penggantian anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris paling
lama 120 (seratus dua puluh) hari kerja sejak tanggal anggota Direksi
dan/atau anggota Dewan Komisaris diberhentikan berdasarkan keputusan
RUPS.
(2) Dalam hal anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris
mengundurkan diri sehingga mengakibatkan tidak terpenuhinya jumlah
minimum anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1)
dan ayat (2) dan/atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), BPR wajib melakukan penggantian
anggota …
- 22 -
anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris paling lama 120
(seratus dua puluh) hari kerja sejak pengunduran diri anggota Direksi
dan/atau anggota Dewan Komisaris dinyatakan efektif.
(3) Dalam hal anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris meninggal
dunia sehingga mengakibatkan tidak terpenuhinya jumlah minimum
anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2)
dan/atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (1) dan ayat (2), BPR wajib melakukan penggantian anggota Direksi
dan/atau anggota Dewan Komisaris paling lama 120 (seratus dua puluh)
hari kerja sejak dinyatakan meninggal sesuai dengan surat keterangan
kematian dari instansi yang berwenang.
(4) Dalam hal anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris dilarang
menjadi anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris oleh Otoritas
Jasa Keuangan sehingga mengakibatkan tidak terpenuhinya jumlah
minimum anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1)
dan ayat (2) dan/atau Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (1) dan ayat (2), BPR wajib melakukan penggantian anggota Direksi
dan/atau Dewan Komisaris paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kerja
sejak tanggal surat pemberitahuan atau keputusan Otoritas Jasa Keuangan.
(5) BPR wajib menyelenggarakan RUPS untuk melakukan penggantian anggota
Direksi dan/atau Dewan Komisaris karena masa jabatannya berakhir pada
tanggal berakhirnya masa jabatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris tersebut.
Pasal 34
(1) Pengangkatan kembali anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris
oleh RUPS harus dilakukan paling lambat pada tanggal berakhirnya masa
jabatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris.
(2) BPR wajib menyampaikan laporan pengangkatan kembali anggota Direksi
dan/atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
tanggal RUPS.
(3) Dalam …
- 23 -
(3) Dalam hal:
a. BPR tidak dapat menyelenggarakan RUPS dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1); atau
b. RUPS dilaksanakan namun tidak menyetujui untuk mengangkat kembali
anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris,
masa jabatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris dimaksud
berakhir.
(4) Anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris yang telah berakhir
masa jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan dicalonkan
kembali sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris, calon
dimaksud harus memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan
dengan berpedoman pada tata cara pengajuan calon anggota Direksi
dan/atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
Pasal 35
(1) BPR wajib melaporkan setiap Pejabat Eksekutif kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Laporan mengenai Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh)
hari sejak Pejabat dimaksud menjalankan tugas dan fungsi sebagai Pejabat
Eksekutif, dengan dilampiri:
a. dokumen pendukung;
b. pasfoto terakhir ukuran 4x6 cm;
c. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku;
d. riwayat hidup; dan
e. contoh tanda tangan dan paraf.
Pasal 36
(1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelitian terhadap Pejabat Eksekutif
atas laporan mengenai Pejabat Eksekutif.
(2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pejabat Eksekutif tercantum di dalam Daftar Tidak Lulus, BPR wajib
memberhentikan Pejabat Eksekutif tersebut sejak tanggal surat
pemberitahuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Dalam …
- 24 -
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pejabat Eksekutif memiliki kredit macet dan/atau pembiayaan macet,
Pejabat Eksekutif yang bersangkutan harus menyelesaikan kredit macet
dan/atau pembiayaan macet dimaksud paling lama 20 (dua puluh) hari
kerja sejak tanggal surat pemberitahuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Dalam hal Pejabat Eksekutif tidak dapat menyelesaikan kredit macet
dan/atau pembiayaan macet dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), BPR wajib memberhentikan Pejabat Eksekutif yang
bersangkutan sejak berakhirnya batas waktu untuk menyelesaikan kredit
macet dan/atau pembiayaan macet.
(5) BPR wajib melaporkan pemberhentian Pejabat Eksekutif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pemberhentian.
BAB VI
PEMBUKAAN KANTOR BANK PERKREDITAN RAKYAT
Pasal 37
(1) BPR hanya dapat melakukan pembukaan kantor dalam wilayah provinsi
yang sama dengan provinsi kantor pusat BPR.
(2) Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kabupaten atau Kota Bogor, Kota
Depok, Kabupaten atau Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan
Kabupaten atau Kota Bekasi dinyatakan sebagai satu wilayah provinsi untuk
keperluan perizinan pembukaan Kantor Cabang.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku bagi pembukaan
Kantor Cabang BPR sebagai akibat merger atau konsolidasi.
(4) Dalam hal terjadi pemekaran wilayah yang menyebabkan Kantor Cabang
dan Kantor Pusat BPR berada di wilayah provinsi yang berbeda, BPR wajib:
a. menutup memindahkan Kantor Cabang BPR; atau
b. memindahkan Kantor Pusat BPR,
ke dalam wilayah provinsi yang sama.
(5) Penutupan atau pemindahan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
wajib dilaksanakan paling lama 3 (tiga) tahun setelah terjadinya pemekaran
wilayah.
Pasal …
- 25 -
Pasal 38
(1) BPR wajib memperoleh izin Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan
pembukaan Kantor Cabang.
(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPR dapat
mengajukan permohonan pembukaan Kantor Cabang dengan memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. rencana pembukaan Kantor Cabang telah dicantumkan dalam rencana
kerja tahunan BPR;
b. memiliki tingkat kesehatan tergolong sehat selama 12 (dua belas) bulan
terakhir;
c. memiliki rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) paling
sedikit 12% (dua belas perseratus) selama 6 (enam) bulan terakhir;
d. memiliki rasio Non Performing Loan (NPL) gross paling tinggi 5% (lima
perseratus) selama 6 (enam) bulan terakhir;
e. tidak dalam keadaan rugi dalam 1 (satu) tahun terakhir;
f. memiliki teknologi informasi yang memadai;
g. memenuhi kelengkapan organisasi dan infrastruktur pada Kantor
Cabang yang akan dibuka; dan
h. tidak terdapat pelanggaran ketentuan terkait dengan BPR.
(3) Pembukaan Kantor Cabang yang disebabkan oleh merger atau konsolidasi
dilakukan dengan mengacu pada ketentuan yang berlaku mengenai merger,
konsolidasi, dan akuisisi BPR.
Pasal 39
Pemberian izin pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38 diberikan dalam 2 (dua) tahap:
a. persetujuan prinsip pembukaan Kantor Cabang, yaitu persetujuan untuk
melakukan persiapan pembukaan Kantor Cabang;
b. izin operasional Kantor Cabang, yaitu izin membuka Kantor Cabang setelah
persiapan sebagaimana dimaksud pada huruf a selesai dilakukan.
Pasal …
- 26 -
Pasal 40
BPR yang mengajukan permohonan persetujuan prinsip pembukaan Kantor
Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf a harus melampirkan
analisis potensi dan kelayakan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf e.
Pasal 41
(1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan persetujuan prinsip pembukaan Kantor Cabang paling lama 20
(dua puluh) hari kerja sejak permohonan berikut dokumen yang
dipersyaratkan diterima secara lengkap.
(2) Dalam rangka pemberian persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan:
a. penelitian atas pemenuhan persyaratan serta kelengkapan dan
kebenaran dokumen; dan
b. penilaian terhadap analisis potensi dan kelayakan pembukaan Kantor
Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40.
Pasal 42
(1) Persetujuan prinsip pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 39 huruf a berlaku selama 80 (delapan puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal surat persetujuan prinsip pembukaan Kantor
Cabang.
(2) Dalam hal BPR belum mengajukan permohonan izin operasional Kantor
Cabang kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), persetujuan prinsip pembukaan Kantor Cabang
batal dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 43
(1) BPR mengajukan permohonan untuk memperoleh izin operasional Kantor
Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf b dengan
melampirkan bukti kesiapan operasional dalam rangka pembukaan Kantor
Cabang.
(2) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin operasional Kantor Cabang paling lama 20 (dua puluh) hari
kerja …
- 27 -
kerja sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima
secara lengkap.
(3) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelitian atas
kesiapan operasional BPR untuk pembukaan Kantor Cabang.
Pasal 44
(1) BPR yang memperoleh izin operasional Kantor Cabang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 huruf b harus melakukan kegiatan usaha pada
Kantor Cabang dimaksud paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak
tanggal pemberian izin operasional.
(2) BPR wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pembukaan.
(3) Dalam hal BPR tidak melakukan kegiatan usaha Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), izin operasional Kantor Cabang yang
telah diberikan batal dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 45
(1) BPR hanya dapat melakukan pembukaan Kantor Kas dalam wilayah
kabupaten atau kota yang sama dengan kabupaten atau kota kantor induk
dari Kantor Kas.
(2) Dalam hal terjadi pemekaran wilayah yang menyebabkan Kantor Kas BPR
berada di wilayah kabupaten atau kota yang berbeda dengan kantor
induknya, BPR wajib menutup atau memindahkan Kantor Kas tersebut ke
dalam 1 (satu) wilayah kabupaten atau kota yang sama dengan kantor
induknya.
(3) Penutupan atau pemindahan Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan paling lama 1 (satu) tahun setelah terjadinya pemekaran
wilayah.
(4) BPR yang akan membuka Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. rencana pembukaan Kantor Kas telah dicantumkan dalam rencana kerja
tahunan BPR;
b. memiliki …
- 28 -
b. memiliki tingkat kesehatan paling rendah tergolong cukup sehat selama
12 (dua belas) bulan terakhir;
c. tidak dalam keadaan rugi dalam 1 (satu) tahun terakhir;
d. memiliki teknologi informasi yang memadai;
e. memenuhi kelengkapan organisasi dan infrastruktur pada Kantor Kas
yang akan dibuka; dan
f. tidak terdapat pelanggaran ketentuan terkait dengan BPR.
Pasal 46
(1) BPR wajib menyampaikan laporan rencana pembukaan Kantor Kas kepada
Otoritas Jasa Keuangan dengan melampirkan dokumen pendukung.
(2) Otoritas Jasa Keuangan memberikan penegasan terhadap rencana
pembukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja sejak menerima dokumen laporan rencana pembukaan
Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) BPR harus melaksanakan pembukaan Kantor Kas paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja sejak tanggal penegasan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Dalam hal BPR tidak melaksanakan pembukaan Kantor Kas dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penegasan pembukaan Kantor
Kas yang telah diberikan batal dan dinyatakan tidak berlaku.
(5) BPR wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pembukaan Kantor Kas
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pembukaan.
Pasal 47
(1) Kas Keliling dan Payment Point hanya dapat dilakukan dalam wilayah
kabupaten atau kota yang sama dengan kantor induk dari Kas Keliling dan
Payment Point.
(2) BPR wajib menyampaikan laporan Kas Keliling dan Payment Point
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan kegiatan.
Pasal …
- 29 -
Pasal 48
BPR wajib menggabungkan Laporan Keuangan Kantor Kas, Kas Keliling dan
Payment Point dengan Laporan Keuangan Kantor Pusat atau Kantor Cabang yang
menjadi kantor induknya pada hari yang sama.
Pasal 49
BPR wajib menyampaikan laporan rencana BPR dan/atau sebagian kantor BPR
untuk melakukan kegiatan operasional di luar hari kerja operasional dan pada
hari libur nasional kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja sebelum pelaksanaan kegiatan operasional.
BAB VII
KEGIATAN LAYANAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU AUTOMATED TELLER
MACHINE DAN/ATAU KARTU DEBET
Pasal 50
(1) Dalam hal BPR merencanakan melakukan kegiatan layanan dengan
menggunakan kartu ATM dan/atau kartu debet, BPR wajib mengajukan
permohonan izin sebagai penerbit kartu ATM dan/atau kartu debet kepada
Bank Indonesia setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) BPR mengajukan permohonan persetujuan kegiatan layanan dengan
menggunakan kartu ATM dan/atau kartu debet kepada Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan persyaratan sebagai
berikut:
a. rencana kegiatan layanan dengan menggunakan kartu ATM dan/atau
kartu debet telah tercantum dalam rencana kerja tahunan BPR;
b. memiliki tingkat kesehatan tergolong sehat selama 12 (dua belas) bulan
terakhir;
c. tidak dalam keadaan rugi dalam 1 (satu) tahun terakhir;
d. memiliki teknologi informasi yang memadai; dan
e. tidak terdapat pelanggaran ketentuan terkait dengan BPR.
(3) Kegiatan layanan dengan menggunakan kartu ATM dan/atau kartu debet
yang diselenggarakan dengan menggunakan PPE yang dikelola sendiri oleh
BPR hanya dapat dilakukan dalam wilayah provinsi yang sama dengan
provinsi kantor pusat BPR.
(4) BPR …
- 30 -
(4) BPR wajib melaporkan penggunaan PPE dan setiap penambahan PPE yang
dikelola sendiri oleh BPR kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Kegiatan layanan dengan menggunakan kartu ATM dan/atau kartu debet
dapat dilakukan sampai ke luar wilayah provinsi tempat kedudukan kantor
induk BPR melalui kerjasama dengan:
a. jaringan bersama ATM; dan/atau
b. bank umum.
(6) BPR wajib menyampaikan laporan kegiatan layanan dengan menggunakan
kartu ATM dan/atau kartu debet sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10
(sepuluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan kegiatan.
Pasal 51
BPR dilarang melakukan kegiatan sebagai acquirer.
Pasal 52
BPR wajib menggabungkan Laporan Keuangan kegiatan layanan dengan
menggunakan kartu ATM dan/atau kartu debet dengan Laporan Keuangan
Kantor Pusat atau Kantor Cabang yang menjadi kantor induknya pada hari yang
sama.
BAB VIII
PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR, LOKASI PERANGKAT AUTOMATED TELLER
MACHINE DAN AUTOMATED DEPOSIT MACHINE
Pasal 53
(1) BPR wajib memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk
melakukan pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang.
(2) Pemindahan alamat Kantor Cabang hanya dapat dilakukan dalam satu
wilayah provinsi yang sama dengan provinsi kantor pusat BPR.
(3) BPR yang melakukan pemindahan alamat kantor pusat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ke zona yang memiliki persyaratan modal disetor
pendirian BPR yang lebih tinggi dari zona kantor pusat BPR semula, harus
memenuhi persyaratan modal disetor pendirian BPR di zona kantor pusat
BPR yang baru.
Pasal …
- 31 -
Pasal 54
Pemberian izin pemindahan alamat kantor dilakukan dalam dua tahap:
a. persetujuan prinsip pemindahan alamat kantor, yaitu persetujuan untuk
melakukan persiapan pemindahan alamat kantor;
b. izin efektif pemindahan alamat kantor, yaitu izin pindah alamat kantor
setelah persiapan sebagaimana dimaksud pada huruf a selesai dilakukan.
Pasal 55
(1) Persetujuan prinsip pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 huruf a hanya diberlakukan bagi pemindahan alamat kantor
ke luar wilayah kabupaten, kota atau provinsi.
(2) BPR mengajukan permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip
pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
Otoritas Jasa Keuangan dengan dilampiri:
a. alasan pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang, dan
rencana penyelesaian atau pengalihan tagihan dan kewajiban;
b. analisis potensi dan kelayakan pemindahan alamat kantor pusat dan
Kantor Cabang sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 huruf e; dan
c. akta perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh instansi yang
berwenang dalam hal dilakukan pemindahan alamat kantor pusat BPR.
Pasal 56
(1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan persetujuan prinsip pemindahan alamat kantor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja
sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara
lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a; dan
b. penilaian terhadap analisis potensi dan kelayakan pemindahan alamat
kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf b.
Pasal …
- 32 -
Pasal 57
(1) Persetujuan prinsip pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 huruf a berlaku untuk jangka waktu 120 (seratus dua
puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip diberikan oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) BPR dilarang melakukan pemindahan alamat kantor sebelum mendapat izin
efektif pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54
huruf b.
(3) Dalam hal BPR belum mengajukan permohonan izin efektif pemindahan
alamat kantor dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
persetujuan prinsip pemindahan alamat kantor yang telah diberikan batal
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 58
BPR wajib mengumumkan dalam surat kabar harian lokal atau pada papan
pengumuman di seluruh kantor BPR yang bersangkutan mengenai rencana
pemindahan alamat kantor, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sebelum
mengajukan permohonan izin efektif pemindahan alamat kantor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 huruf b kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 59
BPR mengajukan permohonan izin efektif pemindahan alamat kantor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf b kepada Otoritas Jasa Keuangan
dengan dilampiri:
a. bukti pengumuman kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
58 dan bukti kesiapan kantor termasuk sarananya, bagi BPR yang akan
melakukan pemindahan alamat kantor keluar wilayah kabupaten, kota, atau
provinsi;
b. bukti pengumuman kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
58, alasan pemindahan alamat kantor, rencana penyelesaian atau pengalihan
tagihan dan kewajiban serta bukti kesiapan kantor termasuk sarananya, bagi
BPR yang akan melakukan pemindahan alamat kantor dalam satu kabupaten
atau kota.
Pasal …
- 33 -
Pasal 60
(1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
izin efektif pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59, Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelitian atas kelengkapan dan
kebenaran dokumen, termasuk melakukan pemeriksaan apabila diperlukan.
(2) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin efektif pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling lama:
a. 20 (dua puluh) hari kerja bagi BPR yang akan melakukan pemindahan
alamat kantor dalam 1 (satu) kabupaten atau kota; atau
b. 40 (empat puluh) hari kerja bagi BPR yang akan melakukan pemindahan
alamat kantor keluar wilayah kabupaten, kota, atau provinsi,
sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara
lengkap.
(3) BPR melaksanakan pemindahan alamat kantor paling lama 20 (dua puluh)
hari kerja sejak tanggal surat izin efektif pemindahan alamat kantor dari
Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Dalam hal BPR tidak melaksanakan pemindahan alamat kantor dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), izin efektif pemindahan
alamat kantor yang telah diberikan batal dan dinyatakan tidak berlaku.
(5) BPR wajib menyampaikan laporan pemindahan alamat kantor kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal
pelaksanaan pemindahan alamat kantor.
Pasal 61
(1) BPR wajib menyampaikan laporan rencana pemindahan alamat Kantor Kas
kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menjelaskan alasan pemindahan
dan kesiapan Kantor Kas.
(2) Pemindahan alamat Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan setelah BPR memperoleh surat penegasan dari Otoritas
Jasa Keuangan.
(3) Otoritas Jasa Keuangan memberikan penegasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak Otoritas Jasa
Keuangan menerima laporan pemindahan alamat Kantor Kas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) BPR …
- 34 -
(4) BPR wajib menyampaikan laporan pemindahan alamat Kantor Kas kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal
pelaksanaan pemindahan.
Pasal 62
BPR wajib menyampaikan laporan pemindahan Payment Point dan lokasi
perangkat ATM dan/atau ADM kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10
(sepuluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan pemindahan.
BAB IX
PERUBAHAN NAMA DAN BENTUK BADAN HUKUM
Pasal 63
(1) Perubahan nama BPR harus memenuhi ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) BPR yang telah memperoleh persetujuan perubahan anggaran dasar terkait
penggunaan nama baru dari instansi yang berwenang wajib mengajukan
permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai penetapan
penggunaan izin usaha BPR dengan nama baru.
(3) BPR mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak persetujuan perubahan anggaran dasar
terkait dengan penggunaan nama baru dari instansi yang berwenang disertai
dengan:
a. alasan perubahan nama;
b. akta perubahan anggaran dasar; dan
c. bukti persetujuan atas perubahan anggaran dasar dari instansi yang
berwenang.
(4) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan penetapan penggunaan
izin usaha BPR dengan nama baru sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak dokumen permohonan diterima
secara lengkap.
(5) BPR wajib mengumumkan perubahan nama kepada masyarakat dalam
surat kabar harian lokal atau pada papan pengumuman di seluruh kantor
BPR yang bersangkutan, paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal
persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(6) BPR …
- 35 -
(6) BPR wajib menyampaikan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) kepada Otoritas Jasa Keuangan, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
sejak tanggal pengumuman.
Pasal 64
(1) BPR dapat melakukan perubahan bentuk badan hukum dengan memenuhi
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) BPR wajib mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk
melakukan perubahan bentuk badan hukum.
(3) Pemberian persetujuan perubahan bentuk badan hukum BPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam dua tahap:
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan
perubahan bentuk badan hukum BPR;
b. persetujuan pengalihan izin usaha, yaitu Surat Keputusan yang
diberikan untuk mengalihkan izin usaha dari badan hukum lama kepada
badan hukum baru.
Pasal 65
(1) BPR mengajukan permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip
perubahan bentuk badan hukum BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal
64 ayat (3) huruf a kepada Otoritas Jasa Keuangan, dengan dilampiri:
a. notulen RUPS yang menyetujui perubahan bentuk badan hukum dan
pembubaran badan hukum lama;
b. alasan perubahan bentuk badan hukum BPR;
c. rancangan akta pendirian badan hukum baru yang memuat Anggaran
Dasar;
d. rencana pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama
kepada badan hukum baru;
e. data kepemilikan disertai dengan dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf b; dan
f. daftar calon anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris disertai
dengan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
huruf c.
(2) Otoritas …
- 36 -
(2) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan berikut dokumen
yang dipersyaratkan diterima secara lengkap.
(3) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) Otoritas Jasa Keuangan melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. penilaian terhadap calon PSP, calon anggota Direksi dan/atau anggota
Dewan Komisaris sesuai ketentuan mengenai uji kemampuan dan
kepatutan BPR, dalam hal terjadi penggantian atau perubahan.
(4) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama
120 (seratus dua puluh) hari kerja sejak tanggal persetujuan.
(5) Dalam hal BPR tidak mengajukan permohonan pengalihan izin usaha dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), persetujuan prinsip
yang telah diberikan batal dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 66
(1) BPR mengajukan permohonan untuk mengalihkan izin usaha BPR dari
badan hukum lama kepada badan hukum baru sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 64 ayat (3) huruf b kepada Otoritas Jasa Keuangan, dengan
dilampiri:
a. akta pendirian badan hukum baru yang memuat anggaran dasar yang
telah disahkan oleh instansi berwenang;
b. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b, dalam
hal terjadi perubahan;
c. daftar anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf c, dalam hal terjadi penggantian;
d. akta berita acara yang dinotariilkan mengenai pengalihan seluruh hak
dan kewajiban dari badan hukum lama kepada badan hukum baru; dan
e. risalah RUPS badan hukum lama yang menyetujui perubahan bentuk
badan hukum dan pembubaran badan hukum lama.
(2) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan pengalihan izin usaha dari badan hukum lama kepada badan
hukum baru paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan
beserta dokumen pendukung diterima secara lengkap.
(3) Dalam …
- 37 -
(3) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. penilaian terhadap calon anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris dan/atau PSP sesuai ketentuan mengenai uji kemampuan dan
kepatutan BPR, dalam hal terjadi penggantian atau perubahan.
Pasal 67
(1) Pembubaran badan hukum lama hanya dapat dilakukan setelah:
a. Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan pengalihan izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) huruf b; dan
b. pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama kepada
badan hukum baru telah dilaksanakan sesuai dengan akta berita acara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf d.
(2) BPR wajib mengumumkan perubahan bentuk badan hukum BPR kepada
masyarakat dalam surat kabar harian lokal atau pada papan pengumuman
di seluruh kantor BPR yang bersangkutan, paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja sejak tanggal pemberian persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) BPR wajib menyampaikan bukti pengumuman perubahan bentuk badan
hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pengumuman.
BAB X
PENUTUPAN KANTOR
Pasal 68
(1) BPR wajib memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk
melakukan penutupan Kantor Cabang.
(2) BPR mengajukan permohonan untuk memperoleh persetujuan penutupan
Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa
Keuangan disertai dengan alasan penutupan dan dokumen penyelesaian
seluruh kewajiban kepada nasabah serta pihak-pihak lain.
(3) Otoritas …
- 38 -
(3) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah:
a. permohonan beserta dokumen pendukung diterima secara lengkap; dan
b. seluruh kewajiban telah diselesaikan berdasarkan hasil pemeriksaan.
(4) Dengan pemberian persetujuan penutupan Kantor Cabang sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), izin operasional Kantor Cabang dimaksud
dinyatakan tidak berlaku.
(5) BPR wajib mengumumkan penutupan Kantor Cabang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat dalam surat kabar harian lokal
atau pada papan pengumuman di seluruh kantor BPR yang bersangkutan,
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal persetujuan dari Otoritas
Jasa Keuangan.
(6) BPR wajib melaksanakan penutupan Kantor Cabang paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja sejak tanggal persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(7) BPR wajib menyampaikan laporan pelaksanaan penutupan Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan penutupan, disertai
dengan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Pasal 69
(1) BPR wajib menyampakan laporan rencana penutupan Kantor Kas dan
Kegiatan Pelayanan Kas kepada Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan
alasan penutupan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sebelum
pelaksanaan.
(2) BPR wajib mengumumkan rencana penutupan Kantor Kas dan Kegiatan
Pelayanan Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat
dalam surat kabar harian lokal atau pada papan pengumuman di seluruh
kantor BPR yang bersangkutan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sebelum
pelaksanaan penutupan.
(3) BPR wajib menyampaikan laporan pelaksanaan penutupan Kantor Kas dan
Kegiatan Pelayanan Kas BPR kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama
10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal penutupan disertai dengan bukti
pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal …
- 39 -
Pasal 70
(1) BPR dapat melakukan penutupan sementara kantor BPR di luar hari libur
resmi dengan alasan tertentu.
(2) Penutupan kantor sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling banyak 5 (lima) hari kerja dalam kurun waktu 1 (satu)
tahun takwim.
(3) BPR menyampaikan laporan rencana penutupan sementara kantor BPR di
luar hari libur resmi kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 5 (lima)
hari kerja sebelum pelaksanaan penutupan sementara.
(4) BPR wajib mengumumkan tanggal penutupan kantor sementara kepada
masyarakat dalam surat kabar harian lokal atau pada papan pengumuman
di seluruh kantor BPR yang bersangkutan paling lama 5 (lima) hari kerja
sebelum tanggal penutupan.
(5) BPR wajib menyampaikan bukti pengumuman penutupan kantor sementara
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal
pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) BPR wajib menyampaikan laporan pembukaan kembali kantor paling lama
5 (lima) hari kerja sejak tanggal pembukaan.
BAB XI
PERUBAHAN KEGIATAN USAHA
Pasal 71
(1) BPR dapat mengubah kegiatan usahanya menjadi BPRS dengan izin Dewan
Komisioner Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Ketentuan mengenai pemberian izin perubahan kegiatan usaha dari BPR
menjadi BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tunduk pada ketentuan
mengenai perubahan kegiatan usaha BPR menjadi BPRS.
BAB XII
PENCABUTAN IZIN USAHA ATAS PERMINTAAN PEMEGANG SAHAM
Pasal 72
Otoritas Jasa Keuangan berwenang mencabut izin usaha BPR atas permintaan
pemegang saham BPR.
Pasal …
- 40 -
Pasal 73
Pemegang saham BPR dapat mengajukan permintaan pencabutan izin usaha BPR
sepanjang BPR dimaksud tidak sedang ditempatkan dalam pengawasan khusus
oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai
tindak lanjut penanganan terhadap BPR dalam status pengawasan khusus.
Pasal 74
Otoritas Jasa Keuangan melakukan pencabutan izin usaha BPR atas permintaan
pemegang saham BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 apabila BPR telah
menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada nasabah dan kreditur lainnya.
Pasal 75
Pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham BPR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 74 dilakukan dalam 2 (dua) tahap:
a. persetujuan persiapan pencabutan izin usaha;
b. keputusan pencabutan izin usaha.
Pasal 76
Direksi BPR mengajukan permohonan persetujuan persiapan pencabutan izin
usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf a kepada Dewan Komisioner
Otoritas Jasa Keuangan dengan melampirkan:
a. risalah RUPS mengenai rencana pencabutan izin usaha atas permintaan
pemegang saham BPR;
b. alasan pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham BPR;
c. rencana penyelesaian seluruh kewajiban BPR kepada nasabah, kreditur,
karyawan, dan pihak-pihak lainnya;
d. laporan keuangan terakhir; dan
e. bukti penyelesaian pajak dan kewajiban lainnya kepada negara.
Pasal 77
Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelitian terhadap dokumen yang
disampaikan dalam permohonan persetujuan persiapan pencabutan izin usaha
yang diajukan oleh Direksi BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76.
Pasal …
- 41 -
Pasal 78
(1) Berdasarkan hasil penelitian terhadap permohonan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76, Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan surat persetujuan
persiapan pencabutan izin usaha BPR dan mewajibkan BPR untuk:
a. menghentikan seluruh kegiatan usaha BPR;
b. mengumumkan rencana pembubaran badan hukum BPR dan rencana
penyelesaian kewajiban BPR dalam surat kabar harian yang mempunyai
peredaran luas paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal surat
persetujuan persiapan pencabutan izin usaha BPR;
c. menyelesaikan seluruh kewajiban BPR dalam jangka waktu paling lama
3 (tiga) bulan sejak tanggal surat persetujuan persiapan pencabutan izin
usaha BPR; dan
d. menunjuk kantor akuntan publik untuk menyusun neraca akhir
termasuk melakukan verifikasi untuk memastikan penyelesaian seluruh
kewajiban BPR.
(2) Dalam hal BPR tidak dapat menyelesaikan seluruh kewajiban dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, BPR harus melakukan
langkah-langkah sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 79
Direksi BPR mengajukan permohonan pencabutan izin usaha BPR kepada
Otoritas Jasa Keuangan setelah seluruh kewajiban BPR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76 huruf c diselesaikan, disertai dengan laporan yang paling sedikit
memuat:
a. pelaksanaan penghentian kegiatan usaha BPR;
b. pelaksanaan pengumuman;
c. pelaksanaan penyelesaian kewajiban BPR;
d. neraca akhir BPR; dan
e. surat pernyataan dari pemegang saham BPR.
Pasal 80
Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelitian terhadap permohonan pencabutan
izin usaha yang diajukan oleh Direksi BPR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 79.
Pasal …
- 42 -
Pasal 81
(1) Berdasarkan hasil penelitian terhadap dokumen permohonan pencabutan
izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Otoritas Jasa Keuangan
menerbitkan Surat Keputusan Pencabutan Izin Usaha BPR dan
memerintahkan BPR untuk melakukan pembubaran badan hukum dan
mengumumkan berakhirnya atau bubarnya badan hukum sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Sejak tanggal pencabutan izin usaha diterbitkan, apabila di kemudian hari
muncul kewajiban yang belum diselesaikan, pemegang saham BPR
bertanggung jawab atas segala kewajiban BPR.
Pasal 82
Status badan hukum BPR berakhir atau bubar sejak tanggal pengumuman
berakhirnya atau bubarnya badan hukum BPR dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
BAB XIII
PELANGGARAN TERHADAP KEWAJIBAN PELAPORAN
Pasal 83
(1) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan:
a. Laporan:
1. pelaksanaan kegiatan usaha dalam Pasal 13 ayat (2;)
2. keuangan tahunan dalam Pasal 16 ayat (4);
3. penambahan modal disetor dalam Pasal 20 ayat (9) dan ayat (10);
4. perubahan kepemilikan saham yang telah disetujui RUPS dalam
Pasal 21 ayat (6);
5. perubahan kepemilikan saham yang telah disahkan instansi yang
berwenang dalam Pasal 21 ayat (7);
6. perubahan komposisi kepemilikan saham yang tidak mengakibatkan
penggantian dan/atau penambahan PSP dalam Pasal 22 ayat (1);
7. pelaksanaan perubahan komposisi kepemilikan saham dalam Pasal
22 ayat (2);
8. perubahan modal dasar dalam Pasal 23 ayat (1);
9. pengangkatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris
dalam Pasal 31 ayat (8);
10. Pasal …
- 43 -
10. pengunduran diri anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris dalam Pasal 32 ayat (1);
11. pemberhentian anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris
dalam Pasal 32 ayat (2);
12. anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris yang meninggal
dunia dalam Pasal 32 ayat (3);
13. pengangkatan kembali anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris
dalam Pasal 34 ayat (2);
14. Pejabat Eksekutif dalam Pasal 35 ayat (2);
15. pemberhentian Pejabat Eksekutif dalam Pasal 36 ayat (5);
16. pembukaan Kantor Cabang dalam Pasal 44 ayat (2);
17. pelaksanaan pembukaan Kantor Kas dalam Pasal 46 ayat (5);
18. Kas Keliling dan Payment Point dalam Pasal 47 ayat (2);
19. rencana BPR dan/atau sebagian kantor BPR untuk melakukan
kegiatan operasional di luar hari kerja operasional dan pada hari
libur nasional dalam Pasal 49;
20. kegiatan layanan dengan menggunakan kartu ATM dan/atau kartu
debet dalam Pasal 50 ayat (6);
21. rencana pemindahan alamat kantor BPR dalam Pasal 58;
22. pemindahan alamat kantor dalam Pasal 60 ayat (5);
23. rencana pemindahan alamat Kantor Kas dalam Pasal 61 ayat (1);
24. pemindahan alamat Kantor Kas dalam Pasal 61 ayat (4);
25. pemindahan Payment Point dan lokasi perangkat ATM dan/atau ADM
dalam Pasal 62;
26. pelaksanaan penutupan Kantor Cabang dalam Pasal 68 ayat (7);
27. rencana penutupan Kantor Kas dan Kegiatan Pelayanan Kas dalam
Pasal 69 ayat (1);
28. pelaksanaan penutupan Kantor Kas dan Kegiatan Pelayanan Kas BPR
dalam Pasal 69 ayat (3);
29. rencana penutupan sementara kantor BPR di luar hari libur resmi
dalam Pasal 70 ayat (3);
30. pembukaan kembali kantor dalam Pasal 70 ayat (6),
b. bukti …
- 44 -
b. bukti pengumuman:
1. pelaksanaan perubahan nama dalam Pasal 63 ayat (6);
2. perubahan bentuk badan hukum dalam Pasal 67 ayat (3);
3. penutupan kantor sementara dalam Pasal 70 ayat (5),
apabila laporan atau bukti pengumuman diterima oleh Otoritas Jasa
Keuangan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah batas waktu
penyampaian laporan atau bukti pengumuman.
(2) BPR dinyatakan tidak menyampaikan laporan atau bukti pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), Pasal 16 ayat (4), Pasal 20
ayat (9) dan ayat (10), Pasal 21 ayat (6) dan ayat (7), Pasal 22, Pasal 23
ayat (1), Pasal 31 ayat (8), Pasal 32 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 34
ayat (2), Pasal 35 ayat (2), Pasal 36 ayat (5), Pasal 44 ayat (2), Pasal 46
ayat (5), Pasal 47 ayat (2), Pasal 49, Pasal 50 ayat (6), Pasal 58, Pasal 60
ayat (5), Pasal 61 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 62, Pasal 63 ayat (6), Pasal 67
ayat (3), Pasal 68 ayat (7), Pasal 69 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 70 ayat (3),
ayat (5), dan ayat (6), apabila laporan atau bukti pengumuman tidak
diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan setelah batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) BPR yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan atau bukti
pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap harus
menyampaikan laporan atau bukti pengumuman sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
BAB XIV
SANKSI
Pasal 84
BPR yang melanggar ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4), Pasal 13 ayat (1),
Pasal 14, Pasal 16 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 21 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal
25 ayat (3), Pasal 27 ayat (4), Pasal 28 ayat (3), ayat (9), dan ayat (10), Pasal 29
ayat (2), Pasal 30, Pasal 31 ayat (1), Pasal 35 ayat (1), Pasal 37 ayat (1) dan ayat
(5), Pasal 38 ayat (1), Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 46 ayat (1), Pasal 47
ayat (1), Pasal 48, Pasal 50 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 51, Pasal 52,
Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 57 ayat (2), Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 63 ayat (2) dan ayat (5), Pasal 64 ayat (2), Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 68 ayat (1), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 69 ayat (2), Pasal 70 ayat (2) dan
ayat (4), dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran …
- 45 -
a. teguran tertulis; dan/atau
b. penurunan Tingkat Kesehatan BPR satu predikat.
Pasal 85
(1) BPR yang melanggar ketentuan penyampaian laporan atau bukti
pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), Pasal 16
ayat (4), Pasal 20 ayat (9) dan ayat (10), Pasal 21 ayat (6) dan ayat (7),
Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 23 ayat (1), Pasal 31 ayat (8), Pasal 32
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 34 ayat (2), Pasal 35 ayat (2), Pasal 36
ayat (5), Pasal 44 ayat (2), Pasal 46 ayat (5), Pasal 47 ayat (2), Pasal 49,
Pasal 50 ayat (6), Pasal 58, Pasal 60 ayat (5), Pasal 61 ayat (4), Pasal 62,
Pasal 63 ayat (6), Pasal 67 ayat (3), Pasal 68 ayat (7), Pasal 69 ayat (1) dan
ayat (3), Pasal 70 ayat (5) dan ayat (6), dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu
rupiah) per hari keterlambatan dengan jumlah paling banyak sebesar
Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(2) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan atau bukti pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(3) Dalam hal BPR dikenakan sanksi kewajiban membayar karena dinyatakan
tidak menyampaikan laporan atau bukti pengumuman, sanksi kewajiban
membayar karena terlambat menyampaikan laporan atau bukti pengumuman
tidak diberlakukan.
Pasal 86
BPR yang melanggar ketentuan kewajiban memiliki 1 (satu) pemegang saham
dengan persentase kepemilikan saham sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima
perseratus) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan BPR satu predikat;
c. penundaan hak menerima dividen bagi pemegang saham;
d. penghentian sementara sebagian kegiatan operasional BPR; dan/atau
e. larangan pembukaan jaringan kantor dan kegiatan Pedagang Valuta Asing
(PVA).
Pasal …
- 46 -
Pasal 87
Dalam hal pemegang saham melanggar ketentuan mengenai larangan penarikan
kembali modal yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, BPR
dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan predikat tingkat kesehatan BPR menjadi tidak sehat; dan/atau
c. penghentian sementara sebagian kegiatan operasional BPR.
Pasal 88
BPR yang melanggar ketentuan mengenai jumlah dan struktur anggota Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), kewajiban anggota Direksi
memiliki sertifikat kelulusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, jumlah dan
struktur anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (1), kewajiban anggota Dewan Komisaris memiliki sertifikat kelulusan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5), dan mengenai jangka waktu
pemenuhan jumlah minimum anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan BPR satu predikat;
c. larangan pembukaan jaringan kantor dan kegiatan Pedagang Valuta Asing
(PVA); dan/atau
d. penghentian sementara sebagian kegiatan operasional BPR.
Pasal 89
Dalam hal anggota Direksi BPR melanggar ketentuan mengenai:
a. larangan memiliki hubungan keluarga atau semenda sampai dengan derajat
kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1);
b. larangan baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama memiliki saham
sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) maupun lebih dari modal disetor
pada Bank dan/atau menjadi pemegang saham mayoritas di lembaga jasa
keuangan non Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2); atau
c. larangan …
- 47 -
c. larangan merangkap jabatan pada Bank, perusahaan non Bank dan/atau
lembaga lain kecuali sebagai pengurus asosiasi industri BPR dan/atau
lembaga pendidikan dalam rangka peningkatan kompetensi SDM BPR
sepanjang tidak mengganggu pelaksanaan tugas sebagai Direksi BPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3);
BPR dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan predikat tingkat kesehatan BPR menjadi tidak sehat;
c. larangan pembukaan jaringan kantor dan kegiatan Pedagang Valuta Asing
(PVA); dan/atau
d. penghentian sementara sebagian kegiatan operasional BPR.
Pasal 90
Dalam hal anggota Dewan Komisaris BPR melanggar ketentuan mengenai:
a. larangan merangkap jabatan sebagai anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif
pada BPR, BPRS, dan/atau Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (8); atau
b. larangan memiliki hubungan keluarga atau semenda sampai dengan derajat
kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1),
BPR dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan predikat tingkat kesehatan BPR menjadi tidak sehat;
c. larangan pembukaan jaringan kantor dan kegiatan Pedagang Valuta Asing
(PVA); dan/atau
d. penghentian sementara sebagian kegiatan operasional BPR.
Pasal 91
BPR yang melanggar ketentuan mengenai kewajiban untuk memberhentikan
Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) dan ayat (4)
dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan/atau
b. penurunan predikat tingkat kesehatan BPR menjadi tidak sehat.
BAB …
- 48 -
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 92
(1) Persetujuan prinsip pendirian BPR dan/atau pembukaan Kantor Cabang
BPR yang telah diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dinyatakan tetap berlaku.
(2) Pihak yang telah memperoleh persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat mengajukan izin usaha pendirian BPR dan/atau izin
operasional Kantor Cabang BPR yang disertai dokumen yang lengkap
dengan mengacu pada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/26/PBI/2006 tentang Bank Perkreditan Rakyat sampai dengan tanggal
31 Desember 2014.
(3) Permohonan persetujuan prinsip untuk pendirian BPR dan/atau
pembukaan Kantor Cabang BPR yang telah diajukan kepada Otoritas Jasa
Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
namun belum memperoleh persetujuan atau penolakan, wajib memenuhi
ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(4) Permohonan pembukaan kantor kas dan permohonan kegiatan layanan
dengan menggunakan PPE antara lain berupa ATM, ADM, dan EDC,
pemindahan alamat kantor dan lokasi perangkat ATM dan/atau ADM,
perubahan nama dan bentuk badan hukum serta penutupan kantor yang
telah diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, namun belum mendapat persetujuan
atau penolakan, wajib memenuhi ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Pasal 93
BPR yang belum memiliki paling sedikit 1 (satu) pemegang saham dengan
persentase kepemillikan saham paling sedikit 25% (dua puluh lima perseratus)
pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, harus
menyesuaikan kepemilikan saham berdasarkan ketentuan dalam Pasal 15 paling
lambat pada tanggal 31 Desember 2017.
Pasal …
- 49 -
Pasal 94
BPR yang belum memenuhi ketentuan mengenai tempat tinggal anggota Direksi
pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, harus
menyesuaikan tempat tinggal anggota Direksi berdasarkan ketentuan dalam
Pasal 25 ayat (3) paling lambat pada tanggal 31 Desember 2017.
Pasal 95
Dalam hal anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris merangkap jabatan
dan/atau memiliki hubungan keluarga atau semenda sampai dengan derajat
kedua pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, BPR harus
menyesuaikan komposisi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris
berdasarkan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (8),
dan Pasal 29 ayat (1) paling lambat pada tanggal 31 Desember 2017.
Pasal 96
Anggota Direksi yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama masih memiliki
saham BPR sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih pada saat
berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, harus melakukan penyesuaian
berdasarkan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (2) paling lambat pada tanggal 31
Desember 2017.
Pasal 97
BPR yang memiliki jumlah anggota Dewan Komisaris melebihi jumlah anggota
Direksi pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, harus menyesuaikan jumlah anggota Dewan Komisaris berdasarkan
ketentuan dalam Pasal 28 ayat (1) paling lambat pada tanggal 31 Desember 2016.
Pasal 98
BPR yang belum memenuhi ketentuan mengenai tempat tinggal anggota Dewan
Komisaris pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, harus
menyesuaikan tempat tinggal anggota Dewan Komisaris berdasarkan ketentuan
dalam Pasal 28 ayat (3) paling lambat pada tanggal 31 Desember 2017.
Pasal …
- 50 -
Pasal 99
Anggota Dewan Komisaris yang belum memiliki sertifikat kelulusan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5) pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini, harus memiliki sertifikat kelulusan paling lambat pada tanggal 31
Desember 2017.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 100
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dengan
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 101
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, semua peraturan
yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/26/PBI/2006 tentang Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4656), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 102
Ketentuan yang mengatur mengenai pencabutan izin usaha atas permintaan
pemegang saham sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No.32/54/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Pencabutan Izin
Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank Perkreditan Rakyat dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 103
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/26/PBI/2006 tanggal 8 November 2006 tentang Bank
Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 87,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4656), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku mulai pada tanggal 1 Januari 2015.
Pasal …
Pasal 104
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
1 Januari 2015.
Agar sctiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditctapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 November 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 19 November 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum I
Departemen Hukum,
Tini Kustini
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 351
End of Page 51
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 20/POJK.03/2014
TENTANG
BANK PERKREDITAN RAKYAT
I. UMUM
Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan mendukung
perkembangan usaha yang bersifat dinamis, diperlukan perbankan nasional yang
tangguh, termasuk industri Bank Perkreditan Rakyat yang sehat, kuat, produktif,
dan memiliki daya saing agar mampu melayani masyarakat, terutama usaha
mikro dan kecil.
Sejalan dengan visi perbankan nasional untuk mencapai sistem perbankan
yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan,
kelembagaan industri Bank Perkreditan Rakyat perlu diperkuat, antara lain pada
aspek permodalan, penataan struktur kepemilikan, serta peningkatan
kompetensi dan kualitas anggota dan calon anggota Direksi dan Dewan
Komisaris.
Selain itu, dalam rangka meningkatkan fungsi intermediasi Bank
Perkreditan Rakyat melalui perluasan jaringan kantor, ketentuan pembukaan
Kantor Cabang perlu direlaksasi dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-
hatian berupa kemampuan permodalan serta analisis dan potensi kelayakan
usaha.
Lingkup pengaturan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini adalah BPR
yang berbadan hukum Perseroan Terbatas, Koperasi, dan Perusahaan Daerah.
Sementara BPR yang berbadan hukum selain tersebut di atas seperti Badan
Kredit Desa sebagaimana diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 akan diatur secara tersendiri.
II. PASAL …
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Suatu usaha atau entitas digolongkan sebagai badan hukum
Indonesia apabila entitas tersebut dinyatakan atau ditetapkan
sebagai badan hukum Indonesia oleh Undang-Undang.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “telah beroperasi” adalah badan hukum
dimaksud telah melakukan kegiatan usaha sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “modal disetor” bagi BPR yang berbentuk
badan hukum Koperasi adalah simpanan pokok dan simpanan wajib
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Perkoperasian.
Ayat (2)
Penetapan jumlah modal disetor yang lebih tinggi didasarkan pada
pertimbangan antara lain kelangsungan pengembangan kegiatan
usaha BPR ke depan, sehingga dapat beroperasi secara
berkesinambungan. Namun penetapan jumlah modal disetor yang
lebih …
- 3 -
lebih tinggi tersebut tidak melampaui jumlah modal disetor minimum
pada zona yang setingkat lebih tinggi.
Ayat (3)
Zona 1 menunjukan zona dengan potensi ekonomi lebih tinggi dan
persaingan lembaga keuangan lebih ketat. Sedangkan zona 4
menunjukan zona dengan potensi ekonomi lebih rendah dan
persaingan lembaga keuangan lebih longgar.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “modal kerja” adalah seluruh aset lancar
antara lain kas, kredit yang diberikan, penempatan dana antar bank,
dan surat berharga, namun tidak termasuk biaya dalam rangka
pendirian dan pra operasional BPR.
Pasal 6
Ayat (1)
Contoh penulisan keterangan atas setoran modal pada bilyet deposito
adalah “Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan q.q. Sdr. ‘A’
dengan keterangan untuk pendirian PT BPR ‘XZY’’ dan pencairannya
hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan tertulis
dari Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf …
- 4 -
Huruf d
“Struktur organisasi dan jumlah personalia” antara lain meliputi
bagan organisasi, garis tanggung jawab horizontal dan vertikal, serta
tingkatan jabatan paling rendah sampai dengan Pejabat Eksekutif.
Huruf e
“Analisis potensi dan kelayakan pendirian BPR” termasuk rencana
bisnis yang merupakan rencana kegiatan usaha BPR yang memuat
paling sedikit:
1. rencana penghimpunan dan penyaluran dana serta strategi
pencapaiannya; dan
2. proyeksi neraca bulanan dan laporan laba rugi kumulatif bulanan
selama 12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak BPR melakukan
kegiatan operasional.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Surat pernyataan dari calon pemegang saham bagi BPR yang
berbadan hukum Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, atau
Koperasi, dibuat dan disampaikan oleh pihak yang mempunyai
wewenang untuk mewakili badan hukum yang bersangkutan.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Hal-hal yang harus dijelaskan dalam presentasi oleh pihak-pihak
yang mengajukan permohonan pendirian BPR kepada Otoritas Jasa
Keuangan antara lain:
a. tujuan …
- 5 -
a. tujuan dan alasan pendirian BPR;
b. target pasar penghimpunan dan penyaluran dana;
c. jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang;
d. sistem teknologi dan informasi; dan
e. struktur organisasi dan personalia.
Pasal 10
Ayat (1)
Contoh: persetujuan prinsip diberikan pada tanggal 1 April 2015,
jangka waktu persetujuan prinsip berakhir pada tanggal 31 Maret
2016.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 11
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Angka 1
Yang dimaksud dengan “aset tetap dan inventaris” adalah aset
berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau
dibangun lebih dahulu, yang digunakan dalam kegiatan
operasional dan tidak dimaksudkan untuk dijual.
Daftar …
- 6 -
Daftar “aset tetap dan inventaris” disertai dengan harga
perolehan.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
“Penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen”
yang pemohon dan informasi terkini antara lain dari Daftar
Tidak Lulus dan Daftar Kredit Macet mengenai Pemegang
Saham Pengendali, anggota Direksi, dan anggota Dewan
Komisaris.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal …
- 7 -
Pasal 14
Bentuk badan hukum dan kata “Bank Perkreditan Rakyat” atau “BPR”
dicantumkan secara jelas, antara lain pada papan nama, kop surat, sarana
publikasi yang digunakan, buku tabungan, bilyet deposito, dan warkat
pembukuan.
Contoh: PT Bank Perkreditan Rakyat XYZ, atau PT BPR XYZ.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”modal sendiri bersih” bagi:
a. badan hukum Perseroan Terbatas atau Perusahaan
Daerah adalah penjumlahan dari modal disetor, cadangan
dan laba, dikurangi penyertaan dan kerugian;
b. badan hukum Koperasi adalah penjumlahan dari
simpanan pokok, simpanan wajib, dana cadangan dan
hibah dikurangi penyertaan dan kerugian.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “ketentuan Otoritas Jasa Keuangan” antara
lain ketentuan yang mengatur mengenai uji kemampuan dan
kepatutan …
- 8 -
kepatutan BPR, dan ketentuan mengenai merger, konsolidasi, dan
akuisisi.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
“Memiliki akhlak dan moral yang baik”, antara lain dengan
mematuhi ketentuan yang berlaku, termasuk tidak pernah
dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana tertentu
dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum
dicalonkan. Yang dimaksud dengan tindak pidana tertentu
adalah tindak pidana asal yang disebut dalam undang-undang
mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat …
- 9 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “dividen bagi BPR” yang berbentuk badan
koperasi adalah sisa hasil usaha yang dibagikan kepada anggota.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Dalam hal perubahan kepemilikan saham mengakibatkan terjadinya
perubahan PSP, tunduk pada tata cara penggantian dan/atau
penambahan pemilik BPR yang diatur dalam ketentuan mengenai
merger, konsolidasi, dan akuisisi serta uji kemampuan dan kepatutan
BPR.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat …
- 10 -
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Dalam hal “BPR menerima surat persetujuan perubahan anggaran
dasar dari instansi yang berwenang” melalui notaris, laporan
perubahan modal dasar dilampiri tanda terima surat persetujuan
perubahan dari notaris.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pengetahuan di bidang perbankan”
antara lain meliputi pengetahuan tentang peraturan dan
operasional BPR.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pengalaman dan keahlian di bidang
perbankan dan/atau lembaga jasa keuangan non perbankan”
antara lain pengalaman dan keahlian di bidang operasional,
pemasaran …
- 11 -
pemasaran, pembukuan, pendanaan, perkreditan, atau
hukum perbankan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kemampuan untuk melakukan
pengelolaan strategis” antara lain kemampuan untuk
menganalisis perkembangan perekonomian, kemampuan
menggali potensi perbankan daerah, menginterpretasikan visi,
misi BPR, dan analisis situasi industri perbankan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “mayoritas” adalah lebih dari 50% (lima
puluh perseratus) dari seluruh jumlah anggota Direksi.
Yang dimaksud dengan “hubungan keluarga atau semenda sampai
dengan derajat kedua” adalah hubungan baik vertikal maupun
horizontal termasuk mertua, menantu, dan ipar, meliputi:
a. orang tua kandung/tiri/angkat;
b. saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istrinya;
c. anak kandung/tiri/angkat;
d. kakek/nenek kandung/tiri/angkat;
e. cucu kandung/tiri/angkat;
f. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta suami atau
istrinya;
g. suami/istri;
h. mertua;
i. besan;
j. suami/istri dari anak kandung/tiri/angkat;
k. kakek/nenek dari suami/istri;
l. suami/istri dari cucu kandung/tiri/angkat;
m. saudara kandung/tiri/angkat dari suami/istri beserta suami atau
istrinya.
Ayat …
- 12 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “lembaga lain” antara lain partai politik atau
organisasi kemasyarakatan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pengetahuan di bidang perbankan” antara
lain meliputi pengetahuan tentang peraturan dan operasional BPR.
Yang dimaksud dengan “pengalaman di bidang perbankan dan/atau
lembaga jasa keuangan non perbankan” antara lain pemasaran,
akuntansi, audit, pendanaan, perkreditan, hukum, atau pengalaman
di bidang pengawasan operasional perbankan.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan ”sertifikat kelulusan” adalah sertifikat profesi
terkait dengan unit kompetensi bagi Dewan Komisaris atau Direksi.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan ”Anggota Dewan Komisaris hanya dapat
merangkap jabatan sebagai Komisaris paling banyak pada 2 (dua)
BPR lain atau BPRS” adalah seseorang hanya dapat menjabat sebagai
Komisaris paling banyak pada 3 (tiga) BPR atau BPRS.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat …
- 13 -
Ayat (9)
Rapat Dewan Komisaris ditunjukkan dengan risalah rapat dan
dimaksudkan sebagai pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab Direksi.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “mayoritas” adalah lebih dari 50% (lima
puluh perseratus) dari seluruh jumlah anggota Dewan Komisaris.
Yang dimaksud dengan “hubungan keluarga atau semenda sampai
dengan derajat kedua” adalah hubungan baik vertikal maupun
horizontal termasuk mertua, menantu, dan ipar, meliputi:
a. orang tua kandung/tiri/angkat;
b. saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istrinya;
c. anak kandung/tiri/angkat;
d. kakek/nenek kandung/tiri/angkat;
e. cucu kandung/tiri/angkat;
f. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta suami atau
istrinya;
g. suami/istri;
h. mertua;
i. besan;
j. suami/istri dari anak kandung/tiri/angkat;
k. kakek/nenek dari suami/istri;
l. suami/istri dari cucu kandung/tiri/angkat;
m. saudara kandung/tiri/angkat dari suami/istri beserta suami atau
istrinya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal …
- 14 -
Pasal 30
Yang dimaksud dengan “benturan kepentingan” adalah terjadinya benturan
kepentingan ekonomis BPR dengan kepentingan ekonomis pribadi pemilik,
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, Pejabat Eksekutif, dan/atau
pihak terkait lainnya.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dinyatakan efektif” adalah terhitung sejak
tanggal yang ditetapkan dalam RUPS atau lampaunya jangka waktu
yang diatur dalam anggaran dasar BPR apabila RUPS tidak dapat
diselenggarakan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dinyatakan efektif” adalah terhitung sejak
tanggal yang ditetapkan dalam RUPS.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Larangan menjadi anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris antara lain disebabkan oleh:
a. pelanggaran ketentuan tentang anggota Direksi dan/atau anggota
Dewan Komisaris antara lain atas rangkap jabatan, hubungan
keluarga atau semenda, persyaratan kepemilikan sertifikasi
profesi; atau
b. penetapan tidak lulus berdasarkan hasil uji kemampuan dan
kepatutan sesuai ketentuan yang berlaku.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal …
- 15 -
Pasal 35
Ayat (1)
Yang wajib dilaporkan adalah pejabat yang masuk dalam struktur
organisasi BPR baik yang telah diangkat atau belum diangkat
sebagai Pejabat Eksekutif oleh BPR namun telah menjalankan tugas
dan fungsi sebagai Pejabat Eksekutif.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” antara lain
fotokopi surat pengangkatan, surat perjanjian kerja, atau
kuasa khusus bagi Pemimpin Cabang.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
“Penelitian” meliputi pencarian informasi terhadap Pejabat Eksekutif
antara lain:
a. termasuk dalam Daftar Tidak Lulus uji kemampuan dan
kepatutan;
b. memiliki kredit macet dan/atau pembiayaan macet; dan/atau
c. tercatat pada data dan informasi negatif yang dimiliki oleh
Otoritas Jasa Keuangan yang berasal dari hasil pengawasaan
Otoritas Jasa Keuangan atau sumber lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat …
- 16 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kantor” adalah Kantor Cabang, Kantor Kas,
Kas Keliling, Payment Point, dan PPE berupa mesin ATM dan/atau
ADM dari BPR yang bersangkutan.
Ayat (2)
Sebagai konsekuensi maka:
a. BPR di Provinsi Jawa Barat di luar Kabupaten atau Kota Bogor,
Kota Depok, dan Kabupaten atau Kota Bekasi tidak dapat
membuka Kantor Cabang di Kabupaten atau Kota Bogor, Kota
Depok dan Kabupaten atau Kota Bekasi;
b. BPR di Provinsi Banten di luar Kabupaten atau Kota Tangerang
tidak dapat membuka Kantor Cabang di Kabupaten atau Kota
Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Jangka waktu 3 (tiga) tahun termasuk proses yang diperlukan
dalam rangka proses persetujuan oleh Otoritas Jasa Keuangan
sampai dengan pelaksanaan penutupan atau pemindahan Kantor
Cabang atau pemindahan Kantor Pusat BPR.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Di dalam “rencana kerja” disebutkan jumlah Kantor Cabang
yang akan dibuka.
Huruf …
- 17 -
Huruf b
Pemenuhan persyaratan “tingkat kesehatan” didasarkan
pada hasil penilaian yang dilakukan oleh Otoritas Jasa
Keuangan, dengan merujuk pada laporan terakhir yang
diterima Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “NPL gross” adalah jumlah kredit
dengan kualitas non lancar sebelum diperhitungkan dengan
Penyisihan Penghapusan Aset Produktif (PPAP) dibagi dengan
total kredit.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
“Teknologi informasi yang memadai” termasuk namun tidak
terbatas pada aplikasi tabungan, deposito, dan kredit.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “pelanggaran ketentuan terkait
dengan BPR” antara lain pelanggaran atas:
1. larangan rangkap jabatan dan hubungan keluarga atau
semenda serta kewajiban minimum jumlah anggota
Direksi dan anggota Dewan Komisaris;
2. kewajiban BPR memiliki paling kurang 1 (satu) pemegang
saham dengan persentase kepemilikan saham tertentu;
dan/atau
3. kewajiban pemenuhan modal inti minimum.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal …
- 18 -
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Pemberian jangka waktu berlakunya persetujuan prinsip
dimaksudkan agar BPR memiliki waktu yang cukup untuk
mempersiapkan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk
melakukan persiapan kegiatan operasional Kantor Cabang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Apabila diperlukan, Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
pemeriksaan dalam rangka meneliti kesiapan operasional Kantor
Cabang.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pelaksanaan kegiatan usaha ditunjukkan dengan telah
beroperasinya Kantor Cabang BPR dalam menghimpun dana
masyarakat dan menyalurkan dana kepada masyarakat.
Pasal …
- 19 -
Pasal 45
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kantor induk” BPR adalah kantor pusat
atau Kantor Cabang yang menjadi induk Kantor Kas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Jangka waktu 1 (satu) tahun termasuk proses pengajuan rencana
sampai dengan pelaksanaan penutupan atau pemindahan Kantor
Kas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pemenuhan persyaratan tingkat kesehatan didasarkan pada
hasil penilaian Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan
laporan terakhir yang diterima Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “pelanggaran ketentuan terkait
dengan BPR” antara lain pelanggaran atas:
1. larangan rangkap jabatan dan hubungan keluarga atau
semenda serta kewajiban minimum jumlah anggota
Direksi dan anggota Dewan Komisaris;
2. kewajiban BPR memiliki paling kurang 1 (satu) pemegang
saham dengan persentase kepemilikan saham tertentu;
dan/atau
3. kewajiban pemenuhan modal inti minimum.
Pasal …
- 20 -
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Tata cara permohonan izin sebagai penerbit kartu ATM dan/atau
kartu debet mengacu pada ketentuan Bank Indonesia tentang alat
pembayaran dengan menggunakan kartu.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “pelanggaran ketentuan terkait
dengan BPR” antara lain pelanggaran:
1. kewajiban persyaratan Dewan Komisaris dan Direksi
meliputi jumlah, perangkapan, dan hubungan keluarga
atau semenda;
2. kewajiban memiliki paling kurang 1 (satu) pemegang
saham dengan persentase kepemilikan saham tertentu;
dan/atau
3. kewajiban pemenuhan modal inti minimum.
Ayat …
- 21 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “dikelola sendiri oleh BPR” meliputi
pengelolaan sistem secara keseluruhan termasuk infrastruktur,
seperti ATM, ADM, dan EDC oleh BPR.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 51
Yang dimaksud dengan “kegiatan sebagai acquirer” mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia mengenai alat pembayaran dengan
menggunakan kartu.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Pemindahan alamat kantor BPR dalam satu wilayah kabupaten atau
kota tidak membutuhkan persetujuan prinsip.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal …
- 22 -
Pasal 58
Yang dimaksud dengan “surat kabar harian lokal” adalah surat kabar
yang mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR.
Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah dilihat dan
dibaca oleh masyarakat.
Pasal 59
Huruf a
“Bukti kesiapan kantor” antara lain surat perizinan dari instansi
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, foto gedung, dan bukti penguasaan gedung kantor.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Yang dimaksud dengan “pelaporan pemindahan lokasi perangkat ATM
dan/atau ADM” dimaksud tidak termasuk perangkat ATM dan/atau ADM
yang berlokasi di dalam kantor atau yang digunakan pada layanan Kas
Keliling.
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Persetujuan Otoritas Jasa Keuangan diberikan dalam bentuk
keputusan.
Ayat …
- 23 -
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “surat kabar harian lokal” adalah surat
kabar yang mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR.
Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah dilihat
dan dibaca.
Ayat (6)
Bukti pengumuman berupa guntingan surat kabar yang memuat
pengumuman atau fotokopi pengumuman yang ditempel di kantor
BPR.
Pasal 64
Ayat (1)
Peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain Undang-
Undang tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang tentang
Perkoperasian, dan Undang-Undang tentang Perusahaan Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”penelitian atas kelengkapan dan
kebenaran dokumen” terhadap calon Pemegang Saham
termasuk informasi mengenai Daftar Tidak Lulus dan Daftar
Kredit Macet.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat …
- 24 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Persetujuan Otoritas Jasa Keuangan diberikan dalam bentuk
keputusan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pelaksanaan pengalihan seluruh hak dan kewajiban
dibuktikan dengan akta notaris.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”surat kabar harian lokal” adalah surat
kabar yang mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR.
Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah dilihat
dan dibaca.
Ayat (3)
Bukti pengumuman berupa guntingan surat kabar yang memuat
pengumuman atau fotokopi pengumuman yang ditempel di kantor
BPR.
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
“Penyelesaian seluruh kewajiban kepada nasabah serta pihak-pihak
lain” dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh
kewajiban kepada kantor lainnya dari BPR tersebut atau pihak lain
dengan persetujuan nasabah atau pihak lain.
Yang …
- 25 -
Yang dimaksud “dokumen penyelesaian seluruh kewajiban kepada
nasabah” adalah berupa neraca Kantor Cabang yang menunjukkan
seluruh kewajiban Kantor Cabang kepada nasabah dan pihak lain
telah diselesaikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan ”surat kabar harian lokal” adalah surat
kabar yang mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR.
Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah dilihat
dan dibaca.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Bukti pengumuman berupa guntingan surat kabar yang memuat
pengumuman atau fotokopi pengumuman yang ditempel di kantor
BPR.
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “surat kabar harian lokal” adalah surat
kabar yang mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR.
Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah dilihat
dan dibaca.
Ayat (3)
Bukti pengumuman berupa guntingan surat kabar yang memuat
pengumuman atau fotokopi pengumuman yang ditempel di kantor
BPR.
Pasal …
- 26 -
Pasal 70
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penutupan sementara” adalah penghentian
sementara kegiatan pelayanan di kantor BPR.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “surat kabar harian lokal” adalah surat
kabar yang mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR.
Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah dilihat
dan dibaca.
Ayat (5)
Bukti pengumuman berupa guntingan surat kabar yang memuat
pengumuman atau fotokopi pengumuman yang ditempel di kantor
BPR.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal …
- 27 -
Pasal 76
Huruf a
Risalah RUPS paling sedikit memuat keputusan yang menyetujui
pembubaran badan hukum dan perintah kepada Direksi untuk
menyelesaikan seluruh kewajiban BPR.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Termasuk dalam penyelesaian seluruh kewajiban BPR antara
lain penyelesaian kewajiban kepada nasabah kreditur,
pembayaran gaji terhutang, pembayaran biaya kantor, pajak
terhutang, dan biaya-biaya lain yang relevan.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal …
- 28 -
Pasal 79
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Termasuk “neraca akhir BPR” adalah laporan hasil verifikasi dari
kantor akuntan publik atas penyelesaian kewajiban BPR.
Huruf e
“Surat pernyataan dari pemegang saham BPR” yang menyatakan
bahwa seluruh kewajiban BPR telah diselesaikan dan apabila
terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab
pemegang saham.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal …
- 29 -
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal …
- 30 -
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5629
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 20/POJK.03/2014 </reg_id>
<reg_title> BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title>
<set_date> 18 November 2014 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2015 </effective_date>
<issued_date> 19 November 2014 </issued_date>
<replaced_reg> '32/54/KEP/DIR|SKDIR-BI/1999', '8/26/PBI/2006' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XIV' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 31 /POJK.04/2017
TENTANG
PENGELUARAN SAHAM DENGAN NILAI NOMINAL BERBEDA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai
pengeluaran saham dengan nilai nominal berbeda beralih
dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai pengaturan terhadap pengeluaran saham
dengan nilai nominal berbeda, ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor pasar modal mengenai
pengeluaran saham dengan nilai nominal berbeda yang
diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa
Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pengeluaran
Saham dengan Nilai Nominal Berbeda;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENGELUARAN SAHAM DENGAN NILAI NOMINAL BERBEDA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Emiten adalah pihak yang melakukan Penawaran Umum.
2. Perusahaan Terbuka adalah Emiten yang telah
melakukan Penawaran Umum efek bersifat ekuitas atau
perusahaan publik.
3. Bursa Efek adalah pihak yang menyelenggarakan dan
menyediakan sistem dan/atau sarana untuk
mempertemukan penawaran jual dan beli efek pihak lain
dengan tujuan memperdagangkan efek di antara mereka.
Pasal 2
Perusahaan Terbuka yang sahamnya tercatat di Bursa Efek
dapat mengeluarkan saham dengan nilai nominal berbeda.
- 3 -
BAB II
PERSYARATAN PENGELUARAN SAHAM DENGAN NILAI
NOMINAL BERBEDA
Pasal 3
Perusahaan Terbuka dapat mengeluarkan saham dengan nilai
nominal berbeda apabila harga pasar saham Perusahaan
Terbuka berada di bawah nilai nominal.
Pasal 4
Saham dengan nilai nominal berbeda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 wajib memenuhi persyaratan:
a. saham dengan klasifikasi yang sama dengan nilai
nominal berbeda mempunyai hak dan kedudukan yang
sama dan sederajat; dan
b. saham dengan nilai nominal lama tidak dapat
dikonversikan menjadi saham dengan nilai nominal baru.
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 5
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan/atau
g. pembatalan pendaftaran.
- 4 -
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 6
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 7
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 kepada masyarakat.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 8
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor Kep-432/BL/2010 tentang
Pengeluaran Saham dengan Nilai Nominal Berbeda, beserta
Peraturan Nomor IX.D.6 yang merupakan lampirannya,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 9
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 5 -
Agar
setiap
orang
mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 131
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 31 /POJK.04/2017
TENTANG
PENGELUARAN SAHAM DENGAN NILAI NOMINAL BERBEDA
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan
lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar
modal yang mengatur mengenai pengeluaran saham dengan nilai nominal
berbeda yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor Kep-432/BL/2010 tentang Pengeluaran
Saham dengan Nilai Nominal Berbeda, beserta Peraturan Nomor IX.D.6
yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Pengeluaran Saham dengan Nilai Nominal Berbeda.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa
penundaan pemberian pernyataan Otoritas Jasa Keuangan bahwa
tidak ada tanggapan lebih lanjut atas dokumen yang disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka penambahan modal
dengan memberikan hak memesan efek terlebih dahulu Perusahaan
Terbuka.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6078
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 31/POJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN SAHAM DENGAN NILAI NOMINAL BERBEDA </reg_title>
<set_date> 21 Juni 2017 </set_date>
<effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date>
<issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-432/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010', 'Kep-432/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010 | Lampiran Peraturan Nomor IX.D.6' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 52 /POJK.04/2015
TENTANG
PEDOMAN PERJANJIAN PEMERINGKATAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor Pasar Modal termasuk Perusahaan Pemeringkat
Efek beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai pengaturan terhadap perjanjian pemeringkatan,
maka peraturan mengenai Pedoman Perjanjian
Pemeringkatan yang diterbitkan sebelum terbentuknya
Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Perjanjian
Pemeringkatan;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEDOMAN PERJANJIAN PEMERINGKATAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Perusahaan Pemeringkat Efek adalah Penasihat Investasi
berbentuk Perseroan Terbatas yang melakukan kegiatan
pemeringkatan dan memberikan peringkat.
2. Peringkat adalah opini tentang kemampuan untuk
memenuhi kewajiban pembayaran secara tepat waktu oleh
suatu Pihak:
a. sebagai entitas (company rating); dan/ atau
b. berkaitan dengan Efek yang diterbitkan oleh Pihak
yang diperingkat (instrument rating).
3. Peringkat Awal adalah hasil pemeringkatan oleh
Perusahaan Pemeringkat Efek yang belum memperoleh
persetujuan dari Pihak yang meminta pemeringkatan dan
belum dipublikasikan.
- 3 -
BAB II
PEDOMAN PERJANJIAN PEMERINGKATAN
Pasal 2
Perusahaan Pemeringkat Efek yang melakukan pemeringkatan
atas permintaan Pihak tertentu, wajib membuat perjanjian
pemeringkatan dengan Pihak dimaksud.
Pasal 3
Perusahaan Pemeringkat Efek yang atas permintaan Pihak,
melakukan pemeringkatan atas Efek tertentu dan/atau atas
Pihak yang menerbitkan Efek tertentu tersebut, wajib membuat
perjanjian pemeringkatan yang paling sedikit memuat hal-hal
sebagai berikut:
a. nama dan alamat Perusahaan Pemeringkat Efek;
b. nama dan alamat Pihak yang meminta pemeringkatan;
c. maksud dan tujuan pemeringkatan;
d. hak dan kewajiban Perusahaan Pemeringkat Efek;
e. hak dan kewajiban Pihak yang meminta pemeringkatan;
f. jangka waktu penyelesaian pemeringkatan;
g. pembatalan dan penundaan proses pemeringkatan;
h. keberatan;
i. kerahasiaan;
j. larangan pemberitahuan hasil Peringkat;
k. pengumuman hasil Peringkat;
l. penyelesaian sengketa; dan
m. pengakhiran kontrak.
Pasal 4
(1) Hak Perusahaan Pemeringkat Efek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, paling sedikit memuat
hal-hal sebagai berikut:
a. mendapatkan data dan informasi yang diperlukan
dalam proses pemeringkatan, termasuk melalui
peninjauan lapangan dan pertemuan dengan pihak-
pihak terkait;
- 4 -
b. mendapatkan akses untuk melakukan peninjauan
dan/atau pemeriksaan lapangan terhadap kegiatan
dan/atau pertemuan dengan manajemen pihak
dimaksud dalam rangka mendapatkan informasi
yang diperlukan;
c. mendapatkan informasi dan/atau penjelasan
tambahan yang bersifat material, yaitu informasi
dan/atau penjelasan tambahan yang dapat
mempengaruhi hasil Peringkat Awal, dalam hal
terdapat pengajuan keberatan atas hasil Peringkat
awal; dan
d. melakukan publikasi atas setiap Peringkat yang
dikeluarkan terhadap suatu Objek Pemeringkatan,
kecuali:
1. terhadap hasil Peringkat Awal yang belum
memperoleh persetujuan dari Pihak yang
meminta pemeringkatan dan/atau Pihak yang
diperingkat; atau
2. ditentukan
lain dalam perjanjian
pemeringkatan, sepanjang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Kewajiban Perusahaan Pemeringkat Efek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, paling sedikit memuat
hal-hal sebagai berikut:
a. menyelesaikan pemeringkatan pada waktu yang telah
disepakati dalam perjanjian pemeringkatan;
b. memelihara dan menjaga kerahasiaan setiap
informasi yang berkaitan dengan pemeringkatan yang
bersifat rahasia kecuali dalam rangka pengawasan
yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan
dan/atau Pihak lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan/atau untuk
kepentingan peradilan;
c. memberikan jawaban atas tanggapan dan keberatan
yang diajukan Pihak yang meminta pemeringkatan
mengenai hasil Peringkat;
- 5 -
d. mengeluarkan Peringkat Awal setelah secara seksama
mempertimbangkan seluruh data dan informasi yang
relevan, akurat dan dapat dipercaya;
e. membuat keputusan akhir atas Peringkat setelah
secara seksama mempertimbangkan seluruh
informasi dan penjelasan tambahan yang relevan,
dalam hal Pihak yang diperingkat mengajukan
keberatan;
f. melakukan kaji ulang secara terus menerus terhadap
hasil pemeringkatan yang telah dipublikasikan dan
menyampaikan Peringkat hasil kaji ulang kepada
Pihak yang meminta pemeringkatan selama masa
perjanjian pemeringkatan belum berakhir;
g. melakukan kaji ulang secara berkala terhadap hasil
pemeringkatan, sepanjang disyaratkan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
h. menyelesaikan kaji ulang terhadap hasil
pemeringkatan yang telah dipublikasikan, dalam hal
terdapat fakta material atau kejadian penting yang
dapat mempengaruhi hasil pemeringkatan yang telah
dipublikasikan, paling lama 7 (tujuh) hari sejak
diketahuinya fakta material atau kejadian penting;
i. mempublikasikan hasil kajian sebagaimana
dimaksud dalam huruf g dan huruf h, tanpa
persetujuan dari Pihak yang meminta pemeringkatan
dan/atau dari pihak yang diperingkat; dan
j. mengeluarkan Peringkat baru apabila terjadi
perubahan Peringkat dari proses kaji ulang
sebagaimana dimaksud pada huruf h atau jika
dilakukan pemeringkatan ulang.
Pasal 5
(1) Hak Pihak yang meminta pemeringkatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf e, atas Efek tertentu
dan/atau atas Pihak yang menerbitkan Efek tertentu,
paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut:
- 6 -
a. memperoleh hasil Peringkat Awal dari Perusahaan
Pemeringkat Efek;
b. mengajukan keberatan secara tertulis kepada
Perusahaan Pemeringkat Efek terhadap hasil
Peringkat Awal dalam hal terdapat informasi
dan/atau penjelasan tambahan yang material yang
belum diungkapkan sebelumnya; dan
c. memperoleh hasil pemeringkatan pada waktu yang
telah disepakati dalam perjanjian pemeringkatan.
(2) Kewajiban Pihak yang meminta pemeringkatan atas Efek
tertentu dan/atau atas Pihak yang menerbitkan Efek
tertentu paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut:
a. memberikan tanggapan secara tertulis dalam waktu
yang telah disepakati setelah diterimanya hasil
Peringkat Awal sebagaimana dimaksud pada Pasal 5
ayat (1) huruf a;
b. menyampaikan kepada Perusahaan Pemeringkat Efek
seluruh data dan informasi yang diperlukan dalam
rangka pemeringkatan;
c. memberikan akses Perusahaan Pemeringkat Efek
untuk melakukan peninjauan lapangan terhadap
kegiatan dan/atau pertemuan dengan manajemen
pihak dimaksud dalam rangka mendapatkan
informasi yang diperlukan;
d. menyampaikan informasi dan/atau penjelasan
tambahan yang material dalam hal mengajukan
keberatan atas hasil Peringkat awal;
e. menyampaikan kepada Perusahaan Pemeringkat Efek
informasi material yang dapat mempengaruhi hasil
pemeringkatan paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak
adanya informasi atau fakta material tersebut, dalam
hal Efek yang diperingkat dimaksud diterbitkan
melalui Penawaran Umum; dan
f.
menyetujui Perusahaan Pemeringkat Efek untuk
melakukan publikasi atas setiap Peringkat yang
dikeluarkan terhadap suatu Objek Pemeringkatan
dalam perjanjian pemeringkatan, kecuali terhadap
- 7 -
hasil peringkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) huruf d.
Pasal 6
Jangka waktu penyelesaian pemeringkatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf f, wajib memuat hal-hal sebagai
berikut:
a. proses pemeringkatan perdana, wajib diselesaikan dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
disepakatinya perjanjian pemeringkatan;
b. proses pemeringkatan dalam rangka kaji ulang karena
terdapat fakta material atau kejadian penting yang dapat
mempengaruhi hasil pemeringkatan yang telah
dipublikasikan wajib diselesaikan dalam jangka waktu
paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diketahuinya fakta
material atau kejadian penting dimaksud dan
menyampaikan hasil pemeringkatan baru, pernyataan,
atau pendapat lain yang terkait dengan hasil peringkat
kepada pihak yang meminta peringkat, paling lambat 2
(dua) hari kerja sejak selesainya proses pemeringkatan;
dan
c. proses pemeringkatan dalam rangka kaji ulang secara
berkala wajib diselesaikan dalam jangka waktu paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak dilakukannya kaji ulang
berkala dan publikasi hasil peringkatnya wajib
dilaksanakan paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak
selesainya proses pemeringkatan.
Pasal 7
Pembatalan dan penundaan proses pemeringkatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf g, wajib memuat
hal-hal sebagai berikut:
a. kondisi yang memungkinkan terjadinya pembatalan atau
penundaan atas proses pemeringkatan; dan
b. Peringkat yang telah dipublikasikan tidak dapat
dibatalkan.
- 8 -
Pasal 8
Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf h, wajib
memuat hal-hal sebagai berikut:
a. proses keberatan yang diajukan oleh pihak yang meminta
pemeringkatan hanya dapat dilakukan satu kali untuk
pemeringkatan perdana; dan
b. Peringkat setelah proses keberatan bersifat final.
Pasal 9
Kerahasiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf i,
wajib memuat hal-hal sebagai berikut:
a. kerahasiaan data dan informasi yang berkaitan dengan
pemeringkatan.;
b. setiap Pihak yang mengetahui hasil Peringkat dengan
tidak melawan hukum, wajib menjaga kerahasiaan hasil
Peringkat dimaksud kepada Pihak lain sebelum hasil
Peringkat tersebut dipublikasikan; dan
c. kerahasiaan data dan informasi yang berkaitan dengan
pemeringkatan, dan hasil Peringkat dimaksud tidak
berlaku dalam rangka pengawasan yang dilakukan oleh
Bapepam dan LK dan/atau Pihak lain sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau
untuk kepentingan peradilan.
Pasal 10
Larangan pemberitahuan hasil Peringkat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf j, wajib memuat ketentuan
bahwa setiap Pihak yang mengetahui hasil Peringkat dengan
tidak melawan hukum, dilarang memberitahukan hasil
Peringkat dimaksud kepada Pihak lain sebelum hasil Peringkat
tersebut dipublikasikan.
- 9 -
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 11
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana dibidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g
dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan
sanksi administratif berupa peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 12
- 10 -
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan
tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 13
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 kepada masyarakat.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor Kep-152/BL/2009 tanggal 22 Juni 2009
tentang Pedoman Perjanjian Pemeringkatan beserta Peraturan
Nomor V.H.4 yang merupakan lampirannya, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 15
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 11 -
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 403
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 52 /POJK.04/2015
TENTANG
PEDOMAN PERJANJIAN PEMERINGKATAN
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal,
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar
Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK terkait
sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan
dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
untuk melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK yaitu Peraturan
Nomor V.H.4, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-
152/BL/2009 tentang Pedoman Perjanjian Pemeringkatan, tanggal 22 Juni
2009.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5821
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 52/POJK.04/2015 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN PERJANJIAN PEMERINGKATAN </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 29 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-152/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009', 'Kep-152/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor V.H.4' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 19 /POJK.04/2015
TENTANG
PENERBITAN DAN PERSYARATAN REKSA DANA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka mendorong perkembangan industri
Pasar Modal Syariah di Indonesia, perlu menyempurnakan
peraturan mengenai Penerbitan Reksa Dana Syariah dengan
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Penerbitan Dan Persyaratan Reksa Dana Syariah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENERBITAN DAN PERSYARATAN REKSA DANA SYARIAH.
- 2 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Reksa Dana Syariah adalah Reksa Dana sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal
dan peraturan pelaksanaannya yang pengelolaannya
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar
Modal.
2. Efek Syariah Berpendapatan Tetap adalah Efek Syariah
yang memberikan pendapatan tetap yang jatuh temponya
1 (satu) tahun atau lebih, termasuk Efek Syariah
berpendapatan tetap yang dapat dikonversi.
3. Reksa Dana Syariah Berbasis Sukuk adalah Reksa Dana
Syariah yang melakukan investasi pada satu atau lebih
Sukuk dengan komposisi paling sedikit 85% (delapan
puluh lima persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana
Syariah diinvestasikan pada Sukuk yang ditawarkan di
Indonesia melalui Penawaran Umum, Surat Berharga
Syariah Negara, dan/atau surat berharga komersial
syariah yang jatuh temponya 1 (satu) tahun atau lebih
dan masuk kategori layak investasi (investment grade)
serta dimasukkan dalam Penitipan Kolektif pada
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian oleh penerbit
surat berharga komersial syariah.
4. Reksa Dana Syariah Berbasis Efek Syariah Luar Negeri
adalah Reksa Dana Syariah yang melakukan investasi
paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) dari Nilai
Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah pada Efek Syariah
Luar Negeri yang dimuat dalam Daftar Efek Syariah yang
diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah.
5. Daftar Efek Syariah adalah Daftar Efek Syariah
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur
mengenai kriteria dan penerbitan Daftar Efek Syariah.
- 3 -
6. Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah adalah Pihak Penerbit
Daftar Efek Syariah sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai kriteria dan penerbitan Daftar
Efek Syariah.
7. Efek Syariah Luar Negeri adalah Efek Syariah yang
ditawarkan melalui Penawaran Umum dan/atau
diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri serta dimuat
dalam Daftar Efek Syariah yang diterbitkan oleh Pihak
Penerbit Daftar Efek Syariah.
8. Prinsip Syariah di Pasar Modal adalah prinsip hukum
Islam dalam Kegiatan Syariah di Pasar Modal
berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis
Ulama Indonesia, sepanjang fatwa dimaksud tidak
bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal
dan/atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan lainnya
yang didasarkan pada fatwa Dewan Syariah Nasional -
Majelis Ulama Indonesia.
9. Ahli Syariah Pasar Modal yang selanjutnya disingkat
ASPM adalah:
a. orang perseorangan yang memiliki pengetahuan dan
pengalaman di bidang syariah; atau
b. badan usaha yang pengurus dan pegawainya
memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang
syariah,
yang memberikan nasihat dan/atau mengawasi
pelaksanaan penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal
dalam kegiatan usaha perusahaan dan/atau memberikan
pernyataan kesesuaian syariah atas produk atau jasa
syariah di Pasar Modal.
10. Akad Syariah adalah perjanjian atau kontrak tertulis
antara para pihak yang memuat hak dan kewajiban
masing-masing pihak yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah di Pasar Modal.
11. Efek Syariah adalah Efek sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Pasar Modal dan peraturan
- 4 -
pelaksanaannya, yang akad, cara pengelolaan, kegiatan
usaha, dan/atau aset yang menjadi landasan akad, cara
pengelolaan, kegiatan usaha, dan/atau aset yang terkait
dengan Efek dimaksud dan penerbitnya tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal.
Pasal 2
Efek Syariah Luar Negeri meliputi:
a. Saham Syariah yang diperdagangkan di Bursa Efek luar
negeri yang dimuat dalam Daftar Efek Syariah yang
diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah; dan
b. Sukuk yang ditawarkan melalui penawaran umum di
luar negeri yang termasuk dalam Daftar Efek Syariah
yang diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah.
Pasal 3
Reksa Dana Syariah dapat berupa:
a. Reksa Dana Syariah Pasar Uang;
b. Reksa Dana Syariah Pendapatan Tetap;
c. Reksa Dana Syariah Saham;
d. Reksa Dana Syariah Campuran;
e. Reksa Dana Syariah Terproteksi;
f. Reksa Dana Syariah Indeks;
g. Reksa Dana Syariah Berbasis Efek Syariah Luar Negeri;
h. Reksa Dana Syariah Berbasis Sukuk;
i. Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa; dan
j. Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
Penyertaan Terbatas.
Pasal 4
Pihak yang melakukan Penawaran Umum Reksa Dana
Syariah wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di
sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Ketentuan
Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran dan peraturan
perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur
- 5 -
mengenai Reksa Dana, kecuali diatur lain dan diatur khusus
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 5
Setiap Pihak yang melakukan penerbitan saham dan/atau
Unit Penyertaan Reksa Dana Syariah wajib mematuhi
ketentuan Prinsip Syariah di Pasar Modal sebagaimana diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan
Prinsip Syariah di Pasar Modal, Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini, dan peraturan perundang-undangan di sektor
Pasar Modal yang mengatur mengenai Reksa Dana.
Pasal 6
Reksa Dana Syariah memenuhi Prinsip Syariah di Pasar
Modal apabila akad, cara pengelolaan, dan portofolionya tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal
sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal.
Pasal 7
(1) Manajer Investasi yang mengelola Reksa Dana Syariah
wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah yang ditunjuk
oleh Direksi.
(2) Penerbitan Reksa Dana Syariah wajib mendapatkan
pernyataan kesesuaian syariah yang diterbitkan oleh
Dewan Pengawas Syariah dari Manajer Investasi atau Tim
Ahli Syariah.
(3) Anggota Dewan Pengawas Syariah dan Tim Ahli Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memiliki izin
ASPM dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli
Syariah Pasar Modal.
(4) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) bertanggung jawab terhadap
pengawasan Reksa Dana Syariah dalam rangka
pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal secara
berkelanjutan.
- 6 -
(5) Biaya yang timbul terkait pelaksanaan tugas Dewan
Pengawas Syariah dan Tim Ahli Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) menjadi beban Manajer Investasi.
Pasal 8
(1) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat
(4) wajib menyusun laporan hasil
pengawasan tahunan atas pemenuhan kepatuhan
terhadap Prinsip Syariah di Pasar Modal atas Reksa Dana
Syariah yang diawasi.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan oleh Dewan Pengawas Syariah kepada
Manajer Investasi yang mengelola Reksa Dana Syariah.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
sedikit memuat:
a. pihak yang dituju;
b. tanggal laporan;
c. pernyataan mengenai laporan yang disusun telah
sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini;
d. pernyataan mengenai rentang waktu dan ruang
lingkup pengawasan yang telah dilakukan Dewan
Pengawas Syariah;
e.
opini Dewan Pengawas Syariah atas pengawasan
yang telah dilakukan sebagaimana dimaksud pada
huruf d; dan
f.
tanda tangan, nama anggota Dewan Pengawas
Syariah, jabatan anggota Dewan Pengawas Syariah,
dan nomor izin ASPM.
(4) Laporan hasil pengawasan tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Manajer
Investasi pengelola Reksa Dana Syariah kepada Otoritas
Jasa Keuangan, dengan batas waktu penyampaian
bersamaan dengan penyampaian laporan keuangan
tahunan Reksa Dana.
- 7 -
BAB II
PENERBITAN SAHAM REKSA DANA SYARIAH BERBENTUK
PERSEROAN
Pasal 9
Emiten yang melakukan Penawaran Umum saham Reksa
Dana Syariah Berbentuk Perseroan wajib mengikuti peraturan
perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur
mengenai Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan
Pendaftaran, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar
Modal yang mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran
Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk
Perseroan, dan peraturan perundang-undangan di sektor
Pasar Modal yang mengatur mengenai Reksa Dana Berbentuk
Perseroan lainnya, kecuali diatur lain dan diatur khusus
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 10
Anggaran Dasar Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan
wajib memuat ketentuan mengenai kegiatan usaha serta cara
pengelolaan usahanya dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah
di Pasar Modal.
Pasal 11
(1) Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Syariah Berbentuk
Perseroan wajib tunduk pada peraturan perundang-
undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur
mengenai pedoman kontrak pengelolaan Reksa Dana
Berbentuk Perseroan, kecuali diatur lain dan diatur
khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Kontrak penyimpanan kekayaan Reksa Dana Syariah
Berbentuk Perseroan wajib tunduk pada peraturan
perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai pedoman kontrak penyimpanan
kekayaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan, kecuali
diatur lain dan diatur khusus dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini.
- 8 -
(3) Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Syariah Berbentuk
Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mencantumkan ketentuan mengenai:
a. Manajer Investasi merupakan wakil (wakiliin) yang
bertindak untuk kepentingan Direksi Reksa Dana
Syariah Berbentuk Perseroan sebagai pihak yang
diwakili (muwakil) dengan wewenang untuk
melakukan pengelolaan Reksa Dana Syariah
Berbentuk Perseroan;
b. akad, cara pengelolaan, dan portofolio Reksa Dana
Syariah Berbentuk Perseroan tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal;
c. anggota Dewan Pengawas Syariah, beserta tugas dan
tanggung jawabnya;
d. mekanisme pembersihan kekayaan Reksa Dana
Syariah Berbentuk Perseroan dari unsur-unsur yang
bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar
Modal;
e. kata “Syariah” pada nama Reksa Dana Syariah
Berbentuk Perseroan; dan
f. dana kelolaan Reksa Dana Syariah Berbentuk
Perseroan hanya dapat diinvestasikan pada:
1. Saham yang ditawarkan melalui Penawaran
Umum dan diperdagangkan di Bursa Efek di
Indonesia serta dimuat dalam Daftar Efek
Syariah yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar
Modal yang mengatur mengenai kriteria dan
penerbitan Daftar Efek Syariah;
2. Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu syariah
dan Waran syariah yang ditawarkan melalui
Penawaran Umum dan/atau diperdagangkan di
Bursa Efek di Indonesia;
3. Sukuk yang ditawarkan di Indonesia melalui
Penawaran Umum;
- 9 -
4. Saham yang diperdagangkan di Bursa Efek luar
negeri yang dimuat dalam Daftar Efek Syariah
yang diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek
Syariah;
5. Sukuk yang ditawarkan melalui Penawaran
Umum dan/atau diperdagangkan di Bursa Efek
luar negeri, yang termasuk dalam Daftar Efek
Syariah yang diterbitkan oleh Pihak Penerbit
Daftar Efek Syariah;
6. Efek Beragun Aset Syariah dalam negeri yang
sudah mendapat peringkat dari Perusahaan
Pemeringkat Efek yang telah memperoleh izin
usaha dari Otoritas Jasa Keuangan;
7. surat berharga komersial syariah dalam negeri
yang sudah mendapat peringkat dari
Perusahaan Pemeringkat Efek yang telah
memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa
Keuangan;
8. Efek Syariah yang memenuhi Prinsip Syariah di
Pasar Modal yang diterbitkan oleh lembaga
internasional dimana Pemerintah Indonesia
menjadi salah satu anggotanya; dan/atau
9. instrumen pasar uang syariah dalam negeri
yang mempunyai jatuh tempo kurang dari 1
(satu) tahun, baik dalam denominasi rupiah
maupun denominasi mata uang lainnya.
(4) Kontrak penyimpanan kekayaan Reksa Dana Berbentuk
Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
mencantumkan ketentuan mengenai:
a. Bank Kustodian merupakan wakil (wakiliin) yang
bertindak untuk kepentingan Direksi Reksa Dana
Syariah Berbentuk Perseroan sebagai pihak yang
diwakili (muwakil) dengan wewenang untuk
melaksanakan penyimpanan kekayaan Reksa Dana
Syariah Berbentuk Perseroan;
b. anggota Dewan Pengawas Syariah Bank Kustodian
atau Direktur Bank Kustodian atau penanggung
- 10 -
jawab kegiatan yang diberi mandat oleh Direksi
Bank Kustodian yang memiliki pengetahuan yang
memadai dan/atau pengalaman di bidang keuangan
syariah, beserta tugas dan tanggung jawabnya;
c. hak dan kewajiban Reksa Dana Syariah Berbentuk
Perseroan dan Bank Kustodian jika dana kelolaan
dan/atau aset Reksa Dana Berbentuk Perseroan
bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar
Modal, peraturan perundang-undangan di sektor
Pasar Modal yang mengatur mengenai Reksa Dana,
dan/atau Kontrak Pengelolaan antara Reksa Dana
Syariah Berbentuk Perseroan dan Manajer Investasi,
termasuk terkait dengan mekanisme pembersihan
kekayaan Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan
dari unsur-unsur yang bertentangan dengan Prinsip
Syariah di Pasar Modal; dan
d. kata “Syariah” pada nama Reksa Dana Syariah
Berbentuk Perseroan.
(5) Ketentuan yang wajib dimuat dalam Kontrak Pengelolaan
dan kontrak penyimpanan kekayaan Reksa Dana Syariah
Berbentuk Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dan ayat (4) wajib dicantumkan sebagai informasi
tambahan dalam Prospektus Reksa Dana Syariah
Berbentuk Perseroan.
Pasal 12
Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan dapat berinvestasi
pada Efek Syariah dan/atau instrumen pasar uang syariah
yang diterbitkan oleh 1 (satu) Pihak paling banyak 20% (dua
puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah
Berbentuk Perseroan pada setiap saat.
Pasal 13
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 tidak
berlaku bagi Efek Syariah berupa:
a.
Sertifikat Bank Indonesia Syariah;
- 11 -
b. Efek Syariah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia; dan/atau
c. Efek Syariah yang diterbitkan oleh lembaga keuangan
internasional dimana Pemerintah Republik Indonesia
menjadi salah satu anggotanya.
BAB III
PENERBITAN UNIT PENYERTAAN REKSA DANA SYARIAH
BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF
Pasal 14
Pihak yang melakukan Penawaran Umum Unit Penyertaan
Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di sektor
Pasar Modal yang mengatur mengenai Ketentuan Umum
Pengajuan Pernyataan Pendaftaran, peraturan perundang-
undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai
Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum
Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, dan
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif lainnya, kecuali diatur lain dan diatur khusus dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 15
(1) Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana Syariah Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif wajib tunduk pada peraturan
perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai pedoman Kontrak Reksa Dana
Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, kecuali diatur lain
dan diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
(2) Pengelolaan Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif wajib tunduk pada peraturan
perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai pedoman pengelolaan Reksa Dana
Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, kecuali diatur lain
- 12 -
dan diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
(3) Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana Syariah Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif wajib mencantumkan:
a. Manajer Investasi dan Bank Kustodian merupakan
wakil (wakiliin) yang bertindak untuk kepentingan
para pemegang Unit Penyertaan sebagai pihak yang
diwakili (muwakil) dimana Manajer Investasi diberi
wewenang untuk mengelola portofolio investasi
kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk
melaksanakan Penitipan Kolektif;
b. akad, cara pengelolaan, dan portofolio Reksa Dana
Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar
Modal;
c. anggota Dewan Pengawas Syariah Manajer Investasi;
d. anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota direksi
atau penanggung jawab kegiatan yang diberi mandat
oleh direksi, yang memiliki pengetahuan yang
memadai dan/atau pengalaman di bidang keuangan
syariah, beserta tugas dan tanggung jawabnya, bagi
Bank Kustodian;
e. mekanisme pembersihan kekayaan Reksa Dana
Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dari
unsur-unsur yang bertentangan dengan Prinsip
Syariah di Pasar Modal;
f.
kata “Syariah” pada nama Reksa Dana Syariah
Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang
diterbitkan; dan
g. dana kelolaan Reksa Dana Syariah Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif hanya dapat
diinvestasikan pada:
1. Saham yang ditawarkan melalui Penawaran
Umum dan diperdagangkan di Bursa Efek di
Indonesia serta dimuat dalam Daftar Efek
Syariah yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan;
- 13 -
2. Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu syariah
dan Waran syariah yang ditawarkan melalui
Penawaran Umum dan/atau diperdagangkan di
Bursa Efek di Indonesia;
3. Sukuk yang ditawarkan di Indonesia melalui
Penawaran Umum;
4. Saham yang diperdagangkan di Bursa Efek luar
negeri yang dimuat dalam Daftar Efek Syariah
yang diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek
Syariah;
5. Sukuk yang ditawarkan melalui Penawaran
Umum dan/atau diperdagangkan di Bursa
Efek luar negeri, yang termasuk dalam Daftar
Efek Syariah yang diterbitkan oleh Pihak
Penerbit Daftar Efek Syariah;
6. Efek Beragun Aset Syariah dalam negeri yang
sudah mendapat peringkat dari Perusahaan
Pemeringkat Efek yang telah memperoleh izin
usaha dari Otoritas Jasa Keuangan;
7. surat berharga komersial syariah dalam negeri
yang sudah mendapat peringkat dari
perusahaan pemeringkat Efek yang telah
memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa
Keuangan;
8. Efek Syariah yang diterbitkan oleh lembaga
internasional dimana Pemerintah Republik
Indonesia menjadi salah satu anggotanya;
dan/atau
9. instrumen pasar uang syariah dalam negeri
yang mempunyai jatuh tempo kurang dari 1
(satu) tahun, baik dalam denominasi rupiah
maupun denominasi mata uang lainnya.
(4) Ketentuan yang wajib dicantumkan dalam Kontrak
Investasi Kolektif Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
wajib dicantumkan sebagai informasi tambahan dalam
- 14 -
Prospektus Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif.
Pasal 16
Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
dapat berinvestasi pada Efek Syariah dan/atau instrumen
pasar uang syariah yang diterbitkan oleh 1 (satu) Pihak paling
banyak 20% (dua puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa
Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif pada
setiap saat.
Pasal 17
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 tidak
berlaku bagi Efek Syariah berupa:
a. Sertifikat Bank Indonesia Syariah;
b. Efek Syariah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia; dan/atau
c. Efek Syariah yang diterbitkan oleh lembaga keuangan
internasional dimana Pemerintah Republik Indonesia
menjadi salah satu anggotanya.
BAB IV
REKSA DANA SYARIAH PASAR UANG, REKSA DANA SYARIAH
PENDAPATAN TETAP, REKSA DANA SYARIAH SAHAM, DAN
REKSA DANA SYARIAH CAMPURAN
Pasal 18
Pihak yang melakukan Penawaran Umum Reksa Dana
Syariah Pasar Uang, Reksa Dana Syariah Pendapatan Tetap,
Reksa Dana Syariah Saham, dan Reksa Dana Syariah
Campuran wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di
sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai pedoman
pengumuman harian Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Terbuka,
dan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai Reksa Dana terkait lainnya, kecuali
diatur lain dan diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
- 15 -
Pasal 19
Manajer Investasi yang mengelola Reksa Dana Syariah Pasar
Uang wajib melakukan investasi pada:
a. instrumen pasar uang syariah dalam negeri, baik dalam
denominasi rupiah maupun denominasi mata uang
lainnya; dan/atau
b. Efek Syariah Berpendapatan Tetap, yang:
1. diterbitkan dengan jangka waktu tidak lebih dari 1
(satu) tahun; dan/atau
2. sisa jatuh temponya tidak lebih dari 1 (satu) tahun.
Pasal 20
Manajer Investasi yang mengelola Reksa Dana Syariah
Pendapatan Tetap wajib menginvestasikan paling sedikit 80%
(delapan puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih dalam bentuk
Efek Syariah Berpendapatan Tetap.
Pasal 21
Manajer Investasi yang mengelola Reksa Dana Syariah Saham
wajib menginvestasikan paling sedikit 80% (delapan puluh
persen) dari Nilai Aktiva Bersih dalam bentuk Efek Syariah
bersifat ekuitas.
Pasal 22
Manajer Investasi yang mengelola Reksa Dana Syariah
Campuran hanya dapat melakukan investasi pada Efek
Syariah Berpendapatan Tetap, Efek Syariah bersifat ekuitas,
dan/atau instrumen pasar uang dalam negeri yang sesuai
dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal dengan ketentuan:
a.
investasi pada salah satu instrumen investasi tersebut
paling banyak adalah 79% (tujuh puluh sembilan persen)
dari Nilai Aktiva Bersih; dan
b.
portofolio Reksa Dana Syariah tersebut wajib berisi Efek
Syariah bersifat ekuitas dan Efek Syariah Berpendapatan
Tetap.
- 16 -
BAB V
REKSA DANA SYARIAH TERPROTEKSI DAN
REKSA DANA SYARIAH INDEKS
Bagian Kesatu
Reksa Dana Syariah Terproteksi
Pasal 23
Pihak yang melakukan Penawaran Umum Reksa Dana
Syariah Terproteksi wajib mengikuti peraturan perundang-
undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai
Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana
Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks serta peraturan
perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur
mengenai Reksa Dana terkait lainnya, kecuali diatur lain dan
diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 24
Masa penawaran maupun jumlah saham atau Unit
Penyertaan yang ditawarkan dalam Penawaran Umum Reksa
Dana Syariah Terproteksi bersifat terbatas dan tidak terus
menerus.
Pasal 25
Manajer Investasi Reksa Dana Syariah Terproteksi wajib
memberikan keterangan tambahan dalam Prospektus antara
lain mengenai kebijakan investasi yang terdiri dari:
a. prosentase dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah
Terproteksi yang akan diinvestasikan pada Efek Syariah
Berpendapatan Tetap, instrumen pasar uang syariah,
dan Efek Syariah lainnya;
b.
jenis Portofolio Efek Syariah yang menjadi basis proteksi
yaitu dengan melakukan investasi pada Efek Syariah
Berpendapatan Tetap yang masuk dalam kategori layak
investasi (investment grade), sehingga nilai Efek Syariah
Berpendapatan Tetap pada saat jatuh tempo paling
kurang dapat menutupi jumlah nilai yang diproteksi; dan
- 17 -
c.
kriteria pemilihan Efek Syariah dan/atau instrumen
pasar uang syariah.
Pasal 26
Portofolio Efek Reksa Dana Syariah Terproteksi wajib memiliki
komposisi:
a. paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) dari Nilai Aktiva
Bersih Reksa Dana Syariah wajib diinvestasikan pada:
1. Efek Syariah Berpendapatan Tetap yang diterbitkan,
ditawarkan dan/atau diperdagangkan di Indonesia
berdasarkan peraturan perundang-undangan di
Indonesia; dan/atau
2. Efek Syariah
Berpendapatan Tetap
yang
diperdagangkan di luar negeri, namun diterbitkan
oleh:
a) Pemerintah Republik Indonesia;
b) badan hukum Indonesia yang merupakan
Emiten dan/atau Perusahaan Publik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Pasar Modal;
c) badan hukum asing yang sebagian besar atau
seluruh sahamnya secara langsung maupun
tidak langsung dimiliki oleh Emiten atau
Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud pada
huruf b) dan badan hukum asing tersebut
khusus didirikan untuk menghimpun dana dari
luar negeri bagi kepentingan Emiten atau
Perusahaan Publik dimaksud; dan/atau
d) badan hukum asing yang sebagian besar atau
seluruh sahamnya secara langsung maupun
tidak langsung dimiliki Badan Usaha Milik
Negara.
b. paling banyak 30% (tiga puluh persen) dari Nilai Aktiva
Bersih Reksa Dana Syariah diinvestasikan pada:
1. saham syariah yang diperdagangkan di Bursa Efek
luar negeri yang dimuat dalam Daftar Efek Syariah
- 18 -
yang diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek
Syariah; dan/atau
2. Sukuk yang ditawarkan melalui Penawaran Umum
dan/atau diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri
yang termasuk dalam Daftar Efek Syariah yang
diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah,
yang informasinya dapat diakses dari Indonesia melalui
media massa atau Situs Web.
Bagian Kedua
Reksa Dana Syariah Indeks
Pasal 27
Pihak yang melakukan Penawaran Umum Reksa Dana
Syariah Indeks wajib mengikuti peraturan perundang-
undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai
Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana
Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks serta peraturan
perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur
mengenai Reksa Dana terkait lainnya, kecuali diatur lain dan
diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 28
Penawaran Umum saham atau Unit Penyertaan Reksa Dana
Syariah Indeks harus bersifat terus menerus atau terbatas
baik dalam masa penawaran maupun jumlah saham atau
Unit Penyertaan yang ditawarkan.
Pasal 29
Dalam hal Manajer Investasi bermaksud menerbitkan Reksa
Dana Syariah Indeks, maka:
a. Manajer Investasi wajib memberikan keterangan
tambahan dalam Prospektus mengenai ketentuan
investasi sebagai berikut:
1. paling sedikit 80% (delapan puluh persen) dari Nilai
Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah Indeks wajib
diinvestasikan pada Efek Syariah yang merupakan
- 19 -
bagian dari kumpulan Efek Syariah yang ada dalam
indeks tersebut;
2. investasi pada Efek Syariah yang ada dalam indeks
sebagaimana dimaksud pada angka 1 paling sedikit
80% (delapan puluh persen) dari keseluruhan Efek
Syariah yang ada dalam indeks tersebut;
3. pembobotan atas masing-masing Efek Syariah dalam
Reksa Dana Syariah Indeks tersebut paling sedikit
80% (delapan puluh persen) dan paling banyak
120% (seratus dua puluh persen) dari pembobotan
atas masing-masing Efek Syariah dalam indeks yang
menjadi acuan; dan
4. tingkat penyimpangan (tracking error) dari kinerja
Reksa Dana Syariah Indeks terhadap kinerja indeks
yang menjadi acuan.
b. Reksa Dana Syariah Indeks wajib menggunakan indeks
yang berbasis Efek Syariah yang tersedia di media massa
atau dapat diakses melalui Situs Web.
c.
Otoritas Jasa Keuangan berwenang menolak indeks Efek
Syariah yang akan dijadikan tujuan investasi Reksa Dana
Syariah Indeks disertai dengan alasan penolakan.
BAB VI
REKSA DANA SYARIAH BERBASIS
EFEK SYARIAH LUAR NEGERI
Pasal 30
Pihak yang melakukan Penawaran Umum Reksa Dana
Syariah Berbasis Efek Syariah Luar Negeri wajib mengikuti
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana
Berbentuk Perseroan dan peraturan perundang-undangan di
sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman
Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
serta peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai Reksa Dana terkait lainnya, kecuali
- 20 -
diatur lain dan diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Pasal 31
Manajer Investasi yang mengelola Reksa Dana Syariah
Berbasis Efek Syariah Luar Negeri wajib menentukan
komposisi portofolio dengan ketentuan:
a. paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) dari Nilai
Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah Berbasis Efek Syariah
Luar Negeri diinvestasikan pada Efek Syariah Luar Negeri
yang dimuat dalam Daftar Efek Syariah yang diterbitkan
oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah; dan
b. paling banyak 49% (empat puluh sembilan persen) dari
Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah Berbasis Efek
Syariah Luar Negeri diinvestasikan pada Efek Syariah
dalam negeri.
Pasal 32
Reksa Dana Syariah Berbasis Efek Syariah Luar Negeri hanya
dapat melakukan investasi pada Efek Syariah Luar Negeri
yang diterbitkan oleh penerbit yang negaranya telah menjadi
anggota International Organization of Securities Commissions
(IOSCO) serta telah menandatangani secara penuh (full
signatory) Multilateral Memorandum of Understanding
Concerning Consultation and Coorperation and the Exchange of
Information (IOSCO MMOU).
Pasal 33
Manajer Investasi wajib memastikan pemodal Reksa Dana
Syariah Berbasis Efek Syariah Luar Negeri telah memahami
dan mengerti tentang struktur produk maupun risiko
investasi pada Unit Penyertaan Reksa Dana Berbasis Efek
Syariah Luar Negeri termasuk risiko kurs, risiko fluktuasi
Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana yang cukup tinggi, serta risiko
kehilangan nilai pokok investasi.
- 21 -
Pasal 34
Nilai investasi awal atas pembelian Reksa Dana Syariah
Berbasis Efek Syariah Luar Negeri paling sedikit sebesar
US$10.000 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) atau nilai
yang setara.
BAB VII
REKSA DANA SYARIAH BERBASIS SUKUK
Pasal 35
Pihak yang melakukan Penawaran Umum Reksa Dana
Syariah Berbasis Sukuk wajib mengikuti peraturan
perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur
mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk
Perseroan, dan peraturan perundang-undangan di sektor
Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan
Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, serta
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Reksa Dana terkait lainnya, kecuali
diatur lain dan diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Pasal 36
(1) Masa penawaran maupun jumlah saham atau Unit
Penyertaan Reksa Dana Syariah Berbasis Sukuk yang
ditawarkan dapat bersifat terus menerus atau terbatas.
(2) Sifat masa penawaran maupun jumlah saham atau Unit
Penyertaan Reksa Dana Syariah Berbasis Sukuk yang
ditawarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dimuat dalam kontrak Reksa Dana Syariah Berbasis
Sukuk.
Pasal 37
Manajer Investasi yang mengelola Reksa Dana Syariah
Berbasis Sukuk wajib menentukan komposisi portofolio
dengan ketentuan paling sedikit 85% (delapan puluh lima
- 22 -
persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah
diinvestasikan pada:
a. Sukuk yang ditawarkan di Indonesia melalui Penawaran
Umum;
b. Surat Berharga Syariah Negara; dan/atau
c. surat berharga komersial syariah yang jatuh temponya 1
(satu) tahun atau lebih dan masuk dalam kategori layak
investasi (investment grade) serta dimasukkan dalam
Penitipan Kolektif pada Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian oleh penerbit surat berharga komersial
syariah.
Pasal 38
Surat berharga komersial syariah sebagaimana dimaksud
Pasal 37 huruf c berupa surat berharga yang diterbitkan oleh:
a. Badan Usaha Milik Negara;
b. badan hukum Indonesia yang sebagian besar atau
seluruh sahamnya dimiliki secara langsung oleh Badan
Usaha Milik Negara;
c. badan hukum Indonesia yang merupakan Emiten
dan/atau Perusahaan Publik berdasarkan peraturan
perundang-undangan;
d. badan hukum Indonesia yang sebagian besar atau
seluruh sahamnya dimiliki secara langsung oleh Emiten
dan/atau Perusahaan Publik; atau
e. badan hukum Indonesia yang menjadi induk dan
pembina dari Usaha Mikro Kecil dan Menengah atau
Baitul Maal Wa Tamwil dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. berpengalaman dan dapat dibuktikan telah
melakukan pembinaan terhadap Usaha Mikro Kecil
dan Menengah atau Baitul Maal Wa Tamwil paling
sedikit 3 (tiga) tahun;
2. memiliki infrastruktur yang memadai dalam
melakukan pembinaan terhadap Usaha Mikro Kecil
dan Menengah atau Baitul Maal Wa Tamwil; dan
- 23 -
3. memiliki Dewan Pengawas Syariah yang anggotanya
mempunyai izin ASPM dari Otoritas Jasa Keuangan.
BAB VIII
REKSA DANA SYARIAH BERBENTUK
KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF YANG UNIT
PENYERTAANNYA DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK
Pasal 39
Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek wajib
mengikuti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar
Modal yang mengatur mengenai Reksa Dana Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya
diperdagangkan di Bursa Efek serta peraturan perundang-
undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai
Reksa Dana terkait lainnya, kecuali diatur lain dan diatur
khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 40
Kebijakan investasi Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di
Bursa Efek wajib mengacu pada masing-masing jenis Reksa
Dana Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal
20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 26, Pasal 29 huruf a, Pasal 31,
dan Pasal 37 serta memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. komposisi Portofolio Efek Syariah yang membentuk
Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek
harus terdiri dari Efek Syariah yang likuid; dan
b. tingkat likuiditas Efek Syariah yang menjadi portofolio
Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek
wajib ditentukan bersama antara Manajer Investasi
dengan Bank Kustodian.
- 24 -
Pasal 41
Prospektus Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa
Efek wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai Pedoman Bentuk dan Isi Prospektus
Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana, serta memuat:
a. informasi bahwa Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana
Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit
Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek wajib
mengikuti peraturan perundang-undangan di sektor
Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Kontrak
Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dan
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai Reksa Dana Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya
diperdagangkan di Bursa Efek; dan
b. informasi keanggotaan Dewan Pengawas Syariah dari
Manajer Investasi, beserta tugas dan tanggung jawabnya.
BAB IX
REKSA DANA SYARIAH BERBENTUK KONTRAK INVESTASI
KOLEKTIF PENYERTAAN TERBATAS
Pasal 42
Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
Penyertaan Terbatas wajib mengikuti Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif Penyertaan Terbatas serta peraturan perundang-
undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai
Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif terkait
lainnya, kecuali diatur lain dan diatur khusus dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 43
Ketentuan mengenai jaminan atas investasi pada Efek bersifat
utang sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
- 25 -
Keuangan tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif Penyertaan Terbatas tidak berlaku bagi Reksa Dana
Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan
Terbatas yang melakukan investasi pada Sukuk.
Pasal 44
Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
Penyertaan Terbatas dilarang melakukan investasi pada
Portofolio Efek yang berbasis Kegiatan Sektor Riil di luar
negeri.
Pasal 45
Ketentuan mengenai batasan investasi pada Efek Syariah
dan/atau instrumen pasar uang syariah yang diterbitkan oleh
1 (satu) Pihak paling banyak 10% (sepuluh persen) dari Nilai
Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif pada setiap saat tidak berlaku untuk Reksa
Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
Penyertaan Terbatas.
BAB X
PENGELOLAAN REKSA DANA SYARIAH
Pasal 46
Pengelolaan Reksa Dana Syariah wajib mengikuti ketentuan:
a. Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa
Dana Berbentuk Perseroan, bagi Reksa Dana Syariah
Berbentuk Perseroan; dan/atau
b. Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa
Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, bagi Reksa
Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif,
kecuali diatur lain dan diatur khusus dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
- 26 -
Pasal 47
(1) Direksi, Manajer Investasi, dan/atau Bank Kustodian
Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan wajib
melaksanakan seluruh ketentuan yang diatur dalam
Kontrak Pengelolaan dan/atau Kontrak penyimpanan
kekayaan sesuai dengan fungsinya masing-masing.
(2) Manajer Investasi dan Bank Kustodian Reksa Dana
Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif wajib
melaksanakan seluruh ketentuan yang dimuat dalam
Kontrak Investasi Kolektif.
Pasal 48
Bank Kustodian wajib menolak instruksi Manajer Investasi
secara tertulis dengan tembusan kepada Otoritas Jasa
Keuangan apabila pelaksanaan instruksi tersebut dapat
mengakibatkan Reksa Dana Syariah memiliki Efek dan/atau
instrumen pasar uang selain Efek dan/atau instrumen pasar
uang syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3)
huruf f dan Pasal 15 ayat (3) huruf g.
Pasal 49
Dalam hal Reksa Dana Syariah memiliki Efek dan/atau
instrumen pasar uang selain Efek dan/atau instrumen pasar
uang syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3)
huruf f dan Pasal 15 ayat (3) huruf g, yang bukan disebabkan
oleh tindakan Manajer Investasi dan Bank Kustodian, maka:
a. Manajer Investasi wajib menjual secepat mungkin paling
lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak:
1. saham tidak lagi tercantum dalam Daftar Efek
Syariah dengan ketentuan selisih lebih harga jual
dari Nilai Pasar Wajar pada saat masih tercantum
dalam Daftar Efek Syariah dapat diperhitungkan
dalam Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah;
dan/atau
2. Efek selain saham dan/atau instrumen pasar uang
tidak memenuhi Prinsip Syariah, dengan ketentuan
selisih lebih harga jual dari Nilai Pasar Wajar pada
- 27 -
saat masih memenuhi Prinsip Syariah di Pasar
Modal, dapat diperhitungkan dalam Nilai Aktiva
Bersih Reksa Dana Syariah.
b. Bank Kustodian wajib menyampaikan kepada Otoritas
Jasa Keuangan serta pemegang Efek Reksa Dana Syariah
informasi tentang perolehan selisih lebih penjualan Efek
sebagaimana dimaksud dalam huruf a paling lambat
pada hari ke-12 (kedua belas) setiap bulan (jika ada).
c. Dalam hal hari ke-12 (kedua belas) jatuh pada hari libur,
informasi sebagaimana dimaksud pada huruf b wajib
disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja
berikutnya.
Pasal 50
(1) Dalam hal tindakan Manajer Investasi dan Bank
Kustodian mengakibatkan portofolio Reksa Dana Syariah
memiliki Efek dan/atau instrumen pasar uang selain
Efek dan/atau instrumen pasar uang syariah
sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (3) huruf f dan
Pasal 15 ayat (3) huruf g Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini, Otoritas Jasa Keuangan berwenang:
a. melarang Manajer Investasi untuk melakukan
penjualan Unit Penyertaan baru dan/atau saham
baru Reksa Dana Syariah;
b. melarang Manajer Investasi dan Bank Kustodian
untuk mengalihkan kekayaan Reksa Dana Syariah
selain dalam rangka:
1. pembersihan kekayaan Reksa Dana Syariah
dari unsur-unsur yang bertentangan dengan
Prinsip Syariah di Pasar Modal; dan/atau
2. membayar permohonan penjualan kembali Unit
Penyertaan dan/atau saham Reksa Dana
Syariah.
c. mewajibkan Manajer Investasi dan Bank Kustodian
secara tanggung renteng untuk membeli portofolio
yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar
- 28 -
Modal sesuai dengan harga perolehan dalam waktu
yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
d. mewajibkan Manajer Investasi atas nama Reksa
Dana Syariah menjual atau mengalihkan unsur
kekayaan Reksa Dana Syariah dari unsur kekayaan
yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar
Modal, dengan ketentuan selisih lebih harga jual
dari Nilai Pasar Wajar terakhir pada saat masih
memenuhi Prinsip Syariah di Pasar Modal
dipisahkan dari perhitungan Nilai Aktiva Bersih
Reksa Dana Syariah dan diperlakukan sebagai dana
sosial; dan/atau
e. mewajibkan
Manajer
Investasi untuk
mengumumkan kepada publik larangan dan/atau
kewajiban yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c, dalam 2 (dua) surat kabar harian berbahasa
Indonesia dan berperedaran nasional atas biaya
Manajer Investasi dan Bank Kustodian paling lambat
akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah diterimanya
surat Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Bank Kustodian wajib menyampaikan kepada Otoritas
Jasa Keuangan serta pemegang Efek Reksa Dana Syariah
informasi tentang perolehan selisih lebih penjualan Efek
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan
informasi tentang penggunaannya sebagai dana sosial
paling lambat pada hari ke-12 (kedua belas) setiap bulan
(jika ada).
(3) Dalam hal hari ke-12 (kedua belas) jatuh pada hari libur,
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja
berikutnya.
Pasal 51
(1) Dalam hal Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian
tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
- 29 -
untuk mengganti Manajer Investasi, Bank Kustodian,
atau memerintahkan pembubaran Reksa Dana Syariah
tersebut.
(2) Dalam hal Manajer Investasi dan Bank Kustodian tidak
membubarkan Reksa Dana Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan
berwenang membubarkan Reksa Dana Syariah tersebut.
BAB XI
PEMBUBARAN REKSA DANA SYARIAH
Pasal 52
Ketentuan mengenai pembubaran dan likuidasi Reksa Dana
Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif wajib mengikuti
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar
Modal yang mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa
Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, kecuali diatur lain
dan diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini.
Pasal 53
Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
wajib dibubarkan, apabila terjadi salah satu dari hal-hal
sebagai berikut:
a. dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari bursa,
Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
yang Pernyataan Pendaftaran-nya telah menjadi efektif
memiliki dana kelolaan kurang dari Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah);
b. dalam jangka waktu 120 (seratus dua puluh) hari bursa
setelah Pernyataan Pendaftaran-nya menjadi efektif
memiliki dana kelolaan kurang dari Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah), bagi Reksa Dana Syariah
Terproteksi dan Reksa Dana Syariah Indeks;
c. diperintahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar
Modal;
- 30 -
d.
total Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah Berbentuk
Kontrak Investasi
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) selama 120
(seratus dua puluh) hari bursa berturut-turut; dan/atau
e. Manajer Investasi dan Bank Kustodian telah sepakat
untuk membubarkan Reksa Dana Syariah Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif.
BAB XII
PELAPORAN
Pasal 54
Ketentuan mengenai kewajiban pelaporan bagi Reksa Dana
Berbentuk Perseroan sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur
mengenai Reksa Dana Berbentuk Perseroan mutatis mutandis
berlaku bagi Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan.
Pasal 55
Ketentuan mengenai kewajiban pelaporan bagi Reksa Dana
Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai Reksa Dana Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif mutatis mutandis berlaku bagi Reksa Dana
Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.
BAB XIII
KETENTUAN SANKSI
Pasal 56
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:
a. Peringatan tertulis;
Kolektif kurang dari
- 31 -
b. Denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. Pembatasan kegiatan usaha;
d. Pembekuan kegiatan usaha;
e. Pencabutan izin usaha;
f. Pembatalan persetujuan; dan
g. Pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 57
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 58
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 57 kepada masyarakat.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 59
Manajer Investasi yang telah melakukan pengelolaan Reksa
Dana Syariah wajib menyesuaikan Kontrak Investasi Kolektif
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
- 32 -
Keuangan ini paling lambat 1 (satu) tahun sejak
diundangkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 60
(1) Kewajiban anggota Dewan Pengawas Syariah dan Tim
Ahli Syariah memiliki izin Ahli Syariah Pasar Modal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) selama 2
(dua) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
berlaku dapat digantikan oleh orang perseorangan yang
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli
Syariah Pasar Modal sepanjang yang bersangkutan
melapor kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6
(enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar Modal.
(2) Orang perseorangan yang telah menyampaikan laporan
kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat menjadi anggota Dewan Pengawas
Syariah atau anggota Tim Ahli Syariah meskipun belum
memiliki izin ASPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (3) paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah
Pasar Modal.
Pasal 61
Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum
Reksa Dana Syariah yang telah disampaikan kepada Otoritas
Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini, diselesaikan berdasarkan Peraturan Nomor
IX.A.13, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-181/BL/2009
tanggal 30 Juni 2009 tentang Penerbitan Efek Syariah.
- 33 -
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 62
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Peraturan Nomor IX.A.13, Lampiran Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Nomor: KEP-181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang
Penerbitan Efek Syariah dinyatakan tidak berlaku bagi
penerbitan Reksa Dana Syariah.
Pasal 63
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 3 November 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 10 November 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H.LAOLY
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 270
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 19 /POJK.04/2015
TENTANG
PENERBITAN DAN PERSYARATAN REKSA DANA SYARIAH
I. UMUM
Dalam rangka pengembangan Pasar Modal syariah agar dapat
tumbuh secara berkelanjutan diperlukan pengembangan infrastruktur
yang memadai. Salah satu infrastruktur penting adalah tersedianya
regulasi yang jelas, mudah dipahami, dan dapat diterapkan.
Untuk mendukung pengembangan Pasar Modal syariah tersebut di
atas, perlu dilakukan penyempurnaan sekaligus pemisahan ketentuan
terkait dengan Reksa Dana Syariah sehingga sesuai dengan karakteristik
dan pengelolaan atas Efek tersebut. Penyempurnaan dan pemisahan
ketentuan ini diperlukan mengingat Peraturan Nomor IX.A.13, Lampiran
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Nomor: Kep-181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang Penerbitan Efek
Syariah dipandang terlalu umum karena mengatur penerbitan berbagai
jenis Efek Syariah.
Adapun beberapa pokok penyempurnaan dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan tentang Penerbitan dan Persyaratan Reksa Dana Syariah
antara lain meliputi: pengaturan Reksa Dana Syariah berdasarkan
jenisnya, relaksasi kebijakan investasi dalam satu portofolio Reksa Dana
Syariah, kewajiban Manajer Investasi selaku pengelola Reksa Dana
Syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah, dan jenis Reksa Dana Syariah
yang baru yaitu Reksa Dana Syariah Berbasis Sukuk dan Reksa Dana
Syariah Berbasis Efek Syariah Luar Negeri.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Yang dimaksud dengan “penawaran umum di luar negeri” adalah
penawaran umum Efek sesuai dengan peraturan perundang-
undangan di negara Efek tersebut ditawarkan.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan
Pendaftaran yang saat ini berlaku adalah Peraturan Nomor IX.A.1,
Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor: Kep-690/BL/2011, tanggal 30 Desember
2011 tentang Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Dewan Pengawas Syariah Manajer Investasi dapat terdiri dari
1 (satu) anggota yang ditunjuk oleh Direksi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 3 -
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pengawasan Reksa Dana Syariah dalam
rangka pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal secara
berkelanjutan” adalah pengawasan pemenuhan Prinsip Syariah
di Pasar Modal yang dilakukan sampai dengan dibubarkannya
Reksa Dana Syariah.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pihak yang dituju” adalah pihak
yang menggunakan jasa Dewan Pengawas Syariah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan
Pendaftaran yang saat ini berlaku adalah Peraturan Nomor IX.A.1,
Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor: Kep-690/BL/2011, tanggal 30 Desember
- 4 -
2011 tentang Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran.
Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka
Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang saat ini
berlaku adalah Peraturan Nomor IX.C.4, Lampiran Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-52/PM/1996, tanggal 17
Januari 1996 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka
Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Perseroan.
Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Reksa Dana Berbentuk Perseroan lainnya yang
saat ini berlaku antara lain:
1. Peraturan Nomor IV.A.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-13/PM/2002, tanggal 14
Agustus 2002 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana
Berbentuk Perseroan; dan
2. Peraturan Nomor IV.A.4, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-14/PM/2002, tanggal 14
Agustus 2002 tentang Pedoman Kontrak Reksa Dana Berbentuk
Perseroan.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai pedoman kontrak pengelolaan Reksa Dana
Berbentuk Perseroan yang saat ini berlaku adalah Peraturan
Nomor IV.A.4, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal Nomor: Kep-14/PM/2002, tanggal 14 Agustus 2002
tentang Pedoman Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk
Perseroan.
Ayat (2)
Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai pedoman kontrak penyimpanan kekayaan
Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang saat ini berlaku adalah
Peraturan Nomor IV.A.5, Lampiran Keputusan Ketua Badan
- 5 -
Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-21/PM/1996, tanggal 17
Januari 1996 tentang Pedoman Kontrak Penyimpanan Kekayaan
Reksa Dana Berbentuk Perseroan.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Angka 1
Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai Daftar Efek Syariah dan
pihak penerbit Daftar Efek Syariah yang saat ini
berlaku adalah Peraturan Nomor II.K.1, Lampiran
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan
Lembaga Keuangan Nomor: KEP-208/BL/2012 Tanggal
24 April 2012 Tentang Kriteria Dan Penerbitan Daftar
Efek Syariah.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “Waran Syariah” adalah Efek
yang diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memberi
hak kepada pemegang Efek untuk memesan saham
syariah dari perusahaan tersebut pada harga tertentu
setelah 6 (enam) bulan atau lebih sejak Efek dimaksud
diterbitkan.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
- 6 -
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Yang dimaksud dengan “surat berharga komersial
syariah dalam negeri” antara lain adalah Medium Term
Note syariah.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Yang dimaksud dengan “Instrumen pasar uang
syariah” antara lain seperti Sertifikat Bank Indonesia
Syariah.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Pemerintah Republik Indonesia” adalah
Pemerintah Pusat.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 14
Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka
Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
yang saat ini berlaku adalah Peraturan Nomor IX.C.5, Lampiran
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor: Kep-430/BL/2007, tanggal 19 Desember 2007
- 7 -
tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum
Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.
Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif lainnya antara lain:
1. Peraturan Nomor IV.B.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-
552/BL/2010, tanggal 30 Desember 2010 tentang Pedoman
Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif;
dan
2. Peraturan Nomor IV.B.2, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-
553/BL/2010, tanggal 30 Desember 2010 tentang Pedoman
Kontrak Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Dalam hal Pihak yang melakukan kegiatan syariah di Pasar
Modal merupakan Kantor Cabang Bank Asing, yang
dimaksud dengan “direksi” adalah pimpinan tertinggi pada
Kantor Cabang Bank Asing tersebut.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
- 8 -
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai pedoman pengumuman harian Nilai Aktiva
Bersih Reksa Dana Terbuka yang saat ini berlaku adalah Peraturan
Nomor IV.C.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-516/BL/2012, tanggal 21
September 2012 tentang Pedoman Pengumuman Harian Nilai Aktiva
Bersih Reksa Dana Terbuka.
Pasal 19
Huruf a
Contoh instrumen pasar uang syariah antara lain Sertifikat
Bank Indonesia Syariah.
Huruf b
Contoh Efek Syariah Berpendapatan Tetap antara lain sukuk
ijarah.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
- 9 -
Pasal 23
Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi,
Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks yang saat
ini berlaku adalah Peraturan Nomor IV.C.4, Lampiran Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor:
Kep-262/BL/2011, tanggal 31 Mei 2011 tentang Pedoman
Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan
Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi,
Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks yang saat
ini berlaku adalah Peraturan Nomor IV.C.4, Lampiran Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor:
Kep-262/BL/2011, tanggal 31 Mei 2011 tentang Pedoman
Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan
Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
- 10 -
Pasal 30
Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk
Perseroan yang saat ini berlaku adalah Peraturan Nomor IV.A.3,
Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor:
Kep-13/PM/2002, tanggal 14 Agustus 2002 tentang Pedoman
Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan.
Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif yang saat ini berlaku adalah Peraturan
Nomor IV.B.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-552/BL/2010, tanggal 30
Desember 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana
Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk
Perseroan yang saat ini berlaku adalah Peraturan Nomor IV.A.3,
Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor:
Kep-13/PM/2002, tanggal 14 Agustus 2002 tentang Pedoman
Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan.
Pasal 36
Cukup jelas.
- 11 -
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Angka 1
Pengalaman telah melakukan pembinaan terhadap Usaha
Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) atau Baitul Maal Wa
Tamwil (BMT) paling sedikit 3 (tiga) tahun antara lain
dibuktikan dengan akta pendirian.
Angka 2
Infrastruktur yang memadai dalam melakukan pembinaan
terhadap Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) atau
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) dapat dibuktikan antara lain
dengan jumlah sumber daya manusia yang mencukupi,
sistem pengawasan yang memadai, dan prosedur operasi
standar.
Angka 3
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Huruf a
Yang dimaksud dengan “likuid” antara lain adalah frekuensi
transaksi Efek yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata
frekuensi transaksi Efek sejenis misalnya saham dibandingkan
dengan saham.
- 12 -
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
- 13 -
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa
memerintahkan Manajer Investasi untuk membubarkan Reksa Dana
Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
- 14 -
Pasal 63
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5759
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 19/POJK.04/2015 </reg_id>
<reg_title> PENERBITAN DAN PERSYARATAN REKSA DANA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 3 November 2015 </set_date>
<effective_date> 10 November 2015 </effective_date>
<issued_date> 10 November 2015 </issued_date>
<replaced_reg> 'KEP-181/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.13' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XIII' </penalty_list>
|
- 1 -
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 44 /POJK.03/2017
TENTANG
PEMBATASAN PEMBERIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN OLEH BANK UMUM
UNTUK PENGADAAN TANAH DAN/ATAU PENGOLAHAN TANAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk memelihara kesinambungan dan
kemantapan pertumbuhan ekonomi, kondisi ekonomi
makro yang stabil serta operasi perbankan yang sehat
berlandaskan prinsip kehati-hatian perlu terus
dipertahankan;
b. bahwa laju pertumbuhan kredit atau pembiayaan
perbankan yang berlebihan pada sektor properti
merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
kestabilan moneter dan kesehatan perbankan;
c. bahwa pemberian kredit atau pembiayaan untuk
pengadaan tanah dan pengolahan tanah merupakan
unsur yang banyak mendorong pertumbuhan yang
berlebihan dari kredit atau pembiayaan sektor properti;
d. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di
sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa
Keuangan, diperlukan pengaturan kembali pembatasan
pemberian
kredit
atau
pembiayaan
- 2 -
oleh bank umum untuk pengadaan tanah dan/atau
pengolahan tanah;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Pembatasan Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh
Bank Umum untuk Pengadaan Tanah dan/atau
Pengolahan Tanah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEMBATASAN PEMBERIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN
OLEH BANK UMUM UNTUK PENGADAAN TANAH DAN/ATAU
PENGOLAHAN TANAH.
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri serta Bank Umum Syariah
dan Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
2. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara Bank Umum
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga, termasuk:
a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada
rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar
lunas pada akhir hari;
b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan
anjak piutang; dan
c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak
lain.
3. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan
musyarakah;
b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau
sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang
murabahah, salam, dan istishna’;
- 4 -
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang
qardh; dan
e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah
untuk transaksi multijasa,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank
Umum Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah dan pihak
lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau
diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah,
tanpa imbalan, atau bagi hasil sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
4. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel,
obligasi, sekuritas kredit atau setiap derivatifnya, atau
kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit,
dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar
modal dan pasar uang, termasuk surat berharga
komersial (commercial paper) sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai persyaratan penerbitan dan perdagangan surat
berharga komersial (commercial paper) melalui bank
umum di Indonesia.
5. Surat Berharga Syariah adalah surat bukti berinvestasi
berdasarkan prinsip syariah yang lazim diperdagangkan
di pasar uang dan/atau pasar modal antara lain sukuk,
reksadana syariah, dan surat berharga lainnya
berdasarkan prinsip syariah.
6. Properti adalah harta berupa tanah dan bangunan serta
sarana dan prasarana yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari tanah dan/atau bangunan dimaksud.
7. Pengembang adalah perusahaan yang melakukan
kegiatan pengadaan tanah dan pengolahan tanah serta
pengadaan bangunan dan/atau sarana dan prasarana
dengan maksud dijual atau disewakan, dan tidak
termasuk Pengembang jalan tol.
8. Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk
mendapatkan hak atas penggunaan tanah dengan cara
- 5 -
memberikan ganti rugi atau imbalan kepada pihak yang
semula berhak atas tanah tersebut.
9. Pengolahan Tanah adalah setiap kegiatan untuk
menjadikan tanah siap pakai atau siap bangun.
10. Rumah Sederhana adalah rumah tidak bersusun dengan
luas lantai tidak lebih dari 70 m2 (tujuh puluh meter
persegi), yang dibangun di atas tanah dengan luas
kaveling 54 m2 (lima puluh empat meter persegi) sampai
dengan 200 m2 (dua ratus meter persegi) dengan biaya
pembangunan per m2 (meter persegi) tertinggi untuk
pembangunan rumah dinas tipe C dan rumah susun
dengan luas lantai tidak lebih dari 36 m2 (tiga puluh
enam meter persegi), serta kaveling siap bangun dengan
luas maksimum 72 m2 (tujuh puluh dua meter persegi),
termasuk pula rumah toko (ruko) dengan keseluruhan
luas lantai maksimal 70 m2 (tujuh puluh meter persegi),
dan kios atau los pasar tradisional untuk usaha kecil,
dengan ukuran luas lantai masing-masing maksimal
36 m2 (tiga puluh enam meter persegi).
BAB II
PEMBATASAN PEMBERIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN
UNTUK PENGADAAN TANAH DAN/ATAU
PENGOLAHAN TANAH
Pasal 2
(1) Bank dilarang untuk:
a. memberikan Kredit atau Pembiayaan kepada
Pengembang, baik secara langsung maupun tidak
langsung; dan/atau
b. membeli atau menjamin Surat Berharga atau Surat
Berharga Syariah dari Pengembang,
untuk Pengadaan Tanah dan/atau Pengolahan Tanah.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku untuk:
a. pengalihan Kredit atau Pembiayaan dari
Pengembang kepada suatu Pengembang lain untuk
- 6 -
penyelamatan sepanjang tidak menambah saldo
Kredit atau Pembiayaan;
b. perpanjangan jangka waktu Kredit atau Pembiayaan
untuk penyelamatan, tanpa menambah saldo Kredit
atau Pembiayaan; dan
c. pemberian Kredit atau Pembiayaan dan/atau
pembelian atau penjaminan Surat Berharga atau
Surat Berharga Syariah dari Pengembang untuk
Pengadaan Tanah dan/atau Pengolahan Tanah guna
pembangunan Rumah Sederhana, dengan
persyaratan:
1) untuk Rumah Sederhana tidak bersusun,
paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari
luas lahan yang dibiayai digunakan untuk
pembangunan Rumah Sederhana tidak
bersusun beserta fasilitas umum dan fasilitas
sosial yang diperlukan bagi penghuni Rumah
Sederhana yang bersangkutan;
2) untuk rumah susun sederhana, paling sedikit
90% (sembilan puluh persen) dari luas lahan
dan 75% (tujuh puluh lima persen) dari seluruh
luas lantai digunakan untuk pembangunan
rumah susun sederhana beserta fasilitas umum
dan fasilitas sosial yang diperlukan bagi
penghuni rumah susun sederhana yang
bersangkutan;
3) untuk ruko, paling sedikit 90% (sembilan puluh
persen) dari luas lahan digunakan untuk
bangunan ruko dan fasilitas umum serta
fasilitas sosial bagi keperluan hunian dan
usaha dari pemilik ruko; dan
4) untuk kios atau los pasar tradisional, paling
sedikit 90% (sembilan puluh persen) luas lahan
digunakan bagi pembangunan kios atau los
serta fasilitas umum atau fasilitas sosial untuk
kepentingan usaha pemilik kios atau los.
- 7 -
Pasal 3
Pemberian Kredit atau Pembiayaan kepada Pengembang selain
untuk Pengadaan Tanah dan/atau Pengolahan Tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, diatur
sebagai berikut:
a. harga atau nilai tanah tidak dapat digunakan untuk
memenuhi keperluan pembiayaan sendiri (self financing)
nasabah yang dipersyaratkan oleh Bank dalam
persetujuan Kredit atau Pembiayaan;
b. penyediaan fasilitas Kredit atau Pembiayaan untuk
pembangunan Properti hanya dapat dilakukan atas dasar
bukti pemilikan tanah atas nama Pengembang atau
dokumen lain yang memberikan hak kepada Pengembang
untuk menggunakan tanah tersebut bagi pembangunan
Properti yang dibiayai; dan
c. pencairan Kredit atau Pembiayaan untuk Properti hanya
dapat dilakukan atas dasar Izin Mendirikan Bangunan
(IMB), atau paling sedikit bukti pengajuan permohonan
IMB yang dikeluarkan instansi yang berwenang serta
surat perjanjian pelaksanaan pekerjaan pembangunan
untuk proyek yang dibiayai antara Pengembang dengan
kontraktor.
Pasal 4
Ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 tidak berlaku
bagi pemberian Kredit atau Pembiayaan kepada Pengembang
untuk tujuan pembangunan Rumah Sederhana.
BAB III
PELAPORAN
Pasal 5
Bank melaporkan setiap pemberian Kredit atau Pembiayaan
kepada Pengembang secara daring (online) melalui Sistem
Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan
dengan mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan
- 8 -
yang mengatur mengenai pelaporan dan permintaan informasi
debitur melalui sistem layanan informasi keuangan.
BAB IV
SANKSI
Pasal 6
(1) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar 10% (sepuluh persen)
dari jumlah Kredit atau Pembiayaan yang disetujui untuk
membiayai Pengadaan Tanah dan/atau Pengolahan
Tanah atau dari nilai nominal Surat Berharga atau Surat
Berharga Syariah yang dibeli dan/atau dijamin.
(2) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar 10% (sepuluh persen)
dari nilai tanah yang diperhitungkan dalam pembiayaan
sendiri (self financing).
(3) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dan Pasal 3 huruf c
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
10% (sepuluh persen) dari jumlah Kredit atau
Pembiayaan yang disetujui untuk membiayai Pengadaan
Tanah dan/atau Pengolahan Tanah.
(4) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilakukan untuk
masing-masing pelanggaran dan dikenakan setelah
terjadinya pencairan atas fasilitas Kredit atau
Pembiayaan atau setelah pembelian dan/atau
penjaminan Surat Berharga atau Surat Berharga Syariah.
- 9 -
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 7
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku:
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 30/46/KEP/DIR tentang Pembatasan Pemberian
Kredit oleh Bank Umum untuk Pembiayaan Pengadaan
dan atau Pengolahan Tanah;
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 30/2/UK perihal
Pembatasan Pemberian Kredit oleh Bank Umum untuk
Pembiayaan Pengadaan dan atau Pengolahan Tanah; dan
c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/2/UK perihal
Pelaporan Pemberian Kredit oleh Bank Umum untuk
Pembiayaan Pengadaan dan atau Pengolahan Tanah,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 10 -
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 150
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 44 /POJK.03/2017
TENTANG
PEMBATASAN PEMBERIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN OLEH BANK UMUM
UNTUK PENGADAAN TANAH DAN/ATAU PENGOLAHAN TANAH
I. UMUM
Untuk menjaga kesinambungan dan kemantapan perekonomian
nasional, perlu terus mempertahankan kegiatan perbankan yang sehat
berlandaskan prinsip kehati-hatian. Penerapan prinsip kehati-hatian oleh
Bank dilakukan baik untuk kegiatan penghimpunan dana maupun
penyaluran dana.
Salah satu penyaluran dana perbankan yang berkembang adalah
Kredit atau Pembiayaan pada sektor Properti. Mengingat sektor Properti
mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, diperlukan pula peningkatan
penerapan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran Kredit atau
Pembiayaan pada sektor Properti.
Laju pertumbuhan pemberian Kredit atau Pembiayaan perbankan
yang berlebihan pada sektor Properti dikhawatirkan dapat mempengaruhi
kesehatan perbankan, yang pada akhirnya dapat berpengaruh terhadap
kondisi perekonomian secara menyeluruh.
Adapun unsur yang banyak mendorong pertumbuhan yang
berlebihan pada Kredit atau Pembiayaan pada sektor Properti salah
satunya adalah pemberian Kredit atau Pembiayaan untuk Pengadaan
Tanah dan/atau Pengolahan Tanah.
Dengan demikian, perlu mengatur pembatasan pemberian Kredit
atau Pembiayaan untuk Pengadaan Tanah dan/atau Pengolahan Tanah
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemberian Kredit atau Pembiayaan
secara langsung” adalah pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh
Bank langsung kepada Pengembang.
Yang dimaksud dengan “pemberian Kredit atau Pembiayaan
secara tidak langsung” adalah pemberian Kredit atau
Pembiayaan oleh Bank kepada pihak lain yang secara efektif
dapat dimanfaatkan oleh Pengembang untuk Pengadaan Tanah
dan/atau Pengolahan Tanah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank harus didasarkan
atas nilai proyek di luar biaya Pengadaan Tanah dan/atau
Pengolahan Tanah.
Huruf b
Dokumen pemilikan tanah tersebut:
1) bukti pemilikan tanah, yaitu sertifikat hak atas tanah atas
nama Pengembang yang dikeluarkan oleh instansi yang
berwenang, yaitu berupa sertifikat hak milik, sertifikat hak
guna usaha, sertifikat hak guna bangunan, dan sertifikat
hak pakai; atau
2) dokumen lain, yaitu akta jual beli tanah yang dibuat dan
disahkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau
Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang atau Surat
Kuasa Notariil mengenai izin penggunaan tanah dari
pemilik tanah yang namanya tercantum pada dokumen
sebagaimana dimaksud dalam angka 1).
- 3 -
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6093
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 44/POJK.03/2017 </reg_id>
<reg_title> PEMBATASAN PEMBERIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN OLEH BANK UMUM UNTUK PENGADAAN TANAH DAN/ATAU PENGOLAHAN TANAH </reg_title>
<set_date> 12 Juli 2017 </set_date>
<effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date>
<issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date>
<replaced_reg> '31/2/UK|SE-BI', '30/2/UK|SE-BI', '30/46/KEP/DIR|SKDIR-BI' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 63 /POJK.05/2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 11/POJK.05/2014 TENTANG PEMERIKSAAN LANGSUNG
LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengawasan lembaga jasa
keuangan non-bank diperlukan pemeriksaan langsung
untuk mengetahui kondisi faktual lembaga jasa
keuangan non-bank;
b. bahwa sejalan dengan tujuan tersebut, pengaturan
mengenai pemeriksaan langsung lembaga jasa keuangan
non-bank perlu diperluas sesuai dengan kebutuhan
industri sehingga pengaturan sebagaimana telah
ditetapkan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 11/POJK.05/2014 tentang Pemeriksaan
Langsung Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank perlu
untuk disempurnakan;
c. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perubahan
atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
11/POJK.05/2014 tentang Pemeriksaan Langsung
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3477);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618);
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5835);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4954);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang
Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 126, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3507);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang
Dana Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara
Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 127,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3508);
8. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
11/POJK.05/2014 tentang Pemeriksaan Langsung
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara
- 3 -
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 198, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5576);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 11/POJK.05/2014 TENTANG PEMERIKSAAN
LANGSUNG LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 11/POJK.05/2014 tentang Pemeriksaan Langsung
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 198, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5576) diubah
sebagai berikut:
1. Ketentuan angka 1 dan angka 4 Pasal 1 diubah, sehingga
Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang
dimaksud dengan:
1. Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank adalah:
a. perusahaan asuransi, perusahaan asuransi
syariah, perusahaan
reasuransi,
dan
perusahaan reasuransi syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2014 tentang Perasuransian, termasuk
yang menyelenggarakan sebagian usahanya
dengan prinsip syariah;
b. perusahaan pembiayaan, termasuk yang
menyelenggarakan seluruh atau sebagian
usahanya dengan prinsip syariah, sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan di bidang lembaga pembiayaan;
- 4 -
c. dana pensiun sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang
Dana
Pensiun,
termasuk
yang
menyelenggarakan seluruh atau sebagian
usahanya dengan prinsip syariah;
d. perusahaan pialang asuransi, perusahaan
pialang reasuransi, dan perusahaan penilai
kerugian asuransi sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014
tentang Perasuransian; dan
e. lembaga penjamin sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016
tentang Penjaminan,
termasuk
menyelenggarakan sebagian usahanya dengan
prinsip syariah.
2. Pemeriksaan Langsung adalah rangkaian kegiatan
mencari, mengumpulkan, mengolah, dan
mengevaluasi data dan/atau keterangan mengenai
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank yang dilakukan
di kantor Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dan di
tempat lain yang terkait langsung maupun tidak
langsung dengan kegiatan Lembaga Jasa Keuangan
Non-Bank;
3. Pemeriksa adalah pihak yang ditunjuk Otoritas Jasa
Keuangan untuk melakukan Pemeriksaan Langsung;
4. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat
OJK, adalah lembaga yang independen yang
mempunyai fungsi,
pengaturan, pengawasan,
yang
tugas, dan wewenang
pemeriksaan, dan
penyidikan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan.
2. Ketentuan ayat (2) Pasal 4 diubah dan di antara ayat (2)
dan ayat (3) Pasal 4 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat
(2a) sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
- 5 -
Pasal 4
(1) Frekuensi Pemeriksaan Langsung ditetapkan oleh
OJK sesuai rencana pengawasan berbasis risiko.
(2) Frekuensi Pemeriksaan Langsung bagi perusahaan
pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi,
dan perusahaan penilai kerugian asuransi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf
d, ditetapkan OJK dan dilakukan paling sedikit 1
(satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(2a) Frekuensi Pemeriksaan Langsung bagi lembaga
penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 1 huruf e, ditetapkan OJK dan dilakukan
paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(3) Lingkup Pemeriksaan Langsung adalah seluruh
aspek penyelenggaraan kegiatan usaha Lembaga
Jasa Keuangan Non-Bank atau terhadap aspek-
aspek tertentu dari kegiatan usaha Lembaga Jasa
Keuangan Non-Bank.
3. Ketentuan ayat (1) Pasal 14 diubah dan Pasal 14
ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (6) sehingga Pasal 14
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 dan/atau Pasal 11 ayat (1) dan/atau ayat (2)
dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar
sejumlah uang tertentu;
c. kewajiban bagi direksi atau yang setara pada
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank untuk
menjalani penilaian kemampuan dan kepatutan
ulang;
d. pembatasan kegiatan usaha;
e. pembekuan kegiatan usaha; dan/atau
- 6 -
f.
pencabutan izin kegiatan usaha.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
sampai dengan huruf f dapat dikenakan dengan
atau tanpa didahului pengenaan sanksi peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a.
(3) Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau
secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sampai
dengan huruf f.
(4) Besaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b ditetapkan OJK berdasarkan
ketentuan tentang sanksi administratif berupa
denda yang berlaku untuk setiap sektor jasa
keuangan.
(5) OJK dapat mengumumkan pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada masyarakat.
(6) Ketentuan mengenai tata cara penerapan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk setiap
sektor jasa keuangan.
Pasal II
1. Kegiatan Pemeriksaan Langsung Lembaga Jasa
Keuangan Non-Bank yang masih berlangsung pada saat
Peraturan OJK ini
diundangkan,
berdasarkan ketentuan yang berlaku sebelumnya.
2. Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, Peraturan
OJK Nomor 7/POJK.05/2014 tentang Pemeriksaan
Lembaga Penjaminan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 74, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun Nomor 5529) dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
diselesaikan
- 7 -
3. Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 294
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 63/POJK.05/2016 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.05/2014 TENTANG PEMERIKSAAN LANGSUNG LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK </reg_title>
<set_date> 21 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 27 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 27 Desember 2016 </issued_date>
<changed_reg> '11/POJK.05/2014' </changed_reg>
<replaced_reg> '7/POJK.05/2014' </replaced_reg>
<related_reg> '11/UU/1992', '21/UU/2011', '40/UU/2014', '1/UU/2016', '73/PP/1992', '81/PP/2008', '76/PP/1992', '77/PP/1992', '11/POJK.05/2014' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 3 Pasal 14' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR: 1/POJK.07/2013
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 31 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan;
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
111; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERLINDUNGAN
KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Pelaku Usaha Jasa Keuangan adalah Bank Umum, Bank
Perkreditan Rakyat, Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, Bank
Kustodian, Dana Pensiun, Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Reasuransi, Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Gadai, dan
Perusahaan Penjaminan, baik yang melaksanakan kegiatan
usahanya secara konvensional maupun secara syariah.
2. Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya
dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga
Jasa...
- 2 -
Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di
Pasar Modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta
pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan
di sektor jasa keuangan.
3. Perlindungan Konsumen adalah perlindungan terhadap
Konsumen dengan cakupan perilaku Pelaku Usaha Jasa
Keuangan.
4. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang
dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.
5. Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip
Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran.
6. Perusahaan Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan atau
Manajer Investasi.
7. Penjamin Emisi Efek adalah Pihak yang membuat kontrak dengan
Emiten untuk melakukan Penawaran Umum bagi kepentingan
Emiten dengan atau tanpa kewajiban untuk membeli sisa Efek
yang tidak terjual.
8. Perantara Pedagang Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan
usaha jual beli Efek untuk kepentingan sendiri atau Pihak lain.
9. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan usahanya
mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola
portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali
perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan
sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
10. Penasihat Investasi adalah Pihak yang memberi nasihat kepada
Pihak lain mengenai penjualan atau pembelian Efek dengan
memperoleh imbalan jasa.
11. Bank Kustodian adalah Bank Umum yang memberikan jasa
penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta
jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak - hak lain,
menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening
yang menjadi nasabahnya.
12. Perusahaan Asuransi Kerugian adalah perusahaan asuransi yang
memberikan jasa dalam penanggulangan risiko kerugian,
kehilangan...
- 3 -
kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga, yang timbul dari peristiwa dari tak pasti.
13. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan asuransi yang
memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan
dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang
dipertanggungkan.
14. Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan
menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun.
15. Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang
modal sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan mengenai lembaga pembiayaan.
16. Perusahaan Gadai adalah badan usaha yang didirikan untuk
menyalurkan uang pinjaman kepada nasabah dengan menerima
barang bergerak sebagai jaminan.
17. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang bergerak di
bidang keuangan dengan kegiatan usaha pokok melakukan
penjaminan.
Pasal 2
Perlindungan Konsumen menerapkan prinsip:
a. transparansi;
b. perlakuan yang adil;
c. keandalan;
d. kerahasiaan dan keamanan data/informasi Konsumen; dan
e. penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa Konsumen
secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.
BAB II
KETENTUAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
SEKTOR JASA KEUANGAN
Pasal 3
Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak untuk memastikan adanya
itikad baik Konsumen dan mendapatkan informasi dan/atau
dokumen mengenai Konsumen yang akurat, jujur, jelas, dan tidak
menyesatkan.
Pasal 4...
- 4 -
Pasal 4
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan dan/atau
menyampaikan informasi mengenai produk dan/atau layanan
yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan
dalam dokumen atau sarana lain yang dapat digunakan sebagai
alat bukti.
(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. disampaikan pada saat memberikan penjelasan kepada
Konsumen mengenai hak dan kewajibannya;
b. disampaikan pada saat membuat perjanjian dengan
Konsumen; dan
c. dimuat pada saat disampaikan melalui berbagai media antara
lain melalui iklan di media cetak atau elektronik.
Pasal 5
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyampaikan informasi yang
terkini dan mudah diakses kepada Konsumen tentang produk
dan/atau layanan.
Pasal 6
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyampaikan informasi
kepada Konsumen tentang penerimaan, penundaan atau
penolakan permohonan produk dan/atau layanan.
(2) Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menyampaikan
informasi tentang penundaan atau penolakan permohonan
produk dan/atau layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyampaikan alasan
penundaan atau penolakannya kecuali diatur lain oleh peraturan
perundang-undangan.
Pasal 7
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menggunakan istilah, frasa,
dan/atau kalimat yang sederhana dalam Bahasa Indonesia yang
mudah dimengerti oleh Konsumen dalam setiap dokumen yang:
a. memuat hak dan kewajiban Konsumen;
b. dapat digunakan Konsumen untuk mengambil keputusan;
dan
c. memuat persyaratan dan dapat mengikat Konsumen secara
hukum.
(2) Bahasa...
- 5 -
(2) Bahasa Indonesia dalam dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat disandingkan dengan bahasa lain jika diperlukan.
(3) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menggunakan huruf, tulisan,
simbol, diagram dan tanda yang dapat dibaca secara jelas.
(4) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan penjelasan atas
istilah, frasa, kalimat dan/atau simbol, diagram dan tanda yang
belum dipahami oleh Konsumen.
(5) Dalam hal dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
menggunakan bahasa asing, bahasa asing tersebut harus
disandingkan dengan Bahasa Indonesia.
Pasal 8
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyusun dan menyediakan
ringkasan informasi produk dan/atau layanan.
(2) Ringkasan informasi produk dan/atau layanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dibuat secara tertulis, sekurang-
kurangnya memuat:
a. manfaat, risiko, dan biaya produk dan/atau layanan; dan
b. syarat dan ketentuan.
Pasal 9
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan pemahaman kepada
Konsumen mengenai hak dan kewajiban Konsumen.
Pasal 10
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan informasi
mengenai biaya yang harus ditanggung Konsumen untuk setiap
produk dan/atau layanan yang disediakan oleh Pelaku Usaha
Jasa Keuangan.
(2) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang memberikan fasilitas
secara otomatis yang mengakibatkan tambahan biaya tanpa
persetujuan tertulis dari Konsumen.
Pasal 11
(1) Sebelum Konsumen menandatangani dokumen dan/atau
perjanjian produk dan/atau layanan, Pelaku Usaha Jasa Keuangan
wajib menyampaikan dokumen yang berisi syarat dan ketentuan
produk dan/atau layanan kepada Konsumen.
(2) Syarat...
- 6 -
(2) Syarat dan ketentuan produk dan/atau layanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. rincian biaya, manfaat, dan risiko; dan
b. prosedur pelayanan dan penyelesaian pengaduan di Pelaku
Usaha Jasa Keuangan.
Pasal 12
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menginformasikan kepada
Konsumen setiap perubahan manfaat, biaya, risiko, syarat, dan
ketentuan yang tercantum dalam dokumen dan/atau perjanjian
mengenai produk dan/atau layanan Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diberitahukan kepada Konsumen paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kerja sebelum berlakunya perubahan manfaat, biaya, risiko, syarat
dan ketentuan atas produk dan/atau layanan Pelaku Usaha Jasa
Keuangan.
(3) Dalam hal Konsumen tidak menyetujui perubahan terhadap
persyaratan produk dan/atau layanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), maka Konsumen berhak memutuskan produk
dan/atau layanan tanpa dikenakan ganti rugi apapun.
(4) Dalam hal Konsumen sudah diberikan waktu untuk
menyampaikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan Konsumen tidak memberikan pendapatnya maka Pelaku
Usaha Jasa Keuangan menganggap Konsumen menyetujui
perubahan tersebut.
Pasal 13
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyusun pedoman penetapan
biaya atau harga produk dan/atau layanan jasa keuangan.
Pasal 14
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyelenggarakan edukasi
dalam rangka meningkatkan literasi keuangan kepada Konsumen
dan/atau masyarakat.
(2) Rencana penyelenggaraan edukasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib disusun dalam suatu program tahunan dan
dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
laporan rencana
penyelenggaraan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 15...
- 7 -
Pasal 15
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan akses yang
setara kepada setiap Konsumen sesuai klasifikasi Konsumen atas
produk dan/atau layanan Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
(2) Klasifikasi Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan berdasarkan:
(a) latar belakang Konsumen;
(b) keterangan mengenai pekerjaan;
(c) rata-rata penghasilan;
(d) maksud dan tujuan menggunakan produk dan/atau layanan
Pelaku Usaha Jasa Keuangan; atau
(e) informasi lain yang digunakan untuk menentukan klasifikasi
Konsumen.
Pasal 16
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memperhatikan kesesuaian
antara kebutuhan dan kemampuan Konsumen dengan produk
dan/atau layanan ditawarkan kepada Konsumen.
Pasal 17
Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang menggunakan strategi
pemasaran produk dan/atau layanan yang merugikan Konsumen
dengan memanfaatkan kondisi Konsumen yang tidak memiliki pilihan
lain dalam mengambil keputusan.
Pasal 18
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dapat menjual produk dan/atau
layanan dalam satu paket dengan produk dan/atau layanan lain
(bundling product/service).
(2) Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menjual produk
dan/atau layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka :
a. Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang memaksa Konsumen
untuk membeli produk dan/atau layanan lain dalam paket
produk dan/atau layanan tersebut; dan
b. Konsumen dapat memilih penyedia produk dan/atau layanan
lain dalam paket produk dan/atau layanan tersebut.
(3) Dalam hal produk dan/atau layanan lain dalam paket produk
dan/atau layanan yang ditawarkan merupakan pilihan
Konsumen...
- 8 -
Konsumen, maka risiko atas pilihan tersebut menjadi tanggung
jawab Konsumen.
Pasal 19
Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang melakukan penawaran produk
dan/atau layanan kepada Konsumen dan/atau masyarakat melalui
sarana komunikasi pribadi tanpa persetujuan Konsumen.
Pasal 20
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib mencantumkan dan/atau
menyebutkan dalam setiap penawaran atau promosi produk
dan/atau layanan:
a. nama dan/atau logo Pelaku Usaha Jasa Keuangan; dan
b. pernyataan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan terdaftar
dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam hal penjualan produk dan/atau layanan hanya dapat
dilakukan oleh orang perorangan yang terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan, dalam penawaran atau promosi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan pernyataan bahwa
orang perorangan dimaksud terdaftar dan diawasi oleh Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 21
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memenuhi keseimbangan,
keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan
Konsumen.
Pasal 22
(1) Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menggunakan perjanjian
baku, perjanjian baku tersebut wajib disusun sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berbentuk digital atau elektronik untuk ditawarkan oleh Pelaku
Usaha Jasa Keuangan melalui media elektronik.
(3) Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
digunakan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban
Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada Konsumen;
b. menyatakan...
- 9 -
b. menyatakan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak
menolak pengembalian uang yang telah dibayar oleh
Konsumen atas produk dan/atau layanan yang dibeli;
c. menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada Pelaku
Usaha Jasa Keuangan, baik secara langsung maupun tidak
langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak atas
barang yang diagunkan oleh Konsumen, kecuali tindakan
sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan;
d. mengatur tentang kewajiban pembuktian oleh Konsumen, jika
Pelaku Usaha Jasa Keuangan menyatakan bahwa hilangnya
kegunaan produk dan/atau layanan yang dibeli oleh
Konsumen, bukan merupakan tanggung jawab Pelaku Usaha
Jasa Keuangan;
e. memberi hak kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk
mengurangi kegunaan produk dan/atau layanan atau
mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi obyek
perjanjian produk dan layanan;
f. menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara
sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam masa
Konsumen memanfaatkan produk dan/atau layanan yang
dibelinya; dan/atau
g. menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada Pelaku
Usaha Jasa Keuangan untuk pembebanan hak tanggungan,
hak gadai, atau hak jaminan atas produk dan/atau layanan
yang dibeli oleh Konsumen secara angsuran.
Pasal 23
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan,
agen penjual, dan
pengurus/pegawai dari Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib
menghindari benturan kepentingan antara Pelaku Usaha Jasa
Keuangan dengan Konsumen.
(2) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan informasi
mengenai adanya benturan kepentingan atau potensi benturan
kepentingan.
Pasal 24
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan layanan khusus
kepada Konsumen dengan kebutuhan khusus.
Pasal 25...
- 10 -
Pasal 25
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menjaga keamanan simpanan,
dana, atau aset Konsumen yang berada dalam tanggung jawab Pelaku
Usaha Jasa Keuangan.
Pasal 26
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan tanda bukti
kepemilikan produk dan/atau pemanfaatan layanan kepada
Konsumen tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian dengan
Konsumen.
Pasal 27
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan laporan kepada
Konsumen tentang posisi saldo dan mutasi simpanan, dana, aset,
atau kewajiban Konsumen secara akurat, tepat waktu, dan dengan
cara atau sarana sesuai dengan perjanjian dengan Konsumen.
Pasal 28
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib melaksanakan instruksi
Konsumen sesuai dengan perjanjian dengan Konsumen dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 29
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib bertanggung jawab atas kerugian
Konsumen yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian,
pengurus, pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak
ketiga yang bekerja untuk kepentingan Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
Pasal 30
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib mencegah pengurus,
pengawas, dan pegawainya dari perilaku:
a. memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau pihak
lain,
b. menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya,
yang dapat merugikan Konsumen.
(2) Pengurus...
- 11 -
(2) Pengurus dan pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib
mentaati kode etik dalam melayani Konsumen, yang telah
ditetapkan oleh masing-masing Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
(3) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib bertanggung jawab kepada
Konsumen atas tindakan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang
bertindak untuk kepentingan Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
Pasal 31
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang dengan cara apapun,
memberikan data dan/atau informasi mengenai Konsumennya
kepada pihak ketiga.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan
dalam hal:
a. Konsumen memberikan persetujuan tertulis; dan/atau
b. diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan memperoleh data
dan/atau informasi pribadi seseorang dan/atau sekelompok
orang dari pihak lain dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan akan
menggunakan data dan/atau informasi tersebut untuk
melaksanakan kegiatannya, Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib
memiliki pernyataan tertulis bahwa pihak lain dimaksud telah
memperoleh persetujuan tertulis dari seseorang dan/atau
sekelompok orang tersebut untuk memberikan data dan/atau
informasi pribadi dimaksud kepada pihak manapun, termasuk
Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
(4) Pembatalan atau perubahan sebagian persetujuan atas
pengungkapan data dan atau informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a dilakukan secara tertulis oleh Konsumen
dalam bentuk surat pernyataan.
Pasal 32
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki dan melaksanakan
mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan bagi
Konsumen.
(2) Mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib diberitahukan kepada Konsumen.
Pasal 33
Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang mengenakan biaya apapun
kepada Konsumen atas pengajuan pengaduan.
Pasal 34...
- 12 -
Pasal 34
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib melaporkan secara berkala
adanya pengaduan Konsumen dan tindak lanjut pelayanan dan
penyelesaian pengaduan Konsumen dimaksud kepada Otoritas
Jasa Keuangan, dalam hal ini Kepala Eksekutif yang melakukan
pengawasan atas kegiatan Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling
lambat pada tanggal 10 (sepuluh) setiap 3 (tiga) bulan. Apabila
tanggal 10 (sepuluh) jatuh pada hari libur, maka penyampaian
laporan dimaksud dilakukan pada hari kerja pertama setelah hari
libur dimaksud.
Pasal 35
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib segera menindaklanjuti dan
menyelesaikan pengaduan paling lambat 20 hari kerja setelah
tanggal penerimaan pengaduan.
(2) Dalam hal terdapat kondisi tertentu, Pelaku Usaha Jasa
Keuangan dapat memperpanjang jangka waktu sampai dengan
paling lama 20 hari kerja berikutnya.
(3) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
a. kantor Pelaku Usaha Jasa Keuangan yang menerima
pengaduan tidak sama dengan kantor Pelaku Usaha Jasa
Keuangan tempat terjadinya permasalahan yang diadukan
dan terdapat kendala komunikasi di antara kedua kantor
Pelaku Usaha Jasa Keuangan tersebut;
b. transaksi keuangan yang diadukan oleh Konsumen
memerlukan penelitian khusus terhadap dokumen-dokumen
Pelaku Usaha Jasa Keuangan; dan/atau
c. terdapat hal-hal lain di luar kendali Pelaku Usaha Jasa
Keuangan seperti adanya keterlibatan pihak ketiga di luar
Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam transaksi keuangan yang
dilakukan oleh Konsumen.
(4) Perpanjangan jangka waktu
penyelesaian pengaduan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diberitahukan secara
tertulis kepada Konsumen yang mengajukan pengaduan sebelum
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir.
Pasal 36
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki unit kerja dan/atau
fungsi untuk menangani dan menyelesaikan pengaduan yang
diajukan Konsumen.
(2) Kewenangan...
- 13 -
(2) Kewenangan unit kerja dan/atau fungsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib diatur dalam mekanisme pelayanan dan
penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
(3) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menunjuk 1 (satu) orang
pegawai di setiap kantor Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk
menangani penyelesaian pengaduan Konsumen.
Pasal 37
Dalam hal pengaduan Konsumen terkait transaksi atau kegiatan
melibatkan pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan yang memiliki
kewenangan untuk menangani pengaduan atau pegawai Pelaku
Usaha Jasa Keuangan yang menyelesaikan pengaduan tersebut,
maka penanganan dan penyelesaian pengaduan wajib dilakukan oleh
pegawai lain.
Pasal 38
Setelah menerima pengaduan Konsumen, Pelaku Usaha Jasa
Keuangan wajib melakukan:
a. pemeriksaan internal atas pengaduan secara kompeten, benar,
dan obyektif;
b. melakukan analisis untuk memastikan kebenaran pengaduan;
dan
c. menyampaikan pernyataan maaf dan menawarkan ganti rugi
(redress/remedy) atau perbaikan produk dan atau layanan, jika
pengaduan Konsumen benar.
Pasal 39
(1) Dalam hal tidak mencapai kesepakatan penyelesaian pengaduan,
Konsumen dapat melakukan penyelesaian sengketa di luar
pengadilan atau melalui pengadilan.
(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui lembaga alternatif penyelesaian
sengketa.
(3) Dalam hal penyelesaian sengketa tidak dilakukan melalui
lembaga alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Konsumen dapat menyampaikan permohonan
kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk memfasilitasi penyelesaian
pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Pelaku
Usaha Jasa Keuangan.
BAB III...
- 14 -
BAB III
PENGADUAN KONSUMEN DAN PEMBERIAN FASILITAS
PENYELESAIAN PENGADUAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN
Pasal 40
(1)
Konsumen dapat menyampaikan pengaduan yang berindikasi
sengketa antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan dengan
Konsumen kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2)
Konsumen dan/atau masyarakat dapat menyampaikan
pengaduan yang berindikasi pelanggaran atas ketentuan
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(3)
Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal ini
Anggota Dewan Komisioner yang membidangi edukasi dan
perlindungan Konsumen.
Pasal 41
Pemberian fasilitas penyelesaian pengaduan Konsumen oleh Otoritas
Jasa Keuangan dilakukan terhadap pengaduan yang berindikasi
sengketa di sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 ayat (1) dan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Konsumen mengalami kerugian finansial yang ditimbulkan oleh:
1. Pelaku Usaha Jasa Keuangan di bidang Perbankan, Pasar
Modal, Dana Pensiun, Asuransi Jiwa, Pembiayaan,
Perusahaan Gadai, atau Penjaminan, paling banyak sebesar
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
2. Pelaku Usaha Jasa Keuangan di bidang asuransi umum
paling banyak sebesar Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah);
b. Konsumen mengajukan permohonan secara tertulis disertai
dengan dokumen pendukung yang berkaitan dengan pengaduan;
c. Pelaku Usaha Jasa Keuangan telah melakukan upaya
penyelesaian pengaduan namun Konsumen tidak dapat menerima
penyelesaian tersebut atau telah melewati batas waktu
sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini;
d. pengaduan yang diajukan bukan merupakan sengketa sedang
dalam proses atau pernah diputus oleh lembaga arbritrase atau
peradilan, atau lembaga mediasi lainnya;
e. pengaduan yang diajukan bersifat keperdataan;
f. pengaduan...
- 15 -
f. pengaduan yang diajukan belum pernah difasilitasi oleh Otoritas
Jasa Keuangan; dan
g. pengajuan penyelesaian pengaduan tidak melebihi 60 (enam
puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian
Pengaduan yang disampaikan Pelaku Usaha Jasa Keuangan
kepada Konsumen.
Pasal 42
Pemberian fasilitas penyelesaian pengaduan yang dilaksanakan oleh
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
merupakan upaya mempertemukan Konsumen dan Pelaku Usaha
Jasa Keuangan untuk mengkaji ulang permasalahan secara
mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan penyelesaian.
Pasal 43
Otoritas Jasa Keuangan menunjuk fasilitator untuk melaksanakan
fungsi penyelesaian pengaduan.
Pasal 44
Otoritas Jasa Keuangan memulai proses fasilitasi setelah Konsumen
dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan sepakat untuk difasilitasi oleh
Otoritas Jasa Keuangan yang dituangkan dalam perjanjian fasilitasi
yang memuat:
a. kesepakatan untuk memilih penyelesaian pengaduan yang
difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan
b. persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan fasilitasi yang
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 45
(1) Pelaksanaan proses fasilitasi sampai dengan ditandatanganinya
Akta Kesepakatan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari kerja sejak Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa
Keuangan menandatangani perjanjian fasilitasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44.
(2) Jangka waktu proses fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diperpanjang sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja
berikutnya berdasarkan Akta Kesepakatan Konsumen dan Pelaku
Usaha Jasa Keuangan.
Pasal 46...
- 16 -
Pasal 46
(1) Kesepakatan antara Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan
yang dihasilkan dari proses fasilitasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 dituangkan dalam Akta Kesepakatan yang
ditandatangani oleh Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa
Keuangan.
(2) Dalam hal tidak terjadi kesepakatan antara Konsumen dengan
Pelaku Usaha Jasa Keuangan, maka ketidaksepakatan tersebut
dituangkan dalam berita acara hasil fasilitasi Otoritas Jasa
Keuangan yang ditandatangani oleh Konsumen dan Pelaku Usaha
Jasa Keuangan.
BAB IV
PENGENDALIAN INTERNAL
Pasal 47
(1) Direksi atau pengurus Pelaku Usaha Jasa Keuangan bertanggung
jawab atas ketaatan pelaksanaan ketentuan Peraturan ini.
(2) Dewan Komisaris atau pengawas Pelaku Usaha Jasa Keuangan
melakukan pengawasan atas pelaksanaan tanggung jawab Direksi
atau pengurus terhadap ketaatan pelaksanaan ketentuan
Peraturan ini.
Pasal 48
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki sistem pengawasan
bagi Direksi atau pengurus dalam rangka perlindungan
Konsumen.
(2) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib membentuk sistem
pelaporan untuk menjamin optimalisasi pengawasan Direksi atau
pengurus terhadap ketaatan pelaksanaan Peraturan ini.
Pasal 49
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki dan menerapkan
kebijakan dan prosedur tertulis perlindungan Konsumen.
(2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan
dalam standar prosedur operasional yang kemudian dijadikan
panduan dalam seluruh kegiatan operasional Pelaku Usaha Jasa
Keuangan.
(3) Kebijakan...
- 17 -
(3) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib ditaati oleh pengurus dan pegawai Pelaku Usaha Jasa
Keuangan.
Pasal 50
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki sistem pengendalian
internal terkait dengan perlindungan Konsumen.
(2) Sistem pengendalian internal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sekurang-kurangnya mencakup:
a. kepatuhan Pelaku Usaha Jasa Keuangan terhadap
pelaksanaan prinsip-prinsip perlindungan Konsumen; dan
b. sistem pelaporan dan monitoring terhadap tindak lanjut
pengaduan Konsumen.
BAB V
PENGAWASAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
SEKTOR JASA KEUANGAN
Pasal 51
(1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengawasan kepatuhan
Pelaku Usaha Jasa Keuangan terhadap penerapan ketentuan
perlindungan Konsumen.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pengawasan secara langsung maupun tidak langsung.
Pasal 52
(1) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan kepatuhan Pelaku Usaha
Jasa Keuangan terhadap penerapan ketentuan perlindungan
Konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Otoritas Jasa
Keuangan berwenang meminta data dan informasi dari Pelaku
Usaha Jasa Keuangan berkaitan dengan pelaksanaan ketentuan
perlindungan Konsumen.
(2) Permintaan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan secara berkala atau sewaktu-waktu apabila
diperlukan.
BAB VI...
- 18 -
BAB VI
SANKSI
Pasal 53
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak yang melanggar
ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dikenakan sanksi administratif, antara lain berupa:
a. Peringatan tertulis;
b. Denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang
tertentu;
c. Pembatasan kegiatan usaha;
d. Pembekuan kegiatan usaha; dan
e. Pencabutan izin kegiatan usaha.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c,
huruf d, atau huruf e dapat dikenakan dengan atau tanpa
didahului pengenaan sanksi peringatan tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat
dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan
pengenaaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
huruf d, atau huruf e.
(4) Besaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan ketentuan
tentang sanksi administratif berupa denda yang berlaku untuk
setiap sektor jasa keuangan.
(5) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
masyarakat.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 54
Perjanjian baku yang telah dibuat oleh Pelaku Usaha Jasa
Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini, wajib disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur
dalam Pasal 22 paling lambat pada saat berlakunya Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB VIII...
- 19 -
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 55
Ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang mengatur perlindungan
Konsumen di sektor jasa keuangan dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Pasal 56
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki kelengkapan internal
untuk melaksanakan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini paling
lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini diundangkan.
Pasal 57
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku setelah 1 (satu)
tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Juli 2013
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Agustus 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 118
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA DIVISI BANTUAN HUKUM
DIREKTORAT HUKUM,
Ttd.
MUFLI ASMAWIDJAJA
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 1/POJK.07/2013 </reg_id>
<reg_title> PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN </reg_title>
<set_date> 26 Juli 2013 </set_date>
<effective_date> setelah 1 (satu) tahun terhitung sejak 6 Agustus 2014 </effective_date>
<issued_date> 6 Agustus 2014 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 34/POJK.04/2014
TENTANG
KOMITE NOMINASI DAN REMUNERASI EMITEN ATAU
PERUSAHAAN PUBLIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan penerapan prinsip
tata kelola perusahaan yang baik bagi Emiten atau
Perusahaan Publik yang berkaitan dengan transparansi
proses Nominasi dan Remunerasi serta meningkatkan
kualitas, kompetensi, dan tanggung jawab Direksi dan
Dewan Komisaris, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Komite Nominasi dan
Remunerasi Emiten atau Perusahaan Publik;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4756);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111,
Tambahan...
-2-
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
KOMITE NOMINASI DAN REMUNERASI EMITEN ATAU
PERUSAHAAN PUBLIK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Komite Nominasi dan Remunerasi adalah komite
yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada
Dewan Komisaris dalam membantu melaksanakan
fungsi dan tugas Dewan Komisaris terkait
Nominasi dan Remunerasi terhadap anggota
Direksi dan anggota Dewan Komisaris.
2. Nominasi adalah pengusulan seseorang untuk
diangkat dalam jabatan sebagai anggota Direksi
atau anggota Dewan Komisaris.
3. Remunerasi adalah imbalan yang ditetapkan dan
diberikan kepada anggota Direksi dan anggota
Dewan Komisaris karena kedudukan dan peran
yang diberikan sesuai dengan tugas, tanggung
jawab, dan wewenang anggota Direksi dan anggota
Dewan Komisaris.
4. Direksi adalah organ Emiten atau Perusahaan
Publik yang berwenang dan bertanggung jawab
penuh atas pengurusan Emiten atau Perusahaan
Publik untuk kepentingan Emiten atau Perusahaan
Publik, sesuai dengan maksud dan tujuan Emiten
atau...
-3-
atau Perusahaan Publik serta mewakili Emiten atau
Perusahaan Publik, baik di dalam maupun di luar
pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran
dasar.
5. Dewan Komisaris adalah organ Emiten atau
Perusahaan Publik yang bertugas melakukan
pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai
dengan anggaran dasar serta memberi nasihat
kepada Direksi.
6. Komisaris Independen adalah anggota Dewan
Komisaris yang berasal dari luar Emiten atau
Perusahaan Publik dan memenuhi persyaratan
sebagai komisaris independen.
Pasal 2
(1) Emiten atau Perusahaan Publik wajib memiliki
fungsi Nominasi dan Remunerasi.
(2) Pelaksanaan fungsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilaksanakan oleh Dewan Komisaris.
(3) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Dewan Komisaris dapat
membentuk Komite Nominasi dan Remunerasi.
(4) Komite Nominasi dan Remunerasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat dibentuk secara
terpisah.
BAB II
KEANGGOTAAN
Pasal 3
(1) Komite Nominasi dan Remunerasi paling kurang
terdiri dari 3 (tiga) orang anggota, dengan
ketentuan:
a. 1 (satu) orang ketua merangkap anggota,
yang merupakan Komisaris Independen; dan
b. anggota...
-4-
b.
anggota lainnya yang dapat berasal dari:
1. anggota Dewan Komisaris;
2.
3.
bersangkutan; atau
pihak yang
pihak yang berasal dari luar Emiten
atau Perusahaan Publik
yang
menduduki jabatan
manajerial di bawah Direksi yang
membidangi sumber daya manusia.
(2) Anggota Komite Nominasi dan Remunerasi lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
sebagian besar tidak dapat berasal dari pihak yang
menduduki jabatan manajerial di bawah Direksi
yang membidangi sumber daya manusia.
(3) Anggota Komite Nominasi dan Remunerasi yang
berasal dari luar Emiten atau Perusahaan Publik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
angka 2 wajib memenuhi syarat:
a.
tidak mempunyai hubungan Afiliasi dengan
Emiten atau Perusahaan Publik, anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau
Pemegang Saham Utama Emiten atau
Perusahaan Publik tersebut;
b.
c.
memiliki pengalaman terkait Nominasi
dan/atau Remunerasi; dan
tidak merangkap jabatan sebagai anggota
komite lainnya yang dimiliki Emiten atau
Perusahaan Publik tersebut.
(4) Anggota Direksi Emiten atau Perusahaan Publik
tidak dapat menjadi anggota Komite Nominasi dan
Remunerasi.
Pasal 4
(1) Anggota Komite Nominasi dan Remunerasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
diangkat...
-5-
diangkat dan diberhentikan berdasarkan
keputusan rapat Dewan Komisaris.
(2) Anggota Komite Nominasi dan Remunerasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat
untuk masa jabatan tertentu dan dapat diangkat
kembali.
(3) Masa jabatan anggota Komite Nominasi dan
Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak lebih lama dari masa jabatan Dewan
Komisaris sebagaimana diatur dalam anggaran
dasar.
(4) Penggantian anggota Komite Nominasi dan
Remunerasi yang bukan berasal dari Dewan
Komisaris dilakukan paling lambat 60 (enam
puluh) hari sejak anggota Komite Nominasi dan
Remunerasi dimaksud tidak dapat lagi
melaksanakan fungsinya.
Pasal 5
Emiten atau Perusahaan Publik
wajib
mendokumentasikan keputusan pengangkatan dan
pemberhentian anggota Komite Nominasi dan
Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1).
Pasal 6
Ketentuan mengenai keanggotaan dan pengangkatan
anggota Komite Nominasi dan Remunerasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 mutatis mutandis
berlaku bagi Komite Nominasi dan Remunerasi yang
dibentuk secara terpisah oleh Dewan Komisaris.
BAB III
TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB
Pasal 7
(1) Komite Nominasi dan Remunerasi wajib bertindak
independen...
-6-
independen dalam melaksanakan tugasnya.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Komite Nominasi
dan Remunerasi bertanggung jawab kepada Dewan
Komisaris.
Pasal 8
Komite Nominasi dan Remunerasi mempunyai tugas
dan tanggung jawab paling kurang:
a. terkait dengan fungsi Nominasi:
1. memberikan rekomendasi kepada Dewan
Komisaris mengenai:
a)
komposisi jabatan anggota Direksi
dan/atau anggota Dewan Komisaris;
b)
c)
kebijakan dan kriteria yang dibutuhkan
dalam proses Nominasi; dan
kebijakan evaluasi kinerja bagi anggota
Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris;
2. membantu Dewan Komisaris melakukan
penilaian kinerja anggota Direksi dan/atau
anggota Dewan Komisaris berdasarkan tolok
ukur yang telah disusun sebagai bahan
evaluasi;
3. memberikan rekomendasi kepada Dewan
Komisaris mengenai program pengembangan
kemampuan anggota Direksi dan/atau
anggota Dewan Komisaris; dan
4. memberikan usulan calon yang memenuhi
syarat sebagai anggota Direksi dan/atau
anggota Dewan Komisaris kepada Dewan
Komisaris untuk disampaikan kepada RUPS.
b. terkait dengan fungsi Remunerasi:
1. memberikan rekomendasi kepada Dewan
Komisaris mengenai:
a) struktur...
-7-
a) struktur Remunerasi;
b) kebijakan atas Remunerasi; dan
c)
besaran atas Remunerasi;
2. membantu Dewan Komisaris melakukan
penilaian
kinerja
dengan kesesuaian
Remunerasi yang diterima masing-masing
anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris.
Pasal 9
Dalam melaksanakan fungsi Nominasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, Komite Nominasi dan
Remunerasi wajib melakukan prosedur sebagai berikut:
a. menyusun komposisi dan proses Nominasi anggota
Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris;
b. menyusun kebijakan dan kriteria yang dibutuhkan
dalam proses Nominasi calon anggota Direksi
dan/atau anggota Dewan Komisaris;
c. membantu pelaksanaan evaluasi atas kinerja
anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris;
d. menyusun program pengembangan kemampuan
anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris; dan
e. menelaah dan mengusulkan calon yang memenuhi
syarat sebagai anggota Direksi dan/atau anggota
Dewan Komisaris kepada Dewan Komisaris untuk
disampaikan kepada RUPS.
Pasal 10
(1) Dalam melaksanakan fungsi
Remunerasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b,
Komite Nominasi dan Remunerasi
wajib
melakukan prosedur sebagai berikut:
a. menyusun struktur Remunerasi bagi anggota
Direksi...
-8-
Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris;
b. menyusun kebijakan atas Remunerasi bagi
anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris; dan
c. menyusun besaran atas Remunerasi bagi
anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris.
(2) Struktur Remunerasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dapat berupa:
a.
gaji;
b. honorarium;
c.
d.
insentif; dan/atau
tunjangan yang bersifat tetap dan/atau
variabel.
(3) Penyusunan struktur, kebijakan, dan besaran
Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memperhatikan:
a. Remunerasi yang berlaku pada industri
sesuai dengan kegiatan usaha Emiten atau
Perusahaan Publik sejenis dan skala usaha
dari Emiten atau Perusahaan Publik dalam
industrinya;
b.
tugas, tanggung jawab, dan wewenang
anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris dikaitkan dengan pencapaian
tujuan dan kinerja Emiten atau Perusahaan
Publik;
c.
target kinerja atau kinerja masing-masing
anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris; dan
d. keseimbangan tunjangan antara yang bersifat
tetap dan bersifat variabel.
(4) Struktur...
-9-
(4) Struktur, kebijakan, dan besaran Remunerasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dievaluasi oleh Komite Nominasi dan Remunerasi
paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Pasal 11
Dalam hal tidak dibentuk Komite Nominasi dan
Remunerasi, prosedur Nominasi dan Remunerasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat
(1) wajib dijalankan oleh Dewan Komisaris.
BAB IV
PENYELENGGARAAN RAPAT
Pasal 12
(1) Rapat Komite Nominasi dan Remunerasi
diselenggarakan secara berkala paling kurang 1
(satu) kali dalam 4 (empat) bulan.
(2) Rapat Komite Nominasi dan Remunerasi hanya
dapat diselenggarakan apabila:
a.
b.
dihadiri oleh mayoritas dari jumlah anggota
Komite Nominasi dan Remunerasi; dan
salah satu dari mayoritas jumlah anggota
Komite Nominasi dan Remunerasi
sebagaimana dimaksud pada huruf a
merupakan Ketua Komite Nominasi dan
Remunerasi.
Pasal 13
(1) Keputusan rapat Komite Nominasi dan Remunerasi
dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat.
(2) Dalam hal keputusan berdasarkan musyawarah
mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan
berdasarkan suara terbanyak.
(3) Jika dalam pengambilan keputusan yang
dilakukan dengan cara pemungutan suara terjadi
suara...
-10-
suara yang sama banyaknya, keputusan diambil
melalui mekanisme yang diatur dalam pedoman
Komite Nominasi dan Remunerasi.
(4) Dalam hal proses pengambilan keputusan terdapat
perbedaan pendapat, perbedaan pendapat tersebut
wajib dimuat dalam risalah rapat beserta alasan
perbedaan pendapat tersebut.
Pasal 14
(1) Hasil rapat Komite Nominasi dan Remunerasi wajib
dituangkan dalam risalah rapat dan
didokumentasikan oleh Emiten atau Perusahaan
Publik.
(2) Risalah rapat Komite Nominasi dan Remunerasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan secara tertulis kepada Dewan
Komisaris.
Pasal 15
Dalam hal tidak dibentuk Komite Nominasi dan
Remunerasi, rapat dengan agenda tentang Nominasi
dan/atau Remunerasi wajib diselenggarakan oleh
Dewan Komisaris.
Pasal 16
(1) Rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
diselenggarakan secara berkala paling kurang 1
(satu) kali dalam 4 (empat) bulan.
(2) Rapat dengan agenda tentang Nominasi dan/atau
Remunerasi hanya dapat diselenggarakan apabila:
a.
dihadiri mayoritas dari jumlah anggota
Dewan Komisaris; dan
b.
salah satu dari mayoritas anggota Dewan
Komisaris sebagaimana dimaksud pada huruf
a merupakan Komisaris Independen.
Pasal...
-11-
Pasal 17
(1) Keputusan rapat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 dilakukan berdasarkan musyawarah
mufakat.
(2) Dalam hal keputusan berdasarkan musyawarah
untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak tercapai, pengambilan keputusan
dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
(3) Dalam hal proses pengambilan keputusan terdapat
perbedaan pendapat, perbedaan pendapat tersebut
wajib dimuat secara jelas dalam risalah rapat
beserta alasan perbedaan pendapat tersebut.
Pasal 18
Hasil rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
wajib dituangkan dalam risalah rapat dan
didokumentasikan oleh Emiten atau Perusahaan Publik.
BAB V
PEDOMAN KOMITE NOMINASI DAN REMUNERASI
Pasal 19
(1) Komite Nominasi dan Remunerasi wajib menyusun
pedoman yang bersifat mengikat bagi setiap
anggota Komite Nominasi dan Remunerasi.
(2) Pedoman Komite Nominasi dan Remunerasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
kurang memuat:
a. tugas dan tanggung jawab;
b. komposisi dan struktur keanggotaan;
c.
d.
e.
f.
tata cara dan prosedur kerja;
penyelenggaraan rapat;
sistem pelaporan kegiatan;
tata cara penggantian anggota; dan
g. masa...
-12-
g.
masa jabatan.
(3) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Dewan Komisaris.
Pasal 20
(1) Dalam hal tidak dibentuk Komite Nominasi dan
Remunerasi, pedoman pelaksanaan fungsi
Nominasi dan Remunerasi wajib dibuat Dewan
Komisaris dengan ketentuan memuat paling
kurang:
a.
b. tata cara dan prosedur kerja;
c.
d.
penyelenggaraan rapat; dan
sistem pelaporan kegiatan.
(2) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dituangkan dalam pedoman Dewan
Komisaris.
BAB VI
PENGUNGKAPAN DAN PELAPORAN
Pasal 21
(1) Komite Nominasi dan Remunerasi harus
melaporkan pelaksanaan tugas, tanggung jawab,
dan prosedur Nominasi dan Remunerasi yang
dijalankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,
Pasal 9, dan Pasal 10 kepada Dewan Komisaris.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan bagian dari laporan pelaksanaan tugas
Dewan Komisaris dan disampaikan dalam Rapat
Umum Pemegang Saham.
Pasal 22
(1) Emiten atau Perusahaan Publik wajib
mengungkapkan pelaksanaan fungsi terkait
Nominasi dan Remunerasi dalam:
a. laporan...
tugas dan tanggung jawab terkait Nominasi
dan Remunerasi;
-13-
a. laporan tahunan; dan
b.
(2)
situs web Emiten atau Perusahaan Publik.
Informasi mengenai pelaksanaan fungsi terkait
Nominasi dan Remunerasi yang diungkapkan
dalam laporan tahunan Emiten atau Perusahaan
Publik paling kurang memuat:
a.
pernyataan bahwa Emiten atau Perusahaan
Publik telah memiliki pedoman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) atau Pasal
20 ayat (1); dan
b.
uraian singkat pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab Komite Nominasi dan
Remunerasi dalam tahun buku.
(3)
Informasi mengenai pelaksanaan fungsi terkait
Nominasi dan Remunerasi yang diungkapkan
dalam situs web Emiten atau Perusahaan Publik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
paling kurang meliputi:
a. pedoman sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (2) atau Pasal 20 ayat (1); dan
b.
uraian singkat pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab Komite Nominasi dan
Remunerasi dalam tahun buku.
Pasal 23
Dalam hal tidak dibentuk Komite Nominasi dan
Remunerasi, Emiten atau Perusahaan Publik wajib
mengungkapkan informasi dalam laporan tahunan dan
situs web Emiten atau Perusahaan Publik paling kurang
meliputi:
a.
b. uraian pelaksanaan fungsi Nominasi dan
Remunerasi yang dilakukan dalam tahun buku.
BAB VII...
penjelasan mengenai tidak dibentuknya Komite
Nominasi dan Remunerasi; dan
-14-
BAB VII
LARANGAN
Pasal 24
(1) Setiap anggota Komite Nominasi dan Remunerasi
dilarang mengambil keuntungan pribadi baik
secara langsung maupun tidak langsung dari
kegiatan Emiten atau Perusahaan Publik selain
penghasilan yang sah.
(2) Anggota Dewan Komisaris yang menjadi Ketua atau
anggota Komite Nominasi dan Remunerasi tidak
diberikan penghasilan tambahan selain
penghasilan sebagai anggota Dewan Komisaris.
BAB VIII
KETENTUAN SANKSI
Pasal 25
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di
bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan
berwenang mengenakan sanksi administratif
terhadap setiap
pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut,
berupa:
a.
peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar
sejumlah uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e.
f.
pencabutan izin usaha;
g.
pembatalan persetujuan; dan
pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi...
-15-
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f,
atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa
didahului pengenaan sanksi administratif berupa
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan
secara tersendiri atau secara bersama-sama
dengan pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 26
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat
melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 27
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (1) dan tindakan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 kepada
masyarakat.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 28
Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyesuaikan
dengan ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini diundangkan.
administratif
BAB X...
-16-
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
Ketentuan dalam peraturan perundang-undangan lain
yang mengatur mengenai Komite Nominasi dan
Remunerasi tetap berlaku bagi Emiten atau Perusahaan
Publik sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 30
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Desember 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 8 Desember 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014.NOMOR 376……
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum,
Ttd.
Tini Kustini
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 34/POJK.04/2014 </reg_id>
<reg_title> KOMITE NOMINASI DAN REMUNERASI EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK </reg_title>
<set_date> 8 Desember 2014 </set_date>
<effective_date> 8 Desember 2014 </effective_date>
<issued_date> 8 Desember 2014 </issued_date>
<related_reg> '8/UU/1995', '40/UU/2007', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 21 /POJK.04/2016
TENTANG
PENDAFTARAN PENILAI PEMERINTAH UNTUK TUJUAN REVALUASI ASET
BAGI BADAN USAHA MILIK NEGARA ATAU BADAN USAHA MILIK DAERAH
YANG MELAKUKAN PENAWARAN UMUM DI PASAR MODAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung kebijakan ekonomi
Pemerintah terkait revaluasi aset Badan Usaha Milik
Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, penetapan nilai
hasil revaluasi dapat dilakukan oleh Penilai Pemerintah
di lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara
Kementerian Keuangan Republik Indonesia;
b. bahwa Profesi Penilai yang dapat memberikan jasa
penilaian bagi Badan Usaha Milik Negara dan Badan
Usaha Milik Daerah yang telah melakukan Penawaran
Umum di Pasar Modal wajib terlebih dahulu terdaftar di
Otoritas Jasa Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pendaftaran
Penilai Pemerintah Untuk Tujuan Revaluasi Aset Bagi
Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik
Daerah Yang Melakukan Penawaran Umum Di Pasar
Modal;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 92,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5533);
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015
sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 233/PMK.03/2015 tentang Penilaian
Kembali Aktiva Tetap untuk Tujuan Perpajakan Bagi
Permohonan yang Diajukan Pada Tahun 2015 dan Tahun
2016 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 1916);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENDAFTARAN PENILAI PEMERINTAH UNTUK TUJUAN
REVALUASI ASET BAGI BADAN USAHA MILIK NEGARA ATAU
BADAN USAHA MILIK DAERAH YANG MELAKUKAN
PENAWARAN UMUM DI PASAR MODAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK,
adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
- 3 -
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
2.
Penilai Pemerintah adalah Penilai Pegawai Negeri Sipil di
lingkungan DJKN yang diangkat oleh kuasa Menteri
Keuangan serta diberi tugas, wewenang, dan tanggung
jawab untuk melakukan Penilaian, termasuk atas hasil
penilaiannya secara independen.
3.
Penilai Pemerintah Pasar Modal adalah Penilai
Pemerintah yang terdaftar di OJK.
4. Penilaian adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan
oleh Penilai Pemerintah Pasar Modal untuk memberikan
suatu opini nilai yang didasarkan pada data dan/atau
fakta yang objektif dan relevan dengan menggunakan
metode atau teknik tertentu atas objek tertentu pada saat
tanggal penilaian.
5.
Ikatan Penilai Pemerintah Indonesia, yang selanjutnya
disingkat IPPI, adalah organisasi profesi Penilai
Pemerintah.
6. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, yang selanjutnya
disebut DJKN adalah unit eselon I di lingkungan
Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas
merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan
standardisasi teknis di bidang kekayaan negara, piutang
negara, dan lelang.
7. Pendidikan Profesi adalah suatu pendidikan dasar bagi
Penilai Pemerintah Pasar Modal dengan muatan materi
penilaian dan/atau peraturan perundang-undangan di
bidang Pasar Modal dan jasa keuangan lainnya yang
diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan, OJK
dan/atau pihak lain yang disetujui atau diakui oleh OJK.
8. Pendidikan Profesi Lanjutan, yang selanjutnya disingkat
PPL, adalah suatu pendidikan lanjutan bagi Penilai
Pemerintah Pasar Modal dengan muatan materi penilaian
dan/atau peraturan perundang-undangan di bidang
Pasar Modal dan jasa keuangan lainnya yang
diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan, OJK
dan/atau pihak lain yang disetujui atau diakui oleh OJK.
- 4 -
9. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang
dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada
masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam
Undang-Undang Pasar Modal.
10. Laporan Berkala Kegiatan Penilai Pemerintah Pasar
Modal adalah laporan yang memuat informasi tentang
kegiatan Penilai Pemerintah dalam rangka revaluasi aset
bagi Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik
Daerah yang melakukan Penawaran Umum di Pasar
Modal selama 1 (satu) tahun.
BAB II
PENDAFTARAN PENILAI PEMERINTAH
Bagian Kesatu
Persyaratan Pendaftaran Penilai Pemerintah
Pasal 2
Penilai Pemerintah yang melakukan kegiatan Penilaian di
bidang Pasar Modal wajib terlebih dahulu terdaftar di OJK dan
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 3
Persyaratan pendaftaran Penilai Pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 sebagai berikut:
a. berstatus sebagai Penilai Pemerintah;
b. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau
dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di
bidang jasa keuangan; dan
c. telah menjadi anggota IPPI.
Bagian Kedua
Dokumen Pendaftaran Penilai Pemerintah
Pasal 4
Permohonan pendaftaran Penilai Pemerintah sebagai Profesi
Penunjang Pasar Modal diajukan kepada OJK disusun dengan
- 5 -
menggunakan format Permohonan Pendaftaran Penilai
Pemerintah Sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Pasal 5
Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4, disertai dokumen sebagai berikut:
a. fotokopi surat keputusan dari Menteri Keuangan tentang
pengangkatan sebagai Penilai Pemerintah;
b. surat rekomendasi dari DJKN yang menyatakan bahwa
yang bersangkutan layak dipertimbangkan untuk
melakukan kegiatan sebagai Penilai Pemerintah di Pasar
Modal;
c.
fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama Penilai
Pemerintah yang bersangkutan;
d. fotokopi Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku;
e. pas foto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan latar
belakang berwarna merah sebanyak 1 (satu) lembar;
fotokopi bukti keanggotaan dalam IPPI; dan
f.
g. surat pernyataan dengan materai cukup disusun dengan
menggunakan format Surat Pernyataan Penilai
Pemerintah sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini yang menyatakan bahwa
Penilai Pemerintah:
1. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau
dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana
di bidang jasa keuangan;
2. sanggup menaati kode etik profesi yang disusun oleh
IPPI;
3. sanggup bersikap independen, obyektif, dan
profesional dalam melakukan Penilaian; dan
4. sanggup memenuhi panggilan untuk menjalani
- 6 -
pemeriksaan dan/atau penyidikan oleh OJK atas
pemenuhan Peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Bagian Ketiga
Penelaahan Permohonan Pendaftaran Penilai Pemerintah
Pasal 6
Dalam rangka pendaftaran Penilai Pemerintah yang
melakukan kegiatan di Pasar Modal, OJK dapat meminta
dokumen tambahan untuk mendukung pemenuhan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Pasal 7
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
tidak memenuhi persyaratan, maka paling lama 45 (empat
puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan tersebut, OJK
wajib memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon
yang menyatakan bahwa:
a. permohonan belum memenuhi persyaratan; atau
b. permohonan ditolak.
Pasal 8
Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan dokumen yang
dipersyaratkan dan/atau tidak diterima oleh OJK dalam
waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah tanggal surat
pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf
a, dianggap telah membatalkan permohonan pendaftaran
Penilai Pemerintah yang sudah diajukan dan pemohon dapat
mengajukan permohonan baru.
Pasal 9
Dalam hal permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 telah memenuhi persyaratan, maka paling lama
45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan
secara lengkap, OJK menetapkan Surat Tanda Terdaftar
- 7 -
Profesi Penunjang Pasar Modal kepada pemohon.
Pasal 10
Dokumen yang telah disampaikan kepada OJK menjadi milik
OJK.
BAB III
RUANG LINGKUP PENILAIAN
Pasal 11
(1) Ruang lingkup kegiatan Penilaian yang dilakukan oleh
Penilai Pemerintah Pasar Modal mencakup penilaian
properti untuk tujuan revaluasi aset tetap Badan Usaha
Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah.
(2) Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
terbatas pada Badan Usaha Milik Negara atau Badan
Usaha Milik Daerah yang telah melakukan Penawaran
Umum di bidang Pasar Modal.
BAB IV
PEMBATASAN PENUGASAN PENILAIAN
Pasal 12
(1) Pemberian jasa Penilaian kepada klien Badan Usaha
Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah yang telah
melakukan Penawaran Umum di bidang Pasar Modal
hanya dapat dilakukan oleh seorang Penilai Pemerintah
Pasar Modal paling lama 5 (lima) tahun berturut-turut
terhitung sejak tanggal laporan Penilaian pada
penugasan Penilaian pertama.
(2) Seorang Penilai Pemerintah Pasar Modal dapat menerima
penugasan Penilaian kembali dari klien Badan Usaha
Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah 1 (satu)
- 8 -
tahun tidak melakukan penugasan Penilaian bagi Badan
Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah
tersebut terhitung sejak tanggal laporan Penilaian pada
penugasan Penilaian terakhir.
BAB V
KEWAJIBAN DAN LARANGAN PENILAI PEMERINTAH
PASAR MODAL
Bagian Kesatu
Kewajiban Penilai Pemerintah Pasar Modal
Pasal 13
(1) Penilai Pemerintah Pasar Modal wajib:
a. menaati kode etik profesi Penilai Pemerintah Pasar
Modal yang disusun oleh IPPI;
b. bersikap independen, obyektif, dan profesional
dalam melakukan Penilaian;
c. melakukan Penilaian sesuai dengan ruang lingkup
kegiatan Penilaian sebagaimana tercantum dalam
Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar
Modal;
d. mengikuti PPL paling sedikit 5 (lima) jam latihan
setiap tahun;
e. melaporkan keikutsertaannya dalam PPL
sebagaimana dimaksud pada huruf d kepada OJK
disertai bukti pendukung, secara berkala paling
lambat pada tanggal 15 Januari tahun berikutnya;
f. menyampaikan kepada OJK Laporan Berkala
Kegiatan Penilai Pemerintah Pasar Modal paling
lambat pada tanggal 15 Januari tahun berikutnya,
disusun dengan menggunakan format Laporan
Berkala Kegiatan Penilai Pemerintah Pasar Modal
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
- 9 -
Otoritas Jasa Keuangan ini;
g. melaporkan kepada OJK setiap perubahan data dan
informasi Penilai Pemerintah Pasar Modal disertai
dengan dokumen pendukung; dan
h. memenuhi panggilan untuk menjalani pemeriksaan
dan/atau penyidikan oleh OJK atas pemenuhan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal tanggal 15 Januari sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf e dan huruf f jatuh pada hari libur,
maka laporan disampaikan paling lambat 1 (satu) hari
kerja berikutnya.
(3) Laporan Berkala Kegiatan Penilai Pemerintah Pasar
Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f
memuat informasi kegiatan yang dilakukan Penilai
Pemerintah Pasar Modal terhitung sejak 1 Januari
sampai dengan 31 Desember atau sejak terdaftar di OJK
apabila terdaftar kurang dari 1 (satu) tahun.
(4) Laporan Berkala Kegiatan Penilai Pemerintah Pasar
Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f wajib
disertai dengan laporan dalam format digital.
(5) Laporan keikutsertaan PPL sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf e dan Laporan Berkala Kegiatan Penilai
Pemerintah Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf f, dapat disampaikan oleh beberapa Penilai
Pemerintah Pasar Modal secara bersamaan dalam 1
(satu) surat pengantar.
Pasal 14
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)
huruf d mulai berlaku untuk tahun berikutnya sejak Penilai
Pemerintah Pasar Modal memperoleh Surat Tanda Terdaftar
dari OJK.
Pasal 15
Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) tahun Pendidikan Profesi
- 10 -
dan/atau PPL tidak terselenggarakan, maka OJK dapat
menetapkan ketentuan lain.
Bagian Kedua
Larangan Penilai Pemerintah Pasar Modal
Pasal 16
Dalam hal Penilai Pemerintah Pasar Modal merangkap jabatan
pada pihak yang memperoleh izin, dan/atau yang Pernyataan
Pendaftarannya telah menjadi efektif, maka Penilai
Pemerintah Pasar Modal dilarang memberikan jasa Penilaian
yang dapat menimbulkan benturan kepentingan terhadap
pihak dimana Penilai Pemerintah Pasar Modal tersebut
merangkap jabatan.
Pasal 17
Penilai Pemerintah Pasar Modal tidak dapat melakukan
kegiatan di Pasar Modal dalam hal:
a. dibebastugaskan; atau
b. diberhentikan,
sebagai Penilai Pemerintah oleh DJKN.
BAB VI
KETENTUAN SANKSI
Pasal 18
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, OJK berwenang mengenakan sanksi
administratif terhadap Penilai Pemerintah Pasar Modal
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatalan pendaftaran; dan
d. pembekuan Surat Tanda Terdaftar.
- 11 -
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, dan huruf d, dapat dikenakan
dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi
administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dan huruf d.
Pasal 19
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (1), OJK dapat melakukan tindakan tertentu
terhadap Penilai Pemerintah yang melakukan pelanggaran
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 20
OJK dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan tindakan
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 kepada
masyarakat.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 12 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 April 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 April 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 67
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 21 /POJK.04/2016
TENTANG
PENDAFTARAN PENILAI PEMERINTAH UNTUK TUJUAN REVALUASI ASET
BAGI BADAN USAHA MILIK NEGARA ATAU BADAN USAHA MILIK DAERAH
YANG MELAKUKAN PENAWARAN UMUM DI PASAR MODAL
I. UMUM
Salah satu kebijakan Pemerintah dalam mendorong perekonomian
dalam negeri adalah dengan memberikan keringanan atau insentif dalam
sektor perpajakan. Insentif pajak diberikan terhadap revaluasi aset
khususnya aset properti yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah maupun perusahaan swasta. Dengan adanya
insentif pajak tersebut, diharapkan Badan Usaha Milik Negara, Badan
Usaha Milik Daerah dan perusahaan swasta akan melakukan revaluasi
asetnya sehingga nilai aset perusahaan dapat meningkat.
Dalam rangka mendukung rencana Badan Usaha Milik Negara dan
Badan Usaha Milik Daerah yang akan melakukan revaluasi aset,
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 sebagaimana telah diubah
oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 233/PMK.03/2015 tentang
Penilaian Kembali Aktiva Tetap untuk Tujuan Perpajakan Bagi
Permohonan yang Diajukan Pada Tahun 2015 dan Tahun 2016, untuk
memberi kewenangan bagi Penilai Pemerintah untuk melakukan penilaian
atas revaluasi aset Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik
Daerah.
- 2 -
Berdasarkan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995
Tentang Pasar Modal, profesi Penilai yang dapat memberikan jasa
terhadap perusahaan yang telah melakukan Penawaran Umum di Pasar
Modal (Emiten), wajib terlebih dahulu terdaftar di Otoritas Jasa keuangan.
Aturan tersebut berlaku pula bagi penilai yang akan memberikan jasa
penilaian terhadap Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik
Daerah yang telah berstatus sebagai Emiten di bidang Pasar Modal.
Substansi pengaturan pada Peraturan di bidang Pasar Modal
Bapepam-LK yang mengatur mengenai pendaftaran, independensi dan
laporan berkala bagi Penilai yang melakukan kegiatan di bidang Pasar
Modal tidak tepat bila diterapkan pada Penilai Pemerintah yang akan
melakukan penilaian atas revaluasi aset Badan Usaha Milik Negara dan
Badan Usaha Milik Daerah yang berstatus sebagai Emiten. Dengan
pertimbangan tersebut, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diharapkan
dapat meningkatkan efektifitas pengawasan terhadap Penilai Pemerintah
dimaksud.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud penilaian properti, antara lain:
a. penilaian real properti;
b. penilaian personal properti;
c. penilaian pembangunan/pengembangan proyek;
d. penilaian pengembangan properti;
e. penilaian aset perkebunan;
f. penilaian aset perikanan;
g. penilaian aset kehutanan;
h. penilaian aset pertambangan; dan/atau
i. penilaian properti lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5869
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 21/POJK.04/2016 </reg_id>
<reg_title> PENDAFTARAN PENILAI PEMERINTAH UNTUK TUJUAN REVALUASI ASET BAGI BADAN USAHA MILIK NEGARA ATAU BADAN USAHA MILIK DAERAH YANG MELAKUKAN PENAWARAN UMUM DI PASAR MODAL </reg_title>
<set_date> 12 April 2016 </set_date>
<effective_date> 18 April 2016 </effective_date>
<issued_date> 18 April 2016 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '233/PMK.03/2015|PER-MENKEU/2015', '191/PMK.010/2015|PER-MENKEU/2015', '8/UU/1995', '27/PP/2014' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
- 1 -
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 40 /POJK.03/2017
TENTANG
KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KEPADA PERUSAHAAN EFEK DAN
KREDIT ATAU PEMBIAYAAN DENGAN AGUNAN SAHAM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa deregulasi di bidang keuangan dan perbankan
telah memberikan kesempatan dan kemudahan bagi
bank untuk mengembangkan usahanya dengan
berdasarkan pada asas perbankan yang sehat;
b. bahwa untuk memungkinkan perkembangan pasar
modal yang sehat, diperlukan peran serta perbankan
dalam membiayai kegiatan pasar modal, dengan tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian;
c. bahwa jaminan dalam pemberian kredit atau pembiayaan
yang perlu diperhatikan yaitu keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi
kredit atau pembiayaan sesuai dengan yang
diperjanjikan;
d. bahwa dalam menunjang perkembangan pasar modal,
bank diperkenankan meminta agunan tambahan berupa
saham untuk memperoleh keyakinan atas tersedianya
jaminan pemberian kredit atau pembiayaan;
e. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di
- 2 -
sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa
Keuangan, diperlukan pengaturan kembali kredit atau
pembiayaan kepada perusahaan efek dan kredit atau
pembiayaan dengan agunan saham;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Kredit atau Pembiayaan kepada Perusahaan Efek dan
Kredit atau Pembiayaan dengan Agunan Saham;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KREDIT
ATAU PEMBIAYAAN KEPADA PERUSAHAAN EFEK DAN
KREDIT ATAU PEMBIAYAAN DENGAN AGUNAN SAHAM.
- 3 -
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan, termasuk kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri, dan Bank
Syariah serta Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
2. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang mengenai pasar modal.
3. Agunan Tambahan Kredit atau Pembiayaan adalah
barang, surat berharga atau garansi yang tidak berkaitan
langsung dengan objek yang dibiayai yang ditambahkan
sebagai agunan, apabila dalam penilaian kredit atau
pembiayaan Bank belum memperoleh keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi
kredit
diperjanjikan.
Pasal 2
(1) Bank hanya dapat memberikan kredit atau pembiayaan
kepada suatu Perusahaan Efek masing-masing paling
tinggi sebesar jumlah yang terkecil antara 25% (dua
puluh lima persen) dari modal Perusahaan Efek yang
bersangkutan atau 15% (lima belas persen) dari modal
Bank.
(2) Seluruh kredit atau pembiayaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang dapat diberikan oleh Bank kepada
seluruh Perusahaan Efek paling tinggi sebesar 30% (tiga
puluh persen) dari modal Bank.
atau pembiayaan sesuai dengan yang
- 4 -
(3) Bank dilarang memberikan kredit atau pembiayaan
untuk jual beli saham kepada orang perseorangan atau
perusahaan yang bukan Perusahaan Efek.
Pasal 3
(1) Bank diperbolehkan memberikan kredit atau pembiayaan
dengan agunan tambahan berupa saham yang telah
terdaftar di bursa efek.
(2) Saham yang telah terdaftar di bursa efek sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk:
a. saham yang tidak mengalami transaksi dalam waktu
3 (tiga) bulan berturut-turut sebelum akad kredit
atau pembiayaan ditandatangani; dan
b. saham dengan harga pasar di bawah nilai nominal
pada saat akad kredit
ditandatangani.
Pasal 4
Nilai saham yang digunakan sebagai Agunan Tambahan
Kredit atau Pembiayaan paling tinggi sebesar 50% (lima puluh
persen) dari harga pasar atau kurs saham yang bersangkutan
di bursa efek pada saat akad kredit atau pembiayaan
ditandatangani.
Pasal 5
(1) Untuk pemberian kredit atau pembiayaan untuk
ekspansi atau pengambilalihan, Bank diperbolehkan
menerima agunan tambahan berupa saham yang
terdaftar maupun tidak terdaftar di bursa efek.
(2) Dalam hal saham yang digunakan sebagai agunan
tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
saham yang tidak terdaftar, dibatasi hanya saham yang
diterbitkan oleh perusahaan penerima kredit atau
pembiayaan.
(3) Nilai saham tidak terdaftar yang digunakan sebagai
Agunan Tambahan Kredit atau Pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), paling tinggi sebesar nilai
atau pembiayaan
- 5 -
nominal saham yang tercantum dalam anggaran dasar
atau anggaran rumah tangga perusahaan penerima
kredit atau pembiayaan.
Pasal 6
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dikenakan sanksi administratif dalam
pengawasan dan pembinaan Bank sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 7
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku:
1. Surat Keputusan Direksi
Nomor 24/32/KEP/DIR tentang
2. Surat Keputusan
Perusahaan Sekuritas dan Kredit dengan Agunan Saham;
Direksi
Bank Indonesia
Kredit kepada
Bank Indonesia
Nomor 26/68/KEP/DIR tentang Saham sebagai
Tambahan Agunan Kredit;
3. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 24/1/UKU
perihal Kredit kepada Perusahaan Sekuritas dan Kredit
dengan Agunan Saham; dan
4. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/1/UKU
perihal Saham Sebagai Tambahan Agunan Kredit,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 6 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 146
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 40 /POJK.03/2017
TENTANG
KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KEPADA PERUSAHAAN EFEK DAN
KREDIT ATAU PEMBIAYAAN DENGAN AGUNAN SAHAM
I. UMUM
Sektor pasar modal memiliki peranan penting untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi Indonesia secara berkesinambungan. Dengan
demikian, diperlukan peran perbankan untuk mendukung perkembangan
pasar modal yang sehat. Salah satu bentuk dukungan perbankan
terhadap sektor pasar modal adalah dengan memberikan kredit atau
pembiayaan kepada Perusahaan Efek dengan tetap memperhatikan
prinsip kehati-hatian.
Perbankan sebagai lembaga keuangan yang menjalankan fungsi
intermediasi dituntut untuk menjalankan usaha perkreditan atau
pembiayaan sesuai asas-asas perkreditan atau pembiayaan yang sehat.
Dalam rangka penerapan asas-asas perkreditan atau pembiayaan yang
sehat, Bank harus memiliki keyakinan terhadap kemampuan debitur
untuk melunasi kredit atau pembiayaan dengan menilai usaha, proyek,
atau hak tagih yang dibiayai sebagai jaminan dalam pemberian kredit
atau pembiayaan.
Untuk menambah keyakinan Bank terhadap kemampuan debitur,
Bank dapat meminta agunan tambahan yang salah satunya adalah
berupa saham dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.
Dengan diperkenankannya agunan tambahan berupa saham diharapkan
juga dapat mendukung perkembangan pasar modal di Indonesia.
- 2 -
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Otoritas Jasa Keuangan perlu
untuk mengatur pemberian kredit atau pembiayaan kepada Perusahaan
Efek dan kredit atau pembiayaan dengan agunan saham.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Kredit atau pembiayaan yang diberikan kepada Perusahaan Efek
dapat berupa kredit atau pembiayaan investasi, kredit atau
pembiayaan modal kerja serta kredit atau pembiayaan dalam
rangka menjamin emisi efek.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 8
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6089
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 40/POJK.03/2017 </reg_id>
<reg_title> KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KEPADA PERUSAHAAN EFEK DAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN DENGAN AGUNAN SAHAM </reg_title>
<set_date> 12 Juli 2017 </set_date>
<effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date>
<issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date>
<replaced_reg> '24/32/KEP/DIR|SKDIR-BI', '26/68/KEP/DIR|SKDIR-BI', '24/1/UKU|SE-BI', '26/1/UKU|SE-BI' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal 6' </penalty_list>
|