input
stringlengths
912
558k
output
stringlengths
234
2.18k
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 14 /POJK.05/2016 TENTANG PENGESAHAN PENDIRIAN DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN DAN PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN DARI DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menunjang penyelenggaraan program pensiun dana pensiun lembaga keuangan, memerlukan adanya pengaturan mengenai pengesahan pendirian dana pensiun lembaga keuangan dan perubahan peraturan dana pensiun dari dana pensiun lembaga keuangan; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pengesahan Pendirian Dana Pensiun Lembaga Keuangan dan Perubahan Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun Lembaga Keuangan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3477); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik - 2 - Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3508); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENGESAHAN PENDIRIAN DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN DAN PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN DARI DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Dana Pensiun Lembaga Keuangan adalah dana pensiun yang dibentuk oleh bank atau perusahaan asuransi jiwa untuk menyelenggarakan program pensiun iuran pasti bagi perorangan, baik karyawan maupun pekerja mandiri yang terpisah dari dana pensiun pemberi kerja bagi karyawan bank atau perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan. 2. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998. 3. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 4. Pendiri adalah Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang membentuk Dana Pensiun Lembaga Keuangan. - 3 - 5. Pelaksana Tugas Pengurus adalah pejabat dari Pendiri Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan operasional Dana Pensiun Lembaga Keuangan. 6. Peraturan Dana Pensiun adalah peraturan yang berisi ketentuan yang menjadi dasar penyelenggaraan program pensiun. 7. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. BAB II PENGESAHAN PENDIRIAN DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN Pasal 2 Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang akan mendirikan Dana Pensiun Lembaga Keuangan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berbentuk badan hukum Indonesia dan berkantor pusat di Indonesia; b. paling singkat dalam 1 (satu) tahun terakhir sebelum mengajukan permohonan, dinyatakan sehat oleh OJK; dan c. memiliki kesiapan untuk menyelenggarakan Dana Pensiun Lembaga Keuangan. Pasal 3 (1) Untuk mendapatkan pengesahan pendirian Dana Pensiun Lembaga Keuangan, Pendiri harus mengajukan permohonan tertulis kepada Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya u.p. Kepala Departemen Pengawasan IKNB 1A, dengan menggunakan contoh formulir A sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang - 4 - merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (2) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan: a. fotokopi anggaran dasar Pendiri; b. rekomendasi tertulis dari OJK yang menunjukkan bahwa Pendiri dinyatakan sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b; dan c. bukti kesiapan untuk menyelenggarakan Dana Pensiun Lembaga Keuangan, meliputi: 1. Peraturan Dana Pensiun asli yang ditetapkan Pendiri, dibuat dalam rangkap 2 (dua); 2. program kerja Dana Pensiun Lembaga Keuangan; 3. struktur organisasi Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang dilengkapi dengan uraian tugas; 4. manual sistem administrasi dan pengolahan data Dana Pensiun Lembaga Keuangan; 5. pedoman pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah bagi Dana Pensiun Lembaga Keuangan; 6. formulir atau dokumen yang akan digunakan dalam rangka kepesertaan Dana Pensiun Lembaga Keuangan; dan 7. fotokopi keputusan Pendiri mengenai penunjukan Pelaksana Tugas Pengurus. (3) Program kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c angka 2 paling singkat disusun untuk periode jangka waktu 2 (dua) tahun, 5 (lima) tahun, dan 10 (sepuluh) tahun serta memuat: a. calon peserta Dana Pensiun Lembaga Keuangan baik perseorangan maupun kelompok atau pemberi kerja yang akan ikut serta dalam program pensiun, dan langkah-langkah yang dilakukan untuk mewujudkannya; dan - 5 - b. proyeksi biaya yang diperlukan oleh Dana Pensiun Lembaga Keuangan dan besarnya imbalan jasa yang akan diterima oleh Pendiri atas penyelenggaraan Dana Pensiun Lembaga Keuangan. (4) Fotokopi keputusan Pendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c angka 7 harus disertai dengan: a. fotokopi Kartu Tanda Penduduk dari Pelaksana Tugas Pengurus yang ditunjuk; b. pernyataan tertulis dari Pelaksana Tugas Pengurus untuk mengelola Dana Pensiun Lembaga Keuangan sesuai Peraturan Dana Pensiun dan peraturan perundangan di bidang dana pensiun; c. fotokopi tanda lulus ujian pengetahuan dasar di bidang dana pensiun bagi Pelaksana Tugas Pengurus; dan d. fotokopi tanda bukti kelulusan penilaian kemampuan dan kepatutan dari OJK bagi Pelaksana Tugas Pengurus. BAB III PENGESAHAN ATAS PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN Pasal 4 (1) Untuk mendapatkan pengesahan atas perubahan Peraturan Dana Pensiun, Pendiri harus mengajukan permohonan tertulis kepada Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya u.p. Kepala Departemen Pengawasan IKNB 1A, dengan menggunakan contoh formulir B sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. - 6 - (2) Pengajuan permohonan pengesahan atas perubahan Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan: a. Peraturan Dana Pensiun asli yang ditetapkan Pendiri, dibuat dalam rangkap 2 (dua); dan b. pokok-pokok perubahan dan uraian tentang latar belakang dan tujuan setiap pokok perubahan Peraturan Dana Pensiun. (3) Dalam hal latar belakang perubahan Peraturan Dana Pensiun didasarkan atas perubahan nama Pendiri, pengajuan permohonan pengesahan atas perubahan Peraturan Dana Pensiun selain harus menyampaikan Peraturan Dana Pensiun dan pokok-pokok perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), juga melampirkan: a. fotokopi anggaran dasar Pendiri yang memuat perubahan nama Pendiri; dan b. fotokopi izin usaha Pendiri. Pasal 5 Permohonan dan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 harus disusun dalam Bahasa Indonesia. Pasal 6 (1) Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c angka 1 dan Pasal 4 ayat (2) huruf a, setelah disahkan oleh OJK, satu diantaranya dikembalikan kepada Pendiri dan yang lainnya disimpan di OJK. (2) Dalam hal terdapat perbedaan di antara kedua Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka yang dianggap benar adalah Peraturan Dana Pensiun yang disimpan di OJK. - 7 - BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 7 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan mengenai pengesahan pendirian Dana Pensiun Lembaga Keuangan dan perubahan Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun Lembaga Keuangan tunduk pada Peraturan OJK ini. Pasal 8 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Februari 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 Maret 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 39 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 14/POJK.05/2016 </reg_id> <reg_title> PENGESAHAN PENDIRIAN DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN DAN PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN DARI DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN </reg_title> <set_date> 23 Februari 2016 </set_date> <effective_date> 1 Maret 2016 </effective_date> <issued_date> 1 Maret 2016 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '77/PP/1992', '11/UU/1992' </related_reg>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 25 /POJK.03/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 27/POJK.03/2015 TENTANG KEGIATAN USAHA BANK BERUPA PENITIPAN DENGAN PENGELOLAAN (TRUST) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa telah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak maka diperlukan kebijakan untuk mendukung masuknya dana repatriasi melalui industri jasa keuangan; b. bahwa dalam rangka mendukung masuknya dana repatriasi ke sektor perbankan maka perlu landasan hukum bagi Bank untuk dapat menerima nasabah Settlor baik dalam bentuk korporasi maupun perorangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27/POJK.03/2015 tentang Kegiatan Usaha Bank Berupa Penitipan Dengan Pengelolaan (Trust); - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5899); 5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27/POJK.03/2015 tentang Kegiatan Usaha Bank Berupa Penitipan dengan Pengelolaan (Trust) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 293, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5775); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 27/POJK.03/2015 TENTANG KEGIATAN USAHA BANK BERUPA PENITIPAN DENGAN PENGELOLAAN (TRUST). - 3 - Pasal I Ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf a dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27/POJK.03/2015 tentang Kegiatan Usaha Bank Berupa Penitipan Dengan Pengelolaan (Trust) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 293, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5775) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 (1) Settlor wajib memenuhi kriteria: a. nasabah korporasi atau nasabah perorangan; dan b. bukan merupakan pihak terafiliasi dengan Bank. (2) Settlor dapat bertindak sebagai Beneficiary. Pasal II Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 4 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 14 Juli 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Juli 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 139 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 25 /POJK.03/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 27/POJK.03/2015 TENTANG KEGIATAN USAHA BANK BERUPA PENITIPAN DENGAN PENGELOLAAN (TRUST) I. UMUM Sehubungan dengan telah diterbitkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendorong pertumbuhan perekonomian serta meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan masyarakat Indonesia maka diperlukan kebijakan pendukung untuk pelaksanaan Undang-Undang dimaksud. Salah satu bentuk kebijakan pendukung di industri jasa keuangan untuk mendorong masuknya dana repatriasi dan menempatkannya di perbankan antara lain melalui kegiatan penitipan dengan pengelolaan (trust). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dalam rangka memberikan landasan hukum bagi industri perbankan untuk dapat menerima nasabah Settlor baik dalam bentuk korporasi maupun perorangan maka diperlukan penyempurnaan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27/POJK.03/2015 tentang Kegiatan Usaha Bank Berupa Penitipan Dengan Pengelolaan (Trust). - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “pihak terafiliasi” adalah pihak terafiliasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perbankan dan Undang- Undang tentang Perbankan Syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5902
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 25/POJK.03/2016 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 27/POJK.03/2015 TENTANG KEGIATAN USAHA BANK BERUPA PENITIPAN DENGAN PENGELOLAAN (TRUST) </reg_title> <set_date> 14 Juli 2016 </set_date> <effective_date> 15 Juli 2016 </effective_date> <issued_date> 15 Juli 2016 </issued_date> <changed_reg> '27/POJK.03/2015' </changed_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '27/POJK.03/2015', '11/UU/2016', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 56 /POJK.04/2015 TENTANG PEMBENTUKAN DAN PEDOMAN PENYUSUNAN PIAGAM UNIT AUDIT INTERNAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk terkait dengan pengaturan mengenai pembentukan dan pedoman penyusunan piagam Unit Audit Internal beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap pembentukan dan pedoman penyusunan piagam Unit Audit Internal, maka peraturan mengenai Pembentukan dan Pedoman Penyusunan Piagam Unit Audit Internal yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, maka perlu diterbitkan peraturan mengenai Pembentukan dan - 2 - Pedoman Penyusunan Piagam Unit Audit Internal dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEMBENTUKAN DAN PEDOMAN PENYUSUNAN PIAGAM UNIT AUDIT INTERNAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Audit Internal adalah suatu kegiatan pemberian keyakinan dan konsultasi yang bersifat independen dan objektif, dengan tujuan untuk meningkatkan nilai dan memperbaiki operasional perusahaan, melalui pendekatan yang sistematis, dengan cara mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko, pengendalian, dan proses tata kelola perusahaan. 2. Unit Audit Internal adalah unit kerja dalam Emiten atau Perusahaan Publik yang menjalankan fungsi Audit Internal. - 3 - Pasal 2 Penggunaan nama atau istilah untuk Unit Audit Internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 dapat ditetapkan oleh masing-masing Emiten atau Perusahaan Publik. BAB II UNIT AUDIT INTERNAL Bagian Kesatu Pembentukan Pasal 3 Emiten atau Perusahaan Publik wajib memiliki Unit Audit Internal. Bagian Kedua Struktur Dan Kedudukan Pasal 4 (1) Unit Audit Internal terdiri dari 1 (satu) orang auditor internal atau lebih. (2) Unit Audit Internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang kepala Unit Audit Internal. (3) Dalam hal Unit Audit Internal terdiri dari 1 (satu) orang auditor internal, auditor internal dimaksud juga bertindak sebagai kepala Unit Audit Internal. (4) Jumlah auditor internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan besaran dan tingkat kompleksitas kegiatan usaha Emiten atau Perusahaan Publik. Pasal 5 (1) Kepala Unit Audit Internal diangkat dan diberhentikan oleh direktur utama atas persetujuan Dewan Komisaris. (2) Kepala Unit Audit Internal bertanggung jawab kepada direktur utama. (3) Dalam hal kepala Unit Audit Internal tidak memenuhi persyaratan sebagai auditor internal dalam Unit Audit - 4 - Internal sebagaimana diatur dalam peraturan ini dan/atau gagal atau tidak cakap dalam menjalankan tugas, Direktur utama dapat memberhentikan kepala Unit Audit Internal dimaksud, setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris. (4) Auditor internal dalam Unit Audit Internal bertanggung jawab secara langsung kepada kepala Unit Audit Internal. Bagian Ketiga Persyaratan Auditor Internal Pasal 6 Auditor internal dalam Unit Audit Internal wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki integritas dan perilaku yang profesional, independen, jujur, dan objektif dalam pelaksanaan tugasnya; b. memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai teknis audit dan disiplin ilmu lain yang relevan dengan bidang tugasnya; c. memiliki pengetahuan tentang peraturan perundang- undangan di bidang Pasar Modal dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya; d. memiliki kecakapan untuk berinteraksi dan berkomunikasi baik lisan maupun tertulis secara efektif; e. mematuhi standar profesi yang dikeluarkan oleh asosiasi Audit Internal; f. mematuhi kode etik Audit Internal; g. menjaga kerahasiaan informasi dan/atau data perusahaan terkait dengan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Audit Internal kecuali diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau penetapan atau putusan pengadilan; h. memahami prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan manajemen risiko; dan i. bersedia meningkatkan pengetahuan, keahlian, dan kemampuan profesionalismenya secara terus-menerus. - 5 - Bagian Keempat Tugas, Tanggung Jawab, dan Wewenang Pasal 7 Unit Audit Internal mempunyai tugas dan tanggung jawab paling sedikit: a. menyusun dan melaksanakan rencana Audit Internal tahunan; b. menguji dan mengevaluasi pelaksanaan pengendalian internal dan sistem manajemen risiko sesuai dengan kebijakan perusahaan; c. melakukan pemeriksaan dan penilaian atas efisiensi dan efektivitas di bidang keuangan, akuntansi, operasional, sumber daya manusia, pemasaran, teknologi informasi, dan kegiatan lainnya; d. memberikan saran perbaikan dan informasi yang objektif tentang kegiatan yang diperiksa pada semua tingkat manajemen; e. membuat laporan hasil audit dan menyampaikan laporan tersebut kepada direktur utama dan Dewan Komisaris; f. memantau, menganalisis dan melaporkan pelaksanaan tindak lanjut perbaikan yang telah disarankan; g. bekerja sama dengan Komite Audit; h. menyusun program untuk mengevaluasi mutu kegiatan audit internal yang dilakukannya; dan i. melakukan pemeriksaan khusus apabila diperlukan. Pasal 8 Unit Audit Internal mempunyai wewenang paling sedikit: a. mengakses seluruh informasi yang relevan tentang perusahaan terkait dengan tugas dan fungsinya; b. melakukan komunikasi secara langsung dengan Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Komite Audit serta anggota dari Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Komite Audit; c. mengadakan rapat secara berkala dan insidentil dengan Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Komite Audit; dan - 6 - d. melakukan koordinasi kegiatannya dengan kegiatan auditor eksternal. BAB III PIAGAM AUDIT INTERNAL Pasal 9 Emiten atau Perusahaan Publik wajib memiliki piagam Audit Internal yang paling sedikit memuat: a. struktur dan kedudukan Unit Audit Internal; b. tugas dan tanggung jawab Unit Audit Internal; c. wewenang Unit Audit Internal; d. kode etik Unit Audit Internal yang mengacu pada kode etik yang ditetapkan oleh asosiasi Audit Internal yang ada di Indonesia atau kode etik Audit Internal yang lazim berlaku secara internasional; e. persyaratan auditor internal dalam Unit Audit Internal; f. pertanggungjawaban Unit Audit Internal; dan g. larangan perangkapan tugas dan jabatan auditor internal dan pelaksana dalam Unit Audit Internal dari pelaksanaan kegiatan operasional perusahaan baik di Emiten atau Perusahaan Publik maupun anak perusahaannya. Pasal 10 Piagam Unit Audit Internal ditetapkan oleh Direksi setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris. BAB IV PELAPORAN Pasal 11 Setiap pengangkatan, penggantian, atau pemberhentian kepala Unit Audit Internal segera diberitahukan kepada Otoritas Jasa Keuangan. BAB V KETENTUAN SANKSI - 7 - Pasal 12 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 13 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 14 - 8 - Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-496/BL/2008 tanggal 28 November 2008 tentang Pembentukan dan Pedoman Penyusunan Piagam Unit Audit Internal beserta Peraturan Nomor IX.I.7 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 15 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H.LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 407 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji memerintahkan - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 56 /POJK.04/2015 TENTANG PEMBENTUKAN DAN PEDOMAN PENYUSUNAN PIAGAM UNIT AUDIT INTERNAL I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu untuk melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK yaitu Peraturan Nomor IX.I.7, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-496/BL/2008 tentang Pembentukan dan Pedoman Penyusunan Piagam Unit Audit Internal tanggal 28 November 2008. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. - 3 - Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5825
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 56/POJK.04/2015 </reg_id> <reg_title> PEMBENTUKAN DAN PEDOMAN PENYUSUNAN PIAGAM UNIT AUDIT INTERNAL </reg_title> <set_date> 23 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 29 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date> <replaced_reg> 'KEP-496/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008', 'KEP-496/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 | Lampiran Peraturan Nomor IX.I.7' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 26 /POJK.04/2017 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI BAGI EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK YANG DIMOHONKAN PERNYATAAN PAILIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai keterbukaan informasi bagi emiten atau perusahaan publik yang dimohonkan pernyataan pailit beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap keterbukaan informasi bagi emiten atau perusahaan publik yang dimohonkan pernyataan pailit, ketentuan peraturan perundang- undangan di sektor pasar modal mengenai keterbukaan informasi bagi emiten atau perusahaan publik yang dimohonkan pernyataan pailit yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; - 2 - c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Keterbukaan Informasi bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang Dimohonkan Pernyataan Pailit; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI BAGI EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK YANG DIMOHONKAN PERNYATAAN PAILIT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Emiten adalah pihak yang melakukan Penawaran Umum. 2. Perusahaan Publik adalah perseroan yang sahamnya telah dimiliki paling sedikit oleh 300 (tiga ratus) pemegang saham dan memiliki modal disetor paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 3. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, - 3 - kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek. 4. Bursa Efek adalah pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli Efek pihak lain dengan tujuan memperdagangkan Efek di antara mereka. 5. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal serta peraturan pelaksanaannya. Pasal 2 Emiten atau Perusahaan Publik yang gagal atau tidak mampu menghindari kegagalan untuk membayar kewajibannya terhadap pemberi pinjaman yang tidak terafiliasi wajib menyampaikan laporan mengenai hal tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek dimana Efek Emiten atau Perusahaan Publik tercatat, sesegera mungkin paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak Emiten atau Perusahaan Publik mengalami kegagalan atau mengetahui ketidakmampuan menghindari kegagalan dimaksud. Pasal 3 Dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik diajukan ke pengadilan untuk dimohonkan pernyataan pailit, Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan laporan mengenai hal tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek dimana Efek Emiten atau Perusahaan Publik tercatat, sesegera mungkin paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak Emiten atau Perusahaan Publik mengetahui adanya permohonan pernyataan pailit. Pasal 4 Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan - 4 - terhadap Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek dimana Efek Emiten atau Perusahaan Publik tercatat mengenai hal tersebut, sesegera mungkin paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak pengajuan permohonan pernyataan pailit. Pasal 5 Bursa Efek wajib mengumumkan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 yang diterima oleh Bursa Efek, di Bursa Efek pada hari yang sama dengan diterimanya informasi tersebut. BAB II KETENTUAN SANKSI Pasal 6 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. pembatalan persetujuan; dan/atau - 5 - (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 7 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 8 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 kepada masyarakat. BAB III KETENTUAN PENUTUP Pasal 9 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-46/PM/1998 tentang Keterbukaan Informasi bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang Dimohonkan Pernyataan Pailit, beserta Peraturan Nomor X.K.5 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 10 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 6 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 126 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 26 /POJK.04/2017 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI BAGI EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK YANG DIMOHONKAN PERNYATAAN PAILIT I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai keterbukaan informasi bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang dimohonkan pernyataan pailit yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-46/PM/1998 tentang Keterbukaan Informasi bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang Dimohonkan Pernyataan Pailit, beserta Peraturan Nomor X.K.5 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan - 2 - tentang Keterbukaan Informasi bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang Dimohonkan Pernyataan Pailit. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Yang dimaksud dengan “pemberi pinjaman” adalah kreditur sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Informasi yang dimuat dalam laporan yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek memuat antara lain rincian mengenai pinjaman termasuk: a. jumlah pokok dan bunga; b. jangka waktu pinjaman; c. nama pemberi pinjaman; d. penggunaan pinjaman; dan e. alasan kegagalan atau ketidakmampuan menghindari kegagalan. Pasal 3 Yang dimaksud dengan “mengetahui” antara lain diterimanya panggilan sidang dari pengadilan kepada Emiten atau Perusahaan Publik. Informasi yang dimuat dalam laporan yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek memuat antara lain: a. nama pemberi pinjaman yang mengajukan pailit; b. ringkasan permohonan pernyataan pailit; dan c. jumlah pinjaman lainnya. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. - 3 - Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa penundaan pemberian pernyataan efektif untuk pernyataan pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6073
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 6/POJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> PERLAKUAN AKUNTANSI ATAS TRANSAKSI BERDASARKAN PERJANJIAN JUAL BELI TENAGA LISTRIK </reg_title> <set_date> 1 Maret 2017 </set_date> <effective_date> 2 Maret 2017 </effective_date> <issued_date> 2 Maret 2017 </issued_date> <related_reg> '4/PERPRES/2016', '21/UU/2011', '8/UU/1995', '14/PERPRES/2017' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11 /POJK.03/2016 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat dan mampu berkembang serta bersaing secara nasional maupun internasional, bank perlu meningkatkan kemampuan untuk menyerap risiko yang disebabkan oleh kondisi krisis dan/atau pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan; b. bahwa dalam rangka meningkatkan kemampuan bank untuk menyerap risiko, diperlukan peningkatan kualitas dan kuantitas permodalan bank sesuai standar internasional; c. bahwa peningkatan kualitas modal dilakukan melalui penyesuaian persyaratan komponen dan instrumen modal bank serta penyesuaian rasio-rasio permodalan; d. bahwa dalam rangka meningkatkan kuantitas modal, bank perlu membentuk tambahan modal di atas persyaratan penyediaan modal minimum sesuai profil risiko yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) apabila terjadi krisis keuangan dan ekonomi yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan; - 2 - e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. - 3 - 2. Direksi: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; 2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada Bank yang belum berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d. bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang. 3. Dewan Komisaris: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam - 4 - Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015; 2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015; 3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada Bank yang belum berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d. bagi bank yang berstatus sebagai kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi pengawasan. 4. Perusahaan Anak adalah badan hukum atau perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh Bank secara langsung maupun tidak langsung, baik di dalam maupun di luar negeri, yang melakukan kegiatan usaha di bidang keuangan, yang terdiri atas: a. perusahaan subsidiari (subsidiary company) yaitu Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank lebih dari 50% (lima puluh persen); b. perusahaan partisipasi (participation company) adalah Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank sebesar 50% (lima puluh persen) atau - 5 - kurang, namun Bank memiliki pengendalian terhadap perusahaan; c. perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) yang memenuhi persyaratan: 1) kepemilikan Bank dan para pihak lainnya pada Perusahaan Anak masing-masing sama besar; dan 2) masing-masing pemilik melakukan pengendalian secara bersama terhadap Perusahaan Anak; d. entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi keuangan harus dikonsolidasikan, namun tidak termasuk perusahaan asuransi dan perusahaan yang dimiliki dalam rangka restrukturisasi kredit. 5. Pengendalian adalah pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi konglomerasi keuangan. 6. Capital Equivalency Maintained Assets, yang selanjutnya disingkat CEMA, adalah alokasi dana usaha kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang wajib ditempatkan pada aset keuangan dalam jumlah dan persyaratan tertentu. 7. Internal Capital Adequacy Assessment Process, yang selanjutnya disingkat ICAAP, adalah proses yang dilakukan Bank untuk menetapkan kecukupan modal sesuai profil risiko Bank dan penetapan strategi untuk memelihara tingkat permodalan. 8. Supervisory Review and Evaluation Process, yang selanjutnya disingkat SREP, adalah proses kaji ulang yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan atas hasil ICAAP Bank. 9. Capital Conservation Buffer adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) apabila terjadi kerugian pada periode krisis. - 6 - 10. Countercyclical Buffer adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan. 11. Capital Surcharge untuk Domestic Systemically Important Bank, yang selanjutnya disebut Capital Surcharge untuk D-SIB, adalah tambahan modal yang berfungsi untuk mengurangi dampak negatif terhadap stabilitas sistem keuangan dan perekonomian apabila terjadi kegagalan Bank yang berdampak sistemik melalui peningkatan kemampuan Bank dalam menyerap kerugian. 12. Risiko Kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank. 13. Risiko Pasar adalah risiko pada posisi neraca dan rekening administratif termasuk transaksi derivatif, akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk risiko perubahan harga option. 14. Risiko Operasional adalah risiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional Bank. 15. Trading Book adalah seluruh posisi instrumen keuangan dalam neraca dan rekening administratif termasuk transaksi derivatif yang dimiliki Bank dengan tujuan untuk: a. diperdagangkan dan dapat dipindahtangankan dengan bebas atau dapat dilindung nilai secara keseluruhan, baik dari transaksi untuk kepentingan sendiri (proprietary positions), atas permintaan nasabah maupun kegiatan perantaraan (brokering), dan dalam rangka pembentukan pasar (market making), yang meliputi: - 7 - 1) 2) posisi yang dimiliki untuk dijual kembali dalam jangka pendek; posisi yang dimiliki untuk tujuan memperoleh keuntungan jangka pendek secara aktual dan/atau potensi dari pergerakan harga (price movement); atau 3) posisi yang dimiliki untuk tujuan mempertahankan keuntungan arbitrase (locking in arbitrage profits); b. lindung nilai atas posisi lainnya dalam Trading Book. 16. Banking Book adalah semua posisi lainnya yang tidak termasuk dalam Trading Book. Pasal 2 (1) Bank wajib menyediakan modal minimum sesuai profil risiko. (2) Penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM). (3) Penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling rendah: a. 8% (delapan persen) dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) bagi Bank dengan profil risiko Peringkat 1; b. 9% (sembilan persen) sampai dengan kurang dari 10% (sepuluh persen) dari ATMR bagi Bank dengan profil risiko Peringkat 2; c. 10% (sepuluh persen) sampai dengan kurang dari 11% (sebelas persen) dari ATMR bagi Bank dengan profil risiko Peringkat 3; atau d. 11% (sebelas persen) sampai dengan 14% (empat belas persen) dari ATMR bagi Bank dengan profil risiko Peringkat 4 atau Peringkat 5. (4) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan modal minimum lebih besar dari modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam hal - 8 - Otoritas Jasa Keuangan menilai Bank menghadapi potensi kerugian yang membutuhkan modal lebih besar. (5) Kewajiban pemenuhan modal mínimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan: a. pemenuhan modal mínimum posisi bulan Maret sampai dengan bulan Agustus didasarkan pada peringkat profil risiko posisi bulan Desember tahun sebelumnya; b. pemenuhan modal mínimum posisi bulan September sampai dengan bulan Februari tahun berikutnya didasarkan pada peringkat profil risiko posisi bulan Juni; c. dalam hal terjadi perubahan peringkat profil risiko di antara periode penilaian profil risiko, pemenuhan modal minimum didasarkan pada peringkat profil risiko terakhir. Pasal 3 (1) Selain kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank wajib membentuk tambahan modal sebagai penyangga (buffer) sesuai kriteria yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. Capital Conservation Buffer; b. Countercyclical Buffer; dan/atau c. Capital Surcharge untuk D-SIB. (3) Besarnya tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur: a. Capital Conservation Buffer ditetapkan sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR; b. Countercyclical Buffer ditetapkan dalam kisaran sebesar 0% (nol persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR; - 9 - c. Capital Surcharge untuk D-SIB ditetapkan dalam kisaran sebesar 1% (satu persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR. (4) Besarnya persentase Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b berdasarkan penetapan otoritas yang berwenang. (5) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan besarnya persentase Capital Surcharge sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c. (6) Dalam menetapkan besar Capital Surcharge untuk D-SIB sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan otoritas yang berwenang. (7) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan persentase Capital Surcharge untuk D-SIB yang lebih besar dari kisaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c. (8) Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipenuhi dengan komponen modal inti utama (Common Equity Tier 1). (9) Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diperhitungkan setelah komponen modal inti utama (Common Equity Tier 1) dialokasikan untuk memenuhi kewajiban penyediaan: a. modal inti utama minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3); b. modal inti minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2); dan c. modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3). Pasal 4 (1) Bank yang tergolong sebagai Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan BUKU 4 wajib membentuk Capital Conservation Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a. untuk D-SIB - 10 - (2) Kewajiban pembentukan Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b berlaku bagi seluruh Bank. (3) Bank yang ditetapkan berdampak sistemik wajib membentuk Capital Surcharge untuk D-SIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c. Pasal 5 (1) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Bank yang berdampak sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3). (2) Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan otoritas yang berwenang dalam menetapkan Bank yang berdampak sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 6 (1) Kewajiban Bank untuk membentuk tambahan modal berupa Capital Conservation Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a berlaku secara bertahap mulai tanggal 1 Januari 2016. (2) Pembentukan Capital Conservation Buffer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi secara bertahap: a. sebesar 0,625% (nol koma enam ratus dua puluh lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2016; b. sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2017; c. sebesar 1,875% (satu koma delapan ratus tujuh puluh lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2018; dan d. sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2019. (3) Kewajiban Bank untuk membentuk tambahan modal berupa Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud - 11 - dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016. (4) Kewajiban Bank untuk membentuk Capital Surcharge untuk D-SIB bagi Bank yang ditetapkan berdampak sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016. (5) Metode perhitungan dan tata cara pembentukan Capital Surcharge untuk D-SIB diatur lebih lanjut dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan. (6) Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan otoritas yang berwenang dalam menetapkan metode perhitungan dan tata cara pembentukan Capital Surcharge untuk D-SIB sebagaimana dimaksud pada ayat (5). Pasal 7 Dalam hal Bank memiliki dan/atau melakukan Pengendalian terhadap Perusahaan Anak, kewajiban penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan kewajiban pembentukan tambahan modal sebagai penyangga (buffer) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 berlaku bagi Bank baik secara individu maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. Pasal 8 (1) Bank dilarang melakukan distribusi laba jika distribusi laba dimaksud mengakibatkan kondisi permodalan Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 baik secara individu maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. (2) Bank dikenakan pembatasan distribusi laba jika distribusi laba mengakibatkan kondisi permodalan Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 baik secara individu maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. - 12 - (3) Bank wajib melaksanakan pembatasan distribusi laba sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan pembatasan distribusi laba sebagaimana dimaksud pada ayat (2). BAB II MODAL Bagian Kesatu Umum Pasal 9 (1) Modal bagi Bank yang berkantor pusat di Indonesia terdiri atas: a. modal inti (Tier 1) yang meliputi: 1. modal inti utama (Common Equity Tier 1); 2. modal inti tambahan (Additional Tier 1); dan b. modal pelengkap (Tier 2). (2) Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhitungkan pengurang modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 22. (3) Dalam perhitungan modal secara konsolidasi, komponen modal Perusahaan Anak yang dapat diperhitungkan sebagai modal inti utama, modal inti tambahan, dan modal pelengkap harus memenuhi persyaratan yang berlaku untuk masing-masing komponen modal sebagaimana diterapkan bagi Bank secara individu. (4) Dalam perhitungan modal secara konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) untuk modal inti tambahan dan modal pelengkap yang diterbitkan oleh Perusahaan Anak bukan Bank harus: a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan b. memiliki fitur untuk dikonversi menjadi saham biasa atau mekanisme write down, dalam hal faktor-faktor yang menjadi - 13 - Bank secara konsolidasi berpotensi terganggu kelangsungan usahanya (point of non-viability). (5) Fitur untuk dikonversi menjadi saham biasa atau mekanisme write down sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dinyatakan secara jelas dalam dokumentasi penerbitan. Pasal 10 (1) Modal bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri terdiri atas: a. dana usaha; b. laba ditahan dan laba tahun lalu setelah dikeluarkan pengaruh faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2); c. laba tahun berjalan setelah dikeluarkan pengaruh faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2); d. cadangan umum; e. saldo surplus revaluasi aset tetap; f. pendapatan komprehensif lainnya berupa potensi keuntungan yang berasal dari peningkatan nilai wajar aset keuangan yang diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual; g. cadangan tujuan; dan h. cadangan umum Penyisihan Penghapusan Aset (PPA) atas aset produktif dengan perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf c. (2) Modal bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhitungkan faktor-faktor yang menjadi pengurang modal sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b, Pasal 17, dan Pasal 22. (3) Perhitungan dana usaha sebagai komponen modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dalam hal: - 14 - a. posisi dana usaha yang sebenarnya (actual dana usaha) lebih besar dari dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha), yang diperhitungkan adalah dana usaha yang dinyatakan; b. posisi dana usaha yang sebenarnya (actual dana usaha) lebih kecil dari dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha), yang diperhitungkan adalah dana usaha yang sebenarnya; c. posisi dana usaha yang sebenarnya negatif, menjadi faktor pengurang komponen modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Kedua Modal Inti Pasal 11 (1) Modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a terdiri atas: a. modal inti utama (Common Equity Tier 1) yang mencakup: 1. modal disetor; 2. cadangan tambahan modal (disclosed reserve); dan b. modal inti tambahan (Additional Tier 1). (2) Bank wajib menyediakan modal inti paling rendah sebesar 6% (enam persen) dari ATMR baik secara individu maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. (3) Bank wajib menyediakan modal inti utama paling rendah sebesar 4,5% (empat koma lima persen) dari ATMR baik secara individu maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. - 15 - Pasal 12 Instrumen modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a angka 1 wajib memenuhi persyaratan: a. diterbitkan dan telah dibayar penuh; b. bersifat subordinasi terhadap komponen modal lain; c. bersifat permanen; d. tersedia untuk menyerap kerugian yang terjadi sebelum likuidasi maupun pada saat likuidasi; e. perolehan imbal hasil tidak dapat dipastikan dan tidak dapat diakumulasikan antar periode; f. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak; g. memiliki karakteristik pembayaran dividen atau imbal hasil: 1. berasal dari saldo laba dan/atau laba tahun berjalan; 2. tidak memiliki nilai yang pasti dan tidak terkait dengan nilai yang dibayarkan atas instrumen modal; 3. tidak memiliki fitur preferensi; dan h. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank penerbit baik secara langsung atau tidak langsung. Pasal 13 Pembelian kembali saham (treasury stock) yang telah diakui sebagai komponen modal disetor, wajib memenuhi persyaratan: a. setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penerbitan; b. untuk tujuan tertentu; c. dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan; d. telah memperoleh persetujuan Keuangan; dan Otoritas Jasa e. tidak menyebabkan penurunan modal di bawah persyaratan minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7. - 16 - Pasal 14 (1) Cadangan tambahan modal (disclosed reserve) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a angka 2 terdiri atas: a. faktor penambah, yaitu: 1. agio yang berasal dari penerbitan instrumen yang tergolong sebagai modal inti utama (Common Equity Tier 1); 2. modal sumbangan; 3. cadangan umum; 4. laba tahun-tahun lalu; 5. laba tahun berjalan; 6. selisih lebih penjabaran laporan keuangan; 7. dana setoran modal, yang memenuhi persyaratan: a) telah disetor penuh untuk tujuan penambahan modal namun belum didukung dengan kelengkapan persyaratan untuk dapat digolongkan sebagai modal disetor seperti pelaksanaan rapat umum pemegang saham maupun pengesahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; b) ditempatkan pada rekening khusus (escrow account) yang tidak diberikan imbal hasil; c) tidak boleh ditarik kembali oleh pemegang saham atau calon pemegang saham dan tersedia untuk menyerap kerugian; dan d) penggunaan dana harus dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; 8. waran yang diterbitkan sebagai insentif kepada pemegang saham Bank yang diakui sebesar 50% (lima puluh persen) dari nilai wajar dan harus memenuhi persyaratan: - 17 - a) instrumen yang mendasari adalah saham biasa; b) tidak dapat dikonversi ke dalam bentuk selain saham; dan c) nilai yang diperhitungkan adalah nilai wajar dari waran pada tanggal penerbitannya; 9. opsi saham (stock option) yang diterbitkan melalui program kompensasi pegawai atau manajemen berbasis saham (employee atau management stock option) yang diakui sebesar 50% (lima puluh persen), dengan memenuhi persyaratan: a) instrumen yang mendasari adalah saham biasa; b) tidak dapat dikonversi ke dalam bentuk selain saham; dan c) nilai yang diperhitungkan adalah nilai wajar dari stock option pada tanggal pemberian kompensasi; 10. pendapatan komprehensif lainnya berupa potensi keuntungan yang berasal dari peningkatan nilai wajar aset keuangan yang dikategorikan sebagai kelompok tersedia untuk dijual; dan 11. saldo surplus revaluasi aset tetap; b. faktor pengurang, yaitu: 1. disagio yang berasal dari penerbitan instrumen yang tergolong sebagai modal inti utama (Common Equity Tier 1); 2. rugi tahun-tahun lalu; 3. rugi tahun berjalan; 4. selisih kurang penjabaran laporan keuangan; 5. pendapatan komprehensif lainnya berupa: a) potensi kerugian yang berasal dari penurunan nilai wajar aset keuangan - 18 - yang dikategorikan sebagai kelompok tersedia untuk dijual; dan b) kerugian atas pengukuran kembali atas program pensiun manfaat pasti; 6. selisih kurang antara PPA atas aset produktif dan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) atas aset produktif; 7. selisih kurang antara jumlah penyesuaian terhadap hasil valuasi dari instrumen keuangan dalam Trading Book dan jumlah penyesuaian berdasarkan standar akuntansi keuangan; dan 8. PPA non-produktif. (2) Dalam perhitungan laba rugi tahun-tahun lalu dan/atau tahun berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 4 dan angka 5 harus dikeluarkan dari pengaruh faktor: a. peningkatan atau penurunan nilai wajar atas kewajiban keuangan; dan/atau b. keuntungan atas penjualan aset dalam transaksi sekuritisasi (gain on sale). Pasal 15 (1) Instrumen modal inti tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b wajib memenuhi persyaratan: a. diterbitkan dan telah dibayar penuh; b. tidak memiliki jangka waktu dan tidak terdapat persyaratan yang mewajibkan pelunasan oleh Bank di masa mendatang; c. pembelian kembali atau pembayaran pokok instrumen harus mendapat persetujuan pengawas; d. tidak memiliki fitur step-up; e. memiliki fitur untuk dikonversi menjadi saham biasa atau mekanisme write down dalam hal Bank berpotensi terganggu kelangsungan - 19 - usahanya (point of non-viability) yang dinyatakan secara jelas dalam dokumentasi penerbitan atau perjanjian; f. bersifat subordinasi pada saat likuidasi, yang secara jelas dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan atau perjanjian; g. perolehan imbal hasil tidak dapat dipastikan baik jumlah maupun waktu dan tidak dapat diakumulasikan antar periode; h. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak; i. tidak memiliki fitur pembayaran dividen atau imbal hasil yang sensitif terhadap Risiko Kredit; j. dalam hal disertai dengan fitur opsi beli (call option), harus memenuhi persyaratan: 1. hanya dapat dieksekusi paling cepat 5 (lima) tahun setelah instrumen modal diterbitkan; dan 2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan bahwa opsi hanya dapat dieksekusi atas persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; k. tidak dapat dibeli oleh Bank penerbit dan/atau Perusahaan Anak; l. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank penerbit baik secara langsung maupun tidak langsung; m. tidak memiliki fitur yang menghambat proses penambahan modal pada masa mendatang; dan n. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk diperhitungkan sebagai komponen modal. (2) Eksekusi opsi beli (call option) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j angka 1 dan angka 2 hanya dapat dilakukan oleh Bank sepanjang: a. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; - 20 - b. tidak menyebabkan penurunan modal dibawah persyaratan minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7; dan c. digantikan dengan instrumen modal yang mempunyai kualitas sama atau lebih baik. Pasal 16 (1) Dalam perhitungan rasio KPMM secara konsolidasi, kepentingan non-pengendali (non-controlling interest) wajib diperhitungkan sebagai modal inti utama kecuali terdapat bagian dari kepentingan non-pengendali yang tidak sesuai dengan persyaratan komponen modal inti utama. (2) Kepentingan non-pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperhitungkan dalam modal inti utama secara konsolidasi apabila kepemilikan Bank pada Perusahaan Anak lebih dari 50% (lima puluh persen) dan memenuhi persyaratan: a. Perusahaan Anak berupa Bank; b. terdapat keterkaitan atau afiliasi antara pemegang saham non-pengendali pada Perusahaan Anak dengan Bank; dan c. terdapat komitmen dari pemegang saham non-pengendali pada Perusahaan Anak untuk mendukung modal kelompok usaha Bank yang dinyatakan dalam surat pernyataan atau keputusan rapat umum pemegang saham Perusahaan Anak. Pasal 17 (1) Modal inti utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 1 diperhitungkan dengan faktor pengurang berupa: a. perhitungan pajak tangguhan (deferred tax); b. goodwill; c. aset tidak berwujud; d. seluruh penyertaan Bank yang meliputi: - 21 - 1. penyertaan Bank kepada Perusahaan Anak kecuali penyertaan modal sementara Bank kepada Perusahaan Anak dalam rangka restrukturisasi kredit; 2. penyertaan kepada perusahaan atau badan hukum dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) namun Bank tidak memiliki Pengendalian; dan 3. penyertaan kepada perusahaan asuransi; e. kekurangan modal (shortfall) dari pemenuhan tingkat rasio solvabilitas minimum (Risk Based Capital atau RBC minimum) pada perusahaan asuransi yang dimiliki dan dikendalikan oleh Bank; f. g. eksposur sekuritisasi; faktor pengurang modal inti utama lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22. (2) Faktor pengurang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e tidak diperhitungkan lagi dalam ATMR untuk Risiko Kredit. Bagian Ketiga Modal Pelengkap Pasal 18 Modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b hanya dapat diperhitungkan paling tinggi sebesar 100% (seratus persen) dari modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a. Pasal 19 (1) Instrumen modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b wajib memenuhi persyaratan: a. diterbitkan dan telah dibayar penuh; - 22 - b. memiliki jangka waktu 5 (lima) tahun atau lebih dan hanya dapat dilunasi setelah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; c. memiliki fitur untuk dikonversi menjadi saham biasa atau mekanisme write down dalam hal Bank berpotensi terganggu kelangsungan usahanya (point of non-viability), yang dinyatakan secara jelas dalam dokumentasi penerbitan atau perjanjian; d. bersifat subordinasi yang dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan atau perjanjian; e. pembayaran pokok dan/atau imbal hasil ditangguhkan dan diakumulasikan antar periode (cummulative) apabila pembayaran dapat menyebabkan rasio KPMM secara individu atau secara konsolidasi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7; f. g. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak; tidak memiliki fitur pembayaran dividen atau imbal hasil yang sensitif terhadap Risiko Kredit; h. tidak memiliki fitur step-up; i. apabila disertai dengan fitur opsi beli (call option), harus memenuhi persyaratan: 1. hanya dapat dieksekusi paling cepat 5 (lima) tahun setelah instrumen modal diterbitkan; dan 2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan bahwa opsi hanya dapat dieksekusi atas persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; j. tidak memiliki persyaratan percepatan pembayaran bunga atau pokok yang dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan atau perjanjian; k. tidak dapat dibeli oleh Bank penerbit dan/atau Perusahaan Anak; - 23 - l. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank penerbit baik secara langsung maupun tidak langsung; dan m. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk diperhitungkan sebagai komponen modal. (2) Eksekusi opsi beli (call option) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i angka 1 dan angka 2 hanya dapat dilakukan oleh Bank sepanjang: a. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; dan b. tidak menyebabkan penurunan modal di bawah persyaratan minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7 atau digantikan dengan instrumen modal yang mempunyai: 1. kualitas sama atau lebih baik; dan 2. dalam jumlah yang sama atau jumlah yang berbeda sepanjang tidak melebihi batasan modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. (3) Jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai modal pelengkap adalah jumlah modal pelengkap dikurangi amortisasi yang dihitung dengan menggunakan metode garis lurus. (4) Amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan untuk sisa jangka waktu instrumen 5 (lima) tahun terakhir. (5) Dalam hal terdapat opsi beli (call option), jangka waktu sampai Bank dapat mengeksekusi opsi beli (call option) merupakan sisa jangka waktu instrumen. Pasal 20 (1) Modal pelengkap meliputi: a. instrumen modal dalam bentuk saham atau dalam bentuk lainnya yang memenuhi - 24 - persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19; b. agio atau disagio yang berasal dari penerbitan instrumen modal yang tergolong sebagai modal pelengkap; c. cadangan umum PPA atas aset produktif yang wajib dihitung dengan jumlah paling tinggi sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima persen) dari ATMR untuk Risiko Kredit; dan d. cadangan tujuan. (2) Selisih lebih cadangan umum yang wajib dihitung dari batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat diperhitungkan sebagai faktor pengurang perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit. Pasal 21 Bagian dari modal pelengkap yang telah dibentuk cadangan pelunasan (sinking fund) tidak diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap, dalam hal Bank: a. telah menetapkan untuk menyisihkan dan mengelola dana cadangan pelunasan (sinking fund) secara khusus; dan b. telah mempublikasikan pembentukan cadangan pelunasan (sinking fund), termasuk dalam Rapat Umum Pemegang Obligasi (RUPO). Pasal 22 (1) Faktor-faktor yang menjadi pengurang modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 10 ayat (2) mencakup: a. pembelian kembali instrumen modal yang telah diakui sebagai komponen permodalan Bank; dan b. penempatan dana pada instrumen utang Bank lain yang diakui sebagai komponen modal oleh Bank lain (Bank penerbit). - 25 - (2) Seluruh faktor pengurang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak diperhitungkan lagi dalam ATMR untuk Risiko Kredit. Pasal 23 Dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), Bank wajib menyampaikan data pendukung untuk komponen modal inti tambahan dan modal pelengkap, yang menunjukkan bahwa komponen modal Perusahaan Anak yang diperhitungkan telah memenuhi seluruh persyaratan sebagai komponen modal. Bagian Keempat Capital Equivalency Maintained Assets (CEMA) Pasal 24 (1) Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri wajib memenuhi CEMA minimum. (2) CEMA minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 8% (delapan persen) dari total kewajiban kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri pada setiap bulan dan paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah). (3) Pemenuhan CEMA minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tahapan: a. sampai dengan posisi bulan November 2017, CEMA minimum ditetapkan sebesar 8% (delapan persen) dari total kewajiban kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri pada setiap bulan; b. mulai posisi bulan Desember 2017, CEMA minimum ditetapkan 8% (delapan persen) dari total kewajiban kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri pada setiap bulan - 26 - dan paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah). Pasal 25 (1) CEMA minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) wajib dipenuhi dari dana usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a. (2) Dana usaha yang dimiliki kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri harus memenuhi KPMM sesuai profil risiko dan CEMA minimum. (3) CEMA minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dihitung setiap bulan. (4) CEMA minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) wajib dipenuhi dan ditempatkan paling lambat tanggal 6 bulan berikutnya. Pasal 26 (1) Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri wajib menetapkan aset keuangan yang digunakan untuk memenuhi CEMA minimum. (2) Aset keuangan yang telah ditetapkan untuk memenuhi CEMA minimum dilarang dipertukarkan dan diubah dalam periode pemenuhan CEMA minimum. (3) Aset keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi syarat dan dapat diperhitungkan sebagai CEMA adalah: a. surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan dimaksudkan untuk dimiliki hingga jatuh tempo; b. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank lain yang berbadan hukum Indonesia dan memenuhi kriteria: 1. tidak bersifat ekuitas; 2. memiliki peringkat investasi; dan 3. tidak dimaksudkan untuk tujuan diperdagangkan (trading); dan/atau - 27 - c. surat berharga yang diterbitkan oleh korporasi berbadan hukum Indonesia dan memenuhi kriteria: 1. tidak bersifat ekuitas; 2. memiliki peringkat surat berharga paling kurang A+ atau yang setara; 3. tidak dimaksudkan untuk tujuan diperdagangkan (trading); dan 4. porsi surat berharga korporasi paling banyak sebesar 20% (dua puluh persen) dari total CEMA minimum. (4) Aset keuangan yang digunakan sebagai CEMA harus bebas dari klaim pihak manapun. (5) Perhitungan aset keuangan yang digunakan untuk memenuhi CEMA minimum: a. untuk aset keuangan yang telah dimiliki oleh Bank, dihitung berdasarkan nilai tercatat aset keuangan pada posisi akhir bulan laporan; b. untuk aset keuangan yang dibeli setelah posisi akhir bulan laporan, dihitung berdasarkan nilai tercatat aset keuangan pada posisi pembelian aset keuangan. BAB III ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO (ATMR) Bagian Kesatu Umum Pasal 27 ATMR yang digunakan dalam perhitungan modal minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan perhitungan pembentukan tambahan modal sebagai penyangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) terdiri atas: - 28 - a. ATMR untuk Risiko Kredit; b. ATMR untuk Risiko Operasional; dan c. ATMR untuk Risiko Pasar. Pasal 28 (1) Setiap Bank wajib memperhitungkan ATMR untuk Risiko Kredit dan ATMR untuk Risiko Operasional. (2) Selain memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank yang memenuhi kriteria tertentu wajib memperhitungkan ATMR untuk Risiko Pasar. Pasal 29 Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) adalah: a. Bank yang secara individu memenuhi salah satu kriteria: 1. Bank dengan total aset sebesar Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau lebih; 2. Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing dengan posisi instrumen keuangan berupa surat berharga dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau lebih; atau 3. Bank yang tidak melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing dengan posisi instrumen keuangan berupa surat berharga dan/atau transaksi derivatif suku bunga dalam Trading Book sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) atau lebih, dan/atau b. Bank yang secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memenuhi salah satu kriteria: 1. Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing yang secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memiliki posisi instrumen sebesar - 29 - keuangan berupa surat berharga termasuk instrumen keuangan yang terekspos risiko ekuitas dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book dan/atau instrumen keuangan yang terekspos risiko komoditas dalam Trading Book dan Banking Book sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau lebih; 2. Bank yang tidak melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing namun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memiliki posisi instrumen keuangan berupa surat berharga termasuk instrumen keuangan yang terekspos risiko ekuitas dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book dan/atau instrumen keuangan yang terekspos risiko komoditas dalam Trading Book dan Banking Book sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) atau lebih; c. Bank yang memiliki jaringan kantor dan/atau Perusahaan Anak di negara lain maupun kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. Pasal 30 Aset keuangan yang pada saat pengakuan awal ditetapkan sebagai aset keuangan yang diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi dan kredit yang diklasifikasikan dalam kelompok diperdagangkan dikecualikan dari cakupan Trading Book. Pasal 31 Surat berharga dalam Trading Book hanya mencakup surat berharga yang diklasifikasikan dalam kelompok diperdagangkan. Pasal 32 Bank yang setelah melakukan merger, konsolidasi atau akuisisi memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 paling sedikit pada 3 (tiga) periode - 30 - pelaporan bulanan dalam 6 (enam) bulan pertama setelah merger, konsolidasi atau akuisisi dinyatakan efektif, wajib memperhitungkan Risiko Pasar dalam perhitungan rasio KPMM sejak bulan ke-7 (tujuh) setelah merger, konsolidasi atau akuisisi dinyatakan efektif. Pasal 33 Bank yang telah memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Bank yang setelah melakukan merger, konsolidasi atau akuisisi memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 wajib tetap memperhitungkan Risiko Pasar dalam kewajiban penyediaan modal minimum walaupun selanjutnya Bank tidak lagi memenuhi kriteria tertentu. Bagian Kedua Risiko Kredit Pasal 34 (1) Dalam perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit, terdapat 2 (dua) pendekatan yang dapat digunakan, yaitu: a. Pendekatan Standar (Standardized Approach); dan/atau b. Pendekatan berdasarkan Internal Rating (Internal Rating based Approach). (2) Untuk penerapan tahap awal, perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit wajib dilakukan dengan menggunakan Pendekatan Standar (Standardized Approach). (3) Bank wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Otoritas Jasa Keuangan untuk dapat menggunakan pendekatan berdasarkan Internal Rating sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. - 31 - Bagian Ketiga Risiko Operasional Pasal 35 (1) Dalam perhitungan ATMR untuk Risiko Operasional, terdapat 3 (tiga) pendekatan yang dapat digunakan, yaitu: a. Pendekatan Indikator Dasar (Basic Indicator Approach); b. Pendekatan Standar (Standardized Approach); dan/atau c. Pendekatan yang lebih kompleks (Advanced Measurement Approach). (2) Untuk penerapan tahap awal, perhitungan ATMR untuk Risiko Operasional wajib dilakukan dengan menggunakan Pendekatan Indikator Dasar (Basic Indicator Approach). (3) Bank wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Otoritas Jasa Keuangan untuk dapat menggunakan pendekatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c. Bagian Keempat Risiko Pasar Pasal 36 (1) Risiko Pasar yang wajib diperhitungkan oleh Bank secara individu dan secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak adalah: a. risiko suku bunga; dan/atau b. risiko nilai tukar. (2) Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak wajib memperhitungkan risiko ekuitas dan/atau risiko komoditas selain Risiko Pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal memenuhi kriteria: a. memiliki Perusahaan Anak yang terekspos risiko ekuitas dan/atau risiko komoditas; dan - 32 - b. secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf b. Pasal 37 (1) Bank wajib melakukan valuasi secara harian terhadap posisi yang diukur dengan nilai wajar dalam Trading Book dan Banking Book secara akurat. (2) Dalam melakukan valuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur valuasi, termasuk memiliki sistem informasi manajemen dan pengendalian proses valuasi yang memadai dan terintegrasi dengan sistem manajemen risiko. (3) Kebijakan dan prosedur valuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib berlandaskan pada prinsip kehati-hatian. Pasal 38 (1) Proses valuasi wajib dilakukan berdasarkan nilai wajar. (2) Terhadap instrumen keuangan yang diperdagangkan secara aktif, proses valuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan harga transaksi yang terjadi (close-out prices) atau kuotasi harga pasar dari sumber yang independen. (3) Valuasi terhadap instrumen keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan: a. bid price untuk aset yang dimiliki atau kewajiban yang akan diterbitkan; dan/atau b. ask price untuk aset yang akan diperoleh atau kewajiban yang dimiliki. (4) Dalam hal harga pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tersedia, Bank dapat menetapkan nilai wajar dengan menggunakan suatu model atau teknik penilaian berlandaskan prinsip kehati-hatian. - 33 - Pasal 39 (1) Bank wajib melakukan verifikasi terhadap proses dan hasil valuasi. (2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan oleh pihak yang tidak ikut dalam pelaksanaan valuasi. (3) Bank wajib menyesuaikan hasil valuasi berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 40 Bank wajib segera melakukan penyesuaian terhadap hasil valuasi yang belum mencerminkan nilai wajar dalam hal: a. terjadi perubahan kondisi ekonomi yang signifikan; b. harga instrumen keuangan yang dijadikan acuan adalah harga yang terjadi dari transaksi yang dipaksakan, likuidasi yang dipaksakan atau penjualan akibat kesulitan keuangan; c. instrumen keuangan sudah mendekati jatuh tempo; dan/atau d. harga yang dijadikan acuan tidak wajar karena kondisi lainnya. Pasal 41 (1) Selain penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, Bank wajib melakukan penyesuaian terhadap valuasi atas posisi yang kurang likuid dengan mempertimbangkan faktor-faktor tertentu. (2) Dalam hal dilakukan penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib memperhitungkan dampak penyesuaian sebagai faktor pengurang modal inti utama dalam perhitungan rasio KPMM. Pasal 42 (1) Dalam perhitungan ATMR untuk Risiko Pasar, terdapat 2 (dua) pendekatan yang dapat digunakan, yaitu: - 34 - a. Metode Standar (Standard Method); dan/atau b. Model Internal (Internal Model). (2) Untuk penerapan tahap awal, bagi Bank yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, perhitungan ATMR untuk Risiko Pasar wajib dilakukan dengan menggunakan Metode Standar (Standard Method). (3) Bank wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Otoritas Jasa Keuangan untuk dapat menggunakan pendekatan Model Internal (Internal Model) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. BAB IV Internal Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP) dan Supervisory Review and Evaluation Process (SREP) Bagian Kesatu Internal Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP) Pasal 43 (1) Dalam memenuhi kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 baik secara individu maupun konsolidasi dengan Perusahaan Anak, Bank wajib memiliki ICAAP yang disesuaikan dengan ukuran, karakteristik, dan kompleksitas usaha Bank. (2) ICAAP sebagaimana ayat (1) mencakup paling sedikit: a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris; b. penilaian kecukupan modal; c. pemantauan dan pelaporan; dan d. pengendalian internal. (3) Bank wajib mendokumentasikan ICAAP. - 35 - Bagian Kedua Supervisory Review and Evaluation Process (SREP) Pasal 44 (1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan SREP. (2) Berdasarkan hasil SREP, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Bank untuk memperbaiki ICAAP. Pasal 45 (1) Dalam hal terdapat perbedaan hasil perhitungan modal sesuai profil risiko antara hasil self-assessment Bank dengan hasil SREP, perhitungan modal yang berlaku adalah hasil SREP. (2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai modal yang dimiliki Bank tidak memenuhi modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 baik secara individu maupun konsolidasi dengan Perusahaan Anak, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Bank untuk: a. menambah modal agar memenuhi KPMM sesuai profil risiko; b. memperbaiki kualitas proses manajemen risiko; dan/atau c. menurunkan eksposur risiko. Pasal 46 Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai terdapat kecenderungan penurunan modal Bank yang berpotensi menyebabkan modal Bank berada di bawah KPMM sesuai profil risiko, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Bank untuk melakukan antara lain: a. pembatasan kegiatan usaha tertentu; b. pembatasan pembukaan jaringan kantor; dan/atau c. pembatasan distribusi modal. - 36 - BAB V PELAPORAN Pasal 47 (1) Bank yang memenuhi kewajiban untuk melakukan perhitungan KPMM secara konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib menyampaikan laporan perhitungan KPMM secara konsolidasi. (2) Bank yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 wajib menyampaikan laporan perhitungan KPMM dengan memperhitungkan Risiko Pasar. (3) Penyusunan dan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib mengacu kepada ketentuan yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. Pasal 48 (1) Bank wajib menyampaikan laporan perhitungan KPMM sesuai profil risiko kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan bersamaan dengan penyampaian hasil self-assessment tingkat kesehatan bank. Pasal 49 (1) Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri wajib menyampaikan laporan pemenuhan CEMA. (2) Laporan pemenuhan CEMA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi mengenai: a. rata-rata total kewajiban secara mingguan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); b. jumlah alokasi dana usaha dalam bentuk CEMA; c. jenis aset dan pemenuhan kriteria aset keuangan CEMA; - 37 - d. nilai tercatat masing-masing aset keuangan CEMA; dan e. maturity date aset keuangan CEMA. Pasal 50 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) disusun setiap bulan dan wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat tanggal 8 pada bulan berikutnya. (2) Apabila batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, dan/atau hari libur, laporan pemenuhan CEMA disampaikan pada hari kerja berikutnya. Pasal 51 (1) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (1) apabila laporan diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan setelah batas waktu penyampaian laporan sampai dengan paling lambat 5 (lima) hari setelah batas waktu penyampaian laporan. (2) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (1) apabila laporan belum diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan sampai dengan batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap wajib menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (1). Pasal 52 Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (1) disampaikan kepada: a. Departemen Pengawasan Bank terkait atau Kantor Regional 1 Jabodetabek, Banten, Lampung, dan - 38 - Kalimantan, bagi Bank yang berkantor pusat atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang berada di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), serta Provinsi Banten; atau b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), serta Provinsi Banten. BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 53 Bank dilarang melakukan perdagangan atas aset keuangan dalam kategori tersedia untuk dijual, yang dilakukan dengan pola menyerupai perdagangan atas aset keuangan dalam kategori diperdagangkan: a. dalam jumlah yang signifikan; dan/atau b. dalam frekuensi yang tinggi. Pasal 54 Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan pertimbangan kondisi perekonomian dan stabilitas sistem keuangan, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian, berwenang menetapkan: a. bobot risiko atas ATMR yang berbeda dengan bobot risiko yang diatur dalam peraturan pelaksanaan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan b. besaran tambahan modal sebagai penyangga (buffer) yang berbeda dengan besaran tambahan modal yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 39 - BAB VII SANKSI Pasal 55 Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (2), Pasal 6 ayat (3), Pasal 6 ayat (4), Pasal 7, Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat (3), Pasal 9 ayat (2), Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (3), Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20 ayat (2), Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24 ayat (1), Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 ayat (2), Pasal 34 ayat (3), Pasal 35 ayat (2), Pasal 35 ayat (3), Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38 ayat (1), Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42 ayat (2), Pasal 42 ayat (3), Pasal 43 ayat (1), Pasal 43 ayat (3), Pasal 47, Pasal 48 ayat (1), Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 51 ayat (3) dikenakan sanksi administratif, antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. larangan transfer laba bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri; c. larangan melakukan ekspansi kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha tertentu; e. larangan pembukaan jaringan kantor; f. penurunan tingkat kesehatan Bank; dan/atau g. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham Bank dalam daftar orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan pengurus Bank. Pasal 56 Bank yang melanggar ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dikenakan juga sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. - 40 - Pasal 57 (1) Selain sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, Bank yang dinyatakan: a. terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan; b. tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Dalam hal Bank dikenakan sanksi administratif berupa denda karena dinyatakan tidak menyampaikan laporan, sanksi administratif berupa denda karena terlambat menyampaikan laporan tidak diberlakukan. Pasal 58 Selain dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, Bank yang tidak memenuhi KPMM sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 baik secara individu maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak diwajibkan melakukan langkah- langkah atau tindakan pengawasan sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai tindak lanjut pengawasan dan penetapan status Bank. Pasal 59 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dikenakan sanksi berupa tidak diperkenankan untuk mencatat pembelian aset keuangan berikutnya dalam kategori tersedia untuk dijual selama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkan surat pembinaan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 untuk kedua kalinya, - 41 - dikenakan sanksi berupa tidak diperkenankan untuk mencatat pembelian aset keuangan berikutnya dalam kategori tersedia untuk dijual selama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal dikeluarkan surat pembinaan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 lebih dari 2 (dua) kali, dikenakan sanksi berupa tidak diperkenankan untuk mencatat pembelian aset keuangan berikutnya dalam kategori tersedia untuk dijual selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal dikeluarkan surat pembinaan oleh Otoritas Jasa Keuangan. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 60 Instrumen modal yang tidak memiliki jangka waktu yang telah diakui dalam perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum pada posisi 31 Desember 2013, namun tidak lagi memenuhi kriteria komponen modal sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dapat tetap diakui sebagai komponen modal sampai dengan tanggal 31 Desember 2018. Pasal 61 Instrumen modal yang memiliki jangka waktu telah diakui dalam perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum pada posisi 31 Desember 2013, namun tidak lagi memenuhi kriteria komponen modal sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dapat tetap diakui sebagai komponen modal sampai dengan jatuh tempo dan tidak dapat diperpanjang jangka waktunya. - 42 - Pasal 62 Instrumen modal yang diterbitkan sejak tanggal 1 Januari 2014 harus sudah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 63 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 64 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tanggal 12 Desember 2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 223, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5469); dan b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/31/DPNP tanggal 12 Desember 2007 perihal Pedoman Penggunaan Model Internal dalam Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar; dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 65 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/33/DPNP tanggal 18 Desember 2007 perihal Pedoman Penggunaan Metode Standar dalam Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar; - 43 - b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/3/DPNP tanggal 27 Januari 2009 perihal Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk Risiko Operasional dengan Menggunakan Pendekatan Indikator Dasar (PID); c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/6/DPNP tanggal 18 Februari 2011 perihal Pedoman Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko untuk Risiko Kredit dengan Menggunakan Pendekatan Standar; d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/21/DPNP tanggal 18 Juli 2012 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/33/DPNP tanggal 18 Desember 2007 perihal Pedoman Penggunaan Metode Standar dalam Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar; dan e. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/37/DPNP tanggal 27 Desember 2012 perihal Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sesuai Profil Risiko dan Pemenuhan Capital Equivalency Maintained Assets (CEMA), masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 66 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan dari: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/18/PBI/2012 tanggal 28 November 2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 261, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5369); dan b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tanggal 12 Desember 2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 223, - 44 - Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5469), selain yang disebutkan dalam Pasal 65, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 67 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 29 Januari 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 2 Februari 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 25 25 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11 /POJK.03/2016 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM I. UMUM Pengalaman krisis keuangan dan ekonomi yang terjadi di berbagai negara pada beberapa tahun belakangan menunjukkan bahwa kejatuhan Bank antara lain disebabkan oleh tidak memadainya kualitas dan kuantitas permodalan Bank untuk mengantisipasi risiko yang dihadapi. Dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas modal Bank sehingga Bank lebih mampu menyerap potensi kerugian baik akibat krisis keuangan dan ekonomi maupun karena pertumbuhan kredit yang berlebihan, persyaratan komponen dan instrumen modal serta perhitungan kecukupan modal Bank perlu disesuaikan dengan standar internasional. Standar Internasional yang menjadi acuan adalah “Global Regulatory Framework for More Resilient Banks and Banking System” yang lebih dikenal dengan Basel III. Untuk meningkatkan kualitas permodalan Bank, komponen dan persyaratan instrumen modal disesuaikan mengacu pada standar internasional. Komponen modal inti (Tier 1) Bank terutama harus didominasi oleh instrumen modal berkualitas tinggi, yaitu saham biasa (common stocks) dan saldo laba yang merupakan bagian dari modal inti utama atau Common Equity Tier 1. Komponen modal inti lainnya yaitu modal inti tambahan (Additional Tier 1) ditingkatkan kualitasnya menjadi hanya dapat berupa instrumen keuangan yang bersifat subordinasi dengan pembayaran dividen atau imbal hasil bersifat non-kumulatif serta - 2 - memenuhi kriteria tertentu. Komponen modal inti tambahan merupakan penyempurnaan dari komponen modal inovatif yang sebelumnya merupakan bagian dari modal inti Bank. Sejalan dengan peningkatan kualitas modal inti, komponen dan persyaratan instrumen modal pelengkap (Tier 2) juga ikut disesuaikan, antara lain dengan menghapuskan kategori Upper Tier 2 dan Lower Tier 2. Komponen modal pelengkap tambahan (Tier 3) yang sebelumnya dapat diterbitkan hanya untuk perhitungan modal untuk Risiko Pasar, dengan berlakunya Basel III menjadi dihapuskan. Untuk memastikan kualitas atau tingkat permodalan Bank memadai, dilakukan penyempurnaan rasio-rasio permodalan yang meliputi rasio modal inti dan rasio modal inti utama. Bank diwajibkan untuk membentuk tambahan modal berupa Capital Conservation Buffer dan Countercyclical Buffer, dan Bank yang dianggap berpotensi sistemik wajib membentuk tambahan modal berupa Capital Surcharge. Tujuan pembentukan tambahan modal tersebut adalah sebagai penyangga (buffer) untuk menyerap risiko yang disebabkan oleh kondisi krisis dan/atau pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan. Kewajiban pembentukan tambahan modal diterapkan secara bertahap sejak tahun 2016 untuk memberikan waktu yang cukup kepada Bank dalam membentuk tambahan modal tersebut. Sehubungan dengan hal-hal tersebut, perlu menetapkan ketentuan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dalam suatu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. II. Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “profil risiko” adalah profil risiko Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai penilaian tingkat kesehatan Bank. PASAL DEMI PASAL - 3 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan “rasio KPMM” adalah perbandingan antara modal Bank dengan ATMR. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Pembentukan tambahan modal selain modal minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat ini berfungsi sebagai penyangga (buffer) apabila terjadi krisis keuangan dan ekonomi yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah Bank Indonesia. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah Bank Indonesia. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dipenuhi dari bagian dana usaha yang ditempatkan dalam CEMA. Ayat (9) Cukup jelas. - 4 - Pasal 4 Ayat (1) Pengelompokan BUKU mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah Bank Indonesia. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah Bank Indonesia. Pasal 7 Cukup jelas. - 5 - Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan distribusi laba antara lain berupa pembayaran dividen dan pembayaran bonus kepada pengurus. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Penentuan batasan distribusi laba antara lain mempertimbangkan faktor-faktor berupa besarnya kekurangan pemenuhan tambahan modal, kondisi keuangan Bank, proyeksi kemampuan Bank untuk meningkatkan modal, dan tren ekspansi bisnis Bank. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “dana usaha” adalah penempatan yang berasal dari kantor pusat bank pada kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri setelah dikurangi dengan penempatan yang berasal dari kantor cabang bank yang berkedudukan di luar negeri pada: 1. kantor pusat; 2. kantor-kantor bank yang bersangkutan di luar negeri; dan 3. kantor lainnya seperti sister company dari bank yang berkedudukan di luar negeri, yang telah dinyatakan sebagai dana usaha (declared dana usaha) dan harus selalu tercatat setiap waktu di Indonesia selama kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri beroperasi di Indonesia. - 6 - Dana usaha tidak termasuk komponen dalam rekening antar kantor yang bukan merupakan dana bersih seperti kewajiban bunga dan kewajiban lainnya serta tagihan bunga dan tagihan lainnya. Yang dimaksud dengan penempatan mencakup penempatan pada seluruh aset keuangan sesuai standar akuntansi keuangan. Huruf b Yang dimaksud dengan “laba ditahan” adalah saldo laba bersih setelah dikurangi pajak yang oleh kantor pusatnya diputuskan untuk ditahan di kantor cabangnya di Indonesia. Yang dimaksud dengan “laba tahun lalu” adalah seluruh laba bersih tahun-tahun yang lalu setelah dikurangi pajak dan belum ditetapkan penggunaannya oleh kantor pusat. Dalam hal bank mempunyai saldo rugi tahun-tahun lalu seluruh kerugian tersebut menjadi faktor pengurang modal. Huruf c Yang dimaksud dengan “laba tahun berjalan” adalah laba yang diperoleh dalam tahun buku berjalan setelah dikurangi taksiran pajak. Dalam hal pada tahun buku berjalan bank mengalami kerugian, seluruh kerugian menjadi faktor pengurang modal. Huruf d Yang dimaksud dengan “cadangan umum” adalah cadangan yang dibentuk dari penyisihan saldo laba setelah dikurangi pajak dan mendapat persetujuan kantor pusatnya sebagai cadangan umum. Huruf e Yang dimaksud dengan “saldo surplus revaluasi aset tetap” adalah selisih penilaian kembali aset tetap milik bank. Pengakuan surplus revaluasi aset tetap mengacu pada standar akuntansi keuangan mengenai aset tetap. - 7 - Huruf f Pengertian aset keuangan yang diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual mengacu pada standar akuntansi keuangan mengenai instrumen keuangan. Huruf g Yang dimaksud dengan “cadangan tujuan” adalah cadangan yang dibentuk dari penyisihan saldo laba setelah dikurangi pajak untuk tujuan tertentu dan telah mendapat persetujuan kantor pusatnya. Penggunaan cadangan tujuan diprioritaskan untuk menutup kerugian bank dalam hal cadangan umum tidak mencukupi untuk menutup kerugian bank. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penetapan jumlah dana usaha yang dinyatakan mengacu kepada ketentuan mengenai pinjaman luar negeri. Pasal 11 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Yang termasuk modal disetor adalah saham biasa (common stocks) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan standar akuntansi keuangan. Angka 2 Cukup jelas. Huruf b Yang termasuk komponen modal inti tambahan antara lain meliputi: 1. instrumen utang yang memiliki karakteristik modal, bersifat subordinasi, tidak memiliki jangka waktu, dan pembayaran imbal hasil tidak dapat - 8 - diakumulasikan subordinated debt); 2. saham preferen non-kumulatif (perpetual non-cumulative preference shares) baik dengan atau tanpa fitur opsi beli (call option); 3. instrumen hybrid yang tidak memiliki jangka waktu dan pembayaran imbal hasil tidak dapat diakumulasikan (perpetual dan non-cumulative); dan 4. agio atau disagio yang berasal dari penerbitan instrumen yang tergolong sebagai modal inti tambahan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Instrumen modal inti utama bersifat subordinasi terhadap antara lain pemegang instrumen yang memenuhi kriteria modal inti tambahan, modal pelengkap, deposan, dan kreditur. Huruf c Termasuk dalam pengertian fitur bersifat permanen antara lain tidak terdapat ekspektasi bahwa penerbit akan membeli kembali, atau aktivitas lain yang dapat memberikan ekspektasi tersebut. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank (perpetual non-cumulative - 9 - atau Perusahaan Anak, misalnya premi atau fee dalam rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Pasal 13 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Tujuan tertentu untuk melakukan pembelian kembali saham yang telah diakui sebagai komponen modal disetor yaitu sebagai persediaan saham dalam rangka program employee stock option atau management stock option atau menghindari upaya take over. Huruf c Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan perundang- undangan lainnya di bidang pasar modal. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Yang dimaksud dengan “agio” adalah selisih lebih setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat penerbitan saham karena harga pasar saham lebih tinggi dari nilai nominal. - 10 - Angka 2 Yang dimaksud dengan “modal sumbangan” adalah modal yang diperoleh kembali dari sumbangan saham Bank tersebut termasuk selisih antara nilai yang tercatat dengan harga jual apabila saham tersebut dijual. Angka 3 Yang dimaksud dengan “cadangan umum” adalah cadangan yang dibentuk dari penyisihan saldo laba setelah dikurangi pajak, dan mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota sebagai cadangan umum. Angka 4 Laba tahun-tahun lalu setelah diperhitungkan pajak mencakup: a) laba tahun lalu yaitu seluruh laba bersih tahun-tahun yang lalu setelah dikurangi pajak, dan belum ditetapkan penggunaannya oleh rapat umum pemegang saham atau rapat anggota; dan b) laba ditahan (retained earnings) yaitu saldo laba bersih setelah dikurangi pajak yang oleh rapat umum pemegang saham atau rapat anggota diputuskan untuk tidak dibagikan. Angka 5 Yang dimaksud dengan “laba tahun berjalan” adalah laba yang diperoleh dalam tahun buku berjalan setelah dikurangi taksiran pajak. Angka 6 Yang dimaksud dengan “selisih lebih penjabaran laporan keuangan” adalah selisih kurs yang timbul dari penjabaran laporan keuangan kantor cabang Bank dan/atau Perusahaan Anak di luar negeri sebagaimana diatur dalam standar akuntansi keuangan. - 11 - Angka 7 Dalam hal berdasarkan penelitian Otoritas Jasa Keuangan, calon pemegang saham Bank atau dana setoran modal diketahui tidak memenuhi syarat sebagai pemegang saham atau sebagai modal, dana tersebut tidak dapat diakui sebagai komponen modal. Angka 8 Yang dimaksud dengan “waran” adalah efek yang diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memberi hak kepada pemegang efek untuk memesan saham dari perusahaan tersebut pada harga dan jangka waktu tertentu. Angka 9 Cukup jelas. Angka 10 Pengertian aset keuangan yang dikategorikan sebagai kelompok tersedia untuk dijual mengacu pada standar akuntansi keuangan mengenai instrumen keuangan. Angka 11 Yang dimaksud dengan “saldo surplus revaluasi aset tetap” adalah selisih penilaian kembali aset tetap milik Bank. Pengakuan saldo surplus revaluasi aset tetap mengikuti standar akuntansi keuangan mengenai aset tetap. Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan “disagio” adalah selisih kurang setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat penerbitan saham karena harga pasar saham lebih rendah dari nilai nominal. Angka 2 Yang dimaksud dengan “rugi tahun-tahun lalu” adalah seluruh rugi yang dibukukan Bank pada tahun-tahun yang lalu. - 12 - Angka 3 Yang dimaksud dengan “rugi tahun berjalan” adalah seluruh rugi yang dibukukan Bank dalam tahun buku berjalan. Angka 4 Yang dimaksud dengan “selisih kurang penjabaran laporan keuangan” adalah selisih kurs yang timbul dari penjabaran laporan keuangan kantor cabang Bank dan/atau Perusahaan Anak di luar negeri sebagaimana diatur dalam standar akuntansi keuangan mengenai penjabaran laporan keuangan dalam mata uang asing. Angka 5 Huruf a) Pengertian aset keuangan yang dikategorikan sebagai kelompok tersedia untuk dijual mengacu pada standar akuntansi keuangan mengenai instrumen keuangan. Huruf b) Pengertian kerugian atas pengukuran kembali atas program pensiun manfaat pasti mengacu pada standar akuntansi keuangan mengenai imbalan kerja. Angka 6 Yang dimaksud dengan “selisih kurang antara PPA atas aset produktif dan cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan atas aset produktif” adalah selisih kurang antara total PPA (cadangan umum dan cadangan khusus atas seluruh aset produktif) yang wajib dibentuk sesuai ketentuan mengenai penilaian kualitas aset Bank dengan total cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan (impairment) atas seluruh aset produktif (secara individu dan secara kolektif) sesuai standar akuntansi keuangan. - 13 - Angka 7 Selisih kurang ini timbul karena jumlah penyesuaian terhadap hasil valuasi (mark to market) dari instrumen keuangan dalam Trading Book yang mempertimbangkan berbagai faktor tertentu antara lain karena posisi yang kurang likuid melebihi jumlah penyesuaian yang dipersyaratkan sesuai standar akuntansi keuangan mengenai pengukuran instrumen keuangan, khususnya instrumen keuangan yang diukur berdasarkan nilai wajar. Sesuai Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia, penyesuaian terhadap hasil valuasi instrumen keuangan akan langsung mengurangi atau menambah nilai tercatat instrumen keuangan. Angka 8 Yang dimaksud dengan “PPA non-produktif” adalah cadangan yang wajib dibentuk untuk aset non-produktif sesuai ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset Bank. Ayat (2) Huruf a Hal ini terjadi apabila Bank menetapkan untuk mengukur kewajiban keuangan pada nilai wajar melalui laba rugi (fair value option) sesuai standar akuntansi keuangan. Huruf b Yang dimaksud dengan “keuntungan atas penjualan aset dalam transaksi sekuritisasi (gain on sale)” adalah keuntungan yang diperoleh Bank sebagai kreditur asal (originator) atas penjualan aset dalam transaksi sekuritisasi yang bersumber dari kapitalisasi pendapatan masa mendatang (expected future margin) atau kapitalisasi pendapatan dari penyediaan jasa (servicing income). - 14 - Pasal 15 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Dalam rangka memperoleh persetujuan pengawas, Bank tidak dapat mengasumsikan atau menciptakan ekspektasi pasar bahwa persetujuan pengawas akan diberikan. Huruf d Yang dimaksud dengan “fitur step-up” adalah fitur yang menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga atau imbal hasil apabila opsi beli tidak dieksekusi pada jangka waktu yang telah ditetapkan. Huruf e Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk menetapkan kondisi dimana Bank berpotensi terganggu kelangsungan usahanya (point of non-viability) dan memerintahkan Bank untuk mengkonversi instrumen modal inti tambahan ke saham biasa atau melakukan write down. Termasuk dalam mekanisme write down antara lain pengurangan nilai kewajiban, pengurangan nilai kewajiban pada saat opsi beli dieksekusi atau pengurangan sebagian atau seluruh pembayaran imbal hasil. Dalam dokumentasi penerbitan wajib terdapat klausul yang menyatakan bahwa instrumen modal inti tambahan dapat dikonversi menjadi saham biasa atau dilakukan write down apabila terdapat perintah dari Otoritas Jasa Keuangan. Huruf f Instrumen modal inti tambahan bersifat subordinasi terhadap antara lain deposan, kreditur, dan pemegang instrumen yang memenuhi kriteria modal pelengkap. - 15 - Huruf g Dalam hal imbal hasil tidak dibayarkan, maka tidak menyebabkan adanya pembatasan pembayaran dividen atau kupon, untuk instrumen lain, kecuali untuk saham biasa (common stock). Huruf h Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank atau Perusahaan Anak, misalnya premi atau fee dalam rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak. Huruf i Yang dimaksud dengan “dividen atau imbal hasil yang sensitif terhadap Risiko Kredit” adalah tingkat dividen atau imbal hasil yang ditetapkan berdasarkan peringkat atau tingkat Risiko Kredit Bank penerbit. Huruf j Meskipun terdapat opsi beli, Bank tidak diperkenankan mempersiapkan kriteria atau kondisi tertentu yang memungkinkan eksekusi opsi beli (call option). Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Fitur yang menghambat proses penambahan modal di masa mendatang yaitu antara lain persyaratan yang mewajibkan Bank untuk memberikan kompensasi kepada investor apabila Bank menerbitkan instrumen modal baru dengan harga yang lebih rendah. Huruf n Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. - 16 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “kualitas sama atau lebih baik” adalah instrumen modal yang paling sedikit memenuhi persyaratan sebagai komponen modal inti tambahan. Pasal 16 Yang dimaksud dengan “kepentingan non-pengendali” adalah kepentingan bukan pengendali sebagaimana dimaksud dalam standar akuntansi keuangan. Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Pajak tangguhan dikurangkan sebesar 100% (seratus persen) baik atas perhitungan pajak tangguhan pada tahun-tahun lalu maupun pada tahun berjalan. Pajak tangguhan merupakan transaksi yang timbul sebagai akibat penerapan standar akuntansi keuangan mengenai akuntansi pajak penghasilan. Dalam perhitungan KPMM secara individu, pajak tangguhan yang dikeluarkan sebesar selisih lebih dari aset pajak tangguhan dikurangi kewajiban pajak tangguhan. Dalam hal terjadi selisih kurang, perhitungan pajak tangguhan yang akan dikeluarkan adalah nihil. Dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi, aset pajak tangguhan satu perusahaan tidak boleh saling hapus dengan kewajiban pajak tangguhan perusahaan lain dalam kelompok usaha Bank. Oleh karena itu, pengaruh pajak tangguhan dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi harus dihitung dan dikeluarkan secara terpisah untuk masing-masing entitas. - 17 - Dengan dikeluarkannya dampak pajak tangguhan dari perhitungan modal inti utama, aset pajak tangguhan tidak diperhitungkan dalam perhitungan ATMR. Huruf b Pengertian goodwill mengacu pada standar akuntansi keuangan mengenai kombinasi bisnis. Goodwill diperhitungkan sebagai faktor pengurang baik dalam perhitungan modal minimum Bank secara individu maupun secara konsolidasi. Huruf c Pengertian aset tidak berwujud mengacu kepada standar akuntansi keuangan mengenai aset tidak berwujud. Seluruh aset tidak berwujud diperhitungkan sebagai faktor pengurang modal inti utama. Contoh aset tidak berwujud antara lain copyright, hak paten, dan hak milik intelektual (intellectual property right) lainnya termasuk aplikasi piranti lunak (software) yang dikembangkan oleh Bank. Huruf d Nilai penyertaan yang diperhitungkan adalah nilai buku yang tercatat pada laporan posisi keuangan (neraca). Huruf e Kekurangan modal (shortfall) diperhitungkan sebagai faktor pengurang hanya dalam perhitungan rasio KPMM secara konsolidasi. Kekurangan modal (shortfall) perusahaan asuransi dari RBC minimum diperhitungkan apabila perusahaan dimaksud tidak dapat memenuhi RBC minimum sampai dengan jangka waktu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Huruf f Perlakuan terhadap eksposur sekuritisasi sebagai pengurang modal atau diperhitungkan sebagai ATMR mengacu pada ketentuan mengenai sekuritisasi aset. Yang dimaksud dengan “eksposur sekuritisasi” adalah kredit pendukung (credit enhancement), fasilitas - 18 - likuiditas (liquidity support), dan efek beragun aset (asset backed securities). Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk menetapkan kondisi dimana Bank berpotensi terganggu kelangsungan usahanya (point of non-viability) dan memerintahkan Bank untuk mengkonversi instrumen modal pelengkap pada saham biasa atau melakukan write down. Termasuk dalam mekanisme write down antara lain pengurangan nilai kewajiban, pengurangan nilai kewajiban pada saat opsi beli dieksekusi atau pengurangan sebagian atau seluruh pembayaran imbal hasil. Dalam dokumentasi penerbitan wajib terdapat klausul yang menyatakan bahwa instrumen modal pelengkap dapat dikonversi menjadi saham biasa atau dilakukan write down apabila terdapat perintah dari Otoritas Jasa Keuangan. Huruf d Instrumen modal pelengkap bersifat subordinasi terhadap antara lain deposan dan kreditur. Huruf e Cukup jelas. - 19 - Huruf f Termasuk dalam pengertian diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank atau Perusahaan Anak, misalnya premi atau fee dalam rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak. Huruf g Yang dimaksud dengan “dividen atau imbal hasil yang sensitif terhadap Risiko Kredit” adalah tingkat dividen atau imbal hasil yang ditetapkan berdasarkan peringkat atau tingkat Risiko Kredit Bank penerbit. Huruf h Yang dimaksud dengan “fitur step-up” adalah fitur yang menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga atau imbal hasil apabila opsi beli tidak dieksekusi pada jangka waktu yang telah ditetapkan. Huruf i Meskipun terdapat opsi beli, Bank tidak diperkenankan mempersiapkan kriteria atau kondisi tertentu yang memungkinkan eksekusi opsi beli (call option). Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan “kualitas sama atau lebih baik” adalah instrumen modal yang paling sedikit - 20 - memenuhi persyaratan sebagai komponen modal pelengkap. Angka 2 Batasan modal pelengkap diperhitungkan dengan memperhatikan seluruh instrumen modal pelengkap yang tersedia. Contoh “jumlah yang berbeda”: Modal pelengkap yang dieksekusi adalah Rp500 juta namun pada saat penggantian, modal inti Bank mengalami perubahan sehingga batasan modal pelengkap menjadi paling tinggi sebesar Rp400 juta. Dengan kondisi ini, Bank dapat menggantikan modal pelengkap sebesar Rp400 juta. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “metode garis lurus” adalah perhitungan amortisasi secara prorata. Ayat (4) Amortisasi dihitung berdasarkan nilai instrumen modal yang telah memperhitungkan pengurangan dari cadangan pelunasan (sinking fund). Ayat (5) Contoh ilustrasi pelaksanaan amortisasi: a. Bank menerbitkan obligasi subordinasi yang memiliki jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan memiliki opsi beli pada akhir tahun kelima. Dalam kondisi ini, Bank wajib mulai menghitung amortisasi sejak tahun pertama. Apabila pada akhir tahun kelima, Bank tidak mengeksekusi opsi beli (call option), mulai awal tahun keenam obligasi subordinasi tersebut dapat diperhitungkan kembali dalam perhitungan KPMM dengan memperhatikan batasan yang dipersyaratkan, termasuk kewajiban untuk memperhitungkan amortisasi. b. Bank menerbitkan obligasi subordinasi yang memiliki jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan memiliki opsi beli (call option) setelah lewat tahun kelima. Dalam kondisi ini, sisa jangka waktu instrumen tersebut pada awal - 21 - penerbitan adalah 5 (lima) tahun. Amortisasi wajib mulai diperhitungkan oleh Bank sejak tahun pertama. Setelah lewat tahun kelima sampai dengan jatuh tempo, Bank tidak dapat memperhitungkan kembali obligasi subordinasi sebagai modal pelengkap meskipun Bank belum mengeksekusi opsi beli (call option). Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Contoh instrumen modal dalam bentuk saham atau dalam bentuk lainnya yang memenuhi persyaratan adalah: 1. saham preferen (yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain) secara kumulatif (cumulative preference share); 2. instrumen utang yang memiliki karakteristik modal, bersifat subordinasi, bersifat kumulatif dan memenuhi seluruh persyaratan untuk dapat diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap (cumulative subordinated debt); dan 3. instrumen utang yang memiliki karakteristik seperti modal yang secara otomatis tanpa persyaratan dapat dikonversi menjadi saham setelah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan (mandatory convertible bond). Kondisi dan nilai konversi harus ditetapkan pada saat penerbitan yang besarnya sejalan dengan kondisi pasar. Huruf b Yang dimaksud dengan “agio” adalah selisih lebih setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat penerbitan instrumen modal pelengkap karena harga pasar instrumen modal lebih tinggi dari nilai nominal. Yang dimaksud dengan “disagio” adalah selisih kurang setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat - 22 - penerbitan instrumen modal pelengkap karena harga pasar instrumen modal lebih rendah dari nilai nominal. Huruf c Pembentukan cadangan umum PPA atas aset produktif yang wajib dibentuk mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset Bank. Contoh: Cadangan umum PPA atas aset produktif yang wajib dibentuk sebesar Rp15 juta dan ATMR Bank untuk Risiko Kredit sebesar Rp1 miliar. Cadangan umum PPA atas aset produktif yang dapat diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap paling tinggi 1,25% dari Rp1 miliar yaitu sebesar Rp12,5 juta. Dalam hal ini terdapat kelebihan cadangan umum sebesar Rp2,5 juta yang tidak dapat diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap. Huruf d Yang dimaksud dengan “cadangan tujuan” adalah cadangan yang dibentuk dari penyisihan saldo laba setelah dikurangi pajak untuk tujuan tertentu dan telah mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota. Penggunaan cadangan tujuan diprioritaskan untuk menutup kerugian Bank dalam hal cadangan umum tidak mencukupi untuk menutup kerugian Bank. Ayat (2) Kelebihan cadangan umum PPA atas aset produktif sesuai contoh pada penjelasan ayat (1) huruf c yaitu sebesar Rp2,5 juta menjadi faktor pengurang perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit. Pasal 21 Cukup jelas. - 23 - Pasal 22 Ayat (1) Huruf a Pembelian kembali instrumen modal inti utama, modal inti tambahan atau modal pelengkap yang telah diakui sebagai komponen permodalan Bank menjadi faktor pengurang masing-masing komponen modal yang bersangkutan. Contoh 1: Termasuk dalam pembelian kembali instrumen modal yang harus dikurangkan dari modal inti utama adalah antara lain pembelian kembali instrumen modal yang telah diterbitkan Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung. Contoh 2: Termasuk dalam pembelian kembali instrumen modal yang harus dikurangkan dari modal inti tambahan antara lain eksekusi opsi beli (call option). Huruf b Penempatan dana pada instrumen utang yang telah diakui sebagai komponen modal Bank lain menjadi faktor pengurang modal bagi Bank yang melakukan penempatan dana pada komponen modal yang memiliki kualitas sama dan/atau lebih baik. Contoh 1: Bank A memiliki komponen modal pelengkap sebesar Rp100 miliar. Bank A membeli obligasi subordinasi yang diterbitkan Bank B yang merupakan komponen modal pelengkap Bank B sebesar Rp20 miliar. Dalam kondisi ini, modal pelengkap Bank A akan dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli Bank A dari Bank B yaitu: Rp100 miliar - Rp20 miliar = Rp80 miliar Rp80 miliar tersebut di atas selanjutnya diakui sebagai modal pelengkap dengan memperhatikan batasan modal pelengkap yang diperkenankan. - 24 - Contoh 2: Bank A memiliki komponen modal pelengkap sebesar Rp10 miliar dan modal inti utama sebesar Rp100 miliar. Bank A membeli obligasi subordinasi yang diterbitkan Bank B yang merupakan komponen modal pelengkap Bank B sebesar Rp20 miliar. Dalam kondisi ini, modal pelengkap Bank A akan dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli Bank A dari Bank B yaitu: Rp10 miliar - Rp20 miliar = (Rp10 miliar) Rp10 miliar tersebut di atas selanjutnya akan dikurangkan terhadap modal inti utama Bank A. Contoh 3: Bank A hanya memiliki komponen modal inti utama sebesar Rp100 miliar dan tidak memiliki komponen modal lainnya. Bank A membeli obligasi subordinasi yang diterbitkan Bank B yang merupakan komponen modal pelengkap Bank B sebesar Rp20 miliar. Dalam kondisi ini, modal inti utama Bank A akan dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli Bank A dari Bank B yaitu: Rp100 miliar - Rp20 miliar = Rp80 miliar. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “total kewajiban bank” adalah total kewajiban dikurangi dengan seluruh kewajiban antar kantor (kantor pusat dan kantor cabang lainnya di luar negeri). - 25 - Total kewajiban bank yang dijadikan dasar penetapan CEMA minimum dihitung berdasarkan rata-rata kewajiban bank secara mingguan dalam bulan yang bersangkutan. Contoh: Rata-rata total kewajiban posisi akhir minggu I, minggu II, minggu III, dan minggu IV masing-masing sebesar Rp10 triliun, Rp15 triliun, Rp10 triliun, dan Rp20 triliun. Oleh karena itu, rata-rata total kewajiban = (Rp10 triliun+ Rp15 triliun + Rp10 triliun + Rp20 triliun) ÷ 4 = Rp13,75 triliun. Perhitungan CEMA berdasarkan rata-rata total kewajiban adalah sebesar 8% x Rp13,75 triliun = Rp1,1 triliun. Dengan demikian, minimum CEMA yang wajib dipelihara adalah yang terbesar antara Rp1 triliun dengan Rp1,1 triliun, yaitu Rp1,1 triliun. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh: CEMA minimum untuk posisi bulan Maret 20xx sebesar Rp1,1 triliun wajib ditempatkan pada instrumen keuangan yang memenuhi persyaratan paling lambat pada tanggal 6 April 20xx. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. - 26 - Ayat (3) Huruf a Contoh surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia antara lain meliputi: 1. Surat Utang Negara (SUN) sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai Surat Utang Negara; dan 2. Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai Surat Berharga Syariah Negara. Surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan yang dimaksudkan untuk dimiliki hingga jatuh tempo yaitu: 1. surat berharga yang dikategorikan sebagai kelompok dimiliki hingga jatuh tempo; atau 2. surat berharga yang dikategorikan sebagai kelompok tersedia untuk dijual yang didukung komitmen dari Bank untuk: a) memiliki surat berharga tersebut hingga jatuh tempo; dan b) menggunakan surat berharga tersebut hanya untuk mengantisipasi dampak permasalahan pada perekonomian dan sistem keuangan global yang mengganggu kantor cabang di Indonesia, dan/atau stabilitas sistem keuangan dan sistem perbankan di Indonesia, yang dituangkan dalam surat pernyataan. Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan “tidak bersifat ekuitas” adalah surat berharga yang tidak diperhitungkan sebagai komponen modal oleh Bank penerbit. Angka 2 Yang dimaksud dengan “peringkat investasi” adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Otoritas Jasa Keuangan. - 27 - Angka 3 Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan bebas dari klaim antara lain bebas dari gugatan, tuntutan, pengakuan, dan penguasaan, serta tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain atau disita oleh pihak yang berwenang. Contoh: Aset keuangan yang digunakan sebagai CEMA tidak dapat dilakukan repurchase agreement (repo) kepada pihak lain. Bebas dari klaim dibuktikan antara lain dengan surat pernyataan dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “nilai tercatat aset keuangan” adalah nilai aset keuangan pada laporan posisi keuangan (neraca) setelah dikurangi dengan cadangan kerugian penurunan nilai. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Perlakuan pengakuan dan pengukuran mengacu pada standar akuntansi keuangan mengenai instrumen keuangan. Pasal 31 Cukup jelas. - 28 - Pasal 32 Contoh 1: Sebelum melakukan merger atau konsolidasi, Bank A dan Bank B tidak memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar. Selama 6 (enam) bulan setelah merger atau konsolidasi dinyatakan efektif, pada bulan pertama, bulan ketiga, dan bulan keempat, Bank hasil merger atau konsolidasi tersebut memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar. Dengan demikian, Bank hasil merger atau konsolidasi tersebut wajib memperhitungkan Risiko Pasar sejak bulan ke-7 (tujuh). Contoh 2: Bank A tidak memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar. Selanjutnya, Bank A mengakuisisi Perusahaan Keuangan X sehingga Bank A melakukan konsolidasi terhadap Perusahaan X. Selama 6 (enam) bulan setelah melakukan akuisisi perusahaan X dinyatakan efektif, pada bulan kedua, bulan keempat, dan bulan keenam, Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan X tersebut memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar. Dengan demikian, Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak X tersebut wajib memperhitungkan Risiko Pasar sejak bulan ke-7 (tujuh). Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “risiko suku bunga” adalah risiko kerugian akibat perubahan harga instrumen keuangan - 29 - dari posisi Trading Book yang disebabkan oleh perubahan suku bunga. Huruf b Yang dimaksud dengan “risiko nilai tukar” adalah risiko kerugian akibat perubahan nilai posisi Trading Book dan Banking Book yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar valuta asing termasuk perubahan harga emas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “risiko ekuitas” adalah risiko kerugian akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi Trading Book yang disebabkan oleh perubahan harga saham. Yang dimaksud dengan “risiko komoditas” adalah risiko kerugian akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi Trading Book dan Banking Book yang disebabkan oleh perubahan harga komoditas. Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kebijakan dan prosedur valuasi tersebut meliputi antara lain penetapan tanggung jawab yang jelas dari berbagai pihak yang terlibat dalam penetapan valuasi, sumber informasi pasar, proses kaji ulang terhadap kelayakan valuasi, pedoman penggunaan data apabila data harga pasar aktual tidak tersedia (unobservable) yang mencerminkan asumsi bank bahwa data tersebut merupakan data yang akan digunakan oleh pasar dalam proses valuasi, frekuensi valuasi (secara harian), penetapan waktu untuk valuasi akhir hari (closing price), prosedur pelaksanaan, dan penyampaian hasil verifikasi baik secara berkala maupun insidental serta prosedur penyesuaian valuasi. Sistem informasi manajemen dan pengendalian proses valuasi paling sedikit mencakup pendokumentasian kebijakan dan prosedur valuasi yang telah ditetapkan serta alur pelaporan (reporting lines) yang jelas bagi satuan kerja yang bertanggung jawab terhadap proses valuasi dan verifikasi. - 30 - Ayat (3) Kebijakan dan prosedur valuasi yang berlandaskan pada prinsip kehati-hatian antara lain melakukan valuasi dengan memperhatikan penerapan aspek-aspek manajemen risiko dan prosedur valuasi yang wajar. Pasal 38 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “nilai wajar” adalah nilai wajar sebagaimana dimaksud dalam standar akuntansi keuangan mengenai pengukuran nilai wajar. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “instrumen keuangan yang diperdagangkan secara aktif” adalah apabila harga instrumen keuangan tersedia sewaktu-waktu dan dapat diperoleh secara rutin di bursa, pedagang efek (dealer), perantara efek (broker) atau agen lainnya serta harga tersebut merupakan harga yang terjadi dari transaksi aktual yang dilakukan secara wajar (arm's length basis). Harga transaksi yang terjadi atau kuotasi harga pasar dari sumber yang independen antara lain meliputi harga di bursa (exchange prices), harga pada layar dealer (screen prices) atau kuotasi yang paling konservatif yang diberikan oleh paling sedikit 2 (dua) broker dan/atau market maker yang memiliki reputasi baik, yang minimal salah satunya adalah pihak independen. Penggunaan sumber yang independen dilakukan secara konsisten kecuali harga yang diperoleh tidak mencerminkan nilai wajar. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “bid price” adalah harga beli yang dikuotasikan oleh sumber yang independen. Huruf b Yang dimaksud “ask price (offer price)” adalah harga jual yang dikuotasikan oleh sumber yang independen. - 31 - Ayat (4) Dalam melakukan valuasi nilai wajar, bank harus memaksimalkan penggunaan data harga pasar aktual (observable input) dan meminimalkan penggunaan data yang bukan merupakan data harga pasar aktual atau yang ditetapkan dengan menggunakan suatu model/teknik penilaian (unobservable). Termasuk model atau teknik penilaian antara lain: a. penggunaan harga yang timbul dari transaksi yang terjadi dalam 10 (sepuluh) hari kerja terakhir; b. penggunaan harga pasar dari instrumen lain yang memiliki karakteristik (paling sedikit jangka waktu, tingkat bunga atau kupon, peringkat, dan golongan penerbit) yang serupa; c. analisis arus kas yang didiskonto (discounted cash flow); d. model penetapan harga opsi (option pricing models); atau e. model atau teknik penilaian yang secara umum telah digunakan oleh pelaku pasar dalam menetapkan harga instrumen. Penerapan prinsip kehati-hatian dalam penggunaan model atau teknik penilaian antara lain memperhatikan: a. pemisahan tugas dan kompetensi pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan dan penggunaan model; b. memastikan dilakukan kaji ulang akurasi model atau teknik penilaian oleh fungsi yang independen; c. prosedur dan dokumentasi pengembangan dan perubahan model atau teknik penilaian; d. Direksi Bank harus memahami valuasi posisi Trading Book maupun posisi nilai wajar lainnya yang dihitung dengan menggunakan model dan memahami ketidakpastian; e. data yang digunakan dalam perhitungan nilai wajar adalah data pasar aktual dan harus dilakukan kaji ulang secara berkala; f. metodologi penilaian yang berlaku umum untuk produk tertentu sedapat mungkin untuk digunakan; - 32 - g. model yang dikembangkan harus menggunakan asumsi yang tepat, dan Bank harus memiliki salinan model yang akan digunakan untuk memeriksa hasil valuasi secara berkala; dan h. satuan kerja manajemen risiko harus mengetahui kelemahan model yang digunakan dalam valuasi nilai wajar. Pasal 39 Ayat (1) Verifikasi dilakukan untuk memastikan keakuratan penyusunan laporan laba rugi. Verifikasi terhadap proses dan hasil valuasi paling sedikit dilakukan terhadap kewajaran harga pasar maupun informasi yang digunakan sebagai input dalam model atau teknik penilaian. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penyesuaian dilaksanakan terhadap nilai instrumen keuangan dalam laporan posisi keuangan (neraca) dan laporan laba rugi. Pasal 40 Penyesuaian hasil valuasi dilakukan berdasarkan pemantauan harian maupun hasil verifikasi oleh pihak yang tidak ikut dalam pelaksanaan valuasi. Sebagai contoh, valuasi yang belum mencerminkan nilai wajar dapat terjadi pada valuasi dengan menggunakan model atau teknik penilaian. Huruf a Yang dimaksud dengan perubahan kondisi ekonomi yang signifikan antara lain perubahan kurva imbal hasil (yield curve) secara signifikan di luar ekspektasi pasar. Huruf b Cukup jelas. - 33 - Huruf c Faktor sisa jangka waktu sampai dengan jatuh tempo diperhitungkan mengingat semakin mendekati jatuh tempo, nilai instrumen keuangan semakin mendekati nilai nominal. Huruf d Kondisi lainnya antara lain mencakup: 1. kemungkinan kerugian potensial yang timbul karena pihak lawan tidak dapat memenuhi kewajibannya (unearned credit spreads); 2. kemungkinan perhitungan biaya atau penalti yang timbul karena pelunasan lebih awal sebelum jatuh tempo (early termination); 3. terjadinya mismatch arus kas yang menyebabkan harga dapat dipengaruhi oleh perhitungan biaya untuk meminjam dan menginvestasikan dana (investing and funding costs); dan terjadi 4. ketidakpastian dalam model valuasi, kondisi tertentu yang mengakibatkan misalnya ketidakmampuan menangkap perubahan dalam kondisi tidak normal. Pasal 41 Ayat (1) Faktor-faktor tertentu mencakup antara lain rata-rata dan volatilitas volume perdagangan, rata-rata volatilitas dari rentang kuotasi penawaran dan permintaan (bid atau ask spreads), serta ketersediaan kuotasi pasar. Ayat (2) Penyesuaian tidak akan mengurangi nilai instrumen keuangan pada laporan posisi keuangan (neraca) dan tidak mempengaruhi laporan laba rugi. Pasal 42 Cukup jelas. - 34 - Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris meliputi antara lain memahami sifat dan tingkat risiko yang dihadapi Bank, menilai kecukupan kualitas manajemen risiko, dan mengaitkan tingkat risiko dengan kecukupan modal yang dimiliki Bank. Huruf b Penilaian kecukupan modal meliputi antara lain proses yang mengkaitkan tingkat risiko dengan tingkat kecukupan modal Bank dengan mempertimbangkan strategi dan rencana bisnis Bank. Huruf c Pemantauan dan pelaporan meliputi antara lain sistem pemantauan dan pelaporan eksposur risiko serta dampak perubahan profil risiko terhadap kebutuhan modal Bank. Huruf d Pengendalian internal meliputi antara lain kecukupan pengendalian internal dan kaji ulang. Kaji ulang dilakukan oleh pihak internal Bank yang memiliki kompetensi memadai dan independen terhadap proses penetapan kecukupan modal. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. - 35 - Pasal 46 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan pembatasan distribusi modal antara lain berupa pembatasan atau penundaan pembayaran bonus dan/atau dividen. Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Laporan KPMM dengan memperhitungkan Risiko Pasar antara lain mencakup laporan posisi yang diperhitungkan dalam Risiko Pasar dan laporan perhitungan rasio KPMM. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 48 Ayat (1) Profil risiko didasarkan pada hasil self-assessment Bank. Laporan perhitungan KPMM sesuai profil risiko mencakup antara lain: a. strategi pengelolaan modal; b. identifikasi dan pengukuran risiko material; dan c. penilaian kecukupan modal. Ayat (2) Penyampaian dan batas waktu penyampaian hasil self- assessment tingkat kesehatan Bank mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan Bank. - 36 - Pasal 49 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “nilai tercatat” adalah nilai aset keuangan pada laporan posisi keuangan (neraca) setelah dikurangi dengan cadangan kerugian penurunan nilai. Huruf e Cukup jelas. Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “hari libur” adalah hari libur nasional yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan/atau hari libur lokal yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Yang dimaksud dengan “jumlah yang signifikan” adalah signifikan terhadap total aset keuangan dalam kategori tersedia untuk dijual. Pasal 54 Cukup jelas. - 37 - Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. - 38 - Pasal 67 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5848
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 11/POJK.03/2016 </reg_id> <reg_title> KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM </reg_title> <set_date> 29 Januari 2016 </set_date> <effective_date> 2 Februari 2016 </effective_date> <issued_date> 2 Februari 2016 </issued_date> <replaced_reg> '9/31/DPNP|SE-BI/2007', '15/12/PBI/2013' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '10/UU/1998', '7/UU/1992' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 38 /POJK.03/2016 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO DALAM PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa perkembangan teknologi informasi dapat dimanfaatkan oleh bank untuk meningkatkan efisiensi kegiatan operasional dan mutu pelayanan bank kepada nasabah; b. bahwa penggunaan teknologi informasi dalam kegiatan operasional bank juga dapat meningkatkan risiko yang dihadapi bank; c. bahwa dengan semakin meningkatnya risiko yang dihadapi, bank perlu menerapkan manajemen risiko secara efektif; d. bahwa teknologi informasi merupakan aset yang berharga bagi bank sehingga pengelolaannya bukan hanya merupakan tanggung jawab unit kerja penyelenggara teknologi informasi namun juga seluruh pihak yang menggunakan; e. bahwa dalam rangka implementasi kerangka Basel (Basel framework) diperlukan infrastruktur teknologi informasi yang memadai; - 2 - f. bahwa sejalan dengan dinamika pengaturan yang terkait dengan penggunaan teknologi informasi serta perkembangan standar nasional dan internasional, perlu dilakukan penyempurnaan ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi oleh bank; g. bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Nomor 3790); Tambahan Lembaran Negara 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO DALAM PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH BANK UMUM. - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan Bank Umum Syariah serta Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi. 3. Layanan Perbankan Elektronik (Electronic Banking) adalah layanan bagi nasabah Bank untuk memperoleh informasi, melakukan komunikasi, dan melakukan transaksi perbankan melalui media elektronik. 4. Rencana Strategis Teknologi Informasi (Information Technology Strategic Plan) adalah dokumen yang menggambarkan visi dan misi Teknologi Informasi Bank, strategi yang mendukung visi dan misi Teknologi Informasi Bank, dan prinsip-prinsip utama yang menjadi acuan dalam penggunaan Teknologi Informasi untuk memenuhi kebutuhan bisnis serta mendukung rencana strategis jangka panjang. 5. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik. 6. Pusat Data (Data Center) adalah suatu fasilitas yang digunakan untuk menempatkan Sistem Elektronik - 4 - dan komponen terkaitnya untuk keperluan penempatan, penyimpanan, dan pengolahan data. 7. Pusat Pemulihan Bencana (Disaster Recovery Center) adalah suatu fasilitas yang digunakan untuk memulihkan kembali data atau informasi serta fungsi- fungsi penting Sistem Elektronik yang terganggu atau rusak akibat terjadinya bencana yang disebabkan oleh alam atau manusia. 8. Pangkalan Data (Database) adalah sekumpulan data komprehensif dan disusun secara sistematis, dapat diakses oleh pengguna sesuai wewenang masing- masing, dan dikelola oleh administrator Pangkalan Data (Database administrator). 9. Rencana Pemulihan Bencana (Disaster Recovery Plan) adalah dokumen yang berisikan rencana dan langkah- langkah untuk menggantikan dan/atau memulihkan kembali akses data, perangkat keras dan perangkat lunak yang diperlukan, agar Bank dapat menjalankan kegiatan operasional bisnis yang kritikal setelah adanya gangguan dan/atau bencana. 10. Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi Informasi adalah kegiatan berupa penambahan, perubahan, penghapusan, dan/atau otorisasi data yang dilakukan pada sistem aplikasi yang digunakan untuk memproses transaksi. 11. Direksi: a) bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b) bagi Bank berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah - 5 - diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; 2) Perusahaan Daerah adalah direksi bagi Bank yang belum berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015; c) bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d) bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang. 12. Dewan Komisaris: a) bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b) bagi Bank berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015; 2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015; - 6 - 3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada Bank yang belum berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015; c) bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d) bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi pengawasan. BAB II RUANG LINGKUP MANAJEMEN RISIKO TEKNOLOGI INFORMASI Pasal 2 (1) Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif dalam penggunaan Teknologi Informasi. (2) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup: a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris; b. kecukupan kebijakan, standar, dan prosedur penggunaan Teknologi Informasi; c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko penggunaan Teknologi Informasi; dan d. sistem pengendalian intern atas penggunaan Teknologi Informasi. (3) Penerapan manajemen risiko harus dilakukan secara terintegrasi dalam setiap tahapan penggunaan Teknologi Informasi sejak proses perencanaan, - 7 - pengadaan, pengembangan, operasional, pemeliharaan hingga penghentian dan penghapusan sumber daya Teknologi Informasi. Pasal 3 Penerapan manajemen risiko dalam penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha Bank. BAB III PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO TEKNOLOGI INFORMASI Bagian Kesatu Pengawasan Aktif Direksi dan Dewan Komisaris Pasal 4 Bank wajib menetapkan wewenang dan tanggung jawab yang jelas dari Direksi, Dewan Komisaris, dan pejabat pada setiap jenjang jabatan yang terkait dengan penggunaan Teknologi Informasi. Pasal 5 Wewenang dan tanggung jawab Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 paling sedikit mencakup: a. menetapkan Rencana Strategis Teknologi Informasi dan kebijakan Bank terkait penggunaan Teknologi Informasi; b. menetapkan kebijakan, standar, dan prosedur terkait penyelenggaraan Teknologi Informasi yang memadai dan mengomunikasikannya secara efektif, baik pada satuan kerja penyelenggara maupun pengguna Teknologi Informasi; c. memastikan: 1. Teknologi Informasi yang digunakan Bank dapat mendukung perkembangan usaha Bank, - 8 - pencapaian tujuan bisnis Bank dan kelangsungan pelayanan terhadap nasabah Bank; 2. terdapat kegiatan peningkatan kompetensi sumber daya manusia yang terkait dengan penyelenggaraan dan penggunaan Teknologi Informasi; 3. ketersediaan sistem pengelolaan pengamanan informasi (information security management system) yang efektif dan dikomunikasikan kepada satuan kerja pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi; 4. penerapan proses manajemen risiko dalam penggunaan Teknologi Informasi dilaksanakan secara memadai dan efektif; 5. kebijakan, standar, dan prosedur Teknologi Informasi diterapkan secara efektif pada satuan kerja pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi; 6. terdapat sistem pengukuran kinerja proses penyelenggaraan Teknologi Informasi yang paling sedikit dapat: a) mendukung proses pemantauan terhadap implementasi strategi; b) mendukung penyelesaian pengembangan Teknologi Informasi; c) mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya manusia dan investasi pada infrastruktur; dan d) meningkatkan kinerja proses penyelenggaraan Teknologi Informasi dan kualitas layanan penyampaian hasil proses kepada pengguna Teknologi Informasi. Pasal 6 Wewenang dan tanggung jawab Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 paling sedikit mencakup: proyek - 9 - a. mengevaluasi, mengarahkan, dan memantau Rencana Strategis Teknologi Informasi dan kebijakan Bank terkait penggunaan Teknologi Informasi; dan b. mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi atas penerapan manajemen risiko dalam penggunaan Teknologi Informasi. Pasal 7 (1) Bank wajib memiliki komite pengarah Teknologi Informasi (Information Technology steering committe). (2) Komite pengarah Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab memberikan rekomendasi kepada Direksi paling sedikit terkait dengan: a. Rencana Strategis Teknologi Informasi yang sejalan dengan rencana strategis kegiatan usaha Bank; b. perumusan kebijakan, standar, dan prosedur Teknologi Informasi yang utama; c. kesesuaian antara proyek Teknologi Informasi yang disetujui dengan Rencana Strategis Teknologi Informasi; d. kesesuaian antara pelaksanaan proyek Teknologi Informasi dengan rencana proyek yang disepakati (project charter); e. kesesuaian antara Teknologi Informasi dengan kebutuhan sistem informasi manajemen serta kebutuhan kegiatan usaha Bank; f. efektivitas langkah-langkah dalam meminimalkan risiko atas investasi Bank pada sektor Teknologi Informasi agar investasi Bank pada sektor Teknologi Informasi memberikan kontribusi terhadap pencapaian tujuan bisnis Bank; g. pemantauan atas kinerja Teknologi Informasi dan upaya peningkatan kinerja Teknologi Informasi; h. upaya penyelesaian berbagai masalah terkait Teknologi Informasi yang tidak dapat diselesaikan oleh satuan kerja pengguna dan penyelenggara - 10 - Teknologi Informasi secara efektif, efisien, dan tepat waktu; dan i. kecukupan dan alokasi sumber daya yang dimiliki Bank. (3) Komite pengarah Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit beranggotakan: a. direktur yang membawahkan satuan kerja Teknologi Informasi; b. direktur yang membawahkan satuan kerja manajemen risiko; c. pejabat tertinggi yang memimpin satuan kerja Teknologi Informasi; dan d. pejabat tertinggi yang memimpin satuan kerja pengguna Teknologi Informasi. (4) Komite pengarah Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diketuai oleh salah satu direktur Bank merangkap sebagai anggota. Bagian Kedua Kecukupan Kebijakan, Standar, dan Prosedur Penggunaan Teknologi Informasi di Bank Pasal 8 (1) Bank wajib memiliki kebijakan, standar, dan prosedur penggunaan Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b dan wajib menerapkan kebijakan, standar, dan prosedur penggunaan Teknologi Informasi secara konsisten dan berkesinambungan. (2) Kebijakan, standar, dan prosedur penggunaan Teknologi Informasi paling sedikit meliputi aspek: a. manajemen; b. pengembangan dan pengadaan; c. operasional Teknologi Informasi; d. jaringan komunikasi; e. pengamanan informasi; f. Rencana Pemulihan Bencana; g. Layanan Perbankan Elektronik; - 11 - h. penggunaan pihak penyedia jasa Teknologi Informasi; dan i. penyediaan jasa Teknologi Informasi oleh Bank. (3) Bank wajib menetapkan limit risiko yang dapat ditoleransi untuk memastikan aspek terkait Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berjalan dengan optimal. (4) Bank wajib melakukan kaji ulang dan pengkinian kebijakan, standar dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara berkala. (5) Bank wajib menetapkan jangka waktu kaji ulang dan pengkinian kebijakan, standar, dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam kebijakan secara tertulis. Pasal 9 (1) Bank wajib memiliki Rencana Strategis Teknologi Informasi yang mendukung rencana strategis kegiatan usaha Bank. (2) Rencana Strategis Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana bisnis Bank. Bagian Ketiga Proses Manajemen Risiko Terkait Teknologi Informasi Pasal 10 (1) Bank wajib memiliki kebijakan, standar, dan prosedur atas proses manajemen risiko Teknologi Informasi. (2) Bank wajib melakukan proses manajemen risiko terkait penggunaan Teknologi Informasi. (3) Proses manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling sedikit terhadap aspek terkait Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2). (4) Dalam hal Bank menggunakan pihak penyedia jasa Teknologi Informasi, Bank wajib memastikan pihak - 12 - penyedia jasa Teknologi Informasi menerapkan manajemen risiko sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 11 Dalam melakukan pengembangan dan pengadaan Teknologi Informasi, Bank wajib melakukan langkah pengendalian untuk menghasilkan sistem dan data yang terjaga kerahasiaan dan integrasi serta mendukung pencapaian tujuan Bank, antara lain mencakup: a. menetapkan dan menerapkan prosedur dan metodologi pengembangan dan pengadaan Teknologi Informasi secara konsisten; b. menerapkan manajemen proyek dalam pengembangan sistem; c. melakukan uji coba yang memadai pada saat pengembangan dan pengadaan suatu sistem, termasuk uji coba bersama satuan kerja pengguna, untuk memastikan keakuratan dan berfungsinya sistem sesuai kebutuhan pengguna serta kesesuaian sistem yang satu dengan sistem yang lain; d. melakukan dokumentasi atas pengembangan dan pemeliharaan sistem; e. memiliki manajemen perubahan sistem aplikasi; f. memastikan sistem Teknologi Informasi Bank mampu menampilkan kembali informasi secara utuh; dan g. mengukur urgensi pembuatan perjanjian tertulis (escrow agreement) atas perangkat lunak yang dianggap penting untuk kelangsungan operasional Bank dalam hal perangkat lunak dibuat oleh pihak lain dan kode sumber tidak diberikan kepada Bank. Pasal 12 Bank wajib memastikan kelangsungan dan kestabilan operasional Teknologi Informasi serta memitigasi risiko yang berpotensi dapat mengganggu kegiatan operasional Bank. - 13 - Pasal 13 Bank wajib menyediakan jaringan komunikasi yang memenuhi prinsip kerahasiaan (confidentiality), integritas (integrity), dan ketersediaan (availability). Pasal 14 Bagi bank umum konvensional yang memiliki unit usaha syariah wajib memiliki sistem yang dapat menghasilkan laporan terpisah bagi kegiatan unit usaha syariah. Pasal 15 (1) Bank wajib memiliki Rencana Pemulihan Bencana. (2) Bank wajib memastikan Rencana Pemulihan Bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan secara efektif agar kelangsungan operasional Bank tetap berjalan saat terjadi bencana dan/atau gangguan pada sarana Teknologi Informasi yang digunakan Bank. (3) Bank wajib melakukan uji coba atas Rencana Pemulihan Bencana terhadap seluruh aplikasi dan infrastruktur yang kritikal sesuai hasil analisis dampak bisnis (business impact analysis), paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun dengan melibatkan pengguna Teknologi Informasi. (4) Bank wajib melakukan kaji ulang Rencana Pemulihan Bencana paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Pasal 16 Bank wajib memastikan pengamanan informasi dilaksanakan secara efektif dengan memperhatikan paling sedikit: a. pengamanan informasi yang ditujukan agar informasi yang dikelola terjaga kerahasiaan (confidentiality), integritas (integrity), dan ketersediaan (availability) secara efektif dan efisien dengan memperhatikan kepatuhan terhadap ketentuan; - 14 - b. pengamanan informasi yang dilakukan terhadap aspek teknologi, sumber daya manusia, dan proses dalam penggunaan Teknologi Informasi; c. pengamanan informasi yang diterapkan berdasarkan hasil penilaian terhadap risiko (risk assessment) pada informasi yang dimiliki Bank; dan d. ketersediaan manajemen penanganan insiden dalam pengamanan informasi. Bagian Keempat Sistem Pengendalian dan Audit Intern atas Penyelenggaraan Teknologi Informasi Pasal 17 (1) Bank wajib melaksanakan sistem pengendalian intern secara efektif terhadap seluruh aspek penggunaan Teknologi Informasi. (2) Sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. pengawasan oleh manajemen dan adanya budaya pengendalian; b. identifikasi dan penilaian risiko; c. kegiatan pengendalian dan pemisahan fungsi; d. sistem informasi, sistem akuntansi, dan sistem komunikasi; dan e. kegiatan pemantauan dan koreksi penyimpangan, yang dilakukan oleh satuan kerja operasional, satuan kerja audit intern maupun pihak lain. (3) Sistem informasi, sistem akuntansi, dan sistem komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d harus didukung oleh teknologi, sumber daya manusia, dan struktur organisasi Bank yang memadai. (4) Kegiatan pemantauan dan tindakan koreksi penyimpangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e paling sedikit meliputi: - 15 - a. kegiatan pemantauan secara terus menerus; b. pelaksanaan fungsi audit intern yang efektif dan menyeluruh; dan c. perbaikan terhadap penyimpangan yang diidentifikasi oleh satuan kerja operasional, satuan kerja audit intern, dan/atau pihak lain. Pasal 18 (1) Pelaksanaan fungsi audit intern Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) huruf b memperhatikan kepatuhan terhadap ketentuan mengenai standar pelaksanaan fungsi audit intern. (2) Dalam rangka memastikan pelaksanaan audit intern Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) huruf b, Bank wajib memastikan ketersediaan jejak audit (audit trail) atas seluruh kegiatan penyelenggaraan Teknologi Informasi untuk keperluan pengawasan, penegakan hukum, penyelesaian sengketa, verifikasi, pengujian, dan pemeriksaan lain. (3) Dalam hal terdapat keterbatasan kemampuan satuan kerja audit intern, pelaksanaan fungsi audit intern Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh auditor ekstern. (4) Bank wajib melaksanakan audit intern terhadap seluruh aspek dalam penyelenggaraan dan penggunaan Teknologi Informasi sesuai kebutuhan, prioritas, dan hasil analisis risiko Teknologi Informasi paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Pasal 19 (1) Bank wajib memiliki pedoman audit intern atas penggunaan Teknologi Informasi yang diselenggarakan oleh Bank sendiri dan/atau oleh pihak penyedia jasa Teknologi Informasi. - 16 - (2) Bank wajib melakukan kaji ulang atas fungsi audit intern atas penggunaan Teknologi Informasi paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun. (3) Kaji ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menggunakan jasa pihak ekstern yang independen. (4) Bank wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan: a. hasil kaji ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disertai saran perbaikan sebagai bagian dari laporan kaji ulang; dan b. hasil audit intern terhadap Teknologi Informasi sebagai bagian dari laporan pelaksanaan dan pokok-pokok hasil audit intern, sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai penerapan standar pelaksanaan fungsi audit intern. BAB IV PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH BANK DAN/ATAU PIHAK PENYEDIA JASA TEKNOLOGI INFORMASI Bagian Kesatu Umum Pasal 20 (1) Bank menyelenggarakan Teknologi Informasi. (2) Penyelenggaraan Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Bank sendiri dan/atau pihak penyedia jasa Teknologi Informasi. (3) Dalam hal penyelenggaraan Teknologi Informasi Bank dilakukan oleh pihak penyedia jasa Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank wajib: a. bertanggung jawab atas penerapan manajemen risiko; b. memiliki satuan kerja Teknologi Informasi; - 17 - c. memiliki pejabat tertinggi yang memimpin satuan kerja Teknologi Informasi; d. mampu melakukan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan Bank yang diselenggarakan oleh pihak penyedia jasa; e. memilih pihak penyedia jasa Teknologi Informasi berdasarkan analisa biaya dan manfaat (cost and benefit analysis) dengan mengikutsertakan satuan kerja Teknologi Informasi Bank; f. memantau dan mengevaluasi keandalan pihak penyedia jasa Teknologi Informasi secara berkala yang menyangkut kinerja, reputasi penyedia jasa, dan kelangsungan penyediaan layanan; g. memberikan akses kepada auditor intern, auditor ekstern, dan Otoritas Jasa Keuangan untuk memperoleh data dan informasi setiap kali dibutuhkan; h. memberikan akses kepada Otoritas Jasa Keuangan terhadap Pangkalan Data secara tepat waktu, baik untuk data terkini maupun untuk data yang telah lalu; dan i. memastikan pihak penyedia jasa Teknologi Informasi: 1. memiliki tenaga ahli yang memiliki keandalan dengan didukung oleh sertifikat keahlian secara akademis dan/atau secara profesional sesuai dengan keperluan penyelenggaraan Teknologi Informasi; 2. menerapkan prinsip pengendalian Teknologi Informasi (Information Technology control) secara memadai yang dibuktikan dengan hasil audit yang dilakukan pihak independen; 3. menyediakan akses bagi auditor intern Bank, auditor ekstern yang ditunjuk oleh Bank, Otoritas Jasa Keuangan, dan/atau pihak lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan - 18 - perundang-undangan berwenang untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka memperoleh data dan informasi yang diperlukan secara tepat waktu setiap kali dibutuhkan; 4. menyatakan tidak berkeberatan dalam hal Otoritas Jasa Keuangan dan/atau pihak lain yang sesuai undang-undang berwenang untuk melakukan pemeriksaan, akan melakukan pemeriksaan terhadap kegiatan penyediaan jasa yang diberikan; 5. sebagai pihak terafiliasi, menjaga keamanan seluruh informasi termasuk rahasia Bank dan data pribadi nasabah; 6. hanya dapat melakukan pengalihan sebagian kegiatan (subkontrak) berdasarkan persetujuan Bank yang dibuktikan dengan dokumen tertulis; 7. melaporkan kepada Bank setiap kejadian kritis yang dapat mengakibatkan kerugian keuangan yang signifikan dan/atau mengganggu kelancaran operasional Bank; 8. menyampaikan hasil audit Teknologi Informasi yang dilakukan auditor independen secara berkala penyelenggaraan Pusat Data, terhadap Pusat Pemulihan Bencana, dan/atau Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi Informasi, kepada Otoritas Jasa Keuangan melalui Bank yang bersangkutan; 9. menyediakan Rencana Pemulihan Bencana yang teruji dan memadai; 10. bersedia untuk kemungkinan penghentian perjanjian sebelum jangka waktu perjanjian berakhir (early termination); dan - 19 - 11. memenuhi tingkat layanan sesuai dengan service level agreement antara Bank dan pihak penyedia jasa Teknologi Informasi. (4) Penggunaan pihak penyedia jasa Teknologi Informasi oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib didasarkan pada perjanjian tertulis yang paling sedikit memuat kesediaan pihak penyedia jasa Teknologi Informasi untuk menyelenggarakan melakukan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf i. (5) Bank wajib melakukan proses seleksi dalam memilih pihak penyedia jasa Teknologi Informasi dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian, manajemen risiko, dan didasarkan pada hubungan kerja sama secara wajar (arm’s length principle), dalam hal pihak penyedia jasa Teknologi Informasi merupakan pihak terkait dengan Bank. (6) Bank wajib melakukan tindakan tertentu dalam hal terdapat kondisi berupa: a. memburuknya kinerja penyelenggaraan Teknologi Informasi oleh penyedia jasa Teknologi Informasi yang dapat berdampak signifikan pada kegiatan usaha Bank; b. pihak penyedia jasa Teknologi Informasi menjadi insolven, dalam proses menuju likuidasi, atau dipailitkan oleh pengadilan; c. terdapat pelanggaran oleh pihak penyedia jasa Teknologi Informasi terhadap ketentuan rahasia Bank dan kewajiban merahasiakan data pribadi nasabah; dan/atau d. terdapat kondisi yang menyebabkan Bank tidak dapat menyediakan data yang diperlukan dalam rangka pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (7) Tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), paling sedikit: a. melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah kondisi dan/atau - 20 - sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diketahui oleh Bank; b. memutuskan tindak lanjut yang akan diambil untuk mengatasi permasalahan termasuk penghentian penggunaan jasa dalam hal diperlukan; dan c. melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan segera setelah Bank menghentikan penggunaan jasa sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian. (8) Dalam hal penggunaan penyedia jasa Teknologi Informasi atau rencana penggunaan penyedia jasa Teknologi Informasi menyebabkan atau diindikasikan akan menyebabkan kesulitan pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan dapat: a. memerintahkan Bank untuk menghentikan penggunaan jasa Teknologi Informasi sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian; atau b. menolak rencana penggunaan pihak penyedia jasa Teknologi Informasi yang diajukan oleh Bank. Bagian Kedua Penempatan Sistem Elektronik pada Pusat Data dan/atau Pusat Pemulihan Bencana Pasal 21 (1) Bank wajib menempatkan Sistem Elektronik pada Pusat Data dan Pusat Pemulihan Bencana di wilayah Indonesia. (2) Bank hanya dapat menempatkan Sistem Elektronik pada Pusat Data dan/atau Pusat Pemulihan Bencana di luar wilayah Indonesia sepanjang mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Sistem Elektronik yang dapat ditempatkan pada Pusat Data dan/atau Pusat Pemulihan Bencana di luar - 21 - wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), adalah: a. Sistem Elektronik yang digunakan untuk mendukung analisis terintegrasi dalam rangka memenuhi home regulatory yang bersifat global, termasuk lintas negara, sepanjang tidak terkait langsung dengan data individu nasabah dan data transaksi masing-masing nasabah, kecuali diatur lain oleh home regulatory. b. Sistem Elektronik yang digunakan untuk manajemen risiko secara terintegrasi dengan kantor pusat atau kantor induk/kantor entitas utama di luar wilayah Indonesia, sepanjang menggunakan: 1. data agregat nasabah; dan/atau 2. data individu nasabah yang merupakan satu grup dengan nasabah di bank atau grup bank yang sama di luar wilayah Indonesia; c. Sistem Elektronik yang digunakan dalam rangka penerapan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme secara terintegrasi dengan kantor pusat bank atau kantor induk bank di luar wilayah Indonesia, yang tidak terkait dengan data transaksi nasabah; d. Sistem Elektronik yang digunakan untuk manajemen komunikasi antara kantor pusat dengan kantor cabang atau antara anak perusahaan dengan perusahaan induk; dan/atau e. Sistem Elektronik yang digunakan untuk manajemen intern. (4) Persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam hal Bank: a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); b. menyampaikan hasil analisis country risk; - 22 - c. memastikan penyelenggaraan Sistem Elektronik di luar wilayah Indonesia tidak mengurangi efektifitas pengawasan Otoritas Jasa Keuangan yang dibuktikan dengan surat pernyataan; d. memastikan bahwa informasi mengenai rahasia Bank hanya diungkapkan sepanjang memenuhi peraturan perundang-undangan di Indonesia yang dibuktikan dengan perjanjian kerja sama antara Bank dan pihak penyedia jasa Teknologi Informasi; e. memastikan bahwa perjanjian tertulis dengan penyedia jasa Teknologi Informasi juga memuat klausula pilihan hukum (choice of law); f. menyampaikan surat pernyataan tidak keberatan dari otoritas pengawas penyedia jasa Teknologi Informasi di luar wilayah Indonesia bahwa Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan terhadap pihak penyedia jasa Teknologi Informasi; g. menyampaikan surat pernyataan bahwa Bank akan menyampaikan secara berkala hasil penilaian yang dilakukan kantor bank di luar wilayah Indonesia atas penerapan manajemen risiko pada pihak penyedia jasa Teknologi Informasi; h. memastikan manfaat dari rencana penempatan Sistem Elektronik di luar wilayah Indonesia bagi Bank lebih besar daripada beban yang ditanggung oleh Bank; dan i. menyampaikan rencana Bank untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia Bank baik yang berkaitan dengan penyelenggaraan Teknologi Informasi maupun transaksi bisnis atau produk yang ditawarkan. - 23 - Pasal 22 (1) Pusat Data dan Pusat Pemulihan Bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 wajib menjamin kelangsungan usaha Bank. (2) Pengelolaan Pusat Data dan Pusat Pemulihan Bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Ketiga Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi Informasi oleh Pihak Penyedia Jasa Pasal 23 (1) Bank wajib menyelenggarakan Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi Informasi di wilayah Indonesia. (2) Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi Informasi dapat dilakukan oleh pihak penyedia jasa di wilayah Indonesia. (3) Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi Informasi oleh pihak penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan sepanjang: a. memenuhi prinsip kehati-hatian; b. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); dan c. memperhatikan aspek perlindungan kepada nasabah. (4) Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi Informasi oleh pihak penyedia jasa Teknologi Informasi dapat dilakukan di luar wilayah Indonesia sepanjang: a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3); b. dokumen pendukung administrasi keuangan atas transaksi yang dilakukan di kantor Bank di Indonesia wajib ditatausahakan di kantor Bank di Indonesia; - 24 - c. Rencana bisnis Bank menunjukkan adanya upaya untuk meningkatkan peran Bank bagi perkembangan perekonomian Indonesia; dan d. mendapatkan persetujuan terlebih dahulu oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 24 (1) Bank wajib memuat rencana penggunaan pihak penyedia jasa Teknologi Informasi dalam penyelenggaraan Pusat Data, Pusat Pemulihan Bencana, dan/atau Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi Informasi dalam Rencana Strategis Teknologi Informasi dan rencana bisnis Bank. (2) Bank wajib melaporkan rencana penggunaan pihak penyedia jasa Teknologi Informasi dalam penyelenggaraan Pusat Data, Pusat Pemulihan Bencana dan/atau Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi Informasi di wilayah Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum penyelenggaraan kegiatan oleh pihak penyedia jasa efektif dioperasikan. (3) Dalam hal terdapat rencana menyelenggarakan Sistem Elektronik di luar wilayah Indonesia, Bank wajib menyampaikan permohonan persetujuan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum penyelenggaraan kegiatan oleh pihak penyedia jasa Teknologi Informasi efektif dioperasikan. (4) Realisasi rencana penyelenggaraan Pusat Data, Pusat Pemulihan Bencana, dan/atau Pemrosesan Berbasis Teknologi Informasi oleh pihak penyedia jasa Teknologi Informasi wajib dilaporkan paling lambat 1 (satu) bulan sejak kegiatan efektif dioperasikan. (5) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap dan memadai. - 25 - (6) Tata cara penyampaian rencana dan realisasi rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilaksanakan dengan menggunakan format laporan penggunaan Teknologi Informasi yang diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Keempat Penyediaan Jasa Teknologi Informasi oleh Bank Pasal 25 (1) Bank dapat memberikan penyediaan jasa Teknologi Informasi kepada lembaga jasa keuangan lain: a. yang diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan, dan/atau b. di luar wilayah Indonesia. (2) Bank wajib mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan dalam penyediaan jasa Teknologi Informasi kepada lembaga jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan sepanjang Bank: a. memenuhi persyaratan penyediaan jasa Teknologi Informasi tidak menjadi salah satu kegiatan pokok Bank; b. memenuhi prinsip kehati-hatian; c. memperhatikan analisa biaya dan manfaat (cost and benefit analysis); d. memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan; dan e. memenuhi prinsip hubungan kerja sama secara wajar (arm’s length principle). (4) Penyediaan jasa Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terbatas pada penyelenggaraan Pusat Data dan/atau Pusat Pemulihan Bencana. - 26 - (5) Bank dapat memberikan penyediaan jasa Teknologi Informasi berupa aplikasi dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan, sepanjang: a. tetap memenuhi persyaratan pada ayat (3) dan lembaga jasa keuangan pengguna jasa Teknologi Informasi merupakan Bank; dan b. penyediaan jasa Teknologi Informasi untuk mendukung program inklusi Keuangan; dan/atau c. pengguna jasa Teknologi Informasi berada dalam konglomerasi yang sama. Pasal 26 Penyediaan jasa Teknologi Informasi dalam rangka pengembangan layanan produk dan/atau aktivitas Bank dikecualikan dari pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25. BAB V LAYANAN PERBANKAN ELEKTRONIK Pasal 27 (1) Bank yang menyelenggarakan Layanan Perbankan Elektronik wajib memenuhi ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau otoritas lain yang terkait. (2) Bank yang menyelenggarakan produk lanjutan Layanan Perbankan Elektronik yang dikategorikan sebagai layanan perbankan digital (digital banking) wajib memenuhi ketentuan Otoritas Jasa Keuangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai layanan perbankan digital (digital banking) diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 28 (1) Bank wajib memuat rencana penerbitan produk Layanan Perbankan Elektronik dalam rencana bisnis Bank. - 27 - (2) Bank yang akan menerbitkan produk Layanan Perbankan Elektronik yang bersifat transaksional wajib mengajukan permohonan persetujuan produk Layanan Perbankan Elektronik dan memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Permohonan persetujuan produk Layanan Perbankan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilengkapi dengan hal-hal sebagai berikut: a. bukti kesiapan untuk menyelenggarakan Layanan Perbankan Elektronik yang paling sedikit memuat: 1. struktur organisasi yang mendukung termasuk pengawasan dari pihak manajemen; 2. kebijakan, sistem, prosedur dan kewenangan dalam penerbitan produk Perbankan Elektronik; 3. kesiapan infrastruktur Teknologi Informasi untuk mendukung produk Perbankan Elektronik; 4. Layanan Layanan hasil analisa dan identifikasi risiko yang melekat pada produk Layanan Perbankan Elektronik; 5. kesiapan penerapan manajemen risiko khususnya pengendalian pengamanan (security control) untuk memastikan terpenuhinya prinsip kerahasiaan (confidentiality), integritas (integrity), keaslian (authentication), tidak dapat diingkari (non repudiation), dan ketersediaan (availability); 6. hasil analisa aspek hukum; 7. uraian sistem informasi akuntansi; dan 8. program perlindungan dan edukasi nasabah. b. Hasil analisa bisnis mengenai proyeksi produk baru 1 (satu) tahun yang akan datang; dan c. dokumen pendukung lain dalam hal diperlukan. - 28 - (4) Penyampaian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilengkapi dengan hasil pemeriksaan dari pihak independen untuk memberikan pendapat atas karakteristik produk dan kecukupan pengamanan sistem Teknologi Informasi terkait produk serta kepatuhan terhadap ketentuan dan/atau praktik yang berlaku secara internasional. (5) Penyelenggaraan Teknologi Informasi untuk kegiatan Layanan Perbankan Elektronik yang dilakukan oleh pihak penyedia jasa Teknologi Informasi, tunduk pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Bab IV mengenai penyelenggaraan Teknologi Informasi oleh Bank dan/atau pihak penyedia jasa Teknologi Informasi. Pasal 29 Bank wajib menerapkan prinsip pengendalian pengamanan data nasabah dan transaksi Layanan Perbankan Elektronik pada setiap Sistem Elektronik yang digunakan oleh Bank. BAB VI PELAPORAN Bagian Pertama Laporan Teknologi Informasi Pasal 30 (1) Bank wajib melaporkan kondisi terkini penggunaan Teknologi Informasi paling lambat 1 (satu) bulan sejak akhir tahun pelaporan. (2) Bank wajib melaporkan rencana pengembangan Teknologi Informasi yang akan diimplementasikan 1 (satu) tahun ke depan paling lambat tanggal 31 Oktober tahun sebelumnya. (3) Rencana pengembangan Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah 1 (satu) kali. - 29 - (4) Perubahan rencana pengembangan Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan paling lambat tanggal 30 Juni tahun berjalan. (5) Bank dapat mengajukan perubahan rencana pengembangan Teknologi Informasi selain dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sepanjang memenuhi pertimbangan tertentu dan mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (6) Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta Bank untuk melakukan penyesuaian terhadap perubahan rencana pengembangan Teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Informasi (7) Bank wajib melaporkan hasil audit Teknologi Informasi paling lambat 2 (dua) bulan setelah audit selesai dilakukan. Bagian Kedua Laporan Insidentil Pasal 31 (1) Bank wajib melaporkan kejadian kritis, penyalahgunaan, dan/atau kejahatan dalam penyelenggaraaan Teknologi Informasi yang dapat dan/atau telah mengakibatkan kerugian keuangan yang signifikan dan/atau mengganggu kelancaran operasional Bank. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan dengan segera kepada Otoritas Jasa Keuangan melalui surat elektronik (electronic mail) atau telepon yang diikuti dengan laporan tertulis paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah kejadian kritis dan/atau penyalahgunaan atau kejahatan diketahui. (3) Laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bagian dari laporan kondisi yang berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan - 30 - terhadap kondisi keuangan Bank sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. Bagian Ketiga Permohonan Persetujuan dan Laporan Realisasi Pasal 32 (1) Bank yang memiliki rencana kegiatan sebagai penyedia jasa Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan/atau menerbitkan produk Layanan Perbankan Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, harus mengajukan permohonan persetujuan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum implementasi. (2) Bank wajib menyampaikan laporan realisasi kegiatan sebagai penyedia jasa Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan/atau menerbitkan produk Layanan Perbankan Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah implementasi. (3) Bank yang: a. menyelenggarakan Sistem Elektronik yang ditempatkan pada Pusat Data dan/atau Pusat Pemulihan Bencana di luar wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; dan/atau penyelenggaraan b. menyerahkan Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi Informasi kepada pihak penyedia jasa di luar wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, harus mengajukan permohonan persetujuan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum rencana implementasi. - 31 - (4) Bank yang: a. menyelenggarakan Sistem Elektronik yang ditempatkan pada Pusat Data dan/atau Pusat Pemulihan Bencana di luar wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; dan/atau b. menyerahkan penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi Informasi kepada pihak penyedia jasa di luar wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, wajib menyampaikan laporan realisasi kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah implementasi. (5) Bank harus melakukan implementasi rencana kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (3) paling lama 6 (enam) bulan sejak persetujuan diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (6) Dalam hal Bank tidak melakukan implementasi rencana kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (3) dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak persetujuan diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), persetujuan Otoritas Jasa Keuangan menjadi tidak berlaku. (7) Dalam hal persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sudah tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dan Bank tetap akan melakukan implementasi rencana kegiatan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (3), Bank harus menyampaikan kembali permohonan persetujuan kepada Otoritas Jasa Keuangan. - 32 - Bagian Keempat Format dan Alamat Penyampaian Laporan Pasal 33 Format dan petunjuk penyusunan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32 diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 34 Permohonan persetujuan penggunaan penyedia jasa Teknologi Informasi di luar wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23, permohonan persetujuan penerbitan produk Layanan Perbankan Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, serta penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32 disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan alamat: a. Departemen Pengawasan Bank terkait, Departemen Perbankan Syariah atau Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta, bagi Bank yang berkantor pusat atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang berada di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat, sesuai wilayah tempat kedudukan kantor pusat Bank. BAB VII LAIN-LAIN Pasal 35 (1) Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan atau meminta Bank untuk melakukan pemeriksaan terhadap penggunaan Teknologi Informasi. seluruh aspek terkait - 33 - (2) Bank wajib menyediakan akses kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk dapat melakukan pemeriksaan pada seluruh aspek terkait penyelenggaraan Teknologi Informasi yang diselenggarakan sendiri dan/atau yang diselenggarakan oleh pihak lain. BAB VIII SANKSI Pasal 36 (1) Bank yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat (3), Pasal 8 ayat (4), Pasal 8 ayat (5), Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 10 ayat (4), Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 19, Pasal 20 ayat (3), Pasal 20 ayat (4), Pasal 20 ayat (5), Pasal 20 ayat (6), Pasal 21 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (4), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24 ayat (2), Pasal 24 ayat (3), Pasal 24 ayat (4), Pasal 25 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28 ayat (2), Pasal 28 ayat (3), Pasal 29, dan/atau Pasal 35 ayat (2), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dapat dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan berupa penurunan peringkat faktor tata kelola dalam penilaian tingkat kesehatan Bank; c. larangan untuk menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas baru; d. pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau e. pencantuman anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan pejabat eksekutif dalam daftar tidak lulus melalui mekanisme penilaian kemampuan dan kepatutan. - 34 - (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d atau huruf e dapat dikenakan baik dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. Pasal 37 (1) Bank yang tidak memenuhi ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 30 ayat (7), Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 32 ayat (2), dan/atau Pasal 32 ayat (4) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenakan sanksi administratif berupa: a. denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan per laporan; atau b. denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per laporan, bagi Bank yang belum menyampaikan laporan setelah 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian laporan. (2) Pengenaan sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban penyampaian laporan. Pasal 38 (1) Bank yang menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 30 ayat (7), Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 32 ayat (2), dan/atau Pasal 32 ayat (4), namun tidak sesuai dengan kondisi Bank yang sebenarnya dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Bank dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah: a. Bank diberikan 2 (dua) kali surat teguran oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari kerja untuk setiap teguran; dan - 35 - b. Bank tidak memperbaiki laporan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah surat teguran terakhir. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 39 Bank yang telah memiliki kebijakan, standar, dan prosedur dalam penggunaan Teknologi Informasi dan pedoman manajemen risiko penggunaan Teknologi Informasi harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 40 Bank yang telah menggunakan pihak penyedia jasa Teknologi Informasi sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, harus menyesuaikan perjanjian yang telah dibuat sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 41 (1) Bank yang telah menempatkan Sistem Elektronik pada Pusat Data dan/atau Pusat Pemulihan Bencana di luar wilayah Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, harus memindahkan Pusat Data, Pusat Pemulihan Bencana, dan/atau Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi Informasi yang menyelenggarakan Sistem Elektronik untuk pelayanan publik ke Indonesia paling lambat tanggal 15 Oktober 2017. (2) Dalam rangka pemindahan lokasi Pusat Data, Pusat Pemulihan Bencana, dan/atau Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi Informasi dari luar wilayah Indonesia ke Indonesia, Bank harus menyampaikan laporan rencana tindak (action plan) kepada - 36 - Otoritas Jasa Keuangan paling lambat tanggal 30 Desember 2016. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 42 Ketentuan lebih lanjut mengenai Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 43 (1) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/15/PBI/2007 tentang Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4785) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (2) Peraturan pelaksanaan dari peraturan Bank Indonesia Nomor 9/15/PBI/2007 tentang Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4785) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 44 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan ditetapkan. - 37 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 267 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 38 /POJK.03/2016 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO DALAM PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH BANK UMUM I. UMUM Dalam rangka meningkatkan efisiensi kegiatan operasional dan mutu pelayanan Bank kepada nasabahnya, Bank dituntut untuk mengembangkan strategi bisnis Bank dengan lebih optimal dalam memanfaatkan kemajuan Teknologi Informasi untuk meningkatkan daya saing Bank. Penerapan Teknologi Informasi membawa perubahan dalam kegiatan operasional dan pengelolaan data Bank sehingga dapat dilakukan secara lebih efisien dan efektif serta memberikan informasi secara lebih akurat dan cepat. Perkembangan produk perbankan berbasis teknologi diantaranya berupa Layanan Perbankan Elektronik (Electronic Banking) dan layanan perbankan digital (digital banking), lebih memudahkan nasabah untuk melakukan transaksi perbankan secara non tunai setiap saat melalui jaringan elektronik. Selain itu penggunaan jasa pihak ketiga dalam penyediaan sistem dan pelayanan Bank semakin meningkat pula. Di samping berbagai manfaat dan keunggulan yang diperoleh dari penggunaan Teknologi Informasi dalam pelaksanaan kegiatan operasional Bank, terdapat pula risiko yang dapat merugikan Bank dan nasabah seperti risiko operasional, risiko hukum, dan risiko reputasi, selain risiko perbankan lainnya seperti risiko likuiditas dan risiko kredit. - 2 - Oleh karena itu, agar dapat melindungi kepentingan Bank dan juga nasabah, Bank dituntut untuk menerapkan manajemen risiko secara efektif sehingga Bank dapat melakukan pengendalian dari kemungkinan penambahan risiko yang terjadi. Mengingat bahwa Teknologi Informasi merupakan aset penting dalam operasional yang dapat meningkatkan nilai tambah dan daya saing Bank sementara dalam penyelenggaraannya mengandung berbagai risiko maka Bank perlu menerapkan tata kelola teknologi informasi (information technology governance). Keberhasilan penerapan tata kelola teknologi informasi sangat tergantung pada komitmen seluruh unit kerja di Bank, baik penyelenggara maupun pengguna Teknologi Informasi. Penerapan tata kelola teknologi informasi dilakukan melalui penyelarasan Rencana Strategis Teknologi Informasi dengan strategi bisnis Bank, optimalisasi pengelolaan sumber daya, pemanfaatan Teknologi Informasi (Information Technology value delivery), pengukuran kinerja, dan penerapan manajemen risiko yang efektif. Untuk dapat menerapkan manajemen risiko yang efektif, diperlukan keterlibatan dan pengawasan Direksi dan Dewan Komisaris, penyusunan dan penerapan kebijakan, standar, dan prosedur terkait Teknologi Informasi serta proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko yang berkesinambungan. Selain itu, pada masa yang akan datang Bank dituntut pula untuk mengantisipasi kebutuhan infrastruktur Teknologi Informasi yang memadai dalam rangka menghadapi implementasi kerangka Basel (Basel framework). Seiring dengan perkembangan yang ada baik dalam lingkup nasional maupun internasional, sampai dengan saat ini telah dikeluarkan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Teknologi Informasi antara lain Undang-Undang mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik dan peraturan pelaksanaannya berupa Peraturan Pemerintah mengenai Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik serta Peraturan Menteri terkait. Selain itu, standar acuan penilaian terkait Teknologi Informasi seperti Standar Nasional Indonesia (SNI), International Organization for Standarization (ISO), Control Objective for Information and Related Technology (COBIT), dan International Electrotechnical - 3 - Commission (IEC) juga mengalami pengkinian sehingga menjadi lebih komprehensif dalam mendukung perkembangan dan implementasi Teknologi Informasi. Dengan ketentuan ini, Bank diharapkan mampu mengelola risiko yang dihadapi secara efektif dalam seluruh aktivitas operasional yang didukung dengan pemanfaatan Teknologi Informasi. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup Jelas. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Sumber daya Teknologi Informasi mencakup antara lain perangkat keras, perangkat lunak, jaringan, sumber daya manusia, data, dan informasi. Perangkat keras adalah 1 (satu) atau serangkaian alat yang terhubung dalam Sistem Elektronik. Perangkat lunak adalah 1 (satu) atau sekumpulan program komputer, prosedur, dan/atau dokumentasi yang terkait dalam pengoperasian Sistem Elektronik. Pasal 3 Kompleksitas usaha meliputi antara lain keragaman dalam jenis transaksi, produk, jasa, jaringan kantor dan/atau teknologi pendukung yang digunakan. Pasal 4 Dalam menetapkan wewenang dan tanggung jawab, Bank perlu memperhatikan antara lain prinsip pemisahan tugas dan tanggung jawab (segregation of duties), misalnya pihak yang melakukan input data berbeda dari pihak yang melakukan validasi data. - 4 - Pasal 5 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Peningkatan kompetensi sumber daya manusia antara lain melalui program pendidikan dan pelatihan secara berkesinambungan mengenai penyelenggaraan dan penggunaan Teknologi Informasi. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Struktur komite pengarah Teknologi Informasi dapat disesuaikan dengan ukuran dan kompleksitas kegiatan Bank serta struktur kepemilikan atau legal entity Bank. Ayat (4) Cukup jelas. - 5 - Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kedalaman kebijakan, standar, dan prosedur penggunaan Teknologi Informasi disesuaikan dengan tujuan kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha Bank, dan memperhatikan profil risiko Bank. Huruf a Yang dimaksud dengan “manajemen” antara lain Direksi, Dewan Komisaris, dan komite pengarah Teknologi Informasi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “limit risiko” adalah tingkat kesalahan yang masih dapat ditoleransi oleh sistem (risk tolerance) atau standar pengamanan yang ditetapkan atau disetujui untuk tidak dilampaui. Standar pengamanan sebagaimana dimaksud di atas disesuaikan dengan risk appetite yang dimiliki Bank. - 6 - Ayat (4) Kaji ulang dan pengkinian dilakukan agar kebijakan, standar, dan prosedur tetap sesuai dengan perkembangan operasional Bank dan Teknologi Informasi. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “proses manajemen risiko” adalah mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 11 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Informasi yang ditampilkan kembali terkait dengan sistem yang tidak lagi digunakan dalam operasional Bank, proprietary system, maupun sistem yang masih digunakan - 7 - dalam operasional Bank namun mengalami gangguan. Yang dimaksud dengan “secara utuh” adalah informasi yang ditampilkan lengkap dan akurat. Huruf g Yang dimaksud dengan “kode sumber” adalah suatu rangkaian perintah, pernyataan, dan/atau deklarasi yang ditulis dalam bahasa pemrograman komputer yang dapat dibaca dan dipahami. Kode sumber ditempatkan pada pihak independen berdasarkan kesepakatan antara Bank dan pihak pembuat kode sumber. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Yang dimaksud dengan “memiliki sistem yang dapat menghasilkan laporan terpisah” adalah sistem yang dapat mengidentifikasikan input, proses, dan output dari transaksi berdasarkan prinsip syariah. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Rencana Pemulihan Bencana mencakup rencana pemulihan pada berbagai tingkat bencana dan gangguan seperti: a. minor disaster yang berdampak kecil dan tidak memerlukan biaya besar serta dapat diselesaikan dalam jangka waktu pendek; b. major disaster yang berdampak besar dan dapat menjadi lebih parah apabila tidak diatasi segera; dan/atau c. catastrophic yang berdampak terjadi kerusakan yang bersifat permanen sehingga memerlukan relokasi atau penggantian dengan biaya yang besar. - 8 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Dalam melaksanakan sistem pengendalian intern Teknologi Informasi, Bank mengacu pada prinsip umum sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai pedoman standar sistem pengendalian intern. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan memadai antara lain teknologi yang sesuai dengan kegiatan operasional Bank, sumber daya manusia yang kompeten dan struktur organisasi yang tidak memberikan peluang menyembunyikan kesalahan atau penyimpangan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penggunaan auditor ekstern untuk melaksanakan fungsi audit intern atas Teknologi Informasi tidak mengurangi tanggung jawab pimpinan satuan kerja audit intern. Selain itu penggunaan auditor ekstern harus mempertimbangkan ukuran dan kompleksitas usaha Bank serta memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait auditor ekstern. untuk melakukan dan/atau - 9 - Dalam hal Bank menggunakan auditor ekstern untuk melaksanakan fungsi audit intern atas Teknologi Informasi, proses Entreprise Data Management tetap harus dijalankan oleh satuan kerja audit intern. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Penyelenggaraan Teknologi Informasi antara lain penempatan Sistem Elektronik pada Pusat Data dan Pusat Pemulihan Bencana. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “menggunakan pihak penyedia jasa Teknologi Informasi” adalah penggunaan jasa pihak lain dalam penyelenggaraan Teknologi Informasi Bank secara berkesinambungan dan/atau dalam periode tertentu. Yang dimaksud dengan pihak lain bagi: a. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri termasuk kantor pusat dan kantor bank lain di luar negeri maupun kelompok usaha Bank; atau b. bank yang dimiliki pihak asing termasuk kantor induk dan kelompok usaha Bank. Selain itu, meskipun Bank menyerahkan penyelenggaraan Teknologi Informasi kepada pihak penyedia jasa maka Bank tetap disebut sebagai penyelenggara Sistem Elektronik untuk setiap Sistem Elektronik yang digunakan Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud tanggung jawab Bank dalam menerapkan manajemen risiko antara lain dengan memastikan bahwa penyedia jasa Teknologi Informasi menerapkan manajemen risiko secara memadai pada - 10 - kegiatan Bank yang diselenggarakan oleh pihak penyedia jasa Teknologi Informasi sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan “secara berkala” adalah pemantauan dan evaluasi keandalan pihak penyedia jasa Teknologi Informasi sesuai dengan risk appetite Bank terhadap jasa yang diberikan oleh pihak penyedia jasa Teknologi Informasi. Huruf g Akses untuk memperoleh data dan informasi dimaksudkan agar pemeriksaan dapat dilaksanakan secara efektif. Huruf h Akses terhadap Pangkalan Data meliputi namun tidak terbatas pada penyediaan terminal, user id untuk melakukan query, dan mengunduh data. Huruf i Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Syarat ini dimaksudkan untuk meyakini bahwa Pusat Data, Pusat Pemulihan Bencana, dan/atau jasa Teknologi Informasi yang digunakan oleh Bank memiliki pengendalian Teknologi Informasi yang memadai paling sedikit mencakup pengamanan fisik dan pengamanan logic. - 11 - Angka 3 Akses sebagaimana dimaksud pada angka ini dibutuhkan untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan secara tepat waktu setiap kali dibutuhkan dalam rangka audit Teknologi Informasi, audit dan/atau pemeriksaan lain. Auditor Otoritas Jasa Keuangan termasuk auditor ekstern yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Informasi termasuk sistem dan perangkat yang digunakan untuk memproses, menyimpan, dan mengirimkan informasi, merupakan aset yang harus dijamin keamanannya oleh pihak penyedia jasa dengan cara dilindungi dari musuh dan ancaman bahaya yang dapat mengganggu prinsip kerahasiaan (confidentiality), integritas (integrity), ketersediaan (availability). dan Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Angka 8 Yang dimaksud dengan “secara berkala” adalah pelaksanaan audit sesuai dengan risk appetite Bank terhadap jasa yang diberikan oleh pihak penyedia jasa Teknologi Informasi. Cakupan audit yang dilakukan oleh auditor independen termasuk sistem aplikasi yang digunakan untuk memproses data Bank. Angka 9 Cukup jelas. Angka 10 Cukup jelas. - 12 - Angka 11 Pemenuhan tingkat layanan dilakukan antara lain dengan memastikan penyelenggaraan Teknologi Informasi dapat mendukung Bank beroperasi sebagaimana mestinya. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “hubungan kerja sama secara wajar (arm's length principle)” adalah kondisi dimana transaksi antar pihak bersifat independen sebagaimana pihak yang tidak terkait, antara lain memiliki kesetaraan dan didasarkan pada harga pasar yang wajar sehingga meminimalisasi terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest). Yang dimaksud dengan “pihak terkait dengan Bank” adalah pihak terkait sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit bank umum. Ayat (6) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “insolven” adalah tidak memiliki cukup dana untuk melunasi utang. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Indikasi kesulitan pengawasan antara lain: a. kesulitan otoritas pengawas dalam melakukan akses terhadap data dan informasi; b. kesulitan dalam pelaksanaan pemeriksaan terhadap pihak penyedia jasa Teknologi Informasi; dan/atau - 13 - c. pihak penyedia jasa Teknologi Informasi digunakan sebagai media untuk melakukan rekayasa data Bank dan/atau rekayasa keuangan Bank. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “home regulatory” adalah ketentuan yang diterbitkan oleh otoritas negara asal bank. Dalam hal ini home regulatory untuk kantor cabang adalah sesuai dengan kedudukan kantor pusat bank di luar negeri, sedangkan untuk kantor subsidiari sesuai dengan kedudukan kantor induk/kantor entitas utama, berupa bank di luar negeri. Yang dimaksud aturan lain dalam hal ini adalah ketentuan dalam rangka untuk kepentingan publik atau negara, penegakan hukum, atau penerapan prinsip kehati-hatian. Huruf b Yang dimaksud dengan “nasabah yang merupakan satu grup” adalah nasabah lain yang mempunyai hubungan pengendalian dengan nasabah, sesuai dengan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau batas maksimum penyaluran dana. Yang dimaksud dengan “grup bank yang sama” adalah kantor induk atau kantor entitas utama, anak perusahaan, atau perusahaan terelasi, yang berupa bank. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. - 14 - Huruf e Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “tidak mengurangi efektifitas pengawasan Otoritas Jasa Keuangan” adalah tidak menimbulkan kesulitan pengawas dalam memperoleh data dan informasi yang diperlukan seperti adanya akses terhadap Pangkalan Data dan memiliki struktur Pangkalan Data dari setiap aplikasi yang digunakan. Huruf d Ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia antara lain ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian perintah atau izin tertulis membuka rahasia Bank. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Surat pernyataan disampaikan apabila pihak penyedia jasa Teknologi Informasi memiliki otoritas pengawasan. Huruf g Yang dimaksud dengan “kantor bank di luar wilayah Indonesia” adalah: 1. bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yaitu kantor pusat atau kantor lainnya; atau 2. bagi Bank yang dimiliki lembaga keuangan asing yaitu kantor induk bank. Surat pernyataan disampaikan termasuk apabila bank memiliki kantor bank di wilayah yang sama dengan wilayah kedudukan penyedia jasa Teknologi Informasi. - 15 - Huruf h Manfaat yang diharapkan antara lain peningkatan kualitas layanan kepada nasabah serta penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Huruf i Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “menjamin kelangsungan usaha” adalah memastikan bahwa kelangsungan usaha tetap dapat berjalan sebagaimana mestinya ketika terjadi bencana atau gangguan, termasuk menjamin kesiapan Sistem Elektronik yang terdapat dalam Pusat Data dan Pusat Pemulihan Bencana. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian dalam ayat ini antara lain mengenai pengelolaan risiko atas produk dan aktivitas baru sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai manajemen risiko. Yang dimaksud dengan produk dan aktivitas baru antara lain produk dan aktivitas yang menambah atau meningkatkan risiko pada Bank termasuk pengembangan pelayanan seperti pemasaran kredit. Huruf b Cukup jelas. - 16 - Huruf c Hubungan Bank dengan nasabah didasarkan atas perjanjian yang jelas dan memperhatikan ketentuan mengenai transparansi informasi produk dan penggunaan data pribadi nasabah serta ketentuan mengenai penyelesaian pengaduan nasabah. Bank tetap bertanggung jawab atas setiap transaksi yang pemrosesannya diserahkan kepada pihak penyedia jasa. Ayat (4) Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi Informasi di luar negeri dalam ayat ini termasuk yang dilakukan pada kantor pusat atau kantor lain bagi kantor cabang bank asing atau kantor induk bagi bank yang dimiliki lembaga keuangan asing. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung administrasi keuangan” adalah data yang merupakan bukti adanya hak dan kewajiban serta kegiatan usaha suatu perusahaan dan digunakan sebagai pendukung penyusunan laporan keuangan. Contoh: akad kredit dan dokumen pencairan kredit, deal slip, dan deal confirmation transaksi treasury serta dokumen perintah transfer data melalui Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT). Huruf c Upaya untuk meningkatkan peran Bank bagi perkembangan perekonomian Indonesia antara lain tercermin pada rencana peningkatan pemberian kredit dan peningkatan pembiayaan ekspor impor. Huruf d Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. - 17 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Laporan tersebut mencakup kajian pascaimplementasi (postimplemention review). Ayat (5) Yang dimaksud dengan “dokumen permohonan diterima secara lengkap” adalah diterimanya dokumen yang dipersyaratkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini serta diterimanya data tambahan dalam hal diperlukan. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Penyediaan jasa Teknologi Informasi oleh Bank adalah pemberian jasa berupa pemanfaatan infrastruktur Teknologi Informasi milik Bank kepada Lembaga Jasa Keuangan didasari dengan perjanjian kerjasama dan/atau sewa- menyewa di antara kedua belah pihak. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pusat Data dan/atau Pusat Pemulihan Bencana termasuk jaringan komunikasi yang digunakan bersama oleh penyedia dan pengguna jasa Teknologi Informasi, namun tidak termasuk penyediaan aplikasi khusus bagi pengguna jasa. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. - 18 - Pasal 27 Ayat (1) Contoh Layanan Perbankan Elektronik antara lain Automated Teller Machine (ATM), Cash Deposit Machine (CDM), phone banking, Short Message Services (SMS) banking, Electronic Data Capture (EDC), Point Of Sales (POS), internet banking, dan mobile banking. Ketentuan Otoritas Jasa Keuangan antara lain Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Bank Berdasarkan Modal Inti, ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi Bank, dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan manajemen risiko serta ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai prinsip kehati-hatian dalam kegiatan usaha Bank. Ketentuan otoritas lain yang terkait antara lain ketentuan mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran menggunakan kartu. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “produk Layanan Perbankan Elektronik” adalah produk baru yang memiliki karakteristik berbeda dengan produk yang telah ada di Bank dan/atau menambah atau meningkatkan eksposur risiko tertentu pada Bank. - 19 - Ayat (3) Huruf a Angka 1 Yang dimaksud dengan “manajemen” antara lain Direksi, Dewan Komisaris, dan Komite Pengarah Teknologi Informasi. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Angka 8 Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Contoh dokumen pendukung lain antara lain dokumen yang dipersyaratkan oleh otoritas lain yang terkait, seperti: 1. tanda terdaftar Sistem Elektronik; dan 2. bukti perolehan sertifikasi Sistem Elektronik, yang telah diterbitkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik. Ayat (4) Hasil pemeriksaan dari pihak independen di luar Bank diperlukan untuk produk Layanan Perbankan Elektronik yang baru pertama kali diterbitkan oleh Bank seperti internet - 20 - banking yang bersifat transaksional dan SMS banking. Untuk penambahan fitur layanan produk Layanan Perbankan Elektronik yang telah ada dan dapat menambah atau meningkatkan eksposur risiko, Bank dapat menyampaikan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak intern Bank yang tidak ikut serta dalam perancangan dan pengembangan sistem aplikasi serta pengambilan keputusan dalam implementasi aktivitas Layanan Perbankan Elektronik. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 29 Prinsip pengendalian pengamanan data nasabah dan transaksi Layanan Perbankan Elektronik pada setiap Sistem Elektronik mencakup: a. kerahasiaan (confidentiality); b. integritas (integrity); c. ketersediaan (availablity); d. keaslian (authentication); e. tidak dapat diingkari (non repudiation); f. pengendalian otorisasi dalam sistem, Pangkalan Data, dan aplikasi (authorization of control); g. pemisahan tugas dan tanggung jawab (segregation of duties); dan h. pemeliharaan jejak audit (maintenance of audit trails). Pasal 30 Ayat (1) Laporan ini berisi perubahan yang telah dilakukan selama 1 (satu) tahun pelaporan atas data yang telah disampaikan dalam laporan penggunaan Teknologi Informasi, selain perubahan yang dilaporkan dalam tambahan rencana pengembangan Teknologi Informasi. Hal-hal yang perlu dilaporkan antara lain perubahan pejabat penentu dalam struktur organisasi Teknologi Informasi dan perubahan Rencana Strategis Teknologi Informasi. - 21 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Pertimbangan tertentu antara lain adalah untuk mendukung implementasi kebijakan dan/atau regulasi di sektor jasa keuangan dalam rangka mendorong perkembangan perekonomian. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Audit Teknologi Informasi yang dimaksud antara lain audit Teknologi Informasi terhadap Pusat Data, Pusat Pemulihan Bencana, aplikasi, dan/atau Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi Informasi. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Laporan melalui surat elektronik (electronic mail) dan/atau telepon kepada satuan kerja pengawasan dari Bank berdasarkan informasi awal yang tersedia. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Bank dapat mengimplementasikan rencana kegiatan lebih awal dari 2 (dua) bulan sepanjang Otoritas Jasa Keuangan telah memberikan persetujuan atas permohonan persetujuan rencana kegiatan yang diajukan oleh Bank. - 22 - Ayat (2) Laporan realisasi kegiatan sebagai penyedia jasa Teknologi Informasi dan penerbitan produk Layanan Perbankan Elektronik (postimplementation review). Ayat (3) Bank dapat mengimplementasikan rencana kegiatan lebih awal dari 3 (tiga) bulan sepanjang Otoritas Jasa Keuangan telah memberikan persetujuan atas permohonan persetujuan rencana kegiatan yang diajukan oleh Bank. Ayat (4) Laporan realisasi penyelenggaraan Sistem Elektronik yang ditempatkan pada Pusat Data dan/atau Pusat Pemulihan Bencana di luar wilayah Indonesia mencakup kajian pascaimplementasi (postimplementation review). Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penyediaan akses kepada Otoritas Jasa Keuangan dimaksudkan agar pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan dapat dilaksanakan secara efektif antara lain memastikan integritas, validitas, ketersediaan, dan keaslian data setiap transaksi yang dilakukan oleh Bank. mencakup kajian pascaimplementasi - 23 - Akses kepada Otoritas Jasa Keuangan termasuk: a. akses terhadap Pangkalan Data baik untuk data terkini maupun untuk data yang telah lalu; dan b. akses terhadap infrastruktur pendukung seperti jaringan komunikasi. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Rencana tindak (action plan) antara lain berisi rencana pengembalian Pusat Data, Pusat Pemulihan Bencana, dan/atau Pemrosesan Transaksi Berbasis Teknologi Informasi ke dalam wilayah Indonesia dan jangka waktu penyelesaian rencana tindak (action plan). Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. - 24 - Pasal 44 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5963
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 38/POJK.03/2016 </reg_id> <reg_title> PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO DALAM PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH BANK UMUM </reg_title> <set_date> 1 Desember 2016 </set_date> <effective_date> pada tanggal diundangkan dan ditetapkan. </effective_date> <issued_date> 7 Desember 2016 </issued_date> <replaced_reg> '9/15/PBI/2007' </replaced_reg> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 16 /POJK.03/2014 TENTANG PENILAIAN KUALITAS ASET BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan perkembangan terkini standar akuntansi keuangan, perbankan syariah dituntut untuk menyajikan laporan keuangan yang akurat, komprehensif, dan mencerminkan kinerja bank secara utuh; b. bahwa dalam melaksanakan kegiatan usahanya, bank perlu mengelola risiko kredit antara lain dengan menjaga kualitas aset dan tetap melakukan penghitungan penyisihan penghapusan aset; . bahwa sehubungan dengan adanya perubahan kondisi keuangan global dan beberapa ketentuan terkait, perlu dilakukan harmonisasi ketentuan mengenai penilaian kualitas aset; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... End of Page 1 - 2 - Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENILAIAN KUALITAS ASET BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan syariah. 2. Aset adalah aset produktif dan aset non produktif. 3. Aset Produktif adalah penanaman dana Bank baik dalam rupiah maupun valuta asing untuk memperoleh penghasilan, dalam bentuk pembiayaan, surat berharga syariah, penempatan pada Bank Indonesia dan pemerintah, tagihan atas surat berharga syariah yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repurchase agreement), tagihan akseptasi, tagihan derivatif, penyertaan, penempatan pada Bank lain, transaksi rekening administratif, dan bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. 4. Aset Non Produktif adalah aset Bank selain Aset Produktif yang memiliki potensi kerugian, antara lain dalam bentuk agunan yang diambil alih, properti terbengkalai, serta rekening antar kantor dan rekening tunda (suspense account). 5. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa transaksi bagi hasil, transaksi sewa-menyewa termasuk sewa menyewa jasa, transaksi jual beli, dan transaksi pinjam meminjam berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, margin, atau bagi hasil. 6. Pembiayaan … - 3 - 6. Pembiayaan berdasarkan akad mudharabah, yang selanjutnya disebut Pembiayaan Mudharabah, adalah pembiayaan dalam bentuk kerja sama suatu usaha antara Bank yang menyediakan seluruh modal dengan nasabah yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank kecuali jika nasabah melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian. 7. Pembiayaan berdasarkan akad musyarakah, yang selanjutnya disebut Pembiayaan Musyarakah, adalah pembiayaan dalam bentuk kerja sama antara Bank dengan nasabah untuk suatu usaha tertentu yang masing- masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing. 8. Pembiayaan berdasarkan akad murabahah, yang selanjutnya disebut Pembiayaan Murabahah, adalah pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati. 9. Transaksi salam, yang selanjutnya disebut Salam, adalah transaksi yang menggunakan akad jual beli barang pesanan dengan pengiriman barang di kemudian hari oleh penjual dan pelunasannya dilakukan oleh pembeli pada saat akad disepakati sesuai dengan syarat-syarat tertentu. 10. Pembiayaan berdasarkan akad istishna’, yang selanjutnya disebut Pembiayaan Istishna’, adalah pembiayaan suatu barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara nasabah dan penjual atau pembuat barang dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan. 11. Pembiayaan berdasarkan akad ijarah, yang selanjutnya disebut Pembiayaan Ijarah, adalah pembiayaan dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. 12. Pembiayaan berdasarkan akad ijarah muntahiya bittamlik, yang selanjutnya disebut Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik, adalah pembiayaan dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang. 13. Pembiayaan … - 4 - 13. Pembiayaan berdasarkan akad qardh, yang selanjutnya disebut Pembiayaan Qardh, adalah pembiayaan dalam bentuk pinjaman dana kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati. 14. Surat Berharga Syariah adalah surat bukti berinvestasi berdasarkan Prinsip Syariah yang lazim diperdagangkan di pasar uang dan/atau pasar modal antara lain sukuk, reksadana syariah, dan surat berharga lainnya berdasarkan Prinsip Syariah. 15. Sertifikat Bank Indonesia Syariah, yang selanjutnya disebut sebagai SBIS, adalah surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. 16. Prinsip Syariah adalah prinsip Hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. 17. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada bank syariah dan perusahaan di bidang keuangan lainnya yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi wajib (mandatory convertible bonds) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan. 18. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal oleh Bank dalam bentuk saham pada perusahaan nasabah untuk mengatasi akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 19. Penempatan Pada Bank Lain adalah penanaman dana pada Bank dan/atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) antara lain dalam bentuk giro, tabungan, deposito, Pembiayaan, dan/atau bentuk penempatan dana lainnya berdasarkan Prinsip Syariah. 20. Tagihan Akseptasi adalah tagihan yang timbul sebagai akibat akseptasi yang dilakukan terhadap wesel berjangka. 21. Tagihan Derivatif adalah tagihan karena potensi keuntungan dari suatu perjanjian transaksi derivatif yang merupakan selisih positif antara nilai perjanjian dengan nilai wajar transaksi derivatif pada tanggal laporan. 22. Transaksi … - 5 - 22. Transaksi Rekening Administratif, yang selanjutnya disebut TRA, adalah kewajiban komitmen dan kontinjensi berdasarkan Prinsip Syariah yang antara lain meliputi penerbitan jaminan, letter of credit, standby letter of credit, fasilitas Pembiayaan yang belum ditarik, dan/atau kewajiban komitmen dan kontinjensi lain berdasarkan Prinsip Syariah. 23. Proyeksi Bagi Hasil, yang selanjutnya disebut PBH, adalah perkiraan pendapatan yang akan diterima Bank dari nasabah atas Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah setelah memperhitungkan nisbah bagi hasil, dengan jumlah dan tanggal jatuh tempo yang disepakati antara Bank dengan nasabah. 24. Realisasi Bagi Hasil, yang selanjutnya disebut RBH, adalah pendapatan yang diterima Bank dari nasabah atas Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah setelah memperhitungkan nisbah bagi hasil. 25. Agunan Yang Diambil Alih, yang selanjutnya disebut AYDA, adalah aset yang diperoleh Bank, baik melalui pelelangan maupun selain pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank. 26. Penyisihan Penghapusan Aset, yang selanjutnya disebut PPA, adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu berdasarkan kualitas aset. 27. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yang selanjutnya disebut UMKM, adalah UMKM sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai usaha mikro, kecil, dan menengah. 28. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, yang selanjutnya disebut KPMM, adalah Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum. 29. Properti Terbengkalai (Abandoned Property) adalah aset tetap dalam bentuk properti yang dimiliki Bank tetapi tidak digunakan untuk kegiatan usaha Bank yang lazim. 30. Rekening Antar Kantor adalah tagihan yang timbul dari transaksi antar kantor yang belum diselesaikan dalam jangka waktu tertentu. 31. Rekening … - 6 - 31. Rekening Tunda (Suspense Account) adalah akun yang tujuan pencatatannya tidak teridentifikasi atau tidak didukung dengan dokumentasi pencatatan yang memadai, sehingga tidak dapat direklasifikasi dalam akun yang seharusnya. 32. Cadangan Kerugian Penurunan Nilai, yang selanjutnya disebut CKPN, adalah penyisihan yang dibentuk apabila nilai tercatat aset keuangan setelah penurunan nilai kurang dari nilai tercatat awal. 33. Pihak Terkait adalah pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai batas maksimum penyaluran dana. 34. Kelompok Peminjam adalah kelompok peminjam sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai batas maksimum penyaluran dana. 35. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perseroan Terbatas. 36. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perseroan Terbatas. 37. Restrukturisasi Pembiayaan adalah upaya yang dilakukan Bank dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya. BAB II KUALITAS ASET Pasal 2 (1) Bank wajib melaksanakan penanaman dan/atau penyediaan dana berdasarkan prinsip kehati-hatian dan Prinsip Syariah. (2) Dalam rangka pelaksanaan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi wajib menilai, memantau, dan mengambil langkah- langkah yang diperlukan agar kualitas Aset tetap baik. (3) Langkah-langkah yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) agar kualitas Aset tetap baik antara lain dilakukan dengan cara menerapkan manajemen risiko kredit secara efektif, termasuk melalui penyusunan kebijakan dan pedoman sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang berlaku. Pasal … - 7 - Pasal 3 (1) Bank wajib melakukan penilaian kualitas Aset Produktif dan Aset Non Produktif secara bulanan. (2) Dalam hal terjadi perbedaan penilaian kualitas aset antara Bank dan Otoritas Jasa Keuangan, kualitas aset yang diberlakukan adalah kualitas aset yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (3) Bank wajib menyesuaikan kualitas aset sesuai dengan penilaian kualitas aset yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Bank wajib melaporkan penyesuaian kualitas aset sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam laporan-laporan dan/atau laporan publikasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang berlaku, paling lambat pada periode laporan berikutnya setelah pemberitahuan dari Otoritas Jasa Keuangan. BAB III ASET PRODUKTIF Bagian Kesatu Jenis Pasal 4 (1) Bank wajib menetapkan kualitas terhadap beberapa rekening Aset Produktif yang digunakan untuk membiayai 1 (satu) nasabah pada 1 (satu) Bank, dengan kualitas yang sama. (2) Penetapan kualitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula untuk Aset Produktif berupa penyediaan dana atau tagihan yang diberikan oleh lebih dari 1 (satu) Bank yang dilaksanakan berdasarkan perjanjian Pembiayaan bersama dan/atau sindikasi. (3) Dalam hal terdapat kualitas Aset Produktif yang berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank wajib menetapkan kualitas yang sama untuk masing-masing Aset Produktif mengikuti kualitas Aset Produktif yang paling rendah. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikecualikan dalam hal Aset Produktif ditetapkan berdasarkan faktor penilaian yang berbeda. Pasal … - 8 - Pasal 5 (1) Bank dalam melakukan penanaman dana dalam bentuk Aset Produktif wajib didukung dengan dokumen yang lengkap dan memberikan informasi yang cukup. (2) Dalam hal dokumen penanaman dana tidak memberikan informasi yang cukup untuk mendukung penetapan kualitas, Otoritas Jasa Keuangan berwenang menurunkan kualitas Aset Produktif yang oleh Bank ditetapkan lancar dan dalam perhatian khusus menjadi paling tinggi kurang lancar. Pasal 6 (1) Bank wajib memiliki ketentuan intern yang mengatur kriteria dan persyaratan nasabah yang wajib menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit akuntan publik kepada Bank, termasuk aturan mengenai batas waktu penyampaian laporan keuangan. (2) Bank wajib mencantumkan kewajiban nasabah untuk menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit akuntan publik dalam perjanjian antara Bank dengan nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Ketentuan intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Kualitas Aset Produktif dari nasabah yang tidak menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diturunkan satu tingkat dan dinilai paling tinggi kurang lancar. Bagian Kedua Pembiayaan Pasal 7 Penilaian atas kualitas Aset Produktif dalam bentuk Pembiayaan dilakukan berdasarkan faktor-faktor sebagai berikut: a. prospek usaha; b. kinerja (performance) nasabah; dan c. kemampuan membayar. Pasal 8 (1) Penilaian terhadap prospek usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a._potensi … - 9 - a. potensi pertumbuhan usaha; b. kondisi pasar dan posisi nasabah dalam persaingan; c. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja; d. dukungan dari grup atau afiliasi; dan e. upaya yang dilakukan nasabah dalam rangka memelihara lingkungan hidup. (2) Penilaian terhadap kinerja nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. perolehan laba; b. struktur permodalan; c. arus kas; dan d. sensitivitas terhadap risiko pasar. (3) Penilaian terhadap kemampuan membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. ketepatan pembayaran pokok dan margin/bagi hasil/ujrah; b. ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan nasabah; c. kelengkapan dokumen Pembiayaan; d. kepatuhan terhadap perjanjian Pembiayaan; e. kesesuaian penggunaan dana; dan f. kewajaran sumber pembayaran kewajiban. Pasal 9 (1) Penilaian kualitas Aset Produktif dalam bentuk Pembiayaan dilakukan dengan melakukan analisis terhadap faktor penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan mempertimbangkan komponen-komponen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. (2) Penilaian kualitas Aset Produktif dalam bentuk Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan: a. signifikansi dari setiap faktor penilaian dan komponen; dan b. relevansi dari faktor penilaian dan komponen terhadap nasabah yang bersangkutan. (3) Berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), kualitas Aset Produktif dalam bentuk Pembiayaan ditetapkan menjadi: a._Lancar … - 10 - a. Lancar; b. Dalam Perhatian Khusus; c. Kurang Lancar; d. Diragukan; atau e. Macet. Pasal 10 (1) Penilaian kualitas Aset Produktif dalam bentuk Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah yang dilakukan berdasarkan kemampuan membayar mengacu pada ketepatan pembayaran pokok dan/atau rasio RBH terhadap PBH. (2) Penghitungan rasio RBH terhadap PBH sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan berdasarkan akumulasi selama periode Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah yang telah berjalan. (3) PBH dihitung berdasarkan analisis kelayakan usaha dan arus kas masuk (cash inflow) nasabah selama jangka waktu Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah. (4) Bank dapat mengubah PBH berdasarkan kesepakatan dengan nasabah apabila terdapat perubahan atas kondisi ekonomi makro, pasar, dan politik yang mempengaruhi usaha nasabah. (5) Bank wajib mencantumkan PBH dan perubahan PBH dalam perjanjian Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah antara Bank dengan nasabah. Pasal 11 (1) Dalam Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah, pembayaran angsuran pokok dapat dilakukan secara berkala maupun diakhir Pembiayaan. (2) Bank wajib melakukan langkah-langkah untuk mengurangi risiko tidak terbayarnya pokok Pembiayaan pada saat jatuh tempo apabila dalam Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah disepakati tidak ada pembayaran angsuran pokok secara berkala. (3)_Untuk … - 11 - (3) Untuk Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah dengan jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun, Bank wajib menetapkan pembayaran angsuran pokok secara berkala sesuai dengan proyeksi arus kas masuk (cash inflow) usaha nasabah. (4) Pembayaran angsuran atau pelunasan pokok Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah wajib dicantumkan dalam perjanjian Pembiayaan antara Bank dengan nasabah. Bagian Ketiga Penempatan pada Bank Indonesia dan Pemerintah Pasal 12 Kualitas Aset Produktif dalam bentuk penanaman dana pada Bank Indonesia dan Pemerintah Indonesia berdasarkan Prinsip Syariah ditetapkan lancar. Bagian Keempat Surat Berharga Syariah Pasal 13 (1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Aset Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah. (2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Dewan Komisaris. (3) Prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Direksi. (4) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang berlaku. Pasal 14 (1) Kualitas Aset Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah yang diakui berdasarkan nilai pasar ditetapkan lancar sepanjang memenuhi persyaratan: a. aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia; b. terdapat informasi nilai pasar secara transparan; c._telah … - 12 - c. telah diterima imbalan dalam jumlah dan waktu yang tepat sesuai perjanjian; dan d. belum jatuh tempo. (2) Kualitas Surat Berharga Syariah yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau huruf b atau yang diakui berdasarkan harga perolehan ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila: 1. memiliki peringkat investasi (investment grade) atau lebih tinggi; 2. telah diterima imbalan dalam jumlah dan waktu yang tepat sesuai perjanjian; dan 3. belum jatuh tempo; b. Kurang Lancar, apabila: 1. memiliki peringkat investasi (investment grade) atau lebih tinggi; 2. terdapat penundaan pembayaran margin/bagi hasil/ujrah berkala atau kewajiban lain sejenis; dan 3. belum jatuh tempo; atau 1. memiliki peringkat paling kurang 1 (satu) tingkat di bawah peringkat investasi (investment grade); 2. tidak terdapat penundaan pembayaran margin/bagi hasil/ujrah berkala atau kewajiban lain sejenis; dan 3. belum jatuh tempo; c. Macet, apabila Surat Berharga Syariah tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b. (3) Kualitas Surat Berharga Syariah dalam bentuk sukuk yang berasal dari isi akad dan/atau perubahan akad yang mengakibatkan tidak dipenuhinya Prinsip Syariah ditetapkan berdasarkan ketentuan kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. Pasal 15 (1) Peringkat Surat Berharga Syariah didasarkan pada peringkat yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat dalam satu tahun terakhir sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (2)_Dalam … - 13 - (2) Dalam hal peringkat Surat Berharga Syariah yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat dalam 1 (satu) tahun terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tersedia, Surat Berharga Syariah dianggap tidak memiliki peringkat. Pasal 16 (1) Bank dilarang memiliki Aset Produktif dalam bentuk saham dan/atau Surat Berharga Syariah yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang mendasari (underlying reference asset) yang berbentuk saham. (2) Kepemilikan Surat Berharga Syariah yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang mendasari (underlying reference asset) yang berbentuk saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk tujuan Penyertaan Modal atau Penyertaan Modal Sementara dan dilakukan dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 17 Bank hanya dapat memiliki Surat Berharga Syariah yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang mendasari sepanjang: a. aset yang mendasari dapat diyakini kebenarannya; b. Bank memiliki hak atas aset yang mendasari atau hak atas nilai dari aset yang mendasari; c. Bank memiliki informasi yang jelas, tepat, dan akurat mengenai rincian aset yang mendasari, yang mencakup penerbit dan nilai dari setiap aset dasar, termasuk setiap perubahannya; dan d. Bank menatausahakan rincian komposisi dan penerbit aset yang mendasari serta menyesuaikan penatausahaan dalam hal terjadi perubahan komposisi aset. Pasal 18 (1) Kualitas Surat Berharga Syariah yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang mendasari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ditetapkan sebagai berikut: a. untuk Surat Berharga Syariah yang pembayaran kewajibannya terkait langsung dengan aset yang mendasari (pass through) dan tidak dapat dibeli … - 14 - dibeli kembali (non redemption) oleh penerbit, penetapan kualitas didasarkan pada: 1. kualitas Surat Berharga Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; atau 2. kualitas aset yang mendasari Surat Berharga Syariah apabila Surat Berharga Syariah tidak memiliki peringkat; b. untuk Surat Berharga Syariah yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf a, penetapan kualitas didasarkan pada kualitas Surat Berharga Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14. (2) Kualitas aset yang mendasari Surat Berharga Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2 ditetapkan berdasarkan kualitas setiap jenis aset yang mendasari. (3) Untuk Surat Berharga Syariah dalam bentuk reksadana, penetapan kualitas didasarkan pada: a. kualitas Aset Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2); atau b. kualitas aset yang mendasari reksadana dan kualitas penerbit reksadana, apabila reksadana tidak memiliki peringkat. Pasal 19 (1) Kualitas Surat Berharga Syariah yang diterbitkan oleh Bank atau mendapatkan endorsemen bank diatur sebagai berikut: a. untuk Surat Berharga Syariah yang memiliki peringkat dan/atau aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, ditetapkan berdasarkan kualitas yang paling rendah dari: 1. hasil penilaian berdasarkan ketentuan kualitas Surat Berharga Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, atau 2. hasil penilaian berdasarkan ketentuan kualitas Penempatan Pada Bank Lain dari Bank penerbit atau bank pemberi endorsemen; b. untuk Surat Berharga Syariah yang berdasarkan karakteristiknya tidak diperdagangkan di bursa efek dan/atau tidak memiliki peringkat, kualitasnya ditetapkan: 1. yang diterbitkan atau mendapatkan endorsemen bank di Indonesia, berdasarkan ketentuan kualitas Penempatan Pada Bank Lain, 2. yang … - 15 - 2. yang diterbitkan atau mendapatkan endorsemen bank di luar Indonesia: a) yang mempunyai jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun, berdasarkan ketentuan kualitas Penempatan Pada Bank Lain, b) yang mempunyai jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun, berdasarkan ketentuan kualitas Surat Berharga Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2). (2) Kualitas Surat Berharga Syariah yang diterbitkan oleh pihak bukan bank di Indonesia yang berdasarkan karakteristiknya tidak diperdagangkan di bursa efek dan tidak memiliki peringkat ditetapkan berdasarkan ketentuan kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. (3) Kualitas Surat Berharga Syariah yang diterbitkan oleh pihak bukan bank di luar Indonesia yang berdasarkan karakteristiknya tidak diperdagangkan di bursa efek ditetapkan berdasarkan ketentuan kualitas Surat Berharga Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2). (4) Dalam hal Surat Berharga Syariah yang diterbitkan oleh Bank lain berbentuk Surat Berharga Syariah yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang mendasari, Bank tetap harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17. Pasal 20 Kualitas wesel yang diambil alih tidak mendapatkan endorsemen bank lain ditetapkan berdasarkan ketentuan kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. Bagian Kelima Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara Pasal 21 (1) Penilaian Penyertaan Modal dilakukan berdasarkan: a. metode biaya (cost method); b. metode ekuitas (equity method) ; atau c. nilai wajar, dengan mengacu pada ketentuan standar akuntansi keuangan yang berlaku. (2) Kualitas … - 16 - (2) Kualitas Penyertaan Modal yang dinilai berdasarkan metode biaya (cost method) ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila investee memperoleh laba dan tidak mengalami kerugian kumulatif berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang telah diaudit; b. Kurang lancar, apabila investee mengalami kerugian kumulatif sampai dengan 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal investee berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang telah diaudit; c. Diragukan, apabila investee mengalami kerugian kumulatif lebih dari 25% (dua puluh lima perseratus) sampai dengan 50% (lima puluh perseratus) dari modal investee berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang telah diaudit; d. Macet, apabila investee mengalami kerugian kumulatif lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari modal investee berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang telah diaudit. (3) Kualitas Penyertaan Modal yang dinilai berdasarkan metode ekuitas (equity method) atau berdasarkan nilai wajar ditetapkan lancar. (4) Dalam rangka Penyertaan Modal, Bank wajib tunduk pada ketentuan yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian dalam penyertaan modal dan Prinsip Syariah. Pasal 22 (1) Kualitas Penyertaan Modal Sementara ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila jangka waktu Penyertaan Modal Sementara belum melampaui 1 (satu) tahun; b. Kurang Lancar, apabila jangka waktu Penyertaan Modal Sementara telah melampaui 1 (satu) tahun namun belum melampaui 4 (empat) tahun; c. Diragukan, apabila jangka waktu Penyertaan Modal Sementara telah melampaui 4 (empat) tahun namun belum melampaui 5 (lima) tahun; d. Macet, apabila: 1. jangka waktu Penyertaan Modal Sementara telah melampaui 5 (lima) tahun; atau 2. investee telah memiliki laba kumulatif namun Penyertaan Modal Sementara belum ditarik kembali. (2) Otoritas … - 17 - (2) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menurunkan kualitas Penyertaan Modal Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila terdapat bukti yang memadai bahwa: a. penjualan Penyertaan Modal Sementara diperkirakan akan dilakukan dengan harga yang lebih rendah dari nilai buku; dan/atau b. penjualan Penyertaan Modal Sementara dalam jangka waktu 5 (lima) tahun diperkirakan sulit untuk dilakukan. (3) Dalam rangka Penyertaan Modal Sementara, Bank wajib tunduk pada ketentuan yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian dan Prinsip Syariah. Bagian Keenam Penempatan Pada Bank Lain Pasal 23 (1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Aset Produktif dalam bentuk Penempatan Pada Bank Lain. (2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Dewan Komisaris. (3) Prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Direksi. (4) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang berlaku. Pasal 24 (1) Kualitas Aset Produktif dalam bentuk Penempatan Pada Bank Lain ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila: 1. bank yang menerima penempatan memiliki rasio KPMM paling rendah sama dengan rasio KPMM sesuai ketentuan yang berlaku; dan 2. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah/bonus. b. Kurang … - 18 - b. Kurang Lancar, apabila: 1. bank yang menerima penempatan memiliki rasio KPMM paling rendah sama dengan ketentuan yang berlaku; dan 2. terdapat tunggakan pembayaran pokok margin/bagi hasil/ ujrah/bonus sampai dengan 5 (lima) hari kerja. c. Macet, apabila: 1. bank yang menerima penempatan memiliki rasio KPMM kurang dari rasio KPMM sesuai ketentuan yang berlaku; 2. bank yang menerima penempatan telah ditetapkan dan diumumkan sebagai bank dengan status dalam pengawasan khusus (special surveillance) yang dibekukan kegiatan usaha tertentu; 3. bank yang menerima penempatan ditetapkan sebagai bank yang dicabut izin usahanya; dan/atau 4. terdapat tunggakan pembayaran pokok margin/bagi hasil/ ujrah/bonus lebih dari 5 (lima) hari kerja. (2) Kualitas Aset Produktif dalam bentuk Penempatan Pada Bank Lain berupa Pembiayaan kepada BPRS dalam rangka linkage program dengan pola executing digolongkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila: 1. BPRS yang menerima penempatan memiliki rasio KPMM paling rendah sama dengan rasio KPMM sesuai ketentuan yang berlaku; dan 2. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah. b. Kurang Lancar, apabila: 1. BPRS yang menerima penempatan memiliki rasio KPMM paling rendah sama dengan rasio KPMM sesuai ketentuan yang berlaku; dan 2. terdapat tunggakan pembayaran pokok margin/bagi hasil/ujrah sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja. c. Macet, apabila: 1. BPRS yang menerima penempatan memiliki rasio KPMM kurang dari rasio KPMM sesuai ketentuan yang berlaku; 2. BPRS yang menerima penempatan telah ditetapkan dan diumumkan sebagai BPRS dengan status dalam pengawasan khusus (special surveillance) … - 19 - surveillance) atau BPRS telah dikenakan sanksi pembekuan seluruh kegiatan usaha; 3. BPRS yang menerima penempatan ditetapkan sebagai BPRS yang dicabut izin usahanya; dan/atau 4. terdapat tunggakan pembayaran pokok margin/bagi hasil/ujrah lebih dari 30 (tiga puluh) hari kerja. Bagian Ketujuh Tagihan Akseptasi, Tagihan atas Surat Berharga Syariah yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repurchase agreement) serta Tagihan Derivatif Pasal 25 Kualitas Tagihan Akseptasi ditetapkan berdasarkan: a. ketentuan kualitas Penempatan Pada Bank Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) apabila pihak yang wajib melunasi tagihan adalah bank lain; atau b. ketentuan kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 apabila pihak yang wajib melunasi tagihan adalah nasabah. Pasal 26 (1) Kualitas Tagihan atas Surat Berharga Syariah yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repurchase agreement) ditetapkan berdasarkan: a. ketentuan kualitas Penempatan Pada Bank Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) apabila pihak yang menjual Surat Berharga Syariah adalah Bank lain; atau b. ketentuan kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 apabila pihak yang menjual Surat Berharga Syariah adalah bukan Bank. (2) Tagihan atas Surat Berharga Syariah yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repurchase agreement) dengan aset yang mendasari berupa Surat Perbendaharaan Negara Syariah, Ijarah Fixed Rate dan/atau penempatan lain pada Bank Indonesia dan pemerintah ditetapkan memiliki kualitas lancar. Pasal … - 20 - Pasal 27 Kualitas Tagihan Derivatif ditetapkan berdasarkan: a. ketentuan penetapan kualitas Penempatan Pada Bank Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) apabila pihak lawan transaksi (counterparty) adalah bank lain; atau b. ketentuan kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 apabila pihak lawan transaksi (counterparty) adalah bukan bank. Bagian Kedelapan Transaksi Rekening Administratif (TRA) Pasal 28 (1) Kualitas TRA ditetapkan berdasarkan: a. ketentuan penetapan kualitas Penempatan Pada Bank Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) apabila pihak lawan (counterparty) TRA adalah bank; atau b. ketentuan penetapan kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 apabila pihak lawan (counterparty) TRA adalah nasabah. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal terdapat perjanjian antara Bank dengan nasabah yang memuat klausula Bank dapat membatalkan penyediaan dana baik sebagian maupun seluruhnya. Bagian Kesembilan Aset Produktif yang Dijamin dengan Agunan Tunai Pasal 29 (1) Aset Produktif yang dijamin dengan agunan tunai ditetapkan memiliki kualitas lancar sebesar jumlah yang dijamin dengan agunan tunai. (2) Agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah agunan berupa: a. giro, deposito, tabungan, setoran jaminan, dan/atau logam mulia; b. SBIS, Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), dan/atau penempatan dana lain pada Bank Indonesia dan Pemerintah Indonesia; c. jaminan Pemerintah Indonesia sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku; dan/atau d. standby … - 21 - d. standby letter of credit dari prime bank, yang diterbitkan sesuai dengan Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (UCP) atau International Standby Practices (ISP) yang berlaku. (3) Agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. agunan diblokir dan dilengkapi dengan surat kuasa pencairan dari pemilik agunan untuk keuntungan Bank penerima agunan, termasuk pencairan sebagian untuk membayar tunggakan angsuran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah/bonus; b. jangka waktu pemblokiran sebagaimana dimaksud pada huruf a paling kurang sama dengan jangka waktu Aset Produktif; c. memiliki pengikatan hukum yang kuat sebagai agunan, bebas dari segala bentuk perikatan lain, bebas dari sengketa, tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain, termasuk tujuan penjaminan yang jelas; dan d. untuk agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib disimpan pada Bank penyedia dana. (4) Agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat dibatalkan (irrevocable); b. harus dapat dicairkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diajukannya klaim, termasuk pencairan sebagian untuk membayar tunggakan angsuran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah; c. mempunyai jangka waktu paling kurang sama dengan jangka waktu Aset Produktif; dan d. tidak dijamin kembali (counter guarantee) oleh Bank penyedia dana atau bank yang bukan prime bank. (5) Prime bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki peringkat investasi atas penilaian terhadap prospek usaha jangka panjang (long term outlook) bank yang diberikan oleh lembaga pemeringkat paling kurang: 1. AA- … - 22 - 1. AA- berdasarkan penilaian Standard & Poors; 2. Aa3 berdasarkan penilaian Moody’s; 3. AA- berdasarkan penilaian Fitch; atau 4. Peringkat setara dengan angka 1, angka 2, dan/atau angka 3 berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat terkemuka lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan b. memiliki total aset yang termasuk dalam 200 besar dunia berdasarkan informasi yang tercantum dalam banker’s almanac. (6) Dalam hal prime bank penerbit standby letter of credit memiliki lebih dari satu peringkat yang diperoleh dari lembaga pemeringkat yang berbeda, yang digunakan adalah peringkat yang terendah. Pasal 30 (1) Nasabah dinyatakan wanprestasi (event of default) apabila: a. terjadi tunggakan pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah dan/atau tagihan lainnya selama 90 (sembilan puluh) hari walaupun Aset Produktif belum jatuh tempo; b. tidak diterimanya pembayaran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah dan/atau tagihan lainnya pada saat Aset Produktif jatuh tempo; atau c. tidak dipenuhinya persyaratan lainnya selain pembayaran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah yang mengakibatkan nasabah tidak dapat memenuhi kewajibannya. (2) Bank wajib melakukan atau mengajukan klaim pencairan agunan tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah nasabah dinyatakan wanprestasi (event of default). Bagian Kesepuluh Pembiayaan dan Penyediaan Dana dalam Jumlah Kecil serta Pembiayaan dan Penyediaan Dana di Daerah Tertentu Pasal 31 (1) Penilaian atas kualitas Aset Produktif dalam bentuk Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya dapat hanya didasarkan atas faktor penilaian kemampuan membayar untuk: a. Pembiayaan … - 23 - a. Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh setiap Bank kepada 1 (satu) nasabah atau 1 (satu) proyek dengan jumlah paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); b. Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh setiap Bank kepada nasabah UMKM dengan jumlah: 1. lebih besar dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) bagi Bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a) memiliki predikat penilaian kecukupan Kualitas Penerapan Manajemen Risiko (KPMR) untuk risiko kredit sangat memadai (strong); b) memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan c) memiliki peringkat komposit tingkat kesehatan paling kurang 3 (tiga). 2. lebih besar dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) bagi Bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a) memiliki predikat penilaian kecukupan KPMR untuk risiko kredit memadai (satisfactory); b) memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan c) memiliki peringkat komposit tingkat kesehatan Bank paling kurang 3 (PK-3); c. Pembiayaan dan penyediaan dana lain kepada nasabah dengan lokasi kegiatan usaha berada di daerah tertentu dengan jumlah kurang dari atau sama dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Penilaian atas kualitas Aset Produktif dalam bentuk Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bagi Unit Usaha Syariah berlaku ketentuan sebagai berikut: a. predikat penilaian Kualitas Penerapan Manajemen Risiko (KPMR) untuk risiko kredit mengacu pada predikat penilaian kecukupan Kualitas Penerapan Manajemen Risiko (KPMR) Unit Usaha Syariah; dan b. peringkat komposit tingkat kesehatan dan rasio KPMM mengacu pada peringkat komposit tingkat kesehatan dan rasio KPMM bank induknya. (3) Predikat … - 24 - (3) Predikat penilaian KPMR untuk risiko kredit, rasio KPMM, dan peringkat komposit tingkat kesehatan Bank yang digunakan dalam penilaian kualitas Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b didasarkan pada penilaian Otoritas Jasa Keuangan. (4) Hasil penilaian Otoritas Jasa Keuangan dapat diketahui oleh Bank melalui prudential meeting antara Bank dengan Otoritas Jasa Keuangan. (5) Penggunaan predikat penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) adalah sebagai berikut: a. predikat penilaian posisi bulan Desember tahun sebelumnya digunakan untuk penilaian kualitas Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya periode bulan Februari sampai dengan Juli; dan b. predikat penilaian posisi bulan Juni digunakan untuk penilaian kualitas Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya periode bulan Agustus sampai dengan Januari. (6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak diberlakukan untuk Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang diberikan kepada 1 (satu) nasabah UMKM dengan jumlah lebih besar dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) yang merupakan: a. Pembiayaan yang direstrukturisasi; dan/atau b. penyediaan dana kepada 50 (lima puluh) nasabah terbesar Bank. (7) Penetapan kualitas Pembiayaan yang direstrukturisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a tetap dilakukan dengan mengacu pada ketentuan mengenai penetapan kualitas Pembiayaan yang direstrukturisasi. (8) Dalam hal terdapat penyimpangan yang signifikan atas prinsip Pembiayaan yang sehat, penilaian kualitas Aset Produktif dalam bentuk Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh Bank kepada nasabah UMKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan faktor penilaian Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. BAB IV ASET NON PRODUKTIF Bagian Kesatu Jenis Pasal 32 Bank wajib menilai kualitas Aset Non Produktif meliputi AYDA, Properti Terbengkalai, Rekening Antar Kantor, dan Rekening Tunda (Suspense Account). Bagian … - 25 - Bagian Kedua AYDA Pasal 33 (1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis terhadap AYDA. (2) Bank wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap AYDA yang dimiliki. (3) Bank wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian AYDA sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 34 (1) Bank dapat mengambil alih agunan dalam rangka penyelesaian Pembiayaan. (2) Pengambilalihan agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap nasabah Pembiayaan yang memiliki kualitas macet. Pasal 35 (1) Bank wajib menilai AYDA pada saat pengambilalihan agunan atas dasar net realizable value. (2) Maksimum net realizable value sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar nilai Aset Produktif yang diselesaikan dengan AYDA. (3) Penetapan net realizable value sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh penilai independen, untuk AYDA dengan nilai Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau lebih. (4) Penetapan net realizable value sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh penilai intern Bank, untuk nilai AYDA kurang dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (5) Bank wajib menggunakan nilai yang terendah apabila terdapat beberapa nilai dari penilai independen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau penilai intern sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Penilai independen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah kantor jasa penilai publik yang: a. tidak merupakan Pihak Terkait dengan Bank; b. tidak merupakan Kelompok Peminjam dengan nasabah Bank; c. melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode etik profesi dan ketentuan yang ditetapkan oleh institusi yang berwenang; d. menggunakan metode penilaian berdasarkan standar profesi penilaian yang diterbitkan oleh institusi yang berwenang; e. memiliki … - 26 - e. memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang untuk beroperasi sebagai kantor jasa penilai publik; dan f. tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui oleh institusi yang berwenang. (7) Tunggakan margin/bagi hasil/ujrah atas Pembiayaan yang diselesaikan dengan AYDA tidak dapat diakui sebagai pendapatan sampai dengan adanya realisasi. Pasal 36 (1) Bank yang mengambil alih agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 wajib mencairkan AYDA paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal pengambilalihan. (2) Bank wajib mendokumentasikan upaya pencairan AYDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 37 Kualitas Aset Non Produktif dalam bentuk AYDA digolongkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila AYDA dimiliki sampai dengan 1 (satu) tahun; atau b. Macet, apabila AYDA dimiliki lebih dari 1 (satu) tahun. Bagian Ketiga Properti Terbengkalai Pasal 38 (1) Bank wajib melakukan identifikasi dan penggolongan terhadap Properti Terbengkalai yang dimiliki. (2) Penetapan Properti Terbengkalai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Direksi dan didokumentasikan. (3) Bagian properti yang tidak digunakan Bank dari suatu properti yang digunakan untuk kegiatan usaha Bank secara mayoritas, tidak digolongkan sebagai Properti Terbengkalai. (4) Dalam hal Bank tidak menggunakan bagian dari suatu properti secara mayoritas, bagian properti yang tidak digunakan untuk kegiatan usaha Bank digolongkan sebagai Properti Terbengkalai secara proporsional. Pasal … - 27 - Pasal 39 (1) Bank wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap Properti Terbengkalai yang dimiliki. (2) Bank wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian Properti Terbengkalai sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 40 (1) Kualitas Aset Non Produktif dalam bentuk Properti Terbengkalai digolongkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila Properti Terbengkalai dimiliki sampai dengan 1 (satu) tahun; b. Kurang Lancar, apabila Properti Terbengkalai dimiliki lebih dari 1 (satu) tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun; c. Diragukan, apabila Properti Terbengkalai dimiliki lebih dari 3 (tiga) tahun sampai dengan 5 (lima) tahun; atau d. Macet, apabila Properti Terbengkalai dimiliki lebih dari 5 (lima) tahun. (2) Properti Terbengkalai yang tidak dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, ditetapkan memiliki kualitas satu tingkat di bawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Keempat Rekening Antar Kantor dan Rekening Tunda (Suspense Account) Pasal 41 (1) Bank wajib melakukan upaya penyelesaian Rekening Antar Kantor dan Rekening Tunda (Suspense Account). (2) Kualitas Aset Produktif dalam bentuk Rekening Antar Kantor dan Rekening Tunda (Suspense Account) digolongkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila Rekening Antar Kantor dan Rekening Tunda (Suspense Account) tercatat dalam pembukuan Bank sampai dengan 180 (seratus delapan puluh) hari; atau b. Macet, apabila Rekening Antar Kantor dan Rekening Tunda (Suspense Account) tercatat dalam pembukuan Bank lebih dari 180 (seratus delapan puluh) hari. BAB … - 28 - BAB V PENYISIHAN PENGHAPUSAN ASET DAN CADANGAN KERUGIAN PENURUNAN NILAI Bagian Kesatu Penyisihan Penghapusan Aset (PPA) Paragraf 1 Jenis Pasal 42 (1) Bank wajib menghitung dan membentuk PPA terhadap Aset Produktif dan Aset Non Produktif. (2) Penyisihan Penghapusan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. cadangan umum dan cadangan khusus untuk Aset Produktif; dan b. cadangan khusus untuk Aset Non Produktif. Pasal 43 (1) Cadangan umum PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a, ditetapkan paling rendah sebesar 1% (satu perseratus) dari seluruh Aset Produktif yang digolongkan lancar. (2) Cadangan umum PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Aset Produktif dalam bentuk: a. fasilitas Pembiayaan yang belum ditarik yang merupakan bagian dari TRA; b. SBIS, SBSN, dan/atau penempatan dana lain pada Bank Indonesia dan/atau Pemerintah Indonesia; c. bagian Aset Produktif yang dijamin dengan jaminan Pemerintah Indonesia atau agunan tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; dan/atau d. Pembiayaan Ijarah dan Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik. (3) Cadangan khusus PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) ditetapkan paling rendah sebesar: a. 5% (lima perseratus) dari Aset Produktif yang digolongkan dalam perhatian khusus setelah dikurangi nilai agunan; b. 15% (lima belas perseratus) dari Aset Produktif dan Aset Non Produktif yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi nilai agunan; c. 50% (lima puluh perseratus) dari Aset Produktif dan Aset Non Produktif yang digolongkan diragukan setelah dikurangi nilai agunan; atau d. 100% … - 29 - d. 100% (seratus perseratus) dari Aset Produktif dan Aset Non Produktif yang digolongkan macet setelah dikurangi nilai agunan. (4) Kewajiban penghitungan PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku bagi Aset Produktif dalam bentuk Pembiayaan Ijarah dan Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik. (5) Bank wajib membentuk penyusutan atau amortisasi atas Aset Produktif dalam bentuk: a. Pembiayaan Ijarah sesuai dengan kebijakan penyusutan atau amortisasi Bank bagi Aset yang sejenis; dan/atau b. Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik sesuai dengan masa sewa. (6) Penggunaan nilai agunan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dilakukan untuk Aset Produktif. Pasal 44 Perhitungan PPA untuk Aset Produktif dalam bentuk Pembiayaan berdasarkan akad: a. Murabahah, Istishna’, Qardh, Mudharabah dan Musyarakah dihitung berdasarkan saldo pokok Pembiayaan; b. Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bittamlik dihitung berdasarkan tunggakan porsi pokok sewa. Paragraf 2 Agunan sebagai Pengurang PPA Pasal 45 Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam perhitungan PPA ditetapkan sebagai berikut: a. Surat Berharga Syariah dan saham yang aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia atau memiliki peringkat investasi dan diikat secara gadai; b. tanah, gedung, dan rumah tinggal yang diikat dengan hak tanggungan; c. mesin yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang diikat dengan hak tanggungan; d. pesawat udara atau kapal laut dengan ukuran di atas 20 (dua puluh) meter kubik yang diikat dengan hipotek; e. kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara fidusia; dan/atau f. resi gudang yang diikat dengan hak jaminan atas resi gudang. Pasal … - 30 - Pasal 46 (1) Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 wajib: a. dilengkapi dengan dokumen hukum yang sah; b. diikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga memberikan hak preferensi bagi Bank; dan c. dilindungi asuransi dengan banker’s clause yang memiliki jangka waktu paling sedikit sama dengan jangka waktu pengikatan agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45. (2) Perusahaan asuransi yang memberikan perlindungan asuransi terhadap agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib memenuhi syarat sebagai berikut: a. memenuhi Prinsip Syariah; b. memenuhi ketentuan permodalan sesuai dengan penetapan institusi yang berwenang; dan c. bukan merupakan Pihak Terkait dengan Bank atau Kelompok Peminjam dengan nasabah Bank, kecuali direasuransikan kepada perusahaan asuransi yang bukan merupakan Pihak Terkait dengan Bank atau Kelompok Peminjam dengan nasabah Bank. Pasal 47 (1) Agunan yang akan digunakan sebagai faktor pengurang PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, paling kurang harus dinilai oleh: a. penilai independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (6) untuk Aset Produktif yang berasal dari nasabah atau Kelompok Peminjam dengan jumlah lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); atau b. penilai intern Bank untuk Aset Produktif yang berasal dari nasabah atau Kelompok Peminjam dengan jumlah sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Bank wajib melakukan penilaian terhadap agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sejak awal pemberian Aset Produktif. Pasal 48 (1) Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam perhitungan PPA ditetapkan sebagai berikut: a._Surat … - 31 - a. Surat Berharga Syariah yang aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia atau memiliki peringkat investasi, paling tinggi sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari nilai yang tercatat di bursa efek pada akhir bulan; b. Tanah dan/atau bangunan yang digunakan untuk tempat tinggal, paling tinggi sebesar: 1. 70% (tujuh puluh perseratus) dari penilaian apabila: a) penilaian oleh penilai independen dilakukan dalam 18 (delapan belas) bulan terakhir; atau b) penilaian oleh penilai intern dilakukan dalam 12 (dua belas) bulan terakhir; 2. 50% (lima puluh perseratus) dari penilaian apabila: a) penilaian yang dilakukan oleh penilai independen telah melampaui 18 (delapan belas) bulan namun belum melampaui 24 (dua puluh empat) bulan terakhir; atau b) penilaian yang dilakukan oleh penilai intern telah melampaui 12 (dua belas) bulan namun belum melampaui 18 (delapan belas) bulan terakhir; 3. 30% (tiga puluh perseratus) dari penilaian apabila: a) penilaian yang dilakukan oleh penilai independen telah melampaui 24 (dua puluh empat) bulan namun belum melampaui 30 (tiga puluh) bulan terakhir; atau b) penilaian yang dilakukan oleh penilai intern telah melampaui 18 (delapan belas) bulan namun belum melampaui 24 (dua puluh empat) bulan terakhir; 4. 0% (nol perseratus) dari penilaian apabila: a) penilaian yang dilakukan oleh penilai independen telah melampaui 30 (tiga puluh) bulan terakhir; atau b) penilaian yang dilakukan oleh penilai intern telah melampaui 24 (dua puluh empat) bulan terakhir. c. Tanah dan/atau bangunan bukan untuk tempat tinggal, mesin yang dianggap sebagai satu kesatuan dengan tanah, pesawat udara, kapal laut, resi gudang, kendaraaan bermotor, dan persediaan paling tinggi sebesar: 1._70% … - 32 - 1. 70% (tujuh puluh perseratus) dari penilaian apabila penilaian dilakukan dalam 12 (dua belas) bulan terakhir; 2. 50% (lima puluh perseratus) dari penilaian apabila penilaian dilakukan telah melampaui 12 (dua belas) bulan namun belum melampaui 18 (delapan belas) bulan terakhir; 3. 30% (tiga puluh perseratus) dari penilaian apabila penilaian dilakukan telah melampaui 18 (delapan belas) bulan namun belum melampaui 24 (dua puluh empat) bulan terakhir; atau 4. 0% (nol perseratus) dari penilaian apabila penilaian dilakukan telah melampaui 24 (dua puluh empat) bulan terakhir. (2) Bank wajib menggunakan nilai yang terendah dalam hal terdapat beberapa penilaian terhadap suatu agunan untuk posisi yang sama baik yang dilakukan oleh penilai independen maupun penilai intern. (3) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang PPA lebih rendah dari penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan pertimbangan pengawasan. Pasal 49 Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam perhitungan PPA dilarang melebihi nilai pengikatan agunan. Pasal 50 (1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan perhitungan kembali atas nilai agunan yang telah dikurangkan dalam PPA, dalam hal Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, Pasal 46, Pasal 48, dan/atau Pasal 49. (2) Bank wajib menyesuaikan perhitungan PPA sesuai dengan perhitungan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam laporan perhitungan rasio KPMM yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan/atau laporan publikasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang berlaku paling lambat pada periode laporan berikutnya setelah pemberitahuan dari Otoritas Jasa Keuangan. Bagian … - 33 - Bagian Kedua Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) Pasal 51 Bank wajib menghitung dan membentuk CKPN sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku. Bagian Ketiga Pengaruh Perhitungan PPA Terhadap Rasio KPMM Pasal 52 (1) Dalam menghitung rasio KPMM, Bank wajib memperhitungkan PPA atas Aset Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a dan CKPN yang dibentuk. (2) Dalam hal hasil perhitungan PPA wajib dibentuk atas Aset Produktif lebih besar dari CKPN yang telah dibentuk, Bank wajib memperhitungkan selisih perhitungan PPA dengan CKPN sebagai pengurang modal dalam perhitungan rasio KPMM. (3) Dalam hal hasil perhitungan PPA wajib dibentuk terhadap Aset Produktif sama dengan atau lebih kecil dari CKPN yang telah dibentuk, Bank tidak perlu memperhitungkan selisih lebih PPA dalam perhitungan rasio KPMM. Pasal 53 Bank wajib memperhitungkan hasil perhitungan PPA atas Aset Non Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b sebagai pengurang dalam perhitungan rasio KPMM. BAB VI RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN Bagian Kesatu Jenis Pasal 54 Restrukturisasi Pembiayaan wajib memenuhi prinsip kehati-hatian dan Prinsip Syariah. Pasal … - 34 - Pasal 55 (1) Restrukturisasi Pembiayaan hanya dapat dilakukan untuk nasabah yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. nasabah mengalami penurunan kemampuan membayar; dan b. nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi. (2) Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara lain melalui: a. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya; b. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan Pembiayaan tanpa menambah sisa pokok kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada Bank, antara lain: 1. perubahan jadwal pembayaran; 2. perubahan jumlah angsuran; 3. perubahan jangka waktu; 4. perubahan nisbah dalam Pembiayaan Mudharabah atau Pembiayaan Musyarakah; 5. perubahan PBH dalam Pembiayaan Mudharabah atau Pembiayaan Musyarakah; dan/atau 6. pemberian potongan; c. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan Pembiayaan yang antara lain: 1. penambahan dana fasilitas Pembiayaan Bank; 2. konversi akad Pembiayaan; dan/atau 3. konversi Pembiayaan menjadi Penyertaan Modal Sementara pada perusahaan nasabah. Pasal 56 Bank dilarang melakukan Restrukturisasi Pembiayaan dengan tujuan untuk: a. memperbaiki kualitas Pembiayaan; atau b. menghindari peningkatan pembentukan PPA, tanpa memperhatikan kriteria nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1). Bagian … - 35 - Bagian Kedua Perlakuan Akuntansi Restrukturisasi Pembiayaan Pasal 57 Bank wajib menerapkan perlakuan akuntansi Restrukturisasi Pembiayaan sesuai dengan ketentuan standar akuntansi keuangan yang berlaku. Bagian Ketiga Kebijakan dan Prosedur Restrukturisasi Pembiayaan Pasal 58 (1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Restrukturisasi Pembiayaan. (2) Kebijakan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Dewan Komisaris. (3) Prosedur Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Direksi. (4) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan kebijakan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang berlaku. Pasal 59 (1) Keputusan Restrukturisasi Pembiayaan wajib dilakukan oleh pihak yang lebih tinggi dari pihak yang memutuskan pemberian Pembiayaan. (2) Dalam hal keputusan pemberian Pembiayaan dilakukan oleh pihak yang memiliki kewenangan tertinggi sesuai anggaran dasar Bank, keputusan Restrukturisasi Pembiayaan dilakukan oleh pihak yang setingkat dengan pihak yang memutuskan pemberian Pembiayaan. (3) Untuk menjaga obyektivitas, Restrukturisasi Pembiayaan wajib dilakukan oleh pejabat atau pegawai yang tidak terlibat dalam pemberian Pembiayaan yang direstrukturisasi. (4) Dalam pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan, pembentukan satuan kerja khusus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing Bank dengan tetap mengikuti ketentuan yang berlaku. Pasal … - 36 - Pasal 60 (1) Bank wajib menganalisis Pembiayaan yang akan direstrukturisasi berdasarkan prospek usaha nasabah dan kemampuan membayar sesuai proyeksi arus kas. (2) Pembiayaan kepada Pihak Terkait yang akan direstrukturisasi wajib dianalisis oleh konsultan keuangan independen yang memiliki izin usaha dan reputasi yang baik. (3) Setiap tahapan dalam pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan dan hasil analisis yang dilakukan Bank dan konsultan keuangan independen terhadap Pembiayaan yang direstrukturisasi wajib didokumentasikan secara lengkap dan jelas. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tetap berlaku untuk restrukturisasi ulang Pembiayaan. Bagian Keempat Penetapan Kualitas Pembiayaan yang Direstrukturisasi Pasal 61 (1) Kualitas Pembiayaan setelah restrukturisasi ditetapkan sebagai berikut: a. paling tinggi sama dengan kualitas Pembiayaan sebelum dilakukan Restrukturisasi Pembiayaan, sepanjang nasabah belum memenuhi kewajiban pembayaran angsuran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah secara berturut turut selama 3 (tiga) periode sesuai waktu yang diperjanjikan; b. dapat meningkat paling tinggi 1 (satu) tingkat dari kualitas Pembiayaan sebelum dilakukan Restrukturisasi, setelah nasabah memenuhi kewajiban pembayaran angsuran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah secara berturut turut selama 3 (tiga) periode sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan c. berdasarkan faktor penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7: 1. setelah penetapan kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada huruf b; atau 2. dalam hal nasabah tidak memenuhi syarat-syarat dan/atau kewajiban pembayaran dalam perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan, baik selama maupun setelah 3 (tiga) kali periode kewajiban pembayaran sesuai waktu yang diperjanjikan. (2) Penetapan … - 37 - (2) Penetapan kualitas Pembiayaan yang direstrukturisasi sampai dengan jumlah Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dilakukan sebagai berikut: a. paling tinggi kurang lancar untuk Pembiayaan yang sebelum dilakukan Restrukturisasi Pembiayaan tergolong diragukan dan macet dan tetap sama untuk Pembiayaan yang tergolong kurang lancar dan dalam perhatian khusus, sampai dengan 3 (tiga) periode kewajiban pembayaran; b. selanjutnya ditetapkan berdasarkan faktor penilaian atas ketepatan pembayaran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah. (3) Kualitas Pembiayaan yang direstrukturisasi dapat ditetapkan berdasarkan faktor penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dalam hal pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan tidak didukung dengan analisis dan dokumentasi yang memadai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60. (4) Dalam hal periode pemenuhan kewajiban angsuran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah kurang dari 1 (satu) bulan, peningkatan kualitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan paling cepat dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak dilakukan Restrukturisasi Pembiayaan. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tetap berlaku untuk restrukturisasi ulang Pembiayaan. (6) Kualitas tambahan Pembiayaan sebagai bagian dari paket Restrukturisasi Pembiayaan ditetapkan sama dengan kualitas Pembiayaan yang direstrukturisasi. Pasal 62 (1) Pembiayaan yang direstrukturisasi dengan pemberian tenggang waktu pembayaran (grace period) angsuran pokok atau margin/bagi hasil/ujrah hanya berlaku untuk: a. pembiayaan berdasarkan akad Murabahah, Istishna’, Ijarah, Ijarah Muntahiya Bittamlik, Mudharabah, dan Musyarakah; dan b. jenis penggunaan untuk modal kerja dan investasi. (2) Pembiayaan yang direstrukturisasi dengan pemberian tenggang waktu pembayaran (grace period) angsuran pokok atau margin/bagi hasil/ujrah ditetapkan memiliki kualitas sebagai berikut: a. selama … - 38 - a. selama tenggang waktu (grace period), kualitas mengikuti kualitas Pembiayaan sebelum dilakukan restrukturisasi; dan b. setelah tenggang waktu (grace period) berakhir, kualitas Pembiayaan mengikuti penetapan kualitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61. Pasal 63 Penetapan kualitas Aset Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 berlaku bagi Pembiayaan yang direstrukturisasi. Bagian Kelima Penyisihan Penghapusan Aset Pembiayaan yang Direstrukturisasi Pasal 64 Bank wajib menghitung dan membentuk PPA terhadap Pembiayaan yang telah direstrukturisasi sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43. Bagian Keenam Restrukturisasi Pembiayaan melalui Penyertaan Modal Sementara Pasal 65 (1) Bank dapat melakukan Restrukturisasi Pembiayaan dalam bentuk Penyertaan Modal Sementara. (2) Penyertaan Modal Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk Pembiayaan yang memiliki kualitas kurang lancar, diragukan, atau macet. Pasal 66 (1) Bank wajib menarik kembali Penyertaan Modal Sementara apabila: a. telah melampaui jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun; atau b. perusahaan nasabah tempat penyertaan telah memperoleh laba kumulatif. (2) Bank wajib menghapus-bukukan Penyertaan Modal Sementara dari neraca Bank apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun. Bagian … - 39 - Bagian Ketujuh Laporan Restrukturisasi Pembiayaan Pasal 67 Bank wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Kuangan seluruh Restrukturisasi Pembiayaan yang telah dilakukan sesuai dengan ketentuan mengenai laporan berkala bank umum syariah. Bagian Kedelapan Koreksi Dalam Rangka Restrukturisasi Pembiayaan Pasal 68 Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan koreksi terhadap penetapan kualitas Pembiayaan, apabila: a. menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan, Restrukturisasi Pembiayaan dilakukan dengan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56; b. Restrukturisasi Pembiayaan tidak didukung dengan dokumen yang lengkap dan analisis yang memadai mengenai kemampuan membayar dan prospek usaha nasabah; c. nasabah tidak melaksanakan perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan (wanprestasi); dan/atau d. Restrukturisasi Pembiayaan tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan. BAB VII HAPUS BUKU DAN HAPUS TAGIH Pasal 69 (1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai hapus buku dan hapus tagih. (2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Dewan Komisaris. (3) Prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Direksi. (4) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang berlaku. Pasal … - 40 - Pasal 70 (1) Hapus buku atau hapus tagih hanya dapat dilakukan terhadap Aset Produktif yang telah didukung perhitungan CKPN sebesar 100% (seratus perseratus) dan kualitasnya telah ditetapkan macet. (2) Hapus buku tidak dapat dilakukan terhadap sebagian Aset Produktif (partial write off). (3) Hapus tagih dapat dilakukan baik untuk sebagian maupun seluruh Aset Produktif. (4) Hapus tagih terhadap sebagian Aset Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dilakukan dalam rangka Restrukturisasi Pembiayaan atau dalam rangka penyelesaian Pembiayaan. Pasal 71 (1) Hapus buku atau hapus tagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 hanya dapat dilakukan setelah Bank melakukan berbagai upaya untuk memperoleh kembali Aset Produktif yang diberikan. (2) Bank wajib menatausahakan dokumen mengenai upaya yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dasar pertimbangan pelaksanaan hapus buku atau hapus hak tagih. (3) Bank wajib menatausahakan data dan informasi mengenai Aset Produktif dalam bentuk Pembiayaan yang telah dihapus buku atau dihapus tagih. BAB VIII RENCANA TINDAK (ACTION PLAN) Pasal 72 (1) Bank wajib menyusun rencana tindak (action plan) untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi, apabila diperkirakan mengalami penurunan rasio KPMM: a. secara signifikan; atau b. mendekati atau kurang dari rasio KPMM sesuai ketentuan yang berlaku. (2) Selain penyusunan rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib menyusun rencana tindak (action plan) apabila terdapat perintah dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Bank … - 41 - (3) Bank wajib menyampaikan rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB IX SANKSI Pasal 73 (1) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), ayat (3), ayat (4), Pasal 4 ayat (1), ayat (3), Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 10 ayat (5), Pasal 11 ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 13 ayat (1), Pasal 16, Pasal 17, Pasal 21 ayat (4), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 29 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), Pasal 30 ayat (2), Pasal 32, Pasal 33, Pasal 35 ayat (1), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 36, Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 39, Pasal 41 ayat (1), Pasal 42 ayat (1), Pasal 43 ayat (5), Pasal 46, Pasal 47 ayat (2), Pasal 48 ayat (2), Pasal 49, Pasal 50 ayat (2), Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 60 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 64, Pasal 66, Pasal 67, Pasal 69 ayat (1), Pasal 71 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 72; Direksi yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 13 ayat (3), Pasal 23 ayat (3), Pasal 38 ayat (2), Pasal 58 ayat (3), Pasal 69 ayat (3); dan Dewan Komisaris yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 23 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 58 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 69 ayat (2) dan ayat (4), dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan Bank; c. pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau d. pencantuman pengurus dalam daftar pihak-pihak yang mendapatkan predikat tidak lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan. (2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank yang melanggar ketentuan Pasal 16 dan Pasal 17 wajib menghitung dan membentuk PPA sebesar 100% (seratus perseratus) terhadap Aset dimaksud. BAB … - 42 - BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 74 (1) Kualitas Pembiayaan yang direstrukturisasi sebelum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku tidak perlu disesuaikan dengan Pasal 61 ayat (1) huruf a dan b. (2) Penetapan kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan faktor penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 paling lambat 3 (tiga) bulan sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 75 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 76 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/13/PBI/2011 tentang Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5205); b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4898) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/9/PBI/2011 tentang Perubahan Atas Penilaian Kualitas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5198), kecuali ketentuan terkait dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal … Pasal 77 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2015. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 18 November 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 19 November 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY Salinan sesuai dengan aslinya Departemen Hukum, OToTAS Tini Kuistini LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 347 End of Page 43 PENJELASAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 16/POJK.03/2014 TENTANG PENILAIAN KUALITAS ASET BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH I. UMUM Perbankan syariah sebagai lembaga keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi dituntut untuk menyajikan laporan keuangan yang akurat, komprehensif, dan mencerminkan kinerja bank secara utuh. Salah satu syarat dalam rangka penyajian laporan keuangan yang akurat dan komprehensif, laporan keuangan dimaksud harus disajikan sesuai dengan ketentuan standar akuntansi keuangan yang berlaku. Untuk menghadapi persaingan usaha yang semakin ketat, bank harus mampu melakukan penanaman dana yang dapat menghasilkan keuntungan optimal dengan tetap berpegang pada prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah. Pengembangan atas instrumen yang dipergunakan dalam penanaman dana tersebut perlu didukung dengan perangkat kebijakan dan pengaturan yang memberikan keleluasan kepada perbankan syariah untuk menawarkan produk dan jasa yang sesuai dengan karakteristik kegiatan usaha nasabah yang dibiayai serta memenuhi prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah. Dalam rangka memelihara kelangsungan usahanya, bank perlu tetap mengelola eksposur risiko kredit pada tingkat yang memadai antara lain dengan menjaga kualitas aset dan tetap melakukan penghitungan penyisihan penghapusan aset. Sebagai tindak lanjut dari diberlakukannya Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Bank Umum Syariah, serta Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah berdasarkan risiko, perlu dilakukan penyempurnaan ketentuan kualitas aset agar ketentuan-ketentuan dimaksud dapat dilaksanakan dengan baik dan sejalan dengan ketentuan lainnya. Sehubungan … - 2 - Sehubungan dengan hal-hal tersebut, perlu pengaturan tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup Jelas Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” dalam penanaman dan/atau penyediaan dana adalah penanaman dan/atau penyediaan dana yang dilakukan antara lain berdasarkan: 1. analisis kelayakan usaha dengan memperhatikan paling sedikit faktor 5C (Character, Capital, Capacity, Condition of economy dan Collateral); dan/atau 2. penilaian terhadap aspek prospek usaha, kinerja (performance), dan kemampuan membayar. Penerapan Prinsip Syariah dalam penanaman dan/atau penyediaan dana antara lain penanaman dan/atau penyediaan dana yang dilakukan tidak mengandung unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “menilai” adalah mengevaluasi kondisi nasabah dan/atau kelayakan usaha yang akan dibiayai. Yang dimaksud dengan “memantau” adalah mengawasi perkembangan kinerja usaha nasabah dari waktu ke waktu. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penilaian kualitas aset yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan antara lain didasarkan pada pemeriksaan atau pengawasan Bank. Ayat … - 3 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Termasuk dalam pengertian “pemberitahuan” adalah pemberitahuan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank dalam pertemuan akhir (exit meeting) pemeriksaan Bank. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh: Bank A memberikan Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Murabahah kepada nasabah X. Hasil penilaian yang dilakukan Bank A untuk masing-masing Aset Produktif adalah sebagai berikut: a. Dalam perhatian khusus, untuk Pembiayaan Mudharabah; dan b. Kurang lancar, untuk Pembiayaan Murabahah. Karena Pembiayaan digunakan untuk membiayai 1 (satu) nasabah, maka kualitas Aset Produktif yang ditetapkan oleh Bank A kepada nasabah X mengikuti yang paling rendah yaitu kurang lancar. Ayat (4) Mengingat faktor penilaian untuk penetapan kualitas Aset Produktif dalam bentuk Pembiayaan berbeda dengan faktor penilaian untuk penetapan kualitas Aset Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah, kualitas untuk kedua jenis Aset Produktif tersebut dapat ditetapkan secara berbeda meskipun untuk nasabah yang sama. Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “dokumen yang lengkap” adalah dokumen penanaman dana yang paling sedikit meliputi aplikasi, analisa, keputusan, dan pemantauan atas penanaman dana serta perubahannya. Ayat … - 4 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Kewajiban audit laporan keuangan oleh akuntan publik dimaksudkan agar laporan keuangan nasabah akurat dan dapat dipercaya, mengingat kondisi keuangan nasabah merupakan salah satu kriteria dalam penetapan kualitas Aset Produktif. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan yang berlaku” antara lain Peraturan Pemerintah mengenai informasi keuangan tahunan perusahaan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “nasabah” adalah nasabah yang wajib melakukan upaya pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat … - 5 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “akumulasi selama periode Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah yang telah berjalan” adalah penjumlahan RBH atau PBH sejak awal Pembiayaan sampai dengan posisi bulan penilaian. Contoh: Pembiayaan Mudharabah diberikan pada September 2014, dengan jangka waktu selama 1 (satu) tahun. Penghitungan akumulasi RBH atau PBH yang dilakukan pada Desember 2014 adalah RBH atau PBH September 2014 diakumulasi sampai dengan RBH atau PBH Desember 2014. Ayat (3) PBH dapat ditetapkan dalam periode tahunan, semesteran, triwulanan, atau bulanan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Penetapan perlu atau tidaknya pembayaran angsuran pokok secara berkala disesuaikan dengan karakteristik usaha nasabah yang dibiayai. Ayat … - 6 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan “langkah-langkah untuk mengurangi risiko tidak terbayarnya pokok Pembiayaan pada saat jatuh tempo” antara lain melakukan evaluasi kinerja usaha nasabah paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 12 Penempatan dana pada Bank Indonesia antara lain SBIS, Fasilitas Simpanan pada Bank Indonesia (FASBIS), dan Penempatan Berjangka (term deposit) Syariah dalam valuta asing. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Surat Berharga Syariah yang diakui berdasarkan nilai pasar” adalah surat berharga yang tersedia untuk dijual (available for sale) dan Surat Berharga Syariah dalam portofolio untuk diperdagangkan (trading). Huruf a Yang dimaksud dengan “aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia” adalah terdapat volume transaksi yang signifikan dan wajar (arms length transaction) di bursa efek di Indonesia dalam 10 (sepuluh) hari kerja terakhir. Huruf b “Informasi nilai pasar secara transparan” dapat diperoleh dari media publikasi yang lazim untuk transaksi bursa efek. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat … - 7 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Surat Berharga Syariah yang diakui berdasarkan harga perolehan” adalah Surat Berharga Syariah yang dimiliki hingga jatuh tempo (hold to maturity). Yang dimaksud dengan “peringkat investasi (investment grade)” yaitu peringkat yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 “Surat Berharga Syariah yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang mendasari” antara lain reksadana dan efek beragun aset. Huruf a Keberadaan aset dapat diyakini apabila aset dimaksud antara lain disimpan di bank kustodian, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), atau Bank Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Huruf a Pembayaran kewajiban Surat Berharga Syariah dikatakan “terkait langsung dengan aset yang mendasari (pass through)” apabila pembayaran pokok dan margin/bagi hasil/ujrah Surat Berharga … - 8 - Berharga Syariah hanya bersumber dari pembayaran pokok dan margin/bagi hasil/ujrah dari aset yang mendasari. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) “Kualitas aset yang mendasari” ditetapkan berdasarkan jenis aset dan kualitas dari aset tersebut. Misalnya, aset dalam bentuk Pembiayaan kepada nasabah dinilai berdasarkan ketentuan kualitas Pembiayaan kepada nasabah, aset dalam bentuk Surat Berharga Syariah dinilai berdasarkan kualitas Surat Berharga Syariah, dan aset dalam bentuk deposito pada bank lain dinilai berdasarkan kualitas Penempatan Pada Bank Lain. Dalam hal aset yang mendasari memiliki kualitas yang berbeda-beda, maka kualitas Surat Berharga Syariah ditetapkan berdasarkan kualitas dari setiap aset yang mendasari dan dihitung secara proporsional. Ayat (3) Huruf a Penggolongan “kualitas Aset Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah” berupa reksadana yang berdasarkan ketentuan penilaian kualitas Aset Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah, dilakukan terhadap reksadana sebagai satu produk dan bukan terhadap setiap jenis aset yang mendasari reksadana dimaksud. Huruf b Penilaian atas “kualitas aset yang mendasari reksadana dan kualitas penerbit reksadana” ditekankan pada: 1. kinerja, likuiditas, dan reputasi penerbit atau pihak terkait lain seperti asuransi; dan 2. diversifikasi portofolio yang dimiliki penerbit yang mempertimbangkan risiko dan prinsip kehati-hatian. Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf … - 9 - Huruf b “Surat Berharga Syariah yang berdasarkan karakteristiknya tidak diperdagangkan di bursa efek dan/atau tidak memiliki peringkat” antara lain wesel ekspor yang diambil alih. Yang dimaksud dengan “jangka waktu sampai dengan atau lebih dari 1 (satu) tahun” adalah jangka waktu perjanjian awal dan tidak termasuk jangka waktu perpanjangan Surat Berharga Syariah tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 20 Termasuk dalam “wesel yang diambil alih” antara lain wesel ekspor dan Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN). Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “investee” adalah perusahaan tempat Bank melakukan Penyertaan Modal. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pemenuhan Prinsip Syariah mengacu pada fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia. Pasal 22 Ayat (1) Perhitungan jangka waktu Penyertaan Modal Sementara dihitung sejak Bank melakukan Penyertaan Modal Sementara. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat … - 10 - Ayat (3) Pemenuhan Prinsip Syariah mengacu pada fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Yang dimaksud dengan “rasio KPMM sesuai ketentuan yang berlaku” adalah rasio KPMM yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk bank di dalam negeri atau instansi yang berwenang untuk bank di luar negeri. Angka 2 Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “linkage program” adalah kerja sama antara Bank dan BPRS, dalam menyalurkan Pembiayaan kepada Usaha Mikro dan Usaha Kecil. Yang dimaksud dengan “linkage program dengan pola executing” adalah Pembiayaan yang diberikan Bank kepada BPRS untuk diterus-pinjamkan kepada nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang risikonya menjadi beban BPRS. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Surat Berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repurchase agreement)” adalah pembelian Surat Berharga Syariah dari pihak lain yang dilengkapi dengan perjanjian … - 11 - perjanjian untuk menjual kembali kepada pihak lain tersebut pada akhir periode dengan harga atau imbalan yang telah disepakati sebelumnya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 27 Tagihan Derivatif antara lain berupa forward termasuk potensi keuntungan karena mark to market dari transaksi spot yang masih berjalan. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pembatalan dapat dilakukan karena kondisi atau alasan tertentu yang dicantumkan dalam klausul perjanjian antara Bank dengan nasabah. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Dalam hal agunan tunai berupa logam mulia, nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai pasar (market value). Huruf b Dalam hal agunan tunai berupa SBSN, nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai pasar SBSN atau dalam hal tidak ada nilai pasar ditetapkan berdasarkan nilai wajar (fair value). Huruf c Yang dimaksud dengan “Pemerintah Indonesia” adalah Pemerintah Pusat. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Pemblokiran dan pengikatan untuk SBIS dan SBSN serta penempatan dana lain pada Bank Indonesia dan Pemerintah saat ini diadministrasikan oleh Bank Indonesia. Ayat … - 12 - Ayat (4) Yang dimaksud dengan “tanpa syarat (unconditional)” adalah apabila: a. manfaat yang diperoleh Bank penyedia dana dari jaminan tidak berkurang secara substansi walaupun terjadi kerugian yang disebabkan oleh faktor-faktor di luar kendali Bank; dan b. tidak memuat persyaratan prosedur, seperti: 1. mempersyaratkan waktu pengajuan wanprestasi (notification of default); pemberitahuan 2. mempersyaratkan kewajiban pembuktian itikad baik (good faith) oleh Bank penyedia dana; dan/atau 3. mempersyaratkan pencairan jaminan dengan cara dilakukannya saling hapus (set-off) terlebih dahulu dengan kewajiban Bank penyedia dana kepada pihak penjamin. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Batas jumlah (limit) diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas yang diberikan (plafon) kepada setiap nasabah atau proyek, baik untuk nasabah individu maupun Kelompok Peminjam dalam hal Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya digunakan untuk membiayai proyek yang sama. Huruf a Yang dimaksud dengan “penyediaan dana lainnya” adalah penerbitan jaminan dan/atau pembukaan letter of credit. Termasuk sebagai “Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya” adalah semua jenis Pembiayaan atau penyediaan dana lainnya yang diberikan kepada semua golongan nasabah. Huruf … - 13 - Huruf b Angka 1 Huruf a) Penilaian kecukupan KPMR meliputi: 1) tata kelola risiko; 2) kerangka manajemen risiko; 3) proses manajemen risiko, kecukupan sumber daya manusia, dan kecukupan sistem informasi manajemen; dan 4) kecukupan sistem pengendalian risiko, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang berlaku mengenai penilaian tingkat kesehatan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Secara umum, predikat penilaian kecukupan KPMR untuk risiko kredit yang sangat memadai (strong) dicerminkan melalui penerapan seluruh komponen KPMR tersebut di atas terhadap seluruh risiko kredit yang efektif untuk memelihara kondisi internal Bank yang sehat. Meskipun terdapat kelemahan minor dalam penilaian kecukupan KPMR, namun dapat diabaikan karena kelemahan tersebut tidak signifikan. Huruf b) Cukup jelas. Huruf c) Yang dimaksud dengan “peringkat komposit” adalah peringkat komposit sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai penilaian tingkat kesehatan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang berlaku. Angka … - 14 - Angka 2 Huruf a) Penilaian kecukupan KPMR meliputi: 1) tata kelola risiko; 2) kerangka manajemen risiko; 3) proses manajemen risiko, kecukupan sumber daya manusia, dan kecukupan sistem informasi manajemen; dan 4) kecukupan sistem pengendalian risiko, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai penilaian tingkat kesehatan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang berlaku. Secara umum, “predikat penilaian kecukupan KPMR untuk risiko kredit memadai (satisfactory)” dicerminkan melalui penerapan seluruh komponen KPMR terhadap seluruh risiko kredit yang cukup efektif untuk memelihara kondisi internal Bank yang sehat. Meskipun terdapat beberapa kelemahan minor dalam penilaian kecukupan KPMR, namun kelemahan tersebut dapat diselesaikan pada aktivitas bisnis normal. Huruf b) Cukup jelas. Huruf c) Yang dimaksud dengan “peringkat komposit” adalah peringkat komposit sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai penilaian tingkat kesehatan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang berlaku. Huruf … - 15 - Huruf c Yang dimaksud dengan “penyediaan dana lain” adalah penerbitan jaminan atau pembukaan letter of credit. Batas pemberian fasilitas Pembiayaan dan penyediaan dana lain diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas yang diterima oleh setiap nasabah baik untuk nasabah individu maupun Kelompok Peminjam yang diterima dari 1 (satu) Bank. Yang dimaksud dengan “daerah tertentu” adalah daerah yang menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan memerlukan penanganan khusus untuk mendorong pembangunan ekonomi di daerah yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Bank dapat menggunakan hasil self assessment Tingkat Kesehatan (TKS) bank sepanjang tidak ada permintaan untuk prudential meeting terkait dengan hasil penilaian tingkat kesehatan bank. Dalam hal terjadi penyesuaian penilaian posisi Desember atau Juni oleh Otoritas Jasa Keuangan, yang dipergunakan oleh bank adalah posisi penilaian terkini yang telah disesuaikan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Dalam hal terjadi penyesuaian penilaian posisi Desember atau Juni oleh Otoritas Jasa Keuangan, yang dipergunakan adalah posisi penilaian terkini yang telah disesuaikan. Ayat (6) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “50 (lima puluh) nasabah terbesar Bank Umum Syariah” adalah 50 (lima puluh) nasabah terbesar BUS secara individu. Yang … - 16 - Yang dimaksud dengan “50 (lima puluh) nasabah terbesar Unit Usaha Syariah” adalah 50 (lima puluh) nasabah terbesar dari Unit Usaha Syariah, tidak termasuk nasabah dari bank induknya. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) “Kebijakan dan prosedur tertulis” termasuk mekanisme dan persyaratan pengambilalihan AYDA. Ayat (2) Pengaturan ini dimaksudkan agar Bank melakukan kegiatan usaha sesuai fungsinya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Upaya penyelesaian antara lain dapat dilakukan secara aktif dengan memasarkan dan menjual AYDA. Ayat (3) Dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan informasi mengenai upaya pemasaran dan penjualan AYDA. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “net realizable value” adalah nilai wajar agunan dikurangi estimasi biaya pelepasan. Ayat (2) Pencatatan mengacu kepada standar akuntansi keuangan dan pedoman akuntansi yang berlaku bagi Bank. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat … - 17 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Pengaturan ini dimaksudkan agar Bank segera menjual AYDA dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sesuai Undang-Undang mengenai perbankan syariah dan bukan untuk memiliki agunan lebih dari jangka waktu tersebut. Ayat (2) Dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan informasi mengenai upaya pemasaran dan penjualan AYDA. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Ayat (1) Yang termasuk dalam “Properti Terbengkalai” antara lain tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk kegiatan usaha Bank seperti gedung dan/atau tanah yang disewakan. Tidak termasuk dalam pengertian “Properti Terbengkalai” adalah properti yang dikategorikan memiliki klasifikasi sebagai aset Bank dalam Pembiayaan Ijarah dan Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik sesuai fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia dan ketentuan yang berlaku. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat … - 18 - Ayat (3) dan Ayat (4) Yang dimaksud dengan “digunakan untuk kegiatan usaha Bank secara mayoritas” adalah Bank menggunakan porsi terbesar, yaitu lebih dari 50% (lima puluh perseratus). Pengukuran bagian yang digunakan untuk kegiatan usaha Bank dilakukan secara terpisah untuk masing-masing properti. Contoh: Properti A digunakan untuk kegiatan usaha Bank sebesar 75%. Properti B digunakan untuk kegiatan usaha Bank sebesar 35%. Properti C seluruhnya tidak digunakan untuk kegiatan usaha Bank. Dalam hal ini, properti A seluruhnya tidak digolongkan sebagai Properti Terbengkalai, properti B digolongkan sebagai Properti Terbengkalai sebesar 65% dan properti C seluruhnya digolongkan sebagai Properti Terbengkalai. Pasal 39 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “upaya penyelesaian” antara lain upaya pemasaran dan penjualan Properti Terbengkalai. Pengaturan ini dimaksudkan agar Bank melakukan kegiatan usaha sesuai fungsinya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Ayat (2) Dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan informasi mengenai upaya pemasaran dan penjualan Properti Terbengkalai. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Upaya penyelesaian diperlukan agar seluruh transaksi Bank diakui dan dicatat berdasarkan karakteristik dari transaksi tersebut dan mengurangi kemungkinan terjadinya rekayasa transaksi yang dapat mengakibatkan kerugian bagi Bank. Ayat … - 19 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Rekening Antar Kantor” adalah penilaian akun Rekening Antar Kantor di sisi aset tanpa dilakukan set off dengan Rekening Antar Kantor di sisi pasiva, mengingat pihak lawan transaksi belum dapat dipastikan sebagai pihak atau kantor yang sama. Pasal 42 Ayat (1) Bank diwajibkan menghitung dan membentuk PPA baik untuk Aset Produktif maupun Aset Non Produktif dalam rangka memenuhi prinsip kehati-hatian. Namun sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku, hasil perhitungan PPA tidak dicatat dan dilaporkan dalam laporan keuangan Bank. Perhitungan PPA terhadap Aset Non Produktif dimaksudkan pula untuk mendorong Bank melakukan upaya penyelesaian, dan untuk antisipasi terhadap potensi kerugian. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pencatatan mengacu pada ketentuan standar akuntansi keuangan dan pedoman akuntansi yang berlaku bagi Bank. Ayat (5) Penyusutan atau amortisasi untuk Pembiayaan Ijarah atau Ijarah Muntahiya Bittamlik mengacu pada ketentuan standar akuntansi keuangan dan pedoman akuntansi yang berlaku bagi Bank. Kebijakan penyusutan atau amortisasi yang dipilih harus konsisten dan mencerminkan pola konsumsi yang diharapkan dari manfaat ekonomi di masa depan dari obyek Ijarah. Ayat … - 20 - Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Huruf a Kriteria “aktif diperdagangkan di bursa efek” adalah terdapat volume transaksi yang signifikan dan wajar (arms length transaction) di bursa efek di Indonesia dalam 10 (sepuluh) hari kerja terakhir. Peringkat investasi didasarkan pada peringkat yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat dalam 1 (satu) tahun terakhir. Apabila peringkat yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat dalam 1 (satu) tahun terakhir tidak tersedia, Surat Berharga Syariah dianggap tidak memiliki peringkat. Huruf b Pengikatan agunan secara hak tanggungan sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak preferensi terhadap agunan dimaksud. Huruf c Pengikatan agunan secara hak tanggungan sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak preferensi terhadap agunan dimaksud. Pemasangan hak tanggungan atas tanah beserta mesin yang berada diatasnya harus dicantumkan dengan jelas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Huruf d Pengikatan agunan secara hipotek sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak preferensi terhadap agunan dimaksud. Huruf e Pengikatan agunan secara fidusia sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada masalah … - 21 - masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak preferensi terhadap agunan dimaksud. Huruf f Yang dimaksud dengan “resi gudang” adalah resi gudang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai sistem resi gudang. Pasal 46 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “diikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga memberikan hak preferensi” adalah pengikatan yang dilakukan dengan hak tanggungan, hipotek, gadai, dan fidusia. Huruf c Yang dimaksud dengan “banker’s clause” adalah klausula yang memberikan hak kepada Bank untuk menerima uang pertanggungan dalam hal terjadi pembayaran klaim. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Batasan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas yang diberikan kepada nasabah atau Kelompok Peminjam. Penilaian agunan oleh penilai intern Bank mengacu kepada standar penilaian yang digunakan oleh penilai independen. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 48 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “peringkat investasi” adalah peringkat investasi … - 22 - investasi sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Otoritas Jasa Keuangan. Huruf b Yang dimaksud dengan “penilaian” adalah pernyataan tertulis dari penilai independen atau penilai intern Bank mengenai taksiran dan pendapat atas nilai ekonomis dari agunan berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta obyektif dan relevan menurut metode dan prinsip-prinsip yang berlaku umum yang ditetapkan oleh asosiasi dan/atau institusi yang berwenang. Huruf c Termasuk tanah dan/atau bangunan bukan untuk tempat tinggal antara lain rumah toko (ruko), tanah perkebunan, dan tanah pertambangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Hal-hal yang dapat dijadikan pertimbangan antara lain berdasarkan data historis nilai realisasi agunan, yang pada umumnya jauh lebih rendah dari nilai agunan yang telah diperhitungkan sebagai pengurang PPA dan/atau terdapat gap yang besar antara hasil penilaian dengan perhitungan present value dari agunan. Pasal 49 Nilai agunan dapat mengalami perubahan sesuai hasil penilaian terkini antara lain karena terjadinya perubahan nilai pasar, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), dan perubahan fisik agunan. Diperhitungkannya agunan sebagai pengurang PPA yang wajib dihitung oleh Bank terkait dengan fungsi agunan sebagai alat mitigasi risiko kredit. Sehubungan dengan itu, agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang PPA adalah agunan yang dapat direalisasi oleh Bank pada saat terjadi wanprestasi atas penyediaan dana yang diberikan. Contoh: Penilaian agunan dilakukan dalam 12 (dua belas) bulan terakhir dengan hasil penilaian agunan sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) … - 23 - rupiah). Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam perhitungan PPA: 70% x Rp200.000.000.000,00 = Rp140.000.000.000,00. Apabila nilai pengikatan terhadap agunan dimaksud adalah Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam perhitungan PPA adalah Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Termasuk dalam pemberitahuan adalah pemberitahuan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank dalam pertemuan akhir (exit meeting) dalam rangka pemeriksaan Bank dan/atau prudential meeting dalam rangka penilaian tingkat kesehatan Bank. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Ayat (1) Pembentukan PPA Aset Produktif tercermin dalam laporan CKPN yang disampaikan oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan melalui Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan BUS dan UUS. Ayat (2) Contoh: Hasil perhitungan PPA wajib dibentuk atas Aset Produktif adalah sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) dan Bank telah membentuk CKPN sebesar Rp180.000.000.000,00 (seratus delapan puluh miliar rupiah), selisih hasil perhitungan PPA dengan CKPN sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) menjadi pengurang modal dalam perhitungan rasio KPMM. Ayat … - 24 - Ayat (3) Contoh: 1. Hasil perhitungan PPA wajib dibentuk atas Aset Produktif sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) dan Bank telah membentuk CKPN sebesar perhitungan PPA yaitu Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah), maka hasil perhitungan PPA tidak mempengaruhi perhitungan rasio KPMM. 2. Hasil perhitungan PPA atas Aset Produktif sebesar Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar rupiah) dan Bank telah membentuk CKPN sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah), selisih lebih hasil perhitungan PPA dengan CKPN yang telah dibentuk tidak mempengaruhi perhitungan rasio KPMM. Pasal 53 Contoh: Hasil perhitungan PPA wajib dibentuk atas Aset Non Produktif adalah sebesar Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah), Bank wajib memperhitungkan seluruh hasil perhitungan PPA dimaksud atas Aset Non Produktif sebagai pengurang dalam perhitungan rasio KPMM. Apabila terdapat cadangan kerugian penurunan nilai yang telah dibentuk Bank di neraca atas Aset Non Produktif sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku, perhitungan PPA atas Aset Non Produktif dilakukan terhadap nilai Aset Non Produktif setelah dikurangi kerugian penurunan nilai. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Ayat (1) Restrukturisasi Pembiayaan untuk nasabah Pembiayaan non produktif antara lain didasarkan pada ada tidaknya sumber pembayaran angsuran yang jelas dari nasabah setelah dilakukan restrukturisasi. Huruf … - 25 - Huruf a Yang dimaksud dengan “nasabah mengalami penurunan kemampuan membayar” adalah nasabah yang tidak dapat memenuhi kewajibannya secara penuh tidak termasuk pemberian potongan tagihan Murabahah dalam rangka apresiasi untuk nasabah yang membayar cicilan tepat waktu. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 “Perlakuan akuntansi Restrukturisasi Pembiayaan” antara lain diterapkan untuk: a. pengakuan kerugian yang timbul; dan b. pengakuan pendapatan margin/bagi hasil/ujrah dan penerimaan lain. Pasal 58 Ayat (1) Kebijakan dan prosedur Restrukturisasi Pembiayaan merupakan bagian dari kebijakan manajemen risiko Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang berlaku. Penyusunan Prosedur Restrukturisasi Pembiayaan yang terkait dengan aspek pemenuhan Prinsip Syariah dilakukan dengan mempertimbangkan opini Dewan Pengawas Syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal … - 26 - Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Ayat (1) Contoh: Bank Z melakukan Restrukturisasi Pembiayaan kepada nasabah A yang kualitasnya diragukan. Setelah direstrukturisasi penetapan kualitas Pembiayaan nasabah A adalah sebagai berikut: a. Sebelum nasabah dapat memenuhi kewajiban pembayaran angsuran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah selama 3 (tiga) kali berturut turut sesuai waktu yang diperjanjikan, penetapan kualitas Pembiayaan paling tinggi diragukan. b. Setelah nasabah dapat memenuhi kewajiban pembayaran angsuran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah selama 3 (tiga) kali berturut-turut sesuai waktu yang diperjanjikan, ditetapkan kualitas Pembiayaan 1 (satu) tingkat lebih tinggi menjadi kurang lancar. c. Selanjutnya penetapan kualitas Pembiayaan dilakukan berdasarkan 3 (tiga) faktor penilaian Pembiayaan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal … - 27 - Pasal 62 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “tenggang waktu pembayaran (grace period)” adalah masa tenggang yang diberikan Bank kepada nasabah untuk tidak melakukan pembayaran angsuran pokok atau margin/bagi hasil/ujrah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud “laba kumulatif” adalah laba perusahaan setelah diperhitungkan dengan kerugian tahun-tahun sebelumnya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Dalam “penetapan kualitas Pembiayaan” termasuk melakukan penyesuaian perhitungan PPA. Pasal … - 28 - Pasal 69 Ayat (1) Kebijakan dan prosedur hapus buku dan hapus tagih antara lain memuat kriteria, persyaratan, limit, kewenangan dan tanggung jawab serta tata cara hapus buku dan hapus tagih. Yang dimaksud dengan “hapus buku” adalah tindakan administratif Bank untuk menghapus buku Pembiayaan yang memiliki kualitas macet dari neraca sebesar kewajiban nasabah tanpa menghapus atau menghilangkan hak tagih Bank kepada nasabah. Yang dimaksud dengan “hapus tagih” adalah tindakan Bank menghapus kewajiban nasabah yang tidak dapat diselesaikan untuk selamanya (hak tagih menjadi hapus). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 70 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pelaksanaan hapus buku dilakukan terhadap seluruh penyediaan dana yang diberikan dan diikat dalam satu perjanjian. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal … - 29 - Pasal 71 Ayat (1) Upaya yang dapat dilakukan antara lain dalam bentuk penagihan kepada nasabah, Restrukturisasi Pembiayaan, meminta pembayaran dari pihak yang memberikan jaminan atas Aset Produktif, dan/atau penyelesaian Pembiayaan melalui pengambilalihan agunan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5625
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 16/POJK.03/2014 </reg_id> <reg_title> PENILAIAN KUALITAS ASET BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title> <set_date> 18 November 2014 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2015 </effective_date> <issued_date> 19 November 2014 </issued_date> <replaced_reg> '10/18/PBI/2008 | kecuali ketentuan terkait dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah', '13/9/PBI/2011 | kecuali ketentuan terkait dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah', '13/13/PBI/2011' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 47 /POJK.03/2017 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN DANA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN UNTUK PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang: a. bahwa untuk meningkatkan kinerja dan mengembangkan industri Bank Perkreditan Rakyat atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang sehat diperlukan sumber daya manusia yang profesional; b. bahwa untuk membentuk sumber daya manusia yang profesional, Bank Perkreditan Rakyat atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah wajib meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan; c. bahwa untuk melaksanakan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah diperlukan biaya dan persiapan yang baik dan terencana; - 2 - d. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan, diperlukan pengaturan kembali kewajiban penyediaan dana pendidikan dan pelatihan untuk pengembangan sumber daya manusia Bank Perkreditan Rakyat atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah; e. bahwa dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu untuk menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Kewajiban Penyediaan Dana Pendidikan Dan Pelatihan Untuk Pengembangan Sumber Daya Manusia Bank Perkreditan Rakyat atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN DANA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN UNTUK PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya disingkat BPRS adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 3. Sumber Daya Manusia yang selanjutnya disingkat SDM adalah: a. anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR atau BPRS; b. anggota Dewan Pengawas Syariah BPRS; dan c. pegawai BPR atau BPRS. 4. Direksi: a. bagi BPR dan BPRS berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 - 4 - Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada BPR yang belum berubah bentuk badan hukum menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 5. Dewan Komisaris: a. bagi BPR dan BPRS berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; - 5 - 2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada BPR yang belum berubah bentuk badan hukum menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 6. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah dewan yang bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan BPRS agar sesuai dengan Prinsip Syariah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 7. Dana Pendidikan dan Pelatihan adalah dana yang disediakan oleh BPR atau BPRS untuk pengembangan Sumber Daya Manusia melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan di bidang perbankan meliputi operasional, pemasaran, dan manajemen BPR atau BPRS. - 6 - 8. Rencana Bisnis adalah dokumen tertulis yang menggambarkan rencana pengembangan dan kegiatan usaha BPR atau BPRS dalam jangka waktu tertentu serta strategi untuk merealisasikan rencana tersebut sesuai dengan target dan waktu yang ditetapkan. BAB II DANA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Pasal 2 (1) BPR dan BPRS wajib menyediakan Dana Pendidikan dan Pelatihan. (2) Dana Pendidikan dan Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan paling sedikit 5% (lima persen) dari realisasi biaya SDM tahun sebelumnya. Pasal 3 (1) BPR dan BPRS wajib memenuhi kewajiban penyediaan Dana Pendidikan dan Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) paling sedikit 5% (lima persen) setiap tahun. (2) Dalam hal BPR dan BPRS telah memenuhi kewajiban penyediaan Dana Pendidikan dan Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), namun belum mencukupi untuk mengikutsertakan SDM dalam pendidikan dan pelatihan, BPR dan BPRS wajib meningkatkan Dana Pendidikan dan Pelatihan sehingga dapat mengikutsertakan paling sedikit 1 (satu) orang dalam pendidikan dan pelatihan. Pasal 4 (1) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan yang dibiayai dengan Dana Pendidikan dan Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat dilakukan dengan cara: a. dilaksanakan oleh BPR atau BPRS sendiri; b. ikut serta pada pendidikan yang dilakukan oleh BPR atau BPRS lain; - 7 - c. bersama-sama dengan BPR atau BPRS lain menyelenggarakan pendidikan; d. mengirim SDM untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan perbankan; dan/atau e. mengikutsertakan SDM pada program sertifikasi kompetensi kerja SDM BPR atau BPRS. (2) Program sertifikasi kompetensi kerja bagi SDM BPR atau BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e harus diselenggarakan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai sertifikasi kompetensi kerja bagi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR dan BPRS. (3) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diselenggarakan oleh pihak yang mempunyai kemampuan dan/atau pengetahuan di bidang perbankan baik yang berasal dari intern maupun ekstern BPR atau BPRS. (4) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tenaga pengajar yang telah berpengalaman di bidang perbankan dan/atau bidang keuangan lainnya. Pasal 5 (1) Direksi wajib menyusun rencana pendidikan dan pelatihan tahunan dengan memperhatikan asas prioritas dan pemerataan pengetahuan dan keterampilan SDM. (2) Rencana pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh persetujuan Dewan Komisaris BPR atau BPRS. (3) Rencana pendidikan dan pelatihan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam Rencana Bisnis BPR atau BPRS sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Rencana Bisnis BPR dan BPRS. - 8 - Pasal 6 BPR dan BPRS yang sampai dengan akhir tahun belum merealisasikan seluruh Dana Pendidikan dan Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib menambahkan sisa Dana Pendidikan dan Pelatihan yang belum direalisasikan tersebut ke dalam Dana Pendidikan dan Pelatihan tahun berikutnya. BAB III LAPORAN Pasal 7 Realisasi rencana pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam laporan realisasi Rencana Bisnis dan laporan pengawasan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Rencana Bisnis BPR dan BPRS. Pasal 8 Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 7 disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan alamat sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Rencana Bisnis BPR dan BPRS. BAB IV SANKSI Pasal 9 BPR atau BPRS yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), dan Pasal 6 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. - 9 - BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 10 Realisasi rencana pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 untuk periode tahun 2017 dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam Laporan Pelaksanaan Rencana Kerja oleh Dewan Komisaris BPR dan BPRS sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/60/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Rencana Kerja dan Laporan Pelaksanaan Rencana Kerja Bank Perkreditan Rakyat. BAB VI PENUTUP Pasal 11 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/14/PBI/2003 tentang Kewajiban Penyediaan Dana Pendidikan dan Pelatihan untuk Pengembangan Sumber Daya Manusia Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 90 DPBR/ BPS, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4308 DPBR/DPS), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. - 10 - Pasal 12 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 153 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 47/POJK.03/2017 </reg_id> <reg_title> KEWAJIBAN PENYEDIAAN DANA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN UNTUK PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH </reg_title> <set_date> 12 Juli 2017 </set_date> <effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date> <issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date> <replaced_reg> '5/14/PBI/2003' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 25/POJK.04/2014 TENTANG PERIZINAN WAKIL MANAJER INVESTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas Wakil Manajer Investasi dan mekanisme pengawasan terhadap pemegang Izin Wakil Manajer Investasi, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perizinan Wakil Manajer Investasi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERIZINAN WAKIL MANAJER INVESTASI. BAB I... -2- BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali Perusahaan Asuransi, Dana Pensiun, dan Bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Wakil Manajer Investasi adalah orang perseorangan yang bertindak mewakili kepentingan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Manajer Investasi. 3. Izin orang perseorangan sebagai Wakil Manajer Investasi, yang selanjutnya disebut Izin Wakil Manajer Investasi, adalah izin yang diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada orang perseorangan untuk bertindak mewakili kepentingan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Manajer Investasi. BAB II PERSYARATAN DAN PERIZINAN WAKIL MANAJER INVESTASI Pasal 2 Wakil Manajer Investasi wajib memiliki Izin Wakil Manajer Investasi dari Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 3 Kewajiban untuk memiliki Izin Wakil Manajer Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak berlaku bagi: a. orang... -3- a. orang perseorangan yang bekerja pada Manajer Investasi namun tidak dipersyaratkan untuk memiliki Izin Wakil Manajer Investasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai pedoman pelaksanaan fungsi-fungsi Manajer Investasi; dan/atau b. pihak yang bekerja untuk kepentingan Manajer Investasi terbatas dalam rangka mengiklankan produk Manajer Investasi dan tidak mewakili Manajer Investasi dalam menjual produk dan/atau melakukan perikatan dengan nasabah dan/atau calon nasabah meskipun iklan tersebut ditayangkan di televisi atau surat kabar. Pasal 4 Wakil Manajer Investasi wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Persyaratan integritas yang meliputi: 1. memiliki akhlak dan moral yang baik; 2. cakap melakukan perbuatan hukum; 3. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang jasa keuangan; 4. tidak pernah dikenakan sanksi pencabutan izin, pembatalan persetujuan, dan/atau pembatalan pendaftaran oleh Otoritas Jasa Keuangan selama 3 (tiga) tahun terakhir; 5. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi pengurus yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; dan 6. memiliki komitmen yang tinggi untuk mematuhi peraturan perundang-undangan. b. Persyaratan kompetensi yang meliputi: 1. berpendidikan... -4- 1. berpendidikan paling rendah setingkat Diploma Tiga (D3); 2. memiliki pengetahuan dan keahlian yang memadai di bidang Pasar Modal, dibuktikan dengan: a) memiliki sertifikat keahlian sebagai Wakil Manajer Investasi yang diakui Otoritas Jasa Keuangan dari lembaga pendidikan khusus di bidang Pasar Modal berdasarkan rekomendasi dari Komite Standar Keahlian; atau b) memiliki pengalaman kerja pada institusi pengawas Pasar Modal dan/atau organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang tentang Pasar Modal untuk mengatur dan/atau mengawasi industri Pasar Modal dengan ketentuan: 1) paling kurang 2 (dua) tahun pada posisi manajerial; atau 2) paling kurang 5 (lima) tahun pada posisi pelaksana, dalam bidang tugas dan fungsi yang terkait pengaturan dan/atau pengawasan bidang pengelolaan investasi. c. bekerja pada lembaga jasa keuangan di Indonesia, bagi warga negara asing; dan d. tidak bekerja pada lebih dari satu Perusahaan Efek dan/atau lembaga jasa keuangan lainnya. Pasal 5 Sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 2 huruf a) dapat digunakan untuk pengajuan permohonan Izin Wakil Manajer Investasi sepanjang berumur tidak lebih dari 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diterbitkan sampai dengan saat pengajuan izin. BAB III... -5- BAB III TATA CARA PERMOHONAN IZIN WAKIL MANAJER INVESTASI Pasal 6 (1) Permohonan untuk memperoleh Izin Wakil Manajer Investasi diajukan oleh pemohon dalam bentuk dokumen cetak kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format surat permohonan Izin Wakil Manajer Investasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem elektronik permohonan Izin Wakil Manajer Investasi, permohonan Izin Wakil Manajer Investasi dapat diajukan melalui sistem elektronik tersebut. (3) Permohonan Izin Wakil Manajer Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) wajib disertai kelengkapan dokumen sebagai berikut: a. salinan ijazah pendidikan formal terakhir; b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor yang masih berlaku; c. daftar riwayat hidup terbaru yang ditandatangani oleh pemohon sesuai dengan format daftar riwayat hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; d. bukti telah memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang Pasar Modal berupa: 1. fotokopi sertifikat keahlian sebagai Wakil Manajer Investasi yang diakui Otoritas Jasa Keuangan dari lembaga pendidikan khusus di... -6- di bidang Pasar Modal berdasarkan rekomendasi dari Komite Standar Keahlian; atau 2. fotokopi surat keterangan pengalaman kerja dari institusi pengawas Pasar Modal dan/atau organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang tentang Pasar Modal untuk mengatur dan/atau mengawasi industri Pasar Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 2 huruf b). e. surat keterangan kerja dari lembaga jasa keuangan di Indonesia, bagi warga negara asing; f. pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan latar belakang berwarna merah sebanyak 2 (dua) lembar; g. surat pernyataan bahwa pemohon tidak akan bekerja pada lebih dari satu Perusahaan Efek dan/atau lembaga jasa keuangan lainnya sesuai dengan format surat pernyataan tidak akan bekerja pada lebih dari satu Perusahaan Efek dan/atau lembaga jasa keuangan lainnya sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; h. surat pernyataan yang menyatakan bahwa pemohon: 1. memiliki akhlak dan moral yang baik; 2. cakap melakukan perbuatan hukum; 3. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang jasa keuangan; 4. tidak... -7- 4. tidak pernah dikenakan sanksi pencabutan izin, pembatalan persetujuan, dan/atau pembatalan pendaftaran oleh Otoritas Jasa Keuangan selama 3 (tiga) tahun terakhir; 5. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi pengurus yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; dan 6. memiliki komitmen yang tinggi untuk mematuhi peraturan perundang-undangan; sesuai dengan format surat pernyataan integritas sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; i. surat referensi dan/atau rekomendasi dari perusahaan tempat pemohon bekerja sesuai dengan format surat referensi kerja sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini (jika ada); j. fotokopi izin mempekerjakan tenaga asing yang diterbitkan oleh instansi berwenang, bagi warga negara asing yang bekerja pada lembaga jasa keuangan; k. jawaban atas daftar pertanyaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; l. bukti pembayaran biaya perizinan Wakil Manajer Investasi; m. surat keterangan perbedaan nama dari Pejabat/instansi berwenang, jika terdapat perbedaan nama pemohon dengan dokumen yang... -8- yang dilampirkan; dan n. surat keterangan domisili, jika terdapat perbedaan alamat domisili dengan alamat Kartu Tanda Penduduk. (4) Izin Wakil Manajer Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Otoritas Jasa Keuangan apabila pemohon telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 7 Dalam rangka memproses permohonan Izin Wakil Manajer Investasi, Otoritas Jasa Keuangan berwenang: a. melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen yang disampaikan oleh pemohon; dan/atau b. meminta keterangan kepada pemohon, untuk memastikan pemenuhan atas persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Pasal 8 (1) Izin Wakil Manajer Investasi diberikan Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan Izin Wakil Manajer Investasi yang memenuhi syarat. (2) Dalam hal permohonan Izin Wakil Manajer Investasi pada saat diterima tidak memenuhi syarat, paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa: a. permohonan belum memenuhi persyaratan; atau b. permohonan ditolak karena tidak memenuhi persyaratan. (3) Pemohon wajib melengkapi kekurangan yang dipersyaratkan dalam surat pemberitahuan sebagaimana... -9- sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling lambat 45 (empat puluh lima) hari setelah tanggal surat pemberitahuan. (4) Penyampaian perubahan dokumen, tambahan informasi, dan/atau kelengkapan kekurangan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dianggap telah diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal diterimanya perubahan dokumen, tambahan informasi, dan/atau kelengkapan kekurangan persyaratan tersebut. (5) Sejak diterimanya perubahan dokumen, tambahan informasi, dan/atau kelengkapan kekurangan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), permohonan izin tersebut dianggap baru diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan dan diproses sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan yang dipersyaratkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dianggap membatalkan permohonan Izin Wakil Manajer Investasi yang sudah diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan. BAB IV MASA BERLAKU DAN PERPANJANGAN IZIN WAKIL MANAJER INVESTASI Pasal 9 (1) Izin Wakil Manajer Investasi mempunyai masa berlaku selama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang. (2) Izin Wakil Manajer Investasi tidak berlaku jika terjadi kondisi: a. masa berlakunya telah berakhir; atau b. setelah masa berlakunya berakhir, persetujuan perpanjangan izin belum diberikan Otoritas Jasa Keuangan meskipun permohonan perpanjangan Izin Wakil Manajer Investasi telah... ... -10- telah disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum masa berlakunya berakhir. Pasal 10 (1) Permohonan perpanjangan Izin Wakil Manajer Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum masa berlaku izin dimaksud berakhir dengan ketentuan paling cepat 90 (sembilan puluh) hari sebelum masa berlaku izin berakhir. (2) Permohonan perpanjangan Izin Wakil Manajer Investasi tidak dapat dilakukan setelah masa berlaku izin dimaksud berakhir. (3) Permohonan perpanjangan Izin Wakil Manajer Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai dengan format surat permohonan perpanjangan Izin Wakil Manajer Investasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan disertai kelengkapan dokumen sebagai berikut: a. daftar riwayat hidup terbaru yang telah ditandatangani sesuai dengan format daftar riwayat hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, jika ada perubahan daftar riwayat hidup pada saat permohonan izin; b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor yang masih berlaku; c. fotokopi izin mempekerjakan tenaga asing yang diterbitkan oleh instansi berwenang, bagi warga negara asing yang bekerja pada lembaga jasa keuangan; d. pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan latar belakang berwarna merah sebanyak... -11- sebanyak 1 (satu) lembar; e. salinan ijazah pendidikan formal terakhir (dalam hal terjadi perubahan); f. surat keterangan kerja dari perusahaan yang melakukan kegiatan pengelolaan investasi tempat Wakil Manajer Investasi bekerja (jika ada); g. fotokopi kartu anggota asosiasi yang mewadahi Wakil Manajer Investasi yang telah mendapatkan pengakuan dari Otoritas Jasa Keuangan yang masih berlaku; h. fotokopi dokumen pendidikan berkelanjutan yang dilaksanakan antara tanggal berlaku hingga tanggal berakhirnya Izin Wakil Manajer Investasi; dan i. surat keterangan domisili, jika terdapat perbedaan alamat domisili dengan alamat Kartu Tanda Penduduk. (4) Kewajiban menyertakan fotokopi kartu anggota asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf g mulai berlaku jika telah terdapat asosiasi yang mewadahi Wakil Manajer Investasi yang telah mendapatkan pengakuan dari Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 11 (1) Perpanjangan Izin Wakil Manajer Investasi diberikan Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak diterimanya permohonan perpanjangan Izin Wakil Manajer Investasi yang memenuhi syarat. (2) Dalam hal permohonan perpanjangan Izin Wakil Manajer Investasi pada saat diterima tidak memenuhi syarat, paling lambat 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak diterimanya permohonan, Otoritas... -12- Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa: a. permohonan belum memenuhi persyaratan; atau b. permohonan ditolak karena tidak memenuhi persyaratan. (3) Penyampaian perubahan dokumen, tambahan informasi, dan/atau kelengkapan kekurangan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dianggap telah diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal diterimanya perubahan dokumen, tambahan informasi, dan/atau kelengkapan kekurangan persyaratan tersebut. (4) Pemohon perpanjangan Izin Wakil Manajer Investasi yang tidak melengkapi kekurangan yang dipersyaratkan sebelum masa berlaku Izin Wakil Manajer Investasi berakhir, dianggap membatalkan permohonan perpanjangan Izin Wakil Manajer Investasi yang sudah diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 12 Dalam hal masa berlaku Izin Wakil Manajer Investasi telah berakhir namun permohonan perpanjangan telah disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum masa berlaku izin berakhir, Izin Wakil Manajer Investasi tidak berlaku hingga terdapat persetujuan perpanjangan izin dari Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 13 Masa berlaku Izin Wakil Manajer Investasi yang mendapatkan persetujuan perpanjangan adalah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal persetujuan diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 14... -13- Pasal 14 Apabila pada saat permohonan perpanjangan Izin Wakil Manajer Investasi, pemegang izin masih mempunyai kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan dan/atau keputusan Otoritas Jasa Keuangan yang belum dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan berhak menolak permohonan perpanjangan Izin Wakil Manajer Investasi dimaksud. BAB V KEWAJIBAN DAN LARANGAN BAGI WAKIL MANAJER INVESTASI Bagian Kesatu Kewajiban Pasal 15 Wakil Manajer Investasi wajib: a. memahami dan mematuhi peraturan perundang- undangan Pasar Modal Indonesia; b. bertindak dan bersikap profesional serta mempunyai wawasan yang luas di bidang Pasar Modal; dan c. menjadi anggota asosiasi yang mewadahi Wakil Manajer Investasi yang telah mendapatkan pengakuan dari Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 16 (1) Wakil Manajer Investasi wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan yang diselenggarakan oleh asosiasi yang mewadahi Wakil Manajer Investasi atau pihak lain yang diakui Otoritas Jasa Keuangan paling kurang 2 (dua) tahun sekali. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemenuhan persyaratan melampirkan dokumen telah mengikuti pendidikan berkelanjutan dalam rangka permohonan perpanjangan... -14- perpanjangan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf h mulai berlaku jika telah terdapat: a. asosiasi yang mewadahi Wakil Manajer Investasi; atau b. pihak lain, yang telah mendapatkan pengakuan dari Otoritas Jasa Keuangan pendidikan khusus di bidang Pasar Modal. Bagian Kedua Larangan Pasal 17 (1) Wakil Manajer Investasi dilarang bekerja rangkap pada lebih dari satu Perusahaan Efek dan/atau lembaga jasa keuangan lainnya. (2) Larangan bekerja rangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Wakil Manajer Investasi yang berkedudukan sebagai anggota direksi dari Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Manajer Investasi untuk merangkap jabatan sebagai komisaris Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. BAB VI KOMITE STANDAR KEAHLIAN DAN ASOSIASI Bagian Kesatu Komite Standar Keahlian Pasal 18 (1) Komite Standar Keahlian dibentuk oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Komite Standar Keahlian bertugas memberikan rekomendasi kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka pemberian pengakuan atas sertifikat keahlian... untuk menyelenggarakan -15- keahlian yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan khusus. (3) Sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan oleh lembaga pendidikan khusus yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan keahlian Wakil Manajer Investasi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Komite Standar Keahlian, persyaratan dan tata cara pemberian pengakuan sertifikat keahlian, serta lembaga pendidikan khusus diatur dalam atau berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Kedua Asosiasi Pasal 19 (1) Asosiasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c mempunyai tugas antara lain: a. menyusun kode etik anggota; b. melaksanakan pendidikan berkelanjutan bagi pemegang Izin Wakil Manajer Investasi; dan c. melaksanakan pendidikan dan/atau pelatihan lainnya dalam rangka peningkatan kompetensi Wakil Manajer Investasi. (2) Pelaksanaan kegiatan asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan setiap 6 (enam) bulan sekali kepada Otoritas Jasa Keuangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai asosiasi yang mewadahi Wakil Manajer Investasi diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. BAB VII PELAPORAN Pasal 20 (1) Orang perseorangan yang memiliki izin sebagai Wakil... -16- Wakil Manajer Investasi wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Laporan mulai bekerja, berhenti bekerja, atau pindah bekerja, paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak yang bersangkutan mulai bekerja, berhenti bekerja, atau pindah bekerja; dan/atau b. Laporan keikutsertaan dalam pendidikan berkelanjutan paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak yang bersangkutan selesai mengikuti program tersebut disertai bukti pendukung. (2) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, laporan mulai bekerja, atau pindah bekerja dan laporan keikutsertaan atas pendidikan berkelanjutan disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. Pasal 21 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk dokumen cetak. (2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem elektronik penyampaian laporan Wakil Manajer Investasi, laporan Wakil Manajer Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dapat disampaikan melalui sistem elektronik tersebut. BAB VIII PENGEMBALIAN IZIN WAKIL MANAJER INVESTASI Pasal 22 (1) Pemegang Izin Wakil Manajer Investasi dapat mengembalikan... bekerja, berhenti -17- mengembalikan izin yang dimilikinya kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan surat pengembalian Izin Wakil Manajer Investasi sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Pengembalian Izin Wakil Manajer Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak serta merta menghilangkan kewajiban dan tanggung jawabnya atas peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan dan/atau keputusan Otoritas Jasa Keuangan yang belum dipenuhi yang timbul pada saat orang perseorangan tersebut memegang Izin Wakil Manajer Investasi. BAB IX SANKSI Pasal 23 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. Peringatan tertulis; b. Denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. Pembatasan kegiatan usaha; d. Pembekuan kegiatan usaha; e. Pencabutan izin usaha; f. Pembatalan persetujuan; dan g. Pembatalan... -18- g. Pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 24 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 25 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 kepada masyarakat. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 26 (1) Ketentuan mengenai sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf d angka 1 mulai berlaku setelah Otoritas Jasa Keuangan membentuk Komite Standar Keahlian. (2) Dalam hal Komite Standar Keahlian sebagaimana dimaksud... -19- dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, sertifikat keahlian di bidang Pasar Modal terkait Wakil Manajer Investasi dalam rangka perizinan Wakil Manajer Investasi tetap berpedoman pada ketentuan angka 2 huruf a Peraturan Nomor V.B.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-547/BL/2010 tanggal 28 Desember 2010 tentang Perizinan Wakil Perusahaan Efek. Pasal 27 Izin Wakil Manajer Investasi yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 28 Sertifikat keahlian Wakil Manajer Investasi yang diterbitkan pada tahun 2013, dapat digunakan sebagai syarat pengajuan permohonan Izin Wakil Manajer Investasi berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 29 Permohonan izin orang perseorangan sebagai Wakil Manajer Investasi yang telah diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, diselesaikan berdasarkan Peraturan Nomor V.B.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-547/BL/2010 tanggal 28 Desember 2010 tentang Perizinan Wakil Perusahaan Efek. BAB XI... -20- BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 30 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, ketentuan mengenai perizinan Wakil Manajer Investasi tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 31 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-547/BL/2010 tanggal 28 Desember 2010 tentang Perizinan Wakil Perusahaan Efek, beserta Peraturan Nomor V.B.1 yang merupakan lampirannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku untuk perizinan Wakil Manajer Investasi, kecuali: a. ketentuan mengenai sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf a, dinyatakan tidak berlaku pada saat terbentuknya Komite Standar Keahlian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1); dan b. untuk penyampaian permohonan Izin Wakil Manajer Investasi yang telah diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 32 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar... -21- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 19 November 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 19 November 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 360 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum I Departemen Hukum, Ttd. Tini Kustini
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 25/POJK.04/2014 </reg_id> <reg_title> PERIZINAN WAKIL MANAJER INVESTASI </reg_title> <set_date> 19 November 2014 </set_date> <effective_date> 19 November 2014 </effective_date> <issued_date> 19 November 2014 </issued_date> <replaced_reg> 'KEP-547/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010 | untuk perizinan Wakil Manajer Investasi, kecuali: a. ketentuan mengenai sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf a, dinyatakan tidak berlaku pada saat terbentuknya Komite Standar Keahlian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1); dan b. untuk penyampaian permohonan Izin Wakil Manajer Investasi yang telah diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.', 'KEP-547/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010 | Lampiran Peraturan Nomor V.B.1' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 27 /POJK.03/2016 TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK UTAMA LEMBAGA JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan Lembaga Jasa Keuangan yang sehat, melindungi pemangku kepentingan dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, diperlukan pelaksanaan tata kelola di Lembaga Jasa Keuangan; b. bahwa untuk mewujudkan tata kelola tersebut, Lembaga Jasa Keuangan harus dimiliki dan dikelola oleh pihak yang senantiasa memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan; c. bahwa untuk mendukung terwujudnya perizinan prima diperlukan pelayanan perizinan yang lebih cepat, tepat, mudah dan transparan; d. bahwa dengan beralihnya kewenangan pengaturan dan pengawasan Lembaga Jasa Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan diperlukan penyelarasan ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan; - 2 - e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Lembaga Jasa Keuangan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); - 3 - 6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); 7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 9; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5835); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK UTAMA LEMBAGA JASA KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat LJK adalah Lembaga Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang meliputi: a. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, termasuk kantor cabang dan kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar negeri; - 4 - b. Perusahaan Efek adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan/atau Manajer Investasi sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal; c. Penasihat Investasi adalah perusahaan yang memberi nasihat kepada pihak lain mengenai penjualan atau pembelian Efek dengan memperoleh imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal; d. Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, perusahaan reasuransi syariah, perusahaan asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian asuransi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian; e. Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, termasuk yang menjalankan seluruh kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah; f. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang dan/atau jasa, termasuk yang melakukan seluruh berdasarkan prinsip syariah dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perusahaan pembiayaan perusahaan pembiayaan syariah; pialang kegiatan usahanya sebagaimana dan - 5 - g. Lembaga Penjamin adalah perusahaan penjaminan, perusahaan penjaminan syariah, perusahaan penjaminan ulang, dan perusahaan penjaminan ulang syariah yang menjalankan kegiatan penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan; h. Perusahaan Modal Ventura yang selanjutnya disingkat PMV adalah badan usaha yang melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura termasuk yang melakukan seluruh kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perusahaan modal ventura dan perusahaan modal ventura syariah; i. Perusahaan Pergadaian adalah perusahaan pergadaian swasta dan perusahaan pergadaian pemerintah termasuk yang melakukan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam perundang-undangan pergadaian. mengenai peraturan usaha 2. Pihak Utama adalah pihak yang memiliki, mengelola, mengawasi, dan/atau mempunyai pengaruh yang signifikan pada LJK. 3. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disingkat PSP adalah badan hukum, orang perseorangan, dan/atau kelompok usaha yang memiliki saham atau yang setara dengan saham LJK dan mempunyai kemampuan untuk melakukan pengendalian atas LJK. 4. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah rapat umum pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi LJK yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau - 6 - yang setara dengan RUPS bagi LJK yang berbentuk badan hukum koperasi, usaha bersama, dana pensiun, perusahaan umum, perusahaan daerah, perusahaan umum daerah, atau perusahaan perseroan daerah, atau badan usaha perseroan komanditer. 5. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi LJK yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Direksi bagi LJK yang berbentuk badan hukum koperasi, usaha bersama, dana pensiun, perusahaan umum, perusahaan daerah, perusahaan umum daerah, perusahaan perseroan daerah, badan usaha perseroan komanditer, atau kantor cabang/kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 6. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi LJK yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Dewan Komisaris bagi LJK yang berbentuk badan hukum koperasi, usaha bersama, dana pensiun, perusahaan umum, perusahaan daerah, perusahaan umum daerah, perusahaan perseroan daerah, badan usaha perseroan komanditer, atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 7. Dewan Pengawas Syariah adalah pengawas yang direkomendasikan oleh Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia yang ditempatkan di LJK atau unit syariah yang bertugas mengawasi kegiatan usaha perusahaan agar sesuai dengan prinsip syariah. 8. Pengendali Perusahaan Perasuransian adalah pihak yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai kemampuan untuk menentukan Direksi dan Dewan Komisaris, dan/atau mempengaruhi tindakan Direksi, Dewan Komisaris pada Perusahaan Perasuransian. - 7 - 9. Pengendalian adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan, termasuk pada LJK, dengan cara apapun, baik secara langsung maupun tidak langsung. 10. Auditor Internal adalah pejabat pada Perusahaan Perasuransian yang bertanggung jawab untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas pengelolaan risiko, pengendalian, dan proses tata kelola perusahaan yang bekerja secara independen dan sesuai dengan standar praktik yang berlaku. 11. Aktuaris Perusahaan adalah pejabat pada perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah yang ditunjuk dan bertanggung jawab untuk mengelola dampak keuangan dari risiko yang dihadapi perusahaan yang bekerja secara independen dan sesuai dengan standar praktik yang berlaku. 12. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 2 (1) Calon Pihak Utama wajib memperoleh persetujuan dari OJK sebelum menjalankan tindakan, tugas dan fungsinya sebagai Pihak Utama. (2) Pihak Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. bagi Bank: 1) PSP; 2) anggota Direksi; dan 3) anggota Dewan Komisaris. b. bagi Perusahaan Efek: 1) PSP; 2) anggota Direksi; dan 3) anggota Dewan Komisaris. - 8 - c. bagi Penasihat Investasi: 1) PSP; 2) anggota Direksi; dan 3) anggota Dewan Komisaris. d. bagi Perusahaan Perasuransian: 1) Pengendali Perusahaan Perasuransian; 2) anggota Direksi; 3) anggota Dewan Komisaris; 4) anggota Dewan Pengawas Syariah; 5) Auditor Internal; dan 6) Aktuaris Perusahaan. e. bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja: 1) anggota Direksi; 2) anggota Dewan Komisaris; dan 3) anggota Dewan Pengawas Syariah. f. bagi Dana Pensiun Lembaga Keuangan: 1) pelaksana tugas pengurus; dan 2) anggota Dewan Pengawas Syariah. g. bagi Perusahaan Pembiayaan, Lembaga Penjamin, PMV, dan Perusahaan Pergadaian: 1) PSP; 2) anggota Direksi; 3) anggota Dewan Komisaris; dan 4) anggota Dewan Pengawas Syariah. (3) Calon PSP atau calon Pengendali Perusahaan Perasuransian yang merupakan pemegang saham yang belum memperoleh persetujuan dari OJK, dilarang melakukan tindakan sebagai PSP atau Pengendali Perusahaan Perasuransian walaupun telah memiliki saham LJK. (4) Calon anggota Direksi, calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Dewan Pengawas Syariah yang belum memperoleh persetujuan OJK, dilarang melakukan tindakan, tugas dan fungsi sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota Dewan Pengawas Syariah LJK walaupun telah mendapat persetujuan dan diangkat oleh RUPS. - 9 - Pasal 3 Dalam rangka memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, OJK melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan kepada calon Pihak Utama. BAB II FAKTOR PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN Pasal 4 Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon Pihak Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 memenuhi persyaratan: a. integritas dan kelayakan keuangan bagi calon PSP atau calon Pengendali Perusahaan Perasuransian yang merupakan pemegang saham; b. integritas dan reputasi keuangan bagi calon Pengendali Perusahaan Perasuransian yang bukan merupakan pemegang saham; c. integritas, reputasi keuangan dan kompetensi bagi selain calon PSP atau calon Pengendali Perusahaan Perasuransian. Pasal 5 Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, huruf b, dan huruf c, meliputi: a. cakap melakukan perbuatan hukum; b. memiliki akhlak dan moral yang baik, paling sedikit ditunjukkan dengan sikap mematuhi ketentuan yang berlaku, termasuk tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana dalam jangka waktu tertentu sebelum dicalonkan; c. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan dan mendukung kebijakan OJK; d. memiliki komitmen terhadap pengembangan LJK yang sehat; dan e. tidak termasuk sebagai pihak yang dilarang untuk menjadi Pihak Utama. - 10 - Pasal 6 Persyaratan reputasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b dan huruf c, paling sedikit dibuktikan dengan: a. tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet; dan b. tidak pernah dinyatakan pailit dan/atau tidak pernah menjadi pemegang saham, Pengendali Perusahaan Perasuransian yang bukan merupakan pemegang saham, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum dicalonkan. Pasal 7 Persyaratan kelayakan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, paling sedikit dibuktikan dengan: a. memiliki reputasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; b. memiliki kemampuan keuangan yang dapat mendukung perkembangan bisnis LJK; dan c. memiliki komitmen untuk melakukan upaya-upaya yang diperlukan apabila LJK menghadapi kesulitan keuangan. Pasal 8 Persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, paling sedikit meliputi pengetahuan dan/atau pengalaman yang mendukung pengelolaan LJK. BAB III TATA CARA PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN Bagian Kesatu Umum - 11 - Pasal 9 Calon Pihak Utama yang sedang menjalani: a. proses hukum; b. proses penilaian kemampuan dan kepatutan di OJK; dan/atau c. proses penilaian kembali karena terdapat indikasi permasalahan integritas, kelayakan keuangan, reputasi keuangan, dan/atau kompetensi pada suatu LJK, tidak dapat diajukan untuk mengikuti penilaian kemampuan dan kepatutan untuk menjadi Pihak Utama. Pasal 10 (1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan menjadi Pihak Utama diajukan oleh: a. calon pemilik, pendiri atau anggota Direksi LJK dalam hal permohonan izin pendirian LJK; atau b. anggota Direksi LJK, dalam hal LJK telah memperoleh izin usaha; dilengkapi dengan dokumen persyaratan administratif. (2) LJK harus menyampaikan daftar pemenuhan persyaratan administratif kepada OJK yang ditandatangani oleh: a. calon pemilik, pendiri, atau pejabat LJK yang berwenang dalam hal permohonan izin pendirian LJK; atau b. pejabat LJK yang berwenang, dalam hal LJK telah memperoleh izin usaha. (3) Penyampaian permohonan dan/atau dokumen persyaratan administratif dapat dilakukan melalui sarana elektronik dalam hal ketentuan yang mengatur mengenai hal tersebut telah diberlakukan. (4) OJK dapat mengembalikan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila dokumen persyaratan administratif tidak lengkap. - 12 - (5) LJK dapat mengajukan calon Pihak Utama dalam jumlah tertentu untuk setiap posisi jabatan yang dituju. Pasal 11 (1) Dalam hal seluruh atau mayoritas saham LJK dimiliki oleh pemerintah pusat atau lembaga yang diberikan tugas oleh Undang-Undang untuk menyelamatkan LJK, permohonan untuk memperoleh persetujuan menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris LJK dimaksud dapat diajukan oleh instansi yang mewakili pemerintah pusat atau lembaga tersebut. (2) Dalam hal calon PSP akan melakukan pembelian saham LJK dalam rangka penyertaan modal sementara oleh lembaga yang diberikan tugas oleh Undang- Undang untuk menyelamatkan LJK, permohonan untuk memperoleh persetujuan menjadi PSP dimaksud dapat diajukan oleh lembaga tersebut. Pasal 12 Dalam hal anggota Direksi LJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) tidak dapat menjalankan fungsinya atau mempunyai benturan kepentingan, permohonan diajukan oleh: a. anggota Direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan; b. anggota Dewan Komisaris apabila seluruh anggota Direksi tidak dapat menjalankan fungsinya atau mempunyai benturan kepentingan; atau c. pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS apabila seluruh anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris tidak dapat menjalankan fungsinya atau mempunyai benturan kepentingan. - 13 - Bagian Kedua Tata Cara Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Calon PSP dan Calon Pengendali Perusahaan Perasuransian Pasal 13 (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon PSP dan calon Pengendali Perusahaan Perasuransian dilakukan melalui penilaian administratif. (2) Dalam rangka penilaian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon PSP, dan calon Pengendali Perusahaan Perasuransian harus melakukan presentasi atau pemaparan paling sedikit mengenai: a. rencana calon PSP, dan calon Pengendali Perusahaan Perasuransian pengembangan LJK yang akan dimiliki dan/atau yang akan dikendalikannya; dan b. strategi calon PSP, dan calon Pengendali Perusahaan Perasuransian dalam hal LJK yang akan dimiliki dan/atau yang akan dikendalikannya mengalami kesulitan keuangan. Pasal 14 Dalam hal calon PSP, atau calon Pengendali Perusahaan Perasuransian adalah pemerintah pusat atau pemerintah daerah, presentasi atau pemaparan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dilakukan apabila dianggap perlu. Pasal 15 (1) Dalam hal calon PSP, dan calon Pengendali Perusahaan Perasuransian berbentuk badan hukum, penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap badan hukum tersebut dilakukan dengan menilai badan hukum yang bersangkutan, anggota Direksi, dan anggota Dewan Komisaris badan hukum yang terhadap - 14 - bersangkutan, dan pihak-pihak yang berdasarkan penilaian Otoritas Jasa Keuangan merupakan ultimate shareholders. (2) Dalam hal ultimate shareholders merupakan pemerintah negara lain, dan hukum di negara yang bersangkutan tidak memperbolehkan ultimate shareholders tersebut memberikan data dan dokumen, OJK menetapkan ultimate shareholders lain yang secara langsung dikendalikan oleh pemerintah negara lain tersebut berdasarkan dokumen pendukung yang sah sebagai pengganti pemerintah negara lain tersebut. (3) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus menyampaikan dokumen persyaratan administratif. (4) Selain pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), OJK dapat menetapkan pihak lain yang berdasarkan penilaian OJK melakukan Pengendalian, untuk menyampaikan dokumen persyaratan administratif. (5) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) merupakan satu kesatuan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Ketiga Tata Cara Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak Utama Selain Calon PSP dan Calon Pengendali Perusahaan Perasuransian Pasal 16 Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon Pihak Utama selain calon PSP dan calon Pengendali Perusahaan Perasuransian administratif. dilakukan OJK melalui ultimate shareholders penilaian - 15 - Pasal 17 (1) LJK harus terlebih dahulu melakukan penilaian sendiri (self assessment) terhadap calon Pihak Utama selain calon PSP dan calon Pengendali Perusahaan Perasuransian sebelum diajukan kepada OJK, terkait dengan: a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c; dan b. pemenuhan persyaratan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. (2) Hasil self assessment sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada OJK pada saat pengajuan permohonan. Pasal 18 (1) Dalam rangka penilaian administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, OJK dapat melakukan klarifikasi kepada calon Pihak Utama. (2) Klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila: a. terdapat informasi negatif mengenai calon Pihak Utama; b. calon Pihak Utama belum mempunyai pengalaman pada LJK di Indonesia yang relevan dengan jabatan yang dituju dan mempertimbangkan posisi jabatan, ukuran, kompleksitas, dan/atau permasalahan LJK tempat yang bersangkutan akan dicalonkan; dan/atau c. calon Pihak Utama pernah ditetapkan tidak disetujui dalam pencalonan sebelumnya. - 16 - Bagian Keempat Penghentian Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Pasal 19 (1) OJK menghentikan penilaian kemampuan dan kepatutan calon Pihak Utama LJK apabila calon tersebut menjalani: a. proses hukum; b. proses penilaian kemampuan dan kepatutan; dan/atau c. proses penilaian kembali karena terdapat indikasi permasalahan integritas, kelayakan keuangan, reputasi keuangan, dan/atau kompetensi pada suatu LJK. (2) Penghentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada LJK. Pasal 20 Calon Pihak Utama yang dihentikan penilaian kemampuan dan kepatutannya oleh OJK, dapat dicalonkan kembali kepada OJK untuk menjadi Pihak Utama apabila yang bersangkutan telah selesai menjalani proses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1). BAB IV HASIL PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN Pasal 21 (1) OJK menetapkan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagai berikut: a. disetujui; atau b. tidak disetujui. (2) Jangka waktu penetapan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah seluruh dokumen permohonan diterima secara lengkap. - 17 - (3) Dalam hal proses penilaian kemampuan dan kepatutan calon Pihak Utama dilakukan pada saat permohonan izin pendirian, penggabungan dan/atau peleburan LJK, OJK memberikan penetapan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan dalam jangka waktu sesuai dengan peraturan yang mengatur mengenai pemberian izin pendirian, penggabungan, dan/atau peleburan LJK. (4) OJK memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis kepada LJK. (5) Selain memberitahukan kepada LJK sebagaimana dimaksud pada ayat (4), OJK dapat memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan kepada pihak lain yang berkepentingan dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK atau diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 22 (1) Bagi calon PSP yang tidak disetujui oleh OJK namun telah memiliki saham LJK: a. yang bersangkutan wajib mengalihkan kepemilikan sahamnya pada LJK yang bersangkutan dan tidak melakukan Pengendalian; dan b. dilakukan pembatasan atas hak pemegang saham pada LJK yang bersangkutan. (2) LJK wajib melaporkan pengalihan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada OJK dengan mengacu kepada peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai pelaporan perubahan anggaran dasar terkait perubahan kepemilikan yang berlaku pada masing-masing sektor jasa keuangan. (3) Dalam hal tidak terdapat peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai pelaporan perubahan anggaran dasar terkait perubahan - 18 - kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LJK wajib melaporkan pengalihan kepemilikan saham paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah RUPS mengesahkan pengalihan kepemilikan saham. Pasal 23 LJK wajib mencantumkan penjelasan mengenai status pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dalam: a. daftar pemegang saham LJK; dan b. laporan yang dipublikasikan LJK. Pasal 24 (1) OJK dapat menetapkan pihak yang tidak diperbolehkan menerima pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 ayat (1). (2) Dalam hal pengalihan kepemilikan saham dilakukan kepada pihak yang tidak diperbolehkan menerima pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. pengalihan tersebut tidak dianggap sebagai pengalihan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 ayat (1); b. LJK dilarang melakukan pencatatan atas pihak yang menerima pengalihan tersebut dalam daftar pemegang saham LJK; dan c. pihak yang menerima pengalihan tidak memperoleh hak-haknya sebagai pemegang saham. Pasal 25 (1) Persetujuan OJK terhadap calon Pihak Utama selain calon PSP, dan calon Pengendali Perusahaan Perasuransian menjadi tidak berlaku apabila dalam jangka waktu tertentu tidak terdapat pengangkatan terhadap calon Pihak Utama yang telah disetujui oleh OJK. - 19 - (2) LJK wajib melaporkan pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mengacu kepada peraturan yang mengatur mengenai pelaporan perubahan Pihak Utama yang berlaku pada masing- masing sektor jasa keuangan. (3) Dalam hal tidak terdapat peraturan yang mengatur mengenai pelaporan perubahan Pihak Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LJK wajib melaporkan pengangkatan Pihak Utama paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah pengangkatan. Pasal 26 (1) Bagi calon anggota Direksi, calon anggota Dewan Komisaris, dan/atau calon anggota Dewan Pengawas Syariah yang tidak disetujui oleh OJK namun telah diangkat sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris, LJK wajib menyelenggarakan RUPS untuk membatalkan pengangkatan yang bersangkutan. (2) LJK wajib melaporkan RUPS pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada OJK dengan mengacu kepada peraturan yang mengatur mengenai pelaporan perubahan Pihak Utama yang berlaku pada masing- masing sektor jasa keuangan. (3) Dalam hal tidak terdapat peraturan yang mengatur mengenai pelaporan perubahan Pihak Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LJK wajib melaporkan perubahan Pihak Utama paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah RUPS pembatalan pengangkatan anggota Direksi atau calon anggota Dewan Komisaris. Pasal 27 (1) Calon Pihak Utama selain calon PSP dan calon Pengendali Perusahaan Perasuransian yang tidak disetujui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b dapat dicalonkan kembali kepada OJK - 20 - paling cepat 6 (enam) bulan sejak tanggal penetapan Tidak Disetujui dari OJK. (2) Dalam hal calon Pihak Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak disetujui karena persyaratan kompetensi maka calon dimaksud dapat diajukan sebelum 6 (enam) bulan pada: a. bidang jabatan yang berbeda pada jabatan yang setingkat atau lebih rendah pada LJK yang sama; b. jabatan di LJK sejenis yang mempunyai ukuran dan kompleksitas yang lebih rendah; atau c. jabatan di LJK yang berbeda. (3) Pengajuan kembali calon Pihak Utama yang tidak disetujui karena persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dokumen pendukung yang membuktikan bahwa calon yang diajukan kembali telah melakukan peningkatan kompetensi. Pasal 28 (1) OJK membatalkan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a, apabila setelah persetujuan diberikan: a. diketahui bahwa informasi atau dokumen yang disampaikan dalam proses penilaian kemampuan dan kepatutan tidak benar sehingga menjadi tidak memenuhi persyaratan; dan/atau b. terdapat informasi yang diperoleh dari otoritas lain yang mengakibatkan pihak yang telah disetujui menjadi tidak memenuhi persyaratan. (2) PSP yang dibatalkan persetujuannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap yang bersangkutan berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 22. (3) Anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Dewan Pengawas Syariah yang dibatalkan persetujuannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), - 21 - terhadap yang bersangkutan berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 26. BAB V PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK UTAMA LEMBAGA JASA KEUANGAN DALAM PENYELAMATAN/PENANGANAN DAN PIHAK UTAMA BANK YANG DIGUNAKAN SEBAGAI SARANA RESOLUSI Pasal 29 OJK menetapkan tata cara penilaian kemampuan dan kepatutan yang berbeda bagi Pihak Utama pada: a. LJK dalam penyelamatan/penanganan oleh lembaga atau instansi yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelamatan/penanganan LJK; dan b. Bank yang digunakan sebagai sarana resolusi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 30 (1) Bank wajib melaporkan rencana perubahan struktur kelompok usaha yang terkait dengan Bank termasuk badan hukum pemilik Bank sampai dengan ultimate shareholders kepada OJK paling lambat 1 (satu) bulan sebelum terjadinya perubahan. (2) Dalam hal perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menurut penilaian OJK menyebabkan perubahan pengendali Bank atau apabila menurut penilaian OJK terdapat pengendali Bank, Bank wajib mengajukan calon PSP untuk dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan oleh OJK. - 22 - (3) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap pengendali Bank yang disebabkan karena adanya perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan satu kesatuan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap kelompok usaha. (4) OJK berwenang menolak perubahan pengendali Bank, dalam hal berdasarkan penilaian OJK perubahan pengendali Bank dapat menyebabkan atau diindikasikan dapat menghambat pelaksanaan pengawasan Bank. BAB VII SANKSI Pasal 31 (1) LJK dan/atau Pihak Utama yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (3), Pasal 2 ayat (4), Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 ayat (2) huruf b, Pasal 25 ayat (2), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (3), atau Pasal 30 ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan; c. pembatalan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan; d. pembatasan kegiatan usaha; e. perintah penggantian manajemen; f. pencantuman manajemen dalam daftar pihak yang dilarang untuk menjadi Pihak Utama; g. pembatalan persetujuan, pendaftaran dan pengesahan; dan/atau h. pencabutan izin usaha. (2) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat mengenakan sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- - 23 - undangan yang berlaku bagi LJK pada masing-masing sektor jasa keuangan. (3) Mekanisme pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengacu kepada ketentuan yang berlaku bagi LJK pada masing-masing sektor jasa keuangan. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 32 Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan yang telah ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dinyatakan tetap berlaku. Pasal 33 Terhadap penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon Pihak Utama yang sedang dilakukan pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini: a. tata cara penilaian dan hasil penilaian tetap mengacu kepada ketentuan penilaian kemampuan dan kepatutan yang berlaku pada masing-masing sektor jasa keuangan; dan b. konsekuensi hasil penilaian kemampuan dan kepatutan mengacu kepada ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 34 (1) Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini: a. Pihak Utama pada PMV atau Perusahaan Pergadaian yang belum pernah mengikuti penilaian kemampuan dan kepatutan tetap dapat menjadi Pihak Utama; b. anggota Dewan Pengawas Syariah pada Dana Pensiun dan Auditor Internal pada Perusahaan - 24 - Perasuransian yang belum pernah mengikuti penilaian kemampuan dan kepatutan tetap dapat menjabat dan menjalankan tugas dan fungsinya. (2) Pihak Utama selain PSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus mengikuti penilaian kemampuan dan kepatutan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini sebelum yang bersangkutan dilakukan perpanjangan jabatan atau peralihan jabatan pada perusahaan yang sama. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 35 Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 36 Dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, Pasal 3 ayat (2) huruf a, Pasal 3 ayat (2) huruf b, dan Pasal 18 ayat (4) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 4/POJK.05/2013 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak Utama pada Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, dan Perusahaan Penjaminan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 37 Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan yang berlaku pada masing-masing sektor jasa keuangan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 25 - Pasal 38 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: a. pada tanggal 1 Agustus 2016 bagi LJK selain Perusahaan Pergadaian; b. 2 (dua) tahun sejak tanggal diundangkan bagi Perusahaan Pergadaian. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Juli 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Juli 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 147 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 27/POJK.03/2016 </reg_id> <reg_title> PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK UTAMA LEMBAGA JASA KEUANGAN </reg_title> <set_date> 22 Juli 2016 </set_date> <effective_date> 1 Agustus 2016 </effective_date> <issued_date> 27 Juli 2016 </issued_date> <replaced_reg> '4/POJK.05/2013 | Pasal 3 ayat (2) huruf a, Pasal 3 ayat (2) huruf b, dan Pasal 18 ayat (4)' </replaced_reg> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '11/UU/1992', '8/UU/1995', '21/UU/2008', '21/UU/2011', '40/UU/2014', '1/UU/2016' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
SALINAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 10 /POJK.03/2015 TENTANG PENERBITAN SERTIFIKAT DEPOSITO OLEH BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan peranan perbankan dan perbankan syariah sebagai lembaga penghimpunan dana masyarakat yang menyediakan berbagai produk simpanan kepada masyarakat, perlu adanya peningkatan transaksi produk sertifikat deposito; b. bahwa penerbitan sertifikat deposito harus memperhatikan aspek kehati-hatian dan penerapan manajemen risiko bank, serta memperhatikan pula prinsip syariah untuk penerbitan sertifikat deposito berdasarkan prinsip syariah; c. bahwa pengaturan mengenai sertifikat deposito pada saat ini sudah tidak memadai lagi dan perlu disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat serta teknologi; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerbitan Sertifikat Deposito Oleh Bank; Mengingat ... - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERBITAN SERTIFIKAT DEPOSITO OLEH BANK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998, serta Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; 2. Lembaga ... - 3 - 2. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang selanjutnya disingkat LPP adalah pihak yang menyelenggarakan kegiatan kustodian sentral bagi bank kustodian, perusahaan efek, dan pihak lain untuk kepentingan pencatatan dan penatausahaan sertifikat deposito dalam bentuk tanpa warkat; 3. Sertifikat Deposito adalah simpanan dalam bentuk deposito termasuk yang berdasarkan prinsip syariah yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan. BAB II BENTUK DAN PENERBIT SERTIFIKAT DEPOSITO Pasal 2 (1) Sertifikat Deposito dapat diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa warkat (scripless). (2) Sertifikat Deposito dalam bentuk warkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib bersifat atas pengganti. (3) Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diidentifikasi kepemilikannya oleh Bank pada pencatatan di LPP. Pasal 3 (1) Bank dapat menerbitkan Sertifikat Deposito dalam bentuk warkat tanpa terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (2) Bank yang menerbitkan Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat wajib mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperlukan untuk Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat yang pertama kali diterbitkan oleh Bank. (4) Persyaratan dan tata cara persetujuan penerbitan Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang pertama kali diterbitkan oleh Bank Umum mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti bank dan ketentuan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi Bank Umum. (5). Persyaratan ... - 4 - (5) Persyaratan dan tata cara persetujuan penerbitan Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang pertama kali diterbitkan oleh Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti bank dan ketentuan yang mengatur mengenai produk dan aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Pasal 4 (1) Sertifikat Deposito sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat diterbitkan dalam rupiah atau valuta asing. (2) Sertifikat Deposito dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diterbitkan oleh Bank yang telah memperoleh persetujuan melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing. BAB III KARAKTERISTIK SERTIFIKAT DEPOSITO Pasal 5 (1) Nominal Sertifikat Deposito paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau ekuivalennya dalam valuta asing. (2) Jangka waktu Sertifikat Deposito paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan. Pasal 6 (1) Bunga Sertifikat Deposito bagi Bank Umum bersifat tetap dan dibayarkan secara diskonto. (2) Imbal hasil dan mekanisme pembayaran imbal hasil Sertifikat Deposito berdasarkan prinsip syariah diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 7 Bank dilarang menerbitkan Sertifikat Deposito yang bersifat derivatif dan/atau dikaitkan dengan produk keuangan lainnya. Pasal 8 ... - 5 - Pasal 8 (1) Sertifikat Deposito dalam bentuk warkat wajib memenuhi karakteristik yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk memenuhi prinsip pengamanan dan transparansi produk. (2) Karakteristik Sertifikat Deposito dalam bentuk warkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. BAB IV PENCATATAN DAN PEMANTAUAN SERTIFIKAT DEPOSITO Pasal 9 (1) Bank wajib mencatat kepemilikan pertama Sertifikat Deposito dalam bentuk warkat atau Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat. (2) Pada saat pencairan Sertifikat Deposito dalam bentuk warkat, Bank wajib memastikan endosemen yang pertama sesuai dengan pemilik Sertifikat Deposito dalam bentuk warkat yang namanya tercatat pada Bank dan meneliti endosemen berikutnya serta bukti diri pemilik terakhir. (3) Penatausahaan pencatatan kepemilikan dan perubahan kepemilikan Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat dilakukan oleh LPP untuk dan atas nama Bank. Pasal 10 (1) Bank yang menerbitkan Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat wajib memantau pencatatan dan perubahan kepemilikan Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat yang dilakukan oleh LPP. (2) Bank wajib memastikan bahwa informasi elektronik, dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang terkait dengan pencatatan dan penatausahaan Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat pada LPP memenuhi keabsahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik. BAB V ... - 6 - BAB V MANAJEMEN RISIKO, ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME, DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN Pasal 11 (1) Bank yang menerbitkan Sertifikat Deposito wajib menerapkan manajemen risiko. (2) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi Bank Umum atau penerapan manajemen risiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Pasal 12 Bank yang menerbitkan Sertifikat Deposito wajib menerapkan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi Bank. Pasal 13 Bank yang menerbitkan Sertifikat Deposito wajib menerapkan prinsip perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. BAB VI PERMOHONAN PERSETUJUAN DAN PELAPORAN PENERBITAN SERTIFIKAT DEPOSITO Pasal 14 Permohonan persetujuan penerbitan Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan alamat sebagai berikut: 1. Departemen ... - 7 - 1. Departemen Pengawasan Bank terkait, Kantor Regional 1 atau Departemen Perbankan Syariah, Otoritas Jasa Keuangan, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah Jabodetabek; atau 2. Kantor Regional atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Jabodetabek. Pasal 15 (1) Bank wajib menyampaikan laporan secara berkala mengenai Sertifikat Deposito yang diterbitkan, kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Laporan yang wajib disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Bank Umum mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai Laporan Bulanan Bank Umum. (3) Laporan yang wajib disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. BAB VII SANKSI Pasal 16 (1) Bank yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2), Pasal 2 ayat (3), Pasal 3 ayat (2), Pasal 8 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), dan Pasal 10 ayat (1) dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan; dan/atau c. pembatasan dan/atau pembekuan kegiatan usaha tertentu. (2) Bank yang melanggar ketentuan Pasal 7 dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan; dan/atau c. pembatasan dan/atau pembekuan kegiatan usaha tertentu. (3) Bank yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 10 ayat (2) dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik. (4) Bank ... - 8 - (4) Bank yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 11 ayat (1) dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko bagi Bank Umum atau penerapan manajemen risiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. (5) Bank yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 12 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. (6) Bank yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 13 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. (7) Bank Umum yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 15 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai Laporan Bulanan Bank Umum. (8) Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 15 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 17 (1) Sertifikat Deposito yang diterbitkan sebelum berlakunya ketentuan ini, tetap berlaku sampai dengan jatuh tempo. (2) Bank menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerbitan Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat yang telah dilakukan sebelum ketentuan ini berlaku. (3) Penyampaian laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat tanggal 31 Desember 2015. BAB IX... - 9 - BAB IX KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 18 Pemindahtanganan Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat yang dilakukan melalui pasar uang, tunduk pada ketentuan yang diatur oleh otoritas yang berwenang. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 19 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 20 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, seluruh ketentuan yang mengatur mengenai penerbitan Sertifikat Deposito dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 21 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar ... - 10 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 14 Juli 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 14 Juli 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 164 PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 10 /POJK.03/2015 TENTANG PENERBITAN SERTIFIKAT DEPOSITO OLEH BANK I. UMUM Perkembangan produk simpanan perbankan dalam rangka penghimpunan dana masyarakat mengalami berbagai perubahan fitur seiring dengan perubahan kebutuhan masyarakat. Konsekuensi terhadap hal dimaksud adalah risiko yang melekat pada produk simpanan tersebut semakin tinggi sehingga ketentuan yang ada dipandang tidak memadai dan perlu disesuaikan agar Bank dapat meningkatkan kegiatan penghimpunan dana dengan tetap berlandaskan pada prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko bank. Beberapa perkembangan kebutuhan masyarakat antara lain jenis mata uang, penyesuaian atas minimal nominal, pengamanan yang lebih baik dan transparansi produk Bank. Selain itu, perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat dan dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat, menunjang kecepatan transaksi pemindahtanganan Sertifikat Deposito, meningkatkan keamanan, dan transparansi terhadap Sertifikat Deposito, diperlukan Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat (scripless). Pada praktik kegiatan usaha perbankan terdapat Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat meskipun pengaturan sertifikat deposito saat ini hanya untuk Sertifikat Deposito dalam bentuk warkat, sehingga diperlukan pengaturan mengenai Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat untuk mendukung efektivitas transaksi penerbitan Sertifikat Deposito oleh Bank yang diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi khususnya di sektor perbankan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 ... - 2 - Pasal 2 Ayat (1) Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dapat menerbitkan Sertifikat Deposito. Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dapat menerbitkan Sertifikat Deposito berdasarkan prinsip syariah. Ayat (2) Yang dimaksud dengan atas pengganti (aan order) adalah kemampuan pemegang Sertifikat Deposito dalam bentuk warkat untuk memindahtangankan Sertifikat bukti penyimpanannya kepada pihak lain dengan cara menandatangani pada lembar Sertifikat Deposito (endorsement) sehingga pihak yang ditunjuk terakhir berhak menerima pembayaran dari Bank yang menerbitkan pada saat Sertifikat Deposito dalam bentuk warkat jatuh tempo. Ayat (3) Yang dimaksud dengan dapat diidentifikasi kepemilikannya pada pencatatan di LPP adalah nama pemegang terakhir Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat yang dicatat pada LPP. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pada ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti bank, dan ketentuan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum terdapat aturan mengenai produk atau aktivitas baru. Persyaratan ... - 3 - Persyaratan dan tata cara persetujuan produk atau aktivitas baru meliputi antara lain pencantuman rencana penerbitan produk baru dalam rencana bisnis bank, surat permohonan persetujuan penerbitan produk baru yang disertai dengan dokumen pendukung, jangka waktu penyampaian surat permohonan, dan jangka waktu berlakunya persetujuan penerbitan produk baru. Ayat (5) Persyaratan dan tata cara persetujuan produk atau aktivitas baru meliputi antara lain pencantuman rencana penerbitan produk baru dalam Rencana Bisnis Bank, pengajuan permohonan persetujuan penerbitan produk baru yang disertai dengan dokumen pendukung, jangka waktu penyampaian surat permohonan persetujuan penerbitan produk baru, jangka waktu laporan pelaksanaan penerbitan produk baru, dan jangka waktu berlakunya persetujuan penerbitan produk baru. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Persyaratan bank yang dapat melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing (bank devisa) mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai persyaratan Bank Umum untuk melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing. Pasal 5 Ayat (1) Nominal Sertifikat Deposito dalam valuta asing diterbitkan dalam kelipatan ratusan. Contoh : USD1.100, EUR900, SGD1.200 Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 6 ... - 4 - Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan dibayar secara diskonto adalah pembayaran bunga dimuka oleh Bank pada saat penerbitan Sertifikat Deposito dengan cara memotong nominal yang seharusnya disetorkan oleh nasabah kepada Bank yang menerbitkan. Ayat (2) Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan mengatur Sertifikat Deposito berdasarkan prinsip syariah antara lain imbal hasil dan mekanisme pembayaran imbal hasil, akad yang sesuai fatwa, dan persyaratan syariah terkait obyek yang akan dibiayai dari dana yang dihimpun melalui penerbitan Sertifikat Deposito berdasarkan prinsip syariah. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Klausula bahwa pencatatan dilakukan oleh LPP untuk dan atas nama Bank dicantumkan dalam perjanjian antara Bank yang menerbitkan Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat dengan LPP. Pasal 10 Ayat (1) Pemantauan dilakukan melalui sistem yang disediakan oleh LPP yang dapat diakses setiap saat oleh Bank yang menerbitkan Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat. Ayat (2) ... - 5 - Ayat (2) Ketentuan keabsahan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang diatur dalam undang-undang mengenai informasi dan transaksi elektronik antara lain “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan”. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penerapan manajemen risiko meliputi antara lain: a. penerapan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi bagi Bank yang menerbitkan Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat; b. manajemen risiko hukum atas kepatuhan Bank terhadap ketentuan yang berlaku terkait pengaturan valuta asing bagi Bank yang menerbitkan Sertifikat Deposito dalam valuta asing; dan c. sistem pengendalian intern dan penerapan strategi anti fraud. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 ... - 6 - Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5718
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 10/POJK.03/2015 </reg_id> <reg_title> PENERBITAN SERTIFIKAT DEPOSITO OLEH BANK </reg_title> <set_date> 14 Juli 2015 </set_date> <effective_date> 14 Juli 2015 </effective_date> <issued_date> 14 Juli 2015 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '11/UU/2008', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 22/ POJK.04 / 2014 TENTANG PRINSIP MENGENAL NASABAH OLEH PENYEDIA JASA KEUANGAN DI SEKTOR PASAR MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan industri Pasar Modal yang sehat serta terlindung dari praktik pencucian uang dan dijadikan sarana pendanaan terorisme, maka diperlukan upaya secara terus menerus untuk meningkatkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme oleh Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal; b. bahwa ketentuan tentang Prinsip Mengenal Nasabah oleh Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal perlu disesuaikan dengan standar internasional mengenai penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu untuk menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Prinsip Mengenal Nasabah oleh Keuangan di Bidang Pasar Modal; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian… Penyedia Jasa -2- Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406); MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PRINSIP MENGENAL NASABAH OLEH PENYEDIA JASA KEUANGAN DI SEKTOR PASAR MODAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal adalah Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan/atau Manajer Investasi, serta Bank Umum yang menjalankan fungsi Kustodian. 2. Pencucian Uang adalah pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. 3. Pendanaan Terorisme adalah pendanaan terorisme sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak… -3- tindak pidana pendanaan terorisme. 4. Nasabah adalah Pihak yang menggunakan jasa Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal dalam rangka kegiatan investasi di Pasar Modal baik diikuti dengan atau tanpa melalui pembukaan rekening Efek. 5. Prinsip Mengenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal untuk: a. a. mengetahui latar belakang dan identitas Nasabah; b. memantau rekening Efek dan transaksi Nasabah; dan c. melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai, sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal serta peraturan perundang- undangan yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan/atau pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme. 6. Uji Tuntas Nasabah (Customer Due Diligence) yang selanjutnya disingkat CDD adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal untuk memastikan transaksi sesuai dengan profil, karakteristik, dan/atau pola transaksi Nasabah. 7. Uji Tuntas Lanjut (Enhanced Due Diligence) yang selanjutnya disingkat EDD adalah tindakan CDD lebih mendalam yang dilakukan Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal terhadap calon Nasabah atau Nasabah yang tergolong dalam area berisiko tinggi. 8. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pencegahan… -4- pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan/atau undang-undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme. 9. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disingkat PPATK adalah PPATK sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang. 10. Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) adalah setiap pihak baik secara langsung maupun tidak langsung melalui perjanjian atau melalui cara apapun: a. berhak atas dan/atau menerima manfaat tertentu yang berkaitan dengan: 1. rekening Efek pada Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal; atau 2. hubungan usaha dengan Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal; b. merupakan pemilik sebenarnya dari dana dan/atau Efek pada Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal (ultimate account owner); c. mengendalikan transaksi Nasabah; d. memberikan kuasa untuk melakukan transaksi; dan/atau e. mengendalikan Nasabah non orang perseorangan. 11. Orang yang Populer Secara Politis (Politically Exposed Person) yang selanjutnya disebut PEP adalah orang yang memiliki atau pernah memiliki kewenangan publik, diantaranya adalah Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang Penyelenggara Negara, dan/atau orang yang tercatat atau pernah tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai politik, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun… -5- maupun yang berkewarganegaraan asing. 12. Nasabah yang Berisiko Tinggi (High Risk Customer) adalah Nasabah yang berdasarkan latar belakang identitas dan riwayatnya dianggap memiliki risiko tinggi melakukan kegiatan terkait dengan Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme. 13. Negara yang Berisiko Tinggi (High Risk Countries) adalah negara atau teritori yang potensial digunakan sebagai: a. tempat terjadinya atau sarana Pencucian Uang; b. tempat dilakukannya tindak pidana asal (predicate offense); dan/atau c. tempat dilakukannya aktivitas Pendanaan Terorisme. 14. Usaha yang Berisiko Tinggi (High Risk Business) adalah bidang usaha yang potensial digunakan sebagai sarana melakukan Pencucian Uang dan/atau sarana Pendanaan Terorisme. 15. Lembaga Negara adalah lembaga yang memiliki kewenangan di bidang eksekutif, yudikatif, dan legislatif. 16. Instansi Pemerintah adalah sebutan kolektif dari unit organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, meliputi: a. Kementerian Koordinator; b. Kementerian Negara; c. Kementerian; d. Lembaga Pemerintahan Non Kementerian; e. Pemerintah Propinsi; f. Pemerintah Kota; g. Pemerintah Kabupaten; h. lembaga negara yang dibentuk berdasarkan undang… -6- undang-undang; atau i. lembaga-lembaga pemerintahan yang menjalankan fungsi pemerintahan dengan menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Pasal 2 Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah dan memiliki pedoman penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. BAB II PENGAWASAN AKTIF OLEH DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS Bagian Pertama Pengawasan Aktif Oleh Direksi Pasal 3 (1) Direksi Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib melakukan pengawasan aktif paling kurang: a. memastikan bahwa Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal memiliki pedoman penerapan Prinsip Mengenal Nasabah; b. mengusulkan pedoman penerapan Prinsip Mengenal Nasabah kepada Dewan Komisaris; c. memastikan bahwa penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dilaksanakan sesuai dengan pedoman penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang telah ditetapkan; d. memastikan bahwa pedoman penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sejalan dengan perubahan dan pengembangan produk, jasa, dan teknologi Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal serta sesuai dengan perkembangan modus Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme; dan… -7- dan e. memastikan bahwa seluruh pegawai yang terkait dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah telah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah secara berkala. (2) Dalam hal Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal berupa Bank Kustodian yang merupakan Kantor Cabang Bank Asing, pengawasan aktif dilakukan oleh pimpinan Kantor Cabang Bank Asing tersebut. Bagian Kedua Pengawasan Aktif Oleh Dewan Komisaris Pasal 4 Dewan Komisaris Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib melakukan pengawasan aktif paling kurang: a. memberikan persetujuan pedoman penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang diusulkan oleh Direksi; b. melakukan pengawasan atas pelaksanaan tanggung jawab Direksi terhadap penerapan Prinsip Mengenal Nasabah; dan c. memastikan adanya pembahasan terkait Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme dalam rapat Direksi dan Dewan Komisaris. BAB III PENANGGUNG JAWAB PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH PADA PENYEDIA JASA KEUANGAN Bagian Pertama Umum Pasal 5 (1) Dalam rangka pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah, Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal… -8- Modal wajib membentuk unit kerja khusus atau menugaskan pejabat sebagai penanggung jawab penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. (2) Penanggung jawab penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai bagian dari struktur organisasi Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal. (3) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib memastikan bahwa penanggung jawab penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kemampuan yang memadai dan kewenangan untuk mengakses seluruh data Nasabah dan informasi lainnya yang terkait. (4) Direktur utama Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal tidak dapat menjadi penanggung jawab penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. (5) Dalam hal Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal merupakan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan/atau Manajer Investasi dalam satu badan usaha, Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal dapat hanya memiliki satu penanggung jawab penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. (6) Dalam hal Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal merupakan Bank Kustodian, penanggung jawab penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dapat ditugaskan kepada penanggung jawab Bank Kustodian atau dirangkap oleh penanggung jawab penerapan Prinsip Mengenal Nasabah pada Bank Umum. Bagian Kedua Unit Kerja Khusus Pasal 6 Dalam hal Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal membentuk unit kerja khusus sebagai penanggung jawab penerapan… -9- penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, berlaku ketentuan: a. unit kerja khusus paling kurang terdiri dari 1 (satu) orang yang bertindak sebagai pimpinan dan 1 (satu) orang yang bertindak sebagai pelaksana; b. pimpinan dan pelaksana pada unit kerja khusus dilarang merangkap untuk melaksanakan fungsi lainnya; c. pimpinan unit kerja khusus ditetapkan/diangkat oleh direktur utama; d. unit kerja khusus berada di bawah koordinasi direktur utama secara langsung dalam struktur organisasi Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal; dan e. unit kerja khusus bersifat independen dari fungsi lainnya. Bagian Ketiga Penugasan Pejabat Pasal 7 Dalam hal Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal menugaskan pejabat sebagai penanggung jawab penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, pejabat tersebut harus ditetapkan atau diangkat oleh direktur utama dan hanya dapat merangkap untuk melaksanakan fungsi manajemen risiko, fungsi kepatuhan, dan/atau fungsi audit internal. Bagian Keempat Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab Paragraf 1 Tugas Pasal 8 Penanggung jawab penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) mempunyai tugas paling kurang sebagai berikut: a. menyusun dan memelihara pedoman penerapan Prinsip… -10- Prinsip Mengenal Nasabah; b. memastikan bahwa prosedur identifikasi, verifikasi, dan pemantauan Nasabah masih memadai; c. memastikan bahwa formulir yang berkaitan dengan Nasabah telah mengakomodasi data yang diperlukan dalam pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah; d. memantau rekening Efek dan pelaksanaan transaksi Nasabah; e. melakukan evaluasi terhadap hasil pemantauan dan analisis transaksi Nasabah untuk memastikan ada atau tidak adanya Transaksi Keuangan Mencurigakan dan/atau transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme; f. menatausahakan hasil pemantauan dan evaluasi; g. memantau pengkinian data dan profil Nasabah; h. melakukan pengawasan terkait penerapan Prinsip Mengenal Nasabah terhadap unit-unit kerja terkait; i. menerima dan melakukan analisis atas laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan/atau transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai yang dilaporkan oleh unit-unit kerja yang ditugaskan; dan j. menyusun laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan/atau transaksi keuangan secara tunai sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait dengan Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme yang wajib dilaporkan kepada PPATK. Paragraf 2 Wewenang Pasal 9 Penanggung jawab penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) mempunyai wewenang paling kurang sebagai berikut: a. memperoleh … -11- a. memperoleh akses terhadap informasi yang dibutuhkan yang ada di seluruh unit organisasi Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal; b. melakukan koordinasi dan pemantauan terhadap pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah oleh unit-unit kerja terkait; c. mengusulkan pejabat dan/atau pegawai unit kerja terkait untuk membantu pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah; dan d. melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang dilakukan oleh Direksi, Dewan Komisaris, atau Pihak terafiliasi dengan Direksi atau Dewan Komisaris, secara langsung kepada PPATK. Paragraf 3 Tanggung Jawab Pasal 10 Penanggung jawab penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) mempunyai uraian tanggung jawab paling kurang sebagai berikut: a. memastikan seluruh kegiatan dalam rangka penerapan Prinsip Mengenal Nasabah terlaksana; b. memantau, menganalisis, dan merekomendasikan kebutuhan pelatihan tentang penerapan Prinsip Mengenal Nasabah bagi pejabat dan/atau pegawai Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal; dan c. menjaga kerahasiaan informasi terkait penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. BAB IV KEBIJAKAN DAN PROSEDUR Pasal 11 (1) Pedoman penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 memuat kebijakan… -12- kebijakan dan prosedur tertulis yang paling kurang mencakup: a. identifikasi dan verifikasi; b. Pemilik Manfaat (Beneficial Owner); c. CDD oleh pihak ketiga; d. manajemen risiko; e. area berisiko tinggi; f. pemantauan rekening Efek, transaksi Nasabah, dan pengkinian data Nasabah; g. penatausahaan dokumen; dan h. pelaporan. (2) Pedoman penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang dimiliki Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan perundang-undangan terkait pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme. Pasal 12 Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib menerapkan pedoman penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 secara konsisten dan berkesinambungan. Pasal 13 Pedoman penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 wajib mendapat persetujuan dari Dewan Komisaris. Bagian Pertama Identifikasi dan Verifikasi Pasal 14 (1) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib melakukan prosedur CDD pada saat: a. akan melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah… -13- Nasabah; b. melakukan hubungan usaha dengan Nasabah; c. terdapat keraguan kebenaran data, informasi, dan/atau dokumen pendukung yang diberikan oleh Nasabah dan/atau Pemilik Manfaat (Beneficial Owner); dan/atau d. terdapat indikasi transaksi keuangan yang mencurigakan yang terkait dengan Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. (2) CDD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari CDD sederhana, CDD standar, dan EDD. Pasal 15 (1) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib meminta data dan informasi kepada calon Nasabah. (2) Data dan informasi calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut: a. Untuk calon Nasabah orang perseorangan: 1. data sesuai dengan dokumen identitas, yaitu: a) nama; b) nomor identitas; c) alamat; d) tempat dan tanggal lahir; e) jenis kelamin; dan f) kewarganegaraan; 2. alamat tempat tinggal terkini (jika berbeda dengan dokumen identitas); 3. nomor telepon; 4. status perkawinan; 5. pekerjaan; 6. alamat dan nomor telepon tempat kerja (jika ada); 7. rata-rata penghasilan per tahun; 8. sumber… -14- 8. sumber dana; 9. maksud dan tujuan investasi; 10. identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) (jika ada); dan 11. nama bank dan nomor rekening. b. Untuk calon Nasabah non orang perseorangan: 1. nama; 2. nomor izin atau nomor izin usaha dari instansi berwenang; 3. bidang usaha/kegiatan; 4. alamat kedudukan; 5. nomor telepon; 6. tempat dan tanggal pendirian; 7. identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) (jika ada); 8. sumber dana; 9. maksud dan tujuan investasi; dan 10. nama bank dan nomor rekening. (3) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit disertai dengan spesimen tanda tangan dan dokumen pendukung sebagai berikut: a. Untuk orang perseorangan 1. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP), bagi Warga Negara Indonesia; atau 2. fotokopi Paspor, bagi Warga Negara Asing. b. Untuk non orang perseorangan 1. Badan usaha a) fotokopi anggaran dasar perusahaan; b) fotokopi izin usaha dari instansi yang berwenang; c) spesimen tanda tangan penerima kuasa; d) surat… -15- d) surat kuasa dari pejabat yang berwenang kepada penerima kuasa, guna bertindak untuk dan atas nama calon Nasabah atau Nasabah dalam berinvestasi di Pasar Modal, termasuk memberikan instruksi sehubungan dengan rekening Efek calon Nasabah; e) fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); f) laporan keuangan atau deskripsi kegiatan usaha; g) fotokopi surat keterangan domisili; h) struktur manajemen atau kepengurusan; i) struktur kepemilikan atau struktur pendiri; j) fotokopi dokumen identitas pengurus/Direksi yang berwenang mewakili calon Nasabah; dan k) dokumen mengenai pengendali akhir. 2. Yayasan a) fotokopi izin bidang kegiatan yayasan; b) deskripsi kegiatan yayasan; c) struktur dan nama pengurus yayasan; dan d) fotokopi dokumen identitas anggota pengurus yang berwenang mewakili yayasan untuk melakukan hubungan usaha dengan Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal. 3. Badan hukum lainnya a) fotokopi bukti pendaftaran pada pihak yang berwenang; b) nama penyelenggara; dan c) fotokopi dokumen identitas pihak yang berwenang mewakili badan hukum dalam melakukan hubungan usaha dengan Penyedia… -16- Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal. 4. Kelompok terorganisasi, asosiasi, dan perkumpulan lainnya yang bukan badan hukum a) fotokopi bukti pendaftaran pada pihak yang berwenang; b) nama penyelenggara; c) fotokopi akta pendirian dan/atau anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART); dan d) fotokopi dokumen identitas pihak yang berwenang mewakili kelompok terorganisasi, asosiasi, dan perkumpulan yang bukan badan hukum dalam melakukan hubungan usaha dengan Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal. (4) Dalam hal calon Nasabah berupa Lembaga Negara, Instansi Pemerintah, atau lembaga internasional, Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib meminta data dan informasi paling kurang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 1 dan angka 4 dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 1 huruf c) dan huruf d). (5) Persetujuan pembukaan rekening Efek atau hubungan usaha dapat diberikan oleh Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal setelah meyakini kebenaran identitas dan kelengkapan dokumen calon Nasabah serta mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat memungkinkan calon Nasabah melakukan kegiatan Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme. (6) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal dilarang membuka atau memelihara rekening Efek apabila: a. rekening Efek menggunakan nama fiktif; b. calon… -17- b. calon Nasabah atau Nasabah menolak untuk mematuhi Prinsip Mengenal Nasabah; atau c. Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal tidak dapat meyakini kebenaran identitas dan kelengkapan dokumen calon Nasabah atau Nasabah. Pasal 16 (1) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib mengelompokkan calon Nasabah atau Nasabah berdasarkan tingkat risiko terjadinya Pencucian Uang atau Pendanaan Terorisme. (2) Pengelompokan calon Nasabah atau Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang terdiri dari 3 (tiga) klasifikasi risiko, yaitu: a. rendah; b. menengah; dan c. tinggi. (3) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib menerapkan CDD berdasarkan tingkat risiko yang dimiliki calon Nasabah atau Nasabah. Pasal 17 (1) Calon Nasabah atau Nasabah masuk dalam kelompok risiko rendah jika memenuhi kriteria sebagai berikut: a. mempunyai profil sebagai berikut: 1. merupakan penerima Efek dalam rangka Employee Stock Ownership Program (ESOP) dan/atau Management Stock Ownership Program (MSOP) dari Emiten atau Perusahaan Publik; 2. berupa Emiten atau Perusahaan Publik; 3. perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Pemerintah; 4. berupa… -18- 4. berupa Lembaga Negara atau Instansi Pemerintah; atau 5. berupa lembaga internasional dimana Pemerintah atau yang mewakili menjadi anggota; b. pihak yang melakukan pemesanan Efek di pasar perdana paling banyak senilai Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); atau c. tidak mencapai kriteria tingkat risiko menengah. (2) Terhadap calon Nasabah atau Nasabah yang memenuhi kriteria tingkat risiko rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib: a. meneliti kebenaran data dan informasi yang disampaikan calon Nasabah atau Nasabah berdasarkan dokumen pendukung; dan b. memastikan data dan informasi tersebut adalah data terkini. (3) Dalam hal Nasabah tidak sesuai dengan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib melakukan prosedur CDD standar atau EDD. Pasal 18 (1) Calon Nasabah atau Nasabah masuk dalam kelompok risiko menengah jika memenuhi kriteria sebagai berikut: a. tidak termasuk dalam kriteria risiko rendah; b. tidak termasuk dalam kriteria berisiko tinggi; c. bagi calon Nasabah atau Nasabah Manajer Investasi yang: 1. melakukan pembelian (subscription) Efek Reksa Dana dan produk investasi lainnya; 2. memiliki Efek Reksa Dana dan produk investasi lainnya pada akhir bulan; atau 3. memiliki… -19- 3. memiliki akumulasi transaksi pembelian (subscription) dan penjualan kembali (redemption) Efek Reksa Dana dan produk investasi lainnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan, lebih dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); atau d. bagi calon Nasabah atau Nasabah Perantara Pedagang Efek yang: 1. melakukan penyetoran dana lebih dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dalam 1 (satu) hari; 2. memiliki dana dan/atau Efek dengan total lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) pada akhir bulan; atau 3. memiliki akumulasi transaksi Efek lebih dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dalam jangka waktu 1 (satu) bulan. (2) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib melakukan verifikasi data dan informasi calon Nasabah atau Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan cara: a. membandingkan data dan informasi calon Nasabah atau Nasabah dengan dokumen pendukung sebelum melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah; b. melakukan pertemuan langsung (face to face) dengan calon Nasabah atau Nasabah dan membandingkan data dan informasi calon Nasabah atau Nasabah dengan dokumen asli dengan ketentuan sebagai berikut: 1. dilaksanakan langsung oleh pegawai Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal, dengan dibuktikan oleh surat pernyataan secara tertulis dalam format bebas yang menyatakan pegawai… -20- pegawai tersebut telah melaksanakan pertemuan langsung (face to face) dengan calon Nasabah atau Nasabah; 2. diwakili oleh pihak lain yang memiliki perjanjian dengan Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal (outsourcing), dengan ketentuan pihak lain yang dapat mewakili Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal harus mengetahui prinsip dasar CDD; atau 3. digantikan dengan menggunakan media elektronik, dengan ketentuan media elektronik tersebut dapat memberikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang yang berlaku dan dapat dipertanggungjawabkan; c. melakukan wawancara dengan calon Nasabah atau Nasabah untuk meneliti dan meyakini keabsahan dan kebenaran dokumen, dalam hal terdapat keraguan atas data, informasi, dan/atau dokumen pendukung yang diterima; dan d. melakukan konfirmasi terkait kebenaran atas kewenangan pihak yang mewakili atau bertindak untuk dan atas nama Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), jika calon Nasabah atau Nasabah bertindak sebagai kuasa dari atau mewakili Pemilik Manfaat (Beneficial Owner). (3) Bagi Nasabah yang sebelumnya masuk dalam kelompok risiko rendah namun pada saat melakukan CDD sederhana telah melakukan pertemuan langsung (face to face) nasabah, Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal tidak perlu melakukan pertemuan langsung (face to face) lagi saat Nasabah memenuhi kriteria dalam kelompok risiko menengah. (4) Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu)… -21- (satu) tahun sejak Nasabah memenuhi kriteria dalam kelompok Nasabah berisiko menengah. Pasal 19 (1) Calon Nasabah atau Nasabah masuk dalam kelompok risiko tinggi jika memenuhi kriteria sebagai berikut: a. calon Nasabah atau Nasabah dan/atau Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) termasuk dalam area berisiko tinggi; b. terdapat perubahan profil atau informasi penting yang signifikan, sehingga Nasabah termasuk dalam area berisiko tinggi; c. perintah transaksi dilakukan oleh pemegang rekening Efek tanpa adanya dasar hukum yang sah; dan/atau d. Nasabah yang melakukan transaksi tidak sesuai dengan profil, karakteristik, dan kebiasaan pola transaksi. (2) Terhadap calon Nasabah atau Nasabah yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib melakukan EDD antara lain dengan cara sebagai berikut: a. membandingkan data dan informasi calon Nasabah atau Nasabah dengan dokumen pendukung sebelum melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah; b. melakukan verifikasi terhadap data dan informasi calon Nasabah atau Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) yang didasarkan pada kebenaran informasi, kebenaran sumber informasi, dan jenis informasi yang terkait, jika calon Nasabah bertindak untuk kepentingan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner); c. melakukan verifikasi hubungan bisnis yang dilakukan… -22- dilakukan oleh calon Nasabah dengan pihak ketiga, jika calon Nasabah bertindak untuk dan atas nama Pemilik Manfaat (Beneficial Owner); d. melakukan konfirmasi terkait kebenaran atas kewenangan pihak yang mewakili atau bertindak untuk dan atas nama Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), jika calon Nasabah atau Nasabah bertindak sebagai kuasa dari atau mewakili Pemilik Manfaat (Beneficial Owner); e. melakukan pertemuan langsung (face to face) sebelum melakukan hubungan usaha dan membandingkan data dan informasi calon Nasabah atau Nasabah dengan dokumen asli; f. melakukan wawancara dengan calon Nasabah untuk meneliti dan meyakini keabsahan dan kebenaran dokumen, dalam hal terdapat keraguan atas informasi dan/atau dokumen pendukung yang diterima; dan g. melakukan CDD secara berkala paling kurang berupa analisis terhadap informasi mengenai Nasabah, sumber dana, tujuan investasi, dan hubungan bisnis dengan pihak terkait. Pasal 20 Dalam menetapkan pengelompokan calon Nasabah atau Nasabah berdasarkan tingkat risiko, Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib paling kurang sesuai dengan pengelompokan dan kriteria sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 21 (1) Dalam hal terjadi perubahan tingkat risiko Nasabah dari tingkat risiko rendah menjadi tingkat risiko menengah, Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib melakukan proses verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf c dan huruf d dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak Nasabah… -23- Nasabah memenuhi kriteria tingkat risiko menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1). (2) Dalam hal terjadi perubahan tingkat risiko Nasabah dari tingkat risiko rendah atau tingkat risiko menengah menjadi tingkat risiko tinggi, Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib melakukan proses verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f sebelum melanjutkan hubungan usaha dengan Nasabah. Pasal 22 Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal dapat meminta data, informasi, dan/atau dokumen pendukung lainnya untuk memastikan kebenaran profil calon Nasabah atau Nasabah dalam rangka melakukan identifikasi dan verifikasi dengan mempertimbangkan: a. tingkat kemungkinan terjadinya Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme; dan/atau b. produk, jasa, dan/atau teknologi yang digunakan oleh calon Nasabah atau Nasabah. Pasal 23 (1) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal paling kurang melakukan prosedur CDD sederhana terhadap calon Nasabah atau Nasabah yang memiliki tingkat risiko rendah. (2) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal paling kurang melakukan prosedur CDD standar terhadap calon Nasabah atau Nasabah yang memiliki tingkat risiko menengah. (3) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib melakukan prosedur EDD terhadap calon Nasabah atau Nasabah yang memiliki tingkat risiko tinggi. (4) Apabila terdapat ketidaksesuaian antara transaksi dan/atau profil Nasabah dengan kriteria pada tingkat risiko… -24- risiko yang telah ditetapkan, Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib menetapkan kembali pengelompokan Nasabah tersebut pada tingkat risiko yang sesuai dan menerapkan: a. prosedur CDD standar bagi Nasabah yang semula tergolong berisiko rendah berubah menjadi berisiko menengah sesuai dengan penetapan tingkat risiko yang baru; atau b. prosedur EDD bagi Nasabah yang semula tergolong berisiko rendah atau menengah berubah menjadi berisiko tinggi. Bagian Kedua Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) Pasal 24 (1) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib memastikan bahwa calon Nasabah bertindak untuk diri sendiri atau untuk kepentingan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner). (2) Dalam hal calon Nasabah bertindak untuk kepentingan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib melakukan CDD terhadap Pemilik Manfaat (Beneficial Owner). (3) Dalam hal terdapat perbedaan tingkat risiko antara calon Nasabah atau Nasabah dengan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), penerapan CDD dilakukan mengikuti tingkat risiko yang lebih tinggi. (4) Kewajiban melakukan CDD terhadap Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi calon Nasabah atau Nasabah yang memiliki tingkat risiko rendah. Pasal 25 (1) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib memperoleh… -25- memperoleh bukti atas identitas dan/atau informasi lainnya mengenai Pemilik Manfaat (Beneficial Owner). (2) Bukti atas identitas dan/atau informasi lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain berupa: a. bagi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) orang perseorangan: 1. data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a; 2. dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) huruf a; 3. hubungan hukum antara calon Nasabah dengan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) yang ditunjukkan dengan surat perjanjian, surat kuasa, atau bentuk lainnya; 4. pernyataan dari calon Nasabah mengenai kebenaran identitas maupun sumber dana dari Pemilik Manfaat (Beneficial Owner); dan 5. pernyataan dari Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) bahwa yang bersangkutan adalah pemilik sebenarnya dari dana calon Nasabah atau Nasabah. b. bagi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) non orang perseorangan: 1. data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b; 2. dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) huruf b; 3. pernyataan dari calon Nasabah mengenai kebenaran identitas maupun sumber dana dari Pemilik Manfaat (Beneficial Owner); dan 4. pernyataan dari Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) bahwa yang bersangkutan adalah pemilik sebenarnya dari dana calon Nasabah atau… -26- atau Nasabah. (3) Dalam hal calon Nasabah merupakan penyedia jasa keuangan lain di sektor Pasar Modal di dalam negeri yang bertindak untuk dan atas nama Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), dokumen mengenai Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dapat berupa pernyataan tertulis dari calon Nasabah. (4) Dalam hal calon Nasabah merupakan penyedia jasa keuangan Pasar Modal di luar negeri yang bertindak untuk dan atas nama Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dan menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah berdasarkan peraturan di negara Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) yang paling kurang setara dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dokumen mengenai Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dapat berupa pernyataan tertulis dari calon Nasabah tersebut. (5) Dalam hal penerapan Prinsip Mengenal Nasabah oleh penyedia jasa keuangan Pasar Modal di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak setara dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (6) Dalam hal Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal meragukan atau tidak dapat meyakini identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib menolak untuk melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah. Pasal 26 Kewajiban penyampaian data, informasi, dan/atau dokumen identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b tidak berlaku bagi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) yang merupakan: a. lembaga... -27- a. lembaga negara atau instansi pemerintah; b. perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Pemerintah; atau c. Perusahaan Publik atau Emiten. Bagian Ketiga CDD oleh Pihak Ketiga Pasal 27 (1) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal dapat menunjuk pihak ketiga untuk melaksanakan identifikasi dan verifikasi sebagai bagian dari pelaksanaan CDD. (2) Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: a. penyedia jasa keuangan lain di dalam negeri; b. penyedia jasa keuangan di sektor Pasar Modal di luar negeri; atau c. pihak lain di dalam negeri yang bukan merupakan penyedia jasa keuangan, yang melakukan kerja sama dengan Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal. (3) Dalam hal Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal menunjuk pihak ketiga untuk melaksanakan CDD, Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal dapat menggunakan hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga. (4) Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki prosedur CDD sesuai dengan ketentuan yang berlaku; b. memiliki kontrak kerja sama dengan Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal dalam bentuk perjanjian tertulis; c. bersedia memenuhi permintaan data, informasi, dan… -28- dan dokumen pendukung dengan segera apabila dibutuhkan oleh Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal dalam rangka penerapan Prinsip Mengenal Nasabah; dan d. tidak berkedudukan di Negara yang Berisiko Tinggi (High Risk Countries). (5) Dalam hal pihak ketiga berkedudukan di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, wajib memenuhi kriteria bahwa pihak ketiga tersebut telah menjalankan Prinsip Mengenal Nasabah secara efektif sesuai dengan rekomendasi The Financial Action Task Force (FATF). (6) Dalam hal pihak ketiga bukan merupakan penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, prosedur CDD ditetapkan oleh dan di bawah koordinasi Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal. (7) Dalam hal Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal menunjuk pihak ketiga, Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib: a. memiliki dan melaksanakan prosedur uji kelayakan dan pengawasan terhadap pihak ketiga dalam penerapan CDD; b. memastikan penerapan CDD yang dilakukan oleh pihak ketiga telah sesuai dengan prosedur CDD yang telah ditetapkan Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal; c. melaksanakan penatausahaan dokumen hasil CDD yang dilakukan oleh pihak ketiga; dan d. bertanggung jawab atas hasil CDD yang dilakukan oleh pihak ketiga. Pasal 28 (1) Dalam hal Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal bertindak sebagai agen penjual produk penyedia… -29- penyedia jasa keuangan lainnya, Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib memenuhi permintaan informasi hasil CDD dan salinan dokumen pendukung apabila sewaktu-waktu dibutuhkan oleh penyedia jasa keuangan lainnya tersebut dalam rangka pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah. (2) Tata cara pemenuhan permintaan informasi hasil CDD dan salinan dokumen pendukung dituangkan dalam perjanjian kerja sama antara Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal dengan penyedia jasa keuangan lainnya tersebut. Bagian Keempat Manajemen Risiko Pasal 29 Kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan dan prosedur manajemen risiko Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal secara keseluruhan. Pasal 30 Kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 paling kurang mencakup: a. pengawasan oleh Direksi dan Dewan Komisaris Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal; b. pendelegasian wewenang; c. pemisahan tugas; dan d. sistem pengawasan internal termasuk audit internal. Pasal 31 (1) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib melakukan pengujian terhadap keefektifan dari pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah. (2) Pengujian… -30- (2) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengambil contoh secara acak (random sampling). (3) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib mendokumentasikan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 32 Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib mendokumentasikan dan melakukan pemutakhiran jenis, indikator, dan contoh dari transaksi keuangan yang mencurigakan yang timbul di berbagai unit kerja terkait. Bagian Kelima Area Berisiko Tinggi Pasal 33 Calon Nasabah atau Nasabah dianggap dan/atau dikelompokkan dalam area berisiko tinggi apabila: a. latar belakang atau profil calon Nasabah atau Nasabah dan pengendali calon Nasabah atau Nasabah termasuk PEP atau Nasabah yang Berisiko Tinggi (High Risk Customer); b. bidang usaha calon Nasabah atau Nasabah termasuk Usaha yang Berisiko Tinggi (High Risk Business); c. negara atau teritori asal, domisili, atau dilakukannya transaksi calon Nasabah atau Nasabah termasuk Negara yang Berisiko Tinggi (High Risk Countries); d. tercantum dalam daftar nama-nama teroris; dan/atau e. transaksi yang dilakukan diduga terkait dengan tindak pidana di Sektor Pasar Modal, tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana Pendanaan Terorisme. Pasal 34 Tindakan Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari anggota Direksi, pejabat setingkat di bawah Direksi, atau manajer senior dalam hal: a. Penyedia… -31- a. Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal akan melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah yang dianggap dan/atau dikelompokkan mempunyai risiko tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1); dan/atau b. pengambilan keputusan untuk meneruskan atau menghentikan hubungan usaha dengan Nasabah yang dianggap dan/atau dikelompokkan mempunyai risiko tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1). Bagian Keenam Pemantauan Rekening dan Pemutakhiran Data Nasabah Pasal 35 (1) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib melakukan pemantauan data Nasabah secara berkesinambungan untuk memastikan transaksi yang dilakukan Nasabah sesuai dengan profil, karakteristik, dan/atau kebiasaan pola transaksi Nasabah yang bersangkutan. (2) Dalam melaksanakan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib memiliki sistem pemantauan yang dapat: a. mengidentifikasi, menganalisa, memantau, dan menyediakan laporan secara efektif mengenai profil, karakteristik dan/atau kebiasaan pola transaksi yang dilakukan oleh Nasabah; dan b. menelusuri setiap transaksi, apabila diperlukan, termasuk penelusuran atas identitas Nasabah, bentuk transaksi, tanggal transaksi, jumlah dan denominasi transaksi, serta sumber dana yang digunakan untuk transaksi. (3) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib melakukan pemantauan rekening Efek dan transaksi Nasabah termasuk analisa terkait dengan kemungkinan… -32- kemungkinan adanya tindak pidana asal (predicate offense) dan Pendanaan Terorisme. (4) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal dapat meminta data dan/atau informasi lebih lanjut kepada Nasabah terhadap transaksi yang tidak sesuai dengan profil, karakteristik, dan/atau kebiasaan pola transaksi. (5) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib melakukan evaluasi terhadap hasil pemantauan rekening Efek dan transaksi Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk memastikan ada atau tidak adanya transaksi keuangan yang mencurigakan. (6) Dalam hal terdapat transaksi keuangan yang mencurigakan, Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib meminta data dan/atau informasi lebih lanjut kepada Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (7) Dalam hal data dan/atau informasi yang disampaikan Nasabah tidak memberikan penjelasan yang meyakinkan, maka Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan tersebut kepada PPATK. (8) Dalam hal terdapat kesamaan nama dan informasi lain atas nasabah dengan nama dan informasi yang tercantum dalam daftar nama teroris, Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib melaporkan Nasabah tersebut dalam laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan. Pasal 36 (1) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib melakukan upaya pengkinian data, informasi, dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) dalam hal terdapat perubahan yang diketahui dari pemantauan Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal terhadap Nasabah atau informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan… -33- dipertanggungjawabkan. (2) Pemantauan secara berkala terkait profil Nasabah untuk kepentingan pengkinian data dilaksanakan paling kurang 1 (satu) kali dalam jangka waktu: 1. 3 (tiga) tahun untuk Nasabah yang tergolong dalam tingkat risiko rendah; 2. 1 (satu) tahun untuk Nasabah yang tergolong dalam tingkat risiko menengah; dan/atau 3. 6 (enam) bulan untuk Nasabah yang tergolong dalam tingkat risiko tinggi. (3) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib mendokumentasikan upaya pengkinian data sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Ketujuh Penatausahaan Dokumen Pasal 37 (1) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib membuat dan mendokumentasikan daftar Nasabah sesuai dengan tingkat risiko Nasabah. (2) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib menatausahakan dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3). (3) Penatausahaan dokumen sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dalam jangka waktu paling kurang 5 (lima) tahun sejak berakhirnya hubungan usaha dengan Nasabah. (4) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib menyimpan catatan dan dokumen mengenai seluruh proses identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib memberikan data, informasi, dan/atau dokumen yang ditatausahakan apabila diminta oleh Otoritas Jasa Keuangan dan/atau otoritas lain yang berwenang sebagaimana… -34- sebagaimana diatur oleh undang-undang. Bagian Kedelapan Pelaporan Pasal 38 (1) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, laporan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai, dan/atau laporan lain kepada PPATK sebagaimana diatur dalam ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme. (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan yang dikeluarkan oleh PPATK. BAB V SISTEM INFORMASI Pasal 39 (1) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib memiliki sistem informasi yang dapat menyimpan data dan informasi Nasabah serta data transaksi Nasabah dimaksud. (2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib digunakan sebagai salah satu parameter dalam melakukan pemantauan transaksi Nasabah. (3) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyediakan fasilitas indikator transaksi keuangan yang berpotensi mencurigakan. (4) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan rincian orang, bidang usaha, dan negara yang memenuhi kriteria area berisiko tinggi dan wajib dilakukan pengkinian secara reguler. (5) Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib memastikan… -35- memastikan pemantauan transaksi Nasabah dengan menggunakan sistem informasi dapat terlaksana secara efektif dan berkesinambungan. BAB VI SUMBER DAYA MANUSIA DAN PELATIHAN Pasal 40 Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib melakukan prosedur penyaringan (screening) dalam rangka penerimaan pegawai. Pasal 41 Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib melaksanakan program pelatihan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah kepada semua pegawai yang terkait dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, yang dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. menyusun program pelatihan yang dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 2 (dua) tahun; b. melaksanakan program pelatihan sesuai dengan jadwal program yang telah disusun; dan c. melaporkan pelaksanaan program pelatihan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada tahun berikutnya setelah tahun pelaksanaan program pelatihan. BAB VII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 42 Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan pengembangan teknologi dalam skema Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme. Pasal 43 Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib bekerja sama dengan penegak hukum dan otoritas yang berwenang dalam… -36- dalam rangka memberantas Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme. BAB VIII SANKSI Pasal 44 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f atau huruf g. Pasal 45 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 46… -37- Pasal 46 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 kepada masyarakat. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 47 Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib menyampaikan pedoman penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 48 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: a. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep- 476/BL/2009 tanggal 23 Desember 2009 tentang Prinsip Mengenal Nasabah Oleh Penyedia Jasa Keuangan di Bidang Pasar Modal beserta Peraturan Nomor V.D.10 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan b. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7/SEOJK.04/2014 tanggal 24 April 2014 tentang Penerapan Pelaksanaan Pertemuan Langsung (Face To Face) dalam Penerimaan Pemegang Efek Reksa Dana Melalui Pembukaan Rekening Secara Elektronik serta Tata Cara Penjualan (Subscription) dan Pembelian Kembali (Redemption) Efek Reksa Dana Secara Elektronik, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 49… -38- Pasal 49 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 18 November 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 19 November 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 353 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum I Departemen Hukum, Ttd. td.Ttdd. Tini Kustini
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 22/POJK.04/2014 </reg_id> <reg_title> PRINSIP MENGENAL NASABAH OLEH PENYEDIA JASA KEUANGAN DI SEKTOR PASAR MODAL </reg_title> <set_date> 18 November 2014 </set_date> <effective_date> 19 November 2014 </effective_date> <issued_date> 19 November 2014 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-476/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009', 'Kep-476/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor V.D.10' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '8/UU/2010', '21/UU/2011', '9/UU/2013' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 36 /POJK.05/2015 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN MODAL VENTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa salah satu upaya untuk memperkuat industri perusahaan modal ventura adalah dengan meningkatkan kualitas pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik bagi perusahaan modal ventura; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Modal Ventura; Mengingat : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN MODAL VENTURA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Usaha Modal Ventura adalah usaha pembiayaan melalui penyertaan modal dan/atau pembiayaan untuk jangka waktu tertentu dalam rangka pengembangan usaha pasangan usaha atau debitur. 2. Perusahaan Modal Ventura yang selanjutnya disingkat PMV adalah badan usaha yang melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura, pengelolaan dana ventura, kegiatan jasa berbasis fee, dan kegiatan usaha lain dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. 3. Usaha Modal Ventura Syariah adalah usaha pembiayaan melalui kegiatan investasi dan/atau pelayanan jasa yang dilakukan untuk jangka waktu tertentu dalam rangka pengembangan usaha yang dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah. 4. Perusahaan Modal Ventura Syariah yang selanjutnya disingkat PMVS adalah badan usaha yang melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah, pengelolaan dana ventura, dan kegiatan usaha lain dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan yang seluruhnya dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah. 5. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. - 3 - 6. Investor Dana Ventura adalah orang perseorangan atau lembaga baik dari dalam negeri atau luar negeri yang melakukan suatu investasi ke dalam dana ventura. 7. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit kerja dari kantor pusat PMV yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor yang melaksanakan kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah. 8. Pasangan Usaha adalah orang perseorangan atau perusahaan termasuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi yang menerima penyertaan modal dan/atau investasi berdasarkan prinsip bagi hasil dari PMV, PMVS, atau UUS. 9. Debitur adalah orang perseorangan atau perusahaan termasuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi yang menerima pembiayaan usaha produktif dari PMV. 10. Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi PMV atau PMVS yang selanjutnya disebut Tata Kelola Perusahaan Yang Baik adalah struktur dan proses yang digunakan dan diterapkan organ PMV atau PMVS untuk meningkatkan pencapaian sasaran hasil usaha dan mengoptimalkan nilai PMV atau PMVS bagi seluruh pemangku kepentingan secara akuntabel dan berlandaskan peraturan perundang-undangan serta nilai-nilai etika. 11. Organ PMV atau PMVS adalah rapat umum pemegang saham, direksi, dewan komisaris, dan/atau dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum koperasi dan yang berbentuk badan usaha perseroan komanditer. - 4 - 12. Pemangku Kepentingan adalah pihak yang memiliki kepentingan terhadap PMV atau PMVS, baik langsung maupun tidak langsung, antara lain Pasangan Usaha, Debitur, anggota/pemegang saham, karyawan, Investor Dana Ventura, kreditur, pemberi dana, penyedia barang dan jasa, dan/atau pemerintah. 13. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah rapat umum pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan RUPS bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum koperasi dan yang berbentuk badan usaha perseroan komanditer. 14. Pemegang Saham adalah pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Pemegang Saham bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum koperasi dan yang berbentuk badan usaha perseroan komanditer. 15. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Direksi bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum koperasi atau yang berbentuk badan usaha perseroan komanditer. 16. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Dewan Komisaris bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum koperasi atau yang berbentuk badan usaha perseroan komanditer. - 5 - 17. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang tidak terafiliasi dengan Pemegang Saham, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris lainnya, dan/atau anggota dewan pengawas syariah, yaitu tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham, dan/atau hubungan keluarga dengan Pemegang Saham, anggota Direksi, Dewan Komisaris lainnya dan/atau anggota dewan pengawas syariah atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen. 18. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah bagian dari Organ PMV atau PMVS yang mempunyai tugas dan fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan usaha agar sesuai dengan Prinsip Syariah. 19. Benturan Kepentingan adalah keadaan dimana terdapat konflik antara kepentingan ekonomis PMV atau PMVS dan kepentingan ekonomis pribadi Pemegang Saham, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau DPS serta pegawai PMV atau PMVS. 20. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. BAB II PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK Pasal 2 (1) PMV atau PMVS wajib melaksanakan prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. (2) Prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. keterbukaan (transparency), yaitu keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan dan - 6 - keterbukaan dalam pengungkapan dan penyediaan informasi yang relevan mengenai PMV atau PMVS, yang mudah diakses oleh Pemangku Kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang modal ventura serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha yang sehat; b. akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban Organ PMV atau PMVS sehingga kinerja PMV atau PMVS dapat berjalan secara transparan, wajar, efektif, dan efisien; c. pertanggungjawaban (responsibility), yaitu kesesuaian pengelolaan PMV atau PMVS dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang modal ventura dan nilai-nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha yang sehat; d. kemandirian (independency), yaitu keadaan PMV atau PMVS yang dikelola secara mandiri dan profesional serta bebas dari Benturan Kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang modal ventura dan nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha yang sehat; dan e. kesetaraan dan kewajaran (fairness), yaitu kesetaraan, keseimbangan, dan keadilan di dalam memenuhi hak Pemangku Kepentingan yang timbul berdasarkan perjanjian, ketentuan peraturan perundang-undangan, dan nilai etika serta standar, prinsip, dan penyelenggaraan usaha yang sehat. praktik - 7 - (3) Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik bertujuan untuk: a. mengoptimalkan nilai PMV atau PMVS bagi Pemangku Kepentingan, khususnya Pasangan Usaha, Debitur, kreditur, pemberi dana, dan/atau Investor Dana Ventura; b. meningkatkan pengelolaan PMV atau PMVS secara profesional, efektif, dan efisien; c. meningkatkan kepatuhan Organ PMV atau PMVS dan jajaran di bawahnya agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi pada etika yang tinggi, kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, dan kesadaran atas tanggung jawab sosial PMV atau PMVS terhadap Pemangku Kepentingan maupun kelestarian lingkungan; d. mewujudkan PMV atau PMVS yang lebih sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif; dan e. meningkatkan kontribusi PMV atau PMVS dalam perekonomian nasional. (4) Pelaksanaan prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dituangkan dalam suatu pedoman yang paling sedikit memuat: a. b. kelengkapan dan tata cara pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan kerja yang menjalankan fungsi pengendalian intern; c. kebijakan dan prosedur penerapan fungsi kepatuhan, audit intern, dan audit ekstern; d. kebijakan dan prosedur penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian intern; e. kebijakan remunerasi; f. kebijakan transparansi kondisi keuangan dan non keuangan; dan tata cara pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi; - 8 - g. tata cara penyusunan rencana jangka panjang serta rencana kerja dan anggaran tahunan. BAB III RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM Pasal 3 (1) RUPS PMV atau PMVS wajib diselenggarakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar PMV atau PMVS yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. (2) Dalam mengambil keputusan, RUPS harus menjaga kepentingan semua pihak, khususnya kepentingan Pasangan Usaha, Debitur, kreditur, pemberi dana, Investor Dana Ventura, dan/atau kepentingan Pemegang Saham minoritas. BAB IV PEMEGANG SAHAM Pasal 4 (1) Pemegang Saham PMV atau PMVS harus memenuhi persyaratan: a. setoran modal Pemegang Saham PMV atau PMVS tidak berasal dari pinjaman; b. setoran modal Pemegang Saham PMV atau PMVS tidak berasal dari kegiatan pencucian uang (money laundering) dan kejahatan keuangan; c. tidak tercatat dalam daftar kredit macet; d. tidak tercatat dalam daftar tidak lulus (DTL) di sektor jasa keuangan; e. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau perekonomian dalam 5 (lima) tahun terakhir; f. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan keputusan - 9 - pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; g. tidak pernah dinyatakan pailit atau bersalah yang menyebabkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan h. tidak pernah menjadi Pemegang Saham, Direksi, Dewan Komisaris, atau DPS pada perusahaan jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam 5 (lima) tahun terakhir. (2) Bagi PMV atau PMVS yang telah memperdagangkan sahamnya di bursa efek, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku bagi Pemegang Saham pengendali PMV atau PMVS yang bersangkutan. Pasal 5 Pemegang Saham PMV atau PMVS melalui RUPS memastikan PMV atau PMVS dijalankan berdasarkan praktik usaha yang sehat. Pasal 6 Pemegang Saham harus memiliki komitmen terhadap pengembangan operasional PMV atau PMVS. Pasal 7 (1) Pemegang Saham PMV atau PMVS dilarang mencampuri kegiatan operasional PMV atau PMVS yang menjadi tanggung jawab Direksi sesuai dengan ketentuan anggaran dasar PMV atau PMVS dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban selaku RUPS. (2) Pemegang Saham PMV atau PMVS yang menjabat sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, - 10 - atau anggota DPS pada PMV atau PMVS yang sama harus mendahulukan kepentingan PMV atau PMVS. BAB V DIREKSI Pasal 8 (1) PMV atau PMVS wajib memiliki paling sedikit 2 (dua) orang anggota Direksi. (2) Seluruh anggota Direksi dari PMV atau PMVS yang seluruh Pemegang Sahamnya: a. warga negara Indonesia; dan/atau b. badan hukum Indonesia, wajib berkewarganegaraan Indonesia. (3) PMV atau PMVS yang di dalamnya terdapat kepemilikan asing baik secara langsung maupun tidak langsung wajib memiliki paling sedikit 1 (satu) orang anggota Direksi yang berkewarganegaraan Indonesia. (4) Anggota Direksi PMV atau PMVS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib berdomisili di wilayah negara Republik Indonesia. (5) Anggota Direksi PMV atau PMVS yang berkewarganegaraan asing wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Pasal 9 (1) Anggota Direksi PMV atau PMVS wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. tidak tercatat dalam daftar kredit macet; b. tidak tercatat dalam daftar tidak lulus (DTL) di sektor jasa keuangan; c. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau perekonomian dalam 5 (lima) tahun terakhir; d. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan keputusan dibidang - 11 - pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; e. tidak pernah dinyatakan pailit atau bersalah yang menyebabkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; f. tidak pernah menjadi Pemegang Saham, Direksi, Dewan Komisaris, atau DPS pada perusahaan jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan g. salah satu anggota Direksi PMV atau PMVS harus memiliki pengalaman operasional di bidang modal ventura, perbankan, atau lembaga jasa keuangan lainnya paling singkat 2 (dua) tahun. (2) Anggota Direksi PMV atau PMVS wajib memenuhi kriteria sebagai berikut: a. mampu untuk bertindak dengan itikad baik, jujur, dan profesional; b. mampu bertindak untuk kepentingan PMV atau PMVS dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya; c. mendahulukan kepentingan PMV atau PMVS dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya dari pada kepentingan pribadi; d. mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaian independen dan objektif untuk kepentingan PMV atau PMVS dan Pemangku Kepentingan lainnya; dan e. mampu kewenangannya menghindarkan untuk penyalahgunaan mendapatkan keuntungan pribadi yang tidak semestinya atau menyebabkan kerugian bagi PMV atau PMVS. - 12 - Pasal 10 Anggota Direksi PMV atau PMVS wajib: a. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, anggaran dasar, dan peraturan internal lain dari PMV atau PMVS dalam melaksanakan tugasnya; b. mengelola PMV atau PMVS sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawabnya; c. mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada RUPS; d. memastikan agar PMV atau PMVS memperhatikan kepentingan semua pihak, khususnya kepentingan Pasangan Usaha, Debitur, kreditur, pemberi dana, dan/atau Investor Dana Ventura; e. memastikan agar informasi mengenai PMV atau PMVS diberikan kepada Dewan Komisaris dan anggota DPS secara tepat waktu dan lengkap; dan f. membantu dan menyediakan fasilitas dan/atau sumber daya untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang Organ PMV atau PMVS. Pasal 11 Anggota Direksi PMV atau PMVS dilarang: a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan Kepentingan dengan kegiatan PMV atau PMVS tempat anggota Direksi dimaksud menjabat; b. memanfaatkan jabatannya pada PMV atau PMVS tempat anggota Direksi dimaksud menjabat untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan PMV atau PMVS tempat anggota Direksi dimaksud menjabat; c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari PMV atau PMVS tempat anggota Direksi dimaksud menjabat selain remunerasi dan fasilitas yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS; dan d. memenuhi permintaan Pemegang Saham yang terkait dengan kegiatan operasional PMV atau PMVS tempat - 13 - anggota Direksi dimaksud menjabat selain yang telah ditetapkan dalam RUPS. Pasal 12 (1) Anggota Direksi PMV wajib menyelenggarakan rapat Direksi secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan. (2) Anggota Direksi PMV wajib menghadiri rapat Direksi paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah rapat Direksi dalam periode 1 (satu) tahun. (3) Hasil rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat Direksi dan didokumentasikan dengan baik. (4) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi dalam keputusan rapat Direksi wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat Direksi disertai alasan perbedaan pendapat (dissenting opinions) tersebut. (5) Direksi PMV atau PMVS yang hadir maupun yang tidak hadir dalam rapat Direksi berhak menerima salinan risalah rapat Direksi. (6) Jumlah rapat Direksi yang telah diselenggarakan dan jumlah kehadiran masing-masing Direksi PMV atau PMVS harus dimuat dalam laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik. Pasal 13 Direksi PMV atau PMVS harus menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat bertindak secara independen, tidak mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan tugas secara mandiri dan objektif. BAB VI DEWAN KOMISARIS Pasal 14 (1) PMV atau PMVS yang memiliki aset lebih dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) wajib - 14 - memiliki paling sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan Komisaris. (2) PMV atau PMVS wajib mempunyai paling sedikit 1 (satu) orang anggota Dewan Komisaris yang berdomisili di wilayah negara Republik Indonesia. (3) Dewan Komisaris PMV atau PMVS yang berkewarganegaraan asing wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Pasal 15 (1) Anggota Dewan Komisaris PMV atau PMVS wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. tidak tercatat dalam daftar kredit macet; b. tidak tercatat dalam daftar tidak lulus (DTL) di sektor jasa keuangan; c. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau perekonomian dalam 5 (lima) tahun terakhir; d. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; e. tidak pernah dinyatakan pailit atau bersalah yang menyebabkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan f. tidak pernah menjadi Pemegang Saham, Direksi, Dewan Komisaris, atau DPS pada perusahaan jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam 5 (lima) tahun terakhir; (2) Anggota Dewan Komisaris PMV atau PMVS wajib: a. melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi; dibidang - 15 - b. mengawasi Direksi dalam menjaga keseimbangan kepentingan semua pihak; c. menyusun laporan kegiatan Dewan Komisaris yang merupakan bagian dari laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik; d. memantau efektifitas penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik; e. memberikan persetujuan dalam hal DPS memerlukan bantuan anggota komite yang struktur organisasinya berada di bawah Dewan Komisaris; f. memastikan bahwa Direksi telah menindaklanjuti temuan audit dan rekomendasi dari satuan kerja audit intern PMV atau PMVS, auditor eksternal, hasil pengawasan OJK, pengawasan otoritas lain; dan dan/atau hasil g. melaporkan kepada PMV atau PMVS mengenai kepemilikan sahamnya dan/atau keluarganya pada PMV atau PMVS tersebut dan/atau perusahaan lain. Pasal 16 Anggota Dewan Komisaris PMV atau PMVS dilarang: a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan Kepentingan dengan kegiatan PMV atau PMVS tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat; b. memanfaatkan jabatannya pada PMV atau PMVS tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan PMV atau PMVS tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat; c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari PMV atau PMVS tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat, selain remunerasi dan fasilitas yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS; dan - 16 - d. mencampuri kegiatan operasional PMV atau PMVS yang menjadi tanggung jawab Direksi. Pasal 17 Anggota Dewan Komisaris PMV atau PMVS berhak memperoleh informasi dari Direksi mengenai PMV secara lengkap dan tepat waktu. Pasal 18 PMV atau PMVS wajib memiliki fungsi yang membantu anggota Dewan Komisaris dalam memantau dan memastikan efektifitas sistem pengendalian internal dan pelaksanaan tugas auditor internal dan auditor eksternal dengan melakukan pemantauan dan evaluasi atas perencanaan dan pelaksanaan audit dalam rangka menilai kecukupan pengendalian internal termasuk proses pelaporan keuangan. Pasal 19 (1) Anggota Dewan Komisaris PMV atau PMVS wajib menyelenggarakan rapat Dewan Komisaris paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan. (2) Anggota Dewan Komisaris PMV wajib menghadiri rapat Dewan Komisaris paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah rapat Dewan Komisaris dalam periode 1 (satu) tahun. (3) Hasil rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat Dewan Komisaris dan didokumentasikan dengan baik. (4) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi dalam keputusan rapat Dewan Komisaris wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat Dewan Komisaris disertai alasan perbedaan pendapat tersebut. (5) Anggota Dewan Komisaris perusahaan yang hadir maupun yang tidak hadir dalam rapat Dewan - 17 - Komisaris berhak menerima salinan risalah rapat Dewan Komisaris. (6) Jumlah rapat Dewan Komisaris yang telah diselenggarakan dan jumlah kehadiran masing-masing anggota Dewan Komisaris harus dimuat dalam laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik. Pasal 20 Anggota Dewan Komisaris PMV atau PMVS wajib menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat bertindak secara independen dalam melaksanakan tugas. Pasal 21 PMV atau PMVS yang memiliki aset lebih dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) wajib memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Komisaris Independen. Pasal 22 Komisaris Independen PMV atau PMVS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, atau Pemegang Saham PMV atau PMVS, dalam PMV atau PMVS yang sama; b. tidak pernah menjadi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS atau menduduki jabatan 1 (satu) tingkat di bawah Direksi pada PMV atau PMVS yang sama atau perusahaan lain yang memiliki hubungan afiliasi dengan PMV atau PMVS tersebut dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terakhir; c. memahami peraturan ketentuan perundang-undangan di bidang modal ventura dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang relevan; - 18 - d. memiliki pengetahuan yang baik mengenai kondisi keuangan PMV atau PMVS tempat Komisaris Independen dimaksud menjabat; e. memiliki kewarganegaraan Indonesia; dan f. berdomisili di Indonesia. Pasal 23 Komisaris Independen mempunyai tugas pokok melakukan fungsi pengawasan untuk menyuarakan kepentingan Pasangan Usaha, Debitur, kreditur, pemberi dana, Investor Dana Ventura, dan Pemangku Kepentingan lainnya. Pasal 24 (1) Komisaris Independen wajib melaporkan kepada OJK paling lambat 10 (sepuluh) hari kalender sejak ditemukannya: a. pelanggaran ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang modal ventura; dan/atau b. keadaan atau perkiraan keadaan yang dapat membahayakan kelangsungan usaha PMV atau PMVS. (2) Apabila batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. Pasal 25 PMV atau PMVS dilarang memberhentikan Komisaris Independen karena tindakan Komisaris Independen dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 24 ayat (1). BAB VII DEWAN PENGAWAS SYARIAH Pasal 26 (1) PMV yang mempunyai UUS atau PMVS wajib memiliki DPS. - 19 - (2) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. (3) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dalam RUPS dan dituangkan dalam akta notaris. Pasal 27 (1) DPS paling sedikit mempunyai tugas dan wewenang untuk memberikan nasihat dan saran kepada Direksi, serta mengawasi aspek syariah dari kegiatan operasional PMV atau PMVS yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. (2) Tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dimuat dalam anggaran dasar PMV atau PMVS yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. Pasal 28 Anggota DPS dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai anggota Direksi atau Dewan Komisaris pada PMV atau PMVS yang sama. Pasal 29 (1) Anggota DPS harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. tidak tercatat dalam daftar kredit macet; b. tidak tercatat dalam daftar tidak lulus (DTL) di sektor jasa keuangan; c. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau perekonomian dalam 5 (lima) tahun terakhir; d. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan keputusan - 20 - pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; e. tidak pernah dinyatakan pailit atau bersalah yang menyebabkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan f. tidak pernah menjadi Pemegang Saham, Direksi, Dewan Komisaris, atau DPS pada perusahaan jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam 5 (lima) tahun terakhir. (2) Anggota DPS harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. mampu untuk bertindak dengan itikad baik, jujur dan profesional; b. mampu bertindak untuk kepentingan PMV atau PMVS dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya; c. mendahulukan kepentingan PMV atau PMVS dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya dari pada kepentingan pribadi; d. mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaian independen dan objektif untuk kepentingan PMV atau PMVS dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya; dan menghindarkan e. mampu kewenanangannya untuk penyalahgunaan mendapatkan keuntungan pribadi yang tidak semestinya atau menyebabkan kerugian bagi PMV atau PMVS. Pasal 30 DPS wajib menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat bertindak secara independen, tidak mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan tugas secara mandiri dan objektif. - 21 - Pasal 31 Anggota DPS berhak memperoleh informasi dari Direksi mengenai PMV secara lengkap dan tepat waktu. Pasal 32 (1) Anggota DPS wajib menyelenggarakan rapat DPS secara berkala paling sedikit 6 (enam) kali dalam 1 (satu) tahun. (2) Hasil rapat DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat DPS dan didokumentasikan dengan baik. (3) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi dalam keputusan rapat DPS wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat DPS disertai alasan perbedaan pendapat tersebut. (4) Anggota DPS yang hadir maupun yang tidak hadir dalam rapat DPS berhak menerima salinan risalah rapat DPS. (5) Jumlah rapat DPS yang telah diselenggarakan dan jumlah kehadiran masing-masing anggota DPS harus dimuat dalam laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik. Pasal 33 Anggota DPS dilarang: a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan Kepentingan dengan kegiatan PMV atau PMVS tempat anggota DPS dimaksud menjabat; b. memanfaatkan jabatannya pada PMV atau PMVS tempat anggota DPS dimaksud menjabat untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan PMV atau PMVS tempat anggota DPS dimaksud menjabat; dan - 22 - c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari PMV atau PMVS tempat anggota DPS dimaksud menjabat, selain remunerasi dan fasilitas lainnya yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS. Pasal 34 (1) Dalam hal anggota DPS menilai terdapat kebijakan atau tindakan anggota Direksi yang tidak sesuai dengan Prinsip Syariah, DPS wajib meminta penjelasan kepada anggota Direksi atas kebijakan atau tindakan anggota Direksi yang tidak sesuai dengan Prinsip Syariah. (2) Dalam hal anggota Direksi menolak hasil penilaian DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPS wajib melaporkan secara lengkap dan komprehensif kepada OJK dan ditembuskan kepada Direksi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak penjelasan anggota Direksi diterima oleh DPS. (3) Dalam hal Direksi menerima hasil penilaian DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPS meminta Direksi untuk melakukan perbaikan terhadap kebijakan atau tindakan anggota Direksi tersebut agar sesuai dengan Prinsip Syariah. (4) Dalam hal anggota Direksi tidak melakukan perbaikan terhadap kebijakan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), DPS wajib segera melaporkan secara lengkap dan komprehensif kepada OJK dan ditembuskan kepada Direksi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diketahui anggota Direksi tidak melakukan upaya perbaikan dimaksud. - 23 - BAB VIII AUDITOR EKSTERNAL Pasal 35 (1) Auditor eksternal PMV atau PMVS wajib ditunjuk oleh RUPS dari calon auditor eksternal yang diajukan oleh Dewan Komisaris. (2) Pencalonan auditor eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai: a. alasan pencalonan dan besarnya honorarium atau imbal jasa yang diusulkan untuk auditor eksternal tersebut; dan b. pernyataan kesanggupan yang ditandatangani oleh auditor eksternal, untuk bebas dari pengaruh Direksi, Dewan Komisaris, dan pihak yang berkepentingan di PMV atau PMVS dan kesediaan untuk memberikan informasi terkait dengan hasil auditnya kepada OJK. (3) PMV atau PMVS wajib menyediakan semua catatan akuntansi dan data penunjang yang diperlukan bagi auditor eksternal sehingga memungkinkan auditor eksternal memberikan pendapatnya tentang kewajaran dan kesesuaian laporan keuangan PMV atau PMVS dengan standar audit yang berlaku. BAB IX RENCANA BISNIS TAHUNAN Pasal 36 (1) PMV atau PMVS wajib menyusun rencana bisnis tahunan. (2) Rencana bisnis tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. ditetapkan oleh Direksi; b. mendapatkan persetujuan Dewan Komisaris dan/atau DPS; dan - 24 - c. disosialisasikan kepada pegawai di unit kerja terkait. (3) Rencana bisnis tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit meliputi: a. kebijakan dan rencana kegiatan usaha; b. kebijakan dan strategi manajemen; c. penerapan manajemen risiko dan kepatuhan; d. penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik; e. f. manajemen dan kinerja keuangan PMV atau PMVS periode sebelumnya; proyeksi laporan keuangan beserta asumsi yang digunakan; g. proyeksi rasio-rasio dan tingkat kesehatan keuangan; h. rencana i. j. pengembangan kegiatan usaha; rencana pengembangan dan/atau perubahan jaringan kantor; rencana permodalan; k. rencana pendanaan; l. m. informasi lainnya. (4) PMV atau PMVS wajib menyampaikan rencana bisnis tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali paling lambat tanggal 30 Januari 2017. (5) PMV atau PMVS wajib menyampaikan rencana bisnis tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada OJK paling lambat pada tanggal 30 Januari tahun berikutnya. (6) Apabila tanggal 30 Januari sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) jatuh pada hari libur, maka PMV atau PMVS wajib menyampaikan rencana bisnis tahunan pada hari kerja pertama berikutnya. rencana pengembangan organisasi dan sumber daya manusia; dan dan pemasaran - 25 - BAB X MANAJEMEN RISIKO DAN PENGENDALIAN INTERNAL Pasal 37 (1) PMV atau PMVS wajib menerapkan manajemen risiko dengan mengidentifikasi, menilai, dan memantau risiko usaha secara efektif. (2) Manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran, dan kompleksitas usaha serta kemampuan PMV atau PMVS. Pasal 38 (1) Direksi PMV atau PMVS wajib menetapkan pengendalian internal yang efektif dan efisien untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan usaha dijalankan sesuai dengan sasaran dan strategi bisnis serta anggaran dasar dan aturan internal lain PMV atau PMVS, dan ketentuan peraturan perundang- undangan. (2) Pengendalian internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup hal sebagai berikut: a. lingkungan pengendalian internal dalam PMV atau PMVS yang disiplin dan terstruktur; b. pengkajian dan pengelolaan risiko usaha, yaitu suatu proses untuk mengidentifikasi, menganalisis, menilai, dan mengelola risiko usaha; c. aktivitas pengendalian, yaitu tindakan yang dilakukan dalam suatu proses pengendalian terhadap kegiatan PMV atau PMVS pada setiap tingkat dan unit dalam struktur organisasi PMV atau PMVS, antara lain mengenai kewenangan, otorisasi, verifikasi, rekonsiliasi, penilaian atas prestasi kerja, pembagian tugas, dan keamanan terhadap aset PMV atau PMVS; - 26 - d. sistem informasi dan komunikasi, yaitu suatu proses penyajian laporan mengenai kegiatan operasional, finansial, dan ketaatan atas ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang modal ventura; e. tata cara monitoring, yaitu proses penilaian terhadap kualitas sistem pengendalian internal termasuk fungsi internal audit pada setiap tingkat dan unit struktur organisasi PMV atau PMVS, sehingga dapat dilaksanakan secara optimal; dan f. mekanisme pelaporan kepada Direksi, dalam hal terjadi penyimpangan kualitas sistem pengendalian internal termasuk fungsi internal audit pada setiap tingkat dan unit struktur organisasi PMV atau PMVS. BAB XI KETERBUKAAN INFORMASI Pasal 39 (1) Kebijakan dan strategi komunikasi PMV atau PMVS harus memungkinkan informasi yang dibutuhkan diberikan kepada OJK secara lengkap, tepat waktu, dan dengan cara yang efisien. (2) PMV atau PMVS wajib memiliki sistem pelaporan keuangan yang diandalkan untuk keperluan pengawasan dan Pemangku Kepentingan lain. Pasal 40 (1) PMV atau PMVS wajib mengungkapkan kepada OJK mengenai hal-hal penting, paling sedikit meliputi: a. pengunduran diri atau pemberhentian auditor eksternal; b. transaksi material dengan pihak terkait; - 27 - c. Benturan Kepentingan yang sedang berlangsung dan/atau yang mungkin akan terjadi; dan d. informasi material lain mengenai PMV atau PMVS. (2) Pengungkapan hal-hal penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik. BAB XII PELAPORAN Pasal 41 (1) PMV atau PMVS wajib melakukan penilaian sendiri (self assesment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik secara berkala. (2) Penilaian sendiri (self assesment) atas Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pedoman penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik. Pasal 42 (1) PMV atau PMVS wajib menyusun laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik pada setiap akhir tahun buku. (2) Laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. transparansi penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik yang paling sedikit meliputi pengungkapan seluruh aspek pelaksanaan prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2); b. penilaian sendiri (self assesment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41; dan c. rencana tindak (action plan) yang meliputi tindakan korektif (corrective action) yang - 28 - diperlukan dan waktu penyelesaian serta kendala/hambatan penyelesaiannya, apabila masih terdapat kekurangan dalam penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan susunan laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik diatur dalam Surat Edaran OJK. (4) PMV atau PMVS wajib menyampaikan laporan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali pada periode tahun 2017 yang disampaikan paling lambat 30 April 2018. (5) Laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya. (6) Apabila tanggal 30 April sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) jatuh pada hari libur, maka batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. BAB XIII SANKSI Pasal 43 (1) PMV atau PMVS yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 3 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 18, Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24 ayat (1), Pasal 25, Pasal 26 ayat (1), Pasal 28, Pasal 30, Pasal 32 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 33, Pasal 34 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 35, Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 37 ayat (1), Pasal 38 ayat (1), Pasal 39 ayat (2), Pasal 40 ayat (1), Pasal 41 ayat (1), dan Pasal 42 ayat (1), ayat (4), dan ayat (5) - 29 - Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa: a. peringatan; b. pembekuan kegiatan usaha; atau c. pencabutan izin usaha. (2) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan secara tertulis oleh OJK kepada PMV atau PMVS paling banyak 3 (tiga) kali berturut- turut dengan masa berlaku masing-masing paling lama 2 (dua) bulan. (3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PMV atau PMVS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi peringatan. (4) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan PMV atau PMVS tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha. (5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan secara tertulis oleh OJK kepada PMV atau PMVS yang bersangkutan dan pembekuan kegiatan usaha tersebut berlaku selama 6 (enam) bulan sejak surat sanksi pembekuan kegiatan usaha diterbitkan. (6) Apabila masa berlaku sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku sampai dengan hari kerja pertama berikutnya. (7) PMV atau PMVS yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) (4), dilarang melakukan kegiatan usaha kecuali untuk pemenuhan ketentuan nilai investasi, penyertaan, dan/atau nilai piutang terhadap total aset (Investment - 30 - and Financing to Assets Ratio) minimum sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan modal ventura. (8) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PMV atau PMVS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha. (9) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) masih berlaku dan PMV atau PMVS tetap melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura atau Usaha Modal Ventura Syariah, OJK dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin usaha. (10) Dalam hal sampai dengan berakhirnya masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PMV atau PMVS tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut izin usaha PMV atau PMVS yang bersangkutan. (11) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dan ayat (10) kepada masyarakat. Pasal 44 (1) PMV yang mempunyai UUS dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), Pasal 28, Pasal 30, Pasal 32 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 33, dan Pasal 34 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa: a. peringatan; b. pembekuan kegiatan UUS; atau c. pencabutan izin UUS. (2) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan secara tertulis oleh OJK kepada - 31 - PMV yang mempunyai UUS paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing paling lama 2 (dua) bulan. (3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PMV yang mempunyai UUS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi peringatan. (4) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan PMV yang mempunyai UUS tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mengenakan sanksi pembekuan kegiatan UUS. (5) Sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan secara tertulis oleh OJK kepada PMV yang mempunyai UUS dan pembekuan kegiatan UUS tersebut berlaku selama 6 (enam) bulan sejak surat sanksi pembekuan kegiatan UUS diterbitkan. (6) Apabila masa berlaku sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan sanksi pembekuan kegiatan UUS berlaku sampai dengan hari kerja pertama berikutnya. (7) PMV yang mempunyai UUS yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilarang melakukan kegiatan UUS kecuali untuk pemenuhan ketentuan nilai investasi, penyertaan, dan/atau nilai piutang terhadap total aset (Investment and Financing to Assets Ratio) minimum sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan modal ventura. (8) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PMV yang mempunyai UUS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada - 32 - ayat (1), OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan UUS. (9) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) masih berlaku dan PMV yang mempunyai UUS tetap melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah, OJK dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin UUS. (10) Dalam hal sampai dengan berakhirnya masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PMV yang mempunyai UUS tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut izin UUS yang bersangkutan. (11) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau sanksi pencabutan izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dan ayat (10) kepada masyarakat. BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 45 Bagi PMV yang telah mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan OJK ini diundangkan, ketentuan dalam Peraturan OJK dinyatakan berlaku 1 (satu) tahun setelah Peraturan OJK ini diundangkan, kecuali terhadap ketentuan Pasal 8 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 42 ayat (1) dinyatakan berlaku 2 (dua) tahun. BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 46 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan mengenai Tata Kelola Perusahaan Yang Baik tunduk pada Peraturan OJK ini. - 33 - Pasal 47 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 318 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 36/POJK.05/2015 </reg_id> <reg_title> TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN MODAL VENTURA </reg_title> <set_date> 21 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 28 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 28 Desember 2015 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XIII' </penalty_list>
SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 42 /POJK.03/2017 TENTANG KEWAJIBAN PENYUSUNAN DAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN PERKREDITAN ATAU PEMBIAYAAN BANK BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa bank melakukan kegiatan usaha terutama dengan menggunakan dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya sehingga kepentingan dan kepercayaan masyarakat wajib dilindungi dan dipelihara; b. bahwa pemberian kredit atau pembiayaan merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus berdasarkan asas perkreditan atau pembiayaan yang sehat; c. bahwa agar pemberian kredit atau pembiayaan dapat dilaksanakan secara konsisten dan berdasarkan asas perkreditan yang sehat, diperlukan suatu kebijakan perkreditan atau pembiayaan bank yang tertulis; d. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan, diperlukan pengaturan kembali kewajiban penyusunan dan pelaksanaan kebijakan perkreditan atau pembiayaan bank bagi bank umum; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank bagi Bank Umum; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KEWAJIBAN PENYUSUNAN DAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN PERKREDITAN ATAU PEMBIAYAAN BANK BAGI BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang - 3 - Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, serta Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 3. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’; d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah (UUS) dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil sebagaimana dimaksud - 4 - dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. BAB II TATA CARA PENYUSUNAN DAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN PERKREDITAN ATAU PEMBIAYAAN BANK Pasal 2 (1) Bank wajib memiliki kebijakan perkreditan atau pembiayaan Bank secara tertulis. (2) Kebijakan perkreditan atau pembiayaan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat semua aspek yang ditetapkan dalam Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank sebagaimana dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (3) Kebijakan perkreditan atau pembiayaan Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib disetujui oleh dewan komisaris Bank. Pasal 3 Kebijakan perkreditan atau pembiayaan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 paling sedikit memuat dan mengatur hal pokok sebagaimana ditetapkan dalam Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank sebagai berikut: 1. prinsip kehatian-hatian dalam perkreditan atau pembiayaan; 2. organisasi dan manajemen perkreditan atau pembiayaan; 3. kebijakan persetujuan Kredit atau Pembiayaan; 4. dokumentasi dan administrasi Kredit atau Pembiayaan; 5. pengawasan Kredit atau Pembiayaan; dan 6. penyelesaian Kredit atau Pembiayaan bermasalah. - 5 - Pasal 4 Bank wajib mematuhi kebijakan perkreditan atau pembiayaan Bank yang telah disusun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dalam pelaksanaan pemberian Kredit atau Pembiayaan dan pengelolaan perkreditan atau pembiayaan secara konsekuen dan konsisten. Pasal 5 Bank yang baru memperoleh izin usaha setelah berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, wajib memiliki dan menerapkan serta melaksanakan kebijakan perkreditan atau pembiayaan Bank sejak mulai melakukan kegiatan usaha. Pasal 6 Bank dalam melakukan penyusunan kebijakan perkreditan atau pembiayaan Bank wajib memperhatikan penerapan manajemen risiko sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah. BAB III SANKSI Pasal 7 Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (3), Pasal 4, Pasal 5, dan/atau Pasal 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenakan sanksi administratif yang mempengaruhi penilaian kesehatan Bank dan sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. - 6 - Pasal 8 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: 1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 10/106/KEP/DIR/UPK tentang Perubahan Beberapa Ketentuan Kredit Investasi Bank-Bank Pemerintah; 2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 13/23A/KEP/DIR/UPK tentang Perubahan atas Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 10/106/KEP/DIR/UPK tentang Perubahan Beberapa Ketentuan Kredit Investasi Bank-Bank Pemerintah; 3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/121/KEP/DIR tentang Penyampaian Nomor Pokok Wajib Pajak dan Laporan Keuangan dalam Permohonan Kredit; 4. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/83/KEP/DIR tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/121/KEP/DIR tentang Penyampaian Nomor Pokok Wajib Pajak dan Laporan Keuangan dalam Permohonan Kredit; 5. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank bagi Bank Umum; 6. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/3/UKU tentang Penyampaian Nomor Pokok Wajib Pajak dan Laporan Keuangan dalam Permohonan Kredit; dan 7. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/7/UPPB tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi Bank Umum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. - 7 - Pasal 9 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 148 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 42 /POJK.03/2017 TENTANG KEWAJIBAN PENYUSUNAN DAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN PERKREDITAN ATAU PEMBIAYAAN BANK BAGI BANK UMUM I. UMUM Bank harus menjaga kepentingan dan kepercayaan masyarakat mengingat sebagian besar dana yang digunakan Bank untuk menjalankan kegiatan usahanya berasal dari simpanan masyarakat yang dipercayakan kepada Bank. Sebagai salah satu kegiatan usaha utama yang dijalankan oleh Bank, perkreditan atau pembiayaan mengandung risiko yang relatif tinggi yang dapat merugikan keuangan Bank serta berpengaruh terhadap kesehatan dan kelangsungan usaha Bank. Untuk mengurangi potensi risiko yang dihadapi, Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan asas perkreditan atau pembiayaan yang sehat dalam melaksanakan kegiatan usaha perkreditan atau pembiayaan sejak dalam proses pemberian Kredit atau Pembiayaan, pengawasan setelah Kredit atau Pembiayaan diberikan, maupun prosedur penyelesaian dalam hal terdapat Kredit atau Pembiayaan yang bermasalah. Termasuk juga di dalamnya penyusunan organisasi dan manajemen perkreditan atau pembiayaan serta pengelolaan dokumentasi dan administrasi dalam rangka menjalankan usaha perkreditan atau pembiayaan Bank. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan perkreditan atau pembiayaan Bank secara tertulis sebagai acuan standar dalam pelaksanaan pemberian Kredit atau Pembiayaan Bank sehingga diharapkan dapat membantu - 2 - Bank dalam menghadapi berbagai potensi risiko yang ada dan terhindar dari kerugian yang mungkin dialami. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6091
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 42/POJK.03/2017 </reg_id> <reg_title> KEWAJIBAN PENYUSUNAN DAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN PERKREDITAN ATAU PEMBIAYAAN BANK BAGI BANK UMUM </reg_title> <set_date> 12 Juli 2017 </set_date> <effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date> <issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date> <replaced_reg> '10/106/KEP/DIR/UPK|SKDIR-BI', '13/23A/KEP/DIR/UPK|SKDIR-BI', '27/121/KEP/DIR|SKDIR-BI', '28/83/KEP/DIR|SKDIR-BI', '27/162/KEP/DIR|SKDIR-BI', '27/3/UKU|SE-BI', '27/7/UPPB|SE-BI' </replaced_reg> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III Pasal 7' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 56 /POJK.05/2017 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1/POJK.05/2016 TENTANG INVESTASI SURAT BERHARGA NEGARA BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk memperluas pilihan instrumen investasi kepada lembaga jasa keuangan non-bank tanpa mengabaikan aspek keamanan, kesesuaian dengan karakteristik liabilitas lembaga jasa keuangan non- bank, dan imbal hasil yang diperoleh serta peranan investor domestik dalam pembiayaan pembangunan nasional, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 36/POJK.05/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Non- Bank; b. bahwa dimaksud berdasarkan dalam pertimbangan sebagaimana huruf a, perlu menetapkan - 2 - Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256); 4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); 5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5835); 6. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5834); 7. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 36/POJK.05/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.05/2016 - 3 - tentang Investasi Surat Berharga Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5947); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1/POJK.05/2016 TENTANG INVESTASI SURAT BERHARGA NEGARA BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK. Pasal I Ketentuan Pasal 4A dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5834) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 36/POJK.05/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5947), diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4A (1) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dapat memenuhi ketentuan batas minimum penempatan investasi SBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 dengan melakukan penempatan investasi pada: a. obligasi dan/atau sukuk yang diterbitkan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau anak perusahaan dari badan - 4 - usaha milik negara, yang penggunaan dananya untuk pembiayaan infrastruktur; b. efek beragun aset yang penggunaan dananya untuk pembiayaan infrastruktur yang dilakukan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau anak perusahaan dari badan usaha milik negara; c. reksa dana penggunaan penyertaan dananya terbatas untuk yang pembiayaan infrastruktur yang dilakukan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau anak perusahaan dari badan usaha milik negara; dan/atau d. instrumen investasi selain instrumen investasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, yang penggunaan dananya untuk pembiayaan pemerintah. (2) Penempatan investasi Lembaga Jasa Keuangan Non- Bank pada instrumen dapat investasi dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d yang sebagaimana diperhitungkan sebagai pemenuhan ketentuan batas minimum penempatan investasi SBN dilakukan dengan ketentuan paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari batas minimum yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. (3) Penempatan investasi pada obligasi dan/atau sukuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harus dilakukan pada obligasi dan/atau sukuk yang tercatat di bursa efek di Indonesia atau dalam sistem electronic trading platform (ETP) di Indonesia dan memiliki peringkat paling rendah investment grade dari perusahaan pemeringkat efek yang diakui oleh OJK. proyek infrastruktur - 5 - (4) Penempatan investasi pada efek beragun aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. telah mendapat pernyataan efektif dari OJK; b. memiliki peringkat paling rendah investment grade dari perusahaan pemeringkat efek yang diakui oleh OJK; dan melalui c. dilakukan penawaran umum sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. (5) Penempatan investasi pada reksa dana penyertaan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c harus dilakukan pada reksa dana penyertaan terbatas yang telah tercatat di OJK. (6) Pemenuhan ketentuan memiliki peringkat investment grade sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan pada saat penempatan investasi. (7) Penempatan investasi Lembaga Jasa Keuangan Non- Bank pada instrumen investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melampaui batasan investasi sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai investasi Lembaga Jasa Keuangan Non- Bank. (8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak berlaku untuk BPJS Kesehatan Ketenagakerjaan. (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai instrumen investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal II Peraturan OJK ini diundangkan. mulai berlaku pada tanggal dan BPJS - 6 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Agustus 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd WIMBOH SANTOSO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Agustus 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 192 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 56/POJK.05/2017 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1/POJK.05/2016 TENTANG INVESTASI SURAT BERHARGA NEGARA BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK </reg_title> <set_date> 28 Agustus 2017 </set_date> <effective_date> 29 Agustus 2017 </effective_date> <issued_date> 29 Agustus 2017 </issued_date> <changed_reg> '1/POJK.05/2016' </changed_reg> <extension_of> '36/POJK.05/2016' </extension_of> <related_reg> '21/UU/2011', '40/UU/2014', '11/UU/1992', '36/POJK.05/2016', '1/POJK.05/2016', '24/UU/2011', '1/UU/2016' </related_reg>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 24 /POJK.04/2017 TENTANG LAPORAN BANK UMUM SEBAGAI KUSTODIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai laporan bank umum sebagai kustodian beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap laporan bank umum sebagai kustodian, ketentuan peraturan perundang- undangan di sektor pasar modal mengenai laporan bank umum sebagai kustodian yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Bank Umum sebagai Kustodian; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG LAPORAN BANK UMUM SEBAGAI KUSTODIAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya. 2. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 3. Bank Kustodian adalah Bank Umum yang telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan kegiatan usaha sebagai Kustodian. 4. Akuntan Publik adalah seseorang yang telah memperoleh izin untuk memberikan jasa sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai akuntan publik dan telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. - 3 - 5. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek. BAB II LAPORAN Pasal 2 Bank Kustodian wajib menyampaikan laporan kegiatan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk dokumen cetak paling sedikit 2 (dua) rangkap disertai dengan salinan dokumen elektronik yang meliputi: a. laporan mengenai aktivitas bulanan yang memuat rekapitulasi Efek yang tercatat selama periode tersebut; dan b. laporan tahunan yang merupakan hasil pemeriksaan operasional Akuntan Publik. Pasal 3 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a meliputi jumlah, jenis Efek, frekuensi tercatat, dan keterangan lain yang diperlukan, yang disusun dengan menggunakan format Laporan Aktivitas Bank Kustodian sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 12 (dua belas) hari setelah periode laporan bulanan berakhir. (3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari setelah periode laporan tahunan berakhir. - 4 - (4) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) jatuh pada hari libur, penyampaian laporan wajib disampaikan pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. Pasal 4 Dalam hal Akuntan Publik memberikan pendapat bahwa program yang dijalankan tidak sesuai dengan prosedur yang cukup aman, Otoritas Jasa Keuangan dapat memanggil penanggung jawab Bank Kustodian atau melakukan pemeriksaan untuk memperoleh keterangan lebih lanjut. Pasal 5 Dalam hal Bank Kustodian akan membuka cabang jasa Kustodian, Bank Kustodian wajib melaporkan pembukaan cabang jasa Kustodian dimaksud kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum cabang jasa Kustodian dimaksud beroperasi. BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 6 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan/atau g. pembatalan pendaftaran. - 5 - (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 7 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 8 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 kepada masyarakat. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 9 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-73/PM/1996 tentang Laporan Bank Umum sebagai Kustodian, beserta Peraturan Nomor X.G.1 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 10 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 6 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 124 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 24 /POJK.04/2017 TENTANG LAPORAN BANK UMUM SEBAGAI KUSTODIAN I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai laporan Bank Umum sebagai Kustodian yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-73/PM/1996 tentang Laporan Bank Umum sebagai Kustodian, beserta Peraturan Nomor X.G.1 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Bank Umum sebagai Kustodian. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Dalam praktiknya “salinan dokumen elektronik” dikenal dengan sebutan soft copy. Salinan dokumen elektronik dapat disampaikan dengan menggunakan antara lain media digital cakram padat (compact disc), flashdisk, atau lainnya. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa perintah untuk menyampaikan kembali laporan yang telah diperbaiki sesuai dengan hasil pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. - 3 - Pasal 10 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6071 OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 24 /POJK.04/2017 TENTANG LAPORAN BANK UMUM SEBAGAI KUSTODIAN - 2 - LAPORAN AKTIVITAS BANK KUSTODIAN 1. PENYELESAIAN TRANSAKSI BANK KUSTODIAN Nama Kustodian Bulan & Tahun : : No Efek Frekuensi ......... ......... PENYELESAIAN TRANSAKSI BELI Volume (Juta Unit) Nilai (Miliar Rupiah) Status Investor (%) I A Konfirmasi Investor Tepat Waktu Frekuensi PENYELESAIAN TRANSAKSI JUAL Volume (Juta Unit) Nilai (Miliar Rupiah) Status Investor (%) I A Konfirmasi Investor Tepat Waktu .......... , ................20....... PT ........... ................... (Nama Lengkap & Jabatan) - 3 - 2. NILAI ASSET UNDER CUSTODY Nama Kustodian Bulan & Tahun : : ......... ......... Dalam Rupiah SAHAM OBLIGASI REKSA DANA LAINNYA TOTAL ASSET UNDER CUSTODY .......... , ................20....... PT ........... ................... (Nama Lengkap & Jabatan) Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2017 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 24/POJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> LAPORAN BANK UMUM SEBAGAI KUSTODIAN </reg_title> <set_date> 21 Juni 2017 </set_date> <effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date> <issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-73/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-73/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor X.G.1' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 43 /POJK.04/2015 TENTANG PEDOMAN PERILAKU MANAJER INVESTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa kepercayaan masyarakat dan perlindungan investor Pasar Modal khususnya yang terkait dengan Pengelolaan Investasi perlu ditingkatkan melalui perilaku Manajer Investasi yang beretika, kredibel, dan bertata kelola yang baik; b. bahwa pengaturan terkait perilaku Manajer Investasi tersebar dalam beberapa peraturan di sektor Pasar Modal; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a peraturan terkait perilaku Manajer Investasi perlu disempurnakan dan disesuaikan agar sesuai dengan perilaku Manajer Investasi yang berlaku di masyarakat Pasar Modal dan prinsip internasional; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Perilaku Manajer Investasi; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PERILAKU MANAJER INVESTASI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali Perusahaan Asuransi, Dana Pensiun, dan Bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, Unit Penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek. 3. Portofolio Efek adalah kumpulan Efek yang dimiliki oleh Pihak. 4. Bank Kustodian adalah Bank Umum yang telah memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan sebagai Kustodian. - 3 - 5. Kustodian adalah Pihak yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak- hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya. 6. Afiliasi adalah: a. hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal; b. hubungan antara Pihak dengan pegawai, direktur, atau komisaris dari Pihak tersebut; c. hubungan antara 2 (dua) perusahaan dimana terdapat satu atau lebih anggota direksi atau dewan komisaris yang sama; d. hubungan antara perusahaan dan Pihak, baik langsung maupun tidak langsung, mengendalikan atau dikendalikan oleh perusahaan tersebut; e. hubungan antara 2 (dua) perusahaan yang dikendalikan, baik langsung maupun tidak langsung, oleh Pihak yang sama; atau f. hubungan antara perusahaan dan pemegang saham utama. 7. Komite Investasi adalah komite yang bertugas mengarahkan dan mengawasi Tim Pengelola Investasi dalam menjalankan kebijakan dan strategi investasi. 8. Tim Pengelola Investasi adalah tim yang bertugas mengelola Portofolio Efek untuk para Nasabah atau portofolio investasi kolektif untuk kepentingan sekelompok Nasabah. 9. Koordinator Fungsi Kepatuhan adalah direksi atau pegawai Manajer Investasi yang bertugas mengkoordinir hal-hal yang terkait dengan kepatuhan Manajer Investasi. 10. Rabat adalah pengembalian dalam bentuk tunai dari Pihak ketiga berkaitan dengan transaksi yang dilakukan oleh Manajer Investasi untuk kepentingan Nasabah. 11. Komisi berbentuk barang dan/atau manfaat selanjutnya disebut Komisi adalah pemberian dalam bentuk barang dan/atau manfaat dari Pihak ketiga berkaitan dengan - 4 - transaksi yang dilakukan oleh Manajer Investasi untuk kepentingan Nasabah. 12. Nasabah adalah: a. Pihak yang menginvestasikan dana dan/atau Efek- nya untuk dikelola oleh Manajer Investasi dalam bentuk pengelolaan Portofolio Efek untuk kepentingan yang bersangkutan secara individual; atau b. sekelompok Pihak yang menginvestasikan dananya untuk dikelola oleh Manajer Investasi dalam bentuk pengelolaan portofolio investasi kolektif untuk sekelompok Pihak dimaksud sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal. 13. Pihak adalah orang perseorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi. Pasal 2 Dalam menjalankan kegiatan usahanya, Manajer Investasi wajib menerapkan prinsip yang meliputi: a. integritas; b. profesionalisme; c. mengutamakan kepentingan Nasabah; d. pengawasan dan pengendalian; e. kecukupan sumber daya; f. perlindungan aset Nasabah; g. keterbukaan informasi; h. benturan kepentingan; dan i. kepatuhan. Pasal 3 (1) Manajer Investasi wajib menjadi anggota asosiasi yang mewadahi Manajer Investasi yang telah mendapatkan pengakuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (2) Asosiasi yang mewadahi Manajer Investasi wajib memiliki kode etik. - 5 - (3) Kode etik yang dibuat dan ditetapkan oleh asosiasi yang mewadahi Manajer Investasi dilarang bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal. (4) Ketentuan mengenai asosiasi yang mewadahi Manajer Investasi diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. BAB II KETERBUKAAN KEPENTINGAN, HADIAH ATAU MANFAAT, SERTA RABAT DAN KOMISI Bagian Kesatu Keterbukaan Kepentingan Manajer Investasi dan Afiliasinya Pasal 4 Manajer Investasi yang melakukan pengelolaan Portofolio Efek untuk kepentingan Nasabah secara individual dan memiliki benturan kepentingan wajib mengungkapkan secara tertulis kepada Nasabah adanya benturan kepentingan atas Efek yang ditransaksikan tersebut dengan ketentuan: a. Pengungkapan dilakukan pada saat melakukan perjanjian tertulis (kontrak) pengelolaan investasi dalam Portofolio Efek dengan Nasabah, jika Efek yang menjadi Portofolio Efek sudah ditentukan oleh Nasabah dalam perjanjian. b. Pengungkapan dilakukan sebelum melakukan transaksi Efek untuk kepentingan Nasabah, jika penentuan Efek yang menjadi Portofolio Efek: 1. direkomendasikan Manajer keputusannya ditangan Nasabah; atau 2. diserahkan sepenuhnya kepada Manajer Investasi. Pasal 5 (1) Anggota Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota Komite Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi, dan Investasi namun - 6 - pegawai Manajer Investasi wajib mengungkapkan kepada Manajer Investasi: a. ada atau tidak adanya kepentingan dan/atau kepemilikan atas suatu Efek baik secara langsung maupun tidak langsung termasuk melalui nomine atau Pihak terafiliasinya sejak mulai menjabat atau bekerja pada Manajer Investasi; dan b. setiap terjadi perubahan kepentingan dan/atau kepemilikan atas suatu Efek baik secara langsung maupun tidak langsung termasuk melalui nomine atau Pihak terafiliasinya sebagaimana dimaksud pada huruf a termasuk kepentingan atau kepemilikan atas suatu Efek yang dimiliki oleh Pihak dimaksud selama menjabat atau bekerja pada Manajer Investasi. (2) Anggota Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota Komite Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi, dan pegawai Manajer Investasi wajib memberitahukan secara tertulis paling lambat 2 (dua) hari kerja kepada Manajer Investasi dimaksud sebelum dan sesudah melaksanakan transaksi jual atau beli Efek yang dilakukan oleh: a. yang bersangkutan untuk kepentingan pribadi, nomine, dan/atau Pihak terafiliasinya yang merupakan Pihak dimana yang bersangkutan mempunyai kepemilikan atas suatu Efek baik secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan b. nomine atau Pihak terafiliasinya yang merupakan Pihak dimana yang bersangkutan mempunyai kepemilikan atas suatu Efek baik secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Anggota Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota Komite Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi, dan pegawai Manajer Investasi yang melakukan transaksi jual atau beli Efek untuk kepentingan pribadi, nomine, dan/atau Pihak terafiliasinya yang merupakan Pihak - 7 - dimana anggota Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota Komite Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi, dan pegawai Manajer Investasi mempunyai kepemilikan atas suatu Efek baik secara langsung maupun tidak langsung dilarang: a. melakukan transaksi lebih dahulu atas suatu Efek tertentu atas dasar adanya informasi Nasabah akan melakukan transaksi dalam volume besar atas Efek tersebut yang diperkirakan mempengaruhi harga pasar dengan tujuan untuk meraih keuntungan atau mengurangi kerugian; b. melakukan transaksi silang dengan Nasabah Manajer Investasi; dan/atau c. menjual Efek yang dimiliki kurang dari 30 (tiga puluh) hari. (4) Pengungkapan kepentingan atau kepemilikan anggota Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota Komite Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi, dan pegawai Manajer Investasi atas suatu Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemberitahuan secara tertulis kepada Manajer Investasi sebelum dan sesudah melakukan transaksi jual atau beli Efek untuk kepentingan pribadinya, nomine dan/atau Pihak terafiliasinya yang merupakan Pihak dimana anggota Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota Komite Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi, dan pegawai Manajer Investasi mempunyai kepemilikan atas suatu Efek baik secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan di bawah koordinasi Fungsi Kepatuhan Manajer Investasi. Pasal 6 Anggota Komite Investasi yang memiliki benturan kepentingan terhadap keputusan yang akan diambil dalam rapat Komite Investasi wajib abstain dalam rapat Komite tersebut. - 8 - Pasal 7 Manajer Investasi wajib mengutamakan kepentingan Nasabah di atas kepentingan: a. Manajer Investasi; b. Pihak yang memiliki hubungan Afiliasi dengan Manajer Investasi; dan/atau c. Pihak yang memiliki hubungan Afiliasi dengan anggota Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota Komite Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi, dan pegawai Manajer Investasi. Pasal 8 (1) Manajer Investasi wajib membuat, mendokumentasikan, dan memelihara dokumen dan/atau catatan atas kepentingan atau kepemilikan Efek yang telah diungkapkan oleh: a. Manajer Investasi yang melakukan pengelolaan Portofolio Efek untuk kepentingan Nasabah secara individual kepada Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; dan b. Anggota Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota Komite Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi, dan pegawai Manajer Investasi kepada Manajer Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1). (2) Manajer Investasi wajib membuat, mendokumentasikan, dan memelihara dokumen dan/atau catatan atas pemberitahuan secara tertulis sebelum dan sesudah melakukan transaksi jual atau beli Efek yang dilakukan oleh anggota Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota Komite Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi, dan pegawai Manajer Investasi kepada Manajer Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2). - 9 - (3) Kewajiban untuk melakukan pembuatan, pendokumentasian, dan pemeliharaan dokumen dan/atau catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Koordinator Fungsi Kepatuhan. Pasal 9 Manajer Investasi wajib menyusun dan menerapkan kebijakan dan prosedur tertulis terkait: a. pengungkapan kepentingan atau kepemilikan atas suatu Efek oleh Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1); dan b. larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3). Bagian Kedua Penerimaan dan Pemberian Hadiah atau Manfaat Pasal 10 Manajer Investasi, anggota Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota Komite Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi, dan/atau pegawai Manajer Investasi dilarang menerima hadiah atau manfaat yang mengandung benturan dengan kepentingan Nasabah atau benturan dengan kewajibannya terhadap Nasabah. Pasal 11 (1) Manajer Investasi, anggota Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota Komite Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi, dan pegawai Manajer Investasi dapat memberikan hadiah atau manfaat kepada Nasabah dan Pihak lain sepanjang pemberian hadiah atau manfaat tersebut tidak berasal dari kekayaan Portofolio Efek atau portofolio investasi kolektif Nasabah yang dikelolanya dan/atau tidak merugikan Nasabah. - 10 - (2) Pemberian hadiah atau manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didasarkan pada pertimbangan rasional. Pasal 12 (1) Manajer Investasi wajib membuat, mendokumentasikan, dan memelihara dokumen dan/atau catatan terkait dengan hadiah atau manfaat yang diterima dan/atau yang diberikan oleh Manajer Investasi, anggota Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota Komite Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi, dan pegawai Manajer Investasi. (2) Kewajiban untuk melakukan pendokumentasian, pembuatan, dan pemeliharaan dokumen dan/atau catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Koordinator Fungsi Kepatuhan. Pasal 13 (1) Manajer Investasi wajib menyusun dan menerapkan kebijakan dan prosedur tertulis mengenai: a. penerimaan hadiah atau manfaat oleh Manajer Investasi, anggota Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota Komite Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi, dan pegawai Manajer Investasi; dan b. pemberian hadiah atau manfaat oleh Manajer Investasi, anggota Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota Komite Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi, dan pegawai Manajer Investasi kepada Nasabah dan/atau Pihak lain. (2) Kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat paling sedikit: a. batasan nilai moneter yang dapat: 1. diterima oleh Manajer Investasi, anggota Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota Komite Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi, dan pegawai Manajer Investasi; dan - 11 - 2. diberikan oleh Manajer Investasi, anggota Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota Komite Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi, dan pegawai Manajer Investasi; b. ketentuan pelaporan penerimaan atau pemberian hadiah atau manfaat oleh anggota Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota Komite Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi, dan pegawai Manajer Investasi kepada Manajer Investasi; dan c. ketentuan pembuatan, pendokumentasian, dan pemeliharaan dokumen dan/atau catatan hadiah atau manfaat yang diberikan atau diterima oleh Manajer Investasi, anggota Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota Komite Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi, dan pegawai Manajer Investasi. Bagian Ketiga Rabat dan Komisi Pasal 14 (1) Manajer Investasi dilarang menerima Rabat kecuali untuk kepentingan Nasabah. (2) Rabat untuk kepentingan Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan langsung ke rekening Nasabah yang bersangkutan proporsional. Pasal 15 Manajer Investasi dapat menerima Komisi, sepanjang Komisi tersebut secara langsung bermanfaat bagi Manajer Investasi dalam proses pengambilan keputusan investasi untuk kepentingan Nasabah dan tidak mengakibatkan benturan kepentingan dengan Nasabah dan/atau merugikan kepentingan Nasabah. secara - 12 - Pasal 16 (1) Manajer Investasi wajib membuat, mendokumentasikan, dan memelihara dokumen dan/atau catatan atas setiap Rabat dan/atau penerimaan Komisi. (2) Kewajiban untuk melakukan pendokumentasian, pembuatan, dan pemeliharaan dokumen dan/atau catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Koordinator Fungsi Kepatuhan. (3) Koordinator Fungsi Kepatuhan wajib melakukan verifikasi atas setiap Rabat dan/atau Komisi yang diterima oleh Manajer Investasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 17 Manajer Investasi wajib menyusun dan menerapkan kebijakan dan prosedur tertulis mengenai penerimaan Rabat dan Komisi yang berasal dari transaksi atau pesanan untuk kepentingan Nasabah. BAB III PENGELOLAAN INVESTASI NASABAH Bagian Kesatu Alasan yang Rasional dan Investasi Sesuai Mandat dalam Pengelolaan Investasi Pasal 18 Manajer Investasi wajib membuat dan melaksanakan setiap kebijakan investasi, memberikan rekomendasi investasi, serta melakukan transaksi untuk kepentingan Nasabah berdasarkan alasan yang rasional. Pasal 19 Manajer Investasi wajib memastikan: a. kebijakan investasi, rekomendasi investasi dan/atau transaksi untuk kepentingan Nasabah dilakukan sesuai - 13 - dengan tujuan, batasan, dan pedoman investasi yang dimuat dalam perjanjian pengelolaan investasi serta peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang terkait dengan pengelolaan investasi; dan b. pelaksanaan kebijakan investasi, pemberian rekomendasi investasi, dan/atau transaksi dalam rangka investasi untuk kepentingan Nasabah didokumentasikan secara tertulis untuk setiap portofolio investasi yang dikelolanya. Pasal 20 Manajer Investasi yang melakukan pengelolaan Portofolio Efek untuk kepentingan Nasabah secara individual dilarang: a. memberi rekomendasi kepada Nasabah dalam bentuk: 1. jasa pengelolaan investasi; dan/atau 2. jasa konsultasi pembelian, penjualan, atau pertukaran dari Efek, tanpa mempertimbangkan tujuan investasi, keadaan keuangan, dan kebutuhan Nasabah serta informasi lain Nasabah yang diketahui oleh Manajer Investasi; b. melaksanakan pesanan jual dan/atau beli Efek untuk rekening Nasabah atas dasar instruksi Pihak ketiga yang tidak diberi kewenangan terlebih dahulu secara tertulis oleh Nasabah; dan c. melakukan pembelian dan/atau penjualan Efek untuk kepentingan Nasabah yang tidak sesuai dengan: 1. kebijakan investasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal terkait dengan pengelolaan investasi; dan/atau 2. kebijakan investasi yang dimuat dalam perjanjian pengelolaan investasi kecuali terlebih dahulu telah memperoleh persetujuan tertulis dari Nasabah. - 14 - Pasal 21 Dalam melaksanakan kebijakan investasi, Manajer Investasi wajib membuat, mendokumentasikan, dan memelihara catatan dan/atau kertas kerja terkait alasan setiap pengambilan keputusan investasi untuk melakukan pembelian atau penjualan Efek untuk kepentingan Nasabah. Bagian Kedua Riset Investasi Pasal 22 (1) Manajer Investasi wajib menyusun dan menerapkan kebijakan dan prosedur tertulis berkaitan dengan riset agar riset yang dilakukan oleh analis Manajer Investasi untuk mendukung pengambilan keputusan investasi perusahaan, memberikan setiap informasi, nasihat, dan rekomendasi kepada nasabah dan/atau disebarluaskan kepada masyarakat, bersifat independen. (2) Kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup alur pelaporan analis Manajer Investasi dan dasar perhitungan kompensasi bagi analis tersebut yang dapat menghilangkan atau sangat membatasi benturan kepentingan yang ada, yang lazim terjadi, atau yang mungkin timbul. Bagian Ketiga Alokasi Pesanan Pasal 23 (1) Manajer Investasi wajib membuat catatan atau dokumen tertulis mengenai dasar rencana alokasi pembelian dan/atau penjualan Portofolio Efek untuk kepentingan setiap Nasabah dengan prinsip alokasi yang adil dan wajar serta dilarang merugikan Nasabah tertentu. - 15 - (2) Manajer Investasi wajib membuat, mendokumentasikan, dan memelihara dokumen dan/atau pengalokasian Efek hasil transaksi untuk setiap Nasabah beserta alasannya sehingga pengalokasian sesuai dengan prinsip alokasi yang adil dan wajar serta tidak merugikan Nasabah tertentu. Pasal 24 (1) Manajer Investasi yang melakukan transaksi Efek untuk kepentingan lebih dari 1 (satu) Nasabah atau dalam volume besar untuk kepentingan lebih dari 1 (satu) Nasabah wajib mengalokasikan Efek yang berhasil ditransaksikan secara pro-rata menggunakan harga rata- rata. (2) Dalam hal alokasi Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan secara pro-rata dan menggunakan harga rata-rata, Manajer Investasi wajib membuat keputusan mengenai alokasi Efek tersebut yang didasarkan pada alasan yang rasional. (3) Manajer Investasi wajib membuat, mendokumentasikan, dan memelihara catatan dan/atau kertas kerja terkait dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 25 Manajer Investasi yang melakukan transaksi Efek untuk kepentingan Nasabah dilarang mengarahkan transaksi Efek tersebut untuk keuntungan Manajer Investasi, Pihak terafililasi Manajer Investasi atau Nasabah tertentu. Pasal 26 Manajer Investasi dilarang menjadikan biaya jasa pengelolaan investasi atau biaya jasa atas transaksi tertentu yang diterima dari Nasabah sebagai pertimbangan dalam menentukan alokasi pembelian dan/atau penjualan Efek untuk setiap Nasabah. catatan - 16 - Pasal 27 Manajer Investasi wajib menyusun dan menerapkan kebijakan dan prosedur tertulis terkait alokasi pembelian dan/atau penjualan Efek untuk kepentingan setiap Nasabah agar pengalokasian dimaksud terlaksana dengan adil dan wajar. Bagian Keempat Eksekusi Transaksi Efek Pasal 28 Manajer Investasi wajib melakukan transaksi Efek untuk kepentingan Nasabah pada kondisi terbaik yang tersedia pada saat dilakukannya transaksi. Pasal 29 (1) Manajer Investasi wajib melakukan uji tuntas sebelum menunjuk Perantara Pedagang Efek yang digunakan dalam rangka melakukan transaksi Efek untuk kepentingan Nasabah. (2) Manajer Investasi wajib melakukan reviu secara berkala paling sedikit 1 (satu) tahun sekali terhadap Perantara Pedagang Efek yang ditunjuk melakukan transaksi Efek untuk kepentingan Nasabah. (3) Manajer Investasi dilarang melakukan eksekusi transaksi Efek melalui 1 (satu) Perantara Pedagang Efek melebihi 30% (tiga puluh persen) dari total nilai transaksi selama 1 (satu) tahun. (4) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak termasuk dalam hal Manajer Investasi melakukan: a. transaksi pembelian Efek dalam Penawaran Umum; b. transaksi atas Efek yang menjadi aset dasar pembentukan Reksa Dana Yang Unit Penyertaannya Diperdagangkan di Bursa dan Reksa Dana Indeks, bagi Manajer Investasi yang mengelola Reksa Dana Yang Unit Penyertaannya Diperdagangkan di Bursa dan Reksa Dana Indeks; - 17 - c. transaksi atas Efek yang ditawarkan tidak melalui Penawaran Umum; d. transaksi atas Efek luar negeri; e. transaksi Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu; dan/atau f. transaksi lain atas Efek yang harus dilakukan melalui Perantara Pedagang Efek tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal atau ditentukan oleh Pihak yang melakukan pembelian dan/atau penjualan Efek dimaksud. Bagian Kelima Pembelian Efek Dalam Penawaran Umum Pasal 30 Manajer Investasi yang membeli Efek dalam Penawaran Umum untuk kepentingan Nasabah wajib: a. mengalokasikan pembagian atas Efek yang diterima kepada Nasabah secara proporsional dan wajar sesuai dengan kebijakan investasi; dan b. membuat, mendokumentasikan, dan memelihara dokumen dan/atau catatan dasar alokasi pembelian Efek kepada Nasabah. Bagian Keenam Transaksi Efek Melalui Pihak Terafiliasi Pasal 31 Manajer Investasi dilarang melakukan transaksi Efek untuk kepentingan Nasabah melalui Pihak terafiliasi, kecuali: a. Transaksi Efek tersebut dilakukan dengan kondisi arm’s length; b. komisi atau biaya transaksi Efek yang dikenakan Pihak terafiliasi tidak lebih tinggi dari komisi atau biaya transaksi Efek yang dikenakan Pihak yang tidak terafiliasi; - 18 - c. transaksi Efek tersebut tidak dilakukan secara berlebihan; dan d. konsisten dengan standar eksekusi terbaik. Pasal 32 Manajer Investasi dapat melakukan penempatan dana untuk kepentingan Nasabah pada Pihak terafiliasi dengan ketentuan tingkat suku bunga yang diterima tidak lebih rendah dari tingkat suku bunga yang diterima dari Pihak yang tidak terafiliasi untuk nilai dan jangka waktu yang sama atau setara. Bagian Ketujuh Transaksi Silang Pasal 33 Manajer Investasi hanya dapat melakukan transaksi silang antar rekening Nasabah dengan ketentuan sebagai berikut: a. keputusan jual atau beli Efek wajib didasarkan atas kepentingan kedua belah Pihak Nasabah; b. transaksi dieksekusi melalui Perantara Pedagang Efek dengan kondisi arm’s length pada harga pasar yang berlaku; dan c. alasan dilakukannya transaksi silang didokumentasikan sebelum dilakukannya eksekusi transaksi. Pasal 34 (1) Manajer Investasi dilarang melakukan transaksi Efek silang antara: a. rekening Manajer Investasi dengan rekening Nasabah, kecuali transaksi silang dimaksud dilakukan dalam rangka pembentukan portofolio Reksa Dana Terproteksi; dan b. rekening anggota Dewan Komisaris, anggota direksi, anggota Komite Investasi, anggota Tim Pengelola Investasi, dan pegawai Manajer Investasi dengan rekening Nasabah. - 19 - (2) Dalam hal Manajer Investasi melakukan transaksi Efek silang antara rekening Manajer Investasi dengan rekening Nasabah dalam rangka pembentukan portofolio Reksa Dana Terproteksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, transaksi Efek dimaksud wajib dieksekusi melalui Perantara Pedagang Efek dengan kondisi arm’s length pada harga pasar yang berlaku. Bagian Kedelapan Transaksi Efek Untuk Kepentingan Sendiri Pasal 35 Manajer Investasi yang melakukan transaksi Efek yang sama dan dalam waktu yang sama, untuk kepentingan sendiri dan untuk kepentingan Nasabah, wajib mendahulukan transaksi Efek dan alokasi pembagian Efek untuk kepentingan Nasabah, termasuk dalam hal pesanan transaksi Efek untuk Nasabah digabung dengan pesanan transaksi Efek untuk kepentingan sendiri namun pesanan transaksi Efek tersebut tidak dapat terpenuhi semua. Pasal 36 (1) Manajer Investasi wajib membuat, mendokumentasikan, dan memelihara dokumen dan/atau catatan yang berkaitan dengan transaksi Efek yang sama dan dalam waktu yang sama untuk kepentingan sendiri dan untuk kepentingan Nasabah, termasuk transaksi Efek untuk kepentingan sendiri yang digabung dengan transaksi Efek untuk kepentingan Nasabah. (2) Manajer Investasi wajib menyusun dan menerapkan kebijakan dan prosedur tertulis yang berkaitan dengan transaksi Efek untuk kepentingan sendiri termasuk transaksi Efek untuk kepentingan sendiri yang digabung dengan transaksi Efek untuk kepentingan Nasabah. - 20 - BAB IV INTERAKSI DENGAN NASABAH Bagian Kesatu Penyediaan Informasi Perusahaan Pasal 37 (1) Manajer Investasi wajib: a. menyediakan informasi yang cukup mengenai identitas Manajer Investasi, izin usaha, ruang lingkup kegiatan usaha Manajer Investasi serta identitas dan jabatan Pihak yang bertindak untuk kepentingan Manajer Investasi pada saat Manajer Investasi menawarkan jasa atau produk pengelolaan investasi kepada Nasabah atau calon Nasabah; dan b. menyampaikan Fakta Material mengenai Manajer Investasi, jasa, dan/atau produk yang ditawarkannya yang diperlukan Nasabah. (2) Manajer Investasi dilarang: a. memberikan gambaran yang salah kepada Nasabah atau calon Nasabah mengenai kualifikasi Manajer Investasi, jasa, dan/atau produk yang ditawarkannya; dan/atau b. tidak menyampaikan Fakta Material mengenai kualifikasi Manajer Investasi, jasa dan/atau produk yang ditawarkannya kepada Nasabah atau calon Nasabah. Bagian Kedua Nomor Tunggal Identitas Pemodal Pasal 38 (1) Manajer Investasi wajib membuatkan nomor tunggal identitas pemodal untuk setiap Nasabahnya pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. (2) Dalam hal Manajer Investasi mendelegasikan kewenangan pembuatan nomor tunggal identitas pemodal - 21 - tersebut kepada Agen Penjual Efek Reksa Dana, Manajer Investasi wajib memastikan setiap Nasabah memiliki nomor tunggal identitas pemodal. Bagian Ketiga Kerahasiaan Pasal 39 (1) Manajer Investasi dilarang mengungkapkan data dan informasi serta kegiatan Nasabah kepada Pihak yang tidak berwenang, kecuali telah memperoleh persetujuan tertulis dari Nasabah atau diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. (2) Manajer Investasi wajib menyusun dan menerapkan kebijakan dan prosedur tertulis dalam rangka menjaga kerahasiaan data dan informasi Nasabah. Bagian Keempat Penilaian Portofolio Investasi Nasabah Pasal 40 Manajer Investasi wajib menghitung Nilai Pasar Wajar atas Efek Nasabah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal. Bagian Kelima Komisi dan Biaya Pasal 41 Manajer Investasi wajib menetapkan komisi dan biaya yang wajar serta beralasan atas jasa yang diberikan kepada Nasabah. - 22 - Bagian Keenam Pengaduan Nasabah Pasal 42 Manajer Investasi wajib membuat, mendokumentasikan, dan memelihara dokumen dan/atau catatan atas semua pengaduan Nasabah yang diterima, langkah-langkah yang telah diambil dan status penyelesaian atas masing-masing pengaduan Nasabah tersebut. Pasal 43 Manajer Investasi wajib menyusun dan menerapkan kebijakan dan prosedur tertulis untuk memastikan setiap pengaduan Nasabah ditangani dengan baik dan tepat waktu. BAB V KEGIATAN PEMASARAN, IKLAN, DAN MATERI PROMOSI Pasal 44 (1) Manajer Investasi wajib memberikan informasi yang benar, tidak menyesatkan, dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kepada Nasabah termasuk dalam hal Manajer Investasi memberikan materi pemasaran, iklan, dan/atau promosi baik dalam bentuk elektronik maupun non-elektronik. (2) Informasi kepada Nasabah termasuk materi pemasaran, iklan, dan/atau promosi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang memuat: a. informasi yang tidak benar; b. kata atau kalimat yang memberikan kesan Nasabah tidak akan rugi atau keuntungan; c. kesan mengenai Nasabah dapat memperoleh keuntungan tanpa adanya risiko; dan/atau d. informasi yang mencemarkan nama baik: 1. jasa atau produk yang ditawarkan Manajer Investasi lain; 2. Manajer Investasi lain; dan/atau - 23 - 3. industri pengelolaan investasi di sektor Pasar Modal secara keseluruhan. (3) Materi pemasaran, iklan, dan/atau promosi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat informasi mengenai risiko investasi. (4) Materi pemasaran, iklan, dan/atau promosi Reksa Dana wajib mengikuti ketentuan peraturan perundang- undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai pedoman iklan Reksa Dana. Pasal 45 (1) Dalam hal informasi termasuk materi pemasaran, iklan, dan/atau promosi memuat pernyataan tentang kinerja pengelolaan investasi Manajer Investasi, Manajer Investasi wajib membuat pernyataan tentang kinerja pengelolaan investasi Manajer Investasi tersebut secara jelas dan tidak menyesatkan. (2) Manajer Investasi wajib bertanggung jawab atas pernyataan tentang kinerja pengelolaan investasi Manajer Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB VI PENGAMANAN ASET NASABAH Pasal 46 (1) Manajer Investasi wajib menyimpan dana dan/atau Efek Nasabah atas nama masing-masing Nasabah pada Kustodian. (2) Manajer Investasi wajib memastikan Kustodian mengadministrasikan dan menyimpan dana dan/atau Efek Nasabah atas nama masing-masing Nasabah. Pasal 47 Manajer Investasi yang melakukan penunjukan Kustodian dalam rangka pengadministrasian dan penyimpanan dana dan/atau Efek Nasabah wajib melakukan uji tuntas atas kemampuan Kustodian dalam menjalankan tugasnya. - 24 - Pasal 48 Manajer Investasi wajib membuat, mendokumentasikan, dan memelihara dokumen dan/atau catatan yang berkaitan dengan kegiatan pengelolaan investasi yang dilakukannya paling cepat 5 (lima) tahun sejak penutupan rekening yang meliputi: a. catatan yang berkaitan dengan rekening Nasabah termasuk informasi mengenai nomor tunggal identitas pemodal; dan b. catatan atas semua transaksi Efek baik untuk kepentingan Nasabah maupun transaksi Efek untuk kepentingan Manajer Investasi, termasuk jejak audit atas seluruh transaksi Efek yang dilakukan oleh Manajer Investasi. BAB VII KETENTUAN SANKSI Pasal 49 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap Pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. Peringatan tertulis; b. Denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. Pembatasan kegiatan usaha; d. Pembekuan kegiatan usaha; e. Pencabutan izin usaha; f. Pembatalan persetujuan; dan g. Pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului - 25 - pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 50 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap Pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 51 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 kepada masyarakat. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 52 Manajer Investasi yang memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini wajib: a. menyusun dan menerapkan kebijakan dan prosedur tertulis berkaitan dengan riset agar riset yang dilakukan oleh analis Manajer Investasi untuk mendukung pengambilan keputusan investasi perusahaan, memberikan setiap informasi, nasihat, dan rekomendasi kepada nasabah dan/atau disebarluaskan kepada masyarakat, bersifat independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan - 26 - b. menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada Otoritas Jasa Keuangan, paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 53 (1) Kewajiban Manajer Investasi untuk membuatkan nomor tunggal identitas pemodal untuk setiap Nasabah-nya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dilakukan paling lambat 6 (enam) bulan sejak diundangkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Kewajiban Manajer Investasi menyusun kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 13, Pasal 17, Pasal 27, Pasal 36 ayat (2), Pasal 39 ayat (2), dan Pasal 43 dilakukan paling lambat 6 (enam) bulan sejak diundangkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 54 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: a. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-31/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Perilaku Yang Dilarang Bagi Manajer Investasi, beserta Peraturan Nomor V.G.1 yang merupakan lampirannya; dan b. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-32/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Pedoman Pencatatan Dalam Rangka Pengambilan Keputusan Oleh Manajer Investasi, beserta Peraturan Nomor V.G.3 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. - 27 - Pasal 55 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 370 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 43/POJK.04/2015 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN PERILAKU MANAJER INVESTASI </reg_title> <set_date> 23 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 28 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 28 Desember 2015 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-31/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-32/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-31/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor V.G.1', 'Kep-32/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor V.G.3' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 59 /POJK.04/2015 TENTANG PUBLIKASI OLEH PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk Perusahaan Pemeringkat Efek beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap publikasi oleh Perusahaan Pemeringkat Efek, maka peraturan mengenai Publikasi oleh Perusahaan Pemeringkat Efek yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Publikasi Oleh Perusahaan Pemeringkat Efek; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PUBLIKASI OLEH PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Pemeringkat Efek adalah Penasihat Investasi berbentuk Perseroan Terbatas yang melakukan kegiatan pemeringkatan dan memberikan peringkat. 2. Peringkat adalah opini tentang kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran secara tepat waktu oleh suatu Pihak: a. sebagai entitas (company rating); dan/ atau b. berkaitan dengan Efek yang diterbitkan oleh Pihak yang diperingkat (instrument rating). BAB II PUBLIKASI Pasal 2 Perusahaan Pemeringkat Efek yang mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan wajib melakukan publikasi atas: - 3 - a. hasil peringkat, pernyataan, atau pendapat lain yang terkait dengan hasil peringkat melalui Situs Web Perusahaan Pemeringkat Efek, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dalam perjanjian pemeringkatan; dan b. metodologi yang digunakan dalam pemeringkatan dan kegiatan operasionalnya secara umum serta setiap perubahannya melalui Pemeringkat Efek. Situs Web Pasal 3 Publikasi hasil Peringkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a paling sedikit meliputi: a. setiap hasil Peringkat; b. interpretasi dari setiap hasil Peringkat; c. tanggal dikeluarkannya hasil Peringkat dan tanggal perubahan hasil Peringkat; d. elemen-elemen kunci yang menjadi dasar dikeluarkannya hasil Peringkat, baik pada saat penerbitan pertama maupun perubahan hasil Peringkat; dan e. ikhtisar keuangan termasuk rasio keuangan penting yang menjadi dasar dikeluarkannya hasil Peringkat. Pasal 4 Publikasi metodologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b paling sedikit wajib mencakup: a. kebijakan tentang pendistribusian, pelaporan, dan pemutakhiran Peringkat; b. informasi yang cukup mengenai prosedur dan asumsi yang merupakan bagian dari metodologi, sehingga masyarakat dapat mengerti bagaimana Peringkat dapat dihasilkan; c. riwayat rata-rata kegagalan penerbit Efek yang diperingkat dalam memenuhi kewajibannya kepada pemilik Efek yang diperingkat terhadap seluruh hasil Perusahaan - 4 - Peringkat Efek dalam kategori yang sama yang diterbitkan oleh Perusahaan Pemeringkat Efek (historical default rates); d. perubahan atas historical default rates untuk setiap kategori hasil Peringkat yang telah diterbitkan dari waktu ke waktu (jika ada); e. setiap kebijakan dan prosedur yang berkaitan dengan Peringkat yang dikeluarkan bukan berdasarkan permintaan Pihak tertentu (jika ada); dan f. setiap perubahan yang dilakukan atas prosedur dan asumsi yang merupakan bagian dari metodologi secara lengkap sebelum perubahan dimaksud diterapkan (jika ada). Pasal 5 (1) Kewajiban publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, wajib dilaksanakan paling lama 2 (dua) hari kerja setelah selesainya pemeringkatan, dan/atau kaji ulang yang menghasilkan pernyataan atau pendapat lain yang terkait dengan hasil peringkat. (2) Kewajiban publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, wajib dilaksanakan paling lama 2 (dua) hari kerja setelah diterbitkannya izin Perusahaan Pemeringkat Efek dan/atau 7 (tujuh) hari kerja setelah penyampaian laporan perubahan struktur organisasi, prosedur dan standar operasi, dan/atau prosedur dan metodologi pemeringkatan. BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 6 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana dibidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak - 5 - yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 7 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 8 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 kepada masyarakat. - 6 - BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 9 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-156/BL/2009 tanggal 22 Juni 2009 tentang Publikasi Oleh Perusahaan Pemeringkat Efek beserta Peraturan Nomor X.F.6 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 10 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 410 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 59 /POJK.04/2015 TENTANG PENERBITAN DAN PERSYARATAN REKSA DANA SYARIAH I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu untuk melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK yaitu Peraturan Nomor X.F.6, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep- 156/BL/2009 tentang Publikasi Oleh Perusahaan Pemeringkat Efek, tanggal 22 Juni 2009; - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5828
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 59/POJK.04/2015 </reg_id> <reg_title> PUBLIKASI OLEH PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK </reg_title> <set_date> 23 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 29 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-156/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009', 'Kep-156/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor X.F.6' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 41 /POJK.04/2016 TENTANG PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk Reksa Dana Berbentuk Perseroan beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Perseroan perlu mengganti peraturan mengenai Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; - 2 - c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Perseroan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan Reksa Dana Berbentuk Perseroan adalah Emiten yang kegiatan usahanya menghimpun dana dengan menjual saham dan selanjutnya dana dari penjualan saham tersebut diinvestasikan pada berbagai jenis Efek yang diperdagangkan di Pasar Modal dan pasar uang. BAB II PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN Pasal 2 Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Perseroan diajukan oleh direksi Reksa Dana Berbentuk Perseroan dengan cara sebagai berikut: - 3 - a. menyampaikan Pernyataan Pendaftaran dengan mengisi formulir Pernyataan Pendaftaran yang bentuk dan isinya sesuai dengan format surat Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Perseroan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan b. Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan dalam rangkap 4 (empat). Pasal 3 Pernyataan Pendaftaran harus diajukan paling lambat 6 (enam) bulan sejak diperolehnya izin usaha. Pasal 4 Dalam hal Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a tidak memenuhi syarat atau memenuhi syarat, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa: a. Pernyataan Pendaftaran tidak lengkap; atau b. Pernyataan Pendaftaran dinyatakan efektif oleh Otoritas Jasa Keuangan. BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 5 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; - 4 - d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 6 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 7 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 kepada masyarakat. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 8 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-52/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Perseroan beserta Peraturan Nomor - 5 - IX.C.4 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 9 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN NOMOR 270 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 41 /POJK.04/2016 TENTANG PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu mengganti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Perseroan yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-52/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Perseroan beserta Peraturan Nomor IV.A.5 yang merupakan lampirannya menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan - 2 - tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Perseroan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5966 - 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 41 /POJK.04/2016 TENTANG PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN - 2 - PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN Nomor : Lampiran : Perihal : Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana ...................... .................................20.... Yth. KEPADA Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan di – Jakarta Bersama ini kami mengajukan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum sejumlah .............. saham dengan nilai per saham Rp.............. I. Emiten 1. Nama Reksa Dana 2. Nomor Pokok Wajib Pajak perusahaan 3. 4. Alamat Nomor : Telepon Telex Faksimili 5. Anggota direksi N a m a Kewarganegaraan Alamat a. b. c. d. e. 6. a. Nomor dan tanggal akta pendirian : ................................... : ................................... : ................................... : ................................... : ................................... : ................................... : ................................... - 3 - b. Nomor dan tanggal pengesahan : ................................... dan persetujuan Menteri Kehakiman 7. Reksa terbuka/tertutup 8. Struktur permodalan a. Modal dasar b. Modal ditempatkan dan disetor penuh 9. Jenis saham yang diterbitkan II. Manajer Investasi 1. Nama 2. Alamat 3. Nomor Pokok Wajib Pajak perusahaan 4. Anggota anggota dewan komisaris N a m a a. b. c. d. e. III. Bank Kustodian 1. Nama 2. Alamat 3. Nomor Pokok Wajib Pajak perusahaan 4. Anggota direksi dan anggota dewan komisaris : ................................... : ................................... : ................................... Dana : ................................... : ................................... : ................................... : ................................... direksi dan : ................................... Kewarganegaraan Alamat : ................................... : ................................... : ................................... : ................................... - 4 - N a m a a. b. c. d. e. IV. Akuntan 1. Nama 2. Alamat 3. Nomor Pokok Wajib Pajak 4. Nomor pendaftaran di Otoritas Jasa Keuangan V. Konsultan Hukum 1. Nama 2. Alamat 3. Nomor Pokok Wajib Pajak 4. Nomor pendaftaran di Otoritas Jasa Keuangan VI. Penjamin Emisi Efek (jika ada) 1. Nama 2. Alamat 3. Nomor Pokok Wajib Pajak perusahaan 4. Nomor dan tanggal izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan Kewarganegaraan Alamat : ................................... : ................................... : ................................... : ................................... : ................................... : ................................... : ................................... : ................................... : ................................... : ................................... : ................................... : ................................... VII. Jumlah halaman Pernyataan Pendaftaran ini adalah …. halaman. VIII. Daftar dokumen yang dilampirkan: 1. Rencana jadwal waktu penerbitan. 2. Rancangan akhir Prospektus (diberi meterai dan ditanda tangani para pihak). 3. Spesimen saham. - 5 - 4. Contoh formulir: a. Pemesanan pembelian Efek; b. Registrasi Efek. 5. Fotokopi kontrak pencetakan efek. 6. Kontrak/perjanjian yang telah disahkan: a. Perjanjian Penjaminan Emisi Efek antar: 1) Emiten dengan Penjamin Emisi Efek (jika ada); 2) Penjamin dengan Agen Penjual (jika ada); b. Perjanjian Pendahuluan dengan Bursa Efek (jika ada); dan c. Kontrak dengan Biro Administrasi Efek (jika ada). 7. Laporan pemeriksaan hukum (legal audit) dan pendapat hukum (legal opinion) atas dokumen-dokumen yang relevan termasuk kontrak-kontrak dan prospektus. 8. Laporan keuangan yang telah di audit Akuntan dan pendapat Akuntan. 9. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak, Reksa Dana dan masing- masing anggota direksi. 10. Fotokopi KTP dan kewarganegaraan dari masing-masing anggota direksi, dan pemegang saham utama, (untuk orang asing copy paspor dan izin kerja). 11. Riwayat hidup masing-masing anggota direksi. 12. Fotokopi tanda terdaftar profesi penunjang pasar modal: a. Notaris; b. Konsultan hukum; c. Akuntan. 13. Surat Pernyataan masing-masing anggota direksi bahwa yang bersangkutan tidak terlibat perkara (pernyataan di atas meterai). 14. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada Daftar Pertanyaan dan Daftar Afiliasi direksi dan setiap Pihak yang melakukan pengendalian atas perusahaan (Daftar A) serta penjelasan atas jawaban “ya” (Daftar B). - 6 - PERNYATAAN ATAU KETERANGAN YANG DIMUAT DALAM PERNYATAAN PENDAFTARAN ADALAH BENAR DAN TIDAK ADA FAKTA MATERIAL YANG TIDAK DIMUAT DALAM PERNYATAAN PENDAFTARAN YANG DIPERLUKAN AGAR PERNYATAAN PENDAFTARAN TIDAK MENYESATKAN. PT. REKSA DANA ......................... Meterai ............................................. Nama lengkap - 7 - DAFTAR PERTANYAAN I. PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN: 1. Semua pertanyaan wajib dijawab oleh setiap anggota direksi dan Pihak yang melakukan pengendalian atas perusahaan. 2. Berilah tanda √ dalam kotak di depan kata “ya”, jika jawaban Saudara “Ya”, atau berilah tanda √ dalam kotak di depan kata “Tidak” jika jawaban atas pertanyaan berikut adalah “tidak”. Untuk setiap jawaban "ya" setiap anggota direksi dan Pihak yang melakukan pengendalian atas perusahaan wajib memberikan jawaban secara rinci dan jelas dalam Daftar B, antara lain memuat: a. perusahaan dan pihak-pihak yang terkait; b. kasus dan tanggal dari tindakan yang dilakukan; c. pengadilan atau lembaga yang mengambil tindakan; d. tindakan dan sanksi yang dikenakan. II. INTEGRITAS SETIAP ANGGOTA DIREKSI DAN SETIAP PIHAK YANG MELAKUKAN PENGENDALIAN ATAS PERUSAHAAN. Definisi: Investasi adalah kegiatan atas Efek, perbankan, asuransi, atau usaha perumahan/real estat, termasuk kegiatan baik langsung atau tidak langsung berhubungan dengan Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, dan perusahaan lain yang bergerak di bidang keuangan Jawablah pertanyaan dibawah ini: 1. Dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir, apakah Saudara pernah dihukum atau mengaku bersalah atau tidak membantah atas tuduhan: a. Tindak pidana atau kejahatan melibatkan Investasi atau usaha berhubungan dengan investasi, penipuan, pernyataan palsu atau penggelapan, penyuapan, pemalsuan, atau pemerasan?  ya  tidak b. Atau kejahatan lain?  ya  tidak 2. Apakah pengadilan : a. Pernah memutuskan Saudara bangkrut?  ya  tidak b. Dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir ini melarang Saudara dalam kegiatan yang berhubungan dengan Investasi?  ya  tidak - 8 - c. Pernah memutuskan bahwa Saudara menyebabkan suatu usaha yang berhubungan dengan Investasi, izin usahanya atau izin untuk menjalankan usahanya ditolak, dibekukan, dicabut atau dibatasi?  ya  tidak 3. Apakah Otoritas Jasa Keuangan pernah: a. Menemukan Saudara membuat pernyataan palsu atau melakukan kelalaian?  ya  tidak b. Menemukan Saudara terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku?  ya  tidak c. Menemukan Saudara menyebabkan ditolaknya, dibekukannya, dicabutnya atau dibatasinya izin usaha Saudara atau izin menjalankan usaha Saudara yang berhubungan dengan Investasi?  ya  tidak d. Menolak, menghentikan untuk sementara atau mencabut izin usaha Saudara, memberi sanksi dengan membatasi kegiatan Saudara?  ya  tidak 4. Apakah lembaga/instansi lain yang berwenang di Indonesia atau negara lain pernah: a. Mendapatkan Saudara membuat pernyataan palsu atau tidak menyatakan fakta yang benar atau tidak jujur, tidak adil atau tidak etis?  ya  tidak b. Menemukan Saudara terlibat dalam pelanggaran peraturan Investasi, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku?  ya  tidak 5. Apakah suatu Bursa Efek pernah: a. Menemukan Saudara membuat pernyataan palsu atau tidak menyatakan fakta yang sebenarnya.  ya  tidak b. Menemukan Saudara terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku?  ya  tidak - 9 - c. Menemukan Saudara menyebabkan Izin Usaha atau persetujuan untuk menjalankan usaha suatu Reksa Dana yang berhubungan dengan Investasi yang menyebabkan dibekukan, dicabut atau dibatasi?  ya  tidak d. Mengambil tindakan disipliner terhadap Saudara dengan mengeluarkan atau membekukan dari keanggotaan, dengan mencegah atau membekukan hubungannya dengan anggota lain, atau dengan membatasi kegiatannya?  ya  tidak 6. Apakah pengadilan dari negara lain, badan peraturan, atau Bursa Efek memerintahkan diambilnya tindakan terhadap Saudara sehubungan dengan Investasi atau penipuan?  ya  tidak 7. Apakah Saudara sedang menghadapi perkara dalam sidang pengadilan?  ya  tidak 8. Apakah suatu perusahaan asuransi pernah menolak membayar kepada atau mencabut pertanggungan Saudara?  ya  tidak 9. Apakah Saudara mempunyai kewajiban atas dasar keputusan pengadilan atau perikatan lain yang dibuatnya dengan pihak lain yang tidak dapat dilaksanakan?  ya  tidak 10. Apakah Saudara pernah menjadi anggota direksi dan atau anggota dewan komisaris Perusahaan Efek, Penasihat Investasi Perorangan atau Pihak yang melakukan pengendalian atas Perusahaan Efek yang dinyatakan bangkrut?  ya  tidak ................., ........................... Yang membuat pernyataan .......................................... (nama lengkap) - 10 - DAFTAR A AFILIASI DIREKSI Daftar ini memuat keterangan tentang Afiliasi dari semua anggota direksi dengan: 1. Reksa Dana itu sendiri selain sebagai anggota direksi; 2. Perusahaan efek yang bertindak sebagai Manajer Investasinya; 3. Bank Kustodian; 4. Akuntan atau Konsultan Hukum yang akan atau memberikan jasa profesional kepada Reksa Dana dan atau Afiliasi dari profesi dimaksud; 5. Perusahaan Efek lain; dan 6. Orang perseorangan yang mempunyai hubungan usaha penting dan relevan atau hubungan profesi dengan Reksa Dana dimaksud, Manajer Investasi Reksa Dana atau dengan Reksa Dana lain. Beri tanda √ apabila ada afiliasi Nama Lengkap Anggota direksi/Pihak yang melakukan pengendalian 1 Afiliasi sebagaimana dijelaskan di atas dengan angka 2 3 4 5 6 - 11 - DAFTAR B PENJELASAN ATAS JAWABAN "YA" Daftar pertanyaan Nomor 1 sampai dengan 10. Diisi dengan penjelasan rinci terhadap "ya" atas pertanyaan nomor 1 sampai dengan 10. No Nomor Pertanyaan/Daftar Penjelasan ..............., ......................... 20.. Yang membuat pernyataan meterai .............................................. (Nama Lengkap) Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana ttd MULIAMAN D. HADAD
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 41/POJK.04/2016 </reg_id> <reg_title> PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN </reg_title> <set_date> 2 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 7 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 7 Desember 2016 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-52/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-52/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor IX.C.4' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 16 /POJK.04/2015 TENTANG AHLI SYARIAH PASAR MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong perkembangan industri Pasar Modal syariah Indonesia, perlu memberikan landasan hukum dan mengatur pihak yang memberikan nasihat dan melakukan pengawasan mengenai penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal; b. bahwa berdasarkan pertimbangan dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar Modal; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); sebagaimana - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG AHLI SYARIAH PASAR MODAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Ahli Syariah Pasar Modal yang selanjutnya disingkat ASPM adalah: a. orang perseorangan yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah; atau b. badan usaha yang pengurus dan pegawainya memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah, yang memberikan nasihat dan/atau mengawasi pelaksanaan penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal dalam kegiatan usaha perusahaan dan/atau memberikan pernyataan kesesuaian syariah atas produk atau jasa syariah di Pasar Modal. 2. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang bertanggung jawab memberikan nasihat dan saran serta mengawasi pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal terhadap Pihak yang melakukan Kegiatan Syariah di Pasar Modal. 3. Tim Ahli Syariah adalah tim yang bertanggung jawab terhadap kesesuaian syariah atas produk atau jasa syariah di Pasar Modal yang diterbitkan atau dikeluarkan perusahaan. - 3 - BAB II PERIZINAN DAN PERSYARATAN ASPM Pasal 2 Orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan nasihat dan/atau mengawasi pelaksanaan penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal dalam kegiatan usaha perusahaan dan/atau memberikan pernyataan kesesuaian syariah atas produk atau jasa syariah di Pasar Modal wajib mempunyai izin ASPM dari Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 3 (1) ASPM yang merupakan orang perseorangan wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. integritas, mencakup: 1. cakap melakukan perbuatan hukum; 2. memiliki akhlak dan moral yang baik; 3. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan; 4. tidak pernah dikenakan sanksi dalam menjalankan Kegiatan Syariah di Pasar Modal karena tidak sesuai dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan syariah di bidang Pasar Modal selama 3 (tiga) tahun terakhir; 5. tidak pernah dikenakan sanksi pencabutan izin, pembatalan persetujuan, dan/atau pembatalan pendaftaran oleh Otoritas Jasa Keuangan selama 3 (tiga) tahun terakhir; 6. dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi pengurus yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; - 4 - 7. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan; 8. memiliki komitmen terhadap pengembangan Pasar Modal syariah; dan 9. memiliki sikap independen dalam melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal. b. kompetensi, mencakup: 1. memiliki pendidikan paling rendah strata 1 (satu) atau sederajat; 2. memiliki pengetahuan memadai di bidang Pasar Modal, dibuktikan dengan: a) memiliki sertifikat yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan dan diterbitkan oleh lembaga pendidikan khusus di bidang Pasar Modal berdasarkan rekomendasi dari Komite Standar Keahlian; b) memiliki izin orang perseorangan dari Otoritas Jasa Keuangan sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek, atau Wakil Manajer Investasi atau terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal; atau c) memiliki pengalaman kerja pada institusi pengawas Pasar Modal dan/atau organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang tentang Pasar Modal untuk mengatur dan/atau mengawasi industri Pasar Modal dengan ketentuan: 1) paling sedikit 2 (dua) tahun pada posisi manajerial; atau 2) paling sedikit 5 (lima) tahun pada posisi pelaksana, dalam bidang tugas dan fungsi yang terkait pengaturan dan/atau pengawasan Pasar Modal. - 5 - 3. memiliki pengetahuan memadai di bidang syariah muamalah yang dibuktikan dengan sertifikat yang diterbitkan oleh lembaga yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan 4. memiliki rekomendasi yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia. (2) ASPM yang merupakan badan usaha wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. integritas anggota pengurus badan usaha, mencakup: 1. cakap melakukan perbuatan hukum; 2. memiliki akhlak dan moral yang baik; 3. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan; 4. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan; 5. memiliki komitmen terhadap pengembangan Pasar Modal syariah; dan 6. bersikap independen dalam melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal. b. kompetensi, mencakup: 1. memiliki paling sedikit 1 (satu) orang pengurus dan 1 (satu) orang pegawai lainnya yang memiliki izin ASPM; dan 2. memiliki sarana yang menunjang kegiatan pemberian nasihat dan pengawasan pelaksanaan penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal. BAB III TATA CARA PERMOHONAN IZIN ASPM Pasal 4 (1) Permohonan untuk memperoleh izin ASPM diajukan oleh pemohon dalam bentuk dokumen cetak kepada Otoritas - 6 - Jasa Keuangan dengan menggunakan format surat permohonan izin ASPM sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem elektronik permohonan izin ASPM, permohonan izin ASPM dapat diajukan melalui sistem elektronik tersebut. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai kelengkapan dokumen sebagai berikut: a. untuk izin ASPM yang diajukan oleh orang perseorangan: 1. daftar riwayat hidup terbaru yang ditandatangani oleh pemohon dengan menggunakan format daftar riwayat hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; 2. surat pernyataan yang menyatakan bahwa pemohon: a) cakap melakukan perbuatan hukum; b) memiliki akhlak dan moral yang baik; c) tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan; d) tidak pernah dikenakan sanksi dalam menjalankan Kegiatan Syariah di Pasar Modal karena tidak sesuai dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan syariah di bidang Pasar Modal selama 3 (tiga) tahun terakhir; e) tidak pernah dikenakan sanksi pencabutan izin, pembatalan persetujuan, dan/atau - 7 - pembatalan pendaftaran oleh Otoritas Jasa Keuangan selama 3 (tiga) tahun terakhir; f) dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi pengurus yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu dinyatakan pailit; perusahaan g) memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan; h) memiliki i) komitmen terhadap pengembangan Pasar Modal syariah; dan memiliki sikap independen dalam melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal. 3. fotokopi Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku; 4. surat keterangan domisili apabila terdapat perbedaan alamat domisili dengan alamat Kartu Tanda Penduduk; 5. pasfoto terbaru ukuran 4x6 cm dengan latar belakang warna merah sebanyak 2 (dua) lembar; 6. surat keterangan perbedaan nama dari pejabat/instansi berwenang, jika terdapat perbedaan nama pemohon dengan dokumen yang dilampirkan; 7. jawaban atas format daftar pertanyaan integritas sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; 8. salinan ijazah pendidikan formal paling rendah strata 1 (satu) atau sederajat; 9. fotokopi sertifikat pengetahuan di bidang syariah muamalah dari lembaga yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan; - 8 - 10. surat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia; dan 11. fotokopi: a) sertifikat pengetahuan di bidang Pasar Modal yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan dan diterbitkan oleh lembaga pendidikan khusus di bidang Pasar Modal berdasarkan rekomendasi dari Komite Standar Keahlian; b) izin orang perseorangan dari Otoritas Jasa Keuangan sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek, atau Wakil Manajer Investasi; c) surat tanda terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal; atau d) bukti pengalaman kerja pada institusi pengawas Pasar Modal dan/atau organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang tentang Pasar Modal untuk mengatur dan/atau mengawasi industri Pasar Modal dalam bidang tugas dan fungsi yang terkait pengaturan dan/atau pengawasan Pasar Modal. b. untuk izin ASPM yang diajukan oleh badan usaha: 1. identitas badan usaha, yang meliputi antara lain nama, alamat, dan kegiatan usaha; 2. fotokopi akta pendirian badan usaha yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, dan anggaran dasar terakhir atau dokumen sejenis yang telah memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang; 3. struktur organisasi dan pengurus badan usaha serta daftar pegawai yang memiliki pengetahuan dan/atau pengalaman di bidang keuangan syariah muamalah dan bidang keuangan umum; - 9 - 4. bukti kepemilikan izin ASPM paling sedikit oleh 1 (satu) orang pengurus dan 1 (satu) orang pegawai lainnya; 5. standar prosedur operasi yang paling sedikit meliputi: a) prosedur pengawasan terkait dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal dalam kegiatan dan jenis usaha, serta cara pengelolaan perusahaan; dan pemberian b) prosedur kesesuaian syariah atas produk atau jasa syariah di Pasar Modal; 6. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak badan usaha; 7. surat pernyataan integritas anggota pengurus badan usaha yang menyatakan terpenuhinya persyaratan: a) cakap melakukan perbuatan hukum; b) memiliki akhlak dan moral yang baik; c) tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan; d) tidak pernah dikenakan sanksi pencabutan izin, pembatalan persetujuan, dan/atau pembatalan pendaftaran oleh Otoritas Jasa Keuangan selama 3 (tiga) tahun terakhir; e) dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi pengurus yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu dinyatakan pailit; f) pernyataan perusahaan memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan; g) memiliki komitmen terhadap pengembangan Pasar Modal syariah; dan - 10 - h) bersikap independen dalam melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal. 8. surat pernyataan dengan meterai cukup yang ditandatangani oleh pimpinan badan usaha yang menyatakan kegiatan sebagai ASPM akan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal dan peraturan perundang-undangan lain dengan menggunakan format surat pernyataan pimpinan badan usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan 9. jawaban pengurus pemohon atas daftar pertanyaan integritas sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (4) Izin ASPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Otoritas Jasa Keuangan apabila pemohon telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 5 Dalam rangka memproses permohonan izin ASPM, Otoritas Jasa Keuangan berwenang: a. melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen yang disampaikan oleh pemohon; dan/atau b. meminta keterangan kepada pemohon, untuk memastikan kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan pemenuhan atas persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Pasal 6 (1) Izin ASPM diberikan Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan izin ASPM yang memenuhi syarat. - 11 - (2) Dalam hal permohonan izin ASPM pada saat diterima tidak memenuhi syarat, paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa: a. permohonan belum memenuhi persyaratan; atau b. permohonan ditolak karena tidak memenuhi persyaratan. (3) Pemohon wajib melengkapi kekurangan yang dipersyaratkan dalam surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling lambat 45 (empat puluh lima) hari setelah tanggal surat pemberitahuan. (4) Penyampaian perubahan dokumen, tambahan informasi, dan/atau kelengkapan kekurangan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dianggap telah diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal diterimanya perubahan dokumen, tambahan informasi, dan/atau kelengkapan kekurangan persyaratan tersebut. (5) Sejak diterimanya perubahan dokumen, tambahan informasi, dan/atau kelengkapan kekurangan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), permohonan izin tersebut dianggap baru diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan dan diproses sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan yang dipersyaratkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dianggap membatalkan permohonan izin ASPM yang sudah diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan. BAB IV MASA BERLAKU DAN PERPANJANGAN IZIN ASPM Pasal 7 Izin ASPM untuk orang perseorangan mempunyai masa berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. - 12 - Pasal 8 Izin ASPM tidak berlaku jika terjadi kondisi: a. masa berlakunya telah berakhir; b. setelah masa berlakunya berakhir, persetujuan perpanjangan izin belum diberikan Otoritas Jasa Keuangan meskipun permohonan perpanjangan izin ASPM telah disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum masa berlakunya berakhir; c. dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan; atau d. bubarnya badan usaha. Pasal 9 (1) Permohonan perpanjangan izin ASPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum masa berlaku izin dimaksud berakhir dengan ketentuan paling cepat 90 (sembilan puluh) hari sebelum masa berlaku izin berakhir. (2) Permohonan perpanjangan izin ASPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan menggunakan format surat permohonan perpanjangan izin ASPM sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan disertai kelengkapan persyaratan dokumen sebagai berikut: a. daftar riwayat hidup terbaru yang ditandatangani oleh pemohon dengan menggunakan format daftar riwayat hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, jika ada perubahan data dari daftar riwayat hidup pada saat permohonan izin ASPM; b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku; c. pasfoto terbaru ukuran 4x6 cm dengan latar belakang berwarna merah sebanyak 2 (dua) lembar; d. salinan ijazah pendidikan formal terakhir (dalam hal terjadi perubahan); - 13 - e. fotokopi dokumen pendidikan berkelanjutan yang dilaksanakan antara tanggal berlaku hingga tanggal berakhirnya izin ASPM; dan f. surat keterangan domisili, jika terdapat perbedaan alamat domisili dengan alamat Kartu Tanda Penduduk. Pasal 10 (1) Perpanjangan izin ASPM diberikan Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak diterimanya permohonan perpanjangan izin ASPM yang memenuhi syarat. (2) Dalam hal permohonan perpanjangan izin ASPM pada saat diterima tidak memenuhi syarat, paling lambat 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak diterimanya permohonan, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa: a. permohonan belum memenuhi persyaratan; atau b. permohonan ditolak karena tidak memenuhi persyaratan. (3) Penyampaian perubahan dokumen, tambahan informasi, dan/atau kelengkapan kekurangan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dianggap telah diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal diterimanya perubahan dokumen, tambahan informasi, dan/atau kelengkapan kekurangan persyaratan tersebut. (4) Pemohon perpanjangan izin ASPM yang tidak melengkapi kekurangan yang dipersyaratkan sebelum masa berlaku izin ASPM berakhir, dianggap membatalkan permohonan perpanjangan izin ASPM yang sudah diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 11 Dalam hal masa berlaku izin ASPM telah berakhir namun permohonan perpanjangan telah disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum masa berlaku izin berakhir, izin - 14 - ASPM tidak berlaku hingga terdapat persetujuan perpanjangan izin dari Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 12 Masa berlaku izin ASPM yang mendapatkan persetujuan perpanjangan adalah 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal persetujuan diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 13 Apabila pada saat permohonan perpanjangan izin ASPM, pemegang izin masih mempunyai kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan dan/atau keputusan Otoritas Jasa Keuangan yang belum dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan berhak menolak permohonan perpanjangan izin ASPM dimaksud. BAB V TUGAS, TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG Pasal 14 (1) ASPM dalam melakukan kegiatan dapat memberikan nasihat dan/atau mengawasi pelaksanaan penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal dan memberikan pernyataan kesesuaian syariah dalam Kegiatan Syariah di Pasar Modal. (2) Dalam melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ASPM wajib mendasarkan pada Prinsip Syariah di Pasar Modal. Pasal 15 (1) ASPM dapat ditunjuk oleh perusahaan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli Syariah di bidang Pasar Modal. (2) Dalam hal ASPM merupakan badan usaha, pihak yang dapat menandatangani dan bertanggungjawab atas pelaksanaan tugas Dewan Pengawas Syariah atau Tim - 15 - Ahli Syariah adalah pengurus yang mempunyai izin ASPM. Pasal 16 Dalam hal ASPM merupakan anggota Dewan Pengawas Syariah, ASPM memiliki tugas, tanggung jawab, dan wewenang sebagai berikut: a. memberikan nasihat dan saran kepada Direksi dan Dewan Komisaris perusahaan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; b. mengawasi pemenuhan penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal dalam kegiatan usaha perusahaan; c. melakukan penelaahan secara berkala atas penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal terhadap kegiatan usaha perusahaan; d. memberikan peringatan tertulis kepada Direksi perusahaan paling lama 2 (dua) hari kerja setelah ditemukannya penyimpangan dan meminta Direksi untuk segera melakukan upaya perbaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah diterimanya peringatan tertulis tersebut, dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Dewan Komisaris; e. menjaga kerahasiaan dokumen, data, dan informasi perusahaan yang diawasi dan diberi nasihat; f. meminta data dan informasi kepada perusahaan dalam rangka pengawasan pelaksanaan penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal; g. mendampingi perusahaan atau mewakili perusahaan dalam berdiskusi dengan Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia; dan h. memberikan pernyataan kesesuaian syariah terhadap Prinsip Syariah di Pasar Modal atas produk atau jasa syariah di Pasar Modal. - 16 - Pasal 17 Dalam hal ASPM merupakan anggota Tim Ahli Syariah, ASPM memiliki tugas, tanggung jawab dan wewenang sebagai berikut: a. menelaah pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal atas produk atau jasa syariah yang diterbitkan oleh perusahaan; b. memberikan pendapat dan memastikan Tim Ahli Syariah memberikan pernyataan kesesuaian syariah terhadap Prinsip Syariah di Pasar Modal atas produk atau jasa syariah di Pasar Modal; dan c. meminta data dan informasi kepada perusahaan dalam rangka memberikan nasihat dan melakukan pengawasan pelaksanaan penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal. BAB VI KEWAJIBAN Pasal 18 (1) Orang perseorangan yang memiliki izin ASPM wajib mengikuti program pendidikan lanjutan yang diselenggarakan oleh pihak yang diakui Otoritas Jasa Keuangan paling sedikit 2 (dua) tahun sekali. (2) Dalam hal tidak terdapat program pendidikan lanjutan yang diselenggarakan oleh pihak yang diakui Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan ketentuan lain berkaitan dengan kewajiban mengikuti program pendidikan lanjutan dan penyelenggaraan program pendidikan lanjutan. (3) Bukti keikutsertaan dalam program pendidikan lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak ASPM selesai mengikuti program pendidikan lanjutan tersebut. (4) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemenuhan persyaratan melampirkan dokumen telah mengikuti pendidikan berkelanjutan dalam rangka - 17 - permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf e mulai berlaku jika telah terdapat penyelenggaraan program pendidikan lanjutan yang diselenggarakan oleh pihak yang mendapat pengakuan dari Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 19 ASPM yang merupakan badan usaha wajib melakukan pengawasan atas pegawainya dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan oleh pegawainya terkait dengan pelaksanaan pemberian nasihat dan/atau pengawasan pelaksanaan penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal. BAB VII KOMITE STANDAR KEAHLIAN Pasal 20 (1) Komite Standar Keahlian dibentuk oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Komite Standar Keahlian bertugas memberikan rekomendasi kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka pemberian pengakuan atas sertifikat keahlian yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan khusus. (3) Sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan oleh lembaga pendidikan khusus yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan keahlian ASPM. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Komite Standar Keahlian, persyaratan dan tata cara pemberian pengakuan sertifikat keahlian, serta lembaga pendidikan khusus diatur dalam atau berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. - 18 - BAB VIII PELAPORAN Pasal 21 (1) ASPM wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak yang bersangkutan mulai atau berhenti sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli Syariah, atau pindah alamat dengan menggunakan format laporan perubahan data ASPM sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, laporan mulai atau berhenti sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli Syariah, atau pindah alamat wajib disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. Pasal 22 (1) ASPM wajib melaporkan kegiatannya selama 1 (satu) tahun secara berkala kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada tanggal 15 (lima belas) Januari tahun berikutnya. (2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem elektronik, penyampaian laporan kegiatan ASPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan melalui sistem elektronik tersebut. (3) Dalam hal tanggal 15 (lima belas) Januari jatuh pada hari libur, laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun dengan menggunakan format laporan kegiatan ASPM sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang - 19 - merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 23 (1) ASPM yang ditunjuk oleh perusahaan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah wajib menyusun laporan hasil pengawasan tahunan Dewan Pengawas Syariah atas pemenuhan kepatuhan terhadap Prinsip Syariah di Pasar Modal pada perusahaan yang diawasi. (2) Dalam hal Dewan Pengawas Syariah memperoleh penugasan setelah awal tahun buku, laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup periode mulai tanggal diperolehnya penugasan dimaksud sampai dengan tanggal berakhirnya tahun buku. BAB IX PENGEMBALIAN IZIN ASPM Pasal 24 (1) Pemegang izin ASPM dapat mengembalikan izin yang dimilikinya kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format surat pengembalian izin ASPM sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Pengembalian izin ASPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak serta merta menghilangkan kewajiban dan tanggung jawab ASPM atas peraturan perundang- undangan di sektor jasa keuangan dan/atau keputusan Otoritas Jasa Keuangan yang belum dipenuhi yang timbul pada saat orang perseorangan atau badan usaha memegang izin ASPM. - 20 - BAB X KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 25 (1) ASPM hanya dapat menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah paling banyak pada 4 (empat) perusahaan yang melakukan Kegiatan Syariah di Pasar Modal. (2) Dalam hal ASPM merupakan badan usaha, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi ASPM yang merupakan pengurus badan usaha pemegang izin ASPM. (3) ASPM yang menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah hanya dapat merangkap jabatan sebagai: a. anggota Direksi paling banyak pada 2 (dua) perusahaan lain yang melakukan kegiatan di Pasar Modal; dan/atau b. anggota Dewan Komisaris paling banyak pada 2 (dua) perusahaan lain yang melakukan kegiatan di Pasar Modal. BAB XI KETENTUAN SANKSI Pasal 26 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan izin kegiatan; d. pembekuan izin kegiatan; e. pencabutan izin kegiatan; f. pembatalan persetujuan; dan - 21 - g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 27 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 28 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 kepada masyarakat. BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 29 (1) Orang perseorangan yang dalam 2 (dua) tahun terakhir sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini pernah atau sedang menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah di bidang Pasar Modal dan/atau anggota Tim Ahli Syariah di bidang Pasar Modal atas rekomendasi Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia, tetap dapat melanjutkan menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli Syariah tanpa mempunyai izin ASPM sebagaimana dimaksud dalam - 22 - Pasal 2 paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sepanjang yang bersangkutan melapor kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan menggunakan format laporan status sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli Syariah di bidang Pasar Modal sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (3) Dalam hal orang perseorangan yang sedang menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli Syariah di bidang Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan, yang bersangkutan tidak dapat menjalankan kegiatan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli Syariah tanpa memiliki izin ASPM. (4) Orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin ASPM untuk tetap dapat melakukan kegiatan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli Syariah setelah berakhirnya masa 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Orang perseorangan yang pernah diangkat atas rekomendasi Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, namun pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini tidak sedang menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli Syariah di bidang Pasar Modal, wajib memiliki izin ASPM untuk dapat melakukan kegiatan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli Syariah. - 23 - Pasal 30 (1) Dalam hal permohonan untuk memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (4) dilakukan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) wajib memenuhi persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b atau memiliki pengetahuan memadai di bidang Pasar Modal yang dibuktikan dengan memiliki pengalaman: a. sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah di bidang Pasar Modal atau pengalaman sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah di bidang keuangan lain paling sedikit 1 (satu) tahun dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan/atau b. sebagai anggota Tim Ahli Syariah di bidang Pasar Modal paling sedikit 3 (tiga) kali penugasan dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Dalam hal permohonan untuk memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (4) dilakukan setelah berakhirnya jangka waktu selama 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3) wajib memenuhi persyaratan integritas dan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1). (3) Dalam hal permohonan izin ASPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau huruf b, permohonan izin ASPM wajib disertai bukti pengalaman sebagai Dewan Pengawas Syariah dan/atau Tim Ahli Syariah berupa surat keterangan/penugasan/penunjukan sebagai anggota - 24 - Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli Syariah. Pasal 31 (1) Dalam hal Komite Standar Keahlian belum berfungsi secara efektif, sertifikat pengetahuan di bidang Pasar Modal dalam rangka perizinan ASPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b angka 2 huruf a) dapat menggunakan: a. sertifikat yang berdasarkan peraturan perundang- undangan di bidang Pasar Modal diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan, kecuali sertifikat kecakapan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana; b. c. sertifikat lain yang disetujui Otoritas Jasa Keuangan; atau sertifikat yang akan diterbitkan oleh lembaga pendidikan tertentu yang bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b yang diterbitkan sejak tahun 2014 sampai dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dapat digunakan sebagai pemenuhan syarat memiliki pengetahuan di bidang Pasar Modal yang memadai dalam pengajuan permohonan izin ASPM berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 32 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 25 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 November 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 November 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H.LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 267 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 16 /POJK.04/2015 TENTANG AHLI SYARIAH PASAR MODAL I. UMUM Kepercayaan pasar merupakan hal yang sangat penting dalam mengembangkan Pasar Modal syariah agar dapat tumbuh, stabil, dan berkelanjutan. Salah satu hal yang mendasar dalam membangun kepercayaan pasar tersebut adalah terdapatnya pihak yang mendapat izin dari otoritas untuk dapat memberikan nasihat dan melakukan pengawasan mengenai penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal sehingga pada akhirnya dapat memberikan keyakinan kepada seluruh pelaku pasar bahwa Prinsip Syariah di Pasar Modal telah dijalankan secara konsisten dan berkelanjutan. Saat ini belum terdapat pengaturan mengenai pihak yang dapat memberikan nasihat dan melakukan pengawasan mengenai penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal. Dalam praktik selama ini, pelaksanaan pemberian nasihat dan pengawasan Prinsip Syariah Pasar Modal dalam kegiatan usaha perusahaan serta pemberian opini mengenai kesesuaian terhadap Prinsip Syariah di Pasar Modal atas produk atau jasa syariah di Pasar Modal, dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah dan Tim Ahli Syariah atas rekomendasi Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, serta dalam upaya mendorong percepatan perkembangan Pasar Modal syariah dan menetapkan standarisasi persyaratan dan kompetensi pihak-pihak yang dapat melakukan jasa kesyariahan, dipandang perlu adanya pengaturan - 2 - mengenai ASPM termasuk tata cara perizinan ASPM. Pihak-pihak yang telah memperoleh izin ASPM tersebut selanjutnya dapat berperan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah atau Tim Ahli Syariah. Di sisi lain, pengaturan mengenai ASPM diperlukan pula dalam rangka melakukan pengawasan atas pihak-pihak yang melakukan jasa kesyariahan di Pasar Modal, antara lain melalui pengaturan mengenai kewajiban penyampaian laporan oleh ASPM atas pelaksanaan tugasnya dalam satu tahun. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Angka 8 Cukup jelas. - 3 - Angka 9 Persyaratan “sikap independen” bagi ASPM dimaksudkan agar ASPM dalam memberikan nasihat dan melakukan pengawasan penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal dilakukan secara independen yaitu secara profesional dan bebas dari pengaruh Pihak yang memberikan tugas dan menggunakan jasa ASPM tersebut dan/atau afiliasinya sehingga pendapat atau penilaian yang diberikan objektif dan wajar. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Yang dimaksud dengan “Profesi Penunjang Pasar Modal” dalam huruf ini adalah Profesi Penunjang Pasar Modal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal. Huruf c) Cukup jelas. Angka 3 Contoh dari “lembaga yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan” adalah Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia. Angka 4 Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Yang dimaksud dengan “sarana yang menunjang kegiatan pemberian nasihat dan pengawasan - 4 - pelaksanaan penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal” adalah fasilitas yang digunakan oleh ASPM sebagai penunjang dalam rangka proses pemberian nasihat dan pengawasan, seperti ruang kerja dan sistem teknologi informasi. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a. Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Angka 8 Cukup jelas. Angka 9 Jawaban pengurus pemohon atas daftar pertanyaan integritas berlaku untuk seluruh anggota pengurus pemohon. - 5 - Ayat (4) Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Huruf a Ketidakberlakuan izin ASPM karena kondisi masa berlakunya berakhir hanya berlaku bagi izin ASPM untuk orang perseorangan karena izin dimaksud mempunyai masa berlaku 5 (lima) tahun. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. - 6 - Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pengurus” antara lain: a. bagi badan usaha yang berbentuk badan hukum Perusahaan Umum adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara; b. bagi badan usaha yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas; dan c. bagi badan usaha yang berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Perkoperasian. Pasal 16 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. - 7 - Huruf g Untuk mewakili perusahaan dalam berdiskusi dengan Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia, ASPM perlu memperoleh kuasa dari perusahaan. Huruf h Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Contoh “pihak yang diakui Otoritas Jasa Keuangan” adalah asosiasi atau lembaga lain yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Program pendidikan lanjutan tersebut dapat terdiri dari pendidikan keuangan di sektor Pasar Modal syariah dan/atau sektor Pasar Modal umum. Yang dimaksud dengan “pengakuan dari Otoritas Jasa Keuangan” meliputi: a. persetujuan Otoritas Jasa Keuangan kepada pihak lain yang mengajukan permohonan untuk menyelenggarakan pendidikan di bidang Pasar Modal; dan/atau b. penunjukan Otoritas Jasa Keuangan kepada pihak lain untuk menyelenggarakan pendidikan di bidang Pasar Modal. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. - 8 - Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) ASPM yang ditunjuk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada Manajer Investasi yang mengelola lebih dari 1 (satu) Reksa Dana Syariah diperhitungkan sebagai 1 (satu) jabatan di 1 (satu) perusahaan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa penundaan pemberian perpanjangan izin ASPM. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “tetap dapat melanjutkan menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli - 9 - Syariah” adalah orang perseorangan tersebut tetap dapat menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli Syariah untuk melanjutkan tugasnya pada perusahaan tersebut atau menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli Syariah pada perusahaan lain. Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, anggota Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat ini mencakup anggota Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli Syariah dalam rangka penerbitan Sukuk, penerbitan Efek Syariah berupa Saham, penerbitan Reksa Dana Syariah, dan penerbitan Efek Beragun Aset Syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “berfungsi secara efektif” adalah Komite Standar Keahlian telah memberikan rekomendasi atas sertifikat keahlian yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan khusus di bidang Pasar Modal. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5756 - 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 16/POJK.04/2015 TENTANG AHLI SYARIAH PASAR MODAL - 2 - PERMOHONAN IZIN AHLI SYARIAH PASAR MODAL (bagi pemohon orang perseorangan) Nomor : Lampiran : Perihal : Permohonan Izin ASPM Kepada Yth. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta Dengan ini saya mengajukan permohonan izin ASPM. Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini saya sampaikan data sebagai berikut: 1. Nama pemohon 2. Alamat pemohon : : .................................................................. .................................................................. (nama jalan dan .......................................... - (kota dan kode pos) 3. Nomor telepon pemohon : .................................................................. Untuk melengkapi permohonan ini, bersama ini kami lampirkan dokumen sebagai berikut: 1. daftar riwayat hidup terbaru yang telah ditandatangani; 2. surat pernyataan pemenuhan persyaratan integritas dengan meterai cukup dan telah ditandatangani; 3. fotokopi Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku; 4. surat keterangan domisili (apabila terdapat perbedaan alamat domisili dengan alamat Kartu Tanda Penduduk); 5. 2 (dua) lembar pasfoto terbaru berlatar belakang warna merah dan ukuran 4x6 cm; 6. surat keterangan perbedaan nama dari pejabat/instansi berwenang, jika terdapat perbedaan nama pemohon dengan dokumen yang dilampirkan. 7. salinan ijazah pendidikan formal terakhir; 8. jawaban atas daftar pertanyaan integritas pemohon sesuai dengan daftar pertanyaan integritas yang telah ditandatangani; nomor) ............... , ................................ - 3 - 9. fotokopi sertifikat pengetahuan di bidang syariah muamalah dari lembaga yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan; 10. rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia; dan 11. fotokopi: a. sertifikat pengetahuan di bidang pasar modal yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan dan diterbitkan oleh lembaga pendidikan khusus di bidang Pasar Modal berdasarkan rekomendasi dari Komite Standar Keahlian; b. izin orang perseorangan dari Otoritas Jasa Keuangan sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek, atau Wakil Manajer Investasi; c. surat tanda terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal; atau d. bukti pengalaman kerja pada institusi pengawas Pasar Modal dan/atau organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang tentang Pasar Modal untuk mengatur dan/atau mengawasi industri Pasar Modal dalam bidang tugas dan fungsi yang terkait pengaturan dan/atau pengawasan Pasar Modal. Demikian permohonan ini kami ajukan dan atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Pemohon, Meterai .............................................. (nama jelas dan tanda tangan) - 4 - PERMOHONAN IZIN AHLI SYARIAH PASAR MODAL (bagi pemohon berbentuk badan usaha) Nomor : Lampiran : Perihal : Permohonan Izin ASPM Kepada Yth. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta Dengan ini kami mengajukan permohonan izin ASPM. Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini kami sampaikan data sebagai berikut: 1. Nama pimpinan badan usaha 2. Nama badan usaha 3. Kegiatan usaha 4. Alamat lengkap badan usaha : ..................................................................... : ..................................................................... : ..................................................................... : ...................................................................... (nama jalan dan nomor) ................................................. - (kota dan kode pos) 5. Nomor telepon badan usaha : ...................................................................... ............... , ................................ Untuk melengkapi permohonan ini, bersama ini kami lampirkan dokumen sebagai berikut: 1. fotokopi akta pendirian badan usaha yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, dan anggaran dasar terakhir atau dokumen sejenisnya yang telah memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang; 2. struktur organisasi dan pengurus badan usaha serta daftar pegawai yang memiliki pengetahuan dan/atau pengalaman di bidang keuangan syariah muamalah dan bidang keuangan umum; 3. bukti kepemilikan izin ASPM paling sedikit oleh 1 (satu) orang pengurus dan 1 (satu) orang pegawai lainnya; - 5 - 4. standar prosedur operasi badan usaha; 5. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak badan usaha; 6. surat pernyataan pemenuhan persyaratan integritas anggota pengurus badan usaha dengan materai cukup yang telah ditandatangani; 7. surat pernyataan dengan meterai cukup yang ditandatangani oleh pimpinan badan usaha yang menyatakan kegiatan sebagai ASPM akan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal dan peraturan perundang-undangan lain; 8. jawaban pengurus atas daftar pertanyaan integritas yang telah ditandatangani; dan Demikian permohonan ini kami ajukan dan atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Pemohon, Meterai .............................................. (nama jelas dan tanda tangan pimpinan badan usaha) - 6 - DAFTAR RIWAYAT HIDUP Data Pribadi 1. Nama 2. Tempat & tanggal lahir 3. Jenis kelamin 4. Agama 5. Kewarganegaraan 6. Alamat : ............................................................................. : ............................................................................. : ............................................................................. : ............................................................................. : ............................................................................. : .............................................................................. (nama jalan dan nomor) ................................................. - (kota dan kode pos) 7. Nomor telepon : .............................................................................. 8. Nomor telepon seluler : ............................................................................. 9. Email 10. Izin perseorangan yang dimiliki Riwayat Pendidikan 1. Formal Tingkat Pendidikan Jurusan/Spesialisasi Nama/Tempat Tahun Lulus : ............................................................................. : 1) ................................................................... 2) ................................................................... 2. Non Formal (bersertifikat) Kursus/ Seminar Penyelenggara Tahun 3. Pendidikan Keahlian(Profesi) Sertifikasi Penyelenggara Tahun Lulus - 7 - 4. Riwayat Kerja Nama Perusahaan Jabatan Uraian Tugas Tanggal Mulai Bekerja Tanggal Berhenti Kerja Alasan Keluar ..............., ................................... (tempat dan tanggal) .................................................... (nama jelas dan tanda tangan) - 8 - SURAT PERNYATAAN PERSYARATAN INTEGRITAS (bagi pemohon orang perseorangan) Saya yang bertandatangan di bawah ini : 1. Nama 2. Alamat lengkap : ........................................................................................ : ......................................................................................... (nama jalan dan nomor) ................................................. - (kota dan kode pos) 3. Nomor telepon : ......................................................................................... dengan ini menyatakan bahwa saya: a. cakap/tidak cakap*) melakukan perbuatan hukum; b. memiliki akhlak dan moral yang baik; c. pernah/tidak pernah*) melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang jasa keuangan; d. pernah/tidak pernah*) dikenakan sanksi dalam menjalankan Kegiatan Syariah di Pasar Modal karena tidak sesuai dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan syariah di bidang Pasar Modal selama 3 (tiga) tahun terakhir; e. pernah/tidak pernah*) dikenakan sanksi pencabutan izin, pembatalan persetujuan, dan/atau pembatalan pendaftaran oleh Otoritas Jasa Keuangan selama 3 (tiga) tahun terakhir; f. pernah/tidak pernah*) dinyatakan pailit atau menjadi pengurus yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir; g. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan; h. memiliki komitmen terhadap pengembangan Pasar Modal syariah; dan i. memiliki sikap independen dalam melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. ..............., ............................... (tempat dan tanggal) Pemohon Meterai .................................................. (nama jelas dan tanda tangan) Keterangan: *) coret yang tidak perlu - 9 - SURAT PERNYATAAN PERSYARATAN INTEGRITAS (seluruh anggota pengurus bagi pemohon berbentuk badan usaha) Saya yang bertanda tangan di bawah ini : 1. Nama 2. Kedudukan 3. Nama badan usaha : .................................................................................... : ........... (nama jabatan sebagai pengurus pemohon izin ASPM berupa badan usaha) : .................................................................................... 4. Alamat lengkap : ..................................................................................... (nama jalan dan nomor) ................................................. - (kota dan kode pos) 5. Nomor telepon : ..................................................................................... dengan ini menyatakan bahwa saya: a. cakap/tidak cakap*) melakukan perbuatan hukum; b. memiliki akhlak dan moral yang baik; c. pernah/tidak pernah*) melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan; d. pernah/tidak pernah*) dikenakan sanksi pencabutan izin, pembatalan persetujuan, dan/atau pembatalan pendaftaran oleh Otoritas Jasa Keuangan selama 3 (tiga) tahun terakhir; e. pernah/tidak pernah*) dinyatakan pailit atau menjadi pengurus yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir; f. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan; g. memiliki komitmen terhadap pengembangan Pasar Modal syariah; dan h. bersikap independen dalam melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. ..............., ............................... (tempat dan tanggal) Meterai .................................................. (nama jelas dan tanda tangan) Keterangan: *) coret yang tidak perlu - 10 - DAFTAR PERTANYAAN INTEGRITAS I. PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN 1. Semua pertanyaan wajib dijawab oleh pemohon/seluruh pengurus pemohon untuk pemohon berbentuk badan usaha. 2. Berilah tanda  dalam kotak di depan kata “ya”, jika jawaban Saudara/pengurus “Ya”, atau berilah tanda  dalam kotak di depan kata “Tidak” jika jawaban Saudara/Pengurus atas pertanyaan berikut adalah “tidak”. 3. Untuk setiap jawaban "Ya", pemohon/seluruh pengurus pemohon wajib memberikan jawaban secara rinci dan jelas dalam lembaran terpisah yang antara lain memuat: a. Lembaga-lembaga yang bersangkutan; b. Kasus dan tanggal dari tindakan yang dilakukan; c. Pengadilan atau lembaga yang mengambil tindakan; dan d. Tindakan dan sanksi yang dilakukan. II. INTEGRITAS PEMOHON Definisi Investasi adalah kegiatan atas Efek, perbankan, asuransi, dana pensiun, koperasi, lembaga keuangan lainnya, termasuk kegiatan, baik langsung maupun tidak langsung, berhubungan dengan Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, Bank atau perusahaan lain yang bergerak di bidang keuangan, dan/atau kegiatan investasi lainnya di sektor riil misalnya usaha perumahan atau real estat. Jawablah pertanyaan di bawah ini: 1. Dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir, apakah Saudara pernah dihukum karena: a. tindak pidana yang berhubungan dengan investasi? ya tidak b. atau kejahatan lain? ya tidak 2. Apakah pengadilan pernah: a. menyatakan Saudara pailit? ya tidak - 11 - b. dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir melarang Saudara dalam kegiatan yang berhubungan dengan investasi? c. menyatakan Saudara telah terbukti bersalah karena terlibat dalam pelanggaran hukum (tindak pidana) yang berhubungan dengan investasi dan/atau terlibat dalam pelanggaran hukum peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan? d. membekukan/menghentikan untuk sementara, membatasi, atau mencabut izin (atau perizinan lainnya yang sejenis dengan izin) yang Saudara miliki? 3. Apakah Otoritas Jasa Keuangan pernah: a. menyatakan dan/atau mendapatkan Saudara membuat pernyataan palsu, menyesatkan atau tidak jujur, tidak adil atau tidak etis, atau lalai memberikan keterangan yang seharusnya diberikan? b. menyatakan dan/atau mendapatkan Saudara terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal? c. menyatakan Saudara telah terbukti bersalah, karena terlibat dalam kegiatan investasi sehingga izin usaha (atau izin lainnya yang sejenis dengan izin usaha) yang dimiliki perusahaan lain dibekukan, dibatasi atau dicabut/dibatalkan? d. menolak permohonan Izin, Persetujuan, atau Pendaftaran/Surat Tanda Terdaftar yang Saudara ajukan? e. mengenakan sanksi berupa membekukan, membatasi kegiatan atau mencabut/membatalkan Izin, Persetujuan, atau Pendaftaran/Surat Tanda Terdaftar yang Saudara miliki, misalnya Surat Tanda Terdaftar sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal seperti Akuntan, Konsultan Hukum, Penilai, atau Notaris? - 12 - 4. Apakah instansi berwenang lainnya pernah: a. menyatakan dan/atau mendapatkan Saudara, membuat pernyataan palsu, menyesatkan atau tidak jujur, tidak adil atau tidak etis? ya tidak b. menyatakan dan/atau mendapatkan Saudara terlibat dalam pelanggaran atas peraturan perundang-undangan sehubungan dengan kegiatan investasi? ya tidak c. menyatakan dan/atau mendapatkan Saudara menyebabkan suatu perusahaan berhubungan dengan Investasi yang permohonan izin usahanya ditolak atau izin usahanya (atau izin lainnya yang sejenis dengan izin usaha) dibekukan/dihentikan untuk sementara, dibatasi, atau dicabut? ya tidak d. memerintahkan untuk melarang Saudara dalam hubungannya dengan kegiatan investasi dalam jangka waktu 10 (sepuluh ) tahun terakhir? ya tidak e. menolak permohonan izin (perizinan lainnya yang sejenis dengan izin), atau membekukan/menghentikan untuk sementara, membatasi, atau mencabut izin (perizinan lainnya yang sejenis dengan izin) yang Saudara miliki untuk bergerak dalam kegiatan investasi? ya tidak f. menolak permohonan izin (perizinan lainnya yang sejenis dengan izin), atau membekukan/menghentikan untuk sementara, membatasi, atau mencabut izin (perizinan lainnya yang sejenis dengan izin) yang Saudara miliki untuk bergerak selain dalam kegiatan investasi, misalnya Surat Tanda Terdaftar sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal seperti Akuntan, Konsultan Hukum, Penilai, atau Notaris? ya tidak - 13 - 5. Apakah Bursa Efek pernah: a. menyatakan dan/atau mendapatkan Saudara membuat pernyataan palsu, menyesatkan atau tidak jujur, tidak adil atau tidak etis, atau lalai memberikan keterangan yang seharusnya diberikan? ya tidak b. menyatakan dan/atau mendapatkan Saudara terlibat dalam pelanggaran terhadap Peraturan Bursa Efek? ya tidak c. menertibkan Saudara dengan mengeluarkan atau menghentikan sementara Perusahaan Efek tempat Saudara bekerja dari keanggotaan suatu Bursa Efek yang diakibatkan oleh kesalahan Saudara, dengan cara membatasi atau menghentikan sementara hubungan Perusahaan Efek dimaksud dengan anggota Bursa Efek lainnya. ya tidak 6. Apakah pengadilan negara lain pernah menyatakan bahwa Saudara telah bersalah karena adanya tuntutan tindak pidana atau gugatan perdata dalam hubungannya dengan investasi? ya tidak 7. Apakah Saudara pada saat ini merupakan pihak yang sedang berperkara di pengadilan? ya tidak 8. Apakah Saudara mempunyai komitmen, ikatan tertentu, atau kewajiban bersyarat terhadap Pihak ketiga yang perkaranya sedang diproses atau telah memperoleh keputusan dari pengadilan? ya tidak .........., ........................... (tempat dan tanggal) Pemohon, Meterai .............................................. (nama jelas dan tanda tangan) - 14 - SURAT PERNYATAAN PIMPINAN BADAN USAHA Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama Kedudukan : : Nama badan usaha : Alamat lengkap : ...................................................................................... ........... (nama jabatan sebagai pimpinan pemohon izin ASPM berupa badan usaha) ...................................................................................... ....................................................................................... (nama jalan dan nomor) ................................................. - (kota dan kode pos) Nomor telepon Email : : ....................................................................................... ....................................................................................... dengan ini menyatakan bahwa perusahaan akan melaksanakan kegiatan sebagai ASPM sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal dan peraturan lain yang berlaku. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. ..............., ................................. (tempat dan tanggal) Meterai .................................................. (nama dan tanda tangan) - 15 - SURAT PERMOHONAN PERPANJANGAN IZIN AHLI SYARIAH PASAR MODAL Nomor : Lampiran : Perihal ............... , ................................ : Permohonan Perpanjangan Izin ASPM Kepada Yth. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta Dengan ini kami mengajukan permohonan perpanjangan izin ASPM sesuai dengan Surat Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor .................. tanggal ................... Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini kami sampaikan data sebagai berikut: 1. Nama pemohon 2. Alamat lengkap : ......................................................................................... (nama jalan dan nomor) ................................................. - (kota dan kode pos) 3. Nomor telepon : ......................................................................................... Untuk melengkapi permohonan ini, bersama ini kami lampirkan dokumen sebagai berikut: a. daftar riwayat hidup terbaru yang telah ditandatangani (jika ada perubahan data dari daftar riwayat hidup pada saat permohonan izin ASPM); b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku; c. 2 (dua) lembar pasfoto terbaru dengan latar belakang warna merah dan ukuran 4x6 cm; d. salinan ijazah pendidikan formal terakhir (dalam hal terjadi perubahan); e. fotokopi dokumen pendidikan berkelanjutan yang dilaksanakan antara tanggal berlaku hingga tanggal berakhirnya izin ASPM; dan : ........................................................................................ - 16 - f. surat keterangan domisili (jika terdapat perbedaan alamat domisili dengan alamat Kartu Tanda Penduduk). Demikian permohonan ini kami ajukan dan atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Pemohon, Meterai ......................................... (nama jelas dan tanda tangan) - 17 - LAPORAN PERUBAHAN DATA AHLI SYARIAH PASAR MODAL (bagi pemegang izin ASPM orang perseorangan) Nomor : Lampiran : Perihal : Laporan Perubahan Data ASPM Kepada Yth. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta Saya yang bertanda tangan di bawah ini: 1. Nama 2. Alamat lengkap : ................................................................................ : ................................................................................. (nama jalan dan nomor) ................................................. - (kota dan kode pos) 3. Nomor telepon 4. Nomor SK izin ASPM 5. Tanggal SK izin ASPM : ................................................................................. : ................................................................................. : ................................................................................. ............... , ................................ sesuai dengan Pasal ... Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor ............. tentang Ahli Syariah Pasar Modal tanggal ……………., melapor bahwa saya mulai bekerja pada…………./telah berhenti bekerja sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah pada ………………(nama perusahaan)/anggota Tim Ahli Syariah........................*) dan/atau pindah alamat ke………………… (alamat baru) sejak tanggal ................... Sehubungan dengan hal tersebut, bersama ini terlampir kami sampaikan dokumen pendukung berupa surat penunjukan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah pada ………………(nama perusahaan)/anggota Tim Ahli Syariah ........................*) dan/atau pindah alamat*). - 18 - Demikian disampaikan, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih. .............................................. (nama jelas dan tanda tangan) Keterangan: *) diisi sesuai dengan perubahan data yang terjadi - 19 - LAPORAN PERUBAHAN DATA AHLI SYARIAH PASAR MODAL (bagi pemegang izin ASPM berbentuk badan usaha) Nomor : Lampiran : Perihal : Laporan Perubahan Data ASPM Kepada Yth. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta Saya yang bertanda tangan di bawah ini: 1. Nama : ................................................................................ 2. Nama badan usaha : 3. Alamat lengkap : ................................................................................. (nama jalan dan nomor) ................................................. - (kota dan kode pos) 4. Nomor telepon 5. Nomor SK izin ASPM 6. Tanggal SK izin ASPM : ................................................................................. : ................................................................................. : ................................................................................. ............... , ................................ sesuai dengan Pasal ... Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor ............. tentang Ahli Syariah Pasar Modal, untuk dan atas nama ............... (nama badan usaha) pemegang izin ASPM tersebut di atas dengan ini melapor bahwa ............... (nama badan usaha) mulai bekerja pada…………./telah berhenti bekerja sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah pada ………………(nama perusahaan)/anggota Tim Ahli Syariah........................*) dan/atau pindah alamat ke………………… (alamat baru) sejak tanggal ................... Sehubungan dengan hal tersebut, bersama ini terlampir kami sampaikan dokumen pendukung berupa surat penunjukan sebagai anggota Dewan - 20 - Pengawas Syariah pada ………………(nama perusahaan)/anggota Tim Ahli Syariah ........................*) dan/atau pindah alamat*). Demikian disampaikan, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih ............................................... (nama jelas dan tanda tangan) Keterangan: *) diisi sesuai dengan perubahan data yang terjadi - 21 - LAPORAN KEGIATAN AHLI SYARIAH PASAR MODAL Nomor : ............... , ................................ Lampiran : Perihal : Penyampaian Laporan Kegiatan ASPM Tahun..…..... Kepada Yth. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta Dengan hormat, Sehubungan dengan pelaksanaan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor ….....… tanggal ……… tentang Ahli Syariah Pasar Modal, bersama ini terlampir kami sampaikan laporan kegiatan kami sebagai ASPM pada tahun…….. Demikian kami sampaikan. ................................................. (nama jelas dan tanda tangan) - 22 - LAPORAN KEGIATAN AHLI SYARIAH PASAR MODAL Tahun .......... 1. Sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah*) No. Nama Perusahaan (dimana yang bersangkutan menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah) 1. 2. 3. 2. Sebagai anggota Tim Ahli Syariah*) No. Nama Perusahaan (dimana yang bersangkutan menjadi anggota Tim Ahli Syariah) 1. 2. 3. 3. Kegiatan selain sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli Syariah Nama No. 1. 2. 3. Perusahaan/produk /pihak yang diberikan jasa Waktu Kegiatan Keterangan Periode Nomor dan tanggal Surat Keputusan/ Surat Penunjukan/ Pengangkatan **) Periode Nomor dan tanggal Surat Keputusan/ Surat Penunjukan/ Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham **) Keterangan Keterangan - 23 - 4. Sebutkan karya ilmiah, buku, atau tulisan yang diterbitkan*) : a. ............................................................................................................ b. ............................................................................................................ c. ............................................................................................................ Catatan: *) Jika tidak ada, isi nihil. **) Fotokopi bukti pendukung dilampirkan. .............., ................................... (tempat dan tanggal) ................................................... (nama jelas dan tanda tangan) - 24 - SURAT PENGEMBALIAN IZIN AHLI SYARIAH PASAR MODAL (bagi pemegang izin ASPM orang perseorangan) Nomor : Lampiran : Perihal : Pengembalian Izin ASPM Kepada Yth. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta Saya yang bertanda tangan di bawah ini: 1. Nama 2. Alamat lengkap : ................................................................................ : ................................................................................. (nama jalan dan nomor) ................................................. - (kota dan kode pos) 3. Nomor telepon : ................................................................................. dengan ini secara sukarela mengembalikan izin ASPM yang telah diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada saya. Adapun alasan saya mengembalikan izin dimaksud yaitu ............................................................... Sehubungan dengan hal tersebut, bersama ini terlampir saya sampaikan asli Surat Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor ........... tanggal ........ tentang Pemberian Izin Ahli Syariah Pasar Modal kepada saya. Demikian disampaikan, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih. ............... , ................................ .............................................. (nama jelas dan tanda tangan) - 25 - SURAT PENGEMBALIAN IZIN AHLI SYARIAH PASAR MODAL (bagi pemegang izin ASPM berbentuk badan usaha) Nomor : Lampiran : Perihal : Pengembalian Izin ASPM Kepada Yth. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta Saya yang bertanda tangan di bawah ini: 1. Nama 2. : .................................................................................... Kedudukan 3. Nama badan usaha 4. : ........... (nama jabatan sebagai pimpinan pemohon izin ASPM berupa badan usaha) : .................................................................................... Alamat lengkap : ..................................................................................... (nama jalan dan nomor) ................................................. - (kota dan kode pos) 5. Nomor telepon : ..................................................................................... dengan ini secara sukarela mengembalikan izin ASPM yang telah diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada .......................... (nama badan usaha). Adapun alasan .......................... (nama badan usaha) mengembalikan izin ASPM yaitu ....................................................................................................... Sehubungan dengan hal tersebut, bersama ini terlampir saya sampaikan asli Surat Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor ........... tanggal ............ tentang Pemberian Izin Ahli Syariah Pasar Modal kepada ........... (nama badan usaha). Demikian disampaikan, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih. ............... , ................................ .............................................. (nama jelas dan tanda tangan) - 26 - LAPORAN STATUS SEBAGAI ANGGOTA DEWAN PENGAWAS SYARIAH DAN/ATAU ANGGOTA TIM AHLI SYARIAH Nomor : Lampiran : Perihal ............... , ................................ : Laporan Status Sebagai Anggota Dewan Pengawas Syariah/Tim Ahli Syariah/ Dewan Pengawas Syariah dan Tim Ahli Syariah *) Kepada Yth. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor ........................ tentang Ahli Syariah Pasar Modal tanggal ...................., dengan ini saya: 1. Nama 2. Alamat lengkap : ........................................................................................ : ......................................................................................... (nama jalan dan nomor) ................................................. - (kota dan kode pos) 3. Nomor telepon : ......................................................................................... 4. Email : ......................................................................................... melaporkan bahwa dalam 2 (dua) tahun terakhir sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tersebut di atas, saya pernah atau sedang menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah di bidang Pasar Modal dan/atau anggota Tim Ahli Syariah di bidang Pasar Modal atas rekomendasi Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia, dengan rincian sebagaimana tercantum dalam daftar riwayat sebagai Dewan Pengawas Syariah/Tim Ahli Syariah/Dewan Pengawas Syariah dan Tim Ahli Syariah. Untuk melengkapi laporan ini, bersama ini saya lampirkan dokumen sebagai berikut: a. daftar riwayat hidup terbaru yang telah ditandatangani; b. daftar riwayat sebagai Dewan Pengawas Syariah/Tim Ahli Syariah/Dewan Pengawas Syariah dan Tim Ahli Syariah; - 27 - c. fotokopi Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku; d. surat keterangan domisili; e. 2 (dua) lembar pasfoto terbaru berlatar belakang warna merah dan ukuran 4x6 cm; f. salinan ijazah pendidikan formal terakhir (jika ada); g. surat rekomendasi Majelis Ulama Indonesia sebagai Dewan Pengawas Syariah/Tim Ahli Syariah/Dewan Pengawas Syariah dan Tim Ahli Syariah *); dan h. bukti surat keterangan/penugasan/penunjukan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah dan/atau anggota Tim Ahli Syariah dari perusahaan. Demikian permohonan ini saya ajukan dan atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih. Pemohon, Meterai ......................................... (nama jelas dan tanda tangan) Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 Nopember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji MULIAMAN D. HADAD
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 16/POJK.04/2015 </reg_id> <reg_title> AHLI SYARIAH PASAR MODAL </reg_title> <set_date> 3 November 2015 </set_date> <effective_date> 10 November 2015 </effective_date> <issued_date> 10 November 2015 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.05/2014 TENTANG PEMERIKSAAN LANGSUNG LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengawasan lembaga jasa keuangan non-bank diperlukan pemeriksaan langsung untuk mengetahui kondisi faktual lembaga jasa keuangan non- bank; b. bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu menyempurnakan ketentuan yang mengatur mengenai pemeriksaan langsung lembaga jasa keuangan non-bank; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pemeriksaan Langsung Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik... - 2 - Republik Indonesia Nomor 5253); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4954); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3507); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3508); 7. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEMERIKSAAN LANGSUNG LEMBAGA JASA KEUANGAN NON- BANK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank adalah: a. perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi, termasuk yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya dengan prinsip syariah, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan... - 3 - undangan di bidang usaha perasuransian; b. perusahaan pembiayaan, termasuk yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya dengan prinsip syariah, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang lembaga pembiayaan; c. dana pensiun, termasuk yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya dengan prinsip syariah, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun; dan d. lembaga jasa penunjang industri keuangan non-bank yang meliputi perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, kantor jasa penilai publik, perusahaan penilai kerugian asuransi, perusahaan agen asuransi, perusahaan konsultan aktuaria, kantor akuntan publik dan lembaga jasa penunjang lainnya yang mendukung industri keuangan non-bank. 2. Pemeriksaan Langsung adalah rangkaian kegiatan mencari, mengumpulkan, mengolah, dan mengevaluasi data dan/atau keterangan mengenai Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank yang dilakukan di kantor Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dan di tempat lain yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank; 3. Pemeriksa adalah pihak yang ditunjuk Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan Pemeriksaan Langsung; 4. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan, sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. BAB... - 4 - BAB II PIHAK-PIHAK YANG DIPERIKSA Pasal 2 (1) OJK dapat melakukan Pemeriksaan Langsung terhadap Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. (2) Dalam melakukan Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat melakukan Pemeriksaan Langsung terhadap: a. pemegang saham atau yang setara pada Lembaga Jasa Keuangan Non-Nank; b. perusahaan anak dari Lembaga Jasa Keuangan Non- Bank; dan/atau c. pihak lain yang melakukan transaksi dengan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. (3) Pemeriksaan Langsung terhadap pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan apabila pihak-pihak tersebut terindikasi mempengaruhi tingkat risiko Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank atau menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB III TUJUAN PEMERIKSAAN LANGSUNG Pasal 3 Pemeriksaan Langsung bertujuan untuk: a. memperoleh gambaran mengenai kondisi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank; b. memperoleh keyakinan yang memadai mengenai tingkat risiko Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank; dan/atau c. menilai kepatuhan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. BAB... - 5 - BAB IV FREKUENSI DAN LINGKUP PEMERIKSAAN LANGSUNG Pasal 4 (1) Frekuensi Pemeriksaan Langsung ditetapkan OJK sesuai rencana pengawasan berbasis risiko. (2) Frekuensi Pemeriksaan Langsung bagi lembaga penunjang industri keuangan non-bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf d, ditetapkan OJK dan dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun. (3) Lingkup Pemeriksaan Langsung adalah seluruh aspek penyelenggaraan kegiatan usaha Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank atau terhadap aspek-aspek tertentu dari kegiatan usaha Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. BAB V KRITERIA PEMERIKSA Pasal 5 (1) Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan oleh tim pemeriksa. (2) Tim pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari paling sedikit 2 (dua) orang. (3) Tim pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri dari: a. pegawai OJK yang ditugaskan untuk melakukan Pemeriksaan Langsung; b. pihak lain yang ditunjuk oleh OJK; atau c. gabungan antara pegawai OJK dan pihak lain yang ditunjuk OJK. (4) Tim pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar kualifikasi sebagai pemeriksa Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar kualifikasi Pemeriksa... - 6 - Pemeriksa diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner OJK. Pasal 6 (1) OJK dapat menunjuk akuntan publik, aktuaris, dan/atau penilai independen sebagai Pemeriksa. (2) Penunjukan pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam surat perintah kerja. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penunjukan pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran OJK. BAB VI KEWAJIBAN LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK Pasal 7 (1) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib segera memperlihatkan dan/atau memberikan kepada Pemeriksa: a. buku-buku, berkas-berkas, catatan, disposisi, memorandum; b. dokumen, data elektronik, termasuk salinan- salinannya; c. segala keterangan dan penjelasan yang berkaitan dengan kegiatan usaha baik lisan maupun tertulis; d. kesempatan meneliti keberadaan dan penggunaan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usaha; dan e. hal-hal lain yang diperlukan dalam Pemeriksaan Langsung. (2) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib memberikan bantuan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan, dokumen, dan penjelasan yang diperlukan Pemeriksa. (3) Lembaga... - 7 - (3) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank, pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dan/atau pihak-pihak lain dilarang untuk menghambat proses Pemeriksaan Langsung serta mempengaruhi pendapat, penilaian atau hasil kerja dari Pemeriksa. BAB VII TATA CARA PEMERIKSAAN LANGSUNG Pasal 8 (1) Pemeriksaan Langsung dilakukan oleh Pemeriksa berdasarkan surat perintah Pemeriksaan Langsung yang diterbitkan oleh OJK. (2) Pemeriksa wajib menyampaikan surat perintah Pemeriksaan Langsung kepada Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. (3) Sebelum dilakukan Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan Langsung kepada Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. (4) Surat pemberitahuan Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat informasi sebagai berikut: a. nomor dan tanggal surat perintah Pemeriksaan Langsung; b. nama Pemeriksa; c. tujuan Pemeriksaan Langsung; d. jangka waktu Pemeriksaan Langsung; e. dokumen-dokumen yang diperlukan untuk Pemeriksaan Langsung; dan f. batas waktu penyampaian dokumen kepada Pemeriksa. (5) OJK dapat menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan Langsung kepada Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank pada hari yang sama dengan pelaksanaan Pemeriksaan Langsung apabila pemberitahuan sebelum pelaksanaan... - 8 - pelaksanaan Pemeriksaan Langsung diduga akan mempersulit atau menghambat proses Pemeriksaan Langsung, atau akan memungkinkan dilakukannya tindakan untuk mengaburkan keadaan yang sebenarnya atau menyembunyikan atau menghilangkan data, keterangan, atau laporan yang diperlukan dalam rangka Pemeriksaan Langsung. Pasal 9 (1) Pemeriksa wajib menyampaikan laporan hasil Pemeriksaan Langsung sementara kepada Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah Pemeriksaan Langsung berakhir. (2) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dapat menyampaikan tanggapan atas laporan hasil Pemeriksaan Langsung sementara paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak tanggal diterimanya surat penyampaian laporan hasil Pemeriksaan Langsung sementara oleh Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. (3) Pemeriksa dan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dapat mengadakan pertemuan untuk membahas laporan hasil Pemeriksaan Langsung sementara. (4) Pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diselesaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya surat penyampaian laporan hasil Pemeriksaan Langsung sementara oleh Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. Pasal 10 (1) OJK menyampaikan laporan hasil Pemeriksaan Langsung final kepada Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak berakhirnya batas waktu penyampaian tanggapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) atau sejak tanggal pertemuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3). (2) Laporan hasil Pemeriksaan Langsung final sebagaimana dimaksud... - 9 - dimaksud pada ayat (1) bersifat rahasia. BAB VIII TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN LANGSUNG Pasal 11 (1) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank wajib melakukan langkah-langkah tindak lanjut sesuai rekomendasi yang terdapat dalam laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1). (2) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank wajib melaporkan pelaksanaan langkah-langkah tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada OJK paling sedikit setiap bulan atau sesuai laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Kewajiban melaporkan pelaksanaan langkah-langkah tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir apabila OJK menilai bahwa Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank telah melaksanakan langkah-langkah tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Penilaian OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank melalui surat. (5) OJK melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan tindak lanjut Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai bagian dari kegiatan pengawasan terhadap Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. BAB IX KEWAJIBAN BAGI PEMERIKSA Pasal 12 (1) Pemeriksa melaksanakan Pemeriksaan Langsung sesuai dengan Peraturan OJK ini dan tata cara Pemeriksaan Langsung. (2) Pemeriksa wajib merahasiakan data, dokumen, dan/atau keterangan... la - 10 - keterangan yang diperoleh dari Pemeriksaan Langsung, dari pihak yang tidak berhak. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner OJK. BAB X PEMERIKSAAN OLEH OTORITAS PENGAWAS SEKTOR JASA KEUANGAN DARI NEGARA LAIN Pasal 13 (1) Pemeriksaan Langsung terhadap Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank yang sebagian sahamnya dimiliki oleh lembaga keuangan asing yang dilakukan oleh pemeriksa dari otoritas pengawas sektor jasa keuangan dari negara lain hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari OJK. (2) Permohonan izin tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan kepada OJK paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sebelum dilakukannya Pemeriksaan Langsung. (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak surat permohonan diterima secara lengkap oleh OJK. (4) OJK dapat meminta kepada pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar dalam Pemeriksaan Langsung sekaligus memeriksa hal-hal yang dibutuhkan oleh OJK. (5) OJK dapat memerintahkan pegawai OJK untuk mendampingi pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama kegiatan Pemeriksaan Langsung berlangsung. (6) Pemberian izin pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menganut asas timbal balik yang dituangkan secara tertulis. (7) Pemeriksa... - 11 - (7) Pemeriksa dari otoritas pengawas sektor jasa keuangan dari negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melapor dan menyampaikan hasil pemeriksaan kepada OJK. BAB XI SANKSI Pasal 14 (1) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) dapat dikenakan sanksi berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. kewajiban bagi direksi atau yang setara pada Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank untuk menjalani penilaian kemampuan dan kepatutan ulang; d. pembatasan kegiatan usaha; e. pembekuan kegiatan usaha; dan f. pencabutan izin kegiatan usaha. (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama- sama dengan pengenaaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f. (4) Besaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan ketentuan tentang sanksi administratif berupa denda yang berlaku untuk setiap sektor jasa keuangan. (5) Otoritas... - 12 - (5) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat. Pasal 15 (1) Pemegang saham atau yang setara, perusahaan anak, dan pihak lain yang melakukan transaksi dengan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 akan dikenakan teguran tertulis dari OJK sebanyak 2 (dua) kali masing- masing dengan tenggang waktu sebanyak 7 (tujuh) hari kerja. (2) Dalam hal pemegang saham atau yang setara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 setelah teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat meminta pemegang saham atau yang setara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk melepas kepemilikannya pada atau membubarkan Lembaga Jasa Keuangan Non- Bank. (3) Dalam hal perusahaan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 setelah teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat meminta Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank untuk melepas kepemilikannya pada perusahaan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Dalam hal pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 setelah teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat meminta Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank untuk memutuskan hubungannya dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB... - 13 - BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 16 Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pemeriksaan Langsung Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank, dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan Peraturan OJK ini. Pasal 17 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Agustus 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Agustus 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA Ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 198 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum I Departemen Hukum, Ttd. Tini Kustini
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 11/POJK.05/2014 </reg_id> <reg_title> PEMERIKSAAN LANGSUNG LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK </reg_title> <set_date> 27 Agustus 2014 </set_date> <effective_date> 28 Agustus 2014 </effective_date> <issued_date> 28 Agustus 2014 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '76/PP/1992', '73/PP/1992', '9/PERPRES/2009', '77/PP/1992', '81/PP/2008', '11/UU/1992', '2/UU/1992' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 17 /POJK.05/2016 TENTANG LAPORAN TEKNIS DANA PENSIUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun dan dalam rangka meningkatkan pembinaan dan pengawasan agar lebih efektif dan efisien terhadap industri dana pensiun, maka diperlukan laporan teknis dana pensiun yang menyampaikan data dan informasi teknis operasional dana pensiun yang mutakhir dan akurat; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Teknis Dana Pensiun; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3477); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); - 2 - 3. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3507); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3508); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG LAPORAN TEKNIS DANA PENSIUN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun. 2. Pendiri adalah: a. orang atau badan yang membentuk Dana Pensiun Pemberi Kerja; b. bank atau perusahaan asuransi jiwa yang membentuk Dana Pensiun Lembaga Keuangan. 3. Laporan Teknis adalah laporan yang disampaikan oleh Dana Pensiun kepada Otoritas Jasa Keuangan, yang menyajikan informasi mengenai kepesertaan dan kegiatan operasional Dana Pensiun selama 1 (satu) tahun. 4. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. - 3 - BAB II KEWAJIBAN PENYAMPAIAN LAPORAN TEKNIS DANA PENSIUN Pasal 2 Dana Pensiun wajib menyampaikan Laporan Teknis setiap tahun kepada OJK c.q. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. BAB III BENTUK DAN SUSUNAN LAPORAN Pasal 3 (1) Laporan Teknis paling sedikit memuat informasi mengenai: a. Dana Pensiun dan Pendiri Dana Pensiun; b. penyelenggaraan program pensiun; c. kepesertaan program pensiun; dan d. pensiunan dan pihak yang berhak. (2) Penyampaian Laporan Teknis dilengkapi dengan pernyataan mengenai kelengkapan dan kebenaran data yang ditandatangani oleh pengurus Dana Pensiun dan disertai dengan Laporan Teknis dalam format digital. Pasal 4 (1) Laporan Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 disusun sesuai dengan bentuk dan susunan Laporan Teknis. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan susunan Laporan Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran OJK. - 4 - BAB IV PERIODE LAPORAN Pasal 5 (1) Laporan Teknis mencakup periode kegiatan sejak tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember tahun yang bersangkutan. (2) Dana Pensiun yang disahkan pendiriannya oleh OJK setelah tanggal 1 Januari pada tahun Laporan Teknis harus disampaikan, periode kegiatan Laporan Teknis dihitung sejak tanggal pengesahan Dana Pensiun oleh OJK sampai dengan tanggal 31 Desember pada tahun yang bersangkutan. Pasal 6 (1) Laporan Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 disampaikan paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya periode kegiatan Dana Pensiun. (2) Penyampaian Laporan Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. diserahkan langsung kepada Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya u.p. Kepala Departemen Pengawasan IKNB 1B; b. dikirim melalui kantor pos secara tercatat; atau c. dikirim melalui pengiriman/titipan. (3) Tanggal penyampaian Laporan Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. tanggal penerimaan Laporan Teknis, apabila Laporan Teknis diserahkan langsung kepada Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya u.p. Kepala Departemen Pengawasan IKNB 1B; dan perusahaan jasa - 5 - b. tanggal pengiriman yang terdapat dalam tanda bukti pengiriman, apabila Laporan Teknis dikirim melalui kantor pos atau perusahaan jasa pengiriman/titipan. (4) Apabila batas akhir penyampaian Laporan Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. BAB V SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 7 (1) Dalam hal Dana Pensiun terlambat menyampaikan Laporan Teknis, Pendiri Dana Pensiun dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan, terhitung sejak hari pertama setelah batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) sampai dengan tanggal penyampaian Laporan Teknis. (2) Surat pengenaan sanksi administratif berupa denda ditetapkan oleh Kepala Eksekutif Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya atas nama OJK. (3) Dalam hal Pendiri Dana Pensiun belum membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), denda tersebut dinyatakan sebagai utang Pendiri Dana Pensiun kepada Negara dan harus dicantumkan dalam laporan keuangan Pendiri Dana Pensiun yang bersangkutan. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 8 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan mengenai Laporan Teknis Dana Pensiun tunduk pada Peraturan OJK ini. Pengawas - 6 - Pasal 9 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Februari 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 Maret 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 41 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 17/POJK.05/2016 </reg_id> <reg_title> LAPORAN TEKNIS DANA PENSIUN </reg_title> <set_date> 23 Februari 2016 </set_date> <effective_date> 1 Maret 2016 </effective_date> <issued_date> 1 Maret 2016 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '76/PP/1992', '77/PP/1992', '11/UU/1992' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 15 /POJK.05/2016 TENTANG PERSYARATAN PENGURUS DAN DEWAN PENGAWAS DANA PENSIUN PEMBERI KERJA DAN PELAKSANA TUGAS PENGURUS DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan dan pengelolaan dana pensiun yang berhasil guna dan berdaya guna, persyaratan orang yang dapat ditunjuk sebagai pengurus dan dewan pengawas dana pensiun pemberi kerja perlu diperjelas; b. bahwa dalam rangka meningkatkan akuntabilitas dana pensiun lembaga keuangan kepada publik perlu menetapkan persyaratan bagi orang yang dapat ditunjuk sebagai pelaksana tugas pengurus dana pensiun lembaga keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Persyaratan Pengurus dan Dewan Pengawas Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Pelaksana Tugas Pengurus Dana Pensiun Lembaga Keuangan; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3477); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3507); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3508); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERSYARATAN PENGURUS DAN DEWAN PENGAWAS DANA PENSIUN PEMBERI KERJA DAN PELAKSANA TUGAS PENGURUS DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun. 2. Dana Pensiun Pemberi Kerja adalah Dana Pensiun yang dibentuk oleh orang atau badan yang mempekerjakan karyawan, selaku pendiri, untuk menyelenggarakan program pensiun manfaat pasti - 3 - atau program pensiun iuran pasti, bagi kepentingan sebagian atau seluruh karyawannya sebagai peserta, dan yang menimbulkan kewajiban terhadap pemberi kerja. 3. Dana Pensiun Lembaga Keuangan adalah Dana Pensiun yang dibentuk oleh bank atau perusahaan asuransi jiwa untuk menyelenggarakan program pensiun iuran pasti bagi perorangan, baik karyawan maupun pekerja mandiri yang terpisah dari dana pensiun pemberi kerja bagi karyawan bank atau perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan. 4. Pengurus adalah pengurus Dana Pensiun Pemberi Kerja. 5. Dewan Pengawas adalah dewan pengawas Dana Pensiun Pemberi Kerja. 6. Pelaksana Tugas Pengurus adalah pejabat dari pendiri Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan operasional Dana Pensiun Lembaga Keuangan. 7. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. BAB II PENUNJUKAN DAN PERSYARATAN PENGURUS DAN PELAKSANA TUGAS PENGURUS Pasal 2 (1) Dalam rangka pengelolaan Dana Pensiun, pendiri Dana Pensiun Lembaga Keuangan harus menunjuk Pelaksana Tugas Pengurus. (2) Penunjukan Pelaksana Tugas Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penggantiannya harus dilaporkan kepada OJK paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berlakunya penunjukan atau penggantian dimaksud. - 4 - Pasal 3 (1) Orang yang dapat ditunjuk sebagai Pengurus atau Pelaksana Tugas Pengurus harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. warga negara Republik Indonesia; b. memiliki akhlak dan moral yang baik; c. tidak pernah melakukan tindakan tercela di industri Dana Pensiun atau jasa keuangan lainnya; d. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan yang dijatuhi sanksi pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dan/atau tindak pidana di bidang Dana Pensiun atau jasa keuangan lainnya; e. memiliki pengetahuan di bidang Dana Pensiun. (2) Persyaratan untuk memiliki pengetahuan di bidang Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e harus dipenuhi Pengurus Dana Pensiun Pemberi Kerja paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal pengesahan OJK atas pendirian Dana Pensiun Pemberi Kerja. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pengetahuan di bidang dana pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e serta tata cara pemenuhannya bagi Pengurus dan Pelaksana Tugas Pengurus diatur dengan Surat Edaran OJK. Pasal 4 (1) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, orang yang ditunjuk sebagai Pengurus atau Pelaksana Tugas Pengurus harus lulus penilaian kemampuan dan kepatutan. - 5 - (2) Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada Peraturan OJK mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama perusahaan perasuransian, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, dan perusahaan penjaminan. Pasal 5 Pengurus dan Pelaksana Tugas Pengurus tidak dapat merangkap jabatan sebagai Pengurus Dana Pensiun lain atau anggota direksi atau jabatan eksekutif pada badan usaha lain. Pasal 6 Orang yang dapat ditunjuk sebagai Dewan Pengawas harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c. BAB III KETENTUAN PENUTUP Pasal 7 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan mengenai persyaratan Pengurus dan Dewan Pengawas Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Pelaksana Tugas Pengurus Dana Pensiun Lembaga Keuangan tunduk pada Peraturan OJK ini. Pasal 8 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 6 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Februari 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 Maret 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 40 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 15/POJK.05/2016 </reg_id> <reg_title> PERSYARATAN PENGURUS DAN DEWAN PENGAWAS DANA PENSIUN PEMBERI KERJA DAN PELAKSANA TUGAS PENGURUS DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN </reg_title> <set_date> 23 Februari 2016 </set_date> <effective_date> 1 Maret 2016 </effective_date> <issued_date> 1 Maret 2016 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '76/PP/1992', '77/PP/1992', '11/UU/1992' </related_reg>
-1- SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 19 /POJK.03/2017 TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa upaya penyehatan terhadap Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah merupakan kegiatan yang berkelanjutan untuk mendorong tumbuhnya industri perbankan; b. bahwa dalam upaya penyehatan bank, permasalahan dalam Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah perlu dideteksi sejak dini, dengan meningkatkan langkah-langkah pengawasan terhadap Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang berada dalam pengawasan normal yang mengalami penurunan kinerja sehingga berpotensi untuk berada dalam pengawasan intensif; c. bahwa Bank Perkeditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang sebelumnya berada dalam pengawasan normal atau pengawasan intensif kemudian mengalami kesulitan keuangan yang membahayakan kelangsungan usahanya perlu -2- ditetapkan dalam pengawasan khusus oleh Otoritas Jasa Keuangan; d. bahwa dalam upaya penyehatan Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah baik dalam pengawasan intensif maupun pengawasan khusus, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan tindakan pengawasan yang harus didukung dan dilaksanakan oleh anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan pemegang saham Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam batas waktu tertentu; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); -3- MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya disingkat BPRS yaitu bank syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 3. Lembaga Penjamin Simpanan adalah Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang. 4. Direksi: a. bagi BPR atau BPRS berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbentuk badan hukum: -4- 1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada BPR yang belum berubah bentuk badan hukum menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 5. Dewan Komisaris: a. bagi BPR atau BPRS berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana -5- telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 2) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada BPR yang belum berubah bentuk badan hukum menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 6. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang selanjutnya disingkat KPMM adalah rasio modal terhadap aset tertimbang menurut risiko yang wajib disediakan oleh BPR sebagaimana dimaksud dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai KPMM dan pemenuhan modal inti minimum BPR serta peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai KPMM dan pemenuhan modal inti minimum BPRS. 7. Cash Ratio yang selanjutnya disingkat CR adalah perbandingan antara alat likuid terhadap utang lancar sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara penilaian tingkat kesehatan BPR dan sistem penilaian tingkat kesehatan BPR berdasarkan prinsip syariah. -6- Pasal 2 (1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan status pengawasan BPR atau BPRS. (2) Status pengawasan BPR atau BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. pengawasan normal; b. pengawasan intensif; atau c. pengawasan khusus. Pasal 3 (1) Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham pengendali dari BPR atau BPRS dalam pengawasan normal yang memiliki permasalahan signifikan wajib menyampaikan rencana tindak (action plan) kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Tata cara penyampaian rencana tindak yang akan dilaksanakan oleh BPR atau BPRS yang termuat dalam rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara penilaian tingkat kesehatan BPR atau sistem penilaian tingkat kesehatan BPR berdasarkan prinsip syariah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. BAB II BPR DAN BPRS DALAM PENGAWASAN INTENSIF Pasal 4 Otoritas Jasa Keuangan menetapkan BPR atau BPRS dalam pengawasan intensif dalam hal BPR atau BPRS dinilai memiliki potensi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha. -7- Pasal 5 (1) Dalam periode sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2019, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan BPR atau BPRS dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dalam hal BPR atau BPRS memenuhi kriteria: a. rasio KPMM kurang dari 8% (delapan persen) namun sama dengan atau lebih dari 4% (empat persen); b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 4% (empat persen) namun sama dengan atau lebih dari 3% (tiga persen); dan/atau c. tingkat kesehatan dengan: 1. predikat kurang sehat selama 3 (tiga) periode penilaian berturut-turut atau tidak sehat bagi BPR; dan 2. peringkat komposit 4 (empat) selama 3 (tiga) periode penilaian berturut-turut atau peringkat komposit 5 (lima) bagi BPRS. (2) Sejak tanggal 1 Januari 2020, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan BPR atau BPRS dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dalam hal BPR atau BPRS memenuhi kriteria: a. rasio KPMM kurang dari 12% (dua belas persen) namun sama dengan atau lebih dari 8% (delapan persen); b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 5% (lima persen) namun sama dengan atau lebih dari 4% (empat persen); dan/atau c. tingkat kesehatan BPR atau BPRS dengan peringkat komposit 4 (empat) selama 3 (tiga) periode penilaian berturut-turut atau peringkat komposit 5 (lima). -8- Pasal 6 (1) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan BPR atau BPRS dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung pemberitahuan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Otoritas Jasa Keuangan berwenang memperpanjang jangka waktu pengawasan intensif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebanyak 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. (3) Perpanjangan jangka waktu pengawasan intensif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam hal BPR atau BPRS memenuhi persyaratan: a. terakhir sejak tanggal surat rasio KPMM dan CR rata-rata selama 6 (enam) bulan menunjukkan perbaikan berdasarkan realisasi rencana tindak yang telah disampaikan; dan/atau b. tingkat kesehatan BPR atau BPRS masih belum atau telah memenuhi kriteria pengawasan normal. (4) Perpanjangan jangka waktu BPR atau BPRS dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disertai dengan peningkatan tindakan pengawasan. Pasal 7 Otoritas Jasa Keuangan memberitahukan secara tertulis kepada BPR atau BPRS mengenai: a. penetapan BPR atau BPRS dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b dan Pasal 4; dan b. penetapan perpanjangan jangka waktu BPR atau BPRS dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), disertai dengan alasan penetapan dan tindakan pengawasan yang wajib dilakukan oleh BPR atau BPRS. -9- Pasal 8 BPR atau BPRS dalam pengawasan intensif wajib melakukan tindakan pengawasan yang diperintahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, yaitu: a. memperkuat modal BPR atau BPRS termasuk melalui setoran modal; b. mengganti anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris BPR atau BPRS; c. menghapusbukukan kredit atau pembiayaan yang tergolong macet dan memperhitungkan kerugian BPR atau BPRS dengan modal BPR atau BPRS; d. melakukan penggabungan atau peleburan dengan BPR atau BPRS lain; e. menjual BPR atau BPRS kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban BPR atau BPRS; f. menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban BPR atau BPRS kepada bank atau pihak lain; g. membatasi pembayaran remunerasi atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu kepada anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris BPR atau BPRS, atau imbalan kepada pihak terkait; h. tidak melakukan penambahan jaringan kantor; i. menghentikan kegiatan usaha tertentu dalam waktu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau j. tindakan pengawasan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 9 (1) BPR atau BPRS dalam pengawasan intensif wajib menyampaikan: a. rencana tindak sesuai dengan permasalahan BPR atau BPRS; b. laporan realisasi rencana tindak; dan c. daftar pihak terkait secara lengkap. -10- (2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPR atau BPRS dalam pengawasan intensif wajib melakukan tindakan lain dan/atau melaporkan hal- hal tertentu atas permintaan Otoritas Jasa Keuangan. (3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak BPR atau BPRS ditetapkan dalam pengawasan intensif. (4) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit memuat rencana perbaikan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi BPR atau BPRS disertai jangka waktu penyelesaiannya. Pasal 10 (1) Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan persetujuan atau penolakan terhadap rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak rencana tindak diterima secara lengkap. (2) Dalam hal rencana tindak yang disampaikan BPR atau BPRS disetujui Otoritas Jasa Keuangan, BPR atau BPRS wajib merealisasi rencana tindak sejak tanggal persetujuan disampaikan. (3) Dalam hal rencana tindak yang disampaikan BPR atau BPRS ditolak Otoritas Jasa Keuangan, BPR atau BPRS wajib menyampaikan perbaikan rencana tindak paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan. Pasal 11 (1) Dalam hal BPR atau BPRS ditetapkan dalam pengawasan intensif karena permasalahan permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 -11- ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a, BPR atau BPRS dan/atau pemegang saham BPR atau BPRS wajib menyampaikan rencana perbaikan permodalan guna mengatasi permasalahan permodalan sebagai bagian dari rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a. (2) Rencana perbaikan permodalan BPR atau BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mencerminkan kemampuan BPR atau BPRS untuk mencapai dan memelihara rasio KPMM yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1). (3) Tata cara penambahan modal disetor dalam rangka perbaikan permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. bagi BPR mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai BPR dan peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai KPMM dan pemenuhan modal inti minimum BPR; dan b. bagi BPRS mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai BPRS dan peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai KPMM dan pemenuhan modal inti minimum BPRS. Pasal 12 (1) BPR atau BPRS wajib menyampaikan laporan realisasi rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b dan/atau realisasi pelaksanaan perbaikan permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan setiap akhir bulan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja bulan berikutnya. (2) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat paling sedikit: -12- a. permasalahan BPR atau BPRS; b. tindakan perbaikan yang telah dilakukan oleh BPR atau BPRS; dan c. waktu pelaksanaan perbaikan. Pasal 13 (1) Dalam periode sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2019, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan BPR atau BPRS keluar dari pengawasan intensif dalam hal BPR atau BPRS memenuhi kriteria: a. rasio KPMM paling sedikit 8% (delapan persen); b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling sedikit 4% (empat persen); dan c. tingkat kesehatan dengan predikat sehat atau cukup sehat bagi BPR, atau tingkat kesehatan dengan peringkat komposit 1 (satu), 2 (dua), atau 3 (tiga) bagi BPRS. (2) Sejak tanggal 1 Januari 2020, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan BPR atau BPRS keluar dari pengawasan intensif dalam hal BPR atau BPRS memenuhi kriteria: a. rasio KPMM paling sedikit 12% (dua belas persen); b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling sedikit 5% (lima persen); dan c. tingkat kesehatan BPR atau BPRS dengan peringkat komposit 1 (satu), 2 (dua), atau 3 (tiga). Pasal 14 Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai BPR atau BPRS yang dikeluarkan dari pengawasan intensif kepada BPR atau BPRS yang bersangkutan. -13- Pasal 15 (1) Dalam hal jangka waktu pengawasan intensif atau perpanjangan jangka waktu pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) terlampaui dan tingkat kesehatan BPR atau BPRS tidak memenuhi kriteria untuk dikeluarkan dari pengawasan intensif, Otoritas Jasa Keuangan: a. melanjutkan tindakan pengawasan terhadap BPR atau BPRS yang telah dilakukan dalam masa pengawasan intensif; dan/atau b. menerapkan tindakan pengawasan yang belum dilaksanakan terhadap BPR atau BPRS dalam pengawasan intensif termasuk dalam rangka penyelesaian kredit atau pembiayaan bermasalah. (2) Selain menerapkan tindakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat: a. melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pemegang saham pengendali, anggota Direksi, dan/atau anggota Dewan Komisaris BPR atau BPRS; dan/atau b. meminta pemegang saham pengendali mengalihkan kepemilikan saham kepada pihak lain sebesar: 1. seluruh kepemilikan saham pemegang saham pengendali pada BPR; atau 2. paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) saham pemegang saham pengendali pada BPRS. Pasal 16 Ketentuan lebih lanjut mengenai BPR atau BPRS dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 15 diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. -14- BAB III BPR DAN BPRS DALAM PENGAWASAN KHUSUS Pasal 17 (1) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan BPR atau BPRS dalam pengawasan khusus dalam hal BPR atau BPRS dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya. (2) Penetapan BPR atau BPRS dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa didahului dengan penetapan BPR atau BPRS dalam pengawasan intensif. Pasal 18 (1) Dalam periode sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2019, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan BPR atau BPRS dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dalam hal BPR atau BPRS memenuhi kriteria: a. rasio KPMM kurang dari 4% (empat persen) namun lebih dari 0% (nol persen); dan/atau b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 3% (tiga persen) namun lebih dari 1% (satu persen). (2) Sejak tanggal 1 Januari 2020, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan BPR atau BPRS dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dalam hal BPR atau BPRS memenuhi kriteria: a. rasio KPMM kurang dari 8% (delapan persen) namun lebih dari 2% (dua persen); dan/atau b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 4% (empat persen) namun lebih dari 1% (satu persen). -15- (3) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan BPR atau BPRS dalam pengawasan khusus apabila jangka waktu pengawasan intensif atau perpanjangan jangka waktu pengawasan intensif terlampaui dan tidak memenuhi kriteria untuk dikeluarkan dari pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a dan huruf b atau Pasal 13 ayat (2) huruf a dan huruf b. Pasal 19 Otoritas Jasa Keuangan menetapkan BPR atau BPRS dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat pemberitahuan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 20 Otoritas Jasa Keuangan memberitahukan secara tertulis kepada BPR dan BPRS mengenai penetapan BPR atau BPRS dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, disertai dengan alasan penetapan dan tindakan pengawasan yang wajib dilakukan oleh BPR atau BPRS. Pasal 21 (1) Dalam periode sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2019, BPR dan BPRS dalam pengawasan khusus wajib melakukan penambahan modal untuk memenuhi rasio KPMM paling sedikit 8% (delapan persen) dan CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling sedikit 4% (empat persen). (2) Sejak tanggal 1 Januari 2020, BPR atau BPRS dalam pengawasan khusus wajib melakukan penambahan modal untuk memenuhi rasio KPMM paling sedikit 12% (dua belas persen) dan CR rata-rata selama -16- 6 (enam) bulan terakhir paling sedikit 5% (lima persen). (3) Penambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan memperhitungkan potensi kerugian dan kebutuhan likuiditas BPR atau BPRS dalam pengawasan khusus untuk periode 6 (enam) bulan mendatang. (4) Penambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dipenuhi dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19. (5) Tata cara penambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2): a. bagi BPR mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai BPR dan peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai KPMM dan pemenuhan modal inti minimum BPR; dan b. bagi BPRS mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai BPRS dan peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai KPMM dan pemenuhan modal inti minimum BPRS. Pasal 22 BPR atau BPRS dalam pengawasan khusus dilarang menjual atau menurunkan jumlah aset tanpa persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 23 (1) Selain tindakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22, BPR atau BPRS dalam pengawasan khusus wajib melakukan tindakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 yang diperintahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Tindakan pengawasan yang telah ditetapkan pada saat BPR atau BPRS dalam pengawasan intensif dan -17- belum selesai dilakukan oleh BPR atau BPRS, tetap berlaku selama dalam masa pengawasan khusus. Pasal 24 BPR atau BPRS dalam pengawasan khusus wajib: a. menyampaikan rencana tindak sesuai dengan permasalahan BPR atau BPRS paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak BPR atau BPRS ditetapkan dalam pengawasan khusus yang ditandatangani oleh Direksi, Dewan Komisaris dan pemegang saham pengendali BPR atau BPRS; b. merealisasi rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c. menyampaikan laporan realisasi setiap pelaksanaan dan/atau tingkat pencapaian rencana tindak paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak pelaksanaan dan/atau pencapaian rencana tindak; d. melakukan penyesuaian rencana tindak yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam huruf a atas permintaan Otoritas Jasa Keuangan; e. menyampaikan daftar pihak terkait secara lengkap paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak BPR atau BPRS ditetapkan dalam pengawasan khusus; f. melaporkan hal-hal tertentu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, yaitu: 1. laporan keuangan terkini; 2. rincian aset produktif yang dikelompokkan berdasarkan kualitasnya; dan 3. informasi dan dokumen terkini mengenai: a) daftar simpanan nasabah; b) daftar rincian tagihan dan kewajiban BPR atau BPRS kepada pihak terkait; dan g. melakukan tindakan lain sesuai dengan perintah Otoritas Jasa Keuangan. -18- Pasal 25 (1) BPR atau BPRS dalam pengawasan normal atau dalam pengawasan intensif namun mengalami penurunan: a. rasio KPMM menjadi sama dengan atau kurang dari 0% (nol persen) atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir menjadi sama dengan atau kurang dari 1% (satu persen), yang terjadi dalam periode sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2019; dan b. rasio KPMM menjadi sama dengan atau kurang dari 2% (dua persen) atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir menjadi sama dengan atau kurang dari 1% (satu persen), yang terjadi sejak tanggal 1 Januari 2020, ditetapkan dalam pengawasan khusus untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal penetapan. (2) BPR atau BPRS yang ditetapkan dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyelesaikan rencana tindak sesuai dengan permasalahan BPR atau BPRS dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal penetapan. Pasal 26 (1) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 atau Pasal 25 ayat (1) tidak membatasi waktu bagi Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan penelitian terhadap upaya-upaya perbaikan yang telah dilakukan BPR atau BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23. (2) Setelah penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selesai dilakukan, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan BPR atau BPRS keluar atau tidak keluar dari pengawasan khusus. -19- Pasal 27 (1) Otoritas Jasa Keuangan memberitahukan secara tertulis kepada Lembaga Penjamin Simpanan mengenai BPR atau BPRS yang ditetapkan dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 25 ayat (1). (2) Pemberitahuan kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan informasi mengenai kondisi BPR atau BPRS yang bersangkutan. Pasal 28 (1) BPR atau BPRS yang ditetapkan dalam pengawasan khusus untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dilarang melakukan kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana. (2) Larangan penghimpunan dana dan penyaluran dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak ditetapkan dalam pengawasan khusus untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) sampai dengan BPR atau BPRS dikeluarkan dari pengawasan khusus. Pasal 29 (1) Dalam periode sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2019, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan BPR atau BPRS keluar dari pengawasan khusus dalam hal BPR atau BPRS memenuhi kriteria: a. rasio KPMM paling sedikit 8% (delapan persen); dan b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling sedikit 4% (empat persen). -20- (2) Sejak tanggal 1 Januari 2020, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan BPR atau BPRS keluar dari pengawasan khusus dalam hal BPR atau BPRS memenuhi kriteria: a. rasio KPMM paling sedikit 12% (dua belas persen); dan b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling sedikit 5% (lima persen). (3) Pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus memperhitungkan potensi kerugian dan kebutuhan likuiditas untuk periode 6 (enam) bulan mendatang. Pasal 30 (1) Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada BPR atau BPRS bahwa: a. BPR atau BPRS yang bersangkutan dikeluarkan dari pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; dan (2) Otoritas b. larangan melakukan kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana bagi BPR atau BPRS yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dicabut. Keuangan Jasa menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai BPR atau BPRS yang dikeluarkan dari pengawasan khusus kepada Lembaga Penjamin Simpanan. Pasal 31 (1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menempatkan pengawas untuk melakukan pemantauan secara langsung terhadap kegiatan operasional BPR atau BPRS yang ditetapkan dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1). -21- (2) Penempatan pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi tanggung jawab anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham BPR atau BPRS terhadap kegiatan operasional dan kewajiban BPR atau BPRS. Pasal 32 Ketentuan lebih lanjut mengenai BPR atau BPRS dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 31 diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. BAB IV BPR DAN BPRS YANG TIDAK DAPAT DISEHATKAN DAN DISERAHKAN KEPADA LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN Pasal 33 BPR atau BPRS ditetapkan sebagai BPR atau BPRS yang tidak dapat disehatkan apabila BPR atau BPRS dalam pengawasan khusus telah melampaui jangka waktu dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 atau Pasal 25 ayat (1) dan tidak memenuhi kriteria: a. rasio KPMM paling sedikit 8% (delapan persen) dan CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling sedikit 4% (empat persen) dalam periode sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2019; dan b. rasio KPMM paling sedikit 12% (dua belas persen) dan CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling sedikit 5% (lima persen) sejak tanggal 1 Januari 2020. Pasal 34 BPR atau BPRS ditetapkan sebagai BPR atau BPRS yang tidak dapat disehatkan apabila BPR atau BPRS masih berada dalam jangka waktu dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 namun mengalami penurunan: -22- a. rasio KPMM menjadi sama dengan atau kurang dari 0% (nol persen) dan/atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir menjadi sama dengan atau kurang dari 1% (satu persen), yang terjadi dalam periode sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2019; b. rasio KPMM menjadi sama dengan atau kurang dari 2% (dua persen) dan/atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir menjadi sama dengan atau kurang dari 1% (satu persen), yang terjadi sejak tanggal 1 Januari 2020. Pasal 35 Selama jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 25 ayat (1) Otoritas Jasa Keuangan sewaktu-waktu dapat menetapkan BPR atau BPRS tidak dapat disehatkan, dalam hal berdasarkan penilaian Otoritas Jasa Keuangan, BPR atau BPRS tidak mampu meningkatkan: a. rasio KPMM menjadi paling sedikit 8% (delapan persen) dan/atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling sedikit 4% (empat persen) dalam periode sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2019; b. rasio KPMM menjadi paling sedikit 12% (dua belas persen) dan/atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling sedikit 5% (lima persen) sejak tanggal 1 Januari 2020. Pasal 36 Otoritas Jasa Keuangan memberitahukan secara tertulis kepada BPR atau BPRS dalam pengawasan khusus yang ditetapkan sebagai BPR atau BPRS yang tidak dapat disehatkan. -23- Pasal 37 Otoritas Jasa Keuangan memberitahukan secara tertulis kepada Lembaga Penjamin Simpanan dan meminta Lembaga Penjamin Simpanan untuk memberikan keputusan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan BPR atau BPRS yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 sampai dengan Pasal 35. Pasal 38 Dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan terhadap BPR atau BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha BPR atau BPRS yang bersangkutan setelah memperoleh pemberitahuan dari Lembaga Penjamin Simpanan. Pasal 39 (1) Otoritas Jasa Keuangan memberitahukan keputusan pencabutan izin usaha BPR atau BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 kepada BPR atau BPRS yang bersangkutan dan Lembaga Penjamin Simpanan. (2) Penyelesaian lebih lanjut BPR atau BPRS yang telah dicabut izin usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Pasal 40 Ketentuan lebih lanjut mengenai BPR atau BPRS yang tidak dapat disehatkan dan diserahkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 sampai dengan Pasal 39 diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. -24- BAB V PENGUMUMAN Pasal 41 (1) Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan BPR atau BPRS yang ditetapkan: a. dalam pengawasan khusus; atau b. keluar dari pengawasan khusus, pada hari yang sama dengan tanggal penetapan. (2) Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan BPR atau BPRS yang: a. dilarang melakukan penghimpunan dana dan penyaluran dana; atau b. diperbolehkan melakukan penghimpunan dana dan penyaluran dana kembali, pada hari yang sama dengan tanggal surat pemberitahuan. (3) BPR atau BPRS wajib mengumumkan larangan penghimpunan dana dan penyaluran dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a pada hari yang sama dengan tanggal surat pemberitahuan. Pasal 42 Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan keputusan pencabutan izin usaha BPR atau BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 kepada masyarakat. Pasal 43 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. -25- BAB VI PELAPORAN Pasal 44 (1) BPR atau BPRS dalam pengawasan khusus wajib menyampaikan laporan neraca harian secara mingguan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan pada hari kerja pertama minggu berikutnya. (3) Dalam hal hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melampaui batas akhir dari jangka waktu pengawasan khusus, laporan dimaksud wajib disampaikan paling lambat 1 (satu) hari kerja sejak berakhirnya jangka waktu pengawasan khusus. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. BAB VII SANKSI Pasal 45 (1) BPR atau BPRS yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), Pasal 9 ayat (3), Pasal 10 ayat (2), Pasal 10 ayat (3), Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (2), Pasal 21 ayat (4), Pasal 41 ayat (3), dan/atau Pasal 44 dikenakan sanksi administratif, berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan; dan/atau -26- c. pencantuman anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham pengendali dalam daftar pihak yang memperoleh predikat tidak lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan BPR atau BPRS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai uji kemampuan dan kepatutan BPR atau BPRS. (2) BPR atau BPRS yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pasal 24, Pasal 25 ayat (2), dan/atau Pasal 28 ayat (1) dikenakan sanksi administratif, berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan; c. penghentian sementara sebagian kegiatan usaha BPR atau BPRS; dan/atau d. pencantuman anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak yang memperoleh predikat tidak lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan BPR atau BPRS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai uji kemampuan dan kepatutan BPR atau BPRS. Pasal 46 Anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pegawai BPR atau BPRS yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dapat dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan/atau Pasal 63 ayat (2) huruf b Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. -27- BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 47 (1) Tindak lanjut penanganan yang telah ditetapkan terhadap BPR atau BPRS dalam pengawasan khusus sebelum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan, tetap mengacu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/20/PBI/2009 tentang Tindak Lanjut Penanganan terhadap Bank Perkreditan Rakyat dalam Status Pengawasan Khusus dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/6/PBI/2011 tentang Tindak Lanjut Penanganan terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam Status Pengawasan Khusus. (2) Tindak lanjut penanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk larangan penghimpunan dana dan penyaluran dana terhadap BPR atau BPRS tetap berlaku selama BPR atau BPRS dalam pengawasan khusus. Pasal 48 (1) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan sampai dengan tanggal 31 Oktober 2017, BPR atau BPRS ditetapkan dalam pengawasan khusus untuk jangka waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak tanggal surat pemberitahuan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Jangka waktu penetapan BPR atau BPRS dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diperpanjang. Pasal 49 (1) Dalam periode sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan sampai dengan tanggal 31 Oktober 2017, BPR atau BPRS yang ditetapkan dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam -28- Pasal 48 harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6, Pasal 9 dan Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/20/PBI/2009 tentang Tindak Lanjut Penanganan terhadap Bank Perkreditan Rakyat dalam Status Pengawasan Khusus dan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 7, Pasal 9 dan Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/6/PBI/2011 tentang Tindak Lanjut Penanganan terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam Status Pengawasan Khusus. (2) Sejak tanggal 1 November 2017, BPR atau BPRS yang ditetapkan dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 50 Ketentuan yang mengatur mengenai perpanjangan jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam: a. Pasal 10 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/20/PBI/2009 tentang Tindak Lanjut Penanganan terhadap Bank Perkreditan Rakyat dalam Status Pengawasan Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5012); dan b. Pasal 10 Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/6/PBI/2011 tentang Tindak Lanjut Penanganan terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam Status Pengawasan Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5192), dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan. -29- Pasal 51 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/20/PBI/2009 tentang Tindak Lanjut Penanganan terhadap Bank Perkreditan Rakyat dalam Status Pengawasan Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5012); dan b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/6/PBI/2011 tentang Tindak Lanjut Penanganan terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam Status Pengawasan Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5192), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 52 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 November 2017, kecuali ketentuan Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 50 mulai berlaku pada tanggal diundangkan. -30- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 Mei 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 Mei 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 97 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 19/POJK.03/2017 </reg_id> <reg_title> PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH </reg_title> <set_date> 8 Mei 2017 </set_date> <effective_date> 1 November 2017 </effective_date> <issued_date> 10 Mei 2017 </issued_date> <replaced_reg> '13/6/PBI/2011', '11/20/PBI/2009' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 29 /POJK.04/2015 TENTANG EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK YANG DIKECUALIKAN DARI KEWAJIBAN PELAPORAN DAN PENGUMUMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan perlindungan kepada pemodal serta efektivitas pengawasan Otoritas Jasa Keuangan, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal mewajibkan Emiten atau Perusahaan Publik menyampaikan laporan secara berkala kepada Otoritas Jasa Keuangan dan mengumumkan laporan tersebut kepada masyarakat; b. bahwa terdapat Emiten atau Perusahaan Publik dengan kondisi tertentu tidak dapat menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan mengumumkan laporan tersebut kepada masyarakat; c. bahwa Pasal 86 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal memberikan kewenangan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mengecualikan Emiten atau Perusahaan Publik dari kewajiban menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan - 2 - dan mengumumkan laporan tersebut kepada masyarakat; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Emiten atau Perusahaan Publik Yang Dikecualikan Dari Kewajiban Pelaporan dan Pengumuman; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK YANG DIKECUALIKAN DARI KEWAJIBAN PELAPORAN DAN PENGUMUMAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Pelaporan adalah penyampaian laporan keuangan tengah tahunan, laporan keuangan tahunan, dan laporan tahunan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai laporan keuangan tengah tahunan, laporan keuangan tahunan, dan laporan tahunan Emiten atau Perusahaan Publik. - 3 - 2. Pengumuman adalah publikasi kepada masyarakat melalui pengumuman surat kabar harian berperedaran nasional dan/atau pemuatan dalam Situs Web Emiten atau Perusahaan Publik atas laporan keuangan tengah tahunan, laporan keuangan tahunan, dan laporan tahunan dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai pengumuman dalam surat kabar harian dan/atau pemuatan dalam Situs Web atas laporan keuangan tengah tahunan, laporan keuangan tahunan, dan laporan tahunan Emiten atau Perusahaan Publik. BAB II KONDISI TERTENTU EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK YANG DAPAT DIKECUALIKAN DARI KEWAJIBAN PELAPORAN DAN PENGUMUMAN Pasal 2 (1) Emiten atau Perusahaan Publik yang memenuhi kondisi tertentu dapat dikecualikan dari kewajiban Pelaporan dan Pengumuman. (2) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: a. tidak berlakunya seluruh izin usaha dari pihak yang berwenang; b. dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; atau c. memenuhi paling sedikit 3 (tiga) dari 6 (enam) kondisi sebagai berikut: 1. sudah tidak beroperasi secara penuh selama paling singkat 3 (tiga) tahun terakhir; 2. mendapatkan pembatasan kegiatan usaha dari pihak berwenang yang menyebabkan kelangsungan usaha terganggu selama paling - 4 - singkat 3 (tiga) tahun terakhir; 3. mendapatkan pembekuan seluruh kegiatan usaha; 4. Otoritas Jasa Keuangan tidak dapat melakukan korespondensi dengan Emiten atau Perusahaan Publik selama paling singkat 3 (tiga) tahun terakhir; 5. tidak terdapat anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan pemegang saham utama yang dapat dihubungi selama paling singkat 3 (tiga) tahun terakhir; dan 6. telah efektifnya penghapusan pencatatan Efek Emiten atau Perusahaan Publik di Bursa Efek. BAB III PENETAPAN EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK YANG DIKECUALIKAN DARI KEWAJIBAN PELAPORAN DAN PENGUMUMAN Pasal 3 (1) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Emiten atau Perusahaan Publik yang dikecualikan dari kewajiban Pelaporan dan Pengumuman. (2) Pengecualian dari kewajiban Pelaporan dan Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak tanggal penetapan Otoritas Jasa Keuangan. (3) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Emiten atau Perusahaan Publik yang dikecualikan dari kewajiban Pelaporan dan Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pertama kali paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang memuat: a. pengecualian kewajiban Pelaporan dan Pengumuman yang akan timbul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berlaku sejak tanggal - 5 - penetapan Otoritas Jasa Keuangan; dan b. kewajiban Pelaporan dan Pengumuman yang dikecualikan sebelum penetapan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 4 Emiten atau Perusahaan Publik yang dikecualikan dari kewajiban Pelaporan dan Pengumuman dapat melakukan aksi korporasi dengan memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan di sektor Pasar Modal yang berkaitan dengan aksi korporasi tersebut. Pasal 5 (1) Dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik yang dikecualikan dari kewajiban Pelaporan dan Pengumuman tidak lagi memenuhi kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Emiten atau Perusahaan Publik tersebut tidak lagi merupakan Emiten atau Perusahaan Publik yang dikecualikan dari kewajiban Pelaporan Pengumuman. dan (2) Emiten atau Perusahaan Publik wajib memenuhi kewajiban Pelaporan dan Pengumuman sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai laporan keuangan tengah tahunan, laporan keuangan tahunan, dan laporan tahunan sejak memperoleh penetapan dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal jangka waktu antara penetapan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan akhir periode: a. laporan keuangan tengah tahunan yang bersangkutan paling sedikit 120 (seratus dua puluh) hari; atau - 6 - b. laporan keuangan tahunan dan laporan tahunan yang bersangkutan paling sedikit 180 (seratus delapan puluh) hari, kewajiban Emiten atau Perusahaan Publik untuk melakukan Pelaporan dan Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mulai berlaku untuk masing- masing laporan periode yang bersangkutan. (4) Dalam hal jangka waktu antara penetapan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan akhir periode: a. laporan keuangan tengah tahunan yang bersangkutan kurang dari 120 (seratus dua puluh) hari; atau b. laporan keuangan tahunan dan laporan tahunan yang bersangkutan kurang dari 180 (seratus delapan puluh) hari, kewajiban Emiten atau Perusahaan Publik untuk melakukan Pelaporan dan Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mulai berlaku untuk masing- masing laporan periode berikutnya. Pasal 6 Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan Emiten atau Perusahaan Publik yang ditetapkan untuk dikecualikan dan/atau tidak lagi dikecualikan dari kewajiban Pelaporan dan Pengumuman dalam Situs Web Otoritas Jasa Keuangan. BAB IV KETENTUAN SANKSI Pasal 7 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan - 7 - Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 8 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 9 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 kepada masyarakat. pembatalan persetujuan; dan - 8 - BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 10 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal .16 Desember 2015. ............ ... KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 304 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 9/POJK.04/2015 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN TRANSAKSI REPURCHASE AGREEMENT BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN </reg_title> <set_date> 25 Juni 2015 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2016 </effective_date> <issued_date> 26 Juni 2015 </issued_date> <replaced_reg> 'KEP-132/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM-LK/2006' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995', '19/UU/2008', '24/UU/2002' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 36 /POJK.05/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1/POJK.05/2016 TENTANG INVESTASI SURAT BERHARGA NEGARA BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk memperluas pilihan instrumen investasi kepada lembaga jasa keuangan non-bank tanpa mengabaikan aspek keamanan, kesesuaian dengan karakteristik liabilitas lembaga jasa keuangan non-bank, imbal hasil yang diperoleh, dan peranan investor domestik dalam pembiayaan pembangunan nasional, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256); 4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); 5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5834); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1/POJK.05/2016 TENTANG INVESTASI SURAT BERHARGA NEGARA BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan OJK Nomor 1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5834) diubah sebagai berikut: - 3 - Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4A (1) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dapat memenuhi ketentuan batas minimum penempatan investasi SBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 dengan melakukan penempatan investasi pada obligasi dan/atau sukuk yang diterbitkan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau anak perusahaan dari badan usaha milik negara, yang penggunaannya untuk pembiayaan infrastruktur. (2) Penempatan investasi pada obligasi dan/atau sukuk yang diterbitkan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau anak perusahaan dari badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diperhitungkan sebagai pemenuhan ketentuan batas minimum penempatan investasi SBN dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. paling tinggi 40% (empat puluh persen) sampai dengan 31 Desember 2016; dan b. paling tinggi 50% (lima puluh persen) setelah 31 Desember 2016, dari batas minimum yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. (3) Penempatan investasi pada obligasi dan/atau sukuk yang diterbitkan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau anak perusahaan dari badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), harus dilakukan pada obligasi dan/atau sukuk yang tercatat di bursa efek di Indonesia atau dalam sistem electronic trading platform (ETP) di Indonesia dan memiliki peringkat paling rendah investment grade dari perusahaan pemeringkat efek yang diakui oleh OJK. - 4 - Pasal II Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 10 November 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 14 November 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 238 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 36/POJK.05/2016 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1/POJK.05/2016 TENTANG INVESTASI SURAT BERHARGA NEGARA BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK </reg_title> <set_date> 10 November 2016 </set_date> <effective_date> 14 November 2016 </effective_date> <issued_date> 14 November 2016 </issued_date> <changed_reg> '1/POJK.05/2016' </changed_reg> <related_reg> '11/UU/1992', '21/UU/2011', '24/UU/2011', '40/UU/2014', '1/POJK.05/2016' </related_reg>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 47 /POJK.04/2016 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk terkait dengan pengaturan mengenai tata cara pembuatan peraturan oleh Lembaga Kliring Dan Penjaminan beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap tata cara pembuatan peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan, peraturan mengenai tata cara pembuatan peraturan oleh Lembaga Kliring Dan Penjaminan yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; - 2 - c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Lembaga Kliring Dan Penjaminan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah Pihak yang menyelenggarakan jasa penyelesaian Transaksi Bursa. kliring dan penjaminan 2. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah Pihak yang menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi Bank Kustodian, Perusahaan Efek, dan Pihak lain. 3. Dewan Komisaris adalah organ Lembaga Kliring dan Penjaminan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. - 3 - BAB II PEMBUATAN PERATURAN LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN Bagian Kesatu Persyaratan Penyusunan Peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan Pasal 2 (1) Peraturan atau perubahan peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan dibuat dengan memperhatikan pendapat dari pemakai jasa Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, serta Pihak yang berkepentingan lainnya. (2) Peraturan atau perubahan peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan Dewan Komisaris sebelum diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk memperoleh persetujuan. Pasal 3 (1) Permohonan persetujuan peraturan atau perubahan peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangkap 4 (empat) dengan menggunakan format surat Permohonan Persetujuan Peraturan atau Perubahan Peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini disertai dengan dokumen sebagai berikut: a. peraturan yang dimintakan persetujuan; b. persetujuan Dewan Komisaris; c. pendapat pemakai jasa Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan d. pendapat pihak yang berkepentingan dengan peraturan dimaksud. - 4 - (2) Dalam permohonan dijelaskan alasan permohonan yang paling sedikit menyangkut latar belakang penyusunan peraturan, masalah yang dihadapi, dan cara pemecahannya. Bagian Kedua Penelaahan Permohonan Persetujuan Peraturan atau Perubahan Peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan Pasal 4 (1) Dalam rangka memproses permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas peraturan atau permohonan perubahan peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta untuk mengubah materi perubahan peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan dan/atau meminta tambahan informasi yang berhubungan dengan peraturan dimaksud. (3) Dalam hal perubahan dan/atau tambahan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan, permohonan perubahan peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan dihitung sejak tanggal diterimanya perubahan atau tambahan informasi tersebut oleh Otoritas Jasa Keuangan. BAB III PENAFSIRAN PERATURAN LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN DAN KETENTUAN INTERNAL LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN Pasal 5 Penafsiran atas peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk memperjelas pengertiannya tetapi tidak mengubah atau menambah pengertian dimaksud, dan ketentuan mengenai - 5 - pelaksanaan kegiatan internal Lembaga Kliring dan Penjaminan yang menyangkut bidang kepegawaian Lembaga Kliring dan Penjaminan, penggunaan tanda pengenal dan standar prosedur operasi kegiatan Lembaga Kliring dan Penjaminan berlaku pada saat diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 6 Pemberitahuan oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai penafsiran atas peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan dan ketentuan mengenai pelaksanaan kegiatan internal Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, disampaikan dengan menggunakan format surat Pemberitahuan atas Penafsiran Peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Peraturan Kegiatan Internal Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, disertai dengan penjelasan dan latar belakang penyusunannya. Pasal 7 Otoritas Jasa Keuangan dapat membatalkan penafsiran atas peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan dan ketentuan mengenai kegiatan internal Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak berlakunya peraturan dimaksud. BAB IV KETENTUAN SANKSI Pasal 8 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; - 6 - b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 9 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 10 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 kepada masyarakat. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 11 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep- 08/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan, tertulis - 7 - beserta Peraturan Nomor III.B.2 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 12 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 276 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 47 /POJK.04/2016 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN I. UMUM I. II. Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu untuk mengganti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-08/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Laporan Bursa Efek beserta Peraturan Nomor III.B.2 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. - 3 - Pasal 12 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5972
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 47/POJK.04/2016 </reg_id> <reg_title> TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN </reg_title> <set_date> 2 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 7 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 7 Desember 2016 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-08/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-08/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor III.B.2' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 21/POJK.03/2014 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem perbankan syariah yang sehat dan mampu berkembang serta bersaing secara nasional maupun internasional, bank perlu meningkatkan kemampuan untuk menyerap risiko termasuk yang disebabkan oleh kondisi krisis dan/atau pertumbuhan pembiayaan perbankan yang berlebihan; b. bahwa sejalan dengan standar internasional yang berlaku, perhitungan kecukupan modal yang berfungsi sebagai penyangga untuk menyerap kerugian yang timbul dari berbagai risiko, perlu disesuaikan dengan profil risiko yang mencakup risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, dan risiko lainnya yang bersifat signifikan; c. bahwa sejalan dengan perkembangan kompleksitas usaha dan risiko bank serta penerapan pengawasan berbasis risiko, maka bank harus melakukan penilaian atas profil risiko yang dimiliki dan tingkat kecukupan modal untuk mengantisipasi potensi kerugian atas eksposur risiko tersebut serta tetap memenuhi kewajiban penyediaan modal yang berlaku; d. bahwa dalam rangka meningkatkan kemampuan bank untuk menyerap risiko, diperlukan peningkatan kualitas dan kuantitas permodalan bank sesuai dengan standar internasional; e. bahwa ... End of Page 1 - 2 - e. bahwa peningkatan kualitas modal dilakukan melalui penyesuaian persyaratan komponen dan instrumen modal bank, serta penyesuaian rasio-rasio permodalan; f. bahwa dalam rangka meningkatkan kuantitas modal, bank perlu membentuk tambahan modal di atas persyaratan penyediaan modal minimum sesuai profil risiko yang berfungsi sebagai penyangga apabila terjadi krisis keuangan dan ekonomi yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan; g. bahwa dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/13/PBI/2005 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/7/PBI/2006 belum mengakomodasi perkembangan pengaturan permodalan sesuai standar internasional; h. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN ... - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disebut Bank adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan syariah. 2. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perseroan terbatas. 3. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perseroan terbatas. 4. Perusahaan Anak adalah perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh Bank secara langsung maupun tidak langsung, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang berlaku mengenai penerapan manajemen risiko secara konsolidasi bagi bank yang melakukan pengendalian terhadap perusahaan anak. 5. Pengendalian adalah pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang berlaku mengenai transparansi dan publikasi laporan keuangan bank. 6. Internal Capital Adequacy Assessment Process yang selanjutnya disingkat ICAAP adalah proses yang dilakukan Bank untuk menetapkan kecukupan modal sesuai dengan profil risiko Bank dan penetapan strategi untuk memelihara tingkat permodalan. 7. Supervisory Review and Evaluation Process yang selanjutnya disingkat SREP adalah proses kaji ulang yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan atas hasil ICAAP Bank. 8. Capital Conservation Buffer adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga apabila terjadi kerugian pada periode krisis. 9. Countercyclical ... - 4 - 9. Countercyclical Buffer adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit dan/atau pembiayaan perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan. 10. Capital Surcharge untuk Domestic Systemically Important Bank (D-SIB) adalah tambahan modal yang berfungsi untuk mengurangi dampak negatif terhadap stabilitas sistem keuangan dan perekonomian apabila terjadi kegagalan Bank yang berdampak sistemik melalui peningkatan kemampuan Bank dalam menyerap kerugian. 11. Risiko Kredit adalah risiko akibat kegagalan nasabah atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank sesuai dengan perjanjian yang disepakati. 12. Risiko Pasar adalah risiko pada posisi neraca dan rekening administratif akibat perubahan harga pasar, antara lain risiko berupa perubahan nilai dari aset yang dapat diperdagangkan atau disewakan. 13. Risiko Operasional adalah risiko kerugian yang diakibatkan oleh proses internal yang kurang memadai, kegagalan proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional Bank. 14. Trading Book adalah seluruh posisi instrumen keuangan dalam neraca dan rekening administratif termasuk transaksi derivatif yang dimiliki Bank dengan tujuan untuk: a. diperdagangkan dan dapat dipindahtangankan dengan bebas atau dapat dilindung-nilai secara keseluruhan, baik dari transaksi untuk kepentingan sendiri (proprietary positions), atas permintaan nasabah maupun kegiatan perantaraan (brokering), dan dalam rangka pembentukan pasar (market making), yang meliputi: 1) posisi yang dimiliki untuk dijual kembali dalam jangka pendek; 2) posisi yang dimiliki untuk tujuan memperoleh keuntungan jangka pendek secara aktual dan/atau potensi dari pergerakan harga (price movement); atau 3) posisi yang dimiliki untuk tujuan mempertahankan keuntungan arbitrase (locking in arbitrage profits); b. lindung nilai atas posisi lainnya dalam Trading Book. 15. Banking Book adalah semua posisi lainnya yang tidak termasuk dalam Trading Book. Pasal ... - 5 - Pasal 2 (1) Bank wajib menyediakan modal minimum sesuai profil risiko. (2) Penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM). (3) Penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling rendah sebagai berikut: a. 8% (delapan perseratus) dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk Bank dengan profil risiko peringkat 1 (satu); b. 9% (sembilan perseratus) sampai dengan kurang dari 10% (sepuluh perseratus) dari ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat 2 (dua); c. 10% (sepuluh perseratus) sampai dengan kurang dari 11% (sebelas perseratus) dari ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat 3 (tiga); atau d. 11% (sebelas perseratus) sampai dengan 14% (empat belas perseratus) dari ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat 4 (empat) atau peringkat 5 (lima). (4) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan modal minimum lebih besar dari modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai Bank menghadapi potensi kerugian yang membutuhkan modal lebih besar. (5) Perhitungan penyediaan modal mínimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk pertama kali menggunakan peringkat profil risiko posisi Desember 2014. (6) Kewajiban penyediaan modal mínimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: a. Penyediaan modal mínimum posisi bulan Maret sampai dengan bulan Agustus didasarkan pada peringkat profil risiko posisi bulan Desember tahun sebelumnya; b. Penyediaan modal mínimum posisi bulan September sampai dengan bulan Februari tahun berikutnya didasarkan pada peringkat profil risiko posisi bulan Juni. (7) Dalam hal terjadi perubahan peringkat profil risiko di antara periode penilaian profil risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (6), penyediaan modal minimum didasarkan pada peringkat profil risiko terakhir. Pasal ... - 6 - Pasal 3 (1) Selain KPMM sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank wajib membentuk tambahan modal sebagai penyangga sesuai dengan kriteria. (2) Tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. Capital Conservation Buffer; b. Countercyclical Buffer; dan/atau c. Capital Surcharge untuk D-SIB. (3) Besarnya tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur sebagai berikut: a. Capital Conservation Buffer ditetapkan sebesar 2,5% (dua koma lima perseratus) dari ATMR; b. Countercyclical Buffer ditetapkan dalam kisaran sebesar 0% (nol perseratus) sampai dengan 2,5% (dua koma lima perseratus) dari ATMR; c. Capital Surcharge untuk D-SIB ditetapkan dalam kisaran sebesar 1% (satu perseratus) sampai dengan 2,5% (dua koma lima perseratus) dari ATMR. (4) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan besarnya persentase Capital Surcharge untuk D-SIB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c. (5) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan persentase Capital Surcharge untuk D-SIB yang lebih besar dari kisaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c. (6) Tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipenuhi dengan komponen modal inti utama. (7) Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diperhitungkan setelah komponen modal inti utama dialokasikan untuk memenuhi kewajiban penyediaan: a. modal inti utama minimum; b. modal inti minimum; dan c. modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3). Pasal ... - 7 - Pasal 4 (1) Bank yang tergolong sebagai Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan BUKU 4 wajib membentuk Capital Conservation Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a. (2) Seluruh Bank wajib membentuk Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b. (3) Bank yang ditetapkan berdampak sistemik wajib membentuk Capital Surcharge untuk D-SIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c. Pasal 5 (1) Kewajiban Bank untuk membentuk tambahan modal berupa Capital Conservation Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a berlaku secara bertahap mulai tanggal 1 Januari 2016. (2) Pembentukan Capital Conservation Buffer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi secara bertahap sebagai berikut: a. sebesar 0,625% (nol koma enam ratus dua puluh lima perseratus) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2016; b. sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima perseratus) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2017; c. sebesar 1,875% (satu koma delapan ratus tujuh puluh lima perseratus) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2018; dan d. sebesar 2,5% (dua koma lima perseratus) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2019. (3) Kewajiban Bank untuk membentuk tambahan modal berupa Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016. (4) Otoritas Jasa Keuangan dapat memberlakukan Countercyclical Buffer lebih cepat dari waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Kewajiban Bank untuk membentuk Capital Surcharge untuk D-SIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c bagi Bank yang ditetapkan berdampak sistemik mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016. Pasal ... - 8 - Pasal 6 Dalam hal Bank memiliki dan/atau melakukan Pengendalian terhadap Perusahaan Anak, KPMM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan kewajiban pembentukan tambahan modal sebagai penyangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 berlaku bagi Bank baik secara individu maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. Pasal 7 (1) Bank dilarang melakukan distribusi laba apabila distribusi laba dimaksud mengakibatkan kondisi permodalan Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 baik secara individu maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. (2) Bank dikenakan pembatasan distribusi laba apabila distribusi laba mengakibatkan kondisi permodalan Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 baik secara individu maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. (3) Pembatasan disribusi laba sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. BAB II PERMODALAN Bagian Pertama Modal Pasal 8 (1) Modal terdiri atas: a. modal inti (tier 1) yang meliputi: 1. modal inti utama (common equity tier 1); 2. modal inti tambahan (additional tier 1); dan b. modal pelengkap (tier 2). (2) Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhitungkan faktor- faktor yang menjadi pengurang modal. (3) Dalam perhitungan modal secara konsolidasi, komponen modal Perusahaan Anak yang dapat diperhitungkan sebagai modal inti utama, modal inti tambahan, dan modal pelengkap harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memenuhi ... - 9 - a. memenuhi persyaratan yang berlaku untuk masing-masing komponen modal sebagaimana diterapkan bagi Bank secara individu; dan b. khusus untuk modal inti tambahan dan modal pelengkap, dalam hal diterbitkan oleh Perusahaan Anak bukan Bank selain memenuhi persyaratan pada huruf a, harus memiliki fitur untuk dikonversi menjadi saham biasa atau mekanisme write down apabila Bank secara konsolidasi berpotensi terganggu kelangsungan usahanya (point of non viability) yang dinyatakan secara jelas dalam dokumentasi penerbitan. Bagian Kedua Modal Inti Pasal 9 (1) Modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a terdiri atas: a. modal inti utama (common equity tier 1) yang mencakup: 1. modal disetor; 2. cadangan tambahan modal (disclosed reserve); dan b. modal inti tambahan (additional tier 1). (2) Bank wajib menyediakan modal inti paling rendah sebesar 6% (enam perseratus) dari ATMR baik secara individu maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. (3) Bank wajib menyediakan modal inti utama paling rendah sebesar 4,5% (empat koma lima perseratus) dari ATMR baik secara individu maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. Pasal 10 Instrumen modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 1 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. diterbitkan dan telah dibayar penuh; b. bersifat permanen; c. tersedia untuk menyerap kerugian yang terjadi sebelum likuidasi maupun pada saat likuidasi; d. perolehan imbal hasil tidak dapat dipastikan dan tidak dapat diakumulasikan antar periode; e. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak; f. memiliki ... - 10 - f. memiliki karakteristik pembayaran dividen atau imbal hasil: 1. berasal dari saldo laba dan/atau laba tahun berjalan; 2. tidak memiliki nilai yang pasti dan tidak terkait dengan nilai yang dibayarkan atas instrumen modal; 3. tidak memiliki fitur preferensi; dan g. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank penerbit baik secara langsung maupun tidak langsung. Pasal 11 Pembelian kembali saham (treasury stock) yang telah diakui sebagai komponen modal disetor hanya dapat dilakukan dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penerbitan; b. untuk tujuan tertentu; c. dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; dan e. tidak menyebabkan penurunan modal di bawah persyaratan minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 6. Pasal 12 (1) Cadangan tambahan modal (disclosed reserve) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 2 memperhitungkan hal-hal sebagai berikut: a. faktor penambah adalah: 1. agio; 2. modal sumbangan; 3. cadangan umum; 4. laba tahun-tahun lalu; 5. laba tahun berjalan; 6. selisih lebih penjabaran laporan keuangan; 7. dana setoran modal yang memenuhi persyaratan: a) telah disetor penuh untuk tujuan penambahan modal namun belum didukung dengan kelengkapan persyaratan untuk dapat digolongkan sebagai modal disetor seperti pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) maupun pengesahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; b) ditempatkan ... - 11 - b) ditempatkan pada rekening khusus (escrow account) yang tidak diberikan imbal hasil; c) tidak boleh ditarik kembali oleh pemegang saham/calon pemegang saham dan tersedia untuk menyerap kerugian; dan d) penggunaan dana harus dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; 8. waran yang diterbitkan sebagai insentif kepada pemegang saham Bank yang diakui sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari nilai wajar dengan memenuhi persyaratan: a) instrumen yang mendasari adalah saham biasa; b) tidak dapat dikonversi ke dalam bentuk selain saham; dan c) nilai yang diperhitungkan adalah nilai wajar dari waran pada tanggal penerbitannya; 9. opsi saham (stock option) yang diterbitkan melalui program kompensasi pegawai/manajemen berbasis saham (employee/ management stock option) yang diakui sebesar 50% (lima puluh perseratus) dengan memenuhi persyaratan: a) instrumen yang mendasari adalah saham biasa; b) tidak dapat dikonversi ke dalam bentuk selain saham; dan c) nilai yang diperhitungkan adalah nilai wajar dari stock option pada tanggal pemberian kompensasi; 10. pendapatan komprehensif lainnya berupa potensi keuntungan yang berasal dari peningkatan nilai wajar aset keuangan yang diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual; 11. saldo surplus revaluasi aset tetap. b. faktor pengurang adalah: 1. disagio; 2. rugi tahun-tahun lalu; 3. rugi tahun berjalan; 4. selisih kurang penjabaran laporan keuangan; 5. pendapatan komprehensif lainnya berupa potensi kerugian yang berasal dari penurunan nilai wajar aset keuangan yang diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual; 6. selisih ... - 12 - 6. selisih kurang antara perhitungan Penyisihan Penghapusan Aset (PPA) atas aset produktif dan pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) atas aset produktif; 7. selisih kurang antara jumlah penyesuaian terhadap hasil valuasi dari instrumen keuangan dalam Trading Book dan jumlah penyesuaian berdasarkan ketentuan standar akuntansi keuangan yang berlaku; 8. Penyisihan Penghapusan Aset non produktif. (2) Dalam perhitungan cadangan tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), laba tahun-tahun lalu dan/atau tahun berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 4 dan angka 5 harus dikeluarkan dari pengaruh faktor-faktor: a. peningkatan atau penurunan nilai wajar atas kewajiban keuangan; dan/atau b. keuntungan atas penjualan aset dalam transaksi sekuritisasi (gain on sale). Pasal 13 (1) Instrumen modal inti tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. diterbitkan dan telah dibayar penuh; b. tidak memiliki jangka waktu dan tidak terdapat persyaratan yang mewajibkan pelunasan oleh Bank di masa mendatang; c. tidak memiliki fitur step-up; d. memiliki fitur untuk dikonversi menjadi saham biasa atau mekanisme write down apabila Bank berpotensi terganggu kelangsungan usahanya (point of non viability) yang dinyatakan secara jelas dalam dokumentasi penerbitan/perjanjian; e. bersifat subordinasi pada saat likuidasi, yang secara jelas dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan/perjanjian; f. perolehan imbal hasil/margin/ujrah tidak dapat dipastikan dan tidak dapat diakumulasikan antar periode; g. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak; h. tidak memiliki fitur pembayaran dividen atau imbal hasil/margin/ujrah yang sensitif terhadap risiko kredit; i. apabila ... - 13 - i. apabila disertai dengan fitur opsi beli (call option), harus memenuhi persyaratan: 1. hanya dapat dieksekusi paling cepat 5 (lima) tahun setelah instrumen modal diterbitkan; dan 2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan bahwa opsi hanya dapat dieksekusi atas persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; j. tidak dapat dibeli oleh Bank penerbit dan/atau Perusahaan Anak; k. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank penerbit baik secara langsung maupun tidak langsung; l. tidak memiliki fitur yang menghambat proses penambahan modal di masa mendatang; dan m. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk diperhitungkan sebagai komponen modal. (2) Eksekusi opsi beli (call option) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i hanya dapat dilakukan oleh Bank sepanjang: a. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; dan b. tidak menyebabkan penurunan modal di bawah persyaratan minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 6 atau digantikan dengan instrumen modal yang mempunyai kualitas sama atau lebih baik. Pasal 14 (1) Dalam perhitungan rasio KPMM secara konsolidasi, kepentingan minoritas (minority interest) diperhitungkan sebagai modal inti utama kecuali terdapat bagian dari kepentingan minoritas yang tidak sesuai dengan persyaratan komponen modal inti utama. (2) Kepentingan minoritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperhitungkan dalam modal inti utama secara konsolidasi apabila kepemilikan Bank pada Perusahaan Anak lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dan memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Perusahaan ... - 14 - a. Perusahaan Anak berupa Bank; b. terdapat keterkaitan/afiliasi antara pemegang saham bukan pengendali pada Perusahaan Anak dengan Bank; dan c. terdapat komitmen dari pemegang saham bukan pengendali pada Perusahaan Anak untuk mendukung modal kelompok usaha Bank yang dinyatakan dalam surat pernyataan atau keputusan RUPS Perusahaan Anak. Pasal 15 (1) Modal inti utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a angka 1 diperhitungkan dengan faktor pengurang berupa: a. perhitungan pajak tangguhan (deferred tax); b. goodwill; c. aset tidak berwujud lainnya; d. seluruh penyertaan Bank yang meliputi: 1. penyertaan Bank kepada Perusahaan Anak kecuali penyertaan modal sementara Bank kepada Perusahaan Anak dalam rangka restrukturisasi pembiayaan; 2. penyertaan kepada perusahaan atau badan hukum dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh perseratus) sampai dengan 50% (lima puluh perseratus) namun Bank tidak memiliki Pengendalian; dan 3. penyertaan kepada perusahaan asuransi; e. kekurangan modal (shortfall) dari pemenuhan tingkat rasio solvabilitas (Risk Based Capital) minimum pada perusahaan asuransi yang dimiliki dan dikendalikan oleh Bank; f. eksposur sekuritisasi; dan g. faktor pengurang modal inti utama lainnya. (2) faktor pengurang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e tidak diperhitungkan lagi dalam ATMR untuk Risiko Kredit. Bagian ... - 15 - Bagian Ketiga Modal Pelengkap Pasal 16 Modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b hanya dapat diperhitungkan paling tinggi sebesar 100% (seratus perseratus) dari modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a. Pasal 17 (1) Instrumen modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. diterbitkan dan telah dibayar penuh; b. memiliki jangka waktu 5 (lima) tahun atau lebih dan hanya dapat dilunasi setelah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; c. memiliki fitur untuk dikonversi menjadi saham biasa atau mekanisme write down apabila Bank berpotensi terganggu kelangsungan usahanya (point of non viability) yang dinyatakan secara jelas dalam dokumentasi penerbitan/perjanjian; d. bersifat subordinasi yang dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan/perjanjian; e. pembayaran pokok dan/atau imbal hasil/margin/ujrah ditangguhkan dan diakumulasikan antar periode (cummulative) apabila pembayaran dimaksud dapat menyebabkan rasio KPMM secara individu atau secara konsolidasi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 6; f. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak; g. tidak memiliki fitur pembayaran dividen atau imbal hasil yang sensitif terhadap risiko kredit; h. tidak memiliki fitur step-up; i. apabila disertai dengan fitur opsi beli (call option), harus memenuhi persyaratan: 1. hanya dapat dieksekusi paling cepat 5 (lima) tahun setelah instrumen modal diterbitkan, dan 2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan bahwa opsi hanya dapat dieksekusi atas persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; j. tidak ... - 16 - j. tidak memiliki persyaratan percepatan pembayaran imbal hasil/margin/ujrah atau pokok yang dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan; k. tidak dapat dibeli oleh Bank penerbit dan/atau Perusahaan Anak; l. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank penerbit baik secara langsung maupun tidak langsung; dan m. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk diperhitungkan sebagai komponen modal. (2) Eksekusi opsi beli (call option) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i hanya dapat dilakukan oleh Bank sepanjang: a. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; dan b. tidak menyebabkan penurunan modal dibawah persyaratan minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 6 atau digantikan dengan instrumen modal yang mempunyai: 1. kualitas sama atau lebih baik; dan 2. dalam jumlah yang sama atau jumlah yang berbeda sepanjang tidak melebihi batasan modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. (3) Jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai modal pelengkap adalah jumlah modal pelengkap dikurangi amortisasi yang dihitung dengan menggunakan metode garis lurus. (4) Amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan untuk sisa jangka waktu instrumen 5 (lima) tahun terakhir. (5) Dalam hal terdapat opsi beli (call option), jangka waktu sampai Bank dapat mengeksekusi opsi beli merupakan sisa jangka waktu instrumen. Pasal 18 (1) Modal pelengkap meliputi: a. instrumen modal dalam bentuk saham atau dalam bentuk lainnya yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; b. agio atau disagio yang berasal dari penerbitan instrumen modal yang tergolong sebagai modal pelengkap; c. cadangan umum PPA atas aset produktif dengan jumlah paling tinggi sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima perseratus) dari ATMR untuk Risiko Kredit; dan d. cadangan tujuan. (2) selisih ... - 17 - (2) Selisih lebih cadangan umum PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat diperhitungkan sebagai faktor pengurang perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit. Pasal 19 Bagian dari modal pelengkap yang telah dibentuk cadangan pelunasan (sinking fund) tidak diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap, apabila Bank: a. telah menetapkan untuk menyisihkan dan mengelola dana cadangan pelunasan (sinking fund) secara khusus; dan b. telah melaksanakan publikasi pembentukan cadangan pelunasan (sinking fund). Pasal 20 (1) Faktor-faktor yang menjadi pengurang modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) mencakup: a. pembelian kembali instrumen modal yang telah diakui sebagai komponen permodalan Bank; dan b. penempatan dana pada instrumen utang atau investasi Bank lain yang diakui sebagai komponen modal oleh Bank lain atau Bank penerbit. (2) Seluruh faktor pengurang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak diperhitungkan dalam ATMR untuk Risiko Kredit. Pasal 21 Dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), Bank harus menyampaikan data pendukung untuk komponen modal inti tambahan dan modal pelengkap yang menunjukkan komponen modal Perusahaan Anak yang diperhitungkan telah memenuhi seluruh persyaratan sebagai komponen modal. BAB ... - 18 - BAB III ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO (ATMR) Bagian Pertama Jenis Pasal 22 ATMR yang digunakan dalam perhitungan modal minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan perhitungan pembentukan tambahan modal sebagai penyangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) terdiri atas: a. ATMR untuk Risiko Kredit; b. ATMR untuk Risiko Operasional; dan c. ATMR untuk Risiko Pasar. Pasal 23 (1) Bank wajib memperhitungkan ATMR untuk Risiko Kredit dan ATMR untuk Risiko Operasional. (2) Selain memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank yang memenuhi kriteria tertentu wajib memperhitungkan ATMR untuk Risiko Pasar. Pasal 24 Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) adalah: a. Bank yang secara individu memenuhi kriteria: 1. Bank dengan total aset sebesar Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau lebih; dan/atau 2. Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing dengan posisi instrumen keuangan berupa surat berharga dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau lebih; dan/atau; b. Bank yang secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memenuhi salah satu kriteria: 1. Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing yang secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memiliki posisi instrumen keuangan berupa surat berharga termasuk instrumen keuangan yang terekspos risiko ekuitas dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book dan/atau instrumen ... - 19 - instrumen keuangan yang terekspos risiko komoditas dalam Trading Book dan Banking Book sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau lebih; atau 2. Bank yang tidak melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing namun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memiliki posisi instrumen keuangan berupa surat berharga termasuk instrumen keuangan yang terekspos risiko ekuitas dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book dan/atau instrumen keuangan yang terekspos risiko komoditas dalam Trading Book dan Banking Book sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) atau lebih. c. Bank yang memiliki jaringan kantor dan/atau Perusahaan Anak di negara lain. Pasal 25 Aset keuangan yang pada saat pengakuan awal ditetapkan sebagai aset keuangan yang diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi dan pembiayaan yang diklasifikasikan dalam kelompok diperdagangkan dikecualikan dari cakupan Trading Book. Pasal 26 Surat berharga dalam Trading Book hanya mencakup surat berharga yang diklasifikasikan dalam kelompok diperdagangkan. Pasal 27 Bank yang setelah melakukan merger, konsolidasi, atau akuisisi dan memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, paling sedikit pada 3 (tiga) periode pelaporan bulanan dalam 6 (enam) bulan pertama setelah merger, konsolidasi, atau akuisisi dinyatakan efektif, wajib memperhitungkan Risiko Pasar dalam perhitungan rasio KPMM sejak bulan ke-7 (tujuh) setelah merger, konsolidasi, atau akuisisi dinyatakan efektif. Pasal 28 Bank yang telah memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 wajib tetap memperhitungkan Risiko Pasar dalam KPMM walaupun Bank tidak lagi memenuhi kriteria tertentu. Bagian ... - 20 - Bagian Kedua Risiko Kredit Pasal 29 (1) Dalam perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit, Bank menggunakan: a. Pendekatan Standar (Standardized Approach); dan/atau b. Pendekatan berdasarkan Internal Rating (Internal Rating based Approach). (2) Bank yang menggunakan pendekatan berdasarkan Internal Rating sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Ketiga Risiko Operasional Pasal 30 (1) Dalam perhitungan ATMR untuk Risiko Operasional, Bank menggunakan: a. Pendekatan Indikator Dasar (Basic Indicator Approach); b. Pendekatan Standar (Standardized Approach); dan/atau c. Pendekatan yang lebih kompleks (Advanced Measurement Approach). (2) Bank yang mengggunakan pendekatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Keempat Risiko Pasar Pasal 31 (1) Risiko Pasar yang wajib diperhitungkan oleh Bank secara individu dan secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak adalah: a. risiko benchmark suku bunga; dan/atau b. risiko nilai tukar. (2) Bank secara konsolidasi, wajib memperhitungkan risiko ekuitas dan/atau risiko komoditas selain Risiko Pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: a. memiliki ... - 21 - a. memiliki Perusahaan Anak yang terekspos risiko ekuitas dan/atau risiko komoditas; dan b. secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b. Pasal 32 (1) Bank wajib melakukan valuasi secara harian terhadap posisi Trading Book secara akurat. (2) Dalam melakukan valuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur valuasi, termasuk memiliki sistem informasi manajemen dan pengendalian proses valuasi yang memadai dan terintegrasi dengan sistem manajemen risiko. (3) Kebijakan dan prosedur valuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan pada prinsip kehati-hatian. Pasal 33 (1) Proses valuasi wajib dilakukan berdasarkan nilai wajar. (2) Terhadap instrumen keuangan yang diperdagangkan secara aktif, proses valuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan harga transaksi yang terjadi (close out prices) atau kuotasi harga pasar dari sumber yang independen. (3) Valuasi terhadap instrumen keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan: a. bid price untuk aset yang dimiliki atau kewajiban yang akan diterbitkan; dan/atau b. ask price untuk aset yang akan diperoleh atau kewajiban yang dimiliki. (4) Dalam hal harga pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tersedia, Bank dapat menetapkan nilai wajar dengan menggunakan suatu model atau teknik penilaian berdasarkan prinsip kehati-hatian. Pasal 34 (1) Bank wajib melakukan verifikasi terhadap proses dan hasil valuasi. (2) Verifikasi terhadap proses dan hasil valuasi paling sedikit dilakukan terhadap kewajaran harga pasar dan informasi yang digunakan sebagai input dalam model atau teknik penilaian. (3) Verifikasi ... - 22 - (3) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan oleh pihak yang tidak ikut dalam pelaksanaan valuasi. (4) Bank wajib menyesuaikan hasil valuasi berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 35 Bank wajib segera melakukan penyesuaian terhadap hasil valuasi yang belum mencerminkan nilai wajar dalam hal: a. terjadi perubahan kondisi ekonomi yang signifikan; b. harga instrumen keuangan yang dijadikan acuan adalah harga yang terjadi dari transaksi yang dipaksakan, likuidasi yang dipaksakan, atau penjualan akibat kesulitan keuangan; c. instrumen keuangan sudah mendekati jatuh tempo; dan/atau d. harga yang dijadikan acuan tidak wajar karena kondisi lainnya. Pasal 36 (1) Selain penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Bank wajib melakukan penyesuaian terhadap valuasi atas posisi instrumen keuangan dalam Trading Book yang kurang likuid dengan mempertimbangkan faktor- faktor tertentu. (2) Dalam hal dilakukan penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib memperhitungkan dampak penyesuaian sebagai faktor pengurang modal inti utama dalam perhitungan rasio KPMM. Pasal 37 (1) Dalam perhitungan ATMR untuk Risiko Pasar, Bank menggunakan pendekatan: a. Metode Standar (Standard Method); dan/atau b. Model Internal (Internal Model). (2) Bank yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 wajib terlebih dahulu menggunakan Metode Standar dalam memperhitungkan Risiko Pasar. (3) Bank yang menggunakan pendekatan Model Internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Otoritas Jasa Keuangan. BAB ... - 23 - BAB IV Internal Capital Adequacy Asessment Process (ICAAP) dan Supervisory Review and Evaluation Process (SREP) Bagian Pertama Cakupan Internal Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP) Pasal 38 (1) Dalam memenuhi KPMM sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 baik secara individu maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak, Bank wajib memiliki ICAAP yang disesuaikan dengan ukuran, karakteristik, dan kompleksitas usaha Bank. (2) ICAAP mencakup paling sedikit: a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris; b. penilaian kecukupan modal; c. pemantauan dan pelaporan; dan d. pengendalian internal. (3) Bank wajib mendokumentasikan ICAAP. Bagian Kedua Supervisory Review and Evaluation Process (SREP) Pasal 39 (1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan SREP. (2) Berdasarkan hasil SREP, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Bank untuk memperbaiki ICAAP. Pasal 40 (1) Dalam hal terdapat perbedaan hasil perhitungan modal sesuai profil risiko antara hasil self assessment Bank dengan hasil SREP, perhitungan modal yang berlaku adalah hasil SREP. (2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai modal yang dimiliki Bank tidak memenuhi modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 baik secara individu maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Bank untuk: a. menambah modal agar memenuhi KPMM sesuai profil risiko; b. memperbaiki kualitas proses manajemen risiko; dan/atau c. menurunkan eksposur risiko. Pasal ... - 24 - Pasal 41 Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai terdapat kecenderungan penurunan modal Bank yang berpotensi menyebabkan modal Bank berada di bawah KPMM sesuai profil risiko, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Bank untuk melakukan antara lain: a. pembatasan kegiatan usaha tertentu; b. pembatasan pembukaan jaringan kantor; dan/atau c. pembatasan distribusi modal. BAB V PELAPORAN Pasal 42 (1) Bank wajib menyampaikan laporan perhitungan KPMM baik secara individu maupun secara konsolidasi. (2) Bank yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 wajib menyampaikan laporan perhitungan KPMM dengan memperhitungkan Risiko Pasar. (3) Penyusunan dan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib mengacu pada ketentuan mengenai laporan berkala Bank Umum Syariah yang berlaku. (4) Dalam hal ketentuan untuk penyusunan dan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) belum diatur dalam laporan berkala Bank Umum Syariah, Bank wajib melaporkan perhitungan KPMM secara bulanan sesuai dengan format yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat tanggal 21 (dua puluh satu) bulan berikutnya setelah bulan laporan yang bersangkutan. (6) Bank yang terlambat menyampaikan laporan perhitungan KPMM sebagaimana dimaksud pada ayat (5), tetap wajib menyampaikan laporan. Pasal ... - 25 - Pasal 43 (1) Bank wajib menyampaikan laporan penilaian kecukupan modal minimum sesuai profil risiko kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan bersamaan dengan penyampaian hasil self assessment Tingkat Kesehatan Bank. (3) Batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan mengenai penilaian tingkat kesehatan Bank Umum Syariah. Pasal 44 (1) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) apabila laporan diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lama 5 (lima) hari setelah batas waktu penyampaian laporan. (2) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) apabila laporan belum diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan tetap wajib menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1). BAB VI LAIN-LAIN Pasal 45 Bank dilarang melakukan perdagangan atas aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk dijual, yang dilakukan dengan pola menyerupai perdagangan atas aset keuangan dalam kelompok diperdagangkan: a. dalam jumlah yang signifikan; dan/atau b. dalam frekuensi yang tinggi. BAB ... - 26 - BAB VII SANKSI Pasal 46 Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5 ayat (2), Pasal 7, Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat (2), Pasal 31, Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 38 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 42 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (6), Pasal 43 ayat (1), dan Pasal 44 ayat (3), dikenakan sanksi administratif, antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. larangan melakukan ekspansi kegiatan usaha; c. pembekuan kegiatan usaha tertentu; d. larangan pembukaan jaringan kantor; e. penurunan tingkat kesehatan Bank; dan/atau f. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham Bank dalam daftar orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan pengurus Bank. Pasal 47 Bank yang tidak menyampaikan laporan perhitungan KPMM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (5) dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan dengan jumlah paling banyak sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Pasal 48 (1) Selain sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Bank yang dinyatakan: a. terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan; b. tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Dalam ... - 27 - (2) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, sanksi kewajiban membayar karena terlambat menyampaikan laporan tidak diberlakukan. Pasal 49 Selain dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Bank yang tidak memenuhi KPMM sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 baik secara individu maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak wajib melakukan langkah-langkah atau tindakan perbaikan dengan mengacu pada ketentuan mengenai tindak lanjut pengawasan dan penetapan status bank. Pasal 50 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dikenakan sanksi berupa tidak diperkenankan untuk mengelompokkan pembelian aset keuangan berikutnya dalam kelompok tersedia untuk dijual, selama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkan surat pembinaan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 untuk kedua kalinya, dikenakan sanksi berupa tidak diperkenankan untuk mengelompokkan pembelian aset keuangan berikutnya dalam kelompok tersedia untuk dijual selama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal dikeluarkan surat pembinaan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 lebih dari dua kali, dikenakan sanksi berupa tidak diperkenankan untuk mengelompokkan pembelian aset keuangan berikutnya dalam kelompok tersedia untuk dijual selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal dikeluarkan surat pembinaan oleh Otoritas Jasa Keuangan. BAB ... - 28 - BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 51 (1) Komponen dan persyaratan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/13/PBI/2005 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/7/PBI/2006 dinyatakan tetap berlaku sampai dengan 31 Desember 2015. (2) Komponen dan persyaratan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 21, kecuali Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016. Pasal 52 (1) Instrumen modal, sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/13/PBI/2005 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/7/PBI/2006, yang tidak memiliki jangka waktu dan diterbitkan sebelum tanggal 1 Januari 2015 namun tidak memenuhi kriteria komponen modal sesuai ketentuan ini dapat tetap diakui sebagai komponen modal sampai dengan tanggal 31 Desember 2018. (2) Instrumen modal sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/13/PBI/2005 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/7/PBI/2006 yang memiliki jangka waktu dan diterbitkan sebelum tanggal 1 Januari 2015 namun tidak memenuhi kriteria komponen modal sesuai ketentuan ini dapat tetap diakui sebagai komponen modal sampai dengan jatuh tempo. BAB ... - 29 - BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 53 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 54 (1) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/13/PBI/2005 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4501) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/7/PBI/2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4606) kecuali Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/13/PBI/2005 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4501) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/7/PBI/2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4606) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku pada tanggal 1 Januari 2016. Pasal ... 30 Pasal 55 Peraturan Otoritas Jasa Ketiangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2015. Agar sctiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 18 November 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MUUAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 19 November 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum I Departemen Hukum, KEGAN KEUANGAN Tini Kustini LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 352 End of Page 30 PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 21/POJK.03/2014 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM SYARIAH I. UMUM Pengalaman krisis keuangan dan ekonomi yang terjadi di berbagai negara pada beberapa tahun belakangan menunjukkan bahwa kegagalan Bank antara lain disebabkan oleh tidak memadainya kualitas dan kuantitas permodalan Bank untuk mengantisipasi risiko yang dihadapi. Dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas modal Bank agar Bank lebih mampu menyerap potensi kerugian baik akibat krisis keuangan dan ekonomi maupun karena pertumbuhan pembiayaan yang berlebihan, maka persyaratan komponen dan instrumen modal serta perhitungan kecukupan modal Bank perlu disesuaikan dengan standar internasional yang berlaku yaitu kerangka permodalan yang diterbitkan oleh Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) dan Islamic Financial Services Board (IFSB). Perhitungan kecukupan modal merupakan salah satu aspek yang mendasar dalam pelaksanaan prinsip kehati-hatian. Modal berfungsi sebagai penyangga untuk menyerap kerugian yang timbul dari berbagai risiko. Oleh karena itu, bank perlu menyesuaikan kecukupan modal tersebut dengan profil risiko bank yang mencakup risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, dan risiko lainnya yang bersifat signifikan baik yang terukur secara kuantitatif maupun berdasarkan penilaian secara kualitatif. Dalam standar Internasional, bank disyaratkan untuk mengembangkan Internal Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP) yaitu proses untuk menetapkan kecukupan modal yang sesuai dengan profil risiko bank sebagai bagian dari peningkatan efektivitas praktik manajemen risiko di bank. Selanjutnya Otoritas Jasa Keuangan melakukan Supervisory Review and Evaluation Process (SREP) terhadap kecukupan ICAAP yang dilakukan bank untuk memastikan tingkat permodalan bank memadai dan sesuai dengan profil risikonya. Untuk meningkatkan kualitas permodalan bank, komponen dan persyaratan instrumen modal disesuaikan mengacu pada standar internasional yang berlaku. Komponen ... - 2 - Komponen modal inti (Tier 1) bank terutama harus didominasi oleh instrumen modal berkualitas tinggi, yaitu saham biasa (common stocks) dan saldo laba yang merupakan bagian dari modal inti utama atau Common Equity Tier 1. Komponen modal inti lainnya yaitu modal inti tambahan (Additional Tier 1) ditingkatkan kualitasnya menjadi hanya dapat berupa instrumen keuangan yang bersifat subordinasi dengan pembayaran dividen atau imbal hasil bersifat non kumulatif serta memenuhi kriteria tertentu. Sejalan dengan peningkatan kualitas modal inti, komponen dan persyaratan instrumen modal pelengkap (Tier 2) juga ikut disesuaikan. Komponen modal pelengkap tambahan (Tier 3) yang sebelumnya dapat diterbitkan hanya untuk perhitungan modal untuk risiko pasar, dengan berlakunya Basel III: A Global Regulatory Framework for More Resilient Banks and Banking Systems (Basel III) dan Standar IFSB Nomor 15 menjadi dihapuskan. Untuk memastikan kualitas atau tingkat permodalan bank memadai, dilakukan penyempurnaan rasio-rasio permodalan yang meliputi rasio modal inti dan rasio modal inti utama. Bank diwajibkan untuk membentuk tambahan modal berupa Capital Conservation Buffer dan Countercyclical Buffer, dan bank yang dianggap berpotensi sistemik wajib membentuk tambahan modal berupa Capital Surcharge. Tujuan pembentukan tambahan modal tersebut adalah sebagai penyangga untuk menyerap risiko yang disebabkan oleh kondisi krisis dan/atau pertumbuhan pembiayaan perbankan yang berlebihan. Kewajiban pembentukan tambahan modal diterapkan secara bertahap sejak tahun 2016 untuk memberikan waktu yang cukup bagi bank dalam membentuk tambahan modal tersebut. Sehubungan dengan hal-hal tersebut, perlu pengaturan tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Syariah dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup Jelas. Pasal ... - 3 - Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “profil risiko” adalah profil risiko Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian tingkat kesehatan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “rasio KPMM” adalah perbandingan antara modal Bank dengan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Pembentukan tambahan modal selain modal minimum berfungsi sebagai penyangga apabila terjadi krisis keuangan dan ekonomi yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Besarnya persentase Countercyclical Buffer ditetapkan sesuai dengan perkembangan kondisi makro ekonomi Indonesia. Huruf c Cukup jelas. Ayat ... - 4 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Pengelompokan BUKU mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penetapan bank yang berdampak sistemik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pemberlakuan Countercyclical Buffer lebih cepat dimaksud didasarkan pada penilaian atas kondisi makro ekonomi Indonesia. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal ... - 5 - Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “distribusi laba” antara lain berupa pembayaran dividen dan pembayaran bonus atau tantiem kepada Dewan Komisaris dan Direksi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Mekanisme write down antara lain pengurangan nilai kewajiban, pengurangan nilai kewajiban pada saat opsi beli dieksekusi, atau pengurangan sebagian atau seluruh pembayaran imbal hasil. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Yang termasuk “modal disetor” adalah saham biasa (common stocks) sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ketentuan standar akuntansi keuangan mengenai instrumen keuangan. Huruf b Yang termasuk komponen “modal inti tambahan” antara lain: a. instrumen utang/investasi yang memiliki karakteristik modal, bersifat subordinasi, tidak memiliki jangka waktu, dan pembayaran imbal hasil/margin/ujrah tidak dapat diakumulasikan (perpetual non cummulative subordinated debt); b. saham ... - 6 - b. saham preferen non kumulatif (perpetual non cummulative preference shares) baik dengan maupun tanpa fitur opsi beli (call option); c. instrumen hybrid yang tidak memiliki jangka waktu dan pembayaran imbal hasil/margin/ujrah tidak dapat diakumulasikan; dan d. agio atau disagio yang berasal dari penerbitan instrumen yang tergolong sebagai modal inti tambahan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Termasuk dalam kategori “diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak”, yaitu proteksi maupun jaminan yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank atau Perusahaan Anak, misalnya premi atau fee dalam rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal ... - 7 - Pasal 11 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “tujuan tertentu” antara lain persediaan saham dalam rangka program employee/management stock option atau menghindari upaya pengambilalihan. Program employee/management stock option adalah pemberian hak kepada pegawai untuk membeli saham bank pada harga tertentu. Huruf c Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan yang berlaku” antara lain Undang-Undang mengenai perseroan terbatas dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya di bidang pasar modal. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Yang dimaksud dengan “agio” adalah selisih lebih setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat penerbitan saham karena harga pasar saham lebih tinggi dari nilai nominal. Angka 2 Yang dimaksud dengan “modal sumbangan” adalah modal yang diperoleh kembali dari sumbangan saham Bank termasuk selisih antara nilai yang tercatat dengan harga jual apabila saham dijual. Angka 3 Yang dimaksud dengan “cadangan umum” adalah cadangan yang dibentuk dari penyisihan saldo laba setelah ... - 8 - setelah dikurangi pajak, dan mendapat persetujuan RUPS sebagai cadangan umum. Angka 4 Laba tahun-tahun lalu setelah diperhitungkan pajak mencakup: a. laba tahun lalu, yaitu seluruh laba bersih tahun- tahun yang lalu setelah dikurangi pajak dan belum ditetapkan penggunaannya oleh RUPS; dan b. saldo laba, yaitu saldo laba bersih setelah dikurangi pajak yang oleh RUPS diputuskan untuk tidak dibagikan. Angka 5 Yang dimaksud dengan “laba tahun berjalan” adalah laba yang diperoleh dalam tahun buku berjalan setelah dikurangi taksiran pajak. Angka 6 Yang dimaksud dengan “selisih lebih penjabaran laporan keuangan” adalah selisih kurs yang timbul dari penjabaran laporan keuangan kantor cabang Bank di luar negeri dan/atau Perusahaan Anak di luar negeri sebagaimana diatur dalam standar akuntansi keuangan yang berlaku mengenai penjabaran laporan keuangan dalam mata uang asing. Angka 7 Yang dimaksud dengan “calon pemegang saham” adalah calon pemegang saham yang berdasarkan penelitian Otoritas Jasa Keuangan telah memenuhi syarat sebagai pemegang saham. Apabila berdasarkan penelitian Otoritas Jasa Keuangan, calon pemegang saham atau dana setoran modal diketahui tidak memenuhi syarat, masing-masing sebagai pemegang saham atau sebagai modal, dana tersebut tidak dapat diakui sebagai komponen modal. Angka ... - 9 - Angka 8 Yang dimaksud dengan “waran” adalah efek yang diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memberi hak kepada pemegang efek untuk memesan saham dari perusahaan tersebut pada harga dan jangka waktu tertentu. Angka 9 Cukup jelas. Angka 10 Pengertian “aset keuangan yang diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual” mengacu pada standar akuntansi keuangan yang berlaku mengenai instrumen keuangan. Angka 11 Yang dimaksud dengan “saldo surplus revaluasi aset tetap” adalah selisih penilaian kembali aset tetap milik Bank. Pengakuan saldo surplus revaluasi aset tetap mengikuti standar akuntansi yang berlaku mengenai aset tetap. Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan “disagio” adalah selisih kurang setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat penerbitan saham karena harga pasar saham lebih rendah dari nilai nominal. Angka 2 Yang dimaksud dengan “rugi tahun-tahun lalu” adalah seluruh rugi yang dibukukan Bank pada tahun-tahun yang lalu. Angka 3 Yang dimaksud dengan “rugi tahun berjalan” adalah seluruh rugi yang dibukukan Bank dalam tahun buku berjalan. Angka ... - 10 - Angka 4 Yang dimaksud dengan “selisih kurang penjabaran laporan keuangan” adalah selisih kurs yang timbul dari penjabaran laporan keuangan kantor cabang Bank di luar negeri dan/atau Perusahaan Anak di luar negeri sebagaimana diatur dalam standar akuntansi keuangan yang berlaku mengenai penjabaran laporan keuangan dalam mata uang asing. Angka 5 Pengertian “aset keuangan yang diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual” mengacu pada standar akuntansi keuangan yang berlaku mengenai instrumen keuangan. Angka 6 Yang dimaksud dengan “selisih kurang antara perhitungan PPA atas aset produktif dan pembentukan CKPN atas aset produktif” adalah selisih kurang antara total PPA (cadangan umum dan cadangan khusus atas seluruh aset produktif) yang wajib dibentuk sesuai ketentuan yang berlaku mengenai kualitas aset bagi Bank Umum Syariah dengan total CKPN aset keuangan (impairment) atas seluruh aset produktif secara individu dan secara kolektif sesuai ketentuan standar akuntansi keuangan yang berlaku. Angka 7 Selisih kurang timbul karena jumlah penyesuaian terhadap hasil valuasi (mark to market) dari instrumen keuangan dalam Trading Book yang mempertimbangkan berbagai faktor tertentu, antara lain karena posisi yang kurang likuid melebihi jumlah penyesuaian yang dipersyaratkan sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku mengenai pengukuran instrumen keuangan, khususnya instrumen keuangan yang diukur berdasarkan nilai wajar. Sesuai ... - 11 - Sesuai Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) yang berlaku, penyesuaian terhadap hasil valuasi instrumen keuangan akan langsung mengurangi atau menambah nilai tercatat instrumen keuangan. Angka 8 Yang dimaksud dengan “Penyisihan Penghapusan Aset non produktif” adalah cadangan yang wajib dibentuk untuk aset non produktif sesuai ketentuan yang berlaku mengenai penilaian kualitas aset Bank Umum Syariah. Ayat (2) Huruf a Peningkatan atau penurunan nilai wajar atas kewajiban keuangan terjadi apabila Bank menetapkan untuk mengukur kewajiban keuangan pada nilai wajar melalui laba rugi sesuai ketentuan standar akuntansi keuangan yang berlaku. Huruf b Yang dimaksud dengan “keuntungan atas penjualan aset dalam transaksi sekuritisasi (gain on sale)” adalah keuntungan yang diperoleh Bank sebagai kreditur asal (originator) atas penjualan aset dalam transaksi sekuritisasi yang bersumber dari kapitalisasi pendapatan masa mendatang (expected future margin) atau kapitalisasi pendapatan dari penyediaan jasa (servicing income). Pasal 13 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “fitur step-up” adalah fitur yang menjanjikan kenaikan tingkat imbal hasil/margin/ujrah apabila opsi beli tidak dieksekusi pada jangka waktu yang telah ditetapkan. Huruf ... - 12 - Huruf d Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk menetapkan kondisi dimana Bank dinyatakan terganggu kelangsungan usahanya (point of non viability) dan memerintahkan Bank untuk mengkonversi instrumen modal inti tambahan ke saham biasa atau melakukan write down. Mekanisme write down antara lain pengurangan nilai kewajiban, pengurangan nilai kewajiban pada saat opsi beli dieksekusi, atau pengurangan sebagian atau seluruh pembayaran imbal hasil. Cakupan dokumentasi penerbitan/perjanjian antara lain klausul yang menyatakan bahwa instrumen modal inti tambahan dapat dikonversi menjadi saham biasa atau dilakukan write down apabila terdapat perintah dari Otoritas Jasa Keuangan. Huruf e Instrumen modal inti tambahan bersifat subordinasi terhadap antara lain deposan, kreditur, dan pemegang instrumen yang memenuhi kriteria modal pelengkap. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Termasuk dalam kategori “diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak”, yaitu proteksi maupun jaminan yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank atau Perusahaan Anak, misalnya premi atau fee dalam rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak. Huruf h Yang dimaksud dengan “dividen atau imbal hasil/margin/ujrah yang sensitif terhadap risiko kredit” adalah tingkat dividen atau imbal hasil yang ditetapkan berdasarkan peringkat atau tingkat risiko kredit Bank penerbit. Huruf i Cukup jelas. Huruf ... - 13 - Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Yang dimaksud dengan “fitur yang menghambat proses penambahan modal di masa mendatang” antara lain persyaratan yang mewajibkan Bank untuk memberikan kompensasi kepada investor apabila Bank menerbitkan instrumen modal baru dengan harga yang lebih rendah. Huruf m Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “kualitas sama atau lebih baik” adalah instrumen modal yang paling sedikit memenuhi persyaratan sebagai komponen modal inti tambahan. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kepentingan minoritas” adalah kepentingan pemegang saham bukan pengendali sesuai dengan ketentuan standar akuntansi yang berlaku. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1) Huruf a Pajak tangguhan dikurangkan sebesar 100% (seratus perseratus) baik atas perhitungan pajak tangguhan pada tahun-tahun lalu maupun pada tahun berjalan. Pajak tangguhan merupakan transaksi yang timbul sebagai akibat penerapan Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) ... - 14 - (PSAK) mengenai akuntansi pajak penghasilan. Dalam perhitungan KPMM secara individu, pajak tangguhan yang dikeluarkan sebesar selisih lebih dari aset pajak tangguhan dikurangi kewajiban pajak tangguhan. Apabila terjadi selisih kurang, perhitungan pajak tangguhan yang akan dikeluarkan adalah nihil. Dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi, aset pajak tangguhan satu perusahaan tidak boleh saling hapus dengan kewajiban pajak tangguhan perusahaan lain dalam kelompok usaha bank. Oleh karena itu, pengaruh pajak tangguhan dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi harus dihitung dan dikeluarkan secara terpisah untuk masing-masing entitas. Dengan dikeluarkannya dampak pajak tangguhan dari perhitungan modal inti utama, aset pajak tangguhan tidak diperhitungkan dalam perhitungan ATMR. Huruf b Pengertian goodwill mengacu pada ketentuan standar akuntansi keuangan yang berlaku. Goodwill diperhitungkan sebagai faktor pengurang baik dalam perhitungan modal minimum Bank secara individu maupun secara konsolidasi. Huruf c Pengertian aset tidak berwujud mengacu pada ketentuan standar akuntansi keuangan yang berlaku. Termasuk sebagai “aset tidak berwujud lainnya” antara lain copyright, hak paten, dan hak milik intelektual lainnya termasuk aplikasi piranti lunak (software) yang dikembangkan oleh Bank. Huruf d Nilai penyertaan yang diperhitungkan adalah nilai buku yang tercatat di neraca. Huruf e Kekurangan modal (shortfall) diperhitungkan sebagai faktor pengurang ... - 15 - pengurang hanya dalam perhitungan rasio KPMM secara konsolidasi. Kekurangan modal perusahaan asuransi dari Risk Based Capital minimum diperhitungkan apabila perusahaan tidak dapat memenuhi Risk Based Capital minimum sampai dengan jangka waktu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Huruf f Perlakuan terhadap eksposur sekuritisasi sebagai pengurang modal atau diperhitungkan sebagai ATMR mengacu pada ketentuan mengenai sekuritisasi aset. Yang dimaksud dengan “eksposur sekuritisasi” adalah kredit pendukung (credit enhancement), fasilitas likuiditas (liquidity support), dan efek beragun aset (asset backed securities). Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk menetapkan kondisi dimana Bank dinyatakan terganggu kelangsungan usahanya (point of non viability) dan memerintahkan Bank untuk mengkonversi instrumen modal pelengkap ke saham biasa atau melakukan write down. Termasuk dalam mekanisme write down antara lain pengurangan nilai kewajiban, pengurangan nilai kewajiban pada ... - 16 - pada saat opsi beli dieksekusi, atau pengurangan sebagian atau seluruh pembayaran imbal hasil. Cakupan dokumentasi penerbitan/perjanjian antara lain klausul yang menyatakan bahwa instrumen modal inti tambahan dapat dikonversi menjadi saham biasa atau dilakukan write down apabila terdapat perintah dari Otoritas Jasa Keuangan. Huruf d Instrumen modal pelengkap bersifat subordinasi terhadap antara lain deposan dan kreditur. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Termasuk dalam kategori “diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak”, yaitu proteksi maupun jaminan yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank atau Perusahaan Anak, misalnya premi atau fee dalam rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak. Huruf g Yang dimaksud dengan “dividen atau imbal hasil yang sensitif terhadap risiko kredit” adalah tingkat dividen atau imbal hasil yang ditetapkan berdasarkan peringkat atau tingkat risiko kredit Bank penerbit. Huruf h Yang dimaksud dengan “fitur step-up” adalah fitur yang menjanjikan kenaikan tingkat imbal hasil/margin/ujrah apabila opsi beli tidak dieksekusi pada jangka waktu yang telah ditetapkan. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf ... - 17 - Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan “kualitas sama atau lebih baik” adalah instrumen modal yang paling sedikit memenuhi persyaratan sebagai komponen modal pelengkap. Angka 2 Batasan modal pelengkap diperhitungkan dengan memperhatikan seluruh instrumen modal pelengkap yang tersedia. Contoh “jumlah yang berbeda” adalah sebagai berikut: modal pelengkap yang dieksekusi adalah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) namun pada saat penggantian, modal inti Bank mengalami perubahan sehingga batasan modal pelengkap menjadi paling banyak sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Dengan kondisi ini, maka Bank dapat menggantikan modal pelengkap Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Ayat (3) Yang dimaksud dengan “metode garis lurus” adalah perhitungan amortisasi secara prorata. Ayat (4) Amortisasi dihitung berdasarkan nilai instrumen modal yang telah memperhitungkan pengurangan dari cadangan pelunasan (sinking fund). sebesar Ayat ... - 18 - Ayat (5) Contoh pelaksanaan amortisasi: a. Bank menerbitkan obligasi subordinasi yang memiliki jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan memiliki opsi beli pada akhir tahun kelima. Dalam kondisi ini, Bank mulai menghitung amortisasi sejak tahun pertama. Apabila pada akhir tahun kelima, Bank tidak mengeksekusi opsi beli, maka mulai awal tahun keenam obligasi subordinasi dapat diperhitungkan kembali dalam perhitungan KPMM dengan memperhatikan batasan yang dipersyaratkan, termasuk kewajiban untuk memperhitungkan amortisasi. b. Bank menerbitkan obligasi subordinasi yang memiliki jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan memiliki opsi beli setelah lewat tahun kelima. Dalam kondisi ini, maka sisa jangka waktu instrumen pada awal penerbitan adalah 5 (lima) tahun. Amortisasi mulai diperhitungkan oleh Bank sejak tahun pertama. Setelah lewat tahun kelima sampai dengan jatuh tempo, Bank tidak dapat memperhitungkan kembali obligasi subordinasi sebagai modal pelengkap, meskipun Bank belum mengeksekusi opsi beli. Pasal 18 Ayat (1) Huruf a Contoh “instrumen modal dalam bentuk saham atau dalam bentuk lainnya yang memenuhi persyaratan” adalah: 1. saham preferen (yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain) secara kumulatif (cummulative preference share); 2. instrumen utang /investasi yang memiliki karakteristik modal, bersifat subordinasi, bersifat kumulatif, dan memenuhi seluruh persyaratan untuk dapat diperhitungkan ... - 19 - diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap (cummulative subordinated debt); dan 3. instrumen utang/investasi yang memiliki karakteristik seperti modal yang secara otomatis tanpa persyaratan dapat dikonversi menjadi saham setelah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan (mandatory convertible bond). Kondisi dan nilai konversi harus ditetapkan pada saat penerbitan yang besarnya sejalan dengan kondisi pasar. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cadangan umum PPA atas aset produktif yang dibentuk mengacu pada ketentuan mengenai kualitas aset bank umum syariah. Contoh: Cadangan umum PPA atas aset produktif yang telah dibentuk sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) dari ATMR Bank untuk Risiko Kredit sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), perhitungannya adalah sebagai berikut: Cadangan umum PPA atas aset produktif yang dapat diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap paling tinggi 1,25% (satu koma dua puluh lima perseratus) dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), yaitu sebesar Rp12.500.000,00 (dua belas juta lima ratus ribu rupiah). Dalam hal ini terdapat kelebihan cadangan umum sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah), tidak dapat diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap. Huruf d Yang dimaksud dengan “cadangan tujuan” adalah cadangan yang dibentuk dari penyisihan saldo laba setelah dikurangi pajak untuk tujuan tertentu dan telah mendapat persetujuan RUPS. Ayat (2) Kelebihan cadangan umum PPA atas aset produktif sesuai contoh pada ... - 20 - pada penjelasan ayat (1) huruf c yaitu sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) menjadi faktor pengurang perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit. Pasal 19 Termasuk dalam “publikasi pembentukan cadangan pelunasan (sinking fund)” adalah penyampaian dalam Rapat Umum Pemegang Sukuk. Pasal 20 Ayat (1) Huruf a “Pembelian kembali instrumen modal yang telah diakui sebagai komponen permodalan Bank” menjadi faktor pengurang masing-masing komponen modal yang bersangkutan. Contoh 1: Termasuk dalam pembelian kembali instrumen modal yang harus dikurangkan dari modal inti utama antara lain pembelian kembali instrumen modal yang telah diterbitkan Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung. Contoh 2: Termasuk dalam pembelian kembali instrumen modal yang harus dikurangkan dari modal inti tambahan antara lain eksekusi opsi beli (call option). Huruf b “Penempatan dana pada instrumen utang atau investasi Bank lain yang diakui sebagai komponen modal oleh Bank lain atau Bank penerbit” menjadi faktor pengurang modal bagi Bank yang melakukan penempatan dana pada komponen modal yang memiliki kualitas sama dan/atau lebih baik. Contoh 1: Bank A memiliki komponen modal pelengkap sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Bank A membeli obligasi subordinasi yang diterbitkan Bank B yang merupakan komponen modal pelengkap Bank B sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). Dalam ... - 21 - Dalam kondisi ini, maka modal pelengkap Bank A akan dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli Bank A dari Bank B yaitu: Rp100.000.000.000,00 - Rp20.000.000.000,00 = Rp80.000.000.000,00. Nilai Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah) diakui sebagai modal pelengkap sesuai dengan batasan modal pelengkap yang diperkenankan. Contoh 2: Bank A memiliki komponen modal pelengkap sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan modal inti utama sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Bank A membeli obligasi subordinasi yang diterbitkan Bank B yang merupakan komponen modal pelengkap Bank B sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). Dalam kondisi ini, modal pelengkap Bank A akan dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli Bank A dari Bank B yaitu: Rp10.000.000.000,00 - Rp20.000.000.000,00 = (Rp10.000.000.000,00). Nilai Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) akan dikurangkan terhadap modal inti utama Bank A. Contoh 3: Bank A hanya memiliki komponen modal inti utama sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dan tidak memiliki komponen modal lainnya. Bank A membeli obligasi subordinasi yang diterbitkan Bank B yang merupakan komponen modal pelengkap Bank B sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). Dalam kondisi ini, maka modal inti utama Bank A akan dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli Bank A dari Bank B yaitu: Rp100.000.000.000,00 - Rp20.000.000.000,00 = Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah). Ayat ... - 22 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Perlakuan pengakuan dan pengukuran mengacu pada standar akuntansi keuangan yang berlaku mengenai instrumen keuangan. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Contoh 1: Sebelum melakukan merger atau konsolidasi, Bank A dan Bank B tidak memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar. Selama 6 (enam) bulan setelah merger atau konsolidasi dinyatakan efektif, pada bulan pertama, ketiga, dan keempat, Bank hasil merger atau konsolidasi tersebut memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar. Dengan demikian, Bank hasil merger atau konsolidasi tersebut memperhitungkan Risiko Pasar sejak bulan ke-7 (tujuh). Contoh 2: Bank A tidak memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar. Selanjutnya, Bank A mengakuisisi perusahaan keuangan X, sehingga Bank A melakukan konsolidasi terhadap perusahaan X. Selama 6 (enam) bulan setelah melakukan akuisisi perusahaan X dinyatakan efektif, pada bulan kedua, keempat, dan keenam, Bank secara konsolidasi dengan perusahaan X tersebut memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar. Dengan demikian, Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak X tersebut wajib memperhitungkan Risiko Pasar sejak bulan ke-7 (tujuh). Pasal ... - 23 - Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “risiko benchmark suku bunga” adalah risiko kerugian akibat perubahan harga instrumen keuangan antara lain sukuk dari posisi Trading Book yang disebabkan oleh perubahan suku bunga. Huruf b Yang dimaksud dengan “risiko nilai tukar” adalah risiko kerugian akibat perubahan nilai posisi Trading Book dan Banking Book yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar valuta asing termasuk perubahan harga emas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “risiko ekuitas” adalah risiko kerugian akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi Trading Book yang disebabkan oleh perubahan harga saham. Yang dimaksud dengan “risiko komoditas” adalah risiko kerugian akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi Trading Book dan Banking Book yang disebabkan oleh perubahan harga komoditas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) “Kebijakan dan prosedur valuasi” meliputi antara lain penetapan tanggung jawab yang jelas dari berbagai pihak yang terlibat dalam penetapan valuasi, sumber informasi pasar, dan proses kaji ulang terhadap kelayakan valuasi, frekuensi valuasi (secara ... - 24 - (secara harian), penetapan waktu untuk valuasi akhir hari (closing price), prosedur pelaksanaan dan penyampaian hasil verifikasi baik secara berkala maupun insidental, serta prosedur penyesuaian valuasi. “Sistem informasi manajemen dan pengendalian proses valuasi” paling sedikit mencakup pendokumentasian kebijakan dan prosedur valuasi yang telah ditetapkan serta alur pelaporan (reporting lines) yang jelas bagi satuan kerja yang bertanggung jawab terhadap proses valuasi dan verifikasi. Ayat (3) “Kebijakan dan prosedur valuasi yang berdasarkan pada prinsip kehati-hatian” antara lain melakukan valuasi dengan memperhatikan penerapan aspek-aspek manajemen risiko dan prosedur valuasi yang wajar. Pasal 33 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “nilai wajar” adalah sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi Bank. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “instrumen keuangan yang diperdagangkan secara aktif” adalah apabila harga instrumen keuangan tersedia sewaktu-waktu dan dapat diperoleh secara rutin di bursa, pedagang efek (dealer), perantara efek (broker), atau agen lainnya, serta harga tersebut merupakan harga yang terjadi dari transaksi aktual yang dilakukan secara wajar (arm's length basis). “Harga transaksi yang terjadi (close out prices) atau kuotasi harga pasar dari sumber yang independen” antara lain meliputi harga di bursa (exchange prices), harga pada layar dealer (screen prices), atau kuotasi yang paling konservatif yang diberikan oleh paling sedikit 2 (dua) broker dan/atau market maker yang memiliki reputasi baik, yang minimal salah satunya adalah pihak independen. Penggunaan “sumber yang independen” dilakukan secara konsisten kecuali harga yang diperoleh tidak mencerminkan nilai wajar. Ayat ... - 25 - Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “bid price” adalah harga beli yang dikuotasikan oleh sumber yang independen. Huruf b Yang dimaksud dengan “ask price” adalah harga jual yang dikuotasikan oleh sumber yang independen. Ayat (4) Termasuk “model atau teknik penilaian” antara lain: a. penggunaan harga yang timbul dari transaksi yang terjadi dalam 10 (sepuluh) hari kerja terakhir; b. penggunaan harga pasar dari instrumen lain yang memiliki karakteristik (paling kurang jangka waktu, tingkat imbal hasil (yield), peringkat, dan golongan penerbit) yang serupa; atau c. model atau teknik penilaian yang secara umum telah digunakan oleh pelaku pasar dalam menetapkan harga instrumen sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Penerapan prinsip kehati-hatian dalam penggunaan model atau teknik penilaian antara lain memperhatikan pemisahan tugas dan kompetensi pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan dan penggunaan model, dan memastikan dilakukan kaji ulang akurasi model atau teknik penilaian oleh fungsi yang independen, serta prosedur dan dokumentasi pengembangan dan perubahan model atau teknik penilaian. Pasal 34 Ayat (1) Verifikasi dilakukan untuk memastikan keakuratan penyusunan laporan laba rugi. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Penyesuaian dilaksanakan terhadap nilai instrumen keuangan dalam neraca dan laporan laba rugi. Pasal ... - 26 - Pasal 35 “Penyesuaian terhadap hasil valuasi” dilakukan berdasarkan pemantauan harian maupun hasil verifikasi oleh pihak yang tidak ikut dalam pelaksanaan valuasi. Sebagai contoh, “valuasi yang belum mencerminkan nilai wajar” dapat terjadi pada valuasi dengan menggunakan model atau teknik penilaian. Huruf a Yang dimaksud dengan “perubahan kondisi ekonomi yang signifikan” antara lain perubahan kurva imbal hasil (yield curve) secara signifikan di luar ekspektasi pasar. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Faktor sisa jangka waktu sampai dengan jatuh tempo diperhitungkan mengingat semakin mendekati jatuh tempo, nilai instrumen keuangan semakin mendekati nilai nominal. Huruf d Kondisi lainnya mencakup antara lain: 1. kemungkinan kerugian potensial yang timbul karena pihak lawan tidak dapat memenuhi kewajibannya (unearned credit spreads); 2. kemungkinan perhitungan biaya atau penalti yang timbul karena pelunasan lebih awal sebelum jatuh tempo (early termination); 3. terjadinya mismatch arus kas yang menyebabkan harga dapat dipengaruhi oleh perhitungan biaya pendanaan dan menginvestasikan dana (investing and funding costs); 4. terjadi kondisi tertentu yang mengakibatkan ketidakpastian dalam model valuasi, misalnya ketidakmampuan menangkap perubahan dalam kondisi tidak normal. Pasal ... - 27 - Pasal 36 Ayat (1) “Faktor-faktor tertentu” mencakup antara lain rata-rata dan volatilitas volume perdagangan, rata-rata volatilitas dari rentang kuotasi penawaran dan permintaan (bid/ask spreads), dan ketersediaan kuotasi pasar. Ayat (2) Penyesuaian tidak akan mengurangi nilai instrumen keuangan dalam neraca dan tidak mempengaruhi laporan laba rugi. Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a “Pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris” meliputi antara lain memahami sifat dan tingkat risiko yang dihadapi Bank, menilai kecukupan kualitas manajemen risiko, dan mengaitkan tingkat risiko dengan kecukupan modal yang dimiliki Bank. Huruf b “Penilaian kecukupan modal” meliputi antara lain proses yang mengaitkan tingkat risiko dengan tingkat kecukupan modal Bank dengan mempertimbangkan strategi dan rencana bisnis Bank. Huruf c “Pemantauan dan pelaporan” meliputi antara lain sistem pemantauan dan pelaporan eksposur risiko serta dampak perubahan profil risiko terhadap kebutuhan modal Bank. Huruf d “Pengendalian internal” meliputi antara lain kecukupan pengendalian internal dan kaji ulang. Kaji ... - 28 - Kaji ulang dilakukan oleh pihak internal Bank yang memiliki kompetensi memadai dan independen terhadap proses penetapan kecukupan modal. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “pembatasan distribusi modal” antara lain pembatasan atau penundaan pembayaran bonus dan/atau dividen. Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) “Laporan perhitungan KPMM dengan memperhitungkan Risiko Pasar” antara lain mencakup laporan posisi yang diperhitungkan dalam Risiko Pasar, laporan perhitungan rasio KPMM, laporan perhitungan value at risk dan beban modal, laporan back testing, dan laporan stress testing. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Cukup Jelas. Ayat (5) Cukup Jelas. Pasal ... - 29 - Pasal 43 Ayat (1) Profil risiko didasarkan pada hasil self assessment Bank. “Laporan penilaian kecukupan modal minimum sesuai profil risiko” mencakup antara lain: a. strategi pengelolaan modal; b. identifikasi dan pengukuran risiko material; dan c. penilaian kecukupan modal; Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Yang dimaksud dengan “jumlah yang signifikan” adalah signifikan terhadap total aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk dijual. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal ... - 30 - Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5630
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 21/POJK.03/2014 </reg_id> <reg_title> KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM SYARIAH </reg_title> <set_date> 18 November 2014 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2015 </effective_date> <issued_date> 19 November 2014 </issued_date> <replaced_reg> '7/13/PBI/2005', '8/7/PBI/2006' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '21/UU/2008' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 4/POJK.05/2013 TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK UTAMA PADA PERUSAHAAN PERASURANSIAN, DANA PENSIUN, PERUSAHAAN PEMBIAYAAN, DAN PERUSAHAAN PENJAMINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan industri keuangan non bank yang sehat dan mampu menyediakan pelayanan terbaik kepada masyarakat, industri keuangan non bank perlu dikelola oleh direksi, dewan komisaris, dewan pengawas syariah, badan perwakilan anggota, pemegang saham pengendali, tenaga ahli, dan tenaga kerja asing yang memiliki integritas, kompetensi, dan reputasi keuangan yang baik, yang diperoleh melalui penilaian kemampuan dan kepatutan yang didukung oleh regulasi yang harmonis dan terintegrasi; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Bagi Pihak Utama Pada Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, dan Perusahaan Penjaminan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun... -2- Tahun 1992 Nomor 13; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); 3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); 4. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan; 5. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK UTAMA PADA PERUSAHAAN PERASURANSIAN, DANA PENSIUN, PERUSAHAAN PEMBIAYAAN, PERUSAHAAN PENJAMINAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Perasuransian adalah badan usaha yang bergerak di sektor usaha perasuransian sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai usaha perasuransian. 2. Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai dana pensiun. 3. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang khusus didirikan untuk melakukan sewa guna usaha, anjak piutang, pembiayaan konsumen, dan/atau usaha kartu kredit sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perusahaan pembiayaan. 4. Perusahaan... DAN -3- 4. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha pokok melakukan penjaminan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perusahaan penjaminan. 5. Direksi: a. bagi Perusahaan Perasuransian, Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas; b. bagi Perusahaan Pembiayaan atau Perusahaan Penjaminan berbentuk badan hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan perkoperasian; mengenai c. bagi Dana Pensiun adalah pengurus dan/atau pelaksana tugas pengurus sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai dana pensiun; d. bagi Perusahaan Perasuransian berbentuk badan hukum usaha bersama adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; e. bagi Perusahaan Penjaminan berbentuk badan hukum perusahaan umum adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai badan usaha milik negara; dan f. bagi Perusahaan Penjaminan berbentuk badan hukum perusahaan daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perusahaan daerah. 6. Dewan Komisaris: a. bagi Perusahaan Perasuransian, Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam peraturan... -4- peraturan perundang-undangan perseroan terbatas; mengenai b. bagi Perusahaan Pembiayaan atau Perusahaan Penjaminan berbentuk badan hukum koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan perkoperasian; mengenai c. bagi Dana Pensiun adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai dana pensiun; d. bagi Perusahaan Perasuransian berbentuk badan hukum usaha bersama adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; e. bagi Perusahaan Penjaminan berbentuk badan hukum perusahaan umum adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai badan usaha milik negara; dan f. bagi Perusahaan Penjaminan berbentuk badan hukum perusahaan daerah adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perusahaan daerah. 7. Dewan Pengawas Syariah adalah pengawas yang direkomendasikan oleh Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia yang ditempatkan di Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan atau unit syariah yang bertugas mengawasi kegiatan usaha perusahaan agar sesuai dengan prinsip syariah. 8. Badan Perwakilan Anggota adalah lembaga tertinggi di badan hukum yang berbentuk usaha bersama yang menentukan pokok-pokok kebijakan dalam badan hukum yang berbentuk usaha bersama dimaksud. 9. Pemegang Saham Pengendali adalah orang perseorangan, badan hukum, dan/atau kelompok usaha yang: a. memiliki... -5- a. memiliki saham atau modal pada Perusahaan Perasuransian, Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau b. memiliki saham atau modal pada Perusahaan Perasuransian, Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian pada Perusahaan Perasuransian, Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan, baik secara langsung maupun tidak langsung. 10. Tenaga Ahli adalah orang perseorangan yang memiliki kualifikasi dan/atau keahlian tertentu dan ditunjuk sebagai Tenaga Ahli pada Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan tempatnya bekerja. 11. Tenaga Kerja Asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja pada Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan di Indonesia. 12. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat dengan RUPS: a. bagi Perusahaan Perasuransian, Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah RUPS sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas; b. bagi Perusahaan Pembiayaan atau Perusahaan Penjaminan berbentuk badan hukum koperasi adalah rapat anggota sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan perkoperasian; mengenai c. bagi Dana Pensiun adalah pendiri sebagaimana dimaksud... -6- dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai dana pensiun; d. bagi Perusahaan Perasuransian berbentuk badan hukum usaha bersama adalah rapat anggota sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; e. bagi Perusahaan Penjaminan berbentuk badan hukum perusahaan umum adalah RUPS sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai badan usaha milik negara; dan f. bagi Perusahaan Penjaminan berbentuk badan hukum perusahaan daerah adalah RUPS sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perusahaan daerah. 13. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan, sebagaimana dimaksud dalam perundang-undangan mengenai otoritas jasa keuangan. BAB II PIHAK-PIHAK YANG DIPERSYARATKAN UNTUK MENGIKUTI PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN Pasal 2 (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan oleh OJK terhadap pihak-pihak yang mengelola, mengawasi, dan/atau mempunyai pengaruh yang signifikan pada Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan. (2) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang selanjutnya disebut Pihak Utama, meliputi: a. anggota Direksi; b. anggota Dewan Komisaris; c. anggota Dewan Pengawas Syariah; d. anggota... -7- d. anggota Badan Perwakilan Anggota; e. Pemegang Saham Pengendali; f. Tenaga Ahli; atau g. Tenaga Kerja Asing. Pasal 3 (1) Pihak Utama harus lulus penilaian kemampuan dan kepatutan sebelum menjalankan tugas dan fungsinya. (2) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pihak Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada: a. saat dicalonkan sebagai Pihak Utama; b. saat berakhirnya jangka waktu berlakunya penetapan kelulusan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan; atau c. setiap waktu dalam rangka penilaian kembali kemampuan dan kepatutan. Pasal 4 (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan terhadap pihak yang dicalonkan sebagai Pihak Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a meliputi: a. pihak yang akan menjadi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, atau anggota Badan Perwakilan Anggota; b. pihak yang akan menjadi Pemegang Saham Pengendali; c. pihak yang akan menjadi Tenaga Ahli; dan d. pihak yang akan menjadi Tenaga Kerja Asing. (2) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pihak Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dikecualikan bagi: a. direktur utama di Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan yang akan diangkat kembali menjadi anggota Direksi di perusahaan yang sama; b. anggota Direksi di Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun... -8- Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan yang akan diangkat menjadi anggota Direksi di perusahaan yang sama; c. komisaris utama di Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan yang akan diangkat kembali menjadi anggota Dewan Komisaris di perusahaan yang sama; dan d. anggota Dewan Komisaris di Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan yang akan diangkat kembali menjadi anggota Dewan Komisaris di perusahaan yang sama. Pasal 5 (1) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali berbentuk badan hukum, penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan dengan menilai badan hukum yang bersangkutan yang diwakili oleh direktur utama atau pejabat yang setingkat. (2) Pihak yang mewakili Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a. BAB III FAKTOR-FAKTOR PENILAIAN DALAM PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN Pasal 6 (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa Pihak Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) memenuhi persyaratan dengan faktor-faktor penilaian sebagai berikut: a. bagi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota Badan Perwakilan Anggota, Tenaga Ahli, dan/atau Tenaga Kerja Asing meliputi: 1. kompetensi... -9- 1. kompetensi; 2. integritas; dan 3. reputasi keuangan. b. bagi Pemegang Saham Pengendali meliputi: 1. integritas; dan 2. reputasi keuangan. (2) Penilaian faktor kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 meliputi kriteria: a. pengetahuan yang memadai dan relevan dengan jabatannya; b. pemahaman tentang peraturan perundang- undangan di bidang IKNB dan/atau peraturan perundang-undangan terkait lainnya; c. pengalaman dan keahlian di bidang IKNB dan/atau bidang lain yang relevan dengan jabatannya; dan d. kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan usaha IKNB yang sehat. (3) Penilaian faktor integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2 dan huruf b angka 1 meliputi kriteria: a. tidak pernah melakukan perbuatan tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau perekonomian; b. tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sebelum penilaian kemampuan dan kepatutan; c. tidak pernah melanggar komitmen yang telah disepakati dengan instansi pembina dan pengawas usaha jasa keuangan; d. tidak pernah melakukan perbuatan yang memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada pemegang saham, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota Badan Perwakilan Anggota, pegawai dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi hak pemegang polis, konsumen dan/atau... -10- dan/atau peserta; e. tidak pernah melanggar prinsip kehati-hatian di bidang usaha jasa keuangan; f. tidak tercantum dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) di sektor perbankan; g. tidak pernah melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kewenangannya atau di luar kewenangannya; h. tidak pernah dinyatakan tidak mampu menjalankan kewenangannya; dan i. tidak pernah melanggar peraturan perundang- undangan di bidang IKNB. (4) Penilaian faktor reputasi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3 meliputi kriteria: a. tidak memiliki kredit macet; b. tidak pernah dinyatakan pailit dan tidak pernah menjadi pemegang saham, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota Badan Perwakilan Anggota yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum penilaian kemampuan dan kepatutan; dan c. tidak pernah terlibat dalam tindak pidana pencucian uang. (5) Penilaian faktor reputasi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2 meliputi kriteria: a. memiliki kemampuan keuangan yang dapat mendukung perkembangan bisnis; b. memiliki komitmen kesediaan untuk melakukan upaya-upaya yang diperlukan apabila perusahaan menghadapi kesulitan permodalan maupun likuiditas; c. tidak memiliki kredit macet; d. tidak pernah dinyatakan pailit dan tidak pernah menjadi... -11- menjadi pemegang saham, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota Badan Perwakilan Anggota yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum penilaian kemampuan dan kepatutan; dan e. tidak pernah terlibat dalam tindak pidana pencucian uang. BAB IV PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK UTAMA Bagian Kesatu Permohonan Penilaian Pasal 7 (1) Pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pihak Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a harus berdasarkan permohonan tertulis dari Direksi kepada OJK. (2) Pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pihak Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b harus berdasarkan permohonan tertulis dari Direksi kepada OJK. (3) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya masa berlaku penetapan kelulusan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan. (4) Pelaksanaan penilaian kembali kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c dilakukan apabila berdasarkan hasil analisis dan/atau hasil pemeriksaan OJK, Pihak Utama diduga atau patut diduga tidak lagi memenuhi faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Pasal 8 Pengajuan permohonan tertulis penilaian kemampuan dan kepatutan... -12- kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) harus mencantumkan jumlah Pihak Utama sesuai dengan jabatan yang akan diisi. Pasal 9 (1) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) harus menggunakan format sesuai dengan Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (2) Bagi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris atau anggota Badan Perwakilan Anggota, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dokumen sebagai berikut: a. daftar riwayat hidup sesuai dengan format dalam Lampiran II.a yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen: 1. fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; 2. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP); 3. surat keterangan pengalaman bekerja; dan 4. 2 (dua) lembar pas foto berwarna terbaru dengan ukuran 4x6 cm. b. surat pernyataan dari anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris atau anggota Badan Perwakilan Anggota sesuai dengan format dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (3) bagi anggota Dewan Pengawas Syariah, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dokumen sebagai berikut: a. daftar riwayat hidup sesuai dengan format dalam Lampiran II.a yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen: 1. fotokopi KTP atau paspor yang masih berlaku; 2. fotokopi NPWP; 3. fotokopi rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional... -13- Nasional Majelis Ulama Indonesia; dan 4. 2 (dua) lembar pas foto berwarna terbaru dengan ukuran 4x6 cm. b. surat pernyataan dari anggota Dewan Pengawas Syariah sesuai dengan format dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (4) bagi Pemegang Saham Pengendali, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dokumen sebagai berikut: a. Pemegang Saham Pengendali perseorangan: 1. daftar riwayat hidup sesuai dengan format dalam Lampiran II.a yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dilampiri dokumen: a) fotokopi KTP atau paspor yang masih berlaku; b) fotokopi NPWP; dan c) 2 (dua) lembar pas foto berwarna terbaru dengan ukuran 4x6 cm. 2. surat pernyataan dari Pemegang Saham Pengendali perseorangan sesuai dengan format dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. b. Pemegang Saham Pengendali badan hukum atau kelompok usaha: 1. laporan keuangan tahunan terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik; 2. daftar isian perusahaan sesuai format dalam Lampiran II.b yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen: a) akta pendirian badan hukum, termasuk perubahan anggaran dasar terakhir yang disahkan instansi berwenang termasuk bagi badan usaha asing sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara asal; dan b) fotokopi... -14- b) fotokopi NPWP badan hukum; 3. surat pernyataan Direksi dari badan hukum Pemegang Saham Pengendali badan hukum atau kelompok usaha sesuai dengan format dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (5) bagi Tenaga Ahli, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dokumen sebagai berikut: a. daftar riwayat hidup sesuai dengan format dalam Lampiran II.a yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen: 1. fotokopi KTP atau paspor yang masih berlaku; 2. fotokopi NPWP; 3. surat keterangan pengalaman bekerja; dan 4. 2 (dua) dengan ukuran 4x6 cm. b. surat pernyataan dari TA sesuai dengan format dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (6) bagi Tenaga Kerja Asing, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dokumen sebagai berikut: a. daftar riwayat hidup sesuai dengan format dalam Lampiran II.a yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen: 1. fotokopi paspor yang masih berlaku; 2. surat keterangan pengalaman bekerja; dan 3. 2 (dua) lembar pas foto berwarna terbaru dengan ukuran 4x6 cm. b. surat pernyataan dari Tenaga Kerja Asing sesuai dengan format dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. lembar pas foto berwarna terbaru Bagian... -15- Bagian Kedua Tata Cara Penilaian Pasal 10 (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pihak Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dan huruf b dilaksanakan dengan cara: a. penelaahan administratif; dan b. wawancara. (2) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Pihak Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c dilaksanakan dengan cara: a. verifikasi data dan informasi; dan b. wawancara. Pasal 11 (1) Pihak Utama harus menghadiri pelaksanaan wawancara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b atau ayat (2) huruf b melalui tatap muka langsung di kantor OJK atau tempat lain yang ditetapkan oleh OJK. (2) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali adalah Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah, pelaksanaan wawancara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b dilakukan apabila dianggap perlu oleh OJK. Pasal 12 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 13 (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilaksanakan oleh tim penguji penilaian kemampuan dan kepatutan yang dibentuk oleh OJK. (2) Pembentukan tim penguji penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Dewan Komisioner OJK. (3) Pedoman... -16- (3) Pedoman penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Dewan Komisioner OJK. Pasal 14 Dalam rangka pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, OJK dapat meminta informasi dan/atau surat rekomendasi atas Pihak Utama kepada pihak lain yang berwenang. Pasal 15 (1) OJK memberitahukan jadwal pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan kepada Pihak Utama, paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), atau ayat (6) diterima oleh OJK secara lengkap dan benar. (2) OJK memberitahukan jadwal pelaksanaan penilaian kembali kemampuan dan kepatutan kepada Pihak Utama, setelah hasil analisis dan/atau hasil pemeriksaan OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) ditetapkan. Pasal 16 (1) Wawancara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b dilakukan dalam Bahasa Indonesia. (2) Pihak Utama yang tidak dapat berbahasa Indonesia harus menyediakan sendiri jasa penerjemah dalam pelaksanaan wawancara. Pasal 17 (1) Pihak Utama yang tidak dapat hadir pada wawancara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) harus menyampaikan pemberitahuan tertulis disertai alasan yang layak kepada OJK paling lambat 2 (dua) hari sebelum pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan. (2) Berdasarkan... -17- (2) Berdasarkan pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat memberikan 1 (satu) kali kesempatan wawancara dan menyampaikan jadwal pelaksanaan wawancara yang baru kepada Pihak Utama. (3) Dalam hal berdasarkan pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) OJK tidak memberi kesempatan wawancara kepada Pihak Utama atau Pihak Utama tidak hadir dalam pelaksanaan wawancara sesuai pemberitahuan, OJK membatalkan pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan Pihak Utama. (4) OJK menyampaikan pemberitahuan penolakan terhadap permohonan Pihak Utama apabila alasan ketidakhadiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak diterima atau Pihak Utama tidak menyampaikan pemberitahuan atas ketidakhadirannya dalam wawancara sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (1). (5) Dalam hal Pihak Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b dan huruf c tidak hadir dalam pelaksanaan wawancara tanpa disertai pemberitahuan atau disertai pemberitahuan namun alasan ketidakhadirannya tidak dapat diterima oleh OJK, maka OJK menetapkan Pihak Utama tidak lulus persyaratan kemampuan dan kepatutan. (6) Pihak Utama yang permohonannya ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat dimohonkan kembali untuk dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan paling cepat 1 (satu) tahun setelah tanggal pemberitahuan penolakan oleh OJK. Bagian Ketiga Hasil Penilaian dan Pelaksanaan Hasil Penilaian Pasal 18 (1) OJK menetapkan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dengan... jadwal yang baru tanpa -18- dengan 2 (dua) predikat, yaitu: a. lulus; atau b. tidak lulus. (2) OJK menetapkan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diterima secara lengkap dan benar. (3) OJK memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Direksi yang mengajukan permohonan uji kemampuan dan kepatutan secara tertulis. (4) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berlaku selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkan oleh OJK. (5) Jangka waktu pemberlakuan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak berlaku bagi Pemegang Saham Pengendali. (6) Direksi dari Pihak Utama yang memperoleh hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat mengajukan permohonan kembali paling cepat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkannya hasil penilaian kemampuan dan kepatutan oleh OJK. Pasal 19 (1) Anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota Badan Perwakilan Anggota, Tenaga Ahli atau Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a, yang lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan wajib diangkat dalam jabatannya paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal ditetapkannya hasil penilaian kemampuan dan kepatutan. (2) Dalam... -19- (2) Dalam hal setelah lewatnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pihak Utama yang lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan belum diangkat, maka Direksi wajib memberitahukan kepada OJK alasan belum diangkatnya Pihak Utama dimaksud. (3) Berdasarkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), OJK dapat mempertimbangkan untuk memperpanjang jangka waktu pengangkatan atau menentukan tindakan lain. (4) Dalam hal OJK memberikan perpanjangan jangka waktu pengangkatan atau menentukan tindakan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3), OJK memberitahukan kepada Direksi. (5) Anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota Badan Perwakilan Anggota, Tenaga Ahli, atau Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b dan huruf c, yang lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan dapat melanjutkan tugas dan fungsi dalam jabatannya. Pasal 20 (1) Anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota Badan Perwakilan Anggota, Tenaga Ahli, atau Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a, yang tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan dilarang diangkat dalam jabatannya. (2) Anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota Badan Perwakilan Anggota, Tenaga Ahli, atau Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b dan huruf c, yang tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan wajib diberhentikan dari jabatannya. (3) Pihak yang akan menjadi Pemegang Saham Pengendali pada Perusahaan Perasuransian, Perusahaan Pembiayaan, dan Perusahaan Penjaminan sebagaimana dimaksud... -20- dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a yang tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan tidak dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali. (4) Pemegang Saham Pengendali pada Perusahaan Perasuransian, Perusahaan Pembiayaan, dan Perusahaan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dan huruf c, yang tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan berlaku ketentuan: a. dilarang melakukan tindakan sebagai Pemegang Saham Pengendali pada Perusahaan Perasuransian, Perusahaan Pembiayaan, dan/atau Perusahaan Penjaminan; b. mengalihkan sebagian sahamnya kepada pihak lain sehingga tidak lagi memenuhi kriteria sebagai Pemegang Saham Pengendali dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkannya hasil penilaian kemampuan dan kepatutan. BAB V SYARAT KEBERLANJUTAN Pasal 21 (1) Anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota Badan Perwakilan Anggota, Tenaga Ahli atau Tenaga Kerja Asing pada Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, dan/atau Perusahaan Penjaminan yang lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan wajib memenuhi syarat keberlanjutan paling sedikit 1 (satu) kali dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. (2) Pemenuhan syarat berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilakukan dengan cara: a. mengikuti seminar, workshop, atau kegiatan lain yang sejenis; b. mengikuti kursus, pelatihan, atau program pendidikan sejenis; c. menulis... -21- c. menulis makalah, artikel, atau karya tulis lain yang dipublikasikan; atau d. menjadi pembicara dalam kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a, menjadi pengajar atau menjadi instruktur dalam kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf b. (3) Materi kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus di bidang industri keuangan. (4) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d, harus yang diselenggarakan oleh: a. lembaga pengawas jasa keuangan di dalam dan luar negeri; b. asosiasi lembaga jasa keuangan di dalam dan luar negeri; c. perguruan tinggi di dalam dan luar negeri; atau d. lembaga pelatihan yang memperoleh izin dari instansi berwenang. (5) Bukti sertifikat atau bukti lain yang menunjukan bahwa Pihak Utama telah memenuhi syarat keberlanjutan wajib disampaikan kepada OJK paling lambat 1 (satu) bulan setelah periode tahunan berakhir. (6) Dalam hal setelah periode tahunan berakhir syarat keberlanjutan tidak dapat dipenuhi oleh Pihak Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemenuhan ketentuan syarat keberlanjutan sebagaimana diatur pada ayat (2) wajib dilakukan paling sedikit 2 (dua) kali pada tahun berikutnya. (7) Dalam hal Pihak Utama tidak memenuhi syarat keberlanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (6) maka wajib mengikuti proses penilaian kembali kemampuan dan kepatutan. BAB VI... -22- BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 22 (1) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan bersifat rahasia dan ditatausahakan serta digunakan oleh OJK dalam rangka pelaksanaan tugas pengaturan dan pengawasan Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan. (2) Dalam hal Pihak Utama memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan kepada pihak lain maka segala akibat hukum yang timbul sepenuhnya menjadi tanggung jawab yang bersangkutan. Pasal 23 (1) Bagi Pihak Utama yang telah lulus penilaian kemampuan dan kepatutan sebelum berlakunya Peraturan OJK ini, dan masih menjabat atau bekerja pada Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, atau Perusahaan Pembiayaan pada saat mulai berlakunya Peraturan OJK ini, hasil penilaian kemampuan dan kepatutan Pihak Utama tersebut dinyatakan masih berlaku. (2) Pihak Utama yang meliputi: a. anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota Badan Perwakilan Anggota, Pemegang Saham Pengendali, Tenaga Ahli, atau Tenaga Kerja Asing pada Perusahaan Perasuransian; b. anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris pada Dana Pensiun; c. anggota Dewan Pengawas Syariah, Pemegang Saham Pengendali, atau Tenaga Kerja Asing pada Perusahaan Pembiayaan; dan d. anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, atau Pemegang Saham Pengendali pada Perusahaan Penjaminan; yang... -23- yang masih menjabat atau bekerja pada Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan dan belum pernah mengikuti penilaian kemampuan dan kepatutan pada saat mulai berlakunya Peraturan OJK ini, dinyatakan telah lulus penilaian kemampuan dan kepatutan terhitung sejak berlakunya Peraturan OJK ini. (3) Direksi Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan harus menyampaikan surat permohonan penetapan kelulusan disertai risalah RUPS dan/atau surat pengangkatan sebagai Pihak Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada OJK paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan OJK ini. (4) OJK harus mengeluarkan penetapan kelulusan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi Pihak Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya surat permohonan dari Direksi. (5) Kelulusan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi Pihak Utama kecuali Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku selama 5 (lima) tahun terhitung sejak berlakunya Peraturan OJK ini. Pasal 24 Permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan yang telah diajukan kepada OJK sebelum berlakunya Peraturan OJK ini dan belum diproses, mengikuti ketentuan dalam Peraturan OJK ini. BAB VII SANKSI Pasal 25 (1) Perusahaan Perasuransian, Perusahaan Pembiayaan atau Perusahaan Penjaminan yang melakukan pelanggaran... -24- pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), Pasal 20, dan/atau Pasal 21 ayat (5) dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembekuan kegiatan usaha; atau c. pencabutan izin usaha. (2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a berlaku masing-masing untuk jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak surat peringatan tertulis ditetapkan. (3) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Perasuransian, Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan telah memenuhi ketentuan maka peringatan tertulis berakhir dengan sendirinya. (4) Dalam hal setelah diberikan peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut Perusahaan Perasuransian, Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan tetap tidak memenuhi ketentuan maka OJK menetapkan sanksi pembekuan kegiatan usaha. (5) Pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan secara tertulis dan berlaku untuk jangka waktu 6 (enam) bulan sejak surat pembekuan kegiatan usaha ditetapkan. (6) Selama masa pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Perusahaan Perasuransian, Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan: a. dilarang mengeluarkan produk dan/atau layanan baru; dan b. bertanggung jawab untuk menyelesaikan segala kewajiban yang telah dilakukan. (7) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Perusahaan Perasuransiaan, Perusahaan Pembiayaan... -25- Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan telah memenuhi ketentuan maka OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha. (8) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Perusahaan Perasuransian, Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan tetap tidak memenuhi ketentuan maka OJK mencabut izin usaha Perusahaan Perasuransian, Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan. Pasal 26 (1) Dana Pensiun yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), Pasal 20, dan/atau Pasal 21 ayat (5) dikenakan dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; atau b. pemberian perintah tertulis kepada Pendiri untuk mengganti Direksi. (2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a berlaku masing-masing untuk jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak surat peringatan tertulis ditetapkan. (3) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dana Pensiun telah memenuhi ketentuan maka peringatan tertulis berakhir dengan sendirinya. (4) Dalam hal setelah diberikan peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut Dana Pensiun tetap tidak memenuhi ketentuan maka OJK memberikan perintah tertulis kepada Pendiri untuk mengganti Direksi. Pasal 27 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan mengenai Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak Utama pada Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, atau Perusahaan Penjaminan tunduk pada Peraturan OJK ini. Pasal... -26- Pasal 28 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 November 2013 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 231 Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM, Ttd. MUFLI ASMAWIDJAJA
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 4/POJK.05/2013 </reg_id> <reg_title> PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK UTAMA PADA PERUSAHAAN PERASURANSIAN, DANA PENSIUN, PERUSAHAAN PEMBIAYAAN, DAN PERUSAHAAN PENJAMINAN </reg_title> <set_date> 21 November 2013 </set_date> <effective_date> 23 Desember 2013 </effective_date> <issued_date> 23 Desember 2013 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '2/UU/1992', '11/UU/1992', '2/PERPRES/2008', '9/PERPRES/2009' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 55 /POJK.03/2016 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan semakin kompleksnya risiko yang dihadapi bank maka semakin meningkat pula kebutuhan praktik tata kelola yang baik oleh perbankan; b. bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja bank, melindungi kepentingan para pemangku kepentingan, dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan serta nilai-nilai etika yang berlaku umum pada industri perbankan, diperlukan pelaksanaan tata kelola yang baik; c. bahwa peningkatan kualitas pelaksanaan tata kelola merupakan salah satu upaya untuk memperkuat kondisi internal perbankan nasional; d. bahwa dalam pelaksanaan tata kelola bank terdapat dinamika yang perlu direspon secara proporsional dalam rangka mengoptimalkan penerapan tata kelola bank; - 2 - e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Tata Kelola bagi Bank Umum; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA BAGI BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. - 3 - 2. Direksi: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah; 2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada Bank yang belum berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d. bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang. 3. Dewan Komisaris: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan - 4 - pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah; 2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah; 3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada Bank yang belum berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d. bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi pengawasan. 4. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga dengan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris lain dan/atau pemegang saham pengendali, atau hubungan dengan Bank yang dapat mempengaruhi kemampuan yang bersangkutan untuk bertindak independen. 5. Komisaris Non Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang bukan merupakan Komisaris Independen. 6. Pihak Independen adalah pihak di luar Bank yang tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga dengan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau - 5 - pemegang saham pengendali, atau hubungan dengan Bank yang dapat mempengaruhi kemampuan yang bersangkutan untuk bertindak independen. 7. Tata Kelola yang baik adalah suatu tata cara pengelolaan Bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness). 8. Pemangku Kepentingan adalah seluruh pihak yang memiliki kepentingan secara langsung atau tidak langsung terhadap kegiatan usaha Bank. 9. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada Direksi atau mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan dan/atau operasional Bank, antara lain kepala divisi, kepala kantor wilayah, kepala kantor cabang, kepala kantor fungsional yang kedudukannya paling kurang setara dengan kepala kantor cabang, kepala satuan kerja manajemen risiko, kepala satuan kerja kepatuhan, dan kepala satuan kerja audit intern dan/atau pejabat lain yang setara. Pasal 2 (1) Bank wajib menerapkan prinsip-prinsip Tata Kelola yang baik dalam setiap kegiatan usaha Bank pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. (2) Penerapan prinsip-prinsip Tata Kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit diwujudkan dalam: a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris; b. kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite dan satuan kerja yang menjalankan fungsi pengendalian intern; c. penerapan fungsi kepatuhan, audit intern, dan audit ekstern; d. penerapan manajemen risiko; - 6 - e. penyediaan dana kepada pihak terkait dan penyediaan dana besar; rencana strategis; dan f. g. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan. Pasal 3 Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian terhadap penerapan Tata Kelola Bank. BAB II DIREKSI Bagian Kesatu Jumlah, Komposisi, Kriteria, dan Independensi Direksi Pasal 4 (1) Bank wajib memiliki anggota Direksi dengan jumlah paling sedikit 3 (tiga) orang. (2) Seluruh anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib berdomisili di Indonesia. (3) Direksi wajib dipimpin oleh presiden direktur atau direktur utama. Pasal 5 Presiden direktur atau direktur utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) wajib berasal dari pihak yang independen terhadap pemegang saham pengendali. Pasal 6 (1) Setiap usulan penggantian dan/atau pengangkatan anggota Direksi oleh Dewan Komisaris kepada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), harus memperhatikan rekomendasi komite remunerasi dan nominasi. (2) Mayoritas anggota Direksi wajib memiliki pengalaman paling sedikit 5 (lima) tahun di bidang operasional dan paling rendah sebagai Pejabat Eksekutif bank. - 7 - (3) Setiap anggota Direksi harus memenuhi persyaratan penilaian kemampuan dan kepatutan sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan. Pasal 7 (1) Anggota Direksi dilarang merangkap jabatan sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris atau Pejabat Eksekutif pada bank, perusahaan dan/atau lembaga lain. (2) Tidak termasuk rangkap jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal Direksi yang bertanggung jawab terhadap pengawasan atas penyertaan Bank pada perusahaan anak, menjalankan tugas fungsional menjadi anggota Dewan Komisaris pada perusahaan anak bukan bank yang dikendalikan oleh Bank, sepanjang tidak mengakibatkan yang bersangkutan mengabaikan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai anggota Direksi Bank. (3) Anggota Direksi baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dilarang memiliki saham lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari modal disetor pada perusahaan lain. Pasal 8 Mayoritas anggota Direksi dilarang saling memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua dengan sesama anggota Direksi dan/atau dengan anggota Dewan Komisaris. Pasal 9 Anggota Direksi dilarang memberikan kuasa umum kepada pihak lain yang mengakibatkan pengalihan tugas dan fungsi Direksi. - 8 - Bagian Kedua Tugas dan Tanggung Jawab Direksi Pasal 10 (1) Direksi bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan kepengurusan Bank. (2) Direksi wajib mengelola Bank sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawab Direksi sebagaimana diatur dalam anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan. Pasal 11 Direksi wajib menerapkan prinsip-prinsip Tata Kelola yang baik dalam setiap kegiatan usaha Bank pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 12 Direksi wajib menindaklanjuti temuan audit dan rekomendasi dari satuan kerja audit intern Bank, auditor ekstern, hasil pengawasan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau hasil pengawasan otoritas lain. Pasal 13 Dalam rangka menerapkan prinsip Tata Kelola yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Direksi paling sedikit wajib membentuk: a. satuan kerja audit intern; b. satuan kerja manajemen risiko dan komite manajemen risiko; dan c. satuan kerja kepatuhan. Pasal 14 Direksi wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas kepada pemegang saham melalui RUPS. - 9 - Pasal 15 Direksi wajib mengungkapkan kepada pegawai mengenai kebijakan Bank yang bersifat strategis di bidang kepegawaian. Pasal 16 (1) Direksi dilarang menggunakan penasihat perorangan dan/atau jasa profesional sebagai konsultan. (2) Penggunaan penasihat perorangan dan/atau jasa profesional sebagai konsultan dapat dilakukan dalam hal memenuhi persyaratan: a. untuk proyek bersifat khusus; b. didasarkan pada kontrak kerja yang jelas; dan c. merupakan Pihak Independen dan memiliki kualifikasi untuk mengerjakan proyek yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud dalam huruf a. Pasal 17 Direksi wajib menyediakan data dan informasi yang akurat, relevan, dan tepat waktu kepada Dewan Komisaris. Pasal 18 (1) Direksi wajib memiliki pedoman dan tata tertib kerja yang bersifat mengikat bagi setiap anggota Direksi. (2) Pedoman dan tata tertib kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit wajib mencantumkan: a. pengaturan etika kerja; b. waktu kerja; dan c. pengaturan rapat. Pasal 19 Keputusan Direksi yang diambil sesuai dengan pedoman dan tata tertib kerja mengikat dan menjadi tanggung jawab seluruh anggota Direksi. - 10 - Bagian Ketiga Rapat Direksi Pasal 20 (1) Setiap kebijakan dan keputusan strategis wajib diputuskan melalui rapat Direksi dengan memperhatikan pengawasan sesuai tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris. (2) Pengambilan keputusan rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu dilakukan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. (3) Dalam hal tidak terjadi musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak. (4) Direksi wajib membuat risalah rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan didokumentasikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (5) Perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang terjadi dalam rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat beserta alasan perbedaan pendapat. Bagian Keempat Aspek Transparansi Direksi Pasal 21 Anggota Direksi wajib mengungkapkan: a. kepemilikan saham yang mencapai 5% (lima persen) atau lebih, baik pada Bank yang bersangkutan maupun pada bank dan perusahaan lain, yang berkedudukan di dalam dan di luar negeri; dan b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan anggota Direksi lain, anggota Dewan Komisaris dan/atau pemegang saham pengendali Bank, dalam laporan pelaksanaan tata kelola sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 11 - Pasal 22 (1) Anggota Direksi dilarang memanfaatkan Bank untuk kepentingan pribadi, keluarga dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Bank. (2) Anggota Direksi dilarang mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari Bank, selain remunerasi dan fasilitas lain yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS. (3) Anggota Direksi wajib mengungkapkan remunerasi dan fasilitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada laporan pelaksanaan tata kelola dengan mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penerapan Tata Kelola dalam Pemberian Remunerasi bagi Bank Umum. BAB III DEWAN KOMISARIS Bagian Kesatu Jumlah, Komposisi, Kriteria, dan Independensi Dewan Komisaris Pasal 23 (1) Bank wajib memiliki anggota Dewan Komisaris dengan jumlah paling sedikit 3 (tiga) orang dan paling banyak sama dengan jumlah anggota Direksi. (2) Anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit 1 (satu) orang wajib berdomisili di Indonesia. (3) Dewan Komisaris wajib dipimpin oleh presiden komisaris atau komisaris utama. - 12 - Pasal 24 (1) Dewan Komisaris wajib terdiri dari Komisaris Independen dan Komisaris Non Independen. (2) Komisaris Independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib paling sedikit berjumlah 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota Dewan Komisaris. (3) Mantan anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif Bank atau pihak-pihak yang mempunyai hubungan dengan Bank, yang dapat mempengaruhi kemampuan yang bersangkutan untuk bertindak independen wajib menjalani masa tunggu (cooling off) paling singkat 1 (satu) tahun sebelum menjadi Komisaris Independen pada Bank yang bersangkutan. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi mantan anggota Direksi yang membawahkan fungsi pengawasan atau Pejabat Eksekutif yang melakukan fungsi pengawasan pada Bank tersebut. Pasal 25 (1) Komisaris Non Independen dapat beralih menjadi Komisaris Independen setelah memenuhi persyaratan sebagai Komisaris Independen. (2) Komisaris Non Independen yang akan beralih menjadi Komisaris Independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjalani masa tunggu (cooling off) paling singkat 6 (enam) bulan. (3) Peralihan dari Komisaris Non Independen menjadi Komisaris Independen wajib memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 26 (1) Komisaris Independen yang telah menjabat selama 2 (dua) periode masa jabatan berturut-turut dapat diangkat kembali pada periode selanjutnya sebagai Komisaris Independen dalam hal: - 13 - a. rapat anggota Dewan Komisaris menilai bahwa Komisaris Independen tetap dapat bertindak independen; dan (2) Pernyataan independensi b. Komisaris Independen menyatakan dalam RUPS mengenai independensi yang bersangkutan. Komisaris Independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib diungkapkan dalam laporan pelaksanaan tata kelola. Pasal 27 (1) Setiap usulan pengangkatan dan/atau penggantian anggota Dewan Komisaris kepada RUPS harus memperhatikan rekomendasi komite remunerasi dan nominasi. (2) Anggota komite remunerasi dan nominasi yang memiliki benturan kepentingan (conflict of interest) dengan usulan yang direkomendasikan wajib mengungkapkan dalam usulan yang direkomendasikan. (3) Anggota Dewan Komisaris harus memenuhi persyaratan penilaian kemampuan dan kepatutan sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan. Pasal 28 (1) Anggota Dewan Komisaris dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris atau Pejabat Eksekutif: a. pada lembaga keuangan atau perusahaan keuangan, baik bank maupun bukan bank; b. pada lebih dari 1 (satu) lembaga bukan keuangan atau perusahaan bukan keuangan, baik yang berkedudukan di dalam maupun di luar negeri. (2) Tidak termasuk rangkap jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal: - 14 - a. anggota Dewan Komisaris menjabat sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris atau Pejabat Eksekutif yang melaksanakan fungsi pengawasan pada 1 (satu) perusahaan anak bukan bank yang dikendalikan oleh Bank; b. Komisaris Non Independen menjalankan tugas fungsional dari pemegang saham Bank yang berbentuk badan hukum pada kelompok usaha Bank; dan/atau c. anggota Dewan Komisaris menduduki jabatan pada organisasi atau lembaga nirlaba. (3) Tugas dalam jabatan dan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan sepanjang yang bersangkutan tidak mengabaikan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai anggota Dewan Komisaris Bank. Pasal 29 Mayoritas anggota Dewan Komisaris dilarang saling memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua dengan sesama anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi. Bagian Kedua Tugas dan Tanggung Jawab Dewan Komisaris Pasal 30 Dewan Komisaris wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawab secara independen. Pasal 31 (1) Dewan Komisaris wajib memastikan penerapan Tata Kelola yang baik terselenggara dalam setiap kegiatan usaha Bank pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Dewan Komisaris wajib melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi serta memberikan nasihat kepada Direksi. - 15 - (3) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan Komisaris wajib mengarahkan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan strategis Bank. (4) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan Komisaris dilarang ikut serta dalam pengambilan keputusan kegiatan operasional Bank, kecuali: a. penyediaan dana kepada pihak terkait sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit bank umum; dan b. hal-hal lain yang ditetapkan dalam anggaran dasar Bank atau peraturan perundang-undangan. (5) Pengambilan keputusan kegiatan operasional Bank oleh Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan bagian dari tugas pengawasan oleh Dewan Komisaris sehingga tidak meniadakan tanggung jawab Direksi atas pelaksanaan kepengurusan Bank. Pasal 32 Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa Direksi telah menindaklanjuti temuan audit dan rekomendasi dari satuan kerja audit intern Bank, auditor ekstern, hasil pengawasan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau hasil pengawasan otoritas lain. Pasal 33 Dewan Komisaris wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditemukan: a. pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang keuangan dan perbankan; dan/atau b. keadaan atau perkiraan keadaan yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Bank. - 16 - Pasal 34 (1) Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab, Dewan Komisaris wajib membentuk paling sedikit: a. komite audit; b. komite pemantau risiko; dan c. komite remunerasi dan nominasi. (2) Dewan Komisaris dapat membentuk komite remunerasi dan komite nominasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c secara terpisah. (3) Pengangkatan anggota komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh Direksi berdasarkan keputusan rapat Dewan Komisaris. (4) Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa komite yang telah dibentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menjalankan tugas secara efektif. (5) Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib menyusun pedoman dan tata tertib kerja komite. Pasal 35 (1) Dewan Komisaris wajib memiliki pedoman dan tata tertib kerja yang bersifat mengikat bagi setiap anggota Dewan Komisaris. (2) Pedoman dan tata tertib kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit wajib mencantumkan: a. pengaturan etika kerja; b. waktu kerja; dan c. pengaturan rapat. Pasal 36 Dewan Komisaris wajib menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab secara optimal. - 17 - Bagian Ketiga Rapat Dewan Komisaris Pasal 37 (1) Rapat Dewan Komisaris wajib diselenggarakan secara berkala paling sedikit 4 (empat) kali dalam 1 (satu) tahun. (2) Rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dihadiri oleh seluruh anggota Dewan Komisaris secara fisik paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun. (3) Dalam hal Komisaris Non Independen tidak dapat menghadiri rapat Dewan Komisaris secara fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka dapat menghadiri rapat Dewan Komisaris melalui sarana teknologi telekonferensi. Pasal 38 (1) Pengambilan keputusan rapat Dewan Komisaris wajib terlebih dahulu dilakukan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. (2) Dalam hal tidak terjadi musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengambilan keputusan rapat Dewan Komisaris berdasarkan suara terbanyak. (3) Segala keputusan Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat mengikat bagi seluruh anggota Dewan Komisaris. (4) Dewan Komisaris wajib membuat risalah rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan didokumentasikan sesuai peraturan perundang- undangan. (5) Perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang terjadi dalam rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat beserta alasan perbedaan pendapat. dilakukan - 18 - Bagian Keempat Aspek Transparansi Dewan Komisaris Pasal 39 Anggota Dewan Komisaris wajib mengungkapkan: a. kepemilikan saham yang mencapai 5% (lima persen) atau lebih, baik pada Bank yang bersangkutan maupun pada bank dan perusahaan lain, yang berkedudukan di dalam dan di luar negeri; dan b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan anggota Dewan Komisaris lain, anggota Direksi dan/atau pemegang saham pengendali Bank, dalam laporan pelaksanaan tata kelola sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 40 (1) Anggota Dewan Komisaris dilarang memanfaatkan Bank untuk kepentingan pribadi, keluarga dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Bank. (2) Anggota Dewan Komisaris dilarang mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari Bank selain remunerasi dan fasilitas lain yang ditetapkan RUPS. (3) Anggota Dewan Komisaris wajib mengungkapkan remunerasi dan fasilitas lain yang ditetapkan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada laporan pelaksanaan tata kelola sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 19 - BAB IV KOMITE-KOMITE Bagian Kesatu Struktur dan Keanggotaan Komite Pasal 41 (1) Komite audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a beranggotakan paling sedikit: a. 1 (satu) orang Komisaris Independen; b. 1 (satu) orang dari Pihak Independen yang memiliki keahlian di bidang keuangan atau akuntansi; dan c. 1 (satu) orang dari Pihak Independen yang memiliki keahlian di bidang hukum atau perbankan. (2) Komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh Komisaris Independen merangkap sebagai anggota. (3) Anggota Direksi dilarang menjadi anggota komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Komisaris Independen dan Pihak Independen yang menjadi anggota komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berjumlah 51% (lima puluh satu persen) dari jumlah anggota komite audit. (5) Anggota komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki integritas, akhlak, dan moral yang baik. Pasal 42 (1) Komite pemantau risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b beranggotakan paling sedikit: a. 1 (satu) orang Komisaris Independen; b. 1 (satu) orang Pihak Independen yang memiliki keahlian di bidang keuangan; dan c. 1 (satu) orang Pihak Independen yang memiliki keahlian di bidang manajemen risiko. - 20 - (2) Komite pemantau risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh Komisaris Independen merangkap sebagai anggota. (3) Anggota Direksi dilarang menjadi anggota komite pemantau risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Komisaris Independen dan Pihak Independen yang menjadi anggota komite pemantau risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berjumlah 51% (lima puluh satu persen) dari jumlah anggota komite pemantau risiko. (5) Anggota komite pemantau risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki integritas, akhlak, dan moral yang baik. Pasal 43 (1) Mantan anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif Bank atau pihak yang mempunyai hubungan dengan Bank yang dapat mempengaruhi kemampuan yang bersangkutan untuk bertindak independen dilarang menjadi Pihak Independen dalam anggota komite sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf b dan huruf c serta Pasal 42 ayat (1) huruf b dan huruf c pada Bank yang bersangkutan sebelum menjalani masa tunggu (cooling off) paling singkat 6 (enam) bulan. (2) Masa tunggu (cooling off) paling singkat 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi mantan anggota Direksi yang membawahkan fungsi pengawasan atau Pejabat Eksekutif yang melakukan fungsi pengawasan pada Bank tersebut. Pasal 44 (1) Komite remunerasi dan nominasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c beranggotakan paling sedikit: a. 1 (satu) orang Komisaris Independen; b. 1 (satu) orang Komisaris; dan - 21 - c. 1 (satu) orang Pejabat Eksekutif yang membawahkan fungsi sumber daya manusia atau 1 (satu) orang perwakilan pegawai. (2) Komite remunerasi dan nominasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh Komisaris Independen merangkap sebagai anggota. (3) Anggota Direksi dilarang menjadi anggota komite remunerasi dan nominasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Dalam hal anggota komite remunerasi dan nominasi ditetapkan lebih dari 3 (tiga) orang maka anggota Komisaris Independen paling sedikit berjumlah 2 (dua) orang. Pasal 45 Dalam hal Bank membentuk komite remunerasi dan nominasi secara terpisah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) maka keanggotaan masing-masing komite wajib mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44. Bagian Kedua Jabatan Rangkap Ketua Komite Pasal 46 Ketua dari komite sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dilarang merangkap jabatan sebagai ketua komite lebih dari 1 (satu) pada komite lain. Bagian Ketiga Tugas dan Tanggung Jawab Komite Pasal 47 (1) Komite audit wajib melakukan pemantauan dan evaluasi atas perencanaan dan pelaksanaan audit serta pemantauan atas tindak lanjut hasil audit dalam rangka - 22 - menilai kecukupan pengendalian intern, termasuk kecukupan proses pelaporan keuangan. (2) Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), komite audit wajib melakukan pemantauan dan evaluasi paling sedikit terhadap: a. pelaksanaan tugas satuan kerja audit intern; b. kesesuaian pelaksanaan audit oleh kantor akuntan publik dengan standar audit; c. kesesuaian laporan keuangan dengan standar akuntansi keuangan; d. pelaksanaan tindak lanjut oleh Direksi atas hasil temuan satuan kerja audit intern, akuntan publik, dan hasil pengawasan Otoritas Jasa Keuangan, guna memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris. (3) Komite audit wajib memberikan rekomendasi mengenai penunjukan akuntan publik dan kantor akuntan publik kepada Dewan Komisaris untuk disampaikan kepada RUPS. Pasal 48 Komite pemantau risiko wajib melakukan paling sedikit: a. evaluasi tentang kesesuaian antara kebijakan manajemen risiko dengan pelaksanaan kebijakan Bank; dan b. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan tugas komite manajemen risiko dan satuan kerja manajemen risiko, guna memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris. Pasal 49 Komite remunerasi dan nominasi mempunyai tugas dan tanggung jawab paling sedikit: a. terkait dengan kebijakan remunerasi wajib: 1. melakukan evaluasi terhadap kebijakan remunerasi yang didasarkan atas kinerja, risiko, kewajaran dengan peer group, sasaran, dan strategi jangka panjang Bank, pemenuhan cadangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan - 23 - dan potensi pendapatan Bank pada masa yang akan datang; 2. menyampaikan hasil evaluasi dan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai: a) kebijakan remunerasi bagi Direksi dan Dewan Komisaris untuk disampaikan kepada RUPS; dan b) kebijakan remunerasi bagi pegawai secara keseluruhan untuk disampaikan kepada Direksi; 3. memastikan bahwa kebijakan remunerasi telah sesuai dengan ketentuan; dan 4. melakukan evaluasi secara berkala terhadap penerapan kebijakan remunerasi; b. terkait dengan kebijakan nominasi wajib: 1. menyusun dan memberikan rekomendasi mengenai sistem serta prosedur pemilihan dan/atau penggantian anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris kepada Dewan Komisaris untuk disampaikan kepada RUPS; 2. memberikan rekomendasi mengenai calon anggota Direksi dan/atau calon anggota Dewan Komisaris kepada Dewan Komisaris untuk disampaikan kepada RUPS; dan 3. memberikan rekomendasi mengenai Pihak Independen yang akan menjadi anggota komite audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf b dan huruf c serta anggota komite pemantau risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf b dan huruf c kepada Dewan Komisaris. - 24 - Bagian Kelima Rapat Komite Pasal 50 (1) Rapat komite diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan Bank. (2) Rapat komite audit dan komite pemantau risiko hanya dapat dilaksanakan dalam hal dihadiri oleh paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) dari jumlah anggota komite termasuk 1 (satu) orang Komisaris Independen dan 1 (satu) orang Pihak Independen. (3) Rapat komite remunerasi dan nominasi hanya dapat dilaksanakan dalam hal dihadiri oleh paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) dari jumlah anggota komite termasuk 1 (satu) orang Komisaris Independen, dan 1 (satu) orang Pejabat Eksekutif yang membawahkan sumber daya manusia atau 1 (satu) orang perwakilan pegawai. Pasal 51 (1) Keputusan rapat komite wajib terlebih dahulu dilakukan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. (2) Dalam hal tidak terjadi musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak. (3) Hasil rapat komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat dan didokumentasikan undangan. (4) Perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang terjadi dalam rapat komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat beserta alasan perbedaan pendapat. sesuai peraturan perundang- - 25 - BAB V FUNGSI KEPATUHAN, AUDIT INTERN, DAN AUDIT EKSTERN Bagian Kesatu Fungsi Kepatuhan Bank Pasal 52 Bank wajib memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan Otoritas Jasa Keuangan dan peraturan perundang-undangan lain. Pasal 53 (1) Dalam rangka memastikan kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, Bank wajib menunjuk 1 (satu) orang direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan dengan berpedoman pada persyaratan dan tata cara sebagaimana ketentuan yang mengatur mengenai pelaksanaan fungsi kepatuhan bank umum. (2) Dalam rangka membantu pelaksanaan tugas direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan secara efektif, Bank wajib membentuk satuan kerja kepatuhan (compliance unit) yang independen terhadap satuan kerja operasional. (3) Satuan kerja kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyusun dan mengkinikan pedoman kerja serta sistem dan prosedur. Bagian Kedua Fungsi Audit Intern Pasal 54 (1) Bank wajib menerapkan fungsi audit intern secara efektif dengan berpedoman pada persyaratan dan tata cara sebagaimana ketentuan yang mengatur mengenai penugasan direktur kepatuhan (compliance director) dan - 26 - penerapan standar pelaksanaan fungsi audit intern bank umum. (2) Dalam rangka pelaksanaan fungsi audit intern secara efektif, Bank wajib membentuk satuan kerja audit intern yang independen terhadap satuan kerja operasional. (3) Satuan kerja audit intern sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyusun dan mengkinikan pedoman kerja serta sistem dan prosedur, sebagaimana ketentuan yang mengatur mengenai penugasan direktur kepatuhan (compliance director) dan penerapan standar pelaksanaan fungsi audit intern bank umum. Bagian Ketiga Fungsi Audit Ekstern Pasal 55 (1) Bank wajib menunjuk akuntan publik dan kantor akuntan publik yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan dalam pelaksanaan audit laporan keuangan Bank. (2) Penunjukan akuntan publik dan kantor akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan RUPS berdasarkan usulan yang diajukan oleh Dewan Komisaris sesuai rekomendasi komite audit. (3) Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penunjukan akuntan publik dan kantor akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Transparansi dan Publikasi Laporan Bank dan ketentuan yang mengatur mengenai penggunaan jasa akuntan publik dan kantor akuntan publik. - 27 - BAB VI PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO Pasal 56 Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif, yang disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan Bank dengan berpedoman pada persyaratan dan tata cara sebagaimana dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum. BAB VII PENYEDIAAN DANA KEPADA PIHAK TERKAIT DAN PENYEDIAAN DANA BESAR Pasal 57 Dalam rangka menghindari kegagalan usaha Bank sebagai akibat konsentrasi penyediaan dana dan meningkatkan independensi Direksi dan Dewan Komisaris Bank terhadap potensi intervensi dari pihak terkait, Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penyediaan dana antara lain dengan menerapkan penyebaran atau diversifikasi portofolio penyediaan dana yang diberikan. Pasal 58 Pelaksanaan penyediaan dana kepada pihak terkait dan/atau penyediaan dana besar (large exposures) wajib berpedoman pada ketentuan yang mengatur mengenai batas maksimum pemberian kredit bank umum. - 28 - BAB VIII RENCANA STRATEGIS BANK Pasal 59 (1) Bank wajib menyusun rencana strategis dalam bentuk rencana korporasi (corporate plan) dan rencana bisnis (business plan). (2) Penyampaian rencana korporasi (corporate plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan perubahan rencana korporasi (corporate plan) kepada Otoritas Jasa Keuangan berpedoman pada ketentuan yang mengatur mengenai kelembagaan bank umum. (3) Penyusunan dan penyampaian rencana bisnis (business plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai rencana bisnis bank. BAB IX ASPEK TRANSPARANSI KONDISI BANK Pasal 60 (1) Bank wajib melaksanakan transparansi kondisi keuangan dan non keuangan kepada Pemangku Kepentingan. (2) Dalam rangka pelaksanaan transparansi kondisi keuangan dan non keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib menyusun dan menyajikan laporan dengan tata cara, jenis, dan cakupan sebagaimana dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai transparansi dan publikasi laporan bank. Pasal 61 Bank wajib melaksanakan transparansi informasi mengenai produk dan penggunaan data nasabah Bank dengan berpedoman pada persyaratan dan tata cara sebagaimana - 29 - dalam ketentuan yang mengatur mengenai transparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. BAB X PELAPORAN INTERNAL DAN BENTURAN KEPENTINGAN Pasal 62 Dalam rangka meningkatkan kualitas proses pengambilan keputusan oleh Direksi dan kualitas proses pengawasan oleh Dewan Komisaris, Bank wajib memastikan ketersediaan dan kecukupan pelaporan internal yang didukung oleh sistem informasi manajemen yang memadai. Pasal 63 Dalam hal terjadi benturan kepentingan, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan Pejabat Eksekutif dilarang mengambil tindakan yang dapat merugikan Bank atau mengurangi keuntungan Bank dan wajib mengungkapkan benturan kepentingan dalam setiap keputusan. BAB XI LAPORAN PELAKSANAAN TATA KELOLA DAN PENILAIAN PENERAPAN TATA KELOLA Bagian Kesatu Laporan Pelaksanaan Tata Kelola Pasal 64 (1) Bank wajib menyusun laporan pelaksanaan tata kelola pada setiap akhir tahun buku. (2) Laporan pelaksanaan tata kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: - 30 - a. cakupan Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan hasil penilaian sendiri oleh Bank (self-assesment) atas penerapan Tata Kelola Bank; b. kepemilikan saham anggota Direksi serta hubungan keuangan dan hubungan keluarga anggota Direksi dengan anggota Direksi lain, anggota Dewan Komisaris dan/atau pemegang saham pengendali Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; c. kepemilikan saham anggota Dewan Komisaris serta hubungan keuangan dan hubungan keluarga anggota Dewan Komisaris dengan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris lain dan/atau pemegang saham pengendali Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39; d. frekuensi rapat Dewan Komisaris; e. jumlah penyimpangan (internal fraud) yang terjadi dan upaya penyelesaian oleh Bank; f. jumlah permasalahan hukum dan upaya penyelesaian oleh Bank; g. transaksi yang mengandung benturan kepentingan; h. pembelian kembali (buy back) saham dan/atau obligasi Bank; dan i. pemberian dana untuk kegiatan sosial dan kegiatan politik, baik nominal maupun penerima dana. (3) Laporan pelaksanaan tata kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang terkait dengan penerapan remunerasi mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penerapan Tata Kelola dalam Pemberian Remunerasi bagi Bank Umum. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan laporan pelaksanaan tata kelola diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 65 (1) Bank wajib menyampaikan laporan pelaksanaan tata kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 kepada Otoritas Jasa Keuangan dan pemegang saham Bank - 31 - paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun buku berakhir. (2) Laporan pelaksanaan tata kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipublikasikan pada situs web Bank paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun buku berakhir. (3) Bank dianggap terlambat menyampaikan laporan pelaksanaan tata kelola dan/atau mempublikasikan laporan pelaksanaan tata kelola pada situs web Bank apabila Bank menyampaikan dan/atau mempublikasikan laporan pelaksanaan tata kelola melampaui batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau batas akhir waktu publikasi pada situs web Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetapi belum melampaui 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian laporan pelaksanaan tata kelola. (4) Bank dianggap tidak menyampaikan laporan pelaksanaan tata kelola dan/atau mempublikasikan laporan pelaksanaan tata kelola pada situs web Bank apabila Bank belum menyampaikan dan/atau mempublikasikan laporan pelaksanaan tata kelola dalam batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 66 Penyampaian laporan pelaksanaan tata kelola kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf a ditujukan kepada: a. Departemen Pengawasan Bank terkait bagi Bank yang berkantor pusat atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang berada di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat sesuai wilayah tempat kedudukan kantor pusat Bank. - 32 - Bagian Kedua Penilaian Sendiri oleh Bank atas Penerapan Tata Kelola Pasal 67 (1) Bank wajib melakukan penilaian sendiri (self-assessment) atas penerapan Tata Kelola Bank yang mencakup hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun. (2) Hasil penilaian sendiri oleh Bank (self-assessment) atas penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan pelaksanaan tata kelola. Pasal 68 (1) Dalam rangka melakukan penilaian terhadap penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan penilaian atau evaluasi terhadap hasil penilaian sendiri oleh Bank (self- assessment) atas penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1). (2) Berdasarkan hasil penilaian sendiri oleh Bank (self- assessment) atau evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Bank untuk menyampaikan rencana tindak (action plan) yang memuat langkah-langkah perbaikan yang wajib dilaksanakan oleh Bank dengan target waktu tertentu. (3) Dalam hal diperlukan Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Bank untuk melakukan penyesuaian rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau melakukan pemeriksaan khusus terhadap hasil perbaikan penerapan Tata Kelola yang telah dilakukan oleh Bank. - 33 - BAB XII PENERAPAN TATA KELOLA PADA KANTOR CABANG DARI BANK YANG BERKEDUDUKAN DI LUAR NEGERI Pasal 69 (1) Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri wajib memenuhi ketentuan tentang penerapan Tata Kelola sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Pelaksanaan fungsi Dewan Komisaris dan pembentukan komite disesuaikan dengan struktur organisasi yang berlaku pada Bank. (3) Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi seluruh fungsi yang diperlukan dalam penerapan Tata Kelola sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 70 Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta penyesuaian struktur organisasi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri untuk memastikan penerapan Tata Kelola sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB XIII SANKSI Bagian Kesatu Sanksi Penerapan Tata Kelola Pasal 71 Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (3), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 ayat (1), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1), - 34 - Pasal 20 ayat (2), Pasal 20 ayat (4), Pasal 20 ayat (5), Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 ayat (1), Pasal 24 ayat (2), Pasal 24 ayat (3), Pasal 26 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 ayat (1), Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 31 ayat (3), Pasal 31 ayat (4), Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 ayat (1), Pasal 34 ayat (3), Pasal 34 ayat (4), Pasal 34 ayat (5) Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37 ayat (1), Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (1), Pasal 38 ayat (4), Pasal 38 ayat (5), Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41 ayat (3), Pasal 41 ayat (5), Pasal 42 ayat (3), Pasal 42 ayat (5), Pasal 43 ayat (1), Pasal 44 ayat (3), Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 51 ayat (1), Pasal 51 ayat (3), Pasal 51 ayat (4), Pasal 52, Pasal 53 ayat (2), Pasal 53 ayat (3), Pasal 55 ayat (2), Pasal 62, Pasal 63, Pasal 67 ayat (1), Pasal 69 ayat (1) dan/atau Pasal 69 ayat (3) dikenakan sanksi administratif, antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan peringkat faktor Tata Kelola dalam penilaian tingkat kesehatan; c. pembekuan kegiatan usaha tertentu; d. pemberhentian anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris Bank serta penunjukan dan pengangkatan pengganti anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris sementara sampai RUPS atau setara RUPS mengangkat pengganti anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris yang tetap dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau e. pencantuman anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris, pegawai, pemegang saham Bank dalam Daftar Tidak Lulus melalui mekanisme penilaian kemampuan dan kepatutan. Pasal 72 (1) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan/atau Pasal 53 ayat (1) dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam - 35 - peraturan mengenai pelaksanaan fungsi kepatuhan bank umum. (2) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam peraturan mengenai penugasan direktur kepatuhan (compliance director) dan penerapan standar pelaksanaan fungsi audit intern bank. (3) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (3) dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam peraturan mengenai tata cara dalam menggunakan jasa akuntan publik dan kantor akuntan publik bagi lembaga yang diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 73 Bank yang tidak memenuhi ketentuan terkait penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum. Pasal 74 Bank yang tidak memenuhi ketentuan terkait penerapan prinsip kehati-hatian dalam penyediaan dana kepada pihak terkait dan/atau penyediaan dana besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dan Pasal 58 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit bank umum. Pasal 75 Bank yang tidak memenuhi ketentuan terkait penyusunan rencana strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai kelembagaan bank umum dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Rencana Bisnis Bank. - 36 - Pasal 76 (1) Bank yang tidak memenuhi ketentuan terkait transparansi kondisi keuangan dan non keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Transparansi dan Publikasi Laporan Bank. (2) Bank yang tidak memenuhi ketentuan terkait transparansi informasi mengenai produk dan penggunaan data nasabah Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai transparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah dan ketentuan mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Bagian Kedua Sanksi Pelaporan Pasal 77 (1) Bank yang terlambat menyampaikan laporan pelaksanaan tata kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan. (2) Bank yang terlambat mempublikasikan laporan pelaksanaan tata kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan. (3) Bank yang tidak menyampaikan laporan pelaksanaan tata kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan teguran tertulis oleh Otoritas Jasa Keuangan. - 37 - (4) Bank yang tidak mempublikasikan pada situs web Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan teguran tertulis oleh Otoritas Jasa Keuangan. (5) Bank yang menyampaikan laporan yang dinilai tidak benar dan/atau tidak lengkap secara signifikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan sanksi administratif antara lain berupa: a. penurunan tingkat kesehatan berupa penurunan peringkat faktor manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan; b. pembekuan kegiatan usaha tertentu; c. pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai RUPS atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau d. pencantuman anggota pengurus, pegawai, pemegang saham Bank dalam Daftar Tidak Lulus melalui mekanisme penilaian kemampuan dan kepatutan. (6) Pengenaan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan setelah Bank diberikan 2 (dua) kali surat teguran oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari kerja untuk setiap teguran dan Bank tidak memperbaiki laporan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah surat teguran terakhir. - 38 - BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 78 Bagi Komisaris Independen yang telah menjabat selama 2 (dua) periode berturut-turut atau lebih pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, dilakukan pada saat yang bersangkutan akan diangkat kembali sebagai Komisaris Independen. BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 79 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 80 Dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini maka: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4600); dan b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/14/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4640), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. - 39 - Pasal 81 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 286 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 55/POJK.03/2016 </reg_id> <reg_title> PENERAPAN TATA KELOLA BAGI BANK UMUM </reg_title> <set_date> 7 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 9 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 9 Desember 2016 </issued_date> <replaced_reg> '8/4/PBI/2006', '8/14/PBI/2006' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '10/UU/1998', '7/UU/1992' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XIII' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 27/POJK.04/2014 TENTANG PERIZINAN WAKIL PENJAMIN EMISI EFEK DAN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perizinan Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERIZINAN WAKIL PENJAMIN EMISI EFEK DAN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Penjamin... -2- 1. Penjamin Emisi Efek adalah Pihak yang membuat kontrak dengan Emiten untuk melakukan Penawaran Umum bagi kepentingan Emiten dengan atau tanpa kewajiban untuk membeli sisa Efek yang tidak terjual. 2. Perantara Pedagang Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha jual beli Efek untuk kepentingan sendiri atau Pihak lain. 3. Perusahaan Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek dan/atau Manajer Investasi. 4. Wakil Penjamin Emisi Efek adalah orang perseorangan yang bertindak mewakili kepentingan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek. 5. Wakil Perantara Pedagang Efek adalah orang perseorangan yang bertindak mewakili kepentingan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek. 6. Izin orang perseorangan sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek, yang selanjutnya disebut sebagai Izin Wakil Penjamin Emisi Efek, adalah izin yang diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada orang perseorangan untuk bertindak mewakili kepentingan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek. 7. Izin orang perseorangan sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek, yang selanjutnya disebut Izin Wakil Perantara Pedagang Efek, adalah izin yang diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada orang perseorangan untuk bertindak mewakili kepentingan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek. BAB II... -3- BAB II PERIZINAN DAN PERSYARATAN WAKIL PENJAMIN EMISI EFEK DAN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK Pasal 2 (1) (2) Wakil Penjamin Emisi Efek wajib memiliki Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dari Otoritas Jasa Keuangan. Wakil Perantara Pedagang Efek wajib memiliki Izin Wakil Perantara Pedagang Efek dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Orang perseorangan yang memiliki Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dapat bertindak sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek. Pasal 3 (1) Kewajiban untuk memiliki Izin Wakil Penjamin Emisi Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berlaku bagi: a. Direktur yang bertanggung jawab atas kegiatan penjaminan emisi Efek; b. Pegawai yang bertanggung jawab atas kegiatan penjaminan emisi Efek; dan c. Pegawai dengan posisi jabatan di bawah direktur, yang membawahkan unit yang bertanggung jawab atas kegiatan penjaminan emisi Efek, dari Perusahaan Efek yang memiliki izin usaha untuk melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek. (2) Kewajiban untuk memiliki Izin Wakil Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) berlaku bagi: a. Direktur yang bertanggung jawab atas kegiatan keperantaraan perdagangan Efek; b. Pegawai yang melakukan kegiatan pemasaran; c. Pegawai yang melakukan kegiatan manajemen risiko... -4- risiko; d. Pegawai yang melakukan kegiatan sebagai pejabat yang membawahkan fungsi kepatuhan; dan e. Pegawai yang melakukan kegiatan sebagai pejabat yang membawahkan fungsi analisis/riset perdagangan Efek, dari Perusahaan Efek yang memiliki izin usaha untuk melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek. (3) Dalam kondisi tertentu, Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan maupun mengecualikan pihak yang bekerja pada Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek dari kewajiban untuk memiliki Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kondisi tertentu dan pengecualian pihak yang bekerja pada Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek dari kewajiban untuk memiliki Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan Izin Wakil Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 4 Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Persyaratan integritas yang meliputi: 1. memiliki akhlak dan moral yang baik; 2. cakap melakukan perbuatan hukum; 3. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang jasa keuangan; 4. tidak pernah dikenakan sanksi pencabutan izin, pembatalan... -5- pembatalan persetujuan, dan/atau pembatalan pendaftaran oleh Otoritas Jasa Keuangan selama 3 (tiga) tahun terakhir; 5. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi pengurus yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; dan 6. memiliki komitmen yang tinggi untuk mematuhi peraturan perundang-undangan; b. Persyaratan kompetensi yang meliputi: 1. berpendidikan paling rendah pendidikan menengah; 2. memiliki pengetahuan dan keahlian yang memadai di bidang Pasar Modal, dibuktikan dengan: a) memiliki sertifikat keahlian: 1) sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek, bagi Wakil Penjamin Emisi Efek; dan 2) sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek atau Wakil Perantara Pedagang Efek, bagi Wakil Perantara Pedagang Efek, yang diakui Otoritas Jasa Keuangan dan diterbitkan oleh lembaga pendidikan khusus di bidang Pasar Modal berdasarkan rekomendasi dari Komite Standar Keahlian; atau b) memiliki pengalaman kerja pada institusi pengawas Pasar Modal dan/atau organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang tentang Pasar Modal untuk mengatur dan/atau mengawasi industri Pasar Modal dengan ketentuan: 1) paling kurang 2 (dua) tahun pada posisi manajerial; atau 2) paling kurang 5 (lima) tahun pada posisi pelaksana, dalam bidang tugas dan fungsi yang terkait pengaturan... -6- pengaturan dan/atau pengawasan industri Pasar Modal; c. d. bekerja pada lembaga jasa keuangan di Indonesia, bagi warga negara asing; dan tidak bekerja pada lebih dari satu Perusahaan Efek dan/atau lembaga jasa keuangan lainnya. Pasal 5 Sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 2 huruf a) dapat digunakan untuk pengajuan permohonan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek sepanjang berumur tidak lebih dari 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diterbitkan sampai dengan saat pengajuan izin. BAB III TATA CARA PERMOHONAN IZIN WAKIL PENJAMIN EMISI EFEK DAN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK Pasal 6 (1) Permohonan untuk memperoleh Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Wakil Perantara Pedagang Efek diajukan oleh pemohon dalam bentuk dokumen cetak kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format surat permohonan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek/Wakil Perantara Pedagang Efek sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem elektronik permohonan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek, permohonan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Wakil Perantara Pedagang Efek dapat diajukan melalui sistem elektronik tersebut. (3) Permohonan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Wakil Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1)... -7- ayat (1) atau ayat (2) wajib disertai kelengkapan dokumen sebagai berikut: a. salinan ijazah pendidikan formal terakhir; b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor yang masih berlaku; c. daftar riwayat hidup terbaru yang ditandatangani oleh pemohon sesuai dengan format daftar riwayat hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; d. bukti telah memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang Pasar Modal berupa: 1. fotokopi sertifikat keahlian: 1) sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek, bagi Wakil Penjamin Emisi Efek; dan 2) sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek atau Wakil Perantara Pedagang Efek, bagi Wakil Perantara Pedagang Efek, yang diakui Otoritas Jasa Keuangan dari lembaga pendidikan khusus di bidang Pasar Modal berdasarkan rekomendasi dari Komite Standar Keahlian; atau 2. fotokopi surat keterangan pengalaman kerja dari institusi pengawas Pasar Modal dan/atau organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang tentang Pasar Modal untuk mengatur dan/atau mengawasi industri Pasar Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 2 huruf b); e. surat keterangan kerja dari lembaga jasa keuangan di Indonesia bagi warga negara asing; f. pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan latar belakang berwarna merah sebanyak 2 (dua) lembar; g. surat... -8- g. surat pernyataan bahwa pemohon tidak akan bekerja pada lebih dari satu Perusahaan Efek dan/atau lembaga jasa keuangan lainnya sesuai dengan format surat pernyataan tidak akan bekerja pada lebih dari satu Perusahaan Efek dan/atau lembaga jasa keuangan lainnya sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; h. surat pernyataan yang menyatakan bahwa pemohon: 1. memiliki akhlak dan moral yang baik; 2. cakap melakukan perbuatan hukum; 3. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang jasa keuangan; 4. tidak pernah dikenakan sanksi pencabutan izin, pembatalan persetujuan, dan/atau pembatalan pendaftaran oleh Otoritas Jasa Keuangan selama 3 (tiga) tahun terakhir; 5. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi pengurus yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; dan 6. memiliki komitmen yang tinggi untuk mematuhi peraturan perundang-undangan, sesuai dengan format surat pernyataan integritas sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; i. surat referensi dan/atau rekomendasi dari perusahaan tempat pemohon bekerja sesuai dengan format surat referensi kerja sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa... -9- Jasa Keuangan ini (jika ada); j. fotokopi izin mempekerjakan tenaga asing yang diterbitkan oleh instansi berwenang, bagi warga negara asing yang bekerja pada lembaga jasa keuangan; k. jawaban atas daftar pertanyaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; l. bukti pembayaran biaya perizinan Wakil Penjamin Emisi Efek atau Wakil Perantara Pedagang Efek; m. surat keterangan perbedaan nama dari Pejabat/instansi berwenang, jika terdapat perbedaan nama pemohon dengan dokumen yang dilampirkan; dan n. Surat keterangan domisili, jika terdapat perbedaan alamat domisili dengan alamat Kartu Tanda Penduduk. (4) Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Wakil Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Otoritas Jasa Keuangan apabila pemohon telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 7 Dalam rangka memproses permohonan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek, Otoritas Jasa Keuangan berwenang: a. melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen yang disampaikan oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3); dan/atau b. meminta keterangan kepada pemohon, untuk memastikan pemenuhan atas persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Pasal 8... -10- Pasal 8 (1) Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek diberikan Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek yang memenuhi syarat. (2) Dalam hal permohonan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek pada saat diterima tidak memenuhi syarat, paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa: a. permohonan belum memenuhi persyaratan; atau b. permohonan ditolak karena tidak memenuhi persyaratan. (3) Pemohon wajib melengkapi kekurangan yang dipersyaratkan dalam surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling lambat 45 (empat puluh lima) hari setelah tanggal surat pemberitahuan. (4) Penyampaian perubahan dokumen, tambahan informasi, dan/atau kelengkapan kekurangan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dianggap telah diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal diterimanya perubahan dokumen, tambahan informasi, dan/atau kelengkapan kekurangan persyaratan tersebut. (5) Sejak diterimanya perubahan dokumen, tambahan informasi, dan/atau kelengkapan kekurangan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), permohonan izin tersebut dianggap baru diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan dan diproses sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Pemohon... -11- (6) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan yang dipersyaratkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dianggap membatalkan permohonan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek yang sudah diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan. BAB IV MASA BERLAKU DAN PERPANJANGAN IZIN WAKIL PENJAMIN EMISI EFEK DAN IZIN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK Pasal 9 (1) Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan Izin Wakil Perantara Pedagang Efek mempunyai masa berlaku selama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang. (2) Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek tidak berlaku jika terjadi kondisi: a. masa berlakunya telah berakhir; atau b. setelah masa berlakunya berakhir, persetujuan perpanjangan izin belum diberikan Otoritas Jasa Keuangan meskipun permohonan perpanjangan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek telah disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum masa berlakunya berakhir. Pasal 10 (1) Permohonan perpanjangan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum masa berlaku izin dimaksud berakhir dengan ketentuan paling cepat 90 (sembilan puluh) hari sebelum masa berlaku izin berakhir. (2) Permohonan perpanjangan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek tidak dapat... -12- dapat dilakukan setelah masa berlaku izin dimaksud berakhir. (3) Permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai dengan format surat permohonan perpanjangan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan disertai kelengkapan dokumen sebagai berikut: a. daftar riwayat hidup terbaru yang telah ditandatangani sesuai dengan format daftar riwayat hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, jika ada perubahan daftar riwayat hidup pada saat permohonan izin; b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor yang masih berlaku; c. fotokopi izin mempekerjakan tenaga asing yang diterbitkan oleh instansi berwenang, bagi warga negara asing yang bekerja pada lembaga jasa keuangan; d. pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan latar belakang berwarna merah sebanyak 1 (satu) lembar; e. salinan ijazah pendidikan formal terakhir (dalam hal terjadi perubahan); f. surat keterangan kerja dari perusahaan yang melakukan kegiatan penjaminan emisi Efek dan/atau keperantaraan pedagang Efek tempat Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek bekerja (jika ada); g. fotokopi kartu anggota yang masih berlaku dari asosiasi yang mewadahi Wakil Penjamin Emisi Efek atau... -13- atau Wakil Perantara Pedagang Efek yang telah mendapatkan pengakuan dari Otoritas Jasa Keuangan; h. fotokopi dokumen pendidikan berkelanjutan yang dilaksanakan antara tanggal berlaku hingga tanggal berakhirnya Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek; dan i. surat keterangan domisili, jika terdapat perbedaan alamat domisili dengan alamat Kartu Tanda Penduduk. (4) Kewajiban menyertakan fotokopi kartu anggota asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf g mulai berlaku jika telah terdapat asosiasi yang mewadahi Wakil Penjamin Emisi Efek atau Wakil Perantara Pedagang Efek yang telah mendapatkan pengakuan dari Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 11 (1) Perpanjangan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek diberikan Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak diterimanya permohonan perpanjangan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek yang memenuhi syarat. (2) Dalam hal permohonan perpanjangan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Wakil Perantara Pedagang Efek pada saat diterima tidak memenuhi syarat, paling lambat 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak diterimanya permohonan, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa: a. Permohonan belum memenuhi persyaratan; atau b. Permohonan ditolak karena tidak memenuhi persyaratan. (3) Penyampaian perubahan dokumen, tambahan informasi, dan/atau kelengkapan kekurangan persyaratan... -14- persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dianggap telah diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal diterimanya perubahan dokumen, tambahan informasi, dan/atau kelengkapan kekurangan persyaratan tersebut. (4) Pemohon perpanjangan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek yang tidak melengkapi kekurangan yang dipersyaratkan sebelum masa berlaku Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek berakhir, dianggap membatalkan permohonan perpanjangan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek yang sudah diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 12 Dalam hal masa berlaku Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek telah berakhir namun permohonan perpanjangan telah disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum masa berlaku izin berakhir, Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek tidak berlaku hingga terdapat persetujuan perpanjangan izin dari Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 13 Masa berlaku Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek yang mendapatkan persetujuan perpanjangan adalah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal persetujuan diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 14 Apabila pada saat permohonan perpanjangan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek, pemegang izin masih mempunyai kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan dan/atau keputusan Otoritas Jasa Keuangan yang belum dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan berhak menolak pengajuan permohonan perpanjangan izin dimaksud. BAB V... -15- BAB V KEWAJIBAN DAN LARANGAN BAGI WAKIL PENJAMIN EMISI EFEK DAN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK Bagian Kesatu Kewajiban Pasal 15 Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek wajib: a. memahami dan mematuhi peraturan perundang- undangan Pasar Modal Indonesia; b. c. bertindak dan bersikap profesional serta mempunyai wawasan yang luas di bidang Pasar Modal; dan menjadi anggota asosiasi yang mewadahi Wakil Penjamin Emisi Efek atau Wakil Perantara Pedagang Efek yang telah mendapatkan pengakuan dari Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 16 (1) Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan yang diselenggarakan oleh asosiasi yang mewadahi Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek, atau pihak lain, yang diakui Otoritas Jasa Keuangan paling kurang 2 (dua) tahun sekali. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemenuhan persyaratan melampirkan dokumen telah mengikuti pendidikan berkelanjutan dalam rangka permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf h mulai berlaku jika telah terdapat: a. asosiasi yang mewadahi Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek; atau b. pihak lain, yang... -16- yang telah mendapatkan pengakuan dari Otoritas Jasa Keuangan untuk menyelenggarakan pendidikan khusus di bidang Pasar Modal. Bagian Kedua Larangan Pasal 17 (1) Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek dilarang bekerja rangkap pada lebih dari satu Perusahaan Efek dan/atau lembaga jasa keuangan lainnya. (2) Larangan bekerja rangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek yang berkedudukan sebagai anggota direksi dari Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek untuk merangkap jabatan sebagai komisaris Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. BAB VI KOMITE STANDAR KEAHLIAN DAN ASOSIASI Bagian Kesatu Komite Standar Keahlian Pasal 18 (1) Komite Standar Keahlian dibentuk oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Komite Standar Keahlian bertugas memberikan rekomendasi kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka pemberian pengakuan atas sertifikat keahlian yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan khusus. (3) Sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan oleh lembaga pendidikan khusus yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan keahlian Wakil... -17- Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Komite Standar Keahlian, persyaratan dan tata cara pemberian pengakuan sertifikat keahlian, serta lembaga pendidikan khusus diatur dalam atau berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Kedua Asosiasi Pasal 19 (1) Asosiasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c mempunyai tugas antara lain: a. menyusun kode etik anggota; b. melaksanakan pendidikan berkelanjutan bagi pemegang Izin; dan c. melaksanakan pendidikan dan/atau pelatihan lainnya. (2) Pelaksanaan kegiatan asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan setiap 6 (enam) bulan sekali kepada Otoritas Jasa Keuangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai asosiasi yang mewadahi Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. BAB VII PELAPORAN Pasal 20 (1) Orang perseorangan yang memiliki Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Laporan mulai bekerja, berhenti bekerja, atau pindah bekerja, paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung... -18- terhitung sejak yang bersangkutan mulai bekerja, berhenti bekerja, atau pindah bekerja; dan/atau b. Laporan keikutsertaan dalam pendidikan berkelanjutan paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak yang bersangkutan selesai mengikuti program tersebut disertai bukti pendukung. (2) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, laporan mulai bekerja, berhenti bekerja, atau pindah bekerja dan laporan keikutsertaan atas pendidikan berkelanjutan disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. Pasal 21 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk dokumen cetak. (2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem elektronik penyampaian laporan Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek, laporan Wakil Penjamin Emisi Efek atau Wakil Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dapat disampaikan melalui sistem elektronik tersebut. BAB VIII PENGEMBALIAN IZIN WAKIL PENJAMIN EMISI EFEK DAN IZIN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK Pasal 22 (1) Pemegang Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek dapat mengembalikan izin yang dimilikinya kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan surat pengembalian Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak... -19- tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Pengembalian Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak serta merta menghilangkan kewajiban dan tanggung jawabnya atas peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan dan/atau keputusan Otoritas Jasa Keuangan yang belum dipenuhi yang timbul pada saat orang perseorangan tersebut memegang Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek. BAB IX SANKSI Pasal 23 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi... -20- (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 24 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 25 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 kepada masyarakat. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 26 (1) Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan Izin Wakil Perantara Pedagang Efek yang dibekukan melalui Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor KEP-51/D.04/2013 tanggal 4 Oktober 2013 tentang Pembekuan Izin Wakil Perantara Pedagang Efek dan Wakil Penjamin Emisi Efek dapat diaktifkan kembali dengan mengajukan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Pengaktifan kembali izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3). Pasal 27... -21- Pasal 27 (1) Ketentuan mengenai sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf d angka 1 mulai berlaku setelah Otoritas Jasa Keuangan membentuk Komite Standar Keahlian. (2) Dalam hal Komite Standar Keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, sertifikat keahlian di bidang Pasar Modal terkait Wakil Penjamin Emisi Efek atau Wakil Perantara Pedagang Efek dalam rangka perizinan Wakil Penjamin Emisi Efek atau Wakil Perantara Pedagang Efek tetap berpedoman pada ketentuan angka 2 huruf a Peraturan Nomor V.B.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP- 547/BL/2010 tanggal 28 Desember 2010 tentang Perizinan Wakil Perusahaan Efek. Pasal 28 Izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan Izin Wakil Perantara Pedagang Efek yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 29 (1) Sertifikat keahlian Wakil Penjamin Emisi Efek yang diterbitkan sejak tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 dapat digunakan sebagai pemenuhan syarat memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang Pasar Modal yang memadai dalam pengajuan permohonan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Sertifikat keahlian Wakil Penjamin Emisi Efek yang diterbitkan sejak tahun 2014 sampai dengan berlakunya... -22- berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dapat digunakan sebagai pemenuhan syarat memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang Pasar Modal yang memadai dalam pengajuan permohonan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (3) Sertifikat keahlian Wakil Perantara Pedagang Efek yang diterbitkan sejak tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 dapat digunakan sebagai pemenuhan syarat memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang Pasar Modal yang memadai dalam pengajuan permohonan Izin Wakil Perantara Pedagang Efek berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (4) Sertifikat keahlian Wakil Perantara Pedagang Efek yang diterbitkan sejak tahun 2014 sampai dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dapat digunakan sebagai pemenuhan syarat memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang Pasar Modal yang memadai dalam pengajuan permohonan Izin Wakil Perantara Pedagang Efek berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 30 Permohonan izin orang perseorangan sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek atau Wakil Perantara Pedagang Efek yang telah diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, diselesaikan berdasarkan Peraturan Nomor V.B.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-547/BL/2010 tanggal 28 Desember 2010 tentang Perizinan Wakil Perusahaan Efek. BAB XI... -23- BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 31 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, ketentuan mengenai perizinan Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 32 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-547/BL/2010 tanggal 28 Desember 2010 tentang Perizinan Wakil Perusahaan Efek, beserta Peraturan Nomor V.B.1 yang merupakan lampirannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali: a. ketentuan mengenai sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf a dicabut dan dinyatakan tidak berlaku pada saat terbentuknya Komite Standar Keahlian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1); dan b. untuk penyampaian permohonan Izin Wakil Penjamin Emisi Efek atau Izin Wakil Perantara Pedagang Efek yang telah diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 33 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar... -24- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 November 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 19 November 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 362 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum I Departemen Hukum, Ttd. Tini Kustini
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 27/POJK.04/2014 </reg_id> <reg_title> PERIZINAN WAKIL PENJAMIN EMISI EFEK DAN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK </reg_title> <set_date> 19 November 2014 </set_date> <effective_date> 19 November 2014 </effective_date> <issued_date> 19 November 2014 </issued_date> <replaced_reg> 'KEP-547/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010', 'KEP-547/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010 | Lampiran Peraturan Nomor V.B.1' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 19/POJK.03/2014 TENTANG LAYANAN KEUANGAN TANPA KANTOR DALAM RANGKA KEUANGAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa diperlukan ketersediaan akses layanan keuangan bagi masyarakat yang belum mengenal, menggunakan, dan/atau mendapatkan layanan dan/atau mendapatkan layanan perbankan dan layanan keuangan lainnya; b. bahwa dalam rangka memperluas akses layanan perbankan, dan industri jasa keuangan lainnya berkomitmen mendukung terwujudnya keuangan inklusif yang juga sejalan dengan Strategi Nasional Keuangan Inklusif yang tclah dicanangkan pemerintah; c. bahwa salah satu wujud komitmen dari industri jasa keuangan yang sudah dituangkan sebagai salah satu program Strategi Nasional Keuangan Inklusif adalah penyediaan layanan keuangan tanpa kantor (branchless bankcing): d. bahwa melalui layanan keuangan tanpa kantor (branchless banking) tersedia produk-produk keuangan yang dapat dijangkau, sederhana, mudah dipahami, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam rangka mendukung keuangan inklusif, dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf ... End of Page 1 - 2 - huruf d perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif; Mengingat : 1._.Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG LAYANAN KEUANGAN TANPA KANTOR DALAM RANGKA KEUANGAN INKLUSIF. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Lembaga … - 3 - 1. Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan. 2. Bank adalah Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, Bank Umum Syariah, atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perbankan dan Undang-Undang mengenai Perbankan Syariah. 3. Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif yang selanjutnya disebut Laku Pandai adalah kegiatan menyediakan layanan perbankan dan/atau layanan keuangan lainnya yang dilakukan tidak melalui jaringan kantor, namun melalui kerjasama dengan pihak lain dan perlu didukung dengan penggunaan sarana teknologi informasi. 4. Agen adalah pihak yang bekerjasama dengan Bank penyelenggara Laku Pandai yang menjadi kepanjangan tangan Bank untuk menyediakan layanan perbankan kepada masyarakat dalam rangka keuangan inklusif sesuai yang diperjanjikan. 5. Keuangan Inklusif adalah suatu keadaan dimana seluruh masyarakat dapat menjangkau akses layanan keuangan secara mudah dan memiliki budaya untuk mengoptimalkan penggunaan jasa keuangan. Pasal 2 (1) Setiap Lembaga Jasa Keuangan bertanggung jawab untuk mendukung terwujudnya Keuangan Inklusif. (2) Dalam rangka mendukung terwujudnya Keuangan Inklusif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Jasa Keuangan dapat menjadi penyelenggara Laku Pandai. Pasal 3 (1) Setiap Lembaga Jasa Keuangan yang menjadi penyelenggara Laku Pandai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Otoritas Jasa Keuangan. (2) Lembaga Jasa Keuangan yang dapat mengajukan permohonan menjadi penyelenggara Laku Pandai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. Bank … - 4 - a. Bank; b. Perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah; c. Lembaga Jasa Keuangan selain sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b. (3) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah disetujui untuk menjadi penyelenggara Laku Pandai wajib menerapkan manajemen risiko dan prinsip kehati-hatian dalam menyelenggarakan Laku Pandai. BAB II PRODUK LAKU PANDAI Pasal 4 Produk yang dapat disediakan oleh Lembaga Jasa Keuangan yang menyelenggarakan Laku Pandai antara lain: a. Tabungan; b. Kredit atau pembiayaan untuk nasabah mikro; c. Asuransi mikro; dan/atau d. Produk keuangan lainnya berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 5 (1) Tabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a adalah tabungan yang memiliki karakteristik Basic Saving Account (BSA). (2) Karakteristik BSA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah sebagai berikut: a. hanya dapat dimiliki oleh perorangan warga negara Indonesia; b. dalam mata uang Rupiah; c. tanpa batas minimum setoran; d. tanpa batas minimum saldo rekening; e. batas maksimum saldo rekening setiap saat ditetapkan paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah); f. batas maksimum transaksi debet rekening berupa penarikan tunai, pemindahbukuan dan/atau transfer keluar dalam 1 (satu) bulan secara kumulatif pada setiap rekening paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah); g. batas … - 5 - g. batas maksimum transaksi debet rekening sebagaimana dimaksud pada huruf f dapat ditetapkan Bank lebih besar dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dalam 1 (satu) bulan, namun tidak boleh lebih besar dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun secara kumulatif, dalam hal nasabah juga merupakan debitur Bank; h. dibebaskan dari pembebanan biaya untuk: 1. administrasi bulanan, 2. pembukaan rekening, 3. transaksi penyetoran tunai, 4. transaksi transfer masuk, 5. transaksi pemindahbukuan, dan 6. penutupan rekening; i. biaya untuk transaksi tarik tunai, transfer keluar, pembayaran melalui rekening tabungan dan biaya lainnya, ditetapkan oleh Bank dan harus lebih sedikit dari biaya transaksi serupa untuk rekening tabungan reguler; j. mendapatkan bunga atau bagi hasil mulai dari saldo rekening Rp1,00 (satu rupiah); dan k. tidak diperkenankan untuk rekening bersama dengan status “dan/atau”. (3) Tabungan dengan karakteristik BSA hanya dapat diberikan Bank kepada nasabah yang belum memiliki tabungan lainnya. (4) Bank diberikan kebebasan untuk menetapkan: a. nama produk tabungan dengan karakteristik BSA; dan b. bentuk bukti kepemilikan rekening tabungan. (5) Dalam hal jumlah transaksi nominal dalam 1 (satu) bulan melampaui batas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f dan huruf g dan/atau saldo melampaui batas maksimum saldo rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, dan nasabah tetap ingin melakukan transaksi dan/atau meningkatkan saldo rekening, Bank dapat mengubah status tabungan dengan karakteristik BSA menjadi tabungan reguler setelah: a. Bank terlebih dahulu meminta konfirmasi persetujuan kepada nasabah pemilik tabungan dengan karakteristik BSA; atau b. Bank … - 6 - b. Bank memberikan persetujuan atas permintaan nasabah pemilik tabungan dengan karakteristik BSA untuk mengubah status tabungan dengan karakteristik BSA menjadi tabungan reguler. (6) Dalam hal saldo BSA nihil dan/atau tidak ada transaksi selama 6 (enam) bulan berturut-turut, status tabungan dengan karakteristik BSA dapat diubah menjadi rekening tidur (dormant account). (7) Bank hanya dapat menerbitkan kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM) atau kartu debet kepada nasabah tabungan dengan karakteristik BSA berdasarkan permohonan dari nasabah. (8) Dalam hal Bank memerlukan kerjasama dengan perusahaan penyelenggara sistem pembayaran dalam menerbitkan kartu ATM atau kartu debet sebagaimana dimaksud pada ayat (7), kerjasama harus dilakukan dengan perusahaan yang berbadan hukum Indonesia dan memiliki lokasi pemrosesan transaksi dan penempatan pusat data di Indonesia. (9) Bank yang telah disetujui menjadi penyelenggara Laku Pandai wajib menyediakan tabungan dengan karakteristik BSA pada setiap jaringan kantor Bank. Pasal 6 (1) Kredit atau pembiayaan untuk nasabah mikro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b diberikan Bank kepada nasabah pemilik tabungan dengan karakteristik BSA, dalam hal: a. calon debitur telah menjadi nasabah paling singkat 6 (enam) bulan; atau b. calon debitur menjadi nasabah kurang dari 6 (enam) bulan, namun Bank telah memiliki keyakinan tentang kelayakan calon debitur dan/atau kemampuan keuangan yang bersangkutan; dan c. kredit atau pembiayaan ditujukan untuk membiayai kegiatan usaha yang bersifat produktif dan/atau kegiatan lain dalam rangka mendukung terwujudnya Keuangan Inklusif. (2) Kredit atau pembiayaan untuk nasabah mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki karakteristik paling sedikit: a. jangka waktu kredit atau pembiayaan paling lama 1 (satu) tahun; atau b. jangka … - 7 - b. jangka waktu kredit atau pembiayaan dapat lebih lama dari 1 (satu) tahun sepanjang sesuai dengan siklus usaha debitur; dan c. batas maksimum nominal kredit atau pembiayaan ditetapkan paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Pasal 7 (1) Pengajuan permohonan kredit atau pembiayaan untuk nasabah mikro dapat dilakukan melalui jaringan kantor Bank atau Agen. (2) Analisis kelayakan dan persetujuan atas permohonan kredit atau pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dilakukan oleh Bank. (3) Pencairan kredit atau pembiayaan untuk nasabah mikro dapat dilakukan melalui: a. rekening tabungan dengan karakteristik BSA milik debitur; atau b. rekening milik pihak penyedia kebutuhan usaha debitur. Pasal 8 Bank wajib menyalurkan kredit atau pembiayaan produktif kepada nasabah mikro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) paling sedikit 70% (tujuh puluh perseratus) dari total portofolio kredit atau pembiayaan untuk nasabah mikro dalam rangka Laku Pandai. Pasal 9 Asuransi mikro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c adalah produk asuransi yang ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah. BAB III BANK PENYELENGGARA LAKU PANDAI Pasal 10 (1) Bank yang akan mengajukan permohonan persetujuan menjadi penyelenggara Laku Pandai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berbadan hukum Indonesia; b. memiliki peringkat profil risiko, tingkat risiko operasional dan risiko kepatuhan dengan peringkat 1, 2, atau peringkat 3; c. memiliki … - 8 - c. memiliki jaringan kantor di Wilayah Indonesia Timur dan/atau provinsi Nusa Tenggara Timur; dan d. telah memiliki infrastruktur pendukung untuk menyediakan layanan transaksi elektronik bagi nasabah Bank berupa: 1. Short Message Service (SMS) banking atau mobile banking, dan 2. internet banking atau host to host. (2) Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan evaluasi secara berkala terkait persyaratan wilayah jaringan kantor Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c. Pasal 11 Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c dikecualikan bagi: a. Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah; atau b. Bank yang berkantor pusat di luar provinsi DKI Jakarta. Pasal 12 Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) menjadi sebagai berikut: a. memiliki modal inti lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); b. memiliki tingkat kesehatan dengan peringkat sehat selama periode penilaian dalam 1 (satu) tahun terakhir; c. memiliki Non Performing Loan (NPL) atau Non Performing Financing (NPF) paling tinggi 5% (lima perseratus) selama periode penilaian dalam 6 (enam) bulan terakhir; d. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling sedikit 12% (dua belas perseratus); e. tidak dalam keadaan rugi dalam 1 (satu) tahun terakhir; dan f. tidak terdapat pelanggaran ketentuan BPR atau BPRS tertentu. Pasal … - 9 - Pasal 13 (1) Bank umum berdasarkan kegiatan usaha (BUKU) 1 dan BPR atau BPRS yang telah memenuhi persyaratan untuk menjadi Bank penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c dapat mengajukan permohonan untuk menyelenggarakan internet banking dalam rangka memperoleh persetujuan untuk menjadi Bank penyelenggara Laku Pandai. (2) Permohonan untuk menyelenggarakan internet banking sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat disetujui apabila Bank juga disetujui menjadi Bank penyelenggara Laku Pandai. Pasal 14 (1) Bank yang akan menyelenggarakan Laku Pandai harus mencantumkan rencana penyelenggaraan Laku Pandai dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) tahun yang bersangkutan. (2) Bank harus mengajukan permohonan persetujuan untuk menyelenggarakan Laku Pandai paling cepat 60 (enam puluh) hari sebelum target waktu penyelenggaraan Laku Pandai dengan disertai dokumen pendukung. (3) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atas permohonan penyelenggaraan Laku Pandai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah mempertimbangkan kelengkapan dokumen dan analisis terhadap kemampuan Bank, pemenuhan persyaratan, dan kesesuaian dengan karakteristik penyelenggaraan Laku Pandai yang akan dilakukan oleh Bank. (4) Bank yang telah disetujui untuk menyelenggarakan Laku Pandai harus mulai melakukan kegiatan paling lama 6 (enam) bulan sejak persetujuan diberikan. (5) Dalam hal Bank belum menyelenggarakan Laku Pandai dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), persetujuan yang telah diberikan batal dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal … - 10 - Pasal 15 Bank yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan telah mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dapat ditolak oleh Otoritas Jasa Keuangan menjadi Bank penyelenggara Laku Pandai berdasarkan pertimbangan tertentu. BAB IV KERJASAMA BANK PENYELENGGARA LAKU PANDAI DENGAN AGEN Bagian Pertama Persyaratan Agen Pasal 16 (1) Bank penyelenggara Laku Pandai bekerjasama dengan Agen untuk menyediakan produk Bank bagi masyarakat yang belum terlayani jaringan kantor Bank. (2) Agen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. Agen perorangan; dan/atau b. Agen berbadan hukum. Pasal 17 Perorangan yang dapat menjadi Agen harus memenuhi persyaratan paling sedikit sebagai berikut: a. bertempat tinggal di lokasi tempat penyelenggaraan Laku Pandai; b. memiliki kemampuan, reputasi, kredibilitas dan integritas yang baik; c. memiliki sumber penghasilan utama yang berasal dari kegiatan usaha dan/atau kegiatan tetap lainnya selama paling singkat 2 (dua) tahun; d. belum menjadi Agen dari Bank penyelenggara Laku Pandai yang kegiatan usahanya sejenis; dan e. lulus proses uji tuntas (due diligence) oleh Bank penyelenggara Laku Pandai. Pasal 18 Badan hukum yang dapat menjadi Agen harus memenuhi persyaratan paling sedikit sebagai berikut: a. berbadan … - 11 - a. berbadan hukum Indonesia yang: 1. diawasi oleh otoritas pengatur dan pengawas dan diperkenankan melakukan kegiatan di bidang keuangan; atau 2. merupakan perusahaan dagang yang memiliki jaringan retail outlet; b. memiliki reputasi, kredibilitas, dan kinerja yang baik; c. memiliki usaha yang menetap di satu lokasi dan masih berlangsung, paling singkat 2 (dua) tahun; d. mampu melakukan manajemen likuiditas sesuai yang dipersyaratkan oleh Bank penyelenggara Laku Pandai; e. mampu menyediakan sumber daya manusia yang mempunyai kemampuan teknis untuk mendukung penyelenggaraan Laku Pandai; f. memiliki teknologi informasi yang memadai untuk mendukung penyelenggaraan Laku Pandai; dan g. lulus proses uji tuntas (due diligence) oleh Bank penyelenggara Laku Pandai. Bagian Kedua Kegiatan Layanan oleh Agen Pasal 19 (1) Agen melayani nasabah dan/atau calon nasabah sesuai dengan cakupan layanan yang dicantumkan dalam perjanjian kerjasama. (2) Cakupan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. transaksi terkait tabungan dengan karakteristik BSA, meliputi pembukaan rekening, penyetoran dan penarikan tunai, pemindahbukuan, pembayaran tagihan, transfer dana, pengecekan saldo, dan/atau penutupan rekening; b. transaksi terkait kredit atau pembiayaan kepada nasabah mikro meliputi penerimaan dokumen permohonan, penyaluran pencairan, penagihan atau penerimaan pembayaran angsuran dan/atau pelunasan pokok; c. transaksi terkait tabungan selain tabungan dengan karakteristik BSA meliputi penyetoran dan penarikan tunai, pemindahbukuan, pembayaran, dan/atau transfer dana; d. transaksi terkait layanan atau jasa keuangan lain sesuai ketentuan yang berlaku. (3) Agen … - 12 - (3) Agen tertentu dapat melakukan lebih dari satu layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan klasifikasi Agen. (4) Klasifikasi Agen sesuai cakupan layanan ditetapkan sebagai berikut: a. klasifikasi A adalah Agen yang dapat melayani nasabah untuk transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a; b. klasifikasi B adalah Agen yang dapat melayani nasabah untuk transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b; c. klasifikasi C adalah Agen yang dapat melayani nasabah untuk transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf c; d. klasifikasi D adalah Agen yang dapat melayani nasabah untuk transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c; e. klasifikasi E adalah Agen yang dapat melayani nasabah untuk transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c, dan huruf d; f. klasifikasi F adalah Agen yang dapat melayani nasabah untuk transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d; g. klasifikasi G adalah Agen yang dapat melayani nasabah untuk transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d. (5) Agen yang baru pertama kali bekerjasama dengan Bank penyelenggara Laku Pandai harus mulai dari klasifikasi A dan perpindahan pada klasifikasi lainnya ditetapkan sesuai kebijakan Bank. (6) Bank wajib memiliki kebijakan yang mengatur persyaratan dan mekanisme bagi Agen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penetapan klasifikasi Agen sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (7) Bank wajib menetapkan batas nominal layanan kepada nasabah untuk transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c per hari per nasabah dengan mempertimbangkan kondisi tertentu dari Agen. (8) Bank menetapkan batas nominal layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) kepada Agen paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per hari per nasabah. Pasal … - 13 - Pasal 20 (1) Agen hanya dapat melayani nasabah dan/atau calon nasabah di sekitar wilayah tempat kedudukan Agen yang mencakup desa atau setara dan/atau daerah lain di sekitarnya. (2) Penetapan wilayah lain di sekitar desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan kewajaran jarak dan waktu tempuh, biaya perjalanan menuju lokasi Agen, dan/atau kondisi topologi wilayah. Pasal 21 (1) Agen Bank penyelenggara Laku Pandai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dapat bertindak sebagai pemasar asuransi mikro berdasarkan perjanjian kerjasama antara Agen dengan perusahaan asuransi dan/atau perusahaan asuransi syariah yang menerbitkan produk asuransi mikro, dengan melaporkan terlebih dahulu kepada Bank penyelenggara Laku Pandai. (2) Agen Bank penyelenggara Laku Pandai dapat memasarkan produk dan/atau jasa keuangan lainnya sepanjang: a. telah memenuhi ketentuan yang berlaku terkait produk dan jasa keuangan yang dipasarkan; b. memberitahukan kepada Bank penyelenggara Laku Pandai yang telah bekerjasama dengan Agen tersebut; dan c. tetap mampu memberikan layanan yang baik kepada nasabah dari Bank penyelenggara Laku Pandai yang telah terlebih dahulu bekerjasama dengan Agen. Bagian Ketiga Tata Cara Hubungan Kerjasama antara Bank Penyelenggara Laku Pandai dengan Agen Pasal 22 (1) Dalam melakukan kerjasama dengan Agen, Bank penyelenggara wajib: a. meneliti pemenuhan persyaratan dan proses uji tuntas (due diligence) terhadap Agen; b. memiliki perjanjian kerjasama secara tertulis dengan Agen; c. memerintahkan … - 14 - c. memerintahkan Agen menempatkan dan memelihara sejumlah deposit yang besaran minimalnya ditetapkan Bank berdasarkan pertimbangan tertentu; d. memastikan dan meyakini bahwa sumber dana Agen dalam pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak berasal dari hasil pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme; e. memastikan Agen memiliki unit khusus atau menunjuk pegawai yang bertanggung jawab atas kegiatan Laku Pandai, dalam hal Agen adalah badan hukum; f. bertanggung jawab atas perbuatan dan tindakan Agen yang termasuk dalam cakupan layanan Agen sesuai dengan yang dicantumkan dalam perjanjian kerjasama; g. memantau dan mengawasi kegiatan Agen secara langsung, baik secara berkala maupun insidentil; h. memberikan pembinaan dan/atau mengenakan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh Agen; i. melakukan edukasi dan pelatihan kepada Agen secara optimal; j. melakukan edukasi dan literasi kepada masyarakat di sekitar lokasi Agen terkait produk yang ditawarkan secara optimal; dan k. memastikan tanggung jawab kelangsungan penyelenggaraan Laku Pandai dalam hal terdapat kondisi tertentu yang mengakibatkan Agen tidak dapat beroperasi. (2) Perjanjian kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memuat paling sedikit: a. hak dan kewajiban Bank penyelenggara Laku Pandai dan Agen; b. ruang lingkup layanan yang dapat disediakan Agen; c. penetapan wilayah kerja operasional Agen; d. penetapan klasifikasi Agen; e. jangka waktu pelaksanaan kerjasama dan mekanisme perpanjangannya; f. mekanisme dan hubungan kerja antara Bank dan Agen; g. syarat dan tata cara perubahan perjanjian kerjasama; h. penetapan sanksi dan mekanisme pengenaan sanksi; i. kondisi dan tata cara penghentian perjanjian kerjasama; dan j. tata cara penyelesaian perselisihan. Pasal … - 15 - Pasal 23 (1) Bank penyelenggara Laku Pandai hanya dapat bekerjasama dengan Agen perorangan yang belum bekerjasama dengan Bank lain yang kegiatan usahanya sejenis. (2) Bank penyelenggara Laku Pandai dapat bekerjasama dengan Agen berbadan hukum yang telah bekerjasama dengan Bank lain sepanjang hasil analisis Bank penyelenggara menunjukkan Agen tersebut masih dapat memberikan pelayanan dengan baik. (3) Bank penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Bank lain yang telah bekerjasama dengan Agen berbadan hukum dimaksud. (4) Bank penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib melaporkan terlebih dahulu disertai dengan dokumen pendukung kepada Otoritas Jasa Keuangan apabila Bank penyelenggara lain kegiatan usahanya sejenis. (5) Agen berbadan hukum yang bekerjasama dengan lebih dari 1 (satu) Bank penyelenggara, hanya dapat menyediakan produk dari 1 (satu) bank konvensional dan/atau 1 (satu) bank syariah pada setiap kantor atau retail outlet yang dimilikinya. Bagian Keempat Kedudukan Agen Pasal 24 (1) Agen Bank penyelenggara Laku Pandai dapat berkedudukan di seluruh wilayah Indonesia sampai dengan 31 Desember 2016. (2) Kerjasama yang dilakukan setelah 31 Desember 2016 antara Bank Penyelenggara Laku Pandai dengan Agen yang berkedudukan di Ibukota Negara, Ibukota Provinsi, Ibukota Kabupaten dan/atau Kota, wajib diikuti kerjasama dengan Agen yang berkedudukan di luar Ibukota Negara, Ibukota Provinsi, Ibukota Kabupaten dan/atau Kota dalam jumlah tertentu. (3) kewajiban … - 16 - (3) Kewajiban kerjasama Bank penyelenggara Laku Pandai dengan Agen dalam jumlah tertentu di luar Ibukota Negara, Ibukota Provinsi, Ibukota Kabupaten dan/atau Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 25 (1) Bank penyelenggara Laku Pandai hanya dapat melakukan kerjasama dengan Agen yang berkedudukan di lokasi dalam kota atau kabupaten yang sama dengan lokasi jaringan kantor Bank. (2) Dalam hal jaringan kantor Bank penyelenggara Laku Pandai tidak tersedia di kota atau kabupaten tempat kedudukan calon Agen, Bank dapat bekerjasama dengan calon Agen tersebut sepanjang: a. terdapat jaringan kantor Bank penyelenggara Laku Pandai di kota atau kabupaten yang berbatasan dengan lokasi calon Agen; atau b. terdapat jaringan kantor Bank penyelenggara Laku Pandai di kota atau kabupaten lain yang berbeda dengan lokasi calon Agen dan pegawai dari kantor Bank tersebut masih dapat melakukan pelaksanaan pemantauan dan pengawasan secara langsung; dan c. di lokasi tempat kedudukan calon Agen belum tersedia layanan keuangan yang memadai. (3) Jenis jaringan kantor Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan paling sedikit sebagai berikut: a. kantor kas dalam hal Agen dapat melayani transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf a, huruf c, dan/atau huruf d; dan/atau b. kantor cabang pembantu dalam hal Agen dapat melayani seluruh transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2). Bagian Kelima Perangkat Penunjang Layanan Pasal 26 (1) Dalam menyelenggarakan Laku Pandai, Bank dapat menetapkan pemakaian electronic device yang berbeda antar Agen berdasarkan pertimbangan tertentu. (2) Sistem … - 17 - (2) Sistem aplikasi yang digunakan dalam electronic device di lokasi Agen untuk penyelenggaraan Laku Pandai wajib berasal dari Bank penyelenggara. Pasal 27 (1) Transaksi yang dilakukan oleh nasabah Bank penyelenggara Laku Pandai harus dibukukan pada rekening nasabah di core banking system yang dimiliki oleh Bank pada saat yang bersamaan (real time). (2) Pembukuan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan penyampaian bukti transaksi kepada nasabah Bank yang bersangkutan. Pasal 28 Dalam hal penyelenggaraan Laku Pandai memerlukan dukungan kerjasama dengan pihak lain yang terkait dengan teknologi informasi dan komunikasi, Bank wajib memiliki perjanjian kerjasama secara tertulis dengan pihak lain tersebut. Pasal 29 Sistem aplikasi yang digunakan untuk mendukung penyelenggaraan Laku Pandai harus mengarah pada terwujudnya interoperability. BAB V PENERAPAN CUSTOMER DUE DILIGENCE (CDD) Pasal 30 (1) Terhadap calon nasabah tabungan dengan karakteristik BSA, Bank dengan bantuan Agen cukup menerapkan prosedur Customer Due Dilligence (CDD) yang lebih sederhana. (2) Prosedur CDD yang lebih sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diterapkan terhadap calon nasabah apabila, paling sedikit: a. terdapat ketidaksesuaian profil calon nasabah; b. calon nasabah merupakan Politically Exposed Person (PEP); dan/atau c. terdapat … - 18 - c. terdapat dugaan terjadi transaksi pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme. (3) Terhadap calon nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank dengan bantuan Agen wajib meminta informasi paling sedikit mencakup: a. nama lengkap; b. alamat tempat tinggal sesuai dokumen identitas dan alamat domisili apabila ada; c. tempat dan tanggal lahir; dan d. pekerjaan. (4) Informasi calon nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib didukung dengan dokumen identitas atau dokumen lainnya sebagai pengganti dokumen identitas yang dapat memberikan keyakinan kepada Bank tentang profil calon nasabah dan spesimen tanda tangan. Pasal 31 (1) Nasabah tabungan dengan karakteristik BSA yang telah mengajukan pembukaan rekening melalui Agen hanya dapat melakukan transaksi penyetoran tunai selama proses verifikasi belum selesai dilakukan oleh Bank. (2) Bank wajib memiliki prosedur pengembalian setoran tunai yang telah dilakukan nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila hasil proses verifikasi Bank menolak permohonan pembukaan rekening. Pasal 32 (1) Bank wajib membuat dan menyimpan daftar nasabah tabungan dengan karakteristik BSA yang pembukaan rekeningnya dilakukan melalui prosedur CDD yang lebih sederhana. (2) Dalam hal tabungan nasabah tidak lagi memenuhi karakteristik BSA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), Bank dengan bantuan Agen wajib melakukan CDD ulang melalui prosedur CDD sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi Bank. BAB … - 19 - BAB VI PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO TEKNOLOGI INFORMASI Pasal 33 (1) Bank wajib menerapkan prinsip-prinsip pengendalian pengamanan data nasabah dan transaksi e-banking pada sistem elektronik untuk penyelenggaraan Laku Pandai sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi bagi Bank. (2) Dalam pelaksanaan prinsip keaslian (authentication), Bank penyelenggara Laku Pandai paling sedikit menetapkan dua faktor keaslian (two factor authentication). (3) Dalam pelaksanaan prinsip tidak dapat diingkari (non repudiation), Bank penyelenggara Laku Pandai paling sedikit menerapkan messaging security dan end to end encryption. BAB VII PERLINDUNGAN NASABAH Pasal 34 (1) Bank penyelenggara Laku Pandai wajib menerapkan prinsip perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. (2) Mekanisme dan tata cara penerapan prinsip perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan yang berlaku. BAB VIII PELAPORAN Pasal 35 Bank yang telah memperoleh persetujuan menjadi penyelenggara Laku Pandai wajib menyampaikan: a. laporan realisasi penyelenggaraan Laku Pandai untuk pertama kali, paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah Laku Pandai dilaksanakan; b. laporan … - 20 - b. laporan rencana kerjasama dengan Agen dalam rangka penyelenggaraan Laku Pandai setiap tahun dicantumkan dalam RBB tahun yang bersangkutan; dan c. laporan realisasi kerjasama dengan Agen sebagaimana dimaksud pada huruf b disampaikan bersamaan dengan laporan realisasi RBB sebagaimana ketentuan yang berlaku. Pasal 36 (1) Bank penyelenggara Laku Pandai wajib menyampaikan laporan perkembangan penyelenggaraan Laku Pandai. (2) Laporan perkembangan penyelenggaraan Laku Pandai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara triwulanan untuk posisi bulan Maret, Juni, September, dan Desember. (3) Laporan perkembangan penyelenggaraan Laku Pandai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat setiap tanggal 15 (lima belas) setelah akhir bulan laporan. (4) Dalam hal tanggal 15 (lima belas) jatuh pada hari libur, laporan paling lambat disampaikan pada hari kerja terakhir sebelumnya. (5) Laporan perkembangan penyelenggaraan Laku Pandai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara online. (6) Selama penyampaian laporan secara online sebagaimana dimaksud pada ayat (5) belum dapat dilakukan, Bank menyampaikan hardcopy dan softcopy laporan secara offline kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 37 Laporan rencana kerjasama pertama kali dengan Agen berbadan hukum yang telah bekerjasama dengan Bank penyelenggara lain yang kegiatan usahanya sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) wajib disampaikan paling cepat 7 (tujuh) hari kerja sebelum kerjasama dilakukan. Pasal 38 (1) Bank penyelenggara Laku Pandai dinyatakan terlambat menyampaikan laporan realisasi penyelenggaraan Laku Pandai apabila laporan diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan setelah batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a. (2) Bank … - 21 - (2) Bank penyelenggara Laku Pandai dinyatakan terlambat menyampaikan laporan perkembangan penyelenggaraan Laku Pandai apabila laporan diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan setelah batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36. (3) Bank penyelenggara Laku Pandai dinyatakan terlambat menyampaikan laporan rencana kerjasama apabila laporan diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan setelah batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37. Pasal 39 Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a, Pasal 36, dan Pasal 37 apabila laporan belum diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan setelah 30 (tiga puluh) hari dari batas waktu penyampaian laporan. Pasal 40 Permohonan persetujuan untuk menyelenggarakan Laku Pandai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), laporan realisasi penyelenggaraan, rencana kerjasama dengan Agen, dan realisasi kerjasama dengan Agen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, dan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6) dan Pasal 37, disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan. BAB IX KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 41 (1) Dalam hal diperlukan, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta laporan, keterangan, dan/atau data, termasuk melakukan pemeriksaaan (on site supervision) terhadap Agen. (2) Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan pertimbangan tertentu dapat memerintahkan Bank penyelenggara Laku Pandai untuk melakukan penghentian kerjasama dengan Agen. BAB … - 22 - BAB X SANKSI Pasal 42 (1) Bank penyelenggara Laku Pandai yang melanggar ketentuan dalam Pasal 5 ayat (9), Pasal 8, Pasal 19 ayat (6) dan ayat (7), Pasal 22, Pasal 23 ayat (4), pasal 24 ayat (2), Pasal 26 ayat (2), Pasal 28, Pasal 30 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 31 ayat (2), Pasal 32, dan Lembaga Jasa Keuangan yang melanggar ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1), dapat dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan dan/atau pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau c. penurunan tingkat kesehatan. (2) Bank penyelenggara Laku Pandai yang melanggar ketentuan dalam Pasal 3 ayat (3) dikenakan sanksi administratif dengan mengacu pada ketentuan mengenai manajemen risiko. (3) Bank penyelenggara Laku Pandai yang melanggar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (1) dikenakan sanksi administratif dengan mengacu pada ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko teknologi informasi pada Bank. (4) Bank penyelenggara Laku Pandai yang melanggar ketentuan dalam Pasal 34 dikenakan sanksi administratif dengan mengacu pada ketentuan mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Pasal 43 (1) Bank yang dinyatakan terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dikenakan sanksi berupa peringatan tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dengan jumlah paling banyak sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). (2) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). (3) Dalam … - 23 - (3) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena dinyatakan tidak menyampaikan laporan, sanksi kewajiban membayar karena terlambat menyampaikan laporan tidak diberlakukan. (4) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan kewajiban penyampaian laporan. BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 44 (1) Bagi Bank yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan akan mengajukan permohonan persetujuan untuk menyelenggarakan Laku Pandai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dalam tahun 2015 namun belum mencantumkan rencana penyelenggaraan Laku Pandai dalam RBB, dapat mencantumkan rencana penyelenggaraan dalam revisi RBB. (2) Penyampaian revisi RBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperhitungkan sebagai penyampaian perubahan RBB yang hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai rencana bisnis bank. Pasal 45 Bank yang akan menyelenggarakan Laku Pandai sebelum tanggal 1 Maret 2015 dapat menyampaikan permohonan penyelenggaraan Laku Pandai kurang dari 60 (enam puluh) hari sebelum target waktu penyelenggaraan Laku Pandai. Pasal 46 Bank yang telah bekerjasama dengan Agen tertentu untuk menyediakan layanan atau jasa keuangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf d sebelum tanggal 1 Maret 2015 tidak wajib menetapkan Agen mulai dari klasifikasi paling sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4). BAB … BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 47 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 48 Ketentuan pelaksanaan di sektor jasa keuangan yang terkait dengan implementasi pelaksanaan Laku Pandai dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 49 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 18 November 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 19 November 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Salinan sesuai dengan aslinya REPUBLIK INDONESIA, Direktur HukumI Departemen Hukum, Ttd. JAS KEUANGAN YASONNA H. LAOLY TiniKustini LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 350 End of Page 24 PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 19/POJK.03/2014 TENTANG LAYANAN KEUANGAN TANPA KANTOR DALAM RANGKA KEUANGAN INKLUSIF I. UMUM Peranan industri perbankan dan industri jasa keuangan lainnya sangat penting dalam menunjang kegiatan dan pertumbuhan perekonomian di Indonesia. Dalam perkembangan terkini, masing-masing industri dituntut untuk meningkatkan dan memperluas akses layanan keuangannya, agar dapat memberikan manfaat lebih kepada segenap lapisan masyarakat Indonesia, khususnya kepada masyarakat yang belum mengenal, menggunakan, dan/atau mendapatkan layanan perbankan dan layanan keuangan lainnya. Terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab terbatasnya ketersediaan akses layanan perbankan dan layanan keuangan di Indonesia, antara lain: a. banyaknya wilayah Indonesia yang belum memiliki jaringan kantor layanan keuangan karena lokasi yang terpencil; b. biaya yang perlu dikeluarkan cukup besar dan/atau waktu yang lama dibutuhkan oleh masyarakat di daerah terpencil untuk menjangkau lokasi layanan keuangan; c. kompleksitas proses layanan perbankan dan layanan keuangan lainnya; d. rendahnya pengetahuan dan pemahaman mengenai produk dan layanan jasa keuangan; dan/atau e. masih rendahnya penghasilan sebagian masyarakat sehingga belum mampu untuk menabung. Perluasan akses layanan keuangan tentu sangat diperlukan bagi segenap lapisan masyarakat baik yang tinggal di daerah terpencil maupun yang berpenghasilan rendah. Dengan semakin inklusifnya layanan keuangan tersebut … - 2 - tersebut, diharapkan akan berdampak pada semakin banyaknya pihak yang terlibat selain pemerintah dan swasta juga masyarakat, yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sehingga kesejahteraan semakin merata di seluruh Indonesia, dan pada akhirnya dapat berperan dalam usaha pengentasan kemiskinan di Indonesia. Peranan industri jasa keuangan khususnya perbankan dalam mendorong perekonomian antara lain melalui fungsi intermediasi dengan menyalurkan kredit yang bersifat produktif dan/atau kredit lainnya kepada masyarakat secara menyeluruh. Menyadari pentingnya Keuangan Inklusif, pemerintah bersama pemangku kepentingan yang terkait termasuk dari industri keuangan telah menyusun Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) yang diterbitkan pada Juni 2012 dan disempurnakan pada Juni 2013. Strategi Nasional Keuangan Inklusif memiliki 6 (enam) pilar, yaitu: a. edukasi keuangan; b. fasilitas keuangan publik; c. pemetaan informasi keuangan; d. kebijakan atau peraturan pendukung; e. fasilitas intermediasi dan distribusi; dan f. perlindungan konsumen. Dalam mencapai tujuan akhir SNKI yaitu menciptakan sistem keuangan yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat dalam rangka mencapai kesejahteraan ekonomi, pemerintah tentunya harus mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Sehubungan dengan hal tersebut, Otoritas Jasa Keuangan bersama dengan Lembaga Jasa Keuangan akan berpartisipasi aktif dalam pilar edukasi keuangan, kebijakan atau peraturan pendukung, fasilitas intermediasi dan distribusi, serta perlindungan konsumen. Salah satu program dalam pilar SNKI tentang fasilitas intermediasi dan distribusi adalah penyediaan layanan keuangan tanpa kantor (branchless banking) yang antara lain dapat dilakukan melalui Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai). Melalui Laku Pandai, Lembaga Jasa Keuangan berperan penting untuk mendukung SNKI dalam rangka mewujudkan keuangan inklusif. Laku … - 3 - Laku Pandai yang memanfaatkan sarana teknologi informasi seperti telepon seluler, Electronic Data Capture (EDC) dan/atau internet banking yang mendukung layanan keuangan oleh Bank melalui Agen, diharapkan dapat menjangkau masyarakat di daerah terpencil. Dengan pemanfaatan sarana teknologi informasi tersebut, diharapkan juga dapat mengurangi biaya terkait untuk melakukan transaksi keuangan, sehingga dapat menjadi lebih murah bagi masyarakat. Selanjutnya, Laku Pandai akan menyediakan produk keuangan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat di daerah terpencil dan/atau berpenghasilan rendah, dengan karakteristik yang sederhana sehingga lebih mudah dipahami yang diiringi dengan kemudahan dalam pemrosesan dokumen permohonan dari calon nasabah. Dengan bertambahnya pengetahuan dan pemahaman mengenai layanan keuangan diharapkan dapat membantu peningkatan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pengelolaan keuangan. Pengelolaan keuangan yang lebih baik dapat meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan masyarakat. Apabila kesadaran ini sudah semakin meluas dan menguat pada setiap lapisan masyarakat, maka akan mendukung terwujudnya Keuangan Inklusif di Indonesia. Sehubungan dengan hal-hal tersebut dan dalam rangka pelaksanaan kegiatan Laku Pandai serta untuk memitigasi risiko yang mungkin timbul, perlu pengaturan tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif atau Laku Pandai dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat … - 4 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penerapan manajemen risiko mengacu pada ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko bagi Bank. Pasal 4 Huruf a Termasuk produk tabungan berdasarkan prinsip syariah dengan akad mudharabah dan/atau wadi’ah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Setoran mencakup setoran pada saat pembukaan rekening dan/atau setoran tunai selanjutnya. Huruf d Tanpa batas minimum saldo rekening berlaku setiap saat. Huruf e Batas maksimum saldo rekening dapat disesuaikan oleh Bank sesuai karakteristik kegiatan perekonomian dan kemampuan masyarakat di lokasi tempat penyelenggaraan Laku Pandai. Huruf … - 5 - Huruf f Pemindahbukuan adalah transaksi pemindahan dana ke rekening lain pada Bank yang sama. Transfer keluar adalah transaksi pemindahan dana dari rekening nasabah di Bank penyelenggara ke rekening nasabah di Bank lain. Bank dapat menetapkan batas maksimum transaksi debet rekening yang lebih sedikit dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dalam rangka menyesuaikan dengan antara lain karakteristik kegiatan perekonomian, kemampuan masyarakat, di lokasi tempat penyelenggaraan Laku Pandai. Huruf g Kelonggaran batas maksimum transaksi debet rekening dilakukan untuk memungkinkan tabungan dengan karakteristik BSA digunakan Bank untuk menyalurkan kredit atau pembiayaan untuk nasabah mikro pemilik tabungan tersebut. Huruf h Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Transaksi transfer masuk adalah transaksi pemindahan dana ke rekening nasabah di Bank penyelenggara dari rekening nasabah di Bank lain. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Huruf … - 6 - Huruf i Transfer keluar adalah transaksi pemindahan dana dari rekening nasabah di Bank penyelenggara ke rekening nasabah di Bank lain. Contoh transaksi pembayaran melalui rekening tabungan antara lain untuk pembayaran listrik, air, dan/atau telepon. Contoh biaya lainnya antara lain penggantian kartu rusak atau hilang. Huruf j Bunga tabungan dengan karakteristik BSA dapat diberikan secara bertingkat kepada nasabah, mulai dari saldo rekening Rp1,00 (satu rupiah) dengan suku bunga terendah paling sedikit sama dengan tingkat suku bunga terendah untuk tabungan reguler pada Bank. Bagi hasil tabungan di bank umum syariah berdasarkan akad mudharabah dengan karakteristik BSA diberikan berdasarkan nisbah bagi hasil yang merupakan kesepakatan bersama antara bank umum syariah dengan nasabah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening. Bonus tabungan di bank umum syariah berdasarkan akad wadi’ah dengan karakteristik BSA merupakan kebijakan internal Bank yang bersifat sukarela (tidak diperjanjikan di awal). Huruf k Cukup jelas. Ayat (3) Setiap nasabah yang memiliki tabungan dengan karakteristik BSA hanya dapat memiliki 1 (satu) rekening tabungan di Bank yang sama. Dalam hal nasabah sudah memiliki tabungan lain namun ingin memiliki tabungan dengan karakteristik BSA, maka tabungan lain tersebut harus ditutup terlebih dahulu. Ayat … - 7 - Ayat (4) Huruf a Penetapan nama produk merupakan kebijakan masing- masing Bank. Huruf b Bentuk bukti kepemilikan antara lain dapat berupa buku, hasil cetak, atau kartu penabung. Ayat (5) Huruf a Dalam hal konfirmasi atau persetujuan belum diberikan nasabah secara tertulis atau dilakukan melalui media elektronik, maka perlu diikuti dengan konfirmasi atau persetujuan secara tertulis. Huruf b Dalam hal persetujuan belum diberikan Bank secara tertulis atau dilakukan melalui media elektronik, maka perlu diikuti dengan konfirmasi atau persetujuan secara tertulis. Ayat (6) Transaksi tidak termasuk pengkreditan tabungan dengan karakteristik BSA karena bunga atau bagi hasil dari tabungan itu sendiri. Prosedur tindak lanjut untuk rekening tidur (dormant account) ditetapkan oleh Bank. Ayat (7) Penyediaan kartu ATM atau kartu debet kepada nasabah tabungan dengan karakteristik BSA dimaksudkan untuk meningkatkan layanan Bank sesuai dengan kebutuhan nasabah. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal … - 8 - Pasal 6 Ayat (1) Informasi tentang kelayakan dan kemampuan debitur dapat diperoleh dari sumber-sumber informasi di luar aktivitas rekening tabungan dengan karakteristik BSA. Kegiatan usaha yang bersifat produktif seperti modal kerja, investasi barang modal dan pendidikan. Kegiatan lain antara lain biaya melahirkan, biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman. Ayat (2) Jangka waktu kredit atau pembiayaan antara lain mempertimbangkan analisis mengenai rencana pengembangan kegiatan usaha yang diajukan calon debitur, kondisi/karakteristik usaha calon debitur dan/atau informasi dari pendamping, kelompok nasabah, dinas atau instansi terkait. Contoh siklus usaha lebih dari 1 (satu) tahun antara lain ternak sapi, tanaman kayu, dan tanaman kopi. Nominal kredit atau pembiayaan ditetapkan Bank antara lain dengan mempertimbangkan analisis permohonan calon debitur terkait karakter, kewajaran pembiayaan yang dibutuhkan, kemampuan pengembalian kredit atau pembiayaan, dan/atau informasi lain dari pendamping, kelompok nasabah, dinas atau instansi terkait, tanpa mengutamakan keberadaan agunan sebagai jaminan tambahan. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf … - 9 - Huruf b Contoh penyedia kebutuhan usaha debitur antara lain penyedia pupuk dan/atau benih yang diperlukan debitur untuk kegiatan tanam padi. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Penilaian peringkat profil risiko, tingkat risiko operasional dan risiko kepatuhan mengacu pada antara lain ketentuan mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum atau penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah dan unit usaha syariah. Penilaian peringkat profil risiko, tingkat risiko operasional dan risiko kepatuhan yang digunakan adalah hasil penilaian oleh Otoritas Jasa Keuangan. Huruf c Wilayah Indonesia Timur dan/atau provinsi Nusa Tenggara Timur adalah provinsi yang memerlukan Laku Pandai berdasarkan perbandingan dengan provinsi lain dengan menggunakan parameter kecukupan jaringan kantor Bank, persentase daerah tertinggal dan penduduk miskin, dan kondisi tertentu lainnya. Wilayah Indonesia Timur mengacu kepada pembagian wilayah Indonesia berdasarkan zona waktu, meliputi provinsi Papua, Papua Barat, Maluku dan Maluku Utara. Huruf … - 10 - Huruf d Layanan mencakup layanan untuk memperoleh informasi, melakukan komunikasi dan melaksanakan transaksi perbankan melalui media elektronik. Yang dimaksud dengan “SMS banking” adalah layanan informasi atau transaksi perbankan yang dapat diakses langsung melalui telepon seluler dengan menggunakan media SMS, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti bank umum. Yang dimaksud dengan “mobile banking” adalah layanan untuk melakukan transaksi perbankan melalui telepon seluler, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti. Yang dimaksud dengan “internet banking” adalah layanan untuk melakukan transaksi perbankan melalui jaringan internet, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti. Yang dimaksud dengan “host to host” adalah sistem elektronik terenkripsi yang terhubung secara dua arah dan real time online diantara dua institusi yang melakukan kerjasama. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 11 Pengaturan ini dimaksudkan untuk mendukung peran Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dan Bank yang berkantor pusat di luar provinsi DKI Jakarta dalam meningkatkan layanan keuangan, pengembangan pembangunan ekonomi, dan pengentasan kemiskinan di daerahnya. Huruf … - 11 - Huruf a Yang dimaksud dengan “Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah” adalah Bank yang sahamnya mayoritas dimiliki oleh Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, dan/atau Pemerintah Kota. Huruf b Cukup jelas. Pasal 12 Huruf a Yang dimaksud dengan “modal inti” adalah modal inti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai KPMM dan pemenuhan modal inti BPR atau KPMM untuk BPRS. Huruf b Peringkat tingkat kesehatan mengacu kepada ketentuan yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan BPR atau BPRS. Huruf c Yang dimaksud dengan “NPL” adalah perbandingan kredit non lancar sebelum dikurangi Penyisihan Pengurangan Aset Produktif (PPAP) terhadap total kredit. Yang dimaksud dengan “NPF” adalah perbandingan pembiayaan non lancar sebelum dikurangi PPAP terhadap total pembiayaan. Huruf d Yang dimaksud dengan “Rasio KPMM” adalah rasio KPMM sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai KPMM dan pemenuhan modal inti BPR atau KPMM untuk BPRS. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan “pelanggaran ketentuan BPR atau BPRS tertentu” antara lain pelanggaran: 1. kewajiban … - 12 - 1. kewajiban persyaratan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris meliputi jumlah, rangkap jabatan, dan hubungan keluarga; 2. kewajiban memiliki paling sedikit 1 (satu) pemegang saham dengan persentase kepemilikan saham tertentu; dan/atau 3. kewajiban pemenuhan modal inti minimum. Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “BUKU 1” adalah kelompok Bank BUKU 1 sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti bank umum. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “RBB” adalah rencana bisnis bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai rencana bisnis bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 15 Yang dimaksud dengan pertimbangan tertentu antara lain ketidaksesuaian dengan karakteristik bisnis Bank, ketidaksiapan kompetensi sumber daya manusia di Bank, ditengarai akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat, dapat membahayakan atau menimbulkan risiko yang tinggi bagi Bank, dan/atau tidak sejalan dengan kepentingan nasional. Pasal … - 13 - Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Termasuk sebagai Agen perorangan antara lain pimpinan/orang di dalam: 1. perusahaan tidak berbadan hukum seperti CV atau Firma; 2. organisasi informal seperti Gabungan Kelompok Tani; dan 3. sekolah termasuk pondok pesantren. Huruf b Agen berbadan hukum antara lain Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, atau Koperasi. Pasal 17 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Contoh kegiatan tetap lainnya antara lain guru atau pensiunan. Huruf d Contoh: Agen dari satu Bank konvensional penyelenggara Laku Pandai tidak dapat menjadi Agen dari Bank konvensional penyelenggara Laku Pandai yang lain. Huruf e Cukup jelas. Pasal 18 Huruf a Angka 1 Contoh badan hukum antara lain PT POS Indonesia, PT Pegadaian (Persero), koperasi, dan pegadaian. Angka … - 14 - Angka 2 Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “pemindahbukuan” adalah pemindahan dana dari satu rekening ke rekening lain pada Bank yang sama. Yang dimaksud dengan “transfer dana” adalah kegiatan pemindahan dana dari dan/atau ke rekening nasabah di Bank penyelenggara ke dan/atau dari rekening nasabah di Bank lain. Kegiatan pengecekan saldo dapat termasuk pengecekan beberapa mutasi transaksi terakhir baik menggunakan electronic device atau instrument dan/atau hasil printout. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf … - 15 - Huruf d Ketentuan yang berlaku termasuk ketentuan mengenai sistem pembayaran. Contoh layanan atau jasa keuangan lain seperti asuransi mikro dan layanan keuangan digital. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Contoh pengaturan dalam kebijakan Bank: a. Pengklasifikasian Agen berdasarkan kemampuan antara lain: 1. perbedaan tingkat kemampuan memahami produk- produk Bank; 2. perbedaan tingkat kemampuan keuangan, dan menyediakan sejumlah deposit dan/atau jaminan yang ditempatkan pada Bank untuk kegiatan pelayanan oleh Agen. b. Pengklasifikasian Agen berdasarkan jangka waktu kerjasama yang telah dilakukan dengan Bank misalnya: 1. klasifikasi A apabila Agen baru akan memulai kerjasama dengan Bank penyelenggara; dan 2. klasifikasi G apabila Agen telah melakukan kerjasama dengan Bank penyelenggara paling singkat 2 (dua) tahun. Ayat (7) Kondisi tertentu antara lain jumlah deposit yang ditempatkan Agen pada Bank, kemampuan keuangan dan kinerja Agen, serta kondisi ekonomi masyarakat di sekitar lokasi Agen. Ayat (8) Penetapan oleh Bank dapat berbeda antara 1 (satu) Agen dengan Agen lainnya. Pasal … - 16 - Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Dalam menjual produk asuransi mikro yang berdasarkan perjanjian kerjasama antara Agen dengan perusahaan asuransi dan/atau perusahaan asuransi syariah, Agen perorangan dan/atau Agen berbadan hukum bertindak sebagai pemasar asuransi mikro bukan sebagai Agen Laku Pandai. Ayat (2) Contoh produk keuangan lainnya adalah uang elektronik (e- money) melalui layanan keuangan digital. Contoh jasa keuangan lainnya adalah penyelenggaraan transfer dana oleh Agen berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai transfer dana. Pasal 22 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pertimbangan tertentu antara lain: 1. kemampuan keuangan Agen; 2. perkiraan aktivitas transaksi sesuai karakteristik masyarakat di sekitar lokasi Agen; dan 3. klasifikasi Agen. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf … - 17 - Huruf g Bank dalam melakukan pemantauan termasuk melakukan pengecekan ke lokasi Agen untuk memastikan kesesuaian penyediaan layanan oleh Agen dengan klasifikasi Agen dan cakupan layanan dalam perjanjian kerjasama. Frekuensi pemantauan dan pengawasan secara langsung ditetapkan oleh Bank dengan mempertimbangkan antara lain faktor keamanan, keyakinan terhadap kredibilitas dan integritas Agen, hasil analisis pemantauan transaksi Agen, dan perkembangan kegiatan usaha Agen dan jumlah deposit. Huruf h Pelanggaran antara lain: 1. tidak mematuhi perjanjian kerjasama, 2. melakukan layanan yang tidak termasuk dalam perjanjian kerjasama, dan 3. melakukan penyimpangan. Huruf i Edukasi dan pelatihan mencakup antara lain: 1. manfaat, biaya, dan risiko terkait produk Laku Pandai; 2. prosedur operasi kerja termasuk tata cara penggunaan electronic device; dan 3. prosedur Customer Due Diligence (CDD). Huruf j Cukup jelas. Huruf k Contoh kondisi tertentu antara lain terjadi bencana alam di tempat kedudukan Agen, kegagalan sistem aplikasi Bank pada electronic device Agen, atau Agen meninggal dunia. Ayat (2) Huruf a Contoh hak dan kewajiban Bank antara lain menerima laporan dari Agen, melakukan edukasi dan pelatihan kepada Agen. Contoh … - 18 - Contoh hak dan kewajiban Agen antara lain menerima pembayaran fee dari Bank, menjaga kerahasiaan data nasabah, dan menyampaikan laporan kepada Bank. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Yang dimaksud dengan jenis “kegiatan usaha” Bank adalah bank konvensional atau bank syariah. Ayat (2) Analisis Bank penyelenggara mencakup antara lain kemampuan keuangan dan kecukupan infrastruktur pendukung operasional Agen berbadan hukum yang telah bekerjasama dengan Bank lain. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat … - 19 - Ayat (4) Dokumen pendukung antara lain hasil analisis Bank yang menunjukkan bahwa Agen berbadan hukum masih dapat memberikan pelayanan dengan baik dan bukti persetujuan dari Bank lain yang telah bekerjasama sebelumnya dengan Agen berbadan hukum tersebut. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Di seluruh wilayah Indonesia termasuk Ibukota Negara, Ibukota Provinsi, Ibukota Kabupaten, dan/atau Kota. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ketersediaan layanan keuangan yang belum memadai dalam lokasi tempat kedudukan calon Agen dapat dilihat antara lain dari perbandingan antara jumlah nasabah Bank dengan jumlah penduduk dan tingkat kepadatan keberadaan jaringan kantor Bank. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Pertimbangan tertentu antara lain kondisi wilayah operasional, kemampuan Agen, budaya dan tingkat pemahaman teknologi masyarakat, serta electronic device atau instrument yang dimiliki atau dapat digunakan oleh nasabah dalam bertransaksi. Contoh … - 20 - Contoh electronic device antara lain komputer, laptop, telepon selular (handphone), dan/atau Electronic Data Capture (EDC). Contoh instrument antara lain kartu ATM. Ayat (2) Sistem aplikasi dalam penyelenggaraan Laku Pandai merupakan sistem untuk kepentingan pelayanan nasabah dan pemantauan Agen oleh Bank. Pelayanan nasabah termasuk proses pembukaan dan penutupan rekening tabungan dengan karakteristik BSA. Kepentingan pemantauan antara lain untuk rekapitulasi transaksi pada akhir hari. Pasal 27 Ayat (1) Transaksi meliputi antara lain penyetoran dan penarikan tunai, pemindahbukuan, pembayaran, transfer dana, pengecekan saldo, dan/atau penyetoran hasil penagihan atau penerimaan pembayaran angsuran atau pelunasan pokok. Ayat (2) Contoh bukti transaksi antara lain buku tabungan, lembar statement, SMS notifikasi atau lembar print out bukti transaksi. Pasal 28 Yang termasuk pihak lain yang terkait dengan teknologi informasi dan komunikasi antara lain perusahaan penyedia jasa teknologi informasi dan/atau perusahaan telekomunikasi. Pasal 29 Interoperability adalah: a. kemampuan perangkat lunak atau perangkat keras pada berbagai jenis mesin dari banyak vendor untuk saling berkomunikasi; b. kemampuan untuk saling bertukar dan menggunakan informasi (biasanya dalam suatu jaringan besar yang terdiri beberapa jaringan lokal yang bervariasi). Pasal … - 21 - Pasal 30 Ayat (1) Prosedur CDD perlu dilakukan dalam rangka mengendalikan risiko terhadap potensi terjadinya pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme. Mengingat Laku Pandai merupakan salah satu dari program SNKI dan hanya melayani transaksi dalam jumlah kecil maka prosedur CDD dapat disederhanakan. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “PEP” adalah orang yang memiliki atau pernah memiliki kewenangan publik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “dokumen identitas” adalah Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Surat Izin Mengemudi (SIM). Yang dimaksud dengan “dokumen lainnya sebagai pengganti dokumen identitas” antara lain: a. kartu pengenal yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti kartu peserta program yang dikeluarkan oleh pemerintah; b. dokumen identitas dan surat referensi dari nasabah lain yang mengenal profil calon nasabah; c. surat keterangan dari kelurahan atau kepala desa dimana calon nasabah berdomisili; atau d. kartu tanda pelajar bagi calon nasabah yang belum memenuhi syarat untuk memiliki KTP disertai dengan dokumen … - 22 - dokumen identitas dan surat persetujuan dari orang tua atau pihak lain yang bertanggung jawab terhadap calon nasabah tersebut. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Prosedur CDD dapat dilaksanakan di kantor Bank dan/atau lokasi Agen. Pasal 33 Ayat (1) Prinsip-prinsip pengendalian pengamanan data nasabah dan transaksi e-banking pada sistem elektronik mencakup: a. kerahasiaan (confidentiality); b. integritas (integrity); c. ketersediaan (availability); d. keaslian (authentication); e. tidak dapat diingkari (non repudiation); f. pengendalian otorisasi dalam sistem, database, dan aplikasi (authorisation of control); g. pemisahan tugas dan tanggung jawab (segregation of duties); dan h. pemeliharaan jejak audit (maintenance of audit trails). Ayat (2) Contoh faktor keaslian (factor authentication) yaitu what you know (apa yang anda tahu), menunjukkan antara lain Personal Identification Number (PIN) dan password, what you have (apa yang anda punya), menunjukkan antara lain kartu magnetis, kartu ber-chip, token, digital signature, dan something you are (ciri khas anda) menunjukkan antara lain biometric, sidik jari, dan retina. Ayat … - 23 - Ayat (3) Yang dimaksud dengan “messaging security” dan “end to end encryption” adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi bagi Bank. Pasal 34 Ayat (1) Prinsip perlindungan konsumen mencakup: a. transparansi; b. perlakuan yang adil; c. keandalan; d. kerahasiaan dan keamanan data/informasi konsumen; e. penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau. Ayat (2) Ketentuan yang berlaku antara lain ketentuan mengenai perlindungan konsumen. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Laporan perkembangan penyelenggaraan Laku Pandai antara lain memuat: a. data kuantitatif terkait produk dan kegiatan; b. data penolakan pembukaan rekening dan transaksi; c. data Agen berdasarkan klasifikasi dan perkembangannya; d. data pelanggaran yang dilakukan oleh Agen; dan e. informasi kendala dan tindak lanjut. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat … - 24 - Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pertimbangan tertentu antara lain: a. Agen berupa badan hukum dalam proses menuju likuidasi atau dipailitkan oleh pengadilan, dan/atau b. terdapat pelanggaran terhadap ketentuan rahasia Bank dan/atau kewajiban merahasiakan data pribadi nasabah. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal … - 25 - Pasal 47 Hal-hal yang akan diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan antara lain: a. teknis pelaksanaan karakteristik tabungan dengan BSA; b. dokumen pendukung untuk pengajuan permohonan penyelenggaraan Laku Pandai; c. prosedur dan mekanisme kerjasama Bank dengan Agen, serta teknis penyelenggaraan Laku Pandai oleh Agen; d. format laporan perkembangan pelaksanaan kegiatan Laku Pandai; e. pemenuhan kewajiban Bank secara bertahap dalam penyaluran kredit atau pembiayaan produktif kepada nasabah mikro. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5628
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 19/POJK.03/2014 </reg_id> <reg_title> LAYANAN KEUANGAN TANPA KANTOR DALAM RANGKA KEUANGAN INKLUSIF </reg_title> <set_date> 18 November 2014 </set_date> <effective_date> 19 November 2014 </effective_date> <issued_date> 19 November 2014 </issued_date> <related_reg> '40/UU/2014', '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 32 /POJK.03/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 6/POJK.03/2015 TENTANG TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan disiplin pasar (market discipline) dan sejalan dengan perkembangan standar internasional, perlu melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai transparansi dan publikasi laporan Bank; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.03/2015 tentang Transparansi dan Publikasi Laporan Bank; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); - 2 - 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 4. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.03/2015 tentang Transparansi dan Publikasi Laporan Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5687); 5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 42/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas (Liquidity Coverage Ratio) bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 369, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5809); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 6/POJK.03/2015 TENTANG TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.03/2015 tentang Transparansi dan Publikasi Laporan Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5687) diubah sebagai berikut: - 3 - 1. Ketentuan ayat (2) Pasal 3 diubah sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Laporan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas: a. Laporan Publikasi Bulanan; b. Laporan Publikasi Triwulanan; c. Laporan Publikasi Tahunan; dan d. Laporan Publikasi Lain. (2) Kelengkapan dan kebenaran isi Laporan Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris Bank. 2. Ketentuan ayat (3) Pasal 11 diubah sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 (1) Bank wajib menyampaikan Laporan Publikasi Bulanan secara online melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam hal penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dapat dilakukan, Bank wajib menyampaikan Laporan Publikasi Bulanan secara online melalui sistem Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU). (3) Penyampaian Laporan Publikasi Bulanan secara online melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan atau sistem LKPBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai tata cara, format, dan jangka waktu dalam ketentuan mengenai sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan atau LKPBU. - 4 - 3. Ketentuan ayat (1) dan ayat (3) Pasal 13 diubah sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Laporan Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) meliputi: a. b. c. laporan keuangan; informasi kinerja keuangan; informasi susunan dan komposisi Pemegang Saham, susunan Direksi dan Dewan Komisaris serta susunan Dewan Pengawas Syariah bagi Bank Umum Syariah; dan d. informasi lain yang ditentukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. Laporan Posisi Keuangan (Neraca); b. Laporan Laba Rugi dan Penghasilan Komprehensif Lain; dan c. Laporan Komitmen dan Kontinjensi. (3) Informasi kinerja keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM); b. jumlah dan kualitas aset produktif serta Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN); c. rasio keuangan Bank; dan d. transaksi spot dan transaksi derivatif. (4) Jumlah dan kualitas aset produktif serta CKPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, dikelompokkan berdasarkan informasi: a. instrumen keuangan; b. penyediaan dana kepada Pihak Terkait; c. kredit atau pembiayaan kepada debitur atau nasabah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM); - 5 - d. kredit atau pembiayaan yang memerlukan perhatian khusus; dan e. Penyisihan Penghapusan Aset (PPA) yang wajib dibentuk berdasarkan instrumen keuangan. 4. Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 13A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13A Bank wajib menambahkan informasi kuantitatif eksposur risiko yang dihadapi Bank pada Laporan Publikasi Triwulanan posisi akhir bulan Juni. 5. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan BUKU 4, wajib menambahkan informasi mengenai pengungkapan permodalan sesuai kerangka Basel pada Laporan Publikasi Triwulanan. (2) Pengungkapan permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit meliputi: a. Perhitungan Permodalan; b. Rekonsiliasi Permodalan; dan c. Rincian Fitur Instrumen Permodalan. 6. Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 15A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15A (1) Bank yang diwajibkan menyusun dan mempublikasikan laporan rasio kecukupan likuiditas (liquidity coverage ratio), yang selanjutnya disingkat LCR, sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kewajiban pemenuhan rasio kecukupan likuiditas (liquidity coverage ratio) - 6 - bagi Bank Umum, wajib menambahkan informasi mengenai pengungkapan LCR pada Laporan Publikasi Triwulanan. (2) Pengungkapan mengenai LCR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. informasi kuantitatif berupa perhitungan dan nilai LCR; dan b. informasi kualitatif yang menjelaskan perhitungan dan nilai LCR sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (3) Format pengungkapan mengenai LCR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan mengenai transparansi dan publikasi laporan bank umum konvensional. 7. Ketentuan ayat (2) dan ayat (5) Pasal 18 diubah sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 (1) Bank wajib mengumumkan Laporan Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 17 pada: a. paling sedikit 1 (satu) surat kabar harian cetak berbahasa Indonesia yang memiliki peredaran luas di tempat kedudukan kantor pusat Bank atau di tempat kedudukan kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri; dan b. Situs Web Bank. (2) Bank wajib mengumumkan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, Pasal 15, dan Pasal 15A pada Situs Web Bank. (3) Pengumuman Laporan Publikasi Triwulanan pada surat kabar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditandatangani paling sedikit oleh Direktur Utama dan 1 (satu) orang anggota Direksi Bank. - 7 - (4) Dalam hal Direktur Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhalangan, anggota Direksi lain yang menjalankan fungsi sebagai Direktur Utama menandatangani Laporan Publikasi Triwulanan. (5) Bank wajib memelihara pengumuman Laporan Publikasi Triwulanan pada Situs Web Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) paling sedikit untuk 5 (lima) Tahun Buku terakhir. (6) Bank wajib mencantumkan nama Kantor Akuntan Publik yang melakukan audit laporan keuangan tahunan berikut nama Akuntan Publik yang bertanggung jawab dalam audit (partner in charge) disertai dengan opini yang diberikan pada pengumuman Laporan Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk posisi akhir bulan Desember. 8. Ketentuan ayat (3) Pasal 20 diubah sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 (1) Bank wajib menyampaikan Laporan Publikasi Triwulanan secara online melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam hal penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dapat dilakukan, Bank wajib menyampaikan Laporan Publikasi Triwulanan secara online melalui sistem Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU). (3) Penyampaian Laporan Publikasi Triwulanan secara online melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan atau sistem LKPBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai tata cara, format, dan jangka waktu dalam ketentuan mengenai sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan atau LKPBU. - 8 - 9. Ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) Pasal 24 diubah serta ditambahkan 2 (dua) ayat baru, yakni ayat (5) dan ayat (6) sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 (1) Laporan Publikasi Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 paling sedikit meliputi: a. b. c. informasi umum; laporan keuangan; informasi kinerja keuangan; d. pengungkapan permodalan dan praktik manajemen risiko yang diterapkan Bank, paling sedikit meliputi uraian jenis risiko, potensi kerugian yang dihadapi Bank, dan mitigasi risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai permodalan dan manajemen risiko; e. pengungkapan lain sebagaimana diatur dalam standar akuntansi keuangan; dan f. informasi lain yang ditentukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Informasi umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit terdiri atas: a. susunan Direksi, Dewan Komisaris, dan Pejabat Eksekutif Bank serta susunan Dewan Pengawas Syariah bagi Bank Umum Syariah; b. susunan dan komposisi Pemegang Saham; c. perkembangan usaha Bank dan kelompok usaha Bank termasuk apabila ada pengembangan usaha Unit Usaha Syariah (UUS); d. strategi dan kebijakan yang ditetapkan oleh manajemen Bank, termasuk untuk UUS apabila Bank memiliki UUS; dan e. laporan manajemen yang memuat informasi mengenai pengelolaan Bank, termasuk untuk UUS apabila Bank memiliki UUS. - 9 - (3) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit terdiri atas: a. Laporan Posisi Keuangan (Neraca); b. Laporan Laba Rugi dan Penghasilan Komprehensif Lain; c. Laporan Perubahan Ekuitas; d. Laporan Arus Kas; dan e. Catatan atas Laporan Keuangan, termasuk informasi mengenai komitmen dan kontinjensi. (4) Informasi kinerja keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas: a. perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM); b. jumlah dan kualitas aset produktif serta Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN), yang paling sedikit memberikan informasi pengelompokan: 1) instrumen keuangan; 2) penyediaan dana kepada Pihak Terkait; 3) kredit atau pembiayaan kepada debitur atau nasabah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM); 4) kredit atau pembiayaan yang memerlukan perhatian khusus; dan 5) Penyisihan Penghapusan Aset (PPA) yang wajib dibentuk berdasarkan instrumen keuangan. c. rasio keuangan Bank; dan d. transaksi spot dan transaksi derivatif. (5) Pengungkapan eksposur risiko dan hal terkait lainnya yang diterapkan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d wajib diumumkan dalam Situs Web Bank secara triwulanan, dalam hal terdapat perubahan informasi yang cenderung bersifat cepat (prone to rapid change). - 10 - (6) Tata cara pelaporan serta sanksi terhadap pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) mengacu pada tata cara pelaporan serta sanksi atas Laporan Publikasi Triwulanan. 10. Ketentuan huruf e Pasal 26 diubah dan ditambahkan 1 (satu) huruf baru, yakni huruf f sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 Bank yang merupakan bagian dari suatu kelompok usaha dan/atau memiliki Entitas Anak, wajib menambahkan Laporan Publikasi Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dengan informasi yang paling sedikit meliputi: a. Struktur kelompok usaha Bank; b. Transaksi antara Bank dengan Pihak-Pihak Berelasi; c. Transaksi dengan Pihak-Pihak Berelasi yang dilakukan oleh setiap entitas dalam kelompok usaha Bank yang bergerak di bidang keuangan; d. Penyediaan dana, komitmen, dan fasilitas lain yang dapat dipersamakan dengan itu dari setiap entitas yang berada dalam satu kelompok usaha dengan Bank kepada debitur dan/atau pihak-pihak yang telah memperoleh penyediaan dana dari Bank; e. Pengungkapan secara konsolidasi mengenai permodalan dan praktik manajemen risiko yang diterapkan Bank, paling sedikit meliputi uraian jenis risiko, potensi kerugian yang dihadapi Bank, dan mitigasi risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai permodalan dan manajemen risiko; dan f. Adanya larangan, batasan dan/atau hambatan signifikan lainnya untuk melakukan transfer dana atau dalam rangka pemenuhan modal yang dipersyaratkan oleh Otoritas (regulatory capital) antara Bank dengan entitas lain dalam satu kelompok usaha. - 11 - 11. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 (1) Laporan Publikasi Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d meliputi: a. Laporan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK); b. Laporan Informasi dan/atau Fakta Material; dan; c. Laporan publikasi lainnya, apabila diperlukan oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan industri perbankan. (2) Bank mengumumkan laporan publikasi lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c secara berkala sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. 12. Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 34A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34A (1) Bank wajib: a. mengumumkan Laporan Informasi dan/atau Fakta Material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b paling sedikit pada Situs Web Bank; dan b. menyampaikan Laporan Informasi dan/atau Fakta Material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b kepada Otoritas Jasa Keuangan, dengan segera dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah adanya informasi dan/atau fakta material, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan. - 12 - (2) Penyampaian Laporan Informasi dan/atau Fakta Material sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditandatangani paling sedikit oleh Direktur Utama dan 1 (satu) orang anggota Direksi Bank. (3) Dalam hal Direktur Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhalangan, anggota Direksi lain yang menjalankan fungsi sebagai Direktur Utama menandatangani Laporan Informasi dan/atau Fakta Material. 13. Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 1 (satu) pasal yang berisi penjelasan atas Pasal 10 ayat (1) huruf d Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 42/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas (Liquidity Coverage Ratio) bagi Bank Umum, yakni Pasal 36A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36A Surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan Bank Indonesia dalam valuta asing yang dapat diperhitungkan sebagai High Quality Liquid Asset (HQLA) Level 1 paling tinggi sebesar kebutuhan arus kas keluar bersih (net cash outflow) dalam valuta asing dimaksud. 14. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 44 diubah serta ditambahkan 1 (satu) ayat baru, yakni ayat (3) sehingga Pasal 44 berbunyi sebagai berikut: Pasal 44 (1) Bank yang terlambat mengumumkan Laporan SBDK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), dikenakan sanksi berupa denda Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari. sebesar - 13 - (2) Bank yang tidak mengumumkan Laporan SBDK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3), dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (3) Bank yang: a. tidak mengumumkan informasi dan/atau fakta material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34A ayat (1) huruf a; dan/atau b. tidak menyampaikan informasi dan/atau fakta material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34A ayat (1) huruf b dan ayat (2), dikenakan sanksi berupa: 1) teguran tertulis; 2) penurunan tingkat kesehatan Bank; 3) pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau 4) pencantuman Pemegang Saham, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau Pejabat Eksekutif Bank dalam daftar pihak-pihak yang dilarang menjadi: a) Pemegang Saham Pengendali atau pemilik Bank; dan/atau b) anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau Pejabat Eksekutif Bank. 15. Di antara Pasal 48 dan Pasal 49 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 48A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48A (1) Kewajiban pengungkapan informasi kuantitatif eksposur risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, pertama kali dilakukan untuk laporan posisi akhir bulan Juni 2017. (2) Kewajiban pengungkapan informasi kuantitatif dan kualitatif LCR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15A, pertama kali dilakukan untuk laporan posisi akhir bulan September 2016. - 14 - 16. Di antara Pasal 51 dan Pasal 52 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 51A dan Pasal 51B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51A Pasal 58 ayat (2) dan Lampiran III Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 42/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas (Liquidity Coverage Ratio) bagi Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak laporan posisi akhir bulan September 2016. Pasal 51B Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, seluruh ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 42/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas (Liquidity Coverage Ratio) bagi Bank Umum dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 15 - Pasal II Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Agustus 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 170 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 32 /POJK.03/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 6/POJK.03/2015 TENTANG TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK I. UMUM Sejalan dengan perkembangan penerapan kerangka Basel, Bank dituntut untuk mengungkapkan jenis risiko dan potensi kerugian (risk exposures), praktik manajemen risiko yang diterapkan oleh Bank, serta komponen permodalan yang lebih rinci secara tepat waktu dan lengkap. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan penyempurnaan terhadap ketentuan transparansi dan publikasi laporan Bank antara lain penambahan cakupan laporan, frekuensi pengungkapan eksposur risiko dan penerapan manajemen risiko serta penyesuaian komponen permodalan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 3 Cukup jelas. - 2 - Angka 2 Pasal 11 Ayat (1) Kewajiban penyampaian Laporan Publikasi Bulanan secara online melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan dilaksanakan setelah sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan tersedia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 13 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 13A Cukup jelas. Angka 5 Pasal 15 Ayat (1) Pengungkapan permodalan sesuai kerangka Basel antara lain mengacu pada dokumen Composition of Capital Disclosure Requirements yang diterbitkan oleh Basel Committee on Banking Supervision. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 6 Pasal 15A Ayat (1) Pengungkapan LCR mengacu pada dokumen Liquidity Coverage Ratio Disclosure Standards yang diterbitkan oleh Basel Committee on Banking Supervision. - 3 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 7 Pasal 18 Ayat (1) Huruf a Pengumuman pada surat kabar harian cetak berbahasa Indonesia yang memiliki peredaran luas dimaksudkan agar informasi dalam Laporan Publikasi Triwulanan dapat diketahui oleh masyarakat. Yang dimaksud dengan “surat kabar harian cetak berbahasa Indonesia yang memiliki peredaran luas” adalah: 1. paling sedikit surat kabar yang memiliki peredaran secara nasional bagi Bank yang: a) berkantor pusat di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang atau Bekasi; b) berkantor pusat di luar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang atau Bekasi, namun memiliki cabang di luar wilayah kantor pusatnya; atau c) telah melakukan penawaran umum Efek Bersifat Utang dan/atau Efek Bersifat Ekuitas; 2. paling sedikit surat kabar lokal yang memiliki peredaran luas di suatu daerah, khususnya bagi Bank yang berkantor pusat di luar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang atau Bekasi, dan tidak memiliki cabang di luar wilayah kantor pusatnya. Huruf b Yang dimaksud dengan ”Situs Web Bank” adalah Situs Web berdomain Indonesia yang bukan - 4 - merupakan bagian dari Situs Web Entitas Induk atau kelompok usaha Bank. Pengumuman laporan pada Situs Web Bank ditempatkan pada halaman yang mudah diakses, misalnya dengan memberikan tautan khusus untuk laporan publikasi pada halaman depan Situs Web Bank. Format laporan publikasi dalam bentuk yang memungkinkan bagi pengguna untuk diolah lebih lanjut, dengan tetap memperhatikan aspek keamanan data. Ayat (2) Pengumuman informasi pada Situs Web Bank ditempatkan dalam tautan khusus, misalnya dengan judul: 1. “Informasi kuantitatif eksposur risiko” untuk pengungkapan informasi kuantitatif eksposur risiko yang dihadapi Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A. 2. “Pengungkapan Permodalan sesuai kerangka Basel” untuk pengungkapan permodalan 3. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. “Liquidity Coverage Ratio (LCR)” untuk pengungkapan LCR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15A. Ayat (3) Penandatanganan oleh anggota Direksi Bank dilakukan dengan mencantumkan nama secara jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “fungsi sebagai Direktur Utama” adalah fungsi yang dijalankan oleh anggota Direksi, baik karena fungsi tersebut sudah tercantum dalam Anggaran Dasar Bank, surat kuasa khusus untuk menjalankan fungsi tersebut, atau dokumen lain yang sesuai peraturan perundang-undangan. - 5 - Ayat (5) Contoh: Pada tanggal 31 Maret 2020, di Situs Web Bank wajib dipelihara Laporan Publikasi Triwulanan paling sedikit sejak periode akhir bulan Maret 2015. Ketentuan ini tidak berlaku bagi Bank yang baru beroperasi atau Bank baru yang merupakan hasil penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi), pemisahan (spin off), atau konversi kurang dari 5 (lima) tahun. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 8 Pasal 20 Ayat (1) Kewajiban penyampaian Laporan Publikasi Triwulanan secara online melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan dilaksanakan setelah sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan tersedia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 9 Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. - 6 - Ayat (5) Yang dimaksud dengan “hal terkait lainnya” antara lain ringkasan umum dari kebijakan dan sasaran penerapan manajemen risiko, serta sistem pelaporan manajemen risiko yang digunakan. Perubahan informasi yang cenderung bersifat cepat (prone to rapid change) antara lain terkait perubahan kondisi ekonomi, teknologi, regulasi, dan kebijakan intern Bank/kelompok usaha. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 10 Pasal 26 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Transaksi dengan Pihak-Pihak Berelasi adalah sebagaimana dimaksud dalam standar akuntansi keuangan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Angka 11 Pasal 33 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “Laporan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK)” adalah laporan yang menyajikan perhitungan suku bunga dasar kredit yang antara lain mencakup harga pokok dana - 7 - untuk kredit (HPDK), biaya overhead, dan marjin keuntungan (profit margin) yang ditetapkan Bank dalam kegiatan perkreditan. Huruf b Yang dimaksud dengan “Laporan Informasi dan/atau Fakta Material” adalah laporan yang memuat informasi dan/atau fakta penting dan relevan mengenai peristiwa, kejadian, atau fakta yang dapat mempengaruhi keputusan pihak-pihak yang berkepentingan atas informasi dan/atau fakta dimaksud. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 12 Pasal 34A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penandatanganan oleh anggota Direksi Bank dilakukan dengan mencantumkan nama secara jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “fungsi sebagai Direktur Utama” adalah fungsi yang dijalankan oleh anggota Direksi, baik karena fungsi tersebut sudah tercantum dalam Anggaran Dasar Bank, surat kuasa khusus untuk menjalankan fungsi tersebut, atau dokumen lain yang sesuai peraturan perundang-undangan. Angka 13 Pasal 36A Cukup jelas. - 8 - Angka 14 Pasal 44 Cukup jelas. Angka 15 Pasal 48A Cukup jelas. Angka 16 Pasal 51A Cukup jelas. Pasal 51B Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5917
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 32/POJK.03/2016 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 6/POJK.03/2015 TENTANG TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK </reg_title> <set_date> 8 Agustus 2016 </set_date> <effective_date> 12 Agustus 2016 </effective_date> <issued_date> 12 Agustus 2016 </issued_date> <changed_reg> '6/POJK.03/2015' </changed_reg> <replaced_reg> '42/POJK.03/2015 | Pasal 58 ayat (2) dan Lampiran III' </replaced_reg> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2008', '21/UU/2011', '6/POJK.03/2015', '42/POJK.03/2015' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 14 Pasal 44' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 42 /POJK.04/2016 TENTANG LAPORAN BURSA EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk terkait dengan pengaturan mengenai Laporan Bursa Efek beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap laporan Bursa Efek, peraturan mengenai laporan Bursa Efek yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Bursa Efek; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG LAPORAN BURSA EFEK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Bursa Efek adalah Pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli Efek Pihak- Pihak lain dengan tujuan memperdagangkan Efek di antara mereka. 2. Transaksi Bursa adalah kontrak yang dibuat oleh Anggota Bursa Efek sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh Bursa Efek mengenai jual beli Efek, pinjam meminjam Efek, atau kontrak lain mengenai Efek atau harga Efek. BAB II JENIS LAPORAN Pasal 2 Bursa Efek wajib menyampaikan laporan kegiatan kepada Otoritas Jasa Keuangan yang meliputi: a. laporan harian mengenai Transaksi Bursa; - 3 - b. laporan bulanan yang memuat: 1) rekapitulasi kegiatan selama periode tersebut dilengkapi dengan statistik perkembangan kurs dan volume perdagangan; 2) laporan mengenai Emiten yang Efek-nya tercatat di Bursa Efek; dan 3) kegiatan Anggota Bursa Efek; c. laporan mengenai pembekuan atau pembatalan pencatatan Efek termasuk pencatatannya kembali, Efek yang dibekukan perdagangannya, dan pencabutan pembekuan perdagangannya; d. laporan keuangan tengah tahunan dan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan disertai pendapat dari Akuntan tersebut; e. laporan realisasi anggaran dan penggunaan laba; f. laporan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham; g. laporan mengenai perubahan status Anggota Bursa Efek dan Wakil Perusahaan Efek; h. laporan mengenai pengenaan sanksi oleh Bursa Efek terhadap Anggota Bursa Efek dan/atau Wakil Perusahaan Efek di Bursa Efek; dan i. laporan mengenai peristiwa khusus seperti kesulitan keuangan Anggota Bursa Efek. BAB III PENYAMPAIAN LAPORAN BURSA EFEK Bagian Kesatu Dokumen Elektronik Pasal 3 Penyampaian laporan kegiatan oleh Bursa Efek kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat dilakukan secara elektronik. - 4 - Pasal 4 Penerimaan Otoritas Jasa Keuangan terhadap laporan kegiatan yang disampaikan oleh Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 dihitung berdasarkan waktu diterimanya laporan tersebut oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk dokumen cetak atau dalam bentuk dokumen elektronik. Bagian Kedua Jangka Waktu Penyampaian dan Pengumuman Laporan Pasal 5 Laporan harian Transaksi Bursa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada hari kerja berikutnya. Pasal 6 (1) Laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b meliputi jumlah dan jenis Efek yang tercatat, jumlah Emiten yang tercatat, pencatatan Efek baru, keterangan lain yang diminta oleh Otoritas Jasa Keuangan yang berkaitan dengan fungsinya sebagai Bursa Efek. (2) Laporan bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada hari ke-12 (dua belas) bulan berikutnya. Pasal 7 Laporan mengenai pembekuan atau pembatalan pencatatan Efek termasuk pencatatannya kembali dan laporan mengenai Efek yang dibekukan perdagangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada hari kerja berikutnya. Pasal 8 (1) Laporan keuangan tengah tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d wajib disampaikan - 5 - kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal akhir periode. (2) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal akhir tahun buku. (3) Laporan keuangan tengah tahunan dan laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib diumumkan paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang 1 (satu) diantaranya berperedaran nasional, paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal laporan Akuntan yang bersangkutan. (4) Dalam hal Akuntan memberikan pendapat selain Wajar Tanpa Pengecualian terhadap laporan keuangan tengah tahunan dan laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan dapat memanggil anggota direksi dan/atau melakukan pemeriksaan untuk memperoleh keterangan lebih lanjut. Pasal 9 Laporan realisasi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e wajib disusun secara triwulanan dan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan melalui dewan komisaris, dengan ketentuan bahwa laporan tersebut disampaikan secara kumulatif triwulanan dan diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada hari ke-12 (dua belas) setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan. Pasal 10 Laporan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Bursa Efek. - 6 - Pasal 11 Laporan mengenai perubahan status anggota Bursa Efek dan Wakil Perusahaan Efek di Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf g wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari setelah adanya perubahan tersebut. Pasal 12 Laporan mengenai pengenaan sanksi oleh Bursa Efek terhadap Anggota Bursa Efek dan/atau Wakil Perusahaan Efek di Bursa Efek dan laporan mengenai peristiwa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf h dan huruf i wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada hari berikutnya. Pasal 13 Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9, Pasal 11, dan Pasal 12 jatuh pada hari libur, laporan tersebut wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya. BAB IV KETENTUAN SANKSI Pasal 14 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; - 7 - d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 15 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 16 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 kepada masyarakat. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 17 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-64/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Laporan Bursa Efek, beserta Peraturan Nomor X.A.1 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. - 8 - Pasal 18 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 5967 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 42 /POJK.04/2016 TENTANG LAPORAN BURSA EFEK I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu untuk mengganti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Laporan Bursa Efek yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-64/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Laporan Bursa Efek beserta Peraturan Nomor X.A.1 yang merupakan lampirannya menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Bursa Efek. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. - 3 - Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5967
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 42/POJK.04/2016 </reg_id> <reg_title> LAPORAN BURSA EFEK </reg_title> <set_date> 2 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 7 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 7 Desember 2016 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-64/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-64/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor X.A.1' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /POJK.04/2016 TENTANG SISTEM PENGELOLAAN INVESTASI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka efisiensi kegiatan pengelolaan investasi di Pasar Modal Indonesia, diperlukan suatu sistem yang efisien yang didukung dengan terintegrasinya data transaksi produk investasi dan data transaksi aset dasar industri pengelolaan investasi serta terciptanya sentralisasi data investor di industri pengelolaan investasi dalam suatu sistem pengelolaan investasi yang terpadu; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Sistem Pengelolaan Investasi Terpadu; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); - 2 - 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG SISTEM PENGELOLAAN INVESTASI TERPADU. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Pengelolaan Investasi Terpadu yang selanjutnya disebut S-INVEST adalah sistem atau sarana elektronik terpadu yang mengintegrasikan seluruh proses Transaksi Produk Investasi, Transaksi Aset Dasar, dan pelaporan di industri pengelolaan investasi. 2. Transaksi Produk Investasi adalah kegiatan yang berkaitan dengan kembali/pelunasan, penjualan, pengalihan investasi pembelian Produk Investasi, dan/atau pembagian manfaat ekonomis Produk Investasi. 3. Transaksi Aset Dasar adalah kegiatan yang berkaitan dengan investasi dan divestasi aset yang menjadi dasar Produk Investasi. 4. Produk Investasi adalah Reksa Dana, Dana Investasi Real Estat, Pengelolaan Portofolio Efek Nasabah Secara Individual, dan produk investasi lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. 5. Penyedia S-INVEST adalah Pihak yang menyediakan dan mengelola S-INVEST. 6. Pengguna S-INVEST adalah Manajer Investasi, Perantara Pedagang Efek yang melakukan Transaksi Aset Dasar, Agen Penjual Efek Reksa Dana, Bank Kustodian, Bank - 3 - sebagai dealer, dan pihak lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang terdaftar di Penyedia S-INVEST. 7. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah Pihak yang menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi Bank Kustodian, Perusahaan Efek, dan Pihak lain. Pasal 2 S-INVEST diselenggarakan dalam rangka meningkatkan efisiensi Transaksi Produk Investasi dan Transaksi Aset Dasar di industri pengelolaan investasi termasuk penyediaan sentralisasi data investor dan pelaporan. BAB II PENYEDIA DAN PENGGUNA S-INVEST Bagian Kesatu Penyedia S-INVEST Pasal 3 Kegiatan sebagai penyedia S-INVEST hanya dapat dilakukan oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Pasal 4 Penyedia S-INVEST paling sedikit wajib: a. menyediakan layanan penggunaan S-INVEST yang paling sedikit meliputi: 1. layanan pendaftaran Produk Investasi; dan 2. cakupan layanan S-INVEST sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; b. menyediakan nomor identitas tunggal pemodal setiap investor Produk Investasi; c. memiliki dan menetapkan mekanisme atau prosedur operasional standar penyelenggaraan S-INVEST; kelangsungan bisnis d. memiliki rencana penyelenggaraan S-INVEST; terkait - 4 - e. memiliki dan menempatkan fasilitas pengganti pusat data dan pusat pemulihan bencana terkait penyelenggaraan S-INVEST di wilayah Indonesia pada tempat yang aman dan terpisah dari pusat data utama; terselenggaranya f. memastikan keberlangsungan kegiatan S-INVEST; g. memastikan keamanan dan keandalan S-INVEST; h. memiliki mekanisme dan prosedur operasional standar penanganan pengaduan Pengguna S-INVEST; i. bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya dalam penyediaan dan pengelolaan S-INVEST; j. menyediakan rekam jejak audit terhadap seluruh kegiatan pemrosesan data investor, data transaksi Produk Investasi, dan Transaksi Aset Dasar di S-INVEST untuk keperluan pengawasan, penegakan hukum, penyelesaian sengketa, verifikasi, pengujian, dan pemeriksaan lainnya; dan k. menyampaikan kepada Pengguna S-INVEST dalam hal terdapat perubahan atau pengembangan sistem termasuk penambahan layanan dan fitur sistem yang memerlukan penyesuaian sistem Pengguna S-INVEST. Pasal 5 (1) Penyedia S-INVEST wajib menetapkan peraturan mengenai prosedur dan tata cara penyelenggaraan S-INVEST. (2) Peraturan mengenai prosedur dan tata cara penyelenggaraan S-INVEST sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku efektif setelah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (3) Peraturan mengenai prosedur dan tata cara penyelenggaraan S-INVEST sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup: a. persyaratan dan tata cara pendaftaran Pengguna S-INVEST, termasuk pembatalan pendaftaran Pengguna S-INVEST; kegiatan dan - 5 - b. persyaratan dan tata cara pendaftaran Produk Investasi, termasuk pembatalan pendaftaran Produk Investasi; c. biaya pendaftaran dan/atau penggunaan S-INVEST; d. tata cara penggunaan S-INVEST; e. hak dan kewajiban Pengguna S-INVEST; f. batasan akses penggunaan S-INVEST; g. pengelolaan data investor, data Transaksi Produk Investasi, dan data Transaksi Aset Dasar di S-INVEST; h. mekanisme pelaporan dan pengambilan data dalam rangka pemenuhan kewajiban pelaporan Pengguna S-INVEST; i. mekanisme dan prosedur operasional standar penanganan pengaduan Pengguna S-INVEST; j. mekanisme untuk memastikan kelangsungan bisnis terkait penyelenggaraan S-INVEST; dan k. penghentian sementara waktu pemberian layanan kepada Pengguna S-INVEST. Pasal 6 Penyedia S-INVEST dilarang mengungkapkan data investor, data Transaksi Produk Investasi, dan/atau data Transaksi Aset Dasar kepada pihak ketiga, kecuali sebelumnya telah memperoleh persetujuan investor dari Pengguna S-INVEST atau diwajibkan berdasarkan peraturan perundang- undangan. Pasal 7 Penyedia S-INVEST wajib melakukan penghentian sementara waktu pemberian layanan kepada Pengguna S-INVEST, apabila diperintahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. - 6 - Bagian Kedua Pengguna S-INVEST Pasal 8 (1) Pengguna S-INVEST wajib: a. mematuhi peraturan yang ditetapkan Penyedia S-INVEST; b. menandatangani perjanjian penggunaan S-INVEST dengan Penyedia S-INVEST, yang paling sedikit memuat: 1. hak dan kewajiban Penyedia S-INVEST dan Pengguna S-INVEST; dan 2. batasan akses penggunaan S-INVEST; c. menjaga kerahasiaan dan keamanan akses penggunaan S-INVEST; d. menyediakan sistem yang terkoneksi dengan S-INVEST; e. memastikan keamanan dan keandalan sistem yang terkoneksi dengan S-INVEST; f. memiliki mekanisme atau prosedur operasional standar berkaitan dengan penggunaan S-INVEST; g. memiliki rencana kelangsungan bisnis terkait penggunaan S-INVEST; h. memiliki dan menempatkan fasilitas pengganti pusat data dan pusat pemulihan bencana terkait sistem yang terkoneksi dengan S-INVEST di wilayah Indonesia, pada tempat yang aman dan terpisah dari pusat data utama; dan i. bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya dalam penggunaan S-INVEST. (2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Pengguna S-INVEST yang bertindak sebagai agen penjual Produk Investasi atau Manajer Investasi yang melakukan penjualan Produk Investasi wajib: a. membuka rekening terpisah dalam S-INVEST untuk kepentingan setiap investor; - 7 - b. memastikan kepemilikan nomor identitas tunggal pemodal dari setiap investor Produk Investasi; c. menyampaikan nomor identitas tunggal pemodal kepada investor; d. memastikan setiap investor menyampaikan data investor yang akurat, lengkap, dan terkini dalam rangka pembukaan rekening di S-INVEST sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan e. memasukkan data investor dan data Transaksi Produk Investasi yang akurat, lengkap, dan terkini ke S-INVEST. (3) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Pengguna S-INVEST yang bertindak sebagai Perantara Pedagang Efek yang melakukan Transaksi Aset Dasar, Bank sebagai dealer atau Manajer Investasi yang melakukan Transaksi Aset Dasar untuk kepentingan Produk Investasi wajib memasukkan data Transaksi Aset Dasar yang akurat dan lengkap ke S-INVEST. (4) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Pengguna S-INVEST yang bertindak sebagai Bank Kustodian paling sedikit wajib melakukan pendaftaran dan pengkinian data Produk Investasi. BAB III SUMBER DATA, PRODUK INVESTASI, CAKUPAN LAYANAN, DAN BATASAN AKSES PENGGUNAAN S-INVEST Bagian Kesatu Sumber Data S-INVEST Pasal 9 (1) Data investor, data Transaksi Produk Investasi, dan data Transaksi Aset Dasar yang ada dalam S-INVEST berasal dari data yang disampaikan oleh Pengguna S-INVEST. (2) Pengguna S-INVEST wajib memastikan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan data yang benar, terkini, dan akurat. - 8 - Pasal 10 Data dan/atau informasi yang terdapat dalam S-INVEST dapat diakses dan/atau digunakan oleh Penyedia S-INVEST dan Pengguna S-INVEST meliputi: a. data investor; b. data Pengguna S-INVEST; c. Transaksi Produk Investasi; dan d. Transaksi Aset Dasar. Bagian Kedua Produk Investasi Pasal 11 (1) Setiap Produk Investasi wajib terdaftar di S-INVEST. (2) Kewajiban pendaftaran Produk Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pengguna S-INVEST yang bertindak sebagai Bank Kustodian. (3) Pendaftaran Produk Investasi dalam S-INVEST sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah efektifnya Pernyataan Pendaftaran Penawaran Umum Produk Investasi atau tercatatnya Produk Investasi di Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Ketiga Cakupan Layanan S-INVEST Pasal 12 (1) Cakupan layanan S-INVEST terdiri atas kegiatan: a. Transaksi Produk Investasi; b. Transaksi Aset Dasar; c. sentralisasi data; d. pelaporan; dan e. layanan lain yang telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Cakupan layanan S-INVEST terkait kegiatan Transaksi Produk Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) - 9 - huruf a meliputi paling sedikit pemrosesan pesanan dalam rangka penjualan, pembelian kembali/pelunasan, pengalihan investasi, dan/atau pemrosesan pembagian manfaat ekonomis dari Produk Investasi. (3) Cakupan layanan S-INVEST terkait kegiatan Transaksi Aset Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit: a. b. investasi dan divestasi aset yang menjadi dasar Produk Investasi; alokasi; c. proses pemasangan/pencocokan instruksi penyelesaian Transaksi Efek; d. konfirmasi transaksi; dan e. instruksi penyelesaian. (4) Cakupan layanan S-INVEST terkait kegiatan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit: a. pelaporan yang terkait dengan pemenuhan kewajiban pelaporan Produk Investasi dalam rangka pemenuhan peraturan perundang-undangan; b. penyediaan fitur pelaporan yang terkait dengan laporan Transaksi Produk Investasi kepada investor melalui sistem yang disediakan oleh Penyedia S-INVEST; dan c. penyediaan fitur pelaporan yang terkait dengan laporan berkala atas Produk Investasi kepada investor melalui sistem yang disediakan oleh Penyedia S-INVEST. Bagian Keempat Batasan Akses Penggunaan S-INVEST Pasal 13 Penyedia S-INVEST wajib menetapkan batasan akses S-INVEST bagi setiap Pengguna S-INVEST. - 10 - BAB IV PELAPORAN Pasal 14 (1) Penyedia S-INVEST wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan apabila terdapat hal sebagai berikut: a. rencana perubahan atau pengembangan sistem termasuk penambahan layanan dan fitur sistem yang memerlukan penyesuaian sistem Pengguna S-INVEST; b. kegagalan S-INVEST yang menyebabkan S-INVEST tidak dapat digunakan; dan/atau c. penghentian sementara waktu pemberian layanan kepada Pengguna S-INVEST. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum implementasi perubahan atau pengembangan sistem dilaksanakan. (3) Kegagalan S-INVEST sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib diinformasikan secara elektronik kepada Otoritas Jasa Keuangan dan disampaikan kepada Pengguna S-INVEST paling lambat 2 (dua) jam sejak terjadinya kegagalan S-INVEST. (4) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib diikuti dengan penyampaian laporan dalam bentuk dokumen cetak kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak terjadinya kegagalan S-INVEST. (5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, disampaikan paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak penghentian sementara waktu pemberian layanan kepada Pengguna S-INVEST. Pasal 15 Pengguna S-INVEST yang bertindak sebagai Bank Kustodian Reksa Dana wajib menyampaikan: - 11 - a. laporan yang memperlihatkan posisi keuangan dari masing-masing Reksa Dana kepada Otoritas Jasa Keuangan; b. informasi keuangan Reksa Dana kepada Manajer Investasi pada setiap awal hari kerja; c. surat atau bukti konfirmasi atas pelaksanaan perintah penjualan, pembelian kembali/pelunasan, dan/atau pengalihan saham atau Unit Penyertaan Reksa Dana kepada pemegang saham Reksa Dana berbentuk Perseroan atau pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana; dan d. laporan berkala kepada setiap pemegang saham Reksa Dana berbentuk Perseroan atau pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana terkait mutasi kepemilikan saham atau Unit Penyertaan Reksa Dana serta posisi kepemilikan saham atau Unit Penyertaan Reksa Dana, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Laporan Reksa Dana, melalui S-INVEST. Pasal 16 Pengguna S-INVEST yang bertindak sebagai Bank Kustodian Reksa Dana Penyertaan Terbatas wajib menyampaikan laporan Reksa Dana Penyertaan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas, melalui S-INVEST. BAB V KETENTUAN SANKSI Pasal 17 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan - 12 - Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. peringatan tertulis; b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 18 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 19 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 kepada masyarakat. - 13 - BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 20 (1) Kewajiban untuk menggunakan S-INVEST dan menyampaikan laporan Reksa Dana melalui S-INVEST sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini secara penuh mulai berlaku pada tanggal 31 Agustus 2016. (2) Ketentuan mengenai kewajiban menyampaikan laporan Produk Investasi selain Reksa Dana melalui S-INVEST diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. (3) Kewajiban penyediaan dan penggunaan layanan S-INVEST terkait kegiatan Transaksi Aset Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) secara penuh mulai berlaku pada tanggal 31 Agustus 2017. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban penyediaan fitur pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) huruf b dan huruf c dan kewajiban Pengguna S-INVEST yang bertindak sebagai Bank Kustodian Reksa Dana untuk menyampaikan surat atau bukti konfirmasi dan laporan berkala melalui S-INVEST sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c dan huruf d, diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. (5) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku sampai dengan kewajiban untuk menggunakan dan menyampaikan laporan melalui S-INVEST berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku secara penuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengguna S-INVEST harus melakukan uji coba penggunaan sistem melalui sistem yang ditetapkan oleh Penyedia S-INVEST. - 14 - BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 21 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Juli 2016 016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Juli 2016 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H.LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 149 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /POJK.04/2016 TENTANG SISTEM PENGELOLAAN INVESTASI TERPADU I. UMUM Pengaturan pengelolaan investasi di bidang Pasar Modal tidak hanya meliputi produk pengelolaan investasi seperti Reksa Dana, Efek Beragun Aset, Dana Investasi Real Estat, Kontrak Pengelolaan Dana Nasabah Individual, dan produk investasi lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan melainkan juga meliputi pengaturan mengenai pihak-pihak yang melakukan kegiatan pengelolaan investasi seperti Manajer Investasi, Bank Kustodian, Agen Penjual Efek Reksa Dana, atau pun Bank sebagai dealer. Bahwa dalam rangka meningkatkan efisiensi kegiatan pengelolaan investasi, perlu adanya Sistem Pengelolaan Investasi Terpadu yang didukung dengan infrastruktur peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang memadai. Dimana pengaturan tersebut dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum bagi penyediaan dan penggunaan Sistem Pengelolaan Investasi Terpadu di Indonesia. Sistem Pengelolaan Investasi Terpadu merupakan sarana elektronik terpadu yang mengintegrasikan seluruh proses Transaksi Produk Investasi, Transaksi Aset Dasar, dan pelaporan di industri pengelolaan investasi. Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, diatur mengenai Penyedia dan Pengguna Sistem Pengelolaan Investasi Terpadu termasuk kewajiban dan larangannya, sumber data, batasan akses informasi, dan pelaporan. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Contoh mekanisme atau prosedur operasional standar penyelenggaraan S-INVEST dalam ketentuan ini antara lain mekanisme penatalaksanaan Transaksi Aset Dasar dan Transaksi Produk Investasi. Huruf d Pada praktiknya “rencana kelangsungan bisnis” biasa disebut dengan business continuity plan. Huruf e Penyediaan fasilitas pengganti pusat data dan pusat pemulihan bencana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini memperhatikan peraturan perundang-undangan di bidang penyelenggaraan sistem elektronik untuk pelayanan publik. Huruf f Kewajiban Penyedia S-INVEST untuk memastikan keberlangsungan S-INVEST, antara lain dengan memastikan bahwa pusat data pengganti berjalan dengan baik dalam hal pusat data utama mengalami kegagalan sistem. Huruf g Cukup jelas. - 3 - Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Contoh pembatalan produk investasi dalam ketentuan ini antara lain apabila Reksa Dana telah memperoleh efektif dan didaftarkan ke S-INVEST, namun setelah 90 (sembilan puluh) hari bursa atau 120 (seratus dua puluh) hari bursa Reksa Dana tersebut harus dibubarkan karena tidak memenuhi ketentuan minimum dana kelolaan, maka pendaftaran Produk Investasi pada S-INVEST dibatalkan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. - 4 - Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “sistem yang terkoneksi” adalah sistem yang dapat memasukkan dan mengambil data oleh Pengguna S-INVEST dari S-INVEST. Huruf e Yang dimaksud dengan “memastikan keamanan dan keandalan sistem yang terkoneksi dengan S-INVEST” antara lain dengan memiliki prosedur operasional standar penggunaan sistem termasuk keamanan penggunaan sistem yang terkoneksi dengan S-INVEST, menyediakan perangkat keamanan sistem termasuk firewall dari sistem, dan batasan akses bagi pegawai Pengguna S-INVEST. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. - 5 - Huruf h Penyediaan fasilitas pengganti pusat data dan pusat pemulihan bencana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini memperhatikan peraturan perundang- undangan di bidang penyelenggaraan sistem elektronik untuk pelayanan publik. Huruf i Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Pembukaan rekening terpisah oleh agen penjual Produk Investasi atau Manajer Investasi dilakukan melalui tata cara pembukaan rekening sebagaimana diatur dalam peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan selanjutnya didaftarkan untuk mendapatkan nomor identitas tunggal pemodal agar dapat melakukan transaksi melalui S-INVEST. Huruf b Yang dimaksud dengan “nomor identitas tunggal pemodal” yang pada praktiknya sering disebut dengan single investor identification (SID) adalah nomor identitas tunggal pemodal pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. - 6 - Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Sentralisasi data dalam ketentuan ini mencakup sentralisasi data investor, data Transaksi Produk Investasi, data Produk Investasi, dan data Transaksi Aset Dasar. Data yang tersentralisasi dimaksud dapat dipergunakan Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka pengawasan kegiatan pengelolaan investasi. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “investasi” adalah perolehan aset yang menjadi dasar Produk Investasi, sedangkan yang dimaksud dengan “divestasi” adalah pelepasan aset yang menjadi dasar Produk Investasi. Huruf b Yang dimaksud dengan “alokasi” adalah penjatahan/penentuan jumlah atau proporsi suatu Efek sebagai aset yang menjadi dasar yang dibeli oleh Manajer Investasi untuk kepentingan Produk Investasi. - 7 - Huruf c Pada praktiknya “proses pemasangan/pencocokan instruksi penyelesaian Transaksi Efek” dimaksud biasa disebut dengan pairing and matching. Huruf d Pada praktiknya “konfirmasi transaksi” dimaksud biasa disebut dengan trade confirmation. Yang dimaksud dengan “konfirmasi transaksi” adalah konfirmasi transaksi Efek dari Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangan di Bidang Pasar Modal. Huruf e Pada praktiknya “instruksi penyelesaian” dimaksud biasa disebut dengan settlement instruction. Yang dimaksud dengan “instruksi penyelesaian” adalah instruksi atas penyelesaian transaksi Efek yang diberikan oleh Manajer Investasi melalui S-INVEST kepada Perantara Pedagang Efek dan Bank Kustodian terkait. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “laporan Transaksi Produk Investasi kepada investor” adalah konfirmasi dan laporan kepada investor atas penjualan, pembelian kembali/pelunasan, dan/atau pengalihan investasi Produk Investasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal fitur pelaporan yang berkaitan dengan laporan Transaksi Produk Investasi kepada investor telah tersedia, maka laporan dimaksud dapat diakses oleh investor pada sistem yang ditetapkan oleh Penyedia S-INVEST. Huruf c Yang dimaksud dengan “laporan berkala atas Produk Investasi kepada investor” adalah laporan berkala kepada investor yang berkaitan dengan jumlah kepemilikan Produk - 8 - Investasi investor sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal fitur pelaporan yang berkaitan dengan laporan berkala atas Produk Investasi kepada investor telah tersedia, maka laporan dimaksud dapat diakses oleh investor pada sistem yang ditetapkan oleh Penyedia S-INVEST. Pasal 13 Batasan akses S-INVEST yang dimaksud dalam ketentuan ini misalnya data investor Reksa Dana ABC hanya dapat diakses oleh Manajer Investasi dan Bank Kustodian Reksa Dana ABC, Agen Penjual Efek Reksa Dana ABC hanya dapat mengakses data investor Reksa Dana ABC yang dipasarkannya. Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “kegagalan S-INVEST yang menyebabkan S-INVEST tidak dapat digunakan” antara lain: 1. kegagalan keamanan S-INVEST yang disebabkan karena peretasan; dan/atau 2. kegagalan S-INVEST yang disebabkan oleh kondisi kahar seperti bencana alam. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pelaporan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat ini antara lain dapat disampaikan melalui surat elektronik (e-mail) ke alamat pelaporansinvest@ojk.go.id. Ayat (4) Cukup jelas. - 9 - Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 15 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Laporan Reksa Dana yang berlaku adalah Peraturan Nomor X.D.1, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-06/PM/2004 tanggal 9 Februari 2004 tentang Laporan Reksa Dana. Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Produk Investasi selain Reksa Dana” adalah Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, Efek Beragun Aset, dan Pengelolaan Portofolio Efek Nasabah Secara Individual. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. - 10 - Pasal 21 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5910
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 28/POJK.04/2016 </reg_id> <reg_title> SISTEM PENGELOLAAN INVESTASI TERPADU </reg_title> <set_date> 29 Juli 2016 </set_date> <effective_date> 29 Juli 2016 </effective_date> <issued_date> 29 Juli 2016 </issued_date> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 41 /POJK.03/2017 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMERIKSAAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa bank sebagai badan usaha yang menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat harus mampu melindungi kepentingan masyarakat pengguna jasa bank, serta memelihara prinsip dan sistem perbankan yang sehat; b. bahwa guna mengetahui dan memastikan bank telah melindungi kepentingan masyarakat serta memelihara prinsip dan sistem perbankan yang sehat, diperlukan gambaran mengenai kebijakan dan kegiatan usaha bank yang bersifat strategis dan yang mengandung risiko; c. bahwa guna memperoleh gambaran yang jelas, lengkap, dan akurat perlu dilakukan pemeriksaan terhadap kebijakan dan kegiatan usaha bank yang bersifat strategis dan mengandung risiko; d. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan, diperlukan pengaturan kembali persyaratan dan tata cara pemeriksaan bank; - 2 - e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemeriksaan Bank; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMERIKSAAN BANK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana - 3 - telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri serta Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Kantor Cabang dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri adalah kantor yang secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat bank yang bersangkutan, dan mempunyai alamat serta tempat kedudukan di Indonesia. 3. Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri adalah kantor dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang bertindak semata- mata sebagai penghubung antara bank yang berkedudukan di luar negeri dengan nasabahnya. 4. Pihak Terkait adalah pihak yang mempunyai keterkaitan dengan Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai batas maksimum pemberian kredit bank umum, ketentuan peraturan perundangan-undangan mengenai batas maksimum pemberian kredit bank perkreditan rakyat, dan ketentuan peraturan perundangan-undangan mengenai batas maksimum penyaluran dana bank pembiayaan rakyat syariah. 5. Pihak Terafiliasi adalah pihak terafiliasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; 6. Pihak Lain adalah pihak yang ditugaskan untuk dan atas nama Otoritas Jasa Keuangan serta dinilai - 4 - memiliki kemampuan untuk melaksanakan pemeriksaan. BAB II PIHAK-PIHAK YANG DIPERIKSA Pasal 2 Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan terhadap: a. Bank; dan/atau b. Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri. Pasal 3 (1) Dalam melakukan pemeriksaan terhadap Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, Otoritas Jasa Keuangan pemeriksaan terhadap: a. perusahaan induk dari Bank; b. perusahaan anak dari Bank; c. Pihak Terkait dengan Bank; d. Pihak Terafiliasi dengan Bank; dan e. debitur Bank. (2) Pemeriksaan terhadap pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal terdapat indikasi bahwa pihak tersebut: a. memperoleh penyediaan dana dari Bank; b. mempunyai peran dalam kegiatan operasional Bank; c. melakukan tindakan yang menimbulkan kerugian terhadap Bank; d. memperoleh keuntungan yang tidak wajar dari Bank; e. mengalami kesulitan keuangan yang dapat mempengaruhi kinerja Bank; dan/atau f. indikasi lain. dapat melakukan - 5 - Pasal 4 (1) Pemeriksaan terhadap Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a terdiri dari pemeriksaan secara berkala dan pemeriksaan sewaktu-waktu. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemeriksaan terhadap aspek kegiatan usaha Bank, termasuk sarana pendukung dan hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan Bank. Pasal 5 (1) Pemeriksaan terhadap Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dapat dilakukan untuk: a. memperoleh gambaran menyeluruh tentang perkembangan usaha dan keadaan keuangan Bank, termasuk mendeteksi hal-hal yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan maupun kelangsungan usaha Bank; b. mendapatkan keyakinan atas kebenaran laporan yang disampaikan oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan, laporan yang dipublikasikan kepada masyarakat, dan informasi lain; c. memastikan kepatuhan Bank terhadap Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, ketentuan peraturan perundang-undangan lain, dan pedoman ketentuan serta prosedur kerja yang ditetapkan Bank; dan/atau d. meneliti kebenaran atas dugaan adanya transaksi yang merupakan tindak pidana di bidang perbankan. (2) Pemeriksaan terhadap Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b ditujukan untuk memastikan kepatuhan Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. - 6 - Pasal 6 (1) Bank, Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri, dan pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib segera memperlihatkan dan/atau memberikan kepada pemeriksa: a. buku, berkas, warkat, catatan, disposisi, memorandum, dokumen, data elektronik, termasuk salinannya; b. segala keterangan dan penjelasan yang berkaitan dengan kegiatan usaha baik lisan maupun tertulis; c. kesempatan penelitian keberadaan dan penggunaan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usaha; dan d. hal-hal lain yang diperlukan dalam pemeriksaan. (2) Bank, Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri, dan pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib memberikan bantuan untuk memperoleh kebenaran dari segala keterangan, dokumen, dan penjelasan yang diperoleh pemeriksa. (3) Bank, Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri, dan pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan/atau pihak lain dilarang untuk menghambat proses pemeriksaan serta mempengaruhi pendapat, penilaian, atau hasil dari tim pemeriksa. BAB III PERSYARATAN BAGI PIHAK-PIHAK YANG MELAKUKAN PEMERIKSAAN Pasal 7 (1) Pihak Lain yang dapat melakukan pemeriksaan harus berbentuk badan. - 7 - (2) Pemeriksaan dilakukan oleh tim pemeriksa yang paling sedikit terdiri dari 2 (dua) orang. (3) Tim pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat terdiri atas: a. pegawai Otoritas Jasa Keuangan yang ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan; b. Pihak Lain yang ditugaskan oleh Otoritas Jasa Keuangan; atau c. gabungan antara pegawai Otoritas Jasa Keuangan dan Pihak Lain. Pasal 8 (1) Tim pemeriksa dari Pihak Lain wajib memenuhi syarat: a. tidak termasuk dalam Daftar Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test); b. bukan Pihak Terafiliasi terhadap objek yang diperiksa; c. memiliki sikap mental yang baik dan etika serta tanggung jawab profesi yang tinggi; d. bersikap independen, jujur, dan objektif; e. kompeten di bidangnya dan memahami ketentuan peraturan perundang-undangan perbankan dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain; dan f. secara terus-menerus mengikuti program pendidikan profesi dalam bidangnya masing- masing. (2) Penanggung jawab dari Pihak Lain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 9 (1) Dalam hal Pihak Lain merupakan kantor akuntan publik, kantor akuntan publik wajib terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan, sebagaimana dimaksud - 8 - dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penggunaan jasa akuntan publik dan kantor akuntan publik dalam kegiatan jasa keuangan. (2) Selain kantor akuntan publik yang wajib terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akuntan publik yang melakukan pemeriksaan wajib terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penggunaan jasa akuntan publik dan kantor akuntan publik dalam kegiatan jasa keuangan. (3) Ketua dan mayoritas anggota tim pemeriksa dari kantor akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) wajib: a. memiliki pengetahuan yang memadai tentang industri perbankan; dan b. memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan. (4) Penanggung jawab kantor akuntan publik harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan dalam Pasal 8 ayat (1). Pasal 10 (1) Dalam memberikan penugasan kepada Pihak Lain untuk melakukan pemeriksaan, Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan surat perintah kerja. (2) Pelaksanaan pemeriksaan oleh Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan sesuai dengan surat perintah kerja dan kerangka acuan kerja (terms of reference) yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari surat perintah kerja. - 9 - Pasal 11 (1) Tim pemeriksa menyerahkan surat introduksi pemeriksaan dari Otoritas Jasa Keuangan kepada pihak yang diperiksa. (2) Bank, Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri atau pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib menolak tim pemeriksa yang akan melakukan pemeriksaan tanpa menyerahkan surat introduksi pemeriksaan dari Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 12 (1) Sebelum akhir pemeriksaan, tim pemeriksa melakukan konfirmasi dengan pimpinan Bank, pemimpin Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri atau pimpinan dari pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) atas hasil pemeriksaan. (2) Apabila setelah proses konfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat perbedaan pendapat, pimpinan Bank, pemimpin Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri atau pimpinan pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dapat memberikan penjelasan secara tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah berakhirnya proses pemeriksaan. Pasal 13 (1) Setelah proses pemeriksaan berakhir, tim pemeriksa menyusun laporan hasil pemeriksaan. (2) Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank atau Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri. (3) Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat rahasia. - 10 - (4) Penggunaan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh pihak di luar Bank harus dikonsultasikan dan memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 14 (1) Bank dan Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri wajib melakukan langkah perbaikan dan/atau penyempurnaan atas hal-hal yang ditemukan dalam pemeriksaan serta melaporkan perbaikan yang dilakukan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Apabila diperlukan, Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan untuk memastikan kebenaran laporan hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB IV PEMERIKSAAN OLEH PIHAK ASING Pasal 15 (1) Pemeriksaan terhadap Kantor Cabang dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri oleh otoritas pengawas bank di negara asal atau yang mewakili otoritas pengawas bank di negara asal kantor pusat Bank yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan. (2) Permohonan izin kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan secara tertulis paling lama 14 (empat belas) hari sebelum pemeriksaan. (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak surat permohonan diterima secara lengkap. (4) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta kepada otoritas pengawas bank di negara asal atau yang - 11 - mewakili otoritas pengawas bank di negara asal kantor pusat Bank yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar dalam pemeriksaan sekaligus memeriksa hal-hal yang diperlukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (5) Pemberian izin pemeriksaan terhadap Kantor Cabang dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menganut asas timbal balik. Pasal 16 (1) Pemeriksaan terhadap Kantor Cabang dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri di Indonesia yang dilakukan oleh pemeriksa intern atau kantor akuntan publik yang ditugaskan kantor pusat Bank yang bersangkutan wajib diberitahukan terlebih dahulu kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Pemeriksaan terhadap Bank yang sebagian sahamnya dimiliki bank yang berkedudukan di luar negeri yang dilakukan oleh pemeriksa yang ditugaskan oleh bank yang berkedudukan di luar negeri yang menjadi pemegang saham Bank wajib diberitahukan terlebih dahulu kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 17 (1) Pemeriksaan terhadap Bank yang sebagian sahamnya dimiliki bank yang berkedudukan di luar negeri yang dilakukan oleh otoritas pengawas bank atau yang mewakili otoritas pengawas bank di negara asal bank yang berkedudukan di luar negeri hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan. (2) Permohonan izin kepada Otoritas Jasa Keuangan wajib disampaikan secara tertulis oleh pihak yang melakukan pemeriksaan terhadap Bank yang sebagian sahamnya dimiliki bank yang berkedudukan di luar - 12 - negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling lama 14 (empat belas) hari sebelum pemeriksaan. (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak surat permohonan diterima secara lengkap. (4) Pemberian izin pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menganut asas timbal balik. Pasal 18 (1) Tim pemeriksa yang melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 wajib melaporkan dan menyampaikan hasil pemeriksaan kepada Otoritas Jasa Keuangan segera setelah pemeriksaan berakhir. (2) Kantor Cabang dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri dan/atau Bank yang sebagian sahamnya dimiliki bank yang berkedudukan di luar negeri yang diperiksa oleh tim pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan hasil pemeriksaan oleh pihak asing kepada Otoritas Jasa Keuangan segera setelah hasil pemeriksaan diperoleh. BAB V RAHASIA BANK Pasal 19 (1) Pihak Lain, pihak yang melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 serta pihak yang mengetahui hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, wajib merahasiakan keterangan dan data yang diperoleh dalam pemeriksaan. (2) Kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi petugas yang ditugaskan - 13 - Pihak Lain atau pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17. BAB VI ALAMAT PENYAMPAIAN LAPORAN, PEMBERITAHUAN, DAN IZIN PEMERIKSAAN Pasal 20 Laporan, pemberitahuan, dan permohonan izin pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan alamat: a. Departemen Pengawasan Bank terkait atau Departemen Perbankan Syariah, bagi Bank yang berkantor pusat atau Kantor Cabang dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri yang berada di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat sesuai dengan wilayah tempat kedudukan kantor pusat Bank. BAB VII SANKSI Pasal 21 (1) Perusahaan induk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis paling banyak 2 (dua) kali masing-masing dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam hal setelah dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perusahaan induk tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Otoritas Jasa - 14 - Keuangan memerintahkan pengalihan kepemilikan perusahaan induk kepada pihak lain. Pasal 22 (1) Perusahaan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis paling banyak 2 (dua) kali masing-masing dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam hal setelah dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perusahaan anak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Otoritas Jasa Keuangan memerintahkan kepada Bank untuk melepaskan kepemilikan pada perusahaan anak paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak tanggal peringatan terakhir. Pasal 23 (1) Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis paling banyak 2 (dua) kali masing-masing dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam hal setelah dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), debitur tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Otoritas Jasa Keuangan memerintahkan kepada Bank untuk: a. tidak melanjutkan pemberian fasilitas dalam bentuk apapun bersangkutan; kepada debitur yang b. tidak memberikan fasilitas dalam bentuk apapun kepada debitur yang bersangkutan; dan/atau - 15 - c. mengkaji kembali penggolongan kualitas dari fasilitas debitur yang bersangkutan. Pasal 24 (1) Anggota direksi, anggota dewan komisaris, pimpinan Kantor Cabang dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri, pemimpin Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri, dan/atau pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis paling banyak 2 (dua) kali masing- masing dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam hal setelah dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota direksi, anggota dewan komisaris, pimpinan Kantor Cabang dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri, pemimpin Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri, dan/atau pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Otoritas Jasa Keuangan dapat mengenakan sanksi administratif berupa: a. pemberhentian anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris, dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; b. peninjauan kembali persetujuan Otoritas Jasa Keuangan atas pengangkatan sebagai pimpinan Kantor Cabang dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri dan/atau pemimpin Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri; - 16 - c. pencantuman dalam Daftar Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test); dan/atau d. merekomendasikan pencabutan atau pembatalan izin usaha kepada instansi yang berwenang. Pasal 25 (1) Pihak Lain yang oleh Otoritas Jasa Keuangan dinilai tidak melaksanakan tugasnya sesuai dengan surat perintah kerja dan kerangka acuan kerja (terms of reference) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam hal setelah dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis paling banyak 2 (dua) kali dalam tenggang waktu 3 (tiga) hari, Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Otoritas Jasa Keuangan dapat mengenakan sanksi administratif berupa: a. pemutusan hubungan kerja secara sepihak tanpa ganti rugi; b. denda sebesar biaya yang dikeluarkan untuk penyelesaian tugas oleh Pihak Lain; c. merekomendasikan pencabutan atau pembatalan izin usaha kepada instansi yang berwenang; dan/atau d. bagi akuntan publik dan/atau kantor akuntan publik, dikeluarkan dari daftar akuntan publik dan kantor akuntan publik yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 26 Bank yang tidak menyampaikan laporan perbaikan dan/atau penyempurnaan atas hal-hal yang ditemukan - 17 - dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan Bank; c. pemberhentian anggota direksi, dan/atau anggota dewan komisaris, dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai rapat umum pemegang saham atau rapat anggota koperasi mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau d. sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 27 Kantor Cabang dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri dan/atau Bank yang sebagian sahamnya dimiliki oleh bank yang berkedudukan di luar negeri yang tidak menyampaikan laporan hasil pemeriksaan oleh pihak asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) setelah dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis paling banyak 2 (dua) kali dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari dapat dikenakan sanksi administratif berupa: a. pemberhentian anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris, dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai rapat umum pemegang saham atau rapat anggota koperasi mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; b. peninjauan kembali persetujuan Otoritas Jasa Keuangan atas pengangkatan sebagai pimpinan Kantor Cabang dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri; c. pencantuman dalam Daftar Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test); dan/atau - 18 - d. sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 28 Pihak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dikenakan sanksi administratif berupa: a. direkomendasikan untuk pencabutan atau pembatalan izin usaha kepada instansi yang berwenang; b. bagi akuntan publik dan kantor akuntan publik dikeluarkan dari daftar akuntan publik dan kantor akuntan publik yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau c. sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 29 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/6/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemeriksaan Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3933), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 30 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 19 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 147 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 41 /POJK.03/2017 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMERIKSAAN BANK I. UMUM Dalam melindungi kepentingan masyarakat dan memelihara prinsip-prinsip dan sistem perbankan yang sehat diperlukan gambaran mengenai kebijakan dan kegiatan usaha Bank yang bersifat strategis dan mengandung risiko. Untuk memperoleh gambaran tersebut perlu dilakukan pemeriksaan terhadap Bank baik yang bersifat umum maupun khusus. Agar gambaran tersebut dapat diperoleh secara menyeluruh dan komprehensif, pemeriksaan dapat dilakukan terhadap pihak tertentu yang mempunyai andil baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap risiko yang dihadapi Bank dalam melakukan kegiatan usaha. Pihak lain tersebut meliputi perusahaan induk, perusahaan anak, Pihak Terkait, Pihak Terafiliasi dan/atau debitur Bank. Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemeriksaan, Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan baik dengan menggunakan tenaga Otoritas Jasa Keuangan maupun dengan menggunakan jasa Pihak Lain seperti akuntan publik. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan adanya ketentuan yang mengatur mengenai persyaratan dan tata cara pemeriksaan Bank. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Pemeriksaan oleh Otoritas Jasa Keuangan dapat dilakukan di luar jam kerja. Huruf a Yang dimaksud dengan “perusahaan induk” adalah perusahaan yang secara langsung atau tidak langsung memiliki saham di Bank. Huruf b Yang dimaksud dengan “perusahaan anak” adalah perusahaan yang seluruh atau sebagian sahamnya dimiliki Bank. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “debitur Bank” adalah pihak yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian Bank dengan nasabah. Ayat (2) Pemeriksaan terhadap perusahaan induk dari Bank, perusahaan anak dari Bank, Pihak Terkait dengan Bank, Pihak Terafiliasi dengan Bank, dan debitur Bank dimaksudkan agar diperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai kondisi Bank, termasuk risiko yang mungkin akan - 3 - mempengaruhi Bank. Pemeriksaaan tersebut merupakan bagian dari pemeriksaan terhadap Bank. Pasal 4 Ayat (1) Pada dasarnya pemeriksaan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan dilaksanakan secara berkala paling sedikit 1 (satu) tahun sekali untuk setiap Bank. Di samping itu, pemeriksaan dapat dilakukan setiap waktu untuk meyakinkan hasil pengawasan tidak langsung dan apabila terdapat indikasi adanya penyimpangan dari praktik perbankan yang sehat. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “sarana pendukung” antara lain mencakup jaringan komunikasi dan komputer beserta perangkat lunak. Pasal 5 Ayat (1) Selain mencakup aspek keuangan, pemeriksaan juga dapat mencakup penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap pemegang saham pengendali, anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan pejabat eksekutif Bank. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “informasi lain” adalah informasi yang diperoleh dari sumber lain. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Dalam hal ini, Bank dapat digunakan sebagai sasaran dan/atau sarana tindak pidana. Bank sebagai sasaran tindak pidana, misalnya Bank sebagai korban pembobolan bank, transfer fiktif, dan lain-lain, yang pada akhirnya dapat merugikan Bank. - 4 - Bank sebagai sarana tindak pidana, misalnya penghimpunan dana masyarakat yang tidak dicatat dalam pembukuan Bank. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang- undangan” antara lain ketentuan yang mengatur mengenai persyaratan dan tata cara pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar negeri serta ketentuan yang mengatur mengenai pelaporan dan permintaan informasi debitur melalui sistem layanan informasi keuangan. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Bank, Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri, dan pihak-pihak lain” adalah termasuk direksi, dewan komisaris, pimpinan Kantor Cabang dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri, pimpinan Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri, dan pegawai yang langsung bertanggung jawab. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. - 5 - Huruf c Dalam hal tim gabungan terdiri dari pegawai Otoritas Jasa Keuangan dan Pihak Lain yang ditugaskan oleh Otoritas Jasa Keuangan, ketua tim pemeriksa adalah pegawai Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Terms of reference memuat antara lain: a. tujuan dan ruang lingkup pemeriksaan; b. jangka waktu pelaksanaan; c. penyusunan laporan hasil pemeriksaan; d. teknik dan etika pemeriksaan; e. jumlah dan kualifikasi tenaga pemeriksa yang digunakan; f. kerahasiaan pemeriksaan; dan g. kertas kerja pemeriksaan. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Konfirmasi dilakukan dalam pertemuan antara tim pemeriksa dengan pimpinan pihak yang diperiksa dan hasilnya dituangkan dalam risalah pertemuan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. - 6 - Ayat (2) Pemberian penjelasan disampaikan secara tertulis oleh pihak- pihak yang diperiksa kepada Otoritas Jasa Keuangan c.q. Departemen Pengawasan Bank terkait, Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat yang dilampiri dengan bukti dan dokumen pendukung. Pasal 13 Ayat (1) Laporan hasil pemeriksaan akan digunakan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai bahan pengawasan Bank yang diperiksa antara lain melalui pembahasan intensif dengan direksi dan dewan komisaris Bank dalam pertemuan wawancara. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Laporan hasil pemeriksaan dimaksudkan sebagai alat pembinaan untuk peningkatan kinerja Bank. Oleh karena itu direksi, dewan komisaris, dan pegawai Bank tidak diperkenankan untuk menyebarluaskan data dan/atau informasi yang terdapat dalam laporan hasil pemeriksaan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. - 7 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “menganut asas timbal balik” adalah dalam hal Otoritas Jasa Keuangan diperkenankan untuk melakukan pemeriksaan di suatu negara, terhadap negara tersebut akan diterapkan perlakuan yang sama, demikian pula sebaliknya. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “menganut asas timbal balik” adalah dalam hal Otoritas Jasa Keuangan diperkenankan untuk melakukan pemeriksaan di suatu negara, terhadap negara tersebut akan diterapkan perlakuan yang sama, demikian pula sebaliknya. Pasal 18 Ayat (1) Hasil pemeriksaan disampaikan dalam bahasa Indonesia dan/atau bahasa Inggris. Laporan hasil pemeriksaan disampaikan dan dibahas dalam pertemuan dengan Departemen Pengawasan Bank terkait. Ayat (2) Hasil pemeriksaan disampaikan dalam bahasa Indonesia dan/atau bahasa Inggris. - 8 - Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Besarnya pengenaan denda dicantumkan dalam perjanjian kerja antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Pihak Lain tersebut. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Otoritas Jasa Keuangan mempublikasikan akuntan yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan dalam situs web Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 26 Cukup jelas. - 9 - Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6090
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 41/POJK.03/2017 </reg_id> <reg_title> PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMERIKSAAN BANK </reg_title> <set_date> 12 Juli 2017 </set_date> <effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date> <issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date> <replaced_reg> '2/6/PBI/2000' </replaced_reg> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 15/POJK.04/2014 TENTANG LAPORAN BULANAN KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF EFEK BERAGUN ASET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan pengawasan dan keterbukaan informasi atas Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset diperlukan laporan bulanan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu untuk menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Bulanan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN... - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG LAPORAN BULANAN KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF EFEK BERAGUN ASET. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali Perusahaan Asuransi, Dana Pensiun, dan Bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset yang selanjutnya disingkat KIK EBA adalah kontrak antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat pemegang Efek Beragun Aset dimana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan Penitipan Kolektif. BAB II KEWAJIBAN LAPORAN BULANAN KIK EBA Pasal 2 (1) Manajer Investasi KIK EBA wajib menyampaikan laporan bulanan KIK EBA sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Semua anggota Direksi dan Dewan Komisaris Manajer Investasi KIK EBA bertanggung jawab atas kebenaran isi laporan bulanan KIK EBA. (3) Laporan... - 3 - (3) Laporan bulanan KIK EBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. informasi umum terkait KIK EBA, meliputi: 1. pihak-pihak terkait pengelolaan aset; 2. aset awal; dan 3. aset terkait periode pelaporan; b. informasi terkait tagihan, meliputi: 1. koleksi tagihan aktual; dan 2. informasi keterlambatan debitur; c. informasi terkait distribusi/pembayaran; dan d. informasi lainnya sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (4) Bentuk dan susunan laporan bulanan KIK EBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibuat sesuai dengan lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB III PENYAMPAIAN DAN PENYIMPANAN LAPORAN BULANAN KIK EBA Bagian Kesatu Penyampaian Laporan Bulanan KIK EBA Pasal 3 (1) Kewajiban penyampaian laporan bulanan KIK EBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada tanggal 12 bulan berikutnya. (2) Dalam... - 4 - (2) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, laporan bulanan KIK EBA wajib disampaikan pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. Pasal 4 (1) Penyampaian laporan bulanan KIK EBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilakukan secara elektronik melalui sistem pelaporan elektronik yang disediakan Otoritas Jasa Keuangan dengan alamat https://aria.ojk.go.id/. (2) Penyampaian laporan bulanan KIK EBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Manajer Investasi KIK EBA dengan menggunakan hak akses berupa identitas pengguna (user id) dan kata sandi (password) yang diberikan Otoritas Jasa Keuangan. (3) Dalam penyampaian laporan bulanan KIK EBA secara elektronik, Manajer Investasi KIK EBA wajib membaca dan mematuhi prosedur dan tata cara penggunaan sistem pelaporan elektronik Otoritas Jasa Keuangan yang dapat diunduh di laman Otoritas Jasa Keuangan dengan alamat https://aria.ojk.go.id/. Pasal 5 (1) Laporan bulanan KIK EBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dianggap diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan pada saat Manajer Investasi KIK EBA menerima tanda terima elektronik yang diterbitkan sistem pelaporan elektronik Otoritas Jasa Keuangan. (2) Tanda terima elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan apabila laporan bulanan KIK EBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) telah diterima secara lengkap. Pasal 6... - 5 - Pasal 6 (1) Sistem pelaporan elektronik Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) menampilkan laporan KIK EBA yang disampaikan Manajer Investasi KIK EBA kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Laporan KIK EBA yang ditampilkan oleh sistem pelaporan elektronik Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disimpan sebagai dokumen elektronik sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bagian Kedua Penyimpanan Laporan KIK EBA Pasal 7 Manajer Investasi KIK EBA wajib menyimpan: a. tanda terima elektronik atas penyampaian laporan bulanan KIK EBA yang diperoleh dari sistem pelaporan elektronik Otoritas Jasa Keuangan; dan b. dokumen elektronik laporan bulanan KIK EBA yang ditampilkan sistem pelaporan elektronik Otoritas Jasa Keuangan, paling kurang 5 (lima) tahun sejak KIK EBA bubar. Pasal 8 (1) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menyatakan dan mengumumkan sistem pelaporan elektronik Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) mengalami gangguan, laporan bulanan KIK EBA disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan melalui surat elektronik (e-mail) dengan alamat pelaporankikeba@ojk.go.id. (2) Laporan... - 6 - (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap telah diterima Otoritas Jasa Keuangan pada saat Manajer Investasi KIK EBA telah menerima notifikasi dari Otoritas Jasa Keuangan yang dikirimkan melalui surat elektronik (e-mail). Pasal 9 Laporan bulanan KIK EBA yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) hanya dapat diakses oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka pelaksanaan tugas. BAB IV SANKSI Pasal 10 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. Peringatan tertulis; b. Denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. Pembatasan kegiatan usaha; d. Pembekuan kegiatan usaha; e. Pencabutan izin usaha; f. Pembatalan persetujuan; dan g. Pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan... - 7 - peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 11 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 12 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 kepada masyarakat. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 13 (1) Kewajiban Manajer Investasi KIK EBA menyampaikan laporan bulanan KIK EBA melalui sistem pelaporan elektronik Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini secara penuh, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2015. (2) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku sampai dengan kewajiban laporan bulanan KIK EBA melalui sistem pelaporan elektronik Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku secara penuh sebagaimana... - 8 - sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Manajer Investasi KIK-EBA harus melakukan uji coba penyampaian laporan bulanan KIK-EBA melalui sistem pelaporan elektronik dengan alamat https://aria.ojk.go.id. Pasal 14 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 15 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku sejak diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 7 November 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER, OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 11 November 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 345 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum, Ttd. T Tini Kustini
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 15/POJK.04/2014 </reg_id> <reg_title> LAPORAN BULANAN KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF EFEK BERAGUN ASET </reg_title> <set_date> 7 November 2014 </set_date> <effective_date> 11 November 2014 </effective_date> <issued_date> 11 November 2014 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 69 /POJK.05/2016 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI, DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (3), Pasal 18 ayat (4), Pasal 26 ayat (2), Pasal 28 ayat (6), Pasal 29 ayat (5), Pasal 31 ayat (5), dan Pasal 39 ayat (3) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI, DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan adalah perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah. 2. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 3. Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan asuransi umum syariah dan perusahaan asuransi jiwa syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 4. Usaha Asuransi Umum adalah usaha jasa pertanggungan risiko yang memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 5. Usaha Asuransi Jiwa adalah usaha yang menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko yang memberikan pembayaran kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau - 3 - pembayaran lain kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 6. Usaha Reasuransi adalah usaha jasa pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan reasuransi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 7. Usaha Asuransi Umum Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan prinsip syariah guna saling menolong dan melindungi dengan memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 8. Usaha Asuransi Jiwa Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan prinsip syariah guna saling menolong dan melindungi dengan memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggal atau hidupnya peserta, atau pembayaran lain kepada peserta atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 9. Usaha Reasuransi Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan prinsip syariah atas risiko yang - 4 - dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan penjaminan syariah, atau perusahaan reasuransi syariah lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 10. Perusahaan Asuransi Umum adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Asuransi Umum. 11. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa. 12. Perusahaan Asuransi Umum Syariah adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Asuransi Umum Syariah. 13. Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa Syariah. 14. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Reasuransi. 15. Perusahaan Reasuransi Syariah adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Reasuransi Syariah. 16. Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penutupan asuransi atau asuransi syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk dan atas nama pemegang polis, tertanggung, atau peserta. 17. Perusahaan Pialang Reasuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penempatan reasuransi atau penempatan reasuransi syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi penjaminan, perusahaan Syariah, perusahaan penjaminan syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah yang melakukan penempatan reasuransi atau reasuransi syariah. - 5 - 18. Perusahaan Ceding adalah: a. Perusahaan Asuransi Umum yang mengalihkan sebagian risikonya kepada Perusahaan Reasuransi atau Perusahaan Asuransi Umum lain; b. Perusahaan Asuransi Umum Syariah yang mengalihkan sebagian risikonya kepada Perusahaan Reasuransi Syariah, unit syariah pada Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Asuransi Umum Syariah lain atau unit syariah pada Perusahaan Asuransi Umum; c. unit syariah pada Perusahaan Asuransi Umum yang mengalihkan sebagian risikonya kepada Perusahaan Reasuransi Syariah, unit syariah pada Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Asuransi Umum Syariah atau unit syariah pada Perusahaan Asuransi Umum lain; d. Perusahaan Asuransi Jiwa yang mengalihkan sebagian risikonya kepada Perusahaan Reasuransi; e. Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah yang mengalihkan sebagian risikonya kepada Perusahaan Reasuransi Syariah atau unit syariah pada Perusahaan Reasuransi; f. unit syariah pada Perusahaan Asuransi Jiwa yang mengalihkan sebagian risikonya kepada Perusahaan Reasuransi Syariah atau unit syariah pada Perusahaan Reasuransi; g. perusahaan penjaminan yang mengalihkan sebagian risikonya kepada Perusahaan Reasuransi; atau h. perusahaan penjaminan syariah atau unit syariah pada perusahaan penjaminan yang mengalihkan sebagian risikonya kepada Perusahaan Reasuransi Syariah atau unit syariah pada Perusahaan Reasuransi. - 6 - 19. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perasuransian berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 20. Unit Syariah adalah unit kerja di kantor pusat Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor di luar kantor pusat yang menjalankan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. 21. Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi yang selanjutnya disebut PAYDI adalah produk asuransi yang paling sedikit memberikan perlindungan terhadap risiko kematian, dan memberikan manfaat yang mengacu pada hasil investasi dari kumpulan dana yang khusus dibentuk untuk produk asuransi baik yang dinyatakan dalam bentuk unit maupun bukan unit. 22. Asuransi Kredit adalah lini Usaha Asuransi Umum yang memberikan jaminan pemenuhan kewajiban finansial penerima kredit apabila penerima kredit tidak mampu memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit. 23. Suretyship adalah lini Usaha Asuransi Umum yang memberikan jaminan atas kemampuan principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara principal dan obligee. 24. Premi adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dan disetujui oleh pemegang polis untuk dibayarkan berdasarkan perjanjian asuransi atau perjanjian reasuransi, atau sejumlah uang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan yang mendasari program asuransi wajib untuk memperoleh manfaat sebagaimana dimaksud - 7 - dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 25. Agen Asuransi adalah orang yang bekerja sendiri atau bekerja pada badan usaha, yang bertindak untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dan memenuhi persyaratan untuk mewakili Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 26. Dana Tabarru’ adalah kumpulan dana yang berasal dari kontribusi para peserta, yang mekanisme penggunaannya sesuai dengan perjanjian asuransi syariah atau perjanjian reasuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 27. Dana Tanahud adalah kumpulan dana yang berasal dari kontribusi tanahud, hasil investasi dana tanahud, qardh dari Perusahaan kepada dana tanahud, dan/atau dana tanahud dari reasuradur, yang penggunaannya sesuai dengan perjanjian anuitas syariah untuk program pensiun atau perjanjian reasuransi syariah atas anuitas syariah untuk program pensiun. 28. Akad Hibah Tanahud adalah akad hibah sejumlah dana dari peserta secara individu kepada peserta secara kolektif untuk membentuk Dana Tanahud pada produk anuitas syariah untuk program pensiun. 29. Dana Investasi Peserta adalah dana investasi yang berasal dari kontribusi peserta pada PAYDI, yang dikelola Perusahaan Asuransi Syariah atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi sesuai dengan akad yang telah disepakati. 30. Akad adalah perjanjian tertulis yang memuat kesepakatan tertentu, beserta hak dan kewajiban para pihak sesuai Prinsip Syariah. - 8 - 31. Akad Tabarru’ adalah Akad hibah dalam bentuk pemberian dana dari satu peserta kepada Dana Tabarru’ untuk tujuan tolong menolong di antara para peserta, yang tidak bersifat dan bukan untuk tujuan komersial. 32. Akad Tijarah adalah Akad antara peserta secara kolektif atau secara individu dan Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah dengan tujuan komersial. 33. Akad Wakalah bil Ujrah adalah Akad Tijarah yang memberikan kuasa kepada Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah sebagai wakil peserta untuk mengelola Dana Tabarru’ dan/atau Dana Investasi Peserta, sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan, dengan imbalan berupa ujrah (fee). 34. Akad Mudharabah adalah Akad Tijarah yang memberikan kuasa kepada Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah sebagai mudharib (pengelola dana) untuk mengelola investasi Dana Tabarru’ dan/atau Dana Investasi Peserta, sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan, dengan imbalan berupa bagi hasil (nisbah) yang besarnya telah disepakati sebelumnya. 35. Akad Mudharabah Musytarakah adalah Akad Tijarah yang memberikan kuasa kepada Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah sebagai mudharib (pengelola dana) untuk mengelola investasi Dana Tabarru’ dan/atau Dana Investasi Peserta, yang digabungkan dengan kekayaan Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah, sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan, dengan imbalan berupa bagi hasil (nisbah) yang besarnya ditentukan berdasarkan komposisi kekayaan yang digabungkan dan telah disepakati sebelumnya. - 9 - 36. Program Asuransi Wajib adalah program yang diwajibkan peraturan perundang-undangan bagi seluruh atau kelompok tertentu dalam masyarakat guna mendapatkan perlindungan dari risiko tertentu, tidak termasuk program yang diwajibkan undang- undang untuk memberikan perlindungan dasar bagi masyarakat dengan mekanisme subsidi silang dalam penetapan manfaat dan Premi atau kontribusinya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 37. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. BAB II RUANG LINGKUP USAHA Bagian Kesatu Ruang Lingkup Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah Pasal 2 (1) Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat menyelenggarakan: a. Usaha Asuransi Umum, termasuk lini usaha asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri; dan b. Usaha Reasuransi untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum lain. (2) Perusahaan Asuransi Jiwa hanya dapat menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa termasuk lini usaha anuitas, lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri. - 10 - (3) Perusahaan Reasuransi hanya menyelenggarakan Usaha Reasuransi. Pasal 3 (1) Perusahaan Asuransi Umum Syariah dan Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat menyelenggarakan: a. Usaha Asuransi Umum Syariah, termasuk lini usaha asuransi kesehatan berdasarkan Prinsip Syariah dan lini usaha asuransi kecelakaan diri berdasarkan Prinsip Syariah; dan b. Usaha Reasuransi Syariah untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum Syariah atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi Umum lain. (2) Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah dan Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi Jiwa hanya dapat menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa Syariah termasuk lini usaha anuitas berdasarkan Prinsip Syariah, lini usaha asuransi kesehatan berdasarkan Prinsip Syariah, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri berdasarkan Prinsip Syariah. (3) Perusahaan Reasuransi Syariah dan Unit Syariah pada Perusahaan Reasuransi menyelenggarakan Usaha Reasuransi Syariah. Bagian Kedua Perluasan Ruang Lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah Pasal 4 Ruang lingkup usaha Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan ketentuan sebagai berikut: a. Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat melakukan perluasan ruang lingkup usaha pada: hanya dapat dapat - 11 - 1. kegiatan usaha PAYDI; 2. kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based); 3. kegiatan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship; dan/atau 4. kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari pemerintah; b. Perusahaan Asuransi Umum Syariah dan Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat melakukan perluasan ruang lingkup usaha pada: 1. kegiatan usaha PAYDI; 2. kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based); dan/atau 3. kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari pemerintah; c. Perusahaan Asuransi Jiwa, Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah, dan Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi Jiwa hanya dapat melakukan perluasan ruang lingkup usaha pada kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based); d. kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based) sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 2, huruf b angka 2, dan huruf c hanya dapat dilakukan pada: 1. administrative service only (ASO) dalam rangka employee benefit; dan 2. pemasaran produk dari lembaga jasa keuangan yang telah mendapat izin dari OJK dan bukan merupakan produk asuransi atau reasuransi; dan e. ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf d angka 2 dikecualikan bagi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang melakukan pemasaran produk asuransi syariah dari produk Perusahaan Asuransi Syariah hasil spin-off paling lama 2 (dua) tahun sejak dilakukannya spin-off. Pasal 5 (1) Rencana perluasan ruang lingkup usaha yang akan dilakukan oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan - 12 - Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib dicantumkan dalam rencana bisnis Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah. (2) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang akan melakukan perluasan ruang lingkup usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari OJK. Pasal 6 Untuk memperoleh persetujuan perluasan ruang lingkup usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi harus memenuhi ketentuan: a. tingkat solvabilitas minimum Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi; b. tidak sedang dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha untuk Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi; dan c. berdasarkan hasil penilaian risiko yang dilakukan oleh OJK memiliki tingkat risiko rendah atau sedang- rendah. Pasal 7 (1) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Perusahaan Asuransi Umum, Perusahaan Asuransi Umum Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi Umum yang melakukan perluasan ruang lingkup usaha pada PAYDI harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memiliki modal sendiri paling sedikit sebesar Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah) untuk Perusahaan Asuransi Umum; - 13 - b. memiliki modal sendiri paling sedikit sebesar Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar rupiah) untuk Perusahaan Asuransi Umum Syariah atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi Umum; c. memiliki aktuaris; d. memiliki pengelola investasi; e. memiliki sistem informasi yang memadai; dan f. memiliki sumber daya pendukung yang memadai. (2) Perusahaan Asuransi Umum, Perusahaan Asuransi Umum Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat melakukan perluasan ruang lingkup usaha pada PAYDI yang memiliki kriteria paling sedikit sebagai berikut: a. menanggung risiko kematian akibat kecelakaan diri; dan b. jangka waktu polis paling singkat 5 (lima) tahun. (3) Perusahaan Asuransi Umum, Perusahaan Asuransi Umum Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi Umum yang sudah memperoleh persetujuan perluasan ruang lingkup usaha pada kegiatan usaha PAYDI dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau dalam Pasal 6 wajib menghentikan pemasaran PAYDI. (4) Persetujuan dari OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) bagi Perusahaan Asuransi Umum, Perusahaan Asuransi Umum Syariah, dan Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi Umum diberikan dalam bentuk surat persetujuan PAYDI. (5) Selain memenuhi ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6, untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus juga memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan OJK mengenai produk asuransi dan pemasaran produk asuransi dan peraturan pelaksanaannya. - 14 - (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai PAYDI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Surat Edaran OJK mengenai PAYDI. Pasal 8 (1) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang melakukan perluasan ruang lingkup usaha pada kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based) wajib memenuhi ketentuan: a. memiliki pegawai yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based) yang telah mengikuti pendidikan dan pelatihan khusus di bidang produk yang akan dipasarkan pada kantor pusat, kantor di luar kantor pusat, dan/atau lokasi lain yang melakukan kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based); b. memiliki pejabat penanggung jawab kegiatan usaha yang berbasis imbalan jasa (fee based) pada kantor pusat, kantor di luar kantor pusat, dan/atau lokasi lain yang melakukan kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based); dan c. memiliki perjanjian kerja sama secara tertulis. (2) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang melakukan perluasan ruang lingkup usaha pada kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based) dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau dalam Pasal 6 wajib menghentikan kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based). (3) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, dan Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dikenai sanksi administratif berupa sanksi pembatasan kegiatan usaha, Perusahaan Asuransi, - 15 - Perusahaan Asuransi Syariah, dan Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib menghentikan kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based) sampai dicabutnya sanksi pembatasan kegiatan usaha. (4) Sanksi pembatasan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak membatalkan kewajiban Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi terhadap kontrak yang telah disepakati sampai berakhirnya kontrak tersebut dan tidak dapat diperpanjang. Pasal 9 Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang melakukan kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based) wajib memiliki sistem pengendalian internal secara tertulis terhadap produk berbasis imbalan jasa (fee based) yang akan dipasarkan, paling sedikit memuat: a. pemberian wewenang dan tanggung jawab yang dapat menghindari timbulnya benturan kepentingan (conflict of interest); b. prosedur operasi standar pelaksanaan kegiatan produk berbasis imbalan jasa (fee based); dan c. upaya dan tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki penyimpangan yang terjadi. Pasal 10 (1) Untuk mendapatkan persetujuan perluasan ruang lingkup usaha berbasis imbalan jasa (fee based) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi harus menyampaikan surat permohonan kepada OJK dengan melampirkan spesimen perjanjian kerja sama. (2) OJK memberikan persetujuan, penolakan, atau permintaan kelengkapan dokumen terhadap permohonan perluasan ruang lingkup usaha berbasis - 16 - jasa (fee based) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap. Pasal 11 (1) Apabila dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan dari OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi tidak melengkapi dokumen, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dianggap membatalkan permohonan perluasan ruang lingkup usaha berbasis imbalan jasa (fee based). (2) Apabila Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi tetap bermaksud melakukan perluasan ruang lingkup usaha berbasis imbalan jasa (fee based) setelah melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi harus menyampaikan kembali permohonannya kepada OJK. Pasal 12 (1) Total pendapatan jasa yang diperoleh Perusahaan Asuransi dari seluruh kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based) dilarang melebihi 25% (dua puluh lima persen) total pendapatan Premi bruto yang diperoleh Perusahaan Asuransi dalam satu periode tahun buku berdasarkan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit. (2) Total pendapatan jasa yang diperoleh Perusahaan Asuransi Syariah dari seluruh kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based) dilarang melebihi 50% (lima puluh persen) total ujrah (fee) Perusahaan Asuransi Syariah yang diterima dari kegiatan Usaha Asuransi Umum Syariah atau Usaha Asuransi Jiwa Syariah - 17 - dalam satu periode tahun buku berdasarkan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit. (3) Total pendapatan jasa yang diperoleh Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dari seluruh kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based) dilarang melebihi 50% (lima puluh persen) total ujrah (fee) dalam satu periode tahun buku berdasarkan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit. Pasal 13 Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Perusahaan Asuransi Umum yang melakukan perluasan ruang lingkup usaha pada kegiatan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship wajib memenuhi peraturan perundang-undangan di bidang penyelenggaraan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship serta memperhatikan peraturan perundang-undangan di bidang penjaminan. BAB III STANDAR PERILAKU USAHA Bagian Kesatu Pra Penjualan, Keagenan, dan Pialang Pasal 14 Perusahaan atau Unit Syariah wajib menyediakan dan/atau menyampaikan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang akurat, jelas, dan tidak menyesatkan kepada pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding terkait produk asuransi atau produk asuransi syariah yang dipasarkan. Pasal 15 (1) Dalam melakukan promosi atau iklan, Perusahaan atau Unit Syariah wajib melakukan upaya terbaik untuk memastikan bahwa informasi yang diberikan - 18 - dalam promosi atau iklan tersebut disampaikan secara akurat, jelas, dan tidak menyesatkan. (2) Perusahaan atau Unit Syariah wajib menarik materi iklan yang tidak akurat, tidak jelas, dan/atau dapat menyesatkan pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding. (3) Dalam hal OJK menilai materi iklan yang disampaikan tidak akurat, tidak jelas, dan/atau dapat menyesatkan pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding, OJK dapat meminta Perusahaan atau Unit Syariah untuk menarik materi iklan dimaksud dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal permintaan OJK. (4) Informasi yang diberikan untuk promosi atau iklan dalam bentuk brosur atau leaflet wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. mudah dimengerti; b. memuat manfaat yang akan diperoleh pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding dari produk yang ditawarkan; c. memuat proses pembayaran pengajuan klaim; d. memuat pengecualian yang berpengaruh terhadap proses persetujuan dan pembayaran klaim; e. tidak menyembunyikan, mengurangi, atau menghilangkan pernyataan penting; dan f. memuat pernyataan mengenai syarat dan ketentuan yang berlaku. (5) Informasi yang diberikan untuk promosi atau iklan selain brosur atau leaflet wajib memenuhi ketentuan paling sedikit sebagaimana diatur pada ayat (4) huruf a, huruf b, dan huruf f. Pasal 16 (1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang menggunakan Agen Asuransi wajib memastikan bahwa Agen Asuransi: - 19 - a. memiliki sertifikat keagenan sesuai dengan bidang usahanya; dan b. terdaftar di OJK. (2) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang menggunakan Agen Asuransi paling sedikit wajib: a. melaporkan Agen Asuransinya kepada asosiasi yang sesuai dengan bidang usahanya; dan b. membuat perjanjian secara tertulis dengan Agen Asuransi yang memasarkan produk asuransinya yang paling sedikit mencantumkan: 1. kode etik yang ditetapkan oleh asosiasi sesuai dengan bidang usahanya dalam perjanjian keagenan; 2. kewajiban Agen Asuransi untuk mematuhi kode etik atau sejenisnya yang ditetapkan oleh asosiasi Perusahaan Asuransi sesuai dengan bidang usahanya berikut sanksi yang dikenakan pada setiap pelanggaran yang dilakukan Agen Asuransi; dan 3. jangka waktu penyerahan Premi atau kontribusi kepada Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi, dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi memberikan kewenangan kepada Agen Asuransi untuk menerima Premi atau kontribusi. (3) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi menggunakan Agen Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi tersebut bertanggung jawab penuh terhadap konsekuensi yang timbul dari penutupan asuransi yang dilakukan oleh Agen Asuransi bersangkutan. - 20 - Pasal 17 (1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dilarang mengikat perjanjian dengan Agen Asuransi yang masih terikat perjanjian keagenan dengan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi lain yang sejenis. (2) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi mengikat perjanjian dengan Agen Asuransi yang merupakan Agen Asuransi yang masih bekerja sama dengan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi lain yang tidak sejenis, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib memastikan bahwa agen dimaksud telah mendapatkan persetujuan dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi tempat agen dimaksud bekerja sebelumnya. (3) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi mengikat perjanjian dengan Agen Asuransi yang merupakan Agen Asuransi yang berpindah dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi lain yang sejenis, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib memastikan bahwa Agen Asuransi dimaksud menyampaikan surat pernyataan yang menyatakan: a. telah menyelesaikan seluruh kewajibannya pada Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi sebelumnya; dan b. tidak melakukan twisting yaitu tindakan yang membujuk dan/atau mempengaruhi pemegang polis, tertanggung, atau peserta untuk merubah - 21 - spesifikasi polis yang ada atau mengganti polis yang ada dengan polis yang baru pada Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi lainnya, dan/atau membeli polis baru dengan menggunakan dana yang berasal dari polis yang masih aktif pada suatu Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi lainnya. Pasal 18 Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang mengunakan Agen Asuransi dalam memasarkan produknya wajib memastikan bahwa dalam kegiatan pemasarannya, Agen Asuransi paling sedikit telah melakukan tindakan sebagai berikut: a. menyampaikan identitas sebagai wakil sah dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dengan menunjukkan lisensi keagenan yang berlaku untuk Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang diwakilinya; b. menyampaikan informasi mengenai produk asuransi yang ditawarkan dan informasi penting yang terkait dengan syarat dan ketentuan polis dengan memperhatikan ketentuan peraturan OJK mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan; c. menyampaikan kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta atas penerimaan atau penolakan surat penutupan asuransi dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta paling lama 5 (lima) hari kerja sejak ada keputusan penerimaan atau penolakan pertanggungan; - 22 - d. menginformasikan dokumen yang diperlukan untuk pengajuan formulir permohonan penutupan asuransi; e. meminta dokumen yang diperlukan untuk pengajuan formulir permohonan dan dokumen lainnya yang dimintakan oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi untuk penutupan asuransi; dan f. memastikan pemegang polis, tertanggung, atau peserta mengisi seluruh formulir surat permohonan pertanggungan asuransi secara lengkap sesuai dengan dokumen yang disampaikan. Pasal 19 Dalam hal Agen Asuransi tidak lagi menjadi Agen Asuransi dari sebuah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dimaksud wajib: a. memberitahukan kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta yang penutupan asuransinya dilakukan melalui Agen Asuransi tersebut; dan b. memberikan informasi Agen Asuransi pengganti atau petugas pelayanan pelanggan (customer service officer). Pasal 20 Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib memberikan pengetahuan secara berkelanjutan paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun mengenai produk asuransi atau produk asuransi syariah yang dipasarkan termasuk tata cara pemasaran, dan prosedur pengajuan klaim kepada Agen Asuransi. Pasal 21 (1) Penyelesaian sengketa Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi sebagai akibat dari penggunaan - 23 - Agen Asuransi dalam rangka kegiatan pemasaran produk asuransi, diselesaikan secara musyawarah dan mufakat antara para pihak yang bersengketa. (2) Dalam hal tidak ditemukan kesepakatan antara para pihak yang bersengketa, penyelesaian sengketa diselesaikan melalui asosiasi yang sesuai dengan kegiatan usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi. Pasal 22 (1) Perusahaan atau Unit Syariah dapat menerima penutupan pertanggungan dari Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi. (2) Dalam hal Perusahaan atau Unit Syariah menerima bisnis dari Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi di luar negeri, Perusahaan atau Unit Syariah wajib memastikan bahwa Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi dimaksud telah memiliki izin usaha dari otoritas perasuransian di luar negeri. (3) Dalam hal Perusahaan atau Unit Syariah menutup risiko atas objek asuransi di dalam negeri dari Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan atau Unit Syariah wajib memastikan bahwa Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Asuransi dimaksud telah memiliki izin usaha dari OJK. Bagian Kedua Polis, Premi, atau Kontribusi Pasal 23 Dalam hal penutupan asuransi atau asuransi syariah dilakukan melalui Agen Asuransi, pertanggungan atau asuransi syariah dinyatakan mulai berlaku dan mengikat para pihak terhitung sejak Premi atau kontribusi diterima - 24 - oleh Agen Asuransi dan/atau Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi. Pasal 24 (1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib memastikan bahwa pemegang polis, tertanggung, atau peserta telah menerima polis dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah pembayaran Premi atau kontribusi dan pertanggungan dinyatakan diterima. (2) Dalam hal produk asuransi atau produk asuransi syariah memiliki jangka waktu pertanggungan lebih dari 1 (satu) tahun atau bukan merupakan produk asuransi mikro, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib memberikan kesempatan kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta untuk mempelajari polis dalam jangka waktu paling singkat 14 (empat belas) hari sejak pemegang polis, tertanggung, atau peserta menerima polis. (3) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dilarang melakukan investasi terhadap Premi yang diterima dari pembayaran polis yang dikaitkan dengan investasi, kecuali telah mendapatkan persetujuan tertulis dari pemegang polis, tertanggung, atau peserta yang menyatakan bahwa pemegang polis, tertanggung, atau peserta telah memahami risiko investasinya. (4) Dalam hal pemegang polis, tertanggung, atau peserta membatalkan pertanggungan atau asuransi syariah dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib mengembalikan paling sedikit sejumlah Premi - 25 - atau kontribusi yang telah dibayarkan dikurangi biaya, ditambah dengan hasil investasi atau dikurangi kerugian investasi yang telah mendapatkan persetujuan tertulis dari pemegang polis, tertanggung, atau peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib mengembalikan bagian Premi atau kontribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan pembatalan dari pemegang polis, tertanggung, atau peserta diterima secara lengkap oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi. Pasal 25 (1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib menginformasikan mengenai rincian biaya polis kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta. (2) Dalam hal tertanggung atau peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tertanggung atau peserta dari produk asuransi atau produk asuransi syariah yang dikaitkan dengan penyaluran kredit atau pembiayaan syariah rincian biaya polis dapat diinformasikan hanya kepada pemegang polis kecuali atas permintaan tertanggung atau peserta. Pasal 26 Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib menyampaikan rincian mengenai bagian dari Premi atau kontribusi yang dibayarkan kepada Perusahaan Pialang Asuransi di dalam polis atau dokumen yang merupakan kesatuan dengannya. - 26 - Pasal 27 (1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dapat memberikan persetujuan kepada Agen Asuransi melalui perjanjian keagenan atau peraturan internal lainnya untuk menerima pembayaran Premi atau kontribusi dari pemegang polis, tertanggung, atau peserta. (2) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib memastikan bahwa Agen Asuransi telah memberikan bukti penerimaan pembayaran Premi atau kontribusi kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta, dalam hal Agen Asuransi menerima pembayaran Premi atau kontribusi. Pasal 28 Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib bertanggung jawab atas pembayaran klaim atau manfaat yang timbul apabila Agen Asuransi telah menerima Premi atau kontribusi, tetapi belum menyerahkannya kepada Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi tersebut. Pasal 29 (1) Perusahaan atau Unit Syariah dapat membuka kesempatan kepada pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding untuk melakukan pembayaran Premi atau kontribusi melalui Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi. (2) Dalam hal pembayaran Premi atau kontribusi yang diterima oleh Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi telah diserahkan kepada Perusahaan atau Unit Syariah, pembayaran klaim atau manfaat yang timbul merupakan tanggung jawab Perusahaan atau Unit Syariah. - 27 - (3) Pembayaran klaim atau manfaat yang timbul sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku apabila: a. pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding membayar Premi atau kontribusi dalam jangka waktu pembayaran Premi atau kontribusi yang ditentukan di dalam polis atau perjanjian reasuransi; dan b. risiko yang terjadi dijamin di dalam polis atau perjanjian reasuransi. (4) Dalam hal Perusahaan atau Unit Syariah belum menerima pembayaran Premi atau kontribusi dari Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu yang ditentukan dalam polis, Perusahaan atau Unit Syariah dapat menerbitkan surat pembatalan polis atau perjanjian reasuransi kepada pialang asuransi untuk disampaikan kepada pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding dan Perusahaan atau Unit Syariah tidak bertanggung jawab atas pembayaran klaim atau manfaat yang timbul. (5) Dalam hal Perusahaan atau Unit Syariah tidak melakukan pembatalan polis atau perjanjian reasuransi dan menerima pembayaran Premi atau kontribusi melalui Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi setelah berakhirnya jangka waktu yang ditentukan di dalam polis atau perjanjian reasuransi, Perusahaan atau Unit Syariah wajib bertanggung jawab atas pembayaran klaim atau manfaat yang timbul sejak Premi atau kontribusi diterima. (6) Dalam hal Perusahaan atau Unit Syariah menerima pembayaran Premi Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi setelah berakhirnya jangka waktu yang atau kontribusi melalui - 28 - ditentukan di dalam polis atau perjanjian reasuransi dan tidak melakukan pembatalan polis atau perjanjian reasuransi dalam jangka waktu 3 (tiga) hari sejak Premi dan kontribusi diterima, Perusahaan atau Unit Syariah wajib bertanggung jawab atas pembayaran klaim atau manfaat yang timbul sejak Premi atau kontribusi diterima. (7) Dalam hal terjadi klaim sebelum Perusahaan atau Unit Syariah menerima pembayaran Premi atau kontribusi dari Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi, Perusahaan atau Unit Syariah wajib membantu pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding dalam penyelesaian klaim kepada Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi. (8) Dalam hal penyelesaian klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menggunakan perusahaan penilai kerugian asuransi, biaya yang timbul dapat dibebankan kepada Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi. (9) Dalam hal penutupan asuransi melalui Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dilarang melakukan off-set antara Premi atau kontribusi dengan klaim. Pasal 30 (1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib memberikan konfirmasi kepada Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi terhadap rincian pembayaran masing-masing polis atau perjanjian reasuransi yang disampaikan Perusahaan Pialang Asuransi dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah rincian pembayaran Premi atau kontribusi masing-masing polis atau perjanjian reasuransi diterima. - 29 - (2) Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Reasuransi wajib memberikan konfirmasi atau verifikasi kepada Perusahaan Pialang Reasuransi terhadap rincian pembayaran yang disampaikan Perusahaan Pialang Reasuransi dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah rincian pembayaran Premi atau kontribusi diterima. Pasal 31 (1) Perusahaan atau Unit Syariah wajib membayar imbalan jasa keperantaraan atau komisi yang menjadi hak Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah konfirmasi atas rincian pembayaran diterima oleh Perusahaan atau Unit Syariah, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian kerja sama. (2) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada yang Perusahaan Asuransi hanya dapat memberikan bagian dari Premi atau kontribusi merupakan imbalan keperantaraan atau komisi kepada pihak jasa yang terlibat dalam proses pemasaran produk asuransi atau asuransi syariah. Bagian Ketiga Perjanjian Reasuransi atau Perjanjian Reasuransi Syariah Pasal 32 Setiap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib memiliki dukungan reasuransi dalam bentuk perjanjian reasuransi atau perjanjian reasuransi syariah otomatis. - 30 - Pasal 33 (1) Perjanjian reasuransi atau perjanjian reasuransi syariah wajib dibuat secara tertulis dan tidak merupakan perjanjian yang menjanjikan keuntungan pasti bagi penanggung ulang atau reasuradur. (2) Perjanjian reasuransi atau perjanjian reasuransi syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat pernyataan bahwa dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan dilikuidasi, hak dan kewajiban Reasuransi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Reasuransi timbul dalam transaksi reasuransi tetap mengikat sampai dengan saat salah satu atau kedua Perusahaan tersebut dilikuidasi. Bagian Keempat Underwriting Pasal 34 Perusahaan atau Unit Syariah wajib memiliki pedoman underwriting untuk produk yang dipasarkan, yang mencerminkan bahwa pelaksanaan proses seleksi risiko dilakukan secara hati-hati dan sesuai dengan praktik perasuransian yang berlaku umum. Pasal 35 Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi sebelum melakukan penutupan asuransi wajib memastikan bahwa seluruh risiko yang ditanggung sudah ter-cover oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau yang - 31 - Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi bersangkutan dan/atau penanggung ulang/reasuradur. Bagian Kelima Penyelesaian Klaim Pasal 36 Perusahaan atau Unit Syariah wajib memiliki pedoman penyelesaian klaim untuk produk yang dipasarkan, yang mencerminkan bahwa penanganan klaim telah dilakukan melalui proses yang cepat, sederhana, mudah diakses, dan adil serta sesuai dengan praktik perasuransian yang berlaku umum. Pasal 37 (1) Perusahaan atau Unit Syariah dilarang melakukan tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim, atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan sehingga mengakibatkan keterlambatan penyelesaian atau pembayaran klaim. (2) Perusahaan atau Unit Syariah dapat menunjuk perusahaan penilai kerugian asuransi untuk melakukan penilaian terhadap klaim yang diajukan. (3) Dalam hal Perusahaan atau Unit Syariah menggunakan perusahaan penilai kerugian asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan atau Unit Syariah dilarang mengabaikan hasil penilaian kerugian tanpa didasari argumen yang kuat. Pasal 38 (1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi hanya dapat meminta dokumen sebagai persyaratan pengajuan klaim sesuai dengan yang tertera dalam polis. yang - 32 - (2) Dalam hal polis mencantumkan dokumen dan/atau syarat lain sebagai persyaratan pengajuan klaim, dokumen dan/atau syarat lain tersebut harus: a. relevan dengan pertanggungan; dan b. wajar dalam proses penyelesaian klaim. (3) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dilarang melakukan pembayaran klaim asuransi melalui pihak ketiga, kecuali Perusahaan Pialang Asuransi, pihak penyedia layanan klaim, atau pihak yang telah mendapatkan persetujuan dari penerima manfaat. Pasal 39 (1) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi menunjuk perusahaan penilai kerugian asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib menunjuk perusahaan penilai kerugian asuransi yang telah mendapat izin usaha dari OJK. (2) Penunjukan perusahaan penilai kerugian asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian kerja sama antara Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dengan perusahaan penilai kerugian asuransi. (3) Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib paling sedikit memuat: a. hak dan kewajiban perusahaan penilai kerugian asuransi dan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi; b. jangka waktu pembayaran imbalan jasa penilaian kerugian dan/atau imbalan jasa konsultasi terkait dengan kerugian yang terjadi atas objek asuransi; dan - 33 - c. ketentuan yang menyatakan bahwa setiap pelaksanaan penilaian kerugian atas objek asuransi oleh perusahaan penilai kerugian asuransi harus didasari penugasan tertulis atau surat perintah kerja dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi. (4) Penugasan tertulis atau surat perintah kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c mengatur kinerja, atau tahapan penyelesaian penilai kerugian. Pasal 40 (1) Perusahaan atau Unit Syariah wajib menyelesaikan pembayaran klaim sesuai jangka waktu pembayaran klaim atau manfaat yang ditetapkan dalam polis asuransi atau paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak adanya kesepakatan antara pemegang polis, tertanggung, atau peserta dengan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi, atau kepastian mengenai jumlah klaim yang harus dibayar, mana yang lebih singkat. (2) Dalam hal Perusahaan atau Unit Syariah diwajibkan membayar klaim berdasarkan putusan lembaga alternatif penyelesaian sengketa terkait, Perusahaan atau Unit Syariah pada Perusahaan wajib membayar klaim tersebut paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak putusan ditetapkan atau ditetapkan lain dalam putusan lembaga alternatif penyelesaian sengketa terkait. (3) Dalam hal proses penyelesaian klaim telah dilimpahkan kepada pengadilan, Perusahaan atau Unit Syariah wajib membayar klaim paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah adanya putusan pembayaran klaim yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) atau ditetapkan lain dalam putusan pengadilan. - 34 - (4) Perusahaan atau Unit Syariah dilarang melakukan pembayaran klaim melalui Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi kecuali atas persetujuan tertulis dari pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding. Bagian Keenam Keahlian di Bidang Perasuransian Pasal 41 (1) Perusahaan atau Unit Syariah wajib menerapkan segenap keahlian, perhatian, dan kecermatan dalam melayani atau bertransaksi dengan pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding. (2) Perusahaan atau Unit Syariah dalam melaksanakan kegiatan usahanya wajib memiliki tenaga ahli dan aktuaris yang sesuai dengan bidang usahanya. Pasal 42 (1) Tenaga ahli Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: a. melakukan evaluasi penerapan manajemen underwriting asuransi di Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi; b. melakukan evaluasi atas aspek teknis dalam proses reasuransi di Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi; c. melakukan evaluasi atas aspek teknis dalam proses penyelesaian klaim di Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi; d. turut serta dalam penerapan manajemen risiko di Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi - 35 - Syariah atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi; dan e. tugas dan tanggung jawab lain yang ditetapkan oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi. (2) Tenaga ahli Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi memiliki wewenang sebagai berikut: a. menerima atau menolak penutupan asuransi dalam jumlah tertentu yang ditetapkan oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi; dan b. wewenang lain yang ditetapkan oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi. Pasal 43 (1) Tenaga ahli Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Reasuransi memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: a. melakukan evaluasi penerapan manajemen underwriting reasuransi di Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Reasuransi; b. melakukan evaluasi atas aspek teknis dalam proses retrosesi di Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Reasuransi; c. melakukan evaluasi atas aspek teknis dalam proses penyelesaian klaim di Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Reasuransi; d. turut serta dalam penerapan manajemen risiko di Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi - 36 - Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Reasuransi; dan e. tugas dan tanggung jawab lain yang ditetapkan oleh Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Reasuransi. (2) Tenaga ahli Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Reasuransi memiliki wewenang sebagai berikut: a. menerima atau menolak pengajuan bisnis reasuransi dalam jumlah tertentu yang ditetapkan oleh Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Reasuransi; dan b. wewenang lain yang ditetapkan oleh Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Reasuransi. Pasal 44 (1) Aktuaris Perusahaan atau Unit Syariah memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: a. memastikan kualitas data statistik Perusahaan atau Unit Syariah; b. melakukan evaluasi atas tingkat kesehatan keuangan dan kecukupan modal Perusahaan atau Unit Syariah; c. merancang produk asuransi termasuk menentukan tarif Premi dan profitabilitas atas produk asuransi dimaksud; d. melakukan perhitungan cadangan teknis Perusahaan atau Unit Syariah; e. turut serta dalam penerapan manajemen risiko di Perusahaan atau Unit Syariah; f. melakukan evaluasi atas aspek aktuaria dalam proses reasuransi di Perusahaan atau Unit Syariah; - 37 - g. menyusun perkiraan kemampuan Perusahaan atau Unit Syariah untuk memenuhi kewajiban di masa depan; dan h. tugas dan tanggung jawab lain yang ditetapkan oleh Perusahaan atau Unit Syariah. (2) Aktuaris Perusahaan atau Unit Syariah memiliki wewenang sebagai berikut: a. menandatangani laporan aktuaris Perusahaan atau Unit Syariah; b. menandatangani laporan operasional Perusahaan atau Unit Syariah; c. menandatangani pengajuan pelaporan produk asuransi; dan d. wewenang lain yang ditetapkan oleh Perusahaan atau Unit Syariah. (3) Dalam melaksanakan tugasnya, aktuaris Perusahaan atau Unit Syariah wajib berpedoman pada kode etik dan standar perilaku yang disusun oleh asosiasi profesi di Indonesia. Bagian Ketujuh Penanganan Keluhan atau Pengaduan Pasal 45 (1) Perusahaan atau Unit Syariah wajib menyelesaikan setiap keluhan atau pengaduan terkait produk asuransi yang diajukan oleh pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding. (2) Perusahaan atau Unit Syariah wajib memiliki dan melaksanakan mekanisme penanganan keluhan atau pengaduan dari pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding. (3) Mekanisme pelayanan dan penyelesaian keluhan atau pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberitahukan kepada pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding. - 38 - (4) Mekanisme penanganan keluhan atau pengaduan diadministrasikan dan/atau didokumentasikan secara elektronik, dan dimuat ke dalam situs web Perusahaan. Pasal 46 (1) Perusahaan atau Unit Syariah wajib memiliki unit kerja dan/atau fungsi untuk menangani dan menyelesaikan keluhan atau pengaduan yang diajukan pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding. (2) Perusahaan atau Unit Syariah dilarang mengenakan biaya apapun kepada pemegang polis, tertanggung, peserta, atau pengajuan keluhan atau pengaduan. (3) Tata cara penyelesaian keluhan atau pengaduan sesuai dengan ketentuan yang peraturan OJK mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan dan peraturan OJK mengenai lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan. Bagian Kedelapan Sarana Komunikasi dan Teknologi Informasi Pasal 47 Perusahaan atau Unit Syariah wajib menyediakan berbagai sarana komunikasi dan informasi yang mudah untuk diakses oleh pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding, yang paling sedikit meliputi alamat surat, surat elektronik, telepon, faksimile, dan situs web. Pasal 48 (1) Situs web Perusahaan atau Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 wajib memuat informasi paling sedikit: diatur dalam Perusahaan Ceding terhadap - 39 - a. profil Perusahaan atau Unit Syariah yang secara lengkap antara lain mencantumkan: 1) izin usaha dari OJK atau otoritas lain sebelum terbentuknya OJK; 2) struktur organisasi dan nama pejabat Perusahaan atau Unit Syariah paling sedikit memuat direksi, dewan komisaris atau yang setara, dewan pengawas syariah, dan pejabat satu tingkat di bawah direksi; dan 3) jaringan, alamat, nomor telepon kantor di luar kantor pusat, dan nama pejabat kantor di luar kantor pusat; b. ringkasan informasi produk dari seluruh produk yang dipasarkan; c. prosedur dan cara bertransaksi; d. informasi tata cara pelayanan dan penyelesaian pengaduan; e. daftar Agen Asuransi yang masih aktif memasarkan produk Perusahaan atau Unit Syariah; f. penerapan tata kelola Perusahaan atau Unit Syariah yang termuat dalam laporan tahunan; g. informasi lainnya baik yang telah diwajibkan oleh peraturan lainnya maupun kebutuhan dari Perusahaan atau Unit Syariah; dan h. kinerja masing-masing sub dana investasi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi memasarkan PAYDI. (2) Perusahaan atau Unit Syariah wajib melakukan pengkinian informasi yang disajikan dalam situs web Perusahaan atau Unit Syariah paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah terjadi perubahan informasi - 40 - sebagaimana pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf h. (3) Dalam hal Perusahaan atau merupakan emiten Unit Syariah atau perusahaan publik, informasi yang dimuat dalam situs web Perusahaan atau Unit Syariah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan OJK mengenai situs web emiten atau perusahaan publik. Pasal 49 (1) Kegiatan usaha Perusahaan atau Unit Syariah wajib didukung dengan sistem pengelolaan data yang dapat menghasilkan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan dalam pengambilan keputusan. (2) Perusahaan atau Unit Syariah wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif dan terintegrasi dalam menggunakan sistem pengelolaan data. kepentingan (3) Untuk penegakan hukum, perlindungan, dan penegakan kedaulatan negara terhadap data warga negaranya, Perusahaan atau Unit Syariah wajib menempatkan data pada pusat data (data center) dan pusat pemulihan bencana (disaster recovery center) di wilayah Indonesia. Pasal 50 Data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3) wajib paling sedikit terdiri dari: a. data dan informasi terkait data pribadi pemegang polis, tertanggung, atau peserta; b. data dan informasi yang berkaitan dengan transaksi pembayaran Premi atau klaim; c. data dan informasi kependudukan; dan d. data dan informasi di bidang administrasi badan hukum. - 41 - Pasal 51 (1) Perusahaan atau menyelenggarakan Unit teknologi Syariah informasi dapat sendiri dan/atau menggunakan pihak penyedia jasa teknologi informasi. (2) Dalam hal Perusahaan atau menggunakan pihak penyedia Unit jasa Syariah teknologi informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Perusahaan atau Unit Syariah wajib: a. bertanggung jawab manajemen risiko; b. melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja penyedia jasa teknologi informasi; dan c. memberikan akses terhadap data, informasi dan database kepada OJK serta auditor internal dan eksternal Perusahaan atau Unit Syariah sewaktu-waktu apabila dibutuhkan. Pasal 52 Perusahaan atau Unit Syariah dapat menyelenggarakan kegiatan usahanya secara digital atau elektronik. BAB IV PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DALAM PENYELENGGARAAN USAHA ASURANSI UMUM SYARIAH, USAHA ASURANSI JIWA SYARIAH, DAN USAHA REASURANSI SYARIAH Pasal 53 Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip dasar sebagai berikut: a. dipenuhinya prinsip keadilan ('adl), dapat dipercaya (amanah), keseimbangan (tawazun), kemaslahatan (maslahah), dan keuniversalan (syumul); dan dalam penerapan - 42 - b. tidak mengandung hal-hal yang diharamkan, seperti ketidakpastian atau ketidakjelasan (gharar), perjudian (maysir), bunga (riba), penganiayaan (zhulm), suap (risywah), maksiat, dan objek haram. Pasal 54 (1) Polis asuransi syariah dan perjanjian reasuransi syariah wajib mengandung Akad Tabarru’ dan Akad Tijarah. (2) Polis anuitas syariah untuk program pensiun wajib mengandung Akad Hibah Tanahud dan Akad Tijarah. (3) Akad Tijarah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dapat berupa Akad Wakalah bil Ujrah, Akad Mudharabah, dan/atau Akad Mudharabah Musytarakah. (4) Penggunaan salah satu Akad Tijarah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan secara konsisten sampai berakhirnya polis asuransi syariah. (5) Dalam hal disepakati perubahan Akad Tijarah, penggunaan Akad Tijarah yang baru hanya dapat diterapkan pada polis asuransi syariah yang baru. (6) Dalam hal perubahan Akad Tijarah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terjadi untuk pengelolaan investasi Dana Tabarru’ atau Dana Tanahud, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah wajib memisahkan Dana Tabarru’ atau Dana Tanahud yang dikelola berdasarkan Akad Tijarah yang lama dari Dana Tabarru’ atau Dana Tanahud yang dikelola berdasarkan Akad Tijarah yang baru. (7) Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah dapat menggunakan Akad Tijarah dalam rangka pengelolaan investasi dari Dana Tabarru’ atau Dana Tanahud yang berbeda dengan Akad Tijarah dalam rangka kegiatan lain. (8) Berdasarkan Akad Wakalah bil Ujrah, Akad Mudharabah, dan Akad Mudharabah Musytarakah, - 43 - Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah wajib menanggung seluruh kerugian yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan risiko dan/atau kegiatan pengelolaan investasi yang diakibatkan oleh kesalahan yang disengaja, kelalaian, atau wanprestasi yang dilakukan Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah. Pasal 55 (1) Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah dapat menggunakan Akad selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) dalam penyelenggaraan Usaha Asuransi Syariah atau Usaha Reasuransi Syariah. (2) Penggunaan Akad sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dan terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari OJK. Pasal 56 (1) Akad Tabarru’ atau Akad Hibah Tanahud yang digunakan dalam polis asuransi syariah atau anuitas syariah untuk program pensiun tidak dapat diubah menjadi Akad Tijarah. (2) Akad Tabarru’ yang digunakan dalam polis asuransi syariah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) wajib memuat paling sedikit sebagai berikut: a. kesepakatan para pemegang polis atau peserta untuk saling tolong menolong (ta’awuni); b. hak dan kewajiban masing-masing pemegang polis atau peserta secara individu; c. hak dan kewajiban pemegang polis atau peserta secara kolektif dalam kelompok; d. cara dan waktu pembayaran kontribusi; e. cara dan waktu pembayaran santunan/klaim; - 44 - f. ketentuan mengenai boleh atau tidaknya kontribusi ditarik kembali oleh pemegang polis atau peserta dalam hal terjadi pembatalan oleh pemegang polis atau peserta; g. ketentuan mengenai alternatif dan persentase pembagian surplus underwriting; dan h. ketentuan lain yang disepakati. (3) Dalam Akad Tabarru’ harus dibentuk Dana Tabarru’ dari kontribusi pemegang polis atau peserta sejak awal perjanjian asuransi syariah atau perjanjian reasuransi syariah. (4) Akad Hibah Tanahud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat paling sedikit sebagai berikut: a. hak dan kewajiban masing-masing pemegang polis atau peserta secara individu; b. hak dan kewajiban pemegang polis atau peserta secara kolektif; c. hak dan kewajiban perusahaan sebagai pengelola anuitas syariah untuk program pensiun; d. cara dan waktu pembayaran kontribusi tanahud; e. cara dan waktu pembayaran manfaat anuitas syariah untuk program pensiun; dan f. ketentuan lain yang disepakati. Pasal 57 (1) Akad Wakalah bil Ujrah digunakan dalam kegiatan meliputi: a. kegiatan administrasi; b. pengelolaan dana; c. pembayaran klaim; d. underwriting; e. pengelolaan portofolio risiko; f. pemasaran; g. Investasi Dana Tabarru, Dana Tanahud, dan/atau Dana Investasi Peserta; dan/atau h. kegiatan lain sesuai dengan kesepakatan dalam polis. - 45 - (2) Akad Wakalah bil Ujrah wajib memuat paling sedikit sebagai berikut: a. objek/kegiatan yang dikuasakan pengelolaannya; b. hak dan kewajiban pemegang polis atau peserta secara kolektif dan/atau pemegang polis atau peserta secara individu sebagai muwakkil (pemberi kuasa); c. hak dan kewajiban Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah sebagai wakil (penerima kuasa); d. batasan kuasa atau wewenang yang diberikan pemegang polis atau peserta kepada Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah; e. besaran, cara, dan waktu pemotongan ujrah (fee); dan f. ketentuan lain yang disepakati. (3) Dalam hal pengelolaan investasi Dana Tabarru’, Dana Tanahud, atau Dana Investasi Peserta didasarkan Akad Wakalah bil Ujrah, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah tidak berhak memperoleh bagian dari hasil investasi. Pasal 58 (1) Akad Mudharabah digunakan dalam pengelolaan investasi Dana Tabarru’, Dana Tanahud, dan/atau pengelolaan investasi Dana Investasi Peserta. (2) Akad Mudharabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat paling sedikit sebagai berikut: a. hak dan kewajiban pemegang polis atau peserta secara kolektif dan/atau pemegang polis atau peserta secara individu sebagai shahibul maal (pemilik dana); b. hak dan kewajiban Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah sebagai mudharib (pengelola dana); - 46 - c. batasan wewenang yang diberikan pemegang polis atau peserta kepada Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah; d. bagi hasil (nisbah), cara, dan waktu pembagian hasil investasi; dan e. ketentuan lain yang disepakati. Pasal 59 (1) Akad Mudharabah Musytarakah digunakan dalam pengelolan investasi Dana Tabarru’, Dana Tanahud, dan/atau pengelolaan investasi Dana Investasi Peserta. (2) Akad Mudharabah Musytarakah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat paling sedikit sebagai berikut: a. hak dan kewajiban pemegang polis atau peserta secara kolektif dan/atau pemegang polis atau peserta secara individu sebagai shahibul maal (pemilik dana); b. hak dan kewajiban Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah sebagai mudharib (pengelola dana); c. batasan wewenang yang diberikan pemegang polis atau peserta kepada Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah; d. cara dan waktu penentuan besar kekayaan pemegang polis atau peserta dan kekayaan Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah; e. bagi hasil (nisbah), cara, dan waktu pembagian hasil investasi; dan f. ketentuan lain yang disepakati. - 47 - BAB V PENGALIHAN SEBAGIAN PORTOFOLIO PERTANGGUNGAN Pasal 60 (1) Pengalihan sebagian portofolio pertanggungan oleh Perusahaan atau Unit Syariah hanya dapat dilakukan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan OJK. (2) Pengalihan portofolio pertanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan bahwa pengalihan dimaksud: a. tidak mengurangi hak pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding; b. dilakukan kepada Perusahaan atau Unit Syariah yang memiliki bidang usaha yang sama; c. dilakukan kepada Perusahaan atau Unit Syariah yang telah memiliki produk sejenis atau jenis perjanjian reasuransi yang sejenis; dan d. tidak menyebabkan Perusahaan atau Unit Syariah yang menerima pengalihan dimaksud melanggar ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perasuransian. (3) OJK memberikan surat persetujuan atau penolakan atas pengalihan portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah surat permohonan persetujuan pengalihan portofolio diterima OJK, dalam hal OJK tidak memerlukan pemeriksaan langsung. (4) Dalam hal OJK menganggap perlu melakukan pemeriksaan langsung terkait dengan pengalihan portofolio dimaksud, OJK akan menyampaikan pemberitahuan pemeriksaan langsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah surat permohonan persetujuan pengalihan portofolio diterima OJK. (5) Dalam hal OJK melakukan pemeriksaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) OJK memberikan surat persetujuan atau penolakan atas pengalihan portofolio paling lama 14 (empat belas) hari - 48 - kerja sejak laporan hasil pemeriksaan langsung final ditetapkan. (6) Setelah mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Perusahaan atau Unit Syariah yang akan mengalihkan portofolio pertanggungan wajib terlebih dahulu: a. memberitahukan secara tertulis kepada setiap pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal surat persetujuan pengalihan portofolio; dan b. mengumumkan pengalihan tersebut pada situs web Perusahaan atau Unit Syariah dan surat kabar harian Indonesia yang berperedaran nasional paling singkat selama 3 (tiga) hari berturut-turut, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal surat persetujuan pengalihan portofolio. (7) Pemberitahuan dan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib paling sedikit memuat: a. jangka waktu penolakan pengalihan portofolio; b. akibat yang timbul dari penolakan pengalihan portofolio; dan c. mekanisme penyelesaian hak pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding yang menolak pengalihan portofolio. Pasal 61 (1) Perusahaan atau Unit Syariah wajib memberikan kesempatan kepada pemegang polis, tertanggung, peserta, atau menyampaikan Perusahaan penolakan Ceding pengalihan pertanggungannya kepada Perusahaan atau Unit Syariah lain dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (6) huruf b. untuk - 49 - (2) Dalam hal pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding menolak pertanggungannya dialihkan kepada Perusahaan atau Unit Syariah lain, pertanggungan menjadi berakhir dan Perusahaan atau Unit Syariah wajib mengembalikan hak pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding. Pasal 62 (1) Pengembalian hak pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dilakukan sebagai berikut: a. untuk polis asuransi atau asuransi syariah yang tidak memiliki unsur tabungan adalah sebesar jumlah yang dihitung secara proporsional berdasarkan sisa jangka waktu pertanggungan pada tanggal pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding menyampaikan penolakan atas pengalihan pertanggungannya (unearned premium), setelah dikurangi bagian Premi atau kontribusi yang telah dibayarkan kepada Perusahaan Pialang Asuransi dan/atau komisi agen; b. untuk reasuransi atau reasuransi syariah sebesar jumlah yang dihitung sesuai perjanjian reasuransi atau perjanjian reasuransi syariah pada tanggal Perusahaan Ceding menyampaikan penolakan atas pengalihan pertanggungannya (unearned premium), setelah dikurangi bagian Premi atau kontribusi yang telah dibayarkan kepada Perusahaan Pialang Reasuransi dan/atau komisi lainnya; c. untuk polis asuransi atau polis asuransi syariah yang memiliki unsur tabungan adalah sebesar nilai tunai pada tanggal pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding - 50 - menyampaikan penolakan atas pengalihan pertanggungannya; atau d. untuk polis asuransi PAYDI: 1) untuk Premi risiko atau kontribusi risiko berlaku ketentuan sebagaimana diatur pada huruf a; dan 2) untuk dana investasi adalah sebesar nilai tunai neto pada tanggal diterimanya penolakan pengalihan pertanggungan yang disampaikan oleh pemegang polis, tertanggung, atau peserta. (2) Pengembalian hak pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dibebankan dengan biaya administrasi termasuk biaya pengakhiran polis atau surrender charge. Pasal 63 (1) Perusahaan atau Unit Syariah wajib menyelesaikan pengalihan portofolio pertanggungannya dan/atau pengembalian hak pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat persetujuan dari OJK. (2) Perusahaan atau Unit Syariah wajib melaporkan hasil pelaksanaan pengalihan portofolio pertanggungan kepada OJK paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak pengalihan portofolio selesai dilakukan. BAB VI KERJA SAMA PERUSAHAAN DALAM RANGKA PEROLEHAN BISNIS DAN KERJA SAMA DALAM MELAKSANAKAN SEBAGIAN FUNGSI DALAM PENYELENGGARAAN USAHANYA Pasal 64 Perusahaan atau Unit Syariah dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka memperoleh bisnis - 51 - atau melaksanakan sebagian fungsi dalam penyelenggaraan usahanya. Pasal 65 (1) Kerja sama dalam rangka memperoleh bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat dilakukan oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dengan Agen Asuransi, bank, badan usaha selain bank, atau badan usaha yang mempekerjakan Agen Asuransi. (2) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi melakukan kerja sama dengan badan usaha yang mempekerjakan Agen Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib: a. memastikan badan usaha dimaksud tidak sedang terikat dalam perjanjian kerja sama dengan Perusahaan Asuransi yang sejenis, Perusahaan Asuransi Syariah yang sejenis, atau Unit Syariah yang sejenis pada Perusahaan Asuransi dengan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dimaksud; b. memastikan bahwa Agen Asuransi telah bekerja sama dengan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang telah bekerja sama dengan badan usaha yang mempekerjakan Agen Asuransi dimaksud; c. memastikan Agen Asuransi yang dipekerjakan oleh badan usaha dimaksud telah memenuhi ketentuan mengenai Agen Asuransi sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1); dan - 52 - d. melaporkan perjanjian kerja sama dengan badan usaha dimaksud kepada OJK. Pasal 66 (1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang melakukan kerja sama dengan bank atau badan usaha selain bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1), wajib memastikan bahwa pegawai bank atau badan usaha selain bank yang secara aktif memberikan penjelasan mengenai produk asuransi, memiliki sertifikasi Agen Asuransi yang diterbitkan oleh asosiasi industri asuransi terkait. (2) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi melakukan kerja sama dalam rangka memperoleh bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64, keputusan menerima atau menolak pertanggungan tetap menjadi kewenangan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam hal produk yang dipasarkan adalah produk asuransi mikro dan terhadap produk asuransi yang dipasarkan melalui bancassurance dengan model bisnis referensi. (4) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dilarang memberikan imbalan jasa keperantaraan selain kepada Agen Asuransi atau pihak lain yang memiliki perjanjian secara tertulis mengenai kerja sama pemasaran dalam memperoleh bisnis. (5) Kerja sama dalam rangka memperoleh bisnis wajib dilakukan dengan perseorangan dan/atau institusi yang memiliki izin usaha dari instansi yang berwenang dan tidak memiliki benturan kepentingan dengan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau - 53 - Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi. Pasal 67 (1) Kerja sama dalam rangka melaksanakan sebagian fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dilakukan kepada penyedia jasa dengan perjanjian alih daya. (2) Bentuk perjanjian alih daya dilakukan Perusahaan atau Unit Syariah melalui perjanjian: a. pemborongan pekerjaan; dan/atau b. penyediaan jasa tenaga kerja. (3) Perusahaan atau Unit Syariah hanya dapat melakukan perjanjian alih daya dengan perusahaan penyedia jasa yang memenuhi persyaratan paling sedikit: a. berbentuk badan hukum Indonesia; b. memiliki izin usaha yang masih berlaku dari instansi berwenang sesuai bidang usahanya; c. memiliki kinerja keuangan dan reputasi yang baik serta pengalaman yang cukup; d. memiliki sumber daya manusia yang mendukung pelaksanaan pekerjaan yang dialihdayakan; e. memiliki sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam alih daya; f. g. memiliki standar kompetensi sesuai dengan standar bisnisnya; dan tidak memiliki benturan kepentingan. (4) Perusahaan atau Unit Syariah dapat melakukan perjanjian alih daya dengan perusahaan penyedia jasa berbentuk badan hukum asing pada kegiatan: a. penelitian dan pengembangan produk; b. sistem informasi; dan/atau c. bidang lain yang belum dapat dipenuhi oleh perusahaan penyedia jasa di Indonesia. (5) Dalam hal Perusahaan atau Unit Syariah melakukan perjanjian alih daya dengan perusahaan penyedia - 54 - jasa berbadan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dilaporkan kepada OJK paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum perjanjian kerja sama ditanda tangani. (6) Perjanjian alih daya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memuat ketentuan yang mengatur paling sedikit mengenai jenis, nilai, dan jangka waktu pengalihan fungsi penyelenggaraan usaha. (7) Perusahaan atau Unit Syariah wajib melakukan pengendalian atas sebagian fungsi penyelenggaraan usaha yang dialihkan kepada pihak lain yang levelnya sama dengan pengendalian yang dilakukan di internal Perusahaan atau Unit Syariah. (8) Perusahaan atau Unit Syariah tetap bertanggung jawab terhadap fungsi yang dialihkan kepada perusahaan penyedia jasa. Pasal 68 (1) Kerja sama dalam rangka melaksanakan sebagian fungsi penyelenggaraan usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64, wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. dilakukan dengan perintah langsung dari Perusahaan atau Unit Syariah; b. tidak menghambat kegiatan Perusahaan atau Unit Syariah; dan c. dituangkan dalam perjanjian tertulis. (2) Dalam pelaksanaan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan atau Unit Syariah wajib memiliki dan menerapkan standar seleksi dan akuntabilitas. (3) Perusahaan atau Unit Syariah wajib memastikan bahwa kerja sama dalam rangka melaksanakan sebagian fungsi dilakukan sesuai dengan perjanjian yang dibuat dan ketentuan peraturan perundang- undangan. - 55 - Pasal 69 Perusahaan atau Unit Syariah dilarang melakukan kerja sama dalam rangka melaksanakan sebagian fungsi pada kegiatan: a. persetujuan underwriting; b. aktuaria; dan c. persetujuan klaim. BAB VII PENUTUPAN ASURANSI SECARA BERSAMA-SAMA (KO-ASURANSI) Pasal 70 (1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dapat melakukan penutupan pertanggungan melalui mekanisme penutupan asuransi secara bersama-sama (ko-asuransi). (2) Mekanisme penutupan asuransi secara bersama-sama (ko-asuransi) dapat dilakukan terhadap produk asuransi yang dirancang untuk dipasarkan dan risiko dikelola secara bersama-sama atau produk asuransi lainnya dalam rangka penyebaran risiko untuk satu objek pertanggungan yang dilakukan kasus per kasus. (3) Penutupan asuransi secara bersama-sama (ko- asuransi) dalam rangka penyebaran risiko untuk satu objek pertanggungan yang dilakukan kasus perkasus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang sebelumnya telah memasarkan produk asuransi pada lini usaha yang sama dengan yang akan dilakukan penutupan asuransi secara bersama-sama (ko-asuransi). (4) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi telah memiliki lini usaha yang sama namun belum - 56 - memiliki produk yang sama, penutupan asuransi secara bersama-sama (ko-asuransi) dapat dilakukan sepanjang Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi memiliki retensi sendiri yang cukup. Pasal 71 (1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang melakukan penutupan asuransi secara bersama-sama (ko-asuransi) dalam rangka penyebaran risiko untuk satu objek pertanggungan yang dilakukan kasus per kasus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2), wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. ketua (leader) penutupan asuransi secara bersama-sama (ko-asuransi) menanggung porsi risiko terbesar; b. proses pembayaran klaim dilakukan oleh ketua (leader) atau anggota (member) lain dengan persetujuan ketua (leader); dan c. dituangkan di dalam perjanjian tertulis dan/atau dokumen lainnya. (2) Perjanjian tertulis dan/atau dokumen lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib memuat paling sedikit sebagai berikut: a. susunan keanggotaan yang terdiri dari ketua (leader) dan anggota (member); b. ketua (leader) memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan underwriting dan persetujuan klaim; c. cara pembayaran Premi dan/atau kontribusi oleh pemegang polis, tertanggung, atau peserta; dan d. prosedur penerimaan dan penerusan Premi dan/atau kontribusi antara ketua (leader) dan anggota (member). (3) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib - 57 - mencantumkan nama Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dan porsi pertanggungan dari setiap anggota penutupan asuransi secara bersama- sama (ko-asuransi) dalam polis. (4) Penerbitan polis asuransi dilakukan oleh ketua (leader). (5) Ketua (leader) wajib menjelaskan kepada pemegang polis, tertanggung, (ko-asuransi) atau peserta sebelum penutupan mengenai keanggotaan penutupan asuransi secara bersama- sama pertanggungan. (6) Pembayaran klaim terhadap pertanggungan yang dilakukan penutupan asuransi secara bersama-sama (ko-asuransi) wajib dibayarkan secara keseluruhan sesuai dengan jumlah klaim yang telah disepakati tanpa pertanggungan harus menunggu pembayaran dari masing-masing porsi anggota penutupan asuransi secara bersama-sama (ko- asuransi). (7) Dalam hal pembayaran klaim terhadap pertanggungan yang dilakukan penutupan asuransi secara bersama- sama (ko-asuransi) sebagaimana dimaksud pada ayat (6) telah dibayar oleh ketua (leader) atau salah satu anggota (member), anggota (member) lainnya wajib membayar kewajiban sesuai porsinya paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak seluruh klaim dibayarkan. BAB VIII FRAUD Bagian Kesatu Anti Fraud Pasal 72 (1) Dalam rangka mengendalikan risiko terjadinya fraud, Perusahaan atau Unit Syariah wajib melaksanakan - 58 - fungsi pengendalian fraud dan menerapkan strategi anti fraud. (2) Fungsi pengendalian fraud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek sebagai berikut: a. pengawasan aktif manajemen; b. organisasi dan pertanggungjawaban; c. pengendalian dan pemantauan; dan d. edukasi dan pelatihan. (3) Dalam rangka melaksanakan aspek pengendalian dan pemantauan fraud sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, Perusahaan atau Unit Syariah wajib menerapkan strategi anti fraud yang meliputi: a. pencegahan; b. c. deteksi; investigasi, pelaporan dan sanksi; dan d. pemantauan, evaluasi, dan tindak lanjut. (4) Perusahaan atau Unit Syariah wajib menyampaikan laporan strategi anti fraud kepada OJK sebagai berikut: a. laporan penerapan strategi anti fraud setiap semester untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah akhir bulan; setiap b. laporan fraud yang diperkirakan berdampak negatif secara signifikan terhadap Perusahaan atau Unit Syariah, pemegang polis, tertanggung, peserta dan/atau Perusahaan Ceding termasuk yang berpotensi menjadi perhatian publik, paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak manajemen perusahaan menandatangani dokumen pelaporan fraud; dan c. laporan sebagaimana dimaksud pada huruf b paling sedikit memuat: 1) nama pelaku; 2) bentuk atau jenis penyimpangan; 3) tempat kejadian; 4) informasi singkat mengenai modus; dan - 59 - 5) indikasi kerugian. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian fraud dan penerapan strategi anti fraud bagi Perusahaan atau Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan laporan strategi anti fraud sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran OJK. Bagian Kedua Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Pasal 73 (1) Perusahaan atau Unit Syariah wajib menerapkan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. (2) Dalam menerapkan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan atau Unit Syariah wajib mengacu pada peraturan OJK mengenai penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. BAB IX PROGRAM ASURANSI WAJIB Pasal 74 (1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dapat menyelenggarakan Program Asuransi Wajib. (2) Program Asuransi Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk melayani seluruh masyarakat atau golongan masyarakat tertentu. (3) Program Asuransi Wajib yang diselenggarakan oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dilaksanakan secara kompetitif. - 60 - Pasal 75 (1) Program Asuransi Wajib dapat dilakukan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi sesuai dengan ruang lingkup usahanya dan wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memiliki kantor di luar kantor pusat Program Asuransi Wajib yang dapat mendukung Program Asuransi Wajib kecuali diselenggarakan oleh pemerintah daerah; b. memiliki tingkat solvabilitas (risk based capital) 200% (dua ratus persen); c. memiliki tingkat likuiditas 150% (seratus lima puluh persen); dan d. memiliki pegawai yang telah memperoleh pelatihan terkait pengelolaan risiko Program Asuransi Wajib. (2) Program Asuransi Wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) dapat diselenggarakan secara individual maupun secara konsorsium. Pasal 76 (1) Setiap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi secara individual maupun konsorsium yang menyelenggarakan Program Asuransi Wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari OJK. (2) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu kepada ketentuan mengenai persetujuan dan pencatatan produk asuransi sebagaimana diatur dalam peraturan OJK mengenai produk asuransi dan pemasaran asuransi. yang - 61 - BAB X SANKSI Pasal 77 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 8 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 9, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, ayat (3), dan ayat (4), Pasal 24, Pasal 25 ayat (1), Pasal 26, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, Pasal 29 ayat (5), ayat (6), dan ayat (8), Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 38 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 40, Pasal 41, Pasal 44 ayat (3), Pasal 45 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 47, Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 ayat (2), Pasal 53, Pasal 54 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (8), Pasal 55 ayat (2), Pasal 56 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 57 ayat (2), Pasal 58 ayat (2), Pasal 59 ayat (2), Pasal 60 ayat (1), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 61, Pasal 63, Pasal 65 ayat (2), Pasal 66 ayat (1), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 67 ayat (3), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 68, Pasal 69, Pasal 71 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 72 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 73, Pasal 75 ayat (1), dan Pasal 76 ayat (1) Peraturan OJK ini dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha; dan c. pencabutan izin usaha. - 62 - (2) Dalam hal pelanggaran ketentuan dalam Pasal 3, Pasal 5, Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9, Pasal 12 ayat (3), Pasal 14, Pasal 15 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, ayat (3), dan ayat (4), Pasal 24, Pasal 25 ayat (1), Pasal 26, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, Pasal 29 ayat (5), ayat (6), dan ayat (8), Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 38 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 40, Pasal 41, Pasal 44 ayat (3), Pasal 45 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 47, Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 ayat (2), Pasal 53, Pasal 54 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (8), Pasal 55 ayat (2), Pasal 56 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 57 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 58 ayat (2), Pasal 59 ayat (2), Pasal 60 ayat (1), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 61, Pasal 63, Pasal 65 ayat (2), Pasal 66 ayat (1), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 67 ayat (3), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 68, Pasal 69, Pasal 71 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 72 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 73, Pasal 75 ayat (1), dan Pasal 76 ayat (1) Peraturan OJK ini dilakukan oleh Unit Syariah dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha Unit Syariah, untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha; dan c. pencabutan izin pembentukan Unit Syariah. (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dilakukan secara bertahap. - 63 - (4) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), OJK dapat menambahkan sanksi tambahan berupa: a. larangan untuk memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah untuk lini usaha tertentu; dan/atau b. larangan menjadi pemegang saham, pengendali, direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, pengendali, direksi, dan dewan komisaris, atau menduduki jabatan eksekutif di bawah direksi, atau yang setara dengan jabatan eksekutif di bawah direksi, pada perusahaan perasuransian. (5) OJK dapat mengenakan sanksi pencabutan izin usaha tanpa didahului pengenaan sanksi administratif yang lain terhadap pelanggaran ketentuan Pasal 8 ayat (3) Peraturan OJK ini. Pasal 78 (1) Dalam hal Perusahaan melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 76 ayat (1) dikenai sanksi administratif tambahan berupa denda administratif. (2) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan denda administratif sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk penggunaan setiap Agen Asuransi. (3) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 76 ayat (1) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan denda administratif Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). sebesar Peraturan OJK ini - 64 - Pasal 79 Prosedur dan tata cara pengenaan sanksi diatur dalam peraturan OJK mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif. BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 80 (1) Perusahaan Asuransi Umum yang telah menyelenggarakan kegiatan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship sebelum berlakunya Peraturan OJK ini, wajib melakukan penyesuaian terhadap (2) Dalam hal ketentuan dalam Peraturan OJK ini paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan. peraturan pelaksanaan mengenai penyelenggaraan kegiatan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship belum ditetapkan ketentuan mengenai penyelenggaraan kegiatan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship tunduk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Suretyship. Pasal 81 (1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang telah melakukan kegiatan usaha berbasis imbal jasa (fee based) pada administrative service only (ASO) sebelum Peraturan OJK ini diundangkan, tetap berlaku sampai berakhirnya perjanjian administrative service only (ASO) dimaksud. (2) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang telah melakukan penutupan asuransi dalam rangka penyebaran risiko untuk satu objek pertanggungan yang dilakukan secara kasus per kasus sebelum - 65 - Peraturan OJK ini diundangkan, tetap berlaku sampai berakhirnya pertanggungan dimaksud. (3) Perusahaan atau Unit Syariah yang telah melakukan kerja sama dalam rangka perolehan bisnis atau kerja sama dalam rangka melaksanakan sebagian fungsi dalam penyelenggaraan usahanya sebelum Peraturan OJK ini diundangkan, tetap berlaku sampai berakhirnya kerja sama dimaksud. Pasal 82 Dalam hal peraturan OJK mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif belum diundangkan, ketentuan mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif tunduk pada Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Pasal 83 Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang telah menempatkan data pada pusat data (data center) dan pusat pemulihan bencana (disaster recovery center) di luar wilayah Indonesia pada saat Peraturan OJK ini diundangkan, wajib menyesuaikan dengan Peraturan OJK ini dalam jangka waktu paling lambat tanggal 12 Oktober 2017. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 84 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 66 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 302 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 69/POJK.05/2016 </reg_id> <reg_title> PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI, DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH </reg_title> <set_date> 23 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 28 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 28 Desember 2016 </issued_date> <related_reg> '40/UU/2014', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 51 /POJK.04/2015 TENTANG PERILAKU PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk Perusahaan Pemeringkat Efek beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap perilaku Perusahaan Pemeringkat Efek, maka peraturan mengenai Perilaku Perusahaan Pemeringkat Efek yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perilaku Perusahaan Pemeringkat Efek; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERILAKU PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Pemeringkat Efek adalah Penasihat Investasi berbentuk Perseroan Terbatas yang melakukan kegiatan pemeringkatan dan memberikan peringkat. 2. Peringkat adalah opini tentang kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran secara tepat waktu oleh suatu Pihak: a. sebagai entitas (company rating); dan/ atau b. berkaitan dengan Efek yang diterbitkan oleh Pihak yang diperingkat (instrument rating). BAB II KEWAJIBAN DAN LARANGAN Bagian Kesatu Perusahaan Pemeringkat Efek - 3 - Pasal 2 Perusahaan Pemeringkat Efek yang mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan wajib melakukan kegiatan pemeringkatan melalui analisis yang mendalam (in-depth analysis), dilakukan secara independen, bebas dari pengaruh pihak yang memanfaatkan jasa Perusahaan Pemeringkat Efek, objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan dalam pemberian Peringkat. Pasal 3 (1) Perusahaan Pemeringkat Efek wajib: a. bersikap objektif, dan independen dalam melaksanakan kegiatan pemeringkatan; b. memiliki prosedur dan metodologi tertulis sebagai pedoman dan prinsip dasar dalam setiap tahapan pada proses pemeringkatan termasuk jangka waktu penyelesaiannya, dengan ketentuan prosedur dan metodologi pemeringkatan wajib memenuhi kondisi paling sedikit: 1. tepat, sistematis, dan telah melalui tahapan pengujian; 2. telah diuji kehandalannya; dan 3. penerapannya wajib sesuai dengan objek pemeringkatan dan jenis industrinya; c. menerapkan dan menaati prosedur dan metodologi sebagaimana dimaksud pada huruf b secara konsisten; d. menerapkan tahapan proses pemeringkatan yang mencakup paling sedikit: 1. pemaparan atas metodologi pemeringkatan kepada pengguna jasa, dalam hal Perusahaan Pemeringkat Efek melakukan pemeringkatan karena permintaan, baik permintaan dari pihak yang diperingkat maupun permintaan pihak lain; - 4 - 2. pelaksanaan survei, pengumpulan, dan penelitian berbagai informasi yang menjadi sumber pemeringkatan baik kualitatif maupun kuantitatif termasuk dari atau melalui manajemen Pihak yang diperingkat dan/atau Pihak yang Efeknya diperingkat; 3. proses analisa dan penetapan Peringkat; 4. proses keberatan oleh Pihak yang diperingkat dan/atau Pihak yang Efeknya diperingkat; 5. publikasi hasil Peringkat; dan 6. pemantauan hasil Peringkat; e. melakukan kaji ulang secara berkala paling sedikit 3 (tiga) tahun sekali terhadap prosedur dan metodologi pemeringkatan serta penerapannya, untuk memastikan kualitas, konsistensi, dan objektivitas proses pemeringkatan; f. bertanggung jawab atas setiap hasil Peringkat yang dikeluarkan; g. mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah dikeluarkannya hasil Peringkat yang tidak mencerminkan kemampuan sebenarnya Pihak yang diperingkat dan/atau Pihak yang Efeknya diperingkat; h. menjamin keberlanjutan dan ketersediaan analis dalam setiap proses pemeringkatan; i. memastikan analisnya bekerja sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya; j. melakukan keterbukaan prosedur dan metodologi pemeringkatan dengan pihak yang diperingkat, investor, partisipan pasar lainnya dan masyarakat; k. memantau entitas (company rating) dan/atau Efek yang diterbitkan oleh Pihak yang diperingkat (instrument rating) secara terus menerus sesuai dengan prosedur standar operasi pemeringkatan; l. mengkaji ulang secara berkala hasil Peringkat yang telah dikeluarkan; - 5 - m. mengkaji ulang hasil Peringkat yang telah dikeluarkan dalam hal terdapat fakta material atau kejadian penting yang dapat mempengaruhi hasil Peringkat; n. memastikan bahwa data dan informasi yang diperoleh dalam rangka proses pemeringkatan adalah relevan dan dapat dipercaya atau berasal dari sumber yang dapat dipercaya; o. mendistribusikan secara tepat waktu setiap hasil Peringkat sesuai dengan perjanjian pemeringkatan; p. mengungkapkan hasil pemutakhiran atas setiap hasil Peringkat yang dikeluarkannya sesuai dengan yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku atau dalam hal terdapat informasi yang material yang menyebabkan perubahan hasil Peringkat; q. mempunyai sistem yang memastikan bahwa informasi yang bersifat rahasia yang diterima dari Pihak yang diperingkat, Pihak yang Efeknya diperingkat dan/atau Pihak lain, tidak diketahui dan/atau tidak dimanfaatkan oleh pihak lain, kecuali diwajibkan berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku; r. menggunakan informasi rahasia hanya untuk tujuan yang berkaitan dengan aktivitas pemeringkatan atau aktivitas lainnya yang sesuai dengan perjanjian dengan Pihak yang diperingkat dan/atau Pihak yang Efeknya diperingkat; s. mempunyai Komite Pemeringkat dan pejabat kepatuhan; t. menetapkan secara jelas keberadaan, kewenangan, dan tanggung jawab pejabat kepatuhan; u. memiliki persyaratan dan kualifikasi anggota Komite Pemeringkat secara tertulis. Persyaratan dan kualifikasi anggota Komite Pemeringkat ini wajib disusun untuk menjamin keberlangsungan dan kualitas hasil pemeringkatan; - 6 - v. memastikan bahwa pejabat kepatuhan dapat melaksanakan fungsinya secara independen dan objektif; w. memiliki persyaratan dan kualifikasi analis secara tertulis dan menerapkannya untuk menjamin keberlangsungan dan kualitas proses pemeringkatan; x. menetapkan kompetensi analisnya; y. menjamin bahwa analisnya melakukan analisa yang memadai dan pemantauan yang cermat; dan z. menjamin bahwa seluruh analis Perusahaan Pemeringkat Efek meningkatkan kemampuan yang terkait dengan pemeringkatan melalui pelatihan yang memadai. (2) Dalam hal hasil kaji ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e mengakibatkan perlu dilakukan perubahan prosedur dan metodologi pemeringkatan, maka Perusahaan Pemeringkat Efek wajib melakukan perubahan dan menyampaikan prosedur dan metodologi tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah terjadinya perubahan. (3) Kewajiban sebagaimana diatur pada ayat (1) huruf l dan huruf m tidak berlaku jika: a. Pemeringkatan yang dilakukan berdasarkan perjanjian yang hanya menghasilkan 1 (satu) kali pemeringkatan; dan/atau b. Pemeringkatan yang dilakukan tanpa permintaan Pihak tertentu, dimana Perusahaan Pemeringkat Efek telah menyatakan bahwa Perusahaan Pemeringkat Efek tersebut telah menghentikan kegiatan pemeringkatan atas Pihak atau Efek tertentu. Pasal 4 Perusahaan Pemeringkat Efek dilarang: - 7 - a. memberikan rekomendasi yang dapat mempengaruhi keputusan investasi pemodal; b. memberikan kepastian dan/atau jaminan baik secara implisit maupun eksplisit atas hasil Peringkat tertentu sebelum selesainya proses pemeringkatan; c. melakukan kegiatan usaha yang tidak berkaitan dengan kegiatan pemeringkatan, kecuali kegiatan usaha yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan; d. memberikan data dan/atau informasi yang bersifat rahasia yang digunakan untuk melakukan pemeringkatan dan/atau untuk tujuan lain selain untuk keperluan kegiatan pemeringkatan kepada pihak lain, kecuali telah memperoleh persetujuan dari Pihak yang memiliki data dan/atau informasi rahasia tersebut atau dalam rangka pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan/atau Pihak lain sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku dan/atau untuk kepentingan peradilan; e. menentukan hasil Peringkat berdasarkan hal lain selain faktor-faktor yang relevan dengan objek pemeringkatan; f. memberikan rekomendasi mengenai struktur Produk Keuangan Terstruktur (structured finance product) yang sedang diperingkatnya; g. melakukan pemeringkatan suatu objek pemeringkatan apabila: 1. Efek yang akan diperingkat diterbitkan oleh Pihak yang mempunyai hubungan Afiliasi dengan Perusahaan Pemeringkat Efek, baik langsung maupun tidak langsung; 2. Perusahaan Pemeringkat Efek, komisaris, atau direkturnya mempunyai kepentingan atas Efek dan/atau entitas yang akan diperingkat dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir sebelum melakukan kegiatan pemeringkatan dan/atau selama Perusahaan Pemeringkat Efek melakukan pemeringkatan; atau - 8 - 3. Karyawan yang melakukan analisis pemeringkatan mempunyai kepentingan atas Efek dan/atau Entitas yang akan diperingkat; h. menetapkan syarat atau tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh Pihak yang meminta untuk diperingkat, agar menghasilkan Peringkat tertentu; dan/atau i. memberikan kompensasi kepada analis yang melakukan pemeringkatan dengan mendasarkan pada besarnya biaya pemeringkatan yang dibayar oleh Pihak yang diperingkat atau Pihak yang Efeknya diperingkat. Bagian Kedua Komite Pemeringkat dan Pejabat Kepatuhan Pasal 5 (1) Komite Pemeringkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf s wajib: a. memiliki wewenang dan tanggung jawab secara jelas; b. bertindak secara independen dan objektif; dan c. menerapkan sistem pengambilan keputusan mengenai hasil peringkat berdasarkan asas setiap anggota komite pemeringkat hanya memiliki satu suara. (2) Pejabat kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf s wajib: a. bertindak secara independen dan objektif; b. membuat rekomendasi yang dianggap perlu dalam hal ditemukan atau diketahui terjadinya pelanggaran pedoman perilaku Perusahaan Pemeringkat Efek, atau tindakan melawan hukum dan/atau pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang dilakukan oleh karyawan Perusahaan Pemeringkat Efek; dan c. menjaga kerahasiaan identitas pelapor dan isi laporan tentang pelanggaran sebagaimana dimaksud pada huruf b, dan mengadministrasikan laporan - 9 - tersebut serta tindakan yang telah dilakukan terhadap pelanggaran dimaksud. Bagian Ketiga Karyawan Perusahaan Pemeringkat Efek Pasal 6 Setiap karyawan Perusahaan Pemeringkat Efek wajib mengambil semua tindakan yang dianggap perlu untuk menjaga aset dan catatan-catatan yang dimiliki Perusahaan Pemeringkat Efek dari kecurangan, pencurian, dan penyalahgunaan. Pasal 7 Setiap karyawan Perusahaan Pemeringkat Efek dilarang: a. memberikan dan/atau menyebarluaskan data dan/atau informasi yang bersifat rahasia yang digunakan untuk melakukan pemeringkatan dan/atau untuk tujuan lain selain untuk keperluan kegiatan pemeringkatan kepada siapapun kecuali dalam rangka pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan/atau Pihak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau untuk kepentingan peradilan; b. meminta dan menerima uang, hadiah, atau bantuan dari setiap pihak yang menjalin kerjasama bisnis dengan Perusahaan Pemeringkat Efek; dan c. berpartisipasi atau mempengaruhi proses penetapan Peringkat, jika karyawan tersebut: 1. pernah menjadi karyawan atau mempunyai hubungan usaha dengan Pihak yang diperingkat atau Pihak yang Efeknya diperingkat yang dapat menyebabkan benturan kepentingan dalam 6 (enam) bulan terakhir; dan/atau 2. mempunyai hubungan Afiliasi dengan Pihak yang diperingkat selama proses pemeringkatan yang dapat - 10 - menyebabkan benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung. Bagian Keempat Analis Pasal 8 Analis yang bertanggung jawab terhadap kegiatan pemeringkatan dilarang melakukan kegiatan yang berkaitan dengan pemasaran produk Perusahaan Pemeringkat Efek, yaitu: a. melakukan kegiatan pemasaran jasa pemeringkatan; b. melakukan kegiatan penjualan hasil penelitian analis yang berkaitan dengan pemeringkatan; dan/atau c. berpartisipasi atau berdiskusi tentang fee atau pembayaran dengan setiap Pihak yang diperingkat; dan/atau d. kegiatan lain yang berkaitan dengan pemasaran produk Perusahaan Pemeringkat Efek. BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 9 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan - 11 - g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 10 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 11 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 kepada masyarakat. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 12 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-155/BL/2009 tanggal 22 Juni 2009 tentang Perilaku Perusahaan Pemeringkat Efek beserta Peraturan Nomor V.H.3 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. - 12 - Pasal 13 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 23 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 29 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H.LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 402 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 51 /POJK.04/2015 TENTANG PERILAKU PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu untuk melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK yaitu Peraturan Nomor V.H.3, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep- 155/BL/2009 tentang Perilaku Perusahaan Pemeringkat Efek, tanggal 22 Juni 2009. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m - 3 - Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Huruf q Cukup jelas. Huruf r Cukup jelas. Huruf s Cukup jelas. Huruf t Cukup jelas. Huruf u Cukup jelas. Huruf v Cukup jelas. Huruf w Cukup jelas. Huruf x Penetapan kompetensi analis Perusahaan Pemeringkat Efek dengan mempertimbangkan antara lain tingkat pendidikan, pengalaman dalam sektor industri pemeringkatan, dan pengalaman dalam menganalisa sektor industri tertentu. Huruf y Cukup jelas. Huruf z Pelatihan yang memadai antara lain melalui program pelatihan dan program pendidikan yang berkelanjutan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 - 4 - Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Mekanisme penetapan dilakukan dengan terlebih dahulu meminta persetujuan untuk melakukan kegiatan usaha lain kepada OJK. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Produk Keuangan Terstruktur (structured finance product) antara lain Efek Beragun Aset, Real Estate Investment (REITs). Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. - 5 - Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5820
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 51/POJK.04/2015 </reg_id> <reg_title> PERILAKU PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK </reg_title> <set_date> 23 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 29 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-155/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009', 'Kep-155/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor V.H.3' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 48 /POJK.04/2016 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk terkait dengan pengaturan mengenai tata cara pembuatan peraturan oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap tata cara pembuatan peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, peraturan mengenai tata cara pembuatan peraturan oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; - 2 - c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Bursa Efek adalah Pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli Efek Pihak- Pihak lain dengan tujuan memperdagangkan Efek di antara mereka. 2. Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah Pihak yang menyelenggarakan jasa kliring dan penjaminan penyelesaian Transaksi Bursa. 3. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah Pihak yang menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi Bank Kustodian, Perusahaan Efek, dan Pihak lain. - 3 - 4. Dewan Komisaris adalah organ Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. BAB II PEMBUATAN PERATURAN LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN Bagian Kesatu Persyaratan Penyusunan Peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian Pasal 2 (1) Peraturan atau perubahan peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dibuat dengan memperhatikan pendapat dari pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Pihak yang berkepentingan lainnya. (2) Peraturan atau perubahan peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan Dewan Komisaris sebelum diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk memperoleh persetujuan. Pasal 3 (1) Permohonan persetujuan peraturan atau perubahan peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangkap 4 (empat) dengan menggunakan format surat Permohonan Persetujuan Peraturan atau Perubahan Peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini disertai dengan dokumen sebagai berikut: - 4 - a. peraturan yang dimintakan persetujuan; b. persetujuan Dewan Komisaris; c. pendapat pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan d. pendapat pihak yang berkepentingan dengan peraturan dimaksud. (2) Dalam permohonan dijelaskan alasan permohonan yang paling sedikit menyangkut latar belakang penyusunan peraturan, masalah yang dihadapi, dan cara pemecahannya. Bagian Kedua Penelaahan Permohonan Persetujuan Peraturan atau Perubahan Peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian Pasal 4 (1) Dalam rangka memproses permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan peraturan atau perubahan peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta untuk mengubah materi perubahan peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan/atau meminta tambahan informasi yang berhubungan dengan peraturan dimaksud. (3) Dalam hal perubahan dan/atau tambahan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan, permohonan perubahan peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dihitung sejak tanggal diterimanya perubahan atau tambahan informasi tersebut oleh Otoritas Jasa Keuangan. - 5 - BAB III PENAFSIRAN PERATURAN LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN DAN KETENTUAN INTERNAL LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN Pasal 5 Penafsiran atas peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk memperjelas pengertiannya tetapi tidak mengubah atau menambah pengertian dimaksud, dan ketentuan mengenai pelaksanaan kegiatan internal Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang menyangkut bidang kepegawaian Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, penggunaan tanda pengenal dan standar prosedur operasi kegiatan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian berlaku pada saat diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 6 Pemberitahuan oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai penafsiran atas peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan ketentuan mengenai pelaksanaan kegiatan internal Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, disampaikan dengan menggunakan format surat Pemberitahuan atas Penafsiran Peraturan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian atau Peraturan Kegiatan Internal Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, disertai dengan penjelasan dan latar belakang penyusunannya. Pasal 7 Otoritas Jasa Keuangan dapat membatalkan penafsiran dan ketentuan mengenai kegiatan internal Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak berlakunya peraturan dimaksud. - 6 - BAB IV KETENTUAN SANKSI Pasal 8 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 9 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 7 - Pasal 10 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 kepada masyarakat. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 11 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-13/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, beserta Peraturan Nomor III.C.2 yang merupakan lampirannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 12 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 8 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 277 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 48 /POJK.04/2016 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. -2- Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu untuk mengganti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-13/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian beserta Peraturan Nomor III.C.2 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. -3- Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5973
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 48/POJK.04/2016 </reg_id> <reg_title> TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN </reg_title> <set_date> 2 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 7 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 7 Desember 2016 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-13/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-13/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor III.C.2' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 41 /POJK.05/2015 TENTANG TATA CARA PENETAPAN PENGELOLA STATUTER PADA LEMBAGA JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan kegiatan sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf g serta Pasal 9 huruf e dan huruf f Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan mempunyai wewenang menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada lembaga jasa keuangan serta melakukan penunjukan dan menetapkan penggunaan pengelola statuter; b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 62 ayat (6) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, perlu mengatur mengenai penetapan, tugas, masa tugas, dan pemberhentian pengelola statuter, serta hak dan kewajiban direksi, dewan komisaris, dan/atau dewan pengawas syariah nonaktif; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Cara Penetapan Pengelola Statuter pada Lembaga Jasa Keuangan; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENETAPAN PENGELOLA STATUTER PADA LEMBAGA JASA KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 2. Pengelola Statuter adalah orang perseorangan atau badan hukum yang ditetapkan OJK untuk melaksanakan kewenangan OJK sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 3. Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 4. Dewan Komisioner adalah dewan komisioner sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 5. Direksi adalah organ lembaga jasa keuangan yang melakukan fungsi pengurusan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Lembaga Jasa Keuangan - 3 - berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Direksi bagi Lembaga Jasa Keuangan yang berbentuk badan hukum koperasi, usaha bersama, dana pensiun, perusahaan daerah, perusahaan umum daerah, atau perusahaan perseroan daerah. 6. Dewan Komisaris adalah organ Lembaga Jasa Keuangan yang melakukan fungsi pengawasan dan pemberian nasihat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Lembaga Jasa Keuangan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Dewan Komisaris bagi Lembaga Jasa Keuangan yang berbentuk badan hukum koperasi, usaha bersama, dana pensiun, perusahaan daerah, perusahaan umum daerah, atau perusahaan perseroan daerah. 7. Dewan Pengawas Syariah adalah bagian dari organ Lembaga Jasa Keuangan yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yang melakukan fungsi pengawasan atas penyelenggaraan usaha Lembaga Jasa Keuangan agar sesuai dengan prinsip syariah. 8. Konsumen adalah konsumen sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. BAB II PENETAPAN PENGELOLA STATUTER Pasal 2 (1) OJK dapat melakukan penunjukan dan menetapkan penggunaan Pengelola Statuter untuk mengambil alih seluruh wewenang dan fungsi Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah Lembaga Jasa Keuangan. - 4 - (2) Penunjukan dan penetapan penggunaan Pengelola Statuter dilakukan berdasarkan ketentuan undang- undang di sektor jasa keuangan. (3) Penunjukan dan penetapan penggunaan Pengelola Statuter selain dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat pula dilakukan apabila berdasarkan penilaian OJK, Lembaga Jasa Keuangan memenuhi kriteria sebagai berikut: a. kondisi keuangan Lembaga Jasa Keuangan dapat membahayakan kepentingan Konsumen, sektor jasa keuangan, dan/atau pemegang saham; b. penyelenggaraan kegiatan usaha Lembaga Jasa Keuangan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; c. Lembaga Jasa Keuangan telah dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha; d. Lembaga Jasa Keuangan dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk memfasilitasi dan/atau melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan; e. pemegang saham, Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah Lembaga Jasa Keuangan diduga melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan yang dapat mengganggu operasional pada Lembaga Jasa Keuangan yang bersangkutan; f. Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah Lembaga Jasa Keuangan dinilai tidak mampu mengatasi permasalahan yang terjadi di Lembaga Jasa Keuangan; dan/atau g. Lembaga Jasa Keuangan tidak memenuhi perintah tertulis untuk mengganti Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah. (4) Penunjukan dan penetapan penggunaan Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Dewan Komisioner berdasarkan usulan dari kepala eksekutif masing-masing sektor jasa keuangan. - 5 - (5) Penunjukan dan penetapan penggunaan Pengelola Statuter untuk Lembaga Jasa Keuangan yang secara khusus dibentuk berdasarkan peraturan perundang- undangan atau dibentuk oleh Pemerintah hanya dilakukan setelah terlebih dahulu berkoordinasi dengan Pemerintah. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria penunjukan dan penetapan penggunaan Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 3 (1) Pada saat penunjukan dan penetapan penggunaan Pengelola Statuter dilakukan oleh OJK maka: a. Pengelola Statuter mengambil alih seluruh wewenang dan fungsi Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah Lembaga Jasa Keuangan; dan b. Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah Lembaga Jasa Keuangan dinyatakan nonaktif. (2) Sejak pengambilalihan wewenang dan fungsi Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah: a. dilarang menjalankan wewenang dan fungsi selaku Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah. b. wajib membantu Pengelola Statuter dalam menjalankan wewenang, fungsi, dan tugasnya. (3) Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah nonaktif dilarang mengundurkan diri selama wewenang dan fungsinya diambil alih oleh Pengelola Statuter. - 6 - (4) OJK dapat mengaktifkan kembali sebagian atau seluruh Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b setelah penggunaan Pengelola Statuter berakhir. (5) Dalam hal OJK mengaktifkan kembali sebagian Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah setelah penggunaan Pengelola Statuter berakhir, OJK memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan untuk menyelenggarakan rapat umum pemegang saham untuk menunjuk Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah. (6) Dalam hal OJK tidak mengaktifkan kembali seluruh Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah, OJK memberikan perintah tertulis kepada Pengelola Statuter untuk menyelenggarakan rapat umum pemegang saham untuk menunjuk Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah yang baru sebelum penggunaan Pengelola Statuter berakhir. Pasal 4 (1) Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah nonaktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b berhak memperoleh remunerasi yang besarannya ditetapkan oleh rapat umum pemegang saham dengan mempertimbangkan kondisi keuangan Lembaga Jasa Keuangan, paling tinggi sebesar 50% (lima puluh persen) dari remunerasi yang diterima sebelum Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah dinonaktifkan. (2) Dalam hal Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah nonaktif ditunjuk menjadi Pengelola Statuter maka remunerasi bagi Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah dimaksud berlaku ketentuan remunerasi bagi Pengelola Statuter. - 7 - BAB III PIHAK YANG DITUNJUK SEBAGAI PENGELOLA STATUTER Pasal 5 (1) OJK menunjuk orang perseorangan atau badan hukum sebagai Pengelola Statuter. (2) Orang perseorangan yang dapat menjadi Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus: a. memenuhi persyaratan yang setara dengan Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan wewenang dan fungsi yang diambil alih, berdasarkan penilaian OJK; dan b. tidak memiliki benturan kepentingan dengan Lembaga Jasa Keuangan yang akan dikelola, pemegang saham, Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah dari Lembaga Jasa Keuangan yang akan dikelola. (3) Direksi, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, dan/atau pegawai Lembaga Jasa Keuangan yang tidak menyebabkan Lembaga Jasa Keuangan bermasalah dapat ditunjuk sebagai Pengelola Statuter. (4) Badan hukum yang dapat menjadi Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Lembaga Jasa Keuangan sejenis dan tidak memiliki benturan kepentingan dengan pemegang saham, Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah dari Lembaga Jasa Keuangan yang akan dikelola. (5) Dalam hal Pengelola Statuter berbentuk badan hukum, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, dan/atau pegawai badan hukum yang ditugaskan untuk menjalankan wewenang, fungsi, dan tugas Pengelola Statuter harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b. - 8 - BAB IV TUGAS, WEWENANG, HAK, DAN TANGGUNG JAWAB PENGELOLA STATUTER Pasal 6 (1) Pengelola Statuter memiliki seluruh wewenang dan fungsi Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah. (2) Pengelola Statuter yang telah ditetapkan oleh OJK mempunyai tugas: a. menyelamatkan kekayaan dan/atau kumpulan dana Lembaga Jasa Keuangan dan/atau Konsumen; b. mengendalikan dan mengelola kegiatan usaha dari Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. menyusun rencana kerja yang paling sedikit memuat langkah-langkah penyelamatan yang akan dilakukan apabila Lembaga Jasa Keuangan tersebut masih dapat diselamatkan; d. mengajukan usulan agar OJK mencabut izin usaha Lembaga Jasa Keuangan apabila Lembaga Jasa Keuangan tersebut dinilai tidak dapat diselamatkan; e. memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan di sektor jasa keuangan; f. mematuhi setiap perintah tertulis dari OJK mengenai pengendalian dan pengelolaan kegiatan usaha dari Lembaga Jasa Keuangan; g. mencegah dan mengurangi kerugian Konsumen, masyarakat, dan sektor jasa keuangan; h. memberantas kejahatan keuangan yang dilakukan pihak tertentu di sektor jasa keuangan; dan melaporkan kegiatannya kepada OJK. i. (3) Dalam melaksanakan wewenang, fungsi, dan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Pengelola Statuter dapat menempuh langkah-langkah: a. menyelamatkan kelangsungan usaha Lembaga Jasa Keuangan tertentu; - 9 - b. membatalkan atau mengakhiri perjanjian yang dibuat oleh Lembaga Jasa Keuangan dengan pihak ketiga yang merugikan dan/atau menurut Pengelola Statuter dapat merugikan kepentingan Lembaga Jasa Keuangan dan/atau Konsumen; c. melakukan pengalihan sebagian atau seluruh portofolio kekayaan atau usaha dan/atau kumpulan dana dari Lembaga Jasa Keuangan yang menurut Pengelola Statuter dapat mencegah kerugian yang lebih besar bagi Lembaga Jasa Keuangan; dan/atau d. melakukan pengalihan sebagian atau seluruh portofolio kekayaan dan/atau kumpulan dana dari Konsumen yang menurut Pengelola Statuter dapat mencegah kerugian yang lebih besar bagi Konsumen. Pasal 7 (1) Pengelola Statuter dapat meminta pihak yang sedang atau pernah menjabat sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, pegawai dari Lembaga Jasa Keuangan, dan/atau pihak lain yang memiliki informasi dan/atau dokumen tertentu yang berkaitan dengan kegiatan usaha Lembaga Jasa Keuangan untuk memberikan informasi dan/atau dokumen dimaksud kepada Pengelola Statuter. (2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memberikan informasi dan/atau dokumen tertentu yang berkaitan dengan kegiatan usaha Lembaga Jasa Keuangan kepada Pengelola Statuter. Pasal 8 (1) Pengelola Statuter berhak atas remunerasi. (2) Besaran remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh OJK dengan mempertimbangkan antara lain kewajaran, kompleksitas permasalahan pada Lembaga Jasa Keuangan, dan ukuran aset dari Lembaga Jasa Keuangan. - 10 - Pasal 9 (1) Pengelola Statuter menyampaikan laporan bulanan Pengelola Statuter kepada OJK paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. (2) Apabila batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, maka batas akhir penyampaian adalah hari kerja berikutnya. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berisi informasi mengenai: a. hal-hal yang telah dilakukan selama periode pelaporan; b. perkembangan kesehatan keuangan Lembaga Jasa Keuangan selama periode pelaporan; c. permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan tugasnya; d. langkah-langkah strategis yang akan dilakukan setelah periode pelaporan; dan e. rekomendasi kepada OJK. (4) Dalam hal diperlukan, OJK dapat meminta Pengelola Statuter untuk menyampaikan laporan di luar laporan bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 10 Pengelola Statuter mempertanggungjawabkan segala keputusan dan tindakannya dalam melaksanakan wewenang, fungsi, dan tugasnya kepada OJK. BAB V BIAYA PENGELOLA STATUTER Pasal 11 (1) Biaya penyelenggaraan usaha Lembaga Jasa Keuangan selama masa penggunaan Pengelola Statuter dibebankan kepada Lembaga Jasa Keuangan. (2) Biaya remunerasi Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dibebankan kepada Lembaga Jasa Keuangan. - 11 - (3) Dalam hal biaya remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mencukupi, OJK dapat menetapkan tambahan remunerasi dan/atau penghasilan lain Pengelola Statuter yang menjadi beban OJK. BAB VI PENGAKHIRAN PENGELOLA STATUTER Pasal 12 (1) Penggunaan Pengelola Statuter pada Lembaga Jasa Keuangan berakhir apabila: a. OJK memutuskan penggunaan Pengelola Statuter tidak diperlukan lagi; atau b. Lembaga Jasa Keuangan telah dicabut izin usahanya. (2) OJK berwenang untuk melakukan penggantian Pengelola Statuter apabila dinilai bahwa Pengelola Statuter melakukan kecurangan, tidak jujur, lalai, tidak mampu, dan/atau tidak mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengakhiran Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penggantian Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 13 (1) Dalam hal penggunaan Pengelola Statuter telah berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Pengelola Statuter menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada OJK. (2) Penyampaian laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak berakhirnya penggunaan Pengelola Statuter. (3) Laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berisi informasi mengenai: a. hal-hal yang telah dilakukan selama menjalankan tugas sebagai Pengelola Statuter; - 12 - b. perkembangan kesehatan keuangan Lembaga Jasa Keuangan selama menjalankan tugas sebagai Pengelola Statuter; c. permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan tugasnya; dan (4) Dalam d. rekomendasi kepada OJK. hal OJK telah menyetujui laporan pertanggungjawaban Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga Jasa Keuangan wajib menerima laporan pertanggungjawaban Pengelola Statuter yang telah disetujui oleh OJK tersebut. BAB VII SANKSI Pasal 14 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 53 dan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, OJK berwenang menetapkan sanksi administratif kepada pihak yang melanggar ketentuan dalam Pasal 3 ayat (3), ayat (4), Pasal 7 ayat (2), dan Pasal 13 ayat (4) Peraturan OJK ini berupa: a. b. teguran tertulis; dan/atau larangan menjadi pemegang saham, pengendali, Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah paling lama 5 (lima) tahun di sektor jasa keuangan. (2) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat menetapkan sanksi administratif tambahan atau tindakan tertentu sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan kepada pihak yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1). - 13 - BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 15 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 368 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 1/POJK.05/2015 </reg_id> <reg_title> PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK </reg_title> <set_date> 23 Maret 2015 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2016 </effective_date> <issued_date> 26 Maret 2015 </issued_date> <related_reg> '40/UU/2014', '21/UU/2011', '73/PP/1992', '81/PP/2008', '11/UU/1992', '76/PP/1992', '77/PP/1992' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1 /POJK.05/20172017 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (4), Pasal 12 ayat (3), Pasal 14 ayat (3), Pasal 18 ayat (5), Pasal 22 ayat (2), Pasal 23 ayat (5), Pasal 25 ayat (3), Pasal 29 ayat (9), Pasal 52 ayat (6), dan Pasal 62 ayat (2) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Penjamin; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3835); -2- MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMIN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 2. Penjaminan Syariah adalah kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 3. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan penjaminan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 4. Penjaminan Ulang adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 5. Penjaminan Ulang Syariah adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan Syariah dan UUS sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. -3- 6. Lembaga Penjamin adalah Perusahaan Penjaminan, Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang, dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah yang menjalankan kegiatan penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 7. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha utama melakukan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 8. Perusahaan Penjaminan Syariah adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha utama melakukan Penjaminan Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 9. Perusahaan Penjaminan Ulang adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 10. Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 11. Penjamin adalah pihak yang melakukan penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 12. Penerima Jaminan adalah lembaga keuangan atau di luar lembaga keuangan yang telah memberikan Kredit, Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah atau kontrak jasa kepada Terjamin sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. -4- 13. Terjamin adalah pihak yang telah memperoleh Kredit, Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, atau kontrak jasa dari lembaga keuangan atau di luar lembaga keuangan yang dijamin oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 14. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam, yang dibuat oleh bank atau koperasi dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 15. Pembiayaan adalah penyediaan fasilitas finansial atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan, yang dibuat oleh lembaga pembiayaan dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 16. Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam undang- undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 17. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja dari Perusahaan Penjaminan yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha Penjaminan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 18. Lembaga Keuangan adalah bank dan lembaga keuangan bukan bank. -5- 19. Kantor Cabang adalah kantor Lembaga Penjamin yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat atau UUS. 20. Sertifikat Penjaminan adalah bukti persetujuan Penjaminan dari Perusahaan Penjaminan kepada Penerima Jaminan atas kewajiban finansial Terjamin sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 21. Sertifikat Kafalah adalah bukti persetujuan Penjaminan Syariah dari Perusahaan Penjaminan Syariah dan UUS kepada Penerima Jaminan atas kewajiban finansial Terjamin sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 22. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disingkat PSP adalah Setiap Orang yang: a. memiliki secara langsung saham atau modal Lembaga Penjamin sebesar 25% (dua puluh lima per seratus) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau b. memiliki secara langsung saham atau modal Lembaga Penjamin kurang dari 25% (dua puluh lima per seratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian Lembaga Penjamin, baik secara langsung maupun tidak langsung. 23. Modal Disetor: a. bagi Lembaga Penjamin berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah modal disetor; b. bagi Lembaga Penjamin berbentuk badan hukum koperasi adalah simpanan pokok dan simpanan wajib; atau c. bagi Lembaga Penjamin berbentuk badan hukum perusahaan umum adalah penyertaan modal negara. 24. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang -6- Perseroan Terbatas bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Direksi bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perusahaan umum atau koperasi. 25. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Dewan Komisaris bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perusahaan umum atau koperasi. 26. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah bagian dari organ Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan Perusahaan Penjaminan yang memiliki UUS yang mempunyai tugas dan fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan usaha Penjaminan Syariah dan Penjaminan Ulang Syariah agar sesuai dengan Prinsip Syariah. 27. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah rapat umum pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan RUPS bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perusahaan umum atau koperasi. 28. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh 2 (dua) Lembaga Penjamin atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan 1 (satu) Lembaga Penjamin baru yang karena hukum memperoleh aset, liabilitas, dan ekuitas dari Lembaga Penjamin yang meleburkan diri dan status badan hukum Lembaga Penjamin yang meleburkan diri berakhir karena hukum. -7- 29. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh 1 (satu) Lembaga Penjamin atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Lembaga Penjamin lain yang telah ada yang mengakibatkan aset, liabilitas, dan ekuitas dari Lembaga Penjamin yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Lembaga Penjamin yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Lembaga Penjamin yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. 30. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Lembaga Penjamin yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Lembaga Penjamin tersebut. 31. Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aset, liabilitas, dan ekuitas Lembaga Penjamin beralih karena hukum kepada 2 (dua) badan hukum atau lebih, atau sebagian aset, liabilitas, dan ekuitas Lembaga Penjamin beralih karena hukum kepada 1 (satu) badan hukum atau lebih. 32. Lembaga Sertifikasi Profesi adalah lembaga pelaksana kegiatan sertifikasi profesi yang memperoleh lisensi dari lembaga negara yang berwenang memberikan lisensi terhadap lembaga sertifikasi profesi di Indonesia. 33. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. -8- BAB II BENTUK BADAN HUKUM DAN PERMODALAN Bagian Kesatu Bentuk Badan Hukum Pasal 2 Badan hukum Lembaga Penjamin berbentuk: a. perusahaan umum; b. perseroan terbatas; atau c. koperasi. Pasal 3 Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perusahaan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a hanya dapat dimiliki oleh pemerintah pusat sesuai dengan undang- undang yang mengatur mengenai badan usaha milik negara. Pasal 4 (1) Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b hanya dapat dimiliki oleh: a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang secara langsung atau tidak langsung sepenuhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia; b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf a bersama-sama dengan warga negara asing atau badan hukum asing; c. pemerintah pusat; dan/atau d. pemerintah daerah. (2) Kepemilikan asing pada Lembaga Penjamin berbentuk badan hukum perseroan terbatas, baik secara langsung maupun tidak langsung paling banyak sebesar 30% (tiga puluh per seratus) dari Modal Disetor. -9- (3) Kepemilikan asing pada Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disetor dalam bentuk uang yang ditempatkan di rekening bank dalam negeri atas nama Lembaga Penjamin. (4) Badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus merupakan lembaga jasa keuangan di negara asalnya. Pasal 5 Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c hanya dapat dimiliki oleh anggota koperasi sesuai dengan undang-undang yang mengatur mengenai perkoperasian. Pasal 6 Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c yang melakukan kegiatan penjaminan tidak dapat bertindak sebagai Penerima Jaminan dan/atau Terjamin. Bagian Kedua Permodalan Pasal 7 (1) Modal Disetor pada Lembaga Penjamin ditetapkan sesuai dengan lingkup wilayah operasional. (2) Jumlah Modal Disetor Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Syariah ditetapkan paling sedikit: a. Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), untuk lingkup wilayah nasional; b. Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), untuk lingkup wilayah provinsi; atau c. Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), untuk lingkup wilayah kabupaten atau kota. -10- (3) Jumlah Modal Disetor Perusahaan Penjaminan Ulang dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah untuk seluruh lingkup wilayah operasional ditetapkan paling sedikit Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). (4) Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) wajib disetor secara tunai dan penuh dalam bentuk deposito berjangka atas nama Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang pada salah satu bank umum atau bank umum syariah di Indonesia. (5) Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) wajib disetor secara tunai dan penuh dalam bentuk deposito berjangka atas nama Perusahaan Penjaminan Syariah dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah pada salah satu bank umum syariah atau unit usaha syariah dari bank umum di Indonesia. Bagian Ketiga Lingkup Wilayah Operasional Pasal 8 (1) Lingkup wilayah operasional Lembaga Penjamin terdiri atas wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. (2) Lingkup wilayah operasional Lembaga Penjamin harus dituangkan secara jelas dalam anggaran dasar Lembaga Penjamin. Pasal 9 (1) Lembaga Penjamin dilarang membuka Kantor Cabang di luar lingkup wilayah operasional. (2) Lembaga Penjamin lingkup wilayah provinsi atau kabupaten/kota dilarang melaksanakan kegiatan Penjaminan atau Penjaminan Syariah langsung terhadap Terjamin di luar wilayah operasionalnya. (3) Lembaga Penjamin lingkup wilayah provinsi atau kabupaten/kota dilarang melaksanakan kegiatan Penjaminan atau Penjaminan Syariah tidak langsung -11- terhadap Terjamin di luar wilayah operasionalnya, kecuali memenuhi ketentuan: a. Lembaga Penjamin bekerja sama dengan Lembaga Penjamin lain di luar lingkup wilayah operasionalnya melalui mekanisme Penjaminan atau Penjaminan Syariah bersama; atau b. Terjamin merupakan debitur Penerima Jaminan yang dimiliki oleh pemegang saham yang sama dengan Lembaga Penjamin. BAB III KEPEMILIKAN Pasal 10 (1) Dalam hal pemegang saham berbentuk badan hukum Indonesia, jumlah penyertaan modal pada Lembaga Penjamin ditetapkan paling banyak sebesar: a. ekuitas badan hukum yang bersangkutan apabila tidak terdapat penyertaan lain; atau b. ekuitas badan hukum yang bersangkutan dikurangi jumlah penyertaan lain yang telah dilakukan apabila terdapat penyertaan lain. (2) Ekuitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan: a. penjumlahan dari Modal Disetor, cadangan, dan laba ditahan jika badan hukum pemilik berbentuk perseroan terbatas dan perusahaan umum; atau b. penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, hibah, modal penyertaan, dana cadangan, dan sisa hasil usaha jika badan hukum pemilik berbentuk koperasi. Pasal 11 (1) Setiap Orang hanya dapat menjadi PSP pada 1 (satu) Perusahaan Penjaminan, 1 (satu) Perusahaan Penjaminan Syariah, 1 (satu) Perusahaan Penjaminan Ulang, dan/atau 1 (satu) Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah. -12- (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila PSP adalah pemerintah dan/atau pemerintah daerah. BAB IV IZIN USAHA Pasal 12 (1) Setiap Orang yang melakukan usaha Penjaminan, Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang, dan Penjaminan Ulang Syariah wajib terlebih dahulu mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan. (2) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi harus mengajukan permohonan izin usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 13 (1) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), harus diajukan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 1 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Pengajuan permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dokumen: a. fotokopi akta pendirian badan hukum yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, yang paling sedikit harus memuat: 1. nama, tempat kedudukan, dan lingkup wilayah operasional; 2. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha; 3. permodalan; 4. kepemilikan; dan 5. wewenang, tanggung jawab, masa jabatan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota DPS, dan perubahan anggaran dasar (jika ada) disertai dengan bukti pengesahan, persetujuan, dan/atau -13- surat penerimaan pemberitahuan dari instansi berwenang; b. susunan organisasi yang menggambarkan fungsi pengelolaan risiko, fungsi pengelolaan keuangan, dan fungsi pelayanan yang ditetapkan oleh Direksi, dilengkapi dengan susunan personalia, uraian tugas, wewenang, dan tanggung jawab; c. data pemegang saham atau anggota selain PSP: 1. dalam hal pemegang saham atau anggota adalah perorangan, dokumen yang dilampirkan adalah: a) 1 (satu) lembar pas foto terbaru ukuran 4 x 6 cm; b) fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; c) daftar riwayat hidup; d) fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP); e) f) fotokopi surat pemberitahuan (SPT) pajak untuk 1 (satu) tahun terakhir; surat pernyataan pemegang saham yang menyatakan bahwa: 1) setoran modal tidak berasal dari pinjaman; 2) setoran modal tidak berasal dari kegiatan pencucian uang (money laundering) dan kejahatan keuangan; kredit dan/atau 3) tidak memiliki pembiayaan macet; 4) tidak termasuk dalam daftar pihak yang dilarang untuk menjadi pemegang saham atau pihak yang mengelola, mengawasi, dan/atau mempunyai pengaruh yang signifikan pada lembaga jasa keuangan; -14- 5) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau perekonomian berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; 6) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; 7) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan menyebabkan perusahaan bersalah suatu yang dinyatakan perseroan/ pailit berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan 8) tidak pernah menjadi pemegang saham pengendali, anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau anggota dewan pengawas syariah pada perusahaan jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam 5 (lima) tahun terakhir; 2. dalam hal pemegang saham adalah badan hukum, dokumen yang dilampirkan adalah: a) fotokopi akta pendirian badan hukum, termasuk anggaran dasar berikut perubahan yang terakhir yang telah berlaku sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan; -15- b) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik dan/atau laporan keuangan terakhir; c) daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing yang kepemilikan saham yang disertai dengan dokumen pendukungnya persentase kepemilikan menunjukkan baik secara langsung maupun tidak langsung; d) fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP); dan e) data direksi badan hukum tersebut meliputi: 1) 1 (satu) lembar pas foto terbaru ukuran 4 x 6 cm; 2) fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; 3) daftar riwayat hidup; 4) fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP); dan 5) surat pernyataan direksi atau yang setara dari badan hukum dimaksud yang menyatakan bahwa: (a) setoran modal tidak berasal dari pinjaman; (b) setoran modal tidak berasal dari kegiatan pencucian uang (money laundering) keuangan; dan kejahatan (c) tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet; (d) tidak termasuk dalam daftar pihak yang dilarang untuk menjadi pemegang saham atau pihak yang mengelola, mengawasi, dan/atau mempunyai -16- pengaruh pada keuangan; (e) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang menyebabkan suatu perseroan/ perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan (f) tidak pernah menjadi pemegang saham pengendali pada perusahaan jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam 5 (lima) tahun terakhir; 3. dalam hal pemegang saham adalah negara Republik Indonesia, dilampiri dengan fotokopi Peraturan Pemerintah mengenai penyertaan modal negara Republik Indonesia untuk pendirian Lembaga Penjamin; dan 4. dalam hal pemegang saham adalah pemerintah daerah, dilampiri dengan fotokopi Peraturan Daerah mengenai penyertaan modal daerah untuk pendirian Lembaga Penjamin; d. sistem dan prosedur kerja usaha Penjaminan, Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang, atau Penjaminan Ulang Syariah berupa: 1. prosedur operasi standar (standard operating procedure); 2. contoh perjanjian kerja sama; dan 3. contoh Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah yang akan digunakan oleh Lembaga Penjamin; yang lembaga signifikan jasa -17- e. bukti mempekerjakan tenaga ahli Penjaminan atau Penjaminan Syariah berupa: 1. bukti pengangkatan tenaga ahli; dan 2. dokumen pendukung pemenuhan persyaratan tenaga ahli; f. fotokopi bukti pelunasan Modal Disetor dalam bentuk setoran tunai dari pemegang saham atau anggota dan fotokopi bukti penempatan Modal Disetor minimum dalam bentuk deposito berjangka atas nama Lembaga Penjamin yang bersangkutan pada: 1. salah satu bank umum atau bank umum syariah di Indonesia bagi Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang; atau 2. salah satu bank umum syariah atau unit usaha syariah dari bank umum di Indonesia bagi Perusahaan Penjaminan Syariah Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, yang dilegalisasi oleh bank penerima setoran dan masih berlaku selama dalam proses pengajuan izin usaha; g. rencana kerja untuk 3 (tiga) tahun pertama yang paling sedikit memuat: 1. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi; 2. rencana kegiatan usaha Lembaga Penjamin dan langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan dimaksud; dan 3. proyeksi laporan posisi keuangan, laporan laba rugi dan laporan arus kas bulanan serta asumsi yang mendasarinya yang dimulai sejak Lembaga Penjamin melakukan kegiatan operasional; atau dalam mewujudkan rencana -18- h. bukti kesiapan infrastruktur paling sedikit berupa: 1. daftar aset tetap dan inventaris beserta bukti kepemilikan atau penguasaan; 2. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung kantor; dan 3. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP); i. konfirmasi dari otoritas pengawas di negara asal pihak asing, jika terdapat penyertaan langsung pihak asing; dan j. dokumen lain dalam rangka mendukung pertumbuhan usaha yang sehat, meliputi: 1. fotokopi akta RUPS yang menyatakan pengangkatan DPS, bagi Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah; 2. laporan posisi keuangan awal/pembukaan Lembaga Penjamin; 3. rencana bidang kepegawaian termasuk rencana pengembangan sumber daya manusia untuk paling singkat 3 (tiga) tahun mendatang; 4. fotokopi pedoman tata kelola yang baik bagi Lembaga Penjamin; 5. fotokopi perjanjian kerjasama antara pihak asing dan pihak Indonesia, bagi Lembaga Penjamin yang di dalamnya terdapat penyertaan dari badan hukum asing atau warga negara asing yang dibuat dalam bahasa Indonesia dan paling sedikit memuat: a) komposisi permodalan, susunan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penjaminan; dan b) kewajiban pihak asing untuk menyusun dan melaksanakan program pendidikan -19- dan pelatihan sesuai bidang keahliannya; dan 6. bukti pelunasan pembayaran biaya perizinan dalam rangka pemberian izin usaha. (3) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan bersamaan dengan permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, PSP, dan anggota DPS Lembaga Penjamin. (4) Ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, PSP, dan anggota DPS Lembaga Penjamin dan format permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan. Pasal 14 (1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan, permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan izin usaha diterima. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dokumen; b. pemeriksaan setoran modal; c. analisis kelayakan atas rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf g; d. penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, PSP, dan anggota DPS Lembaga Penjamin; dan -20- e. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penjaminan. (3) Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan peninjauan ke kantor Lembaga Penjamin untuk memastikan kesiapan operasional Lembaga Penjamin. (4) Direksi Lembaga Penjamin harus menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari Otoritas Jasa Keuangan. (5) Dalam hal Direksi Lembaga Penjamin telah menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan belum menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan dokumen dimaksud, pemohon dianggap membatalkan permohonan izin usaha. (7) Dalam hal permohonan izin usaha disetujui, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan keputusan pemberian izin usaha. (8) Penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis dan disertai dengan alasan penolakan. Pasal 15 (1) Lembaga Penjamin yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan wajib melakukan kegiatan usaha paling lambat 4 (empat) bulan terhitung sejak tanggal izin usaha ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Lembaga Penjamin wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15 -21- (lima belas) hari terhitung sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha. (3) Pelaporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 2 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (4) Pelaporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dengan: a. fotokopi perjanjian kerjasama (jika ada); b. Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah yang telah dilakukan; dan c. fotokopi surat izin menetap dan/atau surat izin menggunakan tenaga kerja asing yang dikeluarkan oleh instansi berwenang bagi anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris berkewarganegaraan asing. Pasal 16 (1) Nama Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a angka 1 harus dicantumkan secara jelas dalam anggaran dasar yang dimulai dengan bentuk badan hukum dan memuat kata: a. Penjaminan atau jaminan, bagi Perusahaan Penjaminan; b. Penjaminan Ulang atau jaminan ulang, bagi Perusahaan Penjaminan Ulang; c. Penjaminan atau jaminan serta kata syariah, bagi Perusahaan Penjaminan Syariah; atau d. Penjaminan Ulang atau jaminan ulang serta kata syariah, bagi Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah. (2) Penggunaan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas harus memenuhi ketentuan -22- peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas. BAB V UNIT USAHA SYARIAH Bagian Kesatu Pembentukan UUS Pasal 17 (1) Perusahaan Penjaminan dapat melakukan sebagian kegiatan usaha Penjaminan berdasarkan Prinsip Syariah dengan membentuk UUS. (2) Perusahaan Penjaminan yang membentuk UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi ketentuan: a. memuat maksud dan tujuan Perusahaan Penjaminan untuk menjalankan sebagian kegiatan usaha Penjaminan berdasarkan Prinsip Syariah dalam anggaran dasarnya; dan b. mempunyai pembukuan terpisah dari Perusahaan Penjaminan. Bagian Kedua Modal Kerja UUS Pasal 18 (1) UUS wajib mempunyai modal kerja sebesar: a. Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) untuk UUS dari Perusahaan Penjaminan dengan lingkup wilayah nasional; b. Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk UUS dari Perusahaan Penjaminan dengan lingkup wilayah provinsi; atau c. Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk UUS dari Perusahaan Penjaminan dengan lingkup wilayah kabupaten/kota. -23- (2) Modal kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus telah disetor penuh pada bank umum syariah atau unit usaha syariah dari bank umum di Indonesia dalam bentuk deposito berjangka dan telah dilegalisasi oleh bank penerima setoran serta masih berlaku selama dalam proses pengajuan izin UUS. Bagian Ketiga Perizinan UUS Pasal 19 (1) Pembentukan UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan. (2) Untuk memperoleh izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi Perusahaan Penjaminan harus mengajukan permohonan izin UUS kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (3) Pengajuan permohonan izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dengan: a. perubahan anggaran dasar yang mencantumkan: 1. salah satu maksud dan tujuan Perusahaan Penjaminan yaitu melakukan kegiatan usaha Penjaminan Syariah; dan 2. wewenang dan tanggung jawab DPS, disertai dengan bukti persetujuan dan/atau surat penerimaan pemberitahuan dari instansi berwenang; b. fotokopi bukti setoran modal kerja minimum dalam bentuk deposito berjangka atas nama Perusahaan Penjaminan pada salah satu bank umum syariah atau unit usaha syariah dari bank umum di Indonesia yang dilegalisasi oleh bank penerima -24- setoran dan masih berlaku selama dalam proses perizinan UUS; c. surat keputusan Direksi Perusahaan Penjaminan yang menyetujui penempatan modal kerja pada UUS disertai dengan besaran jumlah penempatan modal kerjanya; d. risalah RUPS mengenai pengangkatan DPS: e. data pimpinan UUS, meliputi: 1. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; 2. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP); 3. daftar riwayat hidup yang dilengkapi dengan pas foto berwarna ukuran 4 x 6 cm; 4. bukti pengangkatan sebagai pimpinan UUS; 5. bukti keahlian, pelatihan, dan/atau pengalaman di bidang keuangan syariah; dan 6. surat pernyataan yang menyatakan: a) tidak memiliki kredit pembiayaan macet; dan b) tidak rangkap jabatan pada fungsi lain pada Perusahaan Penjaminan yang sama, kecuali pimpinan UUS adalah Direksi; f. laporan keuangan awal UUS yang terpisah dari kegiatan usaha Perusahaan Penjaminan; g. susunan organisasi yang dan/atau menggambarkan kedudukan UUS dan struktur UUS yang ditetapkan oleh Direksi, dilengkapi dengan jumlah dan susunan personalia, uraian tugas, wewenang, dan tanggung jawab; h. rencana kerja UUS yang akan dibuka untuk 3 (tiga) tahun pertama yang paling sedikit memuat: 1. studi kelayakan peluang pasar dan potensi ekonomi; -25- 2. target Penjaminan Syariah dan langkah- langkah yang dilakukan untuk mewujudkan target dimaksud; 3. sistem dan prosedur kerja; dan 4. proyeksi arus kas bulanan serta asumsi yang mendasarinya yang dimulai sejak UUS melakukan kegiatan operasional serta proyeksi laporan posisi keuangan dan laporan kinerja keuangan. (4) Permohonan izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan bersamaan dengan permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon anggota DPS Perusahaan Penjaminan. (5) Ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon anggota DPS Perusahaan Penjaminan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan. Pasal 20 (1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan, permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan atas permohonan izin UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan izin diterima. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dokumen; b. pemeriksaan setoran modal kerja UUS; c. analisis kelayakan atas rencana kerja UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) huruf h; d. penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota DPS; dan -26- e. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penjaminan. (3) Direksi Perusahaan Penjaminan harus menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari Otoritas Jasa Keuangan. (4) Dalam hal Direksi Perusahaan Penjaminan telah menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan belum menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan dokumen dimaksud, Perusahaan Penjaminan dianggap membatalkan permohonan izin UUS. (6) Dalam hal permohonan izin UUS disetujui, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan keputusan pemberian izin UUS kepada Perusahaan Penjaminan bersangkutan. (7) Penolakan atas permohonan izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis dan disertai alasan penolakan. Pasal 21 (1) UUS wajib melakukan kegiatan usaha Penjaminan Syariah paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal izin UUS ditetapkan. (2) UUS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha Penjaminan Syariah kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha UUS. pelaksanaan (3) Pelaporan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan -27- oleh Direksi Perusahaan Penjaminan dengan menggunakan format 4 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dengan dilampiri dokumen: a. b. fotokopi Sertifikat Kafalah yang telah dilakukan. Bagian Keempat Pimpinan UUS Pasal 22 (1) UUS wajib dipimpin oleh seorang pimpinan UUS. (2) Pimpinan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memenuhi ketentuan: a. tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet; b. tidak rangkap jabatan pada fungsi lain pada Perusahaan Penjaminan yang sama, kecuali pimpinan UUS adalah Direksi; dan c. mempunyai keahlian, pelatihan, pengalaman di bidang keuangan syariah. Pasal 23 (1) Perusahaan Penjaminan wajib melaporkan perubahan pimpinan UUS kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak tanggal pengangkatan pimpinan UUS. (2) Pelaporan perubahan pimpinan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan Penjaminan dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) huruf e. dan/atau fotokopi perjanjian kerja sama Penjaminan Syariah yang telah dilakukan (jika ada); dan -28- Bagian Kelima Kantor Cabang Unit Usaha Syariah Pasal 24 (1) UUS dapat membuka Kantor Cabang UUS di wilayah negara Republik Indonesia sesuai lingkup wilayah operasionalnya. (2) Kantor Cabang UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kewenangan: a. memutuskan dan menandatangani Sertifikat Kafalah; dan b. menetapkan untuk membayar atau menolak klaim. (3) Kantor Cabang UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu mendapatkan izin dari Otoritas Jasa Keuangan. (4) UUS yang membuka Kantor Cabang UUS harus memenuhi persyaratan: a. tidak melanggar ketentuan tingkat kesehatan keuangan syariah; b. tidak sedang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan c. memiliki sumber daya manusia yang memiliki pengalaman dan/atau telah mengikuti pelatihan mengenai keuangan syariah. Pasal 25 (1) Untuk memperoleh izin pembukaan Kantor Cabang UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3), Direksi Perusahaan Penjaminan harus mengajukan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 5 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. -29- (2) Permohonan izin pembukaan Kantor Cabang UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen: a. data pimpinan Kantor Cabang UUS, meliputi: 1. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; dan 2. daftar riwayat hidup; b. data sumber daya manusia yang memiliki pengalaman dan/atau pelatihan mengenai keuangan syariah, disertai bukti pengalaman dan/atau pelatihan yang telah diikuti; c. data alamat lengkap Kantor Cabang UUS disertai dengan bukti kepemilikan atau penguasaan gedung kantor; dan d. rencana kerja Kantor Cabang UUS yang akan dibuka yang paling sedikit memuat: 1. target Penjaminan Syariah dan langkah- langkah untuk mewujudkan target dimaksud disertai asumsi pendukungnya; 2. sistem dan prosedur kerja; 3. struktur organisasi; dan 4. jumlah dan susunan personalia. Pasal 26 (1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan, permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan atas izin pembukaan Kantor Cabang UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memproses permohonan izin pembukaan Kantor Cabang UUS, Otoritas Jasa Keuangan melakukan: a. analisis dan penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2); -30- b. analisis kelayakan atas rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf d; dan c. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penjaminan. (3) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan belum menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan dokumen dimaksud, Perusahaan Penjaminan dianggap membatalkan permohonan izin pembukaan Kantor Cabang UUS. (4) Dalam hal permohonan izin pembukaan pembentukan Kantor Cabang UUS disetujui, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan keputusan pemberian izin pembukaan pembentukan Kantor Cabang UUS kepada Perusahaan Penjaminan bersangkutan. (5) Penolakan atas permohonan izin pembukaan Kantor Cabang UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan alasan penolakan. Pasal 27 (1) UUS yang akan menutup Kantor Cabang UUS wajib terlebih dahulu memberitahukan kepada Terjamin dan/atau Penerima Jaminan mengenai: a. rencana penutupan Kantor Cabang UUS; dan b. prosedur penyelesaian hak dan kewajiban. (2) Prosedur penyelesaian hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundangan- undangan dan memperhatikan kepentingan Terjamin dan/atau Penerima Jaminan. Pasal 28 (1) UUS wajib melaporkan penutupan Kantor Cabang UUS kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) -31- hari kerja terhitung sejak tanggal penutupan Kantor Cabang UUS. (2) Pelaporan penutupan Kantor Cabang UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan oleh Direksi Perusahaan Penjaminan dengan menggunakan format 6 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dengan dilampiri: a. bukti pemberitahuan rencana penutupan Kantor Cabang UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf a; dan b. bukti penyelesaian hak dan kewajiban Terjamin dan/atau Penerima Jaminan. (3) Berdasarkan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin pembukaan Kantor Cabang UUS. Pasal 29 Otoritas Jasa Keuangan dapat mencabut izin pembukaan Kantor Cabang UUS apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan secara terus menerus, Kantor Cabang UUS dimaksud terbukti tidak melakukan kegiatan operasional. Bagian Keenam Penutupan UUS Pasal 30 (1) Perusahaan Penjaminan dapat menghentikan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan pencabutan izin UUS kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Penghentian kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah yang dijalankan oleh UUS wajib memenuhi ketentuan: a. tidak merugikan kepentingan Terjamin dan Penerima Jaminan; b. memberitahukan kepada Penerima Jaminan; -32- c. mengalihkan portofolio Penjaminan Syariah ke Perusahaan Penjaminan Syariah atau UUS lainnya; dan d. menyelesaikan kewajiban yang dimiliki. (3) Prosedur dan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan memperhatikan kepentingan para pihak dan pemangku kepentingan terkait lainnya. Pasal 31 (1) Permohonan pencabutan izin UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan Penjaminan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 7 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Permohonan pencabutan izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan: a. asli salinan keputusan mengenai pemberian izin UUS; b. alasan penutupan; dan c. bukti pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2). (3) Dalam memproses permohonan pencabutan izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dokumen; dan b. analisis pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dan pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. (4) Pencabutan izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam batas waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. -33- Bagian Ketujuh Pemisahan UUS Pasal 32 (1) Perusahaan Penjaminan wajib memisahkan UUS menjadi Perusahaan Penjaminan Syariah dengan ketentuan: a. apabila nilai aset UUS telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh per seratus) dari total nilai aset Perusahaan Penjaminan induknya berdasarkan laporan bulanan terakhir yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan; atau b. paling lama 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. (2) Pemisahan UUS menjadi Perusahaan Penjaminan Syariah dikarenakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib selesai dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak terpenuhinya kondisi dimaksud. (3) Dalam hal selama proses pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), aset UUS menurun dan tidak lagi mencapai paling rendah 50% (lima puluh per seratus) dari total nilai aset Perusahaan Penjaminan induknya, kondisi dimaksud tidak menghilangkan kewajiban Perusahaan Penjaminan untuk melakukan pemisahan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Perusahaan Penjaminan yang memiliki UUS dapat memisahkan UUS sebelum terpenuhinya kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan. -34- Pasal 33 (1) Perusahaan Penjaminan Syariah hasil pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dan ayat (4) dikecualikan dari ketentuan Modal Disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) pada saat pendiriannya. (2) Modal Disetor Perusahaan Penjaminan Syariah hasil pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dan ayat (4) ditetapkan paling sedikit: a. Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), untuk Perusahaan Penjaminan Syariah lingkup wilayah nasional; b. Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah), untuk Perusahaan Penjaminan Syariah lingkup wilayah provinsi; atau c. Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), untuk Perusahaan Penjaminan Syariah lingkup wilayah kabupaten/kota. (3) Pemenuhan Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan secara tunai dan penuh dalam bentuk deposito berjangka atas nama Perusahaan Penjaminan Syariah pada salah satu bank umum syariah atau unit usaha syariah dari bank umum di Indonesia, atau dalam bentuk lain yang diperkenankan berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan sesuai standar akuntansi keuangan syariah. (4) Perusahaan Penjaminan Syariah hasil pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dan ayat (4) wajib meningkatkan Modal Disetor menjadi paling sedikit sebesar ketentuan permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) paling lama 5 (lima) tahun sejak tanggal izin usaha Perusahaan Penjaminan Syariah hasil pemisahan ditetapkan. peraturan -35- Pasal 34 Pelaksanaan pemisahan UUS wajib dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan ketentuan peraturan perundang- undangan. BAB VI SUSUNAN ORGANISASI Pasal 35 (1) Lembaga Penjamin wajib memiliki susunan organisasi yang menggambarkan secara jelas pemisahan fungsi pengelolaan risiko, fungsi pengelolaan keuangan, dan fungsi pelayanan. (2) Lembaga Penjamin wajib memiliki satuan kerja yang menangani fungsi: a. pemasaran; b. teknik Penjaminan atau Penjaminan Syariah; c. penyelesaian administrasi klaim; d. keuangan termasuk pengelolaan investasi; e. manajemen risiko; f. audit internal; g. administrasi dan akuntansi; h. kepatuhan; i. pelayanan dan penyelesaian pengaduan; dan j. pengembangan informasi/database Terjamin. (3) Susunan organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi dengan uraian tugas, wewenang, tanggung jawab, dan prosedur kerja secara tertulis, yang ditetapkan oleh Direksi. (4) Susunan organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus mencerminkan adanya pengendalian internal yang baik. (5) Lembaga Penjamin wajib memiliki pegawai yang bertanggung jawab atas masing-masing fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). -36- BAB VII SUMBER DAYA MANUSIA Bagian Kesatu Sertifikasi Pasal 36 (1) Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris wajib memiliki sertifikat keahlian di bidang manajemen risiko dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang manajemen risiko. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi bagi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam surat edaran Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Kedua Tenaga Ahli Pasal 37 (1) Lembaga Penjamin wajib mempekerjakan tenaga ahli Penjaminan atau Penjaminan Syariah. (2) Tenaga ahli Penjaminan atau Penjaminan Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki sertifikat keahlian di bidang Penjaminan atau Penjaminan Syariah dengan kualifikasi ahli dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang Penjaminan atau Penjaminan Syariah; b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan risiko paling singkat 1 (satu) tahun; dan c. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi Lembaga Penjamin. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi bagi tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diatur dalam surat edaran Otoritas Jasa Keuangan. -37- Pasal 38 (1) Lembaga Penjamin wajib melaporkan pengangkatan dan/atau pemberhentian tenaga ahli Penjaminan atau Penjaminan Syariah paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pengangkatan dan/atau pemberhentian tenaga ahli. (2) Pelaporan pengangkatan tenaga ahli Penjaminan atau Penjaminan Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 8 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dengan dilampiri: a. fotokopi sertifikat keahlian dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang Penjaminan atau Penjaminan Syariah; b. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; c. daftar riwayat hidup dengan dilengkapi pas foto berwarna yang terbaru berukuran 4 x 6 cm; dan d. surat keterangan dari asosiasi Lembaga Penjamin bahwa tidak sedang dalam pengenaan sanksi. Bagian Ketiga Pengembangan Sumber Daya Manusia Pasal 39 (1) Lembaga Penjamin wajib menyelenggarakan program pengembangan kemampuan dan pengetahuan tenaga kerja untuk setiap tahun. (2) Pengembangan kemampuan dan pengetahuan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilakukan dalam bentuk program pendidikan dan pelatihan. -38- BAB VIII PERUBAHAN LINGKUP WILAYAH OPERASIONAL Pasal 40 (1) Lembaga Penjamin dapat melakukan perubahan lingkup wilayah operasional. (2) Perubahan lingkup wilayah operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. peningkatan lingkup wilayah operasional; atau b. penurunan lingkup wilayah operasional. (3) Perubahan lingkup wilayah operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan: a. memenuhi ketentuan Modal Disetor lingkup wilayah yang dituju; dan b. telah mendapatkan persetujuan perubahan lingkup wilayah operasional dari PSP. (4) Lembaga Penjamin yang melakukan penurunan lingkup wilayah operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilarang melakukan pengurangan Modal Disetor. (5) Untuk melakukan perubahan lingkup wilayah operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi harus mengajukan permohonan persetujuan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 9 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dengan melampirkan: a. rencana perubahan anggaran dasar; b. bukti persetujuan perubahan lingkup wilayah operasional dari PSP; dan c. rencana kerja yang paling sedikit memuat: 1. rencana kegiatan usaha Lembaga Penjamin dan langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud; dan -39- 2. proyeksi laporan posisi keuangan, laporan laba rugi dan laporan arus kas bulanan yang dimulai sejak Lembaga Penjamin melakukan kegiatan operasional dengan lingkup wilayah operasional yang baru. (6) Dalam hal terjadi pemekaran wilayah provinsi atau kabupaten/kota, Lembaga Penjamin dapat menetapkan pilihan untuk: a. melakukan peningkatan lingkup wilayah operasional; atau b. memilih salah satu wilayah provinsi atau kabupaten/kota hasil pemekaran sebagai lingkup wilayah operasionalnya. (7) Lembaga Penjamin wajib menetapkan pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak ditetapkannya pemekaran wilayah. (8) Ketentuan mengenai perubahan lingkup wilayah operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5), mutatis mutandis berlaku terhadap peningkatan lingkup wilayah operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a. (9) Lembaga Penjamin yang menetapkan untuk memilih salah satu wilayah provinsi atau kabupaten/kota hasil pemekaran sebagai lingkup wilayah operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan melampirkan: a. bukti persetujuan perubahan lingkup wilayah operasional dari PSP; dan b. peraturan perundang-undangan yang mendasari pemekaran wilayah. Pasal 41 (1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan perubahan lingkup wilayah operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat -40- (5) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan persetujuan perubahan lingkup wilayah operasional dinyatakan secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5); b. c. analisis kelayakan atas rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5) huruf c; dan analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penjaminan. (3) Dalam hal permohonan perubahan lingkup wilayah operasional yang disampaikan tidak lengkap, Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan pemberitahuan mengenai persyaratan yang harus dipenuhi dan/atau dokumen yang harus dilengkapi kepada Lembaga Penjamin paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah permohonan diterima. (4) Dalam hal permohonan perubahan lingkup wilayah operasional disetujui, menerbitkan surat persetujuan perubahan lingkup wilayah operasional kepada Lembaga Penjamin. (5) Penolakan atas permohonan perubahan lingkup wilayah operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis dan disertai dengan alasan penolakan. BAB IX PELAPORAN Bagian Kesatu Pelaporan Perubahan Anggaran Dasar Pasal 42 (1) Lembaga Penjamin berbentuk badan hukum perseroan terbatas yang melakukan perubahan anggaran dasar Otoritas Jasa Keuangan -41- tertentu wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak persetujuan atau diterimanya surat pemberitahuan dari instansi yang berwenang. (2) Lembaga Penjamin berbentuk badan hukum koperasi dan/atau perusahaan umum yang melakukan perubahan anggaran dasar tertentu wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak berlakunya perubahan anggaran dasar. (3) Perubahan anggaran dasar tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) meliputi perubahan: a. nama Lembaga Penjamin; b. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Lembaga Penjamin; c. perubahan tempat kedudukan kantor pusat Lembaga Penjamin; d. pengurangan Modal Disetor bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; e. penambahan Modal Disetor bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; dan/atau f. status Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas tertutup menjadi perseroan terbatas terbuka atau sebaliknya. Pasal 43 (1) Pelaporan perubahan nama Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) huruf a harus disampaikan oleh Direksi Lembaga Penjamin kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 10 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri -42- dokumen berupa fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas nama baru dari Lembaga Penjamin dan: a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; b. fotokopi akta risalah rapat anggota dan/atau perubahan anggaran dasar bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum koperasi; atau c. peraturan pemerintah yang mendasari perubahan nama bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perusahaan umum. (2) Pelaporan perubahan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) huruf b harus disampaikan oleh Direksi Lembaga Penjamin kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 11 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dengan dilampiri dokumen berupa perubahan anggaran dasar serta bukti pengesahan atau persetujuan dari instansi berwenang. (3) Pelaporan perubahan tempat kedudukan kantor pusat Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) huruf c harus disampaikan oleh Direksi Lembaga Penjamin kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 12 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dokumen berupa fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas alamat baru dari Lembaga Penjamin dan: a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi -43- Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; b. fotokopi akta risalah rapat anggota dan/atau perubahan anggaran dasar bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum koperasi; atau c. peraturan pemerintah yang mendasari perubahan tempat kedudukan bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perusahaan umum. (4) Pengurangan Modal Disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) huruf d dapat dilaksanakan oleh Lembaga Penjamin dengan tetap memperhatikan pemenuhan ketentuan Modal Disetor minimum dan pemenuhan ketentuan ekuitas minimum. (5) Pelaporan pengurangan Modal Disetor bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) huruf d harus disampaikan oleh Direksi Lembaga Penjamin kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 13 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dengan dilampiri dokumen berupa perubahan anggaran dasar serta bukti persetujuan dari instansi berwenang. (6) Penambahan Modal Disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) huruf e yang dilakukan oleh pemegang saham badan hukum asing hanya dapat dilakukan dalam bentuk uang yang ditempatkan di rekening bank dalam negeri atas nama Lembaga Penjamin. (7) Penambahan Modal Disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) huruf e hanya dapat dilakukan dalam bentuk: a. setoran tunai; b. konversi saldo laba; -44- c. konversi pinjaman yang diterbitkan dalam bentuk obligasi wajib konversi; d. dividen saham; dan/atau e. tanah dan bangunan. (8) Penambahan Modal Disetor dalam bentuk tanah dan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf e hanya dapat dilakukan oleh pemegang saham yang merupakan pemerintah pusat atau pemerintah daerah. (9) Pelaporan penambahan Modal Disetor Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) huruf e, harus disampaikan oleh Direksi Lembaga Penjamin kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 14 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dokumen: a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan bukti surat penerimaan pemberitahuan dari instansi berwenang; b. bukti penambahan Modal Disetor, yaitu: 1. fotokopi bukti setoran pelunasan Modal Disetor dari pemegang saham dan fotokopi bukti penempatan Modal Disetor atas nama Lembaga Penjamin pada salah satu bank umum atau bank umum syariah di Indonesia dan dilegalisasi oleh bank penerima setoran, dalam hal penambahan Modal Disetor dilakukan dalam bentuk uang tunai; 2. laporan keuangan Lembaga Penjamin yang telah diaudit oleh akuntan publik sebelum penambahan modal, dalam hal penambahan Modal Disetor dilakukan dalam bentuk konversi saldo laba, konversi pinjaman yang diterbitkan dalam bentuk obligasi wajib konversi, dan/atau dividen saham; dan -45- 3. laporan penilai independen atas nilai tanah dan bangunan, dalam hal penambahan Modal Disetor dilakukan dalam bentuk tanah dan bangunan; c. surat pernyataan pemegang saham atau anggota koperasi yang menyatakan bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjaman, kegiatan pencucian uang (money laundering) dan kejahatan keuangan dalam hal penambahan modal dilakukan dalam bentuk uang tunai; d. laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik dan/atau laporan keuangan terakhir, dalam hal pemegang saham berupa badan usaha, lembaga atau badan hukum koperasi; dan e. rencana bisnis (business plan) dan langkah-langkah Lembaga Penjamin dalam penggunaan penambahan Modal Disetor. (10) Pelaporan perubahan status Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas tertutup menjadi perseroan terbatas terbuka atau sebaliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) huruf f, harus disampaikan oleh Direksi Lembaga Penjamin kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 15 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dokumen perubahan anggaran dasar disertai dengan bukti persetujuan dari instansi berwenang. Bagian Kedua Pelaporan Perubahan Anggota Direksi, Anggota Dewan Komisaris, Anggota Dewan Pengawas Syariah, dan Pemegang Saham Pasal 44 (1) Lembaga Penjamin yang melakukan perubahan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, -46- dan/atau pemegang saham wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak: a. tanggal Direksi, pencatatan anggota perubahan Dewan dan/atau pemegang saham dalam perseroan; b. disetujui rapat anggota; atau c. tanggal pengangkatan anggota DPS. (2) Pelaporan perubahan anggota sebagaimana kepada dalam dimaksud anggota Komisaris, daftar Direksi, pada anggota Dewan Komisaris, dan/atau anggota DPS, Lembaga Penjamin Otoritas Jasa Keuangan ayat (1), harus disampaikan oleh Direksi Lembaga Penjamin dengan menggunakan format 16 sebagaimana tercantum Lampiran bagian Otoritas dokumen: a. tidak Jasa terpisahkan Keuangan yang dari ini, merupakan Peraturan dilampiri fotokopi akta risalah RUPS bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; b. fotokopi akta risalah rapat anggota bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum koperasi; dan c. bukti pengangkatan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau anggota DPS bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perusahaan umum. (3) Pelaporan perubahan pemegang saham Lembaga Penjamin berbentuk badan hukum perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan oleh Direksi Lembaga Penjamin kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 17 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari -47- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dokumen: a. fotokopi akta pemindahan hak atas saham, dalam hal terjadi pemindahan hak atas saham; b. data pemegang saham selain PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf c, dalam hal terdapat pemegang saham baru; dan c. surat pernyataan pemegang saham yang menyatakan bahwa uang yang digunakan untuk membeli saham Lembaga Penjamin tidak berasal dari kegiatan pencucian uang (money laundering) dan kejahatan keuangan, dalam hal terjadi jual beli saham. (4) Dalam hal Lembaga Penjamin memperdagangkan sahamnya di bursa efek, kewajiban pelaporan perubahan pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku apabila: a. terdapat perubahan pemegang saham dari saham yang diperoleh bukan dari perdagangan bursa efek; dan/atau b. terdapat perubahan PSP. Bagian Ketiga Pelaporan Perubahan Bentuk Badan Hukum Pasal 45 (1) Lembaga Penjamin yang melakukan perubahan bentuk badan hukum wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diperolehnya surat persetujuan perubahan bentuk badan hukum dari instansi berwenang. (2) Pelaporan perubahan bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan oleh Direksi Lembaga Penjamin kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 18 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak -48- terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dan dilampiri dokumen: a. risalah RUPS atau peraturan pemerintah mengenai perubahan bentuk badan hukum Lembaga Penjamin; b. bukti perubahan bentuk badan hukum yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang; c. berita acara pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama kepada badan hukum baru; dan d. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas nama bentuk badan hukum Lembaga Penjamin yang baru. Bagian Keempat Pelaporan Perubahan Alamat Pasal 46 (1) Lembaga Penjamin yang melakukan perubahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan perubahan. (2) Perubahan alamat kantor sebagaimana dimaksud ayat (1) harus sesuai dengan operasionalnya. (3) Pelaporan perubahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan oleh Direksi Lembaga Penjamin dengan menggunakan format 19 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dengan dilampiri: a. data alamat lengkap kantor pusat dan/atau kantor cabang; dan b. bukti penguasaan gedung kantor. lingkup wilayah -49- BAB X PENGGABUNGAN, PELEBURAN, PENGAMBILALIHAN, DAN PEMISAHAN Bagian Kesatu Penggabungan dan Peleburan Pasal 47 (1) Lembaga Penjamin dapat melakukan: a. Penggabungan; atau b. Peleburan. (2) Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b hanya dapat dilakukan oleh Lembaga Penjamin berbentuk badan hukum yang sama. (3) Lembaga Penjamin yang menjalankan kegiatan penjaminan berdasarkan Prinsip Syariah hanya dapat melakukan Penggabungan atau Peleburan dengan Lembaga Penjamin yang juga berdasarkan Prinsip Syariah. Pasal 48 (1) Lembaga Penjamin yang akan melakukan Penggabungan atau Peleburan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) wajib menyampaikan rencana pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan, kepada Otoritas Jasa Keuangan persetujuan. untuk mendapatkan (2) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 20 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dengan melampirkan: a. rancangan akta risalah RUPS yang menyetujui Penggabungan atau Peleburan; b. rancangan akta Penggabungan atau Peleburan; -50- c. rencana daftar kepemilikan dari Lembaga Penjamin hasil Penggabungan atau Peleburan; d. data pemegang saham atau anggota selain PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf c dari Lembaga Penjamin hasil Penggabungan atau Peleburan; e. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit dari Lembaga Penjamin yang melakukan Penggabungan atau Peleburan; f. g. laporan keuangan proforma dari Lembaga Penjamin hasil Penggabungan atau Peleburan; rencana kerja untuk 3 (tiga) tahun pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf g dari Lembaga Penjamin hasil Penggabungan atau Peleburan; h. susunan organisasi dari Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b dari Lembaga Penjamin hasil Penggabungan atau Peleburan; i. rancangan akta pendirian dari Lembaga Penjamin hasil Peleburan; dan j. dokumen sebagaimana Pasal 13 ayat (2) huruf d, huruf e, huruf h, huruf i dan huruf j dari Lembaga Penjamin hasil Peleburan. (3) Permohonan persetujuan rencana pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan bersamaan dengan permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan PSP Lembaga Penjamin hasil Penggabungan atau Peleburan. (4) Permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan PSP Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai -51- penilaian kemampuan dan kepatutan lembaga jasa keuangan. Pasal 49 (1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan, permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan atas permohonan persetujuan rencana pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan diterima. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan: a. b. c. penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2); analisis kelayakan atas rencana pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan; penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan PSP Lembaga Penjamin hasil Penggabungan atau Peleburan; dan d. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penjaminan. (3) Direksi Lembaga Penjamin harus menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari Otoritas Jasa Keuangan. (4) Dalam hal Direksi Lembaga Penjamin telah menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen -52- sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan belum menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan dokumen dimaksud, Direksi Lembaga Penjamin dianggap membatalkan permohonan persetujuan rencana pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan. (6) Dalam hal permohonan disetujui, Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan surat persetujuan rencana pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan kepada Direksi Lembaga Penjamin. (7) Penolakan atas permohonan persetujuan rencana pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis dan disertai dengan alasan penolakan. Pasal 50 (1) Lembaga Penjamin yang telah mendapatkan persetujuan rencana pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan dari Otoritas Jasa Keuangan harus melaksanakan RUPS yang menyetujui Penggabungan atau Peleburan paling lama 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal surat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam hal pelaksanaan RUPS yang menyetujui rencana pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan tidak sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), surat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan menjadi tidak berlaku. Pasal 51 (1) Lembaga Penjamin yang menerima Penggabungan wajib melaporkan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Penggabungan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal RUPS. (2) Pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) -53- harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 21 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dengan: a. fotokopi akta risalah RUPS yang menyetujui Penggabungan; b. fotokopi akta Penggabungan; dan c. dokumen yang menyatakan bahwa Lembaga Penjamin yang menggabungkan diri tidak mempunyai utang pajak dari instansi yang berwenang. (3) Dalam rangka pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Penjamin yang menerima Penggabungan dapat mengajukan permohonan izin UUS dan/atau izin pembukaan Kantor Cabang yang sebelumnya dimiliki oleh Lembaga Penjamin yang menggabungkan diri kepada Otoritas Jasa Keuangan atas namanya. (4) Permohonan izin UUS dan/atau izin pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus disampaikan oleh Direksi Lembaga Penjamin kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 22 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dengan: a. izin UUS dan/atau izin pembukaan Kantor Cabang terdahulu yang dimiliki oleh Lembaga Penjamin yang menggabungkan diri; dan b. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung Kantor Cabang. (5) Berdasarkan pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan permohonan izin UUS dan/atau izin -54- pembukaan Kantor Cabang (jika ada) sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Otoritas Jasa Keuangan: a. melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4); b. mencabut izin usaha, izin UUS, dan/atau izin pembukaan Kantor Cabang (jika ada) Lembaga Penjamin yang menggabungkan diri yang mulai berlaku efektif terhitung sejak anggaran dasar disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang; dan c. memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin UUS dan/atau izin pembukaan Kantor Cabang (jika ada) kepada Lembaga Penjamin yang merupakan hasil Penggabungan yang mulai berlaku efektif terhitung sejak anggaran dasar disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang. (6) Pemberian persetujuan atau penolakan izin UUS dan/atau izin pembukaan Kantor Cabang (jika ada) Lembaga Penjamin yang merupakan hasil Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c dilakukan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diterima secara lengkap. (7) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak untuk menetapkan izin UUS dan/atau izin pembukaan Kantor Cabang (jika ada) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c, penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya. Pasal 52 Lembaga Penjamin hasil Penggabungan wajib melaporkan pelaksanaan Penggabungan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal anggaran dasar disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang dengan -55- menggunakan format 23 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dengan anggaran dasar yang telah disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang. Pasal 53 (1) Lembaga Penjamin hasil Peleburan wajib melaporkan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Peleburan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal RUPS. (2) Pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Peleburan sebagaimana dimaksud (1), Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 24 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dengan: a. b. fotokopi akta Peleburan; c. pada ayat harus disampaikan oleh Direksi kepada fotokopi akta risalah RUPS yang menyetujui Peleburan; fotokopi akta risalah RUPS mengenai pendirian perusahaan hasil Peleburan; dan d. dokumen yang menyatakan bahwa Lembaga Penjamin yang melakukan Peleburan tidak mempunyai utang pajak dari instansi yang berwenang. (3) Dalam rangka pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Lembaga Penjamin hasil Peleburan dapat mengajukan permohonan izin UUS dan/atau izin pembukaan Kantor Cabang yang sebelumnya dimiliki oleh Lembaga Penjamin yang meleburkan diri kepada Otoritas Jasa Keuangan atas namanya. (4) Permohonan izin UUS dan/atau izin pembukaan Kantor Cabang (jika ada) sebagaimana dimaksud pada -56- ayat (3), harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 25 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dengan: a. izin UUS dan/atau izin pembukaan Kantor Cabang (jika ada) terdahulu yang dimiliki oleh Lembaga Penjamin yang meleburkan diri; dan b. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung Kantor Cabang. (5) Berdasarkan pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan permohonan izin UUS dan/atau izin pembukaan Kantor Cabang (jika ada) sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Otoritas Jasa Keuangan: a. melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4); b. mencabut izin usaha, izin pembentukan UUS, dan/atau izin pembukaan Kantor Cabang (jika ada) Lembaga Penjamin diri yang yang meleburkan mulai berlaku efektif terhitung sejak anggaran dasar disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan berwenang; c. memberikan persetujuan atau penolakan izin usaha kepada Lembaga Penjamin yang merupakan hasil Peleburan yang mulai berlaku efektif terhitung sejak anggaran dasar disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang; dan d. memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin UUS dan/atau izin pembukaan Kantor Cabang (jika ada) Lembaga Penjamin yang merupakan hasil Peleburan yang mulai berlaku efektif terhitung sejak anggaran dasar disahkan, kepada instansi yang -57- disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang. (6) Pemberian persetujuan atau penolakan izin usaha, izin UUS dan/atau izin pembukaan Kantor Cabang (jika ada) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c dan huruf d dilakukan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah dokumen pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diterima secara lengkap. (7) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak untuk menetapkan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c dan izin UUS dan/atau izin pembukaan Kantor Cabang Lembaga Penjamin yang merupakan hasil Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf d, penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya. Pasal 54 Lembaga Penjamin hasil Peleburan wajib melaporkan pelaksanaan Peleburan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal pengesahan, persetujuan, atau pemberitahuan dengan menggunakan format 26 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dengan anggaran dasar yang telah disahkan disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang. Bagian Kedua Pengambilalihan Pasal 55 (1) Pengambilalihan Lembaga Penjamin wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan Keuangan. Otoritas Jasa -58- (2) Untuk memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Lembaga Penjamin wajib menyampaikan rencana Pengambilalihan kepada Otoritas Jasa Keuangan, dengan menggunakan format 27 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dengan melampirkan: a. rancangan akta risalah RUPS yang menyetujui Pengambilalihan; b. rancangan akta Pengambilalihan; c. rancangan akta pemindahan hak atas saham, dalam hal Pengambilalihan saham dilakukan secara langsung dari pemegang saham; pernyataan d. surat pemegang saham yang menyatakan bahwa uang yang digunakan untuk membeli saham Lembaga Penjamin tidak berasal dari pinjaman, kegiatan pencucian uang (money keuangan; e. data pemegang saham atau anggota selain PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf c setelah Pengambilalihan; dan f. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit dari Lembaga Penjamin. (3) Permohonan persetujuan rencana Pengambilalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan bersamaan dengan permohonan laundering) dan kejahatan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon PSP Lembaga Penjamin. (4) Permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon PSP Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan lembaga jasa keuangan. -59- Pasal 56 (1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan, permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan atas permohonan persetujuan rencana Pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan diterima. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan: a. b. analisis kelayakan atas rencana Pengambilalihan; c. d. penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat ( 2); penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon PSP; dan analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penjaminan. (3) Direksi Lembaga Penjamin harus menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari Otoritas Jasa Keuangan. (4) Dalam hal Direksi Lembaga Penjamin telah menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan belum menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan dokumen dimaksud, Direksi Lembaga Penjamin dianggap membatalkan permohonan persetujuan rencana Pengambilalihan. (6) Dalam hal permohonan disetujui, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan keputusan persetujuan -60- rencana Pengambilalihan kepada Direksi Lembaga Penjamin. (7) Penolakan atas permohonan persetujuan rencana Pengambilalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis dan disertai dengan alasan penolakan. Pasal 57 (1) Lembaga Penjamin yang telah mendapatkan persetujuan rencana Pengambilalihan dari Otoritas Jasa Keuangan harus melaksanakan RUPS yang menyetujui Pengambilalihan tersebut paling lama 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal surat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam hal pelaksanaan RUPS yang menyetujui rencana Pengambilalihan tidak sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), surat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan menjadi tidak berlaku. Pasal 58 (1) Lembaga Penjamin wajib melaporkan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Pengambilalihan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal pemberitahuan kepada instansi yang berwenang. (2) Pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Pengambilalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 28 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dengan: a. b. fotokopi akta Pengambilalihan; dan fotokopi akta risalah RUPS yang menyetujui Pengambilalihan; -61- c. bukti pemberitahuan kepada instansi yang berwenang. Bagian Ketiga Pemisahan Pasal 59 (1) Lembaga Penjamin dapat melakukan Pemisahan, dengan cara: a. Pemisahan murni; atau b. Pemisahan tidak murni. (2) Terhadap Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berlaku ketentuan: a. seluruh aset, liabilitas, dan ekuitas Lembaga Penjamin beralih karena hukum kepada 2 (dua) badan hukum atau lebih yang menerima peralihan; dan b. Lembaga Penjamin yang melakukan Pemisahan tersebut berakhir karena hukum. (3) Terhadap Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berlaku ketentuan: a. sebagian aset, liabilitas, dan ekuitas Lembaga Penjamin beralih karena hukum kepada 1 (satu) atau lebih badan hukum lain yang menerima peralihan; dan b. Lembaga Penjamin yang melakukan Pemisahan tersebut tetap ada. Pasal 60 (1) Lembaga Penjamin dapat melakukan Pemisahan murni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a, dengan cara mendirikan badan hukum baru. (2) Salah satu badan hukum baru hasil Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus merupakan Lembaga Penjamin. -62- (3) Portofolio penjaminan yang dimiliki oleh Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dialihkan kepada badan hukum baru hasil Pemisahan murni yang merupakan Lembaga Penjamin. Pasal 61 (1) Lembaga Penjamin yang akan melakukan Pemisahan murni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) wajib menyampaikan rencana pelaksanaan Pemisahan murni kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mendapatkan persetujuan. (2) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Lembaga Penjamin yang akan melakukan Pemisahan murni kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 29 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dokumen: a. rancangan akta Pemisahan; b. rancangan akta pendirian Lembaga Penjamin baru dan/atau badan hukum baru yang akan menerima aset, liabilitas, dan ekuitas; c. rancangan penyelesaian hak dan kewajiban Terjamin dan Penerima Jaminan bagi Lembaga Penjamin yang melakukan Pemisahan murni; d. rencana daftar kepemilikan dari Lembaga Penjamin baru dan/atau badan hukum baru yang akan menerima aset, liabilitas, dan ekuitas; e. data pemegang saham atau anggota selain PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf c dari Lembaga Penjamin baru hasil Pemisahan murni; f. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit dari Lembaga Penjamin yang melakukan Pemisahan murni; -63- g. laporan keuangan proforma dari Lembaga Penjamin hasil Pemisahan murni; h. rencana kerja yang akan dilakukan untuk 3 (tiga) tahun pertama setelah mendapatkan izin usaha dari badan hukum baru yang merupakan Lembaga Penjamin, yang paling sedikit memuat: 1. studi kelayakan peluang pasar dan potensi ekonomi; 2. rencana kegiatan usaha Penjaminan atau Penjaminan Syariah dan langkah-langkah yang dilakukan untuk mewujudkan rencana dimaksud; dan 3. proyeksi laporan posisi keuangan, laporan laba rugi, dan arus kas bulanan serta asumsi yang mendasarinya dimulai sejak Lembaga Penjamin melakukan kegiatan operasional; dan i. susunan organisasi dari Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b dari Lembaga Penjamin baru hasil Pemisahan murni. (3) Permohonan persetujuan rencana Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan bersamaan dengan permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan/atau PSP Lembaga Penjamin hasil Pemisahan murni. (4) Permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan/atau PSP Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan lembaga jasa keuangan. Pasal 62 (1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan, permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan atas -64- permohonan persetujuan rencana Pemisahan murni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan diterima. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan: a. b. c. penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2); analisis kelayakan atas rencana Pemisahan murni; penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan/atau PSP Lembaga Penjamin hasil Pemisahan murni; dan d. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penjaminan. (3) Direksi Lembaga Penjamin harus menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari Otoritas Jasa Keuangan. (4) Dalam hal Direksi Lembaga Penjamin telah menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Otoritas Jasa Keuangan belum menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan dokumen dimaksud, Direksi Lembaga Penjamin dianggap membatalkan persetujuan rencana Pemisahan murni. permohonan -65- (6) Dalam hal permohonan disetujui, Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan surat persetujuan rencana Pemisahan murni kepada Lembaga Penjamin. (7) Penolakan atas permohonan persetujuan rencana Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis dan disertai dengan alasan penolakan. Pasal 63 (1) Lembaga Penjamin yang telah mendapatkan persetujuan rencana pelaksanaan Pemisahan murni dari Otoritas Jasa Keuangan harus melaksanakan RUPS yang menyetujui Pemisahan murni paling lama 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal surat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam hal pelaksanaan RUPS yang menyetujui Pemisahan murni tidak sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), surat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan menjadi tidak berlaku. Pasal 64 (1) Lembaga Penjamin hasil Pemisahan murni wajib melaporkan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Pemisahan murni kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal RUPS. (2) Pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 30 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dengan: a. fotokopi akta risalah RUPS yang menyetujui Pemisahan murni; -66- b. fotokopi akta Pemisahan murni; c. dokumen yang menyatakan bahwa Lembaga Penjamin yang melakukan Pemisahan murni tidak mempunyai utang pajak dari instansi yang berwenang; d. fotokopi akta risalah RUPS yang menyatakan pengangkatan Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau DPS; e. fotokopi bukti pelunasan modal disetor dalam bentuk setoran tunai dari pemegang saham atau anggota fotokopi bukti penempatan modal disetor dalam bentuk deposito berjangka atas nama Lembaga Penjamin yang bersangkutan, dalam hal terdapat pemegang saham baru atau anggota baru (jika ada); f. laporan posisi keuangan awal/pembukaan dari badan hukum baru hasil Pemisahan murni; dan g. bukti kesiapan operasional dari badan hukum baru hasil Pemisahan murni yang merupakan Lembaga Penjamin paling sedikit berupa: 1. daftar aset tetap dan inventaris beserta bukti kepemilikan atau penguasaan; 2. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung kantor; dan 3. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP). (3) Dalam rangka pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Penjamin hasil Pemisahan murni dapat mengajukan permohonan izin pembukaan Kantor Cabang yang sebelumnya dimiliki oleh Lembaga Penjamin yang melakukan Pemisahan murni kepada Otoritas Jasa Keuangan atas namanya. (4) Permohonan izin pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus disampaikan oleh Direksi Lembaga Penjamin kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 31 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang -67- merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dengan: a. izin pembukaan Kantor Cabang terdahulu yang dimiliki oleh Lembaga Penjamin yang melakukan Pemisahan murni; dan b. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung Kantor Cabang. (5) Berdasarkan pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan izin pembukaan Kantor Cabang (jika ada) sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Otoritas Jasa Keuangan: a. melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4); b. mencabut izin usaha dan/atau izin pembukaan Kantor Cabang Lembaga Penjamin yang melakukan Pemisahan murni (jika ada) yang mulai berlaku efektif terhitung sejak anggaran dasar disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang; dan c. memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha dan izin pembukaan Kantor Cabang (jika ada) kepada badan hukum baru yang merupakan Lembaga Penjamin hasil Pemisahan murni yang mulai berlaku efektif terhitung sejak anggaran dasar disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang. (6) Pemberian persetujuan izin usaha dan/atau izin pembukaan Kantor Cabang (jika ada) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c dilakukan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah dokumen pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diterima secara lengkap. (7) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak untuk menetapkan izin usaha dan/atau izin pembukaan -68- Kantor Cabang (jika ada) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c, penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya. Pasal 65 Lembaga Penjamin hasil Pemisahan murni wajib melaporkan pelaksanaan Pemisahan murni kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal anggaran dasar disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang dengan menggunakan format 32 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dengan anggaran dasar yang telah disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang. Pasal 66 Lembaga Penjamin dapat melakukan Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf b, dengan cara: a. mendirikan Lembaga Penjamin baru; b. mendirikan badan hukum baru yang bukan merupakan Lembaga Penjamin; c. mengalihkan sebagian aset, liabilitas, dan ekuitas Lembaga Penjamin kepada Lembaga Penjamin lain; atau d. mengalihkan sebagian aset, liabilitas, dan ekuitas Lembaga Penjamin kepada badan hukum lain yang bukan merupakan Lembaga Penjamin. Pasal 67 (1) Lembaga Penjamin yang akan melakukan Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf b wajib menyampaikan rencana pelaksanaan Pemisahan tidak murni kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mendapatkan persetujuan. -69- (2) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Lembaga Penjamin yang akan melakukan Pemisahan tidak murni kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 33 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dokumen: a. bagi Pemisahan tidak murni dengan cara mendirikan Lembaga Penjamin baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf a, meliputi: 1. rancangan akta Pemisahan; 2. rancangan akta pendirian Lembaga Penjamin baru; 3. rencana penyelesaian hak dan kewajiban Terjamin, Penerima Jaminan, dan pihak terkait lainnya; 4. rencana daftar kepemilikan dari Lembaga Penjamin baru; 5. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit dari Lembaga Penjamin yang melakukan Pemisahan tidak murni; 6. laporan keuangan proforma dari Lembaga Penjamin baru; 7. rencana kerja yang akan dilakukan untuk 3 (tiga) tahun pertama setelah mendapatkan izin usaha Lembaga Penjamin baru, yang paling sedikit memuat: a) studi kelayakan peluang pasar dan potensi ekonomi; b) rencana kegiatan usaha Penjaminan atau Penjaminan Syariah dan langkah-langkah yang dilakukan untuk mewujudkan rencana dimaksud; dan c) proyeksi laporan posisi keuangan, laporan laba rugi, dan arus kas bulanan serta asumsi yang mendasarinya dimulai sejak -70- Lembaga Penjamin baru melakukan kegiatan operasional; 8. proyeksi laporan posisi keuangan, laporan laba rugi, dan laporan arus kas bulanan selama 3 (tiga) tahun dari Lembaga Penjamin yang akan melakukan Pemisahan terhitung sejak Pemisahan selesai dilakukan; dan 9. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b dan huruf c, bagi Lembaga Penjamin baru hasil Pemisahan tidak murni; b. bagi Pemisahan tidak murni dengan cara mendirikan badan hukum baru yang bukan merupakan Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf b, meliputi: 1. rancangan akta Pemisahan; 2. rancangan akta pendirian badan hukum baru; 3. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit dari Lembaga Penjamin yang melakukan Pemisahan tidak murni; dan 4. proyeksi laporan posisi keuangan, laporan laba rugi, dan laporan arus kas bulanan selama 3 (tiga) tahun dari Lembaga Penjamin yang akan melakukan Pemisahan terhitung sejak Pemisahan selesai dilakukan; c. bagi Lembaga Penjamin yang melakukan Pemisahan tidak murni dengan cara mengalihkan sebagian aset, liabilitas, dan ekuitas Lembaga Penjamin kepada Lembaga Penjamin lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf c, meliputi: 1. rancangan akta Pemisahan; 2. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit dari Lembaga Penjamin yang melakukan Pemisahan tidak murni; -71- 3. rencana penyelesaian hak dan kewajiban Terjamin, Penerima Jaminan, dan pihak terkait lainnya; 4. rencana daftar kepemilikan dari Lembaga Penjamin lain; 5. dokumen Lembaga Penjamin yang akan menerima pengalihan sebagian aset, liabilitas, dan ekuitas, meliputi: a) fotokopi izin usaha sebagai Lembaga Penjamin; b) laporan keuangan tahunan terakhir yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik; dan c) laporan posisi keuangan, laporan laba rugi, dan laporan arus kas bulan terakhir sebelum menerima pengalihan aset, liabilitas, dan ekuitas; 6. proyeksi laporan posisi keuangan, laporan laba rugi, dan laporan arus kas bulanan selama 3 (tiga) tahun dari Lembaga Penjamin yang akan melakukan Pemisahan terhitung sejak Pemisahan selesai dilakukan; d. bagi Lembaga Penjamin yang melakukan Pemisahan tidak murni dengan cara mengalihkan sebagian aset, liabilitas, dan ekuitas Lembaga Penjamin kepada badan hukum lain yang bukan merupakan Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf d, meliputi: 1. rancangan akta Pemisahan; 2. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit dari Lembaga Penjamin yang melakukan Pemisahan tidak murni; dan 3. proyeksi laporan posisi keuangan, laporan laba rugi, dan laporan arus kas bulanan selama 3 (tiga) tahun dari Lembaga Penjamin yang akan melakukan Pemisahan terhitung sejak Pemisahan selesai dilakukan. -72- (3) Permohonan persetujuan rencana pelaksanaan Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan bersamaan dengan permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan/atau PSP Lembaga Penjamin baru. (4) Permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan/atau PSP Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan lembaga jasa keuangan. Pasal 68 (1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan, permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan atas permohonan persetujuan pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan diterima. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dokumen; b. c. analisis kelayakan atas rencana Pemisahan tidak murni; penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan/atau PSP Lembaga Penjamin baru; dan d. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penjaminan. (3) Direksi Lembaga Penjamin harus menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal -73- surat permintaan kelengkapan dokumen dari Otoritas Jasa Keuangan. (4) Dalam hal Direksi Lembaga Penjamin telah menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan belum menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan dokumen dimaksud, Direksi Lembaga Penjamin dianggap membatalkan permohonan persetujuan Pemisahan tidak murni. (6) Dalam hal permohonan disetujui, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan keputusan persetujuan rencana Pemisahan tidak murni kepada Direksi Lembaga Penjamin. (7) Penolakan atas permohonan persetujuan rencana Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis dan disertai dengan alasan penolakan. Pasal 69 (1) Lembaga Penjamin yang telah mendapatkan persetujuan rencana pelaksanaan Pemisahan tidak murni dari Otoritas Jasa Keuangan harus melaksanakan RUPS yang menyetujui Pemisahan tidak murni paling lama 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal surat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam hal pelaksanaan RUPS yang menyetujui Pemisahan tidak murni melebihi jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), surat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan menjadi tidak berlaku. -74- Pasal 70 (1) Lembaga Penjamin yang melakukan Pemisahan tidak murni wajib melaporkan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Pemisahan tidak murni kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal RUPS. (2) Pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 34 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dengan: a. fotokopi akta risalah RUPS yang menyetujui Pemisahan tidak murni; b. fotokopi akta Pemisahan tidak murni; c. d. fotokopi akta risalah RUPS yang menyatakan pengangkatan Direksi dan Dewan Komisaris; fotokopi bukti pelunasan modal disetor dalam bentuk setoran tunai dari pemegang saham atau anggota fotokopi bukti penempatan modal disetor dalam bentuk deposito berjangka atas nama Lembaga Penjamin yang bersangkutan, dalam hal terdapat pemegang saham atau anggota baru (jika ada); e. laporan keuangan pembukaan dari badan hukum baru hasil Pemisahan tidak murni; dan f. bukti kesiapan operasional dari badan hukum baru hasil Pemisahan tidak murni yang merupakan Lembaga Penjamin paling sedikit berupa: 1. daftar aset tetap dan inventaris beserta bukti kepemilikan atau penguasaan; 2. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung kantor; dan -75- 3. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP). (3) Dalam rangka pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Penjamin yang menerima Pemisahan tidak murni dapat mengajukan permohonan penetapan izin pembukaan Kantor Cabang dan/atau Kantor Cabang UUS (jika ada) yang sebelumnya dimiliki oleh Lembaga Penjamin yang melakukan Pemisahan tidak murni menjadi Kantor Cabang atas nama Lembaga Penjamin hasil Pemisahan tidak murni kepada Otoritas Jasa Keuangan. (4) Permohonan penetapan izin pembukaan Kantor Cabang dan/atau Kantor Cabang UUS (jika ada) sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus disampaikan oleh Direksi Lembaga Penjamin kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 35 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dengan: a. izin pembukaan Kantor Cabang dan/atau Kantor Cabang UUS (jika ada) terdahulu yang dimiliki oleh Lembaga Penjamin yang melakukan Pemisahan tidak murni; dan b. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung Kantor Cabang dan/atau Kantor Cabang UUS (jika ada). (5) Berdasarkan pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan permohonan penetapan izin pembukaan Kantor Cabang dan/atau Kantor Cabang UUS (jika ada) sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Otoritas Jasa Keuangan: a. melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4); b. mencabut izin pembukaan Kantor Cabang dan/atau Kantor Cabang UUS Lembaga Penjamin yang -76- melakukan Pemisahan tidak murni (jika ada) yang mulai berlaku efektif terhitung sejak anggaran dasar disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang; c. mencabut izin UUS, untuk Pemisahan tidak murni yang dilakukan terhadap UUS; d. memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha kepada Lembaga Penjamin baru hasil Pemisahan tidak murni yang mulai berlaku efektif terhitung sejak anggaran dasar disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang; dan e. memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan penetapan izin pembukaan Kantor Cabang dan/atau Kantor Cabang UUS (jika ada) kepada Lembaga Penjamin yang menerima Pemisahan tidak murni yang mulai berlaku efektif terhitung sejak anggaran dasar disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang. (6) Pemberian persetujuan izin usaha dan/atau penetapan izin pembukaan Kantor Cabang dan/atau Kantor Cabang UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c dan huruf d dilakukan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah dokumen pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diterima secara lengkap. (7) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak untuk menetapkan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c, penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya. Pasal 71 Lembaga Penjamin yang melakukan Pemisahan tidak murni wajib melaporkan pelaksanaan Pemisahan tidak murni kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal anggaran dasar -77- disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang dengan menggunakan format 36 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dengan anggaran dasar yang telah disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang. Pasal 72 (1) Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Peleburan, (2) Penggabungan, Pemisahan, dan Pengambilalihan Lembaga Penjamin tidak mengurangi hak Penerima Jaminan dan kewajiban Terjamin. BAB XI KANTOR CABANG Pasal 73 (1) Lembaga Penjamin dapat membuka Kantor Cabang di wilayah negara Republik Indonesia sesuai lingkup wilayah operasionalnya. (2) Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kewenangan: a. menandatangani Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah; dan b. menetapkan untuk membayar atau menolak klaim. (3) Untuk dapat membuka Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Penjamin wajib terlebih dahulu mendapatkan izin dari Otoritas Jasa Keuangan. (4) Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direksi mengajukan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format 37 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang -78- merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dan harus dilampiri dengan: a. bukti penguasaan gedung kantor; b. struktur organisasi dan nama calon kepala Kantor Cabang serta jumlah karyawan; dan c. rencana bisnis yang memuat rencana pembukaan Kantor Cabang Lembaga Penjamin. Pasal 74 (1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan, permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan atas permohonan izin pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (3) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin pembukaan Kantor Cabang, Otoritas Jasa Keuangan melakukan: a. b. c. penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (4); analisis atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (4); dan verifikasi langsung ke Kantor Cabang yang akan dibuka, apabila diperlukan. (3) Direksi Lembaga Penjamin harus menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari Otoritas Jasa Keuangan. (4) Dalam hal Direksi Lembaga Penjamin telah menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). -79- (5) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan belum menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan dokumen dimaksud, Direksi Lembaga Penjamin dianggap membatalkan permohonan izin pembukaan Kantor Cabang. (6) Dalam hal permohonan izin pembukaan Kantor Cabang disetujui, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan keputusan pemberian izin pembukaan Kantor Cabang kepada Lembaga Penjamin. (7) Penolakan atas permohonan izin pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis dan disertai dengan alasan penolakan. Pasal 75 Otoritas Jasa Keuangan dapat mencabut izin pembukaan Kantor Cabang apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan secara terus menerus Kantor Cabang dimaksud terbukti tidak melakukan kegiatan operasional. Pasal 76 (1) Lembaga Penjamin yang akan menutup Kantor Cabang wajib terlebih dahulu memberitahukan kepada pihak yang terikat dalam Penjaminan atau Penjaminan Syariah mengenai: a. rencana penutupan Kantor Cabang; dan b. prosedur penyelesaian hak dan kewajiban. (2) Prosedur penyelesaian hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib dilakukan berdasarkan peraturan perundang- undangan dan memperhatikan kepentingan pihak yang terikat dalam Penjaminan atau Penjaminan Syariah. -80- (3) Lembaga Penjamin wajib melaporkan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penutupan Kantor Cabang. (4) Pelaporan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diajukan oleh Direksi Lembaga Penjamin dengan menggunakan format 38 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dengan dilampiri: a. bukti pemberitahuan rencana penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; b. bukti pemberitahuan prosedur penyelesaian hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; dan c. bukti penyelesaian hak dan kewajiban debitur. (5) Berdasarkan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin pembukaan Kantor Cabang terhitung sejak tanggal penutupan. BAB XII KONVERSI PERUSAHAAN PENJAMINAN ATAU PERUSAHAAN PENJAMINAN ULANG MENJADI PERUSAHAAN PENJAMINAN SYARIAH ATAU PERUSAHAAN PENJAMINAN ULANG SYARIAH Pasal 77 (1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang dapat melakukan konversi menjadi Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah. (2) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang yang akan melakukan konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan rencana -81- pelaksanaan konversi kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mendapatkan persetujuan. (3) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang yang akan melakukan konversi kepada Otoritas Jasa Keuangan, dengan menggunakan format 39 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dokumen: a. rancangan akta risalah RUPS yang menyetujui konversi menjadi Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah; b. rancangan perubahan anggaran dasar yang mencantumkan: 1. nama, salah satu maksud dan tujuan perusahaan yaitu melakukan kegiatan usaha Penjaminan Syariah atau Penjaminan Ulang Syariah; dan 2. wewenang dan tanggung jawab DPS; c. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit; d. daftar Kantor Cabang yang dimiliki oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahan Penjaminan Ulang; e. susunan organisasi yang dilengkapi dengan susunan personalia, uraian tugas, wewenang, dan tanggung jawab; f. rencana kerja terkait kegiatan Penjaminan Syariah atau Penjaminan Ulang Syariah yang akan dilakukan untuk 3 (tiga) tahun pertama setelah mendapatkan izin usaha sebagai Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, yang paling sedikit memuat: 1. prosedur operasi standar (standard operating procedure); 2. contoh perjanjian kerja sama; dan -82- 3. contoh Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah yang akan digunakan oleh Lembaga Penjamin; g. rencana penyelesaian hak dan kewajiban Terjamin, Penerima Jaminan, dan pihak terkait lainnya; h. studi kelayakan peluang pasar dan potensi ekonomi; i. rencana kegiatan usaha Penjaminan Syariah atau Penjaminan Ulang Syariah dan langkah-langkah yang dilakukan untuk mewujudkan rencana dimaksud; j. proyeksi laporan posisi keuangan, laporan laba rugi, dan arus kas bulanan serta asumsi yang mendasarinya dimulai sejak Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah melakukan kegiatan operasional; dan k. bukti mempekerjakan tenaga ahli di bidang Penjaminan Syariah. (4) Permohonan persetujuan rencana pelaksanaan konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan bersamaan dengan permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan PSP Lembaga Penjamin. (5) Permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan PSP Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan lembaga jasa keuangan. Pasal 78 (1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan, permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan atas -83- permohonan persetujuan rencana pelaksanaan konversi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan diterima. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan: a. b. c. penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3); analisis kelayakan atas rencana pelaksanaan konversi; penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan PSP; dan d. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penjaminan. (3) Direksi Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang harus menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari Otoritas Jasa Keuangan. (4) Dalam hal Direksi Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang telah menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan belum menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan dokumen dimaksud, Direksi Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang dianggap membatalkan permohonan persetujuan rencana pelaksanaan konversi. -84- (6) Dalam hal permohonan disetujui, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan keputusan persetujuan rencana pelaksanaan konversi kepada Direksi Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang. (7) Penolakan atas permohonan persetujuan rencana pelaksanaan konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis dan disertai dengan alasan penolakan. Pasal 79 (1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang yang telah mendapatkan persetujuan rencana pelaksanaan konversi dari Otoritas Jasa Keuangan harus melaksanakan RUPS paling lama 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal surat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam hal pelaksanaan RUPS yang menyetujui rencana pelaksanaan konversi tidak sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), surat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan menjadi tidak berlaku. Pasal 80 (1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang wajib melaporkan pelaksanaan RUPS yang menyetujui konversi menjadi Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah secara tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal RUPS. (2) Pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 40 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang -85- merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dengan: a. fotokopi akta risalah RUPS yang menyetujui konversi menjadi Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah; b. fotokopi akta risalah RUPS yang menyatakan pengangkatan Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS; c. fotokopi perubahan anggaran dasar yang mencantumkan: 1. nama, salah satu maksud dan tujuan perusahaan yaitu melakukan kegiatan usaha Penjaminan Syariah atau Penjaminan Ulang Syariah; dan 2. wewenang dan tanggung jawab DPS; dan d. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas nama Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah hasil konversi. (3) Dalam rangka pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang yang melakukan konversi dapat mengajukan permohonan izin pembukaan Kantor Cabang yang sebelumnya dimiliki oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang yang dikonversi kepada Otoritas Jasa Keuangan atas namanya. (4) Permohonan izin pembukaan Kantor sebagaimana dimaksud pada ayat dengan menggunakan tidak Cabang (3), harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan format bagian terpisahkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan 41 dari -86- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dengan: a. izin pembukaan Kantor Cabang terdahulu yang dimiliki oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang yang dikonversi; dan b. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung Kantor Cabang. (5) Berdasarkan pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan permohonan izin pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) (jika ada), Otoritas Jasa Keuangan: a. melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4); b. memberikan persetujuan atau penolakan perubahan izin usaha sebagai Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah yang mulai berlaku efektif terhitung sejak anggaran dasar disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang; dan c. memberikan persetujuan atau penolakan izin pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang mulai berlaku efektif terhitung sejak anggaran dasar disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang (jika ada). (6) Pemberian persetujuan izin usaha dan/atau izin pembukaan Kantor Cabang Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah dalam konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dan huruf c dilakukan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah dokumen pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterima secara lengkap. (7) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak untuk menetapkan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat -87- (5) huruf b, penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya. Pasal 81 Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah hasil konversi wajib melaporkan pelaksanaan konversi kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal anggaran dasar disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang dengan menggunakan format 42 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dilampiri dengan anggaran dasar yang telah disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang. Pasal 82 Konversi Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang menjadi Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah tidak mengurangi hak Penerima Jaminan dan kewajiban Terjamin. BAB XIII PENCABUTAN IZIN USAHA Pasal 83 (1) Pencabutan izin usaha Lembaga Penjamin atau izin UUS dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Pencabutan izin usaha Lembaga Penjamin atau izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal: a. bubar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. dikenai sanksi administratif pencabutan izin usaha; c. tidak lagi menjadi Lembaga Penjamin; -88- d. bubar sebagai akibat melakukan Penggabungan, Peleburan, atau Pemisahan; e. belum melakukan kegiatan usaha paling lambat 4 (empat) bulan setelah tanggal izin usaha ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1); atau f. belum melakukan kegiatan usaha paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tanggal izin UUS ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1). (3) Sebelum pencabutan izin usaha ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin wajib melakukan penyelesaian kewajibannya kepada Terjamin dan/atau Penerima Jaminan. (4) Prosedur penyelesaian kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan memperhatikan kepentingan Terjamin dan/atau Penerima Jaminan. Pasal 84 Lembaga Penjamin bubar karena: a. keputusan RUPS; b. jangka waktu berdirinya Lembaga Penjamin yang ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir; c. putusan pengadilan; atau d. keputusan pemerintah. Pasal 85 (1) Dalam hal Lembaga Penjamin bubar karena keputusan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf a, likuidator atau kuasa rapat anggota harus melaporkan hasil RUPS kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima belas) hari setelah RUPS dilaksanakan. (2) Apabila batas akhir penyampaian laporan pembubaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. (3) Pelaporan pembubaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan menggunakan format 43 sebagaimana -89- tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dan harus dilampiri dengan: a. dokumen yang menjadi dasar ditetapkannya keputusan atau penetapan pembubaran; dan b. asli salinan keputusan mengenai pemberian izin usaha Lembaga Penjamin. (4) Berdasarkan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha Lembaga Penjamin. Pasal 86 (1) Dalam hal Lembaga Penjamin bubar karena jangka waktu berdirinya Lembaga Penjamin yang ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf b, likuidator atau penyelesai harus melaporkan pengakhiran Lembaga Penjamin kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 45 (empat puluh lima) hari setelah jangka waktu berdirinya Lembaga Penjamin yang ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir. (2) Apabila batas akhir penyampaian laporan pembubaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. (3) Pelaporan pembubaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan menggunakan format 43 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dan harus dilampiri dengan: a. dokumen yang menjadi dasar pengakhiran Lembaga Penjamin; dan b. asli salinan keputusan mengenai pemberian izin usaha Lembaga Penjamin. (4) Berdasarkan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha Lembaga Penjamin. -90- Pasal 87 (1) Dalam hal Lembaga Penjamin bubar berdasarkan putusan pengadilan atau keputusan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf c atau huruf d, likuidator atau penyelesai harus melaporkan pembubaran tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau sejak keputusan pemerintah diterima. (2) Apabila batas akhir penyampaian laporan pembubaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. (3) Pelaporan pembubaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan menggunakan format 43 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dan harus dilampiri dengan asli salinan keputusan mengenai pemberian izin usaha Lembaga Penjamin serta: a. putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; atau b. keputusan pemerintah. (4) Berdasarkan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha Lembaga Penjamin. Pasal 88 (1) Dalam hal Lembaga Penjamin dipailitkan atau dilikuidasi, cadangan klaim dan cadangan umum harus digunakan terlebih dahulu untuk memenuhi kewajiban kepada Penerima Jaminan. (2) Dalam hal terdapat kelebihan cadangan klaim dan cadangan umum setelah pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kelebihan cadangan klaim dan cadangan umum tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak -91- ketiga selain Penerima Jaminan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 89 (1) Lembaga Penjamin yang akan menghentikan kegiatan usahanya sehingga tidak lagi menjadi Lembaga Penjamin wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (2) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi harus menyampaikan permohonan persetujuan penghentian kegiatan usaha yang memuat paling sedikit hal-hal sebagai berikut: a. alasan penghentian kegiatan usaha; b. uraian mengenai kondisi Lembaga Penjamin, termasuk data mengenai jumlah Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah yang masih berlaku, jumlah Terjamin dan/atau Penerima Jaminan, dan jumlah kewajiban Lembaga Penjamin kepada Terjamin dan/atau Penerima Jaminan; c. rencana penyelesaian kewajiban Lembaga Penjamin kepada seluruh kreditor; dan d. rencana pembubaran atau rencana lainnya setelah Lembaga Penjamin menyelesaikan kewajiban kepada seluruh kreditor dan izin usaha Lembaga Penjamin telah dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan. (3) Permohonan persetujuan penghentian kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 44 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dilampiri dengan dokumen sebagai berikut: a. asli salinan keputusan mengenai pemberian izin usaha Lembaga Penjamin; -92- b. keputusan RUPS mengenai persetujuan atas rencana penghentian kegiatan usaha Lembaga Penjamin; c. laporan keuangan terakhir Lembaga Pejamin; d. bukti penyelesaian pajak dan kewajiban lainnya kepada negara; dan e. bukti penyelesaian pungutan Otoritas Jasa Keuangan dan denda administratif terutang. Pasal 90 (1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelitian terhadap permohonan persetujuan penghentian kegiatan usaha yang disampaikan oleh Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2). (2) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan, permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan atas permohonan persetujuan penghentian kegiatan usaha dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan persetujuan penghentian kegiatan usaha diterima. (3) Direksi Lembaga Penjamin harus menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari Otoritas Jasa Keuangan. (4) Dalam hal Direksi Lembaga Penjamin telah menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan belum menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan dokumen dimaksud, pemohon dianggap -93- membatalkan permohonan persetujuan penghentian kegiatan usaha. (6) Dalam hal permohonan persetujuan penghentian kegiatan usaha disetujui, Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan surat persetujuan penghentian kegiatan usaha kepada Lembaga Penjamin. (7) Penolakan atas permohonan persetujuan penghentian kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara tertulis dan disertai dengan alasan penolakan. (8) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga Penjamin wajib untuk: a. menghentikan seluruh kegiatan usaha Lembaga Penjamin; b. mengumumkan rencana penghentian kegiatan usaha dan rencana penyelesaian kewajiban Lembaga Penjamin dalam surat kabar selama 3 (tiga) hari berturut-turut paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal surat persetujuan rencana penghentian kegiatan usaha; c. menyelesaikan seluruh kewajiban Lembaga Penjamin dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan sejak tanggal surat persetujuan rencana penghentian kegiatan usaha; dan d. menunjuk akuntan publik untuk menyusun neraca akhir termasuk melakukan verifikasi untuk memastikan penyelesaian seluruh kewajiban Lembaga Penjamin. Pasal 91 Setelah seluruh kewajiban Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (8) huruf c diselesaikan, Direksi wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format 45 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian -94- tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang paling sedikit memuat: a. pelaksanaan penghentian kegiatan usaha Lembaga Penjamin; b. pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (8) huruf b; c. pelaksanaan penyelesaian Penjamin; kewajiban d. neraca akhir Lembaga Penjamin yang telah diaudit oleh akuntan publik; dan e. surat pernyataan dari pemegang saham yang menyatakan bahwa seluruh kewajiban Lembaga Penjamin telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab pemegang saham. Pasal 92 (1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelitian terhadap laporan yang disampaikan oleh Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91. (2) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya laporan secara lengkap, Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan keputusan tentang pencabutan izin usaha Lembaga Penjamin. (3) Lembaga Penjamin yang dicabut izin usahanya wajib menghentikan kegiatan usahanya. Pasal 93 Sejak tanggal pencabutan izin usaha Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2), apabila di kemudian hari muncul kewajiban Lembaga Penjamin yang belum diselesaikan, pemegang saham bertanggung jawab atas kewajiban dimaksud. Lembaga -95- BAB XIV ASOSIASI LEMBAGA PENJAMIN Pasal 94 (1) Lembaga Penjamin wajib menjadi anggota asosiasi Lembaga Penjamin. (2) Lembaga Penjamin yang baru mendapatkan izin usaha wajib memenuhi ketentuan menjadi anggota asosiasi Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal penetapan izin usaha. (3) Asosiasi Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan. (4) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), asosiasi Lembaga Penjamin harus menyampaikan permohonan tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan yang dilampiri dengan: a. akta pendirian yang memuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi yang berwenang; dan b. struktur kepengurusan. BAB XV LEMBAGA PENUNJANG PENJAMINAN Pasal 95 (1) Dalam melakukan kegiatan usahanya, Lembaga Penjamin dapat menggunakan jasa lembaga penunjang penjaminan. (2) Lembaga penunjang penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi; b. agen penjamin; dan c. broker. -96- (3) Lembaga penunjang penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib terdaftar terlebih dahulu di Otoritas Jasa Keuangan. (4) Lembaga Penjamin wajib menggunakan lembaga penunjang penjaminan yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 96 (1) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2) huruf a harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. berbentuk badan hukum perseroan terbatas; dan b. bersifat independen. (2) Untuk dapat terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan, pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2) huruf a harus menyampaikan permohonan pendaftaran dengan melampirkan dokumen: a. akta pendirian badan hukum yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang; b. data kepemilikan berupa daftar calon pemegang saham berikut rincian masing-masing besarnya kepemilikan pemegang saham; c. daftar susunan anggota direksi dan anggota dewan komisaris; d. susunan organisasi dan sumber daya manusia; e. sistem teknologi informasi yang digunakan; dan f. kebijakan dan prosedur operasional. Pasal 97 (1) Agen penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2) huruf b adalah orang perseorangan atau badan hukum yang bertindak untuk dan atas nama Lembaga Penjamin dan memenuhi persyaratan untuk mewakili Lembaga Penjamin untuk memasarkan usaha penjaminan. -97- (2) Agen penjamin yang berbentuk orang perseorangan harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. memiliki sertifikat keagenan dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang Penjaminan; b. c. terdaftar sebagai anggota asosiasi Lembaga Penjamin; dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. (3) Untuk dapat terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan, agen penjamin yang berbentuk orang perseorangan harus menyampaikan permohonan pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan melampirkan dokumen: a. sertifikat keagenan dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang Penjaminan; b. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; c. daftar riwayat hidup yang dilengkapi dengan pas foto berwarna yang terbaru berukuran 4 x 6 cm; dan d. surat keterangan dari asosiasi Lembaga Penjamin bahwa tidak sedang dalam pengenaan sanksi. (4) Agen penjamin yang berbentuk badan hukum harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. berbentuk badan hukum perseroan terbatas; b. c. terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. (5) Untuk dapat terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan, agen penjamin yang berbentuk badan hukum harus menyampaikan permohonan pendaftaran dengan melampirkan dokumen: a. anggaran dasar atau anggaran rumah tangga yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang; b. data kepemilikan berupa daftar calon pemegang saham berikut rincian masing-masing besarnya kepemilikan pemegang saham; c. struktur kepengurusan; d. susunan organisasi dan sumber daya manusia; terdaftar sebagai anggota asosiasi Lembaga Penjamin; dan -98- e. sistem teknologi informasi yang digunakan; dan f. kebijakan dan prosedur operasional. Pasal 98 (1) Broker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2) huruf c terdiri dari: a. broker penjaminan; dan b. broker penjaminan ulang. (2) Broker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk badan hukum perseroan terbatas. (3) Broker harus memiliki sumber daya manusia yang memiliki sertifikat kepialangan dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang penjaminan. (4) Broker harus terdaftar sebagai anggota asosiasi Lembaga Penjamin. (5) Untuk dapat terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan, broker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan permohonan pendaftaran dengan melampirkan dokumen: a. akta pendirian badan hukum yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang; b. data kepemilikan berupa daftar calon pemegang saham berikut rincian masing-masing besarnya kepemilikan pemegang saham; c. struktur kepengurusan; d. susunan organisasi dan sumber daya manusia; e. f. kebijakan dan prosedur operasional. Pasal 99 (1) Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan bukti tanda terdaftar, permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan atas penyampaian permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2), Pasal 97 ayat (3) dan ayat (5), dan Pasal 98 ayat (5) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap. sistem teknologi informasi yang digunakan; dan -99- (2) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan belum menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan dokumen dimaksud, pemohon dianggap membatalkan permohonan pendaftaran. (3) Dalam hal permohonan pendaftaran disetujui, Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan surat tanda terdaftar. (4) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya. BAB XVI PENEGAKAN KEPATUHAN Bagian Kesatu Pemberitahuan Pasal 100 (1) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 36 ayat (1), Pasal 37 ayat (1), Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 48 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 61 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 72 ayat (1), Pasal 76 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 77 ayat (2), Pasal 89 ayat (1), Pasal 92 ayat (3), dan/atau Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diberikan surat pemberitahuan. (2) Bagi Lembaga Penjamin yang mempunyai UUS dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 30 ayat (2) dan ayat (3), dan/atau Pasal 34 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diberikan surat pemberitahuan. (3) Lembaga Penjamin wajib melakukan pemenuhan atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal surat pemberitahuan. -100- Bagian Kedua Rencana Pemenuhan Pasal 101 (1) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 33 ayat (4), dan/atau Pasal 83 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini wajib menyampaikan rencana pemenuhan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penetapan terjadinya pelanggaran. (2) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat rencana yang akan dilakukan Lembaga Penjamin untuk pemenuhan ketentuan yang disertai dengan jangka waktu tertentu yang dibutuhkan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. restrukturisasi aset dan/atau liabilitas; b. penambahan modal disetor; c. pengalihan sebagian atau seluruh aset; d. pembatasan pembagian laba; e. pembatasan kegiatan yang menyebabkan pelanggaran ketentuan; f. pembatasan pembukaan kantor cabang baru; g. Penggabungan badan usaha; dan/atau h. hal lain yang akan dilaksanakan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh seluruh Direksi dan Dewan Komisaris. (5) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu disetujui oleh RUPS dalam hal rencana dimaksud memuat rencana penambahan Modal Disetor atau rencana pelaksanaan Penggabungan usaha. -101- (6) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperoleh pernyataan tidak keberatan dari Otoritas Jasa Keuangan. (7) Dalam hal rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai oleh Otoritas Jasa Keuangan tidak cukup untuk mengatasi permasalahan, Lembaga Penjamin wajib melakukan perbaikan atas rencana pemenuhan tersebut. (8) Otoritas Jasa Keuangan memberikan pernyataan tidak keberatan atas rencana pemenuhan yang disampaikan oleh Lembaga Penjamin dengan memperhatikan kondisi permasalahan yang dihadapi oleh Lembaga Penjamin paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya rencana pemenuhan secara lengkap. (9) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Otoritas Jasa Keuangan tidak memberikan pernyataan tidak keberatan atau tanggapan, Lembaga Penjamin dapat melaksanakan rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (10) Lembaga Penjamin wajib melaksanakan rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB XVII SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 102 (1) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (3), Lembaga Penjamin tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1) dan/atau ayat (2), Lembaga Penjamin dikenai sanksi administratif secara bertahap berupa: a. peringatan tertulis; b. pembekuan kegiatan usaha dan/atau pembekuan kegiatan usaha UUS; atau c. pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan izin UUS. -102- (2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan sanksi tambahan berupa: a. pembatasan kegiatan usaha tertentu; b. penurunan hasil penilaian tingkat risiko; c. pembatalan persetujuan; dan/atau d. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan. (3) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap dikenakan sanksi peringatan tertulis pertama yang berakhir dengan sendirinya. (4) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing paling lama 2 (dua) bulan. (5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1) dan/atau ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis. (6) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dan Lembaga Penjamin tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1) dan/atau ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau pembekuan kegiatan usaha UUS. (7) Sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau pembekuan kegiatan usaha UUS diberikan secara tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. (8) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan tertulis, sanksi pembekuan kegiatan usaha, dan/atau pembekuan kegiatan usaha UUS berakhir pada hari libur, sanksi peringatan tertulis, sanksi pembekuan -103- kegiatan usaha, dan/atau pembekuan kegiatan usaha UUS berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya. (9) Lembaga Penjamin yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilarang melakukan kegiatan usaha. (10) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7) Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1) dan/atau ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau pembekuan kegiatan usaha UUS. (11) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau pembekuan kegiatan usaha UUS masih berlaku dan Lembaga Penjamin tetap melakukan kegiatan usaha Penjaminan, Otoritas Jasa Keuangan dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan izin UUS. (12) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha dan/atau pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (7) Lembaga Penjamin tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1) dan/atau ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha dan/atau izin UUS yang bersangkutan. (13) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dan/atau sanksi pencabutan izin usaha dan/atau sanksi pencabutan izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada masyarakat. Pasal 103 (1) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), ayat (2), -104- dan ayat (3), Pasal 7 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 11 ayat (1), Pasal 15 ayat (2), Pasal 19 ayat (1), Pasal 38 ayat (1), Pasal 40 ayat (4), ayat (7), dan ayat (9), Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 43 ayat (6), ayat (7), dan ayat (8), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45, Pasal 46 ayat (1), Pasal 47 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 51 ayat (1), Pasal 52, Pasal 53 ayat (1), Pasal 54, Pasal 55 ayat (2), Pasal 58 ayat (1), Pasal 60 ayat (3), Pasal 64 ayat (1), Pasal 65, Pasal 70 ayat (1), Pasal 71, Pasal 73 ayat (3), Pasal 76 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 80 ayat (1), Pasal 81, Pasal 90 ayat (8), Pasal 91, Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4), dan/atau Pasal 101 ayat (1), ayat (7), dan ayat (10) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dapat dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembekuan kegiatan usaha; atau c. pencabutan izin usaha. (2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan sanksi tambahan berupa: a. pembatasan kegiatan usaha tertentu; b. penurunan hasil penilaian tingkat risiko; c. pembatalan persetujuan tertentu; dan/atau d. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan. (3) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap dikenakan sanksi peringatan tertulis pertama yang berakhir dengan sendirinya. (4) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing paling lama 2 (dua) bulan. (5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan -105- sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis. (6) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dan Lembaga Penjamin tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha. (7) Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. (8) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan tertulis dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur, sanksi peringatan tertulis dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya. (9) Selama masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Lembaga Penjamin: a. dilarang melakukan Penjaminan atau Penjaminan Ulang baru; dan b. tetap bertanggung jawab untuk menyelesaikan segala kewajiban termasuk kewajiban Penjaminan atau Penjaminan Ulang yang telah dilakukan sebagaimana tercantum dalam Sertifikat Penjaminan dan/atau perjanjian kerja sama. (10) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha. (11) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih berlaku dan Lembaga Penjamin tetap melakukan kegiatan usaha Penjaminan, Otoritas Jasa Keuangan dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin usaha. -106- (12) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Lembaga Penjamin tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha Lembaga Penjamin yang bersangkutan. (13) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan sanksi pembatasan kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dan/atau sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada masyarakat. Pasal 104 (1) Perusahaan Penjaminan yang mempunyai UUS dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Pasal 18 ayat (1), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), dan/atau Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa: a. peringatan tertulis; b. pembekuan kegiatan usaha UUS; atau c. pencabutan izin UUS. (2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan sanksi tambahan berupa: a. pembatasan kegiatan usaha tertentu; b. penurunan hasil penilaian tingkat risiko; c. pembatalan persetujuan; dan/atau d. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan. (3) Perusahaan Penjaminan yang mempunyai UUS yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap dikenakan sanksi peringatan tertulis pertama yang berakhir dengan sendirinya. -107- (4) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing paling lama 2 (dua) bulan. (5) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Perusahaan Penjaminan yang mempunyai UUS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis. (6) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir serta Perusahaan Penjaminan yang mempunyai UUS tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS. (7) Sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diberikan secara tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. (8) Selama masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Perusahaan Penjaminan yang mempunyai UUS: a. dilarang melakukan Penjaminan Syariah; dan b. tetap bertanggung jawab untuk menyelesaikan segala kewajiban termasuk kewajiban Penjaminan Syariah yang telah dilakukan sebagaimana tercantum dalam Sertifikat Kafalah dan/atau perjanjian kerja sama. (9) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan tertulis dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya. (10) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Perusahaan Penjaminan yang mempunyai -108- UUS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS dimaksud. (11) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS masih berlaku dan Perusahaan Penjaminan yang mempunyai UUS tetap melakukan kegiatan usaha Penjaminan Syariah, Otoritas Jasa Keuangan dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin UUS. (12) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (7) Perusahaan Penjaminan tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin UUS dimaksud. (13) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau sanksi pencabutan izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada masyarakat. Pasal 105 Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan Pasal 21 ayat (1) dikenakan sanksi berupa pencabutan izin usaha atau izin UUS. BAB XVIII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 106 (1) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem pelayanan secara elektronik (e-licensing), permohonan perizinan, persetujuan, atau pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), Pasal 15 ayat (3), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 28 ayat (2), Pasal 31 ayat (1), Pasal 38 ayat (2), Pasal 40 ayat (5), Pasal 43 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (5), ayat (9), dan ayat (10), Pasal 44 ayat -109- (2) dan ayat (3), Pasal 45 ayat (2), Pasal 46 ayat (3), Pasal 48 ayat (2), Pasal 51 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 52, Pasal 53 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 54, Pasal 55 ayat (2), Pasal 58 ayat (2), Pasal 61 ayat (2), Pasal 64 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 65, Pasal 67 ayat (2), Pasal 70 ayat (2), Pasal 71, Pasal 73 ayat (4), Pasal 76 ayat (4), Pasal 77 ayat (3), Pasal 80 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 81, Pasal 85 ayat (3), Pasal 86 ayat (3), Pasal 87 ayat (3), Pasal 89 ayat (3), Pasal 91, Pasal 94 ayat (4), Pasal 96 ayat (2), Pasal 97 ayat (3) dan ayat (5), dan Pasal 98 ayat (5) harus disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan secara online melalui sistem jaringan komunikasi data Otoritas Jasa Keuangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan secara elektronik (e-licensing) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam surat edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 107 (1) Lembaga Sertifikasi Profesi harus tercatat di Otoritas Jasa Keuangan. (2) Untuk dapat tercatat di Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Sertifikasi Profesi sebagaimana dimaksud dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan dilampiri dengan: a. bukti sertifikasi Lembaga Sertifikasi Profesi dari instansi lain yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan b. fotokopi akta. BAB XIX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 108 (1) Lembaga Penjamin yang telah mendapatkan izin usaha sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan wajib menyesuaikan dengan ketentuan kepemilikan asing pada lembaga penjamin -110- yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan diundangkan. (2) Badan hukum asing yang telah menjadi pemegang saham Lembaga Penjamin pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4). Pasal 109 (1) Izin usaha Lembaga Penjamin yang telah diterbitkan sebelum ditetapkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dinyatakan tetap berlaku. (2) Dalam hal terdapat permohonan izin usaha yang belum mendapatkan persetujuan pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, terhadap permohonan dimaksud berlaku ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (3) Dalam hal Lembaga Sertifikasi Profesi belum terbentuk, persyaratan mengenai bukti mempekerjakan tenaga ahli Penjaminan atau Penjaminan Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf e dipenuhi dengan keterangan mengenai pegawai yang memiliki pengalaman di bidang penjaminan atau analisis kredit paling singkat 2 (dua) tahun. Pasal 110 (1) Lembaga Penjamin yang telah mendapatkan izin usaha pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan wajib memenuhi ketentuan mengenai sertifikasi bagi Direksi dan Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) paling lama 3 (tiga) tahun setelah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan. (2) Lembaga Penjamin yang telah mendapatkan izin usaha pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan wajib memenuhi ketentuan untuk memiliki -111- tenaga ahli Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) paling lama 3 (tiga) tahun setelah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan. Pasal 111 (1) Setiap sanksi administratif yang telah dikenakan terhadap Lembaga Penjamin berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Penjaminan, dinyatakan tetap sah dan berlaku. (2) Lembaga Penjamin yang belum dapat mengatasi penyebab dikenakannya sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi lanjutan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB XX KETENTUAN PENUTUP Pasal 112 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, ketentuan mengenai perizinan usaha dan kelembagaan Lembaga Penjamin tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 113 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5527) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 114 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. -112- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 11 Januari 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 Januari 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 6 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 1/POJK.05/2017 </reg_id> <reg_title> PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMIN </reg_title> <set_date> 11 Januari 2017 </set_date> <effective_date> 11 Januari 2017 </effective_date> <issued_date> 11 Januari 2017 </issued_date> <replaced_reg> '5/POJK.05/2014' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '1/UU/2016' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XVII' </penalty_list>
- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 27 /POJK.04/2017 TENTANG PEDOMAN KONTRAK PENYIMPANAN KEKAYAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai pedoman kontrak penyimpanan kekayaan reksa dana berbentuk perseroan beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap pedoman kontrak penyimpanan kekayaan reksa dana berbentuk perseroan, ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal mengenai pedoman kontrak penyimpanan kekayaan reksa dana berbentuk perseroan yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; - 2 - c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Kontrak Penyimpanan Kekayaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN KONTRAK PENYIMPANAN KEKAYAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Reksa Dana Berbentuk Perseroan adalah Emiten yang kegiatan usahanya menghimpun dana dengan menjual saham dan selanjutnya dana dari penjualan saham tersebut diinvestasikan pada berbagai jenis Efek yang diperdagangkan di pasar modal dan pasar uang. 2. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek. - 3 - 3. Manajer Investasi adalah pihak yang kegiatan usahanya mengelola portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4. Bank Kustodian adalah bank umum yang telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan kegiatan usaha sebagai kustodian. BAB II PEDOMAN KONTRAK PENYIMPANAN KEKAYAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN Pasal 2 Pedoman kontrak penyimpanan kekayaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan dengan Bank Kustodian paling sedikit memuat: a. nama dan alamat Bank Kustodian; b. tata cara penjualan atau pembelian kembali (pelunasan) saham, bagi Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang bersifat terbuka; c. pemisahan rekening Efek atas nama Reksa Dana Berbentuk Perseroan; d. kewajiban mengadministrasikan Efek dan dana dari Reksa Dana Berbentuk Perseroan, memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, hak lain, dan menyelesaikan transaksi Efek; e. kewajiban membuat dan menyampaikan laporan kepada Manajer Investasi, Reksa Dana Berbentuk Perseroan, dan Otoritas Jasa Keuangan; f. memperbolehkan akuntan memeriksa laporan keuangan dan prosedur operasional Reksa Dana Berbentuk Perseroan; - 4 - g. kewajiban untuk melaksanakan pencatatan, balik nama dalam pemilikan Efek, pembagian hak yang berkaitan dengan saham Reksa Dana Berbentuk Perseroan; h. kewajiban memberikan ganti rugi kepada Reksa Dana Berbentuk Perseroan setiap kerugian atau kesalahan yang berkaitan dengan Efek dan dana dalam rekening Reksa Dana Berbentuk Perseroan; i. biaya bagi Bank Kustodian berkaitan dengan jasa yang diberikan dan biaya yang dibebankan kepada Reksa Dana Berbentuk Perseroan; j. kewajiban mengasuransikan kekayaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan, jika para pihak memandang perlu; k. larangan penghentian kegiatan Bank Kustodian sebelum dialihkan kepada Bank Kustodian pengganti; dan l. kewajiban menentukan nilai aktiva bersih Reksa Dana Berbentuk Perseroan, apabila Bank Kustodian ditugaskan untuk melakukan perhitungan nilai aktiva bersih. BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 3 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. peringatan tertulis; b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan/atau g. pembatalan pendaftaran. - 5 - (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 4 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 5 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 kepada masyarakat. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 6 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-21/PM/1996 tentang Pedoman Kontrak Penyimpanan Kekayaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan, beserta Peraturan Nomor IV.A.5 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 6 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 127 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 27 /POJK.04/2017 TENTANG PEDOMAN KONTRAK PENYIMPANAN KEKAYAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai pedoman kontrak penyimpanan kekayaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-21/PM/1996 tentang Pedoman Kontrak Penyimpanan Kekayaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan, beserta Peraturan Nomor IV.A.5 yang merupakan lampirannya, menjadi -2- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Kontrak Penyimpanan Kekayaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6074
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 27/POJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN KONTRAK PENYIMPANAN KEKAYAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN </reg_title> <set_date> 21 Juni 2017 </set_date> <effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date> <issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-21/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-21/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor IV.A.5' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 2 /POJK.05/20172017 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA PENJAMIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 26 ayat (4), Pasal 28 ayat (3), Pasal 38 ayat (4), Pasal 39 ayat (2), Pasal 40 ayat (2), Pasal 41 ayat (2), Pasal 43 ayat (6), Pasal 48, Pasal 49 ayat (2), Pasal 50 ayat (3), dan Pasal 52 ayat (6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjamin; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5835); - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA PENJAMIN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 2. Penjaminan Syariah adalah kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 3. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan penjaminan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 4. Penjaminan Ulang adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 5. Penjaminan Ulang Syariah adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan Syariah dan UUS sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. - 3 - 6. Lembaga Penjamin adalah Perusahaan Penjaminan, Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang, dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah yang menjalankan kegiatan penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 7. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha utama melakukan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 8. Perusahaan Penjaminan Syariah adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha utama melakukan Penjaminan Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 9. Perusahaan Penjaminan Ulang adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 10. Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 11. Penjamin adalah pihak yang melakukan penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 12. Penerima Jaminan adalah lembaga keuangan atau di luar lembaga keuangan yang telah memberikan Kredit, Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah atau kontrak jasa kepada Terjamin sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 13. Terjamin adalah pihak yang telah memperoleh Kredit, Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip - 4 - Syariah, atau kontrak jasa dari lembaga keuangan atau di luar lembaga keuangan yang dijamin oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 14. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam, yang dibuat oleh bank atau koperasi dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 15. Pembiayaan adalah penyediaan fasilitas finansial atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan, yang dibuat oleh lembaga pembiayaan dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 16. Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam undang- undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 17. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja dari Perusahaan Penjaminan yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha Penjaminan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 18. Usaha Produktif adalah kegiatan untuk menghasilkan barang dan/atau jasa yang memberikan nilai tambah dan meningkatkan pendapatan bagi Terjamin. - 5 - 19. Gearing Ratio adalah perbandingan antara total nilai penjaminan yang ditanggung sendiri dengan ekuitas Lembaga Penjamin pada waktu tertentu. 20. Lembaga Keuangan adalah bank dan lembaga keuangan bukan bank. 21. Kantor Cabang adalah kantor Lembaga Penjamin yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat dan/atau kantor lain yang ditunjuk oleh kantor pusat. 22. Sertifikat Penjaminan adalah bukti persetujuan Penjaminan dari Perusahaan Penjaminan kepada Penerima Jaminan atas kewajiban finansial Terjamin sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 23. Sertifikat Kafalah adalah bukti persetujuan Penjaminan Syariah dari Perusahaan Penjaminan Syariah dan UUS kepada Penerima Jaminan atas kewajiban finansial Terjamin sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 24. Imbal Jasa Penjaminan yang selanjutnya disingkat IJP adalah sejumlah uang yang diterima oleh Perusahaan Penjaminan dari Terjamin dalam rangka kegiatan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 25. Imbal Jasa Kafalah yang selanjutnya disingkat IJK adalah sejumlah uang yang diterima oleh Perusahaan Penjaminan Syariah dan UUS dari Terjamin dalam rangka kegiatan Penjaminan Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 26. Imbal Jasa Penjaminan Ulang yang selanjutnya disingkat IJPU adalah sejumlah uang yang diterima oleh Perusahaan Penjaminan Ulang dari Perusahaan Penjaminan dalam rangka kegiatan Penjaminan Ulang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. - 6 - 27. Imbal Jasa Kafalah Ulang yang selanjutnya disingkat IJKU adalah sejumlah uang yang diterima oleh Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah kegiatan Penjaminan Ulang Syariah dari Perusahaan Penjaminan Syariah dan UUS dalam rangka sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 28. Klaim adalah tuntutan pembayaran oleh Penerima Jaminan kepada Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah diakibatkan Terjamin tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian atau tuntutan pembayaran Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah kepada Perusahaan Penjaminan Ulang atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, yang telah membayar kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan. 29. Ekuitas adalah ekuitas berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia. 30. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Direksi bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perusahaan umum atau koperasi. 31. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Dewan Komisaris bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perusahaan umum atau koperasi. - 7 - BAB II KEGIATAN USAHA Bagian Kesatu Ruang Lingkup Usaha Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Syariah Pasal 2 (1) Usaha Penjaminan meliputi: a. penjaminan Kredit, Pembiayaan, atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh Lembaga Keuangan; b. penjaminan pinjaman yang disalurkan oleh koperasi simpan pinjam atau koperasi yang mempunyai unit usaha simpan pinjam kepada anggotanya; dan c. penjaminan Kredit dan/atau pinjaman program kemitraan yang disalurkan oleh badan usaha milik negara dalam rangka program kemitraan dan bina lingkungan. (2) Selain usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Perusahaan Penjaminan dapat melakukan: a. penjaminan atas surat utang; b. penjaminan pembelian barang secara angsuran; c. penjaminan transaksi dagang; d. penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa (surety bond); e. penjaminan bank garansi (kontra bank garansi); f. penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri; g. penjaminan letter of credit; h. penjaminan kepabeanan (customs bond); i. penjaminan cukai; j. pemberian jasa konsultasi manajemen terkait dengan kegiatan usaha Penjaminan; dan k. kegiatan usaha lainnya setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. - 8 - (3) Usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan Syariah harus berdasarkan Prinsip Syariah. (4) Dalam melakukan usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3), Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Syariah harus memprioritaskan penjaminan untuk mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi. (5) Untuk mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi, dan/atau program pemerintah, pemerintah dapat menunjuk atau menugaskan Lembaga Penjamin milik pemerintah. Pasal 3 (1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah yang akan melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf j, wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format 1 dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan melampirkan dokumen yang berisi uraian paling sedikit mengenai produk, manfaat, mekanisme Klaim, serta hak dan kewajiban para pihak. (2) Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan surat pencatatan pelaporan kegiatan usaha paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima secara lengkap. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan tidak menerbitkan surat pencatatan pelaporan kegiatan usaha, Lembaga Penjamin dapat melaksanakan kegiatan usaha tersebut. - 9 - Bagian Kedua Kegiatan Usaha Lainnya bagi Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Syariah Pasal 4 (1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah yang akan melakukan kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf k, wajib memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (2) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah yang akan melakukan kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memenuhi ketentuan tingkat kesehatan; dan b. tidak sedang dikenakan sanksi oleh Otoritas Jasa Keuangan. (3) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah harus mengajukan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format 2 dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan melampirkan dokumen yang berisi uraian paling sedikit mengenai: a. kegiatan usaha yang akan dilaksanakan; b. analisis prospek usaha; dan c. contoh perjanjian kegiatan usaha yang akan digunakan untuk operasional. (4) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan, permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap. - 10 - (5) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Otoritas Jasa Keuangan melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan b. kelayakan analisis prospek usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b. (6) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah harus menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari Otoritas Jasa Keuangan. (7) Dalam hal Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah telah menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (8) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Otoritas Jasa Keuangan belum menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan dokumen dimaksud, Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah dianggap membatalkan permohonan. (9) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya. (10) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetujui, menerbitkan surat persetujuan. (11) Dalam hal kegiatan usaha lainnya yang dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah berupa pemasaran produk jasa keuangan, proses permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat Otoritas Jasa Keuangan - 11 - (3) dapat dilaksanakan bersamaan dengan permohonan pemasaran produk jasa keuangan dimaksud. BAB III PENYELENGGARAAN PENJAMINAN Bagian Kesatu Mekanisme Penjaminan dan Penjaminan Syariah Pasal 5 (1) Kegiatan Penjaminan dan Penjaminan Syariah melibatkan 3 (tiga) pihak, yaitu Penerima Jaminan, Terjamin, dan Penjamin. (2) Penjamin memiliki hak tagih atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin apabila Penjamin telah menunaikan kewajibannya untuk memenuhi hak finansial Penerima Jaminan jika Terjamin gagal memenuhi kewajibannya. (3) Kegiatan Penjaminan dan Penjaminan Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dituangkan dalam Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah. Bagian Kedua Sertifikat Penjaminan dan Sertifikat Kafalah Pasal 6 (1) Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) harus memuat paling sedikit ketentuan mengenai: a. nama dan alamat Lembaga Penjamin, Penerima Jaminan, dan Terjamin; b. uraian manfaat Penjaminan; c. jenis Penjaminan; d. nilai Penjaminan; e. nilai IJP atau IJK; dan f. jangka waktu penjaminan. perizinan/persetujuan/pendaftaran - 12 - (2) Selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sertifikat Kafalah harus memuat hal-hal sebagai berikut: a. objek yang dijamin dapat seluruh atau sebagian dari: 1. kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi syariah; dan 2. hal lain yang dapat dijamin berdasarkan Prinsip Syariah; dan b. pernyataan ijab dan qabul yang harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad). (3) Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai dengan lampiran yang berisi dokumen pendukung dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah. (4) Setiap Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah yang diterbitkan dan dipasarkan di wilayah hukum Indonesia harus dibuat dalam bahasa Indonesia. (5) Dalam hal diperlukan, Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah dapat diterbitkan dalam bahasa asing atau bahasa daerah berdampingan dengan bahasa Indonesia. Pasal 7 (1) Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah dapat diterbitkan dalam bentuk hardcopy digital/elektronik. (2) Dalam hal Lembaga Penjamin akan melaksanakan kegiatan usaha dengan menerbitkan Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah dalam bentuk digital atau elektronik, Lembaga Penjamin wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan melampirkan dokumen sebagai berikut: a. contoh format Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah; atau - 13 - b. prosedur operasional standar (standard operating procedure) penerbitan Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah; dan c. verifikasi dan pembuktian keaslian (authentification) tanda tangan digital. Bagian Ketiga Penjaminan Langsung dan Penjaminan Tidak Langsung Pasal 8 (1) Penjaminan dan Penjaminan Syariah dilakukan dengan cara: a. penjaminan langsung; atau b. penjaminan tidak langsung. (2) Penjaminan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memenuhi persyaratan paling sedikit sebagai berikut: a. terdapat permohonan Penjaminan atau Penjaminan Syariah dari calon Terjamin kepada Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah; b. terdapat konfirmasi kepada Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah dari calon Penerima Jaminan atas permintaan Penjaminan atau Penjaminan Syariah; c. telah dilakukan analisis kelayakan calon Terjamin yang dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah; d. telah dilakukan pembayaran IJP atau IJK kepada Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah; dan e. telah diterbitkan Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah. (3) Penjaminan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan paling sedikit sebagai berikut: - 14 - a. terdapat permohonan Penjaminan atau Penjaminan Syariah dari calon Terjamin melalui calon Penerima Jaminan; b. telah dilakukan analisis kelayakan calon Terjamin yang dilakukan oleh calon Penerima Jaminan; c. terdapat perjanjian kerja sama antara calon Penerima Jaminan dan Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah; d. telah dilakukan pembayaran IJP atau IJK kepada Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah; dan e. telah diterbitkan Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah. (4) Dalam pelaksanaan pemberian penjaminan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Lembaga Penjamin tetap dapat melakukan analisis kelayakan calon Terjamin. (5) Ketentuan mengenai konfirmasi permintaan Penjaminan atau Penjaminan Syariah dari calon Penerima Jaminan kepada Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dikecualikan bagi kegiatan usaha: a. penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa (surety bond) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d; b. penjaminan kepabeanan (customs bond) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf h; dan c. penjaminan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf i. Pasal 9 (1) Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf c harus memuat paling sedikit: - 15 - a. nama dan alamat Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah, dan Penerima Jaminan; b. uraian manfaat Penjaminan atau Penjaminan Syariah; c. hak dan kewajiban Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah, Penerima Jaminan, dan Terjamin; d. cara pembayaran IJP atau IJK; e. waktu yang diakui sebagai saat diterimanya pembayaran IJP atau IJK; f. pembatalan kontrak perjanjian kerja sama, baik dari pihak Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah maupun Penerima Jaminan, termasuk syarat dan penyebabnya; g. syarat, dasar perhitungan Klaim, dan tata cara pengajuan Klaim, termasuk bukti pendukung yang diperlukan dalam pengajuan Klaim; h. tata cara pelaksanaan peralihan hak tagih setelah Klaim dibayar oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah; i. pemilihan tempat penyelesaian perselisihan; dan j. bahasa yang dijadikan acuan dalam hal terjadi sengketa atau beda pendapat untuk Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah yang dicetak dalam 2 (dua) bahasa atau lebih. (2) Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf c dilarang memuat suatu ketentuan yang dapat ditafsirkan: a. bahwa Penerima Jaminan atau Terjamin tidak dapat melakukan upaya hukum sehingga Penerima Jaminan atau Terjamin harus menerima penolakan pembayaran Klaim; dan/atau - 16 - b. sebagai pembatasan upaya hukum bagi para pihak dalam hal terjadi perselisihan mengenai ketentuan perjanjian kerja sama. Pasal 10 (1) Penjaminan, Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang, dan Penjaminan Ulang Syariah bersifat mengikat dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak. (2) Penjaminan dan Penjaminan Syariah dapat dibatalkan dan dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila: a. Penerima Jaminan dan/atau Terjamin terbukti memberikan informasi, data, atau dokumen palsu; b. Penerima Jaminan dan/atau Terjamin terbukti menyembunyikan informasi, data atau dokumen yang tidak sesuai dengan ketentuan Penjaminan atau Penjaminan Syariah; dan/atau c. terbukti adanya itikad buruk dari Penerima Jaminan dan/atau Terjamin. (3) Penjaminan Ulang dan Penjaminan Ulang Syariah dapat dibatalkan dalam hal terjadi pembatalan Penjaminan atau Penjaminan Syariah disebabkan terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Bagian Keempat Penjaminan Bersama Pasal 11 (1) Penjaminan dan Penjaminan Syariah dapat dilakukan dalam bentuk penjaminan bersama. (2) Penjaminan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bentuk kegiatan Penjaminan atau Penjaminan Syariah yang dilakukan oleh 2 (dua) atau lebih Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah untuk melakukan kegiatan Penjaminan atau Penjaminan Syariah atas kewajiban finansial Terjamin. yang - 17 - (3) Dalam hal kegiatan penjaminan bersama dilaksanakan berdasarkan Prinsip Syariah, ketua (leader) dan anggota (member) merupakan Perusahaan Penjaminan Syariah atau UUS. (4) Penjaminan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah mencantumkan nama Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah dan porsi pertanggungan dari setiap anggota penjaminan bersama dan status keanggotaannya; b. penerbitan Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah dilakukan oleh ketua (leader); dan c. ketua (leader) bertanggung jawab sepenuhnya kepada Penerima Jaminan dan Terjamin atas penjaminan bersama. (5) Mekanisme penjaminan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dituangkan dalam perjanjian antara para pihak sebagai Penjamin, yang paling sedikit memuat: a. identitas para pihak sebagai Penjamin, dimana ada yang bertindak sebagai ketua (leader) dan anggota (member); b. ketua (leader) menanggung porsi penjaminan terbesar; c. ketua (leader) bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan penjaminan bersama; d. proporsi pendapatan IJP atau IJK antara pihak selaku Penjamin; e. cara pembayaran IJP atau IJK oleh Terjamin; f. prosedur penerimaan dan penerusan IJP atau IJK antara pihak selaku Penjamin; g. proses pembayaran Klaim dilakukan oleh ketua (leader) atau atas persetujuan ketua (leader) dapat dilakukan oleh anggota (member) lain; - 18 - h. proporsi Klaim yang harus dibayarkan kepada Penerima Jaminan antara pihak selaku Penjamin dalam hal terjadi Klaim; i. tanggung jawab dan kewajiban masing-masing pihak dalam proses persetujuan Penjaminan atau Penjaminan Syariah; dan j. tanggung jawab dan kewajiban masing-masing pihak dalam proses verifikasi atas pengajuan Klaim dari Penerima Jaminan. (6) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah yang akan melakukan kegiatan penjaminan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format 3 dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan melampirkan dokumen: a. uraian mengenai kegiatan penjaminan bersama yang akan dilaksanakan; b. uraian mengenai calon Penerima Jaminan, ketua (leader), dan anggota (member) serta porsi pertanggungan dari setiap anggota penjaminan bersama; c. analisis prospek usaha; dan d. rancangan perjanjian kerja sama. (7) Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan surat pencatatan pelaporan kegiatan penjaminan bersama paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diterima secara lengkap. (8) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Otoritas Jasa Keuangan tidak menerbitkan surat pencatatan pelaporan kegiatan penjaminan bersama, Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah dapat melaksanakan kegiatan penjaminan bersama tersebut. - 19 - Pasal 12 (1) Lembaga Penjamin dapat melakukan kerja sama pemasaran dengan Lembaga Keuangan. (2) Kerja sama pemasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan sesuai dengan ruang lingkup kegiatan usaha Lembaga Penjamin dan Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Lembaga Penjamin yang akan melakukan kegiatan kerja sama pemasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format 4 dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan melampirkan dokumen: a. uraian mengenai mekanisme kerja sama pemasaran yang akan dilaksanakan; b. uraian mengenai calon Penerima Jaminan, Lembaga Penjamin, dan Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta ruang lingkup tanggung jawab masing-masing pihak; c. analisis prospek usaha; dan d. rancangan perjanjian kerja sama pemasaran. (4) Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan surat pencatatan pelaporan kegiatan kerja sama pemasaran paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima secara lengkap. (5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Otoritas Jasa Keuangan tidak menerbitkan surat pencatatan pelaporan kegiatan kerja sama pemasaran, Lembaga Penjamin dapat melaksanakan kegiatan kerja sama pemasaran tersebut. - 20 - Bagian Kelima Akad Penjaminan Syariah Pasal 13 Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS wajib menerapkan prinsip dasar sebagai berikut: a. dipenuhinya prinsip keadilan ('adl), dapat dipercaya (amanah), keseimbangan (tawazun), kemaslahatan (maslahah), dan keuniversalan (syumul); dan b. tidak mengandung hal-hal yang diharamkan, seperti riba, maisir, gharar, zalim, risywah, maksiat, dan objek haram. Pasal 14 Perjanjian Penjaminan Syariah dan perjanjian Penjaminan Ulang Syariah wajib menggunakan akad kafalah bil ujrah. Pasal 15 Perusahaan Penjaminan dapat menyelenggarakan sebagian kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dengan membentuk UUS. Bagian Keenam Penjaminan Ulang dan Penjaminan Ulang Syariah Pasal 16 (1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Syariah wajib melakukan mitigasi risiko dengan menjaminulangkan penjaminannya. (2) Penjaminan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memenuhi kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah dalam hal: a. Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah telah kewajibannya kepada Penerima Jaminan; atau memenuhi - 21 - b. Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah tidak dapat memenuhi kewajibannya. (3) Penjaminan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan Ulang atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah. (4) Dalam hal dukungan penjaminan ulang dari Perusahaan Penjaminan ulang atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak diperoleh, mitigasi risiko Perusahaan Penjamin dan Perusahaan Penjamin Syariah diperoleh dari perusahaan reasuransi. BAB IV IMBAL JASA Pasal 17 (1) Dalam melaksanakan kegiatan Perusahaan Penjaminan menerima IJP. (2) Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Perusahaan Penjaminan Syariah dan UUS menerima IJK. kegiatan (3) Dalam melaksanakan Perusahaan Penjaminan Ulang menerima IJPU. (4) Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah menerima IJKU. Pasal 18 (1) Besarnya tarif IJP, IJK, IJPU, dan IJKU ditetapkan dengan pertimbangan paling sedikit: a. usahanya, usahanya, risiko yang dijamin, yang paling sedikit dihitung berdasarkan: 1. rasio Klaim; 2. jenis Kredit atau Pembiayaan; 3. cakupan penjaminan; dan 4. jangka waktu penjaminan; b. biaya administrasi umum, operasional, dan pemasaran; dan c. keuntungan. - 22 - (2) Ketentuan mengenai IJP atau IJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penjaminan dan Penjaminan Syariah yang merupakan program pemerintah diatur dalam peraturan perundang- undangan tersendiri. Total pendapatan Pasal 19 yang diperoleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah dari seluruh kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf k dilarang melebihi total pendapatan yang diperoleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah dari seluruh kegiatan usaha penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf a sampai dengan huruf j. Pasal 20 (1) Lembaga Penjamin hanya dapat memberikan biaya akuisisi yang berhubungan dengan perolehan bisnis. (2) Lembaga Penjamin dilarang memberikan biaya akuisisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari nilai IJP, IJK, IJPU, atau IJKU yang diterima. BAB V CADANGAN, KLAIM, PEMBAYARAN KLAIM, DAN PERALIHAN HAK TAGIH Bagian Kesatu Cadangan Pasal 21 Lembaga Penjamin wajib memiliki cadangan Klaim dan cadangan umum. - 23 - Pasal 22 (1) Lembaga Penjamin wajib membentuk cadangan Klaim paling sedikit: a. 0,01% (nol koma nol satu per seratus) dari nilai Penjaminan yang ditanggung sendiri; atau b. penjumlahan dari 100% (seratus per seratus) dari nilai Penjaminan yang ditanggung sendiri pada saat Klaim dilaporkan, dengan Klaim yang sudah terjadi tetapi belum dilaporkan (incurred but not reported), mana yang lebih banyak. (2) Klaim yang sudah terjadi tetapi belum dilaporkan (incurred but not reported) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dihitung berdasarkan rata-rata Klaim ditanggung sendiri yang telah dibayarkan pada 3 (tiga) bulan terakhir. Pasal 23 (1) Lembaga Penjamin wajib menyisihkan cadangan umum paling sedikit 25% (dua puluh lima per seratus) dari laba bersih atau selisih hasil usaha pada tiap akhir periode laporan tahunan. (2) Dalam hal akumulasi cadangan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah mencapai 50% (lima puluh per seratus) dari modal disetor, kebijakan untuk menyisihkan cadangan umum dapat mengikuti kebijakan rapat umum pemegang saham atau yang setara. (3) Cadangan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dipergunakan untuk menutup kerugian. Bagian Kedua Klaim Pasal 24 (1) Pengajuan Klaim oleh Penerima Jaminan kepada Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan - 24 - Penjaminan Syariah dapat dilakukan apabila Terjamin gagal memenuhi kewajiban finansial. (2) Pengajuan Klaim oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah kepada Perusahaan Penjaminan Ulang atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah dilakukan setelah Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah membayar kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan. Bagian Ketiga Pembayaran Klaim Pasal 25 (1) Lembaga Penjamin dilarang melakukan tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran Klaim atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan mengakibatkan kelambatan kelambatan pembayaran Klaim. yang penyelesaian dapat atau (2) Lembaga Penjamin wajib memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan pembayaran Klaim paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya secara lengkap permohonan pembayaran Klaim atau sesuai jangka waktu yang tercantum dalam Sertifikat Penjaminan, Sertifikat Kafalah, atau perjanjian kerja sama, mana yang lebih singkat. (3) Lembaga Penjamin wajib membayar Klaim dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak adanya persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau sesuai jangka waktu yang tercantum dalam Sertifikat Penjaminan, Sertifikat Kafalah, atau perjanjian kerja sama, mana yang lebih singkat. - 25 - (4) Dalam hal permohonan pembayaran Klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memerlukan kesepakatan dari Terjamin, permohonan dimaksud harus dilengkapi dengan bukti kesepakatan dari Terjamin. (5) Ketentuan mengenai jangka waktu persetujuan atau penolakan atas permohonan pembayaran Klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan jangka waktu pembayaran Klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi Lembaga Penjamin yang merupakan program pemerintah pemerintah pusat daerah diatur perundang-undangan tersendiri. Bagian Keempat Peralihan Hak Tagih Pasal 26 (1) Sejak Klaim dibayar oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah, hak tagih Penerima Jaminan kepada Terjamin beralih menjadi hak tagih Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah. (2) Perusahaan Penjaminan Penjaminan Kredit, atau Perusahaan Penjaminan Syariah dapat melepaskan hak tagih atas Pembiayaan, atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah untuk tujuan selain Usaha Produktif. (3) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah dapat membuat perjanjian dengan Penerima Jaminan agar Penerima Jaminan melakukan upaya penagihan atas hak tagih Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk dan atas nama Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah. atau dalam peraturan - 26 - (4) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah memperoleh hasil penagihan secara proporsional berdasarkan lingkup (coverage) Penjaminan, dengan mempertimbangkan biaya penagihan. BAB VI RETENSI SENDIRI Pasal 27 (1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah wajib memiliki retensi sendiri untuk setiap penjaminan. (2) Retensi sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didasarkan pada profil risiko dan kerugian (risk and loss profile) yang dibuat oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah secara tertib, teratur, relevan, dan akurat. (3) Ketentuan retensi sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. ketentuan retensi sendiri minimum; dan b. ketentuan retensi sendiri maksimum. (4) Ketentuan retensi sendiri minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a adalah sebagai berikut: a. untuk nilai Penjaminan atau Penjaminan Syariah sampai dengan kurang dari Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah), wajib ditahan sendiri paling sedikit 75% (tujuh puluh lima per seratus) dari nilai Penjaminan atau Penjaminan Syariah dimaksud; b. untuk nilai Penjaminan atau Penjaminan Syariah dari Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) sampai dengan kurang dari Rp250.000.000,00 (dua ratus puluh juta rupiah), wajib ditahan sendiri lima - 27 - paling sedikit sebesar jumlah paling banyak antara: 1. Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah); atau 2. 15% (lima belas per seratus) dari nilai Penjaminan atau Penjaminan Syariah dimaksud; c. untuk nilai Penjaminan atau Penjaminan Syariah dari Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan kurang dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), wajib ditahan sendiri paling sedikit sebesar jumlah paling banyak antara: 1. Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); atau 2. 10% (sepuluh per seratus) dari nilai Penjaminan atau Penjaminan Syariah dimaksud; d. untuk nilai Penjaminan atau Penjaminan Syariah sama dengan atau lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), wajib ditahan sendiri paling sedikit sebesar jumlah paling banyak antara: 1. Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); atau 2. 5% (lima per seratus) dari nilai Penjaminan atau Penjaminan Syariah dimaksud. (5) Retensi sendiri maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b untuk masing-masing Terjamin dilarang melebihi 10% (sepuluh per seratus) dari Ekuitas Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah. (6) Dalam hal nilai retensi sendiri minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melebihi nilai retensi sendiri maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (5), berlaku ketentuan retensi sendiri maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (5). - 28 - BAB VII KAPASITAS PENJAMINAN DAN NILAI PENJAMINAN BAGI USAHA PRODUKTIF Pasal 28 (1) Lembaga Penjamin wajib mengoptimalkan kapasitas penjaminan. (2) Kapasitas penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur dengan Gearing Ratio. (3) Lembaga Penjamin wajib menjaga Gearing Ratio untuk penjaminan bagi Usaha Produktif paling tinggi 20 (dua puluh) kali. (4) Lembaga Penjamin wajib menjaga total Gearing Ratio paling tinggi 40 (empat puluh) kali. Pasal 29 (1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Syariah wajib memiliki nilai penjaminan bagi Usaha Produktif paling sedikit 25% (dua puluh lima per seratus) dari total nilai penjaminan. (2) Nilai penjaminan bagi Usaha Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak mendapatkan izin usaha. BAB VIII LARANGAN Pasal 30 (1) Lembaga Penjamin dilarang: a. memberikan pinjaman; atau b. menerima pinjaman. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan bagi Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Syariah dalam rangka melakukan restrukturisasi penjaminan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah, serta koperasi. - 29 - (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikecualikan bagi Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Syariah yang menerima pinjaman dengan menerbitkan obligasi wajib konversi (mandatory convertible bonds). BAB IX EKUITAS Pasal 31 (1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah lingkup kabupaten/kota wajib memiliki Ekuitas paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah memperoleh izin usaha. (2) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan (3) Perusahaan Penjaminan Syariah lingkup provinsi wajib memiliki Ekuitas paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah memperoleh izin usaha. Penjaminan atau paling Perusahaan Penjaminan Syariah lingkup nasional wajib memiliki Ekuitas sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun setelah memperoleh izin usaha. (4) Perusahaan Penjaminan Ulang atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah wajib memiliki Ekuitas paling sedikit Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun setelah memperoleh izin usaha. Pasal 32 (1) UUS Perusahaan Penjaminan dengan lingkup kabupaten/kota wajib memiliki Ekuitas paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah memperoleh izin usaha. - 30 - (2) UUS Perusahaan Penjaminan dengan lingkup provinsi wajib memiliki Ekuitas paling sedikit Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah memperoleh izin usaha. (3) UUS Perusahaan Penjaminan dengan lingkup nasional wajib memiliki Ekuitas paling sedikit Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah memperoleh izin usaha. BAB X INVESTASI LEMBAGA PENJAMIN Bagian Kesatu Jenis Investasi Pasal 33 (1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang wajib menempatkan investasi pada jenis investasi sebagai berikut: a. deposito pada bank; b. surat berharga negara; c. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; d. obligasi korporasi; e. saham yang tercatat di bursa efek Indonesia; f. efek beragun aset; g. reksa dana; h. medium term notes; i. repurchase agreement; j. dana investasi real estat berbentuk kontrak investasi kolektif; k. tanah dan bangunan; dan/atau l. penyertaan langsung pada perusahaan di sektor jasa keuangan di Indonesia. (2) Jenis investasi yang dapat ditempatkan Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang - 31 - sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk juga jenis investasi yang menggunakan Prinsip Syariah. Pasal 34 Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS wajib menempatkan investasi pada jenis investasi sebagai berikut: a. deposito pada bank umum syariah, unit usaha syariah pada bank umum, dan bank pembiayaan rakyat syariah; b. surat berharga syariah negara; c. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; d. sukuk korporasi; e. saham yang tercatat di bursa efek Indonesia dan masuk dalam daftar efek syariah yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan; efek beragun aset syariah; f. g. reksa dana syariah; h. medium term notes syariah; i. repurchase agreement syariah; j. dana investasi real estat syariah berbentuk kontrak investasi kolektif; dan/atau k. penyertaan langsung pada perusahaan di sektor jasa keuangan syariah di Indonesia. Pasal 35 (1) Investasi dalam bentuk obligasi korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf d dan sukuk korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf d wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. tercatat di bursa efek di Indonesia; dan b. memiliki peringkat investment grade dari perusahaan pemeringkat efek yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan. - 32 - (2) Investasi dalam bentuk efek beragun aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf f dan efek beragun aset syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf f wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. tercatat di bursa efek Indonesia; b. memiliki peringkat investment grade dari perusahaan pemeringkat efek yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan; dan c. dilakukan melalui penawaran umum sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. (3) Investasi dalam bentuk medium term notes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf h dan medium term notes syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf h wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. terdaftar di Kustodian Sentral Efek Indonesia; b. memiliki agen monitoring yang terdaftar sebagai wali amanat di Otoritas Jasa Keuangan; dan c. memiliki peringkat investment grade yang dikeluarkan oleh perusahaan pemeringkat efek yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan. (4) Investasi dalam bentuk repurchase agreement sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf i dan repurchase agreement syariah dalam Pasal 34 huruf i wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. setiap transaksi repurchase agreement dan repurchase agreement syariah mengakibatkan perubahan pada kepemilikan efek; b. menggunakan kontrak perjanjian tertulis yang menerapkan Global Master Repurchase Agreement Indonesia yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan atau pihak lain yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan; - 33 - c. jenis jaminan terbatas pada surat berharga negara, surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, dan/atau obligasi korporasi yang memiliki peringkat investment grade yang dikeluarkan oleh perusahaan pemeringkat efek yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan; d. transaksi repurchase agreement dan repurchase agreement syariah terdaftar di Kustodian Sentral Efek Indonesia atau Bank Indonesia Scriptless Securities Settlement System (BI-S4); e. jangka waktu tidak melebihi 90 (sembilan puluh) hari; dan f. nilai repurchase agreement dan repurchase agreement syariah paling banyak 80% (delapan puluh per seratus) dari nilai pasar surat berharga yang dijaminkan. (5) Investasi dalam bentuk dana investasi real estat berbentuk kontrak investasi kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf j dan dana investasi real estat syariah berbentuk kontrak investasi kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf j wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. telah mendapat pernyataan efektif dari Otoritas Jasa Keuangan; dan b. dilakukan melalui penawaran umum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan di bidang pasar modal. (6) Investasi dalam bentuk tanah dan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf k wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. dimiliki dan dikuasai oleh Lembaga Penjamin yang dibuktikan dengan sertipikat hak atas tanah dan/atau bangunan atas nama Lembaga Penjamin; - 34 - b. memberikan penghasilan sewa dan penghasilan lainnya melalui transaksi yang didasarkan pada harga pasar yang berlaku; dan c. tidak ditempatkan pada bangunan atau tanah dengan bangunan yang sedang diagunkan, dalam sengketa, dan/atau diblokir pihak lain. (7) Investasi dalam bentuk penyertaan langsung pada perusahaan di sektor jasa keuangan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf l dan penyertaan langsung pada perusahaan di sektor jasa keuangan syariah di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf k wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. penyertaan langsung dilakukan pada saham yang diterbitkan oleh perseroan terbatas; dan b. dalam hal Lembaga Penjamin menjadi pemegang saham terbesar atau memiliki paling sedikit 25% (dua puluh lima per seratus) saham pada perseroan terbatas, Lembaga Penjamin memiliki dan menggunakan haknya untuk: 1. menempatkan perwakilan dalam keanggotaan Dewan Komisaris perseroan terbatas; dan 2. mendapatkan akses yang tidak terbatas atas seluruh informasi material terkait seluruh perusahaan. Pasal 36 Dalam hal perusahaan penerbit jenis investasi berupa obligasi korporasi dan/atau medium term notes merupakan lembaga jasa keuangan non-bank, ketentuan untuk memiliki peringkat investment grade dari perusahaan pemeringkat efek yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf c dapat dikecualikan sepanjang: - 35 - a. jenis investasi memiliki peringkat 1 (satu) tingkat di bawah investment grade; dan b. lembaga jasa keuangan non-bank yang menerbitkan obligasi korporasi dan/atau medium term notes tersebut memenuhi ketentuan tingkat kesehatan keuangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang lembaga jasa keuangan non-bank. Bagian Kedua Batasan Investasi Pasal 37 (1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang yang akan menempatkan investasi pada jenis investasi berupa tanah dan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf k wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memiliki lingkup wilayah operasional secara nasional; dan b. memiliki manajemen risiko yang memadai. (2) Lembaga Penjamin yang akan menempatkan investasi pada jenis investasi berupa medium term notes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf h dan medium term notes syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf h, repurchase agreement sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf i dan repurchase agreement syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf i, dana investasi real estat berbentuk kontrak investasi kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf j, dan dana investasi real estat syariah berbentuk kontrak investasi kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf j wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memiliki lingkup wilayah operasional secara nasional; b. memiliki jumlah aset paling sedikit Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah); dan c. memiliki manajemen risiko yang memadai. - 36 - Pasal 38 (1) Investasi dalam bentuk deposito pada bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a dan deposito pada bank umum syariah, unit usaha syariah pada bank umum, dan bank pembiayaan rakyat syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. pada setiap bank umum atau bank umum syariah dilarang melebihi 30% (tiga puluh per seratus) dari jumlah investasi; dan b. pada setiap bank perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah dilarang melebihi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi. (2) Ketentuan batasan investasi dalam bentuk deposito pada bank dan deposito pada bank umum syariah, unit usaha syariah pada bank umum, dan bank pembiayaan rakyat syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Lembaga Penjamin yang mendapatkan penugasan dari pemerintah yang dibuktikan dengan adanya bukti penugasan. (3) Lembaga Penjamin yang mendapatkan penugasan dari pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang menempatkan investasi dalam bentuk deposito pada bank, wajib ditempatkan pada deposito bank umum, unit usaha syariah pada bank umum, bank umum syariah, bank perkreditan rakyat, dan/atau bank pembiayaan rakyat syariah yang dimiliki oleh pemerintah dengan memperhatikan tingkat kesehatan bank dimaksud. (4) Investasi dalam bentuk obligasi korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf d dan/atau sukuk korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 34 huruf d dilarang melebihi 10% (sepuluh per seratus) untuk setiap penerbit dan seluruhnya dilarang melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi. - 37 - (5) Investasi dalam bentuk saham yang tercatat di bursa efek Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf e dan Pasal 34 huruf e dilarang melebihi 5% (lima per seratus) dari jumlah investasi untuk setiap emiten dan seluruhnya dilarang melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi. (6) Investasi dalam bentuk efek beragun aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf f dan efek beragun aset syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf f dilarang melebihi 5% (lima per seratus) dari jumlah investasi untuk setiap manajer investasi atau penerbit dan seluruhnya dilarang melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi. (7) Investasi dalam bentuk reksa dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf g dan reksa dana syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf g dilarang melebihi 5% (lima per seratus) dari jumlah investasi untuk setiap manajer investasi dan seluruhnya dilarang melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi kecuali investasi pada reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif penyertaan terbatas ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi. (8) Investasi dalam bentuk medium term notes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf h dan medium term notes syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf h harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. dilarang melebihi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi Lembaga Penjamin; dan b. dilarang melebihi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah emisi medium term notes. (9) Investasi dalam bentuk repurchase agreement sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 ayat (1) huruf i dan repurchase agreement syariah Pasal 34 huruf i untuk setiap counterparty dilarang melebihi 2% (dua per seratus) dari jumlah investasi dan seluruhnya - 38 - dilarang melebihi 5% (lima per seratus) dari jumlah investasi. (10) Investasi dalam bentuk dana investasi real estat berbentuk kontrak investasi kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf j dan dana investasi real estat syariah berbentuk kontrak investasi kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf j dilarang melebihi 5% (lima per seratus) dari jumlah investasi untuk setiap manajer investasi dan seluruhnya dilarang melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi. (11) Investasi dalam bentuk tanah dan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf k dilarang melebihi 5% (lima per seratus) dari jumlah investasi. (12) Investasi dalam bentuk penyertaan langsung pada perusahaan di sektor jasa keuangan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf l dan penyertaan langsung pada perusahaan di sektor jasa keuangan syariah di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf k dilarang melebihi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi. (13) Ketentuan batasan investasi dalam bentuk penyertaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (12) dikecualikan bagi Lembaga Penjamin mendapatkan penugasan dari pemerintah yang dibuktikan dengan adanya bukti penugasan. (14) Lembaga Penjamin yang mendapatkan penugasan dari pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (13) dilarang menempatkan investasi dalam bentuk penyertaan langsung melebihi 15% (lima belas per seratus) dari jumlah investasi. Pasal 39 (1) Jumlah seluruh penempatan Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang pada instrumen investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat yang - 39 - (1) huruf e, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, dan huruf l dilarang melebihi 60% (enam puluh per seratus) dari jumlah investasi. (2) Jumlah seluruh penempatan Perusahaan Penjaminan Syariah dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah pada instrumen investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf e, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, dan huruf k dilarang melebihi 60% (enam puluh per seratus) dari jumlah investasi. Pasal 40 (1) Jumlah seluruh investasi Lembaga Penjamin yang ditempatkan pada pihak yang terafiliasi tidak termasuk penyertaan langsung, dilarang melebihi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi. (2) Pihak yang terafiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pihak yang memiliki hubungan dengan satu atau lebih pihak lain, sedemikian rupa sehingga salah satu pihak dapat mempengaruhi pengelolaan atau kebijakan dari pihak yang lain atau sebaliknya. (3) Hubungan yang dapat mempengaruhi pengelolaan atau kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam bentuk: a. salah satu pihak memiliki satu atau lebih direktur atau pejabat setingkat di bawah direktur atau komisaris, yang juga menjabat sebagai direktur atau pejabat setingkat di bawah direktur atau komisaris pada pihak lain; b. salah satu pihak memiliki satu atau lebih direktur, komisaris, atau pemegang saham pengendali, yang memiliki hubungan keluarga karena perkawinan atau keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal yang menjabat sebagai direktur, komisaris, atau pemegang saham pengendali pada pihak lain; c. salah satu pihak memiliki paling sedikit 25% (dua puluh lima per seratus) saham pihak lain; - 40 - d. salah satu pihak merupakan pemegang saham terbesar dari pihak lain; e. para pihak dikendalikan oleh pengendali yang sama; atau f. salah satu pihak mempunyai hak suara pada pihak lain yang lebih dari 50% (lima puluh per seratus) berdasarkan suatu perjanjian. (4) Penempatan investasi pada pihak yang terafiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak termasuk hubungan karena kepemilikan atau penyertaan modal oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Pasal 41 (1) Kesesuaian dengan batasan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 40 ditentukan pada saat dilakukan penempatan investasi. (2) Direksi harus memastikan batasan investasi pada saat melakukan penempatan investasi telah sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 40. BAB XI KESEHATAN KEUANGAN Bagian Kesatu Umum Pasal 42 (1) Lembaga Penjamin wajib menjaga kondisi kesehatan keuangannya. (2) Pengukuran kesehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. rasio likuiditas; b. Gearing Ratio; c. rentabilitas; dan d. penilaian sendiri (self assessment) tata kelola perusahaan yang baik bagi Lembaga Penjamin. - 41 - (3) Kewajiban pemenuhan kondisi kesehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi UUS dilakukan secara terpisah dengan komponen rasio likuiditas dan rentabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c, dan komponen lain yang diatur dalam surat edaran Otoritas Jasa Keuangan. (4) Ketentuan mengenai tata cara pengukuran kesehatan keuangan Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam surat edaran Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Kedua Rasio Likuiditas dan Rentabilitas Pasal 43 (1) Lembaga Penjamin wajib menjaga tingkat likuiditasnya. (2) Lembaga Penjamin wajib menjaga rasio likuiditas paling rendah 120% (seratus dua puluh per seratus). (3) Rasio likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung dengan menggunakan current ratio yaitu perbandingan antara aset lancar dengan utang lancar. (4) Rentabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf c merupakan kemampuan Lembaga Penjamin dalam menghasilkan laba. (5) Penilaian terhadap faktor rentabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi penilaian terhadap kinerja aset dan efisiensi operasional. BAB XII PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI Pasal 44 (1) Lembaga Penjamin dalam melaksanakan kegiatannya memanfaatkan teknologi informasi. (2) Lembaga Penjamin wajib memiliki manajemen risiko yang memadai terhadap pemanfaatan teknologi informasi yang paling sedikit mencakup: a. kecukupan kebijakan dan prosedur penggunaan teknologi informasi; - 42 - b. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian pemanfaatan teknologi informasi; dan c. sistem pengendalian intern atas penggunaan teknologi informasi. Pasal 45 (1) Lembaga Penjamin wajib memiliki situs web. (2) Situs web sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi sebagai berikut: a. izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan atau otoritas lain sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan; b. struktur organisasi dan nama pejabat Lembaga Penjamin paling sedikit Dewan Komisaris, dewan pengawas syariah (jika ada), Direksi, dan pejabat satu tingkat di bawah Direksi; c. alamat, jaringan kantor cabang, alamat surat elektronik, nomor telepon kantor, dan nama pejabat kantor cabang; d. ringkasan informasi produk dari seluruh produk yang dipasarkan; e. prosedur dan cara bertransaksi; f. g. daftar agen penjamin yang aktif; h. penerapan tata kelola perusahaan yang termuat dalam laporan tahunan; i. j. laporan keuangan tahunan yang telah diaudit; informasi mengenai UUS dan Usaha Penjaminan Syariah bagi Perusahaan Penjaminan yang menjalankan usaha Penjaminan Syariah dan/atau memiliki UUS; dan k. informasi lainnya baik yang telah diwajibkan oleh peraturan lainnya maupun kebutuhan dari Lembaga Penjamin. informasi tata cara pelayanan dan penyelesaian pengaduan; risiko - 43 - (3) Lembaga Penjamin wajib melakukan pengkinian informasi yang disajikan dalam situs web sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah terjadi perubahan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 46 (1) Lembaga Penjamin yang memiliki pusat data (data center) dan pusat pemulihan bencana (disaster recovery center) wajib menempatkan pusat data (data center) dan pusat pemulihan bencana (disaster recovery center) tersebut di wilayah Indonesia untuk kepentingan penegakan hukum, perlindungan, dan penegakan kedaulatan negara terhadap data warga negaranya. (2) Lembaga Penjamin yang memiliki pusat pemulihan bencana (disaster recovery center) wajib menempatkan pusat pemulihan bencana (disaster recovery center) tersebut pada lokasi yang terpisah dari kantor pusat. (3) Ketentuan mengenai pusat data (data center) dan pusat pemulihan bencana (disaster recovery center) di wilayah Indonesia mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggara sistem dan transaksi elektronik. BAB XIII LEMBAGA PENUNJANG PENJAMINAN Bagian Kesatu Pemeringkat Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi Pasal 47 (1) Lembaga Penjamin dapat menggunakan jasa dari pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dalam menjalankan usahanya. (2) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi yang digunakan, wajib telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. (3) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib - 44 - melakukan independen, kegiatan objektif, pemeringkatan dan secara dapat dipertanggungjawabkan dalam pemberian peringkat. Pasal 48 (1) Kegiatan usaha yang dilakukan oleh pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi terdiri dari: a. menghimpun data usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dan data lainnya; dan b. mengolah data usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dan data lainnya untuk menghasilkan informasi pemeringkatan (rating). (2) Data usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi serta data lainnya yang dihimpun dan diolah oleh pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk menghasilkan informasi pemeringkatan (rating). (3) Informasi pemeringkatan (rating) yang dihasilkan oleh pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, baik yang bersifat individual maupun agregat, paling sedikit memuat: a. kelayakan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi untuk memperoleh penyediaan dana; b. rekam jejak reputasi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dalam memenuhi kewajiban penyediaan dana; c. pemeringkatan untuk menilai kemampuan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi untuk memenuhi kewajiban penyediaan dana; d. karakter usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi; dan e. informasi lainnya yang dapat digunakan untuk menilai kemampuan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. - 45 - Pasal 49 (1) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi wajib: a. menjaga akurasi, keterkinian, keamanan, dan kerahasiaan data; b. memiliki sistem yang andal; c. memiliki kebijakan dan prosedur operasional yang dituangkan dalam pedoman tertulis; dan d. memiliki aturan main yang harus dipatuhi oleh setiap pihak yang menggunakan informasi pemeringkatan (rating). (2) Kebijakan dan prosedur operasional kegiatan pemeringkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. langkah-langkah kegiatan pengamanan data; b. level akses; c. prosedur pengubahan data; d. pengamanan informasi; e. business continuity plan; f. end-user computing; g. disaster recovery plan; h. pemantauan terhadap operasional termasuk audit trail; i. prosedur pemberian informasi pemeringkatan (rating); dan j. prosedur pengaduan. Pasal 50 (1) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan dapat menghimpun dan mengolah data usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, dan data lainnya. (2) Dalam rangka memperluas dan memperkaya cakupan data usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, dan data lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penanganan dan penyelesaian - 46 - pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dapat melakukan kerja sama dengan: a. kementerian dan/atau lembaga negara lainnya; b. lembaga jasa keuangan; dan/atau c. badan usaha lainnya. (3) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dapat memperoleh data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara langsung berdasarkan perjanjian dan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 51 (1) Pengelolaan data usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dan data lainnya oleh pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi mencakup kegiatan penghimpunan, pendistribusian data. (2) Dalam rangka pengelolaan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi wajib berpedoman pada ketentuan dan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggara sistem informasi dan transaksi elektronik. Pasal 52 (1) Dalam rangka pengelolaan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi wajib melakukan langkah-langkah pengamanan untuk menjaga akurasi, keterkinian, keamanan, dan kerahasiaan data. (2) Dalam rangka menjaga akurasi, keterkinian, keamanan, dan kerahasiaan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi wajib menempatkan server dan database di dalam wilayah Republik Indonesia. pengolahan, dan - 47 - (3) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi wajib memiliki pusat pemulihan bencana (disaster recovery center) yang ditempatkan pada lokasi yang terpisah dari kantor pusat. Pasal 53 (1) Pihak yang dapat memperoleh informasi pemeringkatan (rating) adalah: a. lembaga jasa keuangan yang menjadi anggota dari pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi; b. kementerian dan lembaga negara lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a yang menjadi sumber data pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi yang bersangkutan; c. pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi lain; d. usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi atas informasi pemeringkat (rating) yang bersangkutan; dan/atau e. pihak lain. (2) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi wajib mengadministrasikan permintaan terhadap informasi pemeringkatan (rating) dari pihak, sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dapat mengenakan biaya terhadap pemberian informasi pemeringkatan (rating) kepada pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 54 (1) Dalam rangka pelaksanaan tugasnya, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta data yang dikelola oleh pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi secara langsung. seluruh - 48 - (2) Atas permintaan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi wajib memberikan akses kepada Otoritas Jasa Keuangan berupa keterangan dan data yang diminta, kesempatan untuk melihat semua pembukuan, dokumen, sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usahanya, dan hal-hal lain yang diperlukan. Bagian Kedua Agen Penjamin Pasal 55 (1) Dalam melakukan kegiatan usahanya, Lembaga Penjamin dapat menggunakan jasa agen penjamin. (2) Agen penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan pemasaran kegiatan usaha penjaminan untuk dan atas nama Lembaga Penjamin. (3) Agen penjamin dilarang menggelapkan IJP, IJK, IJPU, dan/atau IJKU. (4) Lembaga Penjamin wajib memiliki perjanjian keagenan dengan agen penjamin yang melakukan pemasaran untuk dan atas nama Lembaga Penjamin. (5) Semua tindakan agen penjamin yang berkaitan dengan transaksi Penjaminan menjadi tanggung jawab Lembaga Penjamin yang diageni. Bagian Ketiga Broker Pasal 56 (1) Broker merupakan pihak yang memberikan jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam pemberian penjaminan serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk dan atas nama Terjamin. - 49 - (2) Broker wajib memberikan keterangan yang sejelas- jelasnya kepada Lembaga Penjamin tentang objek penjaminan yang dijaminkan. (3) Broker wajib memberikan keterangan yang sejelas- jelasnya kepada Terjamin tentang ketentuan isi Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah, termasuk mengenai hak dan kewajiban Terjamin. (4) Broker dilarang menerbitkan dokumen pemberian Penjaminan atau Penjaminan Syariah sementara dan/atau Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah. Pasal 57 (1) Broker Penjaminan atau broker Penjaminan Syariah dapat menerima pembayaran IJP atau IJK dari Terjamin. (2) Broker Penjaminan Ulang atau broker Penjaminan Ulang Syariah dapat menerima pembayaran IJPU atau IJKU dari Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah. (3) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah menerbitkan Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah setelah menerima pembayaran IJP atau IJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari broker Penjaminan atau broker Penjaminan Syariah. BAB XIV PELAPORAN Pasal 58 (1) Lembaga Penjamin wajib menyampaikan laporan bulanan secara lengkap kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Ketentuan mengenai bentuk, susunan, dan penyampaian laporan bulanan diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai laporan bulanan industri keuangan non bank. - 50 - Pasal 59 (1) Lembaga Penjamin wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik secara lengkap kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun buku berakhir. (2) Tahun buku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah berdasarkan tahun takwim. (3) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. disusun dalam mata uang Rupiah; dan b. disampaikan secara tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan alamat sebagaimana tertera pada laman resmi Otoritas Jasa Keuangan. (4) Apabila batas akhir penyampaian laporan jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. (5) Dalam hal Lembaga Penjamin memperoleh izin usaha kurang dari 6 (enam) bulan hingga tahun takwim berakhir, kewajiban penyampaian laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tahun takwim berikutnya. Pasal 60 Selain laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Lembaga Penjamin wajib menyampaikan laporan sewaktu-waktu bila diperlukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 61 (1) Lembaga Penjamin wajib mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi singkat paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun buku berakhir, paling sedikit pada 1 (satu) surat kabar harian di Indonesia yang memiliki peredaran luas di lingkup wilayah operasional Lembaga Penjamin. - 51 - (2) Lembaga Penjamin wajib melaporkan pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah pelaksanaan pengumuman, dilampiri dengan bukti pengumuman. (3) Apabila batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. BAB XV PEDOMAN AKUNTANSI LEMBAGA PENJAMIN Pasal 62 (1) Lembaga Penjamin wajib melakukan pencatatan atas kegiatan usahanya berdasarkan pernyataan standar akuntansi keuangan yang relevan bagi Lembaga Penjamin dan pedoman akuntansi Lembaga Penjamin Indonesia. (2) Ketentuan mengenai pedoman akuntansi Lembaga Penjamin Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam surat edaran Otoritas Jasa Keuangan. BAB XVI PENEGAKAN KEPATUHAN Bagian Kesatu Pemberitahuan Pasal 63 (1) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 ayat (3), Pasal 25 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 44 ayat (2), Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3), dan/atau Pasal 55 ayat (4) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diberikan surat pemberitahuan. - 52 - (2) Lembaga Penjamin yang mempunyai UUS yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 ayat (3), Pasal 25 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 44 ayat (2), dan/atau Pasal 55 ayat (4) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diberikan surat pemberitahuan. (3) Lembaga Penjamin wajib melakukan pemenuhan atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal surat pemberitahuan. Bagian Kedua Rencana Pemenuhan Pasal 64 (1) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6), Pasal 12 ayat (2), Pasal 16 ayat (1), Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 28 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 29, Pasal 31, Pasal 42 ayat (1), Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2), dan/atau Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini wajib menyampaikan rencana pemenuhan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penetapan terjadinya pelanggaran. (2) Lembaga Penjamin yang mempunyai UUS yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6), Pasal 12 ayat (2), Pasal 16 ayat (1), Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 29, Pasal 32, Pasal 42 ayat (1), Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2), dan/atau Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini wajib menyampaikan rencana pemenuhan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penetapan terjadinya pelanggaran. - 53 - (3) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) paling sedikit memuat rencana yang akan dilakukan Lembaga Penjamin untuk pemenuhan ketentuan yang disertai dengan jangka waktu tertentu yang dibutuhkan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2). (4) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) memuat: a. restrukturisasi aset dan/atau liabilitas; b. penambahan modal disetor; c. pengalihan sebagian atau seluruh aset; d. pembatasan pembagian laba; e. pembatasan kegiatan yang menyebabkan pelanggaran ketentuan; f. pembatasan pembukaan kantor cabang baru; g. penggabungan badan usaha; dan/atau h. hal lain yang akan dilaksanakan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). (5) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) harus ditandatangani oleh seluruh Direksi dan Dewan Komisaris. (6) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) harus terlebih dahulu disetujui oleh rapat umum pemegang saham atau yang setara dalam hal rencana dimaksud memuat rencana penambahan modal disetor penggabungan usaha. (7) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) harus memperoleh pernyataan tidak keberatan dari Otoritas Jasa Keuangan. (8) Dalam hal rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) dinilai oleh Otoritas Jasa Keuangan tidak cukup untuk mengatasi permasalahan, Lembaga Penjamin wajib melakukan perbaikan atas rencana pemenuhan tersebut. atau rencana - 54 - (9) Otoritas Jasa Keuangan memberikan pernyataan tidak keberatan atas rencana pemenuhan yang disampaikan oleh Lembaga Penjamin dengan memperhatikan kondisi permasalahan yang dihadapi oleh Lembaga Penjamin paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya rencana pemenuhan secara lengkap. (10) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (9) Otoritas Jasa Keuangan tidak memberikan pernyataan tidak keberatan atau tanggapan, Lembaga Penjamin dapat melaksanakan rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2). (11) Lembaga Penjamin wajib melaksanakan rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2). BAB XVII SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 65 (1) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3) Lembaga Penjamin tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dan/atau ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, Lembaga Penjamin dikenai sanksi administratif secara bertahap berupa: a. peringatan tertulis; b. pembekuan kegiatan usaha dan/atau pembekuan kegiatan usaha UUS; atau c. pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan izin UUS. (2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan sanksi tambahan berupa: a. pembatasan kegiatan usaha tertentu; b. pembatalan persetujuan; dan/atau - 55 - c. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan. (3) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap dikenakan sanksi peringatan tertulis pertama yang berakhir dengan sendirinya. (4) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing- masing paling lama 2 (dua) bulan. (5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dan/atau ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis. (6) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dan Lembaga Penjamin tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dan/atau ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS. (7) Sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS diberikan secara tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. (8) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan tertulis, sanksi pembekuan kegiatan usaha, dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS berakhir pada hari libur, sanksi peringatan tertulis, sanksi pembekuan kegiatan usaha, dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya. - 56 - (9) Lembaga Penjamin yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilarang melakukan kegiatan usaha. (10) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha dan/atau pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (7) Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dan/atau ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS. (11) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS masih berlaku dan Lembaga Penjamin tetap melakukan kegiatan usaha Penjaminan, Otoritas Jasa Keuangan dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin usaha dan/atau sanksi pencabutan izin UUS. (12) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7) Lembaga Penjamin tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dan/atau ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha dan/atau izin UUS Lembaga Penjamin yang bersangkutan. (13) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dan/atau sanksi pencabutan izin usaha dan/atau sanksi pencabutan izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada masyarakat. Pasal 66 (1) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), ayat - 57 - (2), ayat (8), atau ayat (11) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenai sanksi administratif secara bertahap berupa: a. peringatan tertulis; b. pembekuan kegiatan usaha dan/atau pembekuan kegiatan usaha UUS; atau c. pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan izin UUS. (2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan sanksi tambahan berupa: a. pembatasan kegiatan usaha tertentu; b. pembatalan persetujuan; dan/atau c. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan. (3) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap dikenakan sanksi peringatan tertulis pertama yang berakhir dengan sendirinya. (4) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing- masing paling lama 2 (dua) bulan. (5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), ayat (2), ayat (8), atau ayat (11), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis. (6) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dan Lembaga Penjamin tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), ayat (2), ayat (8), atau ayat (11), Otoritas Jasa Keuangan mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS. - 58 - (7) Dalam hal Lembaga Penjamin tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), ayat (2), ayat (8), atau ayat (11) sampai dengan berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Lembaga Penjamin dimaksud dikenakan sanksi pencabutan izin usaha dan/atau sanksi pencabutan izin UUS tanpa didahului sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (6). (8) Sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS diberikan secara tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. (9) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan tertulis, sanksi pembekuan kegiatan usaha, dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS berakhir pada hari libur, sanksi peringatan tertulis, sanksi pembekuan kegiatan usaha, dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya. (10) Lembaga Penjamin yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dilarang melakukan kegiatan usaha. (11) Selama masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Lembaga Penjaminan: a. dilarang melakukan penjaminan; dan b. tetap bertanggung jawab untuk menyelesaikan segala kewajiban termasuk kewajiban penjaminan yang telah dilakukan sebagaimana tercantum dalam Sertifikat Penjaminan, Sertifikat Kafalah, dan/atau perjanjian kerja sama. - 59 - (12) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), ayat (2), ayat (8), dan ayat (11), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS. (13) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS masih berlaku dan Lembaga Penjamin tetap melakukan kegiatan usaha penjaminan, Otoritas Jasa Keuangan dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin usaha dan/atau sanksi pencabutan izin UUS. (14) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha dan/atau pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Lembaga Penjamin tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), ayat (2), ayat (8), atau ayat (11), Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha dan/atau izin UUS Lembaga Penjamin yang bersangkutan. (15) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dan/atau sanksi pencabutan izin usaha dan/atau sanksi pencabutan izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada masyarakat. Pasal 67 (1) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), Pasal 11 ayat (4), Pasal 13, Pasal 14, Pasal 20 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 30 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34, Pasal 35, Pasal 37, Pasal 38 ayat (1), ayat (3), ayat (4), - 60 - ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (9), ayat (10), ayat (11), ayat (12), dan ayat (14), Pasal 39, Pasal 40 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), Pasal 60, Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2), dan/atau Pasal 62 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenai sanksi administratif secara bertahap berupa: a. peringatan tertulis; b. pembekuan kegiatan usaha; atau c. pencabutan izin usaha. (2) Perusahaan Penjaminan yang mempunyai UUS yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), Pasal 11 ayat (4), Pasal 13, Pasal 14, Pasal 20 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 30 ayat (1), Pasal 34, Pasal 35, Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (9), ayat (10), ayat (12), dan ayat (14), Pasal 39, Pasal 40 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 60, dan/atau Pasal 62 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenai sanksi administratif secara bertahap berupa: a. peringatan tertulis; b. pembekuan kegiatan usaha UUS; atau c. pencabutan izin UUS. (3) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) namun pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap dikenakan sanksi peringatan tertulis pertama yang berakhir dengan sendirinya. (4) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau ayat (2) huruf a, dapat diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing paling lama 2 (dua) bulan. (5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat - 61 - (2), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis. (6) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dan Lembaga Penjamin tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS. (7) Sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS diberikan secara tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. (8) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan tertulis, sanksi pembekuan kegiatan usaha, dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS berakhir pada hari libur, sanksi peringatan tertulis, sanksi pembekuan kegiatan usaha, dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya. (9) Lembaga Penjamin yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dilarang melakukan kegiatan usaha. (10) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha dan/atau pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (7) Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS. (11) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS masih berlaku dan Lembaga Penjamin tetap melakukan kegiatan usaha Penjaminan, Otoritas Jasa Keuangan - 62 - dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin usaha dan/atau sanksi pencabutan izin UUS. (12) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (7) Lembaga Penjamin tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha dan/atau izin UUS Lembaga Penjamin yang bersangkutan. (13) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau ayat (2) huruf b dan/atau sanksi pencabutan izin usaha dan/atau sanksi pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan/atau ayat (2) huruf c kepada masyarakat. Pasal 68 (1) Lembaga Penjamin yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenai sanksi administratif tambahan berupa denda administratif. (2) Besarnya denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: a. Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan; dan b. paling banyak Rp360.000.000,00 (tiga ratus enam puluh juta rupiah) untuk laporan keuangan tahunan yang terlambat disampaikan. Pasal 69 (1) Lembaga penunjang penjaminan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 49 ayat (1), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52, Pasal 53 ayat (2), Pasal 54 ayat (2), dan/atau Pasal 56 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Peraturan - 63 - Otoritas Jasa Keuangan ini dikenai sanksi administratif secara bertahap berupa: a. peringatan tertulis; b. pembekuan kegiatan usaha; atau c. pembatalan pernyataan pendaftaran. (2) Lembaga penunjang penjaminan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap dikenakan sanksi peringatan tertulis pertama yang berakhir dengan sendirinya. (3) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing- masing paling lama 2 (dua) bulan. (4) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3), lembaga penunjang penjaminan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis. (5) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dan lembaga penunjang penjaminan tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha. (6) Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. (7) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan tertulis dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya. (8) Lembaga penunjang penjaminan yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana - 64 - dimaksud pada ayat (5), dilarang melakukan kegiatan usaha. (9) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6), lembaga penunjang penjaminan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha. (10) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih berlaku dan lembaga penunjang penjaminan tetap melakukan kegiatan usaha Penjaminan, Otoritas Jasa Keuangan dapat langsung mengenakan sanksi pembatalan pernyataan pendaftaran. (11) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6), lembaga penunjang penjaminan tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan membatalkan pernyataan pendaftaran lembaga penjaminan yang bersangkutan. (12) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau sanksi pembatalan pernyataan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada masyarakat. BAB XVIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 70 (1) Bagi Lembaga Penjamin yang telah mendapatkan izin usaha pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan dan telah melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf j dikecualikan dari ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (2) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini penunjang - 65 - diundangkan wajib memenuhi ketentuan mengenai pembentukan cadangan Klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan. (3) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan wajib memenuhi ketentuan mengenai jangka waktu pembayaran Klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (3) paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan. (4) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan wajib memenuhi ketentuan mengenai retensi sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan. (5) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan wajib memenuhi ketentuan mengenai nilai Penjaminan bagi Usaha Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan. (6) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha sebelum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan harus memenuhi ketentuan mengenai Ekuitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2), paling lama 5 (lima) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan. (7) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha sebelum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan harus memenuhi ketentuan mengenai Ekuitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dan ayat (4), paling lama 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan. - 66 - (8) UUS yang telah memperoleh izin usaha sebelum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, paling lama 5 (lima) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan. (9) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan wajib memenuhi ketentuan mengenai kondisi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) paling lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan. (10) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan wajib memenuhi ketentuan mengenai pemanfaatan teknologi informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan. (11) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan wajib memenuhi ketentuan mengenai pemanfaatan teknologi informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) paling lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan. BAB XIX KETENTUAN PENUTUP Pasal 71 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha Lembaga Penjamin tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 72 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor - 67 - 6/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5528) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 73 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 11 Januari 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 Januari 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 7 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 2/POJK.05/2017 </reg_id> <reg_title> PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA PENJAMIN </reg_title> <set_date> 11 Januari 2017 </set_date> <effective_date> 11 Januari 2017 </effective_date> <issued_date> 11 Januari 2017 </issued_date> <replaced_reg> '6/POJK.05/2014' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '1/UU/2016' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XVII' </penalty_list>
- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 32 /POJK.04/2017 TENTANG PEDOMAN KONTRAK PENGELOLAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai pedoman kontrak pengelolaan reksa dana berbentuk perseroan beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap pedoman kontrak pengelolaan reksa dana berbentuk perseroan, ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal mengenai pedoman kontrak pengelolaan reksa dana berbentuk perseroan yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN KONTRAK PENGELOLAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Reksa Dana Berbentuk Perseroan adalah Emiten yang kegiatan usahanya menghimpun dana dengan menjual saham dan selanjutnya dana dari penjualan saham tersebut diinvestasikan pada berbagai jenis Efek yang diperdagangkan di pasar modal dan pasar uang. 2. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek. 3. Unit Penyertaan adalah satuan ukuran yang menunjukkan bagian kepentingan setiap pihak dalam portofolio investasi kolektif. 4. Manajer Investasi adalah pihak yang kegiatan usahanya mengelola portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun, - 3 - dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5. Bank Kustodian adalah bank umum yang telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan kegiatan usaha sebagai kustodian. 6. Pihak adalah orang perseorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi. 7. Emiten adalah Pihak yang melakukan Penawaran Umum. 8. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya. 9. Bursa Efek adalah Pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli Efek Pihak lain dengan tujuan memperdagangkan Efek di antara mereka. 10. Afiliasi adalah: a. hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal; b. hubungan antara Pihak dengan pegawai, direktur, atau komisaris dari Pihak tersebut; c. hubungan antara 2 (dua) perusahaan di mana terdapat satu atau lebih anggota direksi atau dewan komisaris yang sama; d. hubungan antara perusahaan dan Pihak, baik langsung maupun tidak langsung, mengendalikan atau dikendalikan oleh perusahaan tersebut; e. hubungan antara 2 (dua) perusahaan yang dikendalikan, baik langsung maupun tidak langsung, oleh Pihak yang sama; atau f. hubungan antara perusahaan dan pemegang saham utama. - 4 - BAB II PEDOMAN KONTRAK PENGELOLAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN Pasal 2 Kontrak pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan paling sedikit memuat: a. nama dan alamat Manajer Investasi; b. komposisi investasi dalam pasar uang dan pasar modal; c. d. rencana diversifikasi Efek dalam obligasi dan saham; rencana diversifikasi investasi Efek berdasarkan jenis industri Emiten; e. kewajiban bagi Manajer Investasi; f. alokasi dan perincian biaya Manajer Investasi dengan Reksa Dana Berbentuk Perseroan; g. ketentuan pembukuan dan laporan, perhitungan nilai aktiva bersih; h. tata cara pemutusan dan perubahan kontrak; i. termasuk tata cara penjualan atau pembelian kembali (pelunasan) saham, bagi Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang bersifat terbuka; j. Manajer Investasi wajib menjamin bahwa semua Efek, dana, dan aktiva lain Reksa Dana Berbentuk Perseroan disimpan oleh Bank Kustodian; k. keadaan yang dapat menjadi dasar dilakukannya likuidasi bagi Reksa Dana Berbentuk Perseroan; larangan bagi Reksa Dana Berbentuk Perseroan; l. m. larangan investasi dalam bidang tertentu; n. tanggung jawab Manajer Investasi atas segala kerugian yang timbul karena tindakannya; o. semua kontrak yang baru, diperpanjang maupun pengalihannya dari suatu Reksa Dana Berbentuk Perseroan harus merupakan hasil perundingan yang dibuat berdasarkan kepentingan objektif para Pihak yang bersangkutan sebagaimana halnya apabila perundingan tersebut dibuat oleh Pihak yang tidak mempunyai kepentingan terhadap Pihak lainnya; - 5 - p. kontrak pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan, kontrak penyimpanan kekayaan, atau kontrak penggunaan jasa akuntan hanya dapat dibuat, diperpanjang, atau dialihkan berdasarkan persetujuan sebagian besar anggota direksi Reksa Dana Berbentuk Perseroan; q. Reksa Dana Berbentuk Perseroan dilarang mengadakan kontrak untuk mengganti kerugian yang timbul bagi Reksa Dana Berbentuk Perseroan atau pemegang saham Reksa Dana Berbentuk Perseroan sebagai akibat penyalahgunaan kekuasaan, kelalaian, atau kecerobohan yang dilakukan oleh Manajer Investasi; r. pemisahan harta Reksa Dana Berbentuk Perseroan dan harta Manajer Investasi; s. hal yang memperbolehkan Reksa Dana Berbentuk Perseroan melakukan penundaan pembelian kembali (pelunasan) oleh pemodal; t. kewajiban menghitung nilai aktiva bersih Reksa Dana Berbentuk Perseroan, apabila Manajer Investasi ditugaskan untuk melakukan perhitungan nilai aktiva bersih; dan u. dalam hal Reksa Dana Berbentuk Perseroan dibubarkan, biaya konsultan hukum, akuntan, dan beban lain kepada Pihak ketiga menjadi tanggung jawab dan wajib dibayar Manajer Investasi kepada Pihak yang bersangkutan. Pasal 3 Larangan bagi Reksa Dana Berbentuk Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf l paling sedikit untuk melakukan: a. pembelian Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri yang informasinya tidak dapat diakses melalui media massa atau fasilitas internet yang tersedia; b. pembelian Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri yang informasinya dapat diakses melalui media massa atau fasilitas internet yang tersedia lebih dari 15% (lima belas persen) dari nilai aktiva bersih; - 6 - c. pembelian Efek bersifat ekuitas yang diterbitkan oleh perusahaan yang telah mencatatkan Efek-nya pada Bursa Efek di Indonesia lebih dari 5% (lima persen) dari modal disetor perusahaan dimaksud; d. pembelian Efek yang diterbitkan oleh suatu perusahaan lebih dari 10% (sepuluh persen) dari nilai aktiva bersih Reksa Dana Berbentuk Perseroan pada setiap saat, dengan ketentuan pembatasan ini termasuk pemilikan surat berharga yang dikeluarkan oleh bank tetapi tidak termasuk sertifikat Bank Indonesia dan obligasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia; e. penjualan saham Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang bersifat terbuka kepada setiap pemodal lebih dari 2% (dua persen) dari modal yang dikeluarkan, kecuali bagi Manajer Investasi Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang bersifat terbuka yang bersangkutan; f. pembelian Efek beragun aset lebih dari 10% (sepuluh persen) dari nilai aktiva bersih Reksa Dana Berbentuk Perseroan dengan ketentuan bahwa setiap jenis Efek beragun aset tidak lebih dari 5% (lima persen) dari nilai aktiva bersih Reksa Dana Berbentuk Perseroan; g. pembelian Efek yang tidak melalui Penawaran Umum dan/atau tidak dicatatkan pada Bursa Efek di Indonesia, kecuali Efek pasar uang, dan obligasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia; h. pembelian Efek yang diterbitkan oleh pihak yang terafiliasi baik dengan Manajer Investasi maupun pemegang Unit Penyertaan lebih dari 20% (dua puluh persen) dari nilai aktiva bersih, kecuali hubungan Afiliasi yang terjadi karena penyertaan modal pemerintah; i. j. terlibat dalam kegiatan selain dari investasi, investasi kembali, atau perdagangan Efek; terlibat dalam penjualan Efek yang belum dimiliki; k. terlibat dalam pembelian Efek secara margin; l. melakukan emisi obligasi atau sekuritas kredit; m. terlibat dalam berbagai bentuk pinjaman, kecuali pinjaman jangka pendek yang berkaitan dengan - 7 - penyelesaian transaksi dan pinjaman tersebut tidak lebih dari 10% (sepuluh persen) dari nilai portofolio Reksa Dana Berbentuk Perseroan pada saat pembelian; n. pembelian Efek yang sedang ditawarkan dalam Penawaran Umum dimana Manajer Investasi bertindak sebagai penjamin emisi dari Efek dimaksud; o. terlibat dalam transaksi bersama atau kontrak bagi hasil dengan Manajer Investasi atau Pihak Afiliasi-nya; p. pembayaran dividen selain berasal dari laba; q. pembelian Efek beragun aset dimana Manajer Investasi- nya sama dengan Manajer Investasi Reksa Dana Berbentuk Perseroan dan/atau terafiliasi dengan kreditur awal Efek beragun aset tersebut; atau r. pembelian Efek beragun aset yang tidak tercatat di Bursa Efek. BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 4 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. peringatan tertulis; b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan/atau g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului - 8 - pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 5 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 6 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 kepada masyarakat. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 7 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-14/PM/2002 tentang Pedoman Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan, beserta Peraturan Nomor IV.A.4 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 8 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 9 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 132 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 32 /POJK.04/2017 TENTANG PEDOMAN KONTRAK PENGELOLAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai pedoman kontrak pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-14/PM/2002 tentang Pedoman Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan, beserta Peraturan Nomor IV.A.4 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Dalam praktiknya “penjualan atas Efek yang belum dimiliki” dimaksud dikenal juga dengan sebutan short sale. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. - 3 - Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Huruf q Cukup jelas. Huruf r Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6079
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 32/POJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN KONTRAK PENGELOLAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN </reg_title> <set_date> 21 Juni 2017 </set_date> <effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date> <issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-14/PM/2002|KEPTA-BAPEPAM/2002', 'Kep-14/PM/2002|KEPTA-BAPEPAM/2002 | Lampiran Peraturan Nomor IV.A.4' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 35 /POJK.05/2016 TENTANG TATA CARA PENETAPAN PERINTAH TERTULIS PADA SEKTOR PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf f dan Pasal 9 huruf d Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan mempunyai wewenang menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan dan/atau pihak tertentu; b. bahwa dalam rangka melindungi kepentingan konsumen, masyarakat, dan sektor jasa keuangan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengambil tindakan yang dianggap perlu, antara lain memberikan perintah tertulis pada perasuransian; sektor c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Cara Penetapan Perintah Tertulis pada Sektor Perasuransian; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENETAPAN PERINTAH TERTULIS PADA SEKTOR PERASURANSIAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perintah Tertulis adalah perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 2. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya yang selanjutnya Kepala Eksekutif pengawasan adalah terhadap anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan yang memiliki tugas kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. disebut - 3 - 3. Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, perusahaan reasuransi syariah, perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian asuransi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 4. Pengendali adalah pihak yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai kemampuan untuk menentukan direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi atau dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama dan/atau mempengaruhi tindakan direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi atau dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 5. Pengelola Statuter adalah pengelola statuter sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 6. Pihak Tertentu adalah orang perseorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi. 7. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Perusahaan Perasuransian yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Direksi pada badan hukum koperasi atau usaha bersama. 8. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Perusahaan Perasuransian yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan - 4 - Dewan Komisaris pada badan hukum koperasi atau usaha bersama. 9. Dewan Pengawas Syariah adalah bagian dari organ Perusahaan Perasuransian yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yang melakukan fungsi pengawasan atas penyelenggaraan usaha perasuransian agar sesuai dengan prinsip syariah. 10. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. BAB II KEWENANGAN PENETAPAN PERINTAH TERTULIS Pasal 2 (1) OJK berwenang menetapkan Perintah Tertulis. (2) Perintah Tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Eksekutif. (3) Perintah Tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Perusahaan Perasuransian, Pengendali, Pengelola Statuter, dan/atau Pihak Tertentu. Pasal 3 Perusahaan Perasuransian, Pengendali, Pengelola Statuter, dan/atau Pihak Tertentu wajib mematuhi Perintah Tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 4 Perintah Tertulis dinyatakan berakhir apabila Perusahaan Perasuransian, Pengendali, Pengelola Statuter, dan/atau Pihak Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 telah melaksanakan Perintah Tertulis dimaksud. - 5 - BAB III SANKSI Pasal 5 Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 53 dan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, OJK berwenang menetapkan sanksi administratif kepada pihak yang melanggar ketentuan dalam Pasal 3 Peraturan OJK ini berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha; c. larangan untuk memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah untuk lini usaha tertentu; d. pencabutan izin usaha; e. pembatalan pernyataan pendaftaran bagi pialang asuransi, pialang reasuransi, agen asuransi, konsultan aktuaria, akuntan publik, penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa bagi Perusahaan Perasuransian; f. pembatalan persetujuan bagi lembaga mediasi atau asosiasi; dan/atau g. larangan menjadi pemegang saham, Pengendali, Direksi, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, atau menduduki jabatan eksekutif di bawah Direksi paling lama 10 (sepuluh) tahun pada Perusahaan Perasuransian. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 6 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 6 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Oktober 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 25 Oktober 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 203 Salinan sesuai dengan aslinya Analis Eksekutif selaku Plh. Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Mislan
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 35/POJK.05/2016 </reg_id> <reg_title> TATA CARA PENETAPAN PERINTAH TERTULIS PADA SEKTOR PERASURANSIAN </reg_title> <set_date> 19 Oktober 2016 </set_date> <effective_date> 25 Oktober 2016 </effective_date> <issued_date> 25 Oktober 2016 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '40/UU/2014' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 42 /POJK.03/2015 TENTANG KEWAJIBAN PEMENUHAN RASIO KECUKUPAN LIKUIDITAS (LIQUIDITY COVERAGE RATIO) BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat dan mampu berkembang serta bersaing secara nasional maupun internasional maka bank perlu memiliki kecukupan likuiditas yang memadai untuk mengantisipasi terjadinya kondisi krisis; b. bahwa dalam rangka meningkatkan kecukupan likuiditas bank, diperlukan peningkatan kuantitas aset keuangan yang berkualitas tinggi untuk mengantisipasi arus kas keluar bersih (net cash outflow) sesuai dengan standar internasional; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas (Liquidity Coverage Ratio) bagi Bank Umum; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah - 2 - diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KEWAJIBAN PEMENUHAN RASIO KECUKUPAN LIKUIDITAS (LIQUIDITY COVERAGE RATIO) BAGI BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Rasio Kecukupan Likuiditas atau Liquidity Coverage Ratio, yang selanjutnya disingkat LCR, adalah perbandingan antara High Quality Liquid Asset dengan total arus kas keluar bersih (net cash outflow) selama 30 (tiga puluh) hari kedepan dalam skenario stres. 3. Aset Likuid Berkualitas Tinggi atau High Quality Liquid Asset, yang selanjutnya disingkat HQLA, adalah kas - 3 - dan/atau aset keuangan yang dapat dengan mudah dikonversi menjadi kas dengan sedikit atau tanpa pengurangan nilai untuk memenuhi kebutuhan likuiditas Bank selama periode 30 (tiga puluh) hari kedepan dalam skenario stres. 4. Total Arus Kas Keluar Bersih, yang selanjutnya disebut Net Cash Outflow, adalah total estimasi arus kas keluar (cash outflow) dikurangi dengan total estimasi arus kas masuk (cash inflow) yang diperkirakan akan terjadi selama 30 (tiga puluh) hari kedepan dalam skenario stres. 5. Simpanan adalah Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998. 6. Pendanaan atau funding adalah penerimaan dana dari pihak ketiga yang menimbulkan kewajiban bagi Bank dalam bentuk Simpanan, surat utang, surat berharga yang diterbitkan, pinjaman yang diterima dan bentuk- bentuk kewajiban lainnya yang dipersamakan dengan itu. Pasal 2 (1) Bank wajib memelihara kecukupan likuiditas yang memadai. (2) Pemenuhan kecukupan likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan LCR. (3) Perhitungan LCR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung dalam denominasi Rupiah. (4) Pemenuhan LCR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling rendah 100% (seratus persen) secara berkelanjutan. (5) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan LCR yang lebih tinggi dari kewajiban pemenuhan LCR sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai suatu Bank - 4 - membutuhkan likuiditas yang lebih besar. Pasal 3 (1) Bank wajib menginformasikan kepada Otoritas Jasa Keuangan kondisi likuiditas Bank dalam hal: a. tidak mampu memenuhi LCR sampai dengan 100% (seratus persen); atau b. berpotensi tidak mampu memenuhi LCR sampai dengan 100% (seratus persen). (2) Dalam hal terdapat kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib: a. menganalisis kondisi likuiditas Bank yang meliputi: 1. alasan atau faktor yang berpotensi atau menyebabkan kegagalan Bank dalam memenuhi persyaratan LCR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4); 2. langkah-langkah yang telah dan akan dilakukan untuk memperbaiki kondisi likuiditas; dan 3. jangka waktu stres likuiditas yang diperkirakan oleh Bank; b. menyampaikan laporan analisis atas kondisi likuiditas Bank sebagaimana dimaksud pada huruf a dan informasi lebih lanjut terkait kondisi likuiditas Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan c. mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memperbaiki kondisi likuiditas antara lain meliputi: 1. pengurangan eksposur Bank terhadap risiko likuiditas; 2. penguatan kebijakan, proses, dan prosedur manajemen risiko likuiditas Bank; dan/atau 3. penyempurnaan rencana Pendanaan darurat (contingency funding plan) Bank. - 5 - (3) Bank dapat menggunakan HQLA yang menyebabkan LCR Bank menjadi kurang dari 100% (seratus persen) dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal kondisi likuiditas Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpotensi mengganggu kelangsungan usaha Bank. Pasal 4 Dalam hal Bank memiliki dan/atau melakukan pengendalian terhadap perusahaan anak, kewajiban pemenuhan LCR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berlaku bagi Bank baik secara individu maupun secara konsolidasi. Pasal 5 Pemenuhan LCR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berlaku untuk: a. Bank yang termasuk dalam kelompok Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 3; b. Bank yang termasuk dalam kelompok Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 4; dan c. bank asing. BAB II HIGH QUALITY LIQUID ASSET Bagian Kesatu Umum Pasal 6 (1) Bank wajib memiliki HQLA dalam rangka pemenuhan LCR. (2) Bank wajib memiliki kebijakan mengenai HQLA paling kurang untuk: a. mengidentifikasi entitas hukum, lokasi geografis, jenis mata uang dan/atau rekening HQLA ditempatkan; dan b. mengecualikan aset tertentu dari HQLA - 6 - berdasarkan alasan operasional. (3) Nilai HQLA yang diperhitungkan dalam perhitungan LCR adalah nilai pasar dari HQLA. Pasal 7 (1) Komponen HQLA yang diperhitungkan dalam pemenuhan LCR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas: a. HQLA Level 1; dan b. HQLA Level 2 yang meliputi: 1. HQLA Level 2A; dan 2. HQLA Level 2B. (2) HQLA Level 1 yang dapat diperhitungkan dalam pemenuhan LCR tidak dibatasi jumlahnya. (3) HQLA Level 2 yang dapat diperhitungkan dalam pemenuhan LCR paling tinggi 40% (empat puluh persen) dari total HQLA. (4) HQLA Level 2B yang dapat diperhitungkan dalam pemenuhan LCR paling tinggi 15% (lima belas persen) dari total HQLA. (5) Perhitungan batas maksimum HQLA Level 2 dan HQLA Level 2B menggunakan formula sebagaimana Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Bagian Kedua Persyaratan HQLA Pasal 8 HQLA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) harus memenuhi: a. persyaratan fundamental; b. persyaratan terkait dengan karakteristik pasar; c. persyaratan operasional; dan d. persyaratan terdiversifikasi. - 7 - Pasal 9 (1) Persyaratan fundamental HQLA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a yaitu: a. memiliki risiko yang rendah; b. memiliki metode penilaian yang mudah dan pasti; c. memiliki korelasi yang rendah dengan aset berisiko; dan d. terdaftar di bursa yang diakui. (2) Persyaratan HQLA terkait dengan karakteristik pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b yaitu: a. memiliki pasar yang aktif dan memadai; b. memiliki volatilitas pasar yang rendah; dan c. secara historis merupakan aset yang diinginkan oleh pelaku pasar apabila terjadi krisis (terjadi flight to quality). (3) Persyaratan operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c yaitu: a. bebas dari segala klaim, kecuali aset yang disimpan atau diperjanjikan dengan Bank Indonesia namun belum digunakan untuk menghasilkan likuiditas; b. tidak ditetapkan untuk tujuan menutup biaya operasional; c. dapat digunakan secara legal dan kontraktual oleh Bank pada saat terjadi kondisi stres; d. aset yang diterima sebagai agunan dalam transaksi derivatif yang tidak dipisahkan (non segregated collateral) yang secara hukum dapat diagunkan kembali, dapat dimasukkan dalam kelompok HQLA jika Bank memperhitungkan arus keluar (outflow) terkait aset yang diagunkan kembali; e. tersedia dan dapat dicairkan dalam kondisi stres serta terdapat prosedur dan sistem yang memadai; f. aset keuangan berada dibawah pengendalian suatu fungsi khusus yang bertanggung jawab - 8 - mengelola likuiditas Bank, yang memiliki kewenangan untuk mencairkan aset; g. secara berkala dapat dicairkan sejumlah tertentu melalui repo maupun penjualan dalam rangka menguji aksesibilitas ke pasar, efektifitas dari proses pencairan aset, dan/atau ketersediaan aset; h. Bank tidak dapat memasukkan aset dengan hak untuk mengagunkan kembali kedalam kelompok HQLA apabila pemilik asal aset memiliki hak kontraktual untuk menarik aset selama 30 (tiga puluh) hari periode stres; dan i. aset keuangan perusahaan anak yang memenuhi kriteria HQLA yang digunakan untuk memenuhi persyaratan likuiditas hanya dapat diperhitungkan dalam LCR secara konsolidasi, sepanjang risiko terkait yang tercermin dari Net Cash Outflow dari perusahaan anak diperhitungkan dalam perhitungan LCR konsolidasi. (4) Persyaratan terdiversifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf d yaitu: a. tersebar pada berbagai jenis aset keuangan, penerbit, dan jenis mata uang; dan b. memiliki kebijakan dan limit terkait dengan jenis aset keuangan, penerbit, dan jenis mata uang tertentu. (5) Persyaratan terdiversifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikecualikan bagi HQLA yang berbentuk: a. kas; b. surat utang yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat; c. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; dan d. penempatan pada Bank Indonesia. - 9 - Bagian Ketiga Komponen HQLA Pasal 10 (1) HQLA Level 1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a meliputi: a. kas dan setara kas; b. penempatan pada Bank Indonesia; c. surat berharga yang diterbitkan atau dijamin oleh pemerintah negara lain, bank sentral negara lain, entitas sektor publik, bank pembangunan multilateral, dan/atau lembaga internasional sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai pedoman perhitungan aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit dengan menggunakan pendekatan standar, yang memenuhi persyaratan: 1. dikenakan bobot risiko 0% (nol persen) dalam perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk risiko kredit dengan menggunakan pendekatan standar; 2. diperdagangkan pada pasar yang aktif; 3. telah teruji sebagai sumber likuiditas yang terpercaya di pasar baik dalam kondisi normal maupun kondisi stres; dan 4. bukan merupakan kewajiban dari lembaga jasa keuangan dan/atau entitas yang terafiliasi dengan lembaga jasa keuangan; d. surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan Bank Indonesia dalam Rupiah dan valuta asing; dan e. surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah dan bank sentral negara lain dengan bobot risiko lebih dari 0% (nol persen) dalam valuta asing sepanjang: 1. Bank memiliki perusahaan anak atau cabang di negara lain dimaksud; dan - 10 - 2. paling tinggi sebesar kebutuhan arus keluar (outflow) pada mata uang di negara yang menerbitkan surat berharga valuta asing dimaksud. (2) Dalam rangka pemenuhan LCR, HQLA Level 1 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan pengurangan nilai (haircut). Pasal 11 (1) HQLA Level 2A sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b angka 1 meliputi: a. surat berharga yang diterbitkan atau dijamin oleh pemerintah negara lain, bank sentral negara lain, entitas sektor publik, dan/atau bank pembangunan multilateral yang memenuhi persyaratan: 1. dikenakan bobot risiko 20% (dua puluh persen) dalam perhitungan ATMR untuk risiko kredit dengan menggunakan pendekatan standar; 2. diperdagangkan pada pasar yang aktif; 3. telah teruji sebagai sumber likuiditas yang terpercaya di pasar, baik dalam kondisi normal maupun kondisi stres dengan kriteria yaitu: a) penurunan harga paling tinggi 10% (sepuluh persen); atau b) peningkatan pengurangan nilai (haircut) paling tinggi 10% (sepuluh persen), selama 30 (tiga puluh) hari periode stres; dan 4. bukan merupakan kewajiban dari lembaga jasa keuangan dan/atau entitas yang terafiliasi dengan lembaga jasa keuangan; b. surat berharga berupa surat utang yang diterbitkan oleh korporasi, termasuk commercial paper, dan covered bonds namun tidak termasuk obligasi subordinasi, yang memenuhi - 11 - persyaratan: 1. tidak boleh diterbitkan oleh lembaga jasa keuangan dan/atau entitas yang terafiliasi dengan lembaga jasa keuangan; 2. dalam hal surat berharga berbentuk covered bonds boleh diterbitkan oleh lembaga jasa keuangan dan/atau entitas yang terafiliasi dengan lembaga jasa keuangan namun tidak boleh diterbitkan oleh Bank pelapor dan pihak yang terafiliasi dengan Bank pelapor; 3. memiliki peringkat kredit jangka panjang paling rendah AA- atau peringkat kredit jangka pendek yang ekuivalen dalam hal tidak tersedia peringkat jangka panjang dari lembaga pemeringkat yang diakui atau memiliki probability of default yang setara dengan peringkat kredit paling rendah AA-; 4. diperdagangkan pada pasar yang aktif; dan 5. telah teruji sebagai sumber likuiditas yang terpercaya di pasar, baik dalam kondisi normal maupun kondisi stres dengan kriteria yaitu: a) penurunan harga paling tinggi 10% (sepuluh persen); atau b) peningkatan pengurangan nilai (haircut) paling tinggi 10% (sepuluh persen), selama 30 (tiga puluh) hari periode stres. (2) Dalam rangka pemenuhan LCR, HQLA Level 2A sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan pengurangan nilai (haircut) 15% (lima belas persen) dari harga pasar. Pasal 12 (1) HQLA Level 2B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b angka 2 meliputi: a. efek beragun aset berupa rumah tinggal yang memenuhi persyaratan: - 12 - 1. tidak diterbitkan oleh Bank pelapor atau entitas terafiliasi dari Bank pelapor; 2. aset yang mendasari tidak berasal dari Bank pelapor atau entitas terafiliasi dari Bank pelapor; 3. memiliki peringkat jangka panjang paling rendah AA atau peringkat jangka pendek yang ekuivalen apabila tidak tersedia peringkat jangka panjang dari lembaga pemeringkat yang diakui; 4. diperdagangkan pada pasar yang aktif; 5. telah teruji sebagai sumber likuiditas yang terpercaya di pasar, baik dalam kondisi normal maupun kondisi stres dengan kriteria yaitu: a) penurunan harga paling tinggi 20% (dua puluh persen); atau b) peningkatan pengurangan nilai (haircut) paling tinggi 20% (dua puluh persen), selama 30 (tiga puluh) hari periode stres; 6. aset yang mendasari hanya terdiri atas kredit beragun rumah tinggal; 7. agunan kredit yang digunakan merupakan pinjaman yang tergolong full recourse dengan rasio nilai kredit terhadap nilai agunan paling tinggi 80% (delapan puluh persen); dan 8. sekuritisasi harus bersifat risk retention; b. surat berharga berupa surat utang yang diterbitkan oleh korporasi termasuk commercial paper, yang memenuhi persyaratan: 1. tidak diterbitkan oleh lembaga jasa keuangan dan/atau entitas yang terafiliasi dengan lembaga jasa keuangan; 2. memiliki peringkat kredit jangka panjang paling tinggi A+ dan paling rendah BBB- atau peringkat kredit jangka pendek yang - 13 - ekuivalen dalam hal tidak tersedia peringkat jangka panjang dari lembaga pemeringkat yang diakui atau memiliki probability of default yang setara dengan peringkat kredit paling tinggi A+ dan paling rendah BBB-; 3. diperdagangkan pada pasar yang aktif; dan 4. telah teruji sebagai sumber likuiditas yang terpercaya di pasar, baik dalam kondisi normal maupun kondisi stres dengan kriteria yaitu: a) penurunan harga paling tinggi 20% (dua puluh persen); atau b) peningkatan pengurangan nilai (haircut) paling tinggi 20% (dua puluh persen); selama 30 (tiga puluh) hari periode stres; c. saham biasa yang dimiliki oleh perusahaan anak bukan Bank yang memenuhi persyaratan: 1. tidak diterbitkan oleh lembaga jasa keuangan dan/atau entitas yang terafiliasi dengan lembaga jasa keuangan; 2. terdaftar di bursa yang diakui; 3. denominasi Rupiah; 4. diperdagangkan pada pasar yang aktif; dan 5. telah teruji sebagai sumber likuiditas yang terpercaya di pasar, baik dalam kondisi normal maupun kondisi stres dengan kriteria yaitu: a) penurunan harga paling tinggi 40% (empat puluh persen); atau b) peningkatan pengurangan nilai (haircut) paling tinggi 40% (empat puluh persen), selama 30 (tiga puluh) hari periode stres. (2) Dalam rangka pemenuhan LCR, HQLA Level 2B sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan pengurangan nilai (haircut): a. 25% (dua puluh lima persen) dari harga pasar untuk efek beragun aset berupa rumah tinggal - 14 - sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; atau b. 50% (lima puluh persen) dari harga pasar untuk surat berharga berupa surat utang yang diterbitkan oleh korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan saham biasa yang dimiliki oleh perusahaan anak bukan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c. BAB III ARUS KAS KELUAR (CASH OUTFLOW) Bagian Kesatu Umum Pasal 13 (1) Dalam rangka pemenuhan LCR, Bank wajib menghitung arus kas keluar (cash outflow) selama 30 (tiga puluh) hari kedepan yang bersumber dari: a. Simpanan nasabah perorangan (retail deposit); b. Pendanaan yang berasal dari nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil; c. Pendanaan yang berasal dari nasabah korporasi; d. Pendanaan dengan agunan (secured funding); dan e. arus kas keluar lainnya (additional requirement). (2) Nilai arus kas keluar yang diperhitungkan dalam pemenuhan LCR adalah sebesar nilai outstanding kewajiban pada neraca dan komitmen pada rekening administratif dikalikan dengan tingkat penarikan (run- off rate). Bagian Kedua Simpanan Nasabah Perorangan (Retail Deposit) dan Pendanaan yang Berasal dari Nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil Pasal 14 Simpanan nasabah perorangan sebagaimana dimaksud - 15 - dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a dan Pendanaan yang berasal dari nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b, yang diperhitungkan dalam LCR adalah: a. memiliki jangka waktu sampai dengan 30 (tiga puluh) hari; atau b. memiliki jangka waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari namun dapat ditarik sewaktu-waktu oleh nasabah tanpa adanya penalti yang signifikan; dan c. Simpanan tidak sedang dijaminkan sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kedepan. Pasal 15 (1) Pendanaan yang berasal dari nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang diperhitungkan dalam LCR selain memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 juga wajib memenuhi kriteria: a. nasabah tergolong sebagai Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai usaha mikro, kecil, dan menengah; dan b. total Pendanaan dari setiap nasabah paling tinggi Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal nasabah tidak tergolong sebagai Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai usaha mikro, kecil, dan menengah namun jumlah total Pendanaan nasabah sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan diperlakukan seperti nasabah perorangan, dapat dikategorikan sebagai nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil. Pasal 16 Dalam rangka menghitung arus kas keluar, Bank wajib mengklasifikasikan Simpanan nasabah perorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a - 16 - dalam: a. Simpanan stabil; dan b. Simpanan kurang stabil. Pasal 17 (1) Simpanan stabil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a adalah Simpanan yang memenuhi kriteria penjaminan oleh Lembaga Penjamin Simpanan dan memenuhi persyaratan: a. nasabah memiliki hubungan atau keterkaitan dengan Bank sehingga kemungkinan penarikan Simpanan sangat kecil; atau b. rekening Simpanan digunakan untuk keperluan transaksi nasabah secara rutin. (2) Besarnya tingkat penarikan untuk Simpanan nasabah perorangan yang termasuk dalam Simpanan stabil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan 5% (lima persen) dari nilai Simpanan stabil. Pasal 18 (1) Simpanan kurang stabil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b adalah Simpanan nasabah perorangan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1). (2) Besarnya tingkat penarikan untuk Simpanan nasabah perorangan yang termasuk dalam Simpanan kurang stabil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan 10% (sepuluh persen) dari nilai Simpanan kurang stabil. (3) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan tingkat penarikan yang lebih tinggi untuk Simpanan nasabah perorangan yang termasuk dalam Simpanan kurang stabil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika Otoritas Jasa Keuangan menilai tingkat penarikan untuk jenis Simpanan tertentu lebih tinggi dibandingkan jenis Simpanan lainnya. - 17 - Pasal 19 Dalam rangka menghitung arus kas keluar, Bank wajib mengklasifikasikan Pendanaan yang berasal dari nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dalam: a. Pendanaan stabil; dan b. Pendanaan kurang stabil. Pasal 20 (1) Persyaratan Pendanaan stabil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a mengacu pada persyaratan Simpanan stabil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1). (2) Besarnya tingkat penarikan untuk Pendanaan yang berasal dari nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang termasuk dalam Pendanaan stabil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan 5% (lima persen) dari nilai Pendanaan stabil. Pasal 21 (1) Pendanaan kurang stabil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b adalah Pendanaan yang berasal dari nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1). (2) Besarnya tingkat penarikan untuk Pendanaan yang berasal dari nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang termasuk dalam Pendanaan kurang stabil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan 10% (sepuluh persen) dari nilai Pendanaan kurang stabil. Bagian Ketiga Pendanaan yang Berasal dari Nasabah Korporasi Pasal 22 (1) Pendanaan yang berasal dari nasabah korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf - 18 - c yang diperhitungkan dalam LCR adalah Pendanaan yang memenuhi persyaratan: a. memiliki jangka waktu atau sisa jangka waktu sampai dengan 30 (tiga puluh) hari atau kurang, termasuk Pendanaan tanpa jangka waktu; atau b. Pendanaan dengan fitur option yang dapat dicairkan oleh nasabah korporasi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari atau kurang. (2) Dalam hal terdapat perjanjian yang jelas dan mengikat bahwa nasabah korporasi hanya dapat melakukan penarikan Pendanaan setelah memberitahukan kepada Bank terlebih dahulu lebih dari 30 (tiga puluh) hari sebelum penarikan, Pendanaan yang berasal dari nasabah korporasi dapat dikecualikan dari perhitungan arus kas keluar (cash outflow). Pasal 23 Dalam rangka menghitung arus kas keluar, Bank wajib mengklasifikasikan Pendanaan yang berasal dari nasabah korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c dalam: a. Simpanan operasional; atau b. Simpanan non-operasional dan/atau kewajiban lainnya yang bersifat non-operasional. Pasal 24 (1) Simpanan operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a adalah Simpanan yang memenuhi persyaratan: a. digunakan nasabah korporasi untuk kegiatan kliring, kustodian atau cash management yang memenuhi kriteria: 1. merupakan Simpanan yang wajib ditempatkan oleh nasabah korporasi pada Bank untuk menggunakan jasa atau produk Bank lainnya; - 19 - 2. nasabah korporasi bergantung secara signifikan kepada Bank untuk dapat menyediakan fasilitas kliring, kustodian atau cash management selama 30 (tiga puluh) hari kedepan; 3. merupakan Simpanan yang digunakan sebagai prasyarat agar nasabah korporasi dapat menjalankan kegiatan kliring, kustodian atau cash management; 4. terdapat perjanjian yang mengikat secara hukum dengan nasabah korporasi; dan 5. apabila perjanjian akan dibatalkan sebelum 30 (tiga puluh) hari, nasabah korporasi harus: (i) memberitahukan kepada Bank paling tidak 30 (tiga puluh) hari sebelumnya; atau (ii) dikenakan denda yang signifikan; dan b. ditempatkan pada rekening terpisah yang tidak memberikan insentif ekonomi kepada nasabah yang menempatkan dananya secara berlebih diluar dari tujuan transaksional pada rekening ini. (2) Bank harus memiliki metode untuk menentukan nilai Simpanan yang dapat diklasifikasikan sebagai Simpanan operasional. (3) Dalam hal Bank tidak dapat menentukan nilai Simpanan yang diklasifikasikan sebagai Simpanan operasional, seluruh Simpanan diklasifikasikan sebagai Simpanan non-operasional dan/atau atau kewajiban lainnya yang bersifat non-operasional. (4) Besarnya tingkat penarikan untuk Simpanan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan: a. 5% (lima persen) dari nilai Simpanan operasional jika memenuhi kriteria penjaminan oleh Lembaga Penjamin Simpanan; atau - 20 - b. 25% (dua puluh lima persen) dari nilai Simpanan operasional jika tidak memenuhi kriteria penjaminan oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Pasal 25 (1) Simpanan yang berasal dari nasabah korporasi yang tidak memenuhi persyaratan sebagai Simpanan operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) diklasifikasikan sebagai Simpanan non- operasional dan/atau kewajiban lainnya yang bersifat non-operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf b. (2) Besarnya tingkat penarikan untuk Simpanan non- operasional dan/atau kewajiban lainnya yang bersifat non-operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan: a. Simpanan non-operasional dan/atau kewajiban lainnya yang bersifat non-operasional yang berasal dari perusahaan non-keuangan, Pemerintah Pusat, Bank Indonesia, pemerintah negara lain, bank sentral negara lain, bank pembangunan multilateral, dan/atau entitas sektor publik, ditetapkan: 1. 20% (dua puluh persen) dari nilai Simpanan non-operasional dan/atau kewajiban lainnya yang bersifat non-operasional apabila memenuhi kriteria penjaminan oleh Lembaga Penjamin Simpanan; atau 2. 40% (empat puluh persen) dari nilai Simpanan non-operasional dan/atau kewajiban lainnya yang bersifat non- operasional apabila tidak memenuhi kriteria penjaminan oleh Lembaga Penjamin Simpanan; b. Simpanan non-operasional dan/atau kewajiban lainnya yang bersifat non-operasional yang berasal dari entitas lainnya ditetapkan 100% - 21 - (seratus persen) dari nilai Simpanan non- operasional dan/atau kewajiban lainnya yang bersifat non-operasional; dan/atau c. surat berharga berupa surat utang yang diterbitkan oleh Bank dikenakan tingkat penarikan 100% (seratus persen) tanpa memperhatikan pemegang surat berharga. Bagian Keempat Pendanaan dengan Agunan (Secured Funding) Pasal 26 (1) Bank wajib menghitung tingkat penarikan untuk Pendanaan dengan agunan (secured funding) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf d yang akan jatuh tempo dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari. (2) Besarnya tingkat penarikan untuk Pendanaan dengan agunan (secured funding) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan: a. 0% (nol persen) dari Pendanaan dalam hal agunan berupa HQLA Level 1 atau pihak lawan (counterparty) transaksi adalah Bank Indonesia; b. 15% (lima belas persen) dari Pendanaan dalam hal agunan berupa HQLA Level 2A; c. 25% (dua puluh lima persen) dari Pendanaan dalam hal: 1. pihak lawan (counterparty) transaksi adalah Pemerintah Pusat, entitas sektor publik atau bank pembangunan multilateral dengan agunan selain HQLA Level 1 atau Level 2A; atau 2. agunan merupakan efek beragun aset berupa rumah tinggal yang memenuhi kriteria HQLA Level 2B; d. 50% (lima puluh persen) dari Pendanaan dalam hal agunan berupa HQLA Level 2B selain agunan - 22 - sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c angka 2; atau e. 100% (seratus persen) dari Pendanaan untuk Pendanaan dengan agunan (secured funding) yang tidak memenuhi kriteria pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d. Bagian Kelima Arus Kas Keluar Lainnya (Additional Requirement) Pasal 27 Dalam rangka perhitungan LCR, Bank wajib menghitung arus kas keluar lainnya (additional requirement) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf e yang meliputi: a. transaksi derivatif; b. peningkatan kebutuhan likuiditas; c. kehilangan Pendanaan; d. penarikan komitmen fasilitas kredit dan fasilitas likuiditas; e. kewajiban kontraktual lainnya terkait penyaluran dana; f. kewajiban kontijensi Pendanaan lainnya (other contigent funding obligation); dan g. arus kas keluar kontraktual lainnya. Pasal 28 (1) Bank wajib memperhitungkan estimasi arus kas keluar dalam 30 (tiga puluh) hari kedepan atas transaksi derivatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a berdasarkan metode valuasi yang berlaku pada masing-masing Bank. (2) Arus kas masuk dan arus kas keluar yang berasal dari transaksi derivatif dapat dihitung selisih bersih (net) berdasarkan pihak lawan (counterparty) dalam hal terdapat valid master netting agreement. - 23 - (3) Arus kas masuk dan arus kas keluar yang berasal dari transaksi derivatif valuta asing dapat dihitung selisih bersih (net) meskipun tanpa valid master netting agreement dalam hal transaksi derivatif merupakan pemindahan dana pokok secara penuh dan simultan atau pada hari yang sama. (4) Perhitungan arus kas keluar lainnya (additional requirement) yang terkait dengan penyelesaian (settlement) transaksi derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikurangkan dengan arus kas masuk (cash inflow) dari penggunaan agunan yang diterima oleh Bank sepanjang memenuhi persyaratan: a. memenuhi kriteria sebagai HQLA; b. tidak diperhitungkan sebagai bagian dari HQLA dalam pemenuhan LCR; dan c. Bank secara legal memiliki hak dan kemampuan operasional menggunakan agunan untuk menghasilkan dana baru. (5) Tingkat penarikan untuk transaksi derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan 100% (seratus persen) dari nilai transaksi derivatif. Pasal 29 Bank wajib memperhitungkan estimasi arus kas keluar dalam 30 (tiga puluh) hari kedepan atas peningkatan kebutuhan likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf b terkait dengan: a. penurunan peringkat (rating) Bank dalam transaksi Pendanaan, derivatif, dan perjanjian lainnya; b. perubahan mark to market atas transaksi derivatif atau transaksi lainnya; c. potensi perubahan nilai agunan untuk derivatif dan transaksi lainnya; d. kelebihan agunan yang tidak terpisah (non-segregated collateral) yang dikuasai oleh Bank yang secara kontraktual dapat diambil setiap saat oleh pihak lawan (counterparty); - 24 - e. kewajiban penyediaan agunan kepada pihak lawan (counterparty) atas suatu transaksi tertentu namun pihak lawan (counterparty) belum meminta agunan tersebut; dan f. potensi penukaran agunan yang berupa HQLA menjadi bukan HQLA. Pasal 30 Tingkat penarikan untuk peningkatan kebutuhan likuiditas terkait dengan penurunan peringkat (rating) Bank dalam transaksi Pendanaan, derivatif, dan perjanjian lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a ditetapkan 100% (seratus persen) dari jumlah agunan yang harus diberikan atau arus kas keluar sesuai perjanjian yang berhubungan dengan penurunan peringkat (rating) jangka panjang sampai dengan atau sama dengan 3 (tiga) level peringkat (notches). Pasal 31 Tingkat penarikan untuk peningkatan kebutuhan likuiditas terkait dengan perubahan mark to market atas transaksi derivatif atau transaksi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf b ditetapkan sebesar aliran agunan bersih absolut selama 30 (tiga puluh) hari yang terbesar yang direalisasikan dalam 24 (dua puluh empat) bulan. Pasal 32 Tingkat penarikan untuk peningkatan kebutuhan likuiditas terkait dengan potensi perubahan nilai agunan untuk derivatif dan transaksi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf c ditetapkan 20% (dua puluh persen) dari nilai agunan yang bukan HQLA Level 1 setelah pengurangan nilai (haircut) yang berasal dari nilai seluruh agunan setelah dikurangi agunan yang diterima dari pihak lawan (counterparty) sepanjang agunan yang diterima dapat diagunkan kembali. - 25 - Pasal 33 Tingkat penarikan untuk peningkatan kebutuhan likuiditas terkait dengan kelebihan agunan yang tidak terpisah (non- segregated collateral) yang dikuasai oleh Bank yang secara kontraktual dapat diambil setiap saat oleh pihak lawan (counterparty) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf d ditetapkan 100% (seratus persen) dari nilai non- segregated collateral yang secara kontraktual dapat ditarik kembali oleh pihak lawan (counterparty) karena nilai agunan melebihi dari yang dipersyaratkan. Pasal 34 Tingkat penarikan untuk peningkatan kebutuhan likuiditas terkait dengan kewajiban penyediaan agunan kepada pihak lawan (counterparty) atas suatu transaksi tertentu namun pihak lawan (counterparty) belum meminta agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf e ditetapkan 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang secara kontraktual harus dipenuhi. Pasal 35 Tingkat penarikan untuk peningkatan kebutuhan likuiditas terkait dengan potensi penukaran agunan yang berupa HQLA menjadi bukan HQLA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf f ditetapkan 100% (seratus persen) dari nilai HQLA yang dapat ditukar dengan aset bukan HQLA. Pasal 36 (1) Bank wajib memperhitungkan estimasi arus kas keluar dalam 30 (tiga puluh) hari kedepan atas risiko kehilangan Pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf c yang terkait dengan: a. kehilangan Pendanaan yang berasal dari efek beragun aset, covered bonds, dan instrumen pembiayaan terstruktur lainnya yang diterbitkan oleh Bank; atau - 26 - b. kehilangan Pendanaan yang berasal dari asset- backed commercial paper, conduits, securities investment vehicles, dan fasilitas pembiayaan lain yang serupa. (2) Tingkat penarikan untuk kehilangan Pendanaan yang berasal dari efek beragun aset, covered bonds, dan instrumen pembiayaan terstruktur lainnya yang diterbitkan oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan 100% (seratus persen) dari transaksi Pendanaan yang jatuh tempo dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari. (3) Tingkat penarikan untuk kehilangan Pendanaan yang berasal dari asset-backed commercial paper, conduits, securities investment vehicles, dan fasilitas pembiayaan lain yang serupa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan 100% (seratus persen) dari: a. Pendanaan yang akan jatuh tempo dalam 30 (tiga puluh) hari kedepan; dan b. aset yang berpotensi untuk dilunasi dalam 30 (tiga puluh) hari kedepan walaupun belum jatuh tempo. (4) Dalam hal aktivitas Pendanaan terstruktur Bank dilakukan melalui entitas bertujuan khusus, dalam menentukan persyaratan HQLA, Bank wajib memperhitungkan: a. instrumen utang yang diterbitkan oleh entitas yang jatuh tempo dalam 30 (tiga puluh) hari dikenakan tingkat penarikan 100% (seratus persen); atau b. opsi tertanam dalam pembiayaan yang berpotensi memicu pengembalian aset atau kebutuhan untuk likuiditas, dikenakan tingkat penarikan 100% (seratus persen) dari nilai aset yang berpotensi untuk diperoleh kembali. - 27 - Pasal 37 (1) Tingkat penarikan arus kas keluar lainnya (additional requirement) yang terkait dengan kewajiban komitmen dalam bentuk fasilitas kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf d ditetapkan: a. 5% (lima persen) dari fasilitas kredit yang belum ditarik dalam hal fasilitas diberikan kepada perorangan atau Usaha Mikro dan Usaha Kecil; b. 10% (sepuluh persen) dari fasilitas kredit yang belum ditarik dalam hal fasilitas diberikan kepada korporasi non-keuangan, Pemerintah Pusat, Bank Indonesia, pemerintah negara lain, bank sentral negara lain, entitas sektor publik, dan/atau bank pembangunan multilateral; c. 40% (empat puluh persen) dari fasilitas kredit yang belum ditarik dalam hal fasilitas diberikan kepada Bank dan/atau lembaga jasa keuangan; dan/atau d. 100% (seratus persen) dari fasilitas kredit yang belum ditarik dalam hal fasilitas diberikan kepada entitas selain sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c. (2) Tingkat penarikan arus kas keluar lainnya (additional requirement) yang terkait dengan kewajiban komitmen dalam bentuk fasilitas likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf d ditetapkan: a. 5% (lima persen) dari fasilitas likuiditas yang belum ditarik dalam hal fasilitas diberikan kepada perorangan atau Usaha Mikro dan Usaha Kecil; b. 30% (tiga puluh persen) dari fasilitas likuiditas yang belum ditarik dalam hal fasilitas diberikan kepada korporasi non-keuangan, Pemerintah Pusat, Bank Indonesia, pemerintah negara lain, bank sentral negara lain, entitas sektor publik, dan/atau bank pembangunan multilateral; c. 40% (empat puluh persen) dari fasilitas likuiditas yang belum ditarik dalam hal fasilitas diberikan - 28 - kepada Bank; dan/atau d. 100% (seratus persen) dari fasilitas likuiditas yang belum ditarik dalam hal fasilitas diberikan kepada lembaga jasa keuangan dan/atau entitas selain sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c. (3) Dalam hal komitmen fasilitas kredit dan/atau fasilitas likuiditas mempunyai agunan berupa HQLA, agunan dapat dihitung sebagai pengurang arus kas keluar sepanjang belum diperhitungkan sebagai HQLA dan memenuhi syarat: a. HQLA sudah dijadikan agunan oleh pihak ketiga untuk menjamin fasilitas atau secara kontraktual wajib disertakan ketika pihak ketiga akan menarik fasilitas; b. Bank berhak menggunakan kembali agunan untuk memperoleh dana baru saat fasilitas sudah ditarik; dan c. tidak ada korelasi antara kemungkinan penarikan fasilitas dan nilai pasar dari agunan. Pasal 38 (1) Tingkat penarikan terhadap kewajiban kontraktual lainnya terkait penyaluran dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf e ditetapkan 100% (seratus persen) dari kewajiban kontraktual terkait penyaluran dana kepada lembaga jasa keuangan dalam periode 30 (tiga puluh) hari. (2) Jika total seluruh kewajiban kontraktual terkait penyaluran dana kepada nasabah perorangan dan korporasi non-keuangan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kedepan yang belum tercakup dalam kategori lainnya melebihi 50% (lima puluh persen) dari total arus masuk (inflow) yang bersifat kontraktual dalam periode 30 (tiga puluh) hari, tingkat penarikan ditetapkan 100% (seratus persen) dari nilai selisih lebih antara: - 29 - a. kewajiban kontraktual untuk menyalurkan dana; dengan b. 50% (lima puluh persen) total arus kas masuk (cash inflow). Pasal 39 (1) Arus kas keluar lainnya (additional requirement) yang terkait dengan kewajiban kontijensi Pendanaan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf f meliputi: a. kewajiban yang berasal dari instrumen trade finance; b. kewajiban yang berasal dari fasilitas kredit dan fasilitas likuiditas yang bersifat unconditionally revocable uncommitted; c. kewajiban yang berasal dari letter of credit (L/C) dan garansi yang tidak terkait dengan kewajiban trade finance; d. kewajiban yang berasal dari permintaan potensial untuk membeli kembali utang Bank atau yang terkait dengan securities investment vehicles dan fasilitas pembiayaan lainnya; e. kewajiban yang berasal dari structured product yang diantisipasi oleh nasabah melalui ready marketability; f. kewajiban yang berasal dari dana kelolaan (managed funds) yang dijual dengan tujuan menjaga kestabilan nilai; g. kewajiban untuk menutup potensi pembelian kembali surat berharga berupa surat utang, dengan atau tanpa agunan, yang memiliki jangka waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari bagi emiten yang memiliki afiliasi dengan dealer atau market maker; dan/atau h. kewajiban non-kontraktual posisi short nasabah yang dilindungi dengan agunan nasabah lain. - 30 - (2) Tingkat penarikan dari kewajiban kontijensi Pendanaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan: a. 3% (tiga persen) untuk kewajiban yang berasal dari instrumen trade finance; b. 0% (nol persen) untuk kewajiban yang berasal dari fasilitas kredit dan fasilitas likuiditas yang bersifat unconditionally revocable uncommitted; c. 5% (lima persen) untuk kewajiban yang berasal dari letter of credit (L/C) dan garansi yang tidak terkait dengan kewajiban trade finance; d. 5% (lima persen) untuk kewajiban yang berasal dari permintaan potensial untuk membeli kembali utang Bank atau yang terkait dengan securities investment vehicles dan fasilitas pembiayaan lainnya; e. 5% (lima persen) untuk kewajiban yang berasal dari structured product yang diantisipasi oleh nasabah melalui ready marketability; f. 5% (lima persen) untuk kewajiban yang berasal dari dana kelolaan (managed funds) yang dijual dengan tujuan menjaga kestabilan nilai; g. 5% (lima persen) untuk kewajiban menutup potensi pembelian kembali surat berharga berupa surat utang, dengan atau tanpa agunan, yang memiliki jangka waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari bagi emiten yang memiliki afiliasi dengan dealer atau market maker; dan/atau h. 50% untuk kewajiban non-kontraktual posisi short nasabah yang dilindungi dengan agunan nasabah lain. Pasal 40 Tingkat penarikan terhadap arus kas keluar kontraktual lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf g ditetapkan 100% (seratus persen) dari kewajiban kontraktual lainnya dalam periode 30 (tiga puluh) hari. - 31 - BAB IV ARUS KAS MASUK (CASH INFLOW) Bagian Kesatu Umum Pasal 41 (1) Dalam rangka pemenuhan LCR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank wajib menghitung arus kas masuk (cash inflow) selama 30 (tiga puluh) hari kedepan yang bersumber dari: a. pinjaman dengan agunan (secured lending); b. tagihan berdasarkan pihak lawan (counterparty); dan/atau c. arus kas masuk lainnya. (2) Bank dilarang menghitung tagihan komitmen (committed facility) fasilitas kredit dan fasilitas likuiditas sebagai sumber arus kas masuk. (3) Nilai arus kas masuk yang dapat diperhitungkan dalam LCR paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen) dari total arus kas keluar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. (4) Dalam menghitung arus kas masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank hanya dapat memperhitungkan arus kas masuk kontraktual yang memenuhi persyaratan: a. berasal dari tagihan yang memiliki kualitas Lancar; dan b. tidak diekspektasikan terjadi gagal bayar (default) dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kedepan. (5) Nilai arus kas masuk yang dapat diperhitungkan dalam pemenuhan LCR adalah sebesar nilai tagihan kontraktual dikalikan dengan tingkat penerimaan (inflow rate). - 32 - Bagian Kedua Pinjaman dengan Agunan (Secured Lending) Pasal 42 (1) Tingkat penerimaan (inflow rate) dari pinjaman dengan agunan (secured lending) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a ditetapkan berdasarkan jenis agunan yang mendasari, yaitu: a. 0% (nol persen) dari nilai kontraktual dalam hal agunan adalah HQLA Level 1; b. 15% (lima belas persen) dari nilai kontraktual dalam hal agunan adalah HQLA Level 2A; c. 25% (dua puluh lima persen) dari nilai kontraktual dalam hal agunan adalah efek beragun aset yang memenuhi persyaratan sebagai HQLA Level 2B; d. 50% (lima puluh persen) dari nilai kontraktual dalam hal agunan adalah HQLA Level 2B selain efek beragun aset; e. 50% (lima puluh persen) dari nilai kontraktual dalam hal transaksi berupa margin lending dengan agunan yang tidak memenuhi persyaratan sebagai HQLA; dan/atau f. 100% (seratus persen) dari nilai kontraktual dalam hal agunan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf e. (2) Dalam hal agunan yang diterima oleh Bank dalam transaksi pinjaman dengan agunan (secured lending), diagunkan dan digunakan untuk menutupi posisi short Bank maka tingkat penerimaan dari transaksi pinjaman dengan agunan (secured lending) ditetapkan 0% (nol persen). - 33 - Bagian Ketiga Tagihan Berdasarkan Pihak Lawan (Counterparty) Pasal 43 (1) Bank wajib menghitung arus kas masuk berdasarkan pihak lawan (counterparty) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf b: a. nasabah perorangan dan Usaha Mikro dan Usaha Kecil; b. nasabah lainnya yang terdiri atas; 1. lembaga jasa keuangan dan Bank Indonesia; dan 2. lainnya. (2) Arus kas masuk yang berasal dari pinjaman tanpa jangka waktu tertentu dilarang diperhitungkan sebagai arus kas masuk dalam perhitungan LCR. (3) Dalam hal arus kas masuk berasal dari pembayaran pokok minimum, fee atau bunga atas pinjaman tanpa jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang secara kontraktual jatuh tempo dalam 30 (tiga puluh) hari, arus kas masuk dapat diperhitungkan sebagai arus kas masuk dalam perhitungan LCR. (4) Fasilitas kredit yang diperjanjikan untuk diperpanjang (revolving credit facilities) tidak dapat diperhitungkan sebagai arus kas masuk dalam perhitungan LCR. Pasal 44 Tingkat penerimaan dari tagihan kepada nasabah perorangan dan tagihan kepada Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf a yang berasal dari pembayaran pokok dan bunga atas kredit dengan kualitas Lancar ditetapkan 50% (lima puluh persen) dari nilai kontraktual. - 34 - Pasal 45 (1) Tingkat penerimaan dari tagihan kepada lembaga jasa keuangan dan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf b angka 1 ditetapkan: a. tingkat penerimaan yang berasal dari pembayaran pokok dan bunga atas kredit dengan kualitas Lancar ditetapkan 100% (seratus persen) dari nilai kontraktual; b. tingkat penerimaan yang berasal dari surat berharga yang tidak diperhitungkan sebagai HQLA dengan sisa jangka waktu kurang dari 30 (tiga puluh) hari ditetapkan 100% (seratus persen) dari nilai kontraktual; (2) Tingkat penerimaan dari penempatan dana pada Bank lain untuk keperluan aktivitas operasional ditetapkan 0% (nol persen) dari nilai kontraktual. Pasal 46 Tingkat penerimaan dari tagihan kepada nasabah korporasi non-keuangan, Pemerintah Pusat, pemerintah negara lain, entitas sektor publik, dan bank pembangunan multilateral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf b angka 2 ditetapkan: a. tingkat penerimaan yang berasal dari pembayaran pokok dan bunga atas kredit dengan kualitas Lancar ditetapkan 50% (lima puluh persen) dari nilai kontraktual; dan/atau b. tingkat penerimaan yang berasal dari surat berharga yang tidak diperhitungkan sebagai HQLA dengan sisa jangka waktu kurang dari 30 (tiga puluh) hari ditetapkan 100% (seratus persen) dari nilai kontraktual. - 35 - Bagian Keempat Arus Kas Masuk Lainnya Pasal 47 Bank wajib menghitung arus kas masuk lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf c yang bersumber dari: a. tagihan transaksi derivatif; dan b. tagihan kontraktual lainnya. Pasal 48 (1) Tingkat penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf a ditetapkan 100% (seratus persen) dari nilai tagihan transaksi derivatif. (2) Dalam hal Bank menyerahkan agunan berupa HQLA dalam transaksi derivatif, perhitungan arus kas masuk dari tagihan transaksi derivatif harus dikurangi dengan nilai agunan yang diberikan. Pasal 49 Tingkat penerimaan dari tagihan kontraktual lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf b ditetapkan 50% (lima puluh persen) dari nilai tagihan. Pasal 50 (1) Dalam penyusunan laporan konsolidasi bagi bank yang beroperasi secara lintas batas (cross border) ditetapkan: a. tingkat penarikan yang digunakan untuk nasabah korporasi mengikuti negara tempat bank asal (home country); dan b. tingkat penarikan yang digunakan untuk nasabah perorangan atau Usaha Mikro dan Usaha Kecil mengikuti negara tempat cabang bank beroperasi (host country). (2) Tingkat penarikan yang digunakan untuk nasabah perorangan atau Usaha Mikro dan Usaha Kecil - 36 - sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat menggunakan tingkat penarikan berdasarkan negara asal (home country), apabila memenuhi kriteria: a. tidak ada persyaratan untuk Simpanan perorangan serta Usaha Mikro dan Usaha Kecil pada negara tempat cabang bank beroperasi (host country); b. kantor cabang bank beroperasi di negara yang belum menerapkan LCR; dan/atau c. diskresi otoritas pengawas perbankan dari negara asal (home country) untuk menerapkan tingkat penarikan pada negara asal (home country) apabila tingkat penarikan lebih ketat daripada persyaratan pada negara tempat cabang Bank beroperasi (host country). Pasal 51 Selain kewajiban menghitung LCR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank memantau kondisi dan kecukupan likuiditas dengan menggunakan indikator tertentu. BAB V PERHITUNGAN DAN PELAPORAN LCR Bagian Kesatu Umum Pasal 52 Bank wajib melakukan perhitungan dan pelaporan LCR baik individual maupun konsolidasi secara: a. harian; b. bulanan; dan c. triwulanan. - 37 - Bagian Kedua Perhitungan dan Laporan LCR Harian Pasal 53 (1) Kewajiban perhitungan LCR harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf a mulai berlaku sejak: a. 1 April 2017, untuk Bank yang termasuk dalam kelompok BUKU 4 dan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri; dan b. 1 Oktober 2017, untuk Bank yang termasuk dalam kelompok BUKU 3 dan bank asing selain kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. (2) Bank wajib menyampaikan laporan LCR harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf a secara online melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan. (3) Tata cara pelaporan LCR harian secara online sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan surat edaran Otoritas Jasa Keuangan. (4) Dalam hal sistem pelaporan harian LCR secara online sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum tersedia dan/atau terdapat kondisi tertentu, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Bank menyampaikan laporan harian secara offline. Bagian Ketiga Perhitungan dan Laporan LCR Bulanan Pasal 54 (1) Bank wajib menyusun laporan LCR bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf b berdasarkan rata-rata harian laporan. (2) Dalam hal Bank belum diwajibkan untuk melakukan perhitungan LCR secara harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1), Bank dapat menghitung nilai LCR bulanan berdasarkan posisi - 38 - akhir bulan laporan. Pasal 55 (1) Bank wajib menyampaikan laporan LCR bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf b secara online melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam hal sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia, Bank wajib menyampaikan laporan LCR bulanan secara offline. (3) Bank wajib menyampaikan laporan LCR bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat: a. 15 (lima belas) hari setelah akhir bulan laporan, untuk laporan LCR bulanan individual; dan b. 30 (tiga puluh) hari setelah akhir bulan laporan, untuk laporan LCR bulanan secara konsolidasi. (4) Penyampaian laporan LCR bulanan secara offline sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada: a. Departemen Pengawasan Bank terkait atau Kantor Regional 1 Jabodetabek, Banten, Lampung, dan Kalimantan, bagi Bank yang berkantor pusat atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang berada di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) serta Provinsi Banten; atau b. Kantor Regional atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), serta Provinsi Banten. (5) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) jatuh pada hari Sabtu, Minggu, dan/atau hari libur, laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya. - 39 - Pasal 56 (1) Kewajiban penyampaian laporan LCR bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf b pertama kali dilakukan untuk posisi laporan: a. tanggal 31 Desember 2015, untuk Bank yang termasuk dalam kelompok BUKU 4 dan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri; dan b. tanggal 30 Juni 2016, untuk Bank yang termasuk dalam kelompok BUKU 3 dan bank asing selain kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. (2) Penyusunan laporan LCR bulanan menggunakan format sebagaimana Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Bagian Keempat Perhitungan dan Laporan LCR Triwulanan Pasal 57 (1) Bank wajib menghitung dan mempublikasikan laporan LCR triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf c berdasarkan rata-rata harian laporan. (2) Dalam hal Bank belum diwajibkan untuk melakukan perhitungan LCR secara harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1), Bank dapat menghitung nilai LCR triwulanan berdasarkan rata- rata posisi akhir bulan laporan. (3) Bank wajib mempublikasikan perhitungan dan/atau nilai LCR triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk posisi bulan Maret, bulan Juni, bulan September, dan bulan Desember. (4) Bank wajib mempublikasikan perhitungan dan/atau nilai LCR triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf c melalui: a. situs web Bank untuk perhitungan dan nilai LCR - 40 - secara triwulanan; dan b. paling sedikit 1 (satu) surat kabar harian cetak berbahasa Indonesia yang memiliki peredaran luas dan secara online bersamaan dengan laporan publikasi triwulanan. (5) Kewajiban publikasi perhitungan dan nilai LCR triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dilakukan paling lambat: a. tanggal 15 bulan kedua setelah berakhirnya bulan laporan, untuk laporan posisi akhir bulan Maret, Juni, dan September; b. akhir bulan Maret tahun berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan, untuk laporan posisi akhir bulan Desember. (6) Tata cara, format, dan jangka waktu publikasi nilai LCR triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilakukan sesuai tata cara, format, dan jangka waktu publikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai transparansi dan publikasi laporan Bank. (7) Bank wajib memelihara pengumuman laporan LCR triwulanan pada situs web Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a paling kurang untuk 5 (lima) tahun buku terakhir. Pasal 58 (1) Kewajiban publikasi perhitungan dan nilai LCR triwulanan melalui situs web Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (4) huruf a pertama kali dilakukan untuk posisi laporan: a. bulan Maret 2016, untuk Bank yang termasuk dalam kelompok BUKU 4 dan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri; dan b. bulan September 2016, untuk Bank yang termasuk dalam kelompok BUKU 3 dan bank asing selain kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. - 41 - (2) Penyusunan laporan perhitungan LCR triwulanan sebagaimana format pada Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 59 (1) Kewajiban publikasi nilai LCR triwulanan melalui surat kabar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (4) huruf b pertama kali dilakukan untuk posisi laporan bulan Maret 2019. (2) Bank dinyatakan tidak mempublikasikan nilai LCR triwulanan melalui surat kabar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila dalam laporan publikasi triwulanan yang diumumkan tidak mencantumkan informasi mengenai nilai LCR. Bagian Kelima Pelaporan bagi Bank yang Berpindah Kelompok Pasal 60 (1) Bank yang termasuk dalam kelompok BUKU 1 dan BUKU 2 yang pada awalnya tidak diwajibkan memenuhi ketentuan LCR, kemudian menjadi Bank yang termasuk dalam kelompok BUKU 3, BUKU 4 atau bank asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, wajib menghitung dan menyampaikan laporan LCR. (2) Kewajiban penyampaian laporan LCR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan: a. laporan LCR bulanan dilakukan pertama kali pada bulan ketiga sejak dinyatakan sebagai Bank yang termasuk dalam kelompok BUKU 3, BUKU 4 atau bank asing; b. laporan LCR triwulanan dilakukan pertama kali pada periode triwulanan berikutnya setelah menyampaikan laporan bulanan sebagaimana dimaksud pada huruf a. - 42 - (3) Dalam hal terdapat Bank yang termasuk dalam kelompok BUKU 3, BUKU 4 atau bank asing kemudian menjadi Bank yang tidak termasuk dalam kelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Bank tetap wajib memenuhi ketentuan perhitungan dan pelaporan LCR sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB VI TAHAPAN PEMENUHAN LCR Pasal 61 (1) Kewajiban pemenuhan LCR dilakukan secara bertahap. (2) Tahapan pemenuhan LCR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling sedikit: 1. bagi Bank yang termasuk dalam kelompok BUKU 4 dan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri: a. 70% (tujuh puluh persen) sejak tanggal 31 Desember 2015; b. 80% (delapan puluh persen) sejak tanggal 31 Desember 2016; c. 90% (sembilan puluh persen) sejak tanggal 31 Desember 2017; dan d. 100% (seratus persen) sejak tanggal 31 Desember 2018; 2. bagi Bank yang termasuk dalam kelompok BUKU 3 dan bank asing selain kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri: a. 70% (tujuh puluh persen) sejak tanggal 30 Juni 2016; b. 80% (delapan puluh persen) sejak tanggal 30 Juni 2017; c. 90% (sembilan puluh persen) sejak tanggal 31 Desember 2017; dan d. 100% (seratus persen) sejak tanggal 31 Desember 2018. - 43 - (3) Bank wajib memenuhi LCR sebagaimana tahapan dimaksud pada ayat (2). Pasal 62 Bank wajib menginformasikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan melakukan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 mengenai kondisi likuiditas Bank dalam hal tidak mampu dan/atau berpotensi tidak memenuhi LCR sesuai dengan tahapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2). BAB VII SANKSI Pasal 63 Bank yang tidak memenuhi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 3 ayat (2), Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (2), Pasal 13 ayat (1), Pasal 15 ayat (1), Pasal 16, Pasal 19, Pasal 23, Pasal 26 ayat (1), Pasal 27, Pasal 28 ayat (1), Pasal 29, Pasal 36 ayat (1), Pasal 36 ayat (4), Pasal 41 ayat (1), Pasal 41 ayat (2), Pasal 43 ayat (1), Pasal 43 ayat (2), Pasal 47, Pasal 52, Pasal 53 ayat (2), Pasal 54 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 55 ayat (2), Pasal 55 ayat (3), Pasal 57 ayat (1), Pasal 57 ayat (3), Pasal 57 ayat (4), Pasal 57 ayat (7), Pasal 60 ayat (1), Pasal 60 ayat (3), Pasal 61 ayat (3) atau Pasal 62, dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. larangan transfer laba bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri; c. penundaan pembagian dividen atas seluruh kepemilikan saham dari pemegang saham yang melakukan setoran modal; d. pembekuan kegiatan usaha tertentu; e. larangan pembukaan jaringan kantor; f. penurunan tingkat kesehatan Bank; dan/atau - 44 - g. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham Bank dalam daftar orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan pengurus Bank sesuai ketentuan yang mengatur mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). Pasal 64 Selain sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63, Bank yang terlambat menyampaikan laporan LCR bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan atau paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pasal 65 Bank yang tidak mencantumkan nilai LCR dalam laporan publikasi triwulanan dikenakan sanksi sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai transparansi dan publikasi laporan Bank. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 66 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 45 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 23 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 23 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 369 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 42 /POJK.03/2015 TENTANG KEWAJIBAN PEMENUHAN RASIO KECUKUPAN LIKUIDITAS (LIQUIDITY COVERAGE RATIO) BAGI BANK UMUM I. UMUM Pengalaman krisis keuangan dan ekonomi yang terjadi di berbagai negara pada tahun 2008 menunjukkan bahwa meskipun permodalan Bank memadai namun apabila tidak memiliki likuiditas yang cukup untuk menghadapi tekanan atau stres maka dapat mengganggu kelangsungan usaha Bank. Kecukupan likuiditas yang memadai dapat dipenuhi dengan memelihara kecukupan aset likuid berkualitas tinggi (High Quality liquid Asset/HQLA) yang tidak terikat (unencumbered). Aset likuid diklasifikasikan sebagai aset berkualitas tinggi jika kemampuan aset tersebut dalam menghasilkan likuiditas akan tetap utuh baik melalui penjualan maupun repo, meskipun dalam kondisi stres yang terjadi pada Bank secara individu (idiosyncratic) maupun kondisi stres yang meluas dan terjadi di pasar keuangan secara keseluruhan yang dapat bersifat domestik maupun internasional (market-wide shock). Tingkat likuiditas suatu aset akan bergantung pada skenario stres yang mendasari, nilai nominal yang akan diuangkan, dan jangka waktu pencairan aset. Dengan demikian seperti halnya permodalan, dibutuhkan suatu standar perhitungan rasio likuiditas untuk mengukur level minimum likuiditas yang harus dipelihara oleh Bank dan disesuaikan dengan standar internasional yang berlaku yaitu Basel III: The Liquidity - 2 - Coverage Ratio and Liquidity Risk Monitoring Tools. Penetapan LCR bertujuan untuk memastikan bahwa Bank memiliki kecukupan persediaan HQLA yang tidak terikat (unencumbered) yang terdiri dari kas dan/atau aset yang dapat dengan mudah dan segera dikonversi menjadi kas dengan sedikit atau tanpa pengurangan nilai untuk memenuhi kebutuhan likuiditas Bank dalam periode 30 (tiga puluh) hari skenario stres. Persediaan HQLA yang tidak terikat (unencumbered) yang dimiliki Bank paling tidak dapat membuat Bank mampu bertahan selama 30 (tiga puluh) hari dalam skenario stres, karena diasumsikan setelah 30 (tiga puluh) hari Bank telah dapat melakukan tindakan perbaikan yang seharusnya atau Bank telah berhenti melakukan kegiatan usaha sesuai mekanisme yang berlaku. Periode 30 (tiga puluh) hari tersebut juga diharapkan dapat memberikan waktu bagi Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan tindakan tertentu yang dipandang perlu. Selain itu, Bank juga harus menyadari adanya potensi kesenjangan (mismatch) yang dapat terjadi dalam periode 30 (tiga puluh) hari kedepan dan memastikan bahwa Bank memiliki persediaan HQLA yang memadai untuk menutup gap arus kas yang terjadi selama periode waktu tersebut karena adanya ketidakpastian waktu terhadap arus kas masuk maupun arus kas keluar. Skenario perhitungan LCR merupakan kombinasi dari idiosyncratic maupun market-wide shock, yang akan menyebabkan: a. penarikan sebagian dari Simpanan nasabah perorangan (retail deposit); b. hilangnya sebagian kapasitas untuk mendapatkan Pendanaan yang berasal dari nasabah korporasi (unsecured wholesale funding); c. hilangnya sebagian dari sumber Pendanaan jangka pendek yang dijamin dengan agunan dan pihak lawan (counterparty) tertentu; d. adanya tambahan arus kas keluar kontraktual akibat dari penurunan peringkat Bank sampai dengan 3 (tiga) level peringkat (notches), termasuk persyaratan agunan; e. peningkatan volatilitas pasar yang berdampak pada kualitas agunan atau potensi risiko ke depan untuk produk derivatif sehingga memerlukan pengurangan nilai (haircut) agunan yang - 3 - f. lebih besar, tambahan agunan atau kebutuhan likuiditas yang lainnya; g. penarikan komitmen kredit yang tidak terjadwal dan fasilitas likuiditas yang disediakan Bank kepada pihak ketiga; dan h. potensi kebutuhan Bank untuk membeli kembali utang atau kewajiban non-kontraktual untuk kepentingan mitigasi risiko reputasi. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan pengaturan mengenai Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas (Liquidity Coverage Ratio/LCR) bagi Bank Umum. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) LCR dihitung dengan formula sebagai berikut: HQLA ≥ 100% Total Net Cash Outflow dalam 30 hari kedepan Selain menghitung LCR, Bank melakukan pengujian ketahanan dalam kondisi stres (stress test) berdasarkan skenario tersendiri mengenai hal-hal yang dapat mengganggu aktivitas bisnis Bank, dengan menggunakan jangka waktu yang lebih panjang dari jangka waktu LCR. Dalam hal diperlukan, hasil stress test dapat disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka menilai kemampuan likuiditas Bank yang bersangkutan. Ayat (3) Konversi mata uang asing menjadi Rupiah dilakukan dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas. - 4 - Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Langkah-langkah yang diperlukan antara lain berupa langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 2. Ayat (3) Dalam memberikan persetujuan, Otoritas Jasa Keuangan akan mempertimbangkan berbagai faktor, seperti kondisi ekonomi saat ini, kondisi ekonomi dan keuangan ke depan, dampaknya terhadap kestabilan sistem keuangan serta ketersediaan sumber Pendanaan darurat (contingency funding). Otoritas Jasa Keuangan akan melakukan penilaian terhadap kondisi kesehatan dan profil risiko Bank serta laporan analisis atas kondisi likuiditas Bank sebagaimana disyaratkan pada ayat (2) huruf a. Pasal 4 Yang dimaksud dengan “pengendalian” adalah pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai transparansi dan publikasi laporan Bank. Yang dimaksud dengan “perusahaan anak” adalah badan hukum atau perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh Bank secara langsung maupun tidak langsung, baik di dalam maupun di luar negeri, yang melakukan kegiatan usaha di bidang keuangan, yang terdiri atas: - 5 - a. perusahaan subsidiari (subsidiary company) yaitu perusahaan anak dengan kepemilikan Bank lebih dari 50% (lima puluh persen); b. perusahaan partisipasi (participation company) adalah perusahaan anak dengan kepemilikan Bank sebesar 50% (lima puluh persen) atau kurang namun Bank memiliki pengendalian terhadap perusahaan; c. perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) yang memenuhi persyaratan, yaitu: 1) kepemilikan Bank dan para pihak lainnya pada perusahaan anak adalah masing-masing sama besar; dan 2) masing-masing pemilik melakukan pengendalian secara bersama terhadap perusahaan anak; dan d. entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi keuangan wajib dikonsolidasikan, namun tidak termasuk perusahaan asuransi dan perusahaan yang dimiliki dalam rangka restrukturisasi kredit. Pasal 5 Yang dimaksud dengan “Bank dalam kelompok BUKU 3 dan BUKU 4” adalah sebagaimana terdapat dalam ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti Bank. Yang dimaksud dengan “bank asing” adalah: 1. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri; 2. bank umum berbentuk badan hukum Indonesia yang lebih dari 50% (lima puluh persen) sahamnya dimiliki oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing baik secara sendiri atau secara bersama-sama; dan/atau 3. bank yang dimiliki baik secara sendiri atau bersama-sama oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing kurang dari 50% (lima puluh persen) namun terdapat pengendalian oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing tersebut. - 6 - Pasal 6 Ayat (1) Aset yang dapat diperhitungkan sebagai HQLA merupakan aset yang dimiliki oleh Bank pada saat perhitungan LCR tanpa memperhatikan sisa jangka waktu aset yang diperhitungkan. Atas aset yang diperhitungkan sebagai HQLA, dimungkinkan dilakukan lindung nilai (hedging) namun Bank harus memperhitungkan arus kas keluar (cash outflow) akibat pembatalan perjanjian karena penjualan aset tersebut. Ayat (2) Penyusunan kebijakan mengenai HQLA bertujuan agar Bank dapat menentukan komposisi persediaan HQLA secara harian. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) HQLA Level 1 dan HQLA Level 2A idealnya memenuhi persyaratan bank sentral (central bank eligible) untuk mendapatkan fasilitas likuiditas intra-hari (intraday liquidity facilities) dan fasilitas likuiditas overnight (overnight liquidity facilities). Contoh aset yang memenuhi central bank eligible adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia atau Pemerintah Pusat, namun dipenuhinya persyaratan central bank eligibility tidak serta merta menjadi dasar pengkategorian aset menjadi HQLA. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Perhitungan batas maksimum HQLA Level 2 dan HQLA Level 2B ditentukan setelah penerapan pengurangan nilai (haircut) sesuai jenis aset serta memasukkan pengaruh adanya unwind Securities Financing Transaction (SFT) jangka pendek dan transaksi collateral swap yang jatuh tempo dalam 30 (tiga puluh) hari yang melibatkan pertukaran HQLA. - 7 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 8 Aset yang pada awalnya termasuk dalam kategori HQLA namun kemudian tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai HQLA, misalnya karena penurunan peringkat (rating), Bank diberikan waktu tambahan 30 (tiga puluh) hari untuk menyesuaikan jumlah HQLA atau mengganti aset tersebut dengan aset lainnya yang memenuhi kriteria HQLA. Selama periode dimaksud, Bank diperkenankan untuk tetap memperhitungkan aset tersebut sebagai HQLA. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Aset keuangan yang memiliki risiko rendah cenderung memiliki tingkat likuiditas yang lebih tinggi, antara lain dicerminkan dari peringkat (rating) penerbit yang tinggi, tingkat subordinasi yang rendah, durasi yang rendah, risiko hukum yang rendah, risiko inflasi dan risiko nilai tukar yang rendah. Huruf b Penilaian yang mudah dan pasti dicerminkan dari perumusan harga HQLA yang mudah dihitung, tidak bergantung pada asumsi tertentu, dan data yang digunakan harus tersedia pada publik. Umumnya berupa aset dengan struktur yang standar, homogen, dan sederhana karena cenderung mudah dipertukarkan. Oleh karena itu, aset berupa structured product dan exotic product tidak diperhitungkan sebagai HQLA. Huruf c Contoh aset berisiko adalah aset yang diterbitkan oleh lembaga keuangan. Aset tersebut akan cenderung - 8 - menjadi tidak likuid pada saat terjadi stres likuiditas di sektor perbankan. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan memiliki “pasar yang aktif dan memadai” adalah aset tersebut harus memiliki pasar repo atau jual putus (outright sale) yang aktif sepanjang waktu, yang antara lain ditunjukkan dengan: 1. terdapat bukti historis mengenai keluasan pasar (market breadth) dan kedalaman pasar (market depth) antara lain: a) rendahnya spread antara bid dan ask price; b) tingginya volume perdagangan; c) banyak dan beragamnya jumlah peserta pasar; dan/atau 2. terdapat infrastruktur pasar yang handal. Huruf b Volatilitas pasar yang rendah tercermin melalui volatilitas harga dan spread perdagangan, antara lain ditunjukkan dengan harga yang cenderung stabil dan tidak mengalami penurunan harga signifikan yang terlihat dari data historis mengenai stabilitas pasar, yaitu harga dan pengurangan nilai, dan volume perdagangan selama periode stres. Huruf c Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam menilai flight to quality adalah dengan menilai korelasi antara likuiditas pasar dengan kondisi stres pada sistem perbankan. Ayat (3) Persyaratan operasional dirancang untuk memastikan bahwa persediaan HQLA dikelola dengan baik sehingga Bank dapat mencairkan aset tersebut menjadi kas, baik melalui repo maupun penjualan, untuk memenuhi gap antara arus kas masuk (cash inflows) dan arus kas keluar (cash outflows) - 9 - selama periode 30 (tiga puluh) hari stres tanpa adanya hambatan untuk memenuhi kecukupan likuiditas. Huruf a Yang dimaksud dengan bebas dari segala klaim antara lain tidak sedang menjadi underlying repo, bebas dari tuntutan hukum, batasan regulasi dan perjanjian, serta batasan lain yang membatasi kemampuan Bank untuk melikuidasi, menjual, mentransfer, menggunakan atau menetapkan suatu aset. Contoh aset yang disimpan atau diperjanjikan dengan Bank Indonesia namun belum digunakan untuk menghasilkan likuiditas adalah giro wajib minimum sekunder. Huruf b Biaya operasional antara lain biaya sewa dan biaya gaji pegawai. Huruf c Contoh aset yang dapat digunakan secara legal dan kontraktual oleh Bank pada saat terjadinya kondisi stres antara lain aset yang diterima dalam reverse repo dan securities financing transaction (SFT) yang dipegang oleh Bank, belum diagunkan kembali, dan yang secara legal serta kontraktual dapat digunakan oleh Bank untuk menghasilkan arus kas pada saat kondisi stres, dapat diperhitungkan sebagai HQLA. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Prosedur dan sistem yang memadai dalam hal ini termasuk terdapatnya fungsi atau bagian khusus yang memiliki akses terhadap seluruh informasi yang dibutuhkan untuk melakukan pencairan aset setiap saat. Proses pencairan aset harus dapat dilakukan secara operasional dengan jangka waktu penyelesaian yang wajar untuk jenis aset tersebut. - 10 - Huruf f Fungsi khusus yang bertanggung jawab mengelola likuiditas Bank yang dimaksud dalam huruf ini antara lain satuan kerja treasury. Bank harus memiliki standar operasional prosedur terkait pengendalian tersebut dan terdapatnya pengendalian harus dibuktikan melalui: (i) pengelolaan aset secara terpisah yang bertujuan hanya sebagai sumber dana rencana pendanaan darurat (contigency funding plan); atau (ii) proses pencairan aset dapat dilakukan setiap saat selama 30 (tiga puluh) hari kondisi stres tanpa menimbulkan konflik secara langsung dengan bisnis atau strategi manajemen risiko. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Kelebihan (surplus) HQLA dari persyaratan minimum likuiditas yang dimiliki perusahaan anak hanya dapat dimasukkan dalam perhitungan LCR secara konsolidasi apabila aset tersebut dapat digunakan oleh entitas induk tanpa hambatan apapun pada saat terjadi stres. Hambatan tersebut antara lain dapat berasal dari aspek ketentuan, hukum, pajak, akuntansi maupun hambatan lainnya seperti kontrol mata uang asing atau mata uang domestik yang tidak dapat dikonversi menjadi mata uang lain (non-convertibility of local currency). Aset perusahaan anak yang tidak memiliki akses pasar hanya dapat dimasukkan dalam HQLA jika dapat dengan bebas dipindahkan ke entitas induk. Dalam kondisi tidak terdapat pasar repo yang aktif dan memadai untuk suatu aset maka Bank tidak boleh mengkategorikan aset sebagai HQLA apabila terdapat hambatan dalam proses jual putus, misalnya terjadi penurunan harga yang sangat besar. - 11 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Perhitungan ATMR untuk risiko kredit menggunakan pendekatan standar mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai perhitungan ATMR untuk risiko kredit dengan menggunakan pendekatan standar. Angka 2 Yang dimaksud dengan pasar antara lain pasar uang dan pasar repo. Angka 3 Contoh: Apabila pengurangan nilai (haircut) 17% (tujuh belas persen) maka peningkatan pengurangan nilai (haircut) paling tinggi adalah: 17% + 10% = 27%. Angka 4 Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Penggunaan peringkat mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui oleh Otoritas Jasa - 12 - Keuangan. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Contoh: Apabila pengurangan nilai (haircut) 17% (tujuh belas persen) maka peningkatan pengurangan nilai (haircut) paling tinggi adalah: 17% + 10% = 27%. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Penggunaan peringkat mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan. Angka 4 Yang dimaksud dengan pasar antara lain pasar uang dan pasar repo. Angka 5 Contoh: Apabila pengurangan nilai (haircut) 17% (tujuh belas persen) maka peningkatan pengurangan nilai (haircut) paling tinggi adalah: 17% + 20% = 37%. Angka 6 Pengertian kredit beragun rumah tinggal mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai perhitungan ATMR untuk risiko kredit dengan menggunakan pendekatan standar. - 13 - Angka 7 Contoh pinjaman yang tergolong full recourse adalah dalam hal terjadi penyitaan aset oleh Bank karena debitur mengalami gagal bayar sehingga atas aset tersebut dilakukan penjualan maka debitur tetap bertanggung jawab atas segala kekurangan hasil penjualan dari aset terhadap utang debitur. Angka 8 Risk retention dilakukan antara lain dengan penerbit efek beragun aset tetap mempertahankan kepemilikan dari aset yang disekuritisasi. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Penggunaan peringkat mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Contoh: Apabila pengurangan nilai (haircut) 17% (tujuh belas persen) maka peningkatan pengurangan nilai (haircut) paling tinggi adalah: 17% + 20% = 37%. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. - 14 - Huruf b Yang dimaksud dengan “Usaha Mikro dan Usaha Kecil” adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai usaha mikro, kecil, dan menengah. Huruf c Yang dimaksud dengan “Pendanaan yang berasal dari nasabah korporasi” adalah kewajiban dan komitmen Bank kepada korporasi yang berbadan hukum, termasuk perusahaan perseorangan dan partnership yang tidak dijamin dengan suatu hak secara hukum atas aset tertentu yang dimiliki oleh Bank apabila terjadi kebangkrutan, ketidakmampuan memenuhi kewajiban (insolvency), likuidasi atau resolusi. Huruf d Yang dimaksud dengan “Pendanaan dengan agunan (secured funding)” adalah kewajiban yang dijamin dengan suatu hak secara hukum atas aset tertentu yang dimiliki oleh Bank apabila terjadi kebangkrutan, ketidakmampuan memenuhi kewajiban (insolvency), likuidasi atau resolusi. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “tingkat penarikan (run-off rate)” adalah tingkat prediksi penarikan kewajiban Bank berdasarkan skenario tertentu. Pasal 14 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penalti dikatakan signifikan apabila penalti dimaksud lebih besar dari pada bunga Simpanan sehingga memotong pokok Simpanan. - 15 - Huruf c Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Lembaga Penjamin Simpanan” adalah sebagaimana dalam Undang-Undang mengenai lembaga penjamin simpanan. Skema penjaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan yang diakui apabila memenuhi persyaratan: (i) memiliki kemampuan untuk melakukan pembayaran segera; (ii) kriteria penjaminan dapat didefinisikan dengan jelas; dan (iii) kesadaran publik akan program penjaminan tersebut tinggi. Kriteria Simpanan yang memenuhi kriteria penjaminan mengacu pada ketentuan Lembaga Penjamin Simpanan. Huruf a Yang dimaksud dengan hubungan atau keterkaitan dengan Bank antara lain: 1. nasabah mempunyai paling sedikit 1 (satu) produk aktif tambahan selain fasilitas kredit dengan Bank; 2. nasabah memperoleh fasilitas kredit dari Bank dengan jangka waktu lebih dari 3 (tiga) bulan; dan/atau 3. nasabah adalah pihak terkait Bank. Yang dimaksud dengan “pihak terkait Bank” adalah pihak terkait sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai batas maksimum pemberian kredit Bank umum. - 16 - Huruf b Contoh rekening Simpanan yang digunakan untuk keperluan transaksi secara rutin antara lain rekening untuk penerimaan penghasilan baik berupa gaji atau hasil usaha. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Apabila Bank tidak dapat mengidentifikasi Simpanan nasabah perorangan yang termasuk dalam kriteria stabil maka Simpanan nasabah perorangan tersebut seluruhnya harus diklasifikasikan sebagai Simpanan kurang stabil. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) - 17 - Huruf a Yang dimaksud dengan “kegiatan kliring” dalam ketentuan ini adalah suatu bentuk penyediaan jasa yang memungkinkan nasabah untuk mentransfer dana atau surat berharga secara tidak langsung melalui pelaku kliring dalam sistem kliring nasional kepada penerima yang diinginkan. Jasa dalam kegiatan kliring yang disediakan terbatas pada: a. transmisi dana, rekonsiliasi dan konfirmasi atas perintah pembayaran; b. cerukan intra-hari (intraday), fasilitas Pendanaan overnight, dan pemeliharaan saldo setelah penyelesaian (post settlement); dan c. penentuan posisi intra-hari (intraday) dan penyelesaian akhir transaksi. Yang dimaksud dengan “kegiatan kustodian” dalam ketentuan ini adalah penyediaan jasa berupa penyimpanan, pelaporan, pengelolaan aset dan hal-hal lain yang sifatnya operasional dan administratif atas nama nasabah dalam rangka transaksi aset keuangan. Jasa dalam kegiatan kustodian yang disediakan terbatas pada: a. penyelesaian transaksi penjualan dan pembelian sekuritas; b. transfer atas pembayaran kontraktual; c. pemrosesan agunan (the processing of collateral); d. penerimaan fee atas jasa cash management; e. menerima dividen dan pendapatan lainnya; f. pemesanan dan pelunasan dari klien (client subscriptions and redemptions); g. jasa wali amanat untuk aset dan korporasi (asset and corporate trust servicing); h. pengelolaan aset (treasury); i. jasa pelayanan rekening escrow; j. transfer dana, transfer saham dan jasa keagenan, termasuk juga jasa pembayaran dan penyelesaian - 18 - (tidak termasuk aktifitas correspondent banking); dan k. depository receipts. Yang dimaksud dengan “kegiatan cash management” dalam ketentuan ini adalah layanan berupa produk dan jasa kepada nasabah dalam mengelola arus kas (cashflow), aset, dan kewajiban serta transaksi keuangan yang dibutuhkan dalam operasi nasabah. Jasa dalam kegiatan cash management yang diberikan terbatas pada: a. pendebetan atau pemindahbukuan nasabah dalam rangka pembayaran tagihan atau kewajiban (payment remittance); b. konsolidasi (pooling) atau distribusi dana dari kantor cabang/jaringan operasional perusahaan (collection and aggregation of funds); c. jasa pembayaran gaji karyawan secara massal (payroll); dan d. pengendalian atas pencairan dana (control over the disbursement of funds). Angka 1 Contoh Simpanan yang wajib ditempatkan oleh nasabah pada Bank untuk menggunakan jasa atau produk Bank antara lain margin deposit dalam rangka kegiatan kustodian, kewajiban saldo minimum dalam kegiatan cash management dan kliring. Angka 2 Yang dimaksud dengan “bergantung secara signifikan” adalah nasabah menggunakan rekening pada Bank tersebut sebagai rekening utama dalam melakukan kegiatan kliring, kustodian, dan/atau cash management. Otoritas Jasa Keuangan sewaktu-waktu dapat melakukan pemeriksaan terhadap penentuan rekening utama. - 19 - Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Contoh Simpanan non-operasional dan/atau kewajiban lainnya yang bersifat non-operasional antara lain aktivitas correspondent banking atau jasa prime brokerage. Yang dimaksud dengan “aktivitas correspondent banking” adalah suatu aktivitas Bank (correspondent) yang bertindak sebagai pemegang deposit yang dimiliki oleh Bank lain (respondent) dan memberikan jasa pembayaran dalam rangka penyelesaian transaksi dalam mata uang asing, yaitu rekening nostro dan vostro yang digunakan untuk menyelesaikan transaksi dalam mata uang asing dari responden Bank dalam rangka kliring dan settlement. Yang dimaksud dengan “prime brokerage“ adalah suatu paket jasa yang ditawarkan kepada investor besar, khususnya perusahaan hedge funds. Jasa-jasa yang ditawarkan biasanya meliputi kliring, settlement, kustodian, pelaporan konsolidasi, pembiayaan, securities lending, dan analisis risiko. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. - 20 - Huruf b Contoh entitas lainnya antara lain Bank, perusahaan sekuritas, asuransi, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Huruf c Dalam hal surat berharga dijual secara ekslusif di pasar retail, dikelola dalam akun retail, dibeli dan dimiliki oleh nasabah perorangan (termasuk nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang diperlakukan sebagai nasabah perorangan) dapat diperlakukan sama seperti nasabah perorangan atau nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Angka 1 Entitas sektor publik dalam hal ini memiliki bobot risiko paling tinggi 20% (dua puluh persen) sebagaimana ketentuan yang mengatur mengenai perhitungan ATMR untuk risiko kredit dengan menggunakan pendekatan standar. Angka 2 Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. - 21 - Pasal 28 Ayat (1) Transaksi derivatif berupa option diasumsikan hanya akan direalisasi (di-exercise) pada saat terjadi “in the money” bagi pembeli option. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 29 Huruf a Untuk mengantisipasi penurunan peringkat (rating) Bank oleh lembaga pemeringkat yang diakui, dalam perjanjian yang berhubungan dengan derivatif dan transaksi lainnya pada umumnya ditambahkan klausul yang mensyaratkan untuk memberikan tambahan agunan, fasilitas penarikan kontijensi atau pembayaran dipercepat dari kewajiban yang ada. Penurunan peringkat berdampak pada semua agunan termasuk terhadap hak untuk mengagunkan kembali. Huruf b Dalam hal transaksi derivatif atau transaksi lainnya mensyaratkan agunan atas eksposur mark to market untuk transaksi dimaksud, Bank memiliki potensi peningkatan kebutuhan likuiditas akibat mark to market tersebut. Huruf c Dalam hal terdapat persyaratan agar setiap pihak dalam transaksi derivatif harus menjaga valuasi mark to market dari posisi transaksi dengan menggunakan agunan tertentu, Bank harus menghitung peningkatan kebutuhan likuiditas yang terkait dengan potensi perubahan nilai agunan. Dalam hal agunan berupa HQLA Level 1, Bank tidak perlu menghitung peningkatan kebutuhan likuiditas terkait dengan - 22 - perubahan nilai agunan. Huruf d Yang dimaksud dengan “non-segregated collateral” adalah agunan yang diterima oleh Bank namun pencatatannya tidak dipisahkan dari neraca Bank. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Aliran agunan bersih absolut didasarkan pada realisasi arus keluar (outflow) dan arus masuk (inflow). Pasal 32 Pengurangan nilai (haircut) yang dikenakan mengacu pada pengurangan nilai (haircut) sesuai perjanjian dengan pihak lawan (counterparty). Perhitungan arus kas keluar lainnya (additional requirement) dalam klasifikasi ini hanya dihitung apabila agunan yang diberikan kepada pihak lawan (counterparty) berupa agunan yang bukan HQLA Level 1. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. - 23 - Pasal 36 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Risiko kehilangan Pendanaan yang berasal dari asset- backed commercial paper, conduits, securities investment vehicles, dan fasilitas pembiayaan lain yang serupa antara lain namun tidak terbatas pada: 1. ketidakmampuan untuk membiayai utang yang jatuh tempo; dan 2. adanya derivatif atau komponen yang menyerupai derivatif yang secara kontraktual tertulis dalam dokumentasi yang terkait dengan struktur yang akan memungkinkan pengembalian aset dalam pembiayaan, atau yang mensyaratkan pihak yang mengalihkan aset asal (original asset transferor) untuk menyediakan likuiditas, yang secara efektif mengakhiri pembiayaan (liquidity puts) dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Aset yang berpotensi untuk dilunasi antara lain disebabkan karena adanya opsi bagi investor untuk melakukan penjualan kembali kepada penerbit. Ayat (4) Yang dimaksud dengan entitas bertujuan khusus misalnya special purpose vehicle (SPV), conduit atau structured investment vehicle (SIV). - 24 - Pasal 37 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kewajiban komitmen dalam bentuk fasilitas kredit” adalah perjanjian untuk melakukan penyediaan dana dimasa depan dalam bentuk kredit baik kepada individu maupun badan usaha yang bersifat tidak dapat dibatalkan (irrevocable) atau dapat dibatalkan dengan persyaratan tertentu (conditionally revocable). Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kewajiban komitmen dalam bentuk fasilitas likuiditas” adalah fasilitas yang belum ditarik yang digunakan untuk membiayai kembali (refinance) utang nasabah kepada pihak ketiga pada saat nasabah tersebut tidak dapat memperpanjang (roll over) utangnya di pasar keuangan. Kewajiban komitmen dalam bentuk fasilitas likuiditas yang diperhitungkan dalam perhitungan LCR adalah kewajiban komitmen dalam bentuk fasilitas likuiditas yang terkait dengan utang nasabah kepada pihak ketiga yang akan jatuh tempo dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kedepan. Dalam hal utang nasabah kepada pihak ketiga akan jatuh tempo lebih dari 30 (tiga puluh) hari kedepan, fasilitas tersebut dikategorikan sebagai kewajiban komitmen dalam bentuk fasilitas kredit. Contoh kewajiban komitmen dalam bentuk fasilitas kredit adalah kredit modal kerja. Segala bentuk fasilitas kewajiban komitmen yang diberikan kepada hedge funds, money market funds, special purpose vehicle (SPV) atau bentuk entitas lain yang bertujuan khusus untuk membiayai aset Bank sendiri harus dimasukkan dalam kategori fasilitas likuiditas kepada entitas lain. Kewajiban komitmen selain fasilitas likuiditas dikategorikan sebagai kewajiban komitmen dalam bentuk fasilitas kredit. Ayat (3) Agunan berupa HQLA yang telah digunakan sebagai pengurang arus kas keluar maka harus dikeluarkan dari - 25 - perhitungan HQLA. Perlakuan ini ditujukan untuk menghindari penghitungan ganda (double counting). Huruf a Contoh HQLA yang dijadikan agunan untuk menjamin fasilitas adalah fasilitas likuiditas sebagai fasilitas repo. Huruf b Syarat Bank berhak menggunakan kembali agunan untuk memperoleh dana baru antara lain harus didukung dengan aspek legal dan kemampuan operasional. Huruf c Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Huruf a Komitmen pinjaman seperti pembiayaan langsung impor dan ekspor untuk perusahaan non keuangan dikecualikan dari perhitungan ini dan Bank menerapkan tingkat penarikan seperti untuk komitmen fasilitas kredit. Contoh instrumen trade finance antara lain: 1. dokumen perdagangan menggunakan L/C, clean collection, documentary collection, import bills, dan export bills; dan 2. garansi yang terkait langsung dengan kewajiban trade finance seperti shipping guarantees. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. - 26 - Huruf e Antisipasi yang dilakukan oleh nasabah melalui ready marketability antara lain adjustable rate notes dan variable rate demand notes (VRDNs). Huruf f Kewajiban yang berasal dari dana kelolaan (managed funds) yang dijual dengan tujuan menjaga kestabilan nilai antara lain reksadana pasar uang atau jenis dana investasi (investment fund) lainnya yang memiliki nilai stabil. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 40 Contoh arus kas keluar kontraktual lainnya dalam 30 (tiga puluh) hari kedepan adalah arus keluar (outflow) untuk menutupi unsecured collateral borrowing, posisi short yang belum terpenuhi, dividen atau pembayaran bunga kontraktual. Arus kas keluar yang terkait dengan biaya operasional tidak termasuk dalam perhitungan. Pasal 41 Ayat (1) Aset yang telah dimasukkan sebagai HQLA tidak dapat diperhitungkan lagi sebagai arus kas masuk. Perlakuan ini ditujukan untuk menghindari penghitungan ganda (double counting). Huruf a Contoh transaksi pinjaman dengan agunan (secured lending) adalah reverse repo. Huruf b Cukup jelas. - 27 - Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Termasuk ke dalam tagihan komitmen (committed facility) adalah fasilitas kredit, fasilitas likuiditas, dan/atau fasilitas kontijensi lainnya dari entitas lain baik Bank maupun bukan Bank. LCR tidak memperhitungkan arus kas masuk yang bersumber dari tagihan komitmen (committed facility) fasilitas kredit dan likuiditas untuk mengurangi dampak risiko penularan kekurangan likuiditas pada satu Bank kepada Bank lain. Selain itu terdapat risiko Bank yang menyediakan fasilitas kredit dan/atau likuiditas dimaksud tidak akan memberikan fasilitas yang telah dijanjikan meskipun akan menyebabkan timbulnya risiko hukum dan reputasi, dalam rangka melindungi likuiditas Bank atau mengurangi eksposur kepada Bank. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh arus kas masuk kontraktual antara lain penerimaan bunga atau pelunasan kredit dari debitur. Arus kas masuk yang sifatnya kontijensi tidak termasuk dalam perhitungan arus kas masuk. Huruf a Penetapan kualitas “Lancar” mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset Bank umum. Huruf b Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “tingkat penerimaan (inflow rate)” adalah tingkat prediksi penerimaan tagihan Bank berdasarkan skenario tertentu. - 28 - Pasal 42 Ayat (1) Semakin tinggi jenis agunan yang mendasari, tingkat penerimaan semakin kecil karena diasumsikan Bank akan melakukan perpanjangan (roll over) atas fasilitas pinjaman dengan agunan (secured lending) yang diberikan. Meskipun terdapat asumsi perpanjangan (roll over), Bank harus tetap mengelola agunan dengan baik sehingga dapat memenuhi kewajiban untuk mengembalikan agunan apabila pihak lawan (counterparty) memutuskan untuk tidak melakukan perpanjangan (roll over). Khususnya jika agunan berupa bukan HQLA mengingat estimasi arus kas keluar tidak diperhitungkan dalam perhitungan LCR. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan nasabah lainnya selain lembaga jasa keuangan dan Bank Indonesia seperti korporasi non-keuangan, Pemerintah Pusat, pemerintah negara lain, entitas sektor publik, dan bank pembangunan multilateral. Ayat (2) Yang dimaksud “pinjaman tanpa jangka waktu tertentu” adalah pinjaman yang tidak memiliki jangka waktu (open maturity), diasumsikan bahwa pinjaman yang ada saat ini akan diperpanjang (roll over), dan diperlakukan sebagai fasilitas komitmen. Contoh pinjaman tanpa jangka waktu tertentu antara lain adalah pinjaman kartu kredit. Ayat (3) Cukup jelas. - 29 - Ayat (4) Cukup jelas Pasal 44 Penetapan kualitas “Lancar” mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset Bank umum. Pasal 45 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “aktivitas operasional” adalah kliring, kustodian, dan aktivitas cash management. Pasal 46 Huruf a Penetapan kualitas “Lancar” mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset Bank umum. Huruf b Cukup jelas. Pasal 47 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “tagihan kontraktual lainnya” adalah seluruh penerimaan arus kas masuk yang tidak tercakup dalam pinjaman dengan agunan (secured lending) dan tagihan berdasarkan pihak lawan (counterparty). Arus kas masuk yang terkait pendapatan non-keuangan tidak dapat diperhitungkan dalam arus masuk. Pasal 48 Ayat (1) Arus kas masuk dan arus kas keluar yang berasal dari transaksi derivatif dapat dihitung selisih bersih (net) berdasarkan pihak lawan (counterparty) dalam hal terdapat - 30 - valid master netting agreement. Perhitungan arus kas masuk dan arus kas keluar dari transaksi derivatif mengacu pada metode valuasi yang berlaku pada masing-masing Bank. Ayat (2) Apabila dalam transaksi derivatif Bank menyerahkan agunan berupa HQLA, dalam perhitungan estimasi arus kas masuk atas transaksi derivatif harus dikurangi dengan kewajiban kontraktual untuk menyerahkan kas atau agunan dimaksud. Hal ini sesuai prinsip bahwa Bank tidak boleh melakukan penghitungan ganda (double counting), perhitungan arus masuk maupun arus keluar. Pasal 49 Arus kas masuk yang terkait pendapatan non-keuangan tidak dapat diperhitungkan dalam perhitungan arus masuk. Pasal 50 Bank yang beroperasi secara lintas batas (cross border) harus dapat mengidentifikasi hambatan yang mungkin timbul dalam transfer likuiditas dan memonitor peraturan pada negara tempat cabang bank beroperasi (host country) serta menguji implikasi dari hambatan transfer likuiditas dan peraturan pada negara tempat cabang bank beroperasi (host country) terhadap kondisi likuiditas bank secara keseluruhan. Pasal 51 Yang dimaksud pemantauan kondisi dan kecukupan likuiditas dengan menggunakan indikator tertentu antara lain: 1. maturity mismatch secara kontraktual, yaitu pemantauan dengan menggunakan indikator maturity mismatch secara kontraktual bertujuan untuk mengidentifikasi gap antara arus masuk (inflows) dan arus keluar (outflows) kontraktual dalam kurun waktu tertentu. Gap berdasarkan jatuh tempo tersebut mengindikasikan potensi kebutuhan likuiditas Bank dalam kurun waktu tertentu apabila terjadi arus keluar (outflows); - 31 - 2. konsentrasi Pendanaan, yaitu pemantauan untuk mengidentifikasi sumber-sumber Pendanaan korporasi yang tergolong signifikan apabila terjadi penarikan dana akan menyebabkan permasalahan likuiditas. Indikator konsentrasi Pendanaan dilakukan melalui pemantauan terhadap: a. persentase sumber Pendanaan yang berasal dari pihak lawan (counterparty) yang tergolong signifikan terhadap total kewajiban Bank; Sumber Pendanaan yang berasal dari setiap pihak lawan (counterparty) yang tergolong signifikan dihitung berdasarkan agregasi dari total seluruh jenis kewajiban kepada satu pihak lawan (counterparty) tertentu atau kelompok usaha atau afiliasinya serta seluruh pinjaman langsung, yang dijamin dan tidak dijamin. Pihak lawan (counterparty) yang tergolong signifikan merupakan satu pihak lawan (counterparty) atau kelompok usaha atau afiliasi yang dicatat secara agregat memiliki Simpanan lebih dari 1% (satu persen) terhadap neraca Bank; b. persentase sumber Pendanaan yang berasal dari setiap produk atau instrumen yang tergolong signifikan terhadap total kewajiban; Sumber Pendanaan yang berasal produk atau instrumen dihitung untuk masing-masing produk atau instrumen Pendanaan yang tergolong signifikan dan secara kelompok untuk jenis produk atau instrumen yang serupa. Produk atau instrumen yang tergolong signifikan didefinisikan sebagai sebuah produk atau instrumen atau kelompok produk atau instrumen yang serupa yang secara agregat berjumlah lebih dari 1% (satu persen) terhadap neraca Bank; c. daftar jumlah aset dan kewajiban berdasarkan mata uang yang tergolong signifikan; Untuk dapat mengetahui jumlah ketidaksesuaian (mismatch) mata uang yang tergolong signifikan pada - 32 - aset dan kewajiban Bank, Bank harus memiliki daftar jumlah aset dan kewajiban untuk setiap mata uang yang tergolong signifikan. Suatu mata uang tergolong signifikan jika secara agregat denominasi dalam mata uang berjumlah 5% (lima persen) atau lebih dari total kewajiban Bank; 3. aset tidak terikat (unencumbered) yang tersedia, yaitu pemantauan melalui indikator aset tidak terikat (unencumbered) yang tersedia. Indikator aset tidak terikat (unencumbered) yang tersedia dilakukan melalui pemantauan terhadap: (i) aset tidak terikat (unencumbered) yang tersedia dan dapat digunakan sebagai agunan di pasar sekunder; dan (ii) aset tidak terikat (unencumbered) yang tersedia dan memenuhi persyaratan untuk mendapatkan fasilitas Pendanaan dari bank sentral (central bank eligible). Aset-aset tersebut berpotensi untuk digunakan sebagai agunan sehingga dapat diperhitungkan sebagai HQLA atau untuk memperoleh Pendanaan dari pasar sekunder atau bank sentral; 4. LCR berdasarkan jenis mata uang yang signifikan, yaitu pemantauan melalui indikator LCR berdasarkan jenis mata uang yang signifikan untuk memperoleh gambaran potensi ketidaksesuaian (mismatch) yang bersumber dari mata uang tertentu. Definisi dan perhitungan LCR untuk mata uang tertentu menggunakan perhitungan LCR namun tidak terdapat persyaratan minimal yang bersifat internasional. Suatu mata uang tergolong signifikan jika jumlah agregat kewajiban dalam mata uang tersebut mencapai 5% (lima persen) atau lebih dari total kewajiban Bank; 5. monitoring tools yang berkaitan dengan pasar dilakukan melalui pemantauan terhadap: a. informasi pasar; b. informasi sektor keuangan; dan c. informasi spesifik terkait Bank. - 33 - Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “Bank dalam kelompok BUKU 3 dan BUKU 4” adalah sebagaimana terdapat dalam ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti Bank. Huruf b Yang dimaksud dengan “bank asing” adalah: 1. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri; 2. bank umum berbentuk badan hukum Indonesia yang lebih dari 50% (lima puluh persen) sahamnya dimiliki oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing baik secara sendiri atau secara bersama-sama; dan/atau 3. bank yang dimiliki baik secara sendiri atau bersama-sama oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing kurang dari 50% (lima puluh persen) namun terdapat pengendalian oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan kondisi tertentu antara lain apabila Bank dalam kondisi stres. Pasal 54 Cukup jelas. - 34 - Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “Bank dalam kelompok BUKU 3 dan BUKU 4” adalah sebagaimana terdapat dalam ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti Bank. Huruf b Yang dimaksud dengan “bank asing” adalah: 1. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri; 2. bank umum berbentuk badan hukum Indonesia yang lebih dari 50% (lima puluh persen) sahamnya dimiliki oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing baik secara sendiri atau secara bersama-sama; dan/atau 3. bank yang dimiliki baik secara sendiri atau bersama-sama oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing kurang dari 50% (lima puluh persen) namun terdapat pengendalian oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 57 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) - 35 - Huruf a Pencantuman dalam situs web Bank dilakukan secara rinci dengan memuat perhitungan LCR. Huruf b Pencantuman dalam surat kabar harian cetak berbahasa Indonesia dilakukan dengan mencantumkan nilai LCR dalam bentuk perbandingan dengan nilai LCR triwulanan periode sebelumnya. Surat kabar harian cetak berbahasa Indonesia yang memiliki peredaran luas ditempat kedudukan kantor pusat Bank atau ditempat kedudukan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Contoh: Laporan LCR triwulanan posisi akhir bulan Maret 2016 wajib dipelihara di situs web Bank sampai dengan bulan Maret 2021. Pasal 58 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “Bank dalam kelompok BUKU 3 dan BUKU 4” adalah sebagaimana terdapat dalam ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti Bank. Huruf b Yang dimaksud dengan “bank asing” adalah: 1. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri; 2. bank umum berbentuk badan hukum Indonesia yang lebih dari 50% (lima puluh persen) sahamnya dimiliki oleh warga negara asing dan/atau badan - 36 - hukum asing baik secara sendiri atau secara bersama-sama; dan/atau 3. bank yang dimiliki baik secara sendiri atau bersama-sama oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing kurang dari 50% (lima puluh persen) namun terdapat pengendalian oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Ayat (1) Bank kelompok BUKU 1 dan BUKU 2 dapat menjadi Bank kelompok BUKU 3 atau BUKU 4 karena peningkatan modal atau menjadi bank asing. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 61 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Yang dimaksud dengan “bank asing” adalah: 1. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri; 2. bank asing subsidiari yaitu bank umum berbadan hukum Indonesia dengan kepemilikan warga negara asing dan/atau badan hukum asing melebihi 50% - 37 - (lima puluh persen) oleh satu pihak atau secara bersama-sama; dan/atau 3. bank yang dimiliki baik secara sendiri atau bersama-sama oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing kurang dari 50% (lima puluh persen) namun terdapat pengendalian oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing tersebut. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 62 Contoh: Bank BUKU 3 pada tanggal 30 Juni 2016 seharusnya telah memenuhi LCR 70% (tujuh puluh persen) namun Bank baru memiliki LCR 65% (enam puluh lima persen). Dengan demikian Bank wajib menginformasikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan melakukan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5809 LAMPIRAN I PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 42 /POJK.03/2015 TENTANG KEWAJIBAN PEMENUHAN RASIO KECUKUPAN LIKUIDITAS (LIQUIDITY COVERAGE RATIO) BAGI BANK UMUM PERHITUNGAN BATAS MAKSIMUM HQLA LEVEL 2 DAN HQLA LEVEL 2B Komponen HQLA Formula Perhitungan HQLA dilakukan dengan cara: (HQLA Level 1 + HQLA Level 2A + HQLA Level 2B) dikurangi (penyesuaian untuk batas maksimum 15% HQLA Level 2 + penyesuaian untuk batas maksimum 40% HQLA Level 2B); Penyesuaian untuk batas maksimum HQLA Level 2 Nilai yang paling tinggi antara: a. adjusted HQLA Level 2B – 15/85 (adjusted HQLA Level 1 + adjusted HQLA Level 2A); - 2 - yaitu 15%. b. adjusted HQLA Level 2B – (15/60 x HQLA Level1); atau c. 0 (nol). Penyesuaian untuk batas maksimum HQLA Level 2B yaitu 40%. Nilai yang paling tinggi antara: a. adjusted HQLA Level 2A + adjusted HQLA Level 2B – penyesuaian untuk batas maksimum 15% HQLA Level 2 – (2/3 x adjusted HQLA Level 1); atau b. 0 (nol). Keterangan: 1. Adjusted HQLA Level 1 adalah nilai HQLA Level 1 apabila terjadi unwind Securities Financing Transaction (SFT) jangka pendek maupun transaksi collateral swap yang melibatkan pertukaran HQLA untuk HQLA Level 1 (termasuk kas) yang memenuhi, atau akan memenuhi kriteria HQLA apabila aset tersebut tidak terikat (unencumbered), yang merupakan persyaratan operasional untuk HQLA. 2. Adjusted HQLA Level 2A adalah nilai HQLA Level 2A apabila terjadi unwind SFT jangka pendek dan transaksi collateral swap yang melibatkan pertukaran dari HQLA untuk HQLA Level 2A yang memenuhi, atau akan memenuhi kriteria HQLA apabila aset tersebut tidak terikat (unencumbered), sebagaimana persyaratan operasional untuk HQLA. 3. Adjusted HQLA Level 2B adalah nilai dari HQLA Level 2B apabila terjadi unwind SFT jangka pendek dan transaksi collateral swap yang melibatkan pertukaran dari HQLA untuk HQLA Level 2B aset yang memenuhi, atau akan memenuhi kriteria HQLA apabila aset tersebut unencumbered, sebagaimana persyaratan operasional untuk HQLA. 4. Dalam konteks ini, transaksi jangka pendek adalah transaksi dengan tanggal jatuh tempo sampai dengan 30 hari - 3 - kalender. 5. Pengurangan nilai (haircut) yang sesuai untuk masing-masing HQLA dilakukan sebelum perhitungan batas maksimum. KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji ttd MULIAMAN D. HADAD LAMPIRAN II PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 42 /POJK.03/2015 TENTANG KEWAJIBAN PEMENUHAN RASIO KECUKUPAN LIKUIDITAS (LIQUIDITY COVERAGE RATIO) BAGI BANK UMUM LAPORAN PERHITUNGAN KEWAJIBAN PEMENUHAN RASIO KECUKUPAN LIKUIDITAS (LIQUIDITY COVERAGE RATIO) BULANAN Nama Bank : Bulan Laporan : (dalam juta Rp) Nilai No. Komponen A. HQLA 1. HQLA Level 1 1.1 Kas dan setara kas 1.2 Total penempatan pada Bank Indonesia, yaitu: bagian dari penempatan pada Bank Indonesia yang dapat ditarik saat kondisi stres Haircut atau Run-off Rate atau Inflow Rate Outstanding atau Nilai Pasar 0% 0% Nilai setelah Haircut atau Run-off Rate atau Inflow Rate - 2 - Nilai No. Komponen 1.3 Surat berharga yang memenuhi kriteria Pasal 10 ayat (1) huruf c diterbitkan atau dijamin pemerintah negara lain diterbitkan atau dijamin oleh bank sentral negara lain diterbitkan atau dijamin oleh entitas sektor publik diterbitkan atau dijamin oleh bank pembangunan multilateral diterbitkan atau dijamin oleh lembaga internasional (a.l BIS, IMF, ECB and European Community) 1.4 1.5 Surat berharga yang diterbitkan Pemerintah Pusat dan Bank Indonesia dalam rupiah dan valuta asing Surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah dan bank sentral negara lain dalam valuta asing dengan bobot risiko lebih dari 0% yang memenuhi kriteria Pasal 10 ayat (1) huruf e Jumlah HQLA Level 1 2. HQLA Level 2A 2.1 Surat berharga yang memenuhi kriteria Pasal 11 ayat (1) huruf a: diterbitkan atau dijamin oleh pemerintah negara lain diterbitkan atau dijamin oleh bank sentral negara lain diterbitkan atau dijamin oleh entitas sektor publik diterbitkan atau dijamin oleh bank pembangunan multilateral 2.2 2.3 Surat berharga berupa surat utang yang diterbitkan oleh korporasi non-keuangan yang memenuhi kriteria Pasal 11 ayat (1) huruf b Surat berharga berbentuk covered bonds yang tidak diterbitkan oleh Bank pelapor atau pihak yang terafiliasi dengan Bank pelapor yang memenuhi kriteria Pasal 11 ayat (1) huruf b Jumlah HQLA Level 2A 15% 15% 15% 15% 15% 15% B Haircut atau Run-off Rate atau Inflow Rate 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% A Outstanding atau Nilai Pasar Nilai setelah Haircut atau Run-off Rate atau Inflow Rate - 3 - Nilai No. Komponen Haircut atau Run-off Rate atau Inflow Rate 3. HQLA Level 2B 3.1 3.2 3.3 3.4 Outstanding atau Nilai Pasar Nilai setelah Haircut atau Run-off Rate atau Inflow Rate Efek beragun aset (EBA) berupa rumah tinggal yang memenuhi kriteria Pasal 12 ayat (1) huruf a Surat berharga berupa surat utang yang diterbitkan oleh korporasi yang memenuhi kriteria Pasal 12 ayat (1) huruf b Saham biasa yang dimiliki perusahaan anak bukan Bank yang memenuhi kriteria Pasal 12 ayat (1) huruf c Surat berharga pemerintah atau bank sentral negara lain dengan peringkat paling tinggi BBB+ dan paling rendah BBB- Jumlah HQLA Level 2B Jumlah HQLA sebelum penyesuaian Penyesuaian untuk Batas Maksimum dari HQLA Level 2B Penyesuaian untuk Batas Maksimum dari HQLA Level 2 Total HQLA B. Net Cash Outflow (Arus Kas Keluar Bersih) 1. Arus Kas Keluar 1.1 Penarikan Simpanan Nasabah Perorangan Jumlah Simpanan nasabah perorangan: Simpanan stabil Simpanan stabil yang memenuhi kriteria Pasal 50 ayat (2) Jumlah Simpanan stabil nasabah perorangan 25% 50% 50% 50% C A + B + C = D E F D – (E + F) 5% - 4 - Nilai No. Komponen Simpanan kurang stabil Simpanan kurang stabil yang memenuhi kriteria Pasal 50 ayat (2) Tambahan kategori Simpanan dengan tingkat penarikan yang lebih tinggi yang ditetapkan oleh pengawas Kategori 1 Kategori 2 Kategori 3 Jumlah Simpanan kurang stabil nasabah perorangan Jumlah Penarikan Simpanan Nasabah Perorangan 1.2 Penarikan Pendanaan dari Nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil Jumlah Pendanaan nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil: Pendanaan stabil dari nasabah yang memenuhi kriteria Pasal 15 ayat (1) Pendanaan stabil dari nasabah yang memenuhi kriteria Pasal 15 ayat (2) Pendanaan stabil dari nasabah yang memenuhi kriteria Pasal 50 ayat (2) Jumlah Pendanaan stabil nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil Pendanaan kurang stabil dari nasabah yang memenuhi kriteria Pasal 21 ayat (1) Pendanaan kurang stabil yang memenuhi kriteria Pasal 50 ayat (2) Tambahan kategori Simpanan dengan tingkat penarikan yang lebih tinggi yang ditetapkan oleh pengawas Kategori 1 Kategori 2 10% Haircut atau Run-off Rate atau Inflow Rate 10% Outstanding atau Nilai Pasar Nilai setelah Haircut atau Run-off Rate atau Inflow Rate 5% 5% - 5 - Nilai No. Komponen Kategori 3 Jumlah Pendanaan kurang stabil Usaha Mikro dan Usaha Kecil Jumlah Penarikan Pendanaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil 1.3 Penarikan Pendanaan dari Nasabah Korporasi Jumlah Pendanaan dari nasabah korporasi: Simpanan operasional: dijamin oleh LPS tidak dijamin oleh LPS Simpanan operasional yang memenuhi kriteria Pasal 50 ayat (1): dijamin oleh lembaga penjaminan tidak dijamin oleh lembaga penjaminan Jumlah Simpanan operasional nasabah korporasi Simpanan non-operasional dan/atau kewajiban yang bersifat non- operasional dijamin oleh LPS tidak dijamin oleh LPS Simpanan non-operasional dan/atau kewajiban yang bersifat non- operasional yang memenuhi kriteria Pasal 50 ayat (1): dijamin oleh lembaga penjaminan tidak dijamin oleh lembaga penjaminan Surat berharga berupa surat utang yang diterbitkan Bank Jumlah Simpanan non-operasional dan/atau kewajiban yang bersifat non-operasional Jumlah Penarikan Pendanaan yang Berasal dari Nasabah Korporasi 100% Haircut atau Run-off Rate atau Inflow Rate Outstanding atau Nilai Pasar Nilai setelah Haircut atau Run-off Rate atau Inflow Rate 5% 25% 20% 40% - 6 - Nilai No. Komponen 1.4 Penarikan Pendanaan dengan Agunan (Secured Funding) Transaksi dilakukan dengan Bank Indonesia Transaksi dilakukan dengan agunan HQLA Level 1 Transaksi dilakukan dengan agunan HQLA Level 2A Transaksi dilakukan dengan Pemerintah Pusat atau entitas sektor publik yang memiliki bobot risiko paling tinggi 20% atau bank pembangunan multilateral, dengan agunan selain HQLA Level 1 atau HQLA Level 2A Transaksi dengan agunan HQLA Level 2B berupa EBA Transaksi dengan agunan HQLA Level 2B selain EBA Transaksi dilakukan dengan agunan selain HQLA Jumlah Penarikan Pendanaan dengan Agunan (Secured Funding) 1.5 Arus Kas Keluar Lainnya (Additional Requirement) Arus kas keluar lainnya terkait transaksi derivatif Arus kas keluar lainnya terkait peningkatan kebutuhan likuiditas terkait dengan penurunan peringkat (rating) Bank dalam transaksi Pendanaan, derivatif, dan perjanjian lainnya terkait dengan perubahan mark to market atas transaksi derivatif atau transaksi lainnya terkait dengan potensi perubahan nilai agunan untuk derivatif dan transaksi lainnya terkait dengan kelebihan agunan yang tidak terpisah (non- segregated collateral) yang dikuasai oleh Bank yang secara Haircut atau Run-off Rate atau Inflow Rate 0% 0% 15% 25% 25% 50% 100% 100% 100% Aliran agunan bersih absolut terbesar selama 30 hari yang direalisasikan dalam 24 bulan 20% 100% Outstanding atau Nilai Pasar Nilai setelah Haircut atau Run-off Rate atau Inflow Rate - 7 - Nilai No. Komponen kontraktual dapat diambil setiap saat oleh pihak lawan terkait dengan kewajiban penyediaan agunan kepada pihak lawan (counterparty) atas suatu transaksi tertentu namun pihak lawan (counterparty) belum meminta agunan tersebut terkait dengan potensi penukaran agunan yang berupa HQLA menjadi bukan HQLA Arus kas keluar lainnya terkait kehilangan Pendanaan berasal dari efek beragun aset, covered bonds, dan instrumen pembiayaan terstruktur lainnya yang diterbitkan oleh Bank 100% berasal dari asset-backed commercial paper, conduits, securities investment vehicles 100% 100% 100% dari pendanaan yang jatuh tempo dalam 30 hari kedepan dan aset yang berpotensi untuk dilunasi dalam 30 hari kedepan Arus kas keluar lainnya terkait dengan kewajiban komitmen dalam bentuk fasilitas kredit fasilitas diberikan kepada perorangan atau Usaha Mikro dan Usaha Kecil 5% fasilitas diberikan kepada korporasi non-keuangan, Pemerintah Pusat, Bank Indonesia, pemerintah negara lain, bank sentral negara lain, entitas sektor publik, dan/atau bank pembangunan multilateral fasilitas diberikan kepada Bank dan/atau lembaga jasa keuangan fasilitas diberikan kepada entitas lainnya 10% 40% 100% Haircut atau Run-off Rate atau Inflow Rate Outstanding atau Nilai Pasar Nilai setelah Haircut atau Run-off Rate atau Inflow Rate - 8 - Nilai No. Komponen Arus kas keluar lainnya terkait dengan kewajiban komitmen dalam bentuk fasilitas likuiditas fasilitas diberikan kepada perorangan atau Usaha Mikro dan Usaha Kecil fasilitas diberikan kepada korporasi non-keuangan, Pemerintah Pusat, Bank Indonesia, pemerintah negara lain, bank sentral negara lain, entitas sektor publik, dan/atau bank pembangunan multilateral fasilitas diberikan kepada Bank fasilitas diberikan kepada lembaga jasa keuangan dan/atau entitas lainnya Kewajiban kontraktual lainnya untuk menyediakan dana kepada: lembaga jasa keuangan nasabah perorangan Haircut atau Run-off Rate atau Inflow Rate Outstanding atau Nilai Pasar Nilai setelah Haircut atau Run-off Rate atau Inflow Rate 5% 30% 40% 100% 100% 100% dari nilai selisih lebih antara kewajiban kontraktual untuk menyalurkan dana dengan 50% total arus kas masuk korporasi non-keuangan 100% dari nilai selisih lebih antara kewajiban kontraktual untuk menyalurkan dana dengan 50% total arus kas masuk - 9 - Nilai No. Komponen Kewajiban kontijensi Pendanaan lainnya berasal dari instrumen trade finance berasal dari fasilitas kredit dan fasilitas likuiditas yang bersifat unconditionally revocable uncommitted berasal dari letter of credit (L/C) dan garansi yang tidak terkait dengan kewajiban trade finance berasal dari permintaan potensial untuk membeli kembali utang bank atau yang terkait dengan securities investment vehicles dan fasilitas pembiayaan lainnya berasal dari structured product yang diantisipasi oleh nasabah melalui ready marketability berasal dari dana kelolaan (managed funds) yang dijual dengan tujuan menjaga kestabilan nilai kewajiban untuk menutup potensi pembelian kembali surat berharga, dengan atau tanpa agunan, yang memiliki jangka waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari bagi emiten yang memiliki afiliasi dengan dealer atau market maker kewajiban non-kontraktual posisi short nasabah yang dilindungi dengan agunan nasabah lain Arus kas keluar kontraktual lainnya Jumlah Penarikan terkait Arus Kas Keluar Lainnya (Additional Requirement) Jumlah Arus Kas Keluar 2. Arus Kas Masuk 2.1 Pinjaman dengan Agunan (Secured Lending) Agunan tidak digunakan kembali untuk menutupi posisi short nasabah Haircut atau Run-off Rate atau Inflow Rate 3% 0% 5% 5% 5% 5% 5% 50% 100% Outstanding atau Nilai Pasar Nilai setelah Haircut atau Run-off Rate atau Inflow Rate - 10 - Nilai No. Komponen Agunan berupa HQLA Level 1 Agunan berupa HQLA Level 2A Agunan berupa EBA yang memenuhi persyaratan HQLA Level 2B Agunan berupa HQLA Level 2B selain EBA Transaksi berupa margin lending namun agunan berupa selain HQLA Agunan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut diatas Agunan digunakan kembali untuk menutupi posisi short nasabah Jumlah Arus Kas Masuk yang Berasal dari Pinjaman dengan Agunan (Secured Lending) 2.2 Tagihan berdasarkan Pihak Lawan (Counterparty) nasabah perorangan nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil lembaga jasa keuangan Bank Indonesia Haircut atau Run-off Rate atau Inflow Rate 0% 15% 25% 50% 50% 100% 0% Outstanding atau Nilai Pasar Nilai setelah Haircut atau Run-off Rate atau Inflow Rate 50% 50% 100% 100% lainnya (nasabah korporasi non-keuangan, Pemerintah Pusat, pemerintah negara lain, entitas sektor publik dan bank pembangunan multilateral) 50% dari nilai kontraktual dan/atau 100% dari nilai kontraktual dalam hal tingkat penerimaan berasal dari surat berharga bukan HQLA dengan sisa jangka waktu kurang dari 30 hari. Jumlah arus kas masuk berdasarkan pihak lawan (counterparty) - 11 - Nilai No. Komponen 2.3 Arus Kas Masuk Lainnya berasal dari transaksi derivatif berasal dari tagihan kontraktual lainnya Jumlah Arus Kas Masuk Lainnya Jumlah Arus Kas Masuk Jumlah Arus Kas Masuk yang dapat Diperhitungkan dalam Perhitungan LCR (maksimal 75% dari Total Arus Kas Keluar) Jumlah Net Cash Out Flow C. LCR Jumlah HQLA Jumlah Net Cash Out Flow Nilai LCR Haircut atau Run-off Rate atau Inflow Rate 100% 50% Outstanding atau Nilai Pasar Nilai setelah Haircut atau Run-off Rate atau Inflow Rate - 12 - PENILAIAN KUALITATIF KONDISI LIKUIDITAS Nama Bank Bulan Laporan : : Analisis Diisi dengan hasil analisis kondisi likuiditas Bank. KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, MULIAMAN D. HADAD LAMPIRAN III PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.03/2015 TENTANG KEWAJIBAN PEMENUHAN RASIO KECUKUPAN LIKUIDITAS (LIQUIDITY COVERAGE RATIO) BAGI BANK UMUM LAPORAN PERHITUNGAN KEWAJIBAN PEMENUHAN RASIO KECUKUPAN LIKUIDITAS (LIQUIDITY COVERAGE RATIO) TRIWULANAN Nama Bank Posisi Laporan : : (dalam juta Rp) Nilai outstanding kewajiban dan komitmen/nilai tagihan kontraktual Nilai HQLA setelah pengurangan nilai (haircut), outstanding kewajiban dan komitmen dikalikan tingkat penarikan (run-off rate) atau nilai tagihan kontraktual dikalikan tingkat penerimaan (inflow rate). HIGH QUALITY LIQUID ASSET (HQLA) 1 Total High Quality Liquid Asset (HQLA) - 2 - ARUS KAS KELUAR (CASH OUTFLOW) 2 Simpanan nasabah perorangan dan Pendanaan yang berasal dari nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil, terdiri dari: a. Simpanan/Pendanaan stabil b. Simpanan/Pendanaan kurang stabil 3 Pendanaan yang berasal dari nasabah korporasi, terdiri dari: a. Simpanan operasional b. Simpanan non-operasional dan/atau kewajiban lainnya yang bersifat non- operasional 4 5 Pendanaan dengan agunan (secured funding) Arus kas keluar lainnya (additional requirement), terdiri dari: a. arus kas keluar atas transaksi derivatif b. arus kas keluar atas peningkatan kebutuhan likuiditas - 3 - c. arus kas keluar atas kehilangan pendanaan d. arus kas keluar atas penarikan komitmen fasilitas kredit dan fasilitas likuiditas e. arus kas keluar atas kewajiban kontraktual lainnya terkait penyaluran dana f. arus kas keluar atas kewajiban kontijensi pendanaan lainnya g. arus kas keluar kontraktual lainnya TOTAL ARUS KAS KELUAR (CASH OUTFLOW) ARUS KAS MASUK (CASH INFLOW) 6 7 8 Pinjaman dengan agunan Secured lending Tagihan berasal dari pihak lawan (counterparty) Arus kas masuk lainnya TOTAL ARUS KAS MASUK (CASH INFLOW) - 4 - TOTAL ADJUSTED VALUE1 TOTAL HQLA TOTAL ARUS KAS KELUAR BERSIH (NET CASH OUTFLOWS) LCR (%) Keterangan: 1Adjusted values dihitung setelah pengenaan pengurangan nilai (haircut), tingkat penarikan (run-off rate), dan tingkat penerimaan (inflow rate) serta batas maksimum komponen HQLA, misalnya batas maksimum HQLA Level 2B dan HQLA Level 2 serta batas maksimum arus kas masuk yang dapat diperhitungkan dalam LCR. KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji ttd MULIAMAN D. HADAD
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 42/POJK.03/2015 </reg_id> <reg_title> KEWAJIBAN PEMENUHAN RASIO KECUKUPAN LIKUIDITAS (LIQUIDITY COVERAGE RATIO) BAGI BANK UMUM </reg_title> <set_date> 23 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 23 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 23 Desember 2015 </issued_date> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
-1- OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 5/POJK.05/2013 TENTANG PENGAWASAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan pengawasan terhadap Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pengawasan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Oleh Otoritas Jasa Keuangan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 3. Undang-Undang … -2- 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENGAWASAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 2. Dewan Jaminan Sosial Nasional yang selanjutnya disingkat DJSN, adalah Dewan Jaminan Sosial Nasional sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. 3. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang selanjutnya disingkat BPJS, adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. 4. BPJS Kesehatan adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. 5. BPJS … -3- 5. BPJS Ketenagakerjaan adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. 6. Pemeriksaan adalah rangkaian kegiatan mencari, mengumpulkan, mengolah, dan mengevaluasi data dan/atau keterangan serta untuk menilai dan memberikan kesimpulan mengenai penyelenggaraan program jaminan sosial oleh BPJS. 7. Pengawasan adalah proses kegiatan penilaian terhadap BPJS dengan tujuan agar BPJS melaksanakan fungsinya dengan baik dan berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 8. Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan adalah dana amanat milik seluruh peserta jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian yang merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan program jaminan sosial. 9. Dana Jaminan Sosial Kesehatan adalah dana amanat milik seluruh peserta jaminan kesehatan yang merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya yang dikelola oleh BPJS Kesehatan untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan program jaminan sosial. 10. Pemeriksa adalah pegawai OJK atau pihak yang ditunjuk oleh OJK untuk melakukan Pemeriksaan. 11. Peserta adalah setiap orang termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia yang telah membayar iuran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. BAB II RUANG LINGKUP PENGAWASAN BPJS OLEH OJK Pasal 2 (1) OJK melakukan pengawasan terhadap BPJS. (2) Ruang … -4- (2) Ruang lingkup pengawasan OJK terhadap BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kesehatan keuangan; b. penerapan tata kelola yang baik termasuk proses bisnis; c. pengelolaan dan kinerja investasi; d. penerapan manajemen risiko dan kontrol yang baik; e. pendeteksian dan penyelesaian kejahatan keuangan (fraud); f. valuasi aset dan liabilitas; g. kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan; h. keterbukaan informasi kepada masyarakat (public disclosure); i. perlindungan konsumen; j. rasio kolektibilitas iuran; k. monitoring dampak sistemik; dan l. aspek lain yang merupakan fungsi, tugas, dan wewenang OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan. (3) Pengawasan terhadap aspek-aspek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada peraturan perundang-undangan. (4) Dalam hal peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum mengatur aspek-aspek sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengawasan dilakukan dengan mengacu kepada standar, prinsip, dan praktek penyelenggaraan jaminan sosial yang sehat. Pasal 3 (1) Pengawasan OJK terhadap BPJS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdiri atas: a. pengawasan langsung; dan b. pengawasan tidak langsung. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh satuan kerja di lingkungan pengawasan Industri Keuangan Non Bank, OJK. BAB III PENGAWASAN LANGSUNG Pasal 4 Pengawasan langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dilakukan melalui Pemeriksaan. Pasal 5 … -5- Pasal 5 (1) Pemeriksaan terhadap BPJS dilakukan oleh Pemeriksa. (2) Dalam rangka Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksa dapat melakukan Pemeriksaan terhadap perusahaan lain yang dimiliki oleh BPJS dan/atau pihak terkait lainnya. (3) Pemeriksaan bertujuan untuk: a. memperoleh gambaran mengenai kondisi BPJS yang sebenarnya; b. memastikan bahwa BPJS telah mematuhi peraturan perundang- undangan; c. memastikan bahwa BPJS telah menerapkan tata kelola, manajemen risiko, dan kontrol yang baik; dan/atau d. memastikan bahwa BPJS telah melakukan upaya untuk memenuhi kewajiban kepada Peserta. Pasal 6 Pemeriksaan yang dilakukan OJK terhadap BPJS dapat mencakup seluruh aspek atau sebagian aspek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). Pasal 7 Pemeriksaan terhadap BPJS dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Pasal 8 (1) Pemeriksa harus melaksanakan Pemeriksaan sesuai dengan Peraturan OJK ini dan pedoman Pemeriksaan BPJS. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman Pemeriksaan BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner OJK. Pasal 9 (1) BPJS dan pihak lain yang diperiksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dilarang menolak dan/atau menghambat proses Pemeriksaan. (2) BPJS dan pihak lain yang diperiksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) wajib: a. memenuhi ….. -6- a. memenuhi permintaan untuk memberikan atau meminjamkan buku, berkas, catatan, disposisi, memorandum, dokumen, data elektronik, termasuk salinan-salinannya; b. memberikan keterangan dan penjelasan yang berkaitan dengan aspek yang diperiksa baik lisan maupun tertulis; c. memberi kesempatan kepada Pemeriksa untuk memasuki dan memeriksa tempat atau ruangan yang dipandang perlu; d. memberi kesempatan kepada Pemeriksa untuk meneliti keberadaan dan penggunaan sarana fisik yang berkaitan dengan aspek yang diperiksa; dan/atau e. menghadirkan pihak ketiga termasuk auditor independen dan aktuaris independen untuk memberikan data, dokumen, dan/atau keterangan kepada Pemeriksa terkait dengan Pemeriksaan. (3) Pihak yang diperiksa dinyatakan menghambat kelancaran proses pemeriksaan apabila tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau meminjamkan buku, memberikan catatan, dokumen, atau keterangan yang tidak benar. Pasal 10 (1) Pemeriksaan dilakukan oleh Pemeriksa berdasarkan surat perintah Pemeriksaan yang diterbitkan oleh OJK. (2) Pemeriksa wajib menyampaikan surat perintah Pemeriksaan kepada BPJS dan pihak lain yang diperiksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2). (3) Sebelum dilakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan kepada BPJS dan pihak lain yang diperiksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2). (4) Surat pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat informasi sebagai berikut: a. nomor dan tanggal surat perintah Pemeriksaan; b. nama Pemeriksa; c. ruang lingkup Pemeriksaan; d. tujuan Pemeriksaan; e. jangka waktu Pemeriksaan; dan f. dokumen-dokumen awal yang diperlukan untuk Pemeriksaan. (5) OJK … -7- (5) OJK dapat melakukan Pemeriksaan tanpa didahului dengan penyampaian surat pemberitahuan Pemeriksaan apabila: a. pemberitahuan tersebut diduga akan mempersulit atau menghambat proses Pemeriksaan; b. terdapat dugaan adanya tindakan untuk mengaburkan keadaan yang sebenarnya; atau c. terdapat dugaan adanya tindakan menyembunyikan, menghilangkan data, keterangan, atau laporan yang diperlukan dalam rangka Pemeriksaan. Pasal 11 (1) Sebelum Pemeriksaan berakhir, Pemeriksa wajib melakukan konfirmasi dengan Direksi BPJS atas hasil Pemeriksaan. (2) Apabila setelah proses konfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat perbedaan pendapat, Direksi BPJS dapat mengajukan penjelasan secara tertulis kepada OJK paling lambat 10 (sepuluh) hari kalender setelah berakhirnya proses Pemeriksaan. Pasal 12 (1) Setelah proses Pemeriksaan berakhir, Pemeriksa menyusun laporan hasil Pemeriksaan. (2) OJK menyampaikan laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada BPJS paling lambat 20 (dua puluh) hari kalender setelah batas akhir penyampaian penjelasan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2). (3) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat rahasia. (4) Status rahasia atas laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibuka setelah terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari OJK atau berdasarkan peraturan perundang- undangan. Pasal 13 (1) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dapat memuat langkah-langkah tindak lanjut yang harus dilakukan oleh BPJS atau pemangku kepentingan lainnya. (2) Dalam … -8- (2) Dalam hal terdapat langkah-langkah tindak lanjut yang harus dilakukan oleh BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPJS wajib melaksanakan langkah-langkah tindak lanjut tersebut. (3) BPJS wajib melaporkan pelaksanaan langkah-langkah tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada OJK sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam laporan hasil Pemeriksaan. (4) Kewajiban melaporkan pelaksanaan langkah-langkah tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir apabila OJK menilai bahwa BPJS telah melaksanakan langkah-langkah tindak lanjut dimaksud. BAB IV PENGAWASAN TIDAK LANGSUNG Pasal 14 Pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dilakukan melalui: a. analisis atas laporan yang disampaikan oleh BPJS kepada OJK; dan/atau b. analisis atas laporan yang disampaikan oleh pihak lain kepada OJK. Pasal 15 OJK dapat meminta BPJS untuk menyampaikan informasi dan/atau dokumen tertentu dalam rangka pengawasan tidak langsung atas BPJS. BAB V PELAPORAN Pasal 16 (1) BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan wajib menyusun laporan keuangan sebagai berikut: a. laporan keuangan tahunan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember; b. laporan keuangan tahunan Dana Jaminan Sosial Kesehatan dan Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan untuk masing-masing program ketenagakerjaan untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember; c. laporan keuangan semesteran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang berakhir pada 30 Juni dan 31 Desember; d. laporan … -9- d. laporan keuangan semesteran Dana Jaminan Sosial Kesehatan dan Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan untuk masing-masing program ketenagakerjaan yang berakhir pada 30 Juni dan 31 Desember; e. laporan keuangan bulanan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan untuk periode yang berakhir pada 31 Januari, 28 atau 29 Februari, 31 Maret, 30 April, 31 Mei, 30 Juni, 31 Juli, 31 Agustus, 30 September, 31 Oktober, 30 November, dan 31 Desember; dan f. laporan keuangan bulanan Dana Jaminan Sosial Kesehatan dan Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan untuk masing-masing program ketenagakerjaan untuk periode yang berakhir pada 31 Januari, 28 atau 29 Februari, 31 Maret, 30 April, 31 Mei, 30 Juni, 31 Juli, 31 Agustus, 30 September, 31 Oktober, 30 November, dan 31 Desember. (2) BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan wajib menyusun laporan pengelolaan program sebagai berikut: a. laporan pengelolaan program jaminan kesehatan dan jaminan untuk masing-masing program ketenagakerjaan tahunan untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember; b. laporan pengelolaan program jaminan kesehatan dan jaminan untuk masing-masing program ketenagakerjaan semesteran yang berakhir pada 30 Juni dan 31 Desember; dan c. laporan pengelolaan program jaminan kesehatan dan jaminan untuk masing-masing program ketenagakerjaan bulanan untuk periode yang berakhir pada 31 Januari, 28 atau 29 Februari, 31 Maret, 30 April, 31 Mei, 30 Juni, 31 Juli, 31 Agustus, 30 September, 31 Oktober, 30 November, dan 31 Desember. (3) BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan wajib menyusun laporan aktuaris tahunan untuk program jaminan kesehatan dan untuk masing- masing program ketenagakerjaan untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan disajikan berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku. (5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dan huruf b serta ayat (2) huruf a wajib diaudit oleh auditor independen. (6) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dan disajikan berdasarkan peraturan perundang-undangan. (7) Laporan ... -10- (7) Laporan aktuaris tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan laporan yang menggambarkan perkiraan kemampuan Dana Jaminan Sosial untuk memenuhi kewajibannya di masa depan. (8) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib ditandatangani oleh aktuaris BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. (9) Laporan aktuaris tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib ditelaah (direview) dan dinilai kewajaran penyajiannya oleh aktuaris independen yang tidak terafiliasi dengan manajemen BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan paling kurang 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun. (10) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan susunan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, dan huruf f, ayat (2) huruf c dan ayat (3) diatur dengan Surat Edaran OJK. Pasal 17 (1) BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan wajib menyampaikan: a. laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 16 ayat (2) huruf a, serta Pasal 16 ayat (3) paling lama tanggal 30 Juni tahun berikutnya; b. laporan semesteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c, huruf d, dan Pasal 16 ayat (2) huruf b paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya semester yang bersangkutan; dan c. laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e dan huruf f, serta Pasal 16 ayat (2) huruf c paling lama 15 (lima belas) hari setelah berakhirnya bulan yang bersangkutan, kepada OJK. (2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama setelah batas akhir dimaksud. BAB VI SANKSI DAN REKOMENDASI Pasal 18 (1) Dalam hal BPJS terbukti melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 16 ayat (1) sampai dengan ayat (7), dan Pasal 17 ayat (1) dan/atau atas temuan hasil Pemeriksaan, OJK dapat memberikan sanksi administratif berupa surat peringatan dan/atau memberikan rekomendasi kepada DJSN dan/atau Presiden. (2) Surat ….. -11- (2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu paling lama masing-masing 2 (dua) bulan. (3) Dalam hal OJK menilai bahwa jenis pelanggaran yang dilakukan dan/atau temuan Pemeriksaan tidak dapat diatasi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), OJK dapat menetapkan berlakunya jangka waktu tambahan paling lama 6 (enam) bulan. (4) OJK dapat memberikan rekomendasi kepada DJSN dan/atau Presiden dalam hal BPJS tidak memenuhi kewajiban untuk menindaklanjuti surat peringatan terakhir atau atas temuan Pemeriksaan. (5) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk tetapi tidak terbatas pada: a. peninjauan besar iuran jaminan kesehatan dan untuk masing-masing program ketenagakerjaan; b. peninjauan besar manfaat jaminan kesehatan dan untuk masing-masing program ketenagakerjaan; c. peninjauan kebijakan investasi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan; d. peninjauan kebijakan investasi dana jaminan kesehatan dan dana jaminan untuk masing-masing program ketenagakerjaan; dan/atau e. penggantian sebagian atau seluruh manajemen BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 19 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku maka Peraturan OJK Nomor: 3/POJK.05/2013 tentang Laporan Bulanan Lembaga Jasa Keuangan Non- Bank, dinyatakan tidak berlaku bagi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Pasal 20 (1) Kewajiban penyampaian laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf c dilakukan oleh BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan sejak bulan Maret 2014. (2) Penyampaian … -12- (2) Penyampaian laporan bulanan sejak bulan Maret 2014 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk laporan bulanan untuk periode yang berakhir pada tanggal 31 Januari 2014 dan 28 Februari 2014. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 21 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2013 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 258 Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM, Ttd. MUFLI ASMAWIDJAJA
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 5/POJK.05/2013 </reg_id> <reg_title> PENGAWASAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN </reg_title> <set_date> 31 Desember 2013 </set_date> <effective_date> 31 Desember 2013 </effective_date> <issued_date> 31 Desember 2013 </issued_date> <replaced_reg> '3/POJK.05/2013' </replaced_reg> <related_reg> '40/UU/2004', '21/UU/2011', '24/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA S SALINANALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 30 /POJK.04/2015 TENTANG LAPORAN REALISASI PENGGUNAAN DANA HASIL PENAWARAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas keterbukaan oleh Emiten atau Perusahaan Publik, memberikan perlindungan kepada pemodal atas penggunaan dana hasil Penawaran Umum, serta menyederhanakan dan menyelaraskan penyampaian laporan realisasi penggunaan dana hasil Penawaran Umum dengan penyampaian Laporan Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan, perlu menyempurnakan peraturan mengenai laporan realisasi penggunaan dana hasil Penawaran Umum dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Realisasi Penggunaan Dana Hasil Penawaran Umum; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG LAPORAN REALISASI PENGGUNAAN DANA HASIL PENAWARAN UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Laporan Realisasi Penggunaan Dana yang selanjutnya disingkat LRPD adalah laporan realisasi pengunaan dana hasil Penawaran Umum yang disampaikan oleh Emiten yang Pernyataan Pendaftaran-nya telah efektif. 2. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah organ Perusahaan Terbuka yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas dan/atau anggaran dasar Perusahaan Terbuka. 3. Perusahaan Terbuka adalah Emiten yang telah melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas atau Perusahaan Publik. BAB II LAPORAN REALISASI PENGGUNAAN HASIL PENAWARAN UMUM Pasal 2 (1) Emiten yang telah melakukan Penawaran Umum wajib menyampaikan LRPD kepada Otoritas Jasa Keuangan sampai dengan seluruh dana hasil Penawaran Umum telah direalisasikan. - 3 - (2) Emiten yang telah melakukan Penawaran Umum Efek bersifat utang dan/atau Sukuk harus pula menyampaikan LRPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Wali Amanat dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (3) LRPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dibuat secara berkala setiap 6 (enam) bulan dengan tanggal laporan 30 Juni dan 31 Desember. (4) LRPD untuk pertama kali wajib dibuat pada tanggal laporan terdekat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) setelah tanggal penyerahan Efek untuk Penawaran Umum Perdana saham, Efek bersifat utang dan/atau Sukuk, atau setelah tanggal penjatahan untuk penambahan modal dengan memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu. Pasal 3 (1) LRPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah tanggal laporan sampai dengan seluruh dana hasil Penawaran Umum telah direalisasikan. (2) Dalam hal Emiten telah menggunakan seluruh dana hasil Penawaran Umum sebelum tanggal laporan, Emiten dapat menyampaikan LRPD terakhir lebih awal dari batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal tanggal 15 (lima belas) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, LRPD wajib disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. Pasal 4 Bentuk dan isi LRPD harus disusun sesuai dengan format Laporan Realisasi Penggunaan Dana Hasil Penawaran Umum sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan - 4 - bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 5 LRPD wajib ditandatangani paling sedikit oleh 1 (satu) orang anggota Direksi. BAB III PENGGUNAAN DANA HASIL PENAWARAN UMUM Bagian Kesatu Pertanggungjawaban Realisasi Penggunaan Dana Hasil Penawaran Umum Oleh Perusahaan Terbuka Pasal 6 (1) Perusahaan Terbuka wajib mempertanggungjawabkan realisasi penggunaan dana hasil Penawaran Umum dalam setiap RUPS tahunan sampai dengan seluruh dana hasil Penawaran Umum telah direalisasikan. (2) Realisasi penggunaan dana hasil Penawaran Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dijadikan sebagai salah satu mata acara dalam RUPS tahunan. (3) Pertanggungjawaban realisasi penggunaan dana hasil Penawaran Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib paling sedikit mengungkapkan: a. seluruh dana yang telah diperoleh; b. jumlah biaya yang telah dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan Penawaran Umum; c. dana yang telah direalisasikan dan peruntukannya; dan d. dana yang masih tersisa dan alasan belum direalisasikan. - 5 - Pasal 7 (1) Pertanggungjawaban realisasi penggunaan dana hasil Penawaran Umum pertama kali wajib dilakukan pada RUPS tahunan terdekat yang akan diselenggarakan meskipun realisasi penggunaan dana belum mencakup 1 (satu) tahun setelah tanggal penyerahan Efek atau setelah tanggal penjatahan. (2) Dalam hal seluruh dana hasil Penawaran Umum telah habis direalisasikan, pertanggungjawaban realisasi penggunaan dana yang terakhir wajib disampaikan dalam RUPS tahunan terdekat yang akan diselenggarakan. Pasal 8 Dalam hal Perusahaan Terbuka melakukan Penawaran Umum saham atau Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham beserta Efek yang memberi hak untuk membeli saham pada masa tertentu yang melekat pada saham atau Efek bersifat utang dimaksud, Perusahaan Terbuka wajib mempertanggungjawabkan realisasi penggunaan dana hasil penerbitan saham dari pelaksanaan Efek yang memberi hak untuk membeli saham tersebut dalam RUPS tahunan sampai dengan dana tersebut seluruhnya telah direalisasikan. Bagian Kedua Perubahan Atas Penggunaan Dana Hasil Penawaran Umum Pasal 9 (1) Emiten yang akan melakukan perubahan penggunaan dana hasil Penawaran Umum saham wajib: a. menyampaikan rencana dan alasan perubahan penggunaan dana hasil Penawaran Umum bersamaan dengan pemberitahuan mata acara RUPS kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan b. memperoleh persetujuan dari RUPS terlebih dahulu. - 6 - (2) Penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Rencana dan Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka dan anggaran dasar Perusahaan Terbuka. Pasal 10 (1) Emiten yang akan melakukan perubahan penggunaan dana hasil Penawaran Umum Efek bersifat utang atau Sukuk wajib: a. menyampaikan rencana dan alasan perubahan penggunaan dana hasil Penawaran Umum Efek bersifat utang atau Sukuk kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Efek bersifat utang atau Sukuk; dan b. memperoleh persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Efek bersifat utang atau Sukuk. (2) Emiten harus menyampaikan hasil Rapat Umum Pemegang Efek bersifat utang atau Sukuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Efek bersifat utang atau Sukuk. Pasal 11 Perubahan penggunaan dana hasil Penawaran Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10, mencakup: a. Perubahan yang material dari masing-masing unsur penggunaan dana; dan/atau b. Perubahan lokasi atas objek yang akan dibeli dari dana hasil Penawaran Umum yang memiliki dampak ekonomis. - 7 - Pasal 12 Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 tidak berlaku bagi Emiten yang menerbitkan Efek bersifat utang atau Sukuk sepanjang perubahan penggunaan dana hasil Penawaran Umum Efek bersifat utang atau Sukuk telah diatur dalam Kontrak Perwaliamanatan. Bagian Ketiga Penempatan Dana Hasil Penawaran Umum Yang Belum Direalisasikan Pasal 13 Dalam hal terdapat dana hasil Penawaran Umum yang belum direalisasikan, Emiten wajib: a. menempatkan dana tersebut dalam instrumen keuangan yang aman dan likuid; b. mengungkapkan bentuk dan tempat dimana dana tersebut ditempatkan; c. mengungkapkan tingkat suku bunga atau imbal hasil yang diperoleh; dan d. mengungkapkan ada atau tidaknya hubungan Afiliasi dan sifat hubungan Afiliasi antara Emiten dengan pihak dimana dana tersebut ditempatkan. Pasal 14 (1) Penempatan dana hasil Penawaran Umum yang belum direalisasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a wajib dilakukan atas nama Emiten. (2) Dana hasil Penawaran Umum yang belum direalisasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dilarang untuk dijadikan jaminan utang. - 8 - BAB IV PENGUNGKAPAN BIAYA EMISI Pasal 15 Emiten wajib mengungkapkan rincian biaya yang telah dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan Penawaran Umum dalam LRPD. BAB V KETENTUAN SANKSI Pasal 16 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. pembatalan persetujuan; dan - 9 - Pasal 17 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 18 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 kepada masyarakat. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 19 Ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal lainnya terkait dengan penggunaan dana hasil Penawaran Umum tetap berlaku bagi Emiten sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 20 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-27/PM/2003 tanggal 17 Juli 2003 tentang Laporan Realisasi Penggunaan Dana Hasil Penawaran Umum beserta Peraturan Nomor X.K.4 yang merupakan lampirannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 21 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 16 April 2016. - 10 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 305 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 30 /POJK.04/2015 TENTANG LAPORAN REALISASI PENGGUNAAN DANA HASIL PENAWARAN UMUM I. UMUM Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Penawaran Umum merupakan kegiatan penawaran Efek yang dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya. Penawaran Umum merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan Emiten untuk dapat memperoleh dana dari masyarakat pemodal. Dana masyarakat pemodal yang diperoleh dari Penawaran Umum tersebut dapat digunakan oleh Emiten untuk memenuhi berbagai kebutuhan perusahaan seperti ekspansi, refinancing, dan investasi. Dana yang diperoleh dari Penawaran Umum diharapkan dapat menunjang kegiatan usaha Emiten yang pada akhirnya dapat meningkatkan dan mengembangkan usaha Emiten sehingga keuntungannya dapat dinikmati masyarakat pemodal. Untuk memastikan setiap dana yang diperoleh Emiten dari Penawaran Umum direalisasikan sesuai dengan rencana penggunaan dana yang tercantum dalam Prospektus, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan selaku regulator Pasar Modal telah menetapkan Peraturan Nomor X.K.4, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-27/PM/2003 tanggal 17 Juli 2003 tentang Laporan Realisasi Pengunaan Dana Hasil Penawaran Umum. Peraturan ini mengatur kewajiban Emiten untuk menyampaikan Laporan Realisasi - 2 - Pengunaan Dana (“LRPD”) kepada Otoritas Jasa Keuangan secara periodik dan mempertanggungjawabkan realisasi penggunaan dana kepada pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan. Laporan yang sama juga disampaikan kepada Wali Amanat untuk Penawaran Umum Efek bersifat utang atau Sukuk. Peraturan dimaksud juga mengatur prosedur yang wajib dilakukan apabila Emiten bermaksud melakukan perubahan penggunaan dana. Dengan mempertimbangkan perkembangan industri Pasar Modal dan dalam rangka meningkatkan kualitas keterbukaan oleh Emiten atau Perusahaan Publik, memberikan perlindungan kepada pemodal atas penggunaan dana hasil Penawaran Umum, serta memberikan kejelasan pengaturan, menyederhanakan dan mengharmoniskan penyampaian laporan realisasi penggunaan dana dengan penyampaian Laporan Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan, maka diperlukan penyempurnaan atas Peraturan Nomor X.K.4, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-27/PM/2003 tanggal 17 Juli 2003 tentang Penyampaian Laporan Realisasi Pengunaan Dana Hasil Penawaran Umum, dengan melakukan penambahan, penyesuaian, penghapusan, dan penyederhanaan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal. Ayat (2) Cukup jelas. - 3 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “LRPD untuk pertama kali” adalah LRPD wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan/atau Wali Amanat pertama kali setelah Penawaran Umum. Yang dimaksud dengan “tanggal penyerahan Efek” adalah tanggal penyerahan Efek sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Tata Cara Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum. Yang dimaksud dengan “tanggal penjatahan” adalah tanggal penjatahan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka Dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu. Efek bersifat utang termasuk pula obligasi konversi. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh Penyampaian LRPD terakhir yang lebih awal: Dana hasil Penawaran Umum PT A telah habis direalisasikan pada tanggal 25 Agustus 2015. PT A dapat menyampaikan LRPD terakhir pada tanggal 2 September 2015. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. - 4 - Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “tanggal penyerahan Efek” adalah tanggal penyerahan Efek sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Tata Cara Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum. Yang dimaksud dengan “tanggal penjatahan” adalah tanggal penjatahan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka Dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Efek bersifat utang atau Sukuk tunduk pada peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Ketentuan Umum Dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang. Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Ketentuan Umum Dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang adalah Peraturan Nomor VI.C.4, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-412/BL/2010 - 5 - tanggal 6 September 2010 tentang Ketentuan Umum Dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang. Ayat (2) Emiten menyampaikan hasil Rapat Umum Pemegang Efek bersifat utang atau Sukuk berdasarkan hasil Rapat Umum Pemegang Efek bersifat utang atau Sukuk yang disampaikan oleh Wali Amanat. Pasal 11 Yang dimaksud dengan “perubahan yang material” adalah: a. perubahan salah satu unsur penggunaan dana yang jumlah perubahannya sebesar 20% (dua puluh persen) atau lebih dari total Penawaran Umum; dan/atau b. perubahan penggunaan dana yang berbeda dengan rencana penggunaan dana dalam prospektus atau hasil Rapat Umum Pemegang Saham, meskipun nilainya dibawah 20% (dua puluh persen) dari total Penawaran Umum. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Huruf a Contoh instrumen keuangan yang aman dan likuid seperti Surat Utang Negara dan deposito berjangka. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. - 6 - Pasal 15 Biaya dimaksud antara lain: a. Biaya jasa penjaminan (underwriting fee); b. Biaya jasa manajemen Penawaran Umum (management fee); c. Biaya jasa penjualan (selling fee); d. Biaya jasa Profesi Penunjang Pasar Modal; e. Biaya jasa Lembaga Penunjang Pasar Modal; f. Biaya jasa konsultasi keuangan (financial advisory fee); g. Biaya pendaftaran; dan/atau h. Biaya lain sepanjang telah diungkapkan dalam Prospektus. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa: a. penundaan pemberian pernyataan efektif, misalnya pernyataan efektif untuk penggabungan usaha, peleburan usaha; dan b. penundaan pemberian pernyataan Otoritas Jasa Keuangan bahwa tidak ada tanggapan lebih lanjut atas dokumen yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka penambahan modal dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu Perusahaan Terbuka. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5779
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 30/POJK.04/2015 </reg_id> <reg_title> LAPORAN REALISASI PENGGUNAAN DANA HASIL PENAWARAN UMUM </reg_title> <set_date> 16 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 16 April 2016 </effective_date> <issued_date> 22 Desember 2015 </issued_date> <replaced_reg> 'KEP-27/PM/2003|KEPTA-BAPEPAM/2003', 'KEP-27/PM/2003|KEPTA-BAPEPAM/2003 | Lampiran Peraturan Nomor X.K.4' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 29/POJK.05/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung perkembangan perusahaan pembiayaan yang dinamis dan mewujudkan industri perusahaan pembiayaan yang tangguh, kontributif, inklusif, serta berkontribusi untuk menjaga sistem keuangan yang stabil dan berkelanjutan, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha oleh Perusahaan Pembiayaan; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan; Mengingat : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN. BAB I ... - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang dan/atau jasa. 2. Pembiayaan Investasi adalah pembiayaan untuk pengadaan barang-barang modal beserta jasa yang diperlukan untuk aktivitas usaha/investasi, rehabilitasi, modernisasi, ekspansi atau relokasi tempat usaha/investasi yang diberikan kepada debitur dalam jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun. 3. Pembiayaan Modal Kerja adalah pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran-pengeluaran yang habis dalam satu siklus aktivitas usaha debitur dan merupakan pembiayaan dengan jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun. 4. Pembiayaan Multiguna adalah pembiayaan untuk pengadaan barang dan/atau jasa yang diperlukan oleh debitur untuk pemakaian/konsumsi dan bukan untuk keperluan usaha (aktivitas produktif) dalam jangka waktu yang diperjanjikan. 5. Sewa Pembiayaan (Finance Lease) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang oleh Perusahaan Pembiayaan untuk digunakan debitur selama jangka waktu tertentu, yang mengalihkan secara substansial manfaat dan risiko atas barang yang dibiayai. 6. Jual dan Sewa-Balik (Sale and Leaseback) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penjualan suatu barang oleh debitur kepada Perusahaan Pembiayaan yang ... - 3 - yang disertai dengan menyewa-pembiayaankan kembali barang tersebut kepada debitur yang sama. 7. Anjak Piutang (Factoring) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang usaha suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut. 8. Anjak Piutang Dengan Pemberian Jaminan Dari Penjual Piutang (Factoring With Recourse) adalah transaksi Anjak Piutang usaha dimana penjual piutang menanggung risiko tidak tertagihnya sebagian atau seluruh piutang yang dijual kepada Perusahaan Pembiayaan. 9. Anjak Piutang Tanpa Pemberian Jaminan Dari Penjual Piutang (Factoring Without Recourse) adalah transaksi Anjak Piutang usaha dimana Perusahaan Pembiayaan menanggung risiko tidak tertagihnya seluruh piutang yang dijual kepada Perusahaan Pembiayaan. 10. Pembelian Dengan Pembayaran Secara Angsuran adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk pengadaan barang dan/atau jasa yang dibeli oleh debitur dari penyedia barang atau jasa dengan pembayaran secara angsuran. 11. Pembiayaan Proyek adalah pembiayaan yang diberikan dalam rangka pelaksanaan sebuah proyek yang memerlukan pengadaan beberapa jenis barang modal dan/atau jasa yang terkait dengan pelaksanaan pengadaan proyek tersebut. 12. Pembiayaan Infrastruktur adalah pembiayaan dalam bentuk pengadaan barang dan/atau jasa untuk pembangunan infrastruktur. 13. Fasilitas Modal Usaha adalah Pembiayaan Modal Kerja yang dibayarkan langsung oleh Perusahaan Pembiayaan kepada penyedia barang dan/atau jasa. 14. Debitur adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menerima pembiayaan pengadaan barang dan/atau jasa dari Perusahaan Pembiayaan. 15. Tingkat ... - 4 - 15. Tingkat Kesehatan Keuangan adalah hasil penilaian kondisi Perusahaan Pembiayaan terhadap risiko permodalan, likuiditas, aset, operasional dan kinerja Perusahaan Pembiayaan. 16. Modal Disetor: a. bagi Perusahaan Pembiayaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah modal disetor; atau b. bagi Perusahaan Pembiayaan yang berbentuk badan hukum koperasi adalah simpanan pokok dan simpanan wajib. 17. Ekuitas: a. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah penjumlahan dari: 1. Modal Disetor; 2. tambahan Modal Disetor, terdiri atas: a) agio/disagio saham; b) biaya emisi efek Ekuitas; dan c) lainnya sesuai dengan prinsip standar akuntansi keuangan; 3. selisih nilai transaksi restrukturisasi entitas sepengendali; 4. saldo laba/rugi; 5. laba/rugi tahun berjalan; 6. saham tresuri (treasury stock); dan 7. komponen Ekuitas lainnya, terdiri atas: a) perubahan dalam surplus revaluasi; b) selisih kurs karena penjabaran laporan keuangan dalam mata uang asing; c) keuntungan dan kerugian dari pengukuran kembali aset keuangan tersedia untuk dijual; d) bagian ... - 5 - d) bagian efektif dari keuntungan dan kerugian instrumen keuangan lindung nilai dalam rangka lindung nilai arus kas; dan e) komponen ekuitas lainnya sesuai prinsip standar akuntansi keuangan. b. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk badan hukum koperasi harus sebesar penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, dana cadangan, hibah, dan sisa hasil usaha yang belum dibagikan. 18. Direksi: a. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas; atau b. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk badan hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perkoperasian. 19. Dewan Komisaris: a. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas; atau b. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk badan hukum koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perkoperasian. 20. Batas Maksimum Pemberian Pembiayaan yang selanjutnya disebut dengan BMPP adalah batasan tertentu dalam penyaluran pembiayaan yang diperkenankan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. 21. Pengendali ... - 6 - 21. Pengendali: a. bagi badan hukum perseroan terbatas, adalah badan hukum, orang perseorangan dan/atau kelompok usaha yang: 1. memiliki saham sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau 2. memiliki saham kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. b. bagi badan usaha lainnya adalah pihak yang secara langsung ataupun tidak langsung mempunyai kemampuan untuk menentukan pengurus, pengawas atau yang setara dan/atau mempengaruhi tindakan pengurus, pengawas atau yang setara. 22. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan. BAB II KEGIATAN USAHA Bagian Kesatu Jenis Kegiatan Usaha dan Cara Pembiayaan Pasal 2 (1) Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan meliputi: a. Pembiayaan Investasi; b. Pembiayaan Modal Kerja; c. Pembiayaan Multiguna; dan/atau d. kegiatan ... - 7 - d. kegiatan usaha pembiayaan lain berdasarkan persetujuan OJK. (2) Selain kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Pembiayaan dapat melakukan sewa operasi (operating lease) dan/atau kegiatan berbasis fee sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan di sektor jasa keuangan. Pasal 3 Kegiatan Pembiayaan Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dan/atau Pembiayaan Modal Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b ditujukan untuk Debitur berbentuk badan usaha atau orang perseorangan: a. yang memiliki usaha produktif; dan/atau b. yang memiliki ide-ide untuk pengembangan usaha produktif. Pasal 4 (1) Pembiayaan Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a wajib dilakukan dengan cara: a. Sewa Pembiayaan (Finance Lease); b. Jual dan Sewa-Balik (Sale and Leaseback); c. Anjak Piutang Dengan Pemberian Jaminan Dari Penjual Piutang (Factoring With Recourse); d. Pembelian Dengan Pembayaran Secara Angsuran; e. Pembiayaan Proyek; f. Pembiayaan Infrastruktur; dan/atau g. pembiayaan lain setelah mendapatkan persetujuan dari OJK. (2) Pembiayaan Modal Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b wajib dilakukan dengan cara: a. Jual dan Sewa-Balik (Sale and Leaseback); b. Anjak ... terlebih dahulu - 8 - b. Anjak Piutang Dengan Pemberian Jaminan Dari Penjual Piutang (Factoring With Recourse); c. Anjak Piutang Tanpa Pemberian Jaminan Dari Penjual Piutang (Factoring Without Recourse); d. Fasilitas Modal Usaha; dan/atau e. pembiayaan lain setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari OJK. (3) Pembiayaan Multiguna sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c wajib dilakukan dengan cara: a. Sewa Pembiayaan (Finance Lease); b. Pembelian Dengan Pembayaran Secara Angsuran; dan/atau c. pembiayaan lain setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari OJK. Pasal 5 (1) Perusahaan Pembiayaan yang akan melakukan kegiatan usaha pembiayaan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf d dan cara pembiayaan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g, ayat (2) huruf e, dan ayat (3) huruf c, harus memiliki Tingkat Kesehatan Keuangan dengan kondisi minimum sehat dan tidak sedang dikenakan sanksi oleh OJK. (2) Perusahaan Pembiayaan yang akan melakukan kegiatan usaha pembiayaan lain dan cara pembiayaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengajukan permohonan kepada OJK dan harus melampirkan dokumen yang berisi uraian paling sedikit mengenai: a. produk yang akan dipasarkan; b. analisis prospek usaha; c. mekanisme atau cara pembiayaan yang akan dilakukan; d. hak dan kewajiban para pihak; dan e. contoh ... - 9 - e. contoh perjanjian pembiayaan yang akan digunakan. (3) OJK melakukan analisis atas dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan kelayakan usaha pembiayaan lain yang diajukan. (4) OJK mengeluarkan surat persetujuan atau penolakan paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender setelah permohonan diterima secara lengkap dan benar. Pasal 6 (1) Perusahaan Pembiayaan yang akan melakukan kegiatan berbasis fee sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib melaporkan kepada OJK dengan melampirkan paling sedikit mengenai: a. produk berbasis fee yang akan dipasarkan; b. mekanisme; c. hak dan kewajiban para pihak; d. perjanjian kerjasama; dan e. perizinan dari otoritas yang berwenang (jika ada). (2) Dalam hal OJK telah menerima laporan secara lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mengeluarkan surat pencatatan kegiatan berbasis fee dalam administrasi OJK paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender setelah laporan diterima. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), OJK tidak mengeluarkan surat pencatatan, Perusahaan Pembiayaan dapat melaksanakan kegiatan berbasis fee sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 7 Perusahaan Pembiayaan wajib secara jelas mencantumkan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dalam anggaran dasarnya. Bagian ... - 10 - Bagian Kedua Sewa Pembiayaan (Finance Lease) Pasal 8 (1) Sewa Pembiayaan (Finance Lease) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan dalam rangka penyediaan barang oleh Perusahaan Pembiayaan untuk digunakan oleh Debitur selama jangka waktu tertentu, yang mengalihkan secara substansial manfaat dan risiko atas barang yang dibiayai. (2) Dalam hal perjanjian Sewa Pembiayaan (Finance Lease) masih berlaku, kepemilikan atas barang objek transaksi Sewa Pembiayaan (Finance Lease) berada pada Perusahaan Pembiayaan. (3) Perusahaan Pembiayaan wajib memastikan dalam perjanjian pembiayaan bahwa Debitur dilarang menyewa-pembiayaankan kembali barang yang disewa- pembiayaankan kepada pihak lain. Pasal 9 Selama masa Sewa Pembiayaan (Finance Lease), Perusahaan Pembiayaan wajib menempelkan plakat atau etiket pada barang yang disewa-pembiayaankan dengan mencantumkan nama dan alamat Perusahaan Pembiayaan serta pernyataan bahwa barang dimaksud terikat dalam perjanjian Sewa Pembiayaan (Finance Lease). Bagian Ketiga Anjak Piutang Pasal 10 (1) Perusahaan Pembiayaan dilarang melakukan transaksi Anjak Piutang Dengan Pemberian Jaminan Dari Penjual Piutang (Factoring With Recourse) dengan Perusahaan Pembiayaan lainnya sebagai Debitur. (2) Piutang ... - 11 - (2) Piutang usaha yang dapat dialihkan dalam Anjak Piutang adalah piutang usaha dengan jangka waktu jatuh tempo paling lama 10 (sepuluh) tahun. Bagian Keempat Pembelian Dengan Pembayaran Secara Angsuran Pasal 11 Dalam hal Pembelian Dengan Pembayaran Secara Angsuran untuk pengadaan barang, kepemilikan objek pembiayaan dalam perjanjian beralih dari penyedia barang kepada Debitur Bagian Kelima Pembiayaan Proyek Pasal 12 Pembiayaan Investasi dengan cara Pembiayaan Proyek dapat dilakukan dengan menggunakan satu atau lebih cara pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d. Bagian Keenam Pembiayaan Infrastruktur Pasal 13 (1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan Pembiayaan Investasi dengan cara Pembiayaan Infrastruktur wajib memenuhi persyaratan, sebagai berikut: a. memiliki Tingkat Kesehatan Keuangan dengan kondisi minimum sehat; b. memiliki Ekuitas lebih besar dari Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah); dan c. memiliki standar operasi dan prosedur terkait Pembiayaan Infrastruktur. (2) Pembiayaan Investasi dengan cara Pembiayaan Infrastruktur dapat dilakukan dengan menggunakan satu ... - 12 - satu atau lebih cara pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d. Bagian Ketujuh Fasilitas Modal Usaha Pasal 14 Fasilitas Modal Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d wajib dilakukan dengan cara memberikan pembiayaan berdasarkan bukti tagihan pembelian barang atau penggunaan jasa yang diterima Debitur dari penyedia barang atau jasa. BAB III PERJANJIAN PEMBIAYAAN Pasal 15 (1) Seluruh perjanjian pembiayaan antara Perusahaan Pembiayaan dengan Debitur wajib dibuat secara tertulis. (2) Perjanjian pembiayaan antara Perusahaan Pembiayaan dengan Debitur wajib memenuhi ketentuan penyusunan perjanjian sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Pasal 16 (1) Perjanjian pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 wajib paling sedikit memuat: a. jenis kegiatan usaha dan cara pembiayaan; b. nomor dan tanggal perjanjian; c. identitas para pihak; d. barang atau jasa pembiayaan; e. nilai barang atau jasa pembiayaan; f. jumlah piutang dan nilai angsuran pembiayaan; g. jangka waktu dan tingkat suku bunga pembiayaan; h. objek jaminan (jika ada); i. rincian ... - 13 - i. rincian biaya-biaya terkait dengan pembiayaan yang diberikan yang paling sedikit memuat: 1. biaya survey; 2. biaya asuransi/penjaminan/fidusia; 3. biaya provisi; dan 4. biaya notaris; j. klausul pembebanan fidusia secara jelas, apabila terdapat pembebanan jaminan fidusia dalam kegiatan pembiayaan; k. mekanisme apabila terjadi perselisihan dan pemilihan tempat penyelesaian perselisihan; l. ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak; dan m. ketentuan mengenai denda. (2) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan melakukan pembiayaan untuk pengadaan kendaraan bermotor dengan cara Pembelian Dengan Pembayaran Secara Angsuran, perjanjian pembiayaan wajib mencantumkan nilai uang muka. (3) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan melakukan pembiayaan dengan cara Sewa Pembiayaan (Finance Lease), perjanjian pembiayaan wajib mencantumkan nilai simpanan jaminan (security deposit). BAB IV UANG MUKA PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR Pasal 17 (1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pembiayaan dengan cara Pembelian Dengan Pembayaran Secara Angsuran untuk kendaraan bermotor wajib menerapkan ketentuan uang muka (down payment) kepada Debitur sebagai berikut: a. bagi ... - 14 - a. bagi kendaraan bermotor roda dua atau tiga, paling rendah 20% (dua puluh persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan; b. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk Pembiayaan Investasi (tujuan produktif), paling rendah 20% (dua puluh persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan; atau c. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk Pembiayaan Multiguna (tujuan non-produktif), paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan. (2) Kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi kriteria paling kurang sebagai berikut: a. merupakan kendaraan angkutan orang atau barang yang memiliki izin yang diterbitkan oleh pihak berwenang untuk melakukan kegiatan usaha tertentu; atau b. diajukan oleh orang perseorangan atau badan hukum yang memiliki izin usaha tertentu dari pihak berwenang dan digunakan untuk kegiatan usaha yang relevan dengan izin usaha yang dimiliki. (3) Ketentuan mengenai besaran uang muka (down payment) kepada Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali dan perubahannya diatur dengan Surat Edaran OJK. BAB V MITIGASI RISIKO PEMBIAYAAN Pasal 18 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib melakukan mitigasi risiko pembiayaan. (2) Mitigasi ... - 15 - (2) Mitigasi risiko pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara: a. mengalihkan risiko pembiayaan melalui mekanisme asuransi kredit atau penjaminan kredit; b. mengalihkan risiko atas barang yang dibiayai atau barang yang menjadi agunan dari kegiatan Pembiayaan melalui mekanisme asuransi; dan/atau c. melakukan pembebanan jaminan fidusia atas barang yang dibiayai atau barang yang menjadi agunan dari kegiatan pembiayaan. Pasal 19 (1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pengalihan risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a wajib menggunakan perusahaan asuransi atau lembaga penjaminan yang memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. telah mendapatkan izin usaha dari OJK; dan b. tidak dalam pengenaan sanksi pembatasan kegiatan usaha atau pembekuan kegiatan usaha dari OJK. (2) Jangka waktu pertanggungan asuransi kredit atau penjaminan kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a paling singkat sama dengan jangka waktu pembiayaan. Pasal 20 (1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pengalihan risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b wajib menggunakan perusahaan asuransi yang memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. telah mendapatkan izin usaha dari OJK; dan b. tidak dalam pengenaan sanksi pembatasan kegiatan usaha dari OJK. (2) Jangka ... - 16 - (2) Jangka waktu pertanggungan asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b paling singkat sama dengan jangka waktu pembiayaan. Pasal 21 (1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pembiayaan dengan pembebanan jaminan fidusia, wajib mendaftarkan jaminan fidusia dimaksud pada kantor pendaftaran fidusia, sesuai undang-undang yang mengatur mengenai jaminan fidusia. (2) Kewajiban pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pembiayaan dengan pembebanan jaminan fidusia yang pembiayaannya berasal dari pembiayaan penerusan (channeling) atau pembiayaan bersama (joint financing). Pasal 22 Perusahaan Pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia paling lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan. Pasal 23 Perusahaan Pembiayaan dilarang melakukan eksekusi benda jaminan apabila kantor pendaftaran fidusia belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan menyerahkannya kepada Perusahaan Pembiayaan. Pasal 24 Eksekusi benda jaminan fidusia oleh Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai jaminan fidusia dan telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian pembiayaan. BAB VI ... - 17 - BAB VI TINGKAT KESEHATAN KEUANGAN Bagian Kesatu Umum Pasal 25 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib setiap waktu memenuhi persyaratan Tingkat Kesehatan Keuangan dengan kondisi minimum sehat. (2) Pengukuran rasio Tingkat Kesehatan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. rasio permodalan; b. kualitas piutang pembiayaan; c. rentabilitas; dan d. likuiditas. (3) Ketentuan mengenai tata cara pengukuran Tingkat Kesehatan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK. Bagian Kedua Rasio Permodalan Pasal 26 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi rasio permodalan paling sedikit sebesar 10% (sepuluh persen). (2) Rasio permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perbandingan antara modal yang disesuaikan dengan aset yang disesuaikan. (3) Ketentuan mengenai besaran rasio permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditinjau kembali dan perubahannya diatur dalam Surat Edaran OJK. (4) Ketentuan mengenai tata cara perhitungan perbandingan antara modal yang disesuaikan dengan aset ... - 18 - aset yang disesuaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK. Bagian Ketiga Kualitas Piutang Pembiayaan Paragraf 1 Penilaian Kualitas Piutang Pembiayaan Pasal 27 Perusahaan Pembiayaan wajib menilai, memantau dan melakukan langkah-langkah yang diperlukan terhadap piutang pembiayaan agar kualitas piutang pembiayaan senantiasa baik. Pasal 28 (1) Penilaian kualitas piutang pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ditetapkan menjadi: a. lancar; b. dalam perhatian khusus; c. kurang lancar; d. diragukan; atau e. macet (2) Penilaian kualitas piutang pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan faktor ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga. (3) Penilaian piutang pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikategorikan sebagai berikut: a. lancar apabila tidak terdapat keterlambatan atau terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan/atau bunga sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kalender; b. dalam perhatian khusus apabila terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 30 (tiga puluh) hari kalender sampai dengan 90 (sembilan puluh) hari kalender; c. kurang ... - 19 - c. kurang lancar apabila terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 90 (sembilan puluh) hari kalender sampai dengan 120 (seratus dua puluh) hari kalender; d. diragukan apabila terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 120 (seratus dua puluh) hari kalender sampai dengan 180 (seratus delapan puluh) hari kalender; atau e. macet apabila terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 180 (seratus delapan puluh) hari kalender. Pasal 29 (1) Selain faktor ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), penilaian kualitas piutang pembiayaan untuk Pembiayaan Investasi dan Pembiayaan Modal Kerja dengan nilai pembiayaan pada saat penandatanganan perjanjian sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau lebih, dapat juga ditetapkan dengan mempertimbangkan faktor: a. kemampuan membayar Debitur; b. kinerja keuangan (financial performance) Debitur; dan c. prospek usaha Debitur. (2) Penilaian terhadap kemampuan membayar Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan Debitur; b. kelengkapan dokumentasi pembiayaan; c. kepatuhan terhadap perjanjian pembiayaan; d. kesesuaian ... - 20 - d. kesesuaian penggunaan dana; dan e. kewajaran sumber pembayaran kewajiban. (3) Penilaian terhadap kinerja keuangan (financial performance) Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi penilaian terhadap komponen- komponen sebagai berikut: a. perolehan laba; b. struktur permodalan; c. arus kas; dan d. sensitivitas terhadap risiko pasar. (4) Penilaian terhadap prospek usaha Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. potensi pertumbuhan usaha; b. kondisi pasar dan posisi Debitur dalam persaingan; c. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja; d. dukungan dari grup atau afiliasi; dan e. upaya yang dilakukan Debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup. (5) Dalam hal terdapat perbedaan antara penilaian kualitas piutang pembiayaan oleh Perusahaan Pembiayaan dengan OJK, kualitas piutang pembiayaan yang berlaku adalah yang ditetapkan oleh OJK. (6) Perusahaan Pembiayaan wajib melakukan penyesuaian kualitas piutang pembiayaan dengan penilaian kualitas piutang pembiayaan yang ditetapkan oleh OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam laporan- laporan yang disampaikan kepada OJK. (7) Pedoman penilaian kualitas piutang pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran OJK. Paragraf 2 ... - 21 - Paragraf 2 Kualitas Piutang Pembiayaan untuk Debitur Dengan Lebih Dari Satu Perjanjian Pembiayaan Pasal 30 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib menetapkan kualitas piutang pembiayaan yang sama terhadap 1 (satu) Debitur dengan lebih dari 1 (satu) pembiayaan. (2) Perusahaan Pembiayaan dapat menetapkan kualitas piutang pembiayaan yang berbeda untuk lebih dari 1 (satu) pembiayaan yang dimiliki 1 (satu) Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal: a. piutang pembiayaan yang memiliki kualitas paling rendah telah dihapus buku; dan/atau b. nilai piutang pembiayaan sampai dengan Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (3) Dalam hal terdapat perbedaan kualitas dalam piutang pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kualitas piutang pembiayaan yang wajib digunakan adalah kualitas piutang pembiayaan yang paling rendah. Paragraf 3 Piutang Pembiayaan Bermasalah Pasal 31 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib menjaga kualitas piutang pembiayaan. (2) Piutang pembiayaan yang dikategorikan sebagai piutang pembiayaan bermasalah (non performing financing) terdiri atas piutang pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet. (3) Nilai piutang pembiayaan dengan kategori kualitas piutang pembiayaan bermasalah (non performing financing) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah dikurangi cadangan penyisihan penghapusan piutang pembiayaan ... - 22 - pembiayaan wajib paling tinggi sebesar 5% (lima persen) dari total piutang pembiayaan. (4) Ketentuan mengenai besaran rasio piutang pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat ditinjau kembali dan perubahannya diatur dalam Surat Edaran OJK. Paragraf 4 Cadangan Penyisihan Penghapusan Piutang Pembiayaan Pasal 32 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib menghitung cadangan penyisihan penghapusan piutang pembiayaan. (2) Perhitungan cadangan penyisihan penghapusan piutang pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling rendah sebesar: a. 1% (satu persen) dari saldo piutang pembiayaan yang memiliki kualitas lancar setelah dikurangi agunan; b. 5% (lima persen) dari saldo piutang pembiayaan yang memiliki kualitas dalam perhatian khusus setelah dikurangi agunan; c. 15% (lima belas persen) dari saldo piutang pembiayaan yang memiliki kualitas kurang lancar setelah dikurangi agunan; d. 50% (lima puluh persen) dari saldo piutang pembiayaan yang memiliki kualitas diragukan setelah dikurangi agunan; e. 100% (seratus persen) dari saldo piutang pembiayaan yang memiliki kualitas macet setelah dikurangi agunan. (3) Perusahaan Pembiayaan wajib membentuk cadangan penyisihan penghapusan piutang pembiayaan paling rendah sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam laporan bulanan. (4) Nilai ... - 23 - (4) Nilai agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang saldo piutang pembiayaan ditetapkan paling tinggi senilai saldo piutangnya. (5) Perhitungan cadangan penyisihan penghapusan piutang pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan Perusahaan Pembiayaan dalam rangka perhitungan rasio permodalan, gearing ratio, rasio Ekuitas terhadap Modal Disetor, BMPP, rasio piutang pembiayaan bermasalah, dan perbandingan piutang pembiayaan dengan total aset. (6) Ketentuan mengenai jenis, tata cara perhitungan, dan pengembalian agunan, serta tata cara perhitungan cadangan diatur dalam Surat Edaran OJK. Paragraf 5 Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Piutang Pembiayaan Pasal 33 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib membentuk cadangan kerugian penurunan nilai piutang pembiayaan sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku. (2) Pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai piutang pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dalam penyusunan laporan keuangan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik. Bagian Keempat Rentabilitas Pasal 34 (1) Rentabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf c merupakan kemampuan Perusahaan Pembiayaan dalam menghasilkan laba. (2) Penilaian terhadap faktor rentabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penilaian terhadap kinerja aset dan efisiensi operasional. (3) Ketentuan ... - 24 - (3) Ketentuan mengenai tata cara penilaian terhadap faktor rentabilitas diatur dalam Surat Edaran OJK. Bagian Kelima Likuiditas Pasal 35 (1) Penilaian terhadap faktor likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf d merupakan penilaian terhadap tingkat ketersesuaian antara aset lancar dan liabilitas lancar. (2) Ketentuan mengenai tata cara penilaian likuiditas diatur dalam Surat Edaran OJK. BAB VII RASIO PIUTANG PEMBIAYAAN TERHADAP TOTAL ASET Pasal 36 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib memiliki rasio piutang pembiayaan neto terhadap total aset (financing to asset ratio) paling rendah 40% (empat puluh persen). (2) Piutang pembiayaan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diperoleh dari pengurangan piutang pembiayaan bruto dengan pendapatan yang belum diakui dan cadangan penyisihan penghapusan piutang pembiayaan. (3) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak memperoleh izin usaha. (4) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan yang melakukan peningkatan Modal Disetor dalam rangka pemenuhan rasio permodalan, gearing ratio, dan perbandingan Ekuitas dengan Modal Disetor, Perusahaan Pembiayaan dikecualikan dari pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) ... - 25 - 1 (satu) tahun sejak tanggal peningkatan Modal Disetor dicatat oleh instansi yang berwenang. BAB VIII EKUITAS Pasal 37 (1) Perusahaan Pembiayaan yang berbentuk badan hukum: a. perseroan terbatas wajib memiliki Ekuitas paling sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); atau b. koperasi wajib memiliki Ekuitas paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (2) Perusahaan Pembiayaan berbadan hukum perseroan terbatas yang telah mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan dan memiliki Ekuitas di bawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, wajib memiliki Ekuitas dengan tahapan sebagai berikut: a. paling sedikit sebesar Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar) paling lambat 31 Desember 2016; dan b. paling sedikit sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar) paling lambat tanggal 31 Desember 2019. (3) Perusahaan Pembiayaan berbadan hukum koperasi yang telah mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan dan memiliki Ekuitas di bawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, wajib memiliki Ekuitas dengan tahapan sebagai berikut: a. paling sedikit sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar) paling lambat tanggal 31 Desember 2016; dan b. paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar) paling lambat tanggal 31 Desember 2019. Pasal 38 ... - 26 - Pasal 38 Perusahaan Pembiayaan wajib memiliki rasio Ekuitas terhadap Modal Disetor paling rendah sebesar 50% (lima puluh persen). BAB IX BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN PEMBIAYAAN Pasal 39 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan BMPP kepada seluruh pihak terkait paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari Ekuitas Perusahaan Pembiayaan. (2) Pihak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. orang perseorangan atau badan usaha yang merupakan Pengendali Perusahaan Pembiayaan; b. badan usaha dimana Perusahaan Pembiayaan bertindak sebagai Pengendali; c. orang perseorangan atau badan usaha yang bertindak sebagai Pengendali dari badan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf b; d. badan usaha yang pengendaliannya dilakukan oleh: 1. orang perseorangan dan/atau badan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a; 2. orang perseorangan dan/atau badan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf c; e. Dewan Komisaris atau Direksi Perusahaan Pembiayaan; f. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua, baik horisontal maupun vertikal: 1. dari ... - 27 - 1. dari orang perseorangan yang merupakan Pengendali Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada huruf a; 2. dari Dewan Komisaris atau Direksi pada Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada huruf e. g. dewan komisaris atau direksi pada badan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d; h. badan usaha yang dewan komisaris atau direksi merupakan: 1. Dewan Komisaris atau Direksi pada Perusahaan Pembiayaan; 2. dewan komisaris atau direksi pada badan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d; i. badan usaha dimana: 1. Dewan Komisaris atau Direksi Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada huruf e bertindak sebagai Pengendali; 2. dewan komisaris atau direksi dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d, bertindak sebagai Pengendali; dan j. badan usaha yang memiliki ketergantungan keuangan (financial interdependence) dengan Perusahaan Pembiayaan dan/atau pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan/atau huruf i. (3) Perusahaan Pembiayaan wajib memiliki dan menata- usahakan daftar rincian pihak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 40 ... - 28 - Pasal 40 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan BMPP kepada 1 (satu) Debitur yang bukan merupakan pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari Ekuitas Perusahaan Pembiayaan. (2) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan BMPP kepada 1 (satu) kelompok Debitur yang bukan merupakan pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) ditetapkan paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari Ekuitas Perusahaan Pembiayaan. (3) Debitur digolongkan sebagai anggota suatu kelompok Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila Debitur mempunyai hubungan pengendalian dengan Debitur lain baik melalui hubungan kepemilikan, kepengurusan, dan/atau keuangan, yang meliputi: a. Debitur merupakan Pengendali Debitur lain; b. 1 (satu) pihak yang sama merupakan Pengendali dari beberapa Debitur (common ownership); c. Debitur memiliki ketergantungan keuangan (financial interdependence) dengan Debitur lain; d. Debitur menerbitkan jaminan (guarantee) untuk mengambil alih dan/atau melunasi sebagian atau seluruh kewajiban Debitur lain dalam hal Debitur lain tersebut gagal memenuhi kewajibannya (wanprestasi) kepada Perusahaan Pembiayaan; dan/atau e. dewan komisaris dan/atau direksi Debitur menjadi dewan komisaris dan/atau direksi pada Debitur lain. Pasal 41 Ketentuan BMPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (2) dikecualikan bagi pembiayaan untuk pengadaan barang dan/atau jasa dalam rangka program pemerintah. BAB X ... - 29 - BAB X KERJA SAMA PEMBIAYAAN Pasal 42 (1) Dalam menjalankan usahanya, Perusahaan Pembiayaan dapat bekerjasama dengan pihak lain melalui pembiayaan penerusan (channeling) atau pembiayaan bersama (joint financing) dan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. bank; b. perusahaan pembiayaan sekunder perumahan; c. lembaga keuangan mikro; dan/atau d. Perusahaan Pembiayaan. (3) Dalam pembiayaan penerusan (channeling) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), risiko yang timbul dari kegiatan ini berada pada pihak yang memiliki dana. (4) Dalam pembiayaan penerusan (channeling), pihak yang menerima dana hanya bertindak sebagai pengelola dan memperoleh imbalan atau fee dari pengelolaan dana tersebut. (5) Dalam pembiayaan bersama (joint financing) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sumber dana untuk pembiayaan ini harus berasal dari Perusahaan Pembiayaan dan pihak lain. (6) Risiko yang timbul dari pembiayaan bersama (joint financing) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menjadi beban masing-masing pihak secara proporsional sesuai dengan besaran dana yang dikeluarkan. BAB XI ... - 30 - BAB XI PENDANAAN Pasal 43 Sumber pendanaan Perusahaan Pembiayaan dapat berasal dari: a. pinjaman dari bank, industri keuangan non bank, dan/atau badan usaha lain; b. penerbitan obligasi; c. penerbitan medium term notes; d. pinjaman subordinasi; e. penambahan Modal Disetor termasuk melalui penawaran umum saham; dan/atau f. sekuritisasi aset. Pasal 44 Jumlah pinjaman dari badan usaha lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf a, wajib memenuhi ketentuan paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk setiap kreditur dengan jangka waktu pengembalian paling singkat 1 (satu) tahun. Pasal 45 Pinjaman subordinasi yang diterima Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf d harus memenuhi ketentuan: a. paling singkat berjangka waktu 5 (lima) tahun; b. dalam hal terjadi likuidasi, hak tagih berlaku paling akhir dari segala pinjaman yang ada; dan c. dituangkan dalam bentuk perjanjian akta notariil antara Perusahaan Pembiayaan dengan pemberi pinjaman. Pasal 46 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan gearing ratio paling tinggi 10 (sepuluh) kali. (2) Gearing ratio ... - 31 - (2) Gearing ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perbandingan antara jumlah pinjaman dengan selisih penjumlahan Ekuitas dan pinjaman subordinasi dengan penyertaan. (3) Pinjaman subordinasi yang dapat diperhitungkan sebagai pembagi dalam perhitungan gearing ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari Modal Disetor. (4) Ketentuan mengenai besaran gearing ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditinjau kembali dan perubahannya diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 47 (1) Perusahaan Pembiayaan yang menerima pinjaman dalam valuta asing wajib melakukan lindung nilai secara penuh (full hedge). (2) Lindung nilai secara penuh (full hedge) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan untuk pokok pinjaman, suku bunga pinjaman, dan/atau jangka waktu pembayaran. Pasal 48 Perusahaan Pembiayaan yang akan menerima pinjaman dalam valuta asing wajib memenuhi Tingkat Kesehatan Keuangan dengan kondisi minimum sehat. BAB XII PENYERTAAN Pasal 49 (1) Perusahaan Pembiayaan hanya dapat melakukan penyertaan modal secara langsung pada: a. perusahaan di sektor jasa keuangan di Indonesia; dan b. perusahaan yang terkait dengan kegiatan Perusahaan Pembiayaan. (2) Jumlah ... - 32 - (2) Jumlah seluruh penyertaan langsung Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah Ekuitas Perusahaan Pembiayaan. (3) Jumlah seluruh penyertaan langsung Perusahaan Pembiayaan kepada entitas dalam 1 (satu) grup paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah Ekuitas Perusahaan Pembiayaan. (4) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan jumlah penyertaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) pada saat melakukan penyertaan. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dikecualikan bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pemisahan dalam rangka pendirian Perusahaan Pembiayaan yang seluruh kegiatan usahanya dilakukan berdasarkan prinsip syariah. BAB XIII SERTIFIKASI Pasal 50 (1) Pegawai Perusahaan Pembiayaan yang menduduki posisi manajerial mulai dari tingkat kepala kantor cabang sampai dengan satu tingkat dibawah Direksi, wajib memiliki sertifikat tingkat dasar di bidang pembiayaan dari lembaga yang ditunjuk oleh asosiasi dengan menyampaikan pemberitahuan kepada OJK dan disertai dengan alasan penunjukan. (2) Direksi Perusahaan Pembiayaan wajib memiliki sertifikat keahlian di bidang pembiayaan dari lembaga yang ditunjuk oleh asosiasi dengan menyampaikan pemberitahuan kepada OJK dan disertai dengan alasan penunjukan. (3) Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan wajib memiliki sertifikat tingkat dasar di bidang pembiayaan dari ... - 33 - dari lembaga yang ditunjuk oleh asosiasi dengan menyampaikan pemberitahuan kepada OJK dan disertai dengan alasan penunjukan. (4) Direksi dan pejabat 1 (satu) tingkat di bawah Direksi yang membawahkan fungsi manajemen risiko wajib memiliki sertifikat keahlian di bidang manajemen risiko dari lembaga yang ditunjuk oleh asosiasi dengan menyampaikan pemberitahuan kepada OJK dan disertai dengan alasan penunjukan. (5) Pegawai dan/atau tenaga alih daya Perusahaan Pembiayaan yang menangani bidang penagihan wajib memiliki sertifikat profesi di bidang penagihan dari lembaga yang ditunjuk asosiasi dengan menyampaikan pemberitahuan kepada OJK dan disertai dengan alasan penunjukan. BAB XIV LARANGAN Pasal 51 Perusahaan Pembiayaan dilarang: a. menghimpun dana secara langsung dari masyarakat berbentuk giro, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; b. memberikan jaminan dalam segala bentuknya atas pemenuhan kewajiban pihak lain; c. menerbitkan surat sanggup bayar (promisorry note), kecuali sebagai jaminan atas utang kepada bank yang menjadi krediturnya; d. melakukan tindakan yang menyebabkan atau memaksa lembaga keuangan lainnya yang berada di bawah pengawasan OJK melanggar peraturan perundang- undangan yang berlaku; dan/atau e. melakukan tindakan yang menyebabkan atau memaksa lembaga keuangan lainnya yang berada di bawah pengawasan ... - 34 - pengawasan OJK menghindari peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pasal 52 (1) Dalam melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Perusahaan Pembiayaan dilarang melakukan pembiayaan secara dana tunai kepada Debitur. (2) Dalam menyalurkan pembiayaan, Perusahaan Pembiayaan dilarang melakukan pembelian barang dari Debitur atau calon Debitur kecuali melalui cara Jual dan Sewa-Balik (Sale and Leaseback). Pasal 53 Perusahaan Pembiayaan dalam melakukan kegiatan usahanya dilarang menggunakan informasi yang tidak benar yang dapat merugikan kepentingan Debitur, kreditur, dan pemangku kepentingan termasuk OJK. BAB XV PENYAMPAIAN LAPORAN BERKALA Pasal 54 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib menyampaikan laporan berkala kepada OJK, yaitu: a. laporan bulanan; dan b. laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik. (2) Ketentuan mengenai laporan bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK mengenai laporan bulanan. Pasal 55 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf b kepada OJK paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun buku terakhir. (2) Perusahaan ... - 35 - (2) Perusahaan Pembiayaan wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) secara lengkap dan benar dalam bentuk hard copy dan soft copy. (3) Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) wajib disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia. (4) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) wajib mencantumkan perhitungan hal-hal yang diatur khusus di dalam Peraturan OJK ini. (5) Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) wajib disusun dalam mata uang rupiah. (6) Tahun buku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib berdasarkan tahun takwim. (7) Akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terdaftar di OJK. (8) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan memperoleh izin usaha kurang dari 6 (enam) bulan hingga tahun takwim berakhir, kewajiban penyampaian laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tahun takwim berikutnya. Pasal 56 Dalam hal batas akhir penyampaian laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. Pasal 57... - 36 - Pasal 57 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib mengumumkan laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi komprehensif singkat paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun buku berakhir paling sedikit pada 1 (satu) surat kabar harian di Indonesia yang memiliki peredaran nasional. (2) Perusahaan Pembiayaan wajib melaporkan pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis kepada OJK paling lambat 20 (dua puluh) hari kalender setelah pelaksanaan pengumuman, dilampiri dengan bukti pengumuman. (3) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. BAB XVI SISTEM INFORMASI DAN TEKNOLOGI Pasal 58 (1) Dalam rangka mendukung penyelenggaraan usaha yang sehat, Perusahaan Pembiayaan wajib mempunyai sistem informasi dan teknologi yang terintegrasi. (2) Kewajiban sebagaimana yang dimaksudkan pada ayat (1) berlaku untuk Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai kantor cabang lebih dari 5 (lima). BAB XVII PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DI BIDANG KETENAGALISTRIKAN DAN PELAYARAN Pasal 59 (1) Perusahaan Pembiayaan yang didirikan khusus untuk melakukan kegiatan pembiayaan di bidang ketenagalistrikan dapat melakukan kegiatan usaha selain ... - 37 - selain kegiatan usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan OJK ini. (2) Kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan dalam rangka mendukung pemenuhan kebutuhan ketenagalistrikan nasional. (3) Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak wajib memenuhi ketentuan mengenai Pasal 26 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), Pasal 46 ayat (1). Pasal 60 Perusahaan Pembiayaan yang didirikan khusus untuk melakukan kegiatan di bidang pelayaran tidak wajib memenuhi ketentuan Pasal 49 ayat (2) dan ayat (3). BAB XVIII PENEGAKAN KEPATUHAN Bagian Kesatu Pemberitahuan Pasal 61 (1) Perusahaan Pembiayaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal 8 ayat (3), Pasal 9, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 39 ayat (3), Pasal 47, Pasal 54 ayat (1) huruf b, Pasal 55 ayat (1), Pasal 55 ayat (2), Pasal 55 ayat (3), Pasal 55 ayat (4), Pasal 55 ayat (5), Pasal 55 ayat (6), Pasal 57 ayat (1), dan/atau Pasal 57 ayat (2), Peraturan OJK ini diberikan surat pemberitahuan. (2) Perusahaan Pembiayaan wajib melakukan pemenuhan atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal surat pemberitahuan. Bagian ... - 38 - Bagian Kedua Rencana Pemenuhan Pasal 62 (1) Perusahaan Pembiayaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27, Pasal 29 ayat (6), Pasal 30 ayat (1), Pasal 30 ayat (3), Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (3), Pasal 32 ayat (1), Pasal 32 ayat (3), Pasal 33 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), Pasal 36 ayat (3), Pasal 37 ayat (1), Pasal 37 ayat (2) huruf a, Pasal 37 ayat (3) huruf a, Pasal 38, Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 ayat (1), Pasal 40 ayat (2), Pasal 46 ayat (1), Pasal 50, dan/atau Pasal 58 ayat (1) Peraturan OJK ini wajib menyampaikan rencana pemenuhan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penetapan terjadinya pelanggaran oleh OJK. (2) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat rencana yang akan dilakukan Perusahaan Pembiayaan untuk pemenuhan ketentuan yang disertai dengan jangka waktu tertentu yang dibutuhkan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat antara lain: a. restrukturisasi aset dan/atau liabilitas; b. penambahan Modal Disetor; c. pembatasan penerimaan pinjaman baru; d. penerimaan pinjaman subordinasi; e. pengalihan sebagian atau seluruh aset; f. pembatasan pembagian laba; g. pembatasan kegiatan yang menyebabkan pelanggaran ketentuan; h. pembatasan pembukaan kantor cabang baru; dan/atau i. penggabungan ... - 39 - i. penggabungan badan usaha. (4) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh seluruh Direksi dan Dewan Komisaris. (5) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu disetujui oleh rapat umum pemegang saham dalam hal rencana dimaksud memuat rencana penambahan Modal Disetor atau rencana penggabungan usaha. (6) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperoleh pernyataan tidak keberatan dari OJK. (7) Dalam hal rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai oleh OJK tidak cukup untuk mengatasi permasalahan, Perusahaan Pembiayaan wajib melakukan perbaikan atas rencana pemenuhan tersebut. (8) OJK memberikan pernyataan tidak keberatan atas rencana pemenuhan yang disampaikan oleh Perusahaan Pembiayaan dengan memperhatikan kondisi permasalahan yang dihadapi oleh Perusahaan Pembiayaan paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterimanya rencana pemenuhan secara lengkap. (9) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (8), OJK tidak memberikan pernyataan tidak keberatan atau tanggapan, Perusahaan Pembiayaan dapat melaksanakan rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (10) Perusahaan Pembiayaan wajib melaksanakan rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB XIX ... - 40 - BAB XIX SANKSI Pasal 63 (1) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2), Perusahaan Pembiayaan tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), Perusahaan Pembiayaan dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa: a. peringatan; b. pembekuan kegiatan usaha; dan c. pencabutan izin usaha. (2) Perusahaan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap dikenakan sanksi peringatan pertama yang berakhir dengan sendirinya. (3) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing- masing paling lama 2 (dua) bulan. (4) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), OJK mencabut sanksi peringatan. (5) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3), berakhir dan Perusahaan Pembiayaan tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), OJK mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha. (6) Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. (7) Dalam ... - 41 - (7) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya. (8) Perusahaan Pembiayaan yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilarang melakukan kegiatan usaha. (9) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha. (10) Dalam hal sanksi waktu pembekuan usaha masih berlaku dan Perusahaan Pembiayaan tetap melakukan kegiatan usaha pembiayaan, OJK dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin usaha. (11) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Perusahaan Pembiayaan tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), OJK mencabut izin usaha Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan. (12) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada masyarakat. Pasal 64 (1) Perusahaan Pembiayaan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1), ayat (7), atau ayat (10) Peraturan OJK ini dapat dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan; b. pembekuan ... - 42 - b. pembekuan kegiatan usaha; dan/atau c. pencabutan izin usaha. (2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat memberikan sanksi tambahan berupa: a. pembatasan kegiatan usaha tertentu; b. penurunan hasil penilaian tingkat risiko; c. pembatalan persetujuan; dan/atau d. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan. (3) Perusahaan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap dikenakan sanksi peringatan pertama yang berakhir dengan sendirinya. (4) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing- masing paling lama 2 (dua) bulan. (5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 62 ayat (1), ayat (7) atau ayat (10), OJK mencabut sanksi peringatan. (6) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dan Perusahaan Pembiayaan tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada dalam Pasal 62 ayat (1), ayat (7), atau ayat (10), OJK mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha. (7) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) atau ayat (3) dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1), ayat (7), atau ayat (10) sampai dengan berakhirnya jangka waktu peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Perusahaan Pembiayaan dimaksud dikenakan sanksi pencabutan ... - 43 - pencabutan izin usaha tanpa didahului sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6). (8) Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. (9) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya. (10) Perusahaan Pembiayaan yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dilarang melakukan kegiatan usaha. (11) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha. (12) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih berlaku dan Perusahaan Pembiayaan tetap melakukan kegiatan usaha pembiayaan, OJK dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin usaha. (13) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Perusahaan Pembiayaan tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1), ayat (7), atau, ayat (10), OJK mencabut izin usaha Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan. (14) OJK dapat mengumumkan sanksi pembatasan kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dan/atau sanksi pencabutan ... - 44 - pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada masyarakat. Pasal 65 (1) Perusahaan Pembiayaan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 ayat (2), Pasal 10 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 37 ayat (2) huruf b, Pasal 37 ayat (3) huruf b, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49 ayat (4), Pasal 51, Pasal 52, dan/atau Pasal 53 Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa: a. peringatan; b. pembekuan kegiatan usaha; dan c. pencabutan izin usaha. (2) Perusahaan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap dikenakan sanksi peringatan pertama yang berakhir dengan sendirinya. (3) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing- masing paling lama 2 (dua) bulan. (4) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi peringatan. (5) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dan Perusahaan Pembiayaan tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha. (6) Sanksi ... - 45 - (6) Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. (7) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya. (8) Perusahaan Pembiayaan yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dilarang melakukan kegiatan usaha. (9) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha. (10) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih berlaku dan Perusahaan Pembiayaan tetap melakukan kegiatan usaha pembiayaan, OJK dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin usaha. (11) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Perusahaan Pembiayaan tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut izin usaha Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan. (12) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada masyarakat. Pasal 66 (1) OJK dapat mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha tanpa didahului pengenaan sanksi peringatan apabila ... - 46 - apabila Perusahaan Pembiayaan pelanggaran atas Pasal 51 huruf a. melakukan (2) Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. (3) Dalam hal masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur, sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya. (4) Perusahaan Pembiayaan yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilarang melakukan kegiatan usaha. (5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha. (6) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih berlaku dan Perusahaan Pembiayaan tetap melakukan kegiatan usaha pembiayaan, OJK dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin usaha. (7) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Pembiayaan tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut izin usaha Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan. (8) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau ayat (7) kepada masyarakat. Pasal 67 ... - 47 - Pasal 67 Dalam hal Perusahaan Pembiayaan mendapatkan sanksi administratif berupa sanksi peringatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf a, Pasal 64 ayat (1) huruf a, dan/atau Pasal 65 ayat (1) huruf a secara kumulatif sebanyak 5 (lima) kali atau lebih dalam jangka waktu 2 (dua) tahun, OJK dapat meminta Direksi dan/atau Dewan Komisaris untuk mengikuti penilaian kembali kemampuan dan kepatutan. BAB XX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 68 (1) Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, dapat melaksanakan kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, serta Pasal 2 ayat (2). (2) Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan mengenai pencantuman kegiatan usaha dalam anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dinyatakan berlaku 1 (satu) tahun sejak Peraturan OJK ini ditetapkan. (3) Perjanjian pembiayaan yang telah dilakukan oleh Perusahaan Pembiayaan sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian pembiayaan tersebut. Pasal 69 Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26 ayat (1), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, dan Pasal 35 dinyatakan berlaku 1 (satu) tahun sejak Peraturan OJK ini ditetapkan. Pasal 70 ... - 48 - Pasal 70 (1) Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), Pasal 39 ayat (3), Pasal 40 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (2), berlaku 2 (dua) tahun sejak Peraturan OJK ini ditetapkan. (2) Penyaluran pembiayaan yang diberikan sebelum ketentuan BMPP berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetap dapat dilanjutkan sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian pembiayaan tersebut dan tidak diperhitungkan sebagai dasar perhitungan BMPP. Pasal 71 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 tidak berlaku bagi pinjaman dalam valuta asing yang diterima oleh Perusahaan Pembiayaan sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan. Pasal 72 Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dinyatakan berlaku 3 (tiga) tahun sejak Peraturan OJK ini ditetapkan. Pasal 73 Perjanjian pembiayaan berupa penyediaan dana secara tunai yang telah dilakukan sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, tetap dapat dilanjutkan sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian pembiayaan tersebut. Pasal 74 Ketentuan dan mekanisme pelaporan bulanan Perusahaan Pembiayaan dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum terdapat peraturan yang mengatur mengenai ketentuan pelaporan bulanan sesuai dengan kegiatan usaha dalam Peraturan OJK ini. Pasal 75 ... - 49 - Pasal 75 Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dinyatakan berlaku 2 (dua) tahun sejak peraturan OJK ini ditetapkan. Pasal 76 (1) Setiap sanksi administratif yang telah dikenakan terhadap Perusahaan Pembiayaan berdasarkan: a. Peraturan Menteri Keuangan Nomor b. Peraturan 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan; Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank; c. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.010/2012 tentang Uang Muka Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Pada Perusahaan Pembiayaan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 220/PMK.010/2012; d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia, dinyatakan tetap sah dan berlaku. (2) Perusahaan Pembiayaan yang belum dapat mengatasi penyebab dikenakannya sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi lanjutan sesuai dengan Peraturan OJK ini. administratif BAB XXI ... - 50 - BAB XXI KETENTUAN PENUTUP Pasal 77 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha Perusahaan Pembiayaan tunduk pada Peraturan OJK ini. Pasal 78 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 November 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 November 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 364 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum, Ttd. Tini Kustini
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 29/POJK.05/2014 </reg_id> <reg_title> PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN </reg_title> <set_date> 19 November 2014 </set_date> <effective_date> 19 November 2014 </effective_date> <issued_date> 19 November 2014 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XIX' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 49 /POJK.04/2016 TENTANG DANA PERLINDUNGAN PEMODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk terkait dengan pengaturan mengenai dana perlindungan pemodal beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap dana perlindungan pemodal, peraturan mengenai Dana Perlindungan Pemodal yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Dana Perlindungan Pemodal; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG DANA PERLINDUNGAN PEMODAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Aset Pemodal adalah Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek, dan/atau dana milik Pemodal yang dititipkan pada Kustodian. 2. Dana Perlindungan Pemodal adalah kumpulan dana yang dibentuk untuk melindungi Pemodal dari hilangnya Aset Pemodal, sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. 3. Pemodal adalah nasabah dari Perantara Pedagang Efek yang mengadministrasikan rekening Efek nasabah dan Bank Kustodian. 4. Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal adalah perseroan terbatas yang telah mendapatkan izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan untuk menyelenggarakan dan mengelola Dana Perlindungan Pemodal. - 3 - 5. Faktor Risiko adalah salah satu unsur dalam penentuan besaran iuran keanggotaan tahunan Bank Kustodian untuk Dana Perlindungan Pemodal yang merupakan jumlah nilai risiko dikalikan dengan Bobot Risiko. BAB II PEMBENTUKAN DANA PERLINDUNGAN PEMODAL Pasal 2 Dana Perlindungan Pemodal dibentuk dan berasal dari sumber sebagai berikut: a. kontribusi dana awal dari Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; b. iuran keanggotaan yang nilainya ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, yang terdiri dari iuran keanggotaan awal dan iuran keanggotaan tahunan; c. dana yang diperoleh Dana Perlindungan Pemodal dari Kustodian sebagai pengganti dari Pemodal sebagai pelaksanaan hak subrogasi; d. hasil investasi Dana Perlindungan Pemodal; dan e. sumber lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. BAB III IURAN KEANGGOTAAN DANA PERLINDUNGAN PEMODAL Pasal 3 (1) Pelaksanaan iuran keanggotaan Dana Perlindungan Pemodal dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. bagi Perantara Pedagang Efek yang mengadministrasikan rekening Efek nasabah: 1) iuran keanggotaan awal sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk masing-masing Perantara Pedagang Efek yang mengadministrasikan rekening Efek nasabah; dan - 4 - 2) iuran keanggotaan tahunan sebesar 0,001% (satu per seratus ribu) dari rata-rata bulanan total nilai Aset Nasabah tahun sebelumnya yang dititipkan pada Perantara Pedagang Efek yang mengadministrasikan rekening Efek nasabah. b. bagi Bank Kustodian: 1) iuran keanggotaan awal sebesar Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) untuk masing-masing Bank Kustodian; dan 2) iuran keanggotaan tahunan sebesar seluruh Faktor Risiko dikalikan dengan 0,001% (satu per seratus ribu) dari rata-rata bulanan total nilai Aset Pemodal tahun sebelumnya yang dititipkan pada Bank Kustodian. (2) Perubahan atas besaran iuran keanggotaan awal dan iuran keanggotaan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk selanjutnya ditetapkan dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. BAB IV PENGELOLAAN DANA PERLINDUNGAN PEMODAL Pasal 4 Dana Perlindungan Pemodal bukan merupakan milik Pihak tertentu dan tidak digunakan untuk keperluan apapun kecuali untuk tujuan sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 5 Dana Perlindungan Pemodal diadministrasikan dan dikelola oleh Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal. Pasal 6 Dana Perlindungan Pemodal diwakili baik di dalam maupun di luar pengadilan oleh Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal. - 5 - Pasal 7 Harta kekayaan dari Dana Perlindungan Pemodal tidak dapat dipinjamkan atau dijaminkan. Pasal 8 Harta kekayaan dari Dana Perlindungan Pemodal hanya dapat diinvestasikan pada Surat Berharga Negara dan/atau deposito pada bank yang dimiliki Pemerintah Republik Indonesia. Pasal 9 Investasi Dana Perlindungan Pemodal dalam bentuk selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 10 Hasil investasi Dana Perlindungan Pemodal setelah dikurangi biaya atas jasa pengelolaan, wajib ditambahkan ke dalam Dana Perlindungan Pemodal. Pasal 11 Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal berhak mendapatkan imbalan atas jasa pengelolaan atas investasi Dana Perlindungan Pemodal sebesar 10% (sepuluh persen) dari pendapatan bersih hasil investasi. Pasal 12 Otoritas Jasa Keuangan dapat menentukan batasan lain atas imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dengan memperhatikan kebutuhan Dana Perlindungan Pemodal dan kondisi keuangan Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal. Pasal 13 Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan memutuskan Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal tidak sanggup untuk menyelenggarakan dan mengelola Dana Perlindungan Pemodal, penyelenggaraan dan pengelolaan Dana - 6 - Perlindungan Pemodal dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan, baik dengan atau tanpa menunjuk Pihak lain. Pasal 14 Dalam kondisi tertentu selain sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, Otoritas Jasa Keuangan dapat mengambil alih dan menetapkan penggunaan Dana Perlindungan Pemodal. Pasal 15 Ketentuan mengenai kondisi tertentu dan penggunaan Dana Perlindungan Pemodal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. BAB V KEANGGOTAAN DANA PERLINDUNGAN PEMODAL Pasal 16 Kustodian wajib menjadi anggota Dana Perlindungan Pemodal. Pasal 17 Kustodian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 adalah Perantara Pedagang Efek yang mengadministrasikan rekening Efek nasabah dan Bank Kustodian. Pasal 18 Anggota Dana Perlindungan Pemodal wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. membayar penuh dan tepat waktu iuran keanggotaan sejumlah nilai yang ditentukan oleh Otoritas Jasa Keuangan; b. memisahkan rekening Efek pada Kustodian untuk setiap Pemodal dan dengan rekening Efek milik Kustodian; c. memisahkan rekening dana pada bank untuk setiap Pemodal dan dengan rekening dana milik Kustodian sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- - 7 - undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pengendalian Internal Perusahaan Efek yang Melakukan Kegiatan Usaha sebagai Perantara Pedagang Efek; dan d. memiliki dan menerapkan sistem manajemen risiko sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang- undangan di bidang Pasar Modal. BAB VI RUANG LINGKUP PERLINDUNGAN DANA PERLINDUNGAN PEMODAL Pasal 19 Aset Pemodal berupa Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek yang mendapat perlindungan Dana Perlindungan Pemodal adalah Efek dalam Penitipan Kolektif pada Kustodian yang dicatat dalam Rekening Efek pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Pasal 20 Aset Pemodal berupa dana yang mendapat perlindungan Dana Perlindungan Pemodal adalah dana yang dititipkan pada Kustodian yang dibukakan Rekening Dana Nasabah pada bank atas nama masing-masing Pemodal. Pasal 21 Pemodal yang asetnya mendapat perlindungan Dana Perlindungan Pemodal adalah Pemodal yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. menitipkan asetnya dan memiliki rekening Efek pada Kustodian; b. dibukakan Sub Rekening Efek pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian oleh Kustodian; dan c. memiliki nomor tunggal identitas pemodal dari Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. - 8 - Pasal 22 Dana Perlindungan Pemodal digunakan untuk memberikan ganti rugi kepada Pemodal atas hilangnya Aset Pemodal. Pasal 23 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 tidak berlaku bagi Pemodal yang memenuhi 1 (satu) atau lebih kriteria berikut: a. Pemodal yang terlibat atau menjadi penyebab Aset Pemodal hilang; b. Pemodal merupakan pemegang saham pengendali, anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau pejabat satu tingkat di bawah anggota direksi Kustodian; dan/atau c. Pemodal merupakan Afiliasi dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b. BAB VII GANTI RUGI OLEH DANA PERLINDUNGAN PEMODAL Bagian Kesatu Pembayaran Ganti Rugi Pasal 24 (1) Pembayaran ganti rugi kepada Pemodal dengan menggunakan Dana Perlindungan Pemodal dilakukan jika memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Otoritas Jasa Keuangan telah menerbitkan pernyataan tertulis bahwa: 1) terdapat kehilangan Aset Pemodal; 2) Kustodian tidak memiliki kemampuan untuk mengembalikan Aset Pemodal yang hilang; dan 3) bagi Kustodian berupa Perantara Pedagang Efek yang mengadministrasikan Efek dinyatakan tidak dapat melanjutkan kegiatan usahanya dan dipertimbangkan izin usahanya dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan; atau - 9 - 4) bagi Bank Kustodian dinyatakan tidak dapat melanjutkan kegiatan usahanya sebagai Bank Kustodian dan dipertimbangkan persetujuan Bank Umum sebagai Kustodian dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan b. Pemodal telah mengajukan permohonan ganti rugi kepada Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal. (2) Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (3) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk dana sebesar nilai Aset Pemodal yang hilang dan/atau sesuai dengan batasan paling tinggi untuk setiap Pemodal dan setiap Kustodian yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (4) Ketentuan mengenai tata cara penentuan nilai Aset Pemodal yang hilang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 25 Ganti rugi atas nilai Aset Pemodal yang hilang tidak mencakup nilai kerugian atas perkiraan nilai investasi masa datang. Bagian Kedua Subrogasi Pasal 26 (1) Dana Perlindungan Pemodal menggantikan kedudukan Pemodal yang mendapatkan ganti rugi atas hilangnya Aset Pemodal dari Dana Perlindungan Pemodal terhadap Kustodian karena subrogasi. - 10 - (2) Hak Dana Perlindungan Pemodal karena subrogasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar ganti rugi yang telah diberikan Dana Perlindungan Pemodal kepada Pemodal beserta biaya yang telah dikeluarkan dalam rangka pembayaran ganti rugi dan pengembalian dana dimaksud. (3) Penggantian kedudukan Pemodal oleh Dana Perlindungan Pemodal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan hak Pemodal untuk menuntut Kustodian atas hilangnya Aset Pemodal yang tidak diganti oleh Dana Perlindungan Pemodal. (4) Dalam melaksanakan hak subrogasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dana Perlindungan Pemodal diwakili oleh Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal. (5) Pelaksanaan hak subrogasi oleh Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal dilaksanakan sesuai dengan tata cara sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal. Bagian Ketiga Kewajiban Anggota Dana Perlindungan Pemodal karena Subrogasi Pasal 27 (1) Kustodian wajib mengembalikan seluruh dana ganti rugi yang telah dibayarkan oleh Dana Perlindungan Pemodal ditambah biaya yang telah dikeluarkan. (2) Pengembalian dana oleh Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak permintaan pengembalian dana disampaikan oleh Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal. - 11 - BAB VIII KETENTUAN SANKSI Pasal 28 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 29 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 12 - Pasal 30 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 kepada masyarakat. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 31 Dengan diberlakukannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, Dana Perlindungan Pemodal yang dibentuk berdasarkan Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor VI.A.4 tentang Dana Perlindungan Pemodal, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-715/BL/2012 tanggal 28 Desember 2012, dinyatakan tetap ada dan dikelola oleh Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal. Pasal 32 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 30/SEOJK.04/2015 tentang Iuran Keanggotan Bank Kustodian Untuk Dana Perlindungan Pemodal dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 33 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-715/BL/2012 tanggal 28 Desember 2012 tentang Dana Perlindungan Pemodal, beserta Peraturan Nomor VI.A.4 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. - 13 - Pasal 34 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 278 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 49 /POJK.04/2016 TENTANG DANA PERLINDUNGAN PEMODAL I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu untuk mengganti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Dana Perlindungan Pemodal yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-715/BL/2012 tanggal 28 Desember 2012 tentang Dana Perlindungan Pemodal beserta Peraturan Peraturan Nomor VI.A.4 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Dana Perlindungan Pemodal. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. - 3 - Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pengendalian Internal Perusahaan Efek yang Melakukan Kegiatan Usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang berlaku adalah Peraturan Nomor V.D.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-548/BL/2010 tentang Pengendalian Internal Perusahaan Efek Yang Melakukan Kegiatan Usaha Sebagai Perantara Pedagang Efek. Huruf d Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. - 4 - Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Nomor tunggal identitas pemodal dimaksud biasa disebut juga dengan sebutan single investor identification. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. - 5 - Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5974
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 49/POJK.04/2016 </reg_id> <reg_title> DANA PERLINDUNGAN PEMODAL </reg_title> <set_date> 2 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 7 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 7 Desember 2016 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-715/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012', 'Kep-715/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 | Lampiran Peraturan Nomor VI.A.4' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 46 /POJK.04/2016 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH BURSA EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk terkait dengan pengaturan mengenai tata cara pembuatan peraturan oleh Bursa Efek beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap tata cara pembuatan peraturan Bursa Efek, peraturan mengenai tata cara pembuatan peraturan oleh Bursa Efek yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Bursa Efek; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH BURSA EFEK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Bursa Efek adalah Pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli Efek Pihak-Pihak lain dengan tujuan memperdagangkan Efek di antara mereka. 2. Dewan Komisaris adalah organ Bursa Efek yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. 3. Anggota Bursa Efek adalah Perantara Pedagang Efek yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan dan mempunyai hak untuk mempergunakan sistem dan/atau sarana Bursa Efek sesuai dengan peraturan Bursa Efek. 4. Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah Pihak yang menyelenggarakan jasa kliring dan penjaminan penyelesaian Transaksi Bursa. - 3 - 5. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah Pihak yang menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi Bank Kustodian, Perusahaan Efek, dan Pihak lain. BAB II PEMBUATAN PERATURAN BURSA EFEK Bagian Kesatu Persyaratan Penyusunan Peraturan Bursa Efek Pasal 2 (1) Peraturan atau perubahan peraturan Bursa Efek dibuat dengan memperhatikan pendapat dari Anggota Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, serta Pihak yang berkepentingan lainnya. (2) Peraturan atau perubahan peraturan Bursa Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan Dewan Komisaris sebelum diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk memperoleh persetujuan. Pasal 3 (1) Permohonan persetujuan peraturan atau perubahan peraturan Bursa Efek disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangkap 4 (empat) dengan menggunakan format surat Permohonan Persetujuan Peraturan Atau Perubahan Peraturan Bursa Efek sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini disertai dengan dokumen sebagai berikut: a. peraturan yang dimintakan persetujuan; b. persetujuan Dewan Komisaris; c. pendapat Anggota Bursa Efek; dan d. pendapat pihak yang berkepentingan dengan peraturan dimaksud. - 4 - (2) Dalam permohonan dijelaskan alasan permohonan yang paling sedikit menyangkut latar belakang penyusunan peraturan, masalah yang dihadapi, dan cara pemecahannya. Bagian Kedua Penelaahan Permohonan Persetujuan Peraturan atau Perubahan Peraturan Bursa Efek Pasal 4 (1) Dalam rangka memproses permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan perubahan peraturan Bursa Efek paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta untuk mengubah materi perubahan peraturan Bursa Efek dan/atau meminta tambahan informasi yang berhubungan dengan peraturan dimaksud. (3) Dalam hal perubahan dan/atau tambahan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan, permohonan perubahan peraturan Bursa Efek dihitung sejak tanggal diterimanya perubahan atau tambahan informasi tersebut oleh Otoritas Jasa Keuangan. BAB III PENAFSIRAN PERATURAN BURSA EFEK DAN KETENTUAN INTERNAL BURSA EFEK Pasal 5 Penafsiran atas peraturan Bursa Efek untuk memperjelas pengertiannya tetapi tidak mengubah atau menambah pengertian dimaksud, dan ketentuan mengenai pelaksanaan kegiatan internal Bursa Efek yang menyangkut bidang - 5 - kepegawaian Bursa Efek, penggunaan tanda pengenal dan standar prosedur operasi kegiatan Bursa Efek berlaku pada saat diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 6 Pemberitahuan oleh Bursa Efek kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai penafsiran atas peraturan Bursa Efek dan ketentuan mengenai pelaksanaan kegiatan internal Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, disampaikan dengan menggunakan format surat Pemberitahuan atas Penafsiran Peraturan Bursa Efek atau Peraturan Internal Bursa Efek sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, disertai dengan penjelasan dan latar belakang penyusunannya. Pasal 7 Otoritas Jasa Keuangan dapat membatalkan penafsiran dan ketentuan mengenai kegiatan internal Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak berlakunya peraturan dimaksud. BAB IV KETENTUAN SANKSI Pasal 8 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; - 6 - e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 9 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 10 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 kepada masyarakat. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 11 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-03/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Bursa Efek, beserta Peraturan Nomor III.A.2 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. - 7 - Pasal 12 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 275 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 46 /POJK.04/2016 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH BURSA EFEK I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu untuk mengganti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Bursa Efek yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep- 03/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Bursa Efek beserta Peraturan Nomor III.A.2 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Oleh Bursa Efek. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. - 3 - Pasal 12 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5971
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 46/POJK.04/2016 </reg_id> <reg_title> TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN OLEH BURSA EFEK </reg_title> <set_date> 2 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 7 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 7 Desember 2016 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-03/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-03/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | lampiran Peraturan Nomor III.A.2' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 32 /POJK.04/2014 TENTANG RENCANA DAN PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang baik bagi Perusahaan Terbuka perlu ditingkatkan untuk lebih melindungi hak pemegang saham dalam penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham; b. bahwa ketentuan mengenai Rencana dan Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham bagi Perusahaan Terbuka memerlukan penyesuaian sejalan dengan kebutuhan industri Pasar Modal akan pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Rencana dan Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka; Mengingat… -2- Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG RENCANA DAN PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Terbuka adalah Emiten yang melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas atau Perusahaan Publik. 2. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ Perusahaan Terbuka yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada… -3- kepada Direksi atau Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas dan/atau anggaran dasar Perusahaan Terbuka. 3. Direksi adalah organ Perusahaan Terbuka yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perusahaan Terbuka untuk kepentingan Perusahaan Terbuka, sesuai dengan maksud dan tujuan Perusahaan Terbuka serta mewakili Perusahaan Terbuka, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar Perusahaan Terbuka. 4. Dewan Komisaris adalah organ Perusahaan Terbuka yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi Perusahaan Terbuka. Pasal 2 (1) RUPS terdiri atas RUPS tahunan dan RUPS lainnya. (2) RUPS tahunan wajib diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir. (3) RUPS lainnya dapat diselenggarakan pada setiap waktu berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan Perusahaan Terbuka. BAB II PENYELENGGARAAN RUPS Bagian Pertama Permintaan Penyelenggaraan RUPS Pasal 3 (1) 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu per sepuluh) atau lebih… -4- lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali anggaran dasar Perusahaan Terbuka menentukan suatu jumlah yang lebih kecil, dapat meminta agar diselenggarakan RUPS. (2) Permintaan penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Direksi dengan surat tercatat disertai alasannya. (3) Permintaan penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus: a. dilakukan dengan itikad baik; b. mempertimbangkan kepentingan Perusahaan Terbuka; c. merupakan permintaan yang membutuhkan keputusan RUPS; d. e. disertai dengan alasan dan bahan terkait hal yang harus diputuskan dalam RUPS; dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar Perusahaan Terbuka. (4) Direksi wajib melakukan pengumuman RUPS kepada pemegang saham dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima Direksi. (5) Dalam hal Direksi tidak melakukan pengumuman RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pemegang saham dapat mengajukan kembali permintaan penyelenggaraan RUPS kepada Dewan Komisaris. (6) Dewan Komisaris wajib melakukan pengumuman RUPS kepada pemegang saham dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS sebagaimana… -5- sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterima Dewan Komisaris. Pasal 4 (1) Dalam hal Direksi atau Dewan Komisaris tidak melakukan pengumuman RUPS dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) dan ayat (6), Direksi atau Dewan Komisaris wajib mengumumkan: a. terdapat permintaan penyelenggaraan RUPS dari pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); dan b. alasan tidak diselenggarakannya RUPS. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari sejak diterimanya permintaan penyelenggaraan RUPS dari pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) dan ayat (6). (3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan Terbuka yang sahamnya tercatat pada Bursa Efek paling kurang melalui: a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional; b. situs web Bursa Efek; dan c. situs web Perusahaan Terbuka, dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing, dengan ketentuan bahasa asing yang digunakan paling kurang bahasa Inggris. (4) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan Terbuka yang sahamnya tidak tercatat pada Bursa Efek paling kurang melalui: a. 1 (satu)… -6- a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional; dan b. situs web Perusahaan Terbuka, dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing, dengan ketentuan bahasa asing yang digunakan paling kurang bahasa Inggris. (5) Pengumuman yang menggunakan bahasa asing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan ayat (4) huruf b wajib memuat informasi yang sama dengan informasi dalam pengumuman yang menggunakan Bahasa Indonesia. (6) Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran informasi yang diumumkan dalam bahasa asing dengan yang diumumkan dengan Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (5), informasi yang digunakan sebagai acuan adalah informasi dalam Bahasa Indonesia. (7) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan ayat (4) huruf a beserta salinan surat permintaan penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah pengumuman. Pasal 5 (1) Dalam hal Dewan Komisaris tidak melakukan pengumuman RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6), pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dapat mengajukan permintaan diselenggarakannya RUPS kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perusahaan Terbuka untuk menetapkan pemberian izin diselenggarakannya RUPS. (2) Pemegang… -7- (2) Pemegang saham yang telah memperoleh penetapan pengadilan untuk menyelenggarakan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. melakukan pengumuman, pemanggilan akan diselenggarakan RUPS, pengumuman ringkasan risalah RUPS, atas RUPS yang diselenggarakan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. b. melakukan pemberitahuan akan diselenggarakan RUPS dan menyampaikan bukti pengumuman, bukti pemanggilan, risalah RUPS, dan bukti pengumuman ringkasan risalah RUPS atas RUPS yang diselenggarakan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. c. melampirkan dokumen yang memuat nama pemegang saham serta jumlah kepemilikan sahamnya pada Perusahaan Terbuka yang telah memperoleh penetapan pengadilan untuk menyelenggarakan RUPS dan penetapan pengadilan dalam pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada huruf b kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait akan diselenggarakan RUPS tersebut. Pasal 6 Pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib tidak mengalihkan kepemilikan sahamnya dalam jangka waktu paling sedikit 6 (enam) bulan sejak RUPS jika permintaan penyelenggaraan RUPS dipenuhi oleh Direksi atau Dewan Komisaris atau ditetapkan oleh pengadilan. Bagian… -8- Bagian Kedua Tempat dan Waktu Penyelenggaraan RUPS Pasal 7 (1) RUPS wajib diselenggarakan di wilayah Negara Republik Indonesia. (2) Perusahaan Terbuka wajib menentukan tempat dan waktu penyelenggaraan RUPS. (3) Tempat penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan di: a. tempat kedudukan Perusahaan Terbuka; b. tempat Perusahaan Terbuka melakukan kegiatan usaha utamanya; c. ibukota provinsi dimana tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha utama Perusahaan Terbuka; atau d. provinsi tempat kedudukan Bursa Efek dimana saham Perusahaan Terbuka dicatatkan. Bagian Ketiga Pemberitahuan RUPS Pasal 8 (1) Perusahaan Terbuka wajib terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan mata acara rapat kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum pengumuman RUPS, dengan tidak memperhitungkan tanggal pengumuman RUPS. (2) Mata acara rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diungkapkan secara jelas dan rinci. (3) Dalam hal terdapat perubahan mata acara rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Terbuka wajib menyampaikan perubahan mata acara dimaksud… -9- dimaksud kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada saat pemanggilan RUPS. Pasal 9 Ketentuan Pasal 8 mutatis mutandis berlaku untuk pemberitahuan penyelenggaraan RUPS oleh pemegang saham yang telah memperoleh penetapan pengadilan untuk menyelenggarakan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2). Bagian Keempat Pengumuman RUPS Pasal 10 (1) Perusahaan Terbuka wajib melakukan pengumuman RUPS kepada pemegang saham paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan RUPS, dengan tidak memperhitungkan tanggal pengumuman dan tanggal pemanggilan. (2) Pengumuman RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang memuat: a. ketentuan pemegang saham yang berhak hadir dalam RUPS; b. c. ketentuan pemegang saham yang berhak mengusulkan mata acara rapat; tanggal penyelenggaraan RUPS; dan d. tanggal pemanggilan RUPS. (3) Dalam hal RUPS diselenggarakan atas permintaan pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, selain memuat hal yang disebut pada ayat (2), pengumuman RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat informasi bahwa Perusahaan Terbuka menyelenggarakan RUPS karena adanya permintaan dari pemegang saham. (4) Pengumuman… -10- (4) Pengumuman RUPS kepada pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan Terbuka yang sahamnya tercatat pada Bursa Efek paling kurang melalui: a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional; b. situs web Bursa Efek; dan c. situs web Perusahaan Terbuka, dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing, dengan ketentuan bahasa asing yang digunakan paling kurang bahasa Inggris. (5) Pengumuman RUPS kepada pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan Terbuka yang sahamnya tidak tercatat pada Bursa Efek paling kurang melalui: a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional; dan b. situs web Perusahaan Terbuka, dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing, dengan ketentuan bahasa asing yang digunakan paling kurang bahasa Inggris. (6) Pengumuman RUPS yang menggunakan bahasa asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dan ayat (5) huruf b wajib memuat informasi yang sama dengan informasi dalam pengumuman RUPS yang menggunakan Bahasa Indonesia. (7) Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran informasi yang diumumkan dalam bahasa asing dengan yang diumumkan dengan Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (6), informasi yang digunakan sebagai acuan adalah informasi dalam Bahasa Indonesia. (8) Bukti pengumuman RUPS sebagaimana dimaksud pada… -11- pada ayat (4) huruf a dan ayat (5) huruf a wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah pengumuman RUPS. (9) Dalam hal RUPS diselenggarakan atas permintaan pemegang saham, penyampaian bukti pengumuman RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (8) juga disertai dengan salinan surat penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2). Pasal 11 Ketentuan Pasal 10 mutatis mutandis berlaku untuk pengumuman penyelenggaraan RUPS oleh pemegang saham yang telah memperoleh penetapan pengadilan untuk menyelenggarakan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2). Pasal 12 (1) Pemegang saham dapat mengusulkan mata acara rapat secara tertulis kepada Direksi paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum pemanggilan RUPS. (2) Pemegang saham yang dapat mengusulkan mata acara rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili 1/20 (satu per dua puluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali anggaran dasar Perusahaan Terbuka menentukan suatu jumlah yang lebih kecil. (3) Usulan mata acara rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus: a. dilakukan dengan itikad baik; b. mempertimbangkan kepentingan Perusahaan Terbuka; c. menyertakan alasan dan bahan usulan mata acara rapat; dan d. tidak… permintaan -12- d. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. (4) Usulan mata acara rapat dari pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan mata acara yang membutuhkan keputusan RUPS. (5) Perusahaan Terbuka wajib mencantumkan usulan mata acara rapat dari pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) dalam mata acara rapat yang dimuat dalam pemanggilan. Bagian Kelima Pemanggilan RUPS Pasal 13 (1) Perusahaan Terbuka wajib melakukan pemanggilan kepada pemegang saham paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sebelum RUPS, dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS. (2) Pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang memuat informasi: a. tanggal penyelenggaraan RUPS; b. waktu penyelenggaraan RUPS; c. tempat penyelenggaraan RUPS; d. ketentuan pemegang saham yang berhak hadir dalam RUPS; e. mata acara rapat termasuk penjelasan atas setiap mata acara tersebut; dan f. informasi yang menyatakan bahan terkait mata acara rapat tersedia bagi pemegang saham sejak tanggal dilakukannya pemanggilan RUPS sampai dengan RUPS diselenggarakan. (3) Pemanggilan… -13- (3) Pemanggilan RUPS kepada pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan Terbuka yang sahamnya tercatat pada Bursa Efek paling kurang melalui: a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional; b. situs web Bursa Efek; dan c. situs web Perusahaan Terbuka, dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing, dengan ketentuan bahasa asing yang digunakan paling kurang bahasa Inggris. (4) Pemanggilan RUPS kepada pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan Terbuka yang tidak tercatat pada Bursa Efek paling kurang melalui: a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional; dan b. situs web Perusahaan Terbuka, dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing, dengan ketentuan bahasa asing yang digunakan paling kurang bahasa Inggris. (5) Pemanggilan RUPS yang menggunakan bahasa asing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan ayat (4) huruf b wajib memuat informasi yang sama dengan informasi dalam pemanggilan RUPS yang menggunakan Bahasa Indonesia. (6) Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran informasi pada pemanggilan dalam bahasa asing dengan informasi pada pemanggilan dalam Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (5), informasi yang digunakan sebagai acuan adalah informasi dalam Bahasa Indonesia. (7) Bukti pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada… -14- pada ayat (3) huruf a dan ayat (4) huruf a wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah pemanggilan RUPS. Pasal 14 Ketentuan Pasal 13 mutatis mutandis berlaku untuk pemanggilan penyelenggaraan RUPS oleh pemegang saham yang telah memperoleh penetapan pengadilan untuk menyelenggarakan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2). Pasal 15 (1) Perusahaan Terbuka wajib menyediakan bahan mata acara rapat bagi pemegang saham. (2) Bahan mata acara rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib tersedia sejak tanggal dilakukannya pemanggilan RUPS sampai dengan penyelenggaraan RUPS. (3) Dalam hal ketentuan peraturan perundang- undangan lain mengatur kewajiban ketersediaan bahan mata acara rapat lebih awal dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyediaan bahan mata acara rapat dimaksud mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan lain tersebut. (4) Bahan mata acara rapat yang tersedia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa salinan dokumen fisik dan/atau salinan dokumen elektronik. (5) Salinan dokumen fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan secara cuma-cuma di kantor Perusahaan Terbuka jika diminta secara tertulis oleh pemegang saham. (6) Salinan dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diakses atau diunduh melalui situs web Perusahaan Terbuka. (7) Dalam… -15- (7) Dalam hal mata acara rapat mengenai pengangkatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris, daftar riwayat hidup calon anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris yang akan diangkat wajib tersedia: a. di situs web Perusahaan Terbuka paling kurang sejak saat pemanggilan sampai dengan penyelenggaraan RUPS; atau b. pada waktu lain selain waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a namun paling lambat pada saat penyelenggaraan RUPS, sepanjang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 16 (1) Perusahaan Terbuka wajib melakukan ralat pemanggilan RUPS jika terdapat perubahan informasi dalam pemanggilan RUPS yang telah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2). (2) Dalam hal ralat pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi atas perubahan tanggal penyelenggaraan RUPS dan/atau penambahan mata acara RUPS, Perusahaan Terbuka wajib melakukan pemanggilan ulang RUPS dengan tata cara pemanggilan sebagaimana diatur dalam Pasal 13. (3) Ketentuan kewajiban melakukan pemanggilan ulang RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku apabila ralat pemanggilan RUPS mengenai perubahan atas tanggal penyelenggaraan RUPS dan/atau penambahan mata acara RUPS dilakukan bukan karena kesalahan Perusahaan Terbuka. (4) Bukti ralat pemanggilan bukan merupakan kesalahan Perusahaan Terbuka sebagaimana dimaksud… -16- dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan pada hari yang sama saat dilakukan ralat pemanggilan. (5) Ketentuan media dan penyampaian bukti pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3), ayat (4), dan ayat (7) mutatis mutandis berlaku untuk media ralat pemanggilan RUPS dan penyampaian bukti ralat pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 17 (1) Pemanggilan RUPS kedua dilakukan dengan ketentuan: a. Pemanggilan RUPS kedua dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum RUPS kedua dilangsungkan. b. Dalam pemanggilan RUPS kedua harus menyebutkan RUPS pertama telah dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum kehadiran. c. RUPS kedua dilangsungkan dalam jangka waktu paling cepat 10 (sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah RUPS pertama dilangsungkan. (2) Ketentuan media pemanggilan dan ralat pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) sampai dengan ayat (7) dan Pasal 16 mutatis mutandis berlaku untuk pemanggilan RUPS kedua. Pasal 18 Pemanggilan RUPS ketiga dilakukan dengan ketentuan: 1. Pemanggilan RUPS ketiga atas permohonan Perusahaan Terbuka ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. 2. Dalam… -17- 2. Dalam pemanggilan RUPS ketiga menyebutkan RUPS kedua telah dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum kehadiran. Bagian Keenam Hak Pemegang Saham dan Kehadiran Pihak Lain Dalam RUPS Paragraf 1 Hak Pemegang Saham Pasal 19 (1) Pemegang saham baik sendiri maupun diwakili berdasarkan surat kuasa berhak menghadiri RUPS. (2) Pemegang saham yang berhak hadir dalam RUPS adalah pemegang saham yang namanya tercatat dalam daftar pemegang saham Perusahaan Terbuka 1 (satu) hari kerja sebelum pemanggilan RUPS. (3) Dalam hal terjadi ralat pemanggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), pemegang saham yang berhak hadir dalam RUPS adalah pemegang saham yang namanya tercatat dalam daftar pemegang saham Perusahaan Terbuka 1 (satu) hari kerja sebelum ralat pemanggilan RUPS. Pasal 20 Pada saat pelaksanaan RUPS, pemegang saham berhak memperoleh informasi mata acara rapat dan bahan terkait mata acara rapat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Perusahaan Terbuka. Paragraf 2 Kehadiran Pihak Lain Dalam RUPS Pasal 21 Pada saat pelaksanaan RUPS, Perusahaan Terbuka dapat mengundang pihak lain yang terkait dengan mata acara RUPS. Bagian… -18- Bagian Ketujuh Pimpinan RUPS Pasal 22 (1) RUPS dipimpin oleh anggota Dewan Komisaris yang ditunjuk oleh Dewan Komisaris. (2) Dalam hal semua anggota Dewan Komisaris tidak hadir atau berhalangan hadir, RUPS dipimpin oleh salah seorang anggota Direksi yang ditunjuk oleh Direksi. (3) Dalam hal semua anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi tidak hadir atau berhalangan hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), RUPS dipimpin oleh pemegang saham yang hadir dalam RUPS yang ditunjuk dari dan oleh peserta RUPS. Pasal 23 (1) Dalam hal anggota Dewan Komisaris yang ditunjuk oleh Dewan Komisaris untuk memimpin RUPS mempunyai benturan kepentingan dengan mata acara yang akan diputuskan dalam RUPS, RUPS dipimpin oleh anggota Dewan Komisaris lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan yang ditunjuk oleh Dewan Komisaris. (2) Dalam hal semua anggota Dewan Komisaris mempunyai benturan kepentingan, RUPS dipimpin oleh salah satu anggota Direksi yang ditunjuk oleh Direksi. (3) Dalam hal salah satu anggota Direksi yang ditunjuk oleh Direksi untuk memimpin RUPS mempunyai benturan kepentingan atas mata acara yang akan diputuskan dalam RUPS, RUPS dipimpin oleh anggota Direksi yang tidak mempunyai benturan kepentingan. (4) Dalam… -19- (4) Dalam hal semua anggota Direksi mempunyai benturan kepentingan, RUPS dipimpin oleh salah seorang pemegang saham bukan pengendali yang dipilih oleh mayoritas pemegang saham lainnya yang hadir dalam RUPS. Bagian Kedelapan Tata Tertib RUPS Pasal 24 (1) Pada saat pelaksanaan RUPS, tata tertib RUPS harus diberikan kepada pemegang saham yang hadir. (2) Pokok-pokok tata tertib RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibacakan sebelum RUPS dimulai. (3) Pada saat pembukaan RUPS, pimpinan RUPS wajib memberikan penjelasan kepada pemegang saham paling kurang mengenai: a. kondisi umum Perusahaan Terbuka secara singkat; b. mata acara rapat; c. mekanisme pengambilan keputusan terkait mata acara rapat; dan d. tata cara penggunaan hak pemegang saham untuk mengajukan pertanyaan dan/atau pendapat. Bagian Kesembilan Keputusan, Kuorum Kehadiran, dan Kuorum Keputusan RUPS Paragraf 1 Keputusan RUPS Pasal 25 (1) Keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. (2) Dalam… -20- (2) Dalam hal keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil melalui pemungutan suara. (3) Pengambilan keputusan melalui pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan dengan memperhatikan ketentuan kuorum kehadiran dan kuorum keputusan RUPS. Paragraf 2 Kuorum Kehadiran dan Kuorum Keputusan Pasal 26 (1) Kuorum kehadiran dan kuorum keputusan RUPS untuk mata acara yang harus diputuskan dalam RUPS dilakukan dengan mengikuti ketentuan: a. RUPS dapat dilangsungkan jika dalam RUPS lebih dari 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali Undang-Undang dan/atau anggaran dasar Perusahaan Terbuka menentukan jumlah kuorum yang lebih besar. b. Dalam hal kuorum sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak tercapai, RUPS kedua dapat diadakan dengan ketentuan RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam RUPS paling sedikit 1/3 (satu per tiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali anggaran dasar Perusahaan Terbuka menentukan jumlah kuorum yang lebih besar. c. Keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b adalah sah jika disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) bagian dari seluruh saham dengan hak suara yang hadir dalam… -21- dalam RUPS, kecuali Undang-Undang dan/atau anggaran dasar Perusahaan Terbuka menentukan bahwa keputusan adalah sah jika disetujui oleh jumlah suara setuju yang lebih besar. (2) Dalam hal kuorum kehadiran pada RUPS kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak tercapai, RUPS ketiga dapat diadakan dengan ketentuan RUPS ketiga sah dan berhak mengambil keputusan jika dihadiri oleh pemegang saham dari saham dengan hak suara yang sah dalam kuorum kehadiran dan kuorum keputusan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan atas permohonan Perusahaan Terbuka. Pasal 27 Kuorum kehadiran dan kuorum keputusan RUPS untuk mata acara perubahan anggaran dasar Perusahaan Terbuka yang memerlukan persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, kecuali perubahan anggaran dasar Perusahaan Terbuka dalam rangka memperpanjang jangka waktu berdirinya Perusahaan Terbuka dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. RUPS dapat dilangsungkan jika RUPS dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling kurang 2/3 (dua per tiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah. b. Keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah sah jika disetujui oleh lebih dari 2/3 (dua per tiga) bagian dari seluruh saham dengan hak suara yang hadir dalam RUPS. c. Dalam hal kuorum sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak tercapai, RUPS kedua dapat diadakan dengan ketentuan RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam RUPS dihadiri oleh pemegang… -22- pemegang saham yang mewakili paling sedikit 3/5 (tiga per lima) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah. d. Keputusan RUPS kedua adalah sah jika disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) bagian dari seluruh saham dengan hak suara yang hadir dalam RUPS. e. Dalam hal kuorum kehadiran pada RUPS kedua sebagaimana dimaksud huruf c tidak tercapai, RUPS ketiga dapat diadakan dengan ketentuan RUPS ketiga sah dan berhak mengambil keputusan jika dihadiri oleh pemegang saham dari saham dengan hak suara yang sah dalam kuorum kehadiran dan kuorum keputusan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan atas permohonan Perusahaan Terbuka. Pasal 28 Kuorum kehadiran dan kuorum keputusan RUPS untuk mata acara mengalihkan kekayaan Perusahaan Terbuka yang merupakan lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih Perusahaan Terbuka dalam 1 (satu) transaksi atau lebih baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak, menjadikan jaminan utang kekayaan Perusahaan Terbuka yang merupakan lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih Perusahaan Terbuka dalam 1 (satu) transaksi atau lebih baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak, penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, pengajuan permohonan agar Perusahaan Terbuka dinyatakan pailit, perpanjangan jangka waktu berdirinya Perusahaan Terbuka, dan pembubaran Perusahaan Terbuka, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. RUPS dapat dilangsungkan jika RUPS dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling kurang 3/4 (tiga per empat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah. b. Keputusan… -23- b. Keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah sah jika disetujui oleh lebih dari 3/4 (tiga per empat) bagian dari seluruh saham dengan hak suara yang hadir dalam RUPS. c. Dalam hal kuorum sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak tercapai, RUPS kedua dapat diadakan dengan ketentuan RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika RUPS dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling kurang 2/3 (dua per tiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah. d. Keputusan RUPS kedua adalah sah jika disetujui oleh lebih dari 3/4 (tiga per empat) bagian dari seluruh saham dengan hak suara yang hadir dalam RUPS. e. Dalam hal kuorum kehadiran pada RUPS kedua sebagaimana dimaksud huruf c tidak tercapai, RUPS ketiga dapat diadakan dengan ketentuan RUPS ketiga sah dan berhak mengambil keputusan jika dihadiri oleh pemegang saham dari saham dengan hak suara yang sah dalam kuorum kehadiran dan kuorum keputusan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan atas permohonan Perusahaan Terbuka. Pasal 29 Kuorum kehadiran dan kuorum keputusan RUPS untuk mata acara transaksi yang mempunyai benturan kepentingan, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. RUPS dapat dilangsungkan jika RUPS dihadiri oleh Pemegang Saham Independen yang mewakili lebih dari 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah yang dimiliki oleh Pemegang Saham Independen. b. Keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada huruf… -24- huruf a adalah sah jika disetujui oleh Pemegang Saham Independen yang mewakili lebih dari 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah yang dimiliki oleh Pemegang Saham Independen. c. Dalam hal kuorum sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak tercapai, RUPS kedua dapat diadakan dengan ketentuan RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam RUPS dihadiri oleh Pemegang Saham Independen yang mewakili lebih dari 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah yang dimiliki oleh Pemegang Saham Independen. d. Keputusan RUPS kedua adalah sah jika disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah saham yang dimiliki oleh Pemegang Saham Independen yang hadir dalam RUPS. e. Dalam hal kuorum kehadiran pada RUPS kedua sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak tercapai, RUPS ketiga dapat diadakan dengan ketentuan RUPS ketiga sah dan berhak mengambil keputusan jika dihadiri oleh Pemegang Saham Independen dari saham dengan hak suara yang sah, dalam kuorum kehadiran yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan atas permohonan Perusahaan Terbuka. f. Keputusan RUPS ketiga adalah sah jika disetujui oleh Pemegang Saham Independen yang mewakili lebih dari 50% (lima puluh persen) saham yang dimiliki oleh Pemegang Saham Independen yang hadir. g. Pemegang saham yang mempunyai benturan kepentingan dianggap telah memberikan keputusan yang sama dengan keputusan yang disetujui oleh Pemegang Saham Independen yang tidak mempunyai benturan kepentingan. Pasal 30… -25- Pasal 30 Pemegang saham dari saham dengan hak suara yang sah yang hadir dalam RUPS namun abstain (tidak memberikan suara) dianggap mengeluarkan suara yang sama dengan suara mayoritas pemegang saham yang mengeluarkan suara. Pasal 31 (1) Dalam pemungutan suara, suara yang dikeluarkan oleh pemegang saham berlaku untuk seluruh saham yang dimilikinya dan pemegang saham tidak berhak memberikan kuasa kepada lebih dari seorang kuasa untuk sebagian dari jumlah saham yang dimilikinya dengan suara yang berbeda. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi: a. Bank Kustodian atau Perusahaan Efek sebagai Kustodian yang mewakili nasabah-nasabahnya pemilik saham Perusahaan Terbuka. b. Manajer Investasi yang mewakili kepentingan Reksa Dana yang dikelolanya. Bagian Kesepuluh Risalah RUPS dan Ringkasan Risalah RUPS Pasal 32 (1) Perusahaan Terbuka wajib membuat risalah RUPS dan ringkasan risalah RUPS. (2) Risalah RUPS wajib dibuat dan ditandatangani oleh pimpinan rapat dan paling sedikit 1 (satu) orang pemegang saham yang ditunjuk dari dan oleh peserta RUPS. (3) Tanda tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak disyaratkan apabila risalah RUPS tersebut dibuat dalam bentuk akta berita acara RUPS yang dibuat oleh notaris. Pasal 33… -26- Pasal 33 (1) Risalah RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah RUPS diselenggarakan. (2) Dalam hal waktu penyampaian risalah RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, risalah RUPS tersebut wajib disampaikan paling lambat pada hari kerja berikutnya. Pasal 34 (1) Ringkasan risalah RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) wajib memuat informasi paling kurang: a. tanggal RUPS, tempat pelaksanaan RUPS, waktu pelaksanaan RUPS, dan mata acara RUPS; b. c. anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris yang hadir pada saat RUPS; jumlah saham dengan hak suara yang sah yang hadir pada saat RUPS dan persentasenya dari jumlah seluruh saham yang mempunyai hak suara yang sah; d. ada tidaknya pemberian kesempatan kepada pemegang saham untuk mengajukan pertanyaan dan/atau memberikan pendapat terkait mata acara rapat; e. jumlah pemegang saham yang mengajukan pertanyaan dan/atau memberikan pendapat terkait mata acara rapat, jika pemegang saham diberi kesempatan; f. g. mekanisme pengambilan keputusan RUPS; hasil pemungutan suara yang meliputi jumlah suara setuju, tidak setuju, dan abstain (tidak memberikan… -27- memberikan suara) untuk setiap mata acara rapat, jika pengambilan keputusan dilakukan dengan pemungutan suara; h. keputusan RUPS; dan i. pelaksanaan pembayaran dividen tunai kepada pemegang saham yang berhak, jika terdapat keputusan RUPS terkait dengan pembagian dividen tunai. (2) Ringkasan risalah RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan Terbuka yang sahamnya tercatat pada Bursa Efek wajib diumumkan kepada masyarakat paling kurang melalui: a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia berperedaran nasional; b. situs web Bursa Efek; dan c. situs web Perusahaan Terbuka, dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing, dengan ketentuan bahasa asing yang digunakan paling kurang bahasa Inggris. (3) Ringkasan risalah RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan Terbuka yang sahamnya tidak tercatat pada Bursa Efek, wajib diumumkan kepada masyarakat paling kurang melalui: a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional; dan b. situs web Perusahaan Terbuka, dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing, dengan ketentuan bahasa asing yang digunakan paling kurang bahasa Inggris. (4) Ringkasan risalah RUPS yang menggunakan bahasa asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan ayat (3) huruf b wajib memuat informasi yang sama… -28- sama dengan informasi dalam ringkasan risalah RUPS yang menggunakan Bahasa Indonesia. (5) Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran informasi pada ringkasan risalah RUPS dalam bahasa asing dengan informasi pada ringkasan risalah RUPS dalam Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (4), informasi yang digunakan sebagai acuan adalah Bahasa Indonesia. (6) Pengumuman ringkasan risalah RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) wajib diumumkan kepada masyarakat paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah RUPS diselenggarakan. (7) Bukti pengumuman ringkasan risalah RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ayat (3) huruf a wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah diumumkan. Pasal 35 Ketentuan Pasal 33 dan Pasal 34 ayat (2), ayat (3), ayat (6), dan ayat (7) mutatis mutandis berlaku untuk: a. penyampaian kepada Otoritas Jasa Keuangan atas risalah RUPS dan ringkasan risalah RUPS yang diumumkan; dan b. pengumuman ringkasan risalah RUPS, dari penyelenggaraan RUPS oleh pemegang saham yang telah memperoleh penetapan pengadilan untuk menyelenggarakan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2). BAB III KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 36 Dalam hal terdapat keputusan RUPS terkait dengan pembagian dividen tunai, Perusahaan Terbuka wajib melaksanakan… -29- melaksanakan pembayaran dividen tunai kepada pemegang saham yang berhak paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah diumumkannya ringkasan risalah RUPS yang memutuskan pembagian dividen tunai. BAB IV KETENTUAN SANKSI Pasal 37 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. g. pembatalan persetujuan; dan pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud… -30- dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 38 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 39 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 kepada masyarakat. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 40 Perusahaan Terbuka dalam waktu 1 (satu) tahun setelah diundangkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini wajib mengubah anggaran dasarnya sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 41 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-60/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Rencana dan Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham beserta Peraturan Nomor IX.I.1 yang merupakan lampirannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 42 Ketentuan peraturan perundang-undangan lain terkait RUPS… -31- RUPS tetap berlaku bagi Perusahaan Terbuka sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 43 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 Desember 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 8 Desember 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 374 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum, Ttd. Tini Kustini
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 32/POJK.04/2014 </reg_id> <reg_title> RENCANA DAN PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA </reg_title> <set_date> 8 Desember 2014 </set_date> <effective_date> 8 Desember 2014 </effective_date> <issued_date> 8 Desember 2014 </issued_date> <replaced_reg> 'KEP-60/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM-LK/1996', 'KEP-60/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM-LK/1996 | Lampiran Peraturan Nomor IX.I.1' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '40/UU/2007', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 17 /POJK.05/2017 TENTANG PROSEDUR DAN TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF DI BIDANG PERASURANSIAN DAN PEMBLOKIRAN KEKAYAAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI, DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dan melaksanakan ketentuan Pasal 71 ayat (4) dan Pasal 72 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Prosedur dan Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Perasuransian dan Pemblokiran Kekayaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PROSEDUR DAN TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF DI BIDANG PERASURANSIAN DAN PEMBLOKIRAN KEKAYAAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI, DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, perusahaan reasuransi syariah, perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian asuransi. 2. Pialang Asuransi adalah orang yang bekerja pada perusahaan pialang asuransi dan memenuhi persyaratan untuk memberi rekomendasi atau mewakili pemegang polis, tertanggung, atau peserta dalam melakukan penutupan asuransi atau asuransi syariah dan/atau penyelesaian klaim. 3. Pialang Reasuransi adalah orang yang bekerja pada perusahaan pialang reasuransi dan memenuhi persyaratan untuk memberi rekomendasi atau mewakili perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan penjaminan, perusahaan penjaminan syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dalam melakukan penutupan reasuransi atau reasuransi syariah dan/atau penyelesaian klaim. - 3 - 4. Agen Asuransi adalah orang yang bekerja sendiri atau bekerja pada badan usaha, yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah dan memenuhi persyaratan untuk mewakili perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah. 5. Konsultan Aktuaria adalah aktuaris yang bekerja pada kantor konsultan aktuaria dan memberikan jasa bagi Perusahaan Perasuransian. 6. Akuntan Publik adalah akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik dan memberikan jasa bagi Perusahaan Perasuransian. 7. Penilai adalah seseorang yang dengan keahliannya menjalankan kegiatan penilaian aset dan memberikan jasa bagi Perusahaan Perasuransian. 8. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah bagian dari organ perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah yang mempunyai tugas dan fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan usaha perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah agar sesuai dengan prinsip syariah. 9. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi. 10. Kekayaan adalah kekayaan yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah. 11. Pemblokiran adalah tindakan penghentian aktivitas apapun yang antara lain berupa pengurangan nilai, pengalihan, penukaran, penempatan, pembagian, dan/atau pencairan atas sebagian atau seluruh Kekayaan dalam jangka waktu tertentu. - 4 - BAB II JENIS SANKSI ADMINISTRATIF DI BIDANG PERASURANSIAN Pasal 2 (1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif kepada Setiap Orang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan peraturan pelaksanaannya. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha; c. larangan untuk memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah untuk lini usaha tertentu; d. pencabutan izin usaha; e. pembatalan pernyataan pendaftaran bagi Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi; f. pembatalan pernyataan pendaftaran bagi Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, Penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa bagi Perusahaan Perasuransian; g. pembatalan persetujuan bagi lembaga mediasi atau asosiasi; h. denda administratif; dan/atau i. larangan menjadi pemegang saham, pengendali, direksi, dewan komisaris, DPS, atau menduduki jabatan eksekutif di bawah direksi, atau yang setara dengan jabatan eksekutif di bawah direksi pada Perusahaan Perasuransian. - 5 - (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dan disampaikan Otoritas Jasa Keuangan secara tertulis. BAB III PROSEDUR DAN TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF Bagian Kesatu Prosedur dan Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif bagi Perusahaan Perasuransian Pasal 3 (1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dikenakan kepada Perusahaan Perasuransian secara bertahap yang diawali dengan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, kecuali diatur berbeda. (2) Pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut atas setiap pelanggaran yaitu sanksi administratif berupa peringatan tertulis pertama, peringatan tertulis kedua, dan peringatan tertulis ketiga atau terakhir. (3) Sanksi administratif berupa peringatan tertulis pertama dan peringatan tertulis kedua dapat dikenakan sebagai sanksi administratif berupa peringatan tertulis terakhir apabila Perusahaan Perasuransian: a. pernah melakukan pelanggaran yang sama dalam 1 (satu) tahun terakhir sebelum tanggal pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis; b. sedang dikenai sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha karena pelanggaran yang lain; dan/atau - 6 - c. berdasarkan pertimbangan Otoritas Jasa Keuangan sanksi peringatan tertulis berikutnya tidak diperlukan. (4) Jangka waktu pemberlakuan sanksi administratif berupa peringatan tertulis bagi Perusahaan Perasuransian masing-masing paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya sanksi administratif tersebut. (5) Jangka waktu pemberlakuan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberlakukan lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai bahwa jenis pelanggaran yang dilakukan tidak mungkin dapat diatasi dalam jangka waktu tersebut, yaitu menjadi: a. paling lama 6 (enam) bulan, dalam hal: 1. perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah dikenai sanksi administratif karena tidak terpenuhinya ketentuan minimum tingkat solvabilitas dan/atau ekuitas minimum; atau 2. perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, atau perusahaan penilai kerugian asuransi dikenai sanksi administratif karena tidak terpenuhinya ketentuan ekuitas minimum; atau b. paling lama 3 (tiga) bulan, dalam hal penyebab pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam huruf a. Pasal 4 (1) Perusahaan Perasuransian dikenai sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha apabila Perusahaan Perasuransian tidak dapat mengatasi pelanggaran yang merupakan penyebab selain - 7 - terbitnya sanksi peringatan tertulis terakhir sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) atau ayat (5). (2) Sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha. (3) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengenakan sanksi pembatasan kegiatan usaha untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha kepada Perusahaan Perasuransian tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis dalam hal kondisi kesehatan keuangan Perusahaan Perasuransian memburuk dan/atau Perusahaan Perasuransian dinilai membahayakan kepentingan pemegang polis, tertanggung, atau peserta. (4) Perusahaan Perasuransian yang sedang dikenai sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis apabila melakukan pelanggaran baru selain yang telah menjadi dasar pengenaan sanksi pembatasan kegiatan usaha untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha. (5) Jangka waktu pemberlakuan sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha bagi Perusahaan Perasuransian adalah: a. paling lama 1 (satu) tahun untuk pembatasan kegiatan usaha untuk sebagian kegiatan usaha; atau b. paling lama 3 (tiga) bulan untuk pembatasan kegiatan usaha untuk seluruh kegiatan usaha, sejak ditetapkannya sanksi administratif tersebut. - 8 - Pasal 5 (1) Perusahaan Perasuransian dikenai sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha untuk seluruh kegiatan usaha apabila Perusahaan Perasuransian tidak dapat mengatasi pelanggaran yang merupakan penyebab terbitnya sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha untuk sebagian kegiatan usaha sampai dengan jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) huruf a. (2) Dalam hal Perusahaan Perasuransian yang sedang dikenai sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan untuk seluruh kegiatan usaha dikenai sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha baru karena pelanggaran baru maka: a. pelanggaran baru tersebut menjadi dasar tambahan atas pengenaan sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha untuk seluruh kegiatan usaha; dan b. jangka waktu pemberlakuan sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha mengikuti batas waktu pemberlakuan sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha untuk seluruh kegiatan usaha yang telah dikenakan kepada Perusahaan Perasuransian sebelumnya. (3) Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan kepada masyarakat mengenai pengenaan sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha melalui situs web resmi Otoritas Jasa Keuangan dan/atau media cetak berskala nasional. Pasal 6 (1) Perusahaan Perasuransian dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha apabila Perusahaan Perasuransian tidak dapat mengatasi pelanggaran yang merupakan penyebab terbitnya sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan - 9 - usaha untuk seluruh kegiatan usaha sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) huruf b. (2) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha kepada Perusahaan Perasuransian tanpa didahului pengenaan sanksi administratif yang lain, dalam hal: a. kondisi keuangan Perusahaan Perasuransian memburuk secara drastis; b. pemegang saham Perusahaan Perasuransian tidak kooperatif; c. direksi, dewan komisaris, atau yang setara, atau DPS pada Perusahaan Perasuransian tidak memiliki jalan keluar untuk mengatasi permasalahan yang membahayakan kepentingan pemegang polis, tertanggung, atau peserta; d. diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perasuransian; dan/atau e. kondisi lain yang menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan dapat membahayakan kepentingan pemegang polis, tertanggung, atau peserta. (3) Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan kepada masyarakat mengenai pengenaan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha melalui situs web resmi Otoritas Jasa Keuangan dan/atau media cetak berskala nasional. Pasal 7 (1) Perusahaan Perasuransian dapat dikenai sanksi administratif berupa larangan untuk memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah untuk lini usaha tertentu. (2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Perusahaan Perasuransian yang sedang dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis. - 10 - (3) Jangka waktu pemberlakuan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah paling lama 1 (satu) tahun sejak ditetapkannya sanksi administratif tersebut. (4) Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan kepada masyarakat mengenai pengenaan sanksi administratif berupa larangan untuk memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah untuk lini usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui situs web resmi Otoritas Jasa Keuangan dan/atau media cetak berskala nasional. Bagian Kedua Prosedur dan Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif bagi Konsultan Aktuaria, Penilai, Akuntan Publik, atau Pihak Lain yang Merupakan Profesi Penyedia Jasa bagi Perusahaan Perasuransian Pasal 8 (1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dikenakan kepada Konsultan Aktuaria, Penilai, atau pihak lain yang merupakan profesi penyedia jasa bagi Perusahaan Perasuransian secara bertahap yang diawali dengan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, kecuali diatur berbeda. (2) Pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut atas setiap pelanggaran yaitu sanksi administratif berupa peringatan tertulis pertama, peringatan tertulis kedua, dan peringatan tertulis ketiga atau terakhir. (3) Sanksi administratif berupa peringatan tertulis pertama atau peringatan tertulis kedua dapat dikenakan sebagai sanksi administratif berupa peringatan tertulis terakhir apabila Konsultan - 11 - Aktuaria, Penilai, atau pihak lain yang merupakan profesi penyedia jasa bagi Perusahaan Perasuransian: a. pernah melakukan pelanggaran yang sama dalam 1 (satu) tahun terakhir sebelum tanggal pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis; b. sedang dikenai sanksi administratif berupa sanksi pembatasan seluruh kegiatan usaha karena pelanggaran yang lain; dan/atau c. berdasarkan pertimbangan Otoritas Jasa Keuangan sanksi administratif berupa peringatan tertulis berikutnya tidak diperlukan. (4) Jangka waktu pemberlakuan sanksi administratif berupa peringatan tertulis bagi Konsultan Aktuaria, Penilai, atau pihak lain yang merupakan profesi penyedia jasa bagi Perusahaan Perasuransian masing-masing paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya sanksi administratif tersebut. Pasal 9 (1) Konsultan Aktuaria, Penilai, atau pihak lain yang merupakan profesi penyedia jasa bagi Perusahaan Perasuransian dikenai sanksi administratif berupa pembatasan seluruh kegiatan usaha apabila yang bersangkutan tidak dapat mengatasi pelanggaran yang merupakan penyebab terbitnya sanksi administratif berupa peringatan tertulis terakhir sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4). (2) Jangka waktu pemberlakuan sanksi administratif berupa pembatasan seluruh kegiatan usaha bagi Konsultan Aktuaria, Penilai, atau pihak lain yang merupakan profesi penyedia jasa bagi Perusahaan Perasuransian adalah paling lama 1 (satu) tahun sejak ditetapkan sanksi administratif tersebut. (3) Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan kepada masyarakat mengenai pengenaan sanksi administratif - 12 - berupa pembatasan kegiatan usaha melalui situs web resmi Otoritas Jasa Keuangan dan/atau media cetak berskala nasional. Pasal 10 (1) Konsultan Aktuaria, Penilai, atau pihak lain yang merupakan profesi penyedia jasa bagi Perusahaan Perasuransian dikenai sanksi administratif berupa pembatalan pernyataan pendaftaran apabila yang bersangkutan tidak dapat mengatasi pelanggaran yang merupakan penyebab terbitnya sanksi administratif berupa pembatasan seluruh kegiatan usaha sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2). (2) Prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif bagi Akuntan Publik mengacu pada peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penggunaan jasa Akuntan Publik dan kantor Akuntan Publik dalam kegiatan jasa keuangan. (3) Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan kepada masyarakat mengenai pengenaan sanksi administratif berupa pembatalan pernyataan pendaftaran Konsultan Aktuaria, Penilai, atau pihak lain yang merupakan profesi penyedia jasa bagi Perusahaan Perasuransian melalui situs web resmi Otoritas Jasa Keuangan dan/atau media cetak berskala nasional. Bagian Ketiga Prosedur dan Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif bagi Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, Agen Asuransi, atau Pihak Lain yang Bukan Merupakan Profesi Penyedia Jasa bagi Perusahaan Perasuransian Pasal 11 (1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dikenakan kepada Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, Agen Asuransi, atau pihak lain - 13 - yang bukan merupakan profesi penyedia jasa bagi Perusahaan Perasuransian secara bertahap yang diawali dengan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, kecuali diatur berbeda. (2) Pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut atas setiap pelanggaran. (3) Jangka waktu pemberlakuan sanksi administratif berupa peringatan tertulis untuk Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, Agen Asuransi, atau pihak lain yang bukan merupakan profesi penyedia jasa bagi Perusahaan Perasuransian masing-masing paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya sanksi administratif tersebut. Pasal 12 (1) Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, Agen Asuransi, atau pihak lain yang bukan merupakan profesi penyedia jasa bagi Perusahaan Perasuransian dikenai sanksi administratif berupa pembatalan pernyataan pendaftaran apabila yang bersangkutan tidak dapat mengatasi pelanggaran yang merupakan penyebab terbitnya sanksi administratif berupa peringatan tertulis sampai dengan jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3). (2) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengenakan sanksi administratif berupa pembatalan pernyataan pendaftaran kepada Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, Agen Asuransi, atau pihak lain yang bukan merupakan profesi penyedia jasa bagi Perusahaan Perasuransian tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), dalam hal terdapat pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian yang dinilai membahayakan - 14 - kepentingan pemegang polis, tertanggung, atau peserta. (3) Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan kepada masyarakat mengenai pengenaan sanksi administratif berupa pembatalan pernyataan pendaftaran Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, Agen Asuransi, atau pihak lain yang bukan merupakan profesi penyedia jasa bagi Perusahaan Perasuransian melalui situs web resmi Otoritas Jasa Keuangan dan/atau media cetak berskala nasional. Bagian Keempat Prosedur dan Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif bagi Pemegang Saham, Pengendali, Direksi, Dewan Komisaris, atau DPS Pasal 13 (1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dikenakan kepada pemegang saham, pengendali, direksi, dewan komisaris, atau DPS dari Perusahaan Perasuransian secara bertahap yang diawali dengan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, kecuali diatur berbeda. (2) Pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut atas setiap pelanggarannya yaitu sanksi administratif berupa peringatan tertulis pertama, peringatan tertulis kedua, dan peringatan tertulis ketiga atau terakhir. (3) Sanksi administratif berupa peringatan tertulis pertama dan peringatan tertulis kedua dapat dikenakan sebagai sanksi administratif berupa peringatan tertulis terakhir apabila pemegang saham, pengendali, direksi, dewan komisaris, atau DPS pernah melakukan pelanggaran yang sama dalam 1 (satu) tahun terakhir sebelum tanggal pengenaan - 15 - sanksi administratif berupa peringatan tertulis atau berdasarkan pertimbangan Otoritas Jasa Keuangan sanksi administratif berupa peringatan tertulis berikutnya tidak diperlukan. (4) Jangka waktu pemberlakuan sanksi administratif berupa peringatan tertulis bagi pemegang saham, pengendali, direksi, dewan komisaris, atau DPS masing-masing paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya sanksi administratif tersebut. Pasal 14 (1) Pemegang saham, pengendali, direksi, dewan komisaris, atau DPS dikenai sanksi administratif berupa larangan menjadi pemegang saham, pengendali, direksi, dewan komisaris, DPS, atau menduduki jabatan eksekutif di bawah direksi, atau yang setara dengan jabatan eksekutif di bawah direksi pada Perusahaan Perasuransian apabila yang bersangkutan tidak dapat mengatasi pelanggaran yang merupakan penyebab terbitnya sanksi administratif berupa peringatan tertulis terakhir dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4). (2) Sanksi administratif berupa larangan menjadi pemegang saham, pengendali, direksi, dewan komisaris, DPS, atau menduduki jabatan eksekutif di bawah direksi, atau yang setara dengan jabatan eksekutif di bawah direksi pada Perusahaan Perasuransian dapat dikenakan untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun, 5 (lima) tahun, atau 20 (dua puluh) tahun. (3) Sanksi administratif berupa larangan menjadi pemegang saham atau pengendali dikenakan untuk jangka waktu: a. 3 (tiga) tahun, dalam hal pemegang saham atau pengendali: - 16 - 1. mempengaruhi dan/atau menyuruh direksi, dewan komisaris, DPS, pejabat eksekutif, dan/atau pegawai untuk melakukan perbuatan yang melanggar prinsip kehati- hatian dan/atau asas usaha perasuransian yang sehat; 2. terbukti tidak melaksanakan perintah Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan dan/atau tidak melakukan sesuatu; 3. tidak mampu melakukan upaya yang diperlukan apabila Perasuransian mengalami permodalan atau likuiditas; atau 4. terbukti menolak memberikan komitmen dan/atau tidak memenuhi komitmen yang telah disepakati dengan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau pemerintah; b. 5 (lima) tahun, dalam hal pemegang saham atau pengendali: 1. mempengaruhi dan/atau dan/atau Perusahaan kesulitan menyuruh direksi, dewan komisaris, DPS, pejabat eksekutif, pegawai untuk mengaburkan pelanggaran ketentuan atau kondisi keuangan dan/atau transaksi; 2. mempengaruhi dan/atau menyuruh direksi, dewan komisaris, DPS, pejabat eksekutif, dan/atau pegawai untuk memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada pemegang saham, dewan komisaris, direksi, DPS, pejabat eksekutif, pegawai, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Perasuransian; atau 3. melakukan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a secara berulang, lebih dari 1 (satu) pelanggaran, dan/atau terbukti Perusahaan - 17 - menguntungkan diri sendiri maupun pihak lain; atau c. 20 (dua puluh) tahun, dalam hal pemegang saham atau pengendali: 1. terbukti melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; 2. terbukti menyebabkan Perusahaan Perasuransian mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan Perusahaan Perasuransian dan/atau dapat membahayakan industri atau 3. terbukti bersalah dinyatakan pailit dan/atau yang menyebabkan suatu Perusahaan Perasuransian dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. (4) Sanksi administratif berupa larangan menjadi direksi, dewan komisaris, DPS, atau menduduki jabatan eksekutif di bawah direksi, atau yang setara dengan jabatan eksekutif di bawah direksi pada Perusahaan Perasuransian dikenakan untuk jangka waktu: a. 3 (tiga) tahun, dalam hal direksi, dewan komisaris, atau DPS: 1. melanggar prinsip kehati-hatian di bidang perasuransian dan/atau perasuransian yang sehat; asas usaha 2. terbukti tidak melaksanakan perintah Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan dan/atau tidak melakukan sesuatu; 3. tidak mampu melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan Perusahaan Perasuransian yang sehat; atau perasuransian; usaha - 18 - 4. terbukti menolak memberikan komitmen dan/atau tidak memenuhi komitmen yang telah disepakati dengan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau pemerintah; b. 5 (lima) tahun, dalam hal direksi, dewan komisaris, atau DPS: 1. menyembunyikan dan/atau mengaburkan pelanggaran ketentuan atau keuangan dan/atau transaksi; 2. memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada pemegang saham, dewan komisaris, direksi, DPS, pejabat eksekutif, pegawai, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Perusahaan Perasuransian; atau 3. melakukan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a secara berulang, lebih dari 1 (satu) pelanggaran, dan/atau terbukti menguntungkan diri sendiri maupun pihak lain; atau c. 20 (dua puluh) tahun, dalam hal direksi, dewan komisaris, atau DPS: 1. terbukti melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; 2. terbukti menyebabkan Perusahaan Perasuransian mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan Perusahaan Perasuransian dan/atau dapat membahayakan industri perasuransian; atau 3. terbukti bersalah dinyatakan pailit yang menyebabkan dan/atau suatu Perusahaan Perasuransian dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. usaha kondisi - 19 - (5) Dalam hal kriteria pelanggaran yang dilakukan oleh pemegang saham, pengendali, direksi, dewan komisaris, atau DPS berkaitan dengan integritas, Otoritas Jasa Keuangan dapat mengenakan sanksi administratif berupa larangan menjadi pemegang saham, pengendali, direksi, dewan komisaris, DPS, dan menduduki jabatan eksekutif di bawah direksi, atau yang setara dengan jabatan eksekutif di bawah direksi secara lintas jabatan. Pasal 15 (1) Pemegang saham atau pengendali dari Perusahaan Perasuransian yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dapat diberi masa penyesuaian paling lama 1 (satu) tahun sejak ditetapkannya sanksi administratif berupa larangan menjadi pemegang saham atau pengendali. (2) Masa penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang saham atau pengendali harus mengajukan permohonan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal surat ketetapan sanksi administratif. (4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit memuat: a. latar belakang atau alasan permohonan masa penyesuaian; b. jangka waktu penyesuaian yang diusulkan; dan c. langkah yang akan ditempuh selama masa penyesuaian. - 20 - BAB IV SANKSI ADMINISTRATIF BERUPA DENDA ADMINISTRATIF Pasal 16 (1) Setiap Orang dapat dikenai sanksi administratif berupa denda administratif. (2) Pelanggaran yang menyebabkan timbulnya sanksi administratif berupa denda administratif dan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. (3) Sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis dengan memuat paling sedikit: a. besaran denda administratif; dan b. pelanggaran yang menyebabkan dikenakan denda administratif. (4) Tata cara pembayaran sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai tata cara penagihan sanksi administratif berupa denda di sektor jasa keuangan. BAB V PROSEDUR DAN TATA CARA PENGAJUAN KEBERATAN ATAS SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 17 (1) Setiap Orang yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dapat mengajukan keberatan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menyampaikan alasan yang kuat mengenai keberatan atas sanksi administratif yang - 21 - dikenakan dan disertai dengan bukti yang mendukung. (3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal surat ketetapan sanksi administratif. (4) Otoritas Jasa Keuangan mengabulkan atau menolak keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya keberatan atas sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Dalam hal keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikabulkan, Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan surat pembatalan pengenaan sanksi administratif. (6) Dalam hal keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak, Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan surat penolakan atas keberatan yang diajukan yang disertai dengan alasan penolakan dan penegasan bahwa sanksi administratif tetap berlaku. BAB VI PROSEDUR DAN TATA CARA PENGAKHIRAN DAN PENCABUTAN SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 18 (1) Sanksi administratif berakhir apabila Setiap Orang yang dikenai sanksi administratif menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan bahwa yang bersangkutan telah mengatasi pelanggaran yang merupakan penyebab terbitnya sanksi administratif dalam jangka waktu yang diberikan dan Otoritas Jasa Keuangan menilai bahwa yang bersangkutan telah mengatasi pelanggaran dimaksud. (2) Pengakhiran sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan Otoritas Jasa Keuangan dengan menerbitkan surat pencabutan sanksi administratif, kecuali apabila pada saat - 22 - sanksi administratif diterbitkan, yang bersangkutan diketahui Otoritas Jasa Keuangan telah mengatasi pelanggaran yang merupakan penyebab terbitnya sanksi administratif dimaksud. (3) Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan kepada masyarakat mengenai pengakhiran sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha, larangan untuk memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah untuk lini usaha tertentu melalui situs web resmi Otoritas Jasa Keuangan dan/atau media cetak berskala nasional. BAB VII PROSEDUR DAN TATA CARA PEMBLOKIRAN KEKAYAAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI, DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH Bagian Kesatu Prosedur dan Tata Cara Pemblokiran Pasal 19 (1) Otoritas Jasa Keuangan dapat memerintahkan untuk melakukan Pemblokiran atau meminta instansi yang berwenang untuk memblokir sebagian atau seluruh Kekayaan dari perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang sedang dikenai sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha karena tidak memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas atau dicabut izin usahanya. (2) Untuk melaksanakan Pemblokiran sebagian atau seluruh Kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan menetapkan surat - 23 - perintah Pemblokiran atau mengajukan surat permintaan Pemblokiran kepada: a. bank; b. lembaga penyimpanan dan penyelesaian; c. bank kustodian; d. Badan Pertanahan Nasional; dan/atau e. pihak Pemblokiran. (3) Jenis Kekayaan yang dapat diblokir adalah: a. b. saham yang tercatat di bursa efek; c. deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan giro pada bank; obligasi korporasi yang tercatat di bursa efek; d. medium term notes; e. surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia; f. surat berharga yang diterbitkan oleh negara selain Negara Republik Indonesia; g. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; h. unit penyertaan reksadana; i. efek beragun aset; j. unit penyertaan dana investasi real estat berbentuk kontrak investasi kolektif; k. transaksi surat berharga melalui repurchase agreement (REPO); l. bangunan dengan hak strata (strata title); m. tanah dengan bangunan; n. tanah; dan/atau o. Kekayaan lain. Pasal 20 (1) Penyampaian perintah atau permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Perintah atau permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis lain yang berwenang melakukan - 24 - oleh Otoritas Jasa Keuangan yang paling sedikit memuat informasi mengenai: a. dasar hukum kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Kekayaan; untuk b. c. meminta Pemblokiran identitas pihak yang akan diblokir kekayaannya; daftar Kekayaan yang akan diblokir; dan d. jangka waktu Pemblokiran. Pasal 21 (1) Atas perintah atau permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, pihak yang melakukan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) membuat berita acara Pemblokiran yang paling sedikit memuat: a. nomor dan Pemblokiran; b. hari dan tanggal diterimanya surat permintaan Pemblokiran; c. d. hari dan tanggal dilakukannya Pemblokiran; dan identitas pihak yang diblokir kekayaannya. (2) Berita acara Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang diblokir kekayaannya paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak dilakukan Pemblokiran. Bagian Kedua Pencabutan Blokir Pasal 22 (1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan pencabutan blokir terhadap sebagian atau seluruh Kekayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) apabila: tanggal surat permintaan - 25 - a. kondisi yang menyebabkan Pemblokiran Kekayaan tidak terpenuhi lagi; dan/atau b. Otoritas Jasa Keuangan menilai Pemblokiran tidak diperlukan lagi. (2) Otoritas Jasa Keuangan melakukan pencabutan blokir pada ayat (1) dengan mengajukan surat perintah atau surat permintaan pencabutan blokir kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2). Pasal 23 Atas perintah atau permintaan pencabutan blokir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2), pihak yang melakukan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) menindaklanjuti perintah atau permintaan dimaksud dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya surat perintah atau surat permintaan pencabutan blokir. Pasal 24 (1) Atas perintah atau permintaan pencabutan blokir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, pihak yang melakukan pencabutan blokir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) membuat berita acara pencabutan blokir yang paling sedikit memuat: a. nomor dan tanggal pencabutan blokir; b. hari dan tanggal diterimanya surat permintaan pencabutan blokir; c. d. hari dan tanggal dilakukannya pencabutan blokir; dan identitas pihak kekayaannya. yang dicabut surat permintaan blokir - 26 - (2) Berita acara pencabutan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang dicabut blokir kekayaannya paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak dilakukan pencabutan blokir. (3) Pencabutan blokir dianggap efektif pada saat pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) menerbitkan berita acara pencabutan blokir. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 25 (1) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, sanksi administratif yang telah dikenakan kepada Perusahaan Perasuransian sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dinyatakan tetap berlaku. (2) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, sanksi administratif yang belum diterbitkan yang merupakan tahapan lanjutan dari sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 26 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, ketentuan mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif di bidang perasuransian tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 27 - Pasal 27 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 April 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 25 April 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 91 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 17/POJK.05/2017 </reg_id> <reg_title> PROSEDUR DAN TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF DI BIDANG PERASURANSIAN DAN PEMBLOKIRAN KEKAYAAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI, DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH </reg_title> <set_date> 17 April 2017 </set_date> <effective_date> 25 April 2017 </effective_date> <issued_date> 25 April 2017 </issued_date> <related_reg> '40/UU/2014', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> '17/POJK.05/2017' </penalty_list>
- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 54 /POJK.04/2017 TENTANG BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM DAN PENAMBAHAN MODAL DENGAN MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU OLEH EMITEN DENGAN ASET SKALA KECIL ATAU EMITEN DENGAN ASET SKALA MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan kualitas keterbukaan informasi dalam prospektus dalam rangka penawaran umum dan penambahan modal dengan memberikan hak memesan efek terlebih dahulu oleh emiten dengan aset skala kecil atau emiten dengan aset skala menengah, perlu menyempurnakan ketentuan peraturan perundang- undangan di sektor pasar modal terkait pedoman mengenai bentuk dan isi prospektus dalam rangka penawaran umum oleh perusahaan menengah atau kecil; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Bentuk dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum dan Penambahan Modal dengan Memberikan Hak Memesan - 2 - Efek Terlebih Dahulu oleh Emiten dengan Aset Skala Kecil atau Emiten dengan Aset Skala Menengah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM DAN PENAMBAHAN MODAL DENGAN MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU OLEH EMITEN DENGAN ASET SKALA KECIL ATAU EMITEN DENGAN ASET SKALA MENENGAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Prospektus adalah setiap informasi tertulis sehubungan dengan penawaran umum dengan tujuan agar Pihak lain membeli efek. 2. Emiten adalah Pihak yang melakukan penawaran umum. 3. Emiten dengan Aset Skala Kecil yang selanjutnya disebut Emiten Skala Kecil adalah Emiten berbentuk badan hukum yang didirikan di Indonesia yang: a. memiliki total aset atau istilah lain yang setara, tidak lebih dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh - 3 - miliar rupiah) berdasarkan laporan keuangan yang digunakan dalam dokumen pernyataan pendaftaran; dan b. tidak dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung oleh: 1) pengendali dari Emiten atau Perusahaan Publik yang bukan Emiten Skala Kecil atau Emiten dengan aset skala menengah; dan/atau 2) perusahaan yang memiliki aset lebih dari Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah). 4. Emiten dengan Aset Skala Menengah yang selanjutnya disebut Emiten Skala Menengah adalah Emiten berbentuk badan hukum yang didirikan di Indonesia yang: a. memiliki total aset atau istilah lain yang setara, lebih dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) sampai dengan Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah) berdasarkan laporan keuangan yang digunakan dalam dokumen pernyataan pendaftaran; dan b. tidak dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung oleh: 1) pengendali dari Emiten atau Perusahaan Publik yang bukan Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah; dan/atau 2) perusahaan yang memiliki aset lebih dari Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah). 5. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran efek yang dilakukan oleh Emiten untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya. - 4 - 6. Penawaran Umum oleh Emiten Skala Kecil adalah Penawaran Umum yang dilakukan oleh Emiten Skala Kecil dengan nilai keseluruhan efek yang ditawarkan, tidak termasuk efek lain yang menyertainya, dengan jumlah tidak lebih dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). 7. Penawaran Umum oleh Emiten Skala Menengah adalah Penawaran Umum yang dilakukan oleh Emiten Skala Menengah dengan nilai keseluruhan efek yang ditawarkan, tidak termasuk efek lain yang menyertainya, dengan jumlah tidak lebih dari Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah). 8. Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu yang selanjutnya disingkat HMETD adalah hak yang melekat pada saham yang memberikan kesempatan pemegang saham yang bersangkutan untuk membeli saham dan/atau efek bersifat ekuitas lainnya baik yang dapat dikonversikan menjadi saham atau yang memberikan hak untuk membeli saham, sebelum ditawarkan kepada pihak lain. 9. Pernyataan Pendaftaran adalah dokumen yang wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Emiten dalam rangka Penawaran Umum atau Perusahaan Publik. 10. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek. 11. Kelompok Usaha Emiten Skala Kecil adalah Emiten Skala Kecil dan semua perusahaan yang laporan keuangannya dikonsolidasikan dengan laporan keuangan Emiten Skala Kecil. 12. Kelompok Usaha Emiten Skala Menengah adalah Emiten Skala Menengah dan semua perusahaan yang laporan - 5 - keuangannya dikonsolidasikan dengan laporan keuangan Emiten Skala Menengah. 13. Pembeli Siaga adalah pihak yang akan membeli baik sebagian maupun seluruh sisa saham dan/atau Efek bersifat ekuitas lainnya yang tidak diambil oleh pemegang HMETD. 14. Waran adalah Efek yang diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memberi hak kepada pemegang Efek untuk memesan saham dari perusahaan tersebut pada harga tertentu setelah 6 (enam) bulan sejak Efek dimaksud diterbitkan. 15. Penjamin Emisi Efek adalah Pihak yang membuat kontrak dengan Emiten untuk melakukan Penawaran Umum bagi kepentingan Emiten dengan atau tanpa kewajiban untuk membeli sisa Efek yang tidak terjual. 16. Akuntan Publik adalah seseorang yang telah memperoleh izin untuk memberikan jasa sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai akuntan publik dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. 17. Penilai adalah seseorang yang dengan keahliannya menjalankan kegiatan penilaian di pasar modal dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. 18. Wali Amanat adalah Pihak yang mewakili kepentingan pemegang Efek bersifat utang. 19. Kontrak Perwaliamanatan adalah perjanjian antara Emiten dan Wali Amanat dalam rangka penerbitan Efek bersifat utang dan/atau sukuk yang dibuat dalam bentuk notariil. 20. Perusahaan Anak adalah perusahaan yang laporan keuangannya dikonsolidasikan dengan laporan keuangan Emiten. 21. Direksi adalah organ Emiten yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Emiten untuk kepentingan Emiten, sesuai dengan maksud dan tujuan Emiten serta mewakili Emiten, baik di dalam - 6 - maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. 22. Dewan Komisaris adalah organ Emiten yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. 23. Bursa Efek adalah pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli Efek pihak lain dengan tujuan memperdagangkan Efek diantara mereka. 24. Informasi atau Fakta Material adalah informasi atau fakta penting dan relevan mengenai peristiwa, kejadian, atau fakta yang dapat mempengaruhi harga Efek pada Bursa Efek dan/atau keputusan pemodal, calon pemodal, atau pihak lain yang berkepentingan atas informasi atau fakta tersebut. 25. Pengendali adalah pihak yang memiliki saham lebih dari 50% (lima puluh persen) dari seluruh saham yang disetor penuh, atau pihak yang mempunyai kemampuan untuk menentukan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara apapun pengelolaan dan/atau kebijaksanaan Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah. Pasal 2 (1) Prospektus wajib memuat rincian Informasi atau Fakta Material mengenai Penawaran Umum dan informasi dan/atau keterangan yang dapat mempengaruhi keputusan pemodal, yang diketahui atau layak diketahui oleh Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah dan penjamin pelaksana emisi Efek (jika menggunakan penjamin pelaksana emisi Efek). (2) Prospektus dilarang memuat keterangan yang tidak benar tentang fakta material atau tidak memuat keterangan yang benar tentang fakta material yang - 7 - diperlukan agar Prospektus tersebut tidak memberikan gambaran yang menyesatkan. (3) Prospektus harus dibuat sedemikian rupa sehingga jelas dan komunikatif. (4) Penyajian dan penyampaian informasi penting dalam Prospektus tidak dikaburkan dengan informasi yang kurang penting yang mengakibatkan informasi penting tersebut terlepas dari perhatian pembaca. (5) Pengungkapan Informasi atau Fakta Material dan/atau penggunaan foto, diagram, dan/atau tabel dalam Prospektus dilarang memberikan gambaran yang menyesatkan. (6) Pengungkapan atas Informasi atau Fakta Material dalam Prospektus harus dilakukan secara jelas dengan penekanan yang sesuai dengan bidang usaha atau sektor industrinya sehingga Prospektus tidak menyesatkan. Pasal 3 Dalam menyusun Prospektus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah dapat melakukan penyesuaian atas pengungkapan Informasi atau Fakta Material tidak terbatas hanya pada Informasi atau Fakta Material yang telah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 4 Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah serta penjamin pelaksana emisi Efek (jika menggunakan penjamin pelaksana emisi Efek) pada waktu Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif, lembaga dan profesi penunjang pasar modal atau pihak lain yang memberikan pendapat atau keterangan dan atas persetujuannya dimuat dalam Prospektus, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, wajib bertanggung jawab bahwa - 8 - Prospektus telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). BAB II BENTUK PROSPEKTUS Pasal 5 Prospektus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 paling sedikit harus memuat bagian pokok sebagai berikut: a. informasi pada bagian awal Prospektus; b. c. daftar isi; informasi tentang Efek yang ditawarkan; d. penggunaan dana yang diperoleh dari hasil Penawaran Umum atau penambahan modal dengan memberikan HMETD; e. analisis dan pembahasan oleh manajemen; f. faktor risiko; g. kejadian penting setelah tanggal laporan Akuntan Publik; h. keterangan tentang Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah, kegiatan usaha, serta kecenderungan dan prospek usaha; dan i. tata cara pemesanan Efek. Pasal 6 Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah melakukan Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas, selain memuat bagian pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah harus menambahkan bagian: a. kebijakan dividen; b. penjaminan emisi Efek (jika menggunakan Penjamin Emisi Efek); c. pendapat dari segi hukum; d. laporan keuangan; dan - 9 - e. laporan Penilai dan laporan tenaga ahli (jika menggunakan Penilai dan tenaga ahli). Pasal 7 Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah melakukan Penawaran Umum Efek bersifat utang, selain memuat bagian pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah harus menambahkan bagian: a. penjaminan emisi Efek (jika menggunakan Penjamin Emisi Efek); b. keterangan tentang Wali Amanat dan penanggung (jika terdapat penanggung); c. pendapat dari segi hukum; d. laporan keuangan; dan e. laporan Penilai dan laporan tenaga ahli (jika menggunakan Penilai dan tenaga ahli). Pasal 8 Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah melakukan penambahan modal dengan memberikan HMETD, selain memuat bagian pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah harus menambahkan bagian: a. kebijakan dividen; b. keterangan tentang Wali Amanat dan penanggung (jika terdapat penanggung), dalam hal penerbitan HMETD untuk Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham; c. keterangan mengenai Pembeli Siaga dan/atau calon Pengendali Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah (jika terdapat Pembeli Siaga dan/atau calon Pengendali Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah); dan d. ikhtisar data keuangan penting. - 10 - BAB III ISI PROSPEKTUS Bagian Pertama Informasi pada Bagian Awal Prospektus Pasal 9 Informasi pada bagian awal Prospektus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a paling sedikit memuat atau mengungkapkan informasi pokok: a. tanggal efektif Pernyataan Pendaftaran dari Otoritas Jasa Keuangan; b. tanggal penjatahan; c. tanggal pengembalian uang pemesanan; d. tanggal distribusi Efek; e. tanggal pencatatan, jika Efek tersebut akan dicatatkan di Bursa Efek; f. nama lengkap Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah, alamat, logo (jika ada), nomor telepon, nomor faksimili, surat elektronik, situs web, dan kotak pos termasuk pabrik serta kantor perwakilan (jika ada), dan kegiatan usaha utama dari Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah; g. tempat dan tanggal Prospektus diterbitkan; h. pernyataan berikut dalam huruf kapital yang langsung dapat menarik perhatian pembaca: “OTORITAS JASA KEUANGAN TIDAK MEMBERIKAN PERNYATAAN MENYETUJUI ATAU TIDAK MENYETUJUI EFEK INI, TIDAK JUGA MENYATAKAN KEBENARAN ATAU KECUKUPAN ISI PROSPEKTUS INI. SETIAP PERNYATAAN YANG BERTENTANGAN DENGAN HAL– HAL TERSEBUT ADALAH PERBUATAN MELANGGAR HUKUM.”; “PROSPEKTUS INI PENTING DAN PERLU MENDAPAT PERHATIAN SEGERA. APABILA TERDAPAT KERAGUAN - 11 - PADA TINDAKAN YANG AKAN DIAMBIL, SEBAIKNYA BERKONSULTASI DENGAN PIHAK YANG KOMPETEN.”; dan “PENAWARAN UMUM INI DILAKUKAN OLEH EMITEN DENGAN ASET SKALA KECIL ATAU EMITEN DENGAN ASET SKALA MENENGAH, SESUAI DENGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM DAN PENAMBAHAN MODAL DENGAN MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU OLEH EMITEN DENGAN ASET SKALA KECIL ATAU EMITEN DENGAN ASET SKALA MENENGAH.”; i. pernyataan dalam huruf kapital bahwa Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah dan penjamin pelaksana emisi Efek (jika menggunakan penjamin pelaksana emisi Efek) bertanggung jawab sepenuhnya atas kebenaran semua informasi dan kejujuran pendapat yang diungkapkan dalam Prospektus sebagai berikut: “EMITEN DAN PENJAMIN PELAKSANA EMISI EFEK (jika ada) BERTANGGUNG JAWAB SEPENUHNYA ATAS KEBENARAN SEMUA INFORMASI, FAKTA, DATA, ATAU LAPORAN DAN KEJUJURAN PENDAPAT YANG TERCANTUM DALAM PROSPEKTUS INI.”; j. pernyataan singkat dalam huruf kapital yang langsung dapat menarik perhatian pembaca, mengenai: 1. 2. risiko kemungkinan tidak likuidnya Efek bersifat ekuitas yang ditawarkan (jika ada); k. keterangan bahwa Pernyataan Pendaftaran telah disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang- undangan di sektor pasar modal; risiko utama yang dihadapi Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah; dan - 12 - l. pernyataan bahwa semua lembaga dan profesi penunjang pasar modal yang disebut dalam Prospektus bertanggung jawab sepenuhnya atas data yang disajikan sesuai dengan fungsi dan kedudukan mereka, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal, dan kode etik, norma, serta standar profesi masing-masing; m. pernyataan bahwa sehubungan dengan Penawaran Umum dan penambahan modal dengan memberikan HMETD, setiap pihak terafiliasi dilarang untuk memberikan keterangan atau pernyataan mengenai data yang tidak diungkapkan dalam Prospektus, tanpa persetujuan tertulis dari Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah dan penjamin pelaksana emisi Efek (jika menggunakan penjamin pelaksana emisi Efek); dan n. dalam hal Prospektus mencantumkan nama pihak yang membantu Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah dalam penyusunan Prospektus, pihak dimaksud harus membuat pernyataan bahwa telah memberikan persetujuan tertulis mengenai pencantuman nama pihak tersebut dalam Prospektus dan tidak mencabut persetujuan tersebut. Pasal 10 Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah melakukan Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas, selain memuat informasi pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah wajib menambahkan informasi: a. masa penawaran; b. dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah tidak menggunakan jasa Penjamin Emisi Efek, Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah harus mencantumkan pernyataan berikut dalam huruf kapital yang langsung dapat menarik perhatian pembaca: - 13 - “EMITEN DENGAN ASET SKALA KECIL ATAU EMITEN DENGAN ASET SKALA MENENGAH TIDAK MENGGUNAKAN JASA PENJAMIN EMISI EFEK DALAM PENAWARAN UMUM INI”; c. dalam hal Efek akan dicatatkan di Bursa Efek, Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah harus memberikan informasi atas tindakan yang akan diambil oleh Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah jika Bursa Efek tersebut menolak permohonan pencatatan Efek tersebut; d. pernyataan Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah tentang rencana stabilisasi harga Efek, sebagai berikut: 1. jika direncanakan opsi penjatahan lebih dalam rangka Penawaran Umum, harus diberikan pernyataan dalam huruf kapital yang langsung dapat menarik perhatian pembaca mengenai rencana dan tujuan dilaksanakannya opsi penjatahan lebih, termasuk rencana stabilisasi harga; dan 2. jika direncanakan untuk melakukan stabilisasi harga saham tertentu yang telah tercatat di Bursa Efek untuk mempermudah pelaksanaan penjualan Efek bersifat ekuitas dalam rangka Penawaran Umum, harus diberikan pernyataan dalam huruf kapital yang langsung dapat menarik perhatian pembaca yang berbunyi sebagai berikut: "DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN HARGA PASAR SAHAM YANG SAMA, BAIK JENIS MAUPUN KELASNYA, DENGAN YANG DITAWARKAN PADA PENAWARAN UMUM INI, PENJAMIN EMISI EFEK DAPAT MELAKUKAN STABILISASI HARGA PADA TINGKAT HARGA YANG LEBIH TINGGI DARI YANG MUNGKIN TERJADI DI BURSA EFEK SEKIRANYA TIDAK DILAKUKAN STABILISASI HARGA. JIKA - 14 - PENJAMIN EMISI EFEK MELAKUKAN STABILISASI HARGA, MAKA BAIK STABILISASI HARGA MAUPUN PENAWARAN UMUM TERSEBUT DAPAT DIHENTIKAN SEWAKTU-WAKTU.” Pasal 11 Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah melakukan Penawaran Umum Efek bersifat utang, selain memuat informasi pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah harus menambahkan informasi: a. masa penawaran; b. dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah tidak menggunakan jasa Penjamin Emisi Efek, Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah harus mencantumkan pernyataan berikut dalam huruf kapital yang langsung dapat menarik perhatian pembaca: “EMITEN DENGAN ASET SKALA KECIL ATAU EMITEN DENGAN ASET SKALA MENENGAH TIDAK MENGGUNAKAN JASA PENJAMIN EMISI EFEK DALAM PENAWARAN UMUM INI.”; dan c. dalam hal Efek akan dicatatkan di Bursa Efek, Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah harus memberikan informasi atas tindakan yang akan diambil oleh Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah jika Bursa Efek tersebut menolak permohonan pencatatan Efek tersebut. Pasal 12 Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah melakukan penambahan modal dengan memberikan HMETD, selain memuat informasi pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah harus menambahkan informasi: - 15 - a. tanggal rapat umum pemegang saham; b. tanggal daftar pemegang saham yang berhak memperoleh HMETD; c. tanggal distribusi HMETD; d. tanggal terakhir pelaksanaan HMETD dan tanggal terakhir pembayaran saham dan/atau Efek bersifat ekuitas lainnya dalam pelaksanaan HMETD; e. periode perdagangan HMETD; f. tanggal pembayaran pemesanan tambahan saham dan/atau Efek bersifat ekuitas lainnya; dan g. tanggal pembayaran penuh oleh Pembeli Siaga (jika ada). Bagian Kedua Daftar Isi Pasal 13 Daftar isi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b harus meliputi uraian mengenai bagian dan halaman. Bagian Ketiga Informasi tentang Efek yang Ditawarkan Pasal 14 Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah melakukan Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas, dalam bagian informasi tentang Efek yang ditawarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c paling sedikit memuat atau mengungkapkan: a. jenis dan jumlah Efek bersifat ekuitas; b. nilai nominal (jika menggunakan nilai nominal); c. harga penawaran; d. total nilai Penawaran Umum; e. Efek lain yang menyertai (jika ada), paling sedikit meliputi: - 16 - 1. untuk Waran, paling sedikit meliputi: a) jenis dan jumlah Efek yang mendasarinya; b) jumlah Waran yang akan diterbitkan; c) jumlah Waran yang masih dan akan beredar; d) tanggal dimulai dan tanggal diakhirinya pelaksanaan Waran; e) harga saham baru dalam pelaksanaan Waran; f) ketentuan mengenai perubahan harga pelaksanaan; dan g) ketentuan material lainnya dari Waran dimaksud; 2. untuk Efek yang dapat dikonversi menjadi saham yang dapat dibeli kembali, paling sedikit meliputi: a) uraian tentang syarat konversi termasuk apakah hak konversi akan hilang jika tidak dilaksanakan sebelum tanggal yang diungkapkan dalam pengumuman pembelian kembali; b) tanggal dimulai dan tanggal diakhirinya konversi; dan c) jenis, frekuensi, serta waktu pengumuman pembelian kembali termasuk dimana pengumuman tersebut akan dipublikasikan; f. jumlah Efek bersifat ekuitas yang dialokasikan kepada karyawan (jika ada); g. hak pemegang saham meliputi hak atas dividen, HMETD, dan hak lain termasuk batasan dan/atau kualifikasi atas hak tersebut (jika ada) dan pengaruhnya terhadap hak pemegang saham; h. pembatasan hak pengalihan atau hak suara (jika ada); i. keterangan tentang apakah saham yang diterbitkan dan ditawarkan kepada umum merupakan saham portepel (saham dalam simpanan) dan/atau saham yang sudah disetor penuh (divestasi); - 17 - j. nama Bursa Efek (jika Efek tersebut akan dicatatkan) dan keterangan tentang jumlah dan persentase saham yang akan dicatatkan pada Bursa Efek, serta pembatasan atas pencatatan saham (jika ada); k. keterangan tentang rencana Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah untuk mengeluarkan Efek bersifat ekuitas dalam waktu 12 (dua belas) bulan setelah tanggal efektif (jika ada); l. informasi tentang susunan modal dan pemegang saham sebelum dan sesudah Penawaran Umum dalam bentuk tabel, termasuk: 1. modal dasar dan modal ditempatkan dan disetor penuh yang meliputi jumlah saham, nilai nominal per saham, dan jumlah nilai nominal saham atau jumlah dan nilai saham dalam hal saham tanpa nilai nominal; 2. rincian kepemilikan saham pemegang saham dengan ketentuan pemegang saham yang memiliki 5% (lima persen) atau lebih, anggota Direksi, dan anggota Dewan Komisaris harus mengungkapkan nama, jumlah saham, dan jumlah nilai nominal saham dan persentase kepemilikan atau jumlah dan nilai saham serta persentase kepemilikan dalam hal saham tanpa nilai nominal; 3. saham portepel (saham dalam simpanan), yang mencakup jumlah saham, nilai nominal per saham, dan jumlah nilai nominal saham atau jumlah dan nilai saham dalam hal saham tanpa nilai nominal; dan 4. tabel proforma ekuitas pada tanggal laporan keuangan terakhir yang menggambarkan posisi perubahan permodalan terakhir (jika ada) dan Penawaran Umum telah terjadi pada tanggal laporan keuangan terakhir; dan - 18 - m. uraian mengenai Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham (jika menerbitkan Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham), paling sedikit harus memuat atau mengungkapkan: 1. hak para pemegang Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham; 2. 3. sifat Efek bersifat utang yang dapat dikonversikan menjadi saham; sifat Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham yang memungkinkan pelunasan lebih dini atas pilihan Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah atau pemegang Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham; 4. harga dan tingkat suku bunga dari Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham; 5. jadwal pelunasan atau cicilan termasuk jumlahnya; 6. jadwal pembayaran bunga; 7. jadwal konversi Efek bersifat utang menjadi saham; 8. hasil pemeringkatan Efek bersifat utang yang dapat dikonversi menjadi saham dan nama perusahaan pemeringkat Efek; 9. ketentuan tentang dana pelunasan (jika ada); 10. mata uang yang menjadi denominasi utang dan mata uang lain yang menjadi alternatif (jika ada) digunakan dalam penerbitan Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham dimaksud (jika ada); 11. ringkasan tentang setiap tuntutan atas aset dari Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah yang dijadikan agunan untuk Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham yang ditawarkan; - 19 - 12. pernyataan tentang dicatatkan atau tidaknya Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham di Bursa Efek; dan 13. jumlah dan persentase Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham, dalam hal Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham sebagaimana dimaksud dalam angka 12 dicatatkan di Bursa Efek. Pasal 15 Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah melakukan Penawaran Umum Efek bersifat utang, dalam bagian informasi tentang Efek yang ditawarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c paling sedikit memuat atau mengungkapkan: a. jumlah nominal dan jenis Efek bersifat utang yang ditawarkan; b. mata uang yang menjadi denominasi utang; c. harga, suku bunga, atau imbalan dengan cara lain yang ditetapkan untuk Efek bersifat utang, termasuk metode penentuannya dengan ketentuan jika suku bunga mengambang, diuraikan secara lengkap tentang cara penentuan suku bunga mengambang dimaksud; d. tanggal pembayaran utang pokok dan jumlah utang pokok yang harus dibayar pada tanggal tersebut; e. tanggal pembayaran bunga atau imbalan dengan cara lain; f. satuan pemindahbukuan dan satuan perdagangan dari Efek bersifat utang yang akan ditawarkan dalam rangka Penawaran Umum, termasuk batasan dalam melakukan pemindahbukuan; g. aset Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah yang menjadi agunan atas utang yang timbul berkenaan dengan Efek yang ditawarkan, saat efektifnya aset tersebut sebagai agunan bagi pemegang Efek bersifat - 20 - utang, dan ringkasan penilaian (jika ada); h. hasil pemeringkatan Efek bersifat utang; i. j. ikhtisar pokok Kontrak Perwaliamanatan; ikhtisar pokok perjanjian penanggungan utang (jika menggunakan penanggung); dan k. ikatan lainnya sehubungan dengan Efek bersifat utang yang ditawarkan. Pasal 16 Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah melakukan penambahan modal dengan memberikan HMETD, dalam bagian informasi tentang Efek yang ditawarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c, selain informasi yang disebutkan dalam Pasal 14 kecuali informasi yang disebutkan dalam Pasal 14 huruf f dan huruf i, informasi yang ditambahkan paling sedikit memuat atau mengungkapkan: a. uraian mengenai rapat umum pemegang saham yang menyetujui penambahan modal dengan memberikan HMETD; b. rasio HMETD atas saham; c. dampak dilusi dari penerbitan saham baru; d. uraian mengenai tata cara pengalihan HMETD; e. uraian mengenai perlakuan saham dan/atau Efek bersifat ekuitas lainnya yang diterbitkan dalam penambahan modal dengan memberikan HMETD yang tidak diambil oleh yang berhak; f. uraian mengenai perlakuan HMETD dalam bentuk pecahan; g. tata cara penerbitan dan penyampaian bukti HMETD serta saham dan/atau Efek bersifat ekuitas lainnya; h. syarat penerima dan pemegang HMETD yang berhak; i. bentuk sertifikat HMETD (jika ada); j. pemecahan sertifikat bukti HMETD (jika ada); k. tata cara pelaksanaan HMETD; - 21 - l. pemesanan pembelian tambahan saham dan/atau Efek bersifat ekuitas lainnya; m. penjatahan pemesanan tambahan saham dan/atau Efek bersifat ekuitas lainnya; n. nilai teoretis HMETD; o. pernyataan yang menyatakan pemegang saham utama akan melaksanakan atau tidak melaksanakan HMETD yang dimiliki dan informasi nama pihak yang akan menerima pengalihan HMETD (jika ada) serta uraian singkat mengenai pengalihan HMETD; p. uraian singkat mengenai pembelian sisa Efek oleh Pembeli Siaga dan nama lengkap pihak yang bertindak sebagai Pembeli Siaga/calon Pengendali (jika ada); dan q. uraian mengenai penyetoran atas saham dalam bentuk lain selain uang (jika ada) yang paling sedikit memuat atau mengungkapkan: 1. keterangan tentang objek penyetoran; dan 2. identitas pihak; ringkasan hasil penilaian dari Penilai paling sedikit memuat atau mengungkapkan: a) b) objek penilaian; c) tujuan penilaian; d) asumsi dan kondisi pembatas; e) pendekatan penilaian dan metode penilaian; f) kesimpulan nilai; dan g) pendapat kewajaran atas transaksi penyetoran. Bagian Keempat Penggunaan Dana yang Diperoleh dari Hasil Penawaran Umum atau Penambahan Modal dengan Memberikan HMETD Pasal 17 Dalam bagian penggunaan dana yang diperoleh dari hasil Penawaran Umum atau penambahan modal dengan - 22 - memberikan HMETD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan informasi pokok: a. keterangan tentang tujuan Penawaran Umum atau penambahan modal dengan memberikan HMETD dan penggunaan dana yang diperoleh dari hasil Penawaran Umum atau penambahan modal dengan memberikan HMETD setelah dikurangi dengan biaya, dibuat secara rinci dalam bentuk jumlah dan/atau persentase dengan ketentuan: 1. mengungkapkan rincian penggunaan dana sesuai dengan tujuan dari Penawaran Umum atau penambahan modal dengan memberikan HMETD; dan 2. mengungkapkan fakta dan sifat hubungan afiliasi dengan Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah dalam hal: a) penggunaan dana untuk pembayaran utang seluruhnya atau sebagian kepada kreditur terafiliasi; dan b) penggunaan dana untuk pembelian atau investasi dalam perusahaan lain (jika ada) jika perusahaan dimaksud adalah pihak terafiliasi dengan Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah; dan b. keterangan mengenai sumber dana lain yang akan digunakan untuk membiayai suatu kegiatan apabila dana hasil Penawaran Umum atau penambahan modal dengan memberikan HMETD tidak mencukupi. Pasal 18 (1) Dalam hal terdapat pihak yang melakukan penyetoran modal dalam bentuk selain uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf q, yang dapat mengakibatkan pihak tersebut menjadi Pengendali baru Emiten Skala - 23 - Kecil atau Emiten Skala Menengah dan meningkatkan ekuitas Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah sebesar 100% (seratus persen) atau lebih, Prospektus paling sedikit harus memuat atau mengungkapkan: a. dalam hal setoran modal berbentuk saham perusahaan lain, informasi yang harus dimuat atau diungkapkan paling sedikit: 1. laporan keuangan perusahaan lain tersebut; 2. informasi keuangan proforma yang diperiksa Akuntan Publik; 3. informasi tentang faktor risiko; 4. keterangan tentang perusahaan lain tersebut; 5. analisis dan pembahasan manajemen tentang perusahaan lain tersebut; 6. kegiatan dan prospek usaha; dan 7. pendapat dari segi hukum perusahaan lain tersebut; dan/atau b. dalam hal setoran modal berbentuk aset, informasi yang harus diungkapkan berupa keterangan mengenai aset tersebut serta risiko dan prospek usaha atas penggunaan aset tersebut. (2) Pengungkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bagian tersendiri dalam Prospektus. Pasal 19 Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah harus mengungkapkan informasi tentang perkiraan rincian biaya yang dikeluarkan oleh Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah dalam rangka Penawaran Umum dan penambahan modal dengan memberikan HMETD baik dalam bentuk persentase tertentu atau nilai absolut dalam denominasi mata uang, yang paling sedikit memuat atau mengungkapkan: a. biaya jasa penjaminan (jika ada); b. biaya jasa penyelenggaraan (jika ada); c. biaya jasa penjualan (jika ada); - 24 - d. biaya jasa profesi penunjang pasar modal; e. biaya jasa lembaga penunjang pasar modal; f. biaya jasa konsultasi keuangan (jika ada); dan g. biaya lain-lain. Bagian Kelima Analisis dan Pembahasan oleh Manajemen Pasal 20 Dalam bagian analisis dan pembahasan oleh manajemen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e, paling sedikit harus memuat atau mengungkapkan: a. bahasan yang memberikan gambaran menyeluruh mengenai kegiatan usaha Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah termasuk kondisi keuangan dan hasil operasi Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah serta perubahan dan penyebab perubahan kondisi keuangan dan hasil operasi Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah, yang paling sedikit meliputi: 1. total aset; 2. total liabilitas; 3. ekuitas; 4. penjualan/pendapatan usaha; 5. beban usaha; 6. laba (rugi) usaha; dan 7. laba (rugi) bersih; b. bahasan mengenai sumber dan jumlah arus kas dari aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan serta pola arus kas dikaitkan dengan karakteristik dan siklus bisnis Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah; c. bahasan mengenai komitmen investasi barang modal yang material yang dilakukan, dengan penjelasan tentang: 1. pihak yang terkait dalam perjanjian; - 25 - 2. nilai keseluruhan, mata uang, dan bagian yang telah direalisasi; 3. tujuan dari investasi barang modal; 4. sumber dana yang digunakan; 5. prakiraan periode dimulai dan selesainya proses pembangunan dalam rangka investasi barang modal (jika ada); dan 6. peningkatan kapasitas produksi yang diharapkan dari investasi barang modal (jika ada); d. bahasan mengenai kebijakan pemerintah dan institusi lainnya dalam bidang fiskal, moneter, ekonomi publik, dan politik yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap kegiatan usaha dan investasi Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah dan Perusahaan Anak yang tercermin di laporan keuangan; e. bahasan mengenai kejadian atau transaksi yang tidak normal dan jarang terjadi yang dapat mempengaruhi jumlah pendapatan dan profitabilitas; dan f. bahasan tentang kejadian material yang terjadi setelah tanggal laporan keuangan dan laporan Akuntan Publik. Bagian Keenam Faktor Risiko Pasal 21 Dalam bagian faktor risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf f paling sedikit harus memuat atau mengungkapkan risiko yang disusun berdasarkan bobot risiko yang dihadapi. Bagian Ketujuh Kejadian Penting setelah Tanggal Laporan Akuntan Publik Pasal 22 Dalam bagian kejadian penting setelah tanggal laporan Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf - 26 - g, paling sedikit harus memuat atau mengungkapkan: a. informasi tentang semua kejadian penting yang terjadi setelah tanggal laporan Akuntan Publik sampai dengan tanggal efektifnya Pernyataan Pendaftaran; b. pernyataan mengenai ada tidaknya kewajiban setelah tanggal laporan Akuntan Publik sampai dengan tanggal efektifnya Pernyataan Pendaftaran; dan c. pernyataan manajemen mengenai tidak terdapatnya kejadian penting setelah tanggal laporan Akuntan Publik sampai dengan tanggal efektifnya Pernyataan Pendaftaran, dalam hal tidak terdapat kejadian penting. Bagian Kedelapan Keterangan tentang Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah, Kegiatan Usaha, serta Kecenderungan dan Prospek Usaha Pasal 23 Dalam bagian keterangan tentang Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah, kegiatan usaha, serta kecenderungan dan prospek usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf h, paling sedikit harus memuat atau mengungkapkan: a. keterangan tentang Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah, paling sedikit meliputi: 1. permodalan dan pemegang saham, paling sedikit: a) kepemilikan saham dan struktur permodalan terakhir; b) posisi Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah dan Perusahaan Anak dalam Kelompok Usaha Emiten Skala Kecil atau Kelompok Usaha Emiten Skala Menengah yang dibuat dalam bentuk diagram disertai persentase kepemilikannya; dan - 27 - c) keterangan tentang Pengendali, baik langsung maupun tidak langsung, sampai kepada pemilik individu, dan/atau pemegang saham utama yang disajikan dalam bentuk skema atau diagram; 2. pengurusan dan pengawasan yang meliputi nama dan daftar riwayat hidup anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah serta sekretaris perusahaan, komite audit, dan/atau komite lainnya (jika ada); 3. struktur organisasi Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah; 4. perkara yang dihadapi Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah dan Perusahaan Anak, serta anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah, yang mempunyai dampak material terhadap kelangsungan usaha Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah (jika ada); 5. keterangan material tentang sumber daya manusia; 6. transaksi dengan pihak terafiliasi; dan 7. informasi tentang Perusahaan Anak dan/atau investasi pada perusahaan lain (jika ada), paling sedikit meliputi: a) nama; b) tahun pendirian; c) kegiatan usaha yang diuraikan secara umum; d) struktur permodalan dan susunan pemegang saham terakhir; e) pengurusan dan pengawasan; dan f) data keuangan penting 2 (dua) tahun buku terakhir atau sejak berdirinya jika kurang dari 2 (dua) tahun buku; dan - 28 - b. kegiatan usaha Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah serta kecenderungan dan prospek usaha yang paling sedikit memuat atau mengungkapkan: 1. uraian singkat mengenai kegiatan usaha utama Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah atau Kelompok Usaha Emiten Skala Kecil atau Kelompok Usaha Emiten Skala Menengah (jika Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah merupakan entitas induk); 2. perjanjian penting; 3. pernyataan manajemen bahwa tidak terdapat pembatasan yang merugikan hak pemegang saham publik; 4. uraian tentang produk dan jasa utama yang ditawarkan oleh Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah; 5. keterangan umum tentang pelanggan dari Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah; 6. keterangan umum tentang pemasok persediaan Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah; 7. keterangan umum tentang sarana produksi yang dimiliki atau disewa dari pihak lain atau dikuasai, seperti hak tanah, bangunan dan prasarana, serta mesin dan perlengkapan serta statusnya; 8. setiap kecenderungan yang signifikan dalam produksi, penjualan, persediaan, beban, dan harga penjualan sejak tahun buku terakhir yang mempengaruhi kegiatan usaha dan prospek keuangan Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah; 9. setiap kecenderungan, ketidakpastian, permintaan, komitmen, atau peristiwa yang dapat diketahui yang dapat mempengaruhi secara signifikan penjualan bersih atau pendapatan usaha, pendapatan dari operasi berjalan, profitabilitas, likuiditas atau - 29 - sumber modal, atau peristiwa yang akan menyebabkan informasi keuangan yang dilaporkan tidak dapat dijadikan indikasi atas hasil operasi atau kondisi keuangan masa datang; dan 10. dalam hal tidak ada kecenderungan, ketidakpastian, permintaan, komitmen, atau peristiwa sebagaimana dimaksud dalam angka 8 dan angka 9, Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah harus memberikan pernyataan yang memadai mengenai hal tersebut. Pasal 24 Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah melakukan Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas, selain informasi pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah harus menambahkan informasi: a. pendirian Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah, paling sedikit meliputi tanggal akta pendirian, susunan pemegang saham, nama Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah, dan kegiatan usahanya, termasuk riwayat singkat mengenai pendirian, bentuk dan nama organisasi jika bukan merupakan perusahaan; b. kejadian penting sehubungan dengan perkembangan usaha; dan c. kronologis perubahan dalam susunan pemegang saham dan kepemilikan saham selama 2 (dua) tahun terakhir atau sejak berdirinya jika kurang dari 2 (dua) tahun sebelum penyampaian Pernyataan Pendaftaran. Bagian Kesembilan Tata Cara Pemesanan Efek Pasal 25 Dalam bagian tata cara pemesanan Efek, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf i, paling sedikit harus memuat - 30 - atau mengungkapkan informasi pokok: a. penyerahan formulir pemesanan, persyaratan pembayaran, pembatalan pemesanan, dan tanda terima untuk pemesanan; b. penjelasan tentang pembatasan pihak yang dapat memesan (jika ada); c. tanggal dimulai dan berakhirnya pemesanan; dan d. tanggal pengembalian uang pemesanan, dan distribusi Efek atau bukti lain tentang kepemilikan Efek. Pasal 26 Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah melakukan Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas dan/atau Penawaran Umum Efek bersifat utang, selain informasi pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah harus menambahkan informasi paling sedikit mengenai penjelasan metode penjatahan pemesanan serta penjatahan pemesanan yang akan dialokasikan kepada pihak tertentu (jika ada). Bagian Kesepuluh Kebijakan Dividen Pasal 27 Dalam bagian kebijakan dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dan Pasal 8 huruf a harus memuat atau mengungkapkan informasi mengenai kebijakan dividen serta riwayat pembayaran dividen. Bagian Kesebelas Penjaminan Emisi Efek Pasal 28 Dalam bagian penjaminan emisi Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b dan Pasal 7 huruf a, paling sedikit - 31 - harus memuat atau mengungkapkan: a. uraian tentang ketentuan dan persyaratan yang penting dari perjanjian penjaminan emisi Efek; b. nama penjamin pelaksana emisi Efek dan Penjamin Emisi Efek; c. bentuk penjaminan; d. persentase dan nilai penjaminan; dan e. sifat hubungan afiliasi antara Penjamin Emisi Efek dengan Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah (jika ada). Bagian Kedua Belas Pendapat dari Segi Hukum Pasal 29 Dalam bagian pendapat dari segi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c dan Pasal 7 huruf c, pendapat dari konsultan hukum paling sedikit harus memuat atau mengungkapkan: a. keabsahan akta pendirian; b. kesesuaian anggaran dasar terakhir dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal; c. keabsahan perjanjian dalam rangka Penawaran Umum atau penambahan modal dengan memberikan HMETD dan perjanjian penting lainnya; d. izin dan persetujuan pokok yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan usaha atau kegiatan usaha yang direncanakan Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah; e. status kepemilikan, pembebanan, asuransi, dan sengketa atas aset Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah yang nilainya material; f. perkara yang penting dan relevan, tuntutan perdata atau pidana, serta tindakan hukum lainnya menyangkut Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah dan - 32 - Perusahaan Anak, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris (jika ada); g. struktur permodalan dan pemegang saham Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah serta setiap perubahannya selama 2 (dua) tahun terakhir sebelum Pernyataan Pendaftaran atau sejak berdirinya bagi Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah yang berdiri kurang dari 2 (dua) tahun telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan h. aspek hukum material lainnya sehubungan dengan Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah dan penawaran Efek yang akan dilaksanakan. Bagian Ketiga Belas Laporan Keuangan Pasal 30 Dalam bagian laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d dan Pasal 7 huruf d, harus menyajikan laporan keuangan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum dan penambahan modal dengan memberikan HMETD oleh Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah. Bagian Keempat Belas Laporan Penilai dan Laporan Tenaga Ahli Pasal 31 (1) Dalam hal terdapat laporan Penilai dan laporan tenaga ahli, dalam bagian laporan Penilai dan laporan tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e dan Pasal 7 huruf e, harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan: - 33 - a. ringkasan laporan Penilai atau tenaga ahli; dan b. untuk tenaga ahli, harus mengungkapkan juga informasi meliputi nama, alamat, dan kualifikasi tenaga ahli serta pernyataan bahwa tenaga ahli tersebut telah memberikan persetujuan atas pencantuman ringkasan laporan dimaksud dalam Prospektus dalam hal Prospektus memuat ringkasan laporan dari tenaga ahli. (2) Laporan Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal mengenai pedoman penilaian dan penyajian laporan penilaian di pasar modal. Bagian Kelima Belas Keterangan tentang Wali Amanat dan Penanggung Pasal 32 Dalam bagian keterangan tentang Wali Amanat dan penanggung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dan Pasal 8 huruf b, paling sedikit harus memuat atau mengungkapkan: a. nama, alamat, dan uraian mengenai pihak yang bertindak sebagai Wali Amanat dan penanggung (jika terdapat penanggung); dan b. pernyataan dari penanggung (jika terdapat penanggung) bahwa: 1. penanggung sanggup untuk menanggung sesuai dengan kewajiban atau kesanggupan penanggungan yang tercantum dalam perjanjian penanggungan; dan 2. ada atau tidaknya perkara di bidang keuangan yang sedang dijalani oleh penanggung. - 34 - Bagian Keenam Belas Keterangan mengenai Pembeli Siaga dan/atau Calon Pengendali Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah Pasal 33 Dalam bagian keterangan mengenai Pembeli Siaga dan/atau calon Pengendali Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c paling sedikit harus memuat atau mengungkapkan: a. nama dan alamat domisili atau kantor pusat Pembeli Siaga dan/atau calon Pengendali Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah; b. bidang usaha (jika ada); c. status badan hukum (jika ada); d. susunan pengurus dan pengawas (jika ada); e. struktur permodalan atau informasi yang setara; f. penerima manfaat dari calon Pengendali baru (jika ada); g. sumber dana yang digunakan oleh Pembeli Siaga dan/atau calon Pengendali Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah; h. sifat hubungan afiliasi dengan Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah (jika ada); dan i. uraian tentang persyaratan penting dari perjanjian pembelian sisa Efek atau persetujuan untuk membeli Efek oleh Pembeli Siaga. Bagian Ketujuh Belas Ikhtisar Data Keuangan Penting Pasal 34 (1) Dalam bagian ikhtisar data keuangan penting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf d paling sedikit harus memuat atau mengungkapkan: a. keterangan laporan keuangan yang telah diaudit yang menjadi sumber data termasuk informasi - 35 - Akuntan Publik, nama kantor Akuntan Publik, opini yang diberikan, dan penjelasan tentang periode laporan keuangan yang dicakup; b. data keuangan 2 (dua) tahun buku terakhir atau sejak berdirinya jika kurang dari 2 (dua) tahun buku ditambah interim (jika ada); c. dalam hal terdapat data keuangan periode interim, disajikan perbandingannya dengan periode yang sama tahun sebelumnya (tidak harus diaudit), kecuali untuk laporan posisi keuangan; d. bentuk dan isi data keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf b harus sama dengan yang disajikan dalam laporan keuangan; dan e. data keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf b paling sedikit meliputi: 1. pendapatan; 2. laba (rugi) bruto; 3. laba (rugi) tahun berjalan; 4. penghasilan komprehensif lain; 5. total penghasilan komprehensif tahun berjalan; 6. jumlah laba (rugi) yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk dan kepentingan non Pengendali; 7. jumlah penghasilan komprehensif yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk dan kepentingan non Pengendali; 8. laba (rugi) per saham; 9. dividen per saham (jika ada pembagian dividen); 10. total aset lancar, total aset tidak lancar, dan total aset; 11. total liabilitas jangka pendek, total liabilitas jangka panjang, dan total liabilitas; 12. total ekuitas; 13. rasio laba (rugi) tahun berjalan terhadap total aset; - 36 - 14. rasio laba (rugi) tahun berjalan terhadap ekuitas; 15. rasio laba (rugi) tahun berjalan terhadap pendapatan; 16. rasio lancar; 17. rasio liabilitas terhadap ekuitas; 18. rasio liabilitas terhadap total aset; 19. informasi dan rasio keuangan lainnya yang relevan dengan Pengendali Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah dan jenis industrinya; dan 20. informasi nilai kurs, dalam hal laporan keuangan Pengendali Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah disusun selain dalam mata uang rupiah, paling sedikit meliputi: a) nilai kurs pada tanggal yang paling akhir yang dapat diketahui; b) nilai kurs tertinggi dan terendah untuk tiap bulan selama periode 6 (enam) bulan terakhir; c) nilai kurs rata-rata untuk setiap tahun dan periode interim yang disajikan dalam laporan keuangan yang dihitung dengan menggunakan nilai kurs rata-rata pada hari terakhir pada tiap bulan dalam periode dimaksud; dan d) sumber informasi atas pengungkapan nilai kurs yang digunakan. (2) Ikhtisar data keuangan penting yang disajikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus konsisten dengan laporan keuangan Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah termasuk nama pos yang digunakan. - 37 - BAB IV KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 35 Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah mengajukan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum sukuk, selain wajib memenuhi ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerbitan dan persyaratan sukuk. Pasal 36 Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah akan menerbitkan Efek utang konversi melalui Penawaran Umum, sifat Efek utang konversi tersebut harus merupakan Efek utang wajib konversi. BAB V KETENTUAN SANKSI Pasal 37 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan/atau - 38 - g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 38 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 39 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 kepada masyarakat. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 40 Bagi Emiten Skala Kecil dan Emiten Skala Menengah yang telah mengajukan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum dan penambahan modal dengan memberikan HMETD kepada Otoritas Jasa Keuangan namun Pernyataan Pendaftaran dimaksud belum efektif sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, Prospektus yang disampaikan oleh Emiten Skala Kecil dan Emiten Skala - 39 - Menengah dalam rangka Penawaran Umum dan penambahan modal dengan memberikan HMETD tetap mengikuti Peraturan Nomor IX.C.8, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-56/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum oleh Perusahaan Menengah atau Kecil. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 41 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-56/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum oleh Perusahaan Menengah atau Kecil beserta Peraturan Nomor IX.C.8 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 42 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 40 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Juli 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Juli 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 172 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 54 /POJK.04/2017 TENTANG BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM DAN PENAMBAHAN MODAL DENGAN MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU OLEH PERUSAHAAN DENGAN ASET SKALA KECIL ATAU PERUSAHAAN DENGAN ASET SKALA MENENGAH I. UMUM Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang pada pokoknya mengatur bahwa setiap pihak yang akan melakukan Penawaran Umum wajib menyampaikan Pernyataan Pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Pernyataan Pendaftaran tersebut telah menjadi efektif. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan memiliki kewenangan untuk mengatur dokumen yang wajib disampaikan pada saat penyampaian Pernyataan Pendaftaran. Pengaturan mengenai bentuk dan isi Prospektus yang harus disampaikan untuk penyampaian Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas, Efek bersifat utang, dan Sukuk Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah, saat ini diatur dengan Peraturan Nomor IX.C.8, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-56/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum oleh Perusahaan Menengah atau Kecil. Namun, dalam perkembangannya perlu adanya penyesuaian mengenai bentuk dan isi Prospektus dalam rangka Penawaran Umum sehingga mempermudah akses bagi Emiten Skala Kecil - 2 - atau Emiten Skala Menengah agar dapat memanfaatkan pasar modal sebagai sumber pendanaan. Penyesuaian Peraturan Nomor IX.C.8 tersebut dilakukan untuk tujuan meningkatkan kualitas keterbukaan informasi dalam Prospektus Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah sehingga diharapkan masyarakat dalam berinvestasi pada Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah memiliki pengetahuan yang cukup dalam mengambil keputusan. Adapun penyesuaian informasi yang dilakukan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pedoman mengenai bentuk dan isi Prospektus dalam rangka Penawaran Umum oleh Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah, yaitu antara lain: a. untuk Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas dan Penawaran Umum Efek bersifat utang menambahkan informasi: 1. kejadian penting setelah tanggal laporan Akuntan Publik; 2. penjaminan emisi Efek; 3. pendapat dari segi hukum; dan 4. laporan Penilai dan laporan tenaga ahli (jika ada); b. khusus untuk Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas ditambahkan informasi opsi penjatahan lebih dalam rangka Penawaran Umum; c. menambahkan informasi terkait penambahan modal dengan memberikan HMETD: 1. keterangan mengenai Pembeli Siaga dan/atau calon Pengendali Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah (jika ada); 2. ikhtisar data keuangan penting; 3. jadwal terkait penambahan modal dengan memberikan HMETD; 4. uraian mengenai HMETD yang ditawarkan; 5. penyetoran atas saham dalam bentuk lain selain uang; 6. pernyataan yang menyatakan pemegang saham utama akan melaksanakan atau tidak melaksanakan HMETD yang dimiliki dan informasi nama pihak yang akan menerima pengalihan HMETD; 7. nama lengkap Pihak yang bertindak sebagai Pembeli Siaga dan/atau calon Pengendali; 8. uraian mengenai Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham; - 3 - 9. pihak yang melakukan penyetoran modal dalam bentuk selain uang yang dapat mengakibatkan pihak tersebut menjadi Pengendali baru Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah dan meningkatkan ekuitas Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah sebesar 100% (seratus persen) atau lebih, Prospektus paling sedikit harus memuat atau mengungkapkan: a) dalam hal setoran modal berbentuk saham perusahaan lain, informasi yang harus dimuat atau diungkapkan paling sedikit: 1) laporan keuangan perusahaan lain tersebut; 2) informasi keuangan proforma yang diperiksa Akuntan Publik; 3) informasi tentang faktor risiko; 4) keterangan tentang perusahaan lain tersebut; 5) kegiatan dan prospek usaha, dan 6) pendapat dari segi hukum perusahaan lain tersebut; dan/atau b) dalam hal setoran modal berbentuk aset, informasi yang harus diungkapkan berupa keterangan mengenai aset tersebut serta risiko dan prospek usaha atas penggunaan aset tersebut. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. - 4 - Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. - 5 - Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Contoh ikhtisar pokok Kontrak Perwaliamanatan antara lain: 1. ikhtisar hak pemegang Efek bersifat utang; 2. ikhtisar sifat Efek bersifat utang yang memberi kemungkinan pembayaran lebih dini atas pilihan Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah atau pemegang Efek bersifat utang; 3. hak keutamaan (senioritas) dibandingkan dengan utang lainnya dari Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah yang ada dan yang mungkin timbul; dan 4. ikhtisar persyaratan mengenai dana pelunasan utang (sinking fund), (jika ada); Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Huruf a Angka 1 Contoh penggunaan dana antara lain untuk pengembangan sarana yang ada, diversifikasi, dan penambahan modal kerja. - 6 - Angka 2 Yang dimaksud dengan “afiliasi” adalah afiliasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Huruf b Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Huruf a Dalam praktiknya biaya jasa penjaminan disebut dengan underwriting fee. Huruf b Dalam praktiknya biaya jasa penyelenggaraan disebut dengan management fee. Huruf c Dalam praktiknya biaya jasa penjualan disebut dengan selling fee. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Dalam praktiknya biaya jasa konsultasi keuangan disebut dengan financial advisory fee. Huruf g Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Risiko yang dihadapi dapat berupa antara lain: 1. risiko utama yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap kelangsungan usaha; - 7 - 2. risiko usaha; 3. risiko umum; dan 4. risiko bagi investor. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Yang dimaksud dengan “perjanjian penting” antara lain terdiri atas: 1. pembelian bahan baku; 2. pemasaran; 3. distribusi; atau 4. pembelanjaan. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. - 8 - Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Yang dimaksud dengan “keterangan umum tentang sarana produksi yang dimiliki atau disewa dari pihak lain atau dikuasai” antara lain terdiri atas: 1. hak tanah, bangunan, dan prasarana; dan 2. mesin dan perlengkapan serta statusnya. Angka 8 Cukup jelas. Angka 9 Cukup jelas. Angka 10 Cukup jelas. Pasal 24 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “kejadian penting sehubungan dengan perkembangan usaha” antara lain terdiri atas: 1. perubahan kepemilikan; 2. investasi barang modal yang material yang dilakukan, perkembangan produk atau jasa baru; dan 3. kegiatan pemasaran yang penting. Huruf c Contoh 1: Pada tahun 2012 dan 2013 PT A melakukan peningkatan modal disetor. Tahun 2014 dan tahun 2015 tidak terjadi perubahan struktur permodalan namun pada April 2016 dan September 2016 dilakukan peningkatan modal disetor kembali. Pada tahun 2017 PT A melakukan Pernyataan Pendaftaran ke OJK. Maka perubahan dalam susunan pemegang saham dan kepemilikan saham 2 (dua) tahun terakhir yang diungkapkan sebelum Pernyataan Pendaftaran adalah perubahan struktur - 9 - permodalan pada April 2016, September 2016 dan struktur permodalan tahun 2015 yang merujuk pada perubahan struktur permodalan tahun 2013. Contoh 2: Pada tahun 2012 dan 2013 PT A melakukan peningkatan modal disetor. Tahun 2014, tahun 2015, dan tahun 2016 tidak terjadi perubahan struktur permodalan. Pada tahun 2017 PT A melakukan Pernyataan Pendaftaran ke OJK. Maka perubahan dalam susunan pemegang saham dan kepemilikan saham 2 (dua) tahun terakhir yang diungkapkan sebelum Pernyataan Pendaftaran adalah perubahan struktur permodalan tahun 2013. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. - 10 - Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6106
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 54/POJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM DAN PENAMBAHAN MODAL DENGAN MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU OLEH EMITEN DENGAN ASET SKALA KECIL ATAU EMITEN DENGAN ASET SKALA MENENGAH </reg_title> <set_date> 19 Juli 2017 </set_date> <effective_date> 27 Juli 2017 </effective_date> <issued_date> 27 Juli 2017 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-56/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-56/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor IX.C.8' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23 /POJK.04/2017 TENTANG PROSPEKTUS AWAL DAN INFO MEMO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai prospektus awal dan info memo beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap prospektus awal dan info memo, ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal mengenai prospektus awal dan info memo yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Prospektus Awal dan Info Memo; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PROSPEKTUS AWAL DAN INFO MEMO. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Prospektus adalah setiap informasi tertulis sehubungan dengan penawaran umum dengan tujuan agar pihak lain membeli efek. 2. Prospektus Awal adalah dokumen tertulis yang memuat seluruh informasi dalam Prospektus yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagai bagian dari pernyataan pendaftaran, kecuali informasi mengenai nilai nominal, jumlah dan harga penawaran efek, penjaminan emisi efek, tingkat suku bunga obligasi, atau hal lain yang berhubungan dengan persyaratan penawaran yang belum dapat ditentukan. 3. Info Memo adalah dokumen tertulis yang memuat seluruh informasi dalam Prospektus Awal dan informasi tambahan lain yang relevan (jika ada), dan ditulis dalam bahasa lain selain Bahasa Indonesia, serta dapat dibuat dalam format yang berbeda. 4. Prospektus Ringkas adalah ringkasan dari isi Prospektus Awal. - 3 - 5. Penawaran Awal adalah ajakan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan Prospektus Awal yang antara lain bertujuan untuk mengetahui minat calon pembeli atas efek yang akan ditawarkan dan/atau perkiraan harga penawaran efek. 6. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek. 7. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang dilakukan oleh emiten untuk menjual Efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya. Pasal 2 Prospektus Awal dan Info Memo dapat mencantumkan informasi mengenai: a. kisaran jumlah Efek yang akan ditawarkan; b. kisaran harga penawaran Efek; dan c. hal lain yang berhubungan dengan persyaratan penawaran. Pasal 3 Prospektus Awal dan Info Memo hanya dapat didistribusikan setelah diumumkannya Prospektus Ringkas sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai tata cara pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum. Pasal 4 Penyampaian minat untuk membeli Efek dari calon pembeli yang dilakukan dalam masa Penawaran Awal wajib bersifat tidak mengikat dan bukan merupakan suatu pemesanan atas suatu Efek. - 4 - BAB II KULIT MUKA PROSPEKTUS AWAL DAN INFO MEMO Pasal 5 Prospektus Awal dan Info Memo harus memuat tanggal penerbitan dan pernyataan pada kulit muka Prospektus Awal dan Info Memo dalam huruf cetak besar dengan tinta merah yang langsung dapat menarik perhatian, dalam bahasa yang digunakan dalam Prospektus Awal dan Info Memo, yaitu: “INFORMASI DALAM DOKUMEN INI MASIH DAPAT DILENGKAPI DAN/ATAU DIUBAH. PERNYATAAN PENDAFTARAN EFEK INI TELAH DISAMPAIKAN KEPADA OTORITAS JASA KEUANGAN NAMUN BELUM MEMPEROLEH PERNYATAAN EFEKTIF DARI OTORITAS JASA KEUANGAN. DOKUMEN INI HANYA DAPAT DIGUNAKAN DALAM RANGKA PENAWARAN AWAL TERHADAP EFEK INI. EFEK INI TIDAK DAPAT DIJUAL SEBELUM PERNYATAAN PENDAFTARAN YANG TELAH DISAMPAIKAN KEPADA OTORITAS JASA KEUANGAN MENJADI EFEKTIF. PEMESANAN MEMBELI EFEK INI HANYA DAPAT DILAKSANAKAN SETELAH CALON PEMBELI ATAU PEMESAN MENERIMA ATAU MEMPUNYAI KESEMPATAN UNTUK MEMBACA PROSPEKTUS”. BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 6 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; - 5 - d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan/atau g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 7 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 8 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 kepada masyarakat. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 9 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-41/PM/2000 tentang Prospektus Awal dan Info Memo, beserta Peraturan Nomor IX.A.8 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. tertulis - 6 - Pasal 10 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 123 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23 /POJK.04/2017 TENTANG PROSPEKTUS AWAL DAN INFO MEMO I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai Prospektus Awal dan Info Memo yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-41/PM/2000 tentang Prospektus Awal dan Info Memo, beserta Peraturan Nomor IX.A.8 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Prospektus Awal dan Info Memo. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Dalam praktiknya “Penawaran Awal” dimaksud dikenal juga dengan sebutan bookbuilding. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa penundaan pemberian pernyataan efektif untuk pernyataan pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6070
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 23/POJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> PROSPEKTUS AWAL DAN INFO MEMO </reg_title> <set_date> 21 Juni 2017 </set_date> <effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date> <issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-41/PM/2000|KEPTA-BAPEPAM/2000', 'Kep-41/PM/2000|KEPTA-BAPEPAM/2000 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.8' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 14 /POJK.05/2014 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 28 dan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 89 Tahun 2014 tentang Suku Bunga Pinjaman atau Imbal Hasil Pembiayaan dan Luas Cakupan Wilayah Usaha Lembaga Keuangan Mikro) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 321, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5616); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO. BAB I… -2- BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. 2. Pinjaman adalah penyediaan dana oleh LKM kepada masyarakat yang harus dikembalikan sesuai dengan yang diperjanjikan. 3. Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh LKM kepada masyarakat yang harus dikembalikan sesuai dengan yang diperjanjikan dengan prinsip syariah. 4. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada LKM dalam bentuk tabungan dan/atau deposito berdasarkan perjanjian penyimpanan dana. 5. Penyimpan adalah pihak yang menempatkan dananya pada LKM berdasarkan perjanjian. 6. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa atau pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). 7. Direksi: a. bagi LKM berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas; b. bagi LKM berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perkoperasian. 8. Dewan … -3- 8. Dewan Komisaris: a. bagi LKM berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas; b. bagi LKM berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perkoperasian. 9. Pemeriksaan adalah rangkaian kegiatan mengumpulkan, mencari, mengolah, dan mengevaluasi data dan informasi mengenai kegiatan usaha LKM. 10. Pemeriksa adalah pegawai Otoritas Jasa Keuangan, pegawai Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak lain yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan. 11. Surat Perintah Pemeriksaan adalah surat yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak lain yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan, yang digunakan oleh Pemeriksa sebagai dasar untuk melakukan Pemeriksaan. 12. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan adalah surat yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak lain yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan, yang disampaikan kepada LKM yang akan diperiksa. 13. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang mengenai OJK. BAB II… -4- BAB II PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 2 (1) Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan LKM dilakukan oleh OJK. (2) Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan, OJK melakukan koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan koperasi dan Kementerian Dalam Negeri. (3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. (4) Dalam hal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota belum siap, OJK dapat mendelegasikan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pihak lain yang ditunjuk. Pasal 3 (1) Untuk dapat melaksanakan fungsi dan tugas pembinaan dan pengawasan LKM, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan persiapan sumber daya manusia dan infrastruktur. (2) Persiapan sumber daya manusia dan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain: a. menunjuk pegawai Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk melaksanakan fungsi dan tugas pembinaan dan pengawasan LKM; b. menugaskan pegawai yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada huruf a untuk mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh OJK; dan c. mempersiapkan sarana pendukung operasional pengawasan. Pasal 4 Pihak lain yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalamPasal 2 ayat (4) paling kurang memenuhi persyaratan: a. Kesediaan… -5- a. Kesediaan untuk melaksanakan tugas pembinaan dan pengawasan LKM sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dan peraturan pelaksanaannya; b. Mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang operasionalisasi LKM; dan c. Memiliki infrastruktur yang memadai yang dapat menunjang pelaksanaan pembinaan dan pengawasan LKM. Pasal 5 (1) Pembinaan dan pengawasan yang didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak lain yang ditunjuk meliputi: a. Penerimaan laporan keuangan dan input data ke dalam sistem aplikasi; b. Pelaksanaan analisis laporan keuangan LKM; c. Penerimaan dan analisis laporan lain; d. Pelaksanaan tindak lanjut atas laporan lainnya; e. Penyusunan rencana kerja pemeriksaan, pelaksanaan pemeriksaan, dan tindak lanjut atas hasil pemeriksaan LKM; f. Pengenaan sanksi administratif kepada LKM selain pencabutan izin usaha dan denda; dan g. Pelaksanaan langkah-langkah penyehatan terhadap LKM yang mengalami kesulitan likuiditas dan solvabilitas yang membahayakan keberlangsungan usaha. (2) Perubahan pembinaan dan pengawasan yang didelegasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran OJK. Pasal 6 Pembinaan dan pengawasan LKM dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dan peraturan pelaksanaannya serta pedoman yang ditetapkan oleh OJK. Pasal 7… -6- Pasal 7 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pembinaan dan pengawasan LKM diatur dengan Surat Edaran Dewan Komisioner OJK. BAB III PEMERIKSAAN Pasal 8 (1) Dalam rangka pelaksanaan fungsi pembinaan dan pengawasan, OJK melakukan Pemeriksaan terhadap LKM. (2) Pemeriksaan terhadap LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota setempat di wilayah LKM beroperasi atau pihak lain yang ditunjuk oleh OJK. (3) Dalam hal diperlukan, OJK dapat melakukan Pemeriksaan langsung terhadap LKM baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak lain yang ditunjuk. (4) Pemeriksaan bertujuan untuk: a. memperoleh keyakinan mengenai kondisi LKM yang sebenarnya; b. meneliti kesesuaian kondisi LKM dengan peraturan perundang-undangan dan praktik penyelenggaraan usaha LKM yang sehat; dan c. memastikan bahwa LKM telah melakukan upaya untuk dapat memenuhi kewajiban kepada nasabah. Pasal 9 (1) Pelaksanaan Pemeriksaan terhadap LKM dilakukan berdasarkan: a. hasil analisis atas laporan berkala LKM, patut diduga bahwa penyelenggaraan kegiatan usaha LKM dimaksud menyimpang dari peraturan perundang- undangan di bidang LKM yang dapat menimbulkan risiko yang membahayakan keberlangsungan usaha LKM dan/atau kepentingan Penyimpan dalam kegiatan penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan dan pengelolaan Simpanan; atau b. pengaduan… -7- b. pengaduan atau laporan yang disampaikan masyarakat, terdapat dugaan bahwa penyelenggaraan kegiatan usaha dari LKM menyimpang dari ketentuan peraturan perundangan yang berlaku mengenai LKM yang dapat menimbulkan kerugian pada masyarakat. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Pemeriksaan atas substansi laporan berkala dan kepatuhan terhadap peraturan perundang- undangan di bidang LKM. (3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (3) dilakukan dalam hal terdapat dugaan adanya kondisi-kondisi: a. terjadinya penyalahgunaan keuangan LKM baik oleh Direksi, Komisaris maupun pegawai LKM; b. terjadinya kesulitan likuiditas dan solvabilitas yang mengarah pada kondisi yang membahayakan keberlangsungan usaha LKM; c. terdapat penyimpangan terhadap Prinsip Syariah bagi LKM yang menyelenggarakan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah; d. tunggakan pengembalian Pinjaman atau Pembiayaan cukup besar sehingga dapat mempengaruhi kondisi keuangan LKM; e. adanya penyimpangan dalam bentuk pemberian Pinjaman atau Pembiayaan fiktif; f. terjadinya kesalahan dalam pencatatan dan/atau perhitungan pembukuan yang berakibat kerugian finansial bagi LKM; dan/atau g. terdapat kondisi-kondisi di luar ketentuan sebagaimana dimaksud huruf a sampai dengan huruf f, yang berdasarkan pertimbangan dari OJK perlu untuk dilakukan Pemeriksaan secara langsung oleh OJK terhadap LKM. (4) Dalam… -8- (4) Dalam pelaksanaan pemeriksaan LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (3), OJK berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak lain yang ditunjuk. Pasal 10 (1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilaksanakan oleh Pemeriksa berdasarkan surat tugas atau Surat Perintah Pemeriksaan dan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan. (2) Sebelum dilakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu disampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan kepada LKM. (3) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum tanggal pelaksanaan kegiatan Pemeriksaan. (4) Penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan terlebih dahulu tidak berlaku dalam hal penyampaian surat pemberitahuan tersebut dapat menyebabkan tindakan mengaburkan keadaan yang sebenarnya atau tindakan menyembunyikan data, keterangan, atau laporan yang diperlukan dalam pelaksanaan Pemeriksaan. Pasal 11 (1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: a. persiapan Pemeriksaan; b. pelaksanaan Pemeriksaan; dan c. pelaporan hasil Pemeriksaan. (2) Persiapan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat berdasarkan hasil analisis laporan berkala dan data lain yang mendukung. (3) Pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan cara Pemeriksaan di kantor LKM. (4) Untuk… -9- (4) Untuk mendukung pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat dilakukan konfirmasi kepada pihak ketiga yang terkait dengan LKM yang bersangkutan. (5) Pelaporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c harus disusun berdasarkan data atau keterangan yang diperoleh selama proses pemeriksaan berlangsung yang dituangkan dalam kertas kerja Pemeriksaan. Pasal 12 (1) Pada saat akan dimulai Pemeriksaan, Pemeriksa wajib menunjukkan surat tugas atau Surat Perintah Pemeriksaan. (2) Dalam hal Pemeriksa tidak dapat memenuhi ketentuan dalam ayat (1), LKM yang akan diperiksa dapat menolak dilakukannya Pemeriksaan. Pasal 13 (1) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan, LKM yang diperiksa wajib untuk: a. menerima pelaksanaan Pemeriksaan yang dilaksanakan oleh Pemeriksa; b. memenuhi permintaan Pemeriksa untuk memberikan atau meminjamkan buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk kelancaran Pemeriksaan; c. memberikan keterangan yang diperlukan secara tertulis dan/atau lisan; dan d. memberi akses kepada Pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu. (2) LKM dianggap menghambat kelancaran proses Pemeriksaan apabila tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pemeriksa wajib merahasiakan data dan/atau keterangan yang diperoleh selama Pemeriksaan terhadap pihak yang tidak berhak. Pasal 14… -10- Pasal 14 (1) Pemeriksa wajib melakukan pembahasan atas hasil Pemeriksaan dengan LKM sebelum pelaksanaan Pemeriksaan berakhir. (2) Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pihak Pemeriksa dan LKM sebagai dasar penyusunan laporan hasil Pemeriksaan. (3) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada LKM paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah laporan hasil Pemeriksaan ditetapkan. Pasal 15 Pemeriksaan LKM dilaksanakan berdasarkan Pedoman Pemeriksaan yang diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran OJK. BAB IV EVALUASI ATAS PEMBINAAN DAN PENGAWASAN LKM Pasal 16 (1) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak lain yang menerima pendelegasian pembinaan dan pengawasan melaporkan secara berkala hasil pembinaan dan pengawasan LKM kepada OJK untuk periode 1 (satu) tahun takwim paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak tahun takwim berakhir. (2) OJK melakukan evaluasi atas pelaksanaan pembinaan dan pengawasan LKM yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak lain yang ditunjuk untuk periode 1 (satu) tahun takwim. (3) Dalam hal kewenangan pembinaan dan pengawasan LKM yang telah didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak lain yang ditunjuk tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya oleh sebab apapun, OJK dapat mengambilalih kewenangan pembinaan dan pengawasan LKM dan mendelegasikan kepada pihak lain. BAB V… -11- BAB V SANKSI Pasal 17 (1) LKM yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan OJK ini, dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis. (2) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut- turut dengan masa berlaku masing-masing 40 (empat puluh) hari kerja. (3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LKM telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK atau Pemerintah Kabupaten/Kota setempat atau pihak lain yang ditunjuk oleh OJK mencabut sanksi peringatan tertulis. (4) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan LKM tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK meminta pemegang saham atau rapat anggota koperasi untuk mengganti Direksi LKM dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak pemberitahuan dari OJK. (5) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota tidak mengganti Direksi LKM dimaksud, OJK memberhentikan Direksi LKM dan selanjutnya menunjuk serta mengangkat pengganti sementara sampai rapat umum pemegang saham atau rapat anggota mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan OJK. BAB VI… -12- BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 18 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal 8 Januari 2015. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Oktober 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 Nopember 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA. H LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 344 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum, Ttd. Tini Kustini
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 14/POJK.05/2014 </reg_id> <reg_title> PEMBINAAN DAN PENGAWASAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO </reg_title> <set_date> 31 Oktober 2014 </set_date> <effective_date> 8 Januari 2015 </effective_date> <issued_date> 11 Nopember 2014 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '1/UU/2013', '89/PP/2014' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 67 /POJK.05/2016 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI, DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (4), Pasal 10 ayat (4), Pasal 13 ayat (3), Pasal 14 ayat (4), Pasal 16 ayat (3), Pasal 17 ayat (3), Pasal 20 ayat (5), Pasal 40 ayat (6), Pasal 41 ayat (4), Pasal 69 ayat (2), Pasal 85 ayat (2), Pasal 87 ayat (2), dan Pasal 88 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia - 2 - Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI, DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan adalah perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah. 2. Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk: a. memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. - 3 - 3. Asuransi Syariah adalah kumpulan perjanjian, yang terdiri atas perjanjian antara perusahaan asuransi syariah dan pemegang polis dan perjanjian di antara para pemegang polis, dalam rangka pengelolaan kontribusi berdasarkan prinsip syariah guna saling menolong dan melindungi dengan cara: a. memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya peserta atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya peserta dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 4. Usaha Perasuransian adalah segala usaha menyangkut jasa pertanggungan atau pengelolaan risiko, pertanggungan ulang risiko, pemasaran dan distribusi produk asuransi atau produk asuransi syariah, konsultasi dan keperantaraan asuransi, asuransi syariah, reasuransi, atau reasuransi syariah, atau penilaian kerugian asuransi atau asuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 5. Usaha Asuransi Umum adalah usaha jasa pertanggungan risiko yang memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang - 4 - tidak pasti sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 6. Usaha Asuransi Jiwa adalah usaha yang menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko yang memberikan pembayaran kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau pembayaran lain kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 7. Usaha Reasuransi adalah usaha jasa pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan reasuransi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 8. Usaha Asuransi Umum Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan prinsip syariah guna saling menolong dan melindungi dengan memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 9. Usaha Asuransi Jiwa Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan prinsip syariah guna saling menolong dan melindungi dengan memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggal atau hidupnya peserta, atau pembayaran lain kepada peserta atau pihak lain yang berhak pada waktu - 5 - tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 10. Usaha Reasuransi Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan prinsip syariah atas risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi syariah, perusahaan penjaminan syariah, atau perusahaan reasuransi syariah lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 11. Perusahaan Asuransi Umum adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Asuransi Umum. 12. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa. 13. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Reasuransi. 14. Perusahaan Asuransi Umum Syariah adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Asuransi Umum Syariah. 15. Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa Syariah. 16. Perusahaan Reasuransi Syariah adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Reasuransi Syariah. 17. Perusahaan Asuransi adalah Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Jiwa. 18. Perusahaan Asuransi Syariah adalah Perusahaan Asuransi Umum Syariah dan Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah. 19. Unit Syariah adalah unit kerja di kantor pusat Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor di luar kantor pusat yang menjalankan usaha berdasarkan prinsip syariah. 20. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perasuransian berdasarkan fatwa yang - 6 - dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 21. Pihak adalah orang atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 22. Dana Jaminan adalah kekayaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah yang merupakan jaminan terakhir dalam rangka melindungi kepentingan pemegang polis, tertanggung, atau peserta, dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah dilikuidasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 23. Dana Asuransi adalah kumpulan dana yang berasal dari premi yang dibentuk untuk memenuhi kewajiban yang timbul dari polis yang diterbitkan atau dari klaim asuransi sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 24. Dana Tabarru' adalah kumpulan dana yang berasal dari kontribusi para peserta, yang mekanisme penggunaannya sesuai dengan perjanjian Asuransi Syariah atau perjanjian reasuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 25. Modal Disetor: a. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah modal disetor; atau b. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum koperasi adalah simpanan pokok dan simpanan wajib. 26. Ekuitas adalah ekuitas berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia. - 7 - 27. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disingkat PSP adalah Pihak yang: a. memiliki secara langsung saham atau modal Perusahaan sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau b. memiliki secara langsung saham atau modal Perusahaan kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian Perusahaan, baik secara langsung maupun tidak langsung. 28. Pengendali adalah Pihak yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai kemampuan untuk menentukan direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi atau dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama dan/atau mempengaruhi tindakan direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi atau dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 29. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah rapat umum pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan RUPS bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum koperasi atau usaha bersama. 30. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Direksi bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum koperasi atau usaha bersama. - 8 - 31. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Dewan Komisaris bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum koperasi atau usaha bersama. 32. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah bagian dari organ Perusahaan yang mempunyai tugas dan fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan usaha Perusahaan agar sesuai dengan Prinsip Syariah. 33. Lembaga Sertifikasi Profesi adalah lembaga pelaksana kegiatan sertifikasi profesi yang memperoleh lisensi dari lembaga negara yang berwenang memberikan lisensi terhadap lembaga sertifikasi profesi di Indonesia. 34. Tenaga Ahli adalah orang perseorangan yang memiliki kualifikasi dan/atau keahlian tertentu dan ditunjuk sebagai Tenaga Ahli pada Perusahaan tempatnya bekerja. 35. Agen Asuransi adalah orang yang bekerja sendiri atau bekerja pada badan usaha, yang bertindak untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dan memenuhi persyaratan untuk mewakili Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 36. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh 2 (dua) Perusahaan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan 1 (satu) Perusahaan baru yang karena hukum memperoleh aset, liabilitas, dan Ekuitas dari Perusahaan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perusahaan yang meleburkan diri berakhir karena hukum. - 9 - 37. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh 1 (satu) Perusahaan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perusahaan lain yang telah ada yang mengakibatkan aset, liabilitas, dan Ekuitas dari Perusahaan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perusahaan yang menerima Penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perusahaan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. 38. Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi untuk memisahkan Unit Syariah yang mengakibatkan sebagian aset, liabilitas, dan Ekuitas Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi beralih karena hukum kepada Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah. 39. Asosiasi adalah asosiasi dari Perusahaan Asuransi Umum, Perusahaan Asuransi Jiwa, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Asuransi Umum Syariah, Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah, atau Perusahaan Reasuransi Syariah. 40. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. BAB II BENTUK BADAN HUKUM, KEPEMILIKAN, NAMA PERUSAHAAN, DAN PERMODALAN Bagian Kesatu Bentuk Badan Hukum Pasal 2 Bentuk badan hukum Perusahaan adalah: a. perseroan terbatas; - 10 - b. koperasi; atau c. usaha bersama yang telah ada pada saat Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian diundangkan. Bagian Kedua Kepemilikan Pasal 3 (1) Perusahaan hanya dapat dimiliki oleh: a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang secara langsung atau tidak langsung sepenuhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia; atau b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf a, bersama-sama dengan warga negara asing atau badan hukum asing yang harus merupakan Perusahaan yang memiliki usaha sejenis atau perusahaan induk yang salah satu anak perusahaannya bergerak di bidang Usaha Perasuransian yang sejenis. (2) Warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat menjadi pemilik Perusahaan hanya melalui transaksi di bursa efek. (3) Kriteria badan hukum asing dan kepemilikan badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b serta kepemilikan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam Perusahaan berpedoman kepada peraturan pemerintah mengenai kepemilikan asing pada perusahaan perasuransian. Pasal 4 (1) Perusahaan yang telah memperoleh izin usaha pada saat diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan belum - 11 - memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a wajib menyesuaikan ketentuan tersebut dengan cara: a. mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada warga negara Indonesia; atau b. melakukan perubahan kepemilikan melalui mekanisme penawaran umum (initial public offering), paling lama 5 (lima) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. (2) Perubahan kepemilikan melalui mekanisme penawaran umum (initial public offering) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan dalam hal Perusahaan telah melakukan upaya pengalihan kepemilikan sahamnya kepada warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Dalam rangka pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan wajib menyusun rencana tindak yang paling sedikit memuat cara penyesuaian, tahapan pelaksanaan, dan jangka waktu. (4) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib mendapatkan persetujuan RUPS. (5) Rencana tindak yang telah mendapatkan persetujuan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan OJK ini diundangkan. (6) OJK memberikan persetujuan atau permintaan perbaikan atas rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya rencana tindak. (7) Perusahaan dapat melakukan perubahan terhadap rencana tindak yang telah memperoleh persetujuan dari OJK paling banyak 3 (tiga) kali. (8) Ketentuan mengenai rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (6), - 12 - berlaku secara mutatis mutandis terhadap perubahan rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (7). (9) Perusahaan wajib menyampaikan laporan pelaksanaan rencana tindak yang telah mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak realisasi rencana tindak atau sesuai dengan tahapan rencana tindak. Bagian Ketiga Nama Perusahaan Pasal 5 (1) Perusahaan harus menggunakan nama Perusahaan yang dimulai dengan bentuk badan hukum dan memuat kata: a. asuransi, insurance, atau kata yang mencirikan kegiatan dari Perusahaan Asuransi; b. reasuransi, reinsurance, atau kata yang mencirikan kegiatan dari Perusahaan Reasuransi; c. asuransi syariah, sharia insurance, atau kata yang mencirikan kegiatan dari Perusahaan Asuransi Syariah; atau d. reasuransi syariah, sharia reinsurance, atau kata yang mencirikan kegiatan dari Perusahaan Reasuransi Syariah. (2) Penggunaan nama Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas. (3) Nama Perusahaan wajib dicantumkan secara jelas pada gedung kantor, iklan, dan kop surat Perusahaan. (4) OJK berwenang meminta Perusahaan untuk mengubah nama Perusahaan apabila nama Perusahaan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). - 13 - Bagian Keempat Permodalan Pasal 6 (1) Perusahaan Asuransi harus memiliki Modal Disetor pada saat pendirian paling sedikit Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar rupiah). (2) Perusahaan Reasuransi harus memiliki Modal Disetor pada saat pendirian paling sedikit Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah). sebesar (3) Perusahaan Asuransi Syariah harus memiliki Modal Disetor pada saat pendirian paling sedikit sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). (4) Perusahaan Reasuransi Syariah harus memiliki Modal Disetor pada saat pendirian paling sedikit sebesar Rp175.000.000.000,00 (seratus tujuh puluh lima miliar rupiah). (5) Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib disetor secara tunai dan penuh dalam bentuk deposito berjangka dan/atau rekening giro atas nama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi pada salah satu bank umum, bank umum syariah, atau unit usaha syariah dari bank umum di Indonesia. (6) Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) wajib disetor secara tunai dan penuh dalam bentuk deposito berjangka dan/atau rekening giro atas nama Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah pada salah satu bank umum syariah atau unit usaha syariah dari bank umum di Indonesia. Pasal 7 (1) Pada saat pengajuan izin usaha, Perusahaan harus memiliki Dana Jaminan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari Modal Disetor minimum yang sebesar - 14 - dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) sampai dengan ayat (4). (2) Bagi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi, Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka dengan perpanjangan otomatis pada bank umum, bank umum syariah, atau unit usaha syariah dari bank umum di Indonesia yang bukan afiliasi dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan. (3) Bagi Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah, Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka dengan perpanjangan otomatis pada bank umum syariah atau unit usaha syariah dari bank umum di Indonesia yang bukan afiliasi dari Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah yang bersangkutan. Pasal 8 (1) Pemegang saham Perusahaan yang berbentuk badan hukum asing harus memiliki rating paling rendah A atau yang setara dari lembaga pemeringkat yang diakui secara internasional. (2) Bagi pemegang saham Perusahaan yang berbentuk badan hukum asing dan merupakan perusahaan induk yang salah satu anak perusahaannya bergerak di bidang Usaha Perasuransian yang sejenis, pemenuhan ketentuan rating sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipenuhi oleh rating dari salah satu anak perusahaannya yang bergerak di bidang Usaha Perasuransian yang sejenis. (3) Bagi pemegang saham Perusahaan yang berbentuk badan hukum Indonesia, jumlah penyertaan langsung pada Perusahaan ditetapkan paling tinggi sebesar Ekuitas pemegang saham. - 15 - (4) Ketentuan jumlah penyertaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi pemegang saham Perusahaan yang merupakan lembaga jasa keuangan yang berada dalam pengawasan OJK. (5) Bagi lembaga jasa keuangan yang berada dalam pengawasan OJK, jumlah penyertaan langsung pada Perusahaan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai investasi dan/atau penyertaan. (6) Jumlah penyertaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dipenuhi pada saat badan hukum yang bersangkutan melakukan: a. penyetoran modal Perusahaan; pada saat pendirian b. penyertaan langsung sebagai pemegang saham baru Perusahaan pada saat Perusahaan telah mendapatkan izin usaha; dan/atau c. penambahan penyertaan pada Perusahaan. BAB III PERIZINAN USAHA Bagian Kesatu Persyaratan dan Tata Cara Memperoleh Izin Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi Pasal 9 (1) Setiap Pihak yang menyelenggarakan Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, atau Usaha Reasuransi wajib terlebih dahulu mendapat izin usaha dari OJK. (2) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi harus mengajukan permohonan izin usaha kepada OJK. Pasal 10 (1) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), harus diajukan oleh Direksi kepada - 16 - OJK dengan menggunakan format 1 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (2) Pengajuan permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dokumen: a. fotokopi akta pendirian badan hukum yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, yang paling sedikit harus memuat: 1. nama dan tempat kedudukan; 2. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha; 3. permodalan; 4. kepemilikan; dan 5. wewenang, tanggung jawab, dan masa jabatan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris, dan fotokopi akta perubahan anggaran dasar (jika ada) disertai dengan fotokopi bukti persetujuan dan/atau bukti surat penerimaan pemberitahuan dari instansi yang berwenang; b. susunan organisasi yang dilengkapi dengan uraian tugas, wewenang, tanggung jawab, dan prosedur kerja; c. fotokopi bukti pelunasan Modal Disetor dalam bentuk setoran tunai dan fotokopi bukti penempatan Modal Disetor minimum dalam bentuk deposito berjangka dan/atau rekening giro pada salah satu bank umum, bank umum syariah, atau unit usaha syariah dari bank umum di Indonesia dan dilegalisasi oleh bank penerima setoran yang masih berlaku selama dalam proses pengajuan izin usaha; d. laporan awal Dana Jaminan beserta bukti penempatan Dana Jaminan; e. daftar kepemilikan, berupa: 1. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham dan seluruh struktur kelompok usaha yang - 17 - terkait Perusahaan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dan badan hukum pemilik Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sampai dengan pemilik terakhir, bagi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi berbentuk badan hukum perseroan terbatas; atau 2. daftar anggota berikut jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib, bagi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi berbentuk badan hukum koperasi; f. data pemegang saham atau anggota selain PSP: 1. orang perseorangan, dilampiri dengan: a) fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; b) fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP); c) fotokopi surat pemberitahuan (SPT) pajak 2 (dua) tahun terakhir dan dokumen lain yang menunjukkan kemampuan keuangan serta sumber dana calon pemegang saham orang perseorangan; d) daftar riwayat hidup dengan dilengkapi pas foto berwarna yang terbaru berukuran 4 x 6 cm; dan e) surat pernyataan dari yang bersangkutan yang menyatakan: 1) setoran modal tidak berasal dari pinjaman; 2) setoran modal tidak berasal dari kegiatan pencucian uang (money laundering) dan kejahatan keuangan; 3) tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet; - 18 - 4) tidak termasuk sebagai Pihak yang dilarang untuk menjadi pemegang saham atau Pihak yang mengelola, mengawasi, dan/atau mempunyai pengaruh yang signifikan pada lembaga jasa keuangan; 5) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau perekonomian berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; 6) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; 7) tidak pernah dinyatakan pailit atau bersalah yang menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan 8) tidak pernah menjadi PSP, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, Pengendali, atau anggota DPS pada perusahaan jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam 5 (lima) tahun terakhir; 2. badan hukum, dilampiri dengan: a) fotokopi akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar berikut perubahannya (jika ada), disertai - 19 - dengan fotokopi bukti pengesahan, fotokopi bukti persetujuan, dan/atau fotokopi bukti surat penerimaan pemberitahuan dari instansi berwenang; b) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik yang dilengkapi laporan keuangan non-konsolidasi dan laporan keuangan bulan terakhir; c) dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f angka 1 huruf a), huruf b), dan huruf d), bagi direksi atau yang setara dengan direksi dari badan hukum yang bersangkutan; dan d) surat pernyataan direksi atau yang setara dengan direksi dari badan hukum yang bersangkutan yang menyatakan bahwa: 1) setoran modal tidak berasal dari pinjaman; 2) setoran modal tidak berasal dari kegiatan pencucian uang (money laundering) keuangan; dan kejahatan 3) tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet; 4) tidak termasuk sebagai Pihak yang dilarang untuk menjadi pemegang saham atau Pihak yang mengelola, mengawasi, dan/atau mempunyai pengaruh yang signifikan pada lembaga jasa keuangan; 5) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau perekonomian putusan pengadilan yang telah berdasarkan - 20 - mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; 6) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan 7) tidak pernah menjadi PSP pada perusahaan jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam 5 (lima) tahun terakhir; e) hasil rating dari lembaga pemeringkat yang diakui secara internasional, bagi pemegang saham yang berbentuk badan hukum asing; 3. negara Republik Indonesia, dilampiri dengan fotokopi peraturan pemerintah mengenai penyertaan modal negara Republik Indonesia untuk pendirian Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi; 4. pemerintah daerah, dilampiri dengan fotokopi peraturan daerah mengenai penyertaan modal daerah untuk pendirian Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi; g. daftar Pengendali beserta keterangan mengenai bentuk pengendaliannya; h. bukti mempekerjakan Tenaga Ahli; i. rencana kerja untuk 3 (tiga) tahun pertama yang paling sedikit memuat: 1. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi serta lini usaha yang akan dimasuki dan target pasarnya; - 21 - 2. langkah-langkah yang dilakukan untuk mewujudkan rencana dimaksud; dan 3. proyeksi arus kas, neraca, perhitungan laba/rugi semesteran dan tingkat kesehatan Perusahaan serta asumsi yang mendasarinya, dimulai sejak Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi melakukan kegiatan operasional; j. k. fotokopi pedoman manajemen risiko Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi; spesifikasi produk asuransi yang akan dipasarkan, yang dilengkapi dengan proyeksi pendapatan premi dan pengeluaran yang dikaitkan dengan pemasaran produk asuransi baru untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan contoh polis yang akan digunakan bagi Perusahaan Asuransi; l. fotokopi perikatan dengan pihak lain (jika ada) dan kebijakan pengalihan sebagian fungsi dalam penyelenggaraan usaha; m. sistem administrasi dan infrastruktur pengelolaan data yang mendukung penyiapan dan penyampaian laporan kepada OJK; n. konfirmasi dari otoritas pengawas di negara asal Pihak asing, dalam hal terdapat penyertaan langsung dari Pihak asing; o. bukti pelunasan biaya perizinan; dan p. dokumen lain dalam rangka mendukung pertumbuhan usaha yang sehat, meliputi: 1. fotokopi laporan posisi keuangan awal/pembukaan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi; 2. bukti kesiapan operasional; 3. bukti mempekerjakan aktuaris dan auditor internal; 4. rencana bidang kepegawaian termasuk rencana pengembangan sumber daya - 22 - manusia paling singkat untuk 3 (tiga) tahun pertama; 5. fotokopi pedoman pelaksanaan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme; 6. fotokopi pedoman tata kelola Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang baik; 7. pedoman tata kelola investasi; 8. fotokopi perjanjian kerjasama antara pemegang saham yang berbentuk badan hukum asing dengan pemegang saham Indonesia, bagi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang di dalamnya terdapat penyertaan dari badan hukum asing yang dibuat dalam bahasa Indonesia dan paling sedikit memuat: a) komposisi permodalan dan rincian kewenangan, yang paling sedikit memuat ketentuan mengenai hak suara, pembagian keuntungan dan kerugian, dan penunjukan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi; dan b) kewajiban pemegang saham berbentuk badan hukum asing untuk menyusun dan melaksanakan program pendidikan dan pelatihan sesuai bidang keahliannya; 9. rencana dukungan reasuransi otomatis, bagi Perusahaan Asuransi; dan 10. rencana dukungan retrosesi, bagi Perusahaan Reasuransi. (3) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan bersamaan dengan permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon pihak - 23 - utama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi. (4) Ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dan format permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan OJK mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan. Bagian Kedua Persyaratan dan Tata Cara Memperoleh Izin Usaha Perusahaan Asuransi Syariah dan Perusahaan Reasuransi Syariah Paragraf 1 Umum Pasal 11 (1) Setiap Pihak yang menyelenggarakan Usaha Asuransi Umum Syariah, Usaha Asuransi Jiwa Syariah, atau Usaha Reasuransi Syariah wajib terlebih dahulu mendapat izin usaha dari OJK. (2) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi harus mengajukan permohonan izin usaha kepada OJK. Pasal 12 Izin usaha sebagai Perusahaan Asuransi Syariah dan Perusahaan Reasuransi Syariah dapat dilakukan dengan cara mengajukan permohonan: a. pendirian baru Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah; b. konversi dari Perusahaan Asuransi menjadi Perusahaan Asuransi Syariah atau konversi dari Perusahaan Reasuransi menjadi Perusahaan Reasuransi Syariah; atau - 24 - c. Pemisahan Unit Syariah dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi. Paragraf 2 Pendirian Baru Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah Pasal 13 (1) Permohonan izin usaha pendirian baru Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, harus diajukan oleh Direksi kepada OJK dengan menggunakan format 2 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (2) Pengajuan permohonan izin usaha pendirian baru Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) disertai dengan tambahan dokumen sebagai berikut: a. fotokopi risalah RUPS mengenai pengangkatan anggota DPS; b. bukti pengesahan Dewan Syariah Nasional tentang penunjukan anggota DPS; c. fotokopi pedoman pelaksanaan manajemen keuangan sesuai Prinsip Syariah, yang paling sedikit mengatur mengenai penempatan investasi baik batasan, jenis, maupun jumlah; d. fotokopi pedoman penyelenggaraan Usaha Perasuransian sesuai Prinsip Syariah, yang paling sedikit mengatur mengenai penyebaran risiko; e. bukti pendukung bahwa Tenaga Ahli yang diperkerjakan memiliki keahlian di bidang Asuransi Syariah dan/atau ekonomi syariah; dan - 25 - f. bukti pengesahan DPS atas produk Asuransi Syariah yang akan dipasarkan yang paling sedikit meliputi: 1. dasar perhitungan tarif kontribusi, penyisihan kontribusi, dan asset share atau profit testing, bagi Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah; 2. dasar perhitungan tarif kontribusi, penyisihan kontribusi, dan proyeksi underwriting, bagi Perusahaan Asuransi Umum Syariah; 3. cara pemasaran; 4. rencana dukungan reasuransi otomatis bagi Perusahaan Asuransi Syariah dan rencana dukungan retrosesi bagi Perusahaan Reasuransi Syariah; dan 5. contoh polis, surat permohonan penutupan asuransi (SPPA), dan brosur. Paragraf 3 Konversi dari Perusahaan Asuransi menjadi Perusahaan Asuransi Syariah atau Konversi dari Perusahaan Reasuransi menjadi Perusahaan Reasuransi Syariah Pasal 14 (1) Perusahaan Asuransi Syariah hasil konversi harus memiliki Ekuitas pada saat konversi paling sedikit sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). (2) Perusahaan Reasuransi Syariah hasil konversi harus memiliki Ekuitas pada saat konversi paling sedikit sebesar Rp175.000.000.000,00 (seratus tujuh puluh lima miliar rupiah). Pasal 15 Konversi dari Perusahaan Asuransi menjadi Perusahaan Asuransi Syariah atau konversi dari Perusahaan Reasuransi menjadi Perusahaan Reasuransi Syariah - 26 - sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. tidak merugikan pemegang polis atau tertanggung; b. dengan pemberitahuan kepada pemegang polis mengenai rencana konversi dan tata cara penyelesaian hak pemegang polis atau tertanggung; dan c. memindahkan portofolio pertanggungan kepada Perusahaan Asuransi lain, membayarkan bagian premi, dan/atau membayarkan nilai tunai pertanggungan, bagi tertanggung atau pemegang polis yang tidak bersedia menjadi pemegang polis atau peserta dari Perusahaan Asuransi Syariah. Pasal 16 (1) Permohonan izin usaha konversi dari Perusahaan Asuransi menjadi Perusahaan Asuransi Syariah atau konversi dari Perusahaan Reasuransi menjadi Perusahaan Reasuransi Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b, harus diajukan oleh Direksi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi kepada OJK dengan menggunakan format 3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (2) Pengajuan permohonan izin usaha konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, huruf l, huruf m, huruf n, huruf o, dan huruf p disertai dengan dokumen tambahan berupa: a. izin usaha sebagai Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi; - 27 - b. fotokopi akta perubahan anggaran dasar yang mencantumkan: 1. salah satu maksud dan tujuan Perusahaan yaitu melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; dan c. 2. wewenang dan tanggung jawab DPS, disertai dengan bukti pengesahan, bukti persetujuan, dan/atau bukti surat penerimaan pemberitahuan dari instansi yang berwenang; fotokopi risalah RUPS yang menyetujui konversi; d. fotokopi risalah RUPS mengenai pengangkatan anggota DPS; e. bukti pengesahan Dewan Syariah Nasional tentang penunjukan anggota DPS; f. fotokopi pedoman pelaksanaan manajemen keuangan sesuai Prinsip Syariah yang paling sedikit mengatur mengenai penempatan investasi baik batasan, jenis maupun jumlah; g. fotokopi pedoman penyelenggaraan Usaha Perasuransian sesuai Prinsip Syariah yang paling sedikit mengatur mengenai penyebaran risiko; h. bukti pendukung bahwa Tenaga Ahli yang diperkerjakan memiliki keahlian di bidang Asuransi Syariah dan/atau ekonomi syariah; i. bukti pengesahan DPS atas produk asuransi yang akan dipasarkan yang paling sedikit meliputi: 1. dasar perhitungan tarif kontribusi, penyisihan kontribusi, dan asset share atau profit testing bagi Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah; 2. dasar perhitungan tarif kontribusi, penyisihan kontribusi, dan proyeksi underwriting bagi Perusahaan Asuransi Umum Syariah; 3. cara pemasaran; 4. rencana dukungan reasuransi otomatis bagi Perusahaan Asuransi Syariah dan rencana - 28 - dukungan retrosesi bagi Perusahaan Reasuransi Syariah; dan 5. contoh polis, surat permohonan penutupan asuransi (SPPA) dan brosur; dan j. rencana penyelesaian hak pemegang polis atau tertanggung yang tidak bersedia menjadi pemegang polis atau peserta dari Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah hasil konversi. Paragraf 4 Pemisahan Unit Syariah Pasal 17 (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib melakukan Pemisahan Unit Syariah menjadi Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah apabila Dana Tabarru’ dan dana investasi peserta telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai Dana Asuransi, Dana Tabarru’, dan dana investasi peserta pada perusahaan induknya atau 10 (sepuluh) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. (2) Dana Tabarru’ dan dana investasi peserta telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai Dana Asuransi, Dana Tabarru’, dan dana investasi peserta pada perusahaan induknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan laporan bulanan yang disampaikan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi kepada OJK. (3) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang telah memperoleh izin usaha pada saat Peraturan OJK ini diundangkan dan/atau telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada - 29 - ayat (1) wajib menyusun rencana kerja Pemisahan Unit Syariah. (4) Rencana kerja Pemisahan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit memuat cara Pemisahan Unit Syariah, tahapan pelaksanaan, dan jangka waktu. (5) Rencana kerja Pemisahan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib mendapatkan persetujuan RUPS. (6) Rencana kerja Pemisahan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) karena Dana Tabarru’ dan dana investasi telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai Dana Asuransi, Dana Tabarru’, dan dana investasi peserta pada perusahaan induknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib disampaikan oleh Direksi kepada OJK paling lama 3 (tiga) bulan setelah batas waktu penyampaian laporan bulanan Perusahaan kepada OJK. (7) Rencana kerja Pemisahan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam hal Dana Tabarru’ dan dana investasi belum mencapai 50% (lima puluh persen) dari total nilai Dana Asuransi, Dana Tabarru’, dan dana investasi peserta pada perusahaan induknya, wajib disampaikan oleh Direksi kepada OJK paling lambat tanggal 17 Oktober 2020. (8) OJK memberikan persetujuan atau permintaan perbaikan atas rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya rencana kerja. (9) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dapat melakukan perubahan terhadap rencana kerja yang telah memperoleh persetujuan dari OJK paling banyak 2 (dua) kali yang disampaikan kepada OJK paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal surat persetujuan OJK atas rencana kerja tersebut. (10) Dalam hal Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi mengajukan permohonan Pemisahan Unit - 30 - Syariah menjadi Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah lebih cepat dari pada rencana kerja yang telah disampaikan, maka rencana kerja tersebut dianggap tidak berlaku. (11) Ketentuan mengenai rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (8) berlaku secara mutatis mutandis terhadap perubahan rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (9). Pasal 18 (1) Pemisahan Unit Syariah dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dapat dilakukan dengan cara: a. mendirikan Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah baru yang diikuti dengan pengalihan seluruh portofolio kepesertaan kepada Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah baru; atau b. mengalihkan seluruh portofolio kepesertaan pada Unit Syariah kepada Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah lain yang telah memperoleh izin usaha. (2) Pemisahan Unit Syariah dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib memberitahukan rencana Pemisahan Unit Syariah kepada pemegang polis melalui: a. pengumuman rencana Pemisahan Unit Syariah dalam surat kabar; dan b. surat kepada setiap pemegang polis. (4) Pemisahan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. tidak mengurangi hak pemegang polis atau peserta; - 31 - b. dilakukan pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang memiliki bidang usaha yang sama; dan c. tidak menyebabkan Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah yang menerima pengalihan Unit Syariah melanggar ketentuan yang berlaku di bidang perasuransian. Pasal 19 (1) Ekuitas pada saat pendirian Perusahaan Asuransi Syariah hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (2) Ekuitas pada saat pendirian Perusahaan Reasuransi Syariah hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a paling sedikit sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Pasal 20 (1) Pendirian Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah baru hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a dapat dilakukan oleh 1 (satu) atau lebih Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang memiliki Unit Syariah. (2) Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a dilarang melakukan kegiatan usaha sebelum memperoleh izin usaha dari OJK. (3) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direksi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus mengajukan permohonan izin usaha kepada OJK. (4) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus diajukan oleh Direksi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi kepada OJK - 32 - dengan menggunakan format 4 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (5) Pengajuan permohonan izin usaha Pemisahan Unit Syariah dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dokumen: a. fotokopi akta risalah RUPS yang menyetujui Pemisahan; b. fotokopi akta Pemisahan; c. dokumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 ayat (2), kecuali dokumen huruf c, disertai dengan dokumen tambahan berupa: 1. dokumen pemenuhan ketentuan Ekuitas Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2); dan 2. bukti pendukung bahwa Tenaga Ahli yang diperkerjakan memiliki keahlian di bidang Asuransi Syariah dan/atau ekonomi syariah. (6) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan bersamaan dengan permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon pihak utama Perusahaan Asuransi Syariah dan Perusahaan Reasuransi Syariah. (7) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 21 (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib memberitahukan Pemisahan Unit Syariah kepada pemegang polis setelah permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) disetujui OJK, yaitu melalui: a. pengumuman Pemisahan Unit Syariah dalam surat kabar paling lambat 20 (dua puluh) hari - 33 - kerja setelah memperoleh izin usaha dari OJK; dan b. surat kepada setiap pemegang polis. (2) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi wajib mengalihkan seluruh portofolio kepesertaan pada Unit Syariah kepada Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a setelah Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah hasil Pemisahan memperoleh izin usaha dari OJK, paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penetapan keputusan pemberian izin usaha dari OJK. (3) Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah yang menerima pengalihan portofolio kepesertaan pada Unit Syariah wajib menyampaikan laporan penerimaan pengalihan portofolio kepesertaan tersebut kepada OJK paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah seluruh portofolio kepesertaan tersebut diterima. pengalihan (4) Laporan penerimaan kepesertaan pada Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat rincian kepesertaan Asuransi Syariah atau Reasuransi Syariah yang diterima dari Unit Syariah Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dan disertai laporan keuangan Perusahaan Asuransi Syariah dan Perusahaan Reasuransi Syariah setelah penerimaan portofolio kepesertaan. Pasal 22 (1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang memiliki Unit Syariah wajib mengajukan permohonan pencabutan izin pembentukan Unit Syariah kepada OJK paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah portofolio kepesertaan pada Unit Syariah portofolio - 34 - dialihkan kepada Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah hasil Pemisahan. (2) Permohonan pencabutan izin pembentukan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan oleh Direksi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi kepada OJK dengan dilampiri: a. bukti penyelesaian hak dan kewajiban Unit Syariah; dan b. surat pernyataan dari Direksi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi bahwa langkah-langkah penyelesaian seluruh kewajiban Unit Syariah telah dilakukan sesuai dengan ketentuan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi. (3) Dalam hal OJK memberikan persetujuan atas permohonan pencabutan izin pembentukan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut izin pembentukan Unit Syariah. Pasal 23 (1) Pengalihan portofolio kepesertaan pada Unit Syariah kepada Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah Pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan dengan persetujuan OJK. (2) Untuk mendapatkan persetujuan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus mengajukan permohonan kepada OJK dengan menggunakan format 5 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. penerima - 35 - (3) Pengajuan permohonan persetujuan pengalihan portofolio kepesertaan pada Unit Syariah dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dokumen: a. laporan posisi keuangan Unit Syariah yang telah diaudit oleh akuntan publik; b. surat persetujuan pengalihan hak dan kewajiban dari Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah yang menerima pengalihan; c. d. e. (4) OJK portofolio kepesertaan pada Unit Syariah; fotokopi akta Pemisahan; dan fotokopi akta risalah RUPS yang menyetujui Pemisahan. memberikan persetujuan, permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan atas permohonan pengalihan portofolio kepesertaan pada Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan diterima. (5) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari OJK. (6) Dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi telah menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (5), OJK memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (7) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4), OJK belum menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan dokumen dimaksud, Perusahaan Asuransi atau - 36 - Perusahaan Reasuransi dianggap membatalkan permohonan pengalihan portofolio kepesertaan pada Unit Syariah. (8) Dalam hal permohonan pengalihan portofolio kepesertaan pada Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disetujui, OJK menetapkan keputusan pengalihan hak dan kewajiban Unit Syariah kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi. (9) Dalam hal OJK menolak permohonan pengalihan portofolio kepesertaan pada Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya. Pasal 24 (1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang memiliki Unit Syariah dan telah memperoleh persetujuan OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib mengalihkan portofolio kepesertaan pada Unit Syariah kepada Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah paling lambat 1 (satu) tahun setelah persetujuan Pemisahan diberikan oleh OJK. (2) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang memiliki Unit Syariah wajib mengumumkan rencana pengalihan portofolio kepesertaan pada Unit Syariah dalam surat kabar yang memiliki peredaran nasional paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal persetujuan Pemisahan Unit Syariah diberikan. (3) Dalam hal telah selesai dilaksanakan pengalihan portofolio kepesertaan pada Unit Syariah kepada Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah penerima Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang melakukan - 37 - pengalihan portofolio kepesertaan pada Unit Syariah wajib: a. melaporkan pelaksanaan pengalihan portofolio kepesertaan pada Unit Syariah; dan b. mengajukan permohonan pencabutan izin pembentukan Unit Syariah, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan pengalihan portofolio kepesertaan pada Unit Syariah. (4) Pelaporan pelaksanaan pengalihan portofolio kepesertaan pada Unit Syariah dan permohonan pencabutan izin pembentukan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi kepada OJK dengan menggunakan format 6 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dengan dilampiri: a. bukti penyelesaian portofolio kepesertaan pada Unit Syariah; dan b. surat pernyataan dari Direksi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi bahwa langkah-langkah penyelesaian seluruh portofolio kepesertaan pada Unit Syariah telah dilakukan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi. (5) Berdasarkan pelaporan pelaksanaan Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), OJK mencabut izin Unit Syariah. Bagian Ketiga Persetujuan atau Penolakan Permohonan Izin Usaha Pasal 25 (1) OJK memberikan persetujuan, permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan atas - 38 - permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), dan Pasal 20 ayat (4) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan izin usaha diterima. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK melakukan: a. penelitian sebagaimana maksud dalam Pasal 10 ayat (2); b. verifikasi setoran modal; c. analisis kelayakan atas rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf i; d. penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon pihak utama; dan e. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. (3) OJK dapat melakukan peninjauan ke kantor Perusahaan untuk memastikan kesiapan operasional Perusahaan. (4) Direksi Perusahaan harus menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari OJK. (5) Dalam hal Direksi Perusahaan telah menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4), OJK memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK belum menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan dokumen dimaksud, Perusahaan membatalkan permohonan izin usaha. atas kelengkapan dokumen dianggap - 39 - (7) Dalam hal permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, OJK menetapkan keputusan pemberian izin usaha kepada Perusahaan. (8) Dalam hal OJK menolak permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya. Pasal 26 (1) Perusahaan yang membatalkan permohonan izin usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (6) dapat mengajukan permohonan pencairan Dana Jaminan. (2) Permohonan pencairan Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK sesuai dengan format 7 yang tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (3) Bagi Perusahaan yang permohonan izin usahanya ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (8), OJK akan menerbitan surat persetujuan pencairan Dana Jaminan. Pasal 27 (1) Perusahaan yang telah mendapat izin usaha dari OJK wajib melakukan kegiatan usaha paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal izin usaha ditetapkan oleh OJK. (2) Perusahaan wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha. (3) Pelaporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK dengan menggunakan format 8 sebagaimana tercantum dalam - 40 - Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (4) Pelaporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan: a. bukti kegiatan pertanggungan yang telah dilakukan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah atau bukti pertanggungan ulang yang telah dilakukan oleh Perusahaan Reasuransi Reasuransi Syariah; dan b. fotokopi surat izin menetap dan/atau surat izin menggunakan tenaga kerja asing yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, bagi anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris yang berkewarganegaraan asing. BAB IV PEMEGANG SAHAM PENGENDALI DAN PENGENDALI Bagian Kesatu Pemegang Saham Pengendali Pasal 28 (1) Setiap Pihak hanya dapat menjadi PSP pada 1 (satu) Perusahaan Asuransi Jiwa, 1 (satu) Perusahaan Asuransi Umum, 1 (satu) Perusahaan Reasuransi, 1 (satu) Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah, 1 (satu) Perusahaan Asuransi Umum Syariah, dan 1 (satu) Perusahaan Reasuransi Syariah. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila PSP adalah Negara Republik Indonesia. Pasal 29 (1) Pada saat diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, setiap Pihak yang menjadi PSP pada lebih dari 1 (satu) Perusahaan atau Perusahaan - 41 - Asuransi Jiwa, 1 (satu) Perusahaan Asuransi Umum, 1 (satu) Perusahaan Reasuransi, 1 (satu) Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah, 1 (satu) Perusahaan Asuransi Umum Syariah, dan 1 (satu) Perusahaan Reasuransi Syariah wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 28 ayat (1) paling lambat pada tanggal 17 Oktober 2017. (2) Dalam rangka memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), PSP dapat melakukan: a. Penggabungan Perusahaan yang berada dalam pengendaliannya; b. Peleburan Perusahaan yang berada dalam pengendaliannya; c. penjualan sebagian atau seluruh kepemilikan saham Perusahaan yang berada dalam pengendaliannya, sehingga tidak menjadi PSP; atau d. aksi korporasi lainnya berdasarkan persetujuan OJK. (3) Perusahaan yang dimiliki oleh PSP yang belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), wajib menyusun rencana tindak dalam rangka menyesuaikan dengan ketentuan tersebut. (4) Rencana tindak penyesuaian dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) paling sedikit memuat cara penyesuaian, tahapan pelaksanaan, dan jangka waktu. (5) Rencana tindak dalam rangka penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib mendapatkan persetujuan RUPS. (6) Rencana tindak penyesuaian dengan ketentuan mengenai PSP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib disampaikan oleh Direksi kepada OJK, paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan OJK ini diundangkan. - 42 - (7) OJK memberikan persetujuan atau permintaan perbaikan atas rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya rencana tindak. (8) Perusahaan dapat melakukan perubahan terhadap rencana tindak yang telah memperoleh persetujuan dari OJK paling banyak 1 (satu) kali. (9) Ketentuan mengenai rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sampai dengan ayat (7), berlaku secara mutatis mutandis terhadap perubahan rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (8). Bagian Kedua Pengendali Pasal 30 (1) Perusahaan wajib menetapkan paling sedikit 1 (satu) Pengendali. (2) Pihak yang dikategorikan sebagai Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan: a. pemegang saham; atau b. bukan pemegang saham. (3) Pihak yang dikategorikan sebagai Pengendali yang merupakan pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan PSP. (4) Pengendali yang merupakan pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus memenuhi kriteria persyaratan integritas dan kelayakan keuangan sebagaimana diatur dalam peraturan OJK mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan. (5) Pengendali yang bukan merupakan pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus memenuhi kriteria persyaratan integritas dan reputasi keuangan sebagaimana diatur dalam peraturan OJK - 43 - mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan. (6) Pengendali wajib ikut bertanggung jawab atas kelangsungan usaha Perusahaan dalam pengendaliannya. (7) Dalam hal terdapat Pengendali lain yang belum ditetapkan oleh Perusahaan, OJK berwenang menetapkan Pengendali di luar Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 31 (1) Perusahaan yang telah memperoleh izin usaha pada saat Peraturan OJK ini diundangkan wajib melaporkan penetapan Pengendali kepada OJK paling lama 6 (enam) bulan setelah Peraturan OJK ini diundangkan. (2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK sesuai dengan format 9 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan dilampiri dengan daftar Pengendali beserta keterangan mengenai bentuk pengendaliannya. (3) Dalam hal Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum memenuhi ketentuan penilaian dan kepatutan sebagaimana diatur dalam peraturan OJK mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan, maka pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan bersamaan dengan penyampaian permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan. Pasal 32 (1) Pihak yang telah ditetapkan menjadi Pengendali tidak dapat berhenti menjadi Pengendali tanpa persetujuan dari OJK. - 44 - (2) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan wajib menyampaikan permohonan secara tertulis kepada OJK disertai dengan alasan berhenti menjadi Pengendali. (3) Dalam hal Perusahaan hanya memiliki 1 (satu) Pengendali, maka untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan wajib terlebih dahulu menetapkan Pengendali yang baru. (4) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan terhadap permohonan yang disampaikan, OJK mempertimbangkan pemenuhan terhadap ketentuan Pasal 30 ayat (6) dan berwenang melakukan pemeriksaan. (5) Persetujuan atau penolakan OJK atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan atau ditetapkannya laporan hasil pemeriksaan. (6) Bagi Pihak yang telah disetujui OJK untuk berhenti menjadi Pengendali pada Perusahaan, maka yang bersangkutan dilarang untuk melakukan pengendalian terhadap Perusahaan. Pasal 33 (1) Perubahan Pengendali wajib dilaporkan kepada OJK disertai dengan daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham dan seluruh struktur kelompok usaha yang terkait Perusahaan dan badan hukum pemilik Perusahaan sampai dengan pemilik terakhir disertai dokumen pendukung. (2) Perubahan Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah ditetapkan oleh Perusahaan. - 45 - BAB V UNIT SYARIAH Bagian Kesatu Pembentukan Unit Syariah Pasal 34 (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang akan melakukan sebagian kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah wajib membentuk Unit Syariah. (2) Rencana pembentukan Unit Syariah harus dimuat dalam rencana bisnis Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi periode berjalan. Bagian Kedua Modal Kerja Unit Syariah Pasal 35 (1) Unit Syariah dari Perusahaan Asuransi harus memiliki modal kerja pada saat pembentukan paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (2) Unit Syariah dari Perusahaan Reasuransi harus memiliki modal kerja pada saat pembentukan paling sedikit sebesar Rp75.000.000.000,00 (tujuh puluh lima miliar rupiah). (3) Modal kerja Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus disisihkan dalam bentuk deposito berjangka atau giro atas nama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dan ditempatkan pada salah satu bank umum syariah atau unit usaha syariah dari bank umum di Indonesia. - 46 - Bagian Ketiga Izin Pembentukan Unit Syariah Pasal 36 (1) Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh izin pembentukan Unit Syariah dari OJK. (2) Pada saat pengajuan izin pembentukan Unit Syariah, Unit Syariah harus memiliki Dana Jaminan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari modal kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35. (3) Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka dengan perpanjangan otomatis pada bank umum syariah atau unit usaha syariah dari bank umum di Indonesia yang bukan afiliasi dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan. (4) Untuk memperoleh izin pembentukan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus mengajukan permohonan pembentukan Unit Syariah kepada OJK sesuai dengan format 10 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (5) Pengajuan permohonan izin pembentukan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilampiri dengan: a. fotokopi akta perubahan anggaran dasar Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang paling sedikit memuat: 1. maksud dan tujuan antara lain melakukan kegiatan usaha dengan Prinsip Syariah; 2. nama, wewenang dan tanggung jawab anggota DPS; dan - 47 - 3. besaran modal kerja Unit Syariah disertai dengan bukti persetujuan dan/atau bukti surat penerimaan pemberitahuan dari instansi yang berwenang; b. fotokopi surat keputusan Direksi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang menyetujui penempatan modal kerja pada Unit Syariah disertai dengan besaran jumlah penempatan modal kerjanya; c. fotokopi bukti setoran modal kerja dalam bentuk deposito berjangka atas nama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi pada salah satu bank umum syariah atau unit usaha syariah dari bank umum di Indonesia yang dilegalisasi oleh bank penerima setoran yang masih berlaku selama dalam proses perizinan pembentukan Unit Syariah; d. data pimpinan Unit Syariah, meliputi: 1. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; 2. daftar riwayat hidup dilengkapi pas foto berwarna yang terbaru berukuran 4 x 6 cm; 3. bukti pengangkatan sebagai pimpinan Unit Syariah; dan 4. surat pernyataan yang menyatakan: a) tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet; b) tidak rangkap jabatan pada fungsi lain, pada perusahaan yang sama, kecuali pimpinan Unit Syariah dijabat oleh Direksi; dan c) bukti keahlian, pelatihan, dan/atau pengalaman di bidang keuangan syariah; - 48 - e. data DPS, meliputi: 1. memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan; dan 2. fotokopi akta risalah RUPS mengenai pengangkatan DPS; f. laporan keuangan awal Unit Syariah yang terpisah dari kegiatan usaha Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi; g. rencana kerja Unit Syariah yang akan dibentuk, yang paling sedikit memuat: 1. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi serta lini usaha yang akan dimasuki dan target pasarnya; 2. langkah-langkah yang dilakukan untuk mewujudkan rencana dimaksud; dan 3. proyeksi arus kas bulanan selama 12 (dua belas) bulan, laporan posisi keuangan, perhitungan laba/rugi, dan tingkat kesehatan Perusahaan serta asumsi yang mendasarinya, dimulai sejak Unit Syariah melakukan kegiatan operasional; dan h. rencana kerja Pemisahan Unit Syariah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang paling sedikit memuat cara Pemisahan, tahapan pelaksanaan, dan jangka waktu. Pasal 37 (1) OJK memberikan persetujuan, permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan atas permohonan izin pembentukan Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan izin pembentukan Unit Syariah diterima. penilaian - 49 - (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK melakukan: a. analisis dan penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5); b. analisis kelayakan atas rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5) huruf g; c. penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota DPS; dan d. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian syariah. (3) OJK dapat melakukan peninjauan ke kantor Unit Syariah untuk memastikan kesiapan operasional Unit Syariah. (4) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari OJK. (5) Dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi telah menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4), OJK memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK belum menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan dokumen dimaksud, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dianggap membatalkan permohonan izin pembentukan Unit Syariah. (7) Dalam hal permohonan izin pembentukan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, OJK menetapkan keputusan pemberian izin - 50 - pembentukan Unit Syariah kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi. (8) Dalam hal OJK menolak permohonan izin pembentukan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya. Pasal 38 (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal izin pembentukan Unit Syariah ditetapkan. (2) Unit Syariah dilarang tidak melakukan kegiatan usaha dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan secara terus menerus. (3) Unit Syariah wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha Unit Syariah. (4) Pelaporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sesuai dengan format 11 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri: a. daftar bukti polis syariah yang telah diterbitkan; dan b. daftar perjanjian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah yang telah dilakukan. Bagian Keempat Pembukuan Unit Syariah Pasal 39 (1) Unit Syariah wajib memiliki pembukuan terpisah dari perusahaan induknya. - 51 - (2) Penyusunan laporan keuangan Unit Syariah wajib mengikuti perlakuan akuntansi yang diatur dalam standar akuntansi keuangan yang berlaku. Bagian Kelima Pimpinan Unit Syariah Pasal 40 (1) Unit Syariah wajib dipimpin oleh seorang pimpinan Unit Syariah. (2) Pimpinan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan operasional Unit Syariah. (3) Pimpinan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet; b. memiliki keahlian, pengalaman, dan/atau bukti pelatihan di bidang keuangan Syariah; dan c. tidak rangkap jabatan pada fungsi lain pada perusahaan yang sama, kecuali pimpinan Unit Syariah dijabat oleh Direksi. Pasal 41 (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib melaporkan perubahan pimpinan Unit Syariah kepada OJK paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak tanggal pengangkatan pimpinan Unit Syariah. (2) Pelaporan perubahan pimpinan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5) huruf d. - 52 - Bagian Keenam Kantor di Luar Kantor Pusat Unit Syariah Pasal 42 (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang memiliki Unit Syariah dapat membuka kantor di luar kantor pusat Unit Syariah di dalam atau di luar negeri. (2) Unit Syariah yang membuka kantor di luar kantor pusat Unit Syariah yang memiliki kewenangan untuk membuat keputusan mengenai penerimaan atau penolakan pertanggungan dan/atau klaim setiap saat wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memenuhi ketentuan mengenai kesehatan keuangan untuk 4 (empat) triwulan terakhir; b. tidak sedang dikenakan sanksi administratif oleh OJK; dan c. telah dicantumkan dalam rencana bisnis Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi periode berjalan. Pasal 43 (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib melaporkan pembukaan kantor di luar kantor pusat Unit Syariah kepada OJK. (2) Pelaporan pembukaan kantor di luar kantor pusat Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah kantor di luar kantor pusat Unit Syariah tersebut beroperasi dengan menggunakan format 12 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. - 53 - Pasal 44 (1) Unit Syariah yang akan menutup kantor di luar kantor pusat Unit Syariah yang memiliki kewenangan untuk membuat keputusan mengenai penerimaan atau penolakan pertanggungan dan/atau klaim wajib terlebih dahulu memberitahukan kepada pemegang polis atau peserta mengenai: a. rencana penutupan kantor di luar kantor pusat Unit Syariah; dan b. prosedur pengalihan hak dan kewajiban pemegang polis atau peserta. (2) Unit Syariah wajib menunjuk kantor di luar kantor pusat Unit Syariah yang memiliki kewenangan untuk membuat keputusan mengenai penerimaan atau penolakan pertanggungan dan/atau klaim atau kantor pusat Unit Syariah untuk menangani pengalihan hak dan kewajiban pemegang polis atau peserta dari kantor di luar kantor pusat Unit Syariah yang ditutup. (3) Unit Syariah yang akan menghentikan atau menutup kantor di luar kantor pusat Unit Syariah wajib melaporkan terlebih dahulu kepada OJK paling lama 15 (lima belas) hari kerja sebelum tanggal penghentian atau penutupan kantor dimaksud. (4) Pelaporan penghentian atau penutupan kantor di luar kantor pusat Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan menggunakan format 13 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, yang dilampiri dengan bukti pemberitahuan kepada pemegang polis atau peserta. - 54 - Bagian Ketujuh Penutupan Unit Syariah Pasal 45 (1) Penutupan Unit Syariah dilakukan dalam hal: a. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang memiliki Unit Syariah mengajukan permohonan penutupan Unit Syariah; atau b. Unit Syariah dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin Unit Syariah. (2) Dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi mengajukan permohonan penutupan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib terlebih dahulu melaporkan rencana penutupan Unit Syariah kepada OJK dengan disertai: a. alasan atau latar belakang penutupan Unit Syariah; b. uraian mengenai kondisi Unit Syariah, termasuk data mengenai jumlah polis yang masih berlaku (in-force), jumlah pemegang polis atau peserta, jumlah kewajiban Unit Syariah kepada pemegang polis atau peserta dan kewajiban lainnya; dan c. rencana penyelesaian hak dan kewajiban kepada pemegang polis atau peserta dan Pihak lainnya. (3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) OJK memberikan persetujuan atas rencana penutupan Unit Syariah. Pasal 46 (1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang telah memperoleh penetapan persetujuan rencana penutupan Unit Syariah wajib untuk: a. menghentikan seluruh kegiatan usaha Unit Syariah; - 55 - b. mengumumkan rencana penghentian kegiatan usaha Unit Syariah dan rencana penyelesaian kewajiban Unit Syariah dalam 2 (dua) surat kabar harian yang salah satunya mempunyai peredaran nasional paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal surat penetapan persetujuan rencana penutupan Unit Syariah; dan c. menyelesaikan seluruh kewajiban Unit Syariah paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal surat penetapan penutupan Unit Syariah. (2) Pelaksanaan penghentian kegiatan usaha Unit Syariah wajib dilaporkan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang memiliki Unit Syariah kepada OJK paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal penghentian. Pasal 47 (1) Setelah seluruh kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) diselesaikan, Direksi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi wajib menyampaikan kepada OJK laporan yang paling sedikit memuat: a. pelaksanaan penghentian kegiatan Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf a; b. pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf b; c. pelaksanaan penyelesaian hak dan kewajiban pemegang polis atau peserta Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c; d. neraca akhir Unit Syariah yang telah diaudit oleh auditor independen; dan e. surat pernyataan dari Direksi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang menyatakan bahwa seluruh kewajiban Unit Syariah telah diselesaikan dan apabila terdapat - 56 - tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) OJK melakukan: a. penelitian atas laporan pelaksanaan rencana penutupan Unit Syariah; dan b. menetapkan keputusan pencabutan izin pembentukan Unit Syariah paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima secara lengkap. BAB VI SUSUNAN ORGANISASI Pasal 48 (1) Perusahaan wajib memiliki susunan organisasi yang menggambarkan secara jelas pemisahan fungsi pengelolaan risiko, fungsi pengelolaan keuangan, dan fungsi pelayanan. (2) Perusahaan wajib memiliki satuan kerja yang menangani fungsi: a. underwriting; b. aktuaria; c. penyelesaian administrasi klaim; d. pemasaran; e. keuangan termasuk pengelolaan investasi; f. g. manajemen risiko; audit internal; h. administrasi dan akuntansi; i. kepatuhan; j. anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme; dan k. pelayanan dan penyelesaian pengaduan. (3) Susunan organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi dengan uraian tugas, wewenang, - 57 - tanggung jawab, dan prosedur kerja secara tertulis, yang ditetapkan oleh Direksi. (4) Susunan organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mencerminkan adanya pengendalian internal yang baik. (5) Perusahaan wajib memiliki pegawai yang bertanggung jawab atas masing-masing fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Pengelolaan Perusahaan wajib didukung paling sedikit dengan sistem pengolahan data yang dapat menghasilkan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan dalam pengambilan keputusan. BAB VII SUMBER DAYA MANUSIA Bagian Kesatu Sertifikasi Pasal 49 (1) Anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan pejabat 1 (satu) tingkat di bawah Direksi wajib memiliki sertifikat keahlian di bidang manajemen risiko dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang manajemen risiko. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi bagi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan pejabat 1 (satu) tingkat di bawah Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. Bagian Kedua Penggunaan Tenaga Kerja Asing Pasal 50 (1) Perusahaan dapat menggunakan tenaga kerja asing. - 58 - (2) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk dipekerjakan sebagai: a. Tenaga Ahli dengan level jabatan satu tingkat di bawah Direksi; b. aktuaris; atau c. konsultan. (3) Perusahaan hanya dapat mempekerjakan tenaga kerja asing yang menangani fungsi: a. underwriting; b. aktuaria; c. pemasaran; dan/atau d. sistem informasi. (4) Perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja asing sebagai Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. tenaga kerja asing dipekerjakan dengan jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun; dan b. tenaga kerja asing didampingi oleh tenaga kerja Indonesia dalam rangka alih pengetahuan, keahlian, dan teknologi. (5) Perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja asing sebagai konsultan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. tenaga kerja asing hanya dipekerjakan untuk melaksanakan proyek atau program tertentu yang berkaitan dengan kegiatan operasional di bidang perasuransian; b. jangka waktu untuk proyek atau program sebagaimana dimaksud dalam huruf a paling lama 5 (lima) tahun; dan c. tenaga kerja asing didampingi oleh tenaga kerja Indonesia dalam rangka alih pengetahuan, keahlian, dan teknologi. - 59 - (6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan: a. memiliki keahlian sesuai dengan bidang tugas yang akan menjadi tanggung jawabnya; b. tenaga asing tersebut menduduki jabatan yang belum dapat diisi oleh tenaga kerja Indonesia; dan c. memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang ketenagakerjaan. (7) OJK berwenang untuk meminta Perusahaan memberhentikan tenaga kerja asing yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (6). Pasal 51 (1) Perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), wajib terlebih dahulu melaporkan kepada OJK paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sebelum tenaga kerja asing dimaksud dipekerjakan. (2) Pelaporan rencana mempekerjakan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK sesuai dengan format 14 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (3) Pelaporan rencana mempekerjakan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilampiri: a. disertai dengan daftar riwayat hidup tenaga kerja asing yang dipekerjakan, fotokopi dokumen yang mencerminkan bidang keahliannya; b. rencana program pendidikan dan pelatihan tahunan selama tenaga kerja asing dimaksud dipekerjakan; dan - 60 - c. rencana penempatan dan bidang tugas yang menjadi tanggung jawab tenaga kerja asing. Pasal 52 (1) Perusahaan wajib melaporkan pengangkatan atau pemberhentian tenaga kerja asing kepada OJK paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah diangkat atau diberhentikan. (2) Pelaporan pengangkatan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK dengan melampirkan: a. fotokopi bukti pengangkatan tenaga kerja asing; b. fotokopi surat izin menetap; c. d. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP). (3) Pelaporan pemberhentian tenaga kerja asing sebagaiman dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK dengan disertai alasan pemberhentian. Pasal 53 (1) Perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), wajib menyelenggarakan kegiatan alih pengetahuan dari tenaga kerja asing kepada pegawai Perusahaan. (2) Alih pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dibuat dalam bentuk program pendidikan dan pelatihan tahunan kepada pegawai Perusahaan. fotokopi surat izin menggunakan tenaga kerja asing; dan - 61 - Bagian Ketiga Pengembangan Sumber Daya Manusia Pasal 54 (1) Perusahaan wajib menyelenggarakan program pengembangan kemampuan dan pengetahuan bagi pegawainya. (2) Pengembangan kemampuan dan pengetahuan bagi pegawainya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilakukan dalam bentuk program pendidikan dan pelatihan. BAB VIII TENAGA AHLI, AKTUARIS, DAN AUDITOR INTERNAL Bagian Kesatu Tenaga Ahli Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Umum Syariah Pasal 55 (1) Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Umum Syariah wajib mempekerjakan paling sedikit 1 (satu) orang Tenaga Ahli. (2) Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki sertifikat keahlian asuransi umum atau asuransi umum syariah dengan level tertinggi dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang perasuransian; b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan risiko asuransi umum atau asuransi umum syariah paling singkat 3 (tiga) tahun; dan c. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesinya. (3) Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Umum Syariah wajib menyesuaikan Tenaga Ahli dalam jumlah yang cukup sesuai dengan jenis - 62 - dan lini usaha yang diselenggarakannya serta memperhatikan kompleksitas usaha. (4) Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki sertifikat keahlian asuransi umum atau asuransi umum syariah dengan level paling rendah satu tingkat dibawah kualifikasi tertinggi dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang perasuransian; b. memiliki sertifikat keahlian sesuai dengan lini usaha yang diselenggarakan dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang perasuransian; c. memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan risiko paling singkat 3 (tiga) tahun; dan d. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesinya. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyesuaian jumlah Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan persyaratan Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Surat Edaran OJK. Bagian Kedua Tenaga Ahli Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah Pasal 56 (1) Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah wajib mempekerjakan paling sedikit 1 (satu) orang Tenaga Ahli. (2) Tenaga Ahli asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki sertifikat keahlian asuransi jiwa atau asuransi jiwa syariah dengan level tertinggi dari Lembaga Sertifikasi Profesi perasuransian; di bidang - 63 - b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan risiko asuransi jiwa atau asuransi jiwa syariah paling singkat 3 (tiga) tahun; dan c. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesinya. (3) Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah wajib menyesuaikan Tenaga Ahli dalam jumlah yang cukup sesuai dengan jenis dan lini usaha yang diselenggarakannya serta memperhatikan kompleksitas usaha. (4) Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki sertifikat keahlian asuransi jiwa atau asuransi jiwa syariah dengan level paling rendah satu tingkat dibawah kualifikasi tertinggi dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang perasuransian; b. memiliki sertifikat keahlian sesuai dengan lini usaha yang diselenggarakan dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang perasuransian; c. memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan risiko paling singkat 3 (tiga) tahun; dan d. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesinya. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyesuaian jumlah Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan persyaratan Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Surat Edaran OJK. Bagian Ketiga Tenaga Ahli Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah Pasal 57 (1) Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah wajib mempekerjakan paling sedikit 1 (satu) orang Tenaga Ahli. - 64 - (2) Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki sertifikat keahlian asuransi umum atau asuransi umum syariah dengan level tertinggi dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang perasuransian; b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan risiko reasuransi paling singkat 3 (tiga) tahun; dan c. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari Asosiasi profesinya. (3) Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah wajib menyesuaikan Tenaga Ahli dalam jumlah yang cukup sesuai dengan jenis dan lini usaha yang diselenggarakannya serta memperhatikan kompleksitas usaha. (4) Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki sertifikat keahlian asuransi umum atau asuransi umum syariah dengan level paling rendah satu tingkat dibawah kualifikasi tertinggi dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang perasuransian; b. memiliki sertifikat keahlian sesuai dengan lini usaha yang diselenggarakan dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang perasuransian; c. memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan risiko paling singkat 3 (tiga) tahun; dan d. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari Asosiasi profesinya. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyesuaian jumlah Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan persyaratan Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Surat Edaran OJK. - 65 - Bagian Keempat Tenaga Ahli pada Kantor di Luar Kantor Pusat Pasal 58 (1) Perusahaan wajib mengangkat 1 (satu) orang Tenaga Ahli dengan level paling rendah 1 (satu) tingkat dibawah kualifikasi tertinggi pada setiap kantor di luar kantor pusat yang memiliki kewenangan untuk membuat keputusan mengenai penerimaan atau penolakan pertanggungan dan/atau klaim. (2) Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki sertifikat keahlian sesuai lingkup usaha dengan level paling rendah 1 (satu) tingkat di bawah kualifikasi tertinggi dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang perasuransian; b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan risiko asuransi paling singkat 2 (dua) tahun; dan c. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesinya. Bagian Kelima Aktuaris Pasal 59 (1) Perusahaan wajib mengangkat 1 (satu) orang aktuaris sebagai aktuaris Perusahaan (appointed actuary). (2) Perusahaan wajib mempekerjakan aktuaris dalam jumlah yang cukup sesuai dengan jenis dan lini usaha yang diselenggarakannya serta memperhatikan kompleksitas usaha. (3) Perusahaan dilarang mengangkat aktuaris Perusahaan (appointed actuary) yang merangkap jabatan sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota DPS pada Perusahaan. - 66 - (4) Aktuaris Perusahaan (appointed actuary) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan aktuaris yang dipekerjakan Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki kualifikasi sebagai aktuaris yang mendapatkan izin dari instansi yang berwenang; b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang aktuaria asuransi paling singkat 3 (tiga) tahun; dan c. menjadi anggota asosiasi profesi aktuaris atau mendapat rekomendasi dari asosiasi profesi aktuaris yang menyatakan bahwa yang bersangkutan dinilai layak untuk bekerja pada Perusahaan di Indonesia bagi aktuaris selain anggota asosiasi profesi aktuaris. Pasal 60 (1) Aktuaris Perusahaan (appointed actuary) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dan aktuaris yang dipekerjakan Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) paling sedikit bertugas melakukan evaluasi terhadap kewajiban Perusahaan kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta dan aspek teknis aktuaria lainnya. (2) Dalam melaksanakan tugasnya, aktuaris Perusahaan (appointed actuary) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dan aktuaris yang dipekerjakan Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) harus berpedoman pada standar praktik dan kode etik profesi yang berlaku. Bagian Keenam Auditor Internal Pasal 61 (1) Perusahaan wajib memiliki satuan kerja audit internal. - 67 - (2) Satuan kerja audit internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab secara langsung kepada direktur utama atau yang setara. (3) Satuan kerja audit internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang auditor internal. Bagian Ketujuh Pelaporan Pengangkatan dan Pemberhentian Tenaga Ahli, Aktuaris, dan/atau Auditor Internal Pasal 62 (1) Perusahaan wajib melaporkan pengangkatan dan/atau pemberhentian Tenaga Ahli, aktuaris, dan/atau auditor internal paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal pengangkatan dan/atau pemberhentian Tenaga Ahli, aktuaris, dan/atau auditor internal. (2) Pelaporan pengangkatan Tenaga Ahli, aktuaris, dan/atau auditor internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK dengan menggunakan format 15 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dengan dilampiri: a. fotokopi sertifikat keahlian dari Lembaga Sertifikasi Profesi, bagi Tenaga Ahli dan aktuaris; b. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; c. daftar riwayat hidup yang disertai dengan pas foto berwarna yang terbaru berukuran 4 x 6 cm; dan d. surat keterangan dari asosiasi profesi terkait bahwa tidak sedang dalam pengenaan sanksi. (3) Pelaporan pemberhentian Tenaga Ahli, aktuaris, dan/atau auditor internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi kepada OJK dengan menggunakan format 16 sebagaimana - 68 - tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. BAB IX KANTOR DI LUAR KANTOR PUSAT Pasal 63 (1) Perusahaan dapat membuka kantor di luar kantor pusat di dalam atau di luar negeri. (2) Perusahaan bertanggung jawab sepenuhnya atas setiap kantor yang dimiliki atau dikelolanya atau yang pemilik atau pengelolanya diberi izin menggunakan nama Perusahaan yang bersangkutan. Pasal 64 (1) Perusahaan yang membuka kantor di luar kantor pusat yang memiliki kewenangan untuk membuat keputusan mengenai penerimaan atau penolakan pertanggungan dan/atau klaim setiap saat wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memenuhi ketentuan mengenai kesehatan keuangan untuk 4 (empat) triwulan terakhir; b. memiliki penilaian tingkat risiko rendah atau sedang rendah; c. memiliki Tenaga Ahli yang bekerja secara penuh pada kantor yang bersangkutan; dan d. tidak sedang dikenakan sanksi administratif oleh OJK. (2) Dalam hal Perusahaan tidak dapat memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK belum dapat mencatat kantor di luar kantor pusat dan memerintahkan penghentian sementara kegiatan operasional sampai dengan dipenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). - 69 - Pasal 65 Pengelolaan kantor di luar kantor pusat yang tidak memiliki kewenangan untuk membuat keputusan mengenai penerimaan atau penolakan pertanggungan dan/atau klaim, dapat dilaksanakan oleh Perusahaan atau dikerjasamakan dengan Pihak lain. Pasal 66 (1) Perusahaan wajib melaporkan setiap pembukaan kantor di luar kantor pusatnya kepada OJK. (2) Pelaporan pembukaan kantor di luar kantor pusatnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi kepada OJK Perusahaan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah kantor tersebut beroperasi dengan menggunakan format 17 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (3) Pelaporan pembukaan kantor di luar kantor pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri: a. nama kantor dan fungsi kantor; b. alamat kantor yang didukung oleh surat keterangan dari pihak yang relevan yang paling sedikit menyatakan nama Perusahaan; c. nama pimpinan kantor dilengkapi dengan daftar riwayat hidup; dan d. tugas dan kewenangan pimpinan kantor. Pasal 67 (1) Perusahaan yang akan menutup kantor di luar kantor pusat yang memiliki kewenangan untuk membuat keputusan mengenai penerimaan atau penolakan pertanggungan dan/atau klaim wajib terlebih dahulu memberitahukan kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta mengenai: a. rencana penutupan kantor di luar kantor pusat; dan - 70 - b. prosedur penyelesaian hak dan kewajiban. (2) Prosedur penyelesaian hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan kepentingan pemegang polis, tertanggung, atau peserta. Pasal 68 (1) Perusahaan wajib melaporkan penutupan kantor di luar kantor pusat yang memiliki kewenangan untuk membuat keputusan mengenai penerimaan atau penolakan pertanggungan dan/atau klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) secara tertulis oleh Direksi Perusahaan kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penutupan kantor di luar kantor pusat. (2) Pelaporan penutupan kantor di luar kantor pusat yang memiliki kewenangan untuk membuat keputusan mengenai penerimaan atau penolakan pertanggungan dan/atau klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi kepada OJK Perusahaan dengan menggunakan format 18 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dengan dilampiri: a. bukti pemberitahuan rencana penutupan kantor di luar kantor pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf a; dan b. bukti pengalihan pelayanan kantor di luar kantor pusat yang di tutup ke kantor pusat atau kantor di luar kantor pusat terdekat. Pasal 69 (1) Perusahaan wajib melaporkan penutupan kantor di luar kantor pusat yang tidak memiliki kewenangan untuk membuat keputusan mengenai penerimaan dan memperhatikan - 71 - atau penolakan pertanggungan dan/atau klaim secara tertulis oleh Direksi Perusahaan kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penutupan kantor di luar kantor pusat. (2) Pelaporan penutupan kantor di luar kantor pusat yang tidak memiliki kewenangan untuk membuat keputusan mengenai penerimaan atau penolakan pertanggungan dan/atau klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK dengan menggunakan format 19 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. BAB X KEANGGOTAAN PADA ASOSIASI Pasal 70 (1) Setiap Perusahaan wajib menjadi anggota salah satu Asosiasi yang sesuai dengan jenis usahanya. (2) Asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan tertulis dari OJK. (3) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Asosiasi harus menyampaikan permohonan kepada OJK yang dilampiri dokumen: a. fotokopi anggaran dasar atau anggaran rumah tangga; dan b. struktur kepengurusan. BAB XI PENDAFTARAN AGEN ASURANSI Pasal 71 (1) Agen Asuransi wajib terdaftar di OJK. - 72 - (2) Agen Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk Agen Asuransi yang bekerja pada badan usaha. (3) Agen Asuransi yang terdaftar di OJK harus memiliki sertifikat keagenan dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang perasuransian. (4) OJK mendelegasikan kewenangan pendaftaran Agen Asuransi kepada Asosiasi. (5) Untuk terdaftar di OJK, Agen Asuransi harus menyampaikan permohonan pendaftaran kepada Asosiasi. (6) Pendelegasian wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh OJK berdasarkan Keputusan Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran Agen Asuransi diatur oleh Asosiasi dengan persetujuan OJK. (8) Asosiasi melaporkan pelaksanaan pendaftaran Agen Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada OJK setiap periode bulan Maret, Juni, September, dan Desember paling lama pada tanggal 20 bulan berikutnya. Pasal 72 OJK memiliki akses terhadap data Agen Asuransi yang dikelola oleh Asosiasi. Pasal 73 (1) Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) harus terdaftar di OJK. (2) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk badan hukum: a. perseroan terbatas; atau b. koperasi. (3) Untuk terdaftar di OJK badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan permohonan pendaftaran kepada OJK dengan - 73 - menggunakan format 20 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dengan dilampiri: a. fotokopi akta pendirian badan usaha yang dilampiri dengan bukti pengesahan dari instansi yang berwenang; b. daftar Agen Asuransi yang bekerja dengan bukti sertifikasi keagenan; dan c. bukti perjanjian kerja sama antara Perusahaan Asuransi dengan badan usaha. (4) OJK memberikan persetujuan, permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan atas permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan pendaftaran diterima. (5) Pemohon harus menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari OJK. (6) Dalam hal pemohon telah menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (5), OJK memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (7) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (5), OJK belum menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan dokumen dimaksud, pemohon dianggap membatalkan permohonan pendaftaran. (8) Dalam hal permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disetujui, OJK menyampaikan surat tanda terdaftar kepada pemohon. (9) Dalam hal OJK menolak permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya. - 74 - BAB XII PERUBAHAN KEPEMILIKAN Pasal 74 (1) Setiap perubahan kepemilikan Perusahaan wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari OJK. (2) Dalam hal perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakibatkan oleh adanya penambahan Modal Disetor maka penambahan modal dimaksud hanya dapat dilakukan dalam bentuk: a. setoran tunai; b. pengalihan saldo laba; c. pengalihan pinjaman; dan/atau d. dividen saham. Pasal 75 (1) Perusahaan yang telah mendapatkan izin usaha pada saat Peraturan OJK ini diundangkan dan akan melakukan perubahan kepemilikan melalui pengambilalihan dan/atau penambahan pemegang saham baru wajib menyesuaikan ketentuan mengenai Modal Disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. (2) Perusahaan yang akan melakukan perubahan kepemilikan melalui penambahan pemegang saham baru yang merupakan hasil warisan, dikecualikan dari kewajiban penyesuaian mengenai Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Perusahaan yang akan melakukan perubahan kepemilikan dalam rangka pemenuhan Ekuitas minimum sebagaimana diatur dalam peraturan OJK mengenai kesehatan keuangan Perusahaan, dikecualikan dari kewajiban penyesuaian mengenai Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1). - 75 - Pasal 76 (1) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1), calon pemegang saham melalui Direksi Perusahaan harus mengajukan permohonan persetujuan kepada OJK dengan menggunakan format 21 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, yang dilampiri dengan: a. rencana daftar kepemilikan; b. data calon pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf f, apabila terdapat pemegang saham baru; c. rancangan akta risalah RUPS; d. rancangan akta pemindahan hak atas saham; e. fotokopi surat pemberitahuan pajak (SPT) 2 (dua) tahun terakhir dan dokumen lain yang menunjukkan kemampuan keuangan serta sumber dana calon pemegang saham orang perseorangan; f. fotokopi laporan keuangan Perusahaan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebelum penambahan Modal Disetor, dalam hal perubahan kepemilikan diakibatkan oleh penambahan Modal Disetor dan akan dilakukan dalam bentuk pengalihan saldo laba, pengalihan pinjaman, dan/atau dividen saham; dan g. fotokopi perjanjian kerjasama antara pemegang saham yang berbentuk badan hukum asing dengan pemegang saham Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf p angka 8, bagi permohonan persetujuan perubahan kepemilikan yang terdapat pemegang saham baru berbentuk badan hukum asing. (2) OJK memberikan persetujuan, permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan atas permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud - 76 - pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan persetujuan perubahan kepemilikan diterima. (3) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), OJK melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1); b. analisis kelayakan rencana perubahan kepemilikan; c. penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon Pengendali, dalam hal perubahan kepemilikan menyebabkan perubahan Pengendali; dan d. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. (4) Perusahaan harus menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari OJK. (5) Dalam hal Perusahaan telah menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4), OJK memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), OJK belum menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan dokumen dimaksud, Perusahaan dianggap membatalkan permohonan. (7) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui, OJK menerbitkan surat persetujuan kepada Perusahaan. (8) Dalam hal OJK menolak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya. - 77 - Pasal 77 (1) Perusahaan wajib melaporkan pelaksanaan perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) kepada OJK paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak tanggal diterimanya bukti persetujuan dan/atau bukti surat penerimaan pemberitahuan dari instansi yang berwenang. (2) Pelaporan perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK dengan menggunakan format 22 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan: a. fotokopi akta perubahan anggaran dasar yang disertai bukti pengesahan, bukti persetujuan, dan/atau bukti surat penerimaan pemberitahuan dari instansi yang berwenang; b. akta pemindahan hak atas saham dalam hal terjadi pemindahan hak atas saham; dan/atau c. bukti penambahan modal berupa fotokopi bukti pelunasan Modal Disetor dalam bentuk setoran tunai dan fotokopi bukti penempatan Modal Disetor pada salah satu bank umum atau bank umum syariah yang dilegalisasi oleh bank penerima setoran dalam hal perubahan kepemilikan mengakibatkan penambahan Modal Disetor. BAB XIII PELAPORAN Bagian Kesatu Pelaporan Perubahan Anggaran Dasar Pasal 78 (1) Perusahaan wajib melaporkan kepada OJK perubahan anggaran dasar meliputi: a. perubahan nama Perusahaan; - 78 - b. perubahan tempat kedudukan kantor pusat Perusahaan; c. pengurangan Modal Disetor bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; d. penambahan Modal Disetor bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; dan/atau e. perubahan status Perusahaan yang tertutup menjadi terbuka atau sebaliknya, paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak tanggal persetujuan, surat penerimaan pemberitahuan, atau pengesahan dari instansi yang berwenang. (2) Pelaporan perubahan nama Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK dengan menggunakan format 23 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen: a. fotokopi akta perubahan anggaran dasar yang disertai dengan bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; dan b. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas nama baru dari Perusahaan. (3) Pelaporan perubahan tempat kedudukan kantor pusat Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK dengan menggunakan format 24 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen: a. fotokopi akta perubahan anggaran dasar yang disertai dengan bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; dan - 79 - b. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas tempat kedudukan nama baru dari Perusahaan. (4) Pengurangan Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilaksanakan oleh Perusahaan dengan tetap memperhatikan pemenuhan ketentuan Modal Disetor minimum dan/atau pemenuhan ketentuan Ekuitas minimum Perusahaan. bagi (5) Pelaporan pengurangan Modal Disetor Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK dengan menggunakan format 25 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen fotokopi akta perubahan anggaran dasar yang disertai dengan bukti persetujuan dari instansi yang berwenang. (6) Penambahan Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d hanya dapat dilakukan dalam bentuk: a. setoran tunai; b. pengalihan saldo laba; c. pengalihan pinjaman; dan/atau d. dividen saham. (7) Pelaporan penambahan Modal Disetor Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK dengan menggunakan format 26 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen: a. fotokopi akta perubahan anggaran dasar yang disertai dengan bukti surat penerimaan pemberitahuan dari instansi berwenang bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; - 80 - b. bukti penambahan Modal Disetor, yaitu: 1. fotokopi bukti setoran modal pada salah satu bank umum, bank umum syariah, atau unit usaha syariah dari bank umum di Indonesia dan dilegalisasi oleh bank penerima setoran, dalam hal penambahan Modal Disetor dilakukan dalam bentuk uang tunai; atau 2. laporan keuangan Perusahaan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebelum penambahan modal, dalam hal penambahan Modal Disetor dilakukan dalam bentuk pengalihan saldo laba, pengalihan pinjaman dan/atau dividen saham bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; c. surat pernyataan pemegang saham yang menyatakan bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjaman, kegiatan pencucian uang (money laundering) dan kejahatan keuangan dalam hal penambahan modal dilakukan dalam bentuk uang tunai sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 1; d. fotokopi surat pemberitahuan (SPT) pajak 2 (dua) tahun terakhir dan dokumen lain yang menunjukkan kemampuan keuangan serta sumber dana calon pemegang saham orang perseorangan; dan e. laporan keuangan pemegang saham yang telah diaudit oleh akuntan publik dan/atau laporan keuangan terakhir, dalam hal pemegang saham berbentuk badan hukum. (8) Pelaporan perubahan status Perusahaan yang tertutup menjadi terbuka atau sebaliknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK dengan menggunakan format 27 sebagaimana - 81 - tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen fotokopi akta perubahan anggaran dasar disertai dengan bukti persetujuan dari instansi berwenang. Bagian Kedua Pelaporan Perubahan Anggota Direksi, Anggota Dewan Komisaris, dan/atau Anggota Dewan Pengawas Syariah Pasal 79 (1) Perusahaan yang melakukan perubahan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau anggota DPS wajib melaporkan kepada OJK paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak: a. tanggal pencatatan perubahan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris dalam daftar perseroan; b. disetujui rapat anggota; atau c. tanggal pengangkatan anggota DPS. (2) Pelaporan perubahan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau anggota DPS Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK dengan menggunakan format 28 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen: a. fotokopi akta risalah rapat anggota bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum koperasi; atau b. akta risalah RUPS bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas. - 82 - Bagian Ketiga Pelaporan Perubahan Alamat Pasal 80 (1) Perusahaan wajib melaporkan perubahan alamat kantor pusat dan kantor di luar kantor pusat, kepada OJK paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal perubahan. (2) Pelaporan perubahan alamat kantor pusat dan kantor di luar kantor pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK dengan menggunakan format 29 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dengan disertai data mengenai alamat kantor yang didukung oleh surat keterangan dari pihak yang relevan yang paling sedikit menyatakan nama Perusahaan. BAB XIV PENGGABUNGAN DAN PELEBURAN Pasal 81 (1) Perusahaan dapat melakukan: a. Penggabungan; atau b. Peleburan. (2) Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan berbentuk badan hukum yang sama dan memiliki bidang usaha yang sejenis. Pasal 82 (1) Perusahaan yang akan melakukan Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) wajib menyampaikan rencana pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan kepada OJK untuk mendapatkan persetujuan. - 83 - (2) Untuk memperoleh persetujuan Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan: a. Penggabungan atau Peleburan tersebut tidak mengurangi hak pemegang polis, tertanggung, atau peserta, bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah; dan b. kondisi keuangan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah hasil Penggabungan atau Peleburan tersebut harus memenuhi ketentuan tingkat kesehatan keuangan. (3) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan oleh Direksi kepada OJK, dengan menggunakan format 30 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dengan melampirkan: a. rancangan akta risalah RUPS yang menyetujui Penggabungan atau Peleburan; b. rancangan akta Penggabungan atau Peleburan; c. rencana daftar kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf e dari Perusahaan hasil Penggabungan atau Peleburan; d. data pemegang saham atau anggota selain PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf f dari Perusahaan hasil Penggabungan atau Peleburan; e. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit dari Perusahaan yang melakukan Penggabungan atau Peleburan; f. laporan keuangan proforma dari Perusahaan hasil Penggabungan atau Peleburan; - 84 - g. rencana kerja untuk 3 (tiga) tahun pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf i dari Perusahaan hasil Penggabungan atau Peleburan; dan h. susunan organisasi dari Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b dari Perusahaan hasil Penggabungan atau Peleburan. (4) Permohonan persetujuan rencana pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan bersamaan dengan permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan/atau PSP Perusahaan. (5) Permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan/atau PSP Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan mengacu pada peraturan OJK mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan. (6) OJK memberikan persetujuan, permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan atas persetujuan rencana pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan diterima. (7) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK melakukan: a. b. c. penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3); analisis kelayakan atas rencana pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan; penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan/atau PSP Perusahaan; dan - 85 - d. (8) Direksi analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perasuransian. harus menyampaikan Perusahaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari OJK. (9) Dalam hal Direksi Perusahaan telah menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), OJK memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6). (10) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (6), OJK belum menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan dokumen dimaksud, Direksi Perusahaan dianggap membatalkan permohonan persetujuan rencana pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan. (11) Dalam hal permohonan disetujui, OJK menerbitkan surat persetujuan rencana Penggabungan atau Peleburan kepada Direksi Perusahaan. (12) Penolakan atas permohonan persetujuan rencana pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan secara tertulis dan disertai dengan alasan penolakan. Pasal 83 (1) Perusahaan yang telah mendapatkan persetujuan rencana pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan dari OJK harus melaksanakan RUPS yang menyetujui Penggabungan atau Peleburan paling lama 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal surat persetujuan OJK. (2) Dalam hal pelaksanaan RUPS yang menyetujui rencana pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan pelaksanaan - 86 - tidak sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka surat persetujuan OJK menjadi tidak berlaku. Pasal 84 (1) Perusahaan yang menerima Penggabungan wajib melaporkan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Penggabungan kepada OJK paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal RUPS. (2) Pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan oleh Direksi kepada OJK dengan menggunakan format 31 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan: a. fotokopi akta risalah RUPS yang menyetujui Penggabungan; b. fotokopi akta Penggabungan; dan c. dokumen yang menyatakan bahwa Perusahaan tidak mempunyai utang pajak dari instansi yang berwenang. (3) Dalam rangka pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan yang menerima Penggabungan dapat mengajukan permohonan izin pembentukan Unit Syariah yang sebelumnya dimiliki oleh Perusahaan yang menggabungkan diri kepada OJK atas namanya. (4) Permohonan izin pembentukan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus disampaikan oleh Direksi kepada OJK dengan menggunakan format 32 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan izin pembentukan Unit Syariah yang dimiliki oleh Perusahaan yang menggabungkan diri. - 87 - (5) Berdasarkan pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan permohonan izin pembentukan Unit Syariah (jika ada) sebagaimana dimaksud pada ayat (4), OJK: a. melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4); b. mencabut izin usaha dan/atau izin pembentukan Unit Syariah (jika ada) Perusahaan yang menggabungkan diri yang mulai berlaku efektif terhitung sejak anggaran dasar disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang; dan c. memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin pembentukan Unit Syariah kepada Perusahaan yang merupakan hasil Penggabungan yang mulai berlaku efektif terhitung sejak anggaran dasar disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang (jika ada). (6) Pemberian persetujuan atau penolakan atas permohonan izin pembentukan Unit Syariah Perusahaan yang merupakan hasil Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c dilakukan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah dokumen pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima secara lengkap. (7) Dalam hal OJK menolak untuk menetapkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c, penolakan tersebut disertai dengan penjelasan secara tertulis. Pasal 85 Perusahaan hasil Penggabungan wajib melaporkan pelaksanaan Penggabungan kepada OJK dilampiri dengan anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi yang - 88 - berwenang kepada OJK paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal pengesahan. Pasal 86 (1) Perusahaan hasil Peleburan wajib melaporkan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Peleburan kepada OJK paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal RUPS. (2) Pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan oleh Direksi kepada OJK dengan menggunakan format 33 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan: a. fotokopi akta risalah RUPS yang menyetujui Peleburan; b. fotokopi akta Peleburan; dan c. dokumen yang menyatakan bahwa Perusahaan tidak mempunyai utang pajak dari instansi yang berwenang. (3) Dalam rangka pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Perusahaan yang menerima Peleburan dapat mengajukan permohonan izin pembentukan Unit Syariah yang sebelumnya dimiliki oleh Perusahaan yang meleburkan diri kepada OJK atas namanya. (4) Permohonan izin pembentukan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus disampaikan oleh Direksi kepada OJK dengan menggunakan format 34 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan izin pembentukan Unit Syariah yang dimiliki oleh Perusahaan yang meleburkan diri. (5) Berdasarkan pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan permohonan izin pembentukan Unit - 89 - Syariah (jika ada) sebagaimana dimaksud pada ayat (4), OJK: a. melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4); b. mencabut izin usaha dan/atau izin pembentukan Unit Syariah (jika ada) Perusahaan yang meleburkan diri yang mulai berlaku efektif terhitung sejak anggaran dasar disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang; c. memberikan persetujuan atau penolakan izin usaha kepada Perusahaan yang merupakan hasil Peleburan yang mulai berlaku efektif terhitung sejak anggaran dasar disahkan, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang; dan d. memberikan persetujuan atau penolakan izin pembentukan Unit Syariah kepada Perusahaan yang merupakan hasil Peleburan yang mulai berlaku efektif terhitung sejak disahkan, dasar disetujui oleh anggaran atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang (jika ada). (6) Pemberian persetujuan atau penolakan izin usaha dan/atau izin pembentukan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c dan huruf d dilakukan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah dokumen pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diterima secara lengkap. (7) Dalam hal OJK menolak untuk menetapkan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c dan huruf d penolakan tersebut disertai dengan penjelasan secara tertulis. (8) Sebelum persetujuan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c dan huruf d diberikan, - 90 - Perusahaan dilarang menjalankan kegiatan Usaha Perasuransian. Pasal 87 Perusahaan hasil Peleburan wajib melaporkan pelaksanaan Peleburan kepada OJK dilampiri dengan anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang kepada OJK paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal pengesahan. Pasal 88 Penggabungan dan Peleburan wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XV SANKSI Pasal 89 (1) Perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (4), ayat (5), dan ayat (9), Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat (5) dan ayat (6), Pasal 7 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 8 ayat (6), Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), ayat (3), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (2), Pasal 21 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 22 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), ayat (3), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (6), Pasal 31 ayat (1), Pasal 32 ayat (2), ayat (3), dan ayat (6), Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 48 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 51 ayat (1), Pasal 52 ayat (1), Pasal 53 ayat (1), Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 55 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 56 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 57 ayat (1) dan ayat (3), - 91 - Pasal 58 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 61 ayat (1), Pasal 62 ayat (1), Pasal 64 ayat (1), Pasal 66 ayat (1), Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68 ayat (1), Pasal 69 ayat (1), Pasal 70 ayat (1), Pasal 71 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75 ayat (1), Pasal 77 ayat (1), Pasal 78 ayat (1) dan ayat (6), Pasal 79 ayat (1), Pasal 80 ayat (1), Pasal 81 ayat (2), Pasal 82 ayat (1), Pasal 83 ayat (1), Pasal 84 ayat (1), Pasal 85, Pasal 86 ayat (1) dan ayat (8), Pasal 87, dan Pasal 88 Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha; atau c. pencabutan izin usaha. (2) Perusahaan yang mempunyai Unit Syariah dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), Pasal 36 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 38 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 40 ayat (1), Pasal 41 ayat (1), Pasal 42 ayat (2), Pasal 43 ayat (1), Pasal 44 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 45 ayat (2), Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 47 ayat (1) Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif secara bertahap yaitu berupa: a. peringatan; b. pembatasan kegiatan Unit Syariah, untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha; atau c. pencabutan izin pembentukan Unit Syariah. (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap. (4) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat mengenakan sanksi tambahan berupa larangan menjadi pemegang saham, Pengendali, Direksi, Dewan Komisaris, atau menduduki jabatan eksekutif di bawah Direksi pada perusahaan perasuransian. - 92 - BAB XVI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 90 (1) Dalam hal OJK telah menyediakan sistem pelayanan secara elektronik (e-licensing), maka permohonan perizinan, persetujuan, atau pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 20 ayat (4), Pasal 23 ayat (2), Pasal 24 ayat (4), Pasal 26 ayat (2), Pasal 27 ayat (3), Pasal 31 ayat (2), Pasal 36 ayat (4), Pasal 38 ayat (4), Pasal 43 ayat (2), Pasal 44 ayat (4), Pasal 51 ayat (2), Pasal 62 ayat (3), Pasal 66 ayat (2), Pasal 68 ayat (2), Pasal 69 ayat (2), Pasal 73 ayat (3), Pasal 76 ayat (1), Pasal 77 ayat (2), Pasal 78 ayat (2), ayat (3), ayat (5), ayat (7), dan ayat (8), Pasal 79 ayat (2), Pasal 80 ayat (2), Pasal 82 ayat (3), Pasal 84 ayat (2) dan ayat (4), dan Pasal 85, dan Pasal 86 ayat (2) disampaikan kepada OJK secara online melalui sistem jaringan komunikasi data OJK. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan secara elektronik (e-licensing) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 91 (1) Lembaga Sertifikasi Profesi harus tercatat di OJK. (2) Untuk dapat tercatat di OJK, Lembaga Sertifikasi Profesi sebagaimana dimaksud dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan permohonan kepada OJK dengan dilampiri: a. bukti lisensi Lembaga Sertifikasi Profesi dari instansi lain yang ditunjuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan b. fotokopi akta anggaran dasar Lembaga Sertifikasi Profesi. - 93 - BAB XVII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 92 Perusahaan yang mengajukan permohonan izin usaha kepada OJK sebelum Peraturan OJK ini diundangkan dan belum menyampaikan dokumen permohonan izin usaha secara lengkap, maka berlaku ketentuan dalam Peraturan OJK ini. Pasal 93 Pada saat program penjaminan polis berlaku, ketentuan mengenai persyaratan untuk melampirkan laporan awal Dana Jaminan beserta bukti penempatan Dana Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf d dinyatakan tidak berlaku untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah. Pasal 94 Perusahaan yang telah memperoleh izin usaha pada saat Peraturan OJK ini diundangkan, dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) sepanjang tidak melakukan perubahan nama Perusahaan. Pasal 95 Perusahaan yang pada saat Peraturan OJK ini diundangkan telah mempekerjakan tenaga kerja asing yang menangani fungsi selain fungsi underwriting, aktuaria, pemasaran, dan/atau sistem informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3), tetap dapat mempekerjakan tenaga kerja asing dimaksud sampai dengan berakhirnya perjanjian kerja. Pasal 96 (1) Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Umum Syariah yang telah memperoleh izin usaha sebelum Peraturan OJK ini diundangkan harus - 94 - memenuhi ketentuan mempekerjakan paling sedikit 1 (satu) orang Tenaga Ahli Asuransi Umum dan Tenaga Ahli Asuransi Umum Syariah sesuai dengan jenis dan lini usaha yang diselenggarakannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 paling lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan. (2) Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah yang telah memperoleh izin usaha pada saat Peraturan OJK ini diundangkan harus memenuhi ketentuan mempekerjakan Tenaga Ahli Asuransi Jiwa dan Tenaga Ahli Asuransi Jiwa Syariah sesuai dengan jenis dan lini usaha yang diselenggarakannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 paling lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan. Pasal 97 Perusahaan Asuransi Umum, Perusahaan Asuransi Umum Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah yang telah memperoleh izin usaha pada saat Peraturan OJK ini diundangkan harus menyesuaikan ketentuan pengangkatan aktuaris perusahaan (appointed actuary) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) paling lambat pada tanggal 1 Januari 2018. Pasal 98 Aktuaris perusahaan (appointed actuary) yang telah melakukan rangkap jabatan sebagai Direksi pada saat Peraturan OJK ini diundangkan harus menyesuaikan ketentuan larangan merangkap jabatan sebagai Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS pada Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) paling lama 3 (tiga) tahun setelah Peraturan OJK ini diundangkan. Pasal 99 Sertifikat yang telah diperoleh dari asosiasi atau lembaga, baik di dalam maupun luar negeri, yang telah - 95 - melaksanakan sertifikasi dibidang Perasuransian sebelum Peraturan OJK ini diundangkan dinyatakan tetap sah dan berlaku. Pasal 100 Asosiasi atau lembaga yang telah melaksanakan sertifikasi dibidang Perasuransian pada saat Peraturan OJK ini diundangkan harus memenuhi ketentuan sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi paling lama 3 (tiga) tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan. Pasal 101 Dalam hal peraturan OJK mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif dan pemblokiran kekayaan perusahaan perasuransian belum diundangkan, maka ketentuan mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 73 Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. BAB XVIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 102 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan mengenai perizinan usaha dan kelembagaan bagi Perusahaan tunduk pada Peraturan OJK ini. Pasal 103 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Tahun 1992 tentang - 96 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 300 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 67/POJK.05/2016 </reg_id> <reg_title> PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI, DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH </reg_title> <set_date> 23 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 28 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 28 Desember 2016 </issued_date> <related_reg> '40/UU/2014', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XV' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 55 /POJK.05/2017 TENTANG LAPORAN BERKALA PERUSAHAAN PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 22 ayat (6) dan Pasal 60 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Berkala Perusahaan Perasuransian; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG LAPORAN BERKALA PERUSAHAAN PERASURANSIAN. - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, perusahaan reasuransi syariah, perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian asuransi. 2. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi jiwa. 3. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha jasa pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan reasuransi lainnya. 4. Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan asuransi umum syariah dan perusahaan asuransi jiwa syariah. 5. Perusahaan Reasuransi Syariah adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha pengelolaan risiko berdasarkan prinsip syariah atas risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan penjaminan syariah, atau perusahaan reasuransi syariah lainnya. 6. Unit Syariah adalah unit kerja di kantor pusat Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor di luar kantor pusat yang menjalankan usaha berdasarkan prinsip syariah. 7. Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penutupan asuransi atau asuransi syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk dan atas nama pemegang polis, tertanggung, atau peserta. - 3 - 8. Perusahaan Pialang Reasuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penempatan reasuransi atau penempatan reasuransi syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan penjaminan, perusahaan penjaminan syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah yang melakukan penempatan reasuransi atau reasuransi syariah. 9. Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha jasa penilaian klaim dan/atau jasa konsultasi atas objek asuransi. 10. Laporan Berkala adalah laporan yang disusun oleh Perusahaan Perasuransian untuk kepentingan Otoritas Jasa Keuangan dalam periode tertentu. 11. Laporan Bulanan adalah laporan yang disusun oleh Perusahaan Perasuransian untuk kepentingan Otoritas Jasa Keuangan, yang meliputi periode tanggal 1 Januari sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan. 12. Laporan Triwulanan adalah laporan yang disusun oleh Perusahaan Perasuransian untuk kepentingan Otoritas Jasa Keuangan, yang meliputi periode tanggal 1 Januari sampai dengan akhir triwulan yang bersangkutan. 13. Laporan Semesteran adalah laporan yang disusun oleh Perusahaan Perasuransian untuk kepentingan Otoritas Jasa Keuangan, yang meliputi periode tanggal 1 Januari sampai dengan akhir semester yang bersangkutan. 14. Laporan Tahunan adalah laporan yang disusun oleh Perusahaan Perasuransian untuk kepentingan Otoritas Jasa Keuangan, yang meliputi periode tanggal 1 Januari sampai dengan akhir tahun yang bersangkutan. - 4 - 15. Laporan Lain adalah laporan yang disusun oleh Perusahaan Perasuransian untuk kepentingan Otoritas Jasa Keuangan selain Laporan Bulanan, Laporan Triwulanan, Laporan Semesteran, dan Laporan Tahunan yang disampaikan dalam periode tertentu. BAB II PENYUSUNAN LAPORAN BERKALA PERUSAHAAN PERASURANSIAN Pasal 2 (1) Perusahaan Perasuransian wajib menyusun Laporan Berkala secara lengkap dan tepat waktu sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Laporan Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Laporan Bulanan; b. Laporan Triwulanan; c. Laporan Semesteran; d. Laporan Tahunan; dan e. Laporan Lain. (3) Laporan Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Unit Syariah terbagi menjadi jenis laporan sebagai berikut: a. Laporan Bulanan; b. Laporan Triwulanan; c. Laporan Tahunan; dan d. Laporan Lain. (4) Laporan Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi terbagi menjadi jenis laporan sebagai berikut: a. Laporan Semesteran; dan b. Laporan Tahunan. - 5 - (5) Laporan Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi berupa Laporan Tahunan. Pasal 3 (1) Laporan Bulanan dan Laporan Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dan huruf b bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi adalah Laporan Bulanan dan Laporan Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi. (2) Laporan Bulanan dan Laporan Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dan huruf b bagi Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Unit Syariah adalah Laporan Bulanan dan Laporan Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah. (3) Laporan Semesteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi adalah Laporan Semesteran sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian asuransi. Pasal 4 (1) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d terdiri atas: a. aspek keuangan; dan b. aspek manajemen. Jasa - 6 - (2) Aspek keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Unit Syariah adalah Laporan Keuangan Tahunan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah. (3) Aspek manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Unit Syariah, terdiri atas: a. bukti sertifikat atau bukti lain yang menunjukan bahwa pihak utama telah memenuhi syarat keberlanjutan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama pada perusahaan perasuransian, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, dan perusahaan penjaminan; b. laporan hasil penilaian tingkat risiko posisi akhir tahun sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian tingkat risiko lembaga jasa keuangan non-bank; c. rencana tindak lanjut atas penilaian tingkat risiko posisi akhir tahun sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian tingkat risiko lembaga jasa keuangan non- bank; d. laporan hasil penilaian sendiri penerapan manajemen risiko Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan manajemen risiko bagi lembaga jasa keuangan non-bank; - 7 - e. laporan penerapan strategi anti fraud sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah; f. laporan penerapan tata kelola perusahaan yang baik bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai tata kelola perusahaan yang baik bagi perasuransian; perusahaan g. laporan realisasi rencana bisnis secara tahunan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai rencana korporasi dan rencana bisnis perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah; h. laporan data risiko asuransi dimaksud dalam Peraturan Otoritas sebagaimana Jasa Keuangan mengenai pemeliharaan dan pelaporan data risiko asuransi serta penerapan tarif premi dan kontribusi untuk lini usaha asuransi harta benda dan asuransi kendaraan bermotor; i. laporan pelaksanaan penempatan reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai retensi sendiri dan dukungan reasuransi dalam negeri; j. laporan aktuaris tahunan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan k. perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah; dan laporan lainnya. - 8 - (4) Aspek keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bagi Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi adalah Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian asuransi. (5) Aspek manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bagi Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, terdiri atas: a. laporan hasil penilaian sendiri penerapan manajemen risiko Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan manajemen risiko bagi lembaga jasa keuangan non-bank; b. laporan penerapan tata kelola perusahaan yang baik bagi Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai tata kelola perusahaan yang baik bagi perusahaan perasuransian; dan c. laporan lainnya. Pasal 5 Laporan Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf e bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah, terdiri atas: a. laporan rencana korporasi dan rencana bisnis sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai tata kelola perusahaan yang baik bagi perusahaan perasuransian; - 9 - b. laporan program reasuransi/retrosesi otomatis sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai retensi sendiri dan dukungan reasuransi dalam negeri; c. laporan pelaksanaan edukasi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan; d. laporan pengaduan konsumen dan tindak lanjut pelayanan dan penyelesaian konsumen sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai keuangan; perlindungan konsumen sektor jasa e. laporan penilaian pelaksanaan tata kelola terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan tata kelola terintegrasi bagi konglomerasi keuangan, dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah sebagai entitas utama; f. Laporan Tahunan pelaksanaan tata kelola terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan tata kelola terintegrasi bagi konglomerasi keuangan, dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah sebagai entitas utama; g. laporan profil risiko terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi konglomerasi keuangan, dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah sebagai entitas utama; h. laporan kecukupan permodalan terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum terintegrasi bagi konglomerasi keuangan, dalam hal - 10 - Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah sebagai entitas utama; i. j. laporan rencana kegiatan pengkinian data dan laporan realisasi pengkinian data sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme di sektor jasa keuangan; dan laporan lainnya. Pasal 6 Ketentuan mengenai bentuk, susunan, dan tata cara penyampaian Laporan Bulanan, Laporan Triwulanan, Laporan Semesteran, Laporan Tahunan, dan Laporan Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 5 diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 7 Direksi atau yang setara dari Perusahaan Perasuransian bertanggung jawab atas penyusunan dan penyajian Laporan Berkala. BAB III PENYAMPAIAN LAPORAN BERKALA PERUSAHAAN PERASURANSIAN Pasal 8 (1) Perusahaan Perasuransian wajib menyampaikan Laporan Berkala kepada Otoritas Jasa Keuangan berupa: a. Laporan Bulanan, Laporan Triwulanan, Laporan Semesteran, dan Laporan Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e disampaikan sesuai dengan ketentuan batas waktu yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan atau ketentuan peraturan - 11 - perundang-undangan lain yang mewajibkan penyampaian pelaporan dimaksud; dan b. Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya. (2) Apabila batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. BAB IV SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 9 (1) Perusahaan Perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha; dan/atau c. pencabutan izin usaha. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap. (3) Bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Unit Syariah, keterlambatan penyampaian Laporan Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dan Laporan Tahunan bagi aspek keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi tambahan berupa denda keterlambatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah. - 12 - (4) Bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi keterlambatan penyampaian Laporan Semesteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan Laporan Tahunan berupa Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf a, selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi tambahan berupa denda keterlambatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian asuransi. (5) Bagi Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi keterlambatan penyampaian Laporan Tahunan berupa Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf a selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi tambahan berupa denda keterlambatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian asuransi. (6) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat menambahkan sanksi tambahan berupa: a. larangan untuk memasarkan produk asuransi untuk lini usaha tertentu; b. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan bagi pengendali, direksi, atau dewan komisaris, atau yang setara pada Perusahaan Perasuransian; c. larangan bagi Perusahaan Perasuransian untuk menjadi pemegang saham, pengendali, atau yang setara dengan pemegang saham dan pengendali pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama, pada Perusahaan Perasuransian; dan/atau - 13 - d. larangan bagi pemegang saham, pengendali, direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, pengendali, direksi, dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama Perusahaan Perasuransian untuk menjadi pemegang saham, pengendali, direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, pengendali, direksi, atau dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama, pada Perusahaan Perasuransian. Pasal 10 (1) Perusahaan yang dicabut izin usahanya dan memiliki kewajiban untuk membayar denda atas keterlambatan penyampaian Laporan Berkala atau tidak menyampaikan Laporan Berkala, tetap diwajibkan untuk membayar denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5). (2) Bagi Perusahaan yang dicabut izin usahanya dan tidak menyampaikan Laporan Berkala sebagaimana dimaksud ayat (1), penghitungan jumlah hari keterlambatan dihitung setelah batas akhir kewajiban penyampaian Laporan Berkala sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal pencabutan izin usaha dengan batas maksimal pengenaan denda sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah, dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian asuransi. - 14 - (3) Tata cara penagihan sanksi denda aministratif mengikuti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai tata cara penagihan sanksi administratif berupa denda di sektor jasa keuangan. (4) Prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif mengikuti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif di bidang perasuransian dan pemblokiran kekayaan perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 11 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: a. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3/POJK.05/2013 tentang Laporan Bulanan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5443), dinyatakan tidak berlaku bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Unit Syariah; b. ketentuan mengenai waktu penyampaian bukti sertifikat atau bukti lain yang menunjukan bahwa pihak utama telah memenuhi syarat keberlanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 4/POJK.05/2013 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak Utama pada Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, dan Perusahaan Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 231, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor - 15 - 5474), dinyatakan tidak berlaku bagi Perusahaan Perasuransian; c. ketentuan mengenai waktu penyampaian laporan hasil penilaian tingkat risiko posisi akhir tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.05/2014 tentang Penilaian Tingkat Risiko Lembaga Jasa Keuangan Non- Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5575), dinyatakan tidak berlaku bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Unit Syariah; d. ketentuan mengenai waktu penyampaian rencana tindak lanjut atas penilaian tingkat risiko posisi akhir tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf a Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.05/2014 tentang Penilaian Tingkat Risiko Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5575), dinyatakan tidak berlaku bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Unit Syariah; e. ketentuan mengenai waktu penyampaian laporan hasil penilaian sendiri penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.05/2015 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5682), dinyatakan tidak berlaku bagi Perusahaan Perasuransian; f. ketentuan mengenai waktu penyampaian laporan penerapan strategi anti fraud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (4) huruf a Peraturan Otoritas Jasa - 16 - Keuangan Nomor Penyelenggaraan Usaha 69/POJK.05/2016 Perusahaan tentang Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 302, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5992), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; g. ketentuan mengenai waktu penyampaian laporan penerapan tata kelola perusahaan yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 73/POJK.05/2016 tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 306, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5996), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan h. ketentuan mengenai waktu penyampaian laporan realisasi rencana bisnis secara tahunan sebagaimana dimaksud dalam Romawi VIII angka 2 Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan 15/SEOJK.05/2014 tentang Rencana Korporasi dan Rencana Bisnis Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 12 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyampaian laporan, bentuk dan susunan, serta tata cara penyampaian Laporan Berkala bagi Perusahaan Perasuransian tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 13 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 17 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Juli 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Juli 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 174 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 55/POJK.05/2017 </reg_id> <reg_title> LAPORAN BERKALA PERUSAHAAN PERASURANSIAN </reg_title> <set_date> 19 Juli 2017 </set_date> <effective_date> 31 Juli 2017 </effective_date> <issued_date> 31 Juli 2017 </issued_date> <replaced_reg> '3/POJK.05/2013', '4/POJK.05/2013 | Pasal 21 Ayat (5)', '10/POJK.05/2014 | Pasal 7 Ayat (1) Huruf a', '10/POJK.05/2014 | Pasal 8 Ayat (4) Huruf a', '1/POJK.05/2015 | Pasal 6 Ayat (2)', '69/POJK.05/2016 | Pasal 72 Ayat (4) Huruf a', '73/POJK.05/2016 | Pasal 78 Ayat (2)', '15/SEOJK.05/2014 | Romawi VIII Angka 2' </replaced_reg> <related_reg> '40/UU/2014', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
OTORITAS JASA KRUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 17/POJK.03/2014 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan sektor keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta memiliki daya saing yang tinggi diperlukan pengelolaan eksposur risiko yang efektif; b. bahwa adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan dan/atau pengendalian di berbagai sektor jasa keuangan telah meningkatkan kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga jasa keuangan dalam sistem keuangan yang menyebabkan peningkatan eksposur risiko; bahwa hubungan kepemilikan dan/atau pengendalian di berbagai sektor jasa keuangan akan mempengaruhi kelangsungan usaha lembaga jasa kcuangan yang disebabkan oleh eksposur risiko yang timbul baik secara langsung maupun tidak langsung dari kegiatan usaha perusahaan anak, perusahaan terelasi, dan entitas lainnya yang tergabung dalam suatu konglomerasi keuangan; d. bahwa untuk mengelola cksposur risiko sebagaimana dimaksud dalam huruf a, konglomerasi keuangan perlu menerapkan manajemen risiko secara terintegrasi; c. bahwa penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi konglomerasi keuangan diharapkan dapat mewujudkan stabilitas ... End of Page 1 - 2 - stabilitas sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan, sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi Konglomerasi Keuangan; bagi Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN ... - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disebut LJK adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan. 2. Konglomerasi Keuangan adalah LJK yang berada dalam satu grup atau kelompok karena keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian. 3. Entitas Utama adalah LJK induk dari Konglomerasi Keuangan atau LJK yang ditunjuk oleh pemegang saham pengendali Konglomerasi Keuangan. 4. Risiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa tertentu. 5. Manajemen Risiko adalah serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha LJK. 6. Manajemen Risiko Terintegrasi adalah serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha LJK yang tergabung dalam suatu Konglomerasi Keuangan secara terintegrasi. 7. Direksi adalah: a. bagi LJK berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perseroan Terbatas; b. bagi LJK berbadan hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perusahaan Daerah; c. bagi ... - 4 - c. bagi LJK berbadan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perkoperasian; d. bagi LJK yang berbadan hukum Usaha Bersama adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; e. bagi LJK yang berstatus sebagai kantor cabang dari entitas yang berkedudukan di luar negeri adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang. 8. Dewan Komisaris adalah: a. bagi LJK berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perseroan Terbatas; b. bagi LJK berbadan hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perusahaan Daerah; c. bagi LJK berbadan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perkoperasian; d. bagi LJK yang berbadan hukum Usaha Bersama adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; e. bagi LJK yang berstatus sebagai kantor cabang dari entitas yang berkedudukan di luar negeri adalah pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi pengawasan. Pasal 2 Konglomerasi Keuangan wajib menerapkan Manajemen Risiko Terintegrasi secara komprehensif dan efektif sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 3 Entitas Utama wajib mengintegrasikan penerapan Manajemen Risiko pada Konglomerasi Keuangan. BAB ... - 5 - BAB II STRUKTUR KONGLOMERASI KEUANGAN Pasal 4 (1) Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 memiliki struktur yang terdiri dari Entitas Utama dan: a. perusahaan anak; dan/atau b. perusahaan terelasi beserta perusahaan anaknya. (2) Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis LJK sebagai berikut: a. bank; b. perusahaan asuransi dan reasuransi; c. perusahaan efek; dan/atau d. perusahaan pembiayaan. Pasal 5 (1) Perusahaan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) adalah badan hukum atau perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh LJK secara langsung maupun tidak langsung baik di dalam maupun di luar negeri yang melakukan kegiatan usaha di sektor jasa keuangan. (2) Perusahaan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. Perusahaan subsidiari yaitu perusahaan yang dimiliki LJK lebih dari 50% (lima puluh perseratus); b. Perusahaan partisipasi yaitu perusahaan yang dimiliki LJK sebesar 50% (lima puluh perseratus) atau kurang, namun LJK memiliki pengendalian terhadap perusahaan; c. Perusahaan yang dimiliki LJK lebih dari 20% (dua puluh perseratus) sampai dengan 50% (lima puluh perseratus) yang memenuhi persyaratan, yaitu: 1. kepemilikan LJK dan para pihak lainnya pada perusahaan anak adalah masing-masing sama besar; dan 2. masing-masing pemilik melakukan pengendalian secara bersama terhadap perusahaan anak yang didasarkan pada perjanjian, dan dibuktikan dengan adanya kesepakatan atau komitmen secara tertulis dari para pemilik untuk memberikan dukungan baik finansial maupun non finansial sesuai kepemilikannya masing-masing. d. Entitas ... - 6 - d. Entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku wajib dikonsolidasikan. Pasal 6 Perusahaan terelasi (sister company) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) adalah beberapa LJK yang terpisah secara kelembagaan dan/atau secara hukum namun dimiliki dan/atau dikendalikan oleh pemegang saham pengendali yang sama. Pasal 7 (1) LJK wajib mengidentifikasi keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian dengan LJK lain dalam menentukan Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. (2) Konglomerasi Keuangan wajib memiliki Entitas Utama. (3) Dalam hal struktur Konglomerasi Keuangan terdiri dari LJK induk dan LJK anak, Entitas Utama adalah LJK induk. (4) Dalam hal struktur Konglomerasi Keuangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemegang saham pengendali Konglomerasi Keuangan wajib menunjuk Entitas Utama. (5) Dalam hal Konglomerasi Keuangan dimiliki oleh lebih dari satu pihak dengan porsi kepemilikan yang sama, penunjukan Entitas Utama berdasarkan kesepakatan di antara pihak dengan porsi kepemilikan yang sama. (6) Pihak yang ditunjuk sebagai Entitas Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) adalah LJK yang memiliki total aset terbesar dan/atau memiliki kualitas penerapan Manajemen Risiko yang baik. (7) Otoritas Jasa Keuangan berwenang memerintahkan Entitas Utama untuk melakukan penyesuaian terhadap: a. LJK yang termasuk dalam Konglomerasi Keuangan; dan/atau b. LJK yang ditunjuk menjadi Entitas Utama. BAB ... - 7 - BAB III RUANG LINGKUP MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI Pasal 8 Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mencakup paling sedikit: a. pengawasan Direksi dan Dewan Komisaris Entitas Utama; b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit Manajemen Risiko Terintegrasi; c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, pengendalian Risiko secara terintegrasi, dan sistem informasi Manajemen Risiko Terintegrasi; dan d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh terhadap penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi. Pasal 9 (1) Risiko yang wajib dikelola dalam Manajemen Risiko Terintegrasi mencakup: a. Risiko kredit; b. Risiko pasar; c. Risiko likuiditas; d. Risiko operasional; e. Risiko hukum; f. Risiko reputasi; g. Risiko stratejik; h. Risiko kepatuhan; i. Risiko transaksi intra-grup; j. Risiko asuransi. (2) Risiko asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j tidak wajib dikelola oleh Konglomerasi Keuangan yang tidak memiliki perusahaan asuransi dan/atau reasuransi. Pasal 10 Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi dapat disesuaikan dengan karakteristik dan kompleksitas usaha Konglomerasi Keuangan. BAB ... - 8 - BAB IV PENGAWASAN DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS ENTITAS UTAMA Pasal 11 (1) Direksi dan Dewan Komisaris Entitas Utama berwenang dan bertanggung jawab untuk memastikan penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi sesuai dengan karakteristik dan kompleksitas usaha Konglomerasi Keuangan. (2) Dalam mendukung penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direksi dan Dewan Komisaris Entitas Utama wajib memastikan penerapan Manajemen Risiko pada masing-masing LJK dalam Konglomerasi Keuangan. (3) Dalam hal Entitas Utama adalah LJK yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, Dewan Pengawas Syariah pada Entitas Utama wajib memastikan penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Pasal 12 (1) Kewenangan dan tanggung jawab Direksi Entitas Utama dalam rangka memastikan penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) mencakup paling sedikit: a. menyusun kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi secara tertulis dan komprehensif sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; b. melaksanakan kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi yang telah ditetapkan; c. mengembangkan budaya Risiko sebagai bagian dari penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi pada Konglomerasi Keuangan; d. memastikan efektivitas pengelolaan sumber daya manusia yang mencakup kompetensi, kualifikasi, dan kecukupan sumber daya manusia pada Entitas Utama untuk melaksanakan fungsi Manajemen Risiko Terintegrasi; e. memastikan bahwa penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi telah dilakukan secara independen; f. mengevaluasi ... - 9 - f. mengevaluasi hasil kaji ulang Satuan Kerja Manajemen Risiko Terintegrasi secara berkala terhadap proses Manajemen Risiko Terintegrasi. (2) Direksi Entitas Utama wajib mengevaluasi dan menyesuaikan strategi dan kerangka Risiko sebagai bagian dari kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau sewaktu-waktu dalam hal terdapat perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan usaha Konglomerasi Keuangan secara signifikan. (3) Dalam rangka melaksanakan wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi Entitas Utama wajib memiliki pemahaman yang memadai mengenai Risiko yang melekat pada seluruh kegiatan bisnis dalam Konglomerasi Keuangan dan mampu mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan profil Risiko Konglomerasi Keuangan. Pasal 13 Entitas Utama wajib menunjuk Direktur Entitas Utama yang membawahkan fungsi Manajemen Risiko menjadi Direktur yang membawahkan fungsi Manajemen Risiko Terintegrasi untuk melaksanakan penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi. Pasal 14 (1) Kewenangan dan tanggung jawab Dewan Komisaris Entitas Utama dalam rangka memastikan penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) mencakup paling sedikit: a. mengarahkan, menyetujui, dan mengevaluasi kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi; b. mengevaluasi pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi oleh Direksi Entitas Utama. (2) Dewan Komisaris Entitas Utama wajib mengevaluasi kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau sewaktu-waktu dalam hal terdapat perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan usaha secara signifikan. Pasal ... - 10 - Pasal 15 Direksi dan Dewan Komisaris Entitas Utama selain wajib melaksanakan wewenang dan tanggung jawab dalam rangka penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi pada Konglomerasi Keuangan, tetap wajib melaksanakan wewenang dan tanggung jawab sebagai Direksi dan Dewan Komisaris dalam rangka penerapan manajemen risiko pada Entitas Utama sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi Entitas Utama. Pasal 16 Dalam rangka penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi yang komprehensif dan efektif, Entitas Utama wajib membentuk: a. Komite Manajemen Risiko Terintegrasi; dan b. Satuan Kerja Manajemen Risiko Terintegrasi. Pasal 17 (1) Komite Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a terdiri dari paling sedikit: a. Direktur Entitas Utama yang membawahkan fungsi Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sebagai ketua merangkap anggota Komite Manajemen Risiko Terintegrasi; b. Direktur yang mewakili dan ditunjuk dari LJK dalam Konglomerasi Keuangan; dan c. pejabat eksekutif. (2) Jumlah dan komposisi direktur yang menjadi anggota Komite Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disesuaikan dengan kebutuhan Konglomerasi Keuangan serta efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas dari Komite Manajemen Risiko Terintegrasi dengan memperhatikan antara lain keterwakilan masing-masing sektor jasa keuangan. (3) Jumlah dan sifat keanggotaan pejabat eksekutif dalam Komite Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing Konglomerasi Keuangan. (4) Komite Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk memberikan rekomendasi kepada Direksi Entitas Utama, dalam rangka paling kurang: a. penyusunan ... - 11 - a. penyusunan kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi; dan b. perbaikan atau penyempurnaan kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan. Pasal 18 (1) Pembentukan organisasi Satuan Kerja Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b dalam Entitas Utama disesuaikan dengan karakteristik dan kompleksitas usaha serta Risiko yang melekat pada Konglomerasi Keuangan. (2) Dalam hal Entitas Utama telah memiliki satuan kerja Manajemen Risiko, pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Satuan Kerja Manajemen Risiko Terintegrasi dapat merupakan salah satu fungsi dari satuan kerja Manajemen Risiko yang telah ada. (3) Satuan Kerja Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus independen. (4) Dalam melaksanakan tugasnya, Satuan Kerja Manajemen Risiko Terintegrasi harus berkoordinasi dengan satuan kerja yang melaksanakan fungsi Manajemen Risiko pada masing-masing LJK dalam Konglomerasi Keuangan. (5) Satuan Kerja Manajemen Risiko Terintegrasi bertanggung jawab langsung kepada Direktur yang membawahkan fungsi Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Pasal 19 Wewenang dan tanggung jawab Satuan Kerja Manajemen Risiko Terintegrasi meliputi: a. memberikan masukan kepada Direksi Entitas Utama antara lain dalam penyusunan kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi; b. memantau pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi termasuk mengembangkan prosedur dan alat untuk identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko; c. melakukan pemantauan Risiko pada Konglomerasi Keuangan berdasarkan hasil penilaian: 1. profil ... - 12 - 1. profil Risiko setiap LJK dalam Konglomerasi Keuangan, 2. tingkat Risiko masing-masing Risiko secara terintegrasi, 3. profil Risiko secara terintegrasi; d. melakukan stress testing; e. melaksanakan kaji ulang secara berkala untuk memastikan: 1. keakuratan metodologi penilaian Risiko; 2. kecukupan implementasi sistem informasi manajemen; dan 3. ketepatan kebijakan, prosedur dan penetapan limit Risiko, secara terintegrasi; f. mengkaji usulan lini bisnis baru yang bersifat strategis dan berpengaruh signifikan terhadap eksposur Risiko Konglomerasi Keuangan; g. memberikan informasi kepada Komite Manajemen Risiko Terintegrasi terhadap hal-hal yang perlu ditindaklanjuti terkait hasil evaluasi terhadap penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi; h. memberikan masukan kepada Komite Manajemen Risiko Terintegrasi, dalam rangka penyusunan dan penyempurnaan kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi; i. menyusun dan menyampaikan laporan profil Risiko terintegrasi secara berkala kepada Direktur dari Entitas Utama yang membawahkan fungsi Manajemen Risiko Terintegrasi dan kepada Komite Manajemen Risiko Terintegrasi. BAB V KEBIJAKAN, PROSEDUR DAN PENETAPAN LIMIT MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI Pasal 20 Dalam menyusun kebijakan, prosedur, dan penetapan limit Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b, Entitas Utama wajib memperhatikan tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite) dan toleransi Risiko (risk tolerance). Pasal ... - 13 - Pasal 21 Kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi memuat paling sedikit: a. penetapan Risiko yang terkait dengan kegiatan bisnis Konglomerasi Keuangan; b. perumusan strategi Manajemen Risiko Terintegrasi; c. penetapan penggunaan metode pengukuran dan sistem informasi Manajemen Risiko Terintegrasi; d. penetapan strategi dan kerangka Risiko sesuai dengan tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite) dan toleransi Risiko (risk tolerance); e. penetapan metode penilaian peringkat Risiko; f. penyusunan rencana darurat (contingency plan) dalam kondisi terburuk (worst case scenario); g. penetapan sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi. Pasal 22 (1) Kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dijabarkan dalam prosedur Manajemen Risiko Terintegrasi dan penetapan limit Risiko. (2) Prosedur Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat paling sedikit: a. akuntabilitas dan jenjang delegasi wewenang yang jelas dalam pelaksanaan Manajemen Risiko Terintegrasi; b. pelaksanaan kaji ulang terhadap prosedur secara berkala; dan c. dokumentasi prosedur secara memadai. (3) Penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup: a. limit secara keseluruhan; b. limit setiap Risiko; dan c. limit setiap LJK dalam Konglomerasi Keuangan yang memiliki eksposur Risiko. (4) Konglomerasi Keuangan wajib memiliki mekanisme persetujuan apabila terjadi pelampauan limit. BAB ... - 14 - BAB VI PROSES IDENTIFIKASI, PENGUKURAN, PEMANTAUAN, PENGENDALIAN DAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI Pasal 23 (1) Entitas Utama wajib melakukan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko terhadap seluruh faktor Risiko (risk factors) yang bersifat signifikan secara terintegrasi. (2) Pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung oleh: a. sistem informasi Manajemen Risiko Terintegrasi yang memadai; dan b. pelaporan mengenai kinerja, kondisi keuangan, dan eksposur risiko atas: 1. Konglomerasi Keuangan; dan 2. masing-masing LJK dalam Konglomerasi Keuangan. Pasal 24 (1) Dalam rangka melaksanakan identifikasi Risiko, Entitas Utama wajib melakukan analisis paling kurang terhadap Risiko yang melekat dalam bisnis Konglomerasi Keuangan. (2) Dalam rangka melaksanakan pengukuran Risiko, Entitas Utama wajib paling kurang melakukan: a. evaluasi secara berkala terhadap kesesuaian asumsi, sumber data, dan prosedur yang digunakan untuk mengukur Risiko; dan b. penyempurnaan terhadap metode pengukuran Risiko apabila terdapat perubahan faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi Risiko. (3) Dalam rangka melaksanakan pemantauan Risiko, Entitas Utama wajib melakukan paling sedikit: a. evaluasi terhadap eksposur Risiko; dan b. penyempurnaan proses dan cakupan pelaporan. (4) Dalam rangka melaksanakan pengendalian Risiko, Entitas Utama wajib memastikan Konglomerasi Keuangan memiliki metode pengendalian Risiko atas Risiko yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Konglomerasi Keuangan. Pasal ... - 15 - Pasal 25 (1) Sistem informasi Manajemen Risiko Terintegrasi paling sedikit menghasilkan laporan atau informasi mengenai: a. eksposur Risiko; b. kepatuhan pelaksanaan Manajemen Risiko Terintegrasi dibandingkan dengan kebijakan dan prosedur yang disusun; dan c. kepatuhan terhadap penetapan limit. (2) Laporan atau informasi yang dihasilkan dari sistem informasi Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara berkala kepada Direktur Entitas Utama yang membawahkan fungsi Manajemen Risiko Terintegrasi dan kepada Komite Manajemen Risiko Tertintegrasi. BAB VII SISTEM PENGENDALIAN INTERN MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI Pasal 26 (1) Entitas Utama wajib memiliki sistem pengendalian intern yang menyeluruh terhadap penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf d. (2) Sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun agar dapat memastikan: a. dipatuhinya kebijakan atau ketentuan intern serta peraturan dan perundang-undangan yang berlaku; b. tersedianya informasi keuangan dan manajemen yang lengkap, akurat, tepat guna, dan tepat waktu; dan c. efektivitas budaya Risiko (risk culture) pada organisasi Konglomerasi Keuangan secara menyeluruh. BAB VIII PELAPORAN Pasal 27 (1) Entitas Utama wajib menyampaikan laporan mengenai LJK yang menjadi Entitas Utama dan LJK yang menjadi anggota Konglomerasi Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Entitas ... - 16 - (2) Entitas Utama wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam hal terdapat: a. Konglomerasi Keuangan baru disertai penunjukan Entitas Utama; b. perubahan Entitas Utama; c. perubahan anggota Konglomerasi Keuangan; dan/atau d. pembubaran Konglomerasi Keuangan, (3) Laporan disampaikan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak terjadinya kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang lain, laporan tersebut dianggap telah memenuhi kewajiban pelaporan. (5) Entitas Utama wajib menyampaikan laporan penyesuaian terhadap: a. LJK yang termasuk dalam Konglomerasi Keuangan; dan/atau b. LJK yang ditunjuk menjadi Entitas Utama, dalam hal diperintahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7). Pasal 28 (1) Entitas Utama wajib menyusun laporan profil Risiko terintegrasi secara berkala. (2) Profil Risiko terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikategorikan menjadi 5 (lima) peringkat. (3) Laporan profil Risiko terintegrasi disusun setiap semester untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember. (4) Entitas Utama wajib menyampaikan laporan profil Risiko terintegrasi kepada Otoritas Jasa Keuangan. (5) Laporan profil Risiko terintegrasi disampaikan paling lambat pada tanggal 15 (lima belas) bulan kedua setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan. (6) Dalam hal tanggal 15 (lima belas) jatuh pada hari Sabtu/Minggu/libur, laporan profil Risiko terintegrasi disampaikan pada hari kerja berikutnya. Pasal ... - 17 - Pasal 29 Bagi Entitas Utama berupa bank yang telah menyampaikan laporan profil Risiko terintegrasi secara berkala, bank dianggap telah memenuhi kewajiban penyampaian laporan profil Risiko konsolidasi secara berkala sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko secara konsolidasi bagi bank yang melakukan pengendalian terhadap perusahaan anak. Pasal 30 Entitas Utama dinyatakan terlambat menyampaikan laporan profil Risiko terintegrasi apabila laporan diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan setelah batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5). BAB IX LAIN-LAIN Pasal 31 Hubungan antar LJK yang dimiliki dan dikendalikan langsung oleh Pemerintah Pusat Republik Indonesia dikecualikan dari pengertian Konglomerasi Keuangan. Pasal 32 (1) Dalam hal Konglomerasi Keuangan berada dalam satu sektor jasa keuangan yang sama dan telah terdapat ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai manajemen risiko bagi sektor jasa keuangan tersebut, penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai manajemen risiko yang berlaku bagi sektor jasa keuangan tersebut. (2) Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. memiliki Entitas Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2); b. membentuk Komite Manajemen Risiko Terintegrasi dan Satuan Kerja Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16; c. menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27; dan d. menyampaikan laporan profil Risiko terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28. Pasal ... - 18 - Pasal 33 Entitas Utama wajib menyediakan data dan informasi yang berkaitan dengan penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 34 Dalam menerapkan Manajemen Risiko Terintegrasi, Entitas Utama wajib memastikan hal-hal sebagai berikut: a. kecukupan permodalan Konglomerasi Keuangan; b. manajemen likuiditas dilakukan secara efektif; c. pemantauan transaksi intra grup secara terintegrasi; d. Manajemen Risiko penyediaan dana termasuk penyediaan dana besar (large exposures) secara efektif; dan e. pelaksanaan tata kelola terintegrasi secara efektif. BAB X SANKSI Pasal 35 Konglomerasi Keuangan yang melanggar ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 7 ayat (2), Pasal 9, Pasal 22 ayat (4), dan Pasal 32 ayat (2); Entitas Utama yang melanggar ketentuan dalam Pasal 3, Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 12 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 13, Pasal 14 ayat (2), Pasal 15, Pasal 16, Pasal 20, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5), Pasal 28 ayat (1), Pasal 33, dan Pasal 34; LJK yang melanggar ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1); dan pemegang saham pengendali Konglomerasi Keuangan yang melanggar ketentuan dalam Pasal 7 ayat (4), dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan; c. pembatalan hasil uji kemampuan dan kepatutan; d. pembatasan kegiatan usaha; e. perintah penggantian manajemen; f. pencantuman manajemen dalam daftar orang tercela; dan/atau g. pembatalan persetujuan, pendaftaran dan pengesahan. Pasal ... - 19 - Pasal 36 Entitas Utama yang dinyatakan terlambat menyampaikan laporan profil Risiko terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4) dikenakan sanksi berupa peringatan tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan dengan jumlah paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 37 Mekanisme pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36 mengacu pada ketentuan yang berlaku bagi LJK pada setiap sektor jasa keuangan. BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 38 Laporan mengenai LJK yang menjadi Entitas Utama dan LJK yang menjadi anggota Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) disampaikan pertama kali paling lambat 31 Maret 2015. Pasal 39 Kewajiban penyampaian laporan profil Risiko terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4) pertama kali dilakukan untuk posisi laporan sebagai berikut: a. Juni 2015, untuk Entitas Utama yang merupakan Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4; b. Desember 2015, untuk Entitas Utama berupa bank selain Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 dan bukan bank. Pasal 40 Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 35 mulai berlaku sejak: a. 1 Januari 2017, untuk Entitas Utama yang merupakan Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4; b. 1 Januari 2018, untuk Entitas Utama berupa bank non Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 dan bukan bank. BAB ... - 20- BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 41 Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 42 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku, LJK tetap menerapkan ketentuan yang berlaku pada masing-masing sektor jasa keuangan. Pasal 43 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 18 November 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 19 November 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Salinan sesuai dengan aslinya Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum I Ttd. Departemen Hukum, Departemen Hukum, YASONNA H. LAOLY PASONRA R LAOLY Tini Kustini LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 348 End of Page 20 PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 17/POJK.03/2014 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN I. UMUM Kondisi sektor jasa keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta aman merupakan suatu prasyarat utama agar sistem keuangan mampu mendukung pencapaian stabilitas sistem keuangan dan berperan secara optimal dalam perekonomian nasional. Industri keuangan merupakan salah satu industri yang memiliki kompleksitas operasional dan tingkat persaingan yang tinggi, sehingga menyebabkan industri keuangan terekspos risiko yang tinggi dan harus beroperasi secara berhati-hati serta efisien. Seiring dengan perkembangan globalisasi, teknologi informasi, dan inovasi produk serta aktivitas Lembaga Jasa Keuangan (LJK) telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar masing- masing sektor jasa keuangan baik dalam produk dan kelembagaan, maupun kepemilikan yang menyebabkan meningkatnya eksposur risiko. Menghadapi kondisi tersebut, LJK perlu memperhatikan seluruh risiko yang dapat mempengaruhi kelangsungan usahanya. Risiko yang harus diperhatikan mencakup seluruh risiko yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kelangsungan usaha LJK, baik yang berasal dari perusahaan anak dan perusahaan terelasi (sister company), maupun entitas lainnya yang tergabung dalam suatu konglomerasi keuangan. Dalam rangka pengukuran risiko secara lebih menyeluruh, konglomerasi keuangan harus menerapkan manajemen risiko secara terintegrasi. Melalui penerapan manajemen risiko secara terintegrasi, konglomerasi keuangan akan mendapat manfaat antara lain pengelolaan risiko yang lebih baik, penetapan risk appetite dan risk tolerance yang sesuai dengan kompleksitas dan karakteristik usaha konglomerasi keuangan, sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan sinergi serta meningkatkan kapasitas bisnis dan permodalan. Selain itu, penerapan ... - 2 - penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi konglomerasi keuangan diharapkan dapat mewujudkan stabilitas sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan, sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Sehubungan dengan hal-hal tersebut, perlu pengaturan tentang Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “pengendalian” adalah perseorangan atau perusahaan/badan, baik secara sendiri maupun bersama- sama serta dan baik langsung maupun tidak langsung yang memiliki 50% (lima puluh perseratus) atau kurang saham yang memiliki hak suara pada suatu perusahaan atau badan lain tetapi: 1. terdapat perjanjian dengan pemegang saham lain, sehingga memiliki hak suara lebih dari 50% (lima puluh perseratus); 2. mempunyai kewenangan untuk mengatur kebijakan keuangan dan operasional perusahaan/badan lain berdasarkan anggaran dasar/perjanjian; 3. mempunyai ... - 3 - 3. mempunyai kewenangan untuk menunjuk atau mengganti sebagian besar Direksi dan Dewan Komisaris atau organ lain yang setara dan mengendalikan perusahaan/badan lain melalui Direksi dan Dewan Komisaris atau organ lain; dan/atau 4. mampu menguasai suara mayoritas pada rapat Direksi dan Dewan Komisaris atau organ lain yang setara dan mengendalikan perusahaan/badan melalui Direksi dan Dewan Komisaris atau organ lain. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Sebagai contoh: LJK A adalah LJK induk dari LJK anak yang terdiri dari LJK B dan LJK C secara langsung, serta LJK D dan LJK E secara tidak langsung. Dengan demikian, Entitas Utama dari Konglomerasi Keuangan adalah LJK A. Untuk jelasnya, sebagaimana bagan di bawah ini. LJK A LJK B LJK C LJK D LJK E Ayat ... - 4 - Ayat (4) Termasuk pemegang saham pengendali pada ayat ini adalah: 1. perorangan/perusahaan non keuangan; atau 2. perorangan/perusahaan yang berkedudukan di luar negeri. Sebagai contoh: “Non LJK 1” adalah pemegang saham pengendali dari Konglomerasi Keuangan yang terdiri atas LJK A, LJK B, dan LJK C. “Non LJK 1” wajib menunjuk Entitas Utama dalam rangka penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi. Untuk jelasnya, sebagaimana bagan di bawah ini. Non LJK 1 LJK A LJK B LJK C Contoh berikutnya: “Non LJK 2” adalah pemegang saham pengendali dari Konglomerasi Keuangan yang terdiri atas LJK A, LJK B, LJK C, LJK D, dan LJK E. “Non LJK 2” wajib menunjuk Entitas Utama dalam rangka penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi. Untuk jelasnya, sebagaimana bagan di bawah ini. Non LJK 2 LJK A Non LJK 1 LJK B LJK C LJK D LJK E Ayat ... - 5 - Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “Risiko kredit” adalah Risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada Konglomerasi Keuangan. Untuk LJK yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, Risiko kredit mencakup pula Risiko investasi. Yang dimaksud dengan Risiko investasi (Equity Investment Risk) adalah Risiko akibat LJK ikut menanggung kerugian usaha nasabah yang dibiayai dalam pembiayaan berbasis bagi hasil baik yang menggunakan metode net revenue sharing maupun yang menggunakan metode profit and loss sharing. Huruf b Yang dimaksud dengan “Risiko pasar” adalah Risiko akibat adanya pergerakan variabel pasar (adverse movement) dari portofolio yang dimiliki Konglomerasi Keuangan. Yang dimaksud dengan “variabel pasar” adalah suku bunga, nilai tukar, komoditas, dan ekuitas. Untuk LJK yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, Risiko pasar mencakup pula Risiko imbal hasil. Yang dimaksud dengan Risiko imbal hasil (rate of return risk) adalah Risiko akibat perubahan tingkat imbal hasil yang dibayarkan LJK kepada nasabah, karena terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang diterima LJK dari penyaluran dana, yang dapat mempengaruhi perilaku nasabah dana pihak ketiga LJK. Huruf … - 6 - Huruf c Yang dimaksud dengan “Risiko likuiditas” adalah Risiko akibat ketidakmampuan Konglomerasi Keuangan untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan dari Konglomerasi Keuangan tersebut. Huruf d Yang dimaksud dengan “Risiko operasional” adalah Risiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional Konglomerasi Keuangan. Huruf e Yang dimaksud dengan “Risiko hukum” adalah Risiko akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung, atau kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya perjanjian dan pengikatan agunan yang tidak sempurna. Huruf f Yang dimaksud dengan “Risiko reputasi” adalah Risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan stakeholder yang bersumber dari persepsi negatif baik terhadap LJK sebagai anggota Konglomerasi Keuangan maupun terhadap Konglomerasi Keuangan secara keseluruhan. Huruf g Yang dimaksud dengan “Risiko stratejik” adalah Risiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan stratejik serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis. Huruf … - 7 - Huruf h Yang dimaksud dengan “Risiko kepatuhan” adalah Risiko akibat tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku. Huruf i Yang dimaksud dengan “Risiko transaksi intra-grup” adalah Risiko akibat ketergantungan suatu entitas baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap entitas lainnya dalam satu Konglomerasi Keuangan dalam rangka pemenuhan kewajiban perjanjian tertulis maupun perjanjian tidak tertulis baik yang diikuti perpindahan dana dan/atau tidak diikuti perpindahan dana. Risiko transaksi intra-grup antara lain dapat timbul dari: 1. kepemilikan silang antar LJK dalam Konglomerasi Keuangan; 2. sentralisasi manajemen likuiditas jangka pendek; 3. jaminan, pinjaman, dan komitmen yang diberikan atau diperoleh suatu LJK dari LJK lain dalam Konglomerasi Keuangan; 4. eksposur kepada pemegang saham pengendali, termasuk eksposur pinjaman dan off-balance sheet seperti jaminan dan komitmen; 5. pembelian atau penjualan aset kepada LJK lain dalam satu Konglomerasi Keuangan; 6. transfer risiko melalui reasuransi; dan/atau 7. transaksi untuk mengalihkan eksposur risiko pihak ketiga di antara LJK dalam satu Konglomerasi Keuangan. Huruf j Yang dimaksud dengan “Risiko asuransi” adalah Risiko akibat kegagalan perusahaan asuransi memenuhi kewajiban kepada pemegang polis sebagai akibat dari ketidakcukupan proses seleksi Risiko (underwriting), penetapan premi penggunaan reasuransi, dan/atau penanganan klaim. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal … (pricing), - 8 - Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penerapan Manajemen Risiko untuk masing-masing LJK mencakup paling sedikit: 1. pengawasan Dewan Komisaris dan Direksi LJK; 2. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit manajemen Risiko; 3. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, pengendalian Risiko, dan sistem informasi manajemen Risiko; dan 4. sistem pengendalian intern yang menyeluruh terhadap penerapan manajemen Risiko. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi memuat antara lain strategi dan kerangka Risiko yang ditetapkan sesuai dengan tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite) dan toleransi Risiko (risk tolerance). Huruf b Termasuk pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi adalah: 1. mengevaluasi penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi pada Konglomerasi Keuangan; 2. memastikan seluruh Risiko yang signifikan dan dampak yang ditimbulkan oleh Risiko dimaksud telah ditindaklanjuti; 3. menyampaikan … - 9 - 3. menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Dewan Komisaris Entitas Utama secara berkala; 4. mengkomunikasikan kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi secara efektif kepada seluruh jenjang organisasi yang relevan dalam Konglomerasi Keuangan agar dipahami secara jelas. Huruf c Pengembangan budaya Risiko antara lain dilakukan dengan memupuk risk awareness melalui komunikasi yang memadai dalam Konglomerasi Keuangan tentang pentingnya pengendalian Risiko dan pengendalian intern yang efektif. Huruf d Pengelolaan sumber daya manusia pada Entitas Utama yang melaksanakan fungsi Manajemen Risiko Terintegrasi dilakukan dengan cara antara lain: 1. penetapan kualifikasi sumber daya manusia yang jelas untuk setiap jenjang jabatan yang terkait dengan penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi; 2. penempatan pejabat dan staf yang kompeten pada satuan kerja yang terkait dengan penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi sesuai dengan sifat, jumlah, dan kompleksitas kegiatan usaha; 3. kecukupan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia dalam memahami tugas dan tanggung jawabnya, baik untuk unit bisnis, satuan kerja Manajemen Risiko maupun unit pendukung yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen Risiko Terintegrasi; 4. peningkatan kompetensi sumber daya manusia antara lain melalui program pendidikan dan pelatihan secara berkesinambungan mengenai penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi; 5. pemahaman seluruh sumber daya manusia terhadap strategi, tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite), toleransi Risiko (risk tolerance), dan kerangka Risiko secara terintegrasi … - 10 - terintegrasi serta mengimplementasikannya secara konsisten dalam aktivitas yang ditangani. Huruf e Yang dimaksud dengan “independen” antara lain: 1. Adanya pemisahan satuan kerja yang melaksanakan fungsi Manajemen Risiko Terintegrasi dan yang melaksanakan fungsi pengendalian intern dengan satuan kerja operasional (risk-taking unit) pada Entitas Utama, perusahaan anak, dan perusahaan terelasi. 2. Penerapan manajemen Risiko bebas dari benturan kepentingan antara Konglomerasi Keuangan dengan individu masing-masing LJK. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “tindakan yang diperlukan” antara lain dengan cara memberikan rekomendasi atau usulan terkait penerapan Manajemen Risiko kepada LJK-LJK anggota Konglomerasi Keuangan. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi memuat antara lain strategi dan kerangka Risiko yang ditetapkan sesuai dengan tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite) dan toleransi Risiko (risk tolerance). Huruf b Evaluasi dilakukan antara lain melalui evaluasi pertanggungjawaban Direksi Entitas Utama. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal … - 11 - Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Keanggotaan Komite Manajemen Risiko Terintegrasi dapat berupa keanggotaan tetap dan tidak tetap, sesuai dengan kebutuhan Konglomerasi Keuangan. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pejabat eksekutif adalah pejabat satu tingkat di bawah Direktur yang memimpin satuan kerja operasional dan/atau fungsi/satuan kerja Manajemen Risiko. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penyempurnaan kebijakan Manajemen Risiko Terintegrasi dilakukan secara berkala maupun bersifat insidentil sebagai akibat dari suatu perubahan kondisi internal dan eksternal yang mempengaruhi kecukupan permodalan, profil Risiko, dan efektifitas penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi berdasarkan hasil evaluasi. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat … - 12 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “independen” antara lain adanya pemisahan satuan kerja yang melaksanakan fungsi Manajemen Risiko Terintegrasi dengan satuan kerja operasional (risk-taking unit) pada Entitas Utama. Ayat (4) Salah satu contoh koordinasi adalah satuan kerja atau fungsi Manajemen Risiko masing-masing LJK menginformasikan eksposur Risiko masing-masing LJK kepada satuan kerja Manajemen Risiko Terintegrasi secara berkala. Frekuensi penyampaian informasi eksposur Risiko disesuaikan dengan karakteristik jenis Risiko. Masing-masing LJK dapat menyesuaikan organisasi satuan kerja Manajemen Risiko yang tepat sesuai dengan kondisinya dengan mempertimbangkan antara lain kondisi keuangan dan sumber daya manusia. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 19 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “stress testing” adalah pengujian terhadap kemampuan Konglomerasi Keuangan pada kondisi krisis dengan menggunakan skenario stress secara spesifik pada Konglomerasi Keuangan maupun skenario stress pada pasar. Stress testing dilakukan pula dengan memperhitungkan Risiko yang terkait dengan aktivitas off balance sheet. Huruf … - 13 - Huruf e Pelaksanaan kaji ulang secara berkala dimaksudkan antara lain untuk mengantisipasi apabila terjadi perubahan faktor internal dan faktor eksternal dalam Konglomerasi Keuangan. Huruf f Lini bisnis baru dapat berupa masuknya suatu entitas yang tergabung dalam Konglomerasi Keuangan dalam segmen pasar baru yang dapat meningkatkan eksposur Risiko Konglomerasi Keuangan. Pengkajian usulan lini bisnis baru difokuskan terutama pada aspek kemampuan dalam mengelola bisnis baru, termasuk kelengkapan sistem dan prosedur yang digunakan serta dampaknya terhadap eksposur risiko secara keseluruhan. Huruf g Informasi yang diberikan kepada Komite Manajemen Risiko Terintegrasi antara lain mengenai besaran dan maksimum eksposur Risiko yang perlu mendapat perhatian Direksi Entitas Utama atau LJK pada Konglomerasi Keuangan. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Profil Risiko merupakan gambaran secara menyeluruh atas besarnya potensi Risiko yang melekat pada seluruh portofolio atau eksposur Konglomerasi Keuangan. Frekuensi penyampaian laporan dapat ditingkatkan apabila kondisi pasar berubah dengan cepat namun paling kurang secara semesteran. Pasal 20 Tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite) merupakan tingkat dan cakupan Risiko yang bersedia diambil dalam rangka mencapai sasaran secara terintegrasi. Tingkat Risiko yang akan diambil tercermin dalam strategi dan sasaran bisnis. Toleransi Risiko (risk tolerance) merupakan tingkat dan cakupan Risiko yang ditetapkan secara maksimum dan merupakan penjabaran dari tingkat Risiko yang akan diambil. Tingkat … - 14 - Tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite) dan toleransi Risiko (risk tolerance) harus sejalan dengan strategi bisnis, profil Risiko, dan rencana permodalan Konglomerasi Keuangan. Pasal 21 Huruf a Penetapan risiko yang terkait dengan kegiatan bisnis Konglomerasi Keuangan didasarkan pada hasil dari proses identifikasi terhadap Risiko yang melekat pada setiap lini bisnis yang telah dan akan dilakukan LJK dalam Konglomerasi Keuangan. Penetapan Risiko dilakukan pula pada saat Konglomerasi Keuangan akan melakukan kegiatan bisnis baru dalam bentuk ekspansi dan/atau diversifikasi usaha. Huruf b Perumusan Strategi Manajemen Risiko Terintegrasi disusun dengan memperhatikan prinsip umum dan faktor antara lain sebagai berikut: 1. berorientasi jangka panjang untuk memastikan kelangsungan usaha dengan mempertimbangkan kondisi/siklus ekonomi; 2. perkembangan ekonomi dan industri serta dampaknya pada Risiko Konglomerasi Keuangan; 3. kompleksitas bisnis Konglomerasi Keuangan termasuk kecukupan sumber daya manusia dan infrastruktur pendukung; 4. kemampuan mengendalikan dan mengelola Risiko secara komprehensif, termasuk Risiko pada perusahaan anak dan perusahaan terelasi; 5. bauran serta diversifikasi portofolio; 6. kondisi keuangan dari Konglomerasi Keuangan untuk menghasilkan laba, dan menyerap Risiko yang timbul sebagai akibat perubahan faktor internal dan faktor eksternal; dan 7. kecukupan permodalan yang diharapkan disertai alokasi sumber daya yang memadai. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf … - 15 - Huruf e Penetapan metode penilaian peringkat Risiko merupakan dasar bagi Entitas Utama untuk menetapkan profil Risiko terintegrasi sesuai peringkat Risiko yang berlaku di Konglomerasi Keuangan. Huruf f Kebijakan rencana darurat (contingency plan) disusun untuk menghadapi kemungkinan kondisi internal dan eksternal terburuk dalam rangka mempertahankan kelangsungan usaha Konglomerasi Keuangan. Huruf g Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pelaksanaan kaji ulang terhadap prosedur dilakukan secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau sewaktu-waktu sesuai dengan cakupan Risiko, kebutuhan, dan perkembangan Konglomerasi Keuangan. Huruf c Yang dimaksud dengan “dokumentasi prosedur yang memadai” adalah dokumentasi yang tertulis, lengkap dan memudahkan untuk dilakukan jejak audit (audit trail) untuk keperluan pengendalian intern. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal … - 16 - Pasal 23 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “seluruh faktor risiko” adalah berbagai parameter yang mempengaruhi eksposur Risiko termasuk yang berasal dari perusahaan non keuangan yang mempengaruhi Konglomerasi Keuangan. Yang dimaksud dengan “faktor risiko yang bersifat signifikan” adalah faktor-faktor Risiko baik kuantitatif maupun kualitatif yang berpengaruh secara signifikan terhadap kondisi keuangan dari Konglomerasi Keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Identifikasi Risiko antara lain dapat didasarkan pada pengalaman kerugian yang pernah terjadi. Ayat (2) Huruf a Frekuensi evaluasi secara berkala dilakukan sesuai dengan perkembangan usaha dan kondisi eksternal yang mempengaruhi kondisi Konglomerasi Keuangan. Huruf b Faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi Risiko antara lain penambahan lini bisnis baru yang dapat mempengaruhi kondisi keuangan Konglomerasi Keuangan. Ayat (3) Huruf a Evaluasi terhadap eksposur Risiko dilakukan dengan cara pemantauan dan pelaporan Risiko yang bersifat signifikan atau yang berdampak kepada kondisi permodalan Konglomerasi Keuangan. Huruf b Penyempurnaan proses dan cakupan pelaporan dilakukan antara lain apabila terdapat perubahan kegiatan usaha, produk ... - 17 - produk, transaksi, faktor Risiko, teknologi informasi dan sistem informasi Manajemen Risiko Terintegrasi yang bersifat signifikan. Ayat (4) Pengendalian Risiko dapat dilakukan antara lain dengan cara lindung nilai, metode mitigasi risiko, dan penambahan modal untuk menyerap potensi kerugian. Pasal 25 Ayat (1) Huruf a Laporan atau informasi eksposur Risiko mencakup eksposur kuantitatif dan kualitatif, secara keseluruhan (composite) maupun rincian eksposur untuk setiap jenis Risiko dan setiap LJK dalam Konglomerasi Keuangan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Informasi keuangan dan manajemen yang lengkap, akurat, tepat guna, dan tepat waktu diperlukan dalam rangka pengambilan keputusan yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan, serta dikomunikasikan kepada pihak yang berkepentingan. Huruf c Efektivitas budaya Risiko dimaksudkan untuk mengidentifikasi kelemahan ... - 18 - kelemahan dan penyimpangan secara lebih dini dan menilai kembali kewajaran kebijakan dan prosedur yang ada pada Konglomerasi Keuangan secara berkesinambungan. Pasal 27 Ayat (1) Laporan disertai dengan dokumen penunjukan Entitas Utama. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Peringkat terbaik dari 5 (lima) kategori peringkat profil Risiko Terintegrasi adalah peringkat 1 (satu). Ayat (3) Laporan profil Risiko terintegrasi disajikan secara komparatif dengan posisi semester sebelumnya. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 29 Laporan profil Risiko terintegrasi dapat digunakan oleh Entitas Utama untuk melakukan penilaian tingkat kesehatan secara konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum. Pasal ... - 19 - Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Sektor jasa keuangan terdiri dari sektor perbankan, sektor pasar modal, dan sektor industri keuangan non bank. Contoh: Dalam hal Konglomerasi Keuangan seluruhnya terdiri dari beberapa perusahaan asuransi, maka penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi mengacu pada ketentuan mengenai manajemen risiko untuk perusahaan asuransi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 33 Data dan informasi dari Entitas Utama digunakan oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka melakukan evaluasi dan penilaian terhadap penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi yang dilakukan oleh Konglomerasi Keuangan. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal ... - 20 - Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5626
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 17/POJK.03/2014 </reg_id> <reg_title> PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN </reg_title> <set_date> 18 November 2014 </set_date> <effective_date> 19 November 2014 </effective_date> <issued_date> 19 November 2014 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '8/UU/1995', '7/UU/1992', '2/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11 /POJK.04/2017 TENTANG LAPORAN KEPEMILIKAN ATAU SETIAP PERUBAHAN KEPEMILIKAN SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyesuaikan dengan standar internasional dan meningkatkan kualitas keterbukaan informasi oleh pemegang saham tertentu, perlu mengganti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 60/POJK.04/2015 tentang Keterbukaan Informasi Pemegang Saham Tertentu; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Kepemilikan atau Setiap Perubahan Kepemilikan Saham Perusahaan Terbuka; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); - 2 - 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG LAPORAN KEPEMILIKAN ATAU SETIAP PERUBAHAN KEPEMILIKAN SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Terbuka adalah Emiten yang telah melakukan Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas atau Perusahaan Publik. 2. Emiten adalah Pihak yang melakukan Penawaran Umum. 3. Pihak adalah orang perseorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi. 4. Direksi adalah organ Perusahaan Terbuka yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perusahaan Terbuka untuk kepentingan Perusahaan Terbuka, sesuai dengan maksud dan tujuan Perusahaan Terbuka serta mewakili Perusahaan Terbuka, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. 5. Dewan Komisaris adalah organ Perusahaan Terbuka yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. - 3 - BAB II PENYAMPAIAN LAPORAN Pasal 2 (1) Anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan atas kepemilikan dan setiap perubahan kepemilikannya atas saham Perusahaan Terbuka baik langsung maupun tidak langsung. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi setiap Pihak yang memiliki saham baik langsung maupun tidak langsung paling sedikit 5% (lima persen) dari modal disetor dalam Perusahaan Terbuka. (3) Kewajiban laporan perubahan kepemilikan atas saham Perusahaan Terbuka untuk Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku atas setiap perubahan kepemilikan paling sedikit 0,5% (nol koma lima persen) dari saham yang disetor dalam Perusahaan Terbuka baik dalam 1 (satu) atau beberapa transaksi. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak terjadinya kepemilikan atau perubahan kepemilikan atas saham Perusahaan Terbuka tersebut. Pasal 3 (1) Perusahaan Terbuka wajib memiliki kebijakan mengenai kewajiban anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris untuk menyampaikan informasi kepada Perusahaan Terbuka mengenai kepemilikan dan setiap perubahan kepemilikannya atas saham Perusahaan Terbuka. (2) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah terjadinya kepemilikan atau setiap perubahan kepemilikan atas saham Perusahaan Terbuka. (3) Pelaksanaan atas kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diungkapkan dalam laporan tahunan atau situs web Perusahaan Terbuka. - 4 - Pasal 4 Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dapat memberikan kuasa tertulis kepada pihak lain untuk melaporkan kepemilikan dan setiap perubahan kepemilikannya atas saham Perusahaan Terbuka. Pasal 5 Penyampaian laporan kepemilikan dan setiap perubahan kepemilikan atas saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib dilakukan paling lambat 5 (lima) hari sejak terjadinya kepemilikan atau perubahan kepemilikan atas saham Perusahaan Terbuka. Pasal 6 Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 5 jatuh pada hari libur, laporan kepemilikan saham wajib disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. Pasal 7 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 paling sedikit meliputi: a. nama, tempat tinggal, dan kewarganegaraan; b. nama saham Perusahaan Terbuka; c. jumlah saham dan persentase kepemilikan saham sebelum dan setelah transaksi; d. jumlah saham yang dibeli atau dijual; e. harga pembelian atau penjualan per saham; f. tanggal transaksi; g. tujuan dari transaksi; h. status kepemilikan saham (langsung atau tidak langsung); dan i. dalam hal kepemilikan saham secara tidak langsung, diungkapkan informasi mengenai pemegang saham yang tercatat di daftar pemegang saham Perusahaan Terbuka untuk kepentingan pemilik manfaat. - 5 - (2) Bentuk dan isi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disusun sesuai dengan format Laporan Kepemilikan atau Setiap Perubahan Kepemilikan Saham Perusahaan Terbuka sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (3) Dalam hal penyampaian laporan dan setiap perubahan kepemilikan atas saham dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dengan fotokopi surat kuasa. Pasal 8 Salinan dari laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tersedia untuk publik dan dapat digandakan di Otoritas Jasa Keuangan. BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 9 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g - 6 - dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 10 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 11 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 kepada masyarakat. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 12 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 60/POJK.04/2015 tentang Keterbukaan Informasi Pemegang Saham Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 411, Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 5829), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 13 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. tertulis - 7 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 14 Maret 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 14 Maret 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 48 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11 /POJK.04/2017 TENTANG LAPORAN KEPEMILIKAN ATAU SETIAP PERUBAHAN KEPEMILIKAN SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA I. UMUM Bahwa kewajiban pelaporan kepada Otoritas Jasa Keuangan atas kepemilikan saham Perusahaan Terbuka paling sedikit 5% (lima persen) telah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 60/POJK.04/2015 tentang Keterbukaan Informasi Pemegang Saham Tertentu. Namun demikian, dalam rangka meningkatkan iklim investasi dan perlindungan terhadap investor minoritas, perlu dilakukan penyempurnaan pengaturan mengenai keterbukaan informasi atas kepemilikan saham Perusahaan Terbuka paling sedikit 5% (lima persen). Penyempurnaan dilakukan antara lain dengan mengatur: a. kewajiban pelaporan bagi pihak yang memiliki saham Perusahaan Terbuka paling sedikit 5% (lima persen) baik secara langsung maupun tidak langsung (beneficial owner). b. kewajiban pelaporan oleh pihak yang memiliki saham Perusahaan Terbuka paling sedikit 5% (lima persen) baik secara langsung maupun tidak langsung dapat dikuasakan secara tertulis kepada pihak lain, dengan konsekuensi batas waktu penyampaian laporan dipercepat menjadi 5 (lima) hari sejak terjadinya kepemilikan atau perubahan kepemilikan atas saham Perusahaan Terbuka. - 2 - c. kewajiban laporan perubahan kepemilikan atas saham Perusahaan Terbuka berlaku atas setiap perubahan kepemilikan paling sedikit 0,5% (nol koma lima persen) dari saham yang disetor dalam Perusahaan Terbuka. Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, perlu untuk mengubah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 60/POJK.04/2015 tentang Keterbukaan Informasi Pemegang Saham Tertentu dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Kepemilikan atau Setiap Perubahan Kepemilikan Saham Perusahaan Terbuka. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kepemilikan atas saham Perusahaan Terbuka” adalah kepemilikan saham anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris pada Perusahaan Terbuka dimana anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris menjabat. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pihak yang memiliki saham secara tidak langsung” adalah pihak yang memiliki saham Perusahaan Terbuka melalui pihak lain. Pihak tersebut merupakan pemilik manfaat sebenarnya (ultimate beneficial owner) dari saham tersebut dan/atau bagian dari mata rantai pemilikan sampai dengan pemilik sebenarnya. Ayat (3) Kewajiban timbul sejak tercapainya 0,5% (nol koma lima persen) perubahan atas kepemilikan saham. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. - 3 - Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Pemberian kuasa ini tidak menghilangkan tanggung jawab pihak sebagai pemilik saham untuk memastikan penyampaian laporan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa: a. penundaan pemberian pernyataan efektif, misalnya pernyataan efektif untuk penggabungan usaha, peleburan usaha; dan b. penundaan pemberian pernyataan Otoritas Jasa Keuangan bahwa tidak ada tanggapan lebih lanjut atas dokumen yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka penambahan modal dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu Perusahaan Terbuka. Pasal 11 Pengumuman pengenaan sanksi administratif dan tindakan tertentu oleh Otoritas Jasa Keuangan dilakukan melalui situs web Otoritas Jasa Keuangan atau laporan tahunan Otoritas Jasa Keuangan. - 4 - Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6032 OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11 /POJK.04/2017 TENTANG LAPORAN KEPEMILIKAN ATAU SETIAP PERUBAHAN KEPEMILIKAN SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA - 2 - LAPORAN KEPEMILIKAN ATAU SETIAP PERUBAHAN KEPEMILIKAN SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA Nomor : ......................., .................. Lampiran : Perihal : Kepada Yth. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Alamat lengkap : ................................................................................... : ................................................................................... (nama jalan dan nomor) ................................................... - Nomor telepon Kewarganegaraan : ................................................................................... : ................................................................................... sesuai dengan Pasal ... Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor ............. tentang Keterbukaan Informasi Pemegang Saham Tertentu, melapor bahwa saya telah memiliki saham Perusahaan Terbuka dengan rincian sebagai berikut: 1. Nama saham Perusahaan Terbuka 2. Jumlah saham dan persentase kepemilikan saham sebelum dan setelah transaksi 3. 4. Jumlah saham yang dibeli atau dijual Harga pembelian atau penjualan per - 3 - saham 5. 6. 7. Tanggal transaksi Tujuan dari transaksi Status kepemilikan saham  Langsung  Tidak Langsung Penjelasan: ..(diisi informasi mengenai pemegang saham yang terdaftar dalam daftar pemegang saham untuk kepentingan pemilik manfaat)......................... Demikian disampaikan, atas perhatiannya diucapkan terima kasih. ................................................ (nama jelas dan tanda tangan) Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 14 Maret 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd ttd Yuliana MULIAMAN D. HADAD
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 11/POJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> LAPORAN KEPEMILIKAN ATAU SETIAP PERUBAHAN KEPEMILIKAN SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA </reg_title> <set_date> 14 Maret 2017 </set_date> <effective_date> 14 Maret 2017 </effective_date> <issued_date> 14 Maret 2017 </issued_date> <replaced_reg> '60/POJK.04/2015' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18/POJK.04/2015 TENTANG PENERBITAN DAN PERSYARATAN SUKUK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka mendorong perkembangan industri Pasar Modal Syariah di Indonesia, diperlukan penyempurnaan peraturan mengenai Penerbitan Efek Syariah dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerbitan dan Persyaratan Sukuk; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERBITAN DAN PERSYARATAN SUKUK. - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Sukuk adalah Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi (syuyu’/undivided share), atas aset yang mendasarinya. 2. Tim Ahli Syariah adalah tim yang bertanggung jawab terhadap kesesuaian syariah atas produk atau jasa syariah di Pasar Modal yang diterbitkan atau dikeluarkan perusahaan. 3. Prinsip Syariah di Pasar Modal adalah prinsip hukum Islam dalam Kegiatan Syariah di Pasar Modal berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia, sepanjang fatwa dimaksud tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal dan/atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan lainnya yang didasarkan pada fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia. 4. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang bertanggung jawab memberikan nasihat dan saran serta mengawasi pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal terhadap Pihak yang melakukan Kegiatan Syariah di Pasar Modal. 5. Akad Syariah adalah perjanjian atau kontrak tertulis antara para pihak yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal. 6. Ahli Syariah Pasar Modal yang selanjutnya disingkat ASPM adalah: a. orang perseorangan yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah; atau b. badan usaha yang pengurus dan pegawainya - 3 - memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah, yang memberikan nasihat dan/atau mengawasi pelaksanaan penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal dalam kegiatan usaha perusahaan dan/atau memberikan pernyataan kesesuaian syariah atas produk atau jasa syariah di Pasar Modal. Pasal 2 Aset yang menjadi dasar Sukuk wajib tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal. Pasal 3 Aset yang menjadi dasar Sukuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat terdiri atas: a. aset berwujud tertentu (a’yan maujudat); b. nilai manfaat atas aset berwujud (manafiul a’yan) tertentu baik yang sudah ada maupun yang akan ada; c. jasa (al khadamat) yang sudah ada maupun yang akan ada; d. aset proyek tertentu (maujudat masyru’ mu’ayyan); dan/atau e. kegiatan investasi yang telah ditentukan (nasyath ististmarin khashah). Pasal 4 Emiten yang melakukan Penawaran Umum Sukuk wajib mematuhi ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dan peraturan perundang-undangan lain di sektor Pasar Modal. Pasal 5 (1) Emiten yang melakukan Penawaran Umum Sukuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib mendapatkan pernyataan kesesuaian syariah atas Sukuk - 4 - dalam Penawaran Umum tersebut dari Dewan Pengawas Syariah Emiten atau Tim Ahli Syariah. (2) Pernyataan kesesuaian syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. disampaikan Emiten yang bukan merupakan Perusahaan Menengah atau Kecil kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum Emiten dapat memulai mengumumkan Prospektus Ringkas serta dimuat dalam Prospektus Ringkas dan Prospektus; atau b. disampaikan Emiten yang merupakan Perusahaan Menengah atau Kecil kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum Emiten dapat memulai mengumumkan Prospektus Awal dan Prospektus serta dimuat dalam Prospektus Awal dan Prospektus. (3) Anggota Dewan Pengawas Syariah atau anggota Tim Ahli Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin ASPM sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar Modal. BAB II PENERBITAN Pasal 6 Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Sukuk wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran, Penawaran Umum, dan peraturan terkait lainnya, serta Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 7 Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Sukuk oleh Emiten wajib disertai dokumen tambahan sebagai berikut: a. hasil pemeringkatan Sukuk sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar - 5 - Modal yang mengatur mengenai Pemeringkatan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk; b. perjanjian perwaliamanatan Sukuk; c. Akad Syariah yang dipergunakan dalam penerbitan Sukuk; d. surat pernyataan Emiten yang menyatakan bahwa: 1. aset yang menjadi dasar Sukuk tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; dan 2. selama periode Sukuk, aset yang menjadi dasar Sukuk tidak akan bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; e. surat pernyataan dari Wali Amanat Sukuk yang menyatakan Wali Amanat Sukuk mempunyai 1 (satu) orang anggota Direksi atau penanggung jawab kegiatan yang diberi mandat oleh Direksi yang memiliki pengetahuan yang memadai dan/atau pengalaman di bidang keuangan syariah dan/atau tenaga ahli di bidang perwaliamanatan dalam penerbitan Sukuk yang memahami kegiatan dan jenis usaha serta transaksi yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; f. surat pernyataan yang menyatakan bahwa Emiten wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab melakukan pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa, selama aset yang menjadi dasar Sukuk masih ada; g. pernyataan kesesuaian syariah atas Sukuk dalam Penawaran Umum dari Dewan Pengawas Syariah Emiten atau Tim Ahli Syariah; dan h. perjanjian penjaminan Emisi Efek yang memuat bahwa dana hasil Penawaran Umum diterima Emiten paling lambat pada saat penyerahan Sukuk. Pasal 8 Prospektus dalam rangka Pernyataan Pendaftaran dan Penawaran Umum Sukuk oleh Emiten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib mengungkapkan informasi tambahan sebagai berikut: - 6 - a. aset yang menjadi dasar Sukuk tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal dan Emiten menjamin selama periode Sukuk aset yang menjadi dasar Sukuk tidak akan bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; b. jenis Akad Syariah dan skema transaksi syariah serta penjelasan skema transaksi syariah yang digunakan dalam penerbitan Sukuk; c. ringkasan Akad Syariah yang dilakukan oleh para Pihak; d. sumber pendapatan yang menjadi dasar penghitungan pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa sesuai dengan karakteristik Akad Syariah; e. besaran nisbah pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa sesuai dengan karakteristik Akad Syariah; f. rencana jadwal dan tata cara pembagian dan/atau pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa sesuai dengan karakteristik Akad Syariah; g. hasil pemeringkatan Sukuk; h. rencana penggunaan dana hasil penerbitan Sukuk sesuai dengan karakteristik Akad Syariah; i. sumber dana yang digunakan untuk melakukan pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa sesuai dengan karakteristik Akad Syariah; j. jaminan yang meliputi paling sedikit jenis, nilai, dan status kepemilikan (jika ada); k. penggantian aset yang menjadi dasar Sukuk jika terjadi hal-hal yang menyebabkan nilainya tidak lagi sesuai dengan nilai Sukuk yang diterbitkan (jika diperlukan sesuai karakteristik Akad Syariah); l. syarat dan ketentuan dalam hal Emiten akan mengubah jenis Akad Syariah, isi Akad Syariah dan/atau aset yang menjadi dasar Sukuk; m. ketentuan apabila Emiten gagal dalam memenuhi kewajibannya; n. mekanisme penanganan dalam hal Emiten gagal dalam memenuhi kewajibannya; - 7 - o. ketentuan mengenai sanksi yang berkaitan dengan tidak dipenuhinya kewajiban perwaliamanatan; dan p. pernyataan kesesuaian syariah atas Sukuk dalam Penawaran Umum dari Dewan Pengawas Syariah Emiten atau Tim Ahli Syariah. Pasal 9 Emiten wajib menyajikan Laporan Keuangan yang telah diaudit untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terakhir dalam Prospektus, dalam hal Emiten yang melakukan Penawaran Umum Sukuk telah memiliki kewajiban penyampaian laporan keuangan secara berkala. BAB III PERUBAHAN STATUS SUKUK Pasal 10 (1) Sukuk tidak lagi menjadi Efek Syariah jika terjadi kondisi sebagai berikut: a. tidak lagi memiliki aset yang menjadi dasar Sukuk; dan/atau b. terjadi perubahan jenis Akad Syariah, isi Akad Syariah, dan/atau aset yang menjadi dasar Sukuk, yang menyebabkan bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal. (2) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sukuk berubah menjadi utang piutang dan Emiten wajib menyelesaikan kewajiban atas utang piutang dimaksud kepada pemegang Sukuk. BAB IV PENGGUNAAN DANA HASIL PENAWARAN UMUM Pasal 11 Emiten wajib menggunakan dana hasil Penawaran Umum Sukuk untuk membiayai kegiatan atau melakukan investasi dalam perjanjian - 8 - yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal. BAB V PERJANJIAN PERWALIAMANATAN SUKUK Pasal 12 (1) Emiten yang melakukan Penawaran Umum Sukuk wajib menyusun perjanjian perwaliamanatan Sukuk. (2) Ketentuan mengenai perjanjian perwaliamanatan dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai ketentuan umum dan kontrak perwaliamanatan Efek bersifat utang berlaku mutatis mutandis untuk perwaliamanatan Sukuk. (3) Perjanjian perwaliamanatan Sukuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat ketentuan tambahan antara lain: a. uraian tentang Akad Syariah yang menjadi dasar Sukuk; b. uraian tentang aset yang menjadi dasar Sukuk; c. penggunaan dana hasil penerbitan Sukuk sesuai dengan karakteristik Akad Syariah; d. sumber dana yang digunakan untuk melakukan pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa sesuai dengan karakteristik Akad Syariah; e. besaran nisbah pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa sesuai dengan karakteristik Akad Syariah; f. jaminan yang meliputi paling sedikit jenis, nilai dan status kepemilikan (jika ada); g. rencana jadwal dan tata cara pembagian dan/atau pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa sesuai dengan karakteristik Akad Syariah; h. uraian tentang kewajiban Wali Amanat Sukuk untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan: penyusunan perjanjian - 9 - 1. untuk memastikan kepatuhan Emiten terhadap pemenuhan Akad Syariah; 2. untuk memastikan aset yang menjadi dasar Sukuk tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; 3. dalam hal Emiten melakukan pelanggaran atas pemenuhan kepatuhan terhadap penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal atau pelanggaran kewajiban dalam Akad Syariah dan/atau perjanjian (wanprestasi); dan perwaliamanatan 4. untuk tetap mewakili kepentingan pemegang Sukuk sampai dengan terpenuhinya penyelesaian seluruh kewajiban Emiten kepada yang bersangkutan ketika Sukuk berubah menjadi utang piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2). i. ketentuan mengenai nilai Sukuk menjadi utang piutang jika Sukuk berubah menjadi utang piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan penyelesaian kewajiban Emiten atas utang piutang dimaksud; j. kewajiban Wali Amanat tetap mewakili kepentingan pemegang Sukuk sampai dengan seluruh haknya dipenuhi Emiten termasuk jika Sukuk berubah menjadi utang piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2); k. penggantian aset yang menjadi dasar Sukuk jika terjadi hal-hal yang menyebabkan nilainya tidak lagi sesuai dengan nilai Sukuk yang diterbitkan (jika diperlukan sesuai karakteristik Akad Syariah); l. syarat dan ketentuan dalam hal Emiten akan mengubah jenis Akad Syariah, isi Akad Syariah, dan/atau aset yang menjadi dasar Sukuk yang memuat: - 10 - 1. perubahan tersebut hanya dapat dilakukan setelah terlebih dahulu disetujui oleh Rapat Umum Pemegang Sukuk (RUP Sukuk); 2. mekanisme pemenuhan hak pemegang Sukuk yang tidak setuju terhadap perubahan dimaksud; dan 3. perubahan hanya dapat dilakukan jika ada pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Pengawas Syariah Emiten atau Tim Ahli Syariah. m. ketentuan mengenai kegagalan Emiten dalam memenuhi kewajibannya; n. mekanisme penanganan dan/atau penyelesaian dalam hal Emiten gagal dalam memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud pada huruf m dengan memperhatikan Prinsip Syariah di Pasar Modal; dan o. ketentuan mengenai sanksi yang berkaitan dengan tidak dipenuhinya kewajiban dalam perjanjian perwaliamanatan. Pasal 13 Ketentuan mengenai tugas dan tanggung jawab Wali Amanat dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai ketentuan umum dan kontrak perwaliamanatan Efek bersifat utang berlaku mutatis mutandis bagi Wali Amanat Sukuk. BAB VI KETENTUAN SANKSI Pasal 14 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: - 11 - a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 15 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 16 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 kepada masyarakat. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 17 (1) Kewajiban anggota Dewan Pengawas Syariah atau Tim Ahli Syariah memiliki izin ASPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) selama 2 (dua) tahun sejak - 12 - Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku dapat digantikan oleh orang perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar Modal sepanjang yang bersangkutan melapor kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar Modal. (2) Orang perseorangan yang telah menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah atau anggota Tim Ahli Syariah meskipun belum memiliki izin ASPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar Modal. Pasal 18 Pernyataan Pendaftaran yang telah diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini namun belum menjadi efektif tetap mengikuti Peraturan Nomor IX.A.13, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP- 181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang Penerbitan Efek Syariah. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 19 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, angka 3 Peraturan Nomor IX.A.13, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang Penerbitan Efek Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. - 13 - Pasal 20 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 November 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 November 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H.LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 269 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18/POJK.04/2015 TENTANG PENERBITAN DAN PERSYARATAN SUKUK I. UMUM Dalam rangka pengembangan Pasar Modal syariah agar dapat tumbuh stabil dan berkelanjutan diperlukan pengembangan infrastruktur pasar yang memadai. Salah satu infrastruktur penting adalah tersedianya regulasi yang jelas dan mudah dipahami serta diterapkan sehingga regulasi tersebut menjadi regulasi yang dapat diterima pasar (market friendly). Selanjutnya, mengingat Efek Syariah memiliki karakteristik yang khusus maka diperlukan pengaturan yang sesuai dengan karakteristik masing-masing jenis Efeknya. Dinamika perkembangan Pasar Modal syariah menuntut adanya penyempurnaan atas Peraturan Nomor IX.A.13, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP- 181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang Penerbitan Efek Syariah, mengingat peraturan tersebut mengatur penerbitan berbagai jenis Efek Syariah. Melihat kondisi tersebut, maka diperlukan adanya ketentuan khusus yang sesuai untuk setiap jenis Efek Syariah. Hal tersebut sejalan dengan praktik yang berlaku umum (common practice) dan standar internasional. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini merupakan salah satu dari 5 (lima) peraturan yang berasal dari Peraturan Nomor IX.A.13, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang Penerbitan Efek Syariah namun khusus mengatur mengenai penerbitan - 2 - Sukuk sekaligus menyempurnakan ketentuan yang ada di Peraturan Nomor IX.A.13. Adapun beberapa pokok penyempurnaan peraturan penerbitan Sukuk tersebut antara lain meliputi penyempurnaan definisi Sukuk, pengaturan aset atau kegiatan usaha yang menjadi dasar Sukuk dan penerbitan Sukuk (underlying asset), pengaturan perjanjian perwaliamanatan, pengaturan mengenai peran Dewan Pengawas Syariah atau Tim Ahli Syariah dalam penerbitan Sukuk, dan simplifikasi dokumen Pernyataan Pendaftaran Penawaran Umum Sukuk. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Yang dimaksud dengan “aset yang menjadi dasar Sukuk” adalah aset yang menjadi dasar penerbitan Sukuk maupun selama umur Sukuk. Contoh aset yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal adalah barang/jasa/aset tidak berwujud terkait kegiatan: a. perjudian dan permainan yang tergolong judi; b. jasa keuangan ribawi; c. jual beli risiko yang mengandung unsur ketidakpastian (gharar) dan/atau judi (maisir); dan d. memproduksi, mendistribusikan, memperdagangkan, dan/atau menyediakan antara lain: 1. barang atau jasa haram zatnya (haram li-dzatihi); 2. barang atau jasa haram bukan karena zatnya (haram li- ghairihi) yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia; dan/atau 3. barang atau jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat. Pasal 3 Cukup jelas. - 3 - Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Dalam hal Emiten mempunyai Dewan Pengawas Syariah, pernyataan kesesuaian syariah atas Sukuk yang diterbitkan oleh Emiten dapat diterbitkan oleh Dewan Pengawas Syariah Emiten dimaksud. Dalam hal Emiten tidak mempunyai Dewan Pengawas Syariah, maka pernyataan kesesuaian syariah atas Sukuk dalam Penawaran Umum dilakukan oleh Tim Ahli Syariah yang ditunjuk oleh Emiten. Ayat (2) Yang dimaksud dengan Prospektus adalah Prospektus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal. Yang dimaksud dengan Prospektus Awal adalah Prospektus Awal sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Prospektus Awal. Yang dimaksud dengan Prospektus Ringkas adalah Prospektus Ringkas sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Prospektus Ringkas dalam rangka Penawaran Umum. Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Prospektus Awal adalah Peraturan Nomor IX.A.8, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-41/PM/2000 tanggal 27 Oktober 2000 tentang Perubahan Peraturan Nomor IX.A.8 tentang Prospektus Awal dan Info Memo. Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Prospektus Ringkas adalah Peraturan Nomor IX.C.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-43/PM/2000 tanggal 27 Oktober 2000 tentang Perubahan Peraturan Nomor IX.C.3 tentang Pedoman - 4 - Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus Ringkas Dalam Rangka Penawaran Umum. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 6 Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran dan Penawaran Umum antara lain sebagai berikut: a. Peraturan Nomor IX.A.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-44/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Tata Cara Untuk Meminta Perubahan Dan Atau Tambahan Informasi Atas Pernyataan Pendaftaran; b. Peraturan Nomor IX.C.2, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-51/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum; c. Peraturan Nomor IX.A.8, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-41/PM/2000 tanggal 27 Oktober 2000 tentang Prospektus Awal dan Info Memo; d. Peraturan Nomor IX.C.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-42/PM/2000 tanggal 27 Oktober 2000 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum; e. Peraturan Nomor IX.C.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-43/PM/2000 tanggal 27 Oktober 2000 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus Ringkas Dalam Rangka Penawaran Umum; f. Peraturan Nomor IX.A.6, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-06/PM/2001 tanggal 8 Maret 2001 tentang Pembatasan Atas Saham Yang Diterbitkan Sebelum Penawaran Umum; g. Peraturan Nomor IX.A.2, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-122/BL/2009 tanggal 29 Mei 2009 tentang Tata Cara Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum; - 5 - h. Peraturan Nomor IX.A.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-690/BL/2011 tanggal 30 Desember 2011 tentang Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran; i. Peraturan Nomor IX.A.7, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-691/BL/2011 tanggal 30 Desember 2011 tentang Pemesanan dan Penjatahan Efek Dalam Penawaran Umum; dan j. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 36/POJK.04/2014 tentang Penawaran Umum Berkelanjutan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk. Pasal 7 Huruf a Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pemeringkatan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk adalah Peraturan Nomor IX.C.11 Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP- 712/BL/2012 tanggal 26 Desember 2012 tentang Pemeringkatan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk. Huruf b Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai perjanjian perwaliamanatan Sukuk adalah Peraturan Nomor VI.C.4, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP- 412/BL/2010 tanggal 6 September 2010 tentang Ketentuan Umum dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang. Huruf c Jenis-jenis Akad Syariah sesuai dengan peraturan perundang- undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai akad- akad yang digunakan dalam penerbitan Efek syariah di Pasar Modal yaitu Ijarah, Istishna, Kafalah, Mudharabah, Musyarakah, Wakalah, dan akad lainnya yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal. - 6 - Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Pasal 8 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. - 7 - Huruf m Yang dimaksud dengan “gagal dalam memenuhi kewajibannya” adalah tidak memenuhi kewajiban keuangan dan/atau gagal mematuhi Prinsip Syariah di Pasar Modal. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai ketentuan umum dan kontrak perwaliamanatan Efek bersifat utang adalah Peraturan Nomor VI.C.4, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-412/BL/2010 tanggal 6 September 2010 tentang Ketentuan Umum dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. - 8 - Huruf b Uraian tentang aset yang menjadi dasar Sukuk paling sedikit terdiri dari jenis/bentuk aset, lokasi aset, status kepemilikan aset, status aset (sebagai jaminan atau tidak) dan implikasi hukum dan ekonomi yang menyertainya (jika ada), serta nilai aset berdasarkan hasil penilaian dari Penilai. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Yang dimaksud dengan “pelanggaran atas pemenuhan kepatuhan terhadap penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal” antara lain berupa pelanggaran atas Akad Syariah dan/atau aset yang menjadi dasar Sukuk. Yang dimaksud dengan “pelanggaran kewajiban dalam Akad Syariah dan/atau perjanjian perwaliamanatan (wanprestasi)” antara lain Emiten tidak membayar bagi hasil, marjin, imbal jasa atau nilai pokok Sukuk sesuai dengan perjanjian. Angka 4 Cukup jelas. - 9 - Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Yang dimaksud dengan “nilainya tidak lagi sesuai dengan nilai Sukuk yang diterbitkan” adalah nilai objek yang menjadi dasar Sukuk mengalami perubahan dan tidak cukup digunakan sebagai dasar dalam pembayaran bagi hasil, marjin, imbal jasa (fee), atau nilai pokok Sukuk. Huruf l Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Contoh mekanisme pemenuhan hak pemegang Sukuk yang tidak setuju terhadap perubahan dimaksud adalah pembelian kembali Sukuk atau pembatalan terhadap perubahan dimaksud. Angka 3 Pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Pengawas Syariah Emiten atau Tim Ahli Syariah diperoleh sebelum dilaksanakannya Rapat Umum Pemegang Sukuk (RUP Sukuk). Huruf m Yang dimaksud dengan “gagal dalam memenuhi kewajibannya” adalah tidak memenuhi kewajiban finansial dan/atau kepatuhan terhadap Prinsip Syariah di Pasar Modal. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Pasal 13 Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai ketentuan umum dan kontrak perwaliamanatan - 10 - Efek bersifat utang adalah Peraturan Nomor VI.C.4 Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP- 412/BL/2010 tanggal 6 September 2010 tentang Ketentuan Umum dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa: a. penundaan pemberian pernyataan efektif, misalnya pernyataan efektif untuk penggabungan usaha, peleburan usaha; dan b. penundaan pemberian pernyataan Otoritas Jasa Keuangan bahwa tidak ada tanggapan lebih lanjut atas dokumen yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka penambahan modal dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu Perusahaan Terbuka. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5758
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 8/POJK.04/2015 </reg_id> <reg_title> SITUS WEB EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK </reg_title> <set_date> 25 Juni 2015 </set_date> <effective_date> 26 Juni 2015 </effective_date> <issued_date> 26 Juni 2015 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
-1- OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 29 /POJK.04/2017 TENTANG LAPORAN WALI AMANAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai laporan wali amanat beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap laporan wali amanat, ketentuan pasar peraturan modal diterbitkan perundang-undangan mengenai sebelum laporan wali terbentuknya di sektor amanat Otoritas yang Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Wali Amanat; -2Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG LAPORAN WALI AMANAT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Wali Amanat adalah pihak yang mewakili kepentingan pemegang efek yang bersifat utang. 2. Emiten adalah pihak yang melakukan Penawaran Umum. 3. Kontrak Perwaliamanatan adalah perjanjian antara Emiten dan Wali Amanat dalam rangka penerbitan efek bersifat utang dan/atau sukuk yang dibuat dalam bentuk akta notariil. 4. Sukuk adalah efek syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi (syuyu’/undivided share), atas aset yang mendasarinya. 5. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek. -3BAB II LAPORAN Pasal 2 (1) Wali Amanat wajib menyampaikan laporan kegiatan kepada Otoritas Jasa Keuangan yang meliputi: a. laporan tengah tahunan mengenai kegiatan Wali Amanat; dan b. (2) laporan tahunan mengenai kegiatan Wali Amanat. Dalam hal terjadi peristiwa penting yang menyangkut kegiatan perwaliamanatan, menyampaikan laporan Wali mengenai Amanat peristiwa wajib penting kepada Otoritas Jasa Keuangan. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan dalam bentuk dokumen cetak paling sedikit 2 (dua) rangkap disertai dengan salinan dokumen elektronik. Pasal 3 (1) Laporan tengah tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah periode laporan, yang disusun dengan menggunakan sebagaimana format Laporan tercantum dalam Tengah Tahunan Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah periode laporan, yang disusun dengan menggunakan format Laporan Tahunan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (3) Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) jatuh pada hari libur, penyampaian -4laporan wajib disampaikan pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. (4) Dalam hal penyampaian laporan melewati batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penghitungan jumlah hari keterlambatan atas penyampaian laporan dihitung sejak hari pertama setelah batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 4 Laporan peristiwa penting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah terjadinya peristiwa atau sejak diketahuinya peristiwa tersebut. BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 5 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran Otoritas Jasa Keuangan ketentuan Peraturan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; (2) c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan/atau g. pembatalan pendaftaran. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului -5pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 6 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 7 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 kepada masyarakat. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 8 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-77/PM/1996 tentang Laporan Wali Amanat, beserta Peraturan Nomor X.I.1 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 9 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. -6Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 129 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 29 /POJK.04/2017 TENTANG LAPORAN WALI AMANAT I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai laporan Wali Amanat yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-77/PM/1996 tentang Laporan Wali Amanat, beserta Peraturan Nomor X.I.1 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Wali Amanat. -2- II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Laporan tengah tahunan mengenai kegiatan Wali Amanat antara lain memuat: 1. jumlah dan jenis Efek bersifat utang dan/atau Sukuk yang masih beredar; 2. pembayaran pokok dan/atau bunga Efek bersifat utang dan/atau Sukuk; 3. jumlah Efek bersifat utang yang telah dikonversikan menjadi saham; dan 4. pelaksanaan pengawasan yang telah dilakukan oleh Wali Amanat terhadap Emiten. Huruf b Laporan tahunan mengenai kegiatan Wali Amanat antara lain memuat: 1. jumlah dan jenis Efek bersifat utang dan/atau Sukuk yang masih beredar; 2. pembayaran pokok dan/atau bunga Efek bersifat utang dan/atau Sukuk; 3. jumlah Efek bersifat utang yang telah dikonversikan menjadi saham; dan 4. pelaksanaan pengawasan yang telah dilakukan oleh Wali Amanat terhadap Emiten. Ayat (2) Laporan peristiwa penting yang menyangkut kegiatan perwaliamanatan, antara lain: a. pembayaran pokok dan bunga Efek bersifat utang sebelum jatuh tempo, jika dimungkinkan di dalam kontrak perwaliamanatan; b. pelanggaran atas ketentuan perwaliamanatan termasuk: dalam kontrak -3- 1. pembayaran pokok dan/atau bunga Efek bersifat utang yang tidak tepat waktu; dan 2. pengurangan, penambahan, pengalihan, atau penukaran jaminan; dan c. penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Efek bersifat utang. Ayat (3) Dalam praktiknya “salinan dokumen elektronik” dimaksud dikenal dengan sebutan soft copy. Salinan dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dapat disampaikan dengan menggunakan antara lain media digital cakram padat (compact disc), flashdisk, atau lainnya. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa perintah untuk menyampaikan kembali laporan yang telah diperbaiki sesuai dengan hasil pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. -4- Pasal 9 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6076 [Grab your reader’s attention with a great - 5 - or use this space quote from the document to emphasize a key point. To place this text box anywhere on the page, just drag it.] OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 29 /POJK.04/2017 TENTANG LAPORAN WALI AMANAT -2- LAPORAN WALI AMANAT Laporan Tengah Tahunan / Tahunan *) Nama Wali Amanat : ......... 1. Obligasi dan/atau Sukuk yang Diwaliamanatkan No 1. Emiten Nama Obligasi dan/atau Sukuk Tanggal Emisi Tanggal Jatuh Tempo Nilai Outstanding Pembayaran Bunga/Kupon Konversi PT. ….. *) sesuai jenis laporan 2. Pelaksanaan Pengawasan Terhadap Emiten yang Diwaliamanatkan No 1. Emiten Pelaksanaan Pengawasan Terhadap Emiten PT. …… .......... , ................20....... PT ........... ................... (Nama Lengkap & Jabatan) -3- Laporan Peristiwa Penting No 1. Emiten Tanggal Peristiwa Penting Jenis Peristiwa Penting Keterangan PT. …… .......... , ................20....... PT ........... ................... (Nama Lengkap & Jabatan) Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 9/POJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS DAN PROSPEKTUS RINGKAS DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM EFEK BERSIFAT UTANG </reg_title> <set_date> 14 Maret 2017 </set_date> <effective_date> 14 Maret 2017 </effective_date> <issued_date> 14 Maret 2017 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 10 /POJK.03/2016 TENTANG PEMENUHAN KETENTUAN BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN TRANSFORMASI BADAN KREDIT DESA YANG DIBERIKAN STATUS SEBAGAI BANK PERKREDITAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790) Badan Kredit Desa diberikan status sebagai Bank Perkreditan Rakyat dengan memenuhi persyaratan dan tata cara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; b. bahwa fungsi dan peran Badan Kredit Desa masih diperlukan keberadaannya oleh masyarakat desa dalam rangka menciptakan sistem keuangan yang inklusif; - 2 - c. bahwa perkembangan perekonomian yang ada saat ini dipenuhi oleh tantangan-tantangan yang semakin besar sehingga perlu diikuti dengan penguatan kelembagaan dan pengawasan Badan Kredit Desa; d. bahwa dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat telah mengamanatkan kepada OJK untuk mengatur Badan Kredit Desa yang diberikan status sebagai Bank Perkreditan Rakyat; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai pemenuhan ketentuan Bank Perkreditan Rakyat dan transformasi Badan Kredit Desa yang diberikan status sebagai Bank Perkreditan Rakyat. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); - 3 - 4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394); 5. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495); 6. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 351, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5629). MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEMENUHAN KETENTUAN BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN TRANSFORMASI BADAN KREDIT DESA YANG DIBERIKAN STATUS SEBAGAI BANK PERKREDITAN RAKYAT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. - 4 - 2. Badan Kredit Desa yang selanjutnya disingkat BKD adalah Bank Desa, Lumbung Desa, atau Badan Kredit Desa yang telah mendapat izin usaha dari Menteri Keuangan dan telah diberikan status sebagai Bank Perkreditan Rakyat oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. 3. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. 4. Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. 5. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun - 5 - 2014 tentang Desa. 6. Badan Usaha Milik Desa yang selanjutnya disebut BUMDesa adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar- besarnya kesejahteraan masyarakat Desa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 7. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara BKD dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. 8. Nasabah Debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian antara BKD dengan nasabah yang bersangkutan. 9. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada BKD berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk tabungan. 10. Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dana di BKD dalam bentuk tabungan berdasarkan perjanjian antara BKD dengan nasabah yang bersangkutan. 11. Penyatuan BKD adalah: a. proses penggabungan 1 (satu) BKD atau lebih ke dalam BPR milik Pemerintah Daerah, yang mengakibatkan beralihnya aset dan kewajiban BKD dengan membubarkan BKD yang melakukan penggabungan; atau b. proses peleburan 2 (dua) BKD atau lebih menjadi 1 (satu) BPR, tanpa proses pemberesan. - 6 - 12. Pengalihan BKD adalah pengambilalihan aset dan kewajiban 1 (satu) BKD atau lebih oleh Pemerintah Daerah yang belum memiliki BPR, diikuti dengan pembubaran BKD yang diambil alih tanpa proses pemberesan dan dilanjutkan dengan pendirian BPR baru. 13. Pemberesan BKD adalah penyelesaian hak dan kewajiban BKD yang dicabut izin usahanya, oleh Tim Pemberesan. 14. Tim Pemberesan adalah tim yang dibentuk pemilik BKD untuk melakukan Pemberesan BKD. 15. Direksi: a. bagi BPR berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbadan hukum Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; c. bagi BPR berbadan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 16. Dewan Komisaris: a. bagi BPR berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbadan hukum Perusahaan Umum Daerah adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah - 7 - sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; c. bagi BPR berbadan hukum Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; d. bagi BPR berbadan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 17. Pelaksana Operasional adalah karyawan BKD yang diangkat oleh pemilik BKD dan bertugas untuk melaksanakan kegiatan operasional BKD. 18. Dewan Pengawas adalah karyawan BKD yang diangkat oleh pemilik BKD dan bertugas untuk mengawasi pelaksanaan kegiatan operasional BKD. 19. Masa Transisi adalah jangka waktu bagi BKD untuk memenuhi seluruh ketentuan BPR atau transformasi BKD yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2019. BAB II PEMENUHAN KETENTUAN BPR Pasal 2 (1) BKD wajib memenuhi ketentuan BPR mencakup antara lain kelembagaan, prinsip kehati-hatian, pelaporan dan transparansi keuangan, serta penerapan standar akuntansi bagi BPR paling lambat tanggal 31 Desember 2019. (2) Ketentuan kelembagaan BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain: a. bentuk badan hukum BPR berupa Perseroan Terbatas, Koperasi, Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah; dan b. kewajiban BPR untuk memiliki anggota Direksi - 8 - dan anggota Dewan Komisaris, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Ketentuan prinsip kehati-hatian BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain: a. penerapan tata kelola; b. penerapan manajemen risiko; c. pemenuhan kewajiban penyediaan modal minimum dan pemenuhan modal inti; d. kualitas aset produktif; dan e. penerapan batas maksimum pemberian kredit. (4) Ketentuan pelaporan dan transparansi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain penyusunan dan penyampaian: a. laporan bulanan; b. laporan rencana kerja dan realisasi rencana kerja; c. laporan pelaksanaan pengawasan oleh Dewan Komisaris; d. laporan keuangan publikasi; dan e. laporan keuangan tahunan. Pasal 3 (1) Dalam rangka memenuhi seluruh ketentuan BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, BKD wajib menyampaikan rencana tindak (action plan) kepada OJK paling lambat tanggal 31 Desember 2016. (2) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat paling sedikit rencana: a. pembentukan badan hukum Perseroan Terbatas, Koperasi, Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah; b. pengangkatan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris; c. pemenuhan modal inti BPR; d. pemenuhan infrastruktur termasuk teknologi - 9 - informasi untuk mendukung kegiatan operasional dan pelaporan; dan e. hari kerja operasional. (3) Dalam hal OJK memandang perlu, OJK dapat meminta BKD untuk melakukan revisi terhadap rencana tindak yang disampaikan BKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) BKD wajib menyampaikan revisi rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah OJK menyampaikan permintaan revisi rencana tindak. (5) Batas waktu realisasi seluruh rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pada ayat (4) paling lambat tanggal 31 Desember 2019. (6) BKD wajib melaksanakan rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pada ayat (4) dan melaporkan perkembangan realisasi rencana tindak kepada OJK setiap 6 (enam) bulan sekali untuk periode yang berakhir pada tanggal 30 Juni dan 31 Desember. (7) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan paling lambat pada akhir bulan berikutnya. (8) Laporan perkembangan realisasi rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan untuk pertama kali paling lambat pada tanggal 31 Juli 2017. (9) BKD atas inisiatif sendiri hanya dapat 1 (satu) kali merevisi rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan disampaikan kepada OJK paling lambat tanggal 31 Desember 2017. (10) Laporan perkembangan realisasi rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dilakukan untuk pertama kali paling lambat pada tanggal 31 Juli 2018. - 10 - Pasal 4 (1) Dalam rangka melaksanakan rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a, BKD harus membentuk badan hukum sesuai ketentuan yang mengatur kelembagaan BPR dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. (2) Dalam rangka melaksanakan rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, BKD harus mengangkat anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris sesuai ketentuan yang mengatur kelembagaan BPR dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. (3) Dalam rangka melaksanakan rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c, BKD harus memenuhi modal inti minimum BPR sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah) dengan ketentuan: a. BKD dengan modal inti kurang dari Rp3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah) wajib memenuhi modal inti minimum sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah) paling lambat pada tanggal 31 Desember 2019. b. BKD sebagaimana dimaksud pada huruf a wajib memenuhi modal inti minimum sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah) paling lambat pada tanggal 31 Desember 2024. c. BKD dengan modal inti paling sedikit sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah) namun kurang dari Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah), wajib memenuhi modal inti minimum sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah) paling lambat pada tanggal 31 Desember 2019. - 11 - Pasal 5 (1) Dalam rangka memenuhi ketentuan BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2: a. 1 (satu) BKD atau lebih dapat melakukan Penyatuan BKD melalui proses penggabungan BKD. b. 2 (dua) BKD atau lebih dapat melakukan Penyatuan BKD melalui proses peleburan BKD. (2) Penyatuan BKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus melibatkan Pemerintah Daerah. (3) Penyatuan BKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari OJK. (4) Hak dan kewajiban yang timbul setelah Penyatuan BKD menjadi tanggung jawab BPR hasil Penyatuan BKD. Pasal 6 (1) Untuk memperoleh persetujuan Penyatuan BKD melalui proses penggabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, Ketua Pelaksana Operasional dari BKD atau salah satu BKD yang melakukan Penyatuan BKD harus mengajukan permohonan kepada OJK sesuai dengan format yang akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. (2) Untuk memperoleh persetujuan Penyatuan BKD melalui proses peleburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, Ketua Pelaksana Operasional dari salah satu BKD yang melakukan Penyatuan BKD harus mengajukan permohonan kepada OJK sesuai dengan format yang akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus dilampiri dengan: - 12 - a. rancangan Penyatuan BKD yang memuat paling sedikit: 1. nama dan tempat kedudukan BKD yang melakukan Penyatuan BKD; 2. nama dan tempat kedudukan BPR hasil Penyatuan BKD; dan 3. nama pemegang saham atau pemilik, calon anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris hasil Penyatuan BKD; b. persetujuan para pemilik BKD yang melakukan Penyatuan BKD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan c. rancangan neraca dan laporan laba rugi setelah Penyatuan BKD sesuai dengan format yang akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. (4) OJK memberikan persetujuan atau penolakan secara tertulis atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap. Pasal 7 (1) BPR hasil Penyatuan BKD wajib melaporkan pelaksanaan Penyatuan BKD kepada OJK dengan dilampiri dokumen paling sedikit: a. fotokopi anggaran dasar BPR hasil Penyatuan BKD yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang; b. susunan organisasi dan kepengurusan BPR hasil Penyatuan BKD, data Direksi dan Dewan Komisaris serta data pemegang saham atau pemilik BPR hasil Penyatuan BKD; c. laporan neraca dan laba rugi BPR hasil Penyatuan BKD; dan d. alamat lengkap BPR hasil Penyatuan BKD. - 13 - (2) Laporan pelaksanaan Penyatuan BKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya pengesahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang. (3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. OJK mencabut izin usaha BKD yang melakukan Penyatuan BKD melalui proses penggabungan BKD; atau b. OJK mencabut izin usaha BKD dan menerbitkan izin usaha BPR yang baru hasil Penyatuan BKD melalui proses peleburan BKD. (4) Laporan pelaksanaan Penyatuan BKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada format yang akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 8 (1) Pemerintah Daerah dapat mengajukan rencana Pengalihan BKD sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pengajuan rencana Pengalihan BKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan: a. rancangan Pengalihan BKD yang memuat paling sedikit: 1) nama dan tempat kedudukan Pemerintah Daerah yang akan mengambil alih BKD; 2) jumlah dan nilai nominal aset dan kewajiban yang akan diambil alih beserta komposisi pemegang saham atau pemilik setelah dilakukan Pengalihan BKD; dan 3) rencana status kantor-kantor BKD hasil Pengalihan BKD; - 14 - b. persetujuan para pemilik BKD yang melakukan Pengalihan BKD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. rancangan neraca dan laporan laba rugi setelah Pengalihan BKD; dan d. rancangan pengumuman Pengalihan BKD. (3) OJK memberikan persetujuan atau penolakan secara tertulis atas rencana Pengalihan BKD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak pengajuan rencana Pengalihan BKD diterima secara lengkap. (4) Dalam hal rencana Pengalihan BKD disetujui oleh OJK, Pemerintah Daerah melaksanakan proses Pengalihan BKD dilanjutkan dengan pengajuan permohonan izin usaha BPR yang dilampiri dengan bukti pemenuhan modal inti minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan: a. akta pendirian badan hukum yang memuat anggaran dasar badan hukum yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang; b. Peraturan Daerah mengenai pendirian BPR; c. bukti kesiapan operasional; d. data kepemilikan berupa daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham; e. calon anggota Direksi dan Dewan Komisaris; f. susunan organisasi serta sistem dan prosedur kerja, termasuk susunan personalia; dan g. surat keputusan Kepala Daerah yang menyatakan bahwa sumber dana setoran modal telah dianggarkan dalam APBD dan telah disahkan oleh DPRD setempat, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai kelembagaan BPR. (5) Pengajuan rencana Pengalihan BKD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada format yang - 15 - akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. (6) OJK memberikan persetujuan atau penolakan secara tertulis atas permohonan izin usaha BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap. (7) Dalam persetujuan permohonan izin usaha BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (6), diikuti pencabutan izin usaha BKD yang diambil alih. Pasal 9 Dalam hal BKD tidak dapat memenuhi ketentuan BPR setelah batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), OJK mencabut izin usaha BKD. Pasal 10 (1) BKD yang berdasarkan pertimbangannya tidak dapat memenuhi ketentuan BPR dapat memilih untuk mengubah: a. kegiatan usaha menjadi LKM; atau b. badan usaha menjadi BUMDesa atau unit usaha BUMDesa. (2) BKD yang memilih untuk mengubah kegiatan usaha atau badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan rencana tindak kepada OJK paling lambat tanggal 31 Desember 2016. (3) Dalam hal BKD memilih mengubah kegiatan usahanya menjadi LKM, rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat paling sedikit: a. pilihan kegiatan usaha atau badan usaha; b. pembentukan badan hukum yang sesuai dengan kegiatan usaha; c. pengangkatan pengurus; d. pengajuan permohonan izin usaha sebagai LKM, dalam hal BKD memilih untuk menjadi LKM; dan - 16 - e. pengajuan permohonan pencabutan izin usaha sebagai BPR. (4) Dalam hal BKD memilih mengubah badan usahanya menjadi BUMDesa atau unit usaha BUMDesa, rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat paling sedikit rencana pendirian BUMDesa atau unit usaha BUMDesa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Perubahan kegiatan usaha atau badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh BKD paling lambat pada tanggal 31 Desember 2019. (6) Dalam hal OJK memandang perlu, OJK dapat meminta BKD untuk melakukan revisi terhadap rencana tindak yang disampaikan BKD sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (7) BKD atas inisiatif sendiri hanya dapat 1 (satu) kali merevisi rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan disampaikan kepada OJK paling lambat tanggal 31 Desember 2017. (8) BKD wajib melaksanakan rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau ayat (6) dan (7) paling lambat tanggal 31 Desember 2019. Pasal 11 (1) BKD wajib menyampaikan laporan perkembangan realisasi rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) kepada OJK setiap 6 (enam) bulan sekali untuk periode yang berakhir pada tanggal 30 Juni dan 31 Desember. (2) Laporan perkembangan realisasi rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dilakukan untuk pertama kali paling lambat pada tanggal 31 Juli 2017. (3) Laporan perkembangan realisasi rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (7) - 17 - dilakukan untuk pertama kali paling lambat pada tanggal 31 Juli 2018. Pasal 12 (1) BKD wajib menyampaikan kepada OJK: a. informasi mengenai keaktifan BKD disertai bukti- buktinya; dan b. laporan keuangan BKD secara triwulanan selama 1 (satu) tahun untuk periode yang berakhir pada tanggal 31 Maret 2016, 30 Juni 2016, 30 September 2016, dan 31 Desember 2016, paling lambat 1 (satu) tahun setelah berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) BKD yang tidak menyampaikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan sebagai BKD yang tidak aktif beroperasi. (3) OJK mencabut izin usaha BKD yang dinyatakan sebagai BKD yang tidak aktif beroperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Pencabutan izin bagi BKD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan tanpa proses pemberesan. (5) Dalam hal terdapat hak dan kewajiban BKD yang dicabut izin usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), hak dan kewajiban BKD menjadi tanggung jawab pemilik BKD. Pasal 13 (1) BKD yang memilih untuk menjadi BUMDesa atau unit usaha BUMDesa wajib mengajukan permohonan pencabutan izin usaha sebagai BPR kepada OJK. (2) Dalam hal permohonan pencabutan izin usaha sebagai BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, OJK mencabut izin usaha BKD dan segala hak dan kewajiban BKD beralih kepada BUMDesa atau unit usaha BUMDesa. - 18 - (3) Dalam hal OJK telah mencabut izin usaha BKD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) namun BUMDesa atau unit usaha BUMDesa belum terbentuk, segala hak dan kewajiban BKD menjadi tanggung jawab pemilik BKD. (4) BKD yang memilih menjadi LKM, wajib mengajukan permohonan pencabutan izin usaha sebagai BPR kepada OJK bersamaan dengan permohonan izin kegiatan usaha sebagai LKM. pengajuan (5) Dalam hal OJK menyetujui permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4): a. OJK mencabut izin usaha BKD; b. OJK memberikan izin kegiatan usaha sebagai LKM; dan c. segala hak dan kewajiban BKD beralih kepada LKM. Pasal 14 BKD yang tidak dapat memenuhi ketentuan BPR atau tidak dapat melaksanakan rencana tindak paling lambat tanggal 31 Desember 2019 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 10 ayat (8), dicabut izin usahanya oleh OJK dan diikuti dengan Pemberesan BKD. Pasal 15 (1) BKD dapat mengajukan permohonan pencabutan izin usaha kepada OJK atas inisiatif BKD. (2) Dalam hal permohonan pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, OJK mencabut izin usaha BKD dan diikuti dengan Pemberesan BKD. Pasal 16 (1) BKD yang telah dicabut izin usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15 ayat (2), disebut sebagai “BKD Dalam Pemberesan” dan - 19 - mencantumkan frasa “(Dalam Pemberesan)” setelah penulisan nama BKD. (2) Sejak tanggal pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 14, dan Pasal 15 ayat (2), BKD tidak diperbolehkan melakukan perbuatan hukum berkaitan dengan aset BKD, kecuali untuk: a. pembayaran gaji karyawan, Pelaksana Operasional, dan Dewan Pengawas yang belum dibayarkan; b. pembayaran biaya kantor; c. pembayaran kewajiban BKD kepada Nasabah Penyimpan dan/atau pihak ketiga; dan/atau d. hal-hal lain atas persetujuan OJK. (3) BKD yang telah dicabut izin usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 14, dan Pasal 15 ayat (2) juga tidak diperbolehkan melakukan pembayaran gaji kepada Dewan Pengawas Ex-Officio Kepala Desa. Pasal 17 (1) BKD yang dicabut izin usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 14, dan Pasal 15 ayat (2) membentuk Tim Pemberesan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal pencabutan izin usaha. (2) Apabila Tim Pemberesan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat terbentuk, Pemberesan BKD menjadi tanggung jawab pemilik BKD. Pasal 18 (1) Pelaksanaan Pemberesan BKD dilakukan oleh Tim Pemberesan. (2) Dengan terbentuknya Tim Pemberesan, wewenang dan tanggung jawab pengurusan BKD Dalam Pemberesan menjadi wewenang dan tanggung jawab Tim Pemberesan. (3) Dalam melaksanakan wewenang dan tanggung jawabnya, Tim Pemberesan mewakili BKD Dalam - 20 - Pemberesan. (4) Sejak terbentuknya Tim Pemberesan, Pelaksana Operasional dan Dewan Pengawas BKD menjadi non aktif, dan berkewajiban untuk setiap saat membantu memberikan data dan informasi yang diperlukan oleh Tim Pemberesan. Pasal 19 (1) Pelaksanaan Pemberesan BKD diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal Tim Pemberesan dibentuk. (2) Dalam hal Pemberesan BKD tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemberesan BKD ditetapkan menjadi tanggung jawab pemilik BKD. Pasal 20 (1) Dalam melaksanakan wewenang dan tanggung jawabnya Tim Pemberesan tidak diperbolehkan memperoleh keuntungan untuk diri sendiri. (2) Tim Pemberesan bertanggung jawab secara pribadi apabila dalam melaksanakan tugasnya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 21 Pemberesan BKD dilakukan dengan cara: a. pencairan harta BKD; b. penagihan piutang kepada para Nasabah Debitur BKD; dan/atau c. pembayaran kewajiban BKD kepada penyimpan dana dan/atau kreditur lainnya dari hasil pencairan dan/atau penagihan tersebut. Pasal 22 Segala biaya yang berkaitan dengan Pemberesan BKD dan tercantum dalam Daftar Biaya Pemberesan menjadi beban - 21 - harta kekayaan BKD Dalam Pemberesan dan dikeluarkan terlebih dahulu dari setiap hasil pencairan yang bersangkutan. Pasal 23 (1) Tim Pemberesan menyusun neraca akhir Pemberesan BKD untuk dilaporkan kepada pemilik BKD paling lambat 1 (satu) bulan setelah pelaksanaan pemberesan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1). (2) Dalam hal neraca akhir Pemberesan BKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah disetujui pemilik BKD dan pemilik telah menerima pertanggungjawaban Tim Pemberesan, pemilik BKD membubarkan Tim Pemberesan. (3) Neraca akhir Pemberesan BKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dilaporkan kepada OJK. (4) Dalam hal neraca akhir Pemberesan BKD tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal Tim Pemberesan dibentuk, seluruh hak dan kewajiban BKD ditetapkan menjadi tanggung jawab pemilik BKD. BAB III PENGATURAN BKD DALAM MASA TRANSISI Bagian Kesatu Permodalan Pasal 24 (1) Selama Masa Transisi, BKD dapat memperoleh tambahan modal dari: a. penyertaan oleh Desa yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan; b. sumbangan penduduk Desa; dan/atau c. sumber-sumber lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. - 22 - (2) Tambahan modal BKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat: a. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain; dan/atau b. tidak berasal dari dan untuk pencucian uang. Bagian Kedua Kepengurusan Pasal 25 (1) Selama Masa Transisi, pengurus BKD terdiri dari Pelaksana Operasional dan Dewan Pengawas. (2) BKD wajib membentuk struktur organisasi BKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang terpisah dari struktur organisasi Pemerintahan Desa. (3) BKD wajib melaporkan susunan pengurus dan struktur organisasi BKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada OJK paling lambat tanggal 31 Desember 2016 disertai dengan fotokopi kartu identitas pengurus. (4) BKD wajib melaporkan setiap perubahan susunan pengurus BKD paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal berlakunya perubahan kepengurusan disertai dengan fotokopi dokumen pengangkatan, pemberhentian, dan/atau perubahan kepengurusan dan fotokopi kartu identitas pengurus yang baru. (5) Pelaksana Operasional dan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh pemilik BKD. Pasal 26 (1) Kegiatan operasional, pengelolaan keuangan, dan segala perbuatan hukum BKD dijalankan oleh Pelaksana Operasional. (2) Pelaksana Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib berjumlah paling sedikit 2 (dua) orang, - 23 - dimana salah satunya menjabat sebagai Ketua Pelaksana Operasional. (3) Ketua Pelaksana Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditunjuk oleh pemilik BKD dengan mengacu pada ketentuan yang berlaku. (4) Pelaksana Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertindak untuk dan atas nama BKD baik di dalam maupun di luar pengadilan. Pasal 27 (1) Pelaksana Operasional memiliki tugas dan tanggung jawab paling sedikit untuk: a. menjalankan kegiatan usaha BKD termasuk menyusun dan melaksanakan rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (2); b. menjaga dan memelihara segala aset BKD; c. membuat rencana kerja tahunan BKD; d. melakukan pembukuan terhadap segala aktivitas transaksi BKD; e. membuat laporan keuangan BKD; f. bersama dengan Dewan Pengawas menyelesaikan setiap permasalahan dan kecurangan yang terjadi di BKD; g. memberikan perlindungan bagi Nasabah Penyimpan BKD; h. menanggung segala kerugian BKD yang sepatutnya dapat dicegah oleh Pelaksana Operasional atau kerugian yang diakibatkan karena Pelaksana Operasional melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; i. mencegah terjadinya kecurangan dalam BKD; dan j. menyampaikan laporan keuangan BKD kepada - 24 - pemilik BKD paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. (2) Pelaksana Operasional memiliki kewenangan paling sedikit untuk: a. memberikan persetujuan atau penolakan pemberian kredit bagi penduduk Desa setempat; b. memberikan perpanjangan waktu jatuh tempo bagi Nasabah Debitur yang mengajukan permohonan perpanjangan waktu jatuh tempo; c. menetapkan besarnya tingkat suku bunga Kredit dan Simpanan; d. memberikan persetujuan untuk menarik Simpanan; dan e. mengangkat dan memberhentikan karyawan BKD. Pasal 28 (1) BKD wajib memiliki Dewan Pengawas yang berjumlah paling sedikit 2 (dua) orang dan paling banyak sama dengan jumlah Pelaksana Operasional. (2) Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. Ex-Officio Kepala Desa; dan/atau b. pihak lain yang diangkat dan diberhentikan oleh pemilik BKD. Pasal 29 (1) Dewan Pengawas memiliki tugas dan tanggung jawab paling sedikit untuk: a. memberikan arahan kepada Pelaksana Operasional dalam melaksanakan pengurusan BKD; b. memberikan saran dan pendapat mengenai masalah yang dianggap penting bagi pengurusan BKD; c. mengadakan rapat Dewan Pengawas untuk - 25 - mengevaluasi kinerja Pelaksana Operasional paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan; d. melakukan pengawasan terhadap kinerja Pelaksana Operasional untuk mencegah terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan operasional BKD; e. menyelesaikan setiap permasalahan dan kecurangan yang terjadi di BKD; dan f. menanggung segala kerugian BKD yang sepatutnya dapat dicegah oleh Dewan Pengawas atau kerugian yang diakibatkan karena Dewan Pengawas melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Dewan Pengawas memiliki kewenangan paling sedikit untuk: a. menyelenggarakan rapat Dewan Pengawas untuk mengevaluasi kinerja BKD; b. memeriksa pembukuan BKD; c. melakukan pemeriksaan langsung terhadap operasional BKD; d. meminta Pelaksana Operasional untuk menyampaikan laporan keuangan BKD; dan e. meminta Pelaksana Operasional untuk merencanakan dan melaksanakan program pengembangan dan transformasi BKD. Pasal 30 Upah bagi Pelaksana Operasional dan Dewan Pengawas ditetapkan melalui rapat pemilik BKD yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing BKD. Pasal 31 (1) Persyaratan untuk dapat diangkat sebagai Pelaksana Operasional dan Dewan Pengawas meliputi: a. memiliki integritas yang baik; - 26 - b. memiliki pengetahuan dalam hal penghimpunan dan penyaluran dana; dan c. cakap melakukan perbuatan hukum. (2) BKD harus memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Pelaksana Operasional yang berpengalaman dalam menangani operasional BKD. Pasal 32 Pelaksana Operasional dapat dibantu oleh karyawan sesuai dengan kebutuhan dan harus disertai dengan uraian tugas terkait dengan tanggung jawab, pembagian peran, dan pembagian kerja lainnya. Pasal 33 Pelaksana Operasional dan/atau Dewan Pengawas dapat diberhentikan dengan alasan: a. meninggal dunia; b. telah selesai masa tugas sebagaimana diatur dalam dokumen pengangkatan sebagai Pelaksana Operasional atau Dewan Pengawas; c. mengundurkan diri; d. tidak melaksanakan tugas dengan baik yang dapat menghambat kinerja BKD; dan/atau e. melakukan tindakan-tindakan penyimpangan yang merugikan keuangan BKD. Pasal 34 (1) Pelaksana Operasional diperkenankan merangkap jabatan sebagai Pelaksana Operasional di BKD lain sepanjang tidak mengganggu tugas dan tanggung jawab sebagai Pelaksana Operasional di masing- masing BKD dan telah mendapatkan persetujuan dari pemilik BKD yang bersangkutan. (2) Dalam hal Pelaksana Operasional BKD merupakan perangkat Desa dimana BKD berkedudukan, Pelaksana Operasional dimaksud tidak dapat - 27 - merangkap sebagai Pelaksana Operasional di BKD lain. (3) Pelaksana Operasional BKD dilarang merangkap jabatan sebagai Dewan Pengawas. Pasal 35 (1) Dewan Pengawas diperkenankan merangkap jabatan sebagai Dewan Pengawas di BKD lain sepanjang tidak mengganggu tugas dan tanggung jawab sebagai Dewan Pengawas di masing-masing BKD dan telah mendapatkan persetujuan dari pemilik BKD yang bersangkutan. (2) Dewan Pengawas tidak dapat merangkap jabatan sebagai Pelaksana Operasional. (3) Dewan Pengawas Ex-Officio Kepala Desa tidak dapat merangkap jabatan sebagai Dewan Pengawas di BKD lain. Bagian Ketiga Laporan Pasal 36 (1) BKD wajib menyampaikan laporan keuangan secara berkala kepada OJK setiap 3 (tiga) bulan untuk periode yang berakhir pada tanggal 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember. (2) Penyampaian laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan setelah berakhirnya bulan laporan. (3) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja berikutnya. Pasal 37 (1) Dalam rangka menerapkan prinsip keterbukaan, BKD wajib mengumumkan laporan keuangan untuk setiap - 28 - periode akhir tahun pada papan pengumuman yang mudah diketahui oleh masyarakat di kantor BKD dan/atau kantor Desa tempat BKD berkedudukan. (2) Pengumuman laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat tanggal 1 Februari tahun berikutnya. Pasal 38 Ketentuan pelaksanaan mengenai laporan keuangan BKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dan Pasal 37 diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Keempat Pengawasan Pasal 39 (1) Pengawasan BKD dilakukan oleh OJK. (2) Dalam rangka melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) OJK berwenang melakukan pemeriksaan terhadap BKD. (3) Dalam melakukan pengawasan, OJK dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait antara lain Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dan Kementerian Dalam Negeri. Pasal 40 Dalam rangka pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2), BKD wajib memberikan: a. keterangan dan data yang diminta; b. kesempatan untuk melihat semua pembukuan, dokumen, dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usahanya; dan c. hal-hal lain yang diperlukan. Pasal 41 (1) OJK dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama OJK melaksanakan pemeriksaan sebagaimana - 29 - dimaksud dalam Pasal 39. (2) Pihak lain yang melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan keterangan dan data yang diperoleh. (3) Pihak lain yang ditugaskan untuk melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan paling sedikit: a. bersedia untuk melaksanakan pemeriksaan BKD sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan b. mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang operasional BKD. (4) Pemeriksaan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sendiri atau bersama- sama dengan pemeriksa dari OJK. (5) Pengaturan mengenai penugasan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 42 (1) Pihak lain yang melaksanakan pemeriksaan BKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1), wajib melaporkan hasil pemeriksaan BKD kepada OJK paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah seluruh pemeriksaan selesai dilaksanakan. (2) OJK melakukan evaluasi atas pelaksanaan pemeriksaan BKD yang telah dilakukan oleh pihak lain yang ditugaskan. BAB IV SANKSI Pasal 43 (1) BKD yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 3 ayat (4), Pasal 3 ayat (6), Pasal 10 ayat (2), Pasal 10 ayat (5), dan/atau Pasal 10 ayat (8), dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan - 30 - izin usaha setelah diberikan 3 (tiga) kali peringatan tertulis. (2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan rentang waktu 1 (satu) bulan untuk setiap peringatan tertulis. Pasal 44 (1) BKD yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 40 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis. (2) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan 3 (tiga) kali dengan masa berlaku masing-masing 15 (lima belas) hari kerja. (3) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan BKD tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemilik BKD wajib melakukan penggantian Pelaksana Operasional dan/atau Dewan Pengawas dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak pemberitahuan dari OJK. (4) BKD yang tidak memenuhi ketentuan pada ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (5) Sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diberikan 3 (tiga) kali dengan masa berlaku masing-masing 15 (lima belas) hari kerja. (6) BKD yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha. Pasal 45 (1) BKD yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 3 ayat (7), Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (2), Pasal 11 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 25 ayat - 31 - (4), dan/atau Pasal 36 ayat (1), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dikenakan sanksi kewajiban membayar berupa denda. (2) Pengenaan sanksi kewajiban membayar berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan dan paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). (3) Dalam rangka pengenaan sanksi kewajiban membayar berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tanggal penyampaian laporan adalah: a. tanggal penerimaan oleh OJK atau pihak lain yang ditunjuk oleh OJK, apabila laporan diserahkan langsung; atau b. tanggal pengiriman dalam tanda bukti pengiriman melalui kantor pos atau perusahaan jasa pengiriman/titipan, apabila laporan tidak diserahkan secara langsung. (4) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib disetor ke rekening OJK. (5) Dalam hal BKD belum membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), denda tersebut dinyatakan sebagai utang BKD kepada OJK dan harus dicantumkan dalam laporan keuangan BKD yang bersangkutan. Pasal 46 BKD yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (2), Pasal 28 ayat (1), dan/atau Pasal 37 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 47 Pihak lain yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 41 ayat (2) dan/atau Pasal 42 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dikenakan sanksi sesuai dengan perjanjian kerjasama. - 32 - BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 48 BKD yang sudah berbadan hukum sebelum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku, namun tidak sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, harus menyesuaikan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan paling lambat tanggal 31 Desember 2019. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 49 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 50 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/27/PBI/2004 tanggal 13 Desember 2004 tentang Pelaksanaan Pengawasan Badan Kredit Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4460) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; Pasal 51 Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia mengenai BPR beserta peraturan pelaksanaannya yang mengatur pengecualian BKD dari peraturan perundang-undangan dimaksud dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 31 Desember 2019. - 33 - Pasal 52 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 27 Januari 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 2 Februari 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 24 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 10 /POJK.03/2016 TENTANG PEMENUHAN KETENTUAN BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN TRANSFORMASI BADAN KREDIT DESA YANG DIBERIKAN STATUS SEBAGAI BANK PERKREDITAN RAKYAT I. UMUM Dalam rangka menciptakan sistem keuangan inklusif yang kuat dan tangguh, diperlukan lembaga keuangan yang mampu melayani masyarakat hingga lapisan masyarakat di pedesaan. Badan Kredit Desa sebagai salah satu jenis lembaga keuangan di Desa yang masih ada hingga saat ini memiliki peran yang sangat penting dalam membantu perekonomian masyarakat Desa. Peran penting dari Badan Kredit Desa tersebut perlu diperkuat melalui penataan kelembagaan dan pengawasan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menyatakan bahwa Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu diberikan status sebagai BPR dengan memenuhi persyaratan tata cara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Selanjutnya dalam Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat menyatakan bahwa Bank Desa, Lumbung - 2 - Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, LPN, LPD, BKD, BKK, KURK, LPK, BKPD, dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu, yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan, dinyatakan menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Dengan demikian, saat ini terdapat BKD dengan izin usaha dari Menteri Keuangan yang diberikan status sebagai BPR. Namun dengan karakteristik operasional BKD yang unik dan tidak sama dengan BPR pada umumnya, BKD yang diberikan status sebagai BPR dikecualikan dari setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi BPR. Dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, BKD yang diberikan status sebagai BPR tidak akan dikecualikan dari setiap ketentuan yang berlaku bagi BPR pada umumnya. Namun, demi menjaga keberlangsungan operasional BKD yang memiliki peranan penting bagi perekonomian masyarakat Desa, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini memberikan pilihan sebagai jalan keluar bagi BKD yang tidak mampu memenuhi seluruh ketentuan bagi BPR dengan mengubah kegiatan usaha atau badan usahanya menjadi kegiatan usaha atau badan usaha selain BPR, yaitu dengan bertransformasi menjadi Lembaga Keuangan Mikro (LKM), menjadi Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) atau unit usaha dari BUMDesa yang sudah ada di Desa dimana BKD berkedudukan dan menjalankan kegiatan operasionalnya. Ruang lingkup Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini terbatas pada BKD yang telah memperoleh izin dari Menteri Keuangan sehingga diberikan status sebagai BPR oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. - 3 - Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud “hari kerja operasional” adalah BKD beroperasi atau melaksanakan kegiatannya setiap hari kerja. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat(5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. - 4 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan “sesuai ketentuan yang mengatur kelembagaan BPR” antara lain: a. anggota Direksi berjumlah paling sedikit 2 (dua) orang dan salah satunya menjabat sebagai Direktur Utama; b. anggota Direksi wajib memiliki sertifikat kelulusan yang masih berlaku yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi profesi; c. anggota Dewan Komisaris berjumlah paling sedikit 2 (dua) orang dan paling banyak sama dengan jumlah anggota Direksi, serta salah satu diantaranya menjabat sebagai Komisaris Utama; d. anggota Dewan Komisaris wajib memiliki sertifikat kelulusan yang masih berlaku yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi profesi; e. calon anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris wajib memperoleh persetujuan dari OJK sebelum menjalankan tugas dan fungsi dalam jabatannya; dan f. calon anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris wajib memenuhi persyaratan kompetensi, integritas, dan reputasi keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) BPR. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Pemerintah Daerah” adalah Pemerintah Kabupaten/Kota atau Pemerintah Provinsi. Yang dimaksud dengan “melibatkan Pemerintah Daerah” antara lain Pemerintah Daerah melakukan penyertaan modal pada BPR hasil penyatuan tersebut. Ayat (3) Cukup jelas. - 5 - Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup Jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) BKD yang telah memilih untuk menjadi LKM atau BUMDesa, tidak perlu membuat rencana tindak untuk memenuhi ketentuan BPR. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. - 6 - Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “bukti-bukti” pada ayat ini paling sedikit: a. Bukti pembukuan; b. Daftar Nasabah Debitur dan Nasabah Penyimpan; dan c. Foto atau dokumentasi kegiatan operasional selama 3 (tiga) bulan terakhir. Huruf b Laporan keuangan BKD terdiri dari neraca dan laporan laba rugi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “BUMDesa atau unit usaha BUMDesa” pada ayat ini adalah BUMDesa atau unit usaha BUMDesa yang telah ada atau didirikan untuk mengakomodasi transformasi BKD. - 7 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Salah satu contoh perbuatan hukum yang dimaksud dalam ayat ini adalah menerima Simpanan, memberikan Pinjaman serta mengalihkan hak atas harta kekayaan BKD. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) BKD dalam hal ini diwakili oleh pemilik BKD. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas. - 8 - Pasal 20 Ayat (1) Salah satu bentuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab dengan memperoleh keuntungan untuk diri sendiri adalah membeli harta kekayaan BKD Dalam Pemberesan untuk kepentingan sendiri, keluarganya, dan/atau kelompoknya. Dalam pengertian memperoleh keuntungan untuk diri sendiri, termasuk juga apabila anggota Tim Pemberesan melakukan transaksi yang di dalamnya terdapat benturan kepentingan antara BKD Dalam Pemberesan dan anggota Tim Pemberesan yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. - 9 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Pengangkatan dan pemberhentian Pelaksana Operasional dan Dewan Pengawas dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelaksana Operasional atau Dewan Pengawas yang diangkat oleh pemilik BKD dapat berasal dari Desa atau dari luar Desa tempat BKD berkedudukan. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a. Yang dimaksud “Ex-Officio" adalah jabatan seseorang pada lembaga tertentu karena tugas dan kewenangannya pada lembaga lain. Huruf b. Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak selain Kepala Desa atau orang-perorangan yang tidak menjabat sebagai Pelaksana Operasional BKD. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. - 10 - Pasal 31 Ayat (1) Penetapan Ex-Officio Kepala Desa sebagai Dewan Pengawas didasarkan pada jabatannya. Dengan demikian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak diberlakukan bagi anggota Dewan Pengawas Ex-Officio Kepala Desa. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. - 11 - Pasal 41 Ayat (1) Yang dimaksud “pihak lain” pada ayat ini antara lain: a. akuntan pada kantor akuntan publik; atau b. perseorangan yang memiliki kompetensi dalam pemeriksaan BKD, BPR dan/atau Bank Umum. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. - 12 - Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5847
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 10/POJK.03/2016 </reg_id> <reg_title> PEMENUHAN KETENTUAN BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN TRANSFORMASI BADAN KREDIT DESA YANG DIBERIKAN STATUS SEBAGAI BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title> <set_date> 27 Januari 2016 </set_date> <effective_date> 2 Februari 2016 </effective_date> <issued_date> 2 Februari 2016 </issued_date> <replaced_reg> '6/27/PBI/2004' </replaced_reg> <related_reg> '20/POJK.03/2014', '21/UU/2011', '25/UU/1992', '1/UU/2013', '6/UU/2014', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 15/POJK.04/2015 TENTANG PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI PASAR MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung pengembangan Pasar Modal berdasarkan prinsip syariah, diperlukan pedoman Prinsip Syariah di Pasar Modal bagi pelaku sektor Pasar Modal; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI PASAR MODAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Akad Syariah adalah perjanjian atau kontrak tertulis antara para pihak yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal. 2. Prinsip Syariah di Pasar Modal adalah prinsip hukum Islam dalam Kegiatan Syariah di Pasar Modal berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia, sepanjang fatwa dimaksud tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan/atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan lainnya yang didasarkan pada fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia. 3. Efek Syariah adalah Efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya yang: a. akad, cara pengelolaan, kegiatan usaha; b. aset yang menjadi landasan akad, cara pengelolaan, kegiatan usaha; dan/atau c. aset yang terkait dengan Efek dimaksud dan penerbitnya, tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal. 4. Kegiatan Syariah di Pasar Modal adalah kegiatan yang terkait dengan Penawaran Umum Efek Syariah, perdagangan Efek Syariah, pengelolaan investasi syariah di Pasar Modal, dan Emiten atau Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek Syariah yang diterbitkannya, - 3 - Perusahaan Efek yang sebagian atau seluruh usahanya berdasarkan prinsip syariah, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek Syariah. 5. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang bertanggung jawab memberikan nasihat dan saran serta mengawasi pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal terhadap Pihak yang melakukan Kegiatan Syariah di Pasar Modal. 6. Ahli Syariah Pasar Modal yang selanjutnya disingkat ASPM adalah: a. orang perseorangan yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah; atau b. badan usaha yang pengurus dan pegawainya memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah, yang memberikan nasihat dan/atau mengawasi pelaksanaan penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal dalam kegiatan usaha perusahaan dan/atau memberikan pernyataan kesesuaian syariah atas produk atau jasa syariah di Pasar Modal. Pasal 2 (1) Kegiatan dan jenis usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal mencakup antara lain: a. perjudian dan permainan yang tergolong judi; b. jasa keuangan ribawi; c. d. memproduksi, jual beli risiko yang mengandung unsur ketidakpastian (gharar) dan/atau judi (maisir); dan mendistribusikan, memperdagangkan, dan/atau menyediakan antara lain: 1. barang atau jasa haram zatnya (haram li- dzatihi); 2. barang atau jasa haram bukan karena zatnya (haram li-ghairihi) yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia; dan/atau - 4 - 3. barang atau jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat. (2) Transaksi yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal mencakup antara lain: a. perdagangan atau transaksi dengan penawaran dan/atau permintaan palsu; b. perdagangan atau transaksi yang tidak disertai dengan penyerahan barang dan/atau jasa; c. perdagangan atas barang yang belum dimiliki; d. pembelian atau penjualan atas Efek yang menggunakan atau memanfaaatkan informasi orang dalam dari Emiten atau Perusahaan Publik; e. transaksi marjin atas Efek Syariah yang mengandung unsur bunga (riba); f. perdagangan atau transaksi dengan tujuan penimbunan (ihtikar); g. melakukan perdagangan atau transaksi yang mengandung unsur suap (risywah); dan h. transaksi lain yang mengandung unsur spekulasi (gharar), penipuan (tadlis) termasuk menyembunyikan kecacatan (ghisysy), dan upaya untuk mempengaruhi pihak lain yang mengandung kebohongan (taghrir). Pasal 3 (1) Efek memenuhi Prinsip Syariah di Pasar Modal sehingga menjadi Efek Syariah apabila: a. kegiatan dan jenis usaha, serta cara pengelolaan usaha dari Pihak yang menerbitkan Efek; b. akad, cara pengelolaan, dan kekayaan Reksa Dana; c. akad, cara pengelolaan, dan aset keuangan yang membentuk portofolio Efek Beragun Aset yang diterbitkan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset; d. akad, cara pengelolaan, dan kekayaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; - 5 - e. akad dan portofolionya yang berupa Kumpulan Piutang atau pembiayaan pemilikan rumah; f. akad, cara pengelolaan, dan/atau aset yang mendasari Sukuk; atau g. akad, cara pengelolaan, dan/atau aset yang mendasari Efek lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal. (2) Akad-akad sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang digunakan dalam penerbitan Efek wajib mengacu pada peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai akad-akad yang digunakan dalam penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal dan/atau akad lainnya yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal. BAB II PIHAK YANG MELAKUKAN KEGIATAN SYARIAH DI PASAR MODAL Pasal 4 Pihak yang melakukan Kegiatan Syariah di Pasar Modal meliputi: a. Pihak yang menyatakan kegiatan dan jenis usaha, dan/atau cara pengelolaannya, dan/atau jasa yang diberikannya berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal. b. Pihak yang tidak menyatakan kegiatan dan jenis usaha, dan/atau cara pengelolaannya, dan/atau jasa yang diberikannya berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal, namun: 1. pihak tersebut memiliki unit usaha syariah; 2. merupakan Manajer Investasi yang melakukan kegiatan pengelolaan investasi syariah; 3. merupakan Kustodian dari investasi syariah; - 6 - 4. sebagian aktifitas operasional usaha Pihak tersebut dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal; dan/atau 5. memberikan jasa syariah lainnya. c. Pihak yang tidak menyatakan kegiatan dan jenis usaha, dan/atau cara pengelolaannya, dan/atau jasa yang diberikannya berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal, namun menerbitkan Efek Syariah dan/atau berperan membantu penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal. Pasal 5 Ketentuan lebih lanjut mengenai jasa syariah lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 5 diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 6 Setiap Pihak yang melakukan Kegiatan Syariah di Pasar Modal wajib mematuhi Prinsip Syariah di Pasar Modal sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan peraturan perundang-undangan lain di sektor Pasar Modal. Pasal 7 Setiap Pihak yang melakukan Kegiatan Syariah di Pasar Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a wajib: a. menyatakan dalam anggaran dasar atau dokumen sejenis bahwa kegiatan usahanya dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal; dan b. mempunyai Dewan Pengawas Syariah. Pasal 8 Setiap Pihak yang melakukan Kegiatan Syariah di Pasar Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b wajib: a. mempunyai Dewan Pengawas Syariah, untuk Manajer Investasi yang melakukan kegiatan pengelolaan investasi syariah; atau - 7 - b. mempunyai Dewan Pengawas Syariah atau paling sedikit 1 (satu) direktur atau penanggung jawab kegiatan yang diberi mandat oleh Direksi yang memiliki pengetahuan yang memadai dan/atau pengalaman di bidang keuangan syariah, untuk pihak yang melakukan kegiatan selain Manajer Investasi yang mengelola investasi syariah. Pasal 9 (1) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dan Pasal 8 huruf a terdiri dari 1 (satu) anggota atau lebih yang diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham, mekanisme lain yang setara dengan Rapat Umum Pemegang Saham, atau ditunjuk oleh Direksi. (2) Anggota Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merupakan orang perseorangan atau badan usaha yang mempunyai izin ASPM dari Otoritas Jasa Keuangan. BAB III PELAPORAN Pasal 10 (1) Setiap Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a wajib menyampaikan laporan yang disusun oleh Dewan Pengawas Syariah kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal. (2) Setiap Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal yang disusun oleh: a. Dewan Pengawas Syariah, untuk Manajer Investasi yang melakukan kegiatan pengelolaan investasi syariah; atau b. Dewan Pengawas Syariah, direktur, atau penanggung jawab kegiatan yang diberi mandat oleh Direksi, yang memiliki pengetahuan yang memadai - 8 - dan/atau pengalaman di bidang keuangan syariah, untuk pihak yang melakukan kegiatan selain Manajer Investasi yang mengelola investasi syariah. Pasal 11 (1) Laporan terkait pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan bersamaan dengan penyampaian laporan tahunan atau laporan keuangan tahunan. (2) Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 mempunyai kewajiban menyampaikan lebih dari 1 (satu) laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jatuh waktu kewajiban penyampaian laporan mengikuti kewajiban penyampaian laporan yang paling akhir. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat hasil reviu atas pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal. BAB IV KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 12 Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan pemeriksaan atas pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal yang dilakukan oleh setiap Pihak yang melakukan Kegiatan Syariah di Pasar Modal. BAB V KETENTUAN SANKSI Pasal 13 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan - 9 - Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 14 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 15 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 kepada masyarakat. - 10 - BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 16 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, angka 1 Peraturan Nomor IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep- 181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang Penerbitan Efek Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 17 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 November 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 November 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H.LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 266 ttd Sudarmaji Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 15/POJK.04/2015 TENTANG PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI PASAR MODAL I. UMUM Dalam rangka pengembangan Pasar Modal syariah agar dapat tumbuh stabil dan berkelanjutan diperlukan pengembangan infrastruktur pasar yang memadai. Salah satu infrastruktur pasar yang penting adalah tersedianya regulasi yang jelas, mudah dipahami, dan dapat dilaksanakan sehingga regulasi tersebut menjadi regulasi yang dapat diterima pasar (market friendly). Dinamika perkembangan Pasar Modal syariah menuntut adanya penyempurnaan Peraturan Nomor IX.A.13, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP- 181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang Penerbitan Efek Syariah, agar sesuai dengan kebutuhan industri Pasar Modal syariah, praktik yang berlaku umum, dan standar internasional. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini menyempurnakan Peraturan Nomor IX.A.13, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang Penerbitan Efek Syariah, yang mengatur antara lain penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal dalam Kegiatan Syariah di Pasar Modal dan/atau kegiatan dan jenis usaha, cara pengelolaan usaha yang dilakukan, serta produk atau jasa yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah. Beberapa pokok penyempurnaan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini antara lain meliputi jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal, transaksi yang bertentangan - 2 - dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal, kewajiban bagi Pihak yang melakukan Kegiatan Syariah di Pasar Modal, dan laporan pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Contoh jasa keuangan ribawi antara lain bank berbasis bunga dan perusahaan pembiayaan berbasis bunga. Huruf c Yang dimaksud dengan “gharar” adalah ketidakjelasan yang menimbulkan perselisihan. Contoh jual beli risiko yang mengandung unsur ketidakpastian (gharar) antara lain asuransi konvensional dan transaksi derivatif (forward, futures, swap) atau opsi yang mengandung spekulasi. Yang dimaksud dengan “maisir” adalah setiap kegiatan yang melibatkan perjudian dimana pihak yang memenangkan perjudian akan mengambil taruhannya dan pihak yang kalah akan kehilangan taruhannya. Huruf d Angka 1 Contoh barang atau jasa haram zatnya (haram li- dzatihi) antara lain minuman keras, hewan yang diharamkan secara syariah, dan produk turunannya. Angka 2 Contoh barang atau jasa haram bukan karena zatnya (haram li-ghairihi) antara lain daging dari binatang yang halal secara syariah namun disembelih tanpa membaca basmalah. - 3 - Angka 3 Contoh barang atau jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat antara lain rokok, media dan/atau penyedia jasa yang mengandung unsur pornografi dan pornoaksi. Ayat (2) Huruf a Contoh perdagangan dengan penawaran atau permintaan palsu (najsy) antara lain: 1. Transaksi Efek yang diawali pergerakan harga cenderung naik (uptrend), yang disebabkan oleh serangkaian transaksi yang dengan sengaja dilakukan oleh inisiator beli agar membentuk harga naik hingga level tertinggi yang diinginkannya. Setelah harga Efek mencapai level tertinggi yang diinginkannya, pihak- pihak yang berkepentingan terhadap kenaikan harga tersebut, melakukan transaksi sebagai inisiator jual Efek dengan volume yang signifikan (pump and dump). 2. Transaksi suatu Efek yang diawali oleh pergerakan harga cenderung naik (uptrend) yang disebabkan oleh serangkaian transaksi yang dengan sengaja dilakukan oleh inisiator beli agar membentuk harga naik hingga mencapai level tertinggi yang diinginkannya yang disertai dengan adanya informasi positif yang tidak benar, dilebih-lebihkan, menyesatkan (misleading). Setelah harga mencapai level tertinggi yang diinginkannya, pihak-pihak yang berkepentingan terhadap kenaikan harga tersebut melakukan serangkaian transaksi sebagai inisiator jual Efek dengan volume yang signifikan (hype and dump). 3. Permintaan atau penawaran palsu (creating fake demand/supply), yaitu adanya 1 (satu) atau lebih pihak tertentu melakukan pemasangan order beli atau jual pada level harga terbaik, tetapi jika order beli atau jual yang dipasang sudah mencapai harga terbaik (best price) maka order tersebut dihilangkan (deleted) atau diganti (amended) baik dari jumlah dan/atau harganya - 4 - diturunkan secara berulang kali. Hal ini dilakukan untuk memberi kesan adanya permintaan atau penawaran yang tinggi sehingga pasar terpengaruh untuk membeli atau menjual. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Contoh perdagangan atas barang yang belum dimiliki adalah perdagangan Efek Syariah yang belum dimiliki (bai’ al-ma’dum/short selling). Pengertian “barang” mencakup pula Efek Syariah. Huruf d Yang dimaksud dengan “informasi orang dalam” adalah Informasi Material yang dimiliki oleh orang dalam yang belum tersedia untuk umum sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 95 Undang-Undang tentang Pasar Modal. Yang dimaksud dengan “orang dalam” adalah orang dalam sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 95 Undang- Undang tentang Pasar Modal. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan “penimbunan (ihtikar)” adalah membeli suatu barang yang sangat diperlukan masyarakat pada saat harga mahal dan menimbunnya dengan tujuan untuk menjualnya kembali pada saat harganya lebih mahal. Tindakan-tindakan yang termasuk dalam kategori penimbunan (ihtikar) antara lain: 1. Pooling interest, yaitu aktivitas transaksi atas suatu Efek yang terkesan likuid (liquid), baik disertai dengan pergerakan harga maupun tidak, pada suatu periode tertentu dan hanya diramaikan sekelompok anggota Bursa Efek tertentu (dalam pembelian maupun penjualan). Selain itu volume transaksi setiap harinya dalam periode tersebut selalu dalam jumlah yang hampir sama dan/atau dalam kurun periode tertentu aktivitas transaksinya tiba-tiba melonjak secara - 5 - drastis. Tujuannya menciptakan kesempatan untuk dapat menjual atau mengumpulkan saham atau menjadikan aktivitas saham tertentu dapat dijadikan acuan (benchmark). 2. Cornering, yaitu pola transaksi yang dimaksudkan untuk menciptakan penawaran (supply) semu yang menyebabkan harga menurun pada pagi hari dan menyebabkan investor publik melakukan penjualan saham namun belum memiliki saham yang dijual (short selling). Kemudian ada upaya pembelian yang menyebabkan harga meningkat pada sesi sore hari yang menyebabkan pelaku penjualan saham namun belum memiliki saham yang dijual (short selling) mengalami gagal serah atau mengalami kerugian karena harus melakukan pembelian di harga yang lebih mahal. Huruf g Yang dimaksud dengan “suap (risywah)” adalah suatu pemberian yang bertujuan untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya, membenarkan yang bathil dan menjadikan yang bathil sebagai sesuatu yang benar. Huruf h Yang dimaksud dengan “penipuan (tadlis)” adalah tindakan menyembunyikan kecacatan objek akad yang dilakukan oleh penjual untuk mengelabui pembeli seolah-olah objek akad tersebut tidak cacat. Tindakan yang tergolong penipuan (tadlis) antara lain: 1. melakukan transaksi lebih dahulu atas dasar adanya informasi bahwa seseorang akan melakukan transaksi dalam volume besar (front running). 2. informasi menyesatkan (misleading information), yaitu membuat pernyataan atau memberikan keterangan yang secara material tidak benar atau menyesatkan sehingga mempengaruhi harga Efek. Yang dimaksud dengan “menyembunyikan kecacatan (ghisysy)” adalah penjual menjelaskan atau memaparkan - 6 - keunggulan atau keistimewaan barang yang dijual serta menyembunyikan kecacatannya. Tindakan-tindakan yang termasuk dalam kategori upaya memaparkan keunggulan atau keistimewaan dan menyembunyikan kecacatan (ghisysy) antara lain: 1. Pembentukan harga penutupan (marking at the close), yaitu penempatan order jual atau beli yang dilakukan diakhir hari perdagangan yang bertujuan menciptakan harga penutupan sesuai dengan yang diinginkan. 2. Transaksi dari sekelompok pelaku dengan peran sebagai pembeli dan penjual secara bergantian serta dilakukan dengan volume yang berkesan wajar sehingga memberi kesan bahwa suatu Efek aktif diperdagangkan (alternate trade). Tindakan-tindakan yang termasuk dalam kategori upaya mempengaruhi pihak lain yang mengandung kebohongan (taghrir) antara lain: 1. Perdagangan semu yang tidak mengubah kepemilikan dalam rangka membentuk harga dengan memberi kesan seolah-olah harga terbentuk melalui transaksi yang berkesan wajar dan untuk aktif diperdagangkan (wash sale). 2. Transaksi yang terjadi melalui pemasangan order beli dan jual pada rentang waktu yang hampir bersamaan yang terjadi karena adanya perjanjian pembeli dan penjual sebelumnya dalam rangka membentuk harga atau kepentingan lainnya baik di dalam maupun di luar bursa (pre-arrange trade). Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Akad mencakup baik Akad Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini maupun akad lainnya. - 7 - Huruf c Yang dimaksud dengan “aset keuangan” adalah kumpulan tagihan/piutang. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “portofolio” adalah Kumpulan Piutang yang terdiri dari piutang-piutang yang timbul dari pembiayaan pemilikan rumah termasuk agunan/jaminan beserta hak tanggungan yang melekat sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan Dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan. Yang dimaksud dengan “Kumpulan Piutang” di atas adalah Kumpulan Aset Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan Dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan. Sedangkan yang dimaksud dengan “Aset Keuangan” sebagaimana tersebut di atas adalah piutang yang diperoleh Kreditur Asal dari pemberian Kredit Pemilikan Rumah kepada debitur, termasuk agunan/jaminan beserta hak tanggungan yang melekat padanya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan Dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan. Huruf f Pemenuhan seluruh atau sebagian unsur kesyariahan atas akad, aset, dan/atau cara pengelolaan yang mendasari Sukuk dalam huruf ini tergantung dari akad Sukuk. Sebagai contoh untuk Sukuk dengan akad mudharabah, unsur akad, aset, dan cara pengelolaan aset yang mendasari Sukuk tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal. - 8 - Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Huruf a Contoh Pihak yang menyatakan bahwa kegiatan dan jenis usaha dan/atau cara pengelolaannya, dan/atau jasa yang diberikannya berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal adalah perusahaan yang menyatakan dalam anggaran dasarnya bahwa kegiatan usahanya sesuai dengan prinsip syariah. Huruf b Contoh Pihak yang tidak menyatakan bahwa kegiatan dan jenis usaha dan/atau cara pengelolaannya berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal namun memiliki unit usaha syariah adalah perusahaan konvensional yang memiliki unit usaha syariah. Contoh Pihak yang tidak menyatakan bahwa kegiatan dan jenis usaha dan/atau cara pengelolaannya berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal, namun melakukan kegiatan pengelolaan investasi syariah adalah Manajer Investasi yang mengelola Reksa Dana Syariah. Contoh Pihak yang tidak menyatakan bahwa kegiatan dan jenis usaha dan/atau cara pengelolaannya berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal, namun sebagian aktifitas operasional usaha Pihak tersebut dilakukan berdasarkan prinsip syariah adalah Perusahaan Efek yang memberikan jasa online trading syariah. Huruf c Contoh Pihak yang tidak menyatakan bahwa kegiatan dan jenis usaha dan/atau cara pengelolaannya, dan/atau jasa yang diberikannya berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal, namun menerbitkan Efek Syariah dan/atau berperan membantu penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal antara lain Emiten yang menerbitkan Sukuk atau Perusahaan Efek yang memberikan jasa penjaminan emisi Sukuk. - 9 - Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam hal Pihak yang melakukan Kegiatan Syariah di Pasar Modal merupakan Kantor Cabang Bank Asing, yang dimaksud dengan “Direksi” adalah pimpinan tertinggi pada Kantor Cabang Bank Asing tersebut. Yang dimaksud dengan “memiliki pengetahuan yang memadai di bidang keuangan syariah” antara lain mengetahui hal-hal yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Laporan terkait pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal yang disampaikan bersamaan dengan penyampaian: a. Laporan tahunan diperuntukan antara lain bagi Emiten atau Perusahaan Publik. b. Laporan keuangan tahunan diperuntukan antara lain bagi Manajer Investasi yang mengelola Reksa Dana syariah. - 10 - Ayat (2) Sebagai contoh, Emiten A mempunyai kewajiban penyampaian laporan keuangan tahunan paling lambat 31 Maret 2015 dan kewajiban penyampaian laporan tahunan paling lambat 30 April 2015, jatuh waktu kewajiban penyampaian laporan pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal adalah 30 April 2015. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa penundaan pemberian pernyataan efektif, misalnya pernyataan efektif dalam rangka Penawaran Umum Sukuk. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5755
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 15/POJK.04/2015 </reg_id> <reg_title> PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI PASAR MODAL </reg_title> <set_date> 3 November 2015 </set_date> <effective_date> 10 November 2015 </effective_date> <issued_date> 10 November 2015 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-181/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.13 angka 1' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
- 1 - SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 43 /POJK.03/2017 TENTANG TINDAK LANJUT PELAKSANAAN PENGAWASAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa kesehatan suatu bank merupakan kepentingan semua pihak yang terkait sehingga bank harus meyakini dan memahami sepenuhnya hal yang harus dilakukan atau tidak dilakukan dalam melaksanakan kegiatan usaha bank; b. bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di sektor perbankan, Otoritas Jasa Keuangan mempunyai wewenang menetapkan hal yang sebaiknya dilakukan atau tidak dilakukan oleh bank dalam melaksanakan kegiatan usaha; c. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan, diperlukan pengaturan kembali tindak lanjut pelaksanaan pengawasan bank; - 2 - d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Tindak Lanjut Pelaksanaan Pengawasan Bank; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TINDAK LANJUT PELAKSANAAN PENGAWASAN BANK. Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan Bank - 3 - Syariah serta Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Perintah atau Cease and Desist Order (CDO) yang selanjutnya disebut Perintah atau CDO adalah perintah untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan kegiatan tertentu guna memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor perbankan dan/atau mencegah dan mengurangi kerugian konsumen, masyarakat, dan sektor perbankan. 3. Direksi adalah: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada Bank yang belum berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; - 4 - c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d. bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah pimpinan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yaitu pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang. 4. Dewan Komisaris adalah: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada Bank yang belum berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 - 5 - tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 5. Pemegang Saham Pengendali bagi Bank yang selanjutnya disingkat PSP adalah badan hukum, orang perseorangan dan/atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham perusahaan atau Bank sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau b. memiliki saham perusahaan atau Bank kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian perusahaan atau Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pasal 2 Bank dalam melaksanakan kegiatan usaha wajib berdasarkan pada prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat serta mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 3 (1) Dalam hal terjadi penyimpangan atas prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat serta terjadi pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan Perintah atau CDO mengenai hal yang sebaiknya dilakukan atau tidak dilakukan oleh Bank. - 6 - (2) Untuk memenuhi Perintah atau CDO dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank menyampaikan komitmen dari: a. Direksi dan/atau Dewan Komisaris Bank, untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan tertentu sehingga perbaikan atas penyimpangan tersebut dapat diselesaikan; dan/atau b. PSP, untuk menanggulangi masalah yang merupakan kewajiban PSP. (3) Komitmen Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau PSP bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan. Pasal 4 Bank, Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau PSP yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (3) dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan atau Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pasal 5 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: a. Surat Keputusan Direksi Nomor 23/82/KEP/DIR tentang Tindak Lanjut Pelaksanaan Pengawasan dan Pembinaan Bank; dan b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 23/22/BPPP tentang Tindak Lanjut Pelaksanaan Pengawasan dan Pembinaan Bank, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. - 7 - Pasal 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 149 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 43 /POJK.03/2017 TENTANG TINDAK LANJUT PELAKSANAAN PENGAWASAN BANK I. UMUM Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan mengamanatkan bahwa fungsi pengawasan dan pengaturan terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang beroperasi di Indonesia dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, juga mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, masyarakat, dan sektor jasa keuangan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengambil tindakan yang dianggap perlu, antara lain memberikan Perintah atau CDO kepada sektor perbankan. Perintah atau CDO tersebut dilaksanakan dalam bentuk permintaan komitmen kepada Bank untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu dalam melaksanakan kegiatan usaha Bank. Perintah atau CDO diberikan dalam hal terjadi penyimpangan atas prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat serta terjadi pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. - 2 - Pada prinsipnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini memuat kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam memberikan Perintah atau CDO. Agar kewenangan tersebut dapat dilakukan sesuai dengan tata kelola yang baik, Perintah atau CDO dalam pengawasan Bank perlu disusun dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Berkaitan dengan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat, Bank perlu memahami fungsinya sebagai lembaga kepercayaan masyarakat sehingga Bank harus menghindari praktik atau kegiatan yang diperkirakan atau dapat membahayakan kelangsungan usaha Bank atau merugikan kepentingan masyarakat. Pasal 3 Ayat (1) Contoh Perintah atau CDO, antara lain: a. penghentian sementara pembukaan jaringan kantor; b. penghentian sementara untuk melakukan kegiatan usaha tertentu; c. penggantian Direksi atau Dewan Komisaris; d. penambahan modal dan/atau pengalihan pemilikan Bank; e. penggabungan atau peleburan usaha dengan bank lain; dan/atau f. penghapusbukuan kredit atau pembiayaan macet dan memperhitungkan kerugian Bank dengan modal Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. - 3 - Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6092
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 43/POJK.03/2017 </reg_id> <reg_title> TINDAK LANJUT PELAKSANAAN PENGAWASAN BANK </reg_title> <set_date> 12 Juli 2017 </set_date> <effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date> <issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date> <replaced_reg> '23/82/KEP/DIR|SKDIR-BI', '23/22/BPPP|SE-BI' </replaced_reg> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal 4' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 75 /POJK.03/2016 TENTANG STANDAR PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI INFORMASI BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa perkembangan teknologi informasi bergerak dinamis mengikuti lingkungan bisnis dan kebutuhan masyarakat terhadap produk dan layanan perbankan; b. bahwa dalam rangka meningkatkan efisiensi operasional dan kualitas pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa perbankan diperlukan penyelenggaraan teknologi informasi oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah secara efektif dan efisien; c. bahwa penyelenggaraan teknologi informasi secara efektif dan efisien merupakan tanggung jawab manajemen dengan melibatkan seluruh jenjang organisasi di Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagai pengguna teknologi informasi; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan - 2 - tentang Standar Penyelenggaraan Teknologi Informasi bagi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253). MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG STANDAR PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI INFORMASI BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha - 3 - secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya disingkat BPRS yaitu bank syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 3. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi. 4. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik. 5. Aplikasi Inti Perbankan (Core Banking System) adalah Sistem Elektronik berupa aplikasi untuk proses akhir seluruh transaksi perbankan yang terjadi sepanjang hari, termasuk pengkinian data dalam pembukuan BPR dan BPRS, yang paling sedikit mencakup fungsi nasabah, simpanan, pinjaman, akuntansi dan pelaporan. 6. Pusat Data (Data Center) adalah suatu fasilitas yang digunakan untuk menempatkan Sistem Elektronik dan komponen terkaitnya untuk keperluan penempatan, penyimpanan, dan pengolahan data. 7. Pusat Pemulihan Bencana (Disaster Recovery Center) adalah suatu fasilitas yang digunakan untuk memulihkan kembali data atau informasi serta fungsi- fungsi penting Sistem Elektronik yang terganggu atau - 4 - rusak akibat terjadinya bencana yang disebabkan oleh alam atau manusia. 8. Pangkalan Data (Database) adalah sekumpulan data komprehensif dan disusun secara sistematis, dapat diakses oleh pengguna sesuai wewenang masing- masing, dan dikelola oleh administrator Pangkalan Data (Database Administrator). 9. Rencana Pemulihan Bencana (Disaster Recovery Plan) adalah dokumen yang berisikan rencana dan langkah- langkah memulihkan kembali akses data, perangkat keras dan perangkat lunak yang diperlukan, agar BPR dan BPRS dapat menjalankan kegiatan operasional bisnis yang kritikal setelah adanya gangguan dan/atau bencana. 10. Direksi: a. bagi BPR dan BPRS berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbentuk badan hukum: 1. Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 2. Perusahaan Daerah adalah direksi pada BPR yang belum berubah bentuk badan hukum menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan - 5 - Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 11. Dewan Komisaris: a. bagi BPR dan BPRS berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbentuk badan hukum: 1. Perusahaan Umum Daerah adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 2. Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 3. Perusahaan Daerah adalah pengawas pada BPR yang belum berubah bentuk badan hukum menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sesuai - 6 - dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. BAB II RUANG LINGKUP PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI INFORMASI Pasal 2 (1) BPR dan BPRS wajib menyelenggarakan Teknologi Informasi yang paling sedikit berupa: a. Aplikasi Inti Perbankan dan Pusat Data bagi BPR atau BPRS yang memiliki modal inti kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); atau b. Aplikasi Inti Perbankan, Pusat Data dan Pusat Pemulihan Bencana bagi BPR atau BPRS yang memiliki modal inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (2) BPR dan BPRS dapat menyelenggarakan Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara mandiri atau bekerjasama dengan penyedia jasa Teknologi Informasi. (3) Penyelenggaraan Teknologi Informasi bekerjasama dengan penyedia jasa Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan untuk seluruh atau sebagian penyelenggaraan Teknologi Informasi BPR atau BPRS meliputi penyelenggaraan: - 7 - a. Aplikasi Inti Perbankan; b. Pusat Data; c. Pusat Pemulihan Bencana; dan/atau d. Penyelenggaraan Teknologi Informasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 3 (1) BPR dan BPRS wajib menempatkan Pusat Data dan Pusat Pemulihan Bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) di wilayah Indonesia. (2) Pusat Data wajib ditempatkan di lokasi dengan karakteristik risiko yang berbeda dengan lokasi Pusat Pemulihan Bencana. Pasal 4 (1) BPR dan BPRS yang menyelenggarakan secara mandiri Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib: a. melakukan rekam cadang (back up) data aktivitas yang diproses menggunakan Teknologi Informasi; dan b. memiliki installer Aplikasi Inti Perbankan yang digunakan BPR dan BPRS untuk melakukan install ulang. (2) BPR dan BPRS yang melakukan kerjasama penyelenggaraan Teknologi Informasi dengan penyedia jasa Teknologi Informasi, wajib memastikan bahwa penyedia jasa Teknologi Informasi melakukan rekam cadang data aktivitas dan memiliki installer Aplikasi Inti Perbankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Data aktivitas BPR dan BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib disimpan dalam jangka waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perusahaan. mengenai dokumen - 8 - (4) Rekam cadang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) wajib dilakukan setiap akhir hari untuk seluruh data aktivitas BPR dan BPRS. Pasal 5 (1) BPR dan BPRS wajib memastikan Aplikasi Inti Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mampu: a. menerapkan ketentuan peraturan perundang- undangan bagi BPR atau BPRS; b. melakukan pembukuan transaksi antar jaringan kantor: 1. pada hari yang sama bagi BPR dan BPRS yang tidak menyediakan layanan perbankan elektronik (electronic banking) dan tidak melakukan kegiatan sebagai penerbit kartu Automated Teller Machine (ATM); 2. secara online dan real time bagi BPR dan BPRS yang menyediakan layanan perbankan elektronik dan/atau melakukan kegiatan sebagai penerbit kartu Automated Teller Machine (ATM). c. menghasilkan data dan informasi yang digunakan dalam mendukung proses penyusunan laporan untuk kebutuhan intern dan ekstern. d. mengonsolidasikan fungsi-fungsi yang terdapat dalam Aplikasi Inti Perbankan untuk mendukung penyediaan data dan informasi yang lengkap, akurat, kini, dan utuh. (2) BPR dan BPRS harus memastikan Aplikasi Inti Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mampu mengimplementasikan profil nasabah secara terpadu (Single Customer Identification File). - 9 - Pasal 6 (1) BPR dan BPRS dapat melakukan pengembangan dan pengadaan Aplikasi Inti Perbankan: a. secara mandiri (in-house); atau b. dengan cara membeli Aplikasi Inti Perbankan yang dikembangkan oleh penyedia Aplikasi Inti Perbankan. (2) Penyedia Aplikasi Inti Perbankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus: a. berbentuk badan hukum; b. memiliki sumber daya manusia yang kompeten di bidang Teknologi Informasi; dan c. berkedudukan di wilayah Indonesia (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dikecualikan dalam hal BPR dan BPRS telah memiliki Aplikasi Inti Perbankan pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku dan melakukan kerja sama dengan penyedia Aplikasi Inti Perbankan yang tidak berbentuk badan hukum untuk pengembangan atau pemeliharaan Aplikasi Inti Perbankan dimaksud. (4) Pengembangan dan pengadaan Aplikasi Inti Perbankan BPR atau BPRS dengan menggunakan penyedia Aplikasi Inti Perbankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, wajib dilaksanakan berdasarkan perjanjian tertulis. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 7 BPR dan BPRS dilarang melakukan kegiatan penyediaan jasa Teknologi Informasi kepada pihak lain, kecuali terkait dengan produk dan layanan yang disediakan oleh BPR dan BPRS. - 10 - Pasal 8 Dalam rangka penyelenggaraan Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), BPR dan BPRS wajib melakukan pencatatan seluruh transaksi dalam pembukuan BPR atau BPRS pada hari yang sama. BAB III WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI, DEWAN KOMISARIS, DAN SUMBER DAYA MANUSIA TERKAIT PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI INFORMASI Pasal 9 BPR dan BPRS wajib menetapkan wewenang dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris penyelenggaraan Teknologi Informasi. Pasal 10 Wewenang dan tanggung jawab Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 paling sedikit: a. menetapkan rencana pengembangan dan pengadaan Teknologi Informasi BPR atau BPRS; b. menetapkan kebijakan dan prosedur terkait penyelenggaraan Teknologi Informasi yang memadai dan mengomunikasikannya secara efektif, baik pada satuan kerja penyelenggara maupun pengguna Teknologi Informasi; c. memantau kecukupan kinerja penyelenggaraan Teknologi Informasi dan upaya peningkatannya; dan d. memastikan bahwa: 1. Teknologi Informasi yang digunakan mendukung perkembangan usaha, pencapaian tujuan bisnis dan kelangsungan pelayanan terhadap nasabah BPR atau BPRS; 2. terdapat kegiatan peningkatan kompetensi sumber daya manusia yang terkait dengan penyelenggaraan dan penggunaan Teknologi Informasi; terkait - 11 - 3. tersedianya sistem pengelolaan pengamanan informasi (information security management system) yang efektif dan dikomunikasikan kepada satuan kerja penyelenggara dan pengguna Teknologi Informasi; dan 4. kebijakan dan prosedur penyelenggaraan Teknologi Informasi diterapkan secara efektif. Pasal 11 Wewenang dan tanggung jawab Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 paling sedikit meliputi: a. mengarahkan dan memantau rencana pengembangan dan pengadaan Teknologi Informasi BPR atau BPRS yang bersifat mendasar; dan b. mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi terkait penyelenggaraan Teknologi Informasi BPR atau BPRS. Pasal 12 (1) Dalam rangka penyelenggaraan Teknologi Informasi secara efektif dan efisien, BPR dan BPRS wajib menunjuk satuan kerja atau pegawai yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan Teknologi Informasi. (2) Satuan kerja atau pegawai yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus independen terhadap kegiatan penghimpunan dana, penyaluran dana, pembukuan, dan/atau audit intern. (3) Wewenang dan tanggung jawab satuan kerja atau pegawai yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit: a. membantu Direksi dan Dewan Komisaris dalam penyelenggaraan Teknologi Informasi terkait dengan perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan; - 12 - b. mendukung pengembangan dan/atau pengadaan Teknologi Informasi; c. mendukung implementasi, operasional, dan pemeliharaan Teknologi Informasi; dan d. melakukan upaya penyelesaian permasalahan terkait operasional Teknologi Informasi, yang tidak dapat diselesaikan oleh satuan kerja pengguna Teknologi Informasi. BAB IV KEBIJAKAN DAN PROSEDUR PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI INFORMASI Pasal 13 (1) BPR dan BPRS wajib memiliki kebijakan dan prosedur penyelenggaraan Teknologi Informasi. (2) Kebijakan dan prosedur penyelenggaraan Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. wewenang dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris, dan Satuan Kerja atau pegawai yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Teknologi Informasi; b. pengembangan dan pengadaan; c. operasional Teknologi Informasi; d. jaringan komunikasi; e. pengamanan informasi; f. Rencana Pemulihan Bencana; g. audit intern Teknologi Informasi; dan h. kerjasama dengan penyedia jasa Teknologi Informasi. Pasal 14 (1) Dalam rangka penyelenggaraan Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), BPR dan BPRS wajib memiliki Rencana Pemulihan Bencana yang teruji dan memadai. - 13 - (2) Rencana Pemulihan Bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat dilaksanakan secara efektif agar operasional BPR dan BPRS tetap berjalan saat terjadi gangguan dan/atau bencana yang signifikan pada sarana Teknologi Informasi yang digunakan. (3) BPR dan BPRS wajib melakukan uji coba terhadap Rencana Pemulihan Bencana untuk Aplikasi Inti Perbankan, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun dengan melibatkan pengguna Teknologi Informasi. (4) BPR dan BPRS wajib melakukan kaji ulang terhadap Rencana Pemulihan Bencana secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun dengan mempertimbangkan hasil uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 15 Dalam melakukan pengembangan dan pengadaan Sistem Elektronik BPR dan BPRS wajib melakukan langkah- langkah pengendalian untuk menghasilkan sistem dan data yang terjaga kerahasiaan (confidentiality), integritas (integrity), dan ketersediaan (availability), serta mendukung pencapaian tujuan BPR atau BPRS, antara lain meliputi: a. menetapkan dan menerapkan prosedur pengembangan dan pengadaan Sistem Elektronik secara konsisten; b. menerapkan manajemen proyek dalam pengembangan dan pengadaan Sistem Elektronik; c. melakukan testing yang memadai pada saat pengembangan dan pengadaan Sistem Elektronik termasuk uji coba dengan melibatkan satuan kerja pengguna, untuk memastikan keakuratan dan berfungsinya Sistem Elektronik sesuai kebutuhan pengguna serta kesesuaian satu sistem dengan sistem yang lain; d. melakukan dokumentasi terhadap pengadaan, pengembangan, dan pemeliharaan Sistem Elektronik; - 14 - e. memiliki manajemen perubahan Sistem Elektronik; dan f. memastikan Sistem Elektronik BPR dan BPRS mampu menampilkan kembali informasi secara utuh. BAB V PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI INFORMASI BEKERJASAMA DENGAN PENYEDIA JASA Pasal 16 BPR dan BPRS wajib memastikan bahwa penyedia jasa Teknologi Informasi BPR atau BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) harus berbentuk badan hukum dan berkedudukan di wilayah Indonesia. Pasal 17 (1) Dalam penyelenggaraan Teknologi Informasi BPR atau BPRS bekerjasama dengan penyedia jasa Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) BPR dan BPRS wajib: a. bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Teknologi Informasi; b. melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Teknologi Informasi BPR atau BPRS yang diselenggarakan oleh pihak penyedia jasa Teknologi Informasi; c. memantau reputasi pihak penyedia jasa Teknologi Informasi dan kelangsungan penyediaan layanan kepada BPR atau BPRS; d. memilih pihak penyedia jasa Teknologi Informasi berdasarkan analisis manfaat dan biaya dengan melibatkan satuan kerja atau pegawai yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Teknologi Informasi; e. memberikan akses kepada Otoritas Jasa Keuangan terhadap Pangkalan Data secara tepat - 15 - waktu baik untuk data terkini maupun untuk data yang telah lalu; dan f. memastikan penyedia jasa Teknologi Informasi: 1. memiliki tenaga ahli yang didukung dengan sertifikat keahlian sesuai dengan keperluan penyelenggaraan Teknologi Informasi; 2. menerapkan prinsip pengendalian Teknologi Informasi secara memadai yang dibuktikan dengan hasil audit yang dilakukan pihak independen; 3. menyediakan akses bagi auditor intern BPR dan BPRS, auditor ekstern yang ditunjuk oleh BPR dan BPRS, dan Otoritas Jasa Keuangan untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan secara tepat waktu setiap kali dibutuhkan; 4. menyatakan tidak berkeberatan dalam hal Otoritas Jasa Keuangan dan/atau pihak lain yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan melakukan pemeriksaan terhadap kegiatan penyediaan jasa yang diberikan; 5. sebagai pihak terafiliasi, menjaga keamanan seluruh informasi termasuk rahasia bank dan data pribadi nasabah; 6. melaporkan kepada BPR atau BPRS setiap kejadian kritis yang dapat mengakibatkan kerugian keuangan dan/atau mengganggu kelangsungan operasional BPR atau BPRS; 7. menyediakan Rencana Pemulihan Bencana yang teruji dan memadai; 8. bersedia untuk menyepakati kemungkinan penghentian perjanjian kerja sama sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian (early termination) dalam hal perjanjian kerja sama tersebut menyebabkan atau diindikasikan akan menyebabkan kesulitan pelaksanaan - 16 - tugas pengawasan Otoritas Jasa Keuangan; dan 9. memenuhi tingkat layanan sesuai dengan perjanjian tingkat layanan (service level agreement) antara BPR atau BPRS dan pihak penyedia jasa Teknologi Informasi. (2) Penyelenggaraan Teknologi Informasi bekerja sama dengan penyedia jasa Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib didasarkan pada perjanjian kerja sama yang paling sedikit memuat pokok-pokok perjanjian kerja sama, termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f. (3) BPR dan BPRS wajib memastikan penyedia jasa Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dilarang melakukan pengalihan (subkontrak) sebagian atau seluruh kegiatan penyelenggaraan Teknologi Informasi BPR atau BPRS kepada pihak lain. (4) BPR dan BPRS tetap wajib melakukan proses seleksi dan melakukan transaksi dengan penyedia jasa Teknologi Informasi dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian, manajemen risiko, dan didasarkan pada hubungan kerja sama secara wajar (arm’s length principle), termasuk dalam hal penyedia jasa Teknologi Informasi merupakan pihak terkait dengan BPR atau BPRS. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai cakupan perjanjian kerja sama penyelenggaraan Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 18 (1) Dalam hal kerja sama dengan penyedia jasa Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) menyebabkan atau diindikasikan akan menyebabkan kesulitan pelaksanaan tugas - 17 - pengawasan Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta BPR atau BPRS untuk melakukan upaya perbaikan. (2) BPR atau BPRS wajib menyampaikan rencana tindak dalam rangka upaya perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal permintaan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima. (3) Dalam rangka pelaksanaan rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan memberikan jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan kepada BPR atau BPRS untuk melakukan upaya perbaikan. (4) Dalam hal setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) BPR atau BPRS tidak dapat melakukan upaya perbaikan, Otoritas Jasa Keuangan dapat memerintahkan BPR atau BPRS untuk menghentikan kerja sama dengan penyedia jasa Teknologi Informasi sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian. Pasal 19 (1) Dalam hal kerja sama dengan penyedia jasa Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) telah direalisasikan, namun terdapat kondisi berupa: a. memburuknya kinerja penyelenggaraan Teknologi Informasi BPR dan BPRS yang disebabkan oleh penyedia jasa Teknologi Informasi yang dapat berdampak signifikan terhadap kegiatan usaha BPR atau BPRS; b. penyedia jasa Teknologi Informasi mengalami kesulitan keuangan yang menyebabkan insolven, dalam proses menuju likuidasi, atau dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; - 18 - c. terdapat pelanggaran oleh penyedia jasa Teknologi Informasi terhadap kewajiban menjaga keamanan data dan informasi termasuk rahasia bank dan data pribadi nasabah; dan/atau d. terdapat kondisi yang menyebabkan BPR atau BPRS tidak dapat menyediakan data dan informasi yang diperlukan dalam rangka pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan; maka BPR dan BPRS wajib melakukan tindakan tertentu. (2) Tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit: a. melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketahui oleh BPR atau BPRS; b. memutuskan tindak lanjut yang akan diambil untuk mengatasi permasalahan termasuk penghentian kerja sama dengan penyedia jasa Teknologi Informasi apabila diperlukan; dan c. melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai keputusan tindak lanjut yang telah dan/atau akan diambil, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal laporan kondisi sebagaimana dimaksud pada huruf a. (3) Dalam hal BPR dan BPRS memutuskan untuk menghentikan kerja sama dengan penyedia jasa Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, BPR dan BPRS wajib melaporkan penghentian kerja sama kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak penghentian kerja sama dimaksud. - 19 - BAB VI PENGAMANAN PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI INFORMASI, TERMASUK KERAHASIAAN DATA PRIBADI NASABAH Pasal 20 (1) BPR dan BPRS wajib menerapkan upaya pengamanan yang diperlukan untuk mencegah gangguan keamanan dalam penyelenggaraan Teknologi Informasi yang berpotensi merugikan BPR, BPRS dan/atau nasabahnya. (2) Dalam rangka menerapkan upaya pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPR dan BPRS wajib menjaga kerahasiaan (confidentiality), integritas (integrity), ketersediaan (availability), dan dapat ditelusurinya suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang terkait dengan nasabah dan seluruh aktivitas BPR atau BPRS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) BPR dan BPRS wajib melakukan pengendalian otorisasi (authorization of control) penyelenggaraan Teknologi Informasi. Pasal 21 Dalam menyelenggarakan Teknologi Informasi, BPR dan BPRS wajib: a. menjamin perolehan, penggunaan, pemanfaatan, dan/atau pengungkapan data pribadi nasabah dilakukan berdasarkan persetujuan nasabah yang bersangkutan, kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-undangan; dan b. menjamin penggunaan atau pengungkapan data pribadi nasabah dilakukan berdasarkan persetujuan nasabah yang bersangkutan dan sesuai dengan tujuan yang disampaikan kepada nasabah pada saat perolehan data. dalam - 20 - BAB VII FUNGSI AUDIT INTERN PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI INFORMASI Pasal 22 (1) BPR dan BPRS wajib melaksanakan fungsi audit intern terhadap penyelenggaraan Teknologi Informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (2) Fungsi audit intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun sebagai bagian dari pelaksanaan audit intern atau dilaksanakan terpisah dari audit intern. (3) Dalam rangka pelaksanaan fungsi audit intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPR dan BPRS wajib memastikan tersedianya jejak audit (audit trail) terhadap seluruh kegiatan penyelenggaraan Teknologi Informasi untuk keperluan pengawasan, penegakan hukum, penyelesaian sengketa, verifikasi, pengujian, dan pemeriksaan lainnya. (4) Pelaksanaan fungsi audit intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh auditor ekstern. (5) Ketentuan lebih lanjut terkait dengan pelaksanaan fungsi audit intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. BAB VIII LAPORAN Bagian Kesatu Laporan Rutin Pasal 23 (1) BPR dan BPRS wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai pelaksanaan fungsi - 21 - audit intern sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1). (2) Jangka waktu penyampaian laporan pelaksanaan fungsi audit intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. bagi BPR, mengacu pada jangka waktu penyampaian laporan pelaksanaan dan pokok- pokok hasil audit intern sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penerapan Tata Kelola bagi BPR; dan b. bagi BPRS, disampaikan paling lambat pada tanggal 31 Januari untuk audit yang dilaksanakan atas periode akhir tahun sebelumnya. (3) Dalam hal tanggal 31 Januari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b jatuh pada hari Sabtu, Minggu, atau hari libur nasional maka laporan wajib disampaikan paling lambat pada hari kerja berikutnya. Bagian Kedua Laporan Insidentil Pasal 24 BPR dan BPRS wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai kondisi terkini penyelenggaraan Teknologi Informasi BPR atau BPRS: a. paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku; dan b. paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak Teknologi Informasi efektif beroperasi dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a terlampaui dan terjadi perubahan mendasar dalam penyelenggaraan Teknologi Informasi. - 22 - Pasal 25 BPR dan BPRS wajib menyampaikan laporan realisasi kerja sama dengan penyedia jasa Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak penyelenggaraan Teknologi Informasi BPR atau BPRS oleh penyedia jasa Teknologi Informasi efektif beroperasi. Pasal 26 (1) BPR dan BPRS wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai kejadian kritis, penyalahgunaan, dan/atau kejahatan dalam penyelenggaraan Teknologi Informasi yang dapat atau telah mengakibatkan kerugian keuangan yang signifikan dan/atau mengganggu kelancaran operasional BPR atau BPRS. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan melalui surat elektronik (e-mail) atau telepon paling lambat 1 (satu) hari setelah kejadian kritis, penyalahgunaan dan/atau kejahatan diketahui, yang diikuti dengan laporan tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak penyalahgunaan dan/atau kejahatan diketahui. BAB IX SANKSI Pasal 27 Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (4), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (3), Pasal 14 ayat (4), Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (4), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19 ayat (1), Pasal 19 ayat (3), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), dan/atau Pasal 22 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa: kejadian kritis, - 23 - a. teguran tertulis; b. penurunan peringkat tingkat kesehatan; c. larangan pembukaan jaringan kantor; d. penghentian sementara sebagian kegiatan usaha BPR dan BPRS; dan/atau e. pencantuman pengurus BPR atau BPRS dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak lulus melalui mekanisme uji kemampuan dan kepatutan BPR dan BPRS. Pasal 28 (1) BPR dan BPRS yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (3), Pasal 24, Pasal 25, dan/atau Pasal 26 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan dengan jumlah paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). (2) BPR dan BPRS dinyatakan terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila Otoritas Jasa Keuangan menerima laporan yang disampaikan oleh BPR atau BPRS dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (3), Pasal 24, Pasal 25 dan/atau Pasal 26 ayat (2). Pasal 29 (1) BPR dan BPRS yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (3), Pasal 24, Pasal 25 dan/atau Pasal 26 ayat (2) dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). (2) BPR dan BPRS dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) apabila Otoritas Jasa Keuangan tidak menerima - 24 - laporan dari BPR atau BPRS dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari kerja setelah batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (3), Pasal 24, Pasal 25 dan/atau Pasal 26 ayat (2). (3) BPR dan BPRS yang dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap wajib menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (3), Pasal 24, Pasal 25 dan/atau Pasal 26 ayat (2). BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 30 (1) BPR dan BPRS yang telah memperoleh izin usaha pada saat POJK ini diundangkan wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (3), Pasal 14 ayat (4), Pasal 16, Pasal 22 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (3) paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku. (2) BPR dan BPRS dalam proses pendirian dan belum memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan wajib memenuhi seluruh ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini pada saat pelaksanaan kegiatan operasional. - 25 - BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 31 Ketentuan lebih lanjut mengenai Standar Penyelenggaraan Teknologi Informasi bagi BPR atau BPRS diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 32 Dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini maka: a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/164/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/9/UPPB masing-masing tanggal 31 Maret 1995 tentang Penggunaan Teknologi Sistem Informasi oleh Bank; dan b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/175/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/14/UPPB tanggal 22 Desember 1998 tentang Penyempurnaan Teknologi Sistem Informasi Bank dalam Menghadapi Tahun 2000, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diberlakukan. - 26 - Pasal 33 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 308 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 75/POJK.03/2016 </reg_id> <reg_title> STANDAR PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI INFORMASI BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH </reg_title> <set_date> 23 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 28 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 28 Desember 2016 </issued_date> <replaced_reg> '31/14/UPPB|SE-BI/1998', '27/9/UPPB|SE-BI/1995', '27/164/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995', '31/175/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 77 /POJK.01/2016 TENTANG LAYANAN PINJAM MEMINJAM UANG BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa teknologi informasi telah digunakan untuk mengembangkan industri keuangan yang dapat mendorong tumbuhnya alternatif pembiayaan bagi masyarakat; b. bahwa dalam rangka mendukung pertumbuhan lembaga jasa keuangan berbasis teknologi informasi sehingga dapat lebih berkontribusi terhadap perekonomian nasional; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi; Mengingat : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG LAYANAN PINJAM MEMINJAM UANG BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 2. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya adalah pergadaian, lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, meliputi penyelenggara program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan peraturan perundang- undangan. 3. Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah - 3 - secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet. 4. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik di bidang layanan jasa keuangan. 5. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi di bidang layanan jasa keuangan. 6. Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. 7. Penerima Pinjaman adalah orang dan/atau badan hukum yang mempunyai utang karena perjanjian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. 8. Pemberi Pinjaman adalah orang, badan hukum, dan/atau badan usaha yang mempunyai piutang karena perjanjian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. 9. Pengguna Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang selanjutnya disebut Pengguna adalah Pemberi Pinjaman dan Penerima Pinjaman yang menggunakan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. 10. Direksi: a. bagi Penyelenggara yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; atau - 4 - b. bagi Penyelenggara yang berbentuk badan hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 11. Komisaris: a. bagi Penyelenggara yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; atau b. bagi Penyelenggara yang berbentuk badan hukum koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 12. Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau Sistem Elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 13. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 14. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik yang terdaftar di OJK. - 5 - 15. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. BAB II PENYELENGGARA LAYANAN PINJAM MEMINJAM UANG BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI Bagian Kesatu Bentuk Badan Hukum, Kepemilikan, dan Permodalan Pasal 2 (1) Penyelenggara dinyatakan sebagai Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. (2) Badan hukum Penyelenggara berbentuk: a. perseroan terbatas; atau b. koperasi. Pasal 3 (1) Penyelenggara berbentuk badan hukum perseroan terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, dapat didirikan dan dimiliki oleh: a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; dan/atau b. warga negara asing dan/atau badan hukum asing. (2) Kepemilikan saham Penyelenggara oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, baik secara langsung maupun tidak langsung paling banyak 85% (delapan puluh lima persen). - 6 - Pasal 4 (1) Penyelenggara berbentuk badan hukum perseroan terbatas wajib memiliki modal disetor paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) pada saat pendaftaran. (2) Penyelenggara berbentuk badan hukum koperasi wajib memiliki modal sendiri paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) pada saat pendaftaran. (3) Penyelenggara wajib memiliki modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau modal sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) pada saat mengajukan permohonan perizinan. Bagian Kedua Kegiatan Usaha Pasal 5 (1) Penyelenggara menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dari pihak Pemberi Pinjaman kepada pihak Penerima Pinjaman yang sumber dananya berasal dari pihak Pemberi Pinjaman. (2) Penyelenggara dapat bekerja sama dengan penyelenggara layanan jasa keuangan berbasis teknologi informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga Batasan Pemberian Pinjaman Dana Pasal 6 (1) Penyelenggara wajib memenuhi ketentuan batas maksimum total pemberian pinjaman dana kepada setiap Penerima Pinjaman. - 7 - (2) Batas maksimum total pemberian pinjaman dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (3) OJK dapat melakukan peninjauan kembali atas batas maksimum total pemberian pinjaman dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Bagian Keempat Pendaftaran dan Perizinan Pasal 7 Penyelenggara wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada OJK. Paragraf 1 Pendaftaran Pasal 8 (1) Penyelenggara yang akan melakukan kegiatan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi mengajukan permohonan pendaftaran kepada OJK. (2) Penyelenggara yang telah melakukan kegiatan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi sebelum peraturan OJK ini diundangkan, harus mengajukan permohonan pendaftaran kepada OJK paling lambat 6 (enam) bulan setelah peraturan OJK ini berlaku. (3) Permohonan pendaftaran oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), disampaikan oleh Direksi kepada Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya dengan menggunakan Formulir 1 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan OJK ini, dan dilampiri dengan dokumen yang paling sedikit memuat: - 8 - a. akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar berikut perubahannya (jika ada) yang telah disahkan/disetujui oleh instansi yang berwenang atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. bukti identitas diri dan daftar riwayat hidup yang dilengkapi dengan pas foto berwarna yang terbaru berukuran 4x6 cm dari: 1. pemegang saham yang memiliki saham paling sedikit 20% (dua puluh persen); 2. anggota Direksi; dan 3. anggota Komisaris; c. fotokopi nomor pokok wajib pajak badan; d. surat keterangan domisili Penyelenggara dari instansi yang berwenang; e. bukti kesiapan operasional kegiatan usaha berupa dokumen terkait Sistem Elektronik yang digunakan Penyelenggara dan data kegiatan operasional. f. bukti pemenuhan syarat permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) atau Pasal 4 ayat (2); g. surat pernyataan rencana penyelesaian terkait hak dan kewajiban Pengguna dalam hal perizinan Penyelenggara tidak disetujui oleh OJK. (4) Persetujuan atas permohonan pendaftaran dilakukan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya dokumen permohonan pendaftaran sesuai dengan persyaratan dalam peraturan OJK ini. persetujuan (5) OJK menetapkan pendaftaran Penyelenggara dengan memberikan surat tanda bukti terdaftar. Pasal 9 (1) Penyelenggara yang telah terdaftar wajib menyampaikan laporan secara berkala setiap 3 (tiga) - 9 - bulan untuk periode yang berakhir pada tanggal 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember kepada OJK dengan informasi yang paling sedikit memuat: a. jumlah Pemberi Pinjaman dan Penerima Pinjaman; b. kualitas pinjaman yang diterima oleh Penerima Pinjaman berikut dasar penilaian kualitas pinjaman; dan c. kegiatan yang telah dilakukan setelah terdaftar di OJK. (2) Laporan berkala setiap 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada OJK paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak jatuh tempo tanggal pelaporan. Pasal 10 (1) Penyelenggara yang telah terdaftar di OJK, wajib mengajukan permohonan izin sebagai Penyelenggara dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal terdaftar di OJK. (2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir, Penyelenggara yang telah mendapatkan surat tanda bukti terdaftar dan tidak menyampaikan permohonan perizinan atau tidak memenuhi persyaratan perizinan, surat tanda bukti terdaftar Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) dinyatakan batal. (3) Penyelenggara yang surat tanda bukti terdaftarnya dinyatakan batal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat lagi menyampaikan permohonan pendaftaran kepada OJK. (4) Penyelenggara yang surat tanda bukti terdaftarnya dinyatakan batal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus menyelesaikan hak dan kewajiban Pengguna sesuai dalam surat pernyataan rencana penyelesaian. (5) Penyelenggara yang masih terdaftar dan menyatakan tidak mampu meneruskan kegiatan operasionalnya, - 10 - harus mengajukan permohonan kepada OJK disertai dengan alasan ketidakmampuan, dan rencana penyelesaian hak dan kewajiban Pengguna. Paragraf 2 Perizinan Pasal 11 (1) Permohonan perizinan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) disampaikan oleh Direksi Penyelenggara kepada Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya dengan menggunakan Formulir 2 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan OJK ini dan dilampiri paling sedikit: a. akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar berikut perubahannya (jika ada) yang telah disahkan/disetujui oleh instansi yang berwenang atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang, yang paling sedikit memuat: 1. nama dan tempat kedudukan; 2. kegiatan usaha sebagai Perusahaan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi; 3. permodalan; 4. kepemilikan; 5. wewenang, tanggung jawab, masa jabatan Direksi, dan Komisaris; dan 6. perubahan anggaran dasar terakhir (jika ada) disertai dengan bukti pengesahan, persetujuan dan/atau surat penerimaan pemberitahuan dari instansi berwenang; b. daftar kepemilikan, berupa: 1. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham - 11 - bagi Penyelenggara berbentuk badan hukum perseroan terbatas; atau 2. daftar anggota berikut jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib bagi Penyelenggara berbentuk badan hukum koperasi; c. data pemegang saham: 1. bagi orang perseorangan, dilampiri dengan: a) fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda penduduk yang masih berlaku atau paspor bagi warga negara asing; b) fotokopi nomor pokok wajib pajak; c) daftar riwayat hidup dengan dilengkapi pas foto berwarna yang terbaru berukuran 4x6 cm; dan d) surat pernyataan bermeterai yang menyatakan: 1) setoran modal Penyelenggara tidak berasal dari pinjaman; 2) setoran modal Penyelenggara tidak berasal dari kegiatan pencucian uang (money laundering) dan kejahatan keuangan; 3) tidak tercatat dalam daftar kredit macet; 4) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau perekonomian berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; 5) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan - 12 - hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; 6) tidak pernah dinyatakan pailit atau bersalah yang menyebabkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan 7) tidak pernah menjadi pemegang saham pengendali, anggota direksi, atau anggota dewan komisaris, pada perusahaan jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam 5 (lima) tahun terakhir; 2. bagi badan hukum, dilampiri dengan: a) akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar berikut perubahan yang terakhir (jika ada), disertai dengan bukti pengesahan, persetujuan, atau pencatatan dari instansi berwenang; b) surat pernyataan direksi atau yang setara yang menyatakan bahwa: 1) setoran modal Penyelenggara tidak berasal dari pinjaman; 2) setoran modal Penyelenggara tidak berasal dari kegiatan pencucian uang (money laundering) dan kejahatan keuangan; dan 3) tidak tercatat dalam daftar kredit macet; 3. bagi pemerintah pusat, dilampiri dengan peraturan pemerintah mengenai penyertaan modal Negara untuk pendirian perusahaan; - 13 - 4. bagi pemerintah daerah, dilampiri dengan peraturan daerah mengenai penyertaan modal daerah untuk pendirian perusahaan; d. data Direksi dan Komisaris: 1. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda penduduk yang masih berlaku atau paspor bagi warga negara asing; 2. daftar riwayat hidup dengan dilengkapi pas foto berwarna yang terbaru berukuran 4x6 cm; 3. fotokopi nomor pokok wajib pajak; dan 4. surat pernyataan bermeterai dari masing- masing anggota Direksi, dan Komisaris yang menyatakan: a) tidak tercatat dalam daftar kredit macet; b) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang jasa keuangan dan/atau perekonomian berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; c) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; d) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah menyebabkan suatu badan usaha dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan e) tidak pernah menjadi pemegang saham, direksi, komisaris pada perusahaan jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam 5 (lima) tahun terakhir; - 14 - e. f. fotokopi bukti pemenuhan permodalan yang dilegalisasi dan masih berlaku selama proses permohonan perizinan atas nama pada salah satu bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang berbadan hukum Indonesia; struktur organisasi Penyelenggara; g. pedoman/standar prosedur operasional terkait penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme; h. rencana kerja untuk 1 (satu) tahun pertama yang paling sedikit memuat: 1. gambaran mengenai kegiatan usaha yang akan dilakukan; 2. target dan langkah-langkah yang dilakukan untuk mewujudkan target dimaksud; dan 3. proyeksi laporan keuangan untuk 1 (satu) tahun ke depan; i. bukti kesiapan operasional berupa: 1. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung dan ruangan kantor atau unit layanan (outlet), berupa fotokopi sertifikat hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai atas nama Penyelenggara, atau perjanjian sewa gedung/ruangan; dan 2. daftar inventaris dan peralatan kantor; j. fotokopi nomor pokok wajib pajak atas nama Penyelenggara; k. surat pernyataan rencana penyelesaian terkait hak dan kewajiban Pengguna dalam hal Penyelenggara tidak dapat meneruskan kegiatan operasional sistem elektronik Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi; dan bukti pelunasan biaya perizinan. l. (2) OJK melakukan penelaahan atas permohonan perizinan yang disampaikan oleh Penyelenggara. - 15 - (3) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan perizinan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya dokumen permohonan perizinan sesuai dengan persyaratan dalam peraturan OJK ini. (4) Permohonan perizinan otomatis berlaku apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terlampaui. Bagian Kelima Perubahan Kepemilikan Pasal 12 Perubahan kepemilikan Penyelenggara harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari OJK. Bagian Keenam Pencabutan Izin Atas Permohonan Sendiri Pasal 13 (1) Penyelenggara yang memperoleh izin dan menyatakan tidak mampu meneruskan kegiatan operasionalnya, harus mengajukan permohonan kepada OJK disertai dengan alasan ketidakmampuan, dan rencana penyelesaian hak dan kewajiban Pengguna. (2) OJK mencabut izin Penyelenggara paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Ketujuh Kualifikasi Sumber Daya Manusia Pasal 14 (1) Penyelenggara wajib memiliki sumber daya manusia yang memiliki keahlian dan/atau latar belakang di bidang teknologi informasi. (2) Penyelenggara wajib memiliki paling sedikit 1 (satu) orang anggota Direksi dan 1 (satu) orang anggota - 16 - Komisaris yang berpengalaman paling sedikit 1 (satu) tahun di industri jasa keuangan. (3) Penyelenggara harus meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan yang mendukung pengembangan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. BAB III PENGGUNA JASA LAYANAN PINJAM MEMINJAM UANG BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI Bagian Kesatu Penerima Pinjaman Pasal 15 (1) Penerima Pinjaman harus berasal dan berdomisili di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. (2) Penerima Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. orang perseorangan warga negara Indonesia; atau b. badan hukum Indonesia. Bagian Kedua Pemberi Pinjaman Pasal 16 (1) Pemberi Pinjaman dapat berasal dari dalam dan/atau luar negeri. (2) Pemberi Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. orang perseorangan warga negara Indonesia; b. orang perseorangan warga negara asing; c. badan hukum Indonesia/asing; d. badan usaha Indonesia/asing; dan/atau e. lembaga internasional. - 17 - Pasal 17 (1) Penyelenggara memberikan masukan atas suku bunga yang ditawarkan oleh Pemberi Pinjaman dan Penerima Pinjaman dengan mempertimbangkan kewajaran dan perkembangan perekonomian nasional. (2) Dalam hal Penerima Pinjaman menerima pinjaman dari luar negeri, penyelenggaraan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB IV PERJANJIAN LAYANAN PINJAM MEMINJAM UANG BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI Pasal 18 Perjanjian pelaksanaan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi meliputi: a. perjanjian antara Penyelenggara dengan Pemberi Pinjaman; dan b. perjanjian antara Pemberi Pinjaman dengan Penerima Pinjaman. Bagian Kesatu Perjanjian Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dengan Pemberi Pinjaman Pasal 19 (1) Perjanjian penyelenggaraan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi antara Penyelenggara dengan Pemberi Pinjaman dituangkan dalam Dokumen Elektronik. (2) Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada pada ayat (1) wajib paling sedikit memuat: a. nomor perjanjian; b. tanggal perjanjian; c. identitas para pihak; - 18 - d. ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak; e. jumlah pinjaman; f. suku bunga pinjaman; g. besarnya komisi; h. jangka waktu; i. rincian biaya terkait; j. ketentuan mengenai denda (jika ada); k. mekanisme penyelesaian sengketa; dan l. mekanisme penyelesaian dalam hal Penyelenggara tidak dapat melanjutkan kegiatan operasionalnya. (3) Penyelenggara wajib menyediakan akses informasi kepada Pemberi Pinjaman atas penggunaan dananya. (4) Akses informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak termasuk informasi terkait identitas Penerima Pinjaman. (5) Informasi penggunaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit memuat: a. jumlah dana yang dipinjamkan kepada Penerima Pinjaman; b. tujuan pemanfaatan dana oleh Penerima Pinjaman; c. besaran bunga pinjaman; dan d. jangka waktu pinjaman. Bagian Kedua Perjanjian Pemberi Pinjaman dengan Penerima Pinjaman Pasal 20 (1) Perjanjian pemberian pinjaman antara Pemberi Pinjaman dengan Penerima Pinjaman dituangkan dalam Dokumen Elektronik. (2) Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib paling sedikit memuat: a. nomor perjanjian; b. tanggal perjanjian; c. identitas para pihak; - 19 - d. ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak; e. jumlah pinjaman; f. suku bunga pinjaman; g. nilai angsuran; h. jangka waktu; i. j. objek jaminan (jika ada); rincian biaya terkait; k. ketentuan mengenai denda (jika ada); dan l. mekanisme penyelesaian sengketa. (3) Penyelenggara wajib menyediakan akses informasi kepada Penerima Pinjaman atas posisi pinjaman yang diterima. (4) Akses informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak termasuk informasi terkait identitas Pemberi Pinjaman. BAB V MITIGASI RISIKO Pasal 21 Penyelenggara dan Pengguna harus melakukan mitigasi risiko. Pasal 22 Penyelenggara dapat menjadi anggota sistem layanan informasi keuangan OJK atau sistem layanan informasi lainnya yang terdaftar di OJK dengan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 23 Penyelenggara dapat bekerjasama dan melakukan pertukaran data dengan penyelenggara layanan pendukung berbasis teknologi informasi dalam rangka peningkatan kualitas Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. - 20 - Pasal 24 (1) Penyelenggara wajib menggunakan escrow account dan virtual account dalam rangka Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. (2) Penyelenggara wajib menyediakan virtual account bagi setiap Pemberi Pinjaman. (3) Dalam rangka pelunasan pinjaman, Penerima Pinjaman melakukan pembayaran melalui escrow account Penyelenggara untuk diteruskan ke virtual account Pemberi Pinjaman. BAB VI TATA KELOLA SISTEM TEKNOLOGI INFORMASI PENYELENGGARAAN LAYANAN PINJAM MEMINJAM UANG BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI Bagian Kesatu Pusat Data dan Pusat Pemulihan Bencana Pasal 25 (1) Penyelenggara wajib menggunakan pusat data dan pusat pemulihan bencana. (2) Pusat data dan pusat pemulihan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditempatkan di Indonesia. (3) Penyelenggara wajib memenuhi standar minimum sistem teknologi informasi, pengelolaan risiko teknologi informasi, pengamanan teknologi informasi, ketahanan terhadap gangguan dan kegagalan sistem, serta alih kelola sistem teknologi informasi. Bagian Kedua Kerahasiaan Data Pasal 26 Penyelenggara wajib: - 21 - a. menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya sejak data diperoleh hingga data tersebut dimusnahkan; b. memastikan tersedianya proses autentikasi, verifikasi, dan validasi yang mendukung kenirsangkalan dalam mengakses, memproses, dan mengeksekusi data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya; c. menjamin bahwa perolehan, penggunaan, pemanfaatan, dan pengungkapan data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang diperoleh oleh Penyelenggara berdasarkan persetujuan pemilik data pribadi, data transaksi, dan data keuangan, kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang- undangan; d. menyediakan media komunikasi lain selain Sistem Elektronik Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi untuk memastikan kelangsungan layanan nasabah yang dapat berupa surat elektronik, call center, atau media komunikasi lainnya; dan e. memberitahukan secara tertulis kepada pemilik data pribadi, data transaksi, dan data keuangan tersebut jika terjadi kegagalan dalam perlindungan kerahasiaan data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya. Bagian Ketiga Rekam Jejak Audit Pasal 27 (1) Penyelenggara wajib menyediakan rekam jejak audit terhadap seluruh kegiatannya di dalam Sistem Elektronik Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. - 22 - (2) Penyelenggara wajib memastikan bahwa perangkat sistem Teknologi Informasi yang dipergunakan mendukung penyediaan rekam jejak audit. (3) Rekam jejak audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk keperluan pengawasan, penegakan hukum, penyelesaian sengketa, verifikasi, pengujian, dan pemeriksaan lainnya. Bagian Keempat Sistem Pengamanan Pasal 28 (1) Penyelenggara wajib melakukan pengamanan terhadap komponen sistem teknologi informasi dengan memiliki dan menjalankan prosedur dan sarana untuk pengamanan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dalam menghindari gangguan, kegagalan, dan kerugian. (2) Penyelenggara wajib menyediakan sistem pengamanan yang mencakup prosedur, sistem pencegahan, dan penanggulangan terhadap ancaman dan serangan yang menimbulkan gangguan, kegagalan, dan kerugian. (3) Penyelenggara wajib ikut serta dalam pengelolaan celah keamanan teknologi informasi dalam mendukung keamanan informasi di dalam industri layanan jasa keuangan berbasis teknologi informasi. (4) Penyelenggara wajib menampilkan kembali Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan format dan masa retensi yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. - 23 - BAB VII EDUKASI DAN PERLINDUNGAN PENGGUNA LAYANAN PINJAM MEMINJAM UANG BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI Pasal 29 Penyelenggara wajib menerapkan prinsip dasar dari perlindungan Pengguna yaitu: a. transparansi; b. perlakuan yang adil; c. keandalan; d. kerahasiaan dan keamanan data; dan e. penyelesaian sengketa Pengguna secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau. Pasal 30 (1) Penyelenggara wajib menyediakan dan/atau menyampaikan informasi terkini mengenai Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam dokumen atau sarana lain yang dapat digunakan sebagai alat bukti. Pasal 31 (1) Penyelenggara wajib menyampaikan informasi kepada Pengguna tentang penerimaan, penundaan, atau penolakan permohonan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. (2) Dalam hal Penyelenggara menyampaikan informasi penundaan atau penolakan permohonan layanan jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara wajib menyampaikan alasan penundaan atau penolakannya kecuali diatur lain oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. - 24 - Pasal 32 (1) Penyelenggara wajib menggunakan istilah, frasa, dan/atau kalimat yang sederhana dalam bahasa Indonesia yang mudah dibaca dan dimengerti oleh Pengguna dalam setiap Dokumen Elektronik. (2) Bahasa Indonesia dalam dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disandingkan dengan bahasa lain jika diperlukan. Pasal 33 Penyelenggara mendukung pelaksanaan kegiatan dalam rangka meningkatkan literasi dan inklusi keuangan. Pasal 34 Penyelenggara wajib memperhatikan kesesuaian antara kebutuhan dan kemampuan Pengguna dengan layanan yang ditawarkan kepada Pengguna. Pasal 35 Penyelenggara wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan dalam setiap penawaran atau promosi layanan yang terdiri atas: a. nama dan/atau logo Penyelenggara; dan b. pernyataan bahwa Penyelenggara terdaftar dan diawasi oleh OJK. Pasal 36 (1) Dalam hal Penyelenggara menggunakan perjanjian baku, perjanjian baku tersebut wajib disusun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang digunakan oleh Penyelenggara dilarang: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban Penyelenggara kepada Pengguna; dan b. menyatakan bahwa Pengguna tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh - 25 - Penyelenggara dalam memanfaatkan layanan. Pasal 37 Penyelenggara wajib bertanggung jawab atas kerugian Pengguna yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian, Direksi, dan/atau pegawai Penyelenggara. Pasal 38 Penyelenggara wajib memiliki standar prosedur operasional dalam melayani Pengguna yang dimuat dalam Dokumen Elektronik. Pasal 39 (1) Penyelenggara dilarang dengan cara apapun, memberikan data dan/atau informasi mengenai Pengguna kepada pihak ketiga. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam hal: a. Pengguna memberikan persetujuan secara elektronik; dan/atau b. diwajibkan oleh ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Pembatalan atau perubahan sebagian persetujuan atas pengungkapan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan secara elektronik oleh Pengguna dalam bentuk Dokumen Elektronik. Pasal 40 Penyelenggara wajib melaporkan secara elektronik setiap bulan dalam hal terdapat pengaduan Pengguna disertai dengan tindak lanjut penyelesaian pengaduan dimaksud kepada OJK. periode Pengguna - 26 - BAB VIII TANDA TANGAN ELEKTRONIK Pasal 41 (1) Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dilaksanakan dengan menggunakan tanda tangan elektronik. (2) Perjanjian selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disusun dalam rangka penyelenggaraan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dapat menggunakan tanda tangan elektronik. (3) Penggunaan tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai tanda tangan elektronik. BAB IX PRINSIP DAN TEKNIS PENGENALAN NASABAH Pasal 42 Penyelenggara wajib menerapkan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme di sektor jasa keuangan terhadap Pengguna sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. BAB X LARANGAN Pasal 43 Dalam menjalankan kegiatan usaha, Penyelenggara dilarang: a. melakukan kegiatan usaha selain kegiatan usaha Penyelenggara yang diatur dalam peraturan OJK ini; - 27 - b. bertindak sebagai Pemberi Pinjaman atau Penerima Pinjaman; c. memberikan jaminan dalam segala bentuknya atas pemenuhan kewajiban pihak lain; d. menerbitkan surat utang; e. memberikan rekomendasi kepada Pengguna; f. mempublikasikan informasi yang fiktif dan/atau menyesatkan; g. melakukan penawaran layanan kepada Pengguna dan/atau masyarakat melalui sarana komunikasi pribadi tanpa persetujuan Pengguna; dan h. mengenakan biaya apapun kepada Pengguna atas pengajuan pengaduan. BAB XI LAPORAN BERKALA Pasal 44 Penyelenggara yang telah memperoleh izin, wajib menyampaikan laporan berkala secara elektronik kepada OJK, yaitu: a. b. laporan bulanan; dan laporan tahunan. Pasal 45 (1) Laporan bulanan Penyelenggara wajib paling sedikit memuat: a. laporan kinerja keuangan Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang disampaikan dalam bentuk dokumen fisik dan Dokumen Elektronik; b. laporan kinerja penyelenggaraan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dalam bentuk dokumen fisik dan Dokumen Elektronik; - 28 - c. Dokumen Elektronik dalam format database dengan struktur elemen database Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi; dan d. pengaduan Pengguna disertai dengan tindak lanjut penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40; sesuai Formulir 3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan OJK ini. (2) Dalam hal diperlukan, OJK dapat meminta informasi dan/atau data tambahan kepada Penyelenggara. (3) Laporan bulanan disampaikan dalam bentuk dokumen fisik dan dokumen elektronik. (4) Laporan bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja pada bulan berikutnya. (5) Penyampaian informasi laporan bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditembuskan pada anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen. Pasal 46 (1) Penyelenggara wajib menyampaikan laporan tahunan kepada OJK untuk periode pelaporan 1 Januari sampai 31 Desember. (2) Laporan tahunan terdiri dari: a. laporan keuangan; dan b. laporan kegiatan penyelenggaraan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi; sesuai Formulir 4 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan OJK ini. (3) Dalam hal diperlukan, OJK dapat meminta informasi dan/atau data tambahan kepada Penyelenggara. - 29 - (4) Laporan tahunan disampaikan dalam bentuk dokumen fisik dan dokumen elektronik. (5) Laporan tahunan sebagaimana ayat (4) disampaikan kepada Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah periode pelaporan berakhir. BAB XII SANKSI Pasal 47 (1) Atas pelanggaran kewajiban dan larangan dalam peraturan OJK ini, OJK berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap Penyelenggara berupa: a. peringatan tertulis; b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; dan d. pencabutan izin. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf d, dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d. BAB XIII KETENTUAN LAIN Pasal 48 Penyelenggara wajib terdaftar sebagai anggota asosiasi yang telah ditunjuk oleh OJK. - 30 - BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 49 Pelaksanaan kerja sama antara Penyelenggara dengan penyelenggara layanan pendukung berbasis teknologi informasi yang terdaftar di OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 mulai berlaku 2 (dua) tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan. Pasal 50 Pada saat peraturan OJK ini berlaku, perjanjian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang masih berlangsung dengan nilai pinjaman dana melebihi batas maksimum total pemberian pinjaman dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, tetap dapat dilanjutkan sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian dimaksud. BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 51 Ketentuan lebih lanjut mengenai Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi antara lain terkait perubahan batas maksimum total pemberian pinjaman dana, tata cara pemberian pinjaman, kerja sama antara Penyelenggara dengan penyelenggara layanan pendukung lainnya berbasis teknologi informasi, penempatan pusat data dan standar minimum sistem teknologi informasi, pengelolaan risiko teknologi informasi, pengamanan teknologi informasi, ketahanan terhadap gangguan dan kegagalan sistem serta alih kelola sistem teknologi informasi, sistem keamanan, kerahasiaan data, kegagalan sistem transaksi Penyelenggara, pengamanan sistem teknologi informasi, pengelolaan celah keamanan teknologi - 31 - informasi, retensi informasi dan/atau Dokumen Elektronik, dan tata cara penggunaan Tanda Tangan Elektronik dalam penyelenggaraan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, diatur dalam surat edaran OJK. Pasal 52 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 324 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 77/POJK.01/2016 </reg_id> <reg_title> LAYANAN PINJAM MEMINJAM UANG BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI </reg_title> <set_date> 28 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 29 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 29 Desember 2016 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 48 /POJK.03/2017 TENTANG TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK PERKREDITAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk menciptakan transparansi kondisi keuangan dan kinerja Bank Perkreditan Rakyat, Bank Perkreditan Rakyat mengumumkan laporan keuangan dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa untuk meningkatkan transparansi kondisi keuangan dan kinerja Bank Perkreditan Rakyat, diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara publikasi kondisi keuangan Bank Perkreditan Rakyat dan informasi lainnya kepada publik secara berkala, akurat, dan benar; c. bahwa penyusunan laporan keuangan tahunan dan laporan keuangan publikasi Bank Perkreditan Rakyat sesuai dengan standar akuntansi keuangan untuk entitas tanpa akuntabilitas publik bagi Bank Perkreditan Rakyat dan pedoman akuntansi Bank Perkreditan Rakyat; d. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di sektor perbankan dari Bank Indonesia ke - 2 - Otoritas Jasa Keuangan diperlukan pengaturan kembali transparansi kondisi keuangan Bank Perkreditan Rakyat; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat; Mengingat : a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); b. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK PERKREDITAN RAKYAT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha - 3 - secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 2. Laporan Tahunan adalah laporan lengkap mengenai kinerja suatu BPR dalam kurun waktu 1 (satu) tahun yang berisi laporan keuangan tahunan dan informasi umum. 3. Laporan Keuangan Tahunan adalah laporan keuangan akhir tahun BPR yang disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi BPR dan pedoman akuntansi BPR. 4. Laporan Keuangan Publikasi adalah laporan keuangan BPR yang disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi BPR dan pedoman akuntasi BPR serta dipublikasikan setiap triwulan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. 5. Tahun Buku adalah tahun takwim atau tahun yang dimulai dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember. 6. Surat Komentar (Management Letter) adalah surat dari kantor akuntan publik yang berisi komentar tertulis dari akuntan publik kepada manajemen bank mengenai hasil kaji ulang terhadap struktur pengendalian intern, pelaksanaan standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi BPR atau masalah lain yang ditemui dalam pelaksanaan audit, beserta saran perbaikannya. 7. Direksi: a. bagi BPR berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah - 4 - beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada BPR yang belum berubah bentuk badan hukum menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 8. Dewan Komisaris: a. bagi BPR berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam - 5 - Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada BPR yang belum berubah bentuk badan hukum menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Pasal 2 (1) BPR wajib menyusun dan menyajikan laporan keuangan dengan bentuk dan cakupan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang terdiri atas: a. Laporan Tahunan; dan b. Laporan Keuangan Publikasi. (2) Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun dalam Bahasa Indonesia. - 6 - BAB II LAPORAN TAHUNAN Pasal 3 (1) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a paling sedikit memuat: a. informasi umum yang meliputi: 1. kepengurusan; 2. kepemilikan; 3. perkembangan usaha BPR; 4. strategi dan kebijakan manajemen; dan 5. laporan manajemen; b. Laporan Keuangan Tahunan yang terdiri atas: 1. neraca; 2. laporan laba rugi; 3. laporan perubahan ekuitas; 4. laporan arus kas; dan 5. catatan atas laporan keuangan, termasuk informasi tentang komitmen dan kontinjensi; c. opini dari akuntan publik atas Laporan Keuangan Tahunan BPR yang diaudit oleh akuntan publik; d. seluruh aspek transparansi dan informasi yang diwajibkan untuk Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; e. seluruh aspek pengungkapan (disclosure) sebagaimana diwajibkan dalam standar akuntasi keuangan yang berlaku bagi BPR dan pedoman akuntansi BPR; dan f. Surat Komentar (Management Letter) atas audit Laporan Keuangan Tahunan BPR. (2) Laporan Keuangan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib disusun untuk 1 (satu) Tahun Buku dan disajikan dengan perbandingan 1 (satu) Tahun Buku sebelumnya. - 7 - Pasal 4 (1) BPR wajib menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditandatangani paling sedikit oleh 1 (satu) anggota Direksi BPR dengan mencantumkan nama secara jelas. (3) Dalam hal seluruh anggota Direksi berhalangan, Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditandatangani oleh anggota Dewan Komisaris atau pejabat yang ditunjuk oleh rapat umum pemegang saham atau sesuai dengan anggaran dasar, dengan mencantumkan nama dan jabatan secara jelas. (4) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lambat akhir bulan April setelah Tahun Buku berakhir. Pasal 5 (1) Bagi BPR yang mempunyai total aset paling sedikit sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), Laporan Keuangan Tahunan yang disampaikan dalam Laporan Tahunan wajib diaudit terlebih dahulu oleh akuntan publik yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. (2) Bagi BPR yang mempunyai total aset kurang dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), Laporan Keuangan Tahunan yang disampaikan dalam Laporan Tahunan yaitu Laporan Keuangan Tahunan yang telah dipertanggungjawabkan oleh Direksi dalam rapat umum pemegang saham atau rapat anggota. (3) Dalam hal Laporan Keuangan Tahunan BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diaudit oleh akuntan publik, Laporan Keuangan Tahunan yang disampaikan dalam Laporan Tahunan adalah Laporan Keuangan Tahunan yang diaudit. - 8 - (4) Apabila pelaksanaan audit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melewati batas waktu penyampaian Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), selain menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), BPR menyampaikan Laporan Keuangan Tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik paling lambat 1 (satu) bulan setelah diterimanya hasil audit atas Laporan Keuangan. (5) Laporan Keuangan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disusun sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi BPR dan pedoman akuntansi BPR. Pasal 6 BPR yang telah menyampaikan Laporan Tahunan namun: a. Laporan Keuangan Tahunan BPR tidak diaudit oleh akuntan publik yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1); atau b. Laporan Keuangan Tahunan BPR belum dipertanggungjawabkan oleh Direksi kepada rapat umum pemegang saham atau rapat anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), dinyatakan belum menyampaikan Laporan Tahunan. Pasal 7 (1) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Tahunan, apabila BPR menyampaikan Laporan Tahunan kepada Otoritas Jasa Keuangan setelah batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), sampai dengan paling lambat 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian laporan. (2) BPR dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Tahunan apabila BPR belum menyampaikan Laporan - 9 - Tahunan setelah batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) BPR yang tidak menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap wajib menyampaikan Laporan Tahunan sebelum Tahun Buku berikutnya. BAB III LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI Pasal 8 (1) BPR wajib mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi triwulanan untuk posisi akhir bulan Maret, bulan Juni, bulan September, dan bulan Desember sesuai dengan bentuk dan tata cara yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Laporan Keuangan Publikasi untuk posisi bulan Desember disusun berdasarkan Laporan Keuangan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. (3) Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b paling sedikit memuat: a. laporan keuangan yang terdiri atas: 1. neraca; 2. 3. laporan laba rugi; dan laporan komitmen dan kontinjensi; b. informasi lain yang paling sedikit terdiri atas: 1. kualitas aset produktif (KAP) untuk: a) penempatan pada bank lain; dan b) kredit yang diberikan, baik kepada pihak terkait maupun pihak tidak terkait; 2. rasio keuangan, yang terdiri atas: a) Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM); b) Non-Performing Loan (NPL); c) penyisihan penghapusan aset produktif (PPAP); - 10 - d) Return On Asset (ROA); e) Beban f) Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO); cash ratio; dan g) Loan to Deposit Ratio (LDR); dan c. susunan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan komposisi pemegang saham termasuk pemegang saham pengendali. (4) Laporan Keuangan Publikasi triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disajikan dalam bentuk perbandingan dengan Laporan Keuangan Publikasi triwulanan tahun sebelumnya. Pasal 9 (1) BPR yang mempunyai total aset paling sedikit sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) wajib: a. mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Maret, bulan Juni, dan bulan September dalam surat kabar harian lokal atau menempelkan pada papan pengumuman atau media lain yang mudah dibaca oleh publik; dan b. mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember dalam surat kabar harian lokal dan menempelkan pada papan pengumuman atau media lain yang mudah dibaca oleh publik. (2) BPR yang mempunyai total aset kurang dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) wajib mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Maret, bulan Juni, bulan September, dan bulan Desember pada surat kabar harian lokal atau menempelkan pada papan pengumuman atau media lain yang mudah dibaca oleh publik. (3) Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dilakukan paling lambat pada: - 11 - a. akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan untuk Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Maret, bulan Juni, dan bulan September; dan b. akhir bulan keempat setelah berakhirnya bulan laporan untuk Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember. Pasal 10 (1) Dalam hal BPR mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi dengan menempelkan pada papan pengumuman atau media lain yang mudah dibaca oleh publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Laporan Keuangan Publikasi wajib: a. ditempelkan di seluruh kantor BPR; dan b. ditempelkan secara terus menerus sampai dengan jangka waktu pelaporan berikutnya. (2) BPR yang tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi. Pasal 11 (1) BPR dinyatakan terlambat mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi apabila mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi setelah batas akhir waktu pengumuman laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) sampai dengan paling lambat 1 (satu) bulan sejak batas akhir pengumuman laporan. (2) BPR dinyatakan tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi, apabila BPR belum mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi setelah batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal BPR telah mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi posisi bulan Desember, namun: - 12 - a. Laporan Keuangan Tahunan untuk Laporan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) tidak diaudit oleh akuntan publik yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; atau b. Laporan Keuangan Tahunan untuk Laporan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) belum dipertanggungjawabkan oleh Direksi kepada rapat umum pemegang saham atau rapat anggota, BPR dinyatakan belum mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi posisi bulan Desember. Pasal 12 (1) Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus ditandatangani paling sedikit oleh 1 (satu) anggota Direksi dengan mencantumkan nama secara jelas. (2) Dalam hal seluruh anggota Direksi berhalangan, Laporan Keuangan Publikasi ditandatangani oleh anggota Dewan Komisaris atau pejabat yang ditunjuk oleh rapat umum pemegang saham atau sesuai anggaran dasar, dengan mencantumkan nama dan jabatan secara jelas. (3) Bagi BPR yang laporan keuangannya diaudit oleh akuntan publik, Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember harus: a. memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan b. mencantumkan nama akuntan publik yang bertanggung jawab dalam audit (partner in charge) dan nama kantor akuntan publik yang mengaudit Laporan Keuangan Tahunan. Pasal 13 BPR wajib menyampaikan bukti pengumuman kepada Otoritas Jasa Keuangan berupa: - 13 - a. halaman surat kabar yang memuat Laporan Keuangan Publikasi; dan/atau b. fotokopi Laporan Keuangan Publikasi yang ditempelkan pada papan pengumuman atau media lain, paling lambat tanggal 14 setelah berakhirnya batas waktu pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3). Pasal 14 (1) BPR wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan rekaman data Laporan Keuangan Publikasi secara daring (online) melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan, paling lambat tanggal 14 setelah batas akhir pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3). (2) Dalam hal penyampaian laporan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dapat dilakukan, BPR menyampaikan laporan secara daring (online) melalui aplikasi laporan berkala BPR sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai laporan bulanan BPR. (3) BPR dapat dikecualikan dari kewajiban menyampaikan rekaman data Laporan Keuangan Publikasi secara daring dimaksud pada ayat (1) dan menyampaikan laporan secara luring (offline), dalam hal: a. BPR berkedudukan di daerah yang belum tersedia fasilitas jaringan telekomunikasi; b. BPR baru beroperasi dengan jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan setelah melakukan kegiatan operasional; c. BPR mengalami gangguan teknis; dan/atau d. terjadi kerusakan dan/atau gangguan pada pangkalan data (database) atau jaringan komunikasi Otoritas Jasa Keuangan, atau Bank (online) sebagaimana - 14 - Indonesia dalam hal penyampaian laporan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum dapat dilakukan. (4) BPR dapat menyampaikan rekaman data Laporan Keuangan Publikasi secara luring (offline) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan terlebih dahulu menyampaikan surat pemberitahuan beserta alasannya kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan tembusan kepada Bank Indonesia dalam hal penyampaian laporan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum dapat dilakukan. Pasal 15 (1) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan rekaman data Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), apabila BPR menyampaikan bukti pengumuman atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi setelah berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) sampai dengan paling lama 1 (satu) bulan sejak batas akhir penyampaian. (2) BPR dinyatakan tidak menyampaikan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), apabila BPR belum menyampaikan bukti pengumuman atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal BPR telah menyampaikan rekaman data Laporan Keuangan Publikasi namun data tidak sesuai dengan Laporan Keuangan Publikasi yang diumumkan, BPR dinyatakan belum menyampaikan rekaman data Laporan Keuangan Publikasi. setelah batas waktu keterlambatan - 15 - BAB IV TANGGUNG JAWAB LAPORAN KEUANGAN Pasal 16 Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris BPR. BAB V KEADAAN KAHAR (FORCE MAJEURE) Pasal 17 (1) BPR yang mengalami keadaan kahar (force majeure) yang berdampak pada terlampauinya batas waktu untuk mengumumkan dan/atau menyampaikan laporan, dikecualikan dari kewajiban mengumumkan dan/atau menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), Pasal 9 ayat (3), Pasal 13, dan Pasal 14 ayat (1). (2) Untuk memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPR harus menyampaikan surat pemberitahuan disertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya keadaan kahar (force majeure) yang dialami dan disertai keterangan pejabat yang berwenang dari instansi terkait di daerah setempat kepada Otoritas Jasa Keuangan, dengan tembusan kepada Bank Indonesia dalam hal penyampaian laporan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum dapat dilakukan. (3) BPR yang memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mengumumkan dan/atau menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), Pasal 9 ayat (3), Pasal 13, dan Pasal 14 ayat (1), setelah BPR kembali melakukan kegiatan operasional secara normal. (4) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya diberikan hingga keadaan kahar - 16 - (force majeure) atau berdasarkan pertimbangan Otoritas Jasa Keuangan telah dapat teratasi. BAB VI SANKSI Bagian Kesatu Laporan Tahunan Pasal 18 (1) BPR yang terlambat menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari keterlambatan. (2) BPR yang tidak menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). (3) BPR yang tidak menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hingga periode penyampaian Laporan Tahunan berikutnya dikenakan sanksi administratif, berupa teguran tertulis dan: a. penurunan tingkat kesehatan bank; dan/atau b. pencantuman anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau pemegang saham pengendali dalam daftar pihak yang memperoleh predikat tidak lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai uji kemampuan dan kepatutan. Pasal 19 (1) BPR yang menyampaikan Laporan Tahunan yang penyusunan dan penyajiannya tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 dan/atau standar akuntansi keuangan yang - 17 - berlaku bagi BPR dan pedoman akuntansi BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) dikenakan: a. sanksi administratif berupa denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) apabila setelah diberi surat peringatan sebanyak 2 (dua) kali oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan tenggang waktu 2 (dua) minggu untuk setiap surat peringatan, BPR tidak memperbaiki dan tidak menyampaikan laporan dimaksud; dan b. sanksi administratif berupa teguran tertulis dan: 1) penurunan tingkat kesehatan bank; dan/atau 2) pencantuman anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris dalam daftar pihak yang memperoleh predikat tidak lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan BPR sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai uji kemampuan dan kepatutan. (2) BPR yang menyampaikan Laporan Tahunan yang isinya secara material tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 selain dikenakan sanksi administratif berupa denda dan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, pegawai BPR maupun pihak terafiliasi lainnya dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. - 18 - Bagian Kedua Laporan Keuangan Publikasi Pasal 20 (1) BPR yang dinyatakan terlambat mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi pada surat kabar harian lokal dan/atau menempelkannya pada papan pengumuman atau media lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), masing-masing dikenakan sanksi administratif berupa denda Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari keterlambatan. (2) BPR yang tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi pada surat kabar harian lokal dan/atau menempelkannya pada papan pengumuman atau media lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), masing-masing dikenakan administratif berupa denda sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Pasal 21 (1) BPR yang terlambat menyampaikan bukti pengumuman dan/atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), masing-masing dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari keterlambatan. (2) BPR yang tidak menyampaikan bukti pengumuman atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), atau penyampaian masing-masing dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Pasal 22 BPR yang telah dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 21, tetap diwajibkan sebesar sanksi - 19 - untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB VII LAIN-LAIN Pasal 23 Apabila batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), Pasal 5 ayat (4), Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (2), Pasal 9 ayat (3), Pasal 11 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 13, Pasal 14 ayat (1), dan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), jatuh pada hari libur, batas waktu kewajiban jatuh pada hari kerja berikutnya. Pasal 24 Ketentuan lebih lanjut mengenai Laporan Tahunan, Laporan Keuangan Publikasi, dan Sanksi sebagaimana dimaksud dalam BAB II, BAB III, dan BAB VI diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. BAB VIII PENUTUP Pasal 25 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/3/PBI/2013 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5418), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali Pasal 17 ayat (3) dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan berlakunya peraturan pelaksanaan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penggunaan jasa akuntan publik dan kantor akuntan publik dalam kegiatan jasa keuangan. - 20 - Pasal 26 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 154 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 48 /POJK.03/2017 TENTANG TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK PERKREDITAN RAKYAT I. UMUM Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, BPR wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan mengumumkan laporan keuangan dalam bentuk neraca, laporan laba rugi, dan penjelasannya, serta laporan berkala lainnya dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Untuk melindungi kepentingan masyarakat melalui penerapan tata kelola, yang salah satu aspek pentingnya adalah transparansi kondisi keuangan kepada publik, laporan keuangan yang diumumkan harus diyakini dapat diakses dengan mudah oleh para stakeholders untuk dapat melindungi kepentingan masyarakat penyimpan dana, investor dan/atau pengguna lainnya sehingga akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap perbankan nasional. Agar laporan keuangan dapat memberikan informasi yang akurat dan benar serta dapat diperbandingkan, laporan keuangan harus disusun sesuai dengan standar akuntansi serta pedoman pencatatan dan pelaporan yang berlaku bagi Bank Perkreditan Rakyat. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Laporan Keuangan Tahunan yang telah dipertanggungjawabkan dalam rapat umum pemegang saham atau rapat anggota dibuktikan dengan penyampaian risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. - 3 - Pasal 7 Ayat (1) Contoh: Penyampaian Laporan Tahunan 2018 yang wajib diaudit oleh akuntan publik dinyatakan terlambat apabila disampaikan dalam kurun waktu 1 Mei sampai dengan 31 Mei 2019. Ayat (2) Contoh: Laporan Tahunan 2018 yang wajib diaudit oleh akuntan publik dinyatakan tidak disampaikan apabila disampaikan setelah tanggal 31 Mei 2019. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “surat kabar harian lokal” adalah surat kabar yang mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR. Yang dimaksud dengan “media lainnya” termasuk segala sarana yang digunakan oleh BPR untuk menempelkan laporan keuangan, misalnya dinding depan kantor BPR. Yang dimaksud dengan “mudah dibaca oleh publik” adalah Laporan Keuangan Publikasi yang ditempelkan pada papan pengumuman atau media lain di kantor BPR yang langsung dapat dilihat dan dibaca oleh masyarakat umum. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. - 4 - Pasal 10 Ayat (1) Contoh: Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2019 ditempelkan pada papan pengumuman atau media lain hingga masuk periode pengumuman Laporan Keuangan Publikasi bulan Juni 2019. Yang dimaksud dengan kantor BPR adalah kantor pusat, kantor cabang, dan kantor kas. Ayat (2) Contoh: Pada saat pemeriksaan bulan Agustus 2019, BPR tidak menempelkan Laporan Keuangan Publikasi pada papan pengumuman atau media lain yang mudah dibaca oleh publik pada salah satu kantor BPR untuk posisi akhir bulan Juni 2019, maka BPR akan dikenakan sanksi tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi pada periode Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Juni 2019. Pasal 11 Ayat (1) Contoh: Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2019, BPR dinyatakan terlambat mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi apabila diumumkan dalam kurun waktu 1 Mei sampai dengan 31 Mei 2019. Ayat (2) Contoh: Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2019, BPR dinyatakan tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi apabila diumumkan setelah tanggal 31 Mei 2019. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. - 5 - Pasal 13 Contoh: Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Maret 2019 wajib diumumkan paling lambat tanggal 30 April 2019. Selanjutnya, BPR wajib menyampaikan guntingan surat kabar dan/atau fotokopi Laporan Keuangan Publikasi dan rekaman data Laporan Publikasi paling lambat tanggal 14 Mei 2019. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penyampaian rekaman data Laporan Keuangan Publikasi secara luring (offline) dilakukan dengan cara antara lain seperti mengirimkan flashdisk, compact disc, atau sarana rekaman atau transfer data lainnya. Huruf a Yang dimaksud dengan “daerah yang belum tersedia fasilitas jaringan telekomunikasi” adalah daerah yang tidak mempunyai sarana jaringan telekomunikasi sesuai dengan sarana jaringan telekomunikasi yang digunakan untuk sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan yang mengakibatkan BPR pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan Keuangan Publikasi secara daring (online), antara lain gangguan pada jaringan telekomunikasi, kebakaran atau pemadaman listrik. Huruf d Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. - 6 - Pasal 15 Ayat (1) Contoh: Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2019, BPR dinyatakan terlambat menyampaikan halaman surat kabar dan/atau fotokopi Laporan Keuangan Publikasi dan rekaman data Laporan Keuangan Publikasi, jika disampaikan dalam kurun waktu 15 Mei sampai dengan 14 Juni 2019. Ayat (2) Contoh: Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2019, BPR dinyatakan tidak menyampaikan guntingan halaman surat kabar atau fotokopi Laporan Keuangan Publikasi yang ditempelkan pada papan pengumuman dan rekaman data Laporan Keuangan Publikasi, apabila disampaikan setelah tanggal 14 Juni 2019. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “keadaan kahar (force majeure)” adalah keadaan yang secara nyata menyebabkan BPR tidak dapat mengumumkan dan/atau menyampaikan laporan, antara lain kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi, dan/atau banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat. Contoh: Apabila BPR mengalami kebakaran di bulan Februari 2019 yang menyebabkan BPR mengalami kerusakan infrastruktur dan kehilangan data dan/atau informasi secara permanen, sehingga tidak dapat menyampaikan laporan atau mengumumkan laporan posisi bulan Desember 2018 sampai - 7 - dengan batas waktu penyampaian Laporan Tahunan dan pengumuman Laporan Keuangan Publikasi, dikecualikan dari penyampaian pelaporan atau pengumuman. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Yang dimaksud dengan “hari libur” adalah hari Sabtu, hari Minggu, atau hari libur yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. - 8 - Pasal 26 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6097
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 48/POJK.03/2017 </reg_id> <reg_title> TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title> <set_date> 12 Juli 2017 </set_date> <effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date> <issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date> <replaced_reg> '15/3/PBI/2013 | kecuali Pasal 17 ayat (3) dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan berlakunya peraturan pelaksanaan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penggunaan jasa akuntan publik dan kantor akuntan publik dalam kegiatan jasa keuangan.' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '10/UU/1998', '7/UU/1992' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
OTORITAS JASA REUANGAN SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1/POJK.07/2014 TENTANG LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI SEKTOR JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa rangkaian perlindungan Konsumen mencakup edukasi, pelayanan informasi, dan Pengaduan hingga fasilitasi penyelesaian Pengaduan; b. bahwa dalam penyelesaian Pengaduan oleh Lembaga Jasa Keuangan seringkali tidak tercapai kesepakatan antara Konsumen dengan Lembaga Jasa Kcuangan; c. bahwa untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mampu menyelesaikan Sengketa secara cepat, murah, adil, dan efisien; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Undang-Undang ... End of Page 1 2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Rcpublik Indonesia Nomor 3872); 3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (Lembaran Negara Tahun 2013 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5431); MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI SEKTOR JASA KEUANGAN. BAB 1 KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 2. Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga yang melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. 3. Daftar Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah kumpulan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh OJK. . Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. 5. Perbankan ... End of Page 2 -3- 5. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional dan syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan dan undang-undang mengenai perbankan syariah. . Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai pasar modal. Perasuransian adalah usaha perasuransian yang bergerak di sektor usaha asuransi, yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya sescorang, usaha reasuransi, dan usaha penunjang usaha asuransi yang menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilaian kerugian asuransi dan jasa aktuaria, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha 8. Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai dana pensiun. 9. Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai lembaga pembiayaan. 10. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya adalah pergadaian, lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ckspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, meliputi penyelenggara program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan ... End of Page 3 undangan mengenai pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan ckspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan. memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. 12. Pengaduan adalah penyampaian ungkapan ketidakpuasan Konsumen pada Konsumen yang diduga terjadi karena kesalahan atau kelalaian Lembaga Jasa Keuangan dalam kegiatan penempatan dana oleh Konsumen pada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pemanfaatan pelayanan dan/atau produk Lembaga Jasa Keuangan. 13. Sengketa adalah perselisihan antara Konsumen dengan Lembaga Jasa Keuangan dalam kegiatan penempatan dana oleh Konsumen pada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pemanfaatan pelayanan dan/atau produk Lembaga Jasa Keuangan setelah melalui proses penyelesaian Pengaduan oleh Lembaga Jasa Keuangan. BAB II PENYELESAIAN PENGADUAN OLEH LEMBAGA JASA KEUANGAN Pasal 2 (1) Pengaduan wajib diselesaikan terlebih dahulu oleh Lembaga Jasa Keuangan. (2) Dalam hal tidak tercapai kescpakatan penyelesaian Pengaduan scbagaimana dimaksud pada ayat (1), Konsumen dan Lembaga Jasa Keuangan dapat melakukan penyelesaian Sengketa di luar pengadilan atau melalui pengadilan. (3) Penyelesaian ... End of Page 4 (3) Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa. Lembaga. Altematif Penyelesalan Sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dimuat dalam Daftar Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang ditetapkan oleh OJK. (5) Penyelesaian Sengketa melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat rahasia. Pasal 3 (1) Lembaga Jasa Keuangan wajib menjadi anggota Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4). (2) Dalam hal Lembaga Jasa Keuangan melakukan kegiatan usaha lintas sektor jasa keuangan, maka Lembaga Jasa Keuangan tersebut hanya wajib menjadi anggota pada 1 (satu) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang sesuai dengan kegiatan usaha utamanya. (3) Lembaga Jasa Keuangan wajib melaksanakan putusan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa. BAB II DAFTAR LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Pasal 4 Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dimuat dalam Daftar Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang ditetapkan oleh OJK meliputi Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang a. mempunyai layanan penyelesaian Sengketa paling kurang berupa 1) mediasi; 2) ajudikasi; dan 3) arbitrase. b. mempunyai peraturan yang meliputi 1) layanan penyelesaian Sengkcta; 2) prosedur penyelesaian Sengketa End of Page 5 3) biaya penyelesaian Sengketa; 4) jangka waktu penyelesaian Sengketa; 5) ketentuan benturan kepentingan dan afiliasi bagi mediator, ajudikator, dan arbiter; dan 6) kode etik bagi mediator, ajudikator, dan arbiter; menerapkan prinsip aksesibilitas, independensi, keadilan, dan efisiensi dan efektifitas dalam setiap peraturannya; . mempunyai sumber daya untuk dapat melaksanakan pelayanan penyelesaian Sengketa; dan didirikan oleh Lembaga Jasa Keuangan yang dikoordinasikan oleh asosiasi dan/atau didirikan oleh lembaga yang menjalankan fungsi self regulatory organization. BAB IV PRINSIP LEMBAGA AL/TERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Bagian Kesatu Prinsip Aksesibilitas Pasal 5 (1) Lembaga Altemnatif Penyelesaian Sengketa memiliki skema layanan penyelesaian Sengketa yang mudah diakses oleh Konsumen 2) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa mengembangkan strategi komunikasi untuk meningkatkan akses Konsumen terhadap layanan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dan meningkatkan pemahaman Konsumen terhadap proses penyelesaian Sengketa yang dilaksanakan oleh Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa. 3) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa menyediakan layanan yang mencakup seluruh wilayah Indonesia. Bagian Kedua Prinsip Independensi Pasal 6 (1) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa mempunyai organ pengawas yang memastikan bahwa Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa telah memenuhi persyaratan untuk menjalankan fungsinya. (2) Lembaga ... End of Page 6 (2) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dilarang memberikan hak veto kepada anggotanya. (3) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa berkonsultasi dengan pemangku kepentingan yang relevan dalam menyusun atau mengubah peraturan sebelum mengimplementasikannya. (4) Lembaga Altematif Penyelesaian Sengketa mempunyai sumber daya yang memadai untuk melaksanakan fungsinya dan tidak tergantung kepada Lembaga Jasa Keuangan tertentu. Bagian Ketiga Prinsip Keadilan Pasal 7 (1) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa memiliki peraturan dalam pengambilan putusan, dengan ketentuan sebagai berikut: mediator benar-benar bertindak scbagai fasilitator dalam rangka mempertemukan kepentingan para pihak yang bersengketa untuk memperoleh kesepakatan penyelesaian; b. ajudikator dan arbiter dilarang mengambil putusan berdasarkan pada informasi yang tidak diketahui para pihak; dan c. ajudikator dan arbiter wajib memberikan alasan tertulis dalam setiap putusannya. (2) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan alasan tertulis atas penolakan permohonan penyclesaian Sengketa dari Konsumen dan/atau Lembaga Jasa Keuangan. Bagian Keempat Prinsip Efisiensi dan Efektifitas Pasal 8 (1) Peraturan penyelesaian Sengketa pada Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa mengatur tentang jangka waktu penyelesaian Sengketa. (2) Lembaga .. End of Page 7 (2) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa mengenakan biaya murah kepada Konsumen dalam penyelesaian Sengketa. (3) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa memiliki peraturan penyelesaian Sengketa yang memuat ketentuan yang memastikan bahwa anggotanya mematuhi dan melaksanakan setiap putusan Lembaga Altcrnatif Penyelesaian Sengketa. 4) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa mengawasi pelaksanaan putusan. BAB V PELAPORAN LEMBAGA AL/TERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI SEKTOR JASA KEUANGAN Pasal 9 (1) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dimuat dalam Daftar Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang ditetapkan oleh OJK menyampaikan laporan berkala setiap 6 (enam) bulan yaitu pada bulan Juni dan Desember kepada OJK, paling lambat pada tanggal 10 bulan berikutnya. (2) Dalam hal tanggal pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, laporan disampaikan paling lambat pada hari kerja berikutnya. (3) Laporan scbagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi paling kurang jumlah permohonan penyelesaian Sengketa; b. demografi dari Konsumen yang mengajukan permohonan penyelesaian Sengketa; jumlah permohonan penyelesaian Sengketa yang ditolak karena tidak memenuhi persyaratan (termasuk alasan penolakan); d. Sengketa yang masih dalam proses penyelesaian; e. jangka waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masing- masing Sengketa; End of Page 8 -9- jenis layanan dan/atau produk yang menjadi Sengketa; dan 8. jumlah Sengketa yang telah diputus dan hasil monitoring atas pelaksanaan putusan dimaksud. BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 10 (1) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dibentuk oleh Lembaga Jasa Keuangan yang dikoordinasikan oleh asosiasi masing-masing scktor jasa keuangan. (2) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa bagi sektor perbankan, pembiayaan, penjaminan, dan pergadaian wajib dibentuk paling lambat tanggal 31 Desember 2015. Pasal 11 (1) Dalam hal Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) belum terbentuk, maka Konsumen dapat mengajukan permohonan fasilitasi penyelesaian Sengketa kepada (2) Fasilitasi Sengketa oleh OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan OJK yang mengatur mengenai Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. BAB VII SANKSI Pasal 12 (1) Lembaga Jasa Keuangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif antara lain peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu, c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha, dan/atau e. pencabutan izin kegiatan usaha. (2) Sanksi... End of Page 9 -10- (2) Sanksi scbagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi denda scbagaimana dimaksud pada ayat (I) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, atau huruf e. (4) Besaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan OJK berdasarkan ketentuan tentang sanksi administratif berupa denda yang berlaku untuk setiap sektor jasa keuangan. 5) OJK dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 13 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada tanggal 16 Januari 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 Januari 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 12 Kepala Bagian Bantuan Hukum Direktdrat Hukum, Mufli Asmawidjaja End of Page 10 -11- PENJELASAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1/POJK.07/2014 TENTANG LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI SEKTOR JASA KEUANGAN I. UMUM Perlindungan Konsumen di sektor jasa keuangan bertujuan untuk menciptakan sistem perlindungan Konsumen yang andal, meningkatkan pemberdayaan Konsumen, dan menumbuhkan kesadaran Lembaga Jasa Keuangan sehingga mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat pada sektor jasa keuangan. Perlindungan Konsumen merupakan rangkaian kebijakan dan pelaksanaan kegiatan yang mencakup edukasi, pelayanan informasi, dan pengaduan serta fasilitasi penyelesaian Sengketa bagi Konsumen sektor jasa keuangan dan masyarakat pengguna jasa keuangan. Mekanisme penyclesaian Pengaduan di sektor jasa keuangan ditempuh melalui 2 (dua) tahapan yaitu penyelesaian Pengaduan yang dilakukan oleh Lembaga Jasa Keuangan (intemal dispute resolution) dan penyelesaian Sengketa melalui lembaga peradilan atau lembaga di luar peradilan (extemal dispute resolution). Penyelesaian Pengaduan oleh Lembaga Jasa Keuangan dilakukan berdasarkan azas musyawarah untuk mencapai mufakat. Dalam penyclesaian Pengaduan tidak selalu tercapai kesepakatan antara Konsumen dengan Lembaga Jasa Keuangan. Dalam rangka melindungi Konsumen, diperlukan adanya suatu mekanisme penyelesaian Sengketa antara Konsumen dengan Lembaga Jasa Keuangan di eksteral Lembaga Jasa Keuangan melalui lembaga peradilan atau lembaga di Iuar peradilan. Penyelesaian ... End of Page 11 -12- Penyclesaian Sengketa melalui lembaga di luar peradilan dapat dilakukan oleh Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sejalan dengan karakteristik dan perkembangan di sektor jasa keuangan yang senantiasa cepat, dinamis, dan penuh inovasi, maka Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar peradilan memerlukan prosedur yang cepat, berbiaya murah, dengan hasil yang obyektif, relevan, dan adil. Penyelesaian Sengketa melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa bersifat rahasia sehingga masing-masing pihak yang bersengketa lebih nyaman dalam melakukan proses penyelesaian Sengketa, dan tidak memerlukan waktu yang lama karena didesain dengan menghindari kelambatan prosedural dan administratif. Selain itu, penyelesaian Sengketa melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dilakukan oleh orang-orang yang memang memiliki keahlian sesuai dengan jenis Sengketa, sehingga dapat menghasilkan putusan yang obyektif dan relevan. Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, OJK menerbitkan peraturan mengenai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di sektor jasa keuangan. Dalam melakukan fungsinya, Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa memenuhi beberapa prinsip yaitu aksesibilitas, independensi, kcadilan, dan efisiensi dan efektifitas. Agar Konsumen dan Lembaga Jasa Keuangan memperoleh tempat penyelesaian Sengketa yang memenuhi prinsip-prinsip tersebut di atas, OJK menetapkan Daftar Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di sektor jasa keuangan. Dalam rangka menerapkan prinsip aksesibilitas, Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa mengembangkan strategi komunikasi. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan akses Konsumen terhadap layanan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dan meningkatkan pemahaman Konsumen terhadap proses penyelesaian Sengketa alternatif. Lembaga Alteratif Penyelesaian Sengketa bersifat independen dalam artian tidak memiliki ketergantungan kepada Lembaga Jasa Keuangan tertentu. Mediator, ajudikator, dan arbiter Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa bersifat adil dalam menjalankan .... End of Page 12 -13 - menjalankan tugasnya, yaitu mediator benar-benar bertindak sebagai fasilitator demi tercapainya kesepakatan penyelesajan dan kewajiban bagi ajudikator dan arbiter untuk memberikan alasan tertulis dalam setiap putusannya. Pemenuhan prinsip efisiensi dan cfektifitas dilakukan oleh Lembaga Alternatif Penyclesaian Sengketa melalui penentuan jangka waktu penyelesaian Sengketa, jangka waktu pelaksanaan putusan, dan pengenaan biaya murah dalam penyelesaian Sengketa. Dengan tersedianya mekanisme penyclesaian Sengketa di sektor jasa keuangan melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menerapkan prinsip-prinsip aksesibilitas, independensi, keadilan, dan efisiensi dan cfektifitas, rangkaian sistem perlindungan Konsumen akan meningkatkan kepercayaan Konsumen kepada Lembaga Jasa Keuangan dan membawa dampak positif bagi perkembangan industri jasa keuangan dalam mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa bersifat rahasia adalah bersifat tertutup dan putusannya tidak diumumkan. Pasal 3... End of Page 13 -14- Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh Lembaga Jasa Keuangan yang melakukan kegiatan lintas sektor jasa kcuangan adalah sebagai berikut PT Bank XYZ Tbk melakukan kegiatan usaha utama sebagai bank umum yang telah melakukan penawaran umum, juga menjadi agen penjual asuransi, menjadi bank kustodian, serta bertindak sebagai agen penjual efek reksa dana, sehingga PT XYZ Tbk melakukan kegiatan lintas sektor jasa keuangan yaitu di scktor Perbankan, Perasuransian, dan Pasar Modal. PT XYZ Tbk tersebut hanya wajib menjadi anggota pada 1 (satu) Lembaga Alternatif Ponyclesaian Sengketa yaitu sektor Perbankan. Ayat (3) Putusan Lembaga Alternatif Penyclesaian Sengketa mengikat Lembaga Jasa Keuangan. Yang dimaksud dengan 'putusan' termasuk akta kescpakatan mediasi. Pasal 4 Huruf a 1) Yang dimaksud dengan 'mediasi' adalah cara penyelesaian Sengketa melalui pihak kctiga yang ditunjuk oleh pihak yang bersengketa untuk membantu pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan. 2) Yang dimaksud dengan 'ajudikasi' adalah cara penyelesaian Sengketa melalui pihak ketiga yang ditunjuk para pihak yang bersengketa untuk menjatuhkan putusan atas Sengketa yang timbul diantara pihak dimaksud. Putusan ajudikasi mengikat kcpada Lembaga Jasa Keuangan. Apabila Konsumen menyetujui putusan ajudikasi meskipun Lembaga Jasa Keuangan tidak menyetujuinya ... End of Page 14 -15- menyetujuinya, maka Lembaga Jasa Keuangan wajib melaksanakan putusan ajudikasi. Sebaliknya apabila Konsumen tidak menyetujui putusan ajudikasi walaupun Lembaga Jasa Keuangan menyetujuinya maka putusan tidak dapat dilaksanakan. 3) Yang dimaksud dengan 'arbitrase' adalah cara penyelesaian suatu Sengketa perdata di luar peradilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan 'sumber daya' meliputi antara lain sumber daya manusia (mediator, ajudikator, arbiter, pengelola administrasi dan lain lain), sarana dan prasarana. Huruf e Yang dimaksud dengan 'lembaga yang menjalankan fungsi self regulatory organization' antara lain Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan 'mudah diakses' antara lain Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa menyediakan sarana yang memudahkan Konsumen untuk mengetahui jenis layanan penyclesaian Sengketa. Ayat (2) Contoh pengembangan strategi komunikasi untuk meningkatkan pemahaman Konsumen terhadap proses penyelesaian Sengketa antara lain melalui uuebsite Lembaga Alternatif . End of Page 15 -16- Alternatif Penyelesaian Sengketa atau dalam brosur yang disediakan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa. Ayat (3) Dalam menyediakan layanan yang mencakup seluruh wilayah Indonesia, Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak harus memiliki kantor di setiap wilayah Indonesia, namun Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dapat menyediakan layanan dengan memanfaatkan teknologi informasi antara lain alat teleconference dan/atau video conference. Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan 'organ pengawas' antara lain dewan penasihat atau dewan pengawas yang tugasnya melakukan pengawasan terhadap kegiatan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa. Ayat (2) Yang dimaksud dengan 'hak veto' antara lain hak untuk mengganti pengurus atau mengubah peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa. Ayat (3) Yang dimaksud dengan 'pemangku kepentingan' antara lain asosiasi atau perhimpunan Konsumen atau lembaga yang bergerak di bidang perlindungan Konsumen dan asosiasi atau perhimpunan Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan masing-masing sektor. Ayat (4) Yang dimaksud dengan 'sumber daya' antara lain sumber daya manusia, sarana, dan prasarana. Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b End of Page 16 Huruf b Dalam hal ajudikator atau arbiter memiliki informasi dari pihak di luar para pihak yang bersengketa, dan informasi tersebut digunakan sebagai bahan pertimbangan pengambilan putusan, maka ajudikator atau arbiter harus menyampaikan informasi dimaksud kepada para pihak. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan 'jangka waktu' adalah jangka waktu penyelesaian sengketa pada tahap mediasi, ajudikasi, dan arbitrasc. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh ketentuan untuk memastikan bahwa anggota Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa mematuhi dan melaksanakan setiap putusan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah ketentuan mengenai jangka waktu pelaksanaan putusan dimaksud. Yang dimaksud dengan 'putusan' termasuk akta kesepakatan mediasi. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada ... End of Page 17 -18 - kcpada Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Direktorat Pembelaan Hukum Perlindungan Konsumen OJK dengan alamat Gedung Radius Prawiro Lantai 2 Komplek Perkantoran Bank Indonesia Jalan M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta Pusat 10350 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukupjelas. Pasal 10 Ayat (1) Contoh pembentukan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di sektor Perbankan dibentuk oleh bank-bank yang dikoordinasikan oleh asosiasi di sektor Perbankan, misalnya Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas), Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda), Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), dan Asosiasi Bank Asing Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5499 End of Page 18
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 1/POJK.07/2014 </reg_id> <reg_title> LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI SEKTOR JASA KEUANGAN </reg_title> <set_date> 16 Januari 2014 </set_date> <effective_date> 23 Januari 2014 </effective_date> <issued_date> 23 Januari 2014 </issued_date> <related_reg> '1/POJK.07/2013', '30/UU/1999', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 38 /POJK.04/2014 TENTANG PENAMBAHAN MODAL PERUSAHAAN TERBUKA TANPA MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas keterbukaan informasi kepada masyarakat dan meningkatkan pengawasan atas pelaksanaan penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu, perlu menyempurnakan peraturan mengenai Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka Tanpa Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); : 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan… - 2 - Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENAMBAHAN MODAL PERUSAHAAN TERBUKA TANPA MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Terbuka adalah Emiten yang telah melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas atau Perusahaan Publik. 2. Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu yang selanjutnya disingkat HMETD adalah hak yang melekat pada saham yang memberikan kesempatan pemegang saham yang bersangkutan untuk membeli saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya baik yang dapat dikonversikan menjadi saham atau yang memberikan hak untuk membeli saham, sebelum ditawarkan kepada Pihak lain. 3. Pelaksanaan Penambahan Modal adalah tanggal dilaksanakannya penyetoran modal atau tanggal pelaksanaan konversi utang dalam rangka penambahan modal tanpa memberikan HMETD. 4. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ Perusahaan Terbuka yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau… - 3 - atau Dewan Komisaris sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas dan/atau anggaran dasar. 5. Program Kepemilikan Saham Perusahaan Terbuka selanjutnya disebut Program Kepemilikan Saham adalah program penawaran kepada karyawan, anggota Direksi, dan/atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan Terbuka dan/atau Perusahaan Terkendali yang memenuhi syarat untuk memiliki saham Perusahaan Terbuka. BAB II PERSYARATAN PENAMBAHAN MODAL TANPA HMETD Pasal 2 (1) Perusahaan Terbuka dapat menambah modal tanpa memberikan HMETD kepada pemegang saham sebagaimana diatur dalam peraturan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu, baik untuk memperbaiki posisi keuangan maupun selain untuk memperbaiki posisi keuangan Perusahaan Terbuka. (2) Penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan HMETD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan RUPS. (3) RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai Rencana dan Penyelenggaraan RUPS Perusahaan Terbuka dan anggaran dasar Perusahaan Terbuka. Pasal 3… - 4 - Pasal 3 Penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan HMETD untuk memperbaiki posisi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat dilakukan sepanjang memenuhi kondisi sebagai berikut: a. Perusahaan Terbuka adalah bank yang menerima pinjaman dari Bank Indonesia atau lembaga pemerintah lain yang jumlahnya lebih dari 100% (seratus persen) dari modal disetor atau kondisi lain yang dapat mengakibatkan restrukturisasi bank oleh instansi Pemerintah yang berwenang; b. Perusahaan Terbuka selain bank yang mempunyai modal kerja bersih negatif dan mempunyai liabilitas melebihi 80% (delapan puluh persen) dari aset Perusahaan Terbuka tersebut pada saat RUPS yang menyetujui penambahan modal tanpa memberikan HMETD; atau c. Perusahaan Terbuka tidak mampu memenuhi kewajiban keuangan pada saat jatuh tempo kepada pemberi pinjaman yang tidak terafiliasi sepanjang pemberi pinjaman yang tidak terafiliasi tersebut menyetujui untuk menerima saham atau obligasi konversi Perusahaan Terbuka untuk menyelesaikan pinjaman tersebut. Pasal 4 (1) Penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan HMETD selain untuk memperbaiki posisi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) hanya dapat dilakukan paling banyak 10% (sepuluh persen) dari modal disetor yang tercantum dalam perubahan anggaran dasar yang telah diberitahukan dan diterima Menteri… - 5 - Menteri yang berwenang pada saat pengumuman RUPS, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan HMETD selain dalam rangka Program Kepemilikan Saham dilakukan dalam 2 (dua) tahun sejak RUPS untuk penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan HMETD dimaksud; dan b. Penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan HMETD dalam rangka Program Kepemilikan Saham dilakukan dalam 5 (lima) tahun sejak RUPS untuk penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan HMETD dalam rangka Program Kepemilikan Saham dimaksud. (2) Apabila pada saat Perusahaan Terbuka melakukan penambahan modal memberikan HMETD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a masih terdapat pelaksanaan penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan HMETD dalam rangka Program Kepemilikan Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang belum selesai jangka waktunya, penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan HMETD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat dilakukan paling banyak 10% (sepuluh persen) dari modal disetor pada saat pengumuman RUPS mengenai penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan HMETD dimaksud, dikurangi jumlah penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan HMETD untuk Program Kepemilikan Saham yang belum dilaksanakan. tanpa (3) Apabila… - 6 - (3) Apabila pada saat Perusahaan Terbuka melakukan penambahan modal memberikan HMETD dalam rangka Program Kepemilikan Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b masih terdapat pelaksanaan penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan HMETD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang belum selesai jangka waktunya, penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan HMETD dalam rangka Program Kepemilikan Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan paling banyak 10% (sepuluh persen) dari modal disetor pada saat pengumuman RUPS mengenai penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan HMETD dalam rangka Program Kepemilikan Saham dimaksud, dikurangi jumlah penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan HMETD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang belum dilaksanakan. Pasal 5 (1) Penyetoran atas saham dalam bentuk lain selain uang hanya dapat dilakukan dalam penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan HMETD untuk tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). (2) Penyetoran atas saham dalam bentuk lain selain uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. terkait langsung dengan kebutuhan Perusahaan Terbuka; dan b. menggunakan Penilai untuk menentukan nilai wajar dari bentuk lain selain uang yang digunakan sebagai penyetoran dan kewajaran transaksi penyetoran atas saham dalam… tanpa - 7 - dalam bentuk lain selain uang. BAB III KETERBUKAAN INFORMASI Pasal 6 (1) Perusahaan Terbuka yang menambah modal tanpa memberikan HMETD kepada pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib mengumumkan informasi tentang penambahan modal tanpa memberikan HMETD kepada pemegang saham bersamaan dengan pengumuman RUPS dengan memenuhi Prinsip Keterbukaan yang paling kurang memuat: a. alasan dan tujuan penambahan modal tanpa memberikan HMETD; b. perkiraan periode pelaksanaan (jika ada); c. rencana penggunaan dana hasil penambahan modal tanpa memberikan HMETD (jika telah dapat ditentukan); d. analisis dan pembahasan manajemen mengenai kondisi keuangan Perusahaan Terbuka sebelum dan sesudah penambahan modal tanpa memberikan HMETD; e. risiko atau dampak penambahan modal tanpa memberikan HMETD kepada pemegang saham termasuk dilusi; f. keterangan dalam bentuk tabel tentang rincian struktur modal saham sebelum dan sesudah penambahan modal tanpa memberikan HMETD yang paling kurang mencakup: 1. modal dasar, modal ditempatkan dan disetor penuh beserta informasi mengenai jumlah saham, nilai nominal, dan jumlah nilai nominal; 2. rincian… - 8 - 2. rincian kepemilikan saham oleh pemegang saham yang memiliki 5% (lima persen) atau lebih, direktur, dan komisaris yang meliputi informasi mengenai nama, jumlah kepemilikan sahamnya, jumlah nilai nominal, dan persentase kepemilikan sahamnya; 3. saham dalam simpanan (portepel), yang meliputi informasi mengenai jumlah saham dan nilai nominal; dan 4. proforma modal saham apabila Efek dikonversikan (jika ada); dan g. keterangan mengenai calon pemodal (jika ada) termasuk ada atau tidak adanya hubungan Afiliasi dengan Perusahaan Terbuka. (2) Dalam hal penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan HMETD digunakan untuk pelunasan utang dan/atau konversi utang Perusahaan Terbuka, selain persyaratan keterbukaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Terbuka wajib menambahkan informasi dalam pengumuman berupa: a. riwayat utang yang akan dilunasi; dan b. penggunaan dana atas utang yang akan dilunasi dan/atau dikonversi. (3) Dalam hal pemodal yang melakukan penambahan modal tanpa HMETD adalah pihak terafiliasi, selain persyaratan keterbukaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Terbuka wajib menambahkan informasi dalam pengumuman berupa: a. sifat hubungan Afiliasi; dan b. penjelasan, pertimbangan, dan alasan dilakukannya… - 9 - dilakukannya penambahan modal tanpa HMETD oleh pemodal yang merupakan pihak terafiliasi dibandingkan dengan apabila dilakukan bukan oleh pihak terafiliasi. (4) Dalam hal penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan HMETD mengakibatkan perubahan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai Pengambilalihan Perusahaan Terbuka oleh pengendali baru yang berupa orang perseorangan, selain persyaratan keterbukaan informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Perusahaan Terbuka wajib menambahkan informasi dalam pengumuman mengenai calon pengendali baru tersebut berupa: a. nama; b. alamat; c. kewarganegaraan; d. pemilik manfaat (jika ada); dan e. hubungan Afiliasi-nya dengan Perusahaan Terbuka (jika ada). (5) Dalam hal penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan HMETD mengakibatkan perubahan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai Pengambilalihan Perusahaan Terbuka oleh pengendali baru yang berupa Pihak selain orang perseorangan, selain persyaratan keterbukaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Terbuka wajib menambahkan informasi dalam pengumuman mengenai calon pengendali baru tersebut berupa… - 10 - berupa: a. nama Pihak; b. alamat domisili atau alamat kantor pusat; c. bidang usaha; d. bentuk hukum Pihak; e. susunan pengurus dan/atau pengawas; f. struktur permodalan; g. pemilik manfaat; dan h. hubungan Afiliasi-nya dengan Perusahaan Terbuka (jika ada). Pasal 7 Dalam hal penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan HMETD dilakukan dalam rangka memperbaiki posisi keuangan Perusahaan Terbuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, selain persyaratan keterbukaan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Perusahaan Terbuka wajib menambahkan informasi dalam pengumuman berupa: a. keterangan tentang kreditur yang menyetujui dan akan berpartisipasi dalam restrukturisasi utang Perusahaan Terbuka; b. syarat dan kondisi restrukturisasi utang; c. d. harga saham pada saat Pelaksanaan Penambahan Modal; dan penjelasan atas akun–akun yang menyebabkan posisi keuangan Perusahaan Terbuka mengalami kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Pasal 8 (1) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 wajib dilakukan paling kurang melalui: a. 1(satu)… - 11 - a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional atau situs web Bursa Efek; dan b. situs web Perusahaan Terbuka. (2) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah pengumuman dimaksud. Pasal 9 (1) Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 beserta dokumen pendukungnya wajib disampaikan Perusahaan Terbuka kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk dokumen cetak dan salinan elektronik dari dokumen pendukung dimaksud bersamaan dengan pengumuman RUPS. (2) Informasi beserta dokumen pendukungnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tersedia bagi pemegang saham sejak pengumuman RUPS sampai dengan pelaksanaan RUPS. Pasal 10 (1) Perusahaan Terbuka wajib mengumumkan kepada pemegang saham dan menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan perubahan dan/atau tambahan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum pelaksanaan RUPS. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling kurang melalui: a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional atau situs web Bursa Efek; dan b. situs… - 12 - b. situs web Perusahaan Terbuka. (3) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah pengumuman dimaksud. BAB IV PELAKSANAAN PENAMBAHAN MODAL PERUSAHAAN TERBUKA TANPA MEMBERIKAN HMETD Pasal 11 Harga saham pada Pelaksanaan Penambahan Modal untuk Perusahaan Terbuka yang sahamnya tidak tercatat dan tidak diperdagangkan di Bursa Efek paling rendah sama dengan harga pasar wajar yang ditetapkan oleh Penilai. Pasal 12 Jangka waktu antara tanggal penilaian yang diterbitkan Penilai atas penyetoran saham dalam bentuk lain selain uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan atas harga saham pada Pelaksanaan Penambahan Modal untuk Perusahaan Terbuka yang sahamnya tidak tercatat dan tidak diperdagangkan di Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dengan Pelaksanaan Penambahan Modal tidak lebih dari 6 (enam) bulan. Pasal 13 Penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan HMETD yang dilaksanakan melalui Penawaran Umum wajib mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Penawaran Umum. BAB V… - 13 - BAB V PENGUMUMAN DAN PEMBERITAHUAN PELAKSANAAN PENAMBAHAN MODAL Pasal 14 (1) Perusahaan Terbuka wajib mengumumkan kepada masyarakat serta memberitahukan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai Pelaksanaan Penambahan Modal paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum Pelaksanaan Penambahan Modal. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling kurang melalui: a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional atau situs web Bursa Efek; dan b. situs web Perusahaan Terbuka. (3) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah pengumuman dimaksud. Pasal 15 (1) Perusahaan Terbuka wajib mengumumkan kepada masyarakat serta memberitahukan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai hasil Pelaksanaan Penambahan Modal, yang meliputi informasi antara lain: a. pihak yang melakukan penyetoran; b. jumlah dan harga saham yang diterbitkan; dan c. rencana penggunaan dana, paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah Pelaksanaan Penambahan Modal. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib… - 14 - (1) wajib dilakukan paling kurang melalui: a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional atau situs web Bursa Efek; dan b. situs web Perusahaan Terbuka. (3) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah informasi tersebut diumumkan. BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 16 Dalam hal penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan HMETD merupakan Transaksi Afiliasi, Perusahaan Terbuka dikecualikan untuk mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam peraturan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Transaksi Afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu. Pasal 17 Dalam hal penambahan modal tanpa HMETD merupakan transaksi yang mengandung Benturan Kepentingan, Perusahaan Terbuka disamping wajib memenuhi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini juga wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam peraturan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Transaksi Afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu. Pasal 18 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. BAB VII… - 15 - BAB VII KETENTUAN SANKSI Pasal 19 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 20… - 16 - Pasal 20 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 21 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 kepada masyarakat. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 22 Perusahaan Terbuka yang telah menyampaikan mata acara rapat mengenai penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan HMETD kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini tetap mengikuti Peraturan Nomor IX.D.4, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-429/BL/2009 tanggal 9 Desember 2009 tentang Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 23 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-429/BL/2009 tanggal 9 Desember 2009 tentang Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu beserta Peraturan Nomor IX.D.4 yang merupakan… - 17 - merupakan lampirannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 24 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER, OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 395 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum I Departemen Hukum, Ttd. Ttd. Tini Kustini
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 38/POJK.04/2014 </reg_id> <reg_title> PENAMBAHAN MODAL PERUSAHAAN TERBUKA TANPA MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU </reg_title> <set_date> 29 Desember 2014 </set_date> <effective_date> 30 Desember 2014 </effective_date> <issued_date> 30 Desember 2014 </issued_date> <replaced_reg> 'KEP-429/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009', 'KEP-429/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor IX.D.4' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 16 /POJK.05/2016 TENTANG PEDOMAN TATA KELOLA DANA PENSIUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan semakin meningkatnya risiko pengelolaan kekayaan dana pensiun dan penyelenggaraan program pensiun, diperlukan peningkatan kualitas penyelenggaraan dana pensiun yang taat terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan selaras dengan praktik yang berlaku umum melalui penerapan tata kelola dana pensiun; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang tentang Pedoman Tata Kelola Dana Pensiun; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3477); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); - 2 - 3. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3507); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3508); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN TATA KELOLA DANA PENSIUN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun. 2. Pedoman Tata Kelola Dana Pensiun adalah pedoman yang dijadikan sebagai landasan penerapan tata kelola Dana Pensiun. 3. Tata Kelola Dana Pensiun adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh Dana Pensiun untuk pencapaian tujuan penyelenggaraan program pensiun dengan memperhatikan kepentingan setiap pihak yang terkait dalam penyelenggaraan Dana Pensiun, berlandaskan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan praktik yang berlaku umum. 4. Pendiri adalah: a. orang atau badan yang membentuk Dana Pensiun Pemberi Kerja; b. bank atau perusahaan asuransi jiwa yang membentuk Dana Pensiun Lembaga Keuangan. - 3 - 5. Dewan Pengawas adalah dewan pengawas Dana Pensiun. 6. Pengurus adalah pengurus Dana Pensiun. 7. Pihak adalah perorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau sekelompok orang yang terorganisasi. 8. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. BAB II PENYUSUNAN, PRINSIP, DAN ISI PEDOMAN TATA KELOLA DANA PENSIUN Pasal 2 Dana Pensiun harus menyusun dan menerapkan Pedoman Tata Kelola Dana Pensiun. Pasal 3 (1) Dana Pensiun dalam menyusun dan menerapkan Pedoman Tata Kelola Dana Pensiun, berpedoman pada: a. prinsip-prinsip tata kelola Dana Pensiun yang baik yang meliputi: 1) kemandirian, yaitu suatu keadaan Dana Pensiun yang bebas dari benturan kepentingan dan atau dari pengaruh atau tekanan dari setiap Pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku dan praktik yang berlaku umum; 2) transparansi, yaitu suatu keadaan penyelenggaraan Dana Pensiun yang menjamin keterbukaan dalam proses pembuatan dan penerapan keputusan mengenai penyelenggaraan Dana Pensiun sesuai dengan peraturan perundang- - 4 - undangan yang berlaku dan praktik yang berlaku umum; 3) akuntabilitas, yaitu suatu keadaan penyelenggaraan Dana Pensiun yang dapat menjelaskan pelaksanaan fungsi setiap Pihak yang terkait dengan Dana Pensiun sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan praktik yang berlaku umum; 4) pertanggungjawaban, yaitu suatu keadaan penyelenggaraan Dana Pensiun yang dapat menegaskan dan menjelaskan peranan dan status dari setiap Pihak yang terkait dengan Dana Pensiun untuk setiap proses pembuatan dan penerapan kebijakan di Dana Pensiun; dan 5) kewajaran, yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak setiap Pihak yang timbul berdasarkan perjanjian yang mengikat secara hukum dan peraturan perundang- undangan yang berlaku serta praktik yang berlaku umum; dan b. pedoman penerapan Tata Kelola Dana Pensiun sebagaimana tercantum pada Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (2) Pedoman Tata Kelola Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh Pengurus dan ditetapkan oleh Pendiri. (3) Pendiri, pemberi kerja, Dewan Pengawas, Pengurus, dan Pihak lain yang terkait dengan Dana Pensiun bertanggung jawab atas penerapan Pedoman Tata Kelola Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing. Pasal 4 Pedoman Tata Kelola Dana Pensiun paling sedikit harus memuat: a. maksud dan tujuan pedoman; - 5 - b. kaidah perilaku diantaranya memuat prinsip tata kelola dan kode etik sesuai praktik yang berlaku umum; c. pengaturan kedudukan, tugas, fungsi, wewenang, tanggung jawab, hak, dan kewajiban setiap Pihak yang terkait dengan Dana Pensiun serta hubungan antar Pihak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang Dana Pensiun; d. pedoman teknis yang memuat antara lain pedoman akuntansi, investasi, sistem pengendalian internal, perilaku dan kode etik, organisasi dan tata kerja, pengadaan barang dan jasa, pengambilan keputusan, pelayanan kepesertaan, surat menyurat, sistem informasi, penjualan/pelepasan atau penghapusan aktiva investasi yang bermasalah dan aktiva operasional, penyusunan anggaran, perpajakan, pengelolaan risiko, pendanaan dan kearsipan; dan e. pernyataan kepatuhan terhadap Pedoman Tata Kelola Dana Pensiun. Pasal 5 OJK secara berkala menelaah ulang pedoman penerapan Tata Kelola Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b. BAB III EVALUASI PENERAPAN PEDOMAN TATA KELOLA DANA PENSIUN Pasal 6 (1) Dewan Pengawas setiap tahun harus melaksanakan evaluasi dan menyusun hasil evaluasi secara tertulis atas penerapan Pedoman Tata Kelola Dana Pensiun pada tahun yang bersangkutan. - 6 - (2) Hasil evaluasi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu harus disampaikan kepada Pengurus untuk mendapatkan tanggapan dalam batas waktu yang wajar sebagaimana ditetapkan oleh Dewan Pengawas. (3) Hasil evaluasi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan oleh Dewan Pengawas kepada Pendiri paling (enam) bulan setelah akhir tahun periode yang dievaluasi. (4) Pendiri menggunakan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebagai bahan pertimbangan untuk menilai kinerja Dana Pensiun. (5) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pendiri dapat meminta Pengurus untuk menyempurnakan Pedoman Tata Pensiun dan/atau mewajibkan untuk menerapkan Tata Kelola Dana Pensiun sesuai dengan Pedoman Tata Kelola Dana Pensiun yang ditetapkan oleh Pendiri. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 7 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-136/BL/2006 tentang Pedoman Tata Kelola Dana Pensiun dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 8 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. lambat 6 Kelola Dana - 7 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Februari 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Maret 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 48 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 16/POJK.05/2016 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN TATA KELOLA DANA PENSIUN </reg_title> <set_date> 23 Februari 2016 </set_date> <effective_date> 15 Maret 2016 </effective_date> <issued_date> 15 Maret 2016 </issued_date> <replaced_reg> 'KEP-136/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM-LK/2006' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '76/PP/1992', '77/PP/1992', '11/UU/1992' </related_reg>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 25 /POJK.03/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 27/POJK.03/2015 TENTANG KEGIATAN USAHA BANK BERUPA PENITIPAN DENGAN PENGELOLAAN (TRUST) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa telah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak maka diperlukan kebijakan untuk mendukung masuknya dana repatriasi melalui industri jasa keuangan; b. bahwa dalam rangka mendukung masuknya dana repatriasi ke sektor perbankan maka perlu landasan hukum bagi Bank untuk dapat menerima nasabah Settlor baik dalam bentuk korporasi maupun perorangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27/POJK.03/2015 tentang Kegiatan Usaha Bank Berupa Penitipan Dengan Pengelolaan (Trust); - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5899); 5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27/POJK.03/2015 tentang Kegiatan Usaha Bank Berupa Penitipan dengan Pengelolaan (Trust) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 293, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5775); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 27/POJK.03/2015 TENTANG KEGIATAN USAHA BANK BERUPA PENITIPAN DENGAN PENGELOLAAN (TRUST). - 3 - Pasal I Ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf a dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27/POJK.03/2015 tentang Kegiatan Usaha Bank Berupa Penitipan Dengan Pengelolaan (Trust) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 293, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5775) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 (1) Settlor wajib memenuhi kriteria: a. nasabah korporasi atau nasabah perorangan; dan b. bukan merupakan pihak terafiliasi dengan Bank. (2) Settlor dapat bertindak sebagai Beneficiary. Pasal II Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 4 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 14 Juli 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Juli 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 139 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 25 /POJK.03/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 27/POJK.03/2015 TENTANG KEGIATAN USAHA BANK BERUPA PENITIPAN DENGAN PENGELOLAAN (TRUST) I. UMUM Sehubungan dengan telah diterbitkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendorong pertumbuhan perekonomian serta meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan masyarakat Indonesia maka diperlukan kebijakan pendukung untuk pelaksanaan Undang-Undang dimaksud. Salah satu bentuk kebijakan pendukung di industri jasa keuangan untuk mendorong masuknya dana repatriasi dan menempatkannya di perbankan antara lain melalui kegiatan penitipan dengan pengelolaan (trust). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dalam rangka memberikan landasan hukum bagi industri perbankan untuk dapat menerima nasabah Settlor baik dalam bentuk korporasi maupun perorangan maka diperlukan penyempurnaan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27/POJK.03/2015 tentang Kegiatan Usaha Bank Berupa Penitipan Dengan Pengelolaan (Trust). - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “pihak terafiliasi” adalah pihak terafiliasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perbankan dan Undang- Undang tentang Perbankan Syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5902
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 5/POJK.03/2016 </reg_id> <reg_title> RENCANA BISNIS BANK </reg_title> <set_date> 26 Januari 2016 </set_date> <effective_date> 27 Januari 2016 </effective_date> <issued_date> 27 Januari 2016 </issued_date> <replaced_reg> '12/21/PBI/2010' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23 /POJK.05/2015 TENTANG PRODUK ASURANSI DAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa produk asuransi dan pemasaran produk asuransi yang semakin beragam dan kompleks dapat meningkatkan risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi maupun pemegang polis, tertanggung, atau peserta; b. bahwa penerapan tata kelola yang baik (good corporate governance), manajemen risiko yang memadai, dan praktik asuransi yang sehat pada perusahaan asuransi serta pemberdayaan pemegang polis, tertanggung, atau peserta perlu ditingkatkan sehingga risiko terkait produk asuransi dan pemasaran produk asuransi dapat dikelola dengan baik; c. bahwa dalam rangka meningkatkan akses masyarakat berpenghasilan rendah terhadap produk asuransi diperlukan pengaturan dan pengawasan yang dapat mendukung perkembangan asuransi mikro; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5253); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5618); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PRODUK ASURANSI DAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Produk Asuransi adalah: a. program yang menjanjikan perlindungan terhadap 1 (satu) jenis atau lebih risiko yang dapat diasuransikan yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti dengan memberikan penggantian kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita pemegang polis, tertanggung, atau peserta, atau pemberian jaminan pemenuhan kewajiban pihak yang dijamin kepada pihak yang lain apabila pihak yang dijamin tersebut tidak dapat memenuhi kewajibannya; b. program yang menjanjikan perlindungan terhadap 1 (satu) jenis atau lebih risiko yang terkait dengan meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan, hidup dan meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan, atau anuitas asuransi jiwa; - 3 - c. program yang menjanjikan perlindungan terhadap 1 (satu) jenis atau lebih risiko yang terkait dengan keadaan kesehatan fisik seseorang atau menurunnya kondisi kesehatan seseorang yang dipertanggungkan; dan/atau d. program yang menjanjikan perlindungan terhadap 1 (satu) jenis atau lebih risiko dengan memberikan penggantian atau pembayaran kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta atau pihak lain yang berhak dalam hal terjadi kecelakaan. 2. Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi yang selanjutnya disebut PAYDI adalah Produk Asuransi yang paling sedikit memberikan perlindungan terhadap risiko kematian dan memberikan manfaat yang mengacu pada hasil investasi dari kumpulan dana yang khusus dibentuk untuk Produk Asuransi baik yang dinyatakan dalam bentuk unit maupun bukan unit. 3. Produk Asuransi Bersama adalah Produk Asuransi yang dirancang untuk dipasarkan dan ditanggung atau dikelola risikonya oleh 2 (dua) atau lebih perusahaan asuransi. 4. Produk Asuransi Standar adalah Produk Asuransi yang memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. 5. Produk Asuransi Mikro adalah Produk Asuransi yang didesain untuk memberikan perlindungan atas risiko keuangan yang dihadapi masyarakat berpenghasilan rendah. 6. Polis Asuransi adalah akta perjanjian asuransi atau dokumen lain yang dipersamakan dengan akta perjanjian asuransi, serta dokumen lain yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan perjanjian asuransi, yang dibuat secara tertulis dan memuat perjanjian antara pihak perusahaan asuransi dan pemegang polis. - 4 - 7. Premi adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh perusahaan asuransi dan disetujui oleh pemegang polis untuk dibayarkan berdasarkan perjanjian asuransi atau sejumlah uang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mendasari program asuransi wajib untuk memperoleh manfaat. 8. Kontribusi adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh perusahaan asuransi syariah dan disetujui oleh pemegang polis untuk dibayarkan berdasarkan perjanjian asuransi syariah untuk memperoleh manfaat dari dana tabarru’ dan/atau dana investasi peserta dan untuk membayar biaya pengelolaan atau sejumlah uang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan yang mendasari program asuransi wajib untuk memperoleh manfaat. 9. Perusahaan adalah perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 10. Perusahaan Asuransi Umum adalah Perusahaan yang menyelenggarakan usaha asuransi umum dan/atau usaha asuransi umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 11. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah Perusahaan yang menyelenggarakan usaha asuransi jiwa dan/atau usaha asuransi jiwa syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 12. Aktuaris Perusahaan adalah aktuaris yang ditunjuk dan merupakan karyawan Perusahaan. 13. Bancassurance adalah aktivitas kerja sama antara Perusahaan dengan bank dalam rangka memasarkan Produk Asuransi melalui bank. 14. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud - 5 - dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. BAB II PRODUK ASURANSI Bagian Kesatu Jenis dan Kriteria Produk Asuransi Pasal 2 Setiap Produk Asuransi harus memberikan perlindungan dari paling sedikit 1 (satu) jenis risiko yang dapat diasuransikan. Pasal 3 Produk Asuransi harus memiliki: a. Premi atau Kontribusi yang sesuai dengan manfaat yang dijanjikan, yang ditetapkan pada tingkat yang mencukupi, tidak berlebihan, dan tidak diterapkan secara diskriminatif; dan b. Polis Asuransi yang tidak mengandung kata, frasa, atau kalimat yang dapat: 1. menimbulkan penafsiran yang berbeda mengenai risiko yang ditutup, kewajiban Perusahaan, dan kewajiban pemegang polis, tertanggung, atau peserta; dan/atau 2. mempersulit pemegang polis, tertanggung, atau peserta mengurus haknya. Pasal 4 (1) PAYDI harus memenuhi kriteria: a. memiliki proporsi perlindungan terhadap risiko kematian dan manfaat yang dikaitkan dengan investasi; b. memiliki masa pertanggungan tertentu; dan c. memiliki strategi investasi yang spesifik. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai PAYDI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran OJK. - 6 - Pasal 5 (1) Produk Asuransi Bersama dirancang untuk dipasarkan dan ditanggung atau dikelola risikonya melalui mekanisme kerja sama antara: a. Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Umum lainnya; b. Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Jiwa lainnya; atau c. Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Jiwa. (2) Pembagian risiko antara Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Jiwa dalam Produk Asuransi Bersama harus sesuai dengan ruang lingkup usaha Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Jiwa. (3) Produk Asuransi Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk pertanggungan bersama yang dilakukan oleh 2 (dua) atau lebih Perusahaan yang sejenis dalam rangka penyebaran risiko untuk satu objek pertanggungan yang bersifat kasus per kasus. Pasal 6 (1) Produk Asuransi Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis. (2) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus memuat hal-hal sebagai berikut: a. susunan keanggotaan, termasuk Perusahaan yang menjadi ketua (leader) yang akan mengkoordinir kegiatan pemasaran Produk Asuransi Bersama dimaksud; b. tugas ketua; c. pembagian risiko untuk masing-masing Perusahaan yang tergabung dalam pemasaran Produk Asuransi Bersama sesuai dengan ruang lingkup usaha masing-masing Perusahaan; - 7 - d. tata cara pembayaran Premi atau Kontribusi oleh pemegang polis; e. prosedur underwriting, prosedur penerimaan, dan penerusan Premi atau Kontribusi, serta prosedur penyelesaian dan pembayaran klaim; dan prosedur f. penyelesaian perselisihan antara Perusahaan yang tergabung dalam pemasaran Produk Asuransi Bersama. Pasal 7 Produk Asuransi Standar harus memenuhi kriteria yaitu memiliki Polis Asuransi yang sama dengan polis standar asuransi yang dibuat oleh asosiasi industri asuransi. Pasal 8 (1) Produk Asuransi Mikro harus memiliki karakteristik: a. sederhana; b. mudah; c. ekonomis; dan d. segera. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Produk Asuransi Mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran OJK. Pasal 9 (1) Produk Asuransi yang dapat dipasarkan oleh Perusahaan Asuransi Umum adalah Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf a, huruf c, dan huruf d. (2) Produk Asuransi yang dapat dipasarkan oleh Perusahaan Asuransi Jiwa adalah Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf b, huruf c, huruf d, dan angka 2. (3) Produk Asuransi Mikro yang dapat dipasarkan oleh Perusahaan Asuransi Jiwa adalah Produk Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kecuali anuitas asuransi jiwa dan PAYDI. - 8 - (4) Produk Asuransi yang dapat dipasarkan oleh Perusahaan Asuransi Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau Perusahaan Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diperluas dengan mengikuti perluasan ruang lingkup usaha asuransi. Pasal 10 (1) Perusahaan harus memberi nama untuk setiap Produk Asuransi yang dipasarkan. (2) Nama Produk Asuransi yang dipasarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. menggunakan kata asuransi atau kata lain yang semakna; b. tidak menimbulkan tafsiran bahwa produk tersebut bukan Produk Asuransi; dan c. sesuai dengan nama Produk Asuransi pada saat dilaporkan ke OJK. (3) Nama dari Produk Asuransi Mikro harus menggunakan frasa “asuransi mikro” atau frasa lain yang semakna. Bagian Kedua Polis Asuransi Pasal 11 Polis Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b harus memuat ketentuan paling sedikit mengenai: a. saat berlakunya pertanggungan; b. uraian manfaat yang diperjanjikan; c. cara pembayaran Premi atau Kontribusi; d. tenggang waktu (grace period) pembayaran Premi atau Kontribusi; e. kurs yang digunakan untuk Polis Asuransi dengan mata uang asing apabila pembayaran Premi atau Kontribusi dan manfaat dikaitkan dengan mata uang rupiah; f. waktu yang diakui sebagai saat diterimanya pembayaran Premi atau Kontribusi; - 9 - g. kebijakan Perusahaan yang ditetapkan apabila pembayaran Premi atau Kontribusi dilakukan melewati tenggang waktu yang disepakati; h. periode pada saat Perusahaan tidak dapat meninjau ulang keabsahan kontrak asuransi (incontestable period) pada Produk Asuransi jangka panjang; i. tabel nilai tunai, bagi Produk Asuransi yang dipasarkan oleh Perusahaan Asuransi Jiwa yang mengandung nilai tunai; j. perhitungan dividen Polis Asuransi atau yang sejenis, bagi Produk Asuransi yang dipasarkan oleh Perusahaan Asuransi Jiwa yang menjanjikan dividen Polis Asuransi atau yang sejenis; k. klausula penghentian pertanggungan, baik dari Perusahaan maupun dari pemegang polis, tertanggung, atau peserta, termasuk syarat dan penyebabnya; l. syarat dan tata cara pengajuan klaim, termasuk bukti pendukung yang relevan dan diperlukan dalam pengajuan klaim; m. tata cara penyelesaian dan pembayaran klaim; n. klausula penyelesaian perselisihan yang antara lain memuat mekanisme penyelesaian di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan dan pemilihan tempat kedudukan penyelesaian perselisihan; dan o. bahasa yang dijadikan acuan dalam hal terjadi sengketa atau beda pendapat, untuk Polis Asuransi yang dicetak dalam 2 (dua) bahasa atau lebih. Pasal 12 Polis Asuransi untuk Produk Asuransi dengan prinsip syariah, selain harus memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, juga harus memuat hal-hal sebagai berikut: a. jenis akad yang digunakan; b. hak, kewajiban, dan wewenang masing-masing pihak berdasarkan akad yang disepakati; c. besar Kontribusi yang dialokasikan ke dalam dana tabarru’, ujrah, dan dana investasi; - 10 - d. besar, waktu, dan cara pembayaran bagi hasil investasi dalam hal Produk Asuransi menggunakan akad mudharabah atau mudharabah musytarakah; e. alokasi penggunaan surplus underwriting untuk dana tabarru’, dana peserta, dan/atau dana Perusahaan; dan f. pemberian qardh oleh Perusahaan dalam hal dana tabarru’ tidak cukup untuk membayar manfaat asuransi. Pasal 13 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berlaku juga bagi Polis Asuransi untuk Produk Asuransi Mikro, kecuali huruf e, huruf i, huruf j, dan huruf n. Pasal 14 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12 berlaku juga bagi Polis Asuransi untuk Produk Asuransi Mikro dengan prinsip syariah, kecuali Pasal 11 huruf e, huruf i, huruf j, huruf n, dan Pasal 12 huruf b. Pasal 15 (1) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12, Polis Asuransi untuk Produk Asuransi Bersama harus memuat bagian risiko yang akan ditanggung oleh masing-masing Perusahaan yang tergabung dalam pemasaran Produk Asuransi Bersama. (2) Polis Asuransi untuk Produk Asuransi Bersama diterbitkan oleh Perusahaan yang ditunjuk menjadi ketua dalam pemasaran Produk Asuransi Bersama. (3) Polis Asuransi untuk Produk Asuransi Bersama harus ditandatangani oleh: a. seluruh Perusahaan yang tergabung dalam pemasaran Produk Asuransi Bersama; atau b. Perusahaan yang menjadi ketua dalam pemasaran Produk Asuransi Bersama. (4) Dalam hal Polis Asuransi untuk Produk Asuransi Bersama ditandatangani hanya oleh Perusahaan yang menjadi ketua dalam pemasaran Produk Asuransi - 11 - Bersama, perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan Polis Asuransi untuk Produk Asuransi Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat ketentuan bahwa Perusahaan yang tergabung dalam pemasaran Produk Asuransi Bersama terikat sesuai porsi risiko masing-masing. Pasal 16 (1) Ketentuan mengenai kurs yang digunakan untuk Polis Asuransi dengan mata uang asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf e, harus berupa kurs ekuivalen yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada saat pembayaran. (2) Kurs ekuivalen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menghasilkan sejumlah mata uang asing yang seharusnya diterima oleh penerima pembayaran tersebut jika pembayaran dilakukan dengan mata uang asing dimaksud. Pasal 17 Perusahaan dilarang mencantumkan suatu ketentuan di dalam Polis Asuransi yang dapat ditafsirkan: a. bahwa pemegang polis, tertanggung, atau peserta tidak dapat melakukan upaya hukum sehingga pemegang polis, tertanggung, atau peserta harus menerima penolakan pembayaran klaim; dan/atau b. sebagai pembatasan upaya hukum bagi para pihak dalam hal terjadi perselisihan mengenai ketentuan Polis Asuransi. Pasal 18 (1) Ketentuan dalam Polis Asuransi yang mengatur mengenai penyelesaian perselisihan harus memuat penyelesaian sengketa yaitu di luar pengadilan dan melalui pengadilan. (2) Ketentuan dalam Polis Asuransi yang mengatur mengenai penyelesaian perselisihan atas perjanjian asuransi yang dilakukan di luar pengadilan, harus memberikan pilihan - 12 - alternatif penyelesaian sengketa yaitu melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan. (3) Ketentuan dalam Polis Asuransi yang mengatur mengenai penyelesaian perselisihan atas perjanjian asuransi yang dilakukan melalui pengadilan, tidak boleh membatasi pemilihan pengadilan hanya pada pengadilan negeri di tempat kedudukan Perusahaan. Pasal 19 (1) Polis Asuransi harus ditulis dengan jelas sehingga dapat dibaca dengan mudah dan dimengerti oleh pemegang polis, tertanggung, atau peserta. (2) Dalam hal Polis Asuransi terdapat perumusan yang dapat ditafsirkan sebagai: a. pengecualian atau pembatasan penyebab risiko yang ditutup berdasarkan Polis Asuransi yang bersangkutan; dan/atau b. pengurangan, pembatasan, atau pembebasan kewajiban Perusahaan, bagian perumusan dimaksud harus ditulis atau dicetak dengan huruf tebal atau miring sehingga dapat dengan mudah diketahui adanya pengecualian atau pembatasan penyebab risiko atau adanya pengurangan, pembatasan, atau pembebasan kewajiban Perusahaan. Pasal 20 (1) Setiap Polis Asuransi yang diterbitkan dan dipasarkan di wilayah hukum Indonesia harus dibuat dalam bahasa Indonesia. (2) Dalam hal diperlukan, Polis Asuransi dapat diterbitkan dalam bahasa asing atau bahasa daerah berdampingan dengan bahasa Indonesia. - 13 - Pasal 21 (1) Polis Asuransi diterbitkan dalam bentuk hardcopy atau digital/elektronik. (2) Dalam hal Polis Asuransi diterbitkan dalam bentuk digital/elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan harus memperoleh persetujuan pemegang polis, tertanggung, atau peserta. Pasal 22 Dalam pemasaran Produk Asuransi kumpulan, Perusahaan wajib: a. menerbitkan Polis Asuransi induk yang mencantumkan nama tertanggung atau peserta asuransi dan masa pertanggungan dari masing-masing tertanggung atau peserta asuransi; dan b. menerbitkan bukti kepesertaan bagi masing-masing tertanggung/peserta asuransi. Pasal 23 (1) Setiap polis standar asuransi yang dibuat oleh asosiasi industri asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, harus dilaporkan oleh ketua asosiasi industri asuransi kepada OJK untuk memperoleh surat persetujuan. (2) Polis standar asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan mengenai Polis Asuransi sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK ini. Pasal 24 Dalam setiap penutupan asuransi, Polis Asuransi harus sesuai spesimen Polis Asuransi yang dilaporkan oleh Perusahaan atau polis standar asuransi yang dilaporkan oleh ketua asosiasi industri asuransi kepada OJK. Pasal 25 Dalam hal OJK menilai bahwa dalam ketentuan Polis Asuransi atau polis standar asuransi terdapat hal-hal yang dapat merugikan pemegang polis, tertanggung, atau peserta, - 14 - atau Perusahaan, OJK dapat meminta Perusahaan atau ketua asosiasi industri asuransi untuk mengubah ketentuan Polis Asuransi atau polis standar asuransi dimaksud sesuai dengan rekomendasi OJK. Bagian Ketiga Premi atau Kontribusi Pasal 26 (1) Perhitungan Premi atau Kontribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a harus didasarkan pada asumsi yang wajar dan praktik asuransi yang berlaku umum. (2) Penetapan Premi atau Kontribusi Produk Asuransi yang dipasarkan oleh Perusahaan Asuransi Umum harus dilakukan dengan mempertimbangkan paling sedikit sebagai berikut: a. Premi atau Kontribusi murni yang dihitung berdasarkan profil kerugian (risk and loss profile) jenis asuransi yang bersangkutan untuk paling kurang 5 (lima) tahun terakhir; dan b. biaya akuisisi, biaya administrasi, dan biaya umum lainnya. (3) Penetapan Premi atau Kontribusi Produk Asuransi yang dipasarkan oleh Perusahaan Asuransi Jiwa harus dilakukan dengan mempertimbangkan paling sedikit sebagai berikut: a. Premi atau Kontribusi murni yang dihitung berdasarkan profil risiko, tingkat bunga, tabel mortalita, atau tabel morbidita; b. perkiraan hasil investasi dari Premi atau Kontribusi; dan c. biaya akuisisi, biaya administrasi, dan biaya umum lainnya. - 15 - Pasal 27 (1) Penghentian pertanggungan, baik atas kehendak Perusahaan maupun pemegang polis, tertanggung, atau peserta, harus dilakukan dengan pemberitahuan secara tertulis. (2) Dalam hal terjadi penghentian pertanggungan pada Produk Asuransi yang tidak memiliki unsur tabungan dan/atau investasi, maka besar pengembalian Premi atau Kontribusi paling sedikit sebesar jumlah yang dihitung secara proporsional berdasarkan sisa jangka waktu pertanggungan, setelah dikurangi bagian Premi atau Kontribusi yang telah dibayarkan kepada perusahaan pialang asuransi, agen asuransi, dan/atau tenaga pemasar. (3) Dalam hal terjadi penghentian pertanggungan pada Produk Asuransi yang memiliki unsur tabungan dan/atau investasi, Perusahaan harus membayar paling sedikit sejumlah: a. nilai tunai atau cadangan akumulasi dana bagi Produk Asuransi selain Produk Asuransi dengan prinsip syariah; atau b. akumulasi dana investasi peserta bagi Produk Asuransi dengan prinsip syariah, pada saat penghentian tersebut. BAB III PERSETUJUAN DAN PENCATATAN PRODUK ASURANSI Bagian Kesatu Kewajiban Pelaporan Pasal 28 (1) Setiap Produk Asuransi baru yang akan dipasarkan wajib dilaporkan kepada OJK untuk memperoleh surat persetujuan atau surat pencatatan. - 16 - (2) Kriteria Produk Asuransi baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: a. Produk Asuransi yang belum pernah dipasarkan oleh Perusahaan yang bersangkutan; atau b. Produk Asuransi tersebut merupakan perubahan atas Produk Asuransi yang sudah dipasarkan, yang perubahannya meliputi: 1. risiko yang ditanggung termasuk pengecualian atau pembatasan penyebab risiko yang ditanggung; 2. rumusan Premi atau Kontribusi; 3. perubahan kategori risiko; 4. asumsi yang terkait dengan pembentukan rumusan Premi atau Kontribusi; dan/atau 5. metode perhitungan nilai tunai. (3) Produk Asuransi baru yang akan dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tercantum dalam rencana bisnis Perusahaan. Pasal 29 (1) Pelaporan Produk Asuransi baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dilakukan oleh direksi Perusahaan atau yang setara. (2) Dalam hal Produk Asuransi baru yang dilaporkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) merupakan Produk Asuransi Bersama, dilakukan oleh direksi atau yang setara pelaporan dari Perusahaan yang ditunjuk menjadi ketua dalam pemasaran Produk Asuransi Bersama. Pasal 30 (1) Perusahaan yang akan melaporkan Produk Asuransi baru harus: a. memenuhi ketentuan tingkat kesehatan keuangan; dan b. tidak sedang dikenai sanksi administratif. - 17 - (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal pelaporan Produk Asuransi baru dimaksud merupakan: a. pengganti atau perbaikan atas Produk Asuransi yang telah dipasarkan dan merupakan bagian dari rencana penyehatan Perusahaan yang telah disetujui oleh OJK; atau b. salah satu upaya untuk dapat dicabutnya sanksi administratif yang dikenakan karena Perusahaan belum melaporkan Produk Asuransi yang sudah dipasarkan. (3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagi Perusahaan yang memasarkan Produk Asuransi kredit dan/atau suretyship harus memenuhi persyaratan/kriteria lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai persyaratan/kriteria usaha asuransi kredit dan/atau suretyship. Bagian Kedua Persetujuan Produk Asuransi Pasal 31 Produk Asuransi yang wajib dilaporkan kepada OJK untuk memperoleh surat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) adalah Produk Asuransi baru selain Produk Asuransi Standar. Pasal 32 (1) Pelaporan Produk Asuransi baru untuk memperoleh surat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, harus dilengkapi dokumen sebagai berikut: a. formulir pelaporan Produk Asuransi baru; b. proyeksi pendapatan Premi atau Kontribusi dan pengeluaran yang dikaitkan dengan pemasaran Produk Asuransi baru untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun; c. deskripsi Produk Asuransi baru; - 18 - d. spesimen Polis Asuransi; dan e. surat pernyataan dewan pengawas syariah, khusus untuk Produk Asuransi dengan prinsip syariah. (2) Surat pernyataan dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e harus menyatakan kesesuaian Produk Asuransi yang dilaporkan dengan prinsip syariah yang paling sedikit mencakup hal sebagai berikut: a. Polis Asuransi; b. deskripsi Produk Asuransi; c. brosur atau media pemasaran; d. kebijakan dan prosedur pengelolaan kekayaan; dan e. kebijakan akuntansi terkait dengan produk yang akan dipasarkan. Pasal 33 Selain kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, dalam hal pelaporan Produk Asuransi Bersama merupakan pelaporan: a. Produk Asuransi baru yang belum pernah dipasarkan oleh Perusahaan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf a, harus dilengkapi dengan dokumen perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1). b. Produk Asuransi baru yang merupakan perubahan atas Produk Asuransi yang sudah dipasarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf b, harus dilengkapi dengan surat persetujuan atau surat pencatatan Produk Asuransi Bersama dimaksud. Pasal 34 (1) Selain kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, untuk pelaporan Produk Asuransi kredit dan/atau suretyship harus dilengkapi dengan dokumen lain. (2) Ketentuan mengenai dokumen lain untuk pelaporan Produk Asuransi kredit dan/atau suretyship diatur dalam - 19 - ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pelaporan Produk Asuransi kredit dan/atau suretyship. Pasal 35 OJK memberikan surat persetujuan atas pelaporan Produk Asuransi baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah dokumen diterima secara lengkap dan benar. Pasal 36 Perusahaan dilarang memasarkan Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 sebelum mendapatkan surat persetujuan dari OJK. Bagian Ketiga Pencatatan Produk Asuransi Pasal 37 Produk Asuransi yang wajib dilaporkan kepada OJK untuk memperoleh surat pencatatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), adalah sebagai berikut: a. Produk Asuransi baru yang berupa Produk Asuransi Standar; dan b. Produk Asuransi yang telah dipasarkan yang mengalami perubahan selain perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf b dengan ketentuan: 1. Produk Asuransi dimaksud dipasarkan kepada tertanggung orang perorangan; atau 2. Produk Asuransi dimaksud dipasarkan kepada tertanggung selain orang perorangan, yang pernah dihentikan pemasarannya. Pasal 38 (1) Pelaporan Produk Asuransi baru yang berupa Produk Asuransi Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a, harus dilengkapi dokumen sebagai berikut: a. formulir pelaporan Produk Asuransi baru; - 20 - b. deskripsi Produk Asuransi baru; dan c. surat pernyataan dewan pengawas syariah mengenai kesesuaian Produk Asuransi yang dilaporkan dengan prinsip syariah, khusus untuk Produk Asuransi Standar dengan prinsip syariah. (2) Surat pernyataan dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, harus mencakup paling sedikit: a. Polis Asuransi; b. deskripsi Produk Asuransi; c. brosur atau media pemasaran; d. kebijakan dan prosedur pengelolaan kekayaan; dan e. kebijakan akuntansi terkait dengan produk yang akan dipasarkan. Pasal 39 Pelaporan perubahan atas Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf b, harus dilengkapi dokumen sebagai berikut: a. formulir pelaporan perubahan Produk Asuransi; b. surat persetujuan atau surat pencatatan atas Produk Asuransi sebelum perubahan; c. deskripsi Produk Asuransi; d. matriks perbandingan Produk Asuransi sebelum dan sesudah perubahan; dan e. spesimen Polis Asuransi setelah perubahan, khusus untuk Produk Asuransi selain Produk Asuransi Standar. Pasal 40 (1) Pelaporan Produk Asuransi Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a yang merupakan Produk Asuransi Bersama, selain harus memenuhi kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, juga harus dilengkapi dengan dokumen perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1). - 21 - (2) Pelaporan perubahan atas Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf b yang merupakan Produk Asuransi Bersama, selain harus memenuhi kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, juga harus dilengkapi dengan surat persetujuan atau surat pencatatan dari Produk Asuransi Bersama dimaksud. Pasal 41 OJK memberikan surat pencatatan atas pelaporan Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah dokumen diterima secara lengkap dan benar. Pasal 42 Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, dapat dipasarkan oleh Perusahaaan setelah mendapatkan tanda terima dari OJK atas penyampaian pelaporan Produk Asuransi dimaksud. Bagian Keempat Pemenuhan Kelengkapan Dokumen Pelaporan Produk Asuransi Pasal 43 (1) Dalam hal pelaporan Produk Asuransi baru atau perubahan atas Produk Asuransi yang telah dipasarkan belum memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan atau belum memenuhi kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 38, Pasal 39, dan/atau Pasal 40, OJK menyampaikan pemberitahuan mengenai persyaratan yang harus dipenuhi dan/atau dokumen yang harus dilengkapi kepada Perusahaan melalui: a. surat; b. surat elektronik; - 22 - c. pertemuan dengan pihak Perusahaan di kantor OJK; dan/atau d. cara lain yang dapat ditelusuri dan disimpan buktinya. (2) Apabila dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan dari OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan tidak memenuhi persyaratan dan/atau melengkapi dokumen, Perusahaan dianggap membatalkan pelaporan Produk Asuransi baru atau perubahan atas Produk Asuransi yang telah dipasarkan. (3) Apabila Perusahaan tetap bermaksud memasarkan Produk Asuransi baru atau melakukan perubahan atas Produk Asuransi yang telah dipasarkan setelah melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan harus menyampaikan kembali pelaporan Produk Asuransi baru atau perubahan atas Produk Asuransi yang telah dipasarkan dimaksud kepada OJK. Pasal 44 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, bentuk, dan format pelaporan Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pasal 38, dan Pasal 39 diatur dalam Surat Edaran OJK. BAB IV SALURAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI Pasal 45 (1) Perusahaan hanya dapat memasarkan Produk Asuransi melalui saluran pemasaran sebagai berikut: a. secara langsung (direct marketing); b. agen asuransi; c. Bancassurance; dan/atau d. badan usaha selain bank. - 23 - (2) Pemasaran Produk Asuransi Mikro dapat dilakukan melalui saluran pemasaran pada ayat (1) dan/atau tenaga pemasar. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai saluran pemasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 46 Perusahaan yang akan memasarkan Produk Asuransi melalui saluran pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf d wajib memiliki perjanjian tertulis dengan pihak yang melakukan pemasaran. Pasal 47 (1) Saluran pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dapat menggunakan media komunikasi jarak jauh. (2) Pemasaran Produk Asuransi melalui media komunikasi jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat informasi mengenai identitas Perusahaan, Produk Asuransi yang ditawarkan, serta syarat dan ketentuan Polis Asuransi. (3) Saluran pemasaran dengan menggunakan media komunikasi jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk PAYDI wajib diikuti dengan pertemuan langsung secara tatap muka. Pasal 48 Perusahaan yang memasarkan Produk Asuransi melalui agen asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b, wajib memastikan bahwa agen asuransi tersebut memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai agen asuransi. - 24 - Pasal 49 (1) Perusahaan yang memasarkan Produk Asuransi melalui Bancassurance sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf c harus terlebih dahulu memperoleh surat persetujuan Bancassurance dari OJK. (2) Perusahaan dilarang melakukan pemasaran melalui Bancassurance sebelum mendapat surat persetujuan dari OJK. Pasal 50 Perusahaan yang memasarkan Produk Asuransi melalui badan usaha selain bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf d dengan kriteria tertentu harus terlebih dahulu memperoleh surat persetujuan dari OJK. Pasal 51 Pemasaran Produk Asuransi Mikro melalui tenaga pemasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) harus dilakukan oleh orang yang memiliki pengetahuan mengenai asuransi dan Produk Asuransi Mikro. Pasal 52 Dalam hal pemasaran Produk Asuransi dilakukan melalui saluran pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan ayat (2), Perusahaan wajib: a. memastikan bahwa pihak yang melakukan pemasaran dimaksud menyampaikan informasi yang akurat, jelas, jujur, dan tidak menyesatkan mengenai Produk Asuransi kepada calon pemegang polis, tertanggung, atau peserta sebelum calon pemegang polis, tertanggung, atau peserta memutuskan untuk melakukan penutupan asuransi dengan Perusahaan; dan b. bertanggung jawab atas semua tindakan pihak yang melakukan pemasaran dimaksud yang berkaitan dengan Produk Asuransi yang dipasarkan. - 25 - BAB V PERLINDUNGAN KONSUMEN ASURANSI Pasal 53 (1) Perusahaan dan/atau perusahaan pialang asuransi wajib menyampaikan informasi yang akurat, jelas, jujur, dan tidak menyesatkan mengenai Produk Asuransi kepada calon pemegang polis, tertanggung, atau peserta sebelum calon pemegang polis, tertanggung, atau peserta memutuskan untuk melakukan penutupan asuransi dengan Perusahaan. (2) Perusahaan yang memasarkan PAYDI wajib memiliki, menerapkan, dan mengembangkan kebijakan dan prosedur penilaian kesesuaian Produk Asuransi dengan kebutuhan dan profil calon pemegang polis, tertanggung, atau peserta yang menjadi target pemasaran (customer risk profile assessment). (3) Perusahaan wajib menyelesaikan setiap keluhan terkait Produk Asuransi yang diajukan oleh pihak pemegang polis, tertanggung, atau peserta. Pasal 54 (1) Perusahaan wajib menyampaikan Polis Asuransi kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta dalam bentuk hardcopy atau digital/elektronik. (2) Dalam hal Polis Asuransi disampaikan dalam bentuk digital/elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagian Polis Asuransi yang berupa ikhtisar polis tetap wajib disampaikan dalam bentuk hardcopy. BAB VI MANAJEMEN PRODUK ASURANSI Bagian Kesatu Perencanaan Produk Asuransi Pasal 55 (1) Perusahaan wajib memiliki rencana pengembangan dan pemasaran Produk Asuransi yang ditetapkan oleh direksi atau yang setara. - 26 - (2) Rencana pengembangan dan pemasaran Produk Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari rencana bisnis Perusahaan. (3) Ketentuan mengenai bentuk, susunan, dan tata cara penyusunan rencana pengembangan dan pemasaran Produk Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran OJK mengenai rencana korporasi dan rencana bisnis perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah. Bagian Kedua Pemantauan Kinerja Produk Asuransi Pasal 56 (1) Perusahaan wajib melakukan pemantauan atas kinerja setiap Produk Asuransi. (2) Pemantauan atas kinerja setiap Produk Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengevaluasi antara lain: a. embedded value atas Produk Asuransi dimaksud; b. profit testing dan asset share dengan menggunakan asumsi pada saat pemantauan; dan c. analisis atas value new business (dampak new business suatu Produk Asuransi terhadap solvabilitas atau modal). (3) Evaluasi pemantauan atas kinerja setiap Produk Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara periodik oleh Aktuaris Perusahaan sesuai dengan standar praktik dan kode etik yang dikeluarkan oleh asosiasi profesi aktuaris Indonesia. (4) Berdasarkan evaluasi pemantauan atas kinerja setiap Produk Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Aktuaris Perusahaan memberikan rekomendasi untuk: a. melanjutkan pemasaran Produk Asuransi; b. mengubah asumsi yang digunakan dalam Produk Asuransi; atau c. menghentikan pemasaran Produk Asuransi. - 27 - (5) Perusahaan wajib mendokumentasikan hasil pemantauan atas kinerja setiap Produk Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Ketiga Penghentian Pemasaran Produk Asuransi Pasal 57 (1) OJK dapat memerintahkan Perusahaan untuk menghentikan pemasaran Produk Asuransi, dalam hal: a. Produk Asuransi yang dipasarkan berbeda dengan Produk Asuransi yang telah memperoleh surat persetujuan atau surat pencatatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1); dan/atau b. Produk yang dipasarkan tidak lagi memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Perusahaan wajib menghentikan seluruh kegiatan pemasaran Produk Asuransi yang dikenakan penghentian oleh OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 58 (1) Perusahaan wajib melaporkan penghentian pemasaran Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 kepada OJK paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak penghentian pemasaran Produk Asuransi dimaksud. (2) Perusahaan yang telah menghentikan pemasaran Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dapat memasarkan Produk Asuransi tersebut kembali setelah Produk Asuransi tersebut telah mendapatkan surat persetujuan atau surat pencatatan dari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1). OJK (3) Pelaporan penghentian pemasaran Produk Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan oleh direksi Perusahaan atau yang setara dilengkapi dengan: a. penjelasan mengenai alasan penghentian pemasaran Produk Asuransi; dan b. data Polis Asuransi yang masih aktif. - 28 - Pasal 59 Penghentian pemasaran Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 tidak boleh mengurangi hak pemegang polis, tertanggung, atau peserta. BAB VII SANKSI Pasal 60 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 17, Pasal 22, Pasal 28 ayat (1), Pasal 36, Pasal 46, Pasal 47 ayat (2), ayat (3), Pasal 48, Pasal 49 ayat (2), Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), ayat (5), Pasal 57 ayat (2), dan/atau Pasal 58 ayat (1), Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. denda; c. kewajiban bagi direksi atau yang setara untuk menjalani penilaian kemampuan dan kepatutan ulang; d. pembatasan kegiatan usaha; dan/atau e. pencabutan izin usaha. (3) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, dan/atau huruf e, dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a. (4) Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf c, huruf d, dan/atau huruf e. (5) Besaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan OJK berdasarkan ketentuan tentang sanksi administratif berupa denda yang berlaku untuk Perusahaan. - 29 - (6) OJK dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada masyarakat. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 61 (1) Surat pencatatan atas Produk Asuransi yang telah diterbitkan oleh OJK sebelum Peraturan OJK ini mulai berlaku, dinyatakan tetap berlaku. (2) Proses pelaporan Produk Asuransi yang belum selesai pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku tunduk pada Peraturan OJK ini. (3) Dalam hal OJK telah menyampaikan pemberitahuan mengenai kelengkapan dokumen dan/atau persyaratan yang harus dipenuhi oleh Perusahaan sebelum Peraturan OJK ini berlaku, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) dihitung sejak Peraturan OJK ini mulai berlaku. (4) Asosiasi harus melaporkan spesimen polis standar asuransi yang telah terbit sebelum Peraturan OJK ini mulai berlaku kepada OJK paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak Peraturan OJK ini mulai berlaku. (5) Ketentuan mengenai PAYDI sebagaimana diatur dalam Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-104/BL/2006 tentang Produk Unit Link dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan OJK ini sampai dengan Surat Edaran OJK mengenai PAYDI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) ditetapkan. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 62 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan mengenai Produk Asuransi dan pemasaran Produk Asuransi tunduk pada Peraturan OJK ini. - 30 - Pasal 63 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 24 November 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 November 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 287 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 23/POJK.05/2015 </reg_id> <reg_title> PRODUK ASURANSI DAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI </reg_title> <set_date> 24 November 2015 </set_date> <effective_date> 26 November 2015 </effective_date> <issued_date> 26 November 2015 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '40/UU/2014' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
- 4 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 44 /POJK.03/2015 TENTANG SERTIFIKASI KOMPETENSI KERJA BAGI ANGGOTA DIREKSI DAN ANGGOTA DEWAN KOMISARIS BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia secara optimal dan berkesinambungan, perlu meningkatkan ketahanan dan daya saing industri perbankan nasional; b. bahwa untuk meningkatkan peran dan kontribusi industri Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah terhadap ekonomi daerah, dan memperkuat daya saing Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, perlu upaya peningkatan kompetensi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah melalui program sertifikasi; c. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Sertifikasi Kompetensi Kerja bagi anggota Direksi dan anggota - 2 - Dewan Komisaris Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 4. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 351, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5629); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG SERTIFIKASI KOMPETENSI KERJA BAGI ANGGOTA DIREKSI DAN ANGGOTA DEWAN KOMISARIS BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang - 3 - dimaksud dengan: 1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu-lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah oleh Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya disingkat BPRS adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 3. Direksi: a. bagi BPR dan BPRS berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbadan hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; c. bagi BPR berbadan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 4. Dewan Komisaris: a. bagi BPR dan BPRS berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbadan hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam - 4 - Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; c. bagi BPR berbadan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; 5. Badan Nasional Sertifikasi Profesi yang selanjutnya disingkat BNSP adalah lembaga independen sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku. 6. Sertifikasi Kompetensi Kerja bagi BPR dan BPRS yang selanjutnya disebut Sertifikasi Kompetensi Kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang berlaku bagi BPR dan BPRS. 7. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat SKKNI adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 8. Lembaga Sertifikasi Profesi adalah lembaga pelaksana Sertifikasi Kompetensi Kerja yang mendapatkan lisensi dari BNSP. 9. Program Pemeliharaan Kompetensi Kerja yang selanjutnya disebut dengan Program Pemeliharaan adalah program pengkinian kompetensi kerja bagi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR dan BPRS pemegang Sertifikat Kompetensi Kerja. - 5 - BAB II KEWAJIBAN SERTIFIKASI KOMPETENSI KERJA BAGI ANGGOTA DIREKSI DAN ANGGOTA DEWAN KOMISARIS BPR DAN BPRS Pasal 2 Maksud dan tujuan Sertifikasi Kompetensi Kerja, yaitu: a. memastikan dan memelihara kompetensi kerja sumber daya manusia BPR dan BPRS mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan; dan b. meningkatkan kualitas dan daya saing sumber daya manusia BPR dan BPRS menuju terciptanya industri BPR dan BPRS yang sehat, kuat, efisien, dan berkesinambungan. Pasal 3 (1) BPR dan BPRS harus menerapkan tata kelola termasuk manajemen sumber daya manusia berbasis kompetensi secara efektif dan terencana. (2) Dalam rangka menerapkan tata kelola termasuk manajemen sumber daya manusia secara efektif dan terencana, BPR dan BPRS harus mengisi jabatan Direksi dan Dewan Komisaris dengan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi yang relevan dengan bidang pekerjaannya. Pasal 4 (1) BPR atau BPRS wajib memiliki anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris yang seluruhnya memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi. (2) Kewajiban memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja bagi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan - 6 - salah satu persyaratan bagi calon anggota Direksi dan calon anggota Dewan Komisaris. (3) Kewajiban memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja bagi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai BPRS. BAB III TINGKATAN SERTIFIKASI KOMPETENSI KERJA BAGI ANGGOTA DIREKSI DAN ANGGOTA DEWAN KOMISARIS BPR DAN BPRS Pasal 5 (1) Sertifikat Kompetensi Kerja bagi anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ditetapkan dalam 2 (dua) tingkat berdasarkan total aset BPR dan BPRS, yaitu Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 1 dan Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2. (2) Sertifikat Kompetensi Kerja bagi anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ditetapkan dalam 1 (satu) tingkat dan tidak memperhitungkan total aset BPR dan BPRS. Pasal 6 (1) Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) wajib dimiliki oleh anggota Direksi BPR dan BPRS dengan total aset kurang dari Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah). (2) Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) wajib dimiliki oleh anggota Direksi BPR dan BPRS dengan total aset paling sedikit Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah). - 7 - Pasal 7 Anggota Direksi BPR dan BPRS yang memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 1 yang masih berlaku, dapat memperoleh Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2 dengan menambah jumlah unit kompetensi yang dipersyaratkan pada Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2 sesuai dengan SKKNI yang tidak tercakup pada unit kompetensi untuk memperoleh Sertifikasi Kompetensi Kerja tingkat 1. Pasal 8 (1) Dalam hal BPR dan BPRS mengalami peningkatan total aset menjadi paling sedikit Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah) dalam jangka waktu 6 (enam) bulan berturut-turut, anggota Direksi BPR dan BPRS wajib memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2. (2) Anggota Direksi BPR dan BPRS wajib memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2 paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak total aset BPR dan BPRS memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal terdapat perbedaan sisa batas waktu pemenuhan kewajiban memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2 bagi anggota Direksi BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kelembagaan BPRS, pemenuhan Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2 bagi anggota Direksi BPRS dapat menggunakan sisa batas waktu yang lebih lama. Pasal 9 (1) Bagi BPR dan BPRS yang berdasarkan laporan bulanan mengalami penurunan total aset setelah memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1), anggota Direksi BPR dan BPRS tetap wajib memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2. - 8 - (2) Kewajiban memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2 bagi BPR yang mengalami penurunan total aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi calon anggota Direksi BPR. BAB IV PENYELENGGARA SERTIFIKASI KOMPETENSI KERJA Pasal 10 Lembaga Sertifikasi Profesi yang dapat menyelenggarakan Sertifikasi Kompetensi Kerja wajib terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 11 (1) Untuk memenuhi kewajiban pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Lembaga Sertifikasi Profesi harus memenuhi persyaratan paling sedikit: a. didirikan oleh asosiasi industri dan/atau asosiasi profesi perbankan yang menyelenggarakan Sertifikasi Kompetensi Kerja bagi sumber daya manusia BPR dan BPRS; b. memiliki lisensi dari BNSP; c. memiliki visi, misi, dan strategi yang menunjang peningkatan kompetensi kerja sumber daya manusia BPR dan BPRS; d. merupakan badan hukum yang terpisah dari pendirinya dan mampu bertindak secara profesional serta independen termasuk terhadap industri BPR dan BPRS; e. memiliki struktur organisasi paling kurang terdiri dari unsur pengarah, dan unsur pelaksana yang independen dan tidak merangkap sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau anggota Dewan Pengawas Syariah, serta pegawai BPR dan BPRS; dan - 9 - f. merupakan organisasi tingkat nasional yang berkedudukan di wilayah Republik Indonesia. (2) Lembaga Sertifikasi Profesi yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan c.q. Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan, dengan melampirkan dokumen sebagai berikut: a. fotokopi Anggaran Dasar Lembaga Sertifikasi Profesi; b. fotokopi lisensi yang masih berlaku dari BNSP yang mencakup ruang lingkup kegiatan sertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Profesi; c. struktur organisasi dan wilayah operasional Lembaga Sertifikasi Profesi; d. skema sertifikasi Lembaga Sertifikasi Profesi; dan e. kebijakan dan prosedur dalam pelaksanaan proses sertifikasi. Pasal 12 (1) Berdasarkan penelitian terhadap persyaratan dan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Otoritas Jasa Keuangan mencantumkan nama Lembaga Sertifikasi Profesi dalam daftar Lembaga Sertifikasi Profesi yang melaksanakan Sertifikasi Kompetensi Kerja. (2) Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan nama Lembaga Sertifikasi Profesi yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam situs jejaring (website) Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 13 Lembaga Sertifikasi Profesi wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 selama melaksanakan program Sertifikasi Kompetensi Kerja. - 10 - Pasal 14 Standar kompetensi kerja yang digunakan dalam pelaksanaan uji kompetensi dalam rangka Sertifikasi Kompetensi Kerja adalah SKKNI yang diberlakukan bagi BPR dan BPRS berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 15 (1) Lembaga Sertifikasi Profesi harus menerapkan metode dan prosedur uji kompetensi sebagaimana ditetapkan dalam skema sertifikasi. (2) Pelaksanaan uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan metode yang menjamin penilaian secara objektif dan sistematis. Pasal 16 Lembaga Sertifikasi Profesi memiliki tugas dan tanggung jawab: a. mengembangkan dan mendokumentasikan kebijakan dan prosedur tertulis yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya seluruh proses sertifikasi dengan baik dan mengambil tindakan perbaikan apabila ditemukan kelemahan atau pelanggaran; b. menerbitkan Sertifikat Kompetensi Kerja atas nama BNSP yang mencantumkan antara lain nama pemegang sertifikat, jenjang kualifikasi, bidang pekerjaan atau profesi, unit kompetensi, dan masa berlaku sertifikat; c. menyesuaikan materi uji Sertifikasi Kompetensi Kerja dengan perkembangan pengetahuan dan kebutuhan dalam industri BPR dan BPRS; dan d. menyampaikan laporan kegiatan yang terkait dengan pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi Kerja dalam hal diperlukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. - 11 - Pasal 17 Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, tugas, wewenang, dan tanggung jawab unsur pengarah dan unsur pelaksana ditetapkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi dengan memperhatikan ketentuan BNSP. BAB V PROGRAM PEMELIHARAAN Pasal 18 (1) BPR dan BPRS wajib mengikutsertakan setiap anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR dan BPRS yang telah memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja dalam Program Pemeliharaan kompetensi kerja secara berkala. (2) Jangka waktu Program Pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam masa berlakunya Sertifikat Kompetensi Kerja sebagai salah satu persyaratan perpanjangan masa berlaku Sertifikat Kompetensi Kerja. (3) Program Pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diikuti oleh anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR dan BPRS paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun sejak berlakunya Sertifikat Kompetensi Kerja. (4) BPR dan BPRS wajib mengadministrasikan dengan tertib dokumen Program Pemeliharaan bagi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR dan BPRS. BAB VI LAIN-LAIN Pasal 19 (1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk: a. melakukan koordinasi dengan BNSP dalam rangka evaluasi terhadap kualitas standar - 12 - Sertifikasi Kompetensi Kerja dan materi yang diujikan dalam Sertifikasi Kompetensi Kerja; dan b. mencantumkan atau menghapus nama Lembaga Sertifikasi Profesi dalam daftar Lembaga Sertifikasi Profesi di OJK dan di dalam situs web Otoritas Jasa Keuangan. (2) Lembaga Sertifikasi Profesi wajib menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan program Sertifikasi Kompetensi Kerja yang diminta oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf d. BAB VII SANKSI Pasal 20 (1) BPR dan BPRS yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 6, Pasal 8, dan/atau Pasal 9 dapat dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan BPR dan BPRS satu predikat; c. larangan pembukaan jaringan kantor dan kegiatan Pedagang Valuta Asing (PVA); dan/atau d. penghentian sementara sebagian kegiatan operasional BPR dan BPRS. (2) Lembaga Sertifikasi Profesi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan/atau Pasal 19 ayat (2) dapat dikenakan sanksi berupa penghapusan nama Lembaga Sertifikasi Profesi dalam daftar Lembaga Sertifikasi Profesi di Otoritas Jasa Keuangan dan di dalam pengumuman pada situs web Otoritas Jasa Keuangan. (3) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan setelah Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan 3 (tiga) surat peringatan dengan - 13 - tenggang waktu surat peringatan masing-masing selama 1 (satu) bulan. Pasal 21 Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR dan BPRS yang tidak mengikuti Program Pemeliharaan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) yang mengakibatkan Sertifikat Kompetensi Kerja yang dimiliki tidak berlaku, dikenakan sanksi wajib mengikuti uji kompetensi kerja untuk memperoleh Sertifikat Kompetensi Kerja. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 22 Sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, sertifikat kompetensi kerja bagi anggota Direksi dan Dewan Komisaris BPR dan BPRS yang masih berlaku berdasarkan SKKNI bagi BPR dan BPRS diakui sebagai Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 1. Pasal 23 Lembaga Sertifikasi Profesi yang telah melakukan kegiatan Sertifikasi Kompetensi Kerja sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini wajib mengajukan pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan c.q. Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan paling lama 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dengan melampirkan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1). BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 24 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai - 14 - berlaku: 1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/34/DPBPR tanggal 13 Agustus 2004 tentang Lembaga Sertifikasi bagi Bank Perkreditan Rakyat; dan 2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/23/DPbS tanggal 20 Oktober 2006 tentang Lembaga Sertifikasi bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. - 15 - Pasal 25 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2017. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 21 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 29 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 397 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 4/POJK.03/2015 </reg_id> <reg_title> PENERAPAN TATA KELOLA BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title> <set_date> 31 Maret 2015 </set_date> <effective_date> 1 April 2015 </effective_date> <issued_date> 1 April 2015 </issued_date> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 64 /POJK.03/2016 TENTANG PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK KONVENSIONAL MENJADI BANK SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung pertumbuhan perekonomian nasional diperlukan lembaga perbankan yang dapat melayani seluruh lapisan masyarakat; b. bahwa bank syariah sebagai bagian dari sistem perbankan nasional perlu dikembangkan secara sehat dan kuat agar dapat memberikan pelayanan jasa perbankan bagi masyarakat, antara lain melalui perubahan kegiatan usaha bank konvensional menjadi bank syariah; c. bahwa perubahan kegiatan usaha bank konvensional menjadi bank syariah harus didukung dengan modal yang cukup dan manajemen yang profesional sehingga dapat tercipta bank syariah yang sehat dan tangguh (sustainable); d. bahwa sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Konvensional Menjadi Bank Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK KONVENSIONAL MENJADI BANK SYARIAH. - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri dari Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah; 2. Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; 3. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya disebut BPRS adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; 4. Bank Konvensional adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri dari Bank Umum Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat; 5. Bank Umum Konvensional adalah Bank Konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; 6. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR adalah Bank Konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; - 4 - 7. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia; 8. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disebut PSP adalah badan hukum, perorangan dan/atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham perusahaan atau bank sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau b. memiliki saham perusahaan atau bank kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian perusahaan atau bank, baik secara langsung maupun tidak langsung; 9. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; 10. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; 11. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disebut DPS adalah dewan yang bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank Syariah agar sesuai dengan Prinsip Syariah; 12. Hari adalah hari kalender. Pasal 2 (1) Bank Konvensional dapat melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi Bank Syariah. (2) Perubahan kegiatan usaha Bank Konvensional menjadi Bank Syariah dapat dilakukan: a. Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum Syariah; atau b. BPR menjadi BPRS. - 5 - Pasal 3 Bank Syariah dilarang melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi Bank Konvensional. Pasal 4 (1) Perubahan kegiatan usaha Bank Konvensional menjadi Bank Syariah hanya dapat dilakukan dengan izin Otoritas Jasa Keuangan. (2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk izin perubahan kegiatan usaha. BAB II PERSYARATAN PERUBAHAN KEGIATAN USAHA Bagian Kesatu Persyaratan Umum Pasal 5 Rencana perubahan kegiatan usaha Bank Konvensional menjadi Bank Syariah harus dicantumkan dalam rencana bisnis Bank Konvensional. Pasal 6 Bank Konvensional yang akan melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi Bank Syariah harus: a. menyesuaikan anggaran dasar; b. memenuhi persyaratan permodalan; c. menyesuaikan persyaratan Direksi dan Dewan Komisaris; d. membentuk DPS; dan e. menyajikan laporan keuangan awal sebagai sebuah Bank Syariah. Pasal 7 Penyesuaian anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a mengacu pada Undang-Undang yang mengatur mengenai Perbankan Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. - 6 - Bagian Kedua Persyaratan Menjadi Bank Umum Syariah Pasal 8 Bank Umum Konvensional yang akan melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi Bank Umum Syariah harus memenuhi ketentuan mengenai permodalan Bank Umum Syariah. Pasal 9 Direksi dan Dewan Komisaris Bank Umum Syariah harus memenuhi ketentuan yang mengatur mengenai Bank Umum Syariah. Pasal 10 (1) Bank Umum Konvensional yang akan melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi Bank Umum Syariah harus membentuk DPS. (2) Calon anggota DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan DPS sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai Bank Umum Syariah. Bagian Ketiga Persyaratan Menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Pasal 11 BPR yang akan melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi BPRS harus memenuhi ketentuan mengenai permodalan BPRS. Pasal 12 Direksi dan Dewan Komisaris BPRS harus memenuhi ketentuan yang mengatur mengenai BPRS. Pasal 13 (1) BPR yang akan melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi BPRS harus membentuk DPS. - 7 - (2) Calon anggota DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan DPS sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai BPRS. BAB III TATA CARA PERIZINAN PERUBAHAN KEGIATAN USAHA Pasal 14 (1) Permohonan izin perubahan kegiatan usaha diajukan oleh Bank Konvensional disertai dengan antara lain: a. misi dan visi perubahan kegiatan usaha menjadi Bank Syariah; b. rancangan perubahan anggaran dasar; c. nama dan data identitas dari calon PSP, calon anggota Direksi, calon anggota Dewan Komisaris, dan calon anggota DPS; d. rencana bisnis Bank Syariah; e. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi; dan f. rencana penyelesaian hak dan kewajiban nasabah. (2) Bank Konvensional yang mengajukan permohonan izin perubahan kegiatan usaha harus memberikan penjelasan mengenai keseluruhan rencana perubahan kegiatan usaha menjadi Bank Syariah. Pasal 15 (1) Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b harus dimintakan persetujuan kepada instansi yang berwenang. (2) Permohonan kepada instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan bersamaan dengan pengajuan permohonan izin perubahan kegiatan usaha. - 8 - Pasal 16 Bank Konvensional yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha menjadi Bank Syariah wajib mencantumkan secara jelas: a. kata “Syariah” pada penulisan nama; dan b. logo iB pada formulir, warkat, produk, kantor, dan jaringan kantor Bank Syariah. Pasal 17 (1) Bank Konvensional yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha menjadi Bank Syariah wajib melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal izin perubahan kegiatan usaha diberikan. (2) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank Syariah hasil perubahan kegiatan usaha belum melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, maka izin perubahan kegiatan usaha yang telah diberikan akan ditinjau kembali. (3) Rencana pelaksanaan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diumumkan kepada masyarakat paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal pelaksanaan. (4) Pelaksanaan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan. (5) Bank Konvensional yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha menjadi Bank Syariah dilarang melakukan kegiatan usaha secara konvensional, kecuali dalam rangka penyelesaian hak dan kewajiban dari kegiatan usaha secara konvensional. Pasal 18 (1) Bank Konvensional yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha menjadi Bank Syariah wajib menyelesaikan hak dan kewajiban dari kegiatan usaha - 9 - secara konvensional paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal izin perubahan kegiatan usaha diberikan. (2) Batas waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang dalam hal penyelesaian hak dan kewajiban dari kegiatan usaha secara konvensional belum dapat diselesaikan yang disebabkan oleh hal-hal yang tidak dapat dihindari (force majeur) atau pertimbangan lain yang dapat diterima. BAB IV SANKSI Pasal 19 (1) Bank Konvensional yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha menjadi Bank Syariah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 17 ayat (5), dan Pasal 18 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. (2) Bank Syariah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) dan ayat (4) dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa: a. teguran tertulis dan denda: 1. sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan untuk setiap laporan atau pengumuman dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) untuk Bank Umum Syariah; atau 2. sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan untuk setiap laporan atau pengumuman dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk BPRS. - 10 - b. teguran tertulis dan denda: 1. paling banyak sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dalam hal Bank Umum Syariah tidak menyampaikan laporan atau melaksanakan pengumuman; atau 2. paling banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam hal BPRS tidak menyampaikan laporan atau melaksanakan pengumuman. (3) Bank Syariah dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b apabila belum melaksanakan pengumuman dan/atau menyampaikan laporan dimaksud setelah 30 (tiga puluh) hari sejak batas akhir pelaksanaan pengumuman dan/atau penyampaian laporan. (4) Pengenaan sanksi teguran tertulis dan denda karena dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau tidak melaksanakan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghapuskan kewajiban Bank Syariah untuk menyampaikan laporan dan/atau melaksanakan pengumuman. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 20 Ketentuan pelaksanaan mengenai perubahan kegiatan usaha Bank Konvensional menjadi Bank Syariah diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 21 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/15/PBI/2009 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Konvensional Menjadi Bank Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. - 11 - Pasal 22 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 295 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 64 /POJK.03/2016 TENTANG PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK KONVENSIONAL MENJADI BANK SYARIAH I. UMUM Sistem perbankan nasional yang mengakomodasi konsep dual banking system memberikan jalan bagi berkembangnya perbankan syariah di Indonesia. Perbankan syariah yang semakin berkembang diharapkan mampu memberikan kontribusi yang lebih besar bagi perkembangan perekonomian nasional. Peran perbankan syariah dalam sistem perbankan nasional perlu ditingkatkan antara lain dengan meningkatkan jumlah jaringan kantor melalui pembentukan Bank Syariah baru atau membuka peluang yang lebih besar untuk pelaksanaan perubahan kegiatan usaha (konversi) Bank Konvensional menjadi Bank Syariah. Upaya peningkatan jaringan kantor perbankan syariah tersebut juga dimaksudkan untuk mengakomodasi tuntutan masyarakat yang semakin besar terhadap keberadaan perbankan syariah serta minat para investor untuk masuk dalam industri perbankan syariah. Dengan diberlakukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, terdapat beberapa perubahan ketentuan yang terkait dengan kelembagaan, kepengurusan dan kegiatan usaha Bank Syariah, termasuk ketentuan tentang perubahan kegiatan usaha (konversi) Bank Konvensional menjadi Bank Syariah. Pelaksanaan perubahan kegiatan usaha (konversi) Bank Konvensional menjadi Bank Syariah harus tetap memperhatikan azas perbankan yang sehat dan prinsip kehati-hatian - 2 - sehingga dapat tercipta perbankan syariah yang kuat dan konsisten dalam menerapkan Prinsip Syariah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “laporan keuangan awal sebagai sebuah Bank Syariah” adalah laporan keuangan sebagai Bank Syariah yang menunjukan laba rugi tahun berjalan dan laba rugi tahun lalu memiliki saldo Rp0,00 (nol rupiah) atau nihil. - 3 - Pasal 7 Yang dimaksud dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku antara lain Undang-Undang yang mengatur mengenai Perseroan Terbatas, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kelembagaan Bank Umum Syariah, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kelembagaan BPRS. Pasal 8 Yang dimaksud dengan ketentuan mengenai permodalan Bank Umum Syariah antara lain ketentuan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) Bank Umum Syariah dan ketentuan mengenai jumlah modal inti minimum Bank Umum Syariah. Pasal 9 Yang dimaksud dengan ketentuan yang mengatur mengenai Bank Umum Syariah antara lain mengenai: a. uji/penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) yang berlaku bagi Bank Umum Syariah; b. penerapan tata kelola (good corporate governance) yang berlaku bagi Bank Umum Syariah; dan c. kelembagaan Bank Umum Syariah. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Yang dimaksud dengan ketentuan mengenai permodalan BPRS antara lain ketentuan mengenai KPMM dan pemenuhan modal inti minimum BPRS. Pasal 12 Yang dimaksud dengan ketentuan yang mengatur mengenai BPRS antara lain mengenai: a. uji/penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) yang berlaku bagi BPRS; b. penerapan tata kelola (good corporate governance) yang berlaku bagi BPRS; dan - 4 - c. kelembagaan BPRS. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Pemberian izin perubahan kegiatan usaha diberikan dengan mempertimbangkan antara lain: a. analisis atas rencana penyelesaian hak dan kewajiban nasabah yang tidak bersedia diubah menjadi nasabah Bank Syariah; b. analisis atas rencana bisnis bagi Bank Syariah; c. hasil uji/penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon PSP, calon anggota Direksi, dan calon anggota Dewan Komisaris; dan d. hasil wawancara terhadap calon anggota DPS. Ayat (2) Hal-hal yang harus dijelaskan melalui presentasi di Otoritas Jasa Keuangan antara lain: a. misi dan visi perubahan kegiatan usaha; b. hasil studi kelayakan mengenai peluang pasar penghimpunan dan penyaluran dana; c. rencana bisnis jangka pendek dan menengah bagi Bank Syariah; d. sistem teknologi informasi; e. jumlah dan lokasi kantor Bank Syariah; dan f. struktur organisasi dan personalia. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Huruf a Pencantuman kata “Syariah” dilakukan sebagai berikut: - 5 - 1. untuk Bank Umum Syariah, pencantuman kata “Syariah” dapat dilakukan setelah kata “Bank” atau setelah nama bank; atau 2. untuk BPRS, pencantuman kata “Syariah” dilakukan dengan penyebutan frasa “Bank Pembiayaan Rakyat Syariah” atau “BPR Syariah” atau “BPRS” sebelum nama bank. Huruf b Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “ditinjau kembali” adalah: a. diperpanjang apabila keterlambatan tersebut disebabkan oleh hal-hal yang tidak dapat dihindari (force majeur) atau pertimbangan lain yang dapat diterima. Perpanjangan jangka waktu tersebut diberikan paling lama 60 (enam puluh) hari. b. dibatalkan apabila Bank Syariah hasil perubahan kegiatan usaha tidak dapat memberikan alasan yang relevan atas keterlambatan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. Ayat (3) Pelaksanan pengumuman dilakukan melalui: a. surat kabar yang mempunyai peredaran nasional, untuk Bank Umum Syariah; b. surat kabar lokal atau papan pengumuman di tempat kedudukan kantor BPRS, untuk BPRS. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. - 6 - Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5985
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 64/POJK.03/2016 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK KONVENSIONAL MENJADI BANK SYARIAH </reg_title> <set_date> 22 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 27 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 27 Desember 2016 </issued_date> <replaced_reg> '11/15/PBI/2009' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '40/UU/2007', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 51 /POJK.04/2016 TENTANG TATA CARA UNTUK MEMINTA PERUBAHAN DAN/ATAU TAMBAHAN INFORMASI ATAS PERNYATAAN PENDAFTARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk dengan pengaturan mengenai tata cara untuk meminta perubahan dan/atau tambahan informasi atas Pernyataan Pendaftaran beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap tata cara untuk meminta perubahan dan/atau tambahan informasi atas Pernyataan Pendaftaran, peraturan mengenai tata cara untuk meminta perubahan dan/atau tambahan informasi atas Pernyataan Pendaftaran perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; - 2 - c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Cara Untuk Meminta Perubahan dan/atau Tambahan Informasi Atas Pernyataan Pendaftaran; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA CARA UNTUK MEMINTA PERUBAHAN DAN/ATAU TAMBAHAN INFORMASI ATAS PERNYATAAN PENDAFTARAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan Pernyataan Pendaftaran adalah dokumen yang wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Emiten dalam rangka Penawaran Umum atau Perusahaan Publik. BAB II TATA CARA PERMINTAAN PERUBAHAN DAN/ATAU TAMBAHAN INFORMASI ATAS PERNYATAAN PENDAFTARAN Pasal 2 (1) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta perubahan dan/atau tambahan informasi setiap saat sebelum atau - 3 - sesudah Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif, dalam hal Otoritas Jasa Keuangan berpendapat bahwa informasi yang tercantum dalam Pernyataan Pendaftaran tidak cukup, palsu, menyesatkan, tidak jelas, atau masih memerlukan perubahan dan/atau tambahan informasi. (2) Permintaan perubahan dan/atau tambahan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa permintaan secara tertulis atau lisan kepada Emiten atau Perusahaan Publik. Pasal 3 Dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah penyerahan Pernyataan Pendaftaran pertama, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta perubahan dan/atau tambahan informasi yang diperlukan agar Pernyataan Pendaftaran tersebut dilengkapi atau agar semua informasi atau fakta material bagi pemodal atau publik diungkapkan. Pasal 4 Setiap perubahan dan/atau tambahan informasi yang diminta Otoritas Jasa Keuangan setelah jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah penyerahan Pernyataan Pendaftaran yang pertama harus didasarkan pada pertimbangan bahwa perubahan dan/atau tambahan informasi tersebut diperlukan untuk mengungkapkan semua informasi atau fakta material kepada pemodal dan publik. Pasal 5 Dalam hal permintaan perubahan dan/atau tambahan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dilakukan secara lisan, permintaan wajib dicatat dalam bentuk memo untuk arsip, yang menyatakan: a. hal yang diminta; b. Pihak yang dimintakan perubahan dan/atau tambahan informasi; dan c. tanggapan yang diperoleh secara lisan. - 4 - Pasal 6 Semua perubahan dan/atau tambahan informasi yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan, harus terlebih dahulu memperoleh tanggapan dari Otoritas Jasa Keuangan sebelum Pernyataan Pendaftaran dapat dinyatakan menjadi efektif. Pasal 7 Permintaan yang memerlukan perubahan dan/atau tambahan informasi terhadap Pernyataan Pendaftaran akan mengubah tanggal pengajuan Pernyataan Pendaftaran secara lengkap. BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 8 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. tertulis - 5 - (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 9 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 10 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 kepada masyarakat. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 11 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep- 44/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Tata Cara Untuk Meminta Perubahan dan/atau Tambahan Informasi Atas Pernyataan Pendaftaran, beserta Peraturan Nomor IX.A.3 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. - 6 - Pasal 12 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 280 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 51 /POJK.04/2016 TENTANG TATA CARA UNTUK MEMINTA PERUBAHAN DAN/ATAU TAMBAHAN INFORMASI ATAS PERNYATAAN PENDAFTARAN I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu untuk mengganti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Tata Cara Untuk Meminta Perubahan dan/atau Tambahan Informasi Atas Pernyataan Pendaftaran yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-44/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Tata Cara Untuk Meminta Perubahan dan/atau Tambahan Informasi Atas Pernyataan Pendaftaran, beserta Peraturan Nomor IX.A.3 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas - 2 - Jasa Keuangan tentang Tata Cara Untuk Meminta Perubahan dan/atau Tambahan Informasi Atas Pernyataan Pendaftaran. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa: a. penundaan pemberian pernyataan efektif, misalnya pernyataan efektif untuk Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum; dan b. penundaan pemberian pernyataan Otoritas Jasa Keuangan bahwa tidak ada tanggapan lebih lanjut atas dokumen yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka - 3 - penambahan modal dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu Perusahaan Terbuka. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5976
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 51/POJK.04/2016 </reg_id> <reg_title> TATA CARA UNTUK MEMINTA PERUBAHAN DAN/ATAU TAMBAHAN INFORMASI ATAS PERNYATAAN PENDAFTARAN </reg_title> <set_date> 2 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 7 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 7 Desember 2016 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-44/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-44/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.3' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 26/POJK.03/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan sektor keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta memiliki daya saing yang tinggi, konglomerasi keuangan perlu memiliki kecukupan modal yang memadai; b. bahwa sejalan dengan kompleksitas usaha dan risiko konglomerasi keuangan, konglomerasi keuangan perlu melakukan pengelolaan permodalan yang memadai; c. bahwa dengan kecukupan modal dan pengelolaan permodalan konglomerasi keuangan yang memadai diharapkan dapat mewujudkan stabilitas sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan. - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253; 5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); 6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); 7. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 29/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 364, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5638); - 3 - 8. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 366, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5640); 9. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 17/POJK.03/2014 tentang Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 348, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5626); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Lembaga Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat LJK, adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 2. Konglomerasi Keuangan adalah Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi konglomerasi keuangan. - 4 - 3. Entitas Utama adalah Entitas Utama sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi konglomerasi keuangan. 4. Perusahaan Anak adalah Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi konglomerasi keuangan. 5. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Terintegrasi, yang selanjutnya disebut Rasio KPMM Terintegrasi, adalah perbandingan antara Total Modal Aktual Konglomerasi Keuangan (aggregate net equity) dengan Total Modal Minimum Konglomerasi Keuangan (aggregate regulatory capital requirement). 6. Manajemen Permodalan Terintegrasi adalah proses yang berkesinambungan untuk memelihara permodalan pada tingkat yang memadai dalam rangka mendukung rencana bisnis Konglomerasi Keuangan maupun mengantisipasi potensi kerugian yang diakibatkan oleh aktivitas Konglomerasi Keuangan. 7. Direksi adalah: a. bagi LJK berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi LJK berbadan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; - 5 - 2) Perusahaan Daerah adalah Direksi Perusahaan Daerah yang belum menyesuaikan bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; c. bagi LJK berbadan hukum Koperasi adalah Pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d. bagi LJK berbadan hukum Usaha Bersama adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; e. bagi LJK berstatus sebagai kantor cabang dari entitas yang berkedudukan di luar negeri adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang. 8. Dewan Komisaris adalah: a. bagi LJK berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi LJK berbadan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah adalah Dewan Pengawas atau Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; - 6 - 2) Perusahaan Daerah adalah Pengawas bagi Perusahaan Daerah yang belum menyesuaikan bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; c. bagi LJK berbadan hukum Koperasi adalah Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d. bagi LJK berbadan hukum Usaha Bersama adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; e. bagi LJK berstatus sebagai kantor cabang dari entitas yang berkedudukan di luar negeri adalah pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi pengawasan. Pasal 2 (1) Konglomerasi Keuangan wajib menyediakan modal minimum terintegrasi paling rendah sebesar 100% (seratus persen) dari Total Modal Minimum (TMM) Konglomerasi Keuangan (aggregate regulatory capital requirement). (2) Penyediaan Modal Minimum Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan dengan menghitung Rasio KPMM Terintegrasi. Pasal 3 (1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan modal minimum terintegrasi lebih besar dari modal minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai Konglomerasi Keuangan menghadapi risiko yang membutuhkan penyediaan modal lebih besar. - 7 - (2) Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta anggota Konglomerasi Keuangan yang berpotensi menimbulkan permasalahan permodalan Konglomerasi Keuangan untuk meningkatkan modal dan melakukan hal-hal lain sesuai ketentuan pada masing-masing sektor keuangan. (3) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai terdapat kecenderungan penurunan modal yang berpotensi menyebabkan modal Konglomerasi Keuangan berada di bawah kewajiban penyediaan modal minimum terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 ayat (1). Pasal 4 LJK anggota Konglomerasi Keuangan dilarang melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan kondisi permodalan Konglomerasi Keuangan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 ayat (1). BAB II TOTAL MODAL AKTUAL KONGLOMERASI KEUANGAN (AGGREGATE NET EQUITY) Pasal 5 (1) Dalam menghitung Rasio KPMM Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Entitas Utama menghitung Total Modal Aktual (TMA) Konglomerasi Keuangan dengan cara menjumlahkan nilai nominal dari modal aktual masing-masing LJK secara individu dan/atau secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak dalam Konglomerasi Keuangan sesuai ketentuan pada masing-masing sektor keuangan. (2) TMA Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikurangi dengan faktor pengurang modal berupa: - 8 - a. penyertaan modal LJK kepada LJK lain dalam Konglomerasi Keuangan; dan/atau b. penempatan dana LJK kepada LJK lain dalam Konglomerasi Keuangan yang diakui sebagai instrumen modal (regulatory capital) oleh LJK lain dimaksud, sepanjang belum diperhitungkan dalam perhitungan modal atau belum diperhitungkan sebagai faktor pengurang modal pada masing-masing sektor keuangan. (3) Dalam hal suatu sektor keuangan memiliki pengaturan perhitungan permodalan konsolidasi terhadap Perusahaan Anak, modal aktual yang diperhitungkan dalam TMA Konglomerasi Keuangan adalah modal aktual secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. (4) Dalam hal pengaturan perhitungan permodalan konsolidasi tidak memperhitungkan modal suatu Perusahaan Anak, modal aktual Perusahaan Anak dimaksud diperhitungkan dalam TMA Konglomerasi Keuangan. Pasal 6 Modal aktual masing-masing LJK dalam Konglomerasi Keuangan secara individu dan/atau secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak yang diperhitungkan dalam TMA Konglomerasi Keuangan yaitu: a. bagi bank adalah modal inti aktual dan modal pelengkap aktual; b. bagi perusahaan pembiayaan adalah modal yang disesuaikan aktual; c. bagi perusahaan asuransi/reasuransi adalah nilai aktual dari selisih antara aset/kekayaan yang diperkenankan dengan liabilitas; d. bagi perusahaan efek adalah Modal Kerja Bersih yang Disesuaikan (MKBD) aktual. - 9 - BAB III TOTAL MODAL MINIMUM KONGLOMERASI KEUANGAN (AGGREGATE REGULATORY CAPITAL REQUIREMENT) Pasal 7 (1) Dalam menghitung Rasio KPMM Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Entitas Utama menghitung Total Modal Minimum (TMM) Konglomerasi Keuangan dengan cara menjumlahkan nilai nominal dari modal minimum masing-masing LJK secara individu dan/atau secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak yang wajib dipenuhi oleh masing-masing LJK dalam Konglomerasi Keuangan sesuai ketentuan pada masing- masing sektor keuangan. (2) Dalam hal suatu sektor keuangan memiliki pengaturan perhitungan permodalan konsolidasi terhadap Perusahaan Anak, modal minimum yang diperhitungkan dalam TMM Konglomerasi Keuangan adalah modal minimum secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak yang wajib dipenuhi sesuai ketentuan pada masing- masing sektor keuangan. (3) Dalam hal pengaturan perhitungan permodalan konsolidasi tidak memperhitungkan modal suatu Perusahaan Anak, modal minimum Perusahaan Anak dimaksud diperhitungkan dalam TMM Konglomerasi Keuangan. Pasal 8 Modal minimum masing-masing LJK dalam Konglomerasi Keuangan secara individu dan/atau secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak yang diperhitungkan dalam TMM Konglomerasi Keuangan yaitu: a. bagi bank adalah modal minimum sesuai profil risiko; b. bagi perusahaan pembiayaan adalah modal yang disesuaikan minimum; - 10 - c. bagi perusahaan asuransi/reasuransi adalah nilai minimum dari selisih antara aset/kekayaan yang diperkenankan dengan liabilitas; d. bagi perusahaan efek adalah nilai minimum Modal Kerja Bersih yang Disesuaikan (MKBD). BAB IV MANAJEMEN PERMODALAN TERINTEGRASI Pasal 9 (1) Konglomerasi Keuangan wajib menerapkan Manajemen Permodalan Terintegrasi secara komprehensif dan efektif. (2) Penerapan Manajemen Permodalan Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh Entitas Utama, Direksi Entitas Utama, dan Dewan Komisaris Entitas Utama. Pasal 10 (1) Direksi Entitas Utama dan Dewan Komisaris Entitas Utama berwenang dan bertanggung jawab untuk memastikan penerapan Manajemen Permodalan Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) sesuai dengan karakteristik dan kompleksitas usaha Konglomerasi Keuangan. (2) Kewenangan dan tanggung jawab Direksi Entitas Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup paling sedikit: a. menyusun kebijakan, strategi, dan prosedur permodalan secara terintegrasi sesuai dengan ukuran, karakteristik, kompleksitas usaha, dan tingkat risiko Konglomerasi Keuangan; dan b. melaksanakan kebijakan, strategi, dan prosedur pengelolaan permodalan secara terintegrasi. (3) Kewenangan dan tanggung jawab Dewan Komisaris Entitas Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup paling sedikit: - 11 - a. mengarahkan, menyetujui, dan mengevaluasi kebijakan, strategi, dan prosedur pengelolaan permodalan secara terintegrasi; dan b. mengevaluasi pelaksanaan kebijakan, strategi, dan prosedur pengelolaan permodalan secara terintegrasi oleh Direksi Entitas Utama. Pasal 11 Dalam rangka penerapan Manajemen Permodalan Terintegrasi, Entitas Utama wajib paling sedikit: a. memiliki kebijakan dan prosedur pengelolaan permodalan secara terintegrasi; b. melakukan penilaian kecukupan modal secara terintegrasi; c. memantau dan menyampaikan laporan modal secara terintegrasi; d. memiliki sistem pengendalian intern yang memadai terkait dengan permodalan secara terintegrasi; dan e. melakukan kaji ulang penerapan Manajemen Permodalan Terintegrasi secara berkala. Pasal 12 (1) Kebijakan pengelolaan permodalan secara terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a memuat paling sedikit kebijakan mengenai: a. tingkat permodalan untuk memenuhi modal minimum Konglomerasi Keuangan (regulatory capital); b. sumber-sumber permodalan baik intern maupun ekstern Konglomerasi Keuangan; c. tindakan yang dilakukan Konglomerasi Keuangan: 1. untuk mengantisipasi seluruh risiko yang ditimbulkan oleh aktivitas Konglomerasi Keuangan; 2. pada saat modal berada di bawah target yang ditetapkan; dan - 12 - 3. untuk memastikan kepatuhan Konglomerasi Keuangan pada ketentuan yang berlaku mengenai kewajiban penyediaan modal minimum. (2) Prosedur pengelolaan permodalan secara terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a memuat paling sedikit prosedur perencanaan, penilaian kecukupan, dan pemantauan permodalan Konglomerasi Keuangan. Pasal 13 (1) Dalam melakukan penilaian kecukupan modal secara terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b, Entitas Utama wajib mengidentifikasi: a. indikasi double atau multiple gearing dalam Konglomerasi Keuangan; b. indikasi excessive leverage; c. hambatan melakukan transfer modal dari satu LJK kepada LJK lain dalam Konglomerasi Keuangan; dan d. risiko yang signifikan mempengaruhi Konglomerasi Keuangan. (2) Penilaian kecukupan modal secara terintegrasi dilakukan oleh Satuan Kerja Manajemen Risiko Terintegrasi (SKMRT). (3) Entitas Utama wajib mendokumentasikan hasil penilaian kecukupan modal secara terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 14 (1) Dalam melakukan pemantauan dan penyampaian laporan modal secara terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c, Entitas Utama wajib memiliki sistem informasi yang dapat menghasilkan informasi dan laporan yang memadai termasuk dampak risiko terhadap kebutuhan modal Konglomerasi Keuangan. - 13 - (2) Pemantauan dan penyampaian laporan modal secara terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Satuan Kerja Manajemen Risiko Terintegrasi (SKMRT). (3) Laporan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Direksi Entitas Utama dan Komite Manajemen Risiko Terintegrasi secara berkala. Pasal 15 Entitas Utama wajib memiliki sistem pengendalian intern yang memadai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf d untuk memastikan keandalan penerapan Manajemen Permodalan Terintegrasi. Pasal 16 Kaji ulang penerapan Manajemen Permodalan Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf e dilakukan Satuan Kerja Audit Intern Terintegrasi (SKAIT). BAB V PELAPORAN Pasal 17 (1) Entitas Utama wajib menyusun Laporan Kecukupan Permodalan Terintegrasi setiap semester untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember. (2) Laporan Kecukupan Permodalan Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. modal aktual dari masing-masing LJK anggota Konglomerasi Keuangan; b. TMA Konglomerasi Keuangan; c. modal minimum yang wajib dipenuhi oleh masing- masing LJK anggota Konglomerasi Keuangan; d. TMM Konglomerasi Keuangan; e. Rasio KPMM Terintegrasi; f. Rincian penyertaan modal antar LJK dalam Konglomerasi Keuangan; dan - 14 - g. Rincian penempatan dana LJK kepada LJK lain dalam Konglomerasi Keuangan yang diakui sebagai instrumen modal (regulatory capital) oleh LJK lain dimaksud. (3) Entitas Utama wajib menyampaikan Laporan Kecukupan Permodalan Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat: a. tanggal 15 (lima belas) bulan Agustus untuk laporan posisi akhir bulan Juni; b. tanggal 15 (lima belas) bulan Februari untuk laporan posisi akhir bulan Desember. (4) Dalam hal tanggal 15 (lima belas) jatuh pada hari Sabtu/Minggu/libur, Laporan Kecukupan Permodalan Terintegrasi disampaikan pada hari kerja berikutnya. (5) Laporan Kecukupan Permodalan Terintegrasi disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan u.p. Departemen Pengawasan atau Kantor Regional atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan yang bertanggung jawab mengawasi LJK Entitas Utama. (6) Laporan Kecukupan Permodalan Terintegrasi dibuat sesuai dengan format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 18 Entitas Utama wajib menyampaikan Laporan Kecukupan Permodalan Terintegrasi sewaktu-waktu dalam hal diminta oleh Otoritas Jasa Keuangan. BAB VI SANKSI Pasal 19 Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 4, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 13 ayat (1), Pasal 13 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) dan/atau Pasal 18 dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; - 15 - b. penurunan tingkat kesehatan; c. pembatalan hasil uji kemampuan dan kepatutan; d. pembatasan kegiatan usaha; e. perintah penggantian manajemen; f. pencantuman manajemen dalam daftar orang tercela; dan/atau g. pembatalan persetujuan, pendaftaran dan pengesahan. Pasal 20 Entitas Utama yang dinyatakan terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) dikenakan sanksi berupa peringatan tertulis dan kewajiban membayar berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan dengan jumlah paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 21 Mekanisme pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20 mengacu pada ketentuan yang berlaku bagi LJK pada masing-masing sektor keuangan. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 22 Bagi Konglomerasi Keuangan yang terdiri atas LJK-LJK sejenis, penerapan ketentuan kewajiban penyediaan modal minimum terintegrasi mulai berlaku pada saat ketentuan manajemen risiko terintegrasi dan tata kelola terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan dimaksud mulai diterapkan pada masing-masing sektor keuangan. Pasal 23 Kewajiban penyampaian Laporan Kecukupan Permodalan Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) pertama kali dilakukan untuk laporan posisi akhir bulan Desember 2015. - 16 - Pasal 24 Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 mulai berlaku pada: a. 1 Januari 2019, untuk Entitas Utama yang merupakan Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4; b. 1 Juli 2019, untuk Entitas Utama bukan bank dan Entitas Utama berupa bank selain Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4. Pasal 25 Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 mulai berlaku pada: a. 1 Januari 2018, untuk Entitas Utama yang merupakan Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4; b. 1 Juli 2018, untuk Entitas Utama bukan bank dan Entitas Utama berupa bank selain Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 26 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku, LJK tetap menerapkan ketentuan yang berlaku pada masing- masing sektor keuangan. - 17 - Pasal 27 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 4 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 11 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 292 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 26 /POJK.03/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN I. UMUM Kondisi sektor jasa keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan merupakan suatu prasyarat utama agar sistem keuangan mampu mendukung pencapaian stabilitas sistem keuangan dan berkontribusi secara optimal dalam perekonomian nasional. Modal merupakan sumber dukungan keuangan dalam pelaksanaan aktivitas Konglomerasi Keuangan secara keseluruhan, cushion untuk menyerap kerugian yang tidak terduga (unexpected losses), dan jaring pengaman (safety net) dalam kondisi krisis. Kecukupan modal yang memadai dapat meningkatkan kepercayaan pemangku kepentingan (stakeholders) sehingga mendukung kondisi dan kestabilan Konglomerasi Keuangan. Besaran modal yang harus disediakan oleh suatu Konglomerasi Keuangan sangat bergantung pada risiko yang dihadapi. Oleh karena itu dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat dan meningkatkan kondisi usahanya secara keseluruhan, Konglomerasi Keuangan wajib memiliki sistem yang memadai untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang ditimbulkan dari aktivitas bisnis Konglomerasi Keuangan serta menyediakan modal yang memadai untuk mengantisipasi risiko tersebut. - 2 - Sehubungan dengan hal-hal tersebut, diperlukan pengaturan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum terintegrasi bagi konglomerasi keuangan dalam suatu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Yang dimaksud dengan risiko yang membutuhkan penyediaan modal lebih besar antara lain risiko transaksi intra grup. Ayat (2) Yang dimaksud dengan hal-hal lain antara lain: a. pembatasan kegiatan usaha tertentu; b. pembatasan bonus dan insentif lainnya; dan/atau c. pengaturan atau penundaan pembayaran dividen. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Contoh tindakan yang dapat mengakibatkan kondisi permodalan Konglomerasi Keuangan tidak memenuhi ketentuan antara lain: 1) melakukan pembayaran dividen; 2) memberikan bonus / insentif / tantiem / remunerasi /benefit lainnya kepada Direksi, Dewan Komisaris, atau pegawai. - 3 - Pasal 5 Ayat (1) Contoh 1: Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK 1, LJK A, LJK B, dan LJK C. TMA Konglomerasi Keuangan adalah penjumlahan dari modal aktual LJK 1, LJK A, LJK B, dan LJK C, sesuai ketentuan yang berlaku pada masing-masing sektor keuangan. Contoh 2: Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK A, LJK B, dan LJK C. TMA Konglomerasi Keuangan adalah penjumlahan dari modal aktual LJK A, LJK B, dan LJK C, sesuai ketentuan yang berlaku pada masing-masing sektor keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh 1 - 4 - Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK 1, LJK A, LJK B, dan LJK C. Dalam hal pada LJK 1 terdapat ketentuan yang mengatur perhitungan modal secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak, TMA Konglomerasi Keuangan adalah modal aktual LJK 1 secara konsolidasi dengan LJK A, LJK B, dan LJK C. Contoh 2: Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK 1, LJK A, LJK B, LJK C, dan LJK D. Dalam hal pada LJK 1 terdapat ketentuan yang mengatur perhitungan modal secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak, TMA Konglomerasi Keuangan adalah penjumlahan modal aktual LJK 1 secara konsolidasi dengan LJK A, LJK B, dan LJK C ditambah dengan modal aktual LJK D secara individu. Ayat (4) Contoh: Konglomerasi Keuangan terdiri atas bank, perusahaan pembiayaan, perusahaan efek, dan perusahaan asuransi. Berdasarkan ketentuan yang mengatur bank, penyertaan kepada Perusahaan Anak berupa perusahaan asuransi menjadi faktor pengurang modal dalam perhitungan modal secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak sehingga modal perusahaan asuransi tersebut tidak ditambahkan ke modal bank secara konsolidasi. - 5 - Dengan demikian, perhitungan TMA Konglomerasi Keuangan adalah modal aktual bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak berupa perusahaan pembiayaan dan perusahaan efek ditambah dengan modal aktual perusahaan asuransi secara individu. Pasal 6 Huruf a Yang dimaksud dengan “bank” adalah bank umum, bank umum syariah, bank perkreditan rakyat, dan bank pembiayaan rakyat syariah. Yang dimaksud dengan “modal inti dan modal pelengkap” adalah modal inti dan modal pelengkap setelah memperhitungkan faktor pengurang modal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum. Huruf b Yang dimaksud dengan “perusahaan pembiayaan” adalah perusahaan pembiayaan dan perusahaan pembiayaan syariah. Yang dimaksud dengan “modal yang disesuaikan” adalah modal yang disesuaikan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan atau penyelenggaraan usaha pembiayaan syariah. Huruf c Yang dimaksud dengan “perusahaan asuransi/reasuransi” adalah perusahaan asuransi/reasuransi dan perusahaan asuransi/reasuransi syariah. Yang dimaksud dengan “aset/kekayaan yang diperkenankan” adalah aset/kekayaan yang diperkenankan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi. Yang dimaksud dengan “liabilitas” adalah liabilitas sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi. Huruf d Yang dimaksud dengan “modal kerja bersih yang disesuaikan (MKBD)” adalah MKBD sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai pemeliharaan dan pelaporan MKBD. - 6 - Pasal 7 Ayat (1) Contoh 1: Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK 1, LJK A, LJK B, dan LJK C. TMM Konglomerasi Keuangan adalah penjumlahan dari modal minimum yang wajib dipenuhi oleh LJK 1, LJK A, LJK B, dan LJK C, sesuai ketentuan yang berlaku pada masing-masing sektor keuangan sehingga Rasio KPMM Terintegrasi dihitung sebagai berikut: Contoh 2: Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK A, LJK B, dan LJK C. TMM Konglomerasi Keuangan adalah penjumlahan dari modal minimum yang wajib dipenuhi oleh LJK A, LJK B, dan LJK C, sesuai ketentuan yang berlaku pada masing-masing sektor keuangan sehingga Rasio KPMM Terintegrasi dihitung sebagai berikut: - 7 - Ayat (2) Contoh 1: Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK 1, LJK A, LJK B, dan LJK C. Pada LJK 1 terdapat ketentuan yang mengatur perhitungan modal secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. Dengan demikian, TMM Konglomerasi Keuangan adalah modal minimum yang wajib dipenuhi oleh LJK 1 secara konsolidasi dengan LJK A, LJK B, dan LJK C sehingga Rasio KPMM Terintegrasi dihitung sebagai berikut: Contoh 2: - 8 - Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK 1, LJK A, LJK B, LJK C, dan LJK D. Pada LJK 1 terdapat ketentuan yang mengatur perhitungan modal secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. Dengan demikian, TMM Konglomerasi Keuangan adalah modal minimum yang wajib dipenuhi oleh LJK 1 secara konsolidasi dengan LJK A, LJK B, dan LJK C ditambah dengan modal minimum yang wajib dipenuhi oleh LJK D secara individu, sehingga Rasio KPMM Terintegrasi dihitung sebagai berikut: Ayat (3) Yang dimaksud dengan “modal minimum Perusahaan Anak” adalah modal minimum yang wajib dipenuhi oleh Perusahaan Anak sesuai ketentuan pada masing-masing sektor keuangan. Contoh : Konglomerasi Keuangan terdiri atas bank, perusahaan pembiayaan, perusahaan efek, dan perusahaan asuransi. Berdasarkan ketentuan yang mengatur bank, penyertaan kepada Perusahaan Anak berupa perusahaan asuransi menjadi faktor pengurang modal dalam perhitungan modal secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak sehingga modal perusahaan asuransi tersebut tidak ditambahkan pada modal bank secara konsolidasi. - 9 - Dengan demikian perhitungan TMM Konglomerasi Keuangan adalah modal minimum yang wajib dipenuhi oleh bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak berupa perusahaan pembiayaan dan perusahaan efek ditambah dengan modal minimum yang wajib dipenuhi oleh perusahaan asuransi secara individu sehingga Rasio KPMM Terintegrasi dihitung sebagai berikut: Pasal 8 Huruf a Yang dimaksud dengan “bank” adalah bank umum, bank umum syariah, bank perkreditan rakyat, dan bank pembiayaan rakyat syariah. Yang dimaksud dengan “modal minimum sesuai profil risiko” adalah modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum. Contoh: Bank A memiliki profil risiko 2 (dua) dan memiliki kewajiban penyediaan modal mínimum sesuai profil risiko sebesar 9% (sembilan persen) dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Apabila bank memiliki ATMR sebesar Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) maka modal minimum sesuai profil risiko adalah sebesar 9% x Rp1.000.000.000.- =Rp90.000.000,- (sembilan puluh juta rupiah). Huruf b Yang dimaksud dengan “perusahaan pembiayaan” adalah perusahaan pembiayaan dan perusahaan pembiayaan syariah. Yang dimaksud dengan “modal yang disesuaikan” adalah modal yang disesuaikan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan atau penyelenggaran usaha pembiayaan syariah. - 10 - Contoh: Perusahaan Pembiayaan A memiliki nilai aset yang disesuaikan sebesar Rp2.000.000.000,- (dua milyar rupiah). Apabila rasio permodalan mínimum ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) maka modal yang disesuaikan mínimum adalah sebesar 10% x Rp2.000.000.000,- = Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Huruf c Yang dimaksud dengan “perusahaan asuransi/reasuransi” adalah perusahaan asuransi/reasuransi dan perusahaan asuransi/reasuransi syariah. Yang dimaksud dengan “aset/kekayaan yang diperkenankan” adalah aset/kekayaan yang diperkenankan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi. Yang dimaksud dengan “liabilitas” adalah liabilitas sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi. Contoh: Perusahaan Asuransi A memiliki modal mínimum berbasis risiko (MMBR) sebesar Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Apabila target tingkat solvabilitas ditetapkan sebesar 120% (seratus dua puluh persen) maka nilai mínimum dari selisih antara aset/kekayaan yang diperkenankan dengan liabilitas adalah sebesar 120% x Rp1.000.000.000,- = Rp1.200.000.000,- (satu milyar dua ratus juta rupiah). Huruf d Yang dimaksud dengan “modal kerja bersih yang disesuaikan (MKBD)” adalah MKBD sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai pemeliharaan dan pelaporan MKBD. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. - 11 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Evaluasi kebijakan, strategi, dan prosedur pengelolaan permodalan dilakukan secara berkala paling sedikit 1 (satu) tahun sekali atau sewaktu-waktu jika diperlukan. Huruf b Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Kebijakan mengenai sumber permodalan intern perlu mempertimbangkan hambatan dalam melakukan transfer modal antar LJK dalam Konglomerasi Keuangan baik karena kondisi intern maupun ekstern Konglomerasi Keuangan seperti adanya ketentuan yang berlaku dari otoritas yang menghambat dilakukannya transfer modal. Huruf c Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Yang dimaksud dengan “target yang ditetapkan” adalah target yang ditetapkan oleh Konglomerasi Keuangan ataupun oleh Otoritas Jasa Keuangan. Angka 3 Cukup jelas. Ayat (2) Dalam prosedur perencanaan modal mempertimbangkan antara lain target permodalan, risiko, strategi, dan rencana bisnis Konglomerasi Keuangan serta kondisi makroekonomi. - 12 - Pasal 13 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “double atau multiple gearing” adalah kondisi adanya penyertaan atau penempatan modal antar LJK anggota Konglomerasi Keuangan yang menyebabkan modal Konglomerasi Keuangan dinilai lebih besar dari yang seharusnya (overstated). Huruf b Yang dimaksud dengan “excessive leverage” adalah kondisi adanya pinjaman yang berlebihan oleh suatu LJK yang ditempatkan dalam bentuk modal pada LJK lain. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “SKMRT” adalah SKMRT sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “SKMRT” adalah SKMRT sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “Komite Manajemen Risiko Terintegrasi” adalah Komite Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan. - 13 - Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Yang dimaksud “SKAIT” adalah SKAIT sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai penerapan tata kelola terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Laporan Kecukupan Permodalan Terintegrasi dapat diminta secara sewaktu-waktu antara lain dalam hal Otoritas Jasa Keuangan memerlukan informasi mengenai kondisi permodalan Konglomerasi Keuangan terkini dalam rangka pengawasan terintegrasi terhadap Konglomerasi Keuangan. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Yang dimaksud dengan “LJK-LJK yang sejenis” adalah LJK-LJK yang diatur oleh ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko dan tata kelola yang sama pada masing-masing sektor keuangan. Contoh: a. LJK berupa perusahaan asuransi. b. LJK berupa perusahaan efek. c. LJK berupa bank perkreditan rakyat. - 14 - Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5774
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 26/POJK.03/2015 </reg_id> <reg_title> KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN </reg_title> <set_date> 4 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 11 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 11 Desember 2015 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '40/UU/2014', '29/POJK.05/2014', '9/UU/2015', '8/UU/1995', '17/POJK.03/2014', '23/UU/2014', '7/UU/1992', '31/POJK.05/2014', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 52 /POJK.04/2017 TENTANG DANA INVESTASI INFRASTRUKTUR BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk menyediakan alternatif sumber pendanaan dunia usaha untuk mendukung pembangunan di bidang infrastruktur melalui penerbitan instrumen investasi di pasar modal serta memberikan alternatif investasi bagi investor dan meningkatkan keberagaman produk investasi di pasar modal, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Dana Investasi Infrastruktur Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG DANA INVESTASI INFRASTRUKTUR BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Dana Investasi Infrastruktur Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang selanjutnya disebut DINFRA adalah wadah berbentuk kontrak investasi kolektif yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya sebagian besar diinvestasikan pada aset infrastruktur oleh manajer investasi. 2. Kontrak Investasi Kolektif adalah kontrak antara manajer investasi dan bank kustodian yang mengikat pemegang unit penyertaan dimana manajer investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan bank kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan penitipan kolektif. 3. Aset Infrastruktur adalah aset berupa fasilitas teknis, fisik, sistem, perangkat keras, dan perangkat lunak yang diperlukan untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat dan mendukung jaringan struktur agar pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat dapat berjalan dengan baik. 4. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan Kontrak Investasi Kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek. 5. Unit Penyertaan adalah satuan ukuran yang menunjukkan bagian kepentingan setiap pihak dalam portofolio investasi kolektif. - 3 - 6. Instrumen Pasar Uang adalah instrumen yang ditransaksikan di pasar uang, yang meliputi instrumen yang diterbitkan dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun, instrumen yang akan jatuh tempo dalam waktu 1 (satu) tahun, sertifikat deposito, dan instrumen lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, termasuk yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. 7. Pasar Uang adalah bagian dari sistem keuangan yang bersangkutan dengan kegiatan perdagangan, pinjam- meminjam, atau pendanaan berjangka pendek sampai dengan 1 (satu) tahun dalam mata uang rupiah dan valuta asing, yang berperan dalam transmisi kebijakan moneter, pencapaian stabilitas sistem keuangan, dan kelancaran sistem pembayaran. 8. Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek. 9. Manajer Investasi adalah pihak yang kegiatan usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. 10. Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya. 11. Bank Kustodian adalah bank umum yang telah memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan sebagai Kustodian. 12. Pihak adalah orang perseorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi. 13. Penilai adalah Pihak yang melakukan penilaian Aset Infrastuktur yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. - 4 - 14. Nilai Aktiva Bersih adalah nilai pasar wajar seluruh aset DINFRA setelah dikurangi kewajiban. 15. Nilai Pasar Wajar adalah nilai yang dapat diperoleh dari transaksi yang dilakukan antar Pihak yang bebas bukan karena paksaan atau likuidasi. 16. Special Purpose Company adalah perseroan terbatas yang sahamnya dimiliki oleh DINFRA paling sedikit 99,9% (sembilan puluh sembilan koma sembilan persen) dari modal disetor. 17. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam undang-undang mengenai Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya. 18. Bursa Efek adalah Pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli Efek Pihak lain dengan tujuan memperdagangkan Efek di antara mereka. 19. Pernyataan Pendaftaran adalah dokumen yang wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Emiten dalam rangka Penawaran Umum atau Perusahaan Publik. 20. Dokumen Keterbukaan DINFRA adalah setiap informasi tertulis yang memuat informasi atau fakta material DINFRA dalam rangka penerbitan DINFRA dengan tujuan agar Pihak lain membeli DINFRA. BAB II PEDOMAN PENERBITAN UNIT PENYERTAAN DINFRA Bagian Kesatu Pedoman Penawaran Pasal 2 Unit Penyertaan DINFRA dapat ditawarkan melalui Penawaran Umum atau tidak melalui Penawaran Umum. - 5 - Pasal 3 (1) Penawaran Umum Unit Penyertaan DINFRA hanya dapat dilakukan setelah Pernyataan Pendaftaran DINFRA telah disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Pernyataan Pendaftaran tersebut telah menjadi efektif. (2) Dalam hal Unit Penyertaan DINFRA ditawarkan tidak melalui Penawaran Umum, Manajer Investasi pengelola DINFRA wajib menyampaikan permohonan pencatatan dalam rangka penawaran Unit Penyertaan DINFRA kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya Kontrak Investasi Kolektif. Pasal 4 Manajer Investasi dapat mengajukan perubahan mekanisme penawaran Unit Penyertaan DINFRA yang telah memperoleh pencatatan dari Otoritas Jasa Keuangan dari yang semula tidak melalui Penawaran Umum menjadi Penawaran Umum, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Manajer Investasi dan Bank Kustodian dalam penerbitan DINFRA bersepakat untuk melakukan perubahan penawaran; b. telah memperoleh persetujuan pemegang Unit Penyertaan dalam rapat umum pemegang Unit Penyertaan DINFRA; dan c. mengajukan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Unit Penyertaan DINFRA. Pasal 5 (1) Dalam melakukan penawaran Unit Penyertaan DINFRA, Manajer Investasi dapat bekerjasama dengan Pihak lain. (2) Dalam hal Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pihak di dalam negeri, Pihak tersebut wajib memiliki izin atau surat tanda terdaftar sebagai agen penjual Efek reksa dana dari Otoritas Jasa Keuangan. - 6 - (3) Manajer Investasi yang menggunakan jasa Pihak lain untuk melakukan penawaran Unit Penyertaan DINFRA wajib: a. memiliki kebijakan dan prosedur tertulis terkait penawaran Unit Penyertaan DINFRA melalui Pihak lain; b. menyediakan Dokumen Keterbukaan DINFRA, brosur, dan materi pemasaran lain terkait DINFRA yang ditawarkan; dan c. memastikan bahwa penawaran Unit Penyertaan DINFRA oleh Pihak lain tidak termasuk dalam Penawaran Umum, dalam hal Unit Penyertaan DINFRA yang ditawarkan merupakan produk yang tidak ditawarkan melalui Penawaran Umum. Pasal 6 Unit Penyertaan DINFRA yang ditawarkan melalui Penawaran Umum dapat dicatatkan di Bursa Efek. Bagian Kedua Persyaratan Manajer Investasi Pasal 7 Manajer Investasi pengelola DINFRA wajib memiliki komite investasi yang bertugas untuk: a. menetapkan kebijakan dan strategi investasi DINFRA; dan b. mengawasi seluruh kegiatan investasi DINFRA. Bagian Ketiga Kewajiban Manajer Investasi dan Bank Kustodian Pasal 8 (1) Manajer Investasi pengelola DINFRA wajib: a. menyimpan semua kekayaan DINFRA pada Bank Kustodian; b. melakukan uji tuntas atas Aset Infrastruktur yang akan menjadi portofolio DINFRA; - 7 - c. mengelola DINFRA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta Kontrak Investasi Kolektif, Dokumen Keterbukaan DINFRA, dan kontrak lainnya terkait DINFRA; d. memisahkan kekayaan DINFRA dari kekayaan Manajer Investasi; e. melakukan pembukuan dan pelaporan termasuk memelihara semua catatan penting yang berkaitan dengan laporan keuangan dan pengelolaan DINFRA terpisah dari pembukuan dan pelaporan dari Manajer Investasi itu sendiri; f. menghitung Nilai Pasar Wajar dari aset dalam portofolio DINFRA paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan; g. menunjuk Bank Kustodian pengganti bila diperlukan; h. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan tahunan DINFRA kepada Otoritas Jasa Keuangan; i. menerbitkan pembaruan Dokumen Keterbukaan DINFRA yang disertai laporan keuangan tahunan terakhir DINFRA serta menyampaikannya kepada Otoritas Jasa Keuangan pada akhir bulan ketiga setelah tanggal laporan keuangan tahunan berakhir, dalam hal DINFRA terus-menerus; j. menyusun tata cara pembelian, penjualan kembali, dan/atau pengalihan Unit Penyertaan DINFRA; k. memiliki prosedur yang dapat menghasilkan informasi mengenai kegiatan operasional, kondisi keuangan, dan aset DINFRA; dan l. dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas sebaik mungkin untuk kepentingan DINFRA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam hal Manajer Investasi pengelola DINFRA tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l, Manajer Investasi wajib bertanggung ditawarkan secara - 8 - jawab atas segala kerugian yang timbul karena tindakannya. Pasal 9 (1) Bank Kustodian yang mengadministrasikan DINFRA wajib: a. memberikan jasa penitipan kolektif dan Kustodian sehubungan dengan kekayaan DINFRA; b. mendaftarkan atau mencatatkan kekayaan DINFRA atas nama Bank Kustodian untuk kepentingan pemegang Unit Penyertaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta melakukan tindakan yang diperlukan terkait dengan pendaftaran atau pencatatan kekayaan dimaksud; c. memisahkan kekayaan DINFRA dari kekayaan Bank Kustodian; d. memiliki sistem dan prosedur dalam menjalankan tugas dan kewajibannya; e. melakukan pembukuan dan pelaporan termasuk memelihara semua catatan penting yang berkaitan dengan laporan keuangan dan pengelolaan DINFRA yang terpisah dari pembukuan dan pelaporan dari Bank Kustodian itu sendiri; f. menghitung Nilai Aktiva Bersih DINFRA paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan; g. membukukan semua perubahan: 1. Aset Infrastruktur dan aset lainnya; 2. jumlah Unit Penyertaan; 3. pengeluaran; 4. biaya pengelolaan; 5. pendapatan bunga; 6. pendapatan lain; atau 7. biaya lain; h. menyelesaikan transaksi yang dilakukan DINFRA sesuai dengan instruksi Manajer Investasi; - 9 - i. membayarkan biaya pengelolaan dan biaya lain yang dikenakan pada DINFRA sesuai dengan Kontrak Investasi Kolektif DINFRA; j. membayarkan kepada pemegang Unit Penyertaan DINFRA setiap pembagian uang tunai yang berhubungan dengan DINFRA; k. menyimpan catatan secara terpisah yang menunjukkan semua perubahan jumlah Unit Penyertaan DINFRA yang dimiliki setiap pemegang Unit Penyertaan, nama, kewarganegaraan, alamat, serta identitas lain dari para pemegang Unit Penyertaan; l. memastikan Unit Penyertaan diterbitkan hanya atas penerimaan dana dari calon pemegang Unit Penyertaan; m. menolak instruksi Manajer Investasi secara tertulis dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam hal instruksi tersebut pada saat diterima oleh Bank Kustodian secara jelas melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal dan/atau Kontrak Investasi Kolektif DINFRA; dan n. dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas sebaik mungkin untuk kepentingan DINFRA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam hal Bank Kustodian yang mengadministrasikan DINFRA tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n, Bank Kustodian wajib bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul karena tindakannya. - 10 - Bagian Keempat Hak Pemegang Unit Penyertaan DINFRA Pasal 10 Hak pemegang Unit Penyertaan DINFRA meliputi: a. hak untuk memperoleh bukti kepemilikan; b. hak untuk memperoleh laporan keuangan tahunan secara periodik; c. hak untuk memperoleh informasi mengenai Nilai Aktiva Bersih DINFRA; d. hak untuk menjual Unit Penyertaan di Bursa Efek (jika Unit Penyertaan ditawarkan melalui Penawaran Umum dan tercatat di Bursa Efek); e. hak untuk mendapatkan distribusi pendapatan dari DINFRA (jika ada); f. hak suara dalam rapat umum pemegang Unit Penyertaan DINFRA; dan g. hak atas hasil likuidasi. Bagian Kelima Rapat Umum Pemegang Unit Penyertaan DINFRA Pasal 11 Rapat umum pemegang Unit Penyertaan DINFRA dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut: a. pemberitahuan rapat umum pemegang Unit Penyertaan dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan dan pemanggilan dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum rapat umum pemegang Unit Penyertaan paling sedikit melalui situs web Manajer Investasi atau Bank Kustodian; b. panggilan rapat umum pemegang Unit Penyertaan wajib mencantumkan tempat, waktu penyelenggaraan, prosedur, serta agenda rapat; c. sebelum pemberitahuan rencana rapat umum pemegang Unit Penyertaan di situs web dilaksanakan, Manajer Investasi wajib menyampaikan terlebih dahulu agenda - 11 - rapat tersebut secara jelas dan rinci kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum pemberitahuan; d. rapat umum pemegang Unit Penyertaan dinyatakan sah apabila dihadiri oleh pemegang Unit Penyertaan yang mewakili lebih dari 1/2 (satu per dua) dari seluruh Unit Penyertaan yang beredar; e. keputusan dalam rapat umum pemegang Unit Penyertaan dinyatakan sah apabila disetujui oleh pemegang Unit Penyertaan yang mewakili lebih 1/2 (satu per dua) dari Unit Penyertaan yang hadir; f. dalam hal rapat umum pemegang Unit Penyertaan pertama gagal diselenggarakan atau gagal mengambil keputusan, diselenggarakan rapat umum pemegang Unit Penyertaan kedua; g. panggilan untuk rapat umum pemegang Unit Penyertaan kedua dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum rapat umum pemegang Unit Penyertaan kedua dilakukan dengan menyebutkan bahwa rapat umum pemegang Unit Penyertaan pertama telah diselenggarakan tetapi tidak mencapai kuorum atau tidak dapat mengambil keputusan; h. rapat umum pemegang Unit Penyertaan kedua diselenggarakan paling cepat 10 (sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari dari rapat umum pemegang Unit Penyertaan pertama; i. rapat umum pemegang Unit Penyertaan kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika dihadiri oleh pemegang Unit Penyertaan yang mewakili paling sedikit 1/3 (satu per tiga) dari jumlah seluruh Unit Penyertaan yang beredar; j. keputusan dalam rapat umum pemegang Unit Penyertaan kedua dinyatakan sah apabila disetujui oleh pemegang Unit Penyertaan yang mewakili lebih dari 1/2 (satu per dua) dari Unit Penyertaan yang hadir; dan k. dalam hal rapat umum pemegang Unit Penyertaan kedua gagal diselenggarakan atau gagal mengambil keputusan, Manajer Investasi dapat menyelenggarakan rapat umum dari - 12 - pemegang Unit Penyertaan ketiga dengan kuorum kehadiran, kuorum pengambilan keputusan, panggilan, dan waktu penyelenggaraan rapat umum pemegang Unit Penyertaan ketiga yang disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan. BAB III PEDOMAN PENGELOLAAN DINFRA Bagian Kesatu Nama DINFRA Pasal 12 (1) Nama DINFRA wajib menggambarkan: a. nama Manajer Investasi; b. nama yang mencerminkan investasi DINFRA pada Aset Infrastruktur; dan c. denominasi mata uang asing yang digunakan, jika menggunakan mata uang selain Rupiah. (2) Nama DINFRA dilarang: a. sama dengan DINFRA lainnya; b. mengandung ungkapan mengenai kepastian atau janji atas imbal hasil dan/atau tidak adanya risiko investasi; c. mengandung ungkapan Manajer Investasi memiliki keunggulan tertentu yang belum tentu benar; dan/atau d. tidak konsisten dengan kebijakan investasi DINFRA. Bagian Kedua Nilai Aktiva Bersih DINFRA Pasal 13 (1) Nilai Aktiva Bersih awal Unit Penyertaan DINFRA wajib ditetapkan sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah). (2) Dalam hal Nilai Aktiva Bersih awal Unit Penyertaan DINFRA ditetapkan dalam denominasi mata uang asing, - 13 - Nilai Aktiva Bersih awal Unit Penyertaan DINFRA wajib ditetapkan sebesar US$ 1 (satu dolar Amerika Serikat) atau EUR 1 (satu euro). (3) Dalam hal Unit Penyertaan DINFRA ditawarkan melalui Penawaran Umum dan tercatat dan/atau diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri, Nilai Aktiva Bersih awal Unit Penyertaan DINFRA dapat ditetapkan dalam denominasi mata uang asing lainnya dengan nilai lain sesuai dengan ketentuan di Bursa Efek luar negeri. Bagian Ketiga Investasi DINFRA Pasal 14 (1) DINFRA dapat menginvestasikan dananya pada Aset Infrastruktur secara langsung dengan atau tanpa menggunakan Special Purpose Company yang dibentuk untuk kepentingan DINFRA. (2) Kepemilikan DINFRA pada Special Purpose Company dapat diwakili oleh Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian untuk kepentingan pemegang Unit Penyertaan DINFRA. (3) Dalam hal DINFRA menggunakan Special Purpose Company untuk melakukan investasi, Special Purpose Company tersebut wajib mendistribusikan seluruh hasil investasi kepada DINFRA dan pihak lain secara proporsional. Pasal 15 (1) Portofolio investasi DINFRA hanya dapat berupa: a. Aset Infrastruktur paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) dari Nilai Aktiva Bersih; dan b. aset lainnya paling banyak 49% (empat puluh sembilan persen) dari Nilai Aktiva Bersih, yaitu: 1. Instrumen Pasar Uang; atau 2. Portofolio Efek berupa: a) Efek yang diterbitkan di dalam negeri; dan/atau - 14 - b) instrumen keuangan lain yang memperoleh penetapan Otoritas Jasa Keuangan sebagai Efek. (2) Kas/setara kas dalam DINFRA wajib ditetapkan paling banyak 20% (dua puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih. (3) Investasi pada Aset Infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan: a. secara langsung melalui pembelian Aset Infrastruktur, dengan ketentuan: 1. Aset Infrastruktur berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan 2. berupa Aset Infrastruktur yang: a) mendukung program pembangunan atau penyediaan infrastuktur pemerintah; atau b) membawa kemanfaatan bagi publik; atau b. secara tidak langsung melalui: 1. pembelian Efek bersifat ekuitas yang diterbitkan oleh perusahaan yang memiliki, menguasai, atau memiliki pengendalian atas Aset Infrastruktur; 2. investasi pada Efek bersifat utang yang pembayarannya berasal dari Aset Infrastruktur; atau 3. investasi pada Efek bersifat utang yang diterbitkan oleh perusahaan yang memiliki, menguasai, atau memiliki pengendalian atas Aset Infrastruktur. Pasal 16 (1) Investasi pada Aset Infrastruktur secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) huruf a bagi DINFRA yang ditawarkan melalui Penawaran Umum wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Aset Infrastruktur wajib telah menghasilkan pendapatan sebelum Aset Infrastruktur dialihkan kepada DINFRA atau akan menghasilkan pendapatan - 15 - paling lambat 6 (enam) bulan sejak Aset Infrastruktur dialihkan kepada DINFRA; dan b. Dana Investasi Infrastruktur dapat berinvestasi pada Aset Infrastruktur berupa proyek yang belum atau sedang dalam proses pembangunan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) dari Nilai Aktiva Bersih. (2) Investasi pada Aset Infrastruktur secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) huruf a bagi DINFRA yang tidak ditawarkan melalui Penawaran Umum wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Aset Infrastruktur dapat berupa proyek yang belum atau sedang dalam proses pembangunan; dan b. Manajer Investasi wajib mengungkapkan karakteristik investasi pada Aset Infrastruktur berupa proyek yang belum atau sedang dalam proses pembangunan dalam Dokumen Keterbukaan DINFRA. (3) Manajer Investasi pengelola DINFRA yang berinvestasi pada Aset Infrastruktur berupa proyek yang belum atau sedang dalam proses pembangunan wajib melakukan uji tuntas yang memadai atas investasi DINFRA pada proyek yang belum atau sedang dalam proses pembangunan. Pasal 17 (1) Manajer Investasi pengelola DINFRA wajib memastikan bahwa: a. investasi secara langsung pada Aset Infrastruktur yang menjadi portofolio DINFRA memiliki alas hukum yang kuat; b. DINFRA yang ditawarkan melalui Penawaran Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) mendistribusikan keuntungan kepada para pemegang Unit Penyertaan DINFRA dalam jumlah paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari laba bersih setelah pajak tanpa memperhitungkan keuntungan yang belum terealisasi; dan - 16 - c. DINFRA berinvestasi pada Aset Infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun sejak Pernyataan Pendaftaran DINFRA yang ditawarkan melalui Penawaran Umum menjadi efektif atau DINFRA yang tidak ditawarkan melalui Penawaran Umum tercatat di Otoritas Jasa Keuangan. (2) Jangka waktu investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 18 (1) DINFRA dapat meminjam dana hanya untuk kepentingan pembelian Aset Infrastruktur yang telah menghasilkan pendapatan dengan ketentuan paling banyak 45% (empat puluh lima persen) dari nilai Aset Infrastruktur yang akan dibeli. (2) Peminjaman dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tidak langsung melalui Special Purpose Company dan memperoleh persetujuan rapat umum pemegang Unit Penyertaan DINFRA. (3) Persetujuan rapat umum pemegang Unit Penyertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sah apabila rapat umum pemegang Unit Penyertaan dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) bagian dari seluruh jumlah Unit Penyertaan dan disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah seluruh Unit Penyertaan yang beredar. Pasal 19 Manajer Investasi untuk kepentingan DINFRA dapat melakukan pembelian Aset Infrastruktur dimana perusahaan pemilik aset merupakan afiliasi Manajer Investasi atau Efek yang diterbitkan oleh pihak yang terafiliasi dengan Manajer Investasi, dengan ketentuan: - 17 - a. transaksi pembelian wajib dilakukan dalam kondisi arm’s length dimana transaksi antar para Pihak dilakukan secara independen dan pada harga yang wajar; dan b. Manajer Investasi wajib mengungkapkan informasi mengenai pembelian Aset Infrastruktur yang dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung dimana perusahaan pemilik aset merupakan afiliasi Manajer Investasi atau Efek yang diterbitkan oleh pihak yang terafiliasi dengan Manajer Investasi dalam Dokumen Keterbukaan. Pasal 20 Manajer Investasi dilarang melakukan tindakan yang dapat menyebabkan DINFRA: a. meminjamkan dan/atau menjaminkan aset yang dimiliki oleh DINFRA untuk kepentingan Pihak lain; b. berinvestasi pada Aset Infrastruktur dan/atau Efek di luar wilayah Indonesia; dan c. berinvestasi pada Unit Penyertaan DINFRA lain. Pasal 21 Manajer Investasi dan Bank Kustodian dari DINFRA dilarang: a. bertindak untuk dan atas namanya sendiri dalam melakukan penjualan dan pembelian Aset Infrastruktur dan aset DINFRA lainnya; dan/atau b. menghentikan pengelolaan DINFRA sebelum ditunjuk Manajer Investasi atau Bank Kustodian pengganti, jika yang bersangkutan mengundurkan diri atau mengalihkan kepada Manajer Investasi atau Bank Kustodian lain. - 18 - BAB IV PEDOMAN KONTRAK DAN PEDOMAN DOKUMEN KETERBUKAAN DINFRA Bagian Kesatu Pedoman Kontrak Investasi Kolektif Pasal 22 Kontrak Investasi Kolektif DINFRA wajib dibuat dalam bentuk akta notariil oleh notaris yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 23 Manajer Investasi dilarang terafiliasi dengan Bank Kustodian kecuali hubungan afiliasi yang terjadi karena penyertaan modal pemerintah Republik Indonesia. Pasal 24 Kontrak Investasi Kolektif DINFRA paling sedikit memuat: a. nama dan alamat Manajer Investasi; b. nama dan alamat Bank Kustodian; c. tujuan dan kebijakan investasi; d. kebijakan pembentukan dan penggunaan Special Purpose Company (jika ada); e. alokasi biaya yang menjadi beban Manajer Investasi, DINFRA, pemegang Unit Penyertaan, dan/atau biaya lain (jika ada); f. kewajiban dan tanggung jawab Manajer Investasi; g. kewajiban dan tanggung jawab Bank Kustodian; h. tindakan yang dilarang dilakukan oleh DINFRA; i. informasi mengenai hak, kewajiban, dan kewenangan Pihak lain yang terkait, serta tata kelola pengelolaan dan pengadministrasian investasi pada Aset Infrastruktur dan portofolio Efek; penggantian Manajer Investasi atau Bank Kustodian; k. hak pemegang Unit Penyertaan; j. - 19 - l. tata cara pelaksanaan dan pembayaran transaksi Unit Penyertaan; m. kebijakan pembagian hasil investasi kepada pemegang Unit Penyertaan; n. Nilai Aktiva Bersih awal; o. tata cara penghitungan Nilai Aktiva Bersih; p. metode penilaian aset dalam portofolio investasi kolektif; q. penyampaian laporan keuangan tahunan DINFRA; r. ketentuan mengenai tata cara pengunduran diri Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian; s. keadaan memaksa di luar kemampuan Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian yang menyebabkan para pihak tersebut menjadi tidak dapat menjalankan atau melakukan tugas dan kewajibannya (keadaan darurat); t. pembubaran dan likuidasi DINFRA; u. beban biaya atas DINFRA yang dibubarkan dan dilikuidasi; dan v. penunjukan lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor Pasar Modal atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya sebagai lembaga untuk menyelesaikan perselisihan dan sengketa perdata antara Manajer Investasi, Bank Kustodian, dan pemegang Unit Penyertaan. Bagian Kedua Keterbukaan Informasi DINFRA Pasal 25 Manajer Investasi pengelola DINFRA yang melakukan Penawaran Umum wajib menyediakan keterbukaan informasi mengenai DINFRA melalui situs web. Pasal 26 Dokumen Keterbukaan DINFRA yang ditawarkan wajib memuat informasi terkini. - 20 - Pasal 27 (1) Dokumen Keterbukaan DINFRA wajib: a. mencakup seluruh informasi atau fakta penting dan relevan mengenai peristiwa, kejadian, serta fakta material yang dapat mempengaruhi keputusan pemodal, calon pemodal, atau Pihak lain yang berkepentingan atas informasi atau fakta tersebut, yang diketahui atau selayaknya diketahui oleh Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian; b. memuat informasi yang lengkap, cukup, objektif, jelas, dan mudah dimengerti; dan c. mengungkapkan ringkasan atas fakta dan pertimbangan yang paling penting pada bagian awal Dokumen Keterbukaan DINFRA dengan urutan pengungkapan fakta pada Dokumen Keterbukaan DINFRA ditentukan oleh relevansi fakta tersebut terhadap masalah tertentu. (2) Pengungkapan fakta material dalam Dokumen Keterbukaan DINFRA dapat disesuaikan tidak terbatas hanya pada fakta material. (3) Pengungkapan atas fakta material sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara jelas dengan penekanan yang sesuai dengan kondisi DINFRA, sehingga Dokumen Keterbukaan DINFRA tidak menyesatkan. (4) Dokumen Keterbukaan DINFRA dilarang: a. memuat informasi yang tidak benar tentang fakta material, penggunaan foto, diagram, dan/atau tabel; atau b. tidak memuat fakta material yang dibutuhkan, sehingga informasi yang termuat dalam Dokumen Keterbukaan DINFRA tersebut tidak memberikan gambaran yang menyesatkan. (5) DINFRA, Manajer Investasi, Bank Kustodian, dan profesi penunjang Pasar Modal, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, bertanggung jawab bahwa semua informasi dalam Dokumen Keterbukaan DINFRA: - 21 - a. tidak memuat informasi atau fakta material yang tidak benar; b. tidak menghilangkan informasi atau fakta material; dan c. diungkapkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4). Pasal 28 Dokumen Keterbukaan DINFRA paling sedikit memuat informasi sebagai berikut: a. informasi yang wajib disajikan atau diungkapkan pada bagian luar kulit muka Dokumen Keterbukaan, yang meliputi: 1. nama DINFRA; 2. dasar hukum DINFRA; 3. alamat, logo, nomor telepon, dan faksimili Manajer Investasi dan Bank Kustodian; 4. tanggal efektif (bagi DINFRA yang ditawarkan melalui Penawaran Umum) atau tanggal pencatatan (bagi DINFRA yang ditawarkan tidak melalui Penawaran Umum); 5. batas masa penawaran (jika ada); 6. batas minimal dan/atau maksimal jumlah Unit Penyertaan yang ditawarkan (jika ada); 7. tanggal akhir penjatahan (jika ada); 8. tanggal pengembalian uang pemesanan (jika ada); 9. nama Bursa Efek dan tanggal pencatatan yang direncanakan (jika ada); 10. penjelasan singkat mengenai kebijakan dasar rencana investasi DINFRA; 11. harga penawaran sama dengan Nilai Aktiva Bersih per Unit Penyertaan; 12. nama lengkap penjamin emisi Efek (jika ada); 13. nama lengkap Manajer Investasi; 14. nama lengkap Bank Kustodian; 15. tempat dan tanggal Dokumen Keterbukaan DINFRA diterbitkan; - 22 - 16. kolom perhatian dengan menyebutkan: “SEBELUM ANDA MEMUTUSKAN UNTUK MEMBELI UNIT PENYERTAAN INI ANDA HARUS TERLEBIH DAHULU MEMPELAJARI HALAMAN” (yang menunjuk pada halaman dalam Dokumen Keterbukaan DINFRA mengenai kebijakan investasi, faktor risiko, dan Manajer Investasi); dan 17. pernyataan berikut dicetak dalam huruf besar: “OTORITAS JASA KEUANGAN TIDAK MEMBERIKAN PERNYATAAN MENYETUJUI ATAU TIDAK MENYETUJUI EFEK INI, TIDAK JUGA MENYATAKAN KEBENARAN ATAU KECUKUPAN ISI DOKUMEN KETERBUKAAN INI. SETIAP PERNYATAAN YANG BERTENTANGAN DENGAN HAL TERSEBUT ADALAH PERBUATAN MELANGGAR HUKUM”; b. informasi yang wajib disajikan (diungkapkan) pada bagian dalam kulit muka Dokumen Keterbukaan DINFRA: “DANA INVESTASI INFRASTRUKTUR TIDAK TERMASUK INSTRUMEN INVESTASI YANG DIJAMIN OLEH PEMERINTAH, BANK INDONESIA, ATAU PIHAK INSTITUSI LAINNYA. SEBELUM MEMBELI UNIT PENYERTAAN, INVESTOR HARUS TERLEBIH DAHULU MEMPELAJARI DAN MEMAHAMI DOKUMEN KETERBUKAAN DAN DOKUMEN PENAWARAN LAINNYA. ISI DARI DOKUMEN KETERBUKAAN DAN DOKUMEN PENAWARAN LAINNYA BUKANLAH SUATU SARAN BAIK DARI SEGI BISNIS, HUKUM, MAUPUN PAJAK“; daftar isi; c. d. istilah dan definisi, yang paling sedikit memuat hal sebagai berikut: 1. pengertian DINFRA; 2. bentuk hukum DINFRA; 3. pengertian DINFRA yang sedang ditawarkan; 4. pengertian Manajer Investasi; 5. pengertian Bank Kustodian; 6. pengertian Special Purpose Company (jika ada); 7. pengertian Penilai; - 23 - 8. pengertian Aset Infrastruktur; 9. pengertian bukti kepemilikan DINFRA atau Unit Penyertaan; 10. pengertian Nilai Aktiva Bersih; dan 11. hal lain yang dianggap material untuk dijelaskan; e. informasi mengenai DINFRA, yang meliputi: 1. pendirian DINFRA; 2. penawaran Unit Penyertaan; 3. penjelasan imbal hasil yang diperoleh dari aset berupa Aset Infrastruktur dari DINFRA; dan 4. pengelolaan DINFRA, yang paling sedikit mencakup: a) komite investasi; b) tim pengelola investasi; c) informasi mengenai Manajer Investasi, yang meliputi: 1) keterangan singkat tentang Manajer Investasi; 2) pengalaman Manajer Investasi; dan 3) Pihak yang terafiliasi dengan Manajer Investasi; d) informasi mengenai Bank Kustodian; e) f) g) informasi mengenai Penilai; informasi tentang profesi penunjang Pasar Modal lainnya yang berkaitan dengan pembentukan DINFRA dan penerbitan Unit Penyertaan DINFRA; h) tujuan dan kebijakan investasi; i) j) ringkasan hasil uji tuntas atas Aset Infrastruktur; metode penilaian Aset Infrastruktur dan aset lain; k) alokasi biaya yang menjadi beban Manajer Investasi, DINFRA, pemegang Unit Penyertaan, dan/atau biaya lain (jika ada); perpajakan; l) informasi mengenai Special Purpose Company (jika ada); - 24 - m) faktor risiko yang utama; n) hak pemegang Unit Penyertaan; o) pendapat hukum dari konsultan hukum yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; p) pendapat dari Penilai tentang penilaian Aset Infrastruktur; q) persyaratan dan tata cara pemesanan atau pembelian Unit Penyertaan; r) informasi mengenai penyebarluasan Dokumen Keterbukaan DINFRA dan formulir pemesanan atau pembelian Unit Penyertaan; s) skema transaksi pembelian atau penjualan Unit Penyertaan DINFRA di Bursa Efek (jika ada); t) jenis aktivitas usaha Aset Infrastruktur yang menjadi tujuan investasi DINFRA; u) struktur DINFRA; v) perjanjian yang terkait dengan DINFRA; w) peraturan perundang-undangan yang terkait DINFRA; x) perkiraan dan proyeksi keuntungan dari aset DINFRA; y) rapat umum pemegang Unit Penyertaan; z) aa) pembubaran dan likuidasi DINFRA. Pasal 29 (1) Manajer Investasi pengelola DINFRA yang Unit Penyertaan-nya ditawarkan melalui Penawaran Umum dan ditawarkan secara terus-menerus wajib menerbitkan pembaharuan Dokumen Keterbukaan DINFRA dalam hal terdapat perubahan fakta material. (2) Pembaharuan Dokumen Keterbukaan DINFRA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa sisipan perubahan terhadap Dokumen Keterbukaan DINFRA dengan mencantumkan pernyataan, ”SISIPAN INI hal lain yang material untuk diketahui oleh pemodal (jika ada); dan - 25 - MERUPAKAN PEMBAHARUAN DAN BAGIAN YANG TIDAK TERPISAHKAN DARI DOKUMEN KETERBUKAAN.”. BAB V PENILAIAN ASET DALAM DINFRA Pasal 30 Dalam hal DINFRA berinvestasi pada Aset Infrastruktur secara langsung, penilaian aset dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Manajer Investasi pengelola DINFRA wajib melakukan penilaian atas Aset Infrastruktur milik DINFRA secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun; dan b. seluruh penilaian Aset Infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam huruf a wajib dilakukan oleh Penilai yang ditunjuk oleh Manajer Investasi pengelola DINFRA dan disetujui Bank Kustodian. Pasal 31 Dalam hal DINFRA berinvestasi pada Aset Infrastruktur secara tidak langsung, penilaian aset dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Manajer Investasi pengelola DINFRA wajib menghitung Nilai Pasar Wajar dari Aset Infrastuktur secara tidak langsung dalam portofolio DINFRA dan menyampaikannya kepada Bank Kustodian setiap 3 (tiga) bulan sekali paling lambat pada hari ke-10 (sepuluh) setelah berakhirnya bulan Maret, Juni, September, dan Desember; b. penghitungan Nilai Pasar Wajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak wajib dilakukan dengan metode yang mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal mengenai Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam portofolio reksa dana, kecuali dalam hal Efek yang menjadi Aset Infrastuktur secara tidak langsung dalam portofolio DINFRA terdiri dari Efek yang tercatat dan/atau diperdagangkan di Bursa Efek; dan - 26 - c. dalam hal penghitungan Nilai Pasar Wajar dari Aset Infrastuktur sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak dilakukan dengan metode yang mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal mengenai Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam portofolio reksa dana, Manajer Investasi pengelola DINFRA wajib menetapkan metode penghitungan Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam portofolio DINFRA secara konsisten sebagai dasar penghitungan Nilai Aktiva Bersih. Pasal 32 (1) Manajer Investasi pengelola DINFRA wajib menghitung Nilai Pasar Wajar dari aset lain dalam portofolio DINFRA dan menyampaikannya kepada Bank Kustodian setiap 3 (tiga) bulan sekali paling lambat pada hari ke-10 (sepuluh) setelah berakhirnya bulan Maret, Juni, September, dan Desember. (2) Penilaian aset lain dalam portofolio DINFRA wajib dilakukan oleh Manajer Investasi dengan metode yang mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal mengenai Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam portofolio reksa dana. BAB VI PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM DAN PERMOHONAN PENCATATAN DINFRA Bagian Kesatu Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Pasal 33 (1) Dalam hal Unit Penyertaan DINFRA ditawarkan melalui Penawaran Umum, Manajer Investasi pengelola DINFRA wajib menyampaikan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum DINFRA kepada Otoritas Jasa Keuangan. - 27 - (2) Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum DINFRA diajukan oleh Manajer Investasi dengan cara sebagai berikut: a. menyampaikan Pernyataan Pendaftaran yang disusun dengan menggunakan format Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum DINFRA sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; b. paling sedikit 1 (satu) dokumen Pernyataan Pendaftaran dan dokumen lainnya harus ditandatangani secara langsung oleh Pihak yang namanya disebut dalam Pernyataan Pendaftaran dan diberi meterai yang cukup; c. pernyataan bahwa semua lembaga dan profesi penunjang Pasar Modal yang disebut dalam Pernyataan Pendaftaran bertanggung jawab sepenuhnya atas data yang disajikan relevan dengan fungsi mereka, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, kode etik, norma, dan standar profesi masing-masing; dan d. menyertakan dokumen paling sedikit meliputi: 1. Kontrak Investasi Kolektif yang dibuat dengan akta notaris oleh notaris yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan format digitalnya; 2. Dokumen Keterbukaan DINFRA (diberi meterai dan ditandatangani para pihak disertai dengan format digitalnya); dan 3. dokumen yang memuat informasi dan fakta material terkait investasi DINFRA pada Aset Infrastruktur. (3) Dalam rangka Pernyataan Pendaftaran DINFRA, Manajer Investasi wajib membuat, menyimpan, dan mengadministrasikan dokumen sebagai berikut: a. Kontrak Investasi Kolektif DINFRA disertai dengan format digitalnya; - 28 - b. salinan perjanjian yang berkaitan dengan Aset Infrastruktur; c. dokumen penilaian Aset Infrastruktur baik investasi secara langsung dan/atau tidak langsung; d. perjanjian kerjasama penawaran Unit Penyertaan (jika ada); e. laporan pemeriksaan dari segi hukum dan pendapat hukum yang dibuat oleh konsultan hukum yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan terkait DINFRA dan Aset Infrastruktur; f. hasil uji tuntas atas Aset Infrastruktur yang ditandatangani oleh direksi Manajer Investasi; g. Dokumen Keterbukaan DINFRA yang diberi meterai dan ditandatangani para pihak disertai dengan format digitalnya; h. dalam hal DINFRA menggunakan Special Purpose Company, wajib memiliki: 1. akta pendirian dan perubahan anggaran dasar Special Purpose Company; 2. ijin usaha dari pihak yang berwenang (jika ada); dan 3. daftar Pihak yang terafiliasi dengan Special Purpose Company; dan i. rencana pemasaran dan operasional DINFRA. (4) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem elektronik, Pernyataan Pendaftaran wajib disampaikan melalui sistem elektronik dimaksud. (5) Dalam hal Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memenuhi syarat atau memenuhi syarat, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa: a. Pernyataan Pendaftaran tidak lengkap; atau b. Pernyataan Pendaftaran dinyatakan efektif oleh Otoritas Jasa Keuangan. - 29 - Bagian Kedua Permohonan Pencatatan Pasal 34 (1) Dalam hal Unit Penyertaan DINFRA ditawarkan tidak melalui Penawaran Umum, Manajer Investasi pengelola DINFRA wajib menyampaikan permohonan pencatatan dalam rangka penawaran Unit Penyertaan DINFRA kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya Kontrak Investasi Kolektif. (2) Permohonan pencatatan DINFRA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Manajer Investasi disertai dengan: a. Kontrak Investasi Kolektif yang dibuat dengan akta notaris oleh notaris yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan format digitalnya; b. Dokumen Keterbukaan DINFRA yang diberi meterai dan ditandatangani para pihak disertai dengan format digitalnya; dan c. dokumen yang memuat informasi dan fakta material terkait investasi DINFRA pada Aset Infrastruktur. (3) Dalam rangka pencatatan DINFRA, Manajer Investasi wajib membuat, menyimpan, dan mengadministrasikan dokumen sebagai berikut: a. Kontrak Investasi Kolektif DINFRA disertai dengan format digitalnya; b. salinan perjanjian yang berkaitan dengan Aset Infrastruktur; c. dokumen penilaian Aset Infrastruktur baik investasi secara langsung dan/atau tidak langsung; d. perjanjian kerja sama penawaran Unit Penyertaan (jika ada); e. laporan pemeriksaan dari segi hukum dan pendapat hukum yang dibuat oleh konsultan hukum yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan terkait DINFRA dan Aset Infrastruktur; - 30 - f. hasil uji tuntas atas Aset Infrastruktur yang ditandatangani oleh direksi Manajer Investasi; g. Dokumen Keterbukaan DINFRA yang diberi meterai dan ditandatangani para pihak disertai dengan format digitalnya; h. dalam hal DINFRA menggunakan Special Purpose Company, wajib memiliki: 1. akta pendirian dan perubahan anggaran dasar Special Purpose Company; 2. ijin usaha dari pihak yang berwenang (jika ada); dan 3. daftar Pihak yang terafiliasi dengan Special Purpose Company; dan i. rencana pemasaran dan operasional DINFRA. (4) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem elektronik bagi permohonan pencatatan DINFRA, permohonan pencatatan wajib disampaikan melalui sistem elektronik dimaksud. Pasal 35 (1) Dalam memproses Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum atau permohonan pencatatan atas DINFRA, Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelaahan atas kelengkapan dokumen permohonan. (2) Dalam rangka mendukung penelaahan atas DINFRA, Otoritas Jasa Keuangan berwenang: a. meminta Manajer Investasi pengelola DINFRA untuk melakukan presentasi; dan/atau b. melakukan pemeriksaan setempat atas Aset Infrastruktur yang akan menjadi aset dasar DINFRA. - 31 - BAB VII PELAPORAN DINFRA Pasal 36 (1) Penghitungan Nilai Aktiva Bersih DINFRA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f wajib disampaikan oleh Bank Kustodian kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada hari ke-12 (dua belas) setelah berakhirnya bulan Maret, Juni, September, dan Desember. (2) Dalam hal DINFRA memiliki portofolio investasi berupa Aset Infrastruktur secara langsung, untuk penghitungan Nilai Aktiva Bersih DINFRA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Nilai Pasar Wajar portofolio investasi yang digunakan adalah Nilai Pasar Wajar yang dihitung berdasarkan hasil penilaian terakhir oleh Penilai. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan secara elektronik kepada Otoritas Jasa Keuangan melalui sistem pelaporan yang disediakan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (4) Penghitungan Nilai Aktiva Bersih yang dilaporkan oleh Bank Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib tersedia bagi pemegang Unit Penyertaan dalam bentuk cetak atau dalam bentuk digital. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan secara elektronik kepada Otoritas Jasa Keuangan diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 37 (1) Manajer Investasi bersama dengan Bank Kustodian wajib menyusun laporan keuangan tahunan DINFRA dengan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum. (2) Manajer Investasi pengelola DINFRA wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan DINFRA yang telah diaudit oleh akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah tanggal laporan keuangan tahunan DINFRA. - 32 - (3) Laporan keuangan tahunan DINFRA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib tersedia bagi pemegang Unit Penyertaan DINFRA. Pasal 38 Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 37 jatuh pada hari libur, laporan tersebut wajib disampaikan pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. BAB VIII PEMBUBARAN DINFRA Pasal 39 DINFRA wajib dibubarkan dalam hal: a. diperintahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal; atau b. Manajer Investasi dan Bank Kustodian telah sepakat untuk membubarkan DINFRA dengan terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari seluruh pemegang Unit Penyertaan. Pasal 40 Dalam hal DINFRA dibubarkan karena kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf a, Manajer Investasi wajib: a. menyampaikan rencana pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi DINFRA kepada seluruh pemegang Unit Penyertaan DINFRA paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak diperintahkan Otoritas Jasa Keuangan, dan pada hari yang sama memberitahukan secara tertulis kepada Bank Kustodian untuk menghentikan perhitungan Nilai Aktiva Bersih DINFRA; b. menginstruksikan kepada Bank Kustodian untuk membayarkan hasil likuidasi yang menjadi hak pemegang Unit Penyertaan dengan ketentuan penghitungannya dilakukan secara proporsional dari Nilai Aktiva Bersih - 33 - pada saat pembubaran dan hasil likuidasi tersebut diterima pemegang Unit Penyertaan; dan c. menyampaikan laporan hasil pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi DINFRA kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari sejak diperintahkan pembubaran oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan dokumen sebagai berikut: 1. laporan hasil pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi DINFRA dengan dilengkapi pendapat dari konsultan hukum yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; 2. laporan keuangan terkait pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi DINFRA yang diaudit oleh akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; dan 3. akta pembubaran dan likuidasi DINFRA dari notaris yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. d. jangka waktu penyampaian laporan hasil pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi DINFRA kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf c dapat diperpanjang dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 41 Dalam hal DINFRA dibubarkan karena kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf b, Manajer Investasi wajib: a. menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak terjadinya kesepakatan pembubaran DINFRA oleh Manajer Investasi dan Bank Kustodian dengan melampirkan: 1. kesepakatan pembubaran dan likuidasi DINFRA antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian; 2. persetujuan rapat pemegang Unit Penyertaan DINFRA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; 3. alasan pembubaran; dan 4. kondisi keuangan terakhir DINFRA, - 34 - dan pada hari yang sama menyampaikan rencana pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi DINFRA kepada para pemegang Unit Penyertaan serta memberitahukan secara tertulis kepada Bank Kustodian untuk menghentikan perhitungan Nilai Aktiva Bersih DINFRA; b. menginstruksikan kepada Bank Kustodian untuk membayarkan hasil likuidasi yang menjadi hak pemegang Unit Penyertaan dengan ketentuan penghitungannya dilakukan secara proporsional dari Nilai Aktiva Bersih pada saat likuidasi selesai dilakukan dan hasil likuidasi tersebut diterima pemegang Unit Penyertaan; c. menyampaikan laporan hasil pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi DINFRA kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari sejak terjadinya kesepakatan pembubaran DINFRA oleh Manajer Investasi dan Bank Kustodian dengan dokumen sebagai berikut: 1. laporan hasil pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi DINFRA dengan dilengkapi pendapat dari konsultan hukum yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; 2. laporan keuangan terkait pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi DINFRA yang diaudit oleh akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; dan 3. akta pembubaran dan likuidasi DINFRA dari notaris yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; dan d. jangka waktu penyampaian laporan hasil pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi DINFRA kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf c dapat diperpanjang dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. - 35 - BAB IX KETENTUAN SANKSI Pasal 42 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan/atau g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 43 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 36 - Pasal 44 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 kepada masyarakat. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 45 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 37 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Juli 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Juli 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 170 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 52 /POJK.04/2017 TENTANG DANA INVESTASI INFRASTRUKTUR BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF I. UMUM Dana Investasi Infrastruktur Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang selanjutnya disebut dengan DINFRA adalah wadah berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya sebagian besar diinvestasikan pada Aset Infrastruktur oleh Manajer Investasi. Produk investasi ini ditujukan untuk menyediakan salah satu alternatif pendanaan bagi pembangunan infrastruktur di Indonesia melalui sekuritisasi dari Aset Infrastruktur, sekaligus untuk memberikan altenatif produk investasi bagi pemodal. Pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur hal mengenai pedoman pengelolaan, Kontrak Investasi Kolektif, dokumen keterbukaan, pencatatan, pelaporan, dan pembubaran DINFRA. Dengan diterbitkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, diharapkan tercipta pendalaman Pasar Modal Indonesia melalui industri pengelolaan investasi sekaligus meningkatkan daya saing industri pengelolaan investasi di Indonesia. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. - 3 - Pasal 12 Ayat (1) Sebagai contoh, nama DINFRA yang dikelola oleh Manajer Investasi XYZ dengan kebijakan investasi yang mencerminkan investasi Dana Investasi Infrastruktur pada Aset Infrastruktur dapat diberi nama “Dana Investasi Infrastruktur XYZ Kawasan Ekonomi Khusus”. Contoh lainnya, Dana Investasi Infrastruktur yang dikelola oleh Manajer Investasi yang sama yang mencerminkan investasi Dana Investasi Infrastruktur pada Aset Infrastruktur namun dengan denominasi mata uang Dolar Amerika Serikat dapat diberi nama “XYZ Dana Investasi Infrastruktur toll road USD”. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Contoh nama DINFRA yang mengandung ungkapan mengenai kepastian atau janji atas imbal hasil dan/atau tidak adanya risiko investasi antara lain “Dana Investasi Infrastruktur Pasti Untung” atau “Dana Investasi Infrastruktur Anti Rugi”. Huruf c Contoh nama DINFRA yang mengandung ungkapan Manajer Investasi memiliki keunggulan tertentu yang belum tentu benar antara lain “Dana Investasi Infrastruktur XYZ Terbaik dalam Kawasan Ekonomi Khusus”. Huruf d Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. - 4 - Pasal 15 Ayat (1) Huruf a. Contoh jenis Aset Infrastruktur antara lain: a. infrastruktur transportasi; b. infrastruktur jalan; c. infrastruktur sumber daya air dan irigasi; d. infrastruktur air minum; e. infrastruktur sistem pengelolaan air limbah terpusat; f. g. infrastruktur sistem pengelolaan persampahan; h. infrastruktur telekomunikasi dan informatika; i. infrastruktur ketenagalistrikan; j. infrastruktur minyak dan gas bumi dan energi terbarukan; k. infrastruktur konservasi energi; l. infrastruktur fasilitas perkotaan; m. infrastruktur fasilitas pendidikan; n. infrastruktur fasilitas sarana dan prasarana olahraga,serta kesenian; o. infrastruktur kawasan; p. infrastruktur pariwisata; q. infrastruktur kesehatan; r. infrastruktur lembaga pemasyarakatan; dan s. infrastruktur perumahan rakyat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Efek bersifat utang yang pembayarannya berasal dari Aset Infrastruktur contohnya adalah Project Bond dan Infrastructure Bond. infrastruktur sistem pengelolaan air limbah setempat; - 5 - Angka 3 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Pinjaman dana dan/atau penerbitan Efek bersifat utang untuk kepentingan DINFRA dapat dilakukan secara langsung dan/atau melalui Special Purpose Company. Pasal 19 Huruf a Yang dimaksud dengan “pada harga yang wajar” adalah mempertimbangkan harga yang wajar berdasarkan Penilai (bagi investasi secara langsung pada Aset Infrastruktur). Huruf b Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. - 6 - Pasal 25 Situs web dapat berupa situs web milik Manajer Investasi, Bursa Efek, atau pihak lain yang berkaitan dengan Dana Investasi Infrastruktur. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”fakta material” antara lain laporan keuangan, pergantian anggota direksi Manajer Investasi, biaya, dan alamat Manajer Investasi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. - 7 - Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6104
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 52/POJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> DANA INVESTASI INFRASTRUKTUR BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF </reg_title> <set_date> 19 Juli 2017 </set_date> <effective_date> 27 Juli 2017 </effective_date> <issued_date> 27 Juli 2017 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 24 /POJK.04/2016 TENTANG AGEN PERANTARA PEDAGANG EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan jumlah investor Pasar Modal Indonesia dan memanfaatkan potensi Pasar Modal Indonesia serta mengoptimalkan fungsi pemasaran dari Perantara Pedagang Efek, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Agen Perantara Pedagang Efek; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG AGEN PERANTARA PEDAGANG EFEK. - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perantara Pedagang Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha jual beli Efek untuk kepentingan sendiri atau Pihak lain. 2. Agen Perantara Pedagang Efek adalah Pihak yang mereferensikan calon nasabah kepada Perantara Pedagang Efek untuk menjadi nasabah Perantara Pedagang Efek dengan mendapat komisi berdasarkan kontrak kerja sama. 3. Izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas adalah Izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Segmentasi Perizinan Wakil Perantara Pedagang Efek. 4. Pelaku Usaha Jasa Keuangan adalah Pelaku Usaha Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. 5. Gerai adalah sarana kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek yang tidak bersifat permanen, dengan jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan pada 1 (satu) tempat yang sama. BAB II RUANG LINGKUP DAN PERSYARATAN AGEN PERANTARA PEDAGANG EFEK Bagian Kesatu Ruang Lingkup Agen Perantara Pedagang Efek Pasal 2 Agen Perantara Pedagang Efek terdiri atas Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan dan Agen Perantara Pedagang Efek orang perseorangan. - 3 - Pasal 3 (1) Pihak yang melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan wajib terlebih dahulu terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan yang merupakan badan hukum. Pasal 4 (1) Kegiatan sebagai Agen Perantara Pedagang Efek orang perseorangan dilakukan oleh orang perseorangan yang memiliki izin sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran, dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas. (2) Orang perseorangan yang memiliki izin sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran, dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kegiatan sebagai Agen Perantara Pedagang Efek orang perseorangan tanpa perlu terlebih dahulu mengajukan permohonan pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan. (3) Orang perseorangan yang memiliki izin sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran, dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kegiatan sebagai Agen Perantara Pedagang Efek orang perseorangan, apabila tidak bekerja pada Perusahaan Efek dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan. - 4 - Pasal 5 (1) Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 hanya dapat melakukan kegiatan penawaran kepada calon nasabah untuk menjadi nasabah Perantara Pedagang Efek dan kegiatan lain yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat melakukan kegiatan penawaran kepada calon nasabah untuk menjadi nasabah Perantara Pedagang Efek di kantor pusat, kantor lain selain kantor pusat, lokasi lain dan/atau Gerai. (3) Agen Perantara Pedagang Efek orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 hanya dapat melakukan kegiatan penawaran kepada calon nasabah untuk menjadi nasabah Perantara Pedagang Efek. Pasal 6 Pegawai Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan yang melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek wajib memiliki izin orang perseorangan dari Otoritas Jasa Keuangan paling rendah izin sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas. Bagian Kedua Persyaratan Agen Perantara Pedagang Efek Kelembagaan Pasal 7 Dalam rangka memperoleh Surat Tanda Terdaftar sebagai Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan, Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib: a. memiliki pegawai yang melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek di setiap kantor pusat, kantor lain selain kantor pusat, lokasi lain dan/atau Gerai Agen Perantara Pedagang Efek yang melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek; - 5 - b. memiliki pejabat penanggung jawab kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek untuk setiap kantor pusat, kantor lain selain kantor pusat, lokasi lain dan/atau Gerai Agen Perantara Pedagang Efek yang melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek; dan c. memiliki sistem pengendalian internal yang memadai. Pasal 8 Pegawai yang melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek dan/atau pejabat penanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dan huruf b, wajib: a. memiliki izin orang perseorangan dari Otoritas Jasa Keuangan paling rendah izin sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas; dan b. mendapat penugasan khusus secara tertulis dari Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan untuk bertindak sebagai pegawai yang melakukan Agen Perantara Pedagang Efek dan/atau pejabat penanggung jawab kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek. Pasal 9 Sistem pengendalian internal yang memadai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c wajib dituangkan secara tertulis dengan ketentuan paling sedikit memuat: a. pemberian wewenang dan tanggung jawab yang dapat menghindari timbulnya benturan kepentingan; b. prosedur operasi standar pelaksanaan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek; dan c. upaya dan tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki penyimpangan yang terjadi. - 6 - BAB III TATA CARA PENDAFTARAN DAN DOKUMEN ELEKTRONIK SERTA BATAS WAKTU Bagian Kesatu Pendaftaran Agen Perantara Pedagang Efek Kelembagaan Pasal 10 (1) Permohonan pendaftaran sebagai Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan diajukan oleh pemohon dalam bentuk dokumen cetak kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format surat permohonan pendaftaran sebagai Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Permohonan pendaftaran sebagai Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai kelengkapan dokumen sebagai berikut: a. fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang dan perubahan anggaran dasar terakhir; b. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Badan; c. fotokopi izin usaha; d. data kantor pusat yang memuat alamat kantor dan penanggungjawabnya serta daftar pegawai yang melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek; e. dokumen yang terkait dengan nama, data, dan informasi pejabat penanggung jawab Agen Perantara Pedagang Efek, meliputi: 1. daftar riwayat hidup terbaru yang telah ditandatangani; 2. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor yang masih berlaku; - 7 - 3. fotokopi Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing bagi warga negara asing; 4. fotokopi surat keputusan Direksi terkait pengangkatan atau penempatan sebagai pejabat penanggung jawab kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek di kantor pusat; dan 5. fotokopi izin orang perseorangan dari Otoritas Jasa Keuangan paling rendah berupa izin sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas bersangkutan; f. dokumen pegawai yang melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek yang meliputi: 1. daftar riwayat hidup terbaru yang telah ditandatangani; 2. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor yang masih berlaku; 3. fotokopi Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing bagi warga negara asing; 4. fotokopi surat keputusan Direksi terkait pengangkatan atau penempatan pegawai yang melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek di kantor pusat; dan 5. fotokopi izin orang perseorangan dari Otoritas Jasa Keuangan paling rendah berupa izin sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas bersangkutan; g. diagram struktur organisasi yang menunjukkan garis pertanggungjawaban dari masing-masing fungsi kepada penanggung jawab atau anggota Direksi yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek beserta uraian tugasnya; h. prosedur operasi standar pelaksanaan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek; dan atas nama yang atas nama yang - 8 - i. proyeksi rencana operasi kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek paling singkat 1 (satu) tahun ke depan yang paling sedikit mencakup informasi sebagai berikut: 1. target jenis calon nasabah (pangsa pasar); dan 2. target jumlah calon nasabah. Pasal 11 Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta tambahan data dan/atau informasi untuk melengkapi permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. Bagian Kedua Dokumen Elektronik, Proses Pendaftaran, dan Batas Waktu Pasal 12 (1) Dokumen permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib pula disiapkan dalam format digital dan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan media digital cakram padat atau lainnya, atau surat elektronik dengan alamat pendaftaranappe@ojk.go.id. (2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem elektronik, permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dapat disampaikan melalui sistem elektronik dimaksud. (3) Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menyampaikan permohonan pendaftaran melalui sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyimpan dokumen cetak permohonan pendaftaran sebagaimana yang telah disampaikan melalui sistem elektronik. (4) Otoritas Jasa Keuangan sewaktu-waktu dapat meminta dokumen cetak permohonan pendaftaran kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila diperlukan. - 9 - Pasal 13 (1) Dalam memproses permohonan pendaftaran sebagai Agen Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen permohonan. (2) Dalam hal permohonan pendaftaran sebagai Agen Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 tidak memenuhi syarat, paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan, Otoritas Jasa Keuangan memberikan pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa: a. permohonan belum memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen; atau b. permohonan ditolak karena tidak memenuhi persyaratan. (3) Pemohon wajib melengkapi kekurangan dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling lambat 45 (empat puluh lima) hari setelah tanggal surat pemberitahuan. (4) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dianggap telah membatalkan permohonan pendaftaran sebagai Agen Perantara Pedagang Efek. (5) Otoritas Jasa Keuangan memberikan Surat Tanda Terdaftar sebagai Agen Perantara Pedagang Efek kepada pemohon yang mengajukan permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak permohonan diterima secara lengkap dan memenuhi syarat. Pasal 14 (1) Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan wajib melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek dalam waktu 6 (enam) bulan sejak: a. memperoleh Surat Tanda Terdaftar dari Otoritas Jasa Keuangan; atau surat - 10 - b. berakhirnya kontrak kerja sama kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek. (2) Dalam hal Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan tidak melaksanakan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek dalam waktu 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Surat Tanda Terdaftar Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan menjadi tidak berlaku. BAB IV KONTRAK KERJA SAMA Pasal 15 Kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek wajib didasarkan pada kontrak kerja sama antara Perantara Pedagang Efek dengan Agen Perantara Pedagang Efek. Pasal 16 Kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 paling sedikit memuat hal sebagai berikut: a. identitas pihak yang terlibat dalam kontrak; b. hak dan kewajiban para pihak; c. komisi yang diterima Agen Perantara Pedagang Efek dan biaya yang menjadi beban Agen Perantara Pedagang Efek; d. jangka waktu kontrak; e. penunjukan lembaga peradilan atau lembaga lainnya sebagai lembaga untuk menyelesaikan perselisihan dan sengketa perdata antar para Pihak; dan f. ketentuan pengakhiran kontrak. Pasal 17 Dalam melakukan kerja sama dengan Agen Perantara Pedagang Efek, Perantara Pedagang Efek wajib: a. memiliki kontrak kerja sama secara tertulis dengan Agen Perantara Pedagang Efek; b. bertanggung jawab atas perjanjian kerja sama antara - 11 - Perantara Pedagang Efek dan Agen Perantara Pedagang Efek; c. bertanggung jawab atas perilaku Agen Perantara Pedagang Efek orang perseorangan; d. meneliti pemenuhan persyaratan yang ditentukan dan proses uji tuntas terhadap calon Agen Perantara Pedagang Efek; e. memastikan Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan memiliki pejabat yang bertanggung jawab atas kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek; f. bertanggung jawab atas perbuatan dan tindakan Agen Perantara Pedagang Efek yang termasuk dalam cakupan layanan Agen Perantara Pedagang Efek sesuai dengan yang dicantumkan dalam perjanjian kerja sama; dan g. memantau dan mengawasi kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek secara langsung, baik secara berkala maupun insidentil. Pasal 18 (1) Agen Perantara Pedagang Efek wajib menyampaikan laporan setiap dimulainya dan/atau berakhirnya kontrak kerja sama dengan Perantara Pedagang Efek kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Laporan dimulainya kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dengan dokumen kontrak kerja sama dan dokumen kelayakan uji tuntas dengan Perantara Pedagang Efek. (3) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak efektif dimulainya kerja sama dan/atau berakhirnya kerja sama. - 12 - BAB V PEJABAT PENANGGUNG JAWAB DAN PEGAWAI AGEN PERANTARA PEDAGANG EFEK Pasal 19 (1) Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan wajib memiliki paling sedikit 1 (satu) orang pejabat penanggung jawab atas kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan. (2) Pejabat penanggung jawab kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempunyai pengalaman dalam kegiatan pemasaran paling singkat 3 (tiga) tahun. (3) Pejabat penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki tugas dan fungsi paling sedikit sebagai berikut: a. memastikan proses kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan telah berjalan sesuai dengan: 1. kontrak kerja sama yang dibuat oleh Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan dengan Perantara Pedagang Efek; 2. prosedur operasi standar Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan; dan 3. kontrak kerja sama yang dibuat oleh Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan dengan pihak lain dalam rangka melaksanakan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek di Gerai; b. memastikan dokumen atas proses kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud pada huruf a telah lengkap; dan c. memastikan proses kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan telah berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. - 13 - (4) Pejabat penanggung jawab Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan dilarang merangkap bekerja pada perusahaan lain. Pasal 20 (1) Pegawai Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan yang melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek dilarang merangkap bekerja pada perusahaan lain. (2) Pegawai Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang terdaftar pada lebih dari 1 (satu) lokasi Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan. (3) Perangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku untuk Gerai. Pasal 21 Dalam hal terjadi kekosongan atas seluruh pegawai yang melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek dan/atau pejabat penanggung jawab kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dan huruf b, Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan dimaksud tidak dapat melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang sebagai Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan sampai dengan terdapat pegawai yang melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek dan/atau pejabat penanggung jawab kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek yang memiliki izin paling rendah sebagai Wakil Agen Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas. - 14 - BAB VI KANTOR LAIN SELAIN KANTOR PUSAT, LOKASI LAIN, DAN GERAI AGEN PERANTARA PEDAGANG EFEK Bagian Kesatu Kantor Lain Selain Kantor Pusat dan Lokasi Lain Agen Perantara Pedagang Efek Kelembagaan Pasal 22 (1) Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan yang melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek di kantor lain selain kantor pusat dan/atau lokasi lain wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah dimulainya kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek dimaksud. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sesuai dengan format laporan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan di kantor lain selain kantor pusat dan/atau lokasi lain sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (3) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dokumen sebagai berikut: a. dokumen pejabat penanggung jawab Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan di kantor lain selain kantor pusat dan/atau lokasi lain yang meliputi: 1. daftar riwayat hidup terbaru yang telah ditandatangani; 2. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor yang masih berlaku; 3. fotokopi Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing, bagi warga negara asing; 4. fotokopi surat keputusan Direksi terkait pengangkatan atau penunjukan sebagai pejabat penanggung jawab kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek di kantor lain selain kantor pusat dan/atau lokasi lain; dan - 15 - 5. fotokopi izin orang perseorangan dari Otoritas Jasa Keuangan paling rendah berupa izin sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas bersangkutan; b. dokumen pegawai Agen Perantara Pedagang Efek yang melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek di kantor lain selain kantor pusat dan/atau lokasi lain yang meliputi: 1. daftar riwayat hidup terbaru yang telah ditandatangani; 2. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor yang masih berlaku; 3. fotokopi Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing, bagi warga negara asing; 4. fotokopi surat keputusan Direksi terkait pengangkatan atau penunjukan sebagai pegawai Agen Perantara Pedagang Efek yang melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek di kantor lain selain kantor pusat dan/atau lokasi lain; dan 5. fotokopi izin orang perseorangan dari Otoritas Jasa Keuangan paling rendah berupa izin sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas bersangkutan; c. surat keterangan domisili kantor lain selain kantor pusat dan/atau lokasi lain dari pengelola gedung atau instansi berwenang; dan d. daftar kantor lain selain kantor pusat dan/atau lokasi lain beserta alamat kantor dan penanggungjawabnya serta daftar pegawai Agen Perantara Pedagang Efek yang melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek, sesuai dengan format daftar kantor lain selain kantor pusat dan/atau lokasi lain Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak atas nama yang atas nama yang - 16 - terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 23 Dokumen laporan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek di kantor lain selain kantor pusat dan/atau lokasi lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) wajib pula disiapkan dalam format digital dan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan media digital cakram padat atau lainnya, atau surat elektronik dengan alamat pendaftaranappe@ojk.go.id. Bagian Kedua Gerai Agen Perantara Pedagang Efek Pasal 24 (1) Agen Perantara Pedagang Efek dapat membuka Gerai melalui kerja sama dengan pihak lain. (2) Kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek di Gerai wajib dilakukan oleh orang perseorangan yang memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan paling rendah berupa izin sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas. BAB VII KEWAJIBAN DAN LARANGAN AGEN PERANTARA PEDAGANG EFEK Bagian Kesatu Kewajiban Agen Perantara Pedagang Efek Pasal 25 Bagi Agen Perantara Pedagang Efek: a. kelembagaan wajib: 1. bertanggung jawab atas segala tindakan yang berkaitan dengan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek yang dilakukan oleh pegawai dan/atau pihak lain yang bekerja sama dengan - 17 - Agen Perantara Pedagang Efek tersebut; 2. mempunyai sistem pengawasan atas kegiatan para pegawainya yang melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek untuk menjamin dipatuhinya semua ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal; dan 3. menjalankan tugas sebaik mungkin dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab sesuai dengan kontrak kerja sama; dan b. orang perseorangan wajib: 1. bertanggung jawab atas segala tindakan yang berkaitan dengan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek; dan 2. menjalankan tugas sebaik mungkin dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab sesuai dengan kontrak kerja sama dengan Perantara Pedagang Efek. Bagian Kedua Larangan Agen Perantara Pedagang Efek Pasal 26 Bagi Agen Perantara Pedagang Efek: a. kelembagaan dilarang: 1. menerima pesanan dari nasabah atau meneruskan transaksi nasabah; 2. memungut penerimaan dari nasabah dan membagi komisi dengan nasabah; 3. memberikan penjelasan yang tidak benar dan ungkapan yang berlebihan terkait investasi di Pasar Modal; 4. memastikan dan menjanjikan hasil investasi; 5. menyarankan untuk melakukan transaksi; 6. membuat pernyataan yang negatif terhadap Perantara Pedagang Efek tertentu; - 18 - 7. memberikan rekomendasi atas Efek tertentu kepada calon nasabah untuk mendapatkan keuntungan; 8. menjanjikan potongan komisi kepada calon nasabah; dan 9. bertindak sebagai Agen Perantara Pedagang Efek terhadap lebih dari 1 (satu) Perantara Pedagang Efek; dan b. orang perseorangan dilarang: 1. menerima pesanan dari nasabah atau meneruskan transaksi nasabah; 2. memungut penerimaan dari nasabah dan membagi komisi dengan nasabah; 3. memberikan penjelasan yang tidak benar dan ungkapan yang berlebihan terkait investasi di Pasar Modal; 4. memastikan dan menjanjikan hasil investasi; 5. menyarankan untuk melakukan transaksi; 6. membuat pernyataan yang negatif terhadap Perantara Pedagang Efek tertentu; 7. memberikan rekomendasi atas Efek tertentu kepada calon nasabah untuk mendapatkan keuntungan; 8. menjanjikan potongan komisi kepada calon nasabah; 9. bertindak sebagai Agen Perantara Pedagang Efek terhadap lebih dari 1 (satu) Perantara Pedagang Efek; dan 10. bekerja pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan. BAB VIII PENYAMPAIAN LAPORAN Bagian Kesatu Laporan Bagi Agen Perantara Pedagang Efek Kelembagaan Pasal 27 Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan apabila terdapat: - 19 - 1. perubahan alamat kantor pusat, kantor lain selain kantor pusat dan/atau lokasi lain; 2. perubahan pejabat penanggung jawab dan pegawai yang melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek; dan/atau 3. penutupan kantor lain selain kantor pusat dan/atau lokasi lain, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak terjadinya peristiwa dimaksud. Bagian Kedua Laporan Bagi Perantara Pedagang Efek Pasal 28 (1) Perantara Pedagang Efek wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan setiap penambahan dan pemutusan kerjasama dengan Agen Perantara Pedagang Efek. (2) Laporan setiap penambahan dan pemutusan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak penambahan dan pemutusan kerjasama tersebut. (3) Perantara Pedagang Efek wajib melaporkan perkembangan penyelenggaraan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek kepada Otoritas Jasa Keuangan, sesuai dengan format laporan perkembangan penyelenggaraan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (4) Laporan perkembangan penyelenggaraan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan secara triwulanan untuk posisi bulan Maret, Juni, September, dan Desember paling lambat setiap hari kerja ke-15 (kelima belas) setelah akhir bulan laporan. - 20 - Pasal 29 Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem laporan elektronik Agen Perantara Pedagang Efek, laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dapat disampaikan melalui sistem elektronik dimaksud. BAB IX BERAKHIRNYA KEGIATAN AGEN PERANTARA PEDAGANG EFEK Bagian Kesatu Pencabutan Atau Pembatalan Surat Tanda Terdaftar Sebagai Agen Perantara Pedagang Efek Kelembagaan Pasal 30 Surat Tanda Terdaftar sebagai Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan dapat dicabut atau dibatalkan oleh Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan hal sebagai berikut: a. Surat Tanda Terdaftar sebagai Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan dikembalikan kepada Otoritas Jasa Keuangan; b. pelanggaran terhadap peraturan perundang undangan- undangan di sektor Pasar Modal; c. Izin usaha pihak yang melakukan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan d. Badan hukum pihak yang melakukan kegiatan sebagai Agen Perantara Pedagang Efek pailit atau bubar. Bagian Kedua Berakhirnya Kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek Orang Perseorangan Pasal 31 Kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek orang perseorangan berakhir dengan sendirinya apabila Izin orang perseorangan dari Otoritas Jasa Keuangan berupa izin sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek, Wakil - 21 - Perantara Pedagang Efek Pemasaran, dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas yang dimiliki sudah tidak berlaku. BAB X KETENTUAN SANKSI Pasal 32 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. pembatalan persetujuan; dan - 22 - Pasal 33 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini Pasal 34 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 kepada masyarakat. BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 35 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, orang perseorangan yang telah memiliki izin sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran, dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas dapat melakukan kegiatan sebagai Agen Perantara Pedagang Efek orang perseorangan. Pasal 36 Kontrak kerja sama antara Pihak dengan Perantara Pedagang Efek dalam rangka melakukan kegiatan penawaran kepada calon nasabah untuk menjadi nasabah Perantara Pedagang Efek yang masih berlaku dan sudah ada sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, wajib: a. disesuaikan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan b. dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan. - 23 - BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 37 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Juni 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Juni 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H.LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 127 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 24 /POJK.04/2016 TENTANG AGEN PERANTARA PEDAGANG EFEK I. UMUM Salah satu penyebab rendahnya jumlah investor Pasar Modal di Indonesia adalah terbatasnya akses masyarakat Indonesia untuk menjadi investor di Pasar Modal. Terbatasnya jaring pemasaran Perantara Pedagang Efek yang hanya terfokus di kota besar menyebabkan calon investor potensial yang berada di daerah sulit untuk terjangkau. Dalam rangka memperluas fungsi pemasaran Perantara Pedagang Efek, diperlukan pengaturan yang memungkinkan Perantara Pedagang Efek melakukan kerja sama dengan Pihak lain yang memiliki akses untuk menjangkau calon nasabah terutama calon nasabah yang berada di daerah. Peraturan ini membuka kesempatan bagi Pihak lain untuk menjadi Agen Perantara Pedagang Efek dengan melakukan kerjasama dengan Perantara Pedagang Efek untuk melakukan penawaran kepada masyarakat untuk menjadi nasabah Perantara Pedagang Efek. Pihak tersebut dapat berupa orang perseorangan maupun badan hukum yang merupakan Pelaku Usaha Jasa Keuangan, seperti Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, Bank Kustodian, Dana Pensiun, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Gadai, dan Perusahaan Penjaminan. Kerja sama antara Agen Perantara Pedagang Efek dan Perantara Pedagang Efek didasarkan oleh kontrak/perjanjian tertulis, yang menyebutkan minimal klausa yang wajib tercantum dalam perjanjian - 2 - kedua belah pihak. Agen Perantara Pedagang Efek dapat menawarkan dan memproses penerimaan sebagai nasabah Perantara Pedagang Efek, serta menyampaikan informasi suatu Efek sebagai referensi nasabah untuk transaksi Efek. Akan tetapi transaksi Efek tetap dilakukan oleh Perantara Pedagang Efek. Disamping membuka kesempatan bagi Pihak lain untuk menjadi Agen Perantara Pedagang Efek, dalam peraturan ini juga diatur terkait kegiatan dan perilaku Agen Perantara Pedagang Efek. Pengaturan tersebut diharapkan dapat lebih menjamin kepastian hukum dan kepatuhan Agen Perantara Pedagang Efek terhadap peraturan perundang-undangan sehingga pada akhirnya dapat melindungi masyarakat pemodal dari praktik yang merugikan. Sehubungan dengan hal tersebut dan dalam rangka pelaksanaan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek serta untuk memitigasi risiko yang mungkin timbul, perlu pengaturan tentang Agen Perantara Pedagang Efek dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. - 3 - Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud “instansi yang berwenang” antara lain instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan hak asasi manusia. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan izin usaha termasuk pengesahan badan hukum Dana Pensiun. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Angka 1 Untuk melihat pengalaman kerja dalam kegiatan pemasaran, daftar riwayat hidup dilengkapi dengan informasi pengalaman kerja yang memuat tahun - 4 - bekerja, nama perusahaan, bidang usaha, nama jabatan dan uraian tugas, dan tanggung jawab. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Surat elektronik dimaksud biasa disebut dengan e-mail. Ayat (2) Otoritas Jasa Keuangan tidak lagi mewajibkan penyampaian permohonan pendaftaran Agen Perantara Pedagang Efek dalam bentuk dokumen cetak dalam hal permohonan tersebut telah disampaikan melalui sistem elektronik. - 5 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Ketentuan pada huruf c ini hanya berlaku bagi Perantara Pedagang Efek yang melakukan kerjasama dengan Agen Perantara Pedagang Efek orang perseorangan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. - 6 - Huruf g Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Pejabat penanggung jawab dapat ditunjuk sebagai pihak yang bertanggung jawab pada 1 (satu) atau lebih lokasi kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Surat elektronik dimaksud biasa disebut dengan e-mail. Pasal 24 Cukup jelas. - 7 - Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Laporan perkembangan penyelenggaraan kegiatan Agen Perantara Pedagang Efek oleh Perantara Pedagang Efek berlaku atas Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan dan Agen Perantara Pedagang Efek orang perseorangan yang memiliki kontrak kerjasama dengan Perantara Pedagang Efek dimaksud, yang paling kurang menjelaskan perkembangan: a. jumlah kerjasama dengan Agen Perantara Pedagang Efek yang ada; b. jumlah calon nasabah yang diajukan Agen Perantara Pedagang Efek ke Perantara Pedagang Efek; c. jumlah calon nasabah yang disetujui untuk menjadi nasabah; dan d. nilai transaksi. Ayat (4) Cukup jelas. - 8 - Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5896
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 24/POJK.04/2016 </reg_id> <reg_title> AGEN PERANTARA PEDAGANG EFEK </reg_title> <set_date> 27 Juni 2016 </set_date> <effective_date> 29 Juni 2016 </effective_date> <issued_date> 29 Juni 2016 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 2/POJK.04/2013 TENTANG PEMBELIAN KEMBALI SAHAM YANG DIKELUARKAN OLEH EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK DALAM KONDISI PASAR YANG BERFLUKTUASI SECARA SIGNIFIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mengurangi dampak pasar yang berfluktuasi secara signifikan, maka diperlukan kemudahan bagi Emiten atau Perusahaan Publik untuk melakukan aksi korporasi pembelian saham kembali tanpa melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. bahwa berdasarkan pertimbangan dalam huruf a, maka perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pembelian Kembali Saham Yang Dikeluarkan Oleh Emiten Atau Perusahaan Publik Dalam Kondisi Pasar Yang Berfluktuasi Secara Signifikan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4756); 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 4. Peraturan... - 2 - 4. Peraturan Bapepam dan LK Nomor XI.B.2, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-105/BL/2010 tanggal 13 April 2010 tentang Pembelian Kembali Saham Yang Dikeluarkan Oleh Emiten atau Perusahaan Publik; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEMBELIAN KEMBALI SAHAM YANG DIKELUARKAN OLEH EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK DALAM KONDISI PASAR YANG BERFLUKTUASI SECARA SIGNIFIKAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Kondisi Pasar Yang Berfluktuasi Secara Signifikan adalah: a. indeks harga saham gabungan di Bursa Efek selama 3 (tiga) hari bursa berturut-turut secara kumulatif turun 15% (lima belas perseratus) atau lebih; atau b. kondisi lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. 2. Perusahaan adalah Emiten yang telah melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas atau Perusahaan Publik. Pasal 2 Kondisi Pasar Yang Berfluktuasi Secara Signifikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf b, dimulai dan diakhiri dengan penetapan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 3 Dalam hal terjadi Kondisi Pasar Yang Berfluktuasi Secara Signifikan, Perusahaan dapat membeli kembali sahamnya tanpa melanggar ketentuan Pasal 91, Pasal 92, Pasal 95, dan Pasal 96 Undang... - 3 - Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, sepanjang memenuhi Peraturan ini. BAB II PERSYARATAN PEMBELIAN KEMBALI SAHAM PERUSAHAAN Pasal 4 Dalam hal terjadi Kondisi Pasar Yang Berfluktuasi Secara Signifikan, Perusahaan dapat melakukan pembelian kembali saham tanpa persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham. Pasal 5 Pembelian kembali saham oleh Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 paling banyak 20% (dua puluh perseratus) dari modal disetor. Pasal 6 (1) Perusahaan dapat melakukan pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 setelah menyampaikan keterbukaan informasi kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek. (2) Keterbukaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari Bursa setelah terjadinya Kondisi Pasar Yang Berfluktuasi Secara Signifikan. (3) Pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah keterbukaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Keterbukaan informasi dalam rangka pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat informasi sebagai berikut: a. perkiraan jadwal, biaya pembelian kembali saham tersebut, dan perkiraan jumlah nilai nominal seluruh saham yang akan dibeli kembali; b. perkiraan menurunnya pendapatan Perusahaan sebagai akibat pelaksanaan pembelian kembali saham dan dampak... - 4 - dampak atas biaya pembiayaan Perusahaan; c. proforma laba per saham Perusahaan setelah rencana pembelian kembali saham dilaksanakan, dengan mempertimbangkan menurunnya pendapatan; d. pembatasan harga saham untuk pembelian kembali saham; e. pembatasan jangka waktu pembelian kembali saham; f. metode yang akan digunakan untuk membeli kembali saham; dan g. pembahasan dan analisis manajemen mengenai pengaruh pembelian kembali saham terhadap kegiatan usaha dan pertumbuhan Perusahaan di masa mendatang. Pasal 7 Jika pembelian kembali saham dilakukan melalui Bursa Efek, maka transaksi beli dilakukan melalui satu Anggota Bursa Efek. Pasal 8 Setiap Pihak yang merupakan: a. komisaris, direktur, pegawai, dan Pemegang Saham Utama Perusahaan; b. orang perseorangan yang karena kedudukan atau profesinya atau karena hubungan usahanya dengan Perusahaan memungkinkan orang tersebut memperoleh informasi orang dalam; atau c. Pihak yang dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir tidak lagi menjadi Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dilarang melakukan transaksi atas saham Perusahaan tersebut dalam jangka waktu pembelian kembali saham atau pada hari yang sama dengan penjualan saham hasil pembelian kembali yang dilakukan oleh Perusahaan melalui Bursa Efek. BAB III... - 5 - BAB III PENGALIHAN SAHAM HASIL PEMBELIAN KEMBALI Pasal 9 Saham hasil pembelian kembali dapat dialihkan dengan cara, antara lain: a. dijual baik di Bursa Efek maupun di luar Bursa Efek; b. ditarik kembali dengan cara pengurangan modal; c. pelaksanaan Employee Stock Option Plan atau Employee Stock Purchase Plan; d. pelaksanaan konversi utang menjadi saham Perusahaan; dan/atau e. pelaksanaan waran. Pasal 10 (1) Pengalihan saham yang dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a dapat dilakukan tanpa mendapatkan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham. (2) Pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. dilaksanakan setelah 30 (tiga puluh) hari: 1. sejak pembelian kembali saham Perusahaan dilaksanakan seluruhnya; atau 2. setelah berakhirnya masa pembelian kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3); dan b. harga pengalihan saham tidak boleh lebih rendah dari harga rata-rata pembelian kembali saham Perusahaan dan dengan ketentuan: 1. untuk saham Perusahaan yang tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek, tidak boleh lebih rendah dari harga penutupan perdagangan harian di Bursa Efek satu hari sebelum tanggal penjualan saham atau harga rata-rata dari harga penutupan perdagangan harian di Bursa Efek selama... - 6 - selama 90 (sembilan puluh) hari terakhir sebelum tanggal penjualan saham oleh Perusahaan, mana yang lebih tinggi; 2. untuk saham Perusahaan yang tidak tercatat di Bursa Efek, tidak boleh lebih rendah dari harga pasar wajar yang ditetapkan oleh Penilai; atau 3. untuk saham Perusahaan yang tercatat di Bursa Efek, namun selama 90 (sembilan puluh) hari atau lebih sebelum tanggal penjualan saham oleh Perusahaan tidak diperdagangkan di Bursa Efek atau dihentikan sementara perdagangannya oleh Bursa Efek tidak boleh lebih rendah dari: a) harga pasar wajar yang ditetapkan oleh Penilai; atau b) harga rata-rata dari harga penutupan perdagangan harian di Bursa Efek dalam waktu 12 (dua belas) bulan terakhir yang dihitung mundur dari hari perdagangan terakhir atau hari dihentikan sementara perdagangannya, mana yang lebih tinggi. Pasal 11 Dalam hal Perusahaan melakukan aksi korporasi yang mengakibatkan adanya perubahan nilai nominal saham hasil pembelian kembali, maka penghitungan harga pembelian kembali saham disesuaikan dengan mengikuti perbandingan antara nilai nominal saham pada saat pembelian kembali dengan nilai nominal saham hasil aksi korporasi dimaksud. Pasal 12 (1) Dalam hal masih terdapat saham hasil pembelian kembali yang dikuasai oleh Perusahaan selama jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak selesainya pembelian kembali saham, maka Perusahaan… - 7 - Perusahaan wajib mulai mengalihkan saham hasil pembelian kembali dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun. (2) Dalam hal kewajiban pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilaksanakan atau belum dapat diselesaikan oleh Perusahaan, maka dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun setelah berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan wajib telah selesai mengalihkan saham dimaksud. Pasal 13 Dalam hal pengalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, maka harga penjualan saham paling rendah pada harga: a. untuk saham Perusahaan yang tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek, tidak boleh lebih rendah dari harga penutupan perdagangan harian di Bursa Efek 1 (satu) hari sebelum tanggal penjualan saham atau harga rata-rata dari harga penutupan perdagangan harian di Bursa Efek selama 90 (sembilan puluh) hari terakhir sebelum tanggal penjualan saham oleh Perusahaan, mana yang lebih tinggi; b. untuk saham Perusahaan yang tidak tercatat di Bursa Efek, tidak boleh lebih rendah dari harga pasar wajar yang ditetapkan oleh Penilai; atau c. untuk saham Perusahaan yang tercatat di Bursa Efek, namun selama 90 (sembilan puluh) hari atau lebih sebelum tanggal penjualan saham oleh Perusahaan tidak diperdagangkan di Bursa Efek atau dihentikan sementara perdagangannya oleh Bursa Efek, tidak boleh lebih rendah dari: 1) harga pasar wajar yang ditetapkan oleh Penilai; atau 2) harga rata-rata dari harga penutupan perdagangan harian di Bursa Efek dalam waktu 12 (dua belas) bulan terakhir yang dihitung mundur dari hari perdagangan terakhir atau hari dihentikan sementara perdagangannya, mana... - 8 - mana yang lebih tinggi. Pasal 14 Dalam hal pengalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, Perusahaan dapat memperpanjang jangka waktu pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, jika terjadi Kondisi Pasar Yang Berfluktuasi Secara Signifikan. Pasal 15 Dalam hal kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 telah berakhir, maka Perusahaan wajib segera melanjutkan pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. Pasal 16 (1) Perusahaan wajib mengumumkan keterbukaan informasi kepada masyarakat dan menyampaikan bukti pengumuman dan dokumen pendukungnya kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilaksanakannya penjualan saham hasil pembelian kembali. (2) Dalam hal kewajiban penyampaian keterbukaan informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka penyampaian keterbukaan informasi atau pelaporan dimaksud wajib disampaikan pada hari kerja pertama berikutnya. (3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk penjualan saham hasil pembelian kembali yang dilakukan di luar Bursa Efek, paling sedikit meliputi: a. identitas Pihak yang akan menerima saham; b. waktu pelaksanaan penjualan saham; c. kegiatan usaha Pihak yang akan menerima saham, apabila Pihak dimaksud merupakan badan usaha; dan d. sifat hubungan Afiliasi dari Pihak-pihak yang melakukan... - 9 - melakukan transaksi dengan Perusahaan (jika ada). (4) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk penjualan saham hasil pembelian kembali yang dilakukan di Bursa Efek, paling sedikit meliputi: a. nama Anggota Bursa yang ditunjuk untuk melakukan penjualan saham; b. waktu pelaksanaan penjualan saham; dan c. jumlah seluruh saham yang akan dijual. Pasal 17 Dalam hal saham hasil pembelian kembali dijual melalui Bursa Efek, maka wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. transaksi jual wajib dilaksanakan melalui 1 (satu) Anggota Bursa; b. transaksi jual hanya dapat dilakukan setelah 30 (tiga puluh) menit sejak pembukaan sampai dengan 30 (tiga puluh) menit sebelum penutupan perdagangan; dan c. jumlah penjualan kembali saham pada setiap hari adalah paling banyak sebesar 20% (dua puluh perseratus) dari jumlah seluruh saham yang telah dibeli kembali oleh Perusahaan. Pasal 18 Dalam hal saham yang dibeli kembali telah dijual pada harga yang lebih rendah dari harga pembelian kembali, maka kerugian tersebut wajib diungkapkan secara jelas dalam laporan keuangan Perusahaan. Pasal 19 Dalam hal pengalihan saham hasil pembelian kembali merupakan: a. Transaksi Afiliasi dan tidak mengandung Benturan Kepentingan; atau b. Transaksi Material, maka Perusahaan hanya wajib memenuhi Peraturan ini. BAB IV... - 10 - BAB IV KETENTUAN SANKSI Pasal 20 Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pihak yang melanggar ketentuan Peraturan ini termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 21 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Agustus 2013 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 Agustus 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 143 Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA DIVISI BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM, Ttd. MUFLI ASMAWIDJAJA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 2/POJK.04/2013 TENTANG PEMBELIAN KEMBALI SAHAM YANG DIKELUARKAN OLEH EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK DALAM KONDISI PASAR YANG BERFLUKTUASI SECARA SIGNIFIKAN I. UMUM Aksi korporasi pembelian kembali saham merupakan salah satu aksi korporasi yang dapat dilakukan oleh Emiten atau Perusahaan Publik sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Bapepam dan LK Nomor XI.B.2, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-105/BL/2010 tanggal 13 April 2010 tentang Pembelian Kembali Saham yang Dikeluarkan oleh Emiten atau Perusahaan Publik. Bahwa dalam rangka mengurangi dampak pasar yang berfluktuasi secara signifikan sehingga terjadi tekanan bursa saham domestik maka diperlukan kemudahan bagi Emiten atau Perusahaan Publik untuk melakukan aksi korporasi pembelian saham kembali tanpa melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tetap menjaga terselenggaranya perdagangan Efek yang teratur, wajar, dan efisien. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pembelian Kembali Saham yang Dikeluarkan oleh Emiten atau Perusahaan Publik Dalam Kondisi Pasar Yang Berfluktuasi Secara Signifikan. II. PASAL... - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup Jelas Pasal 4 Cukup Jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13... - 3 - Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup Jelas Pasal 16 Cukup Jelas Pasal 17 Cukup Jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5439
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 2/POJK.04/2013 </reg_id> <reg_title> PEMBELIAN KEMBALI SAHAM YANG DIKELUARKAN OLEH EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK DALAM KONDISI PASAR YANG BERFLUKTUASI SECARA SIGNIFIKAN </reg_title> <set_date> 23 Agustus 2013 </set_date> <effective_date> 26 Agustus 2013 </effective_date> <issued_date> 26 Agustus 2013 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995', 'Kep-105/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010 | Lampiran Peraturan Bapepam dan LK Nomor XI.B.2', '40/UU/2007' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 45 /POJK.03/2017 TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT ATAU PEMBIAYAAN BANK BAGI DAERAH TERTENTU DI INDONESIA YANG TERKENA BENCANA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa bencana alam yang telah beberapa kali melanda berbagai daerah di Indonesia pada umumnya menimbulkan dampak kerugian yang cukup signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah tertentu yang terkena bencana alam; b. bahwa letak Indonesia yang berada di wilayah yang rawan terkena bencana alam menyebabkan Indonesia berpotensi mengalami bencana alam; c. bahwa salah satu upaya untuk mendukung pemulihan kondisi perekonomian dilakukan dengan memberikan perlakuan khusus terhadap kredit atau pembiayaan bank dengan jumlah tertentu dan kredit atau pembiayaan yang direstrukturisasi; d. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan, diperlukan pengaturan kembali perlakuan khusus terhadap kredit atau pembiayaan bank bagi daerah tertentu di Indonesia yang terkena bencana alam; - 2 - e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perlakuan Khusus terhadap Kredit atau Pembiayaan Bank bagi Daerah Tertentu di Indonesia yang Terkena Bencana Alam; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT ATAU PEMBIAYAAN BANK BAGI DAERAH TERTENTU DI INDONESIA YANG TERKENA BENCANA ALAM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: - 3 - 1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri serta Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Kredit bagi Bank Umum adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk: a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; b. pengambilalihan tagihan untuk kegiatan anjak piutang; dan c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain. 3. Kredit bagi Bank Perkreditan Rakyat adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam- meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. 4. Pembiayaan bagi Bank Umum Syariah (BUS) atau Unit Usaha Syariah (UUS) adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’; - 4 - d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara BUS atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil. 5. Pembiayaan bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’; d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara BPRS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil. Pasal 2 (1) Penetapan kualitas Kredit bagi Bank Umum atau Pembiayaan bagi BUS atau UUS dan/atau penyediaan dana lain dari Bank bagi debitur dengan plafon sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) hanya didasarkan pada ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga, atau imbal hasil. - 5 - (2) Tata cara penetapan kualitas Kredit bagi Bank Umum atau Pembiayaan bagi BUS atau UUS dan/atau penyediaan dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penilaian kualitas aset bank umum dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah dan unit usaha syariah. (3) Plafon Kredit bagi Bank Umum atau Pembiayaan bagi BUS atau UUS dan/atau penyediaan dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku baik untuk debitur individual maupun kelompok debitur dan untuk seluruh fasilitas yang diterima dari 1 (satu) Bank Umum atau BUS atau UUS. (4) Penetapan kualitas Kredit bagi Bank Umum atau Pembiayaan bagi BUS atau UUS dan/atau penyediaan dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Kredit bagi Bank Umum atau Pembiayaan bagi BUS atau UUS dan/atau penyediaan dana lain yang disalurkan sebelum maupun setelah terjadinya bencana alam. (5) Penetapan kualitas Kredit bagi Bank Umum atau Pembiayaan bagi BUS atau UUS dan/atau penyediaan dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk Kredit bagi Bank Umum atau Pembiayaan bagi BUS atau UUS dan/atau penyediaan dana lain yang disalurkan kepada debitur dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di daerah tertentu yang terkena bencana alam untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak terjadinya bencana alam. (6) Penetapan kualitas Kredit bagi Bank Perkreditan Rakyat atau Pembiayaan bagi BPRS didasarkan pada ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga, atau imbal hasil hanya berlaku untuk Kredit bagi Bank Perkreditan Rakyat atau Pembiayaan bagi BPRS yang disalurkan kepada debitur dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di daerah tertentu yang terkena bencana alam untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak terjadinya bencana alam, baik yang disalurkan sebelum maupun setelah terjadinya bencana alam. - 6 - (7) Tata cara penetapan kualitas Kredit bagi Bank Perkreditan Rakyat atau Pembiayaan bagi BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kualitas aktiva produktif dan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva produktif bank perkreditan rakyat atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penilaian kualitas aktiva bagi bank pembiayaan rakyat syariah. Pasal 3 (1) Kualitas Kredit bagi Bank Umum atau Pembiayaan bagi BUS atau UUS dan Kredit bagi Bank Perkreditan Rakyat atau Pembiayaan bagi BPRS yang direstrukturisasi ditetapkan Lancar sejak restrukturisasi sampai dengan 3 (tiga) tahun setelah terjadinya bencana alam. (2) Pelaksanaan restrukturisasi Kredit bagi Bank Umum atau Pembiayaan bagi BUS atau UUS dan restrukturisasi Kredit bagi Bank Perkreditan Rakyat atau Pembiayaan bagi BPRS dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai penilaian kualitas aset bank umum, ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah dan unit usaha syariah, ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah dan unit usaha syariah, ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kualitas aktiva produktif dan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva produktif bank perkreditan rakyat atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penilaian kualitas aktiva bagi bank pembiayaan rakyat syariah. (3) Restrukturisasi Kredit bagi Bank Umum atau Pembiayaan bagi BUS atau UUS dan restrukturisasi Kredit bagi Bank Perkreditan Rakyat atau Pembiayaan bagi BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap kredit atau pembiayaan yang disalurkan sebelum maupun setelah terjadinya bencana alam. - 7 - Pasal 4 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 hanya berlaku untuk Kredit bagi Bank Umum atau Pembiayaan bagi BUS atau UUS dan Kredit bagi Bank Perkreditan Rakyat atau Pembiayaan bagi BPRS yang memenuhi persyaratan: a. disalurkan kepada debitur dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di daerah tertentu yang terkena bencana alam; b. telah atau diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga kredit atau imbal hasil pembiayaan yang disebabkan dampak dari bencana alam di daerah tertentu; dan c. direstrukturisasi setelah terjadinya bencana alam. Pasal 5 Penetapan kualitas Kredit bagi Bank Umum atau Pembiayaan bagi BUS atau UUS dan Kredit bagi Bank Perkreditan Rakyat atau Pembiayaan bagi BPRS yang tidak direstrukturisasi maupun yang direstrukturisasi setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5), Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 3 ayat (1) mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penilaian kualitas aset bank umum, ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah dan unit usaha syariah, ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kualitas aktiva produktif dan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva produktif bank perkreditan rakyat atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penilaian kualitas aktiva bagi bank pembiayaan rakyat syariah. Pasal 6 Penentuan daerah tertentu yang terkena bencana alam ditetapkan dalam suatu keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dengan memperhatikan aspek: a. luas wilayah yang terkena bencana alam; b. jumlah korban jiwa; c. jumlah kerugian materiil; - 8 - d. jumlah debitur yang diperkirakan terkena dampak bencana alam; e. persentase jumlah kredit atau pembiayaan yang diberikan kepada debitur yang terkena dampak bencana alam terhadap jumlah kredit atau pembiayaan di daerah yang terkena bencana alam; f. persentase jumlah kredit atau pembiayaan dengan plafon sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) terhadap jumlah kredit atau pembiayaan di daerah yang terkena bencana alam; dan g. aspek lainnya yang menurut Otoritas Jasa Keuangan perlu untuk dipertimbangkan. Pasal 7 (1) Bank dapat memberikan kredit atau pembiayaan dan/atau penyediaan dana lain yang diberikan setelah terjadinya bencana alam bagi debitur yang terkena dampak bencana alam di daerah tertentu di Indonesia yang terkena bencana alam. (2) Penetapan kualitas kredit atau pembiayaan dan/atau penyediaan dana lain yang diberikan setelah terjadinya bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terpisah dengan kualitas kredit atau pembiayaan dan/atau penyediaan dana lain sebelumnya. (3) Penetapan kualitas Kredit bagi Bank Umum atau Pembiayaan bagi BUS atau UUS dan/atau penyediaan dana lain yang diberikan setelah terjadinya bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2): a. untuk kredit atau pembiayaan dan/atau penyediaan dana lain yang diberikan setelah terjadinya bencana alam dengan plafon sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), penetapan kualitas kredit atau pembiayaan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1); b. untuk kredit atau pembiayaan dan/atau penyediaan dana lain yang diberikan setelah terjadinya bencana - 9 - alam dengan plafon lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), penetapan kualitas kredit atau pembiayaan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penilaian kualitas aset bank umum atau ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah dan unit usaha syariah. (4) Penetapan kualitas Kredit bagi Bank Umum atau Pembiayaan bagi BUS atau UUS dan/atau penyediaan dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a hanya berlaku untuk Kredit bagi Bank Umum atau Pembiayaan bagi BUS atau UUS dan/atau penyediaan dana lain yang disalurkan kepada debitur dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di daerah tertentu yang terkena bencana alam untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak terjadinya bencana alam. Pasal 8 Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan plafon kredit atau pembiayaan dan/atau penyediaan dana lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (3), serta jangka waktu penetapan kualitas kredit atau pembiayaan yang tidak direstrukturisasi maupun yang direstrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5), Pasal 2 ayat (6) Pasal 3 ayat (1), dan Pasal 7 ayat (4) yang berbeda dalam suatu keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dengan memperhatikan kondisi bencana alam yang terjadi di daerah tertentu. Pasal 9 (1) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/17/PBI/2005 tentang Perlakuan Khusus terhadap Bank Perkreditan Rakyat Pasca Bencana Alam di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias, Provinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun - 10 - 2005 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4509); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/10/PBI/2006 tentang Perlakuan Khusus terhadap Kredit Bank Pasca Bencana Alam di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Sekitarnya di Propinsi Jawa Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4626); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/15/PBI/2006 tentang Perlakuan Khusus terhadap Kredit Bank Bagi Daerah-Daerah Tertentu di Indonesia yang Terkena Bencana Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4641); dan 4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/27/PBI/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/10/PBI/2006 tentang Perlakuan Khusus terhadap Kredit Bank Pasca Bencana Alam di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Sekitarnya di Propinsi Jawa Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5031), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (2) Dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan mengenai penetapan sebagai daerah yang memerlukan perlakuan khusus terhadap kredit bank atau pengaturan bagi Bank yang sebelumnya mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 11 - Pasal 10 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 151 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 12 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 45/POJK.03/2017 TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT ATAU PEMBIAYAAN BANK BAGI DAERAH TERTENTU DI INDONESIA YANG TERKENA BENCANA ALAM I. UMUM Sebagaimana diketahui beberapa tahun terakhir ini sebagian wilayah di Indonesia dilanda bencana alam dan beberapa wilayah lainnya rawan terhadap potensi bencana alam. Dampak bencana alam ini dapat mengganggu perekonomian Indonesia, khususnya di daerah yang terkena bencana alam. Debitur yang terkena dampak bencana alam tersebut diperkirakan akan mengalami kesulitan dalam melunasi kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit atau pembiayaan. Sehubungan dengan hal tersebut, Otoritas Jasa Keuangan perlu untuk memberikan perlakuan khusus terhadap kredit atau pembiayaan Bank berupa kelonggaran dalam penetapan kualitas kredit atau pembiayaan dan terhadap pemberian kredit atau pembiayaan yang diberikan setelah terjadinya bencana alam kepada debitur yang terkena dampak bencana alam dimaksud. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. - 13 - Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penyediaan dana lain” adalah penerbitan jaminan dan pembukaan letter of credit. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Restrukturisasi Kredit bagi Bank Umum atau Pembiayaan bagi BUS dan UUS dan restrukturisasi Kredit bagi Bank Perkreditan Rakyat atau Pembiayaan bagi BPRS dapat dilakukan terhadap seluruh kredit atau pembiayaan yang diberikan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. - 14 - Pasal 7 Ayat (1) Pemberian kredit atau pembiayaan dan/atau penyediaan dana lain yang diberikan setelah terjadinya bencana alam tersebut dilakukan secara selektif sesuai dengan kebijakan perkreditan atau pembiayaan Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “penyediaan dana lain” adalah penerbitan jaminan dan pembukaan letter of credit. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6094
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 45/POJK.03/2017 </reg_id> <reg_title> PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT ATAU PEMBIAYAAN BANK BAGI DAERAH TERTENTU DI INDONESIA YANG TERKENA BENCANA ALAM </reg_title> <set_date> 12 Juli 2017 </set_date> <effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date> <issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date> <replaced_reg> '8/10/PBI/2006', '8/15/PBI/2006', '7/17/PBI/2005', '11/27/PBI/2009' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18/POJK.04/2015 TENTANG PENERBITAN DAN PERSYARATAN SUKUK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka mendorong perkembangan industri Pasar Modal Syariah di Indonesia, diperlukan penyempurnaan peraturan mengenai Penerbitan Efek Syariah dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerbitan dan Persyaratan Sukuk; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERBITAN DAN PERSYARATAN SUKUK. - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Sukuk adalah Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi (syuyu’/undivided share), atas aset yang mendasarinya. 2. Tim Ahli Syariah adalah tim yang bertanggung jawab terhadap kesesuaian syariah atas produk atau jasa syariah di Pasar Modal yang diterbitkan atau dikeluarkan perusahaan. 3. Prinsip Syariah di Pasar Modal adalah prinsip hukum Islam dalam Kegiatan Syariah di Pasar Modal berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia, sepanjang fatwa dimaksud tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal dan/atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan lainnya yang didasarkan pada fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia. 4. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang bertanggung jawab memberikan nasihat dan saran serta mengawasi pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal terhadap Pihak yang melakukan Kegiatan Syariah di Pasar Modal. 5. Akad Syariah adalah perjanjian atau kontrak tertulis antara para pihak yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal. 6. Ahli Syariah Pasar Modal yang selanjutnya disingkat ASPM adalah: a. orang perseorangan yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah; atau b. badan usaha yang pengurus dan pegawainya - 3 - memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah, yang memberikan nasihat dan/atau mengawasi pelaksanaan penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal dalam kegiatan usaha perusahaan dan/atau memberikan pernyataan kesesuaian syariah atas produk atau jasa syariah di Pasar Modal. Pasal 2 Aset yang menjadi dasar Sukuk wajib tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal. Pasal 3 Aset yang menjadi dasar Sukuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat terdiri atas: a. aset berwujud tertentu (a’yan maujudat); b. nilai manfaat atas aset berwujud (manafiul a’yan) tertentu baik yang sudah ada maupun yang akan ada; c. jasa (al khadamat) yang sudah ada maupun yang akan ada; d. aset proyek tertentu (maujudat masyru’ mu’ayyan); dan/atau e. kegiatan investasi yang telah ditentukan (nasyath ististmarin khashah). Pasal 4 Emiten yang melakukan Penawaran Umum Sukuk wajib mematuhi ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dan peraturan perundang-undangan lain di sektor Pasar Modal. Pasal 5 (1) Emiten yang melakukan Penawaran Umum Sukuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib mendapatkan pernyataan kesesuaian syariah atas Sukuk - 4 - dalam Penawaran Umum tersebut dari Dewan Pengawas Syariah Emiten atau Tim Ahli Syariah. (2) Pernyataan kesesuaian syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. disampaikan Emiten yang bukan merupakan Perusahaan Menengah atau Kecil kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum Emiten dapat memulai mengumumkan Prospektus Ringkas serta dimuat dalam Prospektus Ringkas dan Prospektus; atau b. disampaikan Emiten yang merupakan Perusahaan Menengah atau Kecil kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum Emiten dapat memulai mengumumkan Prospektus Awal dan Prospektus serta dimuat dalam Prospektus Awal dan Prospektus. (3) Anggota Dewan Pengawas Syariah atau anggota Tim Ahli Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin ASPM sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar Modal. BAB II PENERBITAN Pasal 6 Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Sukuk wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran, Penawaran Umum, dan peraturan terkait lainnya, serta Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 7 Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Sukuk oleh Emiten wajib disertai dokumen tambahan sebagai berikut: a. hasil pemeringkatan Sukuk sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar - 5 - Modal yang mengatur mengenai Pemeringkatan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk; b. perjanjian perwaliamanatan Sukuk; c. Akad Syariah yang dipergunakan dalam penerbitan Sukuk; d. surat pernyataan Emiten yang menyatakan bahwa: 1. aset yang menjadi dasar Sukuk tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; dan 2. selama periode Sukuk, aset yang menjadi dasar Sukuk tidak akan bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; e. surat pernyataan dari Wali Amanat Sukuk yang menyatakan Wali Amanat Sukuk mempunyai 1 (satu) orang anggota Direksi atau penanggung jawab kegiatan yang diberi mandat oleh Direksi yang memiliki pengetahuan yang memadai dan/atau pengalaman di bidang keuangan syariah dan/atau tenaga ahli di bidang perwaliamanatan dalam penerbitan Sukuk yang memahami kegiatan dan jenis usaha serta transaksi yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; f. surat pernyataan yang menyatakan bahwa Emiten wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab melakukan pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa, selama aset yang menjadi dasar Sukuk masih ada; g. pernyataan kesesuaian syariah atas Sukuk dalam Penawaran Umum dari Dewan Pengawas Syariah Emiten atau Tim Ahli Syariah; dan h. perjanjian penjaminan Emisi Efek yang memuat bahwa dana hasil Penawaran Umum diterima Emiten paling lambat pada saat penyerahan Sukuk. Pasal 8 Prospektus dalam rangka Pernyataan Pendaftaran dan Penawaran Umum Sukuk oleh Emiten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib mengungkapkan informasi tambahan sebagai berikut: - 6 - a. aset yang menjadi dasar Sukuk tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal dan Emiten menjamin selama periode Sukuk aset yang menjadi dasar Sukuk tidak akan bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; b. jenis Akad Syariah dan skema transaksi syariah serta penjelasan skema transaksi syariah yang digunakan dalam penerbitan Sukuk; c. ringkasan Akad Syariah yang dilakukan oleh para Pihak; d. sumber pendapatan yang menjadi dasar penghitungan pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa sesuai dengan karakteristik Akad Syariah; e. besaran nisbah pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa sesuai dengan karakteristik Akad Syariah; f. rencana jadwal dan tata cara pembagian dan/atau pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa sesuai dengan karakteristik Akad Syariah; g. hasil pemeringkatan Sukuk; h. rencana penggunaan dana hasil penerbitan Sukuk sesuai dengan karakteristik Akad Syariah; i. sumber dana yang digunakan untuk melakukan pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa sesuai dengan karakteristik Akad Syariah; j. jaminan yang meliputi paling sedikit jenis, nilai, dan status kepemilikan (jika ada); k. penggantian aset yang menjadi dasar Sukuk jika terjadi hal-hal yang menyebabkan nilainya tidak lagi sesuai dengan nilai Sukuk yang diterbitkan (jika diperlukan sesuai karakteristik Akad Syariah); l. syarat dan ketentuan dalam hal Emiten akan mengubah jenis Akad Syariah, isi Akad Syariah dan/atau aset yang menjadi dasar Sukuk; m. ketentuan apabila Emiten gagal dalam memenuhi kewajibannya; n. mekanisme penanganan dalam hal Emiten gagal dalam memenuhi kewajibannya; - 7 - o. ketentuan mengenai sanksi yang berkaitan dengan tidak dipenuhinya kewajiban perwaliamanatan; dan p. pernyataan kesesuaian syariah atas Sukuk dalam Penawaran Umum dari Dewan Pengawas Syariah Emiten atau Tim Ahli Syariah. Pasal 9 Emiten wajib menyajikan Laporan Keuangan yang telah diaudit untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terakhir dalam Prospektus, dalam hal Emiten yang melakukan Penawaran Umum Sukuk telah memiliki kewajiban penyampaian laporan keuangan secara berkala. BAB III PERUBAHAN STATUS SUKUK Pasal 10 (1) Sukuk tidak lagi menjadi Efek Syariah jika terjadi kondisi sebagai berikut: a. tidak lagi memiliki aset yang menjadi dasar Sukuk; dan/atau b. terjadi perubahan jenis Akad Syariah, isi Akad Syariah, dan/atau aset yang menjadi dasar Sukuk, yang menyebabkan bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal. (2) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sukuk berubah menjadi utang piutang dan Emiten wajib menyelesaikan kewajiban atas utang piutang dimaksud kepada pemegang Sukuk. BAB IV PENGGUNAAN DANA HASIL PENAWARAN UMUM Pasal 11 Emiten wajib menggunakan dana hasil Penawaran Umum Sukuk untuk membiayai kegiatan atau melakukan investasi dalam perjanjian - 8 - yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal. BAB V PERJANJIAN PERWALIAMANATAN SUKUK Pasal 12 (1) Emiten yang melakukan Penawaran Umum Sukuk wajib menyusun perjanjian perwaliamanatan Sukuk. (2) Ketentuan mengenai perjanjian perwaliamanatan dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai ketentuan umum dan kontrak perwaliamanatan Efek bersifat utang berlaku mutatis mutandis untuk perwaliamanatan Sukuk. (3) Perjanjian perwaliamanatan Sukuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat ketentuan tambahan antara lain: a. uraian tentang Akad Syariah yang menjadi dasar Sukuk; b. uraian tentang aset yang menjadi dasar Sukuk; c. penggunaan dana hasil penerbitan Sukuk sesuai dengan karakteristik Akad Syariah; d. sumber dana yang digunakan untuk melakukan pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa sesuai dengan karakteristik Akad Syariah; e. besaran nisbah pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa sesuai dengan karakteristik Akad Syariah; f. jaminan yang meliputi paling sedikit jenis, nilai dan status kepemilikan (jika ada); g. rencana jadwal dan tata cara pembagian dan/atau pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa sesuai dengan karakteristik Akad Syariah; h. uraian tentang kewajiban Wali Amanat Sukuk untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan: penyusunan perjanjian - 9 - 1. untuk memastikan kepatuhan Emiten terhadap pemenuhan Akad Syariah; 2. untuk memastikan aset yang menjadi dasar Sukuk tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; 3. dalam hal Emiten melakukan pelanggaran atas pemenuhan kepatuhan terhadap penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal atau pelanggaran kewajiban dalam Akad Syariah dan/atau perjanjian (wanprestasi); dan perwaliamanatan 4. untuk tetap mewakili kepentingan pemegang Sukuk sampai dengan terpenuhinya penyelesaian seluruh kewajiban Emiten kepada yang bersangkutan ketika Sukuk berubah menjadi utang piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2). i. ketentuan mengenai nilai Sukuk menjadi utang piutang jika Sukuk berubah menjadi utang piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan penyelesaian kewajiban Emiten atas utang piutang dimaksud; j. kewajiban Wali Amanat tetap mewakili kepentingan pemegang Sukuk sampai dengan seluruh haknya dipenuhi Emiten termasuk jika Sukuk berubah menjadi utang piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2); k. penggantian aset yang menjadi dasar Sukuk jika terjadi hal-hal yang menyebabkan nilainya tidak lagi sesuai dengan nilai Sukuk yang diterbitkan (jika diperlukan sesuai karakteristik Akad Syariah); l. syarat dan ketentuan dalam hal Emiten akan mengubah jenis Akad Syariah, isi Akad Syariah, dan/atau aset yang menjadi dasar Sukuk yang memuat: - 10 - 1. perubahan tersebut hanya dapat dilakukan setelah terlebih dahulu disetujui oleh Rapat Umum Pemegang Sukuk (RUP Sukuk); 2. mekanisme pemenuhan hak pemegang Sukuk yang tidak setuju terhadap perubahan dimaksud; dan 3. perubahan hanya dapat dilakukan jika ada pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Pengawas Syariah Emiten atau Tim Ahli Syariah. m. ketentuan mengenai kegagalan Emiten dalam memenuhi kewajibannya; n. mekanisme penanganan dan/atau penyelesaian dalam hal Emiten gagal dalam memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud pada huruf m dengan memperhatikan Prinsip Syariah di Pasar Modal; dan o. ketentuan mengenai sanksi yang berkaitan dengan tidak dipenuhinya kewajiban dalam perjanjian perwaliamanatan. Pasal 13 Ketentuan mengenai tugas dan tanggung jawab Wali Amanat dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai ketentuan umum dan kontrak perwaliamanatan Efek bersifat utang berlaku mutatis mutandis bagi Wali Amanat Sukuk. BAB VI KETENTUAN SANKSI Pasal 14 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: - 11 - a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 15 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 16 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 kepada masyarakat. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 17 (1) Kewajiban anggota Dewan Pengawas Syariah atau Tim Ahli Syariah memiliki izin ASPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) selama 2 (dua) tahun sejak - 12 - Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku dapat digantikan oleh orang perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar Modal sepanjang yang bersangkutan melapor kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar Modal. (2) Orang perseorangan yang telah menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah atau anggota Tim Ahli Syariah meskipun belum memiliki izin ASPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar Modal. Pasal 18 Pernyataan Pendaftaran yang telah diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini namun belum menjadi efektif tetap mengikuti Peraturan Nomor IX.A.13, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP- 181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang Penerbitan Efek Syariah. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 19 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, angka 3 Peraturan Nomor IX.A.13, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang Penerbitan Efek Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. - 13 - Pasal 20 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 November 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 November 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H.LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 269 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18/POJK.04/2015 TENTANG PENERBITAN DAN PERSYARATAN SUKUK I. UMUM Dalam rangka pengembangan Pasar Modal syariah agar dapat tumbuh stabil dan berkelanjutan diperlukan pengembangan infrastruktur pasar yang memadai. Salah satu infrastruktur penting adalah tersedianya regulasi yang jelas dan mudah dipahami serta diterapkan sehingga regulasi tersebut menjadi regulasi yang dapat diterima pasar (market friendly). Selanjutnya, mengingat Efek Syariah memiliki karakteristik yang khusus maka diperlukan pengaturan yang sesuai dengan karakteristik masing-masing jenis Efeknya. Dinamika perkembangan Pasar Modal syariah menuntut adanya penyempurnaan atas Peraturan Nomor IX.A.13, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP- 181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang Penerbitan Efek Syariah, mengingat peraturan tersebut mengatur penerbitan berbagai jenis Efek Syariah. Melihat kondisi tersebut, maka diperlukan adanya ketentuan khusus yang sesuai untuk setiap jenis Efek Syariah. Hal tersebut sejalan dengan praktik yang berlaku umum (common practice) dan standar internasional. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini merupakan salah satu dari 5 (lima) peraturan yang berasal dari Peraturan Nomor IX.A.13, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang Penerbitan Efek Syariah namun khusus mengatur mengenai penerbitan - 2 - Sukuk sekaligus menyempurnakan ketentuan yang ada di Peraturan Nomor IX.A.13. Adapun beberapa pokok penyempurnaan peraturan penerbitan Sukuk tersebut antara lain meliputi penyempurnaan definisi Sukuk, pengaturan aset atau kegiatan usaha yang menjadi dasar Sukuk dan penerbitan Sukuk (underlying asset), pengaturan perjanjian perwaliamanatan, pengaturan mengenai peran Dewan Pengawas Syariah atau Tim Ahli Syariah dalam penerbitan Sukuk, dan simplifikasi dokumen Pernyataan Pendaftaran Penawaran Umum Sukuk. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Yang dimaksud dengan “aset yang menjadi dasar Sukuk” adalah aset yang menjadi dasar penerbitan Sukuk maupun selama umur Sukuk. Contoh aset yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal adalah barang/jasa/aset tidak berwujud terkait kegiatan: a. perjudian dan permainan yang tergolong judi; b. jasa keuangan ribawi; c. jual beli risiko yang mengandung unsur ketidakpastian (gharar) dan/atau judi (maisir); dan d. memproduksi, mendistribusikan, memperdagangkan, dan/atau menyediakan antara lain: 1. barang atau jasa haram zatnya (haram li-dzatihi); 2. barang atau jasa haram bukan karena zatnya (haram li- ghairihi) yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia; dan/atau 3. barang atau jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat. Pasal 3 Cukup jelas. - 3 - Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Dalam hal Emiten mempunyai Dewan Pengawas Syariah, pernyataan kesesuaian syariah atas Sukuk yang diterbitkan oleh Emiten dapat diterbitkan oleh Dewan Pengawas Syariah Emiten dimaksud. Dalam hal Emiten tidak mempunyai Dewan Pengawas Syariah, maka pernyataan kesesuaian syariah atas Sukuk dalam Penawaran Umum dilakukan oleh Tim Ahli Syariah yang ditunjuk oleh Emiten. Ayat (2) Yang dimaksud dengan Prospektus adalah Prospektus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal. Yang dimaksud dengan Prospektus Awal adalah Prospektus Awal sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Prospektus Awal. Yang dimaksud dengan Prospektus Ringkas adalah Prospektus Ringkas sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Prospektus Ringkas dalam rangka Penawaran Umum. Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Prospektus Awal adalah Peraturan Nomor IX.A.8, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-41/PM/2000 tanggal 27 Oktober 2000 tentang Perubahan Peraturan Nomor IX.A.8 tentang Prospektus Awal dan Info Memo. Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Prospektus Ringkas adalah Peraturan Nomor IX.C.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-43/PM/2000 tanggal 27 Oktober 2000 tentang Perubahan Peraturan Nomor IX.C.3 tentang Pedoman - 4 - Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus Ringkas Dalam Rangka Penawaran Umum. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 6 Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran dan Penawaran Umum antara lain sebagai berikut: a. Peraturan Nomor IX.A.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-44/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Tata Cara Untuk Meminta Perubahan Dan Atau Tambahan Informasi Atas Pernyataan Pendaftaran; b. Peraturan Nomor IX.C.2, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-51/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum; c. Peraturan Nomor IX.A.8, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-41/PM/2000 tanggal 27 Oktober 2000 tentang Prospektus Awal dan Info Memo; d. Peraturan Nomor IX.C.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-42/PM/2000 tanggal 27 Oktober 2000 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum; e. Peraturan Nomor IX.C.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-43/PM/2000 tanggal 27 Oktober 2000 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus Ringkas Dalam Rangka Penawaran Umum; f. Peraturan Nomor IX.A.6, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-06/PM/2001 tanggal 8 Maret 2001 tentang Pembatasan Atas Saham Yang Diterbitkan Sebelum Penawaran Umum; g. Peraturan Nomor IX.A.2, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-122/BL/2009 tanggal 29 Mei 2009 tentang Tata Cara Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum; - 5 - h. Peraturan Nomor IX.A.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-690/BL/2011 tanggal 30 Desember 2011 tentang Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran; i. Peraturan Nomor IX.A.7, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-691/BL/2011 tanggal 30 Desember 2011 tentang Pemesanan dan Penjatahan Efek Dalam Penawaran Umum; dan j. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 36/POJK.04/2014 tentang Penawaran Umum Berkelanjutan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk. Pasal 7 Huruf a Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pemeringkatan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk adalah Peraturan Nomor IX.C.11 Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP- 712/BL/2012 tanggal 26 Desember 2012 tentang Pemeringkatan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk. Huruf b Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai perjanjian perwaliamanatan Sukuk adalah Peraturan Nomor VI.C.4, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP- 412/BL/2010 tanggal 6 September 2010 tentang Ketentuan Umum dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang. Huruf c Jenis-jenis Akad Syariah sesuai dengan peraturan perundang- undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai akad- akad yang digunakan dalam penerbitan Efek syariah di Pasar Modal yaitu Ijarah, Istishna, Kafalah, Mudharabah, Musyarakah, Wakalah, dan akad lainnya yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal. - 6 - Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Pasal 8 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. - 7 - Huruf m Yang dimaksud dengan “gagal dalam memenuhi kewajibannya” adalah tidak memenuhi kewajiban keuangan dan/atau gagal mematuhi Prinsip Syariah di Pasar Modal. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai ketentuan umum dan kontrak perwaliamanatan Efek bersifat utang adalah Peraturan Nomor VI.C.4, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-412/BL/2010 tanggal 6 September 2010 tentang Ketentuan Umum dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. - 8 - Huruf b Uraian tentang aset yang menjadi dasar Sukuk paling sedikit terdiri dari jenis/bentuk aset, lokasi aset, status kepemilikan aset, status aset (sebagai jaminan atau tidak) dan implikasi hukum dan ekonomi yang menyertainya (jika ada), serta nilai aset berdasarkan hasil penilaian dari Penilai. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Yang dimaksud dengan “pelanggaran atas pemenuhan kepatuhan terhadap penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal” antara lain berupa pelanggaran atas Akad Syariah dan/atau aset yang menjadi dasar Sukuk. Yang dimaksud dengan “pelanggaran kewajiban dalam Akad Syariah dan/atau perjanjian perwaliamanatan (wanprestasi)” antara lain Emiten tidak membayar bagi hasil, marjin, imbal jasa atau nilai pokok Sukuk sesuai dengan perjanjian. Angka 4 Cukup jelas. - 9 - Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Yang dimaksud dengan “nilainya tidak lagi sesuai dengan nilai Sukuk yang diterbitkan” adalah nilai objek yang menjadi dasar Sukuk mengalami perubahan dan tidak cukup digunakan sebagai dasar dalam pembayaran bagi hasil, marjin, imbal jasa (fee), atau nilai pokok Sukuk. Huruf l Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Contoh mekanisme pemenuhan hak pemegang Sukuk yang tidak setuju terhadap perubahan dimaksud adalah pembelian kembali Sukuk atau pembatalan terhadap perubahan dimaksud. Angka 3 Pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Pengawas Syariah Emiten atau Tim Ahli Syariah diperoleh sebelum dilaksanakannya Rapat Umum Pemegang Sukuk (RUP Sukuk). Huruf m Yang dimaksud dengan “gagal dalam memenuhi kewajibannya” adalah tidak memenuhi kewajiban finansial dan/atau kepatuhan terhadap Prinsip Syariah di Pasar Modal. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Pasal 13 Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai ketentuan umum dan kontrak perwaliamanatan - 10 - Efek bersifat utang adalah Peraturan Nomor VI.C.4 Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP- 412/BL/2010 tanggal 6 September 2010 tentang Ketentuan Umum dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa: a. penundaan pemberian pernyataan efektif, misalnya pernyataan efektif untuk penggabungan usaha, peleburan usaha; dan b. penundaan pemberian pernyataan Otoritas Jasa Keuangan bahwa tidak ada tanggapan lebih lanjut atas dokumen yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka penambahan modal dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu Perusahaan Terbuka. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5758
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 18/POJK.04/2015 </reg_id> <reg_title> PENERBITAN DAN PERSYARATAN SUKUK </reg_title> <set_date> 3 November 2015 </set_date> <effective_date> 10 November 2015 </effective_date> <issued_date> 10 November 2015 </issued_date> <replaced_reg> 'KEP-181/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.13 angka 3' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 38 /POJK.05/2015 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENGAWASAN KONSULTAN AKTUARIA, AKUNTAN PUBLIK, DAN PENILAI YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI INDUSTRI KEUANGAN NON-BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan Industri Keuangan Non-Bank yang sehat dan stabil serta untuk melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat diperlukan konsultan aktuaria, akuntan publik, dan penilai yang profesional; b. bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum dan meningkatkan profesionalisme bagi konsultan aktuaria, akuntan publik, dan penilai dalam melakukan kegiatan di Industri Keuangan Non-Bank diperlukan pengaturan mengenai pendaftaran dan pengawasan konsultan aktuaria, akuntan publik, dan penilai yang melakukan kegiatan di Industri Keuangan Non-Bank; c. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 55 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, perlu mengatur mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran konsultan aktuaria, akuntan publik, dan penilai; - 2 - d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pendaftaran dan Pengawasan Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, dan Penilai yang Melakukan Kegiatan di Industri Keuangan Non-Bank; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENDAFTARAN DAN PENGAWASAN KONSULTAN AKTUARIA, AKUNTAN PUBLIK, DAN PENILAI YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI INDUSTRI KEUANGAN NON- BANK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank yang selanjutnya disingkat LJKNB adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, termasuk yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah. - 3 - 2. Industri Keuangan Non-Bank yang selanjutnya disingkat IKNB adalah industri keuangan yang terdiri dari LJKNB. 3. Konsultan Aktuaria adalah aktuaris yang bekerja pada kantor konsultan aktuaria dan memberikan jasa di sektor IKNB. 4. Akuntan Publik adalah akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik dan memberikan jasa di sektor IKNB. 5. Penilai adalah seseorang yang dengan keahliannya menjalankan kegiatan penilaian aset dan memberikan jasa di sektor IKNB. 6. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. BAB II RUANG LINGKUP PENDAFTARAN KONSULTAN AKTUARIA, AKUNTAN PUBLIK, DAN PENILAI Bagian Kesatu Kewajiban Pendaftaran Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, dan Penilai Pasal 2 (1) Untuk dapat menyediakan jasa bagi LJKNB, Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, dan Penilai wajib terlebih dahulu terdaftar di OJK sebagai penyedia jasa di sektor IKNB. (2) Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jasa yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor IKNB atau berdasarkan rekomendasi OJK dalam rangka pengawasan LJKNB. - 4 - Pasal 3 LJKNB dilarang menggunakan jasa yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dari Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, dan Penilai yang tidak terdaftar di OJK. Bagian Kedua Masa Pemberian Jasa Pasal 4 (1) Konsultan Aktuaria dilarang memberikan jasa yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) kepada LJKNB yang sama lebih dari 3 (tiga) kali berturut-turut. (2) Dalam hal Konsultan Aktuaria telah memberikan jasa yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) kepada LJKNB yang sama selama 3 (tiga) kali berturut-turut, maka Konsultan Aktuaria yang bersangkutan baru dapat memberikan kembali jasa yang dipersyaratkan kepada LJKNB yang sama setelah 1 (satu) kali tidak memberikan jasa yang dipersyaratkan. Pasal 5 (1) Akuntan Publik dilarang memberikan jasa yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) kepada LJKNB yang sama lebih dari 5 (lima) tahun buku berturut-turut. (2) Dalam hal Akuntan Publik telah memberikan jasa yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) kepada LJKNB yang sama selama 5 (lima) tahun buku berturut-turut, maka Akuntan Publik yang bersangkutan baru dapat memberikan kembali jasa yang dipersyaratkan kepada LJKNB yang sama setelah 2 (dua) tahun buku. - 5 - Pasal 6 (1) Penilai dilarang memberikan jasa yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) kepada LJKNB yang sama lebih dari 3 (tiga) tahun buku berturut-turut. (2) Dalam hal Penilai telah memberikan jasa yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) kepada LJKNB yang sama selama 3 (tiga) tahun buku berturut-turut, maka Penilai yang bersangkutan baru dapat memberikan kembali jasa yang dipersyaratkan kepada LJKNB yang sama setelah 3 (tiga) tahun buku. BAB III PERSYARATAN DAN TATA CARA PENDAFTARAN KONSULTAN AKTUARIA, AKUNTAN PUBLIK, DAN PENILAI Pasal 7 Untuk dapat terdaftar di OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, dan Penilai harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki izin praktik dari Menteri Keuangan; b. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan serta tidak memiliki kredit macet; c. memiliki pengalaman dan kompetensi di sektor IKNB; dan d. tidak pernah dikenakan sanksi pembatalan surat tanda terdaftar sebagai Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai dari OJK. Pasal 8 (1) Pendaftaran Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, dan Penilai didasarkan pada permohonan pendaftaran. (2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan yang bersangkutan kepada OJK dan disertai dokumen sebagai berikut: - 6 - a. fotokopi izin praktik dari Menteri Keuangan; b. daftar riwayat hidup terbaru yang telah ditandatangani; c. d. e. f. fotokopi ijazah pendidikan formal terakhir; fotokopi nomor pokok wajib pajak; fotokopi sertifikat program pelatihan di sektor IKNB; surat pernyataan bermeterai yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan serta tidak memiliki kredit macet; dan g. formulir permohonan pendaftaran. (3) Dalam hal Akuntan Publik atau Penilai telah terdaftar di OJK selain di sektor IKNB, permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan yang bersangkutan kepada OJK dan disertai dokumen sebagai berikut: a. fotokopi surat tanda terdaftar yang diterbitkan OJK; b. surat pernyataan bermeterai yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan serta tidak memiliki kredit macet; c. d. fotokopi sertifikat program pelatihan di bidang IKNB; dan formulir permohonan pendaftaran. (4) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara elektronik. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. - 7 - Pasal 9 (1) OJK menyetujui atau menolak permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan pendaftaran diterima secara lengkap. (2) Dalam hal permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) tidak lengkap, OJK memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa permohonan pendaftaran tidak lengkap dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan pendaftaran diterima. (3) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan dokumen yang dipersyaratkan dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dianggap telah membatalkan permohonan pendaftaran. (4) Dalam hal permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) disetujui, OJK menerbitkan surat tanda terdaftar kepada pemohon. (5) Dalam hal setelah 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan pendaftaran diterima OJK, OJK belum menerbitkan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau surat tanda terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai dapat memberikan jasa kepada LJKNB. (6) Dalam hal setelah Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai memberikan jasa kepada LJKNB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diketahui bahwa terdapat kekurangan atau ketidaksesuaian dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), OJK menerbitkan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai larangan bagi Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai untuk memberikan jasa kepada LJKNB. - 8 - (7) OJK mengumumkan Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai yang memiliki surat tanda terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melalui situs web OJK. BAB IV KEWAJIBAN KONSULTAN AKTUARIA, AKUNTAN PUBLIK, DAN PENILAI Pasal 10 (1) Setiap Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, dan Penilai yang memiliki surat tanda terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) wajib: a. bersikap independen, objektif, dan profesional dalam memberikan jasanya; b. menjadi anggota asosiasi profesi yang diakui oleh Menteri Keuangan; c. menaati standar profesi dan kode etik yang ditetapkan oleh asosiasi profesi yang diakui oleh Menteri Keuangan; d. memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan di sektor IKNB; e. menyampaikan laporan kepada OJK sesuai dengan batas waktu penyampaian laporan; f. mengikuti program pendidikan berkelanjutan; dan g. menyampaikan informasi mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh LJKNB terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di sektor jasa keuangan dan/atau di OJK, serta kondisi atau perkiraan kondisi yang dapat membahayakan kelangsungan usaha LJKNB atau para pemangku kepentingan. (2) Kewajiban bersikap independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dipenuhi paling sedikit dengan memenuhi kondisi: - 9 - a. tidak mempunyai kepentingan keuangan yang material dengan LJKNB; b. tidak mempunyai hubungan pekerjaan dengan LJKNB; c. tidak mempunyai hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua baik secara horizontal maupun vertikal dengan direksi dan/atau dewan komisaris atau yang setara pada LJKNB; d. tidak mempunyai hubungan usaha yang material dengan LJKNB, karyawan kunci LJKNB, atau pemegang saham pengendali LJKNB atau yang setara; e. f. tidak memiliki sengketa hukum dengan LJKNB; dan tidak terdapat hal-hal lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan antara LJKNB dan Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e berupa: a. laporan mengikuti program pendidikan berkelanjutan; b. laporan perubahan data dan informasi Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai; dan c. laporan mengenai pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di sektor jasa keuangan dan/atau di OJK yang dilakukan oleh LJKNB, serta kondisi atau perkiraan kondisi yang dapat membahayakan kelangsungan usaha LJKNB atau para pemangku kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan program pendidikan berkelanjutan sebagaimana - 10 - dimaksud pada ayat (1) huruf f diatur dalam Surat Edaran OJK. BAB V PENGHENTIAN PEMBERIAN JASA, PENGUNDURAN DIRI, DAN TIDAK BERLAKUNYA SURAT TANDA TERDAFTAR KONSULTAN AKTUARIA, AKUNTAN PUBLIK, DAN PENILAI Bagian Kesatu Penghentian Pemberian Jasa untuk Sementara Waktu atas Permintaan Sendiri Pasal 11 (1) Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai dapat mengajukan permohonan persetujuan penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu atas permintaan sendiri kepada OJK. (2) Permohonan persetujuan penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai yang bersangkutan secara tertulis kepada OJK dengan melampirkan: a. alasan penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu atas permintaan sendiri; b. surat pernyataan bermeterai yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak sedang dalam perikatan dengan LJKNB; dan c. formulir penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu atas permintaan sendiri. (3) OJK menerbitkan persetujuan penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, dan Penilai menyampaikan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap. - 11 - (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara permohonan persetujuan penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 12 Persetujuan penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) diberikan untuk jangka waktu paling singkat 1 (satu) tahun. Pasal 13 (1) Surat tanda terdaftar Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai dinyatakan tidak berlaku untuk sementara waktu oleh OJK dalam hal: a. yang bersangkutan telah mendapat surat persetujuan penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3); b. yang bersangkutan memiliki persetujuan penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan; atau c. yang bersangkutan belum memperpanjang izin praktik dari Menteri Keuangan dalam hal masa berlaku izin telah berakhir. (2) Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) selama surat tanda terdaftar atas nama yang bersangkutan dinyatakan tidak berlaku untuk sementara waktu oleh OJK. Pasal 14 (1) Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai yang akan mengakhiri masa penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu sebagaimana dimaksud dalam - 12 - Pasal 11 ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh pengaktifan kembali surat tanda terdaftar. (2) Untuk memperoleh pengaktifan kembali surat tanda terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, dan Penilai harus memberitahukan kepada OJK dengan menyampaikan: a. permohonan pengaktifan kembali surat tanda terdaftar; dan b. bukti mengikuti program pendidikan berkelanjutan yang diikuti paling lama 1 (satu) tahun sebelum penyampaian permohonan pengaktifan kembali surat tanda terdaftar. (3) OJK mengaktifkan kembali surat tanda terdaftar Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai dengan memberikan surat pemberitahuan kepada Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan pengaktifan kembali surat tanda terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diterima secara lengkap. (4) OJK berwenang mencabut surat tanda terdaftar Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai yang tidak mengajukan permohonan pengaktifan kembali surat tanda terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan berakhirnya masa penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1). (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara permohonan pengaktifan kembali surat tanda terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 15 (1) Dalam hal Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai mengakhiri masa penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu sebagaimana dimaksud dalam - 13 - Pasal 13 ayat (1) huruf b karena memiliki surat pengaktifan kembali yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan, OJK menerbitkan surat yang menyatakan pengaktifan kembali surat tanda terdaftar Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai yang bersangkutan. (2) Dalam hal Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai mengakhiri masa penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c karena telah memperpanjang izin praktik dari Menteri Keuangan, OJK menerbitkan surat yang menyatakan pengaktifan kembali surat tanda terdaftar Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai yang bersangkutan. Bagian Kedua Pengunduran Diri atas Permintaan Sendiri Pasal 16 (1) Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai dapat mengajukan permohonan pengunduran diri atas permintaan sendiri kepada OJK. (2) Permohonan pengunduran diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai secara tertulis kepada OJK dengan disertai dokumen sebagai berikut: a. surat pernyataan bermeterai yang menyatakan bahwa yang bersangkutan mengundurkan diri dan telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang berasal dari OJK; b. surat pernyataan yang menyatakan bahwa Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai tidak sedang dalam perikatan dengan LJKNB; c. asli surat tanda terdaftar Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai; dan d. formulir pengunduran diri. - 14 - (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara permohonan pengunduran diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 17 (1) OJK memberikan persetujuan pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dengan menerbitkan surat pembatalan surat tanda terdaftar Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai. (2) OJK menolak permohonan pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dalam hal yang bersangkutan: a. sedang diperiksa oleh Kementerian Keuangan atau OJK; b. telah dikenakan sanksi peringatan tertulis oleh OJK sebanyak 2 (dua) kali dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terakhir terhitung sejak saat permohonan disampaikan secara lengkap; c. sedang menjalani kewajiban yang harus dilakukan berdasarkan rekomendasi Kementerian Keuangan atau OJK; atau d. sedang menjalani sanksi dari Kementerian Keuangan atau OJK. (3) OJK menerbitkan surat pembatalan surat tanda terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) secara lengkap. (4) Dalam hal permohonan lengkap, OJK pengunduran memberikan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) tidak surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa permohonan tidak lengkap dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan diterima. - 15 - (5) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan dokumen yang dipersyaratkan dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja telah setelah membatalkan tanggal surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dianggap permohonan pengunduran diri. (6) Pemohon dapat kembali mengajukan permohonan baru dengan menyampaikan kembali permohonan pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2). Bagian Ketiga Tidak Berlakunya Surat Tanda Terdaftar Pasal 18 (1) Surat tanda terdaftar Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai dinyatakan tidak berlaku dalam hal: a. OJK membatalkan surat tanda terdaftar berdasarkan permintaan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1); b. yang bersangkutan meninggal dunia; c. izin Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai dicabut oleh Kementerian Keuangan; d. yang bersangkutan dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan; atau e. yang bersangkutan menyampaikan dokumen palsu atau yang dipalsukan atau pernyataan yang tidak benar pada saat pengajuan permohonan pendaftaran. (2) OJK mengumumkan surat tanda terdaftar Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai yang tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui situs web OJK. - 16 - BAB VI PENGAWASAN KONSULTAN AKTUARIA, AKUNTAN PUBLIK, DAN PENILAI Pasal 19 (1) OJK melakukan pengawasan terhadap Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai yang terdaftar di OJK. (2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat melakukan pemeriksaan sewaktu-waktu terhadap Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai. (3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. (4) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk menilai ketaatan Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai terhadap ketentuan dalam Peraturan OJK ini dan peraturan pelaksanaannya. (5) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan apabila terdapat informasi baik dari internal maupun eksternal OJK yang perlu ditindaklanjuti. (6) Dalam pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai yang diperiksa wajib: a. memenuhi permintaan untuk memberikan data dan/atau dokumen yang diperlukan untuk kelancaran pemeriksaan sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan; b. memberikan keterangan yang diperlukan secara lisan dan/atau tertulis; dan c. memberikan data, dokumen, dan/atau keterangan yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai yang diperiksa. - 17 - (7) Dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), OJK dapat melakukan penugasan kepada pihak lain untuk melakukan pemeriksaan atas nama OJK. (8) OJK wajib merahasiakan data, dokumen, dan/atau keterangan yang diperoleh dari Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai dari pihak yang tidak berhak. Pasal 20 Dalam melakukan pengawasan terhadap Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), OJK dapat melakukan koordinasi dan pertukaran informasi dengan pihak lain yang berkaitan dengan Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai. BAB VII SANKSI Bagian Kesatu Jenis Sanksi Pasal 21 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), dan Pasal 19 ayat (6) Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha; dan/atau c. pembatalan surat tanda terdaftar. (2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 3 Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha; dan/atau c. pencabutan izin usaha. - 18 - Pasal 22 (1) Pengenaan sanksi peringatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dikenakan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu paling lama masing-masing 30 (tiga puluh) hari. (2) Dalam hal Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai telah dikenakan sanksi peringatan terakhir, dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah peringatan dimaksud Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai tetap tidak dapat mengatasi penyebab dari sanksi, Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai yang bersangkutan dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b. Pasal 23 (1) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b berlaku sejak tanggal ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan. (2) Dalam hal Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai dapat mengatasi penyebab dari sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b. (3) Dalam hal Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai tidak dapat mengatasi penyebab dari sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b dalam jangka waktu sampai berakhirnya sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disimpulkan bahwa Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai tidak mampu atau tidak bersedia mengatasi penyebab dari sanksi termaksud, OJK mencabut surat tanda terdaftar Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai. - 19 - Pasal 24 (1) Pengenaan sanksi peringatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a dikenakan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu paling lama masing-masing 30 (tiga puluh) hari. (2) Dalam hal LJKNB telah dikenakan sanksi peringatan terakhir, dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah peringatan dimaksud LJKNB tetap tidak dapat mengatasi penyebab dari sanksi, LJKNB yang bersangkutan dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b. Pasal 25 (1) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b berlaku sejak tanggal ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan. (2) Dalam hal LJKNB dapat mengatasi penyebab dari sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b. (3) Dalam hal LJKNB tidak dapat mengatasi penyebab dari sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b dalam jangka waktu sampai berakhirnya sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disimpulkan bahwa LJKNB tidak mampu atau tidak bersedia mengatasi penyebab dari sanksi termaksud, OJK mencabut izin usaha LJKNB yang bersangkutan. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 26 Selama 12 (dua belas) bulan pertama sejak Peraturan OJK ini berlaku, surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan surat tanda terdaftar - 20 - sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) disampaikan OJK kepada pemohon dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja. Pasal 27 Kontrak perikatan kerja pemberian jasa Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai yang telah disepakati sebelum diundangkannya Peraturan OJK ini tetap dapat dilaksanakan sampai dengan masa berlaku kontrak pemberian jasa berakhir. Pasal 28 (1) Dalam hal pada saat Peraturan OJK ini berlaku, Menteri Keuangan belum memberlakukan peraturan mengenai izin praktik Konsultan Aktuaria, dalam rangka permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Konsultan Aktuaria harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. menyampaikan fotokopi sertifikat Fellowship of the Society of Actuaries of Indonesia (FSAI) atau yang setara pada saat mengajukan permohonan; dan b. menyampaikan fotokopi izin praktik dari Menteri Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan sejak Menteri Keuangan memberlakukan peraturan mengenai izin praktik Konsultan Aktuaria. (2) OJK menerbitkan surat tanda terdaftar sementara bagi Konsultan Aktuaria yang telah memenuhi persyaratan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b sampai dengan huruf g. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 29 (1) Peraturan OJK ini mulai berlaku setelah 9 (sembilan) bulan terhitung sejak tanggal diundangkan. - 21 - (2) Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, atau Penilai dapat melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) paling cepat 6 (enam) bulan sejak tanggal Peraturan OJK ini diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 361 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 38/POJK.05/2015 </reg_id> <reg_title> PENDAFTARAN DAN PENGAWASAN KONSULTAN AKTUARIA, AKUNTAN PUBLIK, DAN PENILAI YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI INDUSTRI KEUANGAN NON-BANK </reg_title> <set_date> 21 Desember 2015 </set_date> <effective_date> setelah 9 (sembilan) bulan terhitung sejak tanggal 28 Desember 2015. </effective_date> <issued_date> 28 Desember 2015 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '40/UU/2014' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 14 /POJK.05/2015 TENTANG RETENSI SENDIRI DAN DUKUNGAN REASURANSI DALAM NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa kesehatan keuangan perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah dipengaruhi oleh retensi sendiri dan dukungan reasuransi; b. bahwa dalam rangka mendorong pertumbuhan perasuransian nasional dan optimalisasi kapasitas asuransi, asuransi syariah, reasuransi, dan reasuransi syariah dalam negeri diperlukan penyesuaian ketentuan mengenai retensi sendiri dan dukungan reasuransi; c. bahwa berdasarkan pertimbangkan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Retensi Sendiri dan Dukungan Reasuransi Dalam Negeri; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); - 2 - 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG RETENSI SENDIRI DAN DUKUNGAN REASURANSI DALAM NEGERI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan adalah perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah. 2. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 3. Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan asuransi umum syariah dan perusahaan asuransi jiwa syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 4. Perusahaan Asuransi Umum adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha asuransi umum, dan/atau usaha reasuransi untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum lain sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 5. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. - 3 - 6. Perusahaan Asuransi Umum Syariah adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha asuransi umum syariah dan/atau usaha reasuransi syariah untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum Syariah lain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan/atau Perusahaan Asuransi Umum yang menyelenggarakan sebagian usahanya dengan prinsip syariah. 7. Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha asuransi jiwa syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan/atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang menyelenggarakan sebagian usahanya dengan prinsip syariah. 8. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 9. Perusahaan Reasuransi Syariah adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha reasuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan/atau Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan sebagian usahanya dengan prinsip syariah. 10. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. BAB II RETENSI SENDIRI Pasal 2 (1) Perusahaan wajib memiliki dan menerapkan retensi sendiri untuk setiap risiko yang dikelola sesuai dengan batas retensi sendiri. - 4 - (2) Penerapan batas retensi sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didasarkan pada profil risiko dan kerugian (risk and loss profile) yang dibuat secara tertib, teratur, relevan, dan akurat. Pasal 3 Ketentuan lebih lanjut mengenai batas retensi sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. BAB III DUKUNGAN REASURANSI Bagian Kesatu Strategi Dukungan Reasuransi Pasal 4 (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib mengembangkan dan mengimplementasikan strategi dukungan reasuransi untuk penyelenggaraan usaha Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah agar memiliki kapasitas yang cukup untuk memenuhi liabilitas. (2) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib menelaah implementasi strategi dukungan reasuransi paling sedikit sekali dalam setahun. (3) Untuk pertama kali, strategi dukungan reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada OJK paling lambat tanggal 15 Januari 2016. (4) Dalam hal Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah mengubah strategi dukungan reasuransi, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib menyampaikan perubahan dimaksud kepada OJK beserta alasannya dalam waktu - 5 - paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak perubahan strategi dukungan reasuransi dimaksud. Pasal 5 Strategi dukungan reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) paling sedikit harus memuat: a. kebijakan reasuransi secara komprehensif dengan memperhitungkan manfaat diversifikasi dan kelayakan pihak reasuransi (counterparty); b. sistem yang sehat dalam melakukan pemilihan dan pemantauan program reasuransi; c. ringkasan proses pembentukan retensi sendiri dan monitoring retensi sendiri; dan d. penanggung jawab pelaksana program reasuransi dan pengendaliannya. Pasal 6 Dalam mengembangkan strategi dukungan reasuransi, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah harus memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: a. profil risiko dari risiko yang ditanggung; b. kecukupan modal dan akses terhadap penambahan modal; c. volatilitas klaim masa lalu dan/atau klaim yang diperkirakan; d. tingkat profitabilitas masing-masing lini usaha; e. ukuran retensi yang sesuai dengan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah; f. penggunaan program reasuransi proporsional dan nonproporsional; g. kondisi lingkungan, khususnya untuk daerah yang rawan bencana; h. kapasitas reasuransi otomatis; i. optimalisasi kualitas, penggunaan, dan biaya reasuransi; j. dampak bila reasuradur dalam negeri dengan porsi reasuransi otomatis mengalami kebangkrutan; - 6 - k. peringkat reasuradur dalam negeri; dan l. kondisi pasar reasuransi. Bagian Kedua Dukungan Reasuransi untuk Risiko Sederhana Pasal 7 Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib memperoleh dukungan reasuransi 100% (seratus persen) dari reasuradur dalam negeri untuk pertanggungan yang memiliki risiko sederhana. Pasal 8 (1) Kewajiban memperoleh dukungan reasuransi 100% (seratus persen) dari reasuradur dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dikecualikan bagi Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Umum Syariah untuk: a. produk asuransi yang bersifat global (worldwide); dan/atau b. produk asuransi yang didesain secara khusus untuk perusahaan multinasional. (2) Kewajiban memperoleh dukungan reasuransi 100% (seratus persen) dari reasuradur dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dikecualikan bagi Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah untuk: a. produk asuransi yang bersifat global (worldwide); b. produk asuransi yang didesain secara khusus untuk perusahaan multinasional; dan/atau c. produk asuransi baru yang pengembangannya (product development) didukung oleh reasuradur luar negeri. (3) Produk asuransi baru yang pengembangannya (product development) didukung oleh reasuradur luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dapat memperoleh dukungan reasuransi dari - 7 - reasuradur luar negeri untuk jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak produk asuransi tersebut dilaporkan kepada OJK. Pasal 9 Dalam hal Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) atau ayat (2), Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dapat memperoleh dukungan reasuransi dari reasuradur luar negeri dengan batasan yang disetujui OJK. Bagian Ketiga Reasuransi Otomatis Pasal 10 (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib mempunyai dukungan reasuransi otomatis. (2) Dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan dengan menempatkan secara prioritas kepada reasuradur dalam negeri. (3) Penempatan dukungan reasuransi otomatis secara prioritas kepada reasuradur dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk pertanggungan selain pertanggungan yang memiliki risiko sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, wajib mengikuti besar minimum penempatan dukungan reasuransi otomatis secara prioritas kepada reasuradur dalam negeri. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai besar minimum penempatan dukungan reasuransi otomatis secara prioritas kepada sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Surat Edaran OJK. reasuradur dalam negeri - 8 - Pasal 11 (1) Dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) wajib diperoleh untuk setiap produk asuransi yang dipasarkan, termasuk dukungan reasuransi otomatis untuk risiko bencana (catastrophic risks). (2) Dalam hal Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Umum Syariah telah membentuk cadangan atas risiko bencana (catastrophic risks) maka Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Umum Syariah dikecualikan dari kewajiban memperoleh dukungan reasuransi otomatis untuk risiko bencana (catastrophic risks) sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Umum Syariah mempunyai dukungan reasuransi otomatis untuk risiko bencana (catastrophic risks), besar minimum retensi sendiri ditentukan dengan asumsi kejadian risiko bencana (catastrophic risks) berulang setiap 250 (dua ratus lima puluh) tahun sekali. (4) Dukungan reasuransi otomatis untuk risiko bencana (catastrophic risks) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditempatkan secara prioritas kepada reasuradur dalam negeri sesuai dengan besar minimum penempatan dukungan reasuransi otomatis untuk risiko bencana (catastrophic risks). (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai besar minimum penempatan dukungan reasuransi otomatis untuk risiko bencana (catastrophic risks) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 12 (1) Dalam memperoleh dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Perusahaan - 9 - Asuransi Umum wajib mengikuti urutan prioritas sebagai berikut: a. dukungan reasuransi otomatis diperoleh paling sedikit dari 2 (dua) Perusahaan Reasuransi dalam negeri; b. dalam hal dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak diperoleh, dukungan reasuransi otomatis diperoleh paling sedikit dari 1 (satu) Perusahaan Reasuransi dalam negeri dan 1 (satu) Perusahaan Asuransi Umum dalam negeri; dan c. dalam hal dukungan reasuransi otomatis dari reasuradur dalam negeri sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b tidak diperoleh, dukungan reasuransi otomatis dapat diperoleh dari perusahaan reasuransi luar negeri. (2) Dukungan reasuransi otomatis dari perusahaan reasuransi luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilakukan oleh Perusahaan Asuransi Umum, dengan ketentuan sebagai berikut: a. merupakan produk asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan/atau b. tidak memperoleh dukungan reasuransi otomatis dari seluruh Perusahaan Reasuransi dalam negeri dan 2 (dua) Perusahaan Asuransi Umum dalam negeri. Pasal 13 (1) Dalam memperoleh dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Perusahaan Asuransi Jiwa wajib mengikuti urutan prioritas sebagai berikut: a. dukungan reasuransi otomatis diperoleh paling sedikit dari 2 (dua) Perusahaan Reasuransi dalam negeri; dan b. dalam hal dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak - 10 - diperoleh, dukungan reasuransi otomatis dapat diperoleh dari perusahaan reasuransi luar negeri. (2) Dukungan reasuransi otomatis dari perusahaan reasuransi luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan oleh Perusahaan Asuransi Jiwa, dengan ketentuan sebagai berikut: a. merupakan produk asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2); dan/atau b. tidak memperoleh dukungan reasuransi otomatis dari seluruh Perusahaan Reasuransi dalam negeri. Pasal 14 (1) Dalam memperoleh dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Perusahaan Asuransi Umum Syariah wajib mengikuti urutan prioritas sebagai berikut: a. dukungan reasuransi otomatis diperoleh paling sedikit dari 2 (dua) Perusahaan Reasuransi Syariah dalam negeri; b. dalam hal dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak diperoleh, dukungan reasuransi otomatis diperoleh paling sedikit dari 1 (satu) Perusahaan Reasuransi Syariah dalam negeri dan 1 (satu) Perusahaan Asuransi Umum Syariah dalam negeri; dan c. dalam hal dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b tidak diperoleh, dukungan reasuransi otomatis dapat diperoleh dari perusahaan reasuransi syariah luar negeri. (2) Dukungan reasuransi otomatis dari perusahaan reasuransi syariah luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilakukan oleh Perusahaan Asuransi Umum Syariah, dengan ketentuan sebagai berikut: - 11 - a. merupakan produk asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan/atau b. tidak memperoleh dukungan reasuransi otomatis dari seluruh Perusahaan Reasuransi Syariah dalam negeri dan 2 (dua) Perusahaan Asuransi Umum Syariah dalam negeri. Pasal 15 (1) Dalam memperoleh dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah wajib mengikuti urutan prioritas sebagai berikut: a. dukungan reasuransi otomatis diperoleh paling sedikit dari 1 (satu) Perusahaan Reasuransi Syariah dalam negeri; dan b. dalam hal dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak diperoleh, dukungan reasuransi otomatis dapat diperoleh dari perusahaan reasuransi syariah luar negeri. (2) Dukungan reasuransi otomatis dari perusahaan reasuransi syariah luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan oleh Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah, dengan ketentuan sebagai berikut: a. merupakan produk asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2); dan/atau b. tidak memperoleh dukungan reasuransi otomatis dari seluruh Perusahaan Reasuransi Syariah dalam negeri. Pasal 16 Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang tidak memperoleh dukungan reasuransi otomatis dari reasuradur dalam negeri dikarenakan faktor teknis wajib melakukan perbaikan terhadap penyebab tidak diperolehnya dukungan reasuransi otomatis dimaksud - 12 - paling lambat 1 (satu) tahun sejak saat tidak diperolehnya dukungan reasuransi otomatis tersebut. Pasal 17 (1) Dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dapat dikecualikan karena tidak diperoleh atau tidak diperlukannya dukungan reasuransi otomatis dalam hal: a. tidak ada reasuradur yang bersedia memberikan dukungan reasuransi otomatis antara lain karena karakteristik risiko yang khusus dari lini usaha asuransi; b. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah akan memulai memasarkan lini usaha asuransi yang baru; c. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah memasarkan produk asuransi hanya untuk memenuhi permintaan pemegang polis atas paket asuransi yang komprehensif dan tidak memasarkan secara tersendiri; dan/atau d. risiko yang dikelola tidak melebihi kapasitas retensi sendiri. (2) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib memiliki bukti penyebab tidak diperoleh atau tidak diperlukannya dukungan reasuransi otomatis. Bagian Keempat Reasuransi Fakultatif Pasal 18 (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib memperoleh dukungan reasuransi fakultatif dalam hal: a. tidak memperoleh atau tidak diperlukannya dukungan reasuransi otomatis karena hal - 13 - sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1); atau b. dukungan reasuransi otomatis tidak mencukupi untuk risiko yang diterima oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah. (2) Dukungan reasuransi fakultatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan dengan menempatkan secara prioritas kepada reasuradur dalam negeri. (3) Penempatan dukungan reasuransi fakultatif secara prioritas kepada reasuradur dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk pertanggungan selain pertanggungan yang memiliki risiko sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, wajib mengikuti besar minimum penempatan dukungan reasuransi fakultatif secara prioritas kepada reasuradur dalam negeri. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai besar minimum penempatan dukungan reasuransi fakultatif secara prioritas kepada sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 19 (1) Dalam memperoleh dukungan reasuransi fakultatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Perusahaan Asuransi Umum wajib mengikuti urutan prioritas sebagai berikut: a. dukungan reasuransi fakultatif diperoleh paling sedikit dari 2 (dua) Perusahaan Reasuransi dalam negeri; b. dalam hal dukungan reasuransi fakultatif sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak diperoleh, dukungan reasuransi fakultatif diperoleh paling sedikit dari 1 (satu) Perusahaan Reasuransi dalam negeri dan 1 (satu) Perusahaan Asuransi Umum dalam negeri; dan reasuradur dalam negeri - 14 - c. dalam hal dukungan reasuransi fakultatif dari reasuradur dalam negeri sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b tidak diperoleh, dukungan reasuransi fakultatif dapat diperoleh reasuradur luar negeri. (2) Dukungan reasuransi fakultatif dari reasuradur luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilakukan oleh Perusahaan Asuransi Umum, dengan ketentuan sebagai berikut: a. merupakan produk asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan/atau b. tidak memperoleh dukungan reasuransi fakultatif dari seluruh Perusahaan Reasuransi dalam negeri dan 2 (dua) Perusahaan Asuransi Umum dalam negeri. Pasal 20 (1) Dalam memperoleh dukungan reasuransi fakultatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Perusahaan Asuransi Jiwa wajib mengikuti urutan prioritas sebagai berikut: a. dukungan reasuransi fakultatif diperoleh paling sedikit dari 2 (dua) Perusahaan Reasuransi dalam negeri; dan b. dalam hal dukungan reasuransi fakultatif sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak diperoleh, dukungan reasuransi fakultatif dapat diperoleh dari perusahaan reasuransi luar negeri. (2) Dukungan reasuransi fakultatif dari perusahaan reasuransi luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan oleh Perusahaan Asuransi Jiwa, dengan ketentuan sebagai berikut: a. merupakan produk asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2); dan/atau b. tidak memperoleh dukungan reasuransi fakultatif dari seluruh Perusahaan Reasuransi dalam negeri. - 15 - Pasal 21 (1) Dalam memperoleh dukungan reasuransi fakultatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Perusahaan Asuransi Umum Syariah wajib mengikuti urutan prioritas sebagai berikut: a. dukungan reasuransi fakultatif diperoleh paling sedikit dari 2 (dua) Perusahaan Reasuransi Syariah dalam negeri; b. dalam hal dukungan reasuransi fakultatif sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak diperoleh, dukungan reasuransi fakultatif diperoleh paling sedikit dari 1 (satu) Perusahaan Reasuransi Syariah dalam negeri dan 1 (satu) Perusahaan Asuransi Umum Syariah dalam negeri; dan c. dalam hal dukungan reasuransi fakultatif sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b tidak diperoleh, dukungan reasuransi fakultatif dapat diperoleh dari perusahaan reasuransi syariah atau perusahaan reasuransi luar negeri. (2) Dukungan reasuransi fakultatif dari perusahaan reasuransi syariah atau perusahaan reasuransi luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilakukan oleh Perusahaan Asuransi Umum Syariah, dengan ketentuan sebagai berikut: a. merupakan produk asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan/atau b. tidak memperoleh dukungan reasuransi fakultatif dari seluruh Perusahaan Reasuransi Syariah dalam negeri dan 2 (dua) Perusahaan Asuransi Umum Syariah dalam negeri. Pasal 22 (1) Dalam memperoleh dukungan reasuransi fakultatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Perusahaan - 16 - Asuransi Jiwa Syariah wajib mengikuti urutan prioritas sebagai berikut: a. dukungan reasuransi fakultatif diperoleh paling sedikit dari 1 (satu) Perusahaan Reasuransi Syariah dalam negeri; dan b. dalam hal dukungan reasuransi fakultatif sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak diperoleh, dukungan reasuransi fakultatif dapat diperoleh dari perusahaan reasuransi syariah atau perusahaan reasuransi luar negeri. (2) Dukungan reasuransi fakultatif dari perusahaan reasuransi syariah atau perusahaan reasuransi luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan oleh Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah, dengan ketentuan sebagai berikut: a. merupakan produk asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2); dan/atau b. tidak memperoleh dukungan reasuransi fakultatif dari seluruh Perusahaan Reasuransi Syariah dalam negeri. Pasal 23 Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Umum Syariah wajib menempatkan reasuransi structured (layer basis) fakultatif secara across the board untuk seluruh layer. Bagian Kelima Ketentuan Khusus Pasal 24 Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib memilih Perusahaan Reasuransi atau Perusahaan Reasuransi Syariah dalam negeri sebagai ketua (leader) panel reasuransi otomatis. - 17 - Pasal 25 (1) Dalam hal dukungan reasuransi otomatis dan/atau dukungan reasuransi fakultatif diperoleh dari reasuradur luar negeri atau reasuradur syariah luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c, Pasal 13 ayat (1) huruf b, Pasal 14 ayat (1) huruf c, Pasal 15 ayat (1) huruf b, Pasal 19 ayat (1) huruf c, Pasal 20 ayat (1) huruf b, Pasal 21 ayat (1) huruf c, dan Pasal 22 ayat (1) huruf b, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib memperoleh dukungan reasuradur luar negeri atau reasuradur syariah luar negeri yang paling kurang memiliki peringkat BBB atau yang setara dari perusahaan pemeringkat yang diakui secara internasional. (2) Dalam hal peringkat reasuradur luar negeri atau reasuradur syariah luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh lebih dari satu perusahaan pemeringkat, peringkat yang digunakan adalah peringkat yang paling rendah. Pasal 26 (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib memiliki dan menyampaikan bukti tidak diperolehnya dukungan reasuransi otomatis dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf b, Pasal 13 ayat (2) huruf b, Pasal 14 ayat (2) huruf b, dan Pasal 15 ayat (2) huruf b, kepada OJK. (2) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib memiliki bukti tidak diperolehnya dukungan reasuransi fakultatif dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf b, Pasal 20 ayat (2) huruf b, Pasal 21 ayat (2) huruf b, dan Pasal 22 ayat (2) huruf b. - 18 - Pasal 27 (1) Dalam hal dukungan reasuransi otomatis dan/atau dukungan reasuransi fakultatif dinilai oleh OJK dapat membahayakan dan/atau memperburuk kondisi kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah atau dapat menjadikan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah tidak melaksanakan fungsi sebagai Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah, OJK dapat memerintahkan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah untuk mengubah program dukungan reasuransi yang dimilikinya agar lebih sesuai dengan kondisi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah. (2) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB IV KEWAJIBAN PERUSAHAAN REASURANSI Pasal 28 (1) Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah wajib memiliki program retrosesi yang memadai, aman, dan didukung oleh panel retrosesi dengan peringkat BBB atau yang setara dari perusahaan pemeringkat yang diakui secara internasional. (2) Dalam hal peringkat anggota panel retrosesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan lebih dari satu perusahaan pemeringkat, peringkat yang digunakan adalah peringkat yang paling rendah. wajib melaksanakan perintah OJK - 19 - (3) Perusahaan Reasuransi wajib menyampaikan bukti peringkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam laporan program reasuransi otomatis. Pasal 29 Seluruh Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah harus melakukan penyatuan kapasitas untuk memberikan dukungan reasuransi kepada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah. Pasal 30 (1) Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah wajib meningkatkan kapasitas dan kualitas pelayanan dalam memberikan dukungan reasuransi kepada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah. (2) Peningkatan kapasitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan dengan memiliki peringkat paling sedikit A-Idn atau yang setara dari perusahaan pemeringkat yang diakui secara internasional. (3) Peningkatan kualitas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling sedikit melalui kegiatan: a. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (transfer knowledge) kepada Perusahaan Asuransi dan/atau Perusahaan Asuransi Syariah dalam peningkatan manajemen risiko; dan b. penyelenggaraan kegiatan pelayanan dan penyelesaian klaim dengan baik. (4) Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah wajib menyampaikan konfirmasi penerimaan (akseptasi) ataupun penolakan dukungan reasuransi kepada Perusahaan Asuransi dan/atau Perusahaan Asuransi Syariah, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak surat permohonan dukungan reasuransi dari Perusahaan Asuransi dan/atau Perusahaan Asuransi Syariah diterima secara lengkap. - 20 - (5) Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah wajib menyelesaikan klaim, paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak dokumen pengajuan klaim dari Perusahaan Asuransi dan/atau Perusahaan Asuransi Syariah diterima secara lengkap, sepanjang tidak diatur lain dalam perjanjian bagi reasuransi otomatis. BAB V LAPORAN PROGRAM REASURANSI/RETROSESI OTOMATIS DAN LAPORAN PELAKSANAAN PENEMPATAN REASURANSI Pasal 31 (1) Perusahaan setiap tahun wajib menyampaikan laporan program reasuransi/retrosesi otomatis kepada OJK, paling lambat tanggal 15 Januari. (2) Dalam hal perjanjian dukungan reasuransi/retrosesi otomatis tidak dimulai bulan Januari, laporan program reasuransi/retrosesi otomatis disampaikan paling lambat 15 (lima belas) hari sejak tanggal perjanjian dukungan reasuransi/retrosesi otomatis berlaku. (3) Apabila batas waktu akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan menjadi pada hari kerja pertama berikutnya. (4) Laporan program reasuransi/retrosesi otomatis disertai dengan grafik yang menggambarkan retensi sendiri dan dukungan reasuransi/retrosesi otomatis yang diterima serta limit dukungan reasuransi. (5) Laporan program reasuransi otomatis wajib dilengkapi dengan perjanjian reasuransi yang telah ditandatangani oleh Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dalam 1 (satu) tahun terakhir. - 21 - Pasal 32 Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, susunan, dan tata cara penyampaian laporan program reasuransi/retrosesi otomatis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 33 (1) Perusahaan setiap tahun wajib menyampaikan laporan pelaksanaan penempatan reasuransi, paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, susunan dan tata cara penyampaian laporan pelaksanaan penempatan reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 34 Perusahaan dikecualikan dari kewajiban penyampaian laporan program reasuransi/retrosesi otomatis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dan laporan pelaksanaan penempatan reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) apabila Perusahaan dimaksud: a. dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha untuk seluruh lini usaha asuransi; dan/atau b. dalam proses untuk mengembalikan izin usaha. BAB VI SANKSI Pasal 35 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2, Pasal 4, Pasal 7, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 11 ayat (1), ayat (4), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (1), Pasal 16, Pasal 17 ayat (2), Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25 ayat (1), Pasal 26, - 22 - Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 ayat (1), ayat (3), Pasal 30, Pasal 31 ayat (1), ayat (5), dan/atau Pasal 33 ayat (1) Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. denda; c. kewajiban bagi direksi atau yang setara untuk menjalani penilaian kemampuan dan kepatutan ulang; d. pembatasan kegiatan usaha; dan/atau e. pencabutan izin usaha. (3) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e, dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a. (4) Besaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan OJK berdasarkan ketentuan tentang sanksi administratif berupa denda yang berlaku untuk Perusahaan. (5) OJK dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada masyarakat. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 36 (1) Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah wajib melakukan penyesuaian terhadap ketentuan Pasal 30 ayat (2) paling lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan. - 23 - (2) Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Umum Syariah yang telah memiliki perjanjian dukungan reasuransi otomatis dengan reasuradur luar negeri sebelum Peraturan OJK ini diundangkan wajib melakukan penyesuaian dengan seluruh ketentuan dalam Peraturan OJK ini paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan. (3) Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah yang telah memiliki perjanjian dukungan reasuransi otomatis dengan reasuradur luar negeri sebelum Peraturan OJK ini diundangkan, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. untuk seluruh pertanggungan yang telah berlangsung (existing business) menggunakan perjanjian dukungan reasuransi otomatis yang telah ada sampai masa perjanjian berakhir; dan b. untuk pertanggungan baru (new business) wajib menyesuaikan terhadap seluruh ketentuan dalam Peraturan OJK ini paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 37 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, seluruh ketentuan mengenai dukungan reasuransi dan retensi sendiri tunduk pada ketentuan Peraturan OJK ini. Pasal 38 Peraturan OJK ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2016. - 24 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 November 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 November 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 265
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 14/POJK.05/2015 </reg_id> <reg_title> RETENSI SENDIRI DAN DUKUNGAN REASURANSI DALAM NEGERI </reg_title> <set_date> 3 November 2015 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2016 </effective_date> <issued_date> 10 November 2015 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '40/UU/2014' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
- 1 - SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 51 /POJK.03/2017 TENTANG PENERAPAN KEUANGAN BERKELANJUTAN BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN, EMITEN, DAN PERUSAHAAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang mampu menjaga stabilitas ekonomi serta bersifat inklusif diperlukan sistem perekonomian nasional yang mengedepankan keselarasan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup; b. bahwa untuk menggerakkan perekonomian nasional yang mengedepankan keselarasan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup, mampu menjaga stabilitas ekonomi serta bersifat inklusif dibutuhkan sumber pendanaan dalam jumlah yang memadai; c. bahwa pengembangan sistem lembaga keuangan yang ramah lingkungan hidup telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; - 2 - d. bahwa Roadmap Keuangan Berkelanjutan di Indonesia yang telah diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan perlu ditindaklanjuti dengan peraturan yang spesifik dan mengikat untuk seluruh lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); - 3 - 5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256); 6. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 7. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256); 8. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); 9. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5835); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN KEUANGAN BERKELANJUTAN BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN, EMITEN, DAN PERUSAHAAN PUBLIK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat LJK adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di - 4 - sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. 2. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya adalah pergadaian, lembaga penjaminan, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan badan penyelenggara jaminan sosial. 3. Bank Umum adalah: a. Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan; b. Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 4. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 5. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya disingkat BPRS adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 6. Emiten adalah pihak yang melakukan penawaran umum. Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam - 5 - 7. Perusahaan Publik adalah perseroan yang sahamnya telah dimiliki paling sedikit oleh 300 (tiga ratus) pemegang saham dan memiliki modal disetor paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. 8. Keuangan Berkelanjutan adalah dukungan menyeluruh dari sektor jasa keuangan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan menyelaraskan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. 9. Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. 10. Produk dan/atau Jasa Keuangan Berkelanjutan adalah produk dan/atau jasa keuangan yang mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan Lingkungan Hidup, serta tata kelola dalam fitur- fiturnya. 11. Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan adalah dokumen tertulis yang menggambarkan rencana kegiatan usaha dan program kerja LJK jangka pendek (satu tahun) dan jangka panjang (lima tahun) yang sesuai dengan prinsip yang digunakan untuk menerapkan Keuangan Berkelanjutan, termasuk strategi untuk merealisasi rencana dan program kerja tersebut sesuai dengan target dan waktu yang ditetapkan, dengan tetap memperhatikan pemenuhan ketentuan kehati-hatian dan penerapan manajemen risiko. 12. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan yang selanjutnya disingkat TJSL adalah komitmen untuk - 6 - berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. 13. Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report) adalah laporan yang diumumkan kepada masyarakat yang memuat kinerja ekonomi, keuangan, sosial, dan Lingkungan Hidup suatu LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik dalam menjalankan bisnis berkelanjutan. Pasal 2 (1) LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik wajib menerapkan Keuangan Berkelanjutan dalam kegiatan usaha LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik. (2) Penerapan Keuangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan: a. prinsip investasi bertanggung jawab; b. prinsip strategi dan praktik bisnis berkelanjutan; c. prinsip pengelolaan risiko sosial dan Lingkungan Hidup; d. prinsip tata kelola; e. prinsip komunikasi yang informatif; f. prinsip inklusif; g. prinsip pengembangan sektor unggulan prioritas; dan h. prinsip koordinasi dan kolaborasi. Pasal 3 (1) Penerapan Keuangan Berkelanjutan untuk LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, wajib dilakukan dengan ketentuan: a. bagi LJK berupa Bank Umum yang termasuk dalam kelompok Bank Umum berdasarkan - 7 - Kegiatan Usaha (BUKU) 3, BUKU 4, dan bank asing, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2019; b. bagi LJK berupa BUKU 1 dan BUKU 2, perusahaan pembiayaan, perusahaan pembiayaan syariah, perusahaan modal ventura, perusahaan modal ventura syariah, perusahaan pembiayaan infrastruktur, perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, perusahaan reasuransi syariah, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Emiten selain Emiten dengan aset skala kecil dan Emiten dengan aset skala menengah, serta Perusahaan Publik mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2020; c. bagi LJK berupa BPR berdasarkan Kegiatan Usaha (BPRKU) 3 termasuk BPRS yang memiliki modal inti yang setara dengan BPRKU 3, perusahaan efek yang mengadministrasikan rekening efek nasabah, dan Emiten dengan aset skala menengah mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2022; d. bagi LJK berupa BPRKU 1 dan BPRKU 2 serta BPRS yang memiliki modal inti yang setara dengan BPRKU 1 atau BPRKU 2, Emiten dengan aset skala kecil, perusahaan efek yang tidak mengadministrasikan rekening efek nasabah, perusahaan pergadaian, perusahaan penjaminan, dan perusahaan penjaminan syariah mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024; dan e. bagi LJK berupa dana pensiun dengan total aset paling sedikit Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2025. - 8 - (2) Dalam hal LJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga merupakan Emiten atau Perusahaan Publik, kewajiban penerapan Keuangan Berkelanjutan oleh LJK mulai berlaku pada tanggal penerapan Keuangan Berkelanjutan yang lebih awal. BAB II PENERAPAN KEUANGAN BERKELANJUTAN Pasal 4 (1) Untuk menerapkan Keuangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) LJK wajib menyusun Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan setiap tahun kepada Otoritas Jasa Keuangan: a. pada waktu yang sama dengan penyampaian rencana bisnis bagi LJK yang diwajibkan untuk menyampaikan rencana bisnis sebagai bagian dari rencana bisnis atau dalam dokumen terpisah; dan b. paling lambat tanggal 31 Januari bagi LJK yang tidak diwajibkan untuk menyampaikan rencana bisnis. (3) Apabila batas waktu penyampaian Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, atau hari libur, Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya. (4) Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan wajib disusun oleh Direksi dan disetujui oleh Dewan Komisaris. (5) LJK yang juga merupakan Emiten atau Perusahaan Publik wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4). - 9 - Pasal 5 LJK wajib melaksanakan Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan secara efektif. Pasal 6 LJK wajib mengomunikasikan Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan kepada: a. pemegang saham; dan b. seluruh jenjang organisasi yang ada pada LJK. Pasal 7 (1) Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib disusun berdasarkan prioritas masing-masing LJK paling sedikit: a. pengembangan Produk dan/atau Jasa Keuangan Berkelanjutan termasuk peningkatan portofolio pembiayaan, investasi atau penempatan pada instrumen keuangan atau proyek yang sejalan dengan penerapan Keuangan Berkelanjutan; b. pengembangan kapasitas intern LJK; atau c. penyesuaian organisasi, manajemen risiko, tata kelola, dan/atau standar prosedur operasional (standard operating procedure) LJK yang sesuai dengan prinsip penerapan Keuangan Berkelanjutan. (2) Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dengan target waktu penerapan. Pasal 8 (1) LJK yang diwajibkan melaksanakan TJSL wajib mengalokasikan sebagian dana TJSL untuk mendukung kegiatan penerapan Keuangan Berkelanjutan. - 10 - (2) Emiten yang bukan merupakan LJK dan Perusahaan Publik yang bukan merupakan LJK namun diwajibkan melaksanakan TJSL dapat mengalokasikan sebagian dana TJSL untuk mendukung kegiatan penerapan Keuangan Berkelanjutan. (3) Alokasi dana TJSL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan. (4) Laporan penggunaan dana TJSL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dituangkan dalam Laporan Keberlanjutan. BAB III PEMBERIAN INSENTIF Pasal 9 (1) LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik yang menerapkan Keuangan Berkelanjutan secara efektif dapat diberikan insentif oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. mengikutsertakan LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik dalam program pengembangan kompetensi sumber daya manusia; b. penganugerahan Sustainable Finance Award; dan/atau c. insentif lain. BAB IV PENYAMPAIAN RENCANA AKSI KEUANGAN BERKELANJUTAN, PELAPORAN, DAN PUBLIKASI Pasal 10 (1) LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik wajib menyusun Laporan Keberlanjutan. - 11 - (2) Laporan Keberlanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara terpisah dari laporan tahunan atau sebagai bagian yang tidak terpisah dari laporan tahunan. (3) Laporan Keberlanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan setiap tahun paling lambat sesuai dengan batas waktu penyampaian laporan tahunan yang berlaku untuk masing-masing LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik. (4) Dalam hal LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik menyampaikan Laporan Keberlanjutan secara terpisah dari laporan tahunan, Laporan Keberlanjutan wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan setiap tahun paling lambat pada tanggal 30 April tahun berikutnya. (5) Apabila batas waktu penyampaian Laporan Keberlanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, atau hari libur, Laporan Keberlanjutan wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya. (6) Laporan Keberlanjutan pertama kali wajib disampaikan untuk periode laporan: a. tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember 2019 untuk LJK berupa BUKU 3, BUKU 4, dan bank asing; b. tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember 2020 untuk LJK berupa BUKU 1 dan BUKU 2, perusahaan pembiayaan, perusahaan pembiayaan syariah, perusahaan modal ventura, perusahaan modal ventura syariah, perusahaan pembiayaan infrastruktur, perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, perusahaan reasuransi syariah, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Emiten - 12 - selain Emiten dengan aset skala kecil dan Emiten dengan aset skala menengah, serta Perusahaan Publik; c. tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember 2022 untuk LJK berupa BPRKU 3 termasuk BPRS yang memiliki modal inti yang setara dengan BPRKU 3, perusahaan efek yang mengadministrasikan rekening efek nasabah, dan Emiten dengan aset skala menengah; d. tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember 2024 untuk LJK berupa BPRKU 1 dan BPRKU 2 serta BPRS yang memiliki modal inti yang setara dengan BPRKU 1 atau BPRKU 2, Emiten dengan aset skala kecil, perusahaan efek yang tidak mengadministrasikan rekening efek nasabah, perusahaan pergadaian, perusahaan penjaminan, dan perusahaan penjaminan syariah; dan e. tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember 2025 bagi LJK berupa dana pensiun dengan total aset paling sedikit Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah). (7) Dalam hal LJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga merupakan Emiten atau Perusahaan Publik, kewajiban penyampaian Laporan Keberlanjutan pertama kali disampaikan oleh LJK untuk periode Laporan Keberlanjutan yang lebih awal. (8) Laporan Keberlanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun dengan format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 11 Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Laporan Keberlanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 - 13 - ayat (1) disampaikan secara luring (offline) kepada Otoritas Jasa Keuangan: a. bagi LJK berupa bank, ditujukan kepada: 1. Departemen Pengawasan Bank terkait atau Departemen Perbankan Syariah bagi bank yang berkantor pusat atau memiliki kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang berada di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau 2. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan membawahkan wilayah kantor pusat bank; yang b. bagi LJK berupa Perusahaan Efek, Emiten yang bukan merupakan LJK, dan Perusahaan Publik yang bukan merupakan LJK ditujukan kepada Departemen Pengawasan Pasar Modal terkait; c. bagi LJK berupa perusahaan pembiayaan, perusahaan pembiayaan syariah, perusahaan modal ventura, perusahaan modal ventura syariah, perusahaan pembiayaan infrastruktur, perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, perusahaan reasuransi syariah, dan dana pensiun ditujukan kepada Departemen Pengawasan Industri Keuangan Nonbank terkait; dan d. bagi Lembaga Jasa Keuangan Lainnya ditujukan kepada Departemen yang mengawasi masing-masing Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Pasal 12 (1) LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik wajib mempublikasikan Laporan Keberlanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1). (2) Publikasi Laporan Keberlanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan melalui situs web LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik paling lambat pada tanggal 30 April tahun berikutnya. - 14 - (3) Bagi LJK yang belum memiliki situs web, Laporan Keberlanjutan wajib dipublikasikan melalui media cetak atau media pengumuman lain yang mudah terbaca oleh publik paling lambat pada tanggal 30 April tahun berikutnya. BAB V SANKSI Pasal 13 (1) LJK yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 sampai dengan Pasal 7, Pasal 8 ayat (1), Pasal 10, dan/atau Pasal 12 dikenakan sanksi administratif berupa teguran atau peringatan tertulis. (2) Emiten yang bukan merupakan LJK dan Perusahaan Publik yang bukan merupakan LJK yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 10, dan/atau Pasal 12 dikenakan sanksi administratif berupa teguran atau peringatan tertulis. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 14 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 15 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Juli 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Juli 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 169 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 51/POJK.03/2017 </reg_id> <reg_title> PENERAPAN KEUANGAN BERKELANJUTAN BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN, EMITEN, DAN PERUSAHAAN PUBLIK </reg_title> <set_date> 18 Juli 2017 </set_date> <effective_date> 27 Juli 2017 </effective_date> <issued_date> 27 Juli 2017 </issued_date> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '11/UU/1992', '8/UU/1995', '21/UU/2011', '2/UU/2009', '21/UU/2008', '24/UU/2011', '40/UU/2014', '1/UU/2016' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 53 /POJK.04/2017 TENTANG PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM DAN PENAMBAHAN MODAL DENGAN MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU OLEH EMITEN DENGAN ASET SKALA KECIL ATAU EMITEN DENGAN ASET SKALA MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk memberikan kesempatan yang lebih luas bagi emiten dengan aset skala kecil atau emiten dengan aset skala menengah memperoleh pendanaan melalui pasar modal, perlu menyempurnakan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal terkait pedoman mengenai bentuk dan isi pernyataan pendaftaran dalam rangka penawaran umum oleh perusahaan menengah atau kecil; dan b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum dan Penambahan Modal dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu oleh Emiten dengan Aset Skala Kecil atau Emiten dengan Aset Skala Menengah; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM DAN PENAMBAHAN MODAL DENGAN MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU OLEH EMITEN DENGAN ASET SKALA KECIL ATAU EMITEN DENGAN ASET SKALA MENENGAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Emiten adalah Pihak yang melakukan penawaran umum. 2. Emiten dengan Aset Skala Kecil yang selanjutnya disebut Emiten Skala Kecil adalah Emiten berbentuk badan hukum yang didirikan di Indonesia yang: a. memiliki total aset atau istilah lain yang setara, tidak lebih dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) berdasarkan laporan keuangan yang digunakan dalam dokumen pernyataan pendaftaran; dan b. tidak dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung oleh: - 3 - 1) pengendali dari Emiten atau Perusahaan Publik yang bukan Emiten Skala Kecil atau Emiten dengan aset skala menengah; dan/atau 2) perusahaan yang memiliki aset lebih dari Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah). 3. Emiten dengan Aset Skala Menengah yang selanjutnya disebut Emiten Skala Menengah adalah Emiten berbentuk badan hukum yang didirikan di Indonesia yang: a. memiliki total aset atau istilah lain yang setara, lebih dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) sampai dengan Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah) berdasarkan laporan keuangan yang digunakan dalam dokumen pernyataan pendaftaran; dan b. tidak dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung oleh: 1) pengendali dari Emiten atau Perusahaan Publik yang bukan Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah; dan/atau 2) perusahaan yang memiliki aset lebih dari Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah). 4. Pernyataan Pendaftaran adalah dokumen yang wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Emiten dalam rangka penawaran umum atau Perusahaan Publik. 5. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran efek yang dilakukan oleh Emiten untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya. 6. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, - 4 - kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek. 7. Pengendali adalah pihak yang memiliki saham lebih dari 50% (lima puluh persen) dari seluruh saham yang disetor penuh, atau pihak yang mempunyai kemampuan untuk menentukan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara apapun pengelolaan dan/atau kebijaksanaan Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah. 8. Penawaran Umum oleh Emiten Skala Kecil adalah Penawaran Umum yang dilakukan oleh Emiten Skala Kecil dengan nilai keseluruhan Efek yang ditawarkan, tidak termasuk Efek lain yang menyertainya, dengan jumlah tidak lebih dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). 9. Penawaran Umum oleh Emiten Skala Menengah adalah Penawaran Umum yang dilakukan oleh Emiten Skala Menengah dengan nilai keseluruhan Efek yang ditawarkan, tidak termasuk Efek lain yang menyertainya, dengan jumlah tidak lebih dari Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah). 10. Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu yang selanjutnya disingkat HMETD adalah hak yang melekat pada saham yang memberikan kesempatan pemegang saham yang bersangkutan untuk membeli saham dan/atau Efek bersifat ekuitas lainnya baik yang dapat dikonversikan menjadi saham atau yang memberikan hak untuk membeli saham, sebelum ditawarkan kepada pihak lain. 11. Waran adalah Efek yang diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memberi hak kepada pemegang Efek untuk memesan saham dari perusahaan tersebut pada harga tertentu setelah 6 (enam) bulan sejak Efek dimaksud diterbitkan. 12. Kontrak Perwaliamanatan adalah perjanjian antara Emiten dan wali amanat dalam rangka penerbitan Efek bersifat utang yang dibuat dalam bentuk akta notariil. - 5 - 13. Penjamin Emisi Efek adalah Pihak yang membuat kontrak dengan Emiten untuk melakukan Penawaran Umum bagi kepentingan Emiten dengan atau tanpa kewajiban untuk membeli sisa Efek yang tidak terjual. 14. Akuntan Publik adalah seseorang yang telah memperoleh izin untuk memberikan jasa sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai akuntan publik dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. 15. Pemegang Saham Utama adalah pihak yang, baik secara langsung maupun tidak langsung, memiliki paling sedikit 20% (dua puluh persen) hak suara dari seluruh saham yang mempunyai hak suara yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan atau jumlah yang lebih kecil dari itu sebagaimana ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. 16. Pembeli Siaga adalah pihak yang akan membeli baik sebagian maupun seluruh sisa saham dan/atau Efek bersifat ekuitas lainnya yang tidak diambil oleh pemegang HMETD. Pasal 2 Penawaran Umum oleh Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah wajib mengikuti ketentuan peraturan perundang- undangan di sektor pasar modal mengenai tata cara pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum dan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal mengenai tata cara untuk meminta perubahan dan/atau tambahan informasi atas Pernyataan Pendaftaran. Pasal 3 Emiten Skala Kecil yang melakukan Penawaran Umum dengan nilai keseluruhan Efek yang ditawarkan lebih dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan tidak lebih dari Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah), tidak termasuk Efek lain yang menyertai Efek yang ditawarkan, wajib mengikuti ketentuan Penawaran Umum oleh Emiten Skala Menengah. - 6 - Pasal 4 Dalam hal Penawaran Umum disertai dengan penerbitan Waran, jumlah Waran yang akan diterbitkan dan Waran yang telah beredar tidak boleh melebihi 35% (tiga puluh lima persen) dari jumlah saham yang telah ditempatkan dan disetor penuh pada saat Pernyataan Pendaftaran disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 5 Penambahan modal oleh Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah dengan memberikan HMETD, wajib mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penambahan modal perusahaan terbuka dengan memberikan HMETD, kecuali diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 6 Prospektus dalam rangka Penawaran Umum dan penambahan modal dengan memberikan HMETD oleh Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah wajib mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai bentuk dan isi prospektus dalam rangka Penawaran Umum dan penambahan modal dengan memberikan HMETD oleh Emiten dengan Aset Skala Kecil atau Emiten dengan Aset Skala Menengah. BAB II PERNYATAAN PENDAFTARAN OLEH EMITEN SKALA KECIL Pasal 7 (1) Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum oleh Emiten Skala Kecil paling sedikit harus terdiri atas: - 7 - a. surat pengantar Pernyataan Pendaftaran sesuai dengan format Surat Pengantar Pernyataan Pendaftaran sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; b. prospektus; dan c. dokumen lain yang harus disampaikan sebagai bagian dari Pernyataan Pendaftaran. (2) Dokumen lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. laporan keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik; b. pendapat dari segi hukum; c. riwayat hidup dari anggota dewan komisaris atau organ lain yang setara dan anggota direksi atau organ lain yang setara; d. perjanjian dengan Penjamin Emisi Efek (jika menggunakan Penjamin Emisi Efek); e. pernyataan dari penjamin pelaksana emisi Efek (jika menggunakan penjamin pelaksana emisi Efek) sesuai dengan format Pernyataan Penjamin Pelaksana Emisi Efek sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; f. pernyataan dari Emiten Skala Kecil sesuai dengan format Pernyataan Emiten Skala Kecil sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; g. pernyataan dari profesi penunjang pasar modal sesuai dengan format Pernyataan Profesi Penunjang Pasar Modal sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; h. pernyataan tentang komitmen Emiten Skala Kecil untuk memenuhi ketentuan mengenai organ - 8 - dan/atau fungsi tata kelola bagi Emiten berdasarkan ketentuan yang berlaku di pasar modal sesuai dengan format Pernyataan tentang Komitmen dalam Pemenuhan Organ dan/atau Fungsi Tata Kelola oleh Emiten Skala Kecil sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini (jika diperlukan); dan i. dokumen yang memuat informasi lain sesuai dengan permintaan Otoritas Jasa Keuangan yang dianggap perlu dalam penelaahan Pernyataan Pendaftaran, sepanjang dapat diumumkan kepada masyarakat tanpa merugikan kepentingan Emiten Skala Kecil. Pasal 8 Dalam hal Emiten Skala Kecil melakukan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka penambahan modal dengan memberikan HMETD, selain wajib menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 kecuali Pasal 7 ayat (2) huruf b, huruf e, dan huruf h, Emiten Skala Kecil harus menyampaikan dokumen: a. bukti kecukupan dana dari: 1. Pemegang Saham Utama (jika Pemegang Saham Utama melaksanakan haknya); 2. Pembeli Siaga (jika terdapat Pembeli Siaga); dan/atau 3. pihak yang memperoleh pengalihan HMETD dari Pemegang Saham Utama (jika terdapat pihak yang memperoleh pengalihan HMETD); b. perjanjian pembelian sisa Efek (jika terdapat Pembeli Siaga); c. pendapat dari segi hukum yang berkaitan dengan aspek hukum dari penambahan modal dengan memberikan HMETD termasuk penggunaan dananya; d. surat pencabutan pembatasan yang dapat merugikan kepentingan pemegang saham publik dari kreditur; dan - 9 - e. dokumen yang berkaitan dengan penambahan modal dalam bentuk lain selain uang, paling sedikit meliputi: 1. laporan penilai atas objek penyetoran; 2. pendapat dari segi hukum atas objek penyetoran; dan 3. laporan keuangan perusahaan lain, dalam hal objek penyetoran adalah saham perusahaan lain, yang diaudit Akuntan Publik yang menjadi objek penyetoran untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terakhir atau sejak berdirinya, kecuali perusahaan lain tersebut berada di luar yurisdiksi Indonesia dapat diaudit oleh akuntan yang terdaftar di negara yang bersangkutan. Pasal 9 Dalam hal Emiten Skala Kecil mengajukan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Efek bersifat utang, selain harus menyampaikan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Emiten Skala Kecil harus menyampaikan dokumen: a. peringkat yang dikeluarkan oleh perusahaan pemeringkat Efek atas Efek bersifat utang dan/atau sukuk; b. Kontrak Perwaliamanatan; dan c. perjanjian penanggungan (jika ada). Pasal 10 (1) Dalam hal Emiten Skala Kecil mengajukan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum sukuk, selain harus menyampaikan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Emiten Skala Kecil harus menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerbitan dan persyaratan sukuk kecuali kewajiban penyampaian pernyataan kesesuaian syariah. (2) Kewajiban penyampaian pernyataan kesesuaian syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan - 10 - sebelum diterimanya pernyataan Otoritas Jasa Keuangan bahwa Emiten Skala Kecil wajib mengumumkan keterbukaan informasi. Pasal 11 Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. laporan keuangan 1 (satu) tahun terakhir atau sejak berdirinya bagi Emiten yang berdiri kurang dari 1 (satu) tahun; b. penyusunan dan penyajian laporan keuangan dapat menggunakan standar akuntansi keuangan untuk entitas tanpa akuntabilitas publik; c. dalam hal efektifnya Pernyataan Pendaftaran melebihi 6 (enam) bulan dari laporan keuangan tahunan terakhir, laporan keuangan tahunan terakhir harus dilengkapi dengan laporan keuangan interim yang telah diaudit oleh Akuntan Publik, sehingga jangka waktu antara tanggal efektif Pernyataan Pendaftaran dan tanggal laporan keuangan interim tidak melampaui 6 (enam) bulan; d. laporan keuangan interim sebagaimana dimaksud dalam huruf c harus disajikan dengan perbandingan periode interim yang sama dari 1 (satu) tahun buku sebelumnya, kecuali untuk laporan posisi keuangan; dan e. laporan keuangan interim yang digunakan sebagai pembanding tidak harus diaudit. Pasal 12 Dalam hal Emiten Skala Kecil menerapkan standar akuntansi keuangan untuk entitas tanpa akuntabilitas publik pada laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal mengenai penyajian dan pengungkapan laporan keuangan Emiten atau perusahaan publik dinyatakan tidak berlaku bagi Emiten Skala Kecil. - 11 - Pasal 13 Dalam hal Emiten Skala Kecil melakukan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka penambahan modal dengan memberikan HMETD, ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf a tidak berlaku, namun wajib menyampaikan laporan keuangan interim yang telah diaudit Akuntan Publik dengan ketentuan: a. jika laporan keuangan tahunan terakhir yang telah disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan akan berumur lebih dari 6 (enam) bulan pada saat Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif; dan b. jangka waktu antara tanggal laporan keuangan interim yang diaudit Akuntan Publik dan efektifnya Pernyataan Pendaftaran tidak lebih dari 6 (enam) bulan. Pasal 14 (1) Pendapat dari segi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b mencakup semua aspek hukum Emiten Skala Kecil, kecuali: a. pemeriksaan anggaran dasar hanya mencakup anggaran dasar pada saat pendirian dan anggaran dasar terakhir; dan b. pemeriksaan struktur permodalan dan perubahan kepemilikan saham hanya mencakup 2 (dua) tahun terakhir atau sejak berdirinya jika kurang dari 2 (dua) tahun sebelum Pernyataan Pendaftaran. (2) Dalam hal dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak terdapat perubahan struktur permodalan dan kepemilikan saham, laporan pemeriksaan segi hukum mencakup pemeriksaan struktur permodalan dan kepemilikan saham terakhir. Pasal 15 (1) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta informasi dan/atau dokumen lain yang tidak merupakan bagian dari Pernyataan Pendaftaran meliputi: - 12 - a. surat pernyataan bermeterai cukup dari Emiten Skala Kecil, anggota direksi atau organ lain yang setara, dan/atau anggota dewan komisaris atau organ lain yang setara tentang terlibat atau tidaknya dalam perkara hukum; b. surat pernyataan dari pihak yang membantu penyusunan prospektus (jika ada): 1. surat pernyataan persetujuan pencantuman nama pihak tersebut di prospektus; dan/atau 2. surat pencabutan dalam hal pihak tersebut mencabut persetujuannya; c. keterangan lain yang diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan dari pihak yang membantu dalam Penawaran Umum untuk mendukung kecukupan dan ketelitian dari pengungkapan yang diwajibkan (jika ada); dan/atau d. dokumen lain yang dibutuhkan. (2) Permintaan informasi dan/atau dokumen lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dimaksudkan untuk diumumkan kepada masyarakat karena dapat merugikan kepentingan Emiten Skala Kecil atau pihak terafiliasi. (3) Pencabutan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2 hanya dapat dilakukan sebelum efektifnya Pernyataan Pendaftaran. BAB III PERNYATAAN PENDAFTARAN OLEH EMITEN SKALA MENENGAH Pasal 16 (1) Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum oleh Emiten Skala Menengah paling sedikit harus terdiri atas: a. surat pengantar Pernyataan Pendaftaran sesuai dengan format Surat Pengantar Pernyataan - 13 - Pendaftaran sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; b. prospektus; dan c. dokumen lain yang harus disampaikan sebagai bagian dari Pernyataan Pendaftaran. (2) Dokumen lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. laporan keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik; b. pendapat dari segi hukum; c. riwayat hidup dari anggota dewan komisaris atau organ lain yang setara dan anggota direksi atau organ lain yang setara; d. perjanjian dengan Penjamin Emisi Efek (jika menggunakan Penjamin Emisi Efek); e. pernyataan dari penjamin pelaksana emisi Efek (jika menggunakan penjamin pelaksana emisi Efek) sesuai dengan format Pernyataan Penjamin Pelaksana Emisi Efek sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; f. pernyataan dari Emiten Skala Menengah sesuai dengan format Pernyataan Emiten Skala Menengah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; g. pernyataan dari profesi penunjang pasar modal sesuai dengan format Pernyataan Profesi Penunjang Pasar Modal sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; h. pernyataan tentang komitmen Emiten Skala Menengah untuk memenuhi ketentuan mengenai organ dan/atau fungsi tata kelola berdasarkan ketentuan yang berlaku di pasar modal sesuai - 14 - dengan format Pernyataan tentang Komitmen dalam Pemenuhan Organ dan/atau Fungsi Tata Kelola oleh Emiten Skala Menengah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini (jika diperlukan); dan i. dokumen yang memuat informasi lain sesuai dengan permintaan Otoritas Jasa Keuangan yang dianggap perlu dalam penelaahan Pernyataan Pendaftaran, sepanjang dapat diumumkan kepada masyarakat tanpa merugikan kepentingan Emiten Skala Menengah. Pasal 17 Dalam hal Emiten Skala Menengah melakukan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka penambahan modal dengan memberikan HMETD, selain wajib menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 kecuali Pasal 16 ayat (2) huruf b, huruf e, dan huruf h, Emiten Skala Menengah harus menyampaikan dokumen: a. bukti kecukupan dana dari: 1. Pemegang Saham Utama (jika Pemegang Saham Utama melaksanakan haknya); 2. Pembeli Siaga (jika terdapat Pembeli Siaga); dan/atau 3. pihak yang memperoleh pengalihan HMETD dari Pemegang Saham Utama (jika terdapat pihak yang memperoleh pengalihan dana); b. perjanjian pembelian sisa Efek (jika terdapat Pembeli Siaga); c. pendapat dari segi hukum yang berkaitan dengan aspek hukum dari penambahan modal dengan memberikan HMETD termasuk penggunaan dananya; d. surat pencabutan pembatasan yang dapat merugikan kepentingan pemegang saham publik dari kreditur; dan - 15 - e. dokumen lain yang berkaitan dengan penambahan modal dalam bentuk lain selain uang, paling sedikit meliputi: 1. laporan penilai atas objek penyetoran; 2. pendapat dari segi hukum atas objek penyetoran; dan 3. laporan keuangan perusahaan lain, dalam hal objek penyetoran adalah saham perusahaan lain, yang diaudit Akuntan Publik yang menjadi objek penyetoran untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terakhir atau sejak berdirinya, kecuali perusahaan lain tersebut berada di luar yurisdiksi Indonesia dapat diaudit oleh akuntan yang terdaftar di negara yang bersangkutan. Pasal 18 Dalam hal Emiten Skala Menengah mengajukan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Efek bersifat utang, selain harus menyampaikan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), Emiten Skala Menengah harus menyampaikan dokumen: a. peringkat yang dikeluarkan oleh perusahaan pemeringkat Efek atas Efek bersifat utang dan/atau sukuk; b. Kontrak Perwaliamanatan; dan c. perjanjian penanggungan (jika ada). Pasal 19 (1) Dalam hal Emiten Skala Menengah mengajukan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum sukuk, selain harus menyampaikan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), Emiten Skala Menengah harus menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerbitan dan persyaratan sukuk kecuali kewajiban penyampaian pernyataan kesesuaian syariah. - 16 - (2) Kewajiban penyampaian pernyataan kesesuaian syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan sebelum diterimanya pernyataan Otoritas Jasa Keuangan bahwa Emiten Skala Menengah wajib mengumumkan keterbukaan informasi. Pasal 20 Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir atau sejak berdirinya bagi Emiten yang berdiri kurang dari 2 (dua) tahun yang disajikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai penyajian dan pengungkapan laporan keuangan Emiten atau perusahaan publik serta ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai pedoman akuntansi perusahaan Efek; b. dalam hal efektifnya Pernyataan Pendaftaran melebihi 6 (enam) bulan dari laporan keuangan tahunan terakhir, laporan keuangan tahunan terakhir harus dilengkapi dengan laporan keuangan interim yang telah diaudit oleh Akuntan Publik, sehingga jangka waktu antara tanggal efektif Pernyataan Pendaftaran dan tanggal laporan keuangan interim tidak melampaui 6 (enam) bulan; c. laporan keuangan interim sebagaimana dimaksud dalam huruf b harus disajikan dengan perbandingan periode interim yang sama dari 1 (satu) tahun buku sebelumnya, kecuali untuk laporan posisi keuangan; dan d. laporan keuangan interim yang digunakan sebagai pembanding tidak harus diaudit. Pasal 21 Dalam hal Emiten Skala Menengah melakukan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka penambahan modal dengan memberikan HMETD, ketentuan Pasal 16 ayat (2) huruf a - 17 - tidak berlaku, namun wajib menyampaikan laporan keuangan interim yang telah diaudit Akuntan Publik dengan ketentuan: a. jika laporan keuangan tahunan terakhir yang telah disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan akan berumur lebih dari 6 (enam) bulan pada saat Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif; dan b. jangka waktu antara tanggal laporan keuangan interim yang diaudit Akuntan Publik dan efektifnya Pernyataan Pendaftaran tidak lebih dari 6 (enam) bulan. Pasal 22 (1) Pendapat dari segi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf b mencakup semua aspek hukum Emiten Skala Menengah, kecuali: a. pemeriksaan anggaran dasar hanya mencakup anggaran dasar pada saat pendirian dan anggaran dasar terakhir; dan b. pemeriksaan struktur permodalan dan perubahan kepemilikan saham hanya mencakup 2 (dua) tahun terakhir atau sejak berdirinya jika kurang dari 2 (dua) tahun sebelum Pernyataan Pendaftaran. (2) Dalam hal dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak terdapat perubahan struktur permodalan dan kepemilikan saham, laporan pemeriksaan segi hukum mencakup pemeriksaan struktur permodalan dan kepemilikan saham terakhir. Pasal 23 (1) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta informasi dan/atau dokumen lain yang tidak merupakan bagian dari Pernyataan Pendaftaran meliputi: a. surat pernyataan bermeterai cukup dari Emiten Skala Menengah, anggota direksi atau organ lain yang setara, dan/atau anggota dewan komisaris atau organ lain yang setara tentang terlibat atau tidaknya dalam perkara hukum; - 18 - b. surat pernyataan dari pihak yang membantu penyusunan prospektus (jika ada): 1. surat pernyataan persetujuan pencantuman nama pihak tersebut di prospektus; dan/atau 2. surat pencabutan dalam hal pihak tersebut mencabut persetujuannya; c. keterangan lain yang diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan dari pihak yang membantu dalam suatu Penawaran Umum untuk mendukung kecukupan dan ketelitian dari pengungkapan yang diwajibkan (jika ada); dan/atau d. dokumen lain yang dibutuhkan. (2) Permintaan informasi dan/atau dokumen lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dimaksudkan untuk diumumkan kepada masyarakat karena dapat merugikan kepentingan Emiten Skala Menengah atau pihak terafiliasi Emiten Skala Menengah. (3) Pencabutan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2 hanya dapat dilakukan sebelum efektifnya Pernyataan Pendaftaran. BAB IV KETERBUKAAN INFORMASI Pasal 24 (1) Setelah disampaikannya Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum, Emiten Skala Kecil dan Emiten Skala Menengah, serta setiap pihak yang memberikan pendapat atau keterangan dan atas persetujuannya, pendapat atau keterangan tersebut dimuat dalam Pernyataan Pendaftaran dan dokumen pendukungnya, dilarang mengumumkan keterbukaan informasi mengenai Penawaran Umum sampai dengan diterimanya pernyataan Otoritas Jasa Keuangan bahwa Emiten Skala Kecil dan Emiten Skala Menengah wajib mengumumkan keterbukaan informasi. - 19 - (2) Keterbukaan informasi mengenai Penawaran Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diumumkan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah diterimanya pernyataan Otoritas Jasa Keuangan bahwa Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah sudah dapat melakukan penawaran awal dan/atau menyebarkan informasi yang berkaitan dengan Penawaran Umum. (3) Keterbukaan informasi mengenai Penawaran Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diumumkan dalam situs web Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah atau situs web Penjamin Emisi Efek (jika menggunakan Penjamin Emisi Efek). Pasal 25 Informasi yang dimuat dalam keterbukaan informasi sebagaimana dimaksud Pasal 24 ayat (2) paling sedikit meliputi: a. tanggal terkait Penawaran Umum; b. jumlah Efek yang ditawarkan; c. nilai nominal (jika ada); d. harga penawaran (jika ada); e. total nilai Penawaran Umum; f. Efek lain yang menyertai (jika ada); g. rencana penggunaan dana; h. hasil pemeringkatan Efek dari perusahaan pemeringkat Efek; dan i. keterangan yang menyatakan bahwa prospektus dan formulir pemesanan pembelian Efek tersedia di kantor Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah atau kantor Penjamin Emisi Efek dan/atau situs web Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah atau situs web Penjamin Emisi Efek. Pasal 26 Dalam hal Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah melakukan penambahan modal dengan memberikan HMETD, - 20 - selain informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah harus menambahkan informasi: a. tanggal dan hasil keputusan rapat umum pemegang saham yang menyetujui penambahan modal dengan memberikan HMETD; b. rasio HMETD atas saham atau indikasi rasio HMETD atas saham dalam hal rasio belum dapat ditentukan; c. uraian mengenai perlakuan HMETD dalam bentuk pecahan; d. rasio Efek lain yang menyertai dengan saham yang akan diterbitkan; e. keterangan tentang rencana untuk mengeluarkan saham dan/atau Efek bersifat ekuitas lainnya dalam waktu 12 (dua belas) bulan setelah tanggal efektif (jika ada); f. pernyataan yang menyatakan Pemegang Saham Utama akan melaksanakan atau tidak melaksanakan HMETD yang dimiliki dan informasi nama pihak yang akan menerima pengalihan HMETD (jika ada); g. keterangan mengenai Pembeli Siaga dan/atau calon Pengendali (jika ada); h. dampak dilusi bagi pemegang saham dari penerbitan saham baru; i. uraian mengenai penyetoran atas saham dalam bentuk lain selain uang paling sedikit meliputi: 1) keterangan tentang objek penyetoran; 2) 3) nama pihak yang melakukan penyetoran; dan 4) nilai setoran modal; dan j. uraian singkat mengenai Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi (jika menerbitkan Efek dimaksud). hasil penilaian atas nilai wajar objek penyetoran dan kewajaran transaksi penyetoran; - 21 - BAB V KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 27 (1) Bagi Emiten Skala Kecil yang belum memenuhi ketentuan terkait dengan organ dan/atau fungsi tata kelola, wajib memenuhi ketentuan tersebut paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak efektifnya Pernyataan Pendaftaran Penawaran Umum perdana Efek. (2) Bagi Emiten Skala Menengah yang belum memenuhi ketentuan terkait dengan organ dan/atau fungsi tata kelola, wajib memenuhi ketentuan tersebut paling lambat 6 (enam) bulan sejak efektifnya Pernyataan Pendaftaran Penawaran Umum perdana Efek. Pasal 28 (1) Dalam hal Emiten Skala Kecil yang telah melakukan Penawaran Umum tidak lagi memenuhi kriteria sebagai Emiten Skala Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, Emiten Skala Kecil dilarang menggunakan standar akuntansi keuangan untuk entitas tanpa akuntabilitas publik. (2) Emiten Skala Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyajikan dan mengungkapkan laporan keuangannya sesuai dengan pedoman penyajian dan pengungkapan laporan keuangan sebagaimana diatur dalam peraturan mengenai pedoman pengungkapan dan penyajian laporan keuangan Emiten atau perusahaan publik untuk periode laporan keuangan yang dimulai 1 (satu) tahun setelah Emiten Skala Kecil tidak lagi memenuhi kriteria Emiten Skala Kecil. Pasal 29 Ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini tidak berlaku bagi Emiten yang memenuhi kriteria Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah yang telah menyampaikan - 22 - Pernyataan Pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Pernyataan Pendaftaran-nya telah memperoleh pernyataan efektif dari Otoritas Jasa Keuangan pada saat diundangkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 30 Surat Edaran Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor SE-06/BL/2010 tentang Penggunaan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik bagi Entitas yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal atau Menghimpun dan/atau Mengelola Dana Masyarakat Melalui Pasar Modal, Perusahaan Publik, dan Lembaga Keuangan Non-Bank, tidak berlaku bagi Emiten Skala Kecil yang menggunakan standar akuntansi keuangan untuk entitas tanpa akuntabilitas publik sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB VI KETENTUAN SANKSI Pasal 31 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. peringatan tertulis; b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan/atau g. pembatalan pendaftaran. - 23 - (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 32 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 33 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 kepada masyarakat. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 34 Bagi Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah yang telah mengajukan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum kepada Otoritas Jasa Keuangan namun Pernyataan Pendaftaran dimaksud belum efektif sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dokumen Pernyataan Pendaftaran yang disampaikan oleh Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah dalam rangka Penawaran Umum tetap mengikuti Peraturan Nomor IX.C.7, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-11/PM/1997 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi - 24 - Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum oleh Perusahaan Menengah atau Kecil. Pasal 35 Bagi Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah yang telah mengajukan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka penambahan modal dengan memberikan HMETD kepada Otoritas Jasa Keuangan namun Pernyataan Pendaftaran dimaksud belum efektif sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dokumen Pernyataan Pendaftaran yang disampaikan oleh Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah dalam rangka penambahan modal dengan memberikan HMETD tetap mengikuti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 32/POJK.04/2015 tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 36 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-11/PM/1997 tentang Pedoman Mengenai Bentuk Dan Isi Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum oleh Perusahaan Skala Menengah atau Kecil, beserta Peraturan Nomor IX.C.7 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 37 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 25 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Juli 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Juli 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 171 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 53 /POJK.04/2017 TENTANG PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM DAN PENAMBAHAN MODAL DENGAN MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU OLEH EMITEN DENGAN SKALA ASET KECIL ATAU EMITEN DENGAN SKALA ASET MENENGAH I. UMUM Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang pada pokoknya mengatur bahwa setiap pihak yang akan melakukan Penawaran Umum wajib menyampaikan Pernyataan Pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Pernyataan Pendaftaran tersebut telah menjadi efektif. Selanjutnya, berdasarkan kewenangan yang diberikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan memiliki kewenangan untuk mengatur dokumen yang wajib disampaikan pada saat penyampaian Pernyataan Pendaftaran. Pengaturan mengenai dokumen yang harus disampaikan untuk penyampaian Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah saat ini diatur dengan Peraturan Nomor IX.C.7, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-11/PM/1997 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum oleh Perusahaan Menengah atau Kecil. Namun, dalam perkembangannya perlu adanya penyesuaian atas definisi mengenai Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah serta penyederhanaan dokumen Pernyataan Pendaftaran sehingga mempermudah akses bagi Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala - 2 - Menengah untuk memanfaatkan pasar modal sebagai sumber pendanaan melalui Penawaran Umum. Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam revisi Peraturan Nomor IX.C.7 dilakukan perubahan atas definisi Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah dengan memisahkan definisi atas masing-masing Emiten dan mengatur mengenai batasan klasifikasi total aset serta jumlah Penawaran Umum yang dapat dilakukan oleh Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah. Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah dalam revisi peraturan ini merupakan Emiten berbentuk badan hukum, antara lain perseroan terbatas, yayasan, dan koperasi. Selanjutnya, dilakukan penyederhanaan dokumen Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum oleh Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah, yaitu antara lain: a. penggunaan standar akuntansi keuangan yang berbeda pada Emiten Skala Kecil, dimana untuk Emiten Skala Kecil dapat menggunakan standar akuntansi keuangan untuk entitas tanpa akuntabilitas publik; b. mempersingkat periode kewajiban audit atas laporan keuangan dalam rangka Penawaran Umum, dimana untuk Emiten Skala Kecil laporan keuangan yang diaudit wajib 1 (satu) tahun atau sejak berdirinya jika kurang dari 1 (satu) tahun sedangkan untuk Emiten Skala Menengah wajib 2 (dua) tahun atau sejak berdirinya jika kurang dari 2 (dua) tahun; dan c. menghapus kewajiban penggunaan comfort letter dan surat pernyataan manajemen dalam bidang akuntansi sebagai dokumen Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum untuk Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah. Selain hal-hal tersebut di atas, diberikan pula kelonggaran dalam penerapan ketentuan terkait tata kelola pada Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. - 3 - Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Huruf a Bukti kecukupan dana dari masing-masing pihak untuk mendukung masing-masing surat pernyataannya misalnya rekening koran bank yang menunjukkan masing-masing pihak mempunyai cukup dana untuk melaksanakan kewajibannya membeli saham. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Dalam praktiknya, pembatasan dikenal juga dengan sebutan negative covenant. Contoh: pembatasan pembagian dividen oleh debitur kepada pemegang saham. Huruf e Cukup jelas. - 4 - Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Huruf a Bukti kecukupan dana dari masing-masing pihak untuk mendukung masing-masing surat pernyataannya misalnya rekening koran bank yang menunjukkan masing-masing pihak mempunyai cukup dana untuk melaksanakan kewajibannya membeli saham. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. - 5 - Huruf d Dalam praktiknya, pembatasan dikenal juga dengan sebutan negative covenant. Contoh: pembatasan pembagian dividen oleh debitur kepada pemegang saham. Huruf e Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam praktiknya, penawaran awal dikenal juga dengan sebutan bookbuilding. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. - 6 - Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Organ dan/atau fungsi terkait dengan tata kelola antara lain komisaris independen, komite audit, satuan audit internal, sekretaris perusahaan, dan komite remunerasi dan nominasi. Ayat (2) Organ dan/atau fungsi terkait dengan tata kelola antara lain komisaris independen, komite audit, satuan audit internal, sekretaris perusahaan, dan komite remunerasi dan nominasi. Pasal 28 Ayat (1) Contoh PT A Tbk memiliki total aset sebesar Rp 51 Miliar atau menjadi afiliasi atau dikendalikan oleh suatu perusahaan yang bukan Emiten dengan Aset Skala Kecil atau Emiten dengan Aset Skala Menengah berdasarkan laporan keuangan tahunan untuk periode yang berakhir tanggal 31 Desember 2015, maka laporan keuangan untuk periode 1 Januari 2016 sampai 31 Desember 2016 masih dapat menggunakan standar akuntansi keuangan untuk entitas tanpa akuntabilitas publik. PT A Tbk tidak dapat menggunakan standar akuntansi keuangan untuk entitas tanpa akuntabilitas publik untuk laporan keuangan yang dimulai pada tanggal 1 Januari 2017. Apabila PT A Tbk mengalami penurunan aset pada periode 1 Januari 2016 sampai 31 Desember 2016 sehingga memenuhi kriteria Emiten dengan Skala Aset Kecil, PT A Tbk tetap tidak diperbolehkan menggunakan standar akuntansi keuangan untuk entitas tanpa akuntabilitas publik. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. - 7 - Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa: a. penundaan pemberian pernyataan efektif, misalnya pernyataan efektif untuk penggabungan usaha dan peleburan usaha; dan b. penundaan pemberian pernyataan Otoritas Jasa Keuangan bahwa tidak ada tanggapan lebih lanjut atas dokumen yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka penambahan modal dengan memberikan HMETD Perusahaan Terbuka. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6105
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 53/POJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM DAN PENAMBAHAN MODAL DENGAN MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU OLEH EMITEN DENGAN ASET SKALA KECIL ATAU EMITEN DENGAN ASET SKALA MENENGAH </reg_title> <set_date> 19 Juli 2017 </set_date> <effective_date> 27 Juli 2017 </effective_date> <issued_date> 27 Juli 2017 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-11/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM/1997', 'Kep-11/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM/1997 | Lampiran Peraturan Nomor IX.C.7' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /POJK.05/2015 TENTANG PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI, DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 42 ayat (4), Pasal 44 ayat (3), Pasal 45 ayat (3), dan Pasal 51 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pembubaran, Likuidasi, dan Kepailitan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI, REASURANSI SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan adalah perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan perusahaan reasuransi syariah. 2. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 3. Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan asuransi umum syariah dan perusahaan asuransi jiwa syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 4. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi, perusahaan penjaminan, atau Perusahaan Reasuransi lainnya. 5. Perusahaan Reasuransi Syariah adalah perusahaan yang melakukan pengelolaan risiko berdasarkan prinsip syariah atas risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan penjaminan syariah, atau Perusahaan Reasuransi Syariah lainnya. 6. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah RUPS sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang reasuransi, dan DAN PERUSAHAAN - 3 - Perseroan Terbatas bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan RUPS pada badan hukum koperasi. 7. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Direksi pada badan hukum koperasi. 8. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Dewan Komisaris pada badan hukum koperasi. 9. Dewan Pengawas Syariah adalah bagian dari organ Perusahaan yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yang melakukan fungsi pengawasan atas penyelenggaraan usaha asuransi atau usaha reasuransi agar sesuai dengan prinsip syariah. 10. Pencabutan Izin Usaha Perusahaan adalah dicabutnya izin usaha Perusahaan oleh Otoritas Jasa Keuangan karena Perusahaan tidak memenuhi peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian atau dinyatakan pailit oleh pengadilan. 11. Pembubaran Perusahaan yang selanjutnya disebut Pembubaran adalah proses pengakhiran status badan hukum Perusahaan setelah Pencabutan Izin Usaha Perusahaan. 12. Likuidasi Perusahaan yang selanjutnya disebut Likuidasi adalah tindakan penyelesaian seluruh aset dan kewajiban Perusahaan sebagai akibat Pencabutan Izin Usaha Perusahaan dan Pembubaran. 13. Tim Likuidasi adalah tim yang bertugas melakukan Likuidasi, yang dibentuk oleh RUPS atau Otoritas Jasa Keuangan. 14. Pemegang Polis adalah pihak yang mengikatkan diri berdasarkan perjanjian dengan Perusahaan untuk - 4 - mendapatkan pelindungan atau pengelolaan atas risiko bagi dirinya, tertanggung, atau peserta lain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 15. Tertanggung adalah pihak yang menghadapi risiko sebagaimana diatur dalam perjanjian asuransi atau perjanjian reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 16. Peserta adalah pihak yang menghadapi risiko sebagaimana diatur dalam perjanjian asuransi syariah atau perjanjian reasuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 17. Kreditor adalah setiap pihak yang memiliki piutang atau tagihan kepada Perusahaan termasuk Pemegang Polis, Tertanggung, Peserta, atau pihak lain yang berhak atas manfaat asuransi/asuransi syariah dan pegawai Perusahaan. 18. Dana Asuransi adalah kumpulan dana yang berasal dari premi yang dibentuk untuk memenuhi kewajiban yang timbul dari polis yang diterbitkan atau dari klaim asuransi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 19. Dana Tabarru' adalah kumpulan dana yang berasal dari kontribusi para Peserta, yang mekanisme penggunaannya sesuai dengan perjanjian asuransi syariah atau perjanjian reasuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 20. Neraca Penutupan adalah neraca Perusahaan per tanggal Pencabutan Izin Usaha Perusahaan yang disusun sesuai dengan standar akuntasi keuangan yang berlaku. 21. Neraca Sementara Likuidasi adalah neraca Perusahaan per tanggal Pencabutan Izin Usaha Perusahaan yang disusun oleh Tim Likuidasi berdasarkan Neraca Penutupan yang telah diaudit dengan memperhitungkan: a. posisi aset berdasarkan nilai yang diperkirakan - 5 - dapat direalisasikan; dan b. posisi kewajiban setelah berakhirnya jangka waktu pengajuan tagihan atau piutang oleh Kreditor. 22. Neraca Akhir Likuidasi adalah neraca yang disampaikan oleh Tim Likuidasi setelah proses Likuidasi selesai atau berakhirnya jangka waktu pelaksanaan Likuidasi. 23. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 24. Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi yang selanjutnya disebut PAYDI adalah produk asuransi yang paling sedikit memberikan perlindungan terhadap risiko kematian dan memberikan manfaat yang mengacu pada hasil investasi dari kumpulan dana yang khusus dibentuk untuk produk asuransi baik yang dinyatakan dalam bentuk unit maupun bukan unit. 25. Benturan Kepentingan adalah keadaan dimana terdapat konflik antara kepentingan ekonomis Perusahaan dengan kepentingan ekonomis pribadi pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau anggota Dewan Pengawas Syariah. 26. Surat Kabar adalah surat kabar harian berbahasa Indonesia yang beredar secara nasional. 27. Hari adalah hari kalender. 28. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. - 6 - BAB II PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI PERUSAHAAN YANG DICABUT IZIN USAHANYA KARENA TIDAK MEMENUHI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PERASURANSIAN Bagian Kesatu Kewajiban dan Larangan bagi Perusahaan Pasca Pencabutan Izin Usaha Perusahaan Pasal 2 (1) Perusahaan wajib menghentikan kegiatan usaha serta segera menyelenggarakan RUPS untuk memutuskan Pembubaran dan membentuk Tim Likuidasi sejak Pencabutan Izin Usaha Perusahaan. (2) Sejak Pencabutan Izin Usaha Perusahaan, pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi, Direksi, Dewan Komisaris, dan pegawai Perusahaan dilarang mengalihkan, menjaminkan, mengagunkan, atau menggunakan kekayaan, atau melakukan tindakan lain yang dapat mengurangi aset atau menurunkan nilai aset Perusahaan. Pasal 3 (1) Direksi wajib menyusun dan menyampaikan Neraca Penutupan kepada OJK paling lama 15 (lima belas) Hari sejak tanggal Pencabutan Izin Usaha Perusahaan. (2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Neraca Penutupan tidak disampaikan kepada OJK, OJK menunjuk akuntan publik untuk menyusun Neraca Penutupan. (3) Dalam hal Neraca Penutupan disusun oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tanggung jawab atas Neraca Penutupan dimaksud tetap berada pada Direksi. (4) Batas waktu penyampaian Neraca Penutupan yang disusun oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud - 7 - pada ayat (2) harus mempertimbangkan lokasi kantor, kondisi aset, dan kompleksitas permasalahan Perusahaan dengan ketentuan paling lama 60 (enam puluh) Hari sejak tanggal penunjukan akuntan publik tersebut. (5) Biaya penyusunan Neraca Penutupan oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi beban Perusahaan. (6) OJK menyampaikan Neraca Penutupan kepada Tim Likuidasi setelah menerima Neraca Penutupan yang disusun dan disampaikan oleh Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau yang disusun dan disampaikan oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Bagian Kedua Pembubaran Pasal 4 (1) Paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak tanggal dicabutnya izin usaha, Perusahaan yang dicabut izin usahanya wajib menyelenggarakan RUPS untuk memutuskan Pembubaran yang bersangkutan dan membentuk Tim Likuidasi. (2) Anggota Tim Likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan OJK. (3) Untuk memperoleh persetujuan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Direksi harus menyampaikan dokumen sebagai berikut: a. fotokopi bukti identitas calon anggota Tim Likuidasi; b. daftar riwayat hidup calon anggota Tim Likuidasi; dan c. pernyataan calon anggota Tim Likuidasi bahwa yang bersangkutan bersedia untuk melaksanakan Likuidasi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan Peraturan OJK ini. - 8 - (4) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib disampaikan kepada OJK paling lama 15 (lima belas) Hari sebelum tanggal pelaksanaan RUPS. (5) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas usulan calon anggota Tim Likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 5 (lima) Hari setelah diterimanya dokumen secara lengkap. (6) Apabila telah melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) OJK belum memberikan persetujuan atau penolakan atas usulan calon anggota Tim Likuidasi, OJK dianggap menyetujui susunan calon anggota Tim Likuidasi yang diajukan. (7) Dalam hal OJK menolak usulan calon anggota Tim Likuidasi, Direksi wajib menyampaikan usulan calon anggota Tim Likuidasi yang baru dan menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 5 (lima) Hari setelah diterimanya pemberitahuan dari OJK. Pasal 5 (1) Dalam rangka Pembubaran, Tim Likuidasi yang dibentuk oleh RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) mendaftarkan dan memberitahukan Pembubaran kepada instansi yang berwenang, serta mengumumkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia dan 2 (dua) surat kabar harian yang mempunyai peredaran yang luas. (2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak tanggal keputusan Pembubaran oleh RUPS. (3) Pemberitahuan dan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. Pembubaran dan dasar hukumnya; b. nama dan alamat Tim Likuidasi; c. tata cara pengajuan tagihan; dan d. jangka waktu pengajuan tagihan. (4) Jangka waktu pengajuan tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d bagi Perusahaan yang berbentuk - 9 - badan hukum perseroan terbatas paling lama 60 (enam puluh) Hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Jangka waktu pengajuan tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum koperasi paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 6 (1) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (l) RUPS tidak dapat diselenggarakan atau RUPS dapat diselenggarakan, tetapi tidak berhasil memutuskan Pembubaran dan tidak berhasil membentuk Tim Likuidasi, OJK: a. memutuskan Pembubaran dan membentuk Tim Likuidasi; b. mendaftarkan dan memberitahukan Pembubaran kepada instansi yang berwenang, serta mengumumkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia dan 2 (dua) surat kabar harian yang mempunyai peredaran yang luas; c. memerintahkan Tim Likuidasi melaksanakan Likuidasi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan Peraturan OJK ini; dan d. memerintahkan Tim Likuidasi melaporkan hasil pelaksanaan Likuidasi kepada OJK. (2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh OJK paling lama 15 (lima belas) Hari sejak tanggal keputusan Pembubaran oleh OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Pemberitahuan dan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memuat: a. Pembubaran dan dasar hukumnya; b. nama dan alamat Tim Likuidasi; c. d. tata cara pengajuan tagihan; dan jangka waktu pengajuan tagihan. - 10 - (4) Jangka waktu pengajuan tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas paling lama 60 (enam puluh) Hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. (5) Jangka waktu pengajuan tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum koperasi paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. Pasal 7 (1) Sejak keputusan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) atau keputusan OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas disebut Perusahaan dalam Likuidasi dan wajib mencantumkan kata “(dalam likuidasi)” disingkat “(DL)” di belakang nama Perusahaan. (2) Sejak keputusan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) atau keputusan OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Perusahaan yang berbentuk badan hukum koperasi disebut Perusahaan dalam penyelesaian dan wajib mencantumkan kata “(dalam penyelesaian)” disingkat “(DP)” di belakang nama Perusahaan. Bagian Ketiga Tim Likuidasi Paragraf 1 Umum Pasal 8 (1) Sejak terbentuknya Tim Likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 6: a. tanggung jawab dan kepengurusan Perusahaan dalam Likuidasi dilaksanakan oleh Tim Likuidasi; - 11 - b. Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas Syariah: 1. tidak memiliki lagi kewenangan sebagai Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas Syariah serta menjadi non aktif; 2. tidak diperkenankan untuk mengundurkan diri sebelum Likuidasi selesai, kecuali dengan persetujuan OJK; dan 3. tidak berhak menerima gaji dan penghasilan lainnya sebagai Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas Syariah Perusahaan dalam Likuidasi. (2) Pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi, Direksi, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah dan pegawai Perusahaan dalam Likuidasi wajib memberikan data, informasi, dan dokumen yang diperlukan oleh Tim Likuidasi. (3) Pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi, Direksi, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, dan pegawai Perusahaan dalam Likuidasi dilarang menghambat proses Likuidasi. Paragraf 2 Tugas dan Wewenang Tim Likuidasi Pasal 9 Tim Likuidasi mempunyai tugas sebagai berikut: a. menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan Pembubaran; b. menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan pegawai Perusahaan; c. melakukan pemberesan aset dan kewajiban Perusahaan; d. menyampaikan laporan berkala dan laporan insidentil apabila diperlukan kepada OJK; - 12 - e. melakukan pertanggungjawaban pelaksanaan Likuidasi kepada: 1. RUPS, untuk Tim Likuidasi yang dibentuk oleh RUPS; atau 2. OJK, untuk Tim Likuidasi yang dibentuk oleh OJK; dan f. melakukan tugas lainnya yang dianggap perlu untuk melaksanakan proses Likuidasi. Pasal 10 Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Tim Likuidasi berwenang: a. mewakili Perusahaan dalam Likuidasi dalam segala hal yang berkaitan dengan penyelesaian hak dan kewajiban Perusahaan tersebut baik di dalam maupun di luar pengadilan; b. melakukan perundingan dan tindakan lainnya dalam rangka penjualan aset dan penagihan piutang terhadap para debitor; c. melakukan pemanggilan, perundingan, dan pembayaran kewajiban kepada para Kreditor; d. mempekerjakan tenaga pendukung Tim Likuidasi, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar Perusahaan dalam Likuidasi; e. menunjuk pihak lain untuk membantu pelaksanaan Likuidasi, antara lain konsultan aktuaria, penilai, dan advokat/pengacara/konsultan hukum; f. melakukan pemanggilan kepada para Kreditor; g. meminta pembatalan kepada pengadilan atas segala perbuatan hukum Perusahaan yang diduga merugikan Perusahaan dan dilakukan tidak dengan itikad baik; dan h. melakukan tindakan lain yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Likuidasi. Pasal 11 Dalam rangka mewakili Perusahaan dalam Likuidasi di luar dan di dalam Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal - 13 - 10 huruf a, Tim Likuidasi dapat menggunakan jasa advokat/pengacara/konsultan hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 12 (1) Dalam rangka mempekerjakan tenaga pendukung Tim Likuidasi dan penunjukan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf d dan huruf e, Tim Likuidasi wajib mempertimbangkan: a. efisiensi dalam pelaksanaan Likuidasi; b. keahlian tenaga pendukung Tim Likuidasi atau pihak lain dimaksud; dan c. kemampuan keuangan Perusahaan dalam Likuidasi untuk membayar remunerasi tenaga pendukung Tim Likuidasi atau pihak lain dimaksud. (2) Remunerasi tenaga pendukung Tim Likuidasi atau pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi honorarium, tunjangan hari raya, dan keikutsertaan dalam program jaminan sosial nasional sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 13 Dalam rangka meminta pembatalan kepada pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf g, Tim Likuidasi terlebih dahulu melakukan tindakan antara lain mengidentifikasi perikatan yang masih berlaku pada tanggal Pencabutan Izin Usaha Perusahaan yang diduga merugikan Perusahaan, dengan cara meneliti: a. keabsahan perikatan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan b. kewajaran harga transaksi. Pasal 14 Tim Likuidasi harus bertindak adil dan objektif dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. - 14 - Paragraf 3 Jangka Waktu Pelaksanaan Likuidasi Pasal 15 (1) Pelaksanaan Likuidasi oleh Tim Likuidasi wajib diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pembentukan Tim Likuidasi. (2) Dalam hal pelaksanaan Likuidasi belum dapat diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka: a. RUPS berwenang memperpanjang jangka waktu pelaksanaan Likuidasi paling banyak 2 (dua) kali masing-masing paling lama 1 (satu) tahun untuk Tim Likuidasi yang dibentuk oleh RUPS setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari OJK; b. OJK dapat memperpanjang jangka waktu pelaksanaan Likuidasi paling banyak 2 (dua) kali masing-masing paling lama 1 (satu) tahun untuk Tim Likuidasi yang dibentuk oleh OJK. (3) Permohonan perpanjangan jangka waktu pelaksanaan Likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit harus dilengkapi dengan: a. alasan perpanjangan jangka waktu pelaksanaan Likuidasi; b. laporan perkembangan proses Likuidasi sampai dengan tanggal permohonan beserta bukti pendukungnya; dan c. rencana kerja dan anggaran biaya selama perpanjangan jangka waktu pelaksanaan Likuidasi. (4) Permohonan perpanjangan jangka waktu pelaksanaan Likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan paling lama 4 (empat) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu pelaksanaan Likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau berakhirnya perpanjangan jangka waktu yang pertama. - 15 - (5) Dalam hal pelaksanaan Likuidasi belum dapat diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), OJK dapat: a. menunggu sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dalam hal belum selesainya pelaksanaan Likuidasi sampai jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikarenakan adanya gugatan atau sengketa pada aset bermasalah Perusahaan dalam Likuidasi; atau b. menetapkan langkah penyelesaian lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Paragraf 4 Anggota Tim Likuidasi Pasal 16 (1) Anggota Tim Likuidasi untuk setiap Perusahaan dalam Likuidasi paling sedikit 2 (dua) orang dan paling banyak 5 (lima) orang. (2) Penetapan jumlah anggota Tim Likuidasi dilakukan dengan mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan Likuidasi. (3) Dalam hal diperlukan, salah satu anggota pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi, Direksi, atau Dewan Komisaris dapat ditunjuk sebagai anggota Tim Likuidasi dengan mempertimbangkan pemahaman atas permasalahan yang terjadi pada Perusahaan, bersikap kooperatif, dan tidak mempunyai Benturan Kepentingan yang dapat merugikan Perusahaan. (4) Salah satu anggota Tim Likuidasi ditetapkan sebagai ketua Tim Likuidasi. Pasal 17 (1) Penunjukan Tim Likuidasi dilakukan dengan mempertimbangkan integritas, kompetensi, dan reputasi keuangan calon anggota Tim Likuidasi. - 16 - (2) Keanggotan Tim Likuidasi paling sedikit terdiri atas: a. 1 (satu) orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman paling singkat 10 (sepuluh) tahun di bidang perasuransian; dan b. 1 (satu) orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman paling singkat 10 (sepuluh) tahun di bidang hukum, audit, keuangan, dan/atau akuntansi. (3) Sesama anggota Tim Likuidasi dan antara anggota Tim Likuidasi dengan tenaga pendukung Tim Likuidasi atau pihak lain yang ditunjuk tidak boleh memiliki hubungan perkawinan, hubungan keluarga semenda, atau hubungan keluarga sedarah ke atas, ke bawah, dan ke samping sampai dengan derajat pertama. Pasal 18 Dalam hal terjadi benturan kepentingan antara kepentingan pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi dan kepentingan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, Tim Likuidasi harus mengutamakan kepentingan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta. Pasal 19 (1) Dalam hal anggota Tim Likuidasi dibentuk oleh RUPS, OJK dapat memerintahkan RUPS untuk memberhentikan dan/atau menunjuk pengganti anggota Tim Likuidasi yang berhenti sebelum jangka waktu penugasan Tim Likuidasi berakhir dengan pertimbangan apabila anggota Tim Likuidasi: a. tidak menjalankan tugas dengan baik; b. melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan; c. mengundurkan diri; d. berhalangan tetap; atau e. meninggal dunia. (2) Dalam hal OJK memerintahkan RUPS sebagaimana - 17 - dimaksud pada ayat (1), namun RUPS tidak memberhentikan dan/atau menunjuk pengganti anggota Tim Likuidasi, maka OJK dapat memberhentikan dan/atau menunjuk pengganti anggota Tim Likuidasi yang berhenti. (3) Dalam hal anggota Tim Likuidasi dibentuk oleh OJK, OJK dapat memberhentikan anggota Tim Likuidasi sebelum jangka waktu penugasan Tim Likuidasi berakhir berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) OJK dapat menunjuk pengganti anggota Tim Likuidasi yang diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk sisa masa tugasnya. Paragraf 5 Remunerasi Tim Likuidasi Pasal 20 (1) Anggota Tim Likuidasi diberikan remunerasi yang ditetapkan oleh: a. RUPS untuk Tim Likuidasi yang dibentuk oleh RUPS; atau b. OJK untuk Tim Likuidasi yang dibentuk oleh OJK. (2) Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. honorarium; dan b. penghasilan/fasilitas lain. (3) Jumlah remunerasi Tim Likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan faktor- faktor antara lain: a. jumlah aset dan kewajiban; b. kondisi dan tingkat kesulitan pencairan aset dan/atau penagihan piutang serta penyelesaian kewajiban Perusahaan; jaringan kantor Perusahaan dalam Likuidasi; dan d. kualifikasi anggota Tim Likuidasi. c. (4) Penghasilan/fasilitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat - 18 - (2) huruf b hanya meliputi tunjangan hari raya, insentif yang wajar, dan keikutsertaan dalam program jaminan sosial nasional sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Remunerasi Tim Likuidasi merupakan komponen biaya Likuidasi yang menjadi beban Perusahaan dalam Likuidasi. (6) Ketentuan mengenai pemberian insentif yang wajar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Surat Edaran OJK. Paragraf 6 Rencana Kerja dan Anggaran Biaya Tim Likuidasi Pasal 21 (1) Tim Likuidasi menyusun rencana kerja dan anggaran biaya dalam rangka pelaksanaan Likuidasi mengacu pada pedoman rencana kerja dan anggaran biaya. (2) Tim Likuidasi menyusun rencana kerja dan anggaran biaya dalam rangka pelaksanaan Likuidasi yang paling sedikit memuat: a. b. jenis kegiatan yang akan dilakukan; jadwal penyelesaian masing-masing kegiatan; c. rencana dan cara pencairan aset dan/atau penagihan piutang; d. e. rencana dan cara pembayaran kewajiban kepada Kreditor; jumlah tenaga pendukung Tim Likuidasi yang diperlukan; dan f. biaya Likuidasi. (3) Rencana kerja dan anggaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun untuk periode selama jangka waktu penugasan Tim Likuidasi yang dirinci secara bulanan. (4) Dalam hal terdapat perbaikan rencana kerja dan anggaran biaya tahun berjalan, Tim Likuidasi harus menyampaikan perbaikan rencana kerja dan anggaran biaya tahun berjalan tersebut kepada OJK untuk mendapatkan persetujuan. (5) Perbaikan rencana kerja dan anggaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disetujui oleh OJK paling lama 20 - 19 - (dua puluh) Hari setelah OJK menerima perbaikan rencana kerja dan anggaran biaya dimaksud. (6) Dalam hal OJK belum atau tidak memberikan persetujuan atas perbaikan rencana kerja dan anggaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Tim Likuidasi tetap menggunakan rencana kerja dan anggaran biaya terakhir yang telah disetujui OJK. (7) Dalam hal OJK memperpanjang jangka waktu pelaksanaan Likuidasi dan/atau masa tugas Tim Likuidasi, Tim Likuidasi menyampaikan rencana kerja dan anggaran biaya untuk masa perpanjangan tersebut kepada OJK. (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman rencana kerja dan anggaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 22 (1) Rencana kerja dan anggaran biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 disampaikan kepada OJK paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak Tim Likuidasi terbentuk atau sejak dimulai masa perpanjangan tugas Tim Likuidasi. (2) OJK dapat meminta perbaikan atas rencana kerja dan anggaran biaya paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak diterimanya rencana kerja dan anggaran biaya. (3) Dalam hal OJK meminta perbaikan atas rencana kerja dan anggaran biaya, Tim Likuidasi wajib menyampaikan perbaikan atas rencana kerja dan anggaran biaya sesuai permintaan OJK paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak diterimanya surat permintaan perbaikan dari OJK. (4) OJK memberikan persetujuan atas rencana kerja dan anggaran biaya paling lama 20 (dua puluh) Hari setelah OJK menerima rencana kerja dan anggaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau perbaikan atas rencana kerja dan anggaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3). - 20 - Bagian Keempat Penyelesaian Kewajiban Perusahaan Kepada Pegawai Pasal 23 (1) Dalam rangka melaksanakan tugas menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan pegawai Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b, Tim Likuidasi menghitung gaji terutang dan pesangon pegawai yang menjadi kewajiban Perusahaan kepada pegawai yang telah dilakukan pemutusan hubungan kerja. (2) Pembayaran gaji terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhitungkan kewajiban pegawai yang telah jatuh tempo. (3) Pembayaran pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhitungkan seluruh kewajiban pegawai. (4) Tim Likuidasi dapat menunda pembayaran pesangon kepada anggota Direksi dan pegawai Perusahaan yang diindikasikan melakukan tindak pidana perasuransian dan/atau tindak pidana lainnya yang dapat merugikan Perusahaan. (5) Tim Likuidasi wajib melakukan pemutusan hubungan kerja pegawai paling lama 3 (tiga) bulan sejak terbentuknya Tim Likuidasi. (6) Tim Likuidasi wajib membuat perhitungan hak-hak pegawai lainnya yang timbul sebagai akibat pemutusan hubungan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan di bidang ketenagakerjaan untuk dicatat sebagai kewajiban Perusahaan dalam Likuidasi dalam kelompok kewajiban kepada Kreditor lainnya. (7) Dalam hal Tim Likuidasi belum terbentuk dan pembayaran gaji pegawai telah jatuh tempo, maka atas persetujuan OJK, Direksi dapat melakukan pembayaran gaji tersebut sepanjang dana untuk pembayaran gaji tersebut tersedia. - 21 - Bagian Kelima Pembayaran Kewajiban Perusahaan Kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta Pasal 24 (1) Hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta atas pembagian harta kekayaan Perusahaan dalam Likuidasi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak lainnya. (2) Dana Asuransi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dalam Likuidasi harus digunakan terlebih dahulu untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau pihak lain yang berhak atas manfaat asuransi. (3) Dalam hal Dana Asuransi tidak mencukupi untuk membayar seluruh kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau pihak lain yang berhak atas manfaat asuransi, pembayaran kewajiban dimaksud dilakukan secara proporsional. (4) Dalam hal setelah seluruh kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, dan pihak lain yang berhak atas manfaat asuransi telah dipenuhi terdapat kelebihan Dana Asuransi, Dana Asuransi dimaksud dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak ketiga selain Pemegang Polis, Tertanggung, atau pihak lain yang berhak atas manfaat asuransi. (5) Dana investasi Pemegang Polis asuransi PAYDI hanya dapat digunakan untuk membayar kewajiban kepada Pemegang Polis yang bersangkutan. (6) Dana tabarru' dan dana investasi Peserta Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah dalam Likuidasi tidak dapat digunakan untuk membayar kewajiban selain kepada Peserta. Pasal 25 (1) Dalam rangka pembayaran hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta sebagaimana dimaksud dalam - 22 - Pasal 24 ayat (1), Tim Likuidasi dari perusahaan asuransi jiwa atau perusahaan asuransi jiwa syariah dalam Likuidasi harus mengupayakan agar pertanggungan polis asuransi jiwa atau asuransi jiwa syariah yang masih berlaku (in force) dapat terus berlaku dengan cara mengalihkan portofolio pertanggungan kepada perusahaan asuransi jiwa atau perusahaan asuransi jiwa syariah lain. (2) Dalam rangka melakukan pengalihan portofolio pertanggungan kepada perusahaan asuransi jiwa atau perusahaan asuransi jiwa syariah lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tim Likuidasi harus terlebih dahulu memberitahukan rencana pengalihan tersebut kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta. (3) Pengalihan portofolio pertanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. dilakukan pada perusahaan asuransi jiwa atau perusahaan asuransi jiwa syariah yang memiliki bidang usaha yang sama; dan b. tidak menyebabkan perusahaan asuransi jiwa atau perusahaan asuransi jiwa syariah yang menerima pengalihan portofolio pertanggungan melanggar ketentuan terkait kesehatan keuangan yang berlaku di bidang perasuransian. (4) Dalam hal Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta menolak pertanggungannya dialihkan kepada perusahaan asuransi jiwa atau perusahaan asuransi jiwa syariah lain, Tim Likuidasi mengembalikan premi atau kontribusi sesuai dengan sisa masa pertanggungan. Pasal 26 (1) Pembayaran klaim manfaat polis dilakukan secara penuh, kecuali apabila aset Perusahaan lebih kecil dari kewajiban Perusahaan, pembayaran dilakukan secara proporsional. (2) Dalam hal pertanggungan asuransi atau asuransi syariah yang masih berlaku (in force) pada saat Pencabutan Izin Usaha Perusahaan tidak dialihkan kepada Perusahaan - 23 - lain, pembayaran hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta dilakukan sebagai berikut: a. untuk polis asuransi atau asuransi syariah yang tidak memiliki unsur tabungan adalah sebesar jumlah yang dihitung secara proporsional berdasarkan sisa jangka waktu pertanggungan pada tanggal Pencabutan Izin Usaha Perusahaan (unearned premium), setelah dikurangi bagian premi atau kontribusi yang telah dibayarkan kepada perusahaan pialang asuransi dan/atau komisi agen asuransi; b. untuk polis asuransi yang memiliki unsur tabungan adalah sebesar nilai tunai pada saat Pencabutan Izin Usaha Perusahaan; c. untuk polis asuransi PAYDI: 1. untuk premi atau kontribusi risiko berlaku ketentuan sebagaimana diatur pada huruf a; dan 2. untuk dana investasi Peserta adalah sebesar nilai tunai neto pada tanggal Pencabutan Izin Usaha Perusahaan, kecuali apabila aset Perusahaan lebih kecil dari kewajiban Perusahaan maka pembayaran dilakukan secara proporsional. Pasal 27 (1) Hasil pencairan aset selain Dana Asuransi atau Dana Tabarru’ digunakan untuk membayar kewajiban Perusahaan kepada Pemegang Polis, Tertanggung, Peserta, atau pihak lain yang berhak atas manfaat asuransi/asuransi syariah, setelah dikurangi gaji terutang dan biaya pelaksanaan Likuidasi. (2) Pembayaran kewajiban Perusahaan kepada Pemegang Polis, Tertanggung, Peserta, atau pihak lain yang berhak atas manfaat asuransi/asuransi syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila Dana Asuransi atau Dana Tabarru’ tidak cukup membayar seluruh kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, Peserta, atau pihak lain yang - 24 - berhak atas manfaat asuransi/asuransi syariah. (3) Pembayaran kewajiban kepada Kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari hasil pencairan aset dapat dilakukan secara bertahap atau sekaligus pada akhir masa Likuidasi sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan lain. (4) Pembayaran kewajiban kepada Kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus terlebih dahulu mendapat persetujuan OJK. Pasal 28 (1) Dalam hal terdapat sisa hasil Likuidasi setelah dilakukan pembayaran atas seluruh kewajiban Perusahaan dalam Likuidasi, sisa hasil Likuidasi tersebut merupakan hak pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi. (2) Sisa hasil Likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dibagikan kepada pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi setelah berakhirnya jangka waktu 2 (dua) tahun sejak proses Likuidasi selesai. (3) Kreditor yang belum mengajukan tagihan kepada Tim Likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) atau ayat (5), dapat mengajukan tagihan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak proses Likuidasi selesai sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan melalui OJK kepada pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi. (5) OJK dapat meminta instansi yang berwenang untuk memblokir sisa hasil Likuidasi yang menjadi hak pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (6) Tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibebankan pada sisa hasil Likuidasi yang merupakan - 25 - hak pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi. (7) Berdasarkan permintaan pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi, OJK dapat meminta instansi yang berwenang untuk mencabut pemblokiran sisa hasil Likuidasi sebesar tagihan dimaksud untuk membayar tagihan yang telah diverifikasi. (8) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir tidak ada tagihan yang diajukan melalui OJK kepada pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau ada tagihan tetapi masih terdapat sisa hasil Likuidasi, OJK meminta pencabutan pemblokiran kepada instansi yang berwenang atas sisa hasil Likuidasi tersebut untuk diambil oleh pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi. Bagian Keenam Pemberesan Aset dan Kewajiban Perusahaan Pasal 29 Dalam rangka pemberesan aset dan kewajiban Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, Tim Likuidasi melaksanakan tindakan sebagai berikut: a. menunjuk akuntan publik yang terdaftar di OJK untuk mengaudit Neraca Penutupan; b. melakukan inventarisasi aset dan kewajiban; c. menyusun Neraca Sementara Likuidasi; d. melaksanakan pencairan aset dan/atau penagihan piutang; e. melaksanakan pembayaran kewajiban kepada para Kreditor; dan f. menitipkan bagian yang belum diambil oleh Kreditor kepada pengadilan. - 26 - Pasal 30 (1) Setelah menerima Neraca Penutupan dari OJK, Tim Likuidasi menunjuk akuntan publik yang terdaftar di OJK untuk mengaudit Neraca Penutupan. (2) Pelaksanaan audit Neraca Penutupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengacu kepada kerangka acuan kerja yang disusun oleh Tim Likuidasi. (3) Kerangka acuan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat tujuan dan ruang lingkup audit. (4) Penunjukan akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak Neraca Penutupan diterima Tim Likuidasi. (5) Tim Likuidasi menyampaikan Neraca Penutupan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada OJK paling lama 90 (sembilan puluh) Hari sejak tanggal penunjukan akuntan publik. Pasal 31 (1) Tim Likuidasi melakukan inventarisasi aset dan kewajiban posisi per tanggal Pencabutan Izin Usaha Perusahaan. (2) Aset dikelompokkan dalam aset tidak bermasalah dan aset bermasalah. (3) Aset ditetapkan dalam kelompok bermasalah apabila memiliki hambatan hukum dalam pencairannya yang disebabkan antara lain: a. dokumen tidak lengkap; b. dokumen lengkap tetapi fisik aset tidak diketahui keberadaannya; c. pengikatan tidak sempurna; d. aset dan/atau agunan tidak marketable; dan/atau e. menjadi objek sengketa di luar atau di dalam pengadilan. (4) Dalam rangka melakukan inventarisasi kewajiban Perusahaan kepada Pemegang Polis, Tertanggung, Peserta, atau pihak lain yang berhak atas manfaat - 27 - asuransi, Tim Likuidasi dapat menunjuk aktuaris independen. (5) Hasil inventarisasi aset dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar dalam penyusunan dan merupakan lampiran Neraca Sementara Likuidasi. Pasal 32 (1) Tim Likuidasi menyusun Neraca Sementara Likuidasi dengan mengacu pada pedoman penyusunan Neraca Sementara Likuidasi. (2) Tim Likuidasi menyampaikan Neraca Sementara Likuidasi kepada OJK paling lama 60 (enam puluh) Hari setelah Tim Likuidasi menerima Neraca Penutupan yang telah diaudit. (3) OJK dapat menyetujui atau meminta perbaikan Neraca Sementara Likuidasi apabila disusun tidak sesuai dengan pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 7 (tujuh) Hari sejak Neraca Sementara Likuidasi diterima OJK. (4) Tim Likuidasi wajib memenuhi permintaan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 15 (lima belas) Hari sejak tanggal permintaan perbaikan Neraca Sementara Likuidasi oleh OJK. (5) Tim Likuidasi wajib mengumumkan Neraca Sementara Likuidasi yang telah disetujui OJK pada 2 (dua) Surat Kabar paling lambat 7 (tujuh) Hari sejak Neraca Sementara Likuidasi dimaksud disetujui OJK. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penyusunan Neraca Sementara Likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 33 (1) Pencairan aset tidak bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), dilakukan setelah Neraca Sementara Likuidasi disetujui oleh OJK. (2) Dalam hal Neraca Sementara Likuidasi belum disetujui OJK, pencairan aset tidak bermasalah sebagaimana dimaksud - 28 - pada ayat (1) dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari OJK. (3) Pencairan aset tidak bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus menggunakan harga pasar wajar. (4) Pencairan aset dan/atau penagihan piutang dilakukan oleh Tim Likuidasi sesuai dengan rencana dan cara yang tercantum dalam rencana kerja dan anggaran biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf c. Pasal 34 Seluruh biaya pelaksanaan Likuidasi yang tercantum dalam daftar biaya Likuidasi menjadi beban aset Perusahaan dalam Likuidasi dan dikeluarkan terlebih dahulu dari setiap hasil pencairannya. Bagian Ketujuh Pengawasan dan Pelaporan Pelaksanaan Likuidasi Pasal 35 (1) OJK melakukan pengawasan atas pelaksanaan Likuidasi. (2) Pengawasan pelaksanaan Likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tidak langsung dengan cara menganalisis laporan yang disampaikan oleh Tim Likuidasi kepada OJK. (3) Dalam hal dipandang perlu, OJK dapat melakukan pengawasan secara langsung di Perusahaan dalam Likuidasi. (4) OJK dapat menunjuk akuntan publik atau pihak lain untuk dan atas nama OJK melakukan pengawasan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 36 (1) Tim Likuidasi menyampaikan laporan realisasi rencana kerja dan anggaran biaya kepada OJK setiap bulan paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya. - 29 - (2) Apabila batas akhir penyampaian laporan realisasi rencana kerja dan anggaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. (3) Laporan realisasi rencana kerja dan anggaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. perkembangan kegiatan Likuidasi; b. kendala ketidaktercapaian target; c. d. laporan aliran kas; posisi aset yang telah dicairkan dan kewajiban yang telah diselesaikan; e. rincian realisasi anggaran; dan f. hambatan yang dihadapi dan rencana tindak lanjut. Bagian Kedelapan Pengakhiran Likuidasi Pasal 37 Pelaksanaan Likuidasi selesai dalam hal: a. seluruh kewajiban Perusahaan dalam Likuidasi telah dibayarkan dan/atau tidak ada lagi aset yang dapat digunakan untuk membayar kewajiban sebelum berakhirnya jangka waktu pelaksanaan Likuidasi; atau b. berakhirnya jangka waktu pelaksanaan Likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. Pasal 38 (1) Dalam hal pelaksanaan Likuidasi akan berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sebelum perkiraan berakhirnya pelaksanaan Likuidasi, Tim Likuidasi wajib mengumumkan tanggal pembayaran terakhir kepada Kreditor termasuk tindak lanjut apabila Kreditor tidak mengambil haknya dalam jangka waktu sampai dengan tanggal pembayaran terakhir. - 30 - (2) Tanggal pembayaran terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak tanggal pengumuman. (3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam 2 (dua) Surat Kabar. (4) Dalam hal Kreditor belum mengambil haknya sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka dana yang menjadi hak Kreditor tersebut dititipkan pada pengadilan. (5) Penitipan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak batas waktu pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (6) Tim Likuidasi dinyatakan telah melaksanakan pembayaran kewajiban kepada Kreditor yang bersangkutan setelah dititipkannya dana yang menjadi hak Kreditor yang belum diambil sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (7) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun dana yang menjadi hak Kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak diambil oleh Kreditor yang bersangkutan, maka dana tersebut diserahkan kepada kas negara. Bagian Kesembilan Pertanggungjawaban Tim Likuidasi Pasal 39 (1) Dalam hal Tim Likuidasi dibentuk oleh RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Tim Likuidasi wajib menyampaikan Neraca Akhir Likuidasi kepada OJK dan laporan pertanggungjawaban tugas Tim Likuidasi kepada RUPS paling lama 10 (sepuluh) Hari setelah pelaksanaan Likuidasi selesai. (2) Dalam hal Tim Likuidasi dibentuk oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Tim Likuidasi wajib menyampaikan Neraca Akhir Likuidasi dan laporan pertanggungjawaban tugas Tim Likuidasi kepada OJK dengan tembusan kepada pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum - 31 - berbentuk koperasi paling lama 10 (sepuluh) Hari setelah pelaksanaan Likuidasi selesai. (3) Laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling sedikit memuat: a. penerimaan hasil Likuidasi; b. biaya Likuidasi; c. pembayaran kewajiban kepada Kreditor; d. sisa aset kas atau setara kas; e. sisa aset bermasalah; dan f. sisa kewajiban yang belum dibayarkan. (4) OJK menunjuk akuntan publik untuk dan atas nama OJK melakukan audit Neraca Akhir Likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Pasal 40 Dalam hal Tim Likuidasi yang dibentuk oleh RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) telah menyampaikan Neraca Akhir Likuidasi dan disetujui OJK serta laporan pertanggungjawaban telah diterima RUPS, maka RUPS: a. meminta Tim Likuidasi untuk: 1. mengumumkan berakhirnya Likuidasi dengan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia dan dalam 2 (dua) Surat Kabar; 2. memberitahukan kepada instansi yang berwenang mengenai hapusnya Perusahaan; dan 3. memberitahukan kepada instansi yang berwenang, agar nama Perusahaan dicoret dari daftar perusahaan; dan b. membubarkan Tim Likuidasi. Pasal 41 (1) Dalam hal Tim Likuidasi yang dibentuk oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) telah menyampaikan Neraca Akhir Likuidasi dan laporan pertanggungjawaban kepada OJK, OJK memutuskan status badan hukum - 32 - menerima atau tidak menerima pertanggungjawaban Tim Likuidasi paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak OJK menerima laporan hasil audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (4). (2) Dalam hal laporan pertanggungjawaban Tim Likuidasi telah diterima oleh OJK, maka OJK: a. meminta Tim Likuidasi untuk: 1. mengumumkan berakhirnya Likuidasi dengan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia dan dalam 2 (dua) Surat Kabar; 2. memberitahukan kepada instansi yang berwenang mengenai hapusnya status badan hukum Perusahaan; 3. memberitahukan kepada instansi yang berwenang, agar nama Perusahaan dicoret dari daftar perusahaan; dan 4. menyerahkan seluruh dokumen Perusahaan dalam Likuidasi kepada OJK. b. membubarkan Tim Likuidasi; dan c. memberhentikan Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas Syariah non aktif. (3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan oleh Tim Likuidasi paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak pertanggungjawaban diterima oleh OJK. (4) Dalam hal OJK memutuskan tidak menerima pertanggungjawaban Tim Likuidasi, OJK dapat: a. melaporkan Tim Likuidasi kepada pihak yang berwajib apabila Tim Likuidasi terindikasi melakukan: 1. kecurangan dalam melakukan proses Likuidasi; atau 2. tindak pidana; atau b. melakukan langkah lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. - 33 - Pasal 42 Status badan hukum Perusahaan yang dilikuidasi berakhir sejak tanggal pengumuman berakhirnya Likuidasi dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a angka 1 dan Pasal 41 ayat (2) huruf a angka 1. BAB III PENGHENTIAN KEGIATAN USAHA ATAS PERMINTAAN PERUSAHAAN Pasal 43 (1) Perusahaan yang menghentikan kegiatan usahanya wajib terlebih dahulu melaporkan rencana penghentian kegiatan usaha kepada OJK. (2) Perusahaan yang melaporkan rencana penghentian kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki tingkat risiko rendah atau sedang - rendah dan aset yang dimiliki masuk dalam kelompok Perusahaan yang hanya mewakili jumlah tertentu dari total aset industri sesuai dengan ketentuan mengenai penilaian tingkat risiko; dan b. telah mencantumkan rencana penghentian kegiatan usaha di dalam rencana bisnis Perusahaan. (3) Tingkat risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a adalah berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh OJK. Pasal 44 (1) Rencana penghentian kegiatan usaha Perusahaan harus mendapat persetujuan dari OJK. (2) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), rencana penghentian kegiatan usaha harus memuat paling sedikit hal-hal sebagai berikut: a. alasan penghentian kegiatan usaha; - 34 - b. uraian mengenai kondisi Perusahaan, termasuk data mengenai jumlah polis yang masih berlaku (in force), jumlah Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, jumlah kewajiban Perusahaan kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta dan kewajiban lainnya; c. rencana penyelesaian kewajiban Perusahaan kepada seluruh Kreditor; dan d. rencana pembubaran atau rencana lainnya setelah Perusahaan menyelesaikan kewajiban kepada seluruh Kreditor dan izin usaha Perusahaan telah dicabut oleh OJK. (3) Rencana penghentian kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen sebagai berikut: a. asli salinan keputusan mengenai pemberian izin usaha Perusahaan atau apabila asli salinan keputusan hilang harus dilampiri dengan copy salinan keputusan mengenai pemberian izin usaha yang telah dilegalisasi dan surat pernyataan Direksi bahwa asli salinan keputusan hilang; b. keputusan RUPS mengenai persetujuan atas rencana penghentian kegiatan usaha Perusahaan; c. laporan keuangan terakhir Perusahaan; d. bukti penyelesaian pajak dan kewajiban lainnya kepada negara; dan e. bukti penyelesaian pungutan OJK dan denda administratif terutang. Pasal 45 (1) OJK melakukan penelitian terhadap rencana penghentian kegiatan usaha yang disampaikan oleh Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44. (2) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak diterimanya rencana penghentian kegiatan usaha secara lengkap, OJK menerbitkan surat - 35 - persetujuan atau surat penolakan rencana penghentian kegiatan usaha. (3) Dalam hal OJK menerbitkan surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan diwajibkan untuk: a. menghentikan seluruh kegiatan usaha Perusahaan; b. mengumumkan rencana penghentian kegiatan usaha dan rencana penyelesaian kewajiban Perusahaan dalam Surat Kabar selama 3 (tiga) Hari berturut-turut paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak tanggal surat persetujuan rencana penghentian kegiatan usaha; c. menyelesaikan seluruh kewajiban Perusahaan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan sejak tanggal surat persetujuan rencana penghentian kegiatan usaha; dan d. menunjuk akuntan publik untuk menyusun neraca akhir termasuk melakukan verifikasi untuk memastikan penyelesaian seluruh kewajiban Perusahaan. Pasal 46 (1) Penyelesaian kewajiban Perusahaan kepada seluruh Kreditor termasuk Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta tidak boleh merugikan atau mengurangi hak Keditor termasuk Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta. (2) Dalam hal Perusahaan yang menghentikan kegiatan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah tidak memiliki Peserta, Dana Tabarru’ yang ada wajib dihibahkan kepada lembaga sosial atas pertimbangan Dewan Pengawas Syariah. (3) Dalam hal penyelesaian kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta dilakukan dengan cara mengalihkan portofolio pertanggungan Perusahaan lain, Perusahaan wajib memberitahukan kepada - 36 - rencana pengalihan portofolio pertanggungan tersebut kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta melalui: a. pengumuman rencana penghentian kegiatan usaha dalam Surat Kabar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) huruf b; dan b. surat kepada setiap Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta. (4) Pengalihan portofolio pertanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. tidak mengurangi hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta; b. dilakukan pada Perusahaan yang memiliki bidang usaha yang sama; dan c. tidak menyebabkan Perusahaan yang menerima pengalihan portofolio pertanggungan melanggar ketentuan yang berlaku di bidang perasuransian. Pasal 47 (1) Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta dari Perusahaan yang akan melakukan pengalihan seluruh portofolio pertanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3) berhak untuk menolak pertanggungannya dialihkan kepada Perusahaan lain. (2) Perusahaan wajib memberikan kesempatan kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta untuk menyampaikan penolakan pengalihan pertanggungannya kepada Perusahaan lain dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3). (3) Dalam hal Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta menolak pertanggungannya dialihkan kepada Perusahaan lain, pertanggungan menjadi berakhir dan Perusahaan wajib mengembalikan hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta. (4) Perusahaan wajib memberitahukan hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta sebagaimana dimaksud pada - 37 - ayat (2) dan akibat dari penolakan pengalihan pertanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam pengumuman dan surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3). Pasal 48 Pengembalian hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) dilakukan sebagai berikut: a. untuk polis asuransi atau asuransi syariah yang tidak memiliki unsur tabungan adalah sebesar jumlah yang dihitung secara proporsional berdasarkan sisa jangka waktu pertanggungan pada tanggal Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta menyampaikan penolakan atas pengalihan pertanggungannya (unearned premium), setelah dikurangi bagian premi atau kontribusi yang telah dibayarkan kepada perusahaan pialang asuransi dan/atau komisi agen; b. untuk polis asuransi yang memiliki unsur tabungan adalah sebesar nilai tunai pada tanggal Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta menyampaikan penolakan atas pengalihan pertanggungannya; c. untuk polis asuransi PAYDI: 1. untuk premi atau kontribusi risiko berlaku ketentuan sebagaimana diatur pada huruf a; dan 2. untuk dana investasi Peserta adalah sebesar nilai tunai neto pada tanggal Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta menyampaikan penolakan atas pengalihan pertanggungannya. Pasal 49 Setelah seluruh kewajiban Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 diselesaikan, Direksi wajib menyampaikan laporan kepada OJK yang paling sedikit memuat: a. pelaksanaan penghentian kegiatan usaha Perusahaan; b. pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) huruf b; c. pelaksanaan penyelesaian kewajiban Perusahaan; - 38 - d. neraca akhir Perusahaan yang telah diaudit oleh auditor independen; dan e. surat pernyataan dari pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi yang menyatakan bahwa seluruh kewajiban Perusahaan telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi. Pasal 50 (1) OJK melakukan penelitian terhadap laporan yang disampaikan oleh Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49. (2) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak diterimanya laporan secara lengkap, OJK menerbitkan keputusan tentang Pencabutan Izin Usaha Perusahaan. Pasal 51 Sejak tanggal Pencabutan Izin Usaha Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2), apabila di kemudian hari muncul kewajiban Perusahaan yang belum diselesaikan, pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi bertanggung jawab atas kewajiban dimaksud. BAB IV KEPAILITAN PERUSAHAAN Bagian Kesatu Persyaratan dan Tata Cara Permohonan Pernyataan Pailit Perusahaan Pasal 52 (1) Kreditor berdasarkan penilaiannya bahwa Perusahaan memenuhi persyaratan dinyatakan pailit sesuai undang- - 39 - undang mengenai kepailitan, dapat menyampaikan permohonan kepada OJK agar OJK mengajukan permohonan pernyataan pailit Perusahaan yang bersangkutan kepada pengadilan niaga. (2) Perusahaan tidak dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit bagi dirinya sendiri. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh Kreditor atau kuasanya yang memuat sekurang-kurangnya: a. identitas Kreditor, paling sedikit meliputi nama lengkap dan alamat Kreditor; b. nama Perusahaan yang dimohonkan untuk dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga; c. uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi: 1. kewenangan pengadilan niaga; 2. kedudukan hukum (legal standing) Kreditor yang berisi uraian yang jelas mengenai hak Kreditor untuk mengajukan permohonan; dan 3. alasan permohonan pernyataan pailit diuraikan secara jelas dan rinci; dan d. hal-hal yang dimohonkan untuk diputus oleh pengadilan niaga. (4) Selain memenuhi ketentuan pada ayat (3), permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan alat bukti yang mendukung permohonan pernyataan pailit Perusahaan, yang paling sedikit berupa: a. bukti identitas diri Kreditor; b. bukti surat atau tulisan yang berkaitan dengan alasan permohonan; c. daftar calon saksi dan/atau ahli disertai pernyataan singkat tentang hal-hal yang akan diterangkan terkait dengan alasan permohonan, serta pernyataan bersedia menghadiri persidangan, dalam hal Kreditor bermaksud mengajukan saksi dan/atau ahli; dan - 40 - d. daftar bukti lain yang dapat berupa informasi yang disimpan dalam atau dikirim melalui media elektronik, bila dipandang perlu. (5) Di samping diajukan dalam bentuk tertulis, permohonan juga diajukan dalam format digital dalam media elektronik berupa cakram padat (compact disk) atau yang serupa dengan itu. Pasal 53 (1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) ditujukan kepada Ketua Dewan Komisioner OJK dengan tembusan kepada Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK. (2) OJK memeriksa permohonan berikut alat bukti yang disampaikan oleh Kreditor. (3) Apabila permohonan belum lengkap, OJK memberitahukan kepada Kreditor tentang kelengkapan permohonan yang harus dipenuhi, dan Kreditor harus melengkapinya dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) Hari sejak diterimanya pemberitahuan kekuranglengkapan permohonan. (4) Apabila kelengkapan permohonan tidak dipenuhi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), permohonan dianggap gugur dan selanjutnya OJK mengembalikan berkas permohonan kepada Kreditor. Pasal 54 (1) OJK menyetujui atau menolak permohonan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit Perusahaan paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak permohonan diterima secara lengkap. (2) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat: a. meminta keterangan terkait permohonan pernyataan pailit kepada Kreditor, Perusahaan yang dimohonkan pailit, dan/atau pihak lain; dan/atau b. melakukan pemeriksaan terhadap Perusahaan. - 41 - Pasal 55 (1) OJK menyetujui atau menolak permohonan Kreditor untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit Perusahaan kepada pengadilan niaga dengan mempertimbangkan: a. pemenuhan persyaratan dinyatakan pailit sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai kepailitan; b. pemenuhan persyaratan pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3); c. kemampuan keuangan Perusahaan untuk membayar utang atau kewajiban; d. status pengawasan Perusahaan; e. pengenaan sanksi administratif terhadap Perusahaan; dan f. suatu kondisi tertentu. (2) Dalam hal OJK menolak permohonan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit Perusahaan, OJK menyampaikan penolakan permohonan tersebut secara tertulis kepada Kreditor disertai dengan alasan penolakan. (3) Dalam hal OJK menolak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), OJK dapat: a. menyarankan kepada Kreditor untuk menyelesaikan sengketa dengan Perusahaan melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa atau peradilan perdata; b. memfasilitasi penyelesaian sengketa di luar pengadilan secara damai; atau c. melakukan tindakan lainnya yang dapat membantu penyelesaian sengketa. (4) Apabila OJK menyetujui permohonan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit Perusahaan, maka OJK segera menyampaikan permohonan pernyataan pailit Perusahaan kepada pengadilan niaga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Biaya permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan niaga ditanggung oleh Kreditor. - 42 - Pasal 56 (1) Dalam rangka melindungi kepentingan konsumen, OJK dapat mengajukan permohonan pailit Perusahaan kepada pengadilan niaga tanpa adanya permohonan dari Kreditor. (2) Dalam mengajukan permohonan pailit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mempertimbangkan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) kecuali huruf b. Pasal 57 (1) Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, OJK dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk: a. meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan Perusahaan; atau b. menunjuk kurator sementara untuk mengawasi: 1. pengelolaan usaha Perusahaan; dan 2. pembayaran kepada Kreditor, pengalihan, atau pengagunan kekayaan Perusahaan yang dalam Kepailitan merupakan wewenang kurator. (2) Kurator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. Balai Harta Peninggalan; atau b. kurator lainnya. (3) Dalam mengajukan kurator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, OJK mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a. independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan; b. memiliki keahlian khusus dalam mengurus dan/atau membereskan harta pailit; c. tidak sedang menangani perkara Kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara; d. memahami ketentuan mengenai perasuransian; dan - 43 - e. terdaftar pada kementerian yang lingkup dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Pelaksanaan dan Tindak Lanjut Berakhirnya Kepailitan Perusahaan Pasal 58 Dalam hal harta Perusahaan yang dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi dan dilakukan pemberesan harta pailit, ketentuan mengenai pembagian harta kekayaan Perusahaan dalam Likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 28 mutatis mutandis berlaku bagi pembagian harta kekayaan Perusahaan yang dinyatakan pailit. Pasal 59 Dalam hal pemberesan harta Perusahaan yang dinyatakan pailit telah dilakukan dan Kepailitan Perusahaan berakhir, OJK mencabut izin usaha Perusahaan yang bersangkutan. BAB V SANKSI Pasal 60 Pihak yang melanggar ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (7), Pasal 7, Pasal 8 ayat (2), ayat (3), Pasal 12 ayat (1), Pasal 15 ayat (1), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), ayat (6), Pasal 32 ayat (4), ayat (5), Pasal 38 ayat (1), Pasal 39 ayat (1), ayat (2), Pasal 43 ayat (1), Pasal 46 ayat (2), ayat (3), Pasal 47 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan Pasal 49. dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; dan/atau b. larangan menjadi pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi, Direksi, Dewan Komisaris, atau Dewan Pengawas Syariah pada Perusahaan. - 44 - BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 61 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 294 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 28/POJK.05/2015 </reg_id> <reg_title> PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI, DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH </reg_title> <set_date> 7 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 11 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 11 Desember 2015 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '40/UU/2014' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18 /POJK.03/2017 TENTANG PELAPORAN DAN PERMINTAAN INFORMASI DEBITUR MELALUI SISTEM LAYANAN INFORMASI KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk mengatur dan mengembangkan penyelenggaraan sistem informasi antar bank maupun lembaga lain di bidang keuangan, khususnya dalam rangka memperoleh dan menyediakan informasi debitur; b. bahwa dalam rangka memperlancar proses penyediaan dana untuk mendorong pembangunan ekonomi, penerapan manajemen risiko oleh lembaga jasa keuangan serta mendukung pengawasan yang efektif di sektor jasa keuangan, diperlukan adanya sistem layanan informasi keuangan yang andal, komprehensif, dan terintegrasi di sektor jasa keuangan; - 2 - c. bahwa dalam rangka pengembangan sistem layanan informasi keuangan yang andal, komprehensif, dan terintegrasi di sektor jasa keuangan, dilakukan implementasi secara bertahap dimulai dengan layanan informasi tentang debitur; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pelaporan dan Permintaan Informasi Debitur Melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PELAPORAN DAN PERMINTAAN INFORMASI DEBITUR MELALUI SISTEM LAYANAN INFORMASI KEUANGAN. - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen, yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 2. Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat LJK adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. 3. Bank Umum adalah: a. Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri; b. Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 4. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 - 4 - tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 5. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya disingkat BPRS adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 6. Lembaga Pembiayaan adalah lembaga pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 7. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya adalah lembaga jasa keuangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 8. Pelapor adalah pihak yang melakukan pelaporan dan permintaan informasi debitur melalui sistem layanan informasi keuangan kepada OJK. 9. Debitur adalah orang perseorangan, perusahaan, atau pihak yang memperoleh fasilitas penyediaan dana dari Pelapor. 10. Laporan Debitur adalah informasi yang disajikan dan dilaporkan oleh Pelapor kepada OJK menurut tata cara dan bentuk laporan serta media laporan yang ditetapkan oleh OJK. 11. Fasilitas Penyediaan Dana adalah penyediaan dana oleh Pelapor kepada Debitur, baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk kredit atau pembiayaan, surat berharga, dan transaksi rekening administratif serta bentuk fasilitas lain yang dapat dipersamakan dengan itu termasuk yang berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. 12. Informasi Debitur adalah informasi mengenai Debitur, Fasilitas Penyediaan Dana yang diterima Debitur, dan informasi terkait lain yang disajikan berdasarkan Laporan Debitur yang diterima oleh OJK dari Pelapor. - 5 - 13. Sistem Layanan Informasi Keuangan yang selanjutnya disingkat SLIK adalah sistem informasi yang dikelola oleh OJK untuk mendukung pelaksanaan tugas pengawasan dan layanan informasi di bidang keuangan. 14. Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan yang selanjutnya disingkat LPIP adalah lembaga atau badan yang menghimpun dan mengolah data kredit dan data lain untuk menghasilkan informasi perkreditan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang LPIP. BAB II PELAPOR Pasal 2 (1) Pihak yang wajib menjadi Pelapor adalah: a. Bank Umum; b. BPR; c. BPRS; d. Lembaga Pembiayaan yang memberikan Fasilitas Penyediaan Dana; dan e. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya yang memberikan Fasilitas Penyediaan Dana, kecuali lembaga keuangan mikro. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara untuk menjadi Pelapor bagi pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran OJK. Pasal 3 (1) Lembaga Jasa Keuangan Lainnya yang menyediakan layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi dan lembaga keuangan mikro dapat menjadi Pelapor dengan mengajukan permohonan dan mendapat persetujuan OJK dengan memenuhi persyaratan: a. memiliki infrastruktur yang memadai; - 6 - b. memiliki data yang diperlukan dalam SLIK; dan c. menandatangani perjanjian keikutsertaan dalam pelaporan dan permintaan Informasi Debitur melalui SLIK. (2) Lembaga lain bukan LJK dapat menjadi Pelapor setelah mendapat persetujuan OJK dengan memenuhi persyaratan: a. melakukan kegiatan penyediaan dana; b. memiliki infrastruktur yang memadai; c. memiliki data yang diperlukan dalam SLIK; dan d. menandatangani perjanjian keikutsertaan dalam pelaporan dan permintaan Informasi Debitur melalui SLIK. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara untuk menjadi Pelapor bagi Lembaga Jasa Keuangan Lainnya yang menyediakan layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi, lembaga keuangan mikro, dan lembaga lain bukan LJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Surat Edaran OJK. BAB III LAPORAN DEBITUR DAN KOREKSI LAPORAN DEBITUR Pasal 4 (1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan Debitur kepada OJK secara lengkap, akurat, terkini, utuh, dan tepat waktu setiap bulan untuk posisi akhir bulan. (2) Laporan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencakup informasi mengenai: a. Debitur; b. Fasilitas Penyediaan Dana; c. agunan; d. penjamin; e. pengurus dan pemilik; dan f. keuangan Debitur. - 7 - (3) Laporan Debitur dilaporkan oleh kantor pusat Pelapor kepada OJK. (4) Laporan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib mencakup informasi dari kantor pusat Pelapor dan seluruh kantor cabang. (5) Laporan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disusun sesuai dengan pedoman penyusunan Laporan Debitur yang ditetapkan oleh OJK. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai cakupan Laporan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran OJK. Pasal 5 (1) Informasi mengenai keuangan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf f dilaporkan dalam hal Debitur merupakan perusahaan atau pihak yang menerima Fasilitas Penyediaan Dana dari 1 (satu) Pelapor dan/atau pembiayaan bersama lebih dari 1 (satu) Pelapor, dengan jumlah seluruh Fasilitas Penyediaan Dana paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Pelapor melaporkan informasi mengenai keuangan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf f yang bersumber dari laporan keuangan tahunan Debitur terkini. (3) Pelapor melaporkan informasi mengenai keuangan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat pada Laporan Debitur bulan Juni tahun berikutnya. Pasal 6 Pelapor baru wajib menyampaikan Laporan Debitur untuk pertama kali kepada OJK paling lambat tanggal 12 pada bulan keempat terhitung sejak ditetapkan sebagai pelapor oleh OJK. sebesar - 8 - Pasal 7 Pelapor wajib melakukan koreksi Laporan Debitur yang telah disampaikan kepada OJK dalam hal Laporan Debitur tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 atas dasar: a. temuan Pelapor; atau b. temuan OJK. BAB IV PERIODE PENYAMPAIAN LAPORAN DEBITUR DAN KOREKSI LAPORAN DEBITUR Pasal 8 (1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) secara bulanan paling lambat tanggal 12 bulan berikutnya setelah bulan Laporan Debitur. (2) Pelapor wajib menyampaikan koreksi Laporan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 atas dasar: a. temuan Pelapor, paling lambat tanggal 12 bulan berikutnya setelah bulan Laporan Debitur; atau b. temuan OJK, paling lambat tanggal 12 pada bulan berikutnya setelah temuan OJK disampaikan kepada Pelapor. (3) Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, atau hari libur, Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur disampaikan pada hari kerja berikutnya. (4) OJK dapat menetapkan tanggal berakhirnya penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dalam hal terjadi: a. kerusakan dan/atau gangguan pada pangkalan data (database) atau jaringan komunikasi di OJK; dan/atau - 9 - b. kondisi tertentu yang berdampak signifikan pada periode penyampaian Laporan Debitur. (5) Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur pada tanggal Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur diterima oleh OJK. Pasal 9 (1) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Debitur apabila melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) sampai dengan akhir bulan setelah bulan Laporan Debitur. (2) Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Debitur apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum menyampaikan Laporan Debitur. (3) Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap harus menyampaikan Laporan Debitur. (4) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Debitur apabila penyampaian koreksi Laporan Debitur melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). (5) Keterlambatan koreksi Laporan Debitur yang disebabkan karena program peningkatan kualitas data yang dilaksanakan oleh OJK dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). BAB V PENYAMPAIAN LAPORAN DEBITUR DAN KOREKSI LAPORAN DEBITUR Pasal 10 (1) Pelapor hanya dapat menyampaikan Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara daring (online) melalui SLIK. - 10 - (2) Pelapor yang mengalami gangguan teknis dalam menyampaikan Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur dapat menyampaikan secara luring (offline) paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah batas akhir periode penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur dengan surat pemberitahuan tertulis kepada OJK disertai dokumen pendukung. (3) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara luring (offline) apabila penyampaian laporan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Pelapor yang mengalami keadaan kahar (force majeure) sehingga tidak memungkinkan untuk menyampaikan Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara daring (online) dan secara luring (offline) sampai dengan batas akhir periode penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur, memberitahukan secara tertulis kepada OJK untuk memperoleh penundaan batas waktu penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur. (5) Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara luring (offline) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4), disampaikan kepada: a. Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan, bagi Pelapor yang berkantor pusat di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau Provinsi Banten; atau b. Kantor Regional OJK atau Kantor OJK setempat, bagi Pelapor yang berkantor pusat di luar wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau Provinsi Banten. - 11 - Pasal 11 (1) Dalam hal terjadi kerusakan pada Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur karena gangguan teknis atau gangguan lain pada sistem dan/atau jaringan komunikasi data, OJK dapat meminta Pelapor untuk menyampaikan kembali Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur. (2) Pelapor wajib menyampaikan kembali Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur atas permintaan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB VI PENGKINIAN DATA LAPORAN DEBITUR Pasal 12 (1) OJK dapat melakukan pengkinian data Laporan Debitur pada SLIK dalam hal Pelapor: a. dicabut izin usaha atau dilikuidasi; atau b. tidak mampu melakukan pengkinian Laporan Debitur karena sebab lain. (2) Pengkinian data Laporan Debitur pada SLIK dalam hal Pelapor dicabut izin usaha atau dilikuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan berdasarkan permohonan tertulis dari: a. pihak yang ditunjuk melakukan penyelesaian kewajiban Pelapor; atau b. Debitur yang disertai dengan dokumen pendukung. (3) Pengkinian data Laporan Debitur pada SLIK dalam hal Pelapor tidak mampu melakukan pengkinian Laporan Debitur pada SLIK karena sebab lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan permohonan tertulis dari Pelapor. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengkinian data Laporan Debitur pada SLIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran OJK. - 12 - BAB VII KETERBUKAAN KEPADA DEBITUR DAN INFORMASI DEBITUR Pasal 13 Pelapor wajib memberitahukan kepada Debitur mengenai penyampaian Laporan Debitur yang bersangkutan ke dalam SLIK. Pasal 14 (1) Pihak yang dapat meminta Informasi Debitur adalah: a. Pelapor; b. Debitur; c. LPIP; dan d. pihak lain. (2) Cakupan Informasi Debitur yang dapat diminta oleh pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. identitas Debitur; b. pemilik dan pengurus bagi Debitur badan usaha; c. Fasilitas Penyediaan Dana yang diterima Debitur; d. agunan; e. penjamin; f. kualitas Fasilitas Penyediaan Dana; dan g. informasi lain. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai cakupan Informasi Debitur untuk masing-masing pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran OJK. Pasal 15 (1) Pelapor yang telah memenuhi kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dapat meminta Informasi Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) kepada OJK secara daring (online) melalui SLIK. (2) Permintaan Informasi Debitur secara daring (online) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan - 13 - melalui kantor pusat Pelapor dan/atau kantor cabang Pelapor. (3) Pelapor wajib menatausahakan semua permintaan Informasi Debitur melalui SLIK yang dilakukan oleh Pelapor, yang paling sedikit mengenai: a. tanggal permintaan; b. nomor identitas Debitur; c. nama Debitur; d. peruntukan Informasi Debitur; dan e. pegawai yang mengajukan permintaan dan menerima Informasi Debitur. (4) Pelapor dilarang menggunakan Informasi Debitur yang diperoleh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk keperluan Pelapor selain dalam rangka: a. mendukung kelancaran proses pemberian Fasilitas Penyediaan Dana; b. menerapkan manajemen risiko; dan/atau c. mengidentifikasi kualitas Debitur dalam rangka pemenuhan ketentuan OJK atau pihak lain yang berwenang. Pasal 16 (1) Pelapor wajib memberikan Informasi Debitur atas permintaan Debitur kepada Pelapor. (2) Informasi Debitur yang diberikan oleh Pelapor atas permintaan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dapat diberikan kepada Debitur dari Pelapor yang bersangkutan. Pasal 17 (1) Dalam hal Pelapor menolak memberikan Fasilitas Penyediaan Dana kepada Debitur atau calon Debitur atas dasar Informasi Debitur, Pelapor wajib memberikan penjelasan secara tertulis kepada Debitur atau calon Debitur. - 14 - (2) Penjelasan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam hal terdapat permintaan secara tertulis dari Debitur atau calon Debitur. Pasal 18 (1) Debitur dapat meminta Informasi Debitur atas nama Debitur yang bersangkutan kepada OJK atau kepada Pelapor dari Debitur yang bersangkutan. (2) Permintaan Informasi Debitur oleh Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan dengan permohonan secara tertulis yang disampaikan langsung oleh Debitur yang bersangkutan atau pihak yang diberi kuasa. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permintaan Informasi Debitur oleh Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran OJK. Pasal 19 LPIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf c dapat memperoleh Informasi Debitur dalam rangka pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai LPIP. Pasal 20 (1) Pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf d dapat meminta Informasi Debitur kepada OJK dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan nota kesepahaman dengan OJK. (2) Permintaan Informasi Debitur oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara: a. b. rutin; dan/atau insidental. (3) Permintaan Informasi Debitur oleh pihak lain secara rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a - 15 - dapat dilakukan dengan perjanjian dan/atau nota kesepahaman antara OJK dan pihak lain. (4) Permintaan Informasi Debitur oleh pihak lain secara insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan dengan memenuhi persyaratan: a. permohonan Informasi Debitur disampaikan secara tertulis kepada OJK oleh pihak yang memiliki kewenangan, dengan menyampaikan peruntukan penggunaan Informasi Debitur; dan b. pemohon menyatakan bertanggung jawab terhadap segala akibat yang timbul berkaitan dengan penggunaan Informasi Debitur. Pasal 21 Pihak yang dapat meminta Informasi Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) bertanggung jawab terhadap segala akibat hukum yang timbul sehubungan dengan penggunaan Informasi Debitur untuk keperluan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan dan Peraturan OJK ini. BAB VIII PENANGANAN DAN PENYELESAIAN PENGADUAN Pasal 22 Debitur dapat mengajukan pengaduan mengenai ketidakakuratan Informasi Debitur secara langsung kepada Pelapor yang bersangkutan. Pasal 23 (1) Pelapor wajib menindaklanjuti pengaduan mengenai ketidakakuratan Informasi Debitur yang diajukan oleh Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22. (2) Dalam menindaklanjuti pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelapor wajib melakukan penelitian atas permasalahan yang diadukan - 16 - berdasarkan dokumen dan/atau data yang dimiliki oleh Pelapor dan/atau Debitur. Pasal 24 (1) Pelapor wajib menyelesaikan pengaduan mengenai ketidakakuratan Informasi Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal pengaduan diterima oleh Pelapor. (2) Dalam hal permasalahan yang diadukan oleh Debitur memerlukan penelitian khusus terhadap dokumen Pelapor dan/atau Debitur, Pelapor dapat memperpanjang jangka waktu penyelesaian pengaduan sampai dengan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja. (3) Pelapor wajib menginformasikan batas waktu penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Debitur yang mengajukan pengaduan. (4) Dalam hal Pelapor telah menyelesaikan pengaduan mengenai ketidakakuratan Informasi Debitur, Pelapor wajib menyampaikan hasil penyelesaian pengaduan kepada Debitur secara tertulis. Pasal 25 Dalam hal Pelapor tidak dapat menyelesaikan pengaduan mengenai ketidakakuratan Informasi Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Debitur dapat melakukan upaya penyelesaian pengaduan melalui OJK atau Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS). Pasal 26 (1) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian atas permasalahan yang diadukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) merupakan pengaduan yang - 17 - disebabkan oleh kesalahan Pelapor, Pelapor menyampaikan koreksi Laporan Debitur kepada OJK. (2) Koreksi Laporan Debitur kepada OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlakukan sebagai koreksi atas dasar temuan Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dan Pasal 8 ayat (2) huruf a. BAB IX KEBIJAKAN DAN PROSEDUR PELAPORAN, PERMINTAAN INFORMASI DEBITUR, DAN PENYELESAIAN PENGADUAN INFORMASI DEBITUR Pasal 27 Pelapor wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur yang paling sedikit mencakup: a. wewenang dan tanggung jawab pegawai yang melakukan verifikasi dan menyampaikan Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur kepada OJK; b. langkah yang dilakukan dalam rangka pemeliharaan dan pengamanan sistem dan data; c. langkah yang dilakukan dalam rangka memastikan kelengkapan, keakuratan, kekinian, keutuhan, dan ketepatan waktu Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur; d. langkah yang dilakukan dalam hal terjadi gangguan atau keadaan kahar (force majeure) untuk memastikan kesinambungan penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur kepada OJK serta wewenang dan tanggung jawab pegawai yang ditunjuk. Pasal 28 Pelapor wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai permintaan dan penggunaan Informasi Debitur yang paling sedikit mencakup: - 18 - a. wewenang dan tanggung jawab pegawai yang diberi akses untuk mengajukan permintaan dan menerima Informasi Debitur; b. langkah yang dilakukan dalam permintaan Informasi Debitur, termasuk memastikan penggunaan Informasi Debitur sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); c. langkah yang dilakukan dalam penyediaan Informasi Debitur atas permintaan Debitur kepada Pelapor; d. penatausahaan Informasi Debitur; dan e. pengamanan Informasi Debitur. Pasal 29 Dalam rangka menyelesaikan pengaduan mengenai ketidakakuratan Informasi Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pelapor wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis yang paling sedikit mencakup: a. wewenang dan tanggung jawab pegawai yang menangani pengaduan; b. tata cara penerimaan pengaduan; c. langkah dalam penanganan dan penyelesaian pengaduan; d. pemantauan penanganan dan penyelesaian pengaduan; dan e. penatausahaan penanganan dan penyelesaian pengaduan. BAB X PEGAWAI PELAKSANA Pasal 30 (1) Pelapor wajib menunjuk pegawai pelaksana dan/atau pejabat yang mencakup fungsi untuk: a. menyampaikan Laporan Debitur; b. melakukan verifikasi Laporan Debitur; c. mengajukan permintaan dan menerima Informasi Debitur; - 19 - d. melakukan administrasi dan pengelolaan hak akses pengguna SLIK di internal Pelapor; e. menangani pengaduan Debitur; dan f. melakukan pengamanan data Informasi Debitur. (2) Penunjukan pegawai pelaksana dan/atau pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan prinsip pemisahan tugas (segregation of duties) serta disesuaikan dengan kompleksitas kegiatan usaha Pelapor. (3) Pelapor wajib menyampaikan pegawai pelaksana dan/atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada OJK dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak ditetapkan sebagai Pelapor oleh OJK. (4) Dalam hal terjadi perubahan pegawai pelaksana dan/atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelapor wajib: a. menyampaikan perubahan pegawai pelaksana dan/atau pejabat yang ditunjuk kepada OJK; dan b. melakukan penyesuaian hak akses pengguna SLIK di internal Pelapor, paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah terjadi perubahan. BAB XI PENGAWASAN Pasal 31 (1) OJK melakukan pengawasan secara langsung dan/atau pengawasan secara tidak langsung terkait pelaksanaan SLIK terhadap Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) OJK berwenang melakukan pengawasan secara langsung dan/atau pengawasan secara tidak langsung terkait pelaksanaan SLIK terhadap Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. - 20 - (3) Pelapor wajib memberikan informasi kepada OJK dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). BAB XII SANKSI Pasal 32 Pelapor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 4 ayat (4), Pasal 4 ayat (5), Pasal 6, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13, Pasal 15 ayat (3), Pasal 15 ayat (4), Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24 ayat (3), Pasal 24 ayat (4), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30 ayat (1), Pasal 30 ayat (3), Pasal 30 ayat (4), dan/atau Pasal 31 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis atau peringatan tertulis. Pasal 33 (1) Pelapor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) atau Pasal 10 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa: a. denda 1. bagi Pelapor dengan aset paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah), sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan; atau 2. bagi Pelapor dengan aset kurang dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah), sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan, dan b. penundaan pemberian Informasi Debitur sampai dengan Laporan Debitur diterima oleh OJK. - 21 - (2) Pelapor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa: a. denda 1. bagi Pelapor dengan aset paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah), sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per bulan Laporan Debitur dan paling lama 12 (dua belas) bulan Laporan Debitur secara berturut- turut; atau 2. bagi Pelapor dengan aset kurang dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah), sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per bulan Laporan Debitur dan paling lama 12 (dua belas) bulan Laporan Debitur secara berturut-turut; dan b. penundaan pemberian Informasi Debitur sampai dengan seluruh Laporan Debitur diterima oleh OJK. Pasal 34 (1) Pelapor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a dan dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) atau Pasal 10 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa denda: a. bagi Pelapor dengan aset paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah), sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per Debitur per hari kerja keterlambatan dan paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) per bulan Laporan Debitur dan paling lama - 22 - keterlambatan 12 (dua belas) bulan Laporan Debitur secara berturut-turut; atau b. bagi Pelapor dengan aset kurang dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah), sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) per Debitur per hari kerja keterlambatan dan paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) per bulan Laporan Debitur dan paling lama keterlambatan 12 (dua belas) bulan Laporan Debitur secara berturut-turut. (2) Pelapor yang atas dasar temuan OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dikenakan sanksi administratif berupa denda: a. bagi Pelapor dengan aset paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah), sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per Debitur paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per bulan Laporan Debitur dan paling lama keterlambatan 12 (dua belas) bulan Laporan Debitur secara berturut-turut; atau b. bagi Pelapor dengan aset kurang dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah), sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) per Debitur paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per bulan Laporan Debitur dan paling lama keterlambatan 12 (dua belas) bulan Laporan Debitur secara berturut-turut. (3) Pelapor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b dan dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) atau Pasal 10 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa: a. denda 1. bagi Pelapor dengan aset paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar - 23 - rupiah), sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per Debitur paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per bulan Laporan Debitur dan paling lama keterlambatan 12 (dua belas) bulan Laporan Debitur secara berturut-turut; atau 2. bagi Pelapor dengan aset kurang dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah), sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) per Debitur paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per bulan Laporan Debitur dan paling lama keterlambatan 12 (dua belas) bulan Laporan Debitur secara berturut-turut; dan b. penundaan pemberian Informasi Debitur sampai dengan seluruh koreksi Laporan Debitur diterima oleh OJK. Pasal 35 Pelapor yang meminta dan menggunakan Informasi Debitur tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk setiap Informasi Debitur. Pasal 36 Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b, Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat (2) huruf a, Pasal 8 ayat (2) huruf b, Pasal 9 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), Pasal 9 ayat (4), Pasal 10 ayat (3), dan Pasal 15 ayat (4), selain dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis atau peringatan tertulis, denda, dan/atau sanksi administratif lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, dan/atau Pasal 35, dapat dikenakan sanksi administratif berupa: a. penurunan tingkat kesehatan; - 24 - b. pembekuan kegiatan usaha tertentu; c. penilaian kemampuan dan kepatutan; dan/atau d. sanksi administratif lain, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 37 Bagi Pelapor baru, pelaksanaan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a, Pasal 33 ayat (2) huruf a, Pasal 34 ayat (1), Pasal 34 ayat (2), dan Pasal 34 ayat (3) huruf a, mulai berlaku 9 (sembilan) bulan sejak batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 38 (1) Bank Umum, BPR, BPRS, Lembaga Pembiayaan yang memberikan Fasilitas Penyediaan Dana, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya yang memberikan Fasilitas Penyediaan Dana, yang pada saat Peraturan OJK ini berlaku, telah menjadi Pelapor Sistem Informasi Debitur sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/14/PBI/2007 tentang Sistem Informasi Debitur sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/21/PBI/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/14/PBI/2007 tentang Sistem Informasi Debitur menyampaikan: a. Laporan Debitur kepada OJK mulai Laporan Debitur bulan Maret 2017 dan bulan April 2017 yang disampaikan paling lambat bulan Mei 2017; dan b. daftar pihak yang ditunjuk sebagai pegawai pelaksana dan/atau pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) kepada OJK - 25 - paling lama 3 (tiga) bulan sejak Peraturan OJK ini mulai berlaku. (2) BPR, BPRS, dan perusahaan pembiayaan yang pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku belum menjadi Pelapor Sistem Informasi Debitur sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/14/PBI/2007 tentang Sistem Informasi Debitur sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/21/PBI/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/14/PBI/2007 tentang Sistem Informasi Debitur menjadi Pelapor SLIK paling lambat tanggal 31 Desember 2018. (3) Perusahaan modal ventura, perusahaan pembiayaan infrastruktur, dan pergadaian, yang pada saat Peraturan OJK ini berlaku belum menjadi Pelapor Sistem Informasi Debitur sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/14/PBI/2007 tentang Sistem Informasi Debitur sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/21/PBI/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/14/PBI/2007 tentang Sistem Informasi Debitur, menjadi Pelapor SLIK paling lambat tanggal 31 Desember 2022. (4) Khusus Laporan Debitur bulan Maret 2017 sampai dengan November 2017, Pelapor menyampaikan Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur paling lama 5 (lima) hari kerja setelah batas akhir periode penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) huruf a, dan Pasal 10 ayat (2). - 26 - BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 39 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/14/PBI/2007 tentang Sistem Informasi Debitur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4784); dan 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/21/PBI/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/14/PBI/2007 tentang Sistem Informasi Debitur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 195, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5933), dicabut dan dinyatakan tanggal 1 Januari 2018. Pasal 40 Ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 29, Pasal 33 ayat (1) huruf a, Pasal 33 ayat (2) huruf a, Pasal 34 ayat (1), Pasal 34 ayat (2), dan Pasal 34 ayat (3) huruf a, mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2018. Pasal 41 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. tidak berlaku sejak - 27 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 April 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Mei 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 93 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18 /POJK.03/2017 TENTANG PELAPORAN DAN PERMINTAAN INFORMASI DEBITUR MELALUI SISTEM LAYANAN INFORMASI KEUANGAN I. UMUM Kemudahan akses perkreditan atau pembiayaan merupakan salah satu aspek penting dalam menciptakan sistem keuangan yang sehat dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi suatu negara. Kemudahan akses perkreditan atau pembiayaan perlu didukung dengan adanya sistem informasi yang berfungsi sebagai sarana pertukaran informasi kredit antar lembaga jasa keuangan. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Otoritas Jasa Keuangan diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengembangkan penyelenggaraan sistem informasi antar bank yang dapat diperluas dengan menyertakan lembaga lain di bidang keuangan. Oleh sebab itu, dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya, Otoritas Jasa Keuangan memandang perlu mengembangkan sebuah sistem baru untuk mendukung akses informasi perkreditan melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK). SLIK dapat dimanfaatkan untuk memperlancar proses penyediaan dana, penerapan manajemen risiko, penilaian kualitas debitur, dan meningkatkan disiplin industri keuangan. - 2 - Dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan SLIK diperlukan pengaturan mengenai pelaporan dan permintaan informasi debitur melalui SLIK. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “Lembaga Jasa Keuangan Lainnya yang memberikan Fasilitas Penyediaan Dana” antara lain lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, pergadaian, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “infrastruktur yang memadai” antara lain struktur organisasi, sumber daya manusia, perangkat komputer, jaringan komunikasi data yang diperlukan dalam SLIK. Huruf b Cukup jelas. - 3 - Huruf c Yang dimaksud dengan “perjanjian keikutsertaan dalam pelaporan dan permintaan Informasi Debitur melalui SLIK” adalah perikatan antara Pelapor dan OJK mengenai keikutsertaan Pelapor dalam SLIK. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “infrastruktur yang memadai” antara lain struktur organisasi, sumber daya manusia, perangkat komputer, jaringan komunikasi data yang diperlukan dalam SLIK. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “perjanjian keikutsertaan dalam pelaporan dan permintaan Informasi Debitur melalui SLIK” adalah perikatan antara Pelapor dan OJK mengenai keikutsertaan Pelapor dalam SLIK. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Informasi mengenai Debitur, antara lain berisi informasi mengenai nama, nomor identitas, tempat lahir, tanggal lahir, alamat, nomor telepon, nomor seluler, alamat electronic mail, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), nama gadis ibu kandung, informasi pasangan, pekerjaan, hubungan keterkaitan Debitur dengan Pelapor, penghasilan Debitur. - 4 - Huruf b Informasi mengenai Fasilitas Penyediaan Dana, antara lain berisi informasi mengenai jenis penyediaan dana, jumlah fasilitas yang diberikan serta kualitas penyediaan dana termasuk penyediaan dana yang dihapus buku, dihapus tagih atau diselesaikan dengan cara pengambilalihan agunan atau penyelesaian melalui peradilan. Penetapan kualitas penyediaan dana mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi masing-masing Pelapor. Huruf c Informasi mengenai agunan, antara lain berisi informasi mengenai bukti kepemilikan, nilai agunan, tanggal penilaian, ketersediaan agunan, lokasi agunan, jenis pengikatan agunan. Huruf d Informasi mengenai penjamin, antara lain berisi informasi mengenai nomor identitas atau NPWP penjamin, nama penjamin, alamat penjamin, persentase bagian yang dijamin. Huruf e Informasi mengenai pengurus dan pemilik dilaporkan untuk jenis Debitur badan usaha, antara lain berisi informasi mengenai nama, alamat, nomor identitas atau NPWP, jabatan serta pangsa kepemilikan. Huruf f Informasi mengenai keuangan Debitur diperoleh dari laporan keuangan Debitur, antara lain berisi informasi mengenai pos-pos neraca dan laba rugi. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Laporan Debitur yang disampaikan mencakup laporan dari kantor pusat, kantor cabang, kantor cabang pembantu atau sejenisnya yang memberikan Fasilitas Penyediaan Dana. - 5 - Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “laporan keuangan tahunan Debitur” adalah laporan keuangan tahunan yang telah diaudit atau belum/tidak diaudit. Ayat (3) Contoh: Informasi mengenai keuangan Debitur yang bersumber dari laporan keuangan tahunan Debitur bulan Desember 2018 disampaikan oleh Pelapor paling lambat tanggal 12 Juli 2019. Pasal 6 Yang dimaksud dengan “Pelapor baru” adalah Pelapor yang belum pernah menyampaikan Laporan Debitur dalam Sistem Informasi Debitur (SID) dan SLIK. Contoh: Pelapor ditetapkan sebagai pelapor oleh OJK pada bulan September 2018 maka Pelapor untuk pertama kali menyampaikan Laporan Debitur paling lambat tanggal 12 Januari 2019 untuk bulan data Desember 2018. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Contoh: Laporan Debitur bulan Mei 2018 disampaikan paling lambat tanggal 12 Juni 2018. - 6 - Ayat (2) Huruf a Contoh: Koreksi Laporan Debitur untuk bulan Mei 2018 disampaikan paling lambat pada tanggal 12 Juni 2018. Huruf b Contoh 1: Apabila temuan OJK disampaikan kepada Pelapor pada tanggal 1 Mei 2018 maka koreksi Laporan Debitur dilakukan paling lambat tanggal 12 Juni 2018. Contoh 2: Apabila temuan OJK disampaikan kepada Pelapor pada tanggal 20 Mei 2018 maka koreksi Laporan Debitur dilakukan paling lambat tanggal 12 Juni 2018. Ayat (3) Yang termasuk hari libur adalah hari libur nasional dan cuti bersama. Yang dimaksud dengan “hari kerja berikutnya” adalah hari kerja setelah hari libur berlangsung. Contoh: Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur bulan Juli 2018 yang disampaikan paling lambat tanggal 12 Agustus 2018 adalah hari Minggu, batas akhir penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur bulan Juli 2018 adalah hari Senin tanggal 13 Agustus 2018. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang termasuk kondisi tertentu yang berdampak signifikan pada periode penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur, misalnya libur dan cuti bersama dalam rangka hari raya Idul Fitri yang memiliki jangka waktu relatif lama dan bertepatan dengan periode penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur. - 7 - Ayat (5) Tanggal Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur diterima oleh OJK adalah tanggal yang tercantum pada tanda terima Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur dari SLIK untuk penyampaian secara daring (online) maupun secara luring (offline). Pasal 9 Ayat (1) Contoh: Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Debitur bulan Mei 2018, apabila Pelapor menyampaikan Laporan Debitur pada kurun waktu tanggal 13 Juni 2018 sampai dengan 30 Juni 2018. Ayat (2) Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Debitur bulan Mei 2018, apabila Pelapor belum menyampaikan Laporan Debitur atau menyampaikan Laporan Debitur melampaui tanggal 30 Juni 2018. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh 1: Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Debitur bulan Mei 2018, apabila koreksi Laporan Debitur disampaikan melampaui tanggal 12 Juni 2018. Contoh 2: Apabila temuan OJK disampaikan kepada Pelapor pada tanggal 1 Mei 2018 maka koreksi Laporan Debitur disampaikan paling lambat tanggal 12 Juni 2018. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “menyampaikan Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara daring (online)” - 8 - adalah penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur oleh Pelapor dengan cara mengirim atau mentransfer rekaman data Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara langsung melalui jaringan yang terhubung dengan SLIK. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan yang menyebabkan Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara daring (online), antara lain gangguan pada jaringan komunikasi data dan pemadaman listrik. Yang dimaksud dengan “penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara luring (offline)”, adalah penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur oleh Pelapor yang dilakukan dengan menyampaikan rekaman data Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur kepada OJK antara lain dalam bentuk compact disc atau USB flashdisk. Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” antara lain surat atau pengumuman dari penyedia jaringan komunikasi data dalam hal Pelapor mengalami gangguan komunikasi data dan/atau surat dari penyedia jaringan listrik dalam hal Pelapor mengalami pemadaman listrik atau dokumen yang menyatakan telah ada upaya melakukan penyampaian laporan SLIK secara daring (online). Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur yang disampaikan secara luring (offline) oleh Pelapor dan diunggah oleh OJK tetap menjadi tanggung jawab Pelapor. Ayat (3) Contoh: Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur bulan Januari 2018 secara daring (online) yang disampaikan paling lambat tanggal 12 Februari 2018, kemudian Pelapor menyampaikan Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara luring (offline) pada tanggal 15 Februari 2018, apabila tanda terima Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur - 9 - dari SLIK tersebut melebihi tanggal 15 Februari 2018 maka Pelapor dinyatakan terlambat. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “keadaan kahar (force majeure)” antara lain kebakaran, kerusuhan massa, perang, konflik bersenjata, sabotase serta bencana alam seperti banjir dan gempa bumi yang mengganggu kegiatan operasional Pelapor, yang dibenarkan oleh pejabat instansi yang berwenang dari daerah setempat. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Pengkinian Laporan Debitur tidak dapat lagi dilakukan oleh Pelapor karena data telah dialihkan kepada pihak yang ditunjuk melakukan penyelesaian kewajiban Pelapor, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Huruf b Yang dimaksud dengan “sebab lain” antara lain karena secara teknis Pelapor tidak dapat melakukan pengkinian Laporan Debitur. Contoh: Pelapor akan melakukan koreksi terkait dengan fasilitas yang telah dilaporkan lunas maka Pelapor dapat melakukan pengkinian data Laporan Debitur setelah menyampaikan permohonan pengkinian data dan disetujui oleh OJK. - 10 - Ayat (2) Huruf a Pihak yang ditunjuk antara lain Lembaga Penjamin Simpanan atau tim likuidasi. Huruf b Dokumen pendukung yang disampaikan oleh Debitur akan diverifikasi lebih lanjut kepada pihak terkait. Dokumen pendukung antara lain bukti pembayaran dan berita acara penyelesaian pembayaran. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 13 Pemberitahuan kepada Debitur dapat dilakukan melalui sarana antara lain formulir, surat elektronik (electronic mail), dan pesan singkat (short messages service). Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan nota kesepahaman dengan OJK berwenang untuk memperoleh Informasi Debitur, misalnya pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara, Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, serta aparat penegak hukum dalam rangka pelaksanaan tugas - 11 - dan wewenang berdasarkan peraturan perundang- undangan. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Informasi lain antara lain berupa informasi keuangan Debitur. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “menatausahakan” adalah melakukan penatausahaan atas setiap permintaan Informasi Debitur baik secara manual maupun melalui sarana teknologi informasi. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. - 12 - Huruf c Pihak lain yang berwenang antara lain otoritas pengawas Pelapor. Pasal 16 Ayat (1) Pemberian Informasi Debitur kepada Debitur dari Pelapor yang bersangkutan merupakan salah satu bentuk pelaksanaan transparansi Pelapor kepada Debitur. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Pemberian penjelasan secara tertulis kepada Debitur atau calon Debitur dilakukan dengan menggunakan surat pemberitahuan oleh Pelapor. Ayat (2) Permintaan secara tertulis dari Debitur atau calon Debitur kepada Pelapor dilakukan dengan menggunakan surat permohonan. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “disampaikan langsung oleh Debitur“ adalah Debitur yang bersangkutan datang ke OJK atau kantor Pelapor. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. - 13 - Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Tanggal pengaduan diterima adalah tanggal yang tercantum dalam administrasi pengaduan yang ditatausahakan oleh Pelapor. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “memerlukan penelitian khusus” antara lain dalam hal terdapat indikasi fraud di bidang perkreditan atau pembiayaan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Penyelesaian pengaduan mengenai ketidakakuratan Informasi Debitur dibuktikan dengan dokumen kesepakatan penyelesaian pengaduan. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Pelapor menyampaikan koreksi Laporan Debitur kepada OJK segera setelah dilakukan koreksi. Ayat (2) Cukup jelas. - 14 - Pasal 27 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “langkah yang dilakukan dalam rangka pemeliharaan dan pengamanan sistem dan data” antara lain pelaksanaan rekam cadang (back-up) data Debitur setelah dilakukan penyampaian Laporan Debitur dan/atau koreksi Laporan Debitur secara berkala setiap bulan serta melakukan pengkinian antivirus dan pengecekan jaringan secara berkala. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “prinsip pemisahan tugas (segregation of duties)” antara lain pemisahan tugas antara satuan kerja atau unit yang melakukan penyampaian Laporan Debitur, verifikasi Laporan Debitur dengan satuan kerja atau unit yang melaksanakan fungsi penyelesaian pengaduan Debitur. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. - 15 - Pasal 31 Ayat (1) Pengawasan dilakukan melalui: a. pengawasan secara langsung adalah pengawasan langsung yang dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan kepada Pelapor; dan/atau b. pengawasan secara tidak langsung adalah pengawasan tidak langsung melalui penelitian, analisis, dan evaluasi atas Laporan Debitur yang disampaikan oleh Pelapor kepada OJK dan/atau informasi lain yang diperoleh OJK. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Huruf a Perhitungan aset sebagai dasar pengenaan sanksi administratif berupa denda pada angka 1 dan angka 2 berdasarkan jumlah aset pada saat posisi pelaporan. Angka 1 Contoh: Apabila Pelapor dengan aset paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) menyampaikan Laporan Debitur bulan Februari 2018 pada hari Jumat tanggal 16 Maret 2018, Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Debitur selama 4 (empat) hari kerja yaitu hari Selasa, Rabu, Kamis, dan Jumat sehingga Pelapor dikenakan sanksi denda sebesar 4 x Rp1.000.000,00 = Rp4.000.000,00. - 16 - Angka 2 Contoh: Apabila Pelapor dengan aset kurang dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) menyampaikan Laporan Debitur bulan Februari 2018 pada hari Jumat tanggal 16 Maret 2018, Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Debitur selama 4 (empat) hari kerja yaitu hari Selasa, Rabu, Kamis, dan Jumat sehingga Pelapor dikenakan sanksi denda sebesar 4 x Rp100.000,00 = Rp400.000,00. Huruf b Pelapor sebagaimana dimaksud pada contoh angka 1 dan angka 2 selain dikenakan sanksi administratif berupa denda juga dikenakan sanksi administratif berupa penundaan pemberian Informasi Debitur dari tanggal 13 Maret 2018 sampai dengan 16 Maret 2018. Ayat (2) Huruf a Perhitungan aset sebagai dasar pengenaan sanksi administratif berupa denda pada angka 1 dan angka 2 berdasarkan jumlah aset pada saat posisi pelaporan. Angka 1 Contoh: Apabila Pelapor dengan aset paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) tidak menyampaikan Laporan Debitur bulan Mei 2018 sampai dengan batas akhir bulan Juni 2018, kemudian Pelapor menyampaikan Laporan Debitur pada tanggal 10 Juli 2018, Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Debitur dan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Angka 2 Contoh: Apabila Pelapor dengan aset kurang dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) - 17 - tidak menyampaikan Laporan Debitur bulan Mei 2018 sampai dengan batas akhir bulan Juni 2018, kemudian Pelapor menyampaikan Laporan Debitur pada tanggal 10 Juli 2018, Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Debitur dan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Huruf b Pelapor sebagaimana dimaksud pada contoh angka 1 dan angka 2 selain dikenakan sanksi administratif berupa denda juga dikenakan sanksi administratif berupa penundaan pemberian Informasi Debitur dari tanggal 13 Juni 2018 sampai dengan tanggal 10 Juli 2018. Pasal 34 Perhitungan aset sebagai dasar pengenaan sanksi administratif berupa denda pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berdasarkan jumlah aset pada saat posisi pelaporan. Ayat (1) Huruf a Contoh: Apabila Pelapor dengan aset paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) menyampaikan koreksi Laporan Debitur bulan Februari 2018 pada hari Jumat tanggal 16 Maret 2018 secara daring (online) dengan jumlah 10 Debitur yang dikoreksi, Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Debitur selama 4 (empat) hari kerja yaitu hari Selasa, Rabu, Kamis, dan Jumat sehingga Pelapor dikenakan sanksi denda sebesar 10 x 4 x Rp50.000,00 = Rp2.000.000,00. Huruf b Contoh: Apabila Pelapor dengan aset kurang dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) menyampaikan koreksi Laporan Debitur bulan - 18 - Oktober 2018 pada hari Rabu tanggal 21 November 2018 secara luring (offline) dengan jumlah 10 debitur yang dikoreksi, Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Debitur selama 3 (tiga) hari kerja yaitu hari Jumat, hari Senin, dan hari Rabu sehingga Pelapor dikenakan sanksi denda sebesar 10 x 3 x Rp10.000,00 = Rp300.000,00. Ayat (2) Temuan OJK antara lain dapat berasal dari hasil pengawasan OJK, informasi dari Debitur, dan/atau informasi dari Pelapor lain. Huruf a Contoh: OJK memberitahukan temuan kepada Pelapor dengan aset paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) untuk melakukan koreksi terhadap 10 (sepuluh) Debitur untuk 2 (dua) bulan Laporan Debitur. Atas temuan tersebut, Pelapor dikenakan sanksi denda sebesar 10 x 2 x Rp50.000,00 = Rp1.000.000,00. Huruf b Contoh: OJK memberitahukan temuan kepada Pelapor dengan aset kurang dari atau sama dengan Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) untuk melakukan koreksi terhadap 10 (sepuluh) Debitur untuk 2 (dua) bulan Laporan Debitur. Atas temuan tersebut, Pelapor dikenakan sanksi denda sebesar 10 x 2 x Rp10.000,00 = Rp200.000,00. Ayat (3) Huruf a Angka 1 Contoh: Apabila Pelapor dengan aset paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) menyampaikan koreksi Laporan Debitur bulan Februari 2018 atas temuan OJK, pada hari Jumat tanggal 16 Maret 2018 secara daring (online) - 19 - terhadap 10 (sepuluh) Debitur untuk 2 (dua) bulan Laporan Debitur, Pelapor dinyatakan terlambat dan dikenakan sanksi berupa denda sebesar 10 x 2 x Rp50.000,00 = Rp1.000.000,00. Angka 2 Contoh: Apabila Pelapor dengan aset kurang dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) menyampaikan koreksi Laporan Debitur bulan Februari 2018 atas temuan OJK, pada hari Jumat tanggal 16 Maret 2018 secara daring (online) terhadap 10 (sepuluh) Debitur untuk 2 (dua) bulan Laporan Debitur, Pelapor dinyatakan terlambat dan dikenakan sanksi berupa denda sebesar 10 x 2 x Rp10.000,00 = Rp200.000,00. Huruf b Pelapor sebagaimana dimaksud pada contoh angka 1 dan angka 2 selain dikenakan sanksi administratif berupa denda juga dikenakan sanksi administratif berupa penundaan pemberian Informasi Debitur dari tanggal 13 Maret 2018 sampai dengan tanggal 16 Maret 2018. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Contoh: Pelapor ditetapkan menjadi Pelapor SLIK pada bulan September 2017, Pelapor mulai dikenakan sanksi untuk pelanggaran penyampaian Laporan Debitur bulan Oktober 2018 yang dilaporkan paling lambat tanggal 12 November 2018. - 20 - Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Laporan Debitur bulan Juni 2017 dilaporkan paling lambat tanggal 19 Juli 2017. Laporan Debitur bulan Juli 2017 dilaporkan paling lambat tanggal 22 Agustus 2017. Laporan Debitur secara luring (offline) bulan Juli 2017 dilaporkan paling lambat tanggal 25 Agustus 2017. Pasal 39 Sampai dengan tanggal 31 Desember 2017, kewajiban pelaporan mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/14/PBI/2007 tanggal 30 November 2007 tentang Sistem Informasi Debitur sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/21/PBI/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/14/PBI/2007 tentang Sistem Informasi Debitur dan Peraturan OJK ini. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6049
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 18/POJK.03/2017 </reg_id> <reg_title> PELAPORAN DAN PERMINTAAN INFORMASI DEBITUR MELALUI SISTEM LAYANAN INFORMASI KEUANGAN </reg_title> <set_date> 26 April 2017 </set_date> <effective_date> 5 Mei 2017 </effective_date> <issued_date> 5 Mei 2017 </issued_date> <replaced_reg> '9/14/PBI/2007', '18/21/PBI/2016' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 71 /POJK.05/2016 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 ayat (4), Pasal 20 ayat (5), Pasal 21 ayat (4), dan Pasal 22 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik 5253); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); Indonesia Nomor -2- MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan adalah perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi. 2. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 3. Perusahaan Asuransi Umum adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha jasa pertanggungan risiko yang memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti. 4. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha jasa penanggulangan risiko yang memberikan pembayaran kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau pembayaran lain kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. 5. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha jasa pertanggungan ulang -3- terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan reasuransi lainnya. 6. Pihak adalah orang atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 7. Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi yang selanjutnya disebut PAYDI adalah produk asuransi yang paling sedikit memberikan perlindungan terhadap risiko kematian dan memberikan manfaat yang mengacu pada hasil investasi dari kumpulan dana yang khusus dibentuk untuk produk asuransi baik yang dinyatakan dalam bentuk unit maupun bukan unit. 8. Liabilitas adalah kewajiban sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. 9. Dana Asuransi adalah kumpulan dana yang berasal dari premi yang dibentuk untuk memenuhi Liabilitas yang timbul dari polis yang diterbitkan atau dari klaim asuransi. 10. Aset Yang Diperkenankan adalah aset yang diperhitungkan dalam perhitungan tingkat solvabilitas. 11. Modal Minimum Berbasis Risiko yang selanjutnya disingkat MMBR adalah jumlah dana yang dibutuhkan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan aset dan Liabilitas. 12. Tingkat Solvabilitas adalah selisih antara jumlah Aset Yang Diperkenankan dikurangi dengan jumlah Liabilitas. 13. Ekuitas adalah ekuitas berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia. -4- 14. Medium Term Notes yang selanjutnya disingkat MTN adalah surat utang yang diterbitkan oleh perusahaan dan memiliki jangka waktu satu sampai dengan lima tahun. 15. Premi Neto adalah premi bruto dikurangi komisi dan dikurangi premi reasuransi dibayar yang telah dikurangi komisi reasuransi diterima. 16. Dana Jaminan adalah aset Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang merupakan jaminan terakhir dalam rangka melindungi 17. Manajer kepentingan pemegang polis, tertanggung, atau peserta, dalam hal Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dilikuidasi. adalah Investasi manajer investasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. 18. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan bank syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008. 19. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR adalah bank perkreditan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. 20. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya disingkat BPRS adalah bank pembiayaan rakyat syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 21. Bank Kustodian adalah bank umum yang telah mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagai kustodian. -5- 22. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen yang mempunyai pengaturan, fungsi, tugas, pengawasan, dan pemeriksaan, wewenang dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. BAB II KESEHATAN KEUANGAN Bagian Kesatu Ruang Lingkup Kesehatan Keuangan Pasal 2 (1) Perusahaan wajib setiap waktu memenuhi persyaratan tingkat kesehatan keuangan. (2) Pengukuran tingkat kesehatan keuangan Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Tingkat Solvabilitas; b. cadangan teknis; c. kecukupan investasi; d. Ekuitas; e. Dana Jaminan; dan f. ketentuan lain yang berhubungan dengan kesehatan keuangan. Bagian Kedua Tingkat Solvabilitas Pasal 3 (1) Perusahaan setiap saat wajib memenuhi Tingkat Solvabilitas paling rendah 100% (seratus persen) dari MMBR. (2) Perusahaan setiap tahun wajib menetapkan target Tingkat Solvabilitas internal. -6- (3) Target Tingkat Solvabilitas internal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling rendah 120% (seratus dua puluh persen) dari MMBR dengan memperhitungkan profil risiko setiap Perusahaan serta mempertimbangkan hasil simulasi skenario perubahan (stress test). (4) OJK dapat memerintahkan kepada Perusahaan untuk meningkatkan dan memenuhi target Tingkat Solvabilitas internal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan mempertimbangkan profil risiko Perusahaan serta mempertimbangkan hasil simulasi skenario perubahan (stress test). (5) Perusahaan setiap saat harus memenuhi Target Solvabilitas internal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4). (6) Perusahaan dilarang membayar dividen atau memberikan imbalan dalam bentuk apapun kepada pemegang saham atau yang setara apabila hal tersebut akan menyebabkan tidak tercapainya target Tingkat Solvabilitas internal yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4). Pasal 4 (1) Perhitungan MMBR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) harus memperhitungkan risiko paling sedikit terdiri dari: a. b. c. d. e. risiko kredit; risiko likuiditas; risiko pasar; risiko asuransi; dan risiko operasional. (2) Dalam hal Perusahaan Asuransi memasarkan PAYDI, MMBR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditambah sebesar persentase tertentu dari dana investasi yang bersumber dari PAYDI. -7- (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan jumlah MMBR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK. Bagian Ketiga Aset Yang Diperkenankan Dalam Bentuk Investasi Pasal 5 (1) Perusahaan wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penempatan investasi. (2) Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi harus ditempatkan pada jenis: a. deposito berjangka pada Bank, BPR, dan BPRS, termasuk deposit on call dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1 (satu) bulan; b. sertifikat deposito pada Bank; c. saham yang tercatat di bursa efek; d. obligasi korporasi yang tercatat di bursa efek; e. MTN; f. surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia; g. surat berharga yang diterbitkan oleh negara selain Negara Republik Indonesia; h. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; i. j. surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya; reksa dana; k. efek beragun aset; l. dana investasi real estat berbentuk kontrak investasi kolektif; m. transaksi surat berharga melalui repurchase agreement (REPO); -8- n. penyertaan langsung pada perseroan terbatas yang sahamnya tidak tercatat di bursa efek; o. tanah, bangunan dengan hak strata (strata title), atau tanah dengan bangunan, untuk investasi; p. pembiayaan melalui mekanisme kerja sama dengan Pihak lain dalam bentuk kerjasama pemberian kredit (executing); q. emas murni; r. pinjaman yang dijamin dengan hak tanggungan; dan/atau s. pinjaman polis. (3) Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dapat ditempatkan di luar negeri harus dalam jenis: a. saham yang tercatat di bursa efek; b. obligasi korporasi yang tercatat di bursa efek; c. surat berharga yang diterbitkan oleh negara selain Negara Republik Indonesia; d. surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya; e. reksa dana; dan/atau f. penyertaan langsung pada perusahaan yang sahamnya tidak tercatat di bursa efek. (4) Jenis investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) termasuk juga jenis investasi yang menggunakan prinsip syariah. (5) Ketentuan mengenai dasar penilaian setiap jenis investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 6 (1) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa obligasi korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d harus dilakukan pada obligasi korporasi yang memiliki -9- peringkat investment grade dari perusahaan pemeringkat efek yang diakui oleh OJK. (2) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa MTN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. MTN terdaftar di Kustodian Sentral Efek Indonesia; b. MTN memiliki agen monitoring yang mendapatkan izin sebagai wali amanat dari OJK; dan c. MTN memiliki peringkat investment grade yang dikeluarkan oleh perusahaan pemeringkat efek yang diakui oleh OJK. (3) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf i harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memiliki peringkat investment grade dari perusahaan pemeringkat efek yang diakui secara internasional; b. dijual melalui penawaran umum; dan c. informasi mengenai transaksinya dapat diakses di Indonesia. (4) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa reksa dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf j, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. bagi reksa dana yang dilakukan melalui penawaran umum, telah mendapat pernyataan efektif dari OJK; dan b. bagi reksa dana penyertaan terbatas, telah tercatat di OJK. (5) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa efek beragun aset dan dana -10- investasi real estat berbentuk kontrak investasi kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf k dan huruf l harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. telah mendapat pernyataan efektif dari OJK; b. memiliki peringkat investment grade dari perusahaan pemeringkat efek yang diakui oleh OJK; dan c. dilakukan melalui penawaran umum sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. (6) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa REPO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf m harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. tingkat risiko Perusahaan berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh OJK adalah sedang rendah atau rendah; b. menggunakan kontrak perjanjian yang terstandarisasi oleh OJK; c. transaksi dalam bentuk beli surat berharga dengan janji jual kembali pada waktu dan harga yang telah ditetapkan; d. jenis jaminan terbatas pada surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia dan/atau surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; e. jangka waktu tidak melebihi 90 (sembilan puluh) hari; f. nilai REPO paling tinggi 80% (delapan puluh persen) dari nilai pasar surat berharga yang dijaminkan; dan g. transaksi REPO terdaftar di Kustodian Sentral Efek Indonesia atau Bank Indonesia Scriptless Securities Settlement System (BI-S4). (7) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa tanah, bangunan dengan hak -11- strata (strata title) atau tanah dengan bangunan, untuk investasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf o harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. dimiliki dan dikuasai oleh Perusahaan yang dibuktikan dengan sertipikat hak atas tanah dan/atau bangunan atas nama Perusahaan; dan b. tidak ditempatkan pada tanah, bangunan, atau tanah dengan bangunan yang sedang diagunkan, dalam sengketa, atau diblokir Pihak lain. (8) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa pembiayaan melalui mekanisme kerja sama dengan Pihak lain dalam bentuk kerja sama pemberian kredit (executing) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf p harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. merupakan perusahaan pembiayaan yang telah memperoleh izin usaha dari OJK; b. perusahaan pembiayaan dimaksud tidak sedang dikenai sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha atau pembekuan kegiatan usaha oleh OJK pada saat dimulainya kerja sama; tingkat risiko c. perusahaan pembiayaan berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh OJK adalah sedang rendah atau rendah; dan d. memenuhi ketentuan tingkat kesehatan keuangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pembiayaan, pada saat dimulainya kerja sama. (9) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa emas murni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf q, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memenuhi persyaratan spesifikasi yang ditetapkan oleh bursa komoditi yang telah memperoleh izin dari instansi yang berwenang; dan -12- b. disimpan di Bank Kustodian atau Pihak lain yang memperoleh izin atau persetujuan dari instansi (10) Penempatan atas yang berwenang menyelenggarakan jasa penitipan. Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa pinjaman yang dijamin dengan hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf r harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. pinjaman tersebut perorangan; b. pinjaman tersebut dijamin dengan hak tanggungan pertama; c. pinjaman tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; d. sertipikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan hak tanggungan disimpan oleh Perusahaan; dan e. besarnya setiap pinjaman paling tinggi 75% (tujuh puluh oleh lima persen) dari lembaga penilai nilai jaminan yang terkecil diantara nilai yang ditetapkan yang terdaftar pada instansi yang berwenang dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Pasal 7 Dalam hal obligasi korporasi dan/atau MTN yang diterbitkan oleh memiliki tingkat perusahaan investment pembiayaan grade tidak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan/atau ayat (2) huruf c penempatan dapat dilakukan sepanjang: a. memiliki peringkat 1 (satu) tingkat di bawah investment grade; dan diberikan untuk kepada -13- b. perusahaan pembiayaan yang menerbitkan obligasi korporasi dan/atau MTN memenuhi ketentuan tingkat kesehatan keuangan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang pembiayaan pada saat penempatan. Pasal 8 (1) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi di luar negeri berupa saham yang tercatat di bursa efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. termasuk dalam kategori saham yang aktif diperdagangkan pada bursa efek di tempat saham tersebut dicatatkan berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh bursa efek dimaksud; dan b. informasi mengenai emiten dan transaksi saham tersebut dapat diakses di Indonesia. (2) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi di luar negeri berupa obligasi korporasi yang tercatat di bursa efek, surat berharga yang diterbitkan oleh negara selain Negara Republik Indonesia, dan surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memiliki peringkat investment grade dari perusahaan pemeringkat efek yang diakui secara internasional; b. dijual melalui penawaran umum; dan c. informasi mengenai transaksinya dapat diakses di Indonesia. (3) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi di luar negeri berupa reksa dana ketentuan -14- sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf e harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. dikelola oleh Manajer Investasi di luar negeri yang telah mendapatkan izin dari otoritas pasar modal di negara tempat Manajer Investasi berdomisili; b. telah mendapatkan izin/persetujuan/pendaftaran dari otoritas pasar modal di negara tempat Manajer Investasi dimaksud berdomisili dan dilakukan melalui penawaran umum; c. dikelola oleh Manajer Investasi di luar negeri yang tidak sedang dikenai sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha atau pembekuan kegiatan usaha oleh otoritas di negara tempat Manajer Investasi dimaksud berdomisili; dan d. informasi mengenai reksa dana dapat diakses di Indonesia. Pasal 9 (1) Dalam hal Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa saham dan/atau obligasi korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c dan huruf d yang tercatat di bursa efek di dalam negeri dan/atau di luar negeri dan emitennya merupakan badan hukum asing, dikategorikan sebagai investasi di luar negeri. (2) Dalam hal Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa saham dan/atau obligasi korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c dan huruf d yang dicatatkan di bursa efek di dalam negeri dan/atau di luar negeri dan emitennya merupakan badan hukum Indonesia, dikategorikan sebagai investasi di dalam negeri. (3) Dalam hal Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa obligasi korporasi yang tercatat di bursa efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d yang diterbitkan oleh badan hukum asing yang lebih dari 50% (lima puluh persen) sahamnya -15- dimiliki oleh badan hukum Indonesia, dikategorikan sebagai investasi di dalam negeri. (4) Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa obligasi korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memiliki peringkat investment grade dari perusahaan pemeringkat efek yang diakui oleh OJK atau memiliki peringkat investment grade dari perusahaan pemeringkat efek yang diakui secara internasional; dan b. dijual melalui penawaran umum. (5) Dalam hal Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf i dan ayat (3) huruf d berdenominasi rupiah, dikategorikan sebagai investasi di dalam negeri. Pasal 10 (1) Perusahaan dilarang memiliki investasi di luar negeri, kecuali dalam jenis investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3). (2) Perusahaan dilarang menempatkan investasi di luar negeri melebihi 20% (dua puluh persen) dari jumlah investasi. (3) Dalam hal jumlah investasi di luar negeri melebihi batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang disebabkan adanya kenaikan nilai investasi tersebut, Perusahaan wajib menyesuaikan kembali jumlah investasi sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak diketahui adanya kenaikan nilai investasi. -16- Pasal 11 (1) Pembatasan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) adalah sebagai berikut: a. investasi berupa deposito berjangka pada Bank, termasuk deposit on call dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1 (satu) bulan, untuk setiap Bank paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah investasi; b. investasi berupa deposito berjangka, untuk setiap BPR dan BPRS paling tinggi 1% (satu persen) dari jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 5% (lima persen) dari jumlah investasi; c. investasi berupa sertifikat deposito untuk setiap Bank paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari total investasi berupa deposito berjangka pada Bank sebagaimana dimaksud pada huruf a; d. investasi berupa saham yang tercatat di bursa efek, untuk setiap emiten paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 40% (empat puluh persen) dari jumlah investasi; e. investasi berupa obligasi korporasi yang tercatat di bursa efek, untuk setiap emiten paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari jumlah investasi; f. investasi berupa MTN dan surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya, untuk setiap penerbit paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 40% (empat puluh persen) dari jumlah investasi; g. investasi berupa surat berharga yang diterbitkan oleh negara selain Negara Republik Indonesia, -17- untuk setiap penerbit paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah investasi; h. investasi berupa reksa dana, untuk setiap Manajer Investasi paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari jumlah investasi; i. investasi berupa efek beragun aset untuk setiap Manajer Investasi paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah investasi; j. investasi berupa dana investasi real estat berbentuk kontrak investasi kolektif, untuk setiap Manajer Investasi paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah investasi; k. investasi berupa REPO, untuk setiap counterparty paling tinggi 2% (dua persen) dari jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah investasi; l. investasi berupa penyertaan langsung (saham yang tidak tercatat di bursa efek), seluruhnya paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah investasi; m. investasi berupa tanah, bangunan dengan hak strata (strata title), atau tanah dengan bangunan, untuk investasi, seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah investasi; n. investasi berupa tanah untuk investasi, seluruhnya paling tinggi 1/3 (satu per tiga) dari jumlah investasi sebagaimana dimaksud pada huruf m; o. investasi berupa pembiayaan melalui mekanisme kerja sama dengan Pihak lain dalam bentuk kerjasama pemberian kredit (executing), untuk -18- setiap Pihak paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah investasi; p. q. investasi berupa emas murni, seluruhnya paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah investasi; investasi berupa pinjaman yang dijamin dengan hak tanggungan, seluruhnya paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah investasi; dan/atau r. investasi berupa pinjaman polis, dengan besarnya pinjaman polis paling tinggi 80% (delapan puluh persen) dari nilai tunai polis yang bersangkutan. (2) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa reksa dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf j, yang underlying asetnya seluruhnya berupa investasi surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h. (3) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa reksa dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf j dalam bentuk kontrak investasi kolektif penyertaan terbatas untuk setiap Manajer Investasi paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah investasi. (4) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d sampai dengan huruf k, jumlah seluruhnya paling tinggi 80% (delapan puluh persen) dari jumlah investasi. Pasal 12 (1) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi pada Pihak yang terafiliasi dengan Perusahaan paling tinggi 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah investasi. -19- (2) Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi pada satu Pihak atau beberapa Pihak yang terafiliasi namun Pihak tersebut tidak terafiliasi dengan Perusahaan, paling tinggi 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah investasi. (3) Dalam hal Perusahaan akan melakukan penempatan investasi yang melebihi batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf l, Perusahaan wajib mendapat persetujuan dari OJK. (4) Dalam hal Perusahaan akan melakukan penempatan investasi yang melebihi batasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf l, persetujuan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat diberikan untuk penyertaan langsung pada lembaga jasa keuangan yang telah mendapat izin dari OJK. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan investasi yang melebihi batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 13 (1) Pihak yang terafiliasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) adalah Pihak yang memiliki hubungan dengan satu atau lebih Pihak lain, sedemikian rupa sehingga salah satu Pihak dapat mempengaruhi pengelolaan atau kebijakan dari Pihak yang lain atau sebaliknya. (2) Hubungan yang dapat mempengaruhi pengelolaan atau kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk: a. salah satu Pihak memiliki satu atau lebih direktur atau pejabat setingkat di bawah direktur atau komisaris, yang juga menjabat sebagai direktur atau pejabat setingkat di bawah direktur atau komisaris pada Pihak lain; -20- b. salah satu Pihak memiliki satu atau lebih direktur, komisaris, atau pemegang saham pengendali, yang memiliki hubungan keluarga karena perkawinan atau keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal yang menjabat sebagai direktur, komisaris, atau pemegang saham pengendali pada Pihak lain; c. salah satu Pihak memiliki paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) saham Pihak lain; d. salah satu Pihak merupakan pemegang saham terbesar dari Pihak lain; e. para Pihak dikendalikan oleh pengendali yang sama; atau f. salah satu Pihak mempunyai hak suara pada Pihak lain yang lebih dari 50% (lima puluh persen) berdasarkan suatu perjanjian. (3) Hubungan afiliasi dan/atau hubungan hukum lainnya dengan Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak termasuk hubungan karena kepemilikan atau penyertaan modal oleh Negara Republik Indonesia. Pasal 14 (1) Perusahaan dilarang melakukan segala bentuk pengalihan aset kepada pemegang saham atau Pihak terafiliasi dengan Perusahaan kecuali melalui transaksi yang wajar (arm’s length transaction). (2) Perusahaan dilarang memberikan pinjaman kepada pemegang saham atau Pihak terafiliasi dengan Perusahaan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal pinjaman dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2). (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal pinjaman atau penempatan untuk Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi dan -21- Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi. Pasal 15 Jumlah investasi yang digunakan sebagai dasar perhitungan pembatasan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) merupakan nilai seluruh bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 per tanggal laporan posisi keuangan. Pasal 16 Ketentuan mengenai pembatasan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 termasuk untuk penempatan pada jenis investasi yang menggunakan prinsip syariah. Bagian Keempat Aset Yang Diperkenankan Dalam Bentuk Bukan Investasi Pasal 17 (1) Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi harus dalam jenis: a. kas dan bank; b. tagihan premi penutupan langsung, termasuk tagihan premi koasuransi yang menjadi bagian Perusahaan; c. tagihan premi reasuransi; d. aset reasuransi; e. tagihan klaim koasuransi; f. g. tagihan klaim reasuransi; tagihan investasi; h. tagihan hasil investasi; i. bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah dengan bangunan, untuk dipakai sendiri; dan/atau -22- j. biaya akuisisi yang ditangguhkan (deferred acquisition cost). (2) Pembatasan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. kas dan bank, dengan ketentuan kas dan bank di luar negeri yang diperkenankan seluruhnya paling tinggi 1% (satu persen) dari Ekuitas periode berjalan; b. tagihan premi penutupan langsung termasuk tagihan premi koasuransi yang menjadi bagian Perusahaan, dengan umur tagihan paling lama 2 (dua) bulan dihitung sejak tanggal: 1) pertanggungan dimulai bagi polis dengan pembayaran premi tunggal; atau 2) jatuh tempo pembayaran premi bagi polis dengan pembayaran premi cicilan; c. tagihan premi reasuransi, dengan umur tagihan paling lama 2 (dua) bulan dihitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran; d. aset reasuransi, terdiri dari: 1) aset yang bersumber dari nilai estimasi pemulihan klaim atas porsi pertanggungan ulang; dan 2) aset yang bersumber dari perjanjian kontrak jangka panjang (longterm contract) program reasuransi dukungan modal (capital oriented reinsurance) dengan ketentuan: a) hanya untuk setiap PAYDI baru yang biaya akusisinya dibayarkan terlebih dahulu oleh Perusahaan (back end loading); b) Perusahaan yang telah mengakui aset yang timbul dari perjanjian program reasuransi dukungan modal (capital oriented reinsurance) untuk satu PAYDI -23- maka tidak diperkenankan mengakui aset biaya akuisisi yang ditangguhkan (deferred acquisition cost) atas PAYDI yang sama; dan c) untuk setiap perjanjian program reasuransi dukungan modal (capital oriented reinsurance) harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari OJK; e. tagihan klaim koasuransi, dengan umur tagihan paling lama 2 (dua) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran klaim kepada pemegang polis atau tertanggung; f. tagihan klaim reasuransi, dengan umur tagihan paling lama 2 (dua) bulan dihitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran; g. tagihan investasi, dengan umur tagihan paling lama 1 (satu) bulan dihitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran; h. tagihan hasil investasi, dengan umur tagihan paling lama 1 (satu) bulan dihitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran; i. bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah dengan bangunan, yang dipakai sendiri, dengan nilai seluruhnya paling tinggi 25% (dua puluh lima persen) dari Ekuitas periode berjalan; dan/atau j. biaya akuisisi yang ditangguhkan (deferred acquisition cost), dengan ketentuan: 1. hanya dapat dilakukan untuk PAYDI yang biaya akuisisinya dibayarkan terlebih dahulu oleh Perusahaan (back-end loading); 2. Perusahan yang telah mengakui aset biaya akuisisi yang ditangguhkan atas PAYDI maka tidak diperkenankan mengakui aset yang timbul dari perjanjian program reasuransi dukungan modal (capital oriented -24- reinsurance) untuk satu produk PAYDI yang sama; dan 3. setiap pembentukan biaya akuisisi yang ditangguhkan (deferred acquisition cost) untuk masing-masing produk PAYDI harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari OJK. (3) Ketentuan mengenai dasar penilaian setiap jenis bukan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara permohonan untuk mendapatkan persetujuan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d angka 2) huruf c) dan huruf j angka 3) diatur dalam Surat Edaran OJK. Bagian Kelima Status Aset Yang Diperkenankan Pasal 18 Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 harus: a. dimiliki dan dikuasai oleh Perusahaan, yang dibuktikan dengan bukti kepemilikan atas nama Perusahaan dari instansi yang berwenang; b. tidak dalam sengketa; c. tidak sedang dijadikan jaminan; dan d. tidak sedang diblokir oleh Pihak yang berwenang. Bagian Keenam Liabilitas Pasal 19 (1) Liabilitas yang diperhitungkan dalam perhitungan Tingkat Solvabilitas wajib meliputi semua Liabilitas Perusahaan, termasuk cadangan teknis. -25- (2) Perusahaan wajib membentuk cadangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis produk asuransi. (3) Pembentukan cadangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh aktuaris Perusahaan. Pasal 20 (1) Liabilitas dalam bentuk cadangan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 meliputi: a. cadangan premi: 1. untuk produk yang berjangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun yang syarat dan kondisi polisnya tidak dapat diperbaharui kembali (non renewable) pada setiap ulang tahun polis; dan 2. untuk produk yang berjangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun yang syarat dan kondisi polisnya dapat diperbaharui kembali (renewable) dan memberikan manfaat lain setelah periode tertentu; b. cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan untuk produk yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun atau berjangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun yang syarat dan kondisi polisnya dapat diperbaharui kembali (renewable) pada setiap ulang tahun polis; c. cadangan atas PAYDI; d. cadangan klaim; dan e. cadangan atas risiko bencana (catastrophic reserve). (2) Pembentukan cadangan dimaksud pada ayat premi (1) huruf a sebagaimana wajib memperhitungkan penerimaan dan pengeluaran yang dapat terjadi di masa yang akan datang dengan menggunakan asumsi estimasi sentral ditambah dengan marjin risiko. -26- (3) Pembentukan cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memperhitungkan cadangan atas seluruh risiko yang belum dijalani (unexpired risk reserve). (4) Cadangan atas PAYDI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah: a. cadangan akumulasi dana untuk PAYDI yang tidak digaransi; b. cadangan atas unsur investasi untuk PAYDI yang digaransi; dan c. cadangan atas unsur proteksi dari PAYDI dan manfaat lain yang dijanjikan dari PAYDI. (5) Cadangan akumulasi dana atas PAYDI yang tidak digaransi tidak diperhitungkan dalam perhitungan Tingkat Solvabilitas. (6) Cadangan klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi: a. cadangan klaim dalam proses penyelesaian; b. cadangan klaim yang sudah terjadi namun belum dilaporkan (incurred but not reported atau IBNR); dan (7) Cadangan atas c. cadangan klaim atas klaim yang telah disetujui dan pembayaran manfaatnya tidak sekaligus. risiko bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dihitung berdasarkan manfaat asuransi retensi sendiri dengan memperhitungkan kemungkinan terjadinya risiko bencana. Pasal 21 (1) Dalam hal ditemukan ketidakwajaran cadangan teknis atau bagian dari cadangan teknis yang dibentuk oleh Perusahaan, OJK dapat: a. meminta Perusahaan untuk melakukan valuasi ulang atas jumlah cadangan teknis atau atas -27- bagian dari cadangan teknis yang dianggap tidak wajar; atau b. meminta dilakukan penelaahan (review) atas cadangan teknis atau atas bagian dari cadangan teknis tersebut oleh Pihak independen atas beban Perusahaan. (2) Perusahaan wajib menunjuk Pihak independen paling lama 1 (satu) bulan setelah permintaan untuk dilakukan penelaahan (review) dimaksud pada ayat (1) huruf b. Pasal 22 Ketentuan lebih lanjut mengenai cadangan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 diatur dalam Surat Edaran OJK. Bagian Ketujuh Pinjaman Subordinasi Pasal 23 Dalam rangka perhitungan Tingkat Solvabilitas, pinjaman subordinasi tidak diperlakukan sebagai unsur Liabilitas apabila pinjaman tersebut memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. digunakan untuk memenuhi ketentuan batas Tingkat Solvabilitas; dan b. dituangkan dalam perjanjian notariil yang paling sedikit memuat: 1. pembayaran pokok pinjaman tersebut hanya dapat dilakukan apabila tidak menyebabkan Perusahaan tidak memenuhi target Tingkat Solvabilitas internal; 2. jangka waktu pelunasan pinjaman tidak dibatasi; dan 3. tingkat bunga yang dijanjikan paling tinggi 1/5 (satu per lima) dari tingkat suku bunga Bank sebagaimana -28- Indonesia perjanjian. pada saat ditandatanganinya Pasal 24 Perusahaan dilarang mengembalikan pinjaman subordinasi apabila hal tersebut akan menyebabkan tidak terpenuhinya ketentuan target Tingkat Solvabilitas internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3). Bagian Kedelapan Kecukupan Investasi Pasal 25 (1) Perusahaan wajib memiliki Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) ditambah Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi berupa kas dan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, paling sedikit sebesar jumlah cadangan teknis retensi sendiri, ditambah Liabilitas pembayaran klaim retensi sendiri, dan Liabilitas lain kepada pemegang polis atau tertanggung. (2) Liabilitas pembayaran klaim retensi sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Liabilitas pembayaran atas klaim yang telah disepakati tetapi belum dibayar dikurangi dengan beban klaim yang menjadi bagian dari reasuradur. BAB III PRODUK ASURANSI YANG DIKAITKAN DENGAN INVESTASI Pasal 26 Perusahaan Asuransi yang memasarkan PAYDI wajib memisahkan pencatatan aset dan Liabilitas yang -29- bersumber dari PAYDI dengan aset dan Liabilitas yang bersumber dari produk asuransi lainnya. Pasal 27 (1) Aset yang bersumber dari PAYDI wajib ditempatkan pada jenis: a. deposito berjangka pada Bank, BPR, dan BPRS, termasuk deposit on call dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1 (satu) bulan; b. sertifikat deposito pada Bank; c. saham yang tercatat di bursa efek; d. e. MTN; f. obligasi korporasi yang tercatat di bursa efek; surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia; g. surat berharga yang diterbitkan oleh negara selain Negara Republik Indonesia; h. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; i. j. surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya; reksa dana; k. efek beragun aset; l. REPO; dan/atau m. emas murni. (2) Aset yang bersumber dari PAYDI dalam bentuk bukan investasi harus dalam jenis: a. kas dan bank; b. tagihan premi penutupan langsung; c. tagihan investasi; dan/atau d. tagihan hasil investasi. (3) Jenis investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disesuaikan dengan deskripsi produk yang -30- dilaporkan kepada OJK dan yang dijanjikan kepada calon pemegang polis. (4) Aset yang bersumber dari PAYDI yang tidak digaransi tidak diperhitungkan Diperkenankan. (5) Ketentuan mengenai dasar penilaian setiap jenis investasi dan bukan investasi atas aset yang bersumber dari PAYDI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 28 Penempatan atas aset yang bersumber dari PAYDI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 9. Pasal 29 Penempatan investasi di luar negeri atas PAYDI paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari total investasi PAYDI. Pasal 30 (1) Perusahaan wajib menatausahakan seluruh aset yang bersumber dari PAYDI pada Bank Kustodian. (2) Bank Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang mempunyai hubungan afiliasi dengan Perusahaan, kecuali hubungan afiliasi tersebut terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal Negara Republik Indonesia. BAB IV TRANSAKSI DERIVATIF Pasal 31 (1) Perusahaan dilarang melakukan transaksi derivatif atau memiliki instrumen derivatif, kecuali: a. kontrak opsi jual saham atas saham yang dimiliki yang tercatat di bursa efek di Indonesia; sebagai Aset Yang -31- b. instrumen derivatif yang diperoleh Perusahaan sebagai instrumen yang melekat pada saham, obligasi korporasi, atau surat berharga negara yang tercatat di bursa efek di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf f; atau c. instrumen derivatif lainnya untuk keperluan lindung nilai atas risiko mata uang dan/atau tingkat bunga. (2) Transaksi instrumen derivatif lainnya untuk keperluan lindung nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan counterparty yang paling rendah memiliki peringkat investment grade dari perusahaan pemeringkat efek yang diakui oleh OJK atau dari perusahaan pemeringkat efek yang diakui secara internasional. (3) Perusahaan dapat menjual instrumen derivatif yang melekat pada surat berharga negara, saham, atau obligasi korporasi yang tercatat di bursa efek di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b secara terpisah dari surat berharga negara, saham, atau obligasi korporasi yang bersangkutan. (4) Transaksi derivatif atau instrumen derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat persetujuan direksi atau yang setara. Pasal 32 (1) Perusahaan wajib melaporkan setiap transaksi derivatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) kepada OJK paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal transaksi. (2) Laporan transaksi derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dilampiri dengan: a. b. perjanjian transaksi derivatif; hasil kajian/analisis tentang perlunya lindung nilai; -32- c. bukti peringkat pihak lain (counterparty) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2); dan d. bukti persetujuan direksi atau yang setara. BAB V EKUITAS Pasal 33 Perusahaan wajib memiliki Ekuitas paling sedikit sebesar: a. Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), bagi Perusahaan Asuransi; b. Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah), bagi Perusahaan Reasuransi. Pasal 34 Perusahaan yang memiliki unit syariah wajib memenuhi Ekuitas dalam jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ditambah Ekuitas bagi unit syariah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan OJK mengenai kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan prinsip syariah. Pasal 35 (1) Perusahaan dilarang membayar dividen atau memberikan imbalan dalam bentuk apapun kepada pemegang saham atau yang setara apabila hal tersebut akan menyebabkan berkurangnya jumlah Ekuitas di bawah ketentuan Ekuitas yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34. (2) Pembayaran dividen atau pemberian imbalan dalam bentuk apapun kepada pemegang saham atau yang setara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. -33- BAB VI DANA JAMINAN Bagian Kesatu Pembentukan Dana Jaminan Pasal 36 (1) Perusahaan wajib membentuk Dana Jaminan paling rendah 20% (dua puluh persen) dari Ekuitas minimum yang dipersyaratkan dimaksud dalam Pasal 33. (2) Jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disesuaikan dengan perkembangan volume usaha Perusahaan dengan ketentuan sebagai berikut: a. bagi Perusahaan Asuransi Jiwa sebagaimana wajib membentuk Dana Jaminan sebesar 2% (dua persen) dari cadangan atas PAYDI ditambah 5% (lima persen) dari cadangan premi untuk produk selain PAYDI dan cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan; dan b. bagi Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Reasuransi wajib membentuk Dana Jaminan sebesar 1% (satu persen) dari Premi Neto ditambah 0,25% (nol koma dua lima persen) dari premi reasuransi ditambah 2% (dua persen) dari cadangan atas PAYDI. (3) Perusahaan wajib membentuk Dana Jaminan sebesar jumlah terbesar antara hasil perhitungan jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 37 (1) Jumlah cadangan premi termasuk cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) -34- huruf a serta Premi Neto dan premi reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf b, diperoleh dari laporan keuangan per 31 Desember terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik yang terdaftar di OJK. (2) Dalam hal Dana Jaminan kurang daripada jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) atau ayat (2), Perusahaan wajib menambah Dana Jaminan yang dimilikinya paling lama 5 (lima) hari kerja setelah tanggal 30 April tahun berjalan. (3) Dalam hal Dana Jaminan yang telah dimiliki lebih besar daripada jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2), Perusahaan dapat mengurangi Dana Jaminan yang dimilikinya setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari OJK. (4) Dana Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) wajib ditempatkan dalam jenis: a. deposito, dengan perpanjangan otomatis pada Bank yang bukan merupakan afiliasi dari Perusahaan; dan/atau b. surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia, yang pada saat penempatan sebagai Dana Jaminan memiliki sisa jangka waktu sampai dengan jatuh tempo paling singkat 1 (satu) tahun. (5) Dana Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) dilarang diagunkan atau dibebani dengan hak apa pun. Bagian Kedua Penatausahaan Dana Jaminan Pasal 38 (1) Perusahaan wajib menatausahakan seluruh Dana Jaminan pada Bank Kustodian. -35- (2) Bank Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan afiliasi dari Perusahaan, kecuali hubungan afiliasi tersebut terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal Negara Republik Indonesia. Pasal 39 Penatausahaan Dana Jaminan pada Bank Kustodian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) wajib didasarkan pada perjanjian antara Perusahaan dan Bank Kustodian yang paling sedikit memuat: a. pendelegasian atau pemberian kuasa oleh Perusahaan kepada Bank Kustodian untuk mencairkan, memindahkan, atau menyerahkan Dana Jaminan setelah memperoleh persetujuan OJK; b. kewajiban Bank Kustodian untuk menempatkan dana yang diperoleh dari pencairan Dana Jaminan dalam bentuk surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia yang telah jatuh tempo ke dalam bentuk deposito berjangka 1 (satu) bulan pada Bank atas nama Perusahaan, dalam hal Perusahaan belum melakukan penggantian Dana Jaminan yang telah jatuh tempo dimaksud; c. ketentuan bahwa Bank Kustodian tidak dapat menjalankan instruksi dari Perusahaan maupun Pihak lain untuk melakukan pencairan, pemindahan, dan penyerahan deposito atau surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia yang digunakan sebagai Dana Jaminan kecuali telah mendapat persetujuan OJK; dan d. ketentuan bahwa Bank Kustodian wajib menyampaikan laporan bulanan penatausahaan Dana Jaminan yang dimiliki oleh Perusahaan kepada OJK paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya yang paling sedikit memuat: 1. nama Perusahaan pemilik Dana Jaminan; 2. jenis Dana Jaminan; -36- 3. nomor bilyet dan Bank penerbit untuk deposito; 4. 5. nilai nominal Dana Jaminan; dan 6. tanggal jatuh tempo. Bagian Ketiga Perubahan Dana Jaminan Pasal 40 (1) Perusahaan dapat melakukan perubahan Dana Jaminan berupa pembentukan, penambahan, penggantian, pemindahan, dan/atau pencairan Dana Jaminan. (2) Pembentukan atau penambahan Dana Jaminan dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. penempatan baru deposito pada Bank dan/atau surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia sebagai Dana Jaminan; b. penempatan deposito pada Bank yang semula bukan Dana Jaminan menjadi Dana Jaminan; dan/atau c. penempatan surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia yang semula bukan Dana Jaminan menjadi Dana Jaminan. (3) Perusahaan dapat melakukan pemindahan atau penggantian Dana Jaminan dengan ketentuan sebagai berikut: a. seri dari surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia; dari deposito menjadi surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia atau sebaliknya; b. mengubah jangka waktu deposito pada Bank; c. mengubah Bank tempat penempatan deposito; dan/atau d. menukarkan surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia dengan surat berharga -37- yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia lainnya. (4) Dalam hal Perusahaan akan melakukan pemindahan atau penggantian Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perusahaan wajib menempatkan terlebih dahulu Dana Jaminan pengganti paling sedikit sebesar nilai Dana Jaminan yang akan dipindah atau diganti. (5) Dalam hal terdapat Dana Jaminan dalam bentuk surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia yang akan jatuh tempo, Perusahaan wajib menempatkan terlebih dahulu Dana Jaminan baru paling sedikit sebesar nilai surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia yang akan jatuh tempo dimaksud, paling lama 1 (satu) hari sebelum tanggal jatuh tempo. (6) Perusahaan dapat mencairkan Dana Jaminan dalam hal jumlah Dana Jaminan telah melebihi dari jumlah minimum yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2). (7) Jumlah Dana Jaminan yang dapat dicairkan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) adalah selisih lebih dari jumlah minimum yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2). (8) Perusahaan hanya dapat melakukan pemindahan atau pencairan Dana Jaminan setelah memperoleh persetujuan OJK. (9) Pemindahan atau pencairan Dana Jaminan dilakukan dengan menyampaikan dokumen permohonan yang paling sedikit memuat: a. alasan pemindahan atau pencairan Dana Jaminan; b. persetujuan direksi atau yang setara atas pemindahan atau pencairan Dana Jaminan; dan c. dokumen pendukung yang membuktikan alasan pemindahan atau pencairan Dana Jaminan. -38- Pasal 41 (1) OJK dapat memerintahkan Perusahaan untuk menambah jumlah Dana Jaminan paling tinggi sebesar jumlah cadangan teknis, dalam hal: a. Perusahaan tidak dapat memenuhi ketentuan mengenai Tingkat Solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); dan b. Perusahaan sedang dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha. (2) Perusahaan wajib menambah jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) bulan sejak diperintahkan untuk menambah jumlah Dana Jaminan. BAB VII PEMISAHAN ASET DAN LIABILITAS Pasal 42 (1) Aset dan Liabilitas yang terkait dengan hak pemegang polis atau tertanggung wajib dipisahkan dari aset dan Liabilitas yang lain dari Perusahaan. (2) Pemisahan aset dan Liabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari Dana Asuransi dan dana Perusahaan. (3) Pemisahan aset dan Liabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diungkapkan dalam laporan keuangan Perusahaan. (4) Ketentuan mengenai pengungkapan pemisahan aset dan Liabilitas dalam laporan keuangan Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 43 (1) Perusahaan harus mempertahankan Aset Yang Diperkenankan dalam Dana Asuransi dengan nilai paling sedikit sebesar Liabilitas Dana Asuransi. -39- (2) Liabilitas Dana Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari cadangan teknis, utang klaim, utang koasuransi, utang reasuransi, dan Liabilitas lain kepada pemegang polis atau tertanggung. BAB VIII PENYAMPAIAN LAPORAN BERKALA Bagian Kesatu Penyusunan Laporan Pasal 44 (1) Perusahaan wajib menyusun: a. laporan keuangan tahunan untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia; b. laporan keuangan tahunan untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian; c. laporan keuangan triwulanan yang berakhir pada 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perasuransian; d. laporan keuangan bulanan untuk periode tanggal 1 sampai dengan akhir bulan berjalan; dan e. laporan aktuaris tahunan untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember. (2) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diaudit oleh akuntan publik yang terdaftar di OJK. (3) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib ditelaah dan dinilai kesesuaiannya dengan ketentuan perundang-undangan di bidang kesehatan keuangan peraturan -40- perusahaan perasuransian oleh aktuaris Perusahaan atau akuntan publik yang terdaftar di OJK. (4) Laporan aktuaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan laporan yang menggambarkan perkiraan kemampuan Perusahaan untuk memenuhi kewajibannya di masa depan. (5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e harus ditandatangani oleh aktuaris Perusahaan. (6) Laporan aktuaris tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e wajib ditelaah dan dinilai kewajaran penyajiannya oleh konsultan aktuaria yang terdaftar di OJK paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun. (7) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan laporan keuangan triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit memuat: a. profil Perusahaan; b. surat pernyataan direksi atau yang setara; c. d. e. f. laporan posisi keuangan; laporan laba/rugi komprehensif; laporan arus kas; g. laporan perubahan Ekuitas; laporan Tingkat Solvabilitas; h. perhitungan aset dan Liabilitas; i. laporan keuangan PAYDI; j. k. laporan keuangan gabungan; dan laporan tambahan. (8) Ketentuan mengenai bentuk dan susunan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 45 Bagi Perusahaan yang menyelenggarakan sebagian usahanya dengan prinsip syariah, laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf d tidak termasuk laporan yang terkait dengan unit syariah dari Perusahaan dimaksud. -41- Pasal 46 Dalam laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), setiap aset dan Liabilitas dalam satuan mata uang asing wajib disajikan dalam mata uang rupiah berdasarkan nilai kurs tengah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia pada tanggal laporan. Bagian Kedua Penyampaian Laporan Pasal 47 (1) Perusahaan wajib menyampaikan kepada OJK: a. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf e paling lambat 30 April tahun berikutnya; b. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf c, paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan; dan c. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf d paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. (2) Apabila batas waktu terakhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama setelah batas waktu terakhir dimaksud. (3) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. Bagian Ketiga Pengumuman Laporan Pasal 48 (1) Perusahaan wajib mengumumkan ringkasan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) pada situs web -42- Perusahaan dan surat kabar harian berbahasa Indonesia yang beredar secara nasional paling lama 1 (satu) bulan setelah batas waktu penyampaian laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf a. (2) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada OJK paling lama 2 (dua) hari kerja setelah pengumuman pada surat kabar. (3) Perusahaan wajib mengumumkan ringkasan laporan keuangan triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf c pada situs web Perusahaan paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan. (4) Ketentuan mengenai bentuk dan susunan ringkasan laporan keuangan tahunan dan laporan keuangan triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 49 Dalam hal terdapat bagian yang perlu dikoreksi dalam laporan yang telah diumumkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dan ayat (3) Perusahaan wajib mengoreksi laporan tersebut dan mengumumkan kembali pada situs web Perusahaan. BAB IX RENCANA PENYEHATAN KEUANGAN Pasal 50 Perusahaan yang tidak memenuhi target Tingkat Solvabilitas internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4): a. wajib menyampaikan rencana penyehatan keuangan; dan b. dilarang membagikan dividen atau memberikan imbalan dalam bentuk apapun kepada pemegang saham. -43- Pasal 51 (1) Rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a wajib disampaikan kepada OJK paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui tidak dipenuhinya Target Solvabilitas (2) Rencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5). penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat langkah penyehatan keuangan yang disertai dengan jangka waktu tertentu yang dibutuhkan untuk memenuhi ketentuan target Tingkat Solvabilitas internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5). (3) Langkah penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), memuat rencana tindak sebagai berikut: a. restrukturisasi aset dan/atau Liabilitas; b. penambahan modal disetor; c. pemberian pinjaman subordinasi; d. peningkatan tarif premi; e. pengalihan sebagian atau seluruh portofolio pertanggungan; f. penggabungan badan usaha; dan/atau g. tindakan lain. (4) Rencana penyehatan keuangan sebagaimana (5) Rencana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh seluruh direksi dan dewan komisaris atau yang setara. penyehatan keuangan sebagaimana (6) Dalam dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu disetujui oleh rapat umum pemegang saham atau yang setara dalam hal rencana penyehatan dimaksud memuat rencana tindak penambahan modal disetor atau rencana tindak penggabungan badan usaha. penyehatan hal rencana keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai OJK tidak cukup untuk mengatasi permasalahan, Perusahaan wajib melakukan perbaikan atas rencana penyehatan internal -44- (7) Rencana keuangan tersebut paling lama 1 (satu) bulan sejak pemberitahuan dari OJK. penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (6) wajib memperoleh pernyataan tidak keberatan dari OJK. (8) OJK memberikan pernyataan tidak keberatan atas rencana penyehatan keuangan yang disampaikan oleh Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dengan memperhatikan kondisi permasalahan yang dihadapi oleh Perusahaan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya rencana penyehatan keuangan secara lengkap. (9) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) OJK tidak memberikan pernyataan tidak keberatan atau tanggapan, Perusahaan dapat melaksanakan rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (6). Pasal 52 (1) Perusahaan wajib menyampaikan kepada OJK laporan pelaksanaan rencana penyehatan keuangan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. (2) Laporan pelaksanaan rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. laporan keuangan bulanan yang disusun sesuai bentuk dan susunan laporan keuangan triwulanan; b. realisasi rencana tindak yang terdiri dari: 1. rencana penyehatan keuangan yang telah dilaksanakan sesuai dengan target waktu yang ditetapkan; 2. rencana penyehatan keuangan yang tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan target waktu yang ditetapkan; dan -45- 3. alasan tidak dapat dilaksanakannya rencana penyehatan sesuai target waktu yang telah ditetapkan; dan c. dokumen pendukung yang membuktikan tindakan penyehatan dilaksanakan. (3) Apabila tanggal 15 adalah hari libur, batas akhir penyampaian laporan pelaksanaan rencana penyehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hari kerja pertama setelah tanggal 15. Pasal 53 (1) Dalam hal Perusahaan memperkirakan Tingkat Solvabilitas Perusahaan tidak akan terpenuhi dalam jangka waktu sebagaimana telah ditetapkan di dalam rencana penyehatan keuangan, Perusahaan dapat melakukan perubahan atas rencana penyehatan keuangan. (2) Perubahan atas rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari OJK. (3) OJK memberikan pernyataan tidak keberatan atas perubahan rencana penyehatan keuangan yang disampaikan oleh Perusahaan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya perubahan rencana penyehatan keuangan secara lengkap. (4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) OJK tidak memberikan pernyataan tidak keberatan atau tanggapan, Perusahaan dapat melaksanakan perubahan rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 54 OJK dapat memerintahkan kepada Perusahaan untuk melakukan pemindahan sebagian atau seluruh portofolio pertanggungan kepada Perusahaan lain, dalam hal keuangan telah -46- Perusahaan tidak dapat memenuhi Tingkat Solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan/atau sedang dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha. BAB X SANKSI Pasal 55 (1) Perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), ayat (2), dan ayat (6), Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (1), Pasal 10, Pasal 12 ayat (3), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 21 ayat (2), Pasal 24, Pasal 25 ayat (1), Pasal 26, Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28, Pasal 30, Pasal 31 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 32 ayat (1), Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37 ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 38 ayat (1), Pasal 39, Pasal 40 ayat (4), ayat (5), dan ayat (8), Pasal 41 ayat (2), Pasal 42 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 44 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (6), Pasal 46, Pasal 47 ayat (1), Pasal 48 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 ayat (1), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 52 ayat (1), dan Pasal 53 ayat (2) Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha; dan/atau c. pencabutan izin usaha. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara bertahap. (3) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat menambahkan sanksi tambahan berupa: a. larangan untuk memasarkan produk asuransi untuk lini usaha tertentu; -47- b. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan bagi pengendali, direksi, atau dewan komisaris, atau yang setara pada Perusahaan; c. larangan bagi Perusahaan untuk menjadi pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham, dan/atau pengendali pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama, pada perusahaan perasuransian; dan/atau d. larangan bagi pemegang saham, pengendali, direksi, dan/atau dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, direksi, dan/atau dewan komisaris Perusahaan untuk menjadi pemegang saham, pengendali, direksi, dan/atau dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, direksi, dan/atau dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama, pada perusahaan perasuransian. Pasal 56 OJK dapat mengenakan sanksi pencabutan izin usaha: a. tanpa didahului pengenaan sanksi administratif yang lain; atau b. tanpa didahului pengenaan sanksi administrasi secara bertahap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2), dalam hal Perusahaan memiliki Tingkat Solvabilitas kurang dari 40% (empat puluh persen) dan berdasarkan hasil pengawasan OJK dinilai membahayakan bagi pemegang polis atau tertanggung. Pasal 57 (1) Perusahaan yang melanggar ketentuan Pasal 47 ayat (1) huruf a atau huruf b dikenakan sanksi tambahan berupa denda administratif sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp360.000.000,00 (tiga ratus enam puluh juta rupiah) untuk setiap laporan. -48- (2) Perusahaan yang melanggar ketentuan Pasal 48 ayat (1) dikenakan sanksi tambahan berupa denda administratif sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) per hari dan paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 58 (1) Perusahaan harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 42 paling lambat pada laporan keuangan periode 31 Desember 2017. (2) Penilaian terhadap Liabilitas dalam bentuk cadangan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan penandatanganan laporan aktuaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (5) bagi Perusahaan Asuransi Umum dapat dilakukan oleh: a. pegawai Perusahaan yang memiliki sertifikat analis asuransi umum (certified non-life analyst) dari Persatuan Aktuaris Indonesia; atau b. konsultan aktuaria yang terdaftar di OJK dan tidak terafiliasi dengan Perusahaan, paling lambat sampai dengan tanggal 31 Desember 2017. Pasal 59 (1) Setiap sanksi administratif yang telah dikenakan terhadap Perusahaan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 53/PMK.010/2012 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dinyatakan tetap sah dan berlaku. (2) Perusahaan yang belum dapat mengatasi penyebab dikenakannya sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi lanjutan sesuai dengan Peraturan OJK ini. -49- BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 60 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan mengenai kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi tunduk pada Peraturan OJK ini. Pasal 61 (1) Peraturan OJK ini tidak berlaku bagi Perusahaan yang menyelenggarakan seluruh usahanya dengan prinsip syariah atau bagi unit syariah dari Perusahaan yang menyelenggarakan usahanya dengan prinsip syariah. (2) Ketentuan kesehatan keuangan bagi Perusahaan yang menyelenggarakan seluruh usahanya dengan prinsip syariah atau bagi unit syariah dari Perusahaan yang menyelenggarakan sebagian sebagian usahanya dengan prinsip syariah diatur dengan Peraturan OJK mengenai kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan prinsip syariah. Pasal 62 Ketentuan mengenai bentuk dan susunan laporan, perhitungan jumlah MMBR, dasar penilaian investasi dan bukan investasi, dan pembentukan cadangan teknis dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan OJK ini. Pasal 63 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2017. -50- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 304 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 71/POJK.05/2016 </reg_id> <reg_title> KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI </reg_title> <set_date> 23 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 1 Juli 2017 </effective_date> <issued_date> 28 Desember 2016 </issued_date> <related_reg> '40/UU/2014', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 20/POJK.03/2014 TENTANG BANK PERKREDITAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia secara optimal dan berkesinambungan, perlu meningkatkan ketahanan dan daya saing industri perbankan nasional; o. bahwa untuk meningkatkan peran dan kontribusi industri Bank Perkreditan Rakyat terhadap ekonomi daerah, dan memperkuat daya saing Bank Perkreditan Rakyat, perlu upaya peningkatan ketahanan dan daya saing BPR melalui penguatan permodalan, penataan kepemilikan dan peningkatan kualitas pengurus Bank Perkreditan Rakyat; c. bahwa dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor:8/26/PBI/2006 tentang Bank Perkreditan Rakyat belum dapat mengakomodasi perkembangan Bank Perkreditan Rakyat sehingga perlu diganti; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Bank Perkreditan Rakyat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia End of Page 1 - 2 - Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG BANK PERKREDITAN RAKYAT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan. 2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya disebut BPRS yaitu bank syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan syariah. 3. Bank Umum yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan. 4. Kantor Cabang yaitu kantor BPR yang secara langsung bertanggungjawab kepada kantor pusat BPR yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas dimana Kantor Cabang tersebut melakukan usahanya. 5. Kantor … - 3 - 5. Kantor Kas yaitu kantor BPR yang melakukan pelayanan kas, tidak termasuk pemberian kredit dalam rangka membantu kantor induknya, dengan alamat tempat usaha yang jelas dimana Kantor Kas tersebut melakukan usahanya. 6. Kegiatan Pelayanan Kas yaitu kegiatan Kas Keliling, Payment Point, dan kegiatan layanan dengan menggunakan kartu Automated Teller Machine (ATM) dan/atau kartu debet. 7. Kas Keliling yaitu kegiatan pelayanan kas dalam rangka melayani masyarakat secara berpindah-pindah dengan menggunakan alat transportasi atau pada lokasi tertentu secara tidak permanen, antara lain kas mobil, kas terapung atau konter BPR non permanen, tidak termasuk kegiatan promosi. 8. Payment Point yaitu kegiatan pelayanan kas dalam rangka melayani masyarakat dalam bentuk pelayanan pembayaran atau penerimaan pembayaran melalui kerjasama antara BPR dengan pihak lain pada suatu lokasi tertentu, seperti untuk pembayaran tagihan telepon, tagihan listrik, gaji pegawai, dan/atau penerimaan setoran dari pihak ketiga. 9. Perangkat Perbankan Elektronis yang selanjutnya disingkat PPE yaitu kegiatan pelayanan kas atau non kas dalam rangka melayani masyarakat yang dilakukan dengan menggunakan sarana mesin elektronis namun tidak termasuk penyediaan instrumen giral, yang berlokasi baik di dalam maupun di luar kantor BPR, yang dapat melakukan pelayanan penarikan atau penyetoran secara tunai, pembayaran melalui pemindahbukuan, pemindahan dana antar bank, dan/atau informasi saldo atau mutasi rekening nasabah, baik menggunakan jaringan dan/atau mesin milik BPR sendiri maupun melalui kerja sama BPR dengan pihak lain, antara lain Automated Teller Machine (ATM) termasuk dalam hal ini adalah Automated Deposit Machine (ADM) dan Electronic Data Capture (EDC). 10. Direksi: a. bagi BPR berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbadan hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perusahaan Daerah; c. bagi BPR berbadan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perkoperasian. 11. Dewan … - 4 - 11. Dewan Komisaris: a. bagi BPR berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbadan hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perusahaan Daerah; c. bagi BPR berbadan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perkoperasian. 12. Pejabat Eksekutif yaitu pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada direksi atau mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional bpr, antara lain pemimpin kantor cabang, kepala divisi, kepala bagian, manajer dan/atau pejabat lainnya yang setara. 13. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disingkat dengan PSP yaitu orang perseorangan, badan hukum, dan/atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham perusahaan atau BPR sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau b. memiliki saham perusahaan atau BPR sebesar kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian perusahaan atau BPR, baik secara langsung maupun tidak langsung. 14. Lembaga Sertifikasi Profesi yaitu lembaga pelaksana kegiatan sertifikasi profesi yang memperoleh lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi atau instansi lain yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan. 15. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat dengan RUPS: a. bagi BPR berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah RUPS sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbadan hukum Perusahaan Daerah adalah Rapat Pemegang Saham/Saham Prioritet dan RUPS (prioritet dan biasa) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perusahaan Daerah; c. bagi BPR berbadan hukum Koperasi adalah Rapat Anggota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perkoperasian. 16. Daftar … - 5 - 16. Daftar Tidak Lulus yang selanjutnya disingkat DTL yaitu daftar yang ditatausahakan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang memuat pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan. Pasal 2 Bentuk hukum BPR dapat berupa: a. Perseroan Terbatas; b. Koperasi; atau c. Perusahaan Daerah. BAB II PENDIRIAN BANK PERKREDITAN RAKYAT Pasal 3 Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan izin Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 4 (1) BPR hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh: a. warga negara Indonesia; b. badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia; dan/atau c. Pemerintah Daerah. (2) Dalam hal badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan sebagai calon PSP BPR, badan hukum dimaksud harus telah beroperasi paling sedikit selama 2 (dua) tahun pada saat pengajuan permohonan persetujuan prinsip. Pasal 5 (1) Modal disetor untuk mendirikan BPR ditetapkan paling sedikit: a. Rp14.000.000.000,00 (empat belas miliar rupiah), bagi BPR yang didirikan di zona 1; b. Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah), bagi BPR yang didirikan di zona 2; c. Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah), bagi BPR yang didirikan di zona 3; dan d. Rp4.000.000.000,00 … - 6 - d. Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah), bagi BPR yang didirikan di zona 4. (2) Dengan pertimbangan tertentu, Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan jumlah modal disetor di atas jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pembagian zona sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan potensi ekonomi wilayah dan tingkat persaingan lembaga keuangan di wilayah kabupaten atau kota yang bersangkutan. (4) Paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib digunakan untuk modal kerja. Pasal 6 (1) Modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus ditempatkan dalam bentuk deposito di Bank Umum di Indonesia atas nama “Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan q.q. (nama calon PSP BPR)” dengan keterangan untuk pendirian BPR yang bersangkutan dan pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (2) Penempatan modal disetor dalam bentuk deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara bertahap: a. paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor sebelum pengajuan permohonan persetujuan prinsip pendirian BPR; dan b. kekurangan dari modal disetor, disetorkan sebelum pengajuan permohonan izin usaha pendirian BPR. BAB III PERIZINAN BANK PERKREDITAN RAKYAT Pasal 7 Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan dalam 2 (dua) tahap: a. Persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian BPR; dan b. Izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha BPR setelah persiapan sebagaimana dimaksud pada huruf a selesai dilakukan. Pasal … - 7 - Pasal 8 Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a diajukan paling sedikit oleh seorang calon PSP kepada Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, disertai dengan: a. rancangan akta pendirian badan hukum, yang memuat rancangan anggaran dasar; b. data kepemilikan: 1. daftar calon pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham, bagi BPR yang berbadan hukum Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah; 2. daftar calon anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib bagi BPR yang berbadan hukum Koperasi, c. daftar Calon anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris; d. rencana struktur organisasi dan jumlah personalia; e. analisis potensi dan kelayakan pendirian BPR; f. rencana sistem dan prosedur kerja; g. bukti setoran modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dalam bentuk fotokopi bilyet deposito; h. surat pernyataan dari calon pemegang saham bagi BPR yang berbadan hukum Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah atau dari calon anggota bagi BPR yang berbadan hukum Koperasi, bahwa setoran modal sebagaimana dimaksud dalam huruf g: 1. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari Bank dan/atau pihak lain; dan/atau 2. tidak berasal dari dan untuk pencucian uang. Dalam hal calon pemegang saham BPR adalah Pemerintah Daerah, surat pernyataan dapat digantikan oleh Surat Keputusan Kepala Daerah. i. bukti lunas pembayaran biaya perizinan dalam rangka pendirian BPR kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 9 (1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip paling lambat 40 (empat puluh) hari kerja sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (2) Dalam … - 8 - (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. penilaian terhadap analisis potensi dan kelayakan pendirian BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf e; c. uji kemampuan dan kepatutan melalui penelitian administratif dan wawancara terhadap calon PSP, calon anggota Direksi, dan calon anggota Dewan Komisaris, sesuai dengan ketentuan tentang uji kemampuan dan kepatutan BPR; d. pemeriksaan setoran modal; dan e. penelitian terhadap kinerja keuangan BPR dan/atau lembaga keuangan lain yang berada dalam kepemilikan PSP yang sama. (3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pihak-pihak yang mengajukan permohonan pendirian BPR harus melakukan presentasi dan memberikan penjelasan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai analisis potensi dan kelayakan pendirian BPR, sumber dana, rencana dan tujuan pendirian serta kemampuan keuangan dalam rangka memelihara solvabilitas dan pertumbuhan BPR. Pasal 10 (1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip diberikan dan tidak dapat diperpanjang. (2) Pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip dilarang melakukan kegiatan usaha sebelum mendapat izin usaha. (3) Persetujuan prinsip yang telah diberikan batal dan dinyatakan tidak berlaku, apabila sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip belum mengajukan permohonan izin usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 11 Pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip mengajukan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b kepada Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dengan melampirkan: a. Akta … - 9 - a. akta pendirian badan hukum, yang memuat anggaran dasar badan hukum yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang; b. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dalam hal terjadi perubahan; c. daftar Calon anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c dalam hal terjadi perubahan; d. susunan organisasi serta sistem dan prosedur kerja, termasuk susunan personalia; e. bukti pelunasan modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), dalam bentuk fotokopi bilyet deposito pada Bank Umum di Indonesia atas nama “Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan q.q. (nama calon PSP BPR)” dengan keterangan untuk pendirian BPR yang bersangkutan dan pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan; f. surat pernyataan dari pemegang saham bagi BPR yang berbadan hukum Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah atau dari anggota bagi BPR yang berbadan hukum Koperasi, bahwa setoran modal sebagaimana dimaksud pada huruf e: 1. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari Bank dan/atau pihak lain; dan/atau 2. tidak berasal dari dan untuk pencucian uang. Dalam hal pemegang saham adalah Pemerintah Daerah, surat pernyataan dapat digantikan dengan Surat Keputusan Kepala Daerah. g. bukti kesiapan operasional, mencakup paling sedikit: 1. daftar aset tetap dan inventaris; 2. bukti penguasaan gedung kantor berupa bukti kepemilikan atau perjanjian sewa-menyewa gedung kantor yang didukung oleh bukti kepemilikan dari pihak yang menyewakan; 3. foto gedung kantor dan tata letak ruangan; 4. contoh formulir atau warkat yang akan digunakan untuk operasional BPR; dan 5. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Pasal … - 10 - Pasal 12 (1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha paling lambat 40 (empat puluh) hari kerja sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon PSP, calon anggota Direksi dan calon anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b dan huruf c dalam hal terdapat penggantian atas calon yang diajukan sebelumnya; c. pemeriksaan setoran modal; dan d. penelitian terhadap kinerja keuangan BPR dan/atau lembaga keuangan lain yang berada dalam kepemilikan PSP yang sama. Pasal 13 (1) BPR yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan wajib melakukan kegiatan usaha BPR paling lambat 40 (empat puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal izin usaha diterbitkan. (2) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Direksi BPR kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan kegiatan operasional. (3) Dalam hal BPR belum melakukan kegiatan usaha dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), izin usaha yang telah diterbitkan batal dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 14 BPR yang telah mendapat izin usaha dari Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan wajib mencantumkan bentuk badan hukum dan kata “Bank Perkreditan Rakyat” atau disingkat “BPR” di depan nama BPR, sesuai dengan anggaran dasar BPR. BAB … - 11 - BAB IV KEPEMILIKAN DAN PERUBAHAN MODAL BANK PERKREDITAN RAKYAT Pasal 15 Setiap BPR wajib memiliki paling sedikit 1 (satu) pemegang saham dengan persentase kepemilikan saham paling sedikit 25% (dua puluh lima perseratus) sesuai dengan kriteria mengenai PSP yang diatur dalam ketentuan mengenai uji kemampuan dan kepatutan BPR. Pasal 16 (1) Kepemilikan BPR oleh badan hukum wajib memenuhi hal-hal sebagai berikut: a. bagi badan hukum Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, atau Koperasi paling banyak sebesar modal sendiri bersih badan hukum yang bersangkutan dan tidak melebihi jumlah yang diperkenankan bagi badan hukum tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan b. bagi badan hukum yayasan atau badan hukum lainnya paling banyak sebesar jumlah yang diperkenankan bagi badan hukum tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Perhitungan kepemilikan dilakukan pada awal pendirian BPR dan pada saat dilakukan penambahan modal disetor oleh badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki saham BPR paling rendah 25% (dua puluh lima perseratus), BPR wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan yang disusun oleh badan hukum tersebut sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) BPR wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat akhir bulan Juni setelah tahun posisi laporan. Pasal 17 Sumber dana untuk kepemilikan BPR dilarang: a. berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari Bank dan/atau pihak lain, kecuali sumber dana tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); dan/atau b. berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang. Pasal … - 12 - Pasal 18 (1) Pemegang saham BPR dilarang menarik kembali modal yang telah disetor. (2) Dalam hal pemegang saham bermaksud mengundurkan diri sebagai pemegang saham BPR, pemegang saham dimaksud wajib mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada pihak lain sepanjang memenuhi ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 19 (1) Pihak-pihak yang dapat menjadi pemilik BPR harus memenuhi persyaratan: a. memiliki akhlak dan moral yang baik; b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. memiliki komitmen terhadap pengembangan operasional BPR yang sehat; d. tidak termasuk dalam DTL; e. memiliki komitmen untuk tidak melakukan dan/atau mengulang perbuatan dan/atau tindakan yang termasuk dalam cakupan uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai uji kemampuan dan kepatutan BPR; f. tidak memiliki kredit macet dan/atau pembiayaan macet; g. tidak menjadi pengendali, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris dari badan hukum yang mempunyai kredit macet dan/atau pembiayaan macet; dan/atau h. tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pemegang saham, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit berdasarkan ketetapan pengadilan dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum dicalonkan. (2) Pihak-pihak yang dapat menjadi PSP harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan persyaratan kelayakan keuangan sesuai dengan ketentuan mengenai uji kemampuan dan kepatutan BPR. (3) Dalam hal pemilik BPR berbentuk badan hukum, persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi pemilik, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau pengurus dari badan hukum dimaksud. Pasal … - 13 - Pasal 20 (1) Dalam rangka penambahan modal disetor, pemegang saham dan/atau calon pemegang saham harus mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Pemegang saham dan/atau calon pemegang saham menyampaikan permohonan persetujuan penambahan modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan dilampiri: a. bukti setoran modal; dan b. dokumen pendukung. (3) Penambahan modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditempatkan dalam bentuk deposito pada Bank Umum di Indonesia atau pada BPR yang bersangkutan, kecuali yang bersumber dari dividen BPR yang bersangkutan. (4) Penambahan modal disetor yang ditempatkan dalam bentuk deposito pada BPR yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya berlaku: a. bagi BPR yang tidak dalam status pengawasan khusus; dan b. dilakukan oleh pemegang saham BPR yang bersangkutan. (5) Tata cara penambahan modal disetor: a. dalam bentuk deposito pada Bank Umum di Indonesia dengan cara mencantumkan atas nama ”Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan q.q. (nama BPR)”, dan mencantumkan keterangan nama penyetor tambahan modal serta keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau b. dalam bentuk deposito pada BPR yang bersangkutan dengan cara mencantumkan atas nama “Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan q.q. (nama pemegang saham penyetor)” dan mencantumkan keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (6) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan penambahan modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (7) BPR … - 14 - (7) BPR harus menyelenggarakan RUPS untuk menyetujui penambahan modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (6), paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (8) Dalam hal RUPS tidak dapat diselenggarakan dalam waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), persetujuan Otoritas Jasa Keuangan batal dan dinyatakan tidak berlaku. (9) BPR wajib melaporkan pelaksanaan penambahan modal disetor kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah perubahan modal disetor disetujui dalam RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dengan dilampiri: a. bukti penyetoran; b. risalah RUPS; c. surat pernyataan dari pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf h; dan d. data kepemilikan berupa: 1. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham, bagi BPR yang berbadan hukum Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah; 2. daftar anggota berikut jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib, bagi BPR yang berbadan hukum Koperasi. (10) BPR wajib melaporkan perubahan modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (9) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar atau pengesahan dari instansi yang berwenang, dengan dilampiri: a. perubahan anggaran dasar sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku; dan b. bukti pelaporan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada huruf a kepada instansi yang berwenang. Pasal 21 (1) Perubahan kepemilikan saham yang wajib mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan adalah perubahan karena: a. pengalihan saham yang mengakibatkan perubahan dan/atau mengakibatkan terjadinya PSP BPR; dan/atau b. penggantian … - 15 - b. penggantian dan/atau penambahan pemilik baik yang mengakibatkan atau tidak mengakibatkan perubahan PSP BPR. (2) Direksi BPR menyampaikan permohonan persetujuan perubahan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan dilampiri: a. bukti setoran modal; dan b. dokumen pendukung. (3) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan perubahan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (4) BPR harus menyelenggarakan RUPS untuk menyetujui perubahan kepemilikan saham paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (5) Dalam hal RUPS tidak dapat diselenggarakan dalam waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), persetujuan Otoritas Jasa Keuangan batal dan dinyatakan tidak berlaku. (6) BPR wajib melaporkan perubahan kepemilikan saham kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah perubahan kepemilikan saham disetujui RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dengan dilampiri: a. bukti penyetoran; b. risalah RUPS; c. surat pernyataan dari pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf h; dan d. data kepemilikan berupa: 1. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham, bagi BPR yang berbadan hukum Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah; 2. daftar anggota berikut jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib, bagi BPR yang berbadan hukum Koperasi. (7) BPR wajib melaporkan perubahan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal surat penerimaan pemberitahuan perubahan … - 16 - perubahan anggaran dasar atau pengesahan dari instansi yang berwenang dengan dilampiri: a. perubahan anggaran dasar sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku; dan b. bukti pelaporan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada huruf a kepada instansi yang berwenang. Pasal 22 (1) BPR wajib melaporkan perubahan komposisi kepemilikan saham yang tidak mengakibatkan penggantian dan/atau penambahan PSP serta tidak diakibatkan oleh penambahan modal disetor kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak RUPS dengan dilampiri: a. risalah RUPS; dan b. data kepemilikan berupa: 1. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham, bagi BPR yang berbadan hukum Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah; 2. daftar anggota berikut jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib, bagi BPR yang berbadan hukum Koperasi. (2) BPR wajib melaporkan pelaksanaan perubahan komposisi kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar atau pengesahan dari instansi yang berwenang, dengan dilampiri: a. perubahan anggaran dasar sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku; dan b. bukti pelaporan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada huruf a kepada instansi yang berwenang khusus untuk BPR yang berbadan hukum Perseroan Terbatas dan Koperasi. Pasal 23 (1) BPR wajib melaporkan perubahan modal dasar kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak BPR menerima surat persetujuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang, dengan dilampiri: a. risalah … - 17 - a. risalah RUPS; dan b. perubahan anggaran dasar yang disetujui oleh instansi yang berwenang. (2) BPR wajib mengadministrasikan dengan tertib: a. daftar pemegang saham dan perubahannya, bagi BPR yang berbadan hukum Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah; b. buku daftar anggota dan perubahannya, bagi BPR yang berbadan hukum Koperasi. BAB V ANGGOTA DIREKSI, DEWAN KOMISARIS, DAN PEJABAT EKSEKUTIF Pasal 24 (1) Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris harus memenuhi persyaratan: a. kompetensi; b. integritas; dan c. reputasi keuangan. (2) Pemenuhan persyaratan bagi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai uji kemampuan dan kepatutan BPR. Pasal 25 (1) Anggota Direksi paling sedikit berjumlah 2 (dua) orang dan salah satu diantaranya menjabat sebagai Direktur Utama. (2) Dalam rangka penerapan tata kelola yang baik pada BPR, Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan jumlah anggota Direksi lebih dari 2 (dua) orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Seluruh anggota Direksi wajib bertempat tinggal di kota/kabupaten yang sama, atau kota/kabupaten yang berbeda pada provinsi yang sama atau kota/kabupaten di provinsi lain yang berbatasan langsung dengan kota/kabupaten pada provinsi lokasi Kantor Pusat BPR. (4) Anggota Direksi harus memiliki pendidikan formal paling rendah setingkat diploma tiga. (5) Anggota Direksi harus memiliki: a. pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan jabatannya; b. pengalaman … - 18 - b. pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan/atau lembaga jasa keuangan non perbankan; dan c. kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan BPR yang sehat. (6) Pengalaman dan keahlian sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) huruf b paling singkat selama 2 (dua) tahun. Pasal 26 Anggota Direksi wajib memiliki sertifikat kelulusan yang masih berlaku yang dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi. Pasal 27 (1) Mayoritas anggota Direksi dilarang memiliki hubungan keluarga atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan: a. sesama anggota Direksi; dan/atau b. anggota Dewan Komisaris. (2) Anggota Direksi baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dilarang memiliki saham sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih dari modal disetor pada Bank dan/atau menjadi pemegang saham mayoritas di lembaga jasa keuangan non Bank. (3) Anggota Direksi dilarang merangkap jabatan pada Bank, perusahaan non Bank dan/atau lembaga lain kecuali sebagai pengurus asosiasi industri BPR dan/atau lembaga pendidikan dalam rangka peningkatan kompetensi SDM BPR sepanjang tidak mengganggu pelaksanaan tugas sebagai Direksi BPR. (4) Anggota Direksi dilarang memberikan kuasa umum yang mengakibatkan pengalihan tugas dan wewenang tanpa batas. Pasal 28 (1) Anggota Dewan Komisaris paling sedikit berjumlah 2 (dua) orang dan paling banyak sama dengan jumlah anggota Direksi, serta salah satu di antaranya menjabat sebagai Komisaris Utama. (2) Dalam rangka penerapan tata kelola yang baik pada BPR, Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan jumlah anggota Dewan Komisaris lebih dari 2 (dua) orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Seluruh … - 19 - (3) Seluruh anggota Dewan Komisaris wajib berkedudukan di Indonesia, dan paling sedikit 1 (satu) orang anggota Dewan Komisaris harus bertempat tinggal di provinsi yang sama atau di kota/kabupaten pada provinsi lain yang berbatasan langsung dengan provinsi lokasi Kantor Pusat BPR. (4) Anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki: a. pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan jabatannya; dan/atau b. pengalaman di bidang perbankan dan/atau lembaga jasa keuangan non perbankan. (5) Anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki sertifikat kelulusan yang masih berlaku dari Lembaga Sertifikasi Profesi. (6) Calon anggota Dewan Komisaris harus memiliki sertifikat kelulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) pada saat diajukan sebagai calon anggota Dewan Komisaris. (7) Anggota Dewan Komisaris hanya dapat merangkap jabatan sebagai komisaris paling banyak pada 2 (dua) BPR lain atau BPRS. (8) Anggota Dewan Komisaris dilarang merangkap jabatan sebagai anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif pada BPR, BPRS, dan/atau Bank Umum. (9) Dewan Komisaris wajib melakukan rapat secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan. (10) Dewan Komisaris wajib mempresentasikan hasil pengawasan terhadap BPR apabila diminta Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 29 (1) Mayoritas anggota Dewan Komisaris dilarang memiliki hubungan keluarga atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan: a. sesama anggota Dewan Komisaris; atau b. anggota Direksi. (2) Anggota Dewan Komisaris dilarang memberikan kuasa umum yang mengakibatkan pengalihan tugas dan wewenang tanpa batas. Pasal … - 20 - Pasal 30 Dalam hal terjadi benturan kepentingan, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan Pejabat Eksekutif dilarang mengambil keputusan. Pasal 31 (1) Calon anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris wajib memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan sebelum menjalankan tugas dan fungsi dalam jabatannya. (2) BPR mengajukan permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan dokumen pendukung. (3) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan melakukan uji kemampuan dan kepatutan. (4) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas pengajuan calon anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (5) BPR harus menyelenggarakan RUPS untuk mengangkat anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Dalam hal jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakhir dan BPR belum menyelenggarakan RUPS, persetujuan Otoritas Jasa Keuangan dan penetapan hasil uji kemampuan dan kepatutan batal dan dinyatakan tidak berlaku. (7) Pengangkatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris oleh RUPS belum efektif sebelum mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (8) Pengangkatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris wajib dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal efektif pengangkatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris disertai dengan risalah RUPS. Pasal … - 21 - Pasal 32 (1) BPR wajib menyampaikan laporan pengunduran diri anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak pengunduran diri dinyatakan efektif, disertai dengan alasan pengunduran diri. (2) BPR wajib menyampaikan laporan pemberhentian anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak pemberhentian dinyatakan efektif, disertai dengan alasan pemberhentian. (3) Dalam hal anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris meninggal dunia, BPR wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris meninggal dunia disertai dengan surat keterangan kematian dari instansi yang berwenang. (4) Dalam hal anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris memenuhi ketentuan larangan terhadap anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris, larangan tersebut berlaku efektif sejak tanggal surat pemberitahuan atau keputusan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 33 (1) Dalam hal anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris diberhentikan oleh RUPS sehingga mengakibatkan tidak terpenuhinya jumlah minimum anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) dan/atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), BPR wajib melakukan penggantian anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kerja sejak tanggal anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris diberhentikan berdasarkan keputusan RUPS. (2) Dalam hal anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris mengundurkan diri sehingga mengakibatkan tidak terpenuhinya jumlah minimum anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) dan/atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), BPR wajib melakukan penggantian anggota … - 22 - anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kerja sejak pengunduran diri anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris dinyatakan efektif. (3) Dalam hal anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris meninggal dunia sehingga mengakibatkan tidak terpenuhinya jumlah minimum anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) dan/atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), BPR wajib melakukan penggantian anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kerja sejak dinyatakan meninggal sesuai dengan surat keterangan kematian dari instansi yang berwenang. (4) Dalam hal anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris dilarang menjadi anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris oleh Otoritas Jasa Keuangan sehingga mengakibatkan tidak terpenuhinya jumlah minimum anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) dan/atau Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), BPR wajib melakukan penggantian anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat pemberitahuan atau keputusan Otoritas Jasa Keuangan. (5) BPR wajib menyelenggarakan RUPS untuk melakukan penggantian anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris karena masa jabatannya berakhir pada tanggal berakhirnya masa jabatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris tersebut. Pasal 34 (1) Pengangkatan kembali anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris oleh RUPS harus dilakukan paling lambat pada tanggal berakhirnya masa jabatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris. (2) BPR wajib menyampaikan laporan pengangkatan kembali anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal RUPS. (3) Dalam … - 23 - (3) Dalam hal: a. BPR tidak dapat menyelenggarakan RUPS dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1); atau b. RUPS dilaksanakan namun tidak menyetujui untuk mengangkat kembali anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris, masa jabatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris dimaksud berakhir. (4) Anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris yang telah berakhir masa jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan dicalonkan kembali sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris, calon dimaksud harus memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan dengan berpedoman pada tata cara pengajuan calon anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31. Pasal 35 (1) BPR wajib melaporkan setiap Pejabat Eksekutif kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Laporan mengenai Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari sejak Pejabat dimaksud menjalankan tugas dan fungsi sebagai Pejabat Eksekutif, dengan dilampiri: a. dokumen pendukung; b. pasfoto terakhir ukuran 4x6 cm; c. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku; d. riwayat hidup; dan e. contoh tanda tangan dan paraf. Pasal 36 (1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelitian terhadap Pejabat Eksekutif atas laporan mengenai Pejabat Eksekutif. (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Eksekutif tercantum di dalam Daftar Tidak Lulus, BPR wajib memberhentikan Pejabat Eksekutif tersebut sejak tanggal surat pemberitahuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Dalam … - 24 - (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Eksekutif memiliki kredit macet dan/atau pembiayaan macet, Pejabat Eksekutif yang bersangkutan harus menyelesaikan kredit macet dan/atau pembiayaan macet dimaksud paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat pemberitahuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (4) Dalam hal Pejabat Eksekutif tidak dapat menyelesaikan kredit macet dan/atau pembiayaan macet dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), BPR wajib memberhentikan Pejabat Eksekutif yang bersangkutan sejak berakhirnya batas waktu untuk menyelesaikan kredit macet dan/atau pembiayaan macet. (5) BPR wajib melaporkan pemberhentian Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pemberhentian. BAB VI PEMBUKAAN KANTOR BANK PERKREDITAN RAKYAT Pasal 37 (1) BPR hanya dapat melakukan pembukaan kantor dalam wilayah provinsi yang sama dengan provinsi kantor pusat BPR. (2) Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kabupaten atau Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten atau Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten atau Kota Bekasi dinyatakan sebagai satu wilayah provinsi untuk keperluan perizinan pembukaan Kantor Cabang. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku bagi pembukaan Kantor Cabang BPR sebagai akibat merger atau konsolidasi. (4) Dalam hal terjadi pemekaran wilayah yang menyebabkan Kantor Cabang dan Kantor Pusat BPR berada di wilayah provinsi yang berbeda, BPR wajib: a. menutup memindahkan Kantor Cabang BPR; atau b. memindahkan Kantor Pusat BPR, ke dalam wilayah provinsi yang sama. (5) Penutupan atau pemindahan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dilaksanakan paling lama 3 (tiga) tahun setelah terjadinya pemekaran wilayah. Pasal … - 25 - Pasal 38 (1) BPR wajib memperoleh izin Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan pembukaan Kantor Cabang. (2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPR dapat mengajukan permohonan pembukaan Kantor Cabang dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. rencana pembukaan Kantor Cabang telah dicantumkan dalam rencana kerja tahunan BPR; b. memiliki tingkat kesehatan tergolong sehat selama 12 (dua belas) bulan terakhir; c. memiliki rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) paling sedikit 12% (dua belas perseratus) selama 6 (enam) bulan terakhir; d. memiliki rasio Non Performing Loan (NPL) gross paling tinggi 5% (lima perseratus) selama 6 (enam) bulan terakhir; e. tidak dalam keadaan rugi dalam 1 (satu) tahun terakhir; f. memiliki teknologi informasi yang memadai; g. memenuhi kelengkapan organisasi dan infrastruktur pada Kantor Cabang yang akan dibuka; dan h. tidak terdapat pelanggaran ketentuan terkait dengan BPR. (3) Pembukaan Kantor Cabang yang disebabkan oleh merger atau konsolidasi dilakukan dengan mengacu pada ketentuan yang berlaku mengenai merger, konsolidasi, dan akuisisi BPR. Pasal 39 Pemberian izin pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 diberikan dalam 2 (dua) tahap: a. persetujuan prinsip pembukaan Kantor Cabang, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pembukaan Kantor Cabang; b. izin operasional Kantor Cabang, yaitu izin membuka Kantor Cabang setelah persiapan sebagaimana dimaksud pada huruf a selesai dilakukan. Pasal … - 26 - Pasal 40 BPR yang mengajukan permohonan persetujuan prinsip pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf a harus melampirkan analisis potensi dan kelayakan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf e. Pasal 41 (1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip pembukaan Kantor Cabang paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka pemberian persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan: a. penelitian atas pemenuhan persyaratan serta kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. penilaian terhadap analisis potensi dan kelayakan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40. Pasal 42 (1) Persetujuan prinsip pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf a berlaku selama 80 (delapan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal surat persetujuan prinsip pembukaan Kantor Cabang. (2) Dalam hal BPR belum mengajukan permohonan izin operasional Kantor Cabang kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), persetujuan prinsip pembukaan Kantor Cabang batal dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 43 (1) BPR mengajukan permohonan untuk memperoleh izin operasional Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf b dengan melampirkan bukti kesiapan operasional dalam rangka pembukaan Kantor Cabang. (2) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin operasional Kantor Cabang paling lama 20 (dua puluh) hari kerja … - 27 - kerja sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (3) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelitian atas kesiapan operasional BPR untuk pembukaan Kantor Cabang. Pasal 44 (1) BPR yang memperoleh izin operasional Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf b harus melakukan kegiatan usaha pada Kantor Cabang dimaksud paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal pemberian izin operasional. (2) BPR wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pembukaan. (3) Dalam hal BPR tidak melakukan kegiatan usaha Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), izin operasional Kantor Cabang yang telah diberikan batal dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 45 (1) BPR hanya dapat melakukan pembukaan Kantor Kas dalam wilayah kabupaten atau kota yang sama dengan kabupaten atau kota kantor induk dari Kantor Kas. (2) Dalam hal terjadi pemekaran wilayah yang menyebabkan Kantor Kas BPR berada di wilayah kabupaten atau kota yang berbeda dengan kantor induknya, BPR wajib menutup atau memindahkan Kantor Kas tersebut ke dalam 1 (satu) wilayah kabupaten atau kota yang sama dengan kantor induknya. (3) Penutupan atau pemindahan Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 1 (satu) tahun setelah terjadinya pemekaran wilayah. (4) BPR yang akan membuka Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. rencana pembukaan Kantor Kas telah dicantumkan dalam rencana kerja tahunan BPR; b. memiliki … - 28 - b. memiliki tingkat kesehatan paling rendah tergolong cukup sehat selama 12 (dua belas) bulan terakhir; c. tidak dalam keadaan rugi dalam 1 (satu) tahun terakhir; d. memiliki teknologi informasi yang memadai; e. memenuhi kelengkapan organisasi dan infrastruktur pada Kantor Kas yang akan dibuka; dan f. tidak terdapat pelanggaran ketentuan terkait dengan BPR. Pasal 46 (1) BPR wajib menyampaikan laporan rencana pembukaan Kantor Kas kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan melampirkan dokumen pendukung. (2) Otoritas Jasa Keuangan memberikan penegasan terhadap rencana pembukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak menerima dokumen laporan rencana pembukaan Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) BPR harus melaksanakan pembukaan Kantor Kas paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal penegasan dari Otoritas Jasa Keuangan. (4) Dalam hal BPR tidak melaksanakan pembukaan Kantor Kas dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penegasan pembukaan Kantor Kas yang telah diberikan batal dan dinyatakan tidak berlaku. (5) BPR wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pembukaan Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pembukaan. Pasal 47 (1) Kas Keliling dan Payment Point hanya dapat dilakukan dalam wilayah kabupaten atau kota yang sama dengan kantor induk dari Kas Keliling dan Payment Point. (2) BPR wajib menyampaikan laporan Kas Keliling dan Payment Point sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan kegiatan. Pasal … - 29 - Pasal 48 BPR wajib menggabungkan Laporan Keuangan Kantor Kas, Kas Keliling dan Payment Point dengan Laporan Keuangan Kantor Pusat atau Kantor Cabang yang menjadi kantor induknya pada hari yang sama. Pasal 49 BPR wajib menyampaikan laporan rencana BPR dan/atau sebagian kantor BPR untuk melakukan kegiatan operasional di luar hari kerja operasional dan pada hari libur nasional kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sebelum pelaksanaan kegiatan operasional. BAB VII KEGIATAN LAYANAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU AUTOMATED TELLER MACHINE DAN/ATAU KARTU DEBET Pasal 50 (1) Dalam hal BPR merencanakan melakukan kegiatan layanan dengan menggunakan kartu ATM dan/atau kartu debet, BPR wajib mengajukan permohonan izin sebagai penerbit kartu ATM dan/atau kartu debet kepada Bank Indonesia setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (2) BPR mengajukan permohonan persetujuan kegiatan layanan dengan menggunakan kartu ATM dan/atau kartu debet kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan persyaratan sebagai berikut: a. rencana kegiatan layanan dengan menggunakan kartu ATM dan/atau kartu debet telah tercantum dalam rencana kerja tahunan BPR; b. memiliki tingkat kesehatan tergolong sehat selama 12 (dua belas) bulan terakhir; c. tidak dalam keadaan rugi dalam 1 (satu) tahun terakhir; d. memiliki teknologi informasi yang memadai; dan e. tidak terdapat pelanggaran ketentuan terkait dengan BPR. (3) Kegiatan layanan dengan menggunakan kartu ATM dan/atau kartu debet yang diselenggarakan dengan menggunakan PPE yang dikelola sendiri oleh BPR hanya dapat dilakukan dalam wilayah provinsi yang sama dengan provinsi kantor pusat BPR. (4) BPR … - 30 - (4) BPR wajib melaporkan penggunaan PPE dan setiap penambahan PPE yang dikelola sendiri oleh BPR kepada Otoritas Jasa Keuangan. (5) Kegiatan layanan dengan menggunakan kartu ATM dan/atau kartu debet dapat dilakukan sampai ke luar wilayah provinsi tempat kedudukan kantor induk BPR melalui kerjasama dengan: a. jaringan bersama ATM; dan/atau b. bank umum. (6) BPR wajib menyampaikan laporan kegiatan layanan dengan menggunakan kartu ATM dan/atau kartu debet sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan kegiatan. Pasal 51 BPR dilarang melakukan kegiatan sebagai acquirer. Pasal 52 BPR wajib menggabungkan Laporan Keuangan kegiatan layanan dengan menggunakan kartu ATM dan/atau kartu debet dengan Laporan Keuangan Kantor Pusat atau Kantor Cabang yang menjadi kantor induknya pada hari yang sama. BAB VIII PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR, LOKASI PERANGKAT AUTOMATED TELLER MACHINE DAN AUTOMATED DEPOSIT MACHINE Pasal 53 (1) BPR wajib memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang. (2) Pemindahan alamat Kantor Cabang hanya dapat dilakukan dalam satu wilayah provinsi yang sama dengan provinsi kantor pusat BPR. (3) BPR yang melakukan pemindahan alamat kantor pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke zona yang memiliki persyaratan modal disetor pendirian BPR yang lebih tinggi dari zona kantor pusat BPR semula, harus memenuhi persyaratan modal disetor pendirian BPR di zona kantor pusat BPR yang baru. Pasal … - 31 - Pasal 54 Pemberian izin pemindahan alamat kantor dilakukan dalam dua tahap: a. persetujuan prinsip pemindahan alamat kantor, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pemindahan alamat kantor; b. izin efektif pemindahan alamat kantor, yaitu izin pindah alamat kantor setelah persiapan sebagaimana dimaksud pada huruf a selesai dilakukan. Pasal 55 (1) Persetujuan prinsip pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf a hanya diberlakukan bagi pemindahan alamat kantor ke luar wilayah kabupaten, kota atau provinsi. (2) BPR mengajukan permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan dilampiri: a. alasan pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang, dan rencana penyelesaian atau pengalihan tagihan dan kewajiban; b. analisis potensi dan kelayakan pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf e; dan c. akta perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang dalam hal dilakukan pemindahan alamat kantor pusat BPR. Pasal 56 (1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a; dan b. penilaian terhadap analisis potensi dan kelayakan pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf b. Pasal … - 32 - Pasal 57 (1) Persetujuan prinsip pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf a berlaku untuk jangka waktu 120 (seratus dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) BPR dilarang melakukan pemindahan alamat kantor sebelum mendapat izin efektif pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf b. (3) Dalam hal BPR belum mengajukan permohonan izin efektif pemindahan alamat kantor dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), persetujuan prinsip pemindahan alamat kantor yang telah diberikan batal dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 58 BPR wajib mengumumkan dalam surat kabar harian lokal atau pada papan pengumuman di seluruh kantor BPR yang bersangkutan mengenai rencana pemindahan alamat kantor, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sebelum mengajukan permohonan izin efektif pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf b kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 59 BPR mengajukan permohonan izin efektif pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf b kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan dilampiri: a. bukti pengumuman kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan bukti kesiapan kantor termasuk sarananya, bagi BPR yang akan melakukan pemindahan alamat kantor keluar wilayah kabupaten, kota, atau provinsi; b. bukti pengumuman kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, alasan pemindahan alamat kantor, rencana penyelesaian atau pengalihan tagihan dan kewajiban serta bukti kesiapan kantor termasuk sarananya, bagi BPR yang akan melakukan pemindahan alamat kantor dalam satu kabupaten atau kota. Pasal … - 33 - Pasal 60 (1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin efektif pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen, termasuk melakukan pemeriksaan apabila diperlukan. (2) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin efektif pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama: a. 20 (dua puluh) hari kerja bagi BPR yang akan melakukan pemindahan alamat kantor dalam 1 (satu) kabupaten atau kota; atau b. 40 (empat puluh) hari kerja bagi BPR yang akan melakukan pemindahan alamat kantor keluar wilayah kabupaten, kota, atau provinsi, sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (3) BPR melaksanakan pemindahan alamat kantor paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat izin efektif pemindahan alamat kantor dari Otoritas Jasa Keuangan. (4) Dalam hal BPR tidak melaksanakan pemindahan alamat kantor dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), izin efektif pemindahan alamat kantor yang telah diberikan batal dan dinyatakan tidak berlaku. (5) BPR wajib menyampaikan laporan pemindahan alamat kantor kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan pemindahan alamat kantor. Pasal 61 (1) BPR wajib menyampaikan laporan rencana pemindahan alamat Kantor Kas kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menjelaskan alasan pemindahan dan kesiapan Kantor Kas. (2) Pemindahan alamat Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah BPR memperoleh surat penegasan dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Otoritas Jasa Keuangan memberikan penegasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak Otoritas Jasa Keuangan menerima laporan pemindahan alamat Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) BPR … - 34 - (4) BPR wajib menyampaikan laporan pemindahan alamat Kantor Kas kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan pemindahan. Pasal 62 BPR wajib menyampaikan laporan pemindahan Payment Point dan lokasi perangkat ATM dan/atau ADM kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan pemindahan. BAB IX PERUBAHAN NAMA DAN BENTUK BADAN HUKUM Pasal 63 (1) Perubahan nama BPR harus memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (2) BPR yang telah memperoleh persetujuan perubahan anggaran dasar terkait penggunaan nama baru dari instansi yang berwenang wajib mengajukan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai penetapan penggunaan izin usaha BPR dengan nama baru. (3) BPR mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak persetujuan perubahan anggaran dasar terkait dengan penggunaan nama baru dari instansi yang berwenang disertai dengan: a. alasan perubahan nama; b. akta perubahan anggaran dasar; dan c. bukti persetujuan atas perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang. (4) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan penetapan penggunaan izin usaha BPR dengan nama baru sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak dokumen permohonan diterima secara lengkap. (5) BPR wajib mengumumkan perubahan nama kepada masyarakat dalam surat kabar harian lokal atau pada papan pengumuman di seluruh kantor BPR yang bersangkutan, paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (6) BPR … - 35 - (6) BPR wajib menyampaikan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada Otoritas Jasa Keuangan, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pengumuman. Pasal 64 (1) BPR dapat melakukan perubahan bentuk badan hukum dengan memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) BPR wajib mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan perubahan bentuk badan hukum. (3) Pemberian persetujuan perubahan bentuk badan hukum BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam dua tahap: a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan perubahan bentuk badan hukum BPR; b. persetujuan pengalihan izin usaha, yaitu Surat Keputusan yang diberikan untuk mengalihkan izin usaha dari badan hukum lama kepada badan hukum baru. Pasal 65 (1) BPR mengajukan permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip perubahan bentuk badan hukum BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) huruf a kepada Otoritas Jasa Keuangan, dengan dilampiri: a. notulen RUPS yang menyetujui perubahan bentuk badan hukum dan pembubaran badan hukum lama; b. alasan perubahan bentuk badan hukum BPR; c. rancangan akta pendirian badan hukum baru yang memuat Anggaran Dasar; d. rencana pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama kepada badan hukum baru; e. data kepemilikan disertai dengan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b; dan f. daftar calon anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris disertai dengan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c. (2) Otoritas … - 36 - (2) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (3) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Otoritas Jasa Keuangan melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. penilaian terhadap calon PSP, calon anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris sesuai ketentuan mengenai uji kemampuan dan kepatutan BPR, dalam hal terjadi penggantian atau perubahan. (4) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama 120 (seratus dua puluh) hari kerja sejak tanggal persetujuan. (5) Dalam hal BPR tidak mengajukan permohonan pengalihan izin usaha dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), persetujuan prinsip yang telah diberikan batal dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 66 (1) BPR mengajukan permohonan untuk mengalihkan izin usaha BPR dari badan hukum lama kepada badan hukum baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) huruf b kepada Otoritas Jasa Keuangan, dengan dilampiri: a. akta pendirian badan hukum baru yang memuat anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang; b. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b, dalam hal terjadi perubahan; c. daftar anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c, dalam hal terjadi penggantian; d. akta berita acara yang dinotariilkan mengenai pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama kepada badan hukum baru; dan e. risalah RUPS badan hukum lama yang menyetujui perubahan bentuk badan hukum dan pembubaran badan hukum lama. (2) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan pengalihan izin usaha dari badan hukum lama kepada badan hukum baru paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan beserta dokumen pendukung diterima secara lengkap. (3) Dalam … - 37 - (3) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. penilaian terhadap calon anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris dan/atau PSP sesuai ketentuan mengenai uji kemampuan dan kepatutan BPR, dalam hal terjadi penggantian atau perubahan. Pasal 67 (1) Pembubaran badan hukum lama hanya dapat dilakukan setelah: a. Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan pengalihan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) huruf b; dan b. pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama kepada badan hukum baru telah dilaksanakan sesuai dengan akta berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf d. (2) BPR wajib mengumumkan perubahan bentuk badan hukum BPR kepada masyarakat dalam surat kabar harian lokal atau pada papan pengumuman di seluruh kantor BPR yang bersangkutan, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pemberian persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) BPR wajib menyampaikan bukti pengumuman perubahan bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pengumuman. BAB X PENUTUPAN KANTOR Pasal 68 (1) BPR wajib memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan penutupan Kantor Cabang. (2) BPR mengajukan permohonan untuk memperoleh persetujuan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan alasan penutupan dan dokumen penyelesaian seluruh kewajiban kepada nasabah serta pihak-pihak lain. (3) Otoritas … - 38 - (3) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah: a. permohonan beserta dokumen pendukung diterima secara lengkap; dan b. seluruh kewajiban telah diselesaikan berdasarkan hasil pemeriksaan. (4) Dengan pemberian persetujuan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), izin operasional Kantor Cabang dimaksud dinyatakan tidak berlaku. (5) BPR wajib mengumumkan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat dalam surat kabar harian lokal atau pada papan pengumuman di seluruh kantor BPR yang bersangkutan, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (6) BPR wajib melaksanakan penutupan Kantor Cabang paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (7) BPR wajib menyampaikan laporan pelaksanaan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan penutupan, disertai dengan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (5). Pasal 69 (1) BPR wajib menyampakan laporan rencana penutupan Kantor Kas dan Kegiatan Pelayanan Kas kepada Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan alasan penutupan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sebelum pelaksanaan. (2) BPR wajib mengumumkan rencana penutupan Kantor Kas dan Kegiatan Pelayanan Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat dalam surat kabar harian lokal atau pada papan pengumuman di seluruh kantor BPR yang bersangkutan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sebelum pelaksanaan penutupan. (3) BPR wajib menyampaikan laporan pelaksanaan penutupan Kantor Kas dan Kegiatan Pelayanan Kas BPR kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal penutupan disertai dengan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal … - 39 - Pasal 70 (1) BPR dapat melakukan penutupan sementara kantor BPR di luar hari libur resmi dengan alasan tertentu. (2) Penutupan kantor sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling banyak 5 (lima) hari kerja dalam kurun waktu 1 (satu) tahun takwim. (3) BPR menyampaikan laporan rencana penutupan sementara kantor BPR di luar hari libur resmi kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 5 (lima) hari kerja sebelum pelaksanaan penutupan sementara. (4) BPR wajib mengumumkan tanggal penutupan kantor sementara kepada masyarakat dalam surat kabar harian lokal atau pada papan pengumuman di seluruh kantor BPR yang bersangkutan paling lama 5 (lima) hari kerja sebelum tanggal penutupan. (5) BPR wajib menyampaikan bukti pengumuman penutupan kantor sementara kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) BPR wajib menyampaikan laporan pembukaan kembali kantor paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal pembukaan. BAB XI PERUBAHAN KEGIATAN USAHA Pasal 71 (1) BPR dapat mengubah kegiatan usahanya menjadi BPRS dengan izin Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan. (2) Ketentuan mengenai pemberian izin perubahan kegiatan usaha dari BPR menjadi BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tunduk pada ketentuan mengenai perubahan kegiatan usaha BPR menjadi BPRS. BAB XII PENCABUTAN IZIN USAHA ATAS PERMINTAAN PEMEGANG SAHAM Pasal 72 Otoritas Jasa Keuangan berwenang mencabut izin usaha BPR atas permintaan pemegang saham BPR. Pasal … - 40 - Pasal 73 Pemegang saham BPR dapat mengajukan permintaan pencabutan izin usaha BPR sepanjang BPR dimaksud tidak sedang ditempatkan dalam pengawasan khusus oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai tindak lanjut penanganan terhadap BPR dalam status pengawasan khusus. Pasal 74 Otoritas Jasa Keuangan melakukan pencabutan izin usaha BPR atas permintaan pemegang saham BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 apabila BPR telah menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada nasabah dan kreditur lainnya. Pasal 75 Pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dilakukan dalam 2 (dua) tahap: a. persetujuan persiapan pencabutan izin usaha; b. keputusan pencabutan izin usaha. Pasal 76 Direksi BPR mengajukan permohonan persetujuan persiapan pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf a kepada Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dengan melampirkan: a. risalah RUPS mengenai rencana pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham BPR; b. alasan pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham BPR; c. rencana penyelesaian seluruh kewajiban BPR kepada nasabah, kreditur, karyawan, dan pihak-pihak lainnya; d. laporan keuangan terakhir; dan e. bukti penyelesaian pajak dan kewajiban lainnya kepada negara. Pasal 77 Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelitian terhadap dokumen yang disampaikan dalam permohonan persetujuan persiapan pencabutan izin usaha yang diajukan oleh Direksi BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76. Pasal … - 41 - Pasal 78 (1) Berdasarkan hasil penelitian terhadap permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan surat persetujuan persiapan pencabutan izin usaha BPR dan mewajibkan BPR untuk: a. menghentikan seluruh kegiatan usaha BPR; b. mengumumkan rencana pembubaran badan hukum BPR dan rencana penyelesaian kewajiban BPR dalam surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal surat persetujuan persiapan pencabutan izin usaha BPR; c. menyelesaikan seluruh kewajiban BPR dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat persetujuan persiapan pencabutan izin usaha BPR; dan d. menunjuk kantor akuntan publik untuk menyusun neraca akhir termasuk melakukan verifikasi untuk memastikan penyelesaian seluruh kewajiban BPR. (2) Dalam hal BPR tidak dapat menyelesaikan seluruh kewajiban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, BPR harus melakukan langkah-langkah sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 79 Direksi BPR mengajukan permohonan pencabutan izin usaha BPR kepada Otoritas Jasa Keuangan setelah seluruh kewajiban BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 huruf c diselesaikan, disertai dengan laporan yang paling sedikit memuat: a. pelaksanaan penghentian kegiatan usaha BPR; b. pelaksanaan pengumuman; c. pelaksanaan penyelesaian kewajiban BPR; d. neraca akhir BPR; dan e. surat pernyataan dari pemegang saham BPR. Pasal 80 Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelitian terhadap permohonan pencabutan izin usaha yang diajukan oleh Direksi BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79. Pasal … - 42 - Pasal 81 (1) Berdasarkan hasil penelitian terhadap dokumen permohonan pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan Surat Keputusan Pencabutan Izin Usaha BPR dan memerintahkan BPR untuk melakukan pembubaran badan hukum dan mengumumkan berakhirnya atau bubarnya badan hukum sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (2) Sejak tanggal pencabutan izin usaha diterbitkan, apabila di kemudian hari muncul kewajiban yang belum diselesaikan, pemegang saham BPR bertanggung jawab atas segala kewajiban BPR. Pasal 82 Status badan hukum BPR berakhir atau bubar sejak tanggal pengumuman berakhirnya atau bubarnya badan hukum BPR dalam Berita Negara Republik Indonesia. BAB XIII PELANGGARAN TERHADAP KEWAJIBAN PELAPORAN Pasal 83 (1) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan: a. Laporan: 1. pelaksanaan kegiatan usaha dalam Pasal 13 ayat (2;) 2. keuangan tahunan dalam Pasal 16 ayat (4); 3. penambahan modal disetor dalam Pasal 20 ayat (9) dan ayat (10); 4. perubahan kepemilikan saham yang telah disetujui RUPS dalam Pasal 21 ayat (6); 5. perubahan kepemilikan saham yang telah disahkan instansi yang berwenang dalam Pasal 21 ayat (7); 6. perubahan komposisi kepemilikan saham yang tidak mengakibatkan penggantian dan/atau penambahan PSP dalam Pasal 22 ayat (1); 7. pelaksanaan perubahan komposisi kepemilikan saham dalam Pasal 22 ayat (2); 8. perubahan modal dasar dalam Pasal 23 ayat (1); 9. pengangkatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris dalam Pasal 31 ayat (8); 10. Pasal … - 43 - 10. pengunduran diri anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris dalam Pasal 32 ayat (1); 11. pemberhentian anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris dalam Pasal 32 ayat (2); 12. anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris yang meninggal dunia dalam Pasal 32 ayat (3); 13. pengangkatan kembali anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris dalam Pasal 34 ayat (2); 14. Pejabat Eksekutif dalam Pasal 35 ayat (2); 15. pemberhentian Pejabat Eksekutif dalam Pasal 36 ayat (5); 16. pembukaan Kantor Cabang dalam Pasal 44 ayat (2); 17. pelaksanaan pembukaan Kantor Kas dalam Pasal 46 ayat (5); 18. Kas Keliling dan Payment Point dalam Pasal 47 ayat (2); 19. rencana BPR dan/atau sebagian kantor BPR untuk melakukan kegiatan operasional di luar hari kerja operasional dan pada hari libur nasional dalam Pasal 49; 20. kegiatan layanan dengan menggunakan kartu ATM dan/atau kartu debet dalam Pasal 50 ayat (6); 21. rencana pemindahan alamat kantor BPR dalam Pasal 58; 22. pemindahan alamat kantor dalam Pasal 60 ayat (5); 23. rencana pemindahan alamat Kantor Kas dalam Pasal 61 ayat (1); 24. pemindahan alamat Kantor Kas dalam Pasal 61 ayat (4); 25. pemindahan Payment Point dan lokasi perangkat ATM dan/atau ADM dalam Pasal 62; 26. pelaksanaan penutupan Kantor Cabang dalam Pasal 68 ayat (7); 27. rencana penutupan Kantor Kas dan Kegiatan Pelayanan Kas dalam Pasal 69 ayat (1); 28. pelaksanaan penutupan Kantor Kas dan Kegiatan Pelayanan Kas BPR dalam Pasal 69 ayat (3); 29. rencana penutupan sementara kantor BPR di luar hari libur resmi dalam Pasal 70 ayat (3); 30. pembukaan kembali kantor dalam Pasal 70 ayat (6), b. bukti … - 44 - b. bukti pengumuman: 1. pelaksanaan perubahan nama dalam Pasal 63 ayat (6); 2. perubahan bentuk badan hukum dalam Pasal 67 ayat (3); 3. penutupan kantor sementara dalam Pasal 70 ayat (5), apabila laporan atau bukti pengumuman diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah batas waktu penyampaian laporan atau bukti pengumuman. (2) BPR dinyatakan tidak menyampaikan laporan atau bukti pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), Pasal 16 ayat (4), Pasal 20 ayat (9) dan ayat (10), Pasal 21 ayat (6) dan ayat (7), Pasal 22, Pasal 23 ayat (1), Pasal 31 ayat (8), Pasal 32 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 34 ayat (2), Pasal 35 ayat (2), Pasal 36 ayat (5), Pasal 44 ayat (2), Pasal 46 ayat (5), Pasal 47 ayat (2), Pasal 49, Pasal 50 ayat (6), Pasal 58, Pasal 60 ayat (5), Pasal 61 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 62, Pasal 63 ayat (6), Pasal 67 ayat (3), Pasal 68 ayat (7), Pasal 69 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 70 ayat (3), ayat (5), dan ayat (6), apabila laporan atau bukti pengumuman tidak diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) BPR yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan atau bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap harus menyampaikan laporan atau bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2). BAB XIV SANKSI Pasal 84 BPR yang melanggar ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 21 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 25 ayat (3), Pasal 27 ayat (4), Pasal 28 ayat (3), ayat (9), dan ayat (10), Pasal 29 ayat (2), Pasal 30, Pasal 31 ayat (1), Pasal 35 ayat (1), Pasal 37 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 38 ayat (1), Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 46 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal 50 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 57 ayat (2), Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 63 ayat (2) dan ayat (5), Pasal 64 ayat (2), Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68 ayat (1), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 69 ayat (2), Pasal 70 ayat (2) dan ayat (4), dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran … - 45 - a. teguran tertulis; dan/atau b. penurunan Tingkat Kesehatan BPR satu predikat. Pasal 85 (1) BPR yang melanggar ketentuan penyampaian laporan atau bukti pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), Pasal 16 ayat (4), Pasal 20 ayat (9) dan ayat (10), Pasal 21 ayat (6) dan ayat (7), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 23 ayat (1), Pasal 31 ayat (8), Pasal 32 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 34 ayat (2), Pasal 35 ayat (2), Pasal 36 ayat (5), Pasal 44 ayat (2), Pasal 46 ayat (5), Pasal 47 ayat (2), Pasal 49, Pasal 50 ayat (6), Pasal 58, Pasal 60 ayat (5), Pasal 61 ayat (4), Pasal 62, Pasal 63 ayat (6), Pasal 67 ayat (3), Pasal 68 ayat (7), Pasal 69 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 70 ayat (5) dan ayat (6), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dengan jumlah paling banyak sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). (2) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan atau bukti pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). (3) Dalam hal BPR dikenakan sanksi kewajiban membayar karena dinyatakan tidak menyampaikan laporan atau bukti pengumuman, sanksi kewajiban membayar karena terlambat menyampaikan laporan atau bukti pengumuman tidak diberlakukan. Pasal 86 BPR yang melanggar ketentuan kewajiban memiliki 1 (satu) pemegang saham dengan persentase kepemilikan saham sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima perseratus) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan BPR satu predikat; c. penundaan hak menerima dividen bagi pemegang saham; d. penghentian sementara sebagian kegiatan operasional BPR; dan/atau e. larangan pembukaan jaringan kantor dan kegiatan Pedagang Valuta Asing (PVA). Pasal … - 46 - Pasal 87 Dalam hal pemegang saham melanggar ketentuan mengenai larangan penarikan kembali modal yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, BPR dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan predikat tingkat kesehatan BPR menjadi tidak sehat; dan/atau c. penghentian sementara sebagian kegiatan operasional BPR. Pasal 88 BPR yang melanggar ketentuan mengenai jumlah dan struktur anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), kewajiban anggota Direksi memiliki sertifikat kelulusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, jumlah dan struktur anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), kewajiban anggota Dewan Komisaris memiliki sertifikat kelulusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5), dan mengenai jangka waktu pemenuhan jumlah minimum anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan BPR satu predikat; c. larangan pembukaan jaringan kantor dan kegiatan Pedagang Valuta Asing (PVA); dan/atau d. penghentian sementara sebagian kegiatan operasional BPR. Pasal 89 Dalam hal anggota Direksi BPR melanggar ketentuan mengenai: a. larangan memiliki hubungan keluarga atau semenda sampai dengan derajat kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1); b. larangan baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama memiliki saham sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) maupun lebih dari modal disetor pada Bank dan/atau menjadi pemegang saham mayoritas di lembaga jasa keuangan non Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2); atau c. larangan … - 47 - c. larangan merangkap jabatan pada Bank, perusahaan non Bank dan/atau lembaga lain kecuali sebagai pengurus asosiasi industri BPR dan/atau lembaga pendidikan dalam rangka peningkatan kompetensi SDM BPR sepanjang tidak mengganggu pelaksanaan tugas sebagai Direksi BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3); BPR dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan predikat tingkat kesehatan BPR menjadi tidak sehat; c. larangan pembukaan jaringan kantor dan kegiatan Pedagang Valuta Asing (PVA); dan/atau d. penghentian sementara sebagian kegiatan operasional BPR. Pasal 90 Dalam hal anggota Dewan Komisaris BPR melanggar ketentuan mengenai: a. larangan merangkap jabatan sebagai anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif pada BPR, BPRS, dan/atau Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (8); atau b. larangan memiliki hubungan keluarga atau semenda sampai dengan derajat kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1), BPR dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan predikat tingkat kesehatan BPR menjadi tidak sehat; c. larangan pembukaan jaringan kantor dan kegiatan Pedagang Valuta Asing (PVA); dan/atau d. penghentian sementara sebagian kegiatan operasional BPR. Pasal 91 BPR yang melanggar ketentuan mengenai kewajiban untuk memberhentikan Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) dan ayat (4) dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan/atau b. penurunan predikat tingkat kesehatan BPR menjadi tidak sehat. BAB … - 48 - BAB XV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 92 (1) Persetujuan prinsip pendirian BPR dan/atau pembukaan Kantor Cabang BPR yang telah diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dinyatakan tetap berlaku. (2) Pihak yang telah memperoleh persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan izin usaha pendirian BPR dan/atau izin operasional Kantor Cabang BPR yang disertai dokumen yang lengkap dengan mengacu pada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/26/PBI/2006 tentang Bank Perkreditan Rakyat sampai dengan tanggal 31 Desember 2014. (3) Permohonan persetujuan prinsip untuk pendirian BPR dan/atau pembukaan Kantor Cabang BPR yang telah diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, namun belum memperoleh persetujuan atau penolakan, wajib memenuhi ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (4) Permohonan pembukaan kantor kas dan permohonan kegiatan layanan dengan menggunakan PPE antara lain berupa ATM, ADM, dan EDC, pemindahan alamat kantor dan lokasi perangkat ATM dan/atau ADM, perubahan nama dan bentuk badan hukum serta penutupan kantor yang telah diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, namun belum mendapat persetujuan atau penolakan, wajib memenuhi ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 93 BPR yang belum memiliki paling sedikit 1 (satu) pemegang saham dengan persentase kepemillikan saham paling sedikit 25% (dua puluh lima perseratus) pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, harus menyesuaikan kepemilikan saham berdasarkan ketentuan dalam Pasal 15 paling lambat pada tanggal 31 Desember 2017. Pasal … - 49 - Pasal 94 BPR yang belum memenuhi ketentuan mengenai tempat tinggal anggota Direksi pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, harus menyesuaikan tempat tinggal anggota Direksi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 25 ayat (3) paling lambat pada tanggal 31 Desember 2017. Pasal 95 Dalam hal anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris merangkap jabatan dan/atau memiliki hubungan keluarga atau semenda sampai dengan derajat kedua pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, BPR harus menyesuaikan komposisi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris berdasarkan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (8), dan Pasal 29 ayat (1) paling lambat pada tanggal 31 Desember 2017. Pasal 96 Anggota Direksi yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama masih memiliki saham BPR sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, harus melakukan penyesuaian berdasarkan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (2) paling lambat pada tanggal 31 Desember 2017. Pasal 97 BPR yang memiliki jumlah anggota Dewan Komisaris melebihi jumlah anggota Direksi pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, harus menyesuaikan jumlah anggota Dewan Komisaris berdasarkan ketentuan dalam Pasal 28 ayat (1) paling lambat pada tanggal 31 Desember 2016. Pasal 98 BPR yang belum memenuhi ketentuan mengenai tempat tinggal anggota Dewan Komisaris pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, harus menyesuaikan tempat tinggal anggota Dewan Komisaris berdasarkan ketentuan dalam Pasal 28 ayat (3) paling lambat pada tanggal 31 Desember 2017. Pasal … - 50 - Pasal 99 Anggota Dewan Komisaris yang belum memiliki sertifikat kelulusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5) pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, harus memiliki sertifikat kelulusan paling lambat pada tanggal 31 Desember 2017. BAB XVI KETENTUAN PENUTUP Pasal 100 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 101 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, semua peraturan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/26/PBI/2006 tentang Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4656), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 102 Ketentuan yang mengatur mengenai pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/54/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank Perkreditan Rakyat dinyatakan tidak berlaku. Pasal 103 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/26/PBI/2006 tanggal 8 November 2006 tentang Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4656), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku mulai pada tanggal 1 Januari 2015. Pasal … Pasal 104 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2015. Agar sctiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditctapkan di Jakarta Pada tanggal 18 November 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 19 November 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum I Departemen Hukum, Tini Kustini LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 351 End of Page 51 PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 20/POJK.03/2014 TENTANG BANK PERKREDITAN RAKYAT I. UMUM Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan mendukung perkembangan usaha yang bersifat dinamis, diperlukan perbankan nasional yang tangguh, termasuk industri Bank Perkreditan Rakyat yang sehat, kuat, produktif, dan memiliki daya saing agar mampu melayani masyarakat, terutama usaha mikro dan kecil. Sejalan dengan visi perbankan nasional untuk mencapai sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan, kelembagaan industri Bank Perkreditan Rakyat perlu diperkuat, antara lain pada aspek permodalan, penataan struktur kepemilikan, serta peningkatan kompetensi dan kualitas anggota dan calon anggota Direksi dan Dewan Komisaris. Selain itu, dalam rangka meningkatkan fungsi intermediasi Bank Perkreditan Rakyat melalui perluasan jaringan kantor, ketentuan pembukaan Kantor Cabang perlu direlaksasi dengan tetap memperhatikan prinsip kehati- hatian berupa kemampuan permodalan serta analisis dan potensi kelayakan usaha. Lingkup pengaturan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini adalah BPR yang berbadan hukum Perseroan Terbatas, Koperasi, dan Perusahaan Daerah. Sementara BPR yang berbadan hukum selain tersebut di atas seperti Badan Kredit Desa sebagaimana diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 akan diatur secara tersendiri. II. PASAL … - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Suatu usaha atau entitas digolongkan sebagai badan hukum Indonesia apabila entitas tersebut dinyatakan atau ditetapkan sebagai badan hukum Indonesia oleh Undang-Undang. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “telah beroperasi” adalah badan hukum dimaksud telah melakukan kegiatan usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “modal disetor” bagi BPR yang berbentuk badan hukum Koperasi adalah simpanan pokok dan simpanan wajib sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Perkoperasian. Ayat (2) Penetapan jumlah modal disetor yang lebih tinggi didasarkan pada pertimbangan antara lain kelangsungan pengembangan kegiatan usaha BPR ke depan, sehingga dapat beroperasi secara berkesinambungan. Namun penetapan jumlah modal disetor yang lebih … - 3 - lebih tinggi tersebut tidak melampaui jumlah modal disetor minimum pada zona yang setingkat lebih tinggi. Ayat (3) Zona 1 menunjukan zona dengan potensi ekonomi lebih tinggi dan persaingan lembaga keuangan lebih ketat. Sedangkan zona 4 menunjukan zona dengan potensi ekonomi lebih rendah dan persaingan lembaga keuangan lebih longgar. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “modal kerja” adalah seluruh aset lancar antara lain kas, kredit yang diberikan, penempatan dana antar bank, dan surat berharga, namun tidak termasuk biaya dalam rangka pendirian dan pra operasional BPR. Pasal 6 Ayat (1) Contoh penulisan keterangan atas setoran modal pada bilyet deposito adalah “Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan q.q. Sdr. ‘A’ dengan keterangan untuk pendirian PT BPR ‘XZY’’ dan pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf … - 4 - Huruf d “Struktur organisasi dan jumlah personalia” antara lain meliputi bagan organisasi, garis tanggung jawab horizontal dan vertikal, serta tingkatan jabatan paling rendah sampai dengan Pejabat Eksekutif. Huruf e “Analisis potensi dan kelayakan pendirian BPR” termasuk rencana bisnis yang merupakan rencana kegiatan usaha BPR yang memuat paling sedikit: 1. rencana penghimpunan dan penyaluran dana serta strategi pencapaiannya; dan 2. proyeksi neraca bulanan dan laporan laba rugi kumulatif bulanan selama 12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak BPR melakukan kegiatan operasional. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Surat pernyataan dari calon pemegang saham bagi BPR yang berbadan hukum Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, atau Koperasi, dibuat dan disampaikan oleh pihak yang mempunyai wewenang untuk mewakili badan hukum yang bersangkutan. Huruf i Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Hal-hal yang harus dijelaskan dalam presentasi oleh pihak-pihak yang mengajukan permohonan pendirian BPR kepada Otoritas Jasa Keuangan antara lain: a. tujuan … - 5 - a. tujuan dan alasan pendirian BPR; b. target pasar penghimpunan dan penyaluran dana; c. jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang; d. sistem teknologi dan informasi; dan e. struktur organisasi dan personalia. Pasal 10 Ayat (1) Contoh: persetujuan prinsip diberikan pada tanggal 1 April 2015, jangka waktu persetujuan prinsip berakhir pada tanggal 31 Maret 2016. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 11 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Angka 1 Yang dimaksud dengan “aset tetap dan inventaris” adalah aset berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dibangun lebih dahulu, yang digunakan dalam kegiatan operasional dan tidak dimaksudkan untuk dijual. Daftar … - 6 - Daftar “aset tetap dan inventaris” disertai dengan harga perolehan. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas Angka 4 Cukup jelas Angka 5 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a “Penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen” yang pemohon dan informasi terkini antara lain dari Daftar Tidak Lulus dan Daftar Kredit Macet mengenai Pemegang Saham Pengendali, anggota Direksi, dan anggota Dewan Komisaris. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal … - 7 - Pasal 14 Bentuk badan hukum dan kata “Bank Perkreditan Rakyat” atau “BPR” dicantumkan secara jelas, antara lain pada papan nama, kop surat, sarana publikasi yang digunakan, buku tabungan, bilyet deposito, dan warkat pembukuan. Contoh: PT Bank Perkreditan Rakyat XYZ, atau PT BPR XYZ. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan ”modal sendiri bersih” bagi: a. badan hukum Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah adalah penjumlahan dari modal disetor, cadangan dan laba, dikurangi penyertaan dan kerugian; b. badan hukum Koperasi adalah penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, dana cadangan dan hibah dikurangi penyertaan dan kerugian. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “ketentuan Otoritas Jasa Keuangan” antara lain ketentuan yang mengatur mengenai uji kemampuan dan kepatutan … - 8 - kepatutan BPR, dan ketentuan mengenai merger, konsolidasi, dan akuisisi. Pasal 19 Ayat (1) Huruf a “Memiliki akhlak dan moral yang baik”, antara lain dengan mematuhi ketentuan yang berlaku, termasuk tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana tertentu dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan. Yang dimaksud dengan tindak pidana tertentu adalah tindak pidana asal yang disebut dalam undang-undang mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat … - 9 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “dividen bagi BPR” yang berbentuk badan koperasi adalah sisa hasil usaha yang dibagikan kepada anggota. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Dalam hal perubahan kepemilikan saham mengakibatkan terjadinya perubahan PSP, tunduk pada tata cara penggantian dan/atau penambahan pemilik BPR yang diatur dalam ketentuan mengenai merger, konsolidasi, dan akuisisi serta uji kemampuan dan kepatutan BPR. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat … - 10 - Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Dalam hal “BPR menerima surat persetujuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang” melalui notaris, laporan perubahan modal dasar dilampiri tanda terima surat persetujuan perubahan dari notaris. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan “pengetahuan di bidang perbankan” antara lain meliputi pengetahuan tentang peraturan dan operasional BPR. Huruf b Yang dimaksud dengan “pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan/atau lembaga jasa keuangan non perbankan” antara lain pengalaman dan keahlian di bidang operasional, pemasaran … - 11 - pemasaran, pembukuan, pendanaan, perkreditan, atau hukum perbankan. Huruf c Yang dimaksud dengan “kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis” antara lain kemampuan untuk menganalisis perkembangan perekonomian, kemampuan menggali potensi perbankan daerah, menginterpretasikan visi, misi BPR, dan analisis situasi industri perbankan. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “mayoritas” adalah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah anggota Direksi. Yang dimaksud dengan “hubungan keluarga atau semenda sampai dengan derajat kedua” adalah hubungan baik vertikal maupun horizontal termasuk mertua, menantu, dan ipar, meliputi: a. orang tua kandung/tiri/angkat; b. saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istrinya; c. anak kandung/tiri/angkat; d. kakek/nenek kandung/tiri/angkat; e. cucu kandung/tiri/angkat; f. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta suami atau istrinya; g. suami/istri; h. mertua; i. besan; j. suami/istri dari anak kandung/tiri/angkat; k. kakek/nenek dari suami/istri; l. suami/istri dari cucu kandung/tiri/angkat; m. saudara kandung/tiri/angkat dari suami/istri beserta suami atau istrinya. Ayat … - 12 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “lembaga lain” antara lain partai politik atau organisasi kemasyarakatan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “pengetahuan di bidang perbankan” antara lain meliputi pengetahuan tentang peraturan dan operasional BPR. Yang dimaksud dengan “pengalaman di bidang perbankan dan/atau lembaga jasa keuangan non perbankan” antara lain pemasaran, akuntansi, audit, pendanaan, perkreditan, hukum, atau pengalaman di bidang pengawasan operasional perbankan. Ayat (5) Yang dimaksud dengan ”sertifikat kelulusan” adalah sertifikat profesi terkait dengan unit kompetensi bagi Dewan Komisaris atau Direksi. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Yang dimaksud dengan ”Anggota Dewan Komisaris hanya dapat merangkap jabatan sebagai Komisaris paling banyak pada 2 (dua) BPR lain atau BPRS” adalah seseorang hanya dapat menjabat sebagai Komisaris paling banyak pada 3 (tiga) BPR atau BPRS. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat … - 13 - Ayat (9) Rapat Dewan Komisaris ditunjukkan dengan risalah rapat dan dimaksudkan sebagai pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi. Ayat (10) Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “mayoritas” adalah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah anggota Dewan Komisaris. Yang dimaksud dengan “hubungan keluarga atau semenda sampai dengan derajat kedua” adalah hubungan baik vertikal maupun horizontal termasuk mertua, menantu, dan ipar, meliputi: a. orang tua kandung/tiri/angkat; b. saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istrinya; c. anak kandung/tiri/angkat; d. kakek/nenek kandung/tiri/angkat; e. cucu kandung/tiri/angkat; f. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta suami atau istrinya; g. suami/istri; h. mertua; i. besan; j. suami/istri dari anak kandung/tiri/angkat; k. kakek/nenek dari suami/istri; l. suami/istri dari cucu kandung/tiri/angkat; m. saudara kandung/tiri/angkat dari suami/istri beserta suami atau istrinya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal … - 14 - Pasal 30 Yang dimaksud dengan “benturan kepentingan” adalah terjadinya benturan kepentingan ekonomis BPR dengan kepentingan ekonomis pribadi pemilik, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, Pejabat Eksekutif, dan/atau pihak terkait lainnya. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “dinyatakan efektif” adalah terhitung sejak tanggal yang ditetapkan dalam RUPS atau lampaunya jangka waktu yang diatur dalam anggaran dasar BPR apabila RUPS tidak dapat diselenggarakan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “dinyatakan efektif” adalah terhitung sejak tanggal yang ditetapkan dalam RUPS. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Larangan menjadi anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris antara lain disebabkan oleh: a. pelanggaran ketentuan tentang anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris antara lain atas rangkap jabatan, hubungan keluarga atau semenda, persyaratan kepemilikan sertifikasi profesi; atau b. penetapan tidak lulus berdasarkan hasil uji kemampuan dan kepatutan sesuai ketentuan yang berlaku. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal … - 15 - Pasal 35 Ayat (1) Yang wajib dilaporkan adalah pejabat yang masuk dalam struktur organisasi BPR baik yang telah diangkat atau belum diangkat sebagai Pejabat Eksekutif oleh BPR namun telah menjalankan tugas dan fungsi sebagai Pejabat Eksekutif. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” antara lain fotokopi surat pengangkatan, surat perjanjian kerja, atau kuasa khusus bagi Pemimpin Cabang. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) “Penelitian” meliputi pencarian informasi terhadap Pejabat Eksekutif antara lain: a. termasuk dalam Daftar Tidak Lulus uji kemampuan dan kepatutan; b. memiliki kredit macet dan/atau pembiayaan macet; dan/atau c. tercatat pada data dan informasi negatif yang dimiliki oleh Otoritas Jasa Keuangan yang berasal dari hasil pengawasaan Otoritas Jasa Keuangan atau sumber lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat … - 16 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kantor” adalah Kantor Cabang, Kantor Kas, Kas Keliling, Payment Point, dan PPE berupa mesin ATM dan/atau ADM dari BPR yang bersangkutan. Ayat (2) Sebagai konsekuensi maka: a. BPR di Provinsi Jawa Barat di luar Kabupaten atau Kota Bogor, Kota Depok, dan Kabupaten atau Kota Bekasi tidak dapat membuka Kantor Cabang di Kabupaten atau Kota Bogor, Kota Depok dan Kabupaten atau Kota Bekasi; b. BPR di Provinsi Banten di luar Kabupaten atau Kota Tangerang tidak dapat membuka Kantor Cabang di Kabupaten atau Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Jangka waktu 3 (tiga) tahun termasuk proses yang diperlukan dalam rangka proses persetujuan oleh Otoritas Jasa Keuangan sampai dengan pelaksanaan penutupan atau pemindahan Kantor Cabang atau pemindahan Kantor Pusat BPR. Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Di dalam “rencana kerja” disebutkan jumlah Kantor Cabang yang akan dibuka. Huruf … - 17 - Huruf b Pemenuhan persyaratan “tingkat kesehatan” didasarkan pada hasil penilaian yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan, dengan merujuk pada laporan terakhir yang diterima Otoritas Jasa Keuangan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “NPL gross” adalah jumlah kredit dengan kualitas non lancar sebelum diperhitungkan dengan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif (PPAP) dibagi dengan total kredit. Huruf e Cukup jelas. Huruf f “Teknologi informasi yang memadai” termasuk namun tidak terbatas pada aplikasi tabungan, deposito, dan kredit. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan “pelanggaran ketentuan terkait dengan BPR” antara lain pelanggaran atas: 1. larangan rangkap jabatan dan hubungan keluarga atau semenda serta kewajiban minimum jumlah anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris; 2. kewajiban BPR memiliki paling kurang 1 (satu) pemegang saham dengan persentase kepemilikan saham tertentu; dan/atau 3. kewajiban pemenuhan modal inti minimum. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal … - 18 - Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Pemberian jangka waktu berlakunya persetujuan prinsip dimaksudkan agar BPR memiliki waktu yang cukup untuk mempersiapkan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk melakukan persiapan kegiatan operasional Kantor Cabang. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Apabila diperlukan, Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan dalam rangka meneliti kesiapan operasional Kantor Cabang. Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pelaksanaan kegiatan usaha ditunjukkan dengan telah beroperasinya Kantor Cabang BPR dalam menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan dana kepada masyarakat. Pasal … - 19 - Pasal 45 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kantor induk” BPR adalah kantor pusat atau Kantor Cabang yang menjadi induk Kantor Kas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Jangka waktu 1 (satu) tahun termasuk proses pengajuan rencana sampai dengan pelaksanaan penutupan atau pemindahan Kantor Kas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pemenuhan persyaratan tingkat kesehatan didasarkan pada hasil penilaian Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan laporan terakhir yang diterima Otoritas Jasa Keuangan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan “pelanggaran ketentuan terkait dengan BPR” antara lain pelanggaran atas: 1. larangan rangkap jabatan dan hubungan keluarga atau semenda serta kewajiban minimum jumlah anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris; 2. kewajiban BPR memiliki paling kurang 1 (satu) pemegang saham dengan persentase kepemilikan saham tertentu; dan/atau 3. kewajiban pemenuhan modal inti minimum. Pasal … - 20 - Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Ayat (1) Tata cara permohonan izin sebagai penerbit kartu ATM dan/atau kartu debet mengacu pada ketentuan Bank Indonesia tentang alat pembayaran dengan menggunakan kartu. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “pelanggaran ketentuan terkait dengan BPR” antara lain pelanggaran: 1. kewajiban persyaratan Dewan Komisaris dan Direksi meliputi jumlah, perangkapan, dan hubungan keluarga atau semenda; 2. kewajiban memiliki paling kurang 1 (satu) pemegang saham dengan persentase kepemilikan saham tertentu; dan/atau 3. kewajiban pemenuhan modal inti minimum. Ayat … - 21 - Ayat (3) Yang dimaksud dengan “dikelola sendiri oleh BPR” meliputi pengelolaan sistem secara keseluruhan termasuk infrastruktur, seperti ATM, ADM, dan EDC oleh BPR. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 51 Yang dimaksud dengan “kegiatan sebagai acquirer” mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Ayat (1) Pemindahan alamat kantor BPR dalam satu wilayah kabupaten atau kota tidak membutuhkan persetujuan prinsip. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal … - 22 - Pasal 58 Yang dimaksud dengan “surat kabar harian lokal” adalah surat kabar yang mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR. Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah dilihat dan dibaca oleh masyarakat. Pasal 59 Huruf a “Bukti kesiapan kantor” antara lain surat perizinan dari instansi setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, foto gedung, dan bukti penguasaan gedung kantor. Huruf b Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Yang dimaksud dengan “pelaporan pemindahan lokasi perangkat ATM dan/atau ADM” dimaksud tidak termasuk perangkat ATM dan/atau ADM yang berlokasi di dalam kantor atau yang digunakan pada layanan Kas Keliling. Pasal 63 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Persetujuan Otoritas Jasa Keuangan diberikan dalam bentuk keputusan. Ayat … - 23 - Ayat (5) Yang dimaksud dengan “surat kabar harian lokal” adalah surat kabar yang mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR. Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah dilihat dan dibaca. Ayat (6) Bukti pengumuman berupa guntingan surat kabar yang memuat pengumuman atau fotokopi pengumuman yang ditempel di kantor BPR. Pasal 64 Ayat (1) Peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain Undang- Undang tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang tentang Perkoperasian, dan Undang-Undang tentang Perusahaan Daerah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan ”penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen” terhadap calon Pemegang Saham termasuk informasi mengenai Daftar Tidak Lulus dan Daftar Kredit Macet. Huruf b Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat … - 24 - Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 66 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Persetujuan Otoritas Jasa Keuangan diberikan dalam bentuk keputusan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 67 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pelaksanaan pengalihan seluruh hak dan kewajiban dibuktikan dengan akta notaris. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ”surat kabar harian lokal” adalah surat kabar yang mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR. Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah dilihat dan dibaca. Ayat (3) Bukti pengumuman berupa guntingan surat kabar yang memuat pengumuman atau fotokopi pengumuman yang ditempel di kantor BPR. Pasal 68 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) “Penyelesaian seluruh kewajiban kepada nasabah serta pihak-pihak lain” dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada kantor lainnya dari BPR tersebut atau pihak lain dengan persetujuan nasabah atau pihak lain. Yang … - 25 - Yang dimaksud “dokumen penyelesaian seluruh kewajiban kepada nasabah” adalah berupa neraca Kantor Cabang yang menunjukkan seluruh kewajiban Kantor Cabang kepada nasabah dan pihak lain telah diselesaikan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan ”surat kabar harian lokal” adalah surat kabar yang mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR. Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah dilihat dan dibaca. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Bukti pengumuman berupa guntingan surat kabar yang memuat pengumuman atau fotokopi pengumuman yang ditempel di kantor BPR. Pasal 69 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “surat kabar harian lokal” adalah surat kabar yang mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR. Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah dilihat dan dibaca. Ayat (3) Bukti pengumuman berupa guntingan surat kabar yang memuat pengumuman atau fotokopi pengumuman yang ditempel di kantor BPR. Pasal … - 26 - Pasal 70 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penutupan sementara” adalah penghentian sementara kegiatan pelayanan di kantor BPR. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “surat kabar harian lokal” adalah surat kabar yang mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR. Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah dilihat dan dibaca. Ayat (5) Bukti pengumuman berupa guntingan surat kabar yang memuat pengumuman atau fotokopi pengumuman yang ditempel di kantor BPR. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal … - 27 - Pasal 76 Huruf a Risalah RUPS paling sedikit memuat keputusan yang menyetujui pembubaran badan hukum dan perintah kepada Direksi untuk menyelesaikan seluruh kewajiban BPR. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Termasuk dalam penyelesaian seluruh kewajiban BPR antara lain penyelesaian kewajiban kepada nasabah kreditur, pembayaran gaji terhutang, pembayaran biaya kantor, pajak terhutang, dan biaya-biaya lain yang relevan. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal … - 28 - Pasal 79 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Termasuk “neraca akhir BPR” adalah laporan hasil verifikasi dari kantor akuntan publik atas penyelesaian kewajiban BPR. Huruf e “Surat pernyataan dari pemegang saham BPR” yang menyatakan bahwa seluruh kewajiban BPR telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab pemegang saham. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal … - 29 - Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Cukup jelas. Pasal … - 30 - Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5629
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 20/POJK.03/2014 </reg_id> <reg_title> BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title> <set_date> 18 November 2014 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2015 </effective_date> <issued_date> 19 November 2014 </issued_date> <replaced_reg> '32/54/KEP/DIR|SKDIR-BI/1999', '8/26/PBI/2006' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XIV' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 31 /POJK.04/2017 TENTANG PENGELUARAN SAHAM DENGAN NILAI NOMINAL BERBEDA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai pengeluaran saham dengan nilai nominal berbeda beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap pengeluaran saham dengan nilai nominal berbeda, ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal mengenai pengeluaran saham dengan nilai nominal berbeda yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pengeluaran Saham dengan Nilai Nominal Berbeda; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENGELUARAN SAHAM DENGAN NILAI NOMINAL BERBEDA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Emiten adalah pihak yang melakukan Penawaran Umum. 2. Perusahaan Terbuka adalah Emiten yang telah melakukan Penawaran Umum efek bersifat ekuitas atau perusahaan publik. 3. Bursa Efek adalah pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli efek pihak lain dengan tujuan memperdagangkan efek di antara mereka. Pasal 2 Perusahaan Terbuka yang sahamnya tercatat di Bursa Efek dapat mengeluarkan saham dengan nilai nominal berbeda. - 3 - BAB II PERSYARATAN PENGELUARAN SAHAM DENGAN NILAI NOMINAL BERBEDA Pasal 3 Perusahaan Terbuka dapat mengeluarkan saham dengan nilai nominal berbeda apabila harga pasar saham Perusahaan Terbuka berada di bawah nilai nominal. Pasal 4 Saham dengan nilai nominal berbeda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib memenuhi persyaratan: a. saham dengan klasifikasi yang sama dengan nilai nominal berbeda mempunyai hak dan kedudukan yang sama dan sederajat; dan b. saham dengan nilai nominal lama tidak dapat dikonversikan menjadi saham dengan nilai nominal baru. BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 5 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan/atau g. pembatalan pendaftaran. - 4 - (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 6 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 7 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 kepada masyarakat. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 8 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-432/BL/2010 tentang Pengeluaran Saham dengan Nilai Nominal Berbeda, beserta Peraturan Nomor IX.D.6 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 9 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 5 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 131 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 31 /POJK.04/2017 TENTANG PENGELUARAN SAHAM DENGAN NILAI NOMINAL BERBEDA I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai pengeluaran saham dengan nilai nominal berbeda yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-432/BL/2010 tentang Pengeluaran Saham dengan Nilai Nominal Berbeda, beserta Peraturan Nomor IX.D.6 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pengeluaran Saham dengan Nilai Nominal Berbeda. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa penundaan pemberian pernyataan Otoritas Jasa Keuangan bahwa tidak ada tanggapan lebih lanjut atas dokumen yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka penambahan modal dengan memberikan hak memesan efek terlebih dahulu Perusahaan Terbuka. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6078
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 31/POJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN SAHAM DENGAN NILAI NOMINAL BERBEDA </reg_title> <set_date> 21 Juni 2017 </set_date> <effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date> <issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-432/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010', 'Kep-432/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010 | Lampiran Peraturan Nomor IX.D.6' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 52 /POJK.04/2015 TENTANG PEDOMAN PERJANJIAN PEMERINGKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk Perusahaan Pemeringkat Efek beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap perjanjian pemeringkatan, maka peraturan mengenai Pedoman Perjanjian Pemeringkatan yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Perjanjian Pemeringkatan; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PERJANJIAN PEMERINGKATAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Pemeringkat Efek adalah Penasihat Investasi berbentuk Perseroan Terbatas yang melakukan kegiatan pemeringkatan dan memberikan peringkat. 2. Peringkat adalah opini tentang kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran secara tepat waktu oleh suatu Pihak: a. sebagai entitas (company rating); dan/ atau b. berkaitan dengan Efek yang diterbitkan oleh Pihak yang diperingkat (instrument rating). 3. Peringkat Awal adalah hasil pemeringkatan oleh Perusahaan Pemeringkat Efek yang belum memperoleh persetujuan dari Pihak yang meminta pemeringkatan dan belum dipublikasikan. - 3 - BAB II PEDOMAN PERJANJIAN PEMERINGKATAN Pasal 2 Perusahaan Pemeringkat Efek yang melakukan pemeringkatan atas permintaan Pihak tertentu, wajib membuat perjanjian pemeringkatan dengan Pihak dimaksud. Pasal 3 Perusahaan Pemeringkat Efek yang atas permintaan Pihak, melakukan pemeringkatan atas Efek tertentu dan/atau atas Pihak yang menerbitkan Efek tertentu tersebut, wajib membuat perjanjian pemeringkatan yang paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut: a. nama dan alamat Perusahaan Pemeringkat Efek; b. nama dan alamat Pihak yang meminta pemeringkatan; c. maksud dan tujuan pemeringkatan; d. hak dan kewajiban Perusahaan Pemeringkat Efek; e. hak dan kewajiban Pihak yang meminta pemeringkatan; f. jangka waktu penyelesaian pemeringkatan; g. pembatalan dan penundaan proses pemeringkatan; h. keberatan; i. kerahasiaan; j. larangan pemberitahuan hasil Peringkat; k. pengumuman hasil Peringkat; l. penyelesaian sengketa; dan m. pengakhiran kontrak. Pasal 4 (1) Hak Perusahaan Pemeringkat Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut: a. mendapatkan data dan informasi yang diperlukan dalam proses pemeringkatan, termasuk melalui peninjauan lapangan dan pertemuan dengan pihak- pihak terkait; - 4 - b. mendapatkan akses untuk melakukan peninjauan dan/atau pemeriksaan lapangan terhadap kegiatan dan/atau pertemuan dengan manajemen pihak dimaksud dalam rangka mendapatkan informasi yang diperlukan; c. mendapatkan informasi dan/atau penjelasan tambahan yang bersifat material, yaitu informasi dan/atau penjelasan tambahan yang dapat mempengaruhi hasil Peringkat Awal, dalam hal terdapat pengajuan keberatan atas hasil Peringkat awal; dan d. melakukan publikasi atas setiap Peringkat yang dikeluarkan terhadap suatu Objek Pemeringkatan, kecuali: 1. terhadap hasil Peringkat Awal yang belum memperoleh persetujuan dari Pihak yang meminta pemeringkatan dan/atau Pihak yang diperingkat; atau 2. ditentukan lain dalam perjanjian pemeringkatan, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Kewajiban Perusahaan Pemeringkat Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut: a. menyelesaikan pemeringkatan pada waktu yang telah disepakati dalam perjanjian pemeringkatan; b. memelihara dan menjaga kerahasiaan setiap informasi yang berkaitan dengan pemeringkatan yang bersifat rahasia kecuali dalam rangka pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan/atau Pihak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau untuk kepentingan peradilan; c. memberikan jawaban atas tanggapan dan keberatan yang diajukan Pihak yang meminta pemeringkatan mengenai hasil Peringkat; - 5 - d. mengeluarkan Peringkat Awal setelah secara seksama mempertimbangkan seluruh data dan informasi yang relevan, akurat dan dapat dipercaya; e. membuat keputusan akhir atas Peringkat setelah secara seksama mempertimbangkan seluruh informasi dan penjelasan tambahan yang relevan, dalam hal Pihak yang diperingkat mengajukan keberatan; f. melakukan kaji ulang secara terus menerus terhadap hasil pemeringkatan yang telah dipublikasikan dan menyampaikan Peringkat hasil kaji ulang kepada Pihak yang meminta pemeringkatan selama masa perjanjian pemeringkatan belum berakhir; g. melakukan kaji ulang secara berkala terhadap hasil pemeringkatan, sepanjang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku; h. menyelesaikan kaji ulang terhadap hasil pemeringkatan yang telah dipublikasikan, dalam hal terdapat fakta material atau kejadian penting yang dapat mempengaruhi hasil pemeringkatan yang telah dipublikasikan, paling lama 7 (tujuh) hari sejak diketahuinya fakta material atau kejadian penting; i. mempublikasikan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam huruf g dan huruf h, tanpa persetujuan dari Pihak yang meminta pemeringkatan dan/atau dari pihak yang diperingkat; dan j. mengeluarkan Peringkat baru apabila terjadi perubahan Peringkat dari proses kaji ulang sebagaimana dimaksud pada huruf h atau jika dilakukan pemeringkatan ulang. Pasal 5 (1) Hak Pihak yang meminta pemeringkatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e, atas Efek tertentu dan/atau atas Pihak yang menerbitkan Efek tertentu, paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut: - 6 - a. memperoleh hasil Peringkat Awal dari Perusahaan Pemeringkat Efek; b. mengajukan keberatan secara tertulis kepada Perusahaan Pemeringkat Efek terhadap hasil Peringkat Awal dalam hal terdapat informasi dan/atau penjelasan tambahan yang material yang belum diungkapkan sebelumnya; dan c. memperoleh hasil pemeringkatan pada waktu yang telah disepakati dalam perjanjian pemeringkatan. (2) Kewajiban Pihak yang meminta pemeringkatan atas Efek tertentu dan/atau atas Pihak yang menerbitkan Efek tertentu paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut: a. memberikan tanggapan secara tertulis dalam waktu yang telah disepakati setelah diterimanya hasil Peringkat Awal sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) huruf a; b. menyampaikan kepada Perusahaan Pemeringkat Efek seluruh data dan informasi yang diperlukan dalam rangka pemeringkatan; c. memberikan akses Perusahaan Pemeringkat Efek untuk melakukan peninjauan lapangan terhadap kegiatan dan/atau pertemuan dengan manajemen pihak dimaksud dalam rangka mendapatkan informasi yang diperlukan; d. menyampaikan informasi dan/atau penjelasan tambahan yang material dalam hal mengajukan keberatan atas hasil Peringkat awal; e. menyampaikan kepada Perusahaan Pemeringkat Efek informasi material yang dapat mempengaruhi hasil pemeringkatan paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak adanya informasi atau fakta material tersebut, dalam hal Efek yang diperingkat dimaksud diterbitkan melalui Penawaran Umum; dan f. menyetujui Perusahaan Pemeringkat Efek untuk melakukan publikasi atas setiap Peringkat yang dikeluarkan terhadap suatu Objek Pemeringkatan dalam perjanjian pemeringkatan, kecuali terhadap - 7 - hasil peringkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d. Pasal 6 Jangka waktu penyelesaian pemeringkatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf f, wajib memuat hal-hal sebagai berikut: a. proses pemeringkatan perdana, wajib diselesaikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak disepakatinya perjanjian pemeringkatan; b. proses pemeringkatan dalam rangka kaji ulang karena terdapat fakta material atau kejadian penting yang dapat mempengaruhi hasil pemeringkatan yang telah dipublikasikan wajib diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diketahuinya fakta material atau kejadian penting dimaksud dan menyampaikan hasil pemeringkatan baru, pernyataan, atau pendapat lain yang terkait dengan hasil peringkat kepada pihak yang meminta peringkat, paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak selesainya proses pemeringkatan; dan c. proses pemeringkatan dalam rangka kaji ulang secara berkala wajib diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak dilakukannya kaji ulang berkala dan publikasi hasil peringkatnya wajib dilaksanakan paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak selesainya proses pemeringkatan. Pasal 7 Pembatalan dan penundaan proses pemeringkatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf g, wajib memuat hal-hal sebagai berikut: a. kondisi yang memungkinkan terjadinya pembatalan atau penundaan atas proses pemeringkatan; dan b. Peringkat yang telah dipublikasikan tidak dapat dibatalkan. - 8 - Pasal 8 Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf h, wajib memuat hal-hal sebagai berikut: a. proses keberatan yang diajukan oleh pihak yang meminta pemeringkatan hanya dapat dilakukan satu kali untuk pemeringkatan perdana; dan b. Peringkat setelah proses keberatan bersifat final. Pasal 9 Kerahasiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf i, wajib memuat hal-hal sebagai berikut: a. kerahasiaan data dan informasi yang berkaitan dengan pemeringkatan.; b. setiap Pihak yang mengetahui hasil Peringkat dengan tidak melawan hukum, wajib menjaga kerahasiaan hasil Peringkat dimaksud kepada Pihak lain sebelum hasil Peringkat tersebut dipublikasikan; dan c. kerahasiaan data dan informasi yang berkaitan dengan pemeringkatan, dan hasil Peringkat dimaksud tidak berlaku dalam rangka pengawasan yang dilakukan oleh Bapepam dan LK dan/atau Pihak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau untuk kepentingan peradilan. Pasal 10 Larangan pemberitahuan hasil Peringkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf j, wajib memuat ketentuan bahwa setiap Pihak yang mengetahui hasil Peringkat dengan tidak melawan hukum, dilarang memberitahukan hasil Peringkat dimaksud kepada Pihak lain sebelum hasil Peringkat tersebut dipublikasikan. - 9 - BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 11 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana dibidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 12 - 10 - Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 13 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 kepada masyarakat. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 14 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-152/BL/2009 tanggal 22 Juni 2009 tentang Pedoman Perjanjian Pemeringkatan beserta Peraturan Nomor V.H.4 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 15 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 11 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 403 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 52 /POJK.04/2015 TENTANG PEDOMAN PERJANJIAN PEMERINGKATAN I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu untuk melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK yaitu Peraturan Nomor V.H.4, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep- 152/BL/2009 tentang Pedoman Perjanjian Pemeringkatan, tanggal 22 Juni 2009. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. - 3 - Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5821
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 52/POJK.04/2015 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN PERJANJIAN PEMERINGKATAN </reg_title> <set_date> 23 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 29 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-152/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009', 'Kep-152/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor V.H.4' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 19 /POJK.04/2015 TENTANG PENERBITAN DAN PERSYARATAN REKSA DANA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka mendorong perkembangan industri Pasar Modal Syariah di Indonesia, perlu menyempurnakan peraturan mengenai Penerbitan Reksa Dana Syariah dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerbitan Dan Persyaratan Reksa Dana Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERBITAN DAN PERSYARATAN REKSA DANA SYARIAH. - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Reksa Dana Syariah adalah Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya yang pengelolaannya tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal. 2. Efek Syariah Berpendapatan Tetap adalah Efek Syariah yang memberikan pendapatan tetap yang jatuh temponya 1 (satu) tahun atau lebih, termasuk Efek Syariah berpendapatan tetap yang dapat dikonversi. 3. Reksa Dana Syariah Berbasis Sukuk adalah Reksa Dana Syariah yang melakukan investasi pada satu atau lebih Sukuk dengan komposisi paling sedikit 85% (delapan puluh lima persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah diinvestasikan pada Sukuk yang ditawarkan di Indonesia melalui Penawaran Umum, Surat Berharga Syariah Negara, dan/atau surat berharga komersial syariah yang jatuh temponya 1 (satu) tahun atau lebih dan masuk kategori layak investasi (investment grade) serta dimasukkan dalam Penitipan Kolektif pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian oleh penerbit surat berharga komersial syariah. 4. Reksa Dana Syariah Berbasis Efek Syariah Luar Negeri adalah Reksa Dana Syariah yang melakukan investasi paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah pada Efek Syariah Luar Negeri yang dimuat dalam Daftar Efek Syariah yang diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah. 5. Daftar Efek Syariah adalah Daftar Efek Syariah sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai kriteria dan penerbitan Daftar Efek Syariah. - 3 - 6. Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah adalah Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai kriteria dan penerbitan Daftar Efek Syariah. 7. Efek Syariah Luar Negeri adalah Efek Syariah yang ditawarkan melalui Penawaran Umum dan/atau diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri serta dimuat dalam Daftar Efek Syariah yang diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah. 8. Prinsip Syariah di Pasar Modal adalah prinsip hukum Islam dalam Kegiatan Syariah di Pasar Modal berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia, sepanjang fatwa dimaksud tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal dan/atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan lainnya yang didasarkan pada fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia. 9. Ahli Syariah Pasar Modal yang selanjutnya disingkat ASPM adalah: a. orang perseorangan yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah; atau b. badan usaha yang pengurus dan pegawainya memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah, yang memberikan nasihat dan/atau mengawasi pelaksanaan penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal dalam kegiatan usaha perusahaan dan/atau memberikan pernyataan kesesuaian syariah atas produk atau jasa syariah di Pasar Modal. 10. Akad Syariah adalah perjanjian atau kontrak tertulis antara para pihak yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal. 11. Efek Syariah adalah Efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal dan peraturan - 4 - pelaksanaannya, yang akad, cara pengelolaan, kegiatan usaha, dan/atau aset yang menjadi landasan akad, cara pengelolaan, kegiatan usaha, dan/atau aset yang terkait dengan Efek dimaksud dan penerbitnya tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal. Pasal 2 Efek Syariah Luar Negeri meliputi: a. Saham Syariah yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri yang dimuat dalam Daftar Efek Syariah yang diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah; dan b. Sukuk yang ditawarkan melalui penawaran umum di luar negeri yang termasuk dalam Daftar Efek Syariah yang diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah. Pasal 3 Reksa Dana Syariah dapat berupa: a. Reksa Dana Syariah Pasar Uang; b. Reksa Dana Syariah Pendapatan Tetap; c. Reksa Dana Syariah Saham; d. Reksa Dana Syariah Campuran; e. Reksa Dana Syariah Terproteksi; f. Reksa Dana Syariah Indeks; g. Reksa Dana Syariah Berbasis Efek Syariah Luar Negeri; h. Reksa Dana Syariah Berbasis Sukuk; i. Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa; dan j. Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas. Pasal 4 Pihak yang melakukan Penawaran Umum Reksa Dana Syariah wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran dan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur - 5 - mengenai Reksa Dana, kecuali diatur lain dan diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 5 Setiap Pihak yang melakukan penerbitan saham dan/atau Unit Penyertaan Reksa Dana Syariah wajib mematuhi ketentuan Prinsip Syariah di Pasar Modal sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Reksa Dana. Pasal 6 Reksa Dana Syariah memenuhi Prinsip Syariah di Pasar Modal apabila akad, cara pengelolaan, dan portofolionya tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal. Pasal 7 (1) Manajer Investasi yang mengelola Reksa Dana Syariah wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah yang ditunjuk oleh Direksi. (2) Penerbitan Reksa Dana Syariah wajib mendapatkan pernyataan kesesuaian syariah yang diterbitkan oleh Dewan Pengawas Syariah dari Manajer Investasi atau Tim Ahli Syariah. (3) Anggota Dewan Pengawas Syariah dan Tim Ahli Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memiliki izin ASPM dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar Modal. (4) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bertanggung jawab terhadap pengawasan Reksa Dana Syariah dalam rangka pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal secara berkelanjutan. - 6 - (5) Biaya yang timbul terkait pelaksanaan tugas Dewan Pengawas Syariah dan Tim Ahli Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi beban Manajer Investasi. Pasal 8 (1) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) wajib menyusun laporan hasil pengawasan tahunan atas pemenuhan kepatuhan terhadap Prinsip Syariah di Pasar Modal atas Reksa Dana Syariah yang diawasi. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh Dewan Pengawas Syariah kepada Manajer Investasi yang mengelola Reksa Dana Syariah. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat: a. pihak yang dituju; b. tanggal laporan; c. pernyataan mengenai laporan yang disusun telah sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; d. pernyataan mengenai rentang waktu dan ruang lingkup pengawasan yang telah dilakukan Dewan Pengawas Syariah; e. opini Dewan Pengawas Syariah atas pengawasan yang telah dilakukan sebagaimana dimaksud pada huruf d; dan f. tanda tangan, nama anggota Dewan Pengawas Syariah, jabatan anggota Dewan Pengawas Syariah, dan nomor izin ASPM. (4) Laporan hasil pengawasan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Syariah kepada Otoritas Jasa Keuangan, dengan batas waktu penyampaian bersamaan dengan penyampaian laporan keuangan tahunan Reksa Dana. - 7 - BAB II PENERBITAN SAHAM REKSA DANA SYARIAH BERBENTUK PERSEROAN Pasal 9 Emiten yang melakukan Penawaran Umum saham Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Perseroan, dan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Reksa Dana Berbentuk Perseroan lainnya, kecuali diatur lain dan diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 10 Anggaran Dasar Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan wajib memuat ketentuan mengenai kegiatan usaha serta cara pengelolaan usahanya dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal. Pasal 11 (1) Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan wajib tunduk pada peraturan perundang- undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai pedoman kontrak pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan, kecuali diatur lain dan diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Kontrak penyimpanan kekayaan Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan wajib tunduk pada peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai pedoman kontrak penyimpanan kekayaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan, kecuali diatur lain dan diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 8 - (3) Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan ketentuan mengenai: a. Manajer Investasi merupakan wakil (wakiliin) yang bertindak untuk kepentingan Direksi Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan sebagai pihak yang diwakili (muwakil) dengan wewenang untuk melakukan pengelolaan Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan; b. akad, cara pengelolaan, dan portofolio Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; c. anggota Dewan Pengawas Syariah, beserta tugas dan tanggung jawabnya; d. mekanisme pembersihan kekayaan Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan dari unsur-unsur yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; e. kata “Syariah” pada nama Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan; dan f. dana kelolaan Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan hanya dapat diinvestasikan pada: 1. Saham yang ditawarkan melalui Penawaran Umum dan diperdagangkan di Bursa Efek di Indonesia serta dimuat dalam Daftar Efek Syariah yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai kriteria dan penerbitan Daftar Efek Syariah; 2. Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu syariah dan Waran syariah yang ditawarkan melalui Penawaran Umum dan/atau diperdagangkan di Bursa Efek di Indonesia; 3. Sukuk yang ditawarkan di Indonesia melalui Penawaran Umum; - 9 - 4. Saham yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri yang dimuat dalam Daftar Efek Syariah yang diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah; 5. Sukuk yang ditawarkan melalui Penawaran Umum dan/atau diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri, yang termasuk dalam Daftar Efek Syariah yang diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah; 6. Efek Beragun Aset Syariah dalam negeri yang sudah mendapat peringkat dari Perusahaan Pemeringkat Efek yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan; 7. surat berharga komersial syariah dalam negeri yang sudah mendapat peringkat dari Perusahaan Pemeringkat Efek yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan; 8. Efek Syariah yang memenuhi Prinsip Syariah di Pasar Modal yang diterbitkan oleh lembaga internasional dimana Pemerintah Indonesia menjadi salah satu anggotanya; dan/atau 9. instrumen pasar uang syariah dalam negeri yang mempunyai jatuh tempo kurang dari 1 (satu) tahun, baik dalam denominasi rupiah maupun denominasi mata uang lainnya. (4) Kontrak penyimpanan kekayaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mencantumkan ketentuan mengenai: a. Bank Kustodian merupakan wakil (wakiliin) yang bertindak untuk kepentingan Direksi Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan sebagai pihak yang diwakili (muwakil) dengan wewenang untuk melaksanakan penyimpanan kekayaan Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan; b. anggota Dewan Pengawas Syariah Bank Kustodian atau Direktur Bank Kustodian atau penanggung - 10 - jawab kegiatan yang diberi mandat oleh Direksi Bank Kustodian yang memiliki pengetahuan yang memadai dan/atau pengalaman di bidang keuangan syariah, beserta tugas dan tanggung jawabnya; c. hak dan kewajiban Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan dan Bank Kustodian jika dana kelolaan dan/atau aset Reksa Dana Berbentuk Perseroan bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Reksa Dana, dan/atau Kontrak Pengelolaan antara Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan dan Manajer Investasi, termasuk terkait dengan mekanisme pembersihan kekayaan Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan dari unsur-unsur yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; dan d. kata “Syariah” pada nama Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan. (5) Ketentuan yang wajib dimuat dalam Kontrak Pengelolaan dan kontrak penyimpanan kekayaan Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) wajib dicantumkan sebagai informasi tambahan dalam Prospektus Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan. Pasal 12 Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan dapat berinvestasi pada Efek Syariah dan/atau instrumen pasar uang syariah yang diterbitkan oleh 1 (satu) Pihak paling banyak 20% (dua puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan pada setiap saat. Pasal 13 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 tidak berlaku bagi Efek Syariah berupa: a. Sertifikat Bank Indonesia Syariah; - 11 - b. Efek Syariah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia; dan/atau c. Efek Syariah yang diterbitkan oleh lembaga keuangan internasional dimana Pemerintah Republik Indonesia menjadi salah satu anggotanya. BAB III PENERBITAN UNIT PENYERTAAN REKSA DANA SYARIAH BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF Pasal 14 Pihak yang melakukan Penawaran Umum Unit Penyertaan Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran, peraturan perundang- undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, dan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif lainnya, kecuali diatur lain dan diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 15 (1) Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif wajib tunduk pada peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai pedoman Kontrak Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, kecuali diatur lain dan diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Pengelolaan Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif wajib tunduk pada peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai pedoman pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, kecuali diatur lain - 12 - dan diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (3) Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif wajib mencantumkan: a. Manajer Investasi dan Bank Kustodian merupakan wakil (wakiliin) yang bertindak untuk kepentingan para pemegang Unit Penyertaan sebagai pihak yang diwakili (muwakil) dimana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan Penitipan Kolektif; b. akad, cara pengelolaan, dan portofolio Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; c. anggota Dewan Pengawas Syariah Manajer Investasi; d. anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota direksi atau penanggung jawab kegiatan yang diberi mandat oleh direksi, yang memiliki pengetahuan yang memadai dan/atau pengalaman di bidang keuangan syariah, beserta tugas dan tanggung jawabnya, bagi Bank Kustodian; e. mekanisme pembersihan kekayaan Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dari unsur-unsur yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; f. kata “Syariah” pada nama Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang diterbitkan; dan g. dana kelolaan Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif hanya dapat diinvestasikan pada: 1. Saham yang ditawarkan melalui Penawaran Umum dan diperdagangkan di Bursa Efek di Indonesia serta dimuat dalam Daftar Efek Syariah yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan; - 13 - 2. Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu syariah dan Waran syariah yang ditawarkan melalui Penawaran Umum dan/atau diperdagangkan di Bursa Efek di Indonesia; 3. Sukuk yang ditawarkan di Indonesia melalui Penawaran Umum; 4. Saham yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri yang dimuat dalam Daftar Efek Syariah yang diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah; 5. Sukuk yang ditawarkan melalui Penawaran Umum dan/atau diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri, yang termasuk dalam Daftar Efek Syariah yang diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah; 6. Efek Beragun Aset Syariah dalam negeri yang sudah mendapat peringkat dari Perusahaan Pemeringkat Efek yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan; 7. surat berharga komersial syariah dalam negeri yang sudah mendapat peringkat dari perusahaan pemeringkat Efek yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan; 8. Efek Syariah yang diterbitkan oleh lembaga internasional dimana Pemerintah Republik Indonesia menjadi salah satu anggotanya; dan/atau 9. instrumen pasar uang syariah dalam negeri yang mempunyai jatuh tempo kurang dari 1 (satu) tahun, baik dalam denominasi rupiah maupun denominasi mata uang lainnya. (4) Ketentuan yang wajib dicantumkan dalam Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dicantumkan sebagai informasi tambahan dalam - 14 - Prospektus Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. Pasal 16 Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dapat berinvestasi pada Efek Syariah dan/atau instrumen pasar uang syariah yang diterbitkan oleh 1 (satu) Pihak paling banyak 20% (dua puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif pada setiap saat. Pasal 17 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 tidak berlaku bagi Efek Syariah berupa: a. Sertifikat Bank Indonesia Syariah; b. Efek Syariah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia; dan/atau c. Efek Syariah yang diterbitkan oleh lembaga keuangan internasional dimana Pemerintah Republik Indonesia menjadi salah satu anggotanya. BAB IV REKSA DANA SYARIAH PASAR UANG, REKSA DANA SYARIAH PENDAPATAN TETAP, REKSA DANA SYARIAH SAHAM, DAN REKSA DANA SYARIAH CAMPURAN Pasal 18 Pihak yang melakukan Penawaran Umum Reksa Dana Syariah Pasar Uang, Reksa Dana Syariah Pendapatan Tetap, Reksa Dana Syariah Saham, dan Reksa Dana Syariah Campuran wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai pedoman pengumuman harian Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Terbuka, dan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Reksa Dana terkait lainnya, kecuali diatur lain dan diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 15 - Pasal 19 Manajer Investasi yang mengelola Reksa Dana Syariah Pasar Uang wajib melakukan investasi pada: a. instrumen pasar uang syariah dalam negeri, baik dalam denominasi rupiah maupun denominasi mata uang lainnya; dan/atau b. Efek Syariah Berpendapatan Tetap, yang: 1. diterbitkan dengan jangka waktu tidak lebih dari 1 (satu) tahun; dan/atau 2. sisa jatuh temponya tidak lebih dari 1 (satu) tahun. Pasal 20 Manajer Investasi yang mengelola Reksa Dana Syariah Pendapatan Tetap wajib menginvestasikan paling sedikit 80% (delapan puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih dalam bentuk Efek Syariah Berpendapatan Tetap. Pasal 21 Manajer Investasi yang mengelola Reksa Dana Syariah Saham wajib menginvestasikan paling sedikit 80% (delapan puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih dalam bentuk Efek Syariah bersifat ekuitas. Pasal 22 Manajer Investasi yang mengelola Reksa Dana Syariah Campuran hanya dapat melakukan investasi pada Efek Syariah Berpendapatan Tetap, Efek Syariah bersifat ekuitas, dan/atau instrumen pasar uang dalam negeri yang sesuai dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal dengan ketentuan: a. investasi pada salah satu instrumen investasi tersebut paling banyak adalah 79% (tujuh puluh sembilan persen) dari Nilai Aktiva Bersih; dan b. portofolio Reksa Dana Syariah tersebut wajib berisi Efek Syariah bersifat ekuitas dan Efek Syariah Berpendapatan Tetap. - 16 - BAB V REKSA DANA SYARIAH TERPROTEKSI DAN REKSA DANA SYARIAH INDEKS Bagian Kesatu Reksa Dana Syariah Terproteksi Pasal 23 Pihak yang melakukan Penawaran Umum Reksa Dana Syariah Terproteksi wajib mengikuti peraturan perundang- undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks serta peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Reksa Dana terkait lainnya, kecuali diatur lain dan diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 24 Masa penawaran maupun jumlah saham atau Unit Penyertaan yang ditawarkan dalam Penawaran Umum Reksa Dana Syariah Terproteksi bersifat terbatas dan tidak terus menerus. Pasal 25 Manajer Investasi Reksa Dana Syariah Terproteksi wajib memberikan keterangan tambahan dalam Prospektus antara lain mengenai kebijakan investasi yang terdiri dari: a. prosentase dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah Terproteksi yang akan diinvestasikan pada Efek Syariah Berpendapatan Tetap, instrumen pasar uang syariah, dan Efek Syariah lainnya; b. jenis Portofolio Efek Syariah yang menjadi basis proteksi yaitu dengan melakukan investasi pada Efek Syariah Berpendapatan Tetap yang masuk dalam kategori layak investasi (investment grade), sehingga nilai Efek Syariah Berpendapatan Tetap pada saat jatuh tempo paling kurang dapat menutupi jumlah nilai yang diproteksi; dan - 17 - c. kriteria pemilihan Efek Syariah dan/atau instrumen pasar uang syariah. Pasal 26 Portofolio Efek Reksa Dana Syariah Terproteksi wajib memiliki komposisi: a. paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah wajib diinvestasikan pada: 1. Efek Syariah Berpendapatan Tetap yang diterbitkan, ditawarkan dan/atau diperdagangkan di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia; dan/atau 2. Efek Syariah Berpendapatan Tetap yang diperdagangkan di luar negeri, namun diterbitkan oleh: a) Pemerintah Republik Indonesia; b) badan hukum Indonesia yang merupakan Emiten dan/atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal; c) badan hukum asing yang sebagian besar atau seluruh sahamnya secara langsung maupun tidak langsung dimiliki oleh Emiten atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud pada huruf b) dan badan hukum asing tersebut khusus didirikan untuk menghimpun dana dari luar negeri bagi kepentingan Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud; dan/atau d) badan hukum asing yang sebagian besar atau seluruh sahamnya secara langsung maupun tidak langsung dimiliki Badan Usaha Milik Negara. b. paling banyak 30% (tiga puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah diinvestasikan pada: 1. saham syariah yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri yang dimuat dalam Daftar Efek Syariah - 18 - yang diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah; dan/atau 2. Sukuk yang ditawarkan melalui Penawaran Umum dan/atau diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri yang termasuk dalam Daftar Efek Syariah yang diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah, yang informasinya dapat diakses dari Indonesia melalui media massa atau Situs Web. Bagian Kedua Reksa Dana Syariah Indeks Pasal 27 Pihak yang melakukan Penawaran Umum Reksa Dana Syariah Indeks wajib mengikuti peraturan perundang- undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks serta peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Reksa Dana terkait lainnya, kecuali diatur lain dan diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 28 Penawaran Umum saham atau Unit Penyertaan Reksa Dana Syariah Indeks harus bersifat terus menerus atau terbatas baik dalam masa penawaran maupun jumlah saham atau Unit Penyertaan yang ditawarkan. Pasal 29 Dalam hal Manajer Investasi bermaksud menerbitkan Reksa Dana Syariah Indeks, maka: a. Manajer Investasi wajib memberikan keterangan tambahan dalam Prospektus mengenai ketentuan investasi sebagai berikut: 1. paling sedikit 80% (delapan puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah Indeks wajib diinvestasikan pada Efek Syariah yang merupakan - 19 - bagian dari kumpulan Efek Syariah yang ada dalam indeks tersebut; 2. investasi pada Efek Syariah yang ada dalam indeks sebagaimana dimaksud pada angka 1 paling sedikit 80% (delapan puluh persen) dari keseluruhan Efek Syariah yang ada dalam indeks tersebut; 3. pembobotan atas masing-masing Efek Syariah dalam Reksa Dana Syariah Indeks tersebut paling sedikit 80% (delapan puluh persen) dan paling banyak 120% (seratus dua puluh persen) dari pembobotan atas masing-masing Efek Syariah dalam indeks yang menjadi acuan; dan 4. tingkat penyimpangan (tracking error) dari kinerja Reksa Dana Syariah Indeks terhadap kinerja indeks yang menjadi acuan. b. Reksa Dana Syariah Indeks wajib menggunakan indeks yang berbasis Efek Syariah yang tersedia di media massa atau dapat diakses melalui Situs Web. c. Otoritas Jasa Keuangan berwenang menolak indeks Efek Syariah yang akan dijadikan tujuan investasi Reksa Dana Syariah Indeks disertai dengan alasan penolakan. BAB VI REKSA DANA SYARIAH BERBASIS EFEK SYARIAH LUAR NEGERI Pasal 30 Pihak yang melakukan Penawaran Umum Reksa Dana Syariah Berbasis Efek Syariah Luar Negeri wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan dan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif serta peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Reksa Dana terkait lainnya, kecuali - 20 - diatur lain dan diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 31 Manajer Investasi yang mengelola Reksa Dana Syariah Berbasis Efek Syariah Luar Negeri wajib menentukan komposisi portofolio dengan ketentuan: a. paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah Berbasis Efek Syariah Luar Negeri diinvestasikan pada Efek Syariah Luar Negeri yang dimuat dalam Daftar Efek Syariah yang diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah; dan b. paling banyak 49% (empat puluh sembilan persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah Berbasis Efek Syariah Luar Negeri diinvestasikan pada Efek Syariah dalam negeri. Pasal 32 Reksa Dana Syariah Berbasis Efek Syariah Luar Negeri hanya dapat melakukan investasi pada Efek Syariah Luar Negeri yang diterbitkan oleh penerbit yang negaranya telah menjadi anggota International Organization of Securities Commissions (IOSCO) serta telah menandatangani secara penuh (full signatory) Multilateral Memorandum of Understanding Concerning Consultation and Coorperation and the Exchange of Information (IOSCO MMOU). Pasal 33 Manajer Investasi wajib memastikan pemodal Reksa Dana Syariah Berbasis Efek Syariah Luar Negeri telah memahami dan mengerti tentang struktur produk maupun risiko investasi pada Unit Penyertaan Reksa Dana Berbasis Efek Syariah Luar Negeri termasuk risiko kurs, risiko fluktuasi Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana yang cukup tinggi, serta risiko kehilangan nilai pokok investasi. - 21 - Pasal 34 Nilai investasi awal atas pembelian Reksa Dana Syariah Berbasis Efek Syariah Luar Negeri paling sedikit sebesar US$10.000 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) atau nilai yang setara. BAB VII REKSA DANA SYARIAH BERBASIS SUKUK Pasal 35 Pihak yang melakukan Penawaran Umum Reksa Dana Syariah Berbasis Sukuk wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan, dan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, serta peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Reksa Dana terkait lainnya, kecuali diatur lain dan diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 36 (1) Masa penawaran maupun jumlah saham atau Unit Penyertaan Reksa Dana Syariah Berbasis Sukuk yang ditawarkan dapat bersifat terus menerus atau terbatas. (2) Sifat masa penawaran maupun jumlah saham atau Unit Penyertaan Reksa Dana Syariah Berbasis Sukuk yang ditawarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dimuat dalam kontrak Reksa Dana Syariah Berbasis Sukuk. Pasal 37 Manajer Investasi yang mengelola Reksa Dana Syariah Berbasis Sukuk wajib menentukan komposisi portofolio dengan ketentuan paling sedikit 85% (delapan puluh lima - 22 - persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah diinvestasikan pada: a. Sukuk yang ditawarkan di Indonesia melalui Penawaran Umum; b. Surat Berharga Syariah Negara; dan/atau c. surat berharga komersial syariah yang jatuh temponya 1 (satu) tahun atau lebih dan masuk dalam kategori layak investasi (investment grade) serta dimasukkan dalam Penitipan Kolektif pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian oleh penerbit surat berharga komersial syariah. Pasal 38 Surat berharga komersial syariah sebagaimana dimaksud Pasal 37 huruf c berupa surat berharga yang diterbitkan oleh: a. Badan Usaha Milik Negara; b. badan hukum Indonesia yang sebagian besar atau seluruh sahamnya dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara; c. badan hukum Indonesia yang merupakan Emiten dan/atau Perusahaan Publik berdasarkan peraturan perundang-undangan; d. badan hukum Indonesia yang sebagian besar atau seluruh sahamnya dimiliki secara langsung oleh Emiten dan/atau Perusahaan Publik; atau e. badan hukum Indonesia yang menjadi induk dan pembina dari Usaha Mikro Kecil dan Menengah atau Baitul Maal Wa Tamwil dengan ketentuan sebagai berikut: 1. berpengalaman dan dapat dibuktikan telah melakukan pembinaan terhadap Usaha Mikro Kecil dan Menengah atau Baitul Maal Wa Tamwil paling sedikit 3 (tiga) tahun; 2. memiliki infrastruktur yang memadai dalam melakukan pembinaan terhadap Usaha Mikro Kecil dan Menengah atau Baitul Maal Wa Tamwil; dan - 23 - 3. memiliki Dewan Pengawas Syariah yang anggotanya mempunyai izin ASPM dari Otoritas Jasa Keuangan. BAB VIII REKSA DANA SYARIAH BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF YANG UNIT PENYERTAANNYA DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK Pasal 39 Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek serta peraturan perundang- undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Reksa Dana terkait lainnya, kecuali diatur lain dan diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 40 Kebijakan investasi Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek wajib mengacu pada masing-masing jenis Reksa Dana Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 26, Pasal 29 huruf a, Pasal 31, dan Pasal 37 serta memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. komposisi Portofolio Efek Syariah yang membentuk Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek harus terdiri dari Efek Syariah yang likuid; dan b. tingkat likuiditas Efek Syariah yang menjadi portofolio Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek wajib ditentukan bersama antara Manajer Investasi dengan Bank Kustodian. - 24 - Pasal 41 Prospektus Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Bentuk dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana, serta memuat: a. informasi bahwa Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Kontrak Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek; dan b. informasi keanggotaan Dewan Pengawas Syariah dari Manajer Investasi, beserta tugas dan tanggung jawabnya. BAB IX REKSA DANA SYARIAH BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF PENYERTAAN TERBATAS Pasal 42 Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas wajib mengikuti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas serta peraturan perundang- undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif terkait lainnya, kecuali diatur lain dan diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 43 Ketentuan mengenai jaminan atas investasi pada Efek bersifat utang sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa - 25 - Keuangan tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas tidak berlaku bagi Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas yang melakukan investasi pada Sukuk. Pasal 44 Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas dilarang melakukan investasi pada Portofolio Efek yang berbasis Kegiatan Sektor Riil di luar negeri. Pasal 45 Ketentuan mengenai batasan investasi pada Efek Syariah dan/atau instrumen pasar uang syariah yang diterbitkan oleh 1 (satu) Pihak paling banyak 10% (sepuluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif pada setiap saat tidak berlaku untuk Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas. BAB X PENGELOLAAN REKSA DANA SYARIAH Pasal 46 Pengelolaan Reksa Dana Syariah wajib mengikuti ketentuan: a. Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan, bagi Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan; dan/atau b. Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, bagi Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, kecuali diatur lain dan diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 26 - Pasal 47 (1) Direksi, Manajer Investasi, dan/atau Bank Kustodian Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan wajib melaksanakan seluruh ketentuan yang diatur dalam Kontrak Pengelolaan dan/atau Kontrak penyimpanan kekayaan sesuai dengan fungsinya masing-masing. (2) Manajer Investasi dan Bank Kustodian Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif wajib melaksanakan seluruh ketentuan yang dimuat dalam Kontrak Investasi Kolektif. Pasal 48 Bank Kustodian wajib menolak instruksi Manajer Investasi secara tertulis dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan apabila pelaksanaan instruksi tersebut dapat mengakibatkan Reksa Dana Syariah memiliki Efek dan/atau instrumen pasar uang selain Efek dan/atau instrumen pasar uang syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf f dan Pasal 15 ayat (3) huruf g. Pasal 49 Dalam hal Reksa Dana Syariah memiliki Efek dan/atau instrumen pasar uang selain Efek dan/atau instrumen pasar uang syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf f dan Pasal 15 ayat (3) huruf g, yang bukan disebabkan oleh tindakan Manajer Investasi dan Bank Kustodian, maka: a. Manajer Investasi wajib menjual secepat mungkin paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak: 1. saham tidak lagi tercantum dalam Daftar Efek Syariah dengan ketentuan selisih lebih harga jual dari Nilai Pasar Wajar pada saat masih tercantum dalam Daftar Efek Syariah dapat diperhitungkan dalam Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah; dan/atau 2. Efek selain saham dan/atau instrumen pasar uang tidak memenuhi Prinsip Syariah, dengan ketentuan selisih lebih harga jual dari Nilai Pasar Wajar pada - 27 - saat masih memenuhi Prinsip Syariah di Pasar Modal, dapat diperhitungkan dalam Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah. b. Bank Kustodian wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan serta pemegang Efek Reksa Dana Syariah informasi tentang perolehan selisih lebih penjualan Efek sebagaimana dimaksud dalam huruf a paling lambat pada hari ke-12 (kedua belas) setiap bulan (jika ada). c. Dalam hal hari ke-12 (kedua belas) jatuh pada hari libur, informasi sebagaimana dimaksud pada huruf b wajib disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. Pasal 50 (1) Dalam hal tindakan Manajer Investasi dan Bank Kustodian mengakibatkan portofolio Reksa Dana Syariah memiliki Efek dan/atau instrumen pasar uang selain Efek dan/atau instrumen pasar uang syariah sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (3) huruf f dan Pasal 15 ayat (3) huruf g Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, Otoritas Jasa Keuangan berwenang: a. melarang Manajer Investasi untuk melakukan penjualan Unit Penyertaan baru dan/atau saham baru Reksa Dana Syariah; b. melarang Manajer Investasi dan Bank Kustodian untuk mengalihkan kekayaan Reksa Dana Syariah selain dalam rangka: 1. pembersihan kekayaan Reksa Dana Syariah dari unsur-unsur yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; dan/atau 2. membayar permohonan penjualan kembali Unit Penyertaan dan/atau saham Reksa Dana Syariah. c. mewajibkan Manajer Investasi dan Bank Kustodian secara tanggung renteng untuk membeli portofolio yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar - 28 - Modal sesuai dengan harga perolehan dalam waktu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan; d. mewajibkan Manajer Investasi atas nama Reksa Dana Syariah menjual atau mengalihkan unsur kekayaan Reksa Dana Syariah dari unsur kekayaan yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal, dengan ketentuan selisih lebih harga jual dari Nilai Pasar Wajar terakhir pada saat masih memenuhi Prinsip Syariah di Pasar Modal dipisahkan dari perhitungan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah dan diperlakukan sebagai dana sosial; dan/atau e. mewajibkan Manajer Investasi untuk mengumumkan kepada publik larangan dan/atau kewajiban yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, dalam 2 (dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia dan berperedaran nasional atas biaya Manajer Investasi dan Bank Kustodian paling lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah diterimanya surat Otoritas Jasa Keuangan. (2) Bank Kustodian wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan serta pemegang Efek Reksa Dana Syariah informasi tentang perolehan selisih lebih penjualan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan informasi tentang penggunaannya sebagai dana sosial paling lambat pada hari ke-12 (kedua belas) setiap bulan (jika ada). (3) Dalam hal hari ke-12 (kedua belas) jatuh pada hari libur, informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. Pasal 51 (1) Dalam hal Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Otoritas Jasa Keuangan berwenang - 29 - untuk mengganti Manajer Investasi, Bank Kustodian, atau memerintahkan pembubaran Reksa Dana Syariah tersebut. (2) Dalam hal Manajer Investasi dan Bank Kustodian tidak membubarkan Reksa Dana Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang membubarkan Reksa Dana Syariah tersebut. BAB XI PEMBUBARAN REKSA DANA SYARIAH Pasal 52 Ketentuan mengenai pembubaran dan likuidasi Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif wajib mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, kecuali diatur lain dan diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 53 Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif wajib dibubarkan, apabila terjadi salah satu dari hal-hal sebagai berikut: a. dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari bursa, Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Pernyataan Pendaftaran-nya telah menjadi efektif memiliki dana kelolaan kurang dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); b. dalam jangka waktu 120 (seratus dua puluh) hari bursa setelah Pernyataan Pendaftaran-nya menjadi efektif memiliki dana kelolaan kurang dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), bagi Reksa Dana Syariah Terproteksi dan Reksa Dana Syariah Indeks; c. diperintahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal; - 30 - d. total Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) selama 120 (seratus dua puluh) hari bursa berturut-turut; dan/atau e. Manajer Investasi dan Bank Kustodian telah sepakat untuk membubarkan Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. BAB XII PELAPORAN Pasal 54 Ketentuan mengenai kewajiban pelaporan bagi Reksa Dana Berbentuk Perseroan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Reksa Dana Berbentuk Perseroan mutatis mutandis berlaku bagi Reksa Dana Syariah Berbentuk Perseroan. Pasal 55 Ketentuan mengenai kewajiban pelaporan bagi Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif mutatis mutandis berlaku bagi Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. BAB XIII KETENTUAN SANKSI Pasal 56 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. Peringatan tertulis; Kolektif kurang dari - 31 - b. Denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. Pembatasan kegiatan usaha; d. Pembekuan kegiatan usaha; e. Pencabutan izin usaha; f. Pembatalan persetujuan; dan g. Pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 57 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 58 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 kepada masyarakat. BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 59 Manajer Investasi yang telah melakukan pengelolaan Reksa Dana Syariah wajib menyesuaikan Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa - 32 - Keuangan ini paling lambat 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 60 (1) Kewajiban anggota Dewan Pengawas Syariah dan Tim Ahli Syariah memiliki izin Ahli Syariah Pasar Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) selama 2 (dua) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku dapat digantikan oleh orang perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar Modal sepanjang yang bersangkutan melapor kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar Modal. (2) Orang perseorangan yang telah menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah atau anggota Tim Ahli Syariah meskipun belum memiliki izin ASPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar Modal. Pasal 61 Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Reksa Dana Syariah yang telah disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, diselesaikan berdasarkan Peraturan Nomor IX.A.13, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang Penerbitan Efek Syariah. - 33 - BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 62 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Nomor IX.A.13, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang Penerbitan Efek Syariah dinyatakan tidak berlaku bagi penerbitan Reksa Dana Syariah. Pasal 63 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 3 November 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 10 November 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H.LAOLY Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 270 - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 19 /POJK.04/2015 TENTANG PENERBITAN DAN PERSYARATAN REKSA DANA SYARIAH I. UMUM Dalam rangka pengembangan Pasar Modal syariah agar dapat tumbuh secara berkelanjutan diperlukan pengembangan infrastruktur yang memadai. Salah satu infrastruktur penting adalah tersedianya regulasi yang jelas, mudah dipahami, dan dapat diterapkan. Untuk mendukung pengembangan Pasar Modal syariah tersebut di atas, perlu dilakukan penyempurnaan sekaligus pemisahan ketentuan terkait dengan Reksa Dana Syariah sehingga sesuai dengan karakteristik dan pengelolaan atas Efek tersebut. Penyempurnaan dan pemisahan ketentuan ini diperlukan mengingat Peraturan Nomor IX.A.13, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang Penerbitan Efek Syariah dipandang terlalu umum karena mengatur penerbitan berbagai jenis Efek Syariah. Adapun beberapa pokok penyempurnaan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerbitan dan Persyaratan Reksa Dana Syariah antara lain meliputi: pengaturan Reksa Dana Syariah berdasarkan jenisnya, relaksasi kebijakan investasi dalam satu portofolio Reksa Dana Syariah, kewajiban Manajer Investasi selaku pengelola Reksa Dana Syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah, dan jenis Reksa Dana Syariah yang baru yaitu Reksa Dana Syariah Berbasis Sukuk dan Reksa Dana Syariah Berbasis Efek Syariah Luar Negeri. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Yang dimaksud dengan “penawaran umum di luar negeri” adalah penawaran umum Efek sesuai dengan peraturan perundang- undangan di negara Efek tersebut ditawarkan. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran yang saat ini berlaku adalah Peraturan Nomor IX.A.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-690/BL/2011, tanggal 30 Desember 2011 tentang Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Dewan Pengawas Syariah Manajer Investasi dapat terdiri dari 1 (satu) anggota yang ditunjuk oleh Direksi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. - 3 - Ayat (4) Yang dimaksud dengan “pengawasan Reksa Dana Syariah dalam rangka pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal secara berkelanjutan” adalah pengawasan pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal yang dilakukan sampai dengan dibubarkannya Reksa Dana Syariah. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “pihak yang dituju” adalah pihak yang menggunakan jasa Dewan Pengawas Syariah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 9 Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran yang saat ini berlaku adalah Peraturan Nomor IX.A.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-690/BL/2011, tanggal 30 Desember - 4 - 2011 tentang Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran. Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang saat ini berlaku adalah Peraturan Nomor IX.C.4, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-52/PM/1996, tanggal 17 Januari 1996 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Perseroan. Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Reksa Dana Berbentuk Perseroan lainnya yang saat ini berlaku antara lain: 1. Peraturan Nomor IV.A.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-13/PM/2002, tanggal 14 Agustus 2002 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan; dan 2. Peraturan Nomor IV.A.4, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-14/PM/2002, tanggal 14 Agustus 2002 tentang Pedoman Kontrak Reksa Dana Berbentuk Perseroan. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai pedoman kontrak pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang saat ini berlaku adalah Peraturan Nomor IV.A.4, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-14/PM/2002, tanggal 14 Agustus 2002 tentang Pedoman Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan. Ayat (2) Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai pedoman kontrak penyimpanan kekayaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang saat ini berlaku adalah Peraturan Nomor IV.A.5, Lampiran Keputusan Ketua Badan - 5 - Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-21/PM/1996, tanggal 17 Januari 1996 tentang Pedoman Kontrak Penyimpanan Kekayaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Angka 1 Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Daftar Efek Syariah dan pihak penerbit Daftar Efek Syariah yang saat ini berlaku adalah Peraturan Nomor II.K.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-208/BL/2012 Tanggal 24 April 2012 Tentang Kriteria Dan Penerbitan Daftar Efek Syariah. Angka 2 Yang dimaksud dengan “Waran Syariah” adalah Efek yang diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memberi hak kepada pemegang Efek untuk memesan saham syariah dari perusahaan tersebut pada harga tertentu setelah 6 (enam) bulan atau lebih sejak Efek dimaksud diterbitkan. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. - 6 - Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Yang dimaksud dengan “surat berharga komersial syariah dalam negeri” antara lain adalah Medium Term Note syariah. Angka 8 Cukup jelas. Angka 9 Yang dimaksud dengan “Instrumen pasar uang syariah” antara lain seperti Sertifikat Bank Indonesia Syariah. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “Pemerintah Republik Indonesia” adalah Pemerintah Pusat. Huruf c Cukup jelas. Pasal 14 Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang saat ini berlaku adalah Peraturan Nomor IX.C.5, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-430/BL/2007, tanggal 19 Desember 2007 - 7 - tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif lainnya antara lain: 1. Peraturan Nomor IV.B.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep- 552/BL/2010, tanggal 30 Desember 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; dan 2. Peraturan Nomor IV.B.2, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep- 553/BL/2010, tanggal 30 Desember 2010 tentang Pedoman Kontrak Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Dalam hal Pihak yang melakukan kegiatan syariah di Pasar Modal merupakan Kantor Cabang Bank Asing, yang dimaksud dengan “direksi” adalah pimpinan tertinggi pada Kantor Cabang Bank Asing tersebut. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g - 8 - Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai pedoman pengumuman harian Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Terbuka yang saat ini berlaku adalah Peraturan Nomor IV.C.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-516/BL/2012, tanggal 21 September 2012 tentang Pedoman Pengumuman Harian Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Terbuka. Pasal 19 Huruf a Contoh instrumen pasar uang syariah antara lain Sertifikat Bank Indonesia Syariah. Huruf b Contoh Efek Syariah Berpendapatan Tetap antara lain sukuk ijarah. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. - 9 - Pasal 23 Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks yang saat ini berlaku adalah Peraturan Nomor IV.C.4, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-262/BL/2011, tanggal 31 Mei 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks yang saat ini berlaku adalah Peraturan Nomor IV.C.4, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-262/BL/2011, tanggal 31 Mei 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. - 10 - Pasal 30 Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang saat ini berlaku adalah Peraturan Nomor IV.A.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-13/PM/2002, tanggal 14 Agustus 2002 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan. Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang saat ini berlaku adalah Peraturan Nomor IV.B.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-552/BL/2010, tanggal 30 Desember 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang saat ini berlaku adalah Peraturan Nomor IV.A.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-13/PM/2002, tanggal 14 Agustus 2002 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan. Pasal 36 Cukup jelas. - 11 - Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Angka 1 Pengalaman telah melakukan pembinaan terhadap Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) atau Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) paling sedikit 3 (tiga) tahun antara lain dibuktikan dengan akta pendirian. Angka 2 Infrastruktur yang memadai dalam melakukan pembinaan terhadap Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) atau Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) dapat dibuktikan antara lain dengan jumlah sumber daya manusia yang mencukupi, sistem pengawasan yang memadai, dan prosedur operasi standar. Angka 3 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Huruf a Yang dimaksud dengan “likuid” antara lain adalah frekuensi transaksi Efek yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata frekuensi transaksi Efek sejenis misalnya saham dibandingkan dengan saham. - 12 - Huruf b Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. - 13 - Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa memerintahkan Manajer Investasi untuk membubarkan Reksa Dana Syariah Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. - 14 - Pasal 63 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5759
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 19/POJK.04/2015 </reg_id> <reg_title> PENERBITAN DAN PERSYARATAN REKSA DANA SYARIAH </reg_title> <set_date> 3 November 2015 </set_date> <effective_date> 10 November 2015 </effective_date> <issued_date> 10 November 2015 </issued_date> <replaced_reg> 'KEP-181/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.13' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XIII' </penalty_list>
- 1 - SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 44 /POJK.03/2017 TENTANG PEMBATASAN PEMBERIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN OLEH BANK UMUM UNTUK PENGADAAN TANAH DAN/ATAU PENGOLAHAN TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk memelihara kesinambungan dan kemantapan pertumbuhan ekonomi, kondisi ekonomi makro yang stabil serta operasi perbankan yang sehat berlandaskan prinsip kehati-hatian perlu terus dipertahankan; b. bahwa laju pertumbuhan kredit atau pembiayaan perbankan yang berlebihan pada sektor properti merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kestabilan moneter dan kesehatan perbankan; c. bahwa pemberian kredit atau pembiayaan untuk pengadaan tanah dan pengolahan tanah merupakan unsur yang banyak mendorong pertumbuhan yang berlebihan dari kredit atau pembiayaan sektor properti; d. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan, diperlukan pengaturan kembali pembatasan pemberian kredit atau pembiayaan - 2 - oleh bank umum untuk pengadaan tanah dan/atau pengolahan tanah; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pembatasan Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum untuk Pengadaan Tanah dan/atau Pengolahan Tanah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEMBATASAN PEMBERIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN OLEH BANK UMUM UNTUK PENGADAAN TANAH DAN/ATAU PENGOLAHAN TANAH. - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri serta Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank Umum dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk: a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; dan c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain. 3. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’; - 4 - d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Umum Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 4. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, obligasi, sekuritas kredit atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang, termasuk surat berharga komersial (commercial paper) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai persyaratan penerbitan dan perdagangan surat berharga komersial (commercial paper) melalui bank umum di Indonesia. 5. Surat Berharga Syariah adalah surat bukti berinvestasi berdasarkan prinsip syariah yang lazim diperdagangkan di pasar uang dan/atau pasar modal antara lain sukuk, reksadana syariah, dan surat berharga lainnya berdasarkan prinsip syariah. 6. Properti adalah harta berupa tanah dan bangunan serta sarana dan prasarana yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tanah dan/atau bangunan dimaksud. 7. Pengembang adalah perusahaan yang melakukan kegiatan pengadaan tanah dan pengolahan tanah serta pengadaan bangunan dan/atau sarana dan prasarana dengan maksud dijual atau disewakan, dan tidak termasuk Pengembang jalan tol. 8. Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan hak atas penggunaan tanah dengan cara - 5 - memberikan ganti rugi atau imbalan kepada pihak yang semula berhak atas tanah tersebut. 9. Pengolahan Tanah adalah setiap kegiatan untuk menjadikan tanah siap pakai atau siap bangun. 10. Rumah Sederhana adalah rumah tidak bersusun dengan luas lantai tidak lebih dari 70 m2 (tujuh puluh meter persegi), yang dibangun di atas tanah dengan luas kaveling 54 m2 (lima puluh empat meter persegi) sampai dengan 200 m2 (dua ratus meter persegi) dengan biaya pembangunan per m2 (meter persegi) tertinggi untuk pembangunan rumah dinas tipe C dan rumah susun dengan luas lantai tidak lebih dari 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi), serta kaveling siap bangun dengan luas maksimum 72 m2 (tujuh puluh dua meter persegi), termasuk pula rumah toko (ruko) dengan keseluruhan luas lantai maksimal 70 m2 (tujuh puluh meter persegi), dan kios atau los pasar tradisional untuk usaha kecil, dengan ukuran luas lantai masing-masing maksimal 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi). BAB II PEMBATASAN PEMBERIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN UNTUK PENGADAAN TANAH DAN/ATAU PENGOLAHAN TANAH Pasal 2 (1) Bank dilarang untuk: a. memberikan Kredit atau Pembiayaan kepada Pengembang, baik secara langsung maupun tidak langsung; dan/atau b. membeli atau menjamin Surat Berharga atau Surat Berharga Syariah dari Pengembang, untuk Pengadaan Tanah dan/atau Pengolahan Tanah. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. pengalihan Kredit atau Pembiayaan dari Pengembang kepada suatu Pengembang lain untuk - 6 - penyelamatan sepanjang tidak menambah saldo Kredit atau Pembiayaan; b. perpanjangan jangka waktu Kredit atau Pembiayaan untuk penyelamatan, tanpa menambah saldo Kredit atau Pembiayaan; dan c. pemberian Kredit atau Pembiayaan dan/atau pembelian atau penjaminan Surat Berharga atau Surat Berharga Syariah dari Pengembang untuk Pengadaan Tanah dan/atau Pengolahan Tanah guna pembangunan Rumah Sederhana, dengan persyaratan: 1) untuk Rumah Sederhana tidak bersusun, paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari luas lahan yang dibiayai digunakan untuk pembangunan Rumah Sederhana tidak bersusun beserta fasilitas umum dan fasilitas sosial yang diperlukan bagi penghuni Rumah Sederhana yang bersangkutan; 2) untuk rumah susun sederhana, paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari luas lahan dan 75% (tujuh puluh lima persen) dari seluruh luas lantai digunakan untuk pembangunan rumah susun sederhana beserta fasilitas umum dan fasilitas sosial yang diperlukan bagi penghuni rumah susun sederhana yang bersangkutan; 3) untuk ruko, paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari luas lahan digunakan untuk bangunan ruko dan fasilitas umum serta fasilitas sosial bagi keperluan hunian dan usaha dari pemilik ruko; dan 4) untuk kios atau los pasar tradisional, paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) luas lahan digunakan bagi pembangunan kios atau los serta fasilitas umum atau fasilitas sosial untuk kepentingan usaha pemilik kios atau los. - 7 - Pasal 3 Pemberian Kredit atau Pembiayaan kepada Pengembang selain untuk Pengadaan Tanah dan/atau Pengolahan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, diatur sebagai berikut: a. harga atau nilai tanah tidak dapat digunakan untuk memenuhi keperluan pembiayaan sendiri (self financing) nasabah yang dipersyaratkan oleh Bank dalam persetujuan Kredit atau Pembiayaan; b. penyediaan fasilitas Kredit atau Pembiayaan untuk pembangunan Properti hanya dapat dilakukan atas dasar bukti pemilikan tanah atas nama Pengembang atau dokumen lain yang memberikan hak kepada Pengembang untuk menggunakan tanah tersebut bagi pembangunan Properti yang dibiayai; dan c. pencairan Kredit atau Pembiayaan untuk Properti hanya dapat dilakukan atas dasar Izin Mendirikan Bangunan (IMB), atau paling sedikit bukti pengajuan permohonan IMB yang dikeluarkan instansi yang berwenang serta surat perjanjian pelaksanaan pekerjaan pembangunan untuk proyek yang dibiayai antara Pengembang dengan kontraktor. Pasal 4 Ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 tidak berlaku bagi pemberian Kredit atau Pembiayaan kepada Pengembang untuk tujuan pembangunan Rumah Sederhana. BAB III PELAPORAN Pasal 5 Bank melaporkan setiap pemberian Kredit atau Pembiayaan kepada Pengembang secara daring (online) melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan dengan mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan - 8 - yang mengatur mengenai pelaporan dan permintaan informasi debitur melalui sistem layanan informasi keuangan. BAB IV SANKSI Pasal 6 (1) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah Kredit atau Pembiayaan yang disetujui untuk membiayai Pengadaan Tanah dan/atau Pengolahan Tanah atau dari nilai nominal Surat Berharga atau Surat Berharga Syariah yang dibeli dan/atau dijamin. (2) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai tanah yang diperhitungkan dalam pembiayaan sendiri (self financing). (3) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dan Pasal 3 huruf c dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah Kredit atau Pembiayaan yang disetujui untuk membiayai Pengadaan Tanah dan/atau Pengolahan Tanah. (4) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilakukan untuk masing-masing pelanggaran dan dikenakan setelah terjadinya pencairan atas fasilitas Kredit atau Pembiayaan atau setelah pembelian dan/atau penjaminan Surat Berharga atau Surat Berharga Syariah. - 9 - BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 7 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/46/KEP/DIR tentang Pembatasan Pemberian Kredit oleh Bank Umum untuk Pembiayaan Pengadaan dan atau Pengolahan Tanah; b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 30/2/UK perihal Pembatasan Pemberian Kredit oleh Bank Umum untuk Pembiayaan Pengadaan dan atau Pengolahan Tanah; dan c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/2/UK perihal Pelaporan Pemberian Kredit oleh Bank Umum untuk Pembiayaan Pengadaan dan atau Pengolahan Tanah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 8 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 10 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 150 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 44 /POJK.03/2017 TENTANG PEMBATASAN PEMBERIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN OLEH BANK UMUM UNTUK PENGADAAN TANAH DAN/ATAU PENGOLAHAN TANAH I. UMUM Untuk menjaga kesinambungan dan kemantapan perekonomian nasional, perlu terus mempertahankan kegiatan perbankan yang sehat berlandaskan prinsip kehati-hatian. Penerapan prinsip kehati-hatian oleh Bank dilakukan baik untuk kegiatan penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Salah satu penyaluran dana perbankan yang berkembang adalah Kredit atau Pembiayaan pada sektor Properti. Mengingat sektor Properti mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, diperlukan pula peningkatan penerapan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran Kredit atau Pembiayaan pada sektor Properti. Laju pertumbuhan pemberian Kredit atau Pembiayaan perbankan yang berlebihan pada sektor Properti dikhawatirkan dapat mempengaruhi kesehatan perbankan, yang pada akhirnya dapat berpengaruh terhadap kondisi perekonomian secara menyeluruh. Adapun unsur yang banyak mendorong pertumbuhan yang berlebihan pada Kredit atau Pembiayaan pada sektor Properti salah satunya adalah pemberian Kredit atau Pembiayaan untuk Pengadaan Tanah dan/atau Pengolahan Tanah. Dengan demikian, perlu mengatur pembatasan pemberian Kredit atau Pembiayaan untuk Pengadaan Tanah dan/atau Pengolahan Tanah dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pemberian Kredit atau Pembiayaan secara langsung” adalah pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank langsung kepada Pengembang. Yang dimaksud dengan “pemberian Kredit atau Pembiayaan secara tidak langsung” adalah pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank kepada pihak lain yang secara efektif dapat dimanfaatkan oleh Pengembang untuk Pengadaan Tanah dan/atau Pengolahan Tanah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank harus didasarkan atas nilai proyek di luar biaya Pengadaan Tanah dan/atau Pengolahan Tanah. Huruf b Dokumen pemilikan tanah tersebut: 1) bukti pemilikan tanah, yaitu sertifikat hak atas tanah atas nama Pengembang yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, yaitu berupa sertifikat hak milik, sertifikat hak guna usaha, sertifikat hak guna bangunan, dan sertifikat hak pakai; atau 2) dokumen lain, yaitu akta jual beli tanah yang dibuat dan disahkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang atau Surat Kuasa Notariil mengenai izin penggunaan tanah dari pemilik tanah yang namanya tercantum pada dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 1). - 3 - Huruf c Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6093
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 44/POJK.03/2017 </reg_id> <reg_title> PEMBATASAN PEMBERIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN OLEH BANK UMUM UNTUK PENGADAAN TANAH DAN/ATAU PENGOLAHAN TANAH </reg_title> <set_date> 12 Juli 2017 </set_date> <effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date> <issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date> <replaced_reg> '31/2/UK|SE-BI', '30/2/UK|SE-BI', '30/46/KEP/DIR|SKDIR-BI' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 63 /POJK.05/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.05/2014 TENTANG PEMERIKSAAN LANGSUNG LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengawasan lembaga jasa keuangan non-bank diperlukan pemeriksaan langsung untuk mengetahui kondisi faktual lembaga jasa keuangan non-bank; b. bahwa sejalan dengan tujuan tersebut, pengaturan mengenai pemeriksaan langsung lembaga jasa keuangan non-bank perlu diperluas sesuai dengan kebutuhan industri sehingga pengaturan sebagaimana telah ditetapkan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.05/2014 tentang Pemeriksaan Langsung Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank perlu untuk disempurnakan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.05/2014 tentang Pemeriksaan Langsung Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); 4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5835); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4954); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3507); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3508); 8. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.05/2014 tentang Pemeriksaan Langsung Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara - 3 - Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5576); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.05/2014 TENTANG PEMERIKSAAN LANGSUNG LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.05/2014 tentang Pemeriksaan Langsung Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5576) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan angka 1 dan angka 4 Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank adalah: a. perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, termasuk yang menyelenggarakan sebagian usahanya dengan prinsip syariah; b. perusahaan pembiayaan, termasuk yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya dengan prinsip syariah, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan di bidang lembaga pembiayaan; - 4 - c. dana pensiun sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, termasuk yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya dengan prinsip syariah; d. perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian asuransi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian; dan e. lembaga penjamin sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan, termasuk menyelenggarakan sebagian usahanya dengan prinsip syariah. 2. Pemeriksaan Langsung adalah rangkaian kegiatan mencari, mengumpulkan, mengolah, dan mengevaluasi data dan/atau keterangan mengenai Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank yang dilakukan di kantor Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dan di tempat lain yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank; 3. Pemeriksa adalah pihak yang ditunjuk Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan Pemeriksaan Langsung; 4. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, pengaturan, pengawasan, yang tugas, dan wewenang pemeriksaan, dan penyidikan, sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 2. Ketentuan ayat (2) Pasal 4 diubah dan di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 4 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a) sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut: - 5 - Pasal 4 (1) Frekuensi Pemeriksaan Langsung ditetapkan oleh OJK sesuai rencana pengawasan berbasis risiko. (2) Frekuensi Pemeriksaan Langsung bagi perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf d, ditetapkan OJK dan dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. (2a) Frekuensi Pemeriksaan Langsung bagi lembaga penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf e, ditetapkan OJK dan dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. (3) Lingkup Pemeriksaan Langsung adalah seluruh aspek penyelenggaraan kegiatan usaha Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank atau terhadap aspek- aspek tertentu dari kegiatan usaha Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. 3. Ketentuan ayat (1) Pasal 14 diubah dan Pasal 14 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (6) sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan/atau Pasal 11 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. kewajiban bagi direksi atau yang setara pada Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank untuk menjalani penilaian kemampuan dan kepatutan ulang; d. pembatasan kegiatan usaha; e. pembekuan kegiatan usaha; dan/atau - 6 - f. pencabutan izin kegiatan usaha. (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf f dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sampai dengan huruf f. (4) Besaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan OJK berdasarkan ketentuan tentang sanksi administratif berupa denda yang berlaku untuk setiap sektor jasa keuangan. (5) OJK dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat. (6) Ketentuan mengenai tata cara penerapan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk setiap sektor jasa keuangan. Pasal II 1. Kegiatan Pemeriksaan Langsung Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank yang masih berlangsung pada saat Peraturan OJK ini diundangkan, berdasarkan ketentuan yang berlaku sebelumnya. 2. Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, Peraturan OJK Nomor 7/POJK.05/2014 tentang Pemeriksaan Lembaga Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun Nomor 5529) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. diselesaikan - 7 - 3. Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 294 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 63/POJK.05/2016 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.05/2014 TENTANG PEMERIKSAAN LANGSUNG LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK </reg_title> <set_date> 21 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 27 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 27 Desember 2016 </issued_date> <changed_reg> '11/POJK.05/2014' </changed_reg> <replaced_reg> '7/POJK.05/2014' </replaced_reg> <related_reg> '11/UU/1992', '21/UU/2011', '40/UU/2014', '1/UU/2016', '73/PP/1992', '81/PP/2008', '76/PP/1992', '77/PP/1992', '11/POJK.05/2014' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 3 Pasal 14' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan; Mengingat : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Pelaku Usaha Jasa Keuangan adalah Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, Bank Kustodian, Dana Pensiun, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Gadai, dan Perusahaan Penjaminan, baik yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional maupun secara syariah. 2. Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa... - 2 - Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. 3. Perlindungan Konsumen adalah perlindungan terhadap Konsumen dengan cakupan perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan. 4. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 5. Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 6. Perusahaan Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan atau Manajer Investasi. 7. Penjamin Emisi Efek adalah Pihak yang membuat kontrak dengan Emiten untuk melakukan Penawaran Umum bagi kepentingan Emiten dengan atau tanpa kewajiban untuk membeli sisa Efek yang tidak terjual. 8. Perantara Pedagang Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha jual beli Efek untuk kepentingan sendiri atau Pihak lain. 9. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku. 10. Penasihat Investasi adalah Pihak yang memberi nasihat kepada Pihak lain mengenai penjualan atau pembelian Efek dengan memperoleh imbalan jasa. 11. Bank Kustodian adalah Bank Umum yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak - hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya. 12. Perusahaan Asuransi Kerugian adalah perusahaan asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko kerugian, kehilangan... - 3 - kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa dari tak pasti. 13. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan. 14. Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun. 15. Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan mengenai lembaga pembiayaan. 16. Perusahaan Gadai adalah badan usaha yang didirikan untuk menyalurkan uang pinjaman kepada nasabah dengan menerima barang bergerak sebagai jaminan. 17. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha pokok melakukan penjaminan. Pasal 2 Perlindungan Konsumen menerapkan prinsip: a. transparansi; b. perlakuan yang adil; c. keandalan; d. kerahasiaan dan keamanan data/informasi Konsumen; dan e. penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa Konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau. BAB II KETENTUAN PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN Pasal 3 Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak untuk memastikan adanya itikad baik Konsumen dan mendapatkan informasi dan/atau dokumen mengenai Konsumen yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan. Pasal 4... - 4 - Pasal 4 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan dan/atau menyampaikan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam dokumen atau sarana lain yang dapat digunakan sebagai alat bukti. (3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. disampaikan pada saat memberikan penjelasan kepada Konsumen mengenai hak dan kewajibannya; b. disampaikan pada saat membuat perjanjian dengan Konsumen; dan c. dimuat pada saat disampaikan melalui berbagai media antara lain melalui iklan di media cetak atau elektronik. Pasal 5 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyampaikan informasi yang terkini dan mudah diakses kepada Konsumen tentang produk dan/atau layanan. Pasal 6 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyampaikan informasi kepada Konsumen tentang penerimaan, penundaan atau penolakan permohonan produk dan/atau layanan. (2) Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menyampaikan informasi tentang penundaan atau penolakan permohonan produk dan/atau layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyampaikan alasan penundaan atau penolakannya kecuali diatur lain oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 7 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menggunakan istilah, frasa, dan/atau kalimat yang sederhana dalam Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti oleh Konsumen dalam setiap dokumen yang: a. memuat hak dan kewajiban Konsumen; b. dapat digunakan Konsumen untuk mengambil keputusan; dan c. memuat persyaratan dan dapat mengikat Konsumen secara hukum. (2) Bahasa... - 5 - (2) Bahasa Indonesia dalam dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disandingkan dengan bahasa lain jika diperlukan. (3) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menggunakan huruf, tulisan, simbol, diagram dan tanda yang dapat dibaca secara jelas. (4) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan penjelasan atas istilah, frasa, kalimat dan/atau simbol, diagram dan tanda yang belum dipahami oleh Konsumen. (5) Dalam hal dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan menggunakan bahasa asing, bahasa asing tersebut harus disandingkan dengan Bahasa Indonesia. Pasal 8 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyusun dan menyediakan ringkasan informasi produk dan/atau layanan. (2) Ringkasan informasi produk dan/atau layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibuat secara tertulis, sekurang- kurangnya memuat: a. manfaat, risiko, dan biaya produk dan/atau layanan; dan b. syarat dan ketentuan. Pasal 9 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan pemahaman kepada Konsumen mengenai hak dan kewajiban Konsumen. Pasal 10 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan informasi mengenai biaya yang harus ditanggung Konsumen untuk setiap produk dan/atau layanan yang disediakan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan. (2) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang memberikan fasilitas secara otomatis yang mengakibatkan tambahan biaya tanpa persetujuan tertulis dari Konsumen. Pasal 11 (1) Sebelum Konsumen menandatangani dokumen dan/atau perjanjian produk dan/atau layanan, Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyampaikan dokumen yang berisi syarat dan ketentuan produk dan/atau layanan kepada Konsumen. (2) Syarat... - 6 - (2) Syarat dan ketentuan produk dan/atau layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat: a. rincian biaya, manfaat, dan risiko; dan b. prosedur pelayanan dan penyelesaian pengaduan di Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Pasal 12 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menginformasikan kepada Konsumen setiap perubahan manfaat, biaya, risiko, syarat, dan ketentuan yang tercantum dalam dokumen dan/atau perjanjian mengenai produk dan/atau layanan Pelaku Usaha Jasa Keuangan. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberitahukan kepada Konsumen paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berlakunya perubahan manfaat, biaya, risiko, syarat dan ketentuan atas produk dan/atau layanan Pelaku Usaha Jasa Keuangan. (3) Dalam hal Konsumen tidak menyetujui perubahan terhadap persyaratan produk dan/atau layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Konsumen berhak memutuskan produk dan/atau layanan tanpa dikenakan ganti rugi apapun. (4) Dalam hal Konsumen sudah diberikan waktu untuk menyampaikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Konsumen tidak memberikan pendapatnya maka Pelaku Usaha Jasa Keuangan menganggap Konsumen menyetujui perubahan tersebut. Pasal 13 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyusun pedoman penetapan biaya atau harga produk dan/atau layanan jasa keuangan. Pasal 14 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyelenggarakan edukasi dalam rangka meningkatkan literasi keuangan kepada Konsumen dan/atau masyarakat. (2) Rencana penyelenggaraan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun dalam suatu program tahunan dan dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai laporan rencana penyelenggaraan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 15... - 7 - Pasal 15 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan akses yang setara kepada setiap Konsumen sesuai klasifikasi Konsumen atas produk dan/atau layanan Pelaku Usaha Jasa Keuangan. (2) Klasifikasi Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan berdasarkan: (a) latar belakang Konsumen; (b) keterangan mengenai pekerjaan; (c) rata-rata penghasilan; (d) maksud dan tujuan menggunakan produk dan/atau layanan Pelaku Usaha Jasa Keuangan; atau (e) informasi lain yang digunakan untuk menentukan klasifikasi Konsumen. Pasal 16 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memperhatikan kesesuaian antara kebutuhan dan kemampuan Konsumen dengan produk dan/atau layanan ditawarkan kepada Konsumen. Pasal 17 Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang menggunakan strategi pemasaran produk dan/atau layanan yang merugikan Konsumen dengan memanfaatkan kondisi Konsumen yang tidak memiliki pilihan lain dalam mengambil keputusan. Pasal 18 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dapat menjual produk dan/atau layanan dalam satu paket dengan produk dan/atau layanan lain (bundling product/service). (2) Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menjual produk dan/atau layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka : a. Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang memaksa Konsumen untuk membeli produk dan/atau layanan lain dalam paket produk dan/atau layanan tersebut; dan b. Konsumen dapat memilih penyedia produk dan/atau layanan lain dalam paket produk dan/atau layanan tersebut. (3) Dalam hal produk dan/atau layanan lain dalam paket produk dan/atau layanan yang ditawarkan merupakan pilihan Konsumen... - 8 - Konsumen, maka risiko atas pilihan tersebut menjadi tanggung jawab Konsumen. Pasal 19 Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang melakukan penawaran produk dan/atau layanan kepada Konsumen dan/atau masyarakat melalui sarana komunikasi pribadi tanpa persetujuan Konsumen. Pasal 20 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan dalam setiap penawaran atau promosi produk dan/atau layanan: a. nama dan/atau logo Pelaku Usaha Jasa Keuangan; dan b. pernyataan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam hal penjualan produk dan/atau layanan hanya dapat dilakukan oleh orang perorangan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan, dalam penawaran atau promosi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan pernyataan bahwa orang perorangan dimaksud terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 21 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan Konsumen. Pasal 22 (1) Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menggunakan perjanjian baku, perjanjian baku tersebut wajib disusun sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk digital atau elektronik untuk ditawarkan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan melalui media elektronik. (3) Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang digunakan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada Konsumen; b. menyatakan... - 9 - b. menyatakan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak menolak pengembalian uang yang telah dibayar oleh Konsumen atas produk dan/atau layanan yang dibeli; c. menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh Konsumen, kecuali tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan; d. mengatur tentang kewajiban pembuktian oleh Konsumen, jika Pelaku Usaha Jasa Keuangan menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen, bukan merupakan tanggung jawab Pelaku Usaha Jasa Keuangan; e. memberi hak kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk mengurangi kegunaan produk dan/atau layanan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi obyek perjanjian produk dan layanan; f. menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam masa Konsumen memanfaatkan produk dan/atau layanan yang dibelinya; dan/atau g. menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen secara angsuran. Pasal 23 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan, agen penjual, dan pengurus/pegawai dari Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menghindari benturan kepentingan antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan dengan Konsumen. (2) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan informasi mengenai adanya benturan kepentingan atau potensi benturan kepentingan. Pasal 24 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan layanan khusus kepada Konsumen dengan kebutuhan khusus. Pasal 25... - 10 - Pasal 25 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menjaga keamanan simpanan, dana, atau aset Konsumen yang berada dalam tanggung jawab Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Pasal 26 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan tanda bukti kepemilikan produk dan/atau pemanfaatan layanan kepada Konsumen tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian dengan Konsumen. Pasal 27 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan laporan kepada Konsumen tentang posisi saldo dan mutasi simpanan, dana, aset, atau kewajiban Konsumen secara akurat, tepat waktu, dan dengan cara atau sarana sesuai dengan perjanjian dengan Konsumen. Pasal 28 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib melaksanakan instruksi Konsumen sesuai dengan perjanjian dengan Konsumen dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 29 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib bertanggung jawab atas kerugian Konsumen yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian, pengurus, pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak ketiga yang bekerja untuk kepentingan Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Pasal 30 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib mencegah pengurus, pengawas, dan pegawainya dari perilaku: a. memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau pihak lain, b. menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya, yang dapat merugikan Konsumen. (2) Pengurus... - 11 - (2) Pengurus dan pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib mentaati kode etik dalam melayani Konsumen, yang telah ditetapkan oleh masing-masing Pelaku Usaha Jasa Keuangan. (3) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib bertanggung jawab kepada Konsumen atas tindakan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang bertindak untuk kepentingan Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Pasal 31 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang dengan cara apapun, memberikan data dan/atau informasi mengenai Konsumennya kepada pihak ketiga. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam hal: a. Konsumen memberikan persetujuan tertulis; dan/atau b. diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan memperoleh data dan/atau informasi pribadi seseorang dan/atau sekelompok orang dari pihak lain dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan akan menggunakan data dan/atau informasi tersebut untuk melaksanakan kegiatannya, Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki pernyataan tertulis bahwa pihak lain dimaksud telah memperoleh persetujuan tertulis dari seseorang dan/atau sekelompok orang tersebut untuk memberikan data dan/atau informasi pribadi dimaksud kepada pihak manapun, termasuk Pelaku Usaha Jasa Keuangan. (4) Pembatalan atau perubahan sebagian persetujuan atas pengungkapan data dan atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan secara tertulis oleh Konsumen dalam bentuk surat pernyataan. Pasal 32 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki dan melaksanakan mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan bagi Konsumen. (2) Mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberitahukan kepada Konsumen. Pasal 33 Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang mengenakan biaya apapun kepada Konsumen atas pengajuan pengaduan. Pasal 34... - 12 - Pasal 34 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib melaporkan secara berkala adanya pengaduan Konsumen dan tindak lanjut pelayanan dan penyelesaian pengaduan Konsumen dimaksud kepada Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal ini Kepala Eksekutif yang melakukan pengawasan atas kegiatan Pelaku Usaha Jasa Keuangan. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) setiap 3 (tiga) bulan. Apabila tanggal 10 (sepuluh) jatuh pada hari libur, maka penyampaian laporan dimaksud dilakukan pada hari kerja pertama setelah hari libur dimaksud. Pasal 35 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib segera menindaklanjuti dan menyelesaikan pengaduan paling lambat 20 hari kerja setelah tanggal penerimaan pengaduan. (2) Dalam hal terdapat kondisi tertentu, Pelaku Usaha Jasa Keuangan dapat memperpanjang jangka waktu sampai dengan paling lama 20 hari kerja berikutnya. (3) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah: a. kantor Pelaku Usaha Jasa Keuangan yang menerima pengaduan tidak sama dengan kantor Pelaku Usaha Jasa Keuangan tempat terjadinya permasalahan yang diadukan dan terdapat kendala komunikasi di antara kedua kantor Pelaku Usaha Jasa Keuangan tersebut; b. transaksi keuangan yang diadukan oleh Konsumen memerlukan penelitian khusus terhadap dokumen-dokumen Pelaku Usaha Jasa Keuangan; dan/atau c. terdapat hal-hal lain di luar kendali Pelaku Usaha Jasa Keuangan seperti adanya keterlibatan pihak ketiga di luar Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam transaksi keuangan yang dilakukan oleh Konsumen. (4) Perpanjangan jangka waktu penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diberitahukan secara tertulis kepada Konsumen yang mengajukan pengaduan sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir. Pasal 36 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki unit kerja dan/atau fungsi untuk menangani dan menyelesaikan pengaduan yang diajukan Konsumen. (2) Kewenangan... - 13 - (2) Kewenangan unit kerja dan/atau fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diatur dalam mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32. (3) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menunjuk 1 (satu) orang pegawai di setiap kantor Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk menangani penyelesaian pengaduan Konsumen. Pasal 37 Dalam hal pengaduan Konsumen terkait transaksi atau kegiatan melibatkan pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan yang memiliki kewenangan untuk menangani pengaduan atau pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan yang menyelesaikan pengaduan tersebut, maka penanganan dan penyelesaian pengaduan wajib dilakukan oleh pegawai lain. Pasal 38 Setelah menerima pengaduan Konsumen, Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib melakukan: a. pemeriksaan internal atas pengaduan secara kompeten, benar, dan obyektif; b. melakukan analisis untuk memastikan kebenaran pengaduan; dan c. menyampaikan pernyataan maaf dan menawarkan ganti rugi (redress/remedy) atau perbaikan produk dan atau layanan, jika pengaduan Konsumen benar. Pasal 39 (1) Dalam hal tidak mencapai kesepakatan penyelesaian pengaduan, Konsumen dapat melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau melalui pengadilan. (2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa. (3) Dalam hal penyelesaian sengketa tidak dilakukan melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Konsumen dapat menyampaikan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk memfasilitasi penyelesaian pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Pelaku Usaha Jasa Keuangan. BAB III... - 14 - BAB III PENGADUAN KONSUMEN DAN PEMBERIAN FASILITAS PENYELESAIAN PENGADUAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN Pasal 40 (1) Konsumen dapat menyampaikan pengaduan yang berindikasi sengketa antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan dengan Konsumen kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Konsumen dan/atau masyarakat dapat menyampaikan pengaduan yang berindikasi pelanggaran atas ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal ini Anggota Dewan Komisioner yang membidangi edukasi dan perlindungan Konsumen. Pasal 41 Pemberian fasilitas penyelesaian pengaduan Konsumen oleh Otoritas Jasa Keuangan dilakukan terhadap pengaduan yang berindikasi sengketa di sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Konsumen mengalami kerugian finansial yang ditimbulkan oleh: 1. Pelaku Usaha Jasa Keuangan di bidang Perbankan, Pasar Modal, Dana Pensiun, Asuransi Jiwa, Pembiayaan, Perusahaan Gadai, atau Penjaminan, paling banyak sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); 2. Pelaku Usaha Jasa Keuangan di bidang asuransi umum paling banyak sebesar Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah); b. Konsumen mengajukan permohonan secara tertulis disertai dengan dokumen pendukung yang berkaitan dengan pengaduan; c. Pelaku Usaha Jasa Keuangan telah melakukan upaya penyelesaian pengaduan namun Konsumen tidak dapat menerima penyelesaian tersebut atau telah melewati batas waktu sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; d. pengaduan yang diajukan bukan merupakan sengketa sedang dalam proses atau pernah diputus oleh lembaga arbritrase atau peradilan, atau lembaga mediasi lainnya; e. pengaduan yang diajukan bersifat keperdataan; f. pengaduan... - 15 - f. pengaduan yang diajukan belum pernah difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan g. pengajuan penyelesaian pengaduan tidak melebihi 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian Pengaduan yang disampaikan Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada Konsumen. Pasal 42 Pemberian fasilitas penyelesaian pengaduan yang dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 merupakan upaya mempertemukan Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk mengkaji ulang permasalahan secara mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan penyelesaian. Pasal 43 Otoritas Jasa Keuangan menunjuk fasilitator untuk melaksanakan fungsi penyelesaian pengaduan. Pasal 44 Otoritas Jasa Keuangan memulai proses fasilitasi setelah Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan sepakat untuk difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan yang dituangkan dalam perjanjian fasilitasi yang memuat: a. kesepakatan untuk memilih penyelesaian pengaduan yang difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan b. persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan fasilitasi yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 45 (1) Pelaksanaan proses fasilitasi sampai dengan ditandatanganinya Akta Kesepakatan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan menandatangani perjanjian fasilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44. (2) Jangka waktu proses fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja berikutnya berdasarkan Akta Kesepakatan Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Pasal 46... - 16 - Pasal 46 (1) Kesepakatan antara Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan yang dihasilkan dari proses fasilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dituangkan dalam Akta Kesepakatan yang ditandatangani oleh Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan. (2) Dalam hal tidak terjadi kesepakatan antara Konsumen dengan Pelaku Usaha Jasa Keuangan, maka ketidaksepakatan tersebut dituangkan dalam berita acara hasil fasilitasi Otoritas Jasa Keuangan yang ditandatangani oleh Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan. BAB IV PENGENDALIAN INTERNAL Pasal 47 (1) Direksi atau pengurus Pelaku Usaha Jasa Keuangan bertanggung jawab atas ketaatan pelaksanaan ketentuan Peraturan ini. (2) Dewan Komisaris atau pengawas Pelaku Usaha Jasa Keuangan melakukan pengawasan atas pelaksanaan tanggung jawab Direksi atau pengurus terhadap ketaatan pelaksanaan ketentuan Peraturan ini. Pasal 48 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki sistem pengawasan bagi Direksi atau pengurus dalam rangka perlindungan Konsumen. (2) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib membentuk sistem pelaporan untuk menjamin optimalisasi pengawasan Direksi atau pengurus terhadap ketaatan pelaksanaan Peraturan ini. Pasal 49 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki dan menerapkan kebijakan dan prosedur tertulis perlindungan Konsumen. (2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam standar prosedur operasional yang kemudian dijadikan panduan dalam seluruh kegiatan operasional Pelaku Usaha Jasa Keuangan. (3) Kebijakan... - 17 - (3) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditaati oleh pengurus dan pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Pasal 50 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki sistem pengendalian internal terkait dengan perlindungan Konsumen. (2) Sistem pengendalian internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya mencakup: a. kepatuhan Pelaku Usaha Jasa Keuangan terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip perlindungan Konsumen; dan b. sistem pelaporan dan monitoring terhadap tindak lanjut pengaduan Konsumen. BAB V PENGAWASAN PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN Pasal 51 (1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengawasan kepatuhan Pelaku Usaha Jasa Keuangan terhadap penerapan ketentuan perlindungan Konsumen. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengawasan secara langsung maupun tidak langsung. Pasal 52 (1) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan kepatuhan Pelaku Usaha Jasa Keuangan terhadap penerapan ketentuan perlindungan Konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta data dan informasi dari Pelaku Usaha Jasa Keuangan berkaitan dengan pelaksanaan ketentuan perlindungan Konsumen. (2) Permintaan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara berkala atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. BAB VI... - 18 - BAB VI SANKSI Pasal 53 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenakan sanksi administratif, antara lain berupa: a. Peringatan tertulis; b. Denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. Pembatasan kegiatan usaha; d. Pembekuan kegiatan usaha; dan e. Pencabutan izin kegiatan usaha. (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, atau huruf e. (4) Besaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan ketentuan tentang sanksi administratif berupa denda yang berlaku untuk setiap sektor jasa keuangan. (5) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 54 Perjanjian baku yang telah dibuat oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, wajib disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 paling lambat pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB VIII... - 19 - BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 55 Ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang mengatur perlindungan Konsumen di sektor jasa keuangan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 56 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki kelengkapan internal untuk melaksanakan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan. Pasal 57 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Juli 2013 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 Agustus 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 118 Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA DIVISI BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM, Ttd. MUFLI ASMAWIDJAJA
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 1/POJK.07/2013 </reg_id> <reg_title> PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN </reg_title> <set_date> 26 Juli 2013 </set_date> <effective_date> setelah 1 (satu) tahun terhitung sejak 6 Agustus 2014 </effective_date> <issued_date> 6 Agustus 2014 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 34/POJK.04/2014 TENTANG KOMITE NOMINASI DAN REMUNERASI EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang baik bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang berkaitan dengan transparansi proses Nominasi dan Remunerasi serta meningkatkan kualitas, kompetensi, dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Komite Nominasi dan Remunerasi Emiten atau Perusahaan Publik; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan... -2- Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KOMITE NOMINASI DAN REMUNERASI EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Komite Nominasi dan Remunerasi adalah komite yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris dalam membantu melaksanakan fungsi dan tugas Dewan Komisaris terkait Nominasi dan Remunerasi terhadap anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris. 2. Nominasi adalah pengusulan seseorang untuk diangkat dalam jabatan sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris. 3. Remunerasi adalah imbalan yang ditetapkan dan diberikan kepada anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris karena kedudukan dan peran yang diberikan sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan wewenang anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris. 4. Direksi adalah organ Emiten atau Perusahaan Publik yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Emiten atau Perusahaan Publik untuk kepentingan Emiten atau Perusahaan Publik, sesuai dengan maksud dan tujuan Emiten atau... -3- atau Perusahaan Publik serta mewakili Emiten atau Perusahaan Publik, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. 5. Dewan Komisaris adalah organ Emiten atau Perusahaan Publik yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. 6. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang berasal dari luar Emiten atau Perusahaan Publik dan memenuhi persyaratan sebagai komisaris independen. Pasal 2 (1) Emiten atau Perusahaan Publik wajib memiliki fungsi Nominasi dan Remunerasi. (2) Pelaksanaan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan oleh Dewan Komisaris. (3) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan Komisaris dapat membentuk Komite Nominasi dan Remunerasi. (4) Komite Nominasi dan Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibentuk secara terpisah. BAB II KEANGGOTAAN Pasal 3 (1) Komite Nominasi dan Remunerasi paling kurang terdiri dari 3 (tiga) orang anggota, dengan ketentuan: a. 1 (satu) orang ketua merangkap anggota, yang merupakan Komisaris Independen; dan b. anggota... -4- b. anggota lainnya yang dapat berasal dari: 1. anggota Dewan Komisaris; 2. 3. bersangkutan; atau pihak yang pihak yang berasal dari luar Emiten atau Perusahaan Publik yang menduduki jabatan manajerial di bawah Direksi yang membidangi sumber daya manusia. (2) Anggota Komite Nominasi dan Remunerasi lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sebagian besar tidak dapat berasal dari pihak yang menduduki jabatan manajerial di bawah Direksi yang membidangi sumber daya manusia. (3) Anggota Komite Nominasi dan Remunerasi yang berasal dari luar Emiten atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2 wajib memenuhi syarat: a. tidak mempunyai hubungan Afiliasi dengan Emiten atau Perusahaan Publik, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau Pemegang Saham Utama Emiten atau Perusahaan Publik tersebut; b. c. memiliki pengalaman terkait Nominasi dan/atau Remunerasi; dan tidak merangkap jabatan sebagai anggota komite lainnya yang dimiliki Emiten atau Perusahaan Publik tersebut. (4) Anggota Direksi Emiten atau Perusahaan Publik tidak dapat menjadi anggota Komite Nominasi dan Remunerasi. Pasal 4 (1) Anggota Komite Nominasi dan Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) diangkat... -5- diangkat dan diberhentikan berdasarkan keputusan rapat Dewan Komisaris. (2) Anggota Komite Nominasi dan Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat untuk masa jabatan tertentu dan dapat diangkat kembali. (3) Masa jabatan anggota Komite Nominasi dan Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak lebih lama dari masa jabatan Dewan Komisaris sebagaimana diatur dalam anggaran dasar. (4) Penggantian anggota Komite Nominasi dan Remunerasi yang bukan berasal dari Dewan Komisaris dilakukan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak anggota Komite Nominasi dan Remunerasi dimaksud tidak dapat lagi melaksanakan fungsinya. Pasal 5 Emiten atau Perusahaan Publik wajib mendokumentasikan keputusan pengangkatan dan pemberhentian anggota Komite Nominasi dan Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). Pasal 6 Ketentuan mengenai keanggotaan dan pengangkatan anggota Komite Nominasi dan Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 mutatis mutandis berlaku bagi Komite Nominasi dan Remunerasi yang dibentuk secara terpisah oleh Dewan Komisaris. BAB III TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB Pasal 7 (1) Komite Nominasi dan Remunerasi wajib bertindak independen... -6- independen dalam melaksanakan tugasnya. (2) Dalam melaksanakan tugasnya, Komite Nominasi dan Remunerasi bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris. Pasal 8 Komite Nominasi dan Remunerasi mempunyai tugas dan tanggung jawab paling kurang: a. terkait dengan fungsi Nominasi: 1. memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai: a) komposisi jabatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris; b) c) kebijakan dan kriteria yang dibutuhkan dalam proses Nominasi; dan kebijakan evaluasi kinerja bagi anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris; 2. membantu Dewan Komisaris melakukan penilaian kinerja anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris berdasarkan tolok ukur yang telah disusun sebagai bahan evaluasi; 3. memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai program pengembangan kemampuan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris; dan 4. memberikan usulan calon yang memenuhi syarat sebagai anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris kepada Dewan Komisaris untuk disampaikan kepada RUPS. b. terkait dengan fungsi Remunerasi: 1. memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai: a) struktur... -7- a) struktur Remunerasi; b) kebijakan atas Remunerasi; dan c) besaran atas Remunerasi; 2. membantu Dewan Komisaris melakukan penilaian kinerja dengan kesesuaian Remunerasi yang diterima masing-masing anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris. Pasal 9 Dalam melaksanakan fungsi Nominasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, Komite Nominasi dan Remunerasi wajib melakukan prosedur sebagai berikut: a. menyusun komposisi dan proses Nominasi anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris; b. menyusun kebijakan dan kriteria yang dibutuhkan dalam proses Nominasi calon anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris; c. membantu pelaksanaan evaluasi atas kinerja anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris; d. menyusun program pengembangan kemampuan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris; dan e. menelaah dan mengusulkan calon yang memenuhi syarat sebagai anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris kepada Dewan Komisaris untuk disampaikan kepada RUPS. Pasal 10 (1) Dalam melaksanakan fungsi Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b, Komite Nominasi dan Remunerasi wajib melakukan prosedur sebagai berikut: a. menyusun struktur Remunerasi bagi anggota Direksi... -8- Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris; b. menyusun kebijakan atas Remunerasi bagi anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris; dan c. menyusun besaran atas Remunerasi bagi anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris. (2) Struktur Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa: a. gaji; b. honorarium; c. d. insentif; dan/atau tunjangan yang bersifat tetap dan/atau variabel. (3) Penyusunan struktur, kebijakan, dan besaran Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan: a. Remunerasi yang berlaku pada industri sesuai dengan kegiatan usaha Emiten atau Perusahaan Publik sejenis dan skala usaha dari Emiten atau Perusahaan Publik dalam industrinya; b. tugas, tanggung jawab, dan wewenang anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris dikaitkan dengan pencapaian tujuan dan kinerja Emiten atau Perusahaan Publik; c. target kinerja atau kinerja masing-masing anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris; dan d. keseimbangan tunjangan antara yang bersifat tetap dan bersifat variabel. (4) Struktur... -9- (4) Struktur, kebijakan, dan besaran Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dievaluasi oleh Komite Nominasi dan Remunerasi paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Pasal 11 Dalam hal tidak dibentuk Komite Nominasi dan Remunerasi, prosedur Nominasi dan Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (1) wajib dijalankan oleh Dewan Komisaris. BAB IV PENYELENGGARAAN RAPAT Pasal 12 (1) Rapat Komite Nominasi dan Remunerasi diselenggarakan secara berkala paling kurang 1 (satu) kali dalam 4 (empat) bulan. (2) Rapat Komite Nominasi dan Remunerasi hanya dapat diselenggarakan apabila: a. b. dihadiri oleh mayoritas dari jumlah anggota Komite Nominasi dan Remunerasi; dan salah satu dari mayoritas jumlah anggota Komite Nominasi dan Remunerasi sebagaimana dimaksud pada huruf a merupakan Ketua Komite Nominasi dan Remunerasi. Pasal 13 (1) Keputusan rapat Komite Nominasi dan Remunerasi dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat. (2) Dalam hal keputusan berdasarkan musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak. (3) Jika dalam pengambilan keputusan yang dilakukan dengan cara pemungutan suara terjadi suara... -10- suara yang sama banyaknya, keputusan diambil melalui mekanisme yang diatur dalam pedoman Komite Nominasi dan Remunerasi. (4) Dalam hal proses pengambilan keputusan terdapat perbedaan pendapat, perbedaan pendapat tersebut wajib dimuat dalam risalah rapat beserta alasan perbedaan pendapat tersebut. Pasal 14 (1) Hasil rapat Komite Nominasi dan Remunerasi wajib dituangkan dalam risalah rapat dan didokumentasikan oleh Emiten atau Perusahaan Publik. (2) Risalah rapat Komite Nominasi dan Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan secara tertulis kepada Dewan Komisaris. Pasal 15 Dalam hal tidak dibentuk Komite Nominasi dan Remunerasi, rapat dengan agenda tentang Nominasi dan/atau Remunerasi wajib diselenggarakan oleh Dewan Komisaris. Pasal 16 (1) Rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 diselenggarakan secara berkala paling kurang 1 (satu) kali dalam 4 (empat) bulan. (2) Rapat dengan agenda tentang Nominasi dan/atau Remunerasi hanya dapat diselenggarakan apabila: a. dihadiri mayoritas dari jumlah anggota Dewan Komisaris; dan b. salah satu dari mayoritas anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada huruf a merupakan Komisaris Independen. Pasal... -11- Pasal 17 (1) Keputusan rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat. (2) Dalam hal keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak. (3) Dalam hal proses pengambilan keputusan terdapat perbedaan pendapat, perbedaan pendapat tersebut wajib dimuat secara jelas dalam risalah rapat beserta alasan perbedaan pendapat tersebut. Pasal 18 Hasil rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 wajib dituangkan dalam risalah rapat dan didokumentasikan oleh Emiten atau Perusahaan Publik. BAB V PEDOMAN KOMITE NOMINASI DAN REMUNERASI Pasal 19 (1) Komite Nominasi dan Remunerasi wajib menyusun pedoman yang bersifat mengikat bagi setiap anggota Komite Nominasi dan Remunerasi. (2) Pedoman Komite Nominasi dan Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang memuat: a. tugas dan tanggung jawab; b. komposisi dan struktur keanggotaan; c. d. e. f. tata cara dan prosedur kerja; penyelenggaraan rapat; sistem pelaporan kegiatan; tata cara penggantian anggota; dan g. masa... -12- g. masa jabatan. (3) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Dewan Komisaris. Pasal 20 (1) Dalam hal tidak dibentuk Komite Nominasi dan Remunerasi, pedoman pelaksanaan fungsi Nominasi dan Remunerasi wajib dibuat Dewan Komisaris dengan ketentuan memuat paling kurang: a. b. tata cara dan prosedur kerja; c. d. penyelenggaraan rapat; dan sistem pelaporan kegiatan. (2) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam pedoman Dewan Komisaris. BAB VI PENGUNGKAPAN DAN PELAPORAN Pasal 21 (1) Komite Nominasi dan Remunerasi harus melaporkan pelaksanaan tugas, tanggung jawab, dan prosedur Nominasi dan Remunerasi yang dijalankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 kepada Dewan Komisaris. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari laporan pelaksanaan tugas Dewan Komisaris dan disampaikan dalam Rapat Umum Pemegang Saham. Pasal 22 (1) Emiten atau Perusahaan Publik wajib mengungkapkan pelaksanaan fungsi terkait Nominasi dan Remunerasi dalam: a. laporan... tugas dan tanggung jawab terkait Nominasi dan Remunerasi; -13- a. laporan tahunan; dan b. (2) situs web Emiten atau Perusahaan Publik. Informasi mengenai pelaksanaan fungsi terkait Nominasi dan Remunerasi yang diungkapkan dalam laporan tahunan Emiten atau Perusahaan Publik paling kurang memuat: a. pernyataan bahwa Emiten atau Perusahaan Publik telah memiliki pedoman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) atau Pasal 20 ayat (1); dan b. uraian singkat pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Komite Nominasi dan Remunerasi dalam tahun buku. (3) Informasi mengenai pelaksanaan fungsi terkait Nominasi dan Remunerasi yang diungkapkan dalam situs web Emiten atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling kurang meliputi: a. pedoman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) atau Pasal 20 ayat (1); dan b. uraian singkat pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Komite Nominasi dan Remunerasi dalam tahun buku. Pasal 23 Dalam hal tidak dibentuk Komite Nominasi dan Remunerasi, Emiten atau Perusahaan Publik wajib mengungkapkan informasi dalam laporan tahunan dan situs web Emiten atau Perusahaan Publik paling kurang meliputi: a. b. uraian pelaksanaan fungsi Nominasi dan Remunerasi yang dilakukan dalam tahun buku. BAB VII... penjelasan mengenai tidak dibentuknya Komite Nominasi dan Remunerasi; dan -14- BAB VII LARANGAN Pasal 24 (1) Setiap anggota Komite Nominasi dan Remunerasi dilarang mengambil keuntungan pribadi baik secara langsung maupun tidak langsung dari kegiatan Emiten atau Perusahaan Publik selain penghasilan yang sah. (2) Anggota Dewan Komisaris yang menjadi Ketua atau anggota Komite Nominasi dan Remunerasi tidak diberikan penghasilan tambahan selain penghasilan sebagai anggota Dewan Komisaris. BAB VIII KETENTUAN SANKSI Pasal 25 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. f. pencabutan izin usaha; g. pembatalan persetujuan; dan pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi... -15- (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 26 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 27 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 kepada masyarakat. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 28 Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan. administratif BAB X... -16- BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 29 Ketentuan dalam peraturan perundang-undangan lain yang mengatur mengenai Komite Nominasi dan Remunerasi tetap berlaku bagi Emiten atau Perusahaan Publik sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 30 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 Desember 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 8 Desember 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014.NOMOR 376…… Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum, Ttd. Tini Kustini
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 34/POJK.04/2014 </reg_id> <reg_title> KOMITE NOMINASI DAN REMUNERASI EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK </reg_title> <set_date> 8 Desember 2014 </set_date> <effective_date> 8 Desember 2014 </effective_date> <issued_date> 8 Desember 2014 </issued_date> <related_reg> '8/UU/1995', '40/UU/2007', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 21 /POJK.04/2016 TENTANG PENDAFTARAN PENILAI PEMERINTAH UNTUK TUJUAN REVALUASI ASET BAGI BADAN USAHA MILIK NEGARA ATAU BADAN USAHA MILIK DAERAH YANG MELAKUKAN PENAWARAN UMUM DI PASAR MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung kebijakan ekonomi Pemerintah terkait revaluasi aset Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, penetapan nilai hasil revaluasi dapat dilakukan oleh Penilai Pemerintah di lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Republik Indonesia; b. bahwa Profesi Penilai yang dapat memberikan jasa penilaian bagi Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang telah melakukan Penawaran Umum di Pasar Modal wajib terlebih dahulu terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pendaftaran Penilai Pemerintah Untuk Tujuan Revaluasi Aset Bagi Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah Yang Melakukan Penawaran Umum Di Pasar Modal; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5533); 4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 233/PMK.03/2015 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan yang Diajukan Pada Tahun 2015 dan Tahun 2016 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1916); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENDAFTARAN PENILAI PEMERINTAH UNTUK TUJUAN REVALUASI ASET BAGI BADAN USAHA MILIK NEGARA ATAU BADAN USAHA MILIK DAERAH YANG MELAKUKAN PENAWARAN UMUM DI PASAR MODAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud - 3 - dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 2. Penilai Pemerintah adalah Penilai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan DJKN yang diangkat oleh kuasa Menteri Keuangan serta diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan Penilaian, termasuk atas hasil penilaiannya secara independen. 3. Penilai Pemerintah Pasar Modal adalah Penilai Pemerintah yang terdaftar di OJK. 4. Penilaian adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh Penilai Pemerintah Pasar Modal untuk memberikan suatu opini nilai yang didasarkan pada data dan/atau fakta yang objektif dan relevan dengan menggunakan metode atau teknik tertentu atas objek tertentu pada saat tanggal penilaian. 5. Ikatan Penilai Pemerintah Indonesia, yang selanjutnya disingkat IPPI, adalah organisasi profesi Penilai Pemerintah. 6. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, yang selanjutnya disebut DJKN adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang. 7. Pendidikan Profesi adalah suatu pendidikan dasar bagi Penilai Pemerintah Pasar Modal dengan muatan materi penilaian dan/atau peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan jasa keuangan lainnya yang diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan, OJK dan/atau pihak lain yang disetujui atau diakui oleh OJK. 8. Pendidikan Profesi Lanjutan, yang selanjutnya disingkat PPL, adalah suatu pendidikan lanjutan bagi Penilai Pemerintah Pasar Modal dengan muatan materi penilaian dan/atau peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan jasa keuangan lainnya yang diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan, OJK dan/atau pihak lain yang disetujui atau diakui oleh OJK. - 4 - 9. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang Pasar Modal. 10. Laporan Berkala Kegiatan Penilai Pemerintah Pasar Modal adalah laporan yang memuat informasi tentang kegiatan Penilai Pemerintah dalam rangka revaluasi aset bagi Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah yang melakukan Penawaran Umum di Pasar Modal selama 1 (satu) tahun. BAB II PENDAFTARAN PENILAI PEMERINTAH Bagian Kesatu Persyaratan Pendaftaran Penilai Pemerintah Pasal 2 Penilai Pemerintah yang melakukan kegiatan Penilaian di bidang Pasar Modal wajib terlebih dahulu terdaftar di OJK dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 3 Persyaratan pendaftaran Penilai Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sebagai berikut: a. berstatus sebagai Penilai Pemerintah; b. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang jasa keuangan; dan c. telah menjadi anggota IPPI. Bagian Kedua Dokumen Pendaftaran Penilai Pemerintah Pasal 4 Permohonan pendaftaran Penilai Pemerintah sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal diajukan kepada OJK disusun dengan - 5 - menggunakan format Permohonan Pendaftaran Penilai Pemerintah Sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 5 Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, disertai dokumen sebagai berikut: a. fotokopi surat keputusan dari Menteri Keuangan tentang pengangkatan sebagai Penilai Pemerintah; b. surat rekomendasi dari DJKN yang menyatakan bahwa yang bersangkutan layak dipertimbangkan untuk melakukan kegiatan sebagai Penilai Pemerintah di Pasar Modal; c. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama Penilai Pemerintah yang bersangkutan; d. fotokopi Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku; e. pas foto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan latar belakang berwarna merah sebanyak 1 (satu) lembar; fotokopi bukti keanggotaan dalam IPPI; dan f. g. surat pernyataan dengan materai cukup disusun dengan menggunakan format Surat Pernyataan Penilai Pemerintah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang menyatakan bahwa Penilai Pemerintah: 1. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang jasa keuangan; 2. sanggup menaati kode etik profesi yang disusun oleh IPPI; 3. sanggup bersikap independen, obyektif, dan profesional dalam melakukan Penilaian; dan 4. sanggup memenuhi panggilan untuk menjalani - 6 - pemeriksaan dan/atau penyidikan oleh OJK atas pemenuhan Peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Ketiga Penelaahan Permohonan Pendaftaran Penilai Pemerintah Pasal 6 Dalam rangka pendaftaran Penilai Pemerintah yang melakukan kegiatan di Pasar Modal, OJK dapat meminta dokumen tambahan untuk mendukung pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. Pasal 7 Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 tidak memenuhi persyaratan, maka paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan tersebut, OJK wajib memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa: a. permohonan belum memenuhi persyaratan; atau b. permohonan ditolak. Pasal 8 Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan dokumen yang dipersyaratkan dan/atau tidak diterima oleh OJK dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah tanggal surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, dianggap telah membatalkan permohonan pendaftaran Penilai Pemerintah yang sudah diajukan dan pemohon dapat mengajukan permohonan baru. Pasal 9 Dalam hal permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 telah memenuhi persyaratan, maka paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan secara lengkap, OJK menetapkan Surat Tanda Terdaftar - 7 - Profesi Penunjang Pasar Modal kepada pemohon. Pasal 10 Dokumen yang telah disampaikan kepada OJK menjadi milik OJK. BAB III RUANG LINGKUP PENILAIAN Pasal 11 (1) Ruang lingkup kegiatan Penilaian yang dilakukan oleh Penilai Pemerintah Pasar Modal mencakup penilaian properti untuk tujuan revaluasi aset tetap Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah. (2) Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terbatas pada Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah yang telah melakukan Penawaran Umum di bidang Pasar Modal. BAB IV PEMBATASAN PENUGASAN PENILAIAN Pasal 12 (1) Pemberian jasa Penilaian kepada klien Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah yang telah melakukan Penawaran Umum di bidang Pasar Modal hanya dapat dilakukan oleh seorang Penilai Pemerintah Pasar Modal paling lama 5 (lima) tahun berturut-turut terhitung sejak tanggal laporan Penilaian pada penugasan Penilaian pertama. (2) Seorang Penilai Pemerintah Pasar Modal dapat menerima penugasan Penilaian kembali dari klien Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah 1 (satu) - 8 - tahun tidak melakukan penugasan Penilaian bagi Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah tersebut terhitung sejak tanggal laporan Penilaian pada penugasan Penilaian terakhir. BAB V KEWAJIBAN DAN LARANGAN PENILAI PEMERINTAH PASAR MODAL Bagian Kesatu Kewajiban Penilai Pemerintah Pasar Modal Pasal 13 (1) Penilai Pemerintah Pasar Modal wajib: a. menaati kode etik profesi Penilai Pemerintah Pasar Modal yang disusun oleh IPPI; b. bersikap independen, obyektif, dan profesional dalam melakukan Penilaian; c. melakukan Penilaian sesuai dengan ruang lingkup kegiatan Penilaian sebagaimana tercantum dalam Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal; d. mengikuti PPL paling sedikit 5 (lima) jam latihan setiap tahun; e. melaporkan keikutsertaannya dalam PPL sebagaimana dimaksud pada huruf d kepada OJK disertai bukti pendukung, secara berkala paling lambat pada tanggal 15 Januari tahun berikutnya; f. menyampaikan kepada OJK Laporan Berkala Kegiatan Penilai Pemerintah Pasar Modal paling lambat pada tanggal 15 Januari tahun berikutnya, disusun dengan menggunakan format Laporan Berkala Kegiatan Penilai Pemerintah Pasar Modal sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan - 9 - Otoritas Jasa Keuangan ini; g. melaporkan kepada OJK setiap perubahan data dan informasi Penilai Pemerintah Pasar Modal disertai dengan dokumen pendukung; dan h. memenuhi panggilan untuk menjalani pemeriksaan dan/atau penyidikan oleh OJK atas pemenuhan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. (2) Dalam hal tanggal 15 Januari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f jatuh pada hari libur, maka laporan disampaikan paling lambat 1 (satu) hari kerja berikutnya. (3) Laporan Berkala Kegiatan Penilai Pemerintah Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f memuat informasi kegiatan yang dilakukan Penilai Pemerintah Pasar Modal terhitung sejak 1 Januari sampai dengan 31 Desember atau sejak terdaftar di OJK apabila terdaftar kurang dari 1 (satu) tahun. (4) Laporan Berkala Kegiatan Penilai Pemerintah Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f wajib disertai dengan laporan dalam format digital. (5) Laporan keikutsertaan PPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan Laporan Berkala Kegiatan Penilai Pemerintah Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, dapat disampaikan oleh beberapa Penilai Pemerintah Pasar Modal secara bersamaan dalam 1 (satu) surat pengantar. Pasal 14 Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf d mulai berlaku untuk tahun berikutnya sejak Penilai Pemerintah Pasar Modal memperoleh Surat Tanda Terdaftar dari OJK. Pasal 15 Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) tahun Pendidikan Profesi - 10 - dan/atau PPL tidak terselenggarakan, maka OJK dapat menetapkan ketentuan lain. Bagian Kedua Larangan Penilai Pemerintah Pasar Modal Pasal 16 Dalam hal Penilai Pemerintah Pasar Modal merangkap jabatan pada pihak yang memperoleh izin, dan/atau yang Pernyataan Pendaftarannya telah menjadi efektif, maka Penilai Pemerintah Pasar Modal dilarang memberikan jasa Penilaian yang dapat menimbulkan benturan kepentingan terhadap pihak dimana Penilai Pemerintah Pasar Modal tersebut merangkap jabatan. Pasal 17 Penilai Pemerintah Pasar Modal tidak dapat melakukan kegiatan di Pasar Modal dalam hal: a. dibebastugaskan; atau b. diberhentikan, sebagai Penilai Pemerintah oleh DJKN. BAB VI KETENTUAN SANKSI Pasal 18 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, OJK berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap Penilai Pemerintah Pasar Modal yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatalan pendaftaran; dan d. pembekuan Surat Tanda Terdaftar. - 11 - (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d, dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d. Pasal 19 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), OJK dapat melakukan tindakan tertentu terhadap Penilai Pemerintah yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 20 OJK dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 kepada masyarakat. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 21 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 12 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 April 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 April 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 67 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 21 /POJK.04/2016 TENTANG PENDAFTARAN PENILAI PEMERINTAH UNTUK TUJUAN REVALUASI ASET BAGI BADAN USAHA MILIK NEGARA ATAU BADAN USAHA MILIK DAERAH YANG MELAKUKAN PENAWARAN UMUM DI PASAR MODAL I. UMUM Salah satu kebijakan Pemerintah dalam mendorong perekonomian dalam negeri adalah dengan memberikan keringanan atau insentif dalam sektor perpajakan. Insentif pajak diberikan terhadap revaluasi aset khususnya aset properti yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah maupun perusahaan swasta. Dengan adanya insentif pajak tersebut, diharapkan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan perusahaan swasta akan melakukan revaluasi asetnya sehingga nilai aset perusahaan dapat meningkat. Dalam rangka mendukung rencana Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang akan melakukan revaluasi aset, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 233/PMK.03/2015 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan yang Diajukan Pada Tahun 2015 dan Tahun 2016, untuk memberi kewenangan bagi Penilai Pemerintah untuk melakukan penilaian atas revaluasi aset Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah. - 2 - Berdasarkan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, profesi Penilai yang dapat memberikan jasa terhadap perusahaan yang telah melakukan Penawaran Umum di Pasar Modal (Emiten), wajib terlebih dahulu terdaftar di Otoritas Jasa keuangan. Aturan tersebut berlaku pula bagi penilai yang akan memberikan jasa penilaian terhadap Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang telah berstatus sebagai Emiten di bidang Pasar Modal. Substansi pengaturan pada Peraturan di bidang Pasar Modal Bapepam-LK yang mengatur mengenai pendaftaran, independensi dan laporan berkala bagi Penilai yang melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal tidak tepat bila diterapkan pada Penilai Pemerintah yang akan melakukan penilaian atas revaluasi aset Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang berstatus sebagai Emiten. Dengan pertimbangan tersebut, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diharapkan dapat meningkatkan efektifitas pengawasan terhadap Penilai Pemerintah dimaksud. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. - 3 - Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Yang dimaksud penilaian properti, antara lain: a. penilaian real properti; b. penilaian personal properti; c. penilaian pembangunan/pengembangan proyek; d. penilaian pengembangan properti; e. penilaian aset perkebunan; f. penilaian aset perikanan; g. penilaian aset kehutanan; h. penilaian aset pertambangan; dan/atau i. penilaian properti lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. - 4 - Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5869
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 21/POJK.04/2016 </reg_id> <reg_title> PENDAFTARAN PENILAI PEMERINTAH UNTUK TUJUAN REVALUASI ASET BAGI BADAN USAHA MILIK NEGARA ATAU BADAN USAHA MILIK DAERAH YANG MELAKUKAN PENAWARAN UMUM DI PASAR MODAL </reg_title> <set_date> 12 April 2016 </set_date> <effective_date> 18 April 2016 </effective_date> <issued_date> 18 April 2016 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '233/PMK.03/2015|PER-MENKEU/2015', '191/PMK.010/2015|PER-MENKEU/2015', '8/UU/1995', '27/PP/2014' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
- 1 - SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 40 /POJK.03/2017 TENTANG KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KEPADA PERUSAHAAN EFEK DAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN DENGAN AGUNAN SAHAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa deregulasi di bidang keuangan dan perbankan telah memberikan kesempatan dan kemudahan bagi bank untuk mengembangkan usahanya dengan berdasarkan pada asas perbankan yang sehat; b. bahwa untuk memungkinkan perkembangan pasar modal yang sehat, diperlukan peran serta perbankan dalam membiayai kegiatan pasar modal, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian; c. bahwa jaminan dalam pemberian kredit atau pembiayaan yang perlu diperhatikan yaitu keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi kredit atau pembiayaan sesuai dengan yang diperjanjikan; d. bahwa dalam menunjang perkembangan pasar modal, bank diperkenankan meminta agunan tambahan berupa saham untuk memperoleh keyakinan atas tersedianya jaminan pemberian kredit atau pembiayaan; e. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di - 2 - sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan, diperlukan pengaturan kembali kredit atau pembiayaan kepada perusahaan efek dan kredit atau pembiayaan dengan agunan saham; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Kredit atau Pembiayaan kepada Perusahaan Efek dan Kredit atau Pembiayaan dengan Agunan Saham; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KEPADA PERUSAHAAN EFEK DAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN DENGAN AGUNAN SAHAM. - 3 - Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan Bank Syariah serta Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai pasar modal. 3. Agunan Tambahan Kredit atau Pembiayaan adalah barang, surat berharga atau garansi yang tidak berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai yang ditambahkan sebagai agunan, apabila dalam penilaian kredit atau pembiayaan Bank belum memperoleh keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi kredit diperjanjikan. Pasal 2 (1) Bank hanya dapat memberikan kredit atau pembiayaan kepada suatu Perusahaan Efek masing-masing paling tinggi sebesar jumlah yang terkecil antara 25% (dua puluh lima persen) dari modal Perusahaan Efek yang bersangkutan atau 15% (lima belas persen) dari modal Bank. (2) Seluruh kredit atau pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diberikan oleh Bank kepada seluruh Perusahaan Efek paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh persen) dari modal Bank. atau pembiayaan sesuai dengan yang - 4 - (3) Bank dilarang memberikan kredit atau pembiayaan untuk jual beli saham kepada orang perseorangan atau perusahaan yang bukan Perusahaan Efek. Pasal 3 (1) Bank diperbolehkan memberikan kredit atau pembiayaan dengan agunan tambahan berupa saham yang telah terdaftar di bursa efek. (2) Saham yang telah terdaftar di bursa efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk: a. saham yang tidak mengalami transaksi dalam waktu 3 (tiga) bulan berturut-turut sebelum akad kredit atau pembiayaan ditandatangani; dan b. saham dengan harga pasar di bawah nilai nominal pada saat akad kredit ditandatangani. Pasal 4 Nilai saham yang digunakan sebagai Agunan Tambahan Kredit atau Pembiayaan paling tinggi sebesar 50% (lima puluh persen) dari harga pasar atau kurs saham yang bersangkutan di bursa efek pada saat akad kredit atau pembiayaan ditandatangani. Pasal 5 (1) Untuk pemberian kredit atau pembiayaan untuk ekspansi atau pengambilalihan, Bank diperbolehkan menerima agunan tambahan berupa saham yang terdaftar maupun tidak terdaftar di bursa efek. (2) Dalam hal saham yang digunakan sebagai agunan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa saham yang tidak terdaftar, dibatasi hanya saham yang diterbitkan oleh perusahaan penerima kredit atau pembiayaan. (3) Nilai saham tidak terdaftar yang digunakan sebagai Agunan Tambahan Kredit atau Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling tinggi sebesar nilai atau pembiayaan - 5 - nominal saham yang tercantum dalam anggaran dasar atau anggaran rumah tangga perusahaan penerima kredit atau pembiayaan. Pasal 6 Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikenakan sanksi administratif dalam pengawasan dan pembinaan Bank sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 7 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: 1. Surat Keputusan Direksi Nomor 24/32/KEP/DIR tentang 2. Surat Keputusan Perusahaan Sekuritas dan Kredit dengan Agunan Saham; Direksi Bank Indonesia Kredit kepada Bank Indonesia Nomor 26/68/KEP/DIR tentang Saham sebagai Tambahan Agunan Kredit; 3. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 24/1/UKU perihal Kredit kepada Perusahaan Sekuritas dan Kredit dengan Agunan Saham; dan 4. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/1/UKU perihal Saham Sebagai Tambahan Agunan Kredit, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 8 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 6 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 146 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 40 /POJK.03/2017 TENTANG KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KEPADA PERUSAHAAN EFEK DAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN DENGAN AGUNAN SAHAM I. UMUM Sektor pasar modal memiliki peranan penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia secara berkesinambungan. Dengan demikian, diperlukan peran perbankan untuk mendukung perkembangan pasar modal yang sehat. Salah satu bentuk dukungan perbankan terhadap sektor pasar modal adalah dengan memberikan kredit atau pembiayaan kepada Perusahaan Efek dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Perbankan sebagai lembaga keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi dituntut untuk menjalankan usaha perkreditan atau pembiayaan sesuai asas-asas perkreditan atau pembiayaan yang sehat. Dalam rangka penerapan asas-asas perkreditan atau pembiayaan yang sehat, Bank harus memiliki keyakinan terhadap kemampuan debitur untuk melunasi kredit atau pembiayaan dengan menilai usaha, proyek, atau hak tagih yang dibiayai sebagai jaminan dalam pemberian kredit atau pembiayaan. Untuk menambah keyakinan Bank terhadap kemampuan debitur, Bank dapat meminta agunan tambahan yang salah satunya adalah berupa saham dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Dengan diperkenankannya agunan tambahan berupa saham diharapkan juga dapat mendukung perkembangan pasar modal di Indonesia. - 2 - Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Otoritas Jasa Keuangan perlu untuk mengatur pemberian kredit atau pembiayaan kepada Perusahaan Efek dan kredit atau pembiayaan dengan agunan saham. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Kredit atau pembiayaan yang diberikan kepada Perusahaan Efek dapat berupa kredit atau pembiayaan investasi, kredit atau pembiayaan modal kerja serta kredit atau pembiayaan dalam rangka menjamin emisi efek. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. - 3 - Pasal 8 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6089
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 40/POJK.03/2017 </reg_id> <reg_title> KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KEPADA PERUSAHAAN EFEK DAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN DENGAN AGUNAN SAHAM </reg_title> <set_date> 12 Juli 2017 </set_date> <effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date> <issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date> <replaced_reg> '24/32/KEP/DIR|SKDIR-BI', '26/68/KEP/DIR|SKDIR-BI', '24/1/UKU|SE-BI', '26/1/UKU|SE-BI' </replaced_reg> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal 6' </penalty_list>